Anda di halaman 1dari 7

Membangun Keuangan Perusahaan yang Sehat

-Building Financial Health of a Company (Finance for non-Finance)-


* Bortiandy Tobing (bortiandy@gmail.com) *

Mens sana in corpore sano – di dalam tubuh yang sehat terhadap jiwa yang kuat. Dalam
realita bisnis, ungkapan ini juga berlaku bahwa di dalam perusahaan yang sehat terdapat
keuangan perusahaan yang sehat juga. Menciptakan serta menjaga keuangan perusahaan
yang sehat bukan hanya tanggung jawab divisi keuangan (Finance and Accounting
Department) saja dan juga bukan hanya tanggung jawab manajemen puncak saja, tetapi
merupakan tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan dalam perusahaan yang dalam
pelaksanaannya disesuaikan dengan tanggung jawab dan wewenang pada setiap level
jabatan. Kondisi keuangan yang sehat sangat menentukan fleksibilitas dunia usaha dalam
menghadapi berbagai perubahan dan persaingan usaha.
Saat ini, banyak ditemukan perusahaan yang telah menerapkan berbagai sistem
manajemen dan program peningkatan produktivitas, namun harus menerima kenyataan
untuk melakukan rasionalisasi operasional. Untuk itu, seluruh program dan activity plan yang
diterapkan harus berdasarkan pemahaman yang sama dalam menciptakan dan memelihara
kondisi keuangan yang sehat. Berikut adalah pemahaman 4 (empat) indikator/rasio
keuangan perusahaan yagn sehat serta langkah perbaikan yang dapat dilakukan.

1. Rasio Likuiditas (Liquidity Ratios)


Likuiditas merupakan indikator utama yang menunjukkan sehat tidaknya kondisi keuangan
perusahaan. Rasio likuiditas adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi komitmen
atau kewajiban keuangan dalam jangka pendek. Rasio ini dapat menggambarkan seberapa
fleksibel perusahaan dalam menghadapi berbagai perubahan dalam kurun waktu yang
pendek hingga ada keputusan strategis untuk jangka waktu yang lebih panjang. Rasio
likuiditas antara lain adalah current ratio, quick ratio dan cash ratio.
Mengingat karakteristik yang berbeda antara satu bidang usaha dengan yang lainnya,
maka tidak ada ketentuan yang mutlak mengenai besaran rasio likuiditas, walau dalam
beberapa literatur dicantumkan rasio ideal untuk current ratio = 2:1 dan quick ratio = 1:1.
Dalam implementasi istilah lain yang digunakan adalah: Free Cash Flow (FCF) to Sales, FCF
to Firm, FCF to Equity, FCF to income, dll.
Secara umum, rendahnya rasio likuiditas berarti ketidak tersediaan uang tunai dalam
jumlah yang cukup, sehingga akan mempengaruhi kinerja operasional dan memicu
kenaikan biaya produksi/Cost of Goods Manufactured (COGM). Beberapa dampak negatif
dari rasio likuiditas yang rendah adalah:
a) Posisi tawar (bargaining power) yang lemah.
Ketidak tersediaan uang tunai yang cukup, akan membuat perusahaan dalam posisi
tawar menawar yang lemah dalam proses pengadaan dan pembelian barang/jasa.
b) Kehilangan peluang (lost opportunity).
Manajemen akan sulit memberikan keputusan yang cepat terhadap berbagai
promosi ataupun berbagai penawaran barang dan jasa (diskon produk, promo
pelatihan dan lain sebagainya)
c) Berkurangnya tingkat kepercayaan dan wibawa perusahaan.
Salah satu parameter rasio likuiditas yang rendah adalah, ketidakmampuan
perusahaan secara konsisten melakukan pembayaran yang jatuh tempo. Situasi ini
menyebabkan buruknya wibawa perusahaan serta ketidakpercayaan vendor kepada
perusahaan. Pada akhirnya, perusahaan akan mengalami kerugian baik dari harga
dari vendor yang lebih tinggi (kompensasi dari jangka waktu pembayaran yang lama)
serta semakin terbatasnya jumlah vendor yang mau bekerja sama dengan
perusahaan.
Secara umum, tindakan perbaikan yang dapat dilakukan (Point of Improvement) pada
tahapan ini, berhubungan langsung dengan tindakan dan wewenang dari Manajemen
Puncak (Top Management) adalah:
i. Minimalisasi aset yang tidak produktif. Setiap aset yang dimiliki perusahaan, akan
membutuhkan biaya setidaknya biaya pemeliharaan. Sehingga setiap aset yang tidak
berdampak langsung pada produktifitas, harus disingkirkan sehingga biaya yang
ditimbulkan dapat dikendalikan. Contoh: kendaraan milik perusahaan yang banyak
menganggur harus digantikan dengan kendaraan yang disewa.
ii. Sweep Account: merupakan strategi yang umum dilakukan oleh manajemen untuk
mentransfer dana dari rekening satu ke rekening lainnya secara otomatis sesuai
dengan batasan saldo minimal dan maksimal yang telah ditetapkan dan uang tunai
yang dimiliki dapat digunakan secara maksimal dalam membayar berbagai kewajiban
perusahaan, maupun dalam memperoleh nilai bunga dan manfaat perbankan
lainnya.
iii. Disiplin dalam penagihan dan pembayaran piutang (Account Receivable/AR) dan
hutang (Account Payable/AP). Dalam perencanaan anggaran tahunan (annual
budget), telah ditetapkan target penerimaan/uang masuk perusahaan pada setiap
bulan berdasarkan target penjualan (sales) dan digunakan untuk melakukan
pembayaran berbagai kewajiban perusahaan. Demikian juga halnya dalam hal
pembayaran kewajiban/hutang, pembayaran yang tidak terjadwal, serta jumlah
pembayaran yang terlalu besar, akan berdampak langsung terhadap kondisi
keuangan. Untuk itu, ketepatan realiasi jumlah penerimaan di setiap bulan serta
jumlah pembayaran kewajiban sangat mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan.
Khusus untuk pembayaran atas transaksi yang cukup besar yang dapat
mempengaruhi neraca keuangan, maka harus dilakukan negosiasi pembayaran
bertahap (cicilan) tanpa penambahan biaya yang signifikan, dan bukan menunda
pembayaran.
Catatan: Kebijakan memperpanjang waktu pembayaran (Term of payment/TOP) lebih
panjang untuk seluruh proses pengadaan dan pembelian, tidak akan membantu
kinerja keuangan, sebaliknya justru semakin memperburuk kinerja operasional.
Durasi waktu pembayaran/TOP harus ditentukan berdasarkan waktu yang
dibutuhkan setiap perusahaan dalam melakukan proses validasi untuk setiap
dokumen tagihan (invoice).
iv. Manajemen Biaya Operasional (Operational Expenditures/OPEX) dan Belanja
Modal (Capital Expenditures/CAPEX). Pembelian barang atau material dengan nilai
yang cukup besar dengan menggunakan uang tunai atau pinjaman jangka pendek,
tentunya akan mengganggu likuiditas keuangan perusahaan. Untuk itu, pembelian
barang atau pekerjaan/proyek yang bernilai sangat besar, harus direncanakan
dengan baik pada saat penyusunan budget tahunan (planning cycle/annual
budgeting). Hal ini sangat penting, agar tersedia waktu yang cukup bagi manajemen
dalam mencari dan bernegosiasi dengan berbagai sumber pembiayaan. Pembelian
barang atau pekerjaan proyek yang bernilai cukup besar secara mendadak atau tidak
terecana sangat tidak dianjurkan, termasuk penggunaan uang yang tidak terencana
oleh manajemen puncak atau pemilik perusahaan.

2. Rasio Solvabilitas (Solvency Ratio)


Rasio solvabilitas memberikan gambaran akan kemampuan perusahaan untuk melakukan
pembayaran kewajiban jangka pendek dan jangka panjang secara berkelanjutan. Sama
seperti rasio likuiditas, rasio solvabilitas juga merupakan indikator sehat tidaknya kondisi
keuangan perusahaan. Semakin rendah rasio solvabilitas, maka semakin besar
kemungkinan bahwa perusahaan gagal bayar atas kewajiban/hutangnya. Perhitungan
yang sering digunakan dalam hal ini adalah Debt to Equity Ratio (DER) dan Debt to Capital
Ratio (DCR).
a. Debt to Equity Ratio (DER) merupakan perbandingan antara hutang/pinjaman
perusahaan terhadap modal para pemegang saham, yang juga berarti tingkat
kepercayaan investor/kreditor kepada perusahaan. Rasio DER yang kecil artinya
sumber pembiayaan perusahaan lebih besar dari para pemegang saham dibanding
dengan kreditor, demikian sebaliknya. Secara umum, rasio yang dinyatakan
baik/aman untuk Debt to Equity Ratio (DER) adalah 2 : 1.
b. Debt to Capital Ratio (DCR) merupakan perbandingan antara total hutang/pinjaman
perusahaan (pinjaman jangka pendek dan jangka panjang) dibagi dengan total modal
perusahaan (total pinjaman + modal dari pemilik saham). Semakin rendah rasio DCR,
berarti bahwa perusahaan berada dalam kondisi keuangan yang sehat dan demikian
juga sebaliknya. Secara umum, rasio yang dinyatakan baik/aman untuk Debt to
Capital Ratio (DCR) adalah 2 : 3.
Beberapa strategi yang dapat dilakukan (Point of Improvement) perusahaan selain dari
penambahan penyertaan modal adalah:
i. Restrukturisasi Hutang merupakan proses dengan perubahan struktur hutang
debitur kepada pihak kreditur untuk memperbaiki kondisi keuangan melalui suatu
perjanjian khusus atau konsesi sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
Restrukturisasi hutang dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: Penjadwalan Ulang
(Rescheduling) Hutang, Pengalihan pinjaman menjadi penyertaan modal (Debt to
Equity Swap), Pengalihan aset/harta perusahaan kepada kreditor (Debt to Asset Swap)
atau Potongan Bunga Pinjaman (haircut)
ii. Penjualan Asset/Harta. Hutang/Pinjaman jangka panjang secara umum digunakan
untuk membeli atau membangun aset perusahaan. Dalam kondisi keuangan yang
kurang baik, maka salah satu cara untuk memperbaiki keuangan perusahaan adalah
dengan menjual aset perusahaan, khususnya aset yang tidak produktif atau yang
masih bisa digantikan (substitusi), dan uang hasil penjualan tersebut digunakan untuk
membayar hutang perusahaan.
iii. Optimalisasi Asset. Perkembangan teknologi dan informasi saat ini, telah
memungkinkan seluruh perusahaan untuk dapat mengoptimalkan aset yang
dimiliknya, melalui konsep Sharing Economy. Cukup banyak pelaku usaha yang
memiliki sumber daya minimum namun memiliki omset yang besar. Untuk itu, maka
pemimpin perusahaan harus dapat memanfaatkan peluang ini, sehingga dapat
memperkecil beban hutang perusahaan. Strategi yang dapat dilakukan adalah:
 Menjadikan aset sebagai salah satu unit mandiri untuk menerima berbagai order
pekerjaan dari berbagai pihak termasuk pesaing usaha, untuk mengoptimalkan
kapasitas dan manfaat aset, yang akan menambah pendapatan perusahaan.
 Menjual aset perusahaan seperti point ii, dan mengalihkan proses produksi atau
layanan kepada pihak ketiga.
iv. Meningkatkan Penjualan. Strategi lain yang dapat dilakukan perusahaan adalah
dengan meningkatkan penjualan tanpa harus meningkatkan biaya overhead. Namun
dengan kondisi pasar yang cenderung stabil, strategi peningkatan penjualan harus
dilakukan melalui diversifikasi produk atau menciptakan varian produk baru yang
tidak membutuhkan investasi baru.

3. Rasio Profit
Rasio profit adalah kemampuan perusahaan dalam memperoleh selisih lebih antara harga
penjualan dengan biaya produksi/operasional barang atau jasa. Rasio profit digunakan
sebagai indikator kemampuan perusahaan untuk mengembalikan investasi kepada pemilik
modal dan kreditor serta indikator kemampuan perusahaan untuk melakukan
pengembangan usaha. Evaluasi rasio profit dilakukan berdasarkan batas bersih (net
margin) antara laba yang diperoleh dengan total pendapatan/revenue untuk menghindari
kesimpulan yang bias.
Jika hanya dilihat dari jumlah, total laba yang diperoleh dapat terlihat sangat besar,
namun bila dibandingkan dengan total pendapatan ternyata hanya sebesar 2% atau
kurang. Dengan margin yang sangat kecil tersebut, maka jumlah uang bebas (free cash
flow) perusahaan juga akan terbatas. Nilai net margin yang lebih besar akan memberikan
kontribusi yang lebih besar pula terhadap kondisi keuangan perusahaan dan
memampukan perusahaan untuk bertumbuh terhadap perkembangan perusahaan.
Indikator rasio profit yang sering digunakan antara lain adalah:
a. Margin Laba Bersih (Net Profit Margin), yaitu persentase laba bersih (setelah
dikurang dengan pajak dan bunga) terhadap penjualan bersihnya. Marjin Laba Bersih
merupakan indikator yang menunjukkan persentase uang yang tersisa (margin) yang
dapat digunakan untuk membayar deviden kepada pemegang saham serta untuk
pengembangan investasi dan bisnis. Rasio Margin Laba Bersih sangat berguna
sebagai pembanding antara perusahaan/industri yang sama yang menjadi indikator
daya saing perusahaan terhadap pesaingnya.
b. Tingkat pengembalian aset (ROA = Return on assets), yaitu rasio profit yang
mengukur seberapa efisien suatu perusahaan dalam mengelola asetnya untuk
menghasilkan laba selama suatu periode dan dinyatakan dalam persentase. Berbeda
jenis industri, tentu berbeda juga aset yang dimiliki, sehingga ROA akan sangat
bermanfaat bila digunakan untuk membandingkan dengan ROA perusahaan yang
beroperasi di industri yang sama. Semakin tinggi nilai ROA, maka menunjukkan
semakin efisiennya manajemen perusahaan dalam mengelola asetnya untuk
menghasilkan net profit perusahaan.
c. Tingkat pengembalian ekuitas (ROE = Return on equity), yaitu rasio profit yang
mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan profit dari investasi para
pemegang saham yang dinyatakan dalam persentase. Hasil perhitungan ROE
memberikan arti akan jumlah net profit yang dapat dihasilkan dari setiap nilai
(Rupiah atau Dollar) yang telah diinvestasikan. Semakin besar persentase ROE berarti
semakin efisien manajemen perusahaan dalam mengelola modal/investasi dari
pemegang saham untuk menghasilkan keuntungan dan menumbuhkan
perusahaannya.
Strategi yang dapat dilakukan (Point of Improvement) perusahaan adalah:
i. Fokus pada Selling Price dan Produk/Jasa yang unggul (profitable product). Dari
Gambar 1, terlihat adanya perubahan paradigma
dalam menentukan harga jual produk dan jasa.
Dalam persaingan bisnis saat ini, harga jual
relatif tetap (fixed), sehingga profit yang akan
dihasilkan sangat ditentukan oleh biaya
produksi/operasional (cost). Semakin besar biaya
Gambar 1. Konsep Selling Price
produksi, maka semakin kecil profit yang akan
diperoleh, sehingga produk atau jasa yang tidak memberikan profit, harus dihapus
dari lini produksi/operasional atau dilakukan peremajaan (rejuvenate).
Untuk memperoleh profit yang diharapkan dengan harga jual yang kompetitif, maka
upaya harus dilakukan adalah:
a) Meminimalisasi aset/resource perusahaan, dan mengkonversikannya menjadi
variable cost melalui strategi sharing economy sebagaimana yang dijelaskan
pada strategi Rasio Solvabilitas. Saat ini, berbagai bisnis baru hadir dengan
aset/resource yang minim namun memiliki harga jual yang kompetitif.
b) Optimized and Simplified. Paradigma Maximized and Complicated atau
memaksimalkan kapasitas/jumlah dan kompleksitas proses (yang juga berarti
meningkatkan penjualan) untuk memperkecil beban biaya tetap (fixed cost)
telah berakhir. Jika perusahaan meningkatkan jumlah produksi dengan asumsi
pasar yang masih terbuka, bukankah kompetitor akan melakukan hal yang sama
juga? Perusahaan hanya akan dapat meningkatkan jumlah produksi karena
harga jual yang lebih kompetitif/murah atau saat momentum penetrasi pasar.
Itu prinsip yang utama.
ii. Peninjauan Struktur Biaya Saat ini (Review Current Cost Structure). Setiap bisnis/
usaha, pasti memiliki struktur biaya, baik untuk setiap produk/jasa ataupun
berdasarkan revenue perusahaan (Gambar 2), yang menjadi pedoman dalam
menentukan profit yang akan diterima
oleh para pemilik usaha. Peningkatan
biaya material ataupun biaya lainnya
tidak serta merta dapat diikuti dengan
menaikkan harga jual produk, dan hal ini
juga akan mempengaruhi profit yang
akan diterima. Untuk itu, maka
perusahaan juga harus memiliki data
perbandingan struktur biaya untuk
industri/sektor yang sejenis (Gambar 3),
sehingga memberikan pedoman bagi
Gambar 2. Contoh Struktur Biaya Produk manajemen puncak dalam menetapkan
berbagai strategi untuk meningkatkan
ataupun mempertahankan daya saing usaha. Peninjauan terhadap struktur biaya
mutlak harus dilakukan secara berkala, agar perusahaan dapat beradaptasi dengan
cepat dan tepat.
Gambar 2. Contoh Model Struktur Biaya
a) iii. Mengendalikan biaya langsung (direct cost) dan biaya overhead. Proses
pengendalian biaya langsung dan biaya overhead dilakukan mengacu pada
anggaran/budget yang telah
ditetapkan di setiap awal
tahun (annual budgeting).
Setiap pihak harus
bertanggung jawab dalam
penggunaan anggaran yang
telah ditetapkan. Kenaikan
harga material, upah tenaga
kerja, ongkos angkut, dll
adalah kenyataan yang harus
dihadapi oleh seluruh pelaku
usaha, namun hal ini tidak
serta merta menjadi dasar
untuk menaikkan harga jual
Gambar 3. Contoh Struktur Biaya Industri Sejenis
produk. Strategi yang lazim
digunakan adalah Material Substitution Flexibility serta Redisign Produk/Jasa
dengan dimensi yang lebih kompetitif. Sedangkan kelebihan penggunaan
anggaran yang berasal dari internal, baik karena ketidak akuratan dalam
penyusunan anggaran ataupun karena kesalahan dalam pelaksanaan aktivitas
(kesalahan penggunaan material, kesalahan penggunaan tenaga kerja, dll), harus
segera diselesaikan agar permasalahan tidak berulang dan mengurangi rasio
laba perusahaan.

4. Rasio Efisiensi
Rasio efisiensi merupakan kunci utama pencapaian seluruh rasio keuangan perusahaan
khususnya rasio likuiditas dan rasio profit dan melibatkan seluruh pihak/karyawan. Rasio
efisiensi menggambarkan kinerja manajemen dapat mengelola belanja operasional untuk
menghasilkan pendapatan dari setiap produk/jasa yang dihasilkan. Ketidakmampuan
manajemen dalam mengelola belanja operasional akan menjadikan usaha/bisnis yang
paling menjanjikan sekalipun mengalami kesulitan dan bangkrut.
Beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur rasio efisiensi perusahaan adalah:
a. Rasio pemakaian bahan terhadap setiap unit produk/jasa yang dihasilkan (Finished
goods to material usage). Secara umum rasio ini dikenal dengan yield, efisiensi Rasio
pemakaian bahan dan produk jadi adalah perhitungan (dalam satuan unit atau nilai
uang) jumlah penggunaan bahan baku, bahan penolong maupun spare part untuk
setiap produk jadi yang dihasilkan. Jika rasio jumlah unit pemakaian material untuk
setiap unit produk jadi di bawah standar, maka kinerja operasional tidak efisien
(buruk), dan jika rasio pemakaian material dalam nilai uang untuk setiap unit produk
jadi di atas standar, maka kinerja operasional buruk. Kedua parameter perhitungan
ini akan berdampak langsung terhadap biaya pokok produksi (COGM). Perhitungan
rasio pemakaian bahan dan produk jadi ini, sering dinyatakan sebagai Yield dan Rasio
Efisiensi lainnya.
Beberapa parameter yang sering digunakan untuk setiap produk atau jasa yang
dihasilkan adalah:
A. Rasio Penggunaan Material/material consumption ratio, yang umum dikenal
dengan istilah Yield atau efisiensi material.
B. Rasio energi (listrik, BBM/Bahan Bakar Minyak, dll.) yang digunakan.
C. Rasio jam kerja orang langsung/direct man hour ratio.
D. Rasio tenaga kerja tidak langsung (employee productivity index)
E. Rasio biaya administrasi dan kantor/office
b. Rasio penjualan dan persediaan (perputaran persediaan/inventory turn over). Rasio
ini menunjukkan seberapa cepat perputaran modal/uang perusahaan melalui
perhitungan antara jumlah produk/jasa yang telah terjual dengan jumlah persediaan
dalam satu periode tertentu. Semakin besar nilai yang diperoleh, maka perusahaan
memiliki jaminan akan ketersediaan uang tunai. Beberapa indikator efisiensi ini
adalah: Inventory Turn Over (ITO), Days of Inventory Hold, Stock Turnover Ratio,
Accounts receivable turnover, dan lain sebagainya.
Beberapa strategi yang dapat dilakukan (Point of Improvement) manajemen perusahaan
secara operasional adalah:
i. Lean Operations Management. Konsep Lean Operation Management lazim dikenal
dengan budaya eliminasi pemborosan (eliminating waste). Setiap pihak harus mampu
bekerja dengan baik dan benar, sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Setiap
pemborosan TIMWOOD (Transportation, Inventory, Motion, Waiting, Overproduction,
Overprocessing, Defects), akan berdampak pada kenaikan biaya produksi. Cukup
banyak literatur yang dapat dijadikan panduan dalam menerapkan eliminating waste.
Salah satu strategi yang harus diterapkan adalah Energy and Material Balance
Management. Seluruh rantai operasional manufaktur atau jasa harus dilakukan
berdasarkan alur proses dan jumlah bahan baku, bahan penolong dan energi yang
dibutuhkan sesuai dengan standar.
ii. Good Inventory Management. Jumlah persediaan material dan komponen/spare
part yang besar sangat mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan dan berdampak
akan ketersediaan uang tunai perusahaan. Untuk itu, perusahaan harus mampu
menerapkan sistem manajemen kebutuhan (demand management) dengan tingkat
akurasi yang baik, yang menghilangkan potensi efek cemeti/bullwhip effect dalam
persediaan. Beberapa strategi persediaan yagn lazim digunakan adalah: Vendor
Managed Inventory, Replenishment, Consignment Inventory, Just in Time dan
sebagainya.
iii. Total Productive Maintenance (TPM). Secara khusus TPM dibahas dalam topik ini,
sebab banyak para pelaku usaha yang tidak menyadari dampak implementasi TPM,
terhadap kinerja keuangan perusahaan. Implementasi TPM akan berdampak
langsung pada eliminasi unpredictable maintenance cost atau kenaikan biaya
operasional akibat kerusakan mesin/sistem yang tidak diantisipasi. Implementasi
waktu rata-rata pergantian mesin atau komponen (Mean Time to Repair/MTTR) serta
waktu rata-rata pemeliharaan sebelum mesin dan peralatan mengalami kerusakan
(Mean Time Between Failure/MTBF) akan memperkecil biaya persediaan “jaga-jaga”
terhadap material, komponen, barang jadi dan penerapan konsep Just in Time. Selain
itu, TPM mampu menghilangkan kerugian dari produk atau jasa reject/terbuang
akibat terjadinya kerusakan atau breakdown pada sistem.

Oktober 2019,
Bortiandy Tobing - bortiandy@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai