Editor:
Nina Mindawati
Yulianti Bramasto
Agus Astho
Mamat Rahmat
Dede Jajat Sudrajat
Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopi, cetak,
mikrofilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau keperluan
non komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya, seperti berikut:
Untuk sitiran seluruh buku, ditulis: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (2015). Prosiding
Seminar Bersama Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan dan Balai
Penelitian Kehutanan Palembang "Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan dalam
Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan", 11 Agustus 2015. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan. Badan Litbang dan Inovasi. Bogor.
Untuk sitiran sebagian dari buku, ditulis: Nama Penulis dalam Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan (2015). Prosiding Seminar Bersama Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan
Tanaman Hutan dan Balai Penelitian Kehutanan Palembang "Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan
Kelembagaan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan", 11 Agustus 2015. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan. Badan Litbang dan Inovasi. Bogor. Halaman ...........
ISBN: 978-602-98588-4-6
Alamat:
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor PO BOX 331
Telp (0251) 631238, 631507 Fax (0251) 7520005
E-mail: p3hka_pp@yahoo.co.co.id
Prosiding
dto
iii
DAFTAR ISI
Halaman
v
B. ASPEK SILVIKULTUR
1. Aplikasi Teknik Silvikultur dan Penggunaan Benih Unggul dari Sumber Benih untuk
Meningkatkan Produktifitas Tanaman Tembesu (Fagraea fragrans Roxb) di Hutan
Rakyat
Imam Muslimin, Agus Sofyan dan Abdul Hakim Lukman ............................................ 115
2. Pengenalan Program Simulasi Perencanaan Usaha pada Kesatuan Pengelolaan
Agus Sumadi dan Hengki Siahaan ............................................................................... 127
3. Pengaruh Bahan Setek Terhadap Pertumbuhan Setek Jabon
(Anthocepalus cadamba)
Nurmawati Siregar ....................................................................................................... 139
4. Penggunaan Serbuk Sabut Kelapa dan Arang Sekam Padi dalam Pembibitan
Bambang Lanang (Michelia champaca L.)
Danu dan Rina Kurniaty ............................................................................................... 145
5. Pengaruh Teknik Pengemasan terhadap Kualitas Bibit Meranti Bapa (Shorea
selanica (Dc.) Blume) untuk Transportasi
Naning Yuniarti ............................................................................................................ 153
6. Pengaruh Pupuk Daun pada Pertumbuhan Bibit Sungkai di Persemaian
Sahwalita ................................................................................................................... 161
7. Tembesu (Fagraea fragrans Roxb): Jenis Alternatif untuk Bahan Baku Kayu
Dharmawati F. Djam’an ............................................................................................... 171
8. Pertumbuhan Bibit Jabon Putih (Anthocephalus cadamba) Umur 5 Bulan pada
Beberapa Macam Media dan Naungan
Agus Astho Pramono dan Rina Kurniaty ...................................................................... 177
9. Peningkatan Produktivitas Hutan Rakyat Melalui Penerapan Teknik Budidaya
Intensif pada Beberapa Jenis Tanaman Hutan Unggulan
Yulianti Bramasto, M. Zanzibar, Danu, Dida Syamsuwida dan Nurhasybi .................. 185
10. Peran BPDAS dalam Peningkatan Produktivitas Hutan Rakyat
Muswir Ayub dan Idi Bantara ...................................................................................... 199
vi
5. Antara Diskursus dan Kepentingan: Merancang Model Konseptual Pengelolaan
Lanskap Hutan di Daerah Dataran Tinggi
Edwin Martin dan Ari Nurlia......................................................................................... 245
6. Ketidaksetaraan Posisi Tawar dan Informasi Asimetris dalam Pemasaran Gaharu
serta Alternatif Solusinya: Studi Kasus di Kabupaten Musi Rawas
Mamat Rahmat, Ari Nurlia dan Agus Sofyan ............................................................... 253
7. Konsumsi Kayu sebagai Sumber Energi Rumah Tangga dengan Pendekatan
Kebutuhan Kalori Manusia (Studi Kasus di Desa Seronggo Kecamatan Kikim Timur)
Bambang Tejo Premono dan Sri Lestari ....................................................................... 261
8. Budidaya Jabon di Sumatera Selatan: Optimalisasi Lahan Milik dalam Upaya
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Sri Lestari, Bondan Winarno, Bambang Tejo Premono dan Nur Arifatul Ulya............. 269
9. Biomassa sebagai Penyedia Subsidi Energi Bagi Masyarakat
Sri Lestari, Bambang Tejo Premono, Hengki Siahaan dan Andika Imanullah ............. 275
10. Pengelolaan Dana Bergulir oleh Pusat P2H untuk Pembiayaan Usaha Kehutanan
Agustinus Untoro Wisnu ............................................................................................... 281
D. ASPEK PERLINDUNGAN DAN KONSERVASI
1. Potensi Tanaman Berenuk (Crescentia cujete, (L.)) sebagai Bahan Pestisida Nabati
Etik Erna Wati Hadi dan Asmaliyah ............................................................................. 289
2. Perkembangan Serangan Penyakit Bercak Daun pada Tanaman Jabon
(Antocephalus cadamba) di Provinsi Sumatera Selatan
Asmaliyah dan Etik Ernawati Hadi ............................................................................... 295
3. Pengaruh Jarak Tanam dan Curah Hujan terhadap Perkembangan Serangan
Hama pada Tegakan Kayu Bawang (Studi Kasus di KHDTK Kemampo)
Sri Utami dan Agus Kurniawan ................................................................................... 303
4. Aliran dan Erosi Permukan pada Hutan Rakyat Kayu Bawang di Kabupaten
Bengkulu Selatan
Adi Kunarso dan Tubagus Angga Anugrah Syabana .................................................... 311
LAMPIRAN ........................................................................................................................... 321
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
ix
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN INOVASI
PADA PEMBUKAAN SEMINAR BERSAMA
HASIL PENELITIAN BPTPTH DAN BPK PALEMBANG
“TEKNOLOGI PERBENIHAN, SILVIKULTUR DAN KELEMBAGAAN DALAM PENINGKATAN
PRODUKTIVITAS HUTAN DAN LAHAN”
BANDAR LAMPUNG, 11 AGUSTUS 2015
Bismillahirrahmanirrahim,
xi
Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Gubernur Provinsi
Lampung yang telah memperkenankan berlangsungnya acara Seminar Bersama ini di Provinsi
Lampung. Secara khusus saya mengucapkan terima kasih atas kehadiran para undangan semua.
Kehadiran Bapak dan Ibu merupakan bentuk apresiasi yang sangat berarti bagi kami, dan
menunjukkan komitmen bersama kita untuk bersama-sama menggunakan hasil IPTEK dalam
penyelesaian masalah-masalah di lapangan.
Sinergi yang bagus juga ditunjukkan dengan adanya penyelenggaraan Seminar Bersama antara
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor dan BPK Palembang yang
didukung oleh Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan, Pemerintah Daerah dan UPT KLHK
wilayah Provinsi Lampung. Kehadiran para penyuluh dan mitra lapangan pada seminar ini
merupakan jembatan emas antara IPTEK hasil litbang dengan masyarakat. Dengan demikian,
hasil-hasil litbang dapat langsung diterapkan dan terasa manfaatnya oleh masyarakat, yang
pada akhirnya diharapkan akan mampu memberikan sumbangan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat dan menjaga kelestarian lingkungan.
Di sisi lain saya berharap para pelaksana lapangan juga bisa memberikan input balik (feedback)
tentang kebutuhan riset dan inovasi sehingga akan memberikan manfaat bagi para peneliti dan
topik penelitian mendatang.
Hadirin yang berbahagia,
Salah satu isu strategis dalam pembangunan Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah masalah
rendahnya produktivitas hutan dan lahan. Permasalahan ini secara mikro dapat berdampak
pada kurang optimalnya pendapatan yang diterima oleh masyarakat. Lebih jauh, hal ini dapat
berdampak pula terhadap menurunnya kontribusi sektor ini terhadap pendapatan ekonomi
regional maupun nasional. Karena pentingnya isu tersebut, Kementerian LHK telah
mengagendakan “Peningkatan Produktivitas Hutan” sebagai salah satu Kebijakan dalam
Pembangunan Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini.
Dalam rangka Peningkatan Produktifitas Hutan, kita dihadapkan pada persoalan lahan yang
semakin terbatas, sehingga kita harus mengelola hutan dan lahan kita dengan tepat dan efisien.
Kita juga mencatat adanya defisit produksi hasil hutan terhadap kebutuhan domestik. Kayu
misalnya, terdapat defisit 10 juta m3 kekurangan bahan baku yang harus kita penuhi untuk
untuk industri kita. Dengan demikian, pemilihan tema seminar pada hari ini yaitu: “Teknologi
Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan dan
Lahan”, adalah tema yang sangat tepat. Semoga IPTEK yang nanti dipaparkan dapat menjadi
solusi untuk meningkatkan produktivitas hutan dan lahan, khususnya di Sumatera Bagian
Selatan.
Hadirin yang saya hormati,
Dalam konteks produktivitas, maka sesungguhnya kita berbicara tentang satu rangkaian aspek
secara holistik dari hulu ke hilir. Banyak hal harus ditingkatkan dan bottleneck yang harus
diselesaikan untuk mendapatkan peningkatan produktivitas. Hal-hal yang harus ditangani mulai
lahan, benih, budidaya, pengolahan, pasar, sistem pengelolaan, pembiayaan dan bahkan sistem
sosial. Sebuah kompleksitas yang perlu diurai dan diberikan input solusi. Kalangan ilmiah baik
civitas akademika dan litbang khususnya, perlu memberikan dukungan dan rekomendasi
kebijakan yang dapat menjadi solusi.
xii
Upaya peningkatan produktivitas hutan juga tidak akan terwujud jika penguasaan IPTEK tidak
didukung oleh tata kelola hutan dan lahan yang efisien. Dalam RPJM 2014-2019 pola
pengelolaan pada tingkat tapak dalam bentuk KPH menjadi tumpuan pembangunan kehutanan
ke depan. Hal ini juga mengingatkan kita semua bahwa operasionalisasi KPH yang diawali
dengan perencanaan yang cermat dana kurat menjadi kunci penting dan harus terus kita
dorong.
Di samping dukungan terhadap operasionalisasi KPH, keterlibatan masyarakat sebagai mitra
usaha dalam bentuk Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa
(HD), Hutan Adat dan Hutan Rakyat (HR) semakin diperlukan guna meningkatkan produktivitas
hutan dan lahan. Upaya peningkatan keterlibatan masyarakat ini membutuhkan skema
pembiayaan yang efisien dan realistis, struktur kelembagaan yang kuat, serta dukungan
pendampingan dan kebijakan yang pro rakyat oleh instansi pemerintah terkait.
Hadirin yang saya hormati,
Dalam mendukung program ketahanan pangan, KLHK memiliki program-program antara lain
penyediaan lahan 1 Jt Ha untuk mendukung pembangunan sawah baru, pemanfaatan Areal
Hutan di bawah tegakan hutan seluas 250.000 ha, terbangunnya urban farming melalui
pemanfaatan kompos di 100 kota, pembukaan akses lahan hutan untuk rakyat (Hkm, HTR, HD,
Hutan Adat) dan pengembangan Ekowisata 12,7 juta ha. Program dan kegiatan tersebut, harus
dapat terlaksana dengan baik. Agar program tersebut dapat berhasil dengan baik, dan tentu
saja dengan produktivitas yang tinggi maka dukungan IPTEK dan kebijakan sangat dibutuhkan
untuk menyukseskannya.
Badan Litbang dan Inovasi sepenuhnya menyadari bahwa aspek kajian mengenai peningkatan
produktivitas hutan ini belum sepenuhnya terjawab oleh kami. Lembaga-lembaga lain yang
memiliki tupoksi riset mungkin juga sudah menemukan solusi yang lebih tepat yang didasarkan
atas kajian ilmiah mendalam. Oleh karena itu inisiasi mengundang narasumber dari Institut
Pertanian Bogor pada kesempatan ini merupakan upaya yang tepat. Dengan kerjasama antar
lembaga seperti ini diharapkan dapat memberikan informasi yang menyeluruh.
Hadirin yang saya hormati,
Tantangan KLHK tidak hanya upaya peningkatan produktivitas hutan dan lahan. Secara nasional
kita menghadapi berbagai kendala dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan,
seperti pencemaran lingkungan, perambahan hutan, illegal logging, kebakaran hutan,
penambangan liar, degradasi dan deforestasi hutan dan lahan, serta konflik lahan, disamping
potensi kekayaan sumberdaya alam yang melimpah yang perlu dioptimalkan pemanfaatannya.
Kami menyadari bahwa sinergi dalam melaksanakan penelitian sangatlah penting untuk
mendapatkan pendekatan yang komprehensif dan efisien. Oleh karena itu sesuai amanat UU
23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kami sudah meminta kepada seluruh UPT lingkup
Badan Litbang dan Inovasi, untuk menjalin komunikasi dan sinergi dengan Badan Penelitian
Daerah di dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan.
Hadirin, peserta seminar yang berbahagia,
Demikian beberapa hal yang dapat saya sampaikan, akhir kata saya ucapkan selamat
melaksanakan Seminar Hasil Litbang Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan dalam
Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan. Saya berharap melalui seminar ini terjadi proses
pembelajaran dan pertukaran informasi yang produktif peneliti dengan pengguna. Kolaborasi
seperti ini tidak terhenti sampai dengan seminar saja tetapi bisa dilanjutkan kepada kerjasama
xiii
yang lebih operasional baik dengan dinas, perguruan tinggi, praktisi dan lain-lain. Sekian,
terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
KEPALA BADAN LITBANG DAN INOVASI
(DR. Henry Bastaman, MES)
xiv
RUMUSAN SEMINAR BERSAMA
BPTPTH dan BPK Palembang Bekerjasama dengan
BPDAS Way Seputih-Way Sekampung, Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan
Dan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung
Dengan Tema:
Teknologi Perbenihan, Silvikultur dan Kelembagaan
dalam Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan
(Bandar Lampung, 11 Agustus 2015)
Mengacu pada sambutan Gubernur Lampung dan pemaparan keynote speaker dari Kepala
Badan Litbang dan Inovasi serta pemaparan 9 (sembilan) makalah dan diskusi yang berkembang
selama seminar, maka disusun rumusan sebagai berikut:
1. Pemerintah Provinsi Lampung terus berupaya melakukan perbaikan hutan melalui kegiatan
rehabilitasi dan pengelolaan kawasan hutan sehingga hutan dapat berfungsi sebagai
pengatur tata air, pencegah bencana banjir dan kekeringan, sumber plasma nutfah serta
penyangga kehidupan pada umumnya. Sehingga upaya ini telah dapat meningkatkan
tutupan lahan, dan mampu menurunkan tingkat kerusakan hutan hingga 53,90% sampai
tahun 2014.
2. Program pembangunan daerah Provinsi Lampung ke depan adalah mengembangkan wilayah
bagian barat dari Lampung untuk industri perikanan, pelabuhan dan wisata, hal tersebut
sangat perlu dukungan sektor kehutanan khususnya untuk konservasi fauna dan flora seperti
anggrek, badak dan tutupan lahan. Selain itu dukungan infrastruktur yang memadai sangat
diperlukan. Sehingga perlu ditindaklanjuti dengan kerjasama antara Badan Litbang dan
Inovasi dengan Pemda Provinsi Lampung.
3. Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
memiliki peran yang sangat vital dan strategis. Dalam era pemerintahan Kabinet Kerja ini,
Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi menjadi penyedia landasan ilmiah bagi
berbagai kebijakan yang akan dikeluarkan oleh KLHK, sekaligus sebagai pilar utama dalam
memberikan solusi yang tepat atas permasalahan yang ditemui dalam pembangungan
lingkungan hidup dan kehutanan.
4. Salah satu isu strategis yang menjadi prioritas dalam program KLHK adalah masalah
rendahnya produktivitas hutan yang berdampak terhadap menurunnya kontribusi sektor ini
terhadap pendapatan ekonomi regional maupun nasional. Oleh karena itu Badan Litbang
dan Inovasi, diharapkan dapat berkontribusi dalam penyediaan IPTEK yang tepat guna bagi
masyarakat khususnya untuk meningkatkan produktivitas hutan dan lahan
5. Menurunnya produktivitas hutan tidak hanya persoalan teknis semata, seperti kesesuaian
jenis dengan tempat tumbuh, bibit unggul, teknik silvikultur, namun perlu memperhatikan
persoalan-persoalan yang lebih kompleks seperti sosial, politik, kelembagaan, regulasi dan
ketiadaan organisasi pengelola di tingkat tapak.
6. Pengelola kawasan di tingkat tapak dapat diperankan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH). Selain KPH telah menjadi arus utama dalam pembangunan kehutanan nasional,
kehadirannya juga diperlukan untuk mengefektifkan pengelolaan sumberdaya milik bersama
(common-pool resources) berupa hutan yang dikuasai oleh Negara (state/public forest).
Sehingga dalam operasionalisasinya diperlukan penguatan legalitas, legitimasi dan
kemandiriannya baik pada aspek kawasan, kelembagaan, program/kegiatan,dana, SDM dan
faktor-faktor pemungkin untuk operasionalisasi KPH secara efektif dan efisien.
xv
7. Efektifitas kelembagaan dalam kerangka peningkatan produktivitas hutan dapat
menerapkan program panca usaha kehutanan yang meliputi: adanya kepastian hak,
tersedianya pasar, harga yang menarik, infrastruktur yang mendukung dan hilangnya
biaya transaksi.
8. Pusat pembiayaan pembangunan hutan dalam memberikan penyaluran dana bagi
pembangunan hutan menggunakan pola pengelolaan dana bergulir, yang bukan berupa
dana hibah atau dana proyek. Ada 3 model pembiayaan yang akan digunakan oleh Pusat
P2H adalah bentuk pinjaman, bagi hasil dan pola syariah.
9. Dukungan Litbang diperlukan dalam penyaluran pembiayaan pembangunan hutan, yaitu
dalam bentuk aspek tehnik, dalam hal ini adalah bibit dan teknik silvikultur, yang meru-
pakan hasil penelitian yang dapat dikembangkan di HR, HTR dan HTI. Hasil penelitian
yang dapat diaplikasikan dalam skala usaha akan mendapat dukungan dari BLU.
10. Informasi yang lengkap tentang mekanisme penyaluran dana pembiayaan
pembangunan hutan sangat dibutuhkan. Sebagai penghubung dapat memanfaatkan
sarjana lulusan baru atau dimungkinkan dari lembaga lain seperti Penyuluh Kehutanan
Swadaya Masyarakat (PKSM).
11. Perkembangan hutan rakyat di Lampung tidak terlepas dari peran BPDAS HL dalam
menyediakan berbagai bibit yang diperlukan. Usaha meningkatkan mutu benih dan bibit
terus dilakukan. Rekayasa alat untuk mendapatkan bibit berkualitas, terus
dikembangkan diantaranya pengembangan alat Media Semai Cetak (MSC), namun perlu
ada kajian lebih lanjut untuk mengetahui efisiensi dan efektivitasnya di lapangan.
Ketersediaan benih dan bibit berkualitas untuk kebutuhan penanaman sangat
diperlukan khususnya oleh masyarakat Lampung, sehingga diharapkan Badan Litbang
dan Inovasi dapat berkontribusi dalam penyediaan benih dan bibit tersebut.
12. Beberapa hasil penelitian untuk mendukung Peningkatan Produktifitas Hutan dapat
disebutkan diantaranya:
a. Telah tersedianya teknologi perbenihan yang tepat untuk mendukung
pengembangan usaha kehutanan berbasis bioenergi untuk jenis kaliandra, lamtoro,
weru, pilang, akor, turi, malapari dan nyamplung serta biofarmaka diantaranya
kilemo (Litsea cubeba) dan pulai (Alstonia scholaris). Dalam hubungannya dengan
perbaikan mutu benih dan bibit, iradiasi sinar gamma dapat diaplikasikan untuk
meningkatkan viabilitas dan vigor benih serta meningkatkan keragaman genetik
dalam rangka pemuliaan. Perlakuan radiasi sinar gamma pada benih tanaman hutan
dengan dosis rendah mampu memperbaiki perkecambahan benih dan pertumbuhan
bibit seperti pada jenis jati, suren, jabon putih, tembesu, bambang lanang, kayu
bawang dan jenis-jenis tanaman hutan lainnya.
b. Standar mutu benih dan bibit merupakan perangkat pengendali yang berupa nilai
parameter mutu benih dan bibit yang menjadi acuan bagi hasil pengujian. Efisiensi
pengendalian ini harus didukung dengan perbaikan sistem produksi dan penanganan
benih dan bibit.
c. Dalam rangka memudahkan perencanaan pengusahaan KPH serta memproyeksikan
hasil usaha, maka telah disusun tool/program komputer yang simpel, mudah dan
aplikatif yang dapat memproyeksikan rencana usaha yang akan dikembangkan oleh
KPH. Program ini diharapkan dapat membantu pengelola KPH dalam mengambil
keputusan dalam pengembangan usaha yang akan dijalankan.
d. Program simulasi dibangun dengan memasukan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh
KPH meliputi biaya infrastruktur, biaya operasional dan biaya pembangunan usaha
xvi
budidaya meliputi pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan.
Dengan model simulasi ini dapat memberikan gambaran hasil yang akan diperoleh
berdasarkan data-data hasil penelitian serta perhitungan kelayakan usahanya.
e. Tembesu merupakan salah satu jenis andalan di daerah Sumsel dan sekitarnya,
mempunyai potensi untuk dikembangkan, namun minimnya usaha pengembangan
tembesu dalam bentuk pembangunan hutan tanaman secara khusus mempunyai
kendala utama dengan “kualitas” dan produktifitas tanaman yang rendah. Kondisi
semacam ini membutuhkan dukungan informasi, paket teknologi budidaya tanaman
tembesu serta materi (benih unggul) tanaman yang secara langsung dapat
meningkatkan produktivitas tanaman secara optimal
f. Hasil penelitian sosial, ekonomi dan kebijakan dalam kaitannya dengan
pengembangan kayu pertukangan lokal di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu
menunjukkan bahwa budidaya kayu pertukangan lokal menjadi bagian dan berkaitan
erat dengan bentang lahan DAS dan budaya masyarakat.
g. Kayu pertukangan lokal yang mempunyai kaitan erat dengan keseharian masyarakat
mempunyai prospek ekonomi untuk dikembangkan karena layak secara financial.
Pasarnya telah tersedia dan tidak membutuhkan lahan luas untuk penanamannya.
Kayu pertukangan lokal dengan daur menengah bisa disupply dari kebun masyarakat
atau hutan rakyat dengan pola agroforestry. Pengarusutamaan pelibatan
masyarakat dalam penyediaan bahan baku kayu pertukangan lokal merupakan
sebuah keniscayaan, dengan tidak mengesampingkan kebutuhan hidup masyarakat
sehari-hari, jangka menengah dan jangka panjang.
Tim Perumus:
1. Dr. Ir. Yulianti Bramasto, M.Si.
2. Ir. Danu, M.Si.
3. Bambang Tejo Premono, S.Hut, M.Si.
4. Ir. Cyprianus Nugroho, S.P., M.Sc.
xvii
ASPEK PERBENIHAN
Aspek Perbenihan
Muhammad Zanzibar
Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
ABSTRAK
Induksi mutasi (mutation breeding) melalui iradiasi sinar gamma (radiasi pengion) merupakan metoda
penting untuk mendapatkan variabilitas genetik yang tidak ada di alam atau yang tidak tersedia untuk
pemulia. Tujuan tulisan ini adalah mempelajari manfaat penggunaan iradiasi sinar gamma dalam
meningkatkan produktivitas tanaman. Setiap jenis/benih tanaman yang mengalami paparan iradiasi
memiliki radiosensivitas yang berbeda, sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik/biologis benih. Sebagian
besar penelitian yang telah dilakukan dirancang untuk mengevaluasi respon biologis iradiasi dosis tinggi
dalam mendapatkan varietas/klon sesuai dengan tujuan pemuliaan, sedangkan pada dosis rendah
bermanfaat untuk merangsang proses fisiologis (radio stimulation) yang umumnya berpengaruh pada
tahap awal perkecambahan atau pertumbuhan tanaman. Penelitian penggunaan iradiasi sinar gamma
pada jenis-jenis tanaman hutan di Indonesia masih sangat terbatas.
Kata kunci: kehutanan, pemuliaan tanaman, radiasi pengion, variabilitas genetik
I. PENDAHULUAN
Iradiasi adalah suatu proses ionik sebagai salah satu metode modifikasi fisik polisakarida
alami (Hai et al., 2003; Rombo et al., 2004; Relleve et al., 2005). Proses ini juga sangat berguna
dalam memecahkan berbagai permasalahan pertanian, seperti penanganan pasca panen
(menekan perkecambahan dan kontaminasi), eradikasi dan pengendalian hama dan penyakit,
pengurangi penyakit yang terbawa bahan makanan, dan pemuliaan varietas tanaman unggul
dan tahan penyakit (Andress et al., 1994; Emovon, 1996).
Dalam hubungannya dengan perbaikan mutu benih dan bibit, iradiasi sinar gamma telah
banyak diaplikasikan untuk viabilitas dan vigor benih (Piri et al., 2011; Iglesias-Andreu et al.,
2012) dan meningkatkan keragaman genetik dalam rangka pemuliaan untuk mendapatkan
varietas unggul pada banyak jenis tanaman (de Mico et al., 2011; Santosa et al., 2014),
terutama jenis-jenis tanaman pertanian. Penggunakan Iradiasi seperti sinar X, Gamma, dan
neutrons serta mutagen kimiawi untuk menginduksi variasi pada tanaman telah banyak
dilakukan. Induksi mutasi telah digunakan untuk peningkatan variasi tanaman penting seperti
gandum, padi, barley, kapas, kacang tanah, dan kacang-kacangan lainnya yang diperbanyak
melalui biji (Ahlowalia dan Maluszynski, 2001). Menurut data FAO/IAEA hingga tahun 2009,
sekitar 3100 mutan dari 190 jenis telah dibudidayakan. Jumlah varietas mutan terbesar
dihasilkan negara-negara Asia (1858 mutan, terutama di India, Jepang dan China), diikuti Eropa
(899 mutan), Amerika Utara (202 mutan), Afrika (62 mutan), Amerika Latin (48 mutan) dan
Kawasan Australia/Pasifik (10 mutan) (Poster and Shu, 2012). Di Indonesia, pemuliaan mutasi
telah diaplikasikan pada berberapa jenis tanaman, seperti padi (Sobrizal, 2007; Ishak, 2012,
sorghum (Surya dan Soeranto, 2006), kedelai (Soeranto dan Sihono, 2010), pisang (Indrayanti
et al., 2011), tanaman hias seperti mawar dan krisan (Hutami et al., 2006; Handayati, 2013).
Untuk jenis tanaman kehutanan, khususnya jenis-jenis tropik Indonesia, teknologi ini belum
banyak dikembangkan.
1
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Induksi mutasi menggunakan iradiasi menghasilkan mutan paling banyak (sekitar 75%)
bila dibandingkan menggunakan perlakuan lainnya seperti mutagen kimia. Sinar gamma
merupakan gelombang elektromagnetik pendek dengan energi tinggi berinteraksi dengan
atom-atom atau molekul untuk memproduksi radikal bebas dalam sel. Radikal bebas tersebut
akan menginduksi mutasi dalam tanaman sebab radikal tersebut akan menghasilkan kerusakan
sel atau pengaruh penting dalam komponen sel tanaman (Kovacs dan Keresztes, 2002).
Keuntungan menggunaan sinar gamma adalah dosis yang digunakan lebih akurat dan penetrasi
penyinaran ke dalam sel bersifat homogen. Tidak seperti pemuliaan konvensional yang
melibatkan kombinasi gen-gen yang ada pada tetuanya (di alam), iradiasi sinar gamma
menyebabkan kombinasi gen-gen baru dengan frekuensi mutasi tinggi. Mutasi digunakan untuk
memperbaiki banyak karakter yang bermanfaat yang mempengaruhi ukuran tanaman, waktu
berbunga dan kemasakan buah, warna buah, ketahanan terhadap penyakit dan karakter-
karakter lainnya. Karakter-karakter agronomi penting yang berhasil dimuliakan dengan mutasi
pada beberapa jenis tanaman di antaranya adalah tanaman tahan penyakit, buah-buahan tanpa
biji, tanaman buah-buahan yang lebih pendek dan genjah (IAEA, 2009).
Sebagian besar penelitian penggunaan iradiasi sinar gamma dirancang untuk
mengevaluasi respons biologi terhadap dosis radiasi tinggi, dan penelitian yang relatif terbatas
juga telah dilakukan dengan menggunakan iradiasi pada dosis rendah untuk menstimulasi
proses fisiologi (radio stimulation) tanaman melalui eksitasi, atau stimulasi dengan dosis
rendah, atau dikenal dengan istilah hormesis (Luckey,1998). Pengaruh yang menguntungkan
dari hormesis telah banyak dilakukan pada jenis-jenis tanaman pertanian (Luckey, 2003; Piri et
al., 2011), namun informasi penggunaan teknologi tersebut dalam bidang kehutanan masih
terbatas (Iglesias-Andreu et al., 2012). Meskipun masih sedikit informasi mengenai fenomena
hormosis ini, Vaiserman (2010) memberi indikasi adanya kemungkinan hubungan antar
hormosis dengan pengaruh epigenetik (perubahan yang diturunkan pada fungsi genom, yang
terjadi tanpa perubahan susunan urutan DNA) sebagai suatu respons adaptif. Efigenetik bersifat
sementara dan individu yang termutasi dapat kembali normal.
Tulisan ini akan memberikan tinjauan penggunaan iradiasi sinar gamma jenis-jenis tanaman,
khususnya untuk memberbaiki perkecambahan benih dan pertumbuhan, serta potensinya
untuk mendapatkan variaetas mutan unggul pada beberapa jenis tanaman hutan.
2
Aspek Perbenihan
Tabel 1. Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma pada beberapa jenis tanaman pertanian
Jenis Dosis sinar Pengaruh Pustaka
gamma
Sorghum vulgare (L) 1-10 kR Pengurangan rata-rata tinggi bibit Iqbal (1980)
Salix nigra Marsh. 0,1-100 kR Dosis rendah meningkatkan kecepatan Gehring (1985)
pertumbuhan
Allium cepa L. 10, 20, 40, 80, Persentase bibit abnormal meningkat Amjad dan
dan 100 kR dengan meningfkatnya dosis iradiasi Akbar (2003)
Triticum aestivum L. 10, 20, 30, Benih teriradiasi menunjukkan lebih Singh dan Balyan
dan 40 kR superior dibandingkan kontrol untuk (2009)
beberapa karakter
Sesamum indicum L. 200, 400, 600 Pengaruh mutagenik oleh penyusunan Kumar dan Singh
dan 800 Gy kembali kromosom intergenomik (2010)
Capsicum annuum L. 2, 4, 8, dan 16 Dosis rendah merangsang pertumbuhan Kim et al. (2005)
Gy dan resitensi cekaman
Triticum durum 10, 20 Gy Meningkatkan daya dan kecepatan Melki dan
berkecambah Marouani (2009)
Lactuca sativa 5, 30 Gy Merangsang parameter pertumbuhan Marcu et al.
(perkecambahan, panjang akar dan (2012)
hipokotil)
Terminalia arjuna 25 Gy Meningkatkan daya berkecambahan, Akshatha et al.
indeks vigor, laju rata-rata pertumbuhan (2013)
3
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
tersedia dalam benih, sehingga dosis iradiasi rendah mungkin meningkatkan aktivasi enzim dan
membangkitkan embrio muda, yang menghasilkan stimulasi terhadap laju pembelahan sel dan
meningkatkan tidak hanya proses perkecambahan, tetapi juga pertumbuhan vegetatif.
Selain terhadap perkecambahan, pengaruh iradiasi sinar gamma pun telah dilakukan
dengan menggunakan indikator-indikator respon tanaman berbeda. Perubahan pertumbuhan
dan perkembangan tanaman sering dijadikan ukuran respon terhadap dosis radiasi berbeda.
Beberapa penelitian melaporkan penggunaan irradiasi dosis rendah, seperti pada padi yang
memberikan pengaruh positif terhadap perakaran dan pertumbuhannya. Radiasi gamma dosis
rendah (10-30 Gy) merangsang kemunculan persentase tunas kentang (Solanum tuberosum),
sedangkan pada 40-50 Gy, tinggi dan panjang akar secara signifikan terhambat, dan pada dosis
tingi (60 Gy) tidak ada tunas yang muncul.
Kuzin (1997) menyimpulkan bahwa penyinaran jaringan tanaman dengan radiasi atomik
dosis rendah akan menginduksi radiasi sekunder yang merangsang pembelahan sel-sel dan
mendisain radiasi ini sebagai radiasi biogenik sekunder yang mengaktifkan reseptor membran
sel. Radiasi ini membawa informasi yang diterima reseptor membran dan informasi tersebut
diperlukan untuk memfungsikan dan mengembangkan sel-sel organisme hidup. Sementara,
radiasi benih dengan sinar gamma dosis tinggi mengganggu sintesa protein, keseimbangan
hormon, pertukaran gas, pertukaran air dan aktivitas enzim (Hameed et al., 2008), yang
memicu gangguan terhadap morfologi dan fisiologi tanaman dan menghambat pertumbuhan
dan perkembangan tanaman.
4
Aspek Perbenihan
Pada benih bambang lanang, perlakuan iradiasi pada dosis 10 Gy (LD50 = 30-35 Gy)
menghasilkan peningkatan perkecambahan (indeks perkecambahan dan nilai perkecambahan)
(Gambar 1b-c). Namun, pada dosis yang lebih tinggi cenderung mengalami penurunan. Benih
yang diiradiasi yang disimpan selama 3 bulan juga memberikan perkecambahan yang lebih baik
dibanding kontrol hingga dosis 20 Gy, dan kemudian menurun pada dosis yang lebih tinggi.
Pada dosis 10 Gy juga memberikan rata-rata bertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan
perlakuan dengan dosis lainnya (Gambar 1d).
Penggunaan dosis 2,5 Gy sampai 120 Gy pada benih tembesu yang disimpan selama 2
bulan mampu meningkatkan jumlah kecambah, sedangkan penggunaan dosis 240 Gy
mengalami penurunan jumlah kecambah (Gambar 2). Pada perlakuan benih iradiasi tanpa
penyimpanan, jumlah kecambah yang muncul sebagian besar tidak berbeda nyata dengan
benih tanpa iradiasi (kontrol). Pada perlakuan iradiasi benih tanpa penyimpanan, dosis 5 Gy
memberikan jumlah kecambah terbanyak (303 kecambah per 0.1 gram), sedangkan pada
perlakuan iradiasi benih dengan penyimpanan selama 2 bulan, dosis 10 Gy menghasilkan
jumlah kecambah terbanyak (346 kecambah per 0.1 gram).
70
60
(a) (b)
Germination percentage (%)
50
40 LD50
30
20
10
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Gamma irradiation (Gy)
1
(c) (d)
Gambar 1. Lethal dosis (a), indek perkecambahan benih (b), nilai berkecambah benih yang disimpan
3 bulan (c), dan penampilan bibit umur 6 bulan pada dosis iradiasi sinar gamma 0,5 dan 10
Gy (d)
5
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
(a)
(b) (c)
Gambar 2. Jumlah kecambah benih tembesu pada berbagai dosis iradiasi sinar gamma (a);
Pertumbuhan kecambah pada umur 40 hari setelah tabur: dosis 10 Gy (b) dan
dosis 240 Gy(c)
Benih tembesu yang telah diiradiasi mengalami perubahan komposisi biokimia, seperti
energi total, kadar abu, lemak total, protein dan karbohidrat total (Tabel 3). Semakin tinggi
dosis iradiasi yang diberikan maka benih tembesu akan mengalami peningkatan kadar protein
dan penurunan kadar karbohidrat total serta energi total, terutama pada dosis 240 Gy. Kadar
karbohidrat dan energi total yang lebih rendah membuat proses perkecambahan menjadi
terhambat dan banyak kecambah abnormal yang tumbuh.
Tabel 3. Komposisi biokimia benih tembesu akibat perlakuan iradiasi dengan sinar gamma
Parameter 0 Gy 20 Gy 60 Gy 240 Gy
Energi total (kkal/100 g) 362.67 356.28 359.61 260.18
Kadar abu (%) 1.76 1.83 1.78 1.87
Lemak total (%) 1.11 0 0.73 0.70
Protein (%) 14.55 15.6 15.74 15.97
Karbohidrat total (%) 73.62 73.47 72.52 72.50
Umumnya pada jenis-jenis tanaman hutan, dosis iradiasi rendah mampu memperbaiki
perkecambahan benih. Beberapa penelitian lainnya juga melaporkan kecenderungan yang
sama, yaitu terjadi perbaikan perkecambahan benih pada perlakuan sinar gamma dosis rendah
dan cenderung menurun pada dosis yang tinggi, seperti pada Pinus sylvestris (Sokolov et al.,
1998), Tectona grandis (Bhargava and Khalatkar, 2004), Cicer arietinum (Khan et al., 2005;
6
Aspek Perbenihan
Toker et al., 2005), Triticum aestivum (Singh dan Balyan, 2010), dan Terminalia arjuna
(Akshatha et al., 2013). Iradiasi sinar gamma dalam dosis yang tinggi umumnya menghasilkan
pengaruh inhibitor terhadap perkecambahan (Kumari dan Singh, 1996), menurunnya kadar
auksin atau kerusakan kromoson (Sparrow and Woodwell 1962), sedangkan radiasi dengan
dosis rendah umumnya menghasilkan pengaruh stimulasi terhadap perkecambahan melalui
peningkatan aktivitas enzim, perbaikan sel-sel respirasi, dan meningkatkan produksi struktur
reproduksi (Luckey, 1998).
Mutasi buatan untuk tujuan pemuliaan tanaman dapat dilakukan dengan memberikan
mutagen. Mutagen yang dapat digunakan untuk mendapatkan mutan ada dua golongan yaitu
mutagen fisik (sinar x, sinar gamma dan sinar ultra violet) dan mutagen kimia (Ethyl Methan
Sulfonat, Diethyl sulfat, Ethyl Amin dan kolkisin). Perubahan yang ditimbulkan karena
pemberian mutagen baik fisik maupun kimia dapat terjadi pada tingkat genom, kromosom, dan
DNA. Mutasi dibedakan menjadi mutasi kecil (mutasi gen) dan mutasi besar (mutasi
7
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
kromosom). Mutasi kecil adalah perubahan yang terjadi pada susunan molekul gen (DNA),
sedangkan lokus gennya tetap, sedangkan mutasi besar adalah perubahan yang terjadi pada
struktur dan susunan kromosom. Mutasi gen disebut juga mutasi titik. Mutasi ini terjadi karena
perubahan urutan basa pada DNA atau dapat dikatakan sebagai perubahan nukleotida pada
DNA. Mutasi Kromosom terjadi pada kromosom yang merupakan struktur didalam sel berupa
deret panjang molekul yang terdiri dari satu molekul DNA yang menghubungkan gen sebagai
kelompok satu rangkaian. Kromosom memiliki dua lengan, yang panjangnya kadangkala sama
dan kadangkala tidak sama, lengan-lengan itu bergabung pada sentromer (lokasi menempelnya
benang spindel selama pembelahan mitosis dan meiosis). Pengaruh bahan mutagen, khususnya
radiasi, yang paling banyak terjadi pada kromosom tanaman adalah pecahnya benang
kromosom (chromosome breakage atau chromosome aberration). Mutasi kromosom meliputi
perubahan jumlah kromosom dan perubahan struktur kromosom mutasi pada tingkat
kromosom disebut aberasi.
Menurut Van Harten (1998), keberhasilan program induksi mutasi sangat bergantung
padamateri tanaman yang mendapat perlakuan mutagen. Qosim (2006) dalam penelitiannya
terhadap kalus nodular manggis, menyebutkan bahwa induksi radiasi sinar gamma
menghasilkan keragaman genetik dengan menggunakan teknik RAPD dengan keragaman
genetik antara 60-91%. Sementara Harahap (2005) dalam penelitian dengan menggunakan biji
manggis hasil iradiasi sinar gamma yang ditanan secara in vitro, didapat keragaman genetik
yang diperoleh sebesar 62-100%. Sobir dan Poerwanto (2007) menyatakan berdasarkan analisis
RAPD pada bibit manggis hasil iradiasisinar gamma menggunakan lima primer acak, terbukti
keragaman genetik tanaman hasil iradiasi lebih besar (62%) dibandingkan variabilitas aksesi
manggis di Jawa (27%). Dalampenelitian ini, keragaman genetik yang diperolehdari hasil iradiasi
sinar gamma sebesar 77-95%, meningkat sebesar 5% dibandingkan kontrol. Untuk jenis-jenis
tanaman kehutanan, pemuliaan mutasi sangat potensial, terutama untuk membangkitkan
keragaman baru pada jenis-jenis yang keragaman di alamnya relatif sempit atau untuk
mendapatkan karakter-karakter tanaman yang lebih adaptif terhadap perubahan lingkungan
dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Pada tingkat bibit, peningkatan tinggi bibit hasil
iradiasi sinar gamma untuk jenis bambang lanang mampu mencapai 77% pada dosis 80 Gy
(Zanzibar dan Sudrajat, 2015), sementara pada jenis suren, peningkatannya mencapai 600%
dibandingkan dengan kontrol (Zanzibar dan Witjaksono, 2011) (Gambar 3).
Gambar 3. Pertumbuhan bibit suren umur 6 bulan yang berasal dari benih yang diperlakukan dengan
penuan dan iradiasi. Bibit dari benih dengan perlakuan penuaan selama 2 hari - iradiasi 5Gy
(a), penuaan 0 hari - tanpa iradiasi (b) dan penuaan 0 hari-iradiasi 5Gy (c)
Penggunaan iradiasi sinar gamma untuk pemuliaan mutasi tanaman hutan telah
dilakukan pada jenis jati malabar pada tingkat kalus (invitro) dosis 2.5 – 30 Gy. Perlakuan
8
Aspek Perbenihan
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 4. Penampilan tegakan jati lokal Muna umur 5 dan 8 tahun (a dan c) dan jati hasil pemuliaan
mutasi pada umur yang sama (b dan d) di Muna
V. KESIMPULAN
Dosis iradiasi sinar gamma dengan dosis rendah dapat dijadikan sebagai perlakuan benih
(seed treatment) yang mampu memperbaiki perkecambahan dan pertumbuhan bibit beberapa
jenis tanaman hutan. Bagaimana pun, untuk mencapai hasil tersebut sangat penting untuk
menseting ambang batas hormetik suatu jenis yang juga tergantung dari tipe jaringan yang
diiradiasi dan jumlah kelembaban di dalam jaringan. Radiasi hormesis memberikan kemampuan
kepada benih untuk memperbaiki metabolismenya dan meningkatkan viabilitas serta vigor
benih dan bibit. Selain itu, iradiasi juga mampu menciptakan keragaman baru yang sangat
penting untuk proses seleksi (pemuliaan mutasi) terhadap individu-individu tanaman dengan
karakter-karakter yang diinginkan yang mampu meningkatkan produktivitas hutan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Hady, M.S., Okasha, E.M., Soliman, S.S.A., and Tallat, M. 2008. Effect of gamma radiation
and gibberellic acid on germination and alkaloid production in Atropa belladonna L.
Australian Journal of Basic and Applied Sciences 2:401-405.
9
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Ahlowalia, B.S. and M. Maluszynski. 2001. Induced mutation-A new paradigm in plant breeding.
Euphytica 118:167-173.
Akshatha, Chandrashekar, K.R., Somashekarappa, H.M., and Souframanien, J. 2013. Effect of
gamma irradiation on germination, growth, and biochemical parameters of Terminalia
arjunaRoxb. Radiat Prot Environ 36:38-44.
Amjad, M. and Akbar, A. 2003. Effect of post-irradiation storage on the radiation-induced
damage in onion seeds. Asian Journal of Plant Science 2(9):702-707.
Andress, E.L., Delaplane, K.S., and Schuler, G.A. 1994. Food Irradiation. Fact sheet HE 8467
(Institute of Food and Agricultural Sciences University of Florida, USA).
Bhargava, Y. and Khalatkar, A. 2004. Improve performance of Tectona grandisseeds with
gamma irradiation. Acta Hortic.215:51-54.
Chan, Y.K. and Lam, P.F. 2002. Irradiation-induced mutations in papaya with special emphasis
on papaya ringspot resistance and delayed fruit ripening. Working Material –
Improvement of tropical and subtropical fruit trees through induced mutations and
biotechnology. IAEA, Vienna, Austria. pp 35 – 45.
De Micco, V., C. Arena. D. Pignalosa, and M. Durante. 2011. Effects of sparsely and densely
ionizing radiation on plants. Radiat. Environ. Biophys. 50:1-19.
Emovon, E.U. 1996. Keynote Address: Symposium Irradiation for National Development (Shelda
Science and Technology Complex, SHESTCO, Abuja, Nigeria). pp. 156-164.
Fan, X., Toivonen, P.M.A., Rajkowski, K.T., and Sokorai, K.J.B. 2003. Warm water treatment in
combination with modified atmosphere packaging reduces undesirable effects of
irradiation on the quality of fresh-cut iceberg lettuce. Journal of Agricultural and Food
Chemistry 51:1231–1236.
Gehring, R. 1985. The effect of gamma radiation on Salix nigra Marsh. Cuttings. Arkansas
Academy of Science Proceedings, 39:40-43.
Gruner, M.M., Horvatic, D., Kujundzic, and Magdalenic, B. 1992. Effect of gamma irradiation on
the lipid components of soy protein products. Nahrung, 36: 443-450.
Habba, I.E. 1989. Physiological effect of gamma rays on growth and productivity of Hyoscyamus
muticus L. and Atropa belladonna L. Ph.D. Thesis, Fac. Agric. Cairo Univ., Cairo, Egypt.
65-73.
Hai, L., Diep, T.B., Nagasawa, N., Yoshii, F., andKume, T. 2003. Radiation depolymerization of
chitosan to prepare oligomers. Nucl. Instrum. Methods Phys. Res. B, 208: 466–470.
Hameed, A., Shah, T.M., Atta, M.B., Haq, M.A., and Sayed, H. 2008. Gamma irradiation effects
on seed germination and growth, protein content, peroxidase and protease activity,
lipid peroxidation in desi and kabuli chickpea. Pakistan Journal of Botany 40:1033–1041.
Handayati, W. 2013. Perkembangan pemuliaan mutasi tanaman hias di Indonesia. Jurnal Ilmiah
Aplikasi Isotop dan Radiasi. 9 (1): 67- 80.
Harahap, F. 2005. Induksi variasi genetik tanaman manggis (Garcinia mangostana) dengan
radiasi sinar gamma. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hell, K.G., and Silveira, M. 1974. Imbibition and germination of gamma irradiation Phaseolus
vulgaris seeds. Field Crop Abst., 38(6): 300.
Hutami, S., Mariska, I., dan Yati Supriati. 2006. Peningkatan keragaman genetik tanaman
melalui keragaman somaklonal. Jurnal AgroBiogen 2(2):81-88.
10
Aspek Perbenihan
IAEA. 2009. Induced Mutation in Tropical Fruit Trees. IAEA-TECDOC-1615. Plant Breeding and
Genetics Section. International Atomic Energy Agency, Vienna, Austria. p161.
Iglesias-Andreu, L.G., Octavio-Aguilar, P. and Bello-Bello, J. 2012. Current importance and
potential use of low doses of gamma radiation in forest species. In Gamma radiation
(Adrovic, F., Ed.).InTech Europe. Rijeka, Croatia. p. 265-280.
Indrayanti, R., N.A. Mattjik, A. Setiawan, Sudarsono. 2011. Radiosensitivity of banana cv.
Ampyang and potential application of gamma irradiation for variant induction. J. Agron.
Indonesia 39:112-118.
Iqbal, J. 1980. Effects of acute gamma irradiation, developmental stages and cultivar differences
on growth and yiel of wheat and sorghum plants. Environmental and Experimental
Botany, 20(3):219-231.
Ishak. 2012. Agronomic traits, heritability and G x E interaction of upland rice (Oryza sativa L.)
mutant lines. J. Agron. Indonesia 40:105-111.
Khan M.R., Qureshi, A.S., Syed, A.H. and Ibrahim, M. 2005. Genetic variability induced by
gamma irradiation and its modulation with gibberellic acid in M2 generation of Chickpea
(Cicer arietinum L.). Pakistan J. Bot.37(2):285-292.
Kim, J.; Chung, B.; Kim, J. and Wi, S. 2005). Effects of in planta gamma-irradiation on growth,
photosynthesis, and antioxidative capacity of red pepper (Capsicum annuum L.) plants.
Journal of Plant Biology, 48(1): 47-56.
Kovacs E, and Keresztes A. 2002. Effect of gamma and UV-B/C radiation on plant cell. Micron,
33:199-210.
Kovalchuk, I., Molinier, J., Yao, Y., Arkhipov, A., andKovalchuk, O. 2007. Transcriptome analysis
reveals fundamental differences in plant response to acute and chronic exposure to
ionizing radiation. Mutation Research 624:101–113.
Kumar, G. and Singh, Y. 2010. Induced intergenomic chromosomal rearrangements in Sesamum
indicum L. CYTOLOGIA, 75 (2):157-162.
Kumari, R. and Singh, Y. 1996. Effect of gamma rays and EMS on seed germination and plant
survival ofPisum sativum L., andLens culinaris.Med. Neo Botanica, 4(1): 25-29.
Kuzin, A.M., Vagabova, M.E., and Revin, A.F. 1976. Molecular mechanisms of the stimulating
action of ionizing radiation on seeds. 2. Activation of protein and high molecular RNA
synthesis. Radiobiologiya, 16: 259-261.
Kuzin, A.M., Vagabova, M.E., and Prinak-Mirolyubov, V.N. 1975. Molecular mechanisms of the
stimulating effect of ionizing radiation on seed. Activation of RNA synthesis.
Radiobiologiya., 15: 747-750.
Kuzin, A.M. 1997. Natural atomic radiation and pehnomenon of life. Bulletin of Experimental
Biology and Medicine 123:313–315.
Luckey, T. 2003. Radiation hormesis overview. RSO Magazine 4:19–36.
Luckey, T. 1998. Radiation hormesis: Biopositive effect of radiation. Radiation Science and
Health.CRC press. Boca Raton, FLO, USA.
Marcu, D., Cristea, V., and L. Daraban. 2012. Dose-dependent effects of gamma radiation on
lettuce (Lactuca sativa var. capitata) seedlings. International Journal of Radiation
Biology, 1–5.
Melki, M., and Morouani, A. 2009. Effects of gamma rays irradiation on seed germination and
growth of hard wheat. Environ Chem Lett. 8:307-310.
11
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Piri, I., Babayan, M., Tavassoli, A. and Javaheri, M. 2011. The use of gamma irradiation in
agriculture. African Journal of Microbiology Research 5(32): 5806-5811.
Poster, B.P., and Shu, Q.Y. 2012. Plant Mutagenesis in Crop Improvement: Basic Terms and
Applications. In Plant Mutation Breeding and Biotechnology (Shu, Q.Y., Poster, B.P. and
Nakagawa, Eds.). Joint FAO/IAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture
International Atomic Energy Agency, Vienna, Austria.
Qosim, W.A. 2006. studi Irradiasi Sinar Gamma Pada Kultur Kalus Nodular Manggis Untuk
Meningkatkan Keragaman Genetik Dan Morfologi Regeneran. [Disertasi]. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Relleve, L., Nagasawa, N., Luan, L.Q., Yagi, T., Aranilla, C.,and Abad, L. 2005. Degradation of
carrageenan by radiation. Polymer Degradation and Stability, 87: 403–410.
Rombo, G.O., Taylor, J.R.N., and Minnaar, A. 2004. Irradiation of maize and bean flours: Effects
on starch physicochemical properties. J. Sci. Food Agric., 84: 350–356.
Santosa, E., Pramono, S., Mine Y., and N. Sugiyama. 2014. Gamma Irradiation on Growth and
Development of Amorphophallus muelleri Blume. J. Agron. Indonesia 42 (2) : 118-123.
Shu, Q.Y. 2013. Plant Mutation Breeding. Joint FAO/IAEA Division of Nuclear Techniques in Food
and Agriculture International Atomic Energy Agency, Vienna, Austria.
Singh, N. K. and Balyan H. S. 2009 Induced mutations in bread wheat (Triticum aestivum L.) CV.
”Kharchia 65” for reduced plant height and improve grain quality traits. Advances in
Biological Research, 3(5-6):215-221.
Sjodin, J. 1962. Some observations in X1 and X2 of Vicia faba L. after treatment with different
mutagens. Hereditas 48:565–573. Sjodin J. 1962. Some observations in X1 and X2 of
Vicia faba L. after treatment with different mutagens. Hereditas 48:565–573.
Sobir dan Poerwanto, R. 2007. Mangosteen genetic and improvement. Intl J Pl Breed 1(2): 105-
111.
Sobrizal. 2007. Rice mutation on candidate of restorer mutant lines. J. Agron. Indonesia 35:75-
80.
Soeranto, H. dan Sihono. 2010. Sorghum breeding for improved drought tolerance using
induced mutation with gamma irradiation. J. Agron. Indonesia 38:95-99.
Sokolov, M., Isayenkov, S. and Sorochynskyi, B. 1998. Low-dose irradiation can modify viability
characteritics of common pine (Pinus sylvestris) seeds. Tsitologiya Genetika, 32(4):65-71.
Sparrow, A. and Woodwell, G. (1962). Prediction of the sensitivity of plants to chronic
gammairradiation. Radiation Botany, 2(1): 9-12.
Surya, M.I. dan Soeranto R. (2006). Pengaruh Irradiasi Sinar Gamma terhadap Pertumbuhan
Sorgum manis (Sorghum bicolor L.). Risalah Seminar Ilmiah Aplikasi lsotop dan Radiasi,
Pp206-215.
Toker C., B. Uzen, H. Canci and F.O. Ceylan. 2005. Effects of gamma irradiation on the shoot
length of Cicer seeds.Radiation Physics and Chemistry.73:365-367.
Vaiserman, A. (2010). Hormesis, adaptive epigenetic reorganization, and implications for
human health and longevity. Dose Response, 8(1):16–21.
Van Harten, A.M. 1998. Mutation Breeding. Theory and Practical Aplication. Press Syndicate of
the Univ. of Cambridge. UK.
WHO (World Health Organization). 1988. Food irradiation: A technique for preserving and
improving the safety of food (WHO Publication in Collaboration with FAO). pp. 144-149.
12
Aspek Perbenihan
Zaka, R., Chenal, C., andMisset, M.T. 2004. Effect of low doses of short-term gamma irradiation
on growth and development through two generation of Pisum sativum. Science of the
Total Environment 320:121–129.
Zanzibar, M dan Witjaksono. 2011. Pengaruh Penuaan dan Iradiasi Benih dengan Sinar Gamma
(60C) Terhadap Pertumbuhan Bibit Suren (Toona sureni Blume Merr). Jurnal Penelitian
Hutan Tanaman. 8 (2):89-95.
Zanzibar, M. and Sudrajat, D.J. 2015. Effect of Gamma Irradiation on Seed Germination,
Storage, and Seedling Growth of Magnolia champaca (L.) Baill. ex Pierre. Belum
dipublikasikan.
Zanzibar, M., Sudrajat, D.J., Putra, P.G., dan Supardi, E. 2008. Teknik Invigorasi Benih Tanaman
Hutan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Bogor.
13
Aspek Perbenihan
ABSTRAK
Sertifikasi mutu benih dan bibit merupakan suatu sistem pengendalian mutu benih dan bibit yang
bertujuan untuk melindungi produsen/pengada, pengedar dan pengguna benih dan bibit. Sertifikasi
mutu benih dan bibit di Indonesia dijalankan dengan menggunakan beberapa standar pengujian dan
standar mutu yang merupakan perangkat/metode uji dan persyaratan lulus uji. Secara operasional,
standar pengujian dan mutu benih dan bibit ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah
Aliran Sungai dan Hutan Lindung (Direktur Bina Perbenihan Tanaman Hutan). Standar uji dan mutu
benih dan bibit untuk beberapa jenis tanaman hutan juga telah menjadi SNI, dan telah menjadi acuan
khususnya bagi laboratorium-laboratorium yang telah terakredisasi KAN. Tentunya, teknologi yang tepat
sangat diperlukan untuk memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dalam standar mutu benih
dan bibit. Untuk sebagian jenis, SNI penanganan benih tanaman hutan dapat dapat dijadikan acuan
untuk meningkatkan mutu benih dan bibit dan memenuhi ketentuan dalam standar mutu benih dan
bibit.
Kata kunci: benih, bibit, penanganan, sertifikasi, standar
I. PENDAHULUAN
Kegiatan eksploitasi yang berlebihan, kebakaran hutan, dan perambahan hutan telah
mengakibatkan semakin terdegradasinya kawasan hutan. Laju degradasi hutan tersebut belum
mampu diimbangi dengan regenerasi alami maupun rehabilitasi melalui kegiatan penanaman.
Hal ini berdampak pada makin luasnya lahan kritis. Menurut data Depertemen Kehutanan
(2014) diperkirakan hingga tahun 2011 luas lahan kritis mencapai ±27,29 juta hektar. Luasan
tersebut terdiri dari 5,27 juta ha lahan sangat kritis dan 22,02 juta lahan kritis. Luas lahan kritis
ini sebenarnya mengalami penurunan dibandingkan tahun 2005 yang mencapai ±30,19 juta
hektar. Hal ini menunjukkan bahwa upaya rehabilitasi lahan kritis tersebut terus dilakukan
meskipun hasilnya belum optimal. Kegiatan rehabilitasi dan reboisasi lahan tersebut
memerlukan dukungan ketersediaan benih dan bibit yang bermutu.
Mutu benih didefinisikan sebagai ukuran karakter-karakter atau atribut-atribut yang
akan menentukan performa benih ketika ditabur atau disimpan. Definisi tersebut mempunyai
multi konsep yang menekankan pada attribut fisik, fisiologi, genetik, fatologi dan entomologi
yang mempengaruhi performa kelompok benih. Dengan kata lain, mutu benih diartikan sebagai
derajat dimana mana benih tersebut bisa hidup, aktif bermetabolisme dan memiliki enzim-
enzim yang mampu mengkatalis reaksi-reaksi metabolime yang diperlukan untuk
perkecambahan dan pertumbuhan semai. Mutu benih juga bisa dicerminkan dari penampilan
fisik benih (kadar air, kemurnian dan berat benih) dan fisiologis (daya berkecambah) yang
dijadikan parameter utama pengujian benih dalam rangka sertifikasi mutu benih di Indonesia
(Sudrajat dan Nurhasybi, 2009). Benih-benih yang bermutu baik secara fisik dan fisiologis akan
mampu tumbuh menjadi bibit yang bermutu.
Mutu bibit merupakan ekspresi yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan
bibit untuk beradaptasi dan tumbuh setelah penanaman. Kriteria mutu bibit sangat terkait
dengan jenis dan lingkungan tempat tumbuhnya (ekologi), sehingga tidak dapat diadopsi secara
15
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
langsung dari berbagai jenis yang berbeda atau dari berbagai wilayah yang lain. Bibit bermutu
merupakan bibit yang mampu beradaptasi dan tumbuh baik ketika ditanam pada suatu tapak
yang sesuai dengan karakteristik jenisnya (Mattson, 1996; Wilson dan Jacobs, 2005). Makin
banyaknya permintaan bibit tanaman hutan untuk kegiatan penanaman perlu didukung standar
mutu bibit (nursery stock standard) sebagai perangkat pengendalian mutu bibit yang beredar
(ANLA, 2004; Jacobs et al., 2005).
Di Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya, pengendalian mutu benih dan
bibit dilakukan melalui sistem sertifikasi mutu yang diatur dalam bentuk peraturan yang
dikeluarkan pemerintah (Van der Meer, 2002; Van Gastel et al., 2002; Louwaars, 2005).
Sertifikasi mutu benih dan bibit tersebut memerlukan perangkat berupa standar uji dan standar
mutu benih dan bibit (Tripp, 1997; Louwaars, 2005) yang secara operasional diatur dalam
bentuk Surat Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (sekarang
Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung) dan Standar Nasional
Indonesia. Untuk memenuhi kriteria parameter yang ditetapkan dalam standar, tentunya
teknologi penanganan benih dan bibit yang standar sesuai dengan jenisnya sangat diperlukan
(Cicero, 1998; Sudrajat, 2010). Tulisan ini memberikan informasi standar mutu benih dan bibit,
serta teknologi penanganannya untuk memenuhi kriteria dalam standar mutu benih dan bibit
tersebut.
II. SISTEM SERTIFIKASI SEBAGAI SISTEM PENGENDALIAN MUTU BENIH DAN BIBIT
A. Sistem Sertifkasi Mutu Benih Berdasarkan ISTA
Skema sertifikasi benih ISTA bertujuan untuk mengatur pemberian sertifikat ISTA hasil
penguji benih. Sertifikat hanya diberikan oleh laboratorium yang menjadi anggota ISTA dan
telah diakreditasi sesuai dengan peraturan ISTA. Sertifikat ISTA terdiri dari 2 kategori (ISTA,
2011), yaitu:
1) Sertifikat benih internasional warna oranye diterbitkan ketika pengambilan contoh dari
kelompok benih dan pengujian contoh dilaksanakan di bawah tanggung jawab suatu
laboratorium yang terakreditasi atau ketika pengambilan contoh dari kelompok benih dan
pengujian contoh dilaksanakan di bawah tanggung jawab laboratorium terakreditasi yang
berbeda. Apabila pengambilan contoh dan pengujian contoh masing-masing dilakukan oleh
laboratorium terakreaditasi yang berbeda, maka harus dinyatakan dalam sertifikat.
2) Sertifikat benih internasional warna biru diterbitkan ketika pengambilan contoh dari
kelompok benih tidak berada di bawah tanggung jawab suatu laboratorium yang
terakreditasi. Laboratorium yang terakreditasi hanya bertanggung jawab pada pengujian
contoh yang dikirimkan. Laboratorium tersebut tidak bertanggung jawab dalam kaitan
dengan contoh benih dan dengan kelompok benih darimana contoh tersebut berasal.
Sertifikat internasional biru menekankan pada laporan hasil pengujian terbatas pada contoh
yang diuji sesuai dengan waktu penerimaan contoh.
B. Sistem Sertifikasi Mutu Benih Berdasarkan OECD
Salah satu sistem pengendalian mutu yang telah lazim digunakan di banyak negara
selama puluhan tahun adalah sertifikat benih berdasarkan skema OECD (Organization for
Economic Co-operation and Development) yang didukung oleh pengujian mutu benih berbasis
ISTA Rules (ISTA, 1985). Sejak diterapkannya sistem sertifikat benih, volume perdagangan
benih secara internasional mengalami peningkatan. Di negara-negara Eropa, keberhasilan
sertifikat memacu komersialisasi benih rumput, serta mendorong pengembangan sertifikat
pada benih-benih sereal dan tanaman lain. Skema sertifikasi OECD telah diterapkan di semua
16
Aspek Perbenihan
negara anggota OECD ditambah Yugoslavia, Cyprus, Israel, New Zealand, Polandia dan Afrika
Selatan. Sertifikat benih juga telah diakui memainkan peranan penting dalam meningkatkan
produktifitas pertanian Amerika (Weimortz, 1985). Sistem serifikasi benih OECD menggunakan
beberapa klasifikasi sebagai berikut:
1) Materi berasal dari sumber teridentifikasi (source identified materials): Persyaratan yang
diperlukan meliputi: a) wilayah dari provenan dimana materi dikumpulkan dan asal usul dari
materi (indigenous atau non indigenous) ditentukan dan didaftar oleh institusi yang
berwenang, dan b) benih dikumpulkan, diproses dan disimpan, dan tanaman ditumbuhkan
dibawah pengawasan institusi yang berwenang. Label benih berwarna kuning.
2) Materi terseleksi (selected materials): memiliki persyaratan yang sama seperti di atas, dan
berasal dari materi dasar yang memenuhi persyaratan tertentu, disetujui dan diregister oleh
institusi yang berwenang. Penekanan persyaratan khususnya untuk kriteria seleksi,
keseragaman, kualitas, isolasi dan asal usul. Label benih berwarna hijau.
3) Materi dari kebun benih yang belum teruji (materials from untested seed orchards): materi
berasal dari benih yang diproduksi dari kebun benih yang uji keturunannya belum selesai
dilakukan. Label benih berwarna pink.
4) Materi teruji (tested materials): materi berasal dari benih yang diproduksi dari kebun benih
yang teruji dari hasil uji keturunan yang telah dilakukan. Label benih berwarna biru.
C. Sistem Sertifikasi Mutu Benih di Indonesia
Sertifikasi mutu benih telah diatur dalam beberapa peraturan perudang-undangan,
seperti: (1) Undang Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman, (3) Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P01/Menhut-II/2009 tentang Sistem Perbenihan Tanaman Hutan.
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Menteri tersebut menunjukkan betapa
pentingnya perbenihan dalam mewujudkan pertanian, kehutanan dan perkebunan yang maju,
efisien, dan tangguh. Ketentuan tentang pengujian mutu diatur dalam pasal 33 dari PP Nomor
44 tahun 1995, sebagai berikut:
Untuk memenuhi standar mutu yang ditetapkan, produksi benih bina harus melalui sertifikasi
yang meliputi:
a. Pemeriksaan terhadap:
1. kebenaran benih sumber atau pohon induk;
2. petanaman dan pertanaman;
3. isolasi tanaman agar tidak terjadi persilangan liar;
4. alat panen dan pengolahan benih;
5. tercampurnya benih.
b. Pengujian laboratorium untuk menguji mutu benih yang meliputi mutu genetis, fisiologis dan
fisik.
c. Pengawasan pemasangan label.
Ketentuan tentang sistem sertifikasi untuk benih-benih tanaman hutan diatur dalam
Peraturan Menteri Kehutanan No. P01/Menhut-II/2009 pasal 47 yang menyatakan bahwa
“Setiap benih atau bibit yang beredar harus jelas kualitasnya yang dibuktikan dengan: sertifikat
mutu untuk benih atau bibit yang berasal dari sumber benih bersertifikat; atau surat
keterangan pengujian untuk benih dan/atau bibit yang tidak berasal dari sumber benih
bersertifikat”. Berdasarkan pasal 48, Sertifikat mutu benih dan bibit diterbitkan oleh Dinas
Kabupaten/Kota, Dinas Provinsi, atau Balai, dimana pada pasal 50 dinyatakan bahwa Dinas
Kabupaten/Kota dan Dinas Provinsi yang melaksanakan sertifikasi harus memenuhi kriteria dan
standar pelaksana sertifikasi yang selanjutnya diatur dalam Lampiran 10 Peraturan Menteri
17
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
tersebut. Lebih lanjut pada pasal 51, dinyatakan bahwa Dinas Kabupaten/Kota melakukan
sertifikasi terhadap mutu benih dan/atau bibit yang diproduksi di wilayahnya. Dinas Provinsi
melakukan sertifikasi di wilayah Kabupaten/Kota terhadap Kabupaten/Kota yang belum
memiliki Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 atau tidak memilih urusan perbenihan
tanaman hutan. Balai melakukan sertifikasi di wilayah Provinsi terhadap Provinsi dan
Kabupaten/Kota yang belum memiliki Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 atau
Kabupaten/Kota tidak memiliki urusan perbenihan tanaman hutan. Hasil pengujian tersebut
dikategorikan dalam dua jenis, yaitu Sertifikat Mutu Benih dan Sertifikasi Mutu Bibit. Sertifikat
ini diterbitkan apabila benihnya berasal dari sumber benih bersertifikat, dan Surat Keterangan
Hasil Pengujian diterbitkan apabila benihnya tidak jelas asal usulnya.
18
Aspek Perbenihan
c. batang bibit berkayu, diukur dari pangkal batang sampai dengan setinggi 50% dari tinggi
bibit.
2. Syarat khusus meliputi:
a. tinggi bibit, yang diukur mulai dari pangkal batang sampai pada titik tumbuh teratas
b. diameter batang bibit, yang diukur pada pangkal batang
c. kekompakan media, yang ditetapkan dengan cara mengangkat satu persatu dari
beberapa jumlah contoh bibit
d. kekompakan media dibedakan ada 4 yaitu utuh, retak, patah, lepas
e. jumlah daun sesuai dengan jenisnya sedangkan untuk jenis tanaman yang berdaun
banyak seperti Pinus sp., Paraserianthes sp., parameter yang digunakan adalah Live
Crown Ratio (LCR)
f. LCR adalah nilai perbandingan tinggi tajuk dan tinggi bibit dalam persen
g. umur sesuai dengan jenisnya.
Hingga tahun 2009, standar pengujian dan mutu bibit tanaman hutan berdasarkan
Perdirjen RLPS No. P.05/V-Set/2009,baru mencantumkan standar mutu bibit untuk 13 jenis
tanaman hutan. Begitu juga dengan SNI mutu bibit yang baru memuat 7 jenis (BSN, 2005).
Namun bersamaan dengan kegiatan penyusunan standar mutu benih yang dimulai tahun 2009,
hingga tahun 2014, standar mutu bibit telah disusun untuk 76 jenis tanaman hutan (Lampiran
2). Standar tersebut didasarkan pada parameter morfologi bibit siap tanam yang diperoleh dari
beberapa kegiatan, yaitu: 1). data hasil sertifikasi mutu bibit (2003-2014), 3). pengujian mutu
bibit di BPTH, Badan Litbang dan Inovasi, Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan
Perguruan Tinggi, dan 3). hasil uji lapang penanaman berdasarkan klasifikasi morfologi bibit
(masih terbatas pada beberapa jenis tanaman hutan). Standar ini disusun dengan
mempertimbangkan kondisi bibit siap tanam yang beredar di tingkat pengada, pengedar dan
pengguna sehingga standar ini terjangkau oleh pengada/pengedar benih, mampu menjamin
mutu bibit yang diterima pengguna, dan akhirnya mampu meningkatkan mutu bibit yang
beredar.
19
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
(misalnya: agathis, pinus). Pemetikan pada pohon yang tinggi dilakukan dengan cara
pemanjatan. Pengumpulan buah di lantai hutan digunakan untuk buah/benih yang jatuh di
bawah pohon dan tidak mudah dimakan pemangsa, tidak mudah tersebar/terbang, tidak cepat
berkecambah dan tidak cepat rusak serta berukuran besar. Sebelum pengumpulan buah
terlebih dahulu lantai hutan dibersihkan dan dibentangkan alas berupa jaring/terpal sebagai
penampung. Pengumpulan dilakukan segera setelah buah jatuh dan sebelum buah terbuka,
rusak atau berkecambah (Schmidt, 2002).
Penyimpanan sementara dilakukan jika pengumpulan buah berjangka waktu panjang
serta lokasi pengunduhan yang cukup jauh dari tempat penanganan. Kegiatan yang dilakukan di
lokasi penyimpanan sementara adalah pengurangan campuran selain buah/benih,
pengendalian kemunduran (deteriorasi) misalnya: memisahkan buah yang telah berjamur, buah
yang telah terfermentasi dan yang telah berkecambah. Lingkungan tempat penyimpanan
sementara harus memiliki sirkulasi udara yang baik, terjaga dari organisme pengganggu,
terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung (di bawah naungan/atap).
Pengangkutan buah jenis rekalsitran, harus segera dilakukan setelah pengumpulan
buah. Wadah angkut buah selama pengangkutan menggunakan wadah yang berpori (misalnya:
karung goni atau keranjang). Setiap wadah angkut buah diberi label yang tidak mudah rusak
dan berisi informasi: jenis tanaman, kelas dan lokasi sumber benih (letak geografi dan
administrasi), jumlah pohon induk (identitas pohon induk jika ada), jumlah/berat buah, tanggal
pengunduhan, dan nama pengunduh.
2. Penanganan benih
Penanganan benih dilakukan untuk memperoleh benih bersih dan murni dengan
kualitas fisik fisiologis yang baik. Benih yang belum mencapai tingkat kemasakan sempurna
(kulit buah yang belum matang) diperlukan pemasakan buatan (pemeraman/curing) (seperti
pinus). Benih yang telah masak namun embrionya belum berkembang perlu dilakukan
pemasakan lanjutan (after ripening) hingga embrio matang sempurna (seperti mahoni,
kesambi, jati). Benih yang tidak memerlukan pemeraman dan pemasakan lanjutan dapat
langsung diekstraksi.
a. Ekstraksi benih
Ekstraksi benih dapat dilakukan dengan metode ekstraksi kering dan ekstraksi basah.
Ekstraksi kering dilakukan pada buah yang tidak berdaging, berbentuk polong atau
kerucut/bersisik dengan cara manual atau semi mekanis. Ekstraksi kering dilakukan dengan
cara: 1). penjemuran pada lantai jemur atau menggunakan alas jemur (terpal), 2).
penjemuran di bawah sinar matahari selama 1 – 3 hari, atau dapat menggunakan alat
pengering benih (seed dryer) pada suhu 35-38°C selama 12-24 jam, 3). penjemuran/
pemanasan dihentikan ketika buah telah merekah, dan benih mudah untuk dikeluarkan dari
buah.
Ekstraksi basah dilakukan pada buah berdaging dengan cara manual atau semi mekanis.
Ekstraksi basah dilakukan dengan cara: 1). perendaman buah dalam bak berisi air hingga
daging buah melunak atau benih mudah dikeluarkan dari buah, 2). kulit buah dikelupas dan
kulit benih dibersihkan dari daging buah dengan menggunakan pasir halus atau bahan
lainnya pada air yang mengalir, 3). pengeringan permukaan kulit benih dikeringanginkan
dalam ruang kamar atau dijemur.
b. Pembersihan, seleksi dan sortasi benih
Pembersihan benih hasil ekstraksi kering dilakukan dengan cara: ditampi, disaring,
direndam-dijemur atau menggunakan penghembus angin (blower). Pembersihan benih hasil
ekstraksi basah dilakukan pencucian dengan air. Seleksi benih dilakukan untuk memisahkan
20
Aspek Perbenihan
benih berisi dari benih kosong, kotoran dan benih jenis lain. Sortasi benih dilakukan
berdasarkan ukuran benih (berat dan dimensi). Seleksi dan sortasi dapat menggunakan seed
gravity table (SGT), saringan dengan ukuran tertentu, teknik pengapungan/perendaman dan
blower.
c. Pengeringan benih
Pengeringan benih hanya ditujukan untuk benih intermediate dan benih
ortodoks.Pengeringan benih intermediate dikeringanginkan pada suhu kamar sampai
mencapai kadar air aman untuk penyimpanan (8-12%). Pengeringan benih ortodoks
dilakukan secara mekanis atau dijemur sampai mencapai kadar air aman untuk penyimpanan
(4-8%). Selama proses pengeringan, sebelum benih mencapai kondisi kadar air aman untuk
penyimpanan harus diletakkan pada suhu kamar dengan aerasi/pertukaran udara yang
cukup.
d. Pengemasan
Wadah pengemasan benih untuk benih rekalsitran menggunakan wadah berpori hingga
semi permeabel terhadap uap air dan gas seperti kantong plastik tipis dengan ketebalan 0,1 -
0,25 mm, karung goni, karung katun, kotak kayu, dan keranjang. Untuk benih intermediate
dan ortodoks dapat menggunakan wadah kedap terhadap uap air dan gas seperti kaleng
aluminium atau timah, plastik tebal, drum, botol kaca, dan jerigen. Selain itu, bahan
pencampur juga digunakan untuk penyimpanan dan pengiriman benih rekalsitran. Bahan
pencampur digunakan untuk menjaga kelembaban agar kadar air benih tetap terjaga/tidak
terjadi penurunan, mengurangi kerusakan benih, meredam panas serta mengendalikan
hama dan penyakit. Bahan pencampur seperti serbuk kayu, serbuk arang, dan serbuk sabut
kelapa harus lembab dengan kadar air yang sama dengan kadar air benihnya. Perbandingan
volume bahan pencampur dengan benih adalah 2 : 1.
e. Penyimpanan Benih
Penyimpanan benih hanya dapat dilakukan pada benih intermediate dan ortodoks,
sedangkan benih rekalsitran hanya dapat disimpan sementara (maksimal 4 minggu). Wadah
simpan yang digunakam umumnya sama dengan wadah untuk pengemasan pada bagian 4.
Ruang simpan benih intermediate dan ruang simpan sementara benih rekalsitran dapat
menggunakan ruang simpan suhu kamar dan ruang simpan kering sejuk/air conditioning.
Untuk benih-benih ortodoks, ruang simpan benih dapat menggunakan (Schmitd, 2002):
- Ruang simpan suhu kamar (suhu 25- 30oC, kelembaban nisbi 70 - 80%).
- Ruang simpan kering sejuk/air conditioning (suhu 18-20oC, kelembaban nisbi 70%).
- Ruang simpan lembab dingin/cold storage (suhu 4-8oC, kelembaban nisbi 50-60%).
- Ruang simpan kering dingin/drycold storage (suhu 4-8oC, kelembaban nisbi 40-50%).
- Ruang simpan lemari pendingin/refrigerator (suhu 4-6oC, kelembaban nisbi 40-50%).
Untuk benih yang disimpan harus disertai label yang berisi informasi mengenai: jenis
tanaman, kelas dan lokasi sumber benih (letak geografi dan administrasi), jumlah pohon
induk (identitas pohon induk jika ada), nomor kelompok benih, waktu panen, waktu simpan,
waktu pengujian, kadar air, daya berkecambah, dan berat benih.
f. Pengendalian hama dan penyakit
Pengendalian hama dan penyakit benih dimulai sejak pengumpulan buah, yaitu
pengumpulan buah dilakukan di awal musim panen, pengumpulan buah dari lantai hutan
harus menggunakan alas serta menyeleksi kondisi buah serta memisahkan benih dari benih
rusak dan kotoran. Pengendalian hama dan penyakit pada saat penyimpanan dilakukan
dengan mempertahankan kadar air aman benih dan fumigasi serta pemeriksaan kesehatan
benih secara berkala. Fumigasi dilakukan secara berkala minimal 6 bulan sekali pada wadah
21
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
dan ruang simpan. Sterilisasi benih dilakukan sebelum perkecambahan menggunakan antara
lain: natrium hipoklorit 1%, ethanol 70% dan pestisida nabati dengan lama perendaman
berkisar 5 - 10 menit.
B. Teknologi Penanganan Bibit
1. Penaburan benih
Benih yang memiliki dormansi diperlukan perlakuan pendahuluan. Benih ditaburkan
pada media yang steril, berpori, mengikat air misalnya tanah, pasir, gambut halus, zeolit, serbuk
sabut kelapa. Bak tabur untuk benih kecil yang berukuran halus (seperti jabon, ekaliptus,
benuang, kayu putih) ditutup plastik transparan hingga keluar sepasang daun. Benih-benih
yang berkarakter rekalsitran seperti mimba, kayu bawang, shorea, sebaiknya langsung ditanam
di bedeng atau bak penaburan.
Kelembaban media perlu dijaga agar tidak terlalu tinggi sehingga bibit aman dari
serangan jamur patogen. Untuk itu pastikan bahwa lingkungan media perkecambahan memiliki
aerasi yang baik dan pastikan untuk menyiram dengan intensitas yang berlebihan dan secara
rutin dilakukan penyemprotan dengan fungisida.
2. Penyapihan
Penyapihan dilakukan ketika semai telah memiliki minimal sepasang daun atau tinggi
semai telah mencapai 3-5 cm. Penyapihan dilakukan pada kondisi teduh misal pada saat pagi
atau sore hari sehingga bibit tidak layu karena panas matahari. Media tabur dibasahi terlebih
dahulu. Ambil bibit dengan cara memasukkan ranting kecil ke media di bawah akar bibit
kemudian mencungkil media pelan-pelan hingga bibit terangkat. Hindari memegang bibit pada
batangnya tetapi peganglah kotiledon atau daunnya. Usahakan akar tertanam lurus dan tidak
rusak.
Kesalahan umum saat penyapihan yang harus dihindari adalah lubang terlalu dalam
(bibit tertanam setengah terkubur), atau lubang terlalu dangkal sehingga tanaman akan mudah
mengalami kekeringan, akar tersingkap, atau akar menjadi bengkok. Bibit yang disapih dengan
tidak tepat maka sistem perakaran akan terganggu yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman
yang kurang baik, terutama ketika tumbuh di lapangan.
3. Penyiraman
Media didalam polibag/wadah yang telah ditumbuhi bibit harus betul-betul tersiram
secara menyeluruh, pastikan air membasahi media sampai ke bagian dasarnya. Jadi tujuan
penyiraman adalah membasahi media bukan untuk sekedar membasahi daun. Kekuatan
semprotan air tidak terlampau keras yang menyebabkan erosi atau kehilangan permukaan
media. Penyiraman dilakukan dua kali sehari terutama selama musim panas. Untuk bibit muda
dari jenis tertentu yang berukuran kecil, penyiraman dengan menggunakan alat siram yang
menghasilkan semprotan air yang halus. Pemberian air yang terlalu banyak dapat merusak
tanaman seperti halnya kekurangan air, karena air yang menggenang menyebabkan air
memenuhi pori-pori udara yang ada di dalam media dan menyebabkan media memadat
sehingga akar tidak bisa bernapas. Penyiraman berlebihan juga mengakibatkan bibit tumbuh
cepat namun lemah dan memacu penyebaran jamur dan bakteri patogen.
4. Wiwil dan penyiangan
Wiwil atau membuang daun-daun tua, kering, busuk, atau berpenyakit, dilakukan ketika
bibit mencapai ketinggian atau umur tertentu misal pada jati ketika bibit berketinggian ±20 cm.
Wiwil berfungsi untuk memperbaiki sirkulasi udara, mencegah berkembang dan menularnya
hama penyakit. Penyiangan atau pembersihaan gulmaharus rutin dilakukan. Pembersihan
gulma sangat penting ketika bibit masih pada awal pertumbuhan, karena gulma biasanya lebih
22
Aspek Perbenihan
kuat dan tumbuh lebih cepat daripada bibit dan menjadi kompetitor bibit dalam memperoleh
air, hara dan ruang tumbuh.
5. Pemangkasan akar dan penjarangan bibit
Pemangkasan akar adalah pemotongan akar untuk mengendalikan pengembangan
sistem akar di luar pot semai. Pemangkasan akar secara rutin perlu dilakukan karena ketika
bibit telah mencapai ukuran tertentu akarnya akan tumbuh menjadi lebih panjang dari ukuran
pot semai dan menembus ke dalam tanah. Untuk pelaksanaan pemangkasan akar, bibit disiram
terlebih dulu, kemudian potong setiap akar yang tumbuh menembus ke dalam. Pemangkasan
hendaknya dilakukan pada pagi atau sore hari atau pada saat hari berawan. Untuk menghindari
kelayuan bibit, siram kembali bibit setelah pemangkasan. Pertumbuhan akar di bawah semai
juga dapat dihambat dengan meletakkan bibit pada rak, lembaran plastik atau lantai semen.
Seiring dengan pertumbuhan bibit maka daun dan tunas muda akan menjadi berdesak-desakan
sehingga sebagian bibit tidak cukup menerima sinar matahari yang diperlukan untuk
pertumbuhannya. Sebelum hal ini terjadi, bibit-bibit yang berada di bedeng semai harus
dijarangkan. Jarak tidak hanya membantu bibit untuk menerima sinar matahari yang cukup,
tetapi juga memudahkan pemantauan bibit yang terserang hama dan penyakit.
6. Pencegahan dan pengendalian hama penyakit
Pada tingkat bibit, tanaman lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit (biotik)
dan juga kerusakan karena kondisi cuaca (abiotik), sehingga perlu diantisipasi sedini mungkin.
Hama yang sering merusak bibit adalah serangga (belalang, ngengat, semut) dan ulat,
sedangkan penyakit di antaranya adalah jamur, bakteri, virus dan cacing. Insektisida sistemik
atau nabati dapat digunakan untuk mengendalikan serangan hama. Penyakit yang menyerang
bibit antara lain adalah rebah semai (dumping off), embun tepung (powdery mildew), bercak
daun (leaf spot), layu (wilt), dan mati pucuk (die back). Sterilisasi media, air penyiraman yang
bersih, penaburan yang tidak terlalu padat, pemberian fungisida secara teratur 2 atau 4 minggu
sekali, pengaturan intensitas cahaya, dan menjaga kelembaban media tidak terlalu tinggi dan
tidak terlalu rendah dapat menghindari serangan jamur seperti lodoh (Departemen Kehutanan,
2004).
7. Pemupukan
Pemupukan dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan bibit secara optimal. Sebelum
dilakukan pemupukan, perlu adanya analisis kesuburan media. Pemupukan dilakukan secara
tepat dan tidak berlebihan. Dosis pupuk yang berlebihan akan menyebabkan pertumbuhan
tidak seimbang (terlalu cepat namun bibit mudah patah, mudah layu, dan rasio pucuk akar
tidak seimbang), pertumbuhan tanaman terganggu karena pupuk yang berlebihan akan bersifat
toksik dan juga mengganggu pertumbuhan mikroorganisme dalam media yang bermanfaat
seperti mikoriza. Pupuk yang paling umum adalah NPK. Pupuk dapat dilarutkan dalam air
dengan mencampurkan satu sendok pupuk dalam 10 liter air dapat diterapkan untuk
penyiraman. Pemberian pupuk sintetik/kimiawi mungkin tidak diperlukan jika media
persemaian telah berisi nutrisi yang mencukupi untuk mendukung pertumbuhan bibit, seperti
telah mengandung campuran kompos atau pupuk kandang yang memadai untuk pertumbuhan
bibit.
8. Seleksi dan aklimatisasi (hardening off)
Seleksi bibit bertujuan untuk menyortir bibit yang menunjukkan gejala terserang hama
atau penyakit, memiliki pertumbuhan yang tertekan, memiliki batang utama bercabang,
bengkok, mati atau patah, sehingga bibit siap tanam memiliki penampilan yang relatif seragam.
Bibit siap tanam dipisahkan dan dikelompok dan sebelum didistribusikan ke lapangan, terlebih
dahulu dilakukan aklimatisasi (Sudrajat et al., 2010).
23
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Aklimatisasi bertujuan untuk mempersiapkan bibit agar dapat beradaptasi pada kondisi
lapangan penanaman. Aklimatisasi dilakukan dengan cara meningkatkan cahaya yang diterima
oleh bibit, peningkatan jarak antar bibit dan mengurangi penyiraman (hardening off). Pada saat
hardening off, bibit masih berada di bawah naungan namun intensitas cahaya ditingkatkan
dengan membuka sebagian shading net sehingga cahaya yang diterima bibit meningkat. Dalam
kondisi demikian, bibit mengalami proses pengayuan (lignifikasi) sehingga lebih kuat. Untuk
jenis-jenis toleran yang pertumbuhannya lebih baik bila berada di bawah naungan, bibit yang
dipindahkan langsung ke areal persemaian terbuka kemungkinan pertumbuhannya kurang
optimal, dengan demikian naungan ringan masih diperlukan. Aklimatisasi bibit dilakukan secara
bertahap dengan mengurangi naungan dan frekuensi penyiraman. Aklimatisasi dilakukan 2 - 3
minggu sebelum waktu tanam.
VI. PENUTUP
Standar mutu benih dan bibit merupakan perangkat pengendali yang berupa nilai
parameter mutu benih dan bibit yang menjadi acuan bagi hasil pengujian. Efisiensi
pengendalian ini harus didukung dengan perbaikan sistem produksi dan penanganan benih dan
bibit. Konsekuensinya serangkaian teknologi penanganan benih dan bibit dan prosedur
administrasi (dokumentasi benih dan bibit) harus diadopsi dan tidak ada kompromi dalam
penerapannya sehingga tujuan pengendalian tersebut dapat tercapai. Selain itu, upaya lain
untuk mendukung sistem pengendalian mutu ini dapat ditempuh dengan meningkatkan sistem
manajemen mutu internal pada tingkat produser/pengada benih dan bibit.
DAFTAR PUSTAKA
ANLA (American Nursery & Landscape Association). 2004. American Standard for Nursery Stock.
American Nursery & Landscape Association, Washington, USA.
BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2005. Mutu Bibit (Mangium, Ampupu, Gmelina, Sengon,
Tusam, Meranti, dan Tengkawang). Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. 13p.
24
Aspek Perbenihan
BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2014. SNI 7627:2014, Mutu fisik dan fisiologis benih
tanaman hutan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2014. SNI 7627:2014, Mutu fisik dan fisiologis benih
tanaman hutan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
Cicero, S.M. 1998. Establishment of qeed quality control program. Sci. Agric., Piracicaba,
55(Número Especial). p.34-38.
Departemen Kehutanan. 2004. Teknik pembibitan dan konservasi tanah. Buku I. Gerakan
Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2014. Statistik kehutanan Indonesia 2013. Departemen Kehutanan.
Jakarta
ISTA (International Seed Testing Association). 1985. International Rules for Seed Testing.
Switzerland.
ISTA (International Seed Testing Association). 2011. International Rules for Seed Testing.
Switzerland.
ISTA (International Seed Testing Association). 2013. International Rules for Seed Testing.
Switzerland.
Jacobs, D.F., E.S. Garnider, K.F. Salifu, R.P. Overton, G. Hernandes, M.E. Corbin, K.E. Wightman,
and M.F. Selig. 2005. Seedling quality standards for bottomland hardwood qfforestation
in the lower Mississippi River Aluvial Valley: Preliminary results. USDA Forest Service
Proceedings RMRS-P-35. pp. 9-16.
Louwaars, N. 2005. Biases and bottlenecks, time to reform the south’s and inherited seed laws?
Seedling July 2005. University of Wegeningen. pp 4-9.
Mattson, A. 1996. Predicting Field Performance Using Seedling Quality Assessment. New
Forests. 13:223-248.
Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. P.06/V-Set/2009
tentang Pedoman Pengujian Mutu Fisik-Fisiologis Benih Tanaman Hutan.
Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. P.05/V-Set/2009
tentang Petunjuk Teknis Penilaian Mutu Bibit Tanaman Hutan
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. 01/Menhut-II/2009 tentang
Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1995 tentang Perbenihan tanaman
Schmidt, L. 2002. Pedoman penanganan benih tanaman hutan tropis dan sub tropis.
Terjemahan. Kerjasama Direktorat Jenderal Rehabiltasi Lahan dan Perhutanan Sosial
dengan Indonesia Forest Seed Project. Jakarta.
Sudrajat, D.J. 2010. Kajian standar mutu fisik dan fisiologi benih tanaman hutan. Info Benih Vol.
14 No. 2, Desember 2010, hal. 81-87.
Sudrajat, D.J. dan Nurhasybi, 2009. Penentuan standar mutu fisik dan fisiologis benih tanaman
hutan.Info Benih No. 13 (1):147-158. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor.
Sudrajat, D.J., Kurniaty, R., Syamsuwida, D., Nurhasybi, dan Budiman, B. 2010. Kajian
standardisasi mutu bibit tanaman hutan di Indonesia. Seri Teknologi Perbenihan
Tanaman Hutan 2010, ISBN 978-979-3539-20-1.
Tripp, R. 1997. New seeds and old laws. Intermediate Technology Publications. London.
Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.
25
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
26
Aspek Perbenihan
STUDI AWAL TEKNOLOGI BENIH JENIS-JENIS MAHANG (Macaranga sp.) SEBAGAI JENIS
ALTERNATIF PENGHASIL KAYU PULP
ABSTRAK
Pembangunan hutan tanaman memerlukan input jenis-jenis baru termasuk untuk jenis-jenis yang
kayunya dapat dipergunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas. Jenis-jenis yang sudah lama
dipergunakan untuk bahan baku pulp diantaranya Acacia sp. memiliki keterbatasan akibat serangan
hama dan penyakit, dan menurunnya kualitas lahan untuk penanaman. Jenis seperti mahang
(Macaranga sp.) merupakan jenis alternatif yang potensial untuk dikembangkan.Pengadaan benih
bermutu baik memerlukan teknologi penanganan benih yang tepat untuk mendukung program
penanaman.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan anatomi benih, kriteria masak buah
mahang secara fisiologi, teknik pengujian mutu benih, kadar air benih kritis, dan hama dan penyakit
yang terbawa benih. Buah mahang masak fisiologi ditandai oleh warna kulit buah hijau hingga hijau
kecoklatan dan kulit benih berwarna hitam dan keras. Pemanenan buah harus dilakukan tepat waktu
agar benih tidak terlepas dari buahnya dan tersebar. Benih mahang dibungkus oleh lapisan luar
(eksodermis) yang tipis dan lebih mudah terkelupas, sedangkan bagian dalam (endodermis) memiliki
lapisan yang keras yang melindungi struktur bagian dalam benih. Struktur benih mahang
memperlihatkan posisi titik tumbuh yang memiliki radikal dan plumula, dikelilingi oleh kotiledon sebagai
cadangan makanan, tetapi secara morfologi dari luar tidak terlihat secara pasti posisi titik tumbuh
berada, sehingga dalam penaburan benih ke media tabur dapat dilakukan dengan arah penempatan
posisi benih yang bebas. Benih mahang memiliki karakter semi rekalsitran dengan kadar air awal lebih
dari 20% dengan kadar air kritis bervariasi 9-12% dan daya berkecambah 30-40%. Benih jenis ini
memiliki kulit yang keras sehingga dapat mempertahankan kadar air dan viabilitasnya dengan baik.
Benih mahang terbungkus dalam buah yang mempunyai 4 bagian (lokus). Tipe kecambah mahang
adalah epigeal sehingga dalam penaburannya posisi benih harus dekat dengan permukaan media tabur.
Pengukuran kadar air benih dapat dilakukan dengan metoda oven temperatur tetap pada temperatur
103+2°C selama 16, 18, 20, 22, 24 jam dan 130°C selama 1, 2, 3, 4 jam. Cendawan yang banyak
ditemukan pada benih mahang adalah Aspergillus sp., Penicillium sp. dan Rhizopus sp. yang merupakan
cendawan gudang. Sedangkan cendawan Fusarium, Botryodiplodia, Curvularia, Cylindrocladium dan
Pythium yang merupakan cendawan lapang ditemukan dalam jumlah kecil.
Kata kunci: hutan tanaman, jenis alternatif, mahang, penanganan benih, pulp
I. PENDAHULUAN
Pembangunan hutan tanaman yang dicirikan oleh kepentingan ekonomi dalam upaya
memenuhi kebutuhan manusia terhadap kayu untuk memenuhi berbagai keperluan terus
meningkat, tidak terkecuali kebutuhan terhadap kayu serat. Kebutuhan kayu yang sangat besar
untuk industri padat modal dengan jumlah pembiayaan triyulan atau ribuan milyard rupiah
diinvestasikan untuk membangun hutan tanaman kayu serat serta industrinya untuk
memproduksi pulp. Menurut Pasaribu dan Tampubolon (2007) dalam Mindawati (2009),
sebagian besar (mencapai 90%) bahan baku pulp dan kertas berasal dari kayu yang memiliki
keuntungan karena rendemen yang dihasilkan tinggi, kandungan lignin relatif rendah dan
kekuatan pulp dan kertas yang dihasilkan tinggi.
Jenis tanaman hutan yang banyak ditanam untuk memproduksi bahan baku pulp dan
kertas adalah jenis-jenis Acacia sp., terutama Acacia mangium dan Acacia crassicarpa. Kedua
27
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
jenis Acacia ini ditanam secara monokultur dalam luasan lahan yang sangat besar dengan
jumlah kumulatif mencapai jutaan hektar. Kelemahan dari penanaman sistem monokultur
mulai terlihat dengan ditemukannya serangan penyakit jamur akar yang banyak menyerang
tanaman A. mangium dan mengakibatkan kematian, seringnya terjadi kebakaran, dan
menurunnya produktivitas akibat menurunnya kualitas lahan penanaman, sehingga diperlukan
alternatif jenis tanaman hutan lain yang mampu memproduksi bahan baku pulp dan kertas.
Mahang (Macarangasp.) merupakan jenis-jenis tanaman hutan yang dapat dikembangkan
untuk memproduksi bahan baku pulp dan kertas.
Mahang tumbuh tersebar di Malaysia dan Indonesia (terutama di Kalimantan dan
Sumatera).Macarangasp. termasuk famili Euphorbiaceae. Pohonnya berukuran besar dengan
tinggi sampai 40 m dan diameter sampai 85 cm. Batangnya bulat, halus dan berwarna abu-abu
kotor, kadang-kadang berbanir meskipun tidak begitu nyata. Jenis ini dapat tumbuh pada
ketinggian kurang lebih 1000 m dpl dan merupakan jenis pohon pionir di hutan primer
(Rahmanto, 2000).Penyebarannya mulai dari semenanjung Thailand dan Malaysia, Sumatera,
Borneo dan Sulawesi (Sosef et al., 1998). Menurut Heyne (1987), jenis ini terdapat di Sumatera
Selatan yaitu terdapat di hutan-hutan sekunder dan di dataran rendah. Macarangasp.
merupakan jenis pionir yang mudah tumbuh pada hutan sekunder dan lahan terbuka.Jenis ini
beradaptasi pada kondisi ekologi yang beragam dan memiliki adaptasi tinggi untuk tumbuh
pada lahan hutan yang terbuka (Davies dan Ashton, 1999). Menurut Heyne (1987) dan
Rahmanto (2000), kayunya tidak awet akan tetapi mudah dikerjakan sehingga tanaman ini
dapat digunakan untuk kelom-kelom kayu, sarung pisau, gagang pacul, konstruksi sementara
dan secara khusus pada bagian rumah yang tidak kontak dengan tanah dan juga baik untuk
dibuat papan, kotak, alat-alat pelampung, peti kemas, korek api, dan kayu bakar.
Perluasan penanaman jenis mahang memerlukan penelitian penanganan benihnya
setelah dipanen sesuai dengan karakteristik benihnya. Beberapa faktor yang perlu diketahui
antara lain meliputi kriteria masak fisiologis buah, pengujian mutu benih, kadar air benih kritis,
dan inventarisasi hama dan penyakit benih serta pencegahannya.
II. METODOLOGI
A. Lokasi Penelitian
Pengumpulan benih mahang dilaksanakan di Kuok, Riau.Pengujian mutu benih
dilaksanakan di laboratorium Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan (BPTPTH)
di Bogor.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah benih jenis-jenis mahang
(Macarangasp.) yang meliputi benih mahang besar (Macaranga gigantea) dan mahang kecil
(Macaranga hypoleuca), alkohol, media perkecambahan, benomil,dan aquades.Alat yang
digunakan terdiri dari oven, bak kecambah, sprayer, gelas piala, petridish, oven, sprayer,
saringan, kaliper,thermohygrometer, lux meter, mikroskop, laminar air flow dan autoclave.
C. Prosedur
1. Penentuan tingkat kemasakan benih meliputi: (a) pengamatan struktur anatomi buah dan
biji/benih,(b) kadar air benih,dan (c) perkecambahan. Pengamatan struktur dilakukan
dengan membelah benih searah longitudinal dan melihat perkembangan struktur buah dan
benih (kotiledon/endosperm, radikal, plumula). Benih dari berbagai tingkat kemasakan yang
dicirikan oleh warna buah sebagai indikator yang mudah diaplikasikan di lapangan diukur
28
Aspek Perbenihan
kadar air benihnya menggunakan metoda oven temperatur tetap (103+2°C) selama + 17 jam
(ISTA, 2006), dan diuji daya berkecambahnya.
2. Pengujian mutu benih pada buah yang telah masak secara fisiologi, meliputi: (a) analisa
kemurnian, (b) volume benih, (c) penentuan metoda pengukuran kadar air, (d) penentuan
berat 1000 butir, dan (e) penentuan metoda uji viabilitas benih. Analisa kemurnian
dilakukan sebanyak 3 ulangan @ 25 gram. Benih yang telah melalui analisa kemurnian
dimasukkan ke dalam gelas ukur untuk mengetahui volume dan jumlah benihnya.
Penentuan metoda pengukuran kadar air dilakukan dengan metoda oven temperatur tetap
sebanyak 3 ulangan @ 5 gram pada temperatur 103+2°C selama 16, 18, 20, 22, 24 jam dan
130°C selama 1, 2, 3, 4 jam (ISTA, 2006).
3. Penentuan kadar air benih kritis: (a) pengeringan pada berbagai tahapan, dan (b)
penyimpanan pada tingkat kadar air tertentu. Benih dikeringkan dengan cara diangin-
anginkan di ruang kamar selama 0, 1, 2, 3, 4, 5 hari dan diukur kadar airnya sebanyak 3
ulangan @5 gram pada setiap tahap pengeringan dengan metoda oven dan diuji
perkecambahannya sebanyak 4 ulangan @50 butir menggunakan media campuran pasir +
tanah (1 : 1 v/v) di rumah kaca.
4. Identifikasi hama dan penyakit benih: (a) pengujian kadar air, (b) pengujian perkecambahan,
(c) identifikasi serangga dan pathogen pada benih, (d) pengendalian hama benih, (e)
pengendalian penyakit benih. Prosedur yang dilaksanakan meliputi:
a. Kegiatan identifikasi serangga dan patogen pada benih untuk mengidentifikasi serangga
internal, benih yang berasal dari lapangan disimpan di dalam wadah tertutup. Apabila
ditemukan serangga, selanjutnya serangga tersebut dimasukkan ke dalam larutan alkohol
70%. Sampel yang digunakan yaitu sebanyak 1000 benih untuk masing-masing lokasi.
Serangga yang diperoleh diidentifikasi menggunakan mikroskop stereo dengan cara
membandingkan morfologi serangga yang ditemukan dengan buku kunci identifikasi
Coleoptera (Booth et al., 1990) dan buku identifikasi serangga (Borror et al., 1989).
Untuk mengidentifikasi cendawan terbawa benih, benih sebanyak 400 butir (4 ulangan @
100 butir)dari masing-masing sampel didisinfeksidengan menggunakan larutan sodium
hipoklorit 1% selama 5 menit. Benih kemudian diletakkan pada media kertas merang
lembab sebanyak 3 lembar. Cawan petri yang berisi benih diinkubasi selama 7 hari
dengan kondisi penyinaran 12 jam terang dan 12 jam secara bergantian. Pada hari ke-8
cendawan diidentifikasi dengan membandingkan bentuk, pertumbuhan, warna dan
mikroskopisnya dengan buku kunci determinasi cendawan imperfect (Barnet and Hunted,
1998). Kemudian diamati jenis hama dan penyakit, serta persentase infeksinya. Respon
yang diamati adalah daya berkecambah benih, jenis cendawan, dan persentase
serangan/infeksi.
b. Teknik pengendalian penyakit benih
Teknik pengendalian penyakit benih menggunakan beberapa perlakuan yaitu: (1) benih
diberi benomil kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik tertutup dan disimpan di
lemari es, (2) benih diberi kunyit bubuk, kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik
tertutup dan disimpan di lemari es, (3) benih dimasukkan ke dalam wadah plastik tertutup
dan disimpan di lemari es, dan (4) benih dimasukkan ke dalam wadah plastik tertutup dan
disimpan di ruang kamar. Sedangkan periode simpannya menggunakan waktu 0, 1, 2 dan
3 bulan. Respon yang diamati adalah jenis cendawan pada benih, persentase infeksinya,
daya berkecambah dan kadar air benih.
29
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
D. Analisa Data
Rancangan penelitian menggunakan: (1) metoda Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan (2)
RAL pola faktorial sesuai faktor dan interaksi yang terjadi dalam penelitian. Analisis data
dilakukan untuk melihat faktor yang berperan terhadap mutu benih dalam penanganan dengan
program SPSS.
Gambar 1. Buah dan bagian benih mahang yang terbungkus kulit bagian luar
Keterangan gambar:
kotiledon
endodermis
eksodermis
Gambar 2. Struktur benih mahang yang memperlihatkan titik tumbuh (radikal dan plumula)
30
Aspek Perbenihan
Struktur benih mahang memperlihatkan posisi titik tumbuh yang memiliki radikal dan
plumula, dikelilingi oleh kotiledon sebagai cadangan makanan, tetapi secara morfologi dari luar
tidak terlihat secara pasti posisi titik tumbuh berada. Kondisi ini menyebabkan dalam
penaburan dapat dilakukan dengan arah penempatan yang bebas. Ciri khusus seperti ini
mungkin banyak ditemukan pada benih berukuran kecil, tetapi berbeda pada beberapa benih
legume dimana posisi titik tumbuh pada morfologi benih lebih terlihat.
31
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
signifikansi 0,140 lebih besar dari taraf kepercayaan 0,05dan jika dilihat sebaran data bervariasi
24,38-25,54%.
Tabel 2. Sidik ragam kadar air dan daya berkecambah benih mahang selama penyimpanan
Jumlah kuadrat Rata-rata kuadrat Nilai F-hit
Kadar air 171,404 34,281 71,354 **
Daya berkecambah 2123,61 424,72 1,484 ns
Keterangan: ns = tidak berpengaruh nyata
** = berpengaruh sangat nyata (99%)
* = berpengaruh nyata (95%)
Perlakuan penyimpanan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap parameter kadar
air (signifikansi <0,05) sedangkan terhadap parameter daya berkecambah tidak menunjukkan
pengaruh yang nyata (signifikansi >0,05). Untuk melihat seberapa jauh penurunan kadar air dan
pengaruhnya terhadap daya berkecambah, benih mahang di keringanginkan dalam ruang
kamar (Tabel 3).
Tabel 3. Besarnya kadar air dan daya berkecambah mahang setelah pengeringan
Lama benih Besarnya kadar air (%) Daya berkecambah (%)
dikeringanginkan
0 hari 18,60 a 48,30
1 hari 13,45 b 60,00
2 hari 11,45 c 43,30
3 hari 11,21 c 26,67
4 hari 9,74 d 31,67
5 hari 9,55 d 41,67
Fluktuasi kadar air mempengaruhi besarnya daya berkecambah, sehingga disini terlihat
peranan kadar air yang lebih dominan dalam mempengaruhi mutu benih yang dicerminkan oleh
besarnya nilai daya berkecambah
Kadar air benih kritis benih mahang bervariasi diantara 11,45% dan 13,45% ketika daya
berkecambah diatas 50%, karena benih dengan daya berkecambah dibawah 50% telah
mengalami kerusakan fisiologi yag tidak dapat diperbaiki (Schmidt, 2002).
Idenfikasi hama dan penyakit yang terbawa benih menunjukkan terdapatnya beberapa
jenis cendawan/jamur pada benih mahang. Jenis cendawan yang terbawa benih mahang kecil
(M. hypoleuca) sebelum disimpan terdapat 3 genus yaitu Fusariumsp.,Aspergillus sp., dan
Botryodiplodia theobromae sedangkan pada benih yang disimpan terdapat 4 genus yaitu
Fusariumsp., Aspergillus sp., Botryodiplodia theobromae dan Rhizopussp (Tabel 4).Keberadaan
cendawan tersebut dapat menyebabkan viabilitas benih menjadi rendah.
Sebelum disimpan, cendawan yang menginfeksi benih sebanyak 3 jenis antara
lainFusariumsp. (22%), Aspergillussp. (27%) dan Botryodiplodiasp. (3%). Pada penyimpanan
benih mahang kecil umur 1 sampai 3 bulan persentase infeksi Fusariumsp. menurun sedangkan
jenis Aspergillus sp. meningkat.Pada umur simpan 3 bulan terdapat cendawan Rhizopussp.
Cendawan Fusariumsp. merupakan cendawan lapang sedangkan cendawan Aspergillussp. dan
Rhizopussp. merupakan cendawan gudang.
Pada umur simpan 3 bulan benih yang disimpan di kulkas, persentase infeksi cendawan
lebih sedikit dibanding benih yang disimpan di kamar terutama untuk jenis Aspergillussp. Suhu
dan kelembaban kulkas dapat menghambat perkembangan cendawan.
32
Aspek Perbenihan
Tabel 4. Persentase Infeksi Cendawan pada Benih Mahang Kecil pada Berbagai
Perlakuan dan Umur Simpan
Persentase infeksi cendawan (%)
Jenis
Sebelum 1 bulan 2 bulan 3 bulan
cendawan
disimpan A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4
Fusarium sp. 22 74 8 36 78 11 5 10 77 1
Aspergillus sp. 27 19 1 14 17 30 1 1 3 22 55 56 96
Botryodiplodia 3 1
Rhizopus sp. 5 4
Keterangan: A1: kulkas A2 : benomil A3: kunyit A4: kamar
Pada perlakuan benih mahang kecil dengan menggunakan fungisida benomil ditemukan
persentase infeksi cendawan paling sedikit. Persentase infeksi cendawan pada benih yang
diberi ekstrak kunyit relatif lebih sedikit dibanding benih yang disimpan di kulkas dan di kamar.
Persentase infeksi cendawan pada benih yang disimpan di kamar paling tinggi.Terlihat bahwa
perlakuan benih yang dapat mengurangi persentase infeksi cendawan yaitu benih diberi
fungisida benomil atau ekstrak kunyit dan disimpan dalam kulkas.
Benih yang diberi ekstrak kunyit dapat mengurangi persentase infeksi cendawan.Kunyit
mengandung senyawa yang berkhasiat obat, yang disebut kurkuminoid yang terdiri dari
kurkumin, desmetoksikumin dan bisdesmetoksikurkumin dan zat-zat manfaat lainnya.
Kandungan utama kunyit adalah kurkumin dan minyak atsiri, yang terdiri dari flavonoid,
terpenoid dan fenolik (Rasdianaet al., 2014) yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama
dan penyakit.
Jenis cendawan yang terbawa benih mahang besar (M. gigantea) sebelum disimpan
terdapat 3 genus yaitu Fusariumsp., Aspergillussp., dan Penicilliumsp. sedangkan pada benih
yang disimpan terdapat 8 genus yaitu Fusariumsp., Aspergillussp., Botryodiplodia theobromae,
Penicilliumsp., Curvulariasp., Pythiumsp. dan Cylindrocladiumsp.
Tabel 5. Persentase Infeksi Cendawan pada Benih Mahang Besar pada BerbagaiPerlakuan
dan Umur Simpan
Persentase infeksi cendawan (%)
Jenis cendawan Sebelum 1 bulan 2 bulan 3 bulan
disimpan A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4 A1 A2 A3 A4
Fusarium sp. 64 51 19 13 81 10 28 6 15 5
Aspergillus sp. 21 11 1 3 30 45 36 70 32 29 80
Penicillium sp. 12 5 2 6 4 4 9 2
Cylindrocladium
sp. 1 1
Curvularia sp. 1 1 1
Pythium sp. 1
Botryodiplodia 1 2
Rhizopus sp. 17 27 17
Keterangan : A1: kulkas A2 : benomil A3: kunyit A4: kamar
33
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Sebelum disimpan, cendawan yang menginfeksi benih sebanyak 3 jenis yaitu Fusarium
sp. (64%), Aspergillussp. (21%) dan Penicillium sp. (12%).
Pada penyimpanan benih mahang besar sampai umur 1 sampai 3 bulan persentase
infeksi Fusariumsp. menurun sedangkan jenis Aspergillus sp. meningkat. Pada umur simpan 3
bulan terdapat cendawanRhizopussp. yang merupakan cendawan gudang.
Pada umur simpan 3 bulan benih yang disimpan di kulkas, persentase infeksi cendawan
lebih sedikit dibanding benih yang disimpan di kamar terutama untuk jenis Aspergillussp.
B. Pembahasan
Kadar air benih mahang sebelum pengeringan 18,60% mencerminkan kadar air yang
cukup tinggi, sehingga dapat digolongkan sebagai benih semi rekalsitran. Tetapi ini merupakan
kadar air benih mahang yang telah mengalami penurunan, karena pada pengukuran terhadap
buah mahang kecil (M. hypoleuca) yang segar diperoleh kadar air buah sebesar 63,0%
sedangkan kadar air benih mahang kecil 43,4%. Penurunan kadarair benih setelah pengeringan
1-5 hari hingga mencapai 9-13% menunjukkan besar daya berkecambah bervariasi 30-50%.
Menurut Schmidt (2002) benih mahang dengan daya berkecambah awal kurang dari 50%,
sebaiknya tidak dilakukan penyimpanan karena kondisi benih sudah mengalami kerusakan yang
permanen. Benih mahang jika diperlukan untuk penyimpanan memerlukan kadar air yang lebih
tinggi dan kondisi benih yang segar sehingga fluktuasi kadar air tidak mempengaruhi daya
berkecambah. Penentuan masak fisiologi sangat penting untuk mahang ketika warna kulit buah
masih hijau dan kulit benih sudah berwarna hitam dan keras, maka kondisi ini merupakan salah
satu indikator kemasakan, karena jika kulit buah berubah menjadi coklat, benih mudah lepas
dari buah (seed dispersal).
Benih mahang yang dikumpulkan juga memperlihatkan kadar air yang beragam, seperti
dari buah mahang yang berwarna hijau tanpa ekstraksi basah (38,70%), buah yang telah
merekah tanpa ekstraksi basah (23,80%) dan buah yang merekah dengan ekstraksi basah
(10,65%).Ini menunjukkan benih mahang memiliki kadar air benih bervariasi minimal di atas
20%, sehingga dapat dikategorikan sebagai benih semi rekalsitran.
Hasil penelitian menunjukkan pengukuran kadar air benih mahang dapat dilakukan
dengan metoda oven temperatur tetap pada suhu 103 + 2°C selama 16, 18, 20, 22, 24 jam dan
130°C selama 1, 2, 3, 4 jam (ISTA, 2006). Kadar air benih mahang bervariasi 24,38-25,54%. Nilai
kadar air benih menumpuk pada data sebaran sehingga tidak terlihat adanya variasi. Apakah ini
membuktikan bahwa kandungan air benih mahang mudah menguap memerlukan penelitian
lebih lanjut.
Hasil identifikasi hama dan penyakit menunjukkan Fusariumsp. dan Aspergillus sp. banyak
ditemukan pada benih mahang kecil (Macaranga hypoleuca), sedangkan Botryoplodia dan
Rhizopus sp. ditemukan dalam jumlah kecil setelah penyimpanan 2-3 bulan (1% dan 5%).
Penyimpanan di ruang kamar menunjukkan persentase infeksi yang terbesar dari Fusarium sp.
pada periode simpan 1-2 bulan (77% dan 78%), sedangkan Aspergillussp. pada penyimpanan 1-
3 bulan ditemukan persentase paling tinggi setelah disimpan di kamar (19% dan 30%),
kemudian pada penyimpanan 3 bulan persentase paling tinggi ditemukan pada penyimpanan di
kamar (96%).
Persentase infeksi cendawan pada benih mahang besar (Macaranga gigantea) didominasi
oleh Fusarium sp., Aspergillussp., Penicilliumsp. dan Rhizopussp. dengan persentase tertinggi
ditemukan pada penyimpanan di ruang kamar selama 1 bulan untuk Fusariumsp. (81%), dan
penyimpanan 2-3 bulan untuk Aspergillus sp (70% dan 80%). Penicillium sp. ditemukan dalam
jumlah kecil pada periode simpan 1-3 bulan (6% dan 9%), sedangkan Rhizopus sp. pada
penyimpanan 3 bulan (17% dan 27%). Cendawan atau jamur yang ditemukan pada benih
34
Aspek Perbenihan
terentang didominasi oleh Aspergillus sp.(96%), kemudian Penicillium sp.(12%) dan Fusarium
sp.(2%).
Cendawan yang ditemukan pada benih mahang adalah Aspergillus sp., Penicillium sp. dan
Rhizopus sp. yang merupakan cendawan gudang.Cendawan tersebut dapat merusak benih,
menyebabkan warna benih menjadi berubah, busuk yang pada akhirnya dapat menurunkan
viabilitas benih.Semakin lama disimpan persentase infeksi ketiga jenis cendawan tersebut
semakin banyak.Rhizopus sp. merupakan gudang yang dapat merusak benih sehingga dapat
menurunkan viabilitas benih.Selain itu cendawan ini dapat menyebabkan busuk
buah.Cendawan Penicillium sp. merupakan genus yang bersifat saprofitik dan dapat bermanfaat
dalam bidang farmasi karena mampu menghasilkan antibiotik penisilin, tetapi cendawan ini
juga dapat menyerbu inang yang hidup lalu tumbuh dengan subur sebagai parasit dan
menimbulkan penyakit pada tumbuhan, hewan dan manusia (Sastrahidayat dan Rocdjatun,
1992).Cendawan Aspergillus sp. mempunyai banyak inang (polifag) dan mempunyai daya
adaptasi yang luas (kosmopolitan). Menurut Semangun (2000), Aspergillus sp. sangat saprofitik
sehingga dapat memperlemah benih ketika ditanam. Benih yang terinfeksi Aspergillus sp. dapat
menjadi rentan terhadap serangan patogen didalam tanah sehingga kematian bibit bisa
disebabkan oleh patogen dalam tanah tersebut.Menurut Bonner et al. (1994) dalam Schmidt
(2002) Aspergillus sp. adalah genus cendawan yang umum dijumpai pada benih yang disimpan
dan aktif pada kelembaban rendah sedangkan Penicillium sp. lebih banyak dijumpai di daerah
temperate daripada di daerah tropis dan aktif pada kelembaban 85-95%.
Infeksi cendawan terhadap benih mahang kecil dan besar meningkat setelah benih
disimpan, ini menunjukkan menurunnya viabilitas benih selama disimpan merupakan
kombinasi dari kondisi fisiologi benih yang mengalami kerusakan dan gangguan dari infeksi
cendawan.Secara umum serangan cendawan terjadi ketika ruangan lembab dan panas.
Penyimpanan terhadap benih mahang dengan kondisikadar air tinggi (di atas 20%) akan
memiliki resiko terhadap bahaya serangan hama dan penyakit, terutama apabila disimpan di
ruang kamar dibandingkan dengan di ruang AC yang lebih dingin dan tidak terlalu lembab.
Cendawan dapat berupa patogen atau saprofit salah satunya adalah cendawan
Fusarium sp. Cendawan ini dapat bertahan pada benih dalam kondisi dingin atau
kering.Cendawan Fusarium sp. dapat mengakibatkan warna benih berubah, perkecambahan
benih terhambat, dan dapat menyebabkan penyakit dipersemaian atau pada tanaman dewasa
di lapangan.Selama biji atau benih dalam penyimpanan, aktivitas cendawan tersebut terhenti
(istirahat) karena syarat untuk pertumbuhannya tidak terpenuhi.Cendawan Fusarium sp.
merupakan salah satu jenis cendawan terbawa benih yang menyebabkan kematian pada
kecambah.Cendawan ini selain bersifat polifag dan kosmopolitan juga dapat membentuk
struktur bertahan yaitu membentuk klamidospora (spora yang berdinding tebal).
Beberapa spesies Fusarium sp. menghasilkan toksin asam fusaric dan vasinfuscarin yang
berperan dalam peracunan jaringan pembuluh, sehingga tampak gejala layu pada
tanaman.Fusarium sp. merupakan salah satu jenis cendawan yang menyebabkan penyakit
semai pada biji yang sedang berkecambah, sehingga kecambah membusuk dan tidak dapat
muncul ke permukaan tanah.Cendawan ini dapat menyerang pangkal batang dan akar semai
atau tanaman yang masih sangat muda, menyebabkan bagian batang dan akar membusuk dan
tanaman rebah.Penyakit ini juga dapat timbul pada biji yang belum muncul dari permukaan
tanah.Pemencaran patogen ini terjadi karena terbawa dari dalam tanah atau bahan organik
(Semangun, 2000).Fusarium sp. merupakan salah satu jenis jamur yang menyebabkan penyakit
semai pada biji yang sedang berkecambah, sehingga kecambah membusuk dan tidak dapat
muncul ke permukaan tanah.Jamur ini dapat menyerang pangkal batang dan akar semai atau
35
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
tanaman yang masih sangat muda, menyebabkan bagian batang dan akar membusuk dan
tanaman rebah.Penyakit ini juga dapat timbul pada biji yang belum muncul dari permukaan
tanah.Pemencaran patogen ini terjadi karena terbawa dari dalam tanah atau bahan organik
(Semangun, 2000).
Selain itu juga ditemukan cendawan Botryodiplodia, Curvularia, Cylindrocladium dan
Pythium dalam jumlah kecil. Fusarium, Botryodiplodia, Curvularia, Cylindrocladium dan Pythium
merupakan cendawan lapangan. Semakin lama disimpan persentase infeksi cendawan lapang
semakin menurun. Tetapi beberapa jenis cendawan dorman sehingga dapat terbawa sampai
tanaman dewasa. Dalam jangka waktu panjang cendawan di lapang dapat bertahan pada sisa
tanaman dan gulma. Cendawan Cylindrocladium dapat menyebabkan penyakit rebah
kecambah. Selain itu cendawan ini dapat menyebabkan penyakit pada daun. Botryodiplodia,
merupakan cendawan yang dapat menyebabkan bercak daun.
Bercak daun dimulai dari ujung daun. Becak-becak kecil dan transparan dan mudah
dilihat dengan penembusan sinar matahari. Bagian tengah dari bercak menjadi kelabu atau
coklat gelap dengan banyak titik hitam yang merupakan tubuh buah (piknidia) dari jamur
tersebut. Pythium sp. bersifat polifag terutama menyerang inang yang masih muda (semai)
sehingga menyebabkan penyakit rebah kecambah. Pythiumsp.adalah patogen tumbuhan yang
menjadi penyebab penyakit busuk akar pada tumbuhan. Serangan Pythium sp. selalu dimulai
dari ujung akar (akar pokok dan akar lateral). Serangan selalu dimulai dari bagian tanaman di
dalam tanah. Serangan Pythium sp. menyebabkan tanaman menjadi layu dan kulit akar busuk
basah. Disamping itu, daun atau tunas-tunas dapat terjangkit dengan gejala busuk coklat.
Curvularia sp. menyebabkan penyakit bercak daun. Mula-mula patogen ini menyerang daun
yang belum membuka atau dua daun yang termuda yang sudah membuka.
Gejala pertama adanya becak bulat kecil, berwarna kuning tembus cahaya, yang dapat
dilihat pada kedua sisi permukaan daun. Bercak kecil menjadi membesar tetapi tetap bulat dan
warnanya sedikit demi sedikit berubah jadi coklat muda. Pusat becak-becak jadi mengendap.
Bagian bercak menjadi coklat tua dikelilingi halo berwarna jingga kekuningan. Dengan infeksi
berat daun paling tua akan mengering, menjadi keriting rapuh, namun becak tetap berwarna
coklat tua. Penyakit ini dapat menghambat pertumbuhan bibit tetapi tidak mematikan bibit.
Fusarium sp. dan Aspergillus sp. merupakan dua cendawan yang banyak ditemukan
pada benih mahang. Bagaimana pengaruhnya terhadap benih secara jelas diperlukan penelitian
yang detail dengan teknik inokulasi untuk membuktikan pengaruhnya secara khusus dan tidak
terkontaminasi oleh cendawan-cendawan lain. Tindakan pencegahan infeksi cendawan
terhadap benih dilakukan dengan memberi fungisida benomil atau ekstrak kunyit dan disimpan
dalam kulkas.Perlakuan ini dibuktikan mampu menekan infeksi cendawan terhadap benih
mahang.
Benomil dapat menghambat perkembangan cendawan karena senyawa ini merupakan
senyawa kimia yang bersifat sistemik untuk preventif dan kuratif sehingga dapat mematikan
cendawan baik yang berada pada kulit benih maupun bagian dalam benih (Amini and sidovich,
2010). Mekanisme kerja fungisida sistemik yaitu netralisasi enzim dan toksin yang terkait dalam
invasi dan kolonisasi cendawan; akumulasi selektif fungisida karena permeabilitas dinding sel
cendawan menjadi lebih besar; terjadinya kerusakan membran semipermeabel dan struktur
infeksi; penghambatan sistem enzim cendawan sehingga mengganggu terbentuknya tabung
kecambah, apresorium dan haustorium; terjadinya chelat dan presipitasi zat kimia; terjadinya
antimetabolisme; mempengaruhi sintesa asam nukleat dan protein (Triharso, 2004).
36
Aspek Perbenihan
Mekanisme interaksi senyawa terpen yang terkandung dalam kunyit dengan mikroba
diduga melibatkan perusakan membran sel mikroba oleh senyawa lipofilik (Arif, 2009 dalam
Darmawan dan Anggraeni, 2012).
IV. KESIMPULAN
Buah mahang masak fisiologi ditandai oleh warna kulit buah hijau hingga hijau
kecoklatan dan kulit benih berwarna hitam dan keras. Pemanenan yang terlambat dilakukan
menyebabkan benih terlepas dari buahnya dan tersebar. Benih mahang terbungkus dalam buah
yang mempunyai 4 bagian (lokus). Benih dibungkus oleh dua lapisan luar (eksodermis) yang
tipis dan lebih mudah terkelupas, sedangkan bagian dalam (endodermis) memiliki lapisan yang
keras yang melindungi struktur bagian dalam benih. Struktur benih mahang memperlihatkan
posisi titik tumbuh yang memiliki radikal dan plumula, dikelilingi oleh kotiledon sebagai
cadangan makanan, tetapi secara morfologi dari luar tidak terlihat secara pasti posisi titik
tumbuh berada. Kondisi ini menyebabkan dalam penaburan dapat dilakukan dengan arah
penempatan yang bebas. Benih mahang memiliki karakter semi rekalsitran dengan kadar air
awal lebih dari 20% dengan kadar air kritis bervariasi 9-12% dan daya berkecambah 30-40%.
Benih jenis ini memiliki kulit yang keras sehingga dapat mempertahankan kadar air dan
viabilitasnya dengan baik. Tipe kecambah mahang adalah epigeal sehingga dalam
penaburannya posisi benih harus dekat dengan permukaan media tabor. Pengukuran kadar air
benih dapat dilakukan dengan metoda oven temperatur tetap pada temperatur 103+2°C
selama 16, 18, 20, 22, 24 jam dan 130°C selama 1, 2, 3, 4 jam. Cendawan yang banyak
ditemukan pada benih mahang adalah Aspergillus sp., Penicillium sp. dan Rhizopus sp. yang
merupakan cendawan gudang. Sedangkan cendawan Fusarium, Botryodiplodia, Curvularia,
Cylindrocladium dan Pythium yang merupakan cendawan lapang ditemukan dalam jumlah kecil.
Pemberian fungisida benomil atau ekstrak kunyit dan menyimpan benih dalam kulkas, mampu
menekan infeksi cendawan terhadap benih mahang.
DAFTAR PUSTAKA
Amini, J., D.F. Sidovich. 2010. The Effects of Fungicides on Fusarium oxysporum S.sp. Lycopersici
Associated with Fusarium Wilt of Tomato. Journal of Plant Ptotection Research Vol. 50,
No. 2: 172 – 178.
Barnett, H.L and B.B. Hunter. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Fourth Edition.The
American Phytopathological Society.
Borror, D.J., C.A. Triplehorn and N.F. Johnson. 1989. An introduction to the study of insect.
Sixth edition.Harcourth Brace College Publishers. Florida. USA.
37
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
38
Aspek Perbenihan
Kurniawati P. Putri, Dida Syamsuwida, Rina Kurniaty, Eliya Suita dan Dharmawati FD
Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
ABSTRAK
Komoditas hasil hutan bukan kayu memegang peranan sangat strategis untuk ketahanan energi, sumber
bahan baku obat-obatan bahkan sumber pemasukan negara. Potensi arang kayu dari hutan di wilayah
Provinsi Lampung tahun 2006 mencapai 30.347 ton, sedangkan potensi tumbuhan penghasil obat
adalah sebanyak 122 jenis yang berasal dari family Arecaceae, Graminea, Malvaceae, Piperaceae dan
Zingiberaceae. Pengembangan sumber daya hutan berbasis energi dan obat di Provinsi Lampung
terkendala oleh tidak ada jaminan kesinambungan bahan baku, karena masih mengandalkan tegakan
alam. Pengembangan komoditas energi dan obat perlu didukung budidaya yang tepat dan salah satu
aspek yang perlu diperhatikan adalah teknologi perbenihan. Ketepatan waktu pengunduhan, teknik
penanganan benih yang sesuai dengan karakter masing-masing benih serta pembibitan yang tepat dan
berasal dari sumber benih yang berkualitas akan meningkatkan perolehan hasil baik terhadap
perkecambahan, pembibitan maupun kualitas tegakan. Teknik perbenihan untuk beberapa jenis
tanaman potensial penghasil energi dan obat telah dihasilkan oleh Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan, yang selanjutnya diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan dan
peningkatan produktivitas hutan tanaman dan hutan rakyat berbasis energi dan obat khususnya yang
ada di Provinsi Lampung.
Kata kunci: energi, hasil hutan bukan kayu, hutan rakyat, obat-obatan, perbenihan
I. PENDAHULUAN
Dewasa ini terdapat kecenderungan perubahan paradigma peran dan manfaat hutan
yaitu hutan tidak hanya sebagai penghasil kayu tetapi juga bukan kayu.Perubahan itulah yang
selanjutnya mempengaruhi pola pemanfaatan sumber daya hutan.Saat ini kebijakan
pemerintah diantaranya di Provinsi Lampung adalah peningkatan hasil hutan bukan kayudemi
tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.Hasil hutan bukan kayu potensial di Provinsi
Lampung adalah arang kayu disamping damar mata kucing, gaharu dan rotan. Badan
Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Lampung mencatat produksi
arang kayu dari hutan di wilayah Provinsi Lampung pada tahun 2006 mencapai 30.347 ton.
Arang kayu merupakan bahan bakar berbasis biomassa yang sangat berarti dalam mengatasi
permasalahan krisis energi nasional di masa mendatang.
Selain sumber bahan bakar biomassa, hutan juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber
bahan baku energi nabati lainnya yaitu biodiesel. Sasaran pemanfaatan bahan bakar nabati
periode 2015-2019 adalah produksi biodiesel sebesar 4,3–10 Juta KL (RPJMN 2015-2019, 2015).
Pemanfaatan jenis-jenis tanaman hutan sebagai bahan bakar campuran bahan bakar minyak
dalam biodiesel merupakan salah satu bentuk diversifikasi energi untuk mencegah terjadinya
ketergantungan impor energi serta meningkatkan ketahanan energi nasional.Kondisi tersebut
disebabkan keterbatasan sumber daya energi fosil yang bersifat tidak dapat diperbaharui
(unrenewable). Beberapa jenis tanaman hutan potensial sebagai bahan baku biomassa dan
biodiesel antara lain kaliandra, lamtoro, weru, pilang, akor, turi, malapari dan nyamplung.
Hutan alam tropika Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman hayati tumbuhan
obat. Dewasa ini demand biofarmaka lokal cukup meningkat pesat yang disebabkan semakin
39
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
40
Aspek Perbenihan
Akor (A. auriculiformis) 0-500 1.300-1.700 17.0 0,70 4.907 7.322 3) 235,6
Pilang (A. leucophloea) 1.600-2.400 1.000-3.000 20.5 0,70 5.218 7.262 3) 258,3
Weru (A. procera) 0-1.700 1.000-4.500 25.0 0,67 4.870 7.382 3) 301,5
Kaliandra (C. callothyrsus) 0-1.000 1.300-1.550 32,0 0,67 4.617 7.510 4) 385,9
Turi (S. grandiflora) 0-700 300-1.000 15.0 0.46 4.610 7.4714) 124,2
41
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
biodiesel perlu dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku biodiesel yang bersifat terbarukan
dan tidak digunakan sebagai konsumsi pangan. Bahan baku alternatif energi berbasis bahan
bakar nabati/biofuel diantaranya adalah nyamplung (C. inophyllum) dan malapari (P. pinnata).
Kondisi tempat tumbuh dan karakteristik pohon kedua jenis tanaman tersebut disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik jenis tanaman hutan penghasil bioenergi
Jenis Ketinggian tempat Curah hujan Musim kering Rendemen
tanaman (m dpl) (mm/th) (bulan) minyak (%)
Biji P. pinnata dapat menghasilkan minyak yang dapat digunakan sebagai pelumas dan
bahan baku bio-diesel serta bahan pembuatan sabun (Mukta dan Sreevalli, 2010). Selain
potensinya sebagai sumber bahan bakar nabati, jenis tanaman ini juga penyedia sumber energi
lain yaitu kayunya sebagai bahan bakar yang memiliki kalor bakar kayu sebesar 19,2 MJ/kg
(Soerawidjaja, 2007a; Soerawidjaja, 2007b). Malapari tumbuh secara alami di dataran rendah
pada tanah berkapur dan batu karang di pantai, sepanjang tepi hutan bakau, sepanjang aliran
dan sungai pasang surut (Heyne, 1987). Pertumbuhan yang paling bagus dijumpai pada tanah
liat berpasir, tetapi akan tumbuh juga pada tanah berpasir dan tanah liat yang bergumpal-
gumpal. Sangat toleran pada kondisi masin dan alkalinitas.Cukup toleran terhadap naungan,
setidaknya ketika muda.
Nyamplung (C. inophyllum L.) dapat digunakan sebagai bahan substitusi minyak tanah
(biokerosene) dan substitusi minyak solar (biodiesel) dengan memanfaatkan bijinya (Sopamena,
2007). Keunggulan nyamplung lainnya antara lain mampu tumbuh dan tersebar merata secara
alami di Indonesia; relatif mudah dibudidayakan dan cocok di daerah iklim kering; permudaan
alami banyak dan berbuah sepanjang tahun; hampir seluruh bagian tanaman nyamplung
berdayaguna dan menghasilkan bermacam produk yang memiliki nilai ekonomi (Departemen
Kehutanan, 2008). Saat ini tanaman nyamplung sudah mulai dibudidayakan di Indonesia
sebagai tanaman wind breaker yang ditanam di daerah marginal di tepi pantai atau lahan-lahan
kritis lainnya.
Hutan juga berperan sebagai sumber bahan baku obat-obatan (biofarmaka) dan atsiri.
Kilemo (Litsea cubeba)merupakan salah satu jenis tanaman hutan penghasil bahan baku obat
dan minyak atsiri potensial.Kilemo dimanfaatkan sebagai bahan kosmetik (aromaterapi), sabun,
minyak wangi, pembersih kulit, obat jerawat, serta memiliki unsur karsinostatic (zat anti
kanker).Buah kilemo mengandung sitral (70 – 85%), sedangkan pada kulit batang dan daunnya
terkandung saponin, plafonoid dan tanin (Lin, 1983).Kilemo tumbuh di dataran tinggi dengan
ketinggian diatas 700 m dpl.
Pulai merupakan salah satu jenis pohon yang tersebar di seluruh Indonesia.Bagian-
bagian dari pohon ini dapat digunakan mulai getah hingga kayunya.Kulit batang, daun dan
bunga dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan. Kayunya dapat dimanfaatkan untuk bahan
baku barang, kerajinan, pensil, papan tulis, lemari, dan lain-lain (Pratiwi, 1999). Kulitnya telah
lama dikenal sebagai obat tradisional untuk anti hipertensi. Menurut Dalimartha (2001), kulit
kayu pulai berfungsi sebagai obat penyakit desentri,malaria peluruh dahak, peluruh haid,
stomakik, antipiretik, pereda kejang, menurunkan gula darah (hipoglikemik), tonik dan
antiseptic. Selain itu getah pulai mengandung alkaloid.
42
Aspek Perbenihan
III. PERBENIHAN
A. Periode pembungaan-pembuahan
Pembungaan dan pembuahan tumbuhan berkaitan dengan suatu proses perubahan
struktur atau organ reproduksi dalam satu periode waktu tertentu yang dikenal dengan
fenologi. Fenologi adalah ilmu tentang periode fase-fase yang terjadi secara alami pada
tumbuhan. Berlangsungnya fase-fase tersebut baik fase vegetatif maupun generatif sangat
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar, seperti lamanya penyinaran, suhu dan
kelembaban udara (Fewless, 2006).
Fenologi pembungaan suatu jenis tumbuhan adalah salah satu karakter penting dalam
siklus hidup tumbuhan karena pada fase itu terjadi proses awal bagi suatu tumbuhan untuk
berkembang biak. Suatu tumbuhan akan memiliki perilaku yang berbeda-beda pada pola
pembungaan dan pembuahannya, akan tetapi pada umumnya diawali dengan pemunculan
kuncup bunga dan diakhiri dengan pematangan buah (Tabla dan Vargas, 2004). Sensitifitas
fenologi terhadap perubahan lingkungan adalah merupakan indikator yang sangat baik untuk
melihat penampilan tumbuhan, khususnya dalam kondisi iklim panas (Cleland et al., 2012).
Pola pembungaan pada jenis tanaman tropis sangat kuat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, yang menyebabkan tanaman sangat sensitif terhadap perubahan iklim sekecil
apapun. Hal ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung
pengaruh penyinaran matahari pada tanaman tropis akan merangsang pembentukan bunga.
Secara tidak langsung perubahan iklim yang kecil misalnya akan mempengaruhi perilaku
polinator, sehingga penyerbukan terganggu dan akibatnya pembentukan buah atau biji
berkurang yang menyebabkan produksi benih menurun.
Periode pembungaan dan pembuahan untuk setiap jenis berbeda. Misalnya, Akor
memunculkan tunas generatif pada bulan Februari dan mekar pada bulan Maret-April, akhirnya
menjadi buah muda, dewasa dan masak pada bulan Mei-Juli/Agustus (Syamsuwida et al., 2011).
Sehingga diketahui bahwa siklus perkembangan pembungaan hingga pembuahan akor tejadi
selama 6-7 bulan yang diamati pada satu tegakan di Desa Sawangan dan Jingkang (Banyumas
Barat). Sementara itu kaliandra, lamtoro dan turi memiliki periode pembungaan-pembuahan
yang lebih pendek yaitu berkisar antara 3-4 bulan.Rangkuman periode pembungaan dan
pembuahan beberapa jenis tanaman kayu penghasil energi dan obat-obatan disajikan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Periode pembungaan dan pembuahan beberapa jenis tanaman hutan penghasil energi
dan obat-obatan
No Jenis Periode musim Waktu musim Lokasi
Pembungaan Pembuahan Pembungaan Pembuahan
1 Akor (Acacia 1-2 bulan 4-5 bulan Februari- Mei/Juli- Banyumas
auriculiformis) Maret/April Agustus Barat
2 Kaliandra 1 bulan 2-3 bulan April Mei/Juni- Bogor,
(Calliandra Juli/Agustus Cianjur
calothyrsus)
3 Lamtoro 1 bulan 3-4 bulan April Mei/Juni- Bogor
(Leuccaena Juli/Agustus
leucocephala)
4 Turi (Sesbania 1 bulan 2-3 bulan April Mei/Juni- Bogor
grandiflora) Juli/Agustus
5 Weru/kihiang 2 bulan 6-7 bulan Februari-April September- Majalengka,
(Albizia procera) Oktober Sumedang
43
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
44
Aspek Perbenihan
Nyamplung
T 7,28±0,41 2,7±0,21 1±0,00 1±0,00 0,38 ± 0,02 1,0 ± 0,0 0,38 ± 0,02
45
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
46
Aspek Perbenihan
D. Penanganan benih
Penanganan benih merupakan salah satu kegiatan penting dalam penyediaan bahan
tanaman bermutu yang dimulai dari buah dan benih diterima sampai benih tersebut siap untuk
ditanam. Penanganan benih yang tidak dilakukan dengan benar akan menurunkan mutu fisik
dan fisiologis benih yang pada akhirnya akan berdampak berkurangnya jumlah tanaman yang
dapat diperbanyak melalui benih. Penanganan benih berapa jenis tanaman penghasil kayu
energi dan obat disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Penanganan benih penghasil kayu energi dan obat-obatan berdasarkan SNI
5006.12:2014
Jenis Indikator Ekstraksi benih Pengemasakan dan Perlakuan
kemasakan penyimpanan benih pendahuluan
buah
Akor Buah/polong Jemur selama 3- - Wadah kedap Rendam air panas
(A. auriculiformis) berwarna coklat 4 hari sampai - Di ruang AC atau (90°C) sampai dingin
merekah DCS 24 jam
Pilang * kulit buah Jemur sampai - Wadah kedap direndam dengan
(A. leucophloea) berwarna hijau merekah - Di ruang AC atau H2SO4 selama
kecolatan DCS 20 menit
Weru Buah/polong Jemur selama 3- - Wadah kedap Rendam air panas
(A. procera) berwarna coklat 4 hari sampai - Di ruang AC atau (90°C) sampai dingin
tua merekah refrigator 24 jam
Kaliandra Buah/polong Jemur selama 3- - Wadah kedap Rendam air panas
(C. callothyrsus) berwarna coklat 4 hari sampai - Di ruang refrigator (90°C) sampai dingin
merekah 24 jam
Turi (S. grandiflora) Buah/polong Jemur selama 3- - Wadah kedap Rendam air panas
berwarna coklat 4 hari sampai - Di ruang AC atau (90°C) sampai dingin
merekah DCS 24 jam
Lamtorogung Buah/polong Jemur sampai - Wadah kedap Rendam air panas
(L. leucocephala) berwarna coklat merekah - Di ruang kamar (90°C) sampai dingin
atau AC 24 jam
Malapari ** Buah/polong Buah dibelah - Wadah plastik Rendam air selama 24
(P. pinnata) berwarna hijau secara manual dengan media jam
kekuningan arang sekam
sampai coklat - Di ruang kamar
Nyamplung Kulit buah Buah direndam - Wadah kedap Kulit benih diretak-kan
(C. inophyllum) berwarna ± 2 hari lalu cuci - Di ruang AC dengan cara menekan
kuning hingga dengan air benih dgn kayu ringan
merah mengalir hingga kulit benih
pecah
Pulai Buah/polong Jemur 1-2 hari - Wadah kedap Tanpa perlakuan
(A.Scholaris) berwarna hijau atau dengan - Di ruang DCS atau
kecoklatan seed drier pada refrigator
sampai coklat suhu 38 - 42°C
selama 20 jam
Kemenyan Kulit buah Buah dibelah - Wadah kedap Rendam jemur selama
(S. benzoin) berwarna coklat secara manual - Di ruang AC dan 3 hari sampai kulit
refrigator benih retak
Sumber: BSN (2014 a); *Suita dan Bustomi (2014); **Suita et al. (2014)
Ketepatan waktu pengunduhan merupakan awal diperolehnya benih berkualitas. Warna
buah merupakan indikasi tingkat kemasakan benih yang sangat mudah dilakukan sehingga
sering dijadikan sebagai dasar untuk waktu pengunduhan. Kemasakan buah untuk jenis
tanaman yang termasuk anggota family Leguminosae yang umumnya berbentuk polong, (weru,
47
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
pilang, kaliandra, akor, turi dan lamtoro) ditandai dengan polong (buah) berwarna
coklat.Sedangkan untuk jenis kilemo, buah masak ditandai dengan kulit buah berwarna hitam
kemerahan, dan untuk jenis nyamplung buah kulit buah berwarna kuning hingga merah.
Buah masak hasil pengunduhan selanjutnya diekstraksi baik dengancara ekstaksi kering
atau ekstaksi basah. Ekstraksi biji adalah pengeluaran biji dari buah/polongnya. Ekstraksi
diperlukan karena biasanya benih tidak dipanen secara langsung. Buah yang berbentuk polong
seperti umumnya jenis-jenis leguminosae diekstraksi kering dengan cara menjemur di bawah
sinar matahari selama 3-4 hari hingga polong merekah. Bila penyimpanan sementara harus
dilakukan, seperti misalnya menunggu transportasi, maka kerusakan terhadap benih harus
diupayakan sekecil mungkin dengan menjaga buah tetap kering dan dingin. Ini dapat dilakukan
dengan menempatkan buah yang sudah dikemas di bawah naungan yang berventilasi
baik.Periode pengumpulan dan ekstraksi harus sesingkat mungkin dan infeksi dari lingkungan
sekeliling harus dihindarkan.
Perlakuan pendahuluan adalah istilah yang digunakan untuk proses atau kondisi yang
diberikan untuk mematahkan dormansi benih (mempercepat perkecambahan benih).
Perlakuan yang diberikan tergantung jenis dormansi. Jenis-jenis legumonsae memiliki dormansi
fisik dengan kulit benihnya yang keras, sehingga perlakuan pendahuluan adalah dengan
perendaman dalam air selama 24 jam. Sedangkan perlakuan pendahuluan untuk benih kilemo
dengan caradirendam dalam larutan Asam giberelin (GA 3) konsentrasi 200 ppm selama 48 jam.
Teknik ini berhasil meningkatkan persentase perkecambahan sebesar 81% dan mulai
berkecambah pada hari ke-21. Sementara perendaman benih dalam air selama 24 jam hanya
mampu menghasilkan persen berkecambah sebesar 25,7% dan benih baru mulai berkecambah
pada hari ke-38 (Ali dan Rostiwati, 2011). Kemenyan dengan cara rendam jemur secara
bergantian selama 3 hari hingga kulit benih retak.
Kandungan air pada buah dan benih merupakan faktor penentu untuk viabilitas benih.
Benih yang baru diekstraksi masih mengandung kadar air yang cukup tinggi sehingga tidak baik
untuk disimpan. Sebelum disimpan benih harus dikeringkan. Pada kenyataannya tidak semua
benih dapat dikeringkan. Ada benih yang dapat dikeringkan sampai kadar air rendah (kurang
dari 10%) sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Benih seperti ini disebut
benih ortodoks. Sebelum diproses atau disimpan benih ortodok harus dikeringkan sampai
dengan kadar airnya mencukupi. Benih ortodoks yang dikeringkan akan bersifat dorman (tidur),
dan akan berkecambah bila diberi kondisi yang baik untuk berkecambah. Sebaliknya ada benih
yang tidak dapat dikeringkan dan sehingga tidak bisa disimpan lama (kadar air awal benih 20-
50%) dan tidak dapat disimpan pada suhu rendah, sehingga tidak mampu disimpan lama
(Bonner et al., 1994).Adapun benih intermediate hanya memerlukan pengeringan kulit. Untuk
lebih jelasnya sifat fisik dan fisiologis benih disajikan pada Tabel 6.
48
Aspek Perbenihan
Tabel 6. Mutu fisik dan fisiologis jenis-jenis benih penghasil kayu energi dan obat
berdasarkan SNI 7627:2014
Jenis Berat 1000 butir KA (%) Daya Berkecambah
benih (g) (%)
Akor (A. auriculiformis) 13-18 ≤7 ≥ 80
Pilang (A. leucophloea)* 18-27 ≤ 10 ≤ 50
Weru (A. procera) 26-31 ≤ 10 ≥ 80
Kaliandra (C. callothyrsus) 44-56 ≤ 10 ≥ 90
Turi (S. grandiflora) 33-58 6-7 ≥ 85
Lamtorogung (L. leucocephala) 50-60 ≤9 ≥ 70
Malapari (P. pinnata)** 1.507-2.027 57-63 100
Nyamplung (C. inophyllum) 2.800-3.500 20-40 ≥ 70
Kilemo (L. cubeba)*** 21-28 13-15 ≤ 81
Pulai (A.Scholaris) 1,2-3,2 ≤ 12 ≥ 80
Kemenyan (S. benzoin) 1.600-2.400 25-50 ≥ 80
Sumber: BSN (2014 b); * Suita et al (2012); **Suita et al (2014); ***Ali dan Rostiwati (2011)
E. Pembibitan
Tingkat keberhasilan penanaman di lapangan sangat ditentukan oleh penggunaan bibit
berkualitas.Keberadaan bibit berkualitas tersebut tentunya tidak terlepas dari teknik
pembibitannya yang tepat.Teknik pembibitan beberapa jenis tanaman penghasil kayu energi
dan obat secara rinci tersaji pada Tabel 7.
Kualitas bibit antara lain dipengaruhi secara langsung oleh kondisi media tempat
tumbuhnya. Media tumbuh dipersemaian sangat berperan dalam pemenuhan berbagai
keperluan kebutuhan hidup bibit antara lain tempat berjangkarnya akar, penyedia air dan unsur
hara, penyedia oksigen bagi berlangsungnya proses fisiologi akar serta kehidupan dan aktivitas
mikroba tanah.
Saat ini penggunaan top soil sebagai media pembibitan semakin berkurang yang
disebabkan beberapa kelemahan antara lain mudah memadat, mengandung sedikit bahan
organik sehingga aerasi tanah kurang baik, serta yang terpenting adalah kerusakan lingkungan
yang ditimbulkan akibat pengambilan lapisan top soil. Bahan-bahan organik seperti serbuk
sabut kelapa, arang sekam padi, serbuk gergaji dan gambut dapat dimanfaatkan sebagai media
pengganti atau media campuran top soil. Bahan-bahan organik tersebut terbukti mampu
menghasilkan bibit berkualitas, misalnya arang sekam padi yang dapat digunakan sebagai
media tambahan top soil pada media sapih kilemo. Persentase hidup bibit kilemo yang
dihasilkannya sebesar 93% dengan pertumbuhan tinggi dan diameter masing-masing mencapai
12,5 cm dan 1,35 cm (Tabel 7). Campuran dari beberapa bahan organik sebagai media tumbuh
pengganti top soil di persemaian juga terbukti cukup efektif, yangmana masing-masing bahan
organic dapat saling melengkapi satu sama lain. Seperti contohnya adalah campuran kompos
dan arangsekampadi yang cukup potensial sebagai media pembibitan jenis pilang (Tabel 7).
Selain bahan organik, media pengganti top soil yang juga dapat digunakan adalah
lapisan tanah sub soil. Penggunaan sub soil sebagai media tumbuh diketahui cukup baik
khususnya untuk jenis tanaman akor, kaliandra, malapari dan kemenyan dengan persentase
keberhasilan hidup yang relatif tinggi (Tabel 7). Namun media tanah tersebut umumnya miskin
49
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
hara, sehingga membutuhkan mikoriza, rhizobium atau pupuk untuk membantu meningkatkan
pertumbuhan bibit di persemaian.
Mikoriza sangat berperan dalam meningkatkan kemampuan penyerapan unsur hara P
oleh tanaman disamping peran penting lainnya yaitu meningkatkan ketahanan bibit terhadap
kekeringan dan ketahanan dari serangan patogen akar.Peningkatan serapan unsur hara P
sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan bibit dipersemaian karena unsur hara tersebut
berperan penting dalam pembelahan sel terutama pada perkembangan jaringan meristem,
yang selanjutnya dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman (Ulfa, 2010). Inokulasi fungi
mikoriza 2,5 g pada bibit kilemo terbukti cukup efektif meningkatkan serapan unsur P sebesar
102,14% dibanding control. Untuk lebih meningkatkan hasil tanaman melalui peningkatan
serapan P, dapat juga dilakukan kombinasi antara inokulasi cendawan mikoriza dan pemberian
pupuk NPK (Setiawati et al., 2000). Seperti contohnya pemberian mikoriza 5 gram dan NPK 0,5
gram pada bibit kaliandra secara bersamaan menghasilkan nilai kolonisasi akar
(84.96%)(Syamsuwida et al., 2014).
Tabel 7. Teknik pembibitan jenis tanaman penghasil kayu energi dan obat
Pertumbuhan
Rhizobium Mikoriza NPK
Jenis Media Persen Tinggi Diameter
(ml) (g) (g)
hidup (%) (cm) (mm)
Akor 2,5
tanah sub soil - - 92,59 7,5 0,79
(A.auliculiformis)
Pilang kompos +
(A.leucophloea) arang sekam - - - 96,67 11,7 1,84
padi
Weru kompos +
(A. procera) arang sekam - - - 94,89 16,7 1,23
padi
Kaliandra
tanah sub soil 2 2 - 94,20 32,0 2,68
(C. callothyrsus)
Malapari
tanah sub soil - 5 - 77,28 17,0 3,30
(P. pinnata)
Kilemo tanah + arang
(L. cubeba) sekam padi (3 - - - 93,00 12,5 1,35
: 1)
Kemenyan
tanah sub soil - 5 0,5 90,00 13,0 2,05
(S. benzoin)
Selain kombinasi mikoriza dan pupuk NPK, upaya meningkatkan kualitas bibit juga dapat
dilakukan dengan mengkombinasikan bakteri rhizobium dan cendawan mikoriza seperti yang
telah dilakukan pada bibit kaliandra. Perlakuan kombinasi Rhizobium dan mikoriza pada bibit
kaliandra menghasilkan pertumbuhan tercepat dengan rata-rata tinggi 32,0 cm dan diameter
2,68 cm (Tabel 7). Bakteri rhizobium pada bibit berperan untuk mengikat nitrogen di udara
melalui bintil (nodul) akar yang dibentuknya.Hal ini disebabkan kekurangan unsur hara
terutama unsur hara N dalam media pembibitan menjadi salah satu faktor pembatas
pertumbuhan bibit di persemaian.Namun demikian perlu diketahui strain Rhizobium yang
paling tepat agar dihasilkan bintil akar yang lebih efektif dalam mengikat nitrogen (Narendra,
2010).
Teknik pembibitan jenis-jenis tanaman hutan sangat mempertimbangkan kondisi
naungan yang dibutuhkan.Naungan tersebut diperlukan untuk mengurangi penguapan
(transpirasi) tanaman dan mempertahankan kelembaban di persemaian sehingga tanaman
50
Aspek Perbenihan
dapat terus tumbuh. Hal tersebut erat kaitannya dengan proses fotosintesis yang dilakukan
oleh tumbuhan.Untuk beberapa jenis tanaman hutan seperti kilemo, weru dan kemenyan
memerlukan naungan dengan intensintas naungan 25%. Namun untuk beberapa jenis tanaman
seperti jenis ganitri, akor, pilang dan malapari justru tidak membutuhkan naungan selama di
persemaian.
F. Perbanyakan vegetatif stek
Perbanyakan vegetatif merupakan solusi perbanyakan untuk jenis tanaman hutan yang
benihnya tidak dapat disimpan karena berwatak rekalsitran. Teknik perbanyakan ini juga sangat
bermanfaat dalam rangka perbanyakan klon-klonunggul antara lain klon penghasil sumber kalor
yang tinggi atau klon yang memiliki produktivitas minyak tinggi dengan kualitas maksimal.
Selain itu hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan di tempat di mana produksi benih terbatas,
dengan memanfaatkan tunas-tunas yang masih umur muda yang memiliki kandungan auksin
maksimal sebagai bahan stek pucuk.
Pembentukan akar pada stek (akar adventif) merupakan proses yang kompleks yang
dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain latar belakang genetik, fisiologi dan perkembangan
pohon induk serta hormon dan metabolisme tanaman (Geiss et al., 2009). Untuk itu salah satu
faktor penting yang harus diperhatikan adalah pemilihan bahan stek. Bahan stek terbaik adalah
dari bagian tanaman yang bersifat juvenil. Tunas juvenildibangun oleh jaringan-jaringan muda,
sehingga sangat mudah untuk merangsang keluarnya akar. Untuk meningkatkan keberhasilan
perbanyakan stek dari tunas pohon dewasa dapat dilakukan rejuvenasi. Kegiatan rejuvenasi
atau permudaan tersebut bertujuan untuk mendapatkan bahan vegetatif yang secara fisiologis
bersifat juvenil/muda serta memiliki kemampuan berakar yang baik, misalnya dengan cara
memotong cabang atau pembengkokan batang atau pembengkokan batang pada kebun
pangkasan. Beberapa jenis tanaman membutuhkan tambahan zat pengatur tumbuh sebagai
hormon tambahan untuk meningkatkan kualitas perakaran stek. Namun banyak pula jenis-jenis
tanaman hutan yang tidak memerlukan tambahan zat pengatur tumbuh.
Untuk meningkatkan keberhasilan penyetekan, penting memperhatikan media
perakaran stek dan kondisi lingkungan. Media perakaran stek yang dapat digunakan antara lain
pasir atau media campuran kokopit dan sekam padi (2:1/v/v) maupun media campuran kokopit
dan arang sekam padi (2:1; v/v). Kondisi ruang perakaran stek terbaik adalah pada suhu udara
< 300C dan kelembaban udara > 90%.Beberapa teknik perbanyakan vegetatif stek disajikan
pada Tabel 8.
Tabel 8. Teknik perbanyakan vegetative jenis tanaman penghasil kayu energi dan obat
Pertumbuhan
Zat pengatur
Jenis Persen berakar Jumlah akar
tumbuh Panjang akar (cm)
(%) (helai)
Akor
IBA 250 ppm ≥ 90 5,98 -
(A. auriculiformis)
Pilang
IBA 200 ppm 46,66 6,46 5,3
(A. leucophloea)
Weru
IBA 200 ppm 11, 66 5,10 8,2
(A. procera)
Kaliandra
- 88,76 5,00 3,0
(C. callothyrsus)
Malapari
IBA 500 ppm 96,05 4,26 9,5
(P. pinnata)
Kilemo IBA 1000 52,78 18,00 -
51
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Pertumbuhan
Zat pengatur
Jenis Persen berakar Jumlah akar
tumbuh Panjang akar (cm)
(%) (helai)
(L. cubeba) ppm
Kemenyan
- 83,54 14,7 -
(S. benzoin)
V. PENUTUP
Teknologi perbenihan yang tepat merupakan tahapan proses kegiatan penting untuk
mendukung pengembangan usaha kehutanan berbasis bioenergi dan biofarmaka. Pemilihan
jenis tanaman sebagai sumber bahan baku energi dan obat selain pertimbangan potensi,
kesesuaian tempat tumbuh dan produktivitas, juga harus mempertimbangkan aspek sosial
ekonomi masyarakat serta aspek konservasi dan deforestasi yang merupakan upaya perbaikan
hutan dan lingkungan regional. Diharapkan bioenergi dari hutan dapat menggantikan sebagian
keberadaan batu bara, minyak tanah dan solar yang selama ini digunakan. Demikian juga
biofarmaka dari hutan yang diharapkan dapat menjadi salah satu sumber devisa negara
potensial.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, C dan T. Rostiwati. 2011. Pengaruh hormon pertumbuhan dan senyawa nitrogen serta
waktu perendaman terhadap perkecambahan benih lemo. Prosiding Seminar Hasil-hasil
Penelitian. Teknologi Perbenihan Untuk Meningkatkan Produktivitas Hutan Rakyat Di
Provinsi Jawa Tengah. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor.
Badan Litbang Kehutanan. Kementerian Kehutanan.
52
Aspek Perbenihan
Alrasyid, H. 1981. Some fuelwood tree species characteristic in Indonesia. Balai Penelitian
Hutan.
BSN. 2014 a. Tanaman Kehutanan - Bagian 12: Penanganan benih generative tanaman hutan.
SNI 5006.12:2014
BSN. 2014 b. Mutu fisik dan fisiologis benih tanaman hutan. SNI 7627:2014
Cleland, EE, JM Allen, TM Crimmins, JA Dunne, S Pau, SE Travers, ES Zavaleta and EM
Wolkovich. 2012. Phenological tracking enables positive species responsesto climate
change. Ecology 93(8):1765–1771.
Dalimartha. 2001. Atlas tumbuhan obat Indonesia.
Dirjen Listrik dan Energi Baru. 1991. Pemilihan jenis pohon energi. Dirjen Listrik dan Energi
Baru. Depatemen Pertambangan dan Energi.
Fewless, G. 2006. Phenology. http://www.uwgb.edu/biodiversity/phenology/index.htm.
(Diakses 26 Juni 2006).
Geiss, G., L. Gutierrez dan C. Bellini. 2009. Adventitious Root Formation: New Insights and
Perspectives. Annu. Plant Rev. 37 : 127–156.
Hartoyo. 1976. Rendemen dan sifat arang beberapa jenis kayu Indonesia. Laporan nomor 62.
Lembaga Penelitian Hasil Hutan.;
Hendarti, R.L., S.H. Nurrohmah, S. Susilawati dan S Budi. 2014. Budidaya acacia uriculiformis
(Acacia auriculiformis) untuk kayu energi. IPB Press. Bogor.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Serbaguna III. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Ika. 2012. Produksi Biodiesel Indonesia kurang 820 ribu kilo liter. Website
http://ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=4654. Diakses tanggal 7 Desember 2013.
Johnsen, O., J. Dietrichson, dan G. Skaret. 1989. Phenotypic changes in progenies of northern
clones of Picea abies (L.) Karst. grown in a southern seed orchard. III. Climate changes and
growth in a progeny trial. Scand. J. For. Res. 4: 343-350.
Kompas. 2013. Kompas. 2013. Bahan Bakar Nabati: Wajib Pakai Produksi Biodiesel Dalam
Negeri. Terbit Sabtu, 31 Agustus 2013.
Leksono, B dan K.P.Putri. 2013. Variasi ukuran buah-biji dan sifat fisiko-kimia minyak
nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) dari enam populasi di Jawa. Prosiding Seminar
Nasional : Peranan hasil litbang hasil hutan bukan kayu dalam mendukung pembangunan
kehutanan, Mataram 12 September 2012. Puslit Peningkatan Produktivitas Hutan, Litbang
Kehutanan. Hal 322-335
Lin, T.S. 1983. Variation in content and composition of essential oil from Litsea cubeba
collected in different months. Bulletin of the Taiwan Forestry Research Institute No. 398.
9 pp.
Millettia Plantations. 2010. Millettia pinnata: the sustainable biofuel crop of the future.
http://www.millettiaplantations.com. Diakses pada tanggal 27 November 2012.
Mukta, N. dan Y. Sreevalli. 2010. Propagation Techniques, Evaluation and Improvement of The
Biodiesel Plant Pongamia pinnata (L) Pierre – A Review. Industrial Crops and Product 31:
1 – 12.
Nambiar, E.K.S dan A.G. Brown. 1997. Management of soil nutrient and water in Tropical
Plantation Forest. ACIAR and CIFOR Published. CSIRO Canberra. Australia.
53
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Narendra, B.H. 2010. Pengaruh mikoriza dan rhizobium terhadap pertumbuhan bibit kaliandra
(Calliandra calothyrsus Meissn). Prosiding seminar nasional : Kontribusi litbang dalam
peningkatan produktivitas dan kelestarian hutan, Bogor 29 November 2010. Badan
Litbang Kehutanan. Hal 261 – 266.
Owens JN and Blake MD. 1985. Forest Tree Seed Production. A review of literature and
recommendation for the future research. Canadian Forestry Service. Inf. Ref. PI-X-53,
161 p.
Pratiwi. 1999. Karakteristik lahan habitat pulai gading (Alstonia scholaris R.Br.) di Hutan
Tanaman, Sumatera Selatan. Buletin Penelitian Hutan 618 : 13-30.
Pusat Pengelolaan Ekorgion Sumatera Kementerian Lingkungan Hidup. 2014. Status Kualitas
Lingkungan Provinsi Lampung. Data dan Informasi Lingkungan Hidup
Sumatera.http://ppesumatera.menlh.go.id.
Putri, KP., N. Siregar, M. Sanusi dan Abay. 2011. Kuantifikasi Produksi Buah Tanaman Hutan
Jenis Ganitri (Elaecarpus ganitrusi) dan Kilemo (Litsea cubeba). [Laporan Hasil
Penelitian]. Balai PenelitianTeknologi Perbenihan. Badan Litbang Kehutanan, Bogor.
[Indonesia].
Rostiwati T., Y. Heryati, S. Bustomi. 2006. Review hasil Litbang kayu energi dan turunannya.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman.Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Bogor
Schmidt L. 2000. Pedoman penanganan benih tanaman hutan tropis dan sub tropis.
Departemen Kehutanan dan Indonesia Forest Seed Project. Jakarta.
Setiawati, MR. B.N. Fitriatin, dan P. Suryatman. 2000. Pengaruh Mikoriza danPupuk
Fosfatterhadap Drajat Infeksi Mikoriza dan KomponenPertumbuhan Tanaman
Kedelai.Proseding Seminar Nasional Mikoriza I.Bogor.
Soerawidjaja, T.H. 2007a. Mabai atau Malapari atau Kranji (Pongamia pinnata). Pusat Penelitian
Energi Berkelanjutan (Center for Research on Sustainable Energi). Institut Teknologi
Bandung. Bandung. Tidak dipublikasikan.
Soerawidjaja, T. H. 2007b. An Overview on Biofuels: The 3rd MRPTNI – CUPT Conference, Chiang
Mai, Thailand, 15 December 2007
Sopamena, C.H.A. 2007. Hitaullo (Calophyllum inophyllum L.): Sumber Energi Bahan Bakar
Nabati (BBN) dan Tanaman Konservasi. ISBN 978-979-15684-0-19 789791. BAPINDO.
Bandung.
Sri-Ngernyuang K, Kanzaki M, Itoh A. 2007. Seed production and dispersal of four Lauraceae
species in a tropical lower montane forest, Northern Thailand. Mj. Int. J. Sci. Tech 01:
73-87.
Suita, E., T. Suharti, D. Haryadi dan Abay. 2012. Pengujian Mutu Fisik, Fisiologis Dan Pendugaan
Umur Simpan Benih Jenis Weru (Albizia ProceraBenth) Dan Pilang (Acacia Leucophloea).
Laporan Hasil Penelitian (tidak diterbitkan)
Suita, E. dan S. Bustomi. 2014. Teknik Peningkatan Daya Dan Kecepatan Berkecambah Benih
Pilang. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 11 No. 1, Maret 2014: 45-52
Suita, E., D. Syamsuwida, Suherman, A.H. Setiawan. 2014. Pengujian Mutu Fisik, Fisiologis Dan
Penyimpanan Benih Jenis Malapari (Pongamia Pinnata Merril) Dan Turi (Sesbania
Grandiflora). Laporan Hasil Penelitian (tidak diterbitkan)
54
Aspek Perbenihan
Susanto, M., T.A Prayitno dan Y. Fujisawa. 2008. Wood genetic variation of Acacia auriculifomis
at Wonogiri Trial in Indonesia. Journal of Forestry Research Vol 5 (2):125-134.
Syachri, N.T. 1982. Beberapa sifat kayu dan limbah pertanian sebagai sumber energy. Laporan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan 1982 (161):17 – 22.
Syamsuwida, D., A. Aminah dan A. Muharam. 2011. Fenologi dan Potensi Produksi Benih
Tanaman Penghasil Kayu Energi Jenis Weru (Albizia procera), pilang (Acacia
leucophloea), akor (Acacia auriculiformis) dan kaliandra (Caliandra callothyrsus).
Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Bogor. Tidak
diterbitkan.
Syamsuwida, D.R. Kurniaty, K.P.Putri dan E. Suita. 2014. Kaliandra ( Calliandra callothyrsus) as a
timber for energy: In a point of view of seeds and seedlings procurement. Journal
Energy Procedia 47 (2014 : 62-70).
Tabla, V.P and C.F Vargas. 2004. Phenology and phenotypic natural selection on the flowering
time of a deceit-pollinated tropical orchid, Myrmecophila christinae. Annals of Botany,
94(2): 243-250.http://aob.oxfordjournals.org
Utami, S. dan Asmaliyah. 2010. Potensi pemanfaatan tumbuhan obat di Kabupaten Lampung
Barat dan Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Tekno Hutan Tanaman Vol. 3
(2): 1-29.
Wardah. 2005. Keanekaragaman jenis tumbuhan di kawasan hutan Krui, Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan Lampung Barat. J.Tek.Ling. P3TL-BPPT 6(3): 477-484.
Wiens D, Calvin CL, Wilson CA, Davern CI, Frank D, Seavey SR. 1987. Reproductive success,
spontaneous embryo abortion and genetic load in flowering plants, Oecologia 71:501-
509
Zuhud EAM. 2008. Potensi hutan tropika Indonesia sebagai penyangga bahan obat alam untuk
kesehatan bangsa. http://www.academia.edu/5650004.
55
Aspek Perbenihan
ABSTRAK
Pengusangan merupakan salah satu perlakuan terhadap benih yang dapat menyebabkan kemunduran
kualitas benih karena lingkungan. Untuk mengetahui proses alami penurunan kualitas benih kaliandra
dan akor maka dilakukan penelitian mengenai pengaruh pengusangan terhadap viabilitas benihnya.
Pengusangan dilakukan dengan cara menempatkan benih dalam bak yang telah diisi air sebanyak 150
ml, kemudian dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 40°C selama jangka waktu tertentu sesuai
dengan taraf pengusangan yang diberikan. Perlakuan pengusangan untuk masing-masing jenis benih
yang akan diuji antara lain: Jenis Kaliandra: (a) kontrol (tanpa perlakuan), (b). benih diusangkan selama
24 jam, (c). 48 jam, (d) 72 jam, (e) 96 jam, (f) 120 jam, (g) 144 jam, (h) 168 jam, (i)192 jam, (j) 216 jam
(k) 240 jam. Jenis Akor: (a) kontrol (tanpa perlakuan), (b). benih diusangkan selama 48 jam, (c). 96 jam,
(d) 144 jam, (e) 192 jam, (f) 240 jam, (g) 288 jam, (h) 336 jam. Pengusangan benih kaliandra yang di
usangkan selama 240 jam masih menghasilkan daya berkecambah cukup tinggi yang tidak berbeda
nyata sebelum di usangkan yaitu dengan daya berkecambah 89,50% dan begitu juga dengan benih akor
yang di usangkan selama 336 jam dengan daya berkecambah 51,33%.
Kata kunci: akor, daya berkecambah, kaliandra, pengusangan
I. PENDAHULUAN
Penurunan kualitas benih merupakan proses alami yang tidak dapat dihindari. Proses
kemunduran benih terjadi secara simultan dan merupakan proses yang tidak dapat dipisahkan
hingga benih menjadi tidak viabel. Empat proses awal yang terjadi pada saat benih mulai
mengalami kemunduran sejak benih mulai dipanen adalah kerusakan akibat radikal bebas,
hilangnya integritas membrane, hilangnya aktivitas enzim dan aktivitas sel. Proses ini akan
mengakibatkan berlangsungnya proses-proses selanjutnya, sehingga benih menjadi tidak viabel
lagi (Bewley dan Black, 1985). Penurunan kualitas benih dapat diperlambat melalui
penyimpanan yang tepat. Salah satu cara untuk mengetahui percepatan penurunan kualitas
benih adalah melalui pengusangan dipercepat (accelerated ageing) (Zanzibar, 2007).
Pengusangan dipercepat adalah pengujian dengan menggunakan kondisi yang diperburuk
berupa panas, oksigen, sinar matahari, getaran, dan lain-lain, untuk mempercepat proses
penuaan benih. Pengusangan merupakan salah satu perlakuan terhadap benih yang dapat
menyebabkan kemunduran kualitas benih karena lingkungan, yaitu dengan temperatur yang
tinggi (40-50°C) dan kelembaban yang tinggi (>90%). Perlakuan ini merupakan pendekatan
untuk mendapatkan benih dengan kondisi yang sama dengan benih yang sudah mengalami
periode penyimpanan tertentu (Zanzibar, 2003). Hal ini digunakan untuk menentukan efek
jangka panjang dari tingkat stres yang diharapkan dalam waktu yang lebih pendek. Metode
pengusangan cepat juga digunakan untuk pendugaan daya simpan kedelai (Maesaroh et al.,
2012), pengujian vigor daya simpan padi (Cutrisni et al., 2011) dan deteksi dini mutu dan
ketahanan simpan benih jagung hibrida (Koes dan Arief, 2010). Beberapa hasil penelitian
pengusangan jenis jati selama 9 hari menghasilkan daya berkecambah dan potensial tumbuh
maksimum tertinggi (43,359% dan 44,253%) (Prasodjo dan Wiguna, 2002). Menurut
Ekowahyuni et al. (2013), metode pengujian vigor daya simpan khususnya benih cabai dapat
57
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
dihasilkan dengan metode pengusangan cepat, hasil penelitian yang terbaik yaitu metode
pengusangan cepat methanol 20% pada 0, 2, 4, 6 dan 8 jam. Menurut Wafiroh et al. (2010)
metode pengusangan cepat terkontrol juga dapat untuk menguji vigor lot benih wijen di
laboratorium.
Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan Akor (Acacia auriculiformis) merupakan jenis
penghasil kayu energi. Akor merupakan bahan untuk kayu bakar dan kayunya juga baik untuk
membuat kertas, perabot dan peralatan. Species ini dapat tumbuh pada lahan marjinal, pada
lahan bekas tambang dengan pH 3 hingga pantai berpasir dengan pH 8-9, lahan tergenang,
lahan alang-alang sehingga sangat cocok untuk rehabilitasi lahan kritis (Joker, 2001). Kaliandra
dikenal sebagai tanaman serbaguna karena manfaatnya untuk penghijauan, pencegah erosi,
sumber kayu bakar, peternakan lebah madu dan makanan ternak (Tangendjaja et al., 1992).
Untuk mengetahui penurunan kualitas benih kaliandra dan akor maka dilakukan
penelitian mengenai pengaruh pengusangan terhadap viabilitas benihnya.
II. METODOLOGI
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Benih kaliandra berasal dari Mega Mendung, Cipayung, Bogor, sedangkan akor berasal
dari Riau. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Balai Penelitian Teknologi Perbenihan
Tanaman Hutan Bogor.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu benih kaliandra (Gambar 1.) dan akor (Gambar 2.) yang
sudah masak fisiologi yang ditandai dengan warna buah hijau- kecoklatan dan sebagian buah
sudah merekah, media kertas merang sedangkan alat yang digunakan yaitu oven, inkubator,
germinator, timbangan analitik, petridish, label, kantong plastik, dan lain-lain.
(g) 144 jam, (h) 168 jam, (i)192 jam, (j) 216 jam (k) 240 jam. Jenis Akor: (a) kontrol (tanpa
perlakuan), (b). benih diusangkan selama 48 jam, (c). 96 jam, (d) 144 jam, (e) 192 jam, (f) 240
jam, (g) 288 jam, (h) 336 jam.
Gambar 3. Inkubator
Pada setiap periode pengusangan diuji kadar air dan perkecambahannya. Untuk
penaburan masing-masing perlakuan terdiri dari 50 benih dengan 4 ulangan (kaliandra) dan 100
benih dengan 4 ulangan (akor). Benih hasil pengusangan dikecambahkan di cawan petri dengan
media kertas merang. Pengamatan dilakukan setiap 2 hari, dengan menghitung kecambah
normal. Penentuan kadar air dengan metode oven suhu 103±2°C selama 17±1 jam.
D. Analisis data
Data dianalisis dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Uji jarak Duncan digunakan
untuk membandingkan nilai rata-rata tahap pengusangan (Steel and Torrie, 1980).
Dari Tabel 1, dapat dilihat bahwa hasil analisa keragaman untuk parameter kadar air dan
daya berkecambah memperlihatkan adanya perbedaan yang signifikan, untuk itu dilanjutkan
dengan uji lanjut.
Benih kaliandra yang diusangkan sampai 240 jam masih mempunyai daya berkecambah
yang tidak berbeda nyata dengan kontrol, tetapi ada ketidakstabilan pada pengusangan 96 jam
dan 192 jam, ini dimungkinkan karena ketidakhomogennya pengambilan sampel benih.
Sedangkan untuk kadar airnya berfluktuasi dengan nilai kadar air awal 5,56%, kemudian menaik
dan dapat mencapai 9,77%. Adanya kondisi turun naiknya kadar air benih selama pengusangan
kemungkinan disebabkan/dipengaruhi kondisi suhu kelembaban yang ada di ruang inkubator.
Walaupun kadar air berfluktuasi tetapi tidak terlalu berpengaruh terhadap daya berkecambah
dimana daya berkecambah tetap tinggi.
59
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tabel 2. Hasil Uji Lanjut Rata-Rata Kadar Air dan Daya Berkecambah Benih
Kaliandra Hasil Pengusangan
Pengusangan Daya Berkecambah
Jenis Kadar Air (%)
(jam) (%)
Kaliandra Kontrol 5,56 d 95,00a
(Mega 1 24 7,94abc 89,50ab
Mendung)
2 48 8,90abc 85,50ab
3 72 7,22 bcd 89,00ab
4 96 7,26 bcd 83,00 b
5 120 8,69abc 93,00ab
6 144 6,67 cd 90,00ab
7 168 8,48abc 91,00ab
8 192 9,11ab 71,50 c
9 216 7,23 bcd 85,50ab
10 240 9,77a 89,50ab
11 264 7,39 bcd 73,00 c
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan pada
tingkat kepercayaan 95%
Dari Tabel 3, dapat dilihat bahwa hasil analisa keragaman untuk parameter kadar air dan
daya berkecambah memperlihatkan adanya perbedaan yang signifikan, untuk itu dilanjutkan
dengan uji lanjut.
Tabel 3. Analisa Keragaman Kadar Air dan Daya Berkecambah pada Pengusangan Akor
Jenis Parameter Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah
Akor Kadar Air Ukuran 7 857,75 122,54 11,84*
Sisa 15 155,23 10,35
Total 22 1012,98
Daya Ukuran 7 2039,83 291,41 3,26*
Berkecambah Sisa 16 1432,00 89,50
Total 23 3471,83
Keterangan * = nyata pada tingkat kepercayaan 95%
Tabel 4. Hasil Uji Lanjut Rata-Rata Kadar Air Dan Daya Berkecambah Benih Akor
Hasil Pengusangan
Pengusangan Daya Berkecambah
Jenis Kadar Air (%)
(jam) (%)
Akor (Riau) Kontrol 6,56 e 63,33a
1 48 19,04 bc 66,00a
2 96 21,02 b 60,67ab
3 144 18,91 bc 38,00 c
4 192 23,28ab 44,67 bc
5 240 28,58a 60,67ab
6 288 13,93 cd 50,67abc
7 336 12,28 de 51,33abc
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan
pada tingkat kepercayaan 95%
60
Aspek Perbenihan
Pengusangan jenis akor, walaupun sudah diusangkan selama 336 jam tetapi daya
berkecambahnya masih belum berbeda nyata dengan kontrol, tetapi ada penurunan pada
pengusangan 144 jam kemudian menaik lagi pada periode berikutnya. Sedangkan untuk kadar
airnya terus meningkat, puncaknya pada pengusangan 240 jam yang mencapai 28,58%.
Walaupun kadar air meningkat tetapi belum mempengaruhi daya berkecambahnya.
Jenis akor dan kaliandra merupakan jenis yang mempunyai kulit benih yang keras
sehingga apabila akan dilakukan penaburan harus diberi perlakuan terlebih dahulu. Dengan
pengusangan selama 240 jam (kaliandra) dan 336 jam (akor), jenis ini masih dapat
mempertahankan daya berkecambahnya, kemungkinan karena perlindungan dari kulit benih
yang keras sehingga dengan kondisi yang ekstrim benih bisa bertahan. Sesuai dengan penelitian
jenis Albizia procera (Suita, 2013) yang sudah diusangkan selama 880 jam, masih mempunyai
daya berkecambah 69% dan Acacia mangium (Zanzibar, 2003), yang sudah diusangkan selama
480 jam, masih mempunyai daya berkecambah 74%. karena kemungkinan benih mempunyai
kulit benih yang keras dan impermeable sehingga kondisi lingkungan yang ekstrim selama
proses pengusangan tidak memberikan pengaruh yang besar terutama penyerapan air ke
dalam sel. Dengan demikian apabila kadar air benih dipertahankan dengan kondisi ruang
simpan yang terkendali maka benih kaliandra dan akor dapat mempertahankan daya
berkecambahnya dalam waktu yang cukup lama.
IV. KESIMPULAN
Kualitas benih kaliandra yang diusangkan selama 240 jam belum mengalami penurunan,
masih menghasilkan daya berkecambah cukup tinggi yang tidak berbeda nyata sebelum di
usangkan yaitu dengan daya berkecambah 89,50%, begitu juga dengan benih akor yang sudah
diusangkan selama 336 jam dengan daya berkecambah 51,33%.
DAFTAR PUSTAKA
Bewley, J.D and M. Black. 1985. Physiology and Biochemistry of Seed. Vol I. Springer Verlag.
New York
Cutrisni, F. C. Suwarno, dan Suwarno. 2011. Pengujian Vigor Daya Simpan Dengan Metode
Pengusangan Cepat Fisik Dan Vigor Kekuatan Tumbuh Pada Benih Padi. Karya Tulis
Institut Pertanian Bogor. Abstract Pdf.
Ekowahyuni, L.P., S. H. Sutjahjo, S. Sujiprihati, M. R. Suhartanto, dan M. Syukur. 2013. Evaluasi
Vigor Daya Simpan Benih Pada Berbagai Genotipe Cabai (Capsicum Annuum L.) Dengan
Metode Pengusangan Cepat. Volume 1 Nomor 1. E-Journal WIDYA Kesehatan Dan
Lingkungan.
Joker. 2001. Acacia auriculiformis Cunn. ex Benth. Informasi Singkat Benih. Direktorat
Perbenihan Tanaman Hutan.
Koes, F. Dan R. Arief. 2010. Deteksi Dini Mutu Dan Ketahanan Simpan Benih Jagung Hibrida F1
Bima 5 Melalui Uji Pengusangan Cepat (Aat). Prosiding Pekan Serealia Nasional. Balai
Penelitian Tanaman Serealia.
Maesaroh, S, Y.Wahyu E.K., dan E. Widajati. 2012. Pendugaan Daya Simpan Galur-Galur Kedelai
(Glycine Max (L.) Merr.) Hasil Iradiasi Sinar Gamma Dengan Metode Pengusangan Cepat.
Karya Tulis Institut Pertanian Bogor. Abstract Pdf.
61
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Prasodjo, HN. dan G. Wiguna. 2002. Penggunaan metode pengusangan cepat untuk
memperbaiki perkecambahan benih jati (Tectona grandis L.f). Buletin Vol. IV (01).
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1980. Principles and procedures of statistic. McGraw-Hill, Inc.
Suita, E. 2013. Pengaruh pengusangan terhadap viabilitas benih weru (Acacia procera Benth.).
Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan. Vol 1(1). Balai Penelitian Teknologi Perbenihan
Tanamn Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian
Kehutanan
Tangendjaja, B., E. Wina, T. Ibrahim dan B. Palmer. 1992. Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan
pemenfaatannya. Balai Penelitian Ternak dan The Australian Centre for International
Agricultural Research.
Wafiroh, S., E. Murniati dan A. Qadir. 2010. Pengujian Vigor Benih Menggunakan Metode
Pengusangan Cepat Terkontrol Dan Korelasinya Terhadap Daya Tumbuh Dan Vigor Bibit
Wijen. Makalah Seminar Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Zanzibar, M. 2003. Kemunduran Viabilitas Beberapa Benih Pohon Hutan Akibat Pengaruh
Perlakuan Pengusangan. Buletin Teknologi Perbenihan Vol. 10 (1). Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Pusat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.
Zanzibar, M. 2007. Pengaruh Perlakuan Pengusangan dengan Uap Etanol Terhadap Penurunan
Kulitas Fisiologis Benih Akor, Merbau dan Mindi. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 4
(2). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman.
62
Aspek Perbenihan
ABSTRAK
Produktivitas hutan tanaman sengon (Albizia falcataria L. Forsbeg) di Pulau Jawa, saat ini terus menurun
karena adanya serangan berbagai hama dan penyakit. Salah satu penyakit yang cukup mendesak untuk
segera dilakukan pengendalian adalah penyakit karat puru. Penyakit karat puru dapat menyerang
berbagai bagian tanaman sengon diantaranya adalah polong yang selanjutnya berpengaruh terhadap
benih. Hasil pengamatan awal pada benih sengon yang berasal dari berbagai lokasi yang sudah
terserang karat puru, yaitu Garut (Jawa Barat), Boyolali (Jawa Tengah), Kediri (Jawa Timur ), sedangkan
benih asal Papua, tegakannya masih bebas karat puru. Hasil pengamatan menunjukkan polong yang
berasal dari Garut sudah terserang karat puru, demikian pula dengan benihnya. Daya berkecambah (DB)
dan kecepatan berkecambah (KCT) benih yang berasal dari Papua mempunyai nilai tertinggi yaitu 84,5%
dan 0,11% per et mal dibandingkan ketiga asal benih lainnya. Hal ini diduga karena benih asal Papua
belum terserang karat puru sehingga mempunyai viabilitas benih tertinggi. Viabilitas benih (DB dan KCT)
terendah adalah yang berasal dari Boyolali, nilai DB dan KCT masing-masing adalah 39,5% dan 0,037%
per et mal. Oleh karena itu upaya pengendalian pada tingkat benih mutlak dilakukan, selain melalui
teknik penanganan benih juga perlu adanya pengawasan terhadap peredaran benih sengon.
Kata kunci: Albizia falcataria, Jawa, karat tumor, Papua, polong
I. PENDAHULUAN
Tanaman sengon merupakan jenis andalan hutan rakyat, khususnya di Pulau Jawa,
namun saat ini kondisi tegakan sengon di Jawa, mulai dari daerah Jawa Barat, Jawa Tengah
hingga Jawa Timur sebagian besar sudah terserang penyakit karat tumor/puru. Menurut
Anggraeni (2008) serangan karat puru pada sengon mulai diketahui pada tahun 1996 di daerah
Maluku, selanjutnya mulai tahun 2003 sudah ditemukan dibeberapa tempat di Jawa, dan
serangan karat puru terus meluas hingga hampir seluruh tegakan sengon di Jawa.
Upaya mendapatkan klon sengon toleran terhadap karat puru telah dilakukan oleh
Baskorowati (2014) dan Setiadi et al. (2014) melalui pembangunan Kebun Benih Uji Keturunan
dan pembangunan plot uji resistensi sengon terhadap karat puru. Adapun Anggraeni
melakukan penelitian teknik pengendalian secara fisik maupun kimiawi. Penelitian yang sedang
dilakukan oleh Lelana (2014) adalah mengkoleksi cendawan antagonis (endofit) yang dapat
dijadikan pengendali hayati.
Di duga penyebaran penyakit karat puru pada tanaman sengon terjadi melalui benih
(seed borne pathogen). Mikroorganisme lainnya yang penyebarannya terbawa benih yakni
cendawan, bakteri, virus dan nematode. Cendawan merupakan patogen yang sering
menginfeksi benih baik pada saat di lapangan maupun di penyimpanan. Patogen benih dapat
terbawa bibit lebih lanjut dapat menginfeksi tanaman setelah berada di lapangan (Lazreg et al.,
2014). Patogen terbawa benih menyebabkan benih busuk, nekrosis dan mengurangi viabilitas
benih dan vigor bibit (Naqvi et al., 2013). Kerugian yang disebabkan oleh patogen yang terbawa
benih antara lain menurunnya kualitas dan kuantitas benih.
Pathogen terbawa benih dapat terjadi didalam benih atau dipermukaan benih.
Mekanisme pathogen terdapat dalam benih terjadi pada saat proses penyerbukan, yaitu
63
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
terbawa atau menempel pada pollinator. Pada saat pollinator menyerbuki bunga betina, maka
spora atau benang miselia yang menempel pada pollinator akan mengkotaminasi serbuk sari
(polen) dan akhirnya masuk dalam tabung ovarium (Ovary) dan jaringannya tetap hidup hingga
terbentuknya embrio. Adapun cendawan yang terdapat dipermukaan luar benih, kemungkinan
karena benih terkontaminasi cendawan yang terbawa angin, atau pada saat pengunduhan
benih jatuh ke tanah, dan tanah sudah terkontaminasi oleh cendawan. Kemudian benih yang
mengandung cendawan karat puru didistribusikan ke daerah lain.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengindentifikasi cendawan karat puru pada benih
serta mengetahui pengaruhnya terhadap perkecambahan benih sengon.
II. METODOLOGI
Bahan yang digunakan adalah benih sengon, yang berasal dari Garut Jawa Barat,
Boyolali Jawa Tengah, Kediri Jawa Timur dan Papua. Alat-alat yang digunakan antara lain media
agar, petridish, media perkecambahan, bak kecambah, label, mistar, oven, germinator,
timbangan analitik, kamera, mikroskop, plastic, shading net dan laminar air flow. Penelitian
identifikasi cendawan serta perkecambahan benih dilakukan di Laboratorium, rumah kaca dan
persemaian BPTPTH Bogor.
Pengunduhan buah sengon dilakukan pada pohon sengon yang telah berbuah masak
secara fisiologis. Pengunduhan buah dilakukan dengan cara memanjat pohon, buah sengon
(polong) dipetik menggunakan galah berkait atau pisau/sabit. Ujung galah diberi karung kecil
atau kantong jaring sehingga bila polong dipetik dapat langsung masuk ke dalam karung atau
jaring.
Polong-polong yang terlihat sudah terinfeksi oleh cendawan karat puru selanjutnya
dipisahkan dan diisolasi untuk diidentifikasi dibawah mikroskop. Cendawan karat puru dibiakan
pada media agar, yaitu dengan meletakkan bagian polong yang sudah terinfeksi karat puru
pada media agar. Cawan petri yang berisi bagian polong/benih yang mengandung cendawan
selanjutnya diinkubasi selama 7 hari dengan kondisi penyinaran 12 jam terang dan 12 jam gelap
secara bergantian. Pada hari ke-8 cendawan diidentifikasi dengan membandingkan bentuk,
pertumbuhan, warna dan mikroskopisnya.
Adapun benih hasil ekstraksi selanjutnya dikecambahkan pada bak kecambah dengan
menggunakan media campuran pasir dan tanah (v/v : 1/1), media perkecambahan sebelum
dipergunakan, disterilkan terlebih dahulu dengan cara di steam (kukus) selama ± 3 jam. Jumlah
benih yang dikecambahkan dari setiap lokasi adalah 100 butir dan diulang 4 kali. Pengamatan
perkecambahan dengan menghitung daya berkecambah dan kecepatan berkecambah.
64
Aspek Perbenihan
Gambar 1. Posisi serangan karat puru pada bagian batang dan cabang tanaman sengon di Kediri
Serangan karat puru menyerang pada semua tingkat umur tanaman, mulai dari bibit,
tanaman muda hingga tanaman tua. Hasil pengamatan pada tingkat polong juga menunjukkan
adanya serangan karat puru pada tingkat ini. Karakteristik karat puru adalah merupakan
cendawan obligat, yaitu cendawan ini hanya akan bertahan hidup dan tumbuh pada jaringan
tanaman yang masih hidup (Wiyastuti et al. 2013; Lelana, 2015). Serangan karat puru juga
terjadi pada bagian polong, bentuk polong yang terserang karat puru dapat dilihat pada
Gambar 2.
B C
A
Gambar 3. Bentuk cendawan karat puru pada fase teliospora yang diisolasi
dari bagian polong (A dan B) serta benih (C ) sengon
Penyebab penyakit karat puru pada tanaman sengon adalah cendawan Uromycladium
tepperianum (Sace.) McAlp atau jamur karat (Anggraeni, 2008; Rahayu et al., 2010). Jamur
hanya membentuk satu macam spora yang dinamakan teliospora. Hasil pengamatan di bawah
mikroskop menunjukkan teliospora berbentuk bulat, mempunyai struktur yang berjalur dan
65
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
bergerigi (Gambar 3), ukuran rata-rata panjang dan lebar masing-masing adalah panjang
berkisar 20-29 µm dan lebar 18-26 µm. Namun Rahayu et al. (2010) melaporkan ukuran spora
berkisar antara lebar 13-20 µm dan panjang 17-28 µm, sedangkan hasil penelitian Sumeru D.
(2013) menyatakan bahwa panjang dan lebar spora masing-masing adalah 20-28 μm dan 15-25
μm. Hal ini menunjukkan adanya variasi ukuran dari teliopsora. Teliospora akan berkecambah
dan menghasilkan basidiospore, dan bentuk basidiospore inilah yang melakukan penetrasi
langsung pada bagian-bagian tanaman, selanjutnya menembus epidermis dan berkembang
pada jaringan inang dibawahnya (Rahayu et al., 2010; Widyastuti et al., 2013; Sumeru, 2013).
Berdasarkan penjelasan tentang proses infeksi jamur karat puru, maka keberadaan
karat puru pada bagian polong, akan secara langsung menyerang bagian benih, sehingga benih
yang dihasilkan dari polong yang sudah terinfeksi karat puru menghasilkan benih yang sudah
terinfeksi pula oleh karat puru. Penularan karat puru pada bagian polong dapat disebabkan
oleh beberapa hal, diantaranya terbawanya spora oleh angin atau serangga (Triyogo dan
Widayatuti, 2012). Serangga yang berasosiasi dengan karat puru menurut Triyogo dan
Widayatuti (2012) terdiri dari 5 (lima) ordo yaitu Hemiptera, Diptera, Hymenoptera, Coleoptera
dan Lepidoptera.
Benih atau bagian benih yang terserang pathogen banyak ditemukan pada benih
tanaman pangan seperti pada gandum (Majumder et al., 2013), demikian pula pada beberapa
benih tanaman hutan (Yulianti dan Suharti, 2007; Suharti et al., 2014; Suharti dan Yulianti,
2014). Dampak serangan pathogen pada benih dapat menurunkan viabilitas benih.
B. Viabilitas benih sengon
Dalam penelitian ini dilakukan pula pengujian viabilitas terhadap benih sengon yang
berasal dari berbagai lokasi. Pengamatan dilakukan terhadap daya kecambah benih (DB) dan
kecepatan berkecambah (KCT), kedua respon ini merupakan informasi awal untuk mengetahui
mutu fisiologis benih. Hasil pengamatan daya berkecambah dan kecepatan berkecambah dapat
dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.
66
Aspek Perbenihan
Gambar 5. Kecepatan berkecambah (KCT) benih sengon dari tiga lokasi asal benih
Waktu berkecambah benih, untuk benih asal Kediri dan Papua mulai berkecambah
normal pada hari ke lima dan enam setelah tabur, sedangkan benih asal Garut dan Boyolali
mulai berkecambah normal pada hari ke delapan setelah tabur. Terlihat benih asal Garut dan
Boyolali lebih lambat berkecambah, dan mempunyai daya berkecambah dan kecepatan yang
rendah. Gambar 6 menunjukkan perbedaan waktu dan jumlah kecambah yang tumbuh dari
setiap asal benih.
67
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
sengon rakyat. Upaya pengendalian karat puru sudah banyak dilakukan, namun hingga saat ini
pengendalian pada tingkat benih belum pernah dilakukan, karena pengendalian lebih
difokuskan pada tanaman muda maupun tua dilapangan. Melihat gejala yang sudah
disampaikan diatas terlihat benih dapat menjadi salah satu penyebab tersebarnya karat puru,
oleh karena itu pengendalian ditingkat benih mutlak dilakukan. Adapun beberapa cara yang
dapat dilakukan antara lain dengan melalukan sterilisasi benih sebelum disemai, yaitu benih
dicuci atau disterilkan dengan klorox. Metoda lain yang dapat dilakukan adalah dengan
meningkatkan vigor benih, yaitu melalui metoda primming. Bila serangan karat muncul pada
tingkat bibit, maka bibit yang terkena serangan karat puru segera disingkirkan dan
dimusnahkan agar tidak tumbuh dan menyebar ke tanaman lainnya.
Pada tingkat regulasi dapat didekati dengan mengawasi peredaran atau lalu lintas benih.
Hingga saat ini peredaran benih tanaman hutan belum sepenuhnya terawasi dengan baik,
sehingga upaya untuk mengatur peredaran benih harus segera dilakukan. Tanaman sengon di
beberapa tempat di luar Jawa, belum mengalami serangan karat puru, oleh karena itu perlu
adanya pengaturan peredaran benih sengon yang berasal dari Pulau Jawa, untuk sementara
sebaiknya benih sengon yang berasal dari Pulau Jawa tidak diedarkan di luar Jawa.
IV. KESIMPULAN
Penyebaran penyakit karat puru pada tanaman sengon dapat terbawa pada polong maupun
benih, sehingga berpengaruh terhadap viabilitas benih. Selain itu benih dan polong yang
terserang karat puru dapat berfungsi sebagai vector penyebaran karat ke wilayah lain. Oleh
karena itu upaya pengendalian pada tingkat benih mutlak dilakukan, selain melalui teknik
penanganan benih juga perlu adanya pengawasan terhadap sistem peredaran benih sengon.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, I. 2008. Pengendalian Penyakit Karat Tumor (Gall Rust) Pada Sengon (Paraserianthes
Falcataria) Di RPH Pandantoyo, BKPH Pare, KPH Kediri. Makalah Workshop
Penanggulangan Serangan Karat Puru pada Tanaman Sengon 19 Nop 2008. Balai Besar
Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.
Baskorowati, L. 2014. Seleksi Genetik Sengon (Falcataria moluccana) Toleran Karat Tumor.
Leaflet. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.
Lazreg, L. Belabid, J. Sanchez, E. Gallego dan B. Bayaa. 2014. Pathogenicity of Fusarium spp.
Associated with Diseases of Aleppo-pine Seedling in Algerian Forest Nurseries. Journal
of Forest Science 60 (3): 115 – 120.
Lelana, N.E. 2014. Pengembangan Fungi Endofit sebagai agen pengendali hayati pada tanaman
Jabon, Sengon dan benuang bini. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2014. Pusat
Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.
68
Aspek Perbenihan
Lelana, N.E. 2015. Penanganan Penyakit Karat Puru pada Sengon. Makalah disampaikan pada
Workshop Pengelolaan Hama & Penyakit Tanaman Sengon. Kediri 25-26 Agustus 2015.
Tidak diterbitkan.
Majumder D, Thangaswamy Rajesh, E. G. Suting, Ajit Debbarma. 2013. Detection of seed borne
pathogens in wheat: recent trends. Aus. Journal of Crop Science. 7 (4): 500-507.
Naqvi, S. D. Y., T. Shiden, W. Merhawi dan S. Mehret. 2013. Identification of Seed-borne Fungi
on Farmer Saved Sorghum (Sorghum bicolor L.) Pearl Millet (Pennisetum glaucum L.) and
Groundnut (Arachis hypogaea L.) Seeds. Agricultural Science Research Journals 3 (4):
107 – 114.
Rahayu, S. Susee Lee, Nor aini ab Shukor. 2010. Uromycladium tepperianum, the gall rust
fungus from Falcataria moluccana in Malaysia and Indonesia. Mycoscience 51(2):149-
153. DOI: 10.1007/s10267-009-0022-2
Setiadi D, Liliana Baskorowati, dan Mudji Susanto. 2014. Pertumbuhan Sengon Solomon Dan
Responnya Terhadap Penyakit Karat Tumor Di Bondowoso, Jawa Timur. Jurnal
Pemuliaan Tanaman Hutan. Vol. 8 No. 2: 121-136
Suharti, Yulianti Bramasto, Naning Yuniarti, 2014. Pengaruh Teknik Pengendalian Penyakit
Benih Jabon Merah (Anthocephalus Macrophyllus) Selama Penyimpanan Terhadap
Viabilitas Benih Dan Persentase Infeksi Cendawan. Prosiding Seminar Nasional
Fitopatologi, Padang. Sumbar.
Suharti Dan Yulianti Bramasto, 2014. Pengaruh Teknik Pengendalian Penyakit Benih Tembesu
(Fagraea Fragrans) Selama Penyimpanan Terhadap Viabilitas Benih Dan Persentase
Infeksi Cendawan. prosiding Seminar Nasional Silvikultur ke-2, tgl 28 Agustus 2014).
Sumeru, DR. 2013. Karakteristik morfologi dan patogenesitas jamur penyebab penyakit karat
tumor pada sengon gunung (Paraserianthes lophantha). Skripsi. Program Studi Budidaya
Hutan. Fakultas Kehutanan. Universitas Gajah Mada.
Triyogo dan Widyastuti. 2012. Peran Serangga sebagai vector penyakit karat puru pada sengon
(Albizia falcataria L. Fosberg). J. Agron. Indonesia 40 (1): 77-82.
Widyastuti SM, Harjono, Zulchan Andika Surya. 2013. Initial Infection of Falcataria moluccana
leaves and Acacia manium Phyllodes by Uromycladium tepperianum Fungi in Laboratory
Trial. Jurnal Manejemen Hutan (JMHT) Vol.XIX, (3): 187-193.
Yulianti, B. dan T. Suharti. 2007. Pengaruh Hama dan Penyakit Pada Benih Tanaman Hutan
Serta Pengaruhnya Terhadap Viabilitas dan Vigor Bibit Di Persemaian. Laporan Hasil
Penelitian. Balai Litbang Teknologi Perbenihan. Bogor.
69
Aspek Perbenihan
ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah mempelajari fenologi perkembangan bunga dan buah nyamplung yang
meliputi stuktur dan inisiasi bunga serta siklus perkembangan pembungaan dan pembuahan. Penelitian
dilakukan di Batukaras-Ciamis (Jawa Barat) mulai bulan Februari sampai Oktober 2013. Kegiatan
meliputi pemilihan dan penentuan pohon yang diamati, pengamatan jaringan tunas bunga serta
pengamatan tahap pembungaan dan pembuahan. Metode yang digunakan adalah pengamatan
langsung terhadap bentuk dan struktur penyusun bunga. Metode inisiasi bunga dilakukan dengan teknik
sayatan mikro (microcutting). Perkembangan bunga dan buah diamati secara visual terhadap tahap-
tahap perkembangan mulai dari tunas generatif, kuncup bunga, bunga mekar, bakal buah hingga buah
tua. Berdasarkan hasil pengamatan dapat di deskripsikan bahwa bunga nyamplung merupakan bunga
majemuk yang tersusun dalam untaian seperti malai. Berdasarkan kelangkapan yang dimiliki, bunga
nyamplung merupakan bunga lengkap dengan organ kelamin ganda (hermaprodit). Inisiasi bunga
nyamplung terdeteksi pada bulan Mei, namun diduga sudah terjadi sejak bulan April hingga bulan
Oktober 2013 Siklus reproduksi nyamplung terjadi antara 130-175 hari atau 4-6 bulan mulai dari tunas
generatif pada bulan April sampai buah masak siap panen bulan Juli-Agustus 2013.
Kata kunci: bunga, buah, nyamplung, organ reproduksi, struktur
I. PENDAHULUAN
Nyamplung (Calophyllum inophylum) adalah jenis tanaman hutan yang akhir-akhir ini
menjadi pusat perhatian pemerhati energi karena berpotensi tinggi sebagai sumber bioenergi
terbarukan (Hayes et al., 2007; Bustomi et al., 2009). Pemanfaatan nyamplung dari segi teknis
sebagai biofuel sudah dapat diatasi, akan tetapi pembatas utama dari pengembangan bioenergi
nyamplung adalah bahan baku berupa biji. Sampai saat ini pemenuhan biji nyamplung masih
dikumpulkan dari tegakan alami yang banyak tumbuh sepanjang pantai sebagai windbreak.
Upaya di sektor budidaya nyamplung telah dilakukan dengan penanaman di beberapa lokasi di
Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten dan Sulawesi Selatan berkaitan dengan program DME (Desa
Mandiri Energi) berbasis nyamplung (Leksono et al., 2014). Namun sampai saat ini produksi
buah masih jauh dari target yang diharapkan.
Keberhasilan usaha peningkatan produktivitas benih berhubungan erat dengan pengeta-
huan mengenai biologi reproduksi. Pembungaan, penyerbukan dan pembentukan buah sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (fithohormon, genetis) dan eksternal (kondisi ling-
kungan), karenanya pengetahuan mengenai faktor-faktor tersebut serta pengaruhnya terhadap
tiap tahap perkembangan organ reproduksi harus diketahui. Di bidang kehutanan, semua
penelitian tentang ekologi reproduksi mengarah pada hasil akhir berupa peningkatan kuantitas
dan kualitas biji, baik dari sisi genetis maupun fisiologis (Suginingsih dan Daryono, 2006).
Fenomena alam yang terjadi pada siklus hidup tanaman seperti gugurnya daun,
pembungaan dan pembuahan biasanya bervariasi menurut kondisi lingkungannya, terutama
jika spesies tersebut dapat hidup di kisaran tipe iklim dan edafik yang luas (Bawa dan Hadley
1990, Owens et al., 1991). Keberhasilan proses reproduksi suatu tanaman bergantung pada
kemampuannya melampaui tahapan-tahapan perkembangan yang dimulai dengan inisiasi
71
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
kuncup bunga dan berakhir dengan kematangan buah dan biji. Kegagalan pada salah satu
tahapan perkembangan ini dapat berakibat pada turunnya produktivitas biji sebagai hasil
akhirnya (Owens et al., 1991). Oleh karena itu informasi tentang pembungaan dan pembuahan,
melalui studi fenologi pembungaan, sangat diperlukan. Pemahaman tentang fenologi pembu-
ngaan dan pembuahan akan meningkatkan kualitas dan kualitas benih melalui prediksi waktu
pemanenan dan produksi benih yang tepat. Proses pembungaan mengandung sejumlah tahap
penting, yang semuanya harus berhasil dilalui untuk memperoleh hasil akhir yaitu biji, dan
masing-masing tahap tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal yang ber-
beda. Beberapa faktor eksternal diantaranya faktor iklim yang mempengaruhi pembungaan dan
pembuahan adalah suhu, kelembaban, intensitas cahaya dan curah hujan (Haferkamp, 1988).
Setiap bunga memiliki potensi untuk berkembang menjadi buah dan benih, tetapi hasil
pengamatan menunjukkan bahwa meskipun pembungaan merupakan prasyarat untuk
pembuahan, namun pembungaan yang banyak terkadang menghasilkan produksi benih yang
rendah. Pada kenyataannya hanya sebagian dari bunga yang berkembang menjadi buah dan
benih yang baik walaupun pada musim benih yang baik. Hal ini terutama tampak jelas pada
jenis-jenis Angiosperma dengan bunga yang kecil dan buah yang besar (Schmidt, 2000). Tujuan
penelitian ini adalah mempelajari fenologi perkembangan bunga dan buah nyamplung yang
meliputi stuktur dan inisiasi bunga serta siklus perkembangan pembungaan dan pembuahan.
72
Aspek Perbenihan
C. Metodologi
1. Pengamatan struktur morfologi bunga dan buah
Pengamatan stuktur bunga dilakukan terhadap bentuk bunga, bentuk dan jumlah penyusun
struktur bunga.
2. Pengamatan inisiasi pembungaan
a. Bakal tunas bunga diperoleh dari 5 pohon dan masing-masing pohon diambil 3 sampel
bakal tunas bunga. Pengambilan tunas dilakukan setiap minggu selama 4 minggu. Jumlah
sampel keseluruhan sebanyak 15 sampel untuk setiap kali pengambilan. Sampel bakal
tunas yang diperoleh difiksasi dalam botol berisi larutan FAA sebanyak 10 ml.
b. Selanjutnya dilakukan sayatan secara mikroskopis terhadap bakal tunas bunga dengan
menggunakan mikrotome, dibuat preparat dan diamati dibawah mikroskop. Apabila hasil
pengamatan menunjukkan adanya bentuk jaringan tunas reproduktif, maka dapat
diketahui kapan terjadi inisiasi bunga.
3. Pengamatan Siklus Perkembangan Bunga dan Buah (Owens, 1991)
Pengamatan dilakukan secara visual langsung di lapangan terhadap sepuluh pohon dengan
memberi tanda pada cabang produktif (mengalami pembungaan). Tahap-tahap yang diamati
mulai dari terjadinya tunas bunga, bunga mekar (anthesis) hingga bunga layu. Selanjutnya
dilakukan pengamatan terhadap perkembangan buah, pengamatan perkembangan dimulai
dari bakal buah, buah muda dan buah masak. Selain waktu juga dicatat perubahan ukuran,
warna, bentuk bunga, perubahan ukuran, warna dan bentuk buah/biji.
Mahkota (petal)
Benang sari
(stamen)
Putik (pistilum)
kelopak (Sepal)
Tangkai bunga
pd
pb
74
Aspek Perbenihan
75
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Waktu terjadinya setiap tahap perkembangan berbeda untuk setiap lokasi dimana
tanaman tumbuh. Menurut Gibblin (2005) variasi geografis dalam ketahanan pembungaan
dimediasi melalui perbedaan spesifik gender pada respon yang kondisional terhadap
kesesuaian kecepatan pertumbuhan. Selain itu masa pembungaan akan lebih panjang ketika
kesesuaian kecepatan pertumbuhan lebih rendah dan pengeluaran energi dalam pemeliharaan
pembungaan (floral maintenance costs) juga sedikit.
Ketahanan bunga mekar dalam periode waktu tertentu dipengaruhi oleh jumlah bunga
dalam satu malai) Bunga mekar dalam malai yang sebelumnya sebagian tunas bunganya
dibuang memperlihatkan ketahanan mekar (antesis) yang lebih lama dibanding kontrol (tanpa
pembuangan tunas bunga) (Abdala-Roberts et al., 2007). Dengan demikian ada kemungkinan
dalam satu populasi dari jenis yang sama, terdapat perbedaan ketahanan pembungaan yang
dipengaruhi oleh jumlah individu bunga dalam malai serta proses penyerbukan yang terjadi.
Saat antesis, bunga siap melakukan penyerbukan. Penyerbukan akan terjadi apabila
stigma sudah reseptif, polen masak, agen pembantu penyerbuk tersedia serta faktor internal
maupun eksternal lainnya mendukung (Griffin & Sedgley 1989, Amots et al., 2005). Apabila
terjadi penyerbukan, maka bagian petal (mahkota bunga) akan gugur (jatuh) dan bagian bawah
pistil (ovarium) terlihat membesar berwarna hijau. Sebaliknya, apabila tidak terjadi
penyerbukan maka bunga secara keseluruhan akan gugur. Gugurnya bunga dapat juga terjadi
karena terpaan angin kencang atau hujan lebat. Sehingga kegagalan dalam pembentukan bunga
menjadi buah dapat disebabkan oleh faktor biologis, fisiologis dan mekanis.
Selama periode reproduksi, kemungkinan kegagalan hidup dapat terjadi pada setiap
tahap perkembangan mulai dari pembungaan hingga pembuahan dan perkecambahan.
Kegagalan pada setiap tahap tersebut mempunyai risiko yang sama terhadap kualitas dan
kuantita produksi benih yang dihasilkan, dengan demikian perlu manajemen yang baik pada
setiap peristiwa perkembangan tanaman.
IV. KESIMPULAN
Bunga nyamplung merupakan bunga majemuk yang tersusun dalam untaian seperti
malai. Berdasarkan kelengkapan yang dimiliki, bunga nyamplung merupakan bunga lengkap
dengan organ kelamin ganda (hermaprodit). Inisiasi bunga nyamplung terdeteksi pada bulan
Mei dan diduga sudah terjadi sejak bulan April hingga bulan Oktober. Siklus reproduksi
nyamplung terjadi antara 130-175 hari atau 4-6 bulan mulai dari tunas generatif pada bulan
April sampai buah masak siap panen bulan Juli-Agustus.
DAFTAR PUSTAKA
Abdala-Roberts L, Parra-Tabla V, Navarro J. 2007. Is Floral Longevity Influenced by Reproductive
Costs and Pollination Success in Cohniella ascendens (Orchidaceae)? Ann Bot, 100(6):
1367–1371.
Amots D, Kevan PG, Brian CH. 2005 Practical Pollination Biology. Enviroquest, Ltd, ISBN 978-0-
9680123-0-7.
Bawa, KS dan Hadley, M. 1990. Reproductive Ecology of Tropical Forest Plant. UNESCO. Paris,
France.
Bustomi S, T Rostiwati, Sudradjat, AS Kosasih, I Anggraeni, B Leksono, S Irawanti, R Kurniaty, D
Syamsuwida, R Effendi, Mahfudz, D Hendra. 2009. Nyamplung (Calophyllum inophyllum
76
Aspek Perbenihan
L): Sumber Energi Biofuel yang Potensial. Ed revisi. Badan Litbang Kehutanan.
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Gibblin DE. 2005. Variation in floral longevity between populations of Campanula Rotundifolia
(Campanulaceae) in response to fitness accrual rate manipulation. American Journal of
Botany 92(10):1714–1722.
Griffin dan Sedgley. 1989. Sexual Reproduction of Tree Crops. Academic Press. Sydney.
Haferkamp, M. 1988. Environmental factors affecting plant productivity. In Achieveing Efficient
Use of Rangeland Resources. Fort Keogh Research Symposium. Miles City. RS White &
RE Short (eds). Montana Agr.Exp.Sta, Bozeman. 132 p.
Hayes, D. J., Ballentine, R., & Mazurek, J. (2007). The promise of biofuels: A home-grown
approach to breaking America’s Oil Addiction (Policy Report March 2007). Progressive
Policy Institute.
Leksono, B, Hendrati, R.L, Windyarini, E, Hasnah, T. 2014. Variation in Biofuel Potential of
Twelve Calophyllum Inophyllum Populations in Indonesia. Indonesian Journal of Forestry
Research Vol. 1 (2): 127 – 138.
Owens, J.N and M.D Blake. 1985. Forest Tree Seed Production. A review of literature and
recommendations for future research. Can. For.Serv.Inf. Rep.PI-X-53, 161 p.
Owens, JN. 1991. Flowering and Seed Ontogeny, Technical Publication No. 5, ASEAN-Canada
Forest Tree Seed Centre Project, Muak-Lek Saraburi, Thailand.
Owens JN, P. Sornsathaporhkul and S. Tangmitchareon. 1991. Studying Flowering and Seed
Ontogeny in Tropical Forest Trees. ASEAN-Canada Forest Tree Seed Centre Project.
Thailand.
Schmidt L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Direktorat
Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan. Jakarta.
Suginingsih, Daryono P. 2006. Variasi pembungaan dan pembuahan Pulai (Alstonia scholaris)
dari berbagai tempat tumbuh dan pengaruhnya terhadap kualitas fisik dan fisiologis
benih. Laporan Penelitian. Laboratorium Teknologi.
77
Aspek Perbenihan
Eliya Suita
Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
ABSTRAK
Untuk memilih benih-benih bermutu fisiologis tinggi salah satunya dengan cara seleksi/sortasi benih.
Ukuran benih pada jenis-jenis tertentu berkorelasi dengan viabilitas dan vigor benih, dimana benih yang
besar cenderung mempunyai vigor yang lebih baik.Untuk tersedianya benih bermutu jenis kaliandra,
maka diperlukan suatu kegiatan meningkatkan daya dan kecepatan perkecambahan benih dengan
klasifikasi benih. Seleksi/sortasi benih dilakukan menggunakan alat Seed Gravity Table (SGT).
Berdasarkan alat SGT, dikelompokkan ke dalam empat kelas ukuran benih yaitu: kelompok benih 1
(KB1), kelompok benih 2 (KB2), kelompok benih 3 (KB3), dan kelompok benih 4 (KB4). Kadar air benih
kaliandra terendah terdapat pada benih asal Tabek Patah dengan kadar air 5,74% dengan berat 1000
butir 45,35 g, sedangkan kadar air tertinggi terdapat pada benih asal Mega Mendung degan kadar air
8,87% dengan berat 1000 butir 53,17 g. Persentase berat benih terbanyak umumnya pada kriteria
kelompok benih 1 (KB1) kemudian ukuran kelompok benih 3 (KB3), dengan nilai di atas 40% dan yang
terkecil terdapat pada kriteria kelompok benih 2 (1-3%). Daya berkecambah benih dan pertumbuhan
tinggi bibit kaliandra umumnya memperlihatkan bahwa yang lebih baik terdapat pada kriteria kelompok
benih 1 (KB1) sedangkan nilai yang terkecil terdapat pada kriteri kelompok benih 4 (KB4).
Kata kunci: daya kecambah, kecepatan berkecambah, kaliandra, sortasi
I. PENDAHULUAN
Keberhasilan penanaman, tidak terlepas dari penyediaan benih bermutu. Untuk
mendapatkan benih bermutu diperlukan penangan benih yang baik. Penanganan benih
merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam rangka penyediaan bahan tanaman yang
berkualitas, karena sebaik apapun sumber benih apabila penanganan benih tidak dilakukan
dengan benar, maka akan menurunkan mutu fisik dan fisiologis benih. Penanganan benih
dimulai dari pengumpulan buah yang dilakukan pada saat sebagian besar pohon yang berada
pada sumber benih berbuah dan sudah masak fisiologis, kemudian dilakukan ekstraksi untuk
memisahkan benih dari bagian buah lainnya (kulit, daging, tangkai, sayap). Seleksi dan sortasi
dilakukan untuk memisahkan benih-benih dari kotoran dan pengelompokan benih sesuai
berat dan ukurannya. Penyimpanan benih sebaiknya dilakukan terhadap benih dengan daya
berkecambah awal yang tinggi.
Untuk memilih benih-benih bermutu fisiologis tinggi salah satunya dengan cara
seleksi/sortasi benih. Menurut Schmidt (2000), ukuran benih terkadang berkorelasi dengan
viabilitas dan vigor benih, dimana benih yang berat cenderung mempunyai vigor yang lebih
baik. Sorensen dan Campbell (1993), menyatakan ukuran benih dalam bentuk berat dan
ukuran dimensi yang lebih besar lebih banyak dipilih karena umumnya berhubungan dengan
kecepatan berkecambah dan perkembangan semai yang lebih baik, tetapi ini akan membuang
benih berukuran lebih kecil yang mungkin mempunyai genetik lebih baik (Schmidt, 2000).
Beberapa hasil penelitian mengenai seleksi/sortasi benih antara lain: benih akor yang diseleksi
dengan alat Seed Gravity Table menghasilkan benih berukuran besar (KB1) yang mempunyai
daya berkecambah 62%, sedang (KB2) 55% dan kecil (KB3) 41%. (Suita, 2013), begitu juga
dengan jenis weru yang diseleksi dengan alat yang sama menunjukkan bahwa benih yang lebih
79
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
besar mempunyai daya berkecambah yang lebih tinggi (Suita et al., 2013) dan untuk jenis Styrax
benzoin dengan ukuran besar, sedang, dan kecil masing-masing memiliki daya berkecambah
55,33%, 38,67% dan 28% (Suita dan Kartiana, 2006).
Adanya dugaan bahwa benih berukuran besar memberikan keuntungan fisiologis karena
persediaan cadangan makanan yang lebih mencukupi untuk perkecambahan benih perlu diteliti
untuk jenis-jenis tanaman hutan. Diharapkan adanya klasifikasi ukuran benih ini akan
memperbaiki kualitas fisiologis lot benih yang dapat menjamin perkecambahan dan
pertumbuhan bibit lebih baik. Dengan demikian upaya tersebut akan meningkatkan
keberhasilan persemaian dalam rangka menyediakan bibit bermutu untuk kegiatan
penanaman.
Kaliandra (Calliandra calothyrsus) merupakan jenis penghasil kayu energi. Kaliandra
dikenal sebagai tanaman serbaguna karena manfaatnya untuk penghijauan, pencegah erosi,
sumber kayu bakar, peternakan lebah madu dan makanan ternak (Tangendjaja et al., 1992).
Benih kaliandra memiliki variasi berat/ukuran yang umumnya berpengaruh terhadap mutu
benih dan vigor bibit, walaupun tidak selalu pengaruh tersebut terlihat secara signifikan. Untuk
tersedianya benih bermutu jenis kaliandra, maka diperlukan suatu kegiatan meningkatkan daya
dan kecepatan perkecambahan benih dengan sortasi benih.
II. METODOLOGI
D. Lokasi dan Waktu Penelitian
Benih kaliandra berasal dari Tabek Patah dan Sei Ungkang,Batusangkar (Sumbar), Ciamis
(Jawa Barat) dan Mega Mendung (Jawa Barat).Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan
Kebun Percobaan Nagrak Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Bogor.
Bahan yang digunakan adalah jenis Kaliandra (Calliandra calothyrsus), dengan, media
perkecambahan (pasir dan tanah (1 : 1) (v/v)) dan media pembibitan (tanah + arang sekam)
(1:1) (v/v)). Peralatan yang digunakan meliputi bak kecambah, oven, germinator, timbangan
analitik, seed gravity table, polybag dan lain-lain.
E. Metodologi
1. Ekstraksi
Benih jenis kaliandra (Calliandra calothyrsus) diunduh pada saat masak fisiologi yang
ditandai dengan warna buah hijau-kecoklatan dan sebagian buah sudah merekah. Benih yang
sudah diunduh kemudian diekstraksi untuk mengeluarkan benih dari buahnya.
Ekstraksi dilakukan dengan cara buah dijemur sampai merekah, dan untuk
mengeluarkan benih dari kulit buah dengan cara benih dimasukkan ke dalam karung kemudian
dipukul-pukul atau diinjak-injak, kemudian benih dipisahkan dari kulit buahnya secara manual.
2. Pengujian kadar air benih
Penentuan kadar air menggunakan metode oven temperatur rendah 103 ± 2°C selama
24 jam. Kandungan air yang hilang ini mencerminkan kadar air benih (Sudrajat etal., 2007).
Kadar air dinyatakan dalam persen berat dan dihitung dalam 1 desimal terdekat (ISTA, 2010)
dengan rumus sebagai berikut: Kadar air = (M2-M3) x 100%
(M2-M1)
dimana:
M1 : berat wadah dan penutup dalam gram
M2 : berat wadah, penutup, dan benih sebelum pengeringan
M3 : berat wadah, penutup, dan benih sesudah pengeringan
Pengujian kadar air menggunakan 3 ulangan @5 gram benih.
80
Aspek Perbenihan
81
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
𝑛
KN i
Kct =
Wi
𝑖=1
Dimana: i = hari pengamatan; KNi = kecambah normal pada hari ke-i (%); Wi= Waktu
(etmal) pada hari ke-i.
e. Pertumbuhan bibit (tinggi dan diameter) hasil seleksi, yang diukur setiap periode satu
bulan selama tiga bulan.
7. Analisis data
Data hasil seleksi dianalisis dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Uji jarak Duncan
digunakan untuk membandingkan nilai rata-rata antar-kelas ukuran benih (Steel and Torrie,
1980).
Kadar air benih akan mempengaruhi berat 1000 butir benih dan jumlah benih per
kilogram. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa benih kaliandra yang mempunyai kadar air yang
tinggi (Mega Mendung) 8,87% mempunyai berat 1000 butir yang tertinggi (53,17 gr), tetapi
sebaliknya menghasilkan jumlah benih per kg paling sedikit (18.808 butir). Kadar air yang
terendah adalah yang berasal dari Tabek Patah (5,74%) mempunyai berat 1.000 butir benih
terendah (45,35 gr) tetapi mempunyai jumlah benih terbanyak 22.051 butir.
A. Persentase berat benih pada masing-masing kelompok berat (KB)
Benih yang di seleksi dengan alat Seed Gravity Table, untuk jenis kaliandra yang berasal
dari Mega Mendung, Tabek Patah dan Sei Ungkang pada Kelompok Benih 1 (KB1) mempunyai
presentase jumlah benih yang terbanyak (47,64%, 47,39% dan 41,99%) diikuti Kelompok Benih
3 (KB3) dengan persentase jumlah benih sebanyak 41,88%, 41,91% dan 40,71%, benih kaliandra
yang berasal dari Ciamis terbanyak pada Kelompok Benih 3 (KB3) dengan persentase jumlah
benih 45,48%. Ini menunjukkan bahwa benih yang berasal dari Mega Mendung, Tabek Patah
dan Sei Ungkang mempunyai ukuran benih rata-rata berukuran besar/berat, sedangkan untuk
benih yang berasal dari Ciamis rata-rata berukuran sedang, ini sama dengan jenis weru (Suita et
al., 2013) yang berasal dari Carita, Majalengka dan Sumedang yang diseleksi dengan alat Seed
Gravity Table menunjukkan bahwa benih yang terbanyak presentasenya adalah Kelompok
82
Aspek Perbenihan
Benih 3 (KB3). Sedangkan Kelompok Benih 2 (KB2) dari ke empat lokasi relatif mempunyai
persentase sedikit yaitu di bawah 8,41%.
83
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Hasil analisa keragaman berat 1.000 butir, daya berkecambah, pertumbuhan tinggi dan
diameter hasil seleksi menunjukkan bahwa berat 1.000 butir benih semua lokasi berbeda
secara signifikan, daya berkecambah juga berbeda kecuali yang berasal dari Mega Mendung,
sedangkan untuk pertumbuhan tinggi bibit umumnya tidak berpengaruh kecuali yang berasal
dari Mega Mendung, begitu juga dengan pertumbuhan diameter, yang berpengaruh hanya
yang berasal dari Ciamis.
C. Hasil uji lanjut rata-rata berat 1.000 butir benih, daya berkecambah benih, pertumbuhan
tinggi dan diameter bibit kaliandra hasil seleksi Seed Gravity Table
Tabel 4. Rata-rata berat 1.000 butir benih, Kadar Air dan Daya Berkecambah Benih, partum-
buhan tinggi dan diameter bibit kaliandra dan akor hasil seleksi Seed Gravity Table
Berat Daya
Tinggi Bibit Diameter
Jenis Asal Benih Kriteria 1000 butir Berkecamba
(cm) Bibit (mm)
(gr) h (DB)
Kaliandra Mega Mendung KB1 5,79a 84,50 19,16a 2,27
KB2 - 75,00 14,69 b 1,87
KB3 5,02 b 83,50 15,49 b 2,05
KB4 4,05 c 68,00 13,77 b 1,85
Tabek Patah KB1 4,85a 96,67a 18,60a 2,31
84
Aspek Perbenihan
Berat Daya
Tinggi Bibit Diameter
Jenis Asal Benih Kriteria 1000 butir Berkecamba
(cm) Bibit (mm)
(gr) h (DB)
KB2 4,55 b 80,50 bc 17,28ab 2,41
KB3 4,52 b 83,50 b 18,21ab 2,37
KB4 4,07 c 73,00 c 16,72 b 2,41
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan pada tingkat
kepercayaan 95%
Berat 1.000 butir benih kaliandra, yang diseleksi dengan alat Seed Gravity Table,
menghasilkan berat 1.000 butir yang tertinggi terdapat pada kriteria KB1 kemudian diikuti
dengan KB2, KB3, dan KB4. Ini menunjukkan bahwa ukuran benih yang terdapat pada KB1 lebih
besar kemudian diikuti KB2, KB3, dan KB4, sehingga kita dapat membuat tingkatan ukuran
berat benih menjadi 4. Untuk jumlah 1000 butir benih apabila benih diseleksi dengan alat Seed
Gravity Table, berat benih akan menurun dengan bertambah tinggi kriteria kelompok benih dan
jumlah benih akan berbanding terbalik dengan berat benih, dengan bertambah besar ukuran
benih maka jumlah benih perkilogramnya akan lebih sedikit. Jadi apabila benih diseleksi dengan
alat Seed Gravity Table ini maka kita dapat memperkirakan jumlah benih per kg dengan ukuran
benih dan kriteria yang kita inginkan. Sesuai dengan penelitian Zanzibar (1993), mengatakan
bahwa, secara umum perlakuan pengklasifikasian kelompok berat benih dengan menggunakan
alat Seed Gravity Table cukup efektif untuk jenis sengon.
Pengujian daya berkecambah untuk ke empat lokasi asal benih memperlihatkan adanya
perbedaan yang nyata antar kriteria kelompok benih kecuali benih yang berasal dari Mega
Mendung.Benih yang berukuran besar umunya mempunyai daya berkecambah yang tinggi
karena benih yang berukuran besar diperkirakan mempunyai cadangan makanan yang lebih
banyak dibandingkan benih yang berukuran kecil.sesuai dengan jenis akor (Suitaet al., 2013),
weru (Suita et al., 2013) yang diseleksi dengan alat seed Gravity Table menunjukkan bahwa
benih yang berukuran besar mempunyai daya berkecambah yang lebih tinggi. Begitu juga
dengan pertumbuhan tinggi bibit juga dipengaruhi oleh ukuran benih dimana benih yang lebih
besar (KB1 dan KB2) pertumbuhan bibitnya cenderung lebih cepat yang terdapat pada benih
yang berasal dari Mega Mendung dan Tabek Patah, walaupun benih yang berasal dari Sei
Ungkang dan Ciamis tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata tetapi dari nilai pertumbuhan
tinggi terlihat lebih tinggi pada kriteria KB1 dan KB1. Ini menunjukkan bahwa umumnya benih
yang lebih berat mempunyai pertumbuhan yang lebih baik karena hal ini disebabkan kecepatan
berkecambah pada ukuran yang lebih berat dan lebih tinggi dibandingkan dengan benih ringan,
sehingga energi pertumbuhan ini masih berlangsung hingga pertumbuhan tinggi bibit. Dengan
demikian, benih berukuran lebih berat memiliki potensi yang lebih besar untuk mendukung
perkembangan bibit siap tanam, dengan parameter tinggi sebagai salah satu kriteria morfologi
85
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
bibit, selain diameter, penampakan daun, batang dan bentuk tunas, bentuk dan volume akar,
dan potensi pertumbuhan akar (Hawkins, 1996).
IV. KESIMPULAN
Daya berkecambah benih dan pertumbuhan tinggi bibit kaliandra hasil seleksi dengan
Seed Gravity table umumnya memperlihatkan bahwa yang lebih baik terdapat pada kriteria
kelompok benih 1 (KB1), 2 (KB2), 3 (KB3), sedangkan nilai yang terkecil terdapat pada kriteria
kelompok benih 4 (KB4). Dengan demikian untuk mendapatkan benih kaliandra yang bermutu
tinggi sebaiknya menggunakan benih kaliandra dengan kriteria KB1, KB2 dan KB3, ini juga
didukung dengan persentase berat benih terbanyak umumnya terdapat pada kriteria
kelompok benih 1 (KB1) dan kelompok benih 3 (KB3), dengan nilai di atas 40%.
DAFTAR PUSTAKA
Bonner, F.T., Vozzo, J.A., Elam, W.W., and S.B. Land. 1994. Instructor’s manual; Tree seed
technology training course. United Stated Departement of Agriculture. New Orleans.
Louisiana.
Hawkins, B.J. 1996. Planting stock quality assessment. In Yapa, A.C., ed. 1996. Proc. Intl. Symp.
Recent advances in tropical tree seed technol. and Planting stock production. ASEAN
Forest Tree Seed Centre, Muaklek, Saraburi, Thailand.
ISTA. 2010. International rules for seed testing. The International Seed Testing Association.
Bassersdorf. Switzerland.
Sadjad, S., E. Muniarti, dan S. Ilyas. 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih Komparatif ke
Simulatif. Jakarta: PT. Grasindo.
Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Subtropis.
Terjemahan. Kerjasama Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial
dengan Indonesia Forest Seed Project. PT. Gramedia Jakarta.
Sorensen, F.C. and Campbell, R.K. 1993. Seed Weight-Seedling Size Correlation in Coastal
Douglas Fir: Genetic and Enviromental Component. Canadian Jurnal of Forest Research.
23(2): 275-285.
Steel, R.G.D. and Torrie, J.H. 1980.Principles and procedures of statistic. McGraw-Hill, Inc.
Sudrajat, D.J, Megawati, E.R. Kartianan, N. Nurochim. 2007. Standarisasi Pengujian Mutu Fisik
dan Fisiologis Benih Tanaman Hutan (Schleichera oleosa dan Styrax benzoin). LHP. No.
478. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor.
Suita, E. 2013.Pengaruh sortasi benih terhadap viabilitas dan pertumbuhan bibit akor (Acacia
auriculiformis). Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan. Vol 1 (2). Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan Tanamn Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Kementerian Kehutanan.
Suita, E. dan E.R. Kartiana, 2006. Pengaruh Ukuran Benih dan Penurunan Kadar Air Terhadap
Perkecambahan Benih Kemenyan (Styrax benzoin Dryand). Prosiding seminar hasil-hasil
penelitian. Balai Litbang Teknologi Perbenihan. Departemen Kehutanan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
Tanaman. Bogor.
Suita, E., Nurhasybi dan Darwo. 2013. Respon Perkecambahan dan pertumbuhan bibit weru
(Albizia procera Benth) berdasarkan hasil seleksi benih. Jurnal penelitian hutan
86
Aspek Perbenihan
87
Aspek Perbenihan
ABSTRAK
Fenologi adalah ilmu yang mempelajari proses periodisisasi suatu jenis tanaman, di antaranya siklus
pembungaan sampai perkembangan buah. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari periode
berbunga dan berbuah jenis ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb) sehingga dapat diketahui ketepatan
waktu pengunduhan buah masak fisiologis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
observasi dengan menggunakan pohon model sejumlah 3 (tiga) pohon dengan 10 (sepuluh) contoh
cabang utama untuk setiap pohon model. Pengamatan dilakukan terhadap: 1. karakteristik proses
pembungaan dengan 3 (tiga) tahapan utama pembungaan yaitu (1) tahap munculnya bakal bunga; (2)
tahap menjadi tunas bunga; dan (3) tahap bunga mulai mekar (anthesis); 2. karakteristik pembentukkan
buah dengan 3 (tiga) tahapan utama pembuahan yaitu (1) tahap munculnya bakal buah; (2) tahap bakal
buah menjadi buah muda dan (3) tahap buah muda menjadi buah masak fisiologis. Penelitian dilakukan
di Desa Donosari, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah dan Desa Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Pengamatan dilakukan setiap 1 (satu) minggu sekali. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pembungaan dicirikan oleh terjadinya perubahan warna
dan membukanya kelopak bunga yaitu dari kelopak bunga berwarna putih kehijauan bercampur merah
muda sampai berwarna merah dan dari mulai kelopak bunga kuncup sampai kelopak bunga tersebut
lepas (menandakan mulai terjadinya tahap pembentukkan buah karena terlihat adanya bakal buah).
Seluruh proses perkembangan bunga tersebut terjadi selama 3 bulan 1 minggu. Proses pembentukkan
buah dicirikan oleh berkembangnya warna dan membesarnya buah yaitu dari bakal buah berwarna hijau
sampai buah muda berwarna hijau kebiruan dengan diameter kurang dari 2 cm, kemudian berkembang
menjadi buah masak fisiologis dengan warna buah biru tua keunguan berdiameter ±2 cm. Seluruh
proses perkembangan buah tersebut terjadi selama 3 bulan 2 minggu.
Kata kunci: buah, bunga, fenologi, ganitri, periodisasi
I. PENDAHULUAN
Keberhasilan usaha peningkatan produktivitas benih berhubungan erat dengan
pengetahuan mengenai biologi reproduksi. Pembungaan, penyerbukan dan pembentukan buah
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (fitohormon, genetis) dan eksternal (kondisi
lingkungan), karenanya pengetahuan mengenai faktor-faktor tersebut serta pengaruhnya
terhadap tiap tahap perkembangan organ reproduksi harus diketahui. Di bidang kehutanan,
semua penelitian tentang ekologi reproduksi mengarah pada hasil akhir berupa peningkatan
kuantitas dan kualitas biji, baik dari sisi genetis maupun fisiologis (Bawa dan Hadley, 1990
dalam Suginingsih dan Daryono, 2006).
Ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb, famili Elaecarpaceae) sebagai salah satu pohon
hutan yang diambil buahnya sangat membutuhkan hasil akhir berupa biji yang mempunyai
kualitas dan kuantitas yang baik untuk memperoleh nilai ekonomi yang tinggi. Jenis varietas
lokal umur produksi perdana 4 tahun dengan batang setinggi 10 - 15 m pada umur 6 - 7 tahun,
sedangkan varietas super umur produksi perdana 2 tahun dengan batang setinggi 4 m pada
umur 4 tahun. Pola pembungaan tanaman tropis sangatlah kompleks, hal tersebut terkait
dengan perubahan iklim yang mempengaruhi sensitivitas terhadap proses reproduksi tanaman
(Schmidt, 2000). Selanjutnya disebutkan pula walaupun setiap bunga memiliki potensi untuk
89
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
berkembang menjadi bakal buah, namun kenyataannya proses akhirnya buah-buah yang
dihasilkan sedikit sekali manghasilkan biji. Seperti hasil penelitian Aminah dan Syamsuwida
(2010) bahwa keberhasilan bunga menjadi bakal buah jenis suren (Toona sureni Merr.) hanya
9,86% dan buah muda menjadi buah tua hanya sebesar 65,88%. Artinya tidak semua bunga
berhasil menjadi bakal buah demikian juga tidak semua bakal buah menjadi buah/biji masak
fisiologis.
Aminah et al. (2007) juga melaporkan karakteristik tandan bunga (inflorescence) rasamala
yang dicirikan dengan tangkai bunga jantannya berjumlah 6 - 14 tangkai sedangkan tangkai
bunga betinanya tunggal berbentuk bulat atau agak bulat. Pengamatan lainnya pada jenis
Mindi (Melia azedarach) menunjukkan bahwa jenis ini memiliki tipe bunga majemuk (yang
dikenal dengan tipe panicle) dengan malai bunga berada pada ujung ranting dengan posisi
tegak, siklus perkembangan pembungaan dan pembuahan mindi terjadi selama 6 - 7 bulan
(Syamsuwida dan Aminah, 2010).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terkait proses pembungaan dan
pembuahan suatu jenis tanaman tersebut di atas, maka penelitian terhadap keberhasilan
proses reproduksi jenis ganitri sebagai produk yang diperdagangkan oleh masyarakat sangat
diperlukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi periode berbunga sampai
berbuah jenis ganitri (Elaeocarpus ganitrus Roxb) sehingga dapat diketahui waktu
pengunduhan buah masak fisiologis yang tepat. Hasil penelitian diharapkan akan diperoleh
waktu pengunduhan buah yang tepat dan informasi dasar untuk metode kuantifikasi buah
ganitri.
90
Aspek Perbenihan
Tabel 2. Karakteristik pohon model ganitri di Desa Donosari, Jawa Tengah dan Desa
Cisarua, Jawa Barat
Tinggi Bebas Cabang Diameter Batang
Pohon Model Tinggi Total (m)
(cm) (cm)
Donosari Cisarua Donosari Cisarua Donosari Cisarua
1. 5 6 86 100 14,01 16,20
2. 5 7 75 110 15,29 17,52
3. 5 6 66 90 13,69 15,23
C. Metode Penelitian
1. Pemilihan pohon model
Penelitian dimulai dengan penandaan pohon-pohon ganitri di lokasi penelitian, dengan
cara dipilih 3 (tiga) buah pohon model yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini. Dari
masing-masing pohon model tersebut kemudian dipilih 10 (sepuluh) cabang utama. Dahan
utama adalah dahan yang terendah berdiameter 13 - 17 cm dengan asumsi bahwa dahan-
dahan dengan diameter besar merupakan dahan tua yang telah beberapa kali menghasilkan
buah serta dapat tersedia seluruh tahapan proses berbunga sampai berbuah. Masing-masing
pohon model dan dahan utama diberi nomor sesuai dengan urutannya. Pengamatan dilakukan
setiap minggu untuk melihat perkembangan bunga dan buahnya.
2. Pengamatan terhadap tahap-tahap perkembangan bunga
Tahap-tahap yang diamati mulai dari saat terlihatnya tanda bakal bunga, terjadinya
tunas bunga, bunga mekar (anthesis) hingga bunga layu. Selain itu diamati pula perubahan
warna dan bentuk bunga di setiap perkembangannya.
3. Pengamatan terhadap tahap-tahap perkembangan bunga menjadi buah
Pengamatan perkembangan buah merupakan kelanjutan dari pengamatan perkembangan
bunga. Tahap-tahap yang diamati mulai dari waktu terlihatnya tanda bakal buah, terjadinya
buah muda, buah muda dan buah masak. Selain pencatatan waktu setiap perkembangan buah
juga diamati perubahan ukuran dan warna buah.
D. Analisis Data
Perubahan pada setiap tahap perkembangan bunga dan buah jenis ganitri dianalisis
secara deskriptif.
91
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
1,3 cm
0,5 cm
Tonjolan dasar Mahkota bunga
bunga ganitri
Gambar 2. Tunas generatif yang berkembang menjadi bakal bunga dan akhirnya menjadi bunga kuncup
92
Aspek Perbenihan
2) Buah muda berbentuk bulat dengan permukaan licin berwarna hijau gelap berukuran <
2 cm.
3) Buah tua berbentuk bulat dengan warna hijau kebiruan berdiameter ± 2 cm.
4) Buah masak fisiologis berbentuk bulat dengan warna biru keunguan.
C
A
Gambar 4. Pembentukkan buah ganitri (A. bakal buah; B. Buah muda; C. Buah masak fisiologis)
b. Periodisasi pembuahan
Bakal buah berbentuk telur berukuran < 1 cm dengan sisa-sisa rambut (Gambar 3) akan
terus berkembang menjadi buah muda berbentuk bulat berwarna hijau gelap berukuran >
2 cm. Perkembangan dari bakal buah menjadi buah muda berlangsung + selama 2 bulan 2
minggu. Selanjutnya buah muda berkembang menjadi buah tua berbentuk bulat dengan
warna hijau kebiruan berdiameter ± 2 cm berlangsung selama + 1 bulan. Berdasarkan
tahapan tersebut, maka periodisasi pembuahan ganitri berlangsung selama 3 bulan 2
minggu.
3. Jumlah bunga dan buah ganitri
Setiap pohon ganitri mempunyai produksi bunga dan buah yang berbeda-beda.
Begitupun dengan pohon ganitri yang ada di Desa Donosari dan Desa Cisarua. Data jumlah
bunga dan buah ganitri di Desa Donosari lebih banyak bila dibandingkan dengan Desa Cisarua,
hal ini terjadi karena faktor lingkungan seperti ketinggian tempat, curah hujan, suhu dan
kelembaban yang berbeda antara kedua desa tersebut. Seperti dikemukakan Borchert (1983),
bahwa dalam proses pembungaan termasuk permulaan munculnya tunas bunga, bunga
terbuka, dan keteguhan bunga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Jumlah bunga dan
buah ganitri pada pohon yang diamati tersaji dalam Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah bunga dan buah ganitri di Desa Donosari dan Desa Cisarua
Lokasi Jumlah Jumlah bunga Jumlah bunga Jumlah buah Jumlah buah
malai/dahan kuncup/malai mekar/malai muda/malai tua/malai
Cisarua 82 – 126 23 - 39 23 - 37 1 - 13 1-9
Donosari 76 – 314 21 - 30 19 - 25 3 - 12 9 - 21
93
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
1 bulan 2 minggu
2 bulan
Gambar 5. Periodisitas perkembangan bunga sampai menjadi buah masak fisiologis jenis ganitri
B. Pembahasan
Pembungaan pada umumnya berlangsung menjelang musim kemarau yang ditandai
dengan menguningnya daun, kemudian daun rontok di musim kemarau. Pada musim
penghujan yang diawali dengan muncul tunas generatif yang akan berubah menjadi bakal
bunga. Proses tersebut berlangsung selama 1 - 1,5 bulan, sedangkan bunga kuncup akan
berkembang menjadi bunga mekar selama 1 - 2 bulan. Bunga yang mekar sebagian ada yang
rontok yang diawali dengan bunga layu di pohon selama 1 minggu. Bunga tersebut kemudian
gugur ke tanah. Bunga yang mekar dan tidak rontok akan berkembang menjadi buah muda. Hal
ini dapat berlangsung selama 2 minggu - 1 bulan. Proses pembuahan merupakan kelanjutan
dari proses pembungaan. Perkembangan tahapan pembuahan dimulai dari bakal buah sampai
buah masak fisiologis. Buah muda terus tumbuh menjadi buah setengah tua selama 1 - 2 bulan.
Kemudian buah setengah tua menjadi buah tua/masak selama 1 bulan.
Periodisasi pembungaan dan pembuahan ganitri di esa Donosari dan esa Cisarua tidak
jauh berbeda. Apabila melihat dari parameter iklim yang diamati (suhu dan kelembaban udara
dan curah hujan), maka parameter tersebut belum dapat mengindikasikan sebagai faktor yang
berdampak pada pembentukan bunga tanaman. Jones (1994) menyatakan bahwa beberapa
faktor lingkungan yang memberikan pengaruh terhadap inisiasi malai bunga adalah panjangnya
hari siang (fotoperiode) melalui kondisi internal tanaman seperti suplai karbohidrat.
Perbedaan ekosistem dalam waktu pembungaan musiman pada populasi alam telah
dilaporkan dalam berbagai percobaan di perkebunan (Langlet, 1971; Heslop-Horison, 1964),
secara umum dapat dikatakan bahwa populasi tumbuhan di daerah dataran tinggi berbunga
lebih cepat dari populasi di daerah dataran rendah. Banyak faktor lingkungan yang dapat
berinteraksi untuk menentukan munculnya bunga. Dalam beberapa tumbuhan, tunas-tunas
akan menjadi bunga sebagai akibat rangkaian lingkungan yang dapat terjadi dalam beberapa
bulan (Lang, 1965). Faktor lingkungan fisik yang diketahui sebagai penyebab permulaan
munculnya pembungaan yaitu: lamanya waktu penyinaran, temperatur dan kelembaban.
Kebanyakan spesies tumbuhan semak berkayu di daerah beriklim sedang, musim
pembungaannya dipengaruhi oleh temperatur (Leith, 1974).
Tomlison and Zimerman (1978) menyatakan bahwa dalam hutan daerah tropika, dengan
banyaknya hujan masa berbunga menjadi mundur dari masa pembungaannya, hal tersebut
diperkuat oleh Borchert (1983) bahwa penurunan kandungan air dari organ reproduksi dapat
merangsang masa berbunga dari beberapa jenis pohon di daerah tropika.
94
Aspek Perbenihan
IV. KESIMPULAN
Periode dari bunga kuncup sampai bunga mekar dan periode dari munculnya buah
muda sampai buah masak fisiologis masing-masing berlangsung selama 2 bulan. Kondisi tempat
tumbuh di 2 (dua) desa tidak menunjukkan perbedaan terhadap periode berbunga dan berbuah
jenis ganitri.
DAFTAR PUSTAKA
95
Aspek Perbenihan
ABSTRAK
Kayu bawang (Azadirachta excelsa) merupakan salah satu tanaman unggulan daerah propinsi Bengkulu
sebagai bahan baku kayu pertukangan dengan tingkat pertumbuhan tanaman yang cepat, sehingga
dalam waktu singkat jenis tanaman ini bisa berkembang dengan pesat. Namun, saat ini produksi buah
dan benih kayu bawang sangat minim karena hanya beberapa pohon saja yang mengalami pembuahan.
Pembiakan vegetatif merupakan salah satu alternatif untuk penyediaan bibit. Teknik pembiakan
vegetatif dari cabang atau batang tanaman kayu bawang tua dapat menggunakan cangkok dengan
tingkat keberhasilan yang tinggi. Pencangkokan hanya berfungsi sebagai teknik “antara” untuk
menghasilkan materi dasar perbanyakan yang selanjutnya akan digunakan sebagai bahan
perkembangbiakan vegetatif dengan stek.
Kata kunci: kayu bawang, produksi bibit, vegetatif, cangkok, materi dasar
I. PENDAHULUAN
Pembangunan hutan tanaman kayu bawang (Azadirachta excelsa) di Propinsi Bengkulu
mulai berkembang dengan pesat. Jenis ini merupakan jenis andalan lokal setempat, banyak
diminati masyarakat karena tingkat pertumbuhan dan perkembangannya yang cepat sebagai
penyedia bahan baku kayu pertukangan. Data dan informasi menyebutkan bahwa produktivitas
hutan rakyat kayu bawang pada pola monokultur adalah 22,03 m 3/ha/tahun dan pada pola
agroforestri mempunyai rerata produktivitas sebesar 13,70 m 3/ha/tahun (Siahaan dan Sumadi,
2013). Tidaklah mengherankan bilamana pada awalnya jenis ini hanya berkembang di wilayah
Kabupaten Bengkulu Utara dan Tengah, sekarang sudah mulai menyebar ke Kabupaten lainnya
seperti: Mukomuko, Rejang Lebong, Seluma, Kepahyang sampai ke Kabupaten Bengkulu
Selatan (Nurlia dan Waluyo, 2013).
Pengembangan kayu bawang mempunyai beberapa kendala baik secara Internal
maupun eksternal. Salah satu faktor eksternal yang dominan mempengaruhi perkembangan
dan penyebaran kayu bawang adalah adanya keterbatasan bibit hasil dari pembiakan generatif.
Hal ini disebabkan oleh adanya periodisitas kayu bawang yang tidak kontinyu untuk berbunga
dan berbuah yang dimungkinkan terjadi sebagai akibat adanya perubahan iklim, dimana musim
panas dan musim penghujan tidak mempunyai periodisitas/ batas yang jelas. Kondisi semacam
ini telah dimulai sejak tahun 2010 (Nurlia dan Waluyo, 2013). Hal ini mengakibatkan program
kerja bidang kehutanan dan program-program lain yang berkaitan dengan kayu bawang
menjadi terkendala karena tidak tersedianya materi bibit kayu bawang.
Permasalahan utama pada kayu bawang untuk memproduksi benih sebagai bahan/
materi utama dalam pembuatan bibit, harus segera diatasi dan ditemukan teknik produksi bibit
yang tidak mengandalkan pada produksi benih sebagai unsur utama, sehingga minat
masyarakat yang secara sadar sudah mau mengembangkan jenis ini menjadi tidak surut. Salah
satu strategi yang mungkin untuk bisa dikembangkan dalam penyediaan bibit kayu bawang
adalah melalui teknik pembiakan tanaman secara vegetatif. Teknik pembiakan vegetatif kayu
bawang dengan memanfaatkan materi dari anakan alam (widling) mempunyai tingkat
97
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
keberhasilan yang tinggi (Utami et al., 2012). Namun, teknik pembiakan vegetatif ini tetap
masih mengandalkan materi dasar utama dari anakan alam (widling) yang merupakan hasil dari
pembiakan secara generatif, dalam artian teknik ini masih tetap membutuhkan produksi buah.
Sampai dengan saat ini belum terdapat data dan informasi mengenai teknik pembiakan
vegetatif untuk tanaman kayu bawang yang keseluruhan proses pembiakannya
menggunakan/memanfaatkan materi secara vegetatif atau memanfaatkan materi tanaman tua
yang sudah ada untuk dikembangkan secara vegetatif. Oleh karena itu, makalah ini
memaparkan pengalaman dalam kegiatan pembiakan vegetatif tanaman kayu bawang dengan
teknik cangkok yang sangat berperanan dalam salah satu proses penyediaan bibit kayu bawang
yang berkualitas dan berlimpah.
c.
a.
b.
Gambar 1. Tanaman kayu bawang (a), penampilan bunga, buah dan biji (b), produk mebel dari
kayu bawang (c). (Foto I. Muslimin dan B. Winarno)
98
Aspek Perbenihan
Perbanyakan tanaman kayu bawang yang umum dilakukan oleh masyarakat sampai
dengan saat ini adalah menggunakan biji. Biji kayu bawang berada dalam buah yang berbentuk
bulat telur, berisi satu biji, panjang 2,5-3,2 cm, berwarna hijau pada saat muda dan kuning
ketika masak. Biji mempunyai panjang 20-25 mm, lebar 10-12 mm dan terdapat sekitar 500
biji/kg (Joker, 2000). Periodisitas pembungaan dan pembuahan kayu bawang mempunyai
variasi yang cukup tinggi. Kayu bawang di Thailand Utara mengalami daun rontok pada Januari-
Pebruari, diikuti perkembangan daun baru dan berbunga mulai dari Pebruari-Maret. Buah
masak diantara Juni-Juli pada garis lintang yang rendah, sedangkan di Malaysia pada ketinggian
tempat yang tinggi buah masak lebih cepat diantara Mei-Juni (Joker, 2000). Kayu bawang di
Jawa Barat berbuah pada musim hujan, di Darmaga dan Pasirawi berbunga pada Oktober-
Nopember dan berbuah masak pada Desember-Januari, di Carita berbuah pada Oktober-
November, sedangkan di Pasirhantap berbuah pada September-Oktober (Buharman et al.,
2011). Tanaman kayu bawang yang berada di Kabupaten Rejang Lebong (Bengkulu) dan
berbatasan dengan Kabupaten Musi Rawas (Sumsel) berbuah pada bulan Juli-Agustus,
sedangkan yang berada di Kabupaten Banyuasin (KHDTK Kemampo) berbuah pada bulan
Desember-Januari (Muslimin et al., 2014).
99
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
3. Untuk mengabadikan suatu bentuk tertentu dari tanaman. Misalnya pada beberapa pohon
pinus tertentu, ketika diperbanyak secara vegetatif dari materi cabang lateral maka akan
mempertahankan sifat arah pertumbuhan secara horizontal (samping), berbeda dengan
perbanyakan vegetatif yang dilakukan pada ranting yang tumbuh vertikal akan menghasilkan
pertumbuhan yang normal tegak ke atas.
4. Untuk mempercepat peningkatan jumlah tanaman
5. Untuk mengembangkan kekebalan terhadap hama, beberapa tanaman yang mempunyai
kekebalan terhadap serangan hama dan penyakit dimungkinkan akan mengalami penurunan
kekebalan bilamana dikembangkan secara generatif, sehingga diperlukan pengembangan
secara vegetatif untuk tetap dapat mempertahankan sifat kekebalan tersebut.
6. Untuk mengizinkan pertumbuhan habitat tertentu.
Pembiakan vegetatif merupakan salah satu aspek teknik perkembangbiakan tanaman
yang digunakan dalam program pemuliaan pohon dalam rangka untuk meningkatkan
produktivitas tanaman. Individu-individu pohon yang bergentik unggul hasil dari beberapa
tahapan seleksi dalam pemuliaan pohon dapat dikebangkan secara vegetatif untuk
memperoleh produktivitas yang tinggi (Pudjiono, 2008; Hardiyanto, 2004). Pada kegiatan
pemuliaan tingkat lanjut, pengembangan klon menjadi sangat penting untuk dilakukan karena
perhutanan klon (clonal forestry) yang dibangun menggunakan klon terpilih akan menghasilkan
keseragaman sifat-sifat yang diinginkan (Baskorowati, 2012).
100
Aspek Perbenihan
Salah satu teknik perbanyakan tanaman secara vegetatif yang dapat dilakukan untuk
meng-”copy” tanaman kayu bawang yang sudah tua adalah melalui pembiakan tanaman
dengan cangkok. Perbanyakan vegetatif dengan mencangkok adalah teknik perbanyakan
vegetatif dengan cara pelukaan atau pengeratan cabang pohon induk dan dibungkus dengan
media tanam untuk merangsang terbentuknya akar (Prastowo et al., 2006).
Kegiatan pembuatan cangkok pada tanaman kayu bawang tua pada dasarnya
mempunyai teknik yang sama dengan kegiatan pembuatan cangkok pada tanaman kehutanan
lainnya ataupun pada tanaman buah-buahan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam
pembuatan cangkok adalah: a) cangkok dilakukan pada cabang atau batang yang tumbuh ke
atas (ortotroph) dengan diameter cabang + 3 cm, b) kulit batang di kelupas sepanjang + 5 cm
dan dikerok untuk menghilangkan kambium, c) bagian batang yang terbuka kulitnya, kemudian
diberi hormon tumbuh sistem pasta, d) kemudian diberi media berupa tanah topsoil
secukupnya dan ditutup dengan plastik yang pada bagian ujungnya (atas dan bawah) di ikat,
e) untuk memudahkan air masuk ke dalam media, maka pada plastik pembungkus diberi
beberapa lubang.
a c
Gambar 2. Kegiatan pembuatan cangkok kayu bawang (a); perakaran cangkok
yang muncul pada umur 2 bulan setelah cangkok (b); penanaman
cangkok pada polybag besar di persemaian sebagai materi dasar (c)
(Foto Imam Muslimin)
Kegiatan pembuatan cangkok pada tanaman kayu bawang di Kawasan Hutan Dengan
Tujuan Khusus (KHDTK) Kemampo pada umur 3 tahun mempunyai tingkat keberhasilan yang
tinggi yaitu sekitar 90% pada umur cangkokan 2,5 bulan (Muslimin et al., 2014). Tingkat
keberhasilan yang tinggi pada kegiatan pencangkokan batang kayu bawang tersebut
merupakan satu hal yang sangat positif dan mengindikasikan bahwa jenis kayu bawang
termasuk jenis yang responsif terhadap kegiatan pencangkokan. Beberapa kegiatan
pencangkokan pada tanaman kehutanan juga dilaporkan oleh beberapa peneliti lainnya (Tabel
1.) yang menunjukkan tingkat keberhasilan yang memuaskan.
Tabel 1. Kegiatan cangkok pada beberapa tanaman kehutanan
No Jenis Tanaman Teknik Cangkok Persentase berakar Sumber
1 2 3 4 5
1. Eusideroxylon zwageri - 77,8% setelah 8-9 bulan Siregar dan
(Ulin) pencangkokan Djam’an (2007)
2. Dyera spp. (Jelutung) - 63,33% setelah 3-9 bulan
pencangkokan
3. Ficus spp pada cabang tua (Ø 1- 100% setelah 14 minggu Granzow (1999)
Terminalia amazonia 2,5 cm), aplikasi
Vismia macrophylla IBA+NAA 1000-2000
Guatteria diospyroides ppm.
101
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Deteksi dini tingkat keberhasilan pembuatan cangkok bisa ditengarai dari adanya
perakaran yang bisa terlihat dengan jelas pada media cangkok. Perakaran mulai muncul pada
minggu ke-4 dan dalam jumlah yang banyak dan kompak pada minggu ke 8-12. Bilamana
perakaran sudah banyak dan kompak, maka cangkokan dapat dipanen dengan memotong tepat
di bagian bawah media perakaran cangkok. Pemapanan cangkok dapat dilakukan langsung di
lapangan atau di tanam terlebih dahulu di persemaian dengan menggunakan polybag yang
besar.
102
Aspek Perbenihan
Tingkat keberhasilan pembuatan cangkok sangat bergantung pada beberapa hal yaitu:
1. Waktu mencangkok
Chauhan et al. (2008) mengemukakan bahwa salah satu kelemahan dari mencangkok
adalah sangat tergantung dari musim dan berhubungan erat dengan kelembaban yang tinggi,
curah hujan dan suhu panas. Waktu yang terbaik (efektif dan efisien) untuk melakukan kegiatan
pencangkokan adalah pada saat musim penghujan karena pada saat penghujan cukup banyak
tersedia air hujan yang berfungsi untuk menjaga kelembaban media cangkok.
2. Pemilihan materi batang/cabang
Materi cabang/batang yang relatif besar akan cepat memunculkan akar karena
mempunyai cukup cadangan makanan di dalamnya, namun pemilihan batang/cabang yang
terlalu besar akan menyusahkan dalam pekerjaan pemanenan dan pemapanan di persemaian.
3. Penggunaan media
Media harus steril, mempunyai porositas yang cukup, mampu mengikat air dalam waktu
yang relatif lama, mempunyai kandungan bahan organik yang cukup untuk pertumbuhan pada
saat perakaran mulai terbentuk.
4. Keterampilan pekerja
Masing-masing pekerja mempunyai keterampilan yang berbeda-beda dalam menunjang
keberhasilan pembuatan cangkok, beberapa hal yang seringkali lalai dilakukan oleh pekerja
yang menyebabkan ketidakberhasilan pembuatan cangkok adalah: a) pengerokan/pembersihan
kambium kurang bersih, sehingga kulit batang/cabang segera pulih kembali, b) penggunaan
pisau untuk memotong kulit batang/cabang yang kurang tajam, sehingga menyebabkan
kerusakan jaringan pada tempat terbentuknya perakaran, c) pembungkusan media dan
pengikatan media yang kurang bagus, sehingga media tidak kompak dan mudah hancur/pecah
bilamana terkena hujan dengan intensitas yang tinggi.
Kegiatan pembuatan cangkok pada tanaman kayu bawang secara spesifik bukanlah
dijadikan sebagai materi perbanyakan massal ataupun materi untuk tanaman baru. Kegiatan
pencangkokan dimaksudkan untuk meng”copy” genetik induk yang mempunyai sifat-sifat
unggul dan dijadikan sebagai materi dasar. Dalam kasus seperti ini, Zobel dan Talbert (1984)
mengistilahkan bahwa cangkok merupakan teknik “antara” untuk menghasilkan perakaran
sebagai pembentuk materi dasar. Materi dasar hasil cangkokan nantinya dikembangkan secara
lanjut di persemaian dalam bentuk kebun perbanyakan, dimana penyusun kebun perbanyakan
hanya ditujukan untuk memproduksi tunas-tunas juvenil yang digunakan sebagai bahan
perbanyakan vegetatif dengan stek (Utami et al., 2012) atau teknik perbanyakan makro dan
mikro lainnya.
V. PENUTUP
Pembiakan vegetatif pada tanaman kayu bawang merupakan salah satu solusi untuk
mengatasi keterbatasan produksi benih dalam rangka pemenuhan kebutuhan bibit. Pembiakan
vegetatif pada cabang/batang tanaman kayu bawang tua dapat dilakukan dengan sistem
cangkok dengan tingkat keberhasilan yang tinggi. Kegiatan cangkok ini hanya dilakukan untuk
tujuan meng“copy” genetik induk sebagai penyedia materi dasar perbanyakan untuk kegiatan
berikutnya. Bilamana materi dasar sudah terbentuk, maka sebagai langkah tindak lanjut adalah
dilakukannya teknik perbanyakan massal dengan pembiakan vegetatif stek pucuk.
103
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Apriyanto, E. 2003. Pertumbuhan Kayu Bawang (Protium javanicum Burm.f) pada Tegakan
Monokultur Kayu Bawang di Bengkulu Utara. Jurnal Ilmu Ilmu Pertanian Indonesia Vol. 5,
No.2 tahun 2003. Diakses di http://www. Bdpunib.org/jipi/artikeljipi /2003/64.PDF pada
tanggal 13 Agustus 2007.
Baskorowati, L. 2012. Pengembangan Klon dan Hibridisasi. Status Penelitian Pemuliaan
Tanaman Hutan di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH).
Kementerian Kehutanan. Yogyakarta.
Brennan, E. B., and K.W. Mudge. 1997. Vegetative propagation of Inga feuillei from shoot
cuttings and air layering. New forests 15:37-51, 1998. Kluwer Academic Publishers.
Netherlands.
Buharman, D. F. Djam’an, N. Widyani, S. Sudradjat. 2011. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia
Jilid II “Sentang (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs)”. Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan Tanaman Hutan. Badan Litbang Kementerian Kehutanan. Bogor.
Chauhan, V. S., V. P. Ahlawat and M. S. Joon. 2008. Studies on Air Layering in Litchi (CV, Early
Large Red). Agric. Sci. Digest, 28 (3): 186-188, 2008.
Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu. 2003. Budidaya Tanaman Kayu Bawang. Dinas Kehutanan
Provinsi Bengkulu. Bengkulu.
Eganathan, P., C.S. Rao, A. Anand. 2000. Vegetative Propagation of three mangrove tree species
by cuttings and air layering. Wetlands Ecology and Management 8: 281-286, 2000.
Kluwer Academic Publishers. Netherlands.
Gowda, V. N., V. Kumar, P.V.K. Reddy. 2011. Studies on vegetative propagation in jamun
(Syzygium cumini). Acta Horticulturae 2011 No. 890 pp. 107-110.
Granzow, I. 1999. Air-Layering Shows Promise in Propagating Tropical Trees (Nicaragua).
Ecological Restoration 17:1 & 2 Spring/ Summer.
Hardiyanto, E. B. 2004. Pembangunan Hutan Tanaman Acacia mangium “Silvikultur dan
Pemuliaan Acacia mangium”. Pengalaman di PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan.
PT. Musi Hutan Persada.
Herbert H. Jervis. 1997. The Beneficial Apects of Cloning: A View From The Plant World.
Jurimetrics, Vol. 38, No. 1 (Fall 1997), pp. 97-102.
Hussain, A., A.G. Pandurangan, R. Remya. 2013. Clonal propagation through stem cuttings and
air layering in Dysoxylum malabaricum Bedd. Ex Hiern. An endemic and rare tree species
of the Western Ghats. Indian Journal of Forestry 2013 Vol. 36 No. 2 pp. 187-190.
Jaenicke, H., J. Beniest. 2002. Vegetative Tree Propagation in Agroforestry. International Centre
for Research in Agroforestry (ICRAF). Nairobi, Kenya.
Joker, D. 2000. Seed Leaflet: Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs. Danida Forest Seed Centre.
Denmark.
Kawai, M. 1997. Artificial ectomycorrhiza formation on roots of air-layered Pinus densiflora
saplings by inoculation with Lyophyllum shimeji. Mycologia, 89(2), 1997, pp. 228-232.
Modi, D. J., B. K. Patel, H.S. Bhadauria, L. R. Varma and V. R. Garasiya. 2012. Effect of different
level of indole butyric on air layering of cashewnut (Anacardium occidentale L.) cv.
Vengurla-6, Asian J. Hort., 7(2): 626-627.
104
Aspek Perbenihan
Muslimin, I., N. Herdiana, K. Mulyadi. 2014. Laporan Hasil Penelitian “Pembangunan Sumber
Benih Jenis Kayu Bawang (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs). Balai Penelitian Kehutanan
Palembang. Kementerian Kehutanan. Tidak dipublikasikan.
Mwangingo, P.P., L. L. Lulandala. 2011. Air Layering and its potential in propagating Uapaca
kirkiana: a fruit tree from the miombo woodland, Tanzania. Southern Forests: A Journal
of Forest Science. 2011, Vol. 73 Issue 2, p67-71. 5p.
Nurlia, A., dan E. A. Waluyo. 2013. Faktor-faktor Pembatas Yang Mempengaruhi Pengembangan
Hutan Rakyat Kayu Bawang (Dysoxylum mollissimum Blume.) di Provinsi Bengkulu.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian “Integrasi IPTEK dalam Kebijakan dan Pengelolaan
Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan”. Palembang, 2 Oktober 2013. Kementerian
Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.
Prastowo, N. H., J. M. Roshetko, G. E. S. Maurung, E. Nugraha, J. M. Tukan, F. Harum. 2006.
Teknik Pembibitan dan Perbanyakan Vegetatif Tanaman Buah. World Agroforestry
Centre (ICRAF) & Winrock International. Bogor. Indonesia.
Pudjiono, S. 2008. Penerapan Perbanyakan Tanaman Secara vegetatif Pada Pemuliaan Pohon.
Makalah Gelar Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan di Pekanbaru Riau Tanggal 21
Agustus 2008. Balai Besar Penelitian Biotekhnologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan.
Yogyakarta.
Rahman, E., M. L. Hutagalung, Y. T. Surbakti. 2012. Makalah Dasar-dasar Agronomi
“Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif”. Program Studi Agribisnis. Fakultas Pertanian
Universitas Jambi. Tidak dipublikasikan.
Siahaan, H., dan A. Sumadi. 2013. Pertumbuhan dan Produktivitas Agroforestri Kayu Bawang di
Propinsi Bengkulu. Prosiding Seminar Hasil Penelitian “Integrasi IPTEK dalam Kebijakan
dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan”. Palembang, 2 Oktober
2013. Kementerian Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.
Siregar, N., D. F. Djam’an. 2007. Teknik Perbanyakan Vegetatif Untuk Memproduksi Bibit
Beberapa Jenis Tanaman Hutan. Prosiding Seminar “Teknologi Perbenihan untuk
Meningkatkan Produktivitas Hutan Tanaman Rakyat di Sumatera Barat”. Departemen
Kehutanan. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Bogor.
Subiakto, A. 2009. Aplikasi KOFFCO Untuk Produksi Stek Jenis Pohon Indigenous. Pusat Litbang
Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Thakur, K. S., G. S. Shamet, A. D. Mundhe. 2011. Propagation of Neoza pine (Pinus gerardiana
Wall) through cuttings and air-layering. Indian Journal of Forestry 2011. Vol. 34 No. 3 pp.
257-262.
Thirunavoukkarasu, M. Brahmam & N. K. Dhal. 2004. Vegetative Propagation Of Hymenaea
Courbaril by Air Layering. Journal of Tropical Forest Science 16(2):268-270 (2004).
Tomar, A. dan V. R. R. Singh. 2011. Effect of air layering time (season) with the aid of Indole
Butyric Acid in Ficus krishnae and Ficus auriculata. Indian Forester 2011 Vol. 137 No. 12
pp 1363-1365.
Utami, S., A. P. Yuna., T. R. Saepuloh. 2012. Budidaya Jenis Kayu Bawang Aspek Manipulasi
Lingkungan. Laporan Hasil Penelitian. Kementerian Kehutanan. Balai Penelitian
Kehutanan Palembang. Tidak dipublikasikan.
105
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Verma, P.L., N. Das, V. Kumar, R. Kumar. 2013. Effect of Sphagnum spp. As substrate media on
rooting response of Cinnamomum verumykesu (Syn. C. Zeylanicum Blume) through air
layering. Journal of Non-Timber Forest Products 2013 Vol. 20 No. 3 pp 179-182.
Zobel dan Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley & Sons Inc. Canada.
106
Aspek Perbenihan
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui variasi genetik, heritabilitas serta perolehan genetik harapan
pertumbuhan tinggi dan diameter pohon bambang lanang (Michelia champaca L). Penelitian dilakukan
pada uji keturunan half-sib M. champaca umur 1 tahun di Kabupaten Empat Lawang-Sumatera Selatan,
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), 40 famili, 4 replikasi, 4 tanaman setiap plot (treeplot).
Variabel yang diukur adalah diameter pangkal batang dan tinggi pohon. Terdapat variasi genetik
pertumbuhan tinggi dan diameter antar famili dengan nilai persentase komponen varians berturut-turut
sebesar 1,19% dan 2,69%. Nilai heritabilitas individu (h 2i) dan famili (h2f) sebesar 0,05 dan 0,07 untuk
tinggi serta 0,11 dan 0,15 untuk diameter.
Kata kunci: Michelia champaca, half sib, uji keturunan, variasi genetik, heritabilitas
I. PENDAHULUAN
Bambang lanang (Michelia champaca L.) merupakan salah satu jenis tanaman lokal
potensial untuk penghasil kayu pertukangan yang menjadi unggulan di Propinsi Sumatera
Selatan. Pada awalnya jenis ini dikembangkan dan diminati oleh masyarakat di Kabupaten
Empat Lawang. Melalui upaya kemandirian masyarakat, bambang lanang telah menyebar ke
berbagai daerah di Sumatera Bagian Selatan seperti Lahat, Kota Pagaralam, Ogan Komiring Ulu,
Musi Rawas, Muara Enim, Kota Lubuk Linggau, dan bahkan sampai ke Bengkulu dan Lampung
(Martin et al., 2010). Jenis ini berkembang dengan pesat karena memiliki beberapa keunggulan
yaitu batang bebas cabang cukup tinggi, lurus, ranting mudah gugur (pruning alami tinggi) dan
tajuk yang tidak lebar sehingga cocok sebagai penyusun pola tanam campur. Riap diameter
tanaman bambang dapat mencapai 3 cm per tahun (Sofyan et al., 2010) dengan produktivitas
sekitar 17m3/ha/tahun (Lukman, 2012).
Budidaya tanaman bambang lanang pada saat ini masih dilakukan secara tradisional
dengan praktek-praktek silvikultur yang sederhana. Kegiatan pemeliharaan seperti penyiangan
gulma, pemupukan dan pemangkasan serta perlindungan terhadap hama dan penyakit belum
dianggap sebagai komponen penting dalam budidayanya, begitu pula dengan penggunaan
bahan atau materi tanaman seperti benih maupun bibit yang masih terkesan ‘seadanya’. Peran
penerapan praktek silvikultur yang baik dan tepat serta penggunaan materi tanaman sangat
menentukan dalam mencapai tujuan penanaman.
Pembangunan hutan tanaman (hutan rakyat maupun hutan tanaman rakyat)
membutuhkan investasi yang cukup besar serta waktu yang relatif lama, karenanya harus
diarahkan pada pembangunan hutan tanaman yang produktif. Peningkatan produktivitas harus
di dukung dengan teknologi budidaya yang tepat serta penggunaan benih serta bibit yang
bergenetik unggul. Pada saat ini, sumber benih tanaman kehutanan khususnya jenis-jenis lokal
komersial belum cukup tersedia, sehingga ketersediaan benih maupun bibit yang unggul secara
genetik belum dapat dipenuhi. Upaya penyediaan benih bergenetik unggul dapat dilakukan
dengan membangun sumber benih yang didasarkan pada kaidah-kaidah dalam program
pemuliaan tanaman.
107
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
108
Aspek Perbenihan
Korelasi genetik antar sifat (pertumbuhan tinggi dengan diameter) dihitung dengan
rumus (Zobel dan Talbert, 1984):
σf (xy)
rG = 2 2 Dimana, σf (xy) = 0,5 (σ2f (x+y) – σ2f (x) – σ2f(y))
√( σ f(x) . σ f(y))
Keterangan :
rG : korelasi genetik
σf (xy) : komponen kovarians untuk sifat x dan y
σ2f (x) : komponen varians untuk sifat x
σ2f (y) : komponen varians untuk sifat y
σ2f (x+y) : komponen varians untuk sifat x dan y
109
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
menyebabkan famili-famili yang mempunyai pertumbuhan terbaik pada satu replikasi tidak
selalu sama baiknya pada replikasi yang lain.
Tabel 1. Analisis varians pertumbuhan tanaman uji keturunan bambang lanang (M.
champaca) di Kabupaten Empat Lawang umur 1 tahun
Sumber variasi Kuadrat rerata untuk pertumbuhan
Tinggi Diameter
Ns
Replikasi 0.032 0.012Ns
Famili 0.044** 0.056**
Rep.*Fam 0.044** 0.051**
Galat 0.024 0.027
Ns
Keterangan: ** Berbeda sangat nyata pada taraf kepercayaan 1%, berbeda tidak nyata
Sebagaimana hasil interaksi antara replikasi dengan famili, sumber variasi famili juga
menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata pada pertumbuhan tinggi dan diameter. Hasil ini
memberikan gambaran adanya variasi genetik antar famili-famili yang diuji. Adanya variasi
genetik tersebut telah memberikan peluang untuk melakukan seleksi antar famili guna
memperoleh peningkatan genetik pada pengembangan generasi berikutnya. Seberapa besar
variasi genetik antar famili dapat diketahui dari besaran nilai taksiran komponen varians dan
nilai persentase atau proporsi masing-masing komponen (Tabel 2). Nilai proporsi komponen
varians famili (σ2f) yang menggambarkan pengaruh atau peran faktor genetik terhadap
pertumbuhan tanaman, nampak masih relatif sangat rendah yaitu masing-masing sebesar
1,19% untuk pertumbuhan tinggi dan 2,69% untuk pertumbuhan diameter. Hasil ini
memberikan bukti bahwa pertumbuhan tanaman bambang lanang pada umur satu tahun masih
sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Tabel 2. Taksiran komponen varians (tkv) pertumbuhan tanaman uji keturunan
bambang lanang (M. champaca) di Kabupaten Empat Lawang umur 1 tahun
Sumber variasi Tinggi Diameter
Tkv % Tkv %
Replikasi 0 0 0 0
Famili 0,0003904 1,19 0,0010536 2,69
Rep.*Fam 0,0065122 19,90 0,0093807 23,96
Galat 0,0258200 78,91 0,00287100 73,34
Total 0,0327226 100 0,0391443 100
Keterangan tkv: taksiran komponen varians
C. Taksiran Nilai Heritabilitas
Heritabilitas merupakan parameter yang menggambarkan seberapa besar sifat-sifat
induk diwariskan kepada keturunannya. Heritabilitas individu (h2i) untuk pertumbuhan tinggi
sebesar 0,05 dan untuk pertumbuhan diameter sebesar 0,11 (Tabel 3). Menurut Cotteril dan
Dean (1990), taksiran nilai heritabilitas individu sebesar 0,05 untuk pertumbuhan tinggi berada
pada level rendah, sementara untuk pertumbuhan diameter sebesar 0,11 berada pada level
sedang. Sebagaimana perolehan nilai heritabilitas individu, perolehan taksiran nilai heribilitas
famili (h2f) juga berada pada level rendah (Hardiyanto dalam Leksono, 1994), yaitu masing-
masing sebesar 0,07 untuk pertumbuhan tinggi dan 0,15 untuk pertumbuhan diameter (Tabel
3). Perolehan taksiran nilai heritabilitas individu pada level sedang menunjukkan bahwa faktor
genetik mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan diameter dan perolehan
genetik akan efektif bilamana seleksi dilakukan secara individual (seleksi massa) (Wright, 1976).
110
Aspek Perbenihan
Tabel 3. Taksiran heritabilitas individu (h 2i) dan famili (h2f) pertumbuhan tanaman
uji keturunan bambang lanang (M. champaca) di Kabupaten Empat Lawang
umur 1 tahun
Heritabilitas
Karakter 2
Individu (h i) Famili (h2f)
Tinggi 0,05 0,07
Diameter 0,11 0,15
Korelasi genetik antara tinggi dan diameter (Tabel 4) sebesar 1,23 yang berarti berada di
luar nilai yang semestinya (1 atau -1) (over estimate). Nilai korelasi genetik yang over estimate
juga terjadi pada beberapa penelitian lainnya (Lin dan Zsuffa, 1993; Harding et al., 1991; Sofyan
et al., 2011). Korelasi genetik dengan nilai over estimate ini biasanya disebabkan oleh karena
rendahnya nilai heritabilitas (Lin dan Zsuffa, 1993, Sofyan et al., 2011), dimana dalam penelitian
ini nilai heritabilitas untuk pertumbuhan tinggi berada dalam kategori yang sangat rendah
(Tabel 3) baik pada heritabilitas individu (0,05) maupun heritabilitas famili (0,07).
IV. KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah:
1. Terdapat variasi genetik pertumbuhan tinggi dan diameter antar famili dengan nilai
persentase taksiran komponen varians (tkv) berturut-turut sebesar 1,19% dan 2,69%.
2. Taksiran nilai heritabilitas individu (h 2i) sebesar 0,05; 0,11 dan heritabilitas famili (h 2f)
sebesar 0,07; 0,15 berturut-turut untuk tinggi dan diameter.
DAFTAR PUSTAKA
Cotteril, P.P. dan C.A. Dean. 1990. Succesful Tree Breeding with Index Selection. CSIRO Division
of Forestry and Forest Product. Australia.
Harding, K. J., P. J. Kanowski dan R. R. Woolaston. 1991. Preliminary genetic parameter
estimates for some wood quality traits of Pinus caribaea var. hondurensis in
Queensland, Australia. Silva Genetica 40: 152-156 (1991).
Hardiyanto, E. B. 2008. Diktat Mata Kuliah Pemuliaan Pohon Lanjut. Program Pasca Sarjana.
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tidak dipublikasikan
Herdiana, N. 2009. Pertumbuhan Awal Tanaman Kayu Bawang dan Bambang Lanang Di KHDTK
Benakat, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil Hasil Penelitian “”Mengenal Teknik
111
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
112
ASPEK SILVIKULTUR
Aspek Silvikultur
APLIKASI TEKNIK SILVIKULTUR DAN PENGGUNAAN BENIH UNGGUL DARI SUMBER BENIH
UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIFITAS TANAMAN TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb)
DI HUTAN RAKYAT
ABSTRAK
Tembesu (Fagraea fragrans Roxb) merupakan tanaman unggulan Wilayah Sumatera Selatan yang
populer dan bernilai ekonomi sebagai penghasil kayu pertukangan. Upaya pengembangan budidaya
tembesu mempunyai kendala pertumbuhan yang lambat, banyak percabangan serta bentuk batang
yang kurang baik. Saat ini, riap diameter tembesu di hutan rakyat sebesar 1,5cm/tahun dan tinggi
1,4m/tahun. Budidaya tembesu dapat dianggap kompetitif dengan tanaman lainnya bilamana
mempunyai riap diameter 2,5cm/tahun. Aplikasi teknik silvikultur mulai dari pembibitan, penanaman,
pemeliharaan, pemangkasan dan penjarangan tanaman mampu meningkatkan produktifitas diameter
yang bervariasi antara 4,27%-30,77%. Penggunaan benih dari pohon induk penyusun tanaman uji
keturunan mempunyai peningkatan produktifitas diameter sebesar 80%, sedangkan penggunaan materi
klon dari 40 pohon terbaik tanaman uji keturunan mempunyai peningkatan produktifitas sebesar 200%.
Penggabungan teknik silvikultur, penggunaan benih dari pohon induk dan perhutanan klon diyakini
dapat membentuk tanaman tembesu budidaya yang kompetitif dan produktifitas tanaman yang tinggi.
Kata kunci: tembesu, produktifitas, kompetitif, silvikultur, uji keturunan
I. PENDAHULUAN
Tembesu (Fagraea fragrans Roxb) merupakan salah satu jenis tanaman yang popular di
wilayah Sumatera Selatan sebagai bahan baku kayu pertukangan dengan kelas awet I dan kelas
kuat I-II. (Lemmens et al., 1995; Martawijaya et al., 2005). Selain itu, bagi masyarakat Sumatera
Selatan (Palembang), kayu tembesu merupakan bahan baku utama untuk pembuatan kerajinan
ukiran khas Palembang yang sangat popular dan bernilai sosial ekonomi yang tinggi.
Tingginya nilai ekonomi kayu tembesu ini secara langsung tidak di imbangi dengan
pengembangan budidaya tanaman tembesu yang intensif. Tanaman tembesu tumbuh alami
dan liar di lahan perkebunan masyarakat sampai periode siap panen. Umumnya pengelolaan
tanaman tembesu di masyarakat masih dilakukan secara “asalan” dan tidak ada perlakuan
khusus untuk memacu atau meningkatkan produktifitas. Tembesu yang terdapat di lahan
masyarakat mempunyai produktifitas yang rendah, percabangan dan mata kayu yang banyak,
bentuk batang yang jelek (bengkok), nilai sortimen kayu yang rendah serta secara tidak
langsung akan mengurangi nilai jual kayu (Sofyan et al., 2013a).
Minimnya usaha pengembangan tembesu dalam bentuk pembangunan hutan tanaman
secara khusus mempunyai kendala utama dengan “kualitas” dan produktifitas tanaman yang
masih rendah. Kondisi semacam ini membutuhkan dukungan informasi paket teknologi
budidaya tanaman tembesu serta materi (benih unggul) agar dapat meningkatkan produktifitas
tanaman secara optimal. Makalah ini menyajikan beberapa kegiatan yang berhubungan dengan
aspek pengelolaan tanaman tembesu sebagai salah satu strategi dan upaya untuk
meningkatkan produktifitas dan “menggairahkan” kembali budidaya tanaman tembesu.
115
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
116
Aspek Silvikultur
5. Periode pembungaan dan pembuahan tembesu kontinyu setiap tahunnya, jumlah buah dan
benih berlimpah. Benih berukuran kecil dan bersifat ortodoks sehingga sangat efektif dan
efisien untuk proses penyimpanan. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan benih
tembesu akan tersedia dalam skala produksi massal. Selain itu, teknik pembiakan tembesu
dapat secara generatif dan vegetatif (stek) dengan tingkat keberhasilan yang tinggi (Sofyan
dan Muslimin, 2006)
6. Kayu tembesu mempunyai harga yang cukup tinggi, harga di tingkat desa di Kabupaten OKU
Timur (Sumsel) berkisar antara Rp. 3.000.000-4.000.000/m3 dalam bentuk kayu olahan
berdimensi 8/12 cm dan 5/10 cm (Martin dan Premono, 2014). Sedangkan harga kayu
tembesu di tingkat pengrajin ukiran kayu tembesu di kota Palembang berkisar antara Rp.
6.000.000-6.500.000 (Kemas Anwar, komunikasi pribadi).
Selain potensi pengembangan untuk budidaya tembesu, terdapat beberapa hambatan dalam
budidaya tembesu, antara lain:
1. Tembesu yang dikembangkan masyarakat merupakan tembesu “liar” yang tumbuh alami di
kebun-kebun masyarakat. Aspek pengelolaan tembesu masih sangat sederhana (belum ada
input tehnologi), sehingga tanaman tembesu mempunyai banyak percabangan, bentuk
batang jelek dan bengkok, sortimen kayu rendah (Sofyan et al., 2013a)
2. Tanaman tembesu yang tumbuh di hutan rakyat cenderung lambat. Sumadi dan Saepuloh
(2011) mengemukakan bahwa tanaman tembesu pada hutan rakyat pola campuran berumur
2 tahun memiliki rerata diameter 3,41 cm (riap tahunan/MAI 1,71 cm/tahun), umur 3 tahun
memiliki rerata diameter 5,47 cm (MAI 1,82 cm/tahun), umur 18 tahun memiliki diameter
setinggi dada 24,15 cm (MAI 1,34 cm/tahun), sedangkan tembesu umur 20 tahun
mempunyai diameter 26,6 cm (MAI 1,3 cm/tahun) dan tinggi 21,1m (MAI 1,1 m/tahun),
rerata volume per pohon sebesar 0,39 m3 dengan kerapatan 438 pohon/ha dengan total
volume sebesar 170,2 m3 atau riap volume sebesar 8,51 m3/ha/tahun. Sofyan et al., (2013b)
mengemukakan bahwa tembesu umur 6 tahun mempunyai MAI diameter 1,67 cm dan MAI
tinggi 1,7 m. Berdasarkan data dan informasi di atas, dapat kita simpulkan bahwasanya
rerata MAI diameter tembesu adalah 1,5 cm/tahun dan rerata MAI tinggi sebesar 1,4
m/tahun.
3. Karena pertumbuhannya yang lambat dan panen yang lama, maka masyarakat
membudidayakan tembesu hanya sebagai “tanaman sampingan” untuk tabungan kayu yang
umumnya di gunakan sebagai bahan bangunan rumah. Secara intensif, masyarakat lebih
mengutamakan lahannya untuk budidaya tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit yang
dianggap lebih bernilai ekonomi (Martin dan Premono, 2014).
Hambatan atau permasalahan dalam usaha pengembangan budidaya tembesu sebenarnya
merupakan tantangan yang harus dihadapi. Beberapa peluang dan tantangan dalam
pengembangan budidaya tanaman tembesu adalah sebagai berikut:
1. Kebutuhan kayu tembesu pada tingkat pengrajin ukiran khas Palembang di Kota Palembang
sangat tinggi. Permintaan total kebutuhan kayu tembesu adalah sebesar 3.120 m3/tahun
yang dihitung dari 30 unit workshop (Martin dan Premono, 2014). Kebutuhan kayu untuk
kegiatan workshop ini adalah sangat besar dan tidak akan bisa dipenuhi bilamana produksi
kayu tembesu masih berasal dari kebun-kebun masyarakat dan lahan hutan sekunder yang
umumnya tumbuh secara alami. Bahkan pada beberapa workshop, kebutuhan kayu tembesu
untuk bahan ukiran diperoleh dari sisa-sisa bongkaran rumah tinggal jaman dulu yang
memang umumnya sebagian besar menggunakan kayu tembesu (Kemas Anwar, komunikasi
pribadi 2014).
117
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
2. Lebih lanjut Martin dan Premono (2014) memberikan simulasi perbandingan nilai output
finansial antara hutan tanaman tembesu dan kebun kelapa sawit dengan peubah MAI
diameter tembesu (Tabel 1). Berdasarkan simulasi tersebut nampak bahwa budidaya
tanaman tembesu dapat dikatakan sebanding dengan pengusahaan kelapa sawit bilamana
pertumbuhan diameter tanaman tembesu lebih dari 2,5 cm/ tahun.
Tabel 1. Hasil simulasi perbandingan nilai output finansial antara hutan tanaman
tembesu dan kebun kelapa sawit dengan peubah MAI diameter tembesu
MAI diameter Alokasi lahan untuk Output finansial/tahun Output finansial/tahun jika
(cm/tahun) hasil lestari (Rp.) lahan dialokasikan bagi
(hektar) kelapa sawit (Rp.)
1,00 1.103,47 5.304.000.000 13.241.691.264
1,25 882,78 5.304.000.000 10.593.353.011
1,50 735,65 5.304.000.000 8.827.794.176
2,00 551,73 5.304.000.000 6.620.845.632
2,50 441,39 5.304.000.000 5.296.676.505
3,00 367,82 5.304.000.000 4.413.897.088
Martin dan Premono (2014)
118
Aspek Silvikultur
membentuk batang bebas cabang yang tinggi, kemudian secara bertahap dilakukan
pengurangan jumlah tanaman (penjarangan) untuk meningkatkan pertumbuhan diameter
tanaman. Jarak tanam awal yang disarankan digunakan dalam penanaman tembesu adalah
2,5x1 m atau 3x2 m (Lemmens et al., 1995 dan Lukman et al., 2010). Pertumbuhan tanaman
tembesu pada jarak tanam 3x1 m (3333 pohon/ha) pada umur 4 tahun mempunyai diameter
7,68 cm dan tinggi 7,16 m, sedangkan pada jarak tanam 3x2 (1666 pohon/ha) mempunyai
diameter 9,12 cm dan tinggi 6,6 m (Sofyan et al., 2011). Pola tanam tembesu secara campuran
dapat dilakukan secara langsung bercampur dengan pola baris atau penanaman tembesu pada
border line (garis tepi) lahan yang sekaligus bermanfaat sebagai batas kepemilikan lahan.
Dalam hubungannya dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman tembesu,
Sumadi dan Siahaan (2014) telah membuat pola hubungan antara pertumbuhan tinggi dan
diameter dengan umur tanaman (Gambar 1 dan Gambar 2). Secara garis besar, pola hubungan
antara tinggi dan diameter tembesu relatif cepat di tahun-tahun awal (umur muda) dan
semakin menurun dengan semakin bertambahnya umur tanaman. Riap pertumbuhan diameter
tanaman maksimum adalah pada umur 5 tahun, sedangkan pada tinggi tanaman pada umur 2
tahun. Data dan informasi ini memberikan gambaran bahwa pada saat umur muda tembesu
cenderung aktif untuk tumbuh dan berkembang, sehingga diperlukan daya dukung input
perlakuan (campur tangan) manusia dalam menyediakan kondisi yang kondusif dan optimal
untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman sehingga nantinya diperoleh produktifitas
tanaman tembesu yang terbaik.
Aplikasi teknik silvikultur pada saat penanaman adalah aplikasi pupuk dasar dengan
pupuk kandang yang telah terdekomposisi sempurna. Pupuk kandang sangat bermanfaat untuk
membantu menetralkan pH tanah, menetralkan racun dari logam berat dalam tanah,
memperbaiki struktur tanah, meningkatkan porositas tanah, meningkatkan ketersediaan hara
serta menstabilkan suhu tanah. Aplikasi pupuk kandang (kotoran ayam) dosis 1 kg/lubang
tanam pada saat awal penanaman mampu memberikan peningkatan diameter tanaman
sebesar 20,83% bila dibandingkan dengan kontrol (tanpa pemberian pupuk kandang) (Lukman
et al., 2005). Pada tingkat lanjut, pemupukan diberikan secara bertahap selama 2 kali dalam
setahun pada awal dan akhir musim penghujan. Pemberian pupuk lanjutan dengan Sp 36 dosis
100 g/tanaman sampai dengan umur 3 tahun mampu memberikan peningkatan tinggi sebesar
5,41% dan peningkatan diameter sebesar 29,41% (Junaidah et al., 2010). Berdasarkan data dan
informasi ini dapat disimpulkan bahwa pemberian pupuk baik pupuk dasar maupun pupuk
lanjutan mempunyai pengaruh yang banyak terhadap pertumbuhan diameter tanaman bila
dibandingkan dengan pertumbuhan tinggi tanaman.
Gambar 1. Grafik riap tahunan berjalan (MAI) diameter tembesu di hutan rakyat
(Sumadi dan Siahaan, 2014)
119
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Gambar 2. Grafik riap tahunan berjalan (MAI) tinggi tembesu di hutan rakyat
(Sumadi dan Siahaan, 2014)
120
Aspek Silvikultur
membuat tanaman tembesu tumbuh dan berkembang secara optimal karena persaingan
pemanfaatan faktor-faktor pertumbuhan seperti unsur hara dan cahaya dapat diminimalisir.
keturunan berasal dari pohon induk terpilih yang mempunyai penampilan superior, sedangkan
tanaman tembesu di hutan rakyat umumnya berasal dari regenerasi alami yang belum
diketahui dengan pasti asal-usul dan kualitas benihnya.
Untuk mengetahui kuat lemahnya suatu variabel yang dipengaruhi oleh faktor genetik
maka dapat dilakukan penghitungan nilai heritabilitas. Semakin tinggi (mendekati 1) nilai
heritabilitas maka variabel tersebut lebih banyak di kontrol oleh faktor genetik. Estimasi nilai
heritabilitas individu (h2i) untuk tinggi sebesar 0,34 (tinggi) dan untuk diameter sebesar 0,24
(sedang), sedangkan nilai heritabilitas famili (h2f) untuk pertumbuhan tinggi sebesar 0,56
(sedang) dan untuk diameter sebesar 0,47 (sedang). Nilai heritabilitas yang berada dalam
kategori sedang-tinggi tersebut mengindikasikan pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman
tembesu dikontrol kuat oleh faktor genetik, sehingga peningkatan produktifitas akan
ditingkatkan maksimal dengan melakukan seleksi tanaman secara individu.
Parameter genetik lain yang bisa dihitung dari plot tanaman uji keturunan adalah nilai
perolehan genetik harapan. Perolehan genetik diartikan sebagai nilai harapan peningkatan
produktifitas tanaman nantinya bilamana dilakukan seleksi (pengurangan family). Semakin kecil
nilai intensitas seleksi dan semakin kecil jumlah family yang tersisa, maka peningkatan
produktifitas diharapkan semakin besar, dan sebaliknya. Hasil simulasi seleksi sebesar 25%
(tersisa 14 family terbaik dari total 55 family) maka peningkatan diameter akan didapatkan
sebesar 5,13% dan peningkatan tinggi sebesar 5,9%. Sedangkan jika dilakukan seleksi sebesar
50% (tersisa 27 family terbaik dari total 55 family) maka peningkatan diameter akan sebesar
3,22% dan peningkatan tinggi sebesar 3,72%. Persentase peningkatan produktifitas ini
merupakan peningkatan harapan terhadap nilai rerata umum tinggi dan diameter tanaman dari
total tanaman uji keturunan. Peningkatan produktifitas yang sesungguhnya (realized genetic
gain) dapat diperoleh jika dalam suatu lahan yang sama diujikan antara tanaman hasil seleksi
14 dan 27 family dengan tanaman hasil dari benih asalan atau dari sumber benih level bawah
(TBT, TBTs, APB).
Pertumbuhan dan nilai parameter genetik pada tanaman uji keturunan tembesu di atas
merupakan evaluasi awal karena baru berumur 1,7 tahun sehingga masih perlu pemantauan
pengukuran pertumbuhan secara periodik seiring dengan bertambahnya umur tanaman.
Namun demikian, hasil evaluasi awal ini memberikan gambaran bahwa program pemuliaan
pohon melalui pemapanan tanaman uji keturunan yang nantinya dapat dikonversi menjadi
sumber benih mempunyai andil dalam peningkatan produktifitas tanaman. Sumber benih ini
baru bisa dimanfaatkan pada periode umur 5-6 tahun pada saat tanaman tembesu mulai
berbuah (Martawijaya et al., 2005). Penggunaan benih unggul tembesu baru bisa dilakukan 3-4
tahun yang akan datang, sehingga diperlukan alternatif sumber benih pengganti sambil
menunggu sumber benih KBS ini berbuah. Strategi alternatif pendekatan yang dapat dilakukan
untuk penggunaan “benih bermutu” adalah melalui penerapan Low Input Tree Improvement
yaitu berupa penerapan prinsip-prinsip dasar pemuliaan dalam pemilihan sumber benih/pohon
benih yaitu:
a. Benih diambil dari suatu lahan yang terdapat beberapa pohon tembesu yang tumbuh secara
berkelompok.
b. Pohon tembesu yang tumbuh sendiri (soliter) tetap dapat menghasilkan buah, tetapi
berdampak pada terjadinya depresi akibat dari adanya perkawinan sendiri (inbreeding).
Keller dan Waller (2002) mengemukakan bahwa inbreeding dapat menyebabkan depresi
dalam bentuk penurunan set benih, perkecambahan, daya hidup kecambah dan penurunan
ketahanan terhadap stress.
122
Aspek Silvikultur
c. Secara spesifik benih diambil dari beberapa pohon induk yang mempunyai penampilan
superior yang dapat diketahui melalui ukuran tinggi, diameter, batang bebas cabang, dan
bentuk batang yang lebih baik bila dibandingkan dengan rerata keseluruhan pohon yang ada.
d. Sebagian besar pohon penyusun suatu lahan berbunga dan berbuah serempak dan bisa
berpeluang untuk saling melakukan penyerbukan.
Peningkatan produktifitas lebih lanjut dapat ditingkatkan dengan penggunaan materi
klon hasil perbanyakan vegetatif untuk pertanaman massal. Penggunaan klon dalam
pembangunan hutan tanaman (perhutanan klon) sudah banyak dilakukan seperti pada
beberapa jenis Eucalyptus (Duncan et al., 2000; Bentzer, 1993; Ohba, 1993; Zsuffa et al., 1993).
Salah satu tujuan perhutanan klon adalah perolehan peningkatan produktifitas yang cepat
karena potensi genetik anak/klon yang identik (sama) dengan induknya (White et al., 2007).
Simulasi sederhana berhubungan dengan peningkatan produktifitas tanaman tembesu
bilamana menggunakan perhutanan klon dapat dilakukan pada tanaman uji keturunan
tembesu. Tanaman uji keturunan tembesu mempunyai total data tanaman sebanyak 1.023
tanaman. Rangking 40 individu terbaik (seleksi 3,91%) mempunyai rerata pertumbuhan tinggi
sebesar 3,26 m (riap 1,92 m/tahun) dan rerata pertumbuhan diameter sebesar 7,8 cm (riap
4,59 cm/tahun). Apabila potensi genetik tanaman klon adalah sama dengan induknya, dan
perhutanan klon menggunakan materi dari 40 klon terbaik, maka terjadi peningkatan
produktifitas tinggi tanaman sebesar 28% dan diameter tanaman sebesar 66,67%. Sedangkan
jika di bandingkan dengan tanaman tembesu yang terdapat di kebun masyarakat maka terjadi
peningkatan produktifitas diameter tanaman sebesar 200% dan peningkatan produktifitas
tinggi tanaman sebesar 37,14% dengan asumsi riap tanaman hutan rakyat sebesar 1,5
cm/tahun untuk diameter dan 1,4 m/tahun untuk tinggi.
Pembangunan perhutanan klon pada tanaman tembesu mempunyai potensi yang
sangat strategis untuk dikembangkan dengan beberapa dukungan potensi yang ada yaitu: 1).
Tanaman tembesu mempunyai produksi pertunasan (sprouting ability) yang sangat tinggi, 2).
Pertunasan tumbuh secara alamiah pada bagian batang yang terkena cahaya matahari
langsung, batang bekas kebakaran ataupun pada batang yang di potong, 3). Pembiakan
vegetatif stek batang dengan teknologi sungkup sederhana dan aplikasi Zat Pengatur Tumbuh
yang mempunyai kandungan bahan aktif 1 Naphathalene acetamide: 0,067%, 2 Methyl – 1 –
Naphthalene acetic acid: 0,033%, 2 Methyl – 1 – Naphathalene acetamide: 0,013%, Indole – 3 –
Butyricacid: 0,057%, Thiram: 4%, Inert Ingredient: 95,33%; yang banyak tersedia di pasaran
sudah mampu memberikan persentase hidup tanaman yang tinggi yaitu 89,17% (Sofyan dan
Muslimin, 2006).
VI. PENUTUP
Budidaya tanaman tembesu dalam bentuk hutan tanaman mempunyai peluang yang
sangat besar untuk dikembangkan. Kompetisi dalam budidaya tanaman tembesu secara
ekonomis menguntungkan dibandingkan usaha budidaya tanaman perkebunan lainnya apabila
mempunyai riap diameter 2,5 cm/tahun. teknik silvikultur tembesu mulai dari pembibitan,
penanaman, pemeliharaan, pemupukan, pemangkasan, penjarangan, penggunaan sumber
benih dan penggunaan materi klonal ternyata mampu meningkatkan produktifitas tanaman
tembesu secara signifikan. Keterpaduan keseluruhan teknik silvikultur dan penggunaan benih
unggul dari sumber benih dalam peningkatan produktifitas pembangunan hutan tanaman
tembesu diyakinkan dapat menghasilkan tanaman tembesu yang mempunyai produktifitas
tinggi dan dapat bersaing dengan usaha budidaya tanaman lainnya.
123
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Balai Perbenihan Tanaman Hutan Sumatera. 2012. Buku Informasi Sumber Benih Tanaman
Hutan Wiyaha Regional Sumatera. Kementerian Kehutanan. Direktorat Jenderal Bina
PDAS dan Perhutanan Sosial. Tidak dipublikasikan.
Bentzer, E.G. 1993. Strategies for clonal forestry with Norway spruce. In: Ahuja, M.R. and Libby,
W.J. (eds.) Clonal Forestry II: Conservation and Application. Springer-Verlag. New York,
NY, pp. 120-138.
CABI. 2014. Full Datasheet: Fagraea fragrans. http://www.cabi.org.ezproxy.ugm.ac.id/
fc/datasheet/23866. Di akses tanggal 10 Nopember 2014.
Daniel T. W, J.A. Helms dan F.S. Baker. 1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur (Terjemahan). Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Duncan, E.A., F. van-Deventer, J. E. Kietzka, R. C. Lindley and N. P. Denison. 2000. The applied
subtropical Eucalyptus clonal programme in Mondi forests, Zululand coastal region. In:
Proceedings of the International Union of Forest Research Organizations (IUFRO)
Working Party, Forest Genetics for the NextMillinnium. Durban, South Africa, pp. 95-97.
Junaidah, A. H. Lukman, D. Prakosa dan Nasrun. 2010. Teknik Silvikultur Tembesu (Fagraea
fragrans Roxb.). Laporan Hasil Penelitian 2009. BPK Palembang. Tidak dipublikasikan.
Keller, L.F., dan D.M. Waller. 2002. Inbreeding effects in wild populations. Trend in ecologi and
Evolution 17: 230 – 241.
Kosasih, A.S. 2002. Petunjuk Teknis Pemeliharaan dan Perlindungan pada introduksi Jenis
Pohon Hutan. Info Hutan No. 151. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam. Bogor.
Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara, W. C. Wong. 1995. Plant Resources of South-East Asia 5. (2)
Timber trees: Minor commercial timber. PROSEA. Bogor Indonesia.
Lukman, A. H., A. Sofyan. 2014. Budidaya Tanaman Tembesu. Bunga Rampai: Tembesu Kayu
Raja Andalan Sumatera. Forda Press. Bogor.
Lukman, A.H., A. Sofyan, Junaedah dan R. Effendi. 2010. Pengaruh Pemangkasan terhadap
Petumbuhan Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) pada Dua Jarak Tanam Berbeda.
Prosiding Seminar Nasional. Kontribusi Litbang dalam Peningkatan Produktifitas dan
Kelestarian Hutan. Bogor, 29 November 2010. Pusat Litbang Peningkatan Produktifitas
Hutan. Bogor.
Lukman, A.H., A. Sofyan, Kusdi dan T.R. Saepuloh. 2005. Laporan Teknologi Silvikultur Tanaman
Jenis-Jenis Prioritas. Laporan Proyek Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman
Kawasan Barat Indonesia Tahun Anggaran 2004. Palembang. Tidak dipublikasikan.
Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y. I. Mandang, S. A. Prawira, K. Kadir. 2005. Atlas Kayu
Indonesia. Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen
Kehutanan.
Martin, E., B. T. Premono. 2014. Upaya komoditisasi Tembesu Dalam Perspektif Sosial Budidaya
Petani dan Pasar. Bunga Rampai: Tembesu Kayu Raja Andalan Sumatera. Forda Press.
Bogor.
Martin, E., dan A. Sofyan. 2001. Perangsangan pertumbuhan tembesu (Fagraea fragrans)
dengan pengaturan intensitas naungan dan pemupukan di persemaian. Prosiding
Ekspose hasil-hasil Penelitian. Palembang, 12 November 2001. Balai Teknologi Reboisasi
Palembang.
124
Aspek Silvikultur
Ohba, K. 1993. Clonal forestry with sugi (Cryptomeria japonica). In: Ahuja, M.R. and Libby,
WJ.(eds.) Clonal Forestry II: Conservation and Application. Springer-Verlag, New York,
NY, pp. 66-90.
Sahwalita. 2014. Sifat Dasar dan Pemanfaatan Kayu Tembesu. Bunga Rampai: Tembesu Kayu
Raja Andalan Sumatera. Forda Press. Bogor.
Sofyan, A., A. H. Lukman, Nasrun. 2011. Teknik Budidaya Tembesu. Laporan Hasil Penelitian
Tahun 2011. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Tidak di publikasikan.
Sofyan, A., A.H. Lukman dan N. Sagala. 2013a. Laporan Hasil Penelitian Teknik Silvikultur Jenis
Tembesu. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Tidak dipublikasikan.
Sofyan, A., A.H. Lukman, Junaidah dan N. Sagala. 2013b. Peningkatan Riap Pertumbuhan
Tanaman Tembesu Melelui Beberapa Perlakuan Silvikultur. Prosiding ‘Integrasi IPTEK
dalam Kebijakan dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan.Seminar
Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang 2 Oktober 2013.
Kementerian Kehutanan. Pusat Penelitian Peningkatan Produktifitas Hutan. Bogor.
Sofyan, A., I. Muslimin, S. Islam. 2014. Laporan Hasil Penelitian “Pembangunan Sumber Benih
Tembesu”. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Kementerian Kehutanan. Tidak
dipublikasikan.
Sofyan, A., I. Muslimin. 2006. Pengaruh Asal Bahan dan Media Stek Terhadap Pertumbuhan
Stek Batang Tembesu (Fagraea fragrans Roxb). Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian
“Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan”. Palembang, 20 September 2006. Balai
Litbang Hutan Tanaman Palembang. Departemen Kehutanan. Puslitbang Hutan
Tanaman. Bogor.
Sumadi, A., dan T.R. Saepuloh. 2011. Pertumbuhan tembesu pada pola campuran dengan karet
di hutan rakyat. Prosiding Seminar Introduksi Tanaman Penghasil Kayu pertukangan di
Lahan Masyarakat melalui Pembangunan Hutan Tanaman Pola Campuran. Musi Rawas,
13 Juli 2011. Puslitang Peningkatan Produktifitas Hutan, Bogor.
Sumadi, A., H. Siahaan. 2014. Potensi dan Pertumbuhan Tembesu Dalam Pengelolaan Hutan
Rakyat. Bunga Rampai: Tembesu Kayu Raja Andalan Sumatera. Forda Press. Bogor.
White, T. L., W. T. Adams, D. B. Neale. 2007. Forest Genetics. CABI Publishing. London UK.
Zobel, B.J. dan J. T. Talbert. 1984. Appplied Forest Tree Improvement. John Willey and Sons. Inc.
New York.
Zsuffa, L., L. S. Forsse, H. Weisgerber and R. B. Hall. 1993. Strategies for clonal forestry with
poplars, aspens, and willows. In: Ahuja, M.R. and Libby, W.J. (eds.) Clonal Forestry II:
Conservation and Application. Springer-Verlag, New York, NY, pp. 91-119.
125
Aspek Silvikultur
ABSTRAK
Salah satu tugas KPH adalah mengelola kawasan hutan. Pengelolaan kawasan hutan membutuhkan
perencanaan dan proyeksi usaha yang akan dikembangkannya. Balai Penelitian Kehutanan Palembang
telah melakukan penelitian terhadap jenis-jenis pohon yang memiliki potensi ekonomi untuk
dikembangkan menjadi unit usaha KPH. Untuk memudahkan perencanaan usaha KPH disusunlah suatu
pemodelan sistem dinamis dengan menggunakan perangkat komputer berupa program stella. Program
ini dapat digunakan untuk mensimulasikan berbagai unit usaha yang akan dikembangkan oleh KPH
dengan mudah dan simpel. Tulisan ini bertujuan memberikan gambaran bentuk program simulasi
perencanaan usaha KPH bagi pengelola KPH. Program yang terbentuk dapat memproyeksikan
kebutuhan biaya dan pendapatan yang akan diperoleh oleh KPH dalam merencanakan usahanya.
Kata kunci: KPH, unit usaha, perencanaan, simulasi
I. PENDAHULUAN
Organisasi KPH memiliki tugas dan fungsi menyelenggarakan pengelolaan hutan berupa
tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan di wilayah
tertentu. Dalam rangka menyusun rencana pengelolaan hutan KPH wajib menyusun Rencana
Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHPJP), rencana pengelolaan hutan jangka pendek dan
rencana bisnis. Dalam menyusun rencana bisnis KPH dapat memanfaatkan wilayah hutan untuk
mengembangkan unit usahanya. Unit usaha KPH dapat berupa pembangunan hutan dengan
jenis-jenis yang memiliki nilai ekonomi. Balai Penelitian Kehutanan Palembang telah melakukan
penelitian terhadap jenis-jenis pohon yang memiliki potensi ekonomi untuk dikembangkan
dalam unit usaha KPH.
Dalam rangka memudahkan perencanaan pengusahaan KPH serta memproyeksikan
hasil usaha dari pemanfaatan lahan maka kami mencoba menyusun tool/program komputer
yang simpel, mudah dan aplikatif yang dapat digunakan untuk memproyeksikan rencana usaha
yang akan dikembangkan oleh KPH. Program ini diharapkan dapat membantu pengelola KPH
dalam mengambil keputusan untuk memilih pola pengembangan usaha yang akan dijalankan.
127
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Analisis sistem adalah aplikasi yang bersifat paling langsung dari metode ilmiah untuk
suatu masalah yang mencakup sistem yang kompleks. Analisis sistem merupakan kesatuan dari
teori-teori dan teknik untuk mempelajari, menggambarkan, dan membuat prediksi tentang
sesuatu yang kompleks yang besarnya dicirikan dengan penggunaan prosedur-prosedur
matematis dan statistik serta penggunaan komputer (Grant et al., 1997). Lebih lanjut Grant
et al. (1997) mengemukakan analisis sistem merupakan pendekatan filosofis sekaligus
kumpulan teknik termasuk simulasi. Dalam pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan
tahapan kerja yang sistematis (Hartrisari, 2007). Analisis sistem menekankan pendekatan
holistik pada pemecahan masalah dan penggunaan model matematis untuk mengidentifikasi
dan mensimulasikan karakter-karakter dalam sistem yang kompleks.
Simulasi menurut Patten (1971) dalam Grant et al. (1997) adalah suatu proses
penggunaan model untuk meniru atau mengambarkan secara bertahap perilaku sistem yang
dipelajari. Model simulasi terbentuk dari susunan operasi matematik dan logika yang bersama-
sama mewakili struktur keadaan dan perilaku perubahan keadaan dari ruang lingkup sistem.
Simulasi merupakan suatu teknik meniru operasi-operasi atau proses- proses yang terjadi
dalam suatu sistem dengan bantuan perangkat komputer dan dilandasi oleh beberapa asumsi
tertentu sehingga sistem tersebut bisa dipelajari secara ilmiah (Law and Kelton, 1991).
Pemodelan sistem dinamik lebih dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman umum sistem
yang diamati serta lebih berorientasi pada proses daria pada hasil pemodelan (Widodo L.,
2005).
Model dinamik memerlukan diagram yang menggambarkan saling keterkaitan antar
variabel yang merupakan komunikasi sifat dasar model. Terdapat beberapa simbol standar yang
digunakan untuk diagram alir model dinamik (Sushil, 1993), adalah sebagai berikut:
Simbol yang pertama yaitu level. Level adalah suatu besaran (quantity) yang
berakumulasi terhadap waktu. Level menyatakan kondisi sistem pada setiap saat. Level
ditunjukkan dengan simbol segi empat, seperti terlihat pada Gambar 1. Kepala panah
menunjukkan arah aliran ke dan dari level.
LEVEL
Simbol berikutnya adalah rate. Rate merupakan suatu aktivitas, atau pergerakan
(movement), atau aliran yang berkontribusi terhadap perubahan per satuan waktu dalam suatu
level dan juga menunjukkan aliran yang dikendalikan dan input informasi (hanya informasi yang
berperan penting ke dalam fungsi keputusan atau persamaan rate) yang menentukan aliran
rate. Rate berfungsi sebagai katup dalam saluran aliran seperti pada Gambar 2.
Simbol ketiga yaitu auxilliary. Auxilliary merupakan konsep yang membagi-bagi fungsi
keputusan dan berfungsi menyederhanakan hubungan informasi antara variabel level dan
variabel rate. Variabel auxiliary terlihat pada Gambar 3.
128
Aspek Silvikultur
Simbol keempat adalah constant. Constant digambarkan dengan simbol dengan suatu
titik awal informasi, seperti terlihat pada Gambar 4.
129
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
L peremajaan bambang
L Bambang 1 thn L Bambang 2 thn L Bambang 3 thn L Bambang 6 thn L Bambang 7 thn
L Bambang 4 thn L Bambang 5 thn L Bambang 8 thn
L Tanam bambang
L Bambang 14 thn Noname 53
L Bambang 15 thn L Bambang 13 thn L Bambang 12 thn L Bambang 11 thn L Bambang 10 thn L Bambang 9 thn
Luas B thn 10
Luas B thn 4
Tebang 10 th Tebang 11 thn
Luas B thn 8
Luas B thn 7 Luas B thn 6
Gambar 6. Struktur diagram alir sub model luasan usaha bambang lanang
Sub Model Potensi
Vol 1 thn Vol 2 thn Vol 5 thn Vol 7 thn Vol 8 thn
Vol 3 thn Vol 4 thn Vol 6 thn
L Bambang 15 thn L Bambang 14 thn L Bambang 12 thn L Bambang 11 thn L Bambang 10 thn Tebang 11 thn
L Bambang 13 thn Tebang 10 th
Potensi B thn 10
Tebang 12 th
Tebang 13 th
Potensi B thn 14
Vol 15 thn Tebang 15
Vol 14 thn Vol 13 thn Vol 12 thn
Vol 11 thn
L Bambang 1 thn
L Bambang 4 thn
L Bambang 2 thn
Pelihar B 4 th
Biay a tebang Biay a budiday a Bambang
Pelihar B 1 th
Biay a total bambang
Pelihar B 2 th Biay a B umur 4 thn
L Bambang 3 thn Biay a B umur 1 thn
Faktor Ekploitasi
Biay a B umur 2 thn L Bambang 5 thn
Pelihar B 5 th
keuntungan bamabng
Biay a B umur 3 thn Borong tebang log
Vol Teb Bambang
Peremaajn Bambang
Pendapatan Bambang
Biay a B 1 sd 5 thn
Biay a Buka lahan dan tanam B
Buka lahan dan Tanam Bambang Peremajaan Jabon Biay a Peremajaan Bambang
usaha gaharu, menu unit usaha bambang lanang, menu unit usaha kayu bawang, menu unit
usaha jabon, menu biaya KPH, menu biaya dan pendapatan KPH serta menu analisis finansial
KPH. Bentuk tampilan progran pada tiap menunya akan diuraikan sebagi berikut.
1. Menu Utama
Tampilan program ini terdapat delapan menu meliputi menu unit usaha karet, unit
usaha gaharu, unit usaha bambang, unit usaha kayu bawang, unit usaha jabon, biaya KPH,
proyeksi biaya dan pendapatan KPH dan menu analisis finansial KPH (Gambar 9).
Pada menu unit usaha karet memberikan informasi produksi karet kering dan informasi
biaya serta pendapatan usaha karet yang akan diperoleh oleh KPH sesuai dengan input yang
131
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
dimasukkan pada menu sebelumnya (Gambar 11). Pada menu ini juga memberikan informasi
besarnya bagi hasil pengusahaan karet kepada masyarakat sekitar hutan serta informasi jumlah
KK yang dapat terlibat dalam pengelolaan unit usaha karet ini (Gambar 12).
Gambar 12. Menu proyeksi biaya dan pendapatan unit usaha karet
132
Aspek Silvikultur
Gambar 15. Menu proyeksi biaya dan pendapatan unit usaha gaharu
133
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
134
Aspek Silvikultur
Gambar 20. Menu proyeksi produksi, biaya dan pendapatan usaha kayu bawang
135
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Gambar 22. Menu proyeksi produksi, biaya dan pendapatan usaha jabon
136
Aspek Silvikultur
137
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
KESIMPULAN
Program simulasi perencanaan usaha ini merupakan program komputer yang dapat
digunakan oleh pengelola KPH dalam merencanakan jenis usaha di wilayah kerjanya. Program
ini dapat diaplikasikan dalam memproyeksikan biaya yang dibutuhkan dan pendapatan yang
akan diterima oleh KPH. Pada kesempatan kali ini kami menyajikan simulasi usaha budidaya 5
jenis tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem Maningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press. Bogor.
Grant, E., K. P. Ellen and S. L. Sandra 1997. Ecology and Natural Resource Management, System
Analysis and Simulation. John Willley & Son, Inc. Toronto.
Hartrisari, 2007. Sistem Dinamik: Konsep Sistem Untuk Industri Dan Lingkungan. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Law, A.M. andW.D. Kelton. 1991. Simulation Modeling and Analysis. 2nd ed. New York:
McGraw- Hill.
Purnomo, 2005. Teori Sistem Kompleks, Pemodelan dan Simulasi Untuk Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Fakultas Kehutanan. Institiut Pertanian Bogor.
Sushil.1993. System Dynamics: A Practical Approach for Managerial Problems. New Delhi:
Willey Eastern Ltd.
Walukow, A. F. 2012. Analisis Kebijakan Penurunan Luas Hutan di Daerah Aliran Sungai Sentani
Berwawasan Lingkungan. Jurnal Manusia dan Lingkungan Hidup. Vol. 19, No.1, Maret.
2012: 74- 84.
Widodo L. 2005. Kecenderungan Reklamasi Wilayah Pantai dengan Pendekatan Model Dinamik.
Jurnal Tek. Lingkungan. P3TL-BPPT.6.(1) : 330-338.
138
Aspek Silvikultur
Nurmawati Siregar
Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
ABSTRAK
Jabon (Anthocepalus cadamba) merupakan salah satu jenis penghasil energi terbarukan yang
mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan dalam kegiatan pembangunan hutan tanaman.
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan untuk pengembangan jenis-jenis ini adalah
ketersediaan bibit bermutu. Bibit bermutu dapat diperoleh dari perbanyakan generatif (biji) dan
vegetatif (setek). Penerapan perbanyakan vegetatif dengan cara setek dalam kegiatan produksi bibit
dilakukan dalam rangka untuk mendapatkan bibit yang memiliki sifat genetik yang sama dengan
tanaman induknya. Teknik perbanyakan vegetatif dengan cara setek adalah teknik yang tidak
memerlukan alat khusus, dengan cara yang sederhana dapat diproduksi bibit bermutu dalam jumlah
yang cukup dan tepat waktu serta tidak tergantung musim. Bahan setek merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan setek, oleh karena itu dilakukan penelitian terhadap pengaruh bahan
setek terhadap pertumbuhan setek jabon. Bahan setek yang digunakan terdiri dari setek pucuk (tanpa
daun) dan setek pucuk (mempunyai daun). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tunas setek mulai
tumbuh sekitar 2 - 3 minggu setelah tanam dan akar mulai tumbuh sekitar 3 - 4 minggu setelah tanam.
Persen tumbuh setek pucuk sekitar 90,5% dan setek batang sekitar 83,2% pada umur 3 bulan setelah
tanam.
Kata kunci: jabon, setek
I. PENDAHULUAN
A. Jabon (Anthocepalus cadamba)
Jabon penyebaran terdapat di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa tenggara dan Papua.
Umumnya tumbuh pada tanah alluvial di pinggir sungai dan di daerah peralihan antara tanah
rawa dan tanah kering yang kadang-kadang digenangi air. Selain itu juga tumbuh dengan baik
pada tanah liat, tanah lempung, podsolik coklat, tanah tuf halus atau tanah lempung berbatu
yang tidak sarang. Jenis ini memerlukan iklim basah hingga kemarau kering dengan tipe curah
hujan A dan D, mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 1.000 m dari permukaan laut
(Martawijaya et al., 1989)
B. Habitus
Jabon adalah jenis pohon yang memerlukan cahaya (light-demander), tanaman pioner
yang cepat tumbuh dan umumnya terdapat pada hutan sekunder. Bentuk tajuk seperti payung
dengan sistem percabangan melingkar. Batang lurus dan silindris, berwarna kelabu-coklat
sampai coklat, sedikit beralur dangkal. Kayunya berwarna putih krem sampai sawo kemerah-
merahan, mudah diolah, lunak dan ringan. Bunga jingga berukuran kecil, berkelopak rapat,
berbentuk bulat.
Buahnya merupakan buah majemuk berbentuk bulat dan lunak, mengandung biji yang
sangat halus Jabon berbuah setahun sekali. Musim berbungan pada bulan Januari-Maret dan
buah masak pada bulan Maret-April dengan jumlah buah per kg 33 buah dan jumlah kecambah
sebesar 314 kecambah per 0,1 gram atau sekita 900 000-2 700 000 seeds/kg. Biji bisa tahan
simpan sampai 18 bulan (Soerianegara dan Lemmens, 1994).
139
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
C. Prospek Jabon
Jabon mempunyai nilai kalor sebesar 4.731 cal/g (Rostiawati et al., 2006), oleh karena
itu jenis ini mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai sumber alternatif penghasil
energi terbarukan.
Jabon termasuk jenis serbaguna karena kayu dan non kayunya (kulit batang, daun dan
bunga) mempunyai beberapa manfaat. Kayunya biasanya untuk dibuat furniture kayu lapis,
korek api, alas sepatu, peti, dan bahan kertas. Disamping itu, jabon juga termasuk tanaman
obat karena ekstrak kulit batang dan daun sebagai antioxidant, antimikroba, nematicida, diare,
tonik, obat kumur, obat kusta, kulit dan mata. (Martawijaya et al., 1989).
Kayu jabon berwarna putih krem sampai sawo kemerah-merahan, mudah diolah, lunak
dan ringan. Tekstur kayu agak halus sampai agak kasar, arah serat lurus, kadang-kadang agak
berpadu serta permukaan licin atau agak licin dan agak mengkilap (Soerianegara dan Lemmens,
1994), oleh karena itu jabon mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan.
Salah faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan hutan tanaman jenis jabon
adalah pengadaan bibit. Pengadaan bibit dapat dilakukan secara generatif (biji) dan vegetatif
(setek, cangkok dan okulasi). Namun pengadaan bibit secara generatif dengan biji relatif
mudah dilakukan, akan tetapi kelemahan cara ini relatif mempunyai kelemahan karena tegakan
yang dihasilkan relatif tidak seragam, oleh karena itu untuk mendapatkan tegakan yang relatif
seragam, maka pengadaan bibit secara vegetatif dengan setek merupakan salah satu alternatif.
140
Aspek Silvikultur
dan Haber, 1976; Rochiman dan Harjadi, 1973, David at al., 1988 dan Hartmann et al., 2007).
Fluktuasi suhu, kelembaban dan intensitas cahaya antara siang dan malam dapat dikendalikan
dengan menggunakan Rumah Tumbuh.
141
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
142
Aspek Silvikultur
Minggu kedua dibuka selama 4 jam dari jam 800-1200 kemudian sungkup ditutup kembali.
Minggu ke tiga sungkup dibuka selama 6 jam dari jam 8 00-1400 kemudian sungkup ditutup
kembali. Minggu ke empat sungkup dibuka tanpa ditutup kembali.
5. Pertumbuhan Setek Jabon
Tunas setek jabon mulai tumbuh sekitar 2 - 3 minggu setelah tanam Akar mulai tumbuh
sekitar 3 - 4 minggu setelah tanam. Persen tumbuh setek pucuk mencapai 90,5% dan persen
tumbuh setek batang sekitar 83,2% pada umur 3 bulan setelah tanam
6. Penyapihan Setek
Penyapihan bibit asal setek ke polibag dilakukan 2-3 bulan setelah akar dan tunas tumbuh.
Bibit tersebut ditempat di persemaian dan dilakukan pemeliharaan sampai bibit dengan bibit
siap ditanam di lapangan.
IV. PENUTUP
Jabon dapat diperbanyak secara vegetatif, bahan setek terdiri dari setek batang dan
setek pucuk. Tunas setek mulai tumbuh sekitar 2 - 3 minggu setelah tanam dan akar mulai
tumbuh sekitar 3 - 4 minggu setelah tanam. Persen tumbuh setek pucuk sekitar 90,5% dan
setek batang sekitar 83,2% pada umur 3 bulan setelah tanam.
DAFTAR PUSTAKA
Danu, A.A. Pramono, N. Siregar, 2006. Atlas Benih Jilid VI. Perbanyakan Vegetatif Beberapa
Jenis Tanaman Hutan. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor.
Davis, T.D, B.E. Haissig and N.Sankhla. 1988. Adventitious Root Formation Cuttings. Dioscorides
Press. Oregon.
Hanum, I.H. and L.J.G. van der Maesen. Plant Resources of South East Asia. No 11. Auxiliary
Plants. PROSEA. Bogor
Hartmann, H.T., D.E. Kester and F.T. Davies, R.L. Geneve. 1997. Plant Propagation: Principles
and Practices. Edisi VI. Prentice Hall. Englewood Cliffs. New Jersey
Mahlstede, J.P and E.S. Haber. 1976. Plant Propagation. John Wiley and Sons Inc. New York.
413 p.
Rochiman, K dan Harjadi.SS. 1973. Pembiakan Vegetatif. Departemen Agronomi. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rostiwati, T, Y. Haryati dan S. Bustomi. 2006. Review Hasil Litgbang Kayu Energi dan
turunannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutan.
Martawijaya, A. I. Kartasujana, Y.I. Mandang, SA. Prawira dan K. Kadir. 1989. Atlas Kayu
Indonesia. Volume II. Departemen Kehutanan. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.
Soerianegara, I dan R.H.M.J. Lemmens. 1994. Plant Resources of South East Asia. No 5 (1).
Timber Tress: Major commercial Timbers. Bogor.
Zobel, B. 1983. Vegetatif Propagation in Eucalyptus. 19 th Meeting of The Canadian Tree
Improvement Association, August 22-26,1983. Toronto, Ontario.
143
Aspek Silvikultur
PENGGUNAAN SERBUK SABUT KELAPA DAN ARANG SEKAM PADI DALAM PEMBIBITAN
BAMBANG LANANG (Michelia champaca L.)
ABSTRAK
Kebutuhan bahan baku kayu dari tahun ke tahun semakin meningkat sementara produksi kayu semakin
menurun. Tanaman bambang lanang (Michelia champaca L.) merupakan jenis alternatif prioritas dalam
pembangunan hutan tanaman penghasil kayu. Untuk menghasilkan tegakan yang baik diperlukan bibit
yang bermutu. Media yang kaya dengan bahan organik dan unsur hara merupakan salah satu yang
diperlukan tanaman untuk menghasilkan bibit yang bermutu. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui efektivitas bahan pencampur serbuk sabut kelapa dan arang sekam padi dalam pembibitan
tanaman bambang lanang. Benih bambang lanang dikumpulkan dari Lahat, Sumatera Selatan. Media
yang digunakan adalah tanah top soil, tanah sub soil, tanah sub soil ditambah bahan pencampur serbuk
sabut kelapa dan arang sekam padi dengan intensitas naungan 55%. Rancangan yang digunakan adalah
Rancangan acak kelompok terdiri dari 3 ulangan masing- masing 50 bibit. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa media tanah subsoil ditambah serbuk sabut kelapa sebanyak 30% dan arang sekam padi
sebanyak 10% dapat menghasilkan persen batang berkayu tertinggi yaitu sebesar 46,28%.
Kata kunci: media, bibit, bambang lanang
I. PENDAHULUAN
Kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan kayu dari tahun ke tahun selalu
mengalami peningkatan, di pihak lain pasokan bahan baku dari hutan alam produksi semakin
menurun, sehingga akibatnya terjadi kekurangan bahan baku terutama untuk industri
pengolahan kayu. Oleh karena itu perlu dilakukan pembangunan dan pengembangan hutan
tanaman penghasil kayu pertukangan. Tanaman bambang lanang (Michelia champaca L.)
merupakan jenis alternatif prioritas dalam pembangunan hutan tanaman penghasil kayu
pertukangan (Effendi, 2009). Bambang lanang termasuk family Sapotaceae merupakan salah
satu jenis pohon andalan lokal di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Jenis ini tergolong
tanaman cepat tumbuh, kayunya kuat, lurus, awet, dan mudah dikerjakan, sehingga sejak lama
sudah digunakan sebagai bahan bangunan oleh masyarakat setempat (Siahaan dan Saepuloh,
2007).
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan hutan tanaman jenis
ini adalah tersedianya bibit bermutu dalam jumlah yang cukup dan tepat waktu. Untuk
menghasilkan bibit yang bermutu diantaranya diperlukan media yang kaya dengan bahan
organik dan mempunyai unsur hara yang diperlukan tanaman serta naungan (Durahim dan
Hendromono, 2001; Siahaan et al., 2006).
Umumnya media yang digunakan untuk pembibitan di persemain berasal dari top soil.
Namun pengambilan top soil dalam jumlah besar dapat berdampak negatif bagi ekosistem di
areal tersebut (Hendromono dan Durahim, 2004). Untuk itu dibutuhkan bahan campuran
media alternatif yang baik. Serbuk sabut kelapa (cocopeat) dan arang sekam padi (biocharcoal)
dapat digunakan sebagai bahan pencampur media persemaian. Biocharcoal berfungsi sebagai
pembenah tanah dan manager nutrisi yang baik (Lehmann et al., 2006). Pemberian arang
sekam pada media tumbuh akan menguntungkan karena dapat memperbaiki sifat tanah di
antaranya adalah mengefektifkan pemupukan karena selain memperbaiki sifat fisik tanah
145
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
(porositas dan aerasi), arang sekam juga berfungsi sebagai pengikat hara (ketika kelebihan
hara) yang dapat digunakan tanaman ketika kekurangan hara, hara dilepas secara perlahan
sesuai kebutuhan tanaman/slow release (Komarayati et al., 2003). Serbuk sabut kelapa memiliki
pH 5,7 -6,5 dan kapasitas tukar kation yang tinggi serta memiliki daya simpan air yang tinggi,
sehingga subtrat ini dapat digunakan sebagai bahan pencampur media tanah (Mason, 2003).
Berdasarkan informasi di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang penggunaan
bahan pencampur media untuk pembibitan tanaman bambang lanang yang efektif dan ramah
lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan serbuk sabut
kelapa dan arang sekam padi sebagai bahan pencampur media pembibitan tanaman bambang
lanang.
146
Aspek Silvikultur
digunakan untuk menghitung TR ratio yaitu perbandingan antara panjang batang atas
dengan panjang akar. Masing-masing batang dan akar tersebut kemudian dikeringkan
dalam oven pada suhu 103±3oC selama 24 jam. Biomassa merupakan jumlah berat kering
akar dan berat kering batang. Penghitungan indeks mutu bibit menggunakan cara Dickson
(1960) dalam Hendromono (1994) dengan rumus:
bobot kering batang g + bobot kering akar (g)
Indek Mutu Bibit =
tinggi bibit (cm) bobot kering batang (g)
+
diamater bibit (mm) bobot kering akar (g)
Perhitungan indek mutu bibit menggunakan skor antara 1-10. Skor tertinggi menunjukkan
IMB terbaik.
c. Persen bibit berkayu dihitung berdasarkan rumus:
tinggi bibit yang sudah berkayu
Persen bibit berkayu = x 100%
tinggi total bibit
D. Analisis Data
Data hasil pengamatan kemudian dianalisis berdasarkan analisis ragam. Apabila hasil
analisis uji-F menunjukkan perbedaan diantara perlakuan yang diujikan, maka dilanjutkan
dengan uji jarak berganda Duncan.
147
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tabel 2. Hasil uji beda pengaruh komposisi media terhadap pertumbuhan tinggi, diamater,
persen bibit berkayu, TR rasio dan biomassa bibit bambang lanang umur 5 bulan
Tinggi Diameter Persen Biomasa
Media TR rasio
(cm) (mm) berkayu (%) (gram)
M1 44.86a 5.19a 22.03c 1.98a 3.17a
148
Aspek Silvikultur
149
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
(agak masam), KTK 30,15 cmol/kg (tinggi), C 5,20% (sangat tinggi), N 0,28 % (rendah), C/N
20,07 (tinggi) dan P 8,40% (sangat rendah).
Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya
dengan kesuburan tanah. Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi
mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah
atau tanah-tanah berpasir. Peningkatan KTK menambah kemampuan tanah untuk menyerap
dan menyediakan unsur-unsur hara dalam bentuk jerapan koloid yang komplek, sehingga
terhindar dari pencucian (Hardjowogeno, 2003; Soewandita, 2008). Dalam penelitian ini media
M5 memiliki nilai KTK tertinggi (30,15) (Tabel 3) dibanding dengan media lainnya sehingga
media ini memiliki kemampuan menahan unsur hara yang tinggi. Namun hara tersebut belum
dapat diserap bibit secara optimal karena media M5 ini termasuk yang belum matang bila
dilihat dari nilai C/N rasio yang masih tinggi (20,07) (Tabel 3).
Tanaman bambang lanang pada media campuran tanah dan bahan organik (M5)
memiliki kemampuan menyerap unsur hara lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang
tumbuh pada media top soil (M1) (Tabel 4). Dengan demikian agar penggunaan media M5 lebih
efektif, maka bahan pencampur ini perlu dikomposkan dulu sebelum digunakan sebagai bahan
pencampur media pembibitan.
DAFTAR PUSTAKA
Durahim dan Hendromono.2001.Kemungkinan Penggunaan Limbah Organik Sabut Kelapa Sawit
dan Sekam Padi Sebagai Campuran Top Soil Untuk Media Pertumbuhan Bibit Mahoni
(Swietenia macrophylla King).Buletin Penelitian Hutan no.628.Hal.13-26.
Effendi, R. 2009. Rencana Pengenelitian Integratif Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu
Pertukangan. Puslitbang Hutan Tanaman badan Litbang kehutatan, depertemen
Kehutanan.
Hardjowogeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Edisi Baru. Akademika Pressindo. Jakarta.
Hendromono. 1994. Pengaruh Media Organik dan Tanah Mineral Terhadap Mutu Bibit
Pterygota alata Roxb. Buletin Penelitian Hutan no.617 : 55-64.
______ dan Durahim. 2004. Pemanfaatan Limbah Sabut Kelapa Sawit dan Sekam Padi Sebagai
Medium Pertumbuhan Bibit Mahoni Afrika (Khaya anthoteca C.DC). Buletin Penelitian
Hutan no 644. Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam.Bogor.
Komarayati S, Pari G dan Gusmailina. 2003. Pengembangan Penngunaan Arang untuk
Rehabilitasi Lahan dalam Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 4:1. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Lehmann J., J. Gaunt and M. Rondon. 2006. Bio-char sequestration in terrestrial ecosystems – A
Review. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change 11: 403–427
150
Aspek Silvikultur
Mason, J. 2003. Sustainable Agriculture. Second edition. Lndlinks Press. Collingwood Vic.
Autralia. PP. 205.,
Siahaan, H., N. Herdiana dan T.R. Saepuloh. 2006. Teknologi Penanganan Benih. Laporan Hasil
Penelitian Balai Litbang Hutan Tanaman Palembang (Tidak dipublikasikan).
_______ dan T.R. Saepuloh. 2007. Teknik Silvikultur Kayu Bawang. Prosiding Seminar Hasil-Hasil
Penelitian Hutan Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
Soewandita, H. 2008. Studi Kesuburan Tanah dan Analisis Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas
Tanaman Perkebunan di Kabupaten Bengkalis. Jurnal Sain dan Teknologi Vol 10 No.
2:128-133.
151
Aspek Silvikultur
Naning Yuniarti
Peneliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
ABSTRAK
Meranti bapa (Shorea selanica) adalah jenis tanaman yang sangat potensial untuk dikembangkan karena
kayunya sangat baik untuk kayu konstruksi, panil kayu, bahan mebel dan perabot rumahtangga. Dalam
pengadaan bibit untuk kegiatan penanaman di lapangan diperlukan suatu teknik pengangkutan dari
lokasi pembibitan menuju ke lokasi penanaman. Bibit akan mengalami proses penyimpanan selama
transportasi berlangsung. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh teknik pengemasan
terhadap kualitas bibit untuk transportasi. Bibit meranti bapa yang digunakan berasal dari Hutan
Penelitian Haurbentes, Jawa Barat. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap,
dengan perlakuan: (1) akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab dimasukkan dalam kotak kayu, (2)
akar bibit diberi serbuk gergaji lembab dimasukkan dalam kotak plastik, (3) bibit dibungkus dengan
kertas merang lembab dimasukkan dalam ice box, dan (4) akar bibit dicelupkan dalam larutan Aquasorb
dimasukkan dalam kotak kayu. Transportasi yang digunakan yaitu: pesawat udara, bis, dan paket
kiriman titipan kilat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) teknik pengemasan berpengaruh nyata
terhadap kualitas bibit, yaitu persen hidup dan tinggi bibit meranti bapa, dan (2) teknik pengemasan
yang terbaik untuk bibit meranti bapa pada transportasi pesawat udara, bis, dan paket kiriman (Tiki)
adalah perlakuan akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak
kayu.
Kata kunci: bibit, Shorea selanica, teknik pengemasan, transportasi, kualitas bibit
I. PENDAHULUAN
Meranti bapa (Shorea selanica) adalah salah satu jenis tanaman yang sangat potensial
untuk dikembangkan. Manfaat yang bisa diperoleh yaitu kayunya untuk kayu konstruksi, panil
kayu untuk dinding, loteng, sekat ruangan, bahan mebel dan perabot rumahtangga, mainan,
peti mati, balok, kasau, kusen pintu-pintu dan jendela, papan lantai, geladak jembatan, serta
untuk membuat perahu (Heyne, 1987).
Untuk menunjang keberhasilan penanaman jenis ini diperlukan teknologi pembibitan
secara tepat. Dalam pengadaan bibit untuk kegiatan penanaman di lapangan diperlukan suatu
kegiatan pengangkutan atau transportasi dari lokasi pembibitan menuju ke lokasi penanaman
di lapangan. Jadi bibit akan mengalami proses penyimpanan selama transportasi berlangsung.
Lama transportasi dan teknik pengemasan akan berpengaruh terhadap kualitas bibit. Kualitas
bibit merupakan suatu gambaran kesiapan bibit untuk dapat tumbuh dan beradaptasi di
lapangan. Kualitas bibit secara praktis dapat dinilai dari kualitas fisiknya antara lain dengan
menggunakna parameter persen hidup, tinggi, diameter, nisbah pucuk akar, dan indeks mutu
bibit.
Untuk mengatasi permasalahan pengadaan bibit selama transportasi diperlukan teknik
pengemasan bibit yang dapat mempertahankan kualitas bibit sebelum digunakan dalam
kegiatan penanaman. Informasi mengenai teknik pengemasan bibit belum banyak diketahui,
sehingga masih diperlukan penelitian tentang teknik pengemasan bibit yang diharapkan dapat
mempertahankan kualitas bibit selama proses transportasi.
153
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh teknik pengemasan terhadap kualitas
bibit meranti bapa (Shorea selanica) untuk transportasi yang digunakan.
II. METODOLOGI
A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan Tanaman Hutan (BPTPTH Bogor) dan di persemaian BPTH Bali dan Nusa Tenggara,
yang dimulai pada bulan Maret sampai dengan Juni 2009. Sedangkan lokasi pengumpulan buah
meranti bapa di Hutan Penelitian Haurbentes, Jawa Barat.
B. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit meranti bapa (Shorea
selanica), oven, serbuk sabut kelapa, kotak kayu, serbuk gergaji, larutan Aquasorb, kotak
plastik, kertas merang, ice box, polybag, bak kecambah, pasir, tanah, kaliper, dan label.
C. Metode
1. Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini dari masing-masing jenis
transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman) didekati dengan rancangan acak lengkap
dengan perlakuan sebagai berikut:
a1 : Akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak
kayu
a2 : Akar bibit diberi serbuk gergaji lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak plastik
a3 : Bibit dibungkus dengan kertas merang lembab kemudian dimasukkan ke dalam ice
box
a4 : Akar bibit dicelupkan ke dalam larutan Aquasorb kemudian dimasukkan ke dalam
kotak kayu
Untuk pengemasan bibit masing-masing perlakuan ada 3 ulangan, dimana masing-
masing ulangan terdiri dari 25 bibit. Respon pengamatan yang diukur pada penelitian ini adalah
lamanya perjalanan dari masing-masing transportasi (pesawat, bus, paket kiriman Tiki), persen
hidup, tinggi, diameter batang, nisbah pucuk akar, dan Indeks Mutu Bibit (IMB).
2. Tahapan Kerja
Bibit dikemas kedalam wadah pengemasan sesuai dengan rancangan percobaan.
Setelah selesai, bibit dikirim ke BPTH Bali dan Nusa Tenggara dengan menggunakan alat
transportasi pesawat udara, bis, dan paket kiriman. Setelah sampai ke lokasi pengiriman,
kemudian bibit dari masing-masing perlakuan ditanam ke polibag. Lama pengamatan
penelitian yaitu 3 bulan. Setiap bulan sekali dilakukan pengamatan dan pengukuran mengenai
persen hidup, tinggi dan diameter bibit selama 3 bulan. Pada akhir pengamatan (bulan ke 3)
dilakukan pengujian dan pengukuran persen hidup, tinggi, diameter batang, nisbah pucuk akar,
dan Indeks Mutu Bibit (IMB).
3. Analisa Data
Data-data hasil penelitian diolah secara statistik dengan menggunakan rancangan sesuai
dengan rancangan penelitian untuk mendapatkan analisa sidik ragam (Anova). Apabila
berpengaruh nyata maka untuk mengetahui lebih lanjut diadakan uji Beda Nyata Terkecil
(BNT).
154
Aspek Silvikultur
155
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
terhadap tinggi bibit meranti bapa. Hal ini berarti terdapat satu atau beberapa perlakuan yang
menunjukkan nilai tinggi bibit berbeda satu sama lain (Tabel 4).
Tabel 4. Rata-rata tinggi bibit meranti bapa berdasarkan perlakuan pengaruh teknik pengemasan
No. Perlakuan Tinggi bibit (cm)
Pesawat udara Bus Paket Kiriman
1. Serbuk sabut kelapa + kotak kayu 14,30 b 14,2 c 14,60 c
2. Serbuk gergaji + kotak palstik 12,36 ab 13,4 b 13,56 bc
3. Kertas merang + ice box 12,23 a 12,3 a 11,06 a
4. Aquasorb + kotak kayu 12,83 ab 12,9 ab 13,16 b
3. Diameter Bibit
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap diameter bibit da-
ri masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman) disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap diameter bibit
dari masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman)
Sumber Keragaman Derajat bebas Kuadrat Tengah
Pesawat udara Bus Paket Kiriman
Perlakuan 3 0,006 0,009 0,001
Sisa 8 0,004 0,008 0,009
Total 11
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik
pengemasan dengan menggunakan pesawat udara, bus dan paket kiriman tidak berpengaruh
nyata terhadap diameter bibit meranti bapa. Hal ini berarti bahwa semua perlakuan wadah
pengemasan memberikan pengaruh yang sama terhadap diameter bibit. Adapun nilai rata-rata
diameter bibit meranti bapa dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Rata-rata diameter bibit meranti bapa berdasarkan perlakuan pengaruh teknik
pengemasan
No. Perlakuan Diameter bibit (mm)
Pesawat udara Bus Paket Kiriman
1. Serbuk sabut kelapa + kotak kayu 2,27 2,23 2,23
2. Serbuk gergaji + kotak palstik 2,20 2,20 2,20
3. Kertas merang + ice box 2,14 2,17 2,17
4. Aquasorb + kotak kayu 2,19 2,20 2,20
4. Indeks Mutu Bibit (IMB)
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap indeks mutu bibit
dari tiap jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman), disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap indeks mutu
bibit dari masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman)
Sumber Keragaman Derajat bebas Kuadrat Tengah
Pesawat udara Bus Paket Kiriman
Perlakuan 3 0,0003 0,0013 0,0003
Sisa 8 0,0003 0,0006 0,0004
Total 11
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan teknik
pengemasan dengan menggunakan pesawat udara, bus dan paket kiriman tidak berpengaruh
nyata terhadap indeks mutu bibit meranti bapa. Hal ini berarti bahwa semua perlakuan wadah
156
Aspek Silvikultur
pengemasan memberikan pengaruh yang sama terhadap indeks mutu bibit. Adapun nilai rata-
rata indeks mutu bibit meranti bapa dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Rata-rata indeks mutu bibit meranti bapa berdasarkan perlakuan pengaruh teknik
pengemasan
No. Perlakuan Indeks Mutu Bibit
Pesawat udara Bus Paket Kiriman
1. Serbuk sabut kelapa + kotak kayu 0,0510 0,0805 0,0639
2. Serbuk gergaji + kotak palstik 0,0435 0,0523 0,0575
3. Kertas merang + ice box 0,0348 0,0505 0,0472
4. Aquasorb + kotak kayu 0,0401 0,0525 0,0502
5. Nisbah Pucuk Akar (NPA)
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap nisbah pucuk akar
dari tiap jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman) disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan teknik pengemasan terhadap nisbah pucuk
akar dari masing-masing jenis transportasi (pesawat udara, bus, paket kiriman)
Sumber Keragaman Derajat bebas Kuadrat Tengah
Pesawat udara Bus Paket Kiriman
Perlakuan 3 2,12 0,758 0,611
Sisa 8 1,788 0,453 0,499
Total 11
157
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Untuk tinggi bibit meranti bapa, pada pesawat udara, bis, dan paket kiriman (Tiki)
diketahui bahwa perlakuan yang dapat menghasilkan nilai tinggi semai/bibit yang tertinggi yaitu
perlakuan akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak.
Diameter, nisbah pucuk akar, dan indeks mutu bibit tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata untuk semua perlakuan saat transportasi. Sehingga 4 macam teknik perlakuan
pengemasan yaitu (1) akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke
dalam kotak kayu, (2) akar bibit diberi serbuk gergaji lembab kemudian dimasukkan ke dalam
kotak plastik, (3) bibit dibungkus dengan kertas merang lembab kemudian dimasukkan ke
dalam ice box, dan (4) akar bibit dicelupkan ke dalam larutan Aquasorb kemudian dimasukkan
ke dalam kotak kayu, dapat meningkatkan diamater, nisbah pucuk akar dan indeks mutu bibit.
Dilihat dari nilai rata-rata diameter, maka perlakuan yang dapat menghasilkan nilai
diameter batang bibit yang paling besar yaitu perlakuan akar bibit diberi serbuk sabut kelapa
lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu. Dari nilai nisbah pucuk akar (NPA) terlihat
bahwa perlakuan yang dapat menghasilkan nilai NPA tertinggi yaitu perlakuan akar bibit diberi
serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu. Nisbah pucuk akar
dari pertumbuhan ujung dan pertumbuhan akar merupakan perbandingan antara bagian pucuk
dengan bagian akar bibit. Gardner et al. (1991) menyebutkan nisbah pucuk akar dapat
menggambarkan salah satu tipe toleransi terhadap kekeringan serta berhubungan dengan
keseimbangan bibit dalam menyerap unsur hara dan air pada bagian akar dan proses
fotosintesa pada bagian pucuk.
Walaupun nisbah pucuk akar dikendalikan secara genetik, rasio ini juga sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang kuat. Lakitan (2004) menjelaskan bahwa untuk
daerah tropis bibit siap tanam akan lebih cocok apabila memiliki nisbah pucuk akar yang kecil.
Hal ini berhubungan dengan proses absorbsi unsur hara dan transpirasi yang dilakukan oleh
tanaman yang proses transpirasinya sebagian besar dilakukan oleh stomata (80-90%). Nisbah
pucuk akar merupakan faktor terpenting dalam pertumbuhan bibit karena mencerminkan
perbandingan antara proses transpirasi dan luasan fotosintesis dari bibit dengan kemampuan
penuerapan air dan mineral (Setyaningsih et al., 2000).
Selain itu, jika dilihat dari rata-rata nilai indeks mutu bibit (IMB), pada pesawat udara,
bis, dan paket kiriman (Tiki) diketahui bahwa perlakuan yang dapat menghasilkan nilai IMB
paling tinggi yaitu perlakuan akar bibit diberi serbuk sabut kelapa lembab kemudian
dimasukkan ke dalam kotak kayu. Indeks mutu bibit merupakan salah satu indikator siap
tidaknya bibit dipindah ke lapangan. Hendromono dan Durahim (2004) mengemukakan bahwa
bibit yang memiliki nilai IMB minimal 0,09 akan memiliki daya tahan hidup yang tinggi apabila
dipindah ke lapangan.
Berdasarkan nilai persen hidup, tinggi, diameter, nisbah pucuk akar, dan indeks Mutu
Bibit, pada pesawat udara, bis, dan paket kiriman (Tiki) diketahui bahwa perlakuan yang terbaik
untuk pengemasan semai/bibit meranti bapa adalah perlakuan akar bibit diberi serbuk sabut
kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu dapat bertahan dengan baik selama
72 jam.
Penggunaan serbuk sabut kelapa yang diberikan pada akar pada waktu pengemasan
bibit bertujuan untuk menjaga kelembaban yang diperlukan oleh bibit selama proses
transportasi agar terhindar dari kekeringan yang bisa mengakibatkan kematian pada bibit.
Menurut Schmidt (2000) sebaiknya hindari pengeringan selama proses pengangkutan. Agar
terhindar dari pengeringan dapat dilakukan dengan menyimpannya dalam bahan lembab
seperti serbuk kayu atau menempatkan bahan basah pada bagian atas wadah.
158
Aspek Silvikultur
IV. KESIMPULAN
Teknik pengemasan berpengaruh nyata terhadap kualitas bibit, yaitu persen hidup dan
tinggi bibit meranti bapa. Teknik pengemasan yang terbaik untuk bibit meranti bapa pada
transportasi pesawat udara, bis, dan paket kiriman (Tiki) adalah perlakuan akar bibit diberi
serbuk sabut kelapa lembab kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu.
DAFTAR PUSTAKA
Gardner, F.P., R.B. Pearce, dan R.L. Mitchell. 1991. Physiology of Crop Plants (Fisiologi
Tanaman Budidaya, alih bahasa oleh Susilo, H). Universitas Indonesia Press. Jakarta.
428p.
Hendromono dan Durahim. 2004. Pemanfaatan Limbah Sabut Kelapa Sawit dan Sekam Padi
Sebagai Medium Pertumbuhan Bibit Mahoni Afrika (Khaya anthoteca). Buletin
Penelitian Hutan No. 644. Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Hutan dan Konservasi
Alam. Bogor.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 3. Yay. Sarana Wana Jaya, Jakarta. Hal. 1422-
1423.
Lakitan, B. 2004. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Setyaningsih, L., Y. Munawar dan M. Turjaman. 2000. Efektivitas Cendawan Mikoriza Arbusula
dan pupuk NPK terhadap pertumbuhan Bitti. Prosiding Seminar Nasional I. Bogor.
Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis.
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial - Indonesia Forest Seed
Project. PT. Gramedia. Jakarta.
159
Aspek Silvikultur
Sahwalita
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK
Pengembangan hutan tanaman sungkai (Peronema canescen Jack.) memerlukan dukungan bibit yang
berkualitas. Bibit berkualitas akan menentukan keberhasilan tanaman di lapangan. Dalam upaya
memenuhi kebutuhan bibit secara massal pada setiap musim tanam diperlukan penanganan khusus di
persemaian. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memacu pertumbuhan bibit adalah melalui
pemupukan. Teknik pemupukan yang efektif dilakukan pada persemaian skala besar adalah melalui
daun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi dan frekuensi pemberian pupuk
daun terhadap pertumbuhan bibit sungkai di persemaian. Racangan penelitian yang digunakan adalah
Rancangan Acak Kelompok dengan Pola Faktorial diulang 3 kali. Perlakuan yang diuji meliputi 5 taraf
konsentrasi pupuk daun (0, 2, 4, 6 dan 8 gram/liter) dan 2 taraf frekuensi pemupukan (1 dan 2 minggu
sekali). Parameter yang diamati adalah persentase hidup, pertumbuhan tinggi dan diameter serta indeks
kualitas semai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi pupuk daun 8 gram/liter dan frekuensi
pemupukan 2 minggu sekali (K4F2) memberikan kesiapan dipindahkan kelapangan yang terbaik dengan
nilai indeks kualitas semai mencapai 0,61.
Kata kunci: frekuensi, konsentrasi, pertumbuhan, pupuk daun, sungkai
I. PENDAHULUAN
Sungkai (Peronema canescens Jack.) merupakan salah satu jenis pohon potensial sebagai
penghasil kayu pertukangan. Jenis ini telah dikembangkan dalam jumlah terbatas baik oleh
masyarakat di Hutan Rakyat (HR) melalui pola tanam campuran dan pengusaha melalui Hutan
Tanaman Industri (HTI) dengan pola monokultur. Sampai saat ini, produktivitas sungkai masih
rendah karena pengelolaannya belum menerapkan praktek silvikultur secara optimal dan
belum menggunakan bibit unggul (Sahwalita et al., 2011). Hutan tanaman khusus penghasil
kayu pertukangan belum banyak diusahakan, sehingga dibutuhkan upaya pengembangannya
dengan tujuan memenuhi kebutuhan kayu dan menyelamatkan hutan alam yang tersisa. Di
beberapa daerah dilakukan program penanaman jenis sungkai seperti di Jambi, Sumatera
Selatan, Riau telah dibangun HTI sungkai dan HR pola campuran melalui program nasional
maupun pemerintah daerah (Sahwalita et al., 2010).
Kayu sungkai dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan antara lain: konstruksi,
mebel dan vener indah. Kayu ini memiliki berat jenis 0,63 dengan kelas kuat I-II dan kelas awet
III, kayu berwarna kuning atau krem. Selain itu, kayu sungkai dapat mengering dengan mudah
tanpa cacat yang berarti, dapat diserut, dibentuk dan dibubut dengan hasil sedang serta dapat
dibor dan diamplas dengan hasil baik (Martawijaya et al., 2005). Kayu sungkai memiliki tekstur
yang indah mirip jati, sehingga makin banyak diminati.
Penanaman jenis ini perlu didukung oleh ketersediaan bibit berkualitas dalam jumlah
yang cukup pada setiap musim tanam. Pemacuan pertumbuhan bibit sungkai di persemaian
dapat dilakukan dengan pemeliharaan dan penambahan unsur har melalui pemupukan.
Pemberian pupuk tidak hanya ditujukan agar periode pemeliharaan bibit di persemaian
menjadi lebih singkat, tetapi juga agar kualitas bibit yang dihasilkan menjadi lebih baik dan
seragam. Salah satu teknik pemupukan yang cukup efektif untuk dilakukan pada persemaian
161
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
skala luas adalah melalui penyemprotan dengan pupuk daun. Pengujian pupuk daun di
persemaian memberikan hasil yang cukup menjanjikan, seperti dilakukan oleh Junaidah (2003)
terhadap bibit meranti kuning (Shorea parvifolia) yang menunjukkan bahwa perlakuan dosis
pupuk daun Mamigro Super N dan Gandasil D pada konsentrasi 1,5 gram/liter mampu
meningkatkan pertambahan diameter dan jumlah daun secara nyata. Penelitian pemberian
pupuk daun NPK.Mg sampai dengan konsentrasi 3 gram/liter yang diberikan setiap 1 minggu
sekali mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit belangeran (Shorea balangeran) asal
cabutan alam yang mencapai 3 kali lipat dibandingkan kontrol (Herdiana et al., 2008). Aplikasi
pupuk daun pada bibit jelutung rawa yang dengan konsentrasi 3 gr/liter dengan frekuensi
penyemprotan 1 minggu sekali memberikan pertumbuhan terbaik (Herdiana et al., 2009).
Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan pengujian untuk mengetahui respon
pertumbuhan bibit sungkai terhadap aplikasi pupuk daun. Perlakuan yang diuji adalah
konsentrasi pupuk daun dan frekuensi pemberian pupuk. Diharapkan bibit dapat tumbuh
dengan baik dalam waktu singkat.
162
Aspek Silvikultur
F2 = 2 minggu sekali
Penyemprotan dilakukan pada seluruh permukaan daun dengan jumlah semprotan yang
seragam, yaitu dua puluh lima kali semprotan untuk masing-masing satuan pengamatan.
Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi: persentase hidup, tinggi, diameter dan
indeks kualitas semai (IKS) pada umur 4 bulan. Nilai IKS diperoleh dari rumus di bawah ini
(Puryono dan Setyono, 1996 dalam Herdiana et al., 2008).
Berat Kering Total
IKS
( Kekokohan Nisbah Pucuk Akar )
163
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tabel 2. Uji Duncan pengaruh konsentrasi pupuk terhadap indeks kualitas semai
bibit sungkai (Peronema canescen Jack.)
Konsetrasi Pupuk Indeks Kualitas Semai
K0 0,363 bc
K1 0,483 ba
K2 0,280 c
K3 0,405 bc
K4 0,603 a
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkanberbeda tidak nyata
pada taraf kepercayaan 5%
Tabel 3. Pengaruh perlakuan konsentrasi pupuk daun dan frekuensi pemupukan terhadap
pertumbuhan tinggi dan diameter, indeks kualitas semai dan persen hidup bibit
sungkai (Peronema canescen Jack.)
Perlakuan Tinggi Diameter IKS Persen Hidup Total
K0F1 7.62 2.02 0.36 93.33 103.33
K1F1 7.78 2.23 0.44 96.67 107.12
K2F1 10.84 2.55 0.30 100.00 113.69
K3F1 8.16 2.05 0.32 90.00 100.53
K4F1 9.70 2.27 0.60 93.33 105.90
K0F2 7.91 2.27 0.36 93.33 103.87
K1F2 9.24 2.08 0.51 96.67 108.50
K2F2 7.60 2.28 0.28 90.00 100.16
K3F2 6.70 2.65 0.49 93.33 103.17
K4F2 6.50 1.86 0.61 100.00 108.97
b. Pembahasan
Setiap tanaman memerlukan unsur hara dalam jumlah yang berbeda, sesuai kebutuhan
tanaman dan kondisi tanah tempat tumbuhnya. Pupuk daun merupakan pupuk majemuk yang
diberikan secara bertahap, sehingga haranya secara perlahan dan terus-menerus dapat diserap
tanaman yang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Penambahan unsur hara disesuaikan dengan
kebutuhan tanaman dan kondisi tanah tempat tumbuhnya. Hal tersebut perlu dikaji lebih awal
sehingga tidak menimbulkan pemborosan bahkan menyebabkan kematian. Marsono dan Sigit
(2005), bahwa pemupukan ditentukan tiga komponen yaitu pupuk, tanah dan tanaman. Ketiga
komponen tersebut saling terkait antara satu dengan yang lain, berapa ketersediaan unsur hara
pada media dan berapa banyak tanaman memerlukan unsur hara, maka dapat ditentukan
konsentrasi pupuk yang akan diberikan. Lakitan (1993), jumlah kebutuhan unsur hara dikaitkan
dengan kebutuhan tumbuhan agar dapat tumbuh dengan baik dan jika unsur hara kurang
tersedia, maka pertumbuhan tanaman akan terhambat.
Hasil analisis keragaman (Tabel 1) menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata
terhadap indek kualitas semai adalah konsentrasi pupuk, sedangkan parameter lain
menunjukkan pengaruh tidak nyata. Hasil analisis media bibit yang digunakan (Lampiran 1)
menunjukkan bahwa kandungan unsur haranya cukup rendah (terutama unsur N dan K yang
hanya 0,14% dan 0,30%), sementara kandungan unsur N dan K pada pupuk daun yang
digunakan cukup tinggi sekitar 11% dan 6%. Pengaturan konsentrasi dan frekuensi aplikasi
pupuk daun yang diujikan cukup signifikan dalam penyediaan unsur N dan K yang dibutuhkan
oleh tanaman dengan nilai tertinggi pada perlakuan kosentrasi 4 gram/liter dengan frekuensi
pemupukan 1 minggu sekali (K2F1) dapat dilihat pada Gambar 1.
164
Aspek Silvikultur
165
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
166
Aspek Silvikultur
lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman, seperti cahaya matahari, air dan udara
serta tidak ada gangguan hama dan penyakit yang potensial.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009a. Fotosintesis. Website : wikipedia. Diakses pada tanggal 20 Maret 2009.
Anonim. 2009b. Khasiat Unsur Hara Bagi Tanaman. Website: http://pusri.wordpress. com.
Diakses tanggal 20 Maret 2009.
Herdiana, N. A. H. Lukman, K. Mulyadi dan T. Suhendar. 2008. Pengaruh konsentrasi dan
frekuensi aplikasi pupuk daun terhadap pertumbuhan bibit Meranti Belangeran asal
cabutan alam di persemaian. Jurnal Hutan Tanaman Vo. 5 No. 3, Agustus 2008,
Puslitbang Hutan Tanaman. Bogor.
Herdiana, N. Sahwalita, H. Siahaan dan M. Suparman. 2009. Aplikasi pupuk daun pada bibit
jelutung rawa di persemaian. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan
Palembang. Tidak diterbitkan.
Junaidah, 2003. Respon Pertumbuhan Semai Meranti Kuning (Shorea multiflora Sym.). terhadap
Pemberian Pupuk Daun Gandasil D dan Mamigro Super N di Shade House Banjarbaru.
Skripsi Fakultas Kehutanan Unlam. Banjarmasin (tidak diterbitkan).
Lakitan, Benyamin. 1993. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Grafindo Persada. Jakarta.
Marsono dan Sigit, P. 2005. Pupuk Akar. Jenis dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Martawijaya. A, Kartasujana.I, Mangang. Y.I, Kadir K dan Prawira.S.A. 2005. Atlas Kayu
Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen
Kehutanan. Bogor. Indonesia. (Cetakan Ketiga).
167
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Sahwalita, A,H. Lukman, A, Sofyan dan S. Utami. 2011. Peningkatan produktivitas lahan melalui
penanaman pola campuran. Prosiding seminar hasil-hasil penelitian Balai Penelitian
Kehutanan Palembang dengan tema Introduksi tanaman penghasil kayu pertukangan di
lahan masyarakat melalui pembangunan hutan tanaman pola campuran. Musi Rawas,
13 Juli 2011. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan.
Badan Litbang Kehutanan. Bogor.
Sahwalita, Muslimin Imam dan Muara Joni. 2010. Budidaya Jenis Sungkai (Peronema canescen
Jack.). Laporan Hasil Penelitaian Tahun 2010. Tidak dipublikasikan.
Zobel dan Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley and Sons Inc. Canada.
168
Aspek Silvikultur
169
Aspek Silvikultur
TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb): JENIS ALTERNATIF UNTUK BAHAN BAKU KAYU
Dharmawati F. Djam’an
Penenliti Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
ABSTRAK
Tembesu (Fagraea fragrans) merupakan salah satu jenis yang sangat popular di wilayah Sumatera,
khususnya Sumatera Bagian Selatan, untuk kebutuhan industri ukiran dan mebeler di kota Palembang
mencapai sebesar 3.120 m³ per tahun. Dengan diketahui produksi dan penanganan benih serta
pembibitan, jenis ini dapat dikembangkan dan diperluas penanamannya. Tembesu cukup tinggi daya
adaptasi terhadap tempat tumbuh seperti di tanah kering, tanah tergenang maupun tanah pasang surut.
Jenis ini termasuk katagori daur menengah (10-30) tahun. Dengan berat 1000 butirnya 0.17 gr dan
dalam satu buah berisi ± 30 benih, maka rata-rata jumlah buah tiap kilonya mencapai 6.600 butir,. Benih
disemai dalam bak kecambah yang ditutup rapat dengan plastik, setelah 7-8 minggu (berdaun 2) dapat
disapih ke polibag dan disimpan dalam bedeng yang ditutup (sungkup), setelah berumur 2-3 bulan
sungkup dapat dibuka. Bibit siap tanam di lapangan setelah berumur (6-10) bulan dengan tinggi (30-40)
cm. Pola tanam (silvikultur ) walang meningkatkan rata-rata riap sebesar 2.01 cm/tahun.
Kata kunci: tembesu, produksi, penanganan, pembibitan
I. PENDAHULUAN
Kapasitas industri pengolahan kayu nasional pada tahun 2013 mencapai 70 juta m 3 per
tahun, yang terdiri dari 38.8 juta m3 kapasitas industri tunggal dan 31.2 juta m 3 kapasitas
industri terintegrasi. Realisasi penggunaan bahan baku pada tahun 2013 mencapai 60.4 juta m 3
per tahun yang berasal dari kawasan hutan tanaman industri dan hutan alam sebesar 23.2 juta
m3 (38.4%) dan sebagian besar sisanya berasal dari Perum Perhutani, hutan rakyat, ijin lain yang
sah, perkebunan dan impor kayu bulat (Ditjen Bina Usaha Kehutanan 2014).
Dengan adanya kekurangan pasokan maka Badan Litbang kehutanan telah menetukan
jenis-jenis alternatif prioritas seperti tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) yang merupakan salah
satu jenis dari 7 jenis alternatif prioritas lainnya dan berpotensi dalam pembangunan hutan
tanaman penghasil kayu (Mindawati et al., 2014). Tanaman ini merupakan salah satu jenis yang
sangat popular di wilayah Sumatera, khususnya Sumatera Bagian Selatan. Permintaan kayu
tembesu untuk kebutuhan industri ukiran dan mebeler di kota Palembang dalam beberapa
tahun terakhir mencapai sebesar 3. 120 m3 per tahun. Kayunya termasuk dalam kelas awet I,
kelas kuat I – II (Martawijaya et al., 2005), sifat kayu mudah dikerjakan dengan tekstur halus
(Lemmens et al., 1995). Kayu tembesu dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti
industri mebel, ukiran dan konstruksi berat dan termasuk kedalam daur menengah (10-30)
tahun.
Di wilayah Sumatera Bagian Selatan, masyarakat yang menggunakan produk berbahan
baku kayu tembesu, umumnya identik dengan kelompok masyarakat menengah ke atas. Untuk
memenuhuhi kebutuhan kayu ukiran lokal sumatera selatan, perlu adanya perluasan
penanaman dan diperlukannya benih dan bibit berkualitas, oleh karena itu dalam makalah ini
akan disampaikan informasi mengenai karakter tanaman, kesesuaian tempat tumbuh, potensi
produksi buah, penanganan benih, cara pembibitan dan penanaman di lapangan agar
produktivitas kayunya meningkat.
171
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
172
Aspek Silvikultur
Keberhasilan berbunga
40 33,3
26,7 26,7
Persentase pohon yg
30 20 20,0
berbunga (%)
20
10
0
0g 50 g 100 g 150 g 200 g
Dosis Boron gr/pohon
Gambar 3. Grafik Persentase Pohon Berbunga pada Tiap Perlakuan pada Bulan Januari 2015
Zat boron bertugas sebagai transportasi karbohidrat dalam tubuh tanaman, boron bisa
membentuk ester dengan sukrosa sehingga sukrosa yang merupakan bentuk gula terlarut
dalam tubuh tanaman lebih mudah diangkut dari tempat fotosintesis ke tempat pengisian
buah. Lain halnya dengan tanaman-tanaman yang berada di taman Kota Kayu Agung, Kab. OKI,
walaupun masih berumur 8 tahun dan di Kab. Ogan Ilir yang tumbuh alami dapat berbuah lebat
karena tumbuh dengan ruang penerimaan cahaya yang luas (Djam’an, 2014).
173
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Untuk pembuatan bibit diperlukan benih dan dapat dihasilkan melalui proses:
A. Ekstraksi
Ekstraksi basah untuk mendapatkan benih yang berukuran ± 1 mm, yaitu dengan cara
meremas-remas buah di atas saringan sambil dialiri air. Kemudian benih di simpan di atas
kertas saring dan untuk pengeringannya, benih dikering anginkan.
B. Perkecambahan dan Pembibitan
a. Perkecambahan
Pada proses perkecambahan diperlukan:
i. Perlakuan pendahuluan (Zanzibar, et al 2010), yaitu dengan cara:
● Imbibisi dengan H2O2 5% selama 24 jam. Daya berkecambah meningkat lebih dari 2
kali lipat (1.300.000 menadi 2.780.000 kecambah)
● Iradiasi dengan sinar gama pada dosis 30 Gy dengan kadar air (8-10)%, meningkatkan
volume bibit lebih dari 4.5 kali ( dari 533.1 m³ menjadi 2.391,44 mm³)
ii. Media
Media perkecambahan dapat menggunakan campuran pasir halus dan tanah (5:1/ v:v)
yang telah di streril, sebagai wadah perkecambahan digunakan bak kecambah.
iii. Penaburan
Benih ditabur dalam bak kecambah dengan media yang sudah disiram air terlebih dahulu
hingga jenuh. Kemudian ditutup dengan plastik transparan untuk menjaga kelembaban.
iv. Penyapihan
Penyapihan dilakukan 7-8 minggu setelah penaburan dan berdaun 2 (dua).
b. Persemaian dan Pembibitan
Pada tahapan persemaian dan pembibitan diperlukan:
i. Media
Pada pembibitan digunakan campuran tanah topsoil, pasir dan kompos serbuk gergaji
(3:1:5/v:v:v) atau campuran sabut kelapa dan cocopeat (3:1/v:v), disiram sampai jenuh
ii. Bedeng
Bibit yang baru disapih ditanam dalam polibag dan disimpan dalam bedeng dengan
sungkup (plastik transparan), ditutup rapat untuk mencegah penguapan.
iii. Penyiraman
Penyiraman dilakukan apabila diperlukan dengan menggunakan sprayer berlubang halus
untuk mencegah kerusakan pada calon bibit.
iv. Sungkup dapat dibuka setelah 2-3 bulan setelah penyapihan
v. Bibit siap tanam di lapangan setelah berumur (6-10) bulan dengan tinggi (30-40) cm
vi. Selama di persemaian, dapat dipupuk dengan 0,25 gr NPK atau 0,4 gr urea untuk setiap
bibit/polibag (Martin dan Sofyan. 2001).
a b c
Gambar 4. kecambah (a); semai siap sapih (b); bibit (c)
174
Aspek Silvikultur
V. PENUTUP
Informasi mengenai kesesuaian tempat tumbuh, karakter buah dan benih serta
dikuasainya teknik penanganan benih dan bibit serta penerapan teknik silvikultur yang tepat
untuk tembesu (Fagraea fragrans Roxb.)diharapkan dapat menjadi acuan untuk pengembangan
jenis tembesu sebagai alternatif kayu pertukangan.
DAFTAR PUSTAKA
Bramasto, Y.,Evayusvita R., 2014 Kajian ekologi dan biologi benih dan bibit jenis Tembesu dan
Sengon. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Tahun 2014, tidak diterbitkan
Djam’an D.F. 2014. Laporan Perjalanan Dinas, tidak diterbitkan.
Djam’an D.F. 2014. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman
Hutan Tahun 2014. tidak diterbitkan
Kementerian Lingkungan Hidup, 2007. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2006. Kementerian
Lingkungan Hidup. Jakarta.
Lemmens, R.H.M.J., Soerianegara, I., Wong, W.C. 1995. Plant Resources of South-East Asia 5.
(2) Timber trees: Minor commercial timber. PROSEA. Bogor Indonesia.
Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid
II. Bogor: Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Bogor–Indonesia
Martin, E. dan A. Sofyan. 2001. Perangsangan Pertumbuhan Tembesu (Fagraea fragrans)
dengan Pengaturan Intensitas Naungan dan Pemupukan di Persemaian. Prosiding
Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Balai Teknologi Reboisasi Palembang. Palembang, 12
November 2001. Pp.113-121. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
175
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Mindawati, Nina., Hani S.N., Choirul A. 2014. Tembesu Kayu Raja Andalan Sumatera. Bunga
Rampai, Forda Press.
Zanzibar, M., N. Yuniarti, E. Suita, Megawati, D. Haryadi, dan E. Supardi. 2010. Hasil
Penelitian Teknologi Perbenihan Jenis Tembesu (Fagraea fragrans Roxb). Balai
Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Tidak Diterbitkan.
176
Aspek Silvikultur
ABSTRAK
Keberhasilan pembangunan hutan tanaman membutuhkan pasokan bibit yang konstan dengan kualitas
tinggi. Media yang kaya nutrisi penting, diperlukan untuk memproduksi bibit yang berkualitas tinggi.
Umumnya, media yang digunakan untuk pembibitan adalah top soil. Namun, mengambil sejumlah besar
top soil secara terus menerus berdampak negatif terhadap ekosistem. Oleh karena itu, perlu untuk
mendapatkan bahan lain sebagai media alternatif untuk pembibitan. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menemukan media dan intensitas cahaya yang tepat untuk pembibitan Jabon (Anthocephalsu
cadamba). Penelitian ini menggunakan tanah, kompos, sekam padi dan campuran mereka sebagai
perlakuan media. Perlakuan naungan terdiri dari 0% (tapa naungan), 25%, 50% dan 75%. Penelitian ini
menggunakan rancangan split plot dengan naungan sebagai petak utama dan media sebagi subplot.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa media kompos dengan naungan 50% adalah kondisi terbaik untuk
pertumbuhan bibit Jabon 5 bulan yang menghasilkan berat 4,86 g kering, tinggi 27,7 cm, diameter 2,23
mm, persentase hidup 86% dan IMB 0,65.
Kata kunci: arang sekam, kompos, bibit, media, naungan
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan kayu dari tahun ke tahun selalu
mengalami peningkatan, di pihak lain pasokan bahan baku dari hutan alam produksi semakin
menurun, akibatnya terjadi kelangkaan bahan baku industri pengolahan kayu khususnya bahan
baku pulp, oleh karena itu perlu dilakukan pengembangan hutan tanaman (Hutan Tanaman
Industri dan Hutan Rakyat). Pengembangan hutan tanaman ini merupakan salah satu upaya
untuk mengatasi permasalahan kelangkaan bahan baku industri pengolahan kayu.
Indonesia memiliki keanekaragaman jenis tanaman yang tinggi dan berpotensi untuk
dimanfaatkan dalam pengembangan hutan tanaman. Menurut Ramayanti et al. (2009) jenis-
jenis pohon yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku pulp antara lain adalah
jabon putih, (Anthocephalus cadamba).
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan hutan tanaman adalah
penggunaan bibit bermutu yang unggul secara genetik, fisik dan fisiologis, tersedia dalam
jumlah yang cukup dan tepat waktu, serta memiliki kemampuan beradaptasi dengan kondisi
lingkungan tempat tumbuhnya. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial Nomor: P. 11 /V-PTH/2007 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Mutu Bibit
Tanaman Hutan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, standar bibit
bermutu untuk jenis jabon, bibit harus berdiamater > 7 mm, tinggi > 40 cm, media utuh, jumlah
daun 4 pasang dan umur 2-3 bulan. Namun demikian, informasi tentang teknik pembibitan dan
pemeliharaannya untuk mendapatkan bibit yang bermutu baik masih terbatas.
Faktor-faktor yang berperan dalam kegiatan pembibitan perlu difahami dengan benar
untuk memproduksi bibit yang bermutu. Salah satu faktor yang penting adalah media tanam.
Media tumbuh di persemaian menjadi penting karena merupakan tempat tanaman menyerap
unsur hara selama tanaman belum mencapai usia yang siap untuk di tanam di lapangan
177
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
(Kurniaty et al., 2006). Media yang umum digunakan untuk pembibitan di persemaian berasal
dari top soil. Namun pengambilan top soil dalam skala besar dapat berdampak negatif bagi
ekosistem di areal tersebut (Hendromono, 1994).
Untuk mengurangi kerusakan ekosistem akibat penggunaan top soil sebagai media,
maka perlu dikembangkan penggunaan bahan alternatif sebagai media pembibitan diantaranya
limbah organik. Kurniaty et al. (2009) melaporkan bahwa limbah organik dapat digunakan
sebagai media pertumbuhan karena: mengandung unsur hara yang diperlukan tanaman, dapat
menyimpan air, poros, dapat mengikat akar sehingga perakaran kompak, mudah didapat dan
murah. Namun dalam penggunaannya sebaiknya dikombinasikan dengan bahan lain. Satisijati
(1991) dalam Merlina dan Rusnandi (2007) mengemukakan bahwa campuran dua macam
media dapat memperbaiki kekurangan masing-masing media tersebut antara lain dalam
kecepatan pelapukan dan penyediaan hara tanaman serta kemampuan mempertahankan
kelembaban media. Keuntungan penggunaan bahan organik dibandingkan dengan
menggunakan top soil adalah berat persatuan bibit lebih ringan sehingga ongkos pengangkutan
bibit lebih murah (Duraihim dan Hendromono, 2001). Hendromono dan Durahim (2004),
melaporkan bahwa kompos, sabut kelapa sawit dan sekam padi merupakan media yang sesuai
untuk jenis Khaya anthoteca. Hendromono dan Durahim (2004), menyimpulkan bahwa
penggunaan media campuran top soil, sekam padi dan sabut kelapa sawit dapat meningkatkan
pertumbuhan bibit mahoni.
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah lingkungan persemaian yang di dalamnya
adalah kelembaban dan pencahayaan. Dalam hal ini peran intensitas naungan dalam persemain
memegang peran penting. Naungan merupakan suatu upaya manipulasi terhadap masuknya
sinar matahari yang diterima oleh tanaman. Untuk beberapa jenis tanaman hutan naungan
diperlukan untuk mengurangi penguapan (transpirasi) dan mempertahankan kelembaban di
persemaian sehingga tanaman dapat terus tumbuh. Tetapi untuk beberapa jenis lain pemberian
naungan justru akan menghambat pertumbuhan tanaman karena terjadinya penghambatan
untuk mendapatkan sinar matahari (Kurniaty et al., 2006). Pemberian naungan pada tanaman,
prinsipnya adalah untuk memperbaiki keadaan lingkungan agar tanaman dapat berproduksi
secara optimal. Optimasi pemberian naungan ditentukan terutama oleh respon tanaman
terhadap iklim mikro yang diakibatkan oleh naungan tersebut.
B. Tujuan dan Sasaran
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi media dan intensitas naungan
yang sesuai untuk pembibitan jabon putih.
II. METODOLOGI
A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Balai PenelitianPerbenihan Tanaman Hutan yaitu di Stasiun
Penelitian Nagrak. Lokasi berada di Desa Nagrak Kecamatan Sukaraja, Kebupaten Bogor, pada
ketinggian 280 m dpl, dan berjenis tanah Latosol Coklat Kemerahan (Kurniaty, 2010). Iklim di
lokasi penelitian termasuk pada tipe iklim A (Schmidt dan Ferguson), dengan curah hujan 2000-
2500 mm/th,
B. Bahan dan alat
Benih jabon yang dipakai merupakan campuran benih yang berasal dari dua lokasi yaitu
1) tegakan di Taman Wisata Alam Rimbo Panti. Hutan ini berada di Kecamatan Panti,
Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat. 2) Kecamatan Long ikis, Kabupaten Pasir,
178
Aspek Silvikultur
Provinsi Kalimantan Timur.Bahan untuk media adalah tanah, arang sekam, kompos, pasir, dan
sabut kelapa.
C. Metodologi
Media tabur terdiri dari campuran pasir dan tanah dengan perbandingan 1:1. Media
disterilkan dan dimasukkan pada bak tabur. Benih ditabur pada bak kecambah, kemudian
setelah benih tumbuh dan kecambah telah memiliki minimal sepasang daun dilakukan
penyapihan.
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Petak
Terbagi dengan dua faktor utama adalah naungan dan anak petaknya adalah media. Media
yang diuji adalah tanah (A1), kompos (A2), tanah+kompos 3:1/v:v (A3), kompos + arang sekam
padi 3:1/v:v (A4) dan sabut kelapa + arang sekam padi 3:1/v:v:v (A5). Naungan yang digunakan
adalah naungan 0% (B1), naungan 25% (B2), naungan 50% (B3), naungan 75% (B4). Masing-
masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak 10 kali dengan masing-masing ulangan 5 bibit.
Pengamatan untuk bibit jabon putih dilakukan pada umur 5 bulan. Respon yang diamati
dalam penelitian ini adalah tinggi bibit, diameter batang, berat kering bibit, dan persen hidup
sampai semai berumur lima bulan. Pada akhir pengukuran dilakukan pula penghitungan nilai
indeks mutu bibit. Penghitungan indeks mutu bibit menggunakan cara Dickson (1960) dalam
Hendromono (1994) dengan rumus:
Bobot Kering Batang (g) + Bobot kering akar (g)
Indeks Mutu:
Tinggi (cm) + Bobot Kering Batang (g)
Diameter (mm) Bobot Kering Akar (g)
D. Analisis Data
Data hasil percobaan pada kemudian diolah secara statistik. Model matematik
percobaan faktorial adalah sebagai berikut:
Yijk = µ + άi + βj + (άβ) ij + εijk
Dimana:
Yijk = Pengamatan pada naungan ke-i, media ke-j ulangan ke k
µ = Nilai tengah umum
άi = Pengaruh naungan ke-i
βj = Pengaruh media ke-j
(άβ) ij = Interaksi naungan ke i dan media ke j
εij = Pengaruh galat percobaan pada naungan ke-i dan media ke-j
Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan, digunakan uji beda nyata Duncan
(Duncan Multiple Range Test) terhadap nilai tengah masing-masing tolok ukur pengamatan.
179
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
penelitian terhadap jabon menunjukkan bahwa pemberian naungan yang berat yaitu 75% (B4)
dengan semua kombinasi media menunjukkan pertumbuhan tinggi dan diameter batang yang
buruk. Pada media tanah (A1), naungan 75% menyebabkan pertumbuhan terburuk
dibandingkan dengan semua perlakuan lainnya (Gambar 1). Naungan dapat berpengaruh buruk
terhadap bibit untuk jenis-jenis pohon tertentu, seperti hasil penelitian Ahmed et al. (2014)
pada bibit Moringa oleifera. Pada tanaman ini naungan yang berat menyebabkan penampilan
bibit yang buruk, bibit tumbuh succulent dan lunak dengan akar yang kecil dan lemah.
Gambar 1. Diameter dan tinggi bibit jabon umur 5 bulan pada berbagai media dan
intensitas naungan
180
Aspek Silvikultur
Gambar 2. Berat kering bibit jabon umur 5 bulan pada berbagai media dan intensitas naugan
Indeks Mutu Bibit merupakan salah satu indikator kesiapan bibit untuk dipindah ke
lapangan. Hendromono dan Durahim (2004) mengemukakan bahwa bibit yang memiliki nilai
IMB minimal 0.09 akan memiliki daya tahan hidup yang tinggi apabila dipindah ke lapangan.
Dalam penelitian ini, nilai IMB untuk perlakuan A2B1 pada bibit jabon sebesar 0,49 (Tabel 1).
Hasil ini menunjukkan bahwa bibit benuang dan jabon umur 5 bulan sudah siap dipindah ke
lapangan.
181
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tabel 1. Persen hidup dan Indeks Mutu bibit jabon umur 5 bulan pada berbagai
media dan intensitas naugan
IV. KESIMPULAN
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa intesitas cahaya dalam persemaian jabon
berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit, sehingga faktor ini perlu diperhatikan dalam
persemaian jabon. Kondisi tanpa naungan, atau naungan yang terlalu berat (75%) merugikan
bagi pertumbuhan bibit jabon. Media kompos + naungan 50% merupakan kondisi persemaian
yang terbaik untuk pembibitan jabon karena menghasilkan pertumbuhan diameter,
pertumbuhan meninggi, berat kering, persentase hidup dan IMB yang tertinggi dibanding
perlakuan lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, LT., Essam, I., Warrag, Abdelgadir, AY. 2014. Effect of Shade on Seed Germination and
Early Seedling Growth of Moringa Oleifera Lam. Journal of forest products & industries,
3(1), 20-26.
Durahim dan Hendromono. 2001. Kemungkinan Penggunaan Limbah Organik Sabut Kelapa
Sawit dan Sekam Padi Sebagai Campuran Top Soil Untuk Media Pertumbuhan Bibit
Mahoni (Swietenia macrophylla King). Buletin Penelitian Hutan No 628:13-26.
182
Aspek Silvikultur
Harun, RMR and Ismail, KH. 1983. The Effects of Shading Regimes on the Growth of Cocoa
Seedlings (Theobroma cacao L.). Pertanika 6(3), 1-5.
Hendromono.1994. Pengaruh Media Organik dan Tanah Mineral Terhadap Mutu Bibit
Pterygota alata Roxb. Buletin Penelitian Hutan no.617 : 55-64.
Hendromono dan Durahim. 2004. Pemanfaatan Limbah Sabut Kelapa Sawit dan Sekam Padi
Sebagai Medium Pertumbuhan Bibit Mahoni Afrika (Khaya anthoteca. C.DC). Buletin
Penelitian Hutan no 644. Badan Litbang Kehutanan. Puslitbang Hutan dan Konservasi
Alam. Bogor.
Kurniaty, R,Budiman, B.dan Suartana, M. 2006. Pengaruh Media dan Naungan terhadap
Kualitas Bibit. Laporan hasil penelitian BPTP, Bogor. Tidak diterbitkan.
Kurniaty, R, Budiman, B., Damayanti, R.U., dan Djam’an, D.F. 2009. Penggunaan Limbah Organik
Sebagai Media Pertumbuhan Bibit Tanaman. Makalah Utama pada Seminar “Teknologi
Perbenihan Perbenihan untuk Peningkatan Produktivitas Hutan Rakyat di Sumatra
Barat” Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor.
Kurniaty, R. 2010. Stasiun Penelitian Nagrak. Publikasi Khusus. Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan Bogor.
Kung’u,B.J., Kihara, J., Mugendi, D.N, and Jaenicke, Hr. 2008. Effect of small-scale farmers’ tree
nursery growing medium on agroforestry tree seedlings’ quality in Mt. Kenya region.
Scientific Research and Essay Vol.3 (8):359-364.
Merlina, N dan Rusnandi, D. 2007. Teknik Aklimatisasi Planlet Anthurium pada Beberapa Media
Tanam. Buletin Teknik Pertanian Vol 12 No 1. Balai Penelitian Tanaman Hias, Cianjur.
Prawiranata, W.Harran. S.Tjondronegoro,P. 1995. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan Jilid II.
Departemen Botani. Fakultas MIPA IPB. Bogor.
Ramayanti, S. Suhartati, dan Aprianis, Y., 2009. Potensi Jenis Tanaman Lokal Sebagai Alternatif
Bahan Baku Pulp. Gelar Teknologi Badan Litbang Kehutanan. Tahun 2009.
Sarwar, G., Schmeisky, H., Hussain, N., Muhammad, S., Ibrahim, M. and Safdar, E. 2008.
Improvement of Soil Physical and Chemical Properties with Compost Application in Rice-
Wheat Cropping System. Pak. J. Bot., 40(1): 275-282.
Sarwar, G., Schmeisky, H., Tahir, M.A., Iftikhar, Y., and Sabah, N.U. 2010. Application of
Greencompost for Improvement in Soil Chemical Properties and Fertility Status. The
Journal of Animal & Plant Sciences, 20(4): 258-260.
183
Aspek Silvikultur
ABSTRAK
Produktivitas hasil hutan tanaman akan meningkat sehingga dapat memenuhi target industri apabila
mendapat dukungan IPTEK dalam pengelolaannya. Keberhasilan budidaya tanaman hutan ditentukan
oleh teknis penanaman yang tepat, mengikuti kaidah teknik silvikultur intensif. Apabila para pelaksana
lapangan mempunyai pedoman yang sama dalam membangun hutan, maka penerapan standar teknis
yang didasarkan pada hasil penelitian dapat menjadi panduan dalam pelaksanaannya. Standar teknis
budidaya untuk lima jenis tanaman hutan yang telah disusun meliputi jati inti, sengon, mahoni, jabon
dan mangium.
Kata kunci: budidaya, produktivitas, standar teknis, tanaman hutan
I. PENDAHULUAN
Hutan rakyat saat ini berkembang cukup pesat, hal ini dapat dilihat dari peningkatan
luas dan produksi kayu rakyat yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Inisiatif masyarakat
dalam pembangunan hutan tanaman berbasis masyarakat perlu mendapat dukungan dari
semua pihak. Perkembangan ini terjadi karena dorongan kebutuhan kayu yang semakin besar,
karena permasalahan utama yang dihadapi sektor kehutanan sampai saat ini adalah
kekurangan bahan baku untuk industri kayu. Kondisi ini menyebabkan perlunya pengelolaan
hutan secara intensif agar produktivitas tegakan dapat ditingkatkan. Produktivitas hutan
tanaman sampai saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan bahan baku industri sesuai
dengan target yang dicanangkan. Ada beberapa hal yang menyebabkan produktivitas hasil
hutan tanaman belum memenuhi bahan baku target industri diantaranya adalah penerapan
IPTEK dalam mengelola hutan tanaman belum maksimal.
Tanaman hutan yang umumnya dikembangkan di hutan rakyat adalah jenis-jenis yang
mempunyai nilai ekonomi yang cukup baik, khususnya untuk jenis jati dan mahoni, dan jenis-
jenis cepat tumbuh (Fast growing species) seperti sengon, jabon dan mangium, sesuai dengan
peruntukkan kayunya.
Dukungan IPTEK dalam peningkatan produktivitas tegakan sudah mulai dilakukan
khususnya pada lima jenis diatas, yaitu dari segi kualitas benih dan sistem silvikulturnya. Namun
faktor lain yang penting untuk dipertimbangkan dalam budidaya tanaman hutan adalah peran
masyarakat, dalam hal ini pola pengelolaan yang yang menempatkan masyarakat (petani)
sebagai subyek. Oleh karena itu perpaduan antara penggunaan benih berkualitas, penerapan
sistem silvikultur intensif dan pola pengelolaan hutan yang berbasis kemitraan dengan petani
diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tegakan menjadi maksimal. Mensikapi hal
tersebut Kementerian Kehutanan dalam hal ini Sekretariat Jenderal Kehutanan dan Badan
Usaha Kehutanan mencoba memadukan dua program yaitu program kredit usaha skema Badan
Layanan Umum (BLU) dengan program Hutan Tanaman Rakyat. Diharapkan dengan kedua
program ini selain dapat meningkatkan produktivitas hutan juga dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat terutama petani hutan.
185
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
186
Aspek Silvikultur
budidaya untuk lima jenis tanaman hutan yang telah disusun meliputi jati inti, sengon, mahoni,
jabon dan mangium. Teknik budidaya untuk lima jenis tersebut ini juga merupakan penyesuaian
dari teknik budidaya yang telah disusun oleh Tim Badan Litbang Kementerian Lingkungan dan
Kehutanan (Effendi et al., 2013; Kosasih dan Danu, 2013; Bogidarmanti et al., 2013; Mindawati
et al., 2013; Nurrohmah dan Kurniawati, 2013).
1. Standar teknis budidaya silvikultur intensif jenis jati inti
Tabel 1. Standar Teknis Budidaya dengan Silvikultur Intensif Jenis Jati
No Kegiatan Diskripsi Kegiatan Waktu Pelaksanaan
Kegiatan
1 Persiapan dan Pemilihan lokasi yang tepat: lahan tidak tergenang, Tahun -1
pengolahan lahan ketinggian kurang dari 700 m dpl, curah hujan 1.250-
3.000 mm/th, sebaiknya pada tanah berjenis regusol-
grumosol, pH > 5.8
Pembersihan dari semak, akar-akar gulma dan
kantong/rumah rayap.
Pembongkaran tunggak, pembalikan tanah, penghan-
curan bongkahan tanah, dan penyingkiran batu
2 Pengadaan bibit Bibit berasal dari klon unggul yang telah dimuliakan Tahun -1
(Tree breeding/Mutation breeding) dan sumber
benih berkualitas.
Bibit telah teruji memiliki daya adaptasi serta
memiliki keunggulan pertumbuhan yang tinggi
(berdasarkan uji multi lokasi).
3 Persiapan Jarak tanam 4 x 5 m2 (500 pohon per ha) Tahun -1
penanaman dan Lubang tanam berukuran besar yaitu: 40 x 40 x 40 cm
pemberian pupuk Dua minggu sebelum penanaman, setiap lubang
dasar dan kaptan diberi pupuk dasar sebanyak 6.0 kg kompos matang
(berasal dari campuran daun-daunan dan kotoran
ternak) dan kaptan 250 gram.
4 Penanaman, Waktu penanaman dilaksanakan pada awal musim Tahun 1
penyulaman, hujan dan frekwensi hujan sudah stabil
pemberian Bibit dikeluarkan dari kantung semai secara hati-hati
insektisida sistemik agar media tanam tetap utuh, kemudian bibit dima-
(bahan aktif carbo sukkan pada lubang tanam, dan ditimbun dengan ta-
furan) nah yang sebelumnya adalah tanah lapisan atas/hu-
mus. Selanjutnya dimasukkan tanah yang berasal dari
lapisan bawah. Tanah dipadatkan dengan cara bibit
dipegang pada bagian batangnya dan tanah di sekitar
bibit diinjak perlahan.
Pada saat penanaman ditambahkan insektisida seste-
mik sebanyak 20 gram pada masing-masing lubang
tanam. Bila frekwensi serangan rayap tinggi pemberi-
an insektisida sistemik sebanyak 2 kali sebulan hingga
tanaman terlihat sehat.
Tempatkan kantung semai pada ujung ajir, sebagai
tanda bahwa bibit telah ditanam dan kantung semai
tidak ikut tertanam.
Penyulaman dilakukan maksimum pada umur 3 bulan
sejak awal penanaman.
5 Pendangiran, Pada tanaman jati muda, gulma (tanaman penggang- Pendangiran dan
pembuatan piringan gu) seperti tumbuhan merambat, semak, atau rum- pembuatan piringan:
dan pembersihan put di sekitar tanaman jati perlu dibersihkan dan di- Tahun 1 sampai
antara dangir secara rutin karena gulma merupakan saingan dengan tahun 3, 2
187
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
188
Aspek Silvikultur
189
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
190
Aspek Silvikultur
191
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
192
Aspek Silvikultur
193
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
194
Aspek Silvikultur
195
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
196
Aspek Silvikultur
Dalam standar teknis ditekankan pada penggunaan bibit berkualitas atau berasal dari
klon unggul. Klon unggul umumnya diperbanyak dengan menggunakan metode vegetatif antara
lain kultur jaringan.
IV. PENUTUP
Penggunaan bibit unggul tanpa pengelolaan yang baik tidak akan menghasilkan
produktivitas yang optimal. Budi daya tanaman hutan juga mutlak menerapkan teknik
silvikultur intensif. Salah satu syarat dalam budidaya tanaman hutan adalah faktor kesesuaian
tempat tumbuh (site species matching), yaitu kondisi lingkungan (ketinggian tempat tumbuh,
tanah dan iklim) harus sesuai untuk tanaman tersebut. Setelah kondisi lingkungan sesuai
selanjutnya adalah penerapan teknik silvikultur intensif yang dimulai dari persiapan dan
pengolahan lahan, penanaman, pola tanam, pemeliharaan, pemupukan, pengendalian gulma,
pengendaian hama dan penyakit, serta pengamatan dan evaluasi. Seluruh proses tersebut
diatas harus dilakukan dengan tepat yaitu tepat ukuran dan tepat waktu, sehingga dalam
proses silvikultur intensif, penerapan pengawasan adalah berbasis individu pohon.
DAFTAR PUSTAKA
Bogidarmanti R, Mindawati N. dan Yulianti. 2013. Manual Budidaya Jabon putih (Anthocephalus
cadamba). Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan
dengan Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, Direktorat BPDAS-PS. Kementerian
Kehutanan
Departemen Kehutanan. 2003. Statistik kehutanan 2003. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
Effendi R. dan Widyani N. 2013. Manual Budidaya Jati (Tectona grandis L.f.) Pusat Litbang
Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan dengan Direktorat
Perbenihan Tanaman Hutan, Direktorat BPDAS-PS. Kementerian Kehutanan
Kjaer, E.D., Kosa-Ard, A. And V. Suangtho. 2000. Domestication Of Teak Through Tree
Improvement: Options, Possible Gains And Critical Factors.
Kjaer, E.D. And G.S. Foster. The Economics Of Tree Improvement Of Teak (Tectona Grandis L.).
Kosasih AS dan Danu. 2013. Manual Budidaya Jati Putih (Gmelina arborea Roxb.) Pusat Litbang
Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan dengan Direktorat
Perbenihan Tanaman Hutan, Direktorat BPDAS-PS. Kementerian Kehutanan
197
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Lukito, M Dan Ahadiati Rohmatiah. 2013. Estimasi Biomassa Dan Karbon Tanaman Jati Umur 5
Tahun (Kasus Kawasan Hutan Tanaman Jati Unggul Nusantara (JUN) Desa Krowe,
Kecamatan Lembeyan Kabupaten Magetan). Agri-Tek Volume 14 Nomor 1 Maret 2013
Lukmandaru G; Vendy Eko Prasetyo; Joko Sulistyo, Dan Sri Nugroho Marsoem. Sifat
Pertumbuhan Kayu Jati Dari Hutan Rakyat Gunungkidul.
Mindawati N dan Megawati. 2013. Manual Budidaya Mahoni (Swietenia macrophylla). Pusat
Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan dengan Direktorat
Perbenihan Tanaman Hutan, Direktorat BPDAS-PS. Kementerian Kehutanan
Nugroho B. 2010. Pembangunan kelembagaan pinjaman dana bergulir hutan rakyat. Jurnal
Manejemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. 16:118-125.
Nurrohmah H dan Kurniawati PP. 2013. Manual Budidaya Sengon (Paraserianthes falcataria).
Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan, Badan Litbang Kehutanan dengan
Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, Direktorat BPDAS-PS. Kementerian Kehutanan
[Pusat P2H] Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan. 2010. Kerangka acuan seminar pola
pengelolaan dan pembiayaan hutan rakyat. Jakarta. Pusat Pembiayaan Pembangunan
Hutan, Badan Layanan Umum (BLU) Kehutanan.
198
Aspek Silvikultur
I. PENDAHULUAN
Sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Balai Pengelolaan Daerah Sungai Way Sekapung Seputih (BPDAS WSS) Lampung
dibebani tugas untuk mendukung nawa cita pemerintahan Jokowi-JK. Tugas pokok dan fungsi
BPDAS sangat bersinggungan dengan masyarakat, desa, pinggiran, petani, dan juga peningkatan
produktivitas hutan.
Dalam paper ini pokok bahasan kami lebih difokuskan pada peran BPDAS WSS Lampung
dalam mendukung program peningkatan produktivitas hutan. Karena dalam tupoksi BPDAS
sangat beruhubungan erat dengan masyarakat maka topiknya lebih menukik pada hutan
rakyat. Sebagaimana tersrat di dalam UU No. 41 tahun 1999, hutan rakyat termasuk di dalam
kategori hutan hak, yaitu hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah.
BPDAS diberi mandat tugas pokok dan fungsi untuk mengelola kawasan Daerah Aliran
Sungai (DAS). Salah satu peran BPDAS dalam hal peningkatan produktivitas lahan adalah
melalui penyediaan bibit yang dibagikan secara cuma-cuma kepada masyarakat untuk ditanam
pada lahan milik. Untuk mendukung program tersebut BPDAS WSS Lampung telah membangun
persemaian permanen. Makalah ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang
pengelolaan persemaian permanen guna mendukung peningkatan produktivitas hutan rakyat di
wilayah Provinsi Lampung.
199
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
dimaksudkan guna meyakinkan masyarakat akan pentingnya pohon sebagai tabungan dan
harapan keluarga. Kegiatan sosialisasi tersebut dilakukan melalui media televisi, radio, media
cetak dan bahkan dilakukan pelatihan teknis kepada Oraganisasi-organisasi Mahasiswa se-
Provinsi Lampung, LSM dan penyuluhan kepada pelajar dari mulai TK hingga SD. Kegiatan
tersebut nampaknya telah menuai hasil. Hal itu terbukti dengan meningkatnya permintaan bibit
dari tahun ke tahun.
Adapun jenis-jenis bibit yang diminati masyarakat disajikan dalam Tabel 1. Nomor urut
yang ditampilkan pada kolom 1 pada tabel tersebut menunjukkan urutan prioritas pada masing-
masing kategori. Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 1, tampak bahwa untuk
masyarakat Lampung jenis kayu sengon masih menjadi primadona untuk jenis penghasil kayu.
Hal yang menarik, masyarakat Lampung juga telah melirik jenis Acacia mangium sebagai
prioritas kedua untuk kategori jenis penghasil kayu. Padahal semula jenis ini lebih populer
sebagai jenis kayu yang dikembangkan untuk hutan tanaman industri. Pada kategori MPTS
(multipurpose trees), jenis petai dan pala masih menjadi prioritas utama yang sangat diminati
masyarakat Lampung. Adapun untuk jenis bibit ndukan vegetatif, masyarakat lebih melirik jati
muna dibandingkan matoa maupun durian hutan lampung sekalipun.
Tabel 1. Jenis-jenis bibit pohon yang diminati masyarakat Lampung
No. Jenis Bibit pada Masing-masing Kategori
Urut Kayu- MPTS Tanaman Pantai & Tanaman Indukan
Prioritas kayuan Lingkungan Mangrove Langka Vegetatif
1 Sengon Petai Glodokan Cemara Laut Tenam Jati Muna
Tiang
2 Acacia Pala Trembesi Ketapang Merbau Matoa
mangium
3 Cempaka/ Jengkol Sawo Kecik Rhizopora Ficus sp. Klengkeng
Bambang mucronanta Itoh
Lanang
4 Medang Durian Tanjung Rhizopora Asam Durian
apiculata Kandis Hutan
Lampung
5 Gmelina Karet Ketapang Rhizopora
Kencana steliosa
6 Mahoni Damar
Mata Kucing
7 Sirsak
8 Jambu Biji
200
Aspek Silvikultur
didatangkan dari Sumatera Utara. Selain menggunakan benih, perbanyakan bibit di kedua
persemaian di Lampung juga benih vegetatif, khususnya untuk jenis Matoa, Jati Muna, Bambu,
Klengkeng Itoh. Benih untuk jenis-jenis tersebut diperoleh dari Pengada Benih Terdaftar di
Jawa.
Selain dari sumber-sumber yang disebutkan di muka, di Provinsi Lampung juga terdapat
beberapa Koleksi Sumber Benih Lokal Hutan Lampung. Khususnya untuk jenis-jenis yang
penyebarannya terdapat di Lampung. Jenis-jenis tersebut antara lain: Mahoni, Waru Gunung,
Tenam, Damar Mata Kucing, Acacia mangium, dan Jernang.
(a) (b)
Gambar 1. a. Alat Pembuat Media Semai Cetak (MSC), b. Cara pengoperasian MSC
Untuk menggunakan alat MSC diperlukan media khusus yang merupakan campuran
antara tanah liat, serbuk sabut kelapa, arang sekam padi dan pasir halus. Media tersebut diaduk
rata dan dicampur air membentuk adonan layaknya bahan batu bata. Contoh bahan media
yang telah siap untuk dicetak dapat dilihat pada Gambar 2. Pada Gambar 3, kami disajikan foto
bibit yang menggunakan media MSC tersusun di dalam bedeng-bedeng persemaian.
201
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
202
Aspek Silvikultur
203
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
VI. PENUTUP
Demikianlah beberapa hal yang telah dilakukan oleh BPDAS WSS Lampung dalam rangka
mendukung program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, khususnya dalam
program peningkatan produktivitas hutan rakyat. Dalam mendukung program tersebut BPDAS
WSS Lampung menyokongnya dalam bentuk penyediaan bibit berkualitas dalam jumlah yang
cukup sesuai dengan minat masyarakat; mengembangkan inovasi dalam produksi bibit;
melibatkan masayarakat dalam konservasi jenis-jenis MPTS unggulan setempat; pendampingan
pembudidayaan dan pengolahan hasil gaharu serta memfasilitasi pemasaran produknya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
204
ASPEK SOSIAL, EKONOMI DAN
KELEMBAGAAN
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
Bramasto Nugroho
Institut Pertanian Bogor
ABSTRAK
Pembangunan kehutanan di Indonesia dihadapkan pada rendahnya tata kelola hutan dan lahan. Ada 4
persoalan utama yang ditengarai sebagai penyebab rendahnya nilai indeks tata kelola tersebut, yaitu
(UNDP 2013): 1) Lemahnya pengelolaan hutan dan lahan, 2) Open akses kawasan hutan, 3) Lemahnya
penegakan hukum, dan 4) Biaya transaksi tinggi pengusahaan hutan. Kondisi demikian menyebabkan
penurunan produktivitas hutan baik dalam arti kemampuan hutan untuk menghasilkan tegakan dan
tanaman-tanaman lainnya sebagai penyusun ekosistem hutan (stock) maupun aliran manfaat (flow) dari
hutan tersebut. Persoalan-persoalan yang menyebabkan penurunan produktivitas hutan tersebut tentu
bukan merupakan persoalan teknis semata, melainkan terdapat pula persoalan-persoalan yang lebih
kompleks seperti sosial, politik, kelembagaan, regulasi dan ketiadaan organisasi pengelola di tingkat
tapak sebagai faktor pemungkin (enabling factors) bagi keberhasilan pendekatan teknis. Di antara
banyak persoalan tersebut di atas, paper ini akan difokuskan untuk mengupas perlunya kelembagaan
dan organisasi pengelola di tingkat tapak untuk mendorong peningkatan produktivitas hutan produksi
dan lindung. Dalam kerangka peraturan dan perudangan yang ada, pengelola di tingkat tapak tersebut
dapat diperankan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Kata kunci: kelembagaan, produktivitas hutan, tata kelola hutan dan lahan, Kesatuan Pengelolaan
Hutan (KPH)
I. PENDAHULUAN
Pembangunan kehutanan di Indonesia dihadapkan pada rendahnya tata kelola hutan
dan lahan. Penelitian UNDP (2013) menunjukkan bahwa indeks tata kelola hutan dan lahan
untuk tingkat kabupaten hanya 1,98 dari nilai sempurna 5, untuk tingkat provinsi 2,36, pusat
2,71 dan rataan nasional 2,33. Ada 4 persoalan utama yang ditengarai sebagai penyebab
rendahnya nilai indeks tata kelola tersebut, yaitu 1) Lemahnya pengelolaan hutan dan lahan, 2)
Open akses kawasan hutan, 3) Lemahnya penegakan hukum, dan 4) Biaya transaksi tinggi
pengusahaan hutan. Dari data-data statistik kehutanan maupun kajian-kajian yang telah
dilakukan, ke-4 persoalan utama tersebut dapat dirunut kebenarannya. FWI (2014) melaporkan
bahwa sampai dengan tahun 2013 terdapat 41 juta ha luas tutupan hutanalam yang berada di
Kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi dan AreaPenggunaan Lain yang belum memiliki
lembaga yang bertanggung jawabsebagai pengelola di lapangan. Dari seluruh kawasan hutan
Negara (130,68 juta ha) baru sekitar 12,68% (14,24 juta ha) yang telah dikukuhkan, walaupun
telah ditata batas sepanjang 222.452 km (74,67%) dari proyeksi panjang tata batas 281.873 km
(RKTN 2011-2030).
Ketiadaan pengelola di tingkat tapak dan rendahnya kepastian kawasan yang telah
dikukuhkan menyebabkan areal hutan yang dikuasai oleh Negara berisiko menjadi sumberdaya
dengan akses terbuka (open access resources), akibatnya illegal logging dan deforestasi masih
ditengarai tinggi di Indonesia. FWI (2014) melaporkan bahwa kehilangan tutupan hutan alam
(deforestasi) di Indonesia pada periode 2009-2013 adalah sekitar 4,50 juta hektar dan laju
kehilangan hutan alam Indonesia adalah sekitar 1,13 juta hektar per tahun lebih tinggi dari
207
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
laporan Badan Planologi Kehutanan (2008) untuk kurun waktu 2000-2005 yang menyebutkan
konversi hutan mencapai 1,09 juta ha per tahun.
Lahan kritis hingga 2013 mencapai luasan 27.294.842 ha terdiri 22.025.581 ha
berkategori kritis dan 5.269.260 ha berkategori sangat kritis, sementara kemampuan
pemerintah untuk merehabilitasinya sangat terbatas yaitu 119.095 ha pada tahun 2013
(Statistik Kementerian Kehutanan Tahun 2013) yang tampaknya untuk tahun-tahun sebelumnya
tidak akan berbeda siginifikan dengan realisasi tahun 2013 tersebut. Belum lagi apabila dilacak
tingkat keberhasilannya menjadi pohon yang dapat berfungsi baik sebagai penyuplai kayu
maupun pendukung kehidupan. Tampaknya basis spasial dan pendataan yang kontinyu
terhadap hasil-hasil rehabilitasi masih perlu diperkuat.
Pada pengusahaan hutan, Litbang KPK juga menengarai adanya biaya transaksi tinggi,
baik pada pelaksanaan perizinan, perencanaan hutan, produksi hasil hutan, dan penataan
usaha hasil hutan (Litbang KPK 2013). Tingginya biaya transaksi tersebut menyebabkan usaha di
bidang kehutanan menjadi tidak atraktif. Apabila tahun 2008 masih ada 212 unit pemegang
IUPHHK-HA, pada tahun 2012 jumlah tersebut tinggal 115 unit.
Di antara banyak persoalan tersebut di atas, paper ini akan difokuskan untuk mengupas
perlunya kelembagaan dan organisasi pengelola di tingkat tapak, karena program-program
pemerintah untuk peningkatan produktivitas hutan produksi dan hutan lindung akan banyak
mengalami hambatan apabila tidak ada pihak yang bertanggung jawab atas keberhasilan
implementasinya yaitu dalam hal perencanaan dan pembiayaannya, pelaksanaan program-
program, penjaminan terhadap keamanan dan kelestarian investasi, menekan dampak negatif
penguasaan kawasan hutan oleh Negara yang sesuai karakteristiknya rentan menjadi open
access resources, pengukuran dan pelaporan atas program, menindak lanjuti atas kelemahan-
kelemahan implementasi program, pengelolaan biaya dan pendistribusian manfaat-manfaat di
level tapak. Oleh karenanya, menghadirkan pengelola di tingkat tapak yang dapat
melaksanakan aktivitas-aktivitas tersebut sangat diperlukan. Dalam kerangka peraturan dan
perudangan yang ada, pengelola di tingkat tapak tersebut dapat diperankan oleh Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) (UU 41/1999; PP 6/2007 jo PP 3/2008; PP 44/2004).
208
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
yang efektif akan menyebabkan sumberdaya milik bersama dimanfaatkan secara berlebihan
(over exploitation) yang mengakibatkan rusaknya (tidak lestarinya) sumberdaya tersebut
(Ostrom, 2008). Fenomena-fenomena perambahan hutan, illegal logging dan deforestasi
terjadi karena sebab-sebab tersebut, sebagai akibat tidak terkendalinya kompetisi klaim
(competing claims) para aktor. Kompetisi klaim tersebut tidak saja melibatkan masyarakat di
dalam dan sekitar hutan, melainkan melibatkan pula para aktor yang memiliki kewenangan
dalam perizinan pemanfaatan sumberdaya milik bersama tersebut.
3. Kepastian hukum atas areal hutan Negara masih lemah. Pengukuhan hutan yang menjadi
pra-syarat kepastian hukum (legalitas) kawasan hutan pada kenyataannya masih dalam
proses penetapan. Areal yang telah dikukuhkanpun tidak seluruhnya dihormati oleh
masyarakat (legitimate) yang menyebabkan tingginya konflik-konflik tenurial di kawasan
hutan Negara.
4. Investasi-investasi publik (pemerintah) tidak dapat dipastikan keberhasilannya, karena
“penjaga” dari investasi tersebut tidak ada di level tapak. Investasi publik tersebut dapat
meliputi pal batas, hasil rehabilitasi hutan dan lahan, dan lain sebagainya. Ketiadaan
“penjaga” di level tapak akan menimbulkan pemikiran masyarakat bahwa investasi publik
kehutanan tidak ada yang memilikinya.
5. Pemerintah sebagai penguasa kawasan hutan Negara pada kenyataannya tidak memiliki
informasi yang komplit terhadap sumberdaya yang dikuasainya. Kepemilikan informasi justru
berada pada pemegang izin. Pada situasi demikian pada dasarnya akan mendorong
pemegang izin dan petugas pengawas usaha pemegang izin akan berperilaku moral hazard
dalam pengelolaan hutan. Fenomena rusaknya konsesi hutan sebelum masa konsesi habis
merupakan akibat dari situasi ketidaksepadanan informasi yang dimiliki antara pemegang
izin dan pemerintah. Begitu pula dengan fenomena biaya transaksi tinggi pada pengusahaan
hutan di Indonesia.Sesungguhnya dengan mekanisme pemberian izin bagi swasta yang ingin
terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan, pemerintah memiliki kesempatan untuk
mengendalikan perilaku pemegang izin.Pada kenyataannya mekanisme izin yang
dikembangkan belum mampu dijadikan alat pengendali perilaku lestari bagi pemegang izin.
Kondisi demikian jelas akan menurunkan produktivitas hutan. Menurut kamus besar
bahasa Indonesia (KBBI) produktivitas didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan
sesuatu. Apabila dikaitkan dengan hutan memiliki arti kemampuan hutan untuk menghasilkan
tegakan dan tanaman-tanaman lainnya sebagai penyusun ekosistem hutan (stock) yang pada
akhirnya akan mempengaruhi aliran manfaat (flow) dari hutan tersebut. Deforestasi tinggi,
luasnya lahan kritis, terbatasnya kemampuan pemerintah untuk merehabilitasi dan tidak
menariknya investasi di sektor kehutanan akanmengurangi sediaan (stock) sumberdaya hutan
dan akhirnya akan mengurangi kemampuannya untuk menyediakan aliran manfaat (flow).
Persoalan-persoalan yang menyebabkan penurunan produktivitas hutan tersebut tentu
bukan merupakan persoalan teknis semata. Oleh karenanya untuk meningkatkan produktivitas
hutan yang hanya berorientasi teknis seperti ketepatan jenis dengan tempat tumbuh (soil
species matching), bibit unggul, teknik silvikultur, dls akan berisiko tinggi menemui kegagalan,
karena persoalan-persoalan yang lebih kompleks seperti sosial, politik, kelembagaan, regulasi
dan ketiadaan organisasi pengelola di tingkat tapak juga perlu disediakan sebagai faktor
pemungkin (enabling factors) bagi keberhasilan pendekatan teknis. Hal ini sejalan dengan
sinyalemen Mayers et al. (2002) yang menyatakan bahwa banyak persoalan pencapaian
pengelolaan hutan lestari (PHL) seringkali berakar pada masalah yang jauh dari SDH itu sendiri.
Ketika faktor-faktor pemungkin bagi bekerjanya suatu kebijakan tersebut telah mampu
209
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
disediakan, maka orang akan berfikir tentang efisiensi dan peningkatan produktivitas. Pada saat
itulah teknologi memiliki peran yang sangat penting.
210
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
unit organisasi yang ditugaskan untuk mengelola kawasan hutan Negara sesuai fungsinya yaitu
hutan produksi (KPHP), hutan lindung (KPHL) dan hutan konservasi (KPHK).
Mengingat posisi yang cukup strategis tersebut, maka KPH perlu diberi tugas dan fungsi yang
cukup luas. Tugas dan fungsi tersebut meliputi (PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008):
1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan; penggunaan kawasan hutan; rehabilitasi hutan dan
reklamasi; dan perlindungan hutan dan konservasi alam.
2. Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan
untuk diimplementasikandi level tapak.
3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan diwilayahnya mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian.
4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di
wilayahnya.
5. Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
Dengan demikian kehadiran KPH di tingkat tapak secara potensial dapat diperankan sebagai
berikut:
1. Kawasan hutan yang berdasarkan UU dikuasai oleh negara memerlukan lembaga dan
kelembagaan pengelolaan hutan yang efektif dan merupakan wakil pemerintah di tingkat
tapak untuk meminimalisir risiko bermutasinya kawasan hutan yang dikuasai oleh negara
menjadi open access resources.
2. Kompetisi klaim atas sumberdaya hutan (termasuk lahan) dapat lebih diatur dengan adanya
organisasi KPH di tingkat tapak. Ketika ada masyarakat yang memerlukan ruang untuk
penguatan mata penchariannya dapat dicarikan solusi yang tidak bertentangan dengan
regulasi yang ada baik melalui fasilitasi perolehan izin HTR, HKm dan Hutan Desa maupun
melalui kemitraan (Permenhut P.39/2013) dan kerjasama bagi hasil pada wilayah tertentu
(Permenhut P.47/2013). Begitu pula ketika ada pemberian izin kepada swasta, KPH dapat
memberikan masukan atas rekomendasi perizinan.
3. Pengelolaan (terutama pemanfaatan SDH) yang dipercayakan kepada swasta melalui
mekanisme pemberian ijin pemanfaatan hasil hutan (IUPHH) memiliki keterbatasan waktu
dan apabila telah berakhir masa konsesinya kawasan tersebut menjadi tidak berpengelola.
Selain itu sifat pemindahan hak (transfer of right) yang diberikan kepada pemegang ijin
adalah sementara (temporary transfer of rights) seperti halnya sewa-menyewa, maka
diperlukan pula pengawasan yang ketat dari pemerintah atas perilaku pemegang ijin dalam
pemanfaatan hutan di tingkat tapak.
4. Dengan kehadiran KPH, maka kemampuan pemerintah untuk memperkuat kepemilikan
informasi SDH di tingkat tapak dapat ditingkatkan. Dengan informasi yang kuat, maka
bentuk-bentuk intervensi dapat disesuaikan dengan kondisi setempat, selain untuk
melindungi dan mengamankan asset Negara berupa hutan.
5. Banyak investasi kehutanan seperti halnya pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL)
yang telah diimplementasikan di lapangan sering gagal yang dikarenakan ketiadaan
pengelola atas investasi tersebut. Pelaksana proyek hanya berorientasi pada penanaman,
tanpa memikirkan pemeliharaan dan pengelolaan atas pohon yang ditanam. Investasi
kehutanan tidak hanya terbatas pada RHL saja melainkan juga meliputi pal batas, jalan
inspeksi, program-program pengayaan dan perlindungan biodiversitas, program-program
REDD+, dls. Selain menjaga dan mengelola investasi kehutanan tersebut, KPH dapat pula
diperankan sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengukuran, monitoring,
211
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
212
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
Legalitas, legitimasi dan kemandirian pengelolaan KPH tersebut perlu ada pada berbagai
aspek yang mempengaruhi kelestarian pengelolaan hutan. Aspek-aspek tersebut meliputi
kawasan, kelembagaan, program/kegiatan, dana dan SDM. Selain itu perlu pula disediakan
faktor-faktor pemungkin untuk operasionalisasi KPH secara efektif dan efisien.
Merujuk pada pemikiran tersebut, maka kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam
rangka penguatan KPH dapat dirinci pada Tabel 1.
Tabel 1. Dukungan Kegiatan untuk Penguatan Kapasitas KPH
ASPEK LEGALITAS LEGITIMASI KEMANDIRIAN
PENGELOLAAN
KAWASAN • Pengukuhan kawasan • Dukungan stakeholder • Clear and clean (bebas
KPH (penunjukan, melalui penguatan Forum- konflik, minimal konflik
tata batas, pemetaan, forum Multipihak dapat dikelola)
penetapan) • Identifikasi dan penyelesaian • Jaminan keamanan
konflik tenurial investasi publik dan privat
• Pengakuan atas hak-hak
yang ada
KELEMBAGAAN • Lobby Gubernur un- • Penguatan kapasitas resolusi • Membangun upaya untuk
tuk percepatan pene- konflik danpengkomunikasian mengurangi ketergan-
tapan pejabat KKPH keberadaan KPH tungan terhadap APBN/D
• Proses-proses politik • Pembangunan organisasi • Membangun kerjasama
percepatan penetap- hingga tingkat resort beserta dengan masyarakat, do-
an dan pengisian infrastrukturnya nor, stakeholders, swasta
personil KPH • Penguatan kapasitas
• Kejelasan posisi KPH organisasi KPH melalui
terkait implementasi pendampingan pusat dan
UU 23/2014 provinsi
PROGRAM/ • Review RPHJP dan/ • Membangun tata kelola KPH • Penyelenggaraan pengelo-
KEGIATAN atau Business Plan yang transparan, akuntabel laan hutan lestari (tata hu-
menuju pengelolaan dan partisipatif (Good Forest tan, RPH, pemanfaatan,
KPH lestari Governance) penggunaan, rehabilitasi,
• Mainstreaming RPHJP • Pelibatan CSO perlindungan dan
KPH ke RPJM dan konservasi).
• Mendorong perencanaan ta-
RenstraDishut hunan KPH berdasar perma- • Pemantauan dan
Provinsi salahan yang berkembang di penilaian pemegang izin.
• Penjabaran masyarakat • Penguatan kapasitas
kebijakan Nas/ Prov/ • Penguatan koordinasi untuk pemanfaatan
Kab/Kot dengan pemegang izin wilayah tertentu
• Mendorong berjalannya
layanan publik KPH
SDM • Penyediaan SDM yang handal dan memberikan layanan prima kepada klien
• Menjajagi kemungkinan perekrutan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja
(P3K) sesuai UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk KKPH
• Penguatan leadership dan entrepreneurship KKPH dan personil pendukungnya
DANA • Membangun peluang investasi dan kemitraan sesuai ketentuan-ketentuan yang ada
(P.47/2013 dan P.39/2013)
• Penerapan PPK-BLUD (sesuai Permendagri 61/2007) atau Perda Retribusi khususnya
213
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
214
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
5. Masih adanya hambatan regulasi terutama terkait dengan perizinan pemanfaatan hutan
termasuk pemanfaatan hasil tanaman kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) dan tata
hubungan kerja KPH dengan pemegang izin.
6. Prospek kemandirian finansial KPH belum terlihat. Untuk mencapai kemandirian finansial,
maka langkah awal yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi potensi sumberdaya hutan
yang dapat dijadikan pendapatan oleh KPH. Selanjutnya untuk mengaktualisasikan potensi
tersebut menjadi pendapatan riil, KPH perlu payung hukum agar dapat menghasilkan
pendapatan. Sesungguhnya telah ada beberapa peraturan yang berpotensi untuk
mendukung kemandirian tersebut, seperti misalnya penerapan Pola Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) sebagaimana diatur dalam Permendagri No.
61/2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah atau
menggunakan mekanisme retribusi daerah, khususnya pada jenis retribusi jasa usaha yang
mana salah satu jenis retribusi pada obyek retribusi jasa usaha adalah retribusi penjualan
produksi usaha daerah (UU 28/2009 pasal 127 huruf k).
7. Kurangnya dukungan sumberdaya manusia (SDM) dan dana. Dukungan BP2SDM dengan
skema “Bhakti Rimbawan” masih dikeluhkan ketepatan rekruitmennya oleh KPH. Umumnya
SDM yang dikirim merupakan sarjana baru yang masih perlu ditingkatkan pemahamannya
tentang KPH, sementara tuntutan di lapangan memerlukan sarjana kehutanan yang sudah
berpengalaman atau paling tidak pengetahuan tentang KPHnya sudah memadai.
8. Komunikasi kebijakan KPH oleh pemerintah pusat belum menyasar pada pengambil
keputusan strategis di level daerah. Komunikasi kebijakan dilakukan hanya sebatas sosialisasi
kepada SKPD-SKPD terkait yang pada kenyataannya tidak memiliki power untuk
memutuskan.
9. Konflik penguasaan lahan (Land tenure conflict) sebagai konsekuensi kebijakan alokasi areal
yang tidak dibebani hak untuk KPH, dimana areal-areal demikian umumnya telah dikuasai
oleh masyarakat yang bila dilihat dari sisi kekuatan klaim atas lahan yang ada pada
Masyarakat dan Kementerian Kehutanan, umumnya masyarakat memiliki legitimasi yang
kuat di lapangan namun legalitasnya lemah sedangkan Kementerian Kehutanan memiliki
legalitas kuat namun legitimasinya lemah.
10. Kurangnya “leadership” dan “entrepreneurship” Kepala KPH yang umumnya berasal dari
PNS.
215
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
sebagai alternative yang paling mungkin dari serangkaian alternative lainnya, hingga saat ini
masih mengalami kendala implementasi dan operasionalisasinya di tingkat tapak. Untuk itu
diperlukan serangkaian kegiatan untuk mendukung penguatan legalitas, legitimasi dan
kemandiriannya baik pada aspek kawasan, kelembagaan, program/kegiatan, dana, SDM dan
faktor-faktor pemungkin untuk operasionalisasi KPH secara efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Forest Watch Indonesia (FWI). 2014. POTRET KEADAAN HUTAN INDONESIA PERIODE 2009-
2013. Forest Watch Indonesia. Bogor. Indonesia.
Kementerian Kehutanan. 2014. Statistik Kementerian Kehutanan Tahun 2013. Kementerian
Kehutanan. Jakarta. Indonesia.
Litbang KPK. 2013. Kajian Sistem Perizinan di Sektor Sumberdaya Alam (SDA): Studi Kasus
Sektor Kehutanan. Litbang KPK. Jakarta. Indonesia.
Mayers J., S. Bass and D. Macqueen. 2002. The Pyramid: A diagnostic and planning tool for good
forest governance. International Institute for Environment and Development (IIED). June
2002.
Ostrom E. 2008. Institutions and the Environment. Journal of Institute of Economic Affairs.
(September 2008): 24-31.
UNDP. 2013. Indeks Tata Kelola Hutan, Lahan dan REDD+ Indonesia 2013. UNDP. Jakarta.
Indonesia.
216
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
KAJIAN SOSIAL, EKONOMI DAN KEBIJAKAN DALAM BUDIDAYA KAYU PERTUKANGAN LOKAL:
PEMBELAJARAN DARI MASYARAKAT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN DAN BENGKULU
ABSTRAK
Masyarakat di hulu maupun hilir DAS di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu secara tradisional
dalam kehidupan sehari-hari mempunyai interaksi dengan kayu pertukangan yang dimanfaatkan sebagai
bahan bangunan rumah maupun perabot rumah tangga. Di Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan
Pagaralam yang terletak di wiayah hulu di Provinsi Sumatera Selatan mengenal kayu bambang lanang
sebagai kayu pertukangan lokal yang tumbuh di pekarangan dan kebun masyarakat. Masyarakat di
wilayah hilir di Provinsi Sumatera Selatan seperti Palembang, OKU mengenal kayu tembesu sebagai kayu
pertukangan yang memiliki kualitas tinggi. Masyatrakat di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu
Tengah yang termasuk wilayah DAS tengah mengenal kayu bawang sebagai kayu pertukangan lokal yang
berasal dari pekarangan dan kebun masyarakat. Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan berbagai
fakta dan data sosial, ekonomi dan kebijakan yang bersumber dari masyarakat di Provinsi Sumatera
Selatan dan Bengkulu dalam kaitannya dengan budidaya pohon penghasil kayu pertukangan lokal
(bambang lanang, tembesu dan kayu bawang) oleh masyarakat.
Kata kunci: bambang lanang, kayu bawang, pemasaran, tembesu
I. PENDAHULUAN
Sumatera bagian selatan (dalam hal ini Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu)
merupakan bentang lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berhulu di Bukit Barisan dan berhilir
di pantai timur dan pantai barat Pulau Sumatera. Wilayah di sekitar hulu DAS mempunyai
topografi bergelombang, berbukit dan bergunung dengan tingkat kesuburan tanah yang cukup
tinggi. Wilayah tengah dan hilir DAS pada umumnya memiliki dataran yang luas yang
merupakan wilayah budidaya yang mempunyai interaksi tinggi dengan masyarakat.
Masyarakat di hulu maupun hilir secara tradisional dalam kehidupan sehari-hari
mempunyai interaksi dengan kayu pertukangan. Kayu pertukangan dimanfaatkan sebagai
bahan bangunan rumah maupun perabot rumah tangga. Masyarakat di wilayah hulu Provinsi
Sumatera Selatan, terutama di Kabupaten Lahat, Empat Lawang dan Pagaralam pada masa lalu
memperoleh kayu berkualitas (tenam, meranti dan merbau) dari hutan alam. Saat ini mereka
memanfaatkan kayu dari pohon bambang lanang (Michelia champaca) yang diperoleh dari
kebun atau ladang masyarakat. Masyarakat di wilayah hilir Provinsi Sumatera Selatan pada
umumnya memanfaatkan kayu racuk sebagai kayu pertukangan. Sedangkan masyarakat hilir
yang termasuk kelas sosial tinggi membangun rumah dari kayu tembesu (Fragraea fragrans)
(Martin, 2012). Bagi masyarakat di Provinsi Bengkulu, kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack)
Jacobs) merupakan kayu pertukangan lokal yang dibudidayakan di kebun masyarakat (Anwar et
al., 1999; Martin dan Galle, 2009). Perbedaan karakteristik geografis dan kependudukan
mempengaruhi persepsi, sikap dan perilaku masyarakat dalam hubungannya dengan budidaya
pohon penghasil kayu. Sehingga kebijakan, program dan pendekatan yang berkaitan dengan
budidaya pohon (dalam hal ini kayu pertukangan lokal) sebaiknya mengacu pada fakta dan
pemikiran yang berkembang di masyarakat (Martin, 2012).
Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan berbagai fakta dan data sosial, ekonomi dan
kebijakan yang bersumber dari masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu dalam
217
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
kaitannya dengan budidaya pohon penghasil kayu pertukangan lokal (bambang lanang,
tembesu dan kayu bawang) oleh masyarakat. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan
sebagai bahan pembelajaran bagi budidaya maupun perumusan kebijakan dalam kaitannya
dengan budidaya dan pengembangan pohon penghasil kayu pertukangan lokal.
218
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
tahun dengan hasil berupa kayu gergajian dengan hasil kayu gergajian kurang lebih 1 m 3 (Martin
dan Premono, 2010).
Tembesu merupakan salah satu salah satu jenis dari famili Loganiaceae yang menyebar
mulai dari Bengal (India), Myanmar, Kepulauan Andaman, Indo Cina, Filipina, Thailand,
Semenanjung Malaysia, Singapura, Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi dan Pulau Yapen
(Lemmens et al., 1995). Tembesu tumbuh pada iklim basah sampai agak kering, dan tumbuh
baik pada ketinggian 0-500 mdpl (Martawijaya et al., 2005). Bagi masyarakat di Sumatera
Bagian Selatan (Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Lampung), kayu tembesu merupakan
kayu yang populer.
Heyne (1987) menyatakan bahwa di Sumatera Selatan, tembesu dikenal sebagai kayu
unggul dengan sebutan kayu raja, yang pada masa lalu hal penebangannya diatur oleh kepala
adat. Kayu tembesu dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan rumah maupun perabot.
Di Sumatera Selatan, kayu tembesu digunakan sebagai bahan baku pembuatan rumah baik
karena kekuatan dan keawetannya maupun karena prestise. Martawijaya et al. (2005)
menyatakan bahwa kayu tembesu termasuk ke dalam kelompok kelas kuat I. Sedangkan
ditinjau dari sifat awet dan tahan lama termasuk kelas awet I dan kelompok kelas awet II
apabila ditinjau dari ketahanannya terhadap jamur.
Tembesu sampai saat ini masih merupakan hasil regenerasi alami yang dipertahankan
keberadaannya oleh masyarakat di kebun. Hasil penelitian Sumadi dan Saepuloh (2011)
menunjukkan bahwa di kebun masyarakat pada umur 20 tahun tembesu mempunyai volume
rata-rata per pohon sebesar 0,39 m3 dan kerapatan efektif sebesar 8,51 m3/ha/tahun.
Masyarakat yang secara tradisional memiliki kebun campuran tidak menganggap umur panen
tembesu sebagai masalah, karena mereka memanen tembesu apabila terdapat kebutuhan
untuk membangun atau memperbaiki rumah sendiri (Martin dan Premono, 2014).
Kayu bawang merupakan jenis tanaman kayu pertukangan unggulan lokal yang memiliki
sebaran alami di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah (Premono dan
Lestari, 2013). Kayu Bawang tumbuh baik pada ketinggian 0 - 1000 m dpl, dengan curah hujan
tahunan sekitar 3.500 mm dan curah hujan bulanan antara 150 - 500 mm. Umumnya tumbuh
pada semak belukar dekat pemukiman. Di Bengkulu Utara hanya ditemukan di daerah yang
tersentuh aktivitas manusia (bekas ladang, kebun atau tegalan) (Martin dan Galle, 2009). Anwar
et al. (1999) menduga semua tanaman yang ada merupakan hasil budidaya (ditanam secara
sengaja).
Kayu bawang umumnya menempati strata paling atas dan merupakan pohon dominan
di kebun masyarakat. Tinggi pohon mencapai 30 m dengan diameter 75 cm. Bentuk batang
silindris agak lengkung. Tajuk tanaman muda berbentuk bulat lonjong, dan pohon tua tidak
beraturan/melebar. Tumbuh pada jenis tanah alluvial dan podsolik merah kuning (Martin dan
Galle, 2009). Premono dan Lestari (2013) menyatakan bahwa umumnya masyarakat mulai
memanen kayu bawang pada umur 15 tahun dengan volume per batang 0,83 m3.
2. Perspektif sosial ekonomi masyarakat Sumatera Selatan dan Bengkulu dalam kaitannya
dengan budidaya pohon penghasil kayu
Masyarakat di wilayah hulu DAS pada umumnya merupakan masyarakat agraris yang
bekerja sebagai petani. Masyarakat di hilir pada umumnya bekerja di sektor perdagangan dan
jasa, sedangkan keterkaitan dengan sektor pertanian jauh lebih sedikit apabila dibandingkan
dengan masyarakat di hulu. Li (2002) memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai
bagaimana aspek ekologi dataran tinggi yang dikaitkan dengan aspek ekonomi politik dan
kebudayaan memiliki perbedaan dan juga kesamaan dengan yang diuraikan oleh Hart et al.
(1989) tentang kehidupan masyarakat dataran rendah.
219
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Pada masa sebelum tahun 1980-an, masyarakat di wilayah hulu masih sangat mudah
memperoleh kayu berkualitas dari alam. Masyarakat Lintang di Kabupaten Empat Lawang,
Provinsi Sumatera Selatan memperoleh kayu berkualitas dari pohon bambang lanang yang
tumbuh secara alami di kebun atau ladang yang mereka usahakan sebagai bahan untuk
membuat rumah maupun perabot (Martin, 2012). Masyarakat di hilir pada masa lalu
membangun rumah dari kayu rimba campuran yang kualitasnya lebih rendah dari rumah kayu
masyarakat di hulu. Hanya masyarakat dari kelas sosial tertentu yang mampu membuat rumah
dari kayu berkualitas, yaitu tembesu.
Bagi petani yang tinggal di wilayah hulu, budidaya pohon penghasil kayu tidak dapat
dipisahkan dari upaya pemenuhan kebutuhan kayu sebagai bahan pembuatan rumah.
Masyarakat Lintang di Kabupaten Empat Lawang menebang 15 sampai 25 batang pohon
bambang lanang berumur 15 sampai 20 tahun yang ada di kebun mereka untuk membangun
satu rumah panggung beserta perabot rumah tangga di dalamnya. Sedangkan untuk rumah
berbahan utama beton (batu bata) diperlukan 3 sampai 5 batang pohon bambang lanang.
Selain untuk membuat rumah dan perabot, pohon bambang lanang ditebang untuk pemenuhan
kebutuhan ekonomi seperti pada masa paceklik, perayaan pernikahan anak, tahun ajaran baru
dan musibah (Martin, 2012). Dalam perekonomian masyarakat, pohon bambang lanang
merupakan portfolio investasi diantara tanaman perkebunan lainnya, yang ditanam dengan
pola agroforestry (Martin dan Premono, 2010).
Masyarakat di wilayah hilir Provinsi Sumatera Selatan lebih memilih menanam pohon
penghasil kayu dengan pola monokultur. Orientasi penanaman tidak pada pemenuhan
kebutuhan kayu, tetapi lebih pada untung rugi dalam berusaha. Sehingga pada saat ini,
tembesu yang merupakan kayu “mewah” untuk kebutuhan pembuatan rumah dan ukiran tidak
dibudidayakan oleh masyarakat hilir (Martin, 2012).
Kayu bawang memiliki sebaran alami di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu
Tengah. yang termasuk dilayah DAS tengah dan hilir. Kayu bawang memiliki ikatan kuat dengan
Suku Lembak dan Suku Rejang yang tinggal di wilayah DAS tengah di Provinsi Bengkulu. Kayu
bawang dapat dinyatakan sebagai identitas budaya kedua suku tersebut, yang ditandai dengan
penggunaan kayu bawang sebagai bahan pembuatan rumah panggung kuno yang masih tersisa.
Kayu bawang menjadi bagian dari kebun masyarakat (Premono dan Lestari, 2013). Kayu bawang
juga ditemukan di wilayah hilir Provinsi Bengkulu. Keberadaan kayu bawang di hilir erat
kaitannya dengan aktivitas budidaya. Di Bengkulu Utara kayu bawang hanya ditemukan di
daerah yang tersentuh aktivitas manusia (bekas ladang, kebun atau tegalan) (Martin dan Galle,
2009). Anwar et al. (1999) menduga semua tanaman yang ada merupakan hasil budidaya
(ditanam secara sengaja).
Perspektif sosial ekonomi masyarakat terhadap kayu pertukangan di hulu dan hilir
sangat dipengaruhi oleh karakteristik geografi dan kependudukan. Hal ini selanjutnya akan
berpengaruh terhadap pola budidaya, penggunaan, maupun supply dan demand kayu
pertukangan.
3. Kelayakan finansial budidaya kayu pertukangan lokal
Penanaman pohon bambang lanang di Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan sebagian
Pagaralam pada umumnya dilakukan dengan pola campuran. Pohon bambang lanang dijadikan
tanaman campuran pada tanaman kopi yang merupakan sumber pendapatan utama.
Penanaman bambang lanang di kebun kopi dilakukan dengan pola sebagai tanaman campuran
di antara tanaman kopi, sebagai tanaman pagar atau pinggir lahan dan juga tanaman sela di
antara tanaman kopi, dimana jarak antar tanaman disesuaikan agar tidak mengganggu tanaman
kopi. Tanaman bambang lanang di kebun kopi difungsikan sebagai tanaman masa depan yang
220
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
diharapkan dapat memberikan pendapatan maupun dipanen untuk kebutuhan kayu sendiri di
masa mendatang. Sedangkan kopi menjadi sumber pendapatan tunai jangka pendek (cash crop)
bagi masyarakat.
Pemilihan jenis bambang lanang sebagai tanaman campuran dengan tanaman kopi pada
lahan milik masyarakat telah mengalami proses pemilihan dan penentuan jenis yang dilakukan
sendiri oleh masyarakat dengan pertimbangan untung dan rugi dalam proses pengambilan
keputusannya. Pertimbangan tersebut meliputi teknik penanaman, sifat tanaman, umur panen,
harga, ketersediaan bibit, kemudahan pemiliharaannya dan pengaruhnya terhadap tanaman
kopi (Premono dan Martin, 2011).
Analisis finansial budidaya pohon bambang lanang secara murni maupun campuran
layak diusahakan karena nilai BCR>1 pada tingkat suku bunga 12% (Ulya et al., 2006). Hal ini
diperkuat oleh Premono dan Martin (2011) yang menyatakan bahwa penanaman bambang
lanang dengan pola campuran dengan tanaman kopi di Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan
Pagaralam layak untuk diusahakan. Hasil analisis finansial di tiga lokasi menunjukkan NPV
positif, BCR di atas 1 dan IRR di atas tingkat suku bunga analisis.
Kayu bawang pada umunya ditanam dengan pola tanam campuran. Pola penanaman
campuran kayu bawang yang banyak ditemukan di Provinsi Bengkulu antara lain kayu bawang-
karet, kayu bawang-kakao, kayu bawang-sawit dan kayu bawang-karet unggul. Hasil analisis
finansial pada tingkat suku bunga 11% dan 13% menunjukkan bahwa pola-pola yang
dikembangkan masyarakat layak secara finansial. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa
pola penanaman tidak peka terhadap perubahan tingkat harga dan volume produksi. Agar
dapat memenuhi kebutuhan hidup secara layak maka masyarakat di lokasi penelitian dapat
mengelola sekitar 0,34-1,01 Ha dengan pola penanaman campuran kayu bawang dan tanaman
tahunan. (Premono dan Lestari, 2013).
Pohon tembesu tumbuh di lahan milik masyarakat yang pada umumnya mengusahakan
kebun karet. Di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, masyarakat memilih pohon
tembesu yang memiliki kualitas kayu yang baik dan tidak mengganggu tanaman karet untuk
dipertahankan di kebun karet mereka (Premono dan Martin, 2011).
Premono dan Martin (2011) menggunakan Nilai Harapan Lahan (NHL) untuk
menganalisis kelayakan finansial pola penanaman campuran antara tanaman karet dengan
tanaman tembesu. NHL merupakan cerminan nilai dari tanah atau lahan yang diusahakan
dalam rotasi tanaman yang diusahakan. NHL dapat digunakan untuk mengintrepretasikan harga
maksimum yang mungkin terjadi pada pengusahaan lahan (Straka dan Bullard, 1996). Untuk
mengetahui kelayakan finansial penanaman pola campuran karet-tembesu, dilakukan dengan
asumsi umur panen tanaman tembesu 30 tahun dan umur panen (sadap) tanaman karet 7
tahun berdasarkan harga, biaya dan pendapatan masyarakat pada saat penelitian.
NHL tertinggi diperoleh pada pola tanam campuran karet-tembesu dengan jumlah
pohon tembesu 40 batang. NHL terendah diperoleh pada lahan yang ditanami tembesu secara
monokultur, meskipun dengan intensitas tegakan cukup tinggi. Hal ini diduga terjadi karena
pola teratur dengan jumlah pohon lebih banyak membutuhkan biaya pembangunan lebih
tinggi, sehingga meningkatkan nilai biaya yang terdiskonto (discounted cost) pada masa analisis
30 tahun. Namun demikian, pada dasarnya pelaku usaha (petani) dapat mengabaikan
rendahnya nilai kini tanaman tembesu pola teratur dengan menganggap tembesu sebagai
komponen nilai yang bukan untuk dinikmati sekarang, tetapi sebagai asuransi masa regenerasi
(Premono dan Martin, 2011).
Jenis pohon kayu pertukangan lokal yang diwakili oleh bambang lanang dan kayu
bawang yang dibudidayakan di kebun dengan pola umum agroforestry layak untuk diusahakan,
221
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
bahkan pada lahan yang tidak terlalu luas. Sedangkan untuk pohon tembesu yang belum
ditanam oleh masyarakat, pemeliharaan pohon tembesu pada kebun dengan pola campuran
dengan karet mampu memberikan harapan pendapatan pada masa yang akan datang.
4. Pemasaran jenis kayu pertukangan lokal
Pohon bambang lanang pada umur 10 tahun di Kabupaten Lahat sudah dapat dipanen
dengan volume 0,5 m3 per pohon tetapi harganya lebih rendah dibanding yang berumur 15
tahun yaitu dengan harga Rp. 900.000,00 per m3. Sedangkan pada umur 15 tahun volumenya
rata-rata 1 m3 per pohon dengan harga yang lebih tinggi yaitu Rp. 1.000.000,00 per m3 (Ulya et
al., 2006).
Harga kayu bambang di tingkat petani di Kabupaten Lahat, Empat Lawang dan Kota
pagaralam berkisar antara Rp. 900.000,00 sampai dengan Rp. 1.000.000,00 per m 3. Harga kayu
bambang lanang di depot kayu mencapai Rp. 2.000.000,00 sampai dengan Rp. 2.600.000,- per
m3. Lebih dari 50% marjin keuntungan dinikmati oleh para pelaku industri kayu rakyat, mulai
dari penggesek/pengumpul kayu, pemilik sawmill, pemilik depot, atau bahkan sampai ke
pengrajin furniture. Jenis industri kayu rakyat sebagian besar berupa depot kayu (40%),
pengusaha atau pengrajin furniture (20%) dengan hasil berupa meja, kursi, lemari, dan tempat
tidur, penggesek/pengumpul (20%), industri penggergajian kayu atau sawmill (13%) dan depot
kayu dan funiture (7%). Hampir semua pelaku industri kayu rakyat yang termasuk ke dalam
kelima katergori tersebut di atas tersebar merata di tiga wilayah yang menjadi fokus kegiatan
penelitian. Sedangkan industri sawmill yang hanya terdapat di Kabupaten Lahat (Lestari et al.,
2012).
Perkembangan harga kayu bambang pada dua titik waktu penelitian (tahun 2006 dan
tahun 2012) menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan, melebihi inflasi antar dua titik
waktu, dengan kondisi supply kayu rakyat yang stabil. Hal ini mengindikasikan bahwa budidaya
kayu bambang lanang mempunyai prospek untuk dikembangkan dan dijadikan tabungan pada
saat terjadi penurunan pendapatan dari cash crop maupun tanaman perkebunan seperti karet
atau kopi. Keberadaan supply kayu bambang lanang juga mampu memberikan multiplier effect
berupa berkembangnya industri kayu rakyat yang dalam hal ini menikmati margin keuntungan
terbesar.
Petani pemilik kayu bawang menjual kayu bawang dalam bentuk tegakan/pohon berdiri
secara borongan. Harga kayu bawang di masyarakat berkisar Rp. 800.000,00 sampai Rp.
900.000,00 per pohon dengan perkiraan volume sekitar 1 m3. Harga kayu bawang olahan di
tingkat lokal (desa) berkisar Rp. 1.500.000,00 sampai Rp. 2.000.000,00 per m 3, tergantung
ukuran kayu dan kualitas kayunya. Para tengkulak kayu/pengepul desa menjual kayunya untuk
kebutuhan lokal dan ke wilayah lainnya. Ada juga tengkulak luar daerah yang datang ke desa-
desa untuk membeli kayu dari para pengepul di desa (Premono dan Lestari, 2012).
Terdapat empat saluran pemasaran kayu bawang di Provinsi Bengkulu, yaitu: 1) Saluran
1: Petani/pemilik kayu-penebang/pemilik chainsaw-tengkulak/pengumpul kayu-konsumen; 2)
Saluran 2: Petani/pemilik kayu-tengkulak/pemborong di desa-depot kayu-konsumen; 3) Saluran
3: Petani/pemilik kayu-tengkulak/pemborong di desa-depot kusen di kota-konsumen; 4)
Saluran 4: Petani/pemilik kayu-tengkulak di desa-depot kayu di kota-depot kusen di kota-
konsumen. Saluran pemasaran yang paling efisien adalah saluran 1 dengan nilai efisiensi
sebesar 20,83%. Pemasaran kayu bawang di Provinsi Bengkulu secara umum dapat dikatakan
efisien, hal ini diduga disebabkan telah berkembangnya usaha perkayuan. Hampir di setiap
desa yang menjadi sumber kayu bawang telah memiliki usaha pengolahan kayu bawang skala
kecil. Di samping itu, jumlah pelaku pemasaran kayu bawang cukup banyak sehingga
222
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
memudahkan petani untuk melakukan transaksi proses tawar menawar dan memperoleh
informasi mengenai harga kayu bawang (Premono dan Lestari, 2012).
Seperti halnya kayu bambang lanang, harga kayu bawang tergolong tinggi sehingga
mempunyai prospek finansial untuk diusahakan di kebun masyarakat dengan pola agroforestry.
Kayu bambang yang dipasok dari kebun masyarakat juga mampu memberikan multiplier effect
berupa adanya industri skala kecil di setiap desa penghasil kayu bawang.
Kayu tembesu merupakan bahan baku utama dari industri mebeul ukiran Palembang.
Junaidah dan Premono (2007) menyatakan bahwa kayu tembesu dijual dengan harga Rp.
2.000.000,00 – Rp 2.500.000,00 per m3. Harga ini lebih mahal dari kayu medang dan meranti
yang dijual dengan harga Rp. 1.600.000,00 – Rp. 2.000.000,00 per m3. Kayu tembesu dijual
dalam bentuk balok atau batangan (tergantung dari permintaan pengrajin). Meskipun
demikian, sebagian besar dijual dalam bentuk batangan untuk mempermudah proses
pengerjaan.
Permintaan kayu tembesu oleh industri mebel ukiran Palembang selama ini dipenuhi
dari penebangan pohon tembesu yang tumbuh secara alami di areal sekitar kebun, pekarangan
rumah dan hutan sekunder di Kabupaten Musi Banyuasin, Banyuasin, Ogan Ilir dan Ogan
Komering Ilir. Cara pemenuhan bahan baku seperti ini bersifat tidak lestari (Martin dan
Premono, 2014). Diperlukan luasan lahan tertentu dan peningkatan produktivitas agar supply
kayu tembesu bisa lestari.
Kayu pertukangan lokal, selain ditampung oleh industri kecil skala lokal, juga
mempunyai peluang untuk diserap oleh industri pengolahan hasil hutan kayu dengan kapasitas
produksi diatas 6.000 m3 per tahun. Untuk Provinsi Sumatera Selatan, terdapat 2 industri kayu
lapis (kapasitas 140.000 m3 per tahun), kayu gergajian (5 industri, kapasitas 137.500 m3 per
tahun), veneer (3 industri, kapasitas 110.000 m3 per tahun). LVL terdiri dari 1 industri dengan
kapasitas 50.000 m3 per tahun. Industri yang bisa menyerap kayu bambang lanang dan kayu
bawang di Provinsi Bengkulu adalah 1 industri veneer dengan kapasitas 40.000 m3 per tahun.
Untuk skala nasional (termasuk Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu), kayu bambang lanang
dan kayu bawang mempunyai peluang untuk diserap oleh industri kayu lapis (150 industri,
kapasitas 12.397.315 m3 per tahun), penggergajian (278 industri, kapasitas 7.155.596 m3 per
tahun), veneer (102 industri, kapasitas 3.040.295 m3 per tahun) dan industri LVL (14 industri,
kapasitas 565.750 m3 per tahun) (Kementerian Kehutanan, 2013).
5. Aspek sosial dalam budidaya kayu pertukangan
Pohon bambang lanang pada umumnya ditanam dengan pola agroforestry. Masyarakat
di Kabupaten Empat Lawang menanam pohon bambang lanang sebagai pilihan pendapatan di
masa depan. Kegagalan produksi tanaman pokok atau fluktuasi hasil panen menyebabkan
masyarakat desa rentan terhadap kemiskinan. Pohon bambang lanang dapat berfungsi sebagai
jaring pengaman pendapatan masyarakat ketika sumber pendapatan utama tidak dapat
memenuhi kebutuhan sehari-hari atau terdapat kebutuhan yang mendesak. Aspek sosial
budaya juga menjadi pertimbangan masyarakat untuk menanam bambang lanang. Kayu masih
menjadi sumber bahan bangunan penting bagi masyarakat dan telah digunakan secara turun
temurun sebagai bahan yang terbukti kekuatannya puluhan bahkan ratusan tahun (Winarno et
al., 2012) .
Pola tanam agroforestry di Kabupaten Lahat dan Empat Lawang dikembangkan oleh
masyarakat yang menjadikan pertanian sebagai pekerjaan utama dan memiliki lahan sempit.
Pola monokultur dikembangkan oleh masyarakat yang tidak bergantung pada pertanian sebagai
pekerjaan utama dan memiliki lahan luas. Pola tanam pada agroforestry yang dikembangkan
223
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
adalah pola lorong (alley cropping), pola pohon pembatas (trees along border), pola baris
(alternate row) dan pola acak (random mixer) (Waluyo dan Lestari, 2013).
Hutan rakyat kayu bawang yang ada di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten
Bengkulu Tengah merupakan hutan rakyat tradisional yang dikelola secara turun menurun
dengan pengelolaan yang masih sederhana. Kegiatan cocok tanam secara mandiri dilakukan
oleh sebagian besar responden setelah mereka menikah dan mulai mengusahakan kebun
secara mandiri. Kayu bawang ditanam sebagai tanaman pagar, dan tanaman sela sedangkan
tanaman utamanya adalah karet dan sebagian kecil kopi, kakao serta sawit. Masyarakat yang
mempunyai tanaman kayu bawang di kebunnya menyatakan bahwa pada saat mereka mulai
berkebun selalu menanam kayu bawang diantara tanaman perkebunan (Waluyo dan Nurlia,
2014).
Praktek agroforestry yang dilakukan oleh masyarakat di Bengkulu Utara, Bengkulu
Tengah maupun Rejang Lebong adalah agroforestry kayu bawang dengan tanaman perkebunan
seperti karet, sawit dan coklat. Petani menanan kayu bawang adalah tujuan lingkungan,
ekonomi dan investasi. Tujuan lingkungan, yaitu untuk meningkatkan kesuburan tanah, karena
dengan menanam kayu bawang diharapkan input pupuk berkurang dan produkstivitas tanaman
meningkat. Tujuan ekonomi, yaitu harga kayu bawang yang tinggi dan ketersediaan kayu mulai
sedikit. Tujuan investasi, yaitu untuk diwariskan kepada generasi penerus. Kayu bawang
berukuran besar yang masih ada pada saat ini merupakan hasil penanaman orang tua mereka,
sehingga mereka juga punya keinginan untuk mewariskan kepada anak cucunya (Premono dan
Lestari, 2013).
Seperti halnya pola tanam pohon bambang lanang, semakin banyak jumlah lahan maka
semakin tinggi peluang untuk menanam kayu bawang dengan jumlah yang melebihi rata-rata.
Petani yang mempunyai lahan luas, cenderung tidak mempunyai cukup waktu untuk mengelola
semua lahannya secara intensif. Sehingga tanaman kayu yang tidak memerlukan pemeliharaan
intensif seperti kayu bawang menjadi pilihan. Apabila petani merupakan pekerjaan utama
peluang untuk menanam kayu bawang lebih sedikit karena mereka menggantungkan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari pada tanaman pertanian, jadi mereka cenderung menanam
tanaman pertanian atau perkebunan (Waluyo dan Nurlia, 2013). Brokensha dan Riley (1987)
menunjukkan bahwa rumah tangga miskin cenderung menggunakan lahannya untuk tanaman
pangan atau tanaman perdagangan daripada tanaman pohon.
Masyarakat menanam pohon bambang lanang dan kayu bawang dua pola umum, yaitu
campuran dan monokultur. Pola campuran (agroforestry) dipilih oleh masyarakat dengan lahan
terbatas dan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sedangkan pola monokultur
dipilih oleh masyarakat dengan lahan luas. Pilihan pola dan jenis yang ditanam didasari oleh
motivasi lingkungan, ekonomi dan investasi.
6. Kebijakan dan kelembagaan budidaya kayu pertukangan lokal
Masyarakat di daerah sebaran alami pohon bambang lanang memiliki persepsi yang
positif terhadap budidaya bambang lanang karena terbukti manfaatnya yang berupa hasil kayu,
tetapi memiliki pengetahuan yang terbatas dalam hal teknik budidaya (Winarno, Nurlia dan
Martin, 2012). Kebijakan khusus terkait dengan pengembangan kayu bawang di Kabupaten
Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah belum tersedia. Padahal musim berbuah kayu bawang
sudah mulai tidak teratur dan pengetahuan masyarakat khususnya mengenai pembudidayaan
kayu bawang secara benar masih terbatas (Waluyo dan Nurlia, 2014).
Meskipun pengetahuan tentang budidaya di daerah sebaran alami kedua jenis tersebut
terdapat penangkar bibit yang mampu menyediakan bibit dalam jumlah besar. Pemerintah bisa
berperan dengan memberikan fasilitasi atau pembinaan agar supply bibit yang tersedia bisa
224
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
diserap pasar antara lain melalui program-program pemerintah. Selain itu, pemerintah juga
bisa melakukan peningkatan pengetahuan dan kapasitas masyarakat agar mampu berperan
lebih besar dalam pemasaran kayu, sehingga bisa memangkas rantai pemasaran kayu atau
meningkatkan margin keuntungan yang diterima masyarakat selaku petani.
Kebijakan pemerintah yang sudah dilakukan dalam kaitannya dengan jenis kayu
pertukangan lokal adalah Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) dan
Program Kebun Bibit Rakyat (KBR). Pohon bambang lanang menyebar secara meluas di Provinsi
Sumatera Selatan melalui Program GERHAN dan KBR. Waluyo dan Nurlia (2013) menyatakan
bahwa kayu bawang mulai menyebar dari Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah ke
kabupaten-kabupaten lainnya di Provinsi Bengkulu melalui GERHAN pada tahun 2003 dan KBR
pada tahun 2010.
PENUTUP
Penelitian sosial, ekonomi dan kebijakan dalam kaitannya dengan pengembangan kayu
pertukangan lokal di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu yang sebenarnya merupakan hasil
pembelajaran terhadap masyarakat menunjukkan bahwa budidaya kayu pertukangan lokal
menjadi bagian dan berkaitan erat dengan bentang lahan DAS dan budaya masyarakat.
Kayu pertukangan lokal yang mempunyai kaitan erat dengan keseharian masyarakat
mempunyai prospek ekonomi untuk dikembangkan karena layak secara finansial, mempunyai
pasar dan tidak mengharuskan lahan luas untuk penanamannya. Dengan memperhatikan
pertumbuhan, penyebaran dan prospek ekonominya dapat dinyatakan bahwa kayu
pertukangan lokal dengan daur menengah bisa dipenuhi dari kebun masyarakat atau hutan
rakyat dengan pola agroforestry. Sedangkan untuk kayu pertukangan lokal daur panjang
memerlukan teknik silvikultur untuk meningkatkan riap dan produktivitasnya sehingga perlu
dibudidayakan untuk memenuhi permintaan industri.
Pengarusutamaan pelibatan masyarakat dalam penyediaan bahan baku kayu
pertukangan lokal adalah sebuah keniscayaan, dengan tidak mengesampingkan kebutuhan
hidup masyarakat sehari-hari, jangka menengah dan jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, G., Gunsiryadi, Amrina. 1999. Prospek Pengembangan Kayu Wawang (Protium
javanicum Burm F.) sebagai Komoditas Hutan Unggulan dalam Pengusahaan Hutan
Rakyat di Provinsi Bengkulu (Tinjauan dari Aspek Silvikultur). Prosiding Seminar Nasional
Status Silvikultur: Peluang dan Tantangan menuju Produktivitas dan Kelestarian
Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Brokensha, D., dan B.W. Riley. 1987. Privatization of Land and Tree Planting in Mbeere, Kenya.
In Raintree J.B. (ed.). Land, Treestand and Tenure. ICRAF and The Land Tenure Center.
Nairobi and Madison. pp. 187-192.
Hart, G., A. Turton, B. White (Eds). 1989. Proses Transformasi Daerah Pedalam di Indonesia.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. Jakarta.
Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara, W.C. Wong. 1995. Plant Resources of South-East Asia 5(2)
Timber Trees : Minor Commercial Timber. Prosea. Bogor.
225
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Lestari, S., Premono, B.T., dan E.A. Waluyo. 2012. Industri Kayu Rakyat Jenis Unggulan Lolal di Sumatera
Selatan: Karakteristik dan Tantangan Pengembangannya. Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Balai Penelitian Kehutanan Palembang “Peluang dan Ttantangan Pengembangan Usaha Kayu
Rakyat”, Palembang, 23 Oktober 2012. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan
Produktivitas Hutan. Bogor.
Li, T.M. 1990. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta.
Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.a. Prawira, dan K. Kadir. 2005. Atlas Kayu
Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.
Martin, E dan F.B. Galle. 2009. Motivasi dan Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga
Penanam Pohon Penghasil Kayu Pertukangan: Kasus Tradisi Menanam Kayu Bawang
(Disoxylum molliscimum BL) oleh Masyarakat Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu.
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 6 No. 2 Juni 2009, Hal. 117 – 134.
Martin, E. 2012. Budidaya Pohon Penghasil Kayu: Perspektif Sosial Ekonomi Masyarakat
Sumatera Selatan. Prosiding Forum Komunikasi Multipihak “Hutan Rakyat Sebagai Solusi
Penyedia Kayu Pertukangan”, Palembang, 20 Juni 2012. Pusat Litbang Peningkatan
Produkstivitas Hutan. Bogor.
Martin, E. dan B.T. Premono. 2010. Hutan Tanaman Kayu Pertukangan adalah Portfolio:
Pelajaran dari Keswadayaan Penyebarluasan Bambang Lanang di Masyarakat. Prosiding
Seminar Nasional :”Kontribusi Litbang dalam Peningkatan Produktivitas dan Kelestarian
Hutan, Bogor, 29 November 2010. Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan.
Bogor.
__________. 2014. “Upaya Komoditisasi Tembesu dalam Perspektif Sosial Budaya Petani dan
Pasar” dalam Bunga Rampai Tembesu Kayu Raja Andalan Sumatera. FORDA Press.
Bogor.
Premono, B,T. dan E, Martin. 2011. Nilai Ekonomi Penanaman Pohon Penghasil Kayu pada
Lahan Milik. Prosiding Seminar Hasil Penelitian “Introduksi Tanaman penghasil kayu
Pertukangan di Lahan Masyarakat Melalui Pembangunan Hutan Tanaman Pola
Campuran”, Musi Rawas, 13 Juli 2011. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan
Produktivitas Hutan. Bogor.
Premono, B.T. dan S. Lestari. 2012. Analisis Pemasaran Kayu Bawang di Provinsi Bengkulu
Utara. Prosiding seminar hasil penelitian “Introduksi Tanaman Penghasil Kayu
Pertukangan di Lahan Masyarakat melalui Hutan Tanaman Pola Campuran”, Musi
Rawas, 13 Juli 2011. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.
_________. 2013. Analisis Finansial Agroforestri Kayu Bawang (Dysoxilum Mollissimum Blume)
dan Kebutuhan Lahan Minimum di Provinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian Sosial dan
Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 211 – 223.
Sofyan, A., E. Martin, A. H. Lukman, dan A.W. Nugroho. 2010. Status Riset dan Rencana
Penelitian Jenis-jenis Prioritas Kayu pertukangan di Sumatera. Prosiding Peran Litbang
Kehutanan dalam Implementasi RSPO, Pekanbaru, 4-5 November 2010. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. Bogor.
Straka, T. J. dan S. H. Bullard. 1996. Land Expectation Value Calculation in Timberland Valuation.
Appraisal Journal Vol. 64: 399-405.
226
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
Ulya, N. A., E. Martin, E. A. Waluyo dan J. P. Tampubolon. 2006. Teknologi dan Kelembagaan
Social Forestry di Hutan Rakyat. Laporan Penelitian Balai Litbang Hutan Tanaman
Indonesia Bagian Barat, Palembang.
Waluyo, E. A., dan S, Lestari. Karakteristik Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Lahat dan
Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil penelitian Balai
Penelitian Kehutanan “Integrasi IPTEK dalam Kebijakan dan Pengelolaan Hutan Tanaman
di Sumatera Bagian Selatan”, Palembang, 2 Oktober 2013. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.
Waluyo, E. A., dan A. Nurlia. 2013. Agen Perubahan dalam Pengembangan Hutan Rakyat:
Belajar dari Pengembangan Kayu Bawang di Wilayah Provinsi Bengkulu. Prosiding
Seminar Hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan “Integrasi IPTEK dalam Kebijakan
dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan”, Palembang, 2 Oktober
2013. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.
________ . 2014. Faktor-Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Keputusan
Petani Membudidayakan Agroforestry Kayu Bawang (Dysoxylum mossimum B.L.) di
Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry-IV
“Pengembangan Teknologi Agrofrorestry dan Produknya untuk Ketahanan Energi dan
Kesehatan”, Banjarbaru, 26-27 Oktober 2013. FAHUTAN UNLAM PRESS.
Winarno, B., A. Nurlia dan E. Martin. 2012. Realitas Pengelolaan Bambang lanang (Michelia
champaca L.) oleh Masyarakat pada daerah Sebaran Alaminya di Kabupaten Empat
Lawang. Prosiding Forum Komunikasi Multipihak “Hutan Rakyat Sebagai Solusi Penyedia
Kayu Pertukangan”, Palembang, 20 Juni 2012. Pusat Litbang Peningkatan Produkstivitas
Hutan. Bogor.
227
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
ABSTRAK
Tahura WAR merupakan kawasan pelestarian alam yang berfungsi sebagai kawasan penyangga
kehidupan dan pengawetan keanekaragaman flora dan fauna serta keunikan gejala alam. Seiring
perjalanannya, pengelolaan Tahura WAR telah mengalami beberapa kali perubahan kebijakan dari
Hutan Kemasyarakatan (HKm), non HKm hingga Pengelolaan Kolaboratif. Perubahan kebijakan dalam
pengelolaan Tahura WAR diharapkan dapat memberikan perubahan ke arah yang lebih baik. Penelitian
ini bertujuan untuk mengkaji pengelolaan kolaboratif di Tahura WAR, Propinsi Lampung. Keberhasilan
dalam pengelolaan hutan secara kolaboratif di Tahura WAR berpotensi untuk dijadikan contoh bagi
pengelolaan kawasan hutan di lokasi lainnya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei,
data primer diperoleh dengan observasi lapang dan wawancara mendalam (indepth interview) kepada
tokoh-tokoh kunci, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan analisis sosial dan analisis deskriptif untuk menggambarkan fenomena
dalam pengelolaan Tahura WAR di Propinsi Lampung. Hasil penelitian menunjukkan pemangku
kepentingan utama dalam pengelolaan kolaborasi di Tahura WAR adalah kelembagaan lokal yang ada
dimasyarakat yaitu GKPPH dengan UPTD Tahura WAR. Komitmen dalam menjaga kepentingan dan
peran setiap pemangku kepentingan diperlukan untuk menjamin keberlangsungan pengelolaan Tahura
WAR menuju ke arah yang lebih baik. Pola tanam yang diterapkan masyarakat adalah pola tanam
agroforestry dengan jenis tanaman yang ditanam adalah karet, kakao, MPTS dan tanaman kehutanan.
Masyarakat dapat memanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) untuk menjamin kesejahteraannya
dan tanaman berkayu untuk menjaga kelestarian hutan.
Kata kunci: Tahura WAR, pengelolaan kolaboratif, kelembagaan, pemangku kepentingan
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan merupakan sumberdaya alam yang harus dijaga kelestariannya karena memiliki
peran penting bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup di dalamnya. Hutan tidak hanya
bermanfaat secara ekonomi tapi juga bermanfaat secara ekologi. Berdasarkan fungsi pokoknya
hutan ditetapkan sebagai hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi (Undang-undang
nomor 41, 1999). Taman Hutan Raya (Tahura) adalah salah satu jenis hutan konservasi yang
memiliki fungsi sebagai kawasan penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman flora
dan fauna serta keunikan gejala alam (Winarno, 2004). Menurut UU No.5 Tahun 1990, Tahura
adalah kawasan pelestarian alam yang dibangun untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa
yang alami atau buatan, jenis asli dan bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan
rekreasi.
Salah satu Taman Hutan Raya yang ada di Sumatera Bagian Selatan adalah Taman Hutan
Raya Wan Abdul Rahman atau yang lebih dikenal Tahura WAR yang tepatnya berada di Propinsi
Lampung. Tahura WAR merupakan kawasan yang dibentuk berdasarkan keputusan menteri
kehutanan No.403/Kpts-II/1993 dengan luas sekitar 22.249,31 hektar. Seiring perjalanannya,
Tahura WAR telah mengalami beberapa perubahan kelembagaan formal yang mempengaruhi
229
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
230
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
231
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
232
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
233
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
234
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
Saran
1. Penguatan kelembagaan lokal seperti GKPPH diperlukan untuk mempertahankan dan
menjalin kesepahaman antara pemerintah dengan masyarakat.
2. Perlu adanya penambahan jenis-jenis tanaman kehutanan pada lahan yang dikelola
masyarakat disamping pengembangan jenis-jenis tanaman MPTS.
DAFTAR PUSTAKA
Gray, B. 1998. Collaborating: Finding Common Ground for Multyparty Problems. Jossey-Bass.
Publishers. San Francisco.
Juansyah, N dan Kurniadi. 2011. Menakar Kembali Pilihan Penyelesaian Konflik Tenurial di
Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman Provinsi Lampung. http://
worldagroforestry.org/ sea/ Publications/ files/ book/ BK0147-11/ BK0147-11-5.pdf. di
akses pada 9 Agustus 2015.
Mayasari, T. 2015. Perubahan Kelembagaan Formal dalam Pengelolaan Lahan Agroforestri di
Tahura Wan Abdul Rahman. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Mukhtar, S dan Winara A. 2011. Potensi Kolaborasi dalam Pengelolaan Taman Nasional Teluk
Cenderawasih di Papua (Potency of Collaborative on Cendrawasih Bay Oark
Management in Papua). Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol 8 No.3 : 217-
226. Bogor.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomot 49. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 167. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta.
Rianse, U. dan Abdi. 2010. Agroforestry: Solusi Sosial dan Ekonomi Pengelolaan Sumber Daya
Hutan. Alfabeta. Bandung.
Winarno, G. D. 2004. Kajian Pengembangan Wisata di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman
Propinsi Lampung. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
235
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
PENGETAHUAN LOKAL MASYARAKAT SUKU DAYA DAN SUKU SALING, SUMATERA SELATAN
DALAM PENGOBATAN PENYAKIT DEGENERATIF DAN METABOLIK BERBASIS TUMBUHAN
ABSTRAK
Pengetahuan atau kearifan tradisional masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam khususnya
tumbuhan dalam pengobatan merupakan kekayaan budaya yang perlu digali agar pengelolaan
tradisional tersebut tidak punah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bentuk-bentuk kearifan lokal
masyarakat khususnya suku Daya dan suku Saling Provinsi Sumatera Selatan dalam pemanfaatan
tumbuhan untuk mengobati penyakit degenerative dan metabolik. Metode yang digunakan adalah
metode survey dan wawancara secara langsung pada sejumlah masyarakat suku Daya dan suku Saling
dengan metode snowball sampling. Dalam penelitian ini didapatkan informasi lebih kurang 55 jenis
tumbuhan yang berkhasiat obat. Pengetahuan mengenai tumbuhan dan ramuan pengobatan tersebut
diperoleh secara turun-temurun. Dasar pengobatan masyarakat suku Daya dan suku Saling adalah
secara Islam yaitu semua selalu diawali dengan bacaan “Basmallah”. Pada umumnya tumbuhan yang
digunakan untuk pengobatan penyakit masih diperoleh secara liar di perkarangan, kebun karet, semak
belukar dan ladang. Sebagian tumbuhan obat mulai dibudidayakan di perkarangan rumah. Jenis-jenis
tumbuhan yang diinventarisir dalam penelitian ini perlu dikaji lebih lanjut untuk mengetahui efektivitas
dan kandungannya dalam penyembuhan suatu penyakit.
Kata kunci: kearifan lokal, Suku Saling, Suku Daya, tumbuhan obat
I. PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia sudah cukup lama mengenal dan menggunakan tumbuhan
berkhasiat obat sebagai upaya untuk mengobati penyakit sebelum adanya pengobatan modern
dengan obat-obat sintetik. Pengetahuan tentang tanaman obat merupakan warisan budaya dari
leluhur, berdasarkan pengalaman turun menurun. Berbagai macam penyakit dan keluhan
ringan maupun berat dapat diobati dengan memanfaatkan ramuan dari tumbuh-tumbuhan
tertentu yang mudah didapat di sekitar perumahan. Oleh karena itu pengetahuan tentang
tanaman obat sangat penting untuk dijaga dan dikembangkan sebagai bentuk kekayaan bangsa
(Kartasaputra, 1996). Etnobotani merupakan suatu alat atau cara untuk mendokumentasikan
suatu pengetahuan seseorang, khususnya dalam kaitannya dengan tumbuhan yang berkhasiat
sebagai obat (Suryadarma, 2008).
Menurut Zuhud (1991), tumbuhan obat adalah tumbuhan yang bagian-bagiannya (daun,
batang, atau akar) mempunyai khasiat sebagai obat dan digunakan sebagai bahan mentah
dalam pembuatan obat modern dan tradisional. Lebih lanjut diungkapkan bahwa, tumbuhan
obat sebagai tumbuhan yang penggunaan utamanya adalah untuk keperluan obat-obatan dan
belum dibudidayakan. Abdiyani (2008) mengungkapkan bahwa kelebihan pengobatan dengan
menggunakan ramuan tumbuhan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada
penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping
yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern.
Penyakit-penyakit dalam kelompok degeneratif dan metabolik adalah dua kelompok
penyakit yang banyak diderita oleh manusia. Beberapa di antaranya mempunyai resiko
kematian yang tinggi, seperti jantung, diabetes dan stroke. Penyakit degeneratif adalah
237
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
penyakit yang mengiringi proses penuaan dan penyakit metabolik termasuk kelompok penyakit
medis yang berkaitan dengan produksi energi di dalam sel manusia. Kebanyakan penyakit
metabolik adalah penyakit genetik atau penyakit keturunan, meski sebagian di antaranya
disebabkan makanan, racun, infeksi, dan sebagainya. Stimulan terjangkitnya dua kelompok
penyakit ini adalah gaya hidup yang kurang sehat.
Pengetahuan atau kearifan tradisional masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya
alam khususnya tumbuhan merupakan kekayaan budaya yang perlu digali agar pengelolaan
tradisional tersebut tidak punah. Penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk mengkaji bentuk-
bentuk kearifan lokal masyarakat khususnya suku Daya dan suku Saling, Provinsi Sumatera
Selatan dalam pemanfaatan tumbuhan untuk mengobati penyakit degenerative dan metabolik.
238
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
Kecamatan Saling kabupaten Empat Lawang, Provinsi Sumatera Selatan. Tidak ada catatan yang
pasti tentang jumlah warga masyarakat ini. Bahasa Saling termasuk kelompok bahasa Melayu,
tetapi dengan dialek dan ciri-ciri yang khas.
2. Pengetahuan lokal dan kearifan tentang pengobatan Suku Daya
Penelitian mengenai pengobatan tradisional di suku Daya, dilakukan di Kecamatan
Lengkiti, Kabupaten Ogan Komering Ulu. Penentuan lokasi ini didasarkan atas pertimbangan
bahwa di wilayah tersebut masih banyak didiami suku Daya asli, selain itu wilayahnya juga
berbatasan langsung dengan hutan lindung. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak dinas
kehutanan setempat dan dari pihak desa, ada beberapa pengobat tradisional, tetapi
kebanyakan hanya tukang urut tulang bukan pengobatan menggunakan tumbuhan obat. Ada
beberapa narasumber yang direncanakan ditemui tetapi hanya ada 2 pengobat tradisional
(Battra) yang memenuhi syarat dan menggunakan tumbuhan obat di wilayah tersebut yang bisa
ditemui. Data narasumber Battra disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Data narasumber pengobat tradisional Suku Daya
No Nama Umur (Thn) Jenis Alamat Keterangan
Kelamin
1 Cik Mas 63 Perempuan Ds. Tanjung Mulai Praktek tahun 1985, banyak
Lengakap menanam tumbuhan obat
2 Tarmizi 54 Laki-laki Ds. Tanjung Lebih dikenal sebagai tukang urut
Agung atau ahli tulang
Dalam kaitannya dengan masalah kesehatan, masyarakat suku Daya saat ini telah
menggunakan obat-obatan sintetik (modern) karena wilayah yang menjadi tempat tinggalnya
saat ini telah banyak fasilitas-fasilitas kesehatan seperti puskemas dan polindes serta tenaga
kesehatan yang memadai seperti dokter, bidan, mantri, dan perawat. Seseorang dikatakan
dalam keadaan sakit jika ada sesuatu yang dideritanya sehingga dia tidak dapat beraktivitas
sehari-hari seperti biasanya. Seseorang yang sakit biasanya berobat ke bidan atau dokter
terdekat terlebih dahulu untuk mendapatkan kesembuhan akan tetapi jika belum sembuh-
sembuh mereka mulai mencari pengobatan alternatif ke Battra.
Orang daya menyebut obat tradisional dengan sebutan “Obat Ungga’an” atau Obat
Kampung. Seorang Battra biasanya mendapat pengetahuan pengobatan berasal dari orang
tuanya ataupun dari mimpi yang mereka sebut sebagai “wahyu”. Mereka biasanya mendapat
wahyu dari “beliau” setelah melakukan sholat Tahajud di malam hari. Dalam melakukan
pengobatan biasanya seorang Battra mengawali dengan bacaan Basmalah dan ditambah
“jampi” yang berasal dari ayat-ayat Al Qur’an dan bahasa lokal. Jampi tidak bisa beliau berikan
kepada sembarang orang.
Obat tradisional yang digunakan adalah tumbuhan yang berasal dari hutan dan kebun di
sekitar mereka. Jenis-jenis tumbuhan yang masih banyak dijumpai biasanya langsung diambil di
hutan tetapi untuk jenis yang mulai sulit ditemukan, mereka mulai menanamnya di kebunnya
seperti yang dilakukan oleh ibu Cik Mas, seorang Battra asli suku Daya dari Desa Tanjung
Lengkayap. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat umumnya terdapat di pekarangan
rumah, kebun karet dan semak belukar. Keadaan ini sesuai dengan hasil penelitian Hariyadi,
(2011) bahwa jenis-jenis tumbuhan yang banyak dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat
bukanlah berasal dari hutan alam, melainkan dari ekosistem yang sudah banyak mendapat
sentuhan manusia (human made ecosystem), khsusunya semak belukar dan kawasan
Ibu Cik Mas telah memulai praktek pengobatan mulai tahun 1985. Pengobatan yang
dilakukan beliau secara umum ada 2 macam yaitu obat dari dalam yaitu yang diminum dan obat
239
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
dari luar yaitu untuk mandi yang mereka sebut “mandian”. Untuk mandian dia selalu
menambahkan sedikit beras dalam air rebusan bahan obat tradisional hal ini filosofinya adalah
bahwa semua urusan sakit itu pulangnya ke beras atau makan.
Demikian juga dengan Pak Tarmizi, seorang Battra dari Tanjung Agung yang telah
melakukan pengobatan dari 10 tahun yang lalu. Ia selalu mengawali pengobatannya dengan
bacaan Basmalah. Dia mendapat ilmu pengobatan dari orang tuanya terutama ibunya yang
sudah berumur 100-an tahun. Dia lebih dikenal sebagai tukang urut atau ahli tulang. Doa yang
digunakan untuk segala macam penyakit sama yaitu 3 doa segala penyakit : Bismilah, Fatihah
dan Sholawat Nabi. Sama halnya dengan ibu Cik Mas, Pak Tarmizi juga menggunakan tumbuhan
obat yang masih ada di sekitar rumah, dan ada juga yang ditanam di pekarangan. Obat yang
digunakan ada obat dalam yang diminum dan obat luar baik yang dimandikan dan dibalurkan.
Biasanya dalam setiap ramuan yang digunakan, ia selalu menambahkan bagian akar dari
tumbuhan tersebut. Hal ini mengandung makna bahwa membuang penyakit itu harus dari akar-
akarnya. Cara yang berbeda dari pengobatan beliau ini adalah dia selalu menambahkan madu
dalam setiap resep obat yang diminum. Jenis-jenis tumbuhan yang banyak digunakan dalam
mengobati penyakit khususnya penyakit degeneratif dan metabolik disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Penyakit degeneratif dan metabolik serta tumbuhan obat yang digunakan
No Nama Penyakit Nama Tumbuhan Obat Bagian yang digunakan
1 Darah Tinggi, Bawang Putih (Allium sativum) Umbi
Jantung Blimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi) Daun
Kertau (Urana lobata L.) Daun
Kembang Darah Tinggi (Widelia biflora) Bunga
2 Rematik/ Asam Balik Angin (Mallotus paniculatus) Daun
Urat Kula-kula Pedang (Asplenius nidus) Daun
Gajah Duduk (Crotalaria inaca L.) Seluruh bagian
Cimurai Daun
Tapak Kuda (Centella asiatica L. Urban) Seluruh Bagian
Sambiloto (Androgaphis paniculata) Daun
Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) Akar
Perlako/Kapulaga (Amomum sp.) Umbi
3 Diabetes Manggis (Garcinia mangostana) Kulit buat
Kayu Lampas/Tembesu (Fagraea fragrans) Daun
4 Sakit Kuning/ Gerunggang (Pertusadina eurhynca) Kulit Bantang
Lever Akar Tebas Kuing Akar
Tomat Ceper/Tomat Dusun (Lycopersicum sp.) Buah
Bambu Kuning (Bambusa sp.) Anakan/rebung
5 Maag, Lambung Ketepeng (Senna alata/Cassia alata) Daun
6 Batu Ginjal, Akar Batang Sipik (Tetracera sp.) Batang
Kencing batu Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus) Seluruh bagian
Keji Beling (Strobilanthes criptus) Seluruh bagian
8 Ambien Pinang (Areca catechu) Buah
Akar Sebakbak/Akar serbabak (Spatholobus Batang
ferrungianus)
Ruk duruk/Senduduk (Melastoma Akar
malabatricum) Kulit bagian dalam (kulit
Kayu Heling ari)
Peladang merah/Dang Radang (Coleus Daun
scutellarioides L.)
240
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
Suku Saling
Pemilihan suku Saling sebagai obyek kajian tumbuhan obat ini adalah didasarkan dari
informasi bahwa di daerah Saling ini jaman dahulu masih terkenal menggunakan racun dari
tumbuh-tumbuhan. Dari informasi tersebut maka diharapkan akan didapatkan pula banyak
infomasi mengenai menggunaan tumbuhan untuk pengobatan. Ada beberapa Battra yang
berhasil diwawancari sebagai narasumber.
Tabel 3. Data narasumber pengobat tradisional suku Saling
No Nama Umur Jenis Alamat Keterangan
(Thn) Kelamin
1 Nurhimah (Bu Nol) 65 Perempuan Ds. Taba Banyak informasi tumbuhan obat
2 Jimat Ali 42 Laki-laki Ds. Taba Banyak pakai jampian
3 Ependi 55 Laki-Laki Ds. Taba Tahun 90-an mulai mengobati
4 Hamdani 49 Laki-Laki Ds. Taba -
Pengobatan tradisional di suku Saling saat ini diposisikan sebagai pengobatan alternatif.
Karena sebagian besar yang telah melakukan praktek pengobatan tradisional telah melakukan
pengobatan medis terlebih dahulu. Mereka menyebutnya sebagai “Ubat Ula’an” atau obat
dusun. Seseorang yang sakit biasa telah melakukan pengobatan secara medis baik ke dokter
maupun bidan terdekat tetapi sudah tidak sembuh maka mereka melanjutkan dengan
pengobatan tradisional. Di daerah kajian yaitu di Desa Taba Kecamatan Saling, secara umum
ada 2 macam Battra, yaitu Battra yang menggunakan obat tradisional baik dari tumbuhan dan
Battra yang tidak menggunakan tumbuhan sebagai obat tetapi menggunakan “terawangan”
dan meditasi. Dari Battra yang menggunakan tumbuhan untuk pengobatan dapat diketahui
beberapa jenis tumbuna yang bisa digunakan untuk pengobatan penyakit khususnya
degeneratif dan metabolik. Jenis-jenis tumbuhan yang banyak digunakan dalam pengobatan
disajikan pada Tabel 4.
Battra yang menggunakan tumbuhan sebagai obat biasanya mendapat bahan tanaman
dari hutan dan lingkungan sekitarnya. Sama halnya dengan suku Daya, pengobatan disini juga
menggunakan obat dari dalam dan luar, demikian juga dengan doa yang digunakan. Mereka
mengistilahkan doa itu sebagai “bisikan”. Bisikan yang digunakan selalu diawali dengan bacaan
Basmallah, mereka yakin bahwa segala macam penyakit dan penyembuhan itu berasal dari
Tuhan dan pengobatan itu hanya caranya saja. Setelah membaca basmalah diteruskan dengan
bisikan yang menggunakan bahasa Saling.
241
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Tabel 4. Penyakit degeneratif dan metabolik serta tumbuhan obat yang digunakan
IV. KESIMPULAN
Masyarakat suku Daya dan suku Saling di Sumatera Selatan memanfaatkan lebih kurang
55 jenis tumbuhan yang berkhasiat obat. Pengetahuan mengenai tumbuhan dan ramuan
pengobatan tersebut diperoleh secara turun–temurun. Dasar pengobatan masyarakat suku
Daya dan suku Saling adalah secara Islam yaitu semua selalu diawali dengan bacaan
“Basmallah”. Pada umumnya tumbuhan yang digunakan untuk pengobatan penyakit masih
diperoleh secara liar di perkarangan, kebun karet, semak belukar dan ladang. Sebagian
tumbuhan obat mulai dibudidayakan di perkarangan rumah. Jenis-jenis tumbuhan yang
diinventarisir dalam penelitian ini perlu dikaji lebih lanjut untuk mengetahui efektivitas dan
kandungannya dalam penyembuhan suatu penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Abdiyani S. 2008. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Bawah Berkhasiat Obat di Dataran Tinggi
Dieng. Jurnal Peneltian Hutan dan Konservasi Alam 6: 79-92.
Hariyadi B. 2011. Obat Rajo Obat Ditawar: Tumbuhan Obat dan Pengobatan Tradisional
Masyarakat Serampas – Jambi. Biospecies 4(2): 29 – 34.
Kartasaputra, G..1996. Budidaya Tanaman Berkhasiat Obat. CV Amalia. Jakarta, hal 25.
242
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
243
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
ABSTRAK
Fenomena alih-fungsi lanskap hutan lindung di daerah dataran tinggi yang dibiarkan tanpa terkendali
dapat mempercepat laju deforestasi dan deplesi kualitas lingkungan yang berakibat fatal pada
kehidupan manusia dalam jangka tertentu. Ini dapat terjadi karena para pihak memiliki kepentingan dan
cara pandang yang berbeda terhadap lanskap hutan. Satu pihak bermaksud menjaga kualitas
lingkungan, pihak lain lebih menginginkan pertumbuhan ekonomi. Penelitian ditujukan untuk
mendapatkan model konseptual pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan bagi masyarakat di
areal DAS/Sub DAS dalam lingkup wilayah administrasi kabupaten/kota daerah dataran tinggi, melalui
pembelajaran kasus pada masyarakat di sekitar hutan lindung Bukit Jambul, Sub DAS Lematang, Kota
Pagar Alam. Penelitian dilakukan melalui pendekatan sistem, dimulai dengan tahap menyusun,
pemodelan sebab-akibat, pendefinisian akar masalah, penyusunan model konseptual dan diakhiri
dengan perencanaan skenario. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa akar permasalahan
yang menyebabkan makin rusaknya lanskap hutan ini adalah karena terjadi kesenjangan persepsi
antarparapihak, baik antarkelompok masyarakat pengguna lahan maupun dengan pemerintah terhadap
nilai penting eksistensi hutan. Penelitian ini berhasil menyusun model konseptual pengelolaan lanskap
hutan Kota Pagar Alam berupa rangkaian aktivitas yang berujung pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat, melalui proses awal mengatasi akar masalah kesenjangan persepsi dan rendahnya
pengetahuan usahatani berwawasan lingkungan. Pendekatan nilai penting hutan berdasarkan situasi
lanskap dan dampak perubahannya dapat menjadi titik mula pengelolaan lanskap di daerah dataran
tinggi.
Kata kunci: lanskap hutan, dataran tinggi, pengelolaan, analisis sistem
I. PENDAHULUAN
Fenomena alih-fungsi atau status kawasan hutan lindung menunjukkan bahwa
pendekatan mengelola hutan melalui pembagian hutan berdasarkan fungsinya, yaitu lindung,
konservasi, dan produksi terbukti tidak berhasil menahan laju deforestasi dan degradasi hutan.
Parapihak, terutama aktor-aktor di daerah, memiliki beragam kepentingan dan aktivitas
terhadap hutan. Beragam kepentingan dan aktivitas parapihak tidak dibatasi oleh fungsi hutan,
karena pada dasarnya manfaat produksi (ekonomi), perlindungan (ekologi), dan sosial
dibutuhkan oleh parapihak dalam suatu waktu dan tempat yang sama. Manajemen lanskap
dikenal sebagai model pengelolaan hutan yang memandang hutan sebagai suatu kesatuan
fungsi, dan pengelolaannya tidak dapat dipisahkan dari tujuan untuk memenuhi kebutuhan
yang beragam. Namun, hingga kini manajemen lanskap hutan belum menjadi arus utama
pengelolaan lahan dan hutan Indonesia.
Ketidaksesuaian antara rencana tata ruang dan penetapan/penunjukan kawasan hutan
dengan tata guna faktual adalah fenomena yang umum dan mudah dijumpai, termasuk di Sub
DAS Lematang Kota Pagar Alam sebagai salah satu wilayah dataran tinggi di Sumatera Selatan.
Ini menunjukkan adanya kesenjangan pemahaman, kontestasi diskursus, dan kepentingan di
antara para pihak. Menurut teori justifikasi dari Boltanski, masing-masing aktor memiliki
pembenaran atau rasionalitas ekonomi dari tindakan yang mereka ambil. Menurut Sutton
245
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
(1999), aktor yang dominan dalam “iron triangle” yaitu kelompok kepentingan (interest
associations), pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat akan menikmati hasil dari hubungan
ketiganya, dan berimplikasi pada penguasaan sumberdaya. Dalam konteks tata guna lahan
hutan, aktor dominanlah yang akan menentukan bagaimana bentuk akhir dari tata guna lahan
hutan tersebut.
Penelitian ini bermaksud untuk memberikan alternatif penyelesaian isu trade off
diskursus manajemen hutan dan kepentingan parapihak melalui pendekatan manajemen
lanskap, lewat pembelajaran kasus areal Sub DAS Lematang sebagai hulu DAS Musi yang
termasuk wilayah administrasi kota pemekaran Pagar Alam. Peningkatan peran hutan dapat
dicapai apabila kepentingan satu pihak tidak menghilangkan pencapaian kepentingan pihak
lain. Dalam penelitian ini, diskursus didefinisikan sebagai kumpulan gagasan, konsep, dan
kategorisasi khusus yang diproduksi, dan ditransformasi ke dalam praktik-praktik tertentu dan
melalui pemaknaan yang diberikan terhadap realitas sosial dan fisik (Hajer 1995 dalam Soini
dan Birkeland 2014). Kepentingan adalah alasan. Alasan berhubungan dengan kebutuhan atau
keinginan.
246
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
dan pemerintah daerah. Hal ini merupakan salah satu akar masalah isu kerusakan hutan. Fakta
menunjukkan bahwa meskipun pemerintah daerah gencar menyuarakan diskursus pelestarian
hutan, namun deforestasi tidak berhenti. Gambar 1 melukiskan keadaan tutupan lahan daerah
dataran tinggi ini.
Gambar 1. Peta penutupan lahan dalam wilayah administrasi Kota Pagar Alam
Hasil penelitian yang menunjukkan perbedaan persepsi terhadap lanskap berhutan
dibahas bersama kelompok masyarakat dalam forum Focus Group Discussion, untuk
mengetahui penyebab terjadinya hal tersebut dan dampaknya. Diskursus konservasi hutan
hanya berlaku pada kelompok pemerintah daerah. Kelompok petani, terutama petani sayur dan
kopi memiliki kepentingan terhadap areal yang diharapkan berhutan oleh kelompok
pemerintah. Menurut kelompok masyarakat, perbedaan persepsi dapat terjadi karena
pemerintah daerah jarang sekali melakukan pembinaan usahatani yang berwawasan
lingkungan. Mereka dibiarkan untuk mempraktikkan usahatani sebagaimana yang biasa mereka
lakukan selama ini secara tradisional. Akibat nyata dari perbedaan persepsi tersebut adalah
rendahnya dukungan masyarakat terhadap program konservasi dan rehabilitasi hutan; pohon-
pohon yang ditanam pemerintah tidak mereka pelihara bahkan cenderung “dimatikan”.
Gambar 2 memberikan potret permasalahan pengelolaan lanskap hutan di Kota Pagar Alam
secara lebih lengkap.
247
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Perekonomian
Sawah beralih masyarakat
fungsi menurun
Potensi wisata Kerusakan areal
berkurang usaha tani
Perekonomian meningkat
Siklus air tidak normal
Gambar 2. Pohon masalah lanskap hutan di Kota Pagar Alam berdasarkan analisis isi media massa,
hasil penelitian survei dan Focus Group Discussion
B. Penyusunan model konseptual
Pohon masalah pengelolaan lanskap hutan Kota Pagar Alam yang telah dihasilkan
melalui proses analisis isi berita media massa, survei uji hipotesis dan FGD merupakan draft
model konseptual pengelolaan lanskap hutan Kota Pagar Alam. Draft model konseptual ini
dibahas kembali “kebenarannya” melalui forum lokakarya multipihak yang melibatkan para
pengambil keputusan institusi lingkup Pemerintah Kota Pagar Alam.
Parapihak pengambil keputusan Pemerintah Kota Pagar Alam membenarkan dan
menyempurnakan draft model konseptual pengelolaan lanskap (Gambar 3). Hasil diskusi
menyingkapkan bahwa makin meluasnya kebun sayur ke area dataran tinggi, termasuk
kawasan hutan lindung, dapat terjadi karena hasil produksi usahatani sayur berbanding lurus
dengan ketinggian tempat, terutama sejak tidak menentunya keadaan musim dan tidak
normalnya siklus air. Petani sayur di dataran tinggi mengandalkan kabut yang membawa embun
(fog) sebagai sumber air bagi tanaman. Sementara, disadari pula bahwa masalah mendasar
yang menyebabkan kesenjangan persepsi antarpihak tentang lanskap hutan adalah karena
adanya perbedaan tingkat pengetahuan antarpihak.
Model konseptual pengelolaan lanskap hutan Kota Pagar Alam adalah rangkaian
beragam aktivitas dalam bahasa tujuan (sebagai kebalikan dari masalah). Rangkaian aktivitas ini
merupakan tujuan dari program yang semestinya ditempuh pemerintah kota guna mengelola
lanskap hutan dengan kegiatan yang secara jelas berusaha menyelesaikan masalah pada taraf
akarnya. Tujuan akhir model konseptual ini adalah terjadinya peningkatan kesejahteraan
(ekonomi) masyarakat sebagai akibat pengelolaan lingkungan (lanskap hutan) yang terencana
dan terintegrasi dengan baik.
248
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
249
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
eksistensinya. Daerah sekitar sungai, perbukitan terjal, sekitar mata air dan hulu sungai (hutan
lindung) diprioritaskan sebagai area yang semestinya berhutan. Konsep ini tidak memandang
pembagian hutan hanya berdasarkan kawasan hutan atau bukan, karena kawasan hutan identik
dengan domain pekerjaan instansi kehutanan saja. Hutan yang berbasis kebutuhan lanskap
dapat diterima parapihak sebagai sebuah kebutuhan semua manusia yang tinggal di sekitarnya,
demi kemaslahatan kehidupan secara berkelanjutan.
Tabel 1. Kerangka kerja model pengelolaan lanskap hutan Kota Pagaralam
No. Tujuan aktivitas Program kerja Instansi terlibat
1. Menciptakan alternatif Pengembangan Dinas pertanian dan
pekerjaan yang tidak berbasis peternakan hortikultura, Dinas
lahan bagi masyarakat yang Diversifikasi usaha Tenaga Kerja, Dinas
tinggal di daerah hulu produk pangan Peternakan, Dinas
Pengembangan Perindustrian
budidaya jamur Perdagangan dan
Koperasi.
2. Menyamakan persepsi Sosialisasi dan Penyuluhan Dinas Kehutanan dan
parapihak tentang nilai nilai penting hutan Perkebunan, BKP5K,
penting hutan Badan Lingkungan Hidup
3. Meningkatkan program- Sosialisasi dan Dinas Pertanian dan
program pemerintah dalam Penyuluhan Budidaya Hortikultura, BKP5K,
membina usahatani Pertanian ramah Badan Penanggulangan
berwawasan lingkungan di lingkungan (sesuai Bencana Daerah
daerah hulu prinsip KTA)
Pembuatan sistem
terassering di daerah
berbukit
4. Mengembangkan Pengadaan/pembuatan Dinas Kehutanan dan
tanaman/bibit yang sesuai bibit pohon serbaguna Perkebunan
dengan kebutuhan petani untuk program RHL
5. Melaksanakan program Pemetaan lokasi priori- Dinas Hutbun, Bappeda.
tanam pohon PNS sesuai tas RHL Kota Pagar Alam
sasaran/prioritas lokasi Monitoring dan Evaluasi
program penanaman
pohon
250
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
hulu DAS yang kebutuhan eksistensi hutannya relatif luas dan tidak bisa hanya dibatasi oleh
pembagian wilayah berdasarkan kawasan hutan dan areal penggunaan lain (APL) saja.
DAFTAR PUSTAKA
Chapman J. 2004. System Failure: Why governments must learn to think differently. London:
Demos.
Holwell, S. 2000. Soft systems methodology: Other voices. Systemic Practice and Action
Research, Vol. 13, No. 6: 773-797.
Martin, E., B.T. Premono, A. Nurlia. 2013. Persepsi dan Sikap para pihak terhadap lanskap
berhutan di Kota Pagaralam, DAS Musi Hulu Sumatera Selatan”. Jurnal Analisis
Kebijakan Kehutanan, Vol. 10 No.1, April 2013.
Martin, E. 2008. Aplikasi Metodologi Sistem Lunak Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Rawan
Konflik: Kasus Hutan Penelitian Benakat, Sumatera Selatan. Tesis Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.
Mitroff, I. dan H. Linstone. 1993. The Unbounded Mind. New York: Oxford University Press.
Purnomo, H. 2005. Teori Sistem Komplek, Pemodelan dan Simulasi untuk Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Soini, K. dan Birkeland, I. 2014. Exploring the scientific discourse on cultural sustainability.
Geoforum, 51: 213-223.
Sutton, R. 1999. The Policy Process: An Overview. London: Overseas Development Institute.
251
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
ABSTRAK
Kendala yang kerapkali ditemui dalam pemasaran komoditas wanatani adalah ketidaksetaraan posisi
tawar dan adanya informasi asimetris. Penulisan paper ini dimaksudkan untuk menyajikan deskripsi
pemasaran gaharu dan merumuskan solusi untuk menyelesaikan masalah yang ada. Lokasi penelitian
yang dipilih adalah di Kabupaten Musi Rawas. Daerah tersebut dianggap representatif untuk kajian ini
karena di wilayah tersebut banyak dijumpai tanaman gaharu pada lahan milik serta terdapat beberapa
pengepul gaharu. Data yang dikoleksi meliputi identifikasi para pihak yang terlibat dalam mata rantai
pemasaran serta harga gaharu. Analisis data dilakukan secara deskriftif dan usulan penyelesaian
masalah dirumuskan dalam kerangka teori kontrak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
ketidaksetaraan antara penjual dan pembeli dalam transaksi komoditas gaharu di Kabupaten Musi
Rawas memang nyata terjadi. Pembeli lebih memiliki power dibandingkan penjual baik dalam hal posisi
tawar maupun akses terhadap informasi harga, sehingga dalam transaksi terjadi ketidaksetaraan posisi
antara penjual dan pembeli, yaitu penjual bertindak sebagai penerima harga (price taker) dan pembeli
sebagai penentu harga (price maker). Realitas tersebut dapat diminimalisir dengan cara mendisain
sebuah kontrak kerjasama. Sebuah teladan kontrak kerjasama budidaya gaharu dapat dijumpai di Desa
Trijaya, Kecamatan BTS Ulu/Cecar, Kabupaten Musi Rawas. Di daerah tersebut terdapat sekelompok
petani penanam pohon penghasil gaharu yang telah bergabung dalam himpunan KTH (Kelompok Tani
Hutan)Sinar Tani 1 dan bekerja sama dengan CV. HD Agarwood Project untuk kegiatan penyuntikkan
pohon penghasil gaharu dan penjualan produk gaharu. Bentuk kontrak kerjasama yang dijalin antara
kedua pihak tersebut dapat dikategorikan sebagai kontrak bagi hasil (share contract) dan tergolong
sebagai kerjasama informal. Namun demikian, pola kerjasama yang telah dibentuk tersebut dapat
menjadi teladan bagi para penanam pohon penghasil gaharu di daerah lain.
Kata kunci: gaharu, kontrak, pemasaran, monopoli
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gaharu telah dikenal sebagai komoditi hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai
ekonomi tinggi (Wollenberg et al. 2001; Paoli et al. 2001; Mucharromah, 2011; Purnomo et al.,
2011). Kementerian Kehutanan pun telah menjadikan komoditi ini sebagai produk yang
potensial untuk diusahakan di Indonesia. Namun, realita yang ada menunjukkan bahwa
ketersediaan pohon penghasil gaharu di hutan alam semakin menyusut seiring dengan
deforestasi yang tak tertahankan dan eksploitasi yang dilakukan secara destruktif (Santoso &
Turjaman, 2011; Santoso et al., 2012).
Informasi mengenai harga gaharu alam yang cukup tinggi telah menjadi insentif bagi
sebagian kalangan untuk mengembangkan pohon penghasil gaharu pada lahan milik.
Fenomena penanaman gaharu pada lahan milik juga ditemukan di beberapa daerah di Provinsi
Sumatera Selatan, antara lain di Kabupaten Banyuasin, Lahat dan Musi Rawas (Sofyan, 2010).
Bahkan sejumlah masyarakat di Kecamatan Bulung Tengah Suku (BTS) Ulu Cecar, Kabupaten
Musi Rawas telah menanam gaharu pada areal kebunnya sejak puluhan tahun yang lalu,
sebagai tanaman sisipan diantara pohon karet.
253
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Selain faktor harga, pengembangan gaharu pada lahan milik juga ditunjang oleh
penemuan inovasi teknologi penyuntikkan batang pohon penghasil gaharu (Santoso et al.,
2006) dalam Santoso & Turjaman (2011) yang terbukti mampu merangsang pembentukan resin
aromatik tersebut. Beberapa hasil kajian telah menunjukkan fakta bahwa aplikasi teknologi
induksi (penyuntikkan) terbukti mampu mempercepat proses pembentukan gaharu (Santoso &
Turjaman, 2011). Penemuan tersebut sangat potensial untuk meningkatkan produksi gaharu
sehingga dapat meningkatkan output perekonomian atau Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) dari komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Untuk meraih harapan tersebut, salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan
dalam pengembangan gaharu adalah aspek pemasaran. Kenyataan yang kerapkali ditemui
dalam pengembangan komoditas wanatani di seluruh Indonesia adalah aspek pemasaran
(Tukan et al., 2004). Ketiadaan kesetaraan antarpelaku ekonomi dalam wujud posisi tawar
(bargaining position) maupun informasi asimetris (information asymmetric) dapat berimplikasi
terhadap transaksi yang tidak adil, yaitu salah satu atau beberapa pihak memperoleh
keuntungan di atas kerugian pihak lain (Yustika, 2012). Sehingga, transaksi yang adil antara
penjual dan pembeli menjadi kunci pokok keberhasilan pengembangan gaharu. Oleh karen itu
perlu disusun aturan main yang dimaksudkan untuk membangun kesetaraan antarpelaku
pemasaran garahu, baik dari sisi daya tawar maupun kelengkapan informasi.
B. Tujuan
Bertolak pada uraian latar belakang di muka, penulisan makalah ini dimaksudkan untuk
menyajikan data dan informasi hasil kajian pemasaran gaharu di Kabupaten Musi Rawas,
Provinsi Sumatera Selatan. Di samping itu, tulisan ini juga mengusulkan solusi alternatif yang
dapat dipilih untuk membantu menyelesaikan permasalahan pemasaran gaharu.
254
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
255
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
antara lain gaharu sepat, gaharu triplek, gaharu kemedangan dan gaharu teri. Untuk lebih
jelasnya bentuk-bentuk gaharu tersebut dapat diamati pada Gambar 1.
Tabel 1. Harga gaharu alami di Kabupaten Musi Rawas berdasarkan kelas kualitas
No. Kelas Kualitas Harga (Rp)/ Kg
1. Super King 240.000.000,-
2. Super B 8.000.000,- s/d 12.000.000,-
Sepat (berbentuk chip agak oval menyerupai
3. 6.000.000,- s/d 8.000.000,-
bentuk ikan sepat)
4. Triplek (berbentuk pipih) 3.000.000,-
5. Kemedangan 500.000,- s/d 700.000,-
6. Teri (berbentuk chip ukuran kecil-kecil) 300.000,-
Sumber: Hasil wawancara dengan responden (2015)
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 1. Jenis gaharu alami berdasarkan kelas kualitas (a) sepat, (b) triplek,
(c) kemedangan dan (d) teri
Pengepul gaharu yang beroperasi di wilayah Kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya
(Kota Lubuk Linggau) umumnya hanya sebagai pedagang pengumpul perantara. Selanjutnya,
gaharu yang dia peroleh dijual ke pedagang yang lebih besar yang berada di Jambi, Pekanbaru
atau Jakarta. Negara tujuan ekspor gaharu dari ketiga kota tersebut adalah Singapura, Arab dan
China. Apabila disajikan dalam bentuk diagram alir, maka jalur perdagangan gaharu dari
Kabupaten Musi Rawas dan Lubuk Linggau dapat digambarkan dalam alur sebagaimana
ditampilkan pada Gambar 2.
Berdasarkan uraian hasil investigasi seperti diutarakan di muka, tampak bahwa
ketidaksetaraan dalam proses transaksi merupakan problem yang nyata dalam pemasaran
gaharu. Faktor penyebabnya adalah rendahnya posisi tawar petani dan ketidaklengkapan
256
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
informasi yang diterima petani. Realita tersebut menambah bukti yang dapat menjelaskan
kebenaran postulat pengaruh ketimpangan posisi daya tawar dan informasi asimetris sebagai
penyebab masalah utama dalam kegiatan transaksi ekonomi (Yustika, 2012). Sebagaimana
dikemukakan McConnel dan Brue (2005), informasi asimetris tersebut terjadi karena pembeli
dan penjual memiliki informasi yang tidak sama tentang harga, kualitas atau aspek tentang
barang atau jasa yang hendak diperjualbelikan.
Pengepul di Pengepul di
Lubuk Linggau Jambi Arab
Pengepul di Pengepul di
Musi Rawas Pekanbaru China
257
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Kas KTH. Kedua belah pihak telah sepakat untuk menjual produk gaharu yang dihasilkan ke
tempat penjualan yang menawarkan harga tertinggi, dan jika harga harga di pasaran lebih
rendah maka investor bersedia untuk menampungnya dan menjual sesuai dengan saluran
penjualan melalui CV. HD Agarwood Project.
DAFTAR PUSTAKA
Furubotn, E.G. dan R. Richter. 2005. Institutions and Economic Theory: The Contribution of The
New Institutional Economics. 2nd Ed. The University Of Michigan Press. Ann Arbor.
McConnell, C.R. dan S.L. Brue. 2008. Economics: Principles, Problems, and Policies. 17th Ed.
McGraw-Hill. USA
Mucharromah. 2011. Development of Eaglewood (Gaharu) in Bengkulu, Sumatera. Dalam
Turjaman, M. Proceedings of Gaharu Workshop, “Development of Gaharu Production
Technology a Forest Community Based Empowerment. R & D Centre for Forest
Conservation and Rehabilitation Forestry Research and Development Agency (FORDA).
Bogor.
Paoli, G.D., D.R. Peart, M. Leighton dan I. Samsoedin. 2001. An Ecological Assessment of Non
Timber Forest Product Gaharu Wood in Gunung Palung National Park, West Kalimantan,
Indonesia, Conservation Biology, 15(6): 1721-1732.
Purnomo, E., D. Wulandari, A. Andayani, A. Fitriadi, dan M. Turjaman. 2011. Nutrient And
Economic Balances of Gaharu (Eaglewood) Grown in a Mix Farming System. Dalam
258
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
259
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
ABSTRAK
Hutan memberikan manfaat langsung bagi kehidupan masyarakat berupa kayu sebagai sumber energi
untuk kebutuhan memasak dan proses lainnya. Kayu memegang peranan penting sebagai sumber energi
bagi rumah tangga di pedesaan sehingga perlu adanya upaya penyediaan yang berkelanjutan. Langkah
awal yang dapat dilakukan dengan memperkirakan kebutuhan kayu energi. Tujuan tulisan ini untuk
memperkirakan kebutuhan kayu energi yang didekati dengan kebutuhan kalori manusia dalam
beraktifitas sehari-hari. Hasil perhitungan yang dilakukan didapatkan hasil bahwa kebutuhan kayu
sebesar 1.323,209 m3 pertahun per desa untuk jenis tanaman kayu karet dan 1.341,620 m3 pertahun per
desa untuk jenis tanaman kopi dengan jumlah anggota keluarga rata-rata 3 orang dan jumlah anggota
keluarga yang berkerja rata-rata 2 orang. Melihat cukup besarnya konsumsi kayu energi pada
rumahtangga, untuk perlu adanya strategi dari masyarakat sendiri dalam pemenuhan kebutuhan
rumahtangga atas sumber energi kayu dan usaha pemerintah untuk mendorong penggunaan energi
selain kayu untuk pemenuhan energi untuk memasak dan proses lain.
Kata kunci: kayu energi, kebutuhan kalor, kalor, kebutuhan kayu energi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber daya hutan merupakan unsur penting bagi kehidupan masyarakat disekitarnya.
Ada 3 peran penting hutan bagi kehidupan masyarakat pedesaan antara lain (Babulo et al.,
2009): (1) mendukung konsumsi atau memenuhi kebutuhan subsisten rumah tangga, (2)
menyediakan jaring pengaman disaat darurat, (3) menyediakan salah satu cara keluar dari
kemiskinan. Hal ini karena hutan menyediakan manfaat langsung dan langsung yang berguna
bagi kehidupan manusia. Salah produk yang dapat diambil dari hutan adalah kayu dimana kayu
sebagai sumber energi. Kayu sebagai sumber energi berperan sangat penting bagi masyarakat
sekitar hutan, yang umumnya memiliki penghidupan yang terbatas terutama akses terhadap
sumber energi lainnya. Kayu sebagai sebagai sumber energi dimanfaatkan untuk memasak dan
proses makanan lainnya. Penggunaan kayu untuk kebutuhan energi diperkirakan lebih dari 51%
rumah tangga di pedesaan di Negara berkembang di Asia termasuk Indonesia (IEA, 2013).
Penghidupan masyarakat merupakan suatu yang kompleks yang dipengaruhi oleh asset
dan aktivitas rumahtangga. Asset tersebut meliputi alam, sosial, fisik, finansial dan manusia.
Penghidupan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga pedesaan dipahami sebagai sistem
pengambil keputusan, produksi dan konsumsi dari sumber daya hutan sehingga penghidupan
rumahtangga dipahami sebagai sistem yang saling berkaitan.
Kebutuhan kayu sebagai sumber energi pada masyarakat pedesaan akan menyesuaikan
dengan ketersediaan sumber kayu yang ada, baik yang ada di alam maupun tanaman yang
ditanam oleh masyarakat. Sumber kayu (ukuran dan jenis kayu bakar) dan jarak mempengaruhi
pilihan penggunaan kayu energi oleh rumahtangga (Jumbe dan Angelsen, 2010). Untuk
menjawab seberapa konsumsi rumahtangga terhadap kayu bakar dapat didekati dari 2 (dua)
asset kunci yaitu alam (kayu bakar) dan manusia (kemampuan untuk berkerja).
261
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Konsumsi kayu
Hambatan pertanian:
bakar
hasil, komposisi nutrisi,
Kebutuhan ekologi
kalori manusia
menentukan
kebutuhan Hambatan perternakan: Konversi hutan Penggunaan
pangan kebutuhan makanan, keberlanjutan
alam/deforestasi
angka reproduksi
262
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
menggunakan perhitungan aktifitas FAO (2004) yang di setarakan dengan jumlah kalor yang
dihasilkan oleh kayu yang digunakan oleh rumahtangga.
Kebutuhan energi manusia akan dipengaruhi oleh kebutuhan pangan/makanan. Dalam
pemenuhan kebutuhan pangan tersebut akan dibatasi oleh beberapa faktor seperti hambatan
fisik, hambatan peternakan, hambatan pertanian dan eksternalitas. Besar kecilnya hambatan
tersebut akan menentukan besaran pangan yang dihasilkan atau nutrisi yang akan digunakan
oleh manusia. Atau besaran pendapatan yang akan dihasilkan untuk menghidupi rumahtangga.
Untuk memproses pangan tersebut diperlukan energi. Energi tersebut berasal dari kayu. Untuk
itu, kebutuhan pangan dapat disetarakan dengan kebutuhan kayu. Kebutuhan kayu untuk
energi diperoleh dari hutan maupun sumber lainnya baik yang diperoleh secara berkelanjutan
maupun konversi dan penebangan hutan yang berdampak pada penurunan keanekaragaman
hayati, lingkungan dan sosial. Jadi, informasi mengenai kebutuhan kayu energi diperlukan bagi
pengambil kebijakan dan masyarakat. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.
C. Pengumpulan Data
Penelitian dilakukan dengan metode survei rumah tangga pengguna kayu sebagai
sumber energi. Pengumpulan data primer dilakukan dengan bantuan koesioner dan wawancara
semi terstruktur terhadap responden. Pemilihan responden dilakukan dengan acak terhadap
rumahtangga dengan jumlah responden 42 orang (5% dari total KK). Data yang dikumpulkan
meliputi pekerjaan, berat badan anggota keluarga, cara dan jarak pengumpulan/pemungutan
kayu energi, siapa yang mencari kayu, jenis kayu yang digunakan dan data pendukung lainnya.
D. Analisis Data
Berdasarkan FAO (2004) kebutuhan kalor untuk laki-laki dan perempuan tergantung
dengan aktifitas yang dilakukan, untuk laki-laki antara 2500-3500 Kcal perhari dan perempuan
2300-2600 Kcal perhari baik anak maupun dewasa. Untuk menghitung kebutuhan kalor per
individu dilakukan dengan melihat segala aktifitas yang dilakukan individu selama 24 jam
sebagai ilustrasi energi yang dibutuhkan individu perharinya adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Iliustrasi kebutuhan energi individu dalam beraktifitas
Kegiatan Lama waktu Rasio Aktifitas Waktu x RAF Rata-rata PAL
(jam) Fisik (besaran mulitple 24 jam
energi yang BMR
diperlukan
Tidur 7 1.0 7.0 59.2
Pemeliharaan tubuh 1 1.2 1.2
Jalan 1 3.0 3.0
Makan 1 1.4 1.4
Berkebun 7 4.4 30.2
Santai 1 1.2 1.2
Ngobrol 2 1.2 2.4
Nonton tv 4 1.64 4.2
TOTAL 24 50.6/24=2.11
Keterangan:
RAF (Rasio Aktifitas Fisik) adalah energi yang dikeluarkan dari suatu kegiatan per satuan waktu
263
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
264
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
mengumpulkan kayu, setiap orang memiliki kemampuan mengangkut kayu berkisar antara 20-
25 kilogram.
Dalam melakukan aktifitas sehari-hari manusia membutuhkan kalori, yang mana untuk
mencukupinya diperoleh dari asupan pangan. Dalam proses pengolahan pangan/makanan ini
diperlukan sejumlah kalori untuk memasak. Kebutuhan kalori untuk memasak didapatkan dari
pembakaran kayu, sehingga kalori yang dibutuhkan untuk aktifitas seimbang dengan kalori yang
digunakan untuk memasak.
Tabel 2. Karakteristik rumahtangga dalam pemenuhan kebutuhan kalori
Uraian Satuan Min Max Rata-rata
Pekerjaan Non tani 5 (11,9%)
Tani 37 (88,1%)
Jumlah anggota Orang 1 4 2,76
keluarga
Jumlah anggota Orang 1 2 1,67
keluarga berkerja
Berat badan anggota Kg 8 70 39,69
keluarga
Jarak tempuh Km 0,25 2,5 1,25
pengumpulan kayu
Lama kerja di kebun Jam 4 8 5,24
perhari
Kebutuhan kayu energi Kalori 4.850 13.150 8.683,54
rumah tangga perhari
Jenis kayu yang tersedia dalam jumlah melimpah dan digunakan oleh masyarakat
sebagai kayu energi adalah kayu kopi dan kayu karet. Dari literatur, kalor yang dihasilkan dari
kayu karet sebesar 4.066 kalori dan kayu kopi sebesar 3.933 kalori, yang digunakan sebagai
dasar untuk menghitung kebutuhan kayu per jenis tersebut. Untuk melihat besaran kebutuhan
kayu untuk energi dapat didekati dengan kebutuhan kalori manusia beraktifitas.
Berdasarkan perhitungan kebutuhan kalori setiap keluarga perhari dan jenis kayu yang
digunakan didapat hasil untuk jenis kayu karet 1,516 m3 pertahun per keluarga dan untuk kayu
kopi sebesar 1,537 m3 pertahun per keluarga. Pendekatan kebutuhan kayu untuk energi ini
mungkin akan lebih rendah atau lebih tinggi dari konsumsi sebenarnya. Setidaknya akan
memberikan gambaran kasar mengenai kebutuhan kayu yang harus tersedia agar tidak
mengganggu hutan yang ada disekitar tempat tinggal masyarakat. Hasil selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 3. Prediksi kebutuhan kayu energi diperlukan untuk mendapatkan gambaran
mengenai besaran konsumsi kayu sehingga dapat memberikan informasi mengenai keterse-
diaan kayu energi yang harus dicukupi dalam rangka pengelolaan sumber energi yang lestari.
Beberapa literatur yang ada, mengaitkan antara konsumsi kayu untuk energi dan
kelestarian hutan (Hofstad, 1977; Zulu, 2010; Cooke et al., 2008). Namun Top et al. (2004)
menerangkan bahwa konsumsi kayu energi tidak menyebabkan deforestasi hutan karena
konsumsi kayu energi hanya 2,3% dari peningkatan pertumbuhan biomassa pada tanaman
pertahunnya. Kayu merupakan sumber energi utama namun bukan satu-satunya sumber energi
pada rumah tangga di pedesaan. Untuk rumah tangga dengan tingkat ekonomi yang lebih baik,
dapat beralih ke sumber energi lainnya seperti LPG (gas).
265
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
IV. KESIMPULAN
Kayu menjadi kebutuhan utama rumahtangga masyarakat di pedesaan untuk
pemenuhan kebutuhan energi sebagai bahan bakar memasak dan proses lainnya. Untuk
menjamin keberlangsungan dan kelestarian hutan dalam rangka pemenuhan kebutuhan kayu
untuk energi perlu diperkirakan kebutuhan kayu tersebut. Salah satu pendekatan kebutuhan
kayu tersebut didekati dengan konsumsi kalor manusia dalam beraktifitas. Hasil perhitungan
yang dilakukan didapatkan hasil bahwa kebutuhan kayu sebesar 1.323,209 m 3 pertahun per
desa untuk jenis tanaman kayu karet dan 1.341,620 m3 pertahun per desa untuk jenis tanaman
kopi dengan jumlah anggota keluarga rata-rata 3 orang dan jumlah anggota keluarga yang
berkerja rata-rata 2 orang. Hasil penelitian ini mungkin masih sangat kasar untuk
menggambarkan secara nyata kebutuhan kayu energi rumahtangga di pedesaan secara
keseluruhan. Melihat cukup besarnya konsumsi kayu energi pada rumahtangga, untuk perlu
adanya strategi dari masyarakat sendiri dalam pemenuhan kebutuhan rumahtangga atas
sumber energi kayu dan usaha pemerintah untuk mendorong penggunaan energi selain kayu
untuk pemenuhan energi untuk memasak dan proses lain.
DAFTAR PUSTAKA
Adedayo, A. G., Oyun, M. B., & Kadeba, O. (2010). Forest Policy and Economics Access of rural
women to forest resources and its impact on rural household welfare in North Central
Nigeria. Forest Policy and Economics, 12(6), 439–450. doi:10.1016/j.forpol.2010.04.001
BPS. (2014). BPS Kecamatan Kikim Dalam Angka. Kabupaten Lahat.
Babulo, B., Muys, B., Nega, F., Tollens, E., Nyssen, J., Deckers, J., & Mathijs, E. (2009). The
economic contribution of forest resource use to rural livelihoods in Tigray, Northern
Ethiopia. Forest Policy and Economics, 11(MARCH 2009), 123–131.
doi:10.1016/j.forpol.2008.10.007
Chambers & Conways. 1992. Sustainable rural livelihoods: practical concepts for the 21th
century. IDS discussion paper 296.
266
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
Cooke, P., Köhlin, G., & Hyde, W. F. (2008). Fuelwood, forests and community management –
evidence from household studies. Environment and Development Economics, 13(2003),
103–135. doi:10.1017/S1355770X0700397X
Godfrey, A. J., Denis, K., Daniel, W., & Akais, O. C. (2010). Household Firewood Consumption
and its Dynamics in, 841–855. Ethnobotanical Leaflets 14: 841-855. 2010.
Hetter, J., & Boston, Æ. K. (2008). Consuming Fuel and Fuelling Consumption : Modelling
Human Caloric Demands and Fuelwood Use, 1–15. doi:10.1007/s11842-008-9037-3
Hofstad, O. (1997). Woodland Deforestation by Charcoal Supply to Dar es Salaam. Journal of
Environmental Economics and Management, 33, 17–32. doi:10.1006/jeem.1996.0975
IEA, 2013. World Energy Outlook 2013. International Energy Agency, Paris, France.
Jumbe, C. B. L., & Angelsen, A. (2011). Modeling choice of fuelwood source among rural
households in Malawi: A multinomial probit analysis. Energy Economics, 33, 732–738.
doi:10.1016/j.eneco.2010.12.011.
http://www.primusweb.com/cgi-bin/fpc/actcalc.pl
Joon, V., Chandra, a., & Bhattacharya, M. (2009). Household Energy Consumption Pattern and
Socio-Cultural Dimensions Associated with it: A Case Study of Rural Haryana, India.
Biomass and Bioenergy, 33(11), 1509–1512. doi:10.1016/j.biombioe.2009.07.016
Zulu, L. C., & Richardson, R. B. (2013). Energy for Sustainable Development Charcoal, livelihoods
, and poverty reduction : Evidence from sub-Saharan Africa. Energy for Sustainable
Development, 17(2), 127–137. doi:10.1016/j.esd.2012.07.007.
267
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
Sri Lestari, Bondan Winarno, Bambang Tejo Premono dan Nur Arifatul Ulya
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK
Upaya mengoptimalkan fungsi lahan milik dengan menanam tanaman kayu merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga, sehingga kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui praktek silvikultur dan kondisi sosial ekonomi masyarakat
pengembang tanaman jabon di Provinsi Sumatera Selatan. Pengumpulan data primer dilakukan melalui
observasi lapangan dan wawancara terhadap responden, sedangkan analisis data dilakukan dengan cara
deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktek silvikultur yang diterapkan oleh
masyarakat masih sangat sederhana. Sebanyak 35% dari responden membuka lahan dengan cara tebas
total, 43% menggunakan cara tebas jalur, sedangkan sisanya hanya membersihkan areal sekitar lubang
tanam. Petani yang menjadi responden mendapatkan bibit jabon dengan cara membeli atau mencari
anakan di bawah pohon induk. Dari seluruh responden yang ada, 88% telah menanam jabon dengan
jarak tanam tertentu, sebagian dari responden melakukan kegiatan pemeliharaan dengan cara
memupuk (34%), menyiangi tanaman (49%), menyemprot dengan herbisida atau pestisida (59%),
memangkas ranting (19%) dan juga melakukan penjarangan (13%). Berdasarkan hasil analisis kondisi
sosial ekonomi, sebagian besar masyarakat, yaitu 76% penanam jabon memiliki pekerjaan utama
sebagai petani dan 54% dari mereka memiliki pendidikan setingkat SD.Tingginya animo masyarakat di
Kabupaten Ogan Komering Ilir dalam menanam jabon merupakan insentif bagi upaya pemerintah untuk
mengembangkan tanaman kehutanan guna meningkatkan produksi bahan baku kayu, baik secara lokal
maupun nasional. Oleh karena itu dukungan berupa bantuan dan penyuluhan dari pemerintah
diperlukan agar produktivitas budidaya tanaman jabon oleh masyarakat dapat lebih optimal.
Kata kunci: budidaya jabon, praktek silvikultur, sosial ekonomi masyarakat
I. PENDAHULUAN
Kegiatan produksi kayu pertukangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di tingkat
lokal maupun nasional dapat dilakukan di lahan milik petani, baik secara campuran
(agroforestri) maupun dengan cara monokultur. Salah satu jenis kayu lokal yang telah banyak
dikembangkan oleh masyarakat petani kayu adalah jabon. Jenis ini diminati masyarakat karena
termasuk ke dalam kelompok tanaman cepat tumbuh sehingga mempunyai daur relatif pendek
(Wahyudi, 2012). Selain itu, jabon merupakan jenis pionir yang dapat tumbuh dengan baik pada
lahan bekas perladangan dan semak belukar (Wahyudi, 2012), juga lahan transisi antara daerah
rawa dengan frekuensi banjir berkala atau permanen (Krisnawati et al., 2011). Kegunanaan
kayu jabon relatif banyak, antara lain dapat digunakan untuk veneer, kertas, furniture (seperti
meja, kursi, lemari), kusen, pintu, jendela, dll (Mulyana et al., 2011) mengungkapkan bahwa
jabon dapat dimanfaatkan untuk menghijaukan lingkungan, seperti penghijauan, reklamasi
lahan bekas tambang, dan pohon peneduh.
Di Provinsi Sumatera Selatan, jabon telah dikembangkan baik dengan swadaya
masyarakat maupun melalui program bantuan pemerintah, misalnya Kebun Bibit Rakyat (KBR).
Masyarakat yang menanam jabon dengan modal sendiri pada umumnya termotivasi karena
telah melihat keberhasilan orang lain atau tetangga yang telah lebih dulu memanen jabon, baik
dari hasil menanam sendiri maupun dari hasil tumbuhan alam. Sedangkan masyarakat yang
269
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
menanam jabon karena adanya program KBR selain tertarik pada hasil panen kayu jabon, juga
karena adanya insentif dari pemerintah. Selain mendapatkan bantuan dalam menanam jabon,
masyarakat juga akan memperoleh bantuan untuk menanam karet. Karena sampai saat ini
tanaman karet masih menjadi pilihan utama bagi masyarakat untuk ditanam di lahan milik,
sebab selain memberikan hasil getah secara rutin, karet dapat dipanen kayunya pada akhir daur
tanaman. Selain lahan perkebunan, banyak masyarakat juga memiliki lahan yang sering
terendam banjir saat hujan turun, sehingga pada awalnya tidak ada tanaman kayu yang dapat
hidup dan hanya ditanami oleh semak belukar. Kondisi lahan ini menyebabkan pemanfaatan
yang kurang optimal dan tidak produktif.
Di kedua desa yang menjadi fokus kegiatan penelitian, pada awalnya pengembangan
kayu jabon hanya dilakukan oleh beberapa orang. Sejak tahun 2009 menanam jabon mulai
marak dilakukan oleh sebagian besar masyarakat petani dengan memanfaatkan lahan yang
selama ini belum termanfaatkan atau dengan mengoptimalkan fungsi lahan yang sebelumnya
telah ditanami dengan tanaman buah-buahan dan atau tanaman perkebunan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui praktek silvikultur dan kondisi sosial ekonomi masyarakat
pengembang tanaman jabon di Desa Jejawi dan Desa Karang Agung, Kabupaten Ogan Komering
Ilir, Provinsi Sumatera Selatan.
270
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
perkebunan atau buahan, selain itu mereka juga menanam jabon di antara tanaman buah-
buahan yang sudah tumbuh di lahan milik mereka. Kondisi awal lahan ini mempengaruhi cara
masyarakat dalam penyiapan lahan, pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa sebanyak 35% dari
responden membuka lahan mereka dengan sistem tebas total (karena sebelumnya lahan ini
ditumbuhi semak belukar), 43% membuka lahan dengan cara tebas jalur (karena semak belukar
yang tumbuh tidak terlalu rapat), dan sisanya hanya membersihkan areal sekitar lubang tanam
(22%), yaitu apabila masyarakat menanam jabon di antara tanaman buah-buahan.
100
Prosentase (%)
80
60
40
20
0
271
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
tidak memerlukan pemeliharaan secara rutin sehingga lebih menghemat biaya. Seperti halnya
Setyaji (2011) menyatakan bahwa budidaya tanaman jabon sangat sederhana dan tidak
memerlukan perawatan khusus, sehingga jenis ini cukup prospektif untuk dikembangkan pada
program hutan rakyat.
B. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pengembang Jabon
Pekerjaan utama yang dimiliki masyarakat lokal dan tingkat pendidikan memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap sikap dan tingkat partisipasi mereka terhadap program
kehutanan masyarakat (Kobbail, 2012). Di lokasi penelitian, masyarakat yang menanam jabon di
Desa Jejawi dan Desa Karang Agung didominasi oleh mereka yang memiliki pekerjaan utama
sebagai petani (76%). Selain itu ada yang berprofesi sebagai pedagang, wiraswasta, nelayan,
dan guru. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat sebagian besar adalah Sekolah
Dasar (54%), sedangkan sisanya adalah SMP (19%), SMA (21%) dan Perguruan Tinggi (6%). Rata-
rata pengeluaran per minggu responden adalah Rp. 300.000 dengan jumlah anggota keluarga
rata-rata yang dimiliki sebanyak 4 orang. Dari kedua desa tersebut, masyarakat petani di Desa
Jejawi telah lebih dulu mengenal dan mengembangkan kayu jabon. Bahkan usaha pembibitan
jabon pun telah banyak dilakukan oleh masyarakat di desa ini guna memenuhi kebutuhan bibit
baik dari dalam desa maupun luar desa. Usaha pembibitan kayu jabon ini dapat memberikan
tambahan pendapatan bagi masyarakat penangkar bibit. Hasil penelitian tentang usaha
pembibitan kayu jabon yang dilakukan oleh Sirajudin et al. (2013) menjelaskan bahwa usaha
pembibitan kayu jabon merah di Desa Tangkunei Kabupaten Minahasa Selatan mampu
menghasilkan nilai B/C ratio sebesar 1,86 sehingga secara finansial dikatakan layak dan dapat
memberikan keuntungan.
Menanam jabon diharapkan dapat memberikan tambahan pendapatan bagi
masyarakat, karena setelah tahun ke-7 atau lebih mereka dapat memanen jabon dengan harga
berkisar antara Rp. 1.100.000 sampai Rp 1.300.000 per meter kubik dalam bentuk kayu olahan.
Hasil penelitian Indrajaya dan Siarudin (2013) mengungkapkan bahwa dengan menggunakan
penghitungan daur finansial Fausman, kayu jabon di Kecamatan Pakenjeng Kabupaten Garut
dapat memberikan keuntungan yang maksimal apabila seluruh tegakan ditebang pada tahun
ke-6. Das (2012) juga mengungkapkan bahwa masyarakat yang berpartisipasi dalam program
kehutanan akan mendapatkan penghidupan yang lebih baik karena perekonomian mereka
meningkat. Untuk menanam jabon, masyarakat tidak harus memiliki lahan yang luas karena
jabon dapat ditanam secara campuran di antara jenis-jenis tanaman lain. Jabon juga dapat
dimanfaatkan sebagai tanaman pagar atau batas lahan, sehingga apabila masyarakat menanam
jenis tanaman perkebunan di lahan milik mereka, seperti karet atau sawit, jabon dapat ditanam
di sekeliling areal tanaman perkebunan tersebut.
Mulai dari awal pengembangan tanaman jabon sampai dengan saat ini, berbagai
permasalahan banyak dihadapi oleh masyarakat. Masalah utama adalah adanya masa stagnansi
dari pertumbuhan jabon, dimana pada awalnya pertumbuhan jabon sangat cepat, akan tetapi
setelah berumur 3 tahun tanaman jabon seperti tidak mengalami pertumbuhan. Hal ini
mengakibatkan beberapa petani merasa putus asa, sehingga pada saat tanaman jabon mereka
berumur 5 tahun, mereka mulai menjual tanaman jabon tersebut. Karena ukuran kayu yang
masih kecil-kecil, masyarakat terpaksa menjual kayu secara borongan untuk luasan lahan
tertentu, akibatnya harga yang mereka peroleh menjadi sangat rendah. Berdasarkan
pengalaman tersebut, masyarakat mulai enggan untuk kembali menanam jabon di lahan
miliknya. Di samping itu, seperti diungkapkan oleh Tukan et al. (2004), beberapa masalah yang
dihadapi petani kayu rakyat antara lain: (1) Masih rendahnya pengetahuan petani tentang cara
bertani/berkebun yang baik dan benar, meliputi cara budidaya, pemanenan dan penanganan
272
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
setelah panen kayu, (2) Hasil produksi kayu yang terbatas, sehingga tidak dapat menjual ke
perusahaan menengah atau besar, (3) Umur panen kayu yang belum memasuki masa tebang,
karena pada umumnya petani menjual berdasarkan kebutuhan hidup, (4) Dalam melakukan
pemasaran hasil, petani tidak memiliki kelompok kerja bersama, dan (5) Akses informasi pasar
yang dimiliki petani masih terbatas karena petani hanya mendapatkan informasi dari sesama
petani atau pedagang yang datang ke desa. Oleh karena itu diperlukan adanya informasi pasar
dan harga sampai ke tingkat petani. Ditambahkan oleh Krisnawati et al. (2011) bahwa petani
kayu seringkali memiliki keterbatasan dalam tehnik dan pengetahuan untuk mengelola
tanaman kayu, mulai dari pemilihan jenis, aspek silvikultur guna memproduksi hasil dengan
kualitas tinggi, serta manajemen hama dan penyakit tanaman.
Motivasi masyarakat yang cukup tinggi dalam mengembangkan kayu jabon merupakan
insentif bagi upaya pemerintah guna mengembangkan tanaman kehutanan jenis jabon. Akan
tetapi, adanya berbagai kendala yang dihadapi oleh masyarakat tersebut dapat mengurangi
antusisame masyarakat. Oleh karena itu upaya-upaya untuk mendorong masyarakat agar
memiliki motivasi dalam budidaya jabon dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan,
bantuan dana dan atau bibit, serta bantuan teknis lainnya.
IV. KESIMPULAN
1. Praktek silvikultur yang diterapkan oleh masyarakat masih sangat sederhana, mereka
menanam jabon di lahan milik yang sebelumnya merupakan lahan tidur dan hanya
ditumbuhi semak belukar. Sebanyak 35% dari responden membuka lahan dengan cara tebas
total, 43% menggunakan cara tebas jalur, sedangkan sisanya hanya membersihkan areal
sekitar lubang tanam. Petani yang menjadi responden mendapatkan bibit jabon dengan cara
membeli mencari anakan di bawah pohon induk. Dari seluruh jumlah responden yang ada,
88% telah menanam jabon dengan jarak tanam tertentu, sedangkan sisanya (12%) belum
menerapkan jarak tanam. Sebagian dari responden melakukan beberapa kegiatan
pemeliharaan tanaman, yaitu dengan cara memupuk (34%), menyiangi tanaman (49%),
menyemprot dengan herbisida atau pestisida (59%), memangkas ranting (19%) dan juga
melakukan penjarangan (13%). Petani yang tidak melakukan kegiatan pemeliharaan secara
intensif menyatakan bahwa jabon setelah ditanam akan tumbuh dengan sendirinya dan
tidak memerlukan pemeliharaan secara rutin sehingga lebih menghemat biaya.
2. Berdasarkan hasil analisis kondisi sosial ekonomi, masyarakat penanam jabon di Kabupaten
Ogan Komering Ilir didominasi oleh mereka yang memiliki pekerjaan utama sebagai petani,
yaitu sebanyak 76%, sedangkan dari aspek pendidikan, responden didominasi oleh mereka
yang memiliki pendidikan setingkat SD, yaitu sebanyak 54%. Pengeluaran rata-rata
masyarakat per minggu adalah Rp. 300.000 dengan rata-rata jumlah anggota keluarga
sebanyak 4 orang. Menanam jabon akan memberikan tambahan pendapatan bagi
masyarakat, karena setelah berumur 7 tahun atau lebih mereka dapat memanen jabon
dengan harga berkisar antara Rp. 1.400.000 sampai Rp 1.600.000 per meter kubik (dalam
bentuk kayu olahan).
3. Tingginya animo masyarakat di Kabupaten Ogan Komering Ilir dalam menanam jabon
merupakan insentif bagi upaya pemerintah untuk mengembangkan tanaman kehutanan
guna meningkatkan produksi bahan baku kayu, baik secara lokal maupun nasional. Oleh
karena itu dukungan berupa bantuan dan penyuluhan dari pemerintah diperlukan agar
produktivitas budidaya tanaman jabon oleh masyarakat dapat lebih optimal.
273
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Das, N. (2012). Impact of participatory forestry program on sustainable rural livelihoods:
Lessons from an Indian Province. Applied Economic Perspectives and Policy Vol. 34 No. 3
(pp. 428-453)
Hartoyo, A.P.P. (2013). Teknik dan biaya budidaya jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) oleh
petani kayu rakyat. Tidak dipublikasikan. Skripsi Departemen Silvikultur, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Indrajaya, S. & Siarudin, M. (2013). Daur finansial hutan rakyat jabon di Kecamatan Pakenjeng,
Kabupaten Garut, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 10 No. 4 (pp. 201-
2011).
Kobbail, A.A.R. (2012). Local people attitudes towards community forestry practices: A case
study of Kosti Province – Central Sudan. International Journal of Forestry Research. Vol
2012 (pp 1-7). Doi: 10.1155/2012/652693.
Krisnawati, H., Kalllio, M., & Kanninen, M. (2011). Anthocephalus cadamba Miq.: Ecology,
silviculture and productivity. Center for International Forestry Research, Bogor,
Indonesia.
Mulyana, D., Asmarahman, C., & Fahmi, I. (2011). Panduan lengkap bisnis dan bertanam kayu
Jabon. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Setyaji, T. (2011). Jabon ‘Si Jati Bongsor’ dan prospeknya untuk hutan rakyat. Informasi Teknis
Vol 9 No 2 (pp. 45-54).
Sirajudin, N., Walangitan,H.D., Lasut, M.T., & Sumakud, M.Y.M.A. (2013). Kajian partisipasi dan
kelayakan usaha persemaian jabon merah (Anthocephalus macropyllus) (Studi kasus
kelompok tani Tunas Karumama Desa Tangkunei, Minahasa Selatan.
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/cocos/article/view/2387. Diakses pada tanggal 17
Juni 2014.
Tukan, C.J.M., Yulianti, Roshetko, J.M., & Darusman, D. (2004). Pemasaran kayu dari lahan
petani di Propinsi Lampung. Agrivita Vol. 26, No. 1 (pp. 131-141).
Wahyudi. (2012). Analisis pertumbuhan dan hasil tanaman jabon (Anthocephallus cadamba).
Jurnal Perennial Vol. 8, No. 1 (pp. 19-24).
274
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
Sri Lestari, Bambang Tejo Premono, Hengki Siahaan dan Andika Imanullah
Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Palembang
ABSTRAK
Konsumsi energi di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya, selain disebabkan oleh
pertambahan jumlah penduduk, juga disebabkan oleh meningkatnya laju perekonomian. Oleh karena
itu, energi memegang peran penting dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan
suatu negara. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji pentingnya biomassa sebagai energi terbarukan
untuk sumber energi listrik. Penggunaan energi terbarukan merupakan salah satu upaya untuk
mengurangi ketergantungan terhadap energi yang berasal dari fosil. Energi biomassa adalah satu bentuk
sumber energi terbarukan yang memiliki potensi untuk dikembangkan dan dapat diproduksi dalam 3
(tiga) bentuk bahan bakar, yaitu cair, padat, dan gas. Sumber energi biomassa dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan energi pembangkit listrik, bahan bakar transportasi, pemanas rumah, dan
pembakaran pada industri. Biomassa yang berasal dari tanaman, limbah perkebunan, kehutanan,
pertanian dan peternakan dapat dikonversi menjadi sumber energi listrik ataupun panas. Penggunaan
biomassa sebagai energi terbarukan ini dapat mengurangi dampak perubahan iklim dan pemanasan
global karena memiliki emisi CO2 yang lebih rendah. Hambatan penggunaan biomassa sebagai sumber
energi listrik dikarenakan beberapa hal: (1) lahan sebagai faktor produksi yang semakin terbatas, (2)
kebutuhan pangan, nutrisi dan kayu yang bersaing dengan kebutuhan energi, serta (3) jenis tanaman
penghasil energi dengan kualitas baik semakin terbatas. Oleh karena itu, ke depannya harus di upayakan
untuk mendapatkan jenis-jenis kayu energi yang mudah dan murah dalam perbanyakannya, cepat
pertumbuhannya, mudah dan murah dalam perawatannya, serta mampu menghasilkan energi yang
cukup tinggi.
Kata kunci: biomassa, energi, masyarakat
I. PENDAHULUAN
“Siapa yang menguasai minyak, ia akan mengendalikan banyak negara dalam
cengkeramannya dan siapa yang menguasai pangan, ia yang akan mengendalikan orang”
(Henry Kissinger). Ungkapan tersebut mengisyaratkan bahwa energi adalah komoditi yang unik
dan dapat dikatakan sebagai komoditi dengan biaya tinggi. Energi memegang peran penting
dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Dalam rangka pembangunan
berkelanjutan, suatu bangsa memerlukan sumberdaya energi yang mudah dan tersedia dengan
harga terjangkau, serta tidak menimbulkan dampak bagi kehidupan sosial dan lingkungan.
Selama ini energi masih bergantung pada energi yang berasal dari fosil yang sifatnya tidak
terbarukan dan kurang ramah lingkungan. Menurut Dincer (2000), ada 3 (tiga) alasan mengapa
pembangunan berkelanjutan akan bergantung kepada eksploitasi sumber energi terbarukan
dan teknologinya, yaitu (1) sumber energi terbarukan memiliki dampak lebih sedikit
dibandingkan energi lainnya. Sumber energi terbarukan memiliki baragam pilihan dan bersih
namun sedikit lebih mahal, (2) sumber energi terbarukan tidak dapat habis seperti energi dari
fosil dan uranium, apabila digunakan dengan bijak dan efisien dapat digunakan secara
berkelanjutan, (3) sumber energi terbarukan mendukung desentralisasi sistem tenaga dan
menjadi solusi yang bersifat lokal karena tidak bergantung kepada jaringan nasional, sehingga
lebih fleksibel dalam menjangkau wilayah yang terisolir.
275
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Gambar 1. Konsumsi energi pada setiap sektor tahun 2003-2013 (DEN, 2014)
Energi yang berasal dari fosil menjadi sumber energi yang penting, terutama untuk BBM
sebesar 48%, batubara 19%, gas bumi 14%, LPG 5% dan listrik 13%. Konsumsi energi untuk
sektor rumah tangga terbesar masih berasal dari energi biomassa sebesar 33 juta TOE pada
Tahun 2013. Program konversi minyak tanah ke LPG menyebabkan kenaikan konsumsi LPG
sejak program tersebut diluncurkan pada Tahun 2007, konsumsi LPG meningkat sebesar 13,3%
pada tahun 2013 (DEN, 2014).
Salah satu upaya mengurangi ketergantungan terhadap energi yang berasal dari fosil
tersebut adalah dengan penggunaan energi terbarukan. Energi terbarukan merupakan energi
yang berasal dari sumber alami yang tidak melibatkan konsumsi sumberdaya yang terbatas
seperti minyak bumi. Energi biomassa merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang
memiliki potensi untuk dikembangkan. Energi biomassa dapat diproduksi dalam 3 (tiga) bentuk
bahan bakar yaitu cair, padat dan gas. Biomassa dapat dikonversi untuk 3 (tiga) tipe
penggunaan yaitu listrik/panas, bahan bakar transportasi dan bahan baku kimia (Mc Kendry,
2002) sehingga lebih fleksibel untuk beragam penggunaan. Mengingat besarannya kebutuhan
energi setiap tahunnya maka perlu adanya upaya untuk beralih dari energi berbasis fosil ke
energi yang terbarukan seperti biomassa. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji pentingnya
biomassa sebagai energi terbarukan yang merupakan sumber energi listrik, serta hambatan dan
batasan pengembangan biomassa sebagai energi listrik.
276
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
biomassa primer atau limbah/residu hasil hutan atau pertanian. Sumber energy biomassa yang
baik memiliki karakteristik sebagai berikut: memberikan hasil yang tinggi (hasil produksi kering
per hektar tinggi), biaya pemeliharaan tanaman yang rendah/murah, kebutuhan tenaga kerja
yang sedikit, kebutuhan nutrisi yang sedikit, hasil kering yang tinggi dan kemungkinan
komposisi pembusukan/pencemaran yang sedikit (McKendry, 2002).
Pengeluaran pemerintah selama ini banyak digunakan untuk pembiayaan yang kurang
produktif seperti subsidi. Subsidi energi memberikan proporsi yang lebih besar dari total subsidi
yang dikeluarkan pemerintah. Subsidi listrik sebesar Rp 60.292 M pada Tahun 2008, hampir
50% lebih kecil dibandingkan subsidi BBM pada tahun yang sama. Subsidi terhadap energi
cenderung meningkat setiap tahunnya, pada Tahun 2013 subsidi BBM sebesar Rp 199,9 T (17%)
dan subsidi listrik Rp 100 T (7%) dari total belanja negara. Untuk itu diperlukan upaya untuk
mencari sumber energi alternatif terbarukan dalam rangka mengurangi subsidi negara.
Biomassa yang berasal dari tanaman yang ditujukan untuk produksi biomassa dan
limbah perkebunan, kehutanan, pertanian dan peternakan dapat dikonversi menjadi sumber
energi listrik ataupun panas. Potensi biomassa mencapai 32.654 MW dengan kapasitas
terpasang 1.716 MW. Untuk Pulau Sumatera potensi biomassa sebagai sumber listrik sebesar
15.588 MW (Statistik EBTKE,2014), namun yang baru dimanfaatkan sebesar 1.717 MW.
Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Potensi biomassa sebagai sumber listrik di Pulau Sumatera
Kapasitas Terpasang
No. Tipe Sumberdaya Rasio (%)
(MW)
1 2 3 4 5 = 4/3
1. Hidro (MW) 75.000 MW 7.573 10,1%
2. Panas Bumi (MW) 28.910 MW 1.344 4,65%
3. Biomassa 32.654 MW 1.717 5,26%
4. Surya 4.80 kWh/m3/day 48 -
5. Angin 3-6 m/s 1,87 -
6. Laut 49 GW***) 0,01***) 0%
7. Uranium 3.000MW**) 30*) 0%
Sumber: Statistik EBTKE, 2014
Produksi biomassa Indonesia untuk bahan bakar masih sangat rendah, hanya sebesar
146,7 juta ton per tahun atau setara dengan 470 GJ per tahun dan sebagian besar digunakan
oleh masyarakat pedesaan dan industri kecil sebagai sumber energi untuk memasak, pemanas
dan listrik (Hasan et al., 2012). Keunggulan biomassa sebagai energi terbarukan adalah dapat
mengurangi dampak perubahan iklim dan pemanasan global (Field et al., 2007; Saidur, 2011).
Pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar biomassa akan memberikan emisi yang
rendah sehingga ramah lingkungan (Boyle, 2004 dalam Saidur et al., 2011) (Tabel 2). Namun
untuk saat ini, harga energi yang berasal dari biomassa yang lebih tinggi dibandingkan energi
fosil (Sims et al., 2003).
Tabel 2. Emisi yang dihasilkan dari pembangkit listrik
Fuel Emission factor (g/kWh)
CO2 SO2 NOx
Limbah peternakan 10 2,45 3,90
Limbah kehutanan 24 0,006 0,57
Kotoran hewan 31 1,12 2,38
Gas alam 446 0,0 0,5
Batubara 955 11,80 4,3
Sumber: Boyle (2004) dalam Saidur et al (2011)
277
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Untuk menghasilkan energi (listrik, bahan bakar dan bahan kimia), biomassa harus
dikonversi melalui teknologi proses baik secara thermo chemical dan bio chemical. Konversi
melalui thermo chemical ada 4 cara yaitu combustion, pyrolisis, gasification dan liquefaction.
Dengan proses konversi secara bio chemical dilakukan dengan 2 proses yaitu digestion
(produksi gas, percampuran metane dan karbondioksida) dan fermentasi (produksi ethanol)
(Mc Kendry, 2002). Rata-rata beragam biomassa dalam keadaan kering bebas abu akan
menghasilkan energi sebesar 17-21 MJ/Kg (McKendy, 2002).
Tabel 3. Energi yang dihasilkan per hektar per tahun dari beberapa tanaman (IEA for NW
Europe) (IEA, 1994)
Bio-energy type Konteks saat ini Teknologi masa depan
(GJ/ha/yr) (GJ/ha/yr)
Etanol dari biji-bijian Rata-rata 2 36
(menggantikan bensin)
Etanol dari gula bit Rata-rata 30 139
(menggantikan bensin)
Produksi RME 17 41
(menggantikan diesel)
Listrik dari kayu 110 165
(Menggantikan pembangkit
listrik)
Sumber: McKendry, 2002
278
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
secara langsung maupun tidak, baik dalam bentuk limbahnya maupun dalam bentuk kayu
tersebut.
Ke depannya, kebutuhan lahan untuk kayu energi akan bersaing dengan lahan untuk
kebutuhan pangan, tempat tinggal dan usaha produktif lainnya. Sebagaimana diungkapkan oleh
Golos dan Kaliszewski (2015) bahwa kayu akan digunakan sebagai sumber energi hanya setelah
penggunaan kayu untuk pertukangan dan usaha produktif lainnya telah tercukupi. Sedangkan di
Indonesia, kebutuhan kayu untuk pertukangan dan usaha produktif lainnya terus meningkat
sedangkan ketersediaan kayunya itu sendiri semakin menurun. Kayu energi pada umumnya
berasal dari hutan, industri kayu, serta kayu hasil penjarangan dan pemangkasan. Oleh karena
itu, menurut Stolarski et al. (2014) diperlukan jenis tanaman kayu dengan rotasi pendek, yang
dapat dikembangkan pada lahan marjinal, mampu memberikan hasil panen yang besar, serta
mempunyai nilai kalor yang tinggi.
Perkembangan teknologi sangat diperlukan untuk mendukung upaya penggunaan energi
baru terbarukan seperti energi biomassa. Untuk saat ini, pemanfaatan energi biomassa masih
tergolong ekonomi biaya tinggi karena belum adanya teknologi yang tepat dan biaya investasi
yang besar sehingga kurang diminati pemilik modal. Diperlukan teknologi yang dapat merubah
biomassa menjadi energi yang dapat langsung digunakan tanpa harus merubah mesin.
Pemerintah diharapkan dapat memberikan insentif bagi pemilik modal untuk berinvestasi di
sektor energi terbarukan.
Bentuk dan ukuran biomassa akan mempengaruhi transportasi. Biomassa yang
berukuran besar akan mempengaruhi dalam proses pengangkutan sampai dengan pabrik
sehingga akan berpengaruh terhadap biaya produksi. Untuk dapat bersaing (daya kompetitif)
dengan bahan bakar fosil, biomassa harus dapat diproduksi dengan biaya produksi yang murah.
IV. PENUTUP
Penggunaan energi terbarukan merupakan salah satu upaya untuk mengurangi
ketergantungan terhadap energi yang berasal dari fosil. Energi biomassa merupakan salah satu
sumber energi terbarukan yang memiliki potensi untuk dikembangkan dan dapat diproduksi
dalam 3 (tiga) bentuk bahan bakar, yaitu cair, padat dan gas. Sumber energi biomassa dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi pembangkit listrik, bahan bakar transportasi,
pemanas rumah, dan pembakaran pada industri. Biomassa yang berasal dari alam menjadi
solusi untuk kebutuhan tersebut. Energi biomassa memiliki emisi CO2 yang lebih rendah
sehingga lebih ramah lingkungan. Penggunaan energi yang berasal dari biomassa dapat
memberikan beberapa keuntungan antara lain sebagai upaya konservasi sumber daya fosil,
pengurangan terhadap ketergantungan bahan bakar impor, merehabiltasi lahan kritis yang
tidak dimanfaatkan, dan memanfaatkan limbah hasil tebangan dan limbah lainnya.
Hambatan penggunaan biomassa sebagai sumber energi listrik dikarenakan beberapa
hal: (1) lahan sebagai faktor produksi yang semakin terbatas, (2) kebutuhan pangan, nutrisi dan
kayu yang bersaing dengan kebutuhan energi, serta (3) jenis tanaman penghasil energi dengan
nilai kalor yang tinggi semakin terbatas. Oleh karena itu, diperlukan eksplorasi jenis tanaman
kayu yang mempunyai sifat rotasi yang pendek, dapat dikembangkan pada lahan marjinal,
produktivitas hasil panen yang besar, serta mempunyai nilai kalor yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Carneiro, P., & Ferreira, P. (2012). The economic, environmental and strategic value of biomass.
Renewable Energy, 44, 17–22. doi:10.1016/j.renene.2011.12.020
279
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
280
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
I. PENDAHULUAN
Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P2H) merupakan salah satu satuan kerja di
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Berbeda dengan satuan kerja lainnya, P2H
ditugaskan untuk mengelola Fasilitas Dana Bergulir (FDB) yang bersumber dari DR pada
Rekening Pembangunan Hutan (RPH) untuk RHL, sebagai dukungan terhadap pembangunan
hutan tanaman. Karena fungsinya ini maka Pusat P2H ditetapkan sebagai Badan Layanan
Umum (BLU). Pengelolaan dana bergulir bersifat fleksibel karena menggunakana kaidah-kaidah
bisnis yang sehat, produktif dan efisien.
BLU harus bekerja sesuai aturan yang berlaku. Aturan-aturan yang berkaitan dengan
kegiatan dari Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P2H)
adalah:
PP no. 35 tahun 2002 tentang dana reboisasi.
PP Nomor 23 tahun 2005 tentag pengelolaan keuangan badan layanan umum.
Keputusan Menkeu No. 105 KMK.05/2010 tentang Penetapan Pusat Pembiayaan
Pembangunan Hutan sebagai instansi pemerintah yang menerapkam PPK-BLU.
Peraturan bersama Menkeu & Menhut No. 04/PMK.02/2012 & PB.1/Menhut-II/2014
Tentang pengelolaan DR dalam RPH.
Peraturan menteri Kehutanan No. P.36/Menhut II/2012 jo P.23 /Menhut-II/2011 tentang
tata cara penyaluran dan pembiayaan dana bergulir untuk kegiatan RHL.
Pemenkeu No. 112/PMK.05/2015 tgl 8 Juni 2015 tentang tarif layanan BLU Pusat P2H pada
Kementerian Kehutanan.
281
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
pengelolaan pemerintah pusat, dan 40% dialokasikan untuk daerah penghasil. Dana di
pemerintah pusat ini digunakan dalam bentuk DIPA Kementerian Kehutanan, sisanya masuk ke
rekening pembangunan hutan (RPH). Dana dari RPH ini yang kemudian disalurkan dalam bentuk
dana bergulir, oleh Lembaga Keuangan Bank atau Non Bank. Kemudian dana disalurkan kepada
BMUN atau BUMD, Koperasi atau masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani. Skema
sumber dana untuk dana bergulir yang dikelola oleh BLU ditampilan pada Gambar 1.
60% untuk pemerintah pusat (Psl 10) 40% untuk daerah penghasil
Gambar 1. Skema sumber dana dan penyaluran dana bergulir sesuai PP 35/2002
282
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
1. Peralatan Pencegahan Pencemaran: Peralatan Produksi Bersih dan Peralatan Non Ozone
Depleting Substance (ODS)
2. Peralatan 3 R (Reduce, Reuse, Recycle), selruh peralatan yang dapat mengurangi
pemanfaatan sumber daya alam (hemat air, hemat energi) dan pengurangan limbah (daur
ulang limbah plastik, logam, kertas, organik)
3. Peralatan Pengolahan limbah: 1) Instalasi pengolah air limbah, 2) Instalasi pengolah limbah
udara dan 3) Instalasi pengolah limbah padat
4. Efisiensi energi, energi baru dan terbarukan, termasuk energi dari limbah (waste to energi)
5. Bahan bakar atau tambahan yang ramah lingkungan (misal pengganti bleaching agent),
peralatan laboratorium lingkungan, dan sertifikasi ramah lingkungan
6. Tapak IPAL /IDUL/ Konstruksi investasi lingkungan.
283
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Skema dan pola penyaluran fasilitas dana bergulir menurut Permenhut P.36/Menhut-II/2012 jo.
P.23/Menhut-II/2014 digambarakan seperti dalam Tabel 1.
Tabel 1. Skema dan pola penyaluran fasilitas dana bergulir Permenhut P.36/Menhut-II/2012 KE
No Penyaluran Skema Keterangan
Pinjaman Bagi hasil Syariah
1 Tanpa Pelaku Usaha Pelaku Usaha Pelaku Usaha Pelaku Usaha
Lembaga HTR, HR, HTR, HR, HTR, HR, HTR, HR,
perantara HTI,HD,HKm, HTI,HD,HKm,H HTI,HD,HKm, HTI,HD,HKm,
HHBK, Silin & RE HBK, Silin & RE HHBK, Silin &RE HHBK, Silin & RE
2 Dengan Hanya diberlakukan L- Perantara
Lembaga untuk skema sebagai pelaksana
Perantara pinjaman pengguliran dana
3 Pengembalian Pengembalian Pembayaran Pembayaran
pinjaman bagi hasil dari bagi
beserta pendapatan hasil/margin
bunganya
Persetujuan Persetujuan 4T
Prinsip Prinsip
Surat Surat
Penawaran Penawaran
Pemohon
Dana Bergulir Akad secara Pemindah Rekening
Notariat bukuan Pemohon Dana
bertahap Bergulir
BLU
Gambar 3. Skema mekanisme pengajuan dana bergulir
Membangun hutan tidak hanya memerlukan sekali pembiayaan, dan tidak selesai hanya
dalam 2 atau 3 tahun, sehingga penyaluran dana dilakukan secara bertahap, penyaluran
284
Aspek Sosial Ekonomi & Kebijakan
pertama untuk pengadaan bibit dan persiapan lahan, tahap berikutnya adalah pemeliharaan.
Pemberian fasilitas dana bergulir jangka waktunya paling lama 5 tahun. Batas maksimal
pemberian FDB berdasar Pasal 29 PerMenhut No P.23/Menhut-II/2014 adalah sebagai berikut:
Batas maksimal pemberian FDB untuk mendukung usaha HTI, SILIN adalah 3.000 (tiga ribu)
hektar dikalikan biaya kegiatan per hektar yang
Batas maksimal pemberian FDB untuk mendukung usaha RE disesuaikan dengan unit usaha
yang bermitra dengan pemegang izin dikalikan biaya kegiatan per hektar yang dapat
difasilitasi oleh Pusat P2H.
Batas maksimal pemberian FDB untuk mendukung usaha HTR dan usaha pemanfaatan HHBK
adalah 300 (tiga ratus) hektar dikalikan biaya kegiatan per hektar yang dapat difasilitasi oleh
Pusat P2H.
Batas maksimal pemberian FDB untuk mendukung usaha HD, HKm disesuaikan dengan unit
usaha dikalikan biaya kegiatan per hektar yang dapat difasilitasi oleh Pusat P2H.
Batas maksimal pemberian FDB untuk mendukung usaha HR adalah 80.000 (delapan puluh
ribu) pohon dikalikan biaya per pohon yang dapat difasilitasi oleh Pusat P2H.
Standar biaya dalam penggunaan FDB untuk pembangunan hutan didasarkan pada
Permenhut No. P.36/Menhut-II/2012. Berdasarkan Pasal 30, biaya kegiatan per hektar atau per
pohon yang dapat difasilitasi oleh Pusat P2H ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Pusat P2H.
Penetapan biaya kegiatan per hektar atau per pohon didasarkan pada standar teknis dan biaya
satuan kegiatan yang ditetapkan Direktur Jenderal BPDAS PS.
Bersadarkan Pasal 31, jika terdapat perkembangan teknologi budidaya tanaman hutan
dan pengembangan jasa layanan Pusat P2H yang belum ditetapkan dalam standar teknis dan
biaya satuan kegiatan, maka penetapan biaya kegiatan per hektar atau per pohon berdasarkan
pertimbangan teknis penilaian proposal permohonan FDB dari Direktur Jenderal BPDAS PS.
Ketika standar teknis belum ada maka penetapan biaya didasarkan pada pertimbangan teknis
dari Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Suatu hasil penelitian jika akan
diterapkan dalam skala usaha maka peneliti sendirilah yang mengetahui biaya yang diperlukan
untuk setiap bibit yang diperoleh dari penggunaan teknologi tertentu.
Selain itu, penilaian terhadap biaya satuan kegiatan yang digunakan dalam proposal
permohonan FDB juga dapat ditetapkan berdasar survey harga pasar setempat oleh BLU Pusat
P2H atau instansi lain yang kompeten. Harga pasar ini kemudian dapat digunakan sebagai
standar biaya per ha atau per pohon. Sebagai informasi, untuk saat ini standar biaya untuk HTI
adalah Rp 9,653 juta/ha, untuk HTR Rp 8,5 juta/ha, dan untuk hutan rakyat Rp 20.000/ pohon.
Pengembangan hutan yang menggunakan cara biasa atau menggunakan teknologi hasil litbang
memerlukan biaya yang berbeda. Pengembangan hasil penelitian diperlukan rekomendasi dari
Kabadan Litbang yang menjelaskan bahwa pembangunan HR dengan teknologi tertentu
memerlukan biaya tertentu.
VI. PENUTUP
Suatu hasil penelitian akan dapat bermanfaat untuk mencapai masyarakat yang
sejahtera dan hutan lestari jika hasil penelitian tersebut dikembangkan dalam skala usaha.
Ketika masuk ke dalam skala usaha maka BLU berperan dalam memberikan dukungan
permodalan kepada pelaku usaha. Dengan demikian peran BLU dalam peningkatan
produktivitas hutan adalah memberikan fasilitas pembiayaan agar pelaku usaha dapat
mengimplementasikah hasil-hasil penelitian untuk menghasilkan tegakan hutan yang
berproduktifitas tinggi.
285
ASPEK PERLINDUNGAN DAN
KONSERVASI
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi
ABSTRAK
Penggunaan pestisida kimia telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sehingga
mendorong adanya kebijakan dalam pengendalian hama, yaitu penggunaan pestisida nabati. Potensi
pengembangan pestisida nabati sangat besar dilakukan di Indonesia. Penggalian potensi dilakukan
dengan melakukan survey dan pendokumentasian kearifan lokal. Informasi dari masyarakat lokal dalam
memanfaatkan tanaman sebagai bahan pestisida dapat dihimpun kemudian dikaji secara ilmiah. Salah
satu jenis yang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah tanaman berenuk (Crescentia cujete Linn.).
Berenuk memiliki potensi yang cukup banyak, secara tradisional masyarakat memanfaatkan jenis ini
sebagai bahan obat, bahan pestisida serta untuk bahan kerajinan. Kajian ilmiah tentang potensi berenuk
telah dilakukan di beberapa negara dan dinyatakan bahwa terdapat potensi dari bagian daun sebagai
antibakteri. Dengan hasil tersebut membuka peluang untuk pengembangan penelitian lebih lanjut untuk
bagian tanaman yang lain.
Kata kunci: berenuk, pestisida nabati
I. PENDAHULUAN
Serangan hama dan penyakit pada tumbuhan merupakan salah satu permasalahan yang
dihadapi dalam pengelolaan hutan, baik hutan rakyat maupun hutan tanaman. Pengendalian
hama dan penyakit tanaman biasanya menggunakan pestisida kimiawi yang memiliki cara kerja
yang relatif cepat dalam menekan populasi hama/penyakit, sehingga dapat mencegah kerugian
secara ekonomis. Pemakaian pestisida kimiawi yang tidak tepat, berpotensi menimbukan
dampak negatif, untuk menghindari dampak buruk tersebut, berdasarkan kebijakan
internasioanl, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan ditingkat nasional dalam
perlindungan tanaman dengan program Pengendalian Hama Terpadu (PHT), yang
memprioritaskan penggunaan bahan yang ramah lingkungan, salah satunya adalah penggunaan
pestisida nabati.
Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuh-tumbuhan
dan berkhasiat mengendalikan hama pada tanaman (Soenandar et al., 2010). Pestisida nabati
ini bisa berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh, dan bentuk
lainnya (Syakir, 2011). Cara kerjanya antara lain: 1) Repelan, yaitu menolak kehadiran serangga,
misal: dengan bau yang menyengat; 2) Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang
telah disemprot; 3) Merusak perkembangan telur, larva, dan pupa; 4) Menghambat reproduksi
serangga betina; 5) Racun syaraf; 6) Mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga; 7)
Atraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap serangga; dan 8)
Mengendalikan pertumbuhan jamur dan bakteri. Pestisida nabati digunakan untuk
meminimalkan penggunaan pestisida sintetis, sehingga dampak terhadap kerusakan lingkungan
bisa dikurangi. Kelebihan penggunaan pestisida nabati adalah cara kerjanya yang unik yaitu
tidak meracuni, mudah terurai di alam dan residunya mudah hilang, sehingga tidak mencemari
lingkungan serta relatif aman bagi manusia dan hewan peliharaan; penggunaannya dalam
jumlah (dosis) yang kecil atau rendah; mudah diperoleh di alam, pembuatannya relatif mudah
289
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
dan secara sosial–ekonomi penggunaannya menguntungkan bagi petani kecil (Gerrits dan Van
Latum, 1988; Sastrosiswojo, 2002; Lestari, 2012). Di Indonesia terdapat sekitar 2400 jenis
tumbuhan yang berpotensi sebagai penghasil pestisida (Kardinan, 1999). Hasil inventarisasi
tumbuhan penghasil pestisida nabati di Provinsi Lampung ditemukan beberapa jenis tumbuhan
yang memiliki potensi sebagai penghasil pestisida nabati, salah satunya adalah
berenuk/berunuk (Crescentia cujete).
Berenuk/berunuk merupakan tanaman berbentuk pohon yang berasal dari Amerika
Tengah dan Amerika Selatan tropis, namun sekarang tanaman ini sudah tersebar ke berbagai
tempat, termasuk di wilayah Indonesia, jadi tanaman ini bukan asli dari Indonesia. Pohon
berenuk dapat mencapai tinggi 10 meter dengan batang silindris, beralur, warna putih
kehitaman; daun tersusun menyirip, berbentuk lonjong, ujung meruncing, panjang 10-15 cm,
bertangkai pendek; bunga tunggal keluar dari ranting; buah tipe buni, bulat atau bulat telur; biji
berbentuk kotak berwarna coklat. Berdasarkan klasifikasi, jenis ini termasuk dalam:
Kingdom : Plantae
Ordo : Lamiales
Famili : Bignoniaceaae
Genus : Crescentia
Species : Crescentia cujete (L.)
Berdasarkan hasil penelitian dan studi pustaka menunjukkan berenuk memiliki potensi
sebagai pestisida nabati. Sampai saat ini pemanfaatannya hanya dilakukan secara tradisional
dan dalam skala lokal. Tujuan penyusunan makalah ini untuk menyampaikan informasi potensi
tanaman berenuk sebagai pestisida nabati.
290
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi
a b c d
Gambar 1. a. Buah berenuk, b. Pohon berenuk, c. Daging buah dan isi,
d. Beberapa contoh pemanfaatan
2. Hasil-hasil Penelitian
Beberapa penelitian dilakukan dalam menggali potensi berenuk, baik sebagai bahan
obat maupun sebagai pestisida nabati, antara lain:
a. Kemampuan antibakteri daun berenuk (C. cujete, L.) dapat menghambat atau membunuh
bakteri E. coli dan S. aureus (Ardianti dan Kusnadi, 2014).
b. Kulit batang berenuk mengandung senyawa golongan steroid dan alkaloid yang berpotensi
sebagai antibakteri (Yani, 2011).
c. Pemanfaatan ekstrak daun berenuk (Crescentia cujete) sebagai terapi alternatif yang
termutakhir dalam bidang herbal dan efektif dalam menanggulangi permasalahan
aterosklerosis pada pasien dengan penyakit jantung koroner (PJK) (Imaroh, 2013).
d. Ekstrak berenuk (Crescentia cujete Linn.) memiliki potensi sebagai sumber obat untuk terapi
penyakit yang disebabkan oleh bakteri (Mahbub et al., 2011).
e. Fitokimia dalam tanaman berenuk memiliki komposisi mineral yang dapat dimanfaatkan
sebagai sumber nutrisi bagi manusia maupun hewan (Ejelonu et al., 2011).
Hasil penelitiaan menunjukkan tanaman berenuk memiliki kandungan beberapa jenis
bahan aktif, diantaranya yang terdapat dalam daging buah yang basah adalah alkaloid,
flavonoid, saponin, glikosidaa sianogen (semacam HCN) dan fenol dalam jumlah yang lebih
besar dibandingkan pada daging buah yang kering (Ogbuagu, 2008). Dalam daging buah yang
kering memiliki kandungan tannin yang lebih banyak dibandingkan pada daging buah basah.
Sedangkan dibagian kulit, batang dan akar mengandung saponin dan polifenol.
Tumbuhan melindungi diri secara alami dengan menghasilkan senyawa aktif/metabolit
sekunder yang merupakan senyawa hasil metabolism yang tidak memiliki fungsi secara
langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan (Hartmann, 1991 dalam Sumantoro,
2012). Senyawa aktif yang dimiliki suatu jenis tumbuhan memiliki distribusi terbatas yang sering
dijumpai dalam suatu jenis yang memiliki hubungan taksonomi. Berenuk memiliki potensi
sebagai pengendali hama tikus, hal ini dikarenakan adanya bahan aktif alkaloid. Syakir (2011)
menyebutkan bahwa kelompok tumbuhan rodentisida nabati, kelompok tumbuhan yang
menghasilkan pestisida pengendali hama rodentia. Tumbuhan ini terbagi jadi dua jenis, yaitu
sebagai penekan kelahiran dan penekan populasi, yaitu meracuninya. Tumbuhan yang
termasuk kelompok penekan kelahiran umumnya mengandung steroid. Sedangkan yang
tergolong penekan populasi biasanya mengandung alkaloid. Jenis tumbuhan yang sering
digunakan sebagai rodentisida nabati adalah gadung racun. Selain itu berenuk juga digunakan
masyarakat untuk mengendalikan keong emas, yaitu dengan mencacah daging buahnya
kemudian meletakkan dalam aliran sawah sehingga mematikan hama tersebut. Hal tersebut
mungkin terjadi karena adanya kandungan glikosida sianogen (semacam HCN) yang mempunyai
sifat sebagai racun.
291
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Pemanfaatan tanaman berenuk pada tanaman hutan belum dilakukan penelitian lebih
lanjut, hal ini dikarenakan penelitian pestisida nabati baru pada tahap eksplorasi dan uji
fitokimia. Hasil uji fitokimia digunakan sebagai dasar dalam melakukan uji toksisitas. Jika hasil
uji toksisitas menunjukkan hasil positif kemudian dilanjutkan tahap uji skala rumah kaca.
Kedepan diharapkan tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pestisida nabati untuk
tanaman kehutanan, terutama untuk bibit dan tanaman muda.
III. PENUTUP
Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas yang sangat besar dan suku etnis yang sangat
beragam. Kearifan lokal dalam memanfaatkan jenis tumbuh-tumbuhan disekitarnya
memberikan peluang dalam menggali dan mengembangkan potensi tumbuhan sebagai bahan
pestisida nabati. Kajian ilmiah serta pendokumentasian kearifan lokal perlu dilakukan secara
kontinyu. Hal ini menjadi penting untuk menyelamatkan lingkungan dari gempuran bahan-
bahan kimia yang digunakan untuk bahan pestisida. Pemanfaatan bahan alami lebih banyak
mendatangkan keuntungan bagi masyarakat juga lingkungan. Berdasarkan hasil eksplorasi dan
penelitian tanaman berenuk memiliki potensi sebagai bahan pestisida nabati, sehingga perlu
dilakukan tahapan-tahapan penelitian untuk mendapatkan kandungan bahan aktif serta aplikasi
di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Asmaliyah, Hadi, E. E. W., Utami, S., Mulyadi, K., Yudhistira dan Sari, F. W. 2010. Pengenalan
Tumbuhan Penghasil Pestisida Nabati dan Pemanfaatannya Secara Tradisional.
Puslitbang Produktivitas Hutan. Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan,
Jakarta.
Ardianti, A. dan Kusnadi, J. 2014. Ekstraksi Antibakteri Dari Daun Berenuk (Crescentia cujete
Linn.) Menggunakan Metode Ultrasonik. Jurnal Pangan dan Agroindustri 2 (2):28-35.
Ejelonu, B.C., Lasisi, A.A., Olaremu, A.G. dan Ejelonu, O.C. 2011. The Chemical Constituents of
Calabash (Crescentia cujete). African Journal of Biotechnology 10 (84):19631-19636.
Gerrits R. & van Latum E.B.J. 1988. Plant Derived Pesticides in Developing Countries Possibilities
& Research Needs, Netherlands Ministry of Housing Physical Planning and Environment.
101 p.
Imaroh, R. 2013. Potensi Ekstrak Daun Berenuk (Crescentia cujete inn.) Sebagai Terapi Alternatif
Penyakit Jantung Koroner Dengan Menurunkan Resiko Pembentukan Aterosklerosis.
Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jakarta.
Kardinan, A. 1999. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Lestari, F. 2012. Pestisida Nabati Sebagai Alternatif Pengganti Pestisida Kimia Sintetik.
www.foreibanjarbaru.or.id. (Diakses 21 April 2014).
Mahbub, K.R., Hoq, M.M., Ahmed, M.M., dan Sarker, A. 2011. In Vitro Antibacterial Activity of
Crescentia cujete and Moringa oleifera. Bangladesh Research Publications Journal 5 (4):
337-343.
Obguagu, M.N. 2008. The Nutritive and Anti-Nutritive Compositions of Calabash (Crescentia
cujete) Fruit Pulp. Journal of Animal and Veterinary Advances 7 (9):1069-1072.
292
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi
293
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi
ABSTRAK
Pembangunan hutan tanaman secara monokultur rentan terhadap serangan penyakit karena
keseimbangan hubungan antara patogen dan inang terganggu. Oleh karena itu perlu ada usaha
pengendalian agar serangan penyakit tidak berkembang dan tidak sampai merugikan. Usaha
pengendalian akan efektif apabila jenis penyakit dan patogennya diketahui. Tujuan penelitian adalah
untuk mengetahui jenis patogen yang menyerang tanaman jabon dan bagaimana perkembangannya.
Metode penelitian menggunakan purposive sampling dengan teknik pengumpulan data secara sensus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa patogen yang menyebabkan penyakit bercak daun pada tanaman
jabon (Antocephalus cadamba) adalah cendawan Colletotrichum sp. Perkembangan serangan
Colletotrichum sp. meningkat pada bulan dengan curah hujan tinggi.
Kata kunci: jabon, penyakit bercak daun, patogen, perkembangan
I. PENDAHULUAN
Jabon (Antocephalus cadamba) merupakan salah satu jenis tanaman cepat tumbuh yang
cukup prospektif dikembangkan di Sumatera Selatan karena selain merupakan jenis lokal juga
mempunyai prospek ekonomi yang baik (Premono, 2012) dan cocok untuk berbagai
penggunaan seperti pulp, venir dan kayu lapis (Efendi, 2010 dalam Duryatmo, 2010).
Salah satu permasalahan yang sering dihadapi dalam pembangunan hutan secara
monokultur adalah rawan terhadap serangan hama dan penyakit. Serangan suatu penyakit
akan mempengaruhi proses-proses pertumbuhan dan perkembangan sehingga proses produksi
tanaman tersebut akan terganggu dan dapat menyebabkan kematian. Hasil penelitian
sebelumnya ditemukan tiga jenis hama yang cukup serius menyerang tanaman jabon di
beberapa wilayah di Sumatera Selatan, yaitu Margaronia hilalaris, Daphnis hypothous dan kepik
Cosmoleptrus sumatranus (Asmaliyah, 2014). Selain diserang oleh hama, tanaman jabon
tersebut juga diserang oleh suatu penyakit yang pada waktu tertentu serangannya cukup
dominan. Walaupun sampai saat ini kerusakan yang diakibatkan oleh serangan penyakit ini
belum nyata mempengaruhi produktivitas tanaman, namun keberadaan penyakit ini perlu
diwaspadai.
Oleh karena itu perlu ada usaha pengendalian agar serangan penyakit tersebut tidak
berkembang dan tidak sampai merugikan. Usaha pengendalian dilakukan baik sebelum maupun
sesudah kejadian serangan penyakit. Untuk melakukan usaha pengendalian tersebut
dibutuhkan penelitian dasar mengenai jenis penyakit dan patogennya dengan mempelajari
gejala dan kerusakan yang ditimbulkannya, ekobiologi maupun perkembangannya. Berdasarkan
hal tersebut diatas, maka perlu kiranya dilakukan kegiatan penyusunan informasi mengenai
penyakit dan patogennya serta perkembangan penyakit pada tanaman jabon di Provinsi
Sumatera Selatan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui jenis patogen yang menyerang
tanaman dan bagaimana perkembangannya.
295
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
296
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi
(ni x vj)
I = X 100 %
ZXN
Keterangan:
I : Tingkat kerusakan tanaman
Ni : Jumlah daun yang terserang dengan klasifikasi tertentu
Vj : Nilai untuk klasifikasi tertentu
Z : Nilai tertinggi dalam klasifikasi
N : Jumlah daun seluruhnya dalam suatu tanaman
Sedangkan untuk menghitung intensitas serangan secara kualitatif diklasifikasikan menurut
pedoman Gultom (2014), yang dimodifikasi (Tabel 1). Analisa data dilakukan secara deskriptif
kuantitatif.
Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh penyakit
Tingkat Tanda kerusakan yang terlihat pada daun Nilai
Kerusakan
Sehat Tidak ada serangan/daun sehat 0
Ringan Luas daun terserang ≤ 10% 1
Agak berat Luas daun yang terserang antara > 10-25 % 2
Berat Luas daun yang terserang antara > 25-45 % 3
Sangat berat Luas daun yang terserang antara > 45%-75 % 4
Gagal Luas daun yang terserang di atas > 75 % 5
Sumber (Source): Gultom (2014)
297
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Gambar 1. Gejala penyakit bercak daun Colletotrichum sp. pada tanaman jabon
Hasil pengamatan secara makroskopis koloni jamur Colletotrichum sp. yang diisolasi dari
tanaman jeruk siam berbentuk bulat telur dengan tepi tidak rata, permukaan koloni berwarna
putih dan berbentuk seperti kapas tebal, dan warna balik koloni berwarna putih dengan bercak
merah kekuningan (Ningsih et al., 2012). Hasil Pengamatan secara mikroskopis jamur
Colletotrichum sp. yang menyerang tanaman jabon memiliki karakter yaitu hifa bersepta tipis,
konidiofor tidak berwarna, hialin, sederhana, konidia berbentuk oblong dengan ujung
membulat, berwarna hialin dan mudah lepas dari konidiofor (Gambar 2). Cendawan
Colletotrichum sp. merupakan patogen akar yang dapat bertahan hidup tanpa adanya tanaman
inang dengan cara hidup sebagai saprofit pada jaringan mati (seresah) dengan membentuk
struktur istirahat atau sebagai parasit pada gulma atau tanaman inang (Rahayu, 1999).
A B C
Jan-13
Jan-13
Nop-12
Nop-12
0 (I)
(I)
Sep-12 Jan-13 Sep-12 Jan-13
Gambar 3. Perkembangan serangan penyakit bercak daun Colletotrichum sp. di Desa Tanjung Pering
dan Tungku Jaya pada tahun 2012/2013
298
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi
Hasil pengamatan di Desa Pangkalan Bulian, Kec. Batanghari Leko, Kab. Muba juga
menunjukkan terjadi peningkatan serangan penyakit, kecuali pada pengamatan bulan
Desember 2013 besaran persentase serangan penyakit mengalami penurunan dibandingkan
pada bulan September 2013 (Gambar 4). Sebaliknya hasil pengamataan di Desa Pedamaran I,
Kecamatan Pedamaran, Kabupaten OKI, perkembangan serangan penyakit bercak daun
Colletotrichum sp. mengalami penurunan, walaupun intensitas serangan penyakit pada bulan
Nopember 2014 dan Desember 2014 lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya (Oktober
2014) (Gambar 5).
Bulan Pengamatan
Agust-14
Des-14
Des-14
Okt-14
Okt-14
Nop-14
Nop-14
(P)
(I)
Bulan Pengamatan
299
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Kecamatan Pedamaran, Kabupaten OKI, diduga serangan penyakit yang ada merupakan
serangan lama yang terjadi pada bulan-bulan sebelumnya yang termasuk bulan lembab dan
bulan basah. Menurunnya persentase serangan dan rendahnya peningkatan perkembangan
intensitas serangan bercak daun Colletotrichum sp. pada bulan Nopember dan Desember 2014
walaupun sudah masuk bulan lembab dan basah, diduga jumlah inokulum yang ada tidak cukup
untuk menginfeksi daun dan jaringan inang yang rentan kurang tersedia karena sebagian besar
daun yang terinfeksi gugur, sehingga perkembangan penyakit agak lambat, walaupun
lingkungan mendukung. Widyastuti et al. (2005) menyatakan bahwa perkembangan penyakit
tidak hanya ditentukan oleh jumlah inokulum yang melimpah saja dan faktor lingkungan yang
menguntungkan, tetapi jumlah inokulum harus dalam jumlah yang cukup pada saat faktor
lingkungan mendukung dan jaringan inang yang rentan tersedia. Faktor ini yang mempengaruhi
jumlah tanaman yang terserang menurun/berkurang dan peningkatan intensitas serangan
sangat rendah. Diduga serangan penyakit bercak daun yang terjadi pada bulan Nopember dan
Desember 2014 sebagian besar merupakan infeksi baru. Berdasarkan klasifikasi Sugiharso
(1982) dalam Mamengkey dan Senewe (2011), tingkat kerusakan tanaman akibat serangan
penyakit bercak daun Colletotrichum sp. pada lingkungan yang menguntungkan di Provinsi
Sumatera Selatan termasuk kategori serangan berat (intensitas serangan 26,14 - 40,94%), oleh
karena itu keberadaannya perlu diwaspadai.
Untuk menghambat atau menekan perkembangan serangan penyakit bercak daun
Colletotrichum sp. pada tanaman jabon di lapangan dapat dilakukan:
1. Sanitasi yaitu membersihkan areal pertanaman dari sisa-sisa tanaman yang terserang,
serasah dan gulma dan eradikasi yaitu membuang bagian atau tanaman yang terserang dari
areal pertanaman, kemudian dibakar
2. Menggunakan benih yang sehat
3. Memanfaatkan cendawan antagonis Trichoderma sp. (Septiyani, 2013), mikroba antagonis
(konsorsium) yang merupakan gabungan antara isolat bakteri subtilis Pseudomonas
fluorescens dan Trichoderma harzianum dengan dosis 30 ml/liter air (Putro et al., 2014), dan
Khamir yang merupakan kelompok mikroorganisme uniseluler yang memiliki kelebihan yaitu
bioekologinya lebih adaptif pada kondisi kering, tahan terhadap terpaan sinar matahari yang
kuat, fluktuasi cuaca yang tajam dan miskin nutrisi. (Puspitasari et al., 2014).
IV. KESIMPULAN
Patogen yang menyebabkan penyakit bercak daun pada tanaman jabon (A. cadamba)
adalah cendawan Colletotrichum sp. Perkembangan serangan cendawan Colletotrichum sp.
cenderung meningkat pada bulan lembab dan basah. Tingkat kerusakan tanaman akibat
serangan penyakit bercak daun Colletotrichum sp. pada tanaman jabon termasuk kategori
serangan berat sehingga keberadaannya perlu diwaspadai terutama pada bulan-bulan lembab
dan basah.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th eds. Elsevier Academic Press. USA.
Anggraeni, I dan N.E. Lelana. 2011. Diagnosis penyakit tanaman hutan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan.
Asmaliyah. 2014. Hama pada tanaman jabon (Anthocephalus cadamba) dan potensi
kerusakannya. Makalah disampaikan pada Seminar Silvikultur I di Yogyakarta.
300
Aspek Perlindungan Hutan & Konservasi
301
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Lampiran 1. Data curah hujan dan hari hujan bulanan di Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir dan Kecamatan Sosoh Buay Rayap,
Kabupaten Ogan Komering Ulu tahun 2012
Lokasi/ Tahun Hujan Jan Peb Mar Apr Mei Juni Juli Agts Sept Okt Nop Des Jan’1
Desa 3
Tanjung Pering 2012/ CH 183 245 281 128 178 173 34 9 30 102 399 428 357
2013 HH 10 12 9 9 12 6 4 2 3 6 14 18 24
Tungku Jaya 2012/ CH 96 367 208 196 176 170 54 22 16 196 324 321 229
2013 HH 8 8 7 8 8 7 5 2 4 10 13 16 12
Pangkalan 2013 CH 332 244 236 366 221 39 217 144 411 231 451 480 -
bulian
HH 19 14 12 13 13 4 11 9 13 9 14 21 -
Pedamaran 2014 CH 368 131 304 261 158 128 146 29 3 22 185 357 -
HH 19 5 10 13 10 8 2 3 1 3 8 16 -
Sumber Data: Stasiun Klimatologi Kenten Palembang, BMKG
Keterangan:
CH = Curah Hujan (mm)
HH = Hari Hujan (hari)
302
Aspek Perlindungan & Konservasi
ABSTRAK
Kayu bawang merupakan salah satu jenis pohon andalan lokal di Provinsi Bengkulu yang mempunyai
potensi cukup besar untuk dikembangkan baik di wilayah Bengkulu maupun daerah-daerah lainnya. Di
dalam budidaya jenis ini, hama merupakan salah satu permasalahan yang ditengarai bisa menghambat
pertumbuhan tanaman. Jika tidak ada penanganan yang tepat maka serangan hama akan bisa
mengakibatkan kematian tanaman dan penurunan produktivitas. Oleh karena itu perlu dilakukan
pengelolaan hama dalam kegiatan budidaya, seperti pengaturan jarak tanam dan manajemen iklim
mikro setempat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis serangan hama dan menganalisis
pengaruh tindakan silvikultur (jarak tanam) dan curah hujan terhadap perkembangan beberapa
serangga hama pada tegakan kayu bawang di KHDTK Kemampo Kabupaten Banyuasin. Penelitian
dilakukan pada beberapa plot tegakan kayu bawang yang berumur kurang dari 2 tahun di KHDTK
Kemampo, mulai bulan Januari hingga Desember 2012. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan
dua jenis hama potensial yaitu kumbang penggerek Xystrocera globosa dan kutu kebul (Pseudococcus
sp.). Secara umum serangan hama pada jarak tanam 4 x 5 m lebih rendah dibandingkan pada jarak
tanam 4 x 3 m dan 3 x 3 m. Curah hujan sangat mempengaruhi perkembangan serangan hama, serangan
kumbang penggerek lebih tinggi terjadi pada musim hujan, sedangkan serangan kutu kebul sebaliknya
terjadi pada musim kering yang panjang.
Kata kunci: curah hujan, jarak tanam, kayu bawang, Pseudococcus sp., Xystrocera globosa
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kayu bawang (Dysoxylum mollissimum Blume) merupakan salah satu jenis andalan lokal
di Provinsi Bengkulu, yang tersebar hampir di seluruh kabupaten di Provinsi Bengkulu. Kayunya
termasuk dalam kelas kuat III dan kelas awet IV dengan berat jenis 0,56 gram/cm 3 dan telah
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kayu pertukangan, terutama sebagai bahan bangunan
dan meubellair (Siahaan dan Saefullah, 2007). Selain dari potensi pemanfaatannya yang cukup
luas, jenis ini memiliki potensi pertumbuhan yang cukup baik. Hasil penelitian Apriyanto (2003)
di Bengkulu Utara menunjukkan bahwa pertumbuhan kayu bawang yang ditanam secara
monokultur dengan jarak tanam 4 x 4 m sampai umur 9 tahun memiliki riap diameter batang
rata-rata per tahun 1,93 cm, riap tinggi rata-rata per tahun 2,14 m.
Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam budidaya jenis kayu bawang yaitu
serangan serangga hama. Dampak yang ditimbulkan akibat serangan hama adalah
terhambatnya pertumbuhan tanaman, penurunan kualitas kayu, penurunan produksi, dan
serangan berat dapat mengakibatkan timbulnya kerugian secara ekonomi. Oleh karena itu
pengetahuan mengenai jenis dan tingkat serangan hama dan penyakit mutlak diperlukan
sebagai bekal dan panduan dalam tindakan pencegahan dan pengendalian yang efektif dan
efisien.
Keberadaan serangga hama sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor biotik
maupun abiotik. Selain pengaruh dua faktor tersebut peran manusia juga memberikan
303
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberadaan dan tingkat
serangan hama. Peran manusia dalam hal ini seperti tindakan dan teknik silvikultur yang
dilakukan di dalam budidaya tanaman. Menurut Tarumingkeng (1991), keadaan lingkungan
hidup mempengaruhi keanekaragaman bentuk-bentuk hayati dan banyaknya jenis makhluk
hidup (biodiversitas) dan sebaliknya lingkungan. Semua jenis flora dan fauna telah berevolusi
untuk menyesuaikan hidup dengan lingkungan. Kehidupan serangga hama pun sangat
bergantung pada habitatnya. Oleh karena itu faktor lingkungan sangat menentukan dan
berpengaruh pada perkembangan serangga hama.
Tarumingkeng (1991) menambahkan bahwa lingkungan biotik merupakan bagian dari
keseluruhan lingkungan yang terbentuk oleh semua fungsi makhluk hidup yang satu dan lainnya
saling berinteraksi. Faktor-faktor abiotik yang penting dalam mempengaruhi kehidupan
serangga adalah temperatur, cahaya, presipitas, kelembaban dan angin, serta faktor-faktor
abiotik lainnya yang kurang penting yang termasuk di dalam faktor-faktor cuaca dan iklim
(Suratmo, 1974).
Menurut Willmer (1982) dalam Kahono et al. (2003) iklim merupakan salah faktor yang
terpenting dalam kehidupan. Iklim berpengaruh langsung kepada kehidupan, pertumbuhan,
reproduksi, dan kelimpahan serangga termasuk serangga hama, fenologi, dan musuh alami.
Pengetahuan mengenai kondisi lingkungan dan teknik silvikultur (yang berpengaruh
terhadap keberadaan serangga hama) mutlak diketahui sebagai bahan pertimbangan
pengambilan kebijakan dalam manajemen hama yaitu teknik pencegahan dan pengendalian
hama.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis serangan hama dan menganalisis
pengaruh tindakan silvikultur (jarak tanam) dan curah hujan terhadap perkembangan beberapa
serangga hama pada tegakan kayu bawang di KHDTK Kemampo Kabupaten Banyuasin.
304
Aspek Perlindungan & Konservasi
I
(ni x v j ) x 100 %
ZxN
Di mana :
I : Tingkat kerusakan tanaman
ni : Jumlah pohon yang terserang dengan klasifikasi tertentu
vj : Nilai untuk klasifikasi tertentu
Z : Nilai tertinggi dalam klasifikasi
N : Jumlah pohon seluruhnya dalam suatu petak contoh
Tabel 1. Klasifikasi tingkat kerusakan daun yang disebabkan oleh hama dan penyakit
Tingkat Kerusakan Tanda Kerusakan Yang Terlihat pada Daun Nilai
Sehat - Kerusakan daun 5 % 0
Ringan - Kerusakan daun antara 5 % x 25 % 1
Agak berat - Kerusakan daun antara 25 % x 50 % 2
Berat - Kerusakan daun antara 50 % x 75 % 3
- Kerusakan daun antara 75 % x 100 %
Sangat berat 4
- Pohon gundul/hampir gundul
Sumber: Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994)
Tabel 2. Klasifikasi tingkat kerusakan batang yang disebabkan oleh hama dan penyakit
Tingkat KeruSakan Tanda Kerusakan Yang Terlihat pada Tanaman Nilai
Sehat - Batang rusak 0 % 0
Ringan - Batang rusak antara 1 % - 20 % 1
Agak berat - Batang rusak antara 20,1 % - 40 % 2
Berat - Batang rusak antara 40,1 % - 60 % 3
Sangat berat - Batang rusak antara 60,1 % - 80 % 4
Gagal - Batang rusak di atas 80 % 5
- Pohon tumbang/patah/mati
Sumber: Unterstenhofer (1963) dalam Djunaedah (1994)
305
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
A B
Gambar 1. a) Gejala serangan penggerek pada batang pokok, b) Serangan kumbang penggerek pada
bagian ranting kayu bawang (tanda panah)
2. Kutu kebul (Pseudococcus sp.)
Serangga hama ini biasa juga disebut ‘mealybug’. Nama ‘mealybug’ berasal dari sekresi
seperti makanan atau malam yang menutupi tubuh serangga hama ini (Gambar 2A). Tubuh
serangga betina berbentuk bulat telur memanjang dan beruas serta memiliki tungkai-tungkai
yang berkembang baik (Borror et al., 1996).
Bagian yang diserang hama Pseudococcus sp. yaitu batang kayu bawang. Hama ini
menyerang secara mengelompok dari batang bagian bawah hingga ke apikal tanaman (Gambar
2B). Serangan yang berat dapat mengakibatkan daun tanaman mengering dan kulit batang
mengelupas dan terbentuk lubang-lubang tidak beraturan (Gambar 2C).
306
Aspek Perlindungan & Konservasi
A B C
Gambar 2. A) Kutu Pseudococcus sp., B) Serangan kutu pada batang, C) Gejala lanjut serangan kutu
307
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
x x x X
x x x x
X
x
x
x
x X
x
x
x
x
x
x x x x X
x x x X
x x x X x
Gambar 3. Peta sebaran hama pada plot uji kayu bawang
Keterangan gambar : x : tanaman Acacia mangium
: serangan kutu kebul (Pseudococcus sp.)
: serangan penggerek batang (X. globosa)
Pada tahun 2011 umur tanaman kayu bawang pada saat pengamatan antara 6 hingga 12
bulan sehingga serangan hama yang umum seperti belalang dan ulat kantong berkurang
dengan sendirinya seiring bertambahnya umur tanaman. Sedangkan hama penggerek tetap
dijumpai pada pengamatan tahun 2012, hal ini disebabkan karena keberadaan tanaman
mangium yang terdapat di sekitar pertanaman. Tetapi persentasenya menurun sedangkan rata-
rata intensitasnya justru meningkat. Akan tetapi pada pengamatan ke-3 hama ini tidak dijumpai
lagi karena sudah dilakukan pengendalian. Hal ini akan dibahas tersendiri pada bahasan
mengenai pengendalian. Hama kutu kebul merupakan hama baru, yang muncul karena
dipengaruhi faktor kelembaban dimana hama ini munculnya menjelang musim hujan. Oleh
karena itu keberadaannya perlu untuk diwaspadai.
Pada Gambar 4 dan Gambar 5 menyajikan data curah hujan dan hari hujan selama tahun
2012 di KHDTK Kemampo Kabupaten Banyuasin. Pada bulan Februari terjadi peningkatan curah
hujan dibandingkan bulan Januari dan Maret. Kemudian pada bulan April terjadi peningkatan
curah hujan juga. Selanjutnya bulan Mei hingga September terjadi musim kemarau/bulan
308
Aspek Perlindungan & Konservasi
kering dimana curah hujan dan hari hujan lebih sedikit dibandingkan bulan lainnya. Pada bulan
Oktober hingga Desember curah hujan cenderung lebih banyak sebagaimana tersaji pada
Gambar 18.
500
Besarnya curah hujan bulanan 450
400
350
300
250
200
(mm)
150
100
50
0
Waktu pengamatan
Gambar 4. Rata-rata curah hujan bulanan selama tahun 2012 di KHDTK Kemampo
Pada bulan Februari dan April curah hujan lebih banyak dibandingkan dengan bulan
Januari dan Maret. Hal ini memicu serangan kumbang penggerek pada bulan-bulan tersebut.
Kemudian langsung dilakukan tindakan pengendalian yang mengakibatkan serangan kumbang
menurun, hal ini juga seiring adanya bulan-bulan kering sekitar bulan Mei hingga September
sehingga secara tidak langsung menghambat perkembangan kumbang penggerek. Sedangkan
serangan kutu kebul cenderung terjadi pada musim kering yang panjang yaitu pada bulan Juni
hingga September. Setelah dilakukan pengendalian serangan kutu kebul tersebut menurun
bahkan pada bulan Oktober sudah tidak didapatkan lagi serangan hama tersebut pada batang
kayu bawang karena hama tersebut cenderung terhambat perkembangannya pada bulan
basah.
20
18
16
Banyaknya hari hujan (hari)
14
12
10
8
6
4
2
0
Waktu pengamatan
Gambar 5. Rata-rata hari hujan bulanan selama tahun 2012 di KHDTK Kemampo
309
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
IV. KESIMPULAN
1. Ditemukan dua jenis hama potensial yaitu kumbang penggerek Xystrocera globosa dan kutu
kebul (Pseudococcus sp.).
2. Secara umum serangan hama pada jarak tanam 4 x 5 m lebih rendah dibandingkan pada
jarak tanam 4 x 3 m dan 3 x 3 m.
3. Curah hujan sangat mempengaruhi perkembangan serangan hama, serangan kumbang
penggerek lebih tinggi terjadi pada musim hujan, sedangkan serangan kutu kebul sebaliknya
terjadi pada musim kering yang panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Apriyanto E. 2003. Pertumbuhan Kayu Bawang (Protium javanicum Burm.f) pada Tegakan
Monokultur Kayu Bawang di Bengkulu Utara. Jurnal Ilmu Ilmu Pertanian Indonesia Vol.
5, No.2 tahun 2003. Diakses di http://www. Bdpunib.org/jipi/artikeljipi /2003/64. PDF
pada tanggal 13 Agustus 2007.
Borror DJ, Charles AT, Norman FJ. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Partosoedjono S,
penerjemah. Yogyakarta: Gajah mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction
to the Study of Insect.
Djunaedah S. 1994. Pengaruh perubahan lingkungan biofisik dari hutan alam ke hutan tanaman
terhadap kelimpahan keragaman famili serangga dan derajat keruskaan hama pada
tegakan jenis Eucalyptus uerophylla, E. deglupta dan E. pellita [Tesis]. Bogor : Institut
Pertanian Bogor.
Kahono S, Amir M, Aswari P, Ernawati, Lilik RU, Pujiastuti E, Noerdjito WA, Suwito A. 2003.
Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat. Bogor: JICA, Biodiversity
Conservation Project.
Siahaan H. dan Saefullah TR. 2007. Teknik Silvikultur Kayu Bawang. Prosiding Seminar Hasil-
Hasil Penelitian Hutan Tanaman, 21 Agustus 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.
Suratmo G. 1974. Hama Hutan di Indonesia (Forest Entomology). Bogor: IPB.
Tarumingkeng RC. 1991. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
310
Aspek Perlindungan & Konservasi
ABSTRAK
Tanaman kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs) sudah dikenal dan dikembangkan oleh
masyarakat di hampir semua wilayah di Provinsi Bengkulu. Belakangan ini penanaman kayu bawang
berkembang mulai dari wilayah hilir hingga ke hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) pada kelerengan datar
hingga curam. Pengembangan kayu bawang terutama di daerah hulu DAS perlu mendapat perhatian
dalam upaya pelestarian fungsi DAS, karena penggunaan lahan yang tidak memperhatikan konservasi
tanah dan air akan berdampak negatif, antara lain seperti peningkatan aliran permukaan dan erosi.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui besarnya laju aliran dan erosi permukaan tanah pada tanaman
kayu bawang di Kabupaten Bengkulu Selatan. Pengukuran aliran dan erosi permukaan dilakukan dengan
membuat plot ukur erosi seluas 22 m x 11 m pada tegakan kayu bawang dengan kelas kerengan yang
berbeda (26% dan 14%). Pengamatan dan pengambilan data meliputi data curah hujan, aliran
permukaan dan erosi. Hasil penelitian menunjukkan rerata curah hujan dilokasi penelitian sebesar 298,2
mm/bulan. Aliran permukaan yang terjadi sebesar 1.019,31 m3/ha pada kelerengan 26% atau setara
dengan 13.603,68 m3/ha/tahun dan 516,64 m3/ha atau setara dengan 7.616,70 m3/ha/tahun pada
kelerengan 14%. Erosi permukaan yang terjadi sebesar 24,05 ton/ha/tahun pada kelerengan 26% dan
14,92 ton/ha/tahun pada kelerengan 14%.
Kata kunci: kayu bawang, aliran permukaan, erosi permukaan
I. PENDAHULUAN
Tanaman kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs) sudah dikenal dan
dikembangkan oleh masyarakat di hampir semua wilayah di Provinsi Bengkulu. Jenis ini ditanam
di lahan-lahan milik masyarakat baik secara monokultur maupun dengan pola agroforestri.
Disukai masyarakat karena sifatnya yang mempunyai bebas cabang yang tinggi dan self
prunning. Tanaman ini termasuk jenis cepat tumbuh, tidak memerlukan persyaratan tumbuh
khusus, memiliki serat yang halus sehingga mudah diolah, serta mempunyai kualitas kayu yang
baik. Nuriyatin et. al. (2003) melaporkan bahwa kayu bawang memiliki kualitas kayu yang baik
dengan tingkat ketahanan cukup tahan sampai tahan. Sementara Herdiana (2009) menyatakan
bahwa kayu bawang dapat dipanen setelah umur 10 tahun dengan kualitas kayu yang cukup
baik. Hingga saat ini hutan rakyat kayu bawang menjadi komuditas yang memiliki nilai ekonomi
tinggi dan berkontribusi terhadap pendapatan rumah tangga petani (Nurlia dan Waluyo, 2013).
Penanaman tanaman kayu bawang di Provinsi Bengkulu pada awalnya terpusat di
Kabupaten Bengkulu Tengah dan Utara. Seiring dengan keberhasilan penanaman di kedua
daerah tersebut, maka sejak tahun 2003 kayu bawang mulai menyebar ke daerah-daerah lain
seperti kabupaten Mukomuko, Seluma, Rejang Lebong, Kepahyang hingga Kabupten Bengkulu
Selatan (Nurlia dan Waluyo, 2013). Artinya, kayu bawang telah berkembang mulai dari wilayah
hilir hingga ke hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan kelerengan datar hingga curam.
Pengembangan kayu bawang terutama di daerah hulu DAS perlu mendapat perhatian dalam
upaya pelestarian fungsi DAS mengingat pengelolaan sumberdaya alam di daerah hulu akan
berdampak terhadap daerah hilirnya. Usaha-usaha penggunaan lahan di bagian hulu DAS
311
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
312
Aspek Perlindungan & Konservasi
e. Menyaring contoh air tersebut dengan menggunakan kertas saring yang telah dipersiapkan
sebelumnya.
f. Memasukkan contoh tanah yang disaring tersebut kedalam oven bersuhu 105 0C selama 24
jam atau sampai memiliki berat yang konstan.
g. Setelah dikeluarkan dari oven didiamkan sesaat kemudian ditimbang dan dicatat berat
(berat akhirnya).
Pengamatan curah hujan dilakukan setiap hari hujan pada pukul 07.30 dengan alat
penakar manual (ombrometer). Curah hujan harian selama satu tahun pada plot penelitian
diperoleh dari Badan Penyuluh Pertanian dan Perkebunan dan Kehutanan (BP3K) Sulau,
Kecamatan Kedurang Ilir, Kabupaten Bengkulu Selatan.
D. Analisis Data
1. Aliran dan erosi permukaan selama pengamatan
Volume aliran permukaan diketahui dengan menghitung volume air yang tertampung di
dalam drum penampungan. Sehingga aliran permukaan yang melalui plot ukur erosi merupakan
penjumlahan dari volume air yang tertampung di dalam drum penampungan dengan perkiraan
volume air yang terbuang melalui bak pembuangan.
Besarnya erosi diketahui dengan menghitung konsentrasi erosi tanah yang larut dalam
sampel air (suspensi tanah), yang dilakukan melalui analisis laboratorium menggunakan metode
filtrasi (filtration method). Konsentrasi suspensi tanah diketahui dengan rumus:
C = (b - a) V
Keterangan:
C = Konsentrasi suspensi tanah/ erosi tanah (g/ml)
V = Volume sampel suspensi tanah (ml)
A = berat suspensi tanah kering + kertas saring (gr)
b = berat kertas saring (gr)
Setelah mendapatkan nilai suspensi tanah, erosi dihitung menggunakan rumus:
E = (Vi.Ci) + aj (Vj.Cj) + … + al (Vl.Cl)
Keterangan:
E = Erosi (ton)
Vi, j,…, l = Volume pada kolektor erosi ke i,j, ...,l (m3)
Ci, j,...., l = Konsentrasi suspensi tanah pd kolektor erosi ke i,j,...,l (g/ml)
a j,...,l = Banyaknya lubang pada bak erosi ke j,...,l dst.
2. Pendugaan aliran dan erosi tahunan
Pendugaan aliran dan erosi permukaan selama setahun dilakukan dengan pendekatan
rasio jumlah hari hujan selama penelitian dengan jumlah hari hujan setahun. Pendugaan
menggunakan rasio jumlah hari hujan dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut:
𝑛
Vtpi = (Vpij)
𝑗 =1
𝑛
Etpi = (Epij)
𝑗 =1
𝐻𝐻𝑡
Vi = 𝑥 𝑉𝑡𝑝𝑖
𝐻𝐻𝑝
𝐻𝐻𝑡
Vi = 𝑥 𝐸𝑡𝑝𝑖
𝐻𝐻𝑝
313
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
Keterangan:
Vi = Volume aliran permukaan (m3/ha/tahun) dari plot ke-i
Ei = Erosi tahunan (ton/ha/tahun) dari plot ke-i
Vtpi = Total volume aliran permukaan selama pengamatan (m3/ha)
Etpi = Total erosi permukaan selama pengamatan (ton/ha)
HHt = Jumlah hari hujan selama satu tahun (hari/tahun)
HHp = Jumlah hari hujan selama pengamatan (hari)
Vpij = Volume aliran permukaan (m3/ha) pada plot ke-I hari hujan ke-j
Epij = Volume erosi permukaan (ton/ha) pada plot ke-I hari hujan ke-j
Klasifikasi tingkat erosi permukaan berdasarkan besarnya kehilangan tanah disajikan
pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Klasifikasi tingkat erosi permukaan berdasarkan besarnya kehilangan tanah
Kelas Besarnya kehilangan tanah Kriteria
(ton/ha/tahun)
1 < 15 Sangat rendah
2 15 – 60 Rendah
3 60 – 180 Sedang
4 180 – 480 Tinggi
5 > 480 Sangat tinggi
Sumber: Kementerian kehutanan (2013)
314
Aspek Perlindungan & Konservasi
1200,00 250
1000,00 200
800,00
150
600,00
100
400,00
200,00 50
0,00 0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718192021
Pengamatan ke-
Plot 1 Plot 2 Curah Hujan
3,50 250
3,00
200
2,50
2,00 150
1,50 100
1,00
50
0,50
0,00 0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Pengamatan ke-
Plot 1 Plot 2 Curah Hujan
Pendugaan laju aliran dan erosi permukaan selama setahun menggunakan ratio jumlah
hari hujan disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan besarnya kehilangan tanah, erosi permukaan di
lokasi penelitian termasuk dalam kriteria rendah (15 - 60 ton/ha/tahun).
Tabel 2. Pendugaan aliran dan erosi permukaan selama setahun
Aliran permukaan Erosi permukaan Kriteria
Plot
(m3/ha/tahun) (ton/ha/tahun)
Plot 1 (kelerengan 26%) 13.603,68 24,05 Rendah
Plot 2 (kelerengan 14%) 7.616,70 14,92 Sangat rendah
Besarnya laju aliran dan erosi permukaan dipengaruhi antara lain oleh curah hujan,
kelerengan, penutupan tumbuhan bawah, intersepsi tajuk dan sifat fisik tanah. Curah hujan
merupakan faktor utama yang mengendalikan proses daur hidrologi di suatu DAS (Asdak,
1995). Kemampuan air hujan sebagai penyebab terjadinya erosi adalah bersumber dari laju dan
distribusi tetesan air hujan, dimana kedua indikator tersebut mempengaruhi besarnya energi
kinetik air hujan. Energi kinetik air hujan yang menyebabkan terkelupasnya partikel-partikel
315
Prosiding Seminar Hasil Penelitian
tanah. Pada lahan dengan vegetasi penutupnya rapat dan disertai oleh tanaman bawah, maka
air hujan yang jatuh akan tertahan oleh tajuk tanaman, sehingga kecepatan jatuhnya tetesan air
hujan akan berkurang. Penurunan laju tetesan air hujan mengakibatkan energi kinetik hujan
dalam mengerosi tanah menjadi berkurang. Namun demikian, seiring dengan meningkatnya
intensitas dan penyebaran curah hujan, yang disertai dengan keterbatasan daya infiltrasi tanah
mengakibatkan terjadinya aliran permukaan. Aliran permukaan ini dapat mengikis permukaan
tanah menyebabkan terjadinya erosi tanah.
Semakin tinggi kelerengan semakin besar aliran dan erosi permukaan yang terjadi.
Rendahnya kelerengan lahan pada plot 2 menyebabkan berkurangnya laju aliran permukaan,
sehingga memberikan kesempatan air untuk meresap kedalam tanah melalui proses ilfiltrasi.
Disamping faktor lereng, keberadaan tumbuhan bawah yang cukup rapat mampu menahan laju
aliran permukaan sehingga air tidak langsung terbuang. Jenis tanaman bertajuk lebar dan lebat
akan mengurangi aliran permukaan dan erosi dengan adanya proses intersepsi (Pratiwi, 2007).
Hasil perhitungan intersepsi juga menunjukkan bahwa nilai intersepsi di plot 2 lebih besar
dibanding plot 1 (27,27% dibanding 26,38%) (Kunarso et al., 2013). Kondisi ini menyebabkan
jumlah air hujan yang menjadi aliran permukaan pada plot 2 lebih kecil dibanding pada plot 1.
Sifat fisik tanah mendukung proses peresapan air ke dalam tanah. Permeabilitas tanah pada
plot 1 lebih rendah dibanding permeabilitas pada plot 2 sehingga jumlah air yang meresap ke
dalam tanah melalui proses infiltrasi juga lebih kecil dibandingkan pada plot 2.
Meskipun besarnya kehilangan tanah akibat aliran dan erosi permukaan termasuk
kategori rendah, namun upaya konservasi tanah harus tetap dilakukan. Mengelola sumberdaya
alam tanpa memperhatikan kaidah konservasi, secara langsung maupun tidak langsung akan
berpengaruh terhadap kelestarian kemampuan fungsi lingkungan (Nursa’ban, 2006). Salah satu
cara sederhana yang dapat dilakukan yaitu dengan menjaga penutupan tumbuhan bawah
sekitar 80%, dan tidak dibersihkan total ketika pemeliharaan tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Herdiana, N. 2009. Pertumbuhan Awal Tanaman Kayu Bawang dan Bambang Lanang di KHDTK
Benakat, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Peneltian. Balai Penelitian
Kehutanan Palembang.
Ispriyanto, R., Nana M.A., Hendrayanto. 2011. Aliran Permukaan dan Erosi di areal Tumpangsari
Tanaman Pinus merkusii Jungh. Et de Vriese. Jurnal Managemen Hutan tropika Vol. VII
No. 1 Hal. 37-47.
Kementerian Kehutanan. 2013. Peraturan Direktur Jendral Bina Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor: P. 4/V-Set/2013 tentang Petunjuk Teknis
316
Aspek Perlindungan & Konservasi
Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Direktorat Jendral Bina Pengelolaan daerah Aliran
Sungai dan Perhutanan Sosial. Jakarta.
Kunarso, A., Tubagus A.A.S., Joni M. 2013. Kajian Tata Air Pada Hutan tanaman Jenis Kayu
Bawang. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang.
Tidak dipublikasikan.
Nuriyatin, N., E. Apriyanto, N. Satriya, Saprinurdin. 2003. Ketahanan Lima Jenis Kayu
Berdasarkan Posisi Kayu di Pohon terhadap Serangan Rayap. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian
Indonesia 5 (2): 77-82.
Nurlia, A dan Efendi A.W. 2013. Faktor-Faktor Pembatas Yang Mempengaruhi Pengembangan
Hutan Rakyat Kayu Bawang (Dysoxylum molissimum BL) di Provinsi Bengkulu. Prosiding
Seminar Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Palembang.
Nursa’ban, M. 2006. Pengendalian Erosi Tanah Sebagai Upaya Melestarikan Kemampuan Fungsi
Lingkungan. Jurnal Geomedia Vol. 4 No. 2.
Pratiwi. 2007. Laju Aliran Permukaan dan Erosi di Berbagai Hutan tanaman dan Beberapa
alternatif Upaya Perbaikannya. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. IV No.
3 Hal. 267-276. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
317
LAMPIRAN
Lampiran
Pembicara/ Moderator/
Tgl / Jam Agenda
Fasilitator Notulis
Selasa, 11 Agustus 2015
08.00 – 08.30 Registrasi peserta seminar Panitia
08.30 - 09.30 Pembukaan
Laporan Ketua Panitia Ketua Panitia
Sambutan Kepala Badan Dr. Henry
Litbang dan Inovasi Bastaman, MES
Sambutan Gubernur Lampung PM
09.30-09.45 Rehat Panitia
09.45–12.00 SESI I
09.45-10.00 Efektivitas Kelembagaan dalam Akademisi IPB Kadishut Prov.
Peningkatan Produktivitas Hutan Lampung
Produksi dan Hutan Lindung
10.00-10.15 Peran BLU dalam peningkatan BLU
produktivitas Hutan
10.15–10.30 Peran BPDAS dalam BPDAS Way Seputih
peningkatan Produktivitas Way Sekampung
Hutan Rakyat Lampung
10.30-11.00 Diskusi
11.00-12.30 Sesi II
11.00-11.15 Teknologi Perbenihan dan Peneliti BPTPTH Dr. Chrstine
Pembibitan HHBK Bogor Wulandari
11.15-11.30 Penerapan Teknik Silvikultur Peneliti BPK (Dosen Kehutanan
untuk meningkatkan Palembang Universitas
Produktivitas Hutan rakyat Lampung)
11.30-11.45 Peningkatan produktivitas Peneliti BPTPTH
hutan dengan iradiasi Bogor
11.45-12.30 Diskusi
12.30-14.00 ISHOMA
14.00-16-00 Sesi III
14.00-14.15 Aplikasi Model Sistem dalam Peneliti BPK Ir. Johan Utama
Penyusunan Rencana Palembang Perbatasari, MM
Pengelolaan KPH (Kepala Pusat
14.15-14.30 Teknik peningkatan kualitas Peneliti BPTPTH Penelitian dan
benih dan bibit untuk memenuhi Bogor Pengembangan
standar bibit bersertifikat Hutan)
14.30-14.45 Aspek Sosial Ekonomi dan Peneliti BPK
Kebijakan dalam Pengembangan Palembang
Hutan Rakyat
15.00-15.45 Diskusi
15.45-16.00 Pembacaan Rumusan Tim Perumus
16.00-16.15 Penutupan Sekbadan Litbang
321
Lampiran
323
Lampiran
325
Lampiran
326
Lampiran
327
Lampiran
328
Lampiran
329
Lampiran
330
Lampiran
331
Lampiran
332
Lampiran
333
Lampiran
334
Lampiran
335
Lampiran
336
Lampiran
337
Lampiran
338
Lampiran
339
Lampiran
340