Anda di halaman 1dari 359

Prosiding

SEMINAR HASIL PENELITIAN


BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI PERBENIHAN TANAMAN HUTAN
BALAI PENELITIAN KEHUTANAN PALEMBANG
Bandar Lampung, 11 Agustus 2015

Editor:
Nina Mindawati
Yulianti Bramasto
Agus Astho
Mamat Rahmat
Dede Jajat Sudrajat

Hak Cipta oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopi, cetak,
mikrofilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau keperluan
non komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya, seperti berikut:

Untuk sitiran seluruh buku, ditulis: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (2015). Prosiding
Seminar Bersama Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan dan Balai
Penelitian Kehutanan Palembang "Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan dalam
Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan", 11 Agustus 2015. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan. Badan Litbang dan Inovasi. Bogor.

Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis: Nama Penulis dalam Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan (2015). Prosiding Seminar Bersama Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan
Tanaman Hutan dan Balai Penelitian Kehutanan Palembang "Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan
Kelembagaan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan", 11 Agustus 2015. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan. Badan Litbang dan Inovasi. Bogor. Halaman ...........

ISBN: 978-602-98588-4-6

Prosiding ini diterbitkan oleh:


Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Alamat:
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor PO BOX 331
Telp (0251) 631238, 631507 Fax (0251) 7520005
E-mail: p3hka_pp@yahoo.co.co.id

Dicetak dengan Pembiayaan dari DIPA


Balai Penelitian Kehutanan Palembang TA. 2015
ISBN: 978-602-98588-4-6

Prosiding

Seminar Hasil Penelitian


Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Balai Penelitian Kehutanan Palembang

Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan


dalam Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan
Bandar Lampung, 11 Agustus 2015

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN


BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN
2015
KATA PENGANTAR

Keberhasilan institusi Litbang ditentukan oleh tingkat produktivitasnya dalam


menghasilkan IPTEK serta tingkat pemanfaatan IPTEK yang telah dihasilkannya oleh masyarakat.
Karena itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menaruh harapan besar kepada Badan
Litbang dan Inovasi Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BLI LHK) agar mampu mencapai derajat
keberhasilan tersebut. BLI LHK diharapkan mampu menjadi penyedia landasan ilmiah bagi
berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh KLHK dan menjadi pilar utama dalam memberikan
solusi yang tepat atas permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan
lingkungan hidup dan kehutanan.
Sebagai upaya untuk menggapai harapan Menteri LHK di muka, Balai Penelitian
Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan dan Balai Penelitian Kehutanan Palembang telah
menyelenggarakan Seminar Bersama Hasil Litbang di Bandar Lampung pada tanggal 11 Agustus
2015. Seminar tersebut juga didukung oleh Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan,
Pemerintah Daerah dan UPT KLHK wilayah Provinsi Lampung.
Seminar yang mengusung tema “Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan
dalam Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan” tersebut dimaksudkan untuk menjembatani
proses transfer IPTEK antara BLI KLHK dengan pengguna. Kehadiran penyuluh dan berbagai
mitra dapat menjadi indikator terjalinnya hubungan baik antara BLI KLHK dengan mitra.
Kehadiran mereka diharapkan dapat menjadi jembatan emas yang dapat menghubungkan BLI
KLHK dengan masyarakat sebagai pengguna utama hasil litbang.
Pada seminar tersebut juga diberikan kesempatan bagi semua peserta untuk berdiskusi,
saling berbagi pengetahuan dan pengalaman serta bersama-sama membahas beragam
tantangan dan permasalahan yang dapat menghambat program peningkatan produktivitas
hutan dan lahan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan solusi terhadap permasalahan
yang ada, serta untuk menjaring input balik (feedback) tentang aspek dan topik riset yang
dibutuhkan pada masa mendatang.
Prosiding ini disusun sebagai outcome dari pelaksanaan seminar tersebut. Ucapan
terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangsihnya
sehingga acara tersebut terselenggara dengan sukses. Tak lupa, ucapan terima kasih juga
dihaturkan kepada semua pihak yang telah meluangkan waktunya untuk mengumpulkan
bahan, menyunting dan memproses pencetakkan sehingga prosiding ini dapat tersaji di
hadapan pembaca.

Palembang, Desember 2015


Kepala Pusat Litbang Hutan

dto

Ir. Djohan Utama Perbatasari, MM.


NIP. 196012301988011001

iii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. iii


DAFTAR ISI .......................................................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................. ix
SAMBUTAN ......................................................................................................................... xi
RUMUSAN ........................................................................................................................... xv
A. ASPEK PERBENIHAN
1. Prospek dan Aplikasi Teknologi Iradiasi Sinar Gamma untuk Perbaikan Mutu
Benih dan Bibit Tanaman Hutan
Muhammad Zanzibar .................................................................................................. 1
2. Teknologi Penanganan Benih dan Bibit untuk Memenuhi Standar Benih dan Bibit
Bersertifikat
Dede J. Sudrajat, Nurhasybi dan Yulianti Bramasto ................................................... 15
3. Studi Awal Teknologi Benih Jenis-Jenis Mahang (Macaranga sp.) sebagai Jenis
Alternatif Penghasil Kayu Pulp
Nurhasybi dan Tati Suharti ........................................................................................... 27
4. Peran Perbenihan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan Penghasil Energi dan
Obat-Obatan di Provinsi Lampung
Kurniawati P. Putri, Dida Syamsuwida, Rina Kurniaty, Eliya Suita
dan Dharmawati FD ..................................................................................................... 39
5. Pengaruh Pengusangan terhadap Viabilitas Benih Akor (Acacia auriculiformis)
dan Kaliandra (Calliandra calothyrsus)
Tati Suharti dan Eliya Suitai.......................................................................................... 57
6. Informasi Awal Indentifikasi Cendawan Karat Puru Terbawa Benih Sengon:
Pengaruhnya terhadap Perkecambahan
Yulianti Bramasto, Danu dan Muhammad Zanzibar .................................................... 63
7. Fenologi Perkembangan Bunga dan Buah Nyamplung (Callophylum inophylum)
Evayusvita Rustam, Dida Syamsuwida dan Aam Aminah ............................................ 71
8. Peningkatan Daya dan Kecepatan Berkecambah Benih Kaliandra
(Calliandra calothyrsus) dengan Sortasi Benih
Eliya Suita ..................................................................................................................... 79
9. Periodisasi Pembungaan dan Pembuahan Ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb)
Aam Aminah dan Tati Rostiwati................................................................................... 89
10. Pembiakan Vegetatif Kayu Bawang (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs) dengan
Cangkok sebagai Strategi Teknik Antara Mengatasi Kelangkaan Benih
Imam Muslimin, Nanang Herdiana dan Kusdi ............................................................. 97
11. Variasi Genetik Pertumbuhan Uji Keturunan Bambang Lanang (Michelia champaca L.)
Umur 1 Tahun
Agus Sofyan, Abdul Hakim Lukman, Imam Muslimin dan Kusdi .................................. 107

v
B. ASPEK SILVIKULTUR
1. Aplikasi Teknik Silvikultur dan Penggunaan Benih Unggul dari Sumber Benih untuk
Meningkatkan Produktifitas Tanaman Tembesu (Fagraea fragrans Roxb) di Hutan
Rakyat
Imam Muslimin, Agus Sofyan dan Abdul Hakim Lukman ............................................ 115
2. Pengenalan Program Simulasi Perencanaan Usaha pada Kesatuan Pengelolaan
Agus Sumadi dan Hengki Siahaan ............................................................................... 127
3. Pengaruh Bahan Setek Terhadap Pertumbuhan Setek Jabon
(Anthocepalus cadamba)
Nurmawati Siregar ....................................................................................................... 139
4. Penggunaan Serbuk Sabut Kelapa dan Arang Sekam Padi dalam Pembibitan
Bambang Lanang (Michelia champaca L.)
Danu dan Rina Kurniaty ............................................................................................... 145
5. Pengaruh Teknik Pengemasan terhadap Kualitas Bibit Meranti Bapa (Shorea
selanica (Dc.) Blume) untuk Transportasi
Naning Yuniarti ............................................................................................................ 153
6. Pengaruh Pupuk Daun pada Pertumbuhan Bibit Sungkai di Persemaian
Sahwalita ................................................................................................................... 161
7. Tembesu (Fagraea fragrans Roxb): Jenis Alternatif untuk Bahan Baku Kayu
Dharmawati F. Djam’an ............................................................................................... 171
8. Pertumbuhan Bibit Jabon Putih (Anthocephalus cadamba) Umur 5 Bulan pada
Beberapa Macam Media dan Naungan
Agus Astho Pramono dan Rina Kurniaty ...................................................................... 177
9. Peningkatan Produktivitas Hutan Rakyat Melalui Penerapan Teknik Budidaya
Intensif pada Beberapa Jenis Tanaman Hutan Unggulan
Yulianti Bramasto, M. Zanzibar, Danu, Dida Syamsuwida dan Nurhasybi .................. 185
10. Peran BPDAS dalam Peningkatan Produktivitas Hutan Rakyat
Muswir Ayub dan Idi Bantara ...................................................................................... 199

C. ASPEK SOSIAL, EKONOMI DAN KEBIJAKAN


1. Efektivitas Kelembagaan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan Produksi dan Hutan
Lindung: Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai Solusi?
Bramasto Nugroho....................................................................................................... 207
2. Kajian Sosial, Ekonomi dan Kebijakan dalam Budidaya Kayu Pertukangan Lokal:
Pembelajaran dari Masyarakat Di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu
Nur Arifatul Ulya ......................................................................................................... 217
3. Kajian Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Hutan di Taman Hutan Raya Wan Abdul
Rahman, Provinsi Lampung
Ari Nurlia, Edwin Martin dan Bondan Winarno ........................................................... 229
4. Pengetahuan Lokal Masyarakat Suku Daya dan Suku Saling, Sumatera Selatan
dalam Pengobatan Penyakit Degeneratif dan Metabolik Berbasis Tumbuhan
Efendi Agus Waluyo, Asmaliyah dan Suryanto ............................................................ 237

vi
5. Antara Diskursus dan Kepentingan: Merancang Model Konseptual Pengelolaan
Lanskap Hutan di Daerah Dataran Tinggi
Edwin Martin dan Ari Nurlia......................................................................................... 245
6. Ketidaksetaraan Posisi Tawar dan Informasi Asimetris dalam Pemasaran Gaharu
serta Alternatif Solusinya: Studi Kasus di Kabupaten Musi Rawas
Mamat Rahmat, Ari Nurlia dan Agus Sofyan ............................................................... 253
7. Konsumsi Kayu sebagai Sumber Energi Rumah Tangga dengan Pendekatan
Kebutuhan Kalori Manusia (Studi Kasus di Desa Seronggo Kecamatan Kikim Timur)
Bambang Tejo Premono dan Sri Lestari ....................................................................... 261
8. Budidaya Jabon di Sumatera Selatan: Optimalisasi Lahan Milik dalam Upaya
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Sri Lestari, Bondan Winarno, Bambang Tejo Premono dan Nur Arifatul Ulya............. 269
9. Biomassa sebagai Penyedia Subsidi Energi Bagi Masyarakat
Sri Lestari, Bambang Tejo Premono, Hengki Siahaan dan Andika Imanullah ............. 275
10. Pengelolaan Dana Bergulir oleh Pusat P2H untuk Pembiayaan Usaha Kehutanan
Agustinus Untoro Wisnu ............................................................................................... 281
D. ASPEK PERLINDUNGAN DAN KONSERVASI
1. Potensi Tanaman Berenuk (Crescentia cujete, (L.)) sebagai Bahan Pestisida Nabati
Etik Erna Wati Hadi dan Asmaliyah ............................................................................. 289
2. Perkembangan Serangan Penyakit Bercak Daun pada Tanaman Jabon
(Antocephalus cadamba) di Provinsi Sumatera Selatan
Asmaliyah dan Etik Ernawati Hadi ............................................................................... 295
3. Pengaruh Jarak Tanam dan Curah Hujan terhadap Perkembangan Serangan
Hama pada Tegakan Kayu Bawang (Studi Kasus di KHDTK Kemampo)
Sri Utami dan Agus Kurniawan ................................................................................... 303
4. Aliran dan Erosi Permukan pada Hutan Rakyat Kayu Bawang di Kabupaten
Bengkulu Selatan
Adi Kunarso dan Tubagus Angga Anugrah Syabana .................................................... 311
LAMPIRAN ........................................................................................................................... 321

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Susunan Acara Seminar................................................................................................. 321


2. Susunan Panitia Seminar ............................................................................................... 323
3. Daftar Peserta Seminar ................................................................................................. 325
4. Notulensi Seminar ......................................................................................................... 331

ix
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN INOVASI
PADA PEMBUKAAN SEMINAR BERSAMA
HASIL PENELITIAN BPTPTH DAN BPK PALEMBANG
“TEKNOLOGI PERBENIHAN, SILVIKULTUR DAN KELEMBAGAAN DALAM PENINGKATAN
PRODUKTIVITAS HUTAN DAN LAHAN”
BANDAR LAMPUNG, 11 AGUSTUS 2015

Bismillahirrahmanirrahim,

Yang saya hormati:


1. Gubernur Provinsi Lampung atau yang mewakili,
2. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung,
3. Kepala Badan Koordinasi Penyuluh Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Provinsi Lampung,
4. Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Lampung
5. Kepala Badan Penelitian Daerah Provinsi Lampung
6. Kepala Pusat Pembiayaan Pembangunan Kehutanan, Setjen KLHK dan Kepala Pusat Litbang
Lingkup Balitbang dan Inovasi KLHK,
7. Para Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota dan Kepala Badan Lingkungan Hidup
Kabupaten/Kota Lingkup Provinsi Lampung,
8. Para kepala UPT lingkup KLHK di Provinsi Lampung dan Kepala UPT Balitbang dan Inovasi
9. Para Peneliti lingkup Balitbang dan Inovasi dan dari Perguruan Tinggi
10. Para Kepala KPH, penyuluh dan petugas lapangan, dan praktisi

Hadirin Sekalian yang berbahagia,


Assalamu’alaikum. Wr. Wb.,
Selamat Pagi dan Salam Sejahtera untuk kita semua
Marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan nikmat dan rahmat-
Nya sehingga kita dapat berkumpul di tempat ini dalam keadaan sehat wal’afiat untuk
menghadiri acara Seminar Hasil-Hasil Litbang dari Balai Penelitian Teknologi Perbenihan
Tanaman Hutan Bogor dan Balai Penelitian Kehutanan Palembang pada pagi hari ini.
Hadirin yang saya hormati,
Pertama, selaku Kepala Badan saya ingin menegaskan, bahwa Badan Litbang dan Inovasi KLHK,
menganggap penting dan menjadikan prioritas, segala upaya untuk menyampaikan atau
mendiseminasikan hasil-hasil penelitian kepada masyarakat. Presiden Republik Indonesia sudah
menggariskan dalam Nawa cita, bahwa negara harus hadir di tengah-tengah rakyat. Atas dasar
itulah, Badan Litbang dan Inovasi berkomitmen dan secara serius berupaya menyampaikan
hasil-hasil penelitian kepada masyarakat, sebagaimana acara pada hari ini.
Ukuran keberhasilan institusi Litbang, adalah keberadaan kami, serta ditentukan oleh
penggunaan IPTEK oleh masyarakat. Di samping itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
juga menaruh harapan besar kepada Badan Litbang dan Inovasi untuk dapat menjadi penyedia
landasan ilmiah bagi berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh KLHK dan menjadi pilar utama
dalam memberikan solusi yang tepat atas permasalahan-permasalahan yang ditemui dalam
pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan.

xi
Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Gubernur Provinsi
Lampung yang telah memperkenankan berlangsungnya acara Seminar Bersama ini di Provinsi
Lampung. Secara khusus saya mengucapkan terima kasih atas kehadiran para undangan semua.
Kehadiran Bapak dan Ibu merupakan bentuk apresiasi yang sangat berarti bagi kami, dan
menunjukkan komitmen bersama kita untuk bersama-sama menggunakan hasil IPTEK dalam
penyelesaian masalah-masalah di lapangan.
Sinergi yang bagus juga ditunjukkan dengan adanya penyelenggaraan Seminar Bersama antara
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor dan BPK Palembang yang
didukung oleh Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan, Pemerintah Daerah dan UPT KLHK
wilayah Provinsi Lampung. Kehadiran para penyuluh dan mitra lapangan pada seminar ini
merupakan jembatan emas antara IPTEK hasil litbang dengan masyarakat. Dengan demikian,
hasil-hasil litbang dapat langsung diterapkan dan terasa manfaatnya oleh masyarakat, yang
pada akhirnya diharapkan akan mampu memberikan sumbangan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat dan menjaga kelestarian lingkungan.
Di sisi lain saya berharap para pelaksana lapangan juga bisa memberikan input balik (feedback)
tentang kebutuhan riset dan inovasi sehingga akan memberikan manfaat bagi para peneliti dan
topik penelitian mendatang.
Hadirin yang berbahagia,
Salah satu isu strategis dalam pembangunan Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah masalah
rendahnya produktivitas hutan dan lahan. Permasalahan ini secara mikro dapat berdampak
pada kurang optimalnya pendapatan yang diterima oleh masyarakat. Lebih jauh, hal ini dapat
berdampak pula terhadap menurunnya kontribusi sektor ini terhadap pendapatan ekonomi
regional maupun nasional. Karena pentingnya isu tersebut, Kementerian LHK telah
mengagendakan “Peningkatan Produktivitas Hutan” sebagai salah satu Kebijakan dalam
Pembangunan Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini.
Dalam rangka Peningkatan Produktifitas Hutan, kita dihadapkan pada persoalan lahan yang
semakin terbatas, sehingga kita harus mengelola hutan dan lahan kita dengan tepat dan efisien.
Kita juga mencatat adanya defisit produksi hasil hutan terhadap kebutuhan domestik. Kayu
misalnya, terdapat defisit 10 juta m3 kekurangan bahan baku yang harus kita penuhi untuk
untuk industri kita. Dengan demikian, pemilihan tema seminar pada hari ini yaitu: “Teknologi
Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan dan
Lahan”, adalah tema yang sangat tepat. Semoga IPTEK yang nanti dipaparkan dapat menjadi
solusi untuk meningkatkan produktivitas hutan dan lahan, khususnya di Sumatera Bagian
Selatan.
Hadirin yang saya hormati,
Dalam konteks produktivitas, maka sesungguhnya kita berbicara tentang satu rangkaian aspek
secara holistik dari hulu ke hilir. Banyak hal harus ditingkatkan dan bottleneck yang harus
diselesaikan untuk mendapatkan peningkatan produktivitas. Hal-hal yang harus ditangani mulai
lahan, benih, budidaya, pengolahan, pasar, sistem pengelolaan, pembiayaan dan bahkan sistem
sosial. Sebuah kompleksitas yang perlu diurai dan diberikan input solusi. Kalangan ilmiah baik
civitas akademika dan litbang khususnya, perlu memberikan dukungan dan rekomendasi
kebijakan yang dapat menjadi solusi.

xii
Upaya peningkatan produktivitas hutan juga tidak akan terwujud jika penguasaan IPTEK tidak
didukung oleh tata kelola hutan dan lahan yang efisien. Dalam RPJM 2014-2019 pola
pengelolaan pada tingkat tapak dalam bentuk KPH menjadi tumpuan pembangunan kehutanan
ke depan. Hal ini juga mengingatkan kita semua bahwa operasionalisasi KPH yang diawali
dengan perencanaan yang cermat dana kurat menjadi kunci penting dan harus terus kita
dorong.
Di samping dukungan terhadap operasionalisasi KPH, keterlibatan masyarakat sebagai mitra
usaha dalam bentuk Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa
(HD), Hutan Adat dan Hutan Rakyat (HR) semakin diperlukan guna meningkatkan produktivitas
hutan dan lahan. Upaya peningkatan keterlibatan masyarakat ini membutuhkan skema
pembiayaan yang efisien dan realistis, struktur kelembagaan yang kuat, serta dukungan
pendampingan dan kebijakan yang pro rakyat oleh instansi pemerintah terkait.
Hadirin yang saya hormati,
Dalam mendukung program ketahanan pangan, KLHK memiliki program-program antara lain
penyediaan lahan 1 Jt Ha untuk mendukung pembangunan sawah baru, pemanfaatan Areal
Hutan di bawah tegakan hutan seluas 250.000 ha, terbangunnya urban farming melalui
pemanfaatan kompos di 100 kota, pembukaan akses lahan hutan untuk rakyat (Hkm, HTR, HD,
Hutan Adat) dan pengembangan Ekowisata 12,7 juta ha. Program dan kegiatan tersebut, harus
dapat terlaksana dengan baik. Agar program tersebut dapat berhasil dengan baik, dan tentu
saja dengan produktivitas yang tinggi maka dukungan IPTEK dan kebijakan sangat dibutuhkan
untuk menyukseskannya.
Badan Litbang dan Inovasi sepenuhnya menyadari bahwa aspek kajian mengenai peningkatan
produktivitas hutan ini belum sepenuhnya terjawab oleh kami. Lembaga-lembaga lain yang
memiliki tupoksi riset mungkin juga sudah menemukan solusi yang lebih tepat yang didasarkan
atas kajian ilmiah mendalam. Oleh karena itu inisiasi mengundang narasumber dari Institut
Pertanian Bogor pada kesempatan ini merupakan upaya yang tepat. Dengan kerjasama antar
lembaga seperti ini diharapkan dapat memberikan informasi yang menyeluruh.
Hadirin yang saya hormati,
Tantangan KLHK tidak hanya upaya peningkatan produktivitas hutan dan lahan. Secara nasional
kita menghadapi berbagai kendala dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan,
seperti pencemaran lingkungan, perambahan hutan, illegal logging, kebakaran hutan,
penambangan liar, degradasi dan deforestasi hutan dan lahan, serta konflik lahan, disamping
potensi kekayaan sumberdaya alam yang melimpah yang perlu dioptimalkan pemanfaatannya.
Kami menyadari bahwa sinergi dalam melaksanakan penelitian sangatlah penting untuk
mendapatkan pendekatan yang komprehensif dan efisien. Oleh karena itu sesuai amanat UU
23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kami sudah meminta kepada seluruh UPT lingkup
Badan Litbang dan Inovasi, untuk menjalin komunikasi dan sinergi dengan Badan Penelitian
Daerah di dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan.
Hadirin, peserta seminar yang berbahagia,
Demikian beberapa hal yang dapat saya sampaikan, akhir kata saya ucapkan selamat
melaksanakan Seminar Hasil Litbang Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan dalam
Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan. Saya berharap melalui seminar ini terjadi proses
pembelajaran dan pertukaran informasi yang produktif peneliti dengan pengguna. Kolaborasi
seperti ini tidak terhenti sampai dengan seminar saja tetapi bisa dilanjutkan kepada kerjasama
xiii
yang lebih operasional baik dengan dinas, perguruan tinggi, praktisi dan lain-lain. Sekian,
terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
KEPALA BADAN LITBANG DAN INOVASI
(DR. Henry Bastaman, MES)

xiv
RUMUSAN SEMINAR BERSAMA
BPTPTH dan BPK Palembang Bekerjasama dengan
BPDAS Way Seputih-Way Sekampung, Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan
Dan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung

Dengan Tema:
Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan
dalam Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan
(Bandar Lampung, 11 Agustus 2015)

Mengacu pada sambutan Gubernur Lampung dan pemaparan keynote speaker dari Kepala
Badan Litbang dan Inovasi serta pemaparan 9 (sembilan) makalah dan diskusi yang berkembang
selama seminar, maka disusun rumusan sebagai berikut:
1. Pemerintah Provinsi Lampung terus berupaya melakukan perbaikan hutan melalui kegiatan
rehabilitasi dan pengelolaan kawasan hutan sehingga hutan dapat berfungsi sebagai
pengatur tata air, pencegah bencana banjir dan kekeringan, sumber plasma nutfah serta
penyangga kehidupan pada umumnya. Sehingga upaya ini telah dapat meningkatkan
tutupan lahan, dan mampu menurunkan tingkat kerusakan hutan hingga 53,90% sampai
tahun 2014.
2. Program pembangunan daerah Provinsi Lampung ke depan adalah mengembangkan wilayah
bagian barat dari Lampung untuk industri perikanan, pelabuhan dan wisata, hal tersebut
sangat perlu dukungan sektor kehutanan khususnya untuk konservasi fauna dan flora seperti
anggrek, badak dan tutupan lahan. Selain itu dukungan infrastruktur yang memadai sangat
diperlukan. Sehingga perlu ditindaklanjuti dengan kerjasama antara Badan Litbang dan
Inovasi dengan Pemda Provinsi Lampung.
3. Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
memiliki peran yang sangat vital dan strategis. Dalam era pemerintahan Kabinet Kerja ini,
Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi menjadi penyedia landasan ilmiah bagi
berbagai kebijakan yang akan dikeluarkan oleh KLHK, sekaligus sebagai pilar utama dalam
memberikan solusi yang tepat atas permasalahan yang ditemui dalam pembangungan
lingkungan hidup dan kehutanan.
4. Salah satu isu strategis yang menjadi prioritas dalam program KLHK adalah masalah
rendahnya produktivitas hutan yang berdampak terhadap menurunnya kontribusi sektor ini
terhadap pendapatan ekonomi regional maupun nasional. Oleh karena itu Badan Litbang
dan Inovasi, diharapkan dapat berkontribusi dalam penyediaan IPTEK yang tepat guna bagi
masyarakat khususnya untuk meningkatkan produktivitas hutan dan lahan
5. Menurunnya produktivitas hutan tidak hanya persoalan teknis semata, seperti kesesuaian
jenis dengan tempat tumbuh, bibit unggul, teknik silvikultur, namun perlu memperhatikan
persoalan-persoalan yang lebih kompleks seperti sosial, politik, kelembagaan, regulasi dan
ketiadaan organisasi pengelola di tingkat tapak.
6. Pengelola kawasan di tingkat tapak dapat diperankan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH). Selain KPH telah menjadi arus utama dalam pembangunan kehutanan nasional,
kehadirannya juga diperlukan untuk mengefektifkan pengelolaan sumberdaya milik bersama
(common-pool resources) berupa hutan yang dikuasai oleh Negara (state/public forest).
Sehingga dalam operasionalisasinya diperlukan penguatan legalitas, legitimasi dan
kemandiriannya baik pada aspek kawasan, kelembagaan, program/kegiatan,dana, SDM dan
faktor-faktor pemungkin untuk operasionalisasi KPH secara efektif dan efisien.

xv
7. Efektifitas kelembagaan dalam kerangka peningkatan produktivitas hutan dapat
menerapkan program panca usaha kehutanan yang meliputi: adanya kepastian hak,
tersedianya pasar, harga yang menarik, infrastruktur yang mendukung dan hilangnya
biaya transaksi.
8. Pusat pembiayaan pembangunan hutan dalam memberikan penyaluran dana bagi
pembangunan hutan menggunakan pola pengelolaan dana bergulir, yang bukan berupa
dana hibah atau dana proyek. Ada 3 model pembiayaan yang akan digunakan oleh Pusat
P2H adalah bentuk pinjaman, bagi hasil dan pola syariah.
9. Dukungan Litbang diperlukan dalam penyaluran pembiayaan pembangunan hutan, yaitu
dalam bentuk aspek tehnik, dalam hal ini adalah bibit dan teknik silvikultur, yang meru-
pakan hasil penelitian yang dapat dikembangkan di HR, HTR dan HTI. Hasil penelitian
yang dapat diaplikasikan dalam skala usaha akan mendapat dukungan dari BLU.
10. Informasi yang lengkap tentang mekanisme penyaluran dana pembiayaan
pembangunan hutan sangat dibutuhkan. Sebagai penghubung dapat memanfaatkan
sarjana lulusan baru atau dimungkinkan dari lembaga lain seperti Penyuluh Kehutanan
Swadaya Masyarakat (PKSM).
11. Perkembangan hutan rakyat di Lampung tidak terlepas dari peran BPDAS HL dalam
menyediakan berbagai bibit yang diperlukan. Usaha meningkatkan mutu benih dan bibit
terus dilakukan. Rekayasa alat untuk mendapatkan bibit berkualitas, terus
dikembangkan diantaranya pengembangan alat Media Semai Cetak (MSC), namun perlu
ada kajian lebih lanjut untuk mengetahui efisiensi dan efektivitasnya di lapangan.
Ketersediaan benih dan bibit berkualitas untuk kebutuhan penanaman sangat
diperlukan khususnya oleh masyarakat Lampung, sehingga diharapkan Badan Litbang
dan Inovasi dapat berkontribusi dalam penyediaan benih dan bibit tersebut.
12. Beberapa hasil penelitian untuk mendukung Peningkatan Produktifitas Hutan dapat
disebutkan diantaranya:
a. Telah tersedianya teknologi perbenihan yang tepat untuk mendukung
pengembangan usaha kehutanan berbasis bioenergi untuk jenis kaliandra, lamtoro,
weru, pilang, akor, turi, malapari dan nyamplung serta biofarmaka diantaranya
kilemo (Litsea cubeba) dan pulai (Alstonia scholaris). Dalam hubungannya dengan
perbaikan mutu benih dan bibit, iradiasi sinar gamma dapat diaplikasikan untuk
meningkatkan viabilitas dan vigor benih serta meningkatkan keragaman genetik
dalam rangka pemuliaan. Perlakuan radiasi sinar gamma pada benih tanaman hutan
dengan dosis rendah mampu memperbaiki perkecambahan benih dan pertumbuhan
bibit seperti pada jenis jati, suren, jabon putih, tembesu, bambang lanang, kayu
bawang dan jenis-jenis tanaman hutan lainnya.
b. Standar mutu benih dan bibit merupakan perangkat pengendali yang berupa nilai
parameter mutu benih dan bibit yang menjadi acuan bagi hasil pengujian. Efisiensi
pengendalian ini harus didukung dengan perbaikan sistem produksi dan penanganan
benih dan bibit.
c. Dalam rangka memudahkan perencanaan pengusahaan KPH serta memproyeksikan
hasil usaha, maka telah disusun tool/program komputer yang simpel, mudah dan
aplikatif yang dapat memproyeksikan rencana usaha yang akan dikembangkan oleh
KPH. Program ini diharapkan dapat membantu pengelola KPH dalam mengambil
keputusan dalam pengembangan usaha yang akan dijalankan.
d. Program simulasi dibangun dengan memasukan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh
KPH meliputi biaya infrastruktur, biaya operasional dan biaya pembangunan usaha

xvi
budidaya meliputi pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan.
Dengan model simulasi ini dapat memberikan gambaran hasil yang akan diperoleh
berdasarkan data-data hasil penelitian serta perhitungan kelayakan usahanya.
e. Tembesu merupakan salah satu jenis andalan di daerah Sumsel dan sekitarnya,
mempunyai potensi untuk dikembangkan, namun minimnya usaha pengembangan
tembesu dalam bentuk pembangunan hutan tanaman secara khusus mempunyai
kendala utama dengan “kualitas” dan produktifitas tanaman yang rendah. Kondisi
semacam ini membutuhkan dukungan informasi, paket teknologi budidaya tanaman
tembesu serta materi (benih unggul) tanaman yang secara langsung dapat
meningkatkan produktivitas tanaman secara optimal
f. Hasil penelitian sosial, ekonomi dan kebijakan dalam kaitannya dengan
pengembangan kayu pertukangan lokal di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu
menunjukkan bahwa budidaya kayu pertukangan lokal menjadi bagian dan berkaitan
erat dengan bentang lahan DAS dan budaya masyarakat.
g. Kayu pertukangan lokal yang mempunyai kaitan erat dengan keseharian masyarakat
mempunyai prospek ekonomi untuk dikembangkan karena layak secara financial.
Pasarnya telah tersedia dan tidak membutuhkan lahan luas untuk penanamannya.
Kayu pertukangan lokal dengan daur menengah bisa disupply dari kebun masyarakat
atau hutan rakyat dengan pola agroforestry. Pengarusutamaan pelibatan
masyarakat dalam penyediaan bahan baku kayu pertukangan lokal merupakan
sebuah keniscayaan, dengan tidak mengesampingkan kebutuhan hidup masyarakat
sehari-hari, jangka menengah dan jangka panjang.

Tim Perumus:
1. Dr. Ir. Yulianti Bramasto, M.Si.
2. Ir. Danu, M.Si.
3. Bambang Tejo Premono, S.Hut, M.Si.
4. Ir. Cyprianus Nugroho, S.P., M.Sc.

xvii
ASPEK PERBENIHAN
Aspek Perbenihan

PROSPEK DAN APLIKASI TEKNOLOGI IRADIASI SINAR GAMMA


UNTUK PERBAIKAN MUTU BENIH DAN BIBIT TANAMAN HUTAN

Muhammad Zanzibar
Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

ABSTRAK

Induksi mutasi (mutation breeding) melalui iradiasi sinar gamma (radiasi pengion) merupakan metoda
penting untuk mendapatkan variabilitas genetik yang tidak ada di alam atau yang tidak tersedia untuk
pemulia. Tujuan tulisan ini adalah mempelajari manfaat penggunaan iradiasi sinar gamma dalam
meningkatkan produktivitas tanaman. Setiap jenis/benih tanaman yang mengalami paparan iradiasi
memiliki radiosensivitas yang berbeda, sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik/biologis benih. Sebagian
besar penelitian yang telah dilakukan dirancang untuk mengevaluasi respon biologis iradiasi dosis tinggi
dalam mendapatkan varietas/klon sesuai dengan tujuan pemuliaan, sedangkan pada dosis rendah
bermanfaat untuk merangsang proses fisiologis (radio stimulation) yang umumnya berpengaruh pada
tahap awal perkecambahan atau pertumbuhan tanaman. Penelitian penggunaan iradiasi sinar gamma
pada jenis-jenis tanaman hutan di Indonesia masih sangat terbatas.
Kata kunci: kehutanan, pemuliaan tanaman, radiasi pengion, variabilitas genetik

I. PENDAHULUAN
Iradiasi adalah suatu proses ionik sebagai salah satu metode modifikasi fisik polisakarida
alami (Hai et al., 2003; Rombo et al., 2004; Relleve et al., 2005). Proses ini juga sangat berguna
dalam memecahkan berbagai permasalahan pertanian, seperti penanganan pasca panen
(menekan perkecambahan dan kontaminasi), eradikasi dan pengendalian hama dan penyakit,
pengurangi penyakit yang terbawa bahan makanan, dan pemuliaan varietas tanaman unggul
dan tahan penyakit (Andress et al., 1994; Emovon, 1996).
Dalam hubungannya dengan perbaikan mutu benih dan bibit, iradiasi sinar gamma telah
banyak diaplikasikan untuk viabilitas dan vigor benih (Piri et al., 2011; Iglesias-Andreu et al.,
2012) dan meningkatkan keragaman genetik dalam rangka pemuliaan untuk mendapatkan
varietas unggul pada banyak jenis tanaman (de Mico et al., 2011; Santosa et al., 2014),
terutama jenis-jenis tanaman pertanian. Penggunakan Iradiasi seperti sinar X, Gamma, dan
neutrons serta mutagen kimiawi untuk menginduksi variasi pada tanaman telah banyak
dilakukan. Induksi mutasi telah digunakan untuk peningkatan variasi tanaman penting seperti
gandum, padi, barley, kapas, kacang tanah, dan kacang-kacangan lainnya yang diperbanyak
melalui biji (Ahlowalia dan Maluszynski, 2001). Menurut data FAO/IAEA hingga tahun 2009,
sekitar 3100 mutan dari 190 jenis telah dibudidayakan. Jumlah varietas mutan terbesar
dihasilkan negara-negara Asia (1858 mutan, terutama di India, Jepang dan China), diikuti Eropa
(899 mutan), Amerika Utara (202 mutan), Afrika (62 mutan), Amerika Latin (48 mutan) dan
Kawasan Australia/Pasifik (10 mutan) (Poster and Shu, 2012). Di Indonesia, pemuliaan mutasi
telah diaplikasikan pada berberapa jenis tanaman, seperti padi (Sobrizal, 2007; Ishak, 2012,
sorghum (Surya dan Soeranto, 2006), kedelai (Soeranto dan Sihono, 2010), pisang (Indrayanti
et al., 2011), tanaman hias seperti mawar dan krisan (Hutami et al., 2006; Handayati, 2013).
Untuk jenis tanaman kehutanan, khususnya jenis-jenis tropik Indonesia, teknologi ini belum
banyak dikembangkan.

1
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Induksi mutasi menggunakan iradiasi menghasilkan mutan paling banyak (sekitar 75%)
bila dibandingkan menggunakan perlakuan lainnya seperti mutagen kimia. Sinar gamma
merupakan gelombang elektromagnetik pendek dengan energi tinggi berinteraksi dengan
atom-atom atau molekul untuk memproduksi radikal bebas dalam sel. Radikal bebas tersebut
akan menginduksi mutasi dalam tanaman sebab radikal tersebut akan menghasilkan kerusakan
sel atau pengaruh penting dalam komponen sel tanaman (Kovacs dan Keresztes, 2002).
Keuntungan menggunaan sinar gamma adalah dosis yang digunakan lebih akurat dan penetrasi
penyinaran ke dalam sel bersifat homogen. Tidak seperti pemuliaan konvensional yang
melibatkan kombinasi gen-gen yang ada pada tetuanya (di alam), iradiasi sinar gamma
menyebabkan kombinasi gen-gen baru dengan frekuensi mutasi tinggi. Mutasi digunakan untuk
memperbaiki banyak karakter yang bermanfaat yang mempengaruhi ukuran tanaman, waktu
berbunga dan kemasakan buah, warna buah, ketahanan terhadap penyakit dan karakter-
karakter lainnya. Karakter-karakter agronomi penting yang berhasil dimuliakan dengan mutasi
pada beberapa jenis tanaman di antaranya adalah tanaman tahan penyakit, buah-buahan tanpa
biji, tanaman buah-buahan yang lebih pendek dan genjah (IAEA, 2009).
Sebagian besar penelitian penggunaan iradiasi sinar gamma dirancang untuk
mengevaluasi respons biologi terhadap dosis radiasi tinggi, dan penelitian yang relatif terbatas
juga telah dilakukan dengan menggunakan iradiasi pada dosis rendah untuk menstimulasi
proses fisiologi (radio stimulation) tanaman melalui eksitasi, atau stimulasi dengan dosis
rendah, atau dikenal dengan istilah hormesis (Luckey,1998). Pengaruh yang menguntungkan
dari hormesis telah banyak dilakukan pada jenis-jenis tanaman pertanian (Luckey, 2003; Piri et
al., 2011), namun informasi penggunaan teknologi tersebut dalam bidang kehutanan masih
terbatas (Iglesias-Andreu et al., 2012). Meskipun masih sedikit informasi mengenai fenomena
hormosis ini, Vaiserman (2010) memberi indikasi adanya kemungkinan hubungan antar
hormosis dengan pengaruh epigenetik (perubahan yang diturunkan pada fungsi genom, yang
terjadi tanpa perubahan susunan urutan DNA) sebagai suatu respons adaptif. Efigenetik bersifat
sementara dan individu yang termutasi dapat kembali normal.
Tulisan ini akan memberikan tinjauan penggunaan iradiasi sinar gamma jenis-jenis tanaman,
khususnya untuk memberbaiki perkecambahan benih dan pertumbuhan, serta potensinya
untuk mendapatkan variaetas mutan unggul pada beberapa jenis tanaman hutan.

II. PENGARUH IRADIASI TERHADAP PERKECAMBAHAN DAN PERTUMBUHAN


Ketika radiasi ionisasi diserap ke dalam material biologis, radiasi tersebut akan beraksi
secara langsung terhadap target sel kritis atau secara tidak langsung melalui pembangkitan
metabolit yang dapat memodifikasi komponen-komponen sel penting. Penggunaan irasiasi
sinar gamma dengan berbagai dosis dalam hubungannya dengan perkecambahan benih telah
dicoba pada berbagai tanaman (Tabel 1). Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa dosis yang
digunakan dan pengaruhnya terhadap perkecambahan benih berbeda-beda untuk tiap jenis
dan genotipe. Namun secara umum, dosis iradiasi yang lebih tinggi cenderung menghambat
perkecambahan.

2
Aspek Perbenihan

Tabel 1. Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma pada beberapa jenis tanaman pertanian
Jenis Dosis sinar Pengaruh Pustaka
gamma
Sorghum vulgare (L) 1-10 kR Pengurangan rata-rata tinggi bibit Iqbal (1980)
Salix nigra Marsh. 0,1-100 kR Dosis rendah meningkatkan kecepatan Gehring (1985)
pertumbuhan
Allium cepa L. 10, 20, 40, 80, Persentase bibit abnormal meningkat Amjad dan
dan 100 kR dengan meningfkatnya dosis iradiasi Akbar (2003)
Triticum aestivum L. 10, 20, 30, Benih teriradiasi menunjukkan lebih Singh dan Balyan
dan 40 kR superior dibandingkan kontrol untuk (2009)
beberapa karakter
Sesamum indicum L. 200, 400, 600 Pengaruh mutagenik oleh penyusunan Kumar dan Singh
dan 800 Gy kembali kromosom intergenomik (2010)
Capsicum annuum L. 2, 4, 8, dan 16 Dosis rendah merangsang pertumbuhan Kim et al. (2005)
Gy dan resitensi cekaman
Triticum durum 10, 20 Gy Meningkatkan daya dan kecepatan Melki dan
berkecambah Marouani (2009)
Lactuca sativa 5, 30 Gy Merangsang parameter pertumbuhan Marcu et al.
(perkecambahan, panjang akar dan (2012)
hipokotil)
Terminalia arjuna 25 Gy Meningkatkan daya berkecambahan, Akshatha et al.
indeks vigor, laju rata-rata pertumbuhan (2013)

Peningkatan atau penurunan persentase perkecambahan sebagai akibat dari perlakuan


sinar gamma pada beberapa jenis tanaman telah banyak diteliti. Chan dan Lam (2002)
melaporkan juga bahwa iradiasi benih pepaya dosis 10 Gy meningkatkan persentase
perkecambahan menjadi 50% dari kontrol 30%. Sementara itu, Habba (1989) melaporkan
bahwa peningkatan dosis iradiasi hingga 100 Gy, secara gradual meningkatkan perkecambahan
benih, namun kemudian perkecambahan benih menurun sejalan dengan meningkatnya dosis
iradiasi. Hasil tersebut juga sama dengan yang ditemukan Hell and Silveira (1974), Marcu et al.
(2012) dan yang menyatakan bahwa iradiasi dosis tinggi dapat mengurangi perkecambahan
benih. Fenomena ini dikenal dengan istilah pengaruh hormesis yang didefinisikan Luckey (2003)
sebagai stimulasi dengan dosis rendah iradiasi ionisasi dan penghambatan pada dosis yang
tinggi. Dosis rendah didefinisikan sebagai suatu dosis di antara tingkat radiasi lingkungan dan
ambang batasnya yang menandai batas antara pengaruh biopositif dan bionegatif.
Respon iradiasi ionisasi bervariasi antar tanaman, tergantung dari morfologi dan fisiologi
tanaman, jenis, umur, ukuran dan komposisi genom, dosis irradiasi, tipe iradiasi, dan
sebagainya. Pengaruh stimulasi sinar gamma terhadap perkecambahan mungkin disebabkan
oleh aktivasi sintesa RNA atau sintesa protein, yang terjadi selama tahap awal perkecambahan
setelah benih diradiasi (Kuzin et al., 1975; Kuzin et al., 1976; Abdel-Hady et al., 2008). Hipotesa
lainnya menyatakan adanya percepatan pembelahan sel (Zaka et al., 2004) atau stimulasi
langsung/tidak langsung gen-gen yang responsif terhadap auksin (Kovalchuk et al., 2007).
Perubahan biokimia mempengaruhi proses metabolisma sel yang pada tingkat tertentu dapat
menguraikan bahan kimia penghambat perkecambahan dan meningkatkan pembelahan sel
sehingga tidak hanya berpengaruh terhadap perkecambahan tetapi juga terhadap
pertumbuhan bibit (Piri et al., 2011). Fan et al. (2003) memberi indikasi bahwa radikal bebas
yang dibangkitkan dalam tanaman yang disebabkan iradiasi sinar gamma akan bertindak
sebagai sinyal stres dan merangsang respon stres dalam tanaman, yang menghasilkan
peningkatan sintesa asam polifenol yang notabenenya mempunyai kegunaan antioksidatif.
Sjodin (1962) melaporkan bahwa bahan dan energi yang diperlukan selama pertumbuhan awal

3
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

tersedia dalam benih, sehingga dosis iradiasi rendah mungkin meningkatkan aktivasi enzim dan
membangkitkan embrio muda, yang menghasilkan stimulasi terhadap laju pembelahan sel dan
meningkatkan tidak hanya proses perkecambahan, tetapi juga pertumbuhan vegetatif.
Selain terhadap perkecambahan, pengaruh iradiasi sinar gamma pun telah dilakukan
dengan menggunakan indikator-indikator respon tanaman berbeda. Perubahan pertumbuhan
dan perkembangan tanaman sering dijadikan ukuran respon terhadap dosis radiasi berbeda.
Beberapa penelitian melaporkan penggunaan irradiasi dosis rendah, seperti pada padi yang
memberikan pengaruh positif terhadap perakaran dan pertumbuhannya. Radiasi gamma dosis
rendah (10-30 Gy) merangsang kemunculan persentase tunas kentang (Solanum tuberosum),
sedangkan pada 40-50 Gy, tinggi dan panjang akar secara signifikan terhambat, dan pada dosis
tingi (60 Gy) tidak ada tunas yang muncul.
Kuzin (1997) menyimpulkan bahwa penyinaran jaringan tanaman dengan radiasi atomik
dosis rendah akan menginduksi radiasi sekunder yang merangsang pembelahan sel-sel dan
mendisain radiasi ini sebagai radiasi biogenik sekunder yang mengaktifkan reseptor membran
sel. Radiasi ini membawa informasi yang diterima reseptor membran dan informasi tersebut
diperlukan untuk memfungsikan dan mengembangkan sel-sel organisme hidup. Sementara,
radiasi benih dengan sinar gamma dosis tinggi mengganggu sintesa protein, keseimbangan
hormon, pertukaran gas, pertukaran air dan aktivitas enzim (Hameed et al., 2008), yang
memicu gangguan terhadap morfologi dan fisiologi tanaman dan menghambat pertumbuhan
dan perkembangan tanaman.

III. PENGGUNAAN IRADIASI SINAR GAMMA DOSIS RENDAH


PADA BENIH TANAMAN HUTAN
Pada jenis-jenis tanaman hutan, perlakuan radiasi sinar gamma pada dosis rendah
mampu memperbaiki perkecambahan benih dan pertumbuhan bibit (Iglesias-Andreu et al.,
2012; Akshatha et al., 2013). Selain itu, radiasi sinar gamma juga mampu menunda
pembusukan buah (WHO, 1988), mengurangi populasi bakteri, jamur, serangga dan pathogen
lainnya (Gruner et al., 1992) sehingga potensial diaplikasikan untuk meningkatkan daya simpan
benih. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pegaruh iradiasi terhadap
perbaikan mutu benih dan bibit seperti pada jenis jati, suren, jabon putih, tembesu, bambang
lanang, kayu bawang dan jenis-jenis tanaman hutan lainnya (Tabel 2).
Tabel 2. Penerapan dosis rasiasi sinar gamma pada beberapa jenis tanaman hutan
Jenis Dosis sinar Pengaruh Pustaka
gamma
Jati (Tectona grandis) 10, 20, 30, Memperbaiki laju perkecambahan Bhargava dan
40, dan 50 benih Khalatkar (1987)
kR
Suren (Toona sinensis) 5, 20 Gy Meningkatkan perkecambahan benih Zanzibar et al.
dan pertumbuhan bibit (2008)
Tembesu (Fagraea fragrans) 5 dan 10 Gy Meningkatkan daya berkecambah dan Zanzibar dan
daya simpan benih Sudrajat (2015)
Jabon putih (Anthocephalus 15 dan 20 Meningkatkan perkecambahan benih Zanzibar et al.
cadamba) Gy dan pertumbuhan bibit (2008)
Jabon merah (Anthocephalus 10 – 30 Gy Meningkatkan perkecambahan benih Zanzibar et al.
macrophylus) dan pertumbuhan bibit (2008)
Bambang lanang (Magnolia 10 Gy Meningkatkan perkecambahan benih Zanzibar dan
champaca) (daya dan indeks berkecambah) dan Sudrajat (2015)
meningkatkan daya simpan benih

4
Aspek Perbenihan

Pada benih bambang lanang, perlakuan iradiasi pada dosis 10 Gy (LD50 = 30-35 Gy)
menghasilkan peningkatan perkecambahan (indeks perkecambahan dan nilai perkecambahan)
(Gambar 1b-c). Namun, pada dosis yang lebih tinggi cenderung mengalami penurunan. Benih
yang diiradiasi yang disimpan selama 3 bulan juga memberikan perkecambahan yang lebih baik
dibanding kontrol hingga dosis 20 Gy, dan kemudian menurun pada dosis yang lebih tinggi.
Pada dosis 10 Gy juga memberikan rata-rata bertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan
perlakuan dengan dosis lainnya (Gambar 1d).
Penggunaan dosis 2,5 Gy sampai 120 Gy pada benih tembesu yang disimpan selama 2
bulan mampu meningkatkan jumlah kecambah, sedangkan penggunaan dosis 240 Gy
mengalami penurunan jumlah kecambah (Gambar 2). Pada perlakuan benih iradiasi tanpa
penyimpanan, jumlah kecambah yang muncul sebagian besar tidak berbeda nyata dengan
benih tanpa iradiasi (kontrol). Pada perlakuan iradiasi benih tanpa penyimpanan, dosis 5 Gy
memberikan jumlah kecambah terbanyak (303 kecambah per 0.1 gram), sedangkan pada
perlakuan iradiasi benih dengan penyimpanan selama 2 bulan, dosis 10 Gy menghasilkan
jumlah kecambah terbanyak (346 kecambah per 0.1 gram).
70

60
(a) (b)
Germination percentage (%)

50

40 LD50
30

20

10

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Gamma irradiation (Gy)
1

(c) (d)

Gambar 1. Lethal dosis (a), indek perkecambahan benih (b), nilai berkecambah benih yang disimpan
3 bulan (c), dan penampilan bibit umur 6 bulan pada dosis iradiasi sinar gamma 0,5 dan 10
Gy (d)

5
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

(a)

(b) (c)

Gambar 2. Jumlah kecambah benih tembesu pada berbagai dosis iradiasi sinar gamma (a);
Pertumbuhan kecambah pada umur 40 hari setelah tabur: dosis 10 Gy (b) dan
dosis 240 Gy(c)
Benih tembesu yang telah diiradiasi mengalami perubahan komposisi biokimia, seperti
energi total, kadar abu, lemak total, protein dan karbohidrat total (Tabel 3). Semakin tinggi
dosis iradiasi yang diberikan maka benih tembesu akan mengalami peningkatan kadar protein
dan penurunan kadar karbohidrat total serta energi total, terutama pada dosis 240 Gy. Kadar
karbohidrat dan energi total yang lebih rendah membuat proses perkecambahan menjadi
terhambat dan banyak kecambah abnormal yang tumbuh.
Tabel 3. Komposisi biokimia benih tembesu akibat perlakuan iradiasi dengan sinar gamma
Parameter 0 Gy 20 Gy 60 Gy 240 Gy
Energi total (kkal/100 g) 362.67 356.28 359.61 260.18
Kadar abu (%) 1.76 1.83 1.78 1.87
Lemak total (%) 1.11 0 0.73 0.70
Protein (%) 14.55 15.6 15.74 15.97
Karbohidrat total (%) 73.62 73.47 72.52 72.50

Umumnya pada jenis-jenis tanaman hutan, dosis iradiasi rendah mampu memperbaiki
perkecambahan benih. Beberapa penelitian lainnya juga melaporkan kecenderungan yang
sama, yaitu terjadi perbaikan perkecambahan benih pada perlakuan sinar gamma dosis rendah
dan cenderung menurun pada dosis yang tinggi, seperti pada Pinus sylvestris (Sokolov et al.,
1998), Tectona grandis (Bhargava and Khalatkar, 2004), Cicer arietinum (Khan et al., 2005;

6
Aspek Perbenihan

Toker et al., 2005), Triticum aestivum (Singh dan Balyan, 2010), dan Terminalia arjuna
(Akshatha et al., 2013). Iradiasi sinar gamma dalam dosis yang tinggi umumnya menghasilkan
pengaruh inhibitor terhadap perkecambahan (Kumari dan Singh, 1996), menurunnya kadar
auksin atau kerusakan kromoson (Sparrow and Woodwell 1962), sedangkan radiasi dengan
dosis rendah umumnya menghasilkan pengaruh stimulasi terhadap perkecambahan melalui
peningkatan aktivitas enzim, perbaikan sel-sel respirasi, dan meningkatkan produksi struktur
reproduksi (Luckey, 1998).

IV. POTENSI IRADIASI SINAR GAMMA UNTUK PEMULIAAN MUTASI


TANAMAN HUTAN
Metode pemulian pada prinsipnya dapat diklasifikasikan ke dalam 3 sistem, yaitu
pemuliaan rekombinasi, pemuliaan mutasi, dan pemuliaan transgenik. Setiap sistem
mempunyai cara yang unik untuk mendapatkan keragaman dan menseleksi individu target
(Tabel 4). Pada pemuliaan mutasi, pembangkitan alel-alel termutasi baru merupakan dasar dan
karakter yang unik. Genetik dibalik pemuliaan mutasi meliputi perbedaan dalam sensitivitas
genotipe berbeda dan jaringan tanaman terhadap mutagen berbeda, yang sering diukur dengan
“lethal doses”; genetik yang terbentuk setelah perlakuan mutagenik berpengaruh terhadap
alel-alel dan segregasi pada generassi berikutnya (Shu, 2013).
Mutasi merupakan salah satu teknik yang telah dikembangkan secara luas sebagai
upaya untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman untuk mendapatkan sifat baru sebagai
sarana untuk perbaikan genetik tanaman, terutama pada tanaman yang selalu diperbanyak
secara vegetatif sehingga keragaman genetiknya rendah atau untuk mendapatkan karakter
baru dimana sifat tersebut tidak dijumpai pada gene poll yang ada. Kerugian dari pemuliaan
mutasi adalah terbatasnya kemampuan untuk membangkitkan alel-alel dominan yang mungkin
diharapkan, dan juga kurang efektif dibandingkan perkawinan silang untuk suatu sifat-sifat
kombinasi multi alel, seperti toleran terhadap cekaman lingkungan. Frekwensi mutasi yang
rendah juga memerlukan populasi yang besar untuk menyeleksi mutan-mutan yang diharapkan
(Shu, 2013).
Tabel 4. Perbedaan tiga sistem pemuliaan tanaman berdasarkan beberapa tolok ukur
pemuliaan
Pemuliaan konvensional/ Pemuliaan mutasi Pemuliaan transgenik
rekombinan
Sumber variasi Rekombinasi alel-alel gen dari Alel-alel baru dibuat Memasukan gen baru
genetik tetuanya secara acak dari atau memodikasi
endogenous gen endogenous gen
Transmisi, Tidak ada transmisi, berhubungan Menginduksi mutasi Ekspresi transgenik
ekspresi dan dengan segregasi alel-alel untuk seleksi diploid
sifat penurunan berkerabat dan haploid
Sifat aksi gen Dominan, alel-alel yang resesif Sebagian besar alel-alel Sebagian besar alel
resesif dominan
Generasi Sekitar 10 generasi 2-3 generasi Sekitar 3 generasi
pemuliaan

Mutasi buatan untuk tujuan pemuliaan tanaman dapat dilakukan dengan memberikan
mutagen. Mutagen yang dapat digunakan untuk mendapatkan mutan ada dua golongan yaitu
mutagen fisik (sinar x, sinar gamma dan sinar ultra violet) dan mutagen kimia (Ethyl Methan
Sulfonat, Diethyl sulfat, Ethyl Amin dan kolkisin). Perubahan yang ditimbulkan karena
pemberian mutagen baik fisik maupun kimia dapat terjadi pada tingkat genom, kromosom, dan
DNA. Mutasi dibedakan menjadi mutasi kecil (mutasi gen) dan mutasi besar (mutasi

7
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

kromosom). Mutasi kecil adalah perubahan yang terjadi pada susunan molekul gen (DNA),
sedangkan lokus gennya tetap, sedangkan mutasi besar adalah perubahan yang terjadi pada
struktur dan susunan kromosom. Mutasi gen disebut juga mutasi titik. Mutasi ini terjadi karena
perubahan urutan basa pada DNA atau dapat dikatakan sebagai perubahan nukleotida pada
DNA. Mutasi Kromosom terjadi pada kromosom yang merupakan struktur didalam sel berupa
deret panjang molekul yang terdiri dari satu molekul DNA yang menghubungkan gen sebagai
kelompok satu rangkaian. Kromosom memiliki dua lengan, yang panjangnya kadangkala sama
dan kadangkala tidak sama, lengan-lengan itu bergabung pada sentromer (lokasi menempelnya
benang spindel selama pembelahan mitosis dan meiosis). Pengaruh bahan mutagen, khususnya
radiasi, yang paling banyak terjadi pada kromosom tanaman adalah pecahnya benang
kromosom (chromosome breakage atau chromosome aberration). Mutasi kromosom meliputi
perubahan jumlah kromosom dan perubahan struktur kromosom mutasi pada tingkat
kromosom disebut aberasi.
Menurut Van Harten (1998), keberhasilan program induksi mutasi sangat bergantung
padamateri tanaman yang mendapat perlakuan mutagen. Qosim (2006) dalam penelitiannya
terhadap kalus nodular manggis, menyebutkan bahwa induksi radiasi sinar gamma
menghasilkan keragaman genetik dengan menggunakan teknik RAPD dengan keragaman
genetik antara 60-91%. Sementara Harahap (2005) dalam penelitian dengan menggunakan biji
manggis hasil iradiasi sinar gamma yang ditanan secara in vitro, didapat keragaman genetik
yang diperoleh sebesar 62-100%. Sobir dan Poerwanto (2007) menyatakan berdasarkan analisis
RAPD pada bibit manggis hasil iradiasisinar gamma menggunakan lima primer acak, terbukti
keragaman genetik tanaman hasil iradiasi lebih besar (62%) dibandingkan variabilitas aksesi
manggis di Jawa (27%). Dalampenelitian ini, keragaman genetik yang diperolehdari hasil iradiasi
sinar gamma sebesar 77-95%, meningkat sebesar 5% dibandingkan kontrol. Untuk jenis-jenis
tanaman kehutanan, pemuliaan mutasi sangat potensial, terutama untuk membangkitkan
keragaman baru pada jenis-jenis yang keragaman di alamnya relatif sempit atau untuk
mendapatkan karakter-karakter tanaman yang lebih adaptif terhadap perubahan lingkungan
dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Pada tingkat bibit, peningkatan tinggi bibit hasil
iradiasi sinar gamma untuk jenis bambang lanang mampu mencapai 77% pada dosis 80 Gy
(Zanzibar dan Sudrajat, 2015), sementara pada jenis suren, peningkatannya mencapai 600%
dibandingkan dengan kontrol (Zanzibar dan Witjaksono, 2011) (Gambar 3).

(a) (b) (c)

Gambar 3. Pertumbuhan bibit suren umur 6 bulan yang berasal dari benih yang diperlakukan dengan
penuan dan iradiasi. Bibit dari benih dengan perlakuan penuaan selama 2 hari - iradiasi 5Gy
(a), penuaan 0 hari - tanpa iradiasi (b) dan penuaan 0 hari-iradiasi 5Gy (c)
Penggunaan iradiasi sinar gamma untuk pemuliaan mutasi tanaman hutan telah
dilakukan pada jenis jati malabar pada tingkat kalus (invitro) dosis 2.5 – 30 Gy. Perlakuan

8
Aspek Perbenihan

mampu meningkatkan keragaman populasi dasar serta diperolehnya klon yang


produktivitasnya lebih tinggi melalui seleksi yang ketat, baik pada tingkat bibit maupun
pertumbuhan tanaman melalui uji multi lokasi. Pertumbuhan hingga umur 8 tahun di Muna
(jarak tanam 4 x 4 m2) diperoleh rata-rata diameter dan tinggi, masing-masing 32 cm dan 19
meter (lokal Muna, diameter = 16 cm dan tinggi 13.6 meter) (Gambar 4).

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 4. Penampilan tegakan jati lokal Muna umur 5 dan 8 tahun (a dan c) dan jati hasil pemuliaan
mutasi pada umur yang sama (b dan d) di Muna

V. KESIMPULAN
Dosis iradiasi sinar gamma dengan dosis rendah dapat dijadikan sebagai perlakuan benih
(seed treatment) yang mampu memperbaiki perkecambahan dan pertumbuhan bibit beberapa
jenis tanaman hutan. Bagaimana pun, untuk mencapai hasil tersebut sangat penting untuk
menseting ambang batas hormetik suatu jenis yang juga tergantung dari tipe jaringan yang
diiradiasi dan jumlah kelembaban di dalam jaringan. Radiasi hormesis memberikan kemampuan
kepada benih untuk memperbaiki metabolismenya dan meningkatkan viabilitas serta vigor
benih dan bibit. Selain itu, iradiasi juga mampu menciptakan keragaman baru yang sangat
penting untuk proses seleksi (pemuliaan mutasi) terhadap individu-individu tanaman dengan
karakter-karakter yang diinginkan yang mampu meningkatkan produktivitas hutan.

DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Hady, M.S., Okasha, E.M., Soliman, S.S.A., and Tallat, M. 2008. Effect of gamma radiation
and gibberellic acid on germination and alkaloid production in Atropa belladonna L.
Australian Journal of Basic and Applied Sciences 2:401-405.

9
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Ahlowalia, B.S. and M. Maluszynski. 2001. Induced mutation-A new paradigm in plant breeding.
Euphytica 118:167-173.
Akshatha, Chandrashekar, K.R., Somashekarappa, H.M., and Souframanien, J. 2013. Effect of
gamma irradiation on germination, growth, and biochemical parameters of Terminalia
arjunaRoxb. Radiat Prot Environ 36:38-44.
Amjad, M. and Akbar, A. 2003. Effect of post-irradiation storage on the radiation-induced
damage in onion seeds. Asian Journal of Plant Science 2(9):702-707.
Andress, E.L., Delaplane, K.S., and Schuler, G.A. 1994. Food Irradiation. Fact sheet HE 8467
(Institute of Food and Agricultural Sciences University of Florida, USA).
Bhargava, Y. and Khalatkar, A. 2004. Improve performance of Tectona grandisseeds with
gamma irradiation. Acta Hortic.215:51-54.
Chan, Y.K. and Lam, P.F. 2002. Irradiation-induced mutations in papaya with special emphasis
on papaya ringspot resistance and delayed fruit ripening. Working Material –
Improvement of tropical and subtropical fruit trees through induced mutations and
biotechnology. IAEA, Vienna, Austria. pp 35 – 45.
De Micco, V., C. Arena. D. Pignalosa, and M. Durante. 2011. Effects of sparsely and densely
ionizing radiation on plants. Radiat. Environ. Biophys. 50:1-19.
Emovon, E.U. 1996. Keynote Address: Symposium Irradiation for National Development (Shelda
Science and Technology Complex, SHESTCO, Abuja, Nigeria). pp. 156-164.
Fan, X., Toivonen, P.M.A., Rajkowski, K.T., and Sokorai, K.J.B. 2003. Warm water treatment in
combination with modified atmosphere packaging reduces undesirable effects of
irradiation on the quality of fresh-cut iceberg lettuce. Journal of Agricultural and Food
Chemistry 51:1231–1236.
Gehring, R. 1985. The effect of gamma radiation on Salix nigra Marsh. Cuttings. Arkansas
Academy of Science Proceedings, 39:40-43.
Gruner, M.M., Horvatic, D., Kujundzic, and Magdalenic, B. 1992. Effect of gamma irradiation on
the lipid components of soy protein products. Nahrung, 36: 443-450.
Habba, I.E. 1989. Physiological effect of gamma rays on growth and productivity of Hyoscyamus
muticus L. and Atropa belladonna L. Ph.D. Thesis, Fac. Agric. Cairo Univ., Cairo, Egypt.
65-73.
Hai, L., Diep, T.B., Nagasawa, N., Yoshii, F., andKume, T. 2003. Radiation depolymerization of
chitosan to prepare oligomers. Nucl. Instrum. Methods Phys. Res. B, 208: 466–470.
Hameed, A., Shah, T.M., Atta, M.B., Haq, M.A., and Sayed, H. 2008. Gamma irradiation effects
on seed germination and growth, protein content, peroxidase and protease activity,
lipid peroxidation in desi and kabuli chickpea. Pakistan Journal of Botany 40:1033–1041.
Handayati, W. 2013. Perkembangan pemuliaan mutasi tanaman hias di Indonesia. Jurnal Ilmiah
Aplikasi Isotop dan Radiasi. 9 (1): 67- 80.
Harahap, F. 2005. Induksi variasi genetik tanaman manggis (Garcinia mangostana) dengan
radiasi sinar gamma. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hell, K.G., and Silveira, M. 1974. Imbibition and germination of gamma irradiation Phaseolus
vulgaris seeds. Field Crop Abst., 38(6): 300.
Hutami, S., Mariska, I., dan Yati Supriati. 2006. Peningkatan keragaman genetik tanaman
melalui keragaman somaklonal. Jurnal AgroBiogen 2(2):81-88.

10
Aspek Perbenihan

IAEA. 2009. Induced Mutation in Tropical Fruit Trees. IAEA-TECDOC-1615. Plant Breeding and
Genetics Section. International Atomic Energy Agency, Vienna, Austria. p161.
Iglesias-Andreu, L.G., Octavio-Aguilar, P. and Bello-Bello, J. 2012. Current importance and
potential use of low doses of gamma radiation in forest species. In Gamma radiation
(Adrovic, F., Ed.).InTech Europe. Rijeka, Croatia. p. 265-280.
Indrayanti, R., N.A. Mattjik, A. Setiawan, Sudarsono. 2011. Radiosensitivity of banana cv.
Ampyang and potential application of gamma irradiation for variant induction. J. Agron.
Indonesia 39:112-118.
Iqbal, J. 1980. Effects of acute gamma irradiation, developmental stages and cultivar differences
on growth and yiel of wheat and sorghum plants. Environmental and Experimental
Botany, 20(3):219-231.
Ishak. 2012. Agronomic traits, heritability and G x E interaction of upland rice (Oryza sativa L.)
mutant lines. J. Agron. Indonesia 40:105-111.
Khan M.R., Qureshi, A.S., Syed, A.H. and Ibrahim, M. 2005. Genetic variability induced by
gamma irradiation and its modulation with gibberellic acid in M2 generation of Chickpea
(Cicer arietinum L.). Pakistan J. Bot.37(2):285-292.
Kim, J.; Chung, B.; Kim, J. and Wi, S. 2005). Effects of in planta gamma-irradiation on growth,
photosynthesis, and antioxidative capacity of red pepper (Capsicum annuum L.) plants.
Journal of Plant Biology, 48(1): 47-56.
Kovacs E, and Keresztes A. 2002. Effect of gamma and UV-B/C radiation on plant cell. Micron,
33:199-210.
Kovalchuk, I., Molinier, J., Yao, Y., Arkhipov, A., andKovalchuk, O. 2007. Transcriptome analysis
reveals fundamental differences in plant response to acute and chronic exposure to
ionizing radiation. Mutation Research 624:101–113.
Kumar, G. and Singh, Y. 2010. Induced intergenomic chromosomal rearrangements in Sesamum
indicum L. CYTOLOGIA, 75 (2):157-162.
Kumari, R. and Singh, Y. 1996. Effect of gamma rays and EMS on seed germination and plant
survival ofPisum sativum L., andLens culinaris.Med. Neo Botanica, 4(1): 25-29.
Kuzin, A.M., Vagabova, M.E., and Revin, A.F. 1976. Molecular mechanisms of the stimulating
action of ionizing radiation on seeds. 2. Activation of protein and high molecular RNA
synthesis. Radiobiologiya, 16: 259-261.
Kuzin, A.M., Vagabova, M.E., and Prinak-Mirolyubov, V.N. 1975. Molecular mechanisms of the
stimulating effect of ionizing radiation on seed. Activation of RNA synthesis.
Radiobiologiya., 15: 747-750.
Kuzin, A.M. 1997. Natural atomic radiation and pehnomenon of life. Bulletin of Experimental
Biology and Medicine 123:313–315.
Luckey, T. 2003. Radiation hormesis overview. RSO Magazine 4:19–36.
Luckey, T. 1998. Radiation hormesis: Biopositive effect of radiation. Radiation Science and
Health.CRC press. Boca Raton, FLO, USA.
Marcu, D., Cristea, V., and L. Daraban. 2012. Dose-dependent effects of gamma radiation on
lettuce (Lactuca sativa var. capitata) seedlings. International Journal of Radiation
Biology, 1–5.
Melki, M., and Morouani, A. 2009. Effects of gamma rays irradiation on seed germination and
growth of hard wheat. Environ Chem Lett. 8:307-310.

11
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Piri, I., Babayan, M., Tavassoli, A. and Javaheri, M. 2011. The use of gamma irradiation in
agriculture. African Journal of Microbiology Research 5(32): 5806-5811.
Poster, B.P., and Shu, Q.Y. 2012. Plant Mutagenesis in Crop Improvement: Basic Terms and
Applications. In Plant Mutation Breeding and Biotechnology (Shu, Q.Y., Poster, B.P. and
Nakagawa, Eds.). Joint FAO/IAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture
International Atomic Energy Agency, Vienna, Austria.
Qosim, W.A. 2006. studi Irradiasi Sinar Gamma Pada Kultur Kalus Nodular Manggis Untuk
Meningkatkan Keragaman Genetik Dan Morfologi Regeneran. [Disertasi]. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Relleve, L., Nagasawa, N., Luan, L.Q., Yagi, T., Aranilla, C.,and Abad, L. 2005. Degradation of
carrageenan by radiation. Polymer Degradation and Stability, 87: 403–410.
Rombo, G.O., Taylor, J.R.N., and Minnaar, A. 2004. Irradiation of maize and bean flours: Effects
on starch physicochemical properties. J. Sci. Food Agric., 84: 350–356.
Santosa, E., Pramono, S., Mine Y., and N. Sugiyama. 2014. Gamma Irradiation on Growth and
Development of Amorphophallus muelleri Blume. J. Agron. Indonesia 42 (2) : 118-123.
Shu, Q.Y. 2013. Plant Mutation Breeding. Joint FAO/IAEA Division of Nuclear Techniques in Food
and Agriculture International Atomic Energy Agency, Vienna, Austria.
Singh, N. K. and Balyan H. S. 2009 Induced mutations in bread wheat (Triticum aestivum L.) CV.
”Kharchia 65” for reduced plant height and improve grain quality traits. Advances in
Biological Research, 3(5-6):215-221.
Sjodin, J. 1962. Some observations in X1 and X2 of Vicia faba L. after treatment with different
mutagens. Hereditas 48:565–573. Sjodin J. 1962. Some observations in X1 and X2 of
Vicia faba L. after treatment with different mutagens. Hereditas 48:565–573.
Sobir dan Poerwanto, R. 2007. Mangosteen genetic and improvement. Intl J Pl Breed 1(2): 105-
111.
Sobrizal. 2007. Rice mutation on candidate of restorer mutant lines. J. Agron. Indonesia 35:75-
80.
Soeranto, H. dan Sihono. 2010. Sorghum breeding for improved drought tolerance using
induced mutation with gamma irradiation. J. Agron. Indonesia 38:95-99.
Sokolov, M., Isayenkov, S. and Sorochynskyi, B. 1998. Low-dose irradiation can modify viability
characteritics of common pine (Pinus sylvestris) seeds. Tsitologiya Genetika, 32(4):65-71.
Sparrow, A. and Woodwell, G. (1962). Prediction of the sensitivity of plants to chronic
gammairradiation. Radiation Botany, 2(1): 9-12.
Surya, M.I. dan Soeranto R. (2006). Pengaruh Irradiasi Sinar Gamma terhadap Pertumbuhan
Sorgum manis (Sorghum bicolor L.). Risalah Seminar Ilmiah Aplikasi lsotop dan Radiasi,
Pp206-215.
Toker C., B. Uzen, H. Canci and F.O. Ceylan. 2005. Effects of gamma irradiation on the shoot
length of Cicer seeds.Radiation Physics and Chemistry.73:365-367.
Vaiserman, A. (2010). Hormesis, adaptive epigenetic reorganization, and implications for
human health and longevity. Dose Response, 8(1):16–21.
Van Harten, A.M. 1998. Mutation Breeding. Theory and Practical Aplication. Press Syndicate of
the Univ. of Cambridge. UK.
WHO (World Health Organization). 1988. Food irradiation: A technique for preserving and
improving the safety of food (WHO Publication in Collaboration with FAO). pp. 144-149.

12
Aspek Perbenihan

Zaka, R., Chenal, C., andMisset, M.T. 2004. Effect of low doses of short-term gamma irradiation
on growth and development through two generation of Pisum sativum. Science of the
Total Environment 320:121–129.
Zanzibar, M dan Witjaksono. 2011. Pengaruh Penuaan dan Iradiasi Benih dengan Sinar Gamma
(60C) Terhadap Pertumbuhan Bibit Suren (Toona sureni Blume Merr). Jurnal Penelitian
Hutan Tanaman. 8 (2):89-95.
Zanzibar, M. and Sudrajat, D.J. 2015. Effect of Gamma Irradiation on Seed Germination,
Storage, and Seedling Growth of Magnolia champaca (L.) Baill. ex Pierre. Belum
dipublikasikan.
Zanzibar, M., Sudrajat, D.J., Putra, P.G., dan Supardi, E. 2008. Teknik Invigorasi Benih Tanaman
Hutan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Bogor.

13
Aspek Perbenihan

TEKNOLOGI PENANGANAN BENIH DAN BIBIT UNTUK MEMENUHI STANDAR BENIH


DAN BIBIT BERSERTIFIKAT

Dede J. Sudrajat, Nurhasybi dan Yulianti Bramasto


Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

ABSTRAK

Sertifikasi mutu benih dan bibit merupakan suatu sistem pengendalian mutu benih dan bibit yang
bertujuan untuk melindungi produsen/pengada, pengedar dan pengguna benih dan bibit. Sertifikasi
mutu benih dan bibit di Indonesia dijalankan dengan menggunakan beberapa standar pengujian dan
standar mutu yang merupakan perangkat/metode uji dan persyaratan lulus uji. Secara operasional,
standar pengujian dan mutu benih dan bibit ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah
Aliran Sungai dan Hutan Lindung (Direktur Bina Perbenihan Tanaman Hutan). Standar uji dan mutu
benih dan bibit untuk beberapa jenis tanaman hutan juga telah menjadi SNI, dan telah menjadi acuan
khususnya bagi laboratorium-laboratorium yang telah terakredisasi KAN. Tentunya, teknologi yang tepat
sangat diperlukan untuk memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dalam standar mutu benih
dan bibit. Untuk sebagian jenis, SNI penanganan benih tanaman hutan dapat dapat dijadikan acuan
untuk meningkatkan mutu benih dan bibit dan memenuhi ketentuan dalam standar mutu benih dan
bibit.
Kata kunci: benih, bibit, penanganan, sertifikasi, standar

I. PENDAHULUAN
Kegiatan eksploitasi yang berlebihan, kebakaran hutan, dan perambahan hutan telah
mengakibatkan semakin terdegradasinya kawasan hutan. Laju degradasi hutan tersebut belum
mampu diimbangi dengan regenerasi alami maupun rehabilitasi melalui kegiatan penanaman.
Hal ini berdampak pada makin luasnya lahan kritis. Menurut data Depertemen Kehutanan
(2014) diperkirakan hingga tahun 2011 luas lahan kritis mencapai ±27,29 juta hektar. Luasan
tersebut terdiri dari 5,27 juta ha lahan sangat kritis dan 22,02 juta lahan kritis. Luas lahan kritis
ini sebenarnya mengalami penurunan dibandingkan tahun 2005 yang mencapai ±30,19 juta
hektar. Hal ini menunjukkan bahwa upaya rehabilitasi lahan kritis tersebut terus dilakukan
meskipun hasilnya belum optimal. Kegiatan rehabilitasi dan reboisasi lahan tersebut
memerlukan dukungan ketersediaan benih dan bibit yang bermutu.
Mutu benih didefinisikan sebagai ukuran karakter-karakter atau atribut-atribut yang
akan menentukan performa benih ketika ditabur atau disimpan. Definisi tersebut mempunyai
multi konsep yang menekankan pada attribut fisik, fisiologi, genetik, fatologi dan entomologi
yang mempengaruhi performa kelompok benih. Dengan kata lain, mutu benih diartikan sebagai
derajat dimana mana benih tersebut bisa hidup, aktif bermetabolisme dan memiliki enzim-
enzim yang mampu mengkatalis reaksi-reaksi metabolime yang diperlukan untuk
perkecambahan dan pertumbuhan semai. Mutu benih juga bisa dicerminkan dari penampilan
fisik benih (kadar air, kemurnian dan berat benih) dan fisiologis (daya berkecambah) yang
dijadikan parameter utama pengujian benih dalam rangka sertifikasi mutu benih di Indonesia
(Sudrajat dan Nurhasybi, 2009). Benih-benih yang bermutu baik secara fisik dan fisiologis akan
mampu tumbuh menjadi bibit yang bermutu.
Mutu bibit merupakan ekspresi yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan
bibit untuk beradaptasi dan tumbuh setelah penanaman. Kriteria mutu bibit sangat terkait
dengan jenis dan lingkungan tempat tumbuhnya (ekologi), sehingga tidak dapat diadopsi secara
15
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

langsung dari berbagai jenis yang berbeda atau dari berbagai wilayah yang lain. Bibit bermutu
merupakan bibit yang mampu beradaptasi dan tumbuh baik ketika ditanam pada suatu tapak
yang sesuai dengan karakteristik jenisnya (Mattson, 1996; Wilson dan Jacobs, 2005). Makin
banyaknya permintaan bibit tanaman hutan untuk kegiatan penanaman perlu didukung standar
mutu bibit (nursery stock standard) sebagai perangkat pengendalian mutu bibit yang beredar
(ANLA, 2004; Jacobs et al., 2005).
Di Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya, pengendalian mutu benih dan
bibit dilakukan melalui sistem sertifikasi mutu yang diatur dalam bentuk peraturan yang
dikeluarkan pemerintah (Van der Meer, 2002; Van Gastel et al., 2002; Louwaars, 2005).
Sertifikasi mutu benih dan bibit tersebut memerlukan perangkat berupa standar uji dan standar
mutu benih dan bibit (Tripp, 1997; Louwaars, 2005) yang secara operasional diatur dalam
bentuk Surat Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (sekarang
Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung) dan Standar Nasional
Indonesia. Untuk memenuhi kriteria parameter yang ditetapkan dalam standar, tentunya
teknologi penanganan benih dan bibit yang standar sesuai dengan jenisnya sangat diperlukan
(Cicero, 1998; Sudrajat, 2010). Tulisan ini memberikan informasi standar mutu benih dan bibit,
serta teknologi penanganannya untuk memenuhi kriteria dalam standar mutu benih dan bibit
tersebut.

II. SISTEM SERTIFIKASI SEBAGAI SISTEM PENGENDALIAN MUTU BENIH DAN BIBIT
A. Sistem Sertifkasi Mutu Benih Berdasarkan ISTA
Skema sertifikasi benih ISTA bertujuan untuk mengatur pemberian sertifikat ISTA hasil
penguji benih. Sertifikat hanya diberikan oleh laboratorium yang menjadi anggota ISTA dan
telah diakreditasi sesuai dengan peraturan ISTA. Sertifikat ISTA terdiri dari 2 kategori (ISTA,
2011), yaitu:
1) Sertifikat benih internasional warna oranye diterbitkan ketika pengambilan contoh dari
kelompok benih dan pengujian contoh dilaksanakan di bawah tanggung jawab suatu
laboratorium yang terakreditasi atau ketika pengambilan contoh dari kelompok benih dan
pengujian contoh dilaksanakan di bawah tanggung jawab laboratorium terakreditasi yang
berbeda. Apabila pengambilan contoh dan pengujian contoh masing-masing dilakukan oleh
laboratorium terakreaditasi yang berbeda, maka harus dinyatakan dalam sertifikat.
2) Sertifikat benih internasional warna biru diterbitkan ketika pengambilan contoh dari
kelompok benih tidak berada di bawah tanggung jawab suatu laboratorium yang
terakreditasi. Laboratorium yang terakreditasi hanya bertanggung jawab pada pengujian
contoh yang dikirimkan. Laboratorium tersebut tidak bertanggung jawab dalam kaitan
dengan contoh benih dan dengan kelompok benih darimana contoh tersebut berasal.
Sertifikat internasional biru menekankan pada laporan hasil pengujian terbatas pada contoh
yang diuji sesuai dengan waktu penerimaan contoh.
B. Sistem Sertifikasi Mutu Benih Berdasarkan OECD
Salah satu sistem pengendalian mutu yang telah lazim digunakan di banyak negara
selama puluhan tahun adalah sertifikat benih berdasarkan skema OECD (Organization for
Economic Co-operation and Development) yang didukung oleh pengujian mutu benih berbasis
ISTA Rules (ISTA, 1985). Sejak diterapkannya sistem sertifikat benih, volume perdagangan
benih secara internasional mengalami peningkatan. Di negara-negara Eropa, keberhasilan
sertifikat memacu komersialisasi benih rumput, serta mendorong pengembangan sertifikat
pada benih-benih sereal dan tanaman lain. Skema sertifikasi OECD telah diterapkan di semua

16
Aspek Perbenihan

negara anggota OECD ditambah Yugoslavia, Cyprus, Israel, New Zealand, Polandia dan Afrika
Selatan. Sertifikat benih juga telah diakui memainkan peranan penting dalam meningkatkan
produktifitas pertanian Amerika (Weimortz, 1985). Sistem serifikasi benih OECD menggunakan
beberapa klasifikasi sebagai berikut:
1) Materi berasal dari sumber teridentifikasi (source identified materials): Persyaratan yang
diperlukan meliputi: a) wilayah dari provenan dimana materi dikumpulkan dan asal usul dari
materi (indigenous atau non indigenous) ditentukan dan didaftar oleh institusi yang
berwenang, dan b) benih dikumpulkan, diproses dan disimpan, dan tanaman ditumbuhkan
dibawah pengawasan institusi yang berwenang. Label benih berwarna kuning.
2) Materi terseleksi (selected materials): memiliki persyaratan yang sama seperti di atas, dan
berasal dari materi dasar yang memenuhi persyaratan tertentu, disetujui dan diregister oleh
institusi yang berwenang. Penekanan persyaratan khususnya untuk kriteria seleksi,
keseragaman, kualitas, isolasi dan asal usul. Label benih berwarna hijau.
3) Materi dari kebun benih yang belum teruji (materials from untested seed orchards): materi
berasal dari benih yang diproduksi dari kebun benih yang uji keturunannya belum selesai
dilakukan. Label benih berwarna pink.
4) Materi teruji (tested materials): materi berasal dari benih yang diproduksi dari kebun benih
yang teruji dari hasil uji keturunan yang telah dilakukan. Label benih berwarna biru.
C. Sistem Sertifikasi Mutu Benih di Indonesia
Sertifikasi mutu benih telah diatur dalam beberapa peraturan perudang-undangan,
seperti: (1) Undang Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman, (3) Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P01/Menhut-II/2009 tentang Sistem Perbenihan Tanaman Hutan.
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Menteri tersebut menunjukkan betapa
pentingnya perbenihan dalam mewujudkan pertanian, kehutanan dan perkebunan yang maju,
efisien, dan tangguh. Ketentuan tentang pengujian mutu diatur dalam pasal 33 dari PP Nomor
44 tahun 1995, sebagai berikut:
Untuk memenuhi standar mutu yang ditetapkan, produksi benih bina harus melalui sertifikasi
yang meliputi:
a. Pemeriksaan terhadap:
1. kebenaran benih sumber atau pohon induk;
2. petanaman dan pertanaman;
3. isolasi tanaman agar tidak terjadi persilangan liar;
4. alat panen dan pengolahan benih;
5. tercampurnya benih.
b. Pengujian laboratorium untuk menguji mutu benih yang meliputi mutu genetis, fisiologis dan
fisik.
c. Pengawasan pemasangan label.
Ketentuan tentang sistem sertifikasi untuk benih-benih tanaman hutan diatur dalam
Peraturan Menteri Kehutanan No. P01/Menhut-II/2009 pasal 47 yang menyatakan bahwa
“Setiap benih atau bibit yang beredar harus jelas kualitasnya yang dibuktikan dengan: sertifikat
mutu untuk benih atau bibit yang berasal dari sumber benih bersertifikat; atau surat
keterangan pengujian untuk benih dan/atau bibit yang tidak berasal dari sumber benih
bersertifikat”. Berdasarkan pasal 48, Sertifikat mutu benih dan bibit diterbitkan oleh Dinas
Kabupaten/Kota, Dinas Provinsi, atau Balai, dimana pada pasal 50 dinyatakan bahwa Dinas
Kabupaten/Kota dan Dinas Provinsi yang melaksanakan sertifikasi harus memenuhi kriteria dan
standar pelaksana sertifikasi yang selanjutnya diatur dalam Lampiran 10 Peraturan Menteri

17
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

tersebut. Lebih lanjut pada pasal 51, dinyatakan bahwa Dinas Kabupaten/Kota melakukan
sertifikasi terhadap mutu benih dan/atau bibit yang diproduksi di wilayahnya. Dinas Provinsi
melakukan sertifikasi di wilayah Kabupaten/Kota terhadap Kabupaten/Kota yang belum
memiliki Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 atau tidak memilih urusan perbenihan
tanaman hutan. Balai melakukan sertifikasi di wilayah Provinsi terhadap Provinsi dan
Kabupaten/Kota yang belum memiliki Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 atau
Kabupaten/Kota tidak memiliki urusan perbenihan tanaman hutan. Hasil pengujian tersebut
dikategorikan dalam dua jenis, yaitu Sertifikat Mutu Benih dan Sertifikasi Mutu Bibit. Sertifikat
ini diterbitkan apabila benihnya berasal dari sumber benih bersertifikat, dan Surat Keterangan
Hasil Pengujian diterbitkan apabila benihnya tidak jelas asal usulnya.

III. STANDAR PENGUJIAN DAN STANDAR MUTU BENIH DAN BIBIT


A. Standar Pengujian dan Mutu Benih
Metode pengujian yang digunakan harus merupakan metode standar yang
dipublikasikan secara nasional, regional, maupun internasional. Internasional Seed Testing
Association (ISTA) Rules merupakan acuan internasional dalam pengujian benih. Secara umum,
ketentuan ISTA masih didominasi oleh jenis-jenis tanaman pertanian dan hotikultura,
sedangkan jenis-jenis tanaman hutan khususnya jenis tropis masih sangat terbatas (ISTA, 2013).
Padahal peredaran benih tanaman hutan khususnya di Indonesia telah mulai berkembang dan
memerlukan pengaturan dan jaminan mutu baik bagi pada pengada, pengedar maupun
pengguna. Kondisi tersebut harus dapat diatasi dengan melakukan modifikasi terhadap
ketentuan ISTA dengan memasukkan data-data hasil penelitian dan pengujian benih yang
memadai untuk dijadikan dasar bagi penyusunan metode pengujian benih di Indonesia.
Penyusunan standar metode pengujian dan standar mutu benih telah dilakukan dari
mulai tahun 1990-an, namun hingga tahun 2009, jenis yang distandarkan masih sangat
terbatas. Pada tahun 2009, Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan bekerjasama dengan Balai
Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (BPTPTH) Bogor dan melibatkan seluruh Balai
Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) membentuk Kelompoik Kerja Pembuatan Standar Mutu
Benih dan Bibit. Hingga tahun 2014, sekitar 80 jenis tanaman hutan telah dibuatkan standar
pengujian mutu fisik dan fisiologis dan standar mutu benihnya. Kegiatan Kelompok Kerja
tersebut meliputi pengumpulan data hasil sertifikasi mutu benih (2003-2014), eksplorasi benih
jenis-jenis yang belum pernah atau belum banyak diuji, tukar menukar benih antar BPTH,
pengujian mutu benih, pengumpulan data hasil sertifikasi dan hasil uji, pengolahan data,
penyusunan dan pembahasan standar pengujian dan mutu benih. Pada tahun 2014, melalui
Pusat Standardisasi dan Lingkungan Hidup dan Badan Standardisasi Nasional, standar mutu
benih tersebut telah ditetapkan menjadi Standar Nasional Indonesia, yaitu SNI 7627:2014,
Mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan (Lampiran 1).
B. Standar Pengujian dan Mutu Bibit
Perdirjen RLPS No. P.05/V-Set/2009 menjadi acuan BPTH dan lembaga sertifikasi lainnya
yang ditunjuk dalam kegiatan sertifikasi mutu bibit tanaman hutan. Persyaratan mutu bibit
dalam standar tersebut di bagi menjadi syarat umum dan syarat khusus, yaitu:
1. Syarat umum meliputi:
a. bibit berbatang tunggal dan lurus
b. bibit sehat: terbebas dari serangan hama penyakit dan warna daun normal (tidak
menunjukkan kekurangan nutrisi dan tidak mati pucuk)

18
Aspek Perbenihan

c. batang bibit berkayu, diukur dari pangkal batang sampai dengan setinggi 50% dari tinggi
bibit.
2. Syarat khusus meliputi:
a. tinggi bibit, yang diukur mulai dari pangkal batang sampai pada titik tumbuh teratas
b. diameter batang bibit, yang diukur pada pangkal batang
c. kekompakan media, yang ditetapkan dengan cara mengangkat satu persatu dari
beberapa jumlah contoh bibit
d. kekompakan media dibedakan ada 4 yaitu utuh, retak, patah, lepas
e. jumlah daun sesuai dengan jenisnya sedangkan untuk jenis tanaman yang berdaun
banyak seperti Pinus sp., Paraserianthes sp., parameter yang digunakan adalah Live
Crown Ratio (LCR)
f. LCR adalah nilai perbandingan tinggi tajuk dan tinggi bibit dalam persen
g. umur sesuai dengan jenisnya.
Hingga tahun 2009, standar pengujian dan mutu bibit tanaman hutan berdasarkan
Perdirjen RLPS No. P.05/V-Set/2009,baru mencantumkan standar mutu bibit untuk 13 jenis
tanaman hutan. Begitu juga dengan SNI mutu bibit yang baru memuat 7 jenis (BSN, 2005).
Namun bersamaan dengan kegiatan penyusunan standar mutu benih yang dimulai tahun 2009,
hingga tahun 2014, standar mutu bibit telah disusun untuk 76 jenis tanaman hutan (Lampiran
2). Standar tersebut didasarkan pada parameter morfologi bibit siap tanam yang diperoleh dari
beberapa kegiatan, yaitu: 1). data hasil sertifikasi mutu bibit (2003-2014), 3). pengujian mutu
bibit di BPTH, Badan Litbang dan Inovasi, Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan
Perguruan Tinggi, dan 3). hasil uji lapang penanaman berdasarkan klasifikasi morfologi bibit
(masih terbatas pada beberapa jenis tanaman hutan). Standar ini disusun dengan
mempertimbangkan kondisi bibit siap tanam yang beredar di tingkat pengada, pengedar dan
pengguna sehingga standar ini terjangkau oleh pengada/pengedar benih, mampu menjamin
mutu bibit yang diterima pengguna, dan akhirnya mampu meningkatkan mutu bibit yang
beredar.

IV. TEKNOLOGI PENANGANAN BENIH DAN BIBIT UNTUK MEMENUHI


STANDAR YANG BERLAKU
A. Teknologi Penanganan Benih
1. Pengumpulan buah
Pengumpulan buah dilakukan pada areal sumber benih dengan cara perontokan,
pemetikan dan pengumpulan buah di lantai hutan dengan mempertimbangkan kondisi
pembuahan dan indikator kemasakan. Apabila sumber benih untuk suatu jenis belum tersedia,
beberapa lokasi lain dapat dipertimbangkan seperti hutan alam, hutan rakyat dan hutan
tanaman lainnya yang dikumpulkan dari minimal 25 pohon induk tidak berkerabat.
Pengumpulan buah harus dilakukan pada saat puncak musim buah. Indikator kemasakan buah
dapat diketahui dengan melihat perubahan warna kulit buah, bau, kelunakan buah, berat jenis,
kadar air benih dan jatuhnya buah secara alami. Pengumpulan buah dapat dilakukan dengan
perontokan, pemetikan buah, dan pengumpulan buah di lantai hutan.
Perontokan buah dilakukan untuk kebanyakan buah atau biji yang berukuran besar dan
buah yang mudah rontok serta waktu panen yang singkat. Pemetikan buah dapat dilakukan
secara langsung dan menggunakan alat bantu pada pohon yang buahnya tidak terjangkau. Cara
ini diaplikasikan pada tipe buah kering pecah (indihischent) seperti buah kapsul (misalnya:
eucalyptus, benuang, puspa), buah polong (misalnya: sengon, jelutung, pulai) dan kerucut

19
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

(misalnya: agathis, pinus). Pemetikan pada pohon yang tinggi dilakukan dengan cara
pemanjatan. Pengumpulan buah di lantai hutan digunakan untuk buah/benih yang jatuh di
bawah pohon dan tidak mudah dimakan pemangsa, tidak mudah tersebar/terbang, tidak cepat
berkecambah dan tidak cepat rusak serta berukuran besar. Sebelum pengumpulan buah
terlebih dahulu lantai hutan dibersihkan dan dibentangkan alas berupa jaring/terpal sebagai
penampung. Pengumpulan dilakukan segera setelah buah jatuh dan sebelum buah terbuka,
rusak atau berkecambah (Schmidt, 2002).
Penyimpanan sementara dilakukan jika pengumpulan buah berjangka waktu panjang
serta lokasi pengunduhan yang cukup jauh dari tempat penanganan. Kegiatan yang dilakukan di
lokasi penyimpanan sementara adalah pengurangan campuran selain buah/benih,
pengendalian kemunduran (deteriorasi) misalnya: memisahkan buah yang telah berjamur, buah
yang telah terfermentasi dan yang telah berkecambah. Lingkungan tempat penyimpanan
sementara harus memiliki sirkulasi udara yang baik, terjaga dari organisme pengganggu,
terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung (di bawah naungan/atap).
Pengangkutan buah jenis rekalsitran, harus segera dilakukan setelah pengumpulan
buah. Wadah angkut buah selama pengangkutan menggunakan wadah yang berpori (misalnya:
karung goni atau keranjang). Setiap wadah angkut buah diberi label yang tidak mudah rusak
dan berisi informasi: jenis tanaman, kelas dan lokasi sumber benih (letak geografi dan
administrasi), jumlah pohon induk (identitas pohon induk jika ada), jumlah/berat buah, tanggal
pengunduhan, dan nama pengunduh.
2. Penanganan benih
Penanganan benih dilakukan untuk memperoleh benih bersih dan murni dengan
kualitas fisik fisiologis yang baik. Benih yang belum mencapai tingkat kemasakan sempurna
(kulit buah yang belum matang) diperlukan pemasakan buatan (pemeraman/curing) (seperti
pinus). Benih yang telah masak namun embrionya belum berkembang perlu dilakukan
pemasakan lanjutan (after ripening) hingga embrio matang sempurna (seperti mahoni,
kesambi, jati). Benih yang tidak memerlukan pemeraman dan pemasakan lanjutan dapat
langsung diekstraksi.
a. Ekstraksi benih
Ekstraksi benih dapat dilakukan dengan metode ekstraksi kering dan ekstraksi basah.
Ekstraksi kering dilakukan pada buah yang tidak berdaging, berbentuk polong atau
kerucut/bersisik dengan cara manual atau semi mekanis. Ekstraksi kering dilakukan dengan
cara: 1). penjemuran pada lantai jemur atau menggunakan alas jemur (terpal), 2).
penjemuran di bawah sinar matahari selama 1 – 3 hari, atau dapat menggunakan alat
pengering benih (seed dryer) pada suhu 35-38°C selama 12-24 jam, 3). penjemuran/
pemanasan dihentikan ketika buah telah merekah, dan benih mudah untuk dikeluarkan dari
buah.
Ekstraksi basah dilakukan pada buah berdaging dengan cara manual atau semi mekanis.
Ekstraksi basah dilakukan dengan cara: 1). perendaman buah dalam bak berisi air hingga
daging buah melunak atau benih mudah dikeluarkan dari buah, 2). kulit buah dikelupas dan
kulit benih dibersihkan dari daging buah dengan menggunakan pasir halus atau bahan
lainnya pada air yang mengalir, 3). pengeringan permukaan kulit benih dikeringanginkan
dalam ruang kamar atau dijemur.
b. Pembersihan, seleksi dan sortasi benih
Pembersihan benih hasil ekstraksi kering dilakukan dengan cara: ditampi, disaring,
direndam-dijemur atau menggunakan penghembus angin (blower). Pembersihan benih hasil
ekstraksi basah dilakukan pencucian dengan air. Seleksi benih dilakukan untuk memisahkan

20
Aspek Perbenihan

benih berisi dari benih kosong, kotoran dan benih jenis lain. Sortasi benih dilakukan
berdasarkan ukuran benih (berat dan dimensi). Seleksi dan sortasi dapat menggunakan seed
gravity table (SGT), saringan dengan ukuran tertentu, teknik pengapungan/perendaman dan
blower.
c. Pengeringan benih
Pengeringan benih hanya ditujukan untuk benih intermediate dan benih
ortodoks.Pengeringan benih intermediate dikeringanginkan pada suhu kamar sampai
mencapai kadar air aman untuk penyimpanan (8-12%). Pengeringan benih ortodoks
dilakukan secara mekanis atau dijemur sampai mencapai kadar air aman untuk penyimpanan
(4-8%). Selama proses pengeringan, sebelum benih mencapai kondisi kadar air aman untuk
penyimpanan harus diletakkan pada suhu kamar dengan aerasi/pertukaran udara yang
cukup.
d. Pengemasan
Wadah pengemasan benih untuk benih rekalsitran menggunakan wadah berpori hingga
semi permeabel terhadap uap air dan gas seperti kantong plastik tipis dengan ketebalan 0,1 -
0,25 mm, karung goni, karung katun, kotak kayu, dan keranjang. Untuk benih intermediate
dan ortodoks dapat menggunakan wadah kedap terhadap uap air dan gas seperti kaleng
aluminium atau timah, plastik tebal, drum, botol kaca, dan jerigen. Selain itu, bahan
pencampur juga digunakan untuk penyimpanan dan pengiriman benih rekalsitran. Bahan
pencampur digunakan untuk menjaga kelembaban agar kadar air benih tetap terjaga/tidak
terjadi penurunan, mengurangi kerusakan benih, meredam panas serta mengendalikan
hama dan penyakit. Bahan pencampur seperti serbuk kayu, serbuk arang, dan serbuk sabut
kelapa harus lembab dengan kadar air yang sama dengan kadar air benihnya. Perbandingan
volume bahan pencampur dengan benih adalah 2 : 1.
e. Penyimpanan Benih
Penyimpanan benih hanya dapat dilakukan pada benih intermediate dan ortodoks,
sedangkan benih rekalsitran hanya dapat disimpan sementara (maksimal 4 minggu). Wadah
simpan yang digunakam umumnya sama dengan wadah untuk pengemasan pada bagian 4.
Ruang simpan benih intermediate dan ruang simpan sementara benih rekalsitran dapat
menggunakan ruang simpan suhu kamar dan ruang simpan kering sejuk/air conditioning.
Untuk benih-benih ortodoks, ruang simpan benih dapat menggunakan (Schmitd, 2002):
- Ruang simpan suhu kamar (suhu 25- 30oC, kelembaban nisbi 70 - 80%).
- Ruang simpan kering sejuk/air conditioning (suhu 18-20oC, kelembaban nisbi 70%).
- Ruang simpan lembab dingin/cold storage (suhu 4-8oC, kelembaban nisbi 50-60%).
- Ruang simpan kering dingin/drycold storage (suhu 4-8oC, kelembaban nisbi 40-50%).
- Ruang simpan lemari pendingin/refrigerator (suhu 4-6oC, kelembaban nisbi 40-50%).
Untuk benih yang disimpan harus disertai label yang berisi informasi mengenai: jenis
tanaman, kelas dan lokasi sumber benih (letak geografi dan administrasi), jumlah pohon
induk (identitas pohon induk jika ada), nomor kelompok benih, waktu panen, waktu simpan,
waktu pengujian, kadar air, daya berkecambah, dan berat benih.
f. Pengendalian hama dan penyakit
Pengendalian hama dan penyakit benih dimulai sejak pengumpulan buah, yaitu
pengumpulan buah dilakukan di awal musim panen, pengumpulan buah dari lantai hutan
harus menggunakan alas serta menyeleksi kondisi buah serta memisahkan benih dari benih
rusak dan kotoran. Pengendalian hama dan penyakit pada saat penyimpanan dilakukan
dengan mempertahankan kadar air aman benih dan fumigasi serta pemeriksaan kesehatan
benih secara berkala. Fumigasi dilakukan secara berkala minimal 6 bulan sekali pada wadah

21
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

dan ruang simpan. Sterilisasi benih dilakukan sebelum perkecambahan menggunakan antara
lain: natrium hipoklorit 1%, ethanol 70% dan pestisida nabati dengan lama perendaman
berkisar 5 - 10 menit.
B. Teknologi Penanganan Bibit
1. Penaburan benih
Benih yang memiliki dormansi diperlukan perlakuan pendahuluan. Benih ditaburkan
pada media yang steril, berpori, mengikat air misalnya tanah, pasir, gambut halus, zeolit, serbuk
sabut kelapa. Bak tabur untuk benih kecil yang berukuran halus (seperti jabon, ekaliptus,
benuang, kayu putih) ditutup plastik transparan hingga keluar sepasang daun. Benih-benih
yang berkarakter rekalsitran seperti mimba, kayu bawang, shorea, sebaiknya langsung ditanam
di bedeng atau bak penaburan.
Kelembaban media perlu dijaga agar tidak terlalu tinggi sehingga bibit aman dari
serangan jamur patogen. Untuk itu pastikan bahwa lingkungan media perkecambahan memiliki
aerasi yang baik dan pastikan untuk menyiram dengan intensitas yang berlebihan dan secara
rutin dilakukan penyemprotan dengan fungisida.
2. Penyapihan
Penyapihan dilakukan ketika semai telah memiliki minimal sepasang daun atau tinggi
semai telah mencapai 3-5 cm. Penyapihan dilakukan pada kondisi teduh misal pada saat pagi
atau sore hari sehingga bibit tidak layu karena panas matahari. Media tabur dibasahi terlebih
dahulu. Ambil bibit dengan cara memasukkan ranting kecil ke media di bawah akar bibit
kemudian mencungkil media pelan-pelan hingga bibit terangkat. Hindari memegang bibit pada
batangnya tetapi peganglah kotiledon atau daunnya. Usahakan akar tertanam lurus dan tidak
rusak.
Kesalahan umum saat penyapihan yang harus dihindari adalah lubang terlalu dalam
(bibit tertanam setengah terkubur), atau lubang terlalu dangkal sehingga tanaman akan mudah
mengalami kekeringan, akar tersingkap, atau akar menjadi bengkok. Bibit yang disapih dengan
tidak tepat maka sistem perakaran akan terganggu yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman
yang kurang baik, terutama ketika tumbuh di lapangan.
3. Penyiraman
Media didalam polibag/wadah yang telah ditumbuhi bibit harus betul-betul tersiram
secara menyeluruh, pastikan air membasahi media sampai ke bagian dasarnya. Jadi tujuan
penyiraman adalah membasahi media bukan untuk sekedar membasahi daun. Kekuatan
semprotan air tidak terlampau keras yang menyebabkan erosi atau kehilangan permukaan
media. Penyiraman dilakukan dua kali sehari terutama selama musim panas. Untuk bibit muda
dari jenis tertentu yang berukuran kecil, penyiraman dengan menggunakan alat siram yang
menghasilkan semprotan air yang halus. Pemberian air yang terlalu banyak dapat merusak
tanaman seperti halnya kekurangan air, karena air yang menggenang menyebabkan air
memenuhi pori-pori udara yang ada di dalam media dan menyebabkan media memadat
sehingga akar tidak bisa bernapas. Penyiraman berlebihan juga mengakibatkan bibit tumbuh
cepat namun lemah dan memacu penyebaran jamur dan bakteri patogen.
4. Wiwil dan penyiangan
Wiwil atau membuang daun-daun tua, kering, busuk, atau berpenyakit, dilakukan ketika
bibit mencapai ketinggian atau umur tertentu misal pada jati ketika bibit berketinggian ±20 cm.
Wiwil berfungsi untuk memperbaiki sirkulasi udara, mencegah berkembang dan menularnya
hama penyakit. Penyiangan atau pembersihaan gulmaharus rutin dilakukan. Pembersihan
gulma sangat penting ketika bibit masih pada awal pertumbuhan, karena gulma biasanya lebih

22
Aspek Perbenihan

kuat dan tumbuh lebih cepat daripada bibit dan menjadi kompetitor bibit dalam memperoleh
air, hara dan ruang tumbuh.
5. Pemangkasan akar dan penjarangan bibit
Pemangkasan akar adalah pemotongan akar untuk mengendalikan pengembangan
sistem akar di luar pot semai. Pemangkasan akar secara rutin perlu dilakukan karena ketika
bibit telah mencapai ukuran tertentu akarnya akan tumbuh menjadi lebih panjang dari ukuran
pot semai dan menembus ke dalam tanah. Untuk pelaksanaan pemangkasan akar, bibit disiram
terlebih dulu, kemudian potong setiap akar yang tumbuh menembus ke dalam. Pemangkasan
hendaknya dilakukan pada pagi atau sore hari atau pada saat hari berawan. Untuk menghindari
kelayuan bibit, siram kembali bibit setelah pemangkasan. Pertumbuhan akar di bawah semai
juga dapat dihambat dengan meletakkan bibit pada rak, lembaran plastik atau lantai semen.
Seiring dengan pertumbuhan bibit maka daun dan tunas muda akan menjadi berdesak-desakan
sehingga sebagian bibit tidak cukup menerima sinar matahari yang diperlukan untuk
pertumbuhannya. Sebelum hal ini terjadi, bibit-bibit yang berada di bedeng semai harus
dijarangkan. Jarak tidak hanya membantu bibit untuk menerima sinar matahari yang cukup,
tetapi juga memudahkan pemantauan bibit yang terserang hama dan penyakit.
6. Pencegahan dan pengendalian hama penyakit
Pada tingkat bibit, tanaman lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit (biotik)
dan juga kerusakan karena kondisi cuaca (abiotik), sehingga perlu diantisipasi sedini mungkin.
Hama yang sering merusak bibit adalah serangga (belalang, ngengat, semut) dan ulat,
sedangkan penyakit di antaranya adalah jamur, bakteri, virus dan cacing. Insektisida sistemik
atau nabati dapat digunakan untuk mengendalikan serangan hama. Penyakit yang menyerang
bibit antara lain adalah rebah semai (dumping off), embun tepung (powdery mildew), bercak
daun (leaf spot), layu (wilt), dan mati pucuk (die back). Sterilisasi media, air penyiraman yang
bersih, penaburan yang tidak terlalu padat, pemberian fungisida secara teratur 2 atau 4 minggu
sekali, pengaturan intensitas cahaya, dan menjaga kelembaban media tidak terlalu tinggi dan
tidak terlalu rendah dapat menghindari serangan jamur seperti lodoh (Departemen Kehutanan,
2004).
7. Pemupukan
Pemupukan dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan bibit secara optimal. Sebelum
dilakukan pemupukan, perlu adanya analisis kesuburan media. Pemupukan dilakukan secara
tepat dan tidak berlebihan. Dosis pupuk yang berlebihan akan menyebabkan pertumbuhan
tidak seimbang (terlalu cepat namun bibit mudah patah, mudah layu, dan rasio pucuk akar
tidak seimbang), pertumbuhan tanaman terganggu karena pupuk yang berlebihan akan bersifat
toksik dan juga mengganggu pertumbuhan mikroorganisme dalam media yang bermanfaat
seperti mikoriza. Pupuk yang paling umum adalah NPK. Pupuk dapat dilarutkan dalam air
dengan mencampurkan satu sendok pupuk dalam 10 liter air dapat diterapkan untuk
penyiraman. Pemberian pupuk sintetik/kimiawi mungkin tidak diperlukan jika media
persemaian telah berisi nutrisi yang mencukupi untuk mendukung pertumbuhan bibit, seperti
telah mengandung campuran kompos atau pupuk kandang yang memadai untuk pertumbuhan
bibit.
8. Seleksi dan aklimatisasi (hardening off)
Seleksi bibit bertujuan untuk menyortir bibit yang menunjukkan gejala terserang hama
atau penyakit, memiliki pertumbuhan yang tertekan, memiliki batang utama bercabang,
bengkok, mati atau patah, sehingga bibit siap tanam memiliki penampilan yang relatif seragam.
Bibit siap tanam dipisahkan dan dikelompok dan sebelum didistribusikan ke lapangan, terlebih
dahulu dilakukan aklimatisasi (Sudrajat et al., 2010).

23
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Aklimatisasi bertujuan untuk mempersiapkan bibit agar dapat beradaptasi pada kondisi
lapangan penanaman. Aklimatisasi dilakukan dengan cara meningkatkan cahaya yang diterima
oleh bibit, peningkatan jarak antar bibit dan mengurangi penyiraman (hardening off). Pada saat
hardening off, bibit masih berada di bawah naungan namun intensitas cahaya ditingkatkan
dengan membuka sebagian shading net sehingga cahaya yang diterima bibit meningkat. Dalam
kondisi demikian, bibit mengalami proses pengayuan (lignifikasi) sehingga lebih kuat. Untuk
jenis-jenis toleran yang pertumbuhannya lebih baik bila berada di bawah naungan, bibit yang
dipindahkan langsung ke areal persemaian terbuka kemungkinan pertumbuhannya kurang
optimal, dengan demikian naungan ringan masih diperlukan. Aklimatisasi bibit dilakukan secara
bertahap dengan mengurangi naungan dan frekuensi penyiraman. Aklimatisasi dilakukan 2 - 3
minggu sebelum waktu tanam.

V. KENDALA APLIKASI STANDAR MUTU BENIH DAN BIBIT


Hingga saat ini belum seluruh stakeholder yang berkaitan dengan kegiatan perbenihan
menggunakan standar mutu benih dan bibit yang telah disusun (Lampiran 1 dan Lampiran 2).
Terdapat beberapa kendala yang cukup sering ditemui dalam penerapan standar mutu ini, di
antaranya karena masih terbatasnya lembaga sertifikasi serta SDM dan sarana prasarana yang
belum memadai. Keberadaan lembaga penguji sebaiknya ada di setiap kabupaten atau
setidaknya pada tingkat provinsi, sehingga mudah dijangkau oleh produsen/pengada benih
yang akan mengujikan sampelnya. Hal ini terutama menjadi kendala apabila contoh benih yang
akan diuji adalah kelompok benih rekalsitran.
Selain itu adanya kebutuhan lapangan yang belum terakomodir di dalam standar mutu
yang telah disusun. Sebagai contoh saat ini standar mutu bibit siap tanam yang telah disusun
adalah bibit yang akan ditanam pada hutan tanaman yaitu bibit yang berukuran 30-50 cm, akan
tetapi banyak produsen/pengada menyadiakan bibit untuk kebutuhan lain, misalnya untuk
hutan kota yang ukuran bibit yang dibutuhkan lebih dari 1 m. Oleh karena itu untuk
mengakomodir kebutuhan tersebut perlu adanya perbaikan terhadap standar mutu benih
ataupun bibit, atau menyusun standard khusus untuk bibit yang diperuntukan hutan kota yang
umumnya telah berukuran besar.

VI. PENUTUP
Standar mutu benih dan bibit merupakan perangkat pengendali yang berupa nilai
parameter mutu benih dan bibit yang menjadi acuan bagi hasil pengujian. Efisiensi
pengendalian ini harus didukung dengan perbaikan sistem produksi dan penanganan benih dan
bibit. Konsekuensinya serangkaian teknologi penanganan benih dan bibit dan prosedur
administrasi (dokumentasi benih dan bibit) harus diadopsi dan tidak ada kompromi dalam
penerapannya sehingga tujuan pengendalian tersebut dapat tercapai. Selain itu, upaya lain
untuk mendukung sistem pengendalian mutu ini dapat ditempuh dengan meningkatkan sistem
manajemen mutu internal pada tingkat produser/pengada benih dan bibit.

DAFTAR PUSTAKA
ANLA (American Nursery & Landscape Association). 2004. American Standard for Nursery Stock.
American Nursery & Landscape Association, Washington, USA.
BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2005. Mutu Bibit (Mangium, Ampupu, Gmelina, Sengon,
Tusam, Meranti, dan Tengkawang). Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. 13p.
24
Aspek Perbenihan

BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2014. SNI 7627:2014, Mutu fisik dan fisiologis benih
tanaman hutan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2014. SNI 7627:2014, Mutu fisik dan fisiologis benih
tanaman hutan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
Cicero, S.M. 1998. Establishment of qeed quality control program. Sci. Agric., Piracicaba,
55(Número Especial). p.34-38.
Departemen Kehutanan. 2004. Teknik pembibitan dan konservasi tanah. Buku I. Gerakan
Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2014. Statistik kehutanan Indonesia 2013. Departemen Kehutanan.
Jakarta
ISTA (International Seed Testing Association). 1985. International Rules for Seed Testing.
Switzerland.
ISTA (International Seed Testing Association). 2011. International Rules for Seed Testing.
Switzerland.
ISTA (International Seed Testing Association). 2013. International Rules for Seed Testing.
Switzerland.
Jacobs, D.F., E.S. Garnider, K.F. Salifu, R.P. Overton, G. Hernandes, M.E. Corbin, K.E. Wightman,
and M.F. Selig. 2005. Seedling quality standards for bottomland hardwood qfforestation
in the lower Mississippi River Aluvial Valley: Preliminary results. USDA Forest Service
Proceedings RMRS-P-35. pp. 9-16.
Louwaars, N. 2005. Biases and bottlenecks, time to reform the south’s and inherited seed laws?
Seedling July 2005. University of Wegeningen. pp 4-9.
Mattson, A. 1996. Predicting Field Performance Using Seedling Quality Assessment. New
Forests. 13:223-248.
Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. P.06/V-Set/2009
tentang Pedoman Pengujian Mutu Fisik-Fisiologis Benih Tanaman Hutan.
Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. P.05/V-Set/2009
tentang Petunjuk Teknis Penilaian Mutu Bibit Tanaman Hutan
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. 01/Menhut-II/2009 tentang
Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1995 tentang Perbenihan tanaman
Schmidt, L. 2002. Pedoman penanganan benih tanaman hutan tropis dan sub tropis.
Terjemahan. Kerjasama Direktorat Jenderal Rehabiltasi Lahan dan Perhutanan Sosial
dengan Indonesia Forest Seed Project. Jakarta.
Sudrajat, D.J. 2010. Kajian standar mutu fisik dan fisiologi benih tanaman hutan. Info Benih Vol.
14 No. 2, Desember 2010, hal. 81-87.
Sudrajat, D.J. dan Nurhasybi, 2009. Penentuan standar mutu fisik dan fisiologis benih tanaman
hutan.Info Benih No. 13 (1):147-158. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor.
Sudrajat, D.J., Kurniaty, R., Syamsuwida, D., Nurhasybi, dan Budiman, B. 2010. Kajian
standardisasi mutu bibit tanaman hutan di Indonesia. Seri Teknologi Perbenihan
Tanaman Hutan 2010, ISBN 978-979-3539-20-1.
Tripp, R. 1997. New seeds and old laws. Intermediate Technology Publications. London.
Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

25
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.


Van der Meer, C. 2002. Challenges and limitations of the market. Jurnal of New Seeds. 4(1/2):
65-75.
Van Gastel, T.J.G., B.R. Gregg, and E.A. Asiedu. 2002. Seed quality control in developing
countries. Jurnal of New Seeds. 4(1/2): 65-75.
Weimortz, E.D., 1985. An international view of seed certification. In: M.B. Mcdonald, Jr and W.D
Pardee (eds.). The Role of seed Certification in the Seed Industry. CSSA Special
Publication No.10:25-28. CSSA Inc., Wisconsin, USA.
Wilson, B.C. and D.F. Jacobs. 2005. Quality assessment of hardwood seedings. Hardwood Tree
Improvement and Regeneration Center, Purdue University. Indiana.

26
Aspek Perbenihan

STUDI AWAL TEKNOLOGI BENIH JENIS-JENIS MAHANG (Macaranga sp.) SEBAGAI JENIS
ALTERNATIF PENGHASIL KAYU PULP

Nurhasybi dan Tati Suharti


Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

ABSTRAK

Pembangunan hutan tanaman memerlukan input jenis-jenis baru termasuk untuk jenis-jenis yang
kayunya dapat dipergunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas. Jenis-jenis yang sudah lama
dipergunakan untuk bahan baku pulp diantaranya Acacia sp. memiliki keterbatasan akibat serangan
hama dan penyakit, dan menurunnya kualitas lahan untuk penanaman. Jenis seperti mahang
(Macaranga sp.) merupakan jenis alternatif yang potensial untuk dikembangkan.Pengadaan benih
bermutu baik memerlukan teknologi penanganan benih yang tepat untuk mendukung program
penanaman.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan anatomi benih, kriteria masak buah
mahang secara fisiologi, teknik pengujian mutu benih, kadar air benih kritis, dan hama dan penyakit
yang terbawa benih. Buah mahang masak fisiologi ditandai oleh warna kulit buah hijau hingga hijau
kecoklatan dan kulit benih berwarna hitam dan keras. Pemanenan buah harus dilakukan tepat waktu
agar benih tidak terlepas dari buahnya dan tersebar. Benih mahang dibungkus oleh lapisan luar
(eksodermis) yang tipis dan lebih mudah terkelupas, sedangkan bagian dalam (endodermis) memiliki
lapisan yang keras yang melindungi struktur bagian dalam benih. Struktur benih mahang
memperlihatkan posisi titik tumbuh yang memiliki radikal dan plumula, dikelilingi oleh kotiledon sebagai
cadangan makanan, tetapi secara morfologi dari luar tidak terlihat secara pasti posisi titik tumbuh
berada, sehingga dalam penaburan benih ke media tabur dapat dilakukan dengan arah penempatan
posisi benih yang bebas. Benih mahang memiliki karakter semi rekalsitran dengan kadar air awal lebih
dari 20% dengan kadar air kritis bervariasi 9-12% dan daya berkecambah 30-40%. Benih jenis ini
memiliki kulit yang keras sehingga dapat mempertahankan kadar air dan viabilitasnya dengan baik.
Benih mahang terbungkus dalam buah yang mempunyai 4 bagian (lokus). Tipe kecambah mahang
adalah epigeal sehingga dalam penaburannya posisi benih harus dekat dengan permukaan media tabur.
Pengukuran kadar air benih dapat dilakukan dengan metoda oven temperatur tetap pada temperatur
103+2°C selama 16, 18, 20, 22, 24 jam dan 130°C selama 1, 2, 3, 4 jam. Cendawan yang banyak
ditemukan pada benih mahang adalah Aspergillus sp., Penicillium sp. dan Rhizopus sp. yang merupakan
cendawan gudang. Sedangkan cendawan Fusarium, Botryodiplodia, Curvularia, Cylindrocladium dan
Pythium yang merupakan cendawan lapang ditemukan dalam jumlah kecil.
Kata kunci: hutan tanaman, jenis alternatif, mahang, penanganan benih, pulp

I. PENDAHULUAN
Pembangunan hutan tanaman yang dicirikan oleh kepentingan ekonomi dalam upaya
memenuhi kebutuhan manusia terhadap kayu untuk memenuhi berbagai keperluan terus
meningkat, tidak terkecuali kebutuhan terhadap kayu serat. Kebutuhan kayu yang sangat besar
untuk industri padat modal dengan jumlah pembiayaan triyulan atau ribuan milyard rupiah
diinvestasikan untuk membangun hutan tanaman kayu serat serta industrinya untuk
memproduksi pulp. Menurut Pasaribu dan Tampubolon (2007) dalam Mindawati (2009),
sebagian besar (mencapai 90%) bahan baku pulp dan kertas berasal dari kayu yang memiliki
keuntungan karena rendemen yang dihasilkan tinggi, kandungan lignin relatif rendah dan
kekuatan pulp dan kertas yang dihasilkan tinggi.
Jenis tanaman hutan yang banyak ditanam untuk memproduksi bahan baku pulp dan
kertas adalah jenis-jenis Acacia sp., terutama Acacia mangium dan Acacia crassicarpa. Kedua
27
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

jenis Acacia ini ditanam secara monokultur dalam luasan lahan yang sangat besar dengan
jumlah kumulatif mencapai jutaan hektar. Kelemahan dari penanaman sistem monokultur
mulai terlihat dengan ditemukannya serangan penyakit jamur akar yang banyak menyerang
tanaman A. mangium dan mengakibatkan kematian, seringnya terjadi kebakaran, dan
menurunnya produktivitas akibat menurunnya kualitas lahan penanaman, sehingga diperlukan
alternatif jenis tanaman hutan lain yang mampu memproduksi bahan baku pulp dan kertas.
Mahang (Macarangasp.) merupakan jenis-jenis tanaman hutan yang dapat dikembangkan
untuk memproduksi bahan baku pulp dan kertas.
Mahang tumbuh tersebar di Malaysia dan Indonesia (terutama di Kalimantan dan
Sumatera).Macarangasp. termasuk famili Euphorbiaceae. Pohonnya berukuran besar dengan
tinggi sampai 40 m dan diameter sampai 85 cm. Batangnya bulat, halus dan berwarna abu-abu
kotor, kadang-kadang berbanir meskipun tidak begitu nyata. Jenis ini dapat tumbuh pada
ketinggian kurang lebih 1000 m dpl dan merupakan jenis pohon pionir di hutan primer
(Rahmanto, 2000).Penyebarannya mulai dari semenanjung Thailand dan Malaysia, Sumatera,
Borneo dan Sulawesi (Sosef et al., 1998). Menurut Heyne (1987), jenis ini terdapat di Sumatera
Selatan yaitu terdapat di hutan-hutan sekunder dan di dataran rendah. Macarangasp.
merupakan jenis pionir yang mudah tumbuh pada hutan sekunder dan lahan terbuka.Jenis ini
beradaptasi pada kondisi ekologi yang beragam dan memiliki adaptasi tinggi untuk tumbuh
pada lahan hutan yang terbuka (Davies dan Ashton, 1999). Menurut Heyne (1987) dan
Rahmanto (2000), kayunya tidak awet akan tetapi mudah dikerjakan sehingga tanaman ini
dapat digunakan untuk kelom-kelom kayu, sarung pisau, gagang pacul, konstruksi sementara
dan secara khusus pada bagian rumah yang tidak kontak dengan tanah dan juga baik untuk
dibuat papan, kotak, alat-alat pelampung, peti kemas, korek api, dan kayu bakar.
Perluasan penanaman jenis mahang memerlukan penelitian penanganan benihnya
setelah dipanen sesuai dengan karakteristik benihnya. Beberapa faktor yang perlu diketahui
antara lain meliputi kriteria masak fisiologis buah, pengujian mutu benih, kadar air benih kritis,
dan inventarisasi hama dan penyakit benih serta pencegahannya.

II. METODOLOGI
A. Lokasi Penelitian
Pengumpulan benih mahang dilaksanakan di Kuok, Riau.Pengujian mutu benih
dilaksanakan di laboratorium Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (BPTPTH)
di Bogor.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah benih jenis-jenis mahang
(Macarangasp.) yang meliputi benih mahang besar (Macaranga gigantea) dan mahang kecil
(Macaranga hypoleuca), alkohol, media perkecambahan, benomil,dan aquades.Alat yang
digunakan terdiri dari oven, bak kecambah, sprayer, gelas piala, petridish, oven, sprayer,
saringan, kaliper,thermohygrometer, lux meter, mikroskop, laminar air flow dan autoclave.
C. Prosedur
1. Penentuan tingkat kemasakan benih meliputi: (a) pengamatan struktur anatomi buah dan
biji/benih,(b) kadar air benih,dan (c) perkecambahan. Pengamatan struktur dilakukan
dengan membelah benih searah longitudinal dan melihat perkembangan struktur buah dan
benih (kotiledon/endosperm, radikal, plumula). Benih dari berbagai tingkat kemasakan yang
dicirikan oleh warna buah sebagai indikator yang mudah diaplikasikan di lapangan diukur

28
Aspek Perbenihan

kadar air benihnya menggunakan metoda oven temperatur tetap (103+2°C) selama + 17 jam
(ISTA, 2006), dan diuji daya berkecambahnya.
2. Pengujian mutu benih pada buah yang telah masak secara fisiologi, meliputi: (a) analisa
kemurnian, (b) volume benih, (c) penentuan metoda pengukuran kadar air, (d) penentuan
berat 1000 butir, dan (e) penentuan metoda uji viabilitas benih. Analisa kemurnian
dilakukan sebanyak 3 ulangan @ 25 gram. Benih yang telah melalui analisa kemurnian
dimasukkan ke dalam gelas ukur untuk mengetahui volume dan jumlah benihnya.
Penentuan metoda pengukuran kadar air dilakukan dengan metoda oven temperatur tetap
sebanyak 3 ulangan @ 5 gram pada temperatur 103+2°C selama 16, 18, 20, 22, 24 jam dan
130°C selama 1, 2, 3, 4 jam (ISTA, 2006).
3. Penentuan kadar air benih kritis: (a) pengeringan pada berbagai tahapan, dan (b)
penyimpanan pada tingkat kadar air tertentu. Benih dikeringkan dengan cara diangin-
anginkan di ruang kamar selama 0, 1, 2, 3, 4, 5 hari dan diukur kadar airnya sebanyak 3
ulangan @5 gram pada setiap tahap pengeringan dengan metoda oven dan diuji
perkecambahannya sebanyak 4 ulangan @50 butir menggunakan media campuran pasir +
tanah (1 : 1 v/v) di rumah kaca.
4. Identifikasi hama dan penyakit benih: (a) pengujian kadar air, (b) pengujian perkecambahan,
(c) identifikasi serangga dan pathogen pada benih, (d) pengendalian hama benih, (e)
pengendalian penyakit benih. Prosedur yang dilaksanakan meliputi:
a. Kegiatan identifikasi serangga dan patogen pada benih untuk mengidentifikasi serangga
internal, benih yang berasal dari lapangan disimpan di dalam wadah tertutup. Apabila
ditemukan serangga, selanjutnya serangga tersebut dimasukkan ke dalam larutan alkohol
70%. Sampel yang digunakan yaitu sebanyak 1000 benih untuk masing-masing lokasi.
Serangga yang diperoleh diidentifikasi menggunakan mikroskop stereo dengan cara
membandingkan morfologi serangga yang ditemukan dengan buku kunci identifikasi
Coleoptera (Booth et al., 1990) dan buku identifikasi serangga (Borror et al., 1989).
Untuk mengidentifikasi cendawan terbawa benih, benih sebanyak 400 butir (4 ulangan @
100 butir)dari masing-masing sampel didisinfeksidengan menggunakan larutan sodium
hipoklorit 1% selama 5 menit. Benih kemudian diletakkan pada media kertas merang
lembab sebanyak 3 lembar. Cawan petri yang berisi benih diinkubasi selama 7 hari
dengan kondisi penyinaran 12 jam terang dan 12 jam secara bergantian. Pada hari ke-8
cendawan diidentifikasi dengan membandingkan bentuk, pertumbuhan, warna dan
mikroskopisnya dengan buku kunci determinasi cendawan imperfect (Barnet and Hunted,
1998). Kemudian diamati jenis hama dan penyakit, serta persentase infeksinya. Respon
yang diamati adalah daya berkecambah benih, jenis cendawan, dan persentase
serangan/infeksi.
b. Teknik pengendalian penyakit benih
Teknik pengendalian penyakit benih menggunakan beberapa perlakuan yaitu: (1) benih
diberi benomil kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik tertutup dan disimpan di
lemari es, (2) benih diberi kunyit bubuk, kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik
tertutup dan disimpan di lemari es, (3) benih dimasukkan ke dalam wadah plastik tertutup
dan disimpan di lemari es, dan (4) benih dimasukkan ke dalam wadah plastik tertutup dan
disimpan di ruang kamar. Sedangkan periode simpannya menggunakan waktu 0, 1, 2 dan
3 bulan. Respon yang diamati adalah jenis cendawan pada benih, persentase infeksinya,
daya berkecambah dan kadar air benih.

29
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

D. Analisa Data
Rancangan penelitian menggunakan: (1) metoda Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan (2)
RAL pola faktorial sesuai faktor dan interaksi yang terjadi dalam penelitian. Analisis data
dilakukan untuk melihat faktor yang berperan terhadap mutu benih dalam penanganan dengan
program SPSS.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian
Jenis mahang menyebar pada kondisi lahan hutan primer yang memiliki celah (gap) yang
terbuka akibat proses alami atau gangguan anthropogenik (kegiatan manusia). Jenis pionir
seperti juga mahang merupakan jenis yang memerlukan cahaya untuk tumbuh dan
berkembang. Kondisi tanah bervariasi seperti ditunjukkan pada tanah yang dianalisa
mengandung C (carbon) yang rendah - sedang yaitu 1-3%, kandungan N rendah (0,1-0,2
Kjeldahl, kapasitas tukar kation (KTK) rendah (5-8) dan pH agak masam (5-7). Kandungan unsur
makro seperti Ca sedang (4-10), Mg sedang (1-3), K rendah (0,1-0,3) dan Na rendah (0,07-0,20).
Kondisi tanah tidak tergolong subur karena kandungan makronya relatif rendah – sedang, dan
unsur-unsur lain juga bervariasi mendekati kesamaan.
Benih mahang terbungkus dalam buah yang mempunyai 4 bagian (lokus). Benih
dibungkus oleh dua lapisan luar (eksodermis) yang tipis dan lebih mudah terkelupas, sedangkan
bagian dalam (endodermis) memiliki lapisan yang keras yang melindungi struktur bagian dalam
benih.

Gambar 1. Buah dan bagian benih mahang yang terbungkus kulit bagian luar

Keterangan gambar:
kotiledon

endodermis

eksodermis

Titik tumbuh (radikal dan


plumba)

Gambar 2. Struktur benih mahang yang memperlihatkan titik tumbuh (radikal dan plumula)

30
Aspek Perbenihan

Struktur benih mahang memperlihatkan posisi titik tumbuh yang memiliki radikal dan
plumula, dikelilingi oleh kotiledon sebagai cadangan makanan, tetapi secara morfologi dari luar
tidak terlihat secara pasti posisi titik tumbuh berada. Kondisi ini menyebabkan dalam
penaburan dapat dilakukan dengan arah penempatan yang bebas. Ciri khusus seperti ini
mungkin banyak ditemukan pada benih berukuran kecil, tetapi berbeda pada beberapa benih
legume dimana posisi titik tumbuh pada morfologi benih lebih terlihat.

Gambar 3. Perkembangan pertumbuhan struktur benih mahang hingga membentuk kecambah


Tipe kecambah mahang (Gambar 3) memperlihatkan bagian kotiledon terangkat ke atas
permukaan media yang disebut epigeal. Pertumbuhan struktur benih seperti ini menunjukkan
apabila benih ditabur tidak boleh terlalu dalam di media, tetapi cukup benih ditutup selapis
tipis media 2 – 3 mm agar energi benih untuk tumbuh menjadi kecambah tidak terhambat oleh
lapisan media yang dapat menyebabkan benih lambat berkecambah, tumbuh tidak normal dan
mengalami kematian karena kehabisan energi untuk tumbuh.
Ukuran buah mahang besar atau skubung (Macaranga gigantea) bervariasi ditunjukkan
oleh ukuran panjang 5,29-7,91 cm dan diameter lonjong bervariasi 7,11-9,64 cm. Berat 1.000
butir mahang besar = 15,148 gram dan kadar air 11,6%, sedangkan berat 1000 butir mahang
kecil (Macaranga hypoleuca) = 7,402 gram dan kadar air 9,4%. Komposisi kandungan biokimia
benih skubung rata-rata untuk kadar karbohidrat sebesar 7,10%, kadar lemak 13,75% dan
protein sebesar 8,91%.
Sebaran data kadar air menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata dari berbagai
metoda pengukuran kadar air (Tabel 1), sehingga semua metoda pengukuran dapat
dipergunakan.
Tabel 1. Nilai F-hitung berbagai perlakuan untuk parameter kadar air benih mahang
Jumlah kuadrat Rata-rata kuadrat Nilai F-hit
Antar kelompok 2,795 0,349 0,90 ns
Dalam kelompok 7,00 0,389
Total 9,79
Keterangan: ns = tidak berpengaruh nyata
** = berpengaruh sangat nyata (99%)
* = berpengaruh nyata (95%)
Penentuan metoda pengukuran kadar air dilakukan dengan metoda oven temperatur
tetap pada temperatur 103 + 2°C selama 16, 18, 20, 22, 24 jam dan 130°C selama 1, 2, 3, 4 jam
(ISTA, 2006). Hasil pengukuran kadar air menunjukkan data tidak tersebar normal dimana

31
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

signifikansi 0,140 lebih besar dari taraf kepercayaan 0,05dan jika dilihat sebaran data bervariasi
24,38-25,54%.
Tabel 2. Sidik ragam kadar air dan daya berkecambah benih mahang selama penyimpanan
Jumlah kuadrat Rata-rata kuadrat Nilai F-hit
Kadar air 171,404 34,281 71,354 **
Daya berkecambah 2123,61 424,72 1,484 ns
Keterangan: ns = tidak berpengaruh nyata
** = berpengaruh sangat nyata (99%)
* = berpengaruh nyata (95%)
Perlakuan penyimpanan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap parameter kadar
air (signifikansi <0,05) sedangkan terhadap parameter daya berkecambah tidak menunjukkan
pengaruh yang nyata (signifikansi >0,05). Untuk melihat seberapa jauh penurunan kadar air dan
pengaruhnya terhadap daya berkecambah, benih mahang di keringanginkan dalam ruang
kamar (Tabel 3).
Tabel 3. Besarnya kadar air dan daya berkecambah mahang setelah pengeringan
Lama benih Besarnya kadar air (%) Daya berkecambah (%)
dikeringanginkan
0 hari 18,60 a 48,30
1 hari 13,45 b 60,00
2 hari 11,45 c 43,30
3 hari 11,21 c 26,67
4 hari 9,74 d 31,67
5 hari 9,55 d 41,67
Fluktuasi kadar air mempengaruhi besarnya daya berkecambah, sehingga disini terlihat
peranan kadar air yang lebih dominan dalam mempengaruhi mutu benih yang dicerminkan oleh
besarnya nilai daya berkecambah
Kadar air benih kritis benih mahang bervariasi diantara 11,45% dan 13,45% ketika daya
berkecambah diatas 50%, karena benih dengan daya berkecambah dibawah 50% telah
mengalami kerusakan fisiologi yag tidak dapat diperbaiki (Schmidt, 2002).
Idenfikasi hama dan penyakit yang terbawa benih menunjukkan terdapatnya beberapa
jenis cendawan/jamur pada benih mahang. Jenis cendawan yang terbawa benih mahang kecil
(M. hypoleuca) sebelum disimpan terdapat 3 genus yaitu Fusariumsp.,Aspergillus sp., dan
Botryodiplodia theobromae sedangkan pada benih yang disimpan terdapat 4 genus yaitu
Fusariumsp., Aspergillus sp., Botryodiplodia theobromae dan Rhizopussp (Tabel 4).Keberadaan
cendawan tersebut dapat menyebabkan viabilitas benih menjadi rendah.
Sebelum disimpan, cendawan yang menginfeksi benih sebanyak 3 jenis antara
lainFusariumsp. (22%), Aspergillussp. (27%) dan Botryodiplodiasp. (3%). Pada penyimpanan
benih mahang kecil umur 1 sampai 3 bulan persentase infeksi Fusariumsp. menurun sedangkan
jenis Aspergillus sp. meningkat.Pada umur simpan 3 bulan terdapat cendawan Rhizopussp.
Cendawan Fusariumsp. merupakan cendawan lapang sedangkan cendawan Aspergillussp. dan
Rhizopussp. merupakan cendawan gudang.
Pada umur simpan 3 bulan benih yang disimpan di kulkas, persentase infeksi cendawan
lebih sedikit dibanding benih yang disimpan di kamar terutama untuk jenis Aspergillussp. Suhu
dan kelembaban kulkas dapat menghambat perkembangan cendawan.

32
Aspek Perbenihan

Tabel 4. Persentase Infeksi Cendawan pada Benih Mahang Kecil pada Berbagai
Perlakuan dan Umur Simpan
Persentase infeksi cendawan (%)
Jenis
Sebelum 1 bulan 2 bulan 3 bulan
cendawan
disimpan A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4
Fusarium sp. 22 74 8 36 78 11 5 10 77 1
Aspergillus sp. 27 19 1 14 17 30 1 1 3 22 55 56 96
Botryodiplodia 3 1
Rhizopus sp. 5 4
Keterangan: A1: kulkas A2 : benomil A3: kunyit A4: kamar
Pada perlakuan benih mahang kecil dengan menggunakan fungisida benomil ditemukan
persentase infeksi cendawan paling sedikit. Persentase infeksi cendawan pada benih yang
diberi ekstrak kunyit relatif lebih sedikit dibanding benih yang disimpan di kulkas dan di kamar.
Persentase infeksi cendawan pada benih yang disimpan di kamar paling tinggi.Terlihat bahwa
perlakuan benih yang dapat mengurangi persentase infeksi cendawan yaitu benih diberi
fungisida benomil atau ekstrak kunyit dan disimpan dalam kulkas.
Benih yang diberi ekstrak kunyit dapat mengurangi persentase infeksi cendawan.Kunyit
mengandung senyawa yang berkhasiat obat, yang disebut kurkuminoid yang terdiri dari
kurkumin, desmetoksikumin dan bisdesmetoksikurkumin dan zat-zat manfaat lainnya.
Kandungan utama kunyit adalah kurkumin dan minyak atsiri, yang terdiri dari flavonoid,
terpenoid dan fenolik (Rasdianaet al., 2014) yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama
dan penyakit.
Jenis cendawan yang terbawa benih mahang besar (M. gigantea) sebelum disimpan
terdapat 3 genus yaitu Fusariumsp., Aspergillussp., dan Penicilliumsp. sedangkan pada benih
yang disimpan terdapat 8 genus yaitu Fusariumsp., Aspergillussp., Botryodiplodia theobromae,
Penicilliumsp., Curvulariasp., Pythiumsp. dan Cylindrocladiumsp.
Tabel 5. Persentase Infeksi Cendawan pada Benih Mahang Besar pada BerbagaiPerlakuan
dan Umur Simpan
Persentase infeksi cendawan (%)
Jenis cendawan Sebelum 1 bulan 2 bulan 3 bulan
disimpan A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4
Fusarium sp. 64 51 19 13 81 10 28 6 15 5
Aspergillus sp. 21 11 1 3 30 45 36 70 32 29 80
Penicillium sp. 12 5 2 6 4 4 9 2
Cylindrocladium
sp. 1 1
Curvularia sp. 1 1 1
Pythium sp. 1
Botryodiplodia 1 2
Rhizopus sp. 17 27 17
Keterangan : A1: kulkas A2 : benomil A3: kunyit A4: kamar

33
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Sebelum disimpan, cendawan yang menginfeksi benih sebanyak 3 jenis yaitu Fusarium
sp. (64%), Aspergillussp. (21%) dan Penicillium sp. (12%).
Pada penyimpanan benih mahang besar sampai umur 1 sampai 3 bulan persentase
infeksi Fusariumsp. menurun sedangkan jenis Aspergillus sp. meningkat. Pada umur simpan 3
bulan terdapat cendawanRhizopussp. yang merupakan cendawan gudang.
Pada umur simpan 3 bulan benih yang disimpan di kulkas, persentase infeksi cendawan
lebih sedikit dibanding benih yang disimpan di kamar terutama untuk jenis Aspergillussp.
B. Pembahasan
Kadar air benih mahang sebelum pengeringan 18,60% mencerminkan kadar air yang
cukup tinggi, sehingga dapat digolongkan sebagai benih semi rekalsitran. Tetapi ini merupakan
kadar air benih mahang yang telah mengalami penurunan, karena pada pengukuran terhadap
buah mahang kecil (M. hypoleuca) yang segar diperoleh kadar air buah sebesar 63,0%
sedangkan kadar air benih mahang kecil 43,4%. Penurunan kadarair benih setelah pengeringan
1-5 hari hingga mencapai 9-13% menunjukkan besar daya berkecambah bervariasi 30-50%.
Menurut Schmidt (2002) benih mahang dengan daya berkecambah awal kurang dari 50%,
sebaiknya tidak dilakukan penyimpanan karena kondisi benih sudah mengalami kerusakan yang
permanen. Benih mahang jika diperlukan untuk penyimpanan memerlukan kadar air yang lebih
tinggi dan kondisi benih yang segar sehingga fluktuasi kadar air tidak mempengaruhi daya
berkecambah. Penentuan masak fisiologi sangat penting untuk mahang ketika warna kulit buah
masih hijau dan kulit benih sudah berwarna hitam dan keras, maka kondisi ini merupakan salah
satu indikator kemasakan, karena jika kulit buah berubah menjadi coklat, benih mudah lepas
dari buah (seed dispersal).
Benih mahang yang dikumpulkan juga memperlihatkan kadar air yang beragam, seperti
dari buah mahang yang berwarna hijau tanpa ekstraksi basah (38,70%), buah yang telah
merekah tanpa ekstraksi basah (23,80%) dan buah yang merekah dengan ekstraksi basah
(10,65%).Ini menunjukkan benih mahang memiliki kadar air benih bervariasi minimal di atas
20%, sehingga dapat dikategorikan sebagai benih semi rekalsitran.
Hasil penelitian menunjukkan pengukuran kadar air benih mahang dapat dilakukan
dengan metoda oven temperatur tetap pada suhu 103 + 2°C selama 16, 18, 20, 22, 24 jam dan
130°C selama 1, 2, 3, 4 jam (ISTA, 2006). Kadar air benih mahang bervariasi 24,38-25,54%. Nilai
kadar air benih menumpuk pada data sebaran sehingga tidak terlihat adanya variasi. Apakah ini
membuktikan bahwa kandungan air benih mahang mudah menguap memerlukan penelitian
lebih lanjut.
Hasil identifikasi hama dan penyakit menunjukkan Fusariumsp. dan Aspergillus sp. banyak
ditemukan pada benih mahang kecil (Macaranga hypoleuca), sedangkan Botryoplodia dan
Rhizopus sp. ditemukan dalam jumlah kecil setelah penyimpanan 2-3 bulan (1% dan 5%).
Penyimpanan di ruang kamar menunjukkan persentase infeksi yang terbesar dari Fusarium sp.
pada periode simpan 1-2 bulan (77% dan 78%), sedangkan Aspergillussp. pada penyimpanan 1-
3 bulan ditemukan persentase paling tinggi setelah disimpan di kamar (19% dan 30%),
kemudian pada penyimpanan 3 bulan persentase paling tinggi ditemukan pada penyimpanan di
kamar (96%).
Persentase infeksi cendawan pada benih mahang besar (Macaranga gigantea) didominasi
oleh Fusarium sp., Aspergillussp., Penicilliumsp. dan Rhizopussp. dengan persentase tertinggi
ditemukan pada penyimpanan di ruang kamar selama 1 bulan untuk Fusariumsp. (81%), dan
penyimpanan 2-3 bulan untuk Aspergillus sp (70% dan 80%). Penicillium sp. ditemukan dalam
jumlah kecil pada periode simpan 1-3 bulan (6% dan 9%), sedangkan Rhizopus sp. pada
penyimpanan 3 bulan (17% dan 27%). Cendawan atau jamur yang ditemukan pada benih

34
Aspek Perbenihan

terentang didominasi oleh Aspergillus sp.(96%), kemudian Penicillium sp.(12%) dan Fusarium
sp.(2%).
Cendawan yang ditemukan pada benih mahang adalah Aspergillus sp., Penicillium sp. dan
Rhizopus sp. yang merupakan cendawan gudang.Cendawan tersebut dapat merusak benih,
menyebabkan warna benih menjadi berubah, busuk yang pada akhirnya dapat menurunkan
viabilitas benih.Semakin lama disimpan persentase infeksi ketiga jenis cendawan tersebut
semakin banyak.Rhizopus sp. merupakan gudang yang dapat merusak benih sehingga dapat
menurunkan viabilitas benih.Selain itu cendawan ini dapat menyebabkan busuk
buah.Cendawan Penicillium sp. merupakan genus yang bersifat saprofitik dan dapat bermanfaat
dalam bidang farmasi karena mampu menghasilkan antibiotik penisilin, tetapi cendawan ini
juga dapat menyerbu inang yang hidup lalu tumbuh dengan subur sebagai parasit dan
menimbulkan penyakit pada tumbuhan, hewan dan manusia (Sastrahidayat dan Rocdjatun,
1992).Cendawan Aspergillus sp. mempunyai banyak inang (polifag) dan mempunyai daya
adaptasi yang luas (kosmopolitan). Menurut Semangun (2000), Aspergillus sp. sangat saprofitik
sehingga dapat memperlemah benih ketika ditanam. Benih yang terinfeksi Aspergillus sp. dapat
menjadi rentan terhadap serangan patogen didalam tanah sehingga kematian bibit bisa
disebabkan oleh patogen dalam tanah tersebut.Menurut Bonner et al. (1994) dalam Schmidt
(2002) Aspergillus sp. adalah genus cendawan yang umum dijumpai pada benih yang disimpan
dan aktif pada kelembaban rendah sedangkan Penicillium sp. lebih banyak dijumpai di daerah
temperate daripada di daerah tropis dan aktif pada kelembaban 85-95%.
Infeksi cendawan terhadap benih mahang kecil dan besar meningkat setelah benih
disimpan, ini menunjukkan menurunnya viabilitas benih selama disimpan merupakan
kombinasi dari kondisi fisiologi benih yang mengalami kerusakan dan gangguan dari infeksi
cendawan.Secara umum serangan cendawan terjadi ketika ruangan lembab dan panas.
Penyimpanan terhadap benih mahang dengan kondisikadar air tinggi (di atas 20%) akan
memiliki resiko terhadap bahaya serangan hama dan penyakit, terutama apabila disimpan di
ruang kamar dibandingkan dengan di ruang AC yang lebih dingin dan tidak terlalu lembab.
Cendawan dapat berupa patogen atau saprofit salah satunya adalah cendawan
Fusarium sp. Cendawan ini dapat bertahan pada benih dalam kondisi dingin atau
kering.Cendawan Fusarium sp. dapat mengakibatkan warna benih berubah, perkecambahan
benih terhambat, dan dapat menyebabkan penyakit dipersemaian atau pada tanaman dewasa
di lapangan.Selama biji atau benih dalam penyimpanan, aktivitas cendawan tersebut terhenti
(istirahat) karena syarat untuk pertumbuhannya tidak terpenuhi.Cendawan Fusarium sp.
merupakan salah satu jenis cendawan terbawa benih yang menyebabkan kematian pada
kecambah.Cendawan ini selain bersifat polifag dan kosmopolitan juga dapat membentuk
struktur bertahan yaitu membentuk klamidospora (spora yang berdinding tebal).
Beberapa spesies Fusarium sp. menghasilkan toksin asam fusaric dan vasinfuscarin yang
berperan dalam peracunan jaringan pembuluh, sehingga tampak gejala layu pada
tanaman.Fusarium sp. merupakan salah satu jenis cendawan yang menyebabkan penyakit
semai pada biji yang sedang berkecambah, sehingga kecambah membusuk dan tidak dapat
muncul ke permukaan tanah.Cendawan ini dapat menyerang pangkal batang dan akar semai
atau tanaman yang masih sangat muda, menyebabkan bagian batang dan akar membusuk dan
tanaman rebah.Penyakit ini juga dapat timbul pada biji yang belum muncul dari permukaan
tanah.Pemencaran patogen ini terjadi karena terbawa dari dalam tanah atau bahan organik
(Semangun, 2000).Fusarium sp. merupakan salah satu jenis jamur yang menyebabkan penyakit
semai pada biji yang sedang berkecambah, sehingga kecambah membusuk dan tidak dapat
muncul ke permukaan tanah.Jamur ini dapat menyerang pangkal batang dan akar semai atau

35
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

tanaman yang masih sangat muda, menyebabkan bagian batang dan akar membusuk dan
tanaman rebah.Penyakit ini juga dapat timbul pada biji yang belum muncul dari permukaan
tanah.Pemencaran patogen ini terjadi karena terbawa dari dalam tanah atau bahan organik
(Semangun, 2000).
Selain itu juga ditemukan cendawan Botryodiplodia, Curvularia, Cylindrocladium dan
Pythium dalam jumlah kecil. Fusarium, Botryodiplodia, Curvularia, Cylindrocladium dan Pythium
merupakan cendawan lapangan. Semakin lama disimpan persentase infeksi cendawan lapang
semakin menurun. Tetapi beberapa jenis cendawan dorman sehingga dapat terbawa sampai
tanaman dewasa. Dalam jangka waktu panjang cendawan di lapang dapat bertahan pada sisa
tanaman dan gulma. Cendawan Cylindrocladium dapat menyebabkan penyakit rebah
kecambah. Selain itu cendawan ini dapat menyebabkan penyakit pada daun. Botryodiplodia,
merupakan cendawan yang dapat menyebabkan bercak daun.
Bercak daun dimulai dari ujung daun. Becak-becak kecil dan transparan dan mudah
dilihat dengan penembusan sinar matahari. Bagian tengah dari bercak menjadi kelabu atau
coklat gelap dengan banyak titik hitam yang merupakan tubuh buah (piknidia) dari jamur
tersebut. Pythium sp. bersifat polifag terutama menyerang inang yang masih muda (semai)
sehingga menyebabkan penyakit rebah kecambah. Pythiumsp.adalah patogen tumbuhan yang
menjadi penyebab penyakit busuk akar pada tumbuhan. Serangan Pythium sp. selalu dimulai
dari ujung akar (akar pokok dan akar lateral). Serangan selalu dimulai dari bagian tanaman di
dalam tanah. Serangan Pythium sp. menyebabkan tanaman menjadi layu dan kulit akar busuk
basah. Disamping itu, daun atau tunas-tunas dapat terjangkit dengan gejala busuk coklat.
Curvularia sp. menyebabkan penyakit bercak daun. Mula-mula patogen ini menyerang daun
yang belum membuka atau dua daun yang termuda yang sudah membuka.
Gejala pertama adanya becak bulat kecil, berwarna kuning tembus cahaya, yang dapat
dilihat pada kedua sisi permukaan daun. Bercak kecil menjadi membesar tetapi tetap bulat dan
warnanya sedikit demi sedikit berubah jadi coklat muda. Pusat becak-becak jadi mengendap.
Bagian bercak menjadi coklat tua dikelilingi halo berwarna jingga kekuningan. Dengan infeksi
berat daun paling tua akan mengering, menjadi keriting rapuh, namun becak tetap berwarna
coklat tua. Penyakit ini dapat menghambat pertumbuhan bibit tetapi tidak mematikan bibit.
Fusarium sp. dan Aspergillus sp. merupakan dua cendawan yang banyak ditemukan
pada benih mahang. Bagaimana pengaruhnya terhadap benih secara jelas diperlukan penelitian
yang detail dengan teknik inokulasi untuk membuktikan pengaruhnya secara khusus dan tidak
terkontaminasi oleh cendawan-cendawan lain. Tindakan pencegahan infeksi cendawan
terhadap benih dilakukan dengan memberi fungisida benomil atau ekstrak kunyit dan disimpan
dalam kulkas.Perlakuan ini dibuktikan mampu menekan infeksi cendawan terhadap benih
mahang.
Benomil dapat menghambat perkembangan cendawan karena senyawa ini merupakan
senyawa kimia yang bersifat sistemik untuk preventif dan kuratif sehingga dapat mematikan
cendawan baik yang berada pada kulit benih maupun bagian dalam benih (Amini and sidovich,
2010). Mekanisme kerja fungisida sistemik yaitu netralisasi enzim dan toksin yang terkait dalam
invasi dan kolonisasi cendawan; akumulasi selektif fungisida karena permeabilitas dinding sel
cendawan menjadi lebih besar; terjadinya kerusakan membran semipermeabel dan struktur
infeksi; penghambatan sistem enzim cendawan sehingga mengganggu terbentuknya tabung
kecambah, apresorium dan haustorium; terjadinya chelat dan presipitasi zat kimia; terjadinya
antimetabolisme; mempengaruhi sintesa asam nukleat dan protein (Triharso, 2004).

36
Aspek Perbenihan

Mekanisme interaksi senyawa terpen yang terkandung dalam kunyit dengan mikroba
diduga melibatkan perusakan membran sel mikroba oleh senyawa lipofilik (Arif, 2009 dalam
Darmawan dan Anggraeni, 2012).

IV. KESIMPULAN
Buah mahang masak fisiologi ditandai oleh warna kulit buah hijau hingga hijau
kecoklatan dan kulit benih berwarna hitam dan keras. Pemanenan yang terlambat dilakukan
menyebabkan benih terlepas dari buahnya dan tersebar. Benih mahang terbungkus dalam buah
yang mempunyai 4 bagian (lokus). Benih dibungkus oleh dua lapisan luar (eksodermis) yang
tipis dan lebih mudah terkelupas, sedangkan bagian dalam (endodermis) memiliki lapisan yang
keras yang melindungi struktur bagian dalam benih. Struktur benih mahang memperlihatkan
posisi titik tumbuh yang memiliki radikal dan plumula, dikelilingi oleh kotiledon sebagai
cadangan makanan, tetapi secara morfologi dari luar tidak terlihat secara pasti posisi titik
tumbuh berada. Kondisi ini menyebabkan dalam penaburan dapat dilakukan dengan arah
penempatan yang bebas. Benih mahang memiliki karakter semi rekalsitran dengan kadar air
awal lebih dari 20% dengan kadar air kritis bervariasi 9-12% dan daya berkecambah 30-40%.
Benih jenis ini memiliki kulit yang keras sehingga dapat mempertahankan kadar air dan
viabilitasnya dengan baik. Tipe kecambah mahang adalah epigeal sehingga dalam
penaburannya posisi benih harus dekat dengan permukaan media tabor. Pengukuran kadar air
benih dapat dilakukan dengan metoda oven temperatur tetap pada temperatur 103+2°C
selama 16, 18, 20, 22, 24 jam dan 130°C selama 1, 2, 3, 4 jam. Cendawan yang banyak
ditemukan pada benih mahang adalah Aspergillus sp., Penicillium sp. dan Rhizopus sp. yang
merupakan cendawan gudang. Sedangkan cendawan Fusarium, Botryodiplodia, Curvularia,
Cylindrocladium dan Pythium yang merupakan cendawan lapang ditemukan dalam jumlah kecil.
Pemberian fungisida benomil atau ekstrak kunyit dan menyimpan benih dalam kulkas, mampu
menekan infeksi cendawan terhadap benih mahang.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada tim penyunting khususnya Dr. Ir. Yulianti
Bramasto, M.Si, atas koreksi dan semua saran perbaikan untuk tulisan ini. Semoga tulisan ini
bermanfaat untuk penelitian dan pengembangan selanjutnya, dan aplikasi budidaya kayu jenis-
jenis mahang di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA
Amini, J., D.F. Sidovich. 2010. The Effects of Fungicides on Fusarium oxysporum S.sp. Lycopersici
Associated with Fusarium Wilt of Tomato. Journal of Plant Ptotection Research Vol. 50,
No. 2: 172 – 178.
Barnett, H.L and B.B. Hunter. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Fourth Edition.The
American Phytopathological Society.
Borror, D.J., C.A. Triplehorn and N.F. Johnson. 1989. An introduction to the study of insect.
Sixth edition.Harcourth Brace College Publishers. Florida. USA.

37
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Darmawan, U. W. dan I. Anggraeni. 2012. Pengaruh Ekstrak Rimpang Kunyit (Curcuma


domestica Val), Lengkuas (Languas galangal L.) dan Kencur (Kaempfreia galangal L.)
terhadap Pythium sp. secara In-vitro. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 9 (3): 135-140.
Davies, S.J. and P.S. Ashton. 1999. Phenology and fecundity in 11 sympatric pioneer species of
Macaranga (Euphorbiaceae) in Borneo. American Journal of Botany 86 (12): 1786 –
1795.
http://www.bkp-pangkalpinang.deptan.go.id
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II.Badan Litbang Kehutanan, Departemen
Kehutanan. Jakarta. (terjemahan).
ISTA. 2006. International Rules for Seed Testing: Rules 2006. International Seed Testing
Association (ISTA). Zurich, Switzerland.
Mindawati, N. 2009. Sintesa UKP 2. Silvikultur hutan tanaman penghasil kayu pulp.Jakarta, 29 –
30 Oktober 2009. (tidak diterbitkan).
Rahmanto, G.H. 2000.Laporan Tahunan penelitian sifat, kegunaan dan penyempurnaan sifat
kayu. Balai Penelitian Kehutanan Samarinda. Samarinda. (tidak diterbitkan).
Rasdiana, Hasanuddin Ishak, Maming. Ekstrak Kuyit Putih (Curcuma petiolata roxb.) dan
KunyitKuning (Curcuma longa) terhadap Mortalits Larva Anopheles sp. Laporan
Penelitian. Program Studi kesehatan Masyarakat. Universitas Hasanudin.
Schmidt,L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis.Kerjasama
Danida Forest Seed Centre dan Indonesia Forest Seed Project.Direktorat Jenderal
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Jakarta. (terjemahan)
Sastrahidayat, Ika Rocdjatun., 1992.”Ilmu Penyakit Tumbuhan”Fakultas Pertanian” Universitas
Brawijaya.usana offset. Surabaya. Hlm 65-66
Semangun, H.2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada
University Press.Yogyakarta.
Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University
Press.Yogyakarta.
Soesef, M.S.M, Hong, L.T., Prawirohatmodjo, S. 1998. Plant resources of South – East Asia 5 (3):
Timber trees: lesser known timbers. Prosea. Bogor, Indonesia.
Triharso.2004. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada University Press.

38
Aspek Perbenihan

PERAN PERBENIHAN DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN PENGHASIL ENERGI DAN


OBAT-OBATAN DI PROVINSI LAMPUNG

Kurniawati P. Putri, Dida Syamsuwida, Rina Kurniaty, Eliya Suita dan Dharmawati FD
Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

ABSTRAK

Komoditas hasil hutan bukan kayu memegang peranan sangat strategis untuk ketahanan energi, sumber
bahan baku obat-obatan bahkan sumber pemasukan negara. Potensi arang kayu dari hutan di wilayah
Provinsi Lampung tahun 2006 mencapai 30.347 ton, sedangkan potensi tumbuhan penghasil obat
adalah sebanyak 122 jenis yang berasal dari family Arecaceae, Graminea, Malvaceae, Piperaceae dan
Zingiberaceae. Pengembangan sumber daya hutan berbasis energi dan obat di Provinsi Lampung
terkendala oleh tidak ada jaminan kesinambungan bahan baku, karena masih mengandalkan tegakan
alam. Pengembangan komoditas energi dan obat perlu didukung budidaya yang tepat dan salah satu
aspek yang perlu diperhatikan adalah teknologi perbenihan. Ketepatan waktu pengunduhan, teknik
penanganan benih yang sesuai dengan karakter masing-masing benih serta pembibitan yang tepat dan
berasal dari sumber benih yang berkualitas akan meningkatkan perolehan hasil baik terhadap
perkecambahan, pembibitan maupun kualitas tegakan. Teknik perbenihan untuk beberapa jenis
tanaman potensial penghasil energi dan obat telah dihasilkan oleh Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan, yang selanjutnya diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan dan
peningkatan produktivitas hutan tanaman dan hutan rakyat berbasis energi dan obat khususnya yang
ada di Provinsi Lampung.
Kata kunci: energi, hasil hutan bukan kayu, hutan rakyat, obat-obatan, perbenihan

I. PENDAHULUAN
Dewasa ini terdapat kecenderungan perubahan paradigma peran dan manfaat hutan
yaitu hutan tidak hanya sebagai penghasil kayu tetapi juga bukan kayu.Perubahan itulah yang
selanjutnya mempengaruhi pola pemanfaatan sumber daya hutan.Saat ini kebijakan
pemerintah diantaranya di Provinsi Lampung adalah peningkatan hasil hutan bukan kayudemi
tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.Hasil hutan bukan kayu potensial di Provinsi
Lampung adalah arang kayu disamping damar mata kucing, gaharu dan rotan. Badan
Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Lampung mencatat produksi
arang kayu dari hutan di wilayah Provinsi Lampung pada tahun 2006 mencapai 30.347 ton.
Arang kayu merupakan bahan bakar berbasis biomassa yang sangat berarti dalam mengatasi
permasalahan krisis energi nasional di masa mendatang.
Selain sumber bahan bakar biomassa, hutan juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber
bahan baku energi nabati lainnya yaitu biodiesel. Sasaran pemanfaatan bahan bakar nabati
periode 2015-2019 adalah produksi biodiesel sebesar 4,3–10 Juta KL (RPJMN 2015-2019, 2015).
Pemanfaatan jenis-jenis tanaman hutan sebagai bahan bakar campuran bahan bakar minyak
dalam biodiesel merupakan salah satu bentuk diversifikasi energi untuk mencegah terjadinya
ketergantungan impor energi serta meningkatkan ketahanan energi nasional.Kondisi tersebut
disebabkan keterbatasan sumber daya energi fosil yang bersifat tidak dapat diperbaharui
(unrenewable). Beberapa jenis tanaman hutan potensial sebagai bahan baku biomassa dan
biodiesel antara lain kaliandra, lamtoro, weru, pilang, akor, turi, malapari dan nyamplung.
Hutan alam tropika Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman hayati tumbuhan
obat. Dewasa ini demand biofarmaka lokal cukup meningkat pesat yang disebabkan semakin

39
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

berkembangnya industri obat-obatan, jamu dan kosmetika. Kondisi tersebut merupakan


peluang bagi Indonesia untuk ikut berperan karena cukup banyak jenis tanaman hutan yang
berpotensi sebagai sumber bahan baku untuk biofarmaka. Zuhud (2008) melaporkan bahwa
sampai tahun 2001 terdapat sedikitnya 2.039 spesies tumbuhan obat yang berasal dari
berbagai tipe ekosistem hutan tropika di Indonesia. Di Provinsi Lampung sedikitnya terdapat
122 jenis tumbuhan obat yang digunakan masyarakat secara tradisional yang berasal dari famili
Arecaceae, Graminea, Malvaceae, Piperaceae dan Zingiberaceae (Utami dan Asmaliyah, 2010).
Jenis tanaman hutan potensial dan berpeluang untuk dikembangkan secara ekspor diantaranya
adalah kilemo (Litsea cubeba).Tanaman obat potensial lainnya adalah pulai (Alstonia scholaris)
yang saat ini sudah tergolong langka khususnya yang berada di kawasan hutan
Dipterocarpaceae di daerah Krui Lampung Barat (Wardah, 2005).
Komoditas hasil hutan bukan kayu memegang peranan sangat strategis untuk
ketahanan energi, sumber bahan baku obat-obatan bahkan sumber pemasukan negara. Namun
sampai saat ini pemanfaatan sumber daya hutan berbasis energi dan obat dirasakan masih
belum dapat berkembang secara optimal. Keadaan tersebut disebabkan pemanenan yang
dilakukan masih mengandalkan tegakan alam, sehingga tidak ada kesinambungan bahan baku.
Langkah yang paling strategis adalah perencanaan pembangunan hutan tanaman atau hutan
rakyat berbasis energi dan obat.Keberhasilan program tersebut tentunya harus didukung
ketersediaan benih bermutu. Benih bermutu merupakan hasil dari serangkaian proses kegiatan
mulai dari pengunduhan, penangaan benih dan pembibitan yang tepat dan berasal dari sumber
benih yang berkualitas. Teknik penanganan benih yang tepat akan meningkatkan perolehan
hasil baik terhadap perkecambahan, pembibitan maupun kualitas tegakan.
Dalam rangka mendukung terwujudnya pembangunan hutan tanaman dan hutan rakyat
sebagai sumber bahan baku energi dan obat dengan produktivitas tinggi, maka disusun
makalah yang berisikan informasi hasil-hasil penelitian perbenihan beberapa jenis tanaman
hutan penghasil energi yaitu akor (Acacia auriculiformis), kaliandra (Calliandra calothyrsus),
lamtoro (Leucaena leucocephala), pilang (Acacia leucophloea), turi (Sesbania grandiflora),weru
(Albizia procera), malapari (Pongamia pinnata), nyamplung (Callophylum inophyllum) dan
penghasil obat yaitu pulai (Alstonia scholaris), kilemo (Litsea cubeba) dan kemenyan (Styrax
benzoin).

II. POTENSI JENIS -JENIS TANAMAN PENGHASIL ENERGI DAN OBAT


Banyak jenis tanaman hutan yang dapat dimanfaatkan untuk sumber bahan kayu energi
biomassa. Tingkat keberhasilan pengembangan sumber energi biomassa sangat ditentukan oleh
ketepatan pemilihan jenis pohon yang sesuai dengan tempat tumbuh dan karakteristik pohon
itu sendiri.Kondisi tempat tumbuh yang perlu dipertimbangkan adalah ketinggian tempat
tumbuh, jenis tanah dan iklim, sedangkan karakterisik pohon yang penting untuk diperhatikan
adalah sifat pertumbuhan dan rotasi tebang, riap, sistem regenerasi dan nilai kalor (Rostiwati et
al., 2006).
Berdasarkan pertimbangan sifat pertumbuhan yang cepat, riap yang tinggi, dapat
tumbuh dengan baik pada kondisi marjinal, menghasilkan terubusan yang banyak, nilai kalor
tinggi serta tidak mengeluarkan asap atau gas beracun, maka Ditjen Listrik dan Energi Baru
telah merekomendasikan 70 jenis tanamanan hutan yang potensial untuk sumber energi
biomassa (Rostiwati et al., 2006). Beberapa jenis tanaman hutan tersebut diantaranya adalah
akor (A. auriculiformis), pilang (A. leucophloea), weru (A. procera), kaliandra (C.callothyrsus),

40
Aspek Perbenihan

Turi (S. grandiflora) danlamtoro (L.leucocephala).Kondisi tempat tumbuh dan karakteristik


pohon dari keenam jenis tanaman tersebut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik enam jenis tanaman hutan penghasil kayu energi biomassa
Jenis Ketinggian Curah Riap Den- Nilai Sifat arang: Produksi
tanaman tempat hujan (m3/h sitas kalor Nilai kalor Energi
(m dpl) 1) (mm/th) 1) a/th ) (BJ) 1) (cal/g) 2) (cal/g) (GJ/ha/th)
1) 1)

Akor (A. auriculiformis) 0-500 1.300-1.700 17.0 0,70 4.907 7.322 3) 235,6

Pilang (A. leucophloea) 1.600-2.400 1.000-3.000 20.5 0,70 5.218 7.262 3) 258,3

Weru (A. procera) 0-1.700 1.000-4.500 25.0 0,67 4.870 7.382 3) 301,5

Kaliandra (C. callothyrsus) 0-1.000 1.300-1.550 32,0 0,67 4.617 7.510 4) 385,9

Turi (S. grandiflora) 0-700 300-1.000 15.0 0.46 4.610 7.4714) 124,2

Lamtorogung (L. 0-1.700 0-3.500 21.0 0,82 4.464 7.271 4) 310,0


leucocephala)
Sumber: 1) Dirjen Listrik dan Energi Baru (1991); 2) Alrasyid (1981); 3) Hartoyo (1976); Syachri (1982)
Kaliandra dan lamtoro merupakan jenis tumbuhan potensial untuk bahan bakar dengan
daya trubusan dan nilai kalornya yang tinggi.Jenis tanaman hutan tersebut juga banyak
digunakan untuk kegiatan rehabilitasi dan reboisasi karena kemampuannya untuk dapat
tumbuh di tempat-tempat kritis dan marjinal. Alternatif lainnya adalah pohon turi dengan nilai
kalor (4.610 cal/g) yang relatif lebih tinggi dibanding lamtoro (4.464 cal/g), namun kemampuan
trubusnya yang rendah. Berdasarkan nilai kalor yang dihasilkannya, akor, pilang dan weru
cukup potensial sebagai sumber bahan energi untuk tujuan komersial.Hal ini didasarkan bahwa
nilai kalor yang dikehendaki untuk tujuan komersial adalah lebih dari 4.500 cal/g (Hendarti et
al., 2014).
Secara umum kisaran nilai kalor dari keenam jenis tanaman tersebut 4.464 cal/g–5.218
cal/g. Untuk meningkatkan nilai komersialnya, kayu bakar dirubah dalam bentuk arang kayu
dengan nilai kalor yang dihasilkan berkisar 7.271 cal/g-7.510 cal/g. Arang kayu adalah residu
yang sebagian besar komponennya adalah karbon karena terjadi penguraian kayu akibat
perlakuan panas (Rostiwati et al., 2006).
Kebutuhan solar dalam negeri pada tahun 2011 tercatat sebesar 21,2 juta kilo liter,
sedangkan produksi solar domestik hanya mencapai 18,34 juta kilo liter (Ika, 2012). Data
tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan energi nasional jenis solar hanya sebagian saja yang
dapat terpenuhi oleh produksi solar dalam negeri, sedangkan selebihnya masih tergantung
pada pasokan solar dari luar negeri (import). Berkaitan dengan permasalahan tersebut, maka
salah satu kebijakan ekonomi pemerintah saat ini (Peraturan Menteri ESDM No 25 tahun 2013)
adalah pengurangan import bahan bakar minyak (BBM) jenis solar diantaranya dengan
peningkatan pemanfaatan biodiesel dalam solar (FAME) dari semula 2,5% menjadi 10% untuk
transportasi dan industry, serta 20% untuk pembangkit listrik (Kompas, 2013).
Sumber bahan baku untuk energi nabati dewasa ini masih didominasi produk pertanian
seperti singkong, tebu dan sawit. Pemanfaatan sumber bahan baku energi nabati yang
bersumber dari pertanian umumnya bersaing dengan konsumsi sehari-hari, sehingga
dikhawatirkan apabila terjadi krisis pangan maka secara langsung akan berdampak terhadap
sumber bahan baku energi nabati (sustainability). Potensi hutan non kayu sebagai sumber

41
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

biodiesel perlu dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku biodiesel yang bersifat terbarukan
dan tidak digunakan sebagai konsumsi pangan. Bahan baku alternatif energi berbasis bahan
bakar nabati/biofuel diantaranya adalah nyamplung (C. inophyllum) dan malapari (P. pinnata).
Kondisi tempat tumbuh dan karakteristik pohon kedua jenis tanaman tersebut disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik jenis tanaman hutan penghasil bioenergi
Jenis Ketinggian tempat Curah hujan Musim kering Rendemen
tanaman (m dpl) (mm/th) (bulan) minyak (%)

Malapari (P. pinnata) 0-200 500-2500 2-6 27 - 40

Nyamplung (C. inophyllum) 0-200 1000-3000 4-5 30 - 74

Biji P. pinnata dapat menghasilkan minyak yang dapat digunakan sebagai pelumas dan
bahan baku bio-diesel serta bahan pembuatan sabun (Mukta dan Sreevalli, 2010). Selain
potensinya sebagai sumber bahan bakar nabati, jenis tanaman ini juga penyedia sumber energi
lain yaitu kayunya sebagai bahan bakar yang memiliki kalor bakar kayu sebesar 19,2 MJ/kg
(Soerawidjaja, 2007a; Soerawidjaja, 2007b). Malapari tumbuh secara alami di dataran rendah
pada tanah berkapur dan batu karang di pantai, sepanjang tepi hutan bakau, sepanjang aliran
dan sungai pasang surut (Heyne, 1987). Pertumbuhan yang paling bagus dijumpai pada tanah
liat berpasir, tetapi akan tumbuh juga pada tanah berpasir dan tanah liat yang bergumpal-
gumpal. Sangat toleran pada kondisi masin dan alkalinitas.Cukup toleran terhadap naungan,
setidaknya ketika muda.
Nyamplung (C. inophyllum L.) dapat digunakan sebagai bahan substitusi minyak tanah
(biokerosene) dan substitusi minyak solar (biodiesel) dengan memanfaatkan bijinya (Sopamena,
2007). Keunggulan nyamplung lainnya antara lain mampu tumbuh dan tersebar merata secara
alami di Indonesia; relatif mudah dibudidayakan dan cocok di daerah iklim kering; permudaan
alami banyak dan berbuah sepanjang tahun; hampir seluruh bagian tanaman nyamplung
berdayaguna dan menghasilkan bermacam produk yang memiliki nilai ekonomi (Departemen
Kehutanan, 2008). Saat ini tanaman nyamplung sudah mulai dibudidayakan di Indonesia
sebagai tanaman wind breaker yang ditanam di daerah marginal di tepi pantai atau lahan-lahan
kritis lainnya.
Hutan juga berperan sebagai sumber bahan baku obat-obatan (biofarmaka) dan atsiri.
Kilemo (Litsea cubeba)merupakan salah satu jenis tanaman hutan penghasil bahan baku obat
dan minyak atsiri potensial.Kilemo dimanfaatkan sebagai bahan kosmetik (aromaterapi), sabun,
minyak wangi, pembersih kulit, obat jerawat, serta memiliki unsur karsinostatic (zat anti
kanker).Buah kilemo mengandung sitral (70 – 85%), sedangkan pada kulit batang dan daunnya
terkandung saponin, plafonoid dan tanin (Lin, 1983).Kilemo tumbuh di dataran tinggi dengan
ketinggian diatas 700 m dpl.
Pulai merupakan salah satu jenis pohon yang tersebar di seluruh Indonesia.Bagian-
bagian dari pohon ini dapat digunakan mulai getah hingga kayunya.Kulit batang, daun dan
bunga dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan. Kayunya dapat dimanfaatkan untuk bahan
baku barang, kerajinan, pensil, papan tulis, lemari, dan lain-lain (Pratiwi, 1999). Kulitnya telah
lama dikenal sebagai obat tradisional untuk anti hipertensi. Menurut Dalimartha (2001), kulit
kayu pulai berfungsi sebagai obat penyakit desentri,malaria peluruh dahak, peluruh haid,
stomakik, antipiretik, pereda kejang, menurunkan gula darah (hipoglikemik), tonik dan
antiseptic. Selain itu getah pulai mengandung alkaloid.

42
Aspek Perbenihan

III. PERBENIHAN
A. Periode pembungaan-pembuahan
Pembungaan dan pembuahan tumbuhan berkaitan dengan suatu proses perubahan
struktur atau organ reproduksi dalam satu periode waktu tertentu yang dikenal dengan
fenologi. Fenologi adalah ilmu tentang periode fase-fase yang terjadi secara alami pada
tumbuhan. Berlangsungnya fase-fase tersebut baik fase vegetatif maupun generatif sangat
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar, seperti lamanya penyinaran, suhu dan
kelembaban udara (Fewless, 2006).
Fenologi pembungaan suatu jenis tumbuhan adalah salah satu karakter penting dalam
siklus hidup tumbuhan karena pada fase itu terjadi proses awal bagi suatu tumbuhan untuk
berkembang biak. Suatu tumbuhan akan memiliki perilaku yang berbeda-beda pada pola
pembungaan dan pembuahannya, akan tetapi pada umumnya diawali dengan pemunculan
kuncup bunga dan diakhiri dengan pematangan buah (Tabla dan Vargas, 2004). Sensitifitas
fenologi terhadap perubahan lingkungan adalah merupakan indikator yang sangat baik untuk
melihat penampilan tumbuhan, khususnya dalam kondisi iklim panas (Cleland et al., 2012).
Pola pembungaan pada jenis tanaman tropis sangat kuat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, yang menyebabkan tanaman sangat sensitif terhadap perubahan iklim sekecil
apapun. Hal ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung
pengaruh penyinaran matahari pada tanaman tropis akan merangsang pembentukan bunga.
Secara tidak langsung perubahan iklim yang kecil misalnya akan mempengaruhi perilaku
polinator, sehingga penyerbukan terganggu dan akibatnya pembentukan buah atau biji
berkurang yang menyebabkan produksi benih menurun.
Periode pembungaan dan pembuahan untuk setiap jenis berbeda. Misalnya, Akor
memunculkan tunas generatif pada bulan Februari dan mekar pada bulan Maret-April, akhirnya
menjadi buah muda, dewasa dan masak pada bulan Mei-Juli/Agustus (Syamsuwida et al., 2011).
Sehingga diketahui bahwa siklus perkembangan pembungaan hingga pembuahan akor tejadi
selama 6-7 bulan yang diamati pada satu tegakan di Desa Sawangan dan Jingkang (Banyumas
Barat). Sementara itu kaliandra, lamtoro dan turi memiliki periode pembungaan-pembuahan
yang lebih pendek yaitu berkisar antara 3-4 bulan.Rangkuman periode pembungaan dan
pembuahan beberapa jenis tanaman kayu penghasil energi dan obat-obatan disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Periode pembungaan dan pembuahan beberapa jenis tanaman hutan penghasil energi
dan obat-obatan
No Jenis Periode musim Waktu musim Lokasi
Pembungaan Pembuahan Pembungaan Pembuahan
1 Akor (Acacia 1-2 bulan 4-5 bulan Februari- Mei/Juli- Banyumas
auriculiformis) Maret/April Agustus Barat
2 Kaliandra 1 bulan 2-3 bulan April Mei/Juni- Bogor,
(Calliandra Juli/Agustus Cianjur
calothyrsus)
3 Lamtoro 1 bulan 3-4 bulan April Mei/Juni- Bogor
(Leuccaena Juli/Agustus
leucocephala)
4 Turi (Sesbania 1 bulan 2-3 bulan April Mei/Juni- Bogor
grandiflora) Juli/Agustus
5 Weru/kihiang 2 bulan 6-7 bulan Februari-April September- Majalengka,
(Albizia procera) Oktober Sumedang

43
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

No Jenis Periode musim Waktu musim Lokasi


Pembungaan Pembuahan Pembungaan Pembuahan
6 Pilang (Acacia 1 bulan 4-5 bulan April/Mei Agustus- Taman
leucophloea) September Nasional
Bali Barat
7 Kemenyan 2 bulan 7-8 bulan Juni/Juli- Februari- Aek Nauli-
(Styrax Agustus Maret Sumatera
benzoin) Utara
8 Nyamplung 1 bulan 3-5 bulan April Juli-Agustus Purworejo-
(Callophylum Jawa
inophyllum) Tengah
9 Malapari 2 bulan 6-7 bulan Maret/April- Oktober- Batukaras-
(Pongamia Mei Nopember Ciamis
pinnata)
10 Kilemo (Litsea 1 bulan 2-3 bulan Februari- April-Juni Aek Nauli
cubeba) Maret (Sumut)
1 bulan 2-3 bulan Oktober- Januari- Ciwidey
Nopember Februari (Jabar)
11 Ganitri 2 bulan 7 bulan Juni-Juli Juli/Agustus- Cisarua-
(Elaeocarpus Nopember/ Bogor
ganitrus) Desember
Tahapan awal dari satu rangkaian perkembangan pembungaan-pembuahan adalah
inisiasi bunga. Akan tetapi, proses ini hanya dapat dilihat secara mikroskopis dengan
mengidentifikasi adanya perubahan jaringan dari meristem vegetatif menjadi apikal reproduktif
(primordia bunga) pada organ tunas (Owens & Blake 1985). Inisiasi bunga weru terjadi lebih
dari 2 bulan yang teramati mulai bulan Januari. Sedangkan pada kaliandra, inisiasi terjadi
sepanjang tahun yang diindikasikan dari munculnya bunga sepanjang tahun. Walaupun lamtoro
dan turi belum teridentifikasi, namun dapat diduga inisiasi juga terjadi sepanjang tahun.
B. Keberhasilan reproduksi
Potensi keberhasilan proses pembentukan bunga menjadi buah dinilai dari besarnya
nilai keberhasilan reproduksi. Penilaian besaran Keberhasilan Reproduksi (KR) diperoleh dari
hasil pengukuran parameter reproduksi yaitu jumlah bunga per malai, jumlah buah per malai,
jumlah ovul per bunga, jumlah biji per buah, fruit set (Bg/bh) dan seed set (Bj/Ov).
Tabel 3. Hasil pengukuran parameter reproduksi beberapa jenis tanaman penghasil biomassa
dan bioenergi
Jenis ∑ bunga/ ∑ buah/ ∑ ovul/ ∑ biji/ Fruit set Seed set
KR
malai malai bunga buah (Bh/bg) (Bj/Ov)
Weru 41,8±15,8 16,4±6,2 12,62±0,6 10,82±0,7 0,40±0,08 0,85±0,02 0,35±0,09

Pilang 279,1±80,1 109,6±63,8 12,37±0,9 6,09±0,3 0,40±0,1 0,43±0,02 0,19±0,06

Akor 85,4±29,04 5,1±1,75 31,12±9,9 4,9±1,93 0,06±0,02 0,16±0,06 0,01±0,005

Kaliandra 98,6±42,8 19,8±10,6 5,64±0,6 8,04±0,8 0,21±0,08 0,72±0,08 0,16±0,06

B 16,34±5,02 1,90±0,98 1,38±0,27 1±0,00 0,13±0,04 0,75±0,13 0,09±0,04


Kemenyan T 17,14±4,85 1,52±0,78 1,325±0,2 1±0,00 0,10±0,06 0,77±0,13 0,08±0,05
B 54,6± 1,72 33,1± 7,97 - - 0,63± 0,25 - -
Malapari T 54,41± 2,45 36,01± 5,85 - - 0,66±0,23 - -

44
Aspek Perbenihan

Jenis ∑ bunga/ ∑ buah/ ∑ ovul/ ∑ biji/ Fruit set Seed set


KR
malai malai bunga buah (Bh/bg) (Bj/Ov)
0,36 ±
B 7,1±0,43 2,58±0,2 1±0,00 1±0,00 0,36 ± 0,02 1,0 ± 0,0
0,02

Nyamplung
T 7,28±0,41 2,7±0,21 1±0,00 1±0,00 0,38 ± 0,02 1,0 ± 0,0 0,38 ± 0,02

Catatan: B: Barat, T: Timur


Keberhasilan reproduksi merupakan parameter untuk mengetahui potensi reproduksi
yang dimiliki tanaman. Dengan mengalikan nilai jumlah bunga yang menjadi buah (fruit set) dan
jumlah ovul yang menjadi biji (seed set) dapat diketahui nilai KR (Wiens et al., 1987). Weru
memiliki nilai fruit set dan seed set yang relatif tinggi yaitu masing-masing 0,40±0,08 dan
0,85±0,02sehingga menghasilkan nilai KR yang relatif tinggi pula yaitu 0,35±0,09 atau antara
26% - 44% (Tabel 3). Sementara itu nilai terendah dimiliki oleh jenis akor. Ratio pembentukan
buah menjadi bunga rata-rata 4% - 8% dan pembentukan ovul menjadi biji rata-rata 10% - 22%
dan keberhasilan reproduksi (KR) rata-rata 0,5 – 1,5% (Tabel 3). Dengan demikian, proporsi
ovul yang berhasil dibuahi dan berkembang menjadi biji yang viabel bagi tanaman weru adalah
rata-rata adalah sebesar 35% dan bagi tanaman akor rata-rata 1%. Nilai KR pilang, kaliandra dan
kemenyan masing-masing berkisar antara 13-23%, 10-22% dan 8-9% atau rata-rata 19%, 16%
dan 8,5%. Sementara untuk jenis malapari keberhasilan reproduksi belum terdeteksi. Namun
demikian, pembentukan bunga menjadi buah (fruit set) cukup tinggi yaitu masing-masing untuk
dahan bagian barat dan timur mencapai 63% dan 66%.
C. Potensi produksi buah/benih
Benih/buah untuk program pembangunan hutan tanaman atau hutan rakyat penghasil
hasil hutan bukan kayu dituntut ketersediaannya dalam jumlah dan kualitas yang memadai
secara terus menerus, terutama yang memanfaatkan buah sebagai bahan baku produksinya
seperti malapari, nyamplung dan kilemo. Informasi potensi produkai buah/benih merupakan
salah satu data dasar untuk mengetahui berapa besar produksi buah yang dapat dihasilkan
guna kebutuhan perbanyakan tanaman maupun untuk kebutuhan penyediaan bahan baku
dalam proses produksi yang berkelanjutan. Potensi produksi buah/biji beberapa jenis tanaman
hutan penghasil energi dan obat-obatandisajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Potensi produksi buah/biji jenis tanaman hutan penghasil energi dan obat
Jenis Jumlah benih/kg (butir) Potensi produksi/pohon
buah/pohon Benih/pohon
Akor (A. auriculiformis) 55.556 - 76.923 1) - 80,7 gr ~ 575 butir 2)
Pilang (A. leucophloea) 43.346 2) - 1716,2 gr 2)
Weru (A. procera) 32.258 -38.462 1) 19,2 kg - 50 kg 2) -
Kaliandra (C. 17.857 -22.727 1) 166,7 gr 2) -
callothyrsus)
Turi (S. grandiflora) 17.241 -30.303 1) 6,8 buah 2) 231,45 butir 2)
Lamtoro (L. 16.667 -20.000 1) 409,08 buah 2) -
leucocephala)
Malapari (P. pinnata) 493-663 2) - 0,10 – 5,52 kg
Nyamplung (C. 286 - 357 - 40-150 kg 4)

45
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Jenis Jumlah benih/kg (butir) Potensi produksi/pohon


buah/pohon Benih/pohon
inophyllum)
Kilemo (L.cubeba) 9.445 5) 0,25-9,8 kg 5) -
1)
Pulai (A.Scholaris) 312,500 - 833,333 - -
1)
Kemenyan (S. benzoin) 417 -625 2,8 kg -
1)
Sumber: BSN (2014 a); 2) Syamsuwida et al. (2011); 4) Dephut (2008); 5) Putri et al. (2011)
Potensi produksi benih/buah suatu jenis tanaman pada satu tegakan akan bervariasi
tergantung faktor ketersediaan hara dan luas kanopi (tajuk) yang erat hubungannya dengan
fisiologis kemampuan daun dalam menghasilkan energi untuk mendukung produksi buah
(Nambiar dan Brown, 1997). Untuk itu pengukuran potensi produksi benih/buah perlu dikaitkan
dengan kondisi geografis, umur dan penampilan pertumbuhan pohon (Schmidt 2000).
Sebagai contoh potensi produksi buah kilemo dari Aek Nauli cenderung meningkat
dengan bertambahnya ukuran diameter batang pohon. Produksi benih kilemo dari pohon
berdiameter 4cm-14,7 cm berkisar 0,12 kg-2,4 kg, sedangkan dari pohon berdiameter 14,8 cm-
25,3 cm berkisar 0,25-9,8 kg (Putri et al.,2011). Selain itu berat benih kilemo yang dihasilkan
tegakan yang tumbuh pada ketinggian di atas 700 m dpl seperti di lokasi Aek Na Uli Sumatera
Utara adalah 0,106 gram/butir, yang sangat berbeda dengan yang diproduksi dari tegakan di
dataran rendah sebagaimana Sri-Ngernyuang et al (2007) melaporkan bahwa rata-rata berat
benih kilemo yang berasal dari hutan tropikal dataran rendah di Thailand adalah 0,080 gram.
Umur tegakan juga mempengaruhi produktivitas. Produksi biji malapari yang dihasilkan dari
tegakan umur 20 tahun yang terdapat di Desa Batu Karas, Pangandaran, Jawa Barat berkisar
0,10 – 5,52 kg/pohon, sedangkan Soerawidjaya (2005) menyebutkan bahwa produksi biji dalam
satu pohon malapari dihasilkan 9 – 90 kg biji.
Potensi produksi buah/benih dari beberapa jenis tanaman hutan dapat ditingkatkan
dengan teknik silvikultur antara lain dengan pengaturan jarak tanam atau pemupukan.
Pengaturan jarak tanam dapat memaksimalkan ukuran volume tajuk dan lebar tajuk, karena
umumnya keduanya berkorelasi positif dengan produksi buah.Selain dengan teknik silvikultur,
upaya memaksimalkan potensi produksi benih juga dapat melalui kegiatan pemuliaan pohon
(Tree improvement). Sebagaimana pada tanaman akor, yangmana dihasilkan tanaman akor
dengan kandungan atau proporsi proporsi kayu teras meningkat sebanyak 3 kali lipat pada
umur 3,5 tahun. Kayu keras merupakan bagian kayu yang erat kaitannya dengan kualitas energi
yang dihasilkan (Susanto et al., 2008). Teknik pemulian lainnya adalah seperti yang telah
dilakukan pada tanaman malaparidi Australia yang sudah menggunakan benih hasil pemuliaan
yaitu benih genetik unggul dengan berat biji 2,5 gram/butir dan kandungan minyak sebesar
60% (Milletia plantations, 2010). Hal ini disebabkan ukuran berat biji sangat tergantung pada
cadangan makanan yang bersifat diturunkan (genetik), disamping juga dipengaruhi oleh
ketersediaan hara pada saat proses pembentukan benih serta faktor lingkungan (Johnsen et al.,
1989).
Namun demikian, panen buah yang besar bukan jaminan untuk mendapatkan kualitas
benih yang besar pula.Hal ini disebabkan buah yang berat dan besar tidak selalu mempunyai biji
yang berat dan besar, bahkan juga tidak selalu menghasilkan rendemen minyak dan sifat fisiko-
kimia yang lebih baik seperti yang sudah dibuktikan pada jenis nyamplung (Leksono dan Putri,
2013). Bahkan kemungkinan dapat berbanding terbalik bila tidak hati-hati dalam melakukan
seleksi provenan/ras lahan untuk mendapatkan rendemen dan sifat fisiko-kimia minyak terbaik.

46
Aspek Perbenihan

D. Penanganan benih
Penanganan benih merupakan salah satu kegiatan penting dalam penyediaan bahan
tanaman bermutu yang dimulai dari buah dan benih diterima sampai benih tersebut siap untuk
ditanam. Penanganan benih yang tidak dilakukan dengan benar akan menurunkan mutu fisik
dan fisiologis benih yang pada akhirnya akan berdampak berkurangnya jumlah tanaman yang
dapat diperbanyak melalui benih. Penanganan benih berapa jenis tanaman penghasil kayu
energi dan obat disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Penanganan benih penghasil kayu energi dan obat-obatan berdasarkan SNI
5006.12:2014
Jenis Indikator Ekstraksi benih Pengemasakan dan Perlakuan
kemasakan penyimpanan benih pendahuluan
buah
Akor Buah/polong Jemur selama 3- - Wadah kedap Rendam air panas
(A. auriculiformis) berwarna coklat 4 hari sampai - Di ruang AC atau (90°C) sampai dingin
merekah DCS 24 jam
Pilang * kulit buah Jemur sampai - Wadah kedap direndam dengan
(A. leucophloea) berwarna hijau merekah - Di ruang AC atau H2SO4 selama
kecolatan DCS 20 menit
Weru Buah/polong Jemur selama 3- - Wadah kedap Rendam air panas
(A. procera) berwarna coklat 4 hari sampai - Di ruang AC atau (90°C) sampai dingin
tua merekah refrigator 24 jam
Kaliandra Buah/polong Jemur selama 3- - Wadah kedap Rendam air panas
(C. callothyrsus) berwarna coklat 4 hari sampai - Di ruang refrigator (90°C) sampai dingin
merekah 24 jam
Turi (S. grandiflora) Buah/polong Jemur selama 3- - Wadah kedap Rendam air panas
berwarna coklat 4 hari sampai - Di ruang AC atau (90°C) sampai dingin
merekah DCS 24 jam
Lamtorogung Buah/polong Jemur sampai - Wadah kedap Rendam air panas
(L. leucocephala) berwarna coklat merekah - Di ruang kamar (90°C) sampai dingin
atau AC 24 jam
Malapari ** Buah/polong Buah dibelah - Wadah plastik Rendam air selama 24
(P. pinnata) berwarna hijau secara manual dengan media jam
kekuningan arang sekam
sampai coklat - Di ruang kamar
Nyamplung Kulit buah Buah direndam - Wadah kedap Kulit benih diretak-kan
(C. inophyllum) berwarna ± 2 hari lalu cuci - Di ruang AC dengan cara menekan
kuning hingga dengan air benih dgn kayu ringan
merah mengalir hingga kulit benih
pecah
Pulai Buah/polong Jemur 1-2 hari - Wadah kedap Tanpa perlakuan
(A.Scholaris) berwarna hijau atau dengan - Di ruang DCS atau
kecoklatan seed drier pada refrigator
sampai coklat suhu 38 - 42°C
selama 20 jam
Kemenyan Kulit buah Buah dibelah - Wadah kedap Rendam jemur selama
(S. benzoin) berwarna coklat secara manual - Di ruang AC dan 3 hari sampai kulit
refrigator benih retak
Sumber: BSN (2014 a); *Suita dan Bustomi (2014); **Suita et al. (2014)
Ketepatan waktu pengunduhan merupakan awal diperolehnya benih berkualitas. Warna
buah merupakan indikasi tingkat kemasakan benih yang sangat mudah dilakukan sehingga
sering dijadikan sebagai dasar untuk waktu pengunduhan. Kemasakan buah untuk jenis
tanaman yang termasuk anggota family Leguminosae yang umumnya berbentuk polong, (weru,

47
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

pilang, kaliandra, akor, turi dan lamtoro) ditandai dengan polong (buah) berwarna
coklat.Sedangkan untuk jenis kilemo, buah masak ditandai dengan kulit buah berwarna hitam
kemerahan, dan untuk jenis nyamplung buah kulit buah berwarna kuning hingga merah.
Buah masak hasil pengunduhan selanjutnya diekstraksi baik dengancara ekstaksi kering
atau ekstaksi basah. Ekstraksi biji adalah pengeluaran biji dari buah/polongnya. Ekstraksi
diperlukan karena biasanya benih tidak dipanen secara langsung. Buah yang berbentuk polong
seperti umumnya jenis-jenis leguminosae diekstraksi kering dengan cara menjemur di bawah
sinar matahari selama 3-4 hari hingga polong merekah. Bila penyimpanan sementara harus
dilakukan, seperti misalnya menunggu transportasi, maka kerusakan terhadap benih harus
diupayakan sekecil mungkin dengan menjaga buah tetap kering dan dingin. Ini dapat dilakukan
dengan menempatkan buah yang sudah dikemas di bawah naungan yang berventilasi
baik.Periode pengumpulan dan ekstraksi harus sesingkat mungkin dan infeksi dari lingkungan
sekeliling harus dihindarkan.
Perlakuan pendahuluan adalah istilah yang digunakan untuk proses atau kondisi yang
diberikan untuk mematahkan dormansi benih (mempercepat perkecambahan benih).
Perlakuan yang diberikan tergantung jenis dormansi. Jenis-jenis legumonsae memiliki dormansi
fisik dengan kulit benihnya yang keras, sehingga perlakuan pendahuluan adalah dengan
perendaman dalam air selama 24 jam. Sedangkan perlakuan pendahuluan untuk benih kilemo
dengan caradirendam dalam larutan Asam giberelin (GA 3) konsentrasi 200 ppm selama 48 jam.
Teknik ini berhasil meningkatkan persentase perkecambahan sebesar 81% dan mulai
berkecambah pada hari ke-21. Sementara perendaman benih dalam air selama 24 jam hanya
mampu menghasilkan persen berkecambah sebesar 25,7% dan benih baru mulai berkecambah
pada hari ke-38 (Ali dan Rostiwati, 2011). Kemenyan dengan cara rendam jemur secara
bergantian selama 3 hari hingga kulit benih retak.
Kandungan air pada buah dan benih merupakan faktor penentu untuk viabilitas benih.
Benih yang baru diekstraksi masih mengandung kadar air yang cukup tinggi sehingga tidak baik
untuk disimpan. Sebelum disimpan benih harus dikeringkan. Pada kenyataannya tidak semua
benih dapat dikeringkan. Ada benih yang dapat dikeringkan sampai kadar air rendah (kurang
dari 10%) sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Benih seperti ini disebut
benih ortodoks. Sebelum diproses atau disimpan benih ortodok harus dikeringkan sampai
dengan kadar airnya mencukupi. Benih ortodoks yang dikeringkan akan bersifat dorman (tidur),
dan akan berkecambah bila diberi kondisi yang baik untuk berkecambah. Sebaliknya ada benih
yang tidak dapat dikeringkan dan sehingga tidak bisa disimpan lama (kadar air awal benih 20-
50%) dan tidak dapat disimpan pada suhu rendah, sehingga tidak mampu disimpan lama
(Bonner et al., 1994).Adapun benih intermediate hanya memerlukan pengeringan kulit. Untuk
lebih jelasnya sifat fisik dan fisiologis benih disajikan pada Tabel 6.

48
Aspek Perbenihan

Tabel 6. Mutu fisik dan fisiologis jenis-jenis benih penghasil kayu energi dan obat
berdasarkan SNI 7627:2014
Jenis Berat 1000 butir KA (%) Daya Berkecambah
benih (g) (%)
Akor (A. auriculiformis) 13-18 ≤7 ≥ 80
Pilang (A. leucophloea)* 18-27 ≤ 10 ≤ 50
Weru (A. procera) 26-31 ≤ 10 ≥ 80
Kaliandra (C. callothyrsus) 44-56 ≤ 10 ≥ 90
Turi (S. grandiflora) 33-58 6-7 ≥ 85
Lamtorogung (L. leucocephala) 50-60 ≤9 ≥ 70
Malapari (P. pinnata)** 1.507-2.027 57-63 100
Nyamplung (C. inophyllum) 2.800-3.500 20-40 ≥ 70
Kilemo (L. cubeba)*** 21-28 13-15 ≤ 81
Pulai (A.Scholaris) 1,2-3,2 ≤ 12 ≥ 80
Kemenyan (S. benzoin) 1.600-2.400 25-50 ≥ 80
Sumber: BSN (2014 b); * Suita et al (2012); **Suita et al (2014); ***Ali dan Rostiwati (2011)

E. Pembibitan
Tingkat keberhasilan penanaman di lapangan sangat ditentukan oleh penggunaan bibit
berkualitas.Keberadaan bibit berkualitas tersebut tentunya tidak terlepas dari teknik
pembibitannya yang tepat.Teknik pembibitan beberapa jenis tanaman penghasil kayu energi
dan obat secara rinci tersaji pada Tabel 7.
Kualitas bibit antara lain dipengaruhi secara langsung oleh kondisi media tempat
tumbuhnya. Media tumbuh dipersemaian sangat berperan dalam pemenuhan berbagai
keperluan kebutuhan hidup bibit antara lain tempat berjangkarnya akar, penyedia air dan unsur
hara, penyedia oksigen bagi berlangsungnya proses fisiologi akar serta kehidupan dan aktivitas
mikroba tanah.
Saat ini penggunaan top soil sebagai media pembibitan semakin berkurang yang
disebabkan beberapa kelemahan antara lain mudah memadat, mengandung sedikit bahan
organik sehingga aerasi tanah kurang baik, serta yang terpenting adalah kerusakan lingkungan
yang ditimbulkan akibat pengambilan lapisan top soil. Bahan-bahan organik seperti serbuk
sabut kelapa, arang sekam padi, serbuk gergaji dan gambut dapat dimanfaatkan sebagai media
pengganti atau media campuran top soil. Bahan-bahan organik tersebut terbukti mampu
menghasilkan bibit berkualitas, misalnya arang sekam padi yang dapat digunakan sebagai
media tambahan top soil pada media sapih kilemo. Persentase hidup bibit kilemo yang
dihasilkannya sebesar 93% dengan pertumbuhan tinggi dan diameter masing-masing mencapai
12,5 cm dan 1,35 cm (Tabel 7). Campuran dari beberapa bahan organik sebagai media tumbuh
pengganti top soil di persemaian juga terbukti cukup efektif, yangmana masing-masing bahan
organic dapat saling melengkapi satu sama lain. Seperti contohnya adalah campuran kompos
dan arangsekampadi yang cukup potensial sebagai media pembibitan jenis pilang (Tabel 7).
Selain bahan organik, media pengganti top soil yang juga dapat digunakan adalah
lapisan tanah sub soil. Penggunaan sub soil sebagai media tumbuh diketahui cukup baik
khususnya untuk jenis tanaman akor, kaliandra, malapari dan kemenyan dengan persentase
keberhasilan hidup yang relatif tinggi (Tabel 7). Namun media tanah tersebut umumnya miskin

49
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

hara, sehingga membutuhkan mikoriza, rhizobium atau pupuk untuk membantu meningkatkan
pertumbuhan bibit di persemaian.
Mikoriza sangat berperan dalam meningkatkan kemampuan penyerapan unsur hara P
oleh tanaman disamping peran penting lainnya yaitu meningkatkan ketahanan bibit terhadap
kekeringan dan ketahanan dari serangan patogen akar.Peningkatan serapan unsur hara P
sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan bibit dipersemaian karena unsur hara tersebut
berperan penting dalam pembelahan sel terutama pada perkembangan jaringan meristem,
yang selanjutnya dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman (Ulfa, 2010). Inokulasi fungi
mikoriza 2,5 g pada bibit kilemo terbukti cukup efektif meningkatkan serapan unsur P sebesar
102,14% dibanding control. Untuk lebih meningkatkan hasil tanaman melalui peningkatan
serapan P, dapat juga dilakukan kombinasi antara inokulasi cendawan mikoriza dan pemberian
pupuk NPK (Setiawati et al., 2000). Seperti contohnya pemberian mikoriza 5 gram dan NPK 0,5
gram pada bibit kaliandra secara bersamaan menghasilkan nilai kolonisasi akar
(84.96%)(Syamsuwida et al., 2014).
Tabel 7. Teknik pembibitan jenis tanaman penghasil kayu energi dan obat
Pertumbuhan
Rhizobium Mikoriza NPK
Jenis Media Persen Tinggi Diameter
(ml) (g) (g)
hidup (%) (cm) (mm)
Akor 2,5
tanah sub soil - - 92,59 7,5 0,79
(A.auliculiformis)
Pilang kompos +
(A.leucophloea) arang sekam - - - 96,67 11,7 1,84
padi
Weru kompos +
(A. procera) arang sekam - - - 94,89 16,7 1,23
padi
Kaliandra
tanah sub soil 2 2 - 94,20 32,0 2,68
(C. callothyrsus)
Malapari
tanah sub soil - 5 - 77,28 17,0 3,30
(P. pinnata)
Kilemo tanah + arang
(L. cubeba) sekam padi (3 - - - 93,00 12,5 1,35
: 1)
Kemenyan
tanah sub soil - 5 0,5 90,00 13,0 2,05
(S. benzoin)
Selain kombinasi mikoriza dan pupuk NPK, upaya meningkatkan kualitas bibit juga dapat
dilakukan dengan mengkombinasikan bakteri rhizobium dan cendawan mikoriza seperti yang
telah dilakukan pada bibit kaliandra. Perlakuan kombinasi Rhizobium dan mikoriza pada bibit
kaliandra menghasilkan pertumbuhan tercepat dengan rata-rata tinggi 32,0 cm dan diameter
2,68 cm (Tabel 7). Bakteri rhizobium pada bibit berperan untuk mengikat nitrogen di udara
melalui bintil (nodul) akar yang dibentuknya.Hal ini disebabkan kekurangan unsur hara
terutama unsur hara N dalam media pembibitan menjadi salah satu faktor pembatas
pertumbuhan bibit di persemaian.Namun demikian perlu diketahui strain Rhizobium yang
paling tepat agar dihasilkan bintil akar yang lebih efektif dalam mengikat nitrogen (Narendra,
2010).
Teknik pembibitan jenis-jenis tanaman hutan sangat mempertimbangkan kondisi
naungan yang dibutuhkan.Naungan tersebut diperlukan untuk mengurangi penguapan
(transpirasi) tanaman dan mempertahankan kelembaban di persemaian sehingga tanaman

50
Aspek Perbenihan

dapat terus tumbuh. Hal tersebut erat kaitannya dengan proses fotosintesis yang dilakukan
oleh tumbuhan.Untuk beberapa jenis tanaman hutan seperti kilemo, weru dan kemenyan
memerlukan naungan dengan intensintas naungan 25%. Namun untuk beberapa jenis tanaman
seperti jenis ganitri, akor, pilang dan malapari justru tidak membutuhkan naungan selama di
persemaian.
F. Perbanyakan vegetatif stek
Perbanyakan vegetatif merupakan solusi perbanyakan untuk jenis tanaman hutan yang
benihnya tidak dapat disimpan karena berwatak rekalsitran. Teknik perbanyakan ini juga sangat
bermanfaat dalam rangka perbanyakan klon-klonunggul antara lain klon penghasil sumber kalor
yang tinggi atau klon yang memiliki produktivitas minyak tinggi dengan kualitas maksimal.
Selain itu hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan di tempat di mana produksi benih terbatas,
dengan memanfaatkan tunas-tunas yang masih umur muda yang memiliki kandungan auksin
maksimal sebagai bahan stek pucuk.
Pembentukan akar pada stek (akar adventif) merupakan proses yang kompleks yang
dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain latar belakang genetik, fisiologi dan perkembangan
pohon induk serta hormon dan metabolisme tanaman (Geiss et al., 2009). Untuk itu salah satu
faktor penting yang harus diperhatikan adalah pemilihan bahan stek. Bahan stek terbaik adalah
dari bagian tanaman yang bersifat juvenil. Tunas juvenildibangun oleh jaringan-jaringan muda,
sehingga sangat mudah untuk merangsang keluarnya akar. Untuk meningkatkan keberhasilan
perbanyakan stek dari tunas pohon dewasa dapat dilakukan rejuvenasi. Kegiatan rejuvenasi
atau permudaan tersebut bertujuan untuk mendapatkan bahan vegetatif yang secara fisiologis
bersifat juvenil/muda serta memiliki kemampuan berakar yang baik, misalnya dengan cara
memotong cabang atau pembengkokan batang atau pembengkokan batang pada kebun
pangkasan. Beberapa jenis tanaman membutuhkan tambahan zat pengatur tumbuh sebagai
hormon tambahan untuk meningkatkan kualitas perakaran stek. Namun banyak pula jenis-jenis
tanaman hutan yang tidak memerlukan tambahan zat pengatur tumbuh.
Untuk meningkatkan keberhasilan penyetekan, penting memperhatikan media
perakaran stek dan kondisi lingkungan. Media perakaran stek yang dapat digunakan antara lain
pasir atau media campuran kokopit dan sekam padi (2:1/v/v) maupun media campuran kokopit
dan arang sekam padi (2:1; v/v). Kondisi ruang perakaran stek terbaik adalah pada suhu udara
< 300C dan kelembaban udara > 90%.Beberapa teknik perbanyakan vegetatif stek disajikan
pada Tabel 8.
Tabel 8. Teknik perbanyakan vegetative jenis tanaman penghasil kayu energi dan obat
Pertumbuhan
Zat pengatur
Jenis Persen berakar Jumlah akar
tumbuh Panjang akar (cm)
(%) (helai)
Akor
IBA 250 ppm ≥ 90 5,98 -
(A. auriculiformis)
Pilang
IBA 200 ppm 46,66 6,46 5,3
(A. leucophloea)
Weru
IBA 200 ppm 11, 66 5,10 8,2
(A. procera)
Kaliandra
- 88,76 5,00 3,0
(C. callothyrsus)
Malapari
IBA 500 ppm 96,05 4,26 9,5
(P. pinnata)
Kilemo IBA 1000 52,78 18,00 -

51
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Pertumbuhan
Zat pengatur
Jenis Persen berakar Jumlah akar
tumbuh Panjang akar (cm)
(%) (helai)
(L. cubeba) ppm
Kemenyan
- 83,54 14,7 -
(S. benzoin)

IV. PROSPEK DAN PENGEMBANGAN


Kebutuhan energi dan harga bahan bakar fosil yang terus meningkat dari waktu ke
waktu mendorong masyarakat dan banyak industri untuk mulai mencari bahan bakar nabati
sebagai alternatif sumber energi yang bersifat renewable. Pengembangan bahan bakar nabati
(bioenergi) dari hutan cukup besar mengingat kemudahan jenis-jenis tanaman sumber
bioenergi untuk tumbuh pada lahan-lahan yang kurang subur, tidak membutuhkan
pemeliharaan yang banyak serta tahan terhadap hama dan penyakit.
Peluang investasi bioenergi dari hutan cukup terbuka khususnya untuk arang kayu dan
wood pellet. Arang dan wood pellet merupakan hasil konversi biomassa sebagai suatu pilihan
bijak pemanfaatan energi yang efektif dan efisien serta bersifat ramah lingkungan. Kebutuhan
wood pellet di Eropa sampai tahun 2013 mencapai 15 juta ton.Demikian juga dengan peluang
investasi dibidang biofarmaka yang juga masih terbuka lebar. Peluang pasar internasional akan
produk kilemo cukup menjanjikan, mengingat masih sedikitnya eksportir kilemo sedangkan
kebutuhan pasar internasional cukup tinggi (500 ton per tahun).
Selanjutnya diperlukan kebijakan pemerintah yang komprehensif dan terintegrasi
dengan sektor terkait guna merangsang iklim investasi pengembangan usaha berbaisis energi
dan obat yang kondusif dan kompetitif. Pengembangan usaha kehutanan tersebut juga
sebaiknya harus dirancang sedemikian rupa sehingga berefek positif terhadap pembangunan
sosial ekonomi masyarakat dan di pihak lain juga tidak berdampak negatif terhadap lingkungan.

V. PENUTUP
Teknologi perbenihan yang tepat merupakan tahapan proses kegiatan penting untuk
mendukung pengembangan usaha kehutanan berbasis bioenergi dan biofarmaka. Pemilihan
jenis tanaman sebagai sumber bahan baku energi dan obat selain pertimbangan potensi,
kesesuaian tempat tumbuh dan produktivitas, juga harus mempertimbangkan aspek sosial
ekonomi masyarakat serta aspek konservasi dan deforestasi yang merupakan upaya perbaikan
hutan dan lingkungan regional. Diharapkan bioenergi dari hutan dapat menggantikan sebagian
keberadaan batu bara, minyak tanah dan solar yang selama ini digunakan. Demikian juga
biofarmaka dari hutan yang diharapkan dapat menjadi salah satu sumber devisa negara
potensial.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, C dan T. Rostiwati. 2011. Pengaruh hormon pertumbuhan dan senyawa nitrogen serta
waktu perendaman terhadap perkecambahan benih lemo. Prosiding Seminar Hasil-hasil
Penelitian. Teknologi Perbenihan Untuk Meningkatkan Produktivitas Hutan Rakyat Di
Provinsi Jawa Tengah. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor.
Badan Litbang Kehutanan. Kementerian Kehutanan.

52
Aspek Perbenihan

Alrasyid, H. 1981. Some fuelwood tree species characteristic in Indonesia. Balai Penelitian
Hutan.
BSN. 2014 a. Tanaman Kehutanan - Bagian 12: Penanganan benih generative tanaman hutan.
SNI 5006.12:2014
BSN. 2014 b. Mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan. SNI 7627:2014
Cleland, EE, JM Allen, TM Crimmins, JA Dunne, S Pau, SE Travers, ES Zavaleta and EM
Wolkovich. 2012. Phenological tracking enables positive species responsesto climate
change. Ecology 93(8):1765–1771.
Dalimartha. 2001. Atlas tumbuhan obat Indonesia.
Dirjen Listrik dan Energi Baru. 1991. Pemilihan jenis pohon energi. Dirjen Listrik dan Energi
Baru. Depatemen Pertambangan dan Energi.
Fewless, G. 2006. Phenology. http://www.uwgb.edu/biodiversity/phenology/index.htm.
(Diakses 26 Juni 2006).
Geiss, G., L. Gutierrez dan C. Bellini. 2009. Adventitious Root Formation: New Insights and
Perspectives. Annu. Plant Rev. 37 : 127–156.
Hartoyo. 1976. Rendemen dan sifat arang beberapa jenis kayu Indonesia. Laporan nomor 62.
Lembaga Penelitian Hasil Hutan.;
Hendarti, R.L., S.H. Nurrohmah, S. Susilawati dan S Budi. 2014. Budidaya acacia uriculiformis
(Acacia auriculiformis) untuk kayu energi. IPB Press. Bogor.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Serbaguna III. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Ika. 2012. Produksi Biodiesel Indonesia kurang 820 ribu kilo liter. Website
http://ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=4654. Diakses tanggal 7 Desember 2013.
Johnsen, O., J. Dietrichson, dan G. Skaret. 1989. Phenotypic changes in progenies of northern
clones of Picea abies (L.) Karst. grown in a southern seed orchard. III. Climate changes and
growth in a progeny trial. Scand. J. For. Res. 4: 343-350.
Kompas. 2013. Kompas. 2013. Bahan Bakar Nabati: Wajib Pakai Produksi Biodiesel Dalam
Negeri. Terbit Sabtu, 31 Agustus 2013.
Leksono, B dan K.P.Putri. 2013. Variasi ukuran buah-biji dan sifat fisiko-kimia minyak
nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) dari enam populasi di Jawa. Prosiding Seminar
Nasional : Peranan hasil litbang hasil hutan bukan kayu dalam mendukung pembangunan
kehutanan, Mataram 12 September 2012. Puslit Peningkatan Produktivitas Hutan, Litbang
Kehutanan. Hal 322-335
Lin, T.S. 1983. Variation in content and composition of essential oil from Litsea cubeba
collected in different months. Bulletin of the Taiwan Forestry Research Institute No. 398.
9 pp.
Millettia Plantations. 2010. Millettia pinnata: the sustainable biofuel crop of the future.
http://www.millettiaplantations.com. Diakses pada tanggal 27 November 2012.
Mukta, N. dan Y. Sreevalli. 2010. Propagation Techniques, Evaluation and Improvement of The
Biodiesel Plant Pongamia pinnata (L) Pierre – A Review. Industrial Crops and Product 31:
1 – 12.
Nambiar, E.K.S dan A.G. Brown. 1997. Management of soil nutrient and water in Tropical
Plantation Forest. ACIAR and CIFOR Published. CSIRO Canberra. Australia.

53
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Narendra, B.H. 2010. Pengaruh mikoriza dan rhizobium terhadap pertumbuhan bibit kaliandra
(Calliandra calothyrsus Meissn). Prosiding seminar nasional : Kontribusi litbang dalam
peningkatan produktivitas dan kelestarian hutan, Bogor 29 November 2010. Badan
Litbang Kehutanan. Hal 261 – 266.
Owens JN and Blake MD. 1985. Forest Tree Seed Production. A review of literature and
recommendation for the future research. Canadian Forestry Service. Inf. Ref. PI-X-53,
161 p.
Pratiwi. 1999. Karakteristik lahan habitat pulai gading (Alstonia scholaris R.Br.) di Hutan
Tanaman, Sumatera Selatan. Buletin Penelitian Hutan 618 : 13-30.
Pusat Pengelolaan Ekorgion Sumatera Kementerian Lingkungan Hidup. 2014. Status Kualitas
Lingkungan Provinsi Lampung. Data dan Informasi Lingkungan Hidup
Sumatera.http://ppesumatera.menlh.go.id.
Putri, KP., N. Siregar, M. Sanusi dan Abay. 2011. Kuantifikasi Produksi Buah Tanaman Hutan
Jenis Ganitri (Elaecarpus ganitrusi) dan Kilemo (Litsea cubeba). [Laporan Hasil
Penelitian]. Balai PenelitianTeknologi Perbenihan. Badan Litbang Kehutanan, Bogor.
[Indonesia].
Rostiwati T., Y. Heryati, S. Bustomi. 2006. Review hasil Litbang kayu energi dan turunannya.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman.Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Bogor
Schmidt L. 2000. Pedoman penanganan benih tanaman hutan tropis dan sub tropis.
Departemen Kehutanan dan Indonesia Forest Seed Project. Jakarta.
Setiawati, MR. B.N. Fitriatin, dan P. Suryatman. 2000. Pengaruh Mikoriza danPupuk
Fosfatterhadap Drajat Infeksi Mikoriza dan KomponenPertumbuhan Tanaman
Kedelai.Proseding Seminar Nasional Mikoriza I.Bogor.
Soerawidjaja, T.H. 2007a. Mabai atau Malapari atau Kranji (Pongamia pinnata). Pusat Penelitian
Energi Berkelanjutan (Center for Research on Sustainable Energi). Institut Teknologi
Bandung. Bandung. Tidak dipublikasikan.
Soerawidjaja, T. H. 2007b. An Overview on Biofuels: The 3rd MRPTNI – CUPT Conference, Chiang
Mai, Thailand, 15 December 2007
Sopamena, C.H.A. 2007. Hitaullo (Calophyllum inophyllum L.): Sumber Energi Bahan Bakar
Nabati (BBN) dan Tanaman Konservasi. ISBN 978-979-15684-0-19 789791. BAPINDO.
Bandung.
Sri-Ngernyuang K, Kanzaki M, Itoh A. 2007. Seed production and dispersal of four Lauraceae
species in a tropical lower montane forest, Northern Thailand. Mj. Int. J. Sci. Tech 01:
73-87.
Suita, E., T. Suharti, D. Haryadi dan Abay. 2012. Pengujian Mutu Fisik, Fisiologis Dan Pendugaan
Umur Simpan Benih Jenis Weru (Albizia ProceraBenth) Dan Pilang (Acacia Leucophloea).
Laporan Hasil Penelitian (tidak diterbitkan)
Suita, E. dan S. Bustomi. 2014. Teknik Peningkatan Daya Dan Kecepatan Berkecambah Benih
Pilang. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 45-52
Suita, E., D. Syamsuwida, Suherman, A.H. Setiawan. 2014. Pengujian Mutu Fisik, Fisiologis Dan
Penyimpanan Benih Jenis Malapari (Pongamia Pinnata Merril) Dan Turi (Sesbania
Grandiflora). Laporan Hasil Penelitian (tidak diterbitkan)

54
Aspek Perbenihan

Susanto, M., T.A Prayitno dan Y. Fujisawa. 2008. Wood genetic variation of Acacia auriculifomis
at Wonogiri Trial in Indonesia. Journal of Forestry Research Vol 5 (2):125-134.
Syachri, N.T. 1982. Beberapa sifat kayu dan limbah pertanian sebagai sumber energy. Laporan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan 1982 (161):17 – 22.
Syamsuwida, D., A. Aminah dan A. Muharam. 2011. Fenologi dan Potensi Produksi Benih
Tanaman Penghasil Kayu Energi Jenis Weru (Albizia procera), pilang (Acacia
leucophloea), akor (Acacia auriculiformis) dan kaliandra (Caliandra callothyrsus).
Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Bogor. Tidak
diterbitkan.
Syamsuwida, D.R. Kurniaty, K.P.Putri dan E. Suita. 2014. Kaliandra ( Calliandra callothyrsus) as a
timber for energy: In a point of view of seeds and seedlings procurement. Journal
Energy Procedia 47 (2014 : 62-70).
Tabla, V.P and C.F Vargas. 2004. Phenology and phenotypic natural selection on the flowering
time of a deceit-pollinated tropical orchid, Myrmecophila christinae. Annals of Botany,
94(2): 243-250.http://aob.oxfordjournals.org
Utami, S. dan Asmaliyah. 2010. Potensi pemanfaatan tumbuhan obat di Kabupaten Lampung
Barat dan Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Tekno Hutan Tanaman Vol. 3
(2): 1-29.
Wardah. 2005. Keanekaragaman jenis tumbuhan di kawasan hutan Krui, Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan Lampung Barat. J.Tek.Ling. P3TL-BPPT 6(3): 477-484.
Wiens D, Calvin CL, Wilson CA, Davern CI, Frank D, Seavey SR. 1987. Reproductive success,
spontaneous embryo abortion and genetic load in flowering plants, Oecologia 71:501-
509
Zuhud EAM. 2008. Potensi hutan tropika Indonesia sebagai penyangga bahan obat alam untuk
kesehatan bangsa. http://www.academia.edu/5650004.

55
Aspek Perbenihan

PENGARUH PENGUSANGAN TERHADAP VIABILITAS BENIH AKOR (Acacia auriculiformis) DAN


KALIANDRA (Calliandra calothyrsus)

Tati Suharti dan Eliya Suita


Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

ABSTRAK

Pengusangan merupakan salah satu perlakuan terhadap benih yang dapat menyebabkan kemunduran
kualitas benih karena lingkungan. Untuk mengetahui proses alami penurunan kualitas benih kaliandra
dan akor maka dilakukan penelitian mengenai pengaruh pengusangan terhadap viabilitas benihnya.
Pengusangan dilakukan dengan cara menempatkan benih dalam bak yang telah diisi air sebanyak 150
ml, kemudian dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 40°C selama jangka waktu tertentu sesuai
dengan taraf pengusangan yang diberikan. Perlakuan pengusangan untuk masing-masing jenis benih
yang akan diuji antara lain: Jenis Kaliandra: (a) kontrol (tanpa perlakuan), (b). benih diusangkan selama
24 jam, (c). 48 jam, (d) 72 jam, (e) 96 jam, (f) 120 jam, (g) 144 jam, (h) 168 jam, (i)192 jam, (j) 216 jam
(k) 240 jam. Jenis Akor: (a) kontrol (tanpa perlakuan), (b). benih diusangkan selama 48 jam, (c). 96 jam,
(d) 144 jam, (e) 192 jam, (f) 240 jam, (g) 288 jam, (h) 336 jam. Pengusangan benih kaliandra yang di
usangkan selama 240 jam masih menghasilkan daya berkecambah cukup tinggi yang tidak berbeda
nyata sebelum di usangkan yaitu dengan daya berkecambah 89,50% dan begitu juga dengan benih akor
yang di usangkan selama 336 jam dengan daya berkecambah 51,33%.
Kata kunci: akor, daya berkecambah, kaliandra, pengusangan

I. PENDAHULUAN
Penurunan kualitas benih merupakan proses alami yang tidak dapat dihindari. Proses
kemunduran benih terjadi secara simultan dan merupakan proses yang tidak dapat dipisahkan
hingga benih menjadi tidak viabel. Empat proses awal yang terjadi pada saat benih mulai
mengalami kemunduran sejak benih mulai dipanen adalah kerusakan akibat radikal bebas,
hilangnya integritas membrane, hilangnya aktivitas enzim dan aktivitas sel. Proses ini akan
mengakibatkan berlangsungnya proses-proses selanjutnya, sehingga benih menjadi tidak viabel
lagi (Bewley dan Black, 1985). Penurunan kualitas benih dapat diperlambat melalui
penyimpanan yang tepat. Salah satu cara untuk mengetahui percepatan penurunan kualitas
benih adalah melalui pengusangan dipercepat (accelerated ageing) (Zanzibar, 2007).
Pengusangan dipercepat adalah pengujian dengan menggunakan kondisi yang diperburuk
berupa panas, oksigen, sinar matahari, getaran, dan lain-lain, untuk mempercepat proses
penuaan benih. Pengusangan merupakan salah satu perlakuan terhadap benih yang dapat
menyebabkan kemunduran kualitas benih karena lingkungan, yaitu dengan temperatur yang
tinggi (40-50°C) dan kelembaban yang tinggi (>90%). Perlakuan ini merupakan pendekatan
untuk mendapatkan benih dengan kondisi yang sama dengan benih yang sudah mengalami
periode penyimpanan tertentu (Zanzibar, 2003). Hal ini digunakan untuk menentukan efek
jangka panjang dari tingkat stres yang diharapkan dalam waktu yang lebih pendek. Metode
pengusangan cepat juga digunakan untuk pendugaan daya simpan kedelai (Maesaroh et al.,
2012), pengujian vigor daya simpan padi (Cutrisni et al., 2011) dan deteksi dini mutu dan
ketahanan simpan benih jagung hibrida (Koes dan Arief, 2010). Beberapa hasil penelitian
pengusangan jenis jati selama 9 hari menghasilkan daya berkecambah dan potensial tumbuh
maksimum tertinggi (43,359% dan 44,253%) (Prasodjo dan Wiguna, 2002). Menurut
Ekowahyuni et al. (2013), metode pengujian vigor daya simpan khususnya benih cabai dapat

57
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

dihasilkan dengan metode pengusangan cepat, hasil penelitian yang terbaik yaitu metode
pengusangan cepat methanol 20% pada 0, 2, 4, 6 dan 8 jam. Menurut Wafiroh et al. (2010)
metode pengusangan cepat terkontrol juga dapat untuk menguji vigor lot benih wijen di
laboratorium.
Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Akor (Acacia auriculiformis) merupakan jenis
penghasil kayu energi. Akor merupakan bahan untuk kayu bakar dan kayunya juga baik untuk
membuat kertas, perabot dan peralatan. Species ini dapat tumbuh pada lahan marjinal, pada
lahan bekas tambang dengan pH 3 hingga pantai berpasir dengan pH 8-9, lahan tergenang,
lahan alang-alang sehingga sangat cocok untuk rehabilitasi lahan kritis (Joker, 2001). Kaliandra
dikenal sebagai tanaman serbaguna karena manfaatnya untuk penghijauan, pencegah erosi,
sumber kayu bakar, peternakan lebah madu dan makanan ternak (Tangendjaja et al., 1992).
Untuk mengetahui penurunan kualitas benih kaliandra dan akor maka dilakukan
penelitian mengenai pengaruh pengusangan terhadap viabilitas benihnya.

II. METODOLOGI
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Benih kaliandra berasal dari Mega Mendung, Cipayung, Bogor, sedangkan akor berasal
dari Riau. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Balai Penelitian Teknologi Perbenihan
Tanaman Hutan Bogor.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu benih kaliandra (Gambar 1.) dan akor (Gambar 2.) yang
sudah masak fisiologi yang ditandai dengan warna buah hijau- kecoklatan dan sebagian buah
sudah merekah, media kertas merang sedangkan alat yang digunakan yaitu oven, inkubator,
germinator, timbangan analitik, petridish, label, kantong plastik, dan lain-lain.

Gambar 1. Benih kaliandra Gambar 2. Benih akor


C. Prosedur
(1) Ekstraksi
Benih yang sudah diunduh kemudian diekstraksi untuk mengeluarkan benih dari
buahnya. Ekstraksi dilakukan dengan cara penjemuran buah sampai merekah dan untuk
mengeluarkan benih dari kulit buah dilakukan dengan cara benih dimasukkan ke dalam
karung kemudian dipukul-pukul atau diinjak-injak, kemudian benih dipisahkan dari kulit
buahnya secara manual.
(2) Perlakuan Pengusangan
Perlakuan pengusangan dilakukan untuk menduga viabilitas benih selama penyimpanan.
Pengusangan dilakukan dengan cara menempatkan benih dalam bak yang telah diisi air
sebanyak 150 ml, kemudian dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 40°C selama jangka
waktu tertentu sesuai dengan taraf pengusangan yang diberikan. Perlakuan pengusangan untuk
masing-masing jenis benih yang akan diuji antara lain: Jenis Kaliandra: (a) kontrol (tanpa
perlakuan), (b). benih diusangkan selama 24 jam, (c). 48 jam, (d) 72 jam, (e) 96 jam, (f) 120 jam,
58
Aspek Perbenihan

(g) 144 jam, (h) 168 jam, (i)192 jam, (j) 216 jam (k) 240 jam. Jenis Akor: (a) kontrol (tanpa
perlakuan), (b). benih diusangkan selama 48 jam, (c). 96 jam, (d) 144 jam, (e) 192 jam, (f) 240
jam, (g) 288 jam, (h) 336 jam.

Gambar 3. Inkubator
Pada setiap periode pengusangan diuji kadar air dan perkecambahannya. Untuk
penaburan masing-masing perlakuan terdiri dari 50 benih dengan 4 ulangan (kaliandra) dan 100
benih dengan 4 ulangan (akor). Benih hasil pengusangan dikecambahkan di cawan petri dengan
media kertas merang. Pengamatan dilakukan setiap 2 hari, dengan menghitung kecambah
normal. Penentuan kadar air dengan metode oven suhu 103±2°C selama 17±1 jam.
D. Analisis data
Data dianalisis dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Uji jarak Duncan digunakan
untuk membandingkan nilai rata-rata tahap pengusangan (Steel and Torrie, 1980).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil analisis ragam pengaruh pengusangan jenis kaliandra terhadap peubah kadar air
dan daya berkecambah (Tabel 1).
Tabel 1. Analisa Keragaman Kadar Air dan Daya Berkecambah pada Pengusangan Kaliandra
Jenis Parameter Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah
Kaliandra Kadar Air Ukuran 11 46,43 4,22 3,10*
Sisa 24 32,72 1,36
Total 35 79,14
Daya Ukuran 11 2368,92 215,36 4,51*
Berkecambah Sisa 36 1719,00 47,75
Total 47 4087,92
Keterangan * = nyata pada tingkat kepercayaan 95%

Dari Tabel 1, dapat dilihat bahwa hasil analisa keragaman untuk parameter kadar air dan
daya berkecambah memperlihatkan adanya perbedaan yang signifikan, untuk itu dilanjutkan
dengan uji lanjut.
Benih kaliandra yang diusangkan sampai 240 jam masih mempunyai daya berkecambah
yang tidak berbeda nyata dengan kontrol, tetapi ada ketidakstabilan pada pengusangan 96 jam
dan 192 jam, ini dimungkinkan karena ketidakhomogennya pengambilan sampel benih.
Sedangkan untuk kadar airnya berfluktuasi dengan nilai kadar air awal 5,56%, kemudian menaik
dan dapat mencapai 9,77%. Adanya kondisi turun naiknya kadar air benih selama pengusangan
kemungkinan disebabkan/dipengaruhi kondisi suhu kelembaban yang ada di ruang inkubator.
Walaupun kadar air berfluktuasi tetapi tidak terlalu berpengaruh terhadap daya berkecambah
dimana daya berkecambah tetap tinggi.

59
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Tabel 2. Hasil Uji Lanjut Rata-Rata Kadar Air dan Daya Berkecambah Benih
Kaliandra Hasil Pengusangan
Pengusangan Daya Berkecambah
Jenis Kadar Air (%)
(jam) (%)
Kaliandra Kontrol 5,56 d 95,00a
(Mega 1 24 7,94abc 89,50ab
Mendung)
2 48 8,90abc 85,50ab
3 72 7,22 bcd 89,00ab
4 96 7,26 bcd 83,00 b
5 120 8,69abc 93,00ab
6 144 6,67 cd 90,00ab
7 168 8,48abc 91,00ab
8 192 9,11ab 71,50 c
9 216 7,23 bcd 85,50ab
10 240 9,77a 89,50ab
11 264 7,39 bcd 73,00 c
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan pada
tingkat kepercayaan 95%

Dari Tabel 3, dapat dilihat bahwa hasil analisa keragaman untuk parameter kadar air dan
daya berkecambah memperlihatkan adanya perbedaan yang signifikan, untuk itu dilanjutkan
dengan uji lanjut.
Tabel 3. Analisa Keragaman Kadar Air dan Daya Berkecambah pada Pengusangan Akor
Jenis Parameter Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah
Akor Kadar Air Ukuran 7 857,75 122,54 11,84*
Sisa 15 155,23 10,35
Total 22 1012,98
Daya Ukuran 7 2039,83 291,41 3,26*
Berkecambah Sisa 16 1432,00 89,50
Total 23 3471,83
Keterangan * = nyata pada tingkat kepercayaan 95%
Tabel 4. Hasil Uji Lanjut Rata-Rata Kadar Air Dan Daya Berkecambah Benih Akor
Hasil Pengusangan
Pengusangan Daya Berkecambah
Jenis Kadar Air (%)
(jam) (%)
Akor (Riau) Kontrol 6,56 e 63,33a
1 48 19,04 bc 66,00a
2 96 21,02 b 60,67ab
3 144 18,91 bc 38,00 c
4 192 23,28ab 44,67 bc
5 240 28,58a 60,67ab
6 288 13,93 cd 50,67abc
7 336 12,28 de 51,33abc
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan
pada tingkat kepercayaan 95%

60
Aspek Perbenihan

Pengusangan jenis akor, walaupun sudah diusangkan selama 336 jam tetapi daya
berkecambahnya masih belum berbeda nyata dengan kontrol, tetapi ada penurunan pada
pengusangan 144 jam kemudian menaik lagi pada periode berikutnya. Sedangkan untuk kadar
airnya terus meningkat, puncaknya pada pengusangan 240 jam yang mencapai 28,58%.
Walaupun kadar air meningkat tetapi belum mempengaruhi daya berkecambahnya.
Jenis akor dan kaliandra merupakan jenis yang mempunyai kulit benih yang keras
sehingga apabila akan dilakukan penaburan harus diberi perlakuan terlebih dahulu. Dengan
pengusangan selama 240 jam (kaliandra) dan 336 jam (akor), jenis ini masih dapat
mempertahankan daya berkecambahnya, kemungkinan karena perlindungan dari kulit benih
yang keras sehingga dengan kondisi yang ekstrim benih bisa bertahan. Sesuai dengan penelitian
jenis Albizia procera (Suita, 2013) yang sudah diusangkan selama 880 jam, masih mempunyai
daya berkecambah 69% dan Acacia mangium (Zanzibar, 2003), yang sudah diusangkan selama
480 jam, masih mempunyai daya berkecambah 74%. karena kemungkinan benih mempunyai
kulit benih yang keras dan impermeable sehingga kondisi lingkungan yang ekstrim selama
proses pengusangan tidak memberikan pengaruh yang besar terutama penyerapan air ke
dalam sel. Dengan demikian apabila kadar air benih dipertahankan dengan kondisi ruang
simpan yang terkendali maka benih kaliandra dan akor dapat mempertahankan daya
berkecambahnya dalam waktu yang cukup lama.

IV. KESIMPULAN
Kualitas benih kaliandra yang diusangkan selama 240 jam belum mengalami penurunan,
masih menghasilkan daya berkecambah cukup tinggi yang tidak berbeda nyata sebelum di
usangkan yaitu dengan daya berkecambah 89,50%, begitu juga dengan benih akor yang sudah
diusangkan selama 336 jam dengan daya berkecambah 51,33%.

DAFTAR PUSTAKA
Bewley, J.D and M. Black. 1985. Physiology and Biochemistry of Seed. Vol I. Springer Verlag.
New York
Cutrisni, F. C. Suwarno, dan Suwarno. 2011. Pengujian Vigor Daya Simpan Dengan Metode
Pengusangan Cepat Fisik Dan Vigor Kekuatan Tumbuh Pada Benih Padi. Karya Tulis
Institut Pertanian Bogor. Abstract Pdf.
Ekowahyuni, L.P., S. H. Sutjahjo, S. Sujiprihati, M. R. Suhartanto, dan M. Syukur. 2013. Evaluasi
Vigor Daya Simpan Benih Pada Berbagai Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.) Dengan
Metode Pengusangan Cepat. Volume 1 Nomor 1. E-Journal WIDYA Kesehatan Dan
Lingkungan.
Joker. 2001. Acacia auriculiformis Cunn. ex Benth. Informasi Singkat Benih. Direktorat
Perbenihan Tanaman Hutan.
Koes, F. Dan R. Arief. 2010. Deteksi Dini Mutu Dan Ketahanan Simpan Benih Jagung Hibrida F1
Bima 5 Melalui Uji Pengusangan Cepat (Aat). Prosiding Pekan Serealia Nasional. Balai
Penelitian Tanaman Serealia.
Maesaroh, S, Y.Wahyu E.K., dan E. Widajati. 2012. Pendugaan Daya Simpan Galur-Galur Kedelai
(Glycine Max (L.) Merr.) Hasil Iradiasi Sinar Gamma Dengan Metode Pengusangan Cepat.
Karya Tulis Institut Pertanian Bogor. Abstract Pdf.

61
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Prasodjo, HN. dan G. Wiguna. 2002. Penggunaan metode pengusangan cepat untuk
memperbaiki perkecambahan benih jati (Tectona grandis L.f). Buletin Vol. IV (01).
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1980. Principles and procedures of statistic. McGraw-Hill, Inc.
Suita, E. 2013. Pengaruh pengusangan terhadap viabilitas benih weru (Acacia procera Benth.).
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan. Vol 1(1). Balai Penelitian Teknologi Perbenihan
Tanamn Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian
Kehutanan
Tangendjaja, B., E. Wina, T. Ibrahim dan B. Palmer. 1992. Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan
pemenfaatannya. Balai Penelitian Ternak dan The Australian Centre for International
Agricultural Research.
Wafiroh, S., E. Murniati dan A. Qadir. 2010. Pengujian Vigor Benih Menggunakan Metode
Pengusangan Cepat Terkontrol Dan Korelasinya Terhadap Daya Tumbuh Dan Vigor Bibit
Wijen. Makalah Seminar Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Zanzibar, M. 2003. Kemunduran Viabilitas Beberapa Benih Pohon Hutan Akibat Pengaruh
Perlakuan Pengusangan. Buletin Teknologi Perbenihan Vol. 10 (1). Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Pusat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.
Zanzibar, M. 2007. Pengaruh Perlakuan Pengusangan dengan Uap Etanol Terhadap Penurunan
Kulitas Fisiologis Benih Akor, Merbau dan Mindi. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 4
(2). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman.

62
Aspek Perbenihan

INFORMASI AWAL INDENTIFIKASI CENDAWAN KARAT PURU TERBAWA BENIH SENGON:


PENGARUHNYA TERHADAP PERKECAMBAHAN

Yulianti Bramasto, Danu dan Muhammad Zanzibar


Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

ABSTRAK

Produktivitas hutan tanaman sengon (Albizia falcataria L. Forsbeg) di Pulau Jawa, saat ini terus menurun
karena adanya serangan berbagai hama dan penyakit. Salah satu penyakit yang cukup mendesak untuk
segera dilakukan pengendalian adalah penyakit karat puru. Penyakit karat puru dapat menyerang
berbagai bagian tanaman sengon diantaranya adalah polong yang selanjutnya berpengaruh terhadap
benih. Hasil pengamatan awal pada benih sengon yang berasal dari berbagai lokasi yang sudah
terserang karat puru, yaitu Garut (Jawa Barat), Boyolali (Jawa Tengah), Kediri (Jawa Timur ), sedangkan
benih asal Papua, tegakannya masih bebas karat puru. Hasil pengamatan menunjukkan polong yang
berasal dari Garut sudah terserang karat puru, demikian pula dengan benihnya. Daya berkecambah (DB)
dan kecepatan berkecambah (KCT) benih yang berasal dari Papua mempunyai nilai tertinggi yaitu 84,5%
dan 0,11% per et mal dibandingkan ketiga asal benih lainnya. Hal ini diduga karena benih asal Papua
belum terserang karat puru sehingga mempunyai viabilitas benih tertinggi. Viabilitas benih (DB dan KCT)
terendah adalah yang berasal dari Boyolali, nilai DB dan KCT masing-masing adalah 39,5% dan 0,037%
per et mal. Oleh karena itu upaya pengendalian pada tingkat benih mutlak dilakukan, selain melalui
teknik penanganan benih juga perlu adanya pengawasan terhadap peredaran benih sengon.
Kata kunci: Albizia falcataria, Jawa, karat tumor, Papua, polong

I. PENDAHULUAN
Tanaman sengon merupakan jenis andalan hutan rakyat, khususnya di Pulau Jawa,
namun saat ini kondisi tegakan sengon di Jawa, mulai dari daerah Jawa Barat, Jawa Tengah
hingga Jawa Timur sebagian besar sudah terserang penyakit karat tumor/puru. Menurut
Anggraeni (2008) serangan karat puru pada sengon mulai diketahui pada tahun 1996 di daerah
Maluku, selanjutnya mulai tahun 2003 sudah ditemukan dibeberapa tempat di Jawa, dan
serangan karat puru terus meluas hingga hampir seluruh tegakan sengon di Jawa.
Upaya mendapatkan klon sengon toleran terhadap karat puru telah dilakukan oleh
Baskorowati (2014) dan Setiadi et al. (2014) melalui pembangunan Kebun Benih Uji Keturunan
dan pembangunan plot uji resistensi sengon terhadap karat puru. Adapun Anggraeni
melakukan penelitian teknik pengendalian secara fisik maupun kimiawi. Penelitian yang sedang
dilakukan oleh Lelana (2014) adalah mengkoleksi cendawan antagonis (endofit) yang dapat
dijadikan pengendali hayati.
Di duga penyebaran penyakit karat puru pada tanaman sengon terjadi melalui benih
(seed borne pathogen). Mikroorganisme lainnya yang penyebarannya terbawa benih yakni
cendawan, bakteri, virus dan nematode. Cendawan merupakan patogen yang sering
menginfeksi benih baik pada saat di lapangan maupun di penyimpanan. Patogen benih dapat
terbawa bibit lebih lanjut dapat menginfeksi tanaman setelah berada di lapangan (Lazreg et al.,
2014). Patogen terbawa benih menyebabkan benih busuk, nekrosis dan mengurangi viabilitas
benih dan vigor bibit (Naqvi et al., 2013). Kerugian yang disebabkan oleh patogen yang terbawa
benih antara lain menurunnya kualitas dan kuantitas benih.
Pathogen terbawa benih dapat terjadi didalam benih atau dipermukaan benih.
Mekanisme pathogen terdapat dalam benih terjadi pada saat proses penyerbukan, yaitu

63
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

terbawa atau menempel pada pollinator. Pada saat pollinator menyerbuki bunga betina, maka
spora atau benang miselia yang menempel pada pollinator akan mengkotaminasi serbuk sari
(polen) dan akhirnya masuk dalam tabung ovarium (Ovary) dan jaringannya tetap hidup hingga
terbentuknya embrio. Adapun cendawan yang terdapat dipermukaan luar benih, kemungkinan
karena benih terkontaminasi cendawan yang terbawa angin, atau pada saat pengunduhan
benih jatuh ke tanah, dan tanah sudah terkontaminasi oleh cendawan. Kemudian benih yang
mengandung cendawan karat puru didistribusikan ke daerah lain.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengindentifikasi cendawan karat puru pada benih
serta mengetahui pengaruhnya terhadap perkecambahan benih sengon.

II. METODOLOGI
Bahan yang digunakan adalah benih sengon, yang berasal dari Garut Jawa Barat,
Boyolali Jawa Tengah, Kediri Jawa Timur dan Papua. Alat-alat yang digunakan antara lain media
agar, petridish, media perkecambahan, bak kecambah, label, mistar, oven, germinator,
timbangan analitik, kamera, mikroskop, plastic, shading net dan laminar air flow. Penelitian
identifikasi cendawan serta perkecambahan benih dilakukan di Laboratorium, rumah kaca dan
persemaian BPTPTH Bogor.
Pengunduhan buah sengon dilakukan pada pohon sengon yang telah berbuah masak
secara fisiologis. Pengunduhan buah dilakukan dengan cara memanjat pohon, buah sengon
(polong) dipetik menggunakan galah berkait atau pisau/sabit. Ujung galah diberi karung kecil
atau kantong jaring sehingga bila polong dipetik dapat langsung masuk ke dalam karung atau
jaring.
Polong-polong yang terlihat sudah terinfeksi oleh cendawan karat puru selanjutnya
dipisahkan dan diisolasi untuk diidentifikasi dibawah mikroskop. Cendawan karat puru dibiakan
pada media agar, yaitu dengan meletakkan bagian polong yang sudah terinfeksi karat puru
pada media agar. Cawan petri yang berisi bagian polong/benih yang mengandung cendawan
selanjutnya diinkubasi selama 7 hari dengan kondisi penyinaran 12 jam terang dan 12 jam gelap
secara bergantian. Pada hari ke-8 cendawan diidentifikasi dengan membandingkan bentuk,
pertumbuhan, warna dan mikroskopisnya.
Adapun benih hasil ekstraksi selanjutnya dikecambahkan pada bak kecambah dengan
menggunakan media campuran pasir dan tanah (v/v : 1/1), media perkecambahan sebelum
dipergunakan, disterilkan terlebih dahulu dengan cara di steam (kukus) selama ± 3 jam. Jumlah
benih yang dikecambahkan dari setiap lokasi adalah 100 butir dan diulang 4 kali. Pengamatan
perkecambahan dengan menghitung daya berkecambah dan kecepatan berkecambah.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Identifikasi
Hasil pengumpulan benih dari berbagai lokasi sentra tanaman sengon di Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur, menunjukkan bahwa sebagaian besar tegakan sengon sudah
terserang karat puru. Secara umum bagian tanaman yang diserang adalah batang, cabang dan
daun (Gambar 1).

64
Aspek Perbenihan

Gambar 1. Posisi serangan karat puru pada bagian batang dan cabang tanaman sengon di Kediri
Serangan karat puru menyerang pada semua tingkat umur tanaman, mulai dari bibit,
tanaman muda hingga tanaman tua. Hasil pengamatan pada tingkat polong juga menunjukkan
adanya serangan karat puru pada tingkat ini. Karakteristik karat puru adalah merupakan
cendawan obligat, yaitu cendawan ini hanya akan bertahan hidup dan tumbuh pada jaringan
tanaman yang masih hidup (Wiyastuti et al. 2013; Lelana, 2015). Serangan karat puru juga
terjadi pada bagian polong, bentuk polong yang terserang karat puru dapat dilihat pada
Gambar 2.

Gambar 2. Serangan karat puru pada polong sengon asal Garut


Cendawan karat puru yang menyerang bagian polong tersebut selanjutnya diisolasi dan
didentifikasi dibawah mikroskop, hasil identifikasi menunjukkan bahwa bentuk morfologi
cendawan tersebut mempunyai ciri-ciri yang sama dengan yang telah dilaporkan oleh beberapa
peneliti sebelumnya. Hasil pengamatan bentuk cendawan karat puru pada polong dapat dilihat
pada Gambar 3.

B C
A
Gambar 3. Bentuk cendawan karat puru pada fase teliospora yang diisolasi
dari bagian polong (A dan B) serta benih (C ) sengon
Penyebab penyakit karat puru pada tanaman sengon adalah cendawan Uromycladium
tepperianum (Sace.) McAlp atau jamur karat (Anggraeni, 2008; Rahayu et al., 2010). Jamur
hanya membentuk satu macam spora yang dinamakan teliospora. Hasil pengamatan di bawah
mikroskop menunjukkan teliospora berbentuk bulat, mempunyai struktur yang berjalur dan

65
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

bergerigi (Gambar 3), ukuran rata-rata panjang dan lebar masing-masing adalah panjang
berkisar 20-29 µm dan lebar 18-26 µm. Namun Rahayu et al. (2010) melaporkan ukuran spora
berkisar antara lebar 13-20 µm dan panjang 17-28 µm, sedangkan hasil penelitian Sumeru D.
(2013) menyatakan bahwa panjang dan lebar spora masing-masing adalah 20-28 μm dan 15-25
μm. Hal ini menunjukkan adanya variasi ukuran dari teliopsora. Teliospora akan berkecambah
dan menghasilkan basidiospore, dan bentuk basidiospore inilah yang melakukan penetrasi
langsung pada bagian-bagian tanaman, selanjutnya menembus epidermis dan berkembang
pada jaringan inang dibawahnya (Rahayu et al., 2010; Widyastuti et al., 2013; Sumeru, 2013).
Berdasarkan penjelasan tentang proses infeksi jamur karat puru, maka keberadaan
karat puru pada bagian polong, akan secara langsung menyerang bagian benih, sehingga benih
yang dihasilkan dari polong yang sudah terinfeksi karat puru menghasilkan benih yang sudah
terinfeksi pula oleh karat puru. Penularan karat puru pada bagian polong dapat disebabkan
oleh beberapa hal, diantaranya terbawanya spora oleh angin atau serangga (Triyogo dan
Widayatuti, 2012). Serangga yang berasosiasi dengan karat puru menurut Triyogo dan
Widayatuti (2012) terdiri dari 5 (lima) ordo yaitu Hemiptera, Diptera, Hymenoptera, Coleoptera
dan Lepidoptera.
Benih atau bagian benih yang terserang pathogen banyak ditemukan pada benih
tanaman pangan seperti pada gandum (Majumder et al., 2013), demikian pula pada beberapa
benih tanaman hutan (Yulianti dan Suharti, 2007; Suharti et al., 2014; Suharti dan Yulianti,
2014). Dampak serangan pathogen pada benih dapat menurunkan viabilitas benih.
B. Viabilitas benih sengon
Dalam penelitian ini dilakukan pula pengujian viabilitas terhadap benih sengon yang
berasal dari berbagai lokasi. Pengamatan dilakukan terhadap daya kecambah benih (DB) dan
kecepatan berkecambah (KCT), kedua respon ini merupakan informasi awal untuk mengetahui
mutu fisiologis benih. Hasil pengamatan daya berkecambah dan kecepatan berkecambah dapat
dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.

Gambar 4. Daya berkecambah benih dari tiga lokasi asal benih


Sengon yang tumbuh di Papua sampai saat ini masih belum terserang karat puru,
sehingga terlihat benih sengon yang berasal dari Papua mempunyai rata-rata daya
berkecambah paling tinggi (Gambar 4). Demikian pula dengan kecepatan berkecambah benih
asal Papua mempunyai nilai rata-rata tertinggi (Gambar 5), hal ini berarti benih sengon asal
Papua mempunyai vigor yang lebih tinggi dibanding benih asal lainnya.

66
Aspek Perbenihan

Gambar 5. Kecepatan berkecambah (KCT) benih sengon dari tiga lokasi asal benih
Waktu berkecambah benih, untuk benih asal Kediri dan Papua mulai berkecambah
normal pada hari ke lima dan enam setelah tabur, sedangkan benih asal Garut dan Boyolali
mulai berkecambah normal pada hari ke delapan setelah tabur. Terlihat benih asal Garut dan
Boyolali lebih lambat berkecambah, dan mempunyai daya berkecambah dan kecepatan yang
rendah. Gambar 6 menunjukkan perbedaan waktu dan jumlah kecambah yang tumbuh dari
setiap asal benih.

Gambar 6. Jumlah kecambah normal pada setiap hari pengamatan


Benih asal Papua mulai berkecambah pada hari ke 6 setelah tabur dan mencapai
puncaknya pada hari ke 8 setelah tabur, sedangkan benih asal Kediri mulai berkecambah pada
hari ke 5 dan mencapai puncaknya pada hari ke 7. Benih asal Garut dan Boyolali mempunyai
jumlah kecambah rendah dan mulai berkecambah pada hari ke 7 dan mencapai puncaknya
pada hari ke 11. Berdasarkan Gambar 6 tersebut terlihat benih asal Papua lebih vigor, lebih
cepat berkecambah dengan jumlah kecambah normal tertinggi dibanding tiga lokasi lainnya.
Hal ini juga terlihat dari total kecambah normal yang tumbuh sampai akhir pengamatan
(Gambar 4), DB benih asal Papua mempunyai nilai tertinggi (84,25%).
Hampir seluruh tegakan sengon yang berada di Pulau Jawa sudah terserang karat puru,
demikan pula dengan tegakan di Kediri dan Boyolali, kemungkinan polong yang sudah terserang
karat puru, menginfeksi pula benihnya, sehingga berpengaruh terhadap perkecambahan.
Namun hal ini perlu pengamatan lebih lanjut pada tingkat bibit, apakah akan mempengaruhi
pertumbuhan bibit serta kemunculan karat puru pada bibit.
Terbawanya karat puru pada benih sengon, merupakan salah satu penyebab semakin
cepatnya penyebaran serangan karat puru, khususnya di Pulau Jawa, sebagai sentra tanaman

67
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

sengon rakyat. Upaya pengendalian karat puru sudah banyak dilakukan, namun hingga saat ini
pengendalian pada tingkat benih belum pernah dilakukan, karena pengendalian lebih
difokuskan pada tanaman muda maupun tua dilapangan. Melihat gejala yang sudah
disampaikan diatas terlihat benih dapat menjadi salah satu penyebab tersebarnya karat puru,
oleh karena itu pengendalian ditingkat benih mutlak dilakukan. Adapun beberapa cara yang
dapat dilakukan antara lain dengan melalukan sterilisasi benih sebelum disemai, yaitu benih
dicuci atau disterilkan dengan klorox. Metoda lain yang dapat dilakukan adalah dengan
meningkatkan vigor benih, yaitu melalui metoda primming. Bila serangan karat muncul pada
tingkat bibit, maka bibit yang terkena serangan karat puru segera disingkirkan dan
dimusnahkan agar tidak tumbuh dan menyebar ke tanaman lainnya.
Pada tingkat regulasi dapat didekati dengan mengawasi peredaran atau lalu lintas benih.
Hingga saat ini peredaran benih tanaman hutan belum sepenuhnya terawasi dengan baik,
sehingga upaya untuk mengatur peredaran benih harus segera dilakukan. Tanaman sengon di
beberapa tempat di luar Jawa, belum mengalami serangan karat puru, oleh karena itu perlu
adanya pengaturan peredaran benih sengon yang berasal dari Pulau Jawa, untuk sementara
sebaiknya benih sengon yang berasal dari Pulau Jawa tidak diedarkan di luar Jawa.

IV. KESIMPULAN
Penyebaran penyakit karat puru pada tanaman sengon dapat terbawa pada polong maupun
benih, sehingga berpengaruh terhadap viabilitas benih. Selain itu benih dan polong yang
terserang karat puru dapat berfungsi sebagai vector penyebaran karat ke wilayah lain. Oleh
karena itu upaya pengendalian pada tingkat benih mutlak dilakukan, selain melalui teknik
penanganan benih juga perlu adanya pengawasan terhadap sistem peredaran benih sengon.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Ir. Joakim Sagala, Kepala Balai BPTH Maluku-
Papua atas bantuan benih sengon asal Papua, serta kepada Sdri Dina Agustina, Sdr. Dwi
Haryadi, Sdr. Emuy Supardi, Sdr. Ateng Rahmat, Sdri Anggun, Sdri Suherman dan Sdr Agus Hadi
serta seluruh pihak yang telah membantu penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, I. 2008. Pengendalian Penyakit Karat Tumor (Gall Rust) Pada Sengon (Paraserianthes
Falcataria) Di RPH Pandantoyo, BKPH Pare, KPH Kediri. Makalah Workshop
Penanggulangan Serangan Karat Puru pada Tanaman Sengon 19 Nop 2008. Balai Besar
Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.
Baskorowati, L. 2014. Seleksi Genetik Sengon (Falcataria moluccana) Toleran Karat Tumor.
Leaflet. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.
Lazreg, L. Belabid, J. Sanchez, E. Gallego dan B. Bayaa. 2014. Pathogenicity of Fusarium spp.
Associated with Diseases of Aleppo-pine Seedling in Algerian Forest Nurseries. Journal
of Forest Science 60 (3): 115 – 120.
Lelana, N.E. 2014. Pengembangan Fungi Endofit sebagai agen pengendali hayati pada tanaman
Jabon, Sengon dan benuang bini. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014. Pusat
Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.

68
Aspek Perbenihan

Lelana, N.E. 2015. Penanganan Penyakit Karat Puru pada Sengon. Makalah disampaikan pada
Workshop Pengelolaan Hama & Penyakit Tanaman Sengon. Kediri 25-26 Agustus 2015.
Tidak diterbitkan.
Majumder D, Thangaswamy Rajesh, E. G. Suting, Ajit Debbarma. 2013. Detection of seed borne
pathogens in wheat: recent trends. Aus. Journal of Crop Science. 7 (4): 500-507.
Naqvi, S. D. Y., T. Shiden, W. Merhawi dan S. Mehret. 2013. Identification of Seed-borne Fungi
on Farmer Saved Sorghum (Sorghum bicolor L.) Pearl Millet (Pennisetum glaucum L.) and
Groundnut (Arachis hypogaea L.) Seeds. Agricultural Science Research Journals 3 (4):
107 – 114.
Rahayu, S. Susee Lee, Nor aini ab Shukor. 2010. Uromycladium tepperianum, the gall rust
fungus from Falcataria moluccana in Malaysia and Indonesia. Mycoscience 51(2):149-
153. DOI: 10.1007/s10267-009-0022-2
Setiadi D, Liliana Baskorowati, dan Mudji Susanto. 2014. Pertumbuhan Sengon Solomon Dan
Responnya Terhadap Penyakit Karat Tumor Di Bondowoso, Jawa Timur. Jurnal
Pemuliaan Tanaman Hutan. Vol. 8 No. 2: 121-136
Suharti, Yulianti Bramasto, Naning Yuniarti, 2014. Pengaruh Teknik Pengendalian Penyakit
Benih Jabon Merah (Anthocephalus Macrophyllus) Selama Penyimpanan Terhadap
Viabilitas Benih Dan Persentase Infeksi Cendawan. Prosiding Seminar Nasional
Fitopatologi, Padang. Sumbar.
Suharti Dan Yulianti Bramasto, 2014. Pengaruh Teknik Pengendalian Penyakit Benih Tembesu
(Fagraea Fragrans) Selama Penyimpanan Terhadap Viabilitas Benih Dan Persentase
Infeksi Cendawan. prosiding Seminar Nasional Silvikultur ke-2, tgl 28 Agustus 2014).
Sumeru, DR. 2013. Karakteristik morfologi dan patogenesitas jamur penyebab penyakit karat
tumor pada sengon gunung (Paraserianthes lophantha). Skripsi. Program Studi Budidaya
Hutan. Fakultas Kehutanan. Universitas Gajah Mada.
Triyogo dan Widyastuti. 2012. Peran Serangga sebagai vector penyakit karat puru pada sengon
(Albizia falcataria L. Fosberg). J. Agron. Indonesia 40 (1): 77-82.
Widyastuti SM, Harjono, Zulchan Andika Surya. 2013. Initial Infection of Falcataria moluccana
leaves and Acacia manium Phyllodes by Uromycladium tepperianum Fungi in Laboratory
Trial. Jurnal Manejemen Hutan (JMHT) Vol.XIX, (3): 187-193.
Yulianti, B. dan T. Suharti. 2007. Pengaruh Hama dan Penyakit Pada Benih Tanaman Hutan
Serta Pengaruhnya Terhadap Viabilitas dan Vigor Bibit Di Persemaian. Laporan Hasil
Penelitian. Balai Litbang Teknologi Perbenihan. Bogor.

69
Aspek Perbenihan

FENOLOGI PERKEMBANGAN BUNGA DAN BUAH NYAMPLUNG


(Callophylum inophylum)

Evayusvita Rustam, Dida Syamsuwida dan Aam Aminah


Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

ABSTRAK

Tujuan penelitian adalah mempelajari fenologi perkembangan bunga dan buah nyamplung yang
meliputi stuktur dan inisiasi bunga serta siklus perkembangan pembungaan dan pembuahan. Penelitian
dilakukan di Batukaras-Ciamis (Jawa Barat) mulai bulan Februari sampai Oktober 2013. Kegiatan
meliputi pemilihan dan penentuan pohon yang diamati, pengamatan jaringan tunas bunga serta
pengamatan tahap pembungaan dan pembuahan. Metode yang digunakan adalah pengamatan
langsung terhadap bentuk dan struktur penyusun bunga. Metode inisiasi bunga dilakukan dengan teknik
sayatan mikro (microcutting). Perkembangan bunga dan buah diamati secara visual terhadap tahap-
tahap perkembangan mulai dari tunas generatif, kuncup bunga, bunga mekar, bakal buah hingga buah
tua. Berdasarkan hasil pengamatan dapat di deskripsikan bahwa bunga nyamplung merupakan bunga
majemuk yang tersusun dalam untaian seperti malai. Berdasarkan kelangkapan yang dimiliki, bunga
nyamplung merupakan bunga lengkap dengan organ kelamin ganda (hermaprodit). Inisiasi bunga
nyamplung terdeteksi pada bulan Mei, namun diduga sudah terjadi sejak bulan April hingga bulan
Oktober 2013 Siklus reproduksi nyamplung terjadi antara 130-175 hari atau 4-6 bulan mulai dari tunas
generatif pada bulan April sampai buah masak siap panen bulan Juli-Agustus 2013.
Kata kunci: bunga, buah, nyamplung, organ reproduksi, struktur

I. PENDAHULUAN
Nyamplung (Calophyllum inophylum) adalah jenis tanaman hutan yang akhir-akhir ini
menjadi pusat perhatian pemerhati energi karena berpotensi tinggi sebagai sumber bioenergi
terbarukan (Hayes et al., 2007; Bustomi et al., 2009). Pemanfaatan nyamplung dari segi teknis
sebagai biofuel sudah dapat diatasi, akan tetapi pembatas utama dari pengembangan bioenergi
nyamplung adalah bahan baku berupa biji. Sampai saat ini pemenuhan biji nyamplung masih
dikumpulkan dari tegakan alami yang banyak tumbuh sepanjang pantai sebagai windbreak.
Upaya di sektor budidaya nyamplung telah dilakukan dengan penanaman di beberapa lokasi di
Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten dan Sulawesi Selatan berkaitan dengan program DME (Desa
Mandiri Energi) berbasis nyamplung (Leksono et al., 2014). Namun sampai saat ini produksi
buah masih jauh dari target yang diharapkan.
Keberhasilan usaha peningkatan produktivitas benih berhubungan erat dengan pengeta-
huan mengenai biologi reproduksi. Pembungaan, penyerbukan dan pembentukan buah sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (fithohormon, genetis) dan eksternal (kondisi ling-
kungan), karenanya pengetahuan mengenai faktor-faktor tersebut serta pengaruhnya terhadap
tiap tahap perkembangan organ reproduksi harus diketahui. Di bidang kehutanan, semua
penelitian tentang ekologi reproduksi mengarah pada hasil akhir berupa peningkatan kuantitas
dan kualitas biji, baik dari sisi genetis maupun fisiologis (Suginingsih dan Daryono, 2006).
Fenomena alam yang terjadi pada siklus hidup tanaman seperti gugurnya daun,
pembungaan dan pembuahan biasanya bervariasi menurut kondisi lingkungannya, terutama
jika spesies tersebut dapat hidup di kisaran tipe iklim dan edafik yang luas (Bawa dan Hadley
1990, Owens et al., 1991). Keberhasilan proses reproduksi suatu tanaman bergantung pada
kemampuannya melampaui tahapan-tahapan perkembangan yang dimulai dengan inisiasi
71
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

kuncup bunga dan berakhir dengan kematangan buah dan biji. Kegagalan pada salah satu
tahapan perkembangan ini dapat berakibat pada turunnya produktivitas biji sebagai hasil
akhirnya (Owens et al., 1991). Oleh karena itu informasi tentang pembungaan dan pembuahan,
melalui studi fenologi pembungaan, sangat diperlukan. Pemahaman tentang fenologi pembu-
ngaan dan pembuahan akan meningkatkan kualitas dan kualitas benih melalui prediksi waktu
pemanenan dan produksi benih yang tepat. Proses pembungaan mengandung sejumlah tahap
penting, yang semuanya harus berhasil dilalui untuk memperoleh hasil akhir yaitu biji, dan
masing-masing tahap tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal yang ber-
beda. Beberapa faktor eksternal diantaranya faktor iklim yang mempengaruhi pembungaan dan
pembuahan adalah suhu, kelembaban, intensitas cahaya dan curah hujan (Haferkamp, 1988).
Setiap bunga memiliki potensi untuk berkembang menjadi buah dan benih, tetapi hasil
pengamatan menunjukkan bahwa meskipun pembungaan merupakan prasyarat untuk
pembuahan, namun pembungaan yang banyak terkadang menghasilkan produksi benih yang
rendah. Pada kenyataannya hanya sebagian dari bunga yang berkembang menjadi buah dan
benih yang baik walaupun pada musim benih yang baik. Hal ini terutama tampak jelas pada
jenis-jenis Angiosperma dengan bunga yang kecil dan buah yang besar (Schmidt, 2000). Tujuan
penelitian ini adalah mempelajari fenologi perkembangan bunga dan buah nyamplung yang
meliputi stuktur dan inisiasi bunga serta siklus perkembangan pembungaan dan pembuahan.

II. BAHAN DAN METODE


A. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah pohon, bunga dan buah nyamplung, aquades, alkohol
96%, Formalin dan asam cuka. Alat-alat yang digunakan adalah preparat, mikroskop, silet,
timbangan analitis, oven, pinset dan kaliper, kamera, alat ukur, tangga pengamatan, kantong
plastik, label.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Batukaras-Ciamis (Jawa Barat) pada bulan Februari hingga
Oktober 2013. Kegiatan meliputi pemilihan dan penentuan pohon yang diamati serta
pengamatan pembungaan dan pembuahan. Sebanyak sepuluh pohon nyamplung yang tersebar
sepanjang pantai dipilih sebagai bahan pengamatan.
Pengamatan jaringan tunas bunga dilakukan di Laboratorium Mikroteknik (Departemen
Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB). Kondisi geografis lokasi
penelitian disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kondisi lingkungan pengamatan fenologi pembungaan nyamplung
Lokasi Lahan desa
Lokasi administrasi Dusun Sanghiang Kalang Desa Batukaras Kecamatan
pemerintahan Cijulang Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat
Garis bujur 108o30’00” BT
Garis lintang 07o43’55” LS
Struktur tanah Pasir
Ketinggian tempat (m dpl) 1,87 m
Tipe iklim A
Suhu 33oC
Kelembaban 86 %
Sumber: Dinas kabupaten Ciamis , 2010 dan Sembiring 1996

72
Aspek Perbenihan

C. Metodologi
1. Pengamatan struktur morfologi bunga dan buah
Pengamatan stuktur bunga dilakukan terhadap bentuk bunga, bentuk dan jumlah penyusun
struktur bunga.
2. Pengamatan inisiasi pembungaan
a. Bakal tunas bunga diperoleh dari 5 pohon dan masing-masing pohon diambil 3 sampel
bakal tunas bunga. Pengambilan tunas dilakukan setiap minggu selama 4 minggu. Jumlah
sampel keseluruhan sebanyak 15 sampel untuk setiap kali pengambilan. Sampel bakal
tunas yang diperoleh difiksasi dalam botol berisi larutan FAA sebanyak 10 ml.
b. Selanjutnya dilakukan sayatan secara mikroskopis terhadap bakal tunas bunga dengan
menggunakan mikrotome, dibuat preparat dan diamati dibawah mikroskop. Apabila hasil
pengamatan menunjukkan adanya bentuk jaringan tunas reproduktif, maka dapat
diketahui kapan terjadi inisiasi bunga.
3. Pengamatan Siklus Perkembangan Bunga dan Buah (Owens, 1991)
Pengamatan dilakukan secara visual langsung di lapangan terhadap sepuluh pohon dengan
memberi tanda pada cabang produktif (mengalami pembungaan). Tahap-tahap yang diamati
mulai dari terjadinya tunas bunga, bunga mekar (anthesis) hingga bunga layu. Selanjutnya
dilakukan pengamatan terhadap perkembangan buah, pengamatan perkembangan dimulai
dari bakal buah, buah muda dan buah masak. Selain waktu juga dicatat perubahan ukuran,
warna, bentuk bunga, perubahan ukuran, warna dan bentuk buah/biji.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Struktur Bunga Nyamplung
Bunga nyamplung tersusun secara majemuk yang berbentuk malai, dalam satu malai
terdiri dari beberapa bunga tunggal. Berdasarkan kelengkapan pada bunga tunggal, bunga
nyamplung memiliki stuktur bunga yang lengkap terdiri dari perhiasan dan kelamin bunga.
Perhiasan bunga terdiri dari kelopak dan mahkota bunga sedangkan kelamin terdiri dari putik
dan benang sari (Gambar 1).

Mahkota (petal)

Benang sari
(stamen)
Putik (pistilum)

kelopak (Sepal)

Tangkai bunga

Gambar 1. Struktur morfologi bunga nyamplung


Kelopak bunga berada pada bagian paling luar dari kuncup bunga, pada umumnya
kelopak memiliki fungsi sebagai pelindung bagian bunga yang masih calon. Kelopak bunga akan
bertahan sampai bunga siap untuk mekar. Kelopak memiliki warna yang hampir sama dengan
mahkota bunga yaitu berwarna putih. Mahkota bunga berbentuk bulat berjumlah 5 (lima) helai
dan saling lepas.
73
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Ekspresi yang ditunjukkan dari kelamin bunga menunjukkan bunga nyamplung


merupakan bunga lengkap yaitu bunga yang memiliki dua organ kelamin dalam satu bunga
(hermaprodit). Putik merupakan organ kelamin betina dan benang sari merupakan organ
kelamin jantan. Putik berjumlah satu dan benang sari mengelilingi putik. Benang sari berukuran
sedikit lebih panjang dibandingkan putik dengan kepala sari berwarna kuning. Ukuran benang
sari yang panjang dan jumlah yang banyak pada satu bunga memungkinkan terjadinya
penyerbukan sendiri pada setiap bunga.
2. Inisiasi Bunga Nyamplung
Perkembangan pembungaan diawali dari adanya inisiasi bunga. Proses inisiasi bunga
hanya dapat dilihat secara mikroskopis melalui penyayatan jaringan tunas menggunakan
mikrotome. Inisiasi bunga nyamplung diamati di plot penelitian Batukaras-Ciamis dan sampel
tunas diambil selama tiga bulan berturut-turut mulai dari bulan Mei hingga Juli. Pada sampel
yang diambil pada bulan Mei sudah terdeteksi adanya inisiasi bunga dengan terbentuknya
primordia bunga setelah terjadinya primordia daun (Gambar 2). Sehingga pada perkembangan
selanjutnya akan terlihat kuncup bakal malai bunga berada pada ketiak daun (aksilaris).

pd

pb

Gambar 2. Irisan longitudinal tunas generatif nyamplung


memperlihatkan primodia bunga (pb) dan primodia daun (pd)
Pada jenis nyamplung inisiasi bunga terdeteksi pada bulan Mei hingga Juli. Akan tetapi,
diamati dari siklus perkembangan pembungaan dapat diduga inisiasi berlangsung pada periode
yang cukup panjang. Dugaan ini didasarkan pada pengamatan bulan April yang sudah terlihat
adanya kuncup bakal malai bunga hingga bulan Oktober. Siklus reproduksi nyamplung
berlangsung relatif pendek yaitu 4-6 bulan dan umumnya jenis tropis tidak memiliki dormansi
tunas yang dipengaruhi kondisi iklim musiman (Owens and Blake, 1985). Dengan demikian,
kemungkinan besar periode pembungaan dan pembuahan nyamplung berlangsung lebih dari
satu kali dalam setahun, karena pada kesempatan pengamatan nyamplung bulan Oktober
2013, di plot penelitian di Batukaras masih ditemukan kondisi pembungaan (umumnya bunga
mekar), walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak. Hal ini mengindikasikan masih terjadinya
proses inisiasi hingga bulan Oktober.
3. Siklus Perkembangan Pembungaan dan Pembuahan Nyamplung
Perkembangan bunga dimulai dari munculnya kuncup generatif pada bulan April, dan
dalam perkembangannya pada bulan yang sama membentuk malai sampai bagian penyusun
dari bunga layu pada bulan Mei dan selanjutnya memasuki tahap perkembangan buah Mei-
Juli/Agustus. Siklus perkembangan bunga dan buah diilustrasikan pada Gambar 3.

74
Aspek Perbenihan

Tunas generatif Bakal malai Perkembangan


malai
Bunga mekar

Buah muda Pembesaran


Buah tua ovarium
Bunga layu
Gambar 3. Siklus Perkembangan Bunga dan Buah Nyamplung
Tunas generatif muncul selama 2-7 hari, kemudian tunas generatif berkembang menjadi
bakal malai. Perkembangan bakal malai seiring dengan perkembangan kuncup bunga dimana
pada setiap ujung dari bakal tangkai bunga terdapat tonjolan bulat. Selama perkembangannya
bakal malai mengalami perubahan panjang dan warna dari warna kuning sampai berwarna
putih. Kuncup berada pada bagian ujung dari tangkai bunga, berbentuk bulat dan berwarna
putih, bunga kuncup berlangsung antara 16-34 hari, selama bunga kuncup terjadi perubahan
ukuran dari bunga itu sendiri, perubahan ukuran bunga menandakan terjadinya perkembangan
bagian-bagian penyusun bunga yang ada di dalam kuncup bunga. Setelah itu bunga mekar
dengan didahului membukanya mahkota bunga. Bunga mekar hampir serempak dalam satu
malai (biasanya perlu waktu 2-5 hari agar seluruhnya mekar) mulai dari bagian pangkal menuju
ke bagian ujung dan bertahan selama 3-6 hari. Mekarnya bunga menandakan kesiapan dari
bunga untuk melakukan proses reproduksi. Benang sari bertahan selama kurang lebih 7-10 hari,
selama itu proses penyerbukan terjadi. Setelah penyerbukan terjadi, benang sari akan layu dan
gugur diikuti oleh bagian bunga yang lain. Bagian dasar bunga terlihat adanya pembesaran
ovarium yang menandakan telah terjadi penyerbukan dan ovul telah terbuahi selanjutnya
berkembang menjadi bakal dari buah nyamplung. Sementara bunga yang tidak berhasil dalam
proses penyerbukannya akan gugur bersama tangkai bunga. Sumber polen (serbuk sari) yang
membuahi kepala putik (stigma) dapat berasal dari bunga yang sama atau dari bunga lain dari
pohon yang sama atau dapat pula berasal dari bunga pohon yang berbeda. Dalam studi ini tidak
dilakukan pengamatan terhadap proses penyerbukannya itu sendiri.
Buah melewati beberapa fase perkembangan yaitu bakal buah, buah muda dan buah
masak. Bakal buah berkembang setelah berlangsungnya proses penyerbukan yang ditandai oleh
semakin membesarnya ovarium. Bakal buah berwarna kuning dengan tangkai putik masih
menempel pada bagian atas dari bakal buah. Selama perkembangan bakal buah terjadi
perubahan ukuran dan perubahan warna dari kuning sampai hijau menandakan buah muda.
Saat buah muda tidak lagi terjadi pertambahan ukuran dimensi buah akan tetapi pada tahap
buah muda terjadi pematangan bagian-bagian buah sehingga perubahan terlihat pada
pertambahan berat dari buah. Setelah perkembangan buah muda terhenti memasuki tahapan
buah tua/masak secara visual terlihat kulit buah berwarna kuning kecoklatan dengan bintik
hitam. Waktu yang dibutuhkan selama perkembangan bunga menjadi buah siap panen pada
tanaman nyamplung terjadi selama kurang lebih 4-6 bulan.

75
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Waktu terjadinya setiap tahap perkembangan berbeda untuk setiap lokasi dimana
tanaman tumbuh. Menurut Gibblin (2005) variasi geografis dalam ketahanan pembungaan
dimediasi melalui perbedaan spesifik gender pada respon yang kondisional terhadap
kesesuaian kecepatan pertumbuhan. Selain itu masa pembungaan akan lebih panjang ketika
kesesuaian kecepatan pertumbuhan lebih rendah dan pengeluaran energi dalam pemeliharaan
pembungaan (floral maintenance costs) juga sedikit.
Ketahanan bunga mekar dalam periode waktu tertentu dipengaruhi oleh jumlah bunga
dalam satu malai) Bunga mekar dalam malai yang sebelumnya sebagian tunas bunganya
dibuang memperlihatkan ketahanan mekar (antesis) yang lebih lama dibanding kontrol (tanpa
pembuangan tunas bunga) (Abdala-Roberts et al., 2007). Dengan demikian ada kemungkinan
dalam satu populasi dari jenis yang sama, terdapat perbedaan ketahanan pembungaan yang
dipengaruhi oleh jumlah individu bunga dalam malai serta proses penyerbukan yang terjadi.
Saat antesis, bunga siap melakukan penyerbukan. Penyerbukan akan terjadi apabila
stigma sudah reseptif, polen masak, agen pembantu penyerbuk tersedia serta faktor internal
maupun eksternal lainnya mendukung (Griffin & Sedgley 1989, Amots et al., 2005). Apabila
terjadi penyerbukan, maka bagian petal (mahkota bunga) akan gugur (jatuh) dan bagian bawah
pistil (ovarium) terlihat membesar berwarna hijau. Sebaliknya, apabila tidak terjadi
penyerbukan maka bunga secara keseluruhan akan gugur. Gugurnya bunga dapat juga terjadi
karena terpaan angin kencang atau hujan lebat. Sehingga kegagalan dalam pembentukan bunga
menjadi buah dapat disebabkan oleh faktor biologis, fisiologis dan mekanis.
Selama periode reproduksi, kemungkinan kegagalan hidup dapat terjadi pada setiap
tahap perkembangan mulai dari pembungaan hingga pembuahan dan perkecambahan.
Kegagalan pada setiap tahap tersebut mempunyai risiko yang sama terhadap kualitas dan
kuantita produksi benih yang dihasilkan, dengan demikian perlu manajemen yang baik pada
setiap peristiwa perkembangan tanaman.

IV. KESIMPULAN
Bunga nyamplung merupakan bunga majemuk yang tersusun dalam untaian seperti
malai. Berdasarkan kelengkapan yang dimiliki, bunga nyamplung merupakan bunga lengkap
dengan organ kelamin ganda (hermaprodit). Inisiasi bunga nyamplung terdeteksi pada bulan
Mei dan diduga sudah terjadi sejak bulan April hingga bulan Oktober. Siklus reproduksi
nyamplung terjadi antara 130-175 hari atau 4-6 bulan mulai dari tunas generatif pada bulan
April sampai buah masak siap panen bulan Juli-Agustus.

DAFTAR PUSTAKA
Abdala-Roberts L, Parra-Tabla V, Navarro J. 2007. Is Floral Longevity Influenced by Reproductive
Costs and Pollination Success in Cohniella ascendens (Orchidaceae)? Ann Bot, 100(6):
1367–1371.
Amots D, Kevan PG, Brian CH. 2005 Practical Pollination Biology. Enviroquest, Ltd, ISBN 978-0-
9680123-0-7.
Bawa, KS dan Hadley, M. 1990. Reproductive Ecology of Tropical Forest Plant. UNESCO. Paris,
France.
Bustomi S, T Rostiwati, Sudradjat, AS Kosasih, I Anggraeni, B Leksono, S Irawanti, R Kurniaty, D
Syamsuwida, R Effendi, Mahfudz, D Hendra. 2009. Nyamplung (Calophyllum inophyllum

76
Aspek Perbenihan

L): Sumber Energi Biofuel yang Potensial. Ed revisi. Badan Litbang Kehutanan.
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Gibblin DE. 2005. Variation in floral longevity between populations of Campanula Rotundifolia
(Campanulaceae) in response to fitness accrual rate manipulation. American Journal of
Botany 92(10):1714–1722.
Griffin dan Sedgley. 1989. Sexual Reproduction of Tree Crops. Academic Press. Sydney.
Haferkamp, M. 1988. Environmental factors affecting plant productivity. In Achieveing Efficient
Use of Rangeland Resources. Fort Keogh Research Symposium. Miles City. RS White &
RE Short (eds). Montana Agr.Exp.Sta, Bozeman. 132 p.
Hayes, D. J., Ballentine, R., & Mazurek, J. (2007). The promise of biofuels: A home-grown
approach to breaking America’s Oil Addiction (Policy Report March 2007). Progressive
Policy Institute.
Leksono, B, Hendrati, R.L, Windyarini, E, Hasnah, T. 2014. Variation in Biofuel Potential of
Twelve Calophyllum Inophyllum Populations in Indonesia. Indonesian Journal of Forestry
Research Vol. 1 (2): 127 – 138.
Owens, J.N and M.D Blake. 1985. Forest Tree Seed Production. A review of literature and
recommendations for future research. Can. For.Serv.Inf. Rep.PI-X-53, 161 p.
Owens, JN. 1991. Flowering and Seed Ontogeny, Technical Publication No. 5, ASEAN-Canada
Forest Tree Seed Centre Project, Muak-Lek Saraburi, Thailand.
Owens JN, P. Sornsathaporhkul and S. Tangmitchareon. 1991. Studying Flowering and Seed
Ontogeny in Tropical Forest Trees. ASEAN-Canada Forest Tree Seed Centre Project.
Thailand.
Schmidt L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Direktorat
Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan. Jakarta.
Suginingsih, Daryono P. 2006. Variasi pembungaan dan pembuahan Pulai (Alstonia scholaris)
dari berbagai tempat tumbuh dan pengaruhnya terhadap kualitas fisik dan fisiologis
benih. Laporan Penelitian. Laboratorium Teknologi.

77
Aspek Perbenihan

PENINGKATAN DAYA DAN KECEPATAN BERKECAMBAH BENIH KALIANDRA


(Calliandra calothyrsus) DENGAN SORTASI BENIH

Eliya Suita
Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

ABSTRAK

Untuk memilih benih-benih bermutu fisiologis tinggi salah satunya dengan cara seleksi/sortasi benih.
Ukuran benih pada jenis-jenis tertentu berkorelasi dengan viabilitas dan vigor benih, dimana benih yang
besar cenderung mempunyai vigor yang lebih baik.Untuk tersedianya benih bermutu jenis kaliandra,
maka diperlukan suatu kegiatan meningkatkan daya dan kecepatan perkecambahan benih dengan
klasifikasi benih. Seleksi/sortasi benih dilakukan menggunakan alat Seed Gravity Table (SGT).
Berdasarkan alat SGT, dikelompokkan ke dalam empat kelas ukuran benih yaitu: kelompok benih 1
(KB1), kelompok benih 2 (KB2), kelompok benih 3 (KB3), dan kelompok benih 4 (KB4). Kadar air benih
kaliandra terendah terdapat pada benih asal Tabek Patah dengan kadar air 5,74% dengan berat 1000
butir 45,35 g, sedangkan kadar air tertinggi terdapat pada benih asal Mega Mendung degan kadar air
8,87% dengan berat 1000 butir 53,17 g. Persentase berat benih terbanyak umumnya pada kriteria
kelompok benih 1 (KB1) kemudian ukuran kelompok benih 3 (KB3), dengan nilai di atas 40% dan yang
terkecil terdapat pada kriteria kelompok benih 2 (1-3%). Daya berkecambah benih dan pertumbuhan
tinggi bibit kaliandra umumnya memperlihatkan bahwa yang lebih baik terdapat pada kriteria kelompok
benih 1 (KB1) sedangkan nilai yang terkecil terdapat pada kriteri kelompok benih 4 (KB4).
Kata kunci: daya kecambah, kecepatan berkecambah, kaliandra, sortasi

I. PENDAHULUAN
Keberhasilan penanaman, tidak terlepas dari penyediaan benih bermutu. Untuk
mendapatkan benih bermutu diperlukan penangan benih yang baik. Penanganan benih
merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam rangka penyediaan bahan tanaman yang
berkualitas, karena sebaik apapun sumber benih apabila penanganan benih tidak dilakukan
dengan benar, maka akan menurunkan mutu fisik dan fisiologis benih. Penanganan benih
dimulai dari pengumpulan buah yang dilakukan pada saat sebagian besar pohon yang berada
pada sumber benih berbuah dan sudah masak fisiologis, kemudian dilakukan ekstraksi untuk
memisahkan benih dari bagian buah lainnya (kulit, daging, tangkai, sayap). Seleksi dan sortasi
dilakukan untuk memisahkan benih-benih dari kotoran dan pengelompokan benih sesuai
berat dan ukurannya. Penyimpanan benih sebaiknya dilakukan terhadap benih dengan daya
berkecambah awal yang tinggi.
Untuk memilih benih-benih bermutu fisiologis tinggi salah satunya dengan cara
seleksi/sortasi benih. Menurut Schmidt (2000), ukuran benih terkadang berkorelasi dengan
viabilitas dan vigor benih, dimana benih yang berat cenderung mempunyai vigor yang lebih
baik. Sorensen dan Campbell (1993), menyatakan ukuran benih dalam bentuk berat dan
ukuran dimensi yang lebih besar lebih banyak dipilih karena umumnya berhubungan dengan
kecepatan berkecambah dan perkembangan semai yang lebih baik, tetapi ini akan membuang
benih berukuran lebih kecil yang mungkin mempunyai genetik lebih baik (Schmidt, 2000).
Beberapa hasil penelitian mengenai seleksi/sortasi benih antara lain: benih akor yang diseleksi
dengan alat Seed Gravity Table menghasilkan benih berukuran besar (KB1) yang mempunyai
daya berkecambah 62%, sedang (KB2) 55% dan kecil (KB3) 41%. (Suita, 2013), begitu juga
dengan jenis weru yang diseleksi dengan alat yang sama menunjukkan bahwa benih yang lebih

79
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

besar mempunyai daya berkecambah yang lebih tinggi (Suita et al., 2013) dan untuk jenis Styrax
benzoin dengan ukuran besar, sedang, dan kecil masing-masing memiliki daya berkecambah
55,33%, 38,67% dan 28% (Suita dan Kartiana, 2006).
Adanya dugaan bahwa benih berukuran besar memberikan keuntungan fisiologis karena
persediaan cadangan makanan yang lebih mencukupi untuk perkecambahan benih perlu diteliti
untuk jenis-jenis tanaman hutan. Diharapkan adanya klasifikasi ukuran benih ini akan
memperbaiki kualitas fisiologis lot benih yang dapat menjamin perkecambahan dan
pertumbuhan bibit lebih baik. Dengan demikian upaya tersebut akan meningkatkan
keberhasilan persemaian dalam rangka menyediakan bibit bermutu untuk kegiatan
penanaman.
Kaliandra (Calliandra calothyrsus) merupakan jenis penghasil kayu energi. Kaliandra
dikenal sebagai tanaman serbaguna karena manfaatnya untuk penghijauan, pencegah erosi,
sumber kayu bakar, peternakan lebah madu dan makanan ternak (Tangendjaja et al., 1992).
Benih kaliandra memiliki variasi berat/ukuran yang umumnya berpengaruh terhadap mutu
benih dan vigor bibit, walaupun tidak selalu pengaruh tersebut terlihat secara signifikan. Untuk
tersedianya benih bermutu jenis kaliandra, maka diperlukan suatu kegiatan meningkatkan daya
dan kecepatan perkecambahan benih dengan sortasi benih.

II. METODOLOGI
D. Lokasi dan Waktu Penelitian
Benih kaliandra berasal dari Tabek Patah dan Sei Ungkang,Batusangkar (Sumbar), Ciamis
(Jawa Barat) dan Mega Mendung (Jawa Barat).Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan
Kebun Percobaan Nagrak Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor.
Bahan yang digunakan adalah jenis Kaliandra (Calliandra calothyrsus), dengan, media
perkecambahan (pasir dan tanah (1 : 1) (v/v)) dan media pembibitan (tanah + arang sekam)
(1:1) (v/v)). Peralatan yang digunakan meliputi bak kecambah, oven, germinator, timbangan
analitik, seed gravity table, polybag dan lain-lain.
E. Metodologi
1. Ekstraksi
Benih jenis kaliandra (Calliandra calothyrsus) diunduh pada saat masak fisiologi yang
ditandai dengan warna buah hijau-kecoklatan dan sebagian buah sudah merekah. Benih yang
sudah diunduh kemudian diekstraksi untuk mengeluarkan benih dari buahnya.
Ekstraksi dilakukan dengan cara buah dijemur sampai merekah, dan untuk
mengeluarkan benih dari kulit buah dengan cara benih dimasukkan ke dalam karung kemudian
dipukul-pukul atau diinjak-injak, kemudian benih dipisahkan dari kulit buahnya secara manual.
2. Pengujian kadar air benih
Penentuan kadar air menggunakan metode oven temperatur rendah 103 ± 2°C selama
24 jam. Kandungan air yang hilang ini mencerminkan kadar air benih (Sudrajat etal., 2007).
Kadar air dinyatakan dalam persen berat dan dihitung dalam 1 desimal terdekat (ISTA, 2010)
dengan rumus sebagai berikut: Kadar air = (M2-M3) x 100%
(M2-M1)
dimana:
M1 : berat wadah dan penutup dalam gram
M2 : berat wadah, penutup, dan benih sebelum pengeringan
M3 : berat wadah, penutup, dan benih sesudah pengeringan
Pengujian kadar air menggunakan 3 ulangan @5 gram benih.

80
Aspek Perbenihan

3. Penentuan berat 1000 butir benih


Benih dihitung secara acak 100 butir dengan ulangan 8 kali.Timbang setiap ulangan
dalam gram. Berat 1000 butir adalah rata-rata berat 100 benih dikalikan 10 (ISTA, 2010).
4. Seleksi benih menggunakan seed gravity table (SGT)

Gambar 1. Alat Seed Gravity Table


Pengaturan alat sebagai berikut:
a. Kemiringan = horizontal -1° dan vertikal 0°; skala hembusan = 5,5 getaran/detik; curah
umpan = 150 mm/detik; kecepatan getaran = 350 mm/detik.
b. Benih yang digunakan lebih kurang sebanyak 500 gr, kemudian dimasukkan ke dalam alat
Seed Gravity Table yang sudah di atur seperti pengaturan di atas.
c. Benih hasil seleksi, berdasarkan alat SGT, dikelompokkan ke dalam empat kelas ukuran
benih yaitu: kelompok benih 1 (KB1), kelompok benih 2 (KB2), kelompok benih 3 (KB3),
dan kelompok benih 4 (KB4). Tiap-tiap kelompok benih ditimbang dan dihitung
persentase masing-masing kelompok benih.
4. Perkecambahan Benih
Benih yang sudah diklasifikasikan sesuai ukuran benih, masing- masing ditabur/
dikecambahkan pada bak kecambah dengan media pasir dan tanah (1:1).Pengamatan terhadap
perkecambahan dilakukan setiap 2 hari dengan mencatat jumlah kecambah normal yang
tumbuh. Kriteria kecambah normal adalah telah munculnya sepasang daun dan bebas dari
serangan hama/penyakit.Pengamatan diakhiri setelah 10 hari berturut-turut tidak terdapat lagi
pertumbuhan kecambah normal. Hasil dari kecambah normal dipindahkan ke polybag dengan
media tanah + arang sekam (1:1), dengan jumlah ulangan 4, dan setiap ulangan 10 bibit.
5. Parameter yang diukur/diamati terdiri dari:
a. Kadar Air.
b. Berat 1000 butir.
c. Variasi berat/ukuran benih (persentase setiap kelas ukuran/berat benih).
d. Perkecambahan benih (daya berkecambah dan kecepatan berkecambah).
Daya berkecambah ditentukan dengan jumlah benih yang sudah berkecambah normal.
Menurut Sadjad (1999), daya berkecambah menjabarkan parameter viabilitas potensial
dan rumus daya berkecambah (DB) adalah:
DB = ∑ KN X 100%
N
∑KN = jumlah benih yang menjadi kecambah normal sampai hari ke-60
N = jumlah benih yang ditabur
Kecepatan berkecambah yang dihitung adalah benih yang berkecambah dari hari
pengamatan ke-1 sampai dengan hari terakhir. Dengan penghitungan kecambah normal
pada setiap pengamatan dibagi dengan etmal (1 etmal = 24 jam). Menurut Sadjad et al.
(1999) dan (Widajati, 2013), kecepatan berkecambah menjabarkan parameter vigor dan
rumus kecepatan berkecambah sebagai berikut:

81
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

𝑛
KN i
Kct =
Wi
𝑖=1
Dimana: i = hari pengamatan; KNi = kecambah normal pada hari ke-i (%); Wi= Waktu
(etmal) pada hari ke-i.
e. Pertumbuhan bibit (tinggi dan diameter) hasil seleksi, yang diukur setiap periode satu
bulan selama tiga bulan.
7. Analisis data
Data hasil seleksi dianalisis dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Uji jarak Duncan
digunakan untuk membandingkan nilai rata-rata antar-kelas ukuran benih (Steel and Torrie,
1980).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Kadar air benih kaliandra cukup rendah yaitu di bawah 9%. Secara fisiologis benih terbagi dalam
2 kategori yaitu benih ortodok yang toleran terhadap penurunan kadar air (kurang dari 10%)
dan viabilitasnya dapat dipertahankan selama penyimpanan pada suhu rendah, yang lainnya
adalah benih rekalsitran yang tidak tahan terhadap pengeringan (kadar air awal benih 20-50%)
dan tidak dapat disimpan pada suhu rendah, sehingga tidak mampu disimpan lama (Bonner,
etal., 1994). Dengan demikian benih kaliandra dapat dikategorikan sebagai benih ortodok.
Berat 1.000 butir benih kaliandra berkisar 45,35 gr - 53,17 gr dan jumlah benih perkilogram
berkisar 18.808 butir-22.051 butir (Tabel 1.)
Tabel 1. Kadar air, berat 1.000 butir benih dan jumlah benih/ kg jenis kaliandra
Jenis Asal Benih KA (%) Berat 1000 butir (gr) Jumlah Benih/kg (butir)
Kaliandra Tabek Patah 5,74 45,35 22.051
Sei Ungkang 5,89 48,60 20.576
Mega mendung 8,87 53,17 18.808
Ciamis 8,12 50,11 19.956

Kadar air benih akan mempengaruhi berat 1000 butir benih dan jumlah benih per
kilogram. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa benih kaliandra yang mempunyai kadar air yang
tinggi (Mega Mendung) 8,87% mempunyai berat 1000 butir yang tertinggi (53,17 gr), tetapi
sebaliknya menghasilkan jumlah benih per kg paling sedikit (18.808 butir). Kadar air yang
terendah adalah yang berasal dari Tabek Patah (5,74%) mempunyai berat 1.000 butir benih
terendah (45,35 gr) tetapi mempunyai jumlah benih terbanyak 22.051 butir.
A. Persentase berat benih pada masing-masing kelompok berat (KB)
Benih yang di seleksi dengan alat Seed Gravity Table, untuk jenis kaliandra yang berasal
dari Mega Mendung, Tabek Patah dan Sei Ungkang pada Kelompok Benih 1 (KB1) mempunyai
presentase jumlah benih yang terbanyak (47,64%, 47,39% dan 41,99%) diikuti Kelompok Benih
3 (KB3) dengan persentase jumlah benih sebanyak 41,88%, 41,91% dan 40,71%, benih kaliandra
yang berasal dari Ciamis terbanyak pada Kelompok Benih 3 (KB3) dengan persentase jumlah
benih 45,48%. Ini menunjukkan bahwa benih yang berasal dari Mega Mendung, Tabek Patah
dan Sei Ungkang mempunyai ukuran benih rata-rata berukuran besar/berat, sedangkan untuk
benih yang berasal dari Ciamis rata-rata berukuran sedang, ini sama dengan jenis weru (Suita et
al., 2013) yang berasal dari Carita, Majalengka dan Sumedang yang diseleksi dengan alat Seed
Gravity Table menunjukkan bahwa benih yang terbanyak presentasenya adalah Kelompok

82
Aspek Perbenihan

Benih 3 (KB3). Sedangkan Kelompok Benih 2 (KB2) dari ke empat lokasi relatif mempunyai
persentase sedikit yaitu di bawah 8,41%.

Persentase Benih (%) Persentase Benih (%)


47,64 41,88 47,39 41,91
1,93 8,55 2,44 8,27

KB1 KB2 KB3 KB4 KB1 KB2 KB3 KB4

Mega mendung Tabek Patah

Persentase benih (%) Persentase Benih (%)


41,99 40,71 14,01 23,4 45,48 20,22
3,29 8,41

KB1 KB2 KB3 KB4 KB1 KB2 KB3 KB4

Sei Ungkang Ciamis

Gambar 1. Persentase berat benih


B. Hasil analisa keragaman berat 1.000 butir, daya berkecambah, pertumbuhan tinggi dan
diameter bibit kaliandra hasil seleksi
Tabel 3. Analisa keragaman berat 1000 butir, Daya Berkecambah, pertumbuhan tinggi
dan diameter bibit kaliandra hasil seleksi Seed Gravity Table
Asal Benih Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah
Mega Berat 1.000 Ukuran 2 12,24 6,12 649,23**
Mendung Butir Sisa 21 0,20 0,01
Total 23 12,44
Daya Ukuran 3 596,92 198,97 1,79ns
Berkecambah Sisa 9 1000,00 111,11
Total 12 1596,92
Tinggi Bibit Ukuran 3 66,95 22,32 6,28*
Sisa 12 42,64 3,55
Total 15 109,58
Diameter Ukuran 3 0,45 0,15 1,61ns
Bibit Sisa 12 1,13 0,09
Total 15 1,58
Tabek Berat 1.000 Ukuran 3 2,50 0,83 124,35**
Patah Butir Sisa 23 0,15 0,01
Total 26 2,65
Daya Ukuran 4 1367,49 341,87 8,68*
Berkecambah Sisa 14 551,67 39,41
Total 18 1919,16
Tinggi Bibit Ukuran 3 8,80 2,93 2,42ns
Sisa 12 14,56 1,21
Total 15 23,36
Diameter Ukuran 3 0,03 0,01 0,16ns

83
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Asal Benih Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung


Keragaman Bebas Kuadrat Tengah
Bibit Sisa 12 0,73 0,06
Total 15 0,76
Sei Berat 1.000 Ukuran 3 4,72 1,57 112,52**
Ungkang Butir Sisa 23 0,32 0,01
Total 26 5,04
Daya Ukuran 3 555,67 185,22 4,45*
Berkecambah Sisa 11 457,67 41,61
Total 14 1013,33
Tinggi Bibit Ukuran 3 6,63 2,21 0,45ns
Sisa 12 59,04 4,92
Total 15 65,67
Diameter Ukuran 3 0,11 0,04 0,45ns
Bibit Sisa 12 1,02 0,09
Total 15 1,13
Ciamis Berat 1.000 Ukuran 3 2,82 0,94 348,50**
Butir Sisa 28 0,08 0,00
Total 31 2,90
Daya Ukuran 4 3861,11 965,28 8,89*
Berkecambah Sisa 13 1412,00 108,62
Total 17 5273,11
Tinggi Bibit Ukuran 3 106,09 35,36 1,90ns
Sisa 12 223,58 18,63
Total 15 329,67
Diameter Ukuran 3 1,66 0,55 7,60*
Bibit Sisa 12 0,88 0,07
Total 15 2,54
Keterangan: * = nyata pada tingkat kepercayaan 95%

Hasil analisa keragaman berat 1.000 butir, daya berkecambah, pertumbuhan tinggi dan
diameter hasil seleksi menunjukkan bahwa berat 1.000 butir benih semua lokasi berbeda
secara signifikan, daya berkecambah juga berbeda kecuali yang berasal dari Mega Mendung,
sedangkan untuk pertumbuhan tinggi bibit umumnya tidak berpengaruh kecuali yang berasal
dari Mega Mendung, begitu juga dengan pertumbuhan diameter, yang berpengaruh hanya
yang berasal dari Ciamis.
C. Hasil uji lanjut rata-rata berat 1.000 butir benih, daya berkecambah benih, pertumbuhan
tinggi dan diameter bibit kaliandra hasil seleksi Seed Gravity Table
Tabel 4. Rata-rata berat 1.000 butir benih, Kadar Air dan Daya Berkecambah Benih, partum-
buhan tinggi dan diameter bibit kaliandra dan akor hasil seleksi Seed Gravity Table
Berat Daya
Tinggi Bibit Diameter
Jenis Asal Benih Kriteria 1000 butir Berkecamba
(cm) Bibit (mm)
(gr) h (DB)
Kaliandra Mega Mendung KB1 5,79a 84,50 19,16a 2,27
KB2 - 75,00 14,69 b 1,87
KB3 5,02 b 83,50 15,49 b 2,05
KB4 4,05 c 68,00 13,77 b 1,85
Tabek Patah KB1 4,85a 96,67a 18,60a 2,31

84
Aspek Perbenihan

Berat Daya
Tinggi Bibit Diameter
Jenis Asal Benih Kriteria 1000 butir Berkecamba
(cm) Bibit (mm)
(gr) h (DB)
KB2 4,55 b 80,50 bc 17,28ab 2,41
KB3 4,52 b 83,50 b 18,21ab 2,37
KB4 4,07 c 73,00 c 16,72 b 2,41

Sei Ungkang KB1 5,11a 83,00a 19,8 2,44


KB2 4,88 b 83,33a 18,67 2,21
KB3 4,70 c 76,00ab 17,05 2,27
KB4 4,05 d 68,50 b 17,23 2,27
Ciamis KB1 5,26a 67,00a 29,21 2,50 b
KB2 5,03 b 66,00a 28,63 2,60ab
KB3 5,01 b 58,50ab 22,67 2,03 c
KB4 4,45 c 44,50 b 26,18 2,93a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan pada tingkat
kepercayaan 95%

Berat 1.000 butir benih kaliandra, yang diseleksi dengan alat Seed Gravity Table,
menghasilkan berat 1.000 butir yang tertinggi terdapat pada kriteria KB1 kemudian diikuti
dengan KB2, KB3, dan KB4. Ini menunjukkan bahwa ukuran benih yang terdapat pada KB1 lebih
besar kemudian diikuti KB2, KB3, dan KB4, sehingga kita dapat membuat tingkatan ukuran
berat benih menjadi 4. Untuk jumlah 1000 butir benih apabila benih diseleksi dengan alat Seed
Gravity Table, berat benih akan menurun dengan bertambah tinggi kriteria kelompok benih dan
jumlah benih akan berbanding terbalik dengan berat benih, dengan bertambah besar ukuran
benih maka jumlah benih perkilogramnya akan lebih sedikit. Jadi apabila benih diseleksi dengan
alat Seed Gravity Table ini maka kita dapat memperkirakan jumlah benih per kg dengan ukuran
benih dan kriteria yang kita inginkan. Sesuai dengan penelitian Zanzibar (1993), mengatakan
bahwa, secara umum perlakuan pengklasifikasian kelompok berat benih dengan menggunakan
alat Seed Gravity Table cukup efektif untuk jenis sengon.
Pengujian daya berkecambah untuk ke empat lokasi asal benih memperlihatkan adanya
perbedaan yang nyata antar kriteria kelompok benih kecuali benih yang berasal dari Mega
Mendung.Benih yang berukuran besar umunya mempunyai daya berkecambah yang tinggi
karena benih yang berukuran besar diperkirakan mempunyai cadangan makanan yang lebih
banyak dibandingkan benih yang berukuran kecil.sesuai dengan jenis akor (Suitaet al., 2013),
weru (Suita et al., 2013) yang diseleksi dengan alat seed Gravity Table menunjukkan bahwa
benih yang berukuran besar mempunyai daya berkecambah yang lebih tinggi. Begitu juga
dengan pertumbuhan tinggi bibit juga dipengaruhi oleh ukuran benih dimana benih yang lebih
besar (KB1 dan KB2) pertumbuhan bibitnya cenderung lebih cepat yang terdapat pada benih
yang berasal dari Mega Mendung dan Tabek Patah, walaupun benih yang berasal dari Sei
Ungkang dan Ciamis tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata tetapi dari nilai pertumbuhan
tinggi terlihat lebih tinggi pada kriteria KB1 dan KB1. Ini menunjukkan bahwa umumnya benih
yang lebih berat mempunyai pertumbuhan yang lebih baik karena hal ini disebabkan kecepatan
berkecambah pada ukuran yang lebih berat dan lebih tinggi dibandingkan dengan benih ringan,
sehingga energi pertumbuhan ini masih berlangsung hingga pertumbuhan tinggi bibit. Dengan
demikian, benih berukuran lebih berat memiliki potensi yang lebih besar untuk mendukung
perkembangan bibit siap tanam, dengan parameter tinggi sebagai salah satu kriteria morfologi

85
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

bibit, selain diameter, penampakan daun, batang dan bentuk tunas, bentuk dan volume akar,
dan potensi pertumbuhan akar (Hawkins, 1996).

IV. KESIMPULAN
Daya berkecambah benih dan pertumbuhan tinggi bibit kaliandra hasil seleksi dengan
Seed Gravity table umumnya memperlihatkan bahwa yang lebih baik terdapat pada kriteria
kelompok benih 1 (KB1), 2 (KB2), 3 (KB3), sedangkan nilai yang terkecil terdapat pada kriteria
kelompok benih 4 (KB4). Dengan demikian untuk mendapatkan benih kaliandra yang bermutu
tinggi sebaiknya menggunakan benih kaliandra dengan kriteria KB1, KB2 dan KB3, ini juga
didukung dengan persentase berat benih terbanyak umumnya terdapat pada kriteria
kelompok benih 1 (KB1) dan kelompok benih 3 (KB3), dengan nilai di atas 40%.

DAFTAR PUSTAKA
Bonner, F.T., Vozzo, J.A., Elam, W.W., and S.B. Land. 1994. Instructor’s manual; Tree seed
technology training course. United Stated Departement of Agriculture. New Orleans.
Louisiana.
Hawkins, B.J. 1996. Planting stock quality assessment. In Yapa, A.C., ed. 1996. Proc. Intl. Symp.
Recent advances in tropical tree seed technol. and Planting stock production. ASEAN
Forest Tree Seed Centre, Muaklek, Saraburi, Thailand.
ISTA. 2010. International rules for seed testing. The International Seed Testing Association.
Bassersdorf. Switzerland.
Sadjad, S., E. Muniarti, dan S. Ilyas. 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih Komparatif ke
Simulatif. Jakarta: PT. Grasindo.
Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Subtropis.
Terjemahan. Kerjasama Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial
dengan Indonesia Forest Seed Project. PT. Gramedia Jakarta.
Sorensen, F.C. and Campbell, R.K. 1993. Seed Weight-Seedling Size Correlation in Coastal
Douglas Fir: Genetic and Enviromental Component. Canadian Jurnal of Forest Research.
23(2): 275-285.
Steel, R.G.D. and Torrie, J.H. 1980.Principles and procedures of statistic. McGraw-Hill, Inc.
Sudrajat, D.J, Megawati, E.R. Kartianan, N. Nurochim. 2007. Standarisasi Pengujian Mutu Fisik
dan Fisiologis Benih Tanaman Hutan (Schleichera oleosa dan Styrax benzoin). LHP. No.
478. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor.
Suita, E. 2013.Pengaruh sortasi benih terhadap viabilitas dan pertumbuhan bibit akor (Acacia
auriculiformis). Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan. Vol 1 (2). Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan Tanamn Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Kementerian Kehutanan.
Suita, E. dan E.R. Kartiana, 2006. Pengaruh Ukuran Benih dan Penurunan Kadar Air Terhadap
Perkecambahan Benih Kemenyan (Styrax benzoin Dryand). Prosiding seminar hasil-hasil
penelitian. Balai Litbang Teknologi Perbenihan. Departemen Kehutanan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
Tanaman. Bogor.
Suita, E., Nurhasybi dan Darwo. 2013. Respon Perkecambahan dan pertumbuhan bibit weru
(Albizia procera Benth) berdasarkan hasil seleksi benih. Jurnal penelitian hutan

86
Aspek Perbenihan

tanaman.Vol 10 (4). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas


Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan.
Suita, E. dan E.R. Kartiana, 2006. Pengaruh Ukuran Benih dan Penurunan Kadar Air Terhadap
Perkecambahan Benih Kemenyan (Styrax benzoin Dryand). Prosiding seminar hasil-hasil
penelitian. Balai Litbang Teknologi Perbenihan. Departemen Kehutanan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
Tanaman. Bogor.
Tangendjaja, B., E. Wina, T. Ibrahim dan B. Palmer. 1992. Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan
pemenfaatannya. Balai Penelitian Ternak dan The Australian Centre for International
Agricultural Research.
Widajati, E. 2013. Metode Pengujian Benih (Dasar Ilmu dan Teknologi Benih). IPB Press.
Zanzibar, M. 1993. Penentuan Mutu Fisik dan Fisiologik Benih Sengon (Paraserianthes falcataria
Fosberg) dengan Menggunakan Alat Seed Gravity Table. Laporan Hasil Penelitian. Balai
Teknologi Perbenihan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen
Kehutanan.

87
Aspek Perbenihan

PERIODISASI PEMBUNGAAN DAN PEMBUAHAN GANITRI (Elaeocarpus ganitrus Roxb)

Aam Aminah dan Tati Rostiwati


Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

ABSTRAK

Fenologi adalah ilmu yang mempelajari proses periodisisasi suatu jenis tanaman, di antaranya siklus
pembungaan sampai perkembangan buah. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari periode
berbunga dan berbuah jenis ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb) sehingga dapat diketahui ketepatan
waktu pengunduhan buah masak fisiologis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
observasi dengan menggunakan pohon model sejumlah 3 (tiga) pohon dengan 10 (sepuluh) contoh
cabang utama untuk setiap pohon model. Pengamatan dilakukan terhadap: 1. karakteristik proses
pembungaan dengan 3 (tiga) tahapan utama pembungaan yaitu (1) tahap munculnya bakal bunga; (2)
tahap menjadi tunas bunga; dan (3) tahap bunga mulai mekar (anthesis); 2. karakteristik pembentukkan
buah dengan 3 (tiga) tahapan utama pembuahan yaitu (1) tahap munculnya bakal buah; (2) tahap bakal
buah menjadi buah muda dan (3) tahap buah muda menjadi buah masak fisiologis. Penelitian dilakukan
di Desa Donosari, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah dan Desa Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Pengamatan dilakukan setiap 1 (satu) minggu sekali. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pembungaan dicirikan oleh terjadinya perubahan warna
dan membukanya kelopak bunga yaitu dari kelopak bunga berwarna putih kehijauan bercampur merah
muda sampai berwarna merah dan dari mulai kelopak bunga kuncup sampai kelopak bunga tersebut
lepas (menandakan mulai terjadinya tahap pembentukkan buah karena terlihat adanya bakal buah).
Seluruh proses perkembangan bunga tersebut terjadi selama 3 bulan 1 minggu. Proses pembentukkan
buah dicirikan oleh berkembangnya warna dan membesarnya buah yaitu dari bakal buah berwarna hijau
sampai buah muda berwarna hijau kebiruan dengan diameter kurang dari 2 cm, kemudian berkembang
menjadi buah masak fisiologis dengan warna buah biru tua keunguan berdiameter ±2 cm. Seluruh
proses perkembangan buah tersebut terjadi selama 3 bulan 2 minggu.
Kata kunci: buah, bunga, fenologi, ganitri, periodisasi

I. PENDAHULUAN
Keberhasilan usaha peningkatan produktivitas benih berhubungan erat dengan
pengetahuan mengenai biologi reproduksi. Pembungaan, penyerbukan dan pembentukan buah
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (fitohormon, genetis) dan eksternal (kondisi
lingkungan), karenanya pengetahuan mengenai faktor-faktor tersebut serta pengaruhnya
terhadap tiap tahap perkembangan organ reproduksi harus diketahui. Di bidang kehutanan,
semua penelitian tentang ekologi reproduksi mengarah pada hasil akhir berupa peningkatan
kuantitas dan kualitas biji, baik dari sisi genetis maupun fisiologis (Bawa dan Hadley, 1990
dalam Suginingsih dan Daryono, 2006).
Ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb, famili Elaecarpaceae) sebagai salah satu pohon
hutan yang diambil buahnya sangat membutuhkan hasil akhir berupa biji yang mempunyai
kualitas dan kuantitas yang baik untuk memperoleh nilai ekonomi yang tinggi. Jenis varietas
lokal umur produksi perdana 4 tahun dengan batang setinggi 10 - 15 m pada umur 6 - 7 tahun,
sedangkan varietas super umur produksi perdana 2 tahun dengan batang setinggi 4 m pada
umur 4 tahun. Pola pembungaan tanaman tropis sangatlah kompleks, hal tersebut terkait
dengan perubahan iklim yang mempengaruhi sensitivitas terhadap proses reproduksi tanaman
(Schmidt, 2000). Selanjutnya disebutkan pula walaupun setiap bunga memiliki potensi untuk

89
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

berkembang menjadi bakal buah, namun kenyataannya proses akhirnya buah-buah yang
dihasilkan sedikit sekali manghasilkan biji. Seperti hasil penelitian Aminah dan Syamsuwida
(2010) bahwa keberhasilan bunga menjadi bakal buah jenis suren (Toona sureni Merr.) hanya
9,86% dan buah muda menjadi buah tua hanya sebesar 65,88%. Artinya tidak semua bunga
berhasil menjadi bakal buah demikian juga tidak semua bakal buah menjadi buah/biji masak
fisiologis.
Aminah et al. (2007) juga melaporkan karakteristik tandan bunga (inflorescence) rasamala
yang dicirikan dengan tangkai bunga jantannya berjumlah 6 - 14 tangkai sedangkan tangkai
bunga betinanya tunggal berbentuk bulat atau agak bulat. Pengamatan lainnya pada jenis
Mindi (Melia azedarach) menunjukkan bahwa jenis ini memiliki tipe bunga majemuk (yang
dikenal dengan tipe panicle) dengan malai bunga berada pada ujung ranting dengan posisi
tegak, siklus perkembangan pembungaan dan pembuahan mindi terjadi selama 6 - 7 bulan
(Syamsuwida dan Aminah, 2010).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terkait proses pembungaan dan
pembuahan suatu jenis tanaman tersebut di atas, maka penelitian terhadap keberhasilan
proses reproduksi jenis ganitri sebagai produk yang diperdagangkan oleh masyarakat sangat
diperlukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi periode berbunga sampai
berbuah jenis ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb) sehingga dapat diketahui waktu
pengunduhan buah masak fisiologis yang tepat. Hasil penelitian diharapkan akan diperoleh
waktu pengunduhan buah yang tepat dan informasi dasar untuk metode kuantifikasi buah
ganitri.

II. BAHAN DAN METODE


A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian dilakukan di dua (2) Desa yaitu Desa Donosari, Kabupaten Kebumen,
Provinsi Jawa Tengah dan Desa Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Karakteristik
habitat tegakan ganitri tersebut tertera pada Tabel 1. Penelitian dilakukan mulai bulan Januari
2010 sampai dengan bulan Desember 2010.
Tabel 1. Karakteristik tempat tumbuh tanaman ganitri
No. Karakteristik tempat tumbuh Lokasi penelitian
Desa Donosari Desa Cisarua
1 Ketinggian (m dpl) 135 1000
2 Curah hujan (mm/bln) 100 150-200
3 Suhu udara (0C) 31 – 32 34,6 – 36,8
4 Kelembaban (%) 70 85

B. Bahan dan Alat Penelitian


Bahan yang digunakan adalah pohon model ganitri dengan karakteristik pohon model
seperti tertera pada Tabel 2. Alat-alat yang digunakan adalah peralatan laboratorium
(preparat, mikroskop, silet, timbangan analitis, oven, pinset dan kaliper) dan peralatan
lapangan (kamera, meteran, tangga pengamatan, kantong plastik, label dan termohigrometer).

90
Aspek Perbenihan

Tabel 2. Karakteristik pohon model ganitri di Desa Donosari, Jawa Tengah dan Desa
Cisarua, Jawa Barat
Tinggi Bebas Cabang Diameter Batang
Pohon Model Tinggi Total (m)
(cm) (cm)
Donosari Cisarua Donosari Cisarua Donosari Cisarua
1. 5 6 86 100 14,01 16,20
2. 5 7 75 110 15,29 17,52
3. 5 6 66 90 13,69 15,23

C. Metode Penelitian
1. Pemilihan pohon model
Penelitian dimulai dengan penandaan pohon-pohon ganitri di lokasi penelitian, dengan
cara dipilih 3 (tiga) buah pohon model yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini. Dari
masing-masing pohon model tersebut kemudian dipilih 10 (sepuluh) cabang utama. Dahan
utama adalah dahan yang terendah berdiameter 13 - 17 cm dengan asumsi bahwa dahan-
dahan dengan diameter besar merupakan dahan tua yang telah beberapa kali menghasilkan
buah serta dapat tersedia seluruh tahapan proses berbunga sampai berbuah. Masing-masing
pohon model dan dahan utama diberi nomor sesuai dengan urutannya. Pengamatan dilakukan
setiap minggu untuk melihat perkembangan bunga dan buahnya.
2. Pengamatan terhadap tahap-tahap perkembangan bunga
Tahap-tahap yang diamati mulai dari saat terlihatnya tanda bakal bunga, terjadinya
tunas bunga, bunga mekar (anthesis) hingga bunga layu. Selain itu diamati pula perubahan
warna dan bentuk bunga di setiap perkembangannya.
3. Pengamatan terhadap tahap-tahap perkembangan bunga menjadi buah
Pengamatan perkembangan buah merupakan kelanjutan dari pengamatan perkembangan
bunga. Tahap-tahap yang diamati mulai dari waktu terlihatnya tanda bakal buah, terjadinya
buah muda, buah muda dan buah masak. Selain pencatatan waktu setiap perkembangan buah
juga diamati perubahan ukuran dan warna buah.
D. Analisis Data
Perubahan pada setiap tahap perkembangan bunga dan buah jenis ganitri dianalisis
secara deskriptif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
1. Pembungaan
a. Karakteristik bunga ganitri
Terdapat 6 (enam) ciri warna dan bentuk bunga ganitri yaitu:
1) Bunga ganitri merupakan bunga majemuk dengan posisi malai berada di ketiak daun
2) Kelopak bunga berbentuk bulat telur memanjang, runcing, berwarna hijau pucat atau
kemerahan tampak dari luar seperti berambut
3) Mahkota bunga berbentuk lonceng berwarna kuning atau putih kehijauan atau putih
kehijauan, ke atas tidak melebar, panjang ± 1,3 cm
4) Panjang tangkai bunga ± 0,5 cm
5) Tonjolan dasar bunga berambut kasar
6) Kepala putik berukuran > 1 cm (tidak melebar)

91
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

1,3 cm

0,5 cm
Tonjolan dasar Mahkota bunga
bunga ganitri

Gambar 1. Karakteristik bunga ganitri


b. Periodisasi pembungaan
Terbentuknya bakal bunga terlihat dari mulai dari munculnya tunas generative seperti
tertera pada Gambar 2. Tahapan dari bunga kuncup menjadi bunga mekar (berwarna
putih dan pangkalnya berwarna merah muda) berlangsung selama 1 - 2 bulan (Gambar 3).
Bunga-bunga tersebut sebagian ada yang rontok, proses kerontokan bunga diawali
dengan bunga layu di pohon selama 1 minggu, setelah itu bunga tersebut gugur.
Sementara bunga yang tidak rontok akan berhasil berkembang ke tahapan bakal buah
(Gambar 4). Bakal buah dicirikan dengan bentuk buah berukuran > 1 cm. Berdasarkan
tahapan perkembangan tersebut, maka periodisasai pembungaan berlangsung selama 3
bulan 1 minggu.

Gambar 2. Tunas generatif yang berkembang menjadi bakal bunga dan akhirnya menjadi bunga kuncup

Gambar 3. Bunga mekar


2. Periodisasi pembuahan
a. Karakteristik buah ganitri
Adapun karakteristik buah ganitri adalah:
1) Bakal buah bentuk telur, berambut rapat

92
Aspek Perbenihan

2) Buah muda berbentuk bulat dengan permukaan licin berwarna hijau gelap berukuran <
2 cm.
3) Buah tua berbentuk bulat dengan warna hijau kebiruan berdiameter ± 2 cm.
4) Buah masak fisiologis berbentuk bulat dengan warna biru keunguan.

C
A

Gambar 4. Pembentukkan buah ganitri (A. bakal buah; B. Buah muda; C. Buah masak fisiologis)
b. Periodisasi pembuahan
Bakal buah berbentuk telur berukuran < 1 cm dengan sisa-sisa rambut (Gambar 3) akan
terus berkembang menjadi buah muda berbentuk bulat berwarna hijau gelap berukuran >
2 cm. Perkembangan dari bakal buah menjadi buah muda berlangsung + selama 2 bulan 2
minggu. Selanjutnya buah muda berkembang menjadi buah tua berbentuk bulat dengan
warna hijau kebiruan berdiameter ± 2 cm berlangsung selama + 1 bulan. Berdasarkan
tahapan tersebut, maka periodisasi pembuahan ganitri berlangsung selama 3 bulan 2
minggu.
3. Jumlah bunga dan buah ganitri
Setiap pohon ganitri mempunyai produksi bunga dan buah yang berbeda-beda.
Begitupun dengan pohon ganitri yang ada di Desa Donosari dan Desa Cisarua. Data jumlah
bunga dan buah ganitri di Desa Donosari lebih banyak bila dibandingkan dengan Desa Cisarua,
hal ini terjadi karena faktor lingkungan seperti ketinggian tempat, curah hujan, suhu dan
kelembaban yang berbeda antara kedua desa tersebut. Seperti dikemukakan Borchert (1983),
bahwa dalam proses pembungaan termasuk permulaan munculnya tunas bunga, bunga
terbuka, dan keteguhan bunga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Jumlah bunga dan
buah ganitri pada pohon yang diamati tersaji dalam Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah bunga dan buah ganitri di Desa Donosari dan Desa Cisarua
Lokasi Jumlah Jumlah bunga Jumlah bunga Jumlah buah Jumlah buah
malai/dahan kuncup/malai mekar/malai muda/malai tua/malai
Cisarua 82 – 126 23 - 39 23 - 37 1 - 13 1-9
Donosari 76 – 314 21 - 30 19 - 25 3 - 12 9 - 21

Selanjutnya Gambar 5 memperlihatkan proses perkembangan bakal bunga sampai


menjadi buah masak fisiogis jenis ganitri yang terjadi secara alami.

93
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Bakal bunga Bunga kuncup Bunga mekar

1 -1,5 bulan 1 bulan 2 minggu


1 minggu
Buah muda Buah kecil Bakal buah
Buah masak

1 bulan 2 minggu
2 bulan

Gambar 5. Periodisitas perkembangan bunga sampai menjadi buah masak fisiologis jenis ganitri

B. Pembahasan
Pembungaan pada umumnya berlangsung menjelang musim kemarau yang ditandai
dengan menguningnya daun, kemudian daun rontok di musim kemarau. Pada musim
penghujan yang diawali dengan muncul tunas generatif yang akan berubah menjadi bakal
bunga. Proses tersebut berlangsung selama 1 - 1,5 bulan, sedangkan bunga kuncup akan
berkembang menjadi bunga mekar selama 1 - 2 bulan. Bunga yang mekar sebagian ada yang
rontok yang diawali dengan bunga layu di pohon selama 1 minggu. Bunga tersebut kemudian
gugur ke tanah. Bunga yang mekar dan tidak rontok akan berkembang menjadi buah muda. Hal
ini dapat berlangsung selama 2 minggu - 1 bulan. Proses pembuahan merupakan kelanjutan
dari proses pembungaan. Perkembangan tahapan pembuahan dimulai dari bakal buah sampai
buah masak fisiologis. Buah muda terus tumbuh menjadi buah setengah tua selama 1 - 2 bulan.
Kemudian buah setengah tua menjadi buah tua/masak selama 1 bulan.
Periodisasi pembungaan dan pembuahan ganitri di esa Donosari dan esa Cisarua tidak
jauh berbeda. Apabila melihat dari parameter iklim yang diamati (suhu dan kelembaban udara
dan curah hujan), maka parameter tersebut belum dapat mengindikasikan sebagai faktor yang
berdampak pada pembentukan bunga tanaman. Jones (1994) menyatakan bahwa beberapa
faktor lingkungan yang memberikan pengaruh terhadap inisiasi malai bunga adalah panjangnya
hari siang (fotoperiode) melalui kondisi internal tanaman seperti suplai karbohidrat.
Perbedaan ekosistem dalam waktu pembungaan musiman pada populasi alam telah
dilaporkan dalam berbagai percobaan di perkebunan (Langlet, 1971; Heslop-Horison, 1964),
secara umum dapat dikatakan bahwa populasi tumbuhan di daerah dataran tinggi berbunga
lebih cepat dari populasi di daerah dataran rendah. Banyak faktor lingkungan yang dapat
berinteraksi untuk menentukan munculnya bunga. Dalam beberapa tumbuhan, tunas-tunas
akan menjadi bunga sebagai akibat rangkaian lingkungan yang dapat terjadi dalam beberapa
bulan (Lang, 1965). Faktor lingkungan fisik yang diketahui sebagai penyebab permulaan
munculnya pembungaan yaitu: lamanya waktu penyinaran, temperatur dan kelembaban.
Kebanyakan spesies tumbuhan semak berkayu di daerah beriklim sedang, musim
pembungaannya dipengaruhi oleh temperatur (Leith, 1974).
Tomlison and Zimerman (1978) menyatakan bahwa dalam hutan daerah tropika, dengan
banyaknya hujan masa berbunga menjadi mundur dari masa pembungaannya, hal tersebut
diperkuat oleh Borchert (1983) bahwa penurunan kandungan air dari organ reproduksi dapat
merangsang masa berbunga dari beberapa jenis pohon di daerah tropika.

94
Aspek Perbenihan

IV. KESIMPULAN
Periode dari bunga kuncup sampai bunga mekar dan periode dari munculnya buah
muda sampai buah masak fisiologis masing-masing berlangsung selama 2 bulan. Kondisi tempat
tumbuh di 2 (dua) desa tidak menunjukkan perbedaan terhadap periode berbunga dan berbuah
jenis ganitri.

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, A., D. Syamsuwida., M. Suhartana. dan A. Muharam. 2007. Perkembangan


pembentukan bunga dan buah rasamala. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol. 4, No.3:
143 – 150.
Aminah, A., dan D. Syamsuwida. 2010. Tahapan perkembangan pembentukan bunga dan buah
suren (Toona sureni MERR.). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. vol. 7, No. 3: 113 – 119.
Borchert, R. 1983. Phenology and control of flowering in tropical trees. Biotropica, Vol 15 No.
2: 81-89.
Heslop-Harrison, J. 1964. Sex expression in flowering plants. In: Brookhaven Symposia in Biology
16. 109-125.
http:// staff.blog.ui.ac.id /taqyudin /index.php /2009 /01 /10 /info-penting-ganitri-elaeocarpus-
sphaericus /, senin 18-01-2010.
Jones, H.G. 1994. Plants and microclimate. Edisi ke-2. Cambridge University Press, Malta,
Australia.
Langlet, O. 1971. Two hundred years of genecology. Taxon 20: 653–722
Leith, H. 1974. Phenology and seasonality modelling. Springer-Verlag, New York, New York, USA.
Putrayasa, I. N. 1995. Pola perkembangan bunga dari beberapa jenis mangrove di Kawasan
Hutan Pemogan Denpasar Selatan Bali. Skripsi. Fakultas MIPA. Jurusan Biologi
Universitas Udayana. Bali.
Tomlison. and Zimerman. 1978. Tropical trees as living systems. Cambridge university press.
New York.
Schmidt, L. 2000. Pedoman penanganan benih tanaman hutan tropis dan sub tropis. Direktorat
Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan. Jakarta.
Suginingsih. dan P. Daryono. 2006. Variasi pembungaan dan pembuahan pulai (Alstonia
scholaris) dari berbagai tempat tumbuh dan pengaruhnya terhadap kualitas fisik dan
fisiologis benih. Laporan Hasil Penelitian. Laboratorium Teknologi Perbenihan, Jurusan
Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Syamsuwida, D. dan A. Aminah. 2010. Morfologi dan siklus perkembangan pembungaan-
pembuahan mindi (Melia azedarach L.). Dalam. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian
20 Oktober 2010 Bandung: 228 - 237.

95
Aspek Perbenihan

PEMBIAKAN VEGETATIF KAYU BAWANG (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs) DENGAN


CANGKOK SEBAGAI STRATEGI TEKNIK ANTARA MENGATASI KELANGKAAN BENIH

Imam Muslimin, Nanang Herdiana dan Kusdi


Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Kayu bawang (Azadirachta excelsa) merupakan salah satu tanaman unggulan daerah propinsi Bengkulu
sebagai bahan baku kayu pertukangan dengan tingkat pertumbuhan tanaman yang cepat, sehingga
dalam waktu singkat jenis tanaman ini bisa berkembang dengan pesat. Namun, saat ini produksi buah
dan benih kayu bawang sangat minim karena hanya beberapa pohon saja yang mengalami pembuahan.
Pembiakan vegetatif merupakan salah satu alternatif untuk penyediaan bibit. Teknik pembiakan
vegetatif dari cabang atau batang tanaman kayu bawang tua dapat menggunakan cangkok dengan
tingkat keberhasilan yang tinggi. Pencangkokan hanya berfungsi sebagai teknik “antara” untuk
menghasilkan materi dasar perbanyakan yang selanjutnya akan digunakan sebagai bahan
perkembangbiakan vegetatif dengan stek.
Kata kunci: kayu bawang, produksi bibit, vegetatif, cangkok, materi dasar

I. PENDAHULUAN
Pembangunan hutan tanaman kayu bawang (Azadirachta excelsa) di Propinsi Bengkulu
mulai berkembang dengan pesat. Jenis ini merupakan jenis andalan lokal setempat, banyak
diminati masyarakat karena tingkat pertumbuhan dan perkembangannya yang cepat sebagai
penyedia bahan baku kayu pertukangan. Data dan informasi menyebutkan bahwa produktivitas
hutan rakyat kayu bawang pada pola monokultur adalah 22,03 m 3/ha/tahun dan pada pola
agroforestri mempunyai rerata produktivitas sebesar 13,70 m 3/ha/tahun (Siahaan dan Sumadi,
2013). Tidaklah mengherankan bilamana pada awalnya jenis ini hanya berkembang di wilayah
Kabupaten Bengkulu Utara dan Tengah, sekarang sudah mulai menyebar ke Kabupaten lainnya
seperti: Mukomuko, Rejang Lebong, Seluma, Kepahyang sampai ke Kabupaten Bengkulu
Selatan (Nurlia dan Waluyo, 2013).
Pengembangan kayu bawang mempunyai beberapa kendala baik secara Internal
maupun eksternal. Salah satu faktor eksternal yang dominan mempengaruhi perkembangan
dan penyebaran kayu bawang adalah adanya keterbatasan bibit hasil dari pembiakan generatif.
Hal ini disebabkan oleh adanya periodisitas kayu bawang yang tidak kontinyu untuk berbunga
dan berbuah yang dimungkinkan terjadi sebagai akibat adanya perubahan iklim, dimana musim
panas dan musim penghujan tidak mempunyai periodisitas/ batas yang jelas. Kondisi semacam
ini telah dimulai sejak tahun 2010 (Nurlia dan Waluyo, 2013). Hal ini mengakibatkan program
kerja bidang kehutanan dan program-program lain yang berkaitan dengan kayu bawang
menjadi terkendala karena tidak tersedianya materi bibit kayu bawang.
Permasalahan utama pada kayu bawang untuk memproduksi benih sebagai bahan/
materi utama dalam pembuatan bibit, harus segera diatasi dan ditemukan teknik produksi bibit
yang tidak mengandalkan pada produksi benih sebagai unsur utama, sehingga minat
masyarakat yang secara sadar sudah mau mengembangkan jenis ini menjadi tidak surut. Salah
satu strategi yang mungkin untuk bisa dikembangkan dalam penyediaan bibit kayu bawang
adalah melalui teknik pembiakan tanaman secara vegetatif. Teknik pembiakan vegetatif kayu
bawang dengan memanfaatkan materi dari anakan alam (widling) mempunyai tingkat

97
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

keberhasilan yang tinggi (Utami et al., 2012). Namun, teknik pembiakan vegetatif ini tetap
masih mengandalkan materi dasar utama dari anakan alam (widling) yang merupakan hasil dari
pembiakan secara generatif, dalam artian teknik ini masih tetap membutuhkan produksi buah.
Sampai dengan saat ini belum terdapat data dan informasi mengenai teknik pembiakan
vegetatif untuk tanaman kayu bawang yang keseluruhan proses pembiakannya
menggunakan/memanfaatkan materi secara vegetatif atau memanfaatkan materi tanaman tua
yang sudah ada untuk dikembangkan secara vegetatif. Oleh karena itu, makalah ini
memaparkan pengalaman dalam kegiatan pembiakan vegetatif tanaman kayu bawang dengan
teknik cangkok yang sangat berperanan dalam salah satu proses penyediaan bibit kayu bawang
yang berkualitas dan berlimpah.

II. KAYU BAWANG (Azadirachta excelsa)


Kayu bawang (Azadirachta excelsa) termasuk famili Meliaceae, mempunyai persamaan
nama dengan Azadirachta integrifolia Merr., Azedarach excelsa (Jack) Kuntze, Melia excelsa
Jack, Trichilia excelsa (Jack) Spreng. Kayu bawang mempunyai hubungan yang dekat dengan
neem (Azadirachta indica A. Juss), namun distribusinya lebih ke daerah barat dan tumbuh pada
daerah kering. Distribusi yang tumpang tindih diantara kedua jenis tanaman tersebut
dimungkinkan menghasilkan hybrid (Joker, 2000).
Kayu bawang merupakan salah satu jenis unggulan setempat Provinsi Bengkulu dan
dikenal dengan nama kayu pahit. Batang berbentuk bulat lurus dengan tinggi pohon dapat
mencapai 30-40 m dan diameter 100-120 cm. Kulit batang berwarna abu-abu sampai coklat
muda dengan tekstur agak licin. Daunnya majemuk tunggal, berbentuk elips, ujungnya
meruncing dengan tulang daun menyirip. Kayu bawang mampu tumbuh di berbagai jenis tanah
dan relatif tidak membutuhkan persyaratan tumbuh yang spesifik. Secara topografis umumnya
tumbuh pada ketinggian sampai dengan 700 mdpl dengan curah hujan 3.500-5.000 mm/th
(Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu, 2003). Tanaman ini mampu bertahan pada tanah yang
cenderung masam, tumbuh relatif cepat, bebas cabang tinggi, relatif tahan terhadap serangan
hama dan penyakit serta memiliki tekstur kayu yang baik. Tajuk pohon ringan dengan diameter
yang sempit dan persentase tajuk yang rendah (<30%) (Apriyanto, 2003), sehingga secara sosial
kemasyarakatan jenis ini sangat cocok untuk digunakan dalam pola agroforestri.
Kayu bawang memiliki serat yang halus sehingga mudah diolah dengan berat jenis
sekitar 0,56; termasuk kelas awet dan kelas kuat IV (Bina Program Kehutanan, 1983 dalam
Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu, 2003). Masyarakat di Provinsi Bengkulu biasanya
menggunakan kayu ini sebagai bahan baku pembuatan perlengkapan alat rumah tangga seperti
lemari, meja, kursi, tempat tidur sampai kontruksi bangunan misalnya kusen, dinding dan
sebagainya.

c.
a.
b.
Gambar 1. Tanaman kayu bawang (a), penampilan bunga, buah dan biji (b), produk mebel dari
kayu bawang (c). (Foto I. Muslimin dan B. Winarno)

98
Aspek Perbenihan

Perbanyakan tanaman kayu bawang yang umum dilakukan oleh masyarakat sampai
dengan saat ini adalah menggunakan biji. Biji kayu bawang berada dalam buah yang berbentuk
bulat telur, berisi satu biji, panjang 2,5-3,2 cm, berwarna hijau pada saat muda dan kuning
ketika masak. Biji mempunyai panjang 20-25 mm, lebar 10-12 mm dan terdapat sekitar 500
biji/kg (Joker, 2000). Periodisitas pembungaan dan pembuahan kayu bawang mempunyai
variasi yang cukup tinggi. Kayu bawang di Thailand Utara mengalami daun rontok pada Januari-
Pebruari, diikuti perkembangan daun baru dan berbunga mulai dari Pebruari-Maret. Buah
masak diantara Juni-Juli pada garis lintang yang rendah, sedangkan di Malaysia pada ketinggian
tempat yang tinggi buah masak lebih cepat diantara Mei-Juni (Joker, 2000). Kayu bawang di
Jawa Barat berbuah pada musim hujan, di Darmaga dan Pasirawi berbunga pada Oktober-
Nopember dan berbuah masak pada Desember-Januari, di Carita berbuah pada Oktober-
November, sedangkan di Pasirhantap berbuah pada September-Oktober (Buharman et al.,
2011). Tanaman kayu bawang yang berada di Kabupaten Rejang Lebong (Bengkulu) dan
berbatasan dengan Kabupaten Musi Rawas (Sumsel) berbuah pada bulan Juli-Agustus,
sedangkan yang berada di Kabupaten Banyuasin (KHDTK Kemampo) berbuah pada bulan
Desember-Januari (Muslimin et al., 2014).

III. PEMBIAKAN VEGETATIF TANAMAN


Perbanyakan vegetatif adalah perbanyakan atau perkembangbiakan tanaman yang
diperoleh dari organ vegetatif tanaman seperti batang, tunas pucuk (Subiakto, 2009), ranting,
akar, umbi dan daun untuk menghasilkan tanaman baru yang sama dengan induknya (Jaenicke
dan Beniest, 2002; Herbert dan Jervis, 1997). Dalam bidang kehutanan, pembiakan vegetatif
mempunyai banyak kegunaan (Zobel dan Talbert, 1984), yaitu:
1. Preservasi genotipe-genotipe unggul dalam bank klon atau arsip klonal
2. Perbanyakan genotipe-genotipe unggul yang diinginkan untuk kegunaan khusus seperti di
kebun benih atau pemurnian.
3. Penilaian dari genotipe-genotipe dan interaksinya dengan lingkungan melalui uji klonal.
4. Memperoleh keuntungan genetik maksimum apabila digunakan untuk peremajaan dalam
program pelaksanaan penanaman.
Beberapa kegunaan dan nilai penting perbanyakan tanaman dengan cara vegetatif adalah
(Herbert dan Jervis, 1997):
1. Untuk mengatasi ketidak mampuan dalam memproduksi benih dalam skala besar. Beberapa
jenis tanaman kehutanan tidak dapat memproduksi benih dalam jumlah yang besar secara
serentak atau terkadang memproduksi benih yang tidak viable. Selain itu juga terdapat
kendala jenis tanaman kehutanan yang sifatnya rekalsitran sehingga tidak dapat disimpan
dalam jangka waktu yang lama dan membutuhkan waktu segera untuk penanganan benih
setelah diunduh.
2. Untuk mengatasi ketidakmampuan tanaman dalam memproduksi jenis yang identik ketika
menggunakan biji. Banyak tanaman mempunyai tipologi penyerbukan terbuka dan terjadi
penyerbukan silang sehingga mempunyai variasi genetik dari kedua induknya. Kejadian
semacam ini dianggap kurang menguntungkan pada beberapa jenis tanaman. Misalnya pada
tanaman Colorado blue spruce, pada penyerbukan terbuka menghasilkan biji dengan
beragam warna dari hijau sampai biru, sedangkan warna yang diminati adalah biru. Pada
persemaian dilakukan seleksi dan hanya yang berwarna biru dikembangkan secara vegetatif
untuk menghasilkan keturunan yang juga berwarna biru.

99
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

3. Untuk mengabadikan suatu bentuk tertentu dari tanaman. Misalnya pada beberapa pohon
pinus tertentu, ketika diperbanyak secara vegetatif dari materi cabang lateral maka akan
mempertahankan sifat arah pertumbuhan secara horizontal (samping), berbeda dengan
perbanyakan vegetatif yang dilakukan pada ranting yang tumbuh vertikal akan menghasilkan
pertumbuhan yang normal tegak ke atas.
4. Untuk mempercepat peningkatan jumlah tanaman
5. Untuk mengembangkan kekebalan terhadap hama, beberapa tanaman yang mempunyai
kekebalan terhadap serangan hama dan penyakit dimungkinkan akan mengalami penurunan
kekebalan bilamana dikembangkan secara generatif, sehingga diperlukan pengembangan
secara vegetatif untuk tetap dapat mempertahankan sifat kekebalan tersebut.
6. Untuk mengizinkan pertumbuhan habitat tertentu.
Pembiakan vegetatif merupakan salah satu aspek teknik perkembangbiakan tanaman
yang digunakan dalam program pemuliaan pohon dalam rangka untuk meningkatkan
produktivitas tanaman. Individu-individu pohon yang bergentik unggul hasil dari beberapa
tahapan seleksi dalam pemuliaan pohon dapat dikebangkan secara vegetatif untuk
memperoleh produktivitas yang tinggi (Pudjiono, 2008; Hardiyanto, 2004). Pada kegiatan
pemuliaan tingkat lanjut, pengembangan klon menjadi sangat penting untuk dilakukan karena
perhutanan klon (clonal forestry) yang dibangun menggunakan klon terpilih akan menghasilkan
keseragaman sifat-sifat yang diinginkan (Baskorowati, 2012).

IV. TEKNIK CANGKOK (AIR LAYERING) PADA KAYU BAWANG


Pembiakan vegetatif merupakan salah satu strategi teknik perbanyakan tanaman yang
sangat memungkinkan untuk dilakukan pada jenis tanaman kayu bawang sebagai salah satu
strategi untuk memenuhi kebutuhan penyediaan bibit yang selama ini terkendala oleh
minimnya produksi benih. Strategi pembiakan vegetatif pada tanaman kayu bawang dapat
dilakukan melalui dua cara yaitu:
a. Pembiakan vegetatif dengan “duplikasi” dari materi generatif
Pembiakan vegetative dengan stek dilakukan pada bibit hasil dari perbanyakan secara
generatif (Utami et al., 2012) baik menggunakan bibit dari anakan alam (widling) ataupun
bibit hasil dari persemaian, dengan tingkat keberhasilan yang sangat tinggi. Teknik ini
menggunakan bagian dari pucuk bibit yang ada (stek pucuk). Bibit yang telah dipotong
bagian pucuknya dapat bertunas kembali dan pertunasan ini dapat digunakan kembali
sebagai bahan stek. Namun, teknik ini tetap masih membutuhkan bibit hasil dari
perbanyakan generatif, di lain pihak beberapa tahun terakhir ini tanaman kayu bawang
sangat jarang yang menghasilkan biji.
b. Pembiakan vegetatif dari materi tanaman tua
Bilamana tidak terdapat materi generatif atau bibit hasil generatif sebagai bahan pembiakan
vegetatif, maka pembiakan vegetatif dapat dilakukan langsung dengan menggunakan materi
dari bagian tanaman (pohon) yang telah ada. Hasil perbanyakan vegetatif dari pohon tua ini
pada tahap awal hanya digunakan sebagai penyedia materi dasar, yang selanjutnya bisa
dikembangkan sebagai materi perbanyakan. Utami et al., (2012) mengemukakan bahwa
perbanyakan vegetatif melalui stek dengan menggunakan materi dari tanaman tua
mempunyai tingkat keberhasilan yang sangat rendah karena tingkat juvenilisasi tanaman
yang rendah, sehingga diperlukan teknik perbanyakan vegetatif lainnya yang mempunyai
tingkat keberhasilan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan stek.

100
Aspek Perbenihan

Salah satu teknik perbanyakan tanaman secara vegetatif yang dapat dilakukan untuk
meng-”copy” tanaman kayu bawang yang sudah tua adalah melalui pembiakan tanaman
dengan cangkok. Perbanyakan vegetatif dengan mencangkok adalah teknik perbanyakan
vegetatif dengan cara pelukaan atau pengeratan cabang pohon induk dan dibungkus dengan
media tanam untuk merangsang terbentuknya akar (Prastowo et al., 2006).
Kegiatan pembuatan cangkok pada tanaman kayu bawang tua pada dasarnya
mempunyai teknik yang sama dengan kegiatan pembuatan cangkok pada tanaman kehutanan
lainnya ataupun pada tanaman buah-buahan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam
pembuatan cangkok adalah: a) cangkok dilakukan pada cabang atau batang yang tumbuh ke
atas (ortotroph) dengan diameter cabang + 3 cm, b) kulit batang di kelupas sepanjang + 5 cm
dan dikerok untuk menghilangkan kambium, c) bagian batang yang terbuka kulitnya, kemudian
diberi hormon tumbuh sistem pasta, d) kemudian diberi media berupa tanah topsoil
secukupnya dan ditutup dengan plastik yang pada bagian ujungnya (atas dan bawah) di ikat,
e) untuk memudahkan air masuk ke dalam media, maka pada plastik pembungkus diberi
beberapa lubang.

a c
Gambar 2. Kegiatan pembuatan cangkok kayu bawang (a); perakaran cangkok
yang muncul pada umur 2 bulan setelah cangkok (b); penanaman
cangkok pada polybag besar di persemaian sebagai materi dasar (c)
(Foto Imam Muslimin)
Kegiatan pembuatan cangkok pada tanaman kayu bawang di Kawasan Hutan Dengan
Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo pada umur 3 tahun mempunyai tingkat keberhasilan yang
tinggi yaitu sekitar 90% pada umur cangkokan 2,5 bulan (Muslimin et al., 2014). Tingkat
keberhasilan yang tinggi pada kegiatan pencangkokan batang kayu bawang tersebut
merupakan satu hal yang sangat positif dan mengindikasikan bahwa jenis kayu bawang
termasuk jenis yang responsif terhadap kegiatan pencangkokan. Beberapa kegiatan
pencangkokan pada tanaman kehutanan juga dilaporkan oleh beberapa peneliti lainnya (Tabel
1.) yang menunjukkan tingkat keberhasilan yang memuaskan.
Tabel 1. Kegiatan cangkok pada beberapa tanaman kehutanan
No Jenis Tanaman Teknik Cangkok Persentase berakar Sumber
1 2 3 4 5
1. Eusideroxylon zwageri - 77,8% setelah 8-9 bulan Siregar dan
(Ulin) pencangkokan Djam’an (2007)
2. Dyera spp. (Jelutung) - 63,33% setelah 3-9 bulan
pencangkokan
3. Ficus spp pada cabang tua (Ø 1- 100% setelah 14 minggu Granzow (1999)
Terminalia amazonia 2,5 cm), aplikasi
Vismia macrophylla IBA+NAA 1000-2000
Guatteria diospyroides ppm.

101
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

No Jenis Tanaman Teknik Cangkok Persentase berakar Sumber


1 2 3 4 5
Hyeronima alchorneoides
Isertia haenkeana
Pentaclethra macroloba
4. Pinus densiflora pada tanaman tua (15 9 bulan setelah Kawai (1997)
tahun) dan muda (8 pencangkokan, 37,5-41,7%
tahun) berakar pada tanaman tua
dan 60% berakar pada
tanaman muda
5. Hymenaea Courbaril Tanpa aplikasi hormon 20% berakar pada (a), 40% Thirunavoukkarasu
(Kobaril) (a), IAA 1000 ppm (b), pada (b) dan (c), 60% pada et al., (2004)
IAA 2000 ppm (c), IAA (d), 100% pada (e) dan (f).
3000 ppm (d), IBA 1000
ppm (e) dan 2000 ppm
(f)
6. Uapaca kirkiana pada cabang tanaman 82,5% berakar Mwangingo dan
tua, IBA 5000 ppm Lulandala (2011).
7. Inga feuillei Aplikasi IBA 0,3% (a) dan 97% pada (a) dan 76% pada Brennan dan
kontrol (b) (b) setelah tiga minggu Mudge (1997)
8. a. Heritiera fomes a. IBA 1000mg/l+NAA a. sebesar 41% Eganathan et al.,
1000mg/l, (2000)
b. Intsia bijuga b. IBA 2000mg/ L b. sebesar 46%
c. Excoecaria agallocha c. IBA 2000mg/L c. sebesar 48%
9. Dysoxylum malabaricum pada tanaman umur 10- 90% berakar Hussain, 2013
15 tahun, aplikasi IBA
1000 ppm
10. Cinnamomum verumykesu menggunakan media 90-1000% berakar Verma, 2013
(Syn. C. Zeylanicum Blume) Sphagnum, aplikasi IBA
2000ppm
11. Pinus gerardiana Wall aplikasi 0,75% IBA 43,33% Thakur, 2011
+10%captan+10%
sucrose-talc atau 1%
IBA+10% sucrose-talc
12. Ficus krishnae dan Aplikasi IBA 500 ppm memberikan persentase Tomar dan Singh
Ficus auriculata berakar yang terbaik (2011)
13. Syzygium cumini Aplikasi IBA 10.000 ppm 66,70% berakar Gowda, 2011
14. Anacardium occidentale L. Aplikasi kontrol (a), IBA 49,74%; 59,97%; 58,87%; Modi, 2012
500ppm (b), 1000ppm 54,09%; 51,59% berturutan
(c), 1500 ppm (d), dan pada perlakuan (a), (b), (c),
2000 ppm (e) (d), dan (e). Perakaran pada
hari ke 31,77; 20,61; 22,77;
24,28 dan 27,38 berturutan
pada perlakuan (a), (b), (c),
(d) dan (e).

Deteksi dini tingkat keberhasilan pembuatan cangkok bisa ditengarai dari adanya
perakaran yang bisa terlihat dengan jelas pada media cangkok. Perakaran mulai muncul pada
minggu ke-4 dan dalam jumlah yang banyak dan kompak pada minggu ke 8-12. Bilamana
perakaran sudah banyak dan kompak, maka cangkokan dapat dipanen dengan memotong tepat
di bagian bawah media perakaran cangkok. Pemapanan cangkok dapat dilakukan langsung di
lapangan atau di tanam terlebih dahulu di persemaian dengan menggunakan polybag yang
besar.

102
Aspek Perbenihan

Tingkat keberhasilan pembuatan cangkok sangat bergantung pada beberapa hal yaitu:
1. Waktu mencangkok
Chauhan et al. (2008) mengemukakan bahwa salah satu kelemahan dari mencangkok
adalah sangat tergantung dari musim dan berhubungan erat dengan kelembaban yang tinggi,
curah hujan dan suhu panas. Waktu yang terbaik (efektif dan efisien) untuk melakukan kegiatan
pencangkokan adalah pada saat musim penghujan karena pada saat penghujan cukup banyak
tersedia air hujan yang berfungsi untuk menjaga kelembaban media cangkok.
2. Pemilihan materi batang/cabang
Materi cabang/batang yang relatif besar akan cepat memunculkan akar karena
mempunyai cukup cadangan makanan di dalamnya, namun pemilihan batang/cabang yang
terlalu besar akan menyusahkan dalam pekerjaan pemanenan dan pemapanan di persemaian.
3. Penggunaan media
Media harus steril, mempunyai porositas yang cukup, mampu mengikat air dalam waktu
yang relatif lama, mempunyai kandungan bahan organik yang cukup untuk pertumbuhan pada
saat perakaran mulai terbentuk.
4. Keterampilan pekerja
Masing-masing pekerja mempunyai keterampilan yang berbeda-beda dalam menunjang
keberhasilan pembuatan cangkok, beberapa hal yang seringkali lalai dilakukan oleh pekerja
yang menyebabkan ketidakberhasilan pembuatan cangkok adalah: a) pengerokan/pembersihan
kambium kurang bersih, sehingga kulit batang/cabang segera pulih kembali, b) penggunaan
pisau untuk memotong kulit batang/cabang yang kurang tajam, sehingga menyebabkan
kerusakan jaringan pada tempat terbentuknya perakaran, c) pembungkusan media dan
pengikatan media yang kurang bagus, sehingga media tidak kompak dan mudah hancur/pecah
bilamana terkena hujan dengan intensitas yang tinggi.
Kegiatan pembuatan cangkok pada tanaman kayu bawang secara spesifik bukanlah
dijadikan sebagai materi perbanyakan massal ataupun materi untuk tanaman baru. Kegiatan
pencangkokan dimaksudkan untuk meng”copy” genetik induk yang mempunyai sifat-sifat
unggul dan dijadikan sebagai materi dasar. Dalam kasus seperti ini, Zobel dan Talbert (1984)
mengistilahkan bahwa cangkok merupakan teknik “antara” untuk menghasilkan perakaran
sebagai pembentuk materi dasar. Materi dasar hasil cangkokan nantinya dikembangkan secara
lanjut di persemaian dalam bentuk kebun perbanyakan, dimana penyusun kebun perbanyakan
hanya ditujukan untuk memproduksi tunas-tunas juvenil yang digunakan sebagai bahan
perbanyakan vegetatif dengan stek (Utami et al., 2012) atau teknik perbanyakan makro dan
mikro lainnya.

V. PENUTUP
Pembiakan vegetatif pada tanaman kayu bawang merupakan salah satu solusi untuk
mengatasi keterbatasan produksi benih dalam rangka pemenuhan kebutuhan bibit. Pembiakan
vegetatif pada cabang/batang tanaman kayu bawang tua dapat dilakukan dengan sistem
cangkok dengan tingkat keberhasilan yang tinggi. Kegiatan cangkok ini hanya dilakukan untuk
tujuan meng“copy” genetik induk sebagai penyedia materi dasar perbanyakan untuk kegiatan
berikutnya. Bilamana materi dasar sudah terbentuk, maka sebagai langkah tindak lanjut adalah
dilakukannya teknik perbanyakan massal dengan pembiakan vegetatif stek pucuk.

103
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

DAFTAR PUSTAKA
Apriyanto, E. 2003. Pertumbuhan Kayu Bawang (Protium javanicum Burm.f) pada Tegakan
Monokultur Kayu Bawang di Bengkulu Utara. Jurnal Ilmu Ilmu Pertanian Indonesia Vol. 5,
No.2 tahun 2003. Diakses di http://www. Bdpunib.org/jipi/artikeljipi /2003/64.PDF pada
tanggal 13 Agustus 2007.
Baskorowati, L. 2012. Pengembangan Klon dan Hibridisasi. Status Penelitian Pemuliaan
Tanaman Hutan di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH).
Kementerian Kehutanan. Yogyakarta.
Brennan, E. B., and K.W. Mudge. 1997. Vegetative propagation of Inga feuillei from shoot
cuttings and air layering. New forests 15:37-51, 1998. Kluwer Academic Publishers.
Netherlands.
Buharman, D. F. Djam’an, N. Widyani, S. Sudradjat. 2011. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia
Jilid II “Sentang (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs)”. Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan Tanaman Hutan. Badan Litbang Kementerian Kehutanan. Bogor.
Chauhan, V. S., V. P. Ahlawat and M. S. Joon. 2008. Studies on Air Layering in Litchi (CV, Early
Large Red). Agric. Sci. Digest, 28 (3): 186-188, 2008.
Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu. 2003. Budidaya Tanaman Kayu Bawang. Dinas Kehutanan
Provinsi Bengkulu. Bengkulu.
Eganathan, P., C.S. Rao, A. Anand. 2000. Vegetative Propagation of three mangrove tree species
by cuttings and air layering. Wetlands Ecology and Management 8: 281-286, 2000.
Kluwer Academic Publishers. Netherlands.
Gowda, V. N., V. Kumar, P.V.K. Reddy. 2011. Studies on vegetative propagation in jamun
(Syzygium cumini). Acta Horticulturae 2011 No. 890 pp. 107-110.
Granzow, I. 1999. Air-Layering Shows Promise in Propagating Tropical Trees (Nicaragua).
Ecological Restoration 17:1 & 2 Spring/ Summer.
Hardiyanto, E. B. 2004. Pembangunan Hutan Tanaman Acacia mangium “Silvikultur dan
Pemuliaan Acacia mangium”. Pengalaman di PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan.
PT. Musi Hutan Persada.
Herbert H. Jervis. 1997. The Beneficial Apects of Cloning: A View From The Plant World.
Jurimetrics, Vol. 38, No. 1 (Fall 1997), pp. 97-102.
Hussain, A., A.G. Pandurangan, R. Remya. 2013. Clonal propagation through stem cuttings and
air layering in Dysoxylum malabaricum Bedd. Ex Hiern. An endemic and rare tree species
of the Western Ghats. Indian Journal of Forestry 2013 Vol. 36 No. 2 pp. 187-190.
Jaenicke, H., J. Beniest. 2002. Vegetative Tree Propagation in Agroforestry. International Centre
for Research in Agroforestry (ICRAF). Nairobi, Kenya.
Joker, D. 2000. Seed Leaflet: Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs. Danida Forest Seed Centre.
Denmark.
Kawai, M. 1997. Artificial ectomycorrhiza formation on roots of air-layered Pinus densiflora
saplings by inoculation with Lyophyllum shimeji. Mycologia, 89(2), 1997, pp. 228-232.
Modi, D. J., B. K. Patel, H.S. Bhadauria, L. R. Varma and V. R. Garasiya. 2012. Effect of different
level of indole butyric on air layering of cashewnut (Anacardium occidentale L.) cv.
Vengurla-6, Asian J. Hort., 7(2): 626-627.

104
Aspek Perbenihan

Muslimin, I., N. Herdiana, K. Mulyadi. 2014. Laporan Hasil Penelitian “Pembangunan Sumber
Benih Jenis Kayu Bawang (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs). Balai Penelitian Kehutanan
Palembang. Kementerian Kehutanan. Tidak dipublikasikan.
Mwangingo, P.P., L. L. Lulandala. 2011. Air Layering and its potential in propagating Uapaca
kirkiana: a fruit tree from the miombo woodland, Tanzania. Southern Forests: A Journal
of Forest Science. 2011, Vol. 73 Issue 2, p67-71. 5p.
Nurlia, A., dan E. A. Waluyo. 2013. Faktor-faktor Pembatas Yang Mempengaruhi Pengembangan
Hutan Rakyat Kayu Bawang (Dysoxylum mollissimum Blume.) di Provinsi Bengkulu.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian “Integrasi IPTEK dalam Kebijakan dan Pengelolaan
Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan”. Palembang, 2 Oktober 2013. Kementerian
Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.
Prastowo, N. H., J. M. Roshetko, G. E. S. Maurung, E. Nugraha, J. M. Tukan, F. Harum. 2006.
Teknik Pembibitan dan Perbanyakan Vegetatif Tanaman Buah. World Agroforestry
Centre (ICRAF) & Winrock International. Bogor. Indonesia.
Pudjiono, S. 2008. Penerapan Perbanyakan Tanaman Secara vegetatif Pada Pemuliaan Pohon.
Makalah Gelar Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan di Pekanbaru Riau Tanggal 21
Agustus 2008. Balai Besar Penelitian Biotekhnologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.
Yogyakarta.
Rahman, E., M. L. Hutagalung, Y. T. Surbakti. 2012. Makalah Dasar-dasar Agronomi
“Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif”. Program Studi Agribisnis. Fakultas Pertanian
Universitas Jambi. Tidak dipublikasikan.
Siahaan, H., dan A. Sumadi. 2013. Pertumbuhan dan Produktivitas Agroforestri Kayu Bawang di
Propinsi Bengkulu. Prosiding Seminar Hasil Penelitian “Integrasi IPTEK dalam Kebijakan
dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan”. Palembang, 2 Oktober
2013. Kementerian Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.
Siregar, N., D. F. Djam’an. 2007. Teknik Perbanyakan Vegetatif Untuk Memproduksi Bibit
Beberapa Jenis Tanaman Hutan. Prosiding Seminar “Teknologi Perbenihan untuk
Meningkatkan Produktivitas Hutan Tanaman Rakyat di Sumatera Barat”. Departemen
Kehutanan. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Bogor.
Subiakto, A. 2009. Aplikasi KOFFCO Untuk Produksi Stek Jenis Pohon Indigenous. Pusat Litbang
Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Thakur, K. S., G. S. Shamet, A. D. Mundhe. 2011. Propagation of Neoza pine (Pinus gerardiana
Wall) through cuttings and air-layering. Indian Journal of Forestry 2011. Vol. 34 No. 3 pp.
257-262.
Thirunavoukkarasu, M. Brahmam & N. K. Dhal. 2004. Vegetative Propagation Of Hymenaea
Courbaril by Air Layering. Journal of Tropical Forest Science 16(2):268-270 (2004).
Tomar, A. dan V. R. R. Singh. 2011. Effect of air layering time (season) with the aid of Indole
Butyric Acid in Ficus krishnae and Ficus auriculata. Indian Forester 2011 Vol. 137 No. 12
pp 1363-1365.
Utami, S., A. P. Yuna., T. R. Saepuloh. 2012. Budidaya Jenis Kayu Bawang Aspek Manipulasi
Lingkungan. Laporan Hasil Penelitian. Kementerian Kehutanan. Balai Penelitian
Kehutanan Palembang. Tidak dipublikasikan.

105
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Verma, P.L., N. Das, V. Kumar, R. Kumar. 2013. Effect of Sphagnum spp. As substrate media on
rooting response of Cinnamomum verumykesu (Syn. C. Zeylanicum Blume) through air
layering. Journal of Non-Timber Forest Products 2013 Vol. 20 No. 3 pp 179-182.
Zobel dan Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley & Sons Inc. Canada.

106
Aspek Perbenihan

VARIASI GENETIK PERTUMBUHAN UJI KETURUNAN


BAMBANG LANANG (Michelia champaca L.) UMUR 1 TAHUN

Agus Sofyan, Abdul Hakim Lukman, Imam Muslimin dan Kusdi


Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengetahui variasi genetik, heritabilitas serta perolehan genetik harapan
pertumbuhan tinggi dan diameter pohon bambang lanang (Michelia champaca L). Penelitian dilakukan
pada uji keturunan half-sib M. champaca umur 1 tahun di Kabupaten Empat Lawang-Sumatera Selatan,
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), 40 famili, 4 replikasi, 4 tanaman setiap plot (treeplot).
Variabel yang diukur adalah diameter pangkal batang dan tinggi pohon. Terdapat variasi genetik
pertumbuhan tinggi dan diameter antar famili dengan nilai persentase komponen varians berturut-turut
sebesar 1,19% dan 2,69%. Nilai heritabilitas individu (h 2i) dan famili (h2f) sebesar 0,05 dan 0,07 untuk
tinggi serta 0,11 dan 0,15 untuk diameter.
Kata kunci: Michelia champaca, half sib, uji keturunan, variasi genetik, heritabilitas

I. PENDAHULUAN
Bambang lanang (Michelia champaca L.) merupakan salah satu jenis tanaman lokal
potensial untuk penghasil kayu pertukangan yang menjadi unggulan di Propinsi Sumatera
Selatan. Pada awalnya jenis ini dikembangkan dan diminati oleh masyarakat di Kabupaten
Empat Lawang. Melalui upaya kemandirian masyarakat, bambang lanang telah menyebar ke
berbagai daerah di Sumatera Bagian Selatan seperti Lahat, Kota Pagaralam, Ogan Komiring Ulu,
Musi Rawas, Muara Enim, Kota Lubuk Linggau, dan bahkan sampai ke Bengkulu dan Lampung
(Martin et al., 2010). Jenis ini berkembang dengan pesat karena memiliki beberapa keunggulan
yaitu batang bebas cabang cukup tinggi, lurus, ranting mudah gugur (pruning alami tinggi) dan
tajuk yang tidak lebar sehingga cocok sebagai penyusun pola tanam campur. Riap diameter
tanaman bambang dapat mencapai 3 cm per tahun (Sofyan et al., 2010) dengan produktivitas
sekitar 17m3/ha/tahun (Lukman, 2012).
Budidaya tanaman bambang lanang pada saat ini masih dilakukan secara tradisional
dengan praktek-praktek silvikultur yang sederhana. Kegiatan pemeliharaan seperti penyiangan
gulma, pemupukan dan pemangkasan serta perlindungan terhadap hama dan penyakit belum
dianggap sebagai komponen penting dalam budidayanya, begitu pula dengan penggunaan
bahan atau materi tanaman seperti benih maupun bibit yang masih terkesan ‘seadanya’. Peran
penerapan praktek silvikultur yang baik dan tepat serta penggunaan materi tanaman sangat
menentukan dalam mencapai tujuan penanaman.
Pembangunan hutan tanaman (hutan rakyat maupun hutan tanaman rakyat)
membutuhkan investasi yang cukup besar serta waktu yang relatif lama, karenanya harus
diarahkan pada pembangunan hutan tanaman yang produktif. Peningkatan produktivitas harus
di dukung dengan teknologi budidaya yang tepat serta penggunaan benih serta bibit yang
bergenetik unggul. Pada saat ini, sumber benih tanaman kehutanan khususnya jenis-jenis lokal
komersial belum cukup tersedia, sehingga ketersediaan benih maupun bibit yang unggul secara
genetik belum dapat dipenuhi. Upaya penyediaan benih bergenetik unggul dapat dilakukan
dengan membangun sumber benih yang didasarkan pada kaidah-kaidah dalam program
pemuliaan tanaman.

107
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas jenis bambang lanang, Balai


Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang pada tahun 2011 telah membangun sumber benih
dalam bentuk uji keturunan half sib yang berlokasi di Kabupaten Empat Lawang. Penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh informasi variasi genetik pertumbuhan antar famili serta
besarnya nilai heritabilitas dan perolehan genetik harapan.

II. BAHAN DAN METODE


A. Bahan Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2012 pada tanaman uji keturunan bambang
lanang (Michelia champaca L.) di Kabupaten Empat Lawang-Sumatera Selatan. Lokasi tanaman
uji berada pada ketinggian 250 m dpl, rerata suhu harian 28-30oC, curah hujan rerata 2000-
3000mm/ tahun, topografi datar dengan jenis tanah Podsolik Merah Kuning (PMK).
Tanaman uji keturunan bambang lanang dibangun menggunakan materi pohon induk
hasil dari seleksi massa berdasarkan kriteria pertumbuhan yang bagus (diameter dan tinggi),
batang relatif lurus serta tidak terserang hama dan penyakit. Uji keturunan dibangun
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), 40 famili, 4 tanaman setiap plot (treeplot), 4
replikasi dan jarak tanam 3x3 m. Pohon induk bambang lanang di dapatkan dari beberapa
populasi yang terdapat di Kabupaten Empat Lawang yaitu populasi Lintang Kanan, Muara
pinang, Pendopo, Tebing Tinggi, Ulu Musi dan Talang Padang.
B. Metode Penelitian
Pengukuran dilakukan terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman. Tinggi
tanaman diukur dengan galah ukur dari permukaan tanah sampai titik apikal tanaman,
sedangkan diameter batang diukur dengan kaliper pada pangkal batang +10cm dari permukaan
tanah. Model matematis yang digunakan adalah:
Yij = µ + Ri + Fj + RFij+Eij
Keterangan:
Yij = pengamatan pada replikasi ke-i, famili ke-j
µ = rerata umum
Ri = replikasi ke-i
Fj = efek famili ke-j
RFij = efek interaksi pada replikasi ke-i dan famili ke-j
Eij = random galat pada pengamatan ke-ij
Besarnya pengaruh faktor genetik terhadap penampilan suatu pohon (fenotipe) ditaksir
dari besarnya nilai heritabilitas. Heritabilitas individu (h 2i) dan famili (h2f) produksi getah
dihitung dengan rumus (Zobel dan Talbert, 1984):
2 σ2f 2 4 σ2f
hf = hi =
σ2f + (σ2e/ nr) + (σ2fr/r) σ2f + σ2 e + σ2fr
Keterangan:
h2f : heritabilitas famili
h2i : heritabilitas individu
σ2f : komponen varians famili
σ2fr : komponen varians interaksi famili replikasi
σ2e : komponen varians galat
r : rerata harmonik jumlah replikasi
n : rerata harmonik jumlah pohon tiap plot

108
Aspek Perbenihan

Korelasi genetik antar sifat (pertumbuhan tinggi dengan diameter) dihitung dengan
rumus (Zobel dan Talbert, 1984):
σf (xy)
rG = 2 2 Dimana, σf (xy) = 0,5 (σ2f (x+y) – σ2f (x) – σ2f(y))
√( σ f(x) . σ f(y))
Keterangan :
rG : korelasi genetik
σf (xy) : komponen kovarians untuk sifat x dan y
σ2f (x) : komponen varians untuk sifat x
σ2f (y) : komponen varians untuk sifat y
σ2f (x+y) : komponen varians untuk sifat x dan y

Korelasi fenotipik dihitung dengan rumus (Hardiyanto, 2008):


σp (xy)
rp =
σp(x) . σ p(y)
Keterangan:
rp : korelasi fenotipik
σp (xy) : komponen kovarians fenotipik untuk sifat x dan y
σp (x) : komponen kovarians fenotipik untuk sifat x
σp (y) : komponen kovarians untuk sifat y
σp (xy) : dapat dipisahkan menjadi σ Aditif (xy); σ NonAditif (xy) dan σE (xy)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Pertumbuhan Tanaman
Tanaman uji keturunan bambang lanang umur 1 (satu) tahun mempunyai rerata
pertumbuhan tinggi sebesar 1,15+0,36 m dan pertumbuhan diameter sebesar 1,63+0,50 cm.
Pertumbuhan tanaman uji keturunan bambang lanang ini mempunyai nilai yang tidak berbeda
jauh dengan beberapa pertumbuhan tanaman bambang lanang di beberapa tempat di
Sumatera. Lukman et al. (2012) mengemukakan bahwa pertumbuhan bambang lanang di
Kabupaten Lahat-Sumsel pada umur 9 bulan mempunyai pertumbuhan tinggi sebesar
1,08+0,32 m dan pertumbuhan diameter sebesar 1,74+0,57 cm. Siahaan et al. (2007).
mengemukakan pertumbuhan bambang lanang pada umur satu tahun mempunyai rerata tinggi
0,86 m dan diameter 0,96 cm. Tanaman bambang lanang di Kawasan Hutan Dengan Tujuan
Khusus (KHDTK) Benakat-Sumsel pada umur 6 bulan mempunyai tinggi sebesar 0,75 m dan
diameter sebesar 1,12 cm, sedangkan pada umur 18 bulan mempunyai tinggi sebesar 2,22 m
dan diameter sebesar 2,81 cm (Herdiana, 2009).
B. Variasi Genetik
Untuk mengetahui besarnya variasi genetik, maka dilakukan analisis varians dan
penghitungan besaran taksiran komponen varians. Sebelum dianalisis, data pertumbuhan
tanaman (tinggi dan diameter) ditransformasi dalam bentuk akar kuadrat dengan pertimbangan
adanya data yang tidak terdistribusi normal dan nilai rerata plot yang kurang lebih sama
(mendekati) nilai variansnya (Hardiyanto, 2008).
Hasil analisis varians terhadap pertumbuhan tanaman (Tabel 1) menunjukkan bahwa
sumber variasi replikasi memberikan pengaruh yang tidak nyata pada semua variabel
pertumbuhan, sementara sumber variasi interaksi replikasi dengan famili (replikasi*famili)
menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata pada semua variabel. Interaksi tersebut

109
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

menyebabkan famili-famili yang mempunyai pertumbuhan terbaik pada satu replikasi tidak
selalu sama baiknya pada replikasi yang lain.
Tabel 1. Analisis varians pertumbuhan tanaman uji keturunan bambang lanang (M.
champaca) di Kabupaten Empat Lawang umur 1 tahun
Sumber variasi Kuadrat rerata untuk pertumbuhan
Tinggi Diameter
Ns
Replikasi 0.032 0.012Ns
Famili 0.044** 0.056**
Rep.*Fam 0.044** 0.051**
Galat 0.024 0.027
Ns
Keterangan: ** Berbeda sangat nyata pada taraf kepercayaan 1%, berbeda tidak nyata
Sebagaimana hasil interaksi antara replikasi dengan famili, sumber variasi famili juga
menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata pada pertumbuhan tinggi dan diameter. Hasil ini
memberikan gambaran adanya variasi genetik antar famili-famili yang diuji. Adanya variasi
genetik tersebut telah memberikan peluang untuk melakukan seleksi antar famili guna
memperoleh peningkatan genetik pada pengembangan generasi berikutnya. Seberapa besar
variasi genetik antar famili dapat diketahui dari besaran nilai taksiran komponen varians dan
nilai persentase atau proporsi masing-masing komponen (Tabel 2). Nilai proporsi komponen
varians famili (σ2f) yang menggambarkan pengaruh atau peran faktor genetik terhadap
pertumbuhan tanaman, nampak masih relatif sangat rendah yaitu masing-masing sebesar
1,19% untuk pertumbuhan tinggi dan 2,69% untuk pertumbuhan diameter. Hasil ini
memberikan bukti bahwa pertumbuhan tanaman bambang lanang pada umur satu tahun masih
sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Tabel 2. Taksiran komponen varians (tkv) pertumbuhan tanaman uji keturunan
bambang lanang (M. champaca) di Kabupaten Empat Lawang umur 1 tahun
Sumber variasi Tinggi Diameter
Tkv % Tkv %
Replikasi 0 0 0 0
Famili 0,0003904 1,19 0,0010536 2,69
Rep.*Fam 0,0065122 19,90 0,0093807 23,96
Galat 0,0258200 78,91 0,00287100 73,34
Total 0,0327226 100 0,0391443 100
Keterangan tkv: taksiran komponen varians
C. Taksiran Nilai Heritabilitas
Heritabilitas merupakan parameter yang menggambarkan seberapa besar sifat-sifat
induk diwariskan kepada keturunannya. Heritabilitas individu (h2i) untuk pertumbuhan tinggi
sebesar 0,05 dan untuk pertumbuhan diameter sebesar 0,11 (Tabel 3). Menurut Cotteril dan
Dean (1990), taksiran nilai heritabilitas individu sebesar 0,05 untuk pertumbuhan tinggi berada
pada level rendah, sementara untuk pertumbuhan diameter sebesar 0,11 berada pada level
sedang. Sebagaimana perolehan nilai heritabilitas individu, perolehan taksiran nilai heribilitas
famili (h2f) juga berada pada level rendah (Hardiyanto dalam Leksono, 1994), yaitu masing-
masing sebesar 0,07 untuk pertumbuhan tinggi dan 0,15 untuk pertumbuhan diameter (Tabel
3). Perolehan taksiran nilai heritabilitas individu pada level sedang menunjukkan bahwa faktor
genetik mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan diameter dan perolehan
genetik akan efektif bilamana seleksi dilakukan secara individual (seleksi massa) (Wright, 1976).

110
Aspek Perbenihan

Tabel 3. Taksiran heritabilitas individu (h 2i) dan famili (h2f) pertumbuhan tanaman
uji keturunan bambang lanang (M. champaca) di Kabupaten Empat Lawang
umur 1 tahun
Heritabilitas
Karakter 2
Individu (h i) Famili (h2f)
Tinggi 0,05 0,07
Diameter 0,11 0,15

D. Korelasi Genetik dan Fenotipik


Koefisien korelasi genetik dan korelasi fenotipik (Tabel 4) mempunyai nilai yang
berbeda, hal ini mengindikasikan bahwa korelasi fenotipik yang ada tidak sepenuhnya
merupakan ekspresi dari faktor genetik, dimana faktor lingkungan dan interaksi antara faktor
lingkungan dan genetik lebih banyak pengaruhnya terhadap penampilan fenotipik tanaman
yang sekaligus akan berpengaruh terhadap nilai korelasi fenotipik.
Tabel 4. Korelasi genetik (rG) dan fenotipik tanaman uji keturunan bambang lanang
umur satu tahun di Kabupaten Empat Lawang
Korelasi Tinggi-Diameter Koefisien Korelasi
Genetik 1,23
Fenotipik 0,78

Korelasi genetik antara tinggi dan diameter (Tabel 4) sebesar 1,23 yang berarti berada di
luar nilai yang semestinya (1 atau -1) (over estimate). Nilai korelasi genetik yang over estimate
juga terjadi pada beberapa penelitian lainnya (Lin dan Zsuffa, 1993; Harding et al., 1991; Sofyan
et al., 2011). Korelasi genetik dengan nilai over estimate ini biasanya disebabkan oleh karena
rendahnya nilai heritabilitas (Lin dan Zsuffa, 1993, Sofyan et al., 2011), dimana dalam penelitian
ini nilai heritabilitas untuk pertumbuhan tinggi berada dalam kategori yang sangat rendah
(Tabel 3) baik pada heritabilitas individu (0,05) maupun heritabilitas famili (0,07).

IV. KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah:
1. Terdapat variasi genetik pertumbuhan tinggi dan diameter antar famili dengan nilai
persentase taksiran komponen varians (tkv) berturut-turut sebesar 1,19% dan 2,69%.
2. Taksiran nilai heritabilitas individu (h 2i) sebesar 0,05; 0,11 dan heritabilitas famili (h 2f)
sebesar 0,07; 0,15 berturut-turut untuk tinggi dan diameter.

DAFTAR PUSTAKA
Cotteril, P.P. dan C.A. Dean. 1990. Succesful Tree Breeding with Index Selection. CSIRO Division
of Forestry and Forest Product. Australia.
Harding, K. J., P. J. Kanowski dan R. R. Woolaston. 1991. Preliminary genetic parameter
estimates for some wood quality traits of Pinus caribaea var. hondurensis in
Queensland, Australia. Silva Genetica 40: 152-156 (1991).
Hardiyanto, E. B. 2008. Diktat Mata Kuliah Pemuliaan Pohon Lanjut. Program Pasca Sarjana.
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tidak dipublikasikan
Herdiana, N. 2009. Pertumbuhan Awal Tanaman Kayu Bawang dan Bambang Lanang Di KHDTK
Benakat, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil Hasil Penelitian “”Mengenal Teknik

111
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Budidaya Jenis-jenis Pohon Lokal Sumsel dan Upaya Pengembangannya”. Palembang, 11


Desember 2008. Departemen Kehutanan. Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Hutan
Tanaman. Bogor.
Leksono, B. 1994. Variasi Genetik Produksi Getah Pinus merkusii Jungh et de Vriese. Tesis
Mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.
Lin, J. Z. dan L. Zsuffa. 1993. Quantitative Genetic Parameters for Seven Characters in a Clonal
Test of Salix eriocephala, II. Genetic and Environmental Correlations and Efficiency of
Indirect Selection. Silvae Genetica 42, 2-3 (1993).
Lukman, A. H. 2012. Status Budidaya Bambang Lanang Dalam Pengusahaan Kayu Rakyat Di
Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian “Peluang dan Tantangan
Pengembangan Usaha Kayu Rakyat” di Palembang, 23 Oktober 2012. Departemen
Kehutanan. Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan.
Bogor.
Lukman, A. H., A. P. Yunita dan Kusdi. 2012. Laporan Hasil Penelitian: Budidaya Jenis Bambang
Lanang. Balai Penelitiann Kehutanan Palembang. Tidak dipublikasikan.
Martin, E., B. T. Premono, A. P. Yunita, A. Nurlia, A. B. Hidayat. 2010. Budidaya Jenis Bambang
Lanang Aspek Status Pembudidayaan Bambang Lanang di Masyarakat. Laporan HAsil
Penelitian. BAlai Penelitian Kehutanan Palembang. Tidak dipublikasikan.
Siahaan, H., N. Herdiana, N. Sagala, J. Muara dan T. R. Saepuloh. 2007. Teknik Silvikultur
Bambang Lanang. Prosiding Seminar “Peran IPTEK dalam mendukung pembangunan
hutan tanaman dan kesejahteraan masyarakat”. Kayuagung-OKI, 7 Desember 2006.
Departemen Kehutanan. Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Hutan Tanaman. Bogor.
Sofyan, A., E. Martin, A. H. Lukman, A. W. Nugroho. 2010. Status Riset dan Rencana Penelitian
Jenis-Jenis Prioritas Kayu Pertukangan di Sumatera. Prosiding seminar bersama BPK Aek
Nauli, BPK Palembang dan BPHPS Kuok, tanggal 4-5 November 2010 di Pekanbaru. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Sofyan, A., M. Na’iem, S. Indrioko. 2011. Perolehan Genetik Pada Uji Klon Jati (Tectona grandis
L. F) Umur 3 Tahun di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Hutan
Tanaman. Vol. 8 No. 3 Juli 2011, 179-186.
Wright, J. W. 1976. Introduction to Forest Genetics. Academic Press. New York.
Zobel, B.J. dan J. T. Talbert. 1984. Appplied Forest Tree Improvement. John Willey and Sons. Inc.
New York.

112
ASPEK SILVIKULTUR
Aspek Silvikultur

APLIKASI TEKNIK SILVIKULTUR DAN PENGGUNAAN BENIH UNGGUL DARI SUMBER BENIH
UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIFITAS TANAMAN TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb)
DI HUTAN RAKYAT

Imam Muslimin, Agus Sofyan dan Abdul Hakim Lukman


Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Tembesu (Fagraea fragrans Roxb) merupakan tanaman unggulan Wilayah Sumatera Selatan yang
populer dan bernilai ekonomi sebagai penghasil kayu pertukangan. Upaya pengembangan budidaya
tembesu mempunyai kendala pertumbuhan yang lambat, banyak percabangan serta bentuk batang
yang kurang baik. Saat ini, riap diameter tembesu di hutan rakyat sebesar 1,5cm/tahun dan tinggi
1,4m/tahun. Budidaya tembesu dapat dianggap kompetitif dengan tanaman lainnya bilamana
mempunyai riap diameter 2,5cm/tahun. Aplikasi teknik silvikultur mulai dari pembibitan, penanaman,
pemeliharaan, pemangkasan dan penjarangan tanaman mampu meningkatkan produktifitas diameter
yang bervariasi antara 4,27%-30,77%. Penggunaan benih dari pohon induk penyusun tanaman uji
keturunan mempunyai peningkatan produktifitas diameter sebesar 80%, sedangkan penggunaan materi
klon dari 40 pohon terbaik tanaman uji keturunan mempunyai peningkatan produktifitas sebesar 200%.
Penggabungan teknik silvikultur, penggunaan benih dari pohon induk dan perhutanan klon diyakini
dapat membentuk tanaman tembesu budidaya yang kompetitif dan produktifitas tanaman yang tinggi.
Kata kunci: tembesu, produktifitas, kompetitif, silvikultur, uji keturunan

I. PENDAHULUAN
Tembesu (Fagraea fragrans Roxb) merupakan salah satu jenis tanaman yang popular di
wilayah Sumatera Selatan sebagai bahan baku kayu pertukangan dengan kelas awet I dan kelas
kuat I-II. (Lemmens et al., 1995; Martawijaya et al., 2005). Selain itu, bagi masyarakat Sumatera
Selatan (Palembang), kayu tembesu merupakan bahan baku utama untuk pembuatan kerajinan
ukiran khas Palembang yang sangat popular dan bernilai sosial ekonomi yang tinggi.
Tingginya nilai ekonomi kayu tembesu ini secara langsung tidak di imbangi dengan
pengembangan budidaya tanaman tembesu yang intensif. Tanaman tembesu tumbuh alami
dan liar di lahan perkebunan masyarakat sampai periode siap panen. Umumnya pengelolaan
tanaman tembesu di masyarakat masih dilakukan secara “asalan” dan tidak ada perlakuan
khusus untuk memacu atau meningkatkan produktifitas. Tembesu yang terdapat di lahan
masyarakat mempunyai produktifitas yang rendah, percabangan dan mata kayu yang banyak,
bentuk batang yang jelek (bengkok), nilai sortimen kayu yang rendah serta secara tidak
langsung akan mengurangi nilai jual kayu (Sofyan et al., 2013a).
Minimnya usaha pengembangan tembesu dalam bentuk pembangunan hutan tanaman
secara khusus mempunyai kendala utama dengan “kualitas” dan produktifitas tanaman yang
masih rendah. Kondisi semacam ini membutuhkan dukungan informasi paket teknologi
budidaya tanaman tembesu serta materi (benih unggul) agar dapat meningkatkan produktifitas
tanaman secara optimal. Makalah ini menyajikan beberapa kegiatan yang berhubungan dengan
aspek pengelolaan tanaman tembesu sebagai salah satu strategi dan upaya untuk
meningkatkan produktifitas dan “menggairahkan” kembali budidaya tanaman tembesu.

115
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

II. MENGENAL TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb)


Tembesu termasuk dalam famili Loganiaceae (CABI, 2014) dan terkenal dengan nama ki
badak (Sunda), kayu tammusu dan tembesu (Sumatera), ambinaton dan tembesu (Kalimantan);
tembesu hutan, tembesu padang dan tembesu tembaga (Peninsular Malaysia); urung, dolo
(Tagbanua), susulin (Tagalog Philipina); kayu anan, ahnyim (Burma Myanmar); tatraou
(Cambodia); kankrao dan trai (Thailand dan Vietnam) (Lemmens et al., 1995; Martawijaya et al.,
2005). Di Indonesia, tembesu tumbuh dan tersebar mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Jawa Barat, Maluku sampai Irian Jaya. Tanaman ini merupakan tanaman pionir pada lahan
bekas terbakar, lahan alang-alang ataupun hutan sekunder yang lembab, iklim basah sampai
agak kering dan tumbuh baik pada ketinggian 0-500 m dari permukaan laut (Martawijaya et al.,
2005).
Tembesu tumbuh hijau sepanjang tahun (evergreen), diameternya dapat mencapai 150
cm dan tingginya 40 m dengan tinggi bebas cabang mencapai 25 m (Lemmens et al., 1995;
Martawijaya et al., 2005). Tembesu memiliki batang yang bergelombang lemah tanpa banir
dengan kulit berwarna coklat sampai hitam, tebal dan keras serta mempunyai alur dangkal
sampai dalam (Sofyan et al., 2013a).
Tembesu dapat dikenali dengan mudah dari bentuk tajuknya yang kerucut (cone), daun
berbentuk lanset hingga bulat telur-lonjong (panjang 4 -15 cm dan lebar 1,5–6 cm) (Lemmens
et al., 1995). Bunga berwarna putih, bunga tunggal, tabung, mahkota berbentuk corong
(panjang 0,7-2,3 cm) dan berbau harum yang sekaligus digunakan sebagai identitas penanda
nama ilmiahnya yaitu fragrans. Buah tembesu berbentuk bulat (diameter 0,5–1 cm), buah
muda berwarna hijau atau kuning dan berwarna merah atau orange saat masak. Buah tembesu
berbentuk buni, berdaging dan berisi biji dengan ukuran yang kecil (diameter < 1 mm). Dalam
satu kilogram terdapat 6.600 butir buah (Martawijaya et al., 2005) dan dalam satu kilogram biji
terdapat sekitar 5 juta biji (Lemmens et al., 1995).

III. POTENSI, HAMBATAN DAN TANTANGAN BUDIDAYA TEMBESU


Dalam rangka mengembangkan usaha budidaya tanaman tembesu, dalam
pelaksanaannya akan ditemui berbagai macam kendala. Oleh karena itu, langkah awal yang
harus di tempuh adalah mengidentifikasi potensi dan permasalahan yang ada. Permasalahan
yang muncul secara timbal balik merupakan tantangan yang harus di temukan pemecahannya
untuk memperoleh nilai produksi yang maksimal.
Beberapa nilai potensi dari pengembangan tanaman tembesu adalah sebagai berikut:
1. Tembesu merupakan tanaman asli Indonesia yang tersebar dari Indonesia bagian barat
sampai Indonesia bagian timur, sebagai tanaman pionir, mempunyai persebaran yang luas.
2. Penyebaran tanaman yang luas dimungkinkan memiliki nilai variasi genetik dan pola adaptasi
yang lebar (Zobel dan Talbert, 1984)
3. Tanaman tembesu mempunyai nilai sosio historis dengan masyarakat Sumatera Selatan.
Sudah sejak lama kayu tembesu digunakan sebagai komponen utama penyusun rumah
panggung beserta perabotannya yang sekaligus menambah “prestise” bahwa pemakai kayu
tembesu termasuk sebagai orang kaya/terpandang (Sahwalita, 2014).
4. Kayu tembesu sangat disukai karena mempunyai kelas awet I dan kelas kuat II-I (Martawijaya
et al., 2005) yang sebenarnya setara dengan kualitas kayu Jati serta mudah dalam
pengerjaan pada industri kerajinan ukiran karena kandungan silika kayu hanya sekitar 0,3%.
Selain itu, kayu tembesu tidak mudah pecah dan melengkung walaupun hanya dilakukan
pengeringan alami (Sahwalita, 2014).

116
Aspek Silvikultur

5. Periode pembungaan dan pembuahan tembesu kontinyu setiap tahunnya, jumlah buah dan
benih berlimpah. Benih berukuran kecil dan bersifat ortodoks sehingga sangat efektif dan
efisien untuk proses penyimpanan. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan benih
tembesu akan tersedia dalam skala produksi massal. Selain itu, teknik pembiakan tembesu
dapat secara generatif dan vegetatif (stek) dengan tingkat keberhasilan yang tinggi (Sofyan
dan Muslimin, 2006)
6. Kayu tembesu mempunyai harga yang cukup tinggi, harga di tingkat desa di Kabupaten OKU
Timur (Sumsel) berkisar antara Rp. 3.000.000-4.000.000/m3 dalam bentuk kayu olahan
berdimensi 8/12 cm dan 5/10 cm (Martin dan Premono, 2014). Sedangkan harga kayu
tembesu di tingkat pengrajin ukiran kayu tembesu di kota Palembang berkisar antara Rp.
6.000.000-6.500.000 (Kemas Anwar, komunikasi pribadi).
Selain potensi pengembangan untuk budidaya tembesu, terdapat beberapa hambatan dalam
budidaya tembesu, antara lain:
1. Tembesu yang dikembangkan masyarakat merupakan tembesu “liar” yang tumbuh alami di
kebun-kebun masyarakat. Aspek pengelolaan tembesu masih sangat sederhana (belum ada
input tehnologi), sehingga tanaman tembesu mempunyai banyak percabangan, bentuk
batang jelek dan bengkok, sortimen kayu rendah (Sofyan et al., 2013a)
2. Tanaman tembesu yang tumbuh di hutan rakyat cenderung lambat. Sumadi dan Saepuloh
(2011) mengemukakan bahwa tanaman tembesu pada hutan rakyat pola campuran berumur
2 tahun memiliki rerata diameter 3,41 cm (riap tahunan/MAI 1,71 cm/tahun), umur 3 tahun
memiliki rerata diameter 5,47 cm (MAI 1,82 cm/tahun), umur 18 tahun memiliki diameter
setinggi dada 24,15 cm (MAI 1,34 cm/tahun), sedangkan tembesu umur 20 tahun
mempunyai diameter 26,6 cm (MAI 1,3 cm/tahun) dan tinggi 21,1m (MAI 1,1 m/tahun),
rerata volume per pohon sebesar 0,39 m3 dengan kerapatan 438 pohon/ha dengan total
volume sebesar 170,2 m3 atau riap volume sebesar 8,51 m3/ha/tahun. Sofyan et al., (2013b)
mengemukakan bahwa tembesu umur 6 tahun mempunyai MAI diameter 1,67 cm dan MAI
tinggi 1,7 m. Berdasarkan data dan informasi di atas, dapat kita simpulkan bahwasanya
rerata MAI diameter tembesu adalah 1,5 cm/tahun dan rerata MAI tinggi sebesar 1,4
m/tahun.
3. Karena pertumbuhannya yang lambat dan panen yang lama, maka masyarakat
membudidayakan tembesu hanya sebagai “tanaman sampingan” untuk tabungan kayu yang
umumnya di gunakan sebagai bahan bangunan rumah. Secara intensif, masyarakat lebih
mengutamakan lahannya untuk budidaya tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit yang
dianggap lebih bernilai ekonomi (Martin dan Premono, 2014).
Hambatan atau permasalahan dalam usaha pengembangan budidaya tembesu sebenarnya
merupakan tantangan yang harus dihadapi. Beberapa peluang dan tantangan dalam
pengembangan budidaya tanaman tembesu adalah sebagai berikut:
1. Kebutuhan kayu tembesu pada tingkat pengrajin ukiran khas Palembang di Kota Palembang
sangat tinggi. Permintaan total kebutuhan kayu tembesu adalah sebesar 3.120 m3/tahun
yang dihitung dari 30 unit workshop (Martin dan Premono, 2014). Kebutuhan kayu untuk
kegiatan workshop ini adalah sangat besar dan tidak akan bisa dipenuhi bilamana produksi
kayu tembesu masih berasal dari kebun-kebun masyarakat dan lahan hutan sekunder yang
umumnya tumbuh secara alami. Bahkan pada beberapa workshop, kebutuhan kayu tembesu
untuk bahan ukiran diperoleh dari sisa-sisa bongkaran rumah tinggal jaman dulu yang
memang umumnya sebagian besar menggunakan kayu tembesu (Kemas Anwar, komunikasi
pribadi 2014).

117
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

2. Lebih lanjut Martin dan Premono (2014) memberikan simulasi perbandingan nilai output
finansial antara hutan tanaman tembesu dan kebun kelapa sawit dengan peubah MAI
diameter tembesu (Tabel 1). Berdasarkan simulasi tersebut nampak bahwa budidaya
tanaman tembesu dapat dikatakan sebanding dengan pengusahaan kelapa sawit bilamana
pertumbuhan diameter tanaman tembesu lebih dari 2,5 cm/ tahun.
Tabel 1. Hasil simulasi perbandingan nilai output finansial antara hutan tanaman
tembesu dan kebun kelapa sawit dengan peubah MAI diameter tembesu
MAI diameter Alokasi lahan untuk Output finansial/tahun Output finansial/tahun jika
(cm/tahun) hasil lestari (Rp.) lahan dialokasikan bagi
(hektar) kelapa sawit (Rp.)
1,00 1.103,47 5.304.000.000 13.241.691.264
1,25 882,78 5.304.000.000 10.593.353.011
1,50 735,65 5.304.000.000 8.827.794.176
2,00 551,73 5.304.000.000 6.620.845.632
2,50 441,39 5.304.000.000 5.296.676.505
3,00 367,82 5.304.000.000 4.413.897.088
Martin dan Premono (2014)

IV. APLIKASI TEKNIK SILVIKULTUR DALAM PENINGKATAN PRODUKTIFITAS TEMBESU


Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan produktifitas
tanaman tembesu adalah melalui serangkaian kegiatan silvikultur. Silvikultur adalah ilmu dan
seni untuk merawat hutan dengan penerapan pengetahuan prinsip-prinsip silvika, merupakan
teori dan praktek untuk mengendalikan struktur, komposisi dan pertumbuhan tanaman hutan
(Daniel et al., 1992). Kegiatan silvikultur dimulai dari tingkat perbenihan, pembibitan di
persemaian, model dan teknik penanaman, pemeliharan tanaman, pengendalian hama dan
penyakit tanaman sampai pada kegiatan pemanenan pada daur optimal pertumbuhan
tanaman.
Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis
Badan Litbang dan Inovasi pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah
melakukan serangkaian kegiatan penelitian berhubungan dengan aplikasi teknik silvikultur
untuk meningkatkan produktifitas tanaman tembesu. Kegiatan penelitian pada tingkat
persemaian dilakukan dengan pemupukan urea dan pemberian intensitas naungan. Aplikasi
terbaik pada pemupukan 400 mg/bibit dengan intensitas naungan 55% menghasilkan
persentase peningkatan biomassa tanaman sebesar 34,64% bila dibandingkan dengan kontrol,
sedangkan jika diberikan intensitas naungan 65% dan pemupukan 600 mg/bibit menghasilkan
persentase peningkatan biomassa tanaman sebesar 80,83% (Martin dan Sofyan, 2001).
Tanaman tembesu mempunyai sifat intoleran artinya dalam pertumbuhan dan
perkembangannya memerlukan sinar cahaya penuh atau pertumbuhannya akan lambat
bilamana berada di bawah naungan. Sifat intoleran ini sangat menguntungkan untuk
pembangunan hutan tanaman pada lahan kritis yang umumnya sedikit atau bahkan tidak ada
vegetasi penutup sama sekali. Disamping itu, pengelolaan tanaman lebih mudah karena tidak
ada persyaratan khusus dalam pertumbuhannya. Atas dasar sifat intoleran ini, maka model
persiapan lahan untuk tanaman tembesu adalah secara terbuka dengan tebas total (Lukman
dan Sofyan, 2014).
Penanaman tembesu dapat dilakukan secara monokultur (tembesu saja) ataupun dalam
pola tanam campur (Lukman dan Sofyan, 2014). Prinsip utama dalam pola tanam adalah
pengaturan jarak tanam dan meminimalkan persaingan unsur hara. Jarak tanam awal antar
tanaman dalam pola monokultur di buat lebih rapat untuk memacu pertumbuhan meninggi dan

118
Aspek Silvikultur

membentuk batang bebas cabang yang tinggi, kemudian secara bertahap dilakukan
pengurangan jumlah tanaman (penjarangan) untuk meningkatkan pertumbuhan diameter
tanaman. Jarak tanam awal yang disarankan digunakan dalam penanaman tembesu adalah
2,5x1 m atau 3x2 m (Lemmens et al., 1995 dan Lukman et al., 2010). Pertumbuhan tanaman
tembesu pada jarak tanam 3x1 m (3333 pohon/ha) pada umur 4 tahun mempunyai diameter
7,68 cm dan tinggi 7,16 m, sedangkan pada jarak tanam 3x2 (1666 pohon/ha) mempunyai
diameter 9,12 cm dan tinggi 6,6 m (Sofyan et al., 2011). Pola tanam tembesu secara campuran
dapat dilakukan secara langsung bercampur dengan pola baris atau penanaman tembesu pada
border line (garis tepi) lahan yang sekaligus bermanfaat sebagai batas kepemilikan lahan.
Dalam hubungannya dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman tembesu,
Sumadi dan Siahaan (2014) telah membuat pola hubungan antara pertumbuhan tinggi dan
diameter dengan umur tanaman (Gambar 1 dan Gambar 2). Secara garis besar, pola hubungan
antara tinggi dan diameter tembesu relatif cepat di tahun-tahun awal (umur muda) dan
semakin menurun dengan semakin bertambahnya umur tanaman. Riap pertumbuhan diameter
tanaman maksimum adalah pada umur 5 tahun, sedangkan pada tinggi tanaman pada umur 2
tahun. Data dan informasi ini memberikan gambaran bahwa pada saat umur muda tembesu
cenderung aktif untuk tumbuh dan berkembang, sehingga diperlukan daya dukung input
perlakuan (campur tangan) manusia dalam menyediakan kondisi yang kondusif dan optimal
untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman sehingga nantinya diperoleh produktifitas
tanaman tembesu yang terbaik.
Aplikasi teknik silvikultur pada saat penanaman adalah aplikasi pupuk dasar dengan
pupuk kandang yang telah terdekomposisi sempurna. Pupuk kandang sangat bermanfaat untuk
membantu menetralkan pH tanah, menetralkan racun dari logam berat dalam tanah,
memperbaiki struktur tanah, meningkatkan porositas tanah, meningkatkan ketersediaan hara
serta menstabilkan suhu tanah. Aplikasi pupuk kandang (kotoran ayam) dosis 1 kg/lubang
tanam pada saat awal penanaman mampu memberikan peningkatan diameter tanaman
sebesar 20,83% bila dibandingkan dengan kontrol (tanpa pemberian pupuk kandang) (Lukman
et al., 2005). Pada tingkat lanjut, pemupukan diberikan secara bertahap selama 2 kali dalam
setahun pada awal dan akhir musim penghujan. Pemberian pupuk lanjutan dengan Sp 36 dosis
100 g/tanaman sampai dengan umur 3 tahun mampu memberikan peningkatan tinggi sebesar
5,41% dan peningkatan diameter sebesar 29,41% (Junaidah et al., 2010). Berdasarkan data dan
informasi ini dapat disimpulkan bahwa pemberian pupuk baik pupuk dasar maupun pupuk
lanjutan mempunyai pengaruh yang banyak terhadap pertumbuhan diameter tanaman bila
dibandingkan dengan pertumbuhan tinggi tanaman.

Gambar 1. Grafik riap tahunan berjalan (MAI) diameter tembesu di hutan rakyat
(Sumadi dan Siahaan, 2014)

119
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Gambar 2. Grafik riap tahunan berjalan (MAI) tinggi tembesu di hutan rakyat
(Sumadi dan Siahaan, 2014)

Pemeliharaan yang intensif memegang peranan yang sangat penting dalam


pertumbuhan dan perkembangan tanaman tembesu. Tanaman tembesu yang dipelihara secara
intensif di KHDTK (Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus) Benakat dengan penyiangan gulma
dan aplikasi herbisida minimal dua kali setahun mempunyai persentase peningkatan
pertumbuhan diameter batang sebesar 30,77% pada umur 3 tahun dan sebesar 23,95% pada
umur 6 tahun lebih baik bila dibandingkan dengan tembesu masyarakat yang pemeliharaannya
kurang intensif, namun efektifitas pemeliharaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
pertumbuhan tinggi tanaman tembesu (Sofyan et al., 2013b).
Tanaman tembesu mempunyai banyak percabangan aktif dan mempunyai sifat
meluruhkan cabang sendiri secara alami (self pruning) yang sangat rendah, sehingga diperlukan
kegiatan pemeliharaan dengan pemangkasan cabang (manual pruning). Pemangkasan cabang
tembesu ditujukan untuk mengurangi jumlah cabang aktif sampai pada ketinggian tajuk
tertentu untuk memperoleh batang bebas cabang yang tinggi dan sekaligus membentuk bentuk
batang tembesu yang lebih baik (lurus). Pemangkasan cabang yang dilakukan saat umur 14
bulan dengan tinggi tajuk sisa 50% dari tinggi total, memberikan peningkatan pertumbuhan
tinggi 3,09% dan pertumbuhan diameter 23,71% lebih baik bila dibandingkan dengan kontrol
pada saat pengamatan 20 bulan setelah pangkas (Lukman et al., 2010). Sedangkan
pemangkasan ke dua yang dilakukan pada saat umur 36 bulan (3 tahun) dengan tinggi tajuk sisa
40-50% dari tinggi total memberikan peningkatan pertumbuhan tinggi 8,99% dan diameter
25,85% lebih baik bila dibandingkan dengan kontrol pada saat pengamatan 36 bulan setelah
pangkas (Sofyan et al., 2013b).
Kegiatan pemeliharaan lain yang dilaksanakan pada tanaman tembesu di lapangan
adalah kegiatan penjarangan tanaman. Penjarangan adalah tindakan pengurangan jumlah
batang (pohon) per satuan luas yang ditujukan untuk mengatur ruang tumbuh pohon dalam
rangka mengurangi persaingan antar pohon dan meningkatkan kesehatan pohon dalam
tegakan (Kosasih, 2002). Lemmens et al., (1995) mengemukakan bahwa penjarangan pada
tanaman yang tumbuh lambat pertama kali dilakukan pada saat tanaman umur 5-10 tahun. Uji
coba penjarangan pada tanaman tembesu dilakukan oleh Sofyan et al., (2013a) pada umur 4
tahun dengan jarak tanam awal 3x2m menggunakan sistem baris dan untu walang (berseling).
Pengamatan pada umur 6 tahun (2 tahun setelah penjarangan) memberikan hasil adanya
persentase peningkatan pertumbuhan diameter 5,64% pada pola untu walang dan 4,27% pada
pola baris lebih baik bila dibandingkan dengan kontrol (tanpa penjarangan). Namun, efektifitas
penjarangan hanya memberikan pengaruh yang signifikan pada pertumbuhan diameter. Dapat
disimpulkan bahwa pembukaan ruang tumbuh yang lebih lebar pada tanaman tembesu

120
Aspek Silvikultur

membuat tanaman tembesu tumbuh dan berkembang secara optimal karena persaingan
pemanfaatan faktor-faktor pertumbuhan seperti unsur hara dan cahaya dapat diminimalisir.

V. PEMBANGUNAN SUMBER BENIH SEBAGAI DAYA DUKUNG PENYEDIAAN


BENIH UNGGUL TEMBESU
Peningkatan produktifitas tanaman dapat ditingkatkan dengan memadukan tiga
komponen yaitu penggunaan benih unggul, aplikasi teknik silvikultur dan perlindungan
tanaman. Aplikasi teknik silvikultur telah di bahas pada bab sebelumnya. Produktifitas tanaman
dapat ditingkatkan lebih lanjut melalui aplikasi program penggunaan benih unggul. Benih
unggul mempunyai pengertian benih yang mempunyai keunggulan baik dari segi kuantitas
maupun kualitas genetik.
Benih unggul mempunyai hubungan yang sangat erat dengan sumber benih. Sumber
benih merupakan suatu lahan sebagai tempat pengumpulan benih dan telah memenuhi
standart dan kriteria sebagai sumber benih sesuai dengan tingkatan (klasifikasi/kelas) sumber
benih. Saat ini, sumber benih untuk jenis tanaman tembesu baru ada pada kelas Tegakan Benih
Teridentifikasi (TBT) di desa Mengulak Karang Panjang, Kecamatan Madang Suku II, Kabupaten
Ogan Koering Ulu Timur, Propinsi Sumatera Selatan dengan luas 0,7 Ha sesuai dengan nomor
sertifikat sumber benih 113/BPTH.Sum-2/SSB/2010 (Balai Perbenihan Tanaman Hutan
Sumatera, 2012). Dalam klasifikasi sumber benih, sumber benih dalam kelas TBT merupakan
sumber benih pada level (kelas) terendah, dimana sumber benih ini di tunjuk dari tegakan yang
sudah ada untuk dikelola dan dimanfaatkan sebagai sumber produksi benih. Dalam peraturan
menteri kehutanan Republik Indonesia (Permenhut) nomor: P.72/Menhut-II/2009 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.01/ Menhut-II/2009 Tentang
Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan dikemukakan bahwa persyaratan minimal dari
sumber benih kelas TBT ini adalah minimal terdapat 25 pohon yang mengelompok dan ada
kemungkinan belum diketahui asal-usul dan kualitas genetik pohon penyusunnya (pohon
induknya), sehingga benih yang dihasilkan belum dapat dipastikan keunggulan kualitasnya
secara genetik.
Pembangunan sumber benih tembesu dengan kualitas genetik unggul bisa diwujudkan
dalam bentuk KBS (Kebun Benih Semai) yang dibangun melalui konversi dari tanaman uji
keturunan (progeny test trial). Upaya pembangunan sumber benih ini telah di mulai dilakukan
oleh Balai Penelitian Kehutanan Palembang sejak tahun 2008 dengan pengumpulan materi
genetik benih dari pohon induk terpilih yang ada di Kabupaten Muara Enim, Ogan Ilir (OI), Ogan
Komiring Ulu (OKU) Timur dan Palembang. Pemapanan tanaman uji keturunan tembesu baru
dilaksanakan pada tahun 2013 di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo
Kabupaten Banyuasin-Sumatera Selatan (Sofyan et al., 2014).
Evaluasi pertumbuhan dan perkembangan tanaman uji keturunan pada umur 1,7 tahun
menunjukkan bahwa antar family yang diuji (55 family) terdapat variasi genetik untuk variabel
tinggi dan diameter. Adanya variasi ini menunjukkan bahwa terdapat kesempatan yang lebar
untuk memperoleh peningkatan produktifitas melalui kegiatan seleksi (pemelihan pohon induk
superior). Pertumbuhan tanaman uji keturunan pada umur 1,7 tahun mempunyai rerata tinggi
2,61+0,60 m dengan riap sebesar 1,5 m/tahun dan rerata pertumbuhan diameter sebesar
4,7+1,3 cm dengan riap sebesar 2,7 cm/tahun. Pertumbuhan tanaman tembesu pada plot uji
keturunan mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dengan peningkatan pertumbuhan riap
diameter sebesar 80% dan riap tinggi sebesar 7,14% dibandingkan dengan tanaman tembesu
masyarakat yang mempunyai rerata riap pertumbuhan diameter sebesar 1,5 cm/tahun dan
tinggi 1,4 m/tahun. Hal ini terjadi karena benih yang digunakan untuk pertanaman uji
121
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

keturunan berasal dari pohon induk terpilih yang mempunyai penampilan superior, sedangkan
tanaman tembesu di hutan rakyat umumnya berasal dari regenerasi alami yang belum
diketahui dengan pasti asal-usul dan kualitas benihnya.
Untuk mengetahui kuat lemahnya suatu variabel yang dipengaruhi oleh faktor genetik
maka dapat dilakukan penghitungan nilai heritabilitas. Semakin tinggi (mendekati 1) nilai
heritabilitas maka variabel tersebut lebih banyak di kontrol oleh faktor genetik. Estimasi nilai
heritabilitas individu (h2i) untuk tinggi sebesar 0,34 (tinggi) dan untuk diameter sebesar 0,24
(sedang), sedangkan nilai heritabilitas famili (h2f) untuk pertumbuhan tinggi sebesar 0,56
(sedang) dan untuk diameter sebesar 0,47 (sedang). Nilai heritabilitas yang berada dalam
kategori sedang-tinggi tersebut mengindikasikan pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman
tembesu dikontrol kuat oleh faktor genetik, sehingga peningkatan produktifitas akan
ditingkatkan maksimal dengan melakukan seleksi tanaman secara individu.
Parameter genetik lain yang bisa dihitung dari plot tanaman uji keturunan adalah nilai
perolehan genetik harapan. Perolehan genetik diartikan sebagai nilai harapan peningkatan
produktifitas tanaman nantinya bilamana dilakukan seleksi (pengurangan family). Semakin kecil
nilai intensitas seleksi dan semakin kecil jumlah family yang tersisa, maka peningkatan
produktifitas diharapkan semakin besar, dan sebaliknya. Hasil simulasi seleksi sebesar 25%
(tersisa 14 family terbaik dari total 55 family) maka peningkatan diameter akan didapatkan
sebesar 5,13% dan peningkatan tinggi sebesar 5,9%. Sedangkan jika dilakukan seleksi sebesar
50% (tersisa 27 family terbaik dari total 55 family) maka peningkatan diameter akan sebesar
3,22% dan peningkatan tinggi sebesar 3,72%. Persentase peningkatan produktifitas ini
merupakan peningkatan harapan terhadap nilai rerata umum tinggi dan diameter tanaman dari
total tanaman uji keturunan. Peningkatan produktifitas yang sesungguhnya (realized genetic
gain) dapat diperoleh jika dalam suatu lahan yang sama diujikan antara tanaman hasil seleksi
14 dan 27 family dengan tanaman hasil dari benih asalan atau dari sumber benih level bawah
(TBT, TBTs, APB).
Pertumbuhan dan nilai parameter genetik pada tanaman uji keturunan tembesu di atas
merupakan evaluasi awal karena baru berumur 1,7 tahun sehingga masih perlu pemantauan
pengukuran pertumbuhan secara periodik seiring dengan bertambahnya umur tanaman.
Namun demikian, hasil evaluasi awal ini memberikan gambaran bahwa program pemuliaan
pohon melalui pemapanan tanaman uji keturunan yang nantinya dapat dikonversi menjadi
sumber benih mempunyai andil dalam peningkatan produktifitas tanaman. Sumber benih ini
baru bisa dimanfaatkan pada periode umur 5-6 tahun pada saat tanaman tembesu mulai
berbuah (Martawijaya et al., 2005). Penggunaan benih unggul tembesu baru bisa dilakukan 3-4
tahun yang akan datang, sehingga diperlukan alternatif sumber benih pengganti sambil
menunggu sumber benih KBS ini berbuah. Strategi alternatif pendekatan yang dapat dilakukan
untuk penggunaan “benih bermutu” adalah melalui penerapan Low Input Tree Improvement
yaitu berupa penerapan prinsip-prinsip dasar pemuliaan dalam pemilihan sumber benih/pohon
benih yaitu:
a. Benih diambil dari suatu lahan yang terdapat beberapa pohon tembesu yang tumbuh secara
berkelompok.
b. Pohon tembesu yang tumbuh sendiri (soliter) tetap dapat menghasilkan buah, tetapi
berdampak pada terjadinya depresi akibat dari adanya perkawinan sendiri (inbreeding).
Keller dan Waller (2002) mengemukakan bahwa inbreeding dapat menyebabkan depresi
dalam bentuk penurunan set benih, perkecambahan, daya hidup kecambah dan penurunan
ketahanan terhadap stress.

122
Aspek Silvikultur

c. Secara spesifik benih diambil dari beberapa pohon induk yang mempunyai penampilan
superior yang dapat diketahui melalui ukuran tinggi, diameter, batang bebas cabang, dan
bentuk batang yang lebih baik bila dibandingkan dengan rerata keseluruhan pohon yang ada.
d. Sebagian besar pohon penyusun suatu lahan berbunga dan berbuah serempak dan bisa
berpeluang untuk saling melakukan penyerbukan.
Peningkatan produktifitas lebih lanjut dapat ditingkatkan dengan penggunaan materi
klon hasil perbanyakan vegetatif untuk pertanaman massal. Penggunaan klon dalam
pembangunan hutan tanaman (perhutanan klon) sudah banyak dilakukan seperti pada
beberapa jenis Eucalyptus (Duncan et al., 2000; Bentzer, 1993; Ohba, 1993; Zsuffa et al., 1993).
Salah satu tujuan perhutanan klon adalah perolehan peningkatan produktifitas yang cepat
karena potensi genetik anak/klon yang identik (sama) dengan induknya (White et al., 2007).
Simulasi sederhana berhubungan dengan peningkatan produktifitas tanaman tembesu
bilamana menggunakan perhutanan klon dapat dilakukan pada tanaman uji keturunan
tembesu. Tanaman uji keturunan tembesu mempunyai total data tanaman sebanyak 1.023
tanaman. Rangking 40 individu terbaik (seleksi 3,91%) mempunyai rerata pertumbuhan tinggi
sebesar 3,26 m (riap 1,92 m/tahun) dan rerata pertumbuhan diameter sebesar 7,8 cm (riap
4,59 cm/tahun). Apabila potensi genetik tanaman klon adalah sama dengan induknya, dan
perhutanan klon menggunakan materi dari 40 klon terbaik, maka terjadi peningkatan
produktifitas tinggi tanaman sebesar 28% dan diameter tanaman sebesar 66,67%. Sedangkan
jika di bandingkan dengan tanaman tembesu yang terdapat di kebun masyarakat maka terjadi
peningkatan produktifitas diameter tanaman sebesar 200% dan peningkatan produktifitas
tinggi tanaman sebesar 37,14% dengan asumsi riap tanaman hutan rakyat sebesar 1,5
cm/tahun untuk diameter dan 1,4 m/tahun untuk tinggi.
Pembangunan perhutanan klon pada tanaman tembesu mempunyai potensi yang
sangat strategis untuk dikembangkan dengan beberapa dukungan potensi yang ada yaitu: 1).
Tanaman tembesu mempunyai produksi pertunasan (sprouting ability) yang sangat tinggi, 2).
Pertunasan tumbuh secara alamiah pada bagian batang yang terkena cahaya matahari
langsung, batang bekas kebakaran ataupun pada batang yang di potong, 3). Pembiakan
vegetatif stek batang dengan teknologi sungkup sederhana dan aplikasi Zat Pengatur Tumbuh
yang mempunyai kandungan bahan aktif 1 Naphathalene acetamide: 0,067%, 2 Methyl – 1 –
Naphthalene acetic acid: 0,033%, 2 Methyl – 1 – Naphathalene acetamide: 0,013%, Indole – 3 –
Butyricacid: 0,057%, Thiram: 4%, Inert Ingredient: 95,33%; yang banyak tersedia di pasaran
sudah mampu memberikan persentase hidup tanaman yang tinggi yaitu 89,17% (Sofyan dan
Muslimin, 2006).

VI. PENUTUP
Budidaya tanaman tembesu dalam bentuk hutan tanaman mempunyai peluang yang
sangat besar untuk dikembangkan. Kompetisi dalam budidaya tanaman tembesu secara
ekonomis menguntungkan dibandingkan usaha budidaya tanaman perkebunan lainnya apabila
mempunyai riap diameter 2,5 cm/tahun. teknik silvikultur tembesu mulai dari pembibitan,
penanaman, pemeliharaan, pemupukan, pemangkasan, penjarangan, penggunaan sumber
benih dan penggunaan materi klonal ternyata mampu meningkatkan produktifitas tanaman
tembesu secara signifikan. Keterpaduan keseluruhan teknik silvikultur dan penggunaan benih
unggul dari sumber benih dalam peningkatan produktifitas pembangunan hutan tanaman
tembesu diyakinkan dapat menghasilkan tanaman tembesu yang mempunyai produktifitas
tinggi dan dapat bersaing dengan usaha budidaya tanaman lainnya.

123
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

DAFTAR PUSTAKA
Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sumatera. 2012. Buku Informasi Sumber Benih Tanaman
Hutan Wiyaha Regional Sumatera. Kementerian Kehutanan. Direktorat Jenderal Bina
PDAS dan Perhutanan Sosial. Tidak dipublikasikan.
Bentzer, E.G. 1993. Strategies for clonal forestry with Norway spruce. In: Ahuja, M.R. and Libby,
W.J. (eds.) Clonal Forestry II: Conservation and Application. Springer-Verlag. New York,
NY, pp. 120-138.
CABI. 2014. Full Datasheet: Fagraea fragrans. http://www.cabi.org.ezproxy.ugm.ac.id/
fc/datasheet/23866. Di akses tanggal 10 Nopember 2014.
Daniel T. W, J.A. Helms dan F.S. Baker. 1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur (Terjemahan). Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Duncan, E.A., F. van-Deventer, J. E. Kietzka, R. C. Lindley and N. P. Denison. 2000. The applied
subtropical Eucalyptus clonal programme in Mondi forests, Zululand coastal region. In:
Proceedings of the International Union of Forest Research Organizations (IUFRO)
Working Party, Forest Genetics for the NextMillinnium. Durban, South Africa, pp. 95-97.
Junaidah, A. H. Lukman, D. Prakosa dan Nasrun. 2010. Teknik Silvikultur Tembesu (Fagraea
fragrans Roxb.). Laporan Hasil Penelitian 2009. BPK Palembang. Tidak dipublikasikan.
Keller, L.F., dan D.M. Waller. 2002. Inbreeding effects in wild populations. Trend in ecologi and
Evolution 17: 230 – 241.
Kosasih, A.S. 2002. Petunjuk Teknis Pemeliharaan dan Perlindungan pada introduksi Jenis
Pohon Hutan. Info Hutan No. 151. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam. Bogor.
Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara, W. C. Wong. 1995. Plant Resources of South-East Asia 5. (2)
Timber trees: Minor commercial timber. PROSEA. Bogor Indonesia.
Lukman, A. H., A. Sofyan. 2014. Budidaya Tanaman Tembesu. Bunga Rampai: Tembesu Kayu
Raja Andalan Sumatera. Forda Press. Bogor.
Lukman, A.H., A. Sofyan, Junaedah dan R. Effendi. 2010. Pengaruh Pemangkasan terhadap
Petumbuhan Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) pada Dua Jarak Tanam Berbeda.
Prosiding Seminar Nasional. Kontribusi Litbang dalam Peningkatan Produktifitas dan
Kelestarian Hutan. Bogor, 29 November 2010. Pusat Litbang Peningkatan Produktifitas
Hutan. Bogor.
Lukman, A.H., A. Sofyan, Kusdi dan T.R. Saepuloh. 2005. Laporan Teknologi Silvikultur Tanaman
Jenis-Jenis Prioritas. Laporan Proyek Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman
Kawasan Barat Indonesia Tahun Anggaran 2004. Palembang. Tidak dipublikasikan.
Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y. I. Mandang, S. A. Prawira, K. Kadir. 2005. Atlas Kayu
Indonesia. Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen
Kehutanan.
Martin, E., B. T. Premono. 2014. Upaya komoditisasi Tembesu Dalam Perspektif Sosial Budidaya
Petani dan Pasar. Bunga Rampai: Tembesu Kayu Raja Andalan Sumatera. Forda Press.
Bogor.
Martin, E., dan A. Sofyan. 2001. Perangsangan pertumbuhan tembesu (Fagraea fragrans)
dengan pengaturan intensitas naungan dan pemupukan di persemaian. Prosiding
Ekspose hasil-hasil Penelitian. Palembang, 12 November 2001. Balai Teknologi Reboisasi
Palembang.

124
Aspek Silvikultur

Ohba, K. 1993. Clonal forestry with sugi (Cryptomeria japonica). In: Ahuja, M.R. and Libby,
WJ.(eds.) Clonal Forestry II: Conservation and Application. Springer-Verlag, New York,
NY, pp. 66-90.
Sahwalita. 2014. Sifat Dasar dan Pemanfaatan Kayu Tembesu. Bunga Rampai: Tembesu Kayu
Raja Andalan Sumatera. Forda Press. Bogor.
Sofyan, A., A. H. Lukman, Nasrun. 2011. Teknik Budidaya Tembesu. Laporan Hasil Penelitian
Tahun 2011. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Tidak di publikasikan.
Sofyan, A., A.H. Lukman dan N. Sagala. 2013a. Laporan Hasil Penelitian Teknik Silvikultur Jenis
Tembesu. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Tidak dipublikasikan.
Sofyan, A., A.H. Lukman, Junaidah dan N. Sagala. 2013b. Peningkatan Riap Pertumbuhan
Tanaman Tembesu Melelui Beberapa Perlakuan Silvikultur. Prosiding ‘Integrasi IPTEK
dalam Kebijakan dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan.Seminar
Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang 2 Oktober 2013.
Kementerian Kehutanan. Pusat Penelitian Peningkatan Produktifitas Hutan. Bogor.
Sofyan, A., I. Muslimin, S. Islam. 2014. Laporan Hasil Penelitian “Pembangunan Sumber Benih
Tembesu”. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Kementerian Kehutanan. Tidak
dipublikasikan.
Sofyan, A., I. Muslimin. 2006. Pengaruh Asal Bahan dan Media Stek Terhadap Pertumbuhan
Stek Batang Tembesu (Fagraea fragrans Roxb). Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian
“Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan”. Palembang, 20 September 2006. Balai
Litbang Hutan Tanaman Palembang. Departemen Kehutanan. Puslitbang Hutan
Tanaman. Bogor.
Sumadi, A., dan T.R. Saepuloh. 2011. Pertumbuhan tembesu pada pola campuran dengan karet
di hutan rakyat. Prosiding Seminar Introduksi Tanaman Penghasil Kayu pertukangan di
Lahan Masyarakat melalui Pembangunan Hutan Tanaman Pola Campuran. Musi Rawas,
13 Juli 2011. Puslitang Peningkatan Produktifitas Hutan, Bogor.
Sumadi, A., H. Siahaan. 2014. Potensi dan Pertumbuhan Tembesu Dalam Pengelolaan Hutan
Rakyat. Bunga Rampai: Tembesu Kayu Raja Andalan Sumatera. Forda Press. Bogor.
White, T. L., W. T. Adams, D. B. Neale. 2007. Forest Genetics. CABI Publishing. London UK.
Zobel, B.J. dan J. T. Talbert. 1984. Appplied Forest Tree Improvement. John Willey and Sons. Inc.
New York.
Zsuffa, L., L. S. Forsse, H. Weisgerber and R. B. Hall. 1993. Strategies for clonal forestry with
poplars, aspens, and willows. In: Ahuja, M.R. and Libby, W.J. (eds.) Clonal Forestry II:
Conservation and Application. Springer-Verlag, New York, NY, pp. 91-119.

125
Aspek Silvikultur

PENGENALAN PROGRAM SIMULASI PERENCANAAN USAHA PADA


KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH)

Agus Sumadi dan Hengki Siahaan


Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Salah satu tugas KPH adalah mengelola kawasan hutan. Pengelolaan kawasan hutan membutuhkan
perencanaan dan proyeksi usaha yang akan dikembangkannya. Balai Penelitian Kehutanan Palembang
telah melakukan penelitian terhadap jenis-jenis pohon yang memiliki potensi ekonomi untuk
dikembangkan menjadi unit usaha KPH. Untuk memudahkan perencanaan usaha KPH disusunlah suatu
pemodelan sistem dinamis dengan menggunakan perangkat komputer berupa program stella. Program
ini dapat digunakan untuk mensimulasikan berbagai unit usaha yang akan dikembangkan oleh KPH
dengan mudah dan simpel. Tulisan ini bertujuan memberikan gambaran bentuk program simulasi
perencanaan usaha KPH bagi pengelola KPH. Program yang terbentuk dapat memproyeksikan
kebutuhan biaya dan pendapatan yang akan diperoleh oleh KPH dalam merencanakan usahanya.
Kata kunci: KPH, unit usaha, perencanaan, simulasi

I. PENDAHULUAN
Organisasi KPH memiliki tugas dan fungsi menyelenggarakan pengelolaan hutan berupa
tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan di wilayah
tertentu. Dalam rangka menyusun rencana pengelolaan hutan KPH wajib menyusun Rencana
Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHPJP), rencana pengelolaan hutan jangka pendek dan
rencana bisnis. Dalam menyusun rencana bisnis KPH dapat memanfaatkan wilayah hutan untuk
mengembangkan unit usahanya. Unit usaha KPH dapat berupa pembangunan hutan dengan
jenis-jenis yang memiliki nilai ekonomi. Balai Penelitian Kehutanan Palembang telah melakukan
penelitian terhadap jenis-jenis pohon yang memiliki potensi ekonomi untuk dikembangkan
dalam unit usaha KPH.
Dalam rangka memudahkan perencanaan pengusahaan KPH serta memproyeksikan
hasil usaha dari pemanfaatan lahan maka kami mencoba menyusun tool/program komputer
yang simpel, mudah dan aplikatif yang dapat digunakan untuk memproyeksikan rencana usaha
yang akan dikembangkan oleh KPH. Program ini diharapkan dapat membantu pengelola KPH
dalam mengambil keputusan untuk memilih pola pengembangan usaha yang akan dijalankan.

II. PEMODELAN SISTEM


Model adalah abstaksi dari sebuah sistem, sedangkan sistem merupakan sesuatu yang
terdapat pada dunia nyata, sehingga pemodelan adalah kegiatan membawa sebuah dunia
nyata kedalam dunia tak nyata tanpa kehilangan sifat-sifat utamanya (Purnomo, 2005).
Menurut Manestsch dan Park (1979) dalam Eriyatno (1999) sistem adalah suatu gugus dari
elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu
gugus dari tujuan-tujuan. Sistem tersusun dari subsistem-subsistem. Menurut Eriyatno (1999)
subsistem merupakan suatu unsur atau komponen fungsional dari suatu sistem, yang berperan
dalam pengoperasian sistem tersebut.

127
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Analisis sistem adalah aplikasi yang bersifat paling langsung dari metode ilmiah untuk
suatu masalah yang mencakup sistem yang kompleks. Analisis sistem merupakan kesatuan dari
teori-teori dan teknik untuk mempelajari, menggambarkan, dan membuat prediksi tentang
sesuatu yang kompleks yang besarnya dicirikan dengan penggunaan prosedur-prosedur
matematis dan statistik serta penggunaan komputer (Grant et al., 1997). Lebih lanjut Grant
et al. (1997) mengemukakan analisis sistem merupakan pendekatan filosofis sekaligus
kumpulan teknik termasuk simulasi. Dalam pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan
tahapan kerja yang sistematis (Hartrisari, 2007). Analisis sistem menekankan pendekatan
holistik pada pemecahan masalah dan penggunaan model matematis untuk mengidentifikasi
dan mensimulasikan karakter-karakter dalam sistem yang kompleks.
Simulasi menurut Patten (1971) dalam Grant et al. (1997) adalah suatu proses
penggunaan model untuk meniru atau mengambarkan secara bertahap perilaku sistem yang
dipelajari. Model simulasi terbentuk dari susunan operasi matematik dan logika yang bersama-
sama mewakili struktur keadaan dan perilaku perubahan keadaan dari ruang lingkup sistem.
Simulasi merupakan suatu teknik meniru operasi-operasi atau proses- proses yang terjadi
dalam suatu sistem dengan bantuan perangkat komputer dan dilandasi oleh beberapa asumsi
tertentu sehingga sistem tersebut bisa dipelajari secara ilmiah (Law and Kelton, 1991).
Pemodelan sistem dinamik lebih dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman umum sistem
yang diamati serta lebih berorientasi pada proses daria pada hasil pemodelan (Widodo L.,
2005).
Model dinamik memerlukan diagram yang menggambarkan saling keterkaitan antar
variabel yang merupakan komunikasi sifat dasar model. Terdapat beberapa simbol standar yang
digunakan untuk diagram alir model dinamik (Sushil, 1993), adalah sebagai berikut:
Simbol yang pertama yaitu level. Level adalah suatu besaran (quantity) yang
berakumulasi terhadap waktu. Level menyatakan kondisi sistem pada setiap saat. Level
ditunjukkan dengan simbol segi empat, seperti terlihat pada Gambar 1. Kepala panah
menunjukkan arah aliran ke dan dari level.

LEVEL

Gambar 1. Simbol level

Simbol berikutnya adalah rate. Rate merupakan suatu aktivitas, atau pergerakan
(movement), atau aliran yang berkontribusi terhadap perubahan per satuan waktu dalam suatu
level dan juga menunjukkan aliran yang dikendalikan dan input informasi (hanya informasi yang
berperan penting ke dalam fungsi keputusan atau persamaan rate) yang menentukan aliran
rate. Rate berfungsi sebagai katup dalam saluran aliran seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Simbol Rate

Simbol ketiga yaitu auxilliary. Auxilliary merupakan konsep yang membagi-bagi fungsi
keputusan dan berfungsi menyederhanakan hubungan informasi antara variabel level dan
variabel rate. Variabel auxiliary terlihat pada Gambar 3.

128
Aspek Silvikultur

Gambar 3. Simbol auxilliary

Simbol keempat adalah constant. Constant digambarkan dengan simbol dengan suatu
titik awal informasi, seperti terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Simbol constant

Terakhir, simbol source/sink (sumber/endapan). Sumber/endapan menyatakan sesuatu


diluar sistem yang sifatnya tidak terbatas/tidak pernah habis, bila tujuan/asal aliran tidak
mempengaruhi sistem, maka aliran dapat digambarkan menuju suatu endapan dari suatu
sumber seperti terlihat pada Gambar 5.
Sumber Endapan

Gambar 5. simbol source/Sink

Program simulasi tersebut dibangun dengan menggunakan program Stella. Komponen


yang dibutuhkan untuk menyusun simulasi tersebut adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh
KPH setiap tahunnya baik meliputi biaya tetap maupun biaya variabel. Biaya tetap diantaranya
terdiri dari biaya bangunan, infrastruktur, kendaraan, gaji dan biaya operasional KPH. Adapun
biaya variabel meliputi biaya pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan.
Dalam model simulasi juga memberikan prediksi hasil yang akan diperoleh berdasarkan data-
data hasil penelitian serta perhitungan kelayakan usahanya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Walukow (2012) mengatakan bahwa model dinamik dapat meramalkan kemungkinan yang
akan terjadi dan untuk menjadi dasar pengambilan kebijakan yang diinginkan dan layak serta
model dinamik juga bermanfaat memecahkan sistem yang kompleks, terpadu dan holistik
untuk mencapai tujuan.

III. STRUKTUR DIAGRAM ALIR MODEL


Model simulasi perencanaan usaha KPH terdiri dari budidaya berbagai jenis tanaman
yang salah satunya berupa budidaya jenis bambang lanang. Struktur diagram alir model
simulasi budidaya bambang lanang ditunjukkan pada Gambar 6, Gambar 7 dan Gambar 8.

129
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Sub Model Luasan Usaha Bambang

L peremajaan bambang

L Bambang 1 thn L Bambang 2 thn L Bambang 3 thn L Bambang 6 thn L Bambang 7 thn
L Bambang 4 thn L Bambang 5 thn L Bambang 8 thn

Peremajaan Jabon Noname 46 Noname 47 Noname 50 Noname 51


Noname 48 Noname 49
Noname 52

L Tanam bambang
L Bambang 14 thn Noname 53
L Bambang 15 thn L Bambang 13 thn L Bambang 12 thn L Bambang 11 thn L Bambang 10 thn L Bambang 9 thn

Luas tanam bambang Noname 59 Noname 58 Noname 57 Noname 56 Noname 55 Noname 54

Tebang 15 Tebang 14 Tebang 13 th Tebang 12 th Tebang 10 th


Tebang 11 thn

Daur 15 Daur 14 Daur 12


Daur 13
Daur 11
Daur 10

Tebang 14 Tebang 13 th Luas B thn 1


Tebang 15 Luas B thn 2

L peremajaan bambang Tebang 12 th Luas B thn 3

Luas B thn 10
Luas B thn 4
Tebang 10 th Tebang 11 thn

Luas B thn 9 Luas tanam bambang


Luas B thn 5

Luas B thn 8
Luas B thn 7 Luas B thn 6

Gambar 6. Struktur diagram alir sub model luasan usaha bambang lanang
Sub Model Potensi

L Bambang 7 thn L Bambang 8 thn L Bambang 9 thn


L Bambang 1 thn L Bambang 3 thn L Bambang 5 thn L Bambang 6 thn
L Bambang 2 thn L Bambang 4 thn

Potensi B thn 1 Potensi B thn 9


Potensi B thn 2 Potensi B thn 5 Potensi B thn 8
Potensi B thn 6 Vol 9 thn
Potensi B thn 3 Potensi B thn 7
Potensi B thn 4

Vol 1 thn Vol 2 thn Vol 5 thn Vol 7 thn Vol 8 thn
Vol 3 thn Vol 4 thn Vol 6 thn

L Bambang 15 thn L Bambang 14 thn L Bambang 12 thn L Bambang 11 thn L Bambang 10 thn Tebang 11 thn
L Bambang 13 thn Tebang 10 th
Potensi B thn 10
Tebang 12 th

Potensi B thn 11 Vol Teb 11 thn


Vol Teb 10 thn

Vol Teb 12 thn


Vol 10 thn Potensi B thn 12
Potensi B thn 15 Potensi B thn 10
Potensi B thn 11 Tebang 14
Potensi B thn 14 Potensi B thn 13 Potensi B thn 12

Tebang 13 th
Potensi B thn 14
Vol 15 thn Tebang 15
Vol 14 thn Vol 13 thn Vol 12 thn
Vol 11 thn

Vol Teb 14 thn Potensi B thn 15


Potensi B thn 13
Vol Teb 13 thn
Vol 1 thn Vol 2 thn
Vol 15 thn Vol 3 thn Vol Teb 15 thn
Vol 14 thn Vol 4 thn Vol Teb 11 thn
Vol Teb 12 thn
Vol Teb 10 thn
Vol 13 thn Vol 5 thn
Vol Teb Bambang
Potensi v olume total Vol Teb 13 thn
Vol 12 thn Vol Teb 15 thn
Vol 6 thn
Vol Teb 14 thn

Vol 11 thn Vol 7 thn


Vol 8 thn
Vol 10 thn Vol 9 thn

Gambar 7. Diagram alir sub model potensi bambang lanang


Sub Model Finansial Bambang

L Bambang 1 thn
L Bambang 4 thn
L Bambang 2 thn
Pelihar B 4 th
Biay a tebang Biay a budiday a Bambang
Pelihar B 1 th
Biay a total bambang
Pelihar B 2 th Biay a B umur 4 thn
L Bambang 3 thn Biay a B umur 1 thn

Faktor Ekploitasi
Biay a B umur 2 thn L Bambang 5 thn
Pelihar B 5 th
keuntungan bamabng
Biay a B umur 3 thn Borong tebang log
Vol Teb Bambang

Biay a B umur 5 thn


Pelihar B 3 th
Biay a B 1 sd 5 thn
Harga log bambang
Biay a tebang

Peremaajn Bambang

Pendapatan Bambang
Biay a B 1 sd 5 thn
Biay a Buka lahan dan tanam B
Buka lahan dan Tanam Bambang Peremajaan Jabon Biay a Peremajaan Bambang

Biay a Peremajaan Bambang


Kerapatan Awal Biay a budiday a Bambang
L Tanam bambang
Kerapatan Awal
Harga bibit Bambang
Biay a Bibit B Peremajaan
Biay a Buka lahan dan tanam B
Biay a Bibit B Peremajaan

Biay a Bibit B Tanam


Biay a Bibit B Tanam

Gambar 8. Diagram alir sub model finansial bambang lanang

IV. GAMBARAN DAN TAMPILAN PROGRAM


Pada bagian ini akan digambarkan tampilan menu-menu yang ada dalam program
simulasi perencanaan usaha KPH yang meliputi menu utama, menu unit usaha karet, menu unit
130
Aspek Silvikultur

usaha gaharu, menu unit usaha bambang lanang, menu unit usaha kayu bawang, menu unit
usaha jabon, menu biaya KPH, menu biaya dan pendapatan KPH serta menu analisis finansial
KPH. Bentuk tampilan progran pada tiap menunya akan diuraikan sebagi berikut.
1. Menu Utama
Tampilan program ini terdapat delapan menu meliputi menu unit usaha karet, unit
usaha gaharu, unit usaha bambang, unit usaha kayu bawang, unit usaha jabon, biaya KPH,
proyeksi biaya dan pendapatan KPH dan menu analisis finansial KPH (Gambar 9).

Gambar 9. Menu utama program simulasi perencanaan usaha KPH

2. Menu Unit Usaha Karet


Menu ini berisi input data biaya budidaya karet mulai dari harga bibit, biaya pembukaan
lahan dan tanam, biaya pemeliharaan, biaya peremajaan, harga karet kering, biaya tebang, dan
harga log kayu karet. Pada menu ini terdapat target luasan penanaman karet tiap tahunnya
serta besarnya bagi hasil karet bagi masyarakat (Gambar 10). Unit usaha karet sangat cocok
dikembangkan pada wilayah yang dekat masyarakat dengan pola kemitraan/bagi hasil dalam
rangka mencapai tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.

Gambar 10. Menu unit usaha budidaya karet

Pada menu unit usaha karet memberikan informasi produksi karet kering dan informasi
biaya serta pendapatan usaha karet yang akan diperoleh oleh KPH sesuai dengan input yang

131
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

dimasukkan pada menu sebelumnya (Gambar 11). Pada menu ini juga memberikan informasi
besarnya bagi hasil pengusahaan karet kepada masyarakat sekitar hutan serta informasi jumlah
KK yang dapat terlibat dalam pengelolaan unit usaha karet ini (Gambar 12).

Gambar 11. Menu proyeksi produksi usaha karet kering

Gambar 12. Menu proyeksi biaya dan pendapatan unit usaha karet

3. Menu Unit Usaha Gaharu


Menu ini berisi input data tentang komponen budidaya gaharu yang meliputi harga bibit
gaharu, biaya buka lahan dan tanam, biaya pemeliharan, biaya inokulasi, biaya tebang dan
carving, biaya peremajaan, harga gubal, harga kemedangan, hasil gubal dan kemedangan pada
umur tertentu, prosentase keberhasilan inokulasi serta target luasan penanaman gaharu sesuai
dengan kemampuan KPH tiap tahunnya (Gambar 13). Pada menu ini juga terdapat pilihan
rencana umur pemanenan gubal gaharu yang akan dilakukan.

132
Aspek Silvikultur

Gambar 13. Menu unit usaha budidaya gaharu


Pada menu unit usaha gaharu memberikan informasi produksi gubal dan kemedangan
sesuai input data yang dilakukan pada menu ini. Gambaran produksi gubal dan kemedangan
seperti pada Gambar 14.

Gambar 14. Menu proyeksi produksi hasil usaha gaharu


Menu unit usaha gaharu juga memberikan informasi pekembangan biaya dan
pendapatan dari unit usaha ini tiap tahunnya. Proyeksi biaya dan pendapatan usaha gaharu
sesuai dengan input data yang ada pada menu Gambar 15.

Gambar 15. Menu proyeksi biaya dan pendapatan unit usaha gaharu

133
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

4. Menu Usaha Bambang Lanang


Bambang lanang merupakan jenis lokal Sumatera Selatan dan telah banyak
dibudidayakan oleh masyarakat. Pada menu ini berisi input data berkaitan dengan budidaya
bambang lanang dari penanaman sampai dengan pemanenan. Pada menu ini terdapat pilihan
daur bambang yang dapat diterapkan dalam budidaya bambang lanang (Gambar 16).

Gambar 16. Menu unit usaha budidaya kayu bambang lanang


Pada menu Gambar 17 terdapat informasi karakteristik lahan yang dapat diisi sesuai
dengan kondisi lahan yang akan dikembangkan jenis ini. Menu ini memberikan informasi
potensi dan volume tebang serta biaya dan pendapatan hasil budidaya bambang sesuai dengan
input yang dimasukkan pada menu ini (Gambar 18).

Gambar 17. Menu informasi karakteristik lahan dan potensi produksi

Gambar 18. Menu proyeksi biaya dan pendapatan usaha bambang

134
Aspek Silvikultur

5. Menu Usaha Kayu Bawang


Kayu bawang merupakan jenis lokal yang ada di wilayah Bengkulu dan telah
dikembangkan secara luas oleh masyarakat. Pada menu ini berisi input data dalam budidaya
jenis kayu bawang serta pemilihan daur tebang (Gambar 19).

Gambar 19. Menu unit usaha kayu bawang


Pada menu selanjutnya (Gambar 20) memberikan informasi perkembangan potensi dan
volume tebang serta informasi biaya dan pendapatan dari unit usaha jenis kayu bawang sesuai
dengan input dimasukkan pada menu ini.

Gambar 20. Menu proyeksi produksi, biaya dan pendapatan usaha kayu bawang

135
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

6. Menu Unit Usaha Jabon


Menu unit usaha jabon (Gambar 21) berisi tentang input yang berkaitan dengan
budidaya jabon dari pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan sampai dengan pemanenan
serta pemilihan daur tebang.

Gambar 21. Menu unit usaha jabon


Menu unit usaha jabon dapat memberikan informasi potensi kayu hasil budidaya jabon
yang akan dikembangkan oleh KPH serta informasi volume kayu yang dapat dipanen sesuai
dengan input data pada menu ini. Pada menu ini juga memberikan informasi biaya dan
pendapatan dari unit usaha Jabon (Gambar 22).

Gambar 22. Menu proyeksi produksi, biaya dan pendapatan usaha jabon

136
Aspek Silvikultur

7. Menu biaya KPH


Menu ini berisi informasi biaya KPH diluar biaya budiaya pohon pada menu-menu
sebelumnya. Biaya yang dimaksud meliputi biaya operasional kantor, biaya pembangunan
infrastruktur, biaya pengadaan kendaraan serta biaya gaji (Gambar 23).

Gambar 23. Menu biaya KPH

8. Menu Biaya dan Pendapatan KPH


Menu ini berisi informasi biaya dan pendapatan KPH sesuai yang di inputkan pada
menu-menu sebelumnya baik pada menu unit usaha dan menu biaya KPH (Gambar 24).

Gambar 24. Menu proyeksi biaya dan pendapatan KPH


9. Menu Analisis Finansial KPH
Menu Gambar 25 memberikan informasi analisis finansial KPH berdasarkan unit usaha
yang akan dikembangkan serta biaya yang dikeluarkan KPH. Pada menu ini suku bunga untuk
mendiskonto biaya dan pendapatan KPH dapat dilakukan perubahan dengan memasukkan
input nilai suku bunga pada menu ini.

137
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Gambar 25. Menu analisis finansial usaha KPH

KESIMPULAN
Program simulasi perencanaan usaha ini merupakan program komputer yang dapat
digunakan oleh pengelola KPH dalam merencanakan jenis usaha di wilayah kerjanya. Program
ini dapat diaplikasikan dalam memproyeksikan biaya yang dibutuhkan dan pendapatan yang
akan diterima oleh KPH. Pada kesempatan kali ini kami menyajikan simulasi usaha budidaya 5
jenis tanaman.

DAFTAR PUSTAKA
Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem Maningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press. Bogor.
Grant, E., K. P. Ellen and S. L. Sandra 1997. Ecology and Natural Resource Management, System
Analysis and Simulation. John Willley & Son, Inc. Toronto.
Hartrisari, 2007. Sistem Dinamik: Konsep Sistem Untuk Industri Dan Lingkungan. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Law, A.M. andW.D. Kelton. 1991. Simulation Modeling and Analysis. 2nd ed. New York:
McGraw- Hill.
Purnomo, 2005. Teori Sistem Kompleks, Pemodelan dan Simulasi Untuk Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Fakultas Kehutanan. Institiut Pertanian Bogor.
Sushil.1993. System Dynamics: A Practical Approach for Managerial Problems. New Delhi:
Willey Eastern Ltd.
Walukow, A. F. 2012. Analisis Kebijakan Penurunan Luas Hutan di Daerah Aliran Sungai Sentani
Berwawasan Lingkungan. Jurnal Manusia dan Lingkungan Hidup. Vol. 19, No.1, Maret.
2012: 74- 84.
Widodo L. 2005. Kecenderungan Reklamasi Wilayah Pantai dengan Pendekatan Model Dinamik.
Jurnal Tek. Lingkungan. P3TL-BPPT.6.(1) : 330-338.

138
Aspek Silvikultur

PENGARUH BAHAN SETEK TERHADAP PERTUMBUHAN


SETEK JABON (Anthocepalus cadamba)

Nurmawati Siregar
Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

ABSTRAK

Jabon (Anthocepalus cadamba) merupakan salah satu jenis penghasil energi terbarukan yang
mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan dalam kegiatan pembangunan hutan tanaman.
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan untuk pengembangan jenis-jenis ini adalah
ketersediaan bibit bermutu. Bibit bermutu dapat diperoleh dari perbanyakan generatif (biji) dan
vegetatif (setek). Penerapan perbanyakan vegetatif dengan cara setek dalam kegiatan produksi bibit
dilakukan dalam rangka untuk mendapatkan bibit yang memiliki sifat genetik yang sama dengan
tanaman induknya. Teknik perbanyakan vegetatif dengan cara setek adalah teknik yang tidak
memerlukan alat khusus, dengan cara yang sederhana dapat diproduksi bibit bermutu dalam jumlah
yang cukup dan tepat waktu serta tidak tergantung musim. Bahan setek merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan setek, oleh karena itu dilakukan penelitian terhadap pengaruh bahan
setek terhadap pertumbuhan setek jabon. Bahan setek yang digunakan terdiri dari setek pucuk (tanpa
daun) dan setek pucuk (mempunyai daun). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tunas setek mulai
tumbuh sekitar 2 - 3 minggu setelah tanam dan akar mulai tumbuh sekitar 3 - 4 minggu setelah tanam.
Persen tumbuh setek pucuk sekitar 90,5% dan setek batang sekitar 83,2% pada umur 3 bulan setelah
tanam.
Kata kunci: jabon, setek

I. PENDAHULUAN
A. Jabon (Anthocepalus cadamba)
Jabon penyebaran terdapat di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa tenggara dan Papua.
Umumnya tumbuh pada tanah alluvial di pinggir sungai dan di daerah peralihan antara tanah
rawa dan tanah kering yang kadang-kadang digenangi air. Selain itu juga tumbuh dengan baik
pada tanah liat, tanah lempung, podsolik coklat, tanah tuf halus atau tanah lempung berbatu
yang tidak sarang. Jenis ini memerlukan iklim basah hingga kemarau kering dengan tipe curah
hujan A dan D, mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 1.000 m dari permukaan laut
(Martawijaya et al., 1989)
B. Habitus
Jabon adalah jenis pohon yang memerlukan cahaya (light-demander), tanaman pioner
yang cepat tumbuh dan umumnya terdapat pada hutan sekunder. Bentuk tajuk seperti payung
dengan sistem percabangan melingkar. Batang lurus dan silindris, berwarna kelabu-coklat
sampai coklat, sedikit beralur dangkal. Kayunya berwarna putih krem sampai sawo kemerah-
merahan, mudah diolah, lunak dan ringan. Bunga jingga berukuran kecil, berkelopak rapat,
berbentuk bulat.
Buahnya merupakan buah majemuk berbentuk bulat dan lunak, mengandung biji yang
sangat halus Jabon berbuah setahun sekali. Musim berbungan pada bulan Januari-Maret dan
buah masak pada bulan Maret-April dengan jumlah buah per kg 33 buah dan jumlah kecambah
sebesar 314 kecambah per 0,1 gram atau sekita 900 000-2 700 000 seeds/kg. Biji bisa tahan
simpan sampai 18 bulan (Soerianegara dan Lemmens, 1994).

139
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

C. Prospek Jabon
Jabon mempunyai nilai kalor sebesar 4.731 cal/g (Rostiawati et al., 2006), oleh karena
itu jenis ini mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai sumber alternatif penghasil
energi terbarukan.
Jabon termasuk jenis serbaguna karena kayu dan non kayunya (kulit batang, daun dan
bunga) mempunyai beberapa manfaat. Kayunya biasanya untuk dibuat furniture kayu lapis,
korek api, alas sepatu, peti, dan bahan kertas. Disamping itu, jabon juga termasuk tanaman
obat karena ekstrak kulit batang dan daun sebagai antioxidant, antimikroba, nematicida, diare,
tonik, obat kumur, obat kusta, kulit dan mata. (Martawijaya et al., 1989).
Kayu jabon berwarna putih krem sampai sawo kemerah-merahan, mudah diolah, lunak
dan ringan. Tekstur kayu agak halus sampai agak kasar, arah serat lurus, kadang-kadang agak
berpadu serta permukaan licin atau agak licin dan agak mengkilap (Soerianegara dan Lemmens,
1994), oleh karena itu jabon mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan.
Salah faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan hutan tanaman jenis jabon
adalah pengadaan bibit. Pengadaan bibit dapat dilakukan secara generatif (biji) dan vegetatif
(setek, cangkok dan okulasi). Namun pengadaan bibit secara generatif dengan biji relatif
mudah dilakukan, akan tetapi kelemahan cara ini relatif mempunyai kelemahan karena tegakan
yang dihasilkan relatif tidak seragam, oleh karena itu untuk mendapatkan tegakan yang relatif
seragam, maka pengadaan bibit secara vegetatif dengan setek merupakan salah satu alternatif.

II. PERBANYAKAN VEGETATIF DENGAN CARA SETEK


Perbanyakan vegetatif adalah teknik perbanyakan tanaman dengan menggunakan
bagian-bagian vegetatif tanaman seperti tunas, batang, akar dan kultur jaringan serta
transgenik tanpa melalui perkawinan. Perbanyakan vegetatif dengan cara setek adalah teknik
perbanyakan yang tidak memerlukan alat khusus, dengan cara yang sederhana dapat
diproduksi bibit bermutu dalam jumlah yang cukup dan tepat waktu (Hartmann et al., 2007).
Beberapa keuntungan bibit hasil perbanyakan vegetatif antara lain: 1). apabila
diperbanyak secara generatif maka potensi genetik hanya diturunkan sebagian kepada
keturunannya, sedang dengan perbanyakan vegetatif akan diturunkan seluruhnya kepada
keturunannya sehingga sama dengan tanaman induknya, 2) Hutan tanaman yang dibangun
dengan bibit hasil perbanyakan vegetatif akan memberikan tegakan yang lebih seragam dan 3)
Pengadaan bibit dapat dilakukan setiap saat sesuai dengan kebutuhan dan tidak tergantung
musim berbuah (Hartmann et al., 2007).
Perbanyakan vegetatif bukan merupakan suatu metode dalam pemuliaan, akan tetapi
salah satu cara untuk memperbanyak genotipe yang ada, sehingga bibit yang dihasilkan akan
unggul apabila materi/bahan tanaman yang diperbanyak mempunyai kualitas genetik yang
unggul. Keunggulan teknik perbanyakan vegetatif dengan setek ini dapat dikembangkan untuk
pembangunan hutan klonal (clonal forest), yang memiliki produktivitas tinggi. Sebagai contoh
adalah keberhasilan pengembangan hutan clonal Eucalyptus urophylla di Brasil, dihasilkan dari
penggunakan teknik vegetatif yang dikombinasikan dengan teknik persilangan terbukti mampu
menghasilkan hutan klonal berkualitas tinggi sehingga tegakan yang semula memiliki riap 36
m3/ha/th dapat ditingkatkan menjadi 64 m3/ha/th (Zobel, 1983).
Pertumbuhan setek dipengaruhi oleh interaksi faktor genetik dan faktor lingkungan.
Faktor genetik meliputi kandungan cadangan makanan dalam jaringan setek, umur tanaman
(pohon induk), hormon endogen dalam jaringan setek, tingkat juvenilitas dan bahan tanaman
(stock plant). Faktor lingkungan terutama suhu, kelembaban dan intensitas cahaya (Malstede

140
Aspek Silvikultur

dan Haber, 1976; Rochiman dan Harjadi, 1973, David at al., 1988 dan Hartmann et al., 2007).
Fluktuasi suhu, kelembaban dan intensitas cahaya antara siang dan malam dapat dikendalikan
dengan menggunakan Rumah Tumbuh.

III. TEKNIK PERBANYAKAN VEGETATIF DENGAN CARA SETEK


Penelitian perbanyakan vegetatif dengan cara setek jabon sudah dilakukan di Balai
Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor (BPTPTH). Bahan setek jabon yang
digunakan adalah setek batang (tanpa daun) dan setek pucuk (mempunyai daun)
A. Rumah Tumbuh
Untuk mengurangi intensitas cahaya dan suhu yang terlalu tinggi dan meningkatkan
kelembaban udara, diperlukan Rumah Tumbuh yaitu tempat yang dirancang khusus untu
pertumbuhan setek (Danu, Pramono dan Siregar, 2006). Rumah tumbuh berfungsi menjaga
fluktuasi suhu, kelembaban dan intensitas cahaya antara pagi, siang dan malam hari serta
melindungi setek dari terpaan hujan dan angin.
Rumah Tumbuh yang digunakan adalah Model Pengabutan. Model Pengabutan terdiri
dari rumah kaca yang dilengkapi dengan alat pengabutan, rak tempat poly tube serta
menggunakan sungkup plastik (Gambar 1).

Gambar 1. Rumah Tumbuh


B. Media
Media yang digunakan adalah campuran serbuk kelapa (cocopeat) dan sekam padi
dengan perbandingan 2 : 1 (v/v). Sebelum dicampur sekam padi terlebih dulu diserilkan,
kemudian media tersebut dimasukkan ke dalam poly tube ukuran 4,5 cm X 4,5 cm X 12 cm.
Poly tube tersebut dimasukkan dalam sungkup plastik putih, selanjutnya sungkup tersebut
ditempatkan di dalam Rumah Tumbuh, selanjutnya media tesebut disiram dengan air sampai
jenuh.
C. Tahapan Pembuatan Setek Jabon
1. Bahan Setek
Kriteria bahan setek jabon terutama adalah:
a. Diameter batang tunas sekitar 0,5 cm.
b. Kulit batang berwarna hijau tua kecoklatan
Tunas jabon umur 6 bulan dipangkas dengan gunting setek dan dipilih tunas yang relatif
seragam tinggi dan diameternya, kemudian ditempatkan ke dalam ember/wadah berisi
air (Gambar 2).

141
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Gambar 2. Tunas jabon umur 6 bulan


2. Pembuatan setek
Pembuatan setek dilakukan ditempat teduh. Tunas dipotong untuk dijadikan setek pucuk
dan batang. Setek pucuk diambil dari pucuk, setek batang diambil dari bagian tengah dan
pangkal dari tunas Tunas dipotong-potong menjadi setek dengan ukuran panjang tangkai
setek sekitar 5 -7 cm.
Bagian bawah dari tangkai setek dipotong miring 450. Setek-setek tersebut ditempatkan
dalam wadah/ember berisi air.
3. Penanaman Setek
Pada media dibuat lubang tanam dengan tongkat kecil dari kayu dengan diameter lebih
besar dari diameter tangkai setek. Setek ditanam pada lubang tanam dengan kedalaman
sepertiga sampai setengah dari tangkai setek, kemudian ditutup dengan media (Gambar 3),
disiram dengan air, selanjutnya sungkup ditutup.

Gambar 3. Penanaman setek batang (kiri) dan setek pucuk (kanan)


4. Pemeliharaan
a. Pemeliharaan
Pemeliharaan terdiri dari penyiraman, penyiangan dan pengendalian hama dan penyakit.
Penyiraman dilakukan setiap pagi dan sore hari. Penyiangan dilakukan terhadap gulma
yang tumbuh pada potray dan di sekitar bedengan, dilakukan secara manual dengan
mencabut gulma yang tumbuh, dilakukan seminggu sekali. Apabila terdapat serangan
hama dan penyakit dilakukan pengendalian sesuai dengan jenis hama dan penyakit serta
intensitas serangan yang terjadi.
b. Aktimatisasi
Aktimatisasi dilakukan dengan membuka sungkup secara bertahap: minggu pertama
sungkup dibuka selama 2 jam dari jam 8 00-1000 kemudian sungkup ditutup kembali.

142
Aspek Silvikultur

Minggu kedua dibuka selama 4 jam dari jam 800-1200 kemudian sungkup ditutup kembali.
Minggu ke tiga sungkup dibuka selama 6 jam dari jam 8 00-1400 kemudian sungkup ditutup
kembali. Minggu ke empat sungkup dibuka tanpa ditutup kembali.
5. Pertumbuhan Setek Jabon
Tunas setek jabon mulai tumbuh sekitar 2 - 3 minggu setelah tanam Akar mulai tumbuh
sekitar 3 - 4 minggu setelah tanam. Persen tumbuh setek pucuk mencapai 90,5% dan persen
tumbuh setek batang sekitar 83,2% pada umur 3 bulan setelah tanam
6. Penyapihan Setek
Penyapihan bibit asal setek ke polibag dilakukan 2-3 bulan setelah akar dan tunas tumbuh.
Bibit tersebut ditempat di persemaian dan dilakukan pemeliharaan sampai bibit dengan bibit
siap ditanam di lapangan.

IV. PENUTUP
Jabon dapat diperbanyak secara vegetatif, bahan setek terdiri dari setek batang dan
setek pucuk. Tunas setek mulai tumbuh sekitar 2 - 3 minggu setelah tanam dan akar mulai
tumbuh sekitar 3 - 4 minggu setelah tanam. Persen tumbuh setek pucuk sekitar 90,5% dan
setek batang sekitar 83,2% pada umur 3 bulan setelah tanam.

DAFTAR PUSTAKA
Danu, A.A. Pramono, N. Siregar, 2006. Atlas Benih Jilid VI. Perbanyakan Vegetatif Beberapa
Jenis Tanaman Hutan. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor.
Davis, T.D, B.E. Haissig and N.Sankhla. 1988. Adventitious Root Formation Cuttings. Dioscorides
Press. Oregon.
Hanum, I.H. and L.J.G. van der Maesen. Plant Resources of South East Asia. No 11. Auxiliary
Plants. PROSEA. Bogor
Hartmann, H.T., D.E. Kester and F.T. Davies, R.L. Geneve. 1997. Plant Propagation: Principles
and Practices. Edisi VI. Prentice Hall. Englewood Cliffs. New Jersey
Mahlstede, J.P and E.S. Haber. 1976. Plant Propagation. John Wiley and Sons Inc. New York.
413 p.
Rochiman, K dan Harjadi.SS. 1973. Pembiakan Vegetatif. Departemen Agronomi. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rostiwati, T, Y. Haryati dan S. Bustomi. 2006. Review Hasil Litgbang Kayu Energi dan
turunannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutan.
Martawijaya, A. I. Kartasujana, Y.I. Mandang, SA. Prawira dan K. Kadir. 1989. Atlas Kayu
Indonesia. Volume II. Departemen Kehutanan. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.
Soerianegara, I dan R.H.M.J. Lemmens. 1994. Plant Resources of South East Asia. No 5 (1).
Timber Tress: Major commercial Timbers. Bogor.
Zobel, B. 1983. Vegetatif Propagation in Eucalyptus. 19 th Meeting of The Canadian Tree
Improvement Association, August 22-26,1983. Toronto, Ontario.

143
Aspek Silvikultur

PENGGUNAAN SERBUK SABUT KELAPA DAN ARANG SEKAM PADI DALAM PEMBIBITAN
BAMBANG LANANG (Michelia champaca L.)

Danu dan Rina Kurniaty


Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

ABSTRAK

Kebutuhan bahan baku kayu dari tahun ke tahun semakin meningkat sementara produksi kayu semakin
menurun. Tanaman bambang lanang (Michelia champaca L.) merupakan jenis alternatif prioritas dalam
pembangunan hutan tanaman penghasil kayu. Untuk menghasilkan tegakan yang baik diperlukan bibit
yang bermutu. Media yang kaya dengan bahan organik dan unsur hara merupakan salah satu yang
diperlukan tanaman untuk menghasilkan bibit yang bermutu. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui efektivitas bahan pencampur serbuk sabut kelapa dan arang sekam padi dalam pembibitan
tanaman bambang lanang. Benih bambang lanang dikumpulkan dari Lahat, Sumatera Selatan. Media
yang digunakan adalah tanah top soil, tanah sub soil, tanah sub soil ditambah bahan pencampur serbuk
sabut kelapa dan arang sekam padi dengan intensitas naungan 55%. Rancangan yang digunakan adalah
Rancangan acak kelompok terdiri dari 3 ulangan masing- masing 50 bibit. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa media tanah subsoil ditambah serbuk sabut kelapa sebanyak 30% dan arang sekam padi
sebanyak 10% dapat menghasilkan persen batang berkayu tertinggi yaitu sebesar 46,28%.
Kata kunci: media, bibit, bambang lanang

I. PENDAHULUAN
Kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan kayu dari tahun ke tahun selalu
mengalami peningkatan, di pihak lain pasokan bahan baku dari hutan alam produksi semakin
menurun, sehingga akibatnya terjadi kekurangan bahan baku terutama untuk industri
pengolahan kayu. Oleh karena itu perlu dilakukan pembangunan dan pengembangan hutan
tanaman penghasil kayu pertukangan. Tanaman bambang lanang (Michelia champaca L.)
merupakan jenis alternatif prioritas dalam pembangunan hutan tanaman penghasil kayu
pertukangan (Effendi, 2009). Bambang lanang termasuk family Sapotaceae merupakan salah
satu jenis pohon andalan lokal di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Jenis ini tergolong
tanaman cepat tumbuh, kayunya kuat, lurus, awet, dan mudah dikerjakan, sehingga sejak lama
sudah digunakan sebagai bahan bangunan oleh masyarakat setempat (Siahaan dan Saepuloh,
2007).
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan hutan tanaman jenis
ini adalah tersedianya bibit bermutu dalam jumlah yang cukup dan tepat waktu. Untuk
menghasilkan bibit yang bermutu diantaranya diperlukan media yang kaya dengan bahan
organik dan mempunyai unsur hara yang diperlukan tanaman serta naungan (Durahim dan
Hendromono, 2001; Siahaan et al., 2006).
Umumnya media yang digunakan untuk pembibitan di persemain berasal dari top soil.
Namun pengambilan top soil dalam jumlah besar dapat berdampak negatif bagi ekosistem di
areal tersebut (Hendromono dan Durahim, 2004). Untuk itu dibutuhkan bahan campuran
media alternatif yang baik. Serbuk sabut kelapa (cocopeat) dan arang sekam padi (biocharcoal)
dapat digunakan sebagai bahan pencampur media persemaian. Biocharcoal berfungsi sebagai
pembenah tanah dan manager nutrisi yang baik (Lehmann et al., 2006). Pemberian arang
sekam pada media tumbuh akan menguntungkan karena dapat memperbaiki sifat tanah di
antaranya adalah mengefektifkan pemupukan karena selain memperbaiki sifat fisik tanah
145
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

(porositas dan aerasi), arang sekam juga berfungsi sebagai pengikat hara (ketika kelebihan
hara) yang dapat digunakan tanaman ketika kekurangan hara, hara dilepas secara perlahan
sesuai kebutuhan tanaman/slow release (Komarayati et al., 2003). Serbuk sabut kelapa memiliki
pH 5,7 -6,5 dan kapasitas tukar kation yang tinggi serta memiliki daya simpan air yang tinggi,
sehingga subtrat ini dapat digunakan sebagai bahan pencampur media tanah (Mason, 2003).
Berdasarkan informasi di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang penggunaan
bahan pencampur media untuk pembibitan tanaman bambang lanang yang efektif dan ramah
lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan serbuk sabut
kelapa dan arang sekam padi sebagai bahan pencampur media pembibitan tanaman bambang
lanang.

II. METODE PENELITIAN


A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di persemaian Stasiun Penelitian Nagrak, Bogor. Penelitian
dimulai pada bulan Juli 2012 sampai bulan Pebruari 2013.
B. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan penelitian terdiri dari buah bambang lanang yang telah masak fisiologis
dikumpulkan dari Lahat, Sumatera Selatan. Pengunduhan buah yang telah masak fisiologis
dilakukan dengan cara memanjat pohon pada bulan Maret 2012. Media sapih yang yang
digunakan yaitu: tanah top soil, tanah sub soil, serbuk sabut kelapa, dan arang sekam padi. Alat
penelitian yang digunakan antara lain persemaian dalam bentuk rak yang diberi naungan
paranet intensitas 55%, oven Memmert type UNB 400, timbangan analitik tipe GR 200, kaliper
dan penggaris.
C. Prosedur Penelitian
- Buah bambang lanang yang sudah terkumpul diekstrasi dengan cara buah dikeringanginkan,
setelah buah merekah selanjutnya benih dan kulit buah dipisahkan. Untuk membersihkan
kulit benih dilakukan dengan cara digosok.
- Perkecambahan dilakukan dengan cara menabur benih pada bak kecambah yang berisi
media campuran pasir dan tanah (1:1, v/v). Setelah memiliki sepasang daun, kemudian
disapih pada media pembibitan sesuai perlakuan (M) dengan intensitas naungan 55%.
Perlakuan media yang digunakan adalah:
M1 = Tanah top soil (kontrol)
M2 = Tanah subsoil
M3 = Tanah sub soil + 30% serbuk sabut kelapa (coco peat) (v/v)
M4 = Tanah sub soil + 10% arang sekam padi (v/v)
M5 = Tanah subsoil + 30% serbuk sabut kelapa (coco peat) +10% arang sekam padi(v/v)
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok dengan
ulangan sebanyak 3 ulangan, setiap ulangan terdiri dari 50 bibit.
Pengamatan dan respon yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Pertumbuhan tinggi dan diameter bibit.
Pengukuran dilakukan pada awal pembibitan (1 minggu setelah sapih) dan akhir
pengamatan (5 bulan setelah sapih).
b. Berat kering (Biomassa), Top-Root ratio (TR ratio) dan Indeks Mutu Bibit.
Pengukuran dilakukan pada akhir pengamatan yaitu dengan cara mengambil 3 (tiga) bibit
dari masing-masing perlakuan kemudian dicuci bersih, selanjutnya diukur panjang batang
masing-masing bibit dari pangkal batang sampai pucuk dan panjang akar. Data ini

146
Aspek Silvikultur

digunakan untuk menghitung TR ratio yaitu perbandingan antara panjang batang atas
dengan panjang akar. Masing-masing batang dan akar tersebut kemudian dikeringkan
dalam oven pada suhu 103±3oC selama 24 jam. Biomassa merupakan jumlah berat kering
akar dan berat kering batang. Penghitungan indeks mutu bibit menggunakan cara Dickson
(1960) dalam Hendromono (1994) dengan rumus:
bobot kering batang g + bobot kering akar (g)
Indek Mutu Bibit =
tinggi bibit (cm) bobot kering batang (g)
+
diamater bibit (mm) bobot kering akar (g)
Perhitungan indek mutu bibit menggunakan skor antara 1-10. Skor tertinggi menunjukkan
IMB terbaik.
c. Persen bibit berkayu dihitung berdasarkan rumus:
tinggi bibit yang sudah berkayu
Persen bibit berkayu = x 100%
tinggi total bibit

D. Analisis Data
Data hasil pengamatan kemudian dianalisis berdasarkan analisis ragam. Apabila hasil
analisis uji-F menunjukkan perbedaan diantara perlakuan yang diujikan, maka dilanjutkan
dengan uji jarak berganda Duncan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
Hasil analisis ragam (Tabel 1) menunjukkan bahwa komposisi media berpengaruh
sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi, diameter, persen bibit berkayu, top root rasio (TR
rasio), dan biomassa bibit bambang lanang umur 5 bulan pada taraf uji 1%, namun tidak
berpengaruh nyata terhadap jumlah daun, panjang akar dan indek mutu bibit (IMB).
Tabel 1. Rekapitulasi F-hitung pengaruh komposisi media terhadap pertumbuhan tinggi,
diamater, persen bibit berkayu, TR rasio dan biomassa bibit bambang lanang umur
5 bulan
Pertumbuhan bibit bambang lanang
Sumber
Keragaman Jumlah Persen Panjang TR
Tinggi Diameter IMB Biomassa
daun berkayu akar ratio

Media 122.05** 27.38** 1.60tn 13.78** 0.08tn 8.31** 1.88tn 32.33**


Keterangan: tn = tidak nyata pada taraf uji 0,05
* = nyata pada taraf uji 0,05
** = sangat nyata taraf uji 0,01
Hasil Uji beda menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi, diameter, TR rasio dan
biomassa bibit tertinggi dihasilkan oleh media tanah top soil (M1). Bahan tambahan serbuk
sabut kelapa dan arang sekam padi sebagai pencampur media sub soil belum mampu
meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter, TR rasio maupun biomassa bibit. Namun
mampu meningkatkan persen bibit berkayu bambang lanang (M5) (Tabel 2).
Sebagaimana dapat diamati pada Tabel 2, media top soil (M1) menghasilkan respon
terhadap pertumbuhan tinggi, diameter, TR ratio dan biomassa bibit tertinggi diikuti oleh media
sub soil (M2), sedangkan persen bibit berkayu teringgi dihasilkan oleh media campuran tanah
subsoil + 30% serbuk sabut kelapa (coco peat) +10% arang sekam padi(v/v) (M5), kemudian
diikuti oleh media campuran tanah sub soil + 30% serbuk sabut kelapa (coco peat) (v/v) (M3).

147
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Tabel 2. Hasil uji beda pengaruh komposisi media terhadap pertumbuhan tinggi, diamater,
persen bibit berkayu, TR rasio dan biomassa bibit bambang lanang umur 5 bulan
Tinggi Diameter Persen Biomasa
Media TR rasio
(cm) (mm) berkayu (%) (gram)
M1 44.86a 5.19a 22.03c 1.98a 3.17a

M2 34.95b 4.75b 23.34c 1.41b 2.34b

M3 21.19d 3.96c 34.24b 0.99bc 1.32c

M4 31.30c 4.44b 25.22c 1.27b 2.00b

M5 16.04e 3.31d 46.28a 0.61c 0.99c


Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%. Tanah top
soil (M1), Tanah subsoil (M2), Tanah sub soil + 30% serbuk sabut kelapa (coco peat) (v/v)
(M3), Tanah sub soil + 10% arang sekam padi (v/v) (M4), Tanah subsoil + 30% serbuk sabut
kelapa (coco peat) +10% arang sekam padi(v/v) (M5)
Pertumbuhan bibit ini sangat dipengaruhi oleh kandungan hara media (Tabel 3). Media
M5 memiliki KTK tertinggi diikuti media M3, namun media ini kurang subur karena memiliki C/N
ratio yang masih tinggi dan kandungan karbon yang tinggi. Semua media memiliki keasaman
yang relative sama yaitu antara pH 5,6 – 6,5. Nilai pH tanah ini cukup baik untuk pertumbuhan
tanaman.
Tabel 3. Kandungan hara media pembibitan bambang lanang
Media pH KTK C N C/N ratio P
(cmol/kg) (%) (%) (ppm)
6,1 18,170 1,69 0,173 9,77 4,40
M1 agak masam sedang Rendah rendah rendah sangat rendah

6,5 18,266 1,22 0,133 9,23 3,07


M2 agak masam sedang Rendah rendah rendah sangat rendah
5,9 24,663 3,94 0,237 16,63 7,10
M3 agak masam tinggi Tinggi sedang tinggi sangat rendah
5,6 18,143 1,26 0,150 9,07 2,67
M4 agak masam sedang Rendah rendah rendah sangat rendah
5,20
6,3 30,150 0,280 20,07 8,40
M5 sangat
agak masam tinggi sedang tinggi sangat rendah
tinggi
Keterangan: Tanah top soil (M1), Tanah subsoil (M2), Tanah sub soil + 30% serbuk sabut kelapa (coco
peat) (v/v) (M3), Tanah sub soil + 10% arang sekam padi (v/v) (M4), Tanah subsoil + 30%
serbuk sabut kelapa (coco peat) +10% arang sekam padi(v/v) (M5)
Penambahan bahan pencampur serbuk sabut kelapa dan arang sekam padi dapat
menurunkan kandungan hara bibit bambang lanang. Berdasarkan uji beda yang dilakukan
(Tabel 4), kandungan hara tertinggi terdapat pada bibit yang tumbuh pada media M1 (tanah
top soil), sedangkan penambahan bahan pencampur serbuk sabut kelapa dan arang sekam padi
dalam media sub soil menghasilkan kandungan hara bibit bambang lanang yang rendah.
Kandungan hara terendah terdapat dalam bibit yng tumbuh dalam media tanah sub soil + 30%
serbuk sabut kelapa (coco peat) +10% arang sekam padi(v/v) (M5).

148
Aspek Silvikultur

Tabel 4. Kandungan hara bibit bambang lanang pada umur 5 bulan


N-total P-total K-total Ca-total Mg-total
Media
(mg) (mg) (mg) (mg) (mg)
M1 34,707 a 6,953 a 145,773 a 33,197 a 13,670 a

M2 28,837 b 3,917 b 110,350 b 21,977 b 10,127 b

M3 14,307 cd 2,243 b 61,867 c 12,417 cd 5,037 c

M4 22,690 bc 3,740 b 97,897 b 17,957 bc 7,800 b

M5 9,627 d 1,977 b 45,247 c 10,900 d 4,137 c


Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%. Tanah top
soil (M1), Tanah subsoil (M2), Tanah sub soil + 30% serbuk sabut kelapa (coco peat) (v/v)
(M3), Tanah sub soil + 10% arang sekam padi (v/v) (M4), Tanah subsoil + 30% serbuk sabut
kelapa (coco peat) +10% arang sekam padi(v/v) (M5)
B. Pembahasan
Beberapa unsur hara yang mempunyai peranan penting dalam proses pertumbuhan
tanaman antara lain bahan organik (Karbon dan Nitrogen), Fosfor (P2O5) dan Kalium (K2O).
Adanya bahan organik dalam tanah dapat meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK),
merangsang pembentukan struktur tanah dan menyimpan air lebih banyak sehingga tanah
selalu dalam keadaan lembab dan lebih subur.
Dalam penelitian ini media tanah top soil memberikan respon tertinggi pada hampir
semua parameter yang diuji (Tabel 2) kecuali persen bibit berkayu. Hal ini menunjukkan bahwa
media top soil yang digunakan memiliki kondisi fisik maupun kimia yang optimal bagi
pertumbuhan bibit bambang lanang (Tabel 3). Namun apabila teknik ini dikembangkan akan
merusak lingkungan karena penggunaan top soil secara terus menerus dan dalam jumlah yang
besar akan merusak kondisi lingkungan di sekitar tempat pengambilan tanah. Oleh karena itu
media pembibitan dapat menggunakan campuran tanah sub soil dan pupuk organik sehingga
lebih ramah lingkungan (Hendromono dan Durahim, 2004), namun penambahan bahan organik
serbuk sabut kelapa dan arang sekam padi pada media sub soil belum efektif menghasilkan
pertumbuhan bibit bambang lanang.
Media sub soil (M2) dapat menghasilkan pertumbuhan tinggi dan diameter bibit lebih
baik dibandingkan dengan media sub soil yang dicampur dengan bahan organik serbuk sabut
kelapa (M3), maupun arang sekam padi (M4). Hal ini disebabkan karena bahan organik yang
digunakan sebagai campuran media yakni serbuk sabut kelapa masih relatif segar sehingga
masih membutuhkan proses pelapukan. Media M3 memliki C/N yang tinggi yaitu sebesa 16,63.
Hal ini menunjukkan bahwa media tersebut belum matang. Namun demikian penambahan
serbuk sabut kelapa dan arang sekam pada media sub soil (M5) dapat menghasilkan persen
berkayu bibit lebih tertinggi yaitu sebesar 46,28% (Tabel 2).
Persen berkayu merupakan salah satu parameter yang bisa dijadikan tolok ukur bahwa
bibit sudah siap dipindah ke lapangan karena persen berkayu menunjukkan kemampuan bibit
dalam pembentukan kayu pada batang. Semakin tinggi persen berkayu semakin siap bibit
dipindah ke lapangan.
Hasil analisis yang dilakukan pada semua media yang digunakan (Tabel 3) menunjukkan
M2 memiliki pH 6,5 (agak masam), KTK 18,2 cmol/kg (sedang), C 1,22% (rendah), N 0,13%
(rendah), C/N 9,2 (rendah) dan P 3,07% (sangat rendah). Sedangkan media M5 memiliki pH 6,3

149
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

(agak masam), KTK 30,15 cmol/kg (tinggi), C 5,20% (sangat tinggi), N 0,28 % (rendah), C/N
20,07 (tinggi) dan P 8,40% (sangat rendah).
Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya
dengan kesuburan tanah. Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi
mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah
atau tanah-tanah berpasir. Peningkatan KTK menambah kemampuan tanah untuk menyerap
dan menyediakan unsur-unsur hara dalam bentuk jerapan koloid yang komplek, sehingga
terhindar dari pencucian (Hardjowogeno, 2003; Soewandita, 2008). Dalam penelitian ini media
M5 memiliki nilai KTK tertinggi (30,15) (Tabel 3) dibanding dengan media lainnya sehingga
media ini memiliki kemampuan menahan unsur hara yang tinggi. Namun hara tersebut belum
dapat diserap bibit secara optimal karena media M5 ini termasuk yang belum matang bila
dilihat dari nilai C/N rasio yang masih tinggi (20,07) (Tabel 3).
Tanaman bambang lanang pada media campuran tanah dan bahan organik (M5)
memiliki kemampuan menyerap unsur hara lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang
tumbuh pada media top soil (M1) (Tabel 4). Dengan demikian agar penggunaan media M5 lebih
efektif, maka bahan pencampur ini perlu dikomposkan dulu sebelum digunakan sebagai bahan
pencampur media pembibitan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


Media tanah subsoil ditambah bahan pencampur serbuk sabut kelapa sebanyak 30%
dan arang sekam padi sebanyak 10% dapat digunakan sebagai media pembibitan tanaman
bambang lanang. Media ini dapat menghasilkan persen bibit berkayu tertinggi pada umur 5
bulan yaitu sebesar 46,28%. Untuk meningkatkan efektivitas penggunaan bahan pencampur
media ini, perlu dilakukan pelapukan dan pengkomposan terlebih dahulu.

DAFTAR PUSTAKA
Durahim dan Hendromono.2001.Kemungkinan Penggunaan Limbah Organik Sabut Kelapa Sawit
dan Sekam Padi Sebagai Campuran Top Soil Untuk Media Pertumbuhan Bibit Mahoni
(Swietenia macrophylla King).Buletin Penelitian Hutan no.628.Hal.13-26.
Effendi, R. 2009. Rencana Pengenelitian Integratif Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu
Pertukangan. Puslitbang Hutan Tanaman badan Litbang kehutatan, depertemen
Kehutanan.
Hardjowogeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Edisi Baru. Akademika Pressindo. Jakarta.
Hendromono. 1994. Pengaruh Media Organik dan Tanah Mineral Terhadap Mutu Bibit
Pterygota alata Roxb. Buletin Penelitian Hutan no.617 : 55-64.
______ dan Durahim. 2004. Pemanfaatan Limbah Sabut Kelapa Sawit dan Sekam Padi Sebagai
Medium Pertumbuhan Bibit Mahoni Afrika (Khaya anthoteca C.DC). Buletin Penelitian
Hutan no 644. Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam.Bogor.
Komarayati S, Pari G dan Gusmailina. 2003. Pengembangan Penngunaan Arang untuk
Rehabilitasi Lahan dalam Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 4:1. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Lehmann J., J. Gaunt and M. Rondon. 2006. Bio-char sequestration in terrestrial ecosystems – A
Review. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change 11: 403–427

150
Aspek Silvikultur

Mason, J. 2003. Sustainable Agriculture. Second edition. Lndlinks Press. Collingwood Vic.
Autralia. PP. 205.,
Siahaan, H., N. Herdiana dan T.R. Saepuloh. 2006. Teknologi Penanganan Benih. Laporan Hasil
Penelitian Balai Litbang Hutan Tanaman Palembang (Tidak dipublikasikan).
_______ dan T.R. Saepuloh. 2007. Teknik Silvikultur Kayu Bawang. Prosiding Seminar Hasil-Hasil
Penelitian Hutan Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
Soewandita, H. 2008. Studi Kesuburan Tanah dan Analisis Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas
Tanaman Perkebunan di Kabupaten Bengkalis. Jurnal Sain dan Teknologi Vol 10 No.
2:128-133.

151
Aspek Silvikultur

PENGARUH TEKNIK PENGEMASAN TERHADAP KUALITAS BIBIT MERANTI BAPA


(Shorea selanica (DC.) Blume) UNTUK TRANSPORTASI

Naning Yuniarti
Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

ABSTRAK

Meranti bapa (Shorea selanica) adalah jenis tanaman yang sangat potensial untuk dikembangkan karena
kayunya sangat baik untuk kayu konstruksi, panil kayu, bahan mebel dan perabot rumahtangga. Dalam
pengadaan bibit untuk kegiatan penanaman di lapangan diperlukan suatu teknik pengangkutan dari
lokasi pembibitan menuju ke lokasi penanaman. Bibit akan mengalami proses penyimpanan selama
transportasi berlangsung. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh teknik pengemasan
terhadap kualitas bibit untuk transportasi. Bibit meranti bapa yang digunakan berasal dari Hutan
Penelitian Haurbentes, Jawa Barat. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap,
dengan perlakuan: (1) akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab dimasukkan dalam kotak kayu, (2)
akar bibit diberi serbuk gergaji lembab dimasukkan dalam kotak plastik, (3) bibit dibungkus dengan
kertas merang lembab dimasukkan dalam ice box, dan (4) akar bibit dicelupkan dalam larutan Aquasorb
dimasukkan dalam kotak kayu. Transportasi yang digunakan yaitu: pesawat udara, bis, dan paket
kiriman titipan kilat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) teknik pengemasan berpengaruh nyata
terhadap kualitas bibit, yaitu persen hidup dan tinggi bibit meranti bapa, dan (2) teknik pengemasan
yang terbaik untuk bibit meranti bapa pada transportasi pesawat udara, bis, dan paket kiriman (Tiki)
adalah perlakuan akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak
kayu.
Kata kunci: bibit, Shorea selanica, teknik pengemasan, transportasi, kualitas bibit

I. PENDAHULUAN
Meranti bapa (Shorea selanica) adalah salah satu jenis tanaman yang sangat potensial
untuk dikembangkan. Manfaat yang bisa diperoleh yaitu kayunya untuk kayu konstruksi, panil
kayu untuk dinding, loteng, sekat ruangan, bahan mebel dan perabot rumahtangga, mainan,
peti mati, balok, kasau, kusen pintu-pintu dan jendela, papan lantai, geladak jembatan, serta
untuk membuat perahu (Heyne, 1987).
Untuk menunjang keberhasilan penanaman jenis ini diperlukan teknologi pembibitan
secara tepat. Dalam pengadaan bibit untuk kegiatan penanaman di lapangan diperlukan suatu
kegiatan pengangkutan atau transportasi dari lokasi pembibitan menuju ke lokasi penanaman
di lapangan. Jadi bibit akan mengalami proses penyimpanan selama transportasi berlangsung.
Lama transportasi dan teknik pengemasan akan berpengaruh terhadap kualitas bibit. Kualitas
bibit merupakan suatu gambaran kesiapan bibit untuk dapat tumbuh dan beradaptasi di
lapangan. Kualitas bibit secara praktis dapat dinilai dari kualitas fisiknya antara lain dengan
menggunakna parameter persen hidup, tinggi, diameter, nisbah pucuk akar, dan indeks mutu
bibit.
Untuk mengatasi permasalahan pengadaan bibit selama transportasi diperlukan teknik
pengemasan bibit yang dapat mempertahankan kualitas bibit sebelum digunakan dalam
kegiatan penanaman. Informasi mengenai teknik pengemasan bibit belum banyak diketahui,
sehingga masih diperlukan penelitian tentang teknik pengemasan bibit yang diharapkan dapat
mempertahankan kualitas bibit selama proses transportasi.

153
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh teknik pengemasan terhadap kualitas
bibit meranti bapa (Shorea selanica) untuk transportasi yang digunakan.

II. METODOLOGI
A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan Tanaman Hutan (BPTPTH Bogor) dan di persemaian BPTH Bali dan Nusa Tenggara,
yang dimulai pada bulan Maret sampai dengan Juni 2009. Sedangkan lokasi pengumpulan buah
meranti bapa di Hutan Penelitian Haurbentes, Jawa Barat.
B. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit meranti bapa (Shorea
selanica), oven, serbuk sabut kelapa, kotak kayu, serbuk gergaji, larutan Aquasorb, kotak
plastik, kertas merang, ice box, polybag, bak kecambah, pasir, tanah, kaliper, dan label.
C. Metode
1. Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini dari masing-masing jenis
transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman) didekati dengan rancangan acak lengkap
dengan perlakuan sebagai berikut:
a1 : Akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak
kayu
a2 : Akar bibit diberi serbuk gergaji lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak plastik
a3 : Bibit dibungkus dengan kertas merang lembab kemudian dimasukkan ke dalam ice
box
a4 : Akar bibit dicelupkan ke dalam larutan Aquasorb kemudian dimasukkan ke dalam
kotak kayu
Untuk pengemasan bibit masing-masing perlakuan ada 3 ulangan, dimana masing-
masing ulangan terdiri dari 25 bibit. Respon pengamatan yang diukur pada penelitian ini adalah
lamanya perjalanan dari masing-masing transportasi (pesawat, bus, paket kiriman Tiki), persen
hidup, tinggi, diameter batang, nisbah pucuk akar, dan Indeks Mutu Bibit (IMB).
2. Tahapan Kerja
Bibit dikemas kedalam wadah pengemasan sesuai dengan rancangan percobaan.
Setelah selesai, bibit dikirim ke BPTH Bali dan Nusa Tenggara dengan menggunakan alat
transportasi pesawat udara, bis, dan paket kiriman. Setelah sampai ke lokasi pengiriman,
kemudian bibit dari masing-masing perlakuan ditanam ke polibag. Lama pengamatan
penelitian yaitu 3 bulan. Setiap bulan sekali dilakukan pengamatan dan pengukuran mengenai
persen hidup, tinggi dan diameter bibit selama 3 bulan. Pada akhir pengamatan (bulan ke 3)
dilakukan pengujian dan pengukuran persen hidup, tinggi, diameter batang, nisbah pucuk akar,
dan Indeks Mutu Bibit (IMB).
3. Analisa Data
Data-data hasil penelitian diolah secara statistik dengan menggunakan rancangan sesuai
dengan rancangan penelitian untuk mendapatkan analisa sidik ragam (Anova). Apabila
berpengaruh nyata maka untuk mengetahui lebih lanjut diadakan uji Beda Nyata Terkecil
(BNT).

154
Aspek Silvikultur

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian
1. Persen Hidup
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap persen hidup da-
ri masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman) disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap persen hidup
dari masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman)
Sumber Keragaman Derajat bebas Kuadrat Tengah
Pesawat udara Bus Paket Kiriman
Perlakuan 3 8,333 55,556* 120,221*
Sisa 8 3,412 5,213 10,556
Total 11

Keterangan: * = Berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95%


Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik
pengemasan dengan menggunakan bus dan paket kiriman berpengaruh nyata terhadap persen
hidup bibit meranti bapa. Hal ini berarti terdapat satu atau beberapa perlakuan yang
menunjukkan nilai persen hidup berbeda satu sama lain (Tabel 2). Sedangkan teknik
pengemasan dengan menggunakan pesawat udara tidak berbeda nyata. Jadi semua perlakuan
teknik pengemasan memberikan pengaruh yang sama terhadap persen hidup bibit meranti
bapa.
Tabel 2. Rata-rata persen hidup bibit meranti bapa berdasarkan perlakuan pengaruh teknik
pengemasan
No. Perlakuan Persen Hidup (%)
Pesawat udara Bus Paket Kiriman
1. Serbuk sabut kelapa + kotak kayu 100 83 a 67 a
2. Serbuk gergaji + kotak palstik 97 80 a 63 b
3. Kertas merang + ice box 100 73 c 60 c
4. Aquasorb + kotak kayu 100 77 b 63 b
2. Tinggi Bibit
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap tinggi bibit dari
masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman) disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap tinggi bibit
dari masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman)
Sumber Keragaman Derajat bebas Kuadrat Tengah

Pesawat udara Bus Paket Kiriman


Perlakuan 3 20,689* 10,130* 10,763*
Sisa 8 1,415 1,430 1,245
Total 11
Keterangan: * = Berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95%

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik


pengemasan dengan menggunakan pesawat udara, bus dan paket kiriman berpengaruh nyata

155
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

terhadap tinggi bibit meranti bapa. Hal ini berarti terdapat satu atau beberapa perlakuan yang
menunjukkan nilai tinggi bibit berbeda satu sama lain (Tabel 4).
Tabel 4. Rata-rata tinggi bibit meranti bapa berdasarkan perlakuan pengaruh teknik pengemasan
No. Perlakuan Tinggi bibit (cm)
Pesawat udara Bus Paket Kiriman
1. Serbuk sabut kelapa + kotak kayu 14,30 b 14,2 c 14,60 c
2. Serbuk gergaji + kotak palstik 12,36 ab 13,4 b 13,56 bc
3. Kertas merang + ice box 12,23 a 12,3 a 11,06 a
4. Aquasorb + kotak kayu 12,83 ab 12,9 ab 13,16 b
3. Diameter Bibit
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap diameter bibit da-
ri masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman) disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap diameter bibit
dari masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman)
Sumber Keragaman Derajat bebas Kuadrat Tengah
Pesawat udara Bus Paket Kiriman
Perlakuan 3 0,006 0,009 0,001
Sisa 8 0,004 0,008 0,009
Total 11
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik
pengemasan dengan menggunakan pesawat udara, bus dan paket kiriman tidak berpengaruh
nyata terhadap diameter bibit meranti bapa. Hal ini berarti bahwa semua perlakuan wadah
pengemasan memberikan pengaruh yang sama terhadap diameter bibit. Adapun nilai rata-rata
diameter bibit meranti bapa dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Rata-rata diameter bibit meranti bapa berdasarkan perlakuan pengaruh teknik
pengemasan
No. Perlakuan Diameter bibit (mm)
Pesawat udara Bus Paket Kiriman
1. Serbuk sabut kelapa + kotak kayu 2,27 2,23 2,23
2. Serbuk gergaji + kotak palstik 2,20 2,20 2,20
3. Kertas merang + ice box 2,14 2,17 2,17
4. Aquasorb + kotak kayu 2,19 2,20 2,20
4. Indeks Mutu Bibit (IMB)
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap indeks mutu bibit
dari tiap jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman), disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap indeks mutu
bibit dari masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman)
Sumber Keragaman Derajat bebas Kuadrat Tengah
Pesawat udara Bus Paket Kiriman
Perlakuan 3 0,0003 0,0013 0,0003
Sisa 8 0,0003 0,0006 0,0004
Total 11
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik
pengemasan dengan menggunakan pesawat udara, bus dan paket kiriman tidak berpengaruh
nyata terhadap indeks mutu bibit meranti bapa. Hal ini berarti bahwa semua perlakuan wadah

156
Aspek Silvikultur

pengemasan memberikan pengaruh yang sama terhadap indeks mutu bibit. Adapun nilai rata-
rata indeks mutu bibit meranti bapa dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Rata-rata indeks mutu bibit meranti bapa berdasarkan perlakuan pengaruh teknik
pengemasan
No. Perlakuan Indeks Mutu Bibit
Pesawat udara Bus Paket Kiriman
1. Serbuk sabut kelapa + kotak kayu 0,0510 0,0805 0,0639
2. Serbuk gergaji + kotak palstik 0,0435 0,0523 0,0575
3. Kertas merang + ice box 0,0348 0,0505 0,0472
4. Aquasorb + kotak kayu 0,0401 0,0525 0,0502
5. Nisbah Pucuk Akar (NPA)
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap nisbah pucuk akar
dari tiap jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman) disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap nisbah pucuk
akar dari masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman)
Sumber Keragaman Derajat bebas Kuadrat Tengah
Pesawat udara Bus Paket Kiriman
Perlakuan 3 2,12 0,758 0,611
Sisa 8 1,788 0,453 0,499
Total 11

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik


pengemasan dengan menggunakan pesawat udara, bus dan paket kiriman tidak berpengaruh
nyata terhadap nisbah pucuk akar bibit meranti bapa. Hal ini berarti bahwa semua perlakuan
wadah pengemasan memberikan pengaruh yang sama terhadap nisbah pucuk akar. Adapun
nilai rata-rata nisbah pucuk akar bibit meranti bapa dari masing-masing perlakuan dapat dilihat
pada Tabel 10.
Tabel 10. Rata-rata nisbah pucuk akar bibit meranti bapa berdasarkan perlakuan pengaruh
teknik pengemasan
No. Perlakuan Nisbah Pucuk Akar
Pesawat udara Bus Paket Kiriman
1. Serbuk sabut kelapa + kotak kayu 2,9103 2,3794 2,6158
2. Serbuk gergaji + kotak palstik 2,7392 2,1089 2,1989
3. Kertas merang + ice box 2,6798 1,6582 1,9145
4. Aquasorb + kotak kayu 2,7580 1,6594 1,9679
B. Pembahasan
Kualitas bibit merupakan suatu gambaran kesiapan bibit untuk dapat tumbuh dan
beradaptasi di lapangan. Kualitas bibit secara praktis dapat dinilai dari kualitas fisiknya antara
lain dengan menggunakna parameter persen hidup, tinggi, diameter, nisbah pucuk akar dan
indeks mutu bibit.
Dilihat dari nilai persen hidup bibit meranti bapa pada pesawat udara, bis, dan paket
kiriman (Tiki) diketahui bahwa perlakuan yang dapat menghasilkan nilai persen hidup paling
tinggi yaitu perlakuan akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke
dalam kotak kayu.

157
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Untuk tinggi bibit meranti bapa, pada pesawat udara, bis, dan paket kiriman (Tiki)
diketahui bahwa perlakuan yang dapat menghasilkan nilai tinggi semai/bibit yang tertinggi yaitu
perlakuan akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak.
Diameter, nisbah pucuk akar, dan indeks mutu bibit tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata untuk semua perlakuan saat transportasi. Sehingga 4 macam teknik perlakuan
pengemasan yaitu (1) akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke
dalam kotak kayu, (2) akar bibit diberi serbuk gergaji lembab kemudian dimasukkan ke dalam
kotak plastik, (3) bibit dibungkus dengan kertas merang lembab kemudian dimasukkan ke
dalam ice box, dan (4) akar bibit dicelupkan ke dalam larutan Aquasorb kemudian dimasukkan
ke dalam kotak kayu, dapat meningkatkan diamater, nisbah pucuk akar dan indeks mutu bibit.
Dilihat dari nilai rata-rata diameter, maka perlakuan yang dapat menghasilkan nilai
diameter batang bibit yang paling besar yaitu perlakuan akar bibit diberi serbuk sabut kelapa
lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu. Dari nilai nisbah pucuk akar (NPA) terlihat
bahwa perlakuan yang dapat menghasilkan nilai NPA tertinggi yaitu perlakuan akar bibit diberi
serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu. Nisbah pucuk akar
dari pertumbuhan ujung dan pertumbuhan akar merupakan perbandingan antara bagian pucuk
dengan bagian akar bibit. Gardner et al. (1991) menyebutkan nisbah pucuk akar dapat
menggambarkan salah satu tipe toleransi terhadap kekeringan serta berhubungan dengan
keseimbangan bibit dalam menyerap unsur hara dan air pada bagian akar dan proses
fotosintesa pada bagian pucuk.
Walaupun nisbah pucuk akar dikendalikan secara genetik, rasio ini juga sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang kuat. Lakitan (2004) menjelaskan bahwa untuk
daerah tropis bibit siap tanam akan lebih cocok apabila memiliki nisbah pucuk akar yang kecil.
Hal ini berhubungan dengan proses absorbsi unsur hara dan transpirasi yang dilakukan oleh
tanaman yang proses transpirasinya sebagian besar dilakukan oleh stomata (80-90%). Nisbah
pucuk akar merupakan faktor terpenting dalam pertumbuhan bibit karena mencerminkan
perbandingan antara proses transpirasi dan luasan fotosintesis dari bibit dengan kemampuan
penuerapan air dan mineral (Setyaningsih et al., 2000).
Selain itu, jika dilihat dari rata-rata nilai indeks mutu bibit (IMB), pada pesawat udara,
bis, dan paket kiriman (Tiki) diketahui bahwa perlakuan yang dapat menghasilkan nilai IMB
paling tinggi yaitu perlakuan akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian
dimasukkan ke dalam kotak kayu. Indeks mutu bibit merupakan salah satu indikator siap
tidaknya bibit dipindah ke lapangan. Hendromono dan Durahim (2004) mengemukakan bahwa
bibit yang memiliki nilai IMB minimal 0,09 akan memiliki daya tahan hidup yang tinggi apabila
dipindah ke lapangan.
Berdasarkan nilai persen hidup, tinggi, diameter, nisbah pucuk akar, dan indeks Mutu
Bibit, pada pesawat udara, bis, dan paket kiriman (Tiki) diketahui bahwa perlakuan yang terbaik
untuk pengemasan semai/bibit meranti bapa adalah perlakuan akar bibit diberi serbuk sabut
kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu dapat bertahan dengan baik selama
72 jam.
Penggunaan serbuk sabut kelapa yang diberikan pada akar pada waktu pengemasan
bibit bertujuan untuk menjaga kelembaban yang diperlukan oleh bibit selama proses
transportasi agar terhindar dari kekeringan yang bisa mengakibatkan kematian pada bibit.
Menurut Schmidt (2000) sebaiknya hindari pengeringan selama proses pengangkutan. Agar
terhindar dari pengeringan dapat dilakukan dengan menyimpannya dalam bahan lembab
seperti serbuk kayu atau menempatkan bahan basah pada bagian atas wadah.

158
Aspek Silvikultur

IV. KESIMPULAN
Teknik pengemasan berpengaruh nyata terhadap kualitas bibit, yaitu persen hidup dan
tinggi bibit meranti bapa. Teknik pengemasan yang terbaik untuk bibit meranti bapa pada
transportasi pesawat udara, bis, dan paket kiriman (Tiki) adalah perlakuan akar bibit diberi
serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu.

DAFTAR PUSTAKA
Gardner, F.P., R.B. Pearce, dan R.L. Mitchell. 1991. Physiology of Crop Plants (Fisiologi
Tanaman Budidaya, alih bahasa oleh Susilo, H). Universitas Indonesia Press. Jakarta.
428p.
Hendromono dan Durahim. 2004. Pemanfaatan Limbah Sabut Kelapa Sawit dan Sekam Padi
Sebagai Medium Pertumbuhan Bibit Mahoni Afrika (Khaya anthoteca). Buletin
Penelitian Hutan No. 644. Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Hutan dan Konservasi
Alam. Bogor.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 3. Yay. Sarana Wana Jaya, Jakarta. Hal. 1422-
1423.
Lakitan, B. 2004. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Setyaningsih, L., Y. Munawar dan M. Turjaman. 2000. Efektivitas Cendawan Mikoriza Arbusula
dan pupuk NPK terhadap pertumbuhan Bitti. Prosiding Seminar Nasional I. Bogor.
Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis.
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial - Indonesia Forest Seed
Project. PT. Gramedia. Jakarta.

159
Aspek Silvikultur

PENGARUH PUPUK DAUN PADA PERTUMBUHAN


BIBIT SUNGKAI DI PERSEMAIAN

Sahwalita
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Pengembangan hutan tanaman sungkai (Peronema canescen Jack.) memerlukan dukungan bibit yang
berkualitas. Bibit berkualitas akan menentukan keberhasilan tanaman di lapangan. Dalam upaya
memenuhi kebutuhan bibit secara massal pada setiap musim tanam diperlukan penanganan khusus di
persemaian. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memacu pertumbuhan bibit adalah melalui
pemupukan. Teknik pemupukan yang efektif dilakukan pada persemaian skala besar adalah melalui
daun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi dan frekuensi pemberian pupuk
daun terhadap pertumbuhan bibit sungkai di persemaian. Racangan penelitian yang digunakan adalah
Rancangan Acak Kelompok dengan Pola Faktorial diulang 3 kali. Perlakuan yang diuji meliputi 5 taraf
konsentrasi pupuk daun (0, 2, 4, 6 dan 8 gram/liter) dan 2 taraf frekuensi pemupukan (1 dan 2 minggu
sekali). Parameter yang diamati adalah persentase hidup, pertumbuhan tinggi dan diameter serta indeks
kualitas semai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk daun 8 gram/liter dan frekuensi
pemupukan 2 minggu sekali (K4F2) memberikan kesiapan dipindahkan kelapangan yang terbaik dengan
nilai indeks kualitas semai mencapai 0,61.
Kata kunci: frekuensi, konsentrasi, pertumbuhan, pupuk daun, sungkai

I. PENDAHULUAN
Sungkai (Peronema canescens Jack.) merupakan salah satu jenis pohon potensial sebagai
penghasil kayu pertukangan. Jenis ini telah dikembangkan dalam jumlah terbatas baik oleh
masyarakat di Hutan Rakyat (HR) melalui pola tanam campuran dan pengusaha melalui Hutan
Tanaman Industri (HTI) dengan pola monokultur. Sampai saat ini, produktivitas sungkai masih
rendah karena pengelolaannya belum menerapkan praktek silvikultur secara optimal dan
belum menggunakan bibit unggul (Sahwalita et al., 2011). Hutan tanaman khusus penghasil
kayu pertukangan belum banyak diusahakan, sehingga dibutuhkan upaya pengembangannya
dengan tujuan memenuhi kebutuhan kayu dan menyelamatkan hutan alam yang tersisa. Di
beberapa daerah dilakukan program penanaman jenis sungkai seperti di Jambi, Sumatera
Selatan, Riau telah dibangun HTI sungkai dan HR pola campuran melalui program nasional
maupun pemerintah daerah (Sahwalita et al., 2010).
Kayu sungkai dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan antara lain: konstruksi,
mebel dan vener indah. Kayu ini memiliki berat jenis 0,63 dengan kelas kuat I-II dan kelas awet
III, kayu berwarna kuning atau krem. Selain itu, kayu sungkai dapat mengering dengan mudah
tanpa cacat yang berarti, dapat diserut, dibentuk dan dibubut dengan hasil sedang serta dapat
dibor dan diamplas dengan hasil baik (Martawijaya et al., 2005). Kayu sungkai memiliki tekstur
yang indah mirip jati, sehingga makin banyak diminati.
Penanaman jenis ini perlu didukung oleh ketersediaan bibit berkualitas dalam jumlah
yang cukup pada setiap musim tanam. Pemacuan pertumbuhan bibit sungkai di persemaian
dapat dilakukan dengan pemeliharaan dan penambahan unsur har melalui pemupukan.
Pemberian pupuk tidak hanya ditujukan agar periode pemeliharaan bibit di persemaian
menjadi lebih singkat, tetapi juga agar kualitas bibit yang dihasilkan menjadi lebih baik dan
seragam. Salah satu teknik pemupukan yang cukup efektif untuk dilakukan pada persemaian

161
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

skala luas adalah melalui penyemprotan dengan pupuk daun. Pengujian pupuk daun di
persemaian memberikan hasil yang cukup menjanjikan, seperti dilakukan oleh Junaidah (2003)
terhadap bibit meranti kuning (Shorea parvifolia) yang menunjukkan bahwa perlakuan dosis
pupuk daun Mamigro Super N dan Gandasil D pada konsentrasi 1,5 gram/liter mampu
meningkatkan pertambahan diameter dan jumlah daun secara nyata. Penelitian pemberian
pupuk daun NPK.Mg sampai dengan konsentrasi 3 gram/liter yang diberikan setiap 1 minggu
sekali mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit belangeran (Shorea balangeran) asal
cabutan alam yang mencapai 3 kali lipat dibandingkan kontrol (Herdiana et al., 2008). Aplikasi
pupuk daun pada bibit jelutung rawa yang dengan konsentrasi 3 gr/liter dengan frekuensi
penyemprotan 1 minggu sekali memberikan pertumbuhan terbaik (Herdiana et al., 2009).
Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan pengujian untuk mengetahui respon
pertumbuhan bibit sungkai terhadap aplikasi pupuk daun. Perlakuan yang diuji adalah
konsentrasi pupuk daun dan frekuensi pemberian pupuk. Diharapkan bibit dapat tumbuh
dengan baik dalam waktu singkat.

II. BAHAN DAN METODE


a. Tempat penelitian
Penelitian dilakukan di Persemaian dan Laboratorium Balai Penelitian Kehutanan (BPK)
Palembang.
b. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah stek sungkai yang berasal
dari KHDTK Kemampo, media tanam top soil podsolik merah kuning (hasil analisis media
selengkapnya disajikan pada Lampiran 1), pupuk daun (mengandung unsur makro N 11%, P2O5
8%, K2O 6% dan unsur mikro besi, boron, kobalt, mangan, molibdenum, seng dan tembaga),
polybag ukuran 15 x 20cm, hand sprayer, timbangan analitik, kamera, oven, label kertas, label
plastik, amplop kertas, spidol, kaliper, mistar ukur dan alat tulis.
c. Metode Penelitian
Stek sungkai dipotong sepanjang 2 nodus (15-20 cm), selanjutnya bagian bawah
dipotong miring 450 dengan tujuan memperluas tempat tumbuhnya akar. Selanjutnya stek
direndam dalam cair hormon pertumbuhan selama 15 menit. Stek ditanam di dalam polybag
berisi media sapih berupa top soil. Bibit selanjutnya ditempatkan di persemaian yang disungkup
plastik putih selama 1 bulan. Bibit diseleksi kembali supaya benar-benar seragam dan
selanjutnya diatur berdasarkan perlakuan yang akan diujikan.
Rancangan percobaan yang digunakan pada pengujian ini adalah Rancangan Acak
Kelompok dengan Pola Faktorial perlakuan 5 x 2 yang diulang 3 kali. Jumlah satuan pengamatan
pada masing-masing ulangan adalah 10 bibit, sehingga jumlah total satuan pengamatannya
sebanyak 300 batang bibit. Perlakuan yang diuji adalah konsentrasi pupuk daun dan frekuensi
pemupukan. Tingkatan masing-masing faktor perlakuan yang diujikan sebagai berikut:
a. Faktor K (Konsentrasi pupuk daun) yang terdiri dari:
 K0 = 0 gram/liter air
 K1 = 2 gram/liter air
 K2 = 4 gram/liter air
 K3 = 6 gram/liter air
 K4 = 8 gram/liter air
b. Faktor F (Frekuensi penyemprotan pupuk daun) yang terdiri dari:
 F1 = 1 minggu sekali

162
Aspek Silvikultur

 F2 = 2 minggu sekali
Penyemprotan dilakukan pada seluruh permukaan daun dengan jumlah semprotan yang
seragam, yaitu dua puluh lima kali semprotan untuk masing-masing satuan pengamatan.
Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi: persentase hidup, tinggi, diameter dan
indeks kualitas semai (IKS) pada umur 4 bulan. Nilai IKS diperoleh dari rumus di bawah ini
(Puryono dan Setyono, 1996 dalam Herdiana et al., 2008).
Berat Kering Total
IKS 
( Kekokohan  Nisbah Pucuk Akar )

Berat Kering Total  Berat Kering Pucuk  Berat Kering Akar


Tinggi
Kekokohan 
Diameter

Berat Kering Pucuk


Nisbah Pucuk Akar 
Berat Kering Akar
Untuk mengetahui respon pertumbuhan bibit sungkai terhadap perlakuan yang diuji,
dilakukan analisis keragaman terhadap parameter perlakuan yang diamati. Sedangkan untuk
mengetahui perlakuan-perlakuan yang saling berpengaruh satu dengan yang lainnya pada suatu
parameter tertentu, dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan.
III. Hasil Dan Pembahasan
a. Hasil
Hasil analisis sidik ragam (Tabel 1) menunjukkan bahwa semua perlakuan berpengaruh
tidak nyata terhadap semua parameter pertumbuhan, kecuali pada konsentrasi terhadap
indeks kualitas semai. Hasil uji lanjut konsentrasi pupuk yang berpengaruh nyata terhadap
indeks kualitas semai tersaji pada Tabel 2. Sedangkan rekapitulasi parameter pengukuran pada
masing-masing perlakuan konsentrasi dan frekuensi pemupukan selengkapnya disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 1. Analisis keragaman pertumbuhan tinggi dan diameter, indeks kualitas semai dan
persentase hidup bibit sungkai (Peronema canescen Jack.)
Indek Kualitas Persentase Hidup
Tinggi Diameter
Semai
Sumber Keragaman
Kuadrat Kuadrat Kuadrat Kuadrat Fhit
Fhit Fhit Fhitg
Tengah Tengah Tengah Tengah
Blok 27,894 3,28ns 0,776 6,21** 0,007 0,41ns 83,333 1,10ns
Konsentrasi 3,740 0,44ns 0,183 1,46ns 0,090 4,86** 71,666 0,94ns
ns ns ns ns
Frekuensi 1,946 0,23 0,099 0,79 0,014 0,80 30,000 0,40
Konsentrasi*Frekuensi 10,720 1,26ns 0,049 0,39ns 0,011 0,60ns 71,666 0,94ns
Galat 8,497 0,125 0,019 75,926
Keterangan: ns = tidak nyata
** = sangat nyata

163
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Tabel 2. Uji Duncan pengaruh konsentrasi pupuk terhadap indeks kualitas semai
bibit sungkai (Peronema canescen Jack.)
Konsetrasi Pupuk Indeks Kualitas Semai
K0 0,363 bc
K1 0,483 ba
K2 0,280 c
K3 0,405 bc
K4 0,603 a
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkanberbeda tidak nyata
pada taraf kepercayaan 5%
Tabel 3. Pengaruh perlakuan konsentrasi pupuk daun dan frekuensi pemupukan terhadap
pertumbuhan tinggi dan diameter, indeks kualitas semai dan persen hidup bibit
sungkai (Peronema canescen Jack.)
Perlakuan Tinggi Diameter IKS Persen Hidup Total
K0F1 7.62 2.02 0.36 93.33 103.33
K1F1 7.78 2.23 0.44 96.67 107.12
K2F1 10.84 2.55 0.30 100.00 113.69
K3F1 8.16 2.05 0.32 90.00 100.53
K4F1 9.70 2.27 0.60 93.33 105.90
K0F2 7.91 2.27 0.36 93.33 103.87
K1F2 9.24 2.08 0.51 96.67 108.50
K2F2 7.60 2.28 0.28 90.00 100.16
K3F2 6.70 2.65 0.49 93.33 103.17
K4F2 6.50 1.86 0.61 100.00 108.97
b. Pembahasan
Setiap tanaman memerlukan unsur hara dalam jumlah yang berbeda, sesuai kebutuhan
tanaman dan kondisi tanah tempat tumbuhnya. Pupuk daun merupakan pupuk majemuk yang
diberikan secara bertahap, sehingga haranya secara perlahan dan terus-menerus dapat diserap
tanaman yang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Penambahan unsur hara disesuaikan dengan
kebutuhan tanaman dan kondisi tanah tempat tumbuhnya. Hal tersebut perlu dikaji lebih awal
sehingga tidak menimbulkan pemborosan bahkan menyebabkan kematian. Marsono dan Sigit
(2005), bahwa pemupukan ditentukan tiga komponen yaitu pupuk, tanah dan tanaman. Ketiga
komponen tersebut saling terkait antara satu dengan yang lain, berapa ketersediaan unsur hara
pada media dan berapa banyak tanaman memerlukan unsur hara, maka dapat ditentukan
konsentrasi pupuk yang akan diberikan. Lakitan (1993), jumlah kebutuhan unsur hara dikaitkan
dengan kebutuhan tumbuhan agar dapat tumbuh dengan baik dan jika unsur hara kurang
tersedia, maka pertumbuhan tanaman akan terhambat.
Hasil analisis keragaman (Tabel 1) menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata
terhadap indek kualitas semai adalah konsentrasi pupuk, sedangkan parameter lain
menunjukkan pengaruh tidak nyata. Hasil analisis media bibit yang digunakan (Lampiran 1)
menunjukkan bahwa kandungan unsur haranya cukup rendah (terutama unsur N dan K yang
hanya 0,14% dan 0,30%), sementara kandungan unsur N dan K pada pupuk daun yang
digunakan cukup tinggi sekitar 11% dan 6%. Pengaturan konsentrasi dan frekuensi aplikasi
pupuk daun yang diujikan cukup signifikan dalam penyediaan unsur N dan K yang dibutuhkan
oleh tanaman dengan nilai tertinggi pada perlakuan kosentrasi 4 gram/liter dengan frekuensi
pemupukan 1 minggu sekali (K2F1) dapat dilihat pada Gambar 1.

164
Aspek Silvikultur

Gambar 1. Grafik pertumbuhan tinggi bibit sungkai di persemaian


Unsur N yang diserap tanaman dalam bentuk NO 3- NH4+ berperan dalam pembentukan
klorofil yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis, yang pada akhirnya akan berpengaruh
terhadap fotosintat yang dapat dihasilkan. Laju fotosintesis lebih tinggi pada tumbuhan yang
sedang berkembang dibandingkan tumbuhan dewasa, hal ini disebabkan tumbuhan tersebut
memerlukan lebih banyak energi dan makanan untuk tumbuh. Proses fotosintesis terutama
terjadi pada organ daun. Menurut Anonim (2009a), hasil fotosintesis berupa fotosintat dikirim
ke jaringan-jaringan yang terdekat dan membutuhkan, seperti bagian pucuk untuk membentuk
tunas dan selanjutnya berkembang menjadi daun dan batang. Pada perlakuan K2F1
pertumbuhan pucuk lebih cepat dengan daun yang lebar dan nodus batang yang panjang.
Pertumbuhan tinggi yang maksimal ini selain dipengaruhi faktor unsur N, juga didukung oleh
ketersedian unsur-unsur mikro lain seperti B, Cu, Fe, Mn, Mo, Zn.
Nilai pertumbuhan diameter tertinggi pada perlakuan konsentrasi pupuk 6 gr/liter
dengan frekuensi pemupukan 2 minggu sekali (K3F2) dan perlakuan konsentrasi pupuk 4
gr/liter dengan frekuensi pemupukan 1 minggu sekali (K2F1) yaitu 2,65 mm dan 2,55 mm,
seperti pada Gambar 2. Zobel & Talbert (1984) menyatakan pertumbuhan diameter tanaman
lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama jarak tanam. Kontrol faktor
lingkungan terutama jarak tanam yang rapat sangat mempengaruhi efektifitas penetrasi cahaya
matahari, dimana komponen cahaya matahari sangat berguna bagi pertumbuhan dan
perkembangan epidermis dan korteks tanaman sebagai dasar pembentukan diameter tanaman.
Dalam penelitian ini kondisi jarak tanam (jarak antar polybag) adalah sama dan masing-masing
tanaman sangat kecil memberikan efek negatif pada tanaman yang lainnya, sehingga
pertumbuhan diameter tanaman dalam semua kondisi adalah sama.

Gambar 2. Grafik pertumbuhan diameter bibit sungkai di persemaian

165
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Respon pertumbuhan diameter yang cenderung fluktuatif, peningkatan konsentrasi


pupuk daun cenderung menambah pertumbuhan diameter tetapi menurun pada perlakuan
konsentrasi 8 gr/liter dengan frekuensi pemupukan 2 minggu sekali (K4F2). Kandungan unsur P
dan K pada pupuk daun yang digunakan cukup besar yaitu sebesar 8% dan 6%, sementara
kandungan kedua unsur tersebut pada media tanam adalah 4,95% dan 0,30% (Lampiran 1).
Unsur P diserap oleh tanaman dalam bentuk H2PO4-, HPO4- dan unsur K dalam bentuk K+. Fungsi
unsur P merangsang pertumbuhan akar terutama pada tanaman muda, mempercepat
pertumbuhan tanaman muda menjadi tanaman dewasa dan sebagai pembentuk protein,
sedangkan unsur K membantu pembentukan protein dan karbohidrat, memperkuat batang dan
meningkatkan daya tahan terhadap kekeringan dan penyakit (Anonim, 2009b). Selain itu, unsur
K juga berperan penting dalam aktivitas pembelahan sel dan perkembangan jaringan
meristematik tanaman yang berakibat dalam pembesaran batang. Dengan penambahan unsur
P dan K yang diperoleh dari pupuk daun yang diberikan akan membantu dalam proses
perkembangan diameter batang tanaman.
Indeks kualitas semai merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan
kelayakan suatu bibit untuk siap tanam di lapangan. Dalam penentuan besaran ini melibatkan
beberapa peubah yang terkait dengan pertumbuan tanaman, yaitu berat kering total,
kekokohan bibit yang merupakan perbandingan tinggi dan diameter bibit serta nisbah pucuk
akar. Nilai indeks kualitas semai dipengaruhi oleh keseimbangan pertumbuhan tanaman, baik
secara vertikal maupun horisontal. Besarnya nilai indeks kualitas yang ditentukan lebih besar
dari 0,09, sedangkan jika nilainya kurang 0,09 termasuk kurang baik dan biasanya sulit tumbuh
di lapangan. Hal tersebut menunjukkan indeks kualitas semai pada semua perlakuan masih
diatas batas bawah nilai indeks kualitas semai yang baik, berarti tanpa pemberian pupuk
sekalipun telah mampu memberikan indeks kualitas bibit sungkai yang baik. Hal tersebut
dikarenakan nilai indeks kualitas semai hanya mencerminkan penampakan fisik tanaman yang
proposional. Sementara secara umum bibit sungkai mempunyai penampakan fisik yang kokoh
dan proposional, sehingga layak untuk ditanmam di lapangan. Pada Gambar 3 terlihat nilai yang
fluktuatif dengan nilai tertinggi pada perlakuan konsentrasi 8 gr/liter dengan frekuensi
pemupukan 2 minggu sekali (K4F2) dan perlakuan konsentrasi 8 gr/liter dengan frekuensi
pemupukan 1 minggu sekali (K4F1) dengan nilai 0,6 dan 0,61.

Gambar 3. Grafik indek kualitas bibit sungkai di persemaian


Persentase hidup bibit sungkai pada pengujian ini termasuk tinggi berkisar 90-100%
menunjukkan bahwa semua perlakuan dan kondisi lingkungan mendukung bibit untuk dapat
hidup. Selain itu ketersediaan unsur-unsur mikro yang dibutuhkan tanaman cukup tersedia
dalam komponen unsur hara pupuk tersebut seperti unsur mikro besi, boron, kobalt, mangan,
molibdenum, seng dan tembaga. Persentase hidup yang tinggi juga didukung kondisi

166
Aspek Silvikultur

lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman, seperti cahaya matahari, air dan udara
serta tidak ada gangguan hama dan penyakit yang potensial.

Gambar 4. Grafik persentase hidup bibit sungkai di persemaian


Berdasarkan Gambar 4 terlihat persentase hidup tertinggi pada perlakuan kosentrasi 4
gram/liter dengan frekuensi pemupukan 1 minggu sekali (K2F1) dan perlakuan kosentrasi 8
gram/liter dengan frekuensi pemupukan 2 minggu sekali (K4F2) yaitu 100%. Walaupun
demikian semua perlakuan memenuhi persyaratan berdasarkan persen hidup tanaman.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


Kualitas bibit sungkai dilihat dari fisik yang kokoh dan proporsional yang paling siap
untuk dipindahkan kelapangan adalah konsentrasi pupuk 8 gr/liter dengan frekuensi 1 minggu
sekali (K4F1) dan 2 minggu sekali (K4F2).
Disarankan untuk menerapkan (K4F2) sebagai upaya penghematan pemakaian pupuk
dan tenaga kerja.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009a. Fotosintesis. Website : wikipedia. Diakses pada tanggal 20 Maret 2009.
Anonim. 2009b. Khasiat Unsur Hara Bagi Tanaman. Website: http://pusri.wordpress. com.
Diakses tanggal 20 Maret 2009.
Herdiana, N. A. H. Lukman, K. Mulyadi dan T. Suhendar. 2008. Pengaruh konsentrasi dan
frekuensi aplikasi pupuk daun terhadap pertumbuhan bibit Meranti Belangeran asal
cabutan alam di persemaian. Jurnal Hutan Tanaman Vo. 5 No. 3, Agustus 2008,
Puslitbang Hutan Tanaman. Bogor.
Herdiana, N. Sahwalita, H. Siahaan dan M. Suparman. 2009. Aplikasi pupuk daun pada bibit
jelutung rawa di persemaian. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan
Palembang. Tidak diterbitkan.
Junaidah, 2003. Respon Pertumbuhan Semai Meranti Kuning (Shorea multiflora Sym.). terhadap
Pemberian Pupuk Daun Gandasil D dan Mamigro Super N di Shade House Banjarbaru.
Skripsi Fakultas Kehutanan Unlam. Banjarmasin (tidak diterbitkan).
Lakitan, Benyamin. 1993. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Grafindo Persada. Jakarta.
Marsono dan Sigit, P. 2005. Pupuk Akar. Jenis dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Martawijaya. A, Kartasujana.I, Mangang. Y.I, Kadir K dan Prawira.S.A. 2005. Atlas Kayu
Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen
Kehutanan. Bogor. Indonesia. (Cetakan Ketiga).

167
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Sahwalita, A,H. Lukman, A, Sofyan dan S. Utami. 2011. Peningkatan produktivitas lahan melalui
penanaman pola campuran. Prosiding seminar hasil-hasil penelitian Balai Penelitian
Kehutanan Palembang dengan tema Introduksi tanaman penghasil kayu pertukangan di
lahan masyarakat melalui pembangunan hutan tanaman pola campuran. Musi Rawas,
13 Juli 2011. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan.
Badan Litbang Kehutanan. Bogor.
Sahwalita, Muslimin Imam dan Muara Joni. 2010. Budidaya Jenis Sungkai (Peronema canescen
Jack.). Laporan Hasil Penelitaian Tahun 2010. Tidak dipublikasikan.
Zobel dan Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley and Sons Inc. Canada.

168
Aspek Silvikultur

Lampiran 1. Hasil analisis media bibit yang digunakan

No. Karakteristik Nilai Harkat


1. pH H2O 4,07 SM
2. pH KCl 3,71 SM
3. C-Organik % 1,83 R
4. N-Total, % 0,14 R
5. P-Bray, ppm 4,95 SR
6. K, me/100 g 0,30 S
7. Na, me/100 g 0,22 R
8. Ca, me/100 g 0,58 SR
9. Mg, me/100 g 0,13 SR
10. KTK (CEC), me/100 g 15,23 R
11. Al-dd me/100 g 1,64
12. H-dd me/100 g 0,36
13. Tekstur: Lempung
- Pasir, % 49,46
- Debu , % 32,98
- Liat , % 17,56
Catatan : Dianalisis oleh Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Universitas
Keterangan : SM = Sangat Masam, SR = Sangat Rendah, R = Rendah, S = Sedang
(Hardjowigeno, 2005)

169
Aspek Silvikultur

TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb): JENIS ALTERNATIF UNTUK BAHAN BAKU KAYU

Dharmawati F. Djam’an
Penenliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

ABSTRAK

Tembesu (Fagraea fragrans) merupakan salah satu jenis yang sangat popular di wilayah Sumatera,
khususnya Sumatera Bagian Selatan, untuk kebutuhan industri ukiran dan mebeler di kota Palembang
mencapai sebesar 3.120 m³ per tahun. Dengan diketahui produksi dan penanganan benih serta
pembibitan, jenis ini dapat dikembangkan dan diperluas penanamannya. Tembesu cukup tinggi daya
adaptasi terhadap tempat tumbuh seperti di tanah kering, tanah tergenang maupun tanah pasang surut.
Jenis ini termasuk katagori daur menengah (10-30) tahun. Dengan berat 1000 butirnya 0.17 gr dan
dalam satu buah berisi ± 30 benih, maka rata-rata jumlah buah tiap kilonya mencapai 6.600 butir,. Benih
disemai dalam bak kecambah yang ditutup rapat dengan plastik, setelah 7-8 minggu (berdaun 2) dapat
disapih ke polibag dan disimpan dalam bedeng yang ditutup (sungkup), setelah berumur 2-3 bulan
sungkup dapat dibuka. Bibit siap tanam di lapangan setelah berumur (6-10) bulan dengan tinggi (30-40)
cm. Pola tanam (silvikultur ) walang meningkatkan rata-rata riap sebesar 2.01 cm/tahun.
Kata kunci: tembesu, produksi, penanganan, pembibitan

I. PENDAHULUAN
Kapasitas industri pengolahan kayu nasional pada tahun 2013 mencapai 70 juta m 3 per
tahun, yang terdiri dari 38.8 juta m3 kapasitas industri tunggal dan 31.2 juta m 3 kapasitas
industri terintegrasi. Realisasi penggunaan bahan baku pada tahun 2013 mencapai 60.4 juta m 3
per tahun yang berasal dari kawasan hutan tanaman industri dan hutan alam sebesar 23.2 juta
m3 (38.4%) dan sebagian besar sisanya berasal dari Perum Perhutani, hutan rakyat, ijin lain yang
sah, perkebunan dan impor kayu bulat (Ditjen Bina Usaha Kehutanan 2014).
Dengan adanya kekurangan pasokan maka Badan Litbang kehutanan telah menetukan
jenis-jenis alternatif prioritas seperti tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) yang merupakan salah
satu jenis dari 7 jenis alternatif prioritas lainnya dan berpotensi dalam pembangunan hutan
tanaman penghasil kayu (Mindawati et al., 2014). Tanaman ini merupakan salah satu jenis yang
sangat popular di wilayah Sumatera, khususnya Sumatera Bagian Selatan. Permintaan kayu
tembesu untuk kebutuhan industri ukiran dan mebeler di kota Palembang dalam beberapa
tahun terakhir mencapai sebesar 3. 120 m3 per tahun. Kayunya termasuk dalam kelas awet I,
kelas kuat I – II (Martawijaya et al., 2005), sifat kayu mudah dikerjakan dengan tekstur halus
(Lemmens et al., 1995). Kayu tembesu dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti
industri mebel, ukiran dan konstruksi berat dan termasuk kedalam daur menengah (10-30)
tahun.
Di wilayah Sumatera Bagian Selatan, masyarakat yang menggunakan produk berbahan
baku kayu tembesu, umumnya identik dengan kelompok masyarakat menengah ke atas. Untuk
memenuhuhi kebutuhan kayu ukiran lokal sumatera selatan, perlu adanya perluasan
penanaman dan diperlukannya benih dan bibit berkualitas, oleh karena itu dalam makalah ini
akan disampaikan informasi mengenai karakter tanaman, kesesuaian tempat tumbuh, potensi
produksi buah, penanganan benih, cara pembibitan dan penanaman di lapangan agar
produktivitas kayunya meningkat.

171
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

II. KARAKTER TANAMAN


Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) termasuk kedalam family Loganiaceae dan tersebar
mulai dari Bengal-India, Myanmar, Andaman Island, Indo-China, Filipina, Thailand, Panninsular
Malaysia, Singapur, Sumatera, Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi dan Yapen Island di Papua.
Pohon ini termasuk pohon yang menghijau sepanjang tahun, dengan tinggi mencapai 40
m, tinggi bebas cabang 25 m dan diameter batang dapat mencapai 150 cm, tajuk berbentuk
kerucut (Gambar 1a.) (Lemmens et al., 1995 dan Martawijaya et al., 2005).
Daun tembesu berbentuk lanset sampai bulat telur dengan ukuran panjang (4 -15 ) cm
dan lebarnya (1.5 - 6) cm (Gambar 1b). Bunga berwarna putih gading, dengan mahkota
berbentuk terompet, tunggal dan tersusun membentuk malai dan mencapai ± 35 kuntum
bunga tiap malai, panjang bunga berkisar 0,7 – 2,3 cm dengan harum yang khas.

a. Pohon Tembesu b. Daun c. Bunga


Gambar 1. Karakter Botani Pohon
Buah tembesu muda berwarna hijau dan berubah menjadi merah-jingga pada saat buah
dapat dipanen (Gambar 2a), termasuk buah buni (berry) dengan ukuran diameter 0,5 – 1 cm,
berdaging dengan benih menyebar membentuk lingkaran di dalam buah (Gambar 2b), benih
berukuran ± 1 mm (Gambar 2c).

a. Buah Masak b. Letak Benih c. Benih


Gambar 2. Karakter Buah dan Benih

III. KESESUAIAN TEMPAT TUMBUH


Tembesu tumbuh secara alami pada lokasi yang sangat bervariasi seperti di Sumatera
Selatan ditemukan di daerah kering (Kemampo), daerah pasang surut (Ogan komering Ilir/OKI),
terendam (Ogan Ilir/OI) dan di Jawa Barat merupakan daerah kering (Bandung) dan Banten
(Carita). Dengan sifat lingkungan yang cukup nyata perbedaan fisiknya maka tanaman ini dapat
dikatagorikan sebagai tanaman yang sangat mudah beradaptasi (adaptable). Hal ini
memungkinkan tembesu untuk ditanam secara luas.

172
Aspek Silvikultur

Tabel 1. Data Umum Kondisi iklim tempat tumbuh tegakan tembesu


Tempat tumbuh
Iklim dan biofisik tapak/lahan
Kemampo Ogan Komering Ilir Ogan Ilir Bandung Carita
Ketinggian (m dpl) 10-30 10-40 0-15 770-1350 100
Curah hujan (mm/th) 1800-2000 > 2500 2600-3500 2500-4500 3950
Kondis
lingkungan Temperatur (0C) 22-33 21-36 23-33 18-24 23-32
Kelembaban (%) 60-90 60-90 69-98 70-90 77-85
Kondisi lahan Kering/rawa Rawa/tergenang Kering/tergenang Kering Kering
Bramasto et al., 2014

IV. POTENSI PRODUKSI BUAH DAN PEMANENAN


Tanaman ini mempunyai rotasi masa berbunga dan berbuah yang pendek (± 3 bulan)
dengan kapasitas produksi buah per pohon adalah ± 14.578 buah/pohon. Pemanenan dapat
dilakukan pada bulan Februari, Juni dan Nopember dan masa panen raya adalah bulan
November.
Berat 1000 butir yaitu 0.17 gr, dalam satu buah dapat berisi ± 30 benih. dan jumlah rata-
rata buah sebanyak 6.600 butir/kg. Buah masak ditandai dengan perubahan warna kulit dari
hijau menjadi merah susunan buahberrybulat dengan diameter ± 1cm (Gambar 2a) yang berisi
benih yang tersebar melingkar dalam daging buah, benih berukuran ± 1 mm (Gambar 2b dan
Gambar 2c).
Pemanenan dilakukan dengan cara memotong ranting-ranting yang berisi buah masak
dengan galah berkait, kemudian buahnya dipipil sehingga lepas dari tangkai buah.Untuk
meningkatkan produksi buah dapat digunakan zat boron, setelah 10 bulan pemupukan dengan
zat boron,dosis 200 gram/pohon dapat mempercepat pembungaan,dibandingkan dengan
kontrol maupun dosis lainnya.

Keberhasilan berbunga
40 33,3
26,7 26,7
Persentase pohon yg

30 20 20,0
berbunga (%)

20
10
0
0g 50 g 100 g 150 g 200 g
Dosis Boron gr/pohon

Gambar 3. Grafik Persentase Pohon Berbunga pada Tiap Perlakuan pada Bulan Januari 2015
Zat boron bertugas sebagai transportasi karbohidrat dalam tubuh tanaman, boron bisa
membentuk ester dengan sukrosa sehingga sukrosa yang merupakan bentuk gula terlarut
dalam tubuh tanaman lebih mudah diangkut dari tempat fotosintesis ke tempat pengisian
buah. Lain halnya dengan tanaman-tanaman yang berada di taman Kota Kayu Agung, Kab. OKI,
walaupun masih berumur 8 tahun dan di Kab. Ogan Ilir yang tumbuh alami dapat berbuah lebat
karena tumbuh dengan ruang penerimaan cahaya yang luas (Djam’an, 2014).

173
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

V. PENANGANAN BENIH DAN PRODUKSI BIBIT

Untuk pembuatan bibit diperlukan benih dan dapat dihasilkan melalui proses:
A. Ekstraksi
Ekstraksi basah untuk mendapatkan benih yang berukuran ± 1 mm, yaitu dengan cara
meremas-remas buah di atas saringan sambil dialiri air. Kemudian benih di simpan di atas
kertas saring dan untuk pengeringannya, benih dikering anginkan.
B. Perkecambahan dan Pembibitan
a. Perkecambahan
Pada proses perkecambahan diperlukan:
i. Perlakuan pendahuluan (Zanzibar, et al 2010), yaitu dengan cara:
● Imbibisi dengan H2O2 5% selama 24 jam. Daya berkecambah meningkat lebih dari 2
kali lipat (1.300.000 menadi 2.780.000 kecambah)
● Iradiasi dengan sinar gama pada dosis 30 Gy dengan kadar air (8-10)%, meningkatkan
volume bibit lebih dari 4.5 kali ( dari 533.1 m³ menjadi 2.391,44 mm³)
ii. Media
Media perkecambahan dapat menggunakan campuran pasir halus dan tanah (5:1/ v:v)
yang telah di streril, sebagai wadah perkecambahan digunakan bak kecambah.
iii. Penaburan
Benih ditabur dalam bak kecambah dengan media yang sudah disiram air terlebih dahulu
hingga jenuh. Kemudian ditutup dengan plastik transparan untuk menjaga kelembaban.
iv. Penyapihan
Penyapihan dilakukan 7-8 minggu setelah penaburan dan berdaun 2 (dua).
b. Persemaian dan Pembibitan
Pada tahapan persemaian dan pembibitan diperlukan:
i. Media
Pada pembibitan digunakan campuran tanah topsoil, pasir dan kompos serbuk gergaji
(3:1:5/v:v:v) atau campuran sabut kelapa dan cocopeat (3:1/v:v), disiram sampai jenuh
ii. Bedeng
Bibit yang baru disapih ditanam dalam polibag dan disimpan dalam bedeng dengan
sungkup (plastik transparan), ditutup rapat untuk mencegah penguapan.
iii. Penyiraman
Penyiraman dilakukan apabila diperlukan dengan menggunakan sprayer berlubang halus
untuk mencegah kerusakan pada calon bibit.
iv. Sungkup dapat dibuka setelah 2-3 bulan setelah penyapihan
v. Bibit siap tanam di lapangan setelah berumur (6-10) bulan dengan tinggi (30-40) cm
vi. Selama di persemaian, dapat dipupuk dengan 0,25 gr NPK atau 0,4 gr urea untuk setiap
bibit/polibag (Martin dan Sofyan. 2001).

a b c
Gambar 4. kecambah (a); semai siap sapih (b); bibit (c)

174
Aspek Silvikultur

VI. POLA PENANAMAN DAN PENINGKATAN RIAP


Dari hasil penelitian di Balai Penelitian Kehutanan-Palembang dan Balai Penelitian
Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan-Bogor, dari demplot uji penanaman jenis tembesu
diperoleh teknik silvikultur walang (berselang) untuk meningkatkan produktivitas pertumbuhan
Dengan praktek-praktek silvikultur yang tepat sesuai jenis, pemeliharaan yang intensif,
pemangkasan cabang serta pengaturan jarak tanam (melalui penjarangan) pola baris, untuk
walang menghasilkan rata-rata pertumbuhan diameter 2.06 cm pada tahun pertama dan tahun
ke-2 sebesar 4.07 cm, peningkatan rata-rata riap sebesar 2.01 cm.

Gambar 5. Demplot Penanaman di KHDTK Kemampo, Sumatera Selatan

V. PENUTUP
Informasi mengenai kesesuaian tempat tumbuh, karakter buah dan benih serta
dikuasainya teknik penanganan benih dan bibit serta penerapan teknik silvikultur yang tepat
untuk tembesu (Fagraea fragrans Roxb.)diharapkan dapat menjadi acuan untuk pengembangan
jenis tembesu sebagai alternatif kayu pertukangan.

DAFTAR PUSTAKA
Bramasto, Y.,Evayusvita R., 2014 Kajian ekologi dan biologi benih dan bibit jenis Tembesu dan
Sengon. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Tahun 2014, tidak diterbitkan
Djam’an D.F. 2014. Laporan Perjalanan Dinas, tidak diterbitkan.
Djam’an D.F. 2014. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman
Hutan Tahun 2014. tidak diterbitkan
Kementerian Lingkungan Hidup, 2007. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2006. Kementerian
Lingkungan Hidup. Jakarta.
Lemmens, R.H.M.J., Soerianegara, I., Wong, W.C. 1995. Plant Resources of South-East Asia 5.
(2) Timber trees: Minor commercial timber. PROSEA. Bogor Indonesia.
Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid
II. Bogor: Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Bogor–Indonesia
Martin, E. dan A. Sofyan. 2001. Perangsangan Pertumbuhan Tembesu (Fagraea fragrans)
dengan Pengaturan Intensitas Naungan dan Pemupukan di Persemaian. Prosiding
Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Balai Teknologi Reboisasi Palembang. Palembang, 12
November 2001. Pp.113-121. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

175
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Mindawati, Nina., Hani S.N., Choirul A. 2014. Tembesu Kayu Raja Andalan Sumatera. Bunga
Rampai, Forda Press.
Zanzibar, M., N. Yuniarti, E. Suita, Megawati, D. Haryadi, dan E. Supardi. 2010. Hasil
Penelitian Teknologi Perbenihan Jenis Tembesu (Fagraea fragrans Roxb). Balai
Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Tidak Diterbitkan.

176
Aspek Silvikultur

PERTUMBUHAN BIBIT JABON PUTIH (Anthocephalus cadamba) UMUR 5 BULAN


PADA BEBERAPA MACAM MEDIA DAN NAUNGAN

Agus Astho Pramono dan Rina Kurniaty


Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

ABSTRAK

Keberhasilan pembangunan hutan tanaman membutuhkan pasokan bibit yang konstan dengan kualitas
tinggi. Media yang kaya nutrisi penting, diperlukan untuk memproduksi bibit yang berkualitas tinggi.
Umumnya, media yang digunakan untuk pembibitan adalah top soil. Namun, mengambil sejumlah besar
top soil secara terus menerus berdampak negatif terhadap ekosistem. Oleh karena itu, perlu untuk
mendapatkan bahan lain sebagai media alternatif untuk pembibitan. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menemukan media dan intensitas cahaya yang tepat untuk pembibitan Jabon (Anthocephalsu
cadamba). Penelitian ini menggunakan tanah, kompos, sekam padi dan campuran mereka sebagai
perlakuan media. Perlakuan naungan terdiri dari 0% (tapa naungan), 25%, 50% dan 75%. Penelitian ini
menggunakan rancangan split plot dengan naungan sebagai petak utama dan media sebagi subplot.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa media kompos dengan naungan 50% adalah kondisi terbaik untuk
pertumbuhan bibit Jabon 5 bulan yang menghasilkan berat 4,86 g kering, tinggi 27,7 cm, diameter 2,23
mm, persentase hidup 86% dan IMB 0,65.
Kata kunci: arang sekam, kompos, bibit, media, naungan

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan kayu dari tahun ke tahun selalu
mengalami peningkatan, di pihak lain pasokan bahan baku dari hutan alam produksi semakin
menurun, akibatnya terjadi kelangkaan bahan baku industri pengolahan kayu khususnya bahan
baku pulp, oleh karena itu perlu dilakukan pengembangan hutan tanaman (Hutan Tanaman
Industri dan Hutan Rakyat). Pengembangan hutan tanaman ini merupakan salah satu upaya
untuk mengatasi permasalahan kelangkaan bahan baku industri pengolahan kayu.
Indonesia memiliki keanekaragaman jenis tanaman yang tinggi dan berpotensi untuk
dimanfaatkan dalam pengembangan hutan tanaman. Menurut Ramayanti et al. (2009) jenis-
jenis pohon yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku pulp antara lain adalah
jabon putih, (Anthocephalus cadamba).
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan hutan tanaman adalah
penggunaan bibit bermutu yang unggul secara genetik, fisik dan fisiologis, tersedia dalam
jumlah yang cukup dan tepat waktu, serta memiliki kemampuan beradaptasi dengan kondisi
lingkungan tempat tumbuhnya. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial Nomor: P. 11 /V-PTH/2007 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Mutu Bibit
Tanaman Hutan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, standar bibit
bermutu untuk jenis jabon, bibit harus berdiamater > 7 mm, tinggi > 40 cm, media utuh, jumlah
daun 4 pasang dan umur 2-3 bulan. Namun demikian, informasi tentang teknik pembibitan dan
pemeliharaannya untuk mendapatkan bibit yang bermutu baik masih terbatas.
Faktor-faktor yang berperan dalam kegiatan pembibitan perlu difahami dengan benar
untuk memproduksi bibit yang bermutu. Salah satu faktor yang penting adalah media tanam.
Media tumbuh di persemaian menjadi penting karena merupakan tempat tanaman menyerap
unsur hara selama tanaman belum mencapai usia yang siap untuk di tanam di lapangan
177
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

(Kurniaty et al., 2006). Media yang umum digunakan untuk pembibitan di persemaian berasal
dari top soil. Namun pengambilan top soil dalam skala besar dapat berdampak negatif bagi
ekosistem di areal tersebut (Hendromono, 1994).
Untuk mengurangi kerusakan ekosistem akibat penggunaan top soil sebagai media,
maka perlu dikembangkan penggunaan bahan alternatif sebagai media pembibitan diantaranya
limbah organik. Kurniaty et al. (2009) melaporkan bahwa limbah organik dapat digunakan
sebagai media pertumbuhan karena: mengandung unsur hara yang diperlukan tanaman, dapat
menyimpan air, poros, dapat mengikat akar sehingga perakaran kompak, mudah didapat dan
murah. Namun dalam penggunaannya sebaiknya dikombinasikan dengan bahan lain. Satisijati
(1991) dalam Merlina dan Rusnandi (2007) mengemukakan bahwa campuran dua macam
media dapat memperbaiki kekurangan masing-masing media tersebut antara lain dalam
kecepatan pelapukan dan penyediaan hara tanaman serta kemampuan mempertahankan
kelembaban media. Keuntungan penggunaan bahan organik dibandingkan dengan
menggunakan top soil adalah berat persatuan bibit lebih ringan sehingga ongkos pengangkutan
bibit lebih murah (Duraihim dan Hendromono, 2001). Hendromono dan Durahim (2004),
melaporkan bahwa kompos, sabut kelapa sawit dan sekam padi merupakan media yang sesuai
untuk jenis Khaya anthoteca. Hendromono dan Durahim (2004), menyimpulkan bahwa
penggunaan media campuran top soil, sekam padi dan sabut kelapa sawit dapat meningkatkan
pertumbuhan bibit mahoni.
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah lingkungan persemaian yang di dalamnya
adalah kelembaban dan pencahayaan. Dalam hal ini peran intensitas naungan dalam persemain
memegang peran penting. Naungan merupakan suatu upaya manipulasi terhadap masuknya
sinar matahari yang diterima oleh tanaman. Untuk beberapa jenis tanaman hutan naungan
diperlukan untuk mengurangi penguapan (transpirasi) dan mempertahankan kelembaban di
persemaian sehingga tanaman dapat terus tumbuh. Tetapi untuk beberapa jenis lain pemberian
naungan justru akan menghambat pertumbuhan tanaman karena terjadinya penghambatan
untuk mendapatkan sinar matahari (Kurniaty et al., 2006). Pemberian naungan pada tanaman,
prinsipnya adalah untuk memperbaiki keadaan lingkungan agar tanaman dapat berproduksi
secara optimal. Optimasi pemberian naungan ditentukan terutama oleh respon tanaman
terhadap iklim mikro yang diakibatkan oleh naungan tersebut.
B. Tujuan dan Sasaran
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi media dan intensitas naungan
yang sesuai untuk pembibitan jabon putih.

II. METODOLOGI
A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Balai PenelitianPerbenihan Tanaman Hutan yaitu di Stasiun
Penelitian Nagrak. Lokasi berada di Desa Nagrak Kecamatan Sukaraja, Kebupaten Bogor, pada
ketinggian 280 m dpl, dan berjenis tanah Latosol Coklat Kemerahan (Kurniaty, 2010). Iklim di
lokasi penelitian termasuk pada tipe iklim A (Schmidt dan Ferguson), dengan curah hujan 2000-
2500 mm/th,
B. Bahan dan alat
Benih jabon yang dipakai merupakan campuran benih yang berasal dari dua lokasi yaitu
1) tegakan di Taman Wisata Alam Rimbo Panti. Hutan ini berada di Kecamatan Panti,
Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat. 2) Kecamatan Long ikis, Kabupaten Pasir,

178
Aspek Silvikultur

Provinsi Kalimantan Timur.Bahan untuk media adalah tanah, arang sekam, kompos, pasir, dan
sabut kelapa.
C. Metodologi
Media tabur terdiri dari campuran pasir dan tanah dengan perbandingan 1:1. Media
disterilkan dan dimasukkan pada bak tabur. Benih ditabur pada bak kecambah, kemudian
setelah benih tumbuh dan kecambah telah memiliki minimal sepasang daun dilakukan
penyapihan.
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Petak
Terbagi dengan dua faktor utama adalah naungan dan anak petaknya adalah media. Media
yang diuji adalah tanah (A1), kompos (A2), tanah+kompos 3:1/v:v (A3), kompos + arang sekam
padi 3:1/v:v (A4) dan sabut kelapa + arang sekam padi 3:1/v:v:v (A5). Naungan yang digunakan
adalah naungan 0% (B1), naungan 25% (B2), naungan 50% (B3), naungan 75% (B4). Masing-
masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak 10 kali dengan masing-masing ulangan 5 bibit.
Pengamatan untuk bibit jabon putih dilakukan pada umur 5 bulan. Respon yang diamati
dalam penelitian ini adalah tinggi bibit, diameter batang, berat kering bibit, dan persen hidup
sampai semai berumur lima bulan. Pada akhir pengukuran dilakukan pula penghitungan nilai
indeks mutu bibit. Penghitungan indeks mutu bibit menggunakan cara Dickson (1960) dalam
Hendromono (1994) dengan rumus:
Bobot Kering Batang (g) + Bobot kering akar (g)
Indeks Mutu:
Tinggi (cm) + Bobot Kering Batang (g)
Diameter (mm) Bobot Kering Akar (g)

D. Analisis Data
Data hasil percobaan pada kemudian diolah secara statistik. Model matematik
percobaan faktorial adalah sebagai berikut:
Yijk = µ + άi + βj + (άβ) ij + εijk
Dimana:
Yijk = Pengamatan pada naungan ke-i, media ke-j ulangan ke k
µ = Nilai tengah umum
άi = Pengaruh naungan ke-i
βj = Pengaruh media ke-j
(άβ) ij = Interaksi naungan ke i dan media ke j
εij = Pengaruh galat percobaan pada naungan ke-i dan media ke-j
Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan, digunakan uji beda nyata Duncan
(Duncan Multiple Range Test) terhadap nilai tengah masing-masing tolok ukur pengamatan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil penelitian menunjukkan hasil bahwa interaksi media dan naungan berpengaruh
sangat nyata terhadap tinggi, diameter dan persen hidup, serta berpengaruh nyata terhadap
berat kering. Terhadap IMB interaksi media dan naungan tidak menunjukkan pengaruh yang
nyata secara statistik.
Dari berbagai kombinasi menunjukkan bahwa naungan berperan penting tehadap
pertumbuhan meninggi dan pertumbuhan diameter batang bibit jabon. Untuk beberapa jenis
tanaman hutan naungan diperlukan untuk mengurangi penguapan (transpirasi) tanaman dan
mempertahankan kelembaban di persemaian sehingga tanaman dapat terus tumbuh. Hasil

179
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

penelitian terhadap jabon menunjukkan bahwa pemberian naungan yang berat yaitu 75% (B4)
dengan semua kombinasi media menunjukkan pertumbuhan tinggi dan diameter batang yang
buruk. Pada media tanah (A1), naungan 75% menyebabkan pertumbuhan terburuk
dibandingkan dengan semua perlakuan lainnya (Gambar 1). Naungan dapat berpengaruh buruk
terhadap bibit untuk jenis-jenis pohon tertentu, seperti hasil penelitian Ahmed et al. (2014)
pada bibit Moringa oleifera. Pada tanaman ini naungan yang berat menyebabkan penampilan
bibit yang buruk, bibit tumbuh succulent dan lunak dengan akar yang kecil dan lemah.

Gambar 1. Diameter dan tinggi bibit jabon umur 5 bulan pada berbagai media dan
intensitas naungan

Pencahayaan matahari penuh (B1) juga kurang menguntungkan bagi pertumbuhan


jabon. Menurut Harun dan Ismail (1983) pada penelitiannya terhadap bibit Theobroma cacao,
hal seperti ini dapat terjadi karena pada kondisi tidak ternaungi, kecepatan asimilasi dan ukuran
daun menurun, sehingga kecepatan pertumbuhan relatif dan produksi berat kering total
menurun. Paparan sinar matahari penuh terhadap tanaman dapat menjadikan tanaman
mengalami cekaman seperti suhu daun yang terlampau tinggi, dan meningkatnya kehilangan
air. Cekaman ini dapat memacu rentetan reaksi yang menyebabkan penyerapan nutrisi yang
buruk, kecepatan fotosintesisi yang rendah dan pertumbuhan tanaman yang lambat. Pada bibit
jabon perlakuan tanpa naungan (A1) tidak menunjukkan efek yang merugikan ketika kualitas
media mendukung, seperti pada media kompos+ arang sekam padi 3:1 (A4), diduga pada media
ini efek cekaman teratasi karena media cukup untuk memasok air dan nutrisi bagi tanaman.
Pemberian naungan 20% (B2) menunjukkan kecenderungan pertumbuhan bibit yang
paling konsisten pada berbagai bentuk kombinasi media, kecuali kombinasi dengan A5 (sabut
kelapa + arang sekam padi, 3:1). Naungan 50% menunjukkan pertumbuhan yang baik ketika
dikombinasikan dengan media kompos (A2), peggunaan media lainnya menunjukkan
pertumbuhan bibit yang kurang baik. Hal seperti ini juga terjadi pada bibit M. oleifera,
naungan medium (55%) menghasilkan akumulasi biomas terbaik secara signifikan (Ahmed et
al., 2014). Pada M. oleifera, naungan medium atau tanpa naungan menghasilkan pucuk yang
tegak dan kuat dengan akar yang berumbi dan besar. Dari hasil penelitian ini disarankan bahwa
untuk menumbuhkan bibit jabon diperlukan naungan dengan tingkat medium untuk memacu
pertumbuhan bibit di persemaian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa media tanah (A1) dan campuran sabut kelapa +
arang sekam padi (A5) pada semua intensitas naungan menunjukkan pertumbuhan meninggi
dan diameter batang yang buruk (Gambar 1). Penggunaan kedua media ini juga berakibat
pertumbuhan bibit jabon rentan terhadap efek buruk dari naungan yang terlalu berat atau
paparan sinar matahari yang terlalu terbuka. Media A2 (kompos) menunjukkan pertumbuhan
terbaik ketika ditumbuhan pada persemaian dengan naungan 50%.

180
Aspek Silvikultur

Hasil penelitian menunjukkan bahwa media kompos murni menghasilkan pertumbuhan


terbaik namun penggunaan media kompos murni untuk keperluan persemaian skala besar
tidaklah ekonomis. Dengan demikian diperlukan media alternatif. Dari hasil penelitian ini, selain
kompos media lain yang menghasilkan bibit kerkualitas baik adalah media kompos + arang
sekam. Penggunaan media ini menghasilkan pertumbihan terbaik jika ditumbuhkan pada
persemaian tanpa naunga (B1). Hasil analisa media menujukkan bahwa media baik kompos +
arang sekam padi (A4) dan kompos (A2) memiliki kandungan unsur C dan N sangat tinggi yaitu
22,34% dan 0,89% (A4) serta 16,45% dan 0.94% (A2) (Lampiran 1). Unsur Nitrogen (N) dan
Phospor (P) merupakan unsur hara makro yang diperlukan tanaman dalam jumlah banyak. Hal
ini sejalan dengan penelitian Sarwar et al. (2010) bahwa penggunaan kompos dapat
meningkatkan pH, kandungan bahan organic, Ca 2+, Mg2+, K1+ dan P, Secara umum penggunaan
kompos berperan meningkatkan kapasitas pasokan nutrisi dari media. Kung’u et al. (2008) juga
mengungkapkan bahwa media berbasis kompos memberikan persen hidup dan tinggi bibit yang
lebih baik daripada media lain (tanah dan pasir). Media berbasis kompos juga menghasilkan
kekokohan bibit yang lebih baik. Menurut penelitian Sarwar et al. (2008) persentase bahan
organik yang tinggi pada media berbasis kompos dapat menyediakan lingkungan yang baik
seperti kelembaban dan aerasi. Campuran kompos berperan meningkatnya ketersediaan nutrisi
tanaman (N, P, K, Ca and Mg) dan bahan organik pada media.
Prawiranata et al. (1995) mengemukakan bahwa berat kering (BK) bibit merupakan
suatu indikator untuk menentukan baik tidaknya bibit karena BK mencerminkan status nutrisi
tanaman. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa perlakuan A2B1 (kompos dengan naungan 0%),
A4B1 (kompos + arang sekam padi (3:1) tanpa naungan), dan A2B3 (kompos dengan naungan
50%) menghasilkan berat kering tertinggi yaitu berturut-turut 6,50 g, 5,16 g, dan 4,86 g
(Gambar 2). Hasil ini menunjukkan bahwa media kompos dengan naungan 50% (A2B3)
menghasilkan bibit dengan kualitas terbaik untuk pembibitan jabon yaitu memiliki tinggi 27,74
cm, diameter 2,24 mm, persen hidup 876,0%, dan ideks mutu bibit 0,66.

Gambar 2. Berat kering bibit jabon umur 5 bulan pada berbagai media dan intensitas naugan

Indeks Mutu Bibit merupakan salah satu indikator kesiapan bibit untuk dipindah ke
lapangan. Hendromono dan Durahim (2004) mengemukakan bahwa bibit yang memiliki nilai
IMB minimal 0.09 akan memiliki daya tahan hidup yang tinggi apabila dipindah ke lapangan.
Dalam penelitian ini, nilai IMB untuk perlakuan A2B1 pada bibit jabon sebesar 0,49 (Tabel 1).
Hasil ini menunjukkan bahwa bibit benuang dan jabon umur 5 bulan sudah siap dipindah ke
lapangan.

181
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Tabel 1. Persen hidup dan Indeks Mutu bibit jabon umur 5 bulan pada berbagai
media dan intensitas naugan

Perlakuan Persen hidup (%) IMB

A1B1 85,0 .ab 0,09 .fg


A2B1 92,0 .ab 0,50 .abc
A3B1 94,0 .ab 0,14 .efg
A4B1 94,0 .ab 0,43 .bcd
A5B1 84,0 .b 0,10 .fg
A1B2 84,0 .b 0,33 .cdef
A2B2 98,0 .ab 0,19 .efg
A3B2 96,0 .ab 0,14 .efg
A4B2 100,0 .a 0,27 .cdefg
A5B2 92,0 .ab 0,23 .cdefg
A1B3 86,0 .ab 0,33 .cdef
A2B3 86,0 .ab 0,66 .ab
A3B3 90,0 .ab 0,35 .cdef
A4B3 52,0 .c 0,76 .a
A5B3 90,0 .ab 0,25 .cdefg
A1B4 64,0 .c 0,05 .g
A2B4 84,0 .b 0,07 .g
A3B4 86,0 .ab 0,04 .g
A4B4 90,0 .ab 0,09 .fg
A5B4 88,0 .ab 0,11 .efg
Keterangan: A1 = Tanah, A2 = Kompos, A3 = Tanah+ kompos 3:1, A4 = Kompos+ arang
sekam padi 3:1, A5 = Sabut kelapa+arang sekam padi 3:1, B1 = Naungan 0%,
B2 = Naungan 25%, B3 = Naungan 50%, B4 = Naungan 75%.

IV. KESIMPULAN
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa intesitas cahaya dalam persemaian jabon
berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit, sehingga faktor ini perlu diperhatikan dalam
persemaian jabon. Kondisi tanpa naungan, atau naungan yang terlalu berat (75%) merugikan
bagi pertumbuhan bibit jabon. Media kompos + naungan 50% merupakan kondisi persemaian
yang terbaik untuk pembibitan jabon karena menghasilkan pertumbuhan diameter,
pertumbuhan meninggi, berat kering, persentase hidup dan IMB yang tertinggi dibanding
perlakuan lain.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, LT., Essam, I., Warrag, Abdelgadir, AY. 2014. Effect of Shade on Seed Germination and
Early Seedling Growth of Moringa Oleifera Lam. Journal of forest products & industries,
3(1), 20-26.
Durahim dan Hendromono. 2001. Kemungkinan Penggunaan Limbah Organik Sabut Kelapa
Sawit dan Sekam Padi Sebagai Campuran Top Soil Untuk Media Pertumbuhan Bibit
Mahoni (Swietenia macrophylla King). Buletin Penelitian Hutan No 628:13-26.

182
Aspek Silvikultur

Harun, RMR and Ismail, KH. 1983. The Effects of Shading Regimes on the Growth of Cocoa
Seedlings (Theobroma cacao L.). Pertanika 6(3), 1-5.
Hendromono.1994. Pengaruh Media Organik dan Tanah Mineral Terhadap Mutu Bibit
Pterygota alata Roxb. Buletin Penelitian Hutan no.617 : 55-64.
Hendromono dan Durahim. 2004. Pemanfaatan Limbah Sabut Kelapa Sawit dan Sekam Padi
Sebagai Medium Pertumbuhan Bibit Mahoni Afrika (Khaya anthoteca. C.DC). Buletin
Penelitian Hutan no 644. Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Hutan dan Konservasi
Alam. Bogor.
Kurniaty, R,Budiman, B.dan Suartana, M. 2006. Pengaruh Media dan Naungan terhadap
Kualitas Bibit. Laporan hasil penelitian BPTP, Bogor. Tidak diterbitkan.
Kurniaty, R, Budiman, B., Damayanti, R.U., dan Djam’an, D.F. 2009. Penggunaan Limbah Organik
Sebagai Media Pertumbuhan Bibit Tanaman. Makalah Utama pada Seminar “Teknologi
Perbenihan Perbenihan untuk Peningkatan Produktivitas Hutan Rakyat di Sumatra
Barat” Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor.
Kurniaty, R. 2010. Stasiun Penelitian Nagrak. Publikasi Khusus. Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan Bogor.
Kung’u,B.J., Kihara, J., Mugendi, D.N, and Jaenicke, Hr. 2008. Effect of small-scale farmers’ tree
nursery growing medium on agroforestry tree seedlings’ quality in Mt. Kenya region.
Scientific Research and Essay Vol.3 (8):359-364.
Merlina, N dan Rusnandi, D. 2007. Teknik Aklimatisasi Planlet Anthurium pada Beberapa Media
Tanam. Buletin Teknik Pertanian Vol 12 No 1. Balai Penelitian Tanaman Hias, Cianjur.
Prawiranata, W.Harran. S.Tjondronegoro,P. 1995. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan Jilid II.
Departemen Botani. Fakultas MIPA IPB. Bogor.
Ramayanti, S. Suhartati, dan Aprianis, Y., 2009. Potensi Jenis Tanaman Lokal Sebagai Alternatif
Bahan Baku Pulp. Gelar Teknologi Badan Litbang Kehutanan. Tahun 2009.
Sarwar, G., Schmeisky, H., Hussain, N., Muhammad, S., Ibrahim, M. and Safdar, E. 2008.
Improvement of Soil Physical and Chemical Properties with Compost Application in Rice-
Wheat Cropping System. Pak. J. Bot., 40(1): 275-282.
Sarwar, G., Schmeisky, H., Tahir, M.A., Iftikhar, Y., and Sabah, N.U. 2010. Application of
Greencompost for Improvement in Soil Chemical Properties and Fertility Status. The
Journal of Animal & Plant Sciences, 20(4): 258-260.

183
Aspek Silvikultur

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK BUDIDAYA


INTENSIF PADA BEBERAPA JENIS TANAMAN HUTAN UNGGULAN

Yulianti Bramasto, M. Zanzibar, Danu, Dida Syamsuwida dan Nurhasybi


Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

ABSTRAK

Produktivitas hasil hutan tanaman akan meningkat sehingga dapat memenuhi target industri apabila
mendapat dukungan IPTEK dalam pengelolaannya. Keberhasilan budidaya tanaman hutan ditentukan
oleh teknis penanaman yang tepat, mengikuti kaidah teknik silvikultur intensif. Apabila para pelaksana
lapangan mempunyai pedoman yang sama dalam membangun hutan, maka penerapan standar teknis
yang didasarkan pada hasil penelitian dapat menjadi panduan dalam pelaksanaannya. Standar teknis
budidaya untuk lima jenis tanaman hutan yang telah disusun meliputi jati inti, sengon, mahoni, jabon
dan mangium.
Kata kunci: budidaya, produktivitas, standar teknis, tanaman hutan

I. PENDAHULUAN
Hutan rakyat saat ini berkembang cukup pesat, hal ini dapat dilihat dari peningkatan
luas dan produksi kayu rakyat yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Inisiatif masyarakat
dalam pembangunan hutan tanaman berbasis masyarakat perlu mendapat dukungan dari
semua pihak. Perkembangan ini terjadi karena dorongan kebutuhan kayu yang semakin besar,
karena permasalahan utama yang dihadapi sektor kehutanan sampai saat ini adalah
kekurangan bahan baku untuk industri kayu. Kondisi ini menyebabkan perlunya pengelolaan
hutan secara intensif agar produktivitas tegakan dapat ditingkatkan. Produktivitas hutan
tanaman sampai saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan bahan baku industri sesuai
dengan target yang dicanangkan. Ada beberapa hal yang menyebabkan produktivitas hasil
hutan tanaman belum memenuhi bahan baku target industri diantaranya adalah penerapan
IPTEK dalam mengelola hutan tanaman belum maksimal.
Tanaman hutan yang umumnya dikembangkan di hutan rakyat adalah jenis-jenis yang
mempunyai nilai ekonomi yang cukup baik, khususnya untuk jenis jati dan mahoni, dan jenis-
jenis cepat tumbuh (Fast growing species) seperti sengon, jabon dan mangium, sesuai dengan
peruntukkan kayunya.
Dukungan IPTEK dalam peningkatan produktivitas tegakan sudah mulai dilakukan
khususnya pada lima jenis diatas, yaitu dari segi kualitas benih dan sistem silvikulturnya. Namun
faktor lain yang penting untuk dipertimbangkan dalam budidaya tanaman hutan adalah peran
masyarakat, dalam hal ini pola pengelolaan yang yang menempatkan masyarakat (petani)
sebagai subyek. Oleh karena itu perpaduan antara penggunaan benih berkualitas, penerapan
sistem silvikultur intensif dan pola pengelolaan hutan yang berbasis kemitraan dengan petani
diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tegakan menjadi maksimal. Mensikapi hal
tersebut Kementerian Kehutanan dalam hal ini Sekretariat Jenderal Kehutanan dan Badan
Usaha Kehutanan mencoba memadukan dua program yaitu program kredit usaha skema Badan
Layanan Umum (BLU) dengan program Hutan Tanaman Rakyat. Diharapkan dengan kedua
program ini selain dapat meningkatkan produktivitas hutan juga dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat terutama petani hutan.

185
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Tujuan penulisan makalah ini adalah diketahuinya teknik peningkatan produktivitas


hutan tanaman melalui budidaya beberapa jenis unggulan tanaman hutan berdasarkan standar
teknis yang tepat.

II. PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TANAMAN


1. Penggunaan Benih/Klon Unggul
Peningkatan produktivitas tanaman dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui
ekstensifikasi dan intensifikasi. Kegiatan ekstensifikasi dilakukan melalui perluasan areal
tanaman sedangkan intensifikasi adalah dengan mengoptimalkan lahan yang ada melalui
penerapan teknik silvikultur intensif dan penggunaan benih unggul. Secara umum rata-rata
kepemilikan luas hutan yang dikelola oleh rakyat (hutan rakyat) adalah sekitar 0,25-0,5 ha, oleh
karena itu peningkatatan produktivitas hutan khususnya di hutan rakyat adalah melalui
intensifikasi. Beberapa jenis tanaman yang banyak dikembangkan di hutan rakyat, diantaranya
adalah jati, sengon, jabon, mahoni dan mangium. Dalam pengembangan hutan tanaman
tersebut, baik di hutan rakyat maupun hutan tanaman lainnya, mutlak harus menggunakan
bibit unggul, baik unggul secara genetik, fisik maupun fisologis. Benih dan bibit unggul
dihasilkan dari suatu proses pemuliaan. Proses pemuliaan dapat dilakukan apabila terdapat
keragaman, dengan adanya keragaman tersebut maka peluang mendapatkan klon-klon unggul
menjadi lebih besar. Keragaman dapat terjadi karena proses persilangan atau dapat melalui
teknik mutasi (Pasal 9 ayat 1 UU No. 12 Tahun 1992). Hal ini memungkinkan dilakukannya
seleksi, untuk mendapatkan klon-klon unggul. Keunggulan suatu klon dapat
dipertanggungjawabkan apabila telah melalui suatu proses pengujian lapangan. Selanjutnya
Klon unggul hasil pengujian lapang dapat digandakan melalui teknik perbanyakan vegetative,
salah satunya adalah dengan teknik kultur jaringan.
2. Silvikultur Intensif
Penggunaan bibit unggul tanpa pengelolaan yang baik tidak akan menghasilkan
produktivitas yang optimal. Penggunaan benih unggul akan memunculkan ekspresi genetik
sedangkan penerapan teknik silvikultur merupakan upaya memanipulasi lingkungan agar
pertumbuhan tanaman menjadi optimal. Pertumbuhan tanaman merupakan hasil interaksi
antara sifat genetik yang ada pada tanaman yang didukung oleh kondisi lingkungan yang
optimal. Dalam budidaya tanaman hutan, penerapan teknik silvikultur intensif mutlak
diperlukan. Salah satu syarat dalam budidaya tanaman hutan adalah faktor kesesuaian tempat
tumbuh (site species matching), yaitu kondisi lingkungan (ketinggian tempat tumbuh, tanah
dan iklim) harus sesuai untuk tanaman tersebut. Setelah kondisi lingkungan yang sesuai
selanjutnya adalah penerapan teknik silvikultur intensif dimulai dari persiapan dan pengolahan
lahan, penanaman, pola tanam, pemeliharaan, pemupukan, pengendalian gulma, pengendaian
hama dan penyakit, serta pengamatan dan evaluasi. Seluruh proses tersebut di atas harus
dilakukan dengan tepat yaitu tepat ukuran dan tepat waktu, sehingga dalam proses silvikultur
intensif, penerapan pengawasan adalah berbasis individu pohon.

III. STANDAR TEKNIS BUDIDAYA JENIS UNGGULAN


Keberhasilan budidaya tanaman hutan ditentukan oleh teknis penanaman yang tepat
dalam hal ini adalah teknik silvikultur intensif, agar para pelaksana lapangan mempunyai
pedoman yang sama dalam membangun hutan, maka penerapan standar teknis yang
didasarkan pada hasil penelitian dapat menjadi panduan dalam pelaksanaan. Standar teknis

186
Aspek Silvikultur

budidaya untuk lima jenis tanaman hutan yang telah disusun meliputi jati inti, sengon, mahoni,
jabon dan mangium. Teknik budidaya untuk lima jenis tersebut ini juga merupakan penyesuaian
dari teknik budidaya yang telah disusun oleh Tim Badan Litbang Kementerian Lingkungan dan
Kehutanan (Effendi et al., 2013; Kosasih dan Danu, 2013; Bogidarmanti et al., 2013; Mindawati
et al., 2013; Nurrohmah dan Kurniawati, 2013).
1. Standar teknis budidaya silvikultur intensif jenis jati inti
Tabel 1. Standar Teknis Budidaya dengan Silvikultur Intensif Jenis Jati
No Kegiatan Diskripsi Kegiatan Waktu Pelaksanaan
Kegiatan
1 Persiapan dan  Pemilihan lokasi yang tepat: lahan tidak tergenang,  Tahun -1
pengolahan lahan ketinggian kurang dari 700 m dpl, curah hujan 1.250-
3.000 mm/th, sebaiknya pada tanah berjenis regusol-
grumosol, pH > 5.8
 Pembersihan dari semak, akar-akar gulma dan
kantong/rumah rayap.
 Pembongkaran tunggak, pembalikan tanah, penghan-
curan bongkahan tanah, dan penyingkiran batu
2 Pengadaan bibit  Bibit berasal dari klon unggul yang telah dimuliakan  Tahun -1
(Tree breeding/Mutation breeding) dan sumber
benih berkualitas.
 Bibit telah teruji memiliki daya adaptasi serta
memiliki keunggulan pertumbuhan yang tinggi
(berdasarkan uji multi lokasi).
3 Persiapan  Jarak tanam 4 x 5 m2 (500 pohon per ha)  Tahun -1
penanaman dan  Lubang tanam berukuran besar yaitu: 40 x 40 x 40 cm
pemberian pupuk  Dua minggu sebelum penanaman, setiap lubang
dasar dan kaptan diberi pupuk dasar sebanyak 6.0 kg kompos matang
(berasal dari campuran daun-daunan dan kotoran
ternak) dan kaptan 250 gram.
4 Penanaman,  Waktu penanaman dilaksanakan pada awal musim  Tahun 1
penyulaman, hujan dan frekwensi hujan sudah stabil
pemberian  Bibit dikeluarkan dari kantung semai secara hati-hati
insektisida sistemik agar media tanam tetap utuh, kemudian bibit dima-
(bahan aktif carbo sukkan pada lubang tanam, dan ditimbun dengan ta-
furan) nah yang sebelumnya adalah tanah lapisan atas/hu-
mus. Selanjutnya dimasukkan tanah yang berasal dari
lapisan bawah. Tanah dipadatkan dengan cara bibit
dipegang pada bagian batangnya dan tanah di sekitar
bibit diinjak perlahan.
 Pada saat penanaman ditambahkan insektisida seste-
mik sebanyak 20 gram pada masing-masing lubang
tanam. Bila frekwensi serangan rayap tinggi pemberi-
an insektisida sistemik sebanyak 2 kali sebulan hingga
tanaman terlihat sehat.
 Tempatkan kantung semai pada ujung ajir, sebagai
tanda bahwa bibit telah ditanam dan kantung semai
tidak ikut tertanam.
 Penyulaman dilakukan maksimum pada umur 3 bulan
sejak awal penanaman.
5 Pendangiran,  Pada tanaman jati muda, gulma (tanaman penggang-  Pendangiran dan
pembuatan piringan gu) seperti tumbuhan merambat, semak, atau rum- pembuatan piringan:
dan pembersihan put di sekitar tanaman jati perlu dibersihkan dan di- Tahun 1 sampai
antara dangir secara rutin karena gulma merupakan saingan dengan tahun 3, 2

187
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

No Kegiatan Diskripsi Kegiatan Waktu Pelaksanaan


Kegiatan
tanaman dalam memperoleh cahaya, air, dan unsur kali dalam setahun
hara dalam tanah, dan tumbuhan yang merambat  Pembersihan antara:
juga mengganggu pertumbuhan jati, bahkan bisa tahun 1 sampai de-
mematikan. Pembersihan gulma dan pembuatan ngan tahun 4, 3 kali
piringan dilakukan dengan cara membalik tanah dalam setahun
disekitar tanaman pokok seluas minimal 1.0 meter.  Kegiatan tersebut akan
 Pembersihan antara dilakukan pada gulma yang lebih berhasil jika ta-
tumbuh pada keseluruhan areal penanaman agar naman jati ditumpang-
tanaman memperoleh cahaya yang cukup untuk sarikan dengan tanam-
pertumbuhan an pertanian.
6 Pemupukkan  Pemupukan dilakukan mulai dari tanaman berumur 2  Tahun 1 sampai
bulan hingga 3 tahun. Tahapan pemupukkan adalah dengan tahun 3, 2
sebagai berikut: Umur 2 - 4 minggu: pemberian bio- kali setahun
fertilazer untuk memacu pertumbuhan, menetralisir
residu, memperbaiki struktur tanah melalui peman-
fatan bakteri starter kit yang sangat membantu da-
lam menguraikan racun dalam tanah. Pemupukkan
selanjutnya dilakukan pada umur 6, 12, 24 dan 36 bu-
lan dengan pupuk kandang juga masing-masing 6 kg.
 Teknik pemberian pupuk dapat dengan cara meling-
kari tanaman pokok dengan jarak 0,5-1,0 m dari ba-
tang jati (melingkar selebar tajuk).
 Pemupukan antara (insidentil) dilakukan bila terdapat
pohon-pohon yang pertumbuhannya lebih rendah 5-
10% dari pertumbuhan rata-rata; ditambahkan 50
gram NPK per pohon (umumnya 2-3% dari total
populasi).
7 Pemangkasan  Pemangkasan (pruning) merupakan kegiatan pemang-  Tahun 3 sampai
kasan cabang pohon dominan. Kegiatan bertujuan dengan tahun 4
meningkatkan tinggi bebas cabang, memacu pertum-
buhan batang utama dan mengurangi mata kayu.
 Cabang dominan dipangkas menggunakan gergaji
pangkas/gunting wiwil/sabit/golok tajam pada saat
awal musim hujan. Setengah bagian bawah (50%) dari
tinggi total pohon dibersihkan dari cabang dan
ranting.
8 Pengendalian  Hama/penyakit tanaman jati cepat umumnya ditemui  Tahun 1 sampai de-
hama/penyakit pada umur muda (1-3 tahun). Jenis hama/penyakit ngan tahun 3 rentan
yang seringkali ditemui adalah: Hama uret (Holo- terhadap hama/pe-
trichia helleri dan Lepidiota stigma) yang menyerang nyakit karena jaring-
akar, penggerek bubuk kayu basah (Xyleborus an tanaman masih
destruens), penggerek batang (Monohammus rusti- lunak.
cator) dan rayap pohon (Neotermes tectonae) yang
menyebabkan gembol.
 Banyak ditemukan pada awal musim penghujan se-
hingga pada waktu-waktu tersebut secara berkala
(seminggu sekali) dilakukan pengamatan intensif;
tanaman yang terserang dapat dibedakan secara
kasat mata.
 Pada batang yang terserang pengendalian dapat dila-
kukan dengan insektisida fumigan phostoxin, disun-
tikkan pada batang yang terserang melalui lubang-
lubang gerek. Dilakukan secara periodik dengan me-
meriksa satu per satu tanaman (seminggu sekali).

188
Aspek Silvikultur

No Kegiatan Diskripsi Kegiatan Waktu Pelaksanaan


Kegiatan
Umumnya setelah dua kali penyemprotan hama
sudah mati. Pengendalian hama tanah dapat dilihat
pada point 4.
 Hal yang paling penting dilakukan adalah selalu
tanaman terbebas dari gulma sehingga mengurangi
kelembaban di sekitar tanaman.
9 Agroforestry dan  Untuk menambah keanekaragaman produk agar  Tahun 1 sampai
pergiliran tanaman dapat diperoleh pendapatan jangka pendek, mene- dengan tahun 4
ngah, dan jangka panjang sebaiknya pola yang dikem-
bangkan adalah tumpangsari. Kegiatan pengolahan
tanah dan pemupukan ketika merawat tanaman
semusim berpengaruh baik terhadap pertumbuhan
jati, demikian halnya terpangkasnya akar jati yang
terjadi ketika pengolahan tanah.
 Pada tahap awal jenis-jenis palawija yang dapat
ditanam adalah kacang tanah dan kedele, namun
setelah tanaman jati berumur di atas 6 bulan, dapat
ditanami padi gogo, jagung, talas, nilam, empon-
emponan (kunir, jahe, temuireng).
10 Monitoring,  Memastikan sejauh mana SOP yang telah dibuat  Tahun 1 sampai
evaluasi dan pengu- dapat diimplementasikan secara mudah dan tepat di dengan tahun 8
atan kapasitas sosial lapangan (panen)
masyarakat  Evaluasi keberhasilan kegiatan dan monitoring
pertumbuhan tanaman melalui pengukuran terhadap
petak ukur permanen (PUP) secara berkala
 Penguatan kapasitas, kelembagaan, pengetahuan dan
keterampilan petani
 Sosialisasi kegiatan, khususnya kontribusi terhadap
masyarakat sekitar dan pembangunan pedesaan.

2. Mahoni (Swietenia macrophylla)


Tabel 2. Standar Teknis Budidaya dengan Silvikultur Intensif Jenis Mahoni
No Kegiatan Diskripsi Kegiatan Waktu Pelaksanaan
Kegiatan
1 Persiapan lahan  Pemilihan lokasi yang tepat: lahan subur, tidak terge-  Tahun -1
nang, ketinggian kurang dari 1000 m dpl, curah hujan
1.500-5.000 mm/th, sebaiknya pada tanah berjenis
regusol-grumosol, pH 6,6 – 7,5.
 Pembersihan dari semak, akar-akar gulma dan
kantong/rumah rayap.
 Pembongkaran tunggak, pembalikan tanah, penghan-
curan bongkahan tanah, dan penyingkiran batu.
2 Pengadaan bibit  Pengunduhan benih berasal dari sumber benih berser-  Tahun -1
tifikat sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.
707/MENHUT-II/2013
 Bibit telah teruji memiliki daya adaptasi serta memiliki
keunggulan pertumbuhan yang tinggi (berdasarkan uji
multi lokasi).
3 Persiapan  Jarak tanam 4 x 5 m2  Tahun -1
penanaman  Lubang tanam berukuran besar, yaitu: 30 x 30 x 30 cm
 Satu sampai dua minggu sebelum penanaman, setiap
lubang diberi pupuk dasar sebanyak 5 kg.
4 Penanaman  Waktu penanaman dilaksanakan pada awal musim  Tahun 1

189
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

No Kegiatan Diskripsi Kegiatan Waktu Pelaksanaan


Kegiatan
hujan dan frekwensi hujan sudah stabil.
 Bibit dikeluarkan dari kantung semai secara hati-hati
agar media tanam tetap utuh, kemudian bibit dima-
sukkan pada lubang tanam, dan ditimbun dengan
tanah yang sebelumnya adalah tanah lapisan atas/
humus. Selanjutnya dimasukkan tanah yang berasal
dari lapisan bawah. Tanah dipadatkan dengan cara
bibit dipegang pada bagian batangnya dan tanah di
sekitar bibit diinjak perlahan.
 Pada saat penanaman ditambahkan insektisida seste-
mik sebanyak 20 gram pada masing-masing lubang
tanam. Bila frekwensi serangan rayap tinggi pembe-
rian insektisida sistemik sebanyak 2 kali sebulan sam-
pai tanaman berumur 3 bulan.
 Tempatkan kantung semai pada ujung ajir, sebagai
tanda bahwa bibit telah ditanam dan kantung semai
tidak ikut tertanam.
 Penyulaman dilakukan maksimum pada umur 3 bulan
sejak awal penanaman.
5 Pemeliharaan  Pada tanaman mahoni muda, gulma (tanaman peng-  Pendangiran dan
ganggu) seperti tumbuhan merambat, semak, atau pembuatan piring-
rumput di sekitar tanaman mahoni perlu dibersihkan an: Tahun 1 sampai
dan didangir secara rutin karena gulma merupakan dengan tahun 3, 2
saingan tanaman dalam memperoleh cahaya, air, dan kali dalam setahun.
unsur hara dalam tanah, dan tumbuhan yang meram-  Pada tahun pertama
bat juga mengganggu pertumbuhan mahoni, bahkan dan kedua dilaku-
bisa mematikan. Pembersihan gulma dan pembuatan kan pembersihan
piringan dilakukan dengan cara membalik tanah total.
disekitar tanaman pokok seluas 0,5 - 1.0 meter.  Kegiatan tumpang
 Pembersihan antara dilakukan pada gulma yang tum- sari dapat dilaksa-
buh pada keseluruhan areal penanaman agar tanaman nakan sampai ta-
memperoleh cahaya yang cukup untuk pertumbuhan naman pokok ber-
umur 4 tahun.
6 Pemupukkan  Pemupukkan lanjutan pada umur 6, 12, 24 dan 36  Tahun 1 sampai
bulan dengan menggunakan pupuk kandang sebanyak dengan tahun 3
masing-masing 5 kg/tanaman.
 Pemupukan antara (insidentil) dilakukan bila terdapat
pohon-pohon yang pertumbuhannya lebih rendah 5 –
10% dari pertumbuhan rata-rata; ditambahkan 50
gram NPK per pohon.
7 Pemangkasan  Pemangkasan (pruning) merupakan kegiatan pemang-  Tahun 4 dan tahun 6
kasan cabang pohon dominan. Kegiatan bertujuan
meningkatkan tinggi bebas cabang, memacu pertum-
buhan batang utama dan mengurangi mata kayu.
 Cabang dominan dipangkas menggunakan gergaji
pangkas atau golok tajam pada saat awal musim
hujan. Setengah bagian bawah (50%) dari tinggi total
pohon dibersihkan dari cabang dan ranting.
8 Pengendalian  Pengendalian hama penggerek pucuk (Hypsipyla ro-  Tahun 1 sampai de-
hama/penyakit busta) pada tanaman berumur mulai 1 tahun dengan ngan tahun 3 ren-
cara penyiraman menggunakan insektisida sistemik tan terhadap hama
(Dimecron, Nuvacron dan Perfektion) dengan dosis 4 penggerek pucuk.
ml perliter air/pohon menjelang musim hujan setiap  Untuk mengurangi
10 hari sekali sampai 3 kali berturut-turut. serangan hama dan

190
Aspek Silvikultur

No Kegiatan Diskripsi Kegiatan Waktu Pelaksanaan


Kegiatan
 Hal yang paling penting dilakukan adalah tanaman penyakit dapat dita-
selalu terbebas dari gulma sehingga mengurangi nam mimba pada
kelembaban di sekitar tanaman. batas blok.
9 Monitoring, evaluasi  Memastikan sejauh mana SOP yang telah dibuat dapat  Tahun 1 sampai de-
dan penguatan diimplementasikan secara mudah dan tepat di ngan panen
kapasitas sosial lapangan
masyarakat  Evaluasi keberhasilan kegiatan dan monitoring
pertumbuhan tanaman melalui pengukuran terhadap
petak ukur permanen (PUP) secara berkala
 Penguatan kapasitas, kelembagaan, pengetahuan dan
keterampilan petani
 Sosialisasi kegiatan, khususnya kontribusi terhadap
masyarakat sekitar dan pembangunan pedesaan.

3. Jabon (Anthocephalus cadamba)


Tabel 3. Standar Teknis Budidaya dengan Silvikultur Intensif Jenis Jabon
No Kegiatan Diskripsi Kegiatan Waktu Pelaksanaan
Kegiatan
1 Persiapan lahan  Pemilihan lokasi yang tepat: lahan tidak tergenang,  Tahun -1
ketinggian kurang dari 0-1.000 m dpl terbaik dibawah
ketinggian 50-300 m dpl, curah hujan diatas 2.000
mm/th, sebaiknya pada tanah berjenis podsolik
coklat, aluvial yang lembab atau sepanjang sisi
sungai, pH > 5.8
 Pembersihan dari semak, akar-akar gulma dan
kantong/rumah rayap.
 Pembongkaran tunggak, pembalikan tanah, penghan-
curan bongkahan tanah, dan penyingkiran batu
2 Pengadaan bibit  Pengunduhan benih berasal dari sumber benih ber-  Tahun -1
sertifikat sesuai keputusan Menteri Kehutanan
No.SK. 707/MENHUT-II/2013
 Jarak tanam 5 x 4 m  Tahun -1
2
3 Persiapan
penanaman  Lubang tanam berukuran besar, yaitu: 40 x 40 x 40 cm  *hidrogel diberikan
 Dua minggu sebelum penanaman, setiap lubang saat penanaman
diberi pupuk dasar sebanyak 5.0 kg kompos matang dilaksanakan pada
(berasal dari campuran daun-daunan dan kotoran akhir hujan
ternak).
 Hidrogel dicampur dengan air dengan konsentrasi 5
gram / liter air /tanaman*
4 Penanaman  Waktu penanaman dilaksanakan pada awal musim  Tahun 1
hujan dan frekwensi hujan sudah stabil.
 Bibit dikeluarkan dari kantung semai secara hati-hati
agar media tanam tetap utuh, kemudian bibit
dimasukkan pada lubang tanam, dan ditimbun
dengan tanah yang sebelumnya adalah tanah lapisan
atas/humus. Selanjutnya dimasukkan tanah yang
berasal dari lapisan bawah. Tanah dipadatkan dengan
cara bibit dipegang pada bagian batangnya dan tanah
di sekitar bibit diinjak perlahan.
 Pada saat penanaman ditambahkan insektisida
sestemik sebanyak 20 gram pada masing-masing
lubang tanam. Bila frekwensi serangan rayap tinggi
pemberian insektisida sistemik sebanyak 2 kali

191
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

No Kegiatan Diskripsi Kegiatan Waktu Pelaksanaan


Kegiatan
sebulan hingga tanaman terlihat sehat.
 Tempatkan kantung semai pada ujung ajir, sebagai
tanda bahwa bibit telah ditanam dan kantung semai
tidak ikut tertanam.
 Penyulaman dilakukan maksimum pada umur 3 bulan
sejak awal penanaman.
5 Pemeliharaan  Jenis hama yang menyerang jabon rayap dapat  Pendangiran dan
diatasi dengan furadan (3 bulan sekali @ 20 gr/pohon pembuatan piring-
sampai dengan umur 1 tahun) dan ulat dapat diatasi an: Tahun 1 sampai
dengan pemangkasan. dengan tahun 3, 2
 Pendangiran dan pembuatan piringan dilakukan kali dalam setahun.
dengan cara membalik tanah disekitar tanaman  Pembersihan anta-
pokok seluas minimal 1 meter. ra: tahun 1 sampai
 Pembersihan antara dilakukan pada gulma yang dengan tahun 4, 2
tumbuh pada keseluruhan areal penanaman agar kali dalam setahun.
tanaman memperoleh cahaya yang cukup untuk  Kegiatan tersebut
pertumbuhan. akan lebih berhasil
jika tanaman jabon
ditumpangsarikan
dengan tanaman
pertanian.
6 Pemupukkan  Pemupukan dilakukan mulai dari tanaman berumur 6  Tahun 1 sampai
bulan hingga 2 tahun. Tahapan pemupukkan adalah dengan tahun 2, 2
sebagai berikut: Umur 6, 12, 18 dan 24 bulan: pupuk kali setahun
yang dapat digunakan pupuk kandang sebanyak 5
kg/pohon.
 Pemupukan antara dilakukan bila terdapat pohon-
pohon yang pertumbuhannya lebih rendah 5-10%
dari pertumbuhan rata-rata; ditambahkan 50 gram
NPK per pohon.
 Teknik pemberian pupuk dapat dengan cara meling-
kari tanaman pokok dengan jarak 0,5-1,0 m dari
batang jabon (melingkar selebar tajuk).
9 Agroforestry dan  Untuk menambah keanekaragaman produk agar da-  Tahun 1 sampai
pergiliran tanaman pat diperoleh pendapatan jangka pendek, mene- dengan tahun 4
ngah, dan jangka panjang sebaiknya pola yang di-
kembangkan adalah tumpangsari. Kegiatan pengo-
lahan tanah dan pemupukan ketika merawat tanam-
an semusim berpengaruh baik terhadap pertumbuh-
an jabon, demikian halnya terpangkasnya akar jabon
yang terjadi ketika pengolahan tanah.
 Pada tahap awal jenis-jenis palawija yang dapat dita-
nam adalah kacang tanah dan kedele, namun sete-
lah tanaman jabon berumur di atas 12 bulan, dapat
ditanami padi gogo, jagung, talas, nilam, empon-
emponan (kunir, jahe, temuireng).
10 Monitoring, evaluasi  Memastikan sejauh mana SOP yang telah dibuat  Tahun 1 sampai
dan penguatan dapat diimplementasikan secara mudah dan tepat di dengan tahun 8
kapasitas sosial lapangan (panen)
masyarakat  Evaluasi keberhasilan kegiatan dan monitoring per-
tumbuhan tanaman melalui pengukuran terhadap
petak ukur permanen (PUP) secara berkala
 Penguatan kapasitas, kelembagaan, pengetahuan
dan keterampilan petani

192
Aspek Silvikultur

No Kegiatan Diskripsi Kegiatan Waktu Pelaksanaan


Kegiatan
 Sosialisasi kegiatan, khususnya kontribusi terhadap
masyarakat sekitar dan pembangunan pedesaan.

4. Sengon (Paraserianthes falcataria)


Tabel 4. Standar Teknis Budidaya dengan Silvikultur Intensif Jenis Sengon
No Kegiatan Diskripsi Kegiatan Waktu Pelaksanaan
Kegiatan
1 Persiapan lahan  Pemilihan lokasi yang tepat: lahan subur, tidak terge-  Tahun -1
nang, ketinggian kurang dari 300-700 m dpl, curah
hujan di atas 2.000 mm/th, sebaiknya pada tanah
berjenis regusol-grumosol, pH diatas 5,5.
 Pembersihan dari semak, akar-akar gulma dan
kantong/rumah rayap.
2 Pengadaan benih dan  Pengadaan benih dari sumber benih bersertifikat  Tahun -1
bibit sesuai keputusan Menteri Kehutanan No.SK.
707/MENHUT-II/2013.
 Menggunakan rizobium (0,025 gram/1 kg benih)
pada benih sebelum penaburan.
 Media sapih menggunakan tanah ditambah mikoriza
2,5 gr/policup.
 Untuk pengendalian hama dipersemaian digunakan
furadan 3 gr / policup.
3 Persiapan  Jarak tanam awal 3 x 3 m2  Tahun -1
penanaman  Lubang tanam berukuran besar, yaitu: 30 x 30 x 30 cm
 Dua minggu sebelum penanaman, setiap lubang
diberi pupuk dasar sebanyak 5.0 kg kompos matang
(berasal dari campuran daun-daunan dan kotoran
ternak) dan NPK 100 gram.
4 Penanaman  Waktu penanaman dilaksanakan pada awal musim  Tahun 1
hujan dan frekwensi hujan sudah stabil.
 Bibit dikeluarkan dari kantung semai secara hati-hati
agar media tanam tetap utuh, kemudian bibit
dimasukkan pada lubang tanam, dan ditimbun
dengan tanah yang sebelumnya adalah tanah lapisan
atas/humus. Selanjutnya dimasukkan tanah yang
berasal dari lapisan bawah. Tanah dipadatkan dengan
cara bibit dipegang pada bagian batangnya dan tanah
di sekitar bibit diinjak perlahan.
 Pada saat penanaman ditambahkan insektisida
sestemik sebanyak 20 gram pada masing-masing
lubang tanam. Bila frekwensi serangan rayap tinggi
pemberian insektisida sistemik sebanyak 2 kali
sebulan hingga tanaman terlihat sehat.
 Tempatkan kantung semai pada ujung ajir, sebagai
tanda bahwa bibit telah ditanam dan kantung semai
tidak ikut tertanam.
 Penyulaman dilakukan maksimum pada umur 3 bulan
sejak awal penanaman.
5 Pemeliharaan  Jenis hama penyakit yang dominan menyerang  Pengendalian hama
tegakan sengon adalah: dan penyakit dilak-
- Hama penggerek batang (Boktor/Xystrocera sanakan sampai de-
festiva) dan Indarbela acutistriata dapat diken- ngan usia 3 tahun.
dalikan dengan cara memotong atau membuang  Pendangiran dan

193
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

No Kegiatan Diskripsi Kegiatan Waktu Pelaksanaan


Kegiatan
bagian pohon yang terserang . pembuatan piring-
- Hama ulat kantong dapat dikendalikan dengan an: Tahun 1 sampai
menggunakan pestisida kimia berbahan aktif dengan tahun 2, 2
dimethoat 400 EC atau friponil 50 EC dengan kali dalam setahun.
dosis 10 ml/pohon dengan pelarut air dengan  Pembersihan anta-
cara menyemprotkan pada bagian pohon atau ra: tahun 1 sampai
daun yang terserang. dengan tahun 4, 3
- Hama uret dapat dikendalikan dengan bahan kali dalam setahun.
aktif diazinon 10% dosis 20 gr/pohon, atau  Kegiatan tersebut a-
karbofuran 3% dosis 20 gr/pohon, dengan cara kan lebih berhasil ji-
menaburkan di sekitar pohon kemudian ka tanaman sengon
ditimbun. ditumpangsarikan
- Penyakit karat puru dapat dikendalikan dengan dengan tanaman
cara menyemprot atau mengoles campuran pertanian.
kapur + garam (10:1, w/w) atau kapur + Belerang
(1:1, w/w) sampai penykitnya hilang.
 Pembersihan antara dilakukan pada gulma yang
tumbuh pada keseluruhan areal penanaman agar
tanaman memperoleh cahaya yang cukup untuk
pertumbuhan.
6 Pemupukkan  Pemupukan lanjutan dilakukan pada umur 6, 12, 18  Tahun 1 sampai
dan 24 bulan, menggunakan Pupuk kandang dengan tahun 2, 2
Kotoran kambing dosis 3 kg / lobang . kali setahun
 Pemupukan antara (insidentil) dilakukan bila
terdapat pohon-pohon yang pertumbuhannya lebih
rendah 5 – 10% dari pertumbuhan rata-rata;
ditambahkan 50 gram NPK per pohon.
7 Pemangkasan  Pemangkasan dilakukan pada umur 2 tahun dan 4  Tahun 2 sampai
tahun. Tinggi pangkasan setengah dari tinggi dengan tahun 4
pohon.
8 Penjarangan  Penjarangan dilakukan untuk memberikan ruang  Penjarangan dilaku-
untuk petumbuhan tanaman yang optimum, kan pada umur 3
sehingga penjarangan dilakukan dengan metode dan 6 tahun.
jalur.  Pada umur 3 tahun
 Penjarangan pertama pada umur 3 sebesar 25% diperkirakan dapat
kemudian penjarangan kedua pada umur 6 tahun diperoleh produksi
sebesar 25% . sebesar 3,18 m3 dan
pada umur 6 tahun
sebesar 12,72 m3.
 Tegakan sisa pada
umur 7 tahun seba-
nyak 500 pohon se-
tara dengan 138,47
m3 .
9 Agroforestry dan  Untuk menambah keanekaragaman produk agar da-  Tahun 1 sampai
pergiliran tanaman pat diperoleh pendapatan jangka pendek, menengah, dengan tahun 4
dan jangka panjang sebaiknya pola yang dikembang-
kan adalah tumpangsari. Kegiatan pengolahan tanah
dan pemupukan ketika merawat tanaman semusim
berpengaruh baik terhadap pertumbuhan sengon,
demikian halnya terpangkasnya akar sengon yang
terjadi ketika pengolahan tanah.
 Pada tahap awal jenis-jenis palawija yang dapat
ditanam adalah kacang tanah dan kedele, namun

194
Aspek Silvikultur

No Kegiatan Diskripsi Kegiatan Waktu Pelaksanaan


Kegiatan
setelah tanaman sengon berumur di atas 6 bulan,
dapat ditanami padi gogo, jagung, talas, nilam,
empon-emponan (kunir, jahe, temuireng).
10 Monitoring, evaluasi  Memastikan sejauh mana SOP yang telah dibuat  Tahun 1 sampai
dan penguatan dapat diimplementasikan secara mudah dan tepat di dengan tahun 8
kapasitas sosial lapangan (panen)
masyarakat  Evaluasi keberhasilan kegiatan dan monitoring
pertumbuhan tanaman melalui pengukuran terhadap
petak ukur permanen (PUP) secara berkala
 Penguatan kapasitas, kelembagaan, pengetahuan dan
keterampilan petani
 Sosialisasi kegiatan, khususnya kontribusi terhadap
masyarakat sekitar dan pembangunan pedesaan.

5. Mangium (Acacia mangium)


Tabel 5. Standar Teknis Budidaya dengan Silvikultur Intensif Jenis Mangium
No Kegiatan Diskripsi Kegiatan Waktu Pelaksanaan
Kegiatan
1 Persiapan lahan  Pemilihan lokasi yang tepat: dapat tumbuh pada  Tahun -1
lahan marginal nakan tetapi lebih baik pada lahan
subur, tidak tergenang, ketinggian kurang dari 500 m
dpl, curah hujan 1.500 mm/th, mampu tumbuh pada
tanah podsolik, pH di atas 4,5.
 Pembersihan dari semak, akar-akar gulma dan
kantong/rumah rayap.
 Pembongkaran tunggak, pembalikan tanah, penghan-
curan bongkahan tanah, dan penyingkiran batu.
2 Pengadaan benih dan  Pengunduhan benih berasal dari klon unggul atau  Tahun -1
bibit sumber benih bersertifikat .
 Untuk mempercepat perkecambahan benih diren-
dam dalam air panas dan dibiarkan dingin selama 24
jam.
3 Persiapan  Jarak tanam awal 3 x 3 m2  Tahun -1
penanaman  Lubang tanam berukuran besar, yaitu: 30 x 30 x 30 cm
 Dua minggu sebelum penanaman, setiap lubang di-
beri pupuk dasar sebanyak 5.0 kg kompos matang
(berasal dari campuran daun-daunan dan kotoran
ternak).
4 Penanaman  Waktu penanaman dilaksanakan pada awal musim  Tahun 1
hujan dan frekwensi hujan sudah stabil.
 Bibit dikeluarkan dari kantung semai secara hati-hati
agar media tanam tetap utuh, kemudian bibit dima-
sukkan pada lubang tanam, dan ditimbun dengan
tanah yang sebelumnya adalah tanah lapisan atas/
humus. Selanjutnya dimasukkan tanah yang berasal
dari lapisan bawah. Tanah dipadatkan dengan cara
bibit dipegang pada bagian batangnya dan tanah di
sekitar bibit diinjak perlahan.
 Pada saat penanaman ditambahkan insektisida seste-
mik sebanyak 20 gram pada masing-masing lubang
tanam. Bila frekwensi serangan rayap tinggi pem-
berian insektisida sistemik sebanyak 2 kali sebulan
hingga tanaman terlihat sehat.

195
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

No Kegiatan Diskripsi Kegiatan Waktu Pelaksanaan


Kegiatan
 Tempatkan kantung semai pada ujung ajir, sebagai
tanda bahwa bibit telah ditanam dan kantung semai
tidak ikut tertanam.
 Penyulaman dilakukan maksimum pada umur 3 bulan
sejak awal penanaman.
5 Pemeliharaan  Jenis hama penyakit yang dominan menyerang  Pengendalian hama
tegakan Mangium adalah: dan penyakit dila-
- Hama ulat kantong dapat dikendalikan dengan ksanakan sampai
menggunakan pestisida kimia berbahan aktif dengan usia 1
dimethoat 400 gr/l atau friponil 50 gr/l dengan tahun.
dosis 10 ml/pohon dengan pelarut air dengan  Pendangiran dan
cara menyemprotkan pada bagian pohon atau pembuatan
daun yang terserang. piringan: Tahun 1
 Pembersihan antara dilakukan pada gulma yang sampai dengan
tumbuh pada keseluruhan areal penanaman agar tahun 2, 1 kali
tanaman memperoleh cahaya yang cukup untuk dalam setahun.
pertumbuhan.  Pembersihan anta-
ra: tahun 1 sampai
dengan tahun 3, 1
kali dalam setahun.
 Kegiatan tumpang-
sari dapat dilakukan
sampai dengan ta-
naman pokok beru-
mur 1 tahun.
6 Pemupukkan  Pemupukan lanjutan dilakukan pada umur 6, 12,  Tahun 1 sampai
dan 18 bulan, menggunakan Pupuk kandang dengan 1,5 tahun.
Kotoran kambing dosis 3 kg /lobang
7 Pemangkasan  Pemangkasan dilakukan pada umur 2 tahun dan 4  Tahun 2 dan tahun 4
tahun. Tinggi pangkasan setengah dari tinggi
pohon.
8 Penjarangan  Penjarangan dilakukan untuk memberikan ruang  Penjarangan
untuk petumbuhan tanaman yang optimum, dilakukan pada
sehingga penjarangan dilakukan dengan metode umur 3.
jalur.  Pada umur 3 tahun
 Penjarangan pertama pada umur 3 sebesar 25%. diperkirakan dapat
diperoleh produksi
sebesar 26,25
m3/ha.
 Tegakan sisa pada
umur 8 tahun seba-
nyak 650 pohon se-
tara dengan 210 m3.
9 Agroforestry dan  Untuk menambah keanekaragaman produk agar da-  Tahun 1
pergiliran tanaman pat diperoleh pendapatan jangka pendek, mene-
ngah, dan jangka panjang sebaiknya pola yang
dikembangkan adalah tumpangsari. Kegiatan pengo-
lahan tanah dan pemupukan ketika merawat tanam-
an semusim berpengaruh baik terhadap pertum-
buhan Mangium, demikian halnya terpangkasnya
akar Mangium yang terjadi ketika pengolahan tanah.
 Pada tahap awal jenis-jenis palawija yang dapat
ditanam adalah kacang tanah dan kedele, namun
setelah tanaman Mangium berumur di atas 6 bulan,

196
Aspek Silvikultur

No Kegiatan Diskripsi Kegiatan Waktu Pelaksanaan


Kegiatan
dapat ditanami padi gogo, jagung, talas, nilam, em-
pon-emponan (kunir, jahe, temuireng).
10 Monitoring, evaluasi  Memastikan sejauh mana SOP yang telah dibuat  Tahun 1 sampai
dan penguatan dapat diimplementasikan secara mudah dan tepat di dengan tahun 8
kapasitas sosial lapangan (panen)
masyarakat  Evaluasi keberhasilan kegiatan dan monitoring per-
tumbuhan tanaman melalui pengukuran terhadap
petak ukur permanen (PUP) secara berkala
 Penguatan kapasitas, kelembagaan, pengetahuan dan
keterampilan petani
 Sosialisasi kegiatan, khususnya kontribusi terhadap
masyarakat sekitar dan pembangunan pedesaan.

Dalam standar teknis ditekankan pada penggunaan bibit berkualitas atau berasal dari
klon unggul. Klon unggul umumnya diperbanyak dengan menggunakan metode vegetatif antara
lain kultur jaringan.

IV. PENUTUP
Penggunaan bibit unggul tanpa pengelolaan yang baik tidak akan menghasilkan
produktivitas yang optimal. Budi daya tanaman hutan juga mutlak menerapkan teknik
silvikultur intensif. Salah satu syarat dalam budidaya tanaman hutan adalah faktor kesesuaian
tempat tumbuh (site species matching), yaitu kondisi lingkungan (ketinggian tempat tumbuh,
tanah dan iklim) harus sesuai untuk tanaman tersebut. Setelah kondisi lingkungan sesuai
selanjutnya adalah penerapan teknik silvikultur intensif yang dimulai dari persiapan dan
pengolahan lahan, penanaman, pola tanam, pemeliharaan, pemupukan, pengendalian gulma,
pengendaian hama dan penyakit, serta pengamatan dan evaluasi. Seluruh proses tersebut
diatas harus dilakukan dengan tepat yaitu tepat ukuran dan tepat waktu, sehingga dalam
proses silvikultur intensif, penerapan pengawasan adalah berbasis individu pohon.

DAFTAR PUSTAKA
Bogidarmanti R, Mindawati N. dan Yulianti. 2013. Manual Budidaya Jabon putih (Anthocephalus
cadamba). Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan
dengan Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, Direktorat BPDAS-PS. Kementerian
Kehutanan
Departemen Kehutanan. 2003. Statistik kehutanan 2003. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
Effendi R. dan Widyani N. 2013. Manual Budidaya Jati (Tectona grandis L.f.) Pusat Litbang
Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan dengan Direktorat
Perbenihan Tanaman Hutan, Direktorat BPDAS-PS. Kementerian Kehutanan
Kjaer, E.D., Kosa-Ard, A. And V. Suangtho. 2000. Domestication Of Teak Through Tree
Improvement: Options, Possible Gains And Critical Factors.
Kjaer, E.D. And G.S. Foster. The Economics Of Tree Improvement Of Teak (Tectona Grandis L.).
Kosasih AS dan Danu. 2013. Manual Budidaya Jati Putih (Gmelina arborea Roxb.) Pusat Litbang
Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan dengan Direktorat
Perbenihan Tanaman Hutan, Direktorat BPDAS-PS. Kementerian Kehutanan

197
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Lukito, M Dan Ahadiati Rohmatiah. 2013. Estimasi Biomassa Dan Karbon Tanaman Jati Umur 5
Tahun (Kasus Kawasan Hutan Tanaman Jati Unggul Nusantara (JUN) Desa Krowe,
Kecamatan Lembeyan Kabupaten Magetan). Agri-Tek Volume 14 Nomor 1 Maret 2013
Lukmandaru G; Vendy Eko Prasetyo; Joko Sulistyo, Dan Sri Nugroho Marsoem. Sifat
Pertumbuhan Kayu Jati Dari Hutan Rakyat Gunungkidul.
Mindawati N dan Megawati. 2013. Manual Budidaya Mahoni (Swietenia macrophylla). Pusat
Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan dengan Direktorat
Perbenihan Tanaman Hutan, Direktorat BPDAS-PS. Kementerian Kehutanan
Nugroho B. 2010. Pembangunan kelembagaan pinjaman dana bergulir hutan rakyat. Jurnal
Manejemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 16:118-125.
Nurrohmah H dan Kurniawati PP. 2013. Manual Budidaya Sengon (Paraserianthes falcataria).
Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan dengan
Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, Direktorat BPDAS-PS. Kementerian Kehutanan
[Pusat P2H] Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan. 2010. Kerangka acuan seminar pola
pengelolaan dan pembiayaan hutan rakyat. Jakarta. Pusat Pembiayaan Pembangunan
Hutan, Badan Layanan Umum (BLU) Kehutanan.

198
Aspek Silvikultur

PERAN BPDAS DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT

Muswir Ayub dan Idi Bantara


Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Way Seputih Sekampung Lampung

I. PENDAHULUAN
Sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Balai Pengelolaan Daerah Sungai Way Sekapung Seputih (BPDAS WSS) Lampung
dibebani tugas untuk mendukung nawa cita pemerintahan Jokowi-JK. Tugas pokok dan fungsi
BPDAS sangat bersinggungan dengan masyarakat, desa, pinggiran, petani, dan juga peningkatan
produktivitas hutan.
Dalam paper ini pokok bahasan kami lebih difokuskan pada peran BPDAS WSS Lampung
dalam mendukung program peningkatan produktivitas hutan. Karena dalam tupoksi BPDAS
sangat beruhubungan erat dengan masyarakat maka topiknya lebih menukik pada hutan
rakyat. Sebagaimana tersrat di dalam UU No. 41 tahun 1999, hutan rakyat termasuk di dalam
kategori hutan hak, yaitu hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah.
BPDAS diberi mandat tugas pokok dan fungsi untuk mengelola kawasan Daerah Aliran
Sungai (DAS). Salah satu peran BPDAS dalam hal peningkatan produktivitas lahan adalah
melalui penyediaan bibit yang dibagikan secara cuma-cuma kepada masyarakat untuk ditanam
pada lahan milik. Untuk mendukung program tersebut BPDAS WSS Lampung telah membangun
persemaian permanen. Makalah ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang
pengelolaan persemaian permanen guna mendukung peningkatan produktivitas hutan rakyat di
wilayah Provinsi Lampung.

II. GAMBARAN UMUM PERSEMAIAN PERMANEN


Guna mendukung penyediaan bibit untuk hutan rakyat sebagaimana telah diutarakan di
muka, BPDAS WSS Lampung telah membangun dua buah persemaian permanen (PP) yang
berlokasi di Lampung Selatan dan Tanggamus. PP Lampung Selatan dibangun pada tahun 2011
dengan luas sekitar 2,5 ha. Lokasi PP tersebut berada di bagian selatan Provinsi Lampung
dengan jarak sekitar 120 Km dari kota Bandar Lampung. Persemaian kedua adalah PP
Tanggamus yang dibangun pada tahun 2011 di Kabupaten Tanggamus. Luas persemaian kedua
ini sekitar 1,5 ha. Lokasi PP ini berada di bagian utara Provinsi Lampung, dengan jarak sekitar
120 Km dari pusat kota Bandar Lampung.
Jumlah dan jenis bibit yang diproduksi pada kedua persemaian tersebut disesuaikan
dengan permintaan masyarakat. Jumlah total bibit yang diproduksi pada tahun 2012 sebanyak
1,5 juta batang, selanjutnya pada tahun 2013 sebanyak 0,5 juta batang, tahun 2014 sebanyak
2,5 juta batang dan pada tahun 2015 diproduksi sebanyak 3,5 batang. Sehingga, jumlah total
bibit yang telah diproduksi kedua PP tersebut sebanyak 8 juta batang.
Proses distribusi, penanaman dan pemeliharaan bibit yang telah dibagikan kepada
masyarakat tersebut dilakukan secara swadaya. Cukup dengan mengisi formulir yang telah
disediakan oleh pengelola persemaian (BPDAS WSS Lampung), maka masyarakat bisa men-
dapatkan bibit sesuai dengan kebutuhannya. Dengan sayarat telah memenuhi beberapa butir
persyaratan yang telah ditetapkan.
Untuk meningkatkan minat dan motivasi masyarakat dalam menanam pohon, BPDAS
WSS Lampung juga telah melakukan sosialisasi penanaman. Secara khusus, tujuan tersebut

199
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

dimaksudkan guna meyakinkan masyarakat akan pentingnya pohon sebagai tabungan dan
harapan keluarga. Kegiatan sosialisasi tersebut dilakukan melalui media televisi, radio, media
cetak dan bahkan dilakukan pelatihan teknis kepada Oraganisasi-organisasi Mahasiswa se-
Provinsi Lampung, LSM dan penyuluhan kepada pelajar dari mulai TK hingga SD. Kegiatan
tersebut nampaknya telah menuai hasil. Hal itu terbukti dengan meningkatnya permintaan bibit
dari tahun ke tahun.
Adapun jenis-jenis bibit yang diminati masyarakat disajikan dalam Tabel 1. Nomor urut
yang ditampilkan pada kolom 1 pada tabel tersebut menunjukkan urutan prioritas pada masing-
masing kategori. Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 1, tampak bahwa untuk
masyarakat Lampung jenis kayu sengon masih menjadi primadona untuk jenis penghasil kayu.
Hal yang menarik, masyarakat Lampung juga telah melirik jenis Acacia mangium sebagai
prioritas kedua untuk kategori jenis penghasil kayu. Padahal semula jenis ini lebih populer
sebagai jenis kayu yang dikembangkan untuk hutan tanaman industri. Pada kategori MPTS
(multipurpose trees), jenis petai dan pala masih menjadi prioritas utama yang sangat diminati
masyarakat Lampung. Adapun untuk jenis bibit ndukan vegetatif, masyarakat lebih melirik jati
muna dibandingkan matoa maupun durian hutan lampung sekalipun.
Tabel 1. Jenis-jenis bibit pohon yang diminati masyarakat Lampung
No. Jenis Bibit pada Masing-masing Kategori
Urut Kayu- MPTS Tanaman Pantai & Tanaman Indukan
Prioritas kayuan Lingkungan Mangrove Langka Vegetatif
1 Sengon Petai Glodokan Cemara Laut Tenam Jati Muna
Tiang
2 Acacia Pala Trembesi Ketapang Merbau Matoa
mangium
3 Cempaka/ Jengkol Sawo Kecik Rhizopora Ficus sp. Klengkeng
Bambang mucronanta Itoh
Lanang
4 Medang Durian Tanjung Rhizopora Asam Durian
apiculata Kandis Hutan
Lampung
5 Gmelina Karet Ketapang Rhizopora
Kencana steliosa
6 Mahoni Damar
Mata Kucing
7 Sirsak
8 Jambu Biji

III. SUMBER BENIH


Benih yang unggul menjadi syarat utama untuk menghasilkan bibit yang berkualitas.
Untuk itu, bibit yang diproduksi di PP Lampung Selatan mupun PP Tanggamus diupayakan
diperoleh dari sumber benih yang bersrtifikat. Adapun, lima jenis kayu-kayuan (Jati, Mahoni,
Sengon, Gmelina, dan Jabon Putih) diperoleh dari sumber benih bersertifikat TBT (Tegakan
Benih Teridentifikasi).
Sebagian besar (90%) kebutuhan benih yang diperlukan untuk mencukupi keperluan
produksi bibit di kedua persemaian tersebut, BPDAS WSS Lampung memperoleh benih
pengada dan pengedar benih di Lampung. Sisanya diperoleh dari dari Clandestine lokal. Selain
itu, benih jabon merah didatangkan dari Sulawesi Utara, dan benih karet polong merah

200
Aspek Silvikultur

didatangkan dari Sumatera Utara. Selain menggunakan benih, perbanyakan bibit di kedua
persemaian di Lampung juga benih vegetatif, khususnya untuk jenis Matoa, Jati Muna, Bambu,
Klengkeng Itoh. Benih untuk jenis-jenis tersebut diperoleh dari Pengada Benih Terdaftar di
Jawa.
Selain dari sumber-sumber yang disebutkan di muka, di Provinsi Lampung juga terdapat
beberapa Koleksi Sumber Benih Lokal Hutan Lampung. Khususnya untuk jenis-jenis yang
penyebarannya terdapat di Lampung. Jenis-jenis tersebut antara lain: Mahoni, Waru Gunung,
Tenam, Damar Mata Kucing, Acacia mangium, dan Jernang.

IV. BELAJAR DARI PENGALAMAN MEMBUAHKAN INOVASI


A. Inovasi Alat Pembuat Media Semai Cetak (MSC)
Dalam memenuhi kebutuhan bibit berkualitas dalam jumlah yang cukup dan waktu yang
singkat dibutuhkan teknologi yang mampu memproduksi bibit secara masal. Dari hasil
pembelajaran dan pengalaman memproduksi bibit dalam jumlah banyak, kami telah mencoba
memodifikasi alat untuk membuat media tanam. Alat tersebut kami namakan “Media Semai
Cetak” atau kami singkat dengan nama “Alat MSC”. Untuk lebih jelasnya gambaran alat
tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

(a) (b)
Gambar 1. a. Alat Pembuat Media Semai Cetak (MSC), b. Cara pengoperasian MSC
Untuk menggunakan alat MSC diperlukan media khusus yang merupakan campuran
antara tanah liat, serbuk sabut kelapa, arang sekam padi dan pasir halus. Media tersebut diaduk
rata dan dicampur air membentuk adonan layaknya bahan batu bata. Contoh bahan media
yang telah siap untuk dicetak dapat dilihat pada Gambar 2. Pada Gambar 3, kami disajikan foto
bibit yang menggunakan media MSC tersusun di dalam bedeng-bedeng persemaian.

201
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Gambar 2. Media semai yang siap dicetak

Gambar 3. Bibit yang menggunakan MSC tersusun di


dalam bedeng-bedeng di persemaian
B. Pemanfaatan Limbah Sebagai Pengganti Polybag
Penggunaan polybag untuk menyapih bibit sebelum ditanam ke lapangan adalah hal
umum dan standar dalam persemaian-persemaian standar. Namun jika pembibitan dilakukan
oleh masyarakat kadangkala mendapat kendala untuk mengadakan polybag, apalagi jika
diperlukan dalam jumlah besar. Sebagai lembaga pemerintah yang bertugas membantu
masyarakat, pada dasarnya BPDAS bisa saja memberikan bantuan dalam bentuk pembagian
polybag bagi petani. Namun, kali ini kami ingin mencoba berbagi pengalaman dan memberikan
pembelajaran kepada petani agar senantiasa memanfaatkan segala sesuatu yang ada di
sekitarnya untuk membuat sesuatu yang berguna. Bahkan limbah sekalipun dapat diusahakan
untuk menjadi barang yang bermanfaat.
Sebagai salah satu teladan untuk melakukan hal tersebut, kami telah berbagi dengan
petani untuk memnafaatkan gelas bekas kemasan air mineral untuk digunakan sebagai media
sapih (lihat Gambar 4). Di persemaian Lampung Selatan media ini digunakan untuk media sapih
bibit jenis-jenis mangrove. Selain berbagi pengalaman tersebut. BPDAS WSS Lampung juga
telah mencoba berbagi pengetahuan dan keterampilan dengan petani mengenai teknik
Perbanyakan Vegetatif dengan cara Okulasi pada untuk jenis Jati, Klengkeng dan Durian.

202
Aspek Silvikultur

Gambar 4. Penggunaan limbah gelas bekas kemasan air mineral


sebagai media sapih bibit

V. KONSERVASI JENIS UNGGUL SEBAGAI SUMBER BIBIT


Untuk menjaga kelestarian jenis-jenis lokal, BPDAS WSS Lampung telah
mengembangkan Koleksi MPTS Unggul. Khususnya untuk jenis Durian Koplak, Durian Tembaga
dan Klengkeng Itoh. Saat ini sudah terdapat sekitar 40 Pohon ndukan yang menjadi sumber
benih untuk pembibitan jenis-jenis tersebut di Persemaian Permanen Lampung.
Upaya konservasi jenis yang telah dikembangkan oleh BPDAS WSS Lampung tersebut
tidak dilakukan oleh sepihak, namun bermitra dengan masyarakat dan dibangun dengan pola
Hutan Kemasyarakatan (HKM).

VI. PEMBAGIAN INOKULAN GRATIS DALAM RANGKA PENGEMBANGAN GAHARU


Gaharu merupakan salah satu komoditas HHBK yang diminati oleh masyarakat. Menurut
hasil pendataan BPDAS WSS Lampung, jumlah tanaman pohon penghasil gahru pada lahan milik
yang sudah siap untuk disuntik (diameter pohon lebih dari 20 cm) sekitar 9.900 pohon yang
tersebar di delapan kabupaten di Provinsi Lampung. Adapun, jumlah tanaman baru tersu
bertambah setiap tahun dengan rata-rata penambahan sekitar 200.000 pohon per tahun.
Tingginya minat masyarakat untuk mengembangkan pohon penghasil gaharu
dibenturkan pada beberapa permasalahan, diantaranya adalah kesulitan dalam pemasaran dan
pemanenan karena Jenis Aquilaria malacensis dan Aquilaria microcarpa yang kini telah
dibudidayakan di lahan milik masih tergolong jenis yang dilindungi (masuk dalam kelompok
Apendix II CITES), sehingga perdagangannya dibatasi (ada kuota). Permasalahan lainnya terkait
dengan teknologi panen cabang sudah dikembangkan masih terkendala dengan peraturan
penebangan dalam kawasan hutan lindung. Permasalahan ketiga mengenai pemasaran gaharu
yang bersifat tertutup sehingga tidak mudah bagi petani untuk menjual hasil gaharunya.
Di sisi lain, dalam hal perbanyak dan embudidayaannya reltif tidak banyak kendala.
Bahkan perbanyakan gaharu secara vegetatif kini mulai dikembangkan selain perbanyakan
generatif. Begitu pun dalam hal pola budidaya sudah relatif dikuasai oleh masyarakat.
Dalam hal budidaya yang umumnya dikeluhkan oleh masyarakat adalah masalah
pembelian serum (inokulan) pembentuk gaharu. Atas keluhan tersebut, BPDAS WSS Lampung
telah manganggarkan untuk memberikan inokulan gratis kepada petani. Di samping itu, BPDAS
WSS Lampung juga memberikan pendampingan kepada petani dalam hal penyuntukan gaharu
dan bahkan hingga pada tahap, pemanenan dan pengolahan hasil (penyulingan). Untuk

203
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

memfasilitasi pemasaran, BPDAS WSS Lampung juga seringkali mengikutkan petani-petani


tersebut dalam berbagai kegiatan pameran. Beberapa kegiatan pameran yang telah
mengikutkan petani diantaranya adalah Pameran yang diselenggarakan di Manggala
Wanabakti.

VI. PENUTUP
Demikianlah beberapa hal yang telah dilakukan oleh BPDAS WSS Lampung dalam rangka
mendukung program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, khususnya dalam
program peningkatan produktivitas hutan rakyat. Dalam mendukung program tersebut BPDAS
WSS Lampung menyokongnya dalam bentuk penyediaan bibit berkualitas dalam jumlah yang
cukup sesuai dengan minat masyarakat; mengembangkan inovasi dalam produksi bibit;
melibatkan masayarakat dalam konservasi jenis-jenis MPTS unggulan setempat; pendampingan
pembudidayaan dan pengolahan hasil gaharu serta memfasilitasi pemasaran produknya.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

204
ASPEK SOSIAL, EKONOMI DAN
KELEMBAGAAN
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN PRODUKSI


DAN HUTAN LINDUNG: KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) SEBAGAI SOLUSI?

Bramasto Nugroho
Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK

Pembangunan kehutanan di Indonesia dihadapkan pada rendahnya tata kelola hutan dan lahan. Ada 4
persoalan utama yang ditengarai sebagai penyebab rendahnya nilai indeks tata kelola tersebut, yaitu
(UNDP 2013): 1) Lemahnya pengelolaan hutan dan lahan, 2) Open akses kawasan hutan, 3) Lemahnya
penegakan hukum, dan 4) Biaya transaksi tinggi pengusahaan hutan. Kondisi demikian menyebabkan
penurunan produktivitas hutan baik dalam arti kemampuan hutan untuk menghasilkan tegakan dan
tanaman-tanaman lainnya sebagai penyusun ekosistem hutan (stock) maupun aliran manfaat (flow) dari
hutan tersebut. Persoalan-persoalan yang menyebabkan penurunan produktivitas hutan tersebut tentu
bukan merupakan persoalan teknis semata, melainkan terdapat pula persoalan-persoalan yang lebih
kompleks seperti sosial, politik, kelembagaan, regulasi dan ketiadaan organisasi pengelola di tingkat
tapak sebagai faktor pemungkin (enabling factors) bagi keberhasilan pendekatan teknis. Di antara
banyak persoalan tersebut di atas, paper ini akan difokuskan untuk mengupas perlunya kelembagaan
dan organisasi pengelola di tingkat tapak untuk mendorong peningkatan produktivitas hutan produksi
dan lindung. Dalam kerangka peraturan dan perudangan yang ada, pengelola di tingkat tapak tersebut
dapat diperankan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Kata kunci: kelembagaan, produktivitas hutan, tata kelola hutan dan lahan, Kesatuan Pengelolaan
Hutan (KPH)

I. PENDAHULUAN
Pembangunan kehutanan di Indonesia dihadapkan pada rendahnya tata kelola hutan
dan lahan. Penelitian UNDP (2013) menunjukkan bahwa indeks tata kelola hutan dan lahan
untuk tingkat kabupaten hanya 1,98 dari nilai sempurna 5, untuk tingkat provinsi 2,36, pusat
2,71 dan rataan nasional 2,33. Ada 4 persoalan utama yang ditengarai sebagai penyebab
rendahnya nilai indeks tata kelola tersebut, yaitu 1) Lemahnya pengelolaan hutan dan lahan, 2)
Open akses kawasan hutan, 3) Lemahnya penegakan hukum, dan 4) Biaya transaksi tinggi
pengusahaan hutan. Dari data-data statistik kehutanan maupun kajian-kajian yang telah
dilakukan, ke-4 persoalan utama tersebut dapat dirunut kebenarannya. FWI (2014) melaporkan
bahwa sampai dengan tahun 2013 terdapat 41 juta ha luas tutupan hutanalam yang berada di
Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi dan AreaPenggunaan Lain yang belum memiliki
lembaga yang bertanggung jawabsebagai pengelola di lapangan. Dari seluruh kawasan hutan
Negara (130,68 juta ha) baru sekitar 12,68% (14,24 juta ha) yang telah dikukuhkan, walaupun
telah ditata batas sepanjang 222.452 km (74,67%) dari proyeksi panjang tata batas 281.873 km
(RKTN 2011-2030).
Ketiadaan pengelola di tingkat tapak dan rendahnya kepastian kawasan yang telah
dikukuhkan menyebabkan areal hutan yang dikuasai oleh Negara berisiko menjadi sumberdaya
dengan akses terbuka (open access resources), akibatnya illegal logging dan deforestasi masih
ditengarai tinggi di Indonesia. FWI (2014) melaporkan bahwa kehilangan tutupan hutan alam
(deforestasi) di Indonesia pada periode 2009-2013 adalah sekitar 4,50 juta hektar dan laju
kehilangan hutan alam Indonesia adalah sekitar 1,13 juta hektar per tahun lebih tinggi dari

207
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

laporan Badan Planologi Kehutanan (2008) untuk kurun waktu 2000-2005 yang menyebutkan
konversi hutan mencapai 1,09 juta ha per tahun.
Lahan kritis hingga 2013 mencapai luasan 27.294.842 ha terdiri 22.025.581 ha
berkategori kritis dan 5.269.260 ha berkategori sangat kritis, sementara kemampuan
pemerintah untuk merehabilitasinya sangat terbatas yaitu 119.095 ha pada tahun 2013
(Statistik Kementerian Kehutanan Tahun 2013) yang tampaknya untuk tahun-tahun sebelumnya
tidak akan berbeda siginifikan dengan realisasi tahun 2013 tersebut. Belum lagi apabila dilacak
tingkat keberhasilannya menjadi pohon yang dapat berfungsi baik sebagai penyuplai kayu
maupun pendukung kehidupan. Tampaknya basis spasial dan pendataan yang kontinyu
terhadap hasil-hasil rehabilitasi masih perlu diperkuat.
Pada pengusahaan hutan, Litbang KPK juga menengarai adanya biaya transaksi tinggi,
baik pada pelaksanaan perizinan, perencanaan hutan, produksi hasil hutan, dan penataan
usaha hasil hutan (Litbang KPK 2013). Tingginya biaya transaksi tersebut menyebabkan usaha di
bidang kehutanan menjadi tidak atraktif. Apabila tahun 2008 masih ada 212 unit pemegang
IUPHHK-HA, pada tahun 2012 jumlah tersebut tinggal 115 unit.
Di antara banyak persoalan tersebut di atas, paper ini akan difokuskan untuk mengupas
perlunya kelembagaan dan organisasi pengelola di tingkat tapak, karena program-program
pemerintah untuk peningkatan produktivitas hutan produksi dan hutan lindung akan banyak
mengalami hambatan apabila tidak ada pihak yang bertanggung jawab atas keberhasilan
implementasinya yaitu dalam hal perencanaan dan pembiayaannya, pelaksanaan program-
program, penjaminan terhadap keamanan dan kelestarian investasi, menekan dampak negatif
penguasaan kawasan hutan oleh Negara yang sesuai karakteristiknya rentan menjadi open
access resources, pengukuran dan pelaporan atas program, menindak lanjuti atas kelemahan-
kelemahan implementasi program, pengelolaan biaya dan pendistribusian manfaat-manfaat di
level tapak. Oleh karenanya, menghadirkan pengelola di tingkat tapak yang dapat
melaksanakan aktivitas-aktivitas tersebut sangat diperlukan. Dalam kerangka peraturan dan
perudangan yang ada, pengelola di tingkat tapak tersebut dapat diperankan oleh Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) (UU 41/1999; PP 6/2007 jo PP 3/2008; PP 44/2004).

II. PERSOALAN KELEMBAGAAN DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN


Kelembagaan meliputi aturan main dan organisasi. Aturan main merujuk pada undang-
undang, regulasi, kebijakan, norma-norma, larangan-larangan, atau kontrak-kontrak untuk
mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat, kelompok atau
organisasi/lembaga.
Dari penjelasan fakta statistik tersebut di atas dapat disarikan bahwa tampaknya
pengelolaan hutan Negara pada umumnya menghadapi berbagai persoalan kelembagaan
sebagai berikut:
1. Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 3
dan UU 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 4 ayat 1 mengindikasikan bahwa hutan yang
dikuasai oleh Negara (state/public forest) merupakan sumberdaya milik bersama (Common-
pool Resources – CPRs) yang selalu dihadapkan pada dilema-dilema pemanfaatan, di mana
semua orang ingin memperoleh manfaatnya, namun tidak semua orang bersedia menjaga
(bertanggung jawab terhadap) kelestariannya.
2. Sebagai sumberdaya milik bersama (common-poll resources – CPRs) cenderung/berisiko
menjadi sumberdaya dengan akses terbuka (open access resources) secara de facto, terlebih
kelembagaan yang efektif di tingkat tapak tidak mampu dihadirkan. Tanpa kelembagaan

208
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

yang efektif akan menyebabkan sumberdaya milik bersama dimanfaatkan secara berlebihan
(over exploitation) yang mengakibatkan rusaknya (tidak lestarinya) sumberdaya tersebut
(Ostrom, 2008). Fenomena-fenomena perambahan hutan, illegal logging dan deforestasi
terjadi karena sebab-sebab tersebut, sebagai akibat tidak terkendalinya kompetisi klaim
(competing claims) para aktor. Kompetisi klaim tersebut tidak saja melibatkan masyarakat di
dalam dan sekitar hutan, melainkan melibatkan pula para aktor yang memiliki kewenangan
dalam perizinan pemanfaatan sumberdaya milik bersama tersebut.
3. Kepastian hukum atas areal hutan Negara masih lemah. Pengukuhan hutan yang menjadi
pra-syarat kepastian hukum (legalitas) kawasan hutan pada kenyataannya masih dalam
proses penetapan. Areal yang telah dikukuhkanpun tidak seluruhnya dihormati oleh
masyarakat (legitimate) yang menyebabkan tingginya konflik-konflik tenurial di kawasan
hutan Negara.
4. Investasi-investasi publik (pemerintah) tidak dapat dipastikan keberhasilannya, karena
“penjaga” dari investasi tersebut tidak ada di level tapak. Investasi publik tersebut dapat
meliputi pal batas, hasil rehabilitasi hutan dan lahan, dan lain sebagainya. Ketiadaan
“penjaga” di level tapak akan menimbulkan pemikiran masyarakat bahwa investasi publik
kehutanan tidak ada yang memilikinya.
5. Pemerintah sebagai penguasa kawasan hutan Negara pada kenyataannya tidak memiliki
informasi yang komplit terhadap sumberdaya yang dikuasainya. Kepemilikan informasi justru
berada pada pemegang izin. Pada situasi demikian pada dasarnya akan mendorong
pemegang izin dan petugas pengawas usaha pemegang izin akan berperilaku moral hazard
dalam pengelolaan hutan. Fenomena rusaknya konsesi hutan sebelum masa konsesi habis
merupakan akibat dari situasi ketidaksepadanan informasi yang dimiliki antara pemegang
izin dan pemerintah. Begitu pula dengan fenomena biaya transaksi tinggi pada pengusahaan
hutan di Indonesia.Sesungguhnya dengan mekanisme pemberian izin bagi swasta yang ingin
terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan, pemerintah memiliki kesempatan untuk
mengendalikan perilaku pemegang izin.Pada kenyataannya mekanisme izin yang
dikembangkan belum mampu dijadikan alat pengendali perilaku lestari bagi pemegang izin.
Kondisi demikian jelas akan menurunkan produktivitas hutan. Menurut kamus besar
bahasa Indonesia (KBBI) produktivitas didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan
sesuatu. Apabila dikaitkan dengan hutan memiliki arti kemampuan hutan untuk menghasilkan
tegakan dan tanaman-tanaman lainnya sebagai penyusun ekosistem hutan (stock) yang pada
akhirnya akan mempengaruhi aliran manfaat (flow) dari hutan tersebut. Deforestasi tinggi,
luasnya lahan kritis, terbatasnya kemampuan pemerintah untuk merehabilitasi dan tidak
menariknya investasi di sektor kehutanan akanmengurangi sediaan (stock) sumberdaya hutan
dan akhirnya akan mengurangi kemampuannya untuk menyediakan aliran manfaat (flow).
Persoalan-persoalan yang menyebabkan penurunan produktivitas hutan tersebut tentu
bukan merupakan persoalan teknis semata. Oleh karenanya untuk meningkatkan produktivitas
hutan yang hanya berorientasi teknis seperti ketepatan jenis dengan tempat tumbuh (soil
species matching), bibit unggul, teknik silvikultur, dls akan berisiko tinggi menemui kegagalan,
karena persoalan-persoalan yang lebih kompleks seperti sosial, politik, kelembagaan, regulasi
dan ketiadaan organisasi pengelola di tingkat tapak juga perlu disediakan sebagai faktor
pemungkin (enabling factors) bagi keberhasilan pendekatan teknis. Hal ini sejalan dengan
sinyalemen Mayers et al. (2002) yang menyatakan bahwa banyak persoalan pencapaian
pengelolaan hutan lestari (PHL) seringkali berakar pada masalah yang jauh dari SDH itu sendiri.
Ketika faktor-faktor pemungkin bagi bekerjanya suatu kebijakan tersebut telah mampu

209
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

disediakan, maka orang akan berfikir tentang efisiensi dan peningkatan produktivitas. Pada saat
itulah teknologi memiliki peran yang sangat penting.

III. KPH SEBAGAI ARUS UTAMA PEMBANGUNAN KEHUTANAN INDONESIA


KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KPH
Hingga Februari 2014, terdapat 121,68 juta ha wilayah yang telah ditetapkan menteri
sebagai KPH terdiri dari 37,73 juta ha KPHK, 24,14 juta ha KPHL dan 59,81 juta ha KPHP
(Direktorat WP3H, 2014) yang keseluruhan pembangunannya akan diselesaikan 2019. Dari
keseluruhan wilayah yang telah ditetapkan tersebut terdapat 120 unit KPH Model dengan
luasan 16,44 juta ha yang terdiri dari 3,55 juta ha (40 unit) KPHL dan 12,89 juta ha (80 unit)
KPHP (Direktorat WP3H, 2014). Dengan demikian, antara 2015-2019 akan diperlukan
pembangunan KPH baru seluas 105,24 juta ha.
Sementara itu perkembangan untuk 120 unit KPH model dapat dijelaskan sebagai
berikut: KPH model yang telah terbentuk organisasinya berjumlah 115 unit terdiri dari 102 unit
berbentuk UPTD dan 13 unit berbentuk SKPD. Dari 115 unit KPH model yang telah terbentuk
organisasinya, baru 94 orang yang memiliki KKPH definitif dengan jumlah pegawai (SDM) 1.100
orang. Hingga Februari 2014 terdapat 38 unit KPH yang telah memiliki RPHJP selebihnya masih
dalam proses pengesahan.
Dalam kaitannya dengan 9 cita-cita (Nawa Cita) pemerintahan Jokowi-JK saat ini,
pembangunan KPH dapat diartikan sebagai pewujudan cita-cita pertama yaitu Negara harus
hadir, cita-cita kedua yaitu pemerintah tidak absen dan cita-cita ketiga yaitu membangun dari
pinggiran (daerah dan desa). Kemudian dijabarkan oleh Tim Transisi pemerintahan Jokowi-JK ke
dalam “quick win reforma agrarian” yang menyebutkan bahwa untuk 3 bulan pertama akan
merencanakan pembentukan KPH untuk seluruh wilayah Indonesia sebagai penjaga ekosistem
hutan berbasis tapak. Selain itu dalam rangka pencegahan korupsi, KPK telah pula menyusun 5
agenda NKB-KPK untuk Provinsi yang mana agenda ke-empatnya menekankan pada
operasionalisasi KPH. Bahkan di dalam Rancangan RPJMN 2015-2019 untuk bidang kehutanan,
pemerintah menargetkan terbangunnya 480 KPH dan operasionalisasi 120 KPH model di
seluruh Indonesia, sehingga pada 2019 ditargetkan telah terbangun 600 KPH di seluruh
Indonesia. Untuk akselerasinya Bappenas telah mensepakati bahwa pembangunan kehutanan
akan dilakukan pada KPH yang diistilahkan “no KPH, no budget”.
Dari penjelasan tersebut di atas, tampak bahwa KPH merupakan arus utama
pembangunan kehutanan di Indonesia di masa datang. Persoalannya adalah mengapa
pembangunan KPH hingga kini masih lambat dan yang telah terbangun belum beroperasi sesuai
yang diharapkan?

IV. PERAN KPH


Seluruh kawasan hutan yang dikuasai oleh Negara terbagi dalam Kesatuan Pengelolaan
Hutan (KPH), yang menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional,
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota (PP 6/2007 ps 3(3)). KPH adalah wilayah
pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien
dan lestari (PP No.6/2007). Istilah KPH sendiri sesungguhnya telah dikenal sejak diterbitkannya
UU No 41/1999 tentang Kehutanan, kemudian ditegaskan kembali di dalam PP No. 44 Tahun
2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan mendapat dorongan kuat melalui PP No. 6 Tahun
2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
serta Pemanfaatan Hutan. Dengan ketentuan tersebut, maka pada dasarnya KPH merupakan

210
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

unit organisasi yang ditugaskan untuk mengelola kawasan hutan Negara sesuai fungsinya yaitu
hutan produksi (KPHP), hutan lindung (KPHL) dan hutan konservasi (KPHK).
Mengingat posisi yang cukup strategis tersebut, maka KPH perlu diberi tugas dan fungsi yang
cukup luas. Tugas dan fungsi tersebut meliputi (PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008):
1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan; penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi hutan dan
reklamasi; dan perlindungan hutan dan konservasi alam.
2. Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan
untuk diimplementasikandi level tapak.
3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan diwilayahnya mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian.
4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di
wilayahnya.
5. Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
Dengan demikian kehadiran KPH di tingkat tapak secara potensial dapat diperankan sebagai
berikut:
1. Kawasan hutan yang berdasarkan UU dikuasai oleh negara memerlukan lembaga dan
kelembagaan pengelolaan hutan yang efektif dan merupakan wakil pemerintah di tingkat
tapak untuk meminimalisir risiko bermutasinya kawasan hutan yang dikuasai oleh negara
menjadi open access resources.
2. Kompetisi klaim atas sumberdaya hutan (termasuk lahan) dapat lebih diatur dengan adanya
organisasi KPH di tingkat tapak. Ketika ada masyarakat yang memerlukan ruang untuk
penguatan mata penchariannya dapat dicarikan solusi yang tidak bertentangan dengan
regulasi yang ada baik melalui fasilitasi perolehan izin HTR, HKm dan Hutan Desa maupun
melalui kemitraan (Permenhut P.39/2013) dan kerjasama bagi hasil pada wilayah tertentu
(Permenhut P.47/2013). Begitu pula ketika ada pemberian izin kepada swasta, KPH dapat
memberikan masukan atas rekomendasi perizinan.
3. Pengelolaan (terutama pemanfaatan SDH) yang dipercayakan kepada swasta melalui
mekanisme pemberian ijin pemanfaatan hasil hutan (IUPHH) memiliki keterbatasan waktu
dan apabila telah berakhir masa konsesinya kawasan tersebut menjadi tidak berpengelola.
Selain itu sifat pemindahan hak (transfer of right) yang diberikan kepada pemegang ijin
adalah sementara (temporary transfer of rights) seperti halnya sewa-menyewa, maka
diperlukan pula pengawasan yang ketat dari pemerintah atas perilaku pemegang ijin dalam
pemanfaatan hutan di tingkat tapak.
4. Dengan kehadiran KPH, maka kemampuan pemerintah untuk memperkuat kepemilikan
informasi SDH di tingkat tapak dapat ditingkatkan. Dengan informasi yang kuat, maka
bentuk-bentuk intervensi dapat disesuaikan dengan kondisi setempat, selain untuk
melindungi dan mengamankan asset Negara berupa hutan.
5. Banyak investasi kehutanan seperti halnya pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL)
yang telah diimplementasikan di lapangan sering gagal yang dikarenakan ketiadaan
pengelola atas investasi tersebut. Pelaksana proyek hanya berorientasi pada penanaman,
tanpa memikirkan pemeliharaan dan pengelolaan atas pohon yang ditanam. Investasi
kehutanan tidak hanya terbatas pada RHL saja melainkan juga meliputi pal batas, jalan
inspeksi, program-program pengayaan dan perlindungan biodiversitas, program-program
REDD+, dls. Selain menjaga dan mengelola investasi kehutanan tersebut, KPH dapat pula
diperankan sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengukuran, monitoring,

211
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

evaluasi dan pelaporan serta penjamin bahwa program-program kehutanan yang


diimplementasikan tidak menyebabkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat menurun.
6. Program-program pemberian akses kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam
mengelola hutan dan peningkatan produktivitas hutan produksi dan hutan lindung seperti
Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan lambat terealisasi karena
ketiadaan pendamping di level pengusulan dan implementasi. Melalui pelayanan publik yang
mestinya menjadi orientasi penyelenggaraan KPH, maka penguatan keterlibatan masyarakat
dalam pemanfaatan SDH dapat dilakukan baik melalui jalinan kemitraan maupun pelibatan
masyarakat dalam operasionalisasi pengelolaan hutan oleh KPH. Dalam jangka panjang
kondisi demikian akan meningkatkan legitimasi pengelolaan hutan oleh KPH.
7. Dalam batas-batas kewenangannya, KPH dapat membantu operasionalisasi penyelesaian
konflik tenurial di lapangan setelah pihak-pihak yang berweweng menyelesaikannya secara
yuridis formal atas sengketa tersebut. Disadari bahwa konflik tenurial bukan saja persoalan
teknis semata melainkan melibatkan persoalan sosial dan politik. Oleh karenanya persoalan
sosial dan politik konflik perlu diselesaikan oleh lembaga lain seperti Tim Inventarisasi
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (Tim IP4T) sebagaimana diatur
oleh Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Kehutanan, Pekerjaan Umum dan Kepala
Badan Pertanahan Nasional (Perma No 70/2014, PB.3/Menhut-II/2014, 17/PRT/M/2014 dan
8/SKB/X/2014), sedangkan persoalan operasional teknis dapat diselesaikan oleh KPH.
8. Program-program peningkatan produktivitas hutan produksi dan hutan lindung seringkali
ditetapkan melalui proses “top down” baik tentang penetapan jenis, metode dan system
penanaman, maupun tata waktu pelaksanaannya akibat kurangnya informasi yang dimiliki
pengambil keputusan di pusat. Dengan adanya KPH informasi-informasi tersebut dapat
diperkuat, sehingga penetapan jenis, metode dan system penanaman, maupun tata waktu
pelaksanaannya dapat lebih disesuaikan dengan kondisi lapangan.

V. PENGUATAN KAPASITAS KPH


Dari sudut pandang teori hak atas properti/kekayaan (property rights theory),
pembangunan KPH dapat dimaknai sebagai penguatan kapasitas pemerintah di tingkat tapak
dalam penegakan hak-hak Negara untuk menjamin kelestarian SDH bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Artinya, KPH dibangun untuk menyempurnakan klaim hak menguasai oleh
Negara c.q Pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten/kota sesuai kedudukannya) agar SDH
terkelola secara lestari dan mendatangkan sebesar-besar kemanfaatan bagi rakyat.
Ada 3 syarat yang perlu disediakan agar klaim tersebut menjadi efektif. Pertama, klaim
atas sumberdaya tersebut harus memperoleh perlindungan Negara. Kedua, klaim seseorang
atau kelompok harus mampu membangkitkan kewajiban bagi orang atau kelompok lain untuk
menghormati klaim tersebut. Tanpa adanya penghormatan atas klaim tersebut, maka klaim
akan sia-sia dan sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya yang diklaim
tersebut tidak dapat ditegakkan secara efektif. Ketiga, klaim atas sumberdaya akan
memerlukan biaya pengelolaan dan penegakan atas hak-hak (management and enforcement
costs), karena pada dasarnya tidak ada klaim yang gratis. Syarat pertama merujuk pada
legalitas, syarat kedua merujuk pada legitimasi dan syarat ketiga merujuk pada kemampuan
pendanaan dan penyediaan sumberdaya manusia (SDM) yang memadai. Kemampuan
pendanaan dan penyediaan SDM akan dapat diperoleh apabila KPH mampu menghasilkan dana
sendiri untuk membiayai sebagian atau bahkan seluruh kegiatan pengelolaan KPH. Hal terakhir
yang disebutkan ini merujuk pada kemandirian pengelolaan KPH.

212
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

Legalitas, legitimasi dan kemandirian pengelolaan KPH tersebut perlu ada pada berbagai
aspek yang mempengaruhi kelestarian pengelolaan hutan. Aspek-aspek tersebut meliputi
kawasan, kelembagaan, program/kegiatan, dana dan SDM. Selain itu perlu pula disediakan
faktor-faktor pemungkin untuk operasionalisasi KPH secara efektif dan efisien.
Merujuk pada pemikiran tersebut, maka kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam
rangka penguatan KPH dapat dirinci pada Tabel 1.
Tabel 1. Dukungan Kegiatan untuk Penguatan Kapasitas KPH
ASPEK LEGALITAS LEGITIMASI KEMANDIRIAN
PENGELOLAAN
KAWASAN • Pengukuhan kawasan • Dukungan stakeholder • Clear and clean (bebas
KPH (penunjukan, melalui penguatan Forum- konflik, minimal konflik
tata batas, pemetaan, forum Multipihak dapat dikelola)
penetapan) • Identifikasi dan penyelesaian • Jaminan keamanan
konflik tenurial investasi publik dan privat
• Pengakuan atas hak-hak
yang ada
KELEMBAGAAN • Lobby Gubernur un- • Penguatan kapasitas resolusi • Membangun upaya untuk
tuk percepatan pene- konflik danpengkomunikasian mengurangi ketergan-
tapan pejabat KKPH keberadaan KPH tungan terhadap APBN/D
• Proses-proses politik • Pembangunan organisasi • Membangun kerjasama
percepatan penetap- hingga tingkat resort beserta dengan masyarakat, do-
an dan pengisian infrastrukturnya nor, stakeholders, swasta
personil KPH • Penguatan kapasitas
• Kejelasan posisi KPH organisasi KPH melalui
terkait implementasi pendampingan pusat dan
UU 23/2014 provinsi
PROGRAM/ • Review RPHJP dan/ • Membangun tata kelola KPH • Penyelenggaraan pengelo-
KEGIATAN atau Business Plan yang transparan, akuntabel laan hutan lestari (tata hu-
menuju pengelolaan dan partisipatif (Good Forest tan, RPH, pemanfaatan,
KPH lestari Governance) penggunaan, rehabilitasi,
• Mainstreaming RPHJP • Pelibatan CSO perlindungan dan
KPH ke RPJM dan konservasi).
• Mendorong perencanaan ta-
RenstraDishut hunan KPH berdasar perma- • Pemantauan dan
Provinsi salahan yang berkembang di penilaian pemegang izin.
• Penjabaran masyarakat • Penguatan kapasitas
kebijakan Nas/ Prov/ • Penguatan koordinasi untuk pemanfaatan
Kab/Kot dengan pemegang izin wilayah tertentu
• Mendorong berjalannya
layanan publik KPH
SDM • Penyediaan SDM yang handal dan memberikan layanan prima kepada klien
• Menjajagi kemungkinan perekrutan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja
(P3K) sesuai UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk KKPH
• Penguatan leadership dan entrepreneurship KKPH dan personil pendukungnya
DANA • Membangun peluang investasi dan kemitraan sesuai ketentuan-ketentuan yang ada
(P.47/2013 dan P.39/2013)
• Penerapan PPK-BLUD (sesuai Permendagri 61/2007) atau Perda Retribusi khususnya

213
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

ASPEK LEGALITAS LEGITIMASI KEMANDIRIAN


PENGELOLAAN
Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah (sesuai UU 28/2009)
• Menjalin kerjasama dengan donor dan/atau pihak-pihak terkait lainnya
FAKTOR • Mendorong ditetapkannya kejelasan kewenangan KPH dalam satu peraturan (level
PEMUNGKIN nasional – jangka panjang) dan mengkompilasi kewenangan KPH yang tersebar di
berbagai peraturan (level KPH – jangka pendek).
• Review kebijakan dan peraturan penghambat pembangunan dan operasionalisasi
KPH (izin, pasar, pemanfaatan hasil RHL, mobilisasi SDM, dls) (level nasional – jangka
panjang).
• Membangun kesepahaman bersama untuk kejelasan Tahubja KPH dengan peme-
gang izin dan Dinas Kehutanan Provinsi melalui pendekatan intensif dengan Kepala
Daerah dan stakeholders lainnya

VI. TANTANGAN-TANTANGAN PEMBANGUNAN KPH


Pembangunan KPH sudah dimanatkan oleh UU sejak tahun 1999, namun baru
diimplementasikan secara efektif mulai 2007 setelah PP 6/2007 diterbitkan (8 Januari 2007).
Dari target sekitar 600 unit KPH, hingga kini baru terbangun 120 KPH Model. Kekurangan dari
target tersebut (± 480 unit) akan diselesaikan oleh Kemenhut pada tahun 2019, dengan rencana
akan dibangun ± 100 unit tiap tahunnya mulai dari 2015. Walapun hingga Januari 2014 telah
terbangun 120 KPH Model, tetapi belum semuanya operasional.
Kenyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa masih terdapat berbagai persoalan
dalam pembangunan dan operasionalisasi KPH. Berbagai permasalahan yang dihadapi dalam
pembangunan KPH dan proses operasionalisasinya antara lain:
1. Lingkup kewenangan KPH. Kewenangan yang dimiliki KPH sesungguhnya sudah cukup kuat,
namun kewenangan-kewenangan tersebut menyebar di berbagai peraturan yang umumnya
tidak semua peraturan tersebut dibaca oleh penyelenggara KPH. Sebagai contoh, menurut
PP 6/2007 Pasal 71 s/d 78 RKT pemegang izin disahkan oleh KPH apabila KPH telah
terbentuk, namun hingga kini tidak satupun KPH yang berani mengesahkan RKT tersebut.
Bahkan untuk melakukan pengawasan dan evaluasi pemegang izin seperti dimandatkan oleh
Tupoksi KPH tidak berani untuk dijalankan. Oleh karenanya mengkompilasi seluruh
kewenangan yang tersebar di berbagai peraturan dalam satu perturan menjadi strategis
untuk dilakukan dalam waktu dekat ini.
2. Pemahaman stakeholders dan dukungan Pemerintah Daerah (yang menurut UU 23/2014
adalah Pemerintah Propinsi) masih belum merata. Dinamika politik lokal sangat berpengaruh
terhadap konsistensi komitmen daerah.
3. Implikasi diundangkannya UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dimana urusan
kehutanan (termasuk di dalamnya urusan KPHP dan KPHL) merupakan urusan konkuren yang
bersifat pilihan yang penyelenggaraannya dibagi antara Pempus dan Provinsi (Ps 14(1)), akan
menyebabkan peran Kabupaten menjadi berkurang sementara tapak KPH berada di wilayah
Kabupaten. Kurangnya peran kabupaten tersebut dikhawatirkan akan menghambat
akselerasi pembangunan KPH.
4. Masih banyak KPH yang sudah memiliki SK Menhut namun belum memiliki organisasi di
tingkat tapak (8 unit dari 120 unit) dan yang telah memiliki SK dan orgaisasi belum dapat
beroperasi secara efektif.

214
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

5. Masih adanya hambatan regulasi terutama terkait dengan perizinan pemanfaatan hutan
termasuk pemanfaatan hasil tanaman kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) dan tata
hubungan kerja KPH dengan pemegang izin.
6. Prospek kemandirian finansial KPH belum terlihat. Untuk mencapai kemandirian finansial,
maka langkah awal yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi potensi sumberdaya hutan
yang dapat dijadikan pendapatan oleh KPH. Selanjutnya untuk mengaktualisasikan potensi
tersebut menjadi pendapatan riil, KPH perlu payung hukum agar dapat menghasilkan
pendapatan. Sesungguhnya telah ada beberapa peraturan yang berpotensi untuk
mendukung kemandirian tersebut, seperti misalnya penerapan Pola Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) sebagaimana diatur dalam Permendagri No.
61/2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah atau
menggunakan mekanisme retribusi daerah, khususnya pada jenis retribusi jasa usaha yang
mana salah satu jenis retribusi pada obyek retribusi jasa usaha adalah retribusi penjualan
produksi usaha daerah (UU 28/2009 pasal 127 huruf k).
7. Kurangnya dukungan sumberdaya manusia (SDM) dan dana. Dukungan BP2SDM dengan
skema “Bhakti Rimbawan” masih dikeluhkan ketepatan rekruitmennya oleh KPH. Umumnya
SDM yang dikirim merupakan sarjana baru yang masih perlu ditingkatkan pemahamannya
tentang KPH, sementara tuntutan di lapangan memerlukan sarjana kehutanan yang sudah
berpengalaman atau paling tidak pengetahuan tentang KPHnya sudah memadai.
8. Komunikasi kebijakan KPH oleh pemerintah pusat belum menyasar pada pengambil
keputusan strategis di level daerah. Komunikasi kebijakan dilakukan hanya sebatas sosialisasi
kepada SKPD-SKPD terkait yang pada kenyataannya tidak memiliki power untuk
memutuskan.
9. Konflik penguasaan lahan (Land tenure conflict) sebagai konsekuensi kebijakan alokasi areal
yang tidak dibebani hak untuk KPH, dimana areal-areal demikian umumnya telah dikuasai
oleh masyarakat yang bila dilihat dari sisi kekuatan klaim atas lahan yang ada pada
Masyarakat dan Kementerian Kehutanan, umumnya masyarakat memiliki legitimasi yang
kuat di lapangan namun legalitasnya lemah sedangkan Kementerian Kehutanan memiliki
legalitas kuat namun legitimasinya lemah.
10. Kurangnya “leadership” dan “entrepreneurship” Kepala KPH yang umumnya berasal dari
PNS.

VII. KESIMPULAN DAN SARAN


Peningkatan produktivitas hutan produksi dan hutan lindung akan banyak mengalami
hambatan apabila tidak ada pihak yang bertanggung jawab atas keberhasilan implementasinya
yaitu dalam hal perencanaan dan pembiayaannya, pelaksanaan program-program, penjaminan
terhadap keamanan dan kelestarian investasi, menekan dampak negatif penguasaan kawasan
hutan oleh Negara yang sesuai karakteristiknya rentan menjadi open access resources,
pengukuran dan pelaporan atas program, menindak lanjuti atas kelemahan-kelemahan
implementasi, pengelolaan biaya dan pendistribusian manfaat-manfaat di level tapak. Oleh
karenanya, menghadirkan pengelola di tingkat tapak yang dapat melaksanakan aktivitas-
aktivitas tersebut sangat diperlukan.
Pengelola di tingkat tapak tersebut dapat diperankan oleh KPH. Selain KPH telah
menjadi arus utama dalam pembangunan kehutanan nasional, kehadirannya juga diperlukan
untuk mengefektifkan pengelolaan sumberdaya milik bersama (common-pool resources)
berupa hutan yang dikuasai oleh Negara (state/public forest). Namun perlu disadari bahwa KPH

215
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

sebagai alternative yang paling mungkin dari serangkaian alternative lainnya, hingga saat ini
masih mengalami kendala implementasi dan operasionalisasinya di tingkat tapak. Untuk itu
diperlukan serangkaian kegiatan untuk mendukung penguatan legalitas, legitimasi dan
kemandiriannya baik pada aspek kawasan, kelembagaan, program/kegiatan, dana, SDM dan
faktor-faktor pemungkin untuk operasionalisasi KPH secara efektif dan efisien.

DAFTAR PUSTAKA
Forest Watch Indonesia (FWI). 2014. POTRET KEADAAN HUTAN INDONESIA PERIODE 2009-
2013. Forest Watch Indonesia. Bogor. Indonesia.
Kementerian Kehutanan. 2014. Statistik Kementerian Kehutanan Tahun 2013. Kementerian
Kehutanan. Jakarta. Indonesia.
Litbang KPK. 2013. Kajian Sistem Perizinan di Sektor Sumberdaya Alam (SDA): Studi Kasus
Sektor Kehutanan. Litbang KPK. Jakarta. Indonesia.
Mayers J., S. Bass and D. Macqueen. 2002. The Pyramid: A diagnostic and planning tool for good
forest governance. International Institute for Environment and Development (IIED). June
2002.
Ostrom E. 2008. Institutions and the Environment. Journal of Institute of Economic Affairs.
(September 2008): 24-31.
UNDP. 2013. Indeks Tata Kelola Hutan, Lahan dan REDD+ Indonesia 2013. UNDP. Jakarta.
Indonesia.

216
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

KAJIAN SOSIAL, EKONOMI DAN KEBIJAKAN DALAM BUDIDAYA KAYU PERTUKANGAN LOKAL:
PEMBELAJARAN DARI MASYARAKAT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN DAN BENGKULU

Nur Arifatul Ulya


Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Masyarakat di hulu maupun hilir DAS di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu secara tradisional
dalam kehidupan sehari-hari mempunyai interaksi dengan kayu pertukangan yang dimanfaatkan sebagai
bahan bangunan rumah maupun perabot rumah tangga. Di Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan
Pagaralam yang terletak di wiayah hulu di Provinsi Sumatera Selatan mengenal kayu bambang lanang
sebagai kayu pertukangan lokal yang tumbuh di pekarangan dan kebun masyarakat. Masyarakat di
wilayah hilir di Provinsi Sumatera Selatan seperti Palembang, OKU mengenal kayu tembesu sebagai kayu
pertukangan yang memiliki kualitas tinggi. Masyatrakat di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu
Tengah yang termasuk wilayah DAS tengah mengenal kayu bawang sebagai kayu pertukangan lokal yang
berasal dari pekarangan dan kebun masyarakat. Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan berbagai
fakta dan data sosial, ekonomi dan kebijakan yang bersumber dari masyarakat di Provinsi Sumatera
Selatan dan Bengkulu dalam kaitannya dengan budidaya pohon penghasil kayu pertukangan lokal
(bambang lanang, tembesu dan kayu bawang) oleh masyarakat.
Kata kunci: bambang lanang, kayu bawang, pemasaran, tembesu

I. PENDAHULUAN
Sumatera bagian selatan (dalam hal ini Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu)
merupakan bentang lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berhulu di Bukit Barisan dan berhilir
di pantai timur dan pantai barat Pulau Sumatera. Wilayah di sekitar hulu DAS mempunyai
topografi bergelombang, berbukit dan bergunung dengan tingkat kesuburan tanah yang cukup
tinggi. Wilayah tengah dan hilir DAS pada umumnya memiliki dataran yang luas yang
merupakan wilayah budidaya yang mempunyai interaksi tinggi dengan masyarakat.
Masyarakat di hulu maupun hilir secara tradisional dalam kehidupan sehari-hari
mempunyai interaksi dengan kayu pertukangan. Kayu pertukangan dimanfaatkan sebagai
bahan bangunan rumah maupun perabot rumah tangga. Masyarakat di wilayah hulu Provinsi
Sumatera Selatan, terutama di Kabupaten Lahat, Empat Lawang dan Pagaralam pada masa lalu
memperoleh kayu berkualitas (tenam, meranti dan merbau) dari hutan alam. Saat ini mereka
memanfaatkan kayu dari pohon bambang lanang (Michelia champaca) yang diperoleh dari
kebun atau ladang masyarakat. Masyarakat di wilayah hilir Provinsi Sumatera Selatan pada
umumnya memanfaatkan kayu racuk sebagai kayu pertukangan. Sedangkan masyarakat hilir
yang termasuk kelas sosial tinggi membangun rumah dari kayu tembesu (Fragraea fragrans)
(Martin, 2012). Bagi masyarakat di Provinsi Bengkulu, kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack)
Jacobs) merupakan kayu pertukangan lokal yang dibudidayakan di kebun masyarakat (Anwar et
al., 1999; Martin dan Galle, 2009). Perbedaan karakteristik geografis dan kependudukan
mempengaruhi persepsi, sikap dan perilaku masyarakat dalam hubungannya dengan budidaya
pohon penghasil kayu. Sehingga kebijakan, program dan pendekatan yang berkaitan dengan
budidaya pohon (dalam hal ini kayu pertukangan lokal) sebaiknya mengacu pada fakta dan
pemikiran yang berkembang di masyarakat (Martin, 2012).
Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan berbagai fakta dan data sosial, ekonomi dan
kebijakan yang bersumber dari masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu dalam

217
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

kaitannya dengan budidaya pohon penghasil kayu pertukangan lokal (bambang lanang,
tembesu dan kayu bawang) oleh masyarakat. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan
sebagai bahan pembelajaran bagi budidaya maupun perumusan kebijakan dalam kaitannya
dengan budidaya dan pengembangan pohon penghasil kayu pertukangan lokal.

II. METODE PENELITIAN


Kajian ini merupakan kumpulan dari berbagai hasil penelitian sosial, ekonomi dan
kebijakan kayu pertukangan yang dilakukan oleh BPK Palembang mulai kurun waktu tahun 2006
sampai 2014 di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu. Jenis pohon penghasil kayu
pertukangan unggulan lokal Provinsi Sumatera Selatan adalah bambang lanang dan tembesu,
sedangkan jenis kayu pertukangan unggulan lokal Provinsi Bengkulu adalah kayu bawang. Data-
data hasil penelitian di lapangan yang telah dianalisis dan disajikan dalam bentuk laporan hasil
penelitian maupun publikasi ilmiah dipilah, dikelompokkan, dikompilasi dan dianalisis untuk
menyusun kajian.

III. HASIL PENELITIAN


1. Jenis kayu pertukangan prioritas di Sumatera Bagian Selatan
Penelitian dan pengembangan kayu pertukangan yang bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas tegakan dan kulitas lingkungan serta nilai ekonomi kehutanan merupakan salah
satu kegiatan litbang yang dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang tahun
2010-2014. Dalam rangka kegiatan tersebut, pada tahun 2009 BPK Palembang menetapkan
jenis-jenis kayu pertukangan lokal prioritas untuk penelitian dan pengembangan, terutama di
Sumatera Bagian Selatan. Jenis bambang lanang, sungkai (Penorema canescens), kayu bawang
dan tembesu dinilai sebagai empat jenis teratas yang mewakili lahan kering (tanah mineral),
sementara gelam (Melaleuca cajuputi) merupakan jenis prioritas bagi lahan basah (rawa). Dari
keempat jenis kayu pertukangan prioritas lahan kering, jenis yang mewakili lokalitas Sumatera
bagian selatan adalah bambang lanang, kayu bawang dan tembesu (Sofyan et al., 2010).
Sedangkan sungkai cenderung menyebar secara merata di Pulau Sumatera.
Bambang lanang dikenal oleh masyarakat lokal dengan nama bambang, medang
bambang. Bambang lanang merupakan jenis pohon penghasil kayu pertukangan yang pada
awalnya hanya dikembangkan oleh orang Lintang yang tinggal di Muara Pinang, Pendopo, Ulu
Musi dan Talang Padang di Kabupaten Empat Lawang, Provinsi Sumatera Selatan sejak kira-kira
100 tahun yang lalu. Kini jenis bambang lanang sudah menyebar di luar Kabupaten Empat
Lawang, tepatnya di Kota Pagaralam, Kabupaten Lahat, Musi Rawas, Muara Enim, Ogan
Komering Ulu (UKO), OKU Selatan, bahkan sampai di Provinsi Lampung dan Bengkulu (Martin
dan Premono, 2010).
Bambang lanang tumbuh cepat meskipun tanpa perawatan intensif. Batangnya lurus
dengan tinggi bebas cabang pada umur 10 tahun bisa mencapai 20 meter. Masyarakat secara
tradisional memanen kayu bambang lanang pada umur 15 tahun dengan hasil kayu gergajian
kurang lebih 1 m3. Masyarakat menanaman bambang lanang pada lahan produktif, subur dan
mudah dijangkau. Hal ini dilakukan agar bambang lanang dapat menjadi penjamin kebutuhan
keluarga ketika komoditas pertanian utama di kebun masyarakat seperti kopi, kakao dan karet
tidak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga (Martin dan Premono, 2010). Masyarakat
yang memiliki lahan kopi atau kakao hanya 0,25 hektar dan pemilik lahan sempit lainnya
menanam bambang lanang sebagai pagar batas kebun atau dalam posisi yang tidak terlalu
mengganggu tanaman pokoknya. Bambang lanang di lahan masyarakat dipanen pada umur 15

218
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

tahun dengan hasil berupa kayu gergajian dengan hasil kayu gergajian kurang lebih 1 m 3 (Martin
dan Premono, 2010).
Tembesu merupakan salah satu salah satu jenis dari famili Loganiaceae yang menyebar
mulai dari Bengal (India), Myanmar, Kepulauan Andaman, Indo Cina, Filipina, Thailand,
Semenanjung Malaysia, Singapura, Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi dan Pulau Yapen
(Lemmens et al., 1995). Tembesu tumbuh pada iklim basah sampai agak kering, dan tumbuh
baik pada ketinggian 0-500 mdpl (Martawijaya et al., 2005). Bagi masyarakat di Sumatera
Bagian Selatan (Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Lampung), kayu tembesu merupakan
kayu yang populer.
Heyne (1987) menyatakan bahwa di Sumatera Selatan, tembesu dikenal sebagai kayu
unggul dengan sebutan kayu raja, yang pada masa lalu hal penebangannya diatur oleh kepala
adat. Kayu tembesu dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan rumah maupun perabot.
Di Sumatera Selatan, kayu tembesu digunakan sebagai bahan baku pembuatan rumah baik
karena kekuatan dan keawetannya maupun karena prestise. Martawijaya et al. (2005)
menyatakan bahwa kayu tembesu termasuk ke dalam kelompok kelas kuat I. Sedangkan
ditinjau dari sifat awet dan tahan lama termasuk kelas awet I dan kelompok kelas awet II
apabila ditinjau dari ketahanannya terhadap jamur.
Tembesu sampai saat ini masih merupakan hasil regenerasi alami yang dipertahankan
keberadaannya oleh masyarakat di kebun. Hasil penelitian Sumadi dan Saepuloh (2011)
menunjukkan bahwa di kebun masyarakat pada umur 20 tahun tembesu mempunyai volume
rata-rata per pohon sebesar 0,39 m3 dan kerapatan efektif sebesar 8,51 m3/ha/tahun.
Masyarakat yang secara tradisional memiliki kebun campuran tidak menganggap umur panen
tembesu sebagai masalah, karena mereka memanen tembesu apabila terdapat kebutuhan
untuk membangun atau memperbaiki rumah sendiri (Martin dan Premono, 2014).
Kayu bawang merupakan jenis tanaman kayu pertukangan unggulan lokal yang memiliki
sebaran alami di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah (Premono dan
Lestari, 2013). Kayu Bawang tumbuh baik pada ketinggian 0 - 1000 m dpl, dengan curah hujan
tahunan sekitar 3.500 mm dan curah hujan bulanan antara 150 - 500 mm. Umumnya tumbuh
pada semak belukar dekat pemukiman. Di Bengkulu Utara hanya ditemukan di daerah yang
tersentuh aktivitas manusia (bekas ladang, kebun atau tegalan) (Martin dan Galle, 2009). Anwar
et al. (1999) menduga semua tanaman yang ada merupakan hasil budidaya (ditanam secara
sengaja).
Kayu bawang umumnya menempati strata paling atas dan merupakan pohon dominan
di kebun masyarakat. Tinggi pohon mencapai 30 m dengan diameter 75 cm. Bentuk batang
silindris agak lengkung. Tajuk tanaman muda berbentuk bulat lonjong, dan pohon tua tidak
beraturan/melebar. Tumbuh pada jenis tanah alluvial dan podsolik merah kuning (Martin dan
Galle, 2009). Premono dan Lestari (2013) menyatakan bahwa umumnya masyarakat mulai
memanen kayu bawang pada umur 15 tahun dengan volume per batang 0,83 m3.
2. Perspektif sosial ekonomi masyarakat Sumatera Selatan dan Bengkulu dalam kaitannya
dengan budidaya pohon penghasil kayu
Masyarakat di wilayah hulu DAS pada umumnya merupakan masyarakat agraris yang
bekerja sebagai petani. Masyarakat di hilir pada umumnya bekerja di sektor perdagangan dan
jasa, sedangkan keterkaitan dengan sektor pertanian jauh lebih sedikit apabila dibandingkan
dengan masyarakat di hulu. Li (2002) memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai
bagaimana aspek ekologi dataran tinggi yang dikaitkan dengan aspek ekonomi politik dan
kebudayaan memiliki perbedaan dan juga kesamaan dengan yang diuraikan oleh Hart et al.
(1989) tentang kehidupan masyarakat dataran rendah.

219
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Pada masa sebelum tahun 1980-an, masyarakat di wilayah hulu masih sangat mudah
memperoleh kayu berkualitas dari alam. Masyarakat Lintang di Kabupaten Empat Lawang,
Provinsi Sumatera Selatan memperoleh kayu berkualitas dari pohon bambang lanang yang
tumbuh secara alami di kebun atau ladang yang mereka usahakan sebagai bahan untuk
membuat rumah maupun perabot (Martin, 2012). Masyarakat di hilir pada masa lalu
membangun rumah dari kayu rimba campuran yang kualitasnya lebih rendah dari rumah kayu
masyarakat di hulu. Hanya masyarakat dari kelas sosial tertentu yang mampu membuat rumah
dari kayu berkualitas, yaitu tembesu.
Bagi petani yang tinggal di wilayah hulu, budidaya pohon penghasil kayu tidak dapat
dipisahkan dari upaya pemenuhan kebutuhan kayu sebagai bahan pembuatan rumah.
Masyarakat Lintang di Kabupaten Empat Lawang menebang 15 sampai 25 batang pohon
bambang lanang berumur 15 sampai 20 tahun yang ada di kebun mereka untuk membangun
satu rumah panggung beserta perabot rumah tangga di dalamnya. Sedangkan untuk rumah
berbahan utama beton (batu bata) diperlukan 3 sampai 5 batang pohon bambang lanang.
Selain untuk membuat rumah dan perabot, pohon bambang lanang ditebang untuk pemenuhan
kebutuhan ekonomi seperti pada masa paceklik, perayaan pernikahan anak, tahun ajaran baru
dan musibah (Martin, 2012). Dalam perekonomian masyarakat, pohon bambang lanang
merupakan portfolio investasi diantara tanaman perkebunan lainnya, yang ditanam dengan
pola agroforestry (Martin dan Premono, 2010).
Masyarakat di wilayah hilir Provinsi Sumatera Selatan lebih memilih menanam pohon
penghasil kayu dengan pola monokultur. Orientasi penanaman tidak pada pemenuhan
kebutuhan kayu, tetapi lebih pada untung rugi dalam berusaha. Sehingga pada saat ini,
tembesu yang merupakan kayu “mewah” untuk kebutuhan pembuatan rumah dan ukiran tidak
dibudidayakan oleh masyarakat hilir (Martin, 2012).
Kayu bawang memiliki sebaran alami di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu
Tengah. yang termasuk dilayah DAS tengah dan hilir. Kayu bawang memiliki ikatan kuat dengan
Suku Lembak dan Suku Rejang yang tinggal di wilayah DAS tengah di Provinsi Bengkulu. Kayu
bawang dapat dinyatakan sebagai identitas budaya kedua suku tersebut, yang ditandai dengan
penggunaan kayu bawang sebagai bahan pembuatan rumah panggung kuno yang masih tersisa.
Kayu bawang menjadi bagian dari kebun masyarakat (Premono dan Lestari, 2013). Kayu bawang
juga ditemukan di wilayah hilir Provinsi Bengkulu. Keberadaan kayu bawang di hilir erat
kaitannya dengan aktivitas budidaya. Di Bengkulu Utara kayu bawang hanya ditemukan di
daerah yang tersentuh aktivitas manusia (bekas ladang, kebun atau tegalan) (Martin dan Galle,
2009). Anwar et al. (1999) menduga semua tanaman yang ada merupakan hasil budidaya
(ditanam secara sengaja).
Perspektif sosial ekonomi masyarakat terhadap kayu pertukangan di hulu dan hilir
sangat dipengaruhi oleh karakteristik geografi dan kependudukan. Hal ini selanjutnya akan
berpengaruh terhadap pola budidaya, penggunaan, maupun supply dan demand kayu
pertukangan.
3. Kelayakan finansial budidaya kayu pertukangan lokal
Penanaman pohon bambang lanang di Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan sebagian
Pagaralam pada umumnya dilakukan dengan pola campuran. Pohon bambang lanang dijadikan
tanaman campuran pada tanaman kopi yang merupakan sumber pendapatan utama.
Penanaman bambang lanang di kebun kopi dilakukan dengan pola sebagai tanaman campuran
di antara tanaman kopi, sebagai tanaman pagar atau pinggir lahan dan juga tanaman sela di
antara tanaman kopi, dimana jarak antar tanaman disesuaikan agar tidak mengganggu tanaman
kopi. Tanaman bambang lanang di kebun kopi difungsikan sebagai tanaman masa depan yang

220
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

diharapkan dapat memberikan pendapatan maupun dipanen untuk kebutuhan kayu sendiri di
masa mendatang. Sedangkan kopi menjadi sumber pendapatan tunai jangka pendek (cash crop)
bagi masyarakat.
Pemilihan jenis bambang lanang sebagai tanaman campuran dengan tanaman kopi pada
lahan milik masyarakat telah mengalami proses pemilihan dan penentuan jenis yang dilakukan
sendiri oleh masyarakat dengan pertimbangan untung dan rugi dalam proses pengambilan
keputusannya. Pertimbangan tersebut meliputi teknik penanaman, sifat tanaman, umur panen,
harga, ketersediaan bibit, kemudahan pemiliharaannya dan pengaruhnya terhadap tanaman
kopi (Premono dan Martin, 2011).
Analisis finansial budidaya pohon bambang lanang secara murni maupun campuran
layak diusahakan karena nilai BCR>1 pada tingkat suku bunga 12% (Ulya et al., 2006). Hal ini
diperkuat oleh Premono dan Martin (2011) yang menyatakan bahwa penanaman bambang
lanang dengan pola campuran dengan tanaman kopi di Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan
Pagaralam layak untuk diusahakan. Hasil analisis finansial di tiga lokasi menunjukkan NPV
positif, BCR di atas 1 dan IRR di atas tingkat suku bunga analisis.
Kayu bawang pada umunya ditanam dengan pola tanam campuran. Pola penanaman
campuran kayu bawang yang banyak ditemukan di Provinsi Bengkulu antara lain kayu bawang-
karet, kayu bawang-kakao, kayu bawang-sawit dan kayu bawang-karet unggul. Hasil analisis
finansial pada tingkat suku bunga 11% dan 13% menunjukkan bahwa pola-pola yang
dikembangkan masyarakat layak secara finansial. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa
pola penanaman tidak peka terhadap perubahan tingkat harga dan volume produksi. Agar
dapat memenuhi kebutuhan hidup secara layak maka masyarakat di lokasi penelitian dapat
mengelola sekitar 0,34-1,01 Ha dengan pola penanaman campuran kayu bawang dan tanaman
tahunan. (Premono dan Lestari, 2013).
Pohon tembesu tumbuh di lahan milik masyarakat yang pada umumnya mengusahakan
kebun karet. Di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, masyarakat memilih pohon
tembesu yang memiliki kualitas kayu yang baik dan tidak mengganggu tanaman karet untuk
dipertahankan di kebun karet mereka (Premono dan Martin, 2011).
Premono dan Martin (2011) menggunakan Nilai Harapan Lahan (NHL) untuk
menganalisis kelayakan finansial pola penanaman campuran antara tanaman karet dengan
tanaman tembesu. NHL merupakan cerminan nilai dari tanah atau lahan yang diusahakan
dalam rotasi tanaman yang diusahakan. NHL dapat digunakan untuk mengintrepretasikan harga
maksimum yang mungkin terjadi pada pengusahaan lahan (Straka dan Bullard, 1996). Untuk
mengetahui kelayakan finansial penanaman pola campuran karet-tembesu, dilakukan dengan
asumsi umur panen tanaman tembesu 30 tahun dan umur panen (sadap) tanaman karet 7
tahun berdasarkan harga, biaya dan pendapatan masyarakat pada saat penelitian.
NHL tertinggi diperoleh pada pola tanam campuran karet-tembesu dengan jumlah
pohon tembesu 40 batang. NHL terendah diperoleh pada lahan yang ditanami tembesu secara
monokultur, meskipun dengan intensitas tegakan cukup tinggi. Hal ini diduga terjadi karena
pola teratur dengan jumlah pohon lebih banyak membutuhkan biaya pembangunan lebih
tinggi, sehingga meningkatkan nilai biaya yang terdiskonto (discounted cost) pada masa analisis
30 tahun. Namun demikian, pada dasarnya pelaku usaha (petani) dapat mengabaikan
rendahnya nilai kini tanaman tembesu pola teratur dengan menganggap tembesu sebagai
komponen nilai yang bukan untuk dinikmati sekarang, tetapi sebagai asuransi masa regenerasi
(Premono dan Martin, 2011).
Jenis pohon kayu pertukangan lokal yang diwakili oleh bambang lanang dan kayu
bawang yang dibudidayakan di kebun dengan pola umum agroforestry layak untuk diusahakan,

221
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

bahkan pada lahan yang tidak terlalu luas. Sedangkan untuk pohon tembesu yang belum
ditanam oleh masyarakat, pemeliharaan pohon tembesu pada kebun dengan pola campuran
dengan karet mampu memberikan harapan pendapatan pada masa yang akan datang.
4. Pemasaran jenis kayu pertukangan lokal
Pohon bambang lanang pada umur 10 tahun di Kabupaten Lahat sudah dapat dipanen
dengan volume 0,5 m3 per pohon tetapi harganya lebih rendah dibanding yang berumur 15
tahun yaitu dengan harga Rp. 900.000,00 per m3. Sedangkan pada umur 15 tahun volumenya
rata-rata 1 m3 per pohon dengan harga yang lebih tinggi yaitu Rp. 1.000.000,00 per m3 (Ulya et
al., 2006).
Harga kayu bambang di tingkat petani di Kabupaten Lahat, Empat Lawang dan Kota
pagaralam berkisar antara Rp. 900.000,00 sampai dengan Rp. 1.000.000,00 per m 3. Harga kayu
bambang lanang di depot kayu mencapai Rp. 2.000.000,00 sampai dengan Rp. 2.600.000,- per
m3. Lebih dari 50% marjin keuntungan dinikmati oleh para pelaku industri kayu rakyat, mulai
dari penggesek/pengumpul kayu, pemilik sawmill, pemilik depot, atau bahkan sampai ke
pengrajin furniture. Jenis industri kayu rakyat sebagian besar berupa depot kayu (40%),
pengusaha atau pengrajin furniture (20%) dengan hasil berupa meja, kursi, lemari, dan tempat
tidur, penggesek/pengumpul (20%), industri penggergajian kayu atau sawmill (13%) dan depot
kayu dan funiture (7%). Hampir semua pelaku industri kayu rakyat yang termasuk ke dalam
kelima katergori tersebut di atas tersebar merata di tiga wilayah yang menjadi fokus kegiatan
penelitian. Sedangkan industri sawmill yang hanya terdapat di Kabupaten Lahat (Lestari et al.,
2012).
Perkembangan harga kayu bambang pada dua titik waktu penelitian (tahun 2006 dan
tahun 2012) menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan, melebihi inflasi antar dua titik
waktu, dengan kondisi supply kayu rakyat yang stabil. Hal ini mengindikasikan bahwa budidaya
kayu bambang lanang mempunyai prospek untuk dikembangkan dan dijadikan tabungan pada
saat terjadi penurunan pendapatan dari cash crop maupun tanaman perkebunan seperti karet
atau kopi. Keberadaan supply kayu bambang lanang juga mampu memberikan multiplier effect
berupa berkembangnya industri kayu rakyat yang dalam hal ini menikmati margin keuntungan
terbesar.
Petani pemilik kayu bawang menjual kayu bawang dalam bentuk tegakan/pohon berdiri
secara borongan. Harga kayu bawang di masyarakat berkisar Rp. 800.000,00 sampai Rp.
900.000,00 per pohon dengan perkiraan volume sekitar 1 m3. Harga kayu bawang olahan di
tingkat lokal (desa) berkisar Rp. 1.500.000,00 sampai Rp. 2.000.000,00 per m 3, tergantung
ukuran kayu dan kualitas kayunya. Para tengkulak kayu/pengepul desa menjual kayunya untuk
kebutuhan lokal dan ke wilayah lainnya. Ada juga tengkulak luar daerah yang datang ke desa-
desa untuk membeli kayu dari para pengepul di desa (Premono dan Lestari, 2012).
Terdapat empat saluran pemasaran kayu bawang di Provinsi Bengkulu, yaitu: 1) Saluran
1: Petani/pemilik kayu-penebang/pemilik chainsaw-tengkulak/pengumpul kayu-konsumen; 2)
Saluran 2: Petani/pemilik kayu-tengkulak/pemborong di desa-depot kayu-konsumen; 3) Saluran
3: Petani/pemilik kayu-tengkulak/pemborong di desa-depot kusen di kota-konsumen; 4)
Saluran 4: Petani/pemilik kayu-tengkulak di desa-depot kayu di kota-depot kusen di kota-
konsumen. Saluran pemasaran yang paling efisien adalah saluran 1 dengan nilai efisiensi
sebesar 20,83%. Pemasaran kayu bawang di Provinsi Bengkulu secara umum dapat dikatakan
efisien, hal ini diduga disebabkan telah berkembangnya usaha perkayuan. Hampir di setiap
desa yang menjadi sumber kayu bawang telah memiliki usaha pengolahan kayu bawang skala
kecil. Di samping itu, jumlah pelaku pemasaran kayu bawang cukup banyak sehingga

222
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

memudahkan petani untuk melakukan transaksi proses tawar menawar dan memperoleh
informasi mengenai harga kayu bawang (Premono dan Lestari, 2012).
Seperti halnya kayu bambang lanang, harga kayu bawang tergolong tinggi sehingga
mempunyai prospek finansial untuk diusahakan di kebun masyarakat dengan pola agroforestry.
Kayu bambang yang dipasok dari kebun masyarakat juga mampu memberikan multiplier effect
berupa adanya industri skala kecil di setiap desa penghasil kayu bawang.
Kayu tembesu merupakan bahan baku utama dari industri mebeul ukiran Palembang.
Junaidah dan Premono (2007) menyatakan bahwa kayu tembesu dijual dengan harga Rp.
2.000.000,00 – Rp 2.500.000,00 per m3. Harga ini lebih mahal dari kayu medang dan meranti
yang dijual dengan harga Rp. 1.600.000,00 – Rp. 2.000.000,00 per m3. Kayu tembesu dijual
dalam bentuk balok atau batangan (tergantung dari permintaan pengrajin). Meskipun
demikian, sebagian besar dijual dalam bentuk batangan untuk mempermudah proses
pengerjaan.
Permintaan kayu tembesu oleh industri mebel ukiran Palembang selama ini dipenuhi
dari penebangan pohon tembesu yang tumbuh secara alami di areal sekitar kebun, pekarangan
rumah dan hutan sekunder di Kabupaten Musi Banyuasin, Banyuasin, Ogan Ilir dan Ogan
Komering Ilir. Cara pemenuhan bahan baku seperti ini bersifat tidak lestari (Martin dan
Premono, 2014). Diperlukan luasan lahan tertentu dan peningkatan produktivitas agar supply
kayu tembesu bisa lestari.
Kayu pertukangan lokal, selain ditampung oleh industri kecil skala lokal, juga
mempunyai peluang untuk diserap oleh industri pengolahan hasil hutan kayu dengan kapasitas
produksi diatas 6.000 m3 per tahun. Untuk Provinsi Sumatera Selatan, terdapat 2 industri kayu
lapis (kapasitas 140.000 m3 per tahun), kayu gergajian (5 industri, kapasitas 137.500 m3 per
tahun), veneer (3 industri, kapasitas 110.000 m3 per tahun). LVL terdiri dari 1 industri dengan
kapasitas 50.000 m3 per tahun. Industri yang bisa menyerap kayu bambang lanang dan kayu
bawang di Provinsi Bengkulu adalah 1 industri veneer dengan kapasitas 40.000 m3 per tahun.
Untuk skala nasional (termasuk Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu), kayu bambang lanang
dan kayu bawang mempunyai peluang untuk diserap oleh industri kayu lapis (150 industri,
kapasitas 12.397.315 m3 per tahun), penggergajian (278 industri, kapasitas 7.155.596 m3 per
tahun), veneer (102 industri, kapasitas 3.040.295 m3 per tahun) dan industri LVL (14 industri,
kapasitas 565.750 m3 per tahun) (Kementerian Kehutanan, 2013).
5. Aspek sosial dalam budidaya kayu pertukangan
Pohon bambang lanang pada umumnya ditanam dengan pola agroforestry. Masyarakat
di Kabupaten Empat Lawang menanam pohon bambang lanang sebagai pilihan pendapatan di
masa depan. Kegagalan produksi tanaman pokok atau fluktuasi hasil panen menyebabkan
masyarakat desa rentan terhadap kemiskinan. Pohon bambang lanang dapat berfungsi sebagai
jaring pengaman pendapatan masyarakat ketika sumber pendapatan utama tidak dapat
memenuhi kebutuhan sehari-hari atau terdapat kebutuhan yang mendesak. Aspek sosial
budaya juga menjadi pertimbangan masyarakat untuk menanam bambang lanang. Kayu masih
menjadi sumber bahan bangunan penting bagi masyarakat dan telah digunakan secara turun
temurun sebagai bahan yang terbukti kekuatannya puluhan bahkan ratusan tahun (Winarno et
al., 2012) .
Pola tanam agroforestry di Kabupaten Lahat dan Empat Lawang dikembangkan oleh
masyarakat yang menjadikan pertanian sebagai pekerjaan utama dan memiliki lahan sempit.
Pola monokultur dikembangkan oleh masyarakat yang tidak bergantung pada pertanian sebagai
pekerjaan utama dan memiliki lahan luas. Pola tanam pada agroforestry yang dikembangkan

223
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

adalah pola lorong (alley cropping), pola pohon pembatas (trees along border), pola baris
(alternate row) dan pola acak (random mixer) (Waluyo dan Lestari, 2013).
Hutan rakyat kayu bawang yang ada di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten
Bengkulu Tengah merupakan hutan rakyat tradisional yang dikelola secara turun menurun
dengan pengelolaan yang masih sederhana. Kegiatan cocok tanam secara mandiri dilakukan
oleh sebagian besar responden setelah mereka menikah dan mulai mengusahakan kebun
secara mandiri. Kayu bawang ditanam sebagai tanaman pagar, dan tanaman sela sedangkan
tanaman utamanya adalah karet dan sebagian kecil kopi, kakao serta sawit. Masyarakat yang
mempunyai tanaman kayu bawang di kebunnya menyatakan bahwa pada saat mereka mulai
berkebun selalu menanam kayu bawang diantara tanaman perkebunan (Waluyo dan Nurlia,
2014).
Praktek agroforestry yang dilakukan oleh masyarakat di Bengkulu Utara, Bengkulu
Tengah maupun Rejang Lebong adalah agroforestry kayu bawang dengan tanaman perkebunan
seperti karet, sawit dan coklat. Petani menanan kayu bawang adalah tujuan lingkungan,
ekonomi dan investasi. Tujuan lingkungan, yaitu untuk meningkatkan kesuburan tanah, karena
dengan menanam kayu bawang diharapkan input pupuk berkurang dan produkstivitas tanaman
meningkat. Tujuan ekonomi, yaitu harga kayu bawang yang tinggi dan ketersediaan kayu mulai
sedikit. Tujuan investasi, yaitu untuk diwariskan kepada generasi penerus. Kayu bawang
berukuran besar yang masih ada pada saat ini merupakan hasil penanaman orang tua mereka,
sehingga mereka juga punya keinginan untuk mewariskan kepada anak cucunya (Premono dan
Lestari, 2013).
Seperti halnya pola tanam pohon bambang lanang, semakin banyak jumlah lahan maka
semakin tinggi peluang untuk menanam kayu bawang dengan jumlah yang melebihi rata-rata.
Petani yang mempunyai lahan luas, cenderung tidak mempunyai cukup waktu untuk mengelola
semua lahannya secara intensif. Sehingga tanaman kayu yang tidak memerlukan pemeliharaan
intensif seperti kayu bawang menjadi pilihan. Apabila petani merupakan pekerjaan utama
peluang untuk menanam kayu bawang lebih sedikit karena mereka menggantungkan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari pada tanaman pertanian, jadi mereka cenderung menanam
tanaman pertanian atau perkebunan (Waluyo dan Nurlia, 2013). Brokensha dan Riley (1987)
menunjukkan bahwa rumah tangga miskin cenderung menggunakan lahannya untuk tanaman
pangan atau tanaman perdagangan daripada tanaman pohon.
Masyarakat menanam pohon bambang lanang dan kayu bawang dua pola umum, yaitu
campuran dan monokultur. Pola campuran (agroforestry) dipilih oleh masyarakat dengan lahan
terbatas dan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sedangkan pola monokultur
dipilih oleh masyarakat dengan lahan luas. Pilihan pola dan jenis yang ditanam didasari oleh
motivasi lingkungan, ekonomi dan investasi.
6. Kebijakan dan kelembagaan budidaya kayu pertukangan lokal
Masyarakat di daerah sebaran alami pohon bambang lanang memiliki persepsi yang
positif terhadap budidaya bambang lanang karena terbukti manfaatnya yang berupa hasil kayu,
tetapi memiliki pengetahuan yang terbatas dalam hal teknik budidaya (Winarno, Nurlia dan
Martin, 2012). Kebijakan khusus terkait dengan pengembangan kayu bawang di Kabupaten
Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah belum tersedia. Padahal musim berbuah kayu bawang
sudah mulai tidak teratur dan pengetahuan masyarakat khususnya mengenai pembudidayaan
kayu bawang secara benar masih terbatas (Waluyo dan Nurlia, 2014).
Meskipun pengetahuan tentang budidaya di daerah sebaran alami kedua jenis tersebut
terdapat penangkar bibit yang mampu menyediakan bibit dalam jumlah besar. Pemerintah bisa
berperan dengan memberikan fasilitasi atau pembinaan agar supply bibit yang tersedia bisa

224
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

diserap pasar antara lain melalui program-program pemerintah. Selain itu, pemerintah juga
bisa melakukan peningkatan pengetahuan dan kapasitas masyarakat agar mampu berperan
lebih besar dalam pemasaran kayu, sehingga bisa memangkas rantai pemasaran kayu atau
meningkatkan margin keuntungan yang diterima masyarakat selaku petani.
Kebijakan pemerintah yang sudah dilakukan dalam kaitannya dengan jenis kayu
pertukangan lokal adalah Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) dan
Program Kebun Bibit Rakyat (KBR). Pohon bambang lanang menyebar secara meluas di Provinsi
Sumatera Selatan melalui Program GERHAN dan KBR. Waluyo dan Nurlia (2013) menyatakan
bahwa kayu bawang mulai menyebar dari Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah ke
kabupaten-kabupaten lainnya di Provinsi Bengkulu melalui GERHAN pada tahun 2003 dan KBR
pada tahun 2010.

PENUTUP
Penelitian sosial, ekonomi dan kebijakan dalam kaitannya dengan pengembangan kayu
pertukangan lokal di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu yang sebenarnya merupakan hasil
pembelajaran terhadap masyarakat menunjukkan bahwa budidaya kayu pertukangan lokal
menjadi bagian dan berkaitan erat dengan bentang lahan DAS dan budaya masyarakat.
Kayu pertukangan lokal yang mempunyai kaitan erat dengan keseharian masyarakat
mempunyai prospek ekonomi untuk dikembangkan karena layak secara finansial, mempunyai
pasar dan tidak mengharuskan lahan luas untuk penanamannya. Dengan memperhatikan
pertumbuhan, penyebaran dan prospek ekonominya dapat dinyatakan bahwa kayu
pertukangan lokal dengan daur menengah bisa dipenuhi dari kebun masyarakat atau hutan
rakyat dengan pola agroforestry. Sedangkan untuk kayu pertukangan lokal daur panjang
memerlukan teknik silvikultur untuk meningkatkan riap dan produktivitasnya sehingga perlu
dibudidayakan untuk memenuhi permintaan industri.
Pengarusutamaan pelibatan masyarakat dalam penyediaan bahan baku kayu
pertukangan lokal adalah sebuah keniscayaan, dengan tidak mengesampingkan kebutuhan
hidup masyarakat sehari-hari, jangka menengah dan jangka panjang.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, G., Gunsiryadi, Amrina. 1999. Prospek Pengembangan Kayu Wawang (Protium
javanicum Burm F.) sebagai Komoditas Hutan Unggulan dalam Pengusahaan Hutan
Rakyat di Provinsi Bengkulu (Tinjauan dari Aspek Silvikultur). Prosiding Seminar Nasional
Status Silvikultur: Peluang dan Tantangan menuju Produktivitas dan Kelestarian
Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Brokensha, D., dan B.W. Riley. 1987. Privatization of Land and Tree Planting in Mbeere, Kenya.
In Raintree J.B. (ed.). Land, Treestand and Tenure. ICRAF and The Land Tenure Center.
Nairobi and Madison. pp. 187-192.
Hart, G., A. Turton, B. White (Eds). 1989. Proses Transformasi Daerah Pedalam di Indonesia.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. Jakarta.
Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara, W.C. Wong. 1995. Plant Resources of South-East Asia 5(2)
Timber Trees : Minor Commercial Timber. Prosea. Bogor.

225
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Lestari, S., Premono, B.T., dan E.A. Waluyo. 2012. Industri Kayu Rakyat Jenis Unggulan Lolal di Sumatera
Selatan: Karakteristik dan Tantangan Pengembangannya. Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Balai Penelitian Kehutanan Palembang “Peluang dan Ttantangan Pengembangan Usaha Kayu
Rakyat”, Palembang, 23 Oktober 2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan
Produktivitas Hutan. Bogor.
Li, T.M. 1990. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta.
Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.a. Prawira, dan K. Kadir. 2005. Atlas Kayu
Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.
Martin, E dan F.B. Galle. 2009. Motivasi dan Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga
Penanam Pohon Penghasil Kayu Pertukangan: Kasus Tradisi Menanam Kayu Bawang
(Disoxylum molliscimum BL) oleh Masyarakat Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu.
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 6 No. 2 Juni 2009, Hal. 117 – 134.
Martin, E. 2012. Budidaya Pohon Penghasil Kayu: Perspektif Sosial Ekonomi Masyarakat
Sumatera Selatan. Prosiding Forum Komunikasi Multipihak “Hutan Rakyat Sebagai Solusi
Penyedia Kayu Pertukangan”, Palembang, 20 Juni 2012. Pusat Litbang Peningkatan
Produkstivitas Hutan. Bogor.
Martin, E. dan B.T. Premono. 2010. Hutan Tanaman Kayu Pertukangan adalah Portfolio:
Pelajaran dari Keswadayaan Penyebarluasan Bambang Lanang di Masyarakat. Prosiding
Seminar Nasional :”Kontribusi Litbang dalam Peningkatan Produktivitas dan Kelestarian
Hutan, Bogor, 29 November 2010. Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan.
Bogor.
__________. 2014. “Upaya Komoditisasi Tembesu dalam Perspektif Sosial Budaya Petani dan
Pasar” dalam Bunga Rampai Tembesu Kayu Raja Andalan Sumatera. FORDA Press.
Bogor.
Premono, B,T. dan E, Martin. 2011. Nilai Ekonomi Penanaman Pohon Penghasil Kayu pada
Lahan Milik. Prosiding Seminar Hasil Penelitian “Introduksi Tanaman penghasil kayu
Pertukangan di Lahan Masyarakat Melalui Pembangunan Hutan Tanaman Pola
Campuran”, Musi Rawas, 13 Juli 2011. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan
Produktivitas Hutan. Bogor.
Premono, B.T. dan S. Lestari. 2012. Analisis Pemasaran Kayu Bawang di Provinsi Bengkulu
Utara. Prosiding seminar hasil penelitian “Introduksi Tanaman Penghasil Kayu
Pertukangan di Lahan Masyarakat melalui Hutan Tanaman Pola Campuran”, Musi
Rawas, 13 Juli 2011. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.
_________. 2013. Analisis Finansial Agroforestri Kayu Bawang (Dysoxilum Mollissimum Blume)
dan Kebutuhan Lahan Minimum di Provinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian Sosial dan
Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 211 – 223.
Sofyan, A., E. Martin, A. H. Lukman, dan A.W. Nugroho. 2010. Status Riset dan Rencana
Penelitian Jenis-jenis Prioritas Kayu pertukangan di Sumatera. Prosiding Peran Litbang
Kehutanan dalam Implementasi RSPO, Pekanbaru, 4-5 November 2010. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. Bogor.
Straka, T. J. dan S. H. Bullard. 1996. Land Expectation Value Calculation in Timberland Valuation.
Appraisal Journal Vol. 64: 399-405.

226
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

Ulya, N. A., E. Martin, E. A. Waluyo dan J. P. Tampubolon. 2006. Teknologi dan Kelembagaan
Social Forestry di Hutan Rakyat. Laporan Penelitian Balai Litbang Hutan Tanaman
Indonesia Bagian Barat, Palembang.
Waluyo, E. A., dan S, Lestari. Karakteristik Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Lahat dan
Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil penelitian Balai
Penelitian Kehutanan “Integrasi IPTEK dalam Kebijakan dan Pengelolaan Hutan Tanaman
di Sumatera Bagian Selatan”, Palembang, 2 Oktober 2013. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.
Waluyo, E. A., dan A. Nurlia. 2013. Agen Perubahan dalam Pengembangan Hutan Rakyat:
Belajar dari Pengembangan Kayu Bawang di Wilayah Provinsi Bengkulu. Prosiding
Seminar Hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan “Integrasi IPTEK dalam Kebijakan
dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan”, Palembang, 2 Oktober
2013. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.
________ . 2014. Faktor-Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Keputusan
Petani Membudidayakan Agroforestry Kayu Bawang (Dysoxylum mossimum B.L.) di
Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry-IV
“Pengembangan Teknologi Agrofrorestry dan Produknya untuk Ketahanan Energi dan
Kesehatan”, Banjarbaru, 26-27 Oktober 2013. FAHUTAN UNLAM PRESS.
Winarno, B., A. Nurlia dan E. Martin. 2012. Realitas Pengelolaan Bambang lanang (Michelia
champaca L.) oleh Masyarakat pada daerah Sebaran Alaminya di Kabupaten Empat
Lawang. Prosiding Forum Komunikasi Multipihak “Hutan Rakyat Sebagai Solusi Penyedia
Kayu Pertukangan”, Palembang, 20 Juni 2012. Pusat Litbang Peningkatan Produkstivitas
Hutan. Bogor.

227
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

KAJIAN PENGELOLAAN KOLABORATIF KAWASAN HUTAN


DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RAHMAN, PROVINSI LAMPUNG

Ari Nurlia, Edwin Martin dan Bondan Winarno


Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Tahura WAR merupakan kawasan pelestarian alam yang berfungsi sebagai kawasan penyangga
kehidupan dan pengawetan keanekaragaman flora dan fauna serta keunikan gejala alam. Seiring
perjalanannya, pengelolaan Tahura WAR telah mengalami beberapa kali perubahan kebijakan dari
Hutan Kemasyarakatan (HKm), non HKm hingga Pengelolaan Kolaboratif. Perubahan kebijakan dalam
pengelolaan Tahura WAR diharapkan dapat memberikan perubahan ke arah yang lebih baik. Penelitian
ini bertujuan untuk mengkaji pengelolaan kolaboratif di Tahura WAR, Propinsi Lampung. Keberhasilan
dalam pengelolaan hutan secara kolaboratif di Tahura WAR berpotensi untuk dijadikan contoh bagi
pengelolaan kawasan hutan di lokasi lainnya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei,
data primer diperoleh dengan observasi lapang dan wawancara mendalam (indepth interview) kepada
tokoh-tokoh kunci, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan analisis sosial dan analisis deskriptif untuk menggambarkan fenomena
dalam pengelolaan Tahura WAR di Propinsi Lampung. Hasil penelitian menunjukkan pemangku
kepentingan utama dalam pengelolaan kolaborasi di Tahura WAR adalah kelembagaan lokal yang ada
dimasyarakat yaitu GKPPH dengan UPTD Tahura WAR. Komitmen dalam menjaga kepentingan dan
peran setiap pemangku kepentingan diperlukan untuk menjamin keberlangsungan pengelolaan Tahura
WAR menuju ke arah yang lebih baik. Pola tanam yang diterapkan masyarakat adalah pola tanam
agroforestry dengan jenis tanaman yang ditanam adalah karet, kakao, MPTS dan tanaman kehutanan.
Masyarakat dapat memanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) untuk menjamin kesejahteraannya
dan tanaman berkayu untuk menjaga kelestarian hutan.
Kata kunci: Tahura WAR, pengelolaan kolaboratif, kelembagaan, pemangku kepentingan

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan merupakan sumberdaya alam yang harus dijaga kelestariannya karena memiliki
peran penting bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup di dalamnya. Hutan tidak hanya
bermanfaat secara ekonomi tapi juga bermanfaat secara ekologi. Berdasarkan fungsi pokoknya
hutan ditetapkan sebagai hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi (Undang-undang
nomor 41, 1999). Taman Hutan Raya (Tahura) adalah salah satu jenis hutan konservasi yang
memiliki fungsi sebagai kawasan penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman flora
dan fauna serta keunikan gejala alam (Winarno, 2004). Menurut UU No.5 Tahun 1990, Tahura
adalah kawasan pelestarian alam yang dibangun untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa
yang alami atau buatan, jenis asli dan bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan
rekreasi.
Salah satu Taman Hutan Raya yang ada di Sumatera Bagian Selatan adalah Taman Hutan
Raya Wan Abdul Rahman atau yang lebih dikenal Tahura WAR yang tepatnya berada di Propinsi
Lampung. Tahura WAR merupakan kawasan yang dibentuk berdasarkan keputusan menteri
kehutanan No.403/Kpts-II/1993 dengan luas sekitar 22.249,31 hektar. Seiring perjalanannya,
Tahura WAR telah mengalami beberapa perubahan kelembagaan formal yang mempengaruhi

229
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

sistem pengelolaannya. Pengelolaan Tahura pada masa sebelum reformasi sepenuhnya


dilakukan oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Hal ini menyebabkan hutan menjadi
rusak, karena berbenturan dengan tuntutan pemenuhan hidup masyarakat. Kebakaran hutan,
penebangan pohon dan pembukaan lahan hutan untuk pertanian dilakukan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah reformasi tahun 1998, terjadi perubahan kebijakan
dimana masyarakat diperbolehkan turut serta mengelola hutan melalui Hutan Kemasyarakatan
(Hkm). Hal ini diwujudkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
No.677/Kpts-II/1998 yang mengeluarkan izin sementara pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
kepada Gabungan Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan (GKPPH) di Sumber Agung,
Kecamatan Kemiling, Kota Bandar Lampung (Juansyah dan Kurniadi, 2011) dan dikeluarkannya
sertifikat Ijin Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan Sementara No.21/IV/PHK-2/1999 seluas
492,75 hektar dengan jangka waktu pengelolaan selama 5 (lima) tahun. Tahun 2001 kebijakan
pengelolaan hutan dalam bentuk Hkm dicabut, sehingga pada tahun 2004 masyarakat tidak
dapat melakukan perpanjangan izin Hkm. Pada tahun 2012 melalui Perda Propinsi Lampung
Nomor 3 tahun 2012, pengelolaan Tahura WAR kembali dilakukan dengan melibatkan
masyarakat sekitar dengan sistem Pengelolaan Kolaborasi. Perubahan pengelolaan Tahura WAR
dari Hutan Kemasyarakatan (HKm), non HKm dan Pengelolaan Kolaboratif diharapkan dapat
memberikan perubahan ke arah yang lebih baik.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengelolaan kolaboratif di Tahura Wan Abdul
Rahman, Propinsi Lampung. Keberhasilan dalam pengelolaan hutan secara kolaboratif di Tahura
WAR berpotensi untuk dijadikan contoh bagi pengelolaan kawasan hutan di lokasi lainnya.

II. METODE PENELITIAN


Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Tahura Wan Abdul Rahman, Propinsi Lampung. Tahura WAR
merupakan salah satu Tahura yang berada di Pulau Sumatera dan dianggap telah berhasil
dalam pengelolaan hutan dengan sistem pengelolaan kolaborasi bersama masyarakat.
Pengambilan data dilakukan pada beberapa unit unit wilayah kerja pengelolaan kawasan
Tahura di tingkat lapang (Rayon), yaitu Rayon Bandar Lampung, Gedong Tataan, dan Youth
Camp. Penelitian dilakukan pada Bulan Juni – Juli 2015.
Pengumpulan Data
Penelitian dilakukan dengan metode survei. Data primer diperoleh melalui observasi
lapang dan wawancara mendalam (indepth interview). Observasi lapang dilakukan untuk
mengetahui bentuk pengelolaan hutan di masyarakat meliputi pola tanam dan pemilihan jenis
tanaman. Wawancara mendalam diperlukan untuk menggali informasi sedalam mungkin
mengenai fakta-fakta suatu peristiwa dan opini informan yang terlibat dalam pengelolaan
Tahura WAR. Wawancara mendalam dilakukan pada tokoh-tokoh kunci dimana pemilihan
informan kunci dilakukan secara sengaja (purposive sampling) berdasarkan informasi yang
diperoleh dari Dinas Kehutanan dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Tahura WAR.
Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis sosial yang disajikan dalam
tabulasi sederhana dan analisis deskriptif untuk menggambarkan fenomena dalam pengelolaan
Tahura WAR di Propinsi Lampung.

230
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Tahura WAR ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 403/Kpts-
II/1993 yang menetapkan Kawasan Hutan Gunung Betung Register 19 seluas sekitar 22.249,31
ha menjadi Taman Hutan Raya (Tahura). Secara geografis Tahura WAR terletak di 05 018’ sampai
dengan 05029’ LS dan 105002’ sampai dengan 105014’ BT. Secara administratif Tahura WAR
terletak di wilayah Kabupaten Lampung Selatan dan Kota Bandar Lampung, Propinsi Lampung.
Pengelolaan Tahura WAR dilakukan dengan membagi blok pengelolaan. Luasan blok-
blok pengelolaan Tahura WAR adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Luasan Blok Pengelolaan Tahura WAR
Blok Pengelolaan Luas (ha) Persentase (%)
Blok Pemanfaatan/ wisata alam 1,073.61 4.83
Blok Koleksi 841.56 3.78
Blok Perlindungan 13,049.01 58.65
Blok Lainnya:
a. Blok Pendidikan dan Penelitian 549.76 2,47
b. Blok social forestry 6,735.37 30.27
Jumlah 22,249.31 100.00
Sumber: UPTD Tahura WAR (2015)
Di samping itu dilakukan pemberdayaan unit wilayah kerja pengelolaan kawasan Tahura
di tingkat lapang (rayon). Pengelolaan Tahura WAR terdiri dari 6 (enam) rayon, yaitu (1) Youth
Camp dengan luas 3.822,13 ha, (2) Way Sabu dengan luas 3.851,32 ha, (3) Padang Cermin
dengan luas 4.575,01 ha, (4) Kedondong dengan luas 3.636,63 ha, (5) Gedung Tataan dengan
luas 3.810,50 ha dan (6) Bandar Lampung dengan luas 2.553,71 ha. Pembagian unit wilayah
kerja dilakukan dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan kawasan Tahura WAR.
Pengelolaan Kolaboratif Tahura WAR
Kolaborasi adalah suatu proses dimana dua stakeholder atau lebih yang berbeda
kepentingan dalam satu persoalan yang sama menjajaki dan bekerja melalui perbedaan-
perbedaan untuk bersama-sama mencari pemecahan bagi keuntungan bersama (Gray, 1989).
Pengelolaan kolaboratif Tahura adalah pelaksanaaan kegiatan atau penanganan suatu masalah
dalam kawasan Tahura guna meningkatkan efektivitas pengelolaan Tahura secara bersamaan
dan bersinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama (Mayasari,
2015). Pengelolaan kolaborasi juga dikenal sebagai salah satu pendekatan yang bukan bersifat
permusuhan (non adversarial approach) untuk penyelesaian permasalahan dan penyelesaian
konflik, sehingga dalam prakteknya kolaborasi banyak digunakan untuk menyelesaikan
sengketa antara para pemangku kepentingan dalam konflik multipihak (Mukhtar dan Winara,
2011). Pengelolaan kolaborasi di Tahura WAR dilakukan atas dasar untuk menyelesaikan
masalah Tahura secara bersama-sama dengan masyarakat sekitar dengan tujuan meningkatkan
pengelolaan sumberdaya alam. Pemangku kepentingan atau stakeholder yang turut serta
dalam pengelolaan Tahura WAR dapat dilihat pada Tabel 2.

231
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Tabel 2. Pemangku kepentingan di Tahura WAR


No Pemangku Kepentingan Peran
Kepentingan
1. Dinas Kehutanan dan  Tanggung jawab  Program dan kegiatan
UPTD Tahura pengelolaan pengelolaan
 Kelestarian hutan  Penempatan dan
 Kesejahteraan masyarakat peningkatan SDM
sekitar hutan Pengelola
 Pemberdayaan
masyarakat
2. Lembaga Penelitian dan  Penelitian dan pendidikan  Menyediakan, menyajikan
Pendidikan dan memberi masukan
terkait data-data yang
diperlukan dalam
pengelolaan hutan
3. Lembaga Swadaya  Kelestarian kawasan  Penguatan kelembagaan
Masyarakat  Pemberdayaan  Pemberdayaan
masyarakat masyarakat
4. Masyarakat (Kelompok  Tanggung jawab  Mendukung kegiatan
Pengelola dan Pelestari pengelolaan pengelolaan
Hutan)  Sumber mata pencaharian  Menjaga kawasan tetap
lestari
 Kesejahteraan
masyarakat
Sumber: Data primer penelitian (diolah)
Setiap pemangku kepentingan memiliki kepentingan dan perannya masing-masing
dalam pengelolaan hutan. Perlunya komitmen dalam menjaga kepentingan dan peran setiap
pemangku kepentingan dapat menjamin keberlangsungan pengelolaan Tahura WAR. Pada
tahun 2002, kebijakan pemerintah telah membatasi turut sertanya lembaga swadaya
masyarakat (LSM) dalam mendampingi masyarakat dan menyerahkan pengelolaan Tahura WAR
pada pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kehutanan dan UPTD Tahura WAR. Hal ini
menjadikan Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan (KPPH) dan UPTD Tahura WAR menjadi
pemangku kepentingan utama dalam pengelolaan Tahura WAR. Dalam meningkatkan peran
kelembagaan lokal maka dibentuklah GKPPH yang berfungsi sebagai koordinator dari KPPH
yang ada disetiap desa. GKPPH memiliki aturan yang mengikat bagi setiap anggotanya dan
ditetapkan secara bersama-sama dengan melibatkan pemerintah daerah. Pelanggaran dari
setiap aturan yang diterapkan akan dikenakan sanksi sesuai dengan kesepakatan bersama.
Adapun aturan-aturan yang disepakati adalah antara lain:
a) Anggota yang melanggar dengan membuka lahan di luar blok pemanfaatan (blok lindung),
penyelesaiannya akan dilakukan langsung oleh Dinas Kehutanan dan diproses secara hukum.
b) Anggota yang melanggar di blok pemanfaatan, penyelesaiannya akan dilakukan melalui
GKPPH dan Kepala Rayon dengan berupa teguran, surat pernyataan dan hukuman yang telah
disepakati bersama.
Pengelolaan kolaboratif yang dilakukan meliputi penentuan lokasi yang diperbolehkan
dimanfaatkan oleh masyarakat, pendampingan dalam penentuan jenis tanaman yang akan
ditanam di kawasan Tahura WAR dan pola tanam yang diterapkan oleh masyarakat.

232
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

Pola Tanam dan Pemilihan Jenis Tanaman


Sesuai dengan tujuannya untuk melestarikan keberadaan Tahura WAR, maka pola
tanam yang diterapkan masyarakat adalah pola tanam campuran dengan sistem agroforestry.
Agroforestry merupakan pola tanam dimana tanaman kehutanan ditanam bersamaan dengan
tanaman musiman. Menurut Lundgreen dan Raintree (1992) dalam Rianse dan Abdi (2010),
agroforestry merupakan istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi
penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan
mengkombinasikan tumbuhan berkayu dengan tanaman pertanian dan/atau hewan dan/atau
ikan yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi
ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada. Dengan telah terbentuknya
kesepahaman antara masyarakat dan pemerintah, maka dalam pengelolaannya masyarakat
mengkombinasikan berbagai jenis tanaman berkayu yang dapat memproduksi hasil hutan
bukan kayu (HHBK). Jenis tanaman yang dipilih oleh masyarakat adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Jenis tanaman yang diusahakan masyarakat
No Uraian Jenis Tanaman
1. Tanaman tajuk tinggi Cempaka
Medang
Karet
Durian
Petai
Tangkil
Alpukat
Pala
Kayu Manis
Aren
Kelapa
MPTS lainnya

2. Tanaman tajuk tengah Kopi


Coklat

3. Tanaman tajuk rendah Pisang


Vanili
Lada
Sumber: Data primer penelitian
Pengambilan keputusan dalam memilih jenis tanaman yang akan dibudidayakan pada
pengelolaan Tahura WAR selain didasarkan pada pengaruh ekonomi juga tetap memperhatikan
aspek ekologi. Pendampingan dari pemerintah dilakukan untuk membangun kesepahaman
pengelolaan dengan masyarakat. Aspek yang dipertimbangkan dalam pemilihan jenis tanaman
selain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat juga dapat menjaga kelestarian Tahura
WAR. Perubahan nyata terlihat dari penutupan lahan di Tahura WAR dari sebelum melibatkan
masyarakat dalam mengelola hutan dengan setelah melibatkan masyarakat dalam pengelolaan
hutan (Gambar 1).

233
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Sumber: UPTD Tahura WAR (2015)


Gambar 1. Citra landsat penutupan lahan di Tahura WAR
Pada gambar terlihat penutupan lahan pada tahun 2002 sebelum dilibatkannya
masyarakat dalam pengelolaan hutan, terlihat banyak areal yang terbuka. Hal ini dikarenakan
adanya pembukaan lahan oleh masyarakat untuk perladangan berpindah. Selain itu, tidak
adanya pengetahuan mengenai jenis tanaman menyebabkan masyarakat memilih tanaman
pertanian yang lebih cepat menghasilkan seperti sayur-sayuran dan tanaman semusim untuk di
usahakan. Hal ini tidak hanya membuat kondisi hutan rusak, namun juga menimbulkan bencana
bagi masyarakat dimana terjadi kekurangan air pada musim kemarau.
Setelah pengelolaan dilakukan secara kolaborasi dengan masyarakat, pemerintah dan
masyarakat bersama-sama membangun kesepahaman dalam membangun hutan. Dengan
pemilihan jenis tanaman yang tepat, kondisi hutan perlahan-lahan kembali hijau. Selain itu,
peningkatan kesejahteraan masyarakat juga dirasakan oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari
semakin menurunnya rumah tangga miskin di sekitar areal Tahura WAR.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Pengelolaan kolaborasi di Tahura WAR dilakukan atas dasar untuk menyelesaikan
masalah Tahura secara bersama-sama dengan masyarakat sekitar dengan tujuan meningkatkan
pengelolaan sumberdaya alam. Pemangku kepentingan utama dalam pengelolaan kolaborasi di
Tahura WAR adalah kelembagaan lokal yang ada dimasyarakat yaitu GKPPH dengan UPTD
Tahura WAR. Komitmen dalam menjaga kepentingan dan peran setiap pemangku kepentingan
diperlukan untuk menjamin keberlangsungan pengelolaan Tahura WAR menuju ke arah yang
lebih baik.
Pola tanam yang diterapkan masyarakat adalah pola tanam agroforestry dengan jenis
tanaman didominasi tanaman berkayu yang dapat dimanfaatkan hasil hutan bukan kayunya
(HHBK). Pengambilan keputusan dalam memilih jenis tanaman yang dibudidayakan pada
pengelolaan Tahura WAR selain didasarkan pada pengaruh ekonomi juga tetap memperhatikan
aspek ekologi.

234
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

Saran
1. Penguatan kelembagaan lokal seperti GKPPH diperlukan untuk mempertahankan dan
menjalin kesepahaman antara pemerintah dengan masyarakat.
2. Perlu adanya penambahan jenis-jenis tanaman kehutanan pada lahan yang dikelola
masyarakat disamping pengembangan jenis-jenis tanaman MPTS.

DAFTAR PUSTAKA
Gray, B. 1998. Collaborating: Finding Common Ground for Multyparty Problems. Jossey-Bass.
Publishers. San Francisco.
Juansyah, N dan Kurniadi. 2011. Menakar Kembali Pilihan Penyelesaian Konflik Tenurial di
Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman Provinsi Lampung. http://
worldagroforestry.org/ sea/ Publications/ files/ book/ BK0147-11/ BK0147-11-5.pdf. di
akses pada 9 Agustus 2015.
Mayasari, T. 2015. Perubahan Kelembagaan Formal dalam Pengelolaan Lahan Agroforestri di
Tahura Wan Abdul Rahman. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Mukhtar, S dan Winara A. 2011. Potensi Kolaborasi dalam Pengelolaan Taman Nasional Teluk
Cenderawasih di Papua (Potency of Collaborative on Cendrawasih Bay Oark
Management in Papua). Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol 8 No.3 : 217-
226. Bogor.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomot 49. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 167. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.
Rianse, U. dan Abdi. 2010. Agroforestry: Solusi Sosial dan Ekonomi Pengelolaan Sumber Daya
Hutan. Alfabeta. Bandung.
Winarno, G. D. 2004. Kajian Pengembangan Wisata di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman
Propinsi Lampung. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

235
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

PENGETAHUAN LOKAL MASYARAKAT SUKU DAYA DAN SUKU SALING, SUMATERA SELATAN
DALAM PENGOBATAN PENYAKIT DEGENERATIF DAN METABOLIK BERBASIS TUMBUHAN

Efendi Agus Waluyo1, Asmaliyah1 dan Suryanto2


1
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang
2
Peneliti Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumberdaya Alam Samboja

ABSTRAK

Pengetahuan atau kearifan tradisional masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam khususnya
tumbuhan dalam pengobatan merupakan kekayaan budaya yang perlu digali agar pengelolaan
tradisional tersebut tidak punah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bentuk-bentuk kearifan lokal
masyarakat khususnya suku Daya dan suku Saling Provinsi Sumatera Selatan dalam pemanfaatan
tumbuhan untuk mengobati penyakit degenerative dan metabolik. Metode yang digunakan adalah
metode survey dan wawancara secara langsung pada sejumlah masyarakat suku Daya dan suku Saling
dengan metode snowball sampling. Dalam penelitian ini didapatkan informasi lebih kurang 55 jenis
tumbuhan yang berkhasiat obat. Pengetahuan mengenai tumbuhan dan ramuan pengobatan tersebut
diperoleh secara turun-temurun. Dasar pengobatan masyarakat suku Daya dan suku Saling adalah
secara Islam yaitu semua selalu diawali dengan bacaan “Basmallah”. Pada umumnya tumbuhan yang
digunakan untuk pengobatan penyakit masih diperoleh secara liar di perkarangan, kebun karet, semak
belukar dan ladang. Sebagian tumbuhan obat mulai dibudidayakan di perkarangan rumah. Jenis-jenis
tumbuhan yang diinventarisir dalam penelitian ini perlu dikaji lebih lanjut untuk mengetahui efektivitas
dan kandungannya dalam penyembuhan suatu penyakit.
Kata kunci: kearifan lokal, Suku Saling, Suku Daya, tumbuhan obat

I. PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia sudah cukup lama mengenal dan menggunakan tumbuhan
berkhasiat obat sebagai upaya untuk mengobati penyakit sebelum adanya pengobatan modern
dengan obat-obat sintetik. Pengetahuan tentang tanaman obat merupakan warisan budaya dari
leluhur, berdasarkan pengalaman turun menurun. Berbagai macam penyakit dan keluhan
ringan maupun berat dapat diobati dengan memanfaatkan ramuan dari tumbuh-tumbuhan
tertentu yang mudah didapat di sekitar perumahan. Oleh karena itu pengetahuan tentang
tanaman obat sangat penting untuk dijaga dan dikembangkan sebagai bentuk kekayaan bangsa
(Kartasaputra, 1996). Etnobotani merupakan suatu alat atau cara untuk mendokumentasikan
suatu pengetahuan seseorang, khususnya dalam kaitannya dengan tumbuhan yang berkhasiat
sebagai obat (Suryadarma, 2008).
Menurut Zuhud (1991), tumbuhan obat adalah tumbuhan yang bagian-bagiannya (daun,
batang, atau akar) mempunyai khasiat sebagai obat dan digunakan sebagai bahan mentah
dalam pembuatan obat modern dan tradisional. Lebih lanjut diungkapkan bahwa, tumbuhan
obat sebagai tumbuhan yang penggunaan utamanya adalah untuk keperluan obat-obatan dan
belum dibudidayakan. Abdiyani (2008) mengungkapkan bahwa kelebihan pengobatan dengan
menggunakan ramuan tumbuhan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada
penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping
yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern.
Penyakit-penyakit dalam kelompok degeneratif dan metabolik adalah dua kelompok
penyakit yang banyak diderita oleh manusia. Beberapa di antaranya mempunyai resiko
kematian yang tinggi, seperti jantung, diabetes dan stroke. Penyakit degeneratif adalah

237
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

penyakit yang mengiringi proses penuaan dan penyakit metabolik termasuk kelompok penyakit
medis yang berkaitan dengan produksi energi di dalam sel manusia. Kebanyakan penyakit
metabolik adalah penyakit genetik atau penyakit keturunan, meski sebagian di antaranya
disebabkan makanan, racun, infeksi, dan sebagainya. Stimulan terjangkitnya dua kelompok
penyakit ini adalah gaya hidup yang kurang sehat.
Pengetahuan atau kearifan tradisional masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya
alam khususnya tumbuhan merupakan kekayaan budaya yang perlu digali agar pengelolaan
tradisional tersebut tidak punah. Penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk mengkaji bentuk-
bentuk kearifan lokal masyarakat khususnya suku Daya dan suku Saling, Provinsi Sumatera
Selatan dalam pemanfaatan tumbuhan untuk mengobati penyakit degenerative dan metabolik.

II. METODE PENELITIAN


Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei di Kecamatan Lengkiti Kabupaten Ogan
Komering Ulu (OKU) dan Kecamatan Saling, Kabupaten Empat Lawang, Propinsi Sumatera
Selatan. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, kamera digital, alat
perekam, spritus, kantong plastik, gunting tanaman, kertas merang, kertas label, kertas
mounting, benang, sprayer, kuisioner dan panduan wawancara yang sudah dipersiapkan
terlebih dahulu dan buku identifikasi. Responden pada penelitian ini adalah para pengobat
tradisional (Battra) yang merupakan penduduk asli suku Daya dan suku Saling.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan kuisoner penelitian, yang
dipersiapkan terlebih dahulu untuk menginventarisasi pengetahuan lokal dengan sasaran para
battra, yang dituntun melalui panduan wawancara. Wawancara dilakukan dengan cara
mencatat, dan mendokumentasikan hal-hal yang dikemukakan oleh responden yang
berhubungan dengan keterangan mengenai cara pemanfaatannya, baik itu cara
pengelolaannya dan takaran tiap jenis tumbuhan yang akan digunakan untuk pengobatan,
bagian tumbuhan yang digunakan. Cara untuk mendapatkan informan (pengobat
tradisional/Battra) dilakukan dengan menggunakan metode snowball sampling. Informan
ditentukan berdasarkan keterangan dari tokoh masyarakat adat, kepala suku, kepala desa
kepala kampung, dan sumber terpercaya lainnya. Data berupa tumbuhan obat, koleksi sampel
tumbuhan obatnya dalam bentuk dokumentasi (foto), deskripsi morfologi dan pembuatan
herbarium kering. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan
menggunakan analisis secara naratif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Deskripsi Etnis
Suku Daya adalah suatu komunitas masyarakat yang menetap di pinggir aliran sungai
Ogan di Kabupaten Ogan Komering Ulu. Populasi suku Daya ini diperkirakan telah mencapai
lebih dari 50.000 orang, yang tersebar di beberapa tempat di Provinsi Sumatra Selatan hingga
ke wilayah Provinsi Lampung.
Masyarakat suku Daya berbicara dalam bahasa Daya, yang mana bahasa ini termasuk
dalam dialek bahasa Melayu, yang sering disebut juga sebagai dialek Daya. Tidak diketahui apa-
kah orang Daya ini memiliki bahasa sendiri selain bahasa Melayu yang digunakan sekarang ini.
Mengingat bahwa suku Daya ini adalah penduduk asli wilayah ini, dan tergolong ke dalam ke-
lompok protomalayan, mereka telah ada sebelum kehadiran orang-orang Melayu di wilayah ini.
Suku saling juga salah satu suku asli sumatera selatan yang berdiam di sekitar daerah
aliran Sungai Saling. Daerah adat mereka yang disebut Marga Saling, berada dalam wilayah

238
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

Kecamatan Saling kabupaten Empat Lawang, Provinsi Sumatera Selatan. Tidak ada catatan yang
pasti tentang jumlah warga masyarakat ini. Bahasa Saling termasuk kelompok bahasa Melayu,
tetapi dengan dialek dan ciri-ciri yang khas.
2. Pengetahuan lokal dan kearifan tentang pengobatan Suku Daya
Penelitian mengenai pengobatan tradisional di suku Daya, dilakukan di Kecamatan
Lengkiti, Kabupaten Ogan Komering Ulu. Penentuan lokasi ini didasarkan atas pertimbangan
bahwa di wilayah tersebut masih banyak didiami suku Daya asli, selain itu wilayahnya juga
berbatasan langsung dengan hutan lindung. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak dinas
kehutanan setempat dan dari pihak desa, ada beberapa pengobat tradisional, tetapi
kebanyakan hanya tukang urut tulang bukan pengobatan menggunakan tumbuhan obat. Ada
beberapa narasumber yang direncanakan ditemui tetapi hanya ada 2 pengobat tradisional
(Battra) yang memenuhi syarat dan menggunakan tumbuhan obat di wilayah tersebut yang bisa
ditemui. Data narasumber Battra disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Data narasumber pengobat tradisional Suku Daya
No Nama Umur (Thn) Jenis Alamat Keterangan
Kelamin
1 Cik Mas 63 Perempuan Ds. Tanjung Mulai Praktek tahun 1985, banyak
Lengakap menanam tumbuhan obat
2 Tarmizi 54 Laki-laki Ds. Tanjung Lebih dikenal sebagai tukang urut
Agung atau ahli tulang

Dalam kaitannya dengan masalah kesehatan, masyarakat suku Daya saat ini telah
menggunakan obat-obatan sintetik (modern) karena wilayah yang menjadi tempat tinggalnya
saat ini telah banyak fasilitas-fasilitas kesehatan seperti puskemas dan polindes serta tenaga
kesehatan yang memadai seperti dokter, bidan, mantri, dan perawat. Seseorang dikatakan
dalam keadaan sakit jika ada sesuatu yang dideritanya sehingga dia tidak dapat beraktivitas
sehari-hari seperti biasanya. Seseorang yang sakit biasanya berobat ke bidan atau dokter
terdekat terlebih dahulu untuk mendapatkan kesembuhan akan tetapi jika belum sembuh-
sembuh mereka mulai mencari pengobatan alternatif ke Battra.
Orang daya menyebut obat tradisional dengan sebutan “Obat Ungga’an” atau Obat
Kampung. Seorang Battra biasanya mendapat pengetahuan pengobatan berasal dari orang
tuanya ataupun dari mimpi yang mereka sebut sebagai “wahyu”. Mereka biasanya mendapat
wahyu dari “beliau” setelah melakukan sholat Tahajud di malam hari. Dalam melakukan
pengobatan biasanya seorang Battra mengawali dengan bacaan Basmalah dan ditambah
“jampi” yang berasal dari ayat-ayat Al Qur’an dan bahasa lokal. Jampi tidak bisa beliau berikan
kepada sembarang orang.
Obat tradisional yang digunakan adalah tumbuhan yang berasal dari hutan dan kebun di
sekitar mereka. Jenis-jenis tumbuhan yang masih banyak dijumpai biasanya langsung diambil di
hutan tetapi untuk jenis yang mulai sulit ditemukan, mereka mulai menanamnya di kebunnya
seperti yang dilakukan oleh ibu Cik Mas, seorang Battra asli suku Daya dari Desa Tanjung
Lengkayap. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat umumnya terdapat di pekarangan
rumah, kebun karet dan semak belukar. Keadaan ini sesuai dengan hasil penelitian Hariyadi,
(2011) bahwa jenis-jenis tumbuhan yang banyak dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat
bukanlah berasal dari hutan alam, melainkan dari ekosistem yang sudah banyak mendapat
sentuhan manusia (human made ecosystem), khsusunya semak belukar dan kawasan
Ibu Cik Mas telah memulai praktek pengobatan mulai tahun 1985. Pengobatan yang
dilakukan beliau secara umum ada 2 macam yaitu obat dari dalam yaitu yang diminum dan obat

239
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

dari luar yaitu untuk mandi yang mereka sebut “mandian”. Untuk mandian dia selalu
menambahkan sedikit beras dalam air rebusan bahan obat tradisional hal ini filosofinya adalah
bahwa semua urusan sakit itu pulangnya ke beras atau makan.
Demikian juga dengan Pak Tarmizi, seorang Battra dari Tanjung Agung yang telah
melakukan pengobatan dari 10 tahun yang lalu. Ia selalu mengawali pengobatannya dengan
bacaan Basmalah. Dia mendapat ilmu pengobatan dari orang tuanya terutama ibunya yang
sudah berumur 100-an tahun. Dia lebih dikenal sebagai tukang urut atau ahli tulang. Doa yang
digunakan untuk segala macam penyakit sama yaitu 3 doa segala penyakit : Bismilah, Fatihah
dan Sholawat Nabi. Sama halnya dengan ibu Cik Mas, Pak Tarmizi juga menggunakan tumbuhan
obat yang masih ada di sekitar rumah, dan ada juga yang ditanam di pekarangan. Obat yang
digunakan ada obat dalam yang diminum dan obat luar baik yang dimandikan dan dibalurkan.
Biasanya dalam setiap ramuan yang digunakan, ia selalu menambahkan bagian akar dari
tumbuhan tersebut. Hal ini mengandung makna bahwa membuang penyakit itu harus dari akar-
akarnya. Cara yang berbeda dari pengobatan beliau ini adalah dia selalu menambahkan madu
dalam setiap resep obat yang diminum. Jenis-jenis tumbuhan yang banyak digunakan dalam
mengobati penyakit khususnya penyakit degeneratif dan metabolik disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Penyakit degeneratif dan metabolik serta tumbuhan obat yang digunakan
No Nama Penyakit Nama Tumbuhan Obat Bagian yang digunakan
1 Darah Tinggi, Bawang Putih (Allium sativum) Umbi
Jantung Blimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi) Daun
Kertau (Urana lobata L.) Daun
Kembang Darah Tinggi (Widelia biflora) Bunga
2 Rematik/ Asam Balik Angin (Mallotus paniculatus) Daun
Urat Kula-kula Pedang (Asplenius nidus) Daun
Gajah Duduk (Crotalaria inaca L.) Seluruh bagian
Cimurai Daun
Tapak Kuda (Centella asiatica L. Urban) Seluruh Bagian
Sambiloto (Androgaphis paniculata) Daun
Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) Akar
Perlako/Kapulaga (Amomum sp.) Umbi
3 Diabetes Manggis (Garcinia mangostana) Kulit buat
Kayu Lampas/Tembesu (Fagraea fragrans) Daun
4 Sakit Kuning/ Gerunggang (Pertusadina eurhynca) Kulit Bantang
Lever Akar Tebas Kuing Akar
Tomat Ceper/Tomat Dusun (Lycopersicum sp.) Buah
Bambu Kuning (Bambusa sp.) Anakan/rebung
5 Maag, Lambung Ketepeng (Senna alata/Cassia alata) Daun
6 Batu Ginjal, Akar Batang Sipik (Tetracera sp.) Batang
Kencing batu Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus) Seluruh bagian
Keji Beling (Strobilanthes criptus) Seluruh bagian
8 Ambien Pinang (Areca catechu) Buah
Akar Sebakbak/Akar serbabak (Spatholobus Batang
ferrungianus)
Ruk duruk/Senduduk (Melastoma Akar
malabatricum) Kulit bagian dalam (kulit
Kayu Heling ari)
Peladang merah/Dang Radang (Coleus Daun
scutellarioides L.)

240
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

No Nama Penyakit Nama Tumbuhan Obat Bagian yang digunakan


10 Asma/Sesak Nafas Kemuning (Murraya paniculata) Daun
Sirih (Piper betle) Air Batang
Kecubung (Datura metel) Bunga
11 Stroke Jahe Merah (Zingiber officinale) Umbi/rimpang
Jeringau (Acorus calamus) Umbi/rimpang
Bangle (Zingiber cassumunar) Umbi/rimpang
12 Jantung/Angin Bawang Putih Buah
duduk Wortel (Daucatus carota L.) Buah
13 Kolesterol Delima (Punica sp.) Buah
14 Sakit Pinggang Penyambung Nyawa Daun

Suku Saling
Pemilihan suku Saling sebagai obyek kajian tumbuhan obat ini adalah didasarkan dari
informasi bahwa di daerah Saling ini jaman dahulu masih terkenal menggunakan racun dari
tumbuh-tumbuhan. Dari informasi tersebut maka diharapkan akan didapatkan pula banyak
infomasi mengenai menggunaan tumbuhan untuk pengobatan. Ada beberapa Battra yang
berhasil diwawancari sebagai narasumber.
Tabel 3. Data narasumber pengobat tradisional suku Saling
No Nama Umur Jenis Alamat Keterangan
(Thn) Kelamin
1 Nurhimah (Bu Nol) 65 Perempuan Ds. Taba Banyak informasi tumbuhan obat
2 Jimat Ali 42 Laki-laki Ds. Taba Banyak pakai jampian
3 Ependi 55 Laki-Laki Ds. Taba Tahun 90-an mulai mengobati
4 Hamdani 49 Laki-Laki Ds. Taba -

Pengobatan tradisional di suku Saling saat ini diposisikan sebagai pengobatan alternatif.
Karena sebagian besar yang telah melakukan praktek pengobatan tradisional telah melakukan
pengobatan medis terlebih dahulu. Mereka menyebutnya sebagai “Ubat Ula’an” atau obat
dusun. Seseorang yang sakit biasa telah melakukan pengobatan secara medis baik ke dokter
maupun bidan terdekat tetapi sudah tidak sembuh maka mereka melanjutkan dengan
pengobatan tradisional. Di daerah kajian yaitu di Desa Taba Kecamatan Saling, secara umum
ada 2 macam Battra, yaitu Battra yang menggunakan obat tradisional baik dari tumbuhan dan
Battra yang tidak menggunakan tumbuhan sebagai obat tetapi menggunakan “terawangan”
dan meditasi. Dari Battra yang menggunakan tumbuhan untuk pengobatan dapat diketahui
beberapa jenis tumbuna yang bisa digunakan untuk pengobatan penyakit khususnya
degeneratif dan metabolik. Jenis-jenis tumbuhan yang banyak digunakan dalam pengobatan
disajikan pada Tabel 4.
Battra yang menggunakan tumbuhan sebagai obat biasanya mendapat bahan tanaman
dari hutan dan lingkungan sekitarnya. Sama halnya dengan suku Daya, pengobatan disini juga
menggunakan obat dari dalam dan luar, demikian juga dengan doa yang digunakan. Mereka
mengistilahkan doa itu sebagai “bisikan”. Bisikan yang digunakan selalu diawali dengan bacaan
Basmallah, mereka yakin bahwa segala macam penyakit dan penyembuhan itu berasal dari
Tuhan dan pengobatan itu hanya caranya saja. Setelah membaca basmalah diteruskan dengan
bisikan yang menggunakan bahasa Saling.

241
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Tabel 4. Penyakit degeneratif dan metabolik serta tumbuhan obat yang digunakan

No Nama Penyakit Nama Tumbuhan Obat Bagian yang digunakan

1 Darah Tinggi Mengkudu Buah dan daun


Jeru Limau urut /Jeruk Purut Pucuk daun
2 Rematik/Asam Urat Cabe Daun
Serai Batang
3 Diabetes Kunyit Umbi
4 Sakit Kuning/Lever Kenidai(Bridelia tomentosa Blume) Daun
Tuba Api Daun
Kapung Daun
Jengkol (Pithecelobium lobatum) Daun
Kabau Daun
Medang Tanduk (Alsedaphne sp.) Daun
5 Maag, Lambung Kates (Carica papaya) Buah
Boding abang (Graptophyllatus pictum) Daun
Setati (Wedelia montana BL.) Daun
Kembang Bunga Raye (Hibiscus rosasinensis) Daun
6 Batu Ginjal, Kencing batu Asam Jawa Buah
Kelapa Muda (Cocos nucifera) Air
Nangka Pucuk Daun
8 Ambien Akar Sembilan Lapis Akar dan pucuk
10 Asma/Sesak Nafas Asam Jawa Buah
Pisang (Musa sp.) Buah
Bawang Putih (Allium sativum) Umbi
11 Jantung/Angin duduk Jahe Merah (Zingiber officinale) Umbi

IV. KESIMPULAN
Masyarakat suku Daya dan suku Saling di Sumatera Selatan memanfaatkan lebih kurang
55 jenis tumbuhan yang berkhasiat obat. Pengetahuan mengenai tumbuhan dan ramuan
pengobatan tersebut diperoleh secara turun–temurun. Dasar pengobatan masyarakat suku
Daya dan suku Saling adalah secara Islam yaitu semua selalu diawali dengan bacaan
“Basmallah”. Pada umumnya tumbuhan yang digunakan untuk pengobatan penyakit masih
diperoleh secara liar di perkarangan, kebun karet, semak belukar dan ladang. Sebagian
tumbuhan obat mulai dibudidayakan di perkarangan rumah. Jenis-jenis tumbuhan yang
diinventarisir dalam penelitian ini perlu dikaji lebih lanjut untuk mengetahui efektivitas dan
kandungannya dalam penyembuhan suatu penyakit.

DAFTAR PUSTAKA
Abdiyani S. 2008. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Bawah Berkhasiat Obat di Dataran Tinggi
Dieng. Jurnal Peneltian Hutan dan Konservasi Alam 6: 79-92.
Hariyadi B. 2011. Obat Rajo Obat Ditawar: Tumbuhan Obat dan Pengobatan Tradisional
Masyarakat Serampas – Jambi. Biospecies 4(2): 29 – 34.
Kartasaputra, G..1996. Budidaya Tanaman Berkhasiat Obat. CV Amalia. Jakarta, hal 25.

242
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

Suryadharma, I. 2008. Diktat Kuliah Etnobotani. Jurusan Pendidikan Biologi. Fakultas


Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Zuhud, E.A.M, Azis S, Ghulamahdi M, Andarwulan N, Darusman LK. 2001. Dukungan teknologi
pengembangan obat asli Indonesia dari segi budidaya, pelestarian dan pasca panen.
Lokakarya Pengembangan Agribisnis berbasis Biofarmaka. Pemanfaatan dan Pelestarian
Sumber Hayati mendukung Agribisnis Tanaman Obat.

243
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

ANTARA DISKURSUS DAN KEPENTINGAN: MERANCANG MODEL KONSEPTUAL PENGELOLAAN


LANSKAP HUTAN DI DAERAH DATARAN TINGGI

Edwin Martin dan Ari Nurlia


Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Fenomena alih-fungsi lanskap hutan lindung di daerah dataran tinggi yang dibiarkan tanpa terkendali
dapat mempercepat laju deforestasi dan deplesi kualitas lingkungan yang berakibat fatal pada
kehidupan manusia dalam jangka tertentu. Ini dapat terjadi karena para pihak memiliki kepentingan dan
cara pandang yang berbeda terhadap lanskap hutan. Satu pihak bermaksud menjaga kualitas
lingkungan, pihak lain lebih menginginkan pertumbuhan ekonomi. Penelitian ditujukan untuk
mendapatkan model konseptual pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan bagi masyarakat di
areal DAS/Sub DAS dalam lingkup wilayah administrasi kabupaten/kota daerah dataran tinggi, melalui
pembelajaran kasus pada masyarakat di sekitar hutan lindung Bukit Jambul, Sub DAS Lematang, Kota
Pagar Alam. Penelitian dilakukan melalui pendekatan sistem, dimulai dengan tahap menyusun,
pemodelan sebab-akibat, pendefinisian akar masalah, penyusunan model konseptual dan diakhiri
dengan perencanaan skenario. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa akar permasalahan
yang menyebabkan makin rusaknya lanskap hutan ini adalah karena terjadi kesenjangan persepsi
antarparapihak, baik antarkelompok masyarakat pengguna lahan maupun dengan pemerintah terhadap
nilai penting eksistensi hutan. Penelitian ini berhasil menyusun model konseptual pengelolaan lanskap
hutan Kota Pagar Alam berupa rangkaian aktivitas yang berujung pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat, melalui proses awal mengatasi akar masalah kesenjangan persepsi dan rendahnya
pengetahuan usahatani berwawasan lingkungan. Pendekatan nilai penting hutan berdasarkan situasi
lanskap dan dampak perubahannya dapat menjadi titik mula pengelolaan lanskap di daerah dataran
tinggi.
Kata kunci: lanskap hutan, dataran tinggi, pengelolaan, analisis sistem

I. PENDAHULUAN
Fenomena alih-fungsi atau status kawasan hutan lindung menunjukkan bahwa
pendekatan mengelola hutan melalui pembagian hutan berdasarkan fungsinya, yaitu lindung,
konservasi, dan produksi terbukti tidak berhasil menahan laju deforestasi dan degradasi hutan.
Parapihak, terutama aktor-aktor di daerah, memiliki beragam kepentingan dan aktivitas
terhadap hutan. Beragam kepentingan dan aktivitas parapihak tidak dibatasi oleh fungsi hutan,
karena pada dasarnya manfaat produksi (ekonomi), perlindungan (ekologi), dan sosial
dibutuhkan oleh parapihak dalam suatu waktu dan tempat yang sama. Manajemen lanskap
dikenal sebagai model pengelolaan hutan yang memandang hutan sebagai suatu kesatuan
fungsi, dan pengelolaannya tidak dapat dipisahkan dari tujuan untuk memenuhi kebutuhan
yang beragam. Namun, hingga kini manajemen lanskap hutan belum menjadi arus utama
pengelolaan lahan dan hutan Indonesia.
Ketidaksesuaian antara rencana tata ruang dan penetapan/penunjukan kawasan hutan
dengan tata guna faktual adalah fenomena yang umum dan mudah dijumpai, termasuk di Sub
DAS Lematang Kota Pagar Alam sebagai salah satu wilayah dataran tinggi di Sumatera Selatan.
Ini menunjukkan adanya kesenjangan pemahaman, kontestasi diskursus, dan kepentingan di
antara para pihak. Menurut teori justifikasi dari Boltanski, masing-masing aktor memiliki
pembenaran atau rasionalitas ekonomi dari tindakan yang mereka ambil. Menurut Sutton

245
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

(1999), aktor yang dominan dalam “iron triangle” yaitu kelompok kepentingan (interest
associations), pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat akan menikmati hasil dari hubungan
ketiganya, dan berimplikasi pada penguasaan sumberdaya. Dalam konteks tata guna lahan
hutan, aktor dominanlah yang akan menentukan bagaimana bentuk akhir dari tata guna lahan
hutan tersebut.
Penelitian ini bermaksud untuk memberikan alternatif penyelesaian isu trade off
diskursus manajemen hutan dan kepentingan parapihak melalui pendekatan manajemen
lanskap, lewat pembelajaran kasus areal Sub DAS Lematang sebagai hulu DAS Musi yang
termasuk wilayah administrasi kota pemekaran Pagar Alam. Peningkatan peran hutan dapat
dicapai apabila kepentingan satu pihak tidak menghilangkan pencapaian kepentingan pihak
lain. Dalam penelitian ini, diskursus didefinisikan sebagai kumpulan gagasan, konsep, dan
kategorisasi khusus yang diproduksi, dan ditransformasi ke dalam praktik-praktik tertentu dan
melalui pemaknaan yang diberikan terhadap realitas sosial dan fisik (Hajer 1995 dalam Soini
dan Birkeland 2014). Kepentingan adalah alasan. Alasan berhubungan dengan kebutuhan atau
keinginan.

II. METODE PENELITIAN


Paper ini merupakan hasil penelitian dari lanjutan rangkaian penelitian pengelolaan
lanskap hutan di daerah dataran tinggi. Hasil penelitian awal tentang persepsi parapihak
terhadap lanskap hutan telah dipublikasikan dalam Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan,
Volume 10, Nomor 1, April 2013. Penelitian dilakukan di Kota Pagar Alam Sumatera Selatan,
sebagai wilayah administrasi dataran tinggi yang didominasi kawasan hutan.
Manajemen lanskap hutan merupakan konsep mengelola hutan secara luas. Ini tidak
hanya melibatkan entitas yang bersifat biofisik (hard systems) namun juga dipengaruhi dan
mempengaruhi perspektif pelaku/aktor (soft systems). Metodology sistem atau pendekatan
sistem merupakan cara yang ditawarkan oleh banyak pakar untuk menjawab permasalahan
yang rumit atau berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam (Martin, 2008; Purnomo,
2005; Chapman, 2004; Holwell, 2000).
Kerangka kerja pemodelan dan berpikir sistem dalam penelitian ini meliputi 5 (lima)
tahapan, yaitu: (1) menyusun masalah (problem structuring); (2) pemodelan sebab-akibat
(casual loop modelling); (3) pendefinisian akar masalah; (4) penyusunan model konseptual; (5)
perencanaan skenario. Tahapan pemodelan ini merupakan modifikasi proses Soft Systems
Methodology (SSM) yang dikembangkan Checkland (Holwell, 2000).
Tahap 1 sampai dengan 3 telah dilalui sebelumnya dan hasilnya dipublikasikan oleh
Martin et al. (2013). Penyusunan model konseptual ini (tahap 4) dilakukan melalui forum
lokakarya multipihak di Kota Pagar Alam. Model konseptual adalah persepsi parapihak tentang
gambaran menyeluruh beragam aktivitas bertujuan (purposefull activity systems) yang dapat
mengubah keadaan atau situasi saat ini menjadi situasi yang diinginkan. Melalui pendekatan
metode ZOPP (Ziel Orentierte Project Plannung) forum lokakarya multipihak merancang
perencanaan skenario (Tahap 5) yang perlu dan layak dilakukan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Deskripsi akar masalah
Hasil penelitian Martin et al. (2013) menyimpulkan bahwa terjadi perbedaan persepsi
yang signifikan antarparapihak di Kota Pagar Alam terhadap nilai penting hutan. Parapihak
utama yang telah teridentifikasi sebelumnya meliputi petani kopi, petani sawah, petani sayur

246
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

dan pemerintah daerah. Hal ini merupakan salah satu akar masalah isu kerusakan hutan. Fakta
menunjukkan bahwa meskipun pemerintah daerah gencar menyuarakan diskursus pelestarian
hutan, namun deforestasi tidak berhenti. Gambar 1 melukiskan keadaan tutupan lahan daerah
dataran tinggi ini.

Gambar 1. Peta penutupan lahan dalam wilayah administrasi Kota Pagar Alam
Hasil penelitian yang menunjukkan perbedaan persepsi terhadap lanskap berhutan
dibahas bersama kelompok masyarakat dalam forum Focus Group Discussion, untuk
mengetahui penyebab terjadinya hal tersebut dan dampaknya. Diskursus konservasi hutan
hanya berlaku pada kelompok pemerintah daerah. Kelompok petani, terutama petani sayur dan
kopi memiliki kepentingan terhadap areal yang diharapkan berhutan oleh kelompok
pemerintah. Menurut kelompok masyarakat, perbedaan persepsi dapat terjadi karena
pemerintah daerah jarang sekali melakukan pembinaan usahatani yang berwawasan
lingkungan. Mereka dibiarkan untuk mempraktikkan usahatani sebagaimana yang biasa mereka
lakukan selama ini secara tradisional. Akibat nyata dari perbedaan persepsi tersebut adalah
rendahnya dukungan masyarakat terhadap program konservasi dan rehabilitasi hutan; pohon-
pohon yang ditanam pemerintah tidak mereka pelihara bahkan cenderung “dimatikan”.
Gambar 2 memberikan potret permasalahan pengelolaan lanskap hutan di Kota Pagar Alam
secara lebih lengkap.

247
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Perekonomian
Sawah beralih masyarakat
fungsi menurun
Potensi wisata Kerusakan areal
berkurang usaha tani

Pada musim kemarau Pada musim Pada musim hujan Perbukitan


debit air untuk sawah kemarau air terjun banjir bandang terancam longsor
sangat kecil menghilang mengancam dan menuju kritis

Perekonomian meningkat
Siklus air tidak normal

Hutan sekitar sungai


Hutan di sekitar Kerusakan hutan di berubah menjadi Banyak wilayah
sumber mata wilayah hulu terus lahan usaha tani berbukit dijadikan
air makin rusak terjadi kebun sayur

Hasil dan harga


kopi tidak
memuaskan?
Perekonomian Masih jarang sekali
masyarakat program pemerintah
Pohon yang dikembangkan
menurun? membina usahatani
pemerintah untuk ditanam
belum sesuai dengan
berwawasan lingkungan di
keinginan petani wilayah hulu

Program tanam pohon


Terjadi kesenjangan
PNS PEMKOT belum
persepsi dan sikap
mengena sasaran
antara Pemkot dan
Petani terhadap hutan

Gambar 2. Pohon masalah lanskap hutan di Kota Pagar Alam berdasarkan analisis isi media massa,
hasil penelitian survei dan Focus Group Discussion
B. Penyusunan model konseptual
Pohon masalah pengelolaan lanskap hutan Kota Pagar Alam yang telah dihasilkan
melalui proses analisis isi berita media massa, survei uji hipotesis dan FGD merupakan draft
model konseptual pengelolaan lanskap hutan Kota Pagar Alam. Draft model konseptual ini
dibahas kembali “kebenarannya” melalui forum lokakarya multipihak yang melibatkan para
pengambil keputusan institusi lingkup Pemerintah Kota Pagar Alam.
Parapihak pengambil keputusan Pemerintah Kota Pagar Alam membenarkan dan
menyempurnakan draft model konseptual pengelolaan lanskap (Gambar 3). Hasil diskusi
menyingkapkan bahwa makin meluasnya kebun sayur ke area dataran tinggi, termasuk
kawasan hutan lindung, dapat terjadi karena hasil produksi usahatani sayur berbanding lurus
dengan ketinggian tempat, terutama sejak tidak menentunya keadaan musim dan tidak
normalnya siklus air. Petani sayur di dataran tinggi mengandalkan kabut yang membawa embun
(fog) sebagai sumber air bagi tanaman. Sementara, disadari pula bahwa masalah mendasar
yang menyebabkan kesenjangan persepsi antarpihak tentang lanskap hutan adalah karena
adanya perbedaan tingkat pengetahuan antarpihak.
Model konseptual pengelolaan lanskap hutan Kota Pagar Alam adalah rangkaian
beragam aktivitas dalam bahasa tujuan (sebagai kebalikan dari masalah). Rangkaian aktivitas ini
merupakan tujuan dari program yang semestinya ditempuh pemerintah kota guna mengelola
lanskap hutan dengan kegiatan yang secara jelas berusaha menyelesaikan masalah pada taraf
akarnya. Tujuan akhir model konseptual ini adalah terjadinya peningkatan kesejahteraan
(ekonomi) masyarakat sebagai akibat pengelolaan lingkungan (lanskap hutan) yang terencana
dan terintegrasi dengan baik.

248
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

Gambar 3. Pohon masalah pengelolaan lanskap hutan Kota Pagar Alam


C. Perencanaan skenario
Model konseptual yang telah disepakati parapihak adalah rangkaian aktivitas bertujuan
(purposeful activity system) sebagai kerangka kerja penyusunan program kerja satuan kerja
(dinas/badan) lingkup pemerintah Kota Pagar Alam. Tabel 1 menampilkan tujuan, progam dan
instansi yang terlibat dan model pengelolaan lanskap hutan Kota Pagar Alam. Program yang
diusulkan ini merupakan perencanaan skenario pengelolaan lanskap hutan kota Pagar Alam,
sebagai kegiatan utama yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Kota guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui usahatani yang berwawasan lingkungan.
Penyusunan rencana skenario pengelolaan lanskap hutan ini memberi pelajaran kepada
parapihak tentang pentingnya pemikiran sistem dan pengelolaan lingkungan yang bersifat
integratif. Pemikiran sistem (systemic thinking) mampu mengurai akar penyebab dari isu dan
masalah yang dihadapi. Selama ini, banyak program kerja disadari hanya bersifat rutinitas tanpa
tujuan jelas untuk menyelesaikan masalah yang mana dan hanya bersifat parsial/sektoral. Isu
kerusakan hutan ternyata tidak bisa hanya ditangani oleh sektor kehutanan saja karena dampak
dan akar masalahnya dirasakan dan milik semua pihak.
Hutan dalam model konseptual dan rencana skenario ini adalah kumpulan pohon-pohon
yang semestinya tumbuh dan dipertahankan karena manusia di sekitarnya membutuhkan

249
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

eksistensinya. Daerah sekitar sungai, perbukitan terjal, sekitar mata air dan hulu sungai (hutan
lindung) diprioritaskan sebagai area yang semestinya berhutan. Konsep ini tidak memandang
pembagian hutan hanya berdasarkan kawasan hutan atau bukan, karena kawasan hutan identik
dengan domain pekerjaan instansi kehutanan saja. Hutan yang berbasis kebutuhan lanskap
dapat diterima parapihak sebagai sebuah kebutuhan semua manusia yang tinggal di sekitarnya,
demi kemaslahatan kehidupan secara berkelanjutan.
Tabel 1. Kerangka kerja model pengelolaan lanskap hutan Kota Pagaralam
No. Tujuan aktivitas Program kerja Instansi terlibat
1. Menciptakan alternatif  Pengembangan Dinas pertanian dan
pekerjaan yang tidak berbasis peternakan hortikultura, Dinas
lahan bagi masyarakat yang  Diversifikasi usaha Tenaga Kerja, Dinas
tinggal di daerah hulu produk pangan Peternakan, Dinas
 Pengembangan Perindustrian
budidaya jamur Perdagangan dan
Koperasi.
2. Menyamakan persepsi Sosialisasi dan Penyuluhan Dinas Kehutanan dan
parapihak tentang nilai nilai penting hutan Perkebunan, BKP5K,
penting hutan Badan Lingkungan Hidup
3. Meningkatkan program-  Sosialisasi dan Dinas Pertanian dan
program pemerintah dalam Penyuluhan Budidaya Hortikultura, BKP5K,
membina usahatani Pertanian ramah Badan Penanggulangan
berwawasan lingkungan di lingkungan (sesuai Bencana Daerah
daerah hulu prinsip KTA)
 Pembuatan sistem
terassering di daerah
berbukit
4. Mengembangkan  Pengadaan/pembuatan Dinas Kehutanan dan
tanaman/bibit yang sesuai bibit pohon serbaguna Perkebunan
dengan kebutuhan petani untuk program RHL
5. Melaksanakan program  Pemetaan lokasi priori- Dinas Hutbun, Bappeda.
tanam pohon PNS sesuai tas RHL Kota Pagar Alam
sasaran/prioritas lokasi  Monitoring dan Evaluasi
program penanaman
pohon

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Masalah kerusakan lanskap hutan di daerah dataran tinggi Kota Pagar Alam
menimbulkan beragam dampak negatif yang dirasakan parapihak. Akar permasalahan makin
rusaknya lanskap hutan ini adalah karena terjadi kesenjangan persepsi antarparapihak, baik
antarkelompok masyarakat pengguna lahan maupun dengan pemerintah terhadap nilai penting
eksistensi hutan. Model konseptual pengelolaan lanskap hutan Kota Pagar Alam merupakan
rangkaian aktivitas yang berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, melalui proses
awal mengatasi akar masalah kesenjangan persepsi dan rendahnya pengetahuan usahatani
berwawasan lingkungan. Model ini dapat tersusun dan diterima parapihak karena dimulai dari
masalah yang dirasakan banyak pihak dan didefinisikan akar masalahnya bersama parapihak.
Pendekatan nilai penting hutan berdasarkan posisi lanskap dapat diandalkan untuk
mengubah persepsi parapihak bahwa hutan tidak hanya domain sektor kehutanan saja tetapi
dibutuhkan semua pihak. Pendekatan ini sangat cocok untuk dikembangkan di daerah-daerah

250
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

hulu DAS yang kebutuhan eksistensi hutannya relatif luas dan tidak bisa hanya dibatasi oleh
pembagian wilayah berdasarkan kawasan hutan dan areal penggunaan lain (APL) saja.

DAFTAR PUSTAKA
Chapman J. 2004. System Failure: Why governments must learn to think differently. London:
Demos.
Holwell, S. 2000. Soft systems methodology: Other voices. Systemic Practice and Action
Research, Vol. 13, No. 6: 773-797.
Martin, E., B.T. Premono, A. Nurlia. 2013. Persepsi dan Sikap para pihak terhadap lanskap
berhutan di Kota Pagaralam, DAS Musi Hulu Sumatera Selatan”. Jurnal Analisis
Kebijakan Kehutanan, Vol. 10 No.1, April 2013.
Martin, E. 2008. Aplikasi Metodologi Sistem Lunak Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Rawan
Konflik: Kasus Hutan Penelitian Benakat, Sumatera Selatan. Tesis Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.
Mitroff, I. dan H. Linstone. 1993. The Unbounded Mind. New York: Oxford University Press.
Purnomo, H. 2005. Teori Sistem Komplek, Pemodelan dan Simulasi untuk Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Soini, K. dan Birkeland, I. 2014. Exploring the scientific discourse on cultural sustainability.
Geoforum, 51: 213-223.
Sutton, R. 1999. The Policy Process: An Overview. London: Overseas Development Institute.

251
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

KETIDAKSETARAAN POSISI TAWAR DAN INFORMASI ASIMETRIS DALAM PEMASARAN


GAHARU SERTA ALTERNATIF SOLUSINYA: STUDI KASUS DI KABUPATEN MUSI RAWAS

Mamat Rahmat, Ari Nurlia dan Agus Sofyan


Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK
Kendala yang kerapkali ditemui dalam pemasaran komoditas wanatani adalah ketidaksetaraan posisi
tawar dan adanya informasi asimetris. Penulisan paper ini dimaksudkan untuk menyajikan deskripsi
pemasaran gaharu dan merumuskan solusi untuk menyelesaikan masalah yang ada. Lokasi penelitian
yang dipilih adalah di Kabupaten Musi Rawas. Daerah tersebut dianggap representatif untuk kajian ini
karena di wilayah tersebut banyak dijumpai tanaman gaharu pada lahan milik serta terdapat beberapa
pengepul gaharu. Data yang dikoleksi meliputi identifikasi para pihak yang terlibat dalam mata rantai
pemasaran serta harga gaharu. Analisis data dilakukan secara deskriftif dan usulan penyelesaian
masalah dirumuskan dalam kerangka teori kontrak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
ketidaksetaraan antara penjual dan pembeli dalam transaksi komoditas gaharu di Kabupaten Musi
Rawas memang nyata terjadi. Pembeli lebih memiliki power dibandingkan penjual baik dalam hal posisi
tawar maupun akses terhadap informasi harga, sehingga dalam transaksi terjadi ketidaksetaraan posisi
antara penjual dan pembeli, yaitu penjual bertindak sebagai penerima harga (price taker) dan pembeli
sebagai penentu harga (price maker). Realitas tersebut dapat diminimalisir dengan cara mendisain
sebuah kontrak kerjasama. Sebuah teladan kontrak kerjasama budidaya gaharu dapat dijumpai di Desa
Trijaya, Kecamatan BTS Ulu/Cecar, Kabupaten Musi Rawas. Di daerah tersebut terdapat sekelompok
petani penanam pohon penghasil gaharu yang telah bergabung dalam himpunan KTH (Kelompok Tani
Hutan)Sinar Tani 1 dan bekerja sama dengan CV. HD Agarwood Project untuk kegiatan penyuntikkan
pohon penghasil gaharu dan penjualan produk gaharu. Bentuk kontrak kerjasama yang dijalin antara
kedua pihak tersebut dapat dikategorikan sebagai kontrak bagi hasil (share contract) dan tergolong
sebagai kerjasama informal. Namun demikian, pola kerjasama yang telah dibentuk tersebut dapat
menjadi teladan bagi para penanam pohon penghasil gaharu di daerah lain.
Kata kunci: gaharu, kontrak, pemasaran, monopoli

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gaharu telah dikenal sebagai komoditi hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai
ekonomi tinggi (Wollenberg et al. 2001; Paoli et al. 2001; Mucharromah, 2011; Purnomo et al.,
2011). Kementerian Kehutanan pun telah menjadikan komoditi ini sebagai produk yang
potensial untuk diusahakan di Indonesia. Namun, realita yang ada menunjukkan bahwa
ketersediaan pohon penghasil gaharu di hutan alam semakin menyusut seiring dengan
deforestasi yang tak tertahankan dan eksploitasi yang dilakukan secara destruktif (Santoso &
Turjaman, 2011; Santoso et al., 2012).
Informasi mengenai harga gaharu alam yang cukup tinggi telah menjadi insentif bagi
sebagian kalangan untuk mengembangkan pohon penghasil gaharu pada lahan milik.
Fenomena penanaman gaharu pada lahan milik juga ditemukan di beberapa daerah di Provinsi
Sumatera Selatan, antara lain di Kabupaten Banyuasin, Lahat dan Musi Rawas (Sofyan, 2010).
Bahkan sejumlah masyarakat di Kecamatan Bulung Tengah Suku (BTS) Ulu Cecar, Kabupaten
Musi Rawas telah menanam gaharu pada areal kebunnya sejak puluhan tahun yang lalu,
sebagai tanaman sisipan diantara pohon karet.

253
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Selain faktor harga, pengembangan gaharu pada lahan milik juga ditunjang oleh
penemuan inovasi teknologi penyuntikkan batang pohon penghasil gaharu (Santoso et al.,
2006) dalam Santoso & Turjaman (2011) yang terbukti mampu merangsang pembentukan resin
aromatik tersebut. Beberapa hasil kajian telah menunjukkan fakta bahwa aplikasi teknologi
induksi (penyuntikkan) terbukti mampu mempercepat proses pembentukan gaharu (Santoso &
Turjaman, 2011). Penemuan tersebut sangat potensial untuk meningkatkan produksi gaharu
sehingga dapat meningkatkan output perekonomian atau Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) dari komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Untuk meraih harapan tersebut, salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan
dalam pengembangan gaharu adalah aspek pemasaran. Kenyataan yang kerapkali ditemui
dalam pengembangan komoditas wanatani di seluruh Indonesia adalah aspek pemasaran
(Tukan et al., 2004). Ketiadaan kesetaraan antarpelaku ekonomi dalam wujud posisi tawar
(bargaining position) maupun informasi asimetris (information asymmetric) dapat berimplikasi
terhadap transaksi yang tidak adil, yaitu salah satu atau beberapa pihak memperoleh
keuntungan di atas kerugian pihak lain (Yustika, 2012). Sehingga, transaksi yang adil antara
penjual dan pembeli menjadi kunci pokok keberhasilan pengembangan gaharu. Oleh karen itu
perlu disusun aturan main yang dimaksudkan untuk membangun kesetaraan antarpelaku
pemasaran garahu, baik dari sisi daya tawar maupun kelengkapan informasi.
B. Tujuan
Bertolak pada uraian latar belakang di muka, penulisan makalah ini dimaksudkan untuk
menyajikan data dan informasi hasil kajian pemasaran gaharu di Kabupaten Musi Rawas,
Provinsi Sumatera Selatan. Di samping itu, tulisan ini juga mengusulkan solusi alternatif yang
dapat dipilih untuk membantu menyelesaikan permasalahan pemasaran gaharu.

II. METODE PENELITIAN


A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. Daerah
tersebut tergolong wilayah penyebaran gaharu alam di Sumatera Selatan. Di samping itu,
sebagian masyarakatnya juga telah melakukan budidaya pohon penghasil gaharu pada lahan
milik.
B. Pengumpulan Data
Data yang dikoleksi meliputi data pelaku (mata rantai) perdagangan gaharu dan harga
gaharu pada berbagai level rantai pemasaran di Kabupaten Musi Rawas. Data tersebut
dikumpulkan melalui wawancara mendalam kepada responden kunci (key person) dalam
pemasaran gaharu di Kabupaten Musi Rawas. Pemilihan responden dilakukan dengan cara
sengaja dengan menggunakan metode snow ball sampling. Key person pertama dalam kajian ini
adalah Kepala KPHP Lakitan. Selanjutnya berdasarkan informasi dari responden pertama
tersebut investigasi dilakukan pada petani dan pengepul gaharu yang ada di Kabupaten Musi
Rawas.
C. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk memberikan gambaran kondisi pasar
gaharu yang ada di kabupaten Musi Rawas. Untuk merumuskan solusi aturan main, digunakan
kerangka analisis teori kontrak.

254
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Deskripsi Pemasaran
Saat ini, budidaya pohon penghasil gaharu oleh masyarakat telah berkembang relatif
pesat. Sebagai contoh, kondisi demikian dapat diamati di Kabupaten Musi Rawas, Provinsi
Sumatera Selatan. Masyarakat telah mengaplikasikan berbagai teknik untuk merekayasa pohon
penghasil gaharu agar dapat membentuk resin aromatik tersebut. Dari hasil wawancara dan
pengamatan lapangan, terdapat tiga jenis proses perekayasaan yang dilakukan oleh masyarakat
untuk merangsang pembentukan gaharu, yaitu: a). pelukaan batang, b). pembakaran batang
dan c). Penyuntikan (injeksi) larutan pembentuk gaharu ke dalam batang pohon penghasil
gaharu. Untuk proses injeksi, masyarakat mengenal dua jenis larutan, yakni inokulan (larutan
yang mengandung cendawan Fusarium) dan inducer (bahan kimia). Namun dalam
perkembangan terkini, sebagian masyarakat di Kabupaten Musi Rawas telah melakukan uji
coba penyuntikan dengan menggunakan landucer yang merupakan kombinasi antara inokulan
yang mengandung cendawan Fusarium dan inducer.
Keberhasilan pada proses budidaya (tahap produksi) tersebut tidak serta merta diikuti
dengan respon positif pada level pemasaran. Bahkan, pasar memberikan sinyal yang cenderung
bersifat kontraproduktif yaitu dengan memasang harga gaharu hasil induksi pada tingkat yang
tergolong jauh lebih rendah dibandingkan produk gaharu alami. Malahan, ada pedagang
pengumpul gaharu di Kabupaten Musi Rawas yang tak berminat sama sekali untuk membeli
gaharu hasil induksi.
Hasil wawancara dengan pengepul gaharu di sekitar wilayah Musi Rawas terungkap
bahwa bahwa pada saat ini mereka tidak bersedia menerima gaharu hasil injeksi/penyuntikkan
karena pengepul di atas mereka tidak mau membelinya. Jikapun mau menerima, umumnya
gaharu hasil penyuntikan dihargai sangat rendah, sehingga keuntungan marjin keuntungan
yang mereka dapatkan sangat minim.
Pedagang pengepul gaharu di wilayah Musi Rawas dan sekitarnya umumnya hanya
menerima gaharu dari alam atau gaharu dari kebun karet masyarakat yang proses
pembentukkan gaharunya terjadi secara alami (tanpa injeksi), baik melalui pelukaan dengan
menggunakan benda tajam (pembacokan) maupun dengan cara pembakaran batang pohon
penghasil gaharu.
Sungguhpun gaharu yang terbentuk secara alami relatif lebih mudah dipasarkan, namun
petani dihadapkan pada sistem perdagangan yang bersifat monopsoni. Petani yang bertindak
sebagai penjual berperan sebagai penerima harga (price taker) dan pengepul sebagai penentu
harga (price maker). Selain itu, penentuan harga gaharu pun sangat subjektif. Harga gaharu
yang ditawarkan penjual akan ditentukan berdasarkan hasil penelaahan pembeli (pedagang
pengepul) terhadap kualitasnya yang ditaksir berdasarkan warna, aroma dan bentuk
penampakan.
Standar klasifikasi kualitas gaharu menurut SNI telah tersedia sebagaimana terdapat di
dalam Setyaningrum & Saparinto (2014), namun karena keragaman gradasi warna yang relatif
banyak serta faktor subjektivitas penilai (pengepul) sangat berpotensi untuk menimbulkan
ketidakadilan dalam proses transaksi, yaitu pengepul cenderung akan menarik keuntungan di
atas beban kerugian petani (penjual).
Sebagai gambaran, Tabel 1 berikut ini menyajikan variasi harga gaharu pada berbagai
jenis kelas gaharu alami yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan pedagang
pengepul gaharu di wilayah Kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya. Berdasarkan penuturan
pengepul, kualitas gaharu Super King dan Super B saat ini tak ditemukan lagi di wilayah
Kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya. Adapun, jenis gaharu yang masih dapat diperoleh

255
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

antara lain gaharu sepat, gaharu triplek, gaharu kemedangan dan gaharu teri. Untuk lebih
jelasnya bentuk-bentuk gaharu tersebut dapat diamati pada Gambar 1.
Tabel 1. Harga gaharu alami di Kabupaten Musi Rawas berdasarkan kelas kualitas
No. Kelas Kualitas Harga (Rp)/ Kg
1. Super King 240.000.000,-
2. Super B 8.000.000,- s/d 12.000.000,-
Sepat (berbentuk chip agak oval menyerupai
3. 6.000.000,- s/d 8.000.000,-
bentuk ikan sepat)
4. Triplek (berbentuk pipih) 3.000.000,-
5. Kemedangan 500.000,- s/d 700.000,-
6. Teri (berbentuk chip ukuran kecil-kecil) 300.000,-
Sumber: Hasil wawancara dengan responden (2015)

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 1. Jenis gaharu alami berdasarkan kelas kualitas (a) sepat, (b) triplek,
(c) kemedangan dan (d) teri

Pengepul gaharu yang beroperasi di wilayah Kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya
(Kota Lubuk Linggau) umumnya hanya sebagai pedagang pengumpul perantara. Selanjutnya,
gaharu yang dia peroleh dijual ke pedagang yang lebih besar yang berada di Jambi, Pekanbaru
atau Jakarta. Negara tujuan ekspor gaharu dari ketiga kota tersebut adalah Singapura, Arab dan
China. Apabila disajikan dalam bentuk diagram alir, maka jalur perdagangan gaharu dari
Kabupaten Musi Rawas dan Lubuk Linggau dapat digambarkan dalam alur sebagaimana
ditampilkan pada Gambar 2.
Berdasarkan uraian hasil investigasi seperti diutarakan di muka, tampak bahwa
ketidaksetaraan dalam proses transaksi merupakan problem yang nyata dalam pemasaran
gaharu. Faktor penyebabnya adalah rendahnya posisi tawar petani dan ketidaklengkapan

256
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

informasi yang diterima petani. Realita tersebut menambah bukti yang dapat menjelaskan
kebenaran postulat pengaruh ketimpangan posisi daya tawar dan informasi asimetris sebagai
penyebab masalah utama dalam kegiatan transaksi ekonomi (Yustika, 2012). Sebagaimana
dikemukakan McConnel dan Brue (2005), informasi asimetris tersebut terjadi karena pembeli
dan penjual memiliki informasi yang tidak sama tentang harga, kualitas atau aspek tentang
barang atau jasa yang hendak diperjualbelikan.

Pengepul di Pengepul di
Lubuk Linggau Jambi Arab

Petani/ Pengepul Singapura


Pengumpul di Jakarta

Pengepul di Pengepul di
Musi Rawas Pekanbaru China

Gambar 2. Alur pemasaran gaharu di Kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya


B. Solusi Melalui Kontrak Kerjasama
Menindaklanjuti kondisi pemasaran gaharu yang timpang seperti diuraikan di muka,
diantaranya dapat diselesaikan melalui kontrak. Kontrak umumnya dibutuhkan untuk dapat
mereduksi eksistensi informasi asimetris. Kontrak juga merupakan instrumen yang dapat digu-
nakan untuk mendisain kompensasi guna mengeliminasi informasi asimetris (Yustika, 2012).
Upaya mereduksi informasi asimetris melalui kontrak tersebut telah dilakukan oleh
Kelompok Tani Hutan (KTH) Sinar Tani 1, Desa Trijaya, Kecamatan Bulang Tengah Suku (BTS)
Ulu/ Cecar, Kabupaten Musi Rawas. Kemitraan yang ada berupa kerja sama antara KTH Sinar
Tani 1 yang bertindak sebagai pemilik tegakan pohon penghasil gaharu dengan CV. HD
Agarwood Project yang bertindak sebagai investor (penyedia inokulan/landucer). Investor
bertangggung jawab untuk menyediakan landucer dan menanggung seluruh biaya operasional
penyuntikkan. Adapun petani berkewajiban untuk memelihara dan menjaga tegakan yang telah
diinjeksi.
Berdasarkan bentuk kontrak kerjasama yang telah dibuat para pihak di Desa Trijaya,
maka pola kontrak yang mereka kembangkan termasuk ke dalam kategori kontrak relasional.
Kontrak jenis ini dikenal sebagai kontrak yang tidak bisa menghitung seluruh ketidakpastian di
masa depan, tetapi hanya berdasarkan kesepakatan di masa silam, saat ini dan ekspektasi
terhadap hubungan di masa depan diantara para pelaku yang terlibat kontrak (Furubotn dan
Richter, 2005). Hal tersebut juga nampak dalam butir-butir kesepakatan diantara kedua pihak
yang tanpa memperhitungkan risiko pencurian kayu. Kontrak demikian juga dapat
dikategorikan sebagai kontrak informal dan tanpa ikatan (non-binding).
Jika mengacu kepada bentuk kontrak yang umumnya berlaku dalam sektor pertanian
yang dikemukakan Cheung (1969) sebagaimana dikutip oleh Yustika (2012), maka kesepakatan
antara pihak KTH Sinar Tani 1 dengan CV. HD Agarwood Project merupakan bentuk kontrak bagi
hasil (share contract). Bagi hasil penjualan gaharu antara kedua belah pihak telah disepakati
yaitu dengan porsi pembagian 50:50. Dari proporsi 50% bagi hasil yang diperoleh kelompok
tani, 40% dibagikan kepada anggota KTH, sedangkan sisanya, 10% dialokasikan sebagai uang

257
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Kas KTH. Kedua belah pihak telah sepakat untuk menjual produk gaharu yang dihasilkan ke
tempat penjualan yang menawarkan harga tertinggi, dan jika harga harga di pasaran lebih
rendah maka investor bersedia untuk menampungnya dan menjual sesuai dengan saluran
penjualan melalui CV. HD Agarwood Project.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di muka, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemasaran gaharu di wilayah Kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya terdapat
ketidaksetaraan posisi tawar (bargaining position) antara penjual dan pembeli. Selain itu
juga terdapat informasi harga yang tidak seimbang (asymmetric information) antara penjual
dan pembeli. Pembeli lebih memiliki power dibandingkan penjual baik dalam hal posisi tawar
maupun akses terhadap informasi harga, sehingga dalam transaksi yang berlangsung penjual
berposisi sebagai penerima harga (price taker) dan pembeli sebagai penentu harga (price
maker).
2. Adanya kendala transaksi sebagaimana dibahas pada poin satu di muka diantaranya dapat
diminimalisir dengan cara kontrak kerjasama. Sebuah teladan dalam hal ini dapat dijumpai di
Desa Trijaya, Kecamatan BTS Ulu/Cecar, Kabupaten Musi Rawas. Sekelompok petani gaharu
di sana telah bergabung dalam himpunan KTH Sinar Tani 1 dan bekerja sama dengan
investor CV. HD Agarwood Project untuk penyuntikkan dan penjualan gaharu. Bentuk
kontrak kerjasama yang dijalin antara kedua pihak tersebut adalah kontrak bagi hasil (share
contract).
B. Saran
Bentuk kontrak kerjasama antara KTH Sinar Tani 1 dengan CV. HD Agarwood Project
tersebut masih bersifat informal dan beberapa faktor belum diimplisitkan dalam butir-butir
kesepakatannya, misalnya dalam hal risiko kehilangan atau pencurian kayu gaharu di kebun.
Namun demikian, pola kerjasama yang telah dibentuk merupakan teladan yang dapat ditiru
oleh petani gaharu di daerah lainnya untuk mereduksi asimetris informasi (asymmetric
information).

DAFTAR PUSTAKA
Furubotn, E.G. dan R. Richter. 2005. Institutions and Economic Theory: The Contribution of The
New Institutional Economics. 2nd Ed. The University Of Michigan Press. Ann Arbor.
McConnell, C.R. dan S.L. Brue. 2008. Economics: Principles, Problems, and Policies. 17th Ed.
McGraw-Hill. USA
Mucharromah. 2011. Development of Eaglewood (Gaharu) in Bengkulu, Sumatera. Dalam
Turjaman, M. Proceedings of Gaharu Workshop, “Development of Gaharu Production
Technology a Forest Community Based Empowerment. R & D Centre for Forest
Conservation and Rehabilitation Forestry Research and Development Agency (FORDA).
Bogor.
Paoli, G.D., D.R. Peart, M. Leighton dan I. Samsoedin. 2001. An Ecological Assessment of Non
Timber Forest Product Gaharu Wood in Gunung Palung National Park, West Kalimantan,
Indonesia, Conservation Biology, 15(6): 1721-1732.
Purnomo, E., D. Wulandari, A. Andayani, A. Fitriadi, dan M. Turjaman. 2011. Nutrient And
Economic Balances of Gaharu (Eaglewood) Grown in a Mix Farming System. Dalam

258
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

Turjaman, M. (Ed). Proceeding of Gaharu Workshop “Bioinduction Technology for


Sustainable Development and Conservation of Gaharu”. R & D Centre for Forest
Conservation and Rehabilitation Forestry Research and Development Agency (FORDA),
Ministry of Forestry. Indonesia.
Santoso, E., D. Purwito, Pratiwi, G. Pari, M. Turjaman, B. Leksono, AYPBC Widyatmoko, R. S.B.,
Irianto, A. Subiakto, T. Kartonowaluyo, Rahman, A. Tampubolon, S. A. Siran. 2012.
Master Plan Penelitian dan Pengembangan Gaharu Tahun 2013 – 2023. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Konservasi & Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan – Kementerian Kehutanan. Bogor.
Santoso, E. & M. Turjaman. 2011. Standardization and Effectiveness of Bioinduction on Gaharu
Development and Its Qualities. Dalam Turjaman, M. Proceeding of Gaharu Workshop,
“Bioinduction Technology for Sustainable Development and Conservation Of Gaharu”. R
& D Centre for Forest Conservation and Rehabilitation Forestry Research and
Development Agency (FORDA). Bogor.
Setyaningrum, H.D., dan C. Saparinto. 2014. Panduan Lengkap Gaharu. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Sofyan, A., A. Sumadi, A. Kurniawan, dan A. Nurlia. 2010. Pengembangan dan Peningkatan
Produktivitas Pohon Penghasil Gaharu Sebagai Bahan Obat di Sumatera. Balai Penelitian
Kehutanan Palembang. Palembang. Laporan Hasil Penelitian. Tidak Dipublikasikan.
Tukan, C.J.M., Yulianti, J.M. Roshetko, D. Darusman. 2004. Pemasaran Kayu dari Lahan Petani di
Propinsi Lampung. Agrivita (2004): 131-141.
Wollenberg, E.K. 2001. Incentives For Collecting Gaharu (Fungal-Infected Wood of Aquilaria
thymelaeaceae) in East Kalimantan. Economic Botany 55(3): 444-456.
Yustika, A.E. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori dan Kebijakan. Penerbit Erlangga.
Jakarta.

259
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

KONSUMSI KAYU SEBAGAI SUMBER ENERGI RUMAH TANGGA DENGAN PENDEKATAN


KEBUTUHAN KALORI MANUSIA
(STUDI KASUS DI DESA SERONGGO KECAMATAN KIKIM TIMUR )

Bambang Tejo Premono dan Sri Lestari


Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Hutan memberikan manfaat langsung bagi kehidupan masyarakat berupa kayu sebagai sumber energi
untuk kebutuhan memasak dan proses lainnya. Kayu memegang peranan penting sebagai sumber energi
bagi rumah tangga di pedesaan sehingga perlu adanya upaya penyediaan yang berkelanjutan. Langkah
awal yang dapat dilakukan dengan memperkirakan kebutuhan kayu energi. Tujuan tulisan ini untuk
memperkirakan kebutuhan kayu energi yang didekati dengan kebutuhan kalori manusia dalam
beraktifitas sehari-hari. Hasil perhitungan yang dilakukan didapatkan hasil bahwa kebutuhan kayu
sebesar 1.323,209 m3 pertahun per desa untuk jenis tanaman kayu karet dan 1.341,620 m3 pertahun per
desa untuk jenis tanaman kopi dengan jumlah anggota keluarga rata-rata 3 orang dan jumlah anggota
keluarga yang berkerja rata-rata 2 orang. Melihat cukup besarnya konsumsi kayu energi pada
rumahtangga, untuk perlu adanya strategi dari masyarakat sendiri dalam pemenuhan kebutuhan
rumahtangga atas sumber energi kayu dan usaha pemerintah untuk mendorong penggunaan energi
selain kayu untuk pemenuhan energi untuk memasak dan proses lain.
Kata kunci: kayu energi, kebutuhan kalor, kalor, kebutuhan kayu energi

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber daya hutan merupakan unsur penting bagi kehidupan masyarakat disekitarnya.
Ada 3 peran penting hutan bagi kehidupan masyarakat pedesaan antara lain (Babulo et al.,
2009): (1) mendukung konsumsi atau memenuhi kebutuhan subsisten rumah tangga, (2)
menyediakan jaring pengaman disaat darurat, (3) menyediakan salah satu cara keluar dari
kemiskinan. Hal ini karena hutan menyediakan manfaat langsung dan langsung yang berguna
bagi kehidupan manusia. Salah produk yang dapat diambil dari hutan adalah kayu dimana kayu
sebagai sumber energi. Kayu sebagai sumber energi berperan sangat penting bagi masyarakat
sekitar hutan, yang umumnya memiliki penghidupan yang terbatas terutama akses terhadap
sumber energi lainnya. Kayu sebagai sebagai sumber energi dimanfaatkan untuk memasak dan
proses makanan lainnya. Penggunaan kayu untuk kebutuhan energi diperkirakan lebih dari 51%
rumah tangga di pedesaan di Negara berkembang di Asia termasuk Indonesia (IEA, 2013).
Penghidupan masyarakat merupakan suatu yang kompleks yang dipengaruhi oleh asset
dan aktivitas rumahtangga. Asset tersebut meliputi alam, sosial, fisik, finansial dan manusia.
Penghidupan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga pedesaan dipahami sebagai sistem
pengambil keputusan, produksi dan konsumsi dari sumber daya hutan sehingga penghidupan
rumahtangga dipahami sebagai sistem yang saling berkaitan.
Kebutuhan kayu sebagai sumber energi pada masyarakat pedesaan akan menyesuaikan
dengan ketersediaan sumber kayu yang ada, baik yang ada di alam maupun tanaman yang
ditanam oleh masyarakat. Sumber kayu (ukuran dan jenis kayu bakar) dan jarak mempengaruhi
pilihan penggunaan kayu energi oleh rumahtangga (Jumbe dan Angelsen, 2010). Untuk
menjawab seberapa konsumsi rumahtangga terhadap kayu bakar dapat didekati dari 2 (dua)
asset kunci yaitu alam (kayu bakar) dan manusia (kemampuan untuk berkerja).

261
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Menurut Chambers dan Conway (1992) bahwa penghidupan yang berkelanjutan


manakala dapat mengatasi dan memulihkan dari tekanan dan guncangan, memelihara dan
meningkatkan kemampuan dan aset, dengan tidak merusak sumberdaya alam yang ada.
Dengan tingginya kebutuhan dan ketergantungan masyarakat akan kayu sebagai sumber
energi, perlu adanya upaya untuk mengetahui seberapa besar kebutuhan dan ketersediaan
kayu bakar yang ada di hutan. Kebutuhan dan keberdaaannya apakah mengancam sumber daya
hutan atau tidak.
B. Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan kayu energi rumah tangga dengan
pendekatan kebutuhan kalori manusia dalam beraktifitas.

II. METODE PENELITIAN


A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Seronggo Kecamatan Kikim Timur Kabupaten Lahat, dengan
pertimbangan lebih dari 50 persen rumahtangga masih menggunakan kayu sebagai sumber
energi untuk memasak. Sumber kayu yang digunakan sebagai sumber energi masih cukup
banyak yang berasal dari hutan dan kebun sekitar tempat tinggal.
B. Kerangka Penelitian
Untuk melihat hubungan antara kebutuhan kalori dan konsumsi kayu energi
menggunakan model yang dikembangkan oleh Hartter dan Boston (2008) mengenai model
untuk konsumsi kayu bakar dalam kebutuhan subsisten masyarakat pedesaan sebagai fungsi
pemenuhan kebutuhan individu dan tingkat kebutuhan energi rumah tangga yang digambarkan
pada Gambar 1.
Ketersediaan Kebutuhan
makanan energi untuk
Externalitas: pasar,
masak dan
ekonomi, sosial, politik,
proses
lingkungan

Konsumsi kayu
Hambatan pertanian:
bakar
hasil, komposisi nutrisi,
Kebutuhan ekologi
kalori manusia
menentukan
kebutuhan Hambatan perternakan: Konversi hutan Penggunaan
pangan kebutuhan makanan, keberlanjutan
alam/deforestasi
angka reproduksi

Hambatan Hilangnya Pemeliharaan


manusia/fisik: aktivitas keanekaragama sosial dan jasa
rutin,komposisi n hayati dan lingkungan
rumahtangga jasa lingkungan

Gambar 1. Hubungan kebutuhan kalori manusia dan kebutuhan kayu


Kegiatan rutin yang dilakukan anggota keluarga yang bekerja adalah usaha tani untuk
kaum laki-laki dan mengumpulkan kayu bakar untuk perempuan. Perhitungan kalor yang
dibutuhkan dihitung berdasarkan seluruh anggota keluarga baik yang sudah berkerja dan belum
berkerja. Untuk mengetahui kalori yang dikeluarkan setiap aktifitas yang dilakukan dengan

262
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

menggunakan perhitungan aktifitas FAO (2004) yang di setarakan dengan jumlah kalor yang
dihasilkan oleh kayu yang digunakan oleh rumahtangga.
Kebutuhan energi manusia akan dipengaruhi oleh kebutuhan pangan/makanan. Dalam
pemenuhan kebutuhan pangan tersebut akan dibatasi oleh beberapa faktor seperti hambatan
fisik, hambatan peternakan, hambatan pertanian dan eksternalitas. Besar kecilnya hambatan
tersebut akan menentukan besaran pangan yang dihasilkan atau nutrisi yang akan digunakan
oleh manusia. Atau besaran pendapatan yang akan dihasilkan untuk menghidupi rumahtangga.
Untuk memproses pangan tersebut diperlukan energi. Energi tersebut berasal dari kayu. Untuk
itu, kebutuhan pangan dapat disetarakan dengan kebutuhan kayu. Kebutuhan kayu untuk
energi diperoleh dari hutan maupun sumber lainnya baik yang diperoleh secara berkelanjutan
maupun konversi dan penebangan hutan yang berdampak pada penurunan keanekaragaman
hayati, lingkungan dan sosial. Jadi, informasi mengenai kebutuhan kayu energi diperlukan bagi
pengambil kebijakan dan masyarakat. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.
C. Pengumpulan Data
Penelitian dilakukan dengan metode survei rumah tangga pengguna kayu sebagai
sumber energi. Pengumpulan data primer dilakukan dengan bantuan koesioner dan wawancara
semi terstruktur terhadap responden. Pemilihan responden dilakukan dengan acak terhadap
rumahtangga dengan jumlah responden 42 orang (5% dari total KK). Data yang dikumpulkan
meliputi pekerjaan, berat badan anggota keluarga, cara dan jarak pengumpulan/pemungutan
kayu energi, siapa yang mencari kayu, jenis kayu yang digunakan dan data pendukung lainnya.
D. Analisis Data
Berdasarkan FAO (2004) kebutuhan kalor untuk laki-laki dan perempuan tergantung
dengan aktifitas yang dilakukan, untuk laki-laki antara 2500-3500 Kcal perhari dan perempuan
2300-2600 Kcal perhari baik anak maupun dewasa. Untuk menghitung kebutuhan kalor per
individu dilakukan dengan melihat segala aktifitas yang dilakukan individu selama 24 jam
sebagai ilustrasi energi yang dibutuhkan individu perharinya adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Iliustrasi kebutuhan energi individu dalam beraktifitas
Kegiatan Lama waktu Rasio Aktifitas Waktu x RAF Rata-rata PAL
(jam) Fisik (besaran mulitple 24 jam
energi yang BMR
diperlukan
Tidur 7 1.0 7.0 59.2
Pemeliharaan tubuh 1 1.2 1.2
Jalan 1 3.0 3.0
Makan 1 1.4 1.4
Berkebun 7 4.4 30.2
Santai 1 1.2 1.2
Ngobrol 2 1.2 2.4
Nonton tv 4 1.64 4.2
TOTAL 24 50.6/24=2.11
Keterangan:
RAF (Rasio Aktifitas Fisik) adalah energi yang dikeluarkan dari suatu kegiatan per satuan waktu

263
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Desa seronggo memiliki luas sekitar 4,84 km2 (0,85%) dari total luas Kecamatan Kikim
Timur dengan jumlah penduduk sebesar 849 jiwa. Kecamatan Kikim Timur memiliki luasan
hutan produksi tetap sebesar 9.566,25 Ha (BPS, 2014). Sumber penghidupan masyarakat di
lokasi penelitian berbasis pada lahan dengan komoditi karet, kopi dan sawit. Secara umum
masyarakat Desa Seronggo memiliki pekerjaan utama sebagian besar adalah tani sebesar 88,1%
dan non tani 11,9%, (Tabel 1). Jarak tempuh dalam mengumpulkan kayu rata-rata 1,25 km.
Jumlah anggota keluarga rata-rata 3 dengan jumlah anggota berkerja rata-rata 2 orang.
Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Ketergantungan masyarakat terhadap hasil komoditi sangat besar. Menurunnya harga
komoditi secara umum akan berdampak pada menurunnya ekonomi masyarakat. Kondisi ini
berdampak pada berkurangnya alokasi pengeluaran masyarakat. Masyarakat berusaha
mengurangi pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya termasuk kebutuhan untuk
energi. Pengeluaran diprioritaskan kepada kebutuhan pokok dan tidak dapat disubstitusi dari
barang lainnya. Untuk barang yang ada substitusinya, masyarakat akan mencari barang
penggantinya seperti energi untuk memasak, dengan lebih memilih menggunakan kayu.
Penggunaan atau konsumsi kayu sebagai sumber energi tidak hanya dilihat dalam sudut
pandang ekonomi saja melainkan beragam dimensi termasuk merupakan suatu pilihan dan
strategi individu dan rumahtangga diantara keterbatasan yang dimilikinya (Godfrey et al.,
2010). Pendapatan yang hampir sama dinyatakan oleh Joon et al. (2009) bahwa pilihan
penggunaan bahan bakar untuk memasak akan dipengaruhi tingkat pendapatan dan faktor
sosial budaya masyarakat setempat.
Kayu sebagai energi merupakan salah satu kebutuhan yang penting bagi rumahtangga
dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan. Namun seringkali dianggap tidak bernilai karena
jumlahnya berlimpah, mudah didapatkan dan hanya merupakan limbah kebun/hutan. Kayu
energi menjadi penting apabila ketersediaan dan harga yang mahal dibandingkan sumber
energi lainnya.
Kayu menjadi sumber energi yang banyak digunakan oleh rumahtangga pedesaan untuk
kebutuhan memasak berasal dari kebun/hutan sekitar tempat tinggal berupa bagian tanaman
karet, kopi dan leban seperti ranting kering, batang kering, dan tanaman mati yang letaknya
sekitar tempat tinggal. Untk mendapatkan kayu energi masyarakat tidak membeli, cukup
dengan mencari sehingga akan mengurangi pengeluaran rumahtangganya. Semakin besar akses
yang dimiliki wanita terhadap sumberdaya hutan maka semakin besar pengaruhnya terhadap
pendapatan total rumahtangga (Adedayo et al., 2010).
Masyarakat tidak memilih jenis khusus yang digunakan sebagai bahan bakar memasak.
Pilihan jenis hanya ditujukan untuk kayu energi yang disimpan untuk persediaan kebutuhan
yang lebih besar karena harus disimpan lama. Jenis yang digunakan untuk kebutuhan sehari-
hari didasarkan pada sumber dan keberadaaannya yaitu mudah dicari, ukurannya tidak terlalu
besar dan jaraknya dekat.
Pencarian dan pengangkutan kayu menjadi pertimbangan untuk pemilihan jenis karena
kegiatan tersebut dilakukan oleh perempuan/wanita dengan menggunakan keranjang, sehingga
akan disesuaikan dengan kondisi fisik masing-masing. Mengumpulkan kayu dilakukan setelah
pulang bekerja di kebun.
Pengumpulan kayu akan disesuaikan dengan musim, apabila musim kemarau
pengumpulan kayu dilakukan 2-3 hari sekali dan menjelang musim penghujan pengumpulan
kayu akan lebih sering sebagai persediaan untuk musim penghujan. Untuk sekali perjalanan

264
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

mengumpulkan kayu, setiap orang memiliki kemampuan mengangkut kayu berkisar antara 20-
25 kilogram.
Dalam melakukan aktifitas sehari-hari manusia membutuhkan kalori, yang mana untuk
mencukupinya diperoleh dari asupan pangan. Dalam proses pengolahan pangan/makanan ini
diperlukan sejumlah kalori untuk memasak. Kebutuhan kalori untuk memasak didapatkan dari
pembakaran kayu, sehingga kalori yang dibutuhkan untuk aktifitas seimbang dengan kalori yang
digunakan untuk memasak.
Tabel 2. Karakteristik rumahtangga dalam pemenuhan kebutuhan kalori
Uraian Satuan Min Max Rata-rata
Pekerjaan Non tani 5 (11,9%)
Tani 37 (88,1%)
Jumlah anggota Orang 1 4 2,76
keluarga
Jumlah anggota Orang 1 2 1,67
keluarga berkerja
Berat badan anggota Kg 8 70 39,69
keluarga
Jarak tempuh Km 0,25 2,5 1,25
pengumpulan kayu
Lama kerja di kebun Jam 4 8 5,24
perhari
Kebutuhan kayu energi Kalori 4.850 13.150 8.683,54
rumah tangga perhari
Jenis kayu yang tersedia dalam jumlah melimpah dan digunakan oleh masyarakat
sebagai kayu energi adalah kayu kopi dan kayu karet. Dari literatur, kalor yang dihasilkan dari
kayu karet sebesar 4.066 kalori dan kayu kopi sebesar 3.933 kalori, yang digunakan sebagai
dasar untuk menghitung kebutuhan kayu per jenis tersebut. Untuk melihat besaran kebutuhan
kayu untuk energi dapat didekati dengan kebutuhan kalori manusia beraktifitas.
Berdasarkan perhitungan kebutuhan kalori setiap keluarga perhari dan jenis kayu yang
digunakan didapat hasil untuk jenis kayu karet 1,516 m3 pertahun per keluarga dan untuk kayu
kopi sebesar 1,537 m3 pertahun per keluarga. Pendekatan kebutuhan kayu untuk energi ini
mungkin akan lebih rendah atau lebih tinggi dari konsumsi sebenarnya. Setidaknya akan
memberikan gambaran kasar mengenai kebutuhan kayu yang harus tersedia agar tidak
mengganggu hutan yang ada disekitar tempat tinggal masyarakat. Hasil selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 3. Prediksi kebutuhan kayu energi diperlukan untuk mendapatkan gambaran
mengenai besaran konsumsi kayu sehingga dapat memberikan informasi mengenai keterse-
diaan kayu energi yang harus dicukupi dalam rangka pengelolaan sumber energi yang lestari.
Beberapa literatur yang ada, mengaitkan antara konsumsi kayu untuk energi dan
kelestarian hutan (Hofstad, 1977; Zulu, 2010; Cooke et al., 2008). Namun Top et al. (2004)
menerangkan bahwa konsumsi kayu energi tidak menyebabkan deforestasi hutan karena
konsumsi kayu energi hanya 2,3% dari peningkatan pertumbuhan biomassa pada tanaman
pertahunnya. Kayu merupakan sumber energi utama namun bukan satu-satunya sumber energi
pada rumah tangga di pedesaan. Untuk rumah tangga dengan tingkat ekonomi yang lebih baik,
dapat beralih ke sumber energi lainnya seperti LPG (gas).

265
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Tabel 3. Prediksi kebutuhan kayu energi


Uraian Jenis kayu Keterangan
Karet Kopi
Kalor yang dihasilkan 4.066 3.933 Kurniawan, 2012, Vale et
(kalori) al, 2007
Kebutuhan kayu energi 2,135 2,208
per hari per keluarga (kg)
Kebutuhan kayu energi 779,275 805,920
rumah tangga (kg/tahun)
Kebutuhan lahan untuk 1,559 1,580
kayu energi pertahun
(m3/tahun/per keluarga)
Kebutuhan lahan untuk 1.323,209 1.341,620
kayu energi pertahun
(m3/tahun/per desa)

IV. KESIMPULAN
Kayu menjadi kebutuhan utama rumahtangga masyarakat di pedesaan untuk
pemenuhan kebutuhan energi sebagai bahan bakar memasak dan proses lainnya. Untuk
menjamin keberlangsungan dan kelestarian hutan dalam rangka pemenuhan kebutuhan kayu
untuk energi perlu diperkirakan kebutuhan kayu tersebut. Salah satu pendekatan kebutuhan
kayu tersebut didekati dengan konsumsi kalor manusia dalam beraktifitas. Hasil perhitungan
yang dilakukan didapatkan hasil bahwa kebutuhan kayu sebesar 1.323,209 m 3 pertahun per
desa untuk jenis tanaman kayu karet dan 1.341,620 m3 pertahun per desa untuk jenis tanaman
kopi dengan jumlah anggota keluarga rata-rata 3 orang dan jumlah anggota keluarga yang
berkerja rata-rata 2 orang. Hasil penelitian ini mungkin masih sangat kasar untuk
menggambarkan secara nyata kebutuhan kayu energi rumahtangga di pedesaan secara
keseluruhan. Melihat cukup besarnya konsumsi kayu energi pada rumahtangga, untuk perlu
adanya strategi dari masyarakat sendiri dalam pemenuhan kebutuhan rumahtangga atas
sumber energi kayu dan usaha pemerintah untuk mendorong penggunaan energi selain kayu
untuk pemenuhan energi untuk memasak dan proses lain.

DAFTAR PUSTAKA
Adedayo, A. G., Oyun, M. B., & Kadeba, O. (2010). Forest Policy and Economics Access of rural
women to forest resources and its impact on rural household welfare in North Central
Nigeria. Forest Policy and Economics, 12(6), 439–450. doi:10.1016/j.forpol.2010.04.001
BPS. (2014). BPS Kecamatan Kikim Dalam Angka. Kabupaten Lahat.
Babulo, B., Muys, B., Nega, F., Tollens, E., Nyssen, J., Deckers, J., & Mathijs, E. (2009). The
economic contribution of forest resource use to rural livelihoods in Tigray, Northern
Ethiopia. Forest Policy and Economics, 11(MARCH 2009), 123–131.
doi:10.1016/j.forpol.2008.10.007
Chambers & Conways. 1992. Sustainable rural livelihoods: practical concepts for the 21th
century. IDS discussion paper 296.

266
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

Cooke, P., Köhlin, G., & Hyde, W. F. (2008). Fuelwood, forests and community management –
evidence from household studies. Environment and Development Economics, 13(2003),
103–135. doi:10.1017/S1355770X0700397X
Godfrey, A. J., Denis, K., Daniel, W., & Akais, O. C. (2010). Household Firewood Consumption
and its Dynamics in, 841–855. Ethnobotanical Leaflets 14: 841-855. 2010.
Hetter, J., & Boston, Æ. K. (2008). Consuming Fuel and Fuelling Consumption : Modelling
Human Caloric Demands and Fuelwood Use, 1–15. doi:10.1007/s11842-008-9037-3
Hofstad, O. (1997). Woodland Deforestation by Charcoal Supply to Dar es Salaam. Journal of
Environmental Economics and Management, 33, 17–32. doi:10.1006/jeem.1996.0975
IEA, 2013. World Energy Outlook 2013. International Energy Agency, Paris, France.
Jumbe, C. B. L., & Angelsen, A. (2011). Modeling choice of fuelwood source among rural
households in Malawi: A multinomial probit analysis. Energy Economics, 33, 732–738.
doi:10.1016/j.eneco.2010.12.011.
http://www.primusweb.com/cgi-bin/fpc/actcalc.pl
Joon, V., Chandra, a., & Bhattacharya, M. (2009). Household Energy Consumption Pattern and
Socio-Cultural Dimensions Associated with it: A Case Study of Rural Haryana, India.
Biomass and Bioenergy, 33(11), 1509–1512. doi:10.1016/j.biombioe.2009.07.016
Zulu, L. C., & Richardson, R. B. (2013). Energy for Sustainable Development Charcoal, livelihoods
, and poverty reduction : Evidence from sub-Saharan Africa. Energy for Sustainable
Development, 17(2), 127–137. doi:10.1016/j.esd.2012.07.007.

267
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

BUDIDAYA JABON DI SUMATERA SELATAN: OPTIMALISASI LAHAN MILIK


DALAM UPAYA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Sri Lestari, Bondan Winarno, Bambang Tejo Premono dan Nur Arifatul Ulya
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Upaya mengoptimalkan fungsi lahan milik dengan menanam tanaman kayu merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga, sehingga kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui praktek silvikultur dan kondisi sosial ekonomi masyarakat
pengembang tanaman jabon di Provinsi Sumatera Selatan. Pengumpulan data primer dilakukan melalui
observasi lapangan dan wawancara terhadap responden, sedangkan analisis data dilakukan dengan cara
deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktek silvikultur yang diterapkan oleh
masyarakat masih sangat sederhana. Sebanyak 35% dari responden membuka lahan dengan cara tebas
total, 43% menggunakan cara tebas jalur, sedangkan sisanya hanya membersihkan areal sekitar lubang
tanam. Petani yang menjadi responden mendapatkan bibit jabon dengan cara membeli atau mencari
anakan di bawah pohon induk. Dari seluruh responden yang ada, 88% telah menanam jabon dengan
jarak tanam tertentu, sebagian dari responden melakukan kegiatan pemeliharaan dengan cara
memupuk (34%), menyiangi tanaman (49%), menyemprot dengan herbisida atau pestisida (59%),
memangkas ranting (19%) dan juga melakukan penjarangan (13%). Berdasarkan hasil analisis kondisi
sosial ekonomi, sebagian besar masyarakat, yaitu 76% penanam jabon memiliki pekerjaan utama
sebagai petani dan 54% dari mereka memiliki pendidikan setingkat SD.Tingginya animo masyarakat di
Kabupaten Ogan Komering Ilir dalam menanam jabon merupakan insentif bagi upaya pemerintah untuk
mengembangkan tanaman kehutanan guna meningkatkan produksi bahan baku kayu, baik secara lokal
maupun nasional. Oleh karena itu dukungan berupa bantuan dan penyuluhan dari pemerintah
diperlukan agar produktivitas budidaya tanaman jabon oleh masyarakat dapat lebih optimal.
Kata kunci: budidaya jabon, praktek silvikultur, sosial ekonomi masyarakat

I. PENDAHULUAN
Kegiatan produksi kayu pertukangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di tingkat
lokal maupun nasional dapat dilakukan di lahan milik petani, baik secara campuran
(agroforestri) maupun dengan cara monokultur. Salah satu jenis kayu lokal yang telah banyak
dikembangkan oleh masyarakat petani kayu adalah jabon. Jenis ini diminati masyarakat karena
termasuk ke dalam kelompok tanaman cepat tumbuh sehingga mempunyai daur relatif pendek
(Wahyudi, 2012). Selain itu, jabon merupakan jenis pionir yang dapat tumbuh dengan baik pada
lahan bekas perladangan dan semak belukar (Wahyudi, 2012), juga lahan transisi antara daerah
rawa dengan frekuensi banjir berkala atau permanen (Krisnawati et al., 2011). Kegunanaan
kayu jabon relatif banyak, antara lain dapat digunakan untuk veneer, kertas, furniture (seperti
meja, kursi, lemari), kusen, pintu, jendela, dll (Mulyana et al., 2011) mengungkapkan bahwa
jabon dapat dimanfaatkan untuk menghijaukan lingkungan, seperti penghijauan, reklamasi
lahan bekas tambang, dan pohon peneduh.
Di Provinsi Sumatera Selatan, jabon telah dikembangkan baik dengan swadaya
masyarakat maupun melalui program bantuan pemerintah, misalnya Kebun Bibit Rakyat (KBR).
Masyarakat yang menanam jabon dengan modal sendiri pada umumnya termotivasi karena
telah melihat keberhasilan orang lain atau tetangga yang telah lebih dulu memanen jabon, baik
dari hasil menanam sendiri maupun dari hasil tumbuhan alam. Sedangkan masyarakat yang

269
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

menanam jabon karena adanya program KBR selain tertarik pada hasil panen kayu jabon, juga
karena adanya insentif dari pemerintah. Selain mendapatkan bantuan dalam menanam jabon,
masyarakat juga akan memperoleh bantuan untuk menanam karet. Karena sampai saat ini
tanaman karet masih menjadi pilihan utama bagi masyarakat untuk ditanam di lahan milik,
sebab selain memberikan hasil getah secara rutin, karet dapat dipanen kayunya pada akhir daur
tanaman. Selain lahan perkebunan, banyak masyarakat juga memiliki lahan yang sering
terendam banjir saat hujan turun, sehingga pada awalnya tidak ada tanaman kayu yang dapat
hidup dan hanya ditanami oleh semak belukar. Kondisi lahan ini menyebabkan pemanfaatan
yang kurang optimal dan tidak produktif.
Di kedua desa yang menjadi fokus kegiatan penelitian, pada awalnya pengembangan
kayu jabon hanya dilakukan oleh beberapa orang. Sejak tahun 2009 menanam jabon mulai
marak dilakukan oleh sebagian besar masyarakat petani dengan memanfaatkan lahan yang
selama ini belum termanfaatkan atau dengan mengoptimalkan fungsi lahan yang sebelumnya
telah ditanami dengan tanaman buah-buahan dan atau tanaman perkebunan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui praktek silvikultur dan kondisi sosial ekonomi masyarakat
pengembang tanaman jabon di Desa Jejawi dan Desa Karang Agung, Kabupaten Ogan Komering
Ilir, Provinsi Sumatera Selatan.

II. METODE PENELITIAN


A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan April dan Juni 2014. Lokasi yang menjadi
fokus kegiatan adalah Desa Jejawi dan Desa Karang Agung Kabupaten Ogan Komering Ilir,
Provinsi Sumatera Selatan. Kedua desa ini dipilih karena masyarakatnya telah banyak
mengembangkan tanaman jabon, baik dengan cara monokultur maupun dengan cara
agroforestri, yaitu mencampur jabon dengan tanaman buah-buahan atau perkebunan.
B. Pengumpulan dan Analisis Data
Pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi lapangan dan wawancara
terhadap responden rumah tangga yang dipilih secara sengaja (purposive). Jumlah responden
yang bersedia dan dapat ditemui selama kegiatan penelitian berlangsung berjumlah 68 orang.
Data sekunder diperoleh dari Dinas Kehutanan dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Ogan
Komering Ilir. Data yang diperoleh dianalisis dengan cara deskriptif kualitatif untuk
mendapatkan informasi tentang praktek silvikultur dan kondisi sosial ekonomi masyarakat
pengembang tanaman jabon.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Praktek Silvikultur Penanaman Jabon oleh Masyarakat
Masyarakat di lokasi penelitian, yaitu Desa Jejawi dan Desa Karang Agung
mengembangkan tanaman jabon dengan dana yang berasal dari swadaya masyarakat dan
sampai saat ini mereka belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah, baik berupa
dana, bibit, maupun bimbingan dan penyuluhan. Pada awalnya masyarakat mengenal jabon
dari tanaman alam yang tumbuh di lahan milik, pada saat diameter kayu sudah cukup besar
mereka menebang dan menjualnya dengan harga yang cukup menguntungkan. Berdasarkan
pengalaman ini, masyarakat mulai tertarik untuk membudidayakan jabon dengan mengambil
anakan yang tumbuh secara alami di bawah pohon. Masyarakat menanam jabon di lahan-lahan
milik yang pada awalnya merupakan lahan tidur dan tidak bisa ditanami dengan tanaman

270
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

perkebunan atau buahan, selain itu mereka juga menanam jabon di antara tanaman buah-
buahan yang sudah tumbuh di lahan milik mereka. Kondisi awal lahan ini mempengaruhi cara
masyarakat dalam penyiapan lahan, pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa sebanyak 35% dari
responden membuka lahan mereka dengan sistem tebas total (karena sebelumnya lahan ini
ditumbuhi semak belukar), 43% membuka lahan dengan cara tebas jalur (karena semak belukar
yang tumbuh tidak terlalu rapat), dan sisanya hanya membersihkan areal sekitar lubang tanam
(22%), yaitu apabila masyarakat menanam jabon di antara tanaman buah-buahan.

Praktek Silvikultur oleh Masyarakat

100
Prosentase (%)

80
60
40
20
0

Masyarakat memperoleh pengetahuan tentang budidaya jabon secara autodidak atau


dengan melihat dan atau bertanya dengan petani lain yang telah menanam jabon sebelumnya.
Akan tetapi menurut Hartoyo (2013), cara memperoleh informasi dari petani lain dapat mem-
berikan dampak negatif, karena apabila transfer informasi antara satu petani dengan petani la-
innya tidak sesuai dengan acuan budidaya jabon yang seharusnya, dapat menyebabkan ren-
dahnya kualitas hasil budidaya jabon. Pada umumnya masyarakat menanam jabon dengan jarak
tanam tertentu (88%) dan sebagian kecil belum menerapkan jarak tanam tertantu (12%). Jarak
tanam yang paling banyak diaplikasikan adalah 2x2 meter, 3x3 meter, dan 4x4 meter. Mereka
menentukan jarak tanam ini hanya berdasarkan pilihan mereka, tanpa didasari oleh alasan ilmi-
ah apa pun. Mereka yang menanam dengan jarak 2x2 meter bertujuan agar jabon yang ditanam
bisa lebih banyak sehingga dapat memberikan hasil lebih tinggi, hal ini banyak dilakukan oleh
masyarakat yang memiliki lahan tidak luas. Padahal jarak tanam yang terlalu rapat ini
menyebabkan pertumbuhan tanaman jabon menjadi lambat karena kompetisi antar tanaman
dalam memperoleh unsur hara sangat tinggi. Masyarakat yang menanam dengan jarak 4x4
meter berharap jabon yang ditanam memiliki ruang yang cukup sehingga diameter kayu lebih
cepat besar, hal ini banyak dilakukan oleh masyarakat yang memiliki lahan cukup luas.
Setelah melakukan kegiatan penanaman, sebagian masyarakat petani jabon akan
melakukan beberapa kegiatan pemeliharaan tanaman, yaitu dengan cara memupuk, menyiangi
tanaman, menyemprot dengan herbisida atau pestisida, memangkas ranting dan juga
melakukan penjarangan. Dari seluruh jumlah responden, 34% dari masyarakat petani yang
menjadi responden telah melakukan kegiatan pemupukan dan 66% dari mereka tidak
melakukan pemupukan. Sebanyak 59% dari masyarakat petani melakukan kegiatan
penyemprotan dengan menggunakan herbisida atau pestisida, sedangkan 41% tidak pernah
melakukan penyemprotan. Akan tetapi pada umumnya petani hanya melakukan satu kali
penyemprotan pada awal penanaman. Sebagian kecil masyarakat petani melakukan
pemangkasan ranting, yaitu 19% sedangkan sisanya (81%) tidak melakukan pemangkasan. Hal
ini disebabkan tanaman jabon akan mengalami prunning alami (self prunning). Untuk kegiatan
penjarangan, hanya 13% dari masyarakat petani yang melakukannya, sedangkan sebagian besar
dari mereka (87%) tidak melakukan penjarangan. Petani yang tidak melakukan kegiatan
pemeliharaan secara intensif mengungkapkan bahwa jabon merupakan jenis tanaman yang

271
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

tidak memerlukan pemeliharaan secara rutin sehingga lebih menghemat biaya. Seperti halnya
Setyaji (2011) menyatakan bahwa budidaya tanaman jabon sangat sederhana dan tidak
memerlukan perawatan khusus, sehingga jenis ini cukup prospektif untuk dikembangkan pada
program hutan rakyat.
B. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pengembang Jabon
Pekerjaan utama yang dimiliki masyarakat lokal dan tingkat pendidikan memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap sikap dan tingkat partisipasi mereka terhadap program
kehutanan masyarakat (Kobbail, 2012). Di lokasi penelitian, masyarakat yang menanam jabon di
Desa Jejawi dan Desa Karang Agung didominasi oleh mereka yang memiliki pekerjaan utama
sebagai petani (76%). Selain itu ada yang berprofesi sebagai pedagang, wiraswasta, nelayan,
dan guru. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat sebagian besar adalah Sekolah
Dasar (54%), sedangkan sisanya adalah SMP (19%), SMA (21%) dan Perguruan Tinggi (6%). Rata-
rata pengeluaran per minggu responden adalah Rp. 300.000 dengan jumlah anggota keluarga
rata-rata yang dimiliki sebanyak 4 orang. Dari kedua desa tersebut, masyarakat petani di Desa
Jejawi telah lebih dulu mengenal dan mengembangkan kayu jabon. Bahkan usaha pembibitan
jabon pun telah banyak dilakukan oleh masyarakat di desa ini guna memenuhi kebutuhan bibit
baik dari dalam desa maupun luar desa. Usaha pembibitan kayu jabon ini dapat memberikan
tambahan pendapatan bagi masyarakat penangkar bibit. Hasil penelitian tentang usaha
pembibitan kayu jabon yang dilakukan oleh Sirajudin et al. (2013) menjelaskan bahwa usaha
pembibitan kayu jabon merah di Desa Tangkunei Kabupaten Minahasa Selatan mampu
menghasilkan nilai B/C ratio sebesar 1,86 sehingga secara finansial dikatakan layak dan dapat
memberikan keuntungan.
Menanam jabon diharapkan dapat memberikan tambahan pendapatan bagi
masyarakat, karena setelah tahun ke-7 atau lebih mereka dapat memanen jabon dengan harga
berkisar antara Rp. 1.100.000 sampai Rp 1.300.000 per meter kubik dalam bentuk kayu olahan.
Hasil penelitian Indrajaya dan Siarudin (2013) mengungkapkan bahwa dengan menggunakan
penghitungan daur finansial Fausman, kayu jabon di Kecamatan Pakenjeng Kabupaten Garut
dapat memberikan keuntungan yang maksimal apabila seluruh tegakan ditebang pada tahun
ke-6. Das (2012) juga mengungkapkan bahwa masyarakat yang berpartisipasi dalam program
kehutanan akan mendapatkan penghidupan yang lebih baik karena perekonomian mereka
meningkat. Untuk menanam jabon, masyarakat tidak harus memiliki lahan yang luas karena
jabon dapat ditanam secara campuran di antara jenis-jenis tanaman lain. Jabon juga dapat
dimanfaatkan sebagai tanaman pagar atau batas lahan, sehingga apabila masyarakat menanam
jenis tanaman perkebunan di lahan milik mereka, seperti karet atau sawit, jabon dapat ditanam
di sekeliling areal tanaman perkebunan tersebut.
Mulai dari awal pengembangan tanaman jabon sampai dengan saat ini, berbagai
permasalahan banyak dihadapi oleh masyarakat. Masalah utama adalah adanya masa stagnansi
dari pertumbuhan jabon, dimana pada awalnya pertumbuhan jabon sangat cepat, akan tetapi
setelah berumur 3 tahun tanaman jabon seperti tidak mengalami pertumbuhan. Hal ini
mengakibatkan beberapa petani merasa putus asa, sehingga pada saat tanaman jabon mereka
berumur 5 tahun, mereka mulai menjual tanaman jabon tersebut. Karena ukuran kayu yang
masih kecil-kecil, masyarakat terpaksa menjual kayu secara borongan untuk luasan lahan
tertentu, akibatnya harga yang mereka peroleh menjadi sangat rendah. Berdasarkan
pengalaman tersebut, masyarakat mulai enggan untuk kembali menanam jabon di lahan
miliknya. Di samping itu, seperti diungkapkan oleh Tukan et al. (2004), beberapa masalah yang
dihadapi petani kayu rakyat antara lain: (1) Masih rendahnya pengetahuan petani tentang cara
bertani/berkebun yang baik dan benar, meliputi cara budidaya, pemanenan dan penanganan

272
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

setelah panen kayu, (2) Hasil produksi kayu yang terbatas, sehingga tidak dapat menjual ke
perusahaan menengah atau besar, (3) Umur panen kayu yang belum memasuki masa tebang,
karena pada umumnya petani menjual berdasarkan kebutuhan hidup, (4) Dalam melakukan
pemasaran hasil, petani tidak memiliki kelompok kerja bersama, dan (5) Akses informasi pasar
yang dimiliki petani masih terbatas karena petani hanya mendapatkan informasi dari sesama
petani atau pedagang yang datang ke desa. Oleh karena itu diperlukan adanya informasi pasar
dan harga sampai ke tingkat petani. Ditambahkan oleh Krisnawati et al. (2011) bahwa petani
kayu seringkali memiliki keterbatasan dalam tehnik dan pengetahuan untuk mengelola
tanaman kayu, mulai dari pemilihan jenis, aspek silvikultur guna memproduksi hasil dengan
kualitas tinggi, serta manajemen hama dan penyakit tanaman.
Motivasi masyarakat yang cukup tinggi dalam mengembangkan kayu jabon merupakan
insentif bagi upaya pemerintah guna mengembangkan tanaman kehutanan jenis jabon. Akan
tetapi, adanya berbagai kendala yang dihadapi oleh masyarakat tersebut dapat mengurangi
antusisame masyarakat. Oleh karena itu upaya-upaya untuk mendorong masyarakat agar
memiliki motivasi dalam budidaya jabon dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan,
bantuan dana dan atau bibit, serta bantuan teknis lainnya.

IV. KESIMPULAN
1. Praktek silvikultur yang diterapkan oleh masyarakat masih sangat sederhana, mereka
menanam jabon di lahan milik yang sebelumnya merupakan lahan tidur dan hanya
ditumbuhi semak belukar. Sebanyak 35% dari responden membuka lahan dengan cara tebas
total, 43% menggunakan cara tebas jalur, sedangkan sisanya hanya membersihkan areal
sekitar lubang tanam. Petani yang menjadi responden mendapatkan bibit jabon dengan cara
membeli mencari anakan di bawah pohon induk. Dari seluruh jumlah responden yang ada,
88% telah menanam jabon dengan jarak tanam tertentu, sedangkan sisanya (12%) belum
menerapkan jarak tanam. Sebagian dari responden melakukan beberapa kegiatan
pemeliharaan tanaman, yaitu dengan cara memupuk (34%), menyiangi tanaman (49%),
menyemprot dengan herbisida atau pestisida (59%), memangkas ranting (19%) dan juga
melakukan penjarangan (13%). Petani yang tidak melakukan kegiatan pemeliharaan secara
intensif menyatakan bahwa jabon setelah ditanam akan tumbuh dengan sendirinya dan
tidak memerlukan pemeliharaan secara rutin sehingga lebih menghemat biaya.
2. Berdasarkan hasil analisis kondisi sosial ekonomi, masyarakat penanam jabon di Kabupaten
Ogan Komering Ilir didominasi oleh mereka yang memiliki pekerjaan utama sebagai petani,
yaitu sebanyak 76%, sedangkan dari aspek pendidikan, responden didominasi oleh mereka
yang memiliki pendidikan setingkat SD, yaitu sebanyak 54%. Pengeluaran rata-rata
masyarakat per minggu adalah Rp. 300.000 dengan rata-rata jumlah anggota keluarga
sebanyak 4 orang. Menanam jabon akan memberikan tambahan pendapatan bagi
masyarakat, karena setelah berumur 7 tahun atau lebih mereka dapat memanen jabon
dengan harga berkisar antara Rp. 1.400.000 sampai Rp 1.600.000 per meter kubik (dalam
bentuk kayu olahan).
3. Tingginya animo masyarakat di Kabupaten Ogan Komering Ilir dalam menanam jabon
merupakan insentif bagi upaya pemerintah untuk mengembangkan tanaman kehutanan
guna meningkatkan produksi bahan baku kayu, baik secara lokal maupun nasional. Oleh
karena itu dukungan berupa bantuan dan penyuluhan dari pemerintah diperlukan agar
produktivitas budidaya tanaman jabon oleh masyarakat dapat lebih optimal.

273
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

DAFTAR PUSTAKA
Das, N. (2012). Impact of participatory forestry program on sustainable rural livelihoods:
Lessons from an Indian Province. Applied Economic Perspectives and Policy Vol. 34 No. 3
(pp. 428-453)
Hartoyo, A.P.P. (2013). Teknik dan biaya budidaya jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) oleh
petani kayu rakyat. Tidak dipublikasikan. Skripsi Departemen Silvikultur, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Indrajaya, S. & Siarudin, M. (2013). Daur finansial hutan rakyat jabon di Kecamatan Pakenjeng,
Kabupaten Garut, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 10 No. 4 (pp. 201-
2011).
Kobbail, A.A.R. (2012). Local people attitudes towards community forestry practices: A case
study of Kosti Province – Central Sudan. International Journal of Forestry Research. Vol
2012 (pp 1-7). Doi: 10.1155/2012/652693.
Krisnawati, H., Kalllio, M., & Kanninen, M. (2011). Anthocephalus cadamba Miq.: Ecology,
silviculture and productivity. Center for International Forestry Research, Bogor,
Indonesia.
Mulyana, D., Asmarahman, C., & Fahmi, I. (2011). Panduan lengkap bisnis dan bertanam kayu
Jabon. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Setyaji, T. (2011). Jabon ‘Si Jati Bongsor’ dan prospeknya untuk hutan rakyat. Informasi Teknis
Vol 9 No 2 (pp. 45-54).
Sirajudin, N., Walangitan,H.D., Lasut, M.T., & Sumakud, M.Y.M.A. (2013). Kajian partisipasi dan
kelayakan usaha persemaian jabon merah (Anthocephalus macropyllus) (Studi kasus
kelompok tani Tunas Karumama Desa Tangkunei, Minahasa Selatan.
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/cocos/article/view/2387. Diakses pada tanggal 17
Juni 2014.
Tukan, C.J.M., Yulianti, Roshetko, J.M., & Darusman, D. (2004). Pemasaran kayu dari lahan
petani di Propinsi Lampung. Agrivita Vol. 26, No. 1 (pp. 131-141).
Wahyudi. (2012). Analisis pertumbuhan dan hasil tanaman jabon (Anthocephallus cadamba).
Jurnal Perennial Vol. 8, No. 1 (pp. 19-24).

274
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

BIOMASSA SEBAGAI PENYEDIA SUBSIDI ENERGI BAGI MASYARAKAT

Sri Lestari, Bambang Tejo Premono, Hengki Siahaan dan Andika Imanullah
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Konsumsi energi di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya, selain disebabkan oleh
pertambahan jumlah penduduk, juga disebabkan oleh meningkatnya laju perekonomian. Oleh karena
itu, energi memegang peran penting dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan
suatu negara. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji pentingnya biomassa sebagai energi terbarukan
untuk sumber energi listrik. Penggunaan energi terbarukan merupakan salah satu upaya untuk
mengurangi ketergantungan terhadap energi yang berasal dari fosil. Energi biomassa adalah satu bentuk
sumber energi terbarukan yang memiliki potensi untuk dikembangkan dan dapat diproduksi dalam 3
(tiga) bentuk bahan bakar, yaitu cair, padat, dan gas. Sumber energi biomassa dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan energi pembangkit listrik, bahan bakar transportasi, pemanas rumah, dan
pembakaran pada industri. Biomassa yang berasal dari tanaman, limbah perkebunan, kehutanan,
pertanian dan peternakan dapat dikonversi menjadi sumber energi listrik ataupun panas. Penggunaan
biomassa sebagai energi terbarukan ini dapat mengurangi dampak perubahan iklim dan pemanasan
global karena memiliki emisi CO2 yang lebih rendah. Hambatan penggunaan biomassa sebagai sumber
energi listrik dikarenakan beberapa hal: (1) lahan sebagai faktor produksi yang semakin terbatas, (2)
kebutuhan pangan, nutrisi dan kayu yang bersaing dengan kebutuhan energi, serta (3) jenis tanaman
penghasil energi dengan kualitas baik semakin terbatas. Oleh karena itu, ke depannya harus di upayakan
untuk mendapatkan jenis-jenis kayu energi yang mudah dan murah dalam perbanyakannya, cepat
pertumbuhannya, mudah dan murah dalam perawatannya, serta mampu menghasilkan energi yang
cukup tinggi.
Kata kunci: biomassa, energi, masyarakat

I. PENDAHULUAN
“Siapa yang menguasai minyak, ia akan mengendalikan banyak negara dalam
cengkeramannya dan siapa yang menguasai pangan, ia yang akan mengendalikan orang”
(Henry Kissinger). Ungkapan tersebut mengisyaratkan bahwa energi adalah komoditi yang unik
dan dapat dikatakan sebagai komoditi dengan biaya tinggi. Energi memegang peran penting
dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Dalam rangka pembangunan
berkelanjutan, suatu bangsa memerlukan sumberdaya energi yang mudah dan tersedia dengan
harga terjangkau, serta tidak menimbulkan dampak bagi kehidupan sosial dan lingkungan.
Selama ini energi masih bergantung pada energi yang berasal dari fosil yang sifatnya tidak
terbarukan dan kurang ramah lingkungan. Menurut Dincer (2000), ada 3 (tiga) alasan mengapa
pembangunan berkelanjutan akan bergantung kepada eksploitasi sumber energi terbarukan
dan teknologinya, yaitu (1) sumber energi terbarukan memiliki dampak lebih sedikit
dibandingkan energi lainnya. Sumber energi terbarukan memiliki baragam pilihan dan bersih
namun sedikit lebih mahal, (2) sumber energi terbarukan tidak dapat habis seperti energi dari
fosil dan uranium, apabila digunakan dengan bijak dan efisien dapat digunakan secara
berkelanjutan, (3) sumber energi terbarukan mendukung desentralisasi sistem tenaga dan
menjadi solusi yang bersifat lokal karena tidak bergantung kepada jaringan nasional, sehingga
lebih fleksibel dalam menjangkau wilayah yang terisolir.

275
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Konsumsi energi di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya, dengan rata-rata


laju peningkatan sebesar 4,1%. Pada tahun 2003-2013, konsumsi energi final meningkat dari
117 juta TOE pada tahun 2003 menjadi 174 juta TOE pada Tahun 2013, dimana konsumsi
terbesar sektor indutri (33%), rumah tangga (27%) dan transportasi (27%). Selengkapnya dapat
dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Konsumsi energi pada setiap sektor tahun 2003-2013 (DEN, 2014)
Energi yang berasal dari fosil menjadi sumber energi yang penting, terutama untuk BBM
sebesar 48%, batubara 19%, gas bumi 14%, LPG 5% dan listrik 13%. Konsumsi energi untuk
sektor rumah tangga terbesar masih berasal dari energi biomassa sebesar 33 juta TOE pada
Tahun 2013. Program konversi minyak tanah ke LPG menyebabkan kenaikan konsumsi LPG
sejak program tersebut diluncurkan pada Tahun 2007, konsumsi LPG meningkat sebesar 13,3%
pada tahun 2013 (DEN, 2014).
Salah satu upaya mengurangi ketergantungan terhadap energi yang berasal dari fosil
tersebut adalah dengan penggunaan energi terbarukan. Energi terbarukan merupakan energi
yang berasal dari sumber alami yang tidak melibatkan konsumsi sumberdaya yang terbatas
seperti minyak bumi. Energi biomassa merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang
memiliki potensi untuk dikembangkan. Energi biomassa dapat diproduksi dalam 3 (tiga) bentuk
bahan bakar yaitu cair, padat dan gas. Biomassa dapat dikonversi untuk 3 (tiga) tipe
penggunaan yaitu listrik/panas, bahan bakar transportasi dan bahan baku kimia (Mc Kendry,
2002) sehingga lebih fleksibel untuk beragam penggunaan. Mengingat besarannya kebutuhan
energi setiap tahunnya maka perlu adanya upaya untuk beralih dari energi berbasis fosil ke
energi yang terbarukan seperti biomassa. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji pentingnya
biomassa sebagai energi terbarukan yang merupakan sumber energi listrik, serta hambatan dan
batasan pengembangan biomassa sebagai energi listrik.

II. BIOMASSA SEBAGAI SUMBER ENERGI LISTRIK


Energi biomassa adalah berbagai sumber penghasil energi yang berasal dari bukan
energi fossil yang berupa bahan biologis seperti tanaman, hewan dan mikroorganisme. Sumber
energi biomassa merupakan sumber energi yang heterogen dan dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan energi yang beragam mulai dari pembangkit listrik, bahan bakar
transportasi, pemanas rumah, dan pembakaran pada industri. Biomassa yang dapat digunakan
untuk sumber energi dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) berdasarkan tujuan/asal biomassa
(Carneiro, 2012) yaitu (1) Biomassa primer yang dihasilkan dari hutan atau pertanian yang
secara khusus ditujukan untuk energi, (2) biomassa sekunder yang dihasilkan dari pengolahan

276
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

biomassa primer atau limbah/residu hasil hutan atau pertanian. Sumber energy biomassa yang
baik memiliki karakteristik sebagai berikut: memberikan hasil yang tinggi (hasil produksi kering
per hektar tinggi), biaya pemeliharaan tanaman yang rendah/murah, kebutuhan tenaga kerja
yang sedikit, kebutuhan nutrisi yang sedikit, hasil kering yang tinggi dan kemungkinan
komposisi pembusukan/pencemaran yang sedikit (McKendry, 2002).
Pengeluaran pemerintah selama ini banyak digunakan untuk pembiayaan yang kurang
produktif seperti subsidi. Subsidi energi memberikan proporsi yang lebih besar dari total subsidi
yang dikeluarkan pemerintah. Subsidi listrik sebesar Rp 60.292 M pada Tahun 2008, hampir
50% lebih kecil dibandingkan subsidi BBM pada tahun yang sama. Subsidi terhadap energi
cenderung meningkat setiap tahunnya, pada Tahun 2013 subsidi BBM sebesar Rp 199,9 T (17%)
dan subsidi listrik Rp 100 T (7%) dari total belanja negara. Untuk itu diperlukan upaya untuk
mencari sumber energi alternatif terbarukan dalam rangka mengurangi subsidi negara.
Biomassa yang berasal dari tanaman yang ditujukan untuk produksi biomassa dan
limbah perkebunan, kehutanan, pertanian dan peternakan dapat dikonversi menjadi sumber
energi listrik ataupun panas. Potensi biomassa mencapai 32.654 MW dengan kapasitas
terpasang 1.716 MW. Untuk Pulau Sumatera potensi biomassa sebagai sumber listrik sebesar
15.588 MW (Statistik EBTKE,2014), namun yang baru dimanfaatkan sebesar 1.717 MW.
Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Potensi biomassa sebagai sumber listrik di Pulau Sumatera
Kapasitas Terpasang
No. Tipe Sumberdaya Rasio (%)
(MW)
1 2 3 4 5 = 4/3
1. Hidro (MW) 75.000 MW 7.573 10,1%
2. Panas Bumi (MW) 28.910 MW 1.344 4,65%
3. Biomassa 32.654 MW 1.717 5,26%
4. Surya 4.80 kWh/m3/day 48 -
5. Angin 3-6 m/s 1,87 -
6. Laut 49 GW***) 0,01***) 0%
7. Uranium 3.000MW**) 30*) 0%
Sumber: Statistik EBTKE, 2014
Produksi biomassa Indonesia untuk bahan bakar masih sangat rendah, hanya sebesar
146,7 juta ton per tahun atau setara dengan 470 GJ per tahun dan sebagian besar digunakan
oleh masyarakat pedesaan dan industri kecil sebagai sumber energi untuk memasak, pemanas
dan listrik (Hasan et al., 2012). Keunggulan biomassa sebagai energi terbarukan adalah dapat
mengurangi dampak perubahan iklim dan pemanasan global (Field et al., 2007; Saidur, 2011).
Pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar biomassa akan memberikan emisi yang
rendah sehingga ramah lingkungan (Boyle, 2004 dalam Saidur et al., 2011) (Tabel 2). Namun
untuk saat ini, harga energi yang berasal dari biomassa yang lebih tinggi dibandingkan energi
fosil (Sims et al., 2003).
Tabel 2. Emisi yang dihasilkan dari pembangkit listrik
Fuel Emission factor (g/kWh)
CO2 SO2 NOx
Limbah peternakan 10 2,45 3,90
Limbah kehutanan 24 0,006 0,57
Kotoran hewan 31 1,12 2,38
Gas alam 446 0,0 0,5
Batubara 955 11,80 4,3
Sumber: Boyle (2004) dalam Saidur et al (2011)
277
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Untuk menghasilkan energi (listrik, bahan bakar dan bahan kimia), biomassa harus
dikonversi melalui teknologi proses baik secara thermo chemical dan bio chemical. Konversi
melalui thermo chemical ada 4 cara yaitu combustion, pyrolisis, gasification dan liquefaction.
Dengan proses konversi secara bio chemical dilakukan dengan 2 proses yaitu digestion
(produksi gas, percampuran metane dan karbondioksida) dan fermentasi (produksi ethanol)
(Mc Kendry, 2002). Rata-rata beragam biomassa dalam keadaan kering bebas abu akan
menghasilkan energi sebesar 17-21 MJ/Kg (McKendy, 2002).
Tabel 3. Energi yang dihasilkan per hektar per tahun dari beberapa tanaman (IEA for NW
Europe) (IEA, 1994)
Bio-energy type Konteks saat ini Teknologi masa depan
(GJ/ha/yr) (GJ/ha/yr)
Etanol dari biji-bijian Rata-rata 2 36
(menggantikan bensin)
Etanol dari gula bit Rata-rata 30 139
(menggantikan bensin)
Produksi RME 17 41
(menggantikan diesel)
Listrik dari kayu 110 165
(Menggantikan pembangkit
listrik)
Sumber: McKendry, 2002

III. HAMBATAN DAN BATASAN PENGEMBANGAN BIOMASSA SEBAGAI ENERGI LISTRIK


Kebutuhan energi yang makin besar dan kepedulian terhadap lingkungan yang makin
tinggi akan mendorong penggunaan energi yang ramah lingkungan dan terbarukan (green
energy) dan mengurangi penggunaan energi fosil (black energy). Peran biomassa sebagai
sumber energi terbarukan dimasa mendatang akan sangat penting. Menurut Sims et al. (2003),
ada 3 (tiga) faktor pendorong mengapa energi biomassa berperan penting dalam pemenuhan
kebutuhan energi, yaitu adanya pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk dan
perubahan teknologi.
Biomassa yang berasal dari alam menjadi solusi untuk kebutuhan tersebut. Energi
biomassa memiliki emisi CO2 yang lebih rendah, dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan
energi fosil (Sims et al., 2003). Lebih lanjut, Gula dan Geryl (2014) mengungkapkan bahwa
penggunaan lokal dari biomassa untuk tujuan sebagai pemanas merupakan solusi untuk
penggunaan dana yang efektif dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca.
Hambatan penggunaan biomassa sebagai sumber energi listrik dikarenakan lahan,
ekonomi pertanian, dan pilihan jenis tanaman (Hoogwijk et al., 2005). Lahan sebagai faktor
produksi makin langka dan terbatas karena beragam peruntukan. Pada bidang kehutanan,
peruntukan lahan telah di kategorikan menjadi fungsi, yaitu untuk produksi, konservasi dan
lindung, sehingga alokasi lahan yang ditujukan untuk biomassa akan terbatas karena bersaing
dengan untuk kebutuhan konservasi dan lindung.
Kebutuhan pangan dan nutrisi, serta kayu akan bersaing dengan kebutuhan energi.
Kegiatan produktif ekonomi untuk menghasilkan pangan dan nutrisi serta kayu sebagai tujuan
utamanya akan saling bersaing untuk dikonversi dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi,
baik limbah dari kegiatan tersebut maupun hasil utamanya. Misalnya kayu yang ditanam
dengan tujuan utama untuk produk kayu akan digunakan diubah untuk kebutuhan energi baik

278
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

secara langsung maupun tidak, baik dalam bentuk limbahnya maupun dalam bentuk kayu
tersebut.
Ke depannya, kebutuhan lahan untuk kayu energi akan bersaing dengan lahan untuk
kebutuhan pangan, tempat tinggal dan usaha produktif lainnya. Sebagaimana diungkapkan oleh
Golos dan Kaliszewski (2015) bahwa kayu akan digunakan sebagai sumber energi hanya setelah
penggunaan kayu untuk pertukangan dan usaha produktif lainnya telah tercukupi. Sedangkan di
Indonesia, kebutuhan kayu untuk pertukangan dan usaha produktif lainnya terus meningkat
sedangkan ketersediaan kayunya itu sendiri semakin menurun. Kayu energi pada umumnya
berasal dari hutan, industri kayu, serta kayu hasil penjarangan dan pemangkasan. Oleh karena
itu, menurut Stolarski et al. (2014) diperlukan jenis tanaman kayu dengan rotasi pendek, yang
dapat dikembangkan pada lahan marjinal, mampu memberikan hasil panen yang besar, serta
mempunyai nilai kalor yang tinggi.
Perkembangan teknologi sangat diperlukan untuk mendukung upaya penggunaan energi
baru terbarukan seperti energi biomassa. Untuk saat ini, pemanfaatan energi biomassa masih
tergolong ekonomi biaya tinggi karena belum adanya teknologi yang tepat dan biaya investasi
yang besar sehingga kurang diminati pemilik modal. Diperlukan teknologi yang dapat merubah
biomassa menjadi energi yang dapat langsung digunakan tanpa harus merubah mesin.
Pemerintah diharapkan dapat memberikan insentif bagi pemilik modal untuk berinvestasi di
sektor energi terbarukan.
Bentuk dan ukuran biomassa akan mempengaruhi transportasi. Biomassa yang
berukuran besar akan mempengaruhi dalam proses pengangkutan sampai dengan pabrik
sehingga akan berpengaruh terhadap biaya produksi. Untuk dapat bersaing (daya kompetitif)
dengan bahan bakar fosil, biomassa harus dapat diproduksi dengan biaya produksi yang murah.

IV. PENUTUP
Penggunaan energi terbarukan merupakan salah satu upaya untuk mengurangi
ketergantungan terhadap energi yang berasal dari fosil. Energi biomassa merupakan salah satu
sumber energi terbarukan yang memiliki potensi untuk dikembangkan dan dapat diproduksi
dalam 3 (tiga) bentuk bahan bakar, yaitu cair, padat dan gas. Sumber energi biomassa dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi pembangkit listrik, bahan bakar transportasi,
pemanas rumah, dan pembakaran pada industri. Biomassa yang berasal dari alam menjadi
solusi untuk kebutuhan tersebut. Energi biomassa memiliki emisi CO2 yang lebih rendah
sehingga lebih ramah lingkungan. Penggunaan energi yang berasal dari biomassa dapat
memberikan beberapa keuntungan antara lain sebagai upaya konservasi sumber daya fosil,
pengurangan terhadap ketergantungan bahan bakar impor, merehabiltasi lahan kritis yang
tidak dimanfaatkan, dan memanfaatkan limbah hasil tebangan dan limbah lainnya.
Hambatan penggunaan biomassa sebagai sumber energi listrik dikarenakan beberapa
hal: (1) lahan sebagai faktor produksi yang semakin terbatas, (2) kebutuhan pangan, nutrisi dan
kayu yang bersaing dengan kebutuhan energi, serta (3) jenis tanaman penghasil energi dengan
nilai kalor yang tinggi semakin terbatas. Oleh karena itu, diperlukan eksplorasi jenis tanaman
kayu yang mempunyai sifat rotasi yang pendek, dapat dikembangkan pada lahan marjinal,
produktivitas hasil panen yang besar, serta mempunyai nilai kalor yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Carneiro, P., & Ferreira, P. (2012). The economic, environmental and strategic value of biomass.
Renewable Energy, 44, 17–22. doi:10.1016/j.renene.2011.12.020

279
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

DEN. (2014). Outlook Energi Indonesia 2014. Jakarta


Dincer, I. (2000). Renewable energy and sustainable development: a crucial review. Renewable
and Sustainable Energy Reviews, 4, 157–175. doi:10.1016/S1364-0321(99)00011-8.
Dirjen EBTKE. (2014). Statistik EBTKE 2014. Jakarta.
Field, C. B., Campbell, J. E., & Lobell, D. B. (2007). Biomass energy : the scale of the potential
resource, 65–72. doi:10.1016/j.tree.2007.12.001
Golos, P., & Kaliszewski, A. (2015). Aspects of using wood biomass for energy production. Forest
Research Paper, Vol 76 (1): 78-87. DOI: 10.1515/frp-2015-0009.
Gula, A., & Goryl, W. (2014). Toward a more environmentally friendly use of biomass for
energy purposses in Polland. Journal of Environmental Studies Vol. 23 No. 4. 1377-1380.
Hasan, M. H., Mahlia, T. M. I., & Nur, H. (2012). A review on energy scenario and sustainable
energy in Indonesia. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 16(4), 2316–2328.
doi:10.1016/j.rser.2011.12.007.
Hoogwijk, M., Faaij, A., Eickhout, B., De Vries, B., & Turkernburg, W. (2005). Potential of
biomass energy out to 2100 for 4 IPCC SRES land-use scenarios. Biomass and Bioenergy,
29: 225-257.
Mckendry, P. (2002). Energy production from biomass ( part 1 ): overview of biomass, 83(July
2001), 37–46.
Mckendry, P. (2002). Energy production from biomass ( part 2 ): conversion technologies,
83(July 2001), 47–54.
Saidur, R., Abdelaziz, E. A., Demirbas, A., Hossain, M. S., & Mekhilef, S. (2011). A review on
biomass as a fuel for boilers. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 15(5), 2262–
2289. doi:10.1016/j.rser.2011.02.015
Sims, R.E.H., Rogner, H-H., & Gregory, K. (2003). Carbon emisson and mitigation cost
comparisons between fossil fuel, nuclear and renewable energy resources for electricity
generation. Energy Policy, 31: 1315-1326.
Stolarski, M.J., Krzyzaniak, M., Szczukowski, S., Tworkowski, J., & Bieniek, A. (2014). Short
rotation woody crops gown on marginal soil for biomass energy. Political Journal of
Environmental Studies, Vol. 23, No. 5: 1727-1739.

280
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

PENGELOLAAN DANA BERGULIR OLEH PUSAT PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN HUTAN


UNTUK PEMBIAYAAN USAHA KEHUTANAN

Agustinus Untoro Wisnu


Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

I. PENDAHULUAN
Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P2H) merupakan salah satu satuan kerja di
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Berbeda dengan satuan kerja lainnya, P2H
ditugaskan untuk mengelola Fasilitas Dana Bergulir (FDB) yang bersumber dari DR pada
Rekening Pembangunan Hutan (RPH) untuk RHL, sebagai dukungan terhadap pembangunan
hutan tanaman. Karena fungsinya ini maka Pusat P2H ditetapkan sebagai Badan Layanan
Umum (BLU). Pengelolaan dana bergulir bersifat fleksibel karena menggunakana kaidah-kaidah
bisnis yang sehat, produktif dan efisien.
BLU harus bekerja sesuai aturan yang berlaku. Aturan-aturan yang berkaitan dengan
kegiatan dari Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P2H)
adalah:
 PP no. 35 tahun 2002 tentang dana reboisasi.
 PP Nomor 23 tahun 2005 tentag pengelolaan keuangan badan layanan umum.
 Keputusan Menkeu No. 105 KMK.05/2010 tentang Penetapan Pusat Pembiayaan
Pembangunan Hutan sebagai instansi pemerintah yang menerapkam PPK-BLU.
 Peraturan bersama Menkeu & Menhut No. 04/PMK.02/2012 & PB.1/Menhut-II/2014
Tentang pengelolaan DR dalam RPH.
 Peraturan menteri Kehutanan No. P.36/Menhut II/2012 jo P.23 /Menhut-II/2011 tentang
tata cara penyaluran dan pembiayaan dana bergulir untuk kegiatan RHL.
 Pemenkeu No. 112/PMK.05/2015 tgl 8 Juni 2015 tentang tarif layanan BLU Pusat P2H pada
Kementerian Kehutanan.

II. DANA BERGULIR


Selama ini, pada umumnya jika masyarakat melihat dana dari pemerintah, maka
asosiasinya adalah hibah. Perlu ditekankan bahwa dana bergulir merupakan bagian dari uang
negara (APBN), yang bukan merupakan hibah atau proyek. Dana bergulir adalah dana yang
disalurkan, kemudian ditagih dan dikembalikan oleh debitur yang akan digulirkan kembali
kepada debitur lainnya yang memerlukan. Pelengkap atau penguatan modal dari kegiatan RHL
hanya diberikan atas permintaan calon debitur melalui pengajuan proposal dan hanya untuk
kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan. Dalam konteksi ini yang termasuk dalam kegiatana
RHL adalah upaya-upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan
dan lahan. Dana bergulir hanya diberikan kepada calon penerima yang dinilai layak dibiayai.
Keputusan pemberian dana didasarkan pada kajian bahwa usaha yang diusulkan oleh calon
debitur adalah usaha yang prospektif dan layak sacara finansial.
Berdasarkan sumbernya dana reboisasi yang dikelola negara berasal dari: 1)
pembayaran dari wajib bayar, yaitu HPH yang melakukan penebangan atau memanfaatkan
hutan 2) Jasa giro dari dana reboisasi yang ada di rekening Menteri Keuangan, 3) pengembalian
kredit, divestasi, deviden, lelang. Kas negara ini 60% dialokasikan untuk kegiatan dibawah

281
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

pengelolaan pemerintah pusat, dan 40% dialokasikan untuk daerah penghasil. Dana di
pemerintah pusat ini digunakan dalam bentuk DIPA Kementerian Kehutanan, sisanya masuk ke
rekening pembangunan hutan (RPH). Dana dari RPH ini yang kemudian disalurkan dalam bentuk
dana bergulir, oleh Lembaga Keuangan Bank atau Non Bank. Kemudian dana disalurkan kepada
BMUN atau BUMD, Koperasi atau masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani. Skema
sumber dana untuk dana bergulir yang dikelola oleh BLU ditampilan pada Gambar 1.

DR yang ada pada DR wajib bayar Kembalian Kredit, Diversitas,


Rekening Menkeu Pasal 7(1) Deviden Lelang kayu sitaan
(Psl 22)

Jasa Giro Kas Negara

60% untuk pemerintah pusat (Psl 10) 40% untuk daerah penghasil

DIPA Kemenhut (psl 10) RPH (psl 10)

Disalurkan dalam bentuk Dana Bergulir (psl 12 & 15)

Lembaga Keuangan Bank/ L K Non Bank psl 14 (2)

BLU (Pusat P2H)

BMUN/D Koperasi Kelompok Tani Hutan


(psl 155) (psl 15) (psl 15)

Gambar 1. Skema sumber dana dan penyaluran dana bergulir sesuai PP 35/2002

III. KEGIATAN YANG DAPAT DIBIAYAI OLEH DANA BERGULIR


Berdasarkan Peraturan Bersama Menkeu dan Menhut No. 04/PMK.02/2012 &
PB.1/Menhut-II/2011 tentang Pengelolaan DR dalam RPH maka kegiatan yang dapat dibiayai
oleh dana bergulir yang ada di P2H adalah:
a. Pembangunan dan pemeliharaan tanaman, dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI),
Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Rakyat (HR), Hutan Desa (HD) dan Hutan
Kemasyarakatan (HKm).
b. Usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan tegakan hutan alam pada kawasan
hutan produksi dengan teknik silvikultur intensif (SILIN), dan
c. Restorasi ekosistem (RE).
Dengan bergabungnya Kementerian Kehutanan dengan Kementerian Lingkungan Hidup,
BLU sekarang memiliki bidang baru yang ditangani yaitu Bidang Investasi Lingkungan, walaupun
pada saat ini belum dapat dilaksanakan. Berkaitan dengn itu, BLU sedang melakukan persiapan
agar dana bergulir juga dapat diinvestasikan untuk kegiatan-kegiatan lingkungan. Beberapa
investasi lingkungan yang dapat difasilitasi atau dibiayai antara lain adalah:

282
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

1. Peralatan Pencegahan Pencemaran: Peralatan Produksi Bersih dan Peralatan Non Ozone
Depleting Substance (ODS)
2. Peralatan 3 R (Reduce, Reuse, Recycle), selruh peralatan yang dapat mengurangi
pemanfaatan sumber daya alam (hemat air, hemat energi) dan pengurangan limbah (daur
ulang limbah plastik, logam, kertas, organik)
3. Peralatan Pengolahan limbah: 1) Instalasi pengolah air limbah, 2) Instalasi pengolah limbah
udara dan 3) Instalasi pengolah limbah padat
4. Efisiensi energi, energi baru dan terbarukan, termasuk energi dari limbah (waste to energi)
5. Bahan bakar atau tambahan yang ramah lingkungan (misal pengganti bleaching agent),
peralatan laboratorium lingkungan, dan sertifikasi ramah lingkungan
6. Tapak IPAL /IDUL/ Konstruksi investasi lingkungan.

IV. SKEMA DANA BERGULIR


Ada 3 bentuk skema dana bergulir. Yang pertama adalah dana bergulir yang disalurkan
dalam bentuk pinjaman, kedua dalam bentuk bagi hasil, dan yang ketiga adalah dalam bentuk
pola syariah. Untuk pola pinjaman, dana disalurkan kemudian fihak penerima fasilitas
mengembalikan dana pokoknya disertai bunga. Untuk sistem bagi hasil, BLU hadir sebagai
infestor kemudian memiliki mitra, kemudian bersama mintranya BLU membangun hutan
tanaman, pada saat panen hasilnya dibagi. Untuk pola syariah, kurang lebih sama dengan pola
bagi hasil tetapi di dalamnya ada kaidah-kaidah syariah yang harus diikuti. Sampai saat ini BLU
baru bergerak di skema pinjaman, skema bagi hasil sampai saat ini belum berjalan.
Berapa tarif layanannya? Tarif layanan ditetapkan dengan Permenkeu 112/PMK.05/
2015, 8 Juni 2015. Tarif layanan BLU digambarkan dalam skema berikut ini.

Tarif Layanan BLU – Pusat P2H


Permenkeu 112/PMK.05/2015, 8 Juni 2015

TARIF LAYANAN PINJAMAN TARIF LAYANAN BAGI HASIL

BADAN Masyarakat Lembaga BUMN, BUMD, Badan Usaha


USAHA Perantara Swasta Berbadan Hukum,
Koperasi Primer, Perorangan

Tingkat suku Tingkat suku Tingkat suku BLU-Pusat P2H


bunga per tahun bunga per bunga per mendapatkan bagian bagi
: BI rate + 4% tahun : BI rate tahun : 50% BI hasil paling rendah 35% dari
(maks 10%) (maks 8%) rate (maks 4%) pendapatan bruto bagi hasil
yang dibiayai

Gambar 2. Tarif layanan BLU menurut Permenkeu 112/PMK.05/2015, 8 Juni 2015

283
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Skema dan pola penyaluran fasilitas dana bergulir menurut Permenhut P.36/Menhut-II/2012 jo.
P.23/Menhut-II/2014 digambarakan seperti dalam Tabel 1.
Tabel 1. Skema dan pola penyaluran fasilitas dana bergulir Permenhut P.36/Menhut-II/2012 KE
No Penyaluran Skema Keterangan
Pinjaman Bagi hasil Syariah
1 Tanpa Pelaku Usaha Pelaku Usaha Pelaku Usaha Pelaku Usaha
Lembaga HTR, HR, HTR, HR, HTR, HR, HTR, HR,
perantara HTI,HD,HKm, HTI,HD,HKm,H HTI,HD,HKm, HTI,HD,HKm,
HHBK, Silin & RE HBK, Silin & RE HHBK, Silin &RE HHBK, Silin & RE
2 Dengan Hanya diberlakukan L- Perantara
Lembaga untuk skema sebagai pelaksana
Perantara pinjaman pengguliran dana
3 Pengembalian Pengembalian Pembayaran Pembayaran
pinjaman bagi hasil dari bagi
beserta pendapatan hasil/margin
bunganya

V. MEKANISME PENGAJUAN DANA BERGULIR


Pemohon dana bergulir mengajukan proposal ke BLU kemudian BLU akan memeriksa
persyaratan administrasinya. Jika persyaratan terpenuhi makan akan dilakukan verifikasi
lapangan. Setelah syarat administrasi dan analisis lapangan terpenuhi maka BLU membuat
persetujuan. Mekanisme pengajuan dana bergulir ditampilkan dengan skema pada Gambar 3.

Permohonan Ajukan BLU Desk & Field


Dana Bergulir proposal analysis

Persetujuan Persetujuan 4T
Prinsip Prinsip

Surat Surat
Penawaran Penawaran

Putusan Dana Putusan Dana


Bergulir Bergulir

Pemohon
Dana Bergulir Akad secara Pemindah Rekening
Notariat bukuan Pemohon Dana
bertahap Bergulir
BLU
Gambar 3. Skema mekanisme pengajuan dana bergulir

Membangun hutan tidak hanya memerlukan sekali pembiayaan, dan tidak selesai hanya
dalam 2 atau 3 tahun, sehingga penyaluran dana dilakukan secara bertahap, penyaluran

284
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan

pertama untuk pengadaan bibit dan persiapan lahan, tahap berikutnya adalah pemeliharaan.
Pemberian fasilitas dana bergulir jangka waktunya paling lama 5 tahun. Batas maksimal
pemberian FDB berdasar Pasal 29 PerMenhut No P.23/Menhut-II/2014 adalah sebagai berikut:
 Batas maksimal pemberian FDB untuk mendukung usaha HTI, SILIN adalah 3.000 (tiga ribu)
hektar dikalikan biaya kegiatan per hektar yang
 Batas maksimal pemberian FDB untuk mendukung usaha RE disesuaikan dengan unit usaha
yang bermitra dengan pemegang izin dikalikan biaya kegiatan per hektar yang dapat
difasilitasi oleh Pusat P2H.
 Batas maksimal pemberian FDB untuk mendukung usaha HTR dan usaha pemanfaatan HHBK
adalah 300 (tiga ratus) hektar dikalikan biaya kegiatan per hektar yang dapat difasilitasi oleh
Pusat P2H.
 Batas maksimal pemberian FDB untuk mendukung usaha HD, HKm disesuaikan dengan unit
usaha dikalikan biaya kegiatan per hektar yang dapat difasilitasi oleh Pusat P2H.
 Batas maksimal pemberian FDB untuk mendukung usaha HR adalah 80.000 (delapan puluh
ribu) pohon dikalikan biaya per pohon yang dapat difasilitasi oleh Pusat P2H.
Standar biaya dalam penggunaan FDB untuk pembangunan hutan didasarkan pada
Permenhut No. P.36/Menhut-II/2012. Berdasarkan Pasal 30, biaya kegiatan per hektar atau per
pohon yang dapat difasilitasi oleh Pusat P2H ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Pusat P2H.
Penetapan biaya kegiatan per hektar atau per pohon didasarkan pada standar teknis dan biaya
satuan kegiatan yang ditetapkan Direktur Jenderal BPDAS PS.
Bersadarkan Pasal 31, jika terdapat perkembangan teknologi budidaya tanaman hutan
dan pengembangan jasa layanan Pusat P2H yang belum ditetapkan dalam standar teknis dan
biaya satuan kegiatan, maka penetapan biaya kegiatan per hektar atau per pohon berdasarkan
pertimbangan teknis penilaian proposal permohonan FDB dari Direktur Jenderal BPDAS PS.
Ketika standar teknis belum ada maka penetapan biaya didasarkan pada pertimbangan teknis
dari Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Suatu hasil penelitian jika akan
diterapkan dalam skala usaha maka peneliti sendirilah yang mengetahui biaya yang diperlukan
untuk setiap bibit yang diperoleh dari penggunaan teknologi tertentu.
Selain itu, penilaian terhadap biaya satuan kegiatan yang digunakan dalam proposal
permohonan FDB juga dapat ditetapkan berdasar survey harga pasar setempat oleh BLU Pusat
P2H atau instansi lain yang kompeten. Harga pasar ini kemudian dapat digunakan sebagai
standar biaya per ha atau per pohon. Sebagai informasi, untuk saat ini standar biaya untuk HTI
adalah Rp 9,653 juta/ha, untuk HTR Rp 8,5 juta/ha, dan untuk hutan rakyat Rp 20.000/ pohon.
Pengembangan hutan yang menggunakan cara biasa atau menggunakan teknologi hasil litbang
memerlukan biaya yang berbeda. Pengembangan hasil penelitian diperlukan rekomendasi dari
Kabadan Litbang yang menjelaskan bahwa pembangunan HR dengan teknologi tertentu
memerlukan biaya tertentu.

VI. PENUTUP
Suatu hasil penelitian akan dapat bermanfaat untuk mencapai masyarakat yang
sejahtera dan hutan lestari jika hasil penelitian tersebut dikembangkan dalam skala usaha.
Ketika masuk ke dalam skala usaha maka BLU berperan dalam memberikan dukungan
permodalan kepada pelaku usaha. Dengan demikian peran BLU dalam peningkatan
produktivitas hutan adalah memberikan fasilitas pembiayaan agar pelaku usaha dapat
mengimplementasikah hasil-hasil penelitian untuk menghasilkan tegakan hutan yang
berproduktifitas tinggi.

285
ASPEK PERLINDUNGAN DAN
KONSERVASI
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi

POTENSI TANAMAN BERENUK (Crescentia cujete L.)


SEBAGAI BAHAN PESTISIDA NABATI

Etik Erna Wati Hadi dan Asmaliyah


Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Penggunaan pestisida kimia telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sehingga
mendorong adanya kebijakan dalam pengendalian hama, yaitu penggunaan pestisida nabati. Potensi
pengembangan pestisida nabati sangat besar dilakukan di Indonesia. Penggalian potensi dilakukan
dengan melakukan survey dan pendokumentasian kearifan lokal. Informasi dari masyarakat lokal dalam
memanfaatkan tanaman sebagai bahan pestisida dapat dihimpun kemudian dikaji secara ilmiah. Salah
satu jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah tanaman berenuk (Crescentia cujete Linn.).
Berenuk memiliki potensi yang cukup banyak, secara tradisional masyarakat memanfaatkan jenis ini
sebagai bahan obat, bahan pestisida serta untuk bahan kerajinan. Kajian ilmiah tentang potensi berenuk
telah dilakukan di beberapa negara dan dinyatakan bahwa terdapat potensi dari bagian daun sebagai
antibakteri. Dengan hasil tersebut membuka peluang untuk pengembangan penelitian lebih lanjut untuk
bagian tanaman yang lain.
Kata kunci: berenuk, pestisida nabati

I. PENDAHULUAN
Serangan hama dan penyakit pada tumbuhan merupakan salah satu permasalahan yang
dihadapi dalam pengelolaan hutan, baik hutan rakyat maupun hutan tanaman. Pengendalian
hama dan penyakit tanaman biasanya menggunakan pestisida kimiawi yang memiliki cara kerja
yang relatif cepat dalam menekan populasi hama/penyakit, sehingga dapat mencegah kerugian
secara ekonomis. Pemakaian pestisida kimiawi yang tidak tepat, berpotensi menimbukan
dampak negatif, untuk menghindari dampak buruk tersebut, berdasarkan kebijakan
internasioanl, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan ditingkat nasional dalam
perlindungan tanaman dengan program Pengendalian Hama Terpadu (PHT), yang
memprioritaskan penggunaan bahan yang ramah lingkungan, salah satunya adalah penggunaan
pestisida nabati.
Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuh-tumbuhan
dan berkhasiat mengendalikan hama pada tanaman (Soenandar et al., 2010). Pestisida nabati
ini bisa berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh, dan bentuk
lainnya (Syakir, 2011). Cara kerjanya antara lain: 1) Repelan, yaitu menolak kehadiran serangga,
misal: dengan bau yang menyengat; 2) Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang
telah disemprot; 3) Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa; 4) Menghambat reproduksi
serangga betina; 5) Racun syaraf; 6) Mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga; 7)
Atraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap serangga; dan 8)
Mengendalikan pertumbuhan jamur dan bakteri. Pestisida nabati digunakan untuk
meminimalkan penggunaan pestisida sintetis, sehingga dampak terhadap kerusakan lingkungan
bisa dikurangi. Kelebihan penggunaan pestisida nabati adalah cara kerjanya yang unik yaitu
tidak meracuni, mudah terurai di alam dan residunya mudah hilang, sehingga tidak mencemari
lingkungan serta relatif aman bagi manusia dan hewan peliharaan; penggunaannya dalam
jumlah (dosis) yang kecil atau rendah; mudah diperoleh di alam, pembuatannya relatif mudah

289
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

dan secara sosial–ekonomi penggunaannya menguntungkan bagi petani kecil (Gerrits dan Van
Latum, 1988; Sastrosiswojo, 2002; Lestari, 2012). Di Indonesia terdapat sekitar 2400 jenis
tumbuhan yang berpotensi sebagai penghasil pestisida (Kardinan, 1999). Hasil inventarisasi
tumbuhan penghasil pestisida nabati di Provinsi Lampung ditemukan beberapa jenis tumbuhan
yang memiliki potensi sebagai penghasil pestisida nabati, salah satunya adalah
berenuk/berunuk (Crescentia cujete).
Berenuk/berunuk merupakan tanaman berbentuk pohon yang berasal dari Amerika
Tengah dan Amerika Selatan tropis, namun sekarang tanaman ini sudah tersebar ke berbagai
tempat, termasuk di wilayah Indonesia, jadi tanaman ini bukan asli dari Indonesia. Pohon
berenuk dapat mencapai tinggi 10 meter dengan batang silindris, beralur, warna putih
kehitaman; daun tersusun menyirip, berbentuk lonjong, ujung meruncing, panjang 10-15 cm,
bertangkai pendek; bunga tunggal keluar dari ranting; buah tipe buni, bulat atau bulat telur; biji
berbentuk kotak berwarna coklat. Berdasarkan klasifikasi, jenis ini termasuk dalam:
Kingdom : Plantae
Ordo : Lamiales
Famili : Bignoniaceaae
Genus : Crescentia
Species : Crescentia cujete (L.)
Berdasarkan hasil penelitian dan studi pustaka menunjukkan berenuk memiliki potensi
sebagai pestisida nabati. Sampai saat ini pemanfaatannya hanya dilakukan secara tradisional
dan dalam skala lokal. Tujuan penyusunan makalah ini untuk menyampaikan informasi potensi
tanaman berenuk sebagai pestisida nabati.

II. POTENSI BERENUK (C. cujete L.)


1. Etnobotani
Etnobotani adalah cabang ilmu yang mempelajari dan mengkaji hubungan manusia
dengan tumbuhan disekitarnya, termasuk didalamnya adalah bagaimana dan untuk apa
tumbuhan itu dimanfaatkan dalam kehidupannya. Etnobotani biasanya bersifat lokal, hal ini
dikarenakan aktivitas manusia disuatu tempat berbeda dengan tempat lain, tergantung kondisi
lingkungan setempat. Hasil penelitian etnobotani di kepulauan Sumatera menunjukkan bahwa
masyarakat sampai saat ini masih banyak memanfaatkan tanaman disekitarnya, antara lain
sebagai bahan obat dan pestisida nabati (Asmaliyah et al., 2010). Berdasarkan penelitian
tersebut, berenuk dimanfaatkan masyarakat di Kabupaten Tanggamus (Provinsi Lampung) dan
Kabupaten Lebong (Provinsi Bengkulu) sebagai pembunuh hama (serangga, keong emas) dan
pengusir lintah. Untuk membunuh serangga dan keong emas, masyarakat mengambil air dari
buahnya (diperas), ditambah air kemudian disemprotkan pada tanaman. Sedangkan untuk
mengusir lintah, caranya buah direndam dalam aliran sungai.
Selain sebagai bahan pestisida nabati, berenuk juga dipercaya masyarakat memiliki
khasiat sebagai obat, antara lain daunnya dimanfaatkan untuk mengobati luka baru dan obat
hipertensi. Cara pemanfaatan sebagai obat luka, yaitu dengan menumbuk 10 gram daun
kemudian ditempelkan pada bagian yang terluka kemudian dibungkus dengan kain bersih.
Daging buah digunakan untuk mengobati sakit diare. Buah dan bijinya yang diperas dapat
digunakan untuk obat diare, sakit perut, pilek, bronchitis, asma dan susah buang air kecil.
Sementara itu kulit buahnya dapat dimanfaatkan untuk bahan kerajinan.

290
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi

a b c d
Gambar 1. a. Buah berenuk, b. Pohon berenuk, c. Daging buah dan isi,
d. Beberapa contoh pemanfaatan
2. Hasil-hasil Penelitian
Beberapa penelitian dilakukan dalam menggali potensi berenuk, baik sebagai bahan
obat maupun sebagai pestisida nabati, antara lain:
a. Kemampuan antibakteri daun berenuk (C. cujete, L.) dapat menghambat atau membunuh
bakteri E. coli dan S. aureus (Ardianti dan Kusnadi, 2014).
b. Kulit batang berenuk mengandung senyawa golongan steroid dan alkaloid yang berpotensi
sebagai antibakteri (Yani, 2011).
c. Pemanfaatan ekstrak daun berenuk (Crescentia cujete) sebagai terapi alternatif yang
termutakhir dalam bidang herbal dan efektif dalam menanggulangi permasalahan
aterosklerosis pada pasien dengan penyakit jantung koroner (PJK) (Imaroh, 2013).
d. Ekstrak berenuk (Crescentia cujete Linn.) memiliki potensi sebagai sumber obat untuk terapi
penyakit yang disebabkan oleh bakteri (Mahbub et al., 2011).
e. Fitokimia dalam tanaman berenuk memiliki komposisi mineral yang dapat dimanfaatkan
sebagai sumber nutrisi bagi manusia maupun hewan (Ejelonu et al., 2011).
Hasil penelitiaan menunjukkan tanaman berenuk memiliki kandungan beberapa jenis
bahan aktif, diantaranya yang terdapat dalam daging buah yang basah adalah alkaloid,
flavonoid, saponin, glikosidaa sianogen (semacam HCN) dan fenol dalam jumlah yang lebih
besar dibandingkan pada daging buah yang kering (Ogbuagu, 2008). Dalam daging buah yang
kering memiliki kandungan tannin yang lebih banyak dibandingkan pada daging buah basah.
Sedangkan dibagian kulit, batang dan akar mengandung saponin dan polifenol.
Tumbuhan melindungi diri secara alami dengan menghasilkan senyawa aktif/metabolit
sekunder yang merupakan senyawa hasil metabolism yang tidak memiliki fungsi secara
langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan (Hartmann, 1991 dalam Sumantoro,
2012). Senyawa aktif yang dimiliki suatu jenis tumbuhan memiliki distribusi terbatas yang sering
dijumpai dalam suatu jenis yang memiliki hubungan taksonomi. Berenuk memiliki potensi
sebagai pengendali hama tikus, hal ini dikarenakan adanya bahan aktif alkaloid. Syakir (2011)
menyebutkan bahwa kelompok tumbuhan rodentisida nabati, kelompok tumbuhan yang
menghasilkan pestisida pengendali hama rodentia. Tumbuhan ini terbagi jadi dua jenis, yaitu
sebagai penekan kelahiran dan penekan populasi, yaitu meracuninya. Tumbuhan yang
termasuk kelompok penekan kelahiran umumnya mengandung steroid. Sedangkan yang
tergolong penekan populasi biasanya mengandung alkaloid. Jenis tumbuhan yang sering
digunakan sebagai rodentisida nabati adalah gadung racun. Selain itu berenuk juga digunakan
masyarakat untuk mengendalikan keong emas, yaitu dengan mencacah daging buahnya
kemudian meletakkan dalam aliran sawah sehingga mematikan hama tersebut. Hal tersebut
mungkin terjadi karena adanya kandungan glikosida sianogen (semacam HCN) yang mempunyai
sifat sebagai racun.
291
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Pemanfaatan tanaman berenuk pada tanaman hutan belum dilakukan penelitian lebih
lanjut, hal ini dikarenakan penelitian pestisida nabati baru pada tahap eksplorasi dan uji
fitokimia. Hasil uji fitokimia digunakan sebagai dasar dalam melakukan uji toksisitas. Jika hasil
uji toksisitas menunjukkan hasil positif kemudian dilanjutkan tahap uji skala rumah kaca.
Kedepan diharapkan tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pestisida nabati untuk
tanaman kehutanan, terutama untuk bibit dan tanaman muda.

III. PENUTUP
Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas yang sangat besar dan suku etnis yang sangat
beragam. Kearifan lokal dalam memanfaatkan jenis tumbuh-tumbuhan disekitarnya
memberikan peluang dalam menggali dan mengembangkan potensi tumbuhan sebagai bahan
pestisida nabati. Kajian ilmiah serta pendokumentasian kearifan lokal perlu dilakukan secara
kontinyu. Hal ini menjadi penting untuk menyelamatkan lingkungan dari gempuran bahan-
bahan kimia yang digunakan untuk bahan pestisida. Pemanfaatan bahan alami lebih banyak
mendatangkan keuntungan bagi masyarakat juga lingkungan. Berdasarkan hasil eksplorasi dan
penelitian tanaman berenuk memiliki potensi sebagai bahan pestisida nabati, sehingga perlu
dilakukan tahapan-tahapan penelitian untuk mendapatkan kandungan bahan aktif serta aplikasi
di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA
Asmaliyah, Hadi, E. E. W., Utami, S., Mulyadi, K., Yudhistira dan Sari, F. W. 2010. Pengenalan
Tumbuhan Penghasil Pestisida Nabati dan Pemanfaatannya Secara Tradisional.
Puslitbang Produktivitas Hutan. Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan,
Jakarta.
Ardianti, A. dan Kusnadi, J. 2014. Ekstraksi Antibakteri Dari Daun Berenuk (Crescentia cujete
Linn.) Menggunakan Metode Ultrasonik. Jurnal Pangan dan Agroindustri 2 (2):28-35.
Ejelonu, B.C., Lasisi, A.A., Olaremu, A.G. dan Ejelonu, O.C. 2011. The Chemical Constituents of
Calabash (Crescentia cujete). African Journal of Biotechnology 10 (84):19631-19636.
Gerrits R. & van Latum E.B.J. 1988. Plant Derived Pesticides in Developing Countries Possibilities
& Research Needs, Netherlands Ministry of Housing Physical Planning and Environment.
101 p.
Imaroh, R. 2013. Potensi Ekstrak Daun Berenuk (Crescentia cujete inn.) Sebagai Terapi Alternatif
Penyakit Jantung Koroner Dengan Menurunkan Resiko Pembentukan Aterosklerosis.
Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jakarta.
Kardinan, A. 1999. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Lestari, F. 2012. Pestisida Nabati Sebagai Alternatif Pengganti Pestisida Kimia Sintetik.
www.foreibanjarbaru.or.id. (Diakses 21 April 2014).
Mahbub, K.R., Hoq, M.M., Ahmed, M.M., dan Sarker, A. 2011. In Vitro Antibacterial Activity of
Crescentia cujete and Moringa oleifera. Bangladesh Research Publications Journal 5 (4):
337-343.
Obguagu, M.N. 2008. The Nutritive and Anti-Nutritive Compositions of Calabash (Crescentia
cujete) Fruit Pulp. Journal of Animal and Veterinary Advances 7 (9):1069-1072.

292
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi

Sastrosiswojo, S. 2002. Kajian Sosial Ekonomi dan Budaya Penggunaan Biopestisida di


Indonesia. Makalah pada Lokakarya Keanekaragaman Hayati Untuk Perlindungan
Tanaman, Yogyakarta.
Soenandar, M., Aeni, M. N., dan Raharjo, A. 2010. Petunjuk Praktis Membuat Pestisida Organik.
Agromedia Pustaka, Jakarta.
Sumantoro, P. 2012. Serangan Hama Kutu Lilin (Pineus borneri Annand) Pada Tanaman Uji
Keturunan Pinus merkusii Generasi II Umur 9 Tahun di Tampomas, Sumedang. Tesis:
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Syakir, M. 2011. Status Penelitian Pestisida Nabati Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Perkebunan. Seminar Nasional Pestisida Nabati IV, Jakarta.
Yani, A. 2011. Fraksinasi Komponen Aktif Antibakteri Ekstrak Kulit Batang Tanaman Berenuk
(Crescentia cujete Linn.). Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB,
Bogor.

293
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi

PERKEMBANGAN SERANGAN PENYAKIT BERCAK DAUN PADA TANAMAN


JABON (Antocephalus cadamba) DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

Asmaliyah dan Etik Ernawati Hadi


Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Pembangunan hutan tanaman secara monokultur rentan terhadap serangan penyakit karena
keseimbangan hubungan antara patogen dan inang terganggu. Oleh karena itu perlu ada usaha
pengendalian agar serangan penyakit tidak berkembang dan tidak sampai merugikan. Usaha
pengendalian akan efektif apabila jenis penyakit dan patogennya diketahui. Tujuan penelitian adalah
untuk mengetahui jenis patogen yang menyerang tanaman jabon dan bagaimana perkembangannya.
Metode penelitian menggunakan purposive sampling dengan teknik pengumpulan data secara sensus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa patogen yang menyebabkan penyakit bercak daun pada tanaman
jabon (Antocephalus cadamba) adalah cendawan Colletotrichum sp. Perkembangan serangan
Colletotrichum sp. meningkat pada bulan dengan curah hujan tinggi.
Kata kunci: jabon, penyakit bercak daun, patogen, perkembangan

I. PENDAHULUAN
Jabon (Antocephalus cadamba) merupakan salah satu jenis tanaman cepat tumbuh yang
cukup prospektif dikembangkan di Sumatera Selatan karena selain merupakan jenis lokal juga
mempunyai prospek ekonomi yang baik (Premono, 2012) dan cocok untuk berbagai
penggunaan seperti pulp, venir dan kayu lapis (Efendi, 2010 dalam Duryatmo, 2010).
Salah satu permasalahan yang sering dihadapi dalam pembangunan hutan secara
monokultur adalah rawan terhadap serangan hama dan penyakit. Serangan suatu penyakit
akan mempengaruhi proses-proses pertumbuhan dan perkembangan sehingga proses produksi
tanaman tersebut akan terganggu dan dapat menyebabkan kematian. Hasil penelitian
sebelumnya ditemukan tiga jenis hama yang cukup serius menyerang tanaman jabon di
beberapa wilayah di Sumatera Selatan, yaitu Margaronia hilalaris, Daphnis hypothous dan kepik
Cosmoleptrus sumatranus (Asmaliyah, 2014). Selain diserang oleh hama, tanaman jabon
tersebut juga diserang oleh suatu penyakit yang pada waktu tertentu serangannya cukup
dominan. Walaupun sampai saat ini kerusakan yang diakibatkan oleh serangan penyakit ini
belum nyata mempengaruhi produktivitas tanaman, namun keberadaan penyakit ini perlu
diwaspadai.
Oleh karena itu perlu ada usaha pengendalian agar serangan penyakit tersebut tidak
berkembang dan tidak sampai merugikan. Usaha pengendalian dilakukan baik sebelum maupun
sesudah kejadian serangan penyakit. Untuk melakukan usaha pengendalian tersebut
dibutuhkan penelitian dasar mengenai jenis penyakit dan patogennya dengan mempelajari
gejala dan kerusakan yang ditimbulkannya, ekobiologi maupun perkembangannya. Berdasarkan
hal tersebut diatas, maka perlu kiranya dilakukan kegiatan penyusunan informasi mengenai
penyakit dan patogennya serta perkembangan penyakit pada tanaman jabon di Provinsi
Sumatera Selatan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui jenis patogen yang menyerang
tanaman dan bagaimana perkembangannya.

295
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

II. METODOLOGI PENELITIAN


A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tahun 2012, 2013 dan 2014 pada beberapa areal
penanaman jabon di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu:
1. Areal hutan rakyat di Desa Tungku Jaya, Kecamatan Sosoh Buay Rayap, Kabupaten Ogan
Komering Ulu (OKU) dengan luas areal sekitar 1 ha dan umur tanaman 1 (satu) tahun.
Vegetasi disekitar areal tanaman jabon adalah tanaman karet.
2. Areal hutan rakyat di Desa Tanjung Pering, Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir
(OI), dengan luas areal sekitar 3 ha dan umur tanaman 1 (satu) tahun. Vegetasi disekitar
areal penanaman jabon adalah tanaman karet.
3. Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Sumber Bahagia Sentosa (SBB) yang terdapat di Desa
Pangkalan Bulian, Kecamatan Batanghari Leko, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), dengan
luas areal sekitar 1 ha dan umur tanaman 3 bulan. Kondisi lingkungan disekitar areal
penanaman jabon adalah hutan bekas tebangan.
4. Areal hutan rakyat di Desa Pedamaran 1, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering
Ilir (OKI), dengan luas areal sekitar 6000 m2 dan umur tanaman 6 bulan. Vegetasi disekitar
areal penanaman jabon adalah kelapa, gelam dan pohon-pohon buah (mangga, jambu biji).
B. Prosedur Kerja
1. Pembuatan plot pengamatan dilakukan dengan teknik purposive sampling sebanyak 5
(lima) buah pada setiap lokasi tergantung luas areal penanaman yang tersebar di pojok dan
tengah lokasi. Ukuran plot pengamatan pada setiap areal bervariasi, yaitu:
a. Di Desa Tungku Jaya (OKU), ukuran plot seluas 15x20 m yang terdiri dari 30 tanaman
b. Di Desa Tanjung Pering (OI), ukuran plot seluas 15x30 m yang terdiri dari 50 tanaman
c. Di Desa Pangkalan Bulian (Muba), ukuran plot 15x30 m yang terdiri dari 30 tanaman
d. Di Desa Pedamaran 1 (OKI), ukuran plot 15x10 m yang terdiri dari 15 tanaman
2. Pengumpulan data dilakukan secara sensus dengan variabel pengamatan berupa jenis
penyakit dan patogennya, jumlah tanaman yang terserang dan skor tingkat kerusakan
tanaman yang terserang yang digunakan untuk menghitung persentase serangan dan
intensitas serangan penyakit
3. Untuk mengetahui jenis penyakit yang menyerang dilakukan identifikasi melalui buku
diagnosis penyakit tanaman hutan (Anggraeni dan Lelana, 2011) dengan cara mencocokkan
gejala serangan yang terdapat pada tanaman jabon di lapangan dengan yang terdapat dalam
buku
4. Untuk menghitung persentase serangan penyakit (P) dilakukan dengan menggunakan
rumus:
Jumlah tanaman yang terserang dalam suatu petak ukur
P= X 100 %
Jumlah seluruh tanaman dalam suatu petak ukur
5. Untuk menghitung intensitas serangan secara kuantitatif diperoleh dengan menggunakan
rumus (Direktorat Perlindungan Tanaman, 2000):

296
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi

(ni x vj)
I =  X 100 %
ZXN
Keterangan:
I : Tingkat kerusakan tanaman
Ni : Jumlah daun yang terserang dengan klasifikasi tertentu
Vj : Nilai untuk klasifikasi tertentu
Z : Nilai tertinggi dalam klasifikasi
N : Jumlah daun seluruhnya dalam suatu tanaman
Sedangkan untuk menghitung intensitas serangan secara kualitatif diklasifikasikan menurut
pedoman Gultom (2014), yang dimodifikasi (Tabel 1). Analisa data dilakukan secara deskriptif
kuantitatif.
Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh penyakit
Tingkat Tanda kerusakan yang terlihat pada daun Nilai
Kerusakan
Sehat Tidak ada serangan/daun sehat 0
Ringan Luas daun terserang ≤ 10% 1
Agak berat Luas daun yang terserang antara > 10-25 % 2
Berat Luas daun yang terserang antara > 25-45 % 3
Sangat berat Luas daun yang terserang antara > 45%-75 % 4
Gagal Luas daun yang terserang di atas > 75 % 5
Sumber (Source): Gultom (2014)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Identifikasi Patogen
Berdasarkan hasil pengamatan di semua lokasi areal penanaman jabon terlihat adanya
serangan penyakit bercak daun yang berwarna coklat merah kehitam-hitaman. Bercak awal
berupa bintik-bintik bulat berwarna coklat, selanjutnya bercak berkembang dan menyatu
menjadi bercak yang lebih lebar berwarna coklat merah kehitam-hitaman dengan bentuk yang
tidak beraturan dengan tepi berwarna kuning. Selanjutnya bercak akan berkembang menajdi
bercak berlubang. Daun yang terserang apabila disentuh akan gugur, apabila dibiarkan daun
yang terserang menjadi kering dan rontok (Gambar 1). Hasil identifikasi terhadap patogen
(penyebab penyakit) ini adalah cendawan Colletotrichum sp., yang masuk kedalam kelas
Deuteromycetes, ordo Melancinoales dan famili Melanconiaceae (Agrios, 2005). Banyak dari
Genus Colletotrichum ini merupakan patogen tanaman, tetapi hanya beberapa jenis yang
mempunyai hubungan mutualisme dengan tanaman inangnya (Rodriquez and Redman, 2008).
Colletotrichum mempunyai beberapa sinonim tergantung dari speciesnya, tingkat seksual dari
cendawan ini sudah diketahui yaitu Glomerella yang masuk kedalam kelas Ascomycetes, ordo
Diaporthales dan famili Diaporthaceae (Anggraeni dan Lelana, 2011).
Serangan Colletorichum menyerang daun, buah hijau, batang dan buah matang.
Serangan pada daun umumnya menyerang daun muda. Serangan ringan pada daun muda akan
memperlihatkan gejala bintik-bintik nekrosis berwarna cokelat. Setelah daun berkembang,
bintik nekrosis akan menjadi bercak berlubang dengan halo berwarna kuning Pada daun-daun
muda yang terserang berat biasanya mudah mengalami kerontokan, tanaman meranggas
sehingga banyak ranting dan dahannya yang mati (Semangun, 2008).

297
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Gambar 1. Gejala penyakit bercak daun Colletotrichum sp. pada tanaman jabon
Hasil pengamatan secara makroskopis koloni jamur Colletotrichum sp. yang diisolasi dari
tanaman jeruk siam berbentuk bulat telur dengan tepi tidak rata, permukaan koloni berwarna
putih dan berbentuk seperti kapas tebal, dan warna balik koloni berwarna putih dengan bercak
merah kekuningan (Ningsih et al., 2012). Hasil Pengamatan secara mikroskopis jamur
Colletotrichum sp. yang menyerang tanaman jabon memiliki karakter yaitu hifa bersepta tipis,
konidiofor tidak berwarna, hialin, sederhana, konidia berbentuk oblong dengan ujung
membulat, berwarna hialin dan mudah lepas dari konidiofor (Gambar 2). Cendawan
Colletotrichum sp. merupakan patogen akar yang dapat bertahan hidup tanpa adanya tanaman
inang dengan cara hidup sebagai saprofit pada jaringan mati (seresah) dengan membentuk
struktur istirahat atau sebagai parasit pada gulma atau tanaman inang (Rahayu, 1999).

A B C

Gambar 2. A. Bentuk konidia Colletotrichum sp.; B. Konidiofor; C. Konidia berkecambah


(Sumber: Anggraeni dan Lelana, 2011).
2. Persentase serangan dan Intensitas serangan
Hasil pengamatan terhadap serangan penyakit bercak daun di Desa Tanjung Pering,
Ogan Ilir, Kec. Indralaya Utara, Kab. Ogan Ilir, menunjukkan bahwa perkembangan penyakit
bercak daun Colletotrichum sp. mengalami peningkatan, walaupun pada pengamatan bulan
Januari 2013 persentase serangan penyakit mengalami penurunan dibandingkan pada bulan
sebelumnya (November 2012) (Gambar 3). Begitu juga hasil pengamatan di Desa Tungku Jaya,
Kec. Sosoh Buay Rayap, Kab. OKU menunjukkan bahwa perkembangan serangan penyakit, baik
persentase serangan maupun intensitas serangan mengalami peningkatan (Gambar 3).

Desa Tanjung Pering, Kec. Desa Tungku Jaya, Kec. Sosoh


Indralaya Utara, Kab.OI Buay Rayap, Kab. OKU
150 100 (P)
100
50
0 (P) 50
Sep-12
Sep-12

Jan-13

Jan-13
Nop-12

Nop-12

0 (I)
(I)
Sep-12 Jan-13 Sep-12 Jan-13

Bulan Pengamatan Bulan Pengamatan

Gambar 3. Perkembangan serangan penyakit bercak daun Colletotrichum sp. di Desa Tanjung Pering
dan Tungku Jaya pada tahun 2012/2013

298
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi

Hasil pengamatan di Desa Pangkalan Bulian, Kec. Batanghari Leko, Kab. Muba juga
menunjukkan terjadi peningkatan serangan penyakit, kecuali pada pengamatan bulan
Desember 2013 besaran persentase serangan penyakit mengalami penurunan dibandingkan
pada bulan September 2013 (Gambar 4). Sebaliknya hasil pengamataan di Desa Pedamaran I,
Kecamatan Pedamaran, Kabupaten OKI, perkembangan serangan penyakit bercak daun
Colletotrichum sp. mengalami penurunan, walaupun intensitas serangan penyakit pada bulan
Nopember 2014 dan Desember 2014 lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya (Oktober
2014) (Gambar 5).

Desa Pangkalan Bulian, Kec. Batanghari Leko,


Kab. Muba
80 (P)
60
40
20 (I)
0
Jun-13 Sep-13 Des-13 Jun-13 Sep-13 Des-13

Bulan Pengamatan

Gambar 4. Perkembangan serangan penyakit bercak daun Colletotrichum sp. di Desa


Pangkalan Bulian pada tahun 2013

Desa Pedamaran 1, Kec. Pedamaran, Kab. OKI


100
50
0
Agust-14

Agust-14
Des-14

Des-14
Okt-14

Okt-14
Nop-14

Nop-14
(P)

(I)

Bulan Pengamatan

Gambar 5. Perkembangan serangan penyakit bercak daun Colletotrichum sp. di Desa


Pedamaran 1 pada tahun 2014
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa perkembangan penyakit
bercak daun Colletotrichum sp. (khususnya intensitas serangan) yang menyerang tanaman
jabon secara umum mengalami peningkatan pada bulan lembab (curah hujan 100-200 mm) dan
bulan basah (curah hujan diatas 200 mm), sebaliknya pada bulan kering (curah hujan dibawah
100 mm) (Oldeman, 1975) mengalami penurunan (Lampiran 1). Diduga pada bulan lembab dan
bulan basah, iklim mikro (suhu dan kelembaban nisbi) disekitar tanaman mendukung untuk
sporulasi, penyebaran, perkecambahan dan penetrasi cendawan Colletotrichum sp. Sayangnya
data suhu dan kelembaban disekitar tanaman tidak diukur. Widyastuti et al. (2005)
mengemukakan bahwa sporulasi, pelepasan, perkecambahan dan penetrasi spora ditentukan
oleh iklim mikro disekitar tanaman. Spora Colletotrichum sp. akan tumbuh baik dan
berkecambah pada kondisi lembab (kelembaban nisbi ≥ 95%) dengan suhu 25-28oC. Pada
kondisi lembab, bercak-bercak pada daun akan menghasilkan konidia dalam jumlah yang
banyak dan konidia tersebut mudah terlepas bila ditiup angin atau bila kena percikan air hujan
(Semangun, 2008).
Tingginya persentase serangan penyakit bercak daun Colletotrichum sp. pada bulan
Agustus 2014 (bulan kering dengan curah hujan dibawah 100 m) di Desa Pedamaran I,

299
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Kecamatan Pedamaran, Kabupaten OKI, diduga serangan penyakit yang ada merupakan
serangan lama yang terjadi pada bulan-bulan sebelumnya yang termasuk bulan lembab dan
bulan basah. Menurunnya persentase serangan dan rendahnya peningkatan perkembangan
intensitas serangan bercak daun Colletotrichum sp. pada bulan Nopember dan Desember 2014
walaupun sudah masuk bulan lembab dan basah, diduga jumlah inokulum yang ada tidak cukup
untuk menginfeksi daun dan jaringan inang yang rentan kurang tersedia karena sebagian besar
daun yang terinfeksi gugur, sehingga perkembangan penyakit agak lambat, walaupun
lingkungan mendukung. Widyastuti et al. (2005) menyatakan bahwa perkembangan penyakit
tidak hanya ditentukan oleh jumlah inokulum yang melimpah saja dan faktor lingkungan yang
menguntungkan, tetapi jumlah inokulum harus dalam jumlah yang cukup pada saat faktor
lingkungan mendukung dan jaringan inang yang rentan tersedia. Faktor ini yang mempengaruhi
jumlah tanaman yang terserang menurun/berkurang dan peningkatan intensitas serangan
sangat rendah. Diduga serangan penyakit bercak daun yang terjadi pada bulan Nopember dan
Desember 2014 sebagian besar merupakan infeksi baru. Berdasarkan klasifikasi Sugiharso
(1982) dalam Mamengkey dan Senewe (2011), tingkat kerusakan tanaman akibat serangan
penyakit bercak daun Colletotrichum sp. pada lingkungan yang menguntungkan di Provinsi
Sumatera Selatan termasuk kategori serangan berat (intensitas serangan 26,14 - 40,94%), oleh
karena itu keberadaannya perlu diwaspadai.
Untuk menghambat atau menekan perkembangan serangan penyakit bercak daun
Colletotrichum sp. pada tanaman jabon di lapangan dapat dilakukan:
1. Sanitasi yaitu membersihkan areal pertanaman dari sisa-sisa tanaman yang terserang,
serasah dan gulma dan eradikasi yaitu membuang bagian atau tanaman yang terserang dari
areal pertanaman, kemudian dibakar
2. Menggunakan benih yang sehat
3. Memanfaatkan cendawan antagonis Trichoderma sp. (Septiyani, 2013), mikroba antagonis
(konsorsium) yang merupakan gabungan antara isolat bakteri subtilis Pseudomonas
fluorescens dan Trichoderma harzianum dengan dosis 30 ml/liter air (Putro et al., 2014), dan
Khamir yang merupakan kelompok mikroorganisme uniseluler yang memiliki kelebihan yaitu
bioekologinya lebih adaptif pada kondisi kering, tahan terhadap terpaan sinar matahari yang
kuat, fluktuasi cuaca yang tajam dan miskin nutrisi. (Puspitasari et al., 2014).

IV. KESIMPULAN
Patogen yang menyebabkan penyakit bercak daun pada tanaman jabon (A. cadamba)
adalah cendawan Colletotrichum sp. Perkembangan serangan cendawan Colletotrichum sp.
cenderung meningkat pada bulan lembab dan basah. Tingkat kerusakan tanaman akibat
serangan penyakit bercak daun Colletotrichum sp. pada tanaman jabon termasuk kategori
serangan berat sehingga keberadaannya perlu diwaspadai terutama pada bulan-bulan lembab
dan basah.

DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th eds. Elsevier Academic Press. USA.
Anggraeni, I dan N.E. Lelana. 2011. Diagnosis penyakit tanaman hutan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan.
Asmaliyah. 2014. Hama pada tanaman jabon (Anthocephalus cadamba) dan potensi
kerusakannya. Makalah disampaikan pada Seminar Silvikultur I di Yogyakarta.

300
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi

Direktorat Perlindungan Tanaman. 2000. Pedoman pengamatan dan pelaporan tanaman


pangan. Jakarta (10): Departemen Pertanian.
Duryatmo, S. 2010. Jabon: Laba Segar Masa Depan. Trubus No. 488, Juli 2010.
Gultom, J.A.P. 2014. Penapisan streptomyces dari rizosfer jagung untuk pengendalian penyakit
bulai. Skripsi Mahasiswa Fakultas Pertanian, Program Studi Agroekoteknologi,
Universitas Bengkulu.
Mamengkey, G.S.J dan E. Senewe. 2011. Intensitas dan laju inveksi serangan penyakit karat
daun (Uromyces phaseoli) pada tanaman kacang merah. Euginia Vol. 17 No: 13.
Desember 2011.
Ningsih, R. Mukarlina dan R. Linda. 2012. Isolasi Dan Identifikasi Jamur Dari Organ Bergejala Sa-
kit Pada Tanaman Jeruk Siam (Citrus nobilis var. microcarpa). Protobiont 2012 Vol 1 (1).
Oldeman. L. 1975. An agroclimate map of Java and Madura. Contributions of The Control
Research Institute for Agriculture, Bogor. Indonesia.
Premono, B.T. 2012. Kelayakan usaha jabon rakyat (Anthocephalus cadamba): Studi pada
masyarakat di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Prosiding Forum Komunikasi Multipihak.
Hutan Rakyat Sebagai Solusi Penyedia Kayu Pertukangan, Palembang, 20 Juni 2012.
Puspitasari, A.E. A.L. Abadi dan L. Sulistyowati. 2014. Potensi khamir sebagai agens pengendali
hayati patogen Colletotrichum sp. pada buah cabai, buncis dan stroberi. Jurnal HPT Vol.2
No.3.
Putro, N.S., L.Q. Aini dan A.L. Abadi. 2014. Pengujian konsorsium mikroba antagonis untuk
mengendalikan penyakit antraknose pada cabai merah besar (Capsicum annuum L.).
Jurnal HPT Vol.2, No.4, 2014.
Rahayu, S. 1999. Penyakit tanaman hutan di Indonesia (gejala, penyebab dan teknik
pengendaliannya). Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Rodriquez, R and R. Redman. 2008. More than 400 million years of evolution and some plants
still can’t make it on their own: plant stress tolerance via fungal symbiosis. Jurnal of
Experimental Botany 59 (5).
Semangun, H. 2008. Penyakit-penyakit tanaman perkebunan di Indonesia. Cetakan Kelima.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Septiyani, T. 2013. Sifat antagonis Trichoderma resei terhadap Colletotrichum sp. secara invitro
dan sumbangannya pada pembelajaran biologi di SMA. Skripsi Mahasiswa Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya. Tidak Dipublikasikan.
Widyastuti, S.M., Sumardi dan Harjono. 2005. Patologi hutan. Cetakan Pertama. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

301
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Lampiran 1. Data curah hujan dan hari hujan bulanan di Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir dan Kecamatan Sosoh Buay Rayap,
Kabupaten Ogan Komering Ulu tahun 2012
Lokasi/ Tahun Hujan Jan Peb Mar Apr Mei Juni Juli Agts Sept Okt Nop Des Jan’1
Desa 3
Tanjung Pering 2012/ CH 183 245 281 128 178 173 34 9 30 102 399 428 357
2013 HH 10 12 9 9 12 6 4 2 3 6 14 18 24
Tungku Jaya 2012/ CH 96 367 208 196 176 170 54 22 16 196 324 321 229
2013 HH 8 8 7 8 8 7 5 2 4 10 13 16 12
Pangkalan 2013 CH 332 244 236 366 221 39 217 144 411 231 451 480 -
bulian
HH 19 14 12 13 13 4 11 9 13 9 14 21 -
Pedamaran 2014 CH 368 131 304 261 158 128 146 29 3 22 185 357 -
HH 19 5 10 13 10 8 2 3 1 3 8 16 -
Sumber Data: Stasiun Klimatologi Kenten Palembang, BMKG
Keterangan:
CH = Curah Hujan (mm)
HH = Hari Hujan (hari)

302
Aspek Perlindungan & Konservasi

PENGARUH JARAK TANAM DAN CURAH HUJAN TERHADAP PERKEMBANGAN SERANGAN


HAMA PADA TEGAKAN KAYU BAWANG
(STUDI KASUS DI KHDTK KEMAMPO)

Sri Utami dan Agus Kurniawan


Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Kayu bawang merupakan salah satu jenis pohon andalan lokal di Provinsi Bengkulu yang mempunyai
potensi cukup besar untuk dikembangkan baik di wilayah Bengkulu maupun daerah-daerah lainnya. Di
dalam budidaya jenis ini, hama merupakan salah satu permasalahan yang ditengarai bisa menghambat
pertumbuhan tanaman. Jika tidak ada penanganan yang tepat maka serangan hama akan bisa
mengakibatkan kematian tanaman dan penurunan produktivitas. Oleh karena itu perlu dilakukan
pengelolaan hama dalam kegiatan budidaya, seperti pengaturan jarak tanam dan manajemen iklim
mikro setempat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis serangan hama dan menganalisis
pengaruh tindakan silvikultur (jarak tanam) dan curah hujan terhadap perkembangan beberapa
serangga hama pada tegakan kayu bawang di KHDTK Kemampo Kabupaten Banyuasin. Penelitian
dilakukan pada beberapa plot tegakan kayu bawang yang berumur kurang dari 2 tahun di KHDTK
Kemampo, mulai bulan Januari hingga Desember 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan
dua jenis hama potensial yaitu kumbang penggerek Xystrocera globosa dan kutu kebul (Pseudococcus
sp.). Secara umum serangan hama pada jarak tanam 4 x 5 m lebih rendah dibandingkan pada jarak
tanam 4 x 3 m dan 3 x 3 m. Curah hujan sangat mempengaruhi perkembangan serangan hama, serangan
kumbang penggerek lebih tinggi terjadi pada musim hujan, sedangkan serangan kutu kebul sebaliknya
terjadi pada musim kering yang panjang.
Kata kunci: curah hujan, jarak tanam, kayu bawang, Pseudococcus sp., Xystrocera globosa

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) merupakan salah satu jenis andalan lokal
di Provinsi Bengkulu, yang tersebar hampir di seluruh kabupaten di Provinsi Bengkulu. Kayunya
termasuk dalam kelas kuat III dan kelas awet IV dengan berat jenis 0,56 gram/cm 3 dan telah
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kayu pertukangan, terutama sebagai bahan bangunan
dan meubellair (Siahaan dan Saefullah, 2007). Selain dari potensi pemanfaatannya yang cukup
luas, jenis ini memiliki potensi pertumbuhan yang cukup baik. Hasil penelitian Apriyanto (2003)
di Bengkulu Utara menunjukkan bahwa pertumbuhan kayu bawang yang ditanam secara
monokultur dengan jarak tanam 4 x 4 m sampai umur 9 tahun memiliki riap diameter batang
rata-rata per tahun 1,93 cm, riap tinggi rata-rata per tahun 2,14 m.
Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam budidaya jenis kayu bawang yaitu
serangan serangga hama. Dampak yang ditimbulkan akibat serangan hama adalah
terhambatnya pertumbuhan tanaman, penurunan kualitas kayu, penurunan produksi, dan
serangan berat dapat mengakibatkan timbulnya kerugian secara ekonomi. Oleh karena itu
pengetahuan mengenai jenis dan tingkat serangan hama dan penyakit mutlak diperlukan
sebagai bekal dan panduan dalam tindakan pencegahan dan pengendalian yang efektif dan
efisien.
Keberadaan serangga hama sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor biotik
maupun abiotik. Selain pengaruh dua faktor tersebut peran manusia juga memberikan

303
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberadaan dan tingkat
serangan hama. Peran manusia dalam hal ini seperti tindakan dan teknik silvikultur yang
dilakukan di dalam budidaya tanaman. Menurut Tarumingkeng (1991), keadaan lingkungan
hidup mempengaruhi keanekaragaman bentuk-bentuk hayati dan banyaknya jenis makhluk
hidup (biodiversitas) dan sebaliknya lingkungan. Semua jenis flora dan fauna telah berevolusi
untuk menyesuaikan hidup dengan lingkungan. Kehidupan serangga hama pun sangat
bergantung pada habitatnya. Oleh karena itu faktor lingkungan sangat menentukan dan
berpengaruh pada perkembangan serangga hama.
Tarumingkeng (1991) menambahkan bahwa lingkungan biotik merupakan bagian dari
keseluruhan lingkungan yang terbentuk oleh semua fungsi makhluk hidup yang satu dan lainnya
saling berinteraksi. Faktor-faktor abiotik yang penting dalam mempengaruhi kehidupan
serangga adalah temperatur, cahaya, presipitas, kelembaban dan angin, serta faktor-faktor
abiotik lainnya yang kurang penting yang termasuk di dalam faktor-faktor cuaca dan iklim
(Suratmo, 1974).
Menurut Willmer (1982) dalam Kahono et al. (2003) iklim merupakan salah faktor yang
terpenting dalam kehidupan. Iklim berpengaruh langsung kepada kehidupan, pertumbuhan,
reproduksi, dan kelimpahan serangga termasuk serangga hama, fenologi, dan musuh alami.
Pengetahuan mengenai kondisi lingkungan dan teknik silvikultur (yang berpengaruh
terhadap keberadaan serangga hama) mutlak diketahui sebagai bahan pertimbangan
pengambilan kebijakan dalam manajemen hama yaitu teknik pencegahan dan pengendalian
hama.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis serangan hama dan menganalisis
pengaruh tindakan silvikultur (jarak tanam) dan curah hujan terhadap perkembangan beberapa
serangga hama pada tegakan kayu bawang di KHDTK Kemampo Kabupaten Banyuasin.

II. BAHAN DAN METODE


A. Tempat dan Waktu
Kegiatan monitoring perkembangan populasi dan serangan hama dilakukan pada plot uji
silvikultur kayu bawang di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo
Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan yang dilakukan mulai bulan Januari hingga
Desember 2012. KHDTK KEmampo memiliki iklim mikro sebagai berikut: suhu 28-32O C,
kelembaban 70-80% dan intensitas cahaya matahari 57-60%.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan kayu bawang berbagai umur,
kantong plastik 5 kg, dan pylox,. Sedangkan alat yang digunakan antara lain GPS (Global
Positioning System), hand counter, kotak serangga, ice box, kamera, dan alat tulis. Plot-plot
pengamatan terdiri dari pertanaman kayu bawang berumur kurang dari 2 tahun dengan tiga
jarak tanam yaitu 3 x 3 m, 4 x 3 m, serta 4 x 5 m yang berlokasi di KHDTK Kemampo.
C. Prosedur Kerja
1. Monitoring Hama dan Penyakit
Kegiatan ini bertujuan untuk memonitor populasi dan serangan hama potensial pada
tanaman kayu bawang. Kegiatan ini dilakukan dengan cara mengamati jenis hama dan
perkembangan populasi hama (berdasarkan nilai persentase dan intensitas serangan) pada
plot-plot pengamatan.

304
Aspek Perlindungan & Konservasi

Kegiatan yang dilakukan di KHDTK Kemampo juga untuk mengetahui pengaruh


perlakuan silvikultur dan kondisi lingkungan terhadap besarnya serangan hama dan penyakit.
Pada kegiatan ini tidak hanya dilakukan pengamatan pada beberapa hama yang sudah pernah
diidentifikasi dan ditemukan, tetapi juga beberapa hama dan penyakit baru yang dinilai
potensial dalam menimbulkan kerusakan tanaman kayu bawang. Identifikasi hama dilakukan
dengan mengumpulkan, telur, ulat, pupa dan atau imago yang dijumpai di lapangan kemudian
dilakukan identifikasi dengan mengirimkan sampel ke LIPI Bogor.
2. Penghitungan persentase serangan dan tingkat kerusakan tanaman
Persentase serangan hama dan penyakit (P) dihitung dengan cara menghitung jumlah
pohon yang terserang dalam suatu petak ukur, dibagi jumlah pohon yang terdapat dalam suatu
petak ukur di kali 100 %.
Jumlah tan aman yang terserang dalam suatu petak ukur
P  x 100 %
Jumlah seluruh tan aman dalam suatu petak ukur
Penghitungan tingkat kerusakan tanaman (I) dilakukan menurut kriteria Unterstenhofer
(1963) dalam Djunaedah (1994) dengan sedikit modifikasi (Tabel 1 dan Tabel 2). Adapun cara
menghitung tingkat kerusakan tanaman dilakukan dengan menggunakan rumus dibawah ini.

I 
 (ni x v j ) x 100 %
ZxN
Di mana :
I : Tingkat kerusakan tanaman
ni : Jumlah pohon yang terserang dengan klasifikasi tertentu
vj : Nilai untuk klasifikasi tertentu
Z : Nilai tertinggi dalam klasifikasi
N : Jumlah pohon seluruhnya dalam suatu petak contoh
Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh hama dan penyakit
Tingkat Kerusakan Tanda Kerusakan Yang Terlihat pada Daun Nilai
Sehat - Kerusakan daun  5 % 0
Ringan - Kerusakan daun antara 5 %  x  25 % 1
Agak berat - Kerusakan daun antara 25 %  x  50 % 2
Berat - Kerusakan daun antara 50 %  x  75 % 3
- Kerusakan daun antara 75 %  x  100 %
Sangat berat 4
- Pohon gundul/hampir gundul
Sumber: Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994)
Tabel 2. Klasifikasi tingkat kerusakan batang yang disebabkan oleh hama dan penyakit
Tingkat KeruSakan Tanda Kerusakan Yang Terlihat pada Tanaman Nilai
Sehat - Batang rusak 0 % 0
Ringan - Batang rusak antara 1 % - 20 % 1
Agak berat - Batang rusak antara 20,1 % - 40 % 2
Berat - Batang rusak antara 40,1 % - 60 % 3
Sangat berat - Batang rusak antara 60,1 % - 80 % 4
Gagal - Batang rusak di atas 80 % 5
- Pohon tumbang/patah/mati
Sumber: Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994)

305
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Beberapa Jenis Serangga Hama yang Ditemukan
Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan terhadap beberapa serangga hama
yang dijumpai menyerang tegakan kayu bawang yang berumur 1,5 tahun di KHDTK Kemampo,
ditemukan dua jenis hama yang potensial yaitu kumbang penggerek (Xystrocera globosa) dan
kutu kebul (Pseudococcus sp.).
1. Kumbang X. globosa
Kumbang penggerek tidak hanya menyerang tanaman kayu bawang yang berumur lebih
dari 5 tahun tapi juga menyerang tanaman yang berumur 1,5 tahun pola monokultur pada plot
uji silvikultur kayu bawang di KHDTK Kemampo. Gejala serangannya dengan membuat gerekan
pada bagian batang kayu bawang (Gambar 1A). Apabila serangannya berat lubang gerekan
tidak hanya pada batang utama tetapi juga pada ranting-rantingnya (Gambar 1B). Pohon yang
terserang penggerek dekat dengan bekas tebangan A. mangium, karena mangium merupakan
salah satu inang utama X. globosa. Walaupun tanaman mangium sudah banyak yang diteres
dan ditebang akan tetapi diduga telur atau nimfanya mampu bertahan hidup sehingga ketika
ada tanaman lainnya yang hidup, hama tersebut bisa pindah mengingat mobilitas kumbang
tergolong tinggi.

A B

Gambar 1. a) Gejala serangan penggerek pada batang pokok, b) Serangan kumbang penggerek pada
bagian ranting kayu bawang (tanda panah)
2. Kutu kebul (Pseudococcus sp.)
Serangga hama ini biasa juga disebut ‘mealybug’. Nama ‘mealybug’ berasal dari sekresi
seperti makanan atau malam yang menutupi tubuh serangga hama ini (Gambar 2A). Tubuh
serangga betina berbentuk bulat telur memanjang dan beruas serta memiliki tungkai-tungkai
yang berkembang baik (Borror et al., 1996).
Bagian yang diserang hama Pseudococcus sp. yaitu batang kayu bawang. Hama ini
menyerang secara mengelompok dari batang bagian bawah hingga ke apikal tanaman (Gambar
2B). Serangan yang berat dapat mengakibatkan daun tanaman mengering dan kulit batang
mengelupas dan terbentuk lubang-lubang tidak beraturan (Gambar 2C).

306
Aspek Perlindungan & Konservasi

A B C

Gambar 2. A) Kutu Pseudococcus sp., B) Serangan kutu pada batang, C) Gejala lanjut serangan kutu

B. Pengaruh Beberapa Faktor terhadap Tingkat Serangan Hama


Secara umum serangan hama pada plot uji jarak tanam 4 x 5 m lebih sedikit
dibandingkan jarak tanam 4 x 3 m dan 3 x 3 m seperti tersaji pada Tabel 3 dan 4. Pada plot
tersebut hanya dijumpai hama kutu kebul pada saat tanaman berumur 20 bulan. Tingkat
serangan kumbang penggerek lebih tinggi dibandingkan dengan kutu kebul. Salah satu faktor
yang menyebabkan hal ini adalah adanya sisa tanaman A. mangium baik yang sudah diteres
atau tunggul-tunggul yang diduga masih terdapat serangga pradewasa X. globosa. Secara
umum serangan kumbang penggerek ditemukan dekat dengan tanaman mangium yang sudah
mati sebagaimana tersaji pada Gambar 3. Pohon yang terserang penggerek berada di sekeliling
tanaman mangium.
Tabel 3. Rata-rata persentase serangan hama pada tegakan kayu bawang di KHDTK Kemampo
selama tiga kali pengamatan
Plot Jumlah Kumbang penggerek (%) Kutu kebul (%)
tanaman I II III I II III
(umur (umur (umur 22 (umur (umur (umur
16 bln) 20 bln) bln) 16 bln) 20 bln) 22 bln)
1 (4x3 m) 816 11 3,68 0,49 0 0,37 0
2 (4x5 m) 559 0 0,35 0 0 3,01 0
3 (3x3 m) 1112 0,46 0,92 0 0 2,09 0
Rata-rata 3,82 1,65 0,16 0 1,82 0
Tabel 4. Rata-rata intensitas serangan hama pada tegakan kayu bawang di KHDTK Kemampo
selama tiga kali pengamatan
Plot Jumlah tan Kumbang penggerek (%) Kutu kebul (%)
I II III I II III
(umur (umur (umur 22 (umur (umur (umur
16 bln) 20 bln) bln) 16 bln) 20 bln) 22 bln)
1 (4x3 m) 816 21 1,32 0,59 0 7,5 0
2 (4x5 m) 559 0 0,27 0 0 2,25 0
3 (3x3 m) 1112 0,1 0,7 0 0 0,31 0
Rata-rata 7,03 0,76 0,19 0 3,35 0

307
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

x x x X
x x x x
X
x
x
x
x X

x
x

x
x
x

x x x x X
x x x X
x x x X x
Gambar 3. Peta sebaran hama pada plot uji kayu bawang
Keterangan gambar : x : tanaman Acacia mangium
: serangan kutu kebul (Pseudococcus sp.)
: serangan penggerek batang (X. globosa)

Pada tahun 2011 umur tanaman kayu bawang pada saat pengamatan antara 6 hingga 12
bulan sehingga serangan hama yang umum seperti belalang dan ulat kantong berkurang
dengan sendirinya seiring bertambahnya umur tanaman. Sedangkan hama penggerek tetap
dijumpai pada pengamatan tahun 2012, hal ini disebabkan karena keberadaan tanaman
mangium yang terdapat di sekitar pertanaman. Tetapi persentasenya menurun sedangkan rata-
rata intensitasnya justru meningkat. Akan tetapi pada pengamatan ke-3 hama ini tidak dijumpai
lagi karena sudah dilakukan pengendalian. Hal ini akan dibahas tersendiri pada bahasan
mengenai pengendalian. Hama kutu kebul merupakan hama baru, yang muncul karena
dipengaruhi faktor kelembaban dimana hama ini munculnya menjelang musim hujan. Oleh
karena itu keberadaannya perlu untuk diwaspadai.
Pada Gambar 4 dan Gambar 5 menyajikan data curah hujan dan hari hujan selama tahun
2012 di KHDTK Kemampo Kabupaten Banyuasin. Pada bulan Februari terjadi peningkatan curah
hujan dibandingkan bulan Januari dan Maret. Kemudian pada bulan April terjadi peningkatan
curah hujan juga. Selanjutnya bulan Mei hingga September terjadi musim kemarau/bulan

308
Aspek Perlindungan & Konservasi

kering dimana curah hujan dan hari hujan lebih sedikit dibandingkan bulan lainnya. Pada bulan
Oktober hingga Desember curah hujan cenderung lebih banyak sebagaimana tersaji pada
Gambar 18.

500
Besarnya curah hujan bulanan 450
400
350
300
250
200
(mm)

150
100
50
0

Waktu pengamatan

Gambar 4. Rata-rata curah hujan bulanan selama tahun 2012 di KHDTK Kemampo
Pada bulan Februari dan April curah hujan lebih banyak dibandingkan dengan bulan
Januari dan Maret. Hal ini memicu serangan kumbang penggerek pada bulan-bulan tersebut.
Kemudian langsung dilakukan tindakan pengendalian yang mengakibatkan serangan kumbang
menurun, hal ini juga seiring adanya bulan-bulan kering sekitar bulan Mei hingga September
sehingga secara tidak langsung menghambat perkembangan kumbang penggerek. Sedangkan
serangan kutu kebul cenderung terjadi pada musim kering yang panjang yaitu pada bulan Juni
hingga September. Setelah dilakukan pengendalian serangan kutu kebul tersebut menurun
bahkan pada bulan Oktober sudah tidak didapatkan lagi serangan hama tersebut pada batang
kayu bawang karena hama tersebut cenderung terhambat perkembangannya pada bulan
basah.

20
18
16
Banyaknya hari hujan (hari)

14
12
10
8
6
4
2
0

Waktu pengamatan
Gambar 5. Rata-rata hari hujan bulanan selama tahun 2012 di KHDTK Kemampo

309
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

IV. KESIMPULAN
1. Ditemukan dua jenis hama potensial yaitu kumbang penggerek Xystrocera globosa dan kutu
kebul (Pseudococcus sp.).
2. Secara umum serangan hama pada jarak tanam 4 x 5 m lebih rendah dibandingkan pada
jarak tanam 4 x 3 m dan 3 x 3 m.
3. Curah hujan sangat mempengaruhi perkembangan serangan hama, serangan kumbang
penggerek lebih tinggi terjadi pada musim hujan, sedangkan serangan kutu kebul sebaliknya
terjadi pada musim kering yang panjang.

DAFTAR PUSTAKA
Apriyanto E. 2003. Pertumbuhan Kayu Bawang (Protium javanicum Burm.f) pada Tegakan
Monokultur Kayu Bawang di Bengkulu Utara. Jurnal Ilmu Ilmu Pertanian Indonesia Vol.
5, No.2 tahun 2003. Diakses di http://www. Bdpunib.org/jipi/artikeljipi /2003/64. PDF
pada tanggal 13 Agustus 2007.
Borror DJ, Charles AT, Norman FJ. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Partosoedjono S,
penerjemah. Yogyakarta: Gajah mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction
to the Study of Insect.
Djunaedah S. 1994. Pengaruh perubahan lingkungan biofisik dari hutan alam ke hutan tanaman
terhadap kelimpahan keragaman famili serangga dan derajat keruskaan hama pada
tegakan jenis Eucalyptus uerophylla, E. deglupta dan E. pellita [Tesis]. Bogor : Institut
Pertanian Bogor.
Kahono S, Amir M, Aswari P, Ernawati, Lilik RU, Pujiastuti E, Noerdjito WA, Suwito A. 2003.
Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat. Bogor: JICA, Biodiversity
Conservation Project.
Siahaan H. dan Saefullah TR. 2007. Teknik Silvikultur Kayu Bawang. Prosiding Seminar Hasil-
Hasil Penelitian Hutan Tanaman, 21 Agustus 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.
Suratmo G. 1974. Hama Hutan di Indonesia (Forest Entomology). Bogor: IPB.
Tarumingkeng RC. 1991. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.

310
Aspek Perlindungan & Konservasi

ALIRAN DAN EROSI PERMUKAN PADA HUTAN RAKYAT KAYU BAWANG


DI KABUPATEN BENGKULU SELATAN

Adi Kunarso dan Tubagus Angga Anugrah Syabana


Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang

ABSTRAK

Tanaman kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs) sudah dikenal dan dikembangkan oleh
masyarakat di hampir semua wilayah di Provinsi Bengkulu. Belakangan ini penanaman kayu bawang
berkembang mulai dari wilayah hilir hingga ke hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) pada kelerengan datar
hingga curam. Pengembangan kayu bawang terutama di daerah hulu DAS perlu mendapat perhatian
dalam upaya pelestarian fungsi DAS, karena penggunaan lahan yang tidak memperhatikan konservasi
tanah dan air akan berdampak negatif, antara lain seperti peningkatan aliran permukaan dan erosi.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui besarnya laju aliran dan erosi permukaan tanah pada tanaman
kayu bawang di Kabupaten Bengkulu Selatan. Pengukuran aliran dan erosi permukaan dilakukan dengan
membuat plot ukur erosi seluas 22 m x 11 m pada tegakan kayu bawang dengan kelas kerengan yang
berbeda (26% dan 14%). Pengamatan dan pengambilan data meliputi data curah hujan, aliran
permukaan dan erosi. Hasil penelitian menunjukkan rerata curah hujan dilokasi penelitian sebesar 298,2
mm/bulan. Aliran permukaan yang terjadi sebesar 1.019,31 m3/ha pada kelerengan 26% atau setara
dengan 13.603,68 m3/ha/tahun dan 516,64 m3/ha atau setara dengan 7.616,70 m3/ha/tahun pada
kelerengan 14%. Erosi permukaan yang terjadi sebesar 24,05 ton/ha/tahun pada kelerengan 26% dan
14,92 ton/ha/tahun pada kelerengan 14%.
Kata kunci: kayu bawang, aliran permukaan, erosi permukaan

I. PENDAHULUAN
Tanaman kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs) sudah dikenal dan
dikembangkan oleh masyarakat di hampir semua wilayah di Provinsi Bengkulu. Jenis ini ditanam
di lahan-lahan milik masyarakat baik secara monokultur maupun dengan pola agroforestri.
Disukai masyarakat karena sifatnya yang mempunyai bebas cabang yang tinggi dan self
prunning. Tanaman ini termasuk jenis cepat tumbuh, tidak memerlukan persyaratan tumbuh
khusus, memiliki serat yang halus sehingga mudah diolah, serta mempunyai kualitas kayu yang
baik. Nuriyatin et. al. (2003) melaporkan bahwa kayu bawang memiliki kualitas kayu yang baik
dengan tingkat ketahanan cukup tahan sampai tahan. Sementara Herdiana (2009) menyatakan
bahwa kayu bawang dapat dipanen setelah umur 10 tahun dengan kualitas kayu yang cukup
baik. Hingga saat ini hutan rakyat kayu bawang menjadi komuditas yang memiliki nilai ekonomi
tinggi dan berkontribusi terhadap pendapatan rumah tangga petani (Nurlia dan Waluyo, 2013).
Penanaman tanaman kayu bawang di Provinsi Bengkulu pada awalnya terpusat di
Kabupaten Bengkulu Tengah dan Utara. Seiring dengan keberhasilan penanaman di kedua
daerah tersebut, maka sejak tahun 2003 kayu bawang mulai menyebar ke daerah-daerah lain
seperti kabupaten Mukomuko, Seluma, Rejang Lebong, Kepahyang hingga Kabupten Bengkulu
Selatan (Nurlia dan Waluyo, 2013). Artinya, kayu bawang telah berkembang mulai dari wilayah
hilir hingga ke hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan kelerengan datar hingga curam.
Pengembangan kayu bawang terutama di daerah hulu DAS perlu mendapat perhatian dalam
upaya pelestarian fungsi DAS mengingat pengelolaan sumberdaya alam di daerah hulu akan
berdampak terhadap daerah hilirnya. Usaha-usaha penggunaan lahan di bagian hulu DAS

311
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

haruslah diupayakan mengadopsi teknologi-teknologi yang mangacu pada prinsip-prinsip


konservasi tanah dan air, karena penggunaan lahan yang tidak memperhatikan konservasi
tanah dan air akan berdampak negatif, seperti peningkatan aliran permukaan dan erosi.
Laju aliran permukaan dan erosi dipengaruhi oleh derajat keterbukaan dan cara-cara
pengolahan tanahnya (Ispriyanto et al., 2001). Peningkatan laju aliran permukaan dan erosi
dalam jangka panjang akan menyebabkan menurunnya kesuburan tanah dan penurunan
produktifitas sumberdaya lahan. Peningkatan laju aliran permukaan dan erosi juga dapat
menyebabkan peningkatan laju sedimentasi di bagian hilir yang dapat menyebabkan terjadinya
pendangkalan sungai dan meningkatkan peluang terjadinya banjir di musim penghujan.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui besarnya laju aliran dan erosi permukaan tanah
pada tanaman kayu bawang yang dikembangkan di luar wilayah aslinya yaitu di Kabupaten
Bengkulu selatan. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam upaya
pengembangan hutan rakyat kayu bawang di Provinsi Bengkulu.

II. METODE PENELITIAN


A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga Agustus 2014 di areal hutan rakyat
jenis kayu bawang di Kecamatan Kedurang Ilir, Kabupaten Bengkulu Selatan. Plot penelitian
merupakan tegakan kayu bawang monokultur berumur 12 tahun dengan jarak tanam 3 m x 5
m. Pemeliharan yang dilakukan adalah pemeliharaan semi intensif sehingga lantai hutan
tertutup oleh tumbuhan bawah dan seresah dengan penutupan sekitar 80%. Curah hujan di
lokasi penelitian tergolong tinggi dengan variasi curah hujan yang cukup besa. Rata-rata curah
hujan dalam 15 tahun terakhir (2000-2015) mencapai 3.108,57 mm/tahun dengan rata-rata hari
hujan sebanyak 166,21 hari hujan/tahun.
B. Alat dan Bahan Penelitian
Peralatan yang diperlukan pada pelaksanaan penelitian ini adalah plot erosi, penakar
curah hujan, kertas saring dan botol sampel air, dan timbangan analitik. Sedangkan bahan yang
digunakan antara lain adalah hutan tanaman jenis kayu bawang, sampel air yang mengandung
suspensi tanah tererosi, karet talang, jerigen/wadah penampung air, selang, kamera dan alat
tulis.
C. Metode Pengumpulan Data
Pengukuran aliran dan erosi permukaan menggunakan plot ukur erosi sebanyak 2 buah
pada kelas kelerengan yang berbeda (26% pada plot 1 dan 14% pada plot 2). Ukuran plot erosi
yang dibangun yaitu mempunyai ukuran panjang 22 m, tinggi 20 cm dan lebar 11 meter dan
dihubungkan dengan drum penampung. Plot erosi terbuat dari bahan karpet talang yang
dibenamkan ke dalam tanah sedalam 20 cm. Aliran permukaan dan erosi permukaan dari plot
erosi ditampung pada drum penampung melalui bak pembagi yang memiliki 6 lubang
pembuangan. Fungsi dari drum penampung adalah untuk mengukur jumlah aliran permukaan
dan muatan sedimen. Proses pengumpulan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Mengukur tinggi muka air di dalam drum disetiap plot
b. Mengaduk air dan tanah yang berada dalam drum penampung secara merata
c. Mengambil contoh air dari drum masing-masing sebanyak 500-600 ml
d. Mempersiapkan kertas saring dengan mengovennya terlebih dahulu pada suhu 105 0C
selama 1 jam, kemudian setelah dikeluarkan dari oven ditimbang beratnya (berat awal).

312
Aspek Perlindungan & Konservasi

e. Menyaring contoh air tersebut dengan menggunakan kertas saring yang telah dipersiapkan
sebelumnya.
f. Memasukkan contoh tanah yang disaring tersebut kedalam oven bersuhu 105 0C selama 24
jam atau sampai memiliki berat yang konstan.
g. Setelah dikeluarkan dari oven didiamkan sesaat kemudian ditimbang dan dicatat berat
(berat akhirnya).
Pengamatan curah hujan dilakukan setiap hari hujan pada pukul 07.30 dengan alat
penakar manual (ombrometer). Curah hujan harian selama satu tahun pada plot penelitian
diperoleh dari Badan Penyuluh Pertanian dan Perkebunan dan Kehutanan (BP3K) Sulau,
Kecamatan Kedurang Ilir, Kabupaten Bengkulu Selatan.
D. Analisis Data
1. Aliran dan erosi permukaan selama pengamatan
Volume aliran permukaan diketahui dengan menghitung volume air yang tertampung di
dalam drum penampungan. Sehingga aliran permukaan yang melalui plot ukur erosi merupakan
penjumlahan dari volume air yang tertampung di dalam drum penampungan dengan perkiraan
volume air yang terbuang melalui bak pembuangan.
Besarnya erosi diketahui dengan menghitung konsentrasi erosi tanah yang larut dalam
sampel air (suspensi tanah), yang dilakukan melalui analisis laboratorium menggunakan metode
filtrasi (filtration method). Konsentrasi suspensi tanah diketahui dengan rumus:
C = (b - a) V
Keterangan:
C = Konsentrasi suspensi tanah/ erosi tanah (g/ml)
V = Volume sampel suspensi tanah (ml)
A = berat suspensi tanah kering + kertas saring (gr)
b = berat kertas saring (gr)
Setelah mendapatkan nilai suspensi tanah, erosi dihitung menggunakan rumus:
E = (Vi.Ci) + aj (Vj.Cj) + … + al (Vl.Cl)
Keterangan:
E = Erosi (ton)
Vi, j,…, l = Volume pada kolektor erosi ke i,j, ...,l (m3)
Ci, j,...., l = Konsentrasi suspensi tanah pd kolektor erosi ke i,j,...,l (g/ml)
a j,...,l = Banyaknya lubang pada bak erosi ke j,...,l dst.
2. Pendugaan aliran dan erosi tahunan
Pendugaan aliran dan erosi permukaan selama setahun dilakukan dengan pendekatan
rasio jumlah hari hujan selama penelitian dengan jumlah hari hujan setahun. Pendugaan
menggunakan rasio jumlah hari hujan dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut:
𝑛

Vtpi = (Vpij)
𝑗 =1
𝑛

Etpi = (Epij)
𝑗 =1
𝐻𝐻𝑡
Vi = 𝑥 𝑉𝑡𝑝𝑖
𝐻𝐻𝑝
𝐻𝐻𝑡
Vi = 𝑥 𝐸𝑡𝑝𝑖
𝐻𝐻𝑝

313
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Keterangan:
Vi = Volume aliran permukaan (m3/ha/tahun) dari plot ke-i
Ei = Erosi tahunan (ton/ha/tahun) dari plot ke-i
Vtpi = Total volume aliran permukaan selama pengamatan (m3/ha)
Etpi = Total erosi permukaan selama pengamatan (ton/ha)
HHt = Jumlah hari hujan selama satu tahun (hari/tahun)
HHp = Jumlah hari hujan selama pengamatan (hari)
Vpij = Volume aliran permukaan (m3/ha) pada plot ke-I hari hujan ke-j
Epij = Volume erosi permukaan (ton/ha) pada plot ke-I hari hujan ke-j
Klasifikasi tingkat erosi permukaan berdasarkan besarnya kehilangan tanah disajikan
pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Klasifikasi tingkat erosi permukaan berdasarkan besarnya kehilangan tanah
Kelas Besarnya kehilangan tanah Kriteria
(ton/ha/tahun)
1 < 15 Sangat rendah
2 15 – 60 Rendah
3 60 – 180 Sedang
4 180 – 480 Tinggi
5 > 480 Sangat tinggi
Sumber: Kementerian kehutanan (2013)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Lokasi penelitian merupakan lahan yang ditanami kayu bawang berumur 12 tahun
dengan jarak tanam 3 m x 5 m, diameter batang rata-rata 25,5 cm dengan lebar tajuk 5,05 m
dan memiliki vegetasi penutup tanah berupa rumput dengan tutupan sekitar 80% dari luas plot.
Kondisi tajuk tanaman kayu bawang dan vegetasi penutup lahannya tidak terlalu mengalami
perubahan sepanjang tahun. Tanah dilokasi penelitian termasuk dalam ordo ultisol dengan
tekstur lempung berpasir dan memiliki kemiringan lereng 26% pada plot 1 yang termasuk
dalam kategori curam dan 14% pada plot 2 yang termasuk dalam kategori landai. Pada plot 1
nilai permeabilitas tergolong sangat lambat yakni 0,45 cm/jam sedangkan pada plot 2 nilai
permeabilitas 0,84 cm/jam termasuk dalam kategori lambat (Kunarso et al., 2013).
Rerata curah hujan selama satu tahun sebesar 298,2 mm/bulan. Selama pengamatan
berlangsung tercatat 95 hari hujan, namun hanya 21 kejadian hujan yang menyebabkan erosi
permukaan. Berdasarkan hasil analisis aliran permukaan dan erosi permukaan mulai terjadi
pada tebal curah hujan 14 mm. Sedangkan laju aliran dan erosi permukaan paling besar terjadi
pada saat curah hujan sebesar 216 mm. Pada kondisi ini terjadi aliran permukaan sebesar
1.019,31 m3/ha pada plot 1 dan 516,64 m3/ha pada plot 2 (Gambar 1), serta erosi permukaan
sebesar 3,32 ton/ha pada plot 1 dan 1,35 ton/ha pada plot 2 (Gambar 2).

314
Aspek Perlindungan & Konservasi

1200,00 250

1000,00 200
800,00
150
600,00
100
400,00

200,00 50

0,00 0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718192021
Pengamatan ke-
Plot 1 Plot 2 Curah Hujan

Gambar 1. Kejadian hujan dan aliran permukaan selama pengamatan

3,50 250
3,00
200
2,50
2,00 150

1,50 100
1,00
50
0,50
0,00 0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Pengamatan ke-
Plot 1 Plot 2 Curah Hujan

Gambar 2. Kejadian hujan dan erosi permukaan selama pengamatan

Pendugaan laju aliran dan erosi permukaan selama setahun menggunakan ratio jumlah
hari hujan disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan besarnya kehilangan tanah, erosi permukaan di
lokasi penelitian termasuk dalam kriteria rendah (15 - 60 ton/ha/tahun).
Tabel 2. Pendugaan aliran dan erosi permukaan selama setahun
Aliran permukaan Erosi permukaan Kriteria
Plot
(m3/ha/tahun) (ton/ha/tahun)
Plot 1 (kelerengan 26%) 13.603,68 24,05 Rendah
Plot 2 (kelerengan 14%) 7.616,70 14,92 Sangat rendah

Besarnya laju aliran dan erosi permukaan dipengaruhi antara lain oleh curah hujan,
kelerengan, penutupan tumbuhan bawah, intersepsi tajuk dan sifat fisik tanah. Curah hujan
merupakan faktor utama yang mengendalikan proses daur hidrologi di suatu DAS (Asdak,
1995). Kemampuan air hujan sebagai penyebab terjadinya erosi adalah bersumber dari laju dan
distribusi tetesan air hujan, dimana kedua indikator tersebut mempengaruhi besarnya energi
kinetik air hujan. Energi kinetik air hujan yang menyebabkan terkelupasnya partikel-partikel

315
Prosiding Seminar Hasil Penelitian

tanah. Pada lahan dengan vegetasi penutupnya rapat dan disertai oleh tanaman bawah, maka
air hujan yang jatuh akan tertahan oleh tajuk tanaman, sehingga kecepatan jatuhnya tetesan air
hujan akan berkurang. Penurunan laju tetesan air hujan mengakibatkan energi kinetik hujan
dalam mengerosi tanah menjadi berkurang. Namun demikian, seiring dengan meningkatnya
intensitas dan penyebaran curah hujan, yang disertai dengan keterbatasan daya infiltrasi tanah
mengakibatkan terjadinya aliran permukaan. Aliran permukaan ini dapat mengikis permukaan
tanah menyebabkan terjadinya erosi tanah.
Semakin tinggi kelerengan semakin besar aliran dan erosi permukaan yang terjadi.
Rendahnya kelerengan lahan pada plot 2 menyebabkan berkurangnya laju aliran permukaan,
sehingga memberikan kesempatan air untuk meresap kedalam tanah melalui proses ilfiltrasi.
Disamping faktor lereng, keberadaan tumbuhan bawah yang cukup rapat mampu menahan laju
aliran permukaan sehingga air tidak langsung terbuang. Jenis tanaman bertajuk lebar dan lebat
akan mengurangi aliran permukaan dan erosi dengan adanya proses intersepsi (Pratiwi, 2007).
Hasil perhitungan intersepsi juga menunjukkan bahwa nilai intersepsi di plot 2 lebih besar
dibanding plot 1 (27,27% dibanding 26,38%) (Kunarso et al., 2013). Kondisi ini menyebabkan
jumlah air hujan yang menjadi aliran permukaan pada plot 2 lebih kecil dibanding pada plot 1.
Sifat fisik tanah mendukung proses peresapan air ke dalam tanah. Permeabilitas tanah pada
plot 1 lebih rendah dibanding permeabilitas pada plot 2 sehingga jumlah air yang meresap ke
dalam tanah melalui proses infiltrasi juga lebih kecil dibandingkan pada plot 2.
Meskipun besarnya kehilangan tanah akibat aliran dan erosi permukaan termasuk
kategori rendah, namun upaya konservasi tanah harus tetap dilakukan. Mengelola sumberdaya
alam tanpa memperhatikan kaidah konservasi, secara langsung maupun tidak langsung akan
berpengaruh terhadap kelestarian kemampuan fungsi lingkungan (Nursa’ban, 2006). Salah satu
cara sederhana yang dapat dilakukan yaitu dengan menjaga penutupan tumbuhan bawah
sekitar 80%, dan tidak dibersihkan total ketika pemeliharaan tanaman.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan perhitungan perkiraan besarnya erosi, laju erosi permukaan pada areal di
bawah tegakan kayu bawang umur 12 tahun termasuk dalam kriteria rendah dan sangat
rendah. Tanaman kayu bawang masih memungkinkan untuk ditanam pada lahan dengan
kelerengan hingga 26%, tekstur tanah lempung berpasir dan dengan tutupan tumbuhan bawah.
Namun demikian perlu dilakukan upaya konservasi tanah yang baik agar laju erosi dapat
diminimalkan.

DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Herdiana, N. 2009. Pertumbuhan Awal Tanaman Kayu Bawang dan Bambang Lanang di KHDTK
Benakat, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Peneltian. Balai Penelitian
Kehutanan Palembang.
Ispriyanto, R., Nana M.A., Hendrayanto. 2011. Aliran Permukaan dan Erosi di areal Tumpangsari
Tanaman Pinus merkusii Jungh. Et de Vriese. Jurnal Managemen Hutan tropika Vol. VII
No. 1 Hal. 37-47.
Kementerian Kehutanan. 2013. Peraturan Direktur Jendral Bina Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor: P. 4/V-Set/2013 tentang Petunjuk Teknis
316
Aspek Perlindungan & Konservasi

Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Direktorat Jendral Bina Pengelolaan daerah Aliran
Sungai dan Perhutanan Sosial. Jakarta.
Kunarso, A., Tubagus A.A.S., Joni M. 2013. Kajian Tata Air Pada Hutan tanaman Jenis Kayu
Bawang. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang.
Tidak dipublikasikan.
Nuriyatin, N., E. Apriyanto, N. Satriya, Saprinurdin. 2003. Ketahanan Lima Jenis Kayu
Berdasarkan Posisi Kayu di Pohon terhadap Serangan Rayap. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian
Indonesia 5 (2): 77-82.
Nurlia, A dan Efendi A.W. 2013. Faktor-Faktor Pembatas Yang Mempengaruhi Pengembangan
Hutan Rakyat Kayu Bawang (Dysoxylum molissimum BL) di Provinsi Bengkulu. Prosiding
Seminar Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang.
Nursa’ban, M. 2006. Pengendalian Erosi Tanah Sebagai Upaya Melestarikan Kemampuan Fungsi
Lingkungan. Jurnal Geomedia Vol. 4 No. 2.
Pratiwi. 2007. Laju Aliran Permukaan dan Erosi di Berbagai Hutan tanaman dan Beberapa
alternatif Upaya Perbaikannya. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. IV No.
3 Hal. 267-276. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

317
LAMPIRAN
Lampiran

Lampiran 1. Susunan Acara Seminar

Pembicara/ Moderator/
Tgl / Jam Agenda
Fasilitator Notulis
Selasa, 11 Agustus 2015
08.00 – 08.30 Registrasi peserta seminar Panitia
08.30 - 09.30 Pembukaan
Laporan Ketua Panitia Ketua Panitia
Sambutan Kepala Badan Dr. Henry
Litbang dan Inovasi Bastaman, MES
Sambutan Gubernur Lampung PM
09.30-09.45 Rehat Panitia
09.45–12.00 SESI I
09.45-10.00 Efektivitas Kelembagaan dalam Akademisi IPB Kadishut Prov.
Peningkatan Produktivitas Hutan Lampung
Produksi dan Hutan Lindung
10.00-10.15 Peran BLU dalam peningkatan BLU
produktivitas Hutan
10.15–10.30 Peran BPDAS dalam BPDAS Way Seputih
peningkatan Produktivitas Way Sekampung
Hutan Rakyat Lampung
10.30-11.00 Diskusi
11.00-12.30 Sesi II
11.00-11.15 Teknologi Perbenihan dan Peneliti BPTPTH Dr. Chrstine
Pembibitan HHBK Bogor Wulandari
11.15-11.30 Penerapan Teknik Silvikultur Peneliti BPK (Dosen Kehutanan
untuk meningkatkan Palembang Universitas
Produktivitas Hutan rakyat Lampung)
11.30-11.45 Peningkatan produktivitas Peneliti BPTPTH
hutan dengan iradiasi Bogor
11.45-12.30 Diskusi
12.30-14.00 ISHOMA
14.00-16-00 Sesi III
14.00-14.15 Aplikasi Model Sistem dalam Peneliti BPK Ir. Johan Utama
Penyusunan Rencana Palembang Perbatasari, MM
Pengelolaan KPH (Kepala Pusat
14.15-14.30 Teknik peningkatan kualitas Peneliti BPTPTH Penelitian dan
benih dan bibit untuk memenuhi Bogor Pengembangan
standar bibit bersertifikat Hutan)
14.30-14.45 Aspek Sosial Ekonomi dan Peneliti BPK
Kebijakan dalam Pengembangan Palembang
Hutan Rakyat
15.00-15.45 Diskusi
15.45-16.00 Pembacaan Rumusan Tim Perumus
16.00-16.15 Penutupan Sekbadan Litbang

321
Lampiran

Lampiran 2. Susunan Panitia Seminar

1. Pembina : Kepala Badan Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan


2. PenanggungJawab : 1. Ir. Suhariyanto, M.M (Ka. BPTPTH)
2. Ir. Choirul Akhmad, M.E (Ka. BPK Palembang)
3. Ketua : 1. Dr. Agus Astho P, M.Si (BPTPTH)
2. Dr. Mamat Rahmat, M.Si (BPK Palembang)
4. Sekretaris : 1. Iwan Setiawan, SE (BPTPTH)
2. Anita Silalahi, SP., M.Si (BPK Palembang)
5. Seksi Acara dan : 1. Ida Saidah, S.Kom (BPTPTH)
Persidangan 2. Suningsih, S.Hut (BPK Palembang)
6. Seksi Konsumsi : 1. Yulia Pranawati, A.Md (BPTPTH)
2. Lely Heryani (BPK Palembang)
7. Seksi Transportasi dan : 1. Adi Sugiharjo, SP (BPTPTH)
Umum 2. Agus Yanto, SH (BPK Palembang)
8. Seksi Dokumentasi : 1. Evayusvita Rustam, S.Si (BPTPTH)
2. Andi Nopriansyah (BPK Palembang)
9. Seksi Pameran : 1. Eneng Baeni S, A.Md (BPTPTH)
2. Hendra Priatna, ST (BPK Palembang)
10. Seksi Fieldtrip : 1. Andreas Terapi, S.Hut (BPTPTH)
2. Sufyan Suri, SP (BPK Palembang)
11. Pembawa Acara : 1. Dian Hayati (BPK Palembang)
2. Endang Pujiastuti (BPTPTH)
12. Pembaca Doa : 1. Syaiful Islam (BPK Palembang)
13. Notulen : 1. Anggun Musyarofah (BPTPTH)
2. Kania Agustini, S.Hut., ME (BPK Palembang)

323
Lampiran

Lampiran 3. Daftar Peserta Seminar

No Nama Lengkap Instansi


1 Mohamad Yuriza Dishut Lampung Selatan
2 Ibnu SM P3H
3 Josri T KLH Kab. Way kanan
4 Audi Zulifikar Dishut Prov. Lampung
5 Novi Sri Wahyuni, S.Hut Dishut Prov. Lampung
6 Lasminin KTH Lampung Barat
7 Yayah Suryana KWI
8 Bagus Novianto BPK Manokwari
9 Kurniawati PP BPTPTH
10 E.Kosasih KTH Lampung Barat
11 Pairin PKS
12 Cucu Suryadi PKL
13 Joko Wiyono BLHD IS
14 Ponijan Dishut Lampung Barat
15 Dudi Syamsudin BPDAS WSS
16 Sapto Hutomo SET Bakorluh Prop. Lampung
17 Sutopo BP2K Lampung Barat
18 Duwi Jalestari BPDAS WSS
19 Nuruh Hasanah BPDAS WSS
20 Retno Arum BPDAS WSS
21 Andi Kristanto BLH Lampung Tengah
22 Rahadian BLH Lampung Tengah
23 Oki Suryanto LH Metro
24 Misto BPK Makassar
25 Untung G LH Metro
26 Untung W BPLHD
27 Drinus Arruan BALTOK KSDA
28 M. Nurdin A BBPBTH Yogyakarta
29 Sri Wahyuni BBPBTH Yogyakarta
30 Rustam Efendi PKSM Lampung Utara
31 Buraidi PKSM Pringsewu
32 Jacky Pah Penyuluh Kehutaan, Pringsewu
33 Fatimah BPPLH, Bandar Lampung
34 Isyanto YKWS
35 Rama Zakaria PT-TN
36 Nopi Yuansyah Kawan Tani
37 Kaslan TP4K
38 Mulyadi BPDAS WSS
39 Hermansyah Wanacala

325
Lampiran

No Nama Lengkap Instansi


40 Apriadi BPDAS WSS
41 Sri Supriatin BPLH Pringsewu
42 S. Febri Fitri PT. Silvia Inhutani
43 Surya Gafar Humas Protokol
44 M. Aldu Humas Protokol
45 Gatot Azhari BKP3 Bandar Lampung
46 Sartono PT. Silvia Inhutani
47 Farida K Dishut Prov. Lampung
48 Asri P Dishut Prov. Lampung
49 Muamar Z BPKH Wil XX
50 Bayu Oktanardi BPKH Wil XX
51 Nano Rohadi Humas Pemda
52 Fior Humas Pemda
53 Mega Liberty M BPKH Wil XX
54 Agus Salim IAIN
55 Budi Satria KPHP Muara Dua
56 Indra D BKSDA
57 Tatan Rustandi BKSDA
58 Nico Y BPKH Wil XX
59 Okdonanto KPHP Bukit Punggur
60 Jauhari KPHP Bukit Punggur
61 Khairul A BP2HP Lampung Barat
62 Sudarmono BP4K TBB
63 Tasisno PK3M
64 BungS PK3M
65 Hedro HUTAN
66 Drs. Sutikno, MM KA BP4 K
67 Dwi Maylinds KPH Muara Dua
68 Eko Sutrisno, SST PK BPUK Lampung Utara
69 Adhie M BBTNBBS
70 Joko Wahyo BP4K
71 Siswadi, SP BP4K
72 Gustami P2H
73 Sulastri,SP BP4K
74 Ekadiatun, SP., MH BP4K
75 Musdir Ayub BPDAS WSS
76 Hidarsan BP4K
77 Elvira Aziza Dishut Prov. Lampung
78 Dedi Idwin KPHL Kota Agung
79 Iwansyah N TBB

326
Lampiran

No Nama Lengkap Instansi


80 Siti Munawaroh KPH Kota Agung
81 Mardhotila KPHL Batutegi
82 Sikraid BPDAS WSS
83 Aris Supriyadi PKSM Pringsewu
84 Kijon RILOU
85 Heri Nurcahyo, SP RJF BPYR
86 Warsito TP4K
87 Zulhasry DP BPLHD
88 Asnuri HB BPLHD
89 Christine W UNILA
90 Ardhi Mihada Dishut Prov. Lampung
91 Bambang Utomo POLINELA
92 Made Same POLINELA
93 Iton BP BPK Aek Nauli
94 Kasmuri Humas CH3
95 Purbowisti BP4K Pesawaran
96 Umar Mansyur BP4K Pesawaran
97 Budiono BP4K Pesawaran
98 Kusnadi Petani Binaan
99 Suhiryanto BP4K Pringsewu
100 Syamsul Hudha Petani Binaan
101 Rikha Anyanie Surya BKSDA Lampung
102 Aswindi Kelompok HKM
103 Muhajir Kelompok HKM
104 Jonfu Alhudri BBTNBBS
105 Aditya VH BP2HP VI
106 Agus Wibowo BP2HP VI
107 Astika W BPPHP WIL VI Bandar Lampung
108 Ria Melini BPPHP WIL VI Bandar Lampung
109 Rustianingsih BPPHP WIL VI Bandar Lampung
110 Eko Yustanto BP2HP WIL VI
111 Popi Tri Astuti BP2HP WIL VI
112 Suwanto BP4K Lampung Tengah
113 Derson Elphiwika Aqua Danone Forkapel
114 Sulaiman KTH Lampung
115 Israd KTH Lampung
116 Jamino PKSMLT
117 Sunarmi W Forum HKM Prov. Lampung
118 Andestina Distana Kebun Teh Bandar Lampung
119 Fajar Partnership Jakarta

327
Lampiran

No Nama Lengkap Instansi


120 Amalia Prameswari Kemitraan Jakarta
121 Fajar Sumantri PKSM Tanggamus
122 Ahmad S PKSM Tanggamus
123 Sujarwo Kelompok HKM
124 Subando KTH Bagi Makmur
125 Agung M KTH HKM
126 M. Zaini PKSM Tanggamus
127 Adam Sari GMWT
128 Sumijar GMWT
129 Abdul Rahman GMWT
130 Munaldi GIAP OKTAN
131 Nurmawati S BPTPTH
132 Eliya S BPTPTH
133 Rina K BPTPTH
134 Naning Y BPTPTH
135 A Chairun A Balitbang
136 Dr. Sukismanto Aji Balitbang
137 Arinal Djunaidi Balitbang
138 Frans O Protokol
139 Mashami Protokol
140 M. Zanzibar BPTPTH
141 Dwi Haryadi BPTPTH
142 Dewi Mayasari BLH Kab. Pesawaran
143 Sylviani Puspijak Bogor
144 Sri sulawati Puspijak Bogor
145 Imam Muslimin BPK Palembang
146 Dodi UPTD KDHL
147 Mustari KPHL Pesawaran
149 Erdi Suroso Litbang LH Unila
150 Jajang Suparman BP4K Tulang Bawang
151 Armen Qodar BP2KP PS5 BARAI
152 Ahmad BP2KP PS5 BARAI
153 Mashabi Mitra Bentola
154 Doni S BP4K-TUBA
155 Gusman Hatta BP4K-TUBA
156 Poni Budiano BPLHD Kab. TBB
157 Subakir BKSDA
158 Edison NATALA
159 Mas Agus Foresli Distanbunhut TUBA
160 Agung Subekti PTPN VIII

328
Lampiran

No Nama Lengkap Instansi


161 Asmaliyah BPK Palembang
162 Renaldi P KPHP
163 Khairul Anwar KPHK Rajabasa
164 Sri Masruroh KPHK Rajabasa
165 Sapuan Dishutbun PSS Barat
166 Puskan Efendi Kadishutbun PSS
167 Danu BPTPTH
168 Bastoni BPK Palembang
169 Hatta S Penangkaran
170 Hamdani KABID BLH WASDAL
171 Laili Wati KABID HWT BUN
172 Sugoto BPLK Lampung Timur
173 Heri Maryanto BPLK Lampung Timur
174 Tri Yuli Amimtoro PKSM
175 Kasmuri GAPORTAN
176 Sutrisno Penangkar
177 Buchsin Penangkar
178 E. Sugiri Penangkar
179 Fari Purwanto Penangkar
180 Iwan K Penangkar
181 Wiji BP2K
182 Luluh S Dishut LU
183 Wagino HKM
184 Edi HKM
185 Komar PMK S
186 Suharnoto HKM-Bukit Kota-Lampung Utara
187 Zulhaidin HKM
188 Khairul Amri BP4K Lampung
189 Wsuin BP4K TGMS
190 Eko BP4K TGMS
191 Yudianto Stain Metro
192 Suhairi Stain Metro
193 Agus Riyadi BPDAS WSS
194 Billy Sapto P PT. TBK Indomie
195 Hagniyo W BBTNBBS
196 Mamat Rahmat BPK Palembang
197 Ika Widiarti BBTNBBS
198 Aditia W BBTNBBS
199 Riyanto BBTNBBS
200 Dadan R BBTNBBS

329
Lampiran

No Nama Lengkap Instansi


201 Zohiri Disbunhut Pesawaran
202 Suharyono BP4K Lampung Timur
203 Budi Subroto SST BP4K
204 Purwadi BP4K
205 Darno BP4K
206 Suwanto Disbunhut Lampung Timur
207 Iskandar Muda PEMDA
208 January BP4K TGMS
209 Ruskan Efendi Dishut PSS Barat
210 Iskandar Pesawaran

330
Lampiran

Lampiran 4. Notulensi Seminar


SESI I
No Nama pemakalah Nama Penanya Pertanyaan Jawaban
1 Prof. Dr. Ir. Bramasto 1. Warsito Dilihat dari kondisi hutan Lebong Damar Prof. Dr. Ir. Bramasto Nugrogo
Nugrogo lebih baik dari Hutan Lindung dan Taman 1. Apa yang telah disampaikan telah di lakukan di
Nasional. Karena itu disarankan hutan Amerika. Hutan hanya 21% dikelola oleh
dikasihkan ke rakyat saja. pemerintah, 64% oleh rakyat dan selebihnya
oleh industri. Intinya mengelola sumber daya
Kenapa hutan diserang rakyat karena hutan milik bersama harus mengunakan kelembagaan
dikelola oleh negara? yang efektif: Negara, masyarakat, swasta dll. Krn
secara mandat UUD 1945 pasal 33 ayat 3 seluruh
Bahwa masyarakat sejahtera cukup dari air dan kekayaan alam di kuasai oleh Negara
dampingan penyuluh, pendanaan hasil riset. untuk kemakmuran masyarakat.
2. Tapi selama ini permasalahannya adalah Negara
baru mengklaim menguasai hutan tetapi BELUM
dikelola dengan baik.
3. Jadi instrumennya adalah penguasaan oleh
Negara. Negara yang menguasai pengelolaan
dengan baik agar tidak semua orang bisa masuk
untuk mengelolah. Sehingga dihadirkan KPH
untuk mengelolah setiap tapak. KPH bukan
pemegang izin yang orientasinya keuntungan.
Maka harus memfungsikan KPH untuk
menjalanankan pelayananan publik. Ketika
masyakat ingin HKM maka sama-sama untuk
mewujudkan.
4. Masyarakat disediakan faktor-faktor
pengelolahan hutan oleh pemerintah:
- Buat harga dan pasar yang baik
- Sediakan kebijakan yang menguntungkan
- Selanjutnya adalah pengawasan
Intinya masyarakat disediakan investasi menarik

331
Lampiran

No Nama pemakalah Nama Penanya Pertanyaan Jawaban


5. Dalam waktu dekat Hutan Rakyat akan tumbuh
cepat seperti di wilayah Sumatera Selatan,
lampung, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan,
NTT dan NTB. Kalaupun ada kekhawatiran
masyarakat karena tidak ada kepastian lahan.
Hal ini dikarenakan tanaman hutan memerlukan
umur yang panjang sehingga diperlukan
kepastian hak kepemilikn tanah.
6. Harus membuat bisnis kehutanan menjadi
menarik bagi masyarakat baik dari fasilitas dan
harga. Jika kebijakan vertikal yang memanjakan
industri. Maka petani dalam bisnis kehutanan
tidak akan maju.
7. Buayi, Orietansi hutan ke nilai hutan. Ir. Agus Isnanto, Msc
Penyuluh Sebenarnya masyarakat kecenderung ber- 1. Alat Media Semai Cetak (MSC) sebenarnya sudah
Kehutanan lomba menanam kayu yang perlu dilakukan dikirim ke seluruh Indonesia. Untuk daerah
Swadaya adalah bantuan bibit dan memberikan fasili- lampung sudah bisa disebarkan namun belum di
Masyarakat tas yang berkaitan dengan pasca usaha tani. limpahkan dari dirjen.
(PKSM) Untuk kawasan HKM jika dikelola dengan 2. Media Semi Cetak (MSC) dan semai Tuan. Belum
Kabupaten serius kawasan hutan akan baik sehinga ada legalitas dari litbang untuk digunakan oleh
Pring sewu keseriusan pengelolaan pun harus dimulai masyarakat. Untuk menyalurkan harus
dari pembibitan. Kualitas bibit yang baik mengajukan permohonan ke dirjen. Dengan
hanya dapat disedikan oleh badan yang syarat tenaga harus dilatih terlebih dahulu untuk
memiliki kapasitas tersebut. Namun tempat menggunakan alat tersebut agar menjiwai dalam
pembibitan di Provinsi Lampung hanya ada menggunakan alat tsb.
dua yaitu di Lampung Utara dan Lampung 3. Semai tua dapat dibuat dengan media cocopeat
Selatan. Sementara jarak pendistribusian setelah berumur 1-2 tahun dapat langsung
bibit luas dan jauh. Sebaiknya setiap ditanam.
kabupaten disediakan unit persemaian bibit 4. Minat masyarakat Lampung untuk menanam
sehingga masyarakat mudah mengakses dan sangat tinggi sehingga pada tahun 2016
memperoleh bibit tanaman kehutanan disediakan bibit sebanyak 5 juta.

332
Lampiran

No Nama pemakalah Nama Penanya Pertanyaan Jawaban


sendirinya menanam bibit tanaman hutan.
Jika alat pembibitan yaitu Media Semai Ce-
tak (MSC) dan semai tua hanya ada di BPDAS
tidak ada manfaatnya bagi masyarakat. Se-
hingga perlu disalurkan ke masyarakat. Mini-
mal 1 desa memiliki satu alat tersebut agar
dapat dimanfaatkan secara bergiliran oleh
kelompok tani.
BLU memang telah di sosialisasikan namun
masyarakat masih bingung jika ingin menga-
jukan proposal BLU seharusnya ada konsul-
tan di setiap desa. Harus ada kejelasan dima-
na lembaga yang ditunjuk untuk mengajukan
BLU dan konsultasi BLU di tingkat paling ba-
wah, sehingga masyarakat mengetahui de-
ngan jelas bagaimana peraturan-
peraturannya.
3. Fajar Pengalaman pendampingan di 8 HKM di Ir. Muswir Ayub
dari PKSM Tanggamus menunjukkan bahwa soasialisasi 1. Bahwa masyarakat sejahtera tidak sesederhana
sangat penting terkait kelembagaan sehingga dengan hanya menfaatkan riset, pearan BLU dan
diharapkan agar sesuatu yang di sosialisasikan pendambingan. Gambar tersebut untuk menun-
dapat dirasakan manfaatnya hingga ke tingkat jukkan bahwa hasil penelitian perlu sampai pada
bawah. Secara admistrasi baik kelembagaan skala usaha. Karena hasil riset baru bisa dirasa-
maupun BLU baik dalam hal dokumntasi na- kan manfaatnya jika telah diaplikasikan pada ska-
mun di dalamnya kropos. la usaha. Sehingga peran KPH untuk mengimple-
Bagaimana produktifitas berjalan jika kelem- mentasikan hasil-hasil riset.
bagaannya keropos yang berjalan hanya ke- 2. BLU telah memiliki tenaga lapang atau tenaga
tua sekretaris dan seksi-seksi. Sementara ka- lapang yang bertujuan untuk mendekat kepada
pasitas poktan di HKM itu terdiri dari lebih masyarakat. Namun belum berjalan secara efektif
50 orang per kelompok sehingga sosialisi ini sehingga sepertinya diperlukan adanya peran
jika tidak membumi tidak akan ada manfaat- PKMS untuk menjadi kepanjangan tangan atau
nya bagi petani. menjadi tenaga lapang BLU. karena tenaga lapang

333
Lampiran

No Nama pemakalah Nama Penanya Pertanyaan Jawaban


yang sekarang diperkerjakaan BLU berasal lulusan
fresh graduate berdasarkan hasil seleksi untuk di
tempatkan di kabupaten sehingga masih memiliki
semangat tinggi karena anak muda dari berbagai
daerah dan ditempatkan di daerah baru namun
hal ini memiliki kekurangan yaitu penguasaan
lahan kurang sehingga sepertinya perlu PKSM
untuk kepanjangan tangan BLU sehingga keku-
rangan-kekurangan program BLU dapat diperba-
iki. Sehingga peran PKSM sebagai perpanjangan
tangan BLU dalam konteks mensosialisasikan dan
menangkap kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
3. BLU tidak pada dataran teknis tetapi mensupport.
BU Nani, BLU lembaga keuangan yang memberi-
kan bantuan (modal) untuk disalurkan ke masya-
rakat melalui beberapa skema. Skema dibangun
dari standar teknis dan biaya satuan. Sehingga
HKM harus jelas proses bisnis dan standar biaya-
nya seperti apa agar kami dapat merancang ske-
manya. BLU mendukung unit-unit teknis untuk
menjalankan pembinaan melalui penyediaan
modal dari pelaku usaha. Kami masih menunggu
standar teknis untuk skema HKM seperti apa.
2 Ir. Agus Isnanto, Msc Nani Bagaimana efektifitaskan kelembagaan?
Skema BLU baru pada HTR, kapan untuk
HKM? Dan ada tidak skema rencana umum.
Menyangkut produktifitas dikawasan hutan
dan lahan konservasi. Bagaimana
produktivitas kawasan konservasi? Mohon
ada perhatian jangan sampai masyarakat di
daerah kawasan hutan konservasi hanya jadi
penonton pembangunan hutan.

334
Lampiran

No Nama pemakalah Nama Penanya Pertanyaan Jawaban


3 Ir. Muswir Ayub Pak KAPUS (SARAN)
1. BLU menyalurkan dana kepada masyarakat, se-
hingga dalam event-event perlu hadir bersama
adalah BLU, LITBANGAN dan Dunia Usaha.
2. Animo masyarakat untuk menanam tinggi namun
muncul kendala pasar sehingga perlu difasilitasi.
Kesimpulan moderator 1. BPDAS bisa menyiapkan 3,5 juta bibit gratis tapi
biaya angkut sendiri. Pengambilan bisa dilakukan
berkelompok agar biaya angkut lebih murah.
2. KPH sebaiknya ada pembibitan agar dapat mela-
yani kebutuhan bibit masyarakat. Untuk alat be-
lum bisa direkomendasikan ke masyarakat karena
belum di uji litbang karena dikhawatirkan produk-
tivitas tidak optimal karena akar terlipat.
3. BLU sebaikanya mendekatkan diri dengan masya-
rakat yang membutuhkan agar manfaat BLU dapat
dirasakan masyarakat. Sehingga sebaiknya diper-
lukan peran PKSM sebagai tangan BLU yang telah
dekat dengan masyarakat yang memerlukan
aliran dana BLU.
SESI II
No Nama pemakalah Nama Penanya Pertanyaan Jawaban
1 Kurniawati P. Putri, Khairul anwar Faktor benih sangat menentukan Kurniawati P. Putri, S.Hut
S.Hut BP2HP kualitas tanaman. Untuk benih 1. Benih bersertifikat sangat penting. Sertifikat
tanaman hutan dan tanaman obat Dapat dilakukan dengan mengajukan pengajuan
apakah sudah ada benih yang benih bersertifikat pada balai yang berwenang.
bersertifikat? 2. Pak Iton, kami siap membantu dalam penangan
Mengingat permintaan bibit tanaman benih kaktus sumatera.
obat dan tanaman hutan semakin 3. Pak Guntur, Untuk mempercepat pertumbuhan
meningkat sehingga peluang bisnis pun kaliandra dilapang dan cepat berbunga
meningkat. Hal ini mengakibatkan diperlukan pengendalian faktor lingkungan

335
Lampiran

No Nama pemakalah Nama Penanya Pertanyaan Jawaban


sering terjadi bibit dijual tanpa melihat Untuk mempercepat pembungaan dapat
kualitasnya dan fatalnya kualitas buruk dilakukan dengan pemberian hormon ataupun
benih baru diketahui setelah beberapa teknik silvikultur seperti pemupukan atau zat-zat
tahun. Sehingga diperlukan sertifikasi lain yang dapat memicu percepatan
benih dan bibit tanaman hutan. pembungaan. Untuk lebih jelasnya dapat
Apakah tidak sebaiknya kita memberi konsultasi dengan Dr. Dida dari BPTPTH.
merek pohon yang dijadikan sumber
benih sehingga petani bisa mengambil
benih dari pohon tersebut. Siapa yang
berwenang menetapkan pohon induk?
Jika telah ada pohon induk kenapa
harus mengambil dari beberapa pohon.
Pencampuran benih dikawatirkan
menyebabkan tidak adanya
keseragaman benih serta benih-benih
unggul justru menjadi tercampur
dengan benih dengan kualitas buruk.
2 Imam Muslimin, S Hut., Iton Menjawab kebutuhan tembesu yang Imam Muslimin, S Hut., M.Sc.
M.Sc. BPK Aeknauli tinggi, sebaiknya bapak melangkah lebih 1. Khairul Anwar, Dianjurkan menganbil benih dari
jauh dengan membuat sumber benih beberapa pohon karena jika dalam satu pohon
tembesu. Karena yang dilakukan bapak apalagi satu buah jika terjadi serangan penyakit
sekarang merupakan tahapan pembu- semua tanaman akan terserang karena masih
atan sumber benih yang paling rendah, dalam satu kerabat (Kasus Jabon di Kabupaten
yang paling tinggi adalah kebun pangkas. OKI).
Sehinggga sebaiknya dilakukan pembu- 2. Khairul Anwar, Sertifikat sumber benih legalitas
atan kebun pangkas untuk memperce- ada di BPTH Palembang. Jika ada masyaratakt
pat memenuhi kebutuhan tembesu. ingin melakukan sertifikat benih bisa menghu-
Apakah Lemo dan Kilemo itu sama? bungi BPTH Sumatera di Palembang. Kriterianya
Sebaiknya berkolaborasi dengan akan ditentukan oleh BPTH. Jaminan sertifikasi
Aeknauli guna penganagan kaktus adalah adanya jaminan kriteria benih misalnya
Sumatera yang juga mengandung tingkat keberhasilan viabilitasnya ataupun
biodiesel. persentase daya kecambah dll.

336
Lampiran

No Nama pemakalah Nama Penanya Pertanyaan Jawaban


3. Untuk pak Iton, Sumber benih tembesu KBS
(Kebun Benih Semai) pohon induknya dari 5
lokasi dan sekarang sudah berumur 2 tahun.
Sumber benih tembesu mulai berproduksi pada
umur 4-5 tahun. Sambil menunggu itu kami
menseleksi pohon induk terbaik dengan
merengking 40 pohon induk terbaik. Jika nilai
parameter sudah stabil maka akan di rilis sebagai
kebun sumber benih setelah uji clon.
3 Ir. M. Zanzibar, MM Guntur Kelompok tani akan melakukan Ir. M . Zanzibar, MM
budidaya lebah madu dengan sumber 1. Khairul Anwar, Sertifikat benih adalah jaminan
media kaliandra. Bagaimana perlakuan mutu benih untuk pemakai. Peraturan sertifikasi
utk kaliandra tanpa perendaman agar benih, bibit dan pohon benih harus segera di atur
cepat tumbuh dan berbunga. dalam undang-undang kementerian kehutanan
Apakah ada jenis tanaman lain yang dan lingkungan hidup.
dapat digunakan untuk media 2. Itoh, Pemberian radiasi pada sumber benih
perkembangan lebah madu. tembesu menghasilkan keragaman bibit tembesu
Apakah sinar gama tidak berdampak yang tinggi. Pada saat kecamabah akan terliat
pada lingkungan dan kesehatan di kecambah yang bersifat superior dan dominan.
masa mendatang ? Pemberian radiasi pada sumber benih tembesu
menghasilkan clon - clon yang baik yang dapat
dijadikan sumber benih atau kebun pangkas.
3. Guntur, Jadi teknologi radiasi hanya merubah
kromoson dengan memberikan gen asing pada
kromosom. Begitu terjadi perubahan kromoson
akan terjadi beberapa kemungkinan apakah
tetrapoit atau tripoit dan tidak mennghasilkan
residu sebagai jawaban grenen revolusi yang
tidak berdampak pada kesehatan manusia
berdasarkan pernyataan WHO.
4. Kedepan saya punya anggan-anggan tanaman
jati dapat ditanam pada tanah-tanah masam.

337
Lampiran

No Nama pemakalah Nama Penanya Pertanyaan Jawaban


Kesimpulan moderator Proses peningkatan produktifitas tanaman hutan
harus dimulai dari penagan benih secara
konvensional maupun teknologi sinar gama dan
didukung dengan penaganan silvikultur yang baik.
SESI III
No Nama pemakalah Nama Penanya Pertanyaan Jawaban
1 Agus Sumadi, S.Hut Isiyanto Untuk KPH di Lampung tidak mungkin Agus Sumadi, S.Hut
(Yayasan Konservasi) ditanam tanaman berumur lama (kayu) 1. Isiyanto, Kondisi KPH Lampung yang sudah
karena tidak dapat memberikan pengha- ditanami palawija kedepan kita buat konsep
silkan yang dapat menghidupin petani. agroforestry dengan tanaman pertanian
Perlu dianalisis mampukah kayu mem- singkong misalnya. Sebenarnya hampir sama
berikan penghasilan untuk petani? dengan kondisi di Sumatera Selatan di dominasi
Karena jika dibandingakan dengan karet dan kopi.
usahatani yang mereka telah lakukan 2. Ardian, budidaya dan inokulasi gaharu dapat
seperti menanam jagung, singkong menghubungi bapak Agus sofyan.
padi gogo dll yang bisa menghidupi
mereka jika tanaman diganti dengan
kayu apakah kayu ini juga bisa menghi-
dupi mereka. Jika tidak maka tanaman
kayu ini tidak bisa diterapkan di KPHP.
Di Lampung 100 lebih industri kayu
pertukangan di suplay hutan rakyat
karena hutan produksi sudah tidak ada
hasilnya sehingga faktanya masyarakat
tidak disuruh pun akan menanam jika
menjanjikan. Peluang bisnis kayu tembe-
su di Sumatera Selatan pangsa pasarnya
lebih bagus karena produksinya kayu
diguanakn untuk kayu ukiran dan harga
unit satuan ukiran lebih mahal diban-
dingkan satuan kayu pertukangan na-
mun di lapung pangsa pasar kayu ukiran

338
Lampiran

No Nama pemakalah Nama Penanya Pertanyaan Jawaban


belum maksimal sehingga perlu dilaku-
kan penelitian lanjutan bagaimana pang-
sa pasar kayu di lampung. Karena tidak
ada manfaatnya sosiali hasil riset jika ti-
dak dapat diaplikan di daerah lampung.
Apakah dikehutanan ada pelatihan ser-
tifikasi tanaman kehutanan?
Sudah langkanya induk tanaman hutan
memunculkan kemungkinan jika menju-
al benih tanaman hutan lebih mengun-
tungkan dari pada menebang hutan se-
hingga sebaiknya dilakukan analisis eko-
nomi melakukan usaha penjualan benih
dari pada menebang kayunya.
2 Dr. Nur Arifatul Ulya Ardian Tanaman gaharu masih dapat dibuda- Dr. Nur Arifatul Ulya
Lampung Tengah yakan di Provinsi Lampung. Tembesu 1. Forum ini merupakan waktu yang tepat untuk sa-
jenis kayu langka di Lampung. Bisa min- ling bertukar informasi sehingga pertemuan ini da-
ta nomor telpon utuk menghubungi pat memberikan masukan pada peneliti. Dengan
dan menayakan gaharu dan tembesu. adanya seminar seperti ini kami mengharapkan
dapat menangkap dan menyelesaikan permasala-
han serta kebutuhan masyarakat lokal karena sela-
ma ini kami hanya konsen menyelesaikan permasa-
lahan kehutanan di daerah Sumatera Selatan dan
Bengkulu. Dengan adanya forum seperti ini kami
mengharapkan mendapatkan masukan sehingga
hasil penelitian yang kami lakukan dimasa menda-
tang dapat menjawab permasalahan-permasalahan
kehutanan masyarakat lokar untuk itu diperlukan
adanya hubungan saling bersinergi dari seluruh
pihak yang berkeprntingan.
2. Ardian, Tanaman tembesu contact person Pak
Lukman.

339
Lampiran

No Nama pemakalah Nama Penanya Pertanyaan Jawaban


3. Dr. Dede J. Sudrajat Sutrisno 2-3 tahun yang lalu gapoktan kami Dr. Dede J. Sudrajat
telah melakukan pembibitan bibit 1. Isiyanto, Pelatihan penangkaran benih sampai
gaharu dan sengon dan telah di cek pengawasan benih telah dilakukan oleh BPTH
oleh BPTH Palembang guna melihat melalui Pusdiklat, sehingga untuk ke depannya
batang induk yang siap digunakan sertifikasi dapat dilakukan oleh daerah. Untuk itu
untuk pembibitan namun hingga perlu dilakukan pembagian wilayah pada BPTH.
hampir 3 tahun tidak ada tidak lanjut 2. Isiyanto, Kajian sosial ekonomi mengenai usaha
tentang informasi hasil sertifikasi. penjualan benih tanaman hutan belum kali
Sehingga mohon kejelasan sertifikasi lakukan di BPTPTH karena belum ada kepakaran
tersebut agar penjualan bibit gaharu peneliti mengenai kajian social ekonomi tersebut.
dan sengon yang kami lakukan tidak 3. Khairin, untuk mempercepat sertifikasi sebaiknya
mengalami pembekuan dikarenakan pemohon telah memenuhi persyaratan. Dalam
tidak adanya surat sertifikasi sebagai kasus lamanya hasil sertifikasi keluar mungkin
jaminan mutu bibit yang kami jual dapat mengkorfirmasi langsung kepada balai BPTH
padahal bibit gaharu yang kami Palembang. Untuk biaya pengajuan sertifikasi jika
hasilkan merupakan bibit gaharu no 1 pada saat pengajuan sertifikasi pihak BPTH memi-
terbaik di lampung. liki biaya seharusnya biaya pengurusan sertifikasi
benih gratis namun jika BPTH dalam kondisi tidak
memiliki dana sementara pihak pemohon mengi-
nginkan hasil sertifikasi dapat keluar denga cepat
maka sambil menunggu dana BPTH turun pemo-
hon sebaiknya biaya mandiri terlebih dahulu.
Khairin Berapakah biaya untuk sertifikasi bibit
PKSM per batang?
Di Lampung lahan sudah habis.
Bagaimanan cara mengembangkan
tanaman hutan pada hutan lindung?
Kesimpulan Moderator Kegiatan penelitian di bidang kehutanan sudah luas
dan sudah sangat bayak yang dilakukan namun
belum dapat seluruhnya di manfaatkan oleh
masyarakat karena berbagai kendala.

340

Anda mungkin juga menyukai