Anda di halaman 1dari 5

Analisa diskursus sebagai sebuah pendekatan penelitian telah berkembang dengan cepat

sejak 1980-an. Baik di dalam penelitian politik khususnya maupun di dalam ilmu sosial pada
umumnya. Termasuk studi mengenai teks adalah bagian dari analisa diskursus, sebagaimana juga
perbincangan dan bahasa di dalam penggunaan lainnya. Menurut Howarth, Noval dan
Stravrakais teori diskursus mengasumsikan bahwa semua objek dan tindakan adalah penuh
makna dan bahwa makna-makna objek serta tindakan dianugerahkan oleh sistem pengaturan-
pengaturan yang secara historis bersifat khusus.1

Setiap diskursus adalah konstruksi politik dan sosial, di mana posisi subjek dari perilaku
menunjukkan dan memberikan makna terhadap objek dan praktik. Oleh karena itu, diskursus dan
makna adalah contingent (bersifat tidak tetap), historis dan tidak pernah lengkap. Teori diskursus
mencari bagaimana praktik sosial mengartikulasikan dan mempertentangkan diskursus yang
membentuk realitas sosial.2

Howarth menjelaskan bahwa teori diskursus dengan pemahaman dan penafsiran yang
secara sosial membentuk makna-makna, lebih dari sekedar mencari penjelasan hubungan sebab-
akibat yang objektif, dan ini berarti bahwa satu di antara tujuan-tujuan utama penjelasan sosial
adalah menggambarkan peraturan-peraturan yang secara historis bersifat khusus dan konvensi-
konvensi yang menstrukturnya produksi makna di dalam konteks kesejarahan yang khusus.3

Karenanya, teori diskursus dimaknai sebagai upaya menguji struktur-struktur khusus di


mana pelaku-pelaku sosial membuat keputusan dan mengartikulasikan projek hegemonik serta
pembentukan pewacanaan. Teori diskursus menolak penggabungan peristiwa empiris ke dalam
hukum universal (kausalitas atau covering model), sebaliknya memperhatikan ‘bagaimana di
dalam kondisi-kondisi apa dan untuk tujuan-tujuan apa, diskursus dibentuk, dipertentang dan
lebih jauh teori diskursus ingin melihat pengalaman keterbelahan (disclocatory) diformulasikan
sebagai pertentangan sosial yang kemudian direspon sebagai impian atau cita-cita bersama
(collectibe imaginaries) oleh kelompok tertentu di masyarakat, di dalam konteks kesejarahan
yang khusus. Oleh karena itu, teori diskursus menegaskan bahwa kebenaran dan kesalahan yang
bersifat umum tidak bisa diterapkan sebab proses pembentukan dan pembentukan kembali
(konstruksi dan rekonstruksi) tergantung kepada posisi subjek yang bersifat relatif terhadap
standar-standar yang dibentuk oleh sistem pengetahuan khusus. Wittgeinstein mengatakan bahwa

1
Norval AJ Howarth D (dkk), Discourse Theory and Political Analysis: Identities, Hegemonies and Social Change,
(Manchester: Manchester University Press, 2000), hal. 2.
2
Norval AJ Howarth D (dkk), Discourse Theory and Political Analysis: Identities, Hegemonies and Social Change,
(Manchester: Manchester University Press, 2000), hal. 4-5.
3
Norval AJ Howarth D (dkk), Discourse Theory and Political Analysis: Identities, Hegemonies and Social Change,
(Manchester: Manchester University Press, 2000), hal. 128.
‘kebenaran dan kesalahan pernyataan dibentuk di dalam tatanan-tatanan diskursus (atau
pradigma) yang menggunakan kriteria yang dibuat oleh tatanan-tatanan itu sendiri.4

Ide ini didukung oleh Silverman dengan mengambil contoh studi teks (bagian dari analisa
diskursus) di mana studi ini tidak mencari hubungan dengan realitas atau untuk mengkritisi dan
menguji teks-teks tertentu agar mempunyai standar objektif. Meskipun begitu, ‘Studi ini lebih
kepada menganalisa bagaimana diskursus-dikursus bekerja untuk mencapai efek-efek khusus
untuk mengidentifikasi elemen-elemen yang digunakan dan fungsi-fungsi yang diperankan.5

Kemudian Howarth, Norval, dan Stravrakakis menjelaskan bahwa ‘analisa diskursus


merujuk kepada praktek menganalisa bahan mentah empiris dan informasi sebagai pembentukan
pewacanaan. Ini artinya bahwa analis diskursus memperlakukan data-data linguistik maupun non
linguistik, pidato laporan, manifesto, wawancara, peristiwa, sejarah, ide-ide, bahkan organisasi
serta lembaga sebagai teks-teks atau tulisan.6

4
D. Silverman, Interpreting Qualitative Data, Methods for Analysing Talk, Text and Interaction, (London: SAGE
Publications, 2001), hal. 121-122
5
D. Silverman, Interpreting Qualitative Data, Methods for Analysing Talk, Text and Interaction, (London: SAGE
Publications, 2001), hal. 121-122
6
D. Silverman, Interpreting Qualitative Data, Methods for Analysing Talk, Text and Interaction, (London: SAGE
Publications, 2001), hal. 4
Diskursus Publik di change.org

Pada laman petisi online yang diajukan oleh Dara Nasution tertulis bahwa komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) berencana membuat dasar hukum untuk melakukan pengawasan pada
konten YouTube, Facebook, Netflix atau sejenisnya. KPI beralasan pengawasan konten yang
berada di media digital bertujuan agar konten layak ditonton serta memiliki nilai edukasi, juga
menjauhkan masyarakat dari konten berkualitas rendah. Sebaliknya, gagasan pengawasan konten
ini dianggap mengganggu kepentingan dan kebutuhan hak masyarakat.

Rencana ini turut bermasalah karena mencederai mandat berdirinya KPI. Wewenang KPI
hanyalah sebatas pengaturan penyiaran televisi dan jangkauan spektrum frekuensi radio, bukan
masuk pada wilayah konten dan media digital. Hal ini tertulis pada Undang-undang penyiaran
no. 32 tahun 2002 yang menyebutkam bahwa tujuan KPI berdiri adalah untuk mengawasi siaran
televisi dan radio yang menggunakan frekuensi publik.

KPI juga bukan merupakan lembaga sensor. Dalam undang-undang penyiaran, KPI tidak
memiliki kewenangan melakukan sensor terhadap sebuah tayangan dan melarangnya. KPI hanya
berwenang menyusun dan mengawasi pelaksanaan Peraturan dan Pedoman Perilaku Penyiaran
serta Standar Program Siaran (P3SPS). Lagi pula selama ini Netflix dan Youtube menjadi
alternatif tontonan masyarakat karena kinerja KPI dianggap buruk oleh publik dalam mengawasi
tayangan televisi. KPI tidak pernah menindak tegas televisi yang menayangkan sinetron dengan
adegan-adegan konyol dan tidak mendidik, talkshow yang penuh sandiwara dan sensasional.
serta komedi yang saling lempar guyonan kasar.

Dalam pernyataan yang disebutkan Dara di laman petisi online, ia menyatakan bahwa
masyarakat pun membayar untuk mengakses Netflix. Artinya, Netflix adalah konsumsi yang
bebas digunakan oleh konsumen yang membayar. KPI sebagai lembaga negara tidak perlu
mencampuri terlalu dalam pilihan personal warga negaranya. KPI sebaiknya memperbaiki
kinerjanya untuk menertibkan tayangan-tayangan televisi agar lebih berkualitas, bukan memaksa
untuk memperlebar kewenangan dengan rekam jejak yang mengecewakan.

Tanggapan publik terhadap petisi online “Tolak KPI Awasi Yotube, Facebook, Netflix”
pun mendapat komentar yang positif dari masyarakat. Petisi online yang diterbitkan terhitung
sejak dua bulan lalu berhasil meraih tandatangan hingga 115.000 dari masyarakat. Publik setuju
terhadap apa yang dituliskan Dara mengenai alasan-alasan terkait mengapa masyarakat harus
menolak KPI mengawasi Youtube, Facebook, dan Netflix.

Berdasarkan komentar-komentar yang tertulis, rata-rata publik merujuk pada suatu


kesimpulan yaitu KPI tidak sepantasnya mengawasi ranah digital seperti, Youtube, Facebook,
dan Netflix. Masyarakat mengatakan bahwa hal tersebut tentu akan melanggar hak privasi
mereka. Bagi masyarakat, sesungguhnya daripada harus mengawasi ranah digital seperti
Youtube, Facebook, dan Netflix, di ranah televisi masih banyak lagi yang perlu dibenahi.

Permasalahan ini berkaitan dengan pemikiran Habermas. Menurutnya, sangat tidak


masuk akal jika orang ikut serta dalam sebuah diskursus hanya dengan maksud murni untuk
mencapai konsensus saja. Karena itu Habermas berbicara tentang “kepentingan” (Interesse) dan
“kebutuhan” (Bedurfnis). Masyarakat berpartisipasi di dalam diskursus dengan kepentingan dan
kebutuhan masyarakat sendiri dengan harapan bahwa konsensus yang dicapai dapat memenuhi
kepentingan atau kebutuhan tersebut.

Seperti halnya diskursus publik yang terdapat di charge.org berupa rencana pengawasan
KPI terhadap Youtube, Netflix, dan Facebook. Meskipun baru sekedar wacana, gagasan tersebut
ternyata mendapatkan banyak perhatian dari masyarakat sehingga menimbulkan keresahan
publik atas gagasan perencanaan pengawasan Netflix, Youtube, Facebook yang bahkan
sebenarnya belum disahkan oleh KPI. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat kepentingan-
dan kebutuhan masyarakat yang terganggu atas munculnya gagasan tersebut.

Sehingga hadirnya partisipasi masyarakat dalam diskursus sebenarnya adalah demi


memperjuangkan kepentingan dan kebutuhan mereka yang dianggap sebagai hak bagi
masyarakat atau publik itu sendiri. Tujuannya tidak murni hanya meraih konsensus saja, tetapi
masyarakat menginginkan konsensus yang dicapai mampu menyelamatkan kepentingan dan
kebutuhan mereka. Maka dari itu masyarakat ramai secara masif menyetujui petisi online yang
dibuat oleh Dara karena merasa wacana yang dibuat oleh KPI mutlak mengganggu kebutuhan
dan kepentingan mereka.

Dalam pandangan Habermas kepentingan bukanlah sesuatu yang statis atau terisolasi dari
kepentingan-kepentingan lainnya. Kepentingan terbentuk lewat kontak intersubjektif. Jadi tidak
tertutup kemungkinan bahwa para peserta diskursus membawa kepentingan-kepentingan mereka
sendiri. Kepentingan-kepentingan mereka dapat bertabrakkan dengan kepentingan orang lain7,
seperti halnya kepentingan yang diinginkan KPI berbeda dengan apa yang diinginkan
masyarakat. Justru lewat konfrontasi macam itu menurut Habermas terbentuklah kepentingan
bersama.

F. Budi Hardiman ikut menyatakan bahwa keikutsertaan di dalam sebuah diskursus hanya
mungkin jika orang mempergunakan bahasa yang sama dan secara konsisten mematuhi aturan-
aturan logis dan sistematis dari bahasa tersebut.8 Hal ini dapat dilihat dari komentar-komentar
publik yang mengarah pada makna yang sama berupa penolakan. Penggunaan bahasa yang sama
oleh publik terjadi begitu saja ketika mereka seutuhnya mematuhi aturan logis dan sistematis dari
keterangan yang tercantum di laman mengenai alasan kenapa harus menandatangani petisi
online.

7
Franz Magnis Suseno, etika abad kedua puluh: 12 teks kunci (Yogyakarta 1983)
8
Habermas dlm bukunya kesadaran moral dantindakan komunikatif hlm. 48-49 1996
Kesamaan dalam memperoleh kesempatan dalam diskursus juga hanya dapat yerwujud
jika setiap peserta memiliki maksud untuk mencapai konsensus yang tidak memihak dan
memandang para peserta lainnya sebagai pribadi-pribadi otonom yang tulus, bertanggung jawab
dan sejajar (tidak menganggap orang lain sebagai sarana belaka). Perlunya juga aturan-aturan
yang dipatuhi secara umum yang mengamankan proses diskursus dari tekanan dan diskriminasi.
Aturan-aturan tersebut harus memastikan bahwa orang mencapai konsensus berkat “paksaan
tidak memaksa dari argumen yang lebih baik”9

Diskursus yang terjadi di ranah petisi online ini tentu tidak menyodorkan norma-norma
tertentu yang dianggap paling benar. Diskursus publik ini bersifat prosedural dalam rangka
menguji kesahihan norma-norma secara intersubjektif. Tidak ada jaminan mengenai legitimasi
kebenaran hasil dialog. Sebagaimana Habermas menyatakan bahwa “Diskursus merupakan
suatu prosedur, bukan untuk menghasilkan norma-norma yang legitim, melainkan untuk menguji
kesahihan norma-norma yang dipertimbangkan secara hipotesis.” Proses yang dikemukakan
Habermas tersebut disebut juga sebagai proseduralisme. Proseduralisme merupakan pengujian
diskursif proses penetapan norma-norma dalam dialog antar partisipan komunikasi.10

9
Habermas dlm bukunya kesadaran moral dantindakan komunikatif hlm. 48-49 1996
10
Hadirman demokrasi liberatif 2009 hlm 34 mengutip habermas dalam teori sosial atau teknologi sosial hlm 115

Anda mungkin juga menyukai