Anda di halaman 1dari 107

PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp.

aizawai MENGGUNAKAN LIMBAH INDUSTRI TAHU SEBAGAI


SUBSTRAT

Oleh :

MUHAMMAD SYUKUR SARFAT


F34060127

2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus thuringiensis subsp.
aizawai MENGGUNAKAN LIMBAH INDUSTRI TAHU SEBAGAI
SUBSTRAT

Oleh :

MUHAMMAD SYUKUR SARFAT


F34060127

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANAN TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
JUDUL SKRIPSI : PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DARI Bacillus
thuringiensis subsp. aizawai MENGGUNAKAN LIMBAH
INDUSTRI TAHU SEBAGAI SUBSTRAT
NAMA : MUHAMMAD SYUKUR SARFAT
NRP : F34060127

Menyetujui,
Bogor, Agustus 2010

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Drs. Purwoko, M.Si Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si


NIP : 19590710 197903 1 001 19640810 198803 2 002

Mengetahui,
Ketua Departemen

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti


19621009 198903 2 001

Tanggal Lulus : .................................


MUHAMMAD SYUKUR SARFAT. F34060127. Produksi Bioinsektisida Dari
Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Menggunakan Limbah Industri Tahu Sebagai
Substrat. Di Bawah Bimbingan Purwoko dan Mulyorini Rahayuningsih. 2010.

RINGKASAN

Bioinsektisida merupakan salah satu dari beberapa jenis pestisida yang


digunakan untuk mengendalikan hama berupa serangga. Bioinsektisida dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu ovisida dan larvisida. Ovisida khusus digunakan untuk
mengendalikan telur serangga, sedangkan larvisida khusus digunakan untuk
mengendalikan larva serangga. Bioinsektisida memanfaatkan bakteri, cendawan,
jamur, nematoda untuk membunuh hama serangga. Mikroorganisme yang sering
digunakan dalam memproduksi insektisida mikroba adalah Bacillus thuringiensis
(Bt). Bt merupakan spesies bakteri dari genus Bacillus yang tergolong dalam
kelompok bakteri gram positif. Penggunaan bioinsektisida sebagai pembasmi hama
serangga merupakan alternatif yang dianggap tidak resisten terhadap serangga
sasaran dan ramah lingkungan. Oleh karena itu, kajian ini adalah memproduksi
bioinsektisida yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis subsp. aizawai berbahan
baku produk samping (limbah) industri tahu yang murah sebagai bahan baku utama.
Pemilihan limbah industri tahu (ampas tahu dan air tahu) dikarenakan kedua
komponen tersebut mengandung nutrisi, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan
mikroorganisme dalam pertumbuhannya.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi media terbaik yang
menghasilkan bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai dan mengkaji
tingkat toksisitas terhadap larva Croccidolomia binotalis (ulat kubis).
Formulasi media menggunakan ampas tahu dan air tahu dengan
perbandingan 20 : 80, 30 : 70, dan 40 : 60 serta jumlah starter yang ditambahkan 10,
15, dan 20 (% v/w). Pengamatan dilakukan pada jam ke-0, jam ke-30, dan jam ke-48
waktu fermentasi yang meliputi pH, total gula sisa, jumlah sel hidup, dan jumlah
spora hidup. Uji toksisitas dilakukan terhadap larva Croccidolomia binotalis (ulat
kubis).
Pada analisis bahan baku diperoleh kadar karbon pada ampas tahu dan air tahu
sebesar 5,64 % (bb) dan 0,27 % (bb), sedangkan kadar nitrogennya sebesar 0,42 %
(bb) dan 0,02 % (bb). Selama fermentasi berlangsung, nilai pH pada cairan
fermentasi mengalami peningkatan sedangkan total gula mengalami penurunan. Nilai
pH cairan kultur berkisar antara 7,27 sampai 8,21. Efisiensi penggunaan substrat
untuk fermentasi selama 30 jam berkisar antara 13,14 % (C2) sampai 33,61 % (A3)
dan untuk fermentasi selama 48 jam berkisar antara 31,73 % (C3) sampai 41,91 %
(B3).
Jumlah sel hidup tertinggi pada penelitian ini dihasilkan oleh formula media
B3 (2,14 x 108 sel/ml) dengan waktu fermentasi selama 48 jam, sedangkan jumlah sel
hidup terendah pada penelitian ini dihasilkan oleh formula media A3 (1 x 107 sel/ml)
dengan waktu fermentasi selama 48 jam.
Jumlah spora hidup tertinggi pada penelitian ini dihasilkan oleh formula media
B2 (2,95 x 107 spora/ml) dengan waktu fermentasi selama 48 jam, sedangkan total
spora hidup terendah pada penelitian ini dihasilkan oleh formula media A1 (1,25 x
106 spora/ml) dengan waktu fermentasi selama 48 jam.
Perbedaan formulasi media berpengaruh secara nyata terhadap nilai pH,
pertumbuhan Bta, dan pembentukan spora, namun tidak berpengaruh secara nyata
terhadap total gula sisa.
Tingkat toksisitas tertinggi untuk fermentasi selama 30 jam diperoleh pada
formula media A1 (1,34 mg/L) dan tingkat toksisitas terendah diperoleh pada
formula media C3 (174,16 mg/L). Sedangkan tingkat toksisitas tertinggi untuk
fermentasi selama 48 jam diperoleh pada formula media A2 (7,44 mg/L) dan tingkat
toksisitas terendah diperoleh pada formula media C3 (45636,00 mg/L). Pada kontrol
(air suling + prostiker) yang tidak diberi cairan produk bioinsektisida, tidak terdapat
larva C. binotalis yang mati, sedangkan pada produk komersial (Bactospeine)
diperoleh toksisitas sebesar 0,05 mg/L dengan potensi produk 16000 UI/mg.
MUHAMMAD SYUKUR SARFAT. F34060127. Production of Bioinsectiside
From Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Using Waste of Industrial Tofu As
Substrate. Supervised by : Purwoko and Mulyorini Rahayuningsih. 2010.

ABSTRACT

This research was to obtain the best media formulation oftions for
bioinsectisides production using Bacillus thuringiensis subsp. aizawai and to asses
the level of toxicity against larvae Crocidolomia binotalis (cabbage worms).
Media formulation oftions using tofu waste and tofu waste water, with a ratio
of 20: 80, 30: 70, and 40: 60 and the amount of starters added 10, 15, and 20 (% v
/v). Observations done at 0, 30, and 48 hours of the cultivation time which include
pH, total residual sugar, the total plate count, and the viable spore count. Toxicity
tests were conducted by bioassay using larvae Crocidolomia binotalis (cabbage
worms).
The analysis of raw materials obtained on the carbon content of tofu waste
and tofu waste water at 5.64% (wb) and 0.27% (wb), while the nitrogen content of
0.42% (wb) and 0.02% (wb). During the cultivation, the pH in the cultivation liquid
was increased while total sugars is decreased. The pH values during cultivation was
ranging from 7.27 to 8.21. Efficient use of substrate for cultivation 30 hours ranged
from 13.14% (C2) to 33.61% (A3) and for cultivation 48 hours ranged from 31.73%
(C3) to 41.91% (B3).
The highest total plate count in this research is media formulation of B3 (2.14
x 108 cells/ml) with cultivation time during the 48 hours, whereas the lowest total
plate count in this research is media formulation of A3 (1 x 107 cells/ml) with
cultivation time during the 48 hours.
The highest amount of viable spore count in this research is the media
formulation of B2 (2.95 x 107 spores/ml) with cultivation time during the 48 hours,
whereas the lowest viable spore count in this research is the media formulation of A1
(1.25 x 106 spores/mL) with cultivation time during the 48 hours.
Cultivation during 30 hours using media formula A1 produces crystal protein
in high toxicity to Croccidolomia binotalis larva. This is indicated by the highest
toxicity level from bioassay test which shown by medium formulae of A1, which
was 1,34 mg/L, and the lowest toxicity level was shown by media formulae of C3,
which was 174,16 mg/L. Whereas cultivation during 48 hours using media
formulation of A2 produces crystal protein in high toxicity to Croccidolomia
binotalis larva. This is indicated by the highest toxicity level from bioassay test
which shown by medium formulae of A1, which was 7,44 mg/L, and the lowest
toxicity level was shown by media formulae of C3, which was 45636,00 mg/L. In the
control (distilled water + prostiker) who were not given fluids bioinsectiside products
not found of C. binotalis larva is dead, while in the commercial product
(Bactospeine) toxicity was obtained at 0.05 mg / L with potential products 16 000 UI
/ mg.
PERNYATAAN

Saya menyatakan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Produksi


Bioinsektisida Dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Menggunakan Limbah
Industri Tahu Sebagai Substrat” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan
dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Agustus 2010

MUHAMMAD SYUKUR SARFAT


F34060127
BIODATA PENULIS

Muhammad Syukur Sarfat dilahirkan di Kendari pada tanggal


20 Oktober 1987. Putra pertama dari tujuh bersaudara ini
menyelesaikan pendidikan dasar di SD Lahontohe tahun 1994
– 2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP N 1
Tongkuno, tahun 2000 – 2003, dan Sekolah Menengah Atas di
SMA N 1 Tongkuno tahun 2003 – 2006.
Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada Bulan Agustus
2010, penulis dinyatakan lulus dari perguruan tinggi tersebut setelah menyelesaikan
tugas akhir yang berjudul “Produksi Bioinsektisida Dari Bacillus thuringiensis subsp.
aizawai Menggunakan Limbah Industri Tahu Sebagai Substrat”.
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
atas segala rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Produksi Bioinsektisida Dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai
Menggunakan Limbah Industri Tahu Sebagai Substrat”. Skripsi ini disusun
berdasarkan penelitian yang dilakukan dari Bulan Maret 2010 sampai dengan Bulan
Juli 2010.
Dalam pelaksanaannya, telah melibatkan banyak pihak yang turut serta ikut
membantu saya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu,
saya ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan dukungan yang besar
bagi saya.
2. Drs. Purwoko, M.Si dan Dr. Ir. Mulyorini Rahyuningsih, M.Si, staf pengajar
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, sebagai dosen Pembimbing Akademik.
3. Dr. Ir. Suprihatin selakku dosen penguji atas saran dan masukannya.
4. Ir. Djoko Priyono, M Agr., Bapak Agus, dan saudari Febri di Laboratorium
Fisiologi dan Toksin Departemen Hama dan Penyakit Tanaman IPB, atas larva
ulat Crocidolomia binotalis.
Saran, kritik, dan tanggapan dari semua pihak sangat penulis harapkan.
Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2010

Penulis

i
UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Produksi Bioinsektisida


Dari Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Menggunakan Limbah Industri Tahu
Sebagai Substrat” tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Laboran di Departemen TIN : Ibu Rini Purnawati, Ibu Egnawati Sari, Ibu Sri
Mulyati, Bapak Edi Sumantri, Bapak Gunawan, Bapak Sugiardi, Bapak Yogi
Suprayogi atas bantuan, keramahan, dan keleluasan selama penelitian.
2. Seluruh staf perpustakaan TIN, FATETA, PAU, Biologi, HPT, dan LSI atas
bantuannya dalam mencari berbagai literatur.
3. Tim Bioinsektisida (Erlin, Bagus, dan Ibu Ai), Tim Gambir (Echa, Mita, Okta,
dan Santi), Tim Rempah-Rempah (Yos dan Cis), Tim RSM (Riska, Sandra, dan
Mita), Tim Karet (Syahrun dan Syafiq), Tim Bioetanol (Law-Law, Mumun, Oni,
dan Martin), Tim Minuman (Nidia, Dian, dan Dadin), Tim Tepung-tepungan
(Muthi dan Karo), Juliando, Pangeran, Yulia, dan Cucu atas bantuan dan
motivasinya selama penelitian.
4. Sahabat-sahabat Kost Budarjo yang telah memberi bantuan, semangat, dan
motivasi.
5. Teman-teman Departemen TIN yang telah memberi bantuuan dan dukungan.

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ............................................................................ 1
B. TUJUAN ................................................................................................ 2
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3
A. BIOINSEKTISIDA ................................................................................ 3
B. LIMBAH INDUSTRI TAHU ................................................................. 3
C. Bacillus thuringiensis SEBAGAI BIOINSEKTISIDA ............................ 5
1. Bacillus thuringiensis (Bt) ........................................................................... 5
2. Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Bta) Sebagai Bahan Aktif
Bioinsektisida .............................................................................................. 7
3. KRISTAL PROTEIN (δ-endotoksin) Bacillus thuringiensis ......................... 8
4. PROSES TOKSISITAS DAN INFEKSI Bacillus thuringiensis.................. 10
D. FERMENTASI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai DAN
KONDISINYA .................................................................................... 12
1. Media Pertumbuhan Dan Fermentasi ......................................................... 12
2. Kondisi Fermentasi.................................................................................... 14
3. Pemanenan (Recovery) .............................................................................. 15
4. Penentuan Aktivitas Insektisida Mikroba ................................................... 15
E. LARVA Croccidolomia binotalis (Ulat Kubis) SEBAGAI
SERANGGA SASARAN Bacillus thuringiensis subsp. aizawai........... 16
III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................... 18
A. BAHAN DAN ALAT .......................................................................... 18
1. Bahan ........................................................................................................ 18
2. Alat ........................................................................................................... 18

iii
B. METODE PENELITIAN ..................................................................... 18
1. Penelitian Pendahuluan .............................................................................. 18
2. Penelitian Utama ....................................................................................... 19
3. Rancangan Percobaan ................................................................................ 21
IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 23
A. HASIL ANALISIS KIMIA BAHAN BAKU ........................................ 23
B. PERUBAHAN pH CAIRAN KULTUR ............................................... 24
C. PERTUMBUHAN Bacillus thuringiensis subsp. aizawai SELAMA
KULTIVASI ........................................................................................ 26
D. PENGGUNAAN SUBSTRAT SELAMA KULTIVASI ....................... 28
E. JUMLAH SPORA HIDUP (VSC) DALAM CAIRAN HASIL
KULTIVASI ........................................................................................ 31
F. UJI TOKSISITAS BIOINSEKTISIDA................................................. 33
V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 37
A. KESIMPULAN .................................................................................... 37
B. SARAN ................................................................................................ 38
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 39
LAMPIRAN ..................................................................................................... 45

iv
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Kandungan kimia limbah ampas tahu dan limbah cair tahu .................. 5
Tabel 2. Kandungan Mineral Limbah Ampas Tahu ............................................ 5
Tabel 3. Tipe patogenitas dari Bacillus thuringiensis ....................................... 10
Tabel 4. Perbandingan Medium Kultivasi ........................................................ 19
Tabel 5. Perlakuan pada kultivasi Bta .............................................................. 20
Tabel 6. Hasil analisis kimia ampas tahu (AT) dan limbah cair tahu (LCT) ...... 23
Tabel 7. Hasil perhitungan penambahan urea untuk memperoleh C/N ratio 7:1 23
Tabel 8a. Tingkat mortalitas larva Croccidolomia binotalis (instar II) terhadap
produk bioinsektisida (kultivasi selama 30 jam) ................................. 34
Tabel 8b. Tingkat mortalitas larva Croccidolomia binotalis (instar II) terhadap
produk bioinsektisida (kultivasi selama 48 jam) ................................. 34
Tabel 9. Perbandingan antara LC50 dan potensi produk untuk masing-masing
perlakuan (kultivasi 30 jam dan 48 jam) serta produk komersial......... 35

v
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Sel Bacillus thuringiensis ................................................................ 6
Gambar 2. Spora dan kristal protein Bacillus thuringiensis di dalam sel
vegetatifnya ..................................................................................... 7
Gambar 3. Bentuk kristal protein Bacillus thuringiensis berbentuk bipiramida .. 9
Gambar 4. Proses toksisitas Bacillus thuringiensis pada larva ulat .................. 11
Gambar 5. Larva, Kepompong, dan telur Croccidolomia binotalis .................. 17
Gambar 6. Diagram Alir Pembiakan Inokulum ............................................... 19
Gambar 7. Diagram alir proses produksi bioinsektisida ................................... 21
Gambar 8. Perubahan pH cairan kultivasi selama kultivasi Bta dalam media
dengan berbagai formulasi media .................................................. 25
Gambar 9. Pengaruh kombinasi media terhadap jumlah sel ............................. 27
Gambar 10. Penggunaan substrat selama kultivasi Bta dalam media dengan
berbagai formulasi media .............................................................. 29
Gambar 11. Efisiensi penggunaan substrat selama kultivasi Bta dalam media
dengan berbagai formulasi media .................................................. 30
Gambar 12. Pengaruh kombinasi media terhadap jumlah spora ......................... 32

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Metode Analisis Pada Penelitian ................................................. 46
Lampiran 2. Perhitungan Susunan Medium Kultivasi ...................................... 52
Lampiran 3. Rekapitulasi Data pH Rata-Rata Media Kultivasi Pada Jam Ke-0,
Jam Ke-30, dan Jam Ke-48 (dua kali ulangan) ............................. 54
Lampiran 4. Rekapitulasi Data Log Jumlah Sel Hidup (TPC) Rata-Rata Media
Kultivasi Pada Jam Ke-0, Jam Ke-30, dan Jam Ke-48 (dua kali
ulangan) ...................................................................................... 55
Lampiran 5. Rekapitulasi Data Total Gula Rata-Rata Media Kultivasi Pada
Jam Ke-0, Jam Ke-30, dan Jam Ke-48 (dua kali ulangan) ............ 56
Lampiran 6. Rekapitulasi Data Log Jumlah Spora Hidup (VSC) Rata-Rata
Media Kultivasi Pada Jam Ke-0, Jam Ke-30, dan Jam Ke-48
(dua kali ulangan)........................................................................ 57
Lampiran 7. Contoh Penentuan LC50 Menggunakan Program Probit Quant .... 58
Lampiran 8. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap
Perbedaan Formulasi Media, Perbedaan Waktu Kultivasi, Serta
Interaksi Antara Keduanya Terhadap Jumlah Sel Hidup Pada
Cairan Kultivasi (α = 0.05) .......................................................... 59
Lampiran 9. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap
Perbedaan Formulasi Media, Perbedaan Waktu Kultivasi, Serta
Interaksi Antara Keduanya Terhadap Jumlah Spora Hidup Pada
Cairan Kultivasi (α = 0.05) .......................................................... 62
Lampiran 10. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap
Perbedaan Formulasi Media, Perbedaan Waktu Kultivasi, Serta
Interaksi Antara Keduanya Terhadap Total Gula Pada Cairan
Kultivasi (α = 0.05) ..................................................................... 65
Lampiran 11. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap
Perbedaan Formulasi Media, Perbedaan Waktu Kultivasi, Serta
Interaksi Antara Keduanya Terhadap Nilai pH Pada Cairan
Kultivasi (α = 0.05) ..................................................................... 67
Lampiran 12. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap
Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan Konsentrasi Starter,
Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Jumlah Sel Hidup
Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) ................................................. 69
Lampiran 13. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap
Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan Konsentrasi Starter,

vii
Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Jumlah Spora Hidup
Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05) ................................................. 73
Lampiran 14. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap
Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan Konsentrasi Starter,
Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Total Gula Pada
Cairan Kultivasi (α = 0.05) .......................................................... 77
Lampiran 15. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil Terhadap
Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan Konsentrasi Starter,
Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Nilai pH Pada
Cairan Kultivasi (α = 0.05) .......................................................... 82
Lampiran 16. Konsentrasi Pengenceran Untuk Pengamatan Tingkat Toksisitas
(Bioassay) Hasil Kultivasi ........................................................... 86
Lampiran 17. Dokumentasi Penelitian ............................................................... 87

viii
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Bioinsektisida merupakan salah satu dari beberapa jenis pestisida yang


digunakan untuk mengendalikan hama berupa serangga. Bioinsektisida dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu ovisida dan larvisida. Ovisida khusus digunakan
untuk mengendalikan telur serangga, sedangkan larvisida khusus digunakan untuk
mengendalikan larva serangga. Bioinsektisida memanfaatkan bakteri, cendawan,
jamur, nematoda untuk membunuh hama serangga. Bioinsektisida juga
merupakan insektisida generasi baru dan sangat dianjurkan untuk digunakan
dalam PHT (Pengendalian Hama Terpadu) (Djojosumarto, 2008).
Mikroorganisme yang sering digunakan dalam memproduksi insektisida
mikroba adalah Bacillus thuringiensis (Bt). Bt merupakan spesies bakteri dari
genus Bacillus yang tergolong dalam kelompok bakteri gram positif. Bt diisolasi
pertama kali pada tahun 1902, yang ditemukan di dalam larva ulat sutra (Bombyx
mori) yang mati. Bt juga merupakan patogen (penyebab penyakit) bagi berbagai
jenis serangga yang sangat spesifik. Saat sporulasi, bakteri menghasilkan kristal
protein yang mengandung senyawa insektisida δ-endotoksin yang bekerja
merusak sistem pencernaan serangga sehingga menyebabkan serangga akan
berhenti makan dan mati dalam 1 – 4 hari (Djojosumarto, 2008). Sampai saat ini,
semua formulasi komersial insektisida Bt merupakan campuran antara bahan aktif
bakteri dengan bahan pembawa. Bahan aktif tersebut merupakan campuran antara
spora dan kristal protein.
Secara umum, produksi Bt sebagai bioinsektisida dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu fermentasi semi padat (semi solid cultivation) dan fermentasi
terendam (subsmerged cultivation). Fermentasi berarti pemberian makanan
mikroba dengan menghasilkan suatu yang bermanfaat atau produk akhir yang
berharga dari metabolismenya (Vandekar dan Dulmage, 1982).
Produk Bt yang beredar di pasaran terdiri dari beberapa varietas atau
subspesies Bt, masing-masing dengan berbagai strain, serotype, dan sebagainya.
Namun pada penelitian ini, bioinsektisida yang akan diproduksi adalah Bacillus

1
thuringiensis subsp. aizawai. Bakteri ini sangat efektif dalam mengendalikan
larva Lepidoptera, utamanya ulat daun kubis dan hama-hama sayuran lainnya.
Produk komersial Bt telah beredar di pasaran dengan merek dagang
Bactospeine/Duphar, Dipel/Abbott, dan Thuricide/Sandoz yang masih diimpor
dari luar negeri. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memproduksi
sendiri bioinsektisida tersebut dari bahan yang ada di dalam negeri sehingga dapat
menghindari ketergantungan akan bahan-bahan impor.
Banyak media yang digunakan berasal dari bahan-bahan yang tersedia di
alam yang mengandung karbon, nitrogen, dan mineral seperti bahan-bahan yang
mengandung karbohidrat misalnya jagung, pati, molases, atau padi-padian sebagai
sumber C (karbon) dan bahan-bahan yang mengandung protein seperti tepung biji
kapas, corn steep liquor sebagai sumber N (nitrogen) (Couch dan Ross, 1980).
Dalam penelitian ini, ampas tahu dan limbah cair tahu digunakan sebagai
substrat dalam fermentasi. Kondisi perbandingan sumber karbon dan sumber
nitrogen dalam media yang digunakan mengacu pada hasil penelitian Wicaksono
(2002) dan pernyataan Dulmage et al. (1990), yaitu 7 : 1. Untuk memperoleh rasio
C/N yang sesuai, maka perlu ditambahkan urea. Alasan menggunakan ampas
tahu dan limbah cair tahu sebagai substrat karena keduanya memiliki nutrisi,
vitamin, dan mineral yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Selain itu, penelitian
ini mencoba memanfaatkan limbah hasil pertanian sebagai substrat dalam
memproduksi bioinsektisida Bt secara fermentasi semi padat dan kedua bahan
tersebut mudah didapatkan dengan harga yang relatif murah.

B. TUJUAN

Tujuan penelitian secara umum adalah memanfaatkan ampas tahu dan


limbah cair tahu untuk produksi bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp.
aizawai. Sedangkan tujuan penelitian secara khusus adalah untuk mengetahui
pengaruh perbandingan ampas tahu dan limbah cair tahu terhadap produksi
bioinsektisida Bta.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. BIOINSEKTISIDA

Bioinsektisida (insektisida mikrobial) merupakan produk yang dihasilkan


oleh mikroorganisme yang dapat membunuh hama serangga dan vektor pembawa
penyakit. Insektisida mikrobial didefinisikan juga sebagai racun biologis yang
dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh serangga
(entomopathogen). Sebagai entomopathogen, insektisida mikrobial dapat
dikembangkan dari bakteri, virus, fungi, dan protozoa (Ignoffo dan Anderson,
1979). Adapun bakteri yang paling banyak digunakan untuk memproduksi
bioinsektisida adalah Bcillus. Bakteri ini mampu membentuk δ-endotoksin yang
bersifat toksin terhadap larva serangga (Bravo, 1997).
Penggunaan bioinsektisida ditujukan untuk menggantikan insektisida kimia
yang banyak digunakan selama ini. Menurut Behle et al. (1999), bioinsektisida
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan insektisida kimia.
Keunggulan tersebut adalah sifat dari bioinsektisida yang spesifik terhadap hama
serangga sehingga tidak membahayakan organisme non target lainnya,
penggunaannya aman, dan bersifat ramah lingkungan karena tidak menyebabkan
terjadinya penumpukan residu pada hasil pertanian dan dalam tanah. Menurut
Becker dan Margalit (1993), penggunaan insektisida kimia dengan dosis dan
frekuensi yang tinggi menjadikan serangga vektor penyakit menjadi resisten
terhadap insektisida kimia tersebut dan menyebabkan terganggunya
keseimbangan ekosistem.

B. LIMBAH INDUSTRI TAHU

Proses produksi tahu menghasilkan 2 jenis limbah, yaitu limbah padat dan
limbah cairan. Pada umumnya, limbah padat dimanfaatkan sebagai pakan ternak
dan dibuat kerupuk, sedangkan limbah cair dibuang langsung ke lingkungan.
Limbah cair pabrik tahu ini memiliki kandungan senyawa organik yang tinggi.
Tanpa proses penanganan dengan baik, limbah tahu menyebabkan dampak negatif

3
seperti polusi air, sumber penyakit, bau tidak sedap, meningkatkan pertumbuhan
nyamuk, dan menurunkan estetika lingkungan sekitar (Anonim, 2009).
Ampas tahu merupakan hasil samping dalam proses pembuatan tahu yang
diperoleh dari hasil penyaringan susu kedelai. Ampas tahu masih mengandung
protein yang relative tinggi, karena pada proses pembuatan tahu tidak semua
bagian protein bisa diekstrak, terutama jika menggunakan proses penggilingan
sederhana & tradisional. Menurut Nurdjannah dan Usmiati (2009), kadar protein
ampas tahu cukup tinggi yakni sekitar 6%. Pada umumnya ampas tahu
dimanfaatkan untuk pakan ternak atau campuran oncom dan tempe gembus.
Ampas tahu mempunyai peluang untuk digunakan dalam pembuatan tepung kaya
serat dan protein yang dapat diaplikasikan untuk berbagai produk pangan, dan
sebagai media tumbuh dan perkembangan jamur.
Proses pembuatan tahu tradisional hanya mampu mengekstrak sebagian
protein kedelai, protein yang tidak terekstrak tetap bersama-sama matriknya
dalam ampas tahu. Ampas tahu segar mempunyai tekstur yang lembek dengan
kadar air yang tinggi serta memiliki daya tahan yang tidak lebih dari 24 jam dalam
keadaan terbuka karena dapat terjadi kebusukan akibat timbulnya NH3. Cara
pengawetan ampas tahu adalah melalui pengeringan dengan oven menggunakan
panas 45 – 50 0C selama 24 – 48 jam (Prabowo et al, 1985).
Ampas tahu yang dihasilkan oleh tiap-tiap pabrik tahu mempunyai
komposisi yang tidak sama. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan
penggunaan bahan dasar campuran, peralatan maupun proses pengolahan yang
dijalankan. Pada pengolahan tahu masih banyak protein yang tertinggal dalam
ampas tahu. Kandungan kimia limbah ampas tahu dan limbah cair tahu dapat
dilihat pada Tabel 1. Sedangkan kandungan mineral limbah ampas tahu dapat
dilihat pada Tabel 2.

4
Tabel 1. Kandungan kimia limbah ampas tahu dan limbah cair tahu
Komponen Jumlah (% berat basis kering1 dan basis basah2)
Limbah ampas tahu1 Limbah limbah cair tahu2
Air 13,83* 99,34***
Abu 3,36* 0,11***
Protein 15,75* 1,73****
Lemak 12,10* 0,6300****
Nitrogen 2,52* 0,05***
Serat 19,4700** -
Sumber :* (Debby, et al., 2005) ** (Ridawati, 1993)
*** (Hartati, 2010) **** (Nuraida ,dkk, 1996)

Tabel 2. Kandungan Mineral Limbah Ampas Tahu

Komponen Jumlah (ug/g)


Ca 890,750
Mg 358,520
Fe 124,660
Cu 5,550
Pb 2,288
Zn 0,490
Sumber : (Ridawati, 1993)

C. Bacillus thuringiensis SEBAGAI BIOINSEKTISIDA

1. Bacillus thuringiensis (Bt)


Bt merupakan bakteri yang berbentuk batang dengan ukuran 3 – 5 µm
dan lebar 1,0 – 1,2 µm ketika tumbuh pada media. Bakteri ini tergolong
kedalam kelas Schizomycetes, ordo Eubacteriales, dan famili Bacillaceae.
Bakteri ini bersifat gram positif, aerob tetapi umumnya aerob fakultatif, dan
berflagelum. Bakteri ini dapat membentuk spora secara aerobik dan selama
masa sporulasi juga dapat membentuk kristal protein yang toksik. Kristal
protein ini dikenal dengan nama δ-endotoksin (Shieh, 1994). Dulmage (1981)
menyatakan bahwa selain menghasilkan δ-endotoksin, bakteri ini juga mampu
menghasilkan α-eksotoksin, β-eksotoksin, dan faktor kutu. α-eksotoksin
memiliki sifat yang tidak tahan terhadap panas dan larut di dalam air. β-
eksotoksin memiliki sifat yang tahan terhadap panas, larut di dalam air, dan

5
sangat beracun terhadap larva beberapa jenis lalat. β-eksotoksin diproduksi
pada masa pertumbuhan sel vegetatif dan terdiri atas adenine, ribose, glukosa,
dan asam allaric dengan sekelompok fosfat. Sel-sel vegetatif yang dihasilkan
dapat membentuk suatu rantai yang terdiri dari lima sampai enam sel. Bakteri
Bacillus thuringiensis dapat dilihat pada Gambar 1.

Spora

Kristal

Gambar 1. Sel Bacillus thuringiensis dalam perbesaran 1000 kali


[spora intraseluler (terang) dan kristal protein (gelap)]
(hpt://www.textbookofbacteriology.net)

Bt merupakan bakteri yang paling penting secara ekonomi dan terbanyak


digunakan untuk produksi bioinsektisida, sehingga bioinsektisida komersial Bt
digunakan secara luas untuk mengendalikan larva hama serangga (Feitelson, et
al., 1992). Selain itu, menurut de Barjac dan Frachon (1990), Bt mempunyai
sifat yang spesifik, aman terhadap lingkungan, dan bersifat entomopatogenik.
Spora Bt berbentuk oval, letaknya subterminal, berwarna hijau kebiruan,
dan berukuran 1,0 – 1,3 µm. Pembentukan spora terjadi dengan cepat pada
suhu 35 – 37 0C. Spora tersebut relatif tahan terhadap pengaruh fisik dan kimia.
Spora ini mengandung asam dipikolinik (DPA), merupakan 10 – 15 % dari
berat kering spora. Asam ini bisa terdapat dalam bentuk kombinasi dengan
unsur kalsium. Spora dan kristal Bacillus thuringiensis dapat dilihat pada
Gambar 2.

6
Gambar 2. Spora dan kristal protein Bacillus thuringiensis di dalam sel
vegetatifnya
(http://www.gmo-safety.eu/en/maize/bt-concept/552.docu.html)

2. Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Bta) Sebagai Bahan Aktif


Bioinsektisida
Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (Bta) pertama kali ditemukan oleh
Aizawa pada tahun 1962 (Dulmage, 1981). Bakteri ini mempunyai endospora
subterminal berbentuk oval dan selama masa sporulasi menghasilkan satu
kristal protein dalam setiap selnya. Kristal protein ini dikenal juga sebagai δ-
endotoksin yang merupakan komponen utama yang menyebabkannya bersifat
insektisidal. Menurut Faust dan Bulla (1982), δ-endotoksin tersebut bersifat
termolabil karena dapat terdenaturasi oleh panas (walaupun lebih stabil
dibandingkan eksotoksin yang terlarut) dan tidak larut dalam pelarut organik
namun larut dalam pelarut alkalin.
Sebagai organisme mesofilik, kisaran suhu pertumbuhannya ialah 15 –
0
45 C dengan suhu optimum 26 – 30 0C . Kisaran pH pertumbuhannya ialah 5,5
– 8,5 dengan pH optimum 6,5 – 7,5 (Benhard dan Utz, 1993).
Bta dapat membentuk endospora yang berbentuk elips di bagian
subterminal sel. Seperti halnya pada Bacillus thuringiensis lain, selama masa
sporulasi, Bta membentuk tubuh paraspora berupa kristal protein yang disebut
juga δ-endotoksin (Sneath, 1986).
Kristal protein Bta berbentuk bipiramida yang bersifat insektisida
terhadap larva serangga yang tergolong dalam ordo Lepidoptera dan Diptera
(Lereclus et al., 1993).

7
Sifat insektisida Bta berhubungan dengan gen penyandi kristal protein
yang disebut gen cry. Menurut klasifikasi terbaru, dikenali ada 22 gen cry dan
2 gen cyt. Gen cry yang dimiliki Bta meliputi cry1A(a), cry1A(b), cry1C(a),
cry1D(a) (Crickmore et al., 1998). Protein cry1C(a) menyandikan protein yang
toksik terhadap Spodoptera litura, sedangkan protein cry1 lain yang dimiliki
Bta, yaitu cry1A(a), cry1A(b), cry1D(a) kurang toksik terhadap Spodoptera
litura, tetapi dapat memberikan pengaruh sinergis pada protein cry1C(a)
sehingga dapat meningkatkan keampuhannya (Muller et al., 1996). Sedangkan
menurut Liu et al (1998), pada beberapa kasus, spora ternyata secara sinergis
dapat meningkatkan toksisitas kristal protein. Pada Bta, sinergisme yang terjadi
adalah antara spora dengan protein cry1C(a) tetapi tidak dengan protein cry1
yang lain.

3. KRISTAL PROTEIN (δ-endotoksin) Bacillus thuringiensis


Menurut Aronson et al. (1986) dan Gill et al. (1992), komponen utama
penyusun kristal protein pada sebagian besar Bt adalah polipeptida dengan
berat molekul (BM) berkisar antara 130 sampai 140 kilodalton (kDa).
Polipeptida ini adalah protoksin yang dapat berubah menjadi toksin dengan
BM yang bervariasi dari 30 sampai 80 kDa, setelah megalami hidrolisis pada
kondisi pH alkali dan adanya protease dalam saluran pencernaan serangga.
Aktivitas insektisida tersebut akan menghilang jika BM lebih rendah dari 30
kDa.
Kristal protein ini terbentuk bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu
pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komponen
protein yang mengandung toksin (δ-endotoksin) yang terbentuk di dalam sel
selama 2 – 3 jam setelah akhir fase eksponensial dan baru keluar dari sel pada
waktu sel mengalami autolisis setelah sporulasi sempurna. Sekitar 95 % dari
keseluruhan komponen kristal terdiri dari protein dengan asam amino
(umumnya terdiri dari asam glutamat, asam aspartat, dan arginin), sedangkan 5
% sisanya terdiri dari karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa (Bulla et al.,
1977).

8
Kristal protein Bt mempunyai beberapa bentuk, diantaranya bentuk bulat
pada subsp. israelensis yang toksik terhadap Diptera, bentuk kubus yang toksis
terhadap Diptera tertentu dan Lepidoptera, bentuk pipih empat persegi panjang
(flat rectangular) pada subsp. tenebriosis yang toksis terhadap Coleoptera,
bentuk piramida pada subsp. kurstaki yang toksik terhadap Lepidoptera (Shieh,
1994).
Sedangkan menurut Trizelia (2001), kristal protein memiliki beberapa
bentuk. Ada hubungan nyata antara bentuk kristal dengan kisaran daya
bunuhnya. Varietas yang memiliki daya bunuh terhadap serangga ordo
Lepidoptera memiliki kristal protein yang berbentuk bipiramida dan jumlahnya
hanya satu tiap sel, sedangkan yang berbentuk kubus, oval, dan amorf
umumnya bersifat toksik terhadap serangga ordo Diptera dan jumlahnya dapat
lebih dari satu tiap sel. Kristal yang memiliki daya bunuh terhadap serangga
ordo Coleoptera berbentuk empat persegi panjang dan datar atau pipih. Bentuk
kristal protein Bacillus thuringiensis dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Bentuk kristal protein Bacillus thuringiensis berbentuk bipiramida


(http://ejournal.vudat.msu.edu/index.php/mmg445/issue/view/1)

Hofte dan Whiteley (1989) menjelaskan bahwa terdapat 14 gen penyandi


kristal protein, 13 diantaranya disebut gen Cry (kristal protein) dan satu gen
disebut dengan gen Cyt (sitolitik). Ke 13 gen Cry tersebut dikelompokkan ke
dalam empat kelas berdasarkan kesamaan struktur asam-asam amino dan
spektrum aktivitas insektisidanya. Masing-masing kelas mempunyai toksisitas
yang spesifik terhadap jenis serangga tertentu. Berdasarkan tipe

9
patogenitasnya, Bacillus thuringiensis dapat dikelompokkan seperti terlihat
pada Tabel 3.

Tabel 3. Tipe patogenitas dari Bacillus thuringiensis


Subspesies Jenis Gen Tipe Patogenitas Contoh Produk
Spesifik untuk 1. Dipel (Abbott)
ordo Lepidoptera 2. Bactospeine
Bacillus thuringiensis
Cry I Contoh : (Philips Duphar)
subsp. kurstaki
1. Kupu-kupu 3. Thuricide
2. Moth 4. Javelin (Sandoz)
Spesifik untuk
ordo Lepidoptera
Bacillus thuringiensis dan Diptera
Cry II Certan (Sandoz)
subsp. aizawai Contoh :
1. Ulat kubis
2. Ulat grayak
Spesifik untuk 1. Trident (Sandoz)
Bacillus thuringiensis ordo Coleoptera 2. M-One
Cry III
subsp. sandiego Contoh : (Mycogen)
1. Bettles
Spesifik untuk 1. Vectobac
ordo Diptera (Abbott)
Contoh : 2. Bactimos
1. Nyamuk (Philips Duphar)
Bacillus thuringiensis
Cry IV 2. Lalat rumah 4. Teknar (Sandoz)
subsp. israelensis
3. Midges
4. Craneflies
5. Two
wingedflies
Sumber : (Ellar et al., 1986)

4. PROSES TOKSISITAS DAN INFEKSI Bacillus thuringiensis


Proses toksisitas kristal protein (δ-endotoksin) sebagai bioinsektisida
dimulai ketika serangga memakan kristal protein tersebut, maka kristal tersebut
akan larut di dalam usus tengah serangga. Setelah itu, dengan bantuan enzim
protease pada pencernaan serangga, maka kristal protein tersebut akan terpecah
struktur kristalnya. Toksin aktif yang dihasilkan akan berinteraksi dengan
reseptor pada sel-sel epitelium usus tengah larva serangga, sehingga akan
membentuk pori-pori kecil berukuran 0,5 – 1,0 nm. Hal ini akan mengganggu
keseimbangan osmotik sel di dalam usus serangga sehingga ion-ion dan air-air
dapat masuk ke dalam sel dan menyebebkan sel mengembang dan mengalami

10
lisis (hancur). Larva akan berhenti makan dan akhirnya mati (Hofte dan
Whiteley, 1989; Gill et al., 1992).
Kristal protein yang bersifat insektisida ini sebenarnya hanya protoksin
yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang
lebih pendek (27 – 147 kDa). Pada umumnya, kristal protein di alam bersifat
protoksin karena adanya aktivitas proteolisis dalam sestem pencernaan
serangga yang mengubah Bt protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek
dan bersifat toksin. Toksin yang telah aktif berinteraksi dengan sel-sel
epitelium di usus tengah serangga sehingga menyebabkan terbentuknya pori-
pori di sel membran saluran pencernaan serangga (Bahagiawati, 2002). Proses
toksisitas Bacillus thuringiensis pada larva ulat dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Proses toksisitas Bacillus thuringiensis pada larva ulat


(http://www.inchem.org/documents/ehc/ehc/ehc217.htm)

Kristal protein Bta yang tersusun atas protein cry1A(a) (32%), cry1A(b)
(38%), cry1C(a) (26%), cry1D(a) (5%) (Wright et al., 1997) dengan berat
molekul 130 – 140 kDa, apabila terserap dalam suasana basah, saluran
pencernaan tengah serangga yang rentan akan terlarut dan terhidrolisis untuk
menghasilkan protein toksin. Selama aktivitas proteolitiknya tersebut, protease
akan mengubah polipeptida tersebut menjadi fragmen toksin aktif berukuran 60
– 70 kDa. Protein cry1A(a dan cry1A(b) akan berikatan dengan reseptor
spesifik yang berukuran 210 kDa pada membran mikrofili apical sel epithelium

11
usus tengah serangga, sementara protein cry1C(a) berikatan dengan reseptor
lainnya yang berukuran 40 kDa (Maagd et al., 1996). Ikatan antara toksin
dengan reseptornya itu akan menginduksi perubahan konformasi toksin yang
diikuti dengan penyisipan toksin pada membran sehingga terjadi oligomerisasi
toksin berupa lubang pada pori membran (Bravo, 1997). Fenomena tersebut
mengakibatkan system pompa ion K+ pada membran aplikasinya tidak
berfungsi sehingga mengganggu keseimbnagan osmotik yang berakibat
lisisnya sel. Akhirnya, larva akan berhenti makan dan mati karena gejala
septisemia setelah satu atau tiga hari (Aronson et al., 1986 ; Hofte and
Whiteley, 1989 ; Prieto-Samsonov et al., 1997).
Aktivitas toksin dari kristal protein ini tergantung pada sifat intrinsik dari
usus serangga, seperti pH dari sekresi enzim proteolitik dan kehadiran spora
bakteri secara terus menerus beserta kristal protein yang termakan (Burgerjon
dan Martouret, 1971). Selain itu, efektifitas dari toksin tertentu dipengaruhi
oleh kelarutan, afinitas tehadap reseptor yang ada serta pemecahan proteolitik
ke dalam toksin. Cara kerja kristal protein sebagai toksin dari Bt dapat
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor spesifikasi dari mikroorganisme dan
kerentanan dari serangga sasaran (Milne et al., 1990). Selain itu, umur dari
serangga merupakan salah satu faktor yang menentukan toksisitas dari Bt.
Jentik serangga yang lebih muda lebih rentan jika dibandingkan dengan jentik
yang lebih tua (Swadener, 1994).

D. FERMENTASI Bacillus thuringiensis subsp. aizawai DAN KONDISINYA

1. Media Pertumbuhan Dan Fermentasi


Faktor yang mempengaruhi fermentasi Bt adalah komponen medium dan
kondisi fermentasi untuk pertumbuhan seperti pH, kelarutan oksigen, dan
temperatur (Dulmage dan Rhodes, 1971). Dalam pertumbuahan
mikroorganisme membutuhkan sumber air, karbon, nitrogen, unsur mineral,
dan faktor pertumbuhan dalam medium pertumbuahannya (Vandekar dan
Dulmage, 1982). Medium basal untuk pertumbuhan Bt terdiri dari garam,
glukosa, dan asam amino, seperti asam glutamat, asam aspartat, dan alanin

12
dalam konsentrasi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan dan sporulasi Bt
(Dulmage et al., 1990).
Pearson dan Ward (1988) mengemukakan bahwa komposisi medium
berpengaruh pada produk bioinsektisida yang dihasilkan. Beberapa formula
medium menghasilkan jumlah sel maksimum dan waktu terjadinya lisis sel
yang berbeda-beda. Hal ini didukung juga oleh pendapat Mummigatti dan
Raghunathan (1990) bahwa komposisi medium berpengaruh terhadap
pertumbuhan, toksisitas, dan potensi produk Bt.
Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), karbon adalah bahan utama untuk
mensintesis sel baru atau produk sel. Beberapa sumber karbon yang dapat
digunakan untuk memproduksi bioinsektisida Bt dengan fermentasi terendam
adalah glukosa, sirup jagung, dekstrosa, sukrosa, laktosa, pati, minyak kedelai,
dan molases dari bit dan tebu. Dalam penentuan sumber karbon, konsentrasi
yang digunakan harus dipilih secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena semua
galur Bt yang telah diteliti sejauh ini dapat memproduksi asam dari
metabolisme glukosa. Menurut Rehm dan Reed (1981), jika konsentrasi
glukosa terlalu tinggi, yaitu 50 g/l, pH medium akan turun lebih rendah dari 5,6
– 5,8 dan keasaman yang terlalu tinggi akan menghambat dan menghentikan
pertumbuhan Bt. Akan tetapi, jika konsentrasi gula terlalu rendah, menurut
Vandekar dan Dulmage (1982), akan dapat menghentikan pertumbuhan Bt
dengan segera, sehingga biomassa yang dihasilkan akan kurang baik karena
dapat memperlambat proses sporulasi yang menyebabkan proses fermentasi
menjadi lebih lama.
Nitrogen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme biasanya dipenuhi oleh
garam amonium. Dalam hal ini, sering nitrogen organik harus disediakan
dalam bentuk asam amino tunggal atau bahan kompleks termasuk asam nukleat
dan vitamin. Beberapa sumber nitrogen yang sering digunakan dalam
memproduksi bioinsektisida Bt adalah tepung kedelai, tepung biji kapas
(proflo), corn steep, gluten jagung, ekstrak khamir, pepton kedelai, tepung
ikan, tripton, tepung indosperma, dan kasein.
Selain sumber karbon dan nitrogen, mikroorganisme juga memerlukan
mineral untuk pertumbuhan dan pembentukan produk metabolit. Kebutuhan

13
mineral bervariasi tergantung pada jenis mikroorganisme yang ditumbuhkan.
Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), garam-garam organik yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan mikroorganisme meliputi K, Mg, P, S, dan yang diperlukan
dalam jumlah yang sedikit seperti Ca, Zn, Fe, Co, Cu, Mo, dan Mn. Dalam
medium fermentasi Bt ditambahkan 0,3 g/l MgSO4.7H2O, 0,02 g/l MnSO4.
H2O, 0,02 g/l ZnSO4.7 H2O, 0,02 g/l FeSO4.7 H2O, dan 1,0 g/l CaCO3.
Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), Ca selain berperan dalam
pertumbuhan dan produksi δ-endotoksin juga berfungsi untuk menjaga
kestabilan spora terhaap panas. Penambahan ion Mg2+, Mn2+, Zn2+, dan Ca2+ ke
dalam medium perlu dipertimbangkan, karena berperan dalam pertumbuhan
dan sporulasi Bt (Vandekar dan Dulmage, 1982).

2. Kondisi Fermentasi
Kondisi fermentasi Bt dalam labu kocok dilakukan pada suhu 28 – 32 0C,
pH awal medium diatur sekitar pH 6,8 – 7,2, agitasi 142 – 340 rpm, dan
dipanen pada waktu inkubasi 24 – 48 jam. Sedangkan fermentasi Bt dalam
fermentor dilakukan pada kondisi suhu 28 – 32 0C, pH awal medium sekitar
6,8 – 7,2, volume medium sekitar setengah sampai dua per tiga dari kapasitas
volume fermentor, agitasi 400 – 700 rpm, aerasi 0,5 – 1,5 volume
udara/volume medium/menit (v/v/m), dan dipanen pada waktu inkubasi 40 –
72 jam (Vandekar dan Dulmage, 1982; Pearson dan Word, 1988; dan Sikdar et
al., 1993).
Pertumbuhan optimum sebahagian bakteri terjadi pada pH sekitar 7. Nilai
pH awal medium fermentasi sering kali diatur dengan menggunakan larutan
penyangga atau dengan penambahan alkali atau asam steril. Nilai pH awal
untuk medium fermentasi Bacillus ditentukan pada kisaran 6,8 – 7,2. Selama
fermentasi pH dapat berubah dengan cepat tergantung pada penggunaan
karbohidrat dan protein. Penggunaan karbohidrat yang terlalu banyak daripada
protein dapat menurunkan pH, sedangkan penggunaan protein yang terlalu
banyak daripada karbohidrat dapat menaikan pH. Nilai pH dapat dikendalikan
dengan memelihara keseimbangan antara senyawa gula dan nitrogen (Quinlan
dan Lisansky, 1985).

14
Menurut Vandekar dan Dulmage (1982), tiap mikroorganisme akan
berbeda-beda dalam hal kebutuhan oksigen, dan kebutuhan ini akan berubah-
ubah selama fase pertumbuhan yang berbeda. Dalam kondisi fermentasi yang
aerob, penting untuk memperoleh campuran yang sesuai antara
mikroorganisme, nutrien, dan udara. Untuk memperoleh hal tersebut harus
dilakukan agitasi secara terus-menerus terhadap cairan fermentasi selama
proses fermentasi. Hal ini penting apabila kultur ditumbuhkan dalam tabung
atau labu. Agitasi dan aerasi tidak praktis jika dilakukan terhadap setiap labu
secara sendiri-sendiri, maka aerasi dilakukan di atas mesin kocok.
Aerasi dibutuhkan untuk pertumbuhan sel bakteri. Tujuan aerasi adalah
memperoleh O2 untuk fermentasi pada kecepatan yang akan memenuhi
kebutuhan mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Kecepatan aerasi yang
digunakan dalan sebahagian besar fermentasi adalah kira-kira 1,0 volume
udara/volume medium/menit (v/v/m). Sedangkan agitasi bergantung pada
ukuran fermentor dan diameter baling-baling. Jadi semakin besar fermentor
maka semakin lambat kecepatan baling-baling. Sebagai contoh, pada fermentor
14 liter kecepatan agitasi 700 rpm dan pada fermentor 200 liter kecepatan
agitasi 400 rpm (Vandekar dan Dulmage, 1982).
3. Pemanenan (Recovery)
Bahan aktif insektisida Bt dapat dipanen dengan sentrifugasi, filtrasi,
presipitasi, spray drying, atau kombinasi dari proses-proses tersebut. Bahan
aktif insektisida tersebut kemudian dapat diformulasikan menjadi sebuah
produk tergantung pada tipe fermentasi, segi ekonomi dari proses, dan
kebutuhan formulasi tertentu (Quinlan dan Lisansky, 1985).

4. Penentuan Aktivitas Insektisida Mikroba


Terdapat perbedaan pengukuran aktivitas mikroba antara insektisida
kimia dengan bioinsektisida. Pada insektisida kimia prosedur yang dilakukan
untuk memonitor produksi relatif sederhana. Hal ini disebabkan karena produk
yang digunakan adalah produk murni yang telah dievaluasi dan aktivitas
insektisidanya telah diketahui sebelumnya. Sedangkan pada bioinsektisida,
aktivitas insektisida dari mikroorganisme tidak dapat diukur secara kimia,

15
melainkan dengan bioassay. Bioassay merupakan salah satu cara untuk
menentukan serbuk bahan aktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Pada
insektisida kimia, bioassay hanya digunakan sebagai pelengkap (Vandekar dan
Dulmage, 1982).
Insektisida mikroba ditentukan aktivitasnya dengan menghitung jumlah
spora hidup dan melalui bioassay untuk menentukan kadar letal (LC50) dan
International Unit (IU) (Vandekar dan Dulmage, 1982) atau dosis letal (LD 50),
Diet Dillution Unit (DDU50) dan IU (Dulmage dan Rhodes, 1971). LC50, LD50,
DDU50 sebenarnya hanya menunjukkan potensi relatif produk, karena potensi
produk insektisida mikroba (Bacillus thuringiensis) dinyatakan dalam satuan
internnasional (SI) dengan cara pengukuran sebagai berikut :

E. LARVA Croccidolomia binotalis (Ulat Kubis) SEBAGAI SERANGGA


SASARAN Bacillus thuringiensis subsp. aizawai

Croccidolomia binotalis (C. binotalis) tergolong dalam famili Pyralidae,


ordo Lepidoptera, filum Arthropoda, genus Croccidolomia, dan kelas Insecta
(Kalshoven, 1981). Dalam siklus hidupnya, ulat ini mengalami metamorfosis
sempurna yang melewati empat stadium, yaitu telur, larva, pupa, dan imago
(Suyanto, 1994).
C. binotalis merupakan hama utama pada tanaman kubis-kubisan seperti
kubis, sawi, lobak, petsai, dan brokoli (Kalshoven, 1981). Daerah persebaran
hama ini cukup luas mencakup Afrika selatan, Asia Tenggara, Australia, dan
Kepulauan Pasifik. Di Pulau Jawa, hama ini ditemukan di daratan rendah maupun
daratan tinggi. Ulat C. binotalis dapat dilihat pada Gambar 5.
Kerusakan yang disebabkan C. binotalis dapat menurunkan hasil baik
kualitas maupun kuantitas, karena menyebabkan kerusakan krop kubis bahkan
kubis tidak dapat membentuk krop (Uhan, 1993). Kehilangan hasil akibat
serangan C. binotalis dapat mencapai 65,8 %.

16
Gambar 5. Larva, Kepompong, dan Dewasa Croccidolomia binotalis

Larva yang baru keluar dari telur akan hidup berkelompok, memakan daun
dari permukaan bawah karena menghindari cahaya. Bekas daun yang dimakan
kelompok larva instar I biasanya berupa bercak putih yang merupakan lapisan
epidermis daun yang tidak ikut dimakan dan berlubang bila epidermis mengering.
Apabila serangga terjadi pada saat kubis sudah membentuk krop, larva yang telah
mencapai instar III akan menggerek ke dalam krop dan merusak bagian ini,
sehingga menurunkan nilai ekonomi. Pembusukan pada krop yang sudah rusak
dapat terjadi karena munculnya serangan sekunder eleh cendawan dan bakteri
(Sastrosiswojo dan Setiawati, 1993).
Larva C. binotalis melewati empar instar. Larva instar I berkelompok pada
permukaan bawah daun, berwarna krem dengan kepala hitam kecoklatan,
berukuran 2,1 – 2,7 mm dengan stadium rata-rata 2 hari. Larva instar II bewarna
hijau terang, berukuran 5,5 – 6,1 mm dengan stadium rata-rata 2 hari. Larva instar
III berwarna hijau, berukuran 1,1 – 1,3 mm, stadium rata-rata 1,5 hari. Larva
instar IV berwarna hijau dengan tiga garis putih pada bagian dorsal dan satu pada
bagian lateral tubuh, stadium rata-rata 3,2 hari.
Dua hari setelah ganti kulit, warna kulit larva instar IV berubah menjadi
coklat, larva menjadi tidak aktif, dan tidak banyak makan. Setelah 24 jam, larva
akan masuk ke dalam tanah dan membentuk pupa. Pupa berwarna kecoklatan dan
ukuran tubuhnya 9 – 10 mm (Prijono dan Hassan, 1992). Masa pupa berlangsung
selama 9 – 13 hari (Othman, 1982) dan rata-rata 11,4 hari pada brokoli (Prijono
dan Hassan, 1992).

17
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kultur Bacillus
thuringiensis subsp. aizawai yang diperoleh dari IPB Culture Collection
(IPBCC) pada medium agar miring. Substrat yang digunakan adalah ampas
tahu dan limbah cair tahu yang diperoleh dari Industri Tahu Cibanteng. Kubis
yang digunakan diperoleh dari pasar-pasar tradisional dan super market. Serta
larva ulat Croccidolomia binotalis (ulat kubis) yang diperoleh dari Laboratorium
Fisiologi dan Toksin Departemen Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian,
IPB. Mineral yang digunakan adalah MgSO4.7H2O, MnSO4. H2O,
ZnSO4.7H2O, FeSO4.7H2O, CaCO3, dan urea. Bahan-bahan yang digunakan
untuk analisa adalah nutrien agar (NA), nutrien broth (NB), HCl, NaOH,
CH3COOH, H2SO4 pekat, fenil, garam fisiologis, etanol 95 %, aqua destilata,
Pro-Stiker, dan spiritus.

2. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi autoklaf, pH-meter,
oven, lemari es, inkubator, neraca analitik, desikator, spektrofotometer, freezer,
loop inokulasi, dan alat-alat gelas lainnya seperti labu erlenmeyer, tabung
reaksi, pipet, bunsen, cawan petri, dan gelas piala.

B. METODE PENELITIAN

1. Penelitian Pendahuluan
a. Analisa Bahan Baku
Analisa ini bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia ampas tahu
dan limbah cair tahu yang digunakan, yaitu analisis kadar air, kadar abu,
kadar lemak, kadar serat, kadar nitrogen, dan kadar karbon. Prosedur
analisis tercantum pada Lampiran 1.

18
b. Penyiapan Inokulum Bacillus thuringiensis subsp. aizawai
Inokulum (kultur bibit) kultivasi disiapkan secara bertahap mengikuti
metode Vandekar dan Dulmage (1982). Diagram alir persiapan inokulum
disajikan pada Gambar 6.

Satu loop biakan Bt subsp. aizawai

Inokulasi dalam 50 ml medium NB (labu pembibitan 1)

Inkubasi dalam rotary shaking incubator


30 0C ; 180 rpm ; 12 jam

Kultur digunakan untuk menginokulasi labu pembibitan II


(5 % dari volume media kedua)

Inkubasi dalam rotary shaking incubator


30 0C ; 180 rpm ; 12 jam

Inokulum / Starter

Gambar 6. Diagram Alir Pembiakan Inokulum

2. Penelitian Utama
a. Penyiapan Media Kultivasi
Susunan medium kultivasi yang akan dibuat dalam penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 4 yang dibuat dua kali ulangan.
Tabel 4. Perbandingan Medium Kultivasi

Sandi Medium Perbandingan Medium


A Ampas Tahu 20% : Limbah cair tahu 80%
B Ampas Tahu 30% : Limbah cair tahu 70%
C Ampas Tahu 40% : Limbah cair tahu 60%

19
Jenis dan jumlah mineral yang digunakan dalam penelitian ini sesuai
dengan yang digunakan oleh Dulmage dan Rhodes (1971), yaitu 0,3 g/l
MgSO4.7H2O, 0,02 g/l MnSO4. H2O, 0,02 g/l ZnSO4.7 H2O, 0,02 g/l
FeSO4.7 H2O, dan 1,0 g/l CaCO3.
Pembuatan media kultivasi yang dilakukan adalah sebagai berikut :
ampas tahu dan CaCO3 disterilkan secara terpisah dari urea, limbah cair
tahu, dan trace alement. Bahan-bahan medium yang lain dicampur diatas
pemanas berpengaduk. Setelah itu didinginkan sampai ± 50 0C dan pH
diatur hingga 7,2. Kemudian medium dibagi-bagi dalam beberapa labu
erlenmeyer. Ampas tahu + CaCO3 dan limbah cair tahu disterilkan dalam
autoklaf pada suhu 121 0C selama 15 menit. Setelah steril dan dingin, ampas
tahu + CaCO3 dan limbah cair tahu dicampurkan menjadi satu sesuai
formulasi yang ditentukan kemudian ditambahkan bahan-bahan lain secara
aseptik.

b. Kultivasi
Kultivasi Bt subsp. aizawai dilakukan secara curah dengan kondisi
kultivasi sebagai berikut : kultivasi dilakukan dalam labu erlenmeyer 250 ml
pada suhu 28 – 32 0C, pH awal medium diatur pada 6,5 – 7,5, volume
medium fermenntasi 50 ml, diinkubasi menggunakan rotary shaking
incubator dengan kecepatan 180 rpm, dan dipanen pada waktu inkubasi 30
jam dan 48 jam. Kultivasi dilakukan dua kali ulangan dengan kondisi
kultivasi yang sama antara ulangan I dan ulangan II.
Tabel 5. Perlakuan pada kultivasi Bta

Sandi Sandi Medium Jumlah Stater yang


Medium Kultivasi Ditambahkan
A1 10 % (v/w)
A A2 15 % (v/w)
A3 20 % (v/w)
B1 10 % (v/w)
B B2 15 % (v/w)
B3 20 % (v/w)
C1 10 % (v/w)
C C2 15 % (v/w)
C3 20 % (v/w)

20
c. Pemanenan
Pemanenan (recovery) hasil kultivasi dilakukan pada waktu akhir
inkubasi, yaitu pada jam ke-30 dan jam ke-48. Kemudian dilakukan analisis
pH, total mikroba, jumlah spora hidup, total gula sisa, dan toksisitas.
Prosedur analisa dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gambar 7. Diagram alir proses produksi bioinsektisida

d. Penentuan Toksisitas Produk (Bioassay)


Penentuan jumlah spora hidup yang terkandung dalam produk
bioinsekktisida atau campuran spora-kristal hasil kultivasi dan pengujian
toksisitasnya terhadap larva Croccidolomia binotalis yang dinyatakan dalam
LC50 dengan metode bioassay. LC50 dapat ditentukan dengan menggunakan
analisis probit program Probit Quant (software dari Steve Maund,
University of Wales, College of Cardiff, Inggris).

3. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial dengan dua kali ulangan. Rancangan
Acak Lengkap Pola Faktorial adalah rancangan acak lengkap yang terdiri dari
dua peubah bebas (Faktor) dalam klasifikasi silang yaitu faktor A (konsentrasi
ampas tahu dan limbah cair tahu sebagai substrat) yang terdiri dari 3 taraf dan

21
faktor B (konsentrasi starter yang digunakan) yang terdiri dari 3 taraf dan
kedua faktor tersebut diduga saling berinteraksi. Saling berinteraksi
dimaksudkan bahwa pengaruh suatu faktor tergantung dari taraf faktor yang
lain, dan sebaliknya jika tidak terjadi interaksi berarti berarti pengaruh suatu
faktor tetap pada setiap taraf faktor yang lain. Jadi bila tidak terjadi interaksi
antar taraf-taraf suatu faktor saling sejajar satu sama lainnya, sebaliknya bila
ada interaksi tidak saling sejajar
Model rancangan percobaan pada penelitian utama menggunakan dua
faktor yaitu faktor konsentrasi substrat yang terdiri dari 3 taraf, yaitu
perbandingan ampas tahu dan limbah cair tahu 20 : 80, 30 : 70, dan 40 : 60
serta faktor konsentrasi starter yang terdiri dari 3 taraf, yaitu 10, 15, 20 % (v/v)
dan kedua faktor tersebut diduga saling berinteraksi. Model yang digunakan
adalah sebagai berikut :

Yij = µ + αi + βj + αi βj + εij (Hanafiah, 2005)

Keterangan :
Yij = Variabel respon karena pengaruh faktor konsentrasi gula taraf
ke i dan faktor konsentrasi starter taraf ke j
µ = Efek rata-rata yang sebenarnya
αi = Efek dari taraf ke i konsentrasi gula
βj = Efek dari taraf ke j konsentrasi starter
εij = Efek dari interaksi antara taraf ke i konsentrasi gula dan taraf
ke j konsentrasi starter

Data yang diperoleh dari pengukuran parameter, masing-masing


dianalisis menggunakan analisis ragam uji F. Apabila hasilnya menunjukkan
perbedaan yang nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil
(LSD).

22
IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL ANALISIS KIMIA BAHAN BAKU

Hasil analisis kimia bahan baku dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil analisis kimia ampas tahu (AT) dan limbah cair tahu (LCT)
Jumlah (% berat dalam basis basah) Urea
Komponen
Limbah ampas tahu Limbah cair tahu (%)
Air 89,75 99,00 -
Abu 5,20 0,43 -
Protein 2,63 0,13 -
Nitrogen (N) 0,42 0,02 46,67
Karbon (C) 5,64 0,27 20,00
Lemak 0,53 0,79 -
Serat 2,21 0,01 -
Karbohidrat by
2,31 - -
different

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa ampas tahu dan limbah cair tahu
mengandung senyawa-senyawa yang dibutuhkan oleh mikroorganisme, seperti
air, karbon, dan nitrogen (Vandekar dan Dulmage, 1982).
Rasio karbon (C) dan nitrogen (N) yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 7 : 1. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh
Wicaksono (2002) yang menyatakan bahwa tingkat toksisitas tertinggi dihasilkan
dari perbandingan karbon dan nitrogen (C/N ratio) adalah 7 : 1. Contoh
perhitungan untuk mendapatkan nisbah C/N 7 : 1 dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tabel 7. Hasil perhitungan penambahan urea untuk memperoleh C/N ratio 7 : 1


C/N Ratio Jumlah urea C/N Ratio Total Total
sebelum yang setelah Karbon Nitrogen
Media
Penambahan ditambahkan Penambahan (C) (N)
Urea (g/L) Urea g/L g/L
A
13,41 : 1 2,07 7:1 13,88 1,98
(20 % AT : 80 % LCT)
B
13,32 : 1 2,91 7:1 19,41 2,77
(30 % AT : 70 % LCT)
C
13,34 : 1 3,75 7:1 24,93 3,56
(40 % AT : 60 % LCT)

23
Menurut Vandekar dan Dulmage (1982), konsentrasi glukosa yang terlalu
tinggi, yaitu 50 g/L, dengan nilai total karbon sebesar 20 g/L menyebabkan pH
media turun lebih rendah dari 5,6 – 5,8. Namun hal ini berbeda dengan hasil
penelitian yang telah dilakukan, dimana pada konsentrasi karbon 24,926 g/L
(media C) tidak menyebabkan pH media menurun, melainkan naik dari pH awal
(Gambar 8).
Penambahan urea dalam penelitian ini didasarkan pada rasio karbon dan
nitrogen dari ampas tahu dan limbah cair tahu yang tidak sesuai dengan rasio yang
diinginkan yaitu 13 : 1. Urea merupakan sumber nitrogen yang sesuai untuk
pertumbuhan mikroorganisme karena kemampuannya untuk mempertahankan pH,
tetapi penggunaannya cenderung tidak stabil sehingga perlu dibatasi (Stanburry
dan Whitaker, 1984)
Selain sumber karbon dan nitrogen, mikroorganisme juga memerlukan
mineral untuk pertumbuhan dan pembentukan produk metabolit. Kebutuhan
mineral bervariasi tergantung pada jenis mikroorganisme yang ditumbuhkan.
Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), garam-garam organik yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan mikroorganisme meliputi K, Mg, P, S, dan yang diperlukan
dalam jumlah yang sedikit seperti Ca, Zn, Fe, Co, Cu, Mo, dan Mn. Pada
penelitian ini, medium kultivasi Bta ditambahkan 0,3 g/l MgSO4.7H2O, 0,02 g/l
MnSO4. H2O, 0,02 g/l ZnSO4.7 H2O, 0,02 g/l FeSO4.7 H2O, dan 1,0 g/l CaCO3.
Wakisaka et al. (1982) di dalam Dulmage et al.(1990) menunjukkan bahwa
ion K+ menstimulasi produksi δ-endotoksin. Ion organik lainnya seperti Ca2+ dan
Mn2+ juga menstimulir sporulasi. Menurut Bernhard dan Utz (1993), garam-garam
fosfat pada umumnya ditambahkan dalam jumlah besar, karena sekaligus
berfungsi sebagai larutan penyangga pH.

B. PERUBAHAN pH CAIRAN KULTUR

Pengukuran pH cairan kultivasi bertujuan untuk mengamati perubahan pH


cairan selama kultivasi. Pengukuran pH dilakukan pada jam ke-0, jam ke-30, dan
jam ke-48 waktu kultivasi.
Hasil pengukuran pH cairan kultur (Gambar 8) menunjukkan bahwa secara
umum pH cairan kultur mengalami peningkatan selama kultivasi. Peningkatan pH

24
pada jam ke-30 waktu kultivasi dan jam ke-48 waktu kultivasi (akhir kultivasi)
masih mendekati pH optimum pertumbuhan Bt yang berkisar antara 6,5 – 7,5.
Peningkatan pH dapat disebabkan karena terakumulasinya bahan-bahan alkali
sebagai hasil biosintetik asam-asam amino ketika berinteraksi dengan air (Sneath,
1986).

Ket :
A1 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 10 % (v/v) ; A2 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 15 % (v/v)
A3 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 20 % (v/v) ; B1 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 10 % (v/v)
B2 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 15 % (v/v) ; B3 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 20 % (v/v)
C1 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 10 % (v/v) ; C2 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 15 % (v/v)
C3 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 20 % (v/v)

Gambar 8. Perubahan pH cairan kultivasi selama kultivasi Bta dalam media


dengan berbagai formulasi media

Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwasanya pH cairan kultivasi pada jam ke-0
berkisar antara 7,27 – 7,34, pH cairan kultivasi pada jam ke-30 berkisar antara
7,63 – 7,82, sedangkan pH cairan kultivasi pada jam ke-48 berkisar antara 7,94 –
8,21. Peningkatan pH pada jam ke-30 dan jam ke-48 masih berada pada pH
pertumbuhan Bt pada umumnya, yaitu 5,5 – 8,5 (Benhard dan Utz, 1993).
Hasil analisis ragam uji F dengan tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 11),
menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan waktu kultivasi berpengaruh secara
nyata terhadap nilai pH pada cairan hasil kultivasi. Semakin lama waktu kultivasi,
maka semakin tinggi pH pada cairan kultivasi yang disebabkan oleh biosintesis
asam-asam amino yang menghasilkan senyawa alkali ketika bereaksi dengan air.

25
Kestabilan pH pada cairan kultivasi dipengaruhi oleh konsentrasi nitrogen di
dalam media. Pada metabolism dengan sumber media yang konsentrasi
nitrogennya lebih kecil akan menghasilkan zat alkali yang lebih sedikit, sehingga
tidak dapat menetralisis asam-asam organik, seperti asam piruvat, asam sitrat,
asam laktat, dan aseton yang dihasilkan dari proses degradasi gula (Sukmadi, et
al., 1996).
Dari Gambar 8 dapat dilihat pula bahwa secara umum, perbedaan formula
media tidak berpengaruh secara nyata terhadap nilai pH pada cairan hasil
kultivasi, kecuali formula media C2 yang berbeda secara nyata dengan formula
media lainnya. Hal tersebut didukung dengan hasil uji beda nyata terkecil yang
menunjukkan nilai selisih antar media lebih besar dari nilai beda nyata terkecil
(LSD).

C. PERTUMBUHAN Bacillus thuringiensis subsp. aizawai SELAMA


KULTIVASI

Pertumbuhan sel Bta dapat diukur dengan menggunakan metode Total Plate
Count (TPC). Berdasarkan hasil pengamatan jumlah sel hidup (Gambar 9)
diperoleh hasil untuk waktu kultivasi selama 30 jam, jumlah sel hidup tertinggi
terdapat pada formulasi media B2 yaitu 1,79 x 108 sel/ml, sedangkan jumlah sel
hidup terendah terdapat pada formulasi media C3 yaitu 3,08 x 107 sel/ml. Untuk
waktu kultivasi selama 48 jam, jumlah sel hidup tertinggi terdapat pada formulasi
media B3 yaitu 2,14 x 108 sel/ml, sedangkan jumlah sel hidup terendah terdapat
pada formulasi media A3 yaitu 107 sel/ml. Hal ini menandakan bahwa jumlah sel
hidup tertinggi pada penelitian ini dihasilkan oleh formulasi media B3 dengan
waktu kultivasi selama 48 jam, sedangkan jumlah sel hidup terendah pada
penelitian ini dihasilkan oleh formulasi media A3 dengan waktu kultivasi selama
48 jam. Namun, jumlah sel hidup yang diperoleh dalam penelitian ini masih lebih
rendah dari hasil penelitian Rumiyantie (1999) yang menyatakan bahwa
konsentrasi sel berkisar antara 2,15 x 109 sel/L sampai 2,53 x 109 sel/L untuk
waktu kultivasi selama 48 jam.

26
Ket :
A1 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 10 % (v/v) ; A2 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 15 % (v/v)
A3 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 20 % (v/v) ; B1 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 10 % (v/v)
B2 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 15 % (v/v) ; B3 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 20 % (v/v)
C1 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 10 % (v/v) ; C2 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 15 % (v/v)
C3 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 20 % (v/v)

Gambar 9. Pengaruh kombinasi media terhadap jumlah sel

Dari dambar 9 dapat dilihat bahwa secara umum, jumlah sel setelah
kultivasi selama 30 jam dan 48 jam berbeda nyata dengan jumlah sel sebelum
kultivasi. Sedangkan jumlah sel setelah kultivasi selama 30 jam tidak berbeda
nyata dengan jumlah sel setelah kultivasi selama 48 jam. Hal ini didukung dengan
hasil analisis ragam uji F dengan tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 8),
menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan formulasi media dan perbedaan waktu
kultivasi berpengaruh secara nyata terhadap jumlah sel (TPC) pada cairan hasil
kultivasi.
Perbedaan formulasi media berpengaruh secara nyata terhadap jumlah sel
pada cairang hasil kultivasi disebabkan karena adanya perbedaan komponen
media yang digunakan dan konsentrasi starter yang ditambahkan. Berdasarkan
hasil analisis ragam uji F dengan tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 12),
menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi starter berpengaruh secara
nyata terhadap jumlah sel (TPC) pada cairan hasil kultivasi selama 30 jam.
Penggunaan konsentrasi starter 15 % (v/v) berbeda nyata dengan penggunaan
konsentrasi starter 10 % (v/v), penggunaan konsentrasi starter 20 % (v/v) tidak

27
berbeda nyata dengan penggunaan konsentrasi starter 10 % (v/v), dan penggunaan
konsentrasi starter 20 % (v/v) berbeda nyata dengan penggunaan konsentrasi
starter 15 % (v/v).
Sedangkan hasil analisis ragam uji F dengan tingkat kepercayaan 95 %
(Lampiran 12 lanjutan), menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi
starter dan komponen media yang digunakan berpengaruh secara nyata terhadap
jumlah sel (TPC) pada cairan hasil kultivasi selama 48 jam. Penggunaan
konsentrasi starter 15 % (v/v) dan 20 % (v/v) berbeda nyata dengan penggunaan
konsentrasi starter 10 % (v/v) dan penggunaan konsentrasi starter 20 % (v/v) tidak
berbeda nyata dengan penggunaan konsentrasi starter 15 % (v/v). Sedangkan
untuk perbedaan komponen media, penggunaan media B dan C berbeda nyata
dengan penggunaan media A dan penggunaan media C tidak berbeda nyata
dengan penggunaan media B.

D. PENGGUNAAN SUBSTRAT SELAMA KULTIVASI

Hasil pengamatan terhadap total gula menunjukkan adanya penurunan total


gula pada berbagai formulasi media selama kultivasi 30 jam dan 48 jam. Hal ini
menandakan adanya proses konversi substrat menjadi biomassa dan produk oleh
sel selama kultivasi berlangsung (Gambar 10). Dari hasil pengukuran total gula
sisa diperoleh total gula sisa yang masih tinggi. Hal ini disebabkan karena
kemampuan sel dalam menggunakan substrat untuk membentuk biomassa dan
produk hanya sebahagiaan dari total gula yang ada.
Biosintesis yang terjadi dalam memproduksi bioinsektisda diawali dengan
hidrolisis komponen karbohidrat (pati) yang terdapat pada media menjadi glokosa.
Degradasi dilakukan oleh enzim amilase yang dihasilkan oleh sel bt selama masa
pertumbuhannya. Menurut Bernhard dan Utz (1993), semua galur Bt mampu
menghasilkan enzim amilase, sehingga bahan baku yang mengandung pati dapat
digunakan langsung sebagai media kultivasi. Glukosa yang dihasilkan dari proses
hidrolisis kemudian digunakan oleh sel untuk menghasilkan produk
bioinsektisida. Proses biosintesis yang dilakukan oleh Bt menghasilkan produk
metabolit sekunder (kristal protein dan spora) yang merupakan produk yang tidak
digunakan dalam proses pertumbuhannya, melainkan untuk mempertahankan diri

28
dari lingkungan sekitar. Semakin banyak glukosa yang digunakan untuk
memproduksi bioinsektisida, maka tingkat efisiensi penggunaan substrat akan
semakin tinggi.

Ket :
A1 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 10 % (v/v) ; A2 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 15 % (v/v)
A3 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 20 % (v/v) ; B1 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 10 % (v/v)
B2 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 15 % (v/v) ; B3 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 20 % (v/v)
C1 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 10 % (v/v) ; C2 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 15 % (v/v)
C3 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 20 % (v/v)

Gambar 10. Penggunaan substrat selama kultivasi Bta dalam media dengan
berbagai formulasi media

Berdasarkan analisis ragam uji F dengan tingkat kepercayaan 95 %


(Lampiran 10), menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan waktu kultivasi
berpengaruh secara nyata terhadap total gula sisa pada cairan hasil kultivasi,
sedangkan perbedaan formulasi media tidak berpengaruh secara nyata terhadap
total gula sisa pada cairan hasil kultivasi. Hal ini menandakan terjadi penurunan
total gula yang ada dalam cairan kultivasi selama kultivasi berlangsung. Namun
perbedaan formulasi media yang digunakan tidak mempengaruhi perbedaan yang
signifikan terhadap total gula untuk masing-masing formulasi.
Perbedaan formulasi media berpengaruh secara nyata terhadap total gula
sisa pada cairang hasil kultivasi yang disebabkan karena adanya perbedaan
komponen media yang digunakan dan konsentrasi starter yang ditambahkan.
Namun, hal ini hanya terdapat pada total gula sisa setelah kultivasi selama 48 jam.
Hal ini didukung dengan hasil analisis ragam uji F dengan tingkat kepercayaan 95

29
% (Lampiran 14), menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi starter
dan komponen media tidak berpengaruh secara nyata terhadap total gula sisa pada
cairan hasil kultivasi selama 30 jam. Sedangkan hasil analisis ragam uji F dengan
tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 14 lanjutan), menunjukkan bahwa perlakuan
perbedaan komponen media berpengaruh secara nyata terhadap total gula sisa
pada cairan hasil kultivasi selama 48 jam. Penggunaan media B dan C berbeda
nyata dengan penggunaan media A dan penggunaan media C tidak berbeda nyata
dengan penggunaan media B.

Ket :
A1 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 10 % (v/v) ; A2 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 15 % (v/v)
A3 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 20 % (v/v) ; B1 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 10 % (v/v)
B2 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 15 % (v/v) ; B3 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 20 % (v/v)
C1 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 10 % (v/v) ; C2 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 15 % (v/v)
C3 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 20 % (v/v)

Gambar 11. Efisiensi penggunaan substrat selama kultivasi Bta dalam media
dengan berbagai formulasi media

Hasil perhitungan efisiensi penggunaan substrat pada Gambar 11


menunjukkan bahwa efisiensi penggunaan substrat tertinggi untuk waktu kultivasi
30 jam adalah formulasi media A3 yaitu 33,61 %. Adapun efisiensi penggunaan
substrat tersendah terdapat pada formulasi media C2 yaitu 13,14 %. Sedangkan
efisiensi penggunaan substrat tertinggi untuk waktu kultivasi 48 jam adalah
formulasi media B3 yaitu 41,91 %. Adapun efisiensi penggunaan substrat
terendah terdapat pada formulasi media C2 yaitu 31,73 %.

30
Dari hasil dapat dilihat bahwa efisiensi penggunaan substrat masih terlalu
rendah. Hal ini disebabkan karena kemampuan mikroba dalam menggunakan
substrat ± hanya separuh dari jumlah substrat yang ada. Selain itu, tingginya kadar
serat yang terdapat pada media dapat menyebabkan total gula sisa yang ada pada
media masih tinggi. Hal ini disebabkan karena Bta tidak memiliki kemampuan
untuk menghasilkan enzim yang dapat mendegradasi serat yang ada pada media
menjadi gula-gula sederhana, sehingga serat yang ada pada media tidak
dimanfaatkan oleh Bta untuk menghasilkan produk. Saat pengukutan total gula
sisa, serat yang ada pada media ikut terukur karena serat yang ada telah
terhidrolisis dalam waktu yang cepat menjadi gula-gula sederhana setelah adanya
penambahan asam sulfat pekat. Menurut Kosaric et al. (1983), hidrolisis
menggunakan asam pekat tidak membutuhkan waktu yang lama (berlangsung
dengan cepat).

E. JUMLAH SPORA HIDUP (VSC) DALAM CAIRAN HASIL KULTIVASI

Penentuan jumlah spora (VSC) dalam cairan hasil kultivasi bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara aktivitas kultivasi dengan spora hidup yang
terbentuk.
Berdasarkan hasil pengamatan jumlah spora hidup (Gambar 12) diperoleh
hasil untuk waktu kultivasi selama 30 jam, jumlah spora hidup tertinggi terdapat
pada formulasi media B2 yaitu 1,65 x 107 spora/ml, sedangkan jumlah spora hidup
terendah terdapat pada formulasi media A2 yaitu 1,25 x 10 6 spora/ml. Untuk
waktu kultivasi selama 48 jam, jumlah spora hidup tertinggi terdapat pada
formulasi media B2 yaitu 2,95 x 107 spora/ml, sedangkan jumlah spora hidup
terendah terdapat pada formulasi media A1 yaitu 1,25 x 10 6 spora/ml. Hal ini
menandakan bahwasanya jumlah spora hidup tertinggi pada penelitian ini
dihasilkan oleh formulasi media B2 dengan waktu kultivasi selama 48 jam,
sedangkan jumlah spora hidup terendah pada penelitian ini dihasilkan oleh
formulasi media A1 dengan waktu kultivasi selama 48 jam.
Jumlah spora hidup yang diperoleh dari hasil penelitian ini masih berada di
bawah jumlah spora hidup yang dilakukan oleh Dubois dalam Goldberd et al.
(1980) yang menyatakan bahwa pelaksanaan kultivasi dengan sistem batch

31
dengan skala laboratorium dalam memproduksi Bt akan menghasilkan spora
sebesar 2 x 108 spora/ml. Selain itu, log jumlah spora hidup yang dihasilkan dari
penelitian ini masih lebih rendah dari log jumlah spora hidup yang dihasilkan oleh
Wicaksono (2002) yang menggunakan onggok tapioka sebagai sumber karbon
dan urea sebagai sumber nitrogen, yaitu berkisar antara 7,92 sampai 8,43 untuk
waktu kultivasi selama 48 jam. Namun, log jumlah spora hidup yang dihasilkan
dari penelitian ini masih lebih baik dari log jumlah spora hidup yang dihasilkan
oleh Afriatni (2003) yang menggunakan glukosa sebagai sumber karbon dan
(NH4)2SO4 sebagai sumber nitrogen, yaitu berkisar antara 4,34 sampai 7,62 untuk
waktu kultivasi selama 48 jam.

Ket :
A1 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 10 % (v/v) ; A2 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 15 % (v/v)
A3 = 20 % AT : 80 % LCT (Starter 20 % (v/v) ; B1 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 10 % (v/v)
B2 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 15 % (v/v) ; B3 = 30 % AT : 70 % LCT (Starter 20 % (v/v)
C1 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 10 % (v/v) ; C2 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 15 % (v/v)
C3 = 40 % AT : 60 % LCT (Starter 20 % (v/v)

Gambar 12. Pengaruh kombinasi media terhadap jumlah spora

Bedasarkan hasil analisis ragam uji F dengan tingkat kepercayaan 95 %


(Lampiran 9), menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan formulasi media serta
interaksi antara perbedaan formulasi media dan waktu kultivasi berpengaruh
secara signifikan terhadap jumlah spora pada cairan hasil kultivasi. Sedangkan
perbedaan waktu kultivasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah
spora pada cairan hasil kultivasi.

32
Perbedaan formulasi media berpengaruh secara nyata terhadap jumlah spora
pada cairan hasil kultivasi yang disebabkan karena adanya perbedaan komponen
media yang digunakan dan konsentrasi starter yang ditambahkan. Namun, hal ini
hanya terdapat pada jumlah spora setelah kultivasi selama 48 jam. Hal ini
didukung dengan hasil analisis ragam uji F dengan tingkat kepercayaan 95 %
(Lampiran 13), menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi starter dan
komponen media tidak berpengaruh secara nyata terhadap jumlah spora pada
cairan hasil kultivasi selama 30 jam. Sedangkan hasil analisis ragam uji F dengan
tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 13 lanjutan), menunjukkan bahwa perlakuan
perbedaan komponen media berpengaruh secara nyata terhadap jumlah spora pada
cairan hasil kultivasi selama 48 jam. Penggunaan media B dan C berbeda nyata
dengan penggunaan media A dan penggunaan media C tidak berbeda nyata
dengan penggunaan media B.

F. UJI TOKSISITAS BIOINSEKTISIDA

Penetuan tingkat mortalitas serangga target bertujuan untuk menentukan


LC50 dan potensi produk bioinsektisida yang dihasilkan. LC50 merupakan
konsentrasi toksin dalam contoh yang dapat membunuh 50 % dari serangga uji
(Vandekar dan Dulmage, 1982). Semakin kecil nilai LC50 maka semakin efektif
produk yang dihasilkan, yang berarti semakin besar tingkat toksisitasnya. Tingkat
mortalitas larva Croccidolomia binotalis (instar II) dapat dilihat pada Tabel 8a
dan Tabel 8b.
Pada Tabel 8a dan Tabel 8b menunjukkan bahwa kematian larva C.
binotalis yang diumpankan benar-benar disebabkan oleh pengaruh bahan aktif Bta
yang diberikan. Terbukti pada cawan kontrol (air suling tanpa pemberian
bioinsektisida) larva yang diumpankan tetap hidup, sehat, tumbuh dengan normal,
dan dapat berkembang ke instar berikutnya. Larva C. binotalis yang mati akibat
perlakuan, tubuhnya menjadi keriput, kering, dan beruba warna menjadi coklat
kehitaman. Selain itu, sisa larva yang tidak mati bukan berarti tetap sehat,
melainkan larva-larva tersebut menunjukka gejala-gejala tidak normal, seperti
kurang aktif bergerak, tubuh menjadi kecil atau kurus, serta lambat atau tidak
dapat berkembang ke instar berikutnya.

33
Tabel 8a. Tingkat mortalitas larva Croccidolomia binotalis (instar II) terhadap
produk bioinsektisida (kultivasi selama 30 jam)
Mortalitas (%) pada Berbagai
Sandi Starter Bobot Konsentrasi
Susunan Media
Media (%v/v) (g/L) -1
10 10 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7
-2

A1 AT 20 % LCT 80 % 10 29.58 100 95 90 40 40 - -


A2 AT 20 % LCT 80 % 15 34.14 95 55 50 - 20 - -
A3 AT 20 % LCT 80 % 20 21.33 100 85 50 35 - - -
B1 AT 30 % LCT 70 % 10 39.46 100 75 60 40 - - -
B2 AT 30 % LCT 70 % 15 38.54 100 100 90 50 35 - -
B3 AT 30 % LCT 70 % 20 34.88 100 50 50 25 5 - -
C1 AT 40 % LCT 60 % 10 44.87 100 85 55 - 5 - -
C2 AT 40 % LCT 60 % 15 47.36 100 70 60 45 20 - -
C3 AT 40 % LCT 60 % 20 42.55 80 50 30 25 - - -
Bactospeine - 100 100 100 100 90 40 40
Air Suling (non bioinsektisida) - 0

Tabel 8b. Tingkat mortalitas larva Croccidolomia binotalis (instar II) terhadap
produk bioinsektisida (kultivasi selama 48 jam)
Mortalitas (%) pada Berbagai
Sandi Starter Bobot Konsentrasi
Susunan Media
Media (%v/v) (g/L)
10 10 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7
-1 -2

A1 AT 20 % LCT 80 % 10 28.843 100 45 20 10 - - -


A2 AT 20 % LCT 80 % 15 27.109 95 90 75 30 - - -
A3 AT 20 % LCT 80 % 20 26.378 65 45 20 20 - - -
B1 AT 30 % LCT 70 % 10 41.540 80 35 30 25 - - -
B2 AT 30 % LCT 70 % 15 41.104 70 55 5 0 - - -
B3 AT 30 % LCT 70 % 20 37.424 100 50 50 20 - - -
C1 AT 40 % LCT 60 % 10 50.431 75 60 45 25 - - -
C2 AT 40 % LCT 60 % 15 46.157 60 35 30 15 - - -
C3 AT 40 % LCT 60 % 20 45.636 45 30 30 25 - - -
Bactospeine - 100 100 100 100 90 40 40
Air Suling (Non Bioinsektisida) - 0

Dari hasil mortalitas serangga target diperoleh nilai LC50 dari produk
bioinsektisida yang dihasilkan. Berdasarkan hasil pengujian LC50 pada Tabel 9
diperoleh bahwasanya nilai LC50 terkecil dari produk bioinsektisida yang
dikultivasi selama 30 jam dihasilkan oleh formulasi media A1 yaitu 1,34 mg/L,
sedangkan nilai LC50 terkecil dari produk bioinsektisida yang dikultivasi selama

34
48 jam dihasilkan oleh formulasi media A2 yaitu 7,44 mg/L. Hal ini berarti
potensi dari kedua perlakuan tersebut lebih besar dibandingkan dengan perlakuan
lainnya untuk waktu kultivasi yang sama. Namun ketika dibandingkan dengan
nilai LC50 dan potensi dari produk komersial (Bactospeine), nilai LC50
Bactospeine lebih kecil dibandingkan dengan nilai LC50 dari setiap perlakuan
dalam penelitian ini. Hal ini menandakan bahwa potensi dari produk
bioinsektisida yang dihasilkan dalam penelitian ini masih lebih kecil dari potensi
produk Bactospeine.

Tabel 9. Perbandingan antara LC50 dan potensi produk untuk masing-masing


perlakuan (kultivasi 30 jam dan 48 jam) serta produk komersial

Potensi Produk
Simbol Starter LC50 (mg/L)
Susunan Media (IU/mg)
Media (%v/v)
30 Jam 48 Jam 30 Jam 48 Jam
A1 AT 20 % LCT 80 % 10 1.34 144.51 597.01 5.54
A2 AT 20 % LCT 80 % 15 23.54 7.44 33.98 107.53
A3 AT 20 % LCT 80 % 20 7.93 321.91 100.88 2.49
B1 AT 30 % LCT 70 % 10 13.33 240.98 60.02 3.32
B2 AT 30 % LCT 70 % 15 1.40 657.83 571.43 1.22
B3 AT 30 % LCT 70 % 20 46.12 73.18 17.35 10.93
C1 AT 40 % LCT 60 % 10 14.71 74.97 54.38 10.67
C2 AT 40 % LCT 60 % 15 12.34 1332.33 64.83 0.60
C3 AT 40 % LCT 60 % 20 174.16 45636.00 4.59 0.02
Bactospeine 0.05 16000

Pada Tabel 9, dapat dilihat bahwa nilai LC50 memiliki korelasi yang
berlawanan dengan potensi produknya, dimana semakin kecil nilai LC 50 yang
dihasilkan, maka semakin besar potensinya. Dengan semakin besar potensi
produk yang dihasilkan, maka semakin besar toksisitasnya dan semakin besar
efektivitasnya. Nilai LC50 maupun potensi produk tidak selalu berkorelasi positif
terhadap nilai TPC dan VSC produk. Hal ini menandakan bahwasanya, tingkat
toksisitas produk bioinsektisida tidak selamanya dipengaruhi oleh jumlah sel dan
jumlah spora yang terkandung dalam produk bioinsektisida tersebut. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugrahani (2005) pada Bt
kurstaki, Rahayuningsih (2003) pada Bt israelensis, dan Morris et al., (1996) pada
Bt aizawai. Menurut Dulmage dan Rhodes di dalam Burges dan Hussey (1971),

35
toksisitas spora Bt terhadap serangga target dipengaruhi oleh strain bakteri dan
keadaan serangga target tersebut. Struktur kristal yang berbeda untuk setiap strain
Bt berpengaruh pada toksisitas spora yang dihasilkan oleh sel Bt. Selain itu,
ukuran molekul protein yang menyasun kristal dan kondisi pH di dalam usus
besar serangga target akan berpengaruh pada kelarutan kristal protein (Budgenjon
dan Martouret di dalam Burges dan Hussey, 1971) serta struktur dan susunan
molekul asam amino di dalam kristal protein (Schnepf et al., 1998) juga
mempengaruhi tingkat toksisitas dari produk bioinsektisida yang dihasilkan.
Menurut Aronson et al. (1986) dan Gill et al. (1992), komponen utama
penyusun kristal protein pada sebahagian besar Bt adalah polipeptida dengan berat
molekul 130 sampai 140 kilodalton (kDa). Polipeptida tersebut merupakan
protoksin yang dapat diubah menjadi toksin dengan berat molekul yang bervariasi
dari 30 dampai 80 kDa setelah mengalami hidrolisis dalam keadaan pH alkali dan
adanya protease dalam saluran pencernaan serangga. Aktifitas insektisida tersebut
akan hilang jika berat molekul polipeptidanya kurang dari 30 kDa. Menurut
Budgenjon dan Martouret di dalam Burges dan Hussey (1971), kemampuan
protease yang ada di dalam sel pencernaan serangga untuk mencerna kristal
protein dan adanya reseptor khusus yang mampu mengikat toksin juga
mempercepat aktifitas kerja bioinsektisida.

36
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Penggunaan ampas tahu dan limbah cair tahu dengan perbandingan 20 : 80,
30 : 70, dan 40 : 60 dapat digunakan untuk memproduksi bioinsektisida dari Bta.
Jumlah sel hidup tertinggi pada penelitian ini dihasilkan oleh formulasi media B3
(ampas tahu 30 % dan limbah cair tahu 70 % dengan starter 20 % (v/v)) yaitu
sebesar 2,14 x 108 Sel/ml dengan waktu kultivasi selama 48 jam, sedangkan
jumlah sel hidup terendah dihasilkan oleh formulasi media A3 (ampas tahu 20 %
dan limbah cair tahu 80 % dengan starter 20 % (v/v)) yaitu sebesar 1 x 107 Sel/ml
dengan waktu kultivasi selama 48 jam.
Waktu kultivasi 30 jam dengan formulasi media B2 (ampas tahu 30 % dan
limbah cair tahu 70 % dengan starter 15 % (v/v)) menghasilkan jumlah spora
hidup tertinggi sebesar 1,65 x 107 spora/ml. Sedangkan untuk waktu kultivasi 48
jam dengan formulasi media B2 (ampas tahu 30 % dan limbah cair tahu 70 %
dengan starter 15 % (v/v)) juga menghasilkan jumlah spora hidup tertinggi
sebesar 2,95 x 107 spora/ml.
Selama kultivasi berlangsung, nilai pH pada cairan kultivasi mengalami
peningkatan sedangkan total gula mengalami penurunan. Efisiensi penggunaan
substrat untuk kultivasi selama 30 jam berkisar antara 13,14 % sampai 33,61 %
dan untuk kultivasi selama 48 jam berkisar antara 31,73 % sampai 41,91. Semakin
tinggi konsentrasi limbah cair tahu yang digunakan sebagai media, maka semakin
tinggi efisiensi penggunaan substrat.
Semakin tinggi konsentrasi limbah cair tahu yang digunakan sebagai media,
maka semakin kecil nilai LC50 dan semakin tinggi potensi produknya. Tingkat
toksisitas tertinggi untuk kultivasi selama 30 jam diperoleh pada formulasi media
A1 (1,34 mg/L) dan tingkat toksisitas terendah diperoleh pada formulasi media C3
(174,16 mg/L). Sedangkan tingkat toksisitas tertinggi untuk kultivasi selama 48
jam diperoleh pada formulasi media A2 (7,44 mg/L) dan tingkat toksisitas
terendah diperoleh pada formulasi media C3 (45636,00 mg/L).

37
B. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, makin tinggi konsentrasi limbah cair tahu yang
digunakan sebagai media, maka makin kecil nilai LC50 dan makin tinggi potensi
produknya, sehingga yang perlu disarankan adalah diadakan penelitian lebih
lanjut menggunakan media limbah cair tahu dengan konsentrasi yang lebih tinggi.

38
DAFTAR PUSTAKA

Afriatni, A. 2003. Pengaruh Rasio Karbon dan Nitrogen (C/N) Terhadap Daya
Toksisitas Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. kurstaki. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Anonym. 2009. Sisi-Sisi Yang Dapat Dikembangkan Pada Industri Tahu.


http://okenet-kimia-blogspot.com. Diakses tanggal 15 Maret 2010.

AOAC, 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Official


Agriculture Chemist, Washington, D. C.

Aronson, A., I., W. Beckman dan P. Dunn. 1986. Bacillus thuringiensis dan Related
Insect Pathogen. Microbial. Rev. 50 (1) : 1 – 24.

Bahagiawati. 2002. Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai Bioinsektisida. Balai


Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor.

Bailey, J. E. dan D. F. Ollis. 1991. Dasar – Dasar Biokimia. Terjemahan. PAU IPB,
Bogor.

Becker dan J. Margalit. 1993. Production of Bacillus thuringiensis Insecticides for


Experimental and Commercial Uses. Di dalam P. F. Enwistle, J. s. Cory, M.
J. Bailey dan S. Higgs (editor). Bacillus thuringiensis, An Environmental
Biopesticide : Theory and Practice. John Wiley and Sons, Chichester : 147 –
168.

Behle, R. W., P. Tamez-Guerra, B. S. Shasha, dan M. R. McGuire. 1999. Makalah


Formulations Forum 99. Formulating Bioinsecticides to Improve Recidual
Activity. University Peoriia, Illiois.

Bernhard, K. dan R. Utz. 1993. Production of Bacillus thuringiensis Insecticides for


Experimental and Commercial Uses, Hlm. 255 – 265. Di dalam P. F.
Entwilse, J. S. Cory, M. J. Bailey, dan S. Higgs (Penyunting). Bacillus
thuringiensis An Environmental Biopesticide : Theory and Practice. John
Wiley and Sons, Chichester.

Benoit, L. G., G. R. Wilson dan C. L. Baugh. 1990. Cultivation During Growth and
Sporulation of Bacillus thuringiensis HD-1. Left. Appl. Microbial. 10 : 15 –
26.

Bravo, A. 1997. Phylogenetic Relationship of Bacillus thuringiensis δ-endotoksin


Family Protein and Their Functional Domains. Bacterial. 179 (9) : 2793 –
2801.

Bulla, L. A., K. J. Kramer, dan L. I. Davidson. 1977. Characterization of The


Entomocidal Parasporal Crystal of Bacillus thuringiensis. J. Bacteriol. 130
(1) : 375 – 383.

39
Burgerjon, A. dan D. Martouret. 1971. Determination and Significance of The Host
Spectrum of Bacillus thuringiensis. Pp. 305 – 322. Di dalam H. D. Burges
and N. W. Hussey (Penyunting). Microbial Control of Insect and Mites.
Academic Perss. London.

Cookson, J. T. 1995. Bioremediation Engineering : Design and Application.


McGraw-Hill, Inc. Toronto.

Couh, T. L. and D. A. Ross. 1980. Production and Utilization of Bacillus


thuringiensis. Biotechnol and Bioengi. 22 ; 1297 – 1304.

Debby, M. S., C. Tjahjadi, M. Herudiyanto, dan T. Sukarti. 2005. Mekanisme


Produksi Minyak Sel Tunggal dengan Sistem Kultivasi Padat pada Media
Onggok-Ampas Tahu dengan Menggunakan Kapang Aspergillus terreus.
Artikel Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol. XVI.

De Barjack, H. dan E. Frachon. 1990. Classification of Strain Bacillus thuringiensis.


Entomophage 36 : 233 – 240.

Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. PT Agromedia Pustaka, Jakarta.

Dubois, M. K., AGilles, J. K. Hamilton, D. A. Rebers, dan F. Smith. 1956.


Colorimetric Methods for Determination of Sugar and Related Substances.
Analitical Chemist 28:350-356

Dulmage, H. T. 1981. Insecticidal Activity of Isolates of Bacillus thuringiensis and


Their Potential for Pest Control. Di dalam H. D. Burges (editor). Microbial
Control Pest and Plant Disease 1970 – 1980. Academic Press, New York.

Dulmage, H. T. and Rhodes, R. A. 1971. Production of Pathogens in Artificial


Media, pp.507-540 In : Burges, H.D. (ed). Microbial Control of Pest and
Plant Diseases 1970 – 1980. Acad Press, New York.

Dulmage, H. T., J. A. Correa and G. G. Morales. 1990. Potential of Improved


Formulation of Bacillus thuringiensis through Standardization and
Cultivation Development. Di dalam Bacterial Control of Mosquitoes and
Blackfleis : Biochemistry, Genetics and Application of Bacillus
thuringiensis and Bacillus sphaericus. Eds : H. D. Barjac and D. J.
Sutherland. Rutgers University Press. New Brunswick, New Jersey, USA.
110 – 133.

Ellar, D. J., Knowles, B. H. Haider, M. Z., dan F. A. Drobniewski.1986.


Investigation of The Specificity, Cytotoxic Mechanisms and Relatedness of
Bacillus thuringiensis Insecticidal delta-endotoxin from Different
Pathotypes. Zentralblatt fur Bakteriologie, Mikrobiologie, und Hygiene;
Suppl. 5, bacterial Protein Toxins 41 – 48. Gastav Fisher Verlag, Stutttgart.

Faust, R. M. and L. A. Bulla, Jr. 1982. Bacteria and Their Toxins as Insecticides,
Hlm. 75 – 109. Di dalam E. kurstak (Penyunting). Microbial and Viral
Pesticides. Marcel Dekker Inc, New York.

40
Feitelson, J. S., Payne, and L. Kim. 1992. Bacillus thuringiensis : Insects and
Beyond. Biotechnology. 10 : 271 – 275. Di dalam Bahagiawati (2002).
Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai Bioinsektisida. Bulletin Agrobio
5 (1) : 21 – 28.

Gill, S. S., E. A. Knowles, and P. V. Pietrantonio. 1992. The Mode of Action of


Bacillus thuringiensis Endotoxins. Annu. Rev. Entomol. 37 : 615 – 636.

Goldberd, I., B. Sneh., E. Battat and D. Klein. 1980. Optimization of A Medium for
A High Yield Production of Spore-Crystal Preparation of Bacillus
thuringiensis Effective Against The Egyptian Cotton Leaf Worm
Spodoptera littoralis Boisd. The Cultivation Unit, The Hebrew University.

Harjadi, S. 1989. Dasar-Dasar Hortikultura. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas


Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hartati, N. 2010. Pengaruh Aerasi Terhadap Produksi Biopestisida Oleh


Pseudomonas putida Menggunakan Substrat limbah cair tahu. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hofte, H. dan H. R. Whiteley. 1989. Insecticidal Crystal Protein of Bacillus


thuringiensis. Microbial. Rev. Entomol. 12 : 287 – 322.

Ignoffo, C. M. dan R. F. Anderson. 1979. Bioinsecticides, pp. 1 – 27. In H. J. Peppler


and D. Perlman, eds. Microbial Technology. Acad. Press, New York.

Ridawati. 1993. Produksi Pigmen oleh Monascus purpureus BC 88202 pada Media
Campuran Limbah Cair Tapioka, Ampas Tapioka dan Ampas Tahu. Skripsi.
FATETA, IPB. Bogor.

Kalshoven, L. G. E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. (terjemahan). PT. Ichtiar


Baru Van-Hoeve, Jakarta.

Kosaric, H., A. Wieczorek, G. P. Cosentino, R. J. Magee, and J. E. Prenosil. 1983.


Ethanol Cultivation. Di dalam H. Dellweg. Biotechnology Volume 3.
Verlag Chemie, Weinheim.

Lereclus, D., A. Delecluse, and M. M. Lecadet. 1993. Diversity of Bacillus


thuringiensis Toxins and Genes, Hlm. 37 – 60. Di dalam P. F. Ent Wisle, J.
S. Cory, M. J. Bailey, and S. Higgs (Penyunting). Bacillus thuringiensis An
Environmental Biopesticide : Theory and Practice. John Wiley and Sons,
Chichester.

Liu, W. H. and P. K. Bajpai. 1995. A Modified Growth Medium for Bacillus


thuringiensis Biotechnol Prog. 11: 589 – 591.

Mangunwidjaja, D. dan Suryani A. 1994. Teknologi Bioproses. Penebar Swadaya,


Jakarta.

41
Margalit, J. dan D. Dean. 1985. The Story of Bacillus thuringiensis subs israelensis.
Am. Mosg. Contr. Assoc. 1, 1 – 7.

Milne, R. AZ. Ge. De. Rivers dan D. H. Dean. 1990. Specificity of Insecticidal
Crystal Proteins : Implication for Industrial Standardization. Di dalam
Analytical Chemistry of Bacillus thuringiensis. Editor : Hickle, L. A. dan
W. L. Petch. American Chemical Society. Washington DC.

Morris, O. N., P. Kanagaratman, and Converse. 1996. Suitability of 30 Agricultural


Products and By-Products as Nutrient Sources for Laboratory Productions
of Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (HD133). Journal of Pathology 70 :
113 – 120.

Muller-Cohn, J., J. Chaufaux, C. Buisson, N. Gilois, V. Sanchis, and D. Lereclus.


1996. Spodoptera littoralis (Lepidoptera : Noctuidae) Restitance To Cry 1C
and Cross-Resistance To Other Bacillus thuringiensis Crystal Protein. J.
Econ. Entomol. 89(4) : 791 – 797.

Mummigatti, S. G. and Raghunathan. 1990. Influence of Media Composition on the


Production of Delta-Endotoxin by Bacillus thuringiensis. J. Invertebr.
Pathol. 55 : 147 – 151.

Nugrahani, W. 2005. Pemanfaatan Wheat Pollard dan Wheat Bran sebagai Substrat
pada Produksi Bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. kursstaki.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Nuraida, L., A. H. Sihombing, dan Srikandi, F. 1996. Produksi Karotenoid Pada


Limbah Climbah cair tahu, Air Kelapa, dan Onggok oleh Kapang
Neurospora sp. Artikel Bulletin Teknologi dan Industri Pangan. Vol. VII.

Nurdjannah, N. dan Sri Usmiati. 2009. Isolasi dan Karakterisasi Protein Ampas
Tahu. http://www.pascapanen.litbang.deptan.go.id. Diakses tanggal 19
Februari 2010.

Othman, N. 1982. Biology of Croccidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera :


Pyralidae) and Its Parasites From Cipanas Area (West Java). Research
Report. SEAMEO Center for Tropical Biology, Bogor.

Pearson, D., and O. P. Ward. 1988. Effect of Culture Conditions on Growth and
Sporulation of Bacillus thuringiensis subsp. Israelensis and Development of
Media for Production of The Protein Crystal Endotoxin. Biotechnol. Lett. 10
(7) : 4511 – 456.

Permadi, A. H. dan Sastrosiswojo S. 1993. Kubis. Edisi Pertama. Badan Penelitian


dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Hortikultura, Lembang.

Prabowo, A.D., Samain dan Rangkuti, M. 1985. Pemanfaatan Ampas Tahu Sebagai
Makanan Tambahan dalam Usaha Penggemukan Daging Potong. Buletin
Limbah Pangan : 172 – 174.

42
Prapanca. 2001. Kol Alias Kubis. Cetakan XVI. Jakarta. Penebar Swadaya.

Prijono, D. dan E. Hasan. 1992. Life Cycle and Demography of Croccidolomia


binotalis Zeller (Lepidoptera : Pyralidae) on Broccoli in Laboratory. Indon.
J. Trop. Agric. 4 : 18 – 24.

Quinlan, R. J. and S. G. Lisansky. 1985. Microbial Insecticides, pp. 233 – 254. Di


dalam H. Dellweg (editor). Biotechnology vol. 3. Verlag Chemis,
Weinheim.

Rahyuningsih, M. 2003. Toksisitas dan Pembedaan Aktivitas Dipterosidal


Bioinsektisida Bacillus thuringiensis var. israelensis Tipe Liar dan Mutan
pada berbagai Formulasi Media dan Kondisi Kultivasi. Disertasi. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ranchman, A. 1989. Pengantar Teknologi Kultivasi. Pusat Antar Universitas, IPB.


Bogor.

Rehm, H. J. dan G. Reed. 1981. Biotechnology vol. 1. Microbial Fundamentals.


Verlag Chemic., Weinheim.

Rumiyantie, R. R. 1999. Kultivasi Bacillus thuringiensis subsp. aizawai Skala Pilot


Dengan Urea Sebagai Sumber Nitrogen Tambahan. Skripsi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Schnepf, E., N. Crickmore, J. van Rie, D. Lereclus, J. Baum, J. Feitelson, D. R.


Zeigler, and D. H. Dean. 1998. Bacillus thuringiensis and its Pesticidal
Crystal Proteins. Microbial. Mol. Boil. Rev. 62 (3) : 775 – 806.

Shieh, T. R. 1994. Identification and Classification of Bacillus thuringiensis. Komisi


Pestisida Departemen Pertanian, Jakarta.

Sastrosiswojo, S. dan W. Setiawati. 1993. Hama-Hama Tanaman Kubis dan Cara


Pengendalian. Hal 39 – 59. Dalam A. H. Permadi dan S. Sastrosiswojo
(ads.), Kubis. Ballitan dan Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu,
Jakarta.

Sikdar, D. P., M. K. Majumdar dan S. K. Majumdar. 1993. Optimization of Process


for Production of Delta-Endotoxin by Bacillus thuringiensis subsp.
Israelensis in a 5 litre Fermentor. Biochemical Archieves. 9 : 119 – 123.

Sneath, P. H. A. 1986. Endospore-forming gram-positive Rods and Cocci, Hlm. 1104


– 1139. Di dalam P. H. A. Sneath, N. S. Mair, M. E. Sharpe, and J. G. Holt
(Penyunting). Bergey’s Manual of Systematic Bacteriologi. Volume 2
Baltimore, USA.

Soeroto, H. A. dan Cahyaniati. 1994. Pengelolaan Organisme Pengganggu


Tumbuhan Secara Terpadu pada Tanaman Kubis. Jakarta : Direktorat
Jendral Tanaman Pangan.

43
Stanbury, P. F. dan A. Whitaker. 1984. Principles of Cultivation Technology.
Pergamon Press, London.

Suastuti, MGAMDA. 1998. Pemenfaatan hasil samping industry pertanian molase


dan limbah cair tahu sebagai sumber karbon dan nitrogen untuk produksi
biosurfactan oleh Bacillus sp galur komersial dan local. Tesis. Program
Pascasarjana. Institute Pertanian Bogor, Bogor.

Swadener, C. 1994. Bacillus thuringiensis. Journal of Pesticides Reform vol. 14.


No.3 : 13 – 20. Northwest Coalition for Alternative to Pesticides. Canada.

Trizelia. 2001. Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Program Pascasarjana/SC. Institup
Pertanian Bogor, Bogor.

Uhan, T. S. 1993. Kehilangan Hasil Panen Karena Ulat Krop Kubis (Croccidolomia
binotalis Zell) dan Cara Pengendaliannya. J Hort 3 : 22-26.

Vandekar, M. And H. T. Dulmage. 1982. Guidelines for Production of Bacillus


thuringiensis H-14. Special Programe for Research and Training in Tropical
Diseases. Geneva, Switzerland.

Wang, D. I. C., C. L. Conney, A. L. Demain, P. Dunhil, A. E. Humprey dan M. D.


Lily. 1979. Cultivation and Enzyme Technology. John Wiley and Sons Inc,
New York.

Wicaksono, Y. 2002. Pemanfaatan Onggok Tapioka dan Urea sebagai Media Sumber
Karbon dan Nitrogen dalam Produksi Bioinsektisida oleh Bacillus
thuringiensis subsp. kurstaki. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Yamamoto, T., T. Lizuka and J. N. Aronson. 1983. Mosquitocidal Protein of


Bacillus thuringiensis var. israelensis : Identification and Partial Isolation of
The Protein. Current Microbiology, Vol. 9, pp. 279 – 284.

44
LAMPIRAN

45
Lampiran 1. Metode Analisis Pada Penelitian

Analisis Proksimat Bahan Baku


a. Penetapan Kadar Air dengan Metode Oven (AOAC, 1984)
Cawan alumenium kosong dipanaskan dengan oven 105 0C selama 15
menit, kemudian didinginkan dengan desikator selama 30 menit dan ditimbang.
Prosedur pengeringan cawan ini diulang sampai didapatkan bobot tetap. Sampel
sebanyak 4 – 5 gram ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian dipanaskan
dalam oven pada suhu 105 0C selama 3 -5 jam. Setelah cawan dikeluarkan dari
oven dan didinginkan, diulang sampai didapatkan bobot tetap bahan. Presentase
kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :
A : Bobot cawan berisi sampel sebelum dioven (g)
B : Bobot cawan berisi sampel setelah dioven (g)
C : Bobot sampel basa (g)

b. Penetapan Kadar Abu dengan Metode Oven (AOAC, 1984)


Sampel sebanyak 4 – 5 gram ditimbang dalam cawan yang bobotnya
konstan. Dibakar sampai tak berasap di atas Bunsen dengan api kecil, kemudian
dimasukkaan ke dalam tanur pada suhu 600 0 C sampai menjadi abu. Cawan
didinginkan di dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Pengabuan
diulangi, dengan cara dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 0C selama 1 jam
sampai didapat bobot yang tetap. Presentase kadar abu dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :
A : Bobot cawan berisi abu sampel (g)
B : Bobot cawan (g)
C : Bobot sampel basa (g)

46
c. Penetapan Kadar Protein (Nitrogen) dengan Metode Kjedhal
Sampel sebayak 0,2 gram, ditambahkan dengan 1 gram CuSO 4, 1,2 gram
Na2SO4, dan 2,5 larutan H2SO4 pekat dan didestruksi dalam labu Kjedhal selama
1 jam. Setelah dingin ditambahkan larutan NaOH 50 % sebanyak 15 ml dan
didestilasi. Destilat ditampung dalam Erlenmeyer yang berisi larutan HCl 0,02 N.
destilat dititrasi dengan larutan HaOH 0,02 N yang sebelumnya telah ditambahkan
indicator mensel. Penentuan kadar nitrogen berdasarkan volume larutan NaOH
0,02 N yang digunakan untuk titrasi.
Blangko disiapkan seperti prosedur penentuan kadar nitrogen dengan
metode Kjedhal. Penentuan kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus sebagai
berikur :

Keterangan :
FP : Faktor Pengencer
FK : Faktor Konversi (6,25)

d. Penetapan Kadar Lemak dengan Metode Ekstraksi Langsung dengan Alat


Soxhlet (SNI 01-2891-1992)

Sebanyak 1 – 2 gram contoh, dimasukkan ke dalam selongsong kertas


saring yang dialasi dengan kapas. Kemudian selongkong kertas saring berisi
contoh disumbat dengan kapas lalu dikeringkan di dalam oven pada suhu tidak
lebih dari 80 0C selama lebih kurang 1 jam. Kemudian selongsong kertas yang
telah di oven dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan
labu lemak berisi batu didih yang telah dikeringkan dan telah diketahui bobotnya.
Kemudian diekstraksi dengan heksana atau pelarut lemak lainnya selama lebih
kurang 6 jam. Kemulian heksana disuling dan ekstrak lemak dikeringkan di dalam
oven pada suhu 105 0C sampai bobotnya tetap. Didinginkan dan ditimbang.
Penentuan kadar lemak dihitung berdasarkan rumus sebagai berikur :

47
Keterangan :
W : bobot contoh (g)
W1 : Bobot labu lemak kosong (g)
W2 : Bobot labu lemak dan lemak (g)

e. Penetapan Kadar Serat Kasar (AOAC, 1984)


Sebanyak 2 gram contoh dimasukin ke dalam Erlenmeyer 500 ml dan
ditambahkan 100 ml H2SO4 0,325 N. kemudian dihidroolisis di dalam autoklaf
selama 15 menit pada suhu 105 0C. Didinginkan lalu ditambahkan NaOH 1,25 N
sebanyak 50 ml. hidrolisis kembali ke dalam autoklaf selama 15 menit. Kemudian
contoh disaring dengan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui bobot
tetapnya. Contoh dicuci berturut-turut dengan air panas menggunakan 25 ml
H2SO4 0,325 N, kemudian dicuci dengan air panas terakhir menggunakan alkohol
25 ml. kertas saring dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 0C sampai
bobotnya tetap. Penentuan kadar serat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikur
:

f. Penetapan Kadar Karbohidrat (by different)


Penentuan karbohidrat (by different) dihitung berdasarkan rumus sebagai
berikut :

48
Lampiran 1. Lanjutan Metode Analisis Pada Penelitian

Analisis Pra dan PascaKultivasi


a. Pengukuran pH
Pengukuran pH cairan dilakukan dengan menggunakan pH-meter yang telah
dikalibrasi dengan menggunakan buffer standar (4, 7, dan 10). Sampel cairan
kultur diambil pada waktu yang telah ditentukan dan langsung diukur dengan pH-
meter tanpa dilakukan pengenceran terlebih dahulu.

b. Jumlah Spora Hidup (Viable Spore Count/VSC)


Prosedur penentuan jumlah spora hidup adalah sebagai berikut :

1 ml cairan fermentasi

Pengenceran ke dalam 9 ml larutan garam fisiologis

Pemanasan pada suhu 70 0C selama 15 menit

Pembuatan sederetan pengenceran

1 ml dari setiap pengenceran ditumbuhkan pada medium agar cawan

Inkubasi pada suhu 30 0C selama 24 jam

Penghitungan jumlah koloni

49
c. Pengamatan jumlah sel dengan metode TPC
Prosedur penentuan jumlah sel hidup adalah sebagai berikut :

1 ml cairan fermentasi

Pengenceran ke dalam 9 ml larutan garam fisiologis

Pembuatan sederetan pengenceran

1 ml dari setiap pengenceran ditumbuhkan pada medium agar cawan

Inkubasi pada suhu 30 0C selama 24 jam

Penghitungan jumlah koloni

d. Penetapan Total Gula dengan Metode Fenol H2SO4 (Dubois et. al., 1956)
Sebelum dilakukan pengujian sampel perlu diketahui kurva standar fenol yang
digunakan. Pembentukan kurfa standar fenol adalah sebagai berikut :
Sebanyak 2 ml larutan glukosa standar yang mengandung 0, 15, 30, 45, 60,
dan 75 µg glukosa masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
ditambahkan 1 ml larutan fenol dan dikocok. Kemudian 5 ml H 2SO4 pekat
ditambahkan dengan cepat. Biarkan selama 10 menit, kocok dan tempatkan dalam
penangas air selama 15 menit. Absorbansinya diukur pada 490 nm.

KURVA STANDAR GLUKOSA


0.8
Absorbansi (490 nm)

0.7
0.6 y = 0.014x + 0.001
0.5 R² = 0.999
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 10 20 30 40 50 60
Konsentrasi (ppm)
Linear (Absorbansi)

50
Pengujian sampel sama dengan pembuatan kurva standar fenol, hanya 2 ml
larutan glukosa diganti dengan 2 ml sampel.

e. Uji aktivitas bioinsektisida (Bioassay) (dilakukan pasca kultivasi)


Penentuan aktivitas bioinsektisida dikerjakan mengikuti prosedur sebagai
berikut :

1 ml cairan hasil fermenttasi dari tiap-tiap perlakuan

Pengenceran ke dalam 1 L air suling yang diberi Pro-Stiker ( 1ml/L)

Pembuatan sederetan pengenceran

Perendaman di dalam suspense Pemotongan


spora Kristal selama 1 menit daun kubis

Dikering anginkan

10 larva ulat kubis cawan petri

Inkubasi 4 (empat) hari

Perhitungan jumlah larva mati sampai hari ke empat

51
Lampiran 2. Perhitungan Susunan Medium Kultivasi

Berikut perhitungan total penambahan urea pada beberapa perbedaan


perbandingan substrat ampas tahu dan limbah cair tahu dengan berbasiskan pada
rasio C/N adalah 7/1.
1. Media A (ampas tahu 20 % dan limbah cair tahu 80 %)
C = 7N
C Ampas T + C Air T + C Urea = 7(N Ampas T + N Air T + N Urea)
5,639% (10 g) + 0.273% (40 g) + 20% Urea = 7(0,42% (10 g) + 0.022% (40 g) + 46,667% Urea)
0,5693 + 0,1092 + 0,2 Urea = 7(0,042 + 0,0088 + 0,4667 Urea)
0,6731 + 0,2 Urea = 0,3556 + 3,2669 Urea
0,6731 – 0,3556 = 3,2669 Urea – 0,2 Urea
0, 3175 g = 3,0669 Urea
Urea = 0,1035 gram untuk 50 gram media

2. Media B (ampas tahu 30 % dan limbah cair tahu 70 %)


C = 7N
C Ampas T + C Air T + C Urea = 7(N Ampas T + N Air T + N Urea)
5,639% (15 g) + 0.273% (35 g) + 20% Urea = 7(0,42% (15 g) + 0.022% (35 g) + 46,667% Urea)
0,8459 + 0,0956 + 0,2 Urea = 7(0,063 + 0,0077 + 0,4667 Urea)
0,9415 + 0,2 Urea = 0,4949 + 3,2669 Urea
0,9415 – 0,4949 = 3,2669 Urea – 0,2 Urea
0, 4466 g = 3,0669 Urea
Urea = 0,1456 gram untuk 50 gram media

3. Media C (ampas tahu 40 % dan limbah cair tahu 60 %)


C = 7N
C Ampas T + C Air T + C Urea = 7(N Ampas T + N Air T + N Urea)
5,639% (20 g) + 0.273% (30 g) + 20% Urea = 7(0,42% (20 g) + 0.022% (30 g) + 46,667% Urea)
1,1278 + 0,0810 + 0,2 Urea = 7(0,084 + 0,0066 + 0,4667 Urea)
1,2088 + 0,2 Urea = 0,6342 + 3,2669 Urea
1,2088 – 0,6342 = 3,2669 Urea – 0,2 Urea
0, 5746 g = 3,0669 Urea
Urea = 0,1874 gram untuk 50 gram media

52
Berikut perhitungan total C dan total N pada substrat ampas tahu, limbah cair
tahu, dan urea pada berbagai formulasi medium.
1. Media A (ampas tahu 20 % dan limbah cair tahu 80 %)
 Total C = C Ampas Tahu + C Limbah cair tahu + C Urea
= 5,639% (10 g) + 0.273% (40 g) + 20% (0,1035 g)
= 0,5693 + 0,1092 + 0,0207
= 0,6938 gram untuk 50 gram media
 Total N = N Ampas Tahu + N Limbah cair tahu + N Urea
= 0,42% (10 g) + 0.022% (40 g) + 46,667% (0,1035 g)
= 0,042 + 0,0088 + 0,0483
= 0,0991 gram untuk 50 gram media

2. Media B (ampas tahu 30 % dan limbah cair tahu 70 %)


 Total C = C Ampas Tahu + C Limbah cair tahu + C Urea
= 5,639% (15 g) + 0.273% (35 g) + 20% (0,1456 g)
= 0,8459 + 0,0956 + 0,0291
= 0,9706 gram untuk 50 gram media
 Total N = N Ampas Tahu + N Limbah cair tahu + N Urea
= 0,42% (15 g) + 0.022% (40 g) + 46,667% (0,1035 g)
= 0,063 + 0,0077 + 0,0680
= 0,1387 gram untuk 50 gram media

3. Media C (ampas tahu 40 % dan limbah cair tahu 60 %)


 Total C = C Ampas Tahu + C Limbah cair tahu + C Urea
= 5,639% (20 g) + 0.273% (30 g) + 20% (0,1874 g)
= 1,1278 + 0,081 + 0,0375
= 1,2463 gram untuk 50 gram media
 Total N = N Ampas Tahu + N Limbah cair tahu + N Urea
= 0,42% (20 g) + 0.022% (30 g) + 46,667% (0,1035 g)
= 0,084 + 0,0066 + 0,0875
= 0,1781 gram untuk 50 gram media

53
Lampiran 3. Rekapitulasi Data pH Rata-Rata Media Kultivasi Pada Jam Ke-0,
Jam Ke-30, dan Jam Ke-48 (dua kali ulangan)

MEDIA WAKTU (JAM) Rata-Rata pH


0 7.32
A1 30 7.75
48 8.17
0 7.31
A2 30 7.65
48 8.15
0 7.31
A3 30 7.80
48 8.21
0 7.32
B1 30 7.76
48 8.16
0 7.30
B2 30 7.80
48 8.13
0 7.34
B3 30 7.82
48 8.14
0 7.27
C1 30 7.63
48 7.94
0 7.30
C2 30 7.77
48 8.09
0 7.29
C3 30 7.65
48 8.06

54
Lampiran 4. Rekapitulasi Data Log Jumlah Sel Hidup (TPC) Rata-Rata Media
Kultivasi Pada Jam Ke-0, Jam Ke-30, dan Jam Ke-48 (dua kali
ulangan)

Kultivasi Log Jumlah Sel


Hidup (TPC/ml)
Sandi Media Waktu
0 5.74
A1 30 7.60
48 6.99
0 5.81
A2 30 7.94
48 7.53
0 6.22
A3 30 7.82
48 6.98
0 5.76
B1 30 7.55
48 7.20
0 6.03
B2 30 8.25
48 8.33
0 6.29
B3 30 7.93
48 8.66
0 5.70
C1 30 8.16
48 7.83
0 6.15
C2 30 7.79
48 7.66
0 6.34
C3 30 7.48
48 7.75

55
Lampiran 5. Rekapitulasi Data Total Gula Rata-Rata Media Kultivasi Pada
Jam Ke-0, Jam Ke-30, dan Jam Ke-48 (dua kali ulangan)

Kultivasi Total Gula


Sandi Media Waktu (g/L)
0 4.43
A1 30 3.00
48 2.71
0 4.39
A2 30 2.93
48 2.56
0 4.46
A3 30 2.95
48 2.63
0 4.64
B1 30 3.28
48 2.81
0 4.72
B2 30 3.70
48 2.99
0 4.73
B3 30 3.71
48 2.74
0 4.48
C1 30 3.37
48 2.93
0 4.47
C2 30 3.86
48 3.02
0 4.44
C3 30 3.71
48 2.90

56
Lampiran 6. Rekapitulasi Data Log Jumlah Spora Hidup (VSC) Rata-Rata
Media Kultivasi Pada Jam Ke-0, Jam Ke-30, dan Jam Ke-48 (dua
kali ulangan)

Kultivasi Log Jumlah Spora


Sandi Media Waktu Hidup (VSC/ml)
0 0.00
A1 30 6.58
48 6.09
0 0.00
A2 30 6.12
48 7.53
0 0.00
A3 30 6.90
48 6.75
0 0.00
B1 30 6.51
48 6.59
0 0.00
B2 30 7.22
48 7.47
0 0.00
B3 30 6.87
48 6.97
0 0.00
C1 30 6.33
48 7.15
0 0.00
C2 30 7.21
48 6.39
0 0.00
C3 30 6.46
48 6.65

57
Lampiran 7. Contoh Penentuan LC50 Menggunakan Program Probit Quant

A1-30

conc obs.corr. expected O-E cont.chi-sq


2958.3000 99.82 99.48 .34 .0022321
295.8300 98.78 96.35 2.42 .0167093
29.5830 90.00 84.75 5.25 .0213317
2.9583 40.00 60.19 20.19 .1701328
.2958 40.00 30.53 9.47 .0422657

tot. chi-sq = 2.5267


chi-sq @ 95% = 7.8147
chi-sq @ 99% = 11.3449

The fitted line is log conc.= a + b(probit) where :


a = 4.89 b = .88

The correlation coefficient of the initial line is .8660

LC50 fLC50 +95% CL -95% CL


1.34 4.99 6.68 .27

S fS +95% CL -95% CL
13.39 .24 3.18 56.41

(LC50 = 1,34) : Artinya, untuk mematikan 50 % dari total serangga yang ada
dibutuhkan konsentrasi toksin dalam larutan bioinsektisida sebanyak
1,34 mg/L.

58
Lampiran 8. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil
Terhadap Perbedaan Formulasi Media, Perbedaan Waktu
Kultivasi, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Jumlah Sel
Hidup Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05)

Formulasi Waktu Fermentasi


Ulangan Rata2
Media 0 jam Rata2 30 jam Rata2 48 jam Rata2
1 5.54 7.67 6.78
A1 5.74 7.60 6.99 6.78
2 5.93 7.53 7.20
1 5.78 7.96 7.51
A2 5.81 7.94 7.53 7.09
2 5.85 7.92 7.56
1 6.41 7.96 7.11
A3 6.22 7.82 6.98 7.01
2 6.04 7.67 6.85
1 5.48 7.51 7.11
B1 5.76 7.55 7.20 6.83
2 6.04 7.59 7.28
1 6.31 8.23 8.37
B2 6.03 8.25 8.33 7.54
2 5.74 8.28 8.29
1 6.54 7.99 8.56
B3 6.29 7.93 8.66 7.63
2 6.04 7.88 8.76
1 5.70 8.19 7.86
C1 5.70 8.16 7.83 7.23
2 5.70 8.12 7.80
1 6.34 7.87 7.79
C2 6.15 7.79 7.66 7.20
2 5.95 7.70 7.53
1 6.52 7.56 7.60
C3 6.34 7.48 7.75 7.19
2 6.16 7.41 7.90

6.00 7.83 7.66

Tabel Anova
Sumber JK Db KT F hit P-value Fα
Formulasi Media 3.8906 8 0.48633 12.32245 0.00000 2.30531
Waktu Kultivasi 36.7188 2 18.35938 465.18709 0.00000 3.35413
Interaksi 3.5423 16 0.22139 5.60958 0.00005 2.03579
Galat 1.0656 27 0.03947

Total 45.2172 53
Keterangan :
Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan
perbedaan formulasi media dan perbedaan waktu kultivasi berpengaruh secara
nyata terhadap jumlah sel (TPC) pada cairan hasil kultivasi

59
UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD)

, α = 0,05

0.398

FORMULASI MEDIA

Nilai absolute perbedaan rata-rata


Formuulasi Media A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
A1 0.32 0.23 0.06 0.76 0.85 0.45 0.42 0.42
A2 0.09 0.26 0.44 0.53 0.13 0.10 0.10
A3 0.17 0.53 0.62 0.22 0.19 0.18
B1 0.70 0.79 0.39 0.36 0.36
B2 0.09 0.31 0.34 0.34
B3 0.40 0.43 0.44
C1 0.03 0.04
C2 0.01
C3
Keterangan
Tidak berbeda secara nyata

Berbeda secara nyata

WAKTU KULTIVASI
Nilai absolute perbedaan rata-rata
Waktu Fermentasi 0 Jam 30 Jam 48 Jam
0 Jam 1.83 1.65
30 Jam 0.18
48 Jam
Keterangan :
Tidak berbeda secara nyata

Berbeda secara nyata

60
INTERAKSI ANTARA FORMULASI MEDIA DENGAN WAKTU KULTIVASI

INTERAKSI A1 1 A1 2 A2 1 A2 2 A3 1 A3 2 B1 1 B1 2 B2 1 B2 2 B3 1 B3 2 C1 1 C1 2 C2 1 C2 2 C3 1 C3 2
A1 1 0.61 0.34 0.07 0.22 0.62 0.05 0.40 0.65 0.73 0.33 1.06 0.56 0.23 0.19 0.06 0.12 0.15
A1 2 0.95 0.54 0.83 0.01 0.55 0.21 1.26 1.34 0.94 1.67 1.16 0.84 0.79 0.67 0.49 0.76
A2 1 0.54 0.12 0.96 0.39 0.74 0.31 0.39 0.01 0.72 0.22 0.11 0.15 0.28 0.46 0.19
A2 2 0.29 0.55 0.01 0.33 0.72 0.80 0.40 1.13 0.63 0.30 0.26 0.13 0.05 0.22
A3 1 0.84 0.27 0.62 0.43 0.51 0.12 0.84 0.34 0.01 0.03 0.16 0.34 0.07
A3 2 0.57 0.22 1.27 1.35 0.95 1.68 1.18 0.85 0.81 0.68 0.50 0.77
B1 1 0.35 0.71 0.78 0.39 1.12 0.61 0.28 0.24 0.11 0.06 0.21
B1 2 1.06 1.13 0.74 1.46 0.96 0.63 0.59 0.46 0.29 0.56
B2 1 0.08 0.32 0.41 0.10 0.42 0.47 0.59 0.77 0.50
B2 2 0.40 0.33 0.17 0.50 0.54 0.67 0.85 0.58
B3 1 0.73 0.22 0.11 0.15 0.28 0.45 0.18
B3 2 0.50 0.83 0.87 1.00 1.18 0.91
C1 1 0.33 0.37 0.50 0.67 0.40
C1 2 0.04 0.17 0.35 0.08
C2 1 0.13 0.30 0.03
C2 2 0.18 0.09
C3 1 0.27
C3 2
Keterangan :
Tidak berbeda secara nyata A1 1 : Formulasi media A1 untuk waktu kultivasi selama 30 jam
A1 2 : Formulasi media A2 untuk waktu kultivasi selama 48 jam
Berbeda secara nyata

61
Lampiran 9. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil
Terhadap Perbedaan Formulasi Media, Perbedaan Waktu
Kultivasi, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Jumlah
Spora Hidup Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05)

Formulasi Waktu Fermentasi


Ulangan Rata2
Media 0 jam Rata2 30 jam Rata2 48 jam Rata2
1 0.00 6.50 6.18
A1 0.00 6.58 6.09 4.22
2 0.00 6.66 6.00
1 0.00 6.04 6.28
A2 0.00 6.12 6.34 4.15
2 0.00 6.20 6.40
1 0.00 6.99 6.87
A3 0.00 6.90 6.81 4.57
2 0.00 6.81 6.75
1 0.00 6.73 6.58
B1 0.00 6.51 6.59 4.37
2 0.00 6.28 6.60
1 0.00 7.21 7.43
B2 0.00 7.22 7.47 4.90
2 0.00 7.22 7.51
1 0.00 6.99 6.98
B3 0.00 6.87 6.97 4.61
2 0.00 6.75 6.95
1 0.00 6.35 7.25
C1 0.00 6.33 7.15 4.49
2 0.00 6.30 7.05
1 0.00 7.27 6.60
C2 0.00 7.21 6.39 4.53
2 0.00 7.14 6.18
1 0.00 6.48 6.70
C3 0.00 6.46 6.65 4.37
2 0.00 6.44 6.60

Rata-Rata 0.00 6.69 6.72

Tabel Anova
Sumber JK Db KT F hit P-value Fα
Formulasi Media 2.38772 8 0.29846 24.09921 0.00000 2.30531
Waktu Kultivasi 539.03924 2 269.51962 21762.05679 0.00000 3.35413
Interaksi 2.94215 16 0.18388 14.84756 0.00000 2.03579
Galat 0.33439 27 0.01238

Total 544.70351 53
Keterangan :
Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan
perbedaan formulasi media dan perbedaan waktu kultivasi berpengaruh secara
nyata terhadap jumlah spora (VSC) pada cairan hasil kultivasi

62
UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD)

, α = 0,05

0.223

FORMULASI MEDIA

Nilai absolute perbedaan rata-rata


Formuulasi Media A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
A1 0.07 0.35 0.14 0.67 0.39 0.27 0.31 0.15
A2 0.42 0.21 0.74 0.46 0.34 0.38 0.22
A3 0.21 0.32 0.04 0.08 0.04 0.20
B1 0.53 0.25 0.13 0.17 0.00
B2 0.28 0.40 0.36 0.53
B3 0.12 0.08 0.24
C1 0.04 0.12
C2 0.16
C3
Keterangan
Tidak berbeda secara nyata

Berbeda secara nyata

WAKTU KULTIVASI

Nilai absolute perbedaan rata-rata


Waktu Fermentasi 0 Jam 30 Jam 48 Jam
0 Jam 6.69 6.72
30 Jam 0.03
48 Jam
Keterangan :
Tidak berbeda secara nyata

Berbeda secara nyata

63
INTERAKSI ANTARA FORMULASI MEDIA DENGAN WAKTU KULTIVASI

INTERAKSI A1 1 A1 2 A2 1 A2 2 A3 1 A3 2 B1 1 B1 2 B2 1 B2 2 B3 1 B3 2 C1 1 C1 2 C2 1 C2 2 C3 1 C3 2
A1 1 0.49 0.46 0.24 0.32 0.23 0.07 0.01 0.64 0.89 0.30 0.39 0.25 0.57 0.63 0.19 0.12 0.07
A1 2 0.03 0.25 0.81 0.72 0.42 0.50 1.13 1.38 0.79 0.88 0.24 1.06 1.12 0.30 0.37 0.56
A2 1 0.25 0.78 0.69 0.38 0.47 1.09 1.35 0.75 0.84 0.20 1.03 1.08 0.27 0.34 0.53
A2 2 0.56 0.47 0.17 0.25 0.88 1.13 0.53 0.63 0.01 0.81 0.87 0.05 0.12 0.31
A3 1 0.09 0.40 0.31 0.32 0.57 0.03 0.06 0.58 0.25 0.30 0.51 0.44 0.25
A3 2 0.30 0.22 0.41 0.66 0.06 0.16 0.48 0.34 0.40 0.42 0.35 0.16
B1 1 0.09 0.71 0.96 0.37 0.46 0.18 0.64 0.70 0.12 0.05 0.15
B1 2 0.63 0.88 0.28 0.38 0.26 0.56 0.62 0.20 0.13 0.06
B2 1 0.25 0.34 0.25 0.89 0.07 0.01 0.83 0.76 0.57
B2 2 0.60 0.50 1.14 0.32 0.26 1.08 1.01 0.82
B3 1 0.09 0.55 0.28 0.33 0.48 0.42 0.22
B3 2 0.64 0.18 0.24 0.58 0.51 0.32
C1 1 0.82 0.88 0.06 0.13 0.32
C1 2 0.06 0.76 0.69 0.50
C2 1 0.82 0.75 0.56
C2 2 0.07 0.26
C3 1 0.19
C3 2
Keterangan :
A1 1 : Formulasi media A1 untuk waktu kultivasi selama 30 jam
Tidak berbeda secara nyata
A1 2 : Formulasi media A2 untuk waktu kultivasi selama 48 jam
Berbeda secara nyata

64
Lampiran 10. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil
Terhadap Perbedaan Formulasi Media, Perbedaan Waktu
Kultivasi, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Total
Gula Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05)

Formulasi Waktu Fermentasi


Ulangan Rata2
Media 0 jam Rata2 30 jam Rata2 48 jam Rata2
1 4.58 3.09 2.78
A1 4.43 2.99 2.71 2.64
2 4.29 2.90 2.64
1 4.70 2.88 2.63
A2 4.39 2.93 2.56 2.49
2 4.07 2.98 2.49
1 4.60 2.88 2.65
A3 4.46 2.95 2.63 2.60
2 4.31 3.03 2.60
1 4.66 3.71 2.85
B1 4.64 3.28 2.81 2.77
2 4.61 2.84 2.77
1 5.03 3.59 2.93
B2 4.72 3.70 2.99 3.04
2 4.41 3.81 3.04
1 4.94 3.76 2.70
B3 4.73 3.71 2.74 2.78
2 4.51 3.66 2.78
1 4.89 3.89 3.06
C1 4.48 3.37 2.93 2.79
2 4.08 2.86 2.79
1 4.87 3.99 2.98
C2 4.47 3.86 3.02 3.06
2 4.07 3.74 3.06
1 5.03 3.87 2.85
C3 4.44 3.71 2.90 2.95
2 3.86 3.55 2.95

Rata-Rata 4.53 3.39 2.81

Tabel Anova
Sumber JK Db KT F hit. P-value Fα
Formulasi Medi 1.8111343 8 0.2263918 2.0034495 0.08475674 2.3053132
Waktu Kultivasi 27.5369761 2 13.7684880 121.8439573 0.00000000 3.3541308
Interaksi 1.0725052 16 0.0670316 0.5931946 0.86162929 2.0357904
Galat 3.0510268 27 0.1130010
Total 33.4716423 53
Keterangan :
Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan
perbedaan waktu kultivasi berpengaruh secara nyata, sedangkan perbedaan
formulasi media dan interaksi antara perbedaan formulasi media dan waktu
kultivasi tidak berpengaruh secara nyata terhadap total gula pada cairan hasil
kultivasi

65
UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD)

, α = 0,05

0.67424

FORMULASI MEDIA

Nilai absolute perbedaan rata-rata


Waktu Kultivasi 0 Jam 30 Jam 48 Jam
0 Jam 1.14 1.72
30 Jam 0.58
48 Jam
Keterangan :
Tidak berbeda secara nyata

Berbeda secara nyata

66
Lampiran 11. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil
Terhadap Perbedaan Formulasi Media, Perbedaan Waktu
Kultivasi, Serta Interaksi Antara Keduanya Terhadap Nilai pH
Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05)

Formulasi Waktu Fermentasi


Ulangan Rata2
Media 0 jam Rata2 30 jam Rata2 48 jam Rata2
1 7.27 7.76 8.13
A1 7.32 7.75 8.17 8.20
2 7.36 7.74 8.20
1 7.22 7.65 8.11
A2 7.31 7.65 8.15 8.18
2 7.40 7.65 8.18
1 7.20 7.82 8.15
A3 7.31 7.80 8.21 8.26
2 7.41 7.77 8.26
1 7.23 7.71 8.14
B1 7.32 7.76 8.16 8.17
2 7.40 7.80 8.17
1 7.24 7.76 8.10
B2 7.30 7.80 8.13 8.16
2 7.36 7.84 8.16
1 7.28 7.77 8.13
B3 7.34 7.82 8.14 8.15
2 7.40 7.87 8.15
1 7.16 7.55 7.92
C1 7.27 7.63 7.94 7.95
2 7.38 7.70 7.95
1 7.21 7.73 8.10
C2 7.30 7.77 8.09 8.07
2 7.38 7.80 8.07
1 7.20 7.58 8.06
C3 7.29 7.65 8.06 8.05
2 7.37 7.72 8.05

Rata-Rata 7.30 7.73 8.11

Tabel Anova
Sumber JK Db KT F hit P-value Fα
Formulasi Medi 0.12999259 8 0.01624907 2.4955916 0.0359508 2.3053132
Waktu Kultivasi 5.89689259 2 2.94844630 452.8330489 0.0000000 3.3541308
Interaksi 0.06424074 16 0.00401505 0.6166453 0.8429013 2.0357904
Galat 0.17580000 27 0.00651111
Total 6.26692593 53
Keterangan :
Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan
perbedaan formulasi media dan perbedaan waktu kultivasi berpengaruh secara
nyata, sedangkan interaksi antara perbedaan formulasi media dan waktu
kultivasi tidak berpengaruh secara nyata terhadap nilai pH pada cairan hasil
kultivasi

67
UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD)

, α = 0,05

0.16185

FORMULASI MEDIA

Nilai absolute perbedaan rata-rata


Formuulasi Media A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
A1 0.02 0.06 0.03 0.04 0.05 0.25 0.13 0.15
A2 0.08 0.01 0.02 0.03 0.23 0.11 0.13
A3 0.09 0.10 0.11 0.31 0.19 0.21
B1 0.01 0.02 0.22 0.10 0.12
B2 0.01 0.21 0.09 0.11
B3 0.20 0.08 0.10
C1 0.12 0.10
C2 0.02
C3
Keterangan
Tidak berbeda secara nyata

Berbeda secara nyata

WAKTU KULTIVASI

Nilai absolute perbedaan rata-rata


Waktu Kultivasi 0 Jam 30 Jam 48 Jam
0 Jam 0.43 0.81
30 Jam 0.38
48 Jam
Keterangan :
Tidak berbeda secara nyata

Berbeda secara nyata

68
Lampiran 12. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil
Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan
Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya
Terhadap Jumlah Sel Hidup Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05)

(Kultivasi 30 jam)
Media
Stater Ulangan RATA2
A RATA2 B RATA2 C RATA2
1 7.67 7.51 8.19
10%
2 7.53 7.60 7.59 7.55 8.12 8.16 7.77
1 7.96 8.23 7.87
15%
2 7.92 7.94 8.28 8.25 7.70 7.79 7.99
1 7.96 7.99 7.56
20%
2 7.67 7.82 7.88 7.93 7.41 7.48 7.74
RATA2 7.79 7.91 7.81

Tabel Anova
Sumber JK Db KT F hit P-value Fα
Starter 0.226053 2 0.113027 10.989397 0.003840 4.256495
Media 0.053346 2 0.026673 2.593390 0.129007 4.256495
Interaksi 0.850211 4 0.212553 20.666172 0.000147 3.633089
Galat 0.092565 9 0.010285

Total 1.222175 17
Keterangan :
Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan
perbedaan konsentrasi starter, serta interaksi antara perbedaan komponen
media dan konsentrasi starter berpengaruh secara nyata terhadap jumlah sel
(TPC) pada cairan hasil kultivasi

UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD)

, α = 0,05

0.213967

69
KONSENTRASI STARTER

Nilai absolute perbedaan rata-rata


STARTER 10% (S1) 15% (S2) 20% (S3)
10% (S1) - 0.23 0.02
15% (S2) - 0.25
20% (S3) -
Keterangan :
Tidak berbeda secara nyata

Berbeda secara nyata

INTERAKSI ANTARA KOMPONEN MEDIA DENGAN KONSENTRASI


STARTER

Nilai absolute berbedaan rata-rata


INTERAKSI A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
A1 - 0.34 0.22 0.05 0.65 0.33 0.56 0.19 0.12
A2 - 0.12 0.39 0.31 0.01 0.22 0.15 0.46
A3 - 0.27 0.43 0.12 0.34 0.03 0.34
B1 - 0.71 0.39 0.61 0.24 0.06
B2 - 0.32 0.10 0.47 0.77
B3 - 0.22 0.15 0.45
C1 - 0.37 0.67
C2 - 0.30
C3 -
Keterangan :
Tidak berbeda secara nyata

Berbeda secara nyata

70
Lampiran 12. Lanjutan Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata
Terkecil Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan
Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya
Terhadap Jumlah Sel Hidup Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05)

(Kultivasi 48 jam)

MEDIA
STARTER ULANGAN
A B C
1 6.78 7.11 7.857
10%
2 7.20 7.28 7.799
1 7.51 8.37 7.785
15%
2 7.56 8.29 7.531
1 7.11 8.56 7.602
20%
2 6.85 8.76 7.903

Tabel Anova
Sumber JK Db KT F hit P-value Fα
Starter 0.92582 2 0.46291 16.9982 0.00088 4.25649
Media 2.47048 2 1.23524 45.3583 2.0E-05 4.25649
Interaksi 1.85595 4 0.46399 17.0377 0.00031 3.63309
Galat 0.24510 9 0.02723

Total 5.49734 17
Keterangan :
Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan
perbedaan konsentrasi starter, perbedaan komponen media serta interaksi
antara perbedaan komponen media dan konsentrasi starter berpengaruh secara
nyata terhadap jumlah sel (TPC) pada cairan hasil kultivasi

UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD)

, α = 0,05

0.34817

71
KONSENTRASI STARTER

Nilai absolute perbedaan rata-rata


STARTER 10% (S1) 15% (S2) 20% (S3)
10% (S1) 0.50 0.46
15% (S2) 0.04
20% (S3)
Keterangan :
Tidak berbeda secara nyata

Berbeda secara nyata

KOMPONEN MEDIA

Nilai absolute perbedaan rata-rata


MEDIA A B C
A 0.89 0.58
B 0.32
C
Keterangan :
Tidak berbeda secara nyata

Berbeda secara nyata

INTERAKSI ANTARA KOMPONEN MEDIA DENGAN KONSENTRASI


STARTER

Nilai absolute berbedaan rata-rata


INTERAKSI A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
A1 0.54 0.01 0.21 1.34 1.67 0.84 0.67 0.76
A2 0.55 0.33 0.80 1.13 0.30 0.13 0.22
A3 0.22 1.35 1.68 0.85 0.68 0.77
B1 1.13 1.46 0.63 0.46 0.56
B2 0.33 0.50 0.67 0.58
B3 0.83 1.00 0.91
C1 0.17 0.08
C2 0.09
C3
Keterangan :
Tidak berbeda secara nyata

Berbeda secara nyata


72
Lampiran 13. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil
Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan
Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya
Terhadap Jumlah Spora Hidup Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05)

(Kultivasi 30 jam)

Starter Media
RATA2
Ulangan A B C
1 6.50 6.73 6.35
10% 3.29 3.25 3.16 3.24
2 6.66 6.28 6.30
1 6.04 7.21 7.27
15% 3.06 3.61 3.60 3.42
2 6.20 7.22 7.14
1 6.99 6.99 6.48
20% 3.45 3.44 3.23 3.37
2 6.81 6.75 6.44
RATA2 3.27 3.43 3.33

Tabel Anova
SUMBER JK db KT F hit P-value Fα
Starter 0.458286 2 0.229143 11.107662 0.003711 4.256495
Media 0.333691 2 0.166845 8.087797 0.009765 4.256495
Interaksi 1.559595 4 0.389899 18.900271 0.000210 3.633089
Galat 0.185663 9 0.020629

Total 2.537235 17
Keterangan :
Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan
perbedaan konsentrasi starter, perbedaan komponen media serta interaksi
antara perbedaan komponen media dan konsentrasi starter berpengaruh secara
nyata terhadap jumlah spora (VSC) pada cairan hasil kultivasi

UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD)

, α = 0,05

0.303031

73
KONSENTRASI STARTER

Nilai absolute perbedaan rata-rata


10% 15% 20%
STARTER
(S1) (S2) (S3)
10% (S1) - 0.19 0.14
15% (S2) - 0.05
20% (S3) -
Keterangan :
Tidak berbeda secara nyata

Berbeda secara nyata

KOMPONEN MEDIA

Nilai absolute perbedaan rata-rata


MEDIA A B C
A - 0.17 0.06
B - 0.10
C -
Keterangan :
Tidak berbeda secara nyata

Berbeda secara nyata

INTERAKSI ANTARA KOMPONEN MEDIA DENGAN KONSENTRASI


STARTER

Nilai absolute berbedaan rata-rata


INTERAKSI A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
A1 - 0.23 0.16 0.04 0.32 0.14 0.13 0.31 0.06
A2 - 0.39 0.19 0.55 0.37 0.10 0.54 0.17
A3 - 0.20 0.16 0.01 0.29 0.15 0.22
B1 - 0.36 0.18 0.09 0.35 0.02
B2 - 0.17 0.45 0.01 0.38
B3 - 0.27 0.17 0.21
C1 - 0.44 0.07
C2 - 0.37
C3 -
Keterangan :
Tidak berbeda secara nyata

Berbeda secara nyata 74


Lampiran 13. Lanjutan Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata
Terkecil Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan
Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya
Terhadap Jumlah Spora Hidup Pada Cairan Kultivasi (α =
0.05)

(Kultivasi 48 jam)
Media
Starter Ulangan
A B C
1 6.18 6.58 7.25
10%
2 6.00 6.60 7.05
1 6.28 7.43 6.60
15%
2 6.40 7.51 6.18
1 6.87 6.98 6.70
20%
2 6.63 6.95 6.60

Tabel Anova
Sumber JK Db KT F hit P-value Fα
Starter 0.10103 2 0.05051 2.68101 0.12207 4.25649
Media 1.14091 2 0.57045 30.2769 0.00010 4.25649
Interaksi 1.72050 4 0.43012 22.8288 9.9E-05 3.63309
Galat 0.16957 9 0.01884

Total 3.13200 17

Keterangan :
Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan
perbedaan komponen media, serta interaksi antara perbedaan komponen media
dan konsentrasi starter berpengaruh secara nyata terhadap jumlah spora (VSC)
pada cairan hasil kultivasi

UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD)

, α = 0,05

0.289601

75
KOMPONEN MEDIA

Nilai absolute perbedaan rata-rata


MEDIA A B C
A 0.62 0.34
B 0.28
C
Keterangan :
Tidak berbeda secara nyata

Berbeda secara nyata

INTERAKSI ANTARA KOMPONEN MEDIA DENGAN KONSENTRASI


STARTER

Nilai absolute berbedaan rata-rata


INTERAKSI A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
A1 0.25 0.66 0.50 1.38 0.88 1.06 0.30 0.56
A2 0.41 0.25 1.13 0.63 0.81 0.05 0.31
A3 0.16 0.72 0.21 0.40 0.36 0.10
B1 0.88 0.37 0.56 0.20 0.06
B2 0.50 0.32 1.08 0.82
B3 0.18 0.58 0.32
C1 0.76 0.50
C2 0.26
C3
Keterangan :

Tidak berbeda secara nyata

Berbeda secara nyata

76
Lampiran 14. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil
Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan
Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya
Terhadap Total Gula Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05)

(JAM KE-0)

Media
Starter Ulangan
A B C
1 4.58 4.66 4.89
10%
2 4.29 4.61 4.08
1 4.70 5.03 4.87
15%
2 4.07 4.41 4.07
1 4.60 4.94 5.03
20%
2 4.31 4.51 3.86

Tabel Anova
Sumber JK Db KT F hit P-value Fα
Starter 0.3511 2 0.1756 0.00421 0.9958 4.25649
Media 49.8753 2 24.9376 0.59824 0.57025 4.25649
Interaksi 2.8181 4 0.7045 0.01690 0.99932 3.63309
Galat 375.1650 9 41.6850

Total 428.2090 17
Keterangan :
Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan
perbedaan konsentrasi starter, perbedaan komponen media serta interaksi
antara perbedaan komponen media dan konsentrasi starter tidak berpengaruh
secara nyata terhadap total gula cairan kultivasi pada jam ke-0

77
Lampiran 14. Lanjutan Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata
Terkecil Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan
Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya
Terhadap Total Gula Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05)

(JAM KE-30)
Media
Starter Ulangan
A B C
1 3.09 3.71 3.89
10%
2 2.90 2.84 2.86
1 2.88 3.59 3.99
15%
2 2.98 3.81 3.74
1 2.88 3.76 3.87
20%
2 3.03 3.66 3.55

Tabel Anova
Sumber JK Db KT F hit P-value Fα
Starter 55.1211 2 27.5606 1.19822 0.34564 4.25649
Media 331.689 2 165.844 7.21023 0.01352 4.25649
Interaksi 42.7931 4 10.6983 0.46512 0.76026 3.63309
Galat 207.011 9 23.0013

Total 636.614 17
Keterangan :
Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan
perbedaan konsentrasi starter dan interaksi antara perbedaan komponen media
dan konsentrasi starter tidak berpengaruh secara nyata terhadap pH cairan
kultivasi pada jam ke-30, sedangkan perbedaan media berpengaruh secara
nyata.

UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD)

, α = 0,05

10,1183

78
KOMPONEN MEDIA

Nilai absolute perbedaan rata-rata


Media A B C
A 8.442 9.650
B 1.208
C
Keterangan :
Tidak berbeda secara nyata

Berbeda secara nyata

79
Lampiran 14. Lanjutan Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata
Terkecil Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan
Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya
Terhadap Total Gula Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05)

(JAM KE-48)
Media
Starter Ulangan
A B C
1 2.78 2.85 3.06
10%
2 2.64 2.77 2.79
1 2.63 2.93 2.98
15%
2 2.49 3.04 3.06
1 2.65 2.70 2.85
20%
2 2.60 2.78 2.95

TABEL ANOVA
Sumber JK Db KT F hit P-value Fα
Starter 6.13194 2 3.06597 1.74368 0.22907 4.25649
Media 61.7586 2 30.8793 17.5617 0.00078 4.25649
Interaksi 14.6556 4 3.66389 2.08373 0.16563 3.63309
Galat 15.825 9 1.75833

Total 98.3711 17
Keterangan :
Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan
perbedaan konsentrasi starter dan interaksi antara perbedaan komponen media
dan konsentrasi starter tidak berpengaruh secara nyata terhadap pH cairan
kultivasi pada jam ke-48, sedangkan perbedaan media berpengaruh secara
nyata.

UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD)

, α = 0,05

2,79766

80
KOMPONEN MEDIA

Nilai absolute perbedaan rata-rata


Media A B C
A 2.992 4.450
B 1.458
C
Keterangan :
Tidak berbeda secara nyata

Berbeda secara nyata

81
Lampiran 15. Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata Terkecil
Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan
Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya
Terhadap Nilai pH Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05)

(JAM KE-0)

Media
Starter Ulangan
A B C
1 7.27 7.23 7.16
10%
2 7.36 7.4 7.38
1 7.22 7.24 7.21
15%
2 7.4 7.36 7.38
1 7.2 7.28 7.2
20%
2 7.41 7.4 7.37

Tabel Anova
Sumber JK Db KT F hit P-value Fα
Starter 0.00034 2 0.00017 0.01248 0.98762 4.25650
Media 0.00401 2 0.00201 0.14527 0.86678 4.25650
Interaksi 0.00202 4 0.00051 0.03662 0.99694 3.63309
Galat 0.12425 9 0.01381

Total 0.13063 17
Keterangan :
Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan
perbedaan konsentrasi starter, perbedaan komponen media serta interaksi
antara perbedaan komponen media dan konsentrasi starter tidak berpengaruh
secara nyata terhadap pH cairan kultivasi pada jam ke-0

82
Lampiran 15. Lanjutan Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata
Terkecil Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan
Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya
Terhadap Nilai pH Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05)

(JAM KE-30)

Media
Starter
Ulangan A B C
1 7.76 7.71 7.55
10%
2 7.74 7.8 7.70
1 7.65 7.76 7.73
15%
2 7.65 7.84 7.80
1 7.82 7.77 7.58
20%
2 7.77 7.87 7.72

Tabel Anova
Sumber JK Db KT F hit P-value Fα
Starter 0.06843 2 0.03422 0.49100 0.62750 4.25650
Media 0.26303 2 0.13152 1.88720 0.20681 4.25650
Interaksi 0.24033 4 0.06008 0.86217 0.52188 3.63309
Galat 0.62720 9 0.06969

Total 1.199 17
Keterangan :
Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan
perbedaan konsentrasi starter, perbedaan komponen media serta interaksi
antara perbedaan komponen media dan konsentrasi starter tidak berpengaruh
secara nyata terhadap pH cairan kultivasi pada jam ke-30

83
Lampiran 15. Lanjutan Hasil Analisis Ragam Uji F dan Uji Beda Nyata
Terkecil Terhadap Perbedaan Konsentrasi Media, Perbedaan
Konsentrasi Starter, Serta Interaksi Antara Keduanya
Terhadap Nilai pH Pada Cairan Kultivasi (α = 0.05)

(JAM KE-48)

Media
Starter Ulangan
A B C
1 8.13 8.14 7.92
10%
2 8.2 8.17 7.95
1 8.11 8.1 8.10
15%
2 8.18 8.16 8.07
1 8.15 8.13 8.06
20%
2 8.26 8.15 8.05

Tabel Anova
Sumber JK db KT F hit P-value Fα
Starter 0.00748 2 0.00374 2.34495 0.15146 4.25650
Media 0.07204 2 0.03602 22.59233 0.00031 4.25650
Interaksi 0.02209 4 0.00552 3.46342 0.05627 3.63309
Galat 0.01435 9 0.00159

Total 0.11596 17

Keterangan :
Pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05) menunjukkan bahwa perlakuan
perbedaan konsentrasi starter dan interaksi antara perbedaan komponen media
dan konsentrasi starter tidak berpengaruh secara nyata terhadap pH cairan
kultivasi pada jam ke-48, sedangkan perbedaan media berpengaruh secara
nyata.

UJI BEDA NYATA TERKECIL (LSD)

, α = 0,05

0.05957

84
KOMPONEN MEDIA

Nilai absolute perbedaan rata-rata


Media A B C
A 0.03 0.15
B 0.12
C
Keterangan :
Tidak berbeda secara nyata

Berbeda secara nyata

85
Lampiran 16. Konsentrasi Pengenceran Untuk Pengamatan Tingkat Toksisitas
(Bioassay) Hasil Kultivasi

Konsentrasi Pengenceran Untuk Bioassay Hasil Kultivasi Selama 30 Jam

SANDI BOBOT Konsentrasi penggunaan Produk (mg/L)


-1
MEDIA (g/L) 10 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7
A1 29.5830 2958.3 295.83 29.583 2.9583 0.29583 0.029583 0.0029583
A2 34.1410 3414.1 341.41 34.141 3.4141 0.34141 0.034141 0.0034141
A3 21.3300 2133.0 213.30 21.330 2.1330 0.21330 0.021330 0.002133
B1 39.4550 3945.5 394.55 39.455 3.9455 0.39455 0.039455 0.0039455
B2 38.5410 3854.1 385.41 38.541 3.8541 0.38541 0.038541 0.0038541
B3 34.8780 3487.8 348.78 34.878 3.4878 0.34878 0.034878 0.0034878
C1 44.8680 4486.8 448.68 44.868 4.4868 0.44868 0.044868 0.0044868
C2 47.3580 4735.8 473.58 47.358 4.7358 0.47358 0.047358 0.0047358
C3 42.5510 4255.1 425.51 42.551 4.2551 0.42551 0.042551 0.0042551

Konsentrasi Pengenceran Untuk Bioassay Hasil Kultivasi Selama 48 Jam

SANDI BOBOT Konsentrasi penggunaan Produk (mg/L)


-1
MEDIA (g/L) 10 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7
A1 28.8430 2884.3 288.43 28.843 2.8843 0.28843 0.028843 0.0028843
A2 27.1090 2710.9 271.09 27.109 2.7109 0.27109 0.027109 0.0027109
A3 26.3780 2637.8 263.78 26.378 2.6378 0.26378 0.026378 0.0026378
B1 41.5400 4154.0 415.40 41.540 4.1540 0.41540 0.041540 0.0041540
B2 41.1040 4110.4 411.04 41.104 4.1104 0.41104 0.041104 0.0041104
B3 37.4240 3742.4 374.24 37.424 3.7424 0.37424 0.037424 0.0037424
C1 50.4310 5043.1 504.31 50.431 5.0431 0.50431 0.050431 0.0050431
C2 46.1570 4615.7 461.57 46.157 4.6157 0.46157 0.046157 0.0046157
C3 45.6360 4563.6 456.36 45.636 4.5636 0.45636 0.045636 0.0045636

Konsentrasi Pengenceran Untuk Bactospeine (Produk Komersial)

Konsentrasi penggunaan Produk (mg/L)


SANDI MEDIA -1 -2
10 10 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7
Bactospeine 100000 10000 1000 100 10 1 0.1

86
Lampiran 17. Dokumentasi Penelitian

Kol Organik Cawan Petri & Tisue Uji Bioassay

Biakan Bta Pembibitan Kultur I Pembibitan Kultur II

Fermentasi pada Rotary Shaker Inkubasi

87
Persiapan Inokulasi Persiapan Inokulasi

Media Sebelum Fermentasi Media Hasil Fermentasi

Sedang Pengujian TPC dan VSC Media Ampas Tahu

88
Media Ampas Tahu & Limbah cair Cawan Pengujian TPC dan VSC
tahu

Jumlah Spora Hidup Jumlah Spora Hidup


(Pengencaran 104) (Pengencaran 105)

Jumlah Sel Hidup Jumlah Sel Hidup


(Pengencaran 106) (Pengencaran 105)

89
Gambar Hasil SEM Bacillus thuringiensia subsp. aizawai

TYPE : JSM-5000
MAG : X7,500
ACCV : 20kV
WIDTH : 17.6um
NO : 000003

Sel Bta

Spora

Kristal Protein

TYPE : JSM-5000
MAG : X10,000
ACCV : 20kV
WIDTH : 13.2um
NO : 000003

90
Ulat
Croccidolom
ia binotalis

Gambar Ulat Croccidolomia binotalis

Pro Stiker (Perekat) Produk komersial Insektisida Biologi

91

Anda mungkin juga menyukai