BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang
kesehatan pada saat ini mengarah pada spesialisasi dan subspesialisasi.
Semakin pesatnya pembangunan, membuat tuntutan masyarakat dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik semakin besar. Semakin
tinggi tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, tuntutan akan
pelayanan kesehatan yang bermutu juga akan semakin meningkat. Di lain
pihak pelayanan kesehatan yang memadai, baik di bidang diagnostik maupun
pengobatan semakin dibutuhkan. Sejalan dengan itu maka pelayanan
diagnostik yang diselenggarakan oleh laboratorium klinik diberbagai tempat
pelayanan kesehatan sangat perlu untuk menerapkan sebuah standar mutu
untuk menjamin kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat
(Kemenkes. RI, 2013).
Kegiatan peningkatan mutu meliputi kegiatan teknis laboratorium dan
kegiatan-kegiatan yang bersifat administrasi serta manajemen laboratorium.
Kegiatan teknis laboratorium meliputi seluruh kegiatan pra analitik, analitik
dan pasca analitik. Kegiatan yang berkaitan dengan administrasi meliputi
pendaftaran pasien atau spesimen, pelayanan administrasi keuangan dan
pelayanan hasil pemeriksaan. Sedangkan kegiatan yang bersifat manajerial
meliputi pemberdayaan sumber daya yang ada, yang meliputi penatalaksanaan
logistik dan pemberdayaan sumber daya manusia (Kemenkes. RI, 2013).
Proses pemeriksaan laboratorium ada 3 tahapn penting, yaitu tahapan pra
analitik yang meliputi persiapan pasien, pemberian identitas, pengambilan
spesimen, pengolahan spesimen, penyimpanan hingga pengiriman spesimen ke
laboratorium. Tahapan selanjutnya adalah tahapan analitik yang meliputi
kegiatan pemeliharaan dan kalibrasi alat, pelaksanaan pemeriksaan,
pengawasan ketelitian dan ketepatan dan yang terakhir tahapan pasca analitik
yang meliputi kegiatan pencatatan hasil pemeriksaan dan pelaporan hasil
pemeriksaan (Yaqin. A.dkk, 2015).
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah pada
penelitian ini adalah apakah ada perbedaan hasil penilaian sediaan apus darah
tepi antara teknik pencucian penggenangan dengan teknik pencucian langsung.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan
hasil penilaian sediaan apus darah tepi antara teknik pencucian
penggenangan dengan teknik pencucian langsung.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
a. Untuk mengidentifikasi hasil sediaan apus darah tepi dengan teknik
pencucian penggenangan.
b. Untuk mengidentifikasi hasil sediaan apus darah tepi dengan teknik
pencucian langsung.
c. Untuk menganalisis perbedaan hasil penilaian sediaan apus darah tepi
antara teknik pencucian penggenangan dengan teknik pencucian
langsung.
4
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis
Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman penelitian ilmiah serta
menambah wawasan khususnya di bidang hematologi dan kemudian
diterapkan dalam dunia kerja.
2. Bagi Masyarakat
Memperoleh hasil laboratorium yang benar-benar akurat sehingga
didapatkan diagnosis dan pengobatan yang tepat.
3. Bagi Instansi
a. Sebagai referensi dalam pengembangan pendidikan dan menambah
kepustakaan di Poltekkes Kemenkes Pontianak dibidang hematologi.
b. Memberi tambahan informasi cara pembuatan sediaan apus darah tepi
yang relevan, baik pada tingkat teoritis maupun pada tingkat praktek.
E. Keaslian Penelitian
Tabel 1.1. Keaslian penelitian
No Nama Peneliti Judul Penelitian Metode Hasil Penelitian
Penelitian
1 M. Afriansyah Pengaruh Variasi Eksperimen Ada pengaruh variasi
(2016) Suhu suhu pengeringan
Pengeringan preparat apusan darah
Preparat Apusan tepi terhadap hasil
Darah Tepi morfologi sel darah
terhadap Hasil merah (eritrosit).
Makroskopis dan
Morfologi Sel
Darah Merah
2 D. Rachmawati Pengaruh Lama Eksperimen Tidak ada pengaruh
(2016) Penguapan lama penguapan larutan
Larutan Fiksasi fiksasi terhadap hasil
Terhadap Hasil makroskopis dan
Makroskopis dan mikroskopis untuk
Mikroskopis warna dan ukuran
Sediaan Apus sediaan apus darah tepi.
Darah Tepi Terdapat pengaruh
lama penguapan larutan
fiksasi terhadap hasil
krenasi sediaan apus
darah tepi.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Darah
Komponen utama sistem hematologi adalah darah. Darah terdiri dari
elemen intra seluler dan ekstra seluler. Elemen intra seluler terdiri dari sel
darah merah (eritrosit), sel darah putih (lekosit) dan fragmen sel yang disebut
trombosit. Sementara itu, elemen ekstra seluler yang disebut dengan plasma
darah, membuat darah menjadi jaringan ikat yang unik karena bersifat cairan.
Kebanyakan sel darah memiliki usia yang singkat sehingga membuat tubuh
untuk mengisi kembali pasokan sel terus menerus. Proses ini disebut dengan
hematopoesis yang terjadi di sumsum tulang (Jitowiyono, 2018).
Semua sel darah adalah turunan dari satu jenis sel prekursor yang disebut
sel punca hematopoietik pluripotent. Jenis-jenis sel ini terutama ditemukan di
sumsum tulang, yaitu suatu jaringan lunank yang mengisi rongga ditengah-
tengah tulang. Sel punca pluripotent mempunyai kemampuan yang luar biasa
untuk berkembang menjadi beberapa jenis sel. Saat sel-sel tersebut
mengkhususkan diri, mereka mempersempit kemampuannya. Pertama mereka
berubah menjadi uncommited stem cells (sel punca yang netral), kemudian
menjadi sel progenitor yang mampu berkembang menjadi satu atau dua jenis
sel. Sel progenitor berdifferensiasi menjadi sel darah merah, limfosit, sel darah
putih lainnya dan megakariosit yaitu sel induk trombosit. Diperkirakan terdapat
satu sel punca yang netral dari setiap 100.000 sel yang terdapat di sumsum
tulang (Silverthorn, 2014).
Volume total darah pada laki-laki dewasa 70 kg adalah 7% dari berat badan
atau 0,07 x 70 kg = 4,9 kg. Jadi bila kita asumsikan bahwa 1 kg darah
menempati volume sebesar 1 liter, maka orang tersebut memiliki darah sekitar
5 liter. Dari volume ini, sekitar 2 liter adalah sel-sel darah, dan sisanya 3 liter
adalah plasma yaitu bagian cair darah. Seorang perempuan 58 kg mempunyai
volume darah total sekitar 4 liter (Silverthorn, 2014).
Volume darah pada keadaan normal konstan dan sampai batas tertentu
diatur oleh tekanan osmotik dalam pembuluh darah dan di dalam jaringan.
Serum darah atau plasma darah terdiri dari 90% air, 8% berupa protein dan
6
mineral sebanyak 0,9%. Sisanya diisi sejumlah bahan organik yaitu glukosa,
lemak, urea, asam urat, kreatinin dan kolesterol. Plasma juga berisi gas oksigen
dan karbondioksida, hormon-hormon, enzim dan antigen (Evelyn, 2018).
Darah memiliki tiga fungsi utama yaitu transportasi, perlindungan dan
regulasi.
1. Transportasi
Darah mengangkut oksigen dari paru-paru ke sel-sel tubuh untuk
metabolisme. Karbondioksida yang dihasilkan selama metabolisme dibawa
kembali ke paru-paru oleh darah dimana ia kemudian dihembuskan keluar.
Darah juga menyediakan sel-sel nutrisi, mengangkut hormon dan
membuang produk limbah dari hati, ginjal dan ususnya (Jitowiyono, 2018).
2. Regulasi
Darah membantu menjaga keseimbangan didalam tubuh, misalnya
memastikan suhu tubuh tetap terjaga. Hal ini dilakukan baik melalui plasma
darah yang bisa menyerap atau mengeluarkan panas, serta melalui kecepatan
aliran darah. Saat pembuluh darah melebar, darah mengalir lebih lambat dan
ini menyebabkan panas hilang. Bila suhu lingkungan rendah maka
pembuluh darah bisa berkontraksi, sehingga sedikit mungkin panas bisa
hilang (Jitowiyono, 2018).
3. Perlindungan
Jika pembuluh darah rusak, bagian tertentu dari gumpalan darah bersatu
dengan cepat dan memastikan bagian luka berhenti berdarah. Inilah cara
tubuh terlindungi dari kehilangan darah. Sel darah putih dan sel pembawa
lainnya juga berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh (Jitowiyono,
2018).
1. Proeytroblast
Setelah berproliferasi dan berdiferensiasi menghasilkan eritrosit.
Eritrosit mempunyai bentuk bikonkaf tanpa nukleus. Berbentuk bikonkaf
dikarenakan adanya suatu Hb (hemoglobin) didalam darah yang didalamnya
terdapat chain alpha, chain beta, zat besi dan lain-lain. Hb berfungsi untuk
mengangkut oksigen, karbondoksida, hormon maupun hasil ekskresi ke
dalam tubuh kita. Umur eritrosit 120 hari. Apabila telah tiba waktunya
eritrosit akan mati dimakan oleh sel makrofag. Dikarenakan kekurangan
eritrosit organ renal akan mengekskresikan suatu hormon berupa
eritropoeitein kemudian dikirim ke sumsum tulang untuk memproduksi
eritrosit kembali. Pada permukaan eritrosit terdapat suatu polipeptida
sebagai penentu golongan darah manusia.
2. Myeloblast
Setelah berproliferasi dan berdiferensiasi menghasilkan sel lekosit
kecuali sel limfosit. Berdasarkan granula yang terdapat di sitoplasma,
lekosit dibagi menjadi 2 yaitu :
a) Polymorfonuclear (granula), terdiri dari 3 macam sel yaitu sel neutrofil,
basofil dan eosinofil. Neutrofil dibagi menjadi 2 jenis yakni neutrofil
batang dan neutrofil segmen.
b) Mononuclear (agranular) bukan berasal dari myeloblast yaitu sel monosit
3. Monoblast
Setelah berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel lekosit agranula
yaitu monosit. Sel ini berfungsi pada proses inflamasi, bekerja didalam
jaringan. Sebagai fagositosis bila tubuh terinfeksi bakteri. Monosit akan
memakan monosit dan berubah menjadi makrofag, sehingga bila sel
monosit meningkat itu artinya tubuh kita sedang melakukan perlawanan
terhadap infeksi.
4. Megacarioblast
Berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi megakariosit dan akan
berubah menjadi trombosit. Trombosit tidak memilki nukleus karena berasal
dari fragmen sitoplasma megakariosit. 1 jenis sel megakariosit akan
menghasilkan 1000 trombosit.
8
besi dan globin adalah bagian dari protein yang tersusun oleh 2 rantai alpha
dan 2 rantai beta). Hemoglobin mengandung 95% besi dan berfungsi
membawa oksigen dengan cara mengikat oksigen (oksihemoglobin) dan
didistribusikan keseluruh tubuh untuk keperluan metabolisme. Oksihemoglobin
mempunyai warna yang lebih terang dibanding hemoglobin yang tidak
mengandung oksigen (hemoglobin tereduksi). Oleh sebab itu warna darah
arteri lebih terang dibandingkan dengan warna darah vena. Keseluruhan darah
normal mengandung 15 gr hemoglobin per 100 ml darah, atau 30 µm
hemoglobin per seribu eritrosit (Desmawati, 2013).
Karena hemoglobin memainkan peran penting dalam transport oksigen.
Jumlah sel darah merah dan kandungan hemoglobin tubuh adalah yang
penting. Bila kandungan hemoglobin di dalam darah rendah dikenal dengan
anemia, darah tidak dapat mengangkut cukup oksigen ke jaringan. Beberapa
anemia disebabkan oleh molekul hemoglobin yang abnormal. Bila terjadi
perdarahan, sel darah merah dengan hemoglobinnya sebagai pembawa oksigen
hilang. Pada perdarahan sedang, sel-sel iini diganti dalam waktu beberapa
minggu berikutnya. Tetapi bila kadae hemoglobin turun sampai 40% atau
dibawahnya maka diperlukan transfusi darah (Evelyn, 2018).
Untuk mengetahui ukuran eritrosit diperoleh dengan cara menghitung
volume eritrosit rata-rata atau mean corpuscular volume (MCV) yang
merupakan hasil dari hematokrit dibagi dengan jumlah eritrosit. Bila MCV
kurang dari 80 fl (fentoliter) disebut mikrositik, bila lebih dari 100 fl disebut
makrositik (Kiswari, 2014).
Morfologi sel darah merah dapat dipakai sebagai petunjuk adanya suatu
penyakit. Kadang-kadang sel darah merah kehilangan bentuk cakram
gepengnya dan menjadi sferis (sferositosis), suatu bentuk yang sama saat sel
darah merah normal berada di dalam media yang hipotonis. Pada anemia sel
sabit, sel darah merah berbentuk sabit. Pada beberapa penyakit, ukuran sel
darah merah, volume rata-rata sel darah merah (MCV) dapat abnormal, besar
atau kecil, contohnya sel darah merah dapat kecil abnormal atau mikrositik
pada anemia defisiensi besi. Bila sel darah merah menjadi pucat karena
hemoglobin yang kurang digambarkan sebagai hipokromik (Silverthorn, 2014).
10
maka dapat terbentuk nanah. Nanah berisi jenazah kawan dan lawan yang
terbunuh. Kalau sel darah putih dapat mengalahkan mikroorganisme, semua
bekas kerusakan, bakteri-bakteri yang hidup maupun yang mati, sel nanah dan
jaringan yang melelah, akan disingkirkan granulosit yang sehat yang bekerja
sebagai fagosit. Limfosit tidak memakan bakteri, tetapi membentuk antibodi
penting yang melindungi tubuh terhadap infeksi kronis dan mempertahankan
tingkat kekebalan (imunitas) tertentu terhadap infeksi (Evelyn, 2018).
Ada 5 (lima) jenis lekosit di dalam sirkulasi darah, yang dibedakan
berdasarkan ukuran, bentuk nukleus, dan ada tidaknya granula sitoplasma. Sel
yang memiliki granula sitoplasmanya disebut granulosit, sedangkan sel tanpa
granula disebut agranulosi (Desmawati, 2013).
1. Granulosit
Terbagi menjadi neutrofil, eosinofi, dan basofil berdasarkan warna
granula sitoplasmanya saat dilakukan pewarnaan dengan zat warna.
a. Neutrofil
Merupakan jenis lekosit yang paling banyak diantara jenis-jenis
lekosit. Ada 2 macam jenis yaitu neutrofil batang (stab) dan neutrofil
segmen. Neutrofil segmen sering disebut juga neutrofil polimorfonuklear
karena intinya terdiri atas beberapa segmen yang bentuknya bermacam-
macam. Jumlah segmen neutrofil 3 – 6, bila lebih dari 6 disebut dengan
neutrofil hipersegmen. Jumlah neutrofil segmen kira-kira 50 – 70% dari
keseluruhan lekosit. Sedangkan neutrofil batang (sering disebut neutrofil
tapal kuda) mempunyai inti berbentuk tapal kuda, merupakan bentuk sel
muda dari neutrofil segmen. Pada proses pematangan, bentuk intinya
akan bersegmen dan menjadi neutrofil segmen (Kiswari, 2014).
b. Eosinofil
Eosinofil mengandung granula kasar yang berwarna merah-oranye
(eosinofilik). Intinya bersegmen (pada umumnya 2 lobus). Fungsi
eosinofil juga sebagai fagositosis dan menghasilkan antibodi terutama
terhadap antigen yang dikeluarkan oleh parasit. Jumlah normal eosinofil
adalah 2 – 4% dan akan meningkat bila terjadi reaksi alergi dan infeksi
parasit (Kiswari, 2014).
c. Basofil
Basofil mengandung granula kasar berwarna ungu atau biru tua dan
sering kali menutupi inti sel. Inti sel basofil bersegmen. Basofil adalah
jenis lekosit paling sedikit dengan jumlah kurang dari 2% dari jumlah
keseluruhan lekosit. Granula basofil mengandung heparin (antikoagulan),
histamin, dan substansi anafilaksis. Basofil berperan dalam reaksi
hipersensitivitas yang berhubungan dengan imunoglobulin E (Ig E)
(Kiswari, 2014).
13
2. Agranulosit
a. Limfosit
Merupakan jenis lekosit yang jumlahnya kedua paling banyak setelah
neutrofil segmen yaitu 20 – 40% dari total lekosit. Limfosit dapat
meningkat pada infeksi virus (Kiswari, 2014).
b. Monosit
Jumlah monosit kira-kira 3 – 8% dari total jumlah lekosit. Setelah 8 –
14 jam berada di dalam darah, monosit menuju ke jaringan dan menjadi
makrofag (disebut juga histiosit). Monosit adalah jenis lekosit yang
mempunyai ukuran paling besar. Inti selnya mempunyai granula
kromatin halus menekuk yang berbentuk menyerupai ginjal/biji kacang.
Monosit mempunyai 2 fungsi yaitu sebagai fagosit mikroorganisme
(khususnya jamur dan bakteri) dan benda asing lainnya, serta berperan
dalam reaksi imun (Kiswari, 2014).
14
E. Trombosit
Trombosit disebut juga keping darah sebenarnya tidak dapat sebagai sel
utuh karena berasal dari sel raksasa yang berada di sumsum tulang yang
dinamakan megakariosit dan produksinya diatur oleh trombopoeitin. Dalam
pematangannya, megakariosit pecah menjadi 3.000 – 4.000 serpihan sel yang
dinamakan sebagai trombosit (platelet) (Yuni N.E, 2015).
Trombosit merupakan partikel kecil berdiameter 2 – 4 µm yang terdapat di
dalam sirkulasi plasma darah. Karena dapat mengalami disintegrasi cepat dan
mudah, jumlahnya selalu berubah antara 150.000 – 450.000/mm3 darah
tergantung jumlah yang dihasilkan, bagaimana digunakan dan kecepatan
kerusakan (Kiswari, 2014).
Trombosit berperan penting pada perdarahan. Apabila terjadi cedera
vaskuler, trombosit menggumpal pada tempat cedera tersebut. Substansi yang
dilepaskan dari granula trombosit dan sel darah lainnya menyebabkan
trombosit menempel satu sama lain dan membentuk sumbatan, yang sementara
menghentikan perdarahan. Substansi lain dilepaskan dari trombosit untuk
mengaktifasi faktor pembekuan dalam plasma darah. Fungsinya berkaitan
dengan pembekuan darah dan hemostasis (menghentikan perdarahan)
(Desmawati, 2013). Granula trombosit mengandung faktor pembekuan darah
adenosin difosfat (ADP) dan adenosin trifosfat (ATF), kalsium, serotonin serta
katekolamin. Sebagian besar berperan dalam merangsang mulainya proses
pembekuan darah. Umur trombosit sekitar 10 hari (Kiswari, 2014).
Salah satu kegiatan lain yang berhubungan dengan aktivitas trombosit
dalam menanggapi keusakan vaskuler adalah pemeliharaan terus menerus
15
keutuhan vaskuler oleh adhesi yang cepat pada endotel yang rusak. Selain itu
trombosit menyebar menjadi aktif dan membentuk agregat besar dengan
terbentuknya plug trombosit. Adhesi dan agregasi trombosit dilokasi pembuluh
darah yang rusak memungkinkan untuk terjadinya pelepasan molekul yang
terlibat dalam hemostasis dan penyembuhan luka dan memungkinkan
permukaan membran untuk membentuk enzim koagulasi yang mengarah ke
pembentukan fibrin. Penyembuhan pembuluh darah didukung oleh rangsangan
migrasi dan proliferasi sel endotel dan sel otot polos medial melului reaksi
pelepasan (Kiswari, 2014).
b. Normosit
Adalah eritrosit berukuran normal 6 – 8 µm. Eritrosit normal
berukuran sama dengan inti limfosit kecil (Wirawan, 2011).
c. Makrosit
Makrosit adalah eritrosit yang berukuran lebh dari 8 µm. Merupakan
hasil dari cacat pematangan inti sel pada eritropoeisis. Sel ini dijumpai
pada anemia megaloblastik, penyakit hati menahun berupa thin
macrocytes dan pada keadaan dengan retikulositosis, seperti pada anemia
hemolitik atau anemia pasca perdarahan (Wirawan, 2011).
d. Anisositosis
Anisositosis tidak menunjukkan suatu kelainan hematologik yang
spesifik. Keadaan ini ditandai adanya eritrosit dengan ukuran yang tidak
sama besar dalam sediaan apus darah tepi. Anisositosis jelas tampak pada
anemia mikrositik yang ada bersamaan dengan anemia makrositik seperti
pada anemia gizi (Wirawan, 2011).
17
b. Sferosit
Sferosit adalah eritrosit yang berbentuk lebih bulat dan biasanya lebih
kecil dari eritrosit normal. Sel ini dapat dijumpai pada jumlah besar pada
sferositosis herediter, anemia hemolitik auto imun (AIHA), lupus
eritematosus sistemik (LES) dan pasca transfusi (Wirawan, 2011).
c. Fragmentosit (schistosit)
Sel ini merupakan pecahan eritrosit yang djumpai pada kelainan
genetik seperti thalasemia dan ovalisitosis herediter. Kelainan eritrosit
ditemukan pada anemia megaloblastik, kelainan katup jantung, pada
kelainan ini eritrosit tampak seperti sel helm, luka bakar berat (Wirawan,
2011).
18
f. Sel sabit
Sel ini ditemukan pada penyakit sabit homozigot (HbSS). Untuk
mendapatkannya, eritrosit dinkubasi dulu dalam keadaan anoksia dengan
menggunakan zat reduktor (Na2O2S5 atau Na2S2O3). Hal ini dilakukan
pada penyakit sel sabit heterozigot (Wirawan, 2011).
k. Autoaglutinasi
Terjadi penggumpalan eritrosit dengan antibodi berasal dari luar
tubuh karena salah transfusi atau antibodi dibentuk oleh tubuh sendiri.
Seperti pada AIHA (Autoimmune Hemolytic Anemia) dan LES (lupus
eritemtosus sistemik) (Wirawan, 2011).
l. Rouleaux
Rouleaux tersusun dari 3 – 5 eritrosit yang membentuk barisan.
Rouleaux mungkin didapatkan pada keadaan laju endap darah yang cepat
seperti pada mieloma, infeksi keganasan dan anemia berat (Wirawan,
2011).
m. Poikilositosis
Poikilositosis adalah istilah yang menunjukkan bentuk eritrosit yang
bermacam-macam dalam sediaan apus darah tepi. Keadaan ini mungkin
didapatkan pada thalasemia mayor dan anemia berat (Wirawan, 2011).
3. Kelainan Warna Eritrosit
a. Hipokrom
Karena kadar hemoglobin berkurang mengakibatkan eritrosit tampak
pucat. Pada keadaan ini dapat ditemukan pada anemia defisiensi besi,
anemia sideroblastik, thalasemia mayor dan pada infeksi menahun. Pada
kondisi ini menyebabkan eritrosit kolaps menjadi sel pensil (Wirawan,
2011).
22
b. Eritrosit berinti
Ditemukan pada anemia berat, pada eritropoesis hiperaktif seperti
pada anemia hemolitik; neonatus septikemia dan pasca splenoktomia dan
juga dapat dijumpai pada eritropoeisis ekstra medular seperti
mielofibrosis (Wirawan, 2011).
23
H. Kerangka Teori
Darah
SADT
Pewarnaan
1.Larutan Giemsa
2.Reagen Fiksasi
Mikroskopis
A. Kerangka Konsep
Variabel Bebas
Teknik pencucian
penggenangan
Variabel Terikat
Hasil penilaian Sediaan
Apus Darah Tepi
Teknik pencucian
langsung
Keterangan :
Dilakukan penelitian :
Tidak dilakukan penelitian :
(*) : Dikendalikan
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitan perbedaan hasil penilaian
sediaan apus darah tepi antara teknik pencucian
penggenangan dengan teknik pencucian langsung
B. Variabel Penelitian
Menurut FN Kerlinger variabel adalah sebuah konsep yang dapat
dibedakan menjadi dua, yakni yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Menurut
Sudigdo Sastroasmoro dkk, variabel merupakan karakteristik subjek penelitian
yang berubah dari satu subjek ke subjek lainnya (Hidayat, 2017).
1. Variabel Bebas
Variabel bebas atau variabel independen adalah variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya
variabel dependen (terikat) (Sugiyono, 2016). Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah teknik pencucian penggenangan dan teknik pencucian
langsung.
32
33
2. Variabel Terikat
Variabel terikat atau variabel dependen merupakan variabel yang
dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas
(Sugiyono, 2016). Variabel terikat pada penelitian ini adalah hasil penilaian
sediaan apus darah tepi dengan pemeriksaan mikroskopis.
3. Variabel Pengganggu
Variabel pengganggu adalah variabel yang mengganggu hubungan-
hubungan variabel sedemikian rupa sehingga hasilnya bisa berlawanan dari
hipotesis (Machfoedz, 2017). Variabel pengganggu pada penelitian ini
adalah larutan Giemsa dan reagen fiksasi. Larutan Giemsa dikendalikan
dengan membuat larutan tersebut pada saat akan melaksanakan kegiatan
penelitian dan tidak digunakan lagi pada penelitian selanjutnya dalam arti
menggunakan larutan giemsa yang baru diencerkan. Reagen fiksasi
dikendalikan dengan cara memisahkan sebagian larutan fiksasi ke wadah
yang lebih kecil, menggunakan pipet tersendiri, meletakkannya diwadah
gelap dan bertutup rapat serta penyimpanan tidak kontak dengan matahari
langsung.
34
C. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi operasional perbedaan penilaian sediaan apus darah
tepi antara teknik pencucian penggenangan dengan teknik
pencucian langsung
No. Variabel Definisi Cara Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur Ukur
Variabel Bebas
1. Teknik Pencucian sediaan Observasi Lembar 1 = Ya Nominal
pencucian apus darah tepi ceklis 2 = Tidak
penggenangan setelah pewarnaan
dengan cara
digenangkan pada
posisi horizontal
sebelum dialirkan
air mengalir
2. Teknik Pencucian sediaan Observasi Lembar 1 = Ya Nominal
pencucian apus darah tepi ceklis 2 = Tidak
langsung setelah pewarnaan
dengan cara
langsung
dialirkan air
mengalir
Variabel Terikat
3. Hasil penilaian Kualitas sediaan Observasi Mikroskop Kriteria Rasio
sediaan apus apus darah tepi
darah tepi berdasarkan 7
kriteria menurut J.
Samidjo
Onggowaluyo
Variabel
Pengganggu
4. Larutan Giemsa Larutan Giemsa Observasi Visual 1 = Ya jika Nominal
10% yang dikendalikan
dikendalikan 2 = Tidak
dengan cara jika tidak
dibuat saat akan dikendalikan
digunakan pada
kegiatan
penelitian
5. Reagen Fiksasi Metanol absolut Observasi Visual 1 = Ya jika Nominal
yang dikendalikan dikendalikan
dengan cara 2 = Tidak
dipindahkan ke jika tidak
wadah yang lebih dikendalikan
kecil, ditutup
rapat, disimpan
diwadah yang
gelap dan
menggunakan
pipet tersendiri
35
D. Hipotesis
Hipotesis diartikan sebagai dugaan atau jawaban sementara yang mungkin
benar dan mungkin juga salah. Di dalam suatu penelitian, hipotesis merupakan
suatu kesimpulan teoritis dari hasil studi perpustakaan untuk menjawab
permasalahan suatu penelitian (Machfoedz, 2017),
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
H0 : ada perbedaan hasil penilaian sediaan apus darah tepi antara teknik
pencucian penggenangan dengan teknik pencucian langsung.
36
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian ini mengunakan penelitian komparatif yaitu penelitian
yang membandingkan keadaan satu variabel atau lebih pada dua atau lebih
sampel yang berbeda atau dua waktu yang berbeda (Sugiyono, 2016). Adapun
penerapan peneltian komparatif pada penelitian ini digunakan untuk
mengetahui perbedaan teknik pencucian penggenangan dengan teknik
pencucian langsung pada pemeriksaan sediaan apus darah tepi.
6) Tisu
7) Hepafik
8) Minyak emersi.
e. Pembuatan giemsa 10%
Disiapkan wadah bertutup. Campurkan 1 ml giemsa stok dengan 9 ml
buffer atau aquadestilasi di wadah tersebut. Kemudian homogenkan,
larutan giemsa siap digunakan.
f. Pengambilan sampel darah kapiler (Chairlan, 2011)
1) Gunakan alat pelindung diri, terutama sarung tangan.
2) Tusukan lancet pada pada jari tangan ketiga atau keempat.
Sebelumnya sterilkan dahulu tempat tersebut dengan kapas alkohol.
Darah harus menetes sendiri atau dengan sedikit diperas pada tempat
tersebut. Seka tetesan darah yang pertama kali keluar dengan tisu.
3) Setelah selesai, usapkan jari kembali menggunakan kapas kering
sampai area penusukan benar-benar bersih
g. Pembuatan sediaan apus darah tepi (Chairlan, 2011)
1) Pegang ujung jari tangan pasien dan sentuhkan sedikit pada salah
satu ujung kaca objek. Darah yang diperlukan cukup setetes saja,
kira-kira dengan diameter 4 mm
2) Gunakan satu tangan Anda untuk memegang kaca objek, sementara
tangan satunya memegang kaca pengapus yang diposisikan tepat di
depan tetesan darah pada kaca objek
3) Geser mundur kaca-pengapus tersebut hingga menyentuh tetesan
darah
4) Biarkan darah menyebar di sepanjang tepi kaca pengapus
5) Geser kaca pengapus sampai ujung kaca objek, lakukan dalam satu
gerakan mantap (tetesan darah harus sudah habis sebelum mencapai
ujung kaca objek). Penggeseran ini harus dilakukan lebih cepat
sewaktu membuat apusan darah pasien dengan anemia
h. Pewarnaan dengan teknik pencucian penggenangan (Chairlan, 2011)
1) Fiksasi apusan darah yang telah dikeringkan dengan metanol selama
2 – 3 menit
40
Tabel 4.1 Hasil penlaian teknik pencucian sediaan apus darah tepi
Kode Teknik Pencucian Teknik Pencucian
Sampel Penggenangan (kriteria) Langsung (kriteria)
1
45