Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pengolahan susu menjadi keju dan menjadi produk pangan yang disukai saat ini dapat
diolah secara beragam bertujuan untuk meningkatkan nilai nutrisi, kenyamanan konsumen,
dan rasa yang enak. Protein susu memegang peranan penting dalam pembuatan keju.
Prinsip dasar pembuatan keju hampir sama untuk semua jenis keju, yaitu penghilangan air
dari susu, mengkonsentrasikan protein, lemak, mineral dan vitamin, koagulasi protein, dan
penghilangan whey. Penggumpalan dapat disebabkan oleh enzim renet atau enzim
proteolitik lainnya yang dihasilkan oleh bakteri (Amanda, 2010). Apabila suatu bahan
dihilangkan kandungan airnya maka yang tersisa adalah padatan yang terdiri dari berbagai
komponen bahan tersebut. Semakin mudah curd terpisah dari whey, baik pada saat
penirisan maupun pemeraman, maka total padatan keju semakin tinggi (Sumarmono dan
Suhartati, 2012).
Keju merupakan intisari padatan dari susu, padatan yang sebagian besar terdiri dari
protein kasein, lemak dan cairan residu yang disebut whey. Kadar air dalam keju dapat
membedakan kategori keju seperti hard cheese (kandungan kadar airnya rendah), semi-
hard, dan soft cheese. Klasifikasi keju secara umum dikategorikan melalui standar dari
Codex General Standar for Cheese No. A-6 (2003). Setiap kategori dibedakan berdasarkan
sejumlah karakteristik, seperti struktur (tekstur, bentuk), rasa dan penampilan yang
dihasilkan dari jenis susu, jenis bakteri dan teknik pembuatan yang digunakan. Keju olahan
adalah produk yang dipanaskan berdasarkan berbagai jenis keju dengan usia yang
berbeda-beda menurut Codex General Standar for Cheese No. A-8(b) (2009). Faktor lain
yang menentukan jenis keju adalah komposisi air dan lemak serta keterlibatan mikroba.
Menurut Geantaresa et al., (2010) keju adalah salah satu produk bioteknologi yang berasal
dari penggumpalan protein susu. Produk keju dibuat melalui fermentasi dengan bantuan
mikroorganisme Streptococcus thermophilus, Lactococcus lactis dan Leuconostoc
mesenteroides
Codex General Standar for Cheese No. A-6 (1999) mengklasifikasikan keju
berdasarkan kepada kondisi dan keadaan keju, antara lain kadar air pada bahan tanpa
lemak (Moisture on Fat-free Basis (MFFB)), yang akan menentukan tekstur, kadar lemak
pada bahan kering (Fat in Dry Basis/FDB) sebagai komponen pembentuk tekstur dan cita
rasa dan proses pemeraman (ripening) sebagai tahap penyempurnaan pematangannya.
Terdapat macam-macam jenis keju diantaranya keju Cheddar, Gouda, Emmental,
Parmessan, Blue Vein Cheese, Mozzarella dll.
Keju Emmental disebut juga Emmenthaler atau Keju Swiss, keju dari susu sapi ini
dibuat dan diproses dari Emme River Valley (Emmental) di The Canton of Bern. Keju ini
telah dikomersilkan di negara-negara pembuat susu selain dari Swiss, terutama Norwegia
dan di Amerika Serikat, di mana keju Emmental umumnya disebut "Keju Swiss." Konsumsi
rata-rata keju Emmental di Prancis, hampir 30g/hari/orang. Emmental dibuat dalam bentuk
bongkahan besar yang berdiameter sekitar 36 inchi (90 cm) dengan ketebalan 6 inchi (15
cm). Proses pembuatan keju tidak terlepas dari curd yang dibentuk oleh rennet. Setelah
pemotongan, pengadukan, dan pemanasan curd dari 2.205 pon (1.000 kg) susu dipisahkan
dari whey dalam satu massa dalam jaring fine-mesh dan ditekan ke dalam cetakan bulat,
direndam dalam larutan air garam konsentrasi tinggi dan dibungkus dengan film untuk
mencegah pengeringan. Keju disimpan atau ripening dengan suhu 72°F hingga 80°F (22°C-
27°C), sehingga merangsang produksi karbon dioksida yang membentuk lubang atau "mata"
yang khas dalam enam hingga delapan minggu masa rippening. Pematangan keju total
membutuhkan waktu sekitar enam bulan. Kultur murni Streptococcus thermophilus,
Lactobacillus bulgaricus dan Propionibacterium shermanii digunakan untuk mengontrol
perkembangan asam, lubang dalam keju dan aroma yang ditimbulkan. Skema pembuatan
keju dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Proses Pembuatan Keju (Sumber: https://www.britannica.com)

Curd keju ini memiliki bau yang manis dan menyengat serta sedikit asin saat sebelum
rippening dan memilki rasa keju yang tajam setelah melalui proses rippening.
Konsistensinya kuat, elastis dan mudah diiris; bagian dalam berwarna seragam kuning
muda dengan lubang berdiameter sekitar 0,6 inchi (sekitar 1,6 cm) dan terpisah berjarak 5-3
inchi (5-8 cm). Bakteri asam propionat yang menghasilkan karbon dioksida yang membuat
keju memiliki banyak lubang di dalamnya (Encyclopaedia Britannica, 2019).

1.2. Tujuan
Mengetahui proses pembuatan Emmental Cheese dan proses biokimia yang terjadi
selama pembuatan Emmental Cheese.
PEMBAHASAN

2.1 Emmental Cheese


Susu yang digunakan untuk pembuatan keju harus berkualitas baik. Kesesuaian
susu sebagai bahan baku keju ditentukan saat di peternakan. Selain standar kebersihan
yang disyaratkan normal, susu harus bebas dari antibiotik yang akan menghancurkan
biakan starter mikroba. Susu kolostrum dan susu dari sapi yang sakit tidak boleh dikirim ke
pabrik keju.
Tabel 1. Kandungan kalsium, energy dan laktosa pada berbagai produk olahan susu
Ca/energy
Calcium Energy Lactose
Food ratio (mg rND2
(mg/100g) (KJ/100g) (g/100g)
MJ-1)

Milk
Cow Milk (3.5%
120 269 446 3.30 4.8
fat)
Skimmed Milk 123 147 839 6.21 5.0
Goat Milk 127 281 452 3.35
Milk-containing products
Chocolate 214 2242 96 0.71 9.5
Ice Cream 140 856 164 1.22 6.7
Pudding 100 393 255 1.88 4.5
Dairy products
Buttermilk 109 157 694 5.14 4.0
Yogurt (3.5% fat) 120 293 410 3.04 4.0
Cream (10% fat) 101 510 198 1.47 3.2
Cheese
Fresh (min. 60%
79 1407 56 0.42 2.6
fat in dry matter)
Brie (50% fat in
400 1430 280 2.07 0
dry matter)
Limburger (40%
534 1111 481 3.56 0
fat in dry matter)
Camembert
(45% fat in dry 570 1185 481 3.56 0
matter)
Edam (45% fat
678 1469 461 3.41 0
in dry matter)
Emmental (45%
1020 1593 640 4.74 0
fat in dry matter)
Sumber : Zitterman (2016)

Proses teknologi keju Emmental terdiri dari suksesi tekanan abiotik termasuk
memasak, pengasaman, pengadukan, pencetakan, pengasinan dan pematangan di ruangan
pada suhu tertentu. Proses pembuatan keju biasanya diawali dengan
memanaskan/pasteurisasi susu, kecuali pada jenis-jenis keju tertentu seperti Emmental dari
Swiss yang menggunakan susu mentah. Kemudian zat pembantu penggumpalan (rennet,
sejenis enzim penggumpal yang biasa terdapat dalam lambung sapi dan/atau bakteri yang
dapat mengasamkan susu) ditambahkan. Keju Emmental memiliki nilai nutrisi yang tinggi
diantaranya kandungan kalsium dan energi tinggi dibanding produk olahan susu lainnya
dapat dilihat pada Tabel 1. Keju ini juga dapat dikonsumsi oleh orang yang memiliki allergen
lactose intolerant karena tidak mengandung laktosa yang tertera pada table 2.
Selain kandungan kalsium Emmental yang tinggi, kandungan potasiumnya 107
mg/100 gr keju Emmental. Zitterman (2016) potasium memainkan peran penting dalam
melindungi terhadap hilangnya kalsium dari protein renal acid. Kelenjar susu dapat
mengkonsentrasikan kandungan potasium terhadap gradien serum yang tinggi. Data
epidemiologis menunjukkan efek perlindungan dari asupan potasium pada kepadatan
tulang. Pemberian potasium untuk wanita pasca-menopause secara signifikan lebih tinggi
daripada asupan protein yang direkomendasikan telah ditemukan untuk mengurangi
ekskresi urin dari penanda resorpsi tulang hidroksiprolin dan meningkatkan serum
osteokalsin, penanda pembentukan tulang.
Kandungan laktosa pada susu tidak memiliki efek menguntungkan pada penyerapan
kalsium usus. Pada orang yang lactose intolerant, laktosa dengan cepat dicerna di usus
halus bagian duodenum yang menunjukkan bahwa tidak ada mekanisme spesifik laktosa
yang ada untuk meningkatkan penyerapan kalsium usus. Selain itu, respon hormon
paratiroid postprandial, indikator tidak langsung dari jumlah kalsium yang diserap, tidak
berbeda setelah konsumsi jumlah kalsium yang sama dari susu dan dari keju setelah
pemeraman (bebas laktosa). Dengan berbagai manfaat yang terkandung pada keju
Emmental ini, diperlukan proses olahan sesuai prosedur yang telah ditetapkan dan
memenuhi standar dari Codex General Standar for Cheese.

2.2 Proses Pembuatan Emmental Cheese

2.2.1 Pengumpulan, Pengujian Susu dan Thermization

Dengan metode tradisional penerimaan susu, yaitu pengiriman susu pagi ke industry
pengolahan susu selama beberapa jam dari semua susu yang diperlukan untuk produksi
dalam hari yang sama dan ditangani segera setelah ditimbang. Kadar lemak kemudian
distandarisasi untuk memudahkan proses pemisahan. Ini berarti bahwa persyaratan yang
sangat ketat harus dipenuhi mengenai cara susu diperlakukan oleh produsen. Terutama
pendinginan cepat dari susu saat dikumpulkan sekitar 4°C menjadi faktor yang sangat
penting. Persyaratan ini juga berlaku untuk petugas yang mengumpulkan susu dari supplier.
Dia harus memiliki wewenang untuk menolak menerima susu yang bahkan sedikit
terpengaruh dan/atau memiliki flavour susu yang tidak enak. Bovine mastitis adalah penyakit
umum yang menyebabkan secara drastis mempengaruhi komposisi dan kualitas susu;
peternak harus membuang susu tersebut, atau setidaknya tidak mengirimnya ke
perusahaan pengolahan susu.
Quality Control pada susu harus dilakukan untuk menghindari penerimaan kualitas
susu yang tidak memenuhi standar diantaranya uji rasa dan bau, bebeas dari kontaminasi,
uji sedimantasi susu, perhitungan sel somatic, uji kandungan nutrisi (protein dan lemak), uji
titik beku untuk menguji kemurnian susu dan kebersihan serta tes Resazurin. Resazurin
adalah pewarna biru yang menjadi tidak berwarna/bening ketika secara kimiawi ketika
menghilangan oksigen. Ketika ditambahkan ke sampel susu, aktivitas metabolisme bakteri
memiliki efek mengubah warna pewarna pada tingkat yang memiliki hubungan langsung
dengan jumlah bakteri dalam sampel susu. Menurut Jozsef (2012) Dianjurkan untuk
mengklarifikasi susu secara efisien sebelum pembuatan keju. Materi asing dalam susu yang
tidak diklarifikasi sering mengandung berbagai jenis mikroorganisme. Sebagian besar
mikroorganisme yang dapat menurunkan kualitas susu dikeluarkan dengan kontaminan.
Ketika susu harus disimpan dalam tangki penampungan sehari setelah penerimaan,
bahkan ketika itu didinginkan hingga 4°C bersamaan dengan transfer dari tanker jalan ke
tangki penyimpanan, penyimpanan maksimal hingga 5 hari. Selama cooling protein susu
dan garam susu berubah karakter yang cenderung merusak sifat proses pembuatan keju.
Sekitar 25% kalsium mengendap sebagai fosfat setelah penyimpanan 24 jam pada ±5°C.
Namun, pengurangan ini bersifat sementara. Ketika susu dipasteurisasi, kalsium redissolves
dan sifat-sifat pembekuan susu hampir sepenuhnya pulih. b-kasein juga meninggalkan
sistem misel kasein yang kompleks selama penyimpanan dingin, yang selanjutnya
berkontribusi untuk mengurangi sifat pembuatan keju. Namun, pengurangan ini juga hampir
sepenuhnya dipulihkan oleh pasteurisasi.
Thermization merupakan perlakuan panas sedang, 65°C selama 15 detik, diikuti oleh
pendinginan hingga ±4°C, setelah itu susu masih positif fosfatase. Teknik ini pada dasarnya
diperkenalkan dengan tujuan menahan pertumbuhan flora psikrotrofik ketika susu disimpan
selama 12-48 jam setelah tiba di perusahaan pengolahan susu.

2.2.2 Separator Bactofuge


Dalam pembuatan keju Emmental tidak melalui proses pasteurisasi, makan kualitas
susu segar yang akan diproses harus memiliki kualitas dan kandungan mikroba yang
rendah. Penggunaan separator bakteri dan pemisah penghilang spora telah terbukti sebagai
cara yang efisien untuk mengurangi jumlah spora dalam susu, karena kepadatannya lebih
tinggi dari pada susu. Separator ini biasanya memisahkan susu menjadi fraksi yang lebih
atau kurang bebas dari bakteri dan padatan susu yang mengandung spora dan bakteri
secara umum berjumlah hingga 3% dari total hasil pemisahan. Dalam aplikasi ini susu
berkualitas yang ditujukan untuk keju tujuannya adalah memisahkan spora dan bakteri dari
hilir ke hulu. Suhu yang digunakan untuk menghilangkan spora dan bakteri dalam sparator
±55 - 60°C. Terdapat 2 macam tahap pemisahan yaitu 2 fase dan 1 fase pemisahan spora
dan bakteri yang tidak diinginkan dalam pembuatan keju.

2.2.3 Pre-ripening dan Penambahan Food Additives


Pertumbuhan bakteri secara alami akan menurun setelah pemanasan dan cheesemilk
kemudian harus diinokulasi dengan starter sebelum renneting. Starter ditambahkan pada
tahap awal dalam proses untuk menjaga pengembangan starter. Waktu dari penambahan
starter ke penambahan rennet disebut waktu pre-ripening. Pre-ripening dengan starter juga
dapat digunakan pada suhu 40°C selama 1-2 jam sebelum inokulasi rennet. Kontrol pH
terus menerus disarankan dalam versi pre-ripening ini. Jenis serta jumlah starter yang akan
ditambahkan ke cheesemilk harus ditentukan secara eksperimental sesuai dengan keadaan.
Jika cheesemilk berkualitas buruk untuk pembuatan keju, koagulum akan menjadi
lunak. Hal ini dapat ditambahkan 5-20gram kalsium klorida per 100kg cheesemilk cukup
untuk meningkatkan kualitas pembuatan keju. Penambahan kalsium klorida yang berlebihan
dapat membuat koagulum begitu keras sehingga sulit untuk dipotong. Saat memproduksi
keju dengan kadar lemak rendah dapat ditambahkan disodium fosfat 10-20g/kg sebelum
kalsium klorida ditambahkan.
Saltpetre (sodium atau potasium nitrat) dapat digunakan untuk menetralkan bakteri
butyric-acid dan/atau coli earogenesis bacteria, tetapi dosis harus ditentukan secara akurat
dengan mengacu pada komposisi susu, proses untuk jenis keju, dll, karena terlalu banyak
saltpetre juga akan menghambat pertumbuhan starter. Overdosis saltpetre dapat
memengaruhi ripening keju atau bahkan menghentikan proses ripening. Saltpetre dalam
dosis normal dapat mengubah warna keju, menyebabkan garis-garis kemerahan dan rasa
yang tidak murni. Dosis maksimum yang diizinkan adalah sekitar 20gram/100kg susu. Jika
cheesemilk melalui proses Sparator bactofuge, persyaratan saltpetre dapat dikurangi atau
bahkan dihilangkan (Jozsef, 2012)

2.2.4 Renneting
Starter adalah kultur bakteri penghasil asam yang digunakan dalam pembuatan keju,
meskipun istilah ini kadang-kadang digunakan untuk memasukkan bakteri yang sengaja
ditambahkan ke dalam susu untuk memengaruhi rasa, aroma, dan tekstur keju. Yang
terakhir adalah bakteri spesifik yang tidak digunakan untuk pengembangan asam tetapi
yang tujuan utamanya adalah untuk memproduksi senyawa rasa atau gas tertentu (Law and
Tamime, 2010). Starter yang digunakan dalam pembuatan keju Emmental terdiri dari 3 yaitu
Trsptococcus thermophillus, Lactobacillus helveticus dan Propionibacterium shermanii yang
dapat merubah asam laktat hasil metabolisme bakteri lain menjadi gas karbondioksida (CO 2)
yang mengakibatkan terdapat lubang/mata dalam keju Emmental.
Turgary et al (2011) diantara empat "susu PAB" (Propionibacterium freudenreichii,
Propionibacterium acidipropionici, Propionibacterium thoenii dan Propionibacterium jensenii)
lebih disukai strain yang dipilih dari spesies P. freudenreichii digunakan dalam pembuatan
keju dengan fermentasi asam propionat untuk mencapai karakteristik lubang mata dan nutty
flavor. Dalam PDO Emmentaler tradisional, dosis inokulasi PAB adalah 10 3-104 cfu / mL
susu.
Seluruh rangkaian teknologi operasi ditujukan untuk menciptakan kondisi optimal
untuk fermentasi asam propionat dan pembentukan mata pada keju Emmental. Langkah
mendasar adalah penambahan air ke dalam susu dan/atau curd (12% -20% untuk
Emmentaler PDO; ∼25% -30% untuk Jarlsberg atau Finnish Emmental) untuk mengurangi
konsentrasi laktosa. Ini mengarah ke nilai pH yang relatif tinggi setelah fermentasi laktat (pH
5,20-5,35), yang akibatnya mempercepat fermentasi asam propionat. Lebih lanjut,
pembatasan produksi asam laktat menurunkan kehilangan kalsium ke dalam whey.
Kandungan kalsium yang tinggi dalam curd menghasilkan tekstur yang lembut dan elastis
yang sangat penting untuk pembentukan mata secara teratur (Wyder et al., 2017)
Dosis rennet yang dianjurkan hingga 30ml rennet cair dengan kekuatan 1: 10.000
hingga 1: 15.000 /100kg susu. Untuk memudahkan distribusi rennet dapat diencerkan
dengan setidaknya dua kali lipat jumlah air. Setelah dosis rennet sesuai, susu diaduk
dengan hati-hati selama ±5 menit. Penting bahwa homogenisasi susu berhenti dalam waktu
5-8 menit agar tidak mengganggu proses koagulasi dan menyebabkan hilangnya kasein
pada whey.

2.2.5 Coagulation dan Cutting


Kultur laktat termofilik digunakan sebagai starter adalah Streptococcus thermophilus,
Lactobacillus helveticus dan L. delbrueckii subsp. lactis. Setelah penurunan pH oleh S.
thermophilus, L. helveticus, proteinase dan peptidase lactobacilli memainkan peran penting
dalam pemecahan kasein (peran streptokokus kecil dalam proteolisis) selama pematangan
keju. S. thermophilus dan L. helveticus (atau Lactobacillus delbrueckii subsp. Bulgaricus)
memiliki hubungan yang sinergis, sehingga pertumbuhan satu organisme mendorong
pertumbuhan yang lain. Pada keju jenis ini, pertumbuhan S. thermophilus dirangsang oleh
asam amino dan peptida yang dilepaskan dari kasein melalui L. helveticus proteinases.
Beberapa bakteri asam laktat lainnya yaitu L. casei dan L. rhamnosus berkontribusi
terhadap proteolisis keju dan ini berasal dari susu mentah (Hayaloglu, 2016)
Koagulasi susu adalah proses mendasar dalam pembuatan keju, dilakukan dengan
penambahan rennet yang mengandung enzim proteolitik Chymosin atau renin. Kasein juga
dapat diasamkan sampai titik isoelektriknya 4,6 - 4,7. Koagulasi diyakini terjadi dalam dua
tahap Konversi kasein menjadi paracasein oleh rennin dan Presipitasi paracasein di
hadapan ion kalsium. Proses koagulasi susu dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Proses Koagulasi Susu oleh Rennet (Chymosin)


Enzim renin atau chymosin bekerja untuk mengkoagulasi susu sehingga terpisah
menjadi sebuah gumpalan besar (curd) dan bagian yang cair (whey). Jozsef (2012) renin
menguraikan (menghidrolisis) K-kasein kompleks menjadi fraksi glukopeptida yang larut
dalam air dan fraksi hidrofobik para-K-kasein. Kemudian para-kasein mengadsorpsi ion
kalsium yang menghubungkan para-kasein ke jaringan whey atau berupa air. Teori koagulasi
menunjukkan bahwa ion kalsium sangat penting untuk pembentukan koagulum. Ini
menjelaskan mengapa penambahan kalsium klorida meningkatkan sifat koagulasi susu.
Proses koagulasi diatur oleh suhu, keasaman, konsentrasi ion kalsium dan parameter
lainnya. Suhu optimal untuk rennet adalah ±40°C, meskipun suhu yang lebih rendah 30-
32°C selalu digunakan dalam praktiknya. Suhu yang lebih rendah memungkinkan untuk
penggunaan dosis rennet yang lebih besar untuk membantu pematangan keju dan
membantu mencegah koagulum menjadi terlalu keras. Ini juga sebagian merangsang
pertumbuhan bakteri yang tercampur ke dalam susu.
Penyusutan permukaan curd yang cepat menyebabkan jumlah whey yang hilang lebih
banyak (per unit volume curd) dibandingkan dengan potongan curd yang lebih besar. Curd
besar juga lebih rentan terkoyak selama agitasi. Keju rendah kelembaban dibuat dari
koagulum di mana curd dipotong kecil dan lunak. Sebaliknya, keju dengan kelembaban
tinggi dibuat dari koagulum dari curd dipotong besar dan keras.
Susu dengan kandungan kasein rendah, akan menghasilkan agregat kasein yang
lebih rendah. Koagulum yang lebih lembut atau lebih lemah terbentuk. Curd membutuhkan
waktu yang sedikit lebih lama sebelum agitasi dan pengadukan yang lebih lembut.
Kandungan kasein dalam susu tinggi gumpalan terbentuk lebih cepat (lebih banyak kasein
per unit volume susu). Namun, dalam condensed milk tingkat interaksi aktual antara kasein
lebih rendah daripada di koagulum perusahaan yang terbentuk dari susu segar. Untuk
alasan ini, susu umumnya didiamkan lebih lama sebelum dipotong, meskipun secara fisik
curd tampak cukup kuat atau set untuk dipotong (Law and Tamime, 2010).
Alat pemotong dapat dirancang dengan berbagai cara dalam tangki pembuatan keju
yang modern, tertutup, horisontal, strirring dan cutting dilakukan dengan alat yang dilas ke
poros horizontal yang ditenagai oleh unit penggerak dengan konverter frekuensi. Alat tujuan
ganda memotong dan mengaduk tergantung pada arah rotasi; koagulum dipotong oleh
pisau baja stainless radial yang tajam. Bilah pengaduk yang dipasang di ujung-ujung alat
dalam kombinasi dengan bagian belakang pisau yang bundar, memberikan pencampuran
curd yang lembut dan efektif. Selain itu, tangki keju dapat dilengkapi dengan saringan whey
yang dioperasikan secara otomatis, nozel untuk distribusi koagulan (rennet) yang tepat dan
semprotan nozel untuk dihubungkan ke sistem pembersihan di tempat (CIP).

2.2.6 Stirring, Heating dan Syneresis


Jika curd dibiarkan mengendap selama drainase whey harus diaaduk untuk memecah
gumpalan yang telah terbentuk. Ini menyebabkan tekanan pada mekanisme pengadukan
yang karenanya harus sangat kuat. Dalam pembuatan Emmental, diinginkan untuk
menghilangkan memisahkan whey dalam jumlah besar yang dibantu oleh asam laktat dari
bakteri. Beberapa perusahaan melakukan stirring hanya terjadi untuk waktu yang singkat
waktu setelah cutting.
Starter terus menghasilkan asam dan kombinasi dari strring, heating dan
pengembangan asam memiliki efek mendalam pada kelembaban (syneresis) dan
pemecahan kalsium fosfat. Koloid kalsium fosfat adalah penyangga utama dalam susu dan
keju, menghilangkannya senyawa tersebut selama proses pembuatan keju akan
meningkatkan potensi untuk menurunkan pH (<5.0) dalam keju. Membuat keju rendah
lemak tanpa langkah bilas namun pH dipertahankan di atas 5.0 dan semua sisa laktosa
dalam keju terfermentasi. Hasil akhirnya adalah air yang terkandung diperas keluar dari
jaringan kasein. Faktor terpenting yang memengaruhi syneresis adalah: (a) suhu, (b)
penurunan pH setelahnya cutting (laju pengembangan asam) dan (c) tekanan. Semakin
besar penurunan pH setelah cutting koagulasi, semakin banyak uap air yang keluar dari
curd. Semakin tinggi suhu yang digunakan untuk memanaskan curd setelah cutting dan
semakin rendah kadar air dalam curd.
Syneresis dalam proses kimiawi, adalah ekstraksi atau pengeluaran air dari curd.
Syneresis adalah pembentukan curd karena penghilangan hydrophilic macropeptides yang
menyebabkan ketidak-seimbangan dalam antarmolekul. Ikatan antara sisi hidrofobik mulai
berkembang oleh ikatan kalsium yang terbentuk ketika molekul air dalam misel hilang dalam
struktur. Proses ini biasanya disebut sebagai fase koagulasi dan syneresis. Pemisahan
ikatan antara residu 105 dan 106 dalam molekul k-casein sering disebut fase primer dari
aksi rennet, sedangkan fase koagulasi dan syneresis disebut sebagai fase sekunder.
Syneresis disebabkan oleh panas yang berlebihan, yang terlalu memperkeras kulit
protein. Kadar air menghilang saat dipanaskan yang menyebabkan membran protein keras
muncul dan mengeluarkan mengrangi kadar air.

Gambar 3. Dual-Purpose Tools (Stirring and Cutting)

2.2.7 Whey Removal, Pressing dan Salting


Whey dapat dikeringkan stirrer dihentikan. Strainer stasioner atau perputara
digunakan untuk tujuan ini memisahkan whey dari curd Whey diambil pompa jika alat
pengaduk dihentikan adalah praktik paling umum, whey harus dikeringkan dengan sangat
cepat sebelum curd menjadi mengendap dan keras. Pada pengolahan Emmental tradisional
curd diendapkan di bawah whey. Massa curd ditekan kemudian whey dipisahkan. Dalam
pembuatan keju Emmental tipe tradisional, seluruh massa curd diangkat oleh kain kemudian
ditempatkan ke dalam cetakan keju/mould (bentuk di mana curd ditekan). Dalam kedua
kasus tersebut, udara dicegah agar tidak masuk kedalam dadih.
Pengepresan curd tidak boleh terdapat udara saat pemindahan curd ke mould. Curd
didistribusikan secara merata di mould sebelum alat pressing turun untuk menekan curd ke
dalam mould (lihat Gambar 4). Bagian bawah dan samping mould dan pelat pressing
dilubangi untuk menjadi jalan whey untuk keluar. Tekanan dan waktu pengepresan harus
dipilih untuk memberikan adhesi yang baik antara curd sehingga dipindahkan ke cetakan
keju tanpa udara yang menembus dalam curd.

Gambar 4. Proses Pressing


Menurut Law and Tamime (2010) teknik pemisahan dan salting whey memiliki
pengaruh penting pada tekstur keju. Dengan penurunan dan tekanan pH yang besar, curd
menyatu perlahan dan mungkin tidak terjalin dengan baik. Kurangnya fusi curd
menyebabkan curdiness, suatu kondisi di mana keju ketika dikunyah akan pecah menjadi
partikel curd. Curdiness lebih cenderung terjadi pada keju yang diasinkan pada pH yang
lebih tinggi (5,5-5,8) dan di mana pH tidak turun, curd yang didinginkan adalah kadar rendah
lemak dan rendah air dalam curd. Selama ripening, proteolisis kasein memungkinkan
penyusunan ulang molekul kasein dan menghasilkan fusi curd yang lebih baik.
Untuk penggaraman air garam, keju ditempatkan dalam wadah/mould dan diturunkan
ke dalam tangki dengan air garam pada konsentrasi 16 - 23% NaCI. Selama perendaman,
keju menyerap garam dan secara bersamaan melepaskan air. Waktu salting sangat
tergantung pada konsentrasi dan suhu air garam, pada ukuran atau berat keju dan kadar
garam yang dibutuhkan untuk keju. Zat lain, seperti asam laktat dan saltprete juga
dipertukarkan antara air garam dan keju selama periode ini. Sejumlah tindakan pencegahan
seperti pemanasan air garam dan penggunaan aditif tertentu untuk menghilangkan risiko
pertumbuhan bakteri dan pengembangan jamur dan ragi yang tidak diinginkan.

2.2.8 Ripening
Pengetahuan tentang keragaman mikroba dan dinamika dalam keju terutama
didasarkan pada metode yang tergantung pada kultur, yang melibatkan penomoran
tradisional diikuti dengan identifikasi mikroorganisme dominan menggunakan metode
fenotipik dan molekuler (Juste et al., 2008). Dalam masa ripening keju Emmental, bakteri
tumbuh selama langkah pengepresan di hari pertama pembuatan keju. Jumlah
Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus helveticus, dua bakteri asam laktat termofilik
yang digunakan sebagai starter dalam pembuatan keju Emmental berkurang 2-7
log10cfu/ gram
keju selama
periode ripening
dua bulan.

Penurunan ini umumnya terkait dengan lisis sel yang melepaskan peptidase intraseluler
yang terlibat dalam proteolisis keju selama ripening (Deutsch et al., 2002).
Tekstur keju dan pembentukan lubang mata adalah parameter kualitas yang sangat
penting bagi produsen, distributor dan konsumen. Ada hubungan erat antara tekstur,
keterbukaan, rasa dan kemampuan ripening. Penilaian pembentukan lubang mata secara
tradisional dilakukan dengan mendengarkan jenis suara sambil mengetuk permukaan keju
dengan palu khusus, dengan inspeksi visual dari silinder kecil keju menggunakan keju trier,
atau dengan melihat bagian dari keju yang dipotong menjadi bagian.
Pada masa ripening bakteri yang sangat berperan adalah Propionibacteria yang
bersifat termotoleran dan dapat bertahan pada suhu 50-55 ° C selama 30 menit (Thierry et
al., 2011). Selain itu, isolasi PAB dari keju susu segar dengan metode bergantung pada
kultur mengungkapkan dominasi oleh spesies P. freudenreichii dengan demikian
menunjukkan bahwa spesies ini adalah yang paling tahan terhadap stres dingin dan panas
di antara PAB susu. Produksi asam propionat dalam PAB berfungsi sebagai proses siklik di
mana beberapa jalur yang saling berhubungan terjadi secara bersamaan dapat dilihat pada
Gambar 5. (Thierry et al., 2011).
Asam laktat digunakan sebagai sumber energi dan aspartat sebagai akseptor elektron,
yang keduanya tersedia dalam keju (Crow and Turner, 1986). Produk fermentasi utama
adalah asam propionat, asam asetat, asam suksinat, dan CO2 (reaksi D dan E pada Gambar
5). Terutama laktat, tetapi juga alanin dan serin, dikonversi menjadi piruvat yang
menghasilkan ATP dan mengurangi koenzim (Ojala et al., 2017). Piruvat dioksidasi menjadi
asetat dan CO2 (reaksi B) atau direduksi menjadi propionat melalui jalur Wood-Werkman
(reaksi C). Enzim jalur Wood-Werkman diidentifikasi dalam genom P. freudenreichii (Falentin
et al., 2010) dan P. acidipropionici (Parizzi et al., 2012). Propionibacteria mengatur proporsi
piruvat yang dioksidasi atau dikurangi tergantung pada substrat yang digunakan, kondisi
lingkungan dan karakteristik regangan.
Gambar 5. Proses metabolisme laktat oleh bakteri Propionic Acid Bacteria (PAB)
Thierry et al., (2011) pada aspartat, metabolisme laktat digabungkan dengan
metabolisme aspartat yang dideaminasi menjadi fumarat dan selanjutnya dikurangi menjadi
suksinat (reaksi E). Piruvat dari laktat dioksidasi menjadi asetat dan CO 2. Akibatnya, lebih
banyak laktat difermentasi menjadi asetat dan CO 2 daripada propionat untuk menjaga
keseimbangan redoks sel. Strain P. freudenreichii dapat sangat berbeda dalam aktivitas
aspartase spesifik mikroba.
Dalam keju tipe Emmental, commensalism antara LAB dan PAB ada di sumber
karbon, di mana LAB fermentasi laktosa menjadi asam laktat, yang selanjutnya digunakan
oleh PAB (Smid dan Lacroix, 2013). Namun, tidak hanya ada atau tidak adanya asam laktat
tetapi juga kecepatan produksi asam dapat mempengaruhi pertumbuhan PAB produksi
asam lambat dari LAB merangsang pertumbuhan PAB, sedangkan produksi asam yang
cepat memiliki efek penghambatan. Terlepas dari fermentasi asam laktat faktor-faktor lain
seperti musim produksi susu (Daly et al., 2010) suhu, nilai pH, kadar garam, dan proteolisis
memiliki dampak penting pada fermentasi asam propionat.
Pembentukan lubang mata keju Emmental merupakan hasil dari produksi CO2 oleh
fermentasi asam propionat selama ripening dalam suhu ruangan (sekitar 60 hari pada 20-
24°C untuk Emmental). CO2 sudah diproduksi selama fermentasi asam laktat dan selama
degradasi sitrat tetapi jumlah yang dihasilkan sedikit. Setelah perkembangan lubang mata
yang memenuhi standar (sekitar 70 hari setelah produksi), produksi CO 2 berkurang dengan
menyimpan keju pada suhu yang lebih rendah (10–13 ° C).
KESIMPULAN

Emmental cheese adalah keju yang berasal dari Swiss dengan ciri khas menyerupai
roda berdiameter ±90 cm dan memiliki lubang mata di dalamnya. Lubang mata ini yang
menjadi ciri utama keju tersebut, karena metabolisme oleh BAL (Streptococcus thermophilus
dan Lactobacillus helveticus) dan dilanjutkan dengan PAB (Propionic freudenreichii atau P.
shermanii) dapat mengubah asam laktat menjadi karbodioksida yang terperangkap di dalam
keju dan membuat lubang mata.
DAFTAR PUSTAKA

Amanda, R. D. 2010. Uji Aktivitas Rennet Dari Abomasum Kambing Lokal Muda Pada
Kondisi Yang Berbeda Dan Karakterisasi Keju Yang Dihasilkan. [Skripsi]. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Codex STAN A-6-1978. Rev.1-1999. Codex General Standard for Cheesee. Codex
Alimentarius.
Crow, V.L., 1986. Metabolism of Aspartate by Propionibacterium freudenreichii subsp.
shermanii: Effect on Lactate Fermentation. Appl. Environ. Microbiol. 52, 359–365.
Daly, D.F.M., McSweeney, P.L.H., Sheehan, J.J., 2010. Investigation of Underlying Factors in
Split and Secondary Fermentation Defects in Rindless Block Swiss-Type Cheeses.
Aust. J. Dairy Technol. 65, 214–216.
Deutsch, S.M., Ferain, T., Delcour, J., Lortal, S., 2002. Lysis of Lysogenic Strains of
Lactobacillus helveticus in Swiss Cheeses and First Evidence of Concomitant
Streptococcus thermophilus lysis. Int. Dairy J. Vol. 12: 591-600.
Hayaloglu, A.A. 2016. Cheese: Microbiology of Cheese. Encyclopedia of Dairy Science 2nd
Edition. Elsevier Inc.
Jozsef, C. 2012. Dairy Technology. Magyarorszac Kormanya. Europian Union.
Juste, A., Thomma, B.P.H.J., Lievens, B., 2008. Recent Advances in Molecular Techniques
to Study Microbial Communities in Food-Associated Matrices and Processes. Food
Microbiol. 25, 745e761.
Law, B.A and A.Y. Tamime. 2010. Technology of Cheesemaking 2 nd Edition. Blackwell
Publishing: UK.
Ojala, T., Laine, P.K.S., Ahlroos, T., Tanskanen, J., Pitkanen, S., Salusjarvi, T., Kankainen,
M., Tynkkynen, S., Paulin, L., Auvinen, P., 2017. Functional Genomics Provides
Insights into The Role of Propionibacterium freudenreichii ssp shermanii JS in Cheese
Ripening. Int. J. Food Microbiol. 241, 39–48.
Smid, E.J., Lacroix, C., 2013. Microbe-Microbe Interactions in Mixed Culture Food
Fermentations. Curr. Opin. Biotechnol. 24, 148–154.
Sumarmono J., F.M. Suhartati. 2012. Yield Dan Komposisi Keju Lunak (Soft Cheese) Dari
Susu Sapi Yang Dibuat Dengan Teknik Direct Acidification Menggunakan Ekstrak Buah
Lokal. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, Vol.1 (3) : 65-68.
Thierry, A., Deutsch, S.M., Falentin, H., Dalmasso, M., Cousin, F.J., Jan, G., 2011. New
Insights Into Physiology and Metabolism of Propionibacterium freudenreichii. Int. J.
Food Microbiol. 149, 19–27.
Turgay, M., Irmler, S., Isolini, D., Amrein, R., Fröhlich-Wyder, M.T., Berthoud, H., Wagner, E.,
Wechsler, D., 2011. Biodiversity, Dynamics, and Characteristics of Propionibacterium
freudenreichii in Swiss Emmentaler PDO cheese. Dairy Sci.Technol. 91, 471–489.
Wyder, A.T.F., W. Bisig, D. Guggisberg, E. Jakob, M. Turgary and D. Wechsler. 2017.
Cheese: Chemistry and Microbiology. Elsevier.
Zitterman, A. 2016. Nutritional and Health-Promoting Properties of Dairy Products: Bone
Health. Encyclopedia of Dairy Science 3rd Edition. Elsevier Inc.

Anda mungkin juga menyukai