Curd keju ini memiliki bau yang manis dan menyengat serta sedikit asin saat sebelum
rippening dan memilki rasa keju yang tajam setelah melalui proses rippening.
Konsistensinya kuat, elastis dan mudah diiris; bagian dalam berwarna seragam kuning
muda dengan lubang berdiameter sekitar 0,6 inchi (sekitar 1,6 cm) dan terpisah berjarak 5-3
inchi (5-8 cm). Bakteri asam propionat yang menghasilkan karbon dioksida yang membuat
keju memiliki banyak lubang di dalamnya (Encyclopaedia Britannica, 2019).
1.2. Tujuan
Mengetahui proses pembuatan Emmental Cheese dan proses biokimia yang terjadi
selama pembuatan Emmental Cheese.
PEMBAHASAN
Milk
Cow Milk (3.5%
120 269 446 3.30 4.8
fat)
Skimmed Milk 123 147 839 6.21 5.0
Goat Milk 127 281 452 3.35
Milk-containing products
Chocolate 214 2242 96 0.71 9.5
Ice Cream 140 856 164 1.22 6.7
Pudding 100 393 255 1.88 4.5
Dairy products
Buttermilk 109 157 694 5.14 4.0
Yogurt (3.5% fat) 120 293 410 3.04 4.0
Cream (10% fat) 101 510 198 1.47 3.2
Cheese
Fresh (min. 60%
79 1407 56 0.42 2.6
fat in dry matter)
Brie (50% fat in
400 1430 280 2.07 0
dry matter)
Limburger (40%
534 1111 481 3.56 0
fat in dry matter)
Camembert
(45% fat in dry 570 1185 481 3.56 0
matter)
Edam (45% fat
678 1469 461 3.41 0
in dry matter)
Emmental (45%
1020 1593 640 4.74 0
fat in dry matter)
Sumber : Zitterman (2016)
Proses teknologi keju Emmental terdiri dari suksesi tekanan abiotik termasuk
memasak, pengasaman, pengadukan, pencetakan, pengasinan dan pematangan di ruangan
pada suhu tertentu. Proses pembuatan keju biasanya diawali dengan
memanaskan/pasteurisasi susu, kecuali pada jenis-jenis keju tertentu seperti Emmental dari
Swiss yang menggunakan susu mentah. Kemudian zat pembantu penggumpalan (rennet,
sejenis enzim penggumpal yang biasa terdapat dalam lambung sapi dan/atau bakteri yang
dapat mengasamkan susu) ditambahkan. Keju Emmental memiliki nilai nutrisi yang tinggi
diantaranya kandungan kalsium dan energi tinggi dibanding produk olahan susu lainnya
dapat dilihat pada Tabel 1. Keju ini juga dapat dikonsumsi oleh orang yang memiliki allergen
lactose intolerant karena tidak mengandung laktosa yang tertera pada table 2.
Selain kandungan kalsium Emmental yang tinggi, kandungan potasiumnya 107
mg/100 gr keju Emmental. Zitterman (2016) potasium memainkan peran penting dalam
melindungi terhadap hilangnya kalsium dari protein renal acid. Kelenjar susu dapat
mengkonsentrasikan kandungan potasium terhadap gradien serum yang tinggi. Data
epidemiologis menunjukkan efek perlindungan dari asupan potasium pada kepadatan
tulang. Pemberian potasium untuk wanita pasca-menopause secara signifikan lebih tinggi
daripada asupan protein yang direkomendasikan telah ditemukan untuk mengurangi
ekskresi urin dari penanda resorpsi tulang hidroksiprolin dan meningkatkan serum
osteokalsin, penanda pembentukan tulang.
Kandungan laktosa pada susu tidak memiliki efek menguntungkan pada penyerapan
kalsium usus. Pada orang yang lactose intolerant, laktosa dengan cepat dicerna di usus
halus bagian duodenum yang menunjukkan bahwa tidak ada mekanisme spesifik laktosa
yang ada untuk meningkatkan penyerapan kalsium usus. Selain itu, respon hormon
paratiroid postprandial, indikator tidak langsung dari jumlah kalsium yang diserap, tidak
berbeda setelah konsumsi jumlah kalsium yang sama dari susu dan dari keju setelah
pemeraman (bebas laktosa). Dengan berbagai manfaat yang terkandung pada keju
Emmental ini, diperlukan proses olahan sesuai prosedur yang telah ditetapkan dan
memenuhi standar dari Codex General Standar for Cheese.
Dengan metode tradisional penerimaan susu, yaitu pengiriman susu pagi ke industry
pengolahan susu selama beberapa jam dari semua susu yang diperlukan untuk produksi
dalam hari yang sama dan ditangani segera setelah ditimbang. Kadar lemak kemudian
distandarisasi untuk memudahkan proses pemisahan. Ini berarti bahwa persyaratan yang
sangat ketat harus dipenuhi mengenai cara susu diperlakukan oleh produsen. Terutama
pendinginan cepat dari susu saat dikumpulkan sekitar 4°C menjadi faktor yang sangat
penting. Persyaratan ini juga berlaku untuk petugas yang mengumpulkan susu dari supplier.
Dia harus memiliki wewenang untuk menolak menerima susu yang bahkan sedikit
terpengaruh dan/atau memiliki flavour susu yang tidak enak. Bovine mastitis adalah penyakit
umum yang menyebabkan secara drastis mempengaruhi komposisi dan kualitas susu;
peternak harus membuang susu tersebut, atau setidaknya tidak mengirimnya ke
perusahaan pengolahan susu.
Quality Control pada susu harus dilakukan untuk menghindari penerimaan kualitas
susu yang tidak memenuhi standar diantaranya uji rasa dan bau, bebeas dari kontaminasi,
uji sedimantasi susu, perhitungan sel somatic, uji kandungan nutrisi (protein dan lemak), uji
titik beku untuk menguji kemurnian susu dan kebersihan serta tes Resazurin. Resazurin
adalah pewarna biru yang menjadi tidak berwarna/bening ketika secara kimiawi ketika
menghilangan oksigen. Ketika ditambahkan ke sampel susu, aktivitas metabolisme bakteri
memiliki efek mengubah warna pewarna pada tingkat yang memiliki hubungan langsung
dengan jumlah bakteri dalam sampel susu. Menurut Jozsef (2012) Dianjurkan untuk
mengklarifikasi susu secara efisien sebelum pembuatan keju. Materi asing dalam susu yang
tidak diklarifikasi sering mengandung berbagai jenis mikroorganisme. Sebagian besar
mikroorganisme yang dapat menurunkan kualitas susu dikeluarkan dengan kontaminan.
Ketika susu harus disimpan dalam tangki penampungan sehari setelah penerimaan,
bahkan ketika itu didinginkan hingga 4°C bersamaan dengan transfer dari tanker jalan ke
tangki penyimpanan, penyimpanan maksimal hingga 5 hari. Selama cooling protein susu
dan garam susu berubah karakter yang cenderung merusak sifat proses pembuatan keju.
Sekitar 25% kalsium mengendap sebagai fosfat setelah penyimpanan 24 jam pada ±5°C.
Namun, pengurangan ini bersifat sementara. Ketika susu dipasteurisasi, kalsium redissolves
dan sifat-sifat pembekuan susu hampir sepenuhnya pulih. b-kasein juga meninggalkan
sistem misel kasein yang kompleks selama penyimpanan dingin, yang selanjutnya
berkontribusi untuk mengurangi sifat pembuatan keju. Namun, pengurangan ini juga hampir
sepenuhnya dipulihkan oleh pasteurisasi.
Thermization merupakan perlakuan panas sedang, 65°C selama 15 detik, diikuti oleh
pendinginan hingga ±4°C, setelah itu susu masih positif fosfatase. Teknik ini pada dasarnya
diperkenalkan dengan tujuan menahan pertumbuhan flora psikrotrofik ketika susu disimpan
selama 12-48 jam setelah tiba di perusahaan pengolahan susu.
2.2.4 Renneting
Starter adalah kultur bakteri penghasil asam yang digunakan dalam pembuatan keju,
meskipun istilah ini kadang-kadang digunakan untuk memasukkan bakteri yang sengaja
ditambahkan ke dalam susu untuk memengaruhi rasa, aroma, dan tekstur keju. Yang
terakhir adalah bakteri spesifik yang tidak digunakan untuk pengembangan asam tetapi
yang tujuan utamanya adalah untuk memproduksi senyawa rasa atau gas tertentu (Law and
Tamime, 2010). Starter yang digunakan dalam pembuatan keju Emmental terdiri dari 3 yaitu
Trsptococcus thermophillus, Lactobacillus helveticus dan Propionibacterium shermanii yang
dapat merubah asam laktat hasil metabolisme bakteri lain menjadi gas karbondioksida (CO 2)
yang mengakibatkan terdapat lubang/mata dalam keju Emmental.
Turgary et al (2011) diantara empat "susu PAB" (Propionibacterium freudenreichii,
Propionibacterium acidipropionici, Propionibacterium thoenii dan Propionibacterium jensenii)
lebih disukai strain yang dipilih dari spesies P. freudenreichii digunakan dalam pembuatan
keju dengan fermentasi asam propionat untuk mencapai karakteristik lubang mata dan nutty
flavor. Dalam PDO Emmentaler tradisional, dosis inokulasi PAB adalah 10 3-104 cfu / mL
susu.
Seluruh rangkaian teknologi operasi ditujukan untuk menciptakan kondisi optimal
untuk fermentasi asam propionat dan pembentukan mata pada keju Emmental. Langkah
mendasar adalah penambahan air ke dalam susu dan/atau curd (12% -20% untuk
Emmentaler PDO; ∼25% -30% untuk Jarlsberg atau Finnish Emmental) untuk mengurangi
konsentrasi laktosa. Ini mengarah ke nilai pH yang relatif tinggi setelah fermentasi laktat (pH
5,20-5,35), yang akibatnya mempercepat fermentasi asam propionat. Lebih lanjut,
pembatasan produksi asam laktat menurunkan kehilangan kalsium ke dalam whey.
Kandungan kalsium yang tinggi dalam curd menghasilkan tekstur yang lembut dan elastis
yang sangat penting untuk pembentukan mata secara teratur (Wyder et al., 2017)
Dosis rennet yang dianjurkan hingga 30ml rennet cair dengan kekuatan 1: 10.000
hingga 1: 15.000 /100kg susu. Untuk memudahkan distribusi rennet dapat diencerkan
dengan setidaknya dua kali lipat jumlah air. Setelah dosis rennet sesuai, susu diaduk
dengan hati-hati selama ±5 menit. Penting bahwa homogenisasi susu berhenti dalam waktu
5-8 menit agar tidak mengganggu proses koagulasi dan menyebabkan hilangnya kasein
pada whey.
2.2.8 Ripening
Pengetahuan tentang keragaman mikroba dan dinamika dalam keju terutama
didasarkan pada metode yang tergantung pada kultur, yang melibatkan penomoran
tradisional diikuti dengan identifikasi mikroorganisme dominan menggunakan metode
fenotipik dan molekuler (Juste et al., 2008). Dalam masa ripening keju Emmental, bakteri
tumbuh selama langkah pengepresan di hari pertama pembuatan keju. Jumlah
Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus helveticus, dua bakteri asam laktat termofilik
yang digunakan sebagai starter dalam pembuatan keju Emmental berkurang 2-7
log10cfu/ gram
keju selama
periode ripening
dua bulan.
Penurunan ini umumnya terkait dengan lisis sel yang melepaskan peptidase intraseluler
yang terlibat dalam proteolisis keju selama ripening (Deutsch et al., 2002).
Tekstur keju dan pembentukan lubang mata adalah parameter kualitas yang sangat
penting bagi produsen, distributor dan konsumen. Ada hubungan erat antara tekstur,
keterbukaan, rasa dan kemampuan ripening. Penilaian pembentukan lubang mata secara
tradisional dilakukan dengan mendengarkan jenis suara sambil mengetuk permukaan keju
dengan palu khusus, dengan inspeksi visual dari silinder kecil keju menggunakan keju trier,
atau dengan melihat bagian dari keju yang dipotong menjadi bagian.
Pada masa ripening bakteri yang sangat berperan adalah Propionibacteria yang
bersifat termotoleran dan dapat bertahan pada suhu 50-55 ° C selama 30 menit (Thierry et
al., 2011). Selain itu, isolasi PAB dari keju susu segar dengan metode bergantung pada
kultur mengungkapkan dominasi oleh spesies P. freudenreichii dengan demikian
menunjukkan bahwa spesies ini adalah yang paling tahan terhadap stres dingin dan panas
di antara PAB susu. Produksi asam propionat dalam PAB berfungsi sebagai proses siklik di
mana beberapa jalur yang saling berhubungan terjadi secara bersamaan dapat dilihat pada
Gambar 5. (Thierry et al., 2011).
Asam laktat digunakan sebagai sumber energi dan aspartat sebagai akseptor elektron,
yang keduanya tersedia dalam keju (Crow and Turner, 1986). Produk fermentasi utama
adalah asam propionat, asam asetat, asam suksinat, dan CO2 (reaksi D dan E pada Gambar
5). Terutama laktat, tetapi juga alanin dan serin, dikonversi menjadi piruvat yang
menghasilkan ATP dan mengurangi koenzim (Ojala et al., 2017). Piruvat dioksidasi menjadi
asetat dan CO2 (reaksi B) atau direduksi menjadi propionat melalui jalur Wood-Werkman
(reaksi C). Enzim jalur Wood-Werkman diidentifikasi dalam genom P. freudenreichii (Falentin
et al., 2010) dan P. acidipropionici (Parizzi et al., 2012). Propionibacteria mengatur proporsi
piruvat yang dioksidasi atau dikurangi tergantung pada substrat yang digunakan, kondisi
lingkungan dan karakteristik regangan.
Gambar 5. Proses metabolisme laktat oleh bakteri Propionic Acid Bacteria (PAB)
Thierry et al., (2011) pada aspartat, metabolisme laktat digabungkan dengan
metabolisme aspartat yang dideaminasi menjadi fumarat dan selanjutnya dikurangi menjadi
suksinat (reaksi E). Piruvat dari laktat dioksidasi menjadi asetat dan CO 2. Akibatnya, lebih
banyak laktat difermentasi menjadi asetat dan CO 2 daripada propionat untuk menjaga
keseimbangan redoks sel. Strain P. freudenreichii dapat sangat berbeda dalam aktivitas
aspartase spesifik mikroba.
Dalam keju tipe Emmental, commensalism antara LAB dan PAB ada di sumber
karbon, di mana LAB fermentasi laktosa menjadi asam laktat, yang selanjutnya digunakan
oleh PAB (Smid dan Lacroix, 2013). Namun, tidak hanya ada atau tidak adanya asam laktat
tetapi juga kecepatan produksi asam dapat mempengaruhi pertumbuhan PAB produksi
asam lambat dari LAB merangsang pertumbuhan PAB, sedangkan produksi asam yang
cepat memiliki efek penghambatan. Terlepas dari fermentasi asam laktat faktor-faktor lain
seperti musim produksi susu (Daly et al., 2010) suhu, nilai pH, kadar garam, dan proteolisis
memiliki dampak penting pada fermentasi asam propionat.
Pembentukan lubang mata keju Emmental merupakan hasil dari produksi CO2 oleh
fermentasi asam propionat selama ripening dalam suhu ruangan (sekitar 60 hari pada 20-
24°C untuk Emmental). CO2 sudah diproduksi selama fermentasi asam laktat dan selama
degradasi sitrat tetapi jumlah yang dihasilkan sedikit. Setelah perkembangan lubang mata
yang memenuhi standar (sekitar 70 hari setelah produksi), produksi CO 2 berkurang dengan
menyimpan keju pada suhu yang lebih rendah (10–13 ° C).
KESIMPULAN
Emmental cheese adalah keju yang berasal dari Swiss dengan ciri khas menyerupai
roda berdiameter ±90 cm dan memiliki lubang mata di dalamnya. Lubang mata ini yang
menjadi ciri utama keju tersebut, karena metabolisme oleh BAL (Streptococcus thermophilus
dan Lactobacillus helveticus) dan dilanjutkan dengan PAB (Propionic freudenreichii atau P.
shermanii) dapat mengubah asam laktat menjadi karbodioksida yang terperangkap di dalam
keju dan membuat lubang mata.
DAFTAR PUSTAKA
Amanda, R. D. 2010. Uji Aktivitas Rennet Dari Abomasum Kambing Lokal Muda Pada
Kondisi Yang Berbeda Dan Karakterisasi Keju Yang Dihasilkan. [Skripsi]. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Codex STAN A-6-1978. Rev.1-1999. Codex General Standard for Cheesee. Codex
Alimentarius.
Crow, V.L., 1986. Metabolism of Aspartate by Propionibacterium freudenreichii subsp.
shermanii: Effect on Lactate Fermentation. Appl. Environ. Microbiol. 52, 359–365.
Daly, D.F.M., McSweeney, P.L.H., Sheehan, J.J., 2010. Investigation of Underlying Factors in
Split and Secondary Fermentation Defects in Rindless Block Swiss-Type Cheeses.
Aust. J. Dairy Technol. 65, 214–216.
Deutsch, S.M., Ferain, T., Delcour, J., Lortal, S., 2002. Lysis of Lysogenic Strains of
Lactobacillus helveticus in Swiss Cheeses and First Evidence of Concomitant
Streptococcus thermophilus lysis. Int. Dairy J. Vol. 12: 591-600.
Hayaloglu, A.A. 2016. Cheese: Microbiology of Cheese. Encyclopedia of Dairy Science 2nd
Edition. Elsevier Inc.
Jozsef, C. 2012. Dairy Technology. Magyarorszac Kormanya. Europian Union.
Juste, A., Thomma, B.P.H.J., Lievens, B., 2008. Recent Advances in Molecular Techniques
to Study Microbial Communities in Food-Associated Matrices and Processes. Food
Microbiol. 25, 745e761.
Law, B.A and A.Y. Tamime. 2010. Technology of Cheesemaking 2 nd Edition. Blackwell
Publishing: UK.
Ojala, T., Laine, P.K.S., Ahlroos, T., Tanskanen, J., Pitkanen, S., Salusjarvi, T., Kankainen,
M., Tynkkynen, S., Paulin, L., Auvinen, P., 2017. Functional Genomics Provides
Insights into The Role of Propionibacterium freudenreichii ssp shermanii JS in Cheese
Ripening. Int. J. Food Microbiol. 241, 39–48.
Smid, E.J., Lacroix, C., 2013. Microbe-Microbe Interactions in Mixed Culture Food
Fermentations. Curr. Opin. Biotechnol. 24, 148–154.
Sumarmono J., F.M. Suhartati. 2012. Yield Dan Komposisi Keju Lunak (Soft Cheese) Dari
Susu Sapi Yang Dibuat Dengan Teknik Direct Acidification Menggunakan Ekstrak Buah
Lokal. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, Vol.1 (3) : 65-68.
Thierry, A., Deutsch, S.M., Falentin, H., Dalmasso, M., Cousin, F.J., Jan, G., 2011. New
Insights Into Physiology and Metabolism of Propionibacterium freudenreichii. Int. J.
Food Microbiol. 149, 19–27.
Turgay, M., Irmler, S., Isolini, D., Amrein, R., Fröhlich-Wyder, M.T., Berthoud, H., Wagner, E.,
Wechsler, D., 2011. Biodiversity, Dynamics, and Characteristics of Propionibacterium
freudenreichii in Swiss Emmentaler PDO cheese. Dairy Sci.Technol. 91, 471–489.
Wyder, A.T.F., W. Bisig, D. Guggisberg, E. Jakob, M. Turgary and D. Wechsler. 2017.
Cheese: Chemistry and Microbiology. Elsevier.
Zitterman, A. 2016. Nutritional and Health-Promoting Properties of Dairy Products: Bone
Health. Encyclopedia of Dairy Science 3rd Edition. Elsevier Inc.