Anda di halaman 1dari 13

NEOPLASMA JINAK LARING

a. Jenis Neoplasma Jinak Laring


Yang termasuk tumor jinak laring neoplastik antara lain adalah; papilomatosis laring (tipe juvenile
dan onset dewasa), kondroma, hemangioma, tumor sel granular, tumor glandular, rhabdomyoma,
lipoma dan fibroma.

1. Papilomatosis laring (recurrent papilomatosis)


 Tumor jinak yang disebabkan infeksi virus, dengan tingkat kekambuhan yang tinggi.
 Tempat utama terbentuknya papilomatosis di pita suara, namun bisa terdapat dihidung
sampai ke bronchiolus.
 Walaupun jinak namun dapat menyebabkan kematian dan berpotensi menjadi ganas..
 Penyebabnya diketahui human papilloma virus subtype 6 dan 11.
 Gejala awal serak, gejala lanjut dapat berupa stridor dan dyspnea.
 Diagnosa dengan endoskopi. Diagnosa definitif dengan laryngoskopi dan biopsi.
 Penatalaksanaan dapat pengangkatan lesi secara konservatif merupakan terapi utama,
mikrolaringoskopi suspensi dan eksisi, pada lesi yang kecil dan kurang agresif dengan
menggunakan endoskopi dengan anestesi local, cryotherapi, photodynamic therapy,
antiviral (Cidofovir).
 Riwayat terapi radiasi, merokok dan immunosupresi sistemik diketahui berperan
dalam perubahan kearah malignansi.
 Sebanyak 80% kasus neoplasma di laring merupakan papiloma laring, dapat dibedakan
menjadi tipe juvenile dan onset dewasa.
 Papiloma juvenile
Disebabkan oleh virus dan multipel, sering melibatkan bayi baru lahir dan anak-anak.
 Keluhan suara serak/parau dan stridor.
 Umumnya terlihat pada pita suara palsu dan sejati dan pada epiglottis, namun dapat
melibatkan lokasi lain di laring dan trakea.
 Secara klinis, muncul dengan warna keputihan berkilau yang irregular, pedunculated
atau sessile, rapuh dan mudah berdarah.
 Dikenal sering terjadi rekurensi setelah pengangkatan sehingga mungkin diperlukan
laringoskopi multipel.
 Papiloma ini dapat menghilang secara spontan setelah pubertas.
 Terapi dapat dilaksanakan secara endoskopik dengan forsep cup, krioterapi dan
mikroelektrokauter.
 Akhir-akhir ini laser CO2 lebih dipilih karena pengangkatan yang presisi dan sedikit
berdarah. Terapi interferon telah dicoba dan dinyatakan sukses mencegah
kekambuhan.
 Papiloma onset dewasa
Biasanya single, ukuran lebih kecil, tidak terlalu agresif, dan tidak muncul kembali
setelah pengangkatan.
 Banyak terjadi pada laki-laki (2:1) pada umur 30-50 tahun dan biasanya muncul di
bagian setengah anterior dari pita suara atau komisura anterior.
 Dapat berubah menjadi prekanker
2. Kondroma
 Umumnya muncul dari kartilago krikoid dan bisa muncul pada area subglotik
 Menyebabkan dyspnoe atau dapat muncul benjolan dari lempeng posterior dari krikoid
dan menyebabkan sensasi ganjalan di tenggorokan dan disfagia.
 Umumnya mengenai laki-laki usia 40-60 tahun.
 Tumor yang terdiri dari sebagian besar kartilago hialin dengan tampilan licin dan
merupakan lesi submukosa.
 Lebih sering pada laki-laki daripada perempuan.
 Pertumbuhan tumor lambat dan tidak bermetastase.
 Gejala yang timbul serak, dyspnea, dysphagia dan globus sensation.
 Relatif asimtomatik, namun lesi dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas ataupun
massa leher eksternal.
 Diagnosis dilakukan dengan endoskopi dan CT scan.
 Penatalaksanaan dilakukan bedah eksisi, thyrotomy.

3. Hemangioma,
 Hemangioma infantile melibatkan area subglotik dan muncul keluhan stridor pada 6
bulan pertama kehidupan.
 Sekitar 50% anak memiliki hemangioma di bagian tubuh yang lain khususnya area
kepala dan leher.
 Hemangioma cenderung involusi secara spontan namun trakeostomi mungkin
dibutuhkan untuk mengurangi obstruksi jalan nafas bila terjadi.
 Sebagian besar merupakan tipe kapiler dan dapat dibersihkan dengan laser CO2.
 Hemangioma pada dewasa meliputi pita suara atau supraglotik laring. Ada tipe
kavernosus dan tidak dapat diterapi dengan laser. Dapat dibiarkan bila asimptomatik.
Untuk yang berukuran lebih besar yang menimbulkan gejala, terapi steroid dan radiasi
mungkin dapat dilakukan.
 Hemangioma laring paling sering dijumpai pada populasi anak-anak.
 Selalu muncul pada daerah subglotis, sedangkan pada dewasa muda pada derah
supraglotis. Hemangiona biasanya asimptomatis tapi dapat menimbulkan gejala
sumbatan jalan.
 Kortikosteroid, terapi radiasi merupakan pendekatan konservatif yang mendukung.
 Meskipun pada anak-anak berhasil dengan baik, ablasi laser dihindari pada pasien
dewasa karena struktur pembuluh darah dapat melampaui kapasitas koagulasi CO2.
 Propanolol juga berhasil dalam terapi pada anak-anak, tapi tidak ada laporan untuk
pasien dewasa.

4. Tumor sel granular


 Muncul dari sel Schwann dan seringkali submukosa.
 Epitel yang mendasarinya menunjukkan hyperplasia pseudoepitelioma, yang secara
histology mirip dengan karsinoma well differentiated.

5. Tumor glandular
 Dapat muncul di seluruh area tubuh tapi paling banyak pada kepala dan leher.
 Pada laring ini sangat jarang.
 Asal usul berasal dari neuron dan dalam laring, meluas secara perlahan dan
mengisolasi pita suara.
 Gejala klinis suara serak, , stridor, disfagi dan batuk.
 Biopsi dibutuhkan untuk melihat sifat tumor.
 Pewarnaan serologi pada specimen biopsy menunjukkan positif dari S-100, enolase
neuron spesifik, vimentin, CD 68.
 Reseksi komplit dengan instrument microlaryngeal phonosurgical.
 Prinsipnya adalah menghasilkan suara kembali yang normal.

6. Rhabdomyoma
 Merupakan tumor jinak yang terdiri dari striated muscle.
 Lokasi tersering pada laring, namun pernah ditemukan pada otot laring intrinsik dan
ekstrinsik.
 Diagnosis dilakukan dengan biopsy atau MRI.
 Penatalaksanaan terapi dilakukan reseksi secara menyeluruh.

7. Hamartoma
 Hamartoma jarang dijumpai, lesi jinak dapat berupa malformasi kongenital ataupun
lesi lain.
 Terdeteksi secara insidental atau karena adanya gejala saluran nafas yang signifikan,
terutama pada anak anak.
 Presentasi dan gejala berhubungan dengan lokasi neoplasma,
 Hamartoma paling sering terdapat pada supraglottis dan subglottis.
 Penatalaksanaan dilakukan biopsi eksisi dan reseksi.

8. Fibroma
 Fibroma laring merupakan kasus yang sangat jarang
 Pemeriksaan histology memperlihatkan matriks ektraseluler yang banyak dengan area
pausiseluler yang berselang seling, dan matrik ekstraseluler cenderung bersusun
dengan sebutan •cytologically bland spindle cells."
 Gejala klinis : batuk dan disfoni. Ct scan dan MRI dapat menggambarkan perluasan
lesi untuk perencanaan reseksi.
 Eksisi sampai batas tepi lesi meminimalkan kekambuhan.

9. Schwannoma
 Berasal dari lapisan fiber nervus, ditemukan 1% dari seluruh tumor laring.
 Gambaran endoskopi : massa submukosa yang licin pada sinus piriformis atau area
eryoepiglotis.
 Gejala klinis sensasi rasa seperti ada benda bulat ditenggorokan, disfagi, disfoni, dan
apabila membesar dapat menimbulkan sumbatan jalan nafas.
 Histopatologi terlihat area Antoni A dan Antoni B dengan schwannoma yang lain.
 Komplikasi postoperatif yang mungkin terjadi disfoni, parese pita suara dan
keterlibatan laring.
b. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan fisik: telinga, hidung dan tenggorok, daerah leher dan dada
2. Laringoskopia indirekta
3. Laringoskopia direkta
4. Fiber – Optic Laringoscopy (FOL)
5. Foto polos leher AP dan lateral
6. CT scan leher

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Stroboscope, Ro Thorak, pemeriksaan laboratorium.

d. Penatalaksanaan
Bedah Mikrolaring
Teknik operasi
1. Pasien tidur diatas meja operasi posisi supine
2. Dokter anestesi mengintubasi laring (jika ada penggunaan laser diantisipasi) diarahkan ke
sisi kiri mulut
3. Bantalan ditempatkan dibawah bahu supaya bisa ekstensi kepala dan leher secara
sempurna.
4. Meja ditempatkan di posisi tredelenburg terbalik agar didapatkan posisi yang nyaman
untuk melihat laring melalui mikroskop.
5. Laringoskop dimasukkan seperti yang sebelumnya disebutkan.
6. Saat laring sudah tervisualisasi dengan adekuat, ujung dari laringoskop operator
didekatkan ke midline sehingga jaringan yang patologi terlihat.
7. Laringoskop dimasukkan, epiglotis diungkit, lalu laringoskop dimasukkan untuk
mengevaluasi seluruh struktur anterior laring
8. Alat suspension apparatus disambungkan ke laringoskop lalu disambungkan ke Mayo
stand atau direkatkan ke meja operasi. Laringoskop yang tergantung dari meja yang
menempel dari tempat tidur membuat pergerakan dari meja tanpa mengganggu posisi
laringoskop.
9. Mikroskop didekatkan ke lapangan operasi dan laring divisualisasi dengan lensa
pembesaran 400 mm. Instrumen laring dapat digunakan dengan alat mikro sesuai indikasi
(forsep yang sesuai dengan peruntukannya).
10. Bila menggunakan laser CO2 maka wajah harus ditutup dengan handuk yang lembab dan
mata ditutup dengan penutup mata yang lembab. Tidak satupun bagian dari wajah yang
boleh terekspos. Petugas kamar operasi harus menggunakan pelindung mata.
11. Bila diperlukan pemeriksaan pada komisura posterior dan area ini tertutup oleh ETT,
maka ETT dipindahkan dan ventilasi dilanjutkan dengan menggunakan alat Venturi Jet.
Venturi diletakkan pada saluran cahaya laringoskop dan diposisikan diatas inlet laryngeal.
Saat posisi sudah adekuat, pergerakan dinding dada dapat dilihat dengan baik tanpa
obstruksi pada laring.
12. Instrumen kanul penghisap diletakkan di saluran cahaya dapat membantu menghisap asap
yang dihasilkan dari prosedur laser. Hal ini memungkinkan karena pencahayaan untuk
prosedur ini dihasilkan dari mikroskop.
13. Di akhir dari prosedur, pasien dapat di intubasi ulang untuk pemulihan anestesi, hal ini
dapat dilakukan dengan dua metode:
a. Laringoskop diangkat dan pasien diintubasi seperti biasa
b. Pasien di intubasi ulang dengan laringoskop masih pada posisi
e. Komplikasi
1. Laringospasme
2. Edema glotik
3. Trauma gigi
f. Prosedur Pemeriksaan Laring
1. Butir-butir Penting
a. Pada pemeriksaan Laringoskopi Direkta diperlukan persiapan puasa dan
dilakukan premedikasi. Posisi kepala penderita harus tepat supaya pelaksanaan
tindakan dapat dilakukan dengan baik.
b. Pada pemeriksaan Fibre Optic Laryngoscope diperlukan kerjasama dengan
penderita meskipun tindakan ini relatif tidak menyakitkan penderita.

2. Teknik Pemeriksaan:

Laringoskopi Indirect
 Pasien dalam posisi duduk tegak, dengan kepala ekstensi dan leher fleksi (sniffer’s
posisition)
 Pemeriksa duduk berhadapan dengan pasien dengan memakai lampu kepala
 Pasien diminta untuk membuka mulut dan menjulurkan lidah, bagian anterior lidah
dipegang oleh pemeriksa dengan menggunakan kain kassa.
 Dimasukkan kaca laring hangat yang telah dipanaskan sebelumnya ke dalam rongga
mulut melewati uvula dan bagian distal palatum mole. Suhu kaca laring haruslah
diperiksa terlebih dahulu pada tangan pemeriksa sebelum dimasukkan ke dalam mulut
pasien untuk mencegah terbakarnya mukosa mulut.
 Alat pemeriksa diputar sampai pemeriksa mendapatkan visualisasi yang baik dari
struktur laring dan hipofaring.
 Pasien diminta mengucapkan “iii” untuk mengobservasi adduksi pita suara.
 Bila pasien terlihat tersedak, maka pasien diminta untuk bernafas pelan sehingga
palatum dapat rileks dan pemeriksaan dapat dilanjutkan.
 Pasien yang sensitive dapat diberikan anestesi local dengan menggunakan xylocain
spray 10%.

Laringoskopi Direct dengan teleskop kaku


 Lidah pasien dipegang dengan kain kassa
 Dimasukkan teleskop 90° yang telah diberikan anti embun ke rongga mulut melewati atas
lidah dengan berhati-hati tidak menyentuh posterior lidah serta dinding faring.
 Visualisasi struktur laring dan hipofaring diperoleh dengan cara yang sama seperti
pemeriksaan dengan kaca laring
 Bila pasien terlihat tersedak, maka pasien diminta untuk bernafas pelan sehingga palatum
dapat rileks dan pemeriksaan dapat dilanjutkan.
 Pasien yang sensitive dapat diberikan anestesi local dengan menggunakan xylocain spray
10%.
 Pasien yang sensitive dapat diberikan anestesi local dengan menggunakan xylocain spray
10%.
Laringoskopi Direct :

No Langkah- Bagaimana Mengapa


Langkah
1 Premedikasi Luminal/atropin Tidak valium, karena
depresi pernapasan
Biar air liur sedikit

2 Anestesi lokal Spray xylocain, pd Epiglottis dikait, perlu


epiglottis anestesi

3 Atur posisi kepala Posisi high: fleksi Mudah mengait epiglottis


leher/dada, ekstensi keatas
occipito atlanto

4. Mengait epiglottis Selalu digaris tengah Akan terlihat uvula-


epiglotis sebagai pedoman

Epiglotis dikait sedikit Kalau terlalu banyak,


saja aritenoid terkait
Kalau terlalu sedikit: lepas

5 Melihat pita suara Dengan bantuan Mudah melihatnya,


teleskop (0o,30o) Kalau telescope harus
mengait epiglottis,bisa
basah-buram

Laringoskopi Serat Optik (FOL):


No Langkah-langkah Bagaimana Mengapa
1 Anaestesi local Kapas xylocain Tidak nyeri,tidak
ephedrin1 % di cavum trauma
nasi d/s
Spray xylocain pd
faring/epiglotis
2 Atur duduk Duduk tegak
penderita Memudahkan alat
masuk
3 Memasukkan alat Melalui dasar cavum
FOL nasi Tempat terlebar

4 Melihat nasofaring Lurus kebelakang Tampak naso


faring dulu
5 FOL diarahkan ke Dgn membengkokkan
laring kebawah
FOL diarahkan mula-
6 Memeriksa laring mula tampak dari jauh,
lalu makin mendekat,
laring dievaluasi

Observasi pergerakan
pita suara, dengan
pasien menyebutkan
”iii”, evaluasi apabila
terdapat tumor; bentuk,
ukuran, permukaan,
mobilitas dan warna
tumor.

PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR TRAKEOSTOMI

Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang
seharusnya atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya
(jika harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau
membantu untuk kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)

NAMA PESERTA: ............................ TANGGAL:.................................

KEGIATAN KASUS
I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR OPERATIF
1. Nama
2. Diagnosis
3. Informed Choice & Informed Consent
4. Rencana Tindakan
5. Persiapan Sebelum Tindakan
6. Evaluasi ulang indikasi dan kontra indikasi operasi
II. PROSEDUR OPERASI
1. Pastikan kelengkapan peralatan, bahan dan obat-obatan esensial untuk
prosedur Trakeostomi telah tersedia dan lengkap
2. Trakeotomi dapat dilakukan dengan anestesi lokal maupun umum.
3. Posisi penderita tidur telentang, kepala hiperektensi (punggung diganjal
bantal).
KEGIATAN KASUS
4. Desinfeksi betadin daerah operasi dan sekitarnya, lapangan operasi
dipersempit dengan doek steril.
5. Infiltrasi lidokain epinefrin di daerah operasi untuk anestesi dan
vasokonstriksi.
6. Insisi secara vertikal (atau horisontal) antara kartilago tiroid sampai batas
atas suprasternal, lapangan operasi diperlebar dengan retraktor.
7. Insisi di garis tengah dipisahkan (diperdalam) lapis demi lapis, hati-hati
terhadap vena jugularis anterior, arteri tiroidea ima, kelenjar tiroid (ismus
tiroid dapat diklem dipotong selanjutnya diligasi/kauter atau disisihkan ke
atas atau ke bawah).
8. Identifikasi krikoid dan trakea dengan punksi percobaan (bila mengenai
lumen trakea ditandai udara masuk dalam spuit).
9. Trakea dikait di tempat punksi percobaan, selanjutnya dilakukan insisi
trakea pada ring kedua dan ketiga dari arah inferior ke superior.
10. Kanul trakea diinsersikan secara gentle dan dilakukan tes benang (bila
kanul trakea masuk dalam lumen trakea, maka benang akan bergerak
dihembus oleh udara pernapasan lewat kanul).
11. Kanul trakea difiksasi dengan meniup balon kanul, jahitan pada kulit leher,
dan pita leher.
12. Luka operasi yang terlalu lebar dapat dijahit secara longgar, terakhir ditutup
dengan kasa, anak kanul dipasang.
13. Operasi selesai.
 III. PASCA OPERASI
1. Observasi pasase kanul, perdarahan, tekanan darah, suhu dan nadi secara
teratur
2. Mencegah terjadinya dehidrasi
3. Pemberian antibiotik segera setelah operasi
4. Mencegah terjadinya komplikasi pasca operasi
 IV. PERAWATAN PASCA TRAKEOSTOMI
1. Perawatan kanul
2. Perawatan komplikasi
3. Bila fiksasi menggunakan balon, maka balon dikempiskan dalam 24 jam.
4. Jahitan fiksasi kulit leher diangkat sebelum penderita dipulangkan atau
pada hari ke-5.
5. Penderita diedukasi cara perawatan kanul dan anak kanul serta tindakan
pertama bila kanul buntu total atau salah posisi
6. Prosedur Dekanulasi
MATERI BAKU
1. Sumbatan Jalan Napas Atas
a. Definisi
Kondisi terbuntunya jalan napas atas baik sebagian/parsial maupun keseluruhan yang
menyebabkan terjadinya gangguan ventilasi.

b. Ruang lingkup
1) Faktor Risiko
Penderita tumor/infeksi di orofaring maupun laring.
2) Etiologi
Tertutupnya jalan napas atas karena tumor, benda asing atau infeksi terutama di
daerah orafaring dan laring.
3) Diagnosis
a) Anamnesis :
Penderita mengeluh sesak napas memberat disertai dengan bunyi napas seperti
orang ngorok, tidak dapat berkomunikasi dengan baik serta gangguan kesadaran.
b) Pemeriksaan fisik :
Didapatkan adanya cuping hidung yang bergerak saat inspirasi, disertai
cekungan pada supraklavikula, interkosta, dan epigastrial.
c) Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan radiologi :
 X-foto leher AP dan lateral (jaringan lunak)
 CT-Scan kepala & leher (dengan dan tanpa kontras)
4) Terapi
a) Oksigenasi
b) Medikamentosa (bila kausanya infeksi)
c) Trakeotomi (pada kasus tumor)

5) Tindak Lanjut
Konservatif bila dengan medikamentosa menunjukkan perbaikan (kasus infeksi) dan
operatif bila sesak napas memberat/permanen (kasus tumor).

2. Prosedur Trakeostomi
a. Kompetensi
Dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan trakeostomi (teori,
indikasi, prosedur dan komplikasi). Selama pendidikan pernah melihat atau menjadi
asisten, dan pernah menerapkan keterampilan ini di bawah supervisi serta memiliki
pengalaman untuk menggunakan dan menerapkan keterampilan trakeostomi dalam
praktik mandiri.
b. Definisi
Trakeostomi adalah tindakan mengiris/membuat lubang pada trakea.

c. Indikasi
1) Mengatasi sumbatan jalan napas atas, yang dapat disebabkan oleh :
a) Infeksi saluran napas (epiglotitis akut, laringotrakeobronkitis akut)
b) Trauma daerah kepala leher
c) Tumor jinak maupun ganas daerah faring, laring, esofagus
d) Kelainan kongenital saluran napas atas
e) Abduktor paralisis bilateral
f) Benda asing jalan napas
2) Mengeluarkan sekret dari trakeobronkial (bronkopnemoni, bronkiektasis, koma, …)
3) Menunjang pemberian napas bantuan (emfisema paru, paralisis otot napas, …)
4) Mencegah aspirasi (operasi bedar daerah kepala leher, kelumpuhan laring)

d. Teknik Operasi
1) Trakeotomi dapat dilakukan dengan anestesi lokal maupun umum.
2) Posisi penderita tidur telentang, kepala hiperektensi (punggung diganjal bantal).
3) Desinfeksi betadin daerah operasi dan sekitarnya, lapangan operasi dipersempit
dengan doek steril.
4) Infiltrasi lidokain epinefrin di daerah operasi untuk anestesi dan vasokonstriksi.
5) Insisi secara vertikal (atau horisontal) antara kartilago tiroid sampai batas atas
suprasternal, lapangan operasi diperlebar dengan retraktor.
6) Insisi di garis tengah dipisahkan (diperdalam) lapis demi lapis, hati-hati terhadap
vena jugularis anterior, arteri tiroidea ima, kelenjar tiroid (ismus tiroid dapat diklem
dipotong selanjutnya diligasi/kauter atau disisihkan ke atas atau ke bawah).
7) Identifikasi krikoid dan trakea dengan punksi percobaan (bila mengenai lumen trakea
ditandai udara masuk dalam spuit).
8) Trakea dikait di tempat punksi percobaan, selanjutnya dilakukan insisi trakea pada
ring kedua dan ketiga dari arah inferior ke superior.
9) Kanul trakea diinsersikan secara gentle dan dilakukan tes benang (bila kanul trakea
masuk dalam lumen trakea, maka benang akan bergerak dihembus oleh udara
pernapasan lewat kanul).
10) Kanul trakea difiksasi dengan meniup balon kanul, jahitan pada kulit leher, dan pita
leher.
11) Luka operasi yang terlalu lebar dapat dijahit secara longgar, terakhir ditutup dengan
kasa, anak kanul dipasang.
12) Operasi selesai.

e. Komplikasi operasi
1) Perdarahan
2) Infeksi
3) Emfisema subkutis
4) Pnemotoraks
5) Pnemomediastinum
6) Fistula trakeoesofagal
7) Obstruksi kanul
8) Kanul salah posisi
9) Problem menelan
10) Henti jantung/napas
11) Fistula trakeokutan
12) Terbentuk granuloma
13) Stenosis trakea
14) Kesulitan dekanulasi

f. Tindak lanjut pasca operasi


1) Penderita dirawat selama 5 hari.
2) Selama dirawat dilakukan perawatan kanul dan anak kanul serta observasi ada
tidaknya komplikasi.
3) Bila fiksasi menggunakan balon, maka balon dikempiskan dalam 24 jam.
4) Jahitan fiksasi kulit leher diangkat sebelum penderita dipulangkan atau pada hari ke-
5.
5) Penderita diedukasi cara perawatan kanul dan anak kanul serta tindakan pertama bila
kanul buntu total atau salah posisi.

g. Instrumen yang diperlukan


1) Pisau bedah no.11 dan 15
2) Pemegang pisau
3) Gunting bedah tumpul/tumpul, panjang dan agak lengkung (Metzenbum)
4) Pinset chirurgi
5) Klem arteri (Mosquito)
6) Klem kocher
7) Pemegang jarum
8) Jarum dan benang (untuk jaringan subkutan: benang catgut/chromic catgut/Vicryl 3.0
dengan jarum round type ½; untuk kulit: benang sutra/nilon 3.0 dengan jarum cutting
type)
9) Kait tajam
10) Tripot (retractor trakea)
11) Kanul trakea
Subglotis.39

Tumor Primer
Tx Tumor tidak dapat dinilai
T0 39
Subglotis. Tidak terdapat tumor
Tis Tumor in situ
Tumor Primer
Tumor tidak dapat dinilai
TxTumor Supraglotis
T0T1 Tidak
Tumorterdapat
terbatastumor
pada 1 sisi pita suara palsu (gerakan baik)
TisT2 Tumor sudah
Tumor in situmeluas ke 1 atau 2 sisi supraglotis atau glotis tanpa fiksasi
pita suara
Tumor Supraglotis
T1T3 Tumor terbatas
Tumor teratas pada
pada pita suara
1 sisi aslisuara
pita dengan fiksasi
palsu atau meluas
(gerakan baik) ke posterior
T2 krikoid,
Tumor dinding
sudah medial
meluas ke sinus
1 atau piriformis, jaringan preepiglotis,
2 sisi supraglotis atau glotis ruangtanpa fiksasi
paraglotis,
pita suara dan atau erosi minimal pada kartilago tiroid
T3T4a Tumor
Tumorteratas pada pita
sudah meluas ke suara
kartilagoaslitiroid
dengandanfiksasi
atau keatau meluas
jaringan ke posterior
di sekitar
krikoid, dinding medial sinus piriformis, jaringan preepiglotis, ruang
laring seperti trakea, otot dasar lidah, strap
paraglotis, dan atau erosi minimal pada kartilago tiroid
muscle, tiroid atau esofagus)
T4aT4b Tumorsudah
Tumor meluas ke ruang
meluas prevetrebal,
ke kartilago arteri
tiroid dankarotis
atau atau struktur di
ke jaringan mediastinum
sekitar
Tumor Glotis
laring seperti trakea, otot dasar lidah, strap muscle, tiroid atau esofagus)
T4bT1 Tumor
Tumor meluas ke pada
terbatas ruang prevetrebal,
pita suara (dapat arteri
dengan karotis atau struktur
keterlibatan mediastinum
komisura
Tumor Glotis
anterior atau posterior) dengan gerakan baik
T1 Tumor terbatas pada pita suara (dapat dengan keterlibatan komisura
T1a Tumor pada
anterior 1 pita suaradengan gerakan baik
atau posterior)
T1aT1b Tumorpada
Tumor pada12 pita
pita suara
suara
T1bT2 Tumorpada
Tumor meluas ke supraglotis
2 pita suara atau subglotis dengan atau tanpa gangguan
T2 Tumor
gerakan meluas ke supraglotis atau subglotis dengan atau tanpa gangguan
pita suara
gerakan pita suara
T
T3 3
Tumor masih terbatas di laring dengan fiksasi pita suara dan atau invasi
Tumor masih terbatas di laring dengan fiksasi pita suara dan atau invasi
ruangparaglotis,
ruang paraglotis, dandan atau
atau erosi
erosiminimal
minimalkartilago
kartilago tiroid
tiroid
T4aT4a Tumorinvasi
Tumor invasi ke
ke kartilago
kartilago tiroid
tiroidatau
ataujaringan
jaringan sekitar
sekitarlaring
laring
T4bT4b Tumor
Tumormenginvasi
menginvasi ruang prevertebral,arteri
ruang prevertebral, arteri karotis,
karotis, struktur
struktur mediastinum
mediastinum
Tumor Subglotis
Tumor Subglotis
T1 Tumor terbatas pada subglotis
T2T1 Tumormeluas
Tumor terbataskepada
pitasubglotis
suara dengan gerakan normal
T3T2 Tumorterbatas
Tumor meluas kedi pita suara
laring dengan
dengan gerakan
fiksasi pitanormal
suara
T4aT3 Tumormenginvasi
Tumor terbatas di laring dengan
kartilago fiksasiatau
krikoid pitatiroid
suara dan atau invasi jaringan
T4a sekitar
Tumorlaring
menginvasi kartilago krikoid atau tiroid dan atau invasi jaringan
T4b Tumor menginvasi ruang prevertebral, arteri karotism dan struktur
sekitar laring
mediastinum
T4b
Penyebaran Tumorlimfa
kelenjar menginvasi
Regional ruang prevertebral, arteri karotism dan struktur
N0 mediastinum
Tidak ada penyebaran tumor ke kelenjar limfa regional
Teraba 1limfa
N1Penyebaran kelenjar kelenjar limfa ipsilateral ukuran terbesar ≤ 3 cm
Regional
N2aN0 Teraba 1 kelenjar
Tidak ada limfatumor
penyebaran ipsilateral ukuran
ke kelenjar limfaterbesar 3 – 6 cm
regional
N2b Teraba kelenjar limfa multipel ipsilateral ukuran terbesar < 6 cm
N2cN1 Teraba 1 kelenjar limfa ipsilateral ukuran terbesar
Teraba kelenjar limfa bilateral atau kontralateral ukuran ≤ 3 cm terbesar < 6 cm
N3N2a Teraba
Teraba1kelenjar
kelenjar limfa
limfa ipsilateral 6 cm 3 – 6 cm
ukuran ≥terbesar
ukuran terbesar
N2b
Metastasis Jauh Teraba kelenjar limfa multipel ipsilateral ukuran terbesar < 6 cm
MNx 2c
Teraba kelenjar
Metastasis limfadinilai
tidak dapat bilateral atau kontralateral ukuran terbesar < 6 cm
MN0 3 Teraba
Tidak kelenjar
terdapat limfa ukuran
metastasis jauh terbesar ≥ 6 cm
Terdapat metastasis jauh
M 1Metastasis Jauh

Mx Metastasis tidak dapat dinilai


M0 Tidak terdapat metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh

Anda mungkin juga menyukai