Anda di halaman 1dari 233

BUKU PANDUAN SKILL LAB

SEMESTER V

ANAMNESIS, PEMERIKSAAN FISIK


DAN
PROSEDUR KLINIS LANJUTAN

UNIT MANAJEMEN SKILLS LAB DAN OSCE CENTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
SEMESTER GANJIL - TA 2019/2020
BUKU PANDUAN
SKILLS LAB SEMESTER V
TA : 2019/2020

ANAMNESIS, PEMERIKSAAN FISIK


DAN
PROSEDUR KLINIS LANJUTAN

LABORATORIUM KETERAMPILAN MEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
Alamat : Darussalam – Banda Aceh
Telepon : 0651-7552365

i
Copyright@2019 Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Dicetak di Darussalam
Cetakan Pertama : Agustus 2019

Diterbitkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala


Semua Hak Cipta terpelihara

Penerbitan ini dilindungi oleh Undang-undang Hak Cipta dan harus ada izin oleh
penerbit sebelum memperbanyak, disimpan,
atau disebarluaskan dalam bentuk elektronik, fotocopy
dan rekaman atau bentuk lainnya.

ii
EDITOR

Dr. dr. Imran, M.Kes., SpS


Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

dr. Elsa Susanti, Sp.S


Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

Dr.dr. Safrizal Rahman, M.Kes., Sp.OT


Bagian Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

dr. Saiful Basri, SpM


Bagian Ilmu Penyakit mata
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

dr. Lily Setiani, SpTHT-KL


Bagian Ilmu THT-KL
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

dr. Fitria, MSc., SpKK


Bagian Ilmu Penyakit Kulit
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

dr. Meilya Sylvalila, Sp.EM


Bagian Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

Dr.dr. Zafrullah Khany Jasa, SpAn., KNA


Bagian Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

dr. Samsul Rizal, SpBP


Bagian Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

iii
dr. Eka Adhiany, SpAn
Bagian Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

Dr. Mudatsir, M.Kes


Bagian Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

dr.Tristia Rinanda, M.Si


Bagian Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

dr. Vera Dewi Mulia, Sp.PA


Medical Education Unit
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala

iv
PENANGGUNG JAWAB SKILL
Dr. dr. Imran, M.Kes., SpS
Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

dr. ElsaSusanti, Sp.S


Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

Dr.dr. Safrizal Rahman, M.Kes., Sp.OT


Bagian Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

dr. Saiful Basri, SpM


Bagian Ilmu Penyakit mata
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

dr. Lily Setiani, SpTHT-KL


Bagian Ilmu THT-KL
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

dr. Fitria, MSc., SpKK


Bagian Ilmu Penyakit Kulit
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

dr. Meilya Sylvalila, SpEM


Bagian Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

Dr.dr. Zafrullah Khany Jasa, SpAn., KNA


Bagian Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

dr. Samsul Rizal, SpBP


Bagian Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

v
dr. Eka Adhiany, SpAn
Bagian Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

Dr. Mudatsir, M.Kes


Bagian Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

dr.Tristia Rinanda, M.Si


Bagian Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

vi
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWTberkat rahmat


dan ridha Nya maka buku panduan Skills Lab ―Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan
Prosedur Klinis Lanjutan I‖ ini selesai disusun. Buku ini merupakan buku pertama
pada semester 5 yang meliputi ketrampilan klinis lanjutan neuromuskuluskeletal
dan sistem indera.
Keterampilan yang akan dilatih pada semester ini 5 ini antara lain:
pemeriksaan fisik gangguan koordinasi gerak dan gerakan involunter, splint dan
bandagepadacedera tulang dan otot, anamnesis dan pemeriksaan fisik mata,
anamnesis dan pemeriksaan fisik THT, serta anamnesis dan pemeriksaan fisik
kulit.
Kami berharap buku ini dapat menjadi panduan bagi mahasiwa dan
memperrmudah mahasiswa dalam melatih keterampilan di Laboratorium
Keterampilan Medik pada Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.
Terima kasih kepada semua konstributor dalam membantu penulisan buku
panduan ini, dan juga ucapan terima kasih kepada para ahli dalam memberikan
saran dan dukungan yang berguna untuk kesempurnaan buku ini.

Banda Aceh, Agustus 2019

Tim MEU

vii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ vii


DAFTAR ISI .............................................................................................. viii

BAB 1. NEUROMUSULOSKELETAL .................................................. 1


1. Pemeriksaan Fisik Gangguan Koordinasi Gerak dan
Gerakan Involunter ............................................................................. 2
Check List Pemeriksaan Fisik Gangguan Koordinasi Gerak
dan Gerakan Involunter ......................................................................... 11
2. Splint dan BandagePadaCedera Tulang dan Otot ....................... 12
Check List Splint dan Bandage ...................................................... 41

BAB 2. SISTEM INDERA........................................................................ 43


3. PEMERIKSAAN FISIK THT ........................................................... 44
Check list Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik THT .............................. 62
4. PEMERIKSAAN FISIK KULIT ....................................................... 65
Check list Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Kulit ............................ 120
5. PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK MATA............................ 121
Check list Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Mata ............................ 138

BAB 3. TRAUMA, WOUND CARE, DAN ANESTESI ....................... 140


6. BASIC TRAUMA LIFE SUPPORT (BTLS)................................... 141
Check list BTLS .................................................................................. 151

7. BASIC LIFE SUPPORT .................................................................. 154


Check list BLS .................................................................................... 164

8. MANAJEMEN LUKA ...................................................................... 167


Check list Manajemen luka ................................................................. 186

9. ANESTESI INFLASI DAN BLOK ................................................. 189


Check list Anestesi Infiltrasi dan Blok ................................................ 199

10. GRAM STANING, PEMERIKSAAN JAMUR (KOH),


SEDIAAN BASAH DAN GRAM STANING ................................. 202
Check list Gram staning, pemeriksaan jamur (KOH), sediaan
Basah dan gram staning ...................................................................... 211

viii
BAB I
NEUROMUSULOSKELETAL

1
I. PEMERIKSAAN FISIK GANGGUAN KOORDINASI GERAK DAN
GERAKAN INVOLUNTER
Dr. dr. Imran, SpS
dr.Elsa Susanti,SpS
Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti skill lab ini mahasiswa diharapkan terampil dalam melakukan
pemeriksaan fisik gangguan koordinasi gerak dan gerakan involunter secara
sistematis dan benar

Serebellum dan Sistem Koordinasi Gerak


Otak kecil atau cerebellum merupakan bagian dari sistem saraf pusat
yang terletak diatas batang otak yang memiliki fungsi utama sebagai mengontrol
gerak dan dan kesetimbangan dan membantu belajar dan mengingat kemampuan
motorik.Otak kecil menerima informasi sensorik mengenai posisi sendi dan
peregangan otot, jugainput dari auditorik dan sistem visual. Otak kecil juga
memonitor perintah motorik yang dihasilkan dari otak besar. Otak kecil
mengintegrasi informasi ini dan diproses sebagai koordinasi dan pemindaian
kesalahan selama pelaksaan fungsi motorik dan perseptual.Jika otak kecil rusak,
maka mata akan mengikuti gerak benda tetapi tidak akan berhenti tepat dimana
benda itu berhenti.

Gambar 1. Jalur Saraf Pengaturan Koordinasi Gerak

2
Gambar 2. Fungsi Sebellum dalam Pengaturan Gerakan

Gangguan Koordinasi dan keseimbangan.

Ataksia adalah gerakan yang tidak terkoordinasi,tidak teratur, dan kurang


harmonis (disinergis). Gejala ini timbul bila terdapat kelainan di sebellum.
Penampilan pasien tampak khas seperti duduk sambil bergoyang (trunkal ataksia)
atau berdirisambil bergoyang (postural ataksia), gerakan melampaui target/sasaran
(dismetria = hipometriaatau hipermetria), dan saat berjalan cepat tampak langkah
tidak teratur dan bergoyang mirip seperti orang mabuk alkohol. Tes menunjuk
digunakan untuk mendeteksi dismetria, inkoordinasi, dan tremor yang memberat
saat tangan mendekati target/sasarn (intention tremor); tes jari-hidung, tes jari-
jari,dan tes tumit-lutut yang dilakukandengan mata terbuka dan tertutup.
Pasiendengan ataksia ringan sulit atau tidak bisa berjalan lurus (tes berjalan tumit-
lutut, tandem gait). Pasien mungkintidak dapat melakukan gerakan-gerakan bolak
balik tangannya dengan cepat(disdiadokokinesia). Tulisan tangan bisa besar-besar
(makrografia), kasar, dan gemetar, dan tidak mampu membuat gambar garis
paralel atau spiral.

3
Gambar 3. Kelainan Serebellum dan Gangguan Koordinasi

Pemeriksaan Koordinasi Gerak dan Gerakan Involunter


A. Koordinasi Gerak
Sistem koordinasi diperiksa pada pasien-pasien yang tidak mengalami
kelemahan pada keempat ekstremitas. Banyak test yang dapat dilakukan untuk
menilai sistem koordinasi pasien, antara lain :
1. Cara berjalan (gait)
Pemeriksaan cara berjalan sebaiknya dilakukan tanpa alas kaki dan
ruangan cukup luas untuk mengamati pasien.Pasien diminta berjalan + 10 m.
Dilakukan pengamatan cara berjalannnya. Cara berjalan pasien seringkali
memberikan petunjuk yang penting mengenai proses kelainan yang terjadi. Hal
yang terpenting pada pemeriksaan ini adalah apakah pasien dapat berjalan dengan
kecepatan normal atau tidak. Pemeriksa harus mengamati panjang langkah pasien,
cara kaki pasien menyentuh lantai serta ayunan lengan pasien. Ada tidak kelainan
pada cara berjalan. Beberapa kelainan cara berjalan dapat dijumpai pada penderita
stroke, penyakit myelum maupun penyakit muskular.

Gambar 4. Cara Berjalan (Gait)

4
2. Shallow knee bend.
Pasien diminta berdiri di belakang kursi, kedua tangan memegang bagian
atas sandaran kursi, kedua kaki menapak di lantai dengan jarak selebar
bahu.Perlahan-lahan kedua lutut ditekukseperti mau duduk di kursi. Badan
direndahkan kira-kira+15 cm. Tumit harus tetap di lantai. Kemudian badan
dinaikkan kembali lagi ke posisi berdiri. Perhatikan gerakan involunter atau
gangguan koordinasi gerak yang mungkin timbul.

Gambar 5. Cara melakukan pemeriksaan shallow knee bend

3. Tes Romberg
Tes Romberg merupakan test lanjutan untuk menilai keseimbangan. Test
ini dilakukan dengan meminta pasien untuk berdiri dengan kedua kaki rapat dan
mata tertutup dan lengan menjuntai disamping badan selama lebih kurang dua
puluh detik. Normalnya hal ini dapat dilakukan dengan mudah tanpa adanya
perubahan pada posisi kaki dan lengan.

Gambar 6. Cara Melakukan Tes Rhomberg

5
4. Tes Romberg yang dipertajam
Tes ini disebut juga dengan Romberg Tandem, dilakukan dengan cara
meminta pasien untuk meletakkan salah satu tumit kaki di depan kaki yang lain
dengan mata tertutup, kemudian diamati ada tidak perubahan posisi badan pasien,
seperti ilustrasi gambar dibawah.

Gambar 7. Cara Melakukan Tes Romberg yang dipertajam

5. Tes telunjuk hidung


Tes telunjuk hidung dilakukan dengan cara menyuruh pasien menyentuh
hidungnya sendiri dengan ujung jari telunjuknya kemudian dilanjutkan dengan
menyentuh ujung jari telunjuk pemeriksa dengan jari telunjuknya tersebut
kemudian kembali menyentuh hidungnya. Gangguan serebelum akan
menyebabkan timbulnya tremor perpendikular ke arah target gerakan yang
akan bertambah jelas saat jari mendekati target.

6
Gambar 8. Cara Melakukan Test Telunjuk Hidung

6. Tes Tumit Lutut


Tes ini dilakukan dengan cara meminta pasien yang sedang berbaring
telentang untuk meletakkan salah satu tumitnya diatas lutut tungkai yang lain
dengan kaki dorsofleksi, kemudian kaki tersebut diluncurkan ke bawah sampai
menyentuh ibu jari kaki yang lain. Tes ini juga akan mengalami gangguan jika ada
kelainan di serebelum.

Gambar 9. Cara Melakukan Tes Tumit Lutut

7. Tes disdiadokokinesis
Diadokokinesis adalah kemampuan melakukan gerakan berlawanan
bergantian dengan cepat seperti pronasi dan supinasi lengan.Test disdiadokinesis
dapat dilakukan dengan cara meminta pasien melakukan gerakan bolak-balik
dengan cepat seperti menggerakkan satu tangan bolak-balik diatas paha, test ini
dilakukan pada kedua tangan bergantian. Gerakan tersebut dapat melambat
(bradikinesia) atau tidak beraturan (disdiadokokinesia) jika ada kelemahan,
kelainan ekstra piramidal atau gangguan serebelum.

7
Gambar 10.Cara Melakukan Tes Disdadokokinesis

B. Gerakan Involunter

Tremor adalah gerakan involunter yang terjadi secara berulang-ulang dan


berirama berhubungan dengan aktivitas motorik, yaitu, pada saat istirahat, selama
pemeliharaan postur tertentu, atau saat melalukan gerakan.Chorea adalah
gerakan involunter yang cepat,menyentak, dan berulang-ulang yang dimulai satu
bagian tubuh dan bergerak dengan tiba-tiba, tak terduga, dan seringkali secara
terus-menerus menghasilkan berbagai pola gerakan. Gerakan involunter dimulai
dari bagian distal ekstremitas yang terlibat dan iikuti oleh bagian
proksimal. Gerakan involunter juga bisa timbul di wajah sehingga wajah
menyeringai. Gerakan chorea sering terjadi bersamaan dengan athetosis, yang
menambahkan memutar atau gerakan menggeliat, sulit berjalan dan menunjukkan
postur dan gerakan kaki yang aneh.Chorea Huntington, adalah suatu penyakit
degeneratif dominan dan herediter yang timbul pada usia pertengahan. Terjadi
karena atrofi atau kehilangan neuron-neuron kecil di korpus striatum. Neuron
kortikal juga dapat berdegenerasi dan penyakit dapat berakhir dengan demensia.
Gerakan chorea dengan perkembangan lambat yang sama mungkin merupakan
keadaan yang simptomatik, yaitu sekunder terhadap penyakit otak lainnya seperti
ensefalitis, keracunan karbon monoksida, atau penyakit vaskuler.Athetosis adalah
gerakan involunter yang terjadi secara lambat, mengalir, menggeliat seperti tarian,
di luar kesadaran. Gangguan kinetik ini biasanya disebabkan oleh kerusakan
perinatal dari korpus striatum dimana terjadi kerusakan sel-sel neuron dan
pembentukan jaringan parut. Gerakan involunter menjadi lambat dengan
kecendrungan ekstensi berlebihan dari ekstremitas bagian distal. Kadang-kadang
terjadi peningkatan spasmodik otot agonis dan antagonis secara irreguler,
sehingga gerakan dan sikap tubuh menjadi aneh. Hemibalismus adalah gerakan
involunter yang jarang dijumpai, berupa gerakan memukul-mukul tidak
diinginkan dari anggota badan. Disebabkan oleh penurunan aktivitas dari inti
subthalamikus dari ganglia basalis. Kadang-kadang juga bisa timbul akibat
kelainan metabolik tertentu. Hemibalismus sangat jarang dijumpai, 500 kali lebih
jarang dari penyakit Parkinson. Hemibalismus dapat menyebabkan kecacatan
yang menetap. Gejala dapat menurun saat tidur.

Pemeriksaan Gerakan Involunter secara inspeksi:


1. Tremor : merupakan serentetan gerakan involunter seperti getaran yang
ritmis, berulang-ulang, yang timbul karena berkontraksinya otot-otot yang
berlawanan secara bergantian.

8
2. Khorea : gerakan involunter yang otot berlangsung cepat, sekonyong-
konyong, aritmik dan kasar yang dapat melibatkan satu ekstremitas,
separuh badan atau seluruh badan. Khas terlihat pada anggota gerak atas
(lengan dan tangan) terutama bagian distal.
3. Atetosis :gerakan involunter yangditandai oleh gerakan yang lamban,
seperti gerak ular, dan melibatkan otot bagian distal, cenderung menyebar
ke proksimal.
4. Distonia :gerakan involunter yang dimulai dengan gerak otot berbentuk
atetose pada lengan atau anggota gerak lain, kemudian gerakan otot bentuk
atetose ini menjadi kompleks, yaitu menunjukkan torsi yang keras dan
berbelit.
5. Balismus :gerakan involunter yang otot yang datang sekonyong-konyong,
kasar dan cepat, dan terutama mengenai otot-otot skelet yang letaknya
proksimal.
6. Spasme :gerakan involunter yangterjadi karena kontraksi otot-otot yang
lama yang biasanya disarafi oleh satu saraf sehingga otot tampak kram.
7. Tik (Tic) :gerakan involunter yang berulang-ulang, aritmis, dan
melibatkan sekelompok kecil otot dalam hubungan yang sinergistik.
8. Fasikulasi :gerakan involunter berupa gerakan halus, cepat, dan berkedut
dari satu berkas (fasikulus) otot atau satu unit motorik otot.
9. Miokloni :gerakan involunter yangtimbul karena kontraksi otot secara
cepat (tersentak-sentak), sekonyong-konuong, sebentar, aritmik, asinergik
dan tidak terkendali.

9
Referensi

1. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. Thieme Stuttgart. New York.2004.


2. Wilkinson L, Lennox G. Essential Neurology. Blackwell publishing Ltd.
Massachusetts. 2005
3. Simon RP, Greenberg DA.Aminoff MJ. Clinical Neurology. 7th Ed. A
lange Medical Book. New York. 2009
4. Ropper AH, Samuels MA. Adams & Victor‘s Principles of Neurology, 9th
Ed. McGraw-Hill‘s. 2009
5. Biller J, Gruener G, Braziz P. DeMyer‘s The Neurologic Examination, a
programmed text. 6th ed. 2005.
6. Lumbantobing, SM. NeurologiKlinikPemeriksaanfisikdan mental. FKUI.
2001

10
Checklist: Pemeriksaan Fisik Gangguan Koordinasi Gerak dan Gerakan
Involunter

Skor
No Aspek yang dinilai
0 1 2 3
Memberikan salam pembuka dan
I
memperkenalkan diri
Memepersiapkan perasaan pasien untuk
II menghindari rasa takut atau tidak nyaman
sebelum melakukan pemeriksaan fisik
1. Memberi penjelasan dengan benar, jelas,
lengkap dan jujur tentang cara dan tujuan
pemeriksaan
2. Memberitahukan kemungkianan adanya rasa
sakit atau tidak nyaman yang timbul selama
pemeriksaan dilakukan
III Pemeriksaan adanya gerakan involunter
1. Mengamati adanya gerakan involunter (Tremor,
Chorea, Athetosis dan Hemibalismus, dll)

2. Melaporkan adanya gerakan involunter


IV Melakukan pemeriksaan koordinasi gerak
1. Cara berjalan (gait)
2. Shallow knee bend
3. Test Rhomberg
4. Test Rhomberg dipertajam
5. Test Telunjuk Hidung
6. Test Tumit Lutut
7. Test Disdiadokhokinesis
V Melaporkan hasil pemeriksaan

Keterangan Skor:
1. = tidak dilakukan sama sekali
2. = dilakukan dengan banyak perbaikan
3. = dilakukan dengan sedikit perbaikan
4. = dilakukan dengan sempurna

Cakupan penguasaan keterampilan: Skor Total /36 x 100% = …………… %

Banda Aceh,....................2019

Observer

11
II. SPLINT DAN BANDAGE
PADACEDERA TULANG DAN OTOT
Dr.dr. Safrizal Rahman, M.Kes,SpOT
Bagian Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

Tujuan Belajar :
Mahasiswa diharapkan mengetahui dan terampil melakukan tindakan pemasangan
bidai dan pembebatan

TUJUAN UMUM
BAGAIMANA TULANG BISA FRAKTUR?

Apa Penyebab Fraktur?


Kerusakan tulang dapat disebabkan oleh hantaman langsung, seperti
pukulan atau tendangan, atau akibat kekerasan yang tidak langsung. Patah tulang
terjadi secara tidak langsung seperti pada seseorang yang jatuh bertumpu pada
tangannya untuk menahan laju jatuhnya. Tekanan saat jatuh menjalar ke bagian
lengan (yang tidak terluka) dan mengakibatkan kerusakan collarbone. Tulang juga
dapat mengalami kerusakan akibat gerakan berputar – misalnya saat orang
terpelintir di ankle.

12
Fraktur Terbuka atau Tertutup?
Ada dua bentuk dasar dari fraktur yaitu terbuka dan tertutup. Fraktur terbuka
(yang juga disebut compound fracture) terjadi bila ujung tulang yang rusak keluar
melaluii kulit. Pada fraktur terbuka, resiko terjadinya infeksi lebih tinggi, akibat
kemungkinan terjadinya kerusakan pembuluh darah dan saraf. Fraktur tertutup
(atau juga disebut simple fracture) merupakan jenis fraktur dimana kulit tidak
mengalami kerusakan pada daerah fraktur.

Penyembuhan Tulang
Tulang yang berbeda mempunyai kemampuan penyembuhan yang berbeda,
dimana collarbone yang mengalami fraktur dapat sembuh sempurna dalam enam
minggu, dan thighbone (femur) dapat sembuh setelah enam bulan. Laju regenerasi
tulang pada anak jauh lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga kerusakan
tulang pada anak cenderung sembuh lebih cepat.
Beberapa tahap penyembuhan tulang:
Enam sampai delapan jam setelah cedera – pada masa inflamasi ini, darah
berkumpul pada ujung tulang yang rusak dan membentuk clot
Setelah dua hari – sel pembentuk tulang bermigrasi ke blood clot dan mulai
membentuk tulang baru, yang disebut callus, untuk menjembatani celah antara
tulang.
Beberapa minggu sampai beberapa bulan – bentuk asli tulang terbentuk
kembali.

13
Tipe-tipe fraktur
Greenstick fracture
Comminuted fracture
Fracture-dislocation
Avulsion fracture
Pathological fractures

Apa Yang Menghambat Penyembuhan?


Meskipun infeksi menyebabkan suplai darah ke tempat fraktur, namun darah ini
membawa jenis sel yang tidak baik, sehingga menghambat penyembuhan.
Demikian juga, bila tulang tidak dalam alignment yang baik satu dengan lainnya,
maka tulang tidak akan sembuh dengan baik. Itulah sebabnya mengapa splinting,
atau paling kurang immobilisasi terhadap fraktur sangat penting untuk
penyembuhan yang cepat dan baik.

PERAWATAN PATAH TULANG

14
Patah tulang cenderung disebabkan oleh hantaman dengan kekuatan yang besar.
Korban patah tulang dapat menceritakan bahwa mereka mendengar atau
merasakan adanya patahan saat terjadi kecelakaan dan mereka dapat pula
merasakan adanya gesekan antara tulang saat mereka berusaha mengerakkannya.
Petunjuk seperti ini perlu untuk orang yang memberikan pertolongan. Camkan
bahwa korban dapat bisa saja sedang dalam kesakitan yang luar biasa, awasi juga
tanda-tanda syok – yang dapat muncul, seperti jika fraktur mengakibatkan
perdarahan dalam yang berat. Jangan pernah memindahkan korban kecuali anda
harus melakukannya untuk mengevakuasinya dari tempat yang berbahaya.
Ketika menangani suatu kasus fraktur, selalu monitor ABC sebelum
berurusan dengan fraktur dan selalu lihat pasien secara keseluruhan—mungkin
ada cidera lain. Singkatnya berbagai metode digunakan untuk menangani fraktur
terfokus untuk mencegah fraktur menjadi lebih buruk, dan ini dicapai dengan
immobilisasi. Intinya adalah immobilisasi fraktur dan sendi diatas dan dibawah
fraktur. Pergerakan sebuah fraktur menyebabkan nyeri bertambah, merusak
struktur dan jaringan sekitarnya dan mungkin komplikasi berat seperti syok
karena meningkatnya perdarahan dari patahan tulang di kulit, nervus atau
pembuluh darah. Selanjutnya tulang yang patah harus dibersihkan dan dijaga
untuk mempercepat penyembuhan.

Haruskah menggunakan penyangga (splint)?


Menggunakan Splint (penyangga yang kaku) untuk sebuah fraktur jarang
digunakan saat pertolongan pertama saat ini, kecuali pada daerah yang sangat
mobil. Atau dimana penolong pertama harus membawa korban untuk pertolongan.
Contoh benda yang dapat digunakan sebagai penyangga antara lain payung, dan
gagang sapu. Kecuali pada simple fracture, fraktur lengan yang tidak bergeser,
memindahkan korban fraktur dengan penyangga tidak dianjurkan, kecuali
penolong telah terlatih baik dan punya alat transportasi yang layak.

Bandaging (pembebatan) merupakan suatu tindakan menutup luka dengan kasa


sampai tindakan immobilisasi seluruh atau sebagian anggota gerak.
Splinting (splint)/pembidaian merupakan suatu tindakan untuk mempertahankan
sebagian anggota gerak atau tubuh tetap berada dalam posisi tertentu dengan
bantuan alat tertentu.

Strategi immobilisasi
Ada dua tipe utama pertolongan segera pada fraktur
1. Immobilisasi tangan dasar. Bayangkan patahan yang terjadi pada tulang
normal yang kaku. Gunakan tangan dan lengan anda untuk merangkul untuk
menghentikan semua gerakan. Metode ini paling cocok ketika bantuan akan
cepat datang atau tidak ada alat yang tersedia.
2. Gunakan bantalan dan kotak. Pertolongan ini digunakan terutama pada fraktur
kaki atau fraktur tangan dimana melipat siku guna menempatkannya kedalam
sling dapat mengakibatkan kerusakan yang lebih berat. Pada metode ini
pertahankan posisi anggota gerak. Buat gulungan dari benda berbahan lembut
seperti selimut, jas, handuk dan letakkan perlahan lahan di bawah ekstremitas
yang fraktur. Semua celah yang berada dibawah anggota gerak seperti
dibawah lipatan lutut harus diisi dengan bantalan secukupnya untuk

15
memberikan sokongan dibawah daerah tersebut tanpa menggerakkan anggota
gerak sedikitpun. Kotak atau benda-benda yang berat lainnya diletakkan di
kiri dan kanan anggota gerak yang patah untuk menahan bantalan tadi.
Traksi merupakan metode lain yang baik untuk mempertahankan reduksi
ekstremitas yang mengalami fraktur.

Pertolongan pertama pada fraktur Terbuka


Yang paling penting adalah mencegah hilangnya darah dan infeksi pada tempat
luka juga immobilisasi daerah fraktur
Segera hubungi pelayanan gawat darurat. Secara perlahan letakkan
pembalut steril pada tempat luka dan berikan penekanan dengan tangan
pada kedua sisi tonjolan tulang untuk mengontrol perdarahan. Jangan
pernah menekan tonjolan tulang itu sendiri. Buat bantalan sepanjang
patahan tulang jika tulang melekat ke kulit. Amankan pembalut dan
bantalan dengan baik menggunakan pengikat, tetapi jangan dilakukan bila
menyebabkan pergerakan dari anggota gerak, dan jangan pernah
mengikatnya terlalu ketat. Awas keadaan korban khususnya ABC karena
ada kemungkinan syok.
Dalam keadaan yang lebih gawat—jika berada di lokasi yang sangat jauh,
dan pertolongan darurat sulit didapatkan atau pada keadaan anda harus
membawa sendiri korban ke dokter atau rumah sakit – anda dapat
menyangga fraktur. Tambahkan bantalan tambahan disekitar anggota
gerak, fiksasi dengan membalut. Batasi pergerakan.

Pergeseran tulang tengkorak dan fraktur fasial


Dugaan cedera kepala selalu keadaan yang serius. Medulla spinalis, otak atau
organ yang berada di kepala seperti mata, telinga dapat rusak—bukan hanya
akibat cidera tetapi juga akibat potensi perdarahan pada otak yang dapat
disebabkan oleh cidera tersebut. Penting untuk memonitor pasien dengan dugaan
fraktur tengkorak dimana dapat terjadi penurunan kesadaran dan/atau cidera leher
atau tulang belakang. Hal utama yang perlu dicamkan adalah setiap fraktur fasial
adalah adanya pembengkakan jaringan, darah dan air liur dapat mengganggu
pernafasan akibat obstruksi jalan nafas.

16
Fraktur Tengkorak
Fraktur tengkorak dicemaskan karena suatu hantaman yang cukup kuat
untuk mengakibatkan fraktur tengkorak dapat juga mengakibatkan kerusakan pada
jaringan otak dibawahnya. Fraktur itu sendiri tidak mengkibatkan kerusakan tetapi
tonjolan patah tulang yang menjorok kedalam (fraktur depresi) dapat menekan
otak. Fraktur tengkorak juga dapat menyebabkan perdarahan dalam otak.
Waspadai adanya dugaan cedera leher atau tulang belakang—jika ada
kemungkinan cedera tersebut perlakukan dengan sangat hati-hati dan sama sekalii
tidak bergerak.

Fraktur pada wajah


Fraktur wajah biasanya tidak fatal, namun dikhawatirkan karena dapat
mengakibatkan sumbatan jalan nafas dan mengakibatkan masalah pernafasan.
Dugaan fraktur wajah jika:
Wajah asimetris, ada deformitas apapun
Ada memar atau mata yang hitam
Ada darah dari gigi atau hidung
Pasien tidak bisa mengatupkan mulutnya
Ada kesulitan bernafas, atau korban mengorok jika tidak sadar

Fraktur Rahang
Rahang adalah tulang yang sering patah, setiap pukulan ke dagu dapat
mematahkan satu atau kedua sisi pada rahang. Jika kedua sisi fraktur maka lidah
menjadi tidak stabil dan akan menghalangi jalan nafas. Dicurigai fraktur rahang
jika:
1. Ada nyeri, mual atau pembengkakan di daerah
rahang
2. Pasien tidak bisa menggigit
3. Korban susah menelan, bernafas atau bicara

17
Fraktur Tulang Hidung Dan Tulang Pipi
Tidak berbahaya kecuali melibatkan rongga mata. Suatu pukulan ke mata
menyebabkan ―blow out fracture” menyebabkan pasien tidak bisa melihat
kebawah.
Jika dicurigai ada fraktur pada tulang pipi (atau rongga mata) jangan
biarkan pasien menghembus lewat hidung karena dapat menyebabkan udara
terperangkap melalui patahan tulang ke kulit atau otak.
Hal yang harus dilakukan jika dicurigai adanya fraktur tulang pipi atau hidung:
Secara hati-hati periksa untuk melihat apakah jalan nafas korban aman dan
tidak ada sumbatan atau jaringan yang bengkak
Berikan kompres dingin pada daerah yang cedera untuk mengurangi nyerii
dan pembengkakan.
Bawa pasien kerumah sakit
Jika pasien mimisan coba untuk hentikan perdarahan
Jika cairan kuning jernih atau kuning tangani sebagai fraktur tengkorak.

GIGI YANG PATAH


Cedera pada gigi khususnya sering pada anak dan semua pencabutan gigi
susu harus dilakukan oleh dokter gigi untuk mencegah terjadinya inhalasi. Gigi
orang dewasa dapat rusak permanen karena fraktur atau karena tercabut dari
tempatnya. Jika tidak dikembalikan ketempatnya dalam 24 jam gigi akan mati dan
tempatnya akan menutup.

Pasien harus menahan gigi yang hampir copot tetappada tempatnya dengan
menutup mulut atau menekannya dengan sebuah bantalan.

MENANGANI CEDERA SPINAL


Aturan utama cedera spinal adalah korban tidak boleh dipindahkan kecuali
sangat penting untuk melakukannya. Pasien dengan cedera kepala sering
mengalami cedera spinal. Cedera spinal sering rusak pada bagian yang mobil
ditulangbelakang, seperti leher dan tulang belakang. Istilah cedera spinal mengacu
pada kerusakan tulang vertebra, medulla spinalis, nervus diantara vertebra atau
semua otot dan ligament yang mengikat vertebra. Tipe cedera yang paling parah
adalah pada medulla spinalis berupa rupture parsial atau komplit yang dapat
menyebabkan paralisis permanen. Jika bagian dari tulang atau jaringan yang

18
bengkak menekan suatu saraf pasien akan mengalami paralisis sementara dan
akan baik setelah cedera diatasi.

Tulang Belakang
Ada 24 vertebrae yang bergerak ditulang belakang. Diantara tiap vertebrae
ada diskus yang akan meredam setiap tekanan pada vertebra. Ligament dan otot
juga melindungi dan menguatkan tulang belakang.

Servikal Dapat menyebabkan total paralisis dan masalah pernafasan utama


Thorak Menyebabkan paraplegi – dan paralisis tungkai bawah
Lumbal Berbagai tingkat paralisis di tungkai bawah
Sacral Mengganggu fungsi ereksi dan fungsi kandung kemih.

19
Pertolongan pertama cedera
spinal pada pasien tak sadar

1. biarkan pasien pada posisi


saat ditemukan. Jaga kepala
pada posisi seperti gambar.
Jika jalan nafas bersih, tak
ada darah dimulut atau
muntah biarkan korban pada
posisinya.jika lidah jatuh ke
belakang, tekan pada sudut
rahang. Jangan pernah
mendongakkan kepala
2. jika pasien muntah atau ada
darah dimulut, miringkan
pasien dengan kepala dan
leher tetap lurus

3. jika nafas atau jantung


berhenti, baringkan pasien
dan mulailah RJP. Gunakan
teknik “log and roll” jadi
tidak ada perubahan pada
posisi kepala dan leher

4. selama RJP seseorang harus


menahan kepala

Tanda dan gejala cedera spinal


Dicurigai cedera spinal jika:
mengalami jatuh yang hebat atau mengalami benturan yang kuat
tidak sadar setelah cedera kepala
jatuh dari ketinggian dan mengalami cedera pada wajah atau kepala
mengeluhkan sakit leher
menahan lehernya pada posisi yang janggal
ada paralisis (kehilangan gerakan dan sensasi), kehilangan sensasi atau geli
atau kebas pada lengan dan atau kaki
pasien bingung dan tidak kooperatif
kehilangan kontrol BAB dan BAK
kesulitan bernafas dengan hanya sedikit gerakan pada abdomen
terbaring datar pada punggungnya dengan lengan diletakkan dibawah kepala
atau lengan dan tangan terlipat diatas dada.

20
MENANGANI CEDERA LEHER
Kebanyakan cedera spinal dialami laki-laki usia 18-30 tahun. Hal yang
paling penting adalah tidak boleh dipindahkan, kecuali dalam kedaaan yang
mengancam. Dan jika dipindahkan harus oleh sedikitnya tiga orang. Dan tulang
belakang harus selalu lurus. Mengancam jiwa karena saraf yang mensuplai otot
pernafasan melewati daerah ini.
Jika rusak, maka pernafasan terhenti. Idealnya dalam melakukan resusitasi
harus ada orang yang menjaga kepala lurus dan tersangka sementara resusitasi
dilakukan. Jika hanya seorang diri, mobilisasi dengan meletakkan gulungan kain
atau handuk disamping leher.

Pertolongan pertama pada kecurigaan cedera leher


jangan mencoba meluruskan atau menarik leher
biarkan dalam posisi saat ditemukan dan jangan digerakkan
letakkan handuk atau gulungan kain dikedua sisi leher agar tidak bergerak
perhatikan pernafasan dan pulsasi, dan jika salah satunya berhenti siapkan
untuk memulai prosedur resusitasi
dan jika muntah guling pasien ke salah satu sisi

21
MENANGANI FRAKTUR ANGGOTA GERAK ATAS
Tujuan utamanya adalah immobilisasi lengan yang fraktur dan
menyiapkan transport ke rumah sakit. Ketrampilan dalam memasang sling penting
untuk menangani cedera seperti ini.
Saat tiba pada tempat kecelakaan perhatikan tanda-tanda berikut yang
menunjukan adanya fraktur:
Nyeri pada tempat cedera, yang memberat bila bergerak
Bengkak dan ada deformitas
Korban meminta untuk disokong lengan yang cedera dengan
memenganginya dengan cara tertentu

Fraktur collar bone (Clavicula)


Collar bone yang juga dikenal dengan clavikula merupakan salah satu
tulang yang paling sering patah. Terkadang juga dari tulang yang patah dapat
merusak jaringan disekitarnya. Sebagian besar fraktur collarbone dapat menyatu
dengan memfiksasi lengan pada sling

◄Immobilisasi pada
pasien cedera clavicula

Fraktur lengan atas


Fraktur humerus paling sering terjadi pada bagian atas dekat bahu yang
merupakan bagian terlemah. Fraktur ini merupakan bentuk fraktur yang serius
karena seringkali terlewatkan oleh pemeriksa karena fraktur ini stabil.

◄Immobilisasi pada fraktur lengan atas

22
Cedera Elbow
Elbow sangat sensitive terhadap cedera, bahkan tanpa fraktur, dan dapat
terasa kaku dan nyeri beberapa minggu setelah cedera. Penanganannya tergantung
apakah bisa ditekuk atau tidak.

Fraktur Lengan Bawah


Pertolongan pertama pada cedera lengan bawah, pergelangan tangan atau tangan
Minta korban untuk duduk dan bantu bila perlu.
Letakkan lengan hati-hati melintang dibadannya bersilangan dengan badan.
Jaga agar tidak bergerak dan disangga.
Gantungkan bandana segitiga diantara dada dan tangan, kelilingi lengan
bawah dengan bantalan seperti suatu gulungan besar amplop, bantal ringan
atau handuk kecil.
Ikat armsling dan siapkan transport kerumah sakit.

Fraktur radius dan ulna bisa ditemukan pembengkakan yang sangat tegang. Pada
anak-anak tulang lebih sering bengkok dari pada patah, yang disebut greenstick
fracture.

Fraktur Colles adalah fraktur radius dekat pergelangan tangan merupakan fraktur
yang sering terjadi pada wanita tua.

23
Tanda dan Gejala cedera tangan:
Tangan yang cedera memiliki tampilan yang disebut ―cascade‖, dimana
korban meletakkan telapak tangan ke atas diatas permukaan yang rata. Jika
salah satu jari terbaring lurus atau sangat bengkok mungkin ada cedera serius
dari tendon, tulang atau saraf
Minta korban untuk mengepalkan tangan. Lihat apakah seluruh jari dapat
bekerja baik. Jika tidak, mungkin ada kerusakan.
Perasaan kebas dibagian tangan dibawah tempat luka menunjukkan adanya
kerusakan saraf, demikian juga keringat yang keluar hanya sedikit

Fraktur Jari
Letakkan bantalan disekitar tangan, angkat dengan sling yang tinggi, dan bawa ke
rumah sakit. Hindari merekatkan jari-jari untuk menyangganya karena plester
dilepaskan akan mengakibatkan nyeri dan pergerakan. Kecuali bantuan baru akan
ada lebih dari 12 jam

MENANGANI FRAKTUR IGA


Cedera iga multiple dapat menyebabkan cedera paru (pneumothorak atau
selanjutnya menjadi pneumonia). Jika bagian dari iga ada yang patah, terlepas
sepenuhnya dapat terjadi cedera yang disebut flail chest yang menyebabkan
gangguan pernafasan berat dan mengancam jiwa. Fraktur iga bawah dapat
merusak organ dalam seperti limfa dan hati.

Gejala dan tanda fraktur iga


Karena fraktur iga dapat menyebabkan kolaps paru, perdarahan interna atau
kesulitan bernafas, penting untuk mengetahui gejala yang menunjukkan
kegawatan.

Gejala fraktur iga:


Nyeri tajam pada daerah fraktur
Nyeri saat bernafas, khususnya pada saat menarik nafas dalam

24
Nafas dangkal atau tidak bernafas
Bengkak atau memar pada tempat fraktur
Sensasi bunyi gemertuk pada dinding dada
Suara hisapan angin melalui luka terbuka

Tanda perdarahan dalam:


Darah dimulut yang dibatukkan, yang berwarna merah terang

Tanda Syok (karena perdarahan dalam):


Kulit pucat atau bibir kebiruan
Pusing
Mual, muntah
Nafas cepat dangkal, haus akan udara
Penurunan kesadaran

Pernafasan Paradoks
Adalah keadaan yang muncul pada pasien dengan flail chest. Dimana
bagian yang rusak akan tampak tertarik kedalam pada saat inspirasi dan menonjol
keluar saat ekspirasi.

Luka dada terbuka


Jika ada luka yang dalam pada dinding dada letakkan pembalut kedap udara
seperti plastik, kemudian sebuah bantalan dan bandana, kemudian pasangkan sling
sebagaimana pada fraktur iga.
MENANGANI CEDERA PELVIS DAN TUNGKAI ATAS
Pinggul dan paha mempunyai saraf dan suplai darah yang sangat besar.
Terlebih lagi pelvis mengandung banyak organ vital. Kerusakan pada salah satu
region ini merupakan suatu emergensi. Jika fraktur panggul atau paha dapat
berdarah sangat banyak, fraktur pelvis multiple sering fatal.

Fraktur Pelvis
Cedera pelvis harus segera ditangani. Pembuluh darah utama mungkin
rusak yang mengakibatkan perdarahan yang mengancam jiwa. Kandung kemih
dan uretra mungkin rusak karena tulang yang fraktur, juga organ reproduktif.
Fraktur pelvis terjadi karena benturan yang sangat keras sehingga mungkin ada
cedera lain, seperti cedera spinal, semua ini dapat mengakibatkan terjadinya syok.

25
Gejala dan tanda fraktur pelvis:
Nyeri dan tegang dipelvis, selangkangan atau pinggul, terutama saat bergerak
Tidak mampu berjalan atau berdiri atau mengangkat kaki
Deformitas pelvis yang jelas
Perdarahan pada penis dan uretra
Tanda-tanda syok dan perdarahan interna

Fraktur Femur
Bersifat emergensi karena dapat mengakibatkan perdarahan jika pecahan
tulang merusak pembuluh darah yang berdekatan dan dapat terjadi syok. Lokasi
fraktur yang sering adalah pada batang dan leher femur.
Gejala dan Tanda:
Nyeri dan tegang pada daerah cedera atau lutut
Tidak mampu jalan atau bertumpu pada kaki yang sakit
Deformitas pada kaki yang cedera membuatnya kelihatan lebih pendek
Tanda-tanda syok

MENANGANI CEDERA LUTUT DAN TUNGKAI BAWAH


Lutut adalah sendi paling besar di tubuh. Ia dapat melakukan gerakan yang
komplek dan stabil saat menahan berat badan. Lutut memiliki banyak ligament
untuk menjaga tulang pada tempatnya termasuk patella pada bagian depan.
Patahan tulang robekan atau benturan pada sendi lutut dapat menyebabkan nyeri
luar biasa dan pembengkakan.

26
CEDERA LUTUT
Ada 2 ligamen yang penting pada sendi lutut. Ia melewati patella secara
diagonal dari tulang paha ke tulang kering. Ligamen ini paling sering rusak pada
kecelakaan pada saat lutut terpuntir. Jaringan lain yang bisa cedera pada lutut
adalah cartilage dan tulang patella

Gejala dan tanda cedera tungkai bawah


Nyeri dalam lutut atau terlokalisir sering bertambah berat saat berusaha
menggerakkan kaki atau bertumpu padanya
Bengkak dan memar di sekitar lutut atau ada cidera
Nyeri yang hebat saat meluruskan kaki
Pecahan tulang menonjol ke kulit pada lokasi fraktur
Tak mampu bertumpu pada kaki yang cidera.

CEDERA KAKI BAGIAN BAWAH


Fibula adalah tulang yang sering mengalami fraktur tanpa mengakibatkan
penderitanya kehilangan kemampuan untuk bertumpu pada kaki yang terkena.
Oleh karena itu, fraktur fibula tidak akan jelas pada awalnya. Akan tetapi pada
tulang tibia yang patah, penderita tidak bisa bertumpu atau berdiri. Fraktur pada
tibia bisa mengganggu sirkulasi daerah dibawah fraktur. Cedera lainnya berupa
robekan otot tendon dan ligament pada tungkai bawah.

27
CEDERA PERGELANGAN KAKI
Cedera pergelangan kaki yang paling sering adalah sprain, yang ditangani
menggunakan pedoman RICE (kepanjangan dari rest=istirahat, ice=es,
compression=kompresi dan elevation=elevasi). Semua fraktur di pergelangan kaki
harus ditangani sebagai fraktur tungkai bawah.

Fraktur Kaki
Banyak tulang kecil di kaki yang bisa patah karena kecelakaan. Yang
paling sering adalah fraktur kalkaneus setelah jatuh dari ketinggian. Jari-jari kaki
bisa juga cedera tetapi dapat sembuh dengan baik setelah perawatan medis
professional.

Pertolongan pertama pada fraktur di kaki


Dudukkan atau baringkan pasien, angkat dan sangga segera kaki yang cedera
untuk meminimalkan pembengkakan.
Berikan kompres dingin untuk mengurangi pembengkakkan tapi jangan
berikan bila nyeri
Bawa pasien ke rumah sakit

MENANGANI DISLOKASI
Pada sendi yang mengalami dislokasi otot disekitarnya, ligament, tendon
dan pembuluh darah dapat terganggu atau rusak. Tekanan dari dislokasi
kadangkala dapat menyebabkan fraktur di sekitarnya. Semua dislokasi akan terasa
sangat nyeri dan sendi akan segera bengkak, berubah warna dan immobilisasi.
Dislokasi dapat terjadi pada sendi manapun ketika ujung dari suatu tulang tertarik
atau terdorong keluar dari tempatnya dari persendian. Tidaklah selalu bisa
membedakan antara suatu fraktur dan suatu dislokasi dan keduanya bisa muncul
pada saat bersamaan. Jika meragukan tangani dislokasi sebagai fraktur. Sendi
yang paling sering mengalami dislokasi yaitu bahu, pinggul, siku, paha, dan
persendian di jari-jari.

28
Tanda dan gejala dislokasi pada bahu
Mungkin akan teraba kepala humerus yang bulat keluar di depan sendi bahu.
Distorsi sendi bahu, lengan atas tampak datar
Nyeri yang berat dibahu dan sulit digerakkan
Bengkak atau memar di bahu

Dislokasi rahang
Ini adalah kejadian yang sering dan bisa disebabkan oleh kegiatan harian
dari rahang seperti menguap. Pada dislokasi rahang penderita tidak bisa menutup
mulutnya atau bicara dengan jelas. Rahang harus direlokasi di rumah sakit

Dislokasi tangan
Cara terbaik untuk menangani cedera tangan adalah memberikan bantalan
pada tangan dan meninggikannya dengan sebuah sling sebelum membawa pasien
ke rumah sakit. Jangan pernah merubah posisi tangan yang cedera.

Dislokasi sendi siku


Anak-anak sering sekali mengalami regangan ligament. Pada siku, ujung
atas tulang lengan (radius) kadang keluar dari sendi siku, dicurigai dislokasi sendi
siku bila:
Anak segera berhenti menggunakan tangan yang terkena
Anak menangis bila tangan digerakkan atau bahkan ketika disentuh,
khususnya didaerah siku.
Biarkan posisi tangan pada posisi yang dianggap nyaman oleh anak, jangan
mencoba mereposisinya.

MENANGANI SPRAIN (ROBEKAN LIGAMEN) DAN STRAIN (ROBEKAN


OTOT)
Jaringan lunak seperti otot, tendon dan ligament yang berikatan ke atau
menguatkan tulang rangka juga bisa cedera atau rusak karena kecelakaan. cedera
seperti ini biasa disebut sprain dan strain.

Pertolongan pertamanya adalah mngurangi pembengkakan dan nyeri . Otot


berikatan ke tulang melalui tendon, sementara ligament berikatan antara tulang
menjaganya tetap stabil pada sendi dan menjaga sendi bekerja dengan baik.
Bersama-sama, otot, tendon dan tulang disebut sebagai system musculoskeletal.
Ketika tidak ada tulang yang cedera, maka disebut sebagai cedara jaringan
lunak, jika tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan kelemahan jangka
panjang dan malfungsi dari otot atau sendi.

Gejala Dan Tanda Suatu Strain Atau Sprain

Camkan bahwa akan sulit membedakan strain dan sprain atau fraktur.
Gejala dan tanda sprain atau strain berupa :
Nyeri dan ketegangan
Ketidakmampuan untuk menggerakkan daerah yang cedera. Jika terjadi tiba-
tiba sering karena fraktur

29
Bengkak dan memar. Muncul dalam beberapa jam, jika muncul segera
biasanya fraktur

Jenis Cedera Soft Tissue


Sprain : suatu bentuk cedera ligament yang mengakibatkan robekan atau
regangan yang berlebihan pada ligament
Strain : robekan atau regangan berlebihan pada otot, terjadi pada darah
persambungan otot dan tendon
Rupture : robekan sempurna dari otot atau ligament
Bruising : pembengkakan, nyeri dan perdarahan bawah kulit. Jika darah yang
terkumpul cukup banyak disebut sebagai hematoma.

Bagaimana menangani sprain dan strain


Setelah dilakukan protokol RICE, cedera soft tissue yang ringan harus
dipantau dengan baik. Latihan yang terkontrol dilakukan selama tidak nyeri.
Banyak sprain atau strain masih kaku, bengkak dan nyeri bahkan setelah 48 jam
terapi RICE. Hal ini normal, dan penting untuk segera menggunakan otot atau
sendi. Jika tidak ditangani dengan baik dalam minggu-minggu pertama, dapat
menyebabkan masalah yang kambuh dalam jangka panjang.
Pertolongan pertama pada strain dan sprain
Ikuti prosedur RICE( Rest, Ice, Compress, Elevate)
Rest : Istirahatkan selama 24-48 jam
Ice : mengurangi nyeri dan bengkak menggunakan es dalam waku pendek
selama 10-15 menit dalam 24-48 jam pertama . Jangan langsung meletakkan
es ke kulit, lapisi dengan kain.
Compress : berikan tekanan pada bagian yang cedera akan membuat pasien
lebih nyaman. Elastic verban yang dibalut melingkar memberi hasil terbaik
Elevate : tinggikan posisi kaki yang cedera diatas jantung untuk mengurangi
bengkak.

X- ray mungkin diperlukan untuk menentukan apakah cedera berupa


sprain ataukah fraktur. Pasien mungkin memerlukan fisioterapi atau dirujuk ke
rumah sakit untuk pengobatan.

30
TEKNIK PEMASANGAN BIDAI

Tujuan pemasangan bidai


1. Melakukan fiksasi terhadap tulang yang mengalami fraktur (imobilisasi)
2. Mengistirahatkan bagian yang cedera
3. Mengurangi rasa nyeri.

Prinsip pemasangan bidai


1. Lakukan pembidaian terlebih dahulu sebelum memindahkan pasien
2. Lakukan pembidaian terhadap bagian tubuh yang DIDUGA mengalami fraktur
(bukan setelah diagnosis fraktur dite- gakkan)
3. Pembidaian dilakukan melalui dua sendi.

Persiapan pemasangan bidai


1. Membangun hubungan emosional dan komunikasi dengan pasien bila kondisi
memungkinkan
2. Memeriksa bagian tubuh yang akan dibidai dengan melakukan inspeksi,
palpasi, dan memeriksa rentang gerak (range of movement)
3. Memilih bidai yang sesuai

Prosedur pemasangan bidai


1. Mempersiapkan peralatan dengan lengkap (bidai yang sudah dibungkus
dengan pembebat, dan pembebat untuk mengikat bidai)
2. Membuka sepatu, jam tangan, perhiasan, atau asesoris lainnya.
3. Mengukur panjang bidai sesuai dengan panjang bagian tubuh yang tidak
mengalami cedera.
4. Memasang bidai melalui dua sendi.
5. Yakinkan bidai tidak terlalu ketat atau terlalu longgar.
6. Mengikat bidai ke bagian tubuh penderita menggunakan bebat pada bagian
proksimal dan distal luka atau tulang yang patah.
7. Setelah bidai terpasang, cobalah mengangkat atau menggerakkan bagian
tubuh yang telah dibidai.
8. Memeriksa sirkulasi pada bagian distal anggota tubuh yang dipasang bidai
(palsasi, kulit dingin, sensasi raba, kesemutan)

Cara membuat bidai

31
Bidai lengan

Bidai tungkai bawah

TEKNIK PEMBEBATAN (BANDAGES)


Tujuan pembebatan
1. Untuk menahan atau menyangga bagian tubuh yang mengalami cedera supaya
gerakannya terbatas.
2. Untuk mencegah terjadinya oedem (udema) pada luka.
3. Untuk mencegah kontaminasi pada luka yang dapat menyebabkan infeksi.
4. Untuk mencegah pergesekan antara kulit yang mengalami laserasi.

Tipe-tipe bebat
1. Triangle cloth (mitela)
Bebat berbentuk segitiga terbuat dari bahan katun
Biasanya digunakan untuk bagian tubuh yang bulat atau melingkar atau
untuk menyangga bagian tubuh yang mengalami cedera (luka di kepala,
bahu, dada, tangan, paha, kaki, atau menyangga lengan).

32
2. Tie Shape
Merupakan mitela yang dilipat berkali-kali.
Biasanya digunakan untuk membebat mata, bagian kepala dan wajah,
mandibula, aksila, lengan, siku, tungkai, lutut, atau kaki.

3. Stretchable Roller Bandage


Bebat jenis ini biasanya terbuat dai katun, kassa, flannel, atau material
elastis.
Ukuran lebar bebat jenis ini berbeda-beda tergantung kegunaannya:
2,5 cm : untuk jari
5 cm : untuk leher dan pergelangan tangan
7,5 cm : untuk kepala, lengan, fibula, dan kaki
10 cm : untuk femur dan paha
10-15 cm : untuk dada, abdomen, dan punggung.
Bentuk-bentuk putaran bebat:
Circular turn
Spiral turn
Spiral-reverse turn
Spica turn

4. Plaster
Bebat jenis ini digunakan untuk menutupi luka, imobilisasi sendi, dan
imobilisasi tulang yang mengalami fraktur.
Bisanya digunakan bersama-sama dengan antiseptik, khususnya untuk
menutupi luka.

5. Bebat spesifik
Sneverband: bebat berbentuk pita yang terbuat dari kasa steril. Digunakan
untuk menutup luka berukuran besar.
Sofratulle: Kasa steril dengann krim antibiotic untuk menutup luka kecil.

33
Prinsip Pemasangan Bebat
1. Memilih bebat yang sesuai (jenis, panjang, lebar)
2. Gunakan bebat yang masih baru bila memungkinkan.
3. Yakinkan bagian kulit pasien yang akan dibebat dalam keadaan kering dan
bersih.
4. Tutup terlebih dahulu bagian luka sebelum dibebat.
5. Gunakan seorang asisten jika bagian tubuh yang akan dibebat harus disangga
selama proses pembebatan dilakukan.
6. Bebatlah bagian tubuh pada posisi yang akan dipertahankan.
7. Jika memungkinkan, pembebatan dilakukan ke arah aliran vena untuk
mencegah bendungan aliran darah.
8. Saat melakukan pembebatan pertahankan tegangan bebat.
9. Yakinkan bebat terpasang rapi, tidak berkerut.
10. Bebat terpasang dengan baik hinggga di atas dan dibawah bagian luka, jangan
lupa untuk membiarkan bagian distal tetap terlihat (seperti jari tangan atau
kaki) supaya kita tetap dapat mengobservasi kondisi neurovaskuler.
11. Potong bebat yang tidak terpakai, jangan membuat lilitan yang tidak
diperlukan.
12. Bagian ujung bebat harus terpasang dengan baik tidak mudah lepas dan tidak
melukai pasien.

Prosedur pemasangan bebat


A. Secara Umum
1. Perhatikan terlebih dahulu beberapa hal berikut ini:
Bagian tubuh yang mengalami cedera.
Apakah terdapat luka terbuka atau tertutup.
Perkirakan kedalaman dan diameter luka.
Apakah luka tersebut dapat membatasi gerakan sendi.
2. Pilih bebat yang sesuai, kadang diperlukan kombinasi beberapa jenis bebat.
3. Jika terdapat luka, bersihkan terlebih dahulu luka tersebut dengan desinfektan.
Jika terdapat dislokasi sendi harus terlebih dahulu dilakukan reposisi sebelum
dibebat.
4. Tentukan posisi bebat berdasarkan:
Pembatasan gerakan sendi untuk tujuan imobilisasi
Jangan membatasi gerakan sendi lain yang normal
Sedapat mungkin pasien tetap merasa nyaman dengan bebat tersebut.
Jangan menimbulkan bendungan pada pembuluh darah,
Pastikan bebat terpasang dengan baik tidak terlalu ketat maupun terlalu
longgar.

B. Berdasarkan Jenis Pembebatan

1. Pembebatan dengan Mitella


Salah satu sisi mitella dilipat selebar 3-4 cm berkali-kali (2-3 kali)
Bagian tengah sisi yang telah dilipat dijadikan sebagai bagian luar bebat,
kemudian ikat kedua buah ujungnya.
Ujung ketiga yang belum terikat diikatkan dengan ujung lainnya atau
dibiarkan lepas tergantung kegunaannya.

34
2. Pembebatan dengan Tie shape (bebat berbentuk dasi)
Salah satu sisi mitela dilipat beberapa kali sehingga membentuk dasi.
Bebatkan pada luka, dan ikat kedua ujungnya.
Bebat tidak terlalu ketat atau longgar sehingga mudah lepas.

3. Pembatan dengan Band


Pilih ukuran bebat yang sesuai dengan diameter luka.
Lilitkan bebat dari proksimal ke distal (b), kemudian ulangi dari distal ke
proksimal
Ujung bebat diikat atau direkatkan.

4. Pembebatan dengan Plaster


Luka terbuka
Bersihkan dengan antiseptik
Tutup luka dengan kassa steril
Lakukan pembebatan.
Untuk Fiksasi

5.Pembebatan dengan kassa steril


Kassa steril siap pakai biasanya tersedia di toko farmasi, dapat digunakan
langsung bila diperlukan

PROSEDUR LATIHAN PEMASANGAN BEBAT


Setiap Mahasiswa memilih pasangan untuk melakukan proses pembebatan
sebagai sebagai berikut:
1. Menggunakan Mitella (Triangle cloth) untuk :
a. Cedera di kepala
b. Cedera di dada
c. Cedera di lengan
d. Cedera di kaki
2. Menggunakan Tie shape bandage untuk:
a. Cedera di mata
b. Cedera pipi
c. Cedera aksila
d. Cedera siku
3. Menggunakan Stretchable roller bandage untuk cedera di kepala (2 teknik)
4. Menggunakan Band shape bandage untuk cedera lengan, tumit, dan tangan.

35
CONTOH PEMAKAIAN BEBAT
I. Mitella (Triangle cloth)

a. Cedera kepala

b. Cedera dada

c. Cedera lengan

d. Cedera kaki

36
II. Tie shape

a. Cedera di mata

b. Cedera diwajah

c. Cedera di aksila

d. Cedera di siku

37
III. Stretchable roller bandage (untuk cedera di kepala)

IV. Band shape bandage

a. Cedera lengan

b. Cedera tangan

38
c. Cedera tumit

39
REFERENSI

1. Keech, Pippa, The Complete First Aid Handbook, London ; Hermes House,
2004
2. Santoso, Herman, Bandaging dan Splinting, Surabaya ; FK UNAIR/RSUD Dr.
Sutomo
3. McRae Ronald, Esser Max, Practical Fracture Treatment, Philadelphia ;
Elsevier Ltd, 2002
4. Koval J Kenneth, Zuckerman D Joseph, Hand Book of Fractures, Maryland,
Williams and Wilking, 2002
5. Schwartz, Ilmu Bedah, Jakarta ; EGC,2000
6. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim, Buku ajar ilmu Bedah, Jakarta ; EGC, 1997
7. Price A Sylvia, Wilson M Lorraine, Patofisiologi, Jakarta ; EGC, 1995
8. 8. First aid for fracture. Available at: http://www.ez-cast.com/ezsplint.html
9. First aid for special wounds. Available at: http://www.ez-
cast.com/ezsplint.html
10. Oswari E. Bedah dan Perawatannya. Balai Penerbit FKUI. 2000.
11.Vital signs examinations and Bandages and splints. Skill Laboratory Manual
faculty of Medicine. Gajah Mada University Press. 2004.

40
Cheklist:Teknik Pemasangan Bidai (Splint)

Skor
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2
1 Membangun hubungan emosional dan komunikasi
2 Memeriksa bagian proksimal dan distal bagian tubuh
yang cedera: sensasi, denyut nadi, suhu dan gerakan
3 Memilih bidai yang sesuai
4 Melakukan prosedur pemasangan bidai dengan
benar
5 Memeriksa hasil pembebatan: terlalu ketat atau
terlalu longgar? Hambatan terhadap gerakan sendi
normal
6 Memeriksa bagian proksimal distal bebat: sensasi,
denyut nadi, edema, suhu, dan gerakan.
7 Memberitahukan kepada pasien tentang perawatan
selanjutnya (follow up)

Keterangan :
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan, tetapi kurang benar
2 : Dilakukan dengan benar

% cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/14 x 100% = %

Banda Aceh,...........2019

Observer

41
Cheklist: Teknik Pembebatan (Bandage)

Skor
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2
1 Membangun hubungan emosional dan komunikasi
2 Memeriksa bagian proksimal dan distal bagian
tubuh yang cedera: sensasi, denyut nadi,edema,suhu
dan gerakan
3 Memilih bebat yang sesuai
4 Melakukan prosedur pemasangan bebat dengan
benar
5 Memeriksa hasil pembebatan: terlalu ketat atau
terlalu longgar, Hambatan terhadap gerakan sendi
normal
6 Memeriksa bagian proksimal distal bebat: sensasi,
denyut nadi, edema, suhu, dan gerakan.
7 Memberitahukan kepada pasien tentang perawatan
selanjutnya (follow up)
Keterangan :
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan, tetapi kurang benar
2 : Dilakukan dengan benar

% cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/14 x 100% = %

Banda Aceh,...........2019

Observer

42
BAB II
SISTEM INDERA

43
PEMERIKSAAN FISIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK
(ENT Physical Examination)
dr. Lily Setiani, Sp.T.H.T.K.L (K), FICS
Bagian/ KSM Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Umum
Setelah mengikuti skill lab ini mahasiswa diharapkan terampil dalam melakukan
pemeriksaan fisik telinga hidung dan tenggorok secara baik dan benar.
Tujuan Khusus
Setelah mengikuti skill lab ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Menjelaskan anatomi, topografi dan fisiologi telinga hidung dan tenggorok.
2. Mengenal dan menjelaskan alat dan bahan yang akan digunakan dalam pemeriksaan
T.H.T.
3. Mempersiapkan penderita dalam rangka persiapan pemeriksaan fisik telinga, hidung
dan tenggorok.
4. Menginterpretasikan hasil pemeriksaan fisik telinga, hidung dan tenggorok.

PENDAHULUAN
Diagnosis penyakit atau kelainan di telinga, hidung dan tenggorok dapat
ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat. Saat
anamnesis perlu ditanyakan identitas umum dari pasien. Kemudian menanyakan keluhan
utama, keluhan tambahan, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat
pengobatan dan riwayat kebiasaan sosial.

Saat melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksa harus menilai keadaan umum


pasien, lalu melakukan pemeriksaan vital sign dan dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik
T.H.T. Pemeriksaan fisik T.H.T adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan untuk
mengetahui adanya kelainan pada organ T.H.T tersebut. Untuk mendapatkan kemampuan
melakukan pemeriksaan fisik T.H.T yang tepat diperlukan latihan mengenal alat dan cara
menggunakan alat pemeriksaan.

Pemeriksaan fisik T.H.T sebaiknya dilakukan dalam ruangan yang tenang,


tersedia sebuah meja tempat meletakkan alat pemeriksaan dan bahan yang diperlukan
atau meja khusus yang disebut ENT instrument unit yang sudah dilengkapi dengan alat
penghisap dan kursi pasien yang dapat dinaikturunkan serta kursi pemeriksa dan meja
tulis seperti yang terlihat di Gambar 1.

Gambar 1. Ruang pemeriksaan T.H.T

44
Alat Pemeriksaan T.H.T
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksa harus menyediakan alat
pemeriksaan T.H.T. Alat pemeriksaan T.H.T yaitu lampu kepala, corong telinga dengan
berbagai ukuran, aplikator (alat pelilit) kapas, pinset telinga, pengait serumen, otoskop,
nierbekken, otopneumoscope, suction, tip suction berbagai ukuran, spuit irigasi telinga,
penala 1 set (128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz), kapas, tampon telinga, lampu
spiritus (Bunsen) & korek api, spekulum hidung dengan berbagai ukuran, cermin
nasofaring (no. 2-4), pinset bayonet, pengait benda asing hidung, spatula lidah, larutan
xylocain spray, adrenalin 1/10.000, pantokain 2%, salep antibiotik atau vaselin, tampon
hidung, cermin laring (no. 5-8), kasa (gambar 2).

Gambar 2. Alat pemeriksaan T.H.T

TELINGA
Anamnesis
Anamnesis yang tepat dan terarah diperlukan untuk menggali lebih dalam dan lebih
luas keluhan utama pasien. Keluhan utama telinga dapat berupa gangguan pendengaran
(tuli), suara berdenging/ berdengung (tinitus), rasa pusing yang berputar (vertigo), rasa
nyeri dalam telinga (otalgia) dan keluar cairan dari telinga (otore).
Bila ada keluhan gangguan pendengaran (tuli), perlu ditanyakan apakah keluhan
tersebut terjadi pada satu telinga atau kedua telinga, timbul tiba-tiba atau bertambah berat
secara bertahap dan sudah berapa lama diderita. Adakah riwayat trauma kepala, telinga
tertampar, trauma akustik, terpajan bising, pemakaian obat ototoksik sebelumnya atau
pernah menderita penyakit infeksi virus seperti parotitis, influenza berat dan meningitis,
apakah gangguan pendengaran ini diderita sejak bayi sehingga terdapat juga gangguan
bicara dan komunikasi. Pada orang dewasa perlu ditanyakan apakah gangguan ini lebih
terasa ditempat yang bising atau ditempat yang lebih tenang. Apakah terjadi mendadak
atau perlahan dan berapa lama. Keluhan menetap atau hilang timbul. Apakah ada riwayat
kerusakan pendengaran pada keluarga. Adakah kelainan prenatal dan pasca natal. Apakah
ada paparan bising.
Keluhan telinga berbunyi (tinitus) dapat berupa suara berdengung atau berdenging,
yang dirasakan di kepala atau di telinga, pada satu sisi atau kedua telinga. Apakah tinitus
ini disertai gangguan pendengaran dan keluhan pusing berputar.
Keluhan pusing berputar (vertigo) merupakan gangguan keseimbangan dan rasa
ingin jatuh yang disertai rasa mual, muntah, tinnitus, gangguan pendengaran, keringat
dingin dan rasa penuh di telinga sampai kehilangan kesadaran? Apakah bersifat terus-
menerus atau episodik, apakah rasa pusing dipengaruhi oleh posisi kepala, bagaimana
frekuensi dan lamanya serangan, adakah riwayat infeksi telinga, perforasi, trauma kepala
dan pembedahan telinga?

45
Bila ada keluhan nyeri di dalam telinga (otalgia) perlu ditanyakan apakah pada
telinga kiri atau kanan dan sudah berapa lama. Nyeri alih ke telinga (reffered pain) dapat
berasal dari rasa nyeri di gigi molar atas, sendi mulut, dasar mulut, tonsil atau tulang
servikal karena telinga dipersarafi oleh saraf sensoris yang berasal dari organ-organ
tersebut dan apakah ada riwayat mengorek telinga. Bila ada cairan keluar dari liang
telinga (otore), perlu ditanyakan apakah cairan keluar dari satu atau kedua liang telinga,
disertai rasa nyeri atau tidak, sudah berapa lama dan apakah pernah keluar sebelumnya,
apakah disertai gatal atau nyeri, cairan berwarna merah atau jernih atau kuning kehijauan,
apakah cairan berbau, apakah didahului oleh suatu infeksi saluran napas bagian atas atau
suatu keadaan dimana telinga menjadi basah.

Pemeriksaan Fisik Telinga


Alat yang diperlukan untuk pemeriksaan telinga adalah lampu kepala, corong telinga,
otoskop, pelilit kapas, pengait serumen, pinset telinga dan penala. Sebelum melakukan
pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan posisi pemeriksa terhadap pasien. Pasien dan
pemeriksa duduk berhadapan, lutut dirapatkan, keduanya menyerong ke arah yang
berlawanan. Posisi badan pasien agak condong ke depan dan kepala sedikit lebih tinggi
dari pemeriksa untuk memudahkan pemeriksamelihat liang telinga (Gambar 3a). Untuk
pasien anak, sebaiknya dipangku oleh orangtuanya dengan posisi menghadap pemeriksa,
kedua tangan dilipat kedepan dan tangan orang tuanya memegang tangan anak, tangan
sebelah lagi memfiksasi kepala anak. Kedua kaki anak diselipkan diantara kedua kaki
orang tuanya dan difiksasi (Gambar 3b).

(a) (b)
Gambar 3a. Posisi duduk pasien yang benar; 3b. Posisi duduk pasien anak

Saat menggunakan lampu kepala, longgarkan terlebih dahulu pengunci ke arah kiri,
lalu diletakkan di kepala. Posisi lampu tepat di glabella. Setelah posisi lampu kepala
sudah benar, putar pengunci ke arah kanan. Letak pengunci lampu kepala di sebelah
kanan kepala. Fokus cahaya lampu diatur dengan memfokuskan cahaya ke telapak tangan
yang diletakkan lebih kurang 30 cm dari sumber cahaya. Besar kecilnya fokus cahaya
diatur dengan memutar penutup lampu kepala sampai fokus cahaya lampu berdiameter 2-
3 cm, bulat dengan pencahayaan yang maksimal (Gambar 4).

46
Gambar 4. Cara memakai lampu kepala

Mula-mula melakukan inspeksi keadaan dan bentuk daun telinga dari bagian depan
(Gambar 5a), daerah belakang telinga (retroaurikular) apakah terdapat tanda peradangan,
sikatrik, fistel dan sekret dari liang telinga (Gambar 5b). Kemudian melakukan palpasi
pada daerah tragus dengan cara menekan tragus dengan jari telunjuk untuk menilai nyeri
tekan tragus (tragus sign) (Gambar 5c). Menggunakan ibu jari dan jari tengah, menarik
daun telinga ke atas dan ke belakang, untuk menilai nyeri tarik (auricular sign) (Gambar
5d), cara ini dilakukan dengan tangan kiri apabila memeriksa telinga kanan, demikian
sebaliknya. Cara ini untuk mempermudah melihat liang telinga dan membran timpani
karena liang telinga menjadi lebih lurus.

(a) (b) (c) (d)


Gambar 5 a. Pemeriksaan liang telinga dan membran timpani
b. Pemeriksaan retroaurikular
c. Pemeriksaan tragus sign
d. Pemeriksaan auricular sign

Pada kasus-kasus tertentu, seperti terlalu banyak rambut liang telinga atau
kartilago daun telinga agak kaku atau kemiringan liang telinga terlalu ekstrim dapat
digunakan bantuan corong telinga yang besarnya disesuaikan dengan diameter liang
telinga. Corong telinga dipegang dengan tangan yang bebas. Pada pasien anak sebaiknya
menggunakan corong telinga karena liang telinganya kecil (Gambar 6).
Liang telinga diperhatikan apakah lapang atau sempit, ada stenosis atau atresia,
apakah tampak sekret, serumen, benda asing, furunkel atau massa. Amati permukaan kulit
liang telinga, apakah hiperemis, ada tanda peradangan atau laserasi.
Bila terdapat serumen dalam liang telinga yang menyumbat maka serumen ini
harus dikeluarkan. Jika konsistensinya cair dapat diusap dengan kapas yang dililitkan
pada aplikator kapas. Bila konsistensinya lunak atau liat dapat dikeluarkan dengan
pengait serumen dan bila berbentuk lempengan dapat dikeluarkan dengan pinset.

47
Gambar 6. Menggunakan Gambar 7. Cara
corong telinga menggunakan
otoskop
Pakailah otoskop untuk melihat lebih jelas bagian membran timpani. Cara memegang
otoskop seperti memegang pensil. Otoskop dipegang dengan tangan kanan untuk
memeriksa telinga kanan pasien dan dengan tangan kiri bila memeriksa telinga kiri.
Supaya posisi otoskop stabil maka jari kelingking tangan yang memegang otoskop
ditekan pada pipi pasien (Gambar 7). Otoskop dipegang dengan satu tangan sementara
aurikula dipegang dengan tangan lainnya, ditarik ke arah atas dan ke belakang dan sedikit
keluar. Pemeriksaan menilai membran timpani adalah memperhatikan permukaan
membran timpani, warna membran timpani, adakah perforasi, refleks cahaya. Gerakan
membran timpani dapat dinilai dengan otopneumoskop.
Cara menilai keadaan liang telinga adalah dilihat apakah liang telinga lapang atau
sempit, apakah ada serumen atau sekret, inflamasi, atau benda asing. Membran timpani
akan terlihat dengan baik bila liang telinga tidak berisi serumen yang besar. Serumen
terdapat di liang telinga, dan bila jumlahnya sedikit tidak akan mengganggu pemeriksaan
otoskopi. Bila serumen sangat lengket maka pelunak serumen dapat diteteskan dalam
liang telinga.

Gambar 8. Anatomi membran


timpani
Membran timpani sehat berwarna putih mutiara. Bentuknya tidak datar akan
tetapi berbentuk kerucut dengan puncaknya (umbo) mengarah ke kavum timpani.
Letaknya tidak tegak lurus pada liang telinga akan tetapi membuat suatu sudut 45˚ dengan
permukaan horizontal dan sagital. Gambaran membran timpani yang perlu dinilai adalah
warna, refleks cahaya (cone of light) yang jalannya dari sentrum (umbo) menuju ke muka

48
bawah. Refleks cahaya ini disebabkan oleh karena pada bagian ini letak membran timpani
tegak lurus pada cahaya yang masuk sehingga cahaya lampu kembali mengenai mata kita;
umbo ke arah atas muka tampak manubrium malei (manubrium of malleus); pada ujung
membran timpani tampak titik putih, juga merupakan bagian dari malleus yang
dinamakan prosessus brevis; dari sini tampak adanya lipatan ke muka dan ke belakang
disebut plica malleolaris anterior (anterior fold) dan plica malleolaris posterior
(posterior fold), sehingga membran timpani dibagi atas pars flaccida (bagian atas) dan
pars tensa (bagian bawah). Membran timpani tipis dan dapat ditembus cahaya sehingga
ada kalanya tampak incus dan promontorium (Gambar 8). Adanya cairan, gelembung
udara, atau massa di telinga tengah harus dinilai.
Kelainan yang perlu dinilai pada membran timpani adalah: (1) Warna. pada tuba
katar akut, warnanya agak merah; pada otitis media akut, warna membran timpani merah;
akan tampak putih pada tuba katar kronik dan otitis media kronik yang sembuh; bila
terjadi perdarahan dalam kavum timpani, membran timpani akan tampak biru; tuba katar
eksudatif akan tampak agak kekuning-kuningan mengkilat dan bercak-bercak putih
apabila terjadi perkapuran pada membran timpani. (2) Membran timpani retraksi dapat
ditemui pada tuba katar akut dan tuba katar kronik. (3) Keadaan membran timpani
menonjol keluar (bulging) pada otitis media akut disebabkan adanya tekanan cairan
dalam kavum timpani dan (4) Membran timpani perforasi dapat ditemukan di daerah
sentral, marginal dan atik. Pada perforasi sentral, perforasi di bagian pars tensa,
sedangkan seluruh tepi perforasi masih ada sisa membran timpani. Pada perforasi
marginal sebagian tepi perforasi langsung berhubungan dengan anulus atau sulkus
timpanikum. Perforasi atik ialah perforasi yang terletak di pars flaccida. (5) Granulasi
atau polip dapat berasal dari kavum timpani. Granulasi warnanya merah, mudah berdarah.
Polip warnanya pucat mengkilat. (6) Cairan, seperti serous, seromucous, mukopurulen,
pus dan sanguineus.

Pemeriksaan Fungsi Pendengaran

Tes Berbisik
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melakukan tes ketulian secara kasar, bersifat
semi-kuantitatif. Hal yang perlu diperhatikan adalah ruangan pemeriksaan cukup tenang,
dibuat jarak tertentu antara penderita dan pemeriksa yaitu 6 meter, dimana penderita
dapat mendengar suara pemeriksa baik secara berbisik ataupun suara percakapan.
Telinga yang akan diperiksa diarahkan pada pemeriksa dan diberikan suara
berbisik atau bicara. Bila penderita dapat mendengar dengan jelas berarti telinga tersebut
normal atau dinotasikan sebagai 6 meter. Namun, bila penderita tidak mendengar, maka
pemeriksa maju 1 meter mendekati penderita, dan selanjutnya hingga penderita dapat
mendengar dengan jelas. Bahkan bila penderita tidak mendengar sama sekali maka
pemeriksa dapat berbisik ke telinga penderita. Tes ini bersifat subjektif, karena intensitas
suara pemeriksa tidak tetap. Nilai normal tes berbisik adalah 5/6-6/6

Tes Penala
Tes ini merupakan tes kualitatif yang bermanfaat untuk mengetahui jenis ketulian.
Apakah tuli konduktif, tuli sensorineural atau tuli campuran. Syarat utama pemeriksaan
ini adalah pasien kooperatif dan mengerti instruksi. Terdapat beberapa macam tes penala,
yaitu tes Rinne, tes Weber, tes Schwabach. Penala terdiri dari 1 set (5 buah) dengan
frekuensi 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz dan 2048 Hz. Sebelum melakukan
pemeriksaan tes penala, perlu dijelaskan kepada pasien apa yang harus dikerjakan, yaitu
pasien diminta untuk mengangkat tangan apabila mendengar suara. Jika terdengar suara
di telinga kanan, angkat tangan kanan. Jika terdengar suara di telinga kiri, angkat tangan
kiri. Bila suara tersebut tidak terdengar lagi, tangan diturunkan.

49
Tes Rinne adalah tes untuk membandingkan hantaran udara dan hantaran tulang
pada telinga yang diperiksa. Cara memeriksanya adalah dengan menggetarkan penala,
tangkainya diletakkan di prosesus mastoid. Perlu dipastikan telinga tidak tertutup topi/
jilbab, terhalang kaca mata dan tidak menyinggung daun telinga. Dipastikan sampai tidak
terdengar lagi (Gambar 9a), lalu dipindahkan ke depan telinga kira-kira 2,5 cm, dengan
arah kedua kaki penala sejajar dengan arah liang telinga (Gambar 9b). Jika masih
terdengar, disebut Rinne positif (+), jika tidak terdengar lagi disebut Rinne negatif (-).

(a) (b)

Gambar 9a dan 9b. Cara pemeriksaan tes Rinne

Tes Weber ialah tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga
kanan dan telinga kiri. Cara melakukan tes Weber adalah menggetarkan penala dan
tangkai penala diletakkan di garis tengah kepalan (verteks, dahi, pangkal hidung, ditengah
gigi seri atas atau di dagu) (Gambar 10).

Apabila bunyi terdengar lebih keras pada telinga kanan, maka disebut lateralisasi
ke telinga kanan, begitu juga sebaliknya. Jika tidak dapat membedakan ke arah telinga
mana berbunyi, maka disebut tidak ada lateralisasi.

Gambar 10. Cara pemeriksaan tes


Weber

50
Tes Schwabach adalah membandingkan hantaran tulang pasien dengan
pemeriksa (syaratnya adalah pemeriksa memiliki pendengaran normal). Penala digetarkan,
kemudian diletakkan di prosessus mastoid penderita. Bila penderita tidak mendengar lagi
suara secepatnya penala dipindahkan ke prosessus mastoid pemeriksa (Gambar 11). Bila
pemeriksa masih dapat mendengar suara tersebut, disebut schwabach memendek. Bila
pemeriksa juga tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya yaitu
penala diletakkan di prosesus mastoid pemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih dapat
mendengar suara, disebut schwabach memanjang. Bila pasien dan pemeriksa sama-
sama mendengarnya disebut schwabach sama dengan pemeriksa.

Gambar 11. Pemeriksaan tes


Schwabach

Interpretasi:
Tes Rinne Tes Weber Tes Scwabach Diagnosis
Tidak ada Sama dengan
Positif Normal
lateralisasi pemeriksa
Lateralisasi ke
Negatif Memanjang Tuli konduktif
telinga sakit
Lateralisasi ke Tuli
Positif memendek
telinga sehat sensorineural

HIDUNG

Anamnesis
Keluhan utama kelainan di hidung adalah sumbatan hidung, sekret di hidung dan
tenggorok, bersin, rasa nyeri di daerah muka dan kepala, perdarahan dari hidung dan
gangguan penghidu.
Sumbatan hidung dapat terjadi oleh beberapa faktor. Perlu ditanyakan apakah keluhan
hidung terjadi terus menerus atau hilang timbul, pada satu atau kedua lubang hidung atau
bergantian, apakah ada riwayat kontak dengan bahan allergen seperti debu, tepung sari,
bulu binatang, trauma hidung, pemakaian obat tetes hidung dekongestan untuk jangka
waktu yang lama, perokok atau peminum alkohol yang berat. Apakah mulut dan
tenggorok terasa kering.
Sekret di hidung pada satu atau kedua rongga hidung, bagaimana konsistensi sekret
tersebut, encer, bening seperti air, kental, nanah atau bercampur darah. Apakah sekret ini
keluar hanya pada pagi hari atau pada waktu-waktu tertentu misalnya pada musim hujan.

51
Sekret hidung yang disebabkan karena infeksi hidung biasanya bilateral, jernih sampai
purulen. Apakah ada riwayat trauma. Adakah riwayat operasi hidung sebelumnya.
Apakah pasien menggunakan semprotan hidung atau obat-obatan.
Bersin yang berulang-ulang merupakan keluhan pasien alergi hidung. Perlu ditanyakan
apakah bersin ini timbul akibat menghirup sesuatu yang diikuti keluar sekret yang encer
dan rasa gatal di hidung, tenggorok, mata dan telinga.
Rasa nyeri di daerah muka dan kepala yang ada hubungannya dengan keluhan hidung,
nyeri di daerah dahi, pangkal hidung, pipi dan tengah kepala dapat merupakan tanda-
tanda infeksi sinus.
Perdarahan dari hidung yang dapat berasal dari satu atau kedua lubang hidung, sudah
berapa kali dan apakah dapat berhenti sendiri dengan memencet hidung. Adakah riwayat
trauma hidung/muka sebelumnya dan menderita penyakit kelainan darah, hipertensi dan
pemakaian obat antikoagulan. Apakah sering berulang.
Gangguan penghidu dapat berupa hilangnya penciuman (anosmia) atau berkurang
(hiposmia). Perlu ditanyakan apakah sebelumnya ada riwayat infeksi hidung, infeksi
sinus, trauma kepala dan keluhan ini sudah berapa lama. Gangguan penghidu terjadi
sebagian atau total. Apakah ada gejala sistemik lainnya.

Pemeriksaan Fisik Hidung


Alat yang diperlukan untuk pemeriksaan hidung adalah lampu kepala, spekulum
hidung, spatula lidah bahan metal, kaca nasofaring, lampu spiritus dan korek api, jika
perlu sediakan juga pinset bayonet dan suction.
Pemeriksaan hidung diawali dengan melakukan inspeksi dan palpasi hidung
bagian luar dan daerah sekitarnya. Inspeksi dilakukan dengan mengamati ada tidaknya
kelainan bentuk hidung, deformitas, tanda-tanda infeksi dan sekret yang keluar dari
rongga hidung, apakah ada deviasi atau depresi tulang hidung, adakah pembengkakan di
daerah hidung dan sinus paranasal, adakah hematom di tulang hidung. Palpasi dilakukan
dengan penekanan jari-jari telunjuk mulai dari pangkal hidung sampai apeks untuk
mengetahui ada tidaknya nyeri tekan, massa dan krepitasi (Gambar 12).

Gambar 12. Teknik palpasi


hidung
Inspeksi sinus paranasalis dilakukan dengan melihat ada tidaknya
pembengkakan pada wajah. Pembengkakan dan kemerahan pada pipi, kelopak mata
bawah menunjukkan kemungkinan adanya sinusitis maksilaris akut. Pembengkakan pada
kelopak mata atas kemungkinan sinusitis frontalis akut. Palpasi sinus paranasalis akan
didapatkan nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk pada gigi bagian atas menunjukkan

52
adanya sinusitis maksilaris. Nyeri tekan pada medial atap orbita menunjukkan adanya
sinusitis frontalis. Nyeri tekan di daerah kantus medius menunjukkan adanya
kemungkinan sinusitis etmoidalis (Gambar 13).

Gambar 13. Palpasi sinus paranasalis

Memeriksa rongga hidung bagian dalam dengan menggunakan spekulum hidung


disebut rinoskopi anterior. Alat yang perlu disiapkan adalah lampu kepala dan spekulum
hidung (Hartmann) yang sesuai dengan besarnya lubang hidung. Cara menggunakan
spekulum hidung yaitu digenggam sedemikian rupa dengan tangkai bagian bawah dari
spekulum ditekan oleh jari tengah, jari manis dan jari kelingking dari tangan sebelah kiri
sehingga tangkai bawah dapat digerakkan bebas dengan menggunakan jari-jari tersebut.
Ujung jari telunjuk diletakkan pada ujung hidung pasien sebagai fiksasi disekitar hidung
dan ibu jari diluruskan. Ujung spekulum dimasukkan dengan hati-hati dan dalam keadaan
tertutup ke dalam rongga hidung, jangan mengenai bagian dalam hidung karena nanti
yang diperiksa merasa nyeri. Di dalam rongga hidung ujung spekulum dibuka. Jangan
memasukkan ujung spekulum terlalu dalam atau membuka ujung spekulum terlalu lebar
(Gambar 14).

Gambar 14. Rinoskopi


anterior

53
Oleh karena itu membuka lubang hidung jangan keras-keras, harus perlahan-
lahan dan tenang (with a ladies hand). Dilihat dahulu vestibulum nasi. Pemeriksaan
vestibulum dapat juga dengan cara mendorong ujung hidung ke atas (pada anak-anak).
Amati struktur yang terdapat di dalam rongga hidung, kavum nasi lapang/ sempit,
dasar rongga hidung, konka inferior-media-superior, meatus dan septum nasi. Perhatikan
warna dan permukaan mukosa rongga hidung, ada tidaknya massa, benda asing dan
sekret. Struktur yang terlihat pertama kali adalah konka inferior. Bila ingin melihat konka
medius dan superior pasien diminta untuk tengadahkan kepala. Konka warnanya merah
muda (normal), pucat (livid) atau hiperemis. Besarnya konka dinilai dengan eutrofi, atrofi,
edema atau hipertrofi. Septum nasi lurus, deviasi krista atau deviasi spina. Jika terdapat
sekret, nilai konsistensinya, apakah serous atau seromukoid. Kadang rongga hidung
sempit karena edema mukosa. Pada saat mengeluarkan spekulum dari rongga hidung,
ujung spekulum dirapatkan tetapi tidak terlalu rapat kira-kira 90%. Jangan menutup ujung
spekulum 100% karena bulu hidung pasien dapat terjepit dan tercabut keluar.
Perlu dinilai juga fenomena Palatum Molle yaitu pergerakan palatum molle pada
saat pasien diminta untuk mengucapkan huruf ―..i..―. Pada waktu melakukan penilaian
fenomena palatum molle usahakan agar arah pandang mata sejajar dengan dasar rongga
hidung bagian belakang. Pandangan mata tertuju pada daerah nasofaring sambil
mengamati turun naiknya palatum molle pada saat pasien mengucapkan huruf ―..i..―.
Fenomena Palatum Mole akan negatif bila terdapat massa di dalam rongga nasofaring
yang menghalangi pergerakan palatum molle, atau terdapat kelumpuhan otot-otot levator
dan tensor velli palatini.
Bila rongga hidung sulit diamati oleh adanya edema mukosa dapat digunakan
tampon kapas efedrin yang dicampur dengan lidokain yang dimasukkan ke dalam rongga
hidung untuk mengurangi edema mukosa. Yang perlu dinilai dalam kavum nasi adalah
(1) Septum nasi (di medial) yang membagi kavum nasi dalam bagian kanan dan kiri.
Septum nasi tidak terlalu lurus, biasanya ada sedikit bengkok, disebut deviasi jenis krista
bila deviasinya berjalan dari muka bawah ke atas belakang, deviasi spina (duri) bila
tampak dibagian atas belakang yang sering terjadi gangguan karena melekat pada konka.
Deviasi septum bisa terjadi pada bagian depan (tulang rawan) dan dapat juga pada bagian
belakang (bagian tulang). Bagian depan ada suatu venen flexus (little‟s area atau pleksus
Kisselbach). Pada anak kecil sering mengakibatkan perdarahan. (2) Konka, terbagi atas
konka inferior, konka media dan konka superior. Konka inferior normal warnanya merah
muda. Di bawah mukosa terdapat korpora cavernosa yang menyebabkan konka dapat
membesar atau mengecil. Konka media letaknya diatas konka inferior. Konka ini tidak
tampak seluruhnya yang jelas hanya kepala (kaput). Untuk melihat konka media kepala
harus ditengadahkan. (3) Meatus nasi terletak dibawah konka (inferior, media dan
superior). Dengan rinoskopi anterior yang tampak adalah meatus inferior dan meatus
media. (4) Dasar hidung, bila kavum nasi tidak sempit dapat kita lihat koana yang
merupakan pintu belakang dari kavum nasi. (5) Bila kavum nasi lapang misalnya pada
rinitis atrofi maka dapat pula kita melihat muara kavum nasi. (6) Di dalam hidung
terdapat muara-muara dari saluran sinus dan mata.Pada meatus nasi inferior terdapat
muara duktus nasolakrimalis, sehingga bila menangis air mata bisa masuk ke dalam
rongga hidung.
Kelainan-kelainan di dalam kavum nasi dapat dilihat dari warna mukosa,
warna mukosa hidung normal adalah merah muda. Pada radang warnanya merah, pada
alergi warnanya pucat atau kebiru-biruan; cairan dapat berupa serous pada permulaan
rinitis akut dan rinitis alergi. Pada trauma kapitis yang keluar liquor cerebrospinalis,
cairan mucous dapat ditemukan pada rinitis akut yang sudah beberapa hari dan rinitis
kronik simpleks. Pus ada pada corpus alienum dan sinusitis maksila. Pada sinusitis
tampak pus keluar dari metus media atau nampak seperti garis putih melalui konka media
atau berkumpul pada dasar sinus, krusta ada pada rinitis atrofi dan darah dapat ditemukan
pada trauma atau tumor; Konka edema pada rinitis akut dan rinitis kronik simpleks.

54
Konka hipertrofi pada rinitis alergi yang sudah lama dan konka atrofi pada rinitis atrofi;
jaringan dapat berupa polip bisa terjadi pada sebelah atau kedua belah hidung, dapat besar
atau kecil, warna pucat mengkilat, konsistensi lembek (tipe serous) dan padat (tipe
fibrous). Jaringan berupa tumor, biasa ganas (karsinoma yang berasal dari etmoid, sinus
maksila dan nasofaring).

Untuk melihat hidung bagian belakang dilakukan pemeriksaan rinoskopi


posterior. Alat yang diperlukan adalah spatula lidah dan kaca nasofaring yang telah
dihangatkan dengan lampu spiritus. Sebelum kaca nasofaring dimasukkan, di tes dulu
dengan menempelkan pada kulit belakang tangan kiri pemeriksa. Pasien diminta
membuka mulut, lidah 2/3 anterior ditekan dengan spatula lidah. Pasien bernapas melalui
mulut supaya uvula terangkat ke atas dan kaca nasofaring yang menghadap ke atas
dimasukkan melalui mulut, ke bawah uvula dan sampai nasofaring. Setelah kaca berada
di nasofaring pasien diminta bernapas biasa melalui hidung, uvula akan turun kembali
dan rongga nasofaring terbuka (Gambar 15).

Gambar 15. Gambar 16. Rinoskopi Gambar 17. Uji


Rinoskopi posterior aliran udara melalui
posterior hidung/ Pasase
udara

Yang perlu dinilai adalah bagian belakang septum dan koana, kemudian kaca
diputar sedikit kearah lateral untuk melihat konka superior, konka media dan konka
inferior serta meatus superior dan meatus media. Kaca diputar ke arah lateral lagi hingga
dapat teridentifikasi torus tubarius, muara tuba eustachius dan fosa rosenmuler. Lalu kaca
diputar ke sisi kontralateral untuk menilai sisi kontralateral.
Pemeriksaan pasase udara dapat dilakukan dengan meletakkan spatula lidah
berbahan metal di depan kedua lubang hidung, lalu pasien disuruh menghembuskan napas
melalui hidung, dalam keadaan mulut tertutup. Kemudian dibandingkan uap yang keluar
dari kedua lubang hidung (Gambar 17).

TENGGOROK
Anamnesis
Keluhan kelainan di tenggorok biasanya adalah nyeri tenggorok, nyeri menelan
(odinofagia), rasa banyak dahak di tenggorok, sulit menelan (disfagia), rasa ada yang
menyumbat atau mengganjal.

55
Nyeri tenggorok. Keluhan ini dapat hilang timbul atau menetap. Apakah nyeri tenggorok
ini disertai dengan demam, batuk, serak dan tenggorok terasa kering. Apakah pasien
merokok dan berapa jumlahnya perhari. Apakah disertai demam, kesulitan menelan,
kesulitan bernapas dan perubahan suara. Apakah ada nyeri alih ke telinga, jika iya ke
telinga sebelah mana.
Dahak di tenggorok merupakan keluhan yang sering timbul akibat adanya inflamasi di
hidung dan faring. Apakah dahak ini berupa lendir saja, pus atau bercampur darah. Dahak
ini dapat turun dan keluar bila dibatukkan atau terasa turun di tenggorok. Apakah keluhan
bertambah parah di pagi hari.
Sulit menelan (disfagia) sudah berapa lama dan untuk jenis makanan cair atau padat.
Apakah juga disertai muntah dan berat badan menurun dengan cepat. Apakah disertai
nyeri menelan dan nyeri ulu hati. Dimana kira-kira letak sumbatan, minta pasien untuk
menunjukkan. Apakah ada regurgitasi. Apakah berbau.
Rasa sumbatan leher sudah berapa lama, tempatnya dimana.

Pemeriksaan Fisik Tenggorok


Alat yang diperlukan untuk pemeriksaan tenggorok adalah lampu kepala dan
spatula lidah.
Inspeksi bibir dengan memperhatikan warna dan kelembaban, juga perhatikan
adanya ulkus. Pemeriksaan rongga mulut dan faring diperlukan spatula lidah. Penderita
diinstruksikan membuka mulut, perhatikan struktur di dalam cavum oris mulai dari gigi
geligi, palatum, lidah dan bukal. Lihat ada tidaknya kelainan berupa pembengkakan,
hiperemis, massa atau kelainan kongenital.

Gambar 18. Palpasi tenggorok

Palpasi dilakukan dengan menggunakan sarung tangan, meraba daerah mukosa


bukal, dasar lidah dan daerah palatum untuk menilai adanya kelainan-kelainan dalam
rongga mulut (tumor, kista, dll) (Gambar 18)
Lakukan penekanan pada dua per tiga bagian depan lidah secara lembut dengan
spatula lidah, kemudian perhatikan: arkus faring simetris atau tidak; uvula letak ditengah
atau terdorong ke salah satu sisi; tonsil dinilai pembesarannya, warna, kripta melebar atau
tidak, apakah ada detritus, adakah perlekatan.

56
Penilaian besarnya tonsil (Gambar 20): T0-T0, tonsil kiri dan kanan sudah
diangkat/tidak ada lagi. T1-T1, tonsil kiri dan kanan masih berada di dalam fossa
tonsilaris. T2-T2, tonsil kiri dan kanan sudah melewati plika posterior, tetapi belum
melewati garis paramedian. T3-T3, tonsil kiri dan kanan sudah melewati garis
paramedian tapi belum melewati garis median. T4-T4, tonsil sudah berada/bertemu atau
melewati garis median. Penilaian dinding faring posterior meliputi warnanya, licin atau
bergranul, sekret ada atau tidak dan gerakan arkus faring; dinilai juga pergerakan lidah,
apakah ada massa tumor, atau adakah berselaput (Gambar 19).

Gambar 19.
Pemeriksaan rongga
mulut, tonsil, faring

Gambar 20. Ukuran pembesaran


tonsil

LARING

Anamnesis

Keluhan pasien dapat berupa suara serak, batuk, disfagia dan ada rasa sesuatu di leher.
Suara serak (disfoni) atau tidak keluar suara sama sekali (afoni) sudah berapa lama dan
apakah sebelumnya menderita peradangan di hidung atau tenggorok. Apakah keluhan ini

57
disertai dengan batuk, rasa nyeri dan penurunan berat badan. Timbul mendadak atau
perlahan. Apakah pernah serak sebelumnya.
Batuk yang diderita pasien sudah berapa lama dan apakah ada faktor sebagai pencetus
batuk tersebut seperti rokok, udara yang kotor serta kelelahan. Apa yang dibatukkan,
dahak kental, bercampur darah dan jumlahnya. Apakah pasien seorang perokok. Apakah
disertai penurunan berat badan. Apakah batuk berdarah.
Disfagia atau sulit menelan sudah diderita berapa lama, apakah tergantung dari jenis
makanan dan keluhan ini makin lama makin bertambah berat. Apakah kesulitan makan
makin hari makin bertambah parah. Apakah merasakan nyeri. Rasa ada sesuatu di
tenggorok perlu ditanyakan sudah berapa lama diderita, adakah keluhan lain yang
menyertainya serta hubungannya dengan keletihan mental dan fisik. Apakah rasa ini
timbul terus-menerus atau intermiten. Adakah rasa nyeri alih. Apakah disertai kesulitan
menelan dan bernapas.

Pemeriksaan Fisik Laring


Alat yang diperlukan untuk pemeriksaan fisik laring (laringoscopy indirect)
adalah lampu kepala, spatula lidah, kaca laring, lampu spiritus dan korek api, kasa.
Pasien duduk lurus agak condong ke depan dengan leher agak fleksi. Kaca laring
dihangatkan dengan api lampu spiritus agar tidak terjadi kondensasi uap air pada kaca
waktu dimasukkan ke dalam mulut. Sebelum dimasukkan ke dalam mulut, kaca yang
sudah dihangatkan itu dicoba dulu pada kulit tangan kiri pemeriksa apakah tidak terlalu
panas. Pasien diminta membuka mulut dan mejulurkan lidahnya sejauh mungkin. Lidah
dipegang dengan tangan kiri. Memegang lidah dengan kain kasa dan difiksasi hingga
pangkal lidah tidak menghalangi pandangan ke arah laring. Kemudian kaca laring
dimasukkan ke dalam mulut dengan arah kaca ke bawah, bersandar pada uvula dan
palatum molle. Melalui kaca dapat terlihat daerah hipofaring dan laring. Bila laring belum
terlihat jelas penarikan lidah dapat ditambah sehingga pangkal lidah lebih ke depan dan
epiglotis lebih terangkat (Gambar 21).
Untuk menilai gerakan pita suara adduksi pasien diminta mengucapkan ‖…iii….‖,
untuk menilai gerakan pita suara abduksi dan melihat daerah subglotik pasien diminta
untuk inspirasi dalam.

Gambar 21. Laringoskopi Indirect


LEHER

Anamnesis
Keluhan pasien dapat berupa pembesaran leher sebelah kanan, sebelah kiri atau
leher bagian depan. Perlu ditanyakan sudah berapa lama, apakah pembesaran progresif,
disertai nyeri atau tidak, adakah rasa sesak napas, adakah perdarahan dari rongga hidung
maupun mulut. Adakah gangguan makan. Disertai demam atau tidak.

58
Pemeriksaan Leher
Inspeksi leher dengan memperhatikan simetris atau tidak, adanya massa atau
jaringan parut, pembesaran kelenjar parotis, kelenjar submandibula, kelenjar limfa leher
dan kelenjar tiroid.
Palpasi leher dilakukan dengan cara pemeriksa berdiri di depan (Gambar 22a)
atau pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba dengan kedua belah tangan seluruh
daerah leher dari atas ke bawah (Gambar 22b). Bila terdapat pembesaran kelenjar limfe,
ukur besarnya benjolan, deskripsikan bentuknya, konsistensi, perlekatan dengan jaringan
sekitarnya, lokasi (Gambar 23), ada nyeri tekan atau tidak, ada tanda-tanda peradangan
atau tidak.

Gambar 22 (a). Palpasi kelenjar limfe leher, pemeriksa berdiri di depan pasien.

Gambar 22 (b). Palpasi kelenjar limfe leher, pemeriksa berdiri di belakang pasien

Gambar 23. Lokasi kelenjar limfe leher

59
Palpasi kelenjar tiroid dengan dua cara, (1) Cara anterior, pasien dan pemeriksa
duduk berhadapan, leher pasien difleksikan atau memutar dagu sedikit ke kanan (untuk
merelaksasikan musculus sternocleidomastoideus pada sisi tersebut), tangan kanan
pemeriksa menggeser laring ke kanan, pasien disuruh menelan, selama menelan lobus
tiroid kanan dipalpasi dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri. Setelah memeriksa
lobus kanan, laring digeser kekiri dan lobus kiri dievaluasi dengan cara yang sama
dengan tangan sebelahnya (Gambar 24). (2) Cara posterior, pemeriksa berada di belakang
pasien dan meletakkan kedua tangannya pada leher pasien, posisi kepala pasien sedikit
ekstensi. Pemeriksa memakai tangan kirinya mendorong trakea ke kanan, pasien diminta
untuk menelan, sementara tangan kanan pemeriksa meraba tulang rawan tiroid berlatar
belakang musculus sternocleidomastoideus, pasien diminta sekali lagi menelan saat
trakea terdorong ke kiri. Pemeriksa meraba kelenjar tiroid berlatar belakang musculus
sternocleidomastoideus kiri dengan tangan kiri. Normalnya kelenjar tiroid jarang teraba.
Jika teraba, perlu dinilai konsistensinya, besarnya, nyeri tekan atau tidak.

Gambar 24. Palpasi kelenjar tiroid cara anterior

60
REFERENSI

1. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Boies: Buku ajar penyakit THT (Fundamentals
of otolaryngology). Alih bahasa Wijaya C. Effendi H, editor. Edisi keenam.
Jakarta, EGC. 1997.
2. Ballenger JJ. Disease of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. Staf ahli bagian
T.H.T RSCM-FKUI, editor. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggrok, Kepala dan
Leher. Edisi ketigabelas. Jakarta Barat, Binarupa Aksara. 1994.
3. Bull TR. Color Atlas of ENT Diagnosis. 4th ed. New York, Thieme. 2003.
4. Lalwani AK. Current diagnosis & treatment, otolaryngology head and neck
surgery. 2nd ed. New York, Lange. 2008.
5. Lee KJ. Essential otolaryngology, head and neck surgery. 9th ed. New York,
Medical. 2008.
6. Menner. A Pocket Guide to the Ear. New York, Thieme. 2003.
7. Soepardi EA. Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok kepala dan leher. Dalam
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi keenam. Jakarta, FKUI.
2007:p 1-9.

61
Checklist Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik T.H.T

Skor
No Aspek yang dinilai
0 1 2 3
I ANAMNESIS
1. Memberikan salam pembuka dan memperkenal-kan
diri
2. Menilai keadaan umum pasien
3. Mengumpulkan data dasar pasien (identitas)
4. Menggali informasi tentang:
 Keluhan utama
 Keluhan tambahan
 Riwayat penyakit sekarang
 Riwayat penyakit dahulu
 Riwayat pengobatan sekarang
 Riwayat penyakit keluarga
 Riwayat kebiasaan sosial
5. Mempersiapkan perasaan pasien untuk menghindari
rasa takut dan stres sebelum melakukan pemeriksaan
fisik:
 Memberi penjelasan dengan benar, jelas, lengkap
dan jujur tentang cara dan tujuan pemeriksaan
 Memberitahukan kemungkinan adanya rasa sakit
atau tidak nyaman yang timbul selama pemeriksaan
dilakukan
6. Mengatur posisi duduk antara pemeriksa dan pasien
7. Memasang lampu kepala dengan benar
II. PEMERIKSAAN FISIK
8. Pemeriksaan fisik telinga (Otoskopi)
 Mempersiapkan dan menyebutkan alat yang
diperlukan
 Memperhatikan keadaan dan bentuk daun telinga
serta daerah depan dan belakang telinga
 Memeriksa telinga luar, menentukan nyeri tekan
atau nyeri tarik
 Melihat liang telinga dengan lampu kepala
 Memeriksa telinga dengan otoskop
 Mendeskripsikan keadaan membran timpani
9. Pemeriksaan fungsi pendengaran dengan penala
 Mengetahui frekuensi penala
 Menggetarkan penala dengan benar
 Melakukan tes Rinne
 Melakukan tes Weber
 Melakukan tes Schwabach
 Mampu melakukan interpretasi sederhana
10. Pemeriksaan fisik hidung

62
Rinoskopi anterior
 Mempersiapkan dan menyebutkan alat yang
diperlukan
 Memeriksa hidung luar (inspeksi dan palpasi)
 Memegang spekulum hidung dengan benar
 Membuka lubang hidung dengan perlahan-lahan
dan tenang
 Memeriksa vestibulum nasi
 Memeriksa kavum nasi:
- Memperhatikan dan mendeskripsikan kavum
nasi, dasar hidung, atap hidung, septum nasi,
konka nasi dan meatus nasi
11. Rinoskopi posterior
 Mempersiapkan dan menyebutkan alat yang
diperlukan
 Menghangatkan kaca nasofaring
 Tes tempel kaca nasofaring di kulit belakang tangan
kiri pemeriksa
 Meminta pasien untuk buka mulut dan menekan 2/3
lidah dengan spatula lidah
 Mendeskripsikan keadaan nasofaring
12. Pemeriksaan fisik mulut dan faring (Orofaring)
 Inspeksi bibir
 Pemeriksaan rongga mulut dan faring :
 Menekan dua per tiga bagian depan lidah de-
ngan spatula lidah
 Memeriksa orofaring, deskripsikan:
 Arkus faring simetris/ tidak
 Letak uvula ditengah/ terdorong
 Tonsil (tentukan ukurannya)
 Dinding faring posterior
 Lidah, palatum, gigi geligi, bukkal
13. Pemeriksaan fisik laring (laringoskopy indirect)
 Mempersiapkan dan menyebutkan alat yang
diperlukan
 Menghangatkan kaca laring
 Tes tempel kaca laring di kulit belakang tangan kiri
pemeriksa
 Meminta pasien untuk buka mulut dan menjulurkan
lidah sejauh mungkin
 Memegang lidah pasien dilapisi kasa dengan tangan
kiri, difiksasi
 Memasukkan kaca laring dengan arah ke bawah,
bersandar pada uvula dan palatum mole.

63
 Meminta pasien untuk menyebutkan ―..ii...‖
 Mendeskripsikan keadaan laring
14. Pemeriksaan fisik kelenjar leher
 Inspeksi leher
 Palpasi kelenjar limfa leher
 Pemeriksaan kelenjar tiroid
Keterangan Skor :
0 = tidak dilakukan sama sekali
1 = dilakukan dengan banyak perbaikan
2 = dilakukan dengan sedikit perbaikan
3 = dilakukan dengan sempurna

Cakupan penguasaan ketrampilan: Skor total /165 x 100% = .......... %

Banda Aceh....................2019

Observer

64
III. PEMERIKSAAN FISIK KULIT
(SKIN PHYSICAL EXAM)
dr. Fitria, MSc., SpKK
Bagian Ilmu Penyakit Kulit
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh
Tujuan Umum :
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik dermatologis, dan clinical test
(uji kulit) secara sistematis dan benar sesuai dengan daftar penyakit sistem
integumen 4A SKDI 2012.

Tujuan Khusus :
1. Mahasiswa mampu menginformasikan kepada pasien tentang tujuan dari
pemeriksaan .
2. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik dermatologis .
3. Mahasiswa mampu mendeskripsikan status dermatologis dengan tepat dan
menghubungkannya dengan gejala klinis pasien.
4. Mahasiswa mampu menentukan dan melakukan (uji kulit) yang relevan
dengan gejala klinis pasien

I. ANATOMI KULIT DAN ADNEKSA KULIT


A. Anatomi Kulit
Kulit merupakan lapisan terluar dari tubuh manusia yang terdiri atas :
A. Epidermis merupakan lapisan luar yang terdiri dari:
- Stratum korneum (lapisan tanduk).
- Stratum lusidum
- Stratum granulosum (lapisan keratohialin) : berisi sedikit keratin sehingga
kulit menjadi keras dan kering ; mengandung melanin
- Stratum spinosum (stratum malphigi).
- Stratum basalis
B. Dermis:
- Stratum papilare
- Stratum retikulare
C. Subkutis: terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya
(gambar 1).

65
Gambar 1. Penampang kulit
B. Adneksa kulit
- Rambut: terdiri atas bagian yang terbenam dalam kulit yaitu akar rambut dan
bagian yang berada di luar kulit yaitu batang rambut (gambar 2).
- Kuku: terdiri atas matriks kuku, dinding kuku (nail wall), dasar kuku (nail
bed), alur kuku (nail groove), akar kuku (nail root), lempeng kuku (nail
plate), lunula, eponikium, hiponikium (gambar 3).
- Kelenjar : kelenjar ekrin, apokrin dan kelenjar sebasea.

66
Gambar 2. Penampang rambut

Gambar 3. Penampang kuku

II. FUNGSI KULIT


Kulit memiliki beberapa fungsi yaitu:
1. Fungsi proteksi
2. Fungsi absorpsi
3. Fungsi ekskresi
4. Fungsi pengindra (sensori) sebagai alat peraba, kulit dilengkapi dengan
reseptor-reseptor khusus yaitu:
- Badan Ruffini : sensasi panas, ujung reseptornya terletak di dekat
epidermis
- Badan Krause: sensasi dingin

67
- Badan taktil Meissner dan Badan Ranvier: raba, ujung reseptornya
terletak di dekat epidermis
- Badan Paccini: tekanan, ujung reseptor berada di dermis yang jauh dari
epidermis
5. Fungsi pengaturan suhu tubuh
6. Fungsi pembentukan pigmen
7. Fungsi keratinisasi
8. Fungsi produksi vitamin D
9. Fungsi ekspresi emosi

III. TAHAPAN DALAM MEMBUAT DIAGNOSIS DERMATOLOGIS


Penegakkan diagnosis dilakukan dengan memperhatikan tahap-tahap berikut:
1. Pendekatan terhadap pasien (anamnesis).
2. Pemeriksaan kelainan morfologi (deskripsi status dermatologis).
3. Pemeriksaan fisik kulit (tes klinis).
4. Pemeriksaan penunjang (pemeriksaan KOH, sediaan langsung, pewarnaan
Gram, kultur, tzank test, indeks bakteri dan indeks morfologi, pemeriksaan
histopatologis, imunofluoresensi, serologis, radiologis, pemeriksaan genetik
dan biomolekuler).

A. PEMERIKSAAN FISIK DERMATOLOGIS


 Pemeriksaan fisik dermatologis merupakan pemeriksaan tubuh pasien untuk
menemukan adanya kelainan atau tanda klinis penyakit, meliputi:
pemeriksaan kulit, adneksa kulit (rambut dan kuku), membrana mukosa
(mata, mulut, hidung dan genetalia).
 Hasil pemeriksaan harus dicatat dalam rekam medis. Pemeriksaan fisik
dilakukan secara sistematis, mulai dari kepala berakhir pada anggota gerak
(cranio – cauda).
 Alat-alat yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan fisik:
1. Alat pembesar (loupe)
2. Flashlight / lampu senter untuk menerangi lesi
3. Mistar untuk mengukur lesi

68
4. Kaca objek untuk pemeriksaan diaskopi, kaarsvlek phenomen dan auspitz
sign
5. Kapas alkohol untuk menghilangkan sisik atau minyak pada permukaan
kulit
6. Kasa atau tissue dengan air untuk menghilangkan make up
7. Sarung tangan, harus digunakan saat pemeriksaan skabies, sifilis
sekunder, memeriksa membrana mukosa dan daerah genetalia
8. Pisau skalpel nomor 15 untuk mengikis lesi atau nomor 11 untuk insisi
lesi
9. Lampu Wood (365 nm) untuk menilai fluoresensi
10. Kamera untuk dokumentasi
 Teknik pemeriksaan fisik kulit
1. Inspeksi kulit
 Observasi tampilan keseluruhan pasien, termasuk hygiene kulit, warna
kulit dan variasinya, vaskularisasi, keringat, edema, injury
(perlukaan).
 Warna kulit dipengaruhi oleh ras. Kulit abnormal ditemukan :
flushing, cyanosis, jaundice, pigmentasi yang tidak teratur.
 Observasi dan dokumentasikan kelainan kulit yang ditemukan.
2. Palpasi kulit
 Pergunakan jari-jari tangan untuk memeriksa lesi. Sarung tangan
dispossible dapat digunakan untuk melindungi pemeriksa ketika
malakukan pemeriksaan luka.
 Pada palpasi, periksa kelembaban kulit, temperatur, tekstur, turgor dan
lesi (kerusakan kulit).

B. DESKRIPSI STATUS DERMATOLOGIS


Setelah melakukan inspeksi dan palpasi, maka tentukan deskripsi status
dermatologis berdasarkan terminologi lesi kulit (tipe lesi, morfologi lesi, ukuran,
jumlah, susunan, konfigurasi, dan distribusi lesi).

69
Terminologi lesi kulit
Definisi lesi (bahasa latin) artinya cedera. Lesi merupakan jaringan
abnormal pada tubuh karena proses trauma (fisik, kimiawi, elektris), infeksi,
kelainan metabolisme dan autoimun. Deskripsi status dermatologis harus meliputi
hal berikut:
1. Lokasi atau regio
Regio merupakan tempat terdapatnya lesi dan ditentukan berdasarkan lokasi
anatomi tubuh manusia, contohnya regio frontalis, regio aksilaris, regio
sternalis atau regio umbilikalis.
2. Tipe lesi
Tipe lesi ditentukan berdasarkan letaknya terhadap permukaan kulit dan
berdasarkan perjalanan penyakitnya. Pembagian kelompok lesi berdasarkan
letaknya terhadap permukaan kulit dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kelompok lesi berdasarkan letaknya terhadap permukaan kulit


Lebih Sama Perubahan Berisi Pembuluh
Lebih tinggi
rendah rata permukaan cairan darah
Papula Erosi Makula Skuama Vesikel Purpura
Plak Ulkus Patch Krusta Bula Telangiektasis
Skar
Nodul Ekskoriasi Pustula Infark
atrofi
Kista Fisura Abses
Wheal/Urtika Likenifikasi
Skar
Hipertrofi
Berdasarkan perjalanan penyakit dan proses terbentuknya, lesi dibagi
menjadi lesi primer dan lesi sekunder (Tabel 2).

a. Lesi primer adalah kelainan kulit yang terjadi pada permulaan


penyakit. Lesi primer dibagi menjadi:
 Lesi primer yang sama rata dengan permukaan kulit yaitu:
1. Makula

70
Lesi datar pada kulit atau membran mukosa berupa perubahan
warna tanpa perubahan konsistensi, tidak dapat dipalpasi, bentuknya
bervariasi, ukuran kurang dari 0,5 cm, batas bisa berbeda dengan
kulit normal (sirkumskripta/berbatas tegas) atau samar dengan kulit
sekitarnya (difus/tidak tegas).
2. Patch
Makula dengan ukuran lebih dari 0,5 cm.
 Lesi primer yang lebih tinggi dari permukaan kulit yaitu:
1. Papula
Bentuk peninggian kulit, padat, ukuran kurang dari 0,5 cm. Lesi
padat tersebut disebabkan oleh infiltrat sel radang atau massa padat
lainnya di epidermis atau dermis.
2. Plak
Merupakan peninggian kulit berbentuk padat dengan diameter
lebih dari 0,5 cm, mempunyai luas permukaan relatif lebih besar
dibanding tingginya. Plak juga bisa terbentuk akibat perluasan dan
gabungan dari papul-papul.
3. Nodula
Lesi yang menonjol, berbentuk padat, dapat teraba, diameter lebih
dari 0,5 cm. Nodul bisa terletak di epidermis, dermis dan subkutan.
4. Urtika atau Wheal
Peninggian kulit yang datar karena edema dermis bagian atas.
Bersifat gatal, timbulnya cepat, hilang setelah beberapa jam, pori-pori
melebar, warna pucat.
 Lesi primer yang berisi cairan, yaitu:
1. Vesikel
Peninggian kulit berisi cairan dengan ukuran kurang dari 0,5 cm,
dapat pecah menjadi erosi, dapat bergabung menjadi bula.
2. Bula
Peninggian kulit berisi cairan dengan ukuran lebih dari 0,5 cm.
3. Pustula
Peninggian kulit berisi nanah dengan ukuran kurang dari 0,5cm.

71
b. Lesi sekunder : kelainan kulit yang dapat timbul selama perjalanan
penyakit, dihasilkan akibat proses eksternal (garukan, infeksi, manipulasi
infeksi, ataupun proses penyembuhan lesi primer).
 Lesi sekunder akibat perubahan permukaan kulit yaitu:
1. Skuama
Pengelupasan dari stratum korneum. Partikel epidermal dapat
kering atau berminyak, tipis ataupun tebal dan dilapisi massa
keratin. Warnanya bervariasi: putih keabu-abuan, kuning atau
coklat.
2. Krusta
Cairan tubuh yang mengering pada permukaan kulit. Cairan
tersebut bisa berasal dari serum, darah dan eksudat purulen. Warna
krusta berbeda-beda, tergantung dari cairan yang keluar, warna
kekuningan bila berasal dari serum, akan berwarna merah
kehitaman bila berasal dari darah dan kuning kehijauan berasal dari
pus.
3. Eskoriasi
Hilangnya jaringan sampai stratum papilare di dermis. Secara klinis
tampak adanya bintik perdarahan di kulit. Garukan dapat
menghasilkan lesi yang panjang, paralel dan menyilang serta dapat
menimbulkan krusta kehitaman.
4. Fisura
Hilangnya kontinuitas (kesinambungan) kulit sehingga kulit pecah
(diskontinuitas) tanpa kehilangan jaringan.
5. Likenifikasi
Penebalan kulit disertai relief kulit yang makin jelas, disebabkan
penebalan epidermis disertai perubahan kolagen pada dermis
bagian superfisial.

 Lesi sekunder yang lebih tinggi dari permukaan kulit, yaitu:


1. Sikatrik atau skar hipertrofi
Pembentukan jaringan baru yang sifatnya lebih banyak
mengandung jaringan ikat untuk mengganti jaringan yang rusak
72
akibat penyakit atau trauma pada dermis yang lebih dalam, bila
membesar disebut skar hipertrofi. Skar hipertrofi biasanya
berbentuk papula keras, plak atau nodul. Bila tumbuh sangat
berlebihan disebut keloid. Berbeda dengan skar hipertrofi, keloid
dapat meluas melampaui daerah luka awal.
 Lesi sekunder yang lebih rendah dari permukaan kulit, yaitu:
1. Erosi
Hilangnya sebagian atau seluruh jaringan epidermis atau epitel
mukosa. Erosi dapat terjadi akibat trauma, misalnya garukan,
laserasi, vesikel atau bula superfisial yang pecah dan nekrosis
epidermis. Meskipun erosi dapat menimbulkan infeksi sekunder,
erosi tidak meninggalkan skar.
2. Ulkus
Hilangnya jaringan yang melebihi stratum papilare. Ulkus
mempunyai tepi, dinding, dasar dan isi. Bentuk ulkus dapat bulat,
lonjong atau tidak beraturan. Sekitar ulkus dapat tenang atau
terdapat tanda inflamasi akut/kronis (biasanya hiperpigmentasi).
Tepi ulkus bisa datar atau tinggi. Pengerasan karena sebukan sel
radang di sekitar ulkus, akan teraba keras (indurasi), misalnya pada
ulkus durum (sifilis stadium I). Rasa nyeri pada perabaan (dolent)
dapat dirasakan pada ulkus mole (chancroid).
3. Sikatriks atau skar atrofi
Pembentukan jaringan baru yang sifatnya lebih banyak
mengandung jaringan ikat untuk mengganti jaringan yang rusak
akibat penyakit atau trauma pada dermis yang lebih dalam.
4. Kista
Rongga berkapsul yang berisi cairan atau bahan-bahan semisolid
(sel dan produknya seperti keratin) yang bisa terletak di epidermis,
dermis dan subkutan.

3. Morfologi
Berdasarkan pengelompokan penyakit (klinis), maka morfologi lesi terdiri
dari dua jenis yaitu monomorf dan polimorf.
73
1. Monomorf: kelainan kulit terdiri atas satu jenis morfologi. Penyakit terdiri
atas satu jenis lesi saja, misalnya bula pada impetigo bulosa, papul pada
moluskum kontagiosum, papul pada miliaria dan plak pada psioriasis
vulgaris.
2. Polimorf: kelainan kulit pada satu saat terdiri atas bermacam-macam
morfologi, dapat terlihat makula eritematous, papul, vesikel, erosi dan
krusta. Lesi polimorfi dapat ditemukan misalnya pada dermatitis atopik,
dermatitis kontak alergika dan akne vulgaris.
Tabel 2. Lesi primer dan lesi sekunder

TERMINOLOGI PENYAKIT

MAKULA PITYRIASIS VERSIKOLOR


DAN
PATCH

Regio thoracalis posterior tampak makula hipopigmentasi batas tegas,


tertutup skuama halus, ukuran gutata sampai numular, beberapa lesi
konfluen, jumlah multipel, distribusi regional.

74
FIXED DRUG ERUPTION

Regio fasialis (labia) tampak patch violaceous berbatas tegas, tepi


reguler, distribusi regional.

VITILIGO

Regio fasialis (frontal dan palpebra superior dekstra) tampak patch


depigmentasi berbatas tegas, tepi ireguler, ukuran bervariasi (gutata-
plakat), jumlah multiple, distribusi unilateral.

75
PAPUL AMILOIDOSIS KUTIS

Regio tibialis dekstra et sinistra


tampak papul hiperpigmentasi, multipel, tersebar diskret dan konfluen ,
distribusi simetris

PLAK MORBUS HANSEN TIPE MULTIBASILER


(BORDERLINE LEPROMATOUS /BL TYPE)

Regio fasialis tamplak plak eritematus disertai edema, ukuran numular-


plakat, multipel, distribusi regional.

76
NODUL ERITEMA

NODOSUM LEPROSUM (ENL)


Regio fasialis tampak nodul eritematus, multipel, diameter bervariasi 1-
3 cm, tersebar diskret , distribusi regional disertai penebalan cuping
telinga.

WHEAL / URTIKARIA
URTIKA

Regio thorakalis tampak urtika tersebar, berwarna merah pucat, ukuran


dan bentuk bervariasi, jumlah multipel, distribusi regional.

77
VESIKEL HERPES ZOSTER

Regio thoracalis posterior dextra tampak vesikel dan bula bergerombol


berisi cairan keruh dengan dasar kulit eritematus, distribusi unilateral
sesuai dermatom.

MILIARIA KRISTALINA

Regio thorakalis anterior et posterior tampak vesikulae lberisi cairan


jernih , multipel, tersebar diskret, distribusi genetralisa.

78
POMPHOLIX

Regio palmar manus dekstra et sinistra tampak vesikulae, jumlah


multipel, tersebar diskret, distribusi bilateral.

VARICELLA

Regio trunk, extremitas superior dextra et sinistra tampak umbilicated


vesicle di atas kulit eritematus, jumlah multipel, tersebar diskret,
distribusi generalisata.

79
BULA PEMFIGOID BULOSA

Regio trunk, extremitas superior dekstra et sinistra tampak bula


berdinding tegang di atas kulit eritematus, isi cairan jernih, jumlah
multipel, tersebar diskret, distribusi generalisata.

IMPETIGO BULOSA

Regio trunk tampak vesikel, bula berdinding tipis di atas kulit


eritematus, berisi pus, hipopion, tersebar diskret, distribusi generalisata.

80
PUSTULA FOLIKULITIS

Regio femoralis sinistra tampak pustula di atas kulit eritematus, jumlah


multipel, tersebar diskret, distribusi regional.

SKUAMA PSORIASIS VULGARIS

Regio elbows dextra-sinistra dan thorakalis posterior tampak plak


eritematus tertutup skuama tebal keperakan, ukuran numular-plakat,
jumlah multipel, distribusi generalisata.

81
TINEA KORPORIS ET CRURIS

Regio Gluteus dextra et sinistra tampak patch eritematus, batas tegas,


tepi polisiklik dan aktif, dengan central healing ( penyembuhan
ditengah) dan skuama halus, ukuran plakat, jumlah multipel, distribusi
bilateral.

DERMATITIS SEBOROIK

Regio facialis (sentro fasial) tampak patch eritematus,berbatas tidak


tegas, ditutupi skuama halus, jumlah lesi, multipel, ukuran numular-
plakat, distribusi regional.
82
PITYRIASIS ROSEA

Regio Thoracalis anterior tampak makula eritematus berbentuk bulat


lonjong, sumbu panjang searah pelipatan kulit, diameter bervariasi 1-6
cm (gutata-plakat), tertutup skuama tipis, lekat di bagian tepi dan lepas
pada bagian tengah (skuama kolaret), terdapat mother plaque/ herald-
patch/ initial-plaque; lesi multipel, tersebar diskret, distribusi regional.

KRUSTA IMPETIGO KRUSTOSA

Regio fasialis tampak vesikel, bula isi cairan keruh, sebagian pecah
membentuk krusta berwarna kuning kecoklatan seperti madu di atas
kulit eritematus , jumlah multipel, distribusi regional.

83
EKSKORIASI EKSKORIASI

Regio volar extremitas superior dextra tampak ekskoriasi berbentuk


linier dengan jumlah multipel, distribusi regional.

DERMATITIS KONTAK IRITAN TOKSIK


EROSI

Regio fossa cubiti dekstra terdapat patch eritematus batas jelas tepi
ireguler, di bagian tengah terdapat erosi, lesi membentuk „kissing
lesion‟, jumlah soliter, ukuran plakat, distribusi regional.

84
LIKENIFIKASI LIKEN SIMPLEKS KRONIS

Regio pedis dekstra et sinistra tampak plak eritematosa et


hiperpigmentasi, dengan likenifikasi dan skuama, ukuran plakat,
distribusi simetris.

SKAR SKAR HIPERTROFI SKAR ATROFI

(a) (b)
(a) Regio brachii sinistra tampak skar hipertrofi dengan ukuran
numular, jumlah soliter distribusi regional.
(b) Regio malar sinistra tampak skar atrofi dengan tepi ireguler
ukuran numular jumlah soliter distribusi regional.

85
FISURA TINEA PEDIS

Pada regio plantar pedis sinistra tampak patch eritem et hiperpigmentasi


batas tegas tepi ireguler ukuran plakat ditutupi skuama putih tebal dan
disertai fisura dengan distribusi regional.

4. Jumlah lesi
1. Soliter (tunggal) : Hanya ada satu lesi
2. Multipel (lebih dari satu) : Banyak lesi berjumlah lebih dari 1 atau
berjumlah banyak.

5. Susunan lesi
Lesi-lesi ganda dapat tersusun berkelompok/clustered (herpetiformis,
zosteriformis) dan tersebar/scattered (diskret, diseminata).
a) Lesi berkelompok (cluster) :
1. Herpetiformis : Beberapa vesikel bergerombol disatu tempat menyerupai
lesi herpes Contohnya dermatitis herpetiformis (Duhring disease), herpes
simpleks.
2. Zosteriformis : Lesi kulit yang berjalan mengikuti dermatom dan
unilateral.

b) Lesi tersebar (scattered)


1. Diskret : Bila lesi tersebar satu persatu, contohnya pada varisela.
2. Diseminata : Penjalaran dari satu lesi ke bagian tubuh yang lain.
Penyebaran diseminata dapat ditemukan, misalnya pada dermatitis kontak

86
alergika karena adanya autosensitisasi, ataupun pada id reaction dimana
awalnya terdapat satu lesi kemudian menyebar ke bagian tubuh lain

Tabel 3. Susunan (tatanan) lesi-lesi ganda


SUSUNAN PENYAKIT

BERKELOMPOK HERPES SIMPLEKS


(CLUSTER)

HERPETIFORMIS

ZOSTERIFORMIS
DERMATITIS HERPETIFORMIS

87
HERPES ZOSTER

TERSEBAR (SCATTERED) VARICELLA

DISKRET

88
DERMATITIS KONTAK
AUTOSENSITISASI

ID REACTION pada DIAPER


DERMATITIS

ID RECTION PADA TINEA PEDIS

89
6. Konfigurasi lesi
1. Anular /Sirsinar: berbentuk cincin, yang menunjukkan bahwa pinggir lesi
berbeda dengan bagian tengah, lebih tinggi, bersisik, atau berbeda warnanya
(misalnya granuloma annulare, tinea corporis, eritema annulare
sentrifugum).
2. Bulat/Numular/Diskoid: berbentuk koin, biasanya lesi bulat sampai
lonjong dengan morfologi yang sama dari bagian tepi hingga ke sentral lesi
(misalnya eksema numular, psoriasis tipe plak, lupus discoid.
3. Arkuata/ Arsinar: bentuk lengkung, sering sebagai akibat dari
pembentukan tidak lengkap dari sebuah lesi annular (seperti urtikaria, lupus
eritematosus kutaneous subakut).
4. Polisiklik: terbentuk dari lingkaran-lingkaran, cincin atau cincin inkomplit
yang bergabung (seperti pada tinea korporis, tinea kruris).
5. Linear: menyerupai sebuah garis lurus, sering menunjukkan kontaktan
eksternal (pada dermatitis kontak iritan toksik) atau fenomena Koebner
yang terjadi sebagai respon terhadap penggarukan (pada psoriasis
vulgaris); bisa ada pada lesi tunggal (seperti scabies burrow, poison ivy
dermatitis, atau pigmentasi bleomycin) atau pada tatanan lesi ganda (liken
nitidus atau liken planus).
6. Irisformis: lesi kulit tersusun menyerupai iris mata. Lesi dapat oval atau
bulat dengan perbedaan warna, yaitu di bagian tengah lebih gelap dari
pada bagian tepinya. Bagian tengah dapat pula berbentuk vesikel/bula
disekitarnya terbentuk halo. Contohnya adalah lesi target (irisformis) pada
eritema multiforme.
7. Korimbiformis: suatu lesi induk (ukuran besar) yang dikelilingi lesi kecil-
kecil berupa (satelit) yang berukuran lebih kecil. Lesi tersusun mirip
seekor induk ayam dikelilingi anak-anaknya (pada kandidiasis kutis).
8. Retikular: Penampilannya mirip jaring, dengan cincin yang agak
beraturan atau cincin parsial kulit dengan jarak tertentu (misalnya livedo
retikularis, cutis marmorata).
9. Serpiginosa: seperti ular (pada cutaneous larva migrans dimana larva
bermigrasi dibawah kulit atau lesi pada urtikaria).

90
10. Konfluens: Dua atau beberapa lesi menyatu. Ditemukan beberapa vesikel
menyatu, misalnya pada herpes simpleks.

Tabel 4. Konfigurasi lesi


KONFIGURASI LESI PENYAKIT

URTIKARIA
ANULAR TANPA SKUAMA

MORBUS HANSEN TIPE


MULTIBASILER
(MID BORDERLINE TYPE)

91
ANULAR DENGAN SKUAMA ERITEMA ANULARE CENTRIFUGUM

TINEA KORPORIS

PITYRIASIS ROSEA

92
BULAT / NUMULAR / DISKOID
DERMATITIS NUMULARIS

ARCUATA / ARSINAR TINEA KORPORIS

93
POLISIKLIK TINEA KORPORIS

LINEAR DERMATITIS KONTAK IRITAN


(PAEDARUS DERMATITIS)

IRISFORMIS / TARGETOID / ERITEMA MULTIFORME MAYOR


LESI TARGET

94
RETIKULER LIVIDO RETIKULER

SERPIGINOSA CUTANEOUS LARVA MIGRANS

KONFLUEN BULA KONFLUEN HERPES ZOSTER

95
MAKULA KONFLUEN PITYRIASIS
VERSIKOLOR

POLISIKLIK TINEA KORPORIS

KORIMBIFORMIS KANDIDIASIS KUTIS

96
7. Distribusi
1. Regional: Bila lesi terbatas hanya ditemukan di satu tempat saja.
2. Unilateral: Lesi hanya ditemukan di satu sisi badan. Misalnya pada herpes
zoster ditemukan lesi pada satu dermatomal saja, misalnya di torakal 4-5
sinistra.
3. Bilateral: Bila lesi tersebar dikedua sisi tubuh, kanan dan kiri, tidak persis
baik letak maupun ukurannya. Misalnya pada dermatitis herpetiformis
(Duhring disease), Morbus Hansen tipe lepromatosa, tinea kruris.
4. Simetris: Bila lesi tersebar dikedua sisi tubuh (kanan dan kiri), letaknya
satu sisi lesi dan sisi lainnya di tempat yang persis sama; termasuk bentuk
dan ukurannya, misalnya pada dermatitis atopik fase infantil dapat
ditemukan makula eritematosa di kedua pipi kiri dan kanan sama,
dermatitis kontak alergik akibat kontak sandal jepit.
5. Generalisata: Bila lesi tersebar ditemukan di setiap bagian tubuh, yaitu di
skalp, wajah, ekstremitas, abdomen, punggung. Umumnya meliputi 50-
90% luas permukaan tubuh. Penyebaran generalisata dapat ditemukan
pada sindrom Stevens Johnson, varisela, dan eritroderma.
6. Universal: Bila lesi ditemukan tersebar hampir diseluruh tubuh (>90 -
100%), hampir tidak ada kulit yang sehat. Misalnya ditemukan pada
vitiligo universal, penyakit leiner, bayi kolodion, dan lamellar ichtyosis.

97
Tabel 5. Distribusi lesi sesuai perjalanan penyakit
DISTRIBUSI PENYAKIT

REGIONAL DERMATITIS KONTAK ALERGIKA

TINEA KORPORIS

UNILATERAL SESUAI HERPES ZOSTER


DERMATOM

98
BILATERAL TINEA KRURIS

SIMETRIS DERMATITIS ATOPIK

PSORIASIS VULGARIS

99
GENERALISATA ERITRODERMA

UNIVERSAL VITILIGO

100
APLIKASI KLINIS
Pada prakteknya, dalam membuat status dermatologis harus disusun secara
sistematis.
1. Catat lokasi lesi (ada di regio mana)
2. Deskripsi lesi yang ditemukan sebutkan tipe lesi tersebut, misalnya makula,
papul, plak, vesikel, bula, nodul, ulkus dan seterusnya. Dalam
mendeskripsikan tipe lesi primer dan sekunder harus disebutkan berurutan,
dan lebih dahulu tentukan lesi dominan yang terlihat. Tipe lesi dapat
ditentukan dengan cara inspeksi dan palpasi lesi terlebih dahulu
3. Khusus untuk makula dan patch harus mendeskripsikan:
 Warna (misalnya sama dengan warna kulit, makula eritematosa, makula
hiperpigmentasi, makula kecoklatan)
 Batas (tegas /sirkumskripta, atau tidak tegas /difus).
 Contoh lesi berbatas tegas adalah :
 Makula violaceous pada fixed drug eruption.
 Makula eritematosa atau hiperpigmentasi pada tinea korporis
 Makula eritematosa pada dermatitis kontak iritan
 Patch eritematosa pada eritrasma
 Contoh lesi berbatas tidak tegas adalah :
 Makula eritematous pada dermatitis atopik
 Makula eritematous pada dermatitis seboroik
4. Garis tepi ( regular/beraturan, ireguler/tidak beraturan).
5. Bentuk (bulat, oval, anular, linear, bervariasi)
6. Ukuran:
o Milier : sebesar kepala jarum pentol (0,1-0,2cm)
o Lentikuler : Sebesar kepala jarum pentol (0,3-0,5) cm)
o Gutata : Sebesar tetesan air (>0,5-1 cm)
o Numular : Sebesar uang koin/logam (>1 cm-5cm)
o Plakat : Selebar telapak tangan dewasa (>5 cm)
7. Permukaan (maserasi, skuama, krusta, erosi, likenifikasi) tetapi deskripsi
permukaan tidak selalu harus ada.
8. Khusus untuk plak harus mendeskripsikan:

101
 Warna (sama dengan warna kulit, plak eritematosa, plak
hiperpigmentasi)
 Bentuk (bulat, oval, anular, linear, bervariasi/multiform, plak berbentuk
poligonal)
 Ukuran :
o Gutata : Sebesar tetesan air (0,5 cm)
o Numular : Sebesar uang koin/logam (0,5-5cm)
o Plakat : Selebar telapak tangan dewasa (>5 cm)
 Permukaan (maserasi, skuama, krusta, erosi, likenifikasi) tetapi tidak
selalu harus ada
5. Sebutkan jumlah lesi (soliter atau multipel)
6. Selain inspeksi, perlu dilakukan palpasi pada lesi tersebut, bagaimana
suhunya, konsistensi (kenyal, keras), permukaan (licin, kasar, rata, verukosa)
7. Pada ulkus dilakukan palpasi apakah terdapat indurasi (pengerasan), dan ada
rasa nyeri (dolent) pada penekanan.
8. Sebutkan pula susunan (konfigurasi), misalnya vesikel multipel bergerombol
(herpetiformis); atau terdapat plak eritomatosa dengan lesi satelit di sekitarnya
tersusun korimbiformis.
9. Distribusi lesi: regional, generalisata, universal

C. UJI KULIT (CLINICAL TEST)


1. UJI KULIT PADA MORBUS HANSEN
Persiapan pemeriksaan fungsi saraf yaitu:
1. Siapkan formulir pencegahan kecacatan (prevention of disability/POD)
dan jangan lupa menulis tanggal pemeriksaan.
2. Siapkan peralatan untuk melakukan tes raba (kapas dan bolpoin yang
ringan), nyeri (jarum suntik steril), dan suhu (tabung berisi air suhu 200C
dan 400C).
3. Penderita diminta duduk dengan santai berhadapan dengan pemeriksa.

A. Pemeriksaan fungsi saraf perifer


1. Pemeriksaan N. Facialis
a) Pasien di minta menutup mata secara perlahan.

102
b) Dilihat dari depan dengan dagu sedikit diangkat, apakah mata menutup
dengan sempurna (tidak ada celah).
c) Bagi mata yang menutup tidak rapat, diukur lebar celahnya lalu
dicatat: misalnya lagophtalmus: ya/tidak, bila ya ditulis lebar
celahnya (3 mm).

Gambar 4. Pemeriksaan Nervus Facialis

B. Pemeriksaan N. Auricularis magnus


a) Pasien di minta menoleh maksimal ke kiri sehingga M.
Sternocleidomastoideus berkontraksi dan N. Auricularis Magnus
terdorong ke superfisial.
b) Dilakukan perabaan dengan 3 jari pada 1/3 atas M.
Sternocleidomastoideus, dicari bentukan seperti kabel yang menyilang
M. Sternocleidomastoideus.
c) Terdapat struktur lain yaitu V. Jugularis yang teraba lebih lunak dan
ada pulsasi, sedangkan saraf teraba seperti kabel.
d) Lakukan pemeriksaan yang sama pada N. Auricularis magnus sinistra.
e) Kesimpulan: Terdapat/tidak terdapat penebalan/pembesaran N.
Auricularis D/S, apakah ada nyeri atau tidak pada saraf dan
konsistensi saraf (lunak/keras seperti kawat).

103
Gambar 5. Pemeriksaan Nervus Aurikularis magnus

C. Pemeriksaan N. Ulnaris (Singkap baju)


a) Lengan pasien dalam posisi fleksi diletakkan di atas tangan pemeriksa,
agar otot rileks sehingga saraf dapat dibedakan dengan tendon.
b) Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri pemeriksa mencari
sambil meraba saraf Ulnaris didalam sulkus nervi ulnaris yaitu
lekukan diantara tonjolang tulang siku olkranon dan tonjolan kecil di
bagian medial (epicondilus medialis).
c) Dibedakan dari tendon dengan cara meraba ke proksimal, jika tendon
akan menjadi otot, bila saraf, akan tetap teraba seperti kabel
d) Dengan tekanan ringan gulirkan pada saraf ulnaris, dan telusuri ke
atas dengan halus sambil melihat mimik/reaksi penderita apakah
tampak kesakitan atau tidak.
e) Kemudian dengan prosedur yang sama untuk memeriksa saraf ulnaris
kiri (tangan kiri pemeriksa memegang lengan kiri penderita dan
tangan kanan pemeriksa meraba saraf ulnaris kiri penderita tersebut).
f) Kesimpulan: Apakah ada penebalan/pembesaran N. Ulnaris D/S,
apakah ada nyeri atau tidak pada saraf (neuritis atau tidak), konsistensi
saraf (lunak/keras seperti kawat).

104
Gambar 6. Pemeriksaan Nervus Ulnaris

D. Pemeriksaan N. Peroneus comunis/poplitea lateralis (bersamaan,


celana di gulung ke atas)
a) Pasien dalam posisi duduk, kedua kaki dalam keadaaan relaksasi,
sebaiknya dalam posisi menggantung lebih rileks.
b) Pemeriksa duduk di depan penderita, dengan tangan kanan memeriksa
kaki kiri penderita dan tangan kiri memeriksa kaki kanan.
c) Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada pertengahan
betis bagian luar penderita sambil pelan-pelan meraba ke atas sampai
menemukan tonjolan tulang (caput fibula), setelah menemukan tulang
tersebut jari pemeriksa meraba saraf peroneus 1 cm ke arah belakang.
d) Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan bergantian ke
kanan dan kiri sambil melihat mimik/reaksi penderita.
e) Kesimpulan: Apakah ada penebalan/pembesaran N. Peroneus
communis D/S, apakah ada nyeri atau tidak pada saraf, konsistensi
saraf (lunak/keras seperti kawat).

105
Gambar 7. Pemeriksaan Nervus Peroneus communis
E. Pemeriksaan N. Tibialis posterior
a) Pasien masih dalam keadaan duduk rileks.
b) Dengan jari telunjuk dan tengah, pemeriksa meraba saraf Tibialis
posterior di bagian belakang bawah dari mata kaki sebelah dalam
(maleolus medialias) dengan tangan menyilang (tangan kiri pemeriksa
memeriksa saraf tibialis kiri dan tangan kanan pemeriksa memeriksa
saraf tibialis posterior kanan penderita).
c) Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat
mimik/reaksi dari penderita.
d) Kesimpulan: Apakah ada penebalan/pembesaran N. Tibialis posterior
D/S, apakah ada nyeri atau tidak pada saraf, konsistensi saraf
(lunak/keras seperti kawat).

Gambar 8. Pemeriksaan Nervus Tibialis posterior

106
b. Pemeriksaan sensibilitas
I. Pemeriksaan rasa raba
1. Pemeriksaan rasa raba di kulit tubuh
a) Menyapa pasien dan perkenalkan diri, sampaikan tujuan
pemeriksaan.
b) Penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa.
c) Sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa rasa
raba.
d) Periksalah dengan ujung dari kapas yang dilancipi secara tegak
lurus pada kelainan kulit yang dicurigai (dari tengah ke tepi lesi).
e) Sebelumnya kita menerangkan bahwa bilamana merasa tersentuh
bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang
disentuh dengan jari telunjuknya, ini dikerjakan dengan mata
terbuka.
f) Bilamana hal ini telah jelas, maka pasien diminta menutup matanya,
kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain/karton.
g) Kelainan-kelainan dikulit diperiksa secara bergantian dengan kulit
yang normal disekitarnya untuk mengetahui ada tidaknya
hipoestesi/anestesi.

Gambar 9. Tes raba dengan ujung kapas yang disentuhkan pada lesi

107
2. Pemeriksaan rasa raba pada tangan
a) Menyapa pasien dan perkenalkan diri, sampaikan tujuan
pemeriksaan.
b) Penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa.
c) Telapak tangan yang akan di periksa diletakkan di atas meja/paha
penderita atu bertumpu pada tangan kiri pemeriksa sehingga semua
ujung jari tersangga (tangan pemeriksa yang menyesuaikan diri
dengan keadaan tangan penderita) misalnya claw hand, maka
tangan pemeriksa menyangga ujung-ujung jari tersebut sesuai
lengkungan jarinya.
d) Jelaskan pada penderita apa yang akan dilakukan padanya, sambil
memperagakan dengan sentuhan ringan dari ujung ballpoint pada
lengannya dan satu atau dua titik pada telapak tangannnya.
e) Bila penderita merasakan sentuhan diminta untuk menunjuk tempat
sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain.
f) Tes diulangi sampai penderita mengerti dan kooperatif.
g) Penderita diminta menutup mata atau menoleh kearah berlawanan
dari tangan yang diperiksa.
h) Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh.
i) Usahakan pemeriksaan titik-titik tersebut tidak berurutan (secara
acak).
j) Bila pasien tidak dapat menunjukkan 2 titik atau lebih berarti
ada gangguan rasa raba.
k) Penyimpangan letak titik yang ditolerir 2,5 cm.

Gambar 10. Tes rasa raba dengan ballpoint pada telapak tangan

108
3. Pemeriksaan rasa raba pada kaki
a) Menyapa pasien dan perkenalkan diri, sampaikan tujuan
pemeriksaan.
b) Penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa.
c) Kaki kanan penderita diletakkan pada paha kiri, usahakan telapak
kaki menghadap ke atas.
d) Tangan kiri periksa menyanggah ujung kaki penderita.
e) Berilah penjelasan apa yang akan dilakukan sambil memperagakan
dengan menyentuh ujung ballpoint pada telapak kaki tanpa lesi
(penderita membuka mata). Bila penderita merasakan sentuhan
tersebut, diminta penderita menunjuk tempat sentuhan tersebut.
f) Cara mengetes tersebut diulang, hingga penderita mengerti dan
kooperatif.
g) Pada daerah yang menebal boleh sedikit menekan dengan
cekungan berdiameter 1 cm.
h) Dengan ujung ballpoint pemeriksa menyentuh kaki penderita pada
titik-titik tertentu di telapak kaki secara acak.
i) Bila pasien tidak dapat menunjukkan 2 titik atau lebih berarti
ada gangguan rasa raba.
j) Jarak penyimpangan yang bisa diterima maksimal 2,5 cm.

Gambar 11. Tes rasa nyeri dengan ballpoint pada telapak kaki

109
II. Pemeriksaan rasa nyeri
a) Menyapa pasien dan perkenalkan diri, sampaikan tujuan pemeriksaan.
b) Penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa.
c) Tangan yang akan diperiksa diletakkan diatas meja/paha pasien atau
bertumpu pada tangan kiri pemeriksa.
d) Berikan penjelasan apa yang akan dilakukan sambil memperagakan
dengan menekan jarum dengan ujung tajam pada kulit yang normal
dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul, pasien harus
mengatakan mana yang tajam dan mana yang tumpul.
e) Mata pasien ditutup, lalu bergantian kedua ujung jarum tersebut
ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai (ujung jarum tegak,
gentle, jangan sampai berdarah).
f) Bila pada daerah yang dicurigai tersebut beberapa kali pasien salah
menyebutkan rasa pada ujung jarum yang ditempelkan maka
disimpulkan bahwa sensasi nyeri di daerah tersebut terganggu.

Gambar 12. Tes rasa nyeri dengan ujung jarum suntik pada lesi
III. Pemeriksaan suhu
a) Menyapa pasien dan perkenalkan diri, sampaikan tujuan
pemeriksaan.
b) Penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa.
c) Tangan yang akan diperiksa diletakkan dia tas meja/paha pasien atau
bertumpu pada tangan kiri pemeriksa.
d) Berikan penjelasan apa yang akan dilakukan sambil memperagakan
dengan menyentuhkan ujung tabung reaksi yang berisi air panas

110
(sebaiknya 40oC) dan air dingin (20oC) pada daerah kulit yang
normal, untuk memastikan bahwa orang yang diperiksa dapat
membedakan panas dan dingin.
e) Mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian
kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai.
f) Bila pada daerah yang dicurigai tersebut beberapa kali pasien salah
menyebutkan rasa tabung yang ditempelkan, maka disimpulkan
bahwa sensasi suhu di daerah tersebut terganggu.

Gambar 13. Tes suhu dengan 2 tabung reaksi berisi air dingin dan air hangat.
Bila ada gangguan sensibilitas, pasien tidak dapat membedakan
dingin dan panas

2. UJI KULIT PADA URTIKARIA (TES DERMOGAFISME)


Tes dermografisme dilakukan dengan cara menggores kulit dengan benda
tumpul dilakukan untuk menilai dermographism yaitu urtika atau wheal linear
yang muncul akibat goresan.

Gambar 14. Dermographism pada pasien urtikaria

111
3. UJI KULIT PADA DERMATITIS ATOPIK (TES WHITE
DERMOGRAFISM)
White dermographism yaitu garis putih yang terjadi setelah goresan tidak
mengikuti triple phenomena Lewis, hal tersebut dapat terlihat pada penderita
dermatitis atopik. Pada kulit normal bila digores dengan benda tajam akan
terjadi:
- Pertama : timbul garis putih yang kemudian berubah menjadi kemerahan.
- Kedua : timbul daerah kemerahan disekitar tempat goresan.
- Ketiga : timbul edema setelah beberapa menit.
Pada penderita dermatitis atopik, garis merah yang terjadi tidak segera disusul
dengan daerah kemerahan tetapi malah disusul warna putih pucat selama 2-3
menit.

Gambar 15. White dermographysm

4. UJI KULIT PADA PSORIASIS VULGARIS


Ada beberapa uji kulit yang dilakukan pada psoriasis vulgaris, yaitu:
1. Kaarsvlek phenomen (fenomena tetesan lilin)
Tes ini dilakukan pada lesi dengan skuama berlapis, yaitu menggores
skuama pada lesi dengan skapel/pinggir kaca objek sehingga skuama akan
berubah warnanya menjadi putih seperti lilin yang disebabkan oleh
berubahnya indeks bias.
2. Autzpitz sign (tanda Auspitz)
Tes ini merupakan lanjutan dari tes Kaarsvlek yaitu bila penggoresan
diteruskan akan tampak bintik-bintik perdarahan (pin point bleeding), yang
disebabkan oleh ‘pemenggalan‘ papila dermis dan pelebaran serta berkelok-
112
keloknya pembuluh darah. Tanda Auspitz ini lebih mempunyai nilai
diagnostik.
3. Koebner phenomen (fenomena Koebner)
Koebner phenomen merupakan terbentuknya lesi psoriasis baru yang
bersifat sama dengan lesi psoriasis yang telah ada akibat induksi traumatik
berulang pada kulit yang tidak tedapat lesi, biasanya terjadi 7- 14 hari
setelah trauma. Trauma dapat berupa garukan, lokasi sunburn atau
pembedahan.

Gambar 16. (a). Pemeriksaan fenomena tetesan lilin dan tanda auspitz

Gambar 16. (b). Fenomena Koebner

5. UJI KULIT PADA PURPURA (TES DIASKOPI)


Pemeriksaan diaskopi dilakukan dengan cara menekan lesi menggunakan
benda transparan, misalnya kaca obyek atau spatel plastik. Hal ini untuk
membedakan antara eritema (akibat vasodilatasi) dengan purpura (akibat
ekstravasasi eritrosit), juga warna apple jelly (kekuningan) dapat terlihat pada
lupus vulgaris.

113
Bila terdapat kemerahan lakukan tes diaskopi
 Warna merah menghilang = makula eritematus
 Warna merah tidak menghilang/ diaskopi (+) = purpura atau telangiektasis

Gambar 17. Tes diaskopi

Gambar 18. Purpura pada henoch shcoenlein purpura dapat ditentukan


dengan tes diaskopi

6. UJI KULIT PADA BULLOUS DISEASE (NIKOLSKY SIGN)


Tanda Nikolski positif disebabkan oleh adanya akantolisis. Cara
mengetahui tanda tersebut ada dua, yaitu:
1. Menekan dan menggeser kulit di antara dua bula dan kulit tersebut akan
terkelupas disebut dengan Nikolsky‟s sign atau Nikolsky‟s sign type 1
2. Cara kedua dengan menekan bula maka bula akan meluas karena cairan di
dalamnya mengalami tekanan disebut dengan Nikolsky‟s sign type 2 / asboe
hansen sign.

114
Gambar 19. Nikolsky’s sign (Nikolsky’s sign type 1) pada pemfigus vulgaris,
steven johnson’s syndrome dan toxic epidermal necrolysis, staphylococcal
scalded skin syndrome

Gambar 20. Nikolsky’s sign type 2 pada pemfigoid bulosa


7. PEMERIKSAAN MENGGUNAKAN LAMPU WOOD
Menggunakan lampu merkuri tekanan tinggi yang menghasilkan sinar UV
(360 nm), untuk memeriksa infeksi jamur dan bakteri pada kulit superfisial,
menggambarkan derajat pigmentasi antara kulit normal dengan kulit yang ada
lesinya, menentukan area kulit hipopigmentasi atau amelanosit.
Alat: Lampu Wood dan ruangan kedap cahaya. Prinsip kerja: Sinar Wood
diarahkan ke lesi akan dipantulkan berdasarkan perbedaan berat molekul
metabolik organisme penyebab, sehingga menimbulkan indeks bias berbeda, dan

115
menghasilkan pendaran warna tertentu. Cara kerja: Kulit dan rambut yang akan
diperiksa harus dalam keadaan sealamiah mungkin. Obat topikal, bahan kosmetik,
lemak, eksudat harus dibersihkan terlebih dahulu karena dapat memberikan hasil
positif palsu. Pemeriksaan harus dilakukan di dalam ruangan kedap cahaya
agar perbedaan warna lebih kontras. Jarak lampu Wood dengan lesi yang akan
diperiksa ±10-15cm, Lampu Wood diarahkan ke bagian lesi dengan pendaran
paling besar/jelas.

Interpretasi :
Tinea kapitis (M. canis, M. audouinii, M. rivalieri, M. Ferrugineum dan M.
gypseum) hijau terang. Pityriasis versikolor: putih kekuningan, orange tembaga,
kuning keermasan atau putih kebiruan (metabolit koproporfirin). Tinea favosa
(Trichophyton schoenleinii): biru suram/hijau suram (akibat metabolit pteridin).
Eritrasma (Corynebacterium minutissimum): merah koral (metabolit porfirin).
Infeksi pseudomonas: hijau (metabolit pioverdin atau fluoresein). Hasil positif
palsu: salep dan krim dikulit atau eksudat: biru, jingga; tetrasiklin, asam salisilat
dan petrolatum: kuning

Gambar 21. Wood lamp

116
Gambar 22. Fluoresen merah bata pada eritrasma

Gambar 23. Fluoresen kekuningan pada pityriasis versikolor

Gambar 24. Fluoresen hijau pada tinea kapitis

117
PENUTUP

Untuk menegakkan diagnosis penyakit kulit dan kelamin perlu dipahami


dan dikuasai morfologi serta terminologi baku, kemudian dilatihkan pada aplikasi
klinis. Anamnesis sangat penting membantu mencari etio-patogenesis penyakit.
Melakukan inspeksi dan palpasi kulit hendaknya dilakukan secara sistematik,
dengan menggunakan terminologi yang telah umum dipakai secara nasional
maupun internasional.
Filosofi : “Untuk membaca kata, seseorang harus mengenal huruf; untuk
membaca kulit, seseorang harus mengenal lesi-lesi pokok. Untuk memahami
sebuah paragraf, seseorang harus mengetahui bagaimana kata-kata dirangkai;
untuk mengetahui diagnosis banding, seseorang harus mengetahui lesi-lesi pokok
apa yang ada, bagaimana mereka berkembang, dan bagaimana mereka tertata
dan tersebar.”

118
DAFTAR PUSTAKA
1. Carza L, Lechler T, Zouboulis CC, et all. Structur of skin lesion and
fundamentals on clinical diagnosis. In: Kang S, Amagni M, Bruckne: AL,
Enk AH, Margolis DJ, Mc Michael AJ, Orringer JS. editors. Fitzpatrick‘s
Dermatology in General Medicine. 9th ed. New York: Mc Graw-
Hill;2019.p.49-192
2. Shou K., Kane M. Lio P.A., Stratiogs A.J., Johnson R.A. Color Atlas And
Synopsist Of Pediatic Dermatology. Eczematous Dermatitis. Mc graw Hill
Medical, Second Edition.2002.p.34-59.
3. Wolff K. Johnson R.A., Suurmond D., Fitzpatrick‘s color Atlas And
Synopsis Of Clinical Dermatology. Disorders Presenting in The Skin. Mc
Graw Hill Medical Publishing Division. Fifth Edition. p.2005.02-68.
4. Leung DMY, Eichenfield LF, Boguniewick M. Atopic dermatitis In:
Goldsmith LA, Katz IS, Gilchrest BA, Leffel DJ, Wolff K, editors.
Fitzpatrick‘s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: Mc
Graw-Hill;2012.p.165-82.
5. Grattan CE. Urticaria dan Angioedema. In : Bolognia, JL, Jorizzo J L,
Schaferr Julie V, editors. Dermatology. 3rd ed. New York: Elsevier
;2012.p. 291-305
6. Sterry W, Paus R, Burgdorf. Dermatologic diagnosis. In: Sterry W, Paus
R, Burgdorf, editors. Thieme Clinical Companions Dermatology. 5thed.
German: George Thieme verlag KG;20006.p.16-24
7. James WD, Berger TG, dan Elston DM.Seborrheic Dermatitis. Dalam:
Andrews‘ Diseases of The Skin: Clinical Dermatology. 11th ed. Saunders
Elsevier, 2011: 10: 188-189.
8. Shear NH, Knowles SR. Cutaneous reaction to drug. In: Goldsmith LA,
Katz IS, Gilchrest BA, Leffel DJ, Wolff K editors. Fitzpatrick‘s
Dermatology in General Medicine.8thed. New York: Mc Graw-Hill Book
CO;2012.p.449-50
9. Jopling W.H. Hand Book of Leprosy . 5 th ed New Delhi:CBS. Published
& Distributor. 2011. p.1-53,92-100.
10. DepKes RI. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan XIV,
2

119
Cheklist Pemeriksaan Fisik Kulit
SKOR
No ASPEK YANG DINILAI
0 1 2 3
I. Memberikan salam pembuka dan
memper-kenalkan diri
II. Mempersiapkan perasaan pasien untuk
menghindari rasa takut dan stress
sebelum melakukan pemeriksaan fisik
1. Memberi penjelasan dengan benar,
jelas, lengkap dan jujur tentang cara
dan tujuan pemeriksaan
2. Memberitahukan kemungkinan
adanya rasa sakit atau tidak nyaman
yang timbul selama pemeriksaan
dilakukan
III. Melakukan Pemeriksaan Dermatologis
(inspeksi dan palpasi lesi) :
1. Menggunakan kaca pembesar (loupe)

2. Menentukan Regio
3. Menentukan tipe lesi primer dan
sekunder secara berurutan
4. Menentukan jumlah lesi
5. Menentukan susunan lesi
6. Menentukan konfigurasi lesi
7. Menentukan distribusi lesi
8. Melaporkan deskripsi status
dermatologis
IV. Melakukan Pemeriksaan Fisik
A. Pemeriksaan Syaraf Perifer :
1. N. Auricularis magnus dextra/sinistra

2. N. Ulnaris dextra/sinistra

120
3. N.Peroneus communis dextra/sinistra

4. N. Tibialis posterior dextra/sinistra

B. Pemeriksaan Sensorik (Sensibilitas)


1. Pemeriksaan sensibilitas raba
2. Pemeriksaan sensibilitas nyeri
3. Pemeriksaan sensibilitas suhu
V. Clinical Test / Uji Kulit
1. Nikolsky‟s sign / Asboe Hansen
sign/bullous spread phenomen
2. Kaarsvlek phenomen/Austpitz
sign/Koebner phenomen
3. Dermografisme
4. White Dermografisme
5. Diaskopi
6. Lampu Wood
SKOR YANG DIDAPAT
SKOR TOTAL

Banda Aceh, Juli 2019

Instruktur

Keterangan Skor
0 = Tidak dilakukan
1 = Dilakukan, dengan banyak perbaikan ( lebih dari 50 %)
2 = Dilakukan, dengan sedikit perbaikan (kurang dari 50%)
3 = Dilakukan dengan sempurna
Cakupan penguasaan keterampilan :
(Skor/ yang didapat / Skor Total) x 100% = ......%

121
V. PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK MATA
(EYE PHYSICAL EXAM)
dr. Saiful Basri, Sp.M
Bagian Ilmu Penyakit mata
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah KualaRSUDZA Banda Aceh

Tujuan Belajar : Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisikmata secara


sistematis dan benar

PENDAHULUAN
Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yg dibungkus oleh 3 lapisan:
1. Sklera dan kornea
2. Koroid,badan siliaris dan iris
3.Retina
- Sebagian besar bola mata dilapisi oleh sebuah lapisan jaringan ikat protektif
yang kuat disebelah luar : sklera yang membentuk bagian putih mata
- Dianterior (kearah depan) lapisan luar terdiri dari : Kornea bagian yang
transparan, tempat lewatnya berkas cahaya kearah anterior mata
■ Koroid:
- Lapisan tengah dibawah sklera, yang sangat berpigmen, dan
mengandung pembuluh darah untuk memberi makan retina
- Lapisan koroid disebelah anterior mengalami spesialisasi untuk
membentuk : badan siliaris dan iris.
■ Retina:
- Lapisan paling dalam dibawah koroid
- Terdiri dari sebuah lapisan berpigmen sebelah luar dan sebuah lapisan
jarigan saraf didalam
- Retina mengandung sel batang dan kerucut.
Bagian dalam mata terdiri dari:
 Dua rongga berisi cairan yang dipisahkan oleh sebuah lensa yang jernih
yang memungkinkan cahaya lewat menembus mata dari kornea ke retina
 Rongga anterior (depan) : Aqueous Humor terletak antara kornea dan
lensa mengandung cairan encer jernih.
 Rongga posterior (belakang) : Vitreous Humor terletak antara lensa dan
retina
Bagian bagian eksternal mata yang penting diperhatikan diperlihatkan pada
gambar dibawah ini :
 Palpebra dan silia berfungsi untuk melindungi mata, menutupi bola mata
dan melumas permukaannya.
 Konjungtiva adalah membran mukosa tipis yang vaskular dan transparan,
yang melapisi palpebra dan bagian anterior bola mata
 Sklera adalah lapisan luar bola mata yang putih, terletak dibawah
konjungtiva
 Kornea : jaringan yang transparan, licin dan avascular yang menutupi iris,
dan menyatu pada sklera pada limbus
 Iris : bagian sirkular yang berwarna pada mata
 Pupil : lubang bulat dan kecil ditengah iris

122
A

B
A & B Gambar Anatomi Mata Manusia

123
Jalur visual dari retina ke korteks visual

Pemeriksaan tajam penglihatan


Tajam penglihatan adalah suatu metode pengukuran yang mana seseorang
dapat mengenal objek terkecil pada jarak tertentu dari mata. Beberapa istilah yang
sering dipergunakan dalam pemeriksaan tajam penglihatan adalah :
 AV : aksis visual (tajam penglihatan )
 OD : oculus dexter ( mata kanan )
 OS : oculus sinistra ( mata kiri )
 OU : oculus uterque ( kedua mata )

Tajam penglihatan ditentukan dengan memakai kartu Snellen yang
merupakan kartu dengan huruf/angka/simbol yang mempunyai ukuran berbeda
pada setiap barisnya. Baris huruf/angka/simbol mempunyai angka disebelah
kanannya yang menunjukkan jarak seseorang normal dapat melihat huruf pada
baris tersebut dengan jelas.
Kartu Snellen ditempatkan pada jarak tertentu (biasanya 6 meter) di depan
pasien yang akan diperiksa. Pada jarak ini pasien yang memiliki penglihatan
normal dapat melihat huruf pada baris dengan angka 6 di sebelahnya, pasien ini
mempunyai tajam penglihatan 6/6.
Besar huruf pada kartu Snellen berbeda sehingga setiap huruf tertentu
hanya dapat dibaca pada jarak tertentu (kartu untuk jarak 6 meter dan 5 meter)
membentuk sudut 5 menit dengan nodal point.
Pemeriksaan dilakukan tanpa dan dengan kacamata yang sedang dipergunakan.

Tajam penglihatan dapat berkurang pada keadaan berikut :


 Kelainan refraksi seperti miopia (rabun jauh), hipermetropia (rabun dekat),
astigmat atau silindris
 Kelainan media penglihatan seperti kornea, akuos humor, lensa dan badan
kaca yang keruh.
 Saraf penglihatan terganggu.

124
Alat :
 Kartu Snellen atau E
 Lensa Coba
 Gagang Lensa Coba

Tehnik pemeriksaan
 Pasien duduk menghadapi kartu Snellen dengan jarak 6 meter.
 Dipasang gagang lensa coba
 Mata yang tidak akan diperiksa ditutup, biasanya yang diperiksa mata kanan
terlebih dahulu.
 Pasien diminta membaca huruf yang tertulis pada kartu Snellen dimulai pada
baris paling atas dan bila telah terbaca dilanjutkan dengan membaca baris
bawahnya.
 Ditentukan letak baris terakhir yang masih dapat dibaca.

Nilai atau hasil pemeriksaan


Bila huruf yang terbaca tersebut :
 Terdapat pada baris dengan tanda 30, dikatakan tajam penglihatan 6/30
 Terdapat pada baris dengan tanda 6, dikatakan tajam penglihatan 6/6.
Tajam penglihatan seseorang dikatakan normal bila tajam penglihatan
adalah 6/6 atau 100%.
Dengan kartu standar dapat ditentukan tajam atau kemampuan dan fungsi mata
penglihatan seseorang :
 Bila tajam penglihatan 6/6 , berarti ia dapat melihat pada jarak 6 meter, yang
oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 6 meter.
 Bila pasien hanya dapat melihat huruf pada baris yang menunjukkan angka 30,
berarti tajam penglihatan 6/30
 Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen dengan
jarak 6 meter maka dilakukan uji hitung jari.

Uji hitung jari


Dasar : Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada jarak 60 meter
Teknik : Pasien duduk di kamar yang terang

Pasien diminta melihat atau menentukan jumlah jari yang diperlihatkan


pada jarak tertentu. Bila jari yang diperlihatkan dikenal pada jarak 1 meter maka
dikatakan tajam penglihatan seseorang adalah 1/60. Bila pasien tidak dapat
melakukan uji hitung jari dilakukan uji lambaian
tangan. Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam penglihatan
pasien lebih buruk dari 1/60. Orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian
tangan pada jarak 300 meter. Bila pasien hanya dapat melihat lambaian tangan
pada jarak 1 meter, berarti tajam penglihatannya adalah 1/300.

Kadangkala seseorang hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak
dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam panglihatan
tidak berhingga ( 1/~ ). Bila pasien sama sekali tidak mengenal adanya sinar
disebut tajam penglihatan nol/buta.

125
Uji Lobang Kecil ( Pinhole Test )
Pemeriksaan ini bermaksud untuk mengetahui apakah tajam penglihatan
terganggu akibat kelainan refraksi atau kelainan media penglihatan atau saraf
optik.

Alat :
 Lempeng pinhole
 Kartu snellen
 Di kamar ruangan biasa

Tehnik :
 Pasien duduk menghadap kartu Snellen dengan jarak 6 meter
 Pasien diminta membaca huruf terkecil yang masih terbaca.
 Pada mata tersebut dipasang lempeng pinhole
Pasien diminta membaca kembali kartu Snellen.
Nilai :
 Bila dapat baca huruf yang lebih kecil daripada sebelumnya pada kartu
Snellen berarti terdapat kelainan refraksi yang dapat dikoreksi penuh.
 Bila huruf yang terbaca lebih besar daripada huruf sebelumnya berarti
terdapat kelainan pada media penglihatan

126
Pemeriksaan Segmen Anterior
I. Kedudukan bola mata

1.1 Uji Refleks Kornea ( Hirscberg )


Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai kedudukan bola mata dengan
melihat refleks pada kornea. Bila terdapat fiksasi sentral pada satu mata maka
refleks sinar yang diberikan pada kornea mata lainnya dapat menentukan
deviasi secara kasar.

Alat : Sentolop
Tehnik : Sentolop disinarkan setinggi mata pasien dengan jarak 30 cm,
sebagai sinar fiksasi. Refleks sinar pada mata fiksasi diarahkan pada tengah
pupil kemudian dilihat refleks sinar pada kornea mata yang lain.
Pada keadaan normal refleks kornea sedikit ke arah nasal dari sentral
kornea. Refleks cahaya pada mata berdeviasi bila:
Pada tepi pupil, deviasi berkisar 12- 15 derajat. Bila refleks terletak antara
pinggir pupil dan limbus, deviasi berkisar 25- 30 derajat dan bila pada pinggir
limbus deviasi berkisar 45-60 derajat.

II. Uji posisi otot mata luar


Bertujuan untuk memeriksa fungsi gerak otot penggerak bola mata. Dengan
mempergunakan suatu obyek dilihat kemampuan pergerakan otot pada posisi
yang dibuat untuk mendapatkan nilai kemampuan pergerakan otot pada saat
mengikuti obyek tersebut. Bila ternyata otot tertentu tidak mampu mengikuti
gerakan obyek, maka mungkin terdapat parese otot tersebu.

III. Kelopak Mata


III.1 Inspeksi :
Melihat keadaan kedua kelopak mata untuk menentukan kelainan yang ada,
sepertitosis, lagofthalmus, entropion, ektropion, xantelasma dan lain-lain.

III.2. Uji eversi kelopak


Dilakukan untuk mengetahui apakah ptosis yang terjadi akibat parese levator
palpebra. Dilakukan dengan membalik kelopak ke atas, pasien diminta dilihat
keatas. Bila pada saat melihat keatas tarsus yang sudah di eversi kembali ke
kedudukan normal, berarti tidak terdapat parese otot levator dan otot orbikularis
okuli. Pada saat eversi kelopak mata dilakukan juga penilaian kelainan pada
konjungtiva tarsal, adakah tampak benda asing, folikel atau papil

127
III.3. Melihat gangguan sekunder fungsi kelopak mata akibat penyakit lain, mis
Bell‟s palsy, ophthalmopaty tiroid.
IV. Konjungtiva
IV.1.Inspeksi
 Pemeriksaan dilakukan dengan mempergunakan bantuan loup dan senter
 Melihat pola perdarahan di konjungtiva, apakah kelainan tersebut merupakan
perdarahan subkonjungtiva, hiperemi, injeksi siliar, injeksi konjungtiva atau
kombinasi keduanya.
 Mencari kelainan yang terdapat pada konjungtiva, misalnya pterigium,
pinguecula, skleritis dll.
 Melihat adakah sekret yang dikategorikan berdasarkan kuantitas, karakter sekret.

V. Kornea
Pemeriksaan dilakukan dengan mempergunakan bantuan loup dansenter.
Melihat kejernihan dari kornea, kelainan yang dapat ditemukan pada kornea,
misal : sikatriks, infiltrat, ulkus, benda asing dan lain-lain.

V.1. Pemeriksaan Plasidoskopi


Alat : Papan dengan gambaran lingkaran konsentrikputih
hitam
Tehnik : 1. Pasien membelakangi sinar (jendela)
2.Plasidoskop diletakkan setinggi mata pasien
3.Melalui lobang plasidoskop dilihat gambaran pada
kornea pasien.

128
Nilai :
Bila bayangan pada mata terlihat konsentrik berarti tidak ada kelaianan
kecembungan kornea. Bila garis konsentrik terlihat padat ditengah berarti
kornea menonjol atau yang disebut keratokonus.
Bila garis lingkaran lonjong berarti terdapat astigmat
Bila garis tidak beraturan atau lingkaran tidak simetris berarti adanya
astigmat ireguler.
Bila garis kurang tegas mungkin karena kornea tidak jernih atau adanya
edema kornea.

V.2.Uji sensibilitas Kornea


Tujuan : Tes untuk pemeriksaan fungsi saraf trigeminus yang memberikan
sensibilitas pada kornea.
Dasar : Mata akan berkedip bila terkena sinar kuat, benda yang bergerak
cepat mendekati mata, suara keras, rabaan pada kornea. Refleks
taktil kornea didapat melalui saraf serabut aferen saraf trigeminus
dan serabut eferen saraf fasial. Terdapat hubungan dengan korteks
yang berupa rasa sakit.

Alat : 1. Kapas
Teknik :
 Pasien diminta melihat ke sisi yang berlawanan dari bagian kornea yang di
tes
 Pemeriksa menahan kelopak mata pasien yang terbuka dengan jari
telunjuk dan ibu jari.
 Dari sisi lain (untuk mencegah terlihat) kapas digeser sejajar dengan
permukaan iris menuju kornea yang akan diperiksa.
 Diusahakan mendekatkan kapas tidak disadari pasien.
 Kapas ditempel pada permukaan kornea.

Nilai :
1. Terjadinya refleks mengedip.
2. Perasaan tidak enak oleh pasien, yang dinyatakan dengan perasaan sakit
3. Timbulnya lakrimasi.
Apabila terjadi refleks mengedip berarti sensibilitas kornea baik dan fungsi
trigeminus normal. Refleks kedip menurun pada keratitis atau ulkus herpes
simpleks dan herpes zoster.

V.3. Uji Fluoresein


Tujuan : Untuk mengetahui terdapatnya kerusakan pada
lapisan kornea.
Dasar : Zat warna fluoresein bila menempel pada epitel
kornea yang defek akan memberikan warna hijau
karena jaringanepitel rusak bersifat lebih basa.
Alat : Zat warna fluoresein 0,5%-2% tetes mata atau kertas
flouresein

129
Tehnik
 Mata ditetes pantokain 1%
 Zat warna fluoresein diteteskan pada mata atau kertas fluoresein
ditempatkan pada forniks inferior selama 20 detik.
 Zat warna diirigasi dengan garam fisiologis sampai seluruh air mata tidak
berwarna hijau lagi.
 Dilihat bagian pada kornea yang berwarna hijau

Nilai
 Bila terdapat warna hijau pada kornea berarti terdapat defek pada epitel
kornea.
 Defek dapat berupa erosi, infiltrat atau ulkus.

VI. IRIS/ PUPIL


VI.1. Uji refleks pupil
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat refleks miosis pupil akibat suatu
penyinaran pada mata, baik reaksi penyinaran langsung atau tidak langsung
pada mata lainnya.
Pada suatu lingkaran refleks sinar dengan motorik pupil, yang langsung
mengenai mata yang disinari disebut refleks langsung. Refleks tidak
langsung terjadi bila mata sebelah dari mata yang disinari memberikan
refleks atau reaksi. Mata normal akan memberikan ambang dan intensitas
lampu kedua refleks sama. Bila sinar dinaikkan perlahan-lahan maka reaksi
akan terjadi sampai ambang rangsang.

VI.2. Refleks sinar langsung.


Tehnik :
 Mata disinari
 Dilihat keadaan pupil pada mata yang disinari apakah terjadi miosis
(mengecil) pada saat penyinaran.

Nilai :
 Periode laten 0,2 detik setelah rangsangan. Sesudah pupil berkontraksi
kuat akan disusul dilatasi ringan terutama bila penyinaran tidak keras.
Hal ini menunjukkan refleks pupil langsung +
 Pada refleks + atau normal berarti visus ada dan motorik saraf ke III
berfungsi baik

130
VI.3. Refleks sinar konsensual
Mata disinari dengan diusahakan sinar tidak masuk pada mata yang lain.
Dilihat keadaan pupil mata yang tidak disinari apakah terjadi miosis
(mengecil) pada saat penyinaran mata sebelahnya.
Nilai :
 Terdapat periode laten seperti pada mata yang disinari langsung. Kontraksi
pupil bereaksi sama dengan mata yang disinari langsung. Bila terjadi
refleks miosis disebut refleks pupil tidak langsung +.
 Pada keadaan ini dinilai fungsi saraf motorik ke III untuk membuat
konstriksi atau miosis dari mata yang tidak disinari,
Refleks langsung terganggu bila saraf optik mengalami gangguan atau
pada kerusakan saraf okulomotor mata yang disinari.
Refleks tidak langsung terganggu bila pada saraf mata yang disinari ada
kelainan atau terdapat kerusakan saraf okulomotor mata yang sedang
diperiksa refleks konsensual.

VI.4. Refleks pupil


Diperiksa di kamar gelap dengan mempergunakan oftamoskop direk pada
jarak 1-2 kaki.
Refleks pupil normal berwarna merah, refleks abnormal berwarna putih yang
disebut leukokoria.

VII. LENSA
VII.1. Tes bayangan iris ( shadow test )
Pemeriksan ini dilakukan untuk mengetahui derajat kekeruhan lensa. Makin
sedikit lensa keruh pada bagian posterior makin besar bayangan iris pada
lensa yang keruh tersebut. Bila kekeruhan lensa semakin tebal maka
semakin kecil bayangan iris pada lensa yang keruh.

Alat : 1. Lampu sentolop


2. Loupe

131
Tehnik :
 Sentolop disinarkan pada pupil dengan membuat sudut 45 derajat dari
dataran iris.
 Dengan loupe dilihat bayangan iris pada lensa yang keruh.
Bila bayangan iris pada lensa terlihat besar dan letaknya jauh terhadap pupil
berarti lensa belum keruh seluruhnya, terjadi pada katarak immatur, keadaan
ini disebut shadow test +. Apabila bayangan iris pada lensa kecil dan dekat
pupil berarti lensa sudah keruh total, terdapat pada katarak matur ( shadow
test - ). Katarak hipermatur bila lensa telah keruh seluruhnya, mengecil serta
terletak jauh di belakang pupil, sehingga bayangan iris pada lensa besar dan
keadaan ini disebut pseudopositif.

VIII. RETINA
VIII.1 Oftalmoskopi Funduskopi
Bertujuan untuk melihat dan menilai kelainan pada fundus okuli. Cahaya
yang dimasukkan ke dalam fundus akan memberikan refleks fundus.
Gambaran fundus mata akan terlihat bila fundus diberi sinar.
Alat :
1. Oftalmoskop
2. Obat melebarkan pupil
Dilakukan dengan obat
Tropicamide 0,5%- 1% ( Mydriatil )
Fenilefrin hidroklorida 2,5%

Perhatian
Sebaiknya sebelum dilakukan pelebaran pupil dikur terlebih dahulu ukuran
tekanan bola mata. Keadaan berikut sebaiknya tidak dilakukan pelebaran pupil :
 Bilik mata yang dangkal
 Dengan tanda pupil setelah trauma kepala
 Implan fiksasi pada iris
 Pasien pulang mengendarai kendaraan sendiri
 Pasien menderita glaukoma sudut tertutup.

Tehnik
Diperiksa di kamar gelap :
Memeriksa mata kanan pasien dengan mata kanan pemeriksa, demikian
pula dengan mata kiri.
1. Mula-mula diputar roda lensa oftalmoskop sehingga menunjukkan angka +
12 dioptri
2. Oftalmoskop diletakkan 10 cm dari mata pasien. Pada posisi ini fokus

132
terletak pada kornea atau lensa mata
3. Bila ada kekeruhan pada kornea atau lensa mata akan terlihat bayangan
hitam pada dasar yang jingga.
4. Selanjutnya oftalmoskop lebih didekatkan pada mata pasien dan roda lensa
oftalmoskop diputar, sehingga roda lensa menunjukkan angka mendekati
nol.
5. Sinar difokuskan pada papil saraf optik.
6. Diperhatikan warna, tepi dan pembuluh darah yang keluar dari papil saraf
optik.
7. Mata pasien diminta melihat sumber cahaya oftalmoskop yang dipegang
pemeriksa, dan pemeriksa dapat melihat keadaan makula lutea pasien
8. Dilakukan pemeriksaan pada seluruh retina.

Nilai :
Dapat dilihat keadaan normal dan patologis pada fundus mata.
Papil saraf optik
 Papiledema
 Hilangnya pulsasi vena saraf optik
 Ekskavasi papil saraf optik pada glaukoma
 Atrofi saraf optik
 Retina
 Perdarahan subhialoid
 Perdarahan intra retina, lidah api, dots, blots
 Edema retina
 Edema makula
Pembuluh darah retina
 Rasio arteri dan vena
 Perdarahan arteri dan vena
 Mikroaneurisma vena

133
134
IX. Tonometri
Tonometri adalah suatu metode untuk mengukur tekanan bola mata. Ada 4
metode, yaitu :
a. Digital (palpasi), metode ini kurang tepat karena dibutuhkan
pengalaman dan sangat subjektif
b. Tonometri Schiotz, memberi beban pada permukaan kornea
c. Tonometri Applanasi, mendatarkan permukaan kornea
d. Tonometri Non Kontak /Air puff tonometry, mempergunakan
tekanan udara, kurang teliti.
2. Tonometer yang diletakkan pada permukaan kornea akan menekan bola
mata ke dalam, sehingga akan mendapatkan perlawanan tekanan dari
dalam bola mata. Keseimbangan tekanan tergantung dari beban yang
dipergunakan untuk menekan permukaan kornea.

Tonometri Schiotz
Merupakan tonometer indentasi atau menekan permukaan kornea dengan beban
yang dapat bergerak bebas pada sumbunya. Pada tonometer Schiotz bila tekanan
rendah maka beban akan mengindentasi lebih dalam dibanding bila tekanan bola
mata tinggi.
Alat:
Obat tetes anestesi lokal ( tetrakain )
Tonometer Schiotz
Tehnik:
Pasien diminta melongarkan bajunya
Pasien tidur terlentang di tempat tidur
Teteskan mata dengan anestesi topikal
Tunggu sampai ras perih pada mata pasien menghilang
Kelopak mata pasien dibuka dengan telunjuk dan ibu jari
Pasien diminta mengacungkan ibu jarinya ke atas atau melihat ke langit-langit
ruang pemeriksaan.
 Dasar tonometer schiotz diletakkan pada permukaan kornea
 Setelah tonometer menunjukkan angka yang tetap, dibaca nilai tekanan pada
skala busur yang berkisar antara 0-15

Nilai:
Pembacaan skala dikonversi pada tabel untuk mengetahui tekanan bola mata
dalam milimeter air raksa.

X. Pemeriksaan lapangan pandang


X.1. Uji Konfrontasi
Dilakukan untuk melihat gangguan lapang pandang pasien dengan
membandingkan lapang pandang pemeriksa. Pemeriksaan ini sangat
sederhana dan tidak memerlukan alat khusus.
Tehnik
 Pasien dan pemeriksa duduk dengan berhadapan dengan jarak kira-kira 1
meter
 Mata kiri pemeriksa ditutup dan mata kanan pasien ditutup
 Mata kanan pemeriksa dan mata kiri pasien saling berpandangan

135
 Sebuah benda diletakkan antara pasien dengan pemeriksa pada jarak yang
sama
 Benda mulai digerakkan dari perifer ke arah sentral sehingga mulai terlihat
oleh pemeriksa.
 Ditanyakan pada pasien apakah benda tersebut telah terlihat
 Dilakukan berulang dari berbagai arah (atas, bawah nasal, temporal).
 Pemeriksaan juga dilakukan pada mata satunya, baik pada pemeriksa
maupun pasien.

Bila saat melihat benda oleh pasien dan pemeriksa sama, hal ini menunjukkan
lapang pandang tidak mengalami gangguan, tapi bila pasien terlambat melihat
berarti lapang pandangnya lebih sempit
dibanding pemeriksa.

136
Referensi

1. Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Widya Medika. Jakarta.


2000.
2. Wilson, Fred M. Practical Ophthalmology, A Manual for Beginning
Residents. Fourth Ed. American Academy of Ophthalmology. San
Francisco. 1996.
3. Wong, Tien Y. The Ophthalmology Examinations Review. World
Scientific. Singapore. 2001.
4. American Academy of Ophthalmology Staff. Basic and Clinical Science
Course, Section 3; Clinical Optics. San Francisco. 2005.

137
Cheklist Pemeriksaan Fisik Mata

Skor
No Aspek yang dinilai 0 1 2
I Mempersiapkan perasaan pasien untuk menghindari rasa takut
dan stress sebelum melakukan pemeriksaan fisik :
· Memberi penjelasan dengan benar, jelas, lengkap dan jujur tentang
cara dan tujuan pemeriksaan
· Memberitahukan kemungkinan adanya rasa sakit atau tidak nyaman
yang timbul selama pemeriksaan dilakukan
II. Pemeriksaan visus : mata kanan dan kiri (snellen chart)
· Duduk jarak 6 m
· Menutup mata sebelah– sbelah
· Membaca snellen chart
· Pinhole 1,5 mm
· Laporkan hasil (sebelum dan sesudah pinhole)
III. Pemeriksaan segmen anterior
1. Pemeriksaan segmen anterior
a. Uji refleks cahaya kornea (hirscberg)
· Menyiapkan alat : sentolop
· Menyinarkan mata pasien dengan jarak 30 cm sebagai sinar fiksasi
dengan mengarahkannya ke bagian tengah pangkal hidung
(glabella)
· Menilai refleks sinar pada kedua pupil mata
b. Uji posisi otot mata luar
· Menggerakkan objek ke segala arah untuk menilai kemampuan
gerakan bola mata
· Menilai : normal/parese
· Meniali : normal/deviasi
c. Uji konfrontasi
· Menutup mata pada yang sejajar dengan pemeriksa, mata lihat
kedepan tanpa menggerakkan kepala melihat kejari pemeriksa yang
digerakkan kesegala arah
2. Kelopak mata
a. Inspeksi :
· Melihat kedua bola mata ada/tidaknya : Ptosis, lagofthalmus,
entropion, ektropion, trikiasis, distrikiasis dan xantelasma
b. Uji eversi kelopak
· Meminta pasien untuk melihat ke atas
· Membalikkan kelopak mata atas/bawah ke atas/ kebawah dengan
menggunakan tangan, memeriksa apakah ada benda asing

3. Konjungtiva
a. Menyiapkan alat : loup dan senter
b. Inspeksi :
 Melihat pola pendarahan di konjungtiva : perdarahan
subkonjungtiva, hiperemi, injeksi siliar, injeksi konjungtiva
atau kombinasi keduanya
 Mencari kelainan yang terdapat pada konjungtiva :
pterigium, pinguecula, skleritis, episkleritis.
4 Kornea
a. Menyiapkan alat: loup & senter
b. Inspeksi :
 Melihat kejernihan dari kornea, kelainan kornea : sikatriks,
infiltrat, ulkus, benda asing

138
5 Pupil
a. Uji refleks pupil : langsung & tak langsung
b. Refleks fundus :
 Mendekatkan sentoloup direk 1-2 kaki dari mata pasien di
kamar gelap
 Menilai ; refleks pupil normal : merah, refleks abnormal :
putih/leukokoria

Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi kurang sempurna
2 = dilakukan dengan sempurna

Cakupan penguasaan keterampilan: Skor total ......../48 x 100% = %

Banda Aceh,......................2019

Observer

139
BAB 3
TRAUMA, WOUND CARE, DAN
ANESTESI

140
VI. Basic Trauma Life Support
dr. Meilya Silvalila, Sp.EM
Bagian Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

Tujuan pembelajaran :
1. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan-pemeriksaan trauma yang
penting secara cepat dan melakukan resusitasi.
2. Mahasiswa mampu melakukan persiapan pasien sebelum ditransport ke
rumah sakit.

Pendahuluan
Trauma merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas terbanyak. Penanganan
yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan. Suatu pendekatan yang tepat dibutuhkan
untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas yang timbul pasCa trauma.

Tim Trauma
Tim trauma terdiri dari minimal 3 orang. Penolong pertama bertugas untuk
menjadi ketua tim dan melakukan pemeriksaan, sedangkan penolong kedua
bertugas untuk melakukan stabilisasi leher pasien (jika dibutuhkan) dan
bertanggung jawab pada jalan nafas, sementara penolong ketiga bertanggung
jawab untuk menangani perdarahan. Pendekatan oleh tim dapat membantu
efisiensi penggunaan waktu dan memberikan kesempatan pada ketua tim untuk
lebih fokus melakukan pemeriksaan dan berfikir karena tidak perlu melakukan
sendiri intervensi yang seharusnya dilakukan.

Survei Primer
Survei Primer merupakan suatu rangkaian pemeriksaan yang dilakukan secara
cepat untuk mengidentifikasi dan memberikan tatalaksana segera terhadap
kondisi-kondisi yang mengancam nyawa, simultan dengan resusitasi dan
pengobatan. Cedera sspesifik yang harus segera diidentifikasi selama survei
primer mencakup sumbatan jalan nafas, tension pneumothorax, perdarahan
internal dan eksternal massive, pneumothorax terbuka, flail chest, dan tamponade
jantung.

141
Sumber : ITLS for Emergency Care Provider

Penilaian Awal
Tujuan penilaian awal (initial assessment) adalah untuk memprioritaskan pasien
dan untuk mendeteksi adanya kondisi yang dapat mengancam nyawa segera.
Informasi yang didapat digunakan untuk membuat keputusan tentang intervensi
kritis dan waktu transport. Begitu diputuskan pasien aman untuk didekati,
pemeriksaan harus dilakukan dengan cepat dan mulus.
Penilaian awal diambil untuk menangkap kesan umum akan kondisi pasien, suatu
evaluasi terhadap derajat kesadaran, penentuan perlu tidaknya stabilisasi terhadap
tulang cervical, serta penilaian terhadap jalan nafas, pernafasan dan juga sirkulasi
pasien.

142
Kesan Umum
Dekati pasien dari arah depan. Catat perkiraan umur, jenis kelamin, berat badan,
dan tampilan umum. Pasien yang sangat tua dan sangat muda lebih beresiko,
sementara pasien perempuan mungkin dalam kondisi hamil. Amati posisi pasien,
pergerakan, orientasi terhadap sekeliling, kecemasan, ada tidaknya cedera mayor
atau perdarahan yang banyak, dll.
Jika terdapat beberapa orang pasien, segera lakukan triase. Triase akan berbeda
jika diberlakukan dalam kelompok kecil jika dibandingkan dengan pada suatu
kejadian massal yang yang jumlah korban melebihi kapasitas pelayanan yang
tersedia. Jika hanya ada beberapa pasien, keputusan utama adalah pasien mana
yang akan dirawat dan ditransport lebih dahulu, sementara pada kejadian massal,
keputusan yang dibuat adalah siapa yang akan mendapatkan perawatan dan siapa
yang tidak.

Tingkat Kesadaran
Pemeriksaan dilakukan sesegera mungkin bahkan jika pasien masih terperangkap.
Jika ditemukan mekanisme cedera yang mengarah pada kemungkinan cedera
spinal, penolong 2 langsung melakukan stabilisasi kepala dan leher pada posisi
netral.

Sumber : ITLS for Emergency Care Provider

Tingkat kesadaran (AVPU)


A Alert Sadar, memiliki orientasi yang baik, dan mematuhi perintah.
V Verbal Berespon terhadap stimulus verbal (bangun/sadar tetapi
bingung, atau tidak sadar namun memberikan respon tertentu
terhadap stimulus verbal).
Pain Berespon terhadap nyeri (tidak sadar, namun memberikan
P respon tertentu terhadap sentuhan atau rangsangan nyeri.
U Unresponsive Tidak ada refleks menelan atau batuk

Memeriksa Jalan Nafas


Jika pasien tidak bisa berbicara atau tidak sadar, evaluasi lebih jauh pada jalan
nafas harus dilakukan. Lihat, dengar, dan rasakan pergerakan udara. Buka jalan
nafas jika diperlukan. Hindari melakukan pergerakan pada leher untuk membuka
jalan nafas pada pasien yang dicurigai menderita cedera tulang belakang. Jika

143
jalan nafas tersumbat (snoring, gurgling, stridor), lakukan metode yang sesuai
(reposisi, sweep, suction) untuk dapat segera membuka jalan nafas tersebut.
Memeriksa Pernafasan
Lihat, dengar, dan rasakan pergerakan udara. Jika pasien tidak sadar, tempatkan
telinga di dekat mulut pasien sehingga dapat menilai sekaligus kedalaman dan
jumlah ventilasi. Lihat pergerakan dada (atau perut), dengarkan suara udara
mengalir, dan rasakan hembusan nafas di pipi, serta rasakan pergerakan dada
dengan tangan. Perhatikan apakah pasien menggunakan otot-otot nafas tambahan.
Jika pasien tidak bernafas dengan adekuat, penolong 2 harus segera membantu
ventilasi. Semua pasien yang bernafas terlalu cepat harus diberikan tambahan
oksigen tekanan tinggi.

Memeriksa sirkulasi
Periksa kualitas dan jumlah nadi pada pergelangan (brakhial jika pasien anak-
anak). Perhatikan apakah detaknya terlalu lambat, atau terlalu cepat. Perhatikan
pula kualitasnya (amplitudo kecil, kuat angkat, lemah, irregular). Selain itu, nilai
juga apakah pasien pucat, bagaimana temperatur pasien, serta waktu pengisian
kembali kapiler (capillary refill time). Pucat, akral lembab dan dingin, amplitudo
nadi kecil, dan penurunan kesadaran, merupakan penanda awal telah terjadinya
penurunan perfusi (syok). Jika nadi tidak teraba di pergelangan, periksalah nadi
carotis. Jika tetap tidak teraba, segera lakukan resusitasi jantung paru (RJP). Jika
terlihat ada perdarahan, segera lakukan bebat tekan. Sebagian besar perdarahan
dapat dihentikan dengan penekanan langsung atau melalui bebat tekan.

Rapid Trauma Survey


Rapid trauma survey merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk menemukan
semua cedera yang dapat mengancam nyawa. Mulailah dengan pertanyaan tentang
riwayat kejadian (apa yang terjadi, di bagian mana yang nyeri).

Periksa dengan cepat (look and feel) kepala dan leher untuk mencari luka yang
terlihat. Evaluasi vena di leher. Jika distensi, carilah tanda-tanda deviasi trakhea.
Pemeriksaan Leher

Sumber : Prehospital Emergency Care

144
Penemuan-penemuan penting di bagian leher :
1. Peningkatan vena jugular (jugular venous distention-JVD)
Kemungkinan penyebab : cedera pada jantung (pericardial tamponade)
atau paru (tension pneumothorax) atau fungsi jantung yang lemah.

2. Deviasi trakhea
Kemungkinan penyebab : cedera pada paru dengan peningkatan tekanan
yang berlebihan pada rongga pleura (tension pneumothorax).

Expose dan periksa dada. Lihat apakah pergerakannya simetris. Jika tidak,
adakah gerakan paradoxical? Apakah terdapat memar (contusion) atau lecet
(abration)? Apakah ada luka tusuk atau luka yang menghisap (sucking wound).
Dengan hati-hati, lakukan palpasi untuk mengetahui apakah ada nyeri
(tenderness), instabilitas, atau krepitasi. Kemudian dengarkan apakah ada suara
nafas dan apakah suaranya sama antara bagian kiri dan kanan. Jika suara nafas
tidak sama (menurun atau menghilang pada salah satu sisi), lakukan perkusi untuk
mendeteksi apakah ada pneumothorax (hyperresonant) atau hemothorax (pekak).
Jika ditemukan abnormalitas saat melakukan pemeriksaan dada (luka terbuka, flail
chest, tension pneumothorax, hemothorax), segera dilakukan tatalaksana.
Delegasikan intervensi yang sesuai pada anggota tim lain. Lakukan auskultasi
bunyi jantung sebelum melanjutkan ke pemeriksaan abdomen.
Sumber : Prehospital Emergency Care

Penemuan-penemuan kritis (tidak stabil) di Thorax :


1. Luka terbuka
Kemungkinan : sucking wound (luka menghisap), menyebabkan paru-
paru menjadi kolaps.
Penanganan emergensi : Menutup luka terbuka segera dengan kassa yang
diplester pada ketiga sisinya.
2. Pergerakan paradoxical dada
Kemungkinan : Fraktur pada dua atau lebih fragmen iga pada dua tempat
atau lebih (flail segment), kontusio paru, hipoksia berat.
Penanganan emergensi : Stabilisasi flail segment
3. Hilang atau menurunnya suara nafas secara bermakna dan hyperresonant
pada perkusi
Kemungkinan : cedera paru dengan pembentukan tekanan pada rongga
pleura (tension pneumothorax)

145
Penanganan emergensi : mulai ventilasi tekanan positif dengan tambahan
oksigen jika laju pernafasan dan volume tidal tidak adekuat. Periksa ada
tidaknya pergeseran trakhea atau distensi vena jugular.
Lakukan dekompresi jarum (needle decompression) jika ditemukan satu
atau lebih hal berikut ini :
 Distress pernafasan dan sianosis
 Menghilangnya nadi radialis (syok lanjut)
 Penurunan kesadaran

Tension Pneumothorax

Tamponade Jantung

Pada pemeriksaan abdomen, perhatikan apakah ada bruises, luka tusuk atau
impaled object. Palpasi untuk mengetahui ada tidaknya nyeri, rigidity, atau
distensi.

Sumber : Prehospital Emergency Care

146
Palpasi pada pelvic girdle dilakukan untuk mengetahui adanya nyeri, instabilitas,
atau krepitasi dengan menekan simfisis ke bawah dan sengan hati-hati squeezing
kedalam on the anterior
iliac crests.

Sumber : PrehospitalEmergency Care

Pemeriksaan cepat ekstremitas atas dan bawah dilakukan untuk mencari


pembengkakan serta deformitas yang terlihat jelas. Pelvis yang tidak stabil dan
fraktur femur bilateral mengindikasikan bahwa pasien sangat beresiko untuk jatuh
dalam kondisi syok. Sebelum memindahkan pasien, periksa dan yakinkan bahwa
pasien dapat merasakan serta menggerakkan kaki dan tangannya.

Sumber : Prehospital Emergency Care

147
Pemeriksaan Tulang Belakang dan Cedera di Bagian Belakang Selanjutnya
pasien dipindahkan ke long backboard, diperiksa bagian belakangnya. Jika pelvis
pasien tidak stabil, atau kedua femurnya patah, untuk mencegah cedera lebih
lanjut, gunakan scoop strecher.

Sumber : Brady Emergency Care Sumber : Prehospital Emergency Care

Penderita termasuk kategori load and go, jika penderita mengalami kondisi
berikut ini :
1. Pada penilaian awal ditemukan :
a. Perubahan status kesadaran
b. Respirasi abnormal
c. Sirkulasi abnormal (syok atau perdarahan yang tidak terkontrol)
2. Pada Rapid Trauma Survey ditemukan tanda-tanda atau kondisi yang memicu
terjadinya syok, seperti :
a. Pemeriksaan dada abnormal (flail chest, luka terbuka, tension
pneumothorax)
b. Nyeri, distensi perut
c. Instabilitas panggul
d. Patah tulang femur/paha bilateral
3. Mekanisme trauma signifikan dan/atau kesehatan umum penderita buruk.

Hanya ada beberapa prosedur yang dilakukan di lokasi kejadian, yaitu :


1. Tata laksana jalan nafas
2. Bantuan ventilasi
3. Pemberian oksigen
4. Memulai RJP
5. Kontrol perdarahan mayor
6. Menutup luka dada yang menyedot (sucking wound)
7. Stabilisasi flail chest
8. Stabilisasi benda yang menusuk tubuh
9. Persiapan membawa penderita.
Prosedur yang tidak untuk menyelamatkan jiwa seperti balut bidai tidak boleh
menghambat pengiriman penderita kritis. Pastikan menghubungi tempat
pelayanan medis tujuan sebelumnya sehingga rumah sakit tujuan siap menyambut
kedatangan penderita.

148
Jika pasien memenuhi kriteria load and go, maka pasien harus segera ditransport.
Pemeriksaan tanda-tanda vital dilakukan di dalam ambulans. Begitu juga dengan
riwayat SAMPLE pasien (Symptom, Alergi, Medicine, Past medical history, Last
meal, Even preceding the injury), juga ditanyakan saat melakukan transport (di
ambulans).

Survei Sekunder
Survei sekunder merupakan pemeriksaan yang lebih komprehensive untuk
mencari cedera-cedera tambahan yang mungkin terlewat pada survei primer.
Survei sekunder tidak dimulai sebelum survei primer selesai dikerjakan.
Pemeriksaan ini juga merupakan dasar bagi penegakan diagnosis. Sangat penting
untuk mencatat informasi yang ditemukan dalam pemeriksaan ini.
Pemeriksaan harus mencakup elemen berikut ini :
1. Mengulang penilaian awal
2. Pertimbangkan untuk menggunakan monitor (cardiac, pulse oximeter, CO)
3. Ulangi pemeriksaan tanda-tanda vital
4. Lakukan pemeriksaan neurologi singkat, meliputi :
a. Derajat kesadaran (GCS)
b. Pupil
c. Gerakan motorik

149
Sumber : ITLS for Emergency Care Provider

150
Checklist: Basic Trauma Life Supports

Nilai
No. Aspek yang Dinilai
0 1 2
1. Melakukan survei TKP
 Menggunakan alat perlindungan diri dari
cairan tubuh pasien
 Menilai bahaya di TKP terhadap diri dan
pasien
 Melakukan estimasi jumlah pasien dan
melakukan triase
 Memanggil bantuan
 Menanyakan mekanisme cedera
2. Penilaian Awal
 Menilai keadaan umum
 Menilai derajat kesadaran (AVPU)
 Melakukan stabilisasi tulang leher jika
dicurigai terjadi cedera tulang leher (cervical).
 Menilai jalan nafas
o Apakah ada darah, muntahan, patahan
gigi, gigi palsu ?
o Apakah terdengar suara gurgling atau
snoring?
o bersihkan jalan nafas jika jalan nafas tidak
clear
3.  Menilai pernafasan
o Apakah penderita bernafas?
o Jika bernafas, apakah pernafasan cepat,
lambat, dalam, dangkal, adekuat?
o berikan oksigen pada setiap pasien dengan
pernafasan yang abnormal, penurunan
kesadaran, syok atau cedera mayor
4  Menilai sirkulasi
o Apakah teraba nadi radialis/karotis
o Apakah nadi regular/irregular
o Akral hangat/dingin?
o Capillary refill time< 2 detik?
o Apakah ada perdarahan dan apakah
perdarahan dapat dikontrol?

151
5.  Memeriksa Kepala dan leher
o Apakah ada luka?
o Apakah vena jugular distensi?
o Apakah trakhea deviasi?
6.  Memeriksa dada
o Apakah gerakan simetris?
o Apakah terdapat gerakan paradoxical?
o Apakah ada luka tusuk?
o Apakah ditemukan nyeri, instabilitas, dan
krepitasi?
o Apakah terdengar suara nafas? Apakah
suara simetris ? Jika tidak, lakukan
perkusi.
o Apakah suara jantung terdengar menjauh?
7.  Memeriksa abdomen
o Apakah ditemukan memar atau luka
tusuk?
o Apakah ditemukan nyeri, distensi, dan
rigidity?
8.  Memeriksa pelvis
o Apakah ditemukan nyeri, instabilitas, dan
krepitasi?

9.  Memeriksa ekstremitas (motorik dan sensorik)


10.  Memeriksa bagian belakang
o Apakah terlihat luka, ditemukan nyeri dan
deformitas?
11.  Memutuskan apakah pasien masuk dalam
kriteria load and go
12.  Mempersiapkan transportasi pasien
13.  Melakukan secondary survey di ambulans.
Keterangan :
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan, tetapi kurang benar
2 : Dilakukan dengan benar

% cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/.... x 100% = %

Banda Aceh,...........2019

Observer

152
REFERENSI

1. Campbell, J. 2012. International Trauma Life Support for Emergency Care


Provider. Pearson Education.
2. Mistovich, JJ. Karen, KJ. 2010. Prehospital Emergency Care, 9th ed. Pearson
Education.
3. O‘Keefe, MF., Limmer, D. 2012. Brady Emergency Care. 12th ed. Pearson
Education.
4. Tintinalli, JE. 2011. Emergency Medicine A Comprehensive Study Guide, 7th
ed. Mc.GrawHill.
5. Malang Trauma Service. 2008. Modul Basic Trauma Life Support. Life
Support Training Centre.
6. American College of Surgeon. 2012. Advance Trauma Life Support Student
Course Manual. 9th ed.

153
VII. BASIC LIFE SUPPORT
Dr.dr. Zafrullah Khany Jasa, SpAn., KNA
Bagian Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

Tujuan Belajar : Mahasiswa mampu melakukan basic life support (BLS)

Basic Life Support (BLS) adalah tingkat pertolongan yang dapat diberikan
pada pasien dengan masalah yang mengancam nyawanya sebelum pasien tersebut
mendapat pertolongan medis yang lebih lengkap. BLS dapat dilakukan oleh
tenaga medis yang terlatih termasuk personil lapangan atau oleh siapapun yang
telah memperoleh pelatihan BLS. BLS umumnya diterapkan pada fase pra-rumah
sakit dan dapat dilakukan tanpa instrument khusus.

Pendahuluan

Banyak negara yang memiliki protap tentang bagaimana penerapan BLS


yang sesuai untuk negara tersebut. Pada umumnya BLS tidak menggunakan obat-
obatan dan prosedur invasif, yang merupakan salah satu perbedaan BLS dari
Advanced Life Support (ALS). Karena prosedurnya yang relatif sederhana, BLS
selayaknya dapat dikuasai oleh berbagai profesi, seperti polisi, pemadam
kebakaran, dsb.

Resusitasi yang dilakukan pada BLS dapat mempertahankan kondisi pasien


sebelum mendapatkan pertolongan yang lebih lanjut lewat ALS. Atas dasar itulah,
petugas yang melakukan BLS harus juga menguasai teknik komunikasi dengan
petugas yang akan melakukan ALS.

Basic Life Support terdiri atas sejumlah teknik assessment (penilaian) dan
resusitasi yang difokuskan pada ―ABC‖ untuk fase pra-rumah sakit:

 Airway: Melakukan pengamanan dan kemudian mempertahankan jalan


nafas, termasuk penggunaan jalan nafas bantuan seperti oral-pharyngeal
airway atau nasa-laryngeal airway
 Breathing: aliran udara selama pernafasan, baik alami maupun artifisial,
atau dibantu dengan pernafasan darurat
 Circulation: perfusi darah ke seluruh tubuh, dibantu dengan resusitasi
jantung dan paru (RJP)

BLS juga mencakup teknik transportasi pasien, seperti perlindungan


vertebra servikal maupun di bawahnya dan pencegahan cedera tambahan akibat
kesalahan prosedur.

Airway

Gangguan airway (jalan nafas) dapat timbul secara perlahan atau mendadak
dan dapat bersifat total atau sebagian (parsial). Walaupun bukan merupakan tanda
pasti, adanya takipnea harus dipikirkan juga sebagai tanda adanya adanya

154
gangguan jalan nafas. Sedangkan tanda-tanda objektif sumbatan jalan nafas
adalah sebagai berikut:

1. Lihat (Look) apakah pasien mengalami agitasi (kesan hipoksia) atau tampak
bodoh (kesan hiperkarbia). Selain itu dapat pula dilihat adanya tanda-tanda
sianosis sentral atau perifer, serta adanya penggunaan otot-otot pernafasan
tambahan baik pada otot-otot leher, maupun otot dinding dada (retraksi
interkostal).
2. Dengar (Listen) adanya suara nafas abnormal, seperti mendengkur (snoring),
berkumur (gargling), bersiul (crowing sound, stridor), atau parau (hoarseness,
dysphonia) yang mungkin disebabkan sumbatan faring atau laring. Pasien
gaduh-gelisah atau delirium mungkin juga disebabkan oleh hipoksia akibat
gangguan jalan nafas.
3. Raba (Feel) lokasi trakea.

Adapun cara mempertahankan jalan nafas yang adekuat adalah sebagai berikut;
1. Pada pasien yang telentang, jalan nafas dibuka dengan metode chin-lift
(mengangkat dagu) dan head-tilt (kepala tengadah). Letakkan satu tangan
pada dahi pasien, tekan ke bawah-belakang untuk mendongakkan kepala
pasien. Jari-jari tangan yang lain diletakkan di bawah mandibula dan
digunakan untuk mengangkat dagu pasien. Dapat pula diakukan jaw-thrust
dengan memegang angulus mandibula kiri dan kanan, dan mendorong
mandibula ke depan. Head-tilt tidak dilakukan pada kasus trauma, terutama
pada trauma yang dicurigai adanya cidera vertebra servikal. Kecurigaan
tersebut harus muncul pada kasus-kasus berikut; cedera/fraktur multipel,
penurunan kesadaran tanpa sebab yang jelas dan adanya tanda-tanda cedera di
atas klavikula. Hal ini penting dipahami untuk mengantisipasi akibat lebih
buruk lagi apabila terjadi cedera vertebra servikal.

2. Pada kasus sumbatan jalan nafas oleh benda asing, yang ditandai oleh sesak
nafas, batuk, dan tanda khas berupa ―mencengkeram‖ leher, tindakan yang
dilakukan didasarkan pada tingkat sumbatan. Bila pasien asianotik, mampu
batuk dengan kuat, tidak dijumpai retraksi atau penggunaan otot-otot nafas
tambahan, dan bisa bicara, berarti sumbatan yang terjadi bersifat parsial
dengan respirasi yang masih adekuat. Pada pasien ini cukup dievaluasi, tidak
perlu segera dilakukan intervensi.
Jika dijumpai pasien dengan kondisi berlawanan dengan yang disebutkan di
atas, berarti terjadi sumbatan parsial namun dengan respirasi yang tidak
adekuat, atau bahkan terjadi sumbatan total. Pada pasien ini harus segera
dilakukan intervensi untuk membebaskan jalan nafas.

3. Pada pasien yang sadar, dapat dilakukan intervensi berupa Heimlich


manuevre, yang dilakukan dengan cara berdiri memeluk rapat pasien dari
belakang, kedua tangan penolong dikatupkan dengan kepalan tangan
ditempelkan di atas umbilikus pasien. Kepalan ditekan kuat kearah belakang
lalu ke atas dengan cepat, sampai benda asing keluar. Prosedur dihentikan bila
pasien mengalami penurunan kesadaran.

155
Breathing
Apabila pernafasan tidak membaik dengan terbukanya jalan nafas (Airway),
penyebab lain harus dicari. Ventilasi mungkin terganggu oleh gangguan
pergerakan nafas (ventilator mechanics) atau depresi Sistim Saraf Pusat oleh
berbagai sebab. Tanda-tanda objektif ventilasi yang tidak adekuat adalah sbb.

1. Lihat (Look), nilai adakah jejas, luka, pembengkakan, asimetri gerakan nafas
ataupun pergerakan dinding dada yang tidak adekuat, di mana ada satu
hemithoraks yang tertinggal dibanding sisi satunya serta pernafasan yang
dilakukan dengan susah payah (labored breathing).
2. Dengar (Listen), nilai pergerakan udara (suara udara pernafasan) dan
bandingkan pada kedua sisi hemithoraks dan lakukanlah pada beberapa titik
dan kalau perlu dengan merubah posisi (bila memungkinkan atau hasilnya
meragukan).
3. Raba (Feel), nilai dengan meraba kedua hemithoraks, adakah krepitasi, nyeri
tekan lalu dilanjutkan pemeriksaan perkusi yang harus dilakukan dengan hati-
hati dan nilai suara yang terdengar, apakah sonor, hipersonor (udara
berlebihan, pneumothoraks) ataukah redup (adanya cairan, hemothoraks
ataupun efusi pleura)
4. Lakukan evaluasi keberhasilan bantuan ventilasi yang dilakukan dan bila
memungkinkan, gunakan pulse oxymeter.

Adapun teknik-teknik resusitasi ventilasi adalah sebagai berikut:

1. Mouth to mouth – Airway dipertahankan dengan metode head-tilt dan chin-


lift. Hidung pasien ditutup, mulut penolong diposisikan sedemikian rupa
sehingga menutupi mulut pasien. Penolong menghembuskan nafas ke dalam
mulut pasien secara biasa sambil mengamati gerakan dinding dada pasien.
Bila tidak dijumpai gerakan dinding dada pasien yang sesuai dengan
hembusan nafas penolong, pasien harus direposisi dan prosedur diulangi
kembali. Bila gerakan dinding dada tetap tidak dijumpai, pasien harus
dicurigai mengalami sumbatan airway.
2. Mouth to mask – Pada prinsipnya sama seperti mouth to mouth, namun disini
digunakan masker dan pompa udara sebagai pengganti mulut penolong. Ada
dua cara yang dapat dilakukan:
a. Teknik sefalik – Dilakukan bila ada lebih dari satu penolong. Penolong
yang berada di posisi kepala pasien memompa dengan sebelah tangan, dan
yang lain memegang masker menutupi mulut dan hidung pasien sambil
melakukan jaw-thrust.
b. Teknik lateral – Dilakukan bila hanya ada satu orang penolong. Dengan
berada di sebelah lateral pasien, penolong dapat memompa dengan sebelah
tangan dan memegang masker dengan tangan yang lain, atau memegang
masker dengan kedua tangan sambil melakukan head-tilt dan chin-lift
sementara udara dihembuskan dari mulut penolong ke dalam masker.
3. Penekanan krikoid – Penekanan kartilago krikoid ke arah posterior dapat
menutup esofagus, sehingga meminimalisir udara yang masuk ke lambung

156
selama ventilasi. Prosedur ini hanya dilakukan pada pasien yang tidak sadar,
dengan cara menekan kartilago krikoid dengan jempol dan jari telunjuk ke
arah posterior.

Circulation

Sirkulasi dinilai dengan meraba pulsasi arteri karotis. Perabaan dilakukan


maksimal selama 10 detik. Jika pulsasi teraba, bantuan pernafasan dapat
diteruskan dengan frekuensi 1 kali pernafasan per 4-5 detik. Bila pulsasi tidak
teraba, maka harus segera dimulai kompresi jantung.

Kompresi jantung dilakukan pada ½ bawah sternum pasien yang


terlentang. Sambil berlutut di samping pasien, tumit salah satu tangan penolong
ditempelkan di atas sternum di atas xiphisternal junction, sedangkan tangan
satunya diletakkan di atas tangan yang pertama. Jari-jari tangan penolong tidak
boleh menempel di dada pasien. Posisi lengan penolong tegak lurus terhadap
sternum pasien. Kompresi dilakukan sedalam 1/3 sampai ½ jarak antero-posterior
dada dengan siku penolong yang terkunci dan momentum bobot tubuh penolong
yang ditumpukan pada sternum pasien. Kompresi harus ritmik, dengan frekuensi
100 kali kompresi per menit, atau dengan rasio kompresi : ventilasi 15 : 2 pada
pasien yang tidak diintubasi.

Pada balita, kompresi dilakukan dengan cara yang berbeda. Kedua tangan
penolong melingkari dada pasien dengan kedua jempol melakukan kompresi pada
sternum. Cara lainnya adalah dengan melakukan kompresi menggunakan jempol
dan telunjuk penolong pada sternum pasien. Rasio kompresi : ventilasi pada
balita adalah 5 : 1.

Pada keadaan biasa dan bukan sebagai kelanjutan dari resusitasi jalan
nafas maupun breathing (ventilasi), sirkulasi akan menggambarkan kecukupan
oksigen yang dihantarkan melalui aliran darah dengan kebutuhan oksigen di
tingkat sel. Adanya ketidakcukupan tersebut (gangguan perfusi) disebut syok yang
dapat disebabkan oleh berbagai sebab, baik pada jalan nafas, proses ventilasi,
kelainan jantung, paru, pembuluh darah, perdarahan maupun kehilangan plasma
darah oleh berbagai sebab. Syok merupakan proses dan tidak selalu merupakan
hasil akhir, karenanya mengenali secara dini proses syok sangatlah penting.
Tanda-tanda awal syok adalah, peningkatan frekwensi nadi diikuti vasokonstriksi
perifer (akral dingin dan pucat), tekanan darah menurun, jumlah urin berkurang
dalam satuan waktu dan pada tahap akhir atau syok berat, akan terjadi gangguan
kesadaran sampai koma.

Immobilisasi dan Transport

Immobilisasi terutama ditujukan untuk mengantisipasi kemungkinan


adanya fraktur dan khususnya fraktur vertebra, immobilisasi dilakukan pada posisi
supine maupun lateral dengan tujuan terpenting adalah, mempertahankan vertebra
pada posisi segaris (in-line).

157
Pada posisi supine, pasien dibaringkan telentang di atas permukaan yang
rata dan keras (biasanya digunakan spinal board atau long spine board), tanpa
bantal, dan dibatasi gerakan kepala dan leher dengan cervical collar, dahi pasien
juga diikat ke spinal board.

Pada keadaan khusus, di mana pasien tidak bisa dibaringkan pada posisi
supine, misalnya pada pasien yang muntah-muntah, jangan sekali-kali
memiringkan kepala saja sebagai upaya menghindarkan terjadinya aspirasi. Pasien
seperti ini dapat dibaringkan pada posisi lateral, dengan tetap menjaga posisi in-
line vertebra.

Bila pasien harus dipindahkan dari spinal board, posisi in-line vertebra
harus tetap dijaga. Caranya adalah dengan mengangkat atau memindahkan seluruh
tubuh pasien – dari kepala sampai kaki – secara serentak (logroll).

158
159
160
Rencana Materi Skill Lab Blok Emergensi
Peralatan
Bentuk
No Materi Kajian Tujuan pada Ket
Penyajian
peragaan
1 Pendahuluan Pembukaan Memahami Contoh
keadaan Algoritme
emergensi penatalaksan
Definisi Mengetahui aan, Struktur
langkah pengorganisa
pelaporan sian
Konsep Pembagian Nomor-
penatalaksanaa tugas & nomor tlp
n wewenang penting
2 Triage & Penyajian Mampu Penggunaan Skenario
Initial Keracunan melakukan kartu triage, praktek
Assessment massal asesmen cepat Daftar
Assessmen Mampu tindakan,
cepat memilah pasien monitoring &
a d masalah formulir
Bertindak Mampu rujukan
berdasar melakukan call
prioritas for help
3 Manajemen Assessmen Mengetahui Kanul, Face Skenario
jalan nafas anatomi jalan mask & Praktek
nafas AMBU,
Resusitasi Mampu deteksi Suction rigid
jenis kegawatan & soft,
airway Gudel, Naso-
Monitoring Mampu endotrakheal
meringankan tube, Kanul
kegawatan trakheostomi,
airway Alat peraga
Re-evaluasi Mampu menilai jalan nafas
perbaikan atau
perburukan
4 Manajemen Assessmen Mengenal Kanul Skenario
breathing anatomi dinding oksigen, face Praktek
dada mask,
Resusitasi Mengenal AMBU,
peranan paru- Abbocath
paru dan pleura besar, Chest
Monitoring Mengenal tanda Tube, NGT
kegawatan dan botol
breathing WSD,
Re-evaluasi Mampu Oksimetri,
memberikan O2 alat peraga
dg benar breathing

161
5 Manajemen Assessmen Mengenal tanda- Venocath, Skenario
sirkulasi tanda & proses spuit, infus Praktek
syok set, blood set,
Resusitasi Mampu cairan infus
menemukan titik (kristaloid,
penilaian koloid, cairan
Monitoring Mampu hiperosmoloa
menemukan r), kateter,
akses resusitasi stopcock,
Re-evaluasi Mampu menilai triway
respon resusitasi

6 Manajemen Assessmen Menilai ada Spalk, ellastis Skenario


immobilisasi tidaknya fraktur verband, Praktek
dan dan dislokasi gips, skin
transportasi Immobilisasi Mampu memilih traksi, spine
dan melakukan board, screw
immobilisasi stratcher,
Monitoring & Penilaian pra brankard,
evaluasi dan pasca form rujukan
immobilisasi
Evakuasi Mampu
evakuasi pasien
dengan benar

162
References

1. Valenzuela TD, Roe DJ, Nichol G, Clark LL, Spaite DW, Hardman RG.
Outcomes of rapid defibrillation by security officers after cardiac arrest in
casinos. N Engl J Med. 2000; 343: 1206–1209
2. Stone CK, Humphries RL. Lange‘s Current Emergency Diagnosis and
Treatment. McGraw-Hill 2004: 147-163
3. Advanced Trauma Life Support for Doctors: Student Course Manual 7th.
Edition. IKABI 2004

163
CHECKLIST SKILLS LAB : Basic Life Support (BLS)
SEMESTER GANJIL, TA 2018/2017

Group : Instruktur : Hari/Tanggal : Waktu :


No Aspek yang dinilai
0 1 2 0 1 2 0 1 2 0 1 2 0 1 2 0 1 2 0 1 2
1 Menilai keamanan diri dan situasi sekitarnya
2 Memeriksa kesadaran pasien dengan memanggil nama atau
menepuk bahu
3 Bila tidak sadar, segera memanggil bantuan (berteriak,
menelpon gawat darurat atau aktifkan METS/Medical
Emergency Team System)
4 Nilai airway : untuk menentukan adanya obstruksi jalan
napas ?
a. Look : Jejas, darah, cairan atau benda asing lainnya
diwajah atau mulut
Bila ada cairan atau benda asing segera dikeluarkan dengan
apusan jari, sedotan atau suction
b. Listen : Snoring, gargling, crowing, hoarness
Bila ada salah satu diatas lakukan head tilt, chin lift, jawthrust
atau heimlich manuever
c. Feel : merasakan adanya aliran udara dari hidung atau
mulut dengan tangan diatas wajah
5 Nilai breathing : untuk menentukan adanya apnoe atau
distress nafas

164
a. Look : lihat gerakan dada, keseimbangan kiri dan kanan
Bila abnoe segera beri ventilasi buatan 2x dengan mouth to
mouth atau mouth to mask
b. Listen : dengarkan suara nafas, perbedaan kanan dan kiri
Bila ada tanda-tanda pneumothorax segera lakukan needle
thoracosintesis
c. Feel : rasakan dengan kedua telapak tangan pergerakkan
dinding dada perkusi dinding dada bila diperlukan
6 Nilai sirkulasi : untuk menentukan cardiac arrest atau shock
hipovolemik
a. Raba nadi a. carotis atau nadi a. bracialis/a. femoralis pada
bayi/anak
Bila tidak teraba nadi segera pijat jantung 100x permenit.
Setiap 30 pijatan 2x ventilasi
b. Nilai akral : dingin, pucat atau basah / berkeringat,
capillary refill time
Bila ada tanda-tanda shock segera posisi shock
7 Evaluasi ulang kembali airway, breathing dan sirkulasi
8 Bila pasien menunjukkan tanda-tanda ROSC (Return of
Spontaneus Circulation), lanjutkan dengan pemberian obat-
obatan, cairan dan modifikasi lainnya
9 Bila pasien tetap tidak sadar/cardic arrest maka basic life
support diteruskan sampai bantuan datang

165
10 Menghentikan resusitasi/basic life support bila tidak
bermanfaat lagi
% Cakupan Keterampilan: Skor Total /42 x 100% = % % % % % % %
Keterangan : 0 = Tidak Dilakukan
1 = Dilakukan tetapi Kurang Benar
2 = Dilakukan dengan Benar

Banda Aceh, ……………2019

Observer

166
VIII. MANAJEMEN LUKA
(WOUND MANAGEMENT)
dr. Samsul Rizal, SpBP
Bagian Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

1. PENDAHULUAN
Untuk mendapatkan kemampuan Keterampilan manajemen luka yang baik, maka
mahasiswa diharapkan sudah memahami beberapa materi bahasan mengenai hal-
hal sbb*;
- Anatomi Kulit
- Proses Penyembuhan Luka
- Teknik a dan antiseptic
- Instrumentasi dan material perawatan luka sederhana
- Teknik Penutupan luka yang benar

* Skill Lab terkait: Keterampilan Bedah minor dan Scrub up and gloving
technique

Adapun Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) dan Tujuan Pembelajaran


Khusus (TPK) pada Keterampilan Perawatan Luka pada semester ini adalah sbb:

TPU:
1. Mengenal luka dan berbagai jenis luka
2. Mengetahui dan memahami proses penyembuhan luka.
3. Mengenal dan mengetahui instrumentasi perawatan luka sederhana
4. Mengetahui tindakan dalam perawatan luka sederhana.

TPK :
Setelah mendapatkan materi skill lab tentang Manajemen Luka ini diharapkan
mahasiswa mampu:
1. Melakukan manajemen luka sederhana dengan baik dan benar
2. Mengenal dan mempergunakan instrumentasi perawatan luka sederhana
3. Memilih tindakan perawatan luka sesuai kajian luka
4. Melakukan tindakan penutupan luka yang sederhana
5. Melakukan tindakan balutan luka sederhana

2. MANAJEMEN LUKA

Luka adalah suatu keadaan terputusnya kontinuitas jaringan (epitel kulit dan
jaringan di bawahnya) akibat berbagai hal seperti kecelakaan, rudapaksa maupun
pembedahan. Kondisi ini akan segera diikuti oleh proses penyembuhan luka.
Sekali terjadi cedara atau kerusakan kulit maka mekanisme pertahanan (barrier
properties) dari kulit akan berkurang. Jika dibiarkan, luka akan ditutupi oleh
jaringan keropeng / krusta (Scab). Kondisi ini sebagai fungsi proteksi, tetapi
masih sangat berisiko untuk terjadi kolonisasi bakteri dan terjadi infeksi,

167
tergantung berat dan jenis lukanya.

Dalam keadaan normal pada saat jaringan mengalami luka maka tubuh akan
memperbaikinya hingga terjadi pemyembuhan. Penyembuhan luka secara
umumnya akan melalui 3 fase, yaitu:

1. Fase Inflamasi (2-5 hari)


2. Fase Proliferasi (5 hari hingga 3 minggu)
3. Fase Remodelling (3 minggu hingga 2 tahun)

Fase Inflamasi
Fase ini segera terjadi sesaat setelah terjadinya luka dan berlangsung selama 2
hingga 3 hari. Fase ini diawali dengan kaskade hemostasis, lalu terjadi
vasokonstriksi dan vasodilatasi yang berlangsung selama 5 sampai dengan 10
menit. Tromboksan dan prostaglandin akan menyebakan spasme vaskuler yang
akan diikuti dengan terbentuknya kaskade hemostasis, keadaan ini
mengakibatkan sel dan faktor inflamasi terkumpul ke daerah yang mengalami
luka.
Dengan dilepaskannya histamine akan menimbulkan vasodilatasi sehingga
menyebabkan pembuluh darah ‗bocor‘ dan jaringan menjadi edema. Akibatnya,
leukosit dari darah ikut masuk ke jaringan. Trombus terbentuk dan rangkaian
pembekuan darah diaktifkan, sehingga terjadi deposisi fibrin. Debris dan bakteri
kemudian difagositosis oleh leukosit polimorfonuklear dalam 48 jam pertama, dan
oleh makrofag setelah 48 jam.

Fase Proliferasi
Fase ini dimulai pada hari ke-3, setelah fibroblas datang, dan bertahan hingga
minggu ke-3. Sel endotel bermigrasi ke daerah luka dengan proses pseudopodia.
Fibroblas menjadi substansi dasar dari wound bed dan menyebabkan terjadinya
migrasi kolagen terfasilitasi.
Faktor pertumbuhan merangsang epithelialisasi ke arah luka. Kolagen
meningkatkan kekuatan jaringan menggantikan matriks sementara fibrin-
fibronectin. Saat produksi dan degradasi kolagen seimbang, dimulai fase maturasi.
Pembentukan kolagen adalah kunci integritas pembuluh dan kekuatan jaringan
baru. Sintesanya berasal dari proses hidroksilasi dari residu lysin dan proline.
Membutuhkan kofactor berupa Fe+ zat besi, molekul O2, α-ketoglutarat, dan
vitamin.
Epitelialisasi pada fase proliferasi dibentuk oleh keratinosit yang tumbuh dari tepi
luka. Keratinosit berasal dari dermal appendages, seperti folikel rambut, kelenjar
keringat, dan kelenjar minyak. Migrasi keratinosit membutuhkan dasar luka yang
viable, sehat dan menggunakan teknik migrasi seperti memanjat dan melangkahi
satu sama lain. Migrasi terbaik terjadi dalam suasana yang lembab.

Fase Remodeling
Peningkatan produksi dan penyerapan kolagen berlangsung selama 6 bulan hingga
1 tahun. Kolagen tipe III digantikan oleh kolagen tipe I hingga mencapai
perbandingan 4:1 (seperti pada kulit normal dan parut yang matang). Kekuatan
luka meningkat sejalan dengan reorganisasi kolagen sepanjang garis tegangan

168
kulit dan cross-link kolagen terjadi. Kekuatan tegangan luka (tensile strength)
mencapai 50% dalam 3 bulan dan paling maksimal mencapai 80% dari kekuatan
kulit normal. Selanjutnya terjadi apoptosis vaskular yang menyebabkan skar
menjadi pucat, tanda matangnya parut.

Haemostasis Proliferasi Sel Remodeling


Traum Inflamasi Jaringan Granulasi
Angiogenesis Penutupan luka
a Migrasi Sel
Re-epitelisasi Kontraksi

Hari
Hari Hari Hari Hari
14
Tipe 1 Trombosit 3 Keratinosit 7 10
Myofibroblas
Neutrofil Sel endothelial
Sel Limfosit Fibroblast
Makrofag
Makrofag Makrofag

Gambar 1. Fase penyembuhan luka normal

Penilaian Luka
Saat terjadi luka ada beberapa hal yang hal-hal berikut perlu dinilai, yaitu

1. Ukuran dan kedalaman luka


2. Keadaan kulit disekitar luka
3. Tepi luka (rata atau tercabik)
4. Dasar atau bed luka
5. Kontaminasi luka (bersih atau kotor)

Persiapan Bed Luka


Dalam manajemen luka, hal yang harus diperhatikan adalah persiapan bed luka
yang bertujuan untuk membuang lapisan penghalang yang terdapat pada luka agar
proses penyembuhan luka dapat berjalan dengan baik. Persiapan bed luka dapat
dilakukan dengan cara melakukan :

Debridement
Debridement dapat dilakukan pada luka akut maupun pada luka kronis. Pada saat
melakukan debridement struktur anatomi penting mesti dipertahankan
semaksimal mungkin seperti syaraf, pembuluh darah, tendon dan tulang.
Debridement dapat dilakukan secara :
1. Surgikal, dimana jaringan nekrotik diangkat secara tajam melalui
tindakan operasi
2. Mekanikal, dimana jaringan nekrotik terangkat seiring penggantian

169
balutan, umumnya menggunakan kasa lembab yang kemudian diangkat
dari luka saat kering.
3. Kimia adalah tindakan debridmen dengan menggunakan zat kimia yang
dengan cepat melisiskan jaringan nekrotik, seperti hipoklorit. Dapat
diklasifikasikan juga menjadi enzimatik bila zat kimia yang digunakan
berupa zat kimia biologis menyerupai enzim tubuh seperti streptokinase,
streptododornase, ataupun collagenase yang didapat dari bakteri.
4. Autolitik adalah kemampuan tubuh melakukan autodebridement dengan
mempertahankan kontak antara cairan tubuh dengan jaringan nekrotik. Ini
dapat dicapai dengan mengaplikasikan balutan occlusive atau
semiocclusive seperti hidrokoloid, hidrogel, dan film transparan.
5. Biologis merupakan tindakan debridement dengan menggunakan spesies
biologis yang mengkonsumsi jaringan nekrotik, seperti belatung
(maggots).

Kontrol bakteri
Kontrol bakteri dilakukan untuk mengatasi kontaminasi, kolonisasi kuman dan
infeksi. Dalam keadaan terkontaminasi, penyembuhan luka akan terganggu
Jumlah bakteri pada luka yang melebihi 105 per gram jaringan menandakan
kondisi terinfeksi dan akan menghambat proses penyembuhan luka.

Pengelolaan eksudat.
Pengelolaan eksudat dilakukan dengan metode langsung dan tidak langsung.
Metode langsung yaitu dengan jalan melakukan intervensi langsung pada luka
yang eksudatif, dapat berupa melakukan balutan tekan pada luka, mengelevasi
bagian tubuh yang terluka tersebut lebih tinggi dari level jantung, aplikasi
dressing yang memiliki kemampuan penyerapan tinggi (highly absorbent), atau
menggunakan sistem vakum yang juga dikenal sebagai negative pressure wound
therapy (NPWT). Sebelum ditutup balutan, luka rutin dirawat dengan irigasi
menggunakan NaCL 0.9% atau air steril.

Metode tidak langsung adalah mengidentifikasi penyebab yang mendasari koloni


bakteri, misalnya pada luka yang disertai dengan penyakit lain yang memperparah
keadaan luka. Contohnya adalah pemberian obat sistemik untuk menanggulangi
edema ekstrimitas akibat gagal jantung (menyebabkan aliran darah kurang baik),
Penutupan Luka
Berdasarkan intensinya, penutupan luka dibagi menjadi:
1. PerPrimam
Penutupan luka perprimam atau secaraprimer dilakukan dengan
menyatukan kedua tepi luka yang berdekatan dan saling berhadapan
dimana terdapat sedikit jaringan yang hilang. Penutupan ini dilakukan
pada luka bersih yang dibuat akibat tindakan bedah atau pada laserasi
akibat luka sobek. Jaringan granulasi yang dihasilkan sangat sedikit
dan biasanya hanya menyisakan jaringan parut yang tipis. Namun,
kekuatan regangan yang dihasilkan tidak pernah mencapai seperti
sebelum terjadinya luka.

170
2. PerSekundam
Penutupan luka persekundam terjadi pada luka yang terbuka dimana
terjadi kehilangan jaringan yang signifikan. Contohnya pada luka
terbuka kronis seperti ulkus dekubitus, luka operasi yang dengan sengaja
dibiarkan terbuka karena terkontaminasi atau karena tidak
memungkinkan untuk segera dilakukan penutupan.
Dalam penyembuhan secara sekundar, jaringan granulasi berkembang
didasar luka dan sel epitel bermigrasi dari tepi luka kepusat luka. Tepi-
tepi luka dirapatkan oleh kontraksi luka melalui kerja fibroblast yang
khusus. Pada penutupan luka cara ini, pengisian kembali kerusakan
dengan jaringan yang baru memerlukan waktu lebih lama dari pada
bila luka di sembuhkan dengan intensiprimer dan pada umumnya hasil
penyembuhan sangat tidak memuaskan secara kosmetik juga secara fungsi
3. PerTertiam
Disebut juga penutupan luka perprimam yang tertunda. Penutupan luka
iniadalahkombinasidaripenutupanlukasecaraprimerdansekunder.Lukaakan
dibiarkan terbuka sampai pada periode waktu yang ditentukan untuk
dekontaminasi dasar luka dan mulainya proses granulasi. Setelah adanya
pengisian luka oleh jaringan granulasi, kemudian dilakukan penutupan
secara primer.

Dalam melakukan penutupan luka, tindakan aseptik pada daerah operasi dan
lingkungan yang akan berkontak dengan daerah operasi, pemilihan instrument
khusus dan penggunaan yang benar serta mengenal karakteristik dan material
(benang atau jarum) untuk menjahit luka dengan baik merupakan faktor penting
yang akan memudahkan proses pentupan luka sehingga dapat memberikan hasil
yang baik dengan target akhir adalah bekas luka yang samar.

Teknik Aseptik
Dalam pembedahan kondisi infeksi pasca tindakan sangatlah penting untuk
diwaspadai dan dicegah. Teknik aseptik adalah satu cara untuk memperoleh dan
memelihara keadaan steril. Dasar dari teknik ini adalah bahwa infeksi berasal dari
luar tubuh, oleh karena itu teknik aseptik yang dipakai adalah mencegah
masuknya infeksi dari luar melalui tempat pembedahan.

Prosedurnya ada 3 bagian, yaitu :


1. Mencuci hamakan tempat kerja/pembedahan
2. Mencuci hamakan bagian tubuh yang kontak dengan tempat kerja
3. Sterilisasi alat-alat yang dipergunakan pembedahan

1. Mencuci hamakan daerah lokasi pembedahan


1. dicuci dari kotoran dan kontaminan yang ada hingga terkesan bersih secara
makroskopis.
2. dibasuh dengan larutan antiseptik (misalnya: yodium, jodofor, alkohol,
klorheksidin, heksaklorofen).
3. Prinsip utama pembersihan dengan larutan antiseptik adalah dari daerah
yang lebih dianggap steril ke daerah yang dianggap kurang steril, pada
daerah operasi yang bersih cara membasuhnya dari dalam keluar,

171
sedangkan jika pada daerah operasi yang kontaminan dilakukan dari arah
luar kedalam, lamanya 5-10 menit.
4. Setelah itu baru dilakukan pembatasan daerah operasi dengan
menggunakan pemasangan kain penutup steril (duk). Pemasangan kain ini
berguna untuk mengisolasi daerah pembedahan dari daerah lain (tubuh
lain) yang tidak steril. Kain ini biasanya ditengah ada lubang dan lubang
ini di tempatkan pada daerah pembedahan. Besarnya lubang dan kain ini
bermacam-macam tergantung kepentingannya.

2. Mencuci hamakan bagian tubuh yang kontak dengan tempat kerja


1. Tangan
Untuk teknik pencucian tangan dan teknik memakai sarung tangan harap
membaca kembali tentang scrub up and gloving technique pada buku skill
lab sebelumnya.
2. Bagian tubuh lain
Perlu diperhatikan petugas operasi untuk kerja aseptik biasanya memakai
jubah operasi steril, tutup kepala dan masker.

3. Sterilisasi alat-alat (instrumen) yang akan dipergunakan dalam tindakan


pembedahan. Beberapa cara yang digunakan untuk sterilisasi alat dan
instrumentasi yang akan digunakan dalam pembedahan diantaranya :
Autoklaf, Etilen Oksida, Sterilisasi dingin, Radiasi sinar gamma dan Filtrasi.
Alat-alat yang sudah disterilkan selama pembedahan ditempatkan pada tempat
yang steril pula.

Dasar Penjahitan Luka


Dalam melakukan tata laksana pada luka laserasi yang bersih dan minimal
kontaminan tanpa ada kehilangan jaringan yang berarti dapat dilakukan penjahitan
luka secara perprimam. Dalam melakukan penjahitan yang harus diperhatikan
adalah alat atau instrumentasi yang akan dipergunakan dan bagaimana cara
menggunakannya (handling) secara baik dan benar agar dapat membantu dan
mempermudah proses tindakan penjahitan luka tersebut.

Menjahit luka adalah suatu teknik yang dilakukan untuk mempercepat


penyembuhan luka dengan cara mengaposisikan jaringan yang terpisah karena
luka dan mengaposisikan epitel kulit yang berjauhan. Dengan menjahit luka,
beberapa fase penyembuhan luka dapat dipercepat.

Alat yang biasa dibutuhkan untuk tindakan penjahitan luka :


1. Scalpel
2. Gunting jaringan dan gunting benang
3. Pinset
4. Needle holder
5. Klem

172
Prinsip Utama Instrument Handling
Tiap kali menggunakan instrumen yang tajam, kita menghadapi resiko cedera
karena tertusuk. Jarum suntik dan jarum menjahit terutama berbahaya karena
beresiko menularkan penyakit-penyakit serius (hepatitis, HIV), sehingga prinsip
paling dasar ―jangan pernah memegang jarum dengan jari‖ harus selalu dipegang.
Prinsip memegang alat-alat bedah minor atau instrument handling juga harus tepat
agar gerakan kita efektif, aman dan tepat sasaran. Prinsip tersebut dapat
dirangkumkan seperti berikut :
1. Keamanan (pasien dan tenaga medis)
2. Pergerakan tangan yang efektif
3. Pegangan yang rileks (Relaxed handling)
4. Mencegah gerakan yang canggung

SCALPEL

Gambar 2. Scalpel

Gambar 3. Cara memegang pisau yang baik

Merupakan alat yang diperlukan untuk memegang mata pisau dispossible. Prinsip
memegang scalpel adalah seperti memegang pena dengan menggunakan jari
kelingking sebagai tumpuan untuk membuat tangan stabil.

GUNTING
Terdapat dua tipe dasar gunting:
1. Untuk jaringan
2. Untuk benang

173
Gambar 4. Jenis gunting

Jenis gunting yang dipergunakan sebaiknya disesuaikan dengan tujuan


penggunaan gunting tersebut. Untukpekerjaankasar sebaiknya jangan gunakan
gunting yang halus,sedangkan untuk diseksi halus gunakan gunting dengan ujung
yangtumpul. Bila diperuntukkan menggunting benang atau mengangkat
jahitan,ujungnya haruslah runcing.
Cara memegang gunting adalah dengan menempatkan sebagian ibu jaridan jari
manis pada pegangan gunting. Untuk mengarahkan guntingdengan lebih baik, jari
telunjuk diletakkan pada bagian tengah gunting.Untuk menambah presisi atau
menstabilkan pegangan gunting, guntingdapat difiksasi dengan jari telunjuk
kontralateral seperti pada gambar.Menggunting yang paling baik adalah hanya
menggunakan ujung-ujung mata gunting saja sehingga kesalahan mencederai
jaringan sehatsekitarnya dapat dihindari.

Gambar 5. Teknik handling gunting

PINSET
Terdapat 2 jenis pinset :
1. Pinset Chirurgis (bergigi) : digunakan untuk memegang jaringan
yanglebih ―keras‖ seperti kulit,fasia,kartilago dan tulang.
2. Pinset Anatomis (tidakbergigi): digunakan untuk pembuluh darah dan
jaringan.

174
Gambar 6. Beberapa jenis pinset

Memegang pinset hampir seperti memegang sumpit. Jari-jari menjepit pinset pada
pertengahan batangnya, tidak terlalu keujung maupun ke pangkal.

Gambar 7. Cara handling pinset

Gambar 8. Beberapa jenis needle holder

175
NEEDLE HOLDER
Needle holder merupakan alat yang bentuknya hamper mirip dengan klem lurus
tapi berfungsi untuk memegang jarum pada benang yang akan digunakan untuk
menjahit luka.

Teknik memegang neddle holder hamper sama dengan teknik memegang gunting
ataupun klem. Masukkan ibu jari dan jari manis ke dalam lubang pada handlenya.
Jarum dijepit pada separuh lengkung jarum atau 1/3 proksimal lengkung jarum,
pastikan needle holder terkunci (sampai bunyi klik) saat sedang memegang jarum.
Jangan memegang ujung jarum dengan needle holder, karena ujungnya yang
tajam tersebut bisa menjadi tumpul dan sulit untuk menembus kulit.

KLEM
Klem merupakan alat yang digunakan untuk memegang jaringan atau pun
pembuluh darah untuk hemostasis sementara. Ada dua jenis klem yang sering di
gunakan yaitu klem lurus dan klem bengkok.

KLASIFIKASI BENANG
Pemilihan benang yang tepat pada setiap prosedur bedah juga menjadi kunci
penyembuhan luka/bekas luka yang baik. Dengan berkembangnya ilmu
kedokteran, bahan/material benang menjadi sangat bervariasi yang tiap jenisnya
memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri.

Pembagian berdasarkan asal material, benang dibagi menjadi:


1. Alami: silk,catgut
2. Sintetis: semua jenis kecuali yang diatas

Berdasarkan struktur material,benang dibagi menjadi:


1. Monofilamen: polypropylene, catgut, nylon, polydioxanone
2. Multifilamen: polyglactin910, silk, PGA

Berdasarkan daya penyerapan ,benang dibagi menjadi


1. Absorbable: Catgut, polyglactin910, polydioxanone
2. Nonabsorbable: silk, polypropylene, nylon

Jarum
Dalam tindakan menutup luka dengan penjahitan banyak sekali jenis jarum yang
tersedia. Saat ini dipasaran telah banyak tersedia jarum a-trumatik dimana jarum
ini langsung melekat pada benang sehingga lebih tidak menimbulkan trauma pada
jaringan saat dipergunakan. Pada jenis jarum ini yang menjadi pilhan adalah
ujungnya, yang dapat beberapa jenis seperti : Tapper, Cutting ataupun Reverse
Cutting.

176
Menjahit Luka
Menjahit luka adalah suatu teknik yang dilakukan untuk mempercepat
penyembuhan luka dengan cara mengaposisikan jaringan yang terpisah karena
luka dan mengaposisikan epitel kulit yang berjauhan. Dengan menjahit luka,
beberapa fase penyembuhan luka dapat dipercepat.

Gambar 9. Posisi jarum yang benar pada neddle holder

Dalam penjahitan luka, banyak pilihan jenis jahitan sesuai dengan kebutuhan dan
keadaan jaringan yang akan dilakukan penjahitan. Akan tetapi jenis jahitan yang
sering dipergunakan dan dasar bagi semua tindakan penjahitan luka adalah jenis
simple interrupted.
Jahitan satu-satu sederhana (simple interrupted), merupakan jahitan yang
ditempatkan dan diikat secara tersendiri. Teknik ini dipilih apabila kebersihan
luka masih dikhawatirkan. Apabila luka terlihat akan terinfeksi, beberapa jahitan
akan dengan mudah dilepas tanpa mengganggu jahitan lainnya. Jahitan satu-satu
dapat digunakan pada seluruh area namun memiliki waktu yang lebih lama dalam
pengerjaannya.
Pada saat akan mulai melakukan penjahitan, mulailah dengan memposisikan
jarum secara tepat pada neddle holder agar memberikan tekanan yang maksimal
pada saat jarum menusuk ke dalam kulit (gambar 7.)Jarum dijepit dengan ujung
neddle holder pada batas 1/3 dan 2/3 badannya. Bila jepitan pada jarum lebih
kearah pangkal akan mengakibatkan kesulitan pada saat menusukan jarum ke
jaringan yang membuat jarum akan mudah bengkok bahkan patah. Waktu
menusukan jarum ke jaringan usahakan jarum tegak lurus pada jaringan supaya
memberikan tekanan yang sempurna saat menusuk jaringan.
Jarak penusukan jarum ke pinggir luka usahakan sama dan sejajar dengan tempat
keluarnya ujung jarum dengan pinggir luka pada sisi yang lain. Dan jarak antara
satu jahitan sebaiknya 2 kali tinggi luka.

177
x x

Gambar 10. Skema penjahitan luka

Setelah jarum menembus ke sisi luka yang lain, tugas berikutnya adalah membuat
simpul agar benang tidak terlepas dan pinggir luka dapat menyatu dengan baik.
Simpul dapat dilakukan lebih dari satu kali untuk menjaga kekuatan simpul. Yang
perlu diperhatikan adalah simpul dibuat tidak terlalu ketat, karena dapat
meninggalkan jejak benang pada luka dan juga tidak terlampau longgar yang
dapat mengakibatkan tujuan penjahitan luka tidak tercapai dengan baik.

Gambar 11. Teknik pengaturan jarak jahitan dan simpul jahitan

178
Gambar 12. Teknik membuat simpul dengan neddle holder

Perawatan Luka
Terdapat dua jenis perawatan luka secara umum, yaitu:
1. Perawatan secara terbuka
2. Perawatan secara tertutup

Perawatan secara terbuka


Metode perawatan luka ini dilakukan apabila luka kering (tidak ada rembesan),
luka dapat dijaga dari kontaminan, dan luka dapat dijaga kelembabannya (tidak
terlalu basah, tidak terlalu kering). Contoh luka umumnya dapat dirawat terbuka
adalah luka yang telah dijahit primer. Apabila suatu luka tidak dapat memenuhi
persyaratan diatas, sebaiknya rawat secara tertutup.

Perawatan secara tertutup


Pada luka yang tidak optimal untuk dirawat secara terbuka, diperlukan balutan
atau dressing. Fungsi balutan (dressing) adalah menggantikan sementara bagian
kulit yang hilang pada daerah luka serta membuat lingkungan luka yang optimal
untuk penyembuhan.
Jenis balutan yang dipakai didasari pada kondisi luka. Prinsip pemilihan balutan
adalah untuk menjaga kelembaban luka. Penyembuhan luka lebih terjadi 150%
lebih cepat apabila dipertahankan dalam kondisi lembab (moist) dibanding kondisi
luka kering . Bila luka eksudatif, gunakan dressing yang menyerap. Bila luka

179
cukup lembab, berikan dressing yang mempertahankan kelembabannya. Bila luka
kering, berikan dressing yang melembabkan dan tidak menempel.
Secara umum, pemilihan balutan yang ideal adalah yang memiliki karakteristik:
1. Melindungi dari trauma mekanik
2. Melindungi terhadap bakteri
3. Menjaga kelembaban daerah luka
4. Menjaga suhu
5. Menyerap eksudat
6. Memberi efek tekanan untuk hemostasis
7. Mengurangi nyeri
8. Mengandung bahan yang memicu proses penyembuhan.
9. Memberi efek immobilisasi sehingga tidak terjadi mikrotrauma akibat
pergerakan

Penggantian balutan sebaiknya apabila telah jenuh oleh eksudat dengan tampak
rembesan pada balutan, bila luka kotor oleh kontaminan, dan bila sebagian
perekatnya telah terbuka. Bila kering dan bersih balutan diganti pada hari ke 4-5
karena kolonisasi bakteri komensal terjadi setelah hari kelima.

Gambar 13. Trauma Minor. Gambar 14.Trauma Mayor,


Fase akut-inflamasi, terjadi Crush-degloving injury,
hemostasis. (bersih kotor.Ancaman kematian
terkontaminasi) jaringan, dan infeksi
(contaminated)

Gambar16. Gambaran luka Khronis


Gambar 15. gambaran berupa Ulkus Decubitus, ulkus
luka khronis berupa berongga (cavity), luka dalam,
Ulkus Malignansi nekrotik, contaminated.

180
Algoritma manajemen luka sederhana

Wound Management
Wound
Wound

Condition?
Condition?

Necrotic?
Necrotic? Infected?
Infected? Exuding?
Exuding? Normal
Normal

Amount/viscosity?
Amount/viscosity?

Debride
Debride Resolve
Resolve Absorb
Absorb
Wound Bed Preparation

Depth?
Depth? Location?
Location? Dressing
Dressing
selection
selection
INTERNATIONAL TRAINING DEPARTMENT

Skema .02. Skema manajemen luka, dimulai dari penilaian luka,


berdasarkan berbagai kondisinya, dilakukanlah preparasi dan
perawatan luka serta pilihan jenis dan cara balutan

181
182
REFERENSI

1. Falanga, V., and K. G. Harding, eds. The Clinical Relevance ofWound Bed
Preparation. New York: Springer Verlag, 2002.
2. 2. Harper, Michael S. Debridement. Berkeley, CA: Paradigm Press, 2001.
3. 3. Sudjatmiko G, Advanced suturing skils manual book 1st edition, 2013.
4. 4. Galiano, RD., and Mustoe, TA. Wound Care in Grabb and Smith‘s Plastik
Surgery Sixth Edition. Lippincott-Raven. Philadelphia: 2006.
5. Bisono, Petunjuk Praktis Operasi Kecil, EGC 2002

183
3. PELAKSANAAN LATIHAN

1. Periksalah alat yang anda terima apakah keadaannya Iengkap dan baik.
2. Sebutkan identifikasi nama dan kegunaan masing-masing alat tersebut
3. Kepada mahasiswa diberikan skenario luka dan diminta utk melakukan
pengkajian luka.
4. Mahasiswa diminta untuk menyebutkan perencanaan manajemen luka
yang sesuai dengan skenario luka yang diberikan.
5. Mahasiswa diminta untuk menyebutkan dan memperagakan urutan
manajemen luka yang telah direncanakan
6. Latihan manajemen luka:
- Siapkan alat-alat.
- Latihan mananajemen luka akut/minor sederhana.
8. Bersihkan semua alat yang dipergunakan

184
4. LEMBAR KEGIATAN SKILLS LAB

Nama Mahasiswa didik :.......................................................


No. Mahasiswa/Kelompok :.......................................................
Semester :.......................................................

1. Lembar ini berguna untuk memantau kemajuan tingkat keterampilan tiap


mahasiswa dengan cara antara mahasiswa saling menilai dan harus diketahui
oleh Koordinator/Instruktur Skills Lab.
2. Skor yang dapat mengikuti evaluasi lebih dari 70%
Kriteria selengkapnya sebagai berikut:
Nilai Keterampilan < 70% kurang terampil, tidak lulus dan harus mengulang
responsi
Nilai Keterampilan 70%-85% cukup terampil, lulus memuaskan
Nilai Keterampilan 85%-100% terampil, lulus dengan memuaskan

185
CHECKLIST: MANAJEMEN LUKA
Nilai
No Aspek yang Dinilai
0 1 2 3
A PERSIAPAN
Alat dan bahan
1 Menyebutkan nama dan fungsi alat-alat bedah minor
sederhana
a. Skalpel
b. Gunting
c. Klem
d. nald holder
e. Pinset anatomis
f. Pinset chirurgis
Mengenal alat dan bahan rawat luka/dressing
2
sederhana:
a. handscoon
b. kasa steril
c. cairan steril
d. tulle
e. cairan antiseptik
f. plester
Pasien
3 Anamnesis dan pemeriksaan fisik
4 Informed Consent
B PENGKAJIAN LUKA
5 Menyebutkan pengkajian luka (berdasarkan gambar)
a. Pengkajian dimulai dari klasifikasi luka secara
umum (akut atau khronis)
b. Ukuran dan Kedalaman Luka
c. Keadaan kulit disekitar luka
d. Tepi Luka (rata atau tidak rata)
e. Dasar atau bed luka (eksudatif atau tidak)
f. Kontaminasi luka
g. Edukasi dalam pengkajian luka
C TINDAKAN PERAWATAN LUKA
Memilih dan menyebutkan tindakan perawatan luka:
tindakan Preparasi (Wound Bed Preparation) dan
Penutupan Luka (Wound Closure and Dressing) yang
akan digunakan
6 Dapat melakukan kerja aseptik:
a. Cuci tangan dan memakai sarung tangan secara
aseptik (dioralkan)
b. Melakukan sterilisasi bagian tubuh yang akan
dioperasi menggunakan larutan antiseptik dengan
gerakan dari dalam keluar.
c. Memasang kain penutup/duk steril (drapping)
D PROSEDUR ANESTESI LOKAL (dioralkan)

186
7 Menyuntikkan anestesi lokal di sekitar luka
Melakukan pembersihan dan debridement luka
8
(apabila diperlukan)
E TINDAKAN PENJAHITAN LUKA
Memasang benang ukuran no 3/0 pada nald (untuk
9
jenis traumatic)
Memasang nald menggunakan pinset pada nald
10 holder diantara 2/3 depan dan 1/3 belakang lalu
menguncinya.
Menggunakan pinset chirurgis untuk sedikit
11
mengangkat tepi luka.
Menusukkan nald pada kulit dengan posisi tegak lurus
(900) dengan posisi tangan pronasi penuh, dengan siku
12 membentuk 90 derajat dan bahu abduksi. (Jarak
penusukan dari tepi luka harus sesuai dengan
kedalaman luka)
Mendorong nald maju dengan gerakan supinasi
pergelangan tangan dan adduksi bahu yang serentak,
13
dalam arah melengkung sesuai dengan lengkungan
nald.
Setelah nald muncul dari balik kulit, dijepit dengan
14 pinset chirurgis, lalu dilanjutkan penjepitan dan
penarikan dengan nald holder.
Setelah benang muncul, ditarik terus sampai ujungnya
15
tersisa 3-4 cm dari kulit.
Menusukkan jarum ke tepi luka yang lain dari dalam
16
dengan kedalaman yang sama dan cara yang sama.
Tangan kiri memegang benang yang lebih panjang
17
dan tangan kanan memegang nald holder.
Membuat lilitan benang panjang pada nald holder (2-
19
1-1 / surgeon‘s knot)
Menjepit benang pendek lalu menarik benang panjang
20 dan menempatkan disisi benang pendek sebelumnya,
begitu juga sebaliknya.
21 Simpul diletakkan ditepi luka
Mengatur kekuatan simpul dan hasil jahitan tidak
22
terlalu ketat dan tepi luka saling bertemu
Memotong benang dengan menyatuka ujung
guntingnya yang terbuka pada benang digeser sampai
23
ke simpul lalu diputar miring 45 derajat dan
dikatubkan
F Dressing
24 Melakukan dressing/pembalutan luka (sesuai gambar
dan hasil pengkajian luka)

187
Keterangan:
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan tapi sangat kurang (di bawah 50%)
2 : Dilakukan cukup baik, masih dapat diterima
3 : Dilakukan dengan sempurna

Cakupan penguasaan keterampilan: skor total ________ x 100 = ........

Banda Aceh,.................2019

Observer

188
IX. ANESTESI INFILTRASI DAN BLOK
dr. Eka Adhiany, SpAn
Bagian Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

1. Tujuan Belajar
Mahasiswa mampu melakukan tindakan anestesi infiltrasi dan blok
secara benar dan sistematis

2. ANESTESI INFILTRASI
Pendahuluan
Infiltrasi anestesi atau anestesi lokal adalah memasukkan obat ke dalam
jaringan tubuh. Obat bius lokal/anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa
adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada
jaringan saraf dengan kadar yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian
susunan saraf. Obat bius lokal bekerja merintangi secara bolak-balik penerusan
impuls-impuls saraf ke susunan saraf pusat (SSP) dan dengan demikian
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas atau rasa
dingin. Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf.
Disamping itu, anestesia lokal mengganggu fungsi semua organ dimana terjadi
konduksi/transmisi dari beberapa impuls.Artinya, anestesi lokal mempunyai efek
yang penting terhadap SSP, ganglia otonom, cabang-cabang neuromuskular dan
semua jaringan otot.

Persyaratan obat yang boleh digunakan sebagai anestesi lokal:


1. Tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen
2. Batas keamanan harus lebar
3. Efektif dengan pemberian secara injeksi
4. Mulai kerjanya harus sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu
yang yang cukup lama Dapat larut air dan menghasilkan larutan yang
stabil, juga stabil terhadap pemanasan

Definisi
Infiltrasi anestesi adalah pemberian obat untuk menimbulkan anestesi ujung
saraf melalui injeksi pada atau sekitar jaringan yang akan dianestesi sehingga
mengakibatkan hilangnya rasa di kulit dan jaringan yang terletak lebih dalam,
misalnya daerah kecil di kulit atau gusi (pada pencabutan gigi)

189
Obat Infiltrasi Anestesi
Yang banyak digunakan adalah Lidokain HCl 2%, baik yang ditambah
adrenalin (Pehacain) ataupun tidak. Untuk infiltrasi anes-tesi dapat diencerkan
sampai 0,5% dengan aquabides, dimaksudkan untuk mengurangi resiko
intoksikasi obat.
Dapat pula lidokain dioplos dengan markain. Pada anastesi infiltrasi
biasanya digunakan larutan 0,25-0,50% dengan atau tanpa epinefrin. Dosis total
obat bius lokal tanpa epinefrin tidak boleh melebihi 200 mg dalam waktu 24 jam,
dan dengan epinefrin tidak boleh melebihi 500 mg untuk jangka waktu yang sama.

Teknik Pemberian
1. Cuci tangan dan pakai sarug tangan steril secara aseptik
2. Bersihkan daerah yang akan dianestesi dengan menggunakan desinfektan
dari luar ke dalam.
3. Batasi daerah yang akan dilakukan tindakan dengan kain steril
4. Ambil obat anestesi dari vial atau ampul dengan spuit secara aseptik
(dibantu asisten bila perlu)
5. Bila dalam spuit masih terdapat udara, maka udara dikeluarkan
6. Pegang spuit dengan salah satu tangan antara jempol dan jari-jari pada area
yang akan diinjeksi dengan telapak tangan menghadap ke arah samping
atau ke atas dengan kemiringan 45°.
7. Beritahu lagi ke pasien bahwa kita akan melakukan penyuntikan
8. Gunakan tangan yang tidak memegang spuit untuk mengangkat dan
merentangkan kulit, lalu secara hati-hati dan dengan mantap tangan yang
lain menusukkan jarum ke dalam jaringan subkutan
9. Jarum ditusukkan sambil mendorong obat anestesi
10. Luas daerah/banyaknya penyuntikan obat anestesi disesuaikan dengan
kebutuhan : dapat berbentuk garis atau berbentuk belah ketupat
11. Cabut spuit lalu usap dan pijat area injeksi. Bila tempat pe-nusukan
mengeluarkan darah maka tekan area penusukan de-ngan kasa steril kering
sampai perdarahan berhenti.
12. Tunggu beberapa saat, kemudian cek kerja obat anestesi
13. Letakkan spuit pada tempatnya, lalu lakukan tindakan operasi atau yang
lainnya

Contoh Anestesi Infiltrasi (Sirkumsisi )


Memotong preputium sehingga glans penis terbuka
 Guilotine
 Diseksi preputium / sleeve
 Dorsosirkumsisi
 Alat cincin / Gomco / Plastibel
A. Indikasi Medis
 Fimosis / parafimosis
 Balanitis rekurens
 Smegma
 Kondiloma akuminata
B. Kontraindikasi
 Hipospadia

190
 Epispadia
 Khorda
 Webbed penis

C. Persiapan
 Sarung tangan steril
 Kasa steril
 Desinfektan
 Klem desinfeksi
 Kain berlubang steril
 Spuit 2.5 atau 5 cc steril
 Lidokain 1% atau lainnya, tanpa vasokontriktor
 3 klem lurus
 3 atau 4 klem arteri kecil
 Gunting jaringan
 Gunting benang
 Benang diserap ukuran 3/0
 Jarum jahit : cutting, lengkungan ½ ; lebih baik atraumatic
 Needle holder
 Pinset anatomis
 Jarum

D. Pada Dorsosirkumsisi
 Cuci tangan dan pakai sarung tangan steril
 Desinfeksi penis dan sekitarnya
 Persempit lapangan operasi dengan doek steril
 Tusuk jarum pada pangkal (dorsum) penis, lakukan penghisapan dan bila
darah tidak keluar maka obat dimasukkan. Dianjurkan juga memasukkan
obat ke lateral kiri dan kanan pada pangkal penis dan daerah frenulum.
Tunggu 2-3 menit dan cek kerja obat anestesi
 Apabila terdapat fimosis, preputium dibuka sampai tampak sulkus
koronarius. Smegma dibersihkan
 Jepit frenulum sampai kira-kira 0,5 cm dari sulkus koronarius dengan
klem lurus dan kemudian jepit preputium pada jam 11.30 dan 12.30
dengan klem panjang
 Gunting preputium dorsal pd garis median (antara 2 klem) sampai 1-2 cm
dari sulkus koronarius. Jepit ujung jaringan dengan klem
 Lanjutkan memotong melingkar ke ventral. Makin ke ventral kulit
preputium yang dibuang makin sedikit
 Cari perdarahan, klem dan ikat
 Jahit daerah frenulum dengan bentuk jahitan X, untuk menghentikan
perdarahan
 Jahit kulit dan mukosa, mulai dari arah pukul 12, lalu 2-3 jahitan lagi di
lateral masing-masing sisi
 Luka ditutup dengan kasa / penutup lain. Lubang uretra harus bebas
 Lakukan fiksasi

191
EKomplikasi
 Alergi terhadap obat anestesi (biasanya prokain)
 Perdarahan : bagian ventral / frenulum. Gangguan pembekuan darah
 Infeksi : kurang steril dan terkena urin
 Pengangkatan kulit kurang adekuat dan glans masih tertutup preputium
 Glans ikut terpotong (pada teknik guilotine)

192
3. ANESTESI BLOK

Pendahuluan
Anestesi blok dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal di daerah
perjalanan saraf yang menginervasi daerah yang akan dieksplorasi. Kita harus
sangat memperhatikan resiko potensial untuk berkembangnya nyeri akut yang
hebat menjadi nyeri yang kronis. Salah satu cara untuk menghindari hal tersebut
adalah melakukan teknik anestesi blok yang dapat memblok rangsang nyeri dekat
dengan sumbernya, hal ini sangat berguna baik pada saat operasi ataupun setelah
operasi.

Definisi
Anestesi blok (blok saraf) adalah suatu teknik anestesi yang digunakan untuk
mendapatkan anestesia dan analgesi dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal
di daerah perjalanan saraf yang menginervasi regio tertentu yang menyebabkan
hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer. Melalui cara ini yang
dituju langsung saraf bagian proksimal. Kita harus memahami anatomi dan daerah
persarafan yang bersangkutan untuk melakukan cara ini.

Obat Anestesi Blok


Obat yang digunakan sama dengan yang digunakan untuk obat infiltrasi anestesi,
yaitu obat anestesi lokal.
Berdasarkan ikatan kimia, obat anestesi lokal dibagi menjadi:
1. Derivat ester, terdiri dari:
- Derivat asam benzoat, misalnya: kokain
- Derivat asam para amino benzoat, misalnya: prokain dan klorprokain
2. Derivat amida: lidokain, prilokain, mepivakain, bupivakain, dan etidokain

Berdasarkan potensi dan lama kerjanya obat, dibagi menjadi:


1. Potensi rendah dan durasi singkat
- Prokain : potensi 1dan durasi 60-90 menit
- Klorprokain : potensi 1 dan durasi 30-60 menit
2. Potensi dan durasi sedang
- Mepivakain : potensi 2 dan durasi 120-240 menit
- Prilokain : potensi 2 dan durasi 120-240 menit
- Lidokain : potensi 2 dan durasi 90-200 menit
3. Potensi kuat dan durasi panjang
- Tetrakain : potensi 8 dan durasi 180-600 menit
- Bupivakain : potensi 8 dan durasi 180-600 menit
- Etidokain : potensi 6 dan durasi 180-600 menit

Berdasarkan berat jenis (konsentrasi) dan penggunaannya, dibagi menjadi:


1. Isobarik, digunakan untuk: infiltrasi lokal, blok lapangan, blok saraf, blok
fleksus dan blok epidural, misalnya: lidokain 1-2%, bupivakain 0,05%, dll.
2. Hipobarik, digunakan untuk anestesi regional intravena. Konsentrasi obat
dibuat separuh dari konsentrasi isobarik.

193
3. Hiperbarik, digunakan khusus untuk injeksi intra tekal atau blok sub
arakhnoid. Konsentrasi obat dibuat lebih tinggi, misalnya: lidokain 5%
hiperbarik, bupivakain 0,5%.

Regio Anestesi Blok Saraf


1. Kepala dan leher
- Nervus trigeminus dan cabang-cabangnya. Untuk blok jenis ini,
diindikasikan 2 sampai 4 ml lidokain atau mepivakain 2% dengan atau
tanpa epinefrin. Contohnya:
 Nervus mandibularis
Pedoman : suntikan anestesi intraoral tepat di sebelah medial
ramus mandibularis sekitar 1 cm di sebelah posterior posisi
molar III. Blok ini memberikan anestesia pada dua pertiga
anterior lidah, regio temporalis dan mandibularis wajah, bibir
bawah, gigi serta gusi bawah. Parestesi lidah atau rahang sering
terjadi.
 Nervus mentalis
Pedoman intraoral : suntikan dilakukan pada pertemuan
permukaan bukal bibir bawah dan gusi pada gigi bicuspid II.
Pedoman ekstraoral : suntikan dilakukan perkutan pada tempat
gigi bikuspid II, sekitar 1 cm di atas margo inferior mandibulae
dan 2,5 cm dari garis pertengahan mandibula.
 Nervus infraorbitalis
Pedoman intraoral : suntikan dilakukan pada perbatasan gusi
atas dengan mukosa bukalis bibir atas pada tempat gigi taring.
Jarum ditusukkan pada sekitar 1 cm di sebelah inferior tepi
bawah orbita. Blok ini memberikan anestesi pada bibir atas,
sisi-sisi hidung, bagian medial pipi, dan kelopak mata bawah
Pedoman ekstraoral : suntikan dilakukan sekitar 1 cm di
sebelah inferior tepi bawah orbita pada garis pertengahannya.

Gambar 1. Daerah distribusi sensorik cabang-cabang nervus trigeminus

194
2. Ekstremitas Atas
- Blok nervus digitalis
 Larutan anestetik yang mengandung epinefrin jangan pernah
digunakan untuk blok jari karena dapat menyebabkan
vasokontriksi berat dan nekrosis.
 Salah satu dari beberapa teknik yang dapat dilakukan :
digunakan larutan lidokain hidroklorida dan jarum hipodermik
No.25. Jarum ditusukkan di sela jari dan dimasukkan ke arah
telapak tangan dengan sudut 200 terhadap sumbu panjang jari
yang akan dianestesia. Jarum dimasukkan perlahan-lahan
sampai menemukan phalanx proksimal. Kemudian jarum
ditarik sedikit, dan aspirasi sedikit untuk meyakinkan jarumnya
tidak masuk ke pembuluh darah. Dua atau 3 ml larutan
kemudian disuntikkan yang akan menggembungkan ruang
antar jari. Prosedur ini diulang dengan tusukan jarum lain di
sisi sebelah jari tersebut. Larutan ditempatkan dengan posisi
seperti pada suntikan sela jari untuk nervus digitalis radialis jari
telunjuk dan nervus digitalis ulnaris jari kelima.

Gambar 2. Lokasi-lokasi untuk blok saraf

Contoh Anestesi Blok


Roser Plasty
Roser plasty adalah tindakan membuang tepi kuku (kira-kira 1/3 bagian) dengan
tujuan tertentu. Dilakukan atas indikasi adanya unguis inkarnatus (tepi kuku
tumbuh masuk ke dalam daging). Gejala unguis inkarnatus nyeri pada kuku yang
terkena, tepi yang terlibat membengkak, terdapat tanda-tanda radang.
Alat-alat Yang Diperlukan
Instrumen :
1. Gunting diseksi Mayo (lurus) 1 buah
2. Sonde beralur 1 buah
3. Klem arteri pean (lurus) 2 buah
4. Gagang pisau no.3 + mata pisau yang sesuai 1 buah
5. Wound curret 1 buah

195
6. Pinset anatomis 1 buah
7. Pinset chirurgis 1 buah
8. Spuit 5 cc 1 buah

Anestesi lokal:
Dipakai prokain atau lidokain tanpa adrenalin.
Bahan-bahan rutin:
1. Doek berlubang
2. Sarung tangan steril 1 pasang
3. Kasa steril secukupnya
4. Cairan antiseptik

Teknik Operasi
1. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada jari yang terkena
2. Pasang doek berlubang
3. Lakukan tindakan anestesi pada pangkal jari di sebelah dorso-lateral kiri dan
kanan untuk memblok saraf yang menginervasi jari tersebut. Bila perlu
lakukan ring block.
4. Masukkan sonde beralur pada 1/3 lateral kuku yang akan dibuang hingga
mencapai matriks kuku.
5. Gunting kuku di atas sonde.
6. Masukkan klem, jepit bagian kuku yang akan dibuang, putar ke arah sisi jari
hingga kuku terlepas dari dasarnya, kuku ditarik hingga terlepas.
7. Kemudian keroklah dasar kuku yang telah dibuang dengan kuret.
8. Gunting matriks bekas tempat kuku tertanam pada sisi jari.
9. Bila perlu kulit penutup matriks dijahit.
10. Luka ditutup dengan salep atau povidon iodine, kemudian tutup dengan kasa
steril. Penderita diberi antibiotika, analgetik, serta vitamin.

Gambar 3. Anestesi blok pada pangkal jari (tanda silang) kiri dan kanan
Ekstraksi Naegel
Ekstraksi naegel adalah pencabutan kuku dengan tujuan tertentu. Indikasi untuk
melakukan ekstraksi Naegel yaitu paronikia, trauma pada kuku, dan tinea
unguinum.
Teknik Operasi:

196
1. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada jari yang terkena.
2. Pasang doek berlubang
3. Lakukan tindakan anestesi blok pada pangkal jari
4. Masukkan sonde tepat di tengah-tengah kuku, gunting kuku di atas sonde, dan
klem kedua kuku yang telah terpisah, masing-masing diputar ke sisi lateral
hingga kuku terlepas.
5. Bila terdapat jaringan nekrotik, keroklah dengan wound curret.
6. Kemudian tutup luka dengan kasa steril yang telah dilapisi povidone iodine.
Penderita diberi antibiotika, analgetik, serta vitamin.

197
REFERENSI

1. Bresler MJ, Sterrnbach GL. Manual Kedokteran Darurat. Edisi ke-6 Jakarta:
penerbit buku kedokteran EGC ; 2007. Hlm 95-9.
2. Mangku G, Senapathi TGA. Buku ajar ilmu anastesia dan reanimasi . jakarta :
PT. Indeks ;2010.hlm 70-4.
3. Karakata S, bachsinar B. Bedah minor. Jakata : penerbit hipokrates: 1996. Hlm
155-7.

198
CHECK LIST : ANESTESI INFILTRASI DAN BLOK
No Aspek yang dinilai Nilai
0 1 2
PERSIAPAN
1 Memberi penjelasan kepada pasien tentang
tindakan yang akan dilakukan, tujuan, efek yang
ditimbulkan (rasa sakit)/ informed consent,
termasuk pembiusan
2 Menanyakan kepada pasien apakah punya riwayat
penyakit hepar, ginjal, hamil, serta riwayat
pemakaian obat anestesi sebelumnya
3 Siapkan obat anestesi (cek kadaluarsa obat, isi zat
anestesi : dengan atau tanpa vasokontriktor,
kosentrasi zat anestesi), peralatan yang diperlukan
serta obat-obat emergensi (epinefrin, sulfas
atropine, O2, dan cairan)
4 Cuci tangan kemudian pakai sarung tangan secara
aseptik
5 Desinfeksi daerah yang akan dilakukan tindakan
operasi
6 Batasi daerah yang akan dilakukan tindakan
dengan kain/doek steril
7 Pilih jarum/needle yang sesuai dengan lokasi yang
akan dianestesi
8 Ambil obat anestesi dari vial/ampul dengan spuit
secara aseptik dengan bantuan asisten
9 Bila dalam spuit masih terdapat udara, maka udara
harus dikeluarkan
ANESTESI INFILTRASI
10 Pegang spuit dengan salah satu tangan antara
jempol dan jari-jari pada area injeksi dengan
telapak tangan menghadap kearah samping atau ke
atas untuk kemiringan 45o (disesuaikan dengan
lokasi penyuntikan)
11 Beritahu lagi pasien bahwa kita akan melakukan
penyuntikan
12 Menusukkan jarum sampai subdermal, lakukan
aspirasi, bila tidak keluar darah, dorong obat
anastesi. Jangan lupa memonitor cardiovascular
dan SSP. Segera hentikan penyuntikan bila terjadi
reaksi sistemik akibat toksitas obat
13 Luas daerah/banyak penyuntikan obat anastesi
disesuaikan dengan kebutuhan
14 Cabut spuit lalu usap dan massage pada area
injeksi. Bila tempat penusukan mengeluarkan
darah maka tekan area tusukan dengan kasa steril

199
kering sampai perdarahan berhenti
15 Tunggu beberapa saat kemudian cek kerja obat
anastesi sambil tetap memonitor cardiovascular
dan SSP
16 Letakkan spuit pada tempatnya
ANESTESI BLOK
17 Pegang spuit dengan salah satu tangan antara
jempol dan jari-jari pada area injeksi dengan
telapak tangan menghadap ke arah samping atau
ke atas dengan kemiringan 200 (roser plasty dan
ekstraksi Naegel)
18 Beritahu lagi pasien bahwa kita akan melakukan
penyuntikan
19 Menusukkan jarum sampai menyentuh phalanx
proksimal, lakukan aspirasi, bila tidak keluar
darah, dorong obat anestesi. Jangan lupa
memonitor kardiovaskular dan SSP. Segera
hentikan penyuntikan bila terjadi reaksi sistemik
akibat toksisitas obat.
20 Luas daerah/ banyak penyuntikan obat anestesi
disesuaikan dengan kebutuhan
21 Cabut spuit lalu usap dan massage pada area
injeksi. Bila tempat penusukan mengeluarkan
darah maka tekan area tusukan dengan kasa steril
kering sampai perdarahan berhenti
22 Tunggu beberapa saat , kemudian cek kerja obat
anestesi sambil tetap memonitor kardiovaskular
dan SSP
23 Tutup spuit dengan benar

Keterangan :
0 : Tidak melakukan
1 : Dilakukan tapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna

Cakupan penguasaan keterampilan : Skor total …../46 x 100% = %

Banda Aceh,............................2019

Observer

200
Keterangan :
0 : Tidak melakukan
1 : Dilakukan tapi kurang sempurna
2 : Dilakukan dengan sempurna

Cakupan penguasaan keterampilan : Skor total …../32 x 100% = %

Banda Aceh,..................2019

Observer

201
X. PEREIKSAAN JAMUR(KOH), SEDIAAN BASAH DAN GRAM
STANING
Dr. Mudatsir, M.Kes/ dr.Tristia Rinanda, M.Si
Bagian Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUDZA Banda Aceh

A. PEMERIKSAAN JAMUR (KOH)


1. Tujuan Belajar
a. Mahasiswa mengetahui persiapan dan cara pengambilan spesimen untuk
pemeriksaan KOH
b. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan KOH
c. Mahasiswa mampu menginterpretasikan hasil pemeriksaan KOH

2. Dasar Teori
Pemeriksaan menggunakan Kalium Hidroksida (KOH) dari kerokan kulit
merupakan prosedur sederhana yang paling sering dilakukan untuk mendiagnosis
infeksi jamur pada kulit, kuku dan rambut. Kalium Hodroksida mampu melisiskan
sel epitel yang terinfeksi sehingga bentuk infektif dari jamur keluar dari dalam sel
dan dapat diamati.
Pengaturan cahaya pada saat pengamatan di bawah mikroskop merupakan
aspek yang cukup penting untuk diperhatikan. Kalium hidroksida bukanlah zat
warna sehingga tampilan di lapang pandang mikroskop akan tampak berwarna
putih, sehingga pencahayaan harus disesuaikan agar morfologi bentuk infektif
jamur dapat diamati dengan baik. Pemeriksaan ini dapat dimodifikasi dengan
melakukan penambahan sejumlah zat warna seperti tinta parker, eosin 1%,
calcofluor white ataupun penambahan tinta parker dan eosin 1% dengan
perbandingan 2:1. Penambahan zat warna ini bertujuan untuk mempermudah
visualisasi di bawah mikroskop.

3. Alat dan Bahan


Alat:
 Scalpel
 Kaca objek
 Kaca penutup (cover glass)
 Mikroskop
 Lampu Bunsen
Bahan:
 Spesimen kerokan kulit, kuku, kulit kepala atau rambut
 Larutan KOH 10% (untuk kulit) dan 20% untuk kuku atau rambut

4. Prosedur Kerja
A. Persiapan pengambilan spesimen
Sebelum pemeriksaan dilakukan, pasien harus dipastikan tidak sedang
mengkonsumsi atau menggunakan obat antijamur minimal 3 hari sebelum
pemeriksaan. Penggunaan obat-obatan ini akan dapat mempengaruhi hasil

202
pemeriksaan. Jika terdapat lesi yang banyak/multipel, maka spesimen kerokan
kulit diambil dari lesi yang paling baru sehingga diperoleh hasil yang lebih
representatif. Pada pemeriksaan ini, jumlah kerokan kulit harus cukup untuk dapat
diperiksa dan diinterpretasikan. Oleh sebab itu kepada pasien disarankan untuk
tidak melakuakan scrubbing atau menggunakan krim/lotion pada daerah lesi agar
diperoleh spesimen kerokan kulit yang cukup beberapa hari sebelum pemeriksaan.
B. Pengambilan spesimen
Prosedur pengambilan spesimen adalah sebagai berikut:
1. Kerokan kulit
 Bagian lesi dan kulit di sekitarnya dibersikan dengan kapas/swab alcohol
 Kerok bagian tersebut menggunakan scalpel. Scalpel dan kulit membentuk
sudut yang tumpul (biasanya 45°) untuk menghindari perlukaan.
 Kerokan kulit ditampung di tempat yang bersih.
2. Kerokan/potongan kuku
 Kuku dibersihkan dengan kapas/swab alcohol
 Kerokan kulit dapat diambil di beberapa tempat (Gambar 1)
 Kerokan kulit diambil menggunakan scalpel secara perlahan sehingga
diperolah debris keratin kuku yang berwarna putih
 Spesimen juga dapat berupa potongan guntingan kuku yang terinfeksi
 Kerokan/potongan kuku ditampung di tempat yang bersih

Gambar 1. Lokasi pengambilan spesimen kuku


(Sumber:http://www.bpac.org.nz)

3. Spesimen rambut
 Rambut yang terinfeksi dicabut menggunakan pinset
 Lesi di rambut dikerok menggunakan scalpel
 Kerokan ditampung di tempat yang bersih
C. Pembuatan sediaan KOH
1. Kerokan kulit diletakkan di atas kaca objek yang bersih
2. Beberapa tetes KOH 10% ditambahkan pada kerokan kulit, lalu ditutup
dengan cover glass secara perlahan
3. Preparat dipanaskan sebentar saja di atas api Bunsen. Pemanasan tidak boleh
membuat larutan KOH mengering.

203
4. Preparat diamati di bawah mikroskop dengan lensa objektif 10X, lalu
dilanjutkan dengan lensa objektif 40X. Pencahayaan disesuaikan agar
pengamatan dapat dilakukan lebih jelas.
D. Interpretasi hasil pemeriksaan
Dari pemeriksaan KOH dapat diperoleh hasil sebagai berikut:
 Pada dermatofitosis atau kandidiasis kulit tampak gambaran hifa atau
pseudohifa dengan budding cell

Gambar 2. Hifa dan pseudohifa dengan budding cell


(Sumber: http://www.mtnstopshiv.org)

 Pada dermatofitosis pada rambut tampak gambaran spora (arthrospora) di


dalam filament rambut (endothrix) atau di luar filament rambut (ectothrix)

Gambar 3. Arthospora di luar filament rambut (Ectothrix)


(Sumber: Abdo et al, 2011)

Gambar 4. Arthospora di dalam filament rambut (Endothrix)

204
(Sumber: Abdo et al, 2011)

 Pada Ptyriasis versicolor tampak gambaran spaghetti and meatball


appearance, yang merupakan gambaran hifa dan spora dari Mallasezia furfur

Gambar 5. Spaghetti and meatball appearance pada Ptyriasis versicolor


(Sumber: Dokumentasi Lab.Mikrobiologi FK Unsyiah)

205
Check List
Skor
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2 3
I Persiapan pengambilan spesimen
1 Pasien diminta untuk tidak menggunakan
obat antijamur minimal 3 hari sebelum
pemeriksaan serta tidak menggunakan
lotion/krim atau melakukan scrubbing di
daerah lesi beberapa hari sebelum
pemerikaan
2 Jika terdapat lesi multipel, maka spesimen
diambil dari lesi yang baru terbentuk
II Pengambilan spesimen kerokan kulit
1 Kulit di sekitar lesi dibersihkan
menggunakan kapas/swab alkohol
2 Kulit dikerok menggunakan scalpel tumpul
secara perlahan dengan kemiringan
membentuk sudut tumpul (45°) dengan kulit
3 Kerokan kulit ditampung di wadah yang
bersih
III Pembuatan sediaan KOH
1. Siapkan kaca objek yang bersih, lalu ambil
secukupnya spesimen kerokan kulit dan
letakkan di bagian tengan kaca objek
2. KOH 10% ditambahkan di atas kerokan kulit
lalu ditutup dengan cover glass
3. Preparat dipanaskan sebentar di atas api
Bunsen namun larutan KOH tidak boleh
sampai kering
4. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop
menggunakan lensa objektif 10x dan
dilanjutkan ke 40X
IV Interpretasi hasil
Pada dermatofitosis atau kandidiasis kulit
tampak gambaran hifa atau pseudohifa
dengan budding cell
2 Pada Ptyriasis versicolor tampak gambaran
spaghetti and meatball appearance,
Keterangan :
0 : Tidak dilakukan

206
1 : Dilakukan, tetapi kurang benar (kesalahan > 50%)
2 : Dilakukan, tetapi kurang benar (kesalahan < 50 %)
3 : Dilakukan dengan benar
% cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/39 x 100% = %

Banda Aceh, ..........2019

Observer

207
B. SEDIAAN BASAH

1. Tujuan Belajar
a. Mahasiswa mengetahui persiapan dan cara pengambilan spesimen sekret
vagina (vaginal discharge/fluor albus)
b. Mahasiswa mampu membuat sediaan basah
c. Mahasiswa mampu menginterpretasikan hasil pemeriksaan

2. Dasar Teori
Sediaan basah (wet mount) adalah bentuk pemeriksaan mikroskopis untuk
mendiagnosis penyebab vaginal discharge atau fluor albus. Vaginal discharge
dapat disebabkan oleh vaginosis bakterialis (mencapai 70% kasus akibat infeksi),
kandidiasis vulvovaginalis dan trikomoniasis. Secara makroskopis, spesimen
swab vagina pada vaginal discharge yang disebabkan oleh ketiga penyebab di atas
dapat dibedakan sebagai berikut:
 Kandidiasis vulvovaginalis yang disebabkan oleh jamur Candida albican,
akan menimbulkan vaginal discharge yang kental, berwarna putih dan tampak
seperti keju
 Trikomoniasis atau infeksi Trichomonas vaginalis akan menimbulkan vaginal
discharge yang berwarna kuning kehijauan, berbusa dan berbau busuk
 Vaginosis bakterialis yang dapat disebabkan oleh bakteri anerob seperti
Gardnerella vaginalis, Prevotella, Peptostreptococcus dan Bacteroides spp,
akan menimbulkan vaginal discharge yang berwarna putih susu dan berbau
amis (fishy odor).
Meskipun ketiga etiologi di atas merupakan penyebab yang paling
dominan, namun vaginal discharge juga dapat disebabkan oleh kelainan non
infeksi. Oleh sebab itu penegakan diagnosis harus dilakukan secara
komperehensif, meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik serta
didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti pengukuran pH sekret vagina dan
pemeriksaan mikroskopis.
Pada pembuatan sediaan basah, spesimen vaginal discharge diletakkan di
atas kaca objek lalu dicampurkan dengan larutan Salin atau NaCl 0.9% dan KOH
10%. Larutan salin bersifat fisiologis sehingga integritas membran dan
pergerakan/motilitas (sperma, protozoa) tidak terganggu dan bisa diamati. Larutan
salin sangat baik untuk mengamati sejumlah bakteri berbentuk batang
(Lactobacillus pada sekret vagina normal), motilitas trikomonas pada
trikomoniasis atau taburan atau perselubungan bakteri di permukaan epitel vagina
(yang dikenal dengan “Clue cells”) yang khas pada vaginosis bakterialis. Jika
dicurigai sebagai infeksi jamur, maka penambahan KOH 10% pada spesimen
vaginal discharge akan memberikan gambaran yang jelas dari sel budding (yeast
bud) dan pseudohifa. Kalium Hidroksida (KOH) mampu melisiskan dinding sel
bakteri, trikomonas, sel darah dan sel epitel vagina, namun jamur akan tetap intak
sehingga dapat diamati. Pada kasus vaginosis bakterialis dan trikomoniasis,
penambahan KOH 10% pada spesimen akan menimbulkan bau amis yang khas
(fishy odor). Uji ini dikenal dengan Whiff test.

208
3. Alat dan Bahan
Alat:
 Spekulum
 Kapas lidi steril atau spatula
 Mikroskop
 Kaca objek
 Cover glass
Bahan:
 Spesimen vaginal discharge
 Larutan NaCl 0,9%
 Kalium Hidroksida 10%

4. Prosedur Kerja
A. Persiapan pengambilan spesimen
Pemeriksaan ini diindikasikan pada pasien wanita dengan keluhan vaginitis
seperti rasa gatal, sensasi terbakar/panas, kemerahan serta adanya vaginal
discharge/fluor albus yang berbau. Sebelum pengambilan spesimen dilakukan,
sangat penting untuk dipastikan hal sebagai berikut:
1. Pasien tidak boleh dalam keadaan menstruasi
2. Pasien tidak boleh menggunakan cairan pembasuh vagina minimal 3 hari
sebelum pemeriksaan
3. Pasien tidak boleh menggunakan tampon 24 jam sebelum pemeriksaan
4. Pasien tidak boleh menggunakan obat-obatan dalam bentuk vaginal
suppositoria (biasanya untuk jamur) minimal 3 hari sebelum pemeriksaan

B. Pengambilan Spesimen
Prosedur pengambilan spesimen adalah sebagai berikut:
1. Pasien berbaring di atas meja pemeriksaan dalam posisi litotomi, lalu
dipasangkan spekulum
2. Spesimen vaginal discharge diambil menggunakan kapas lidi steril atau
spatula. Spesimen dapat diambil dari mukosa bagian posterior vagina atau dari
cairan discharge yang keluar.
3. Swab yang diambil tidak boleh kering (harus segera diproses)

C. Pembuatan Sediaan Basah


1. Siapkan kaca objek yang bersih
2. Ambil secukupnya spesimen vaginal discharge menggunakan swab/kapas lidi
steril, lalu diletakkan di kedua bagian ujung kaca objek (seperti gambar di
bawah)

209
3. Tambahkan larutan salin dan KOH 10% pada masing-masing ujung kaca
objek yang telah dibubuhi spesimen, lalu dicampur merata
4. Kedua sediaan ditutupi dengan cover glass. Penutupan dilakukan secara
perlahan dan hati-hati untuk menghindari terbentuknya gelembung udara
5. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop menggunakan lensa objektif 10x
dan dilanjutkan ke 40X. Pengamatan dapat dilakukan menggunakan lensa
objektif 10X, namun konfirmasi menggunakan lensa objektif 40X sangat
penting dilakukan karena sejumlah debris dan artefak yang terdapat di dalam
spesimen (rambut, serat atau gelembung udara).

D. Interpretasi Hasil Pemeriksaan


Pada preparat dengan larutan salin diamati sejumlah hal berikut:
 Sekret vagina normal: bakteri berbentuk batang (Lactobacillus), sel epitel
vagina, tidak dijumpai leukosit
 Vaginosis bakterialis: clue cells berjumlah >20 sel, tidak ada atau dijumpai
sedikit leukosit. Clue cells adalah sel epitel skuamous vagina yang diselubungi
oleh bakteri patogen Gardnerella vaginalis yang berbentuk coccobacilli.
 Trikomoniasis: Trikomonas dan pergerakannya serta dijumpai banyak leukosit
 Pada preparat dengan KOH 10% dapat diamati budding yeast dan pseudohifa.
Spora terlihat pada infeksi jamur non-Candida serta sedikit leukosit yang
menunjukkan kandidiasis vulvovaginalis.
Hasil pemeriksaan yang diperoleh melalui sediaan basah dapat dilihat pada
Tabel 1.

Tabel 1. Penilaian/interpretasi hasil pemeriksaan sediaan basah

Sumber: Billater dan Dunn, 2014

210
Check List
Skor
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2 3
I Persiapan pengambilan specimen
vaginal discharge
Pasien diberikan informasi mengenai sejumlah
hal berikut:
Tidak boleh dalam keadaan menstruasi, tidak
menggunakan pembasuh vagina minimal 3 hari
sebelum pemeriksaan, tidak menggunakan
tampon minimal 24 jam sebelum pemeriksaan
serta tidak menggunakan obat-obatan (vaginal
suppositoria) minimal 2-3 hari sebelum
pemeriksaan.
II Pengambilan spesimen vaginal
discharge
1 Pasien berbaring di atas meja pemeriksaan
dalam posisi litotomi, lalu dipasangkan
spekulum

2 Spesimen vaginal discharge diambil


menggunakan kapas lidi steril atau
spatula. Spesimen dapat diambil dari
mukosa bagian posterior vagina atau dari
cairan discharge yang keluar.

3 Swab yang diambil tidak boleh kering


(harus segera diproses)

III Pembuatan sediaan basah


1. Siapkan kaca objek yang bersih, lalu
ambil secukupnya spesimen vaginal
discharge menggunakan swab/kapas lidi
steril, lalu diletakkan di kedua bagian
ujung kaca objek
2. larutan salin dan KOH 10% ditambahkan
pada masing-masing ujung kaca objek
yang telah dibubuhi spesimen, lalu
dicampur merata
3. Kedua sediaan ditutupi dengan cover
glass. Penutupan dilakukan secara
perlahan dan hati-hati untuk menghindari

211
terbentuknya gelembung udara
4. Pengamatan dilakukan di bawah
mikroskop menggunakan lensa objektif
10x dan dilanjutkan ke 40X
IV Interpretasi hasil
1 Pada saat penambahan KOH 10% akan
muncul bau amis (fishy odor), maka
dilaporkan sebagai Whiff test positif
2 Sekret vagina normal: bakteri berbentuk
batang (Lactobacillus), sel epitel vagina,
tidak dijumpai leukosit
3 Vaginosis bakterialis: clue cells berjumlah
>20 sel, tidak ada atau dijumpai sedikit
leukosit. Clue cells adalah sel epitel
skuamous vagina yang diselubungi oleh
bakteri patogen Gardnerella vaginalis
yang berbentuk coccobacilli.
4 Trikomoniasis: Trikomonas dan
pergerakannya serta dijumpai banyak
leukosit
5 Kandidiasis vulvovaginalis: budding yeast
dan pseudohifa. Spora terlihat spora
infeksi jamur non-Candida serta adanya
sedikit leukosit

Keterangan :
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan, tetapi kurang benar (kesalahan > 50%)
2 : Dilakukan, tetapi kurang benar (kesalahan < 50 %)
3 : Dilakukan dengan benar
% cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/39 x 100% = %

Banda Aceh, ....................2019

Observer

212
C.GRAM STAINING

1. Tujuan Belajar
a. Mahasiswa mampu membuat preparat dari biakan bakteri dari media
padat dan dari media cair
b. Mahasiswa mampu melakukan pewarnaan gram dengan benar
c. Mahasiswa mampu menginterpretasi hasil pewarnaan Gram dari
pengamatan dengan mikroskop

2. Dasar Teori
Bakteri berukuran sangat kecil dan tipis sehingga sukar dilihat strukturnya
walaupun dengan bantuan mikroskop. Untuk melihat morfologi bakteri secara
lebih jelas dikembangkan teknik pewarnaan bakteri. Prinsip pewarnaan bakteri
adalah pertukaran antara ion zat warna dengan ion protoplasma sel. Ada dua
kelompok zat pewarna bakteri.(1) bersifat asam, berupa anion dan umum
digunakan dalam bentuk garam natrium. (2) bersifat alkalis, berupa kation dan
umum digunakan dalam bentuk klorida. Selain zat warna diperlukan zat tambahan
yang berfungsi untuk mengendapkan hasil rekasi zat warna dengan komponen
dinding sel bakteri.
Dengan pewarnan dapat diamati struktur sel bakteri atau salah satu dari
bagian dari struktur sel bakteri. Salah satu pewarnaan kuman yang paling banyak
digunakan adalah pewarnaan Gram. Pewarnaan Gram ini harus dikuasai oleh
mahasiswa.Kepentingan klinik yang dapat diperoleh dengan pewarnaan Gram
adalah untuk:
1. Penggolongkan bakteri ke dalam dua kelompok besar yaitu bakteri Gram
positif atau Gram negatif. Hal ini diperlukan untuk kepentingan indentifikasi
bakteri penyebab infeksi.
2. Membantu penentuan pemilihan antibiotika sesuai dengan golongan bakteri
penyebab infeksi
Pewarnaan Gram pertama diperkenalkan oleh Hans Christian Gram
(Denmark) pada tahun 1884. Pewarnaan ini banyak sekali digunakan di
laboratorium mikrobiologi sebagai salah satu langkah dalam identifikasi bakteri.
Dengan pewarnaan ini bakteri dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan yaitu
kelompok bakteri Gram negatif (bakteri berwarna merah) dan kelompok bakteri
Gram positif (bakteri berwarna ungu). Menurut Talaro KP and Talaro A.
(2012)Perbedaan sifat tersebut disebabkan adanya perbedaan barier dinding sel
bakteri terhadap penetrasi kompleks jodium-kristal violet setelah pewarnaan
tersebut difiksir oleh bahan mordant (larutan jodium/lugol). Prinsip kerja dan
prosedur pewarnaan Gram dapat dilihat pada gambar 6.

213
Gambar 6. Prinsip kerja dan prosedur pewarnaan Gram
(Sumber: Tortora et.al 2010)

Pada bakteri Gram positif, zat warna kristal violet difiksir oleh yodium
pada dinding sel kuman dan ketika mengalami pencucian dengan larutan alkohol
zat tersebut tetap melekat pada diding sel. Sedangkan pada kuman Gram negatif,
Jodium tadi tidak dapat memfiksir zat warna kristal violet pada dinding sel,
sehingga ketika dilakukan pencucian dengan alkohol zat warna tersebut keluar
kembali dan hanya zat warna terakhir yaitu methyl red atau safranin yang
berwarna merah yang melekat pada dinding sel (Gambar 7)

Gambar 7. Perbedaan struktur dinding sel bakteri Gram poitif dan negatif
(Sumber: http://micro.digitalproteus.com/morphology2.php)

214
Beberapa bakteri yang tergolong Gram postif dan Gram negatif serta
penyakit yang ditimbulkannya dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Beberapa genus bakteri berdasarkan pewarnaan Gram dan penyakit yang
ditimbulkannya

Sumber: Diadaptasi dari Jawets et al, 2005

3. Alat dan Bahan


Alat:
 Kaca objek
 Penjepit kaca objek
 Lampu Bunsen
 Ose
 Mikroskop

Bahan:
 Biakan bakteri
 Bahan untuk pewarnaan: Kristal violet, lugol, alkohol 96%, safranin dan
akuades

215
4. Prosedur Kerja
A. Pembuatan Preparat
1. Pembuatan preparat dari perbenihan bakteri dari medium padat
Cara membuat preparat dari biakan bakteri dari medium padat sebagai berikut:
 Siapkan objek gelas yang bersih (bila perlu lewatkan 3-4 kali di atas lidah
api)
 Pijarkan ose/sengkelit dengan posisi tegak lurus dan dinginkan sebentar
 Ambil aquades steril dengan ose yang telah dipijarkan itu secara aseptis
 Lewatkan mulut tabung aquades steril itu dekat api, lalu tutup kembali
tutupnya.
 Letakkan aquades steril itu pada kaca objek yang telah bersih
 Pijarkan lagi ose dengan posisi tegak lurus dan didinginkan sebentar
 Ambil sedikit biakan bakteri yang telah disediakan dengan ose tersebut
 Lewatkan mulut tabung/petridis tadi dekat api lalu tutup kembali
 Campurkan bakteri dengan aquades pada objek gelas hingga rata ( +1 cm)
 Lebarkan campuran itu ke tepi dengan ose yang diputar-putar sehingga
didapatkan sediaan yang tidak terlalu tebal ataupun tidak terlalu tipis
 Keringkan sediaan itu di udara, sedangkan ose-nya dipijarkan kembali
agar steril
 Fiksasilah sediaan dengan melewatkan objek gelas di atas lidah api
beberapa kali yang bertujuan untuk sediaan menempel kuat pada
permukaan objek gelas.
 Sediaan siap diwarnai

2. Pembuatan preparat dari perbenihan bakteri dari medium cair


 Siapkan objek gelas yang bersih (bila perlu lewatkan 3-4 kali di atas lidah
api)
 Pijarkan ose/sengkelit dengan posisi tegak lurus dan dinginkan sebentar
 Ambil sedikit biakan bakteri yang akan diperiksa dengan ose yang telah
dipijar secara aseptik
 Lewatkan mulut tabung biakan cair itu dengan api lampu spirtus lalu tutup
kembali dengan tutupnya
 Letakkan biakan cair tersebut (yang ada pada ujung ose) pada objek gelas
yang telah bersih
 Lebarkan cairan itu dengan ose, lalu diputar-putar sehingga didapat
sediaan yang tidak terlalu tebal ataupun tidak terlalu tipis
 Keringkan sediaan itu di udara, sedangkan ose-nya dipijarkan kembali
agar steril
 Fiksasilah sediaan dengan melewatkan objek gelas di atas lidah api
beberapa kali yang bertujuan untuk sediaan menempel kuat pada
permukaan objek gelas.
 Sediaan siap diwarnai

216
B. Pewarnaan Gram
1. Tuangkan kristal violet pada objek gelas dan biarkan selama 1 menit setelah itu
bilas dengan air.

2. Tuangkan lugol pada objek gelas dan biarkan selama 1 menit setelah itu bilas
dengan air.

3. Lunturkan dengan alkohol 96% selama 5-10 detik sampai zat warna hilang,
setelah itu bila dengan air

217
4. Tuangkan larutan safranin pada objek gelas dan biarkan selama 30-60 detik
setelah itu bilas dengan air.

5. Keringkan dengan kertas pengering, setelah itu tetesi sediaan itu dengan
minyak emersi lalu amati di bawah mikroskop dengan lensa objektif
pembesaran 100 kali

218
Check List
Skor
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2 3
I. Pembuatan Preparat
1. Menyiapkan kaca objek
2. Memijarkan ose dengan posisi tegak lurus
dan mengambil aquades dengan
melewatkan mulut tabung aquades dekat
api
3. Meletakkan aquades steril pada kaca objek
4. Memijarkan lagi ose dengan posisi tegak
lurus dan mendinginkan sebentar
5. Mengambil sedikit biakan bakteri dengan
ose dan melewatkan petridisc dekat api.
6. Mencampur dan melebarkan sediaan
dengan ose pada kaca objek dan kemudian
mensterilkan ose
7. Mengeringkan sediaan dengan melewatkan
sediaan 3-4 kali diatas lidah api (fiksasi)
II. Pewarnaan Gram
1. Menuangkan kristal violet pada sediaan dan
membiarkan selama satu menit lalu
membilas dengan air
2. Menuangkan lugol pada sediaan dan
membiarkan selama satu menit lalu
membilas dengan air
3. Melunturkan dengan alkohol 96% selama
5-15detik lalu bilas dengan air.
4. Menuangkan safranin pada sediaan dan
membiarkan selama 30-60 detik lalu
membilas dengan air
5. Mengeringkan sediaan dengan kertas
pengering setelah itu menetesi sediaan
dengan minyak emersi
6. Mengamati sediaan di bawah mikroskop
dengan pembesaran 10x100 dan
melaporkan hasil pengamatan

219
Keterangan :
0 : Tidak dilakukan
1 : Dilakukan, tetapi kurang benar (kesalahan > 50%)
2 : Dilakukan, tetapi kurang benar (kesalahan < 50 %)
3 : Dilakukan dengan benar
% cakupan penguasaan keterampilan : Skor total/39 x 100% = %

Banda Aceh, ..............2019

Observer

220
DAFTAR PUSTAKA

Collecting Specimen for Investigation of Fungal Infection. 2011. Available at


http://www.bpac.org.nz.

Kurade SM, Amladi SA and Miskeen A. 2006. Skin scrapping and potassium
hydroxide mount. Indian Journal of Dermatology, Veneorology and Leprology. 72
(3): 238-241

Billater L and Dunn ST. 2014. Vaginal wet prep procedures. Country Health
Department Laboratory Procedure. Available at:
http://www.ok.gov/health2/documents/2014%20Vaginal%20Wet%20Prep%20Pro
cedure%2004-22-2014.pdf

Training Instruction for Reading KOH Wet Preps for MTN studies. Available at
http://www.mtnstopshiv.org/sites/default/files/attachments/Training_KOH

Abdo HM, Abdel-Hamed MR, Al-Hosiny IM. 2011. The Gulf Journal of
Dermatology and Venereology. 18(1): 34-39.

Khan KJ, Shah R , Gautam M, Patil S. 2007. Clue cells. Indian J Sex Transm
Dis.28:108-109

Turovskiy Y, Noll KS, Chikindas ML. The aetiology of Bacterial Vaginosis.


2011. Journal of Applied Microbiology. 110:1105–1128

Patrict R. Muray; Ellen JO. Baron. James H. Jurgensen; Michael A. Pfeller and
Robert. H. Yolken 2003. Mannual Clinical Microbiology 8th American Society for
Microbiology. Washinton. DC

Talaro KP and Talaro A. 2012. Foundations inMicrobiology.McGraw−Hill. San


Francisco.

Tortora GJ, Funke BRand Case CL. 2010. Microbiology.10th Edition.San


FranciscoPearson Benjamin Cummings

Albert Ballows; William J. Hausler JR. Kenneth L. Herrman; Henry D. Isenberg


and H.Jean Shadomy. 1991. Mannual Clinical Microbiology 4th . American
Society for Microbiology. Washinton. DC

Kenneth J. Ryan 2004. Sherirs Medical Microbiology: An Introduction to


Infection Disease,. Printice Hall International Inc. USA

221
Geo F. Brooks; Janet S. Butel and L. Nicholas Ornston. 2002. Jawetz,
Melnictkand Edelber‟s Medical Microbiology 21st . Appleton & Lange.
Connecticut.

Joklik, JK; Willet, HP; Amos, DB. 1992. Zinsser Microbiology. 20th ed. Churchill
Livingstone. New York. P 516-5

222
223
224

Anda mungkin juga menyukai