Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

STATUS EPILEPTIKUS

Disusun Oleh:

Adelin Luthfiana Fajrin

1102015004

Pembimbing:

dr. Mukhdiar Kasim, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON
PERIODE 13 MEI – 22 JUNI 2019
LEMBAR PENGESAHAN

Makalah referat yang berjudul:

“Status Epileptikus”

Yang disusun oleh:

Adelin Luthfiana Fajrin

1102015004

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing:

dr. Mukhdiar Kasim, Sp.S

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Umum Daerah Cilegon

Periode 13 Mei – 22 Juni 2019

Cilegon, 16 Mei 2019

Pembimbing

dr. Mukhdiar Kasim, Sp.S

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu
memberikan rahmat, nikmat dan karunia, sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat dengan judul “Status Epileptikus” sebagai salah satu tugas kepaniteraan
Ilmu Penyakit Saraf RSUD Cilegon.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada dr. Mukhdiar Kasim, Sp.S
selaku pembimbing kepaniteraan klinik Neurologi atas bimbingan, arahan dan
saran dalam penyusunan referat ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada perawat dan staf RSUD Cilegon yang turut membantu dalam
menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih ditemukan banyak kekurangan,
yang disebabkan kemampuan yang sangat terbatas, baik dalam pengalaman
maupun pengetahuan. Oleh karena itu, penulis memohon maaf dan mengharapkan
kritik dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
penulis, sejawat, dan masyarakat pada umumnya.

Cilegon, Mei 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ……… ……………………………………... i


KATA PENGANTAR …………… ……………………………………... ii
DAFTAR ISI …………………….. ……………………………………... iii
BAB I PENDAHULUAN ……….. ……………………………………... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA … ……………………………………... 2
DEFINISI ………………………… ……………………………………... 2
EPIDEMIOLOGI ………………… ……………………………………... 2
ETIOLOGI ……………………….. ……………………………………... 3
KLASIFIKASI …………………… ……………………………………... 4
PATOFISIOLOGI ……………….. ……………………………………... 5
MANIFESTASI KLINIS ………… ……………………………………... 5
DIAGNOSIS ……………………... ……………………………………... 8
TATA LAKSANA ……………….. ……………………………………... 11
KOMPLIKASI ………………….... ……………………………………... 14
PROGNOSIS …………………….. ……………………………………... 15
BAB III KESIMPULAN ………… ……………………………………... 16
DAFTAR PUSTAKA ……………. ……………………………………... 17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Kejang adalah perubahan aktivitas motorik abnormal yang tanpa atau


disertai dengan perubahan perilaku yang sifatnya sementara yang disebabkan oleh
perubahan aktivitas elektrik di otak1.
Status epileptikus adalah kejang yang berlangsung lama atau kejang
berulang tanpa pemulihan kesadaran di antara kejang2. Status epileptikus
merupakan bentuk epilepsi yang lebih berat dan lebih mematikan3, sehingga
penting untuk dikenali secara dini agar dapat ditatalaksana sesegara mungkin
dimulai pada fase prarumah sakit4.
Insiden per 100.000 populasi mencapai 9,9 episode di Eropa dan 41
episode di AS5. Insidens tahunan 10–41 per 100,000 orang. Sekitar 5% orang
dewasa dan 10%–25% anak dengan epilepsi pernah mengalami status epileptikus
setidaknya sekali selama hidupnya. Angka kematian SE mencapai 24-26% pada
dewasa dan 3-6% pada anak, dan angka kematian secara keseluruhan sekitar 20%.
Status epileptikus dapat didiagnosis dengan gambaran klinis dan
menggunakan EEG6. Tata laksana yang dapat diberikan pada status epileptikus
adalah obat golongan antikonvulsan7.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
Status epileptikus didefinisikan sebagai aktivitas kejang secara terus-
menerus atau dua atau lebih kejang tanpa pemulihan kesadaran selama lebih
dari 30 menit.
International League Against Epilepsy menentukan definisi operasional SE
berdasarkan dua dimensi waktu
durasi dan waktu kemungkinan durasi dan waktu
bangkitan epileptik menjadi bangkitan epileptik
berkepanjangan atau terus menyebabkan
menerus konsekuensi jangka
panjang
Status
Epileptikus 5 menit 30 menit
Konvulsif
Status
Epileptikus
Fokal dengan 10 menit 60 menit
penurunan
kesadaran
Status
Epileptikus 10-15 menit Tidak diketahui
Absans

2. EPIDEMIOLOGI
Tingkat kejadian tahunan status epileptikus adalah sekitar 12,6 per 100.000
orang per tahun. Di unit perawatan intensif (ICU), kejang atau status epileptikus
dapat terjadi hingga 19% dari jumlah pasien.

2
Insidens SE episode pertama mencapai 42 kasus per 100.000 penduduk
pertahunnya dengan rasio yang hampir sama pada laki-laki dan perempuan. SE
merupakan kegawatdaruratan medis yang sering dengan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi, yaitu 3-50%.
Insidens status epileptikus muncul puncaknya pada usia lebih dari 50 tahun
(sekitar 28,4 per 100.000 per tahun) dan usia kurang dari 10 tahun (14,3 per
100.000 per tahun).

3. ETIOLOGI
Berdasarkan waktu terjadinya abnormalitas penyebabnya, etiologi SE dibagi
menjadi 3, yaitu:
a. Proses akut
- Gangguan metabolik: gangguan elektrolit, hipoglikemia, dan gangguan
ginjal
- Sepsis
- Infeksi susunan saraf pusat: meningitis, ensefalitis, dan abses
- Stroke: stroke iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid,
dan thrombosis sinus serebral
- Trauma kepala dengan atau tanpa hematoma epidural atau subdural
- Obat-obatan: intoksikasi obat atau alkohol, withdrawal obat golongan
opioid
- Hipoksia
- Ensefalopati hipertensif, sindrom ensefalopati posterior reversible
- Ensefalitis autoimun
b. Proses kronik
- Epilepsi: penghentian atau penurunan obat anti epilepsi
- Penyalahgunaan alkohol kronik
- Gangguan susunan saraf pusat lampau (misalnya pascastroke,
pascaensefalitis)
- Gangguan metabolisme bawaan pada anak
c. Tumor susunan saraf pusat

3
Etiologi akut SE yang paling sering adalah stroke (22%), diikuti gangguan
metabolik (15%), hipoksia (13%), infeksi sistemik (7%), dan anoksia (5%).
Namun yang menyebabkan mortalitas tertinggi adalah anoksia (71%), diikuti
hipoksia (53%), stroke (33%), dan gangguan metabolik (30%). Etiologi proses
kronik yang paling sering adalah konsentrasi obat Anti epilepsy yang rendah
pada pasien epilepsi (34%) diikuti penyebab simtomatik seperti tumor, stroke,
dan trauma (25%). Angka mortalitas SE yang disebabkan etiologi akut lebih
tinggi dibandingkan akibat etiologi kronik.

4. KLASIFIKASI
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) tahun 2015, terdapat 2
jenis SE berdasarkan bentuk bangkitannya:
1. Dengan gejala motor yang prominen
a. SE konvulsif (SE dengan bentuk bangkitan tonik klonik)
b. SE mioklonik
c. SE dengan bentuk bangkitan motorik fokal
d. SE tonik
e. SE hiperkinetik
2. Tanpa gejala motor yang prominen (nonkonvulsif)
a. SE nonkonvulsif dengan koma
b. SE nonkonvulsif tanpa koma
1) Umum
- Status absans tipikal
- Status absans atipikal
- Status absans mioklonik
2) Fokal
- Tanpa gangguan kesadaran (aura kontinua, misalnya gejala otonom,
sensorik, audiotorik, visual, olfaktori, gustatori, emosi, atau psikis)
- Status afasia
- Dengan gangguan kesadaran
3) Tidak diketahui umum atau fokal

4
- SE otonom

5. PATOFISIOLOGI
Pada umumnya bangkitan epileptik dapat berhenti spontan. Namun semakin
lama durasi suatu bangkitan epileptik, maka semakin kecil kemungkinan akan
berhenti spontan. Pada detik-detik pertama terjadinya bangkitan epileptik
terjadi fosforilasi protein, pembukaan dan penutupan kanal ion, serta pelepasan
neurotransmiter. Kemudian pada tahap kedua, pada beberapa detik hingga
menit, terjadi penurunan subunit reseptor gamma-aminobutyric acid (GABA)
β2, β3, γ2, serta peningkatan reseptor eksitatorik N-metil-D-aspartat (NMDA)
dan α-amino-3-hydroxy-5-methylisoxazole-4-propionic acid (AMPA).
Reseptor GABA di permukaan akan membentuk cekungan yang dilapisi
clathrin kemudian menjadi vesikel yang dilapisi clathrin sehingga tidak dapat
dijangkau oleh neurotransmitter. Vesikel tersebut berubah menjadi endosome
dan akan dihancurkan oleh lisosom. Penelitian imunohistokimia menunjukkan
subunit NR1 reseptor NMDA bermigrasi dari subsinaps ke permukaan sinaps.
Pada stadium berikutnya, pada beberapa menit hingga jam, terjadi peningkatan
substansi P eksitatorik dan penurunan penggantian neuropeptide γ yang bersifat
inhibitorik. Pada stadium keempat, pada beberapa hari hingga minggu, akan
terjadi perubahan genetic dan epigenetic berupa perubahan ekspresi gen,
metilasi deoxyribonucleic acid (DNA), dan regulasi ribonucleic acid (RNA)
mikro. Hal-hal tersebut mendasari perubahan dari suati bangkitan epileptic
tunggal menjadi keadaan SE.

6. MANIFESTASI KLINIS
Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk status
epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira
44 sampai 74 persen.
a. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generelized tonic-clonic Status
Epilepticus)

5
Kejang didahului dengan tonik- klonik umum atau kejang parsial yang cepat
berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum,
serangan berawal dengan serial kejang tonik- klonik umum tanpa pemulihan
kesadaran di antara serangan dan peningkatan frekuensi. Setiap kejang
berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-
otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi
sianosis selama fase ini, diikuti oleh hiperpnea dengan retensi
karbondioksida. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah,
hiperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat
serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis
respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam
pertama pada kasus yang tidak tertangani.
b. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status
Epilepticus)
Ada kalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
c. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epilepticus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan
kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjadi pada ensefalopati kronik
dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.
d. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselopati. Sentakan
mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin
memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya
pada enselofati anoksia berat dengan prognosis yang buruk, tetapi dapat
terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
e. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia
pubertas atau dewasa. Kesadaran menurun (biasanya ringan), disorientasi,
mata terbelalak, kedipan ritmis pada pasien dengan epilepsy general primer.
Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa

6
anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus
(monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Status epileptikus
memberikan respon yang baik terhadap Benzodiazepin intravena.
f. Status Epileptikus Non-Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus
non- konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma. Ketika sadar,
dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoid, delusional, cepat marah,
halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor
dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan
generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges
dari status absens.
g. Status Epileptikus Parsial Sederhana
Fenomena sensoris atau otonom yang persisten dimana terjadi pada 1 area
dari tubuh dan tidak ada penurunan kesadaran.
- Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan
jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu
sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh.
Kejang mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak
terganggu. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya
afasia yang intermiten atau gangguan berbahasa (status afasik).
- Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala
sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian
march.
h. Status epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi
yang cukup untuk mencegah pemulihan di antara episode. Pada SE parsial
kompleks juga dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara dan keadaan
kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada

7
lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering
menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG,
tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan
status epileptikus non- konvulsif pada beberapa kasus.

7. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Epilepsi dapat dicetuskan oleh gangguan biokimia di otak seperti:
- Selama putus konsumsi obat dan alkohol;
- Selama koma hepatik, uremik, dan hipoglikemik;
- Sementara mengonsumsi obat penenang atau antidepresan.

Untuk mempermudah anamnesis, berikut kesimpulan yang perlu


dintanyakan kepada pasien maupun saksi:
- Family history
- Past history
- Systemic history
- Alcoholic history
- Drug hostory
- Focal neurological symptoms and signs

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, cara berjalan, koordinasi,
saraf kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya
defisit neurologi seperti hemiparese, distonia, disfasia, gangguan lapangan
pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau
lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus, diplopia atau
ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti
karbamasepin, fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada
waktu serangan kejang terjadi ”Dysmorphism“ dan gangguan belajar
mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia,

8
mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan
neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya
kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia
bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis.

c. EEG
Pada absence status epilepticus dikarakteristikkan dengan adanya
pemanjangan fase bingung dimana berkaitan dengan adanya kelainan pada
EEG yang bersifat general yang berbeda dengan gambaran EEG saat fase
interiktal. Kedua gambaran ini berespon baik dengan pemberian obat anti
epilepsi. Pasien dengan absence SE dicirikan dengan adanya sikap bingung
dan mengantuk tetapi disertai agitasi, perilaku kasar dan halusinasi dapat
pula terjadi. Gangguan kesadaran yang terjadi dapat bersifat ringan dan
masih bisa melakukan pekerjaan sehari-hari. Gambaran lain yang dapat
ditemukan adalah adanya automatisme, kedipan mata dan gerakan
menyentak pada wajah dan tubuh. Hal inilah yang menimbulkan adanya
overlaping antara absence SE dan myoclonic SE. Gambaran EEG pada
absence SE ini cukup banyak, meliputi 3 Hz spike-wave discharge,
perlambatan yang ritmis, gelombang spike dan gelombang lambat,
polyspike dan perlambatan latar belakang yang difuse. Absence SE
cenderung sering terjadi. Pada anak-anak, absence SE hampir sering
dijumpai pada pasien dengan epilepsi general yang idiopatik.
Sedangkan tipe yang kedua adalah myoclonic status epilepticus
yang dikarakteristikkan dengan adanya gerakan myoclonus yang terus
menerus terjadi, pada umumnya terjadi general dan berasal dari area kortek.
Dimasukkannya myoclonic SE dalam kategori NCSE masih kontroversial,
karena myoclonus masih dapat dikategorikan sebagai bentuk kejang.
Manifestasi myoclonic dapat tidak kentara dan hal ini sering tidak disadari
terdapat pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif yang kronis.
Gambaran klinis ini dapat ditemukan pada encephalopati nonprogresif

9
tertentu dimana onset terjadinya saat anak-anak, seperti pada Angelman
syndrome.
Seperti disebutkan diatas bahwa selain tipe general juga terdapat tipe
NCSE yang lain yaitu complex partial status epilepticus. Dimana perbedaan
antara complex partial SE dengan absence SE sulit untuk diidentifikasi jika
hanya berdasarkan klinis. Seperti pada absence SE, pasien dengan complex
partial SE juga dikeluhkan dengan sikap bingung dengan tidak didapatkan
tanda lateralisasi yang jelas. Untuk kriteria diagnosis klinis dari complex
partial SE dapat disimpulkan sebagai berikut: complex partial seizure yang
berulang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara seizure atau “epileptic
twilight state” yang berlangsung terus menerus dengan pergantian antara
fase unresponsive dan fase responsive partial. Pergantian elemen dari fase
ini tidak selalu terjadi, maka dari itu definisi ini masih kontroversi.
Gejala yang tampak pada complex partial SE dapat meliputi
amnesia, afasia, perilaku yang aneh dan hemiparesis. Pasien dengan epilepsi
partial, sering disebabkan karena kelainan dari lobus frontal, pada umumnya
tampak dengan pola seizure yang berupa kelainan perilaku, tetapi riwayat
terkena epilepsi sebelumnya tidak selalu didapatkan. EEG merupakan
pemeriksaan yang sangat penting untuk menegakkan diagnosis yang benar.
Kelainan yang dapat muncul saat ictal berupa kelainan fokal dan meliputi
gelombang spike dan terjadi perlambatan, polyspike dan perlambatan yang
ritmis. Kelainan sekunder yang bersifat general dapat terjadi dan potensial
menimbulkan kebingungan dalam menegakkan diagnosis. Kesulitan dalam
menegakkan diagnosis ini dapat dialami jika kelainan fokal saat interictal
ditemukan pada EEG. Gambaran ini juga merupakan bagian dari kriteria
diagnosis complex partial SE yang didapatkan dari beberapa penelitian.
Kelainan fokal ini sering didapatkan pada lesi lobus temporal dan berkaitan
dengan adanya kelainan akut atau kronis yang mendasari.

10
d. Pemeriksaan Penunjang pada Kasus SE
Pemeriksaan Panel pemeriksaan Kemungkinan etiologi atau
komplikasi yang dapat
ditemukan
Laboratorium Darah perifer lengkap
Toksikologi Kokain, alkohol, antidepresan
trisiklik, simptomimetik,
teofilin, organofosfat,
siklosporin, INH
Elektrolit (Na, K, Ca, Hyponatremia, hipernatremia,
Mg) hipokalsemia, hypomagnesemia
Gula darah Hipoglikemia, hiperglikemia
Analisa gas darah Hipoksia
Urinalisis Infeksi
Kadar obat Kadar obat antiepilepsi rendah
antiepileptik dalam
darah
Cairan serebrospinal Infeksi
Pencitraan Rontgen toraks Infeksi paru
CT scan atau MRI Etiologi intracranial
kepala

8. TATA LAKSANA
Protokol tata laksana SE
Waktu Intervensi
Fase  Stabilisasi pasien (jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan
stabilisasi: disabilitas neurologis)
0-5 menit  Catat waktu mulai bangkitan, monitor tanda vital
 Evaluasi oksigenasi, berikan oksigen melalui nasal kanul
atau masker, pertimbangkan intubasi bila diperlukan.

11
 Monitor EKG
 Pemeriksaan kadar gula darah. Jika kadar gula darah
<60mg/dL:
- Dewasa: tiamin 100mg IV lalu 50 mL dekstrosa 50% IV
- Anak >2 tahun: dekstrosa 50% 2mL/kgBB
Fase Benzodiazepin
terapi inisial: Pilih salah satu dari benzodiazepine berikut:
5-20 menit  Midazolam intramuscular (dosis tunggal 10mg untuk BB
>40kg, 5mg untuk BB 13-40kg) atau
 Lorazepam IV (0,1mg/kgBB/dosis maksimal 4mg/dosis,
kecepatan pemberian 2mg/menit, dapat diulang 1 kali)
atau
 Diazepam IV (0,15-0,2mg/kgBB/dosis, maksimal
10mg/dosis, dapat diulang 1 kali)
Jika pilihan di atas tidak tersedia maka dapat diberikan:
 Fenobarbital IV (15mg/kgBB/dosis, dosis tunggal) atau
 Diazepam rektal (0,2-0,5mg/kgBB maksimal 20mg/dosis,
dosis tunggal) atau
 Midazolam intranasal atau intrabukal
Fase terapi Pilih salah satu dari OAE berikut:
lini kedua:  Fosfenitoin IV (20mg/kgBB, maksimal 1500mg/dosis,
20-40 menit kecepatan pemberian maksimal 150mg/menit, dosis
tunggal atau bila perlu dapat diulang 5-10mg/kgBB) atau
 Fenitoin IV (20mg/kgBB, kecepatan 50mg/menit, dosis
tunggal, bila perlu dapat diulang 5-10mg/kgBB) atau
 Asam valproat IV (20-40mg/kgBB, maksimal
3000mg/dosis, kecepatan 100mg/menit, dosis tunggal)
atau
 Levetirasetam IV (20-60mg/kgBB, maksimal
4500mg/dosis, dosis tunggal)

12
Jika pilihan di atas tidak tersedia, maka dapat
diberikan:
Fenobarbital IV (15mg/kgBB, kecepatan 50-75mg/menit)
Fase terapi Pilihan:
lini ketiga:  Memberikan kembali salah satu terapi lini kedua atau obat
40-60 menit anestesi:
- Tiopental (dosis awal 2-7mg/kgBB IV bolus, kecepatan
≤50mg/menit dilanjutkan 0,5-5mg/kgBB/jam infus IV
kontinu, bila status epileptikus terjadi kembali bolus 1-
2mg/kgBB dan tingkatkan dosis 0,5-1mg/kgBB/jam
setiap 12 jam) atau
- Midazolam (dosis awal 0,2mg/kgBB IV kecepatan
2mg/menit dilanjutkan 0,05-0,2mg/kgBB/jam infus IV
kontinu, bila status epileptikus terjadi kembali bolus 0,1-
0,2mg/kgBB dan tingkatkan dosis 0,05-0,1mg/kgBB/jam
setiap 3-4 jam) atau
- Propofol (dosis awal 1-2mg/kgBB IV dilanjutkan 30-
200mcg/kgBB/menit infus IV kontinu, bila status
epileptikus terjadi tingkatkan kecepatan infus IV 5-
10mcg/kgBB/menit setiap 5 menit atau bolus 1mg/kgBB
dan titrasi naik infus IV kontinu) atau
- Pentobarbital (dosis awal 5-15mg/kgBB IV, dapat
ditambahkan 5-10mg/kgBB IV diberikan dengan
kecepatan 50mg/menit, dilanjutkan 0,5-5mg/kgBB/jam
infus IV kontinu, bila status epileptikus terjadi kembali
bolus 5mg/kgBB dan tingkatkan dosis infus kontinu 0,5-
1mg/kgBB/jam setiap 12 jam)
 Pemberian obat anestetik sebaiknya dilakukan di ruang
perawatan intensif
 Lakukan pemantauan EEG

13
 Setelah penggunaan 2-3 hari kecepatan harus diturunkan
karena terjadi saturasi pada jaringan adiposa
 Obat anestesi dilanjutkan hingga 12-24 jam setelah
bangkitan klinis atau elektrografis berhenti. Dosis obat
anestesi kemudian diturunkan perlahan.

9. KOMPLIKASI
Berbeda dengan SE nonkonvulsif, SE konvulsif memiliki dampak sistemik
yang luas, meliputi susunan saraf pusat, kardiovaskular, respirasi, metabolik,
ginjal, endokrin, dan lain-lain, yaitu:
1. Sistem saraf pusat
Edema serebral, narkosis akibat penumpukan CO2, hipoksia serebral, dan
perdarahan serebral.
2. Kardiovaskular
Aritmia, henti jantung, takikardi, bradikardia, gagal jantung kongestif,
hipertensi, dan hipotensi.
3. Respirasi
Apneu, edema paru, acute respiratory distress syndrome, infeksi
nosokomial, aspirasi, spasme laring, asidosis respiratorik, dan emboli paru.
4. Metabolik
Asidosis metabolik, hiperkalemia, hiponatremia, hipomagnesemia,
hipermagnesemia, dan dehidrasi.
5. Ginjal
Asisdosis renal tubular, sindrom nefrotik akut, oligouria, uremia,
rabdominalisis, dan mioglobinuria.
6. Endokrin
Hipopitutarisme, peningkatan prolaktin, vasopresin, dan kortisol,
penurunan berat badan.
7. Lain-lain

14
Koagulasi intravaskular diseminata, penuruan motilitas intestinal,
pandisotonomia, sindrom disfungsi organ mulitipel, dan fraktur.

10. PROGNOSIS
Prognosis SE ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu usia, tipe bangkitan SE,
durasi, kecepatan inisiasi tata laksana, dan etiologi. Walaupun SE terjadi pada
usia dekade pertama, namun angka mortalitasnya lebih rendah dibandingkan
usia dewasa atau usia tua. Secara keseluruhan angka mortalitas pada usia
dewasa mencapai 26% dan meningkat dua kali lipat pada usia >80 tahun yang
mencapai 50%. Mortalitas lebih tinggi pada SE mioklonik, durasi SE >60 menit,
inisiasi tata laksana 30 menit sejak onset, dan SE simptomatik akut. Mortalitas
SE tertinggi mencapai 60-80% kasus pada SE akibat anoksia atau hipoksia akut
yang berat.

15
BAB III
KESIMPULAN

Status epileptikus didefinisikan sebagai aktivitas kejang secara terus-


menerus atau dua atau lebih kejang tanpa pemulihan kesadaran selama lebih dari
30 menit.Insidens SE episode pertama mencapai 42 kasus per 100.000 penduduk
pertahunnya dengan rasio yang hampir sama pada laki-laki dan perempuan. SE
merupakan kegawatdaruratan medis yang sering dengan morbiditas dan mortalitas
yang tinggi, yaitu 3-50%.
Etiologi proses kronik yang paling sering adalah konsentrasi obat Anti
epilepsy yang rendah pada pasien epilepsi (34%) diikuti penyebab simtomatik
seperti tumor, stroke, dan trauma (25%). Pemeriksaan baku standard yang dapat
dilakukan adalah EEG. Namun, sebelumnya dapat dilakukan anamnesis terkait
manifestasi klinis status epileptikus dan pemeriksaan fisik. Setelah itu, dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui etiologi status epileptikus
dengan pemeriksaan laboratorium seperti toksikologi, elektrolit, gula darah,
urinalisis, atau pemeriksaan pencitraan seperti rontgen toraks dan CT scan kepala.
Tata laksana yang dapat dilakukan pada pasien dengan cara stabilisasi
pasien, yaitu membuka jalan napas, memberikan oksigen, memperbaiki sirkulasi,
dan disabilitas neurologis. Farmakoterapi lini pertama yang dapat diberikan
adalah obat golongan benzodiazepine. Secara keseluruhan angka mortalitas pada
usia dewasa mencapai 26% dan meningkat dua kali lipat pada usia >80 tahun
yang mencapai 50%.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Sampson HA dan Leung D. Seizures in Childhood. Di dalam: Kliegman et al.


Nelson Textbook of Pediatrics, 18th edition. Philadelphia: Elsevier Inc; 2007.
2. Davis LE, King MK, Schultz JL. 2005. Fundamentals of neurological disease
an introductory text. New york: Demos medical publishing.
3. Walter JJF dan Bleck T. Treatment of Established Status Epilepticus. Journal
of Clinical Medicine, 5 (49). 2016. doi: 10.3390/jcm5050049
4. Indrawati LA, Wiratman W, Budikayanti A, et al. Status Epileptikus. Di
dalam: Aninditha et al. Buku Ajar Neurologi. Tangerang: Penerbit Kedokteran
Indonesia; 2017.
5. Legriel A dan Brophy GM. Managing Status Epilepticus in the Older Adult.
Journal of Clinical Medicine, 5 (53). 2016. doi: :10.3390/jcm5050053
6. Poblete R dan Sung G. Status Epilepticus and Beyond: A Clinical Review of
Status Epilepticus and an Update on Current Management Strategies in
Super-refractory Status Epilepticus. The Korean Journal of Critical Care
Medicine, 32 (2). 2017. doi: 10.4266/kjccm.2017.00252
7. Prasad K, Krishnan PR, Alroomi K, et al. Anticonvulsant therapy for status
epilepticus. British Journal of Clinical Pharmacology, 63 (6). 2007. Doi:
10.1111/j.1365-2125.2007.02931.x
8. Nelson SE dan Varelas PN. Status Epilepticus, Refractory Status Epilepticus,
and Super-refractory Status Epilepticus. American Academy of Neurology, 24
(6). 2018.
9. Trinka E, Hofler J, Zerbs A. Causes of status epilepticus. Epilepsia, 53
(Suppl.4): 127-138. 2012. Doi: 10.1111/j.1528-1167.2012.03622.x
10. Pramesti FA, Husna M, Kurniawan SN, et al. Penegakan Diagnosis dan
Tatalaksana Nonconvulsive Status Epileptikus (NCSE). Mnj, 3 (01): 31-38.
2017. Doi: 10.21776/Ub.Mnj.2017.003.01.5

17

Anda mungkin juga menyukai