Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sediaan injeksi merupakan sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi
atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan sebelum digunakan secara
parenteral, suntikan baik dengan cara menembus atau merobek jaringan kedalam
atau melalui kulit atau selaput lendir (Lukas, 2006). Obat suntik didefinisikan
secara luas sebagai sediaan steril bebas pirogen yang dimaksudkan untuk
diberikan secara parenteral (Ansel, 2005). Pada umumnya pemberian dengan
parenteral dilakukan bila diinginkan kerja obat yang cepat seperti pada keadaan
gawat, tidak sadar, tidak dapat atau tidak tahan menerima pengobatan melalui
mulut (oral) atau bila obat itu sendiri tidak efektif dengan cara pemberian lain
(Ansel, 2005).
Wadah untuk sediaan injeksi ditempatkan didalam wadah dosis tunggal
dan wadah dosis ganda (multiple dose). Wadah dosis tunggal merupakan suatu
wadah kedap udara yang mempertahankan jumlah obat steril dengan tujuan
pemberian parenteral sebagai dosis tunggal dan yang bila dibuka tidak dapat
ditutup rapat kembali dengan jaminan tetap steril. Sedangkan wadah dosis ganda
adalah wadah yang memungkinkan pengambilan isinya berturut-turut tanpa terjadi
perubahan kekuatan, kualitas atau kemurnian bagian yang tertinggal (Ansel, 2005).
Wadah dosis ganda dilengkapi dengan penutup karet dan plastik yang
memungkinkan untuk melakukan penusukan jarum suntik tanpa membuka atau
merusak tutup. Apabila jarum ditarik kembali ke wadah, lubang tusukan akan
tertutup rapat kembali dan melindungi isi dari pengotoran udara bebas. Apabila
dinyatakan lain dalam monografi, obat dosis ganda diharuskan mengandung zat
pengawet antimikroba, dengan jumlah total yang ada didalam sediaan tidak boleh
lebih besar dari 30 ml. sehingga dapat membatasi jumlah tusukan yang dibuat
pada penutupnya dan dapat terjaga sterilitasnya serta untuk membatasi jumlah
pengawet antimikroba yang ada dalam sediaan (Ansel, 2005).
Salah satu sediaan injeksi yang banyak beredar dipasaran adalah sediaan
difenhidramin hidroklorida. Sediaan ini memiliki aktifitas antihistamin,

1
2

antiemetik, antidiare, antispasmodik, dan reaksi ekstrapiramidal karena obat


(Depkes RI, 2000). Dalam pemberian injeksi difenhidramin hidroklorida
diabsorbsi baik dalam tubuh, memiliki efek samping sedasi, yang justru
menguntungkan pasien yang dirawat di rumah sakit atau pasien yang perlu banyak
tidur (Depkes RI, 2007). Difenhidramin hidroklorida mempunyai pH untuk
sediaan : (antara 4 - 6,5 dan antara 5 - 6 ) sedangkan untuk pH larutan antara (4 - 6
pada larutan 5%) (Sweetman, 2009).
Difenhidramin hidroklorida pada kenyataannya penggunaan sediaan
injeksi di beberapa puskesmas, rumah sakit, dan praktek dokter masih belum
melakukan teknik aseptis dengan baik dikarenakan ketersediaan sarana dan
prasarana yang tidak memadai dan kurangnya pengetahuan tentang teknik aseptis.
Berdasarkan hasil penelitian penggunaan sediaan farmasi intravena pada salah
satu rumah sakit swasta di Kota Bandung menyimpulkan bahwa penyiapan
sediaan intravena belum dilakukan dengan teknik aseptik yang baik (Surahman et
al, 2008). Oleh karena itu perlu dilakukan uji untuk mengetahui adanya
kontaminasi yang terjadi selama penggunaan sediaan injeksi dengan penusukan
sekali dan penyimpanan selama 28 hari.
Sterilitas merupakan persyaratan dari sediaan injeksi, Injeksi yang dibuat
secara tidak tepat dapat mengandung bermacam organisme, dan salah satu yang
paling berbahaya adalah Escherichia coli. Tujuan dari sterlisasi adalah menjamin
sterilitas produk maupun karakteristik kualitasnya, termasuk stabilitas produk.
Sterilisasi adalah menghilangkan semua bentuk kehidupan, baik bentuk patogen,
nonpatogen, vegetatif, maupun nonvegetatif dari suatu objek atau material (Agoes,
2009). Untuk menghilangkan terjadinya pertumbuhan mikroba pada sediaan
multiple dose selain dilakukan sterilisasi kita perlu adanya pengawet antimikroba
untuk melindungi sediaan obat dari kontaminasi mikroba. (Lukas, 2006).
Pengawet antimikroba adalah zat yang ditambahkan pada sediaan obat
untuk melindungi sediaan terhadap kontaminasi mikroba. Pengawet digunakan
terutama pada dosis ganda untuk menghambat pertumbuhan mikroba yang dapat
masuk secara tidak sengaja selama atau setelah proses produksi. Setiap zat
antimikroba dapat bersifat pengawet, meskipun demikian semua zat antimikroba
adalah zat yang beracun. Untuk melindungi konsumen secara maksimum, pada
3

penggunaan harus diusahakan agar pada kemasan akhir kadar pengawet yang
masih efektif lebih rendah dari kadar yang dapat menimbulkan keracunan pada
manusia (Depkes RI, 1995). Contoh pengawet yang lazim digunakan dalam
formulasi sediaan parenteral adalah Benzil alkohol (1% - 2%), klorobutanol (0,2%
- 0,5%), dan klorokresol (0,1% - 0,2%), Fenil etilalkohol (0,25%-0,5%), Fenol
(0,5%), Fenil merkurinitrat (0,001%-0,002%), Fenil merkuri asetat (0,001%-
0,002%), Benzalkonium klorida (0,001%), Benzhetonium khlorida (0,01%),
Kresol (0,3%-0,5%), metal-p-hidroksibenzoat (0,18%), Thimerosol (0,01%)
(Agoes,2009).
Benzil alkohol adalah salah satu pengawet yang bisa digunakan untuk
sediaan dosis ganda (multiple dose). Benzil alkohol digunakan untuk sediaan
optalmik atau parenteral sebagai pengawet antimikroba sampai dengan
konsentrasi 2%. Benzil alkohol bersifat bakteriostatik dan digunakan sebagai
pengawet antimikroba melawan bakteri, jamur, kapang dan khamir. Aktivitas
antimikroba benzil alkohol optimum terjadi pada pH dibawah 5, aktivitas sedikit
ditunjukkan diatas pH 8. Aktivitas antimikroba berkurang karena adanya
surfaktan nonionik, seperti polisorbat 80. berkurangnya aktivitas ini masih lebih
kecil dibandingkan dengan ester hidroksibenzoat atau senyawa ammonium
kuartener (Rowe et al, 2009).
Pengawet benzil alkohol bekerja dengan cara merusak mikroorganisme,
terhadap toksisitas primernya, artinya diarahkan kembali pada kerja racun sel,
yang dikembangkan pada dinding sel atau juga pada bagian dalam sel. Salah satu
mekanisme kerja pengawet benzil alkohol terhadap konsentrasi yang digunakan
konsentrasi pengawet mikrobiosid, merupakan pengawet dengan konsentrasi yang
menyebabkan kematian sel yaitu majunya permeabilitas dari membrane sel
sehingga bahan pengawet yang didesak kedalam bagian sel mengakibatkan suatu
pengacauan sistem koloid – fisika (desemulsifikasi, koagulasi dan presipitasi).
Kadar toksik dalam benzil alkohol yaitu diatas 2% , dimana pada suatu penelitian
menunjukkan konsentrasi pada kadar 3% atau lebih besar benzil alkohol
menyebabkan efek samping mengiritasi pada kulit. Sedangkan pada percobaan
konsentrasi 0,65% benzil alkohol tidak menghasilkan iritasi pada kulit. Sehingga
apabila kadar meningkat lebih dari 2% maka akan terjadi toksisitas sedangkan
4

untuk kadar menurun dibawah 2% tidak menimbulkan toksisitas (Nair B et al,


2001).
Laporan efek samping dari benzil alkohol dalam penggunaannya sebagai
eksipien termasuk toksisitas setelah pemberian intravena, neurotoksisitas pada
pasien yang diberikan benzil alkohol dalam preparasi intratekal, hipersensitivitas
meskipun jarang terjadi, dan sindrom toksik yang fatal pada bayi premature
(Rowe et al, 2009). Pengawet antimikroba tidak boleh digunakan semata-mata
untuk menurunkan jumlah mikroba viabel sebagai pengganti cara produksi yang
baik dari produk steril dari formulasi dosis ganda selama produksi. Untuk
menjaga keamanan saat penggunaan, konsentrasi pengawet yang efektif harus
berada di bawah kadar yang mungkin dapat menimbulkan toksik (Anonim, 2008).
Uji dan kriteria untuk efektivitas berlaku untuk produk dalam kemasan asli dan
wadah yang belum dibuka. Uji efektivitas pengawet dilakukan dengan
menggunakan mikroorganisme tertentu, yaitu Candida albicans (ATCC No.
10231), Aspergillus niger (ATCC No. 16404), Escherichia coli (ATCC No. 8739),
Pseudomonas aeruginosa (ATCC No. 9027), dan Staphylococcus aureus (ATCC
No. 6538) (Anonim, 2008).
Bakteri Escherichia coli atau biasa disebut dengan bakteri E.coli, Bakteri ini
merupakan bakteri normal yang ditemukan di usus. E.coli berperan untuk
membantu menjaga fungsi normal pencernaan. Bakteri ini umumnya tidak
menimbulkan penyakit, namun pada kondisi tertentu bakteri ini dapat bersifat
patogen. Beberapa tipe infeksi diantaranya Gastrointeritis (Diare), infeksi
piogenik dan infeksi saluran kemih (Jawetz, 2005). Pada penelitian ini digunakan
sediaan difenhidramin hcl, dikarenakan efek samping dari sediaan tersebut juga
berpengaruh terhadap bakteri E.coli yaitu salah satunya diare. Bakteri ini salah
satunya sering dijumpai pada media air yang tidak bersih, sehingga
memungkinkan untuk sediaan difenhidramin hcl terkontaminasi oleh bakteri
E.coli.
Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui efektivitas pengawet benzil alkohol. Efektivitas pengawet dipengaruhi
oleh beberapa hal yaitu pH, konsentrasi pengawet dan jumlah mikroorganisme
yang mengontaminasi. Untuk pengawet benzil alkohol optimum pada pH dibawah
5

5 dan aktivitas sedikit ditunjukkan pada pH diatas 8 ,sehingga pada penelitian ini
akan ditentukan untuk penetapan pada pH 5 apakah pengawet akan bekerja secara
optimum. Penetapan untuk variabel terkendali dipilih pada pH 5 karena pH yang
mendekati dengan kondisi fisiologis tubuh sekitar pH 7,4 sehingga untuk
mengurangi rasa sakit pada pemakaiannya. Mekanisme kerja dari benzil alkohol
dengan cara merusak mikroorganisme, yaitu terhadap toksisitas primernya, artinya
diarahkan kembali pada kerja racun sel, yang dikembangkan pada dinding sel atau
juga pada bagian dalam sel. Penggunaan benzil alkohol sebagai pengawet pada
sediaan parenteral efektif pada kadar 1% - 2%, Sedangkan kadar toksik pada suatu
pengawet benzil alkohol ditunjukkan pada konsentrasi diatas kadar 2% v/v (Rowe
et al, 2009). Sehingga pada penelitian ini ingin diketahui bagaimana efektivitas
kadar benzil alkohol pada konsentrasi 1,5% v/v yang ditambahkan pada sediaan
larutan injeksi difenhidramin hidroklorida dosis ganda (Terhadap Bakteri
Escherichia coli) dengan menghitung jumlah satuan pembentuk koloni mikroba
tiap ml dari preparasi inokula pada hari ke 0, 7, 14, dan 28.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang saya
ajukan untuk penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana efektivitas benzil
alkohol 1,5 % v/v pada sediaan injeksi difenhidramin hidroklorida dosis ganda,
terhadap bakteri uji Escherichia coli.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan efektivitas dari sediaan benzil
alkohol 1,5% v/v pada sediaan injeksi difenhidramin hidroklorida dosis ganda
terhadap bakteri Escherichia coli.
1.4 Manfaat Penelitian
Setelah mendapat hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan efektivitas pengawet dari suatu sediaan, sebagai bahan referensi
ilmiah dalam melakukan penelitian selanjutnya, dan dapat dilakukan
pengembangan formulasi sediaan injeksi difenhidramin hidroklorida dengan
menggunakan bahan pengawet konsentrasi 1,5% v/v pada bakteri E.coli.

Anda mungkin juga menyukai