Anda di halaman 1dari 41

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang
kesehatan pada saat ini mengarah pada spesialisasi dan subspesialisasi.
Semakin pesatnya pembangunan, membuat tuntutan masyarakat dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik semakin besar. Semakin
tinggi tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, tuntutan akan
pelayanan kesehatan yang bermutu juga akan semakin meningkat. Di lain
pihak pelayanan kesehatan yang memadai, baik di bidang diagnostik maupun
pengobatan semakin dibutuhkan. Sejalan dengan itu maka pelayanan
diagnostik yang diselenggarakan oleh laboratorium klinik diberbagai tempat
pelayanan kesehatan sangat perlu untuk menerapkan sebuah standar mutu
untuk menjamin kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat
(Kemenkes. RI, 2013).
Kegiatan peningkatan mutu meliputi kegiatan teknis laboratorium dan
kegiatan-kegiatan yang bersifat administrasi serta manajemen laboratorium.
Kegiatan teknis laboratorium meliputi seluruh kegiatan pra analitik, analitik
dan pasca analitik. Kegiatan yang berkaitan dengan administrasi meliputi
pendaftaran pasien atau spesimen, pelayanan administrasi keuangan dan
pelayanan hasil pemeriksaan. Sedangkan kegiatan yang bersifat manajerial
meliputi pemberdayaan sumber daya yang ada, yang meliputi penatalaksanaan
logistik dan pemberdayaan sumber daya manusia (Kemenkes. RI, 2013).
Proses pemeriksaan laboratorium ada 3 tahapn penting, yaitu tahapan pra
analitik yang meliputi persiapan pasien, pemberian identitas, pengambilan
spesimen, pengolahan spesimen, penyimpanan hingga pengiriman spesimen ke
laboratorium. Tahapan selanjutnya adalah tahapan analitik yang meliputi
kegiatan pemeliharaan dan kalibrasi alat, pelaksanaan pemeriksaan,
pengawasan ketelitian dan ketepatan dan yang terakhir tahapan pasca analitik
yang meliputi kegiatan pencatatan hasil pemeriksaan dan pelaporan hasil
pemeriksaan (Yaqin. A.dkk, 2015).
2

Pelayanan laboratorium merupakan bagian integral dari pelayanan


kesehatan yang diperlukan untuk menunjang upaya penegakan diagnosis,
pengobatan penyakit serta pemulihan kesehatan. Sebanyak 40% keputusan
medis berdasarkan dari hasil laboratorium. Kesalahan hasil laboratorium
mengakibatkan pengobatan yang tertunda, kesalahan dalam pengobatan dan
pemeriksaan diagnostik, biaya akan membengkak dan meningkatkan resiko
keselamatan pasien itu sendiri (Sari, 2015).
Salah satu pemeriksaan dibidang hematologi adalah pemeriksaan sediaan
apus darah tepi (SADT). Pemeriksaan ini adalah salah satu pemeriksaan yang
sangat penting karena dari sini kita akan banyak mendapatkan informasi yang
berkaitan dengan morfologi sel darah dan juga dapat memberi petunjuk
keadaan hematologik yang semula tidak diduga (Kiswari, 2014).
Tujuan pemeriksaan sediaan apus darah tepi antara lain menilai berbagai
unsur sel darah tepi seperti eritrosit, lekosit, trombosit dan mencari adanya
parasit seperti malaria, tripanosoma, mikrofilaria dan lain-lain. Sediaan apus
yang dibuat dan dipulas dengan baik merupakan syarat mutlak untuk
mendapatkan hasil pemeriksaan yang baik. Pemeriksaan darah rutin seperti
hitung jenis sel darah dapat juga dimanfaatkan untuk melihat karakteristik
morfologi darah. Pada bidang hematologi sediaan apus darah tepi begitu
penting karena dari sediaan apus darah tepi inilah dapat memberikan banyak
informasi yang berkaitan dengan morfologi sel darah dan dapat memberi
petunjuk keadaan hematologik (Yuni N.E, 2015).
Sediaan apus darah tepi yang layak untuk diperiksa harus memenuhi syarat
yang telah ditetapkan. Secara makroskopis dan mikroskopis sangat penting
dalam menilai keberhasilan dalam pembuatan sediaan apus darah tepi. Secara
makroskopis, bentuk dan tampilan sediaan harus kering. Salah satu faktor
penentu dalam hal ini yaitu teknik pewarnaan yang termasuk didalamnya
teknik pencucian sediaan. Pencucian yang kurang baik dapat mengakibatkan
sediaan menjadi kotor karena sisa-sisa zat warna yang masih melekat di
sediaan sehingga pada pemeriksaan mikroskopis kadang dapat menyerupai
benda-benda inklusi. Selain itu pencucian yang kurang baik menyebabkan
sediaan hapus terlampau biru.(Wirawan, 2011).
3

Teknik pencucian diberbagai laboratorium menggunakan teknik yang


berbeda-beda. Selain menggunakan teknik pencucian penggenangan ada juga
yang menggunakan teknik pencucian langsung. Menurut Kiswari (2014) teknik
pencucian yang digunakan adalah teknik pencucian langsung sedangkan
menurut Chairlan dan Estu Lestari (2011) teknik yang digunakan adalah teknik
pencucian penggenangan. Setelah dilakukan penilaian pada uji pendahuluan
terhadap 4 sampel diketahui tidak ada perbedaan antara teknik pencucian
penggenangan dengan teknik pencucian langsung.
Merujuk dari latar belakang yang telah diuraikan diatas maka penulis ingin
melakukan penelitian dengan judul Perbedaan Hasil Penilaian Sediaan Apus
Darah Tepi antara Teknik Pencucian Penggenangan dengan Teknik Pencucian
Langsung.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah pada
penelitian ini adalah apakah ada perbedaan hasil penilaian sediaan apus darah
tepi antara teknik pencucian penggenangan dengan teknik pencucian langsung.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan
hasil penilaian sediaan apus darah tepi antara teknik pencucian
penggenangan dengan teknik pencucian langsung.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
a. Untuk mengidentifikasi hasil sediaan apus darah tepi dengan teknik
pencucian penggenangan.
b. Untuk mengidentifikasi hasil sediaan apus darah tepi dengan teknik
pencucian langsung.
c. Untuk menganalisis perbedaan hasil penilaian sediaan apus darah tepi
antara teknik pencucian penggenangan dengan teknik pencucian
langsung.
4

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis
Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman penelitian ilmiah serta
menambah wawasan khususnya di bidang hematologi dan kemudian
diterapkan dalam dunia kerja.
2. Bagi Masyarakat
Memperoleh hasil laboratorium yang benar-benar akurat sehingga
didapatkan diagnosis dan pengobatan yang tepat.
3. Bagi Instansi
a. Sebagai referensi dalam pengembangan pendidikan dan menambah
kepustakaan di Poltekkes Kemenkes Pontianak dibidang hematologi.
b. Memberi tambahan informasi cara pembuatan sediaan apus darah tepi
yang relevan, baik pada tingkat teoritis maupun pada tingkat praktek.

E. Keaslian Penelitian
Tabel 1.1. Keaslian penelitian
No Nama Peneliti Judul Penelitian Metode Hasil Penelitian
Penelitian
1 M. Afriansyah Pengaruh Variasi Eksperimen Ada pengaruh variasi
(2016) Suhu suhu pengeringan
Pengeringan preparat apusan darah
Preparat Apusan tepi terhadap hasil
Darah Tepi morfologi sel darah
terhadap Hasil merah (eritrosit).
Makroskopis dan
Morfologi Sel
Darah Merah
2 D. Rachmawati Pengaruh Lama Eksperimen Tidak ada pengaruh
(2016) Penguapan lama penguapan larutan
Larutan Fiksasi fiksasi terhadap hasil
Terhadap Hasil makroskopis dan
Makroskopis dan mikroskopis untuk
Mikroskopis warna dan ukuran
Sediaan Apus sediaan apus darah tepi.
Darah Tepi Terdapat pengaruh
lama penguapan larutan
fiksasi terhadap hasil
krenasi sediaan apus
darah tepi.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Darah
Komponen utama sistem hematologi adalah darah. Darah terdiri dari
elemen intra seluler dan ekstra seluler. Elemen intra seluler terdiri dari sel
darah merah (eritrosit), sel darah putih (lekosit) dan fragmen sel yang disebut
trombosit. Sementara itu, elemen ekstra seluler yang disebut dengan plasma
darah, membuat darah menjadi jaringan ikat yang unik karena bersifat cairan.
Kebanyakan sel darah memiliki usia yang singkat sehingga membuat tubuh
untuk mengisi kembali pasokan sel terus menerus. Proses ini disebut dengan
hematopoesis yang terjadi di sumsum tulang (Jitowiyono, 2018).
Semua sel darah adalah turunan dari satu jenis sel prekursor yang disebut
sel punca hematopoietik pluripotent. Jenis-jenis sel ini terutama ditemukan di
sumsum tulang, yaitu suatu jaringan lunank yang mengisi rongga ditengah-
tengah tulang. Sel punca pluripotent mempunyai kemampuan yang luar biasa
untuk berkembang menjadi beberapa jenis sel. Saat sel-sel tersebut
mengkhususkan diri, mereka mempersempit kemampuannya. Pertama mereka
berubah menjadi uncommited stem cells (sel punca yang netral), kemudian
menjadi sel progenitor yang mampu berkembang menjadi satu atau dua jenis
sel. Sel progenitor berdifferensiasi menjadi sel darah merah, limfosit, sel darah
putih lainnya dan megakariosit yaitu sel induk trombosit. Diperkirakan terdapat
satu sel punca yang netral dari setiap 100.000 sel yang terdapat di sumsum
tulang (Silverthorn, 2014).
Volume total darah pada laki-laki dewasa 70 kg adalah 7% dari berat badan
atau 0,07 x 70 kg = 4,9 kg. Jadi bila kita asumsikan bahwa 1 kg darah
menempati volume sebesar 1 liter, maka orang tersebut memiliki darah sekitar
5 liter. Dari volume ini, sekitar 2 liter adalah sel-sel darah, dan sisanya 3 liter
adalah plasma yaitu bagian cair darah. Seorang perempuan 58 kg mempunyai
volume darah total sekitar 4 liter (Silverthorn, 2014).
Volume darah pada keadaan normal konstan dan sampai batas tertentu
diatur oleh tekanan osmotik dalam pembuluh darah dan di dalam jaringan.
Serum darah atau plasma darah terdiri dari 90% air, 8% berupa protein dan
6

mineral sebanyak 0,9%. Sisanya diisi sejumlah bahan organik yaitu glukosa,
lemak, urea, asam urat, kreatinin dan kolesterol. Plasma juga berisi gas oksigen
dan karbondioksida, hormon-hormon, enzim dan antigen (Evelyn, 2018).
Darah memiliki tiga fungsi utama yaitu transportasi, perlindungan dan
regulasi.
1. Transportasi
Darah mengangkut oksigen dari paru-paru ke sel-sel tubuh untuk
metabolisme. Karbondioksida yang dihasilkan selama metabolisme dibawa
kembali ke paru-paru oleh darah dimana ia kemudian dihembuskan keluar.
Darah juga menyediakan sel-sel nutrisi, mengangkut hormon dan
membuang produk limbah dari hati, ginjal dan ususnya (Jitowiyono, 2018).
2. Regulasi
Darah membantu menjaga keseimbangan didalam tubuh, misalnya
memastikan suhu tubuh tetap terjaga. Hal ini dilakukan baik melalui plasma
darah yang bisa menyerap atau mengeluarkan panas, serta melalui kecepatan
aliran darah. Saat pembuluh darah melebar, darah mengalir lebih lambat dan
ini menyebabkan panas hilang. Bila suhu lingkungan rendah maka
pembuluh darah bisa berkontraksi, sehingga sedikit mungkin panas bisa
hilang (Jitowiyono, 2018).
3. Perlindungan
Jika pembuluh darah rusak, bagian tertentu dari gumpalan darah bersatu
dengan cepat dan memastikan bagian luka berhenti berdarah. Inilah cara
tubuh terlindungi dari kehilangan darah. Sel darah putih dan sel pembawa
lainnya juga berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh (Jitowiyono,
2018).

B. Jenis-jenis Sel Darah Pada Manusia


Di dalam sumsum tulang terdapat sel induk dari segala jenis sel darah yaitu
sel haematopoieses precursor pluripotens yang berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel myeloid pluripotens dan sel limfoid pluripotens
(menghasilkan sel limfosit). Sel myeloid pluripoten akan berproliferasi dan
berdeferensiasi menjadi 4 macam sel induk yakni (Yuni N.E, 2015) :
7

1. Proeytroblast
Setelah berproliferasi dan berdiferensiasi menghasilkan eritrosit.
Eritrosit mempunyai bentuk bikonkaf tanpa nukleus. Berbentuk bikonkaf
dikarenakan adanya suatu Hb (hemoglobin) didalam darah yang didalamnya
terdapat chain alpha, chain beta, zat besi dan lain-lain. Hb berfungsi untuk
mengangkut oksigen, karbondoksida, hormon maupun hasil ekskresi ke
dalam tubuh kita. Umur eritrosit 120 hari. Apabila telah tiba waktunya
eritrosit akan mati dimakan oleh sel makrofag. Dikarenakan kekurangan
eritrosit organ renal akan mengekskresikan suatu hormon berupa
eritropoeitein kemudian dikirim ke sumsum tulang untuk memproduksi
eritrosit kembali. Pada permukaan eritrosit terdapat suatu polipeptida
sebagai penentu golongan darah manusia.
2. Myeloblast
Setelah berproliferasi dan berdiferensiasi menghasilkan sel lekosit
kecuali sel limfosit. Berdasarkan granula yang terdapat di sitoplasma,
lekosit dibagi menjadi 2 yaitu :
a) Polymorfonuclear (granula), terdiri dari 3 macam sel yaitu sel neutrofil,
basofil dan eosinofil. Neutrofil dibagi menjadi 2 jenis yakni neutrofil
batang dan neutrofil segmen.
b) Mononuclear (agranular) bukan berasal dari myeloblast yaitu sel monosit
3. Monoblast
Setelah berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel lekosit agranula
yaitu monosit. Sel ini berfungsi pada proses inflamasi, bekerja didalam
jaringan. Sebagai fagositosis bila tubuh terinfeksi bakteri. Monosit akan
memakan monosit dan berubah menjadi makrofag, sehingga bila sel
monosit meningkat itu artinya tubuh kita sedang melakukan perlawanan
terhadap infeksi.
4. Megacarioblast
Berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi megakariosit dan akan
berubah menjadi trombosit. Trombosit tidak memilki nukleus karena berasal
dari fragmen sitoplasma megakariosit. 1 jenis sel megakariosit akan
menghasilkan 1000 trombosit.
8

C. Sel Darah Merah


Sel darah merah atau ertrosit berupa cakram kecil bikonkaf, cekung pada
kedua sisinya. Terlihat dari samping tampak seperti 2 bulan sabit yang saling
bertolak belakang. Dalam setiap milimeter kubik darah terdapat 5.000.000 sel
darah. Dilihat satu persatu berwarna kuning tua pucat. Dalam jumlah besar
kelihatan merah dan memberi warna pada darah. Strukturnya terdiri atas
pembungkus luar atau stroma, berisi massa hemoglobin (Evelyn, 2018).
Produksi eritrosit dikenal dengan istilah eritropoeisis, dimana eritroblas
muncul dari sel stem primitif dalam sumsum tulang. Eritroblas adalah sel yang
berinti yang pada proses pematangan di sumsum tulang menimbun hemoglobin
dan secara bertahap intinya akan menghilang. Pada tahap ini selnya dikenal
sebagai retikulosit. Pematangan lebih lanjut menjadi eritrosit, disertai dengan
menghilangnya material berwarna gelap dan sedikit penyusutan ukuran dan
kemudian dilepaskan ke dalam sirkulasi. Dalam keadaan tertentu, retkulasi dan
sel imatur lainnya dapat dilepaskan dalam sirkulasi sebelum waktunya
(Desmawati, 2013).
Sel progenitor khusus berdiferensiasi beberapa tahap menjadi erytroblast
yang besar dan berinti didalam sumsum tulang. Saat erytroblast matang,
intinya berkondensasi dan diameter sel menciut dari 20 µm menjadi 7 µm.
Pada tahap akhir sebelum sel darah dewasa, intinya keluar dan dimakan oleh
makrofag sumsum tulang. Pada saat yang bersamaan, organel membran lainnya
(seperti mitokondria) diuraikan dan menghilang. Bentuk sel lain yang belum
dewasa, retikulosit meninggalkan sumsum tulang dan masuk kedalam sirkulasi.
Tempat retikulosit dewasa menjadi eritrosit dalam waktu sekitar 24 jam
(Silverthorn, 2014).
Sel darah merah adalah sel darah terbanyak yang terdapat di dalam darah.
Sel ini mengandung senyawa yang berwarna yaitu hemoglobin, maka dengan
sendirinya darah berwarna merah. Hemoglobin adalah suatu protein yang
mengandung senyawa besi hemin (Yuni N.E, 2015). Rata-rata masa hidup sel
darah merah adalah 120 hari. Dibuang dari darah oleh sistem retikuloendotelial
di dalam hati dan limfa. Sel darah merah yang matang mengandung 200 – 300
juta hemoglobin (terdiri dari hem merupakan gabungan protoforpirin dengan
9

besi dan globin adalah bagian dari protein yang tersusun oleh 2 rantai alpha
dan 2 rantai beta). Hemoglobin mengandung 95% besi dan berfungsi
membawa oksigen dengan cara mengikat oksigen (oksihemoglobin) dan
didistribusikan keseluruh tubuh untuk keperluan metabolisme. Oksihemoglobin
mempunyai warna yang lebih terang dibanding hemoglobin yang tidak
mengandung oksigen (hemoglobin tereduksi). Oleh sebab itu warna darah
arteri lebih terang dibandingkan dengan warna darah vena. Keseluruhan darah
normal mengandung 15 gr hemoglobin per 100 ml darah, atau 30 µm
hemoglobin per seribu eritrosit (Desmawati, 2013).
Karena hemoglobin memainkan peran penting dalam transport oksigen.
Jumlah sel darah merah dan kandungan hemoglobin tubuh adalah yang
penting. Bila kandungan hemoglobin di dalam darah rendah dikenal dengan
anemia, darah tidak dapat mengangkut cukup oksigen ke jaringan. Beberapa
anemia disebabkan oleh molekul hemoglobin yang abnormal. Bila terjadi
perdarahan, sel darah merah dengan hemoglobinnya sebagai pembawa oksigen
hilang. Pada perdarahan sedang, sel-sel iini diganti dalam waktu beberapa
minggu berikutnya. Tetapi bila kadae hemoglobin turun sampai 40% atau
dibawahnya maka diperlukan transfusi darah (Evelyn, 2018).
Untuk mengetahui ukuran eritrosit diperoleh dengan cara menghitung
volume eritrosit rata-rata atau mean corpuscular volume (MCV) yang
merupakan hasil dari hematokrit dibagi dengan jumlah eritrosit. Bila MCV
kurang dari 80 fl (fentoliter) disebut mikrositik, bila lebih dari 100 fl disebut
makrositik (Kiswari, 2014).
Morfologi sel darah merah dapat dipakai sebagai petunjuk adanya suatu
penyakit. Kadang-kadang sel darah merah kehilangan bentuk cakram
gepengnya dan menjadi sferis (sferositosis), suatu bentuk yang sama saat sel
darah merah normal berada di dalam media yang hipotonis. Pada anemia sel
sabit, sel darah merah berbentuk sabit. Pada beberapa penyakit, ukuran sel
darah merah, volume rata-rata sel darah merah (MCV) dapat abnormal, besar
atau kecil, contohnya sel darah merah dapat kecil abnormal atau mikrositik
pada anemia defisiensi besi. Bila sel darah merah menjadi pucat karena
hemoglobin yang kurang digambarkan sebagai hipokromik (Silverthorn, 2014).
10

D. Sel Darah Putih


Sel darah putih atau lekosit adalah sel lain yang terdapat di dalam darah
yang berperan dalam mempertahankan tubuh terhadap penyusupan benda asing
yang selalu dipandang mempunyai kemungkinan untuk mendatangkan bahaya
bagi kelangsungan hidup individu selain itu, sel darah putih befungsi sebagai
pengangkut zat lemak (Yuni N.E, 2015).
Sel darah putih rupanya bening tidak berwarna. Bentuknya lebih besar dari
sel darah merah, tetapi jumlahnya lebih kecil. Dalam setiap milimeter kubik
darah terdapat sekitar 6.000 sampai 10.000 (rata-rata 8.000). Granulosit
merupakan hampir 75% dari seluruh jumlah sel darah putih. Sel ini berisi
sebuah nukleus yang berbelah banyak dan protoplasmanya berbulir, sehingga
disebut sel berbulir atau granulosit (Evelyn, 2018).
Ciri-ciri lain dari sel darah putih adalah memiliki bentuk yang banyak atau
dapat dikatakan bentuknya tidak beraturan, dapat berubah bentuk, bertahan
hidup 12 – 13 hari, terbuat di dalam sumsum merah tulang pipi, limfa dan
kelenjar getah bening, bergerak secara amuboid (seperti dengan amoeba) dan
dapat menembus dinding pembuluh darah (Yuni N.E, 2015).
Beberapa jenis sel darah putih atau lekosit terdapat dalam darah. Lekosit
pada umumnya dibagi menjadi granulosit, yang mempunyai granula khas dan
agranulosit yang tidak mempunyai granula khas. Granulosit terdiri dari
neutrofil, eosinofil dan basofil. Agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit.
Meskipun lekosit merupakan sel darah, tetapi fungsinya lebih banyak
dilakukan didalam jaringan. Selama berada didalam darah, lekosit hanya
bersifat sementara mengikuti aliran darah ke seluruh tubuh. Apabila terjadi
peradangan pada jaringan tubuh, lekosit bermigrasi menuju jaringan yang
mengalami radang dengan cara menembus dinding pembuluh darah (kapiler)
(Kiswari, 2014).
Granulosit dan monosit mempunyai peranan penting dalam perlindungan
tubuh terhadap mikroorganisme. Dengan kemampuannya sebagai fagosit,
kedua sel darah itu memakan bakteri-bakteri hidup yang masuk ke peredaran
darah. Sebagai hasil kerja fagositik, dari sel darah putih, peradangan dapat
dihentikan sama sekali. Jika kegiatannya tidak berhasil dengan sempurna,
11

maka dapat terbentuk nanah. Nanah berisi jenazah kawan dan lawan yang
terbunuh. Kalau sel darah putih dapat mengalahkan mikroorganisme, semua
bekas kerusakan, bakteri-bakteri yang hidup maupun yang mati, sel nanah dan
jaringan yang melelah, akan disingkirkan granulosit yang sehat yang bekerja
sebagai fagosit. Limfosit tidak memakan bakteri, tetapi membentuk antibodi
penting yang melindungi tubuh terhadap infeksi kronis dan mempertahankan
tingkat kekebalan (imunitas) tertentu terhadap infeksi (Evelyn, 2018).
Ada 5 (lima) jenis lekosit di dalam sirkulasi darah, yang dibedakan
berdasarkan ukuran, bentuk nukleus, dan ada tidaknya granula sitoplasma. Sel
yang memiliki granula sitoplasmanya disebut granulosit, sedangkan sel tanpa
granula disebut agranulosi (Desmawati, 2013).
1. Granulosit
Terbagi menjadi neutrofil, eosinofi, dan basofil berdasarkan warna
granula sitoplasmanya saat dilakukan pewarnaan dengan zat warna.
a. Neutrofil
Merupakan jenis lekosit yang paling banyak diantara jenis-jenis
lekosit. Ada 2 macam jenis yaitu neutrofil batang (stab) dan neutrofil
segmen. Neutrofil segmen sering disebut juga neutrofil polimorfonuklear
karena intinya terdiri atas beberapa segmen yang bentuknya bermacam-
macam. Jumlah segmen neutrofil 3 – 6, bila lebih dari 6 disebut dengan
neutrofil hipersegmen. Jumlah neutrofil segmen kira-kira 50 – 70% dari
keseluruhan lekosit. Sedangkan neutrofil batang (sering disebut neutrofil
tapal kuda) mempunyai inti berbentuk tapal kuda, merupakan bentuk sel
muda dari neutrofil segmen. Pada proses pematangan, bentuk intinya
akan bersegmen dan menjadi neutrofil segmen (Kiswari, 2014).

Gambar 2.1 Sel neutrofil batang


(Sumber : Budi Santoso, 2010)
12

Gambar 2.2 Sel neutrofil segmen


(Sumber : Budi Santoso, 2010)

b. Eosinofil
Eosinofil mengandung granula kasar yang berwarna merah-oranye
(eosinofilik). Intinya bersegmen (pada umumnya 2 lobus). Fungsi
eosinofil juga sebagai fagositosis dan menghasilkan antibodi terutama
terhadap antigen yang dikeluarkan oleh parasit. Jumlah normal eosinofil
adalah 2 – 4% dan akan meningkat bila terjadi reaksi alergi dan infeksi
parasit (Kiswari, 2014).

Gambar 2.3 Sel eosinofil


(Sumber : Budi Santoso, 2010)

c. Basofil
Basofil mengandung granula kasar berwarna ungu atau biru tua dan
sering kali menutupi inti sel. Inti sel basofil bersegmen. Basofil adalah
jenis lekosit paling sedikit dengan jumlah kurang dari 2% dari jumlah
keseluruhan lekosit. Granula basofil mengandung heparin (antikoagulan),
histamin, dan substansi anafilaksis. Basofil berperan dalam reaksi
hipersensitivitas yang berhubungan dengan imunoglobulin E (Ig E)
(Kiswari, 2014).
13

Gambar 2.4 Sel basofil


(Sumber : Budi Santoso, 2010)

2. Agranulosit
a. Limfosit
Merupakan jenis lekosit yang jumlahnya kedua paling banyak setelah
neutrofil segmen yaitu 20 – 40% dari total lekosit. Limfosit dapat
meningkat pada infeksi virus (Kiswari, 2014).

Gambar 2.4 Sel limfosit


(Sumber : Budi Santoso, 2010)

b. Monosit
Jumlah monosit kira-kira 3 – 8% dari total jumlah lekosit. Setelah 8 –
14 jam berada di dalam darah, monosit menuju ke jaringan dan menjadi
makrofag (disebut juga histiosit). Monosit adalah jenis lekosit yang
mempunyai ukuran paling besar. Inti selnya mempunyai granula
kromatin halus menekuk yang berbentuk menyerupai ginjal/biji kacang.
Monosit mempunyai 2 fungsi yaitu sebagai fagosit mikroorganisme
(khususnya jamur dan bakteri) dan benda asing lainnya, serta berperan
dalam reaksi imun (Kiswari, 2014).
14

Gambar 2.5 Sel monosit


(Sumber : Budi Santoso, 2010)

E. Trombosit
Trombosit disebut juga keping darah sebenarnya tidak dapat sebagai sel
utuh karena berasal dari sel raksasa yang berada di sumsum tulang yang
dinamakan megakariosit dan produksinya diatur oleh trombopoeitin. Dalam
pematangannya, megakariosit pecah menjadi 3.000 – 4.000 serpihan sel yang
dinamakan sebagai trombosit (platelet) (Yuni N.E, 2015).
Trombosit merupakan partikel kecil berdiameter 2 – 4 µm yang terdapat di
dalam sirkulasi plasma darah. Karena dapat mengalami disintegrasi cepat dan
mudah, jumlahnya selalu berubah antara 150.000 – 450.000/mm3 darah
tergantung jumlah yang dihasilkan, bagaimana digunakan dan kecepatan
kerusakan (Kiswari, 2014).
Trombosit berperan penting pada perdarahan. Apabila terjadi cedera
vaskuler, trombosit menggumpal pada tempat cedera tersebut. Substansi yang
dilepaskan dari granula trombosit dan sel darah lainnya menyebabkan
trombosit menempel satu sama lain dan membentuk sumbatan, yang sementara
menghentikan perdarahan. Substansi lain dilepaskan dari trombosit untuk
mengaktifasi faktor pembekuan dalam plasma darah. Fungsinya berkaitan
dengan pembekuan darah dan hemostasis (menghentikan perdarahan)
(Desmawati, 2013). Granula trombosit mengandung faktor pembekuan darah
adenosin difosfat (ADP) dan adenosin trifosfat (ATF), kalsium, serotonin serta
katekolamin. Sebagian besar berperan dalam merangsang mulainya proses
pembekuan darah. Umur trombosit sekitar 10 hari (Kiswari, 2014).
Salah satu kegiatan lain yang berhubungan dengan aktivitas trombosit
dalam menanggapi keusakan vaskuler adalah pemeliharaan terus menerus
15

keutuhan vaskuler oleh adhesi yang cepat pada endotel yang rusak. Selain itu
trombosit menyebar menjadi aktif dan membentuk agregat besar dengan
terbentuknya plug trombosit. Adhesi dan agregasi trombosit dilokasi pembuluh
darah yang rusak memungkinkan untuk terjadinya pelepasan molekul yang
terlibat dalam hemostasis dan penyembuhan luka dan memungkinkan
permukaan membran untuk membentuk enzim koagulasi yang mengarah ke
pembentukan fibrin. Penyembuhan pembuluh darah didukung oleh rangsangan
migrasi dan proliferasi sel endotel dan sel otot polos medial melului reaksi
pelepasan (Kiswari, 2014).

Gambar 2.6 Trombosit


(Sumber : Koko Putra Pamungkas, 2014)

F. Kelainan Morfologi Eritrosit


1. Kelainan Ukuran Eritrosit
a. Mikrosit
Sel ini dapat berasal dari fragmentasi eritrosit yang normal seperti
pada anemia hemolitik dan dapat pula terjadi pada anemia defisiensi besi,
thalassemia mayor, anemia penyakit menahun dan sindroma
mielodisplasia (Wirawan, 2011).

Gambar 2.7 Mikrosit


(Sumber : Koko Putra Pamungkas, 2014)
16

b. Normosit
Adalah eritrosit berukuran normal 6 – 8 µm. Eritrosit normal
berukuran sama dengan inti limfosit kecil (Wirawan, 2011).

Gambar 2.8 Normosit


(Sumber : Koko Putra Pamungkas, 2014)

c. Makrosit
Makrosit adalah eritrosit yang berukuran lebh dari 8 µm. Merupakan
hasil dari cacat pematangan inti sel pada eritropoeisis. Sel ini dijumpai
pada anemia megaloblastik, penyakit hati menahun berupa thin
macrocytes dan pada keadaan dengan retikulositosis, seperti pada anemia
hemolitik atau anemia pasca perdarahan (Wirawan, 2011).

Gambar 2.9 Makrosit


(Sumber : Koko Putra Pamungkas, 2014)

d. Anisositosis
Anisositosis tidak menunjukkan suatu kelainan hematologik yang
spesifik. Keadaan ini ditandai adanya eritrosit dengan ukuran yang tidak
sama besar dalam sediaan apus darah tepi. Anisositosis jelas tampak pada
anemia mikrositik yang ada bersamaan dengan anemia makrositik seperti
pada anemia gizi (Wirawan, 2011).
17

2. Kelainan Bentuk Eritrosit


a. Ovalosit atau eliptosit
Ovalosit adalah eritrosit berbentuk lonjong. Pada ovalosit herediter,
tampak lebih dari 90%.. Dalam keadaan normal ovalosit dapat dijumpai
dalam jumlah sedikit di dalam darah tepi (Wirawan, 2011).

Gambar 2.10 Ovalosit atau eliptosit


(Sumber : Koko Putra Pamungkas, 2014)

b. Sferosit
Sferosit adalah eritrosit yang berbentuk lebih bulat dan biasanya lebih
kecil dari eritrosit normal. Sel ini dapat dijumpai pada jumlah besar pada
sferositosis herediter, anemia hemolitik auto imun (AIHA), lupus
eritematosus sistemik (LES) dan pasca transfusi (Wirawan, 2011).

Gambar 2.11 Sferosit


(Sumber : Koko Putra Pamungkas, 2014)

c. Fragmentosit (schistosit)
Sel ini merupakan pecahan eritrosit yang djumpai pada kelainan
genetik seperti thalasemia dan ovalisitosis herediter. Kelainan eritrosit
ditemukan pada anemia megaloblastik, kelainan katup jantung, pada
kelainan ini eritrosit tampak seperti sel helm, luka bakar berat (Wirawan,
2011).
18

Gambar 2.12 Fragmentosit (schistosit)


(Sumber : Koko Putra Pamungkas, 2014)
d. Bite cell
Eritrosit ini dijumpai pada G-6PD defisiensi karena pengaruh obat
yang bersifat oksidator. Hemoglobin mengalami oksidasi membentuk
endapan badan heinz yang melekat pada membran eritrosit, kemudian
bahan inklusi tersebut dbersihkan oleh limfa sehingga membran eritrost
rusak. Sel ini disebut dengan bite cell atau blister cell atau mouth eaten
cell (Wirawan, 2011).

Gambar 2.13 Bite cell


(Sumber : Koko Putra Pamungkas, 2014)

e. Sel target atau leptosis


Eritrosit yang mempunyai masa kemerahan dibagian tengahnya,
disebut juga sel sasaran. Sel semacam ini banyak dijumpai pada
thalasemia, anemia defisiensi besi berat dan penyakit hati menahun
(Wirawan, 2011).

Gambar 2.13 Sel target atau leptosis


(Sumber : Koko Putra Pamungkas, 2014)
19

f. Sel sabit
Sel ini ditemukan pada penyakit sabit homozigot (HbSS). Untuk
mendapatkannya, eritrosit dinkubasi dulu dalam keadaan anoksia dengan
menggunakan zat reduktor (Na2O2S5 atau Na2S2O3). Hal ini dilakukan
pada penyakit sel sabit heterozigot (Wirawan, 2011).

Gambar 2.14 Sel sabit


(Sumber : Koko Putra Pamungkas, 2014)
g. Creanation
Sel seperti ini merupakan artefak, dapat dijumpai dalam sediaan apus
darah tepi yang telah disimpan 1 malam pada suhu kamar atau eritrosit
yang berasal dari washed packed cells (Wirawan, 2011).

Gambar 2.15 Krenasi


(Sumber : Koko Putra Pamungkas, 2014)
h. Sel burr
Sel ini adalah eritrosit kecil atau fragmentosit yang mempunyai duri
satu atau lebih pada permukaan eritrosit. Sel semacam ini banyak
dijumpai pada uremia dan disaminated intravascular coagulation (DIC)
(Wirawan, 2011).
20

Gambar 2.16 Sel burr


(Sumber : Koko Putra Pamungkas, 2014)
i. Akantosit
Sel ini disebabkan oleh kelainan metabolisme fosfolipid memban
eritrosit. Pada keadaan ini tepi eritrosit mempunyai tonjolan berupa duri.
Akantosit mungkin didapat pada pasien pasca splenektomia, anemia
hemolitik, pada sirosis hati karena alkoholisme, abetalipoproteinemia,
dan defisiensi piruvat kinase (Wirawan, 2011).

Gambar 2.17 Akantosit


(Sumber : Koko Putra Pamungkas, 2014)
j. Tear drop cell
Eritrosit yang mempunyai bentuk seperti tetesan air mata. Banyak
dijumpai pada thalasemia mayor dan pada mielofibrosis (Wirawan,
2011).

Gambar 2.18 Tear drop cell


(Sumber : Koko Putra Pamungkas, 2014)
21

k. Autoaglutinasi
Terjadi penggumpalan eritrosit dengan antibodi berasal dari luar
tubuh karena salah transfusi atau antibodi dibentuk oleh tubuh sendiri.
Seperti pada AIHA (Autoimmune Hemolytic Anemia) dan LES (lupus
eritemtosus sistemik) (Wirawan, 2011).

Gambar 2.19 Autoaglutinasi


(Sumber : Koko Putra Pamungkas, 2014)

l. Rouleaux
Rouleaux tersusun dari 3 – 5 eritrosit yang membentuk barisan.
Rouleaux mungkin didapatkan pada keadaan laju endap darah yang cepat
seperti pada mieloma, infeksi keganasan dan anemia berat (Wirawan,
2011).
m. Poikilositosis
Poikilositosis adalah istilah yang menunjukkan bentuk eritrosit yang
bermacam-macam dalam sediaan apus darah tepi. Keadaan ini mungkin
didapatkan pada thalasemia mayor dan anemia berat (Wirawan, 2011).
3. Kelainan Warna Eritrosit
a. Hipokrom
Karena kadar hemoglobin berkurang mengakibatkan eritrosit tampak
pucat. Pada keadaan ini dapat ditemukan pada anemia defisiensi besi,
anemia sideroblastik, thalasemia mayor dan pada infeksi menahun. Pada
kondisi ini menyebabkan eritrosit kolaps menjadi sel pensil (Wirawan,
2011).
22

Gambar 2.20 Hipokrom


(Sumber : Koko Putra Pamungkas, 2014)
b. Polikrom
Polikrom adalah eritrosit yang lebih besar dan lebih biru
dibandingkan eritrosit normal. Keadaan ini berkaitan dengan
retikulositosis. Dapat dijumpai pada anemia hemolitik, anemia pasca
perdarahan dan hemopoeisis ekstra medular (Wirawan, 2011).
4. Benda Inklusi Dalam Eritrosit
a. Benda howell jolly
Benda howell jolly merupakan sisa dari inti eritrosit dan biasanya
tunggal yang terdapat di dalam eritrosit pasien anemia pernisiosa, anemia
defisensi asam folat, juga pada atropi limpa dan pasca
splenektomia.(Wirawan, 2011).

Gambar 2.21 Howell jolly


(Sumber : Koko Putra Pamungkas, 2014)

b. Eritrosit berinti
Ditemukan pada anemia berat, pada eritropoesis hiperaktif seperti
pada anemia hemolitik; neonatus septikemia dan pasca splenoktomia dan
juga dapat dijumpai pada eritropoeisis ekstra medular seperti
mielofibrosis (Wirawan, 2011).
23

Gambar 2.22 Eritrosit berinti


(Sumber : Koko Putra Pamungkas, 2014)
c. Parasit malaria
Ditemukan parasit malaria di dalam eritrosit dalam bentuk trofozoid.
Ada yang tunggal dan ada yang ganda. Eritrosit ada yang membesar
seperti pada infeksi Plasmodium vivax (Wirawan, 2011).

Gambar 2.23 Bentuk ring Plasmodium vivax


(Sumber : Koko Putra Pamungkas, 2014)
d. Titik basofil
Terdapat titik biru difus di dalam eritrosit yang dikenal dengan nama
basophilic stippling. Keadaan ini terdapat pada keadaan infeksi,
keracunan timah (Pb) dan unstable haemoglobin (Wirawan, 2011).

Gambar 2.24 Titik basofil


(Sumber : Koko Putra Pamungkas, 2014)
24

G. Sediaan Apus Darah Tepi


Pemeriksaan sediaan apus darah tepi bertujuan antara lain untuk menilai
berbagai unsur sel darah tepi seperti eritrosit, lekosit dan trombosit. Selain itu
sediaan apus darah tepi juga dapat mengidentifikasi adanya parasit seperti
malaria, tripanosoma, mikrofilaria dan lain sebagainya (Wirawan, 2011).
Pada hematologi, pemeriksaan sediaan apus darah tepi sangat penting
karena dari sini kita akan banyak mendapatkan informasi yang berkaitan
dengan morfologi sel darah dan juga dapat memberi petunjuk keadaan
hematologik yang semula tidak diduga. Sediaan yang layak untuk diperiksa
harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan (Kiswari, 2014).
Sampel yang dapat digunakan adalah darah vena dengan antikoagulan
EDTA dan darah kapiler. Jika menggunakan darah vena, maka pembuatan
sediaan apus darah tepi harus dilakukan sebelum 1 jam sejak sampel berhasil
ditampung dan penyimpanannya pada suhu 18 - 25ºC. Pencampuran dengan
antikoagulan mutlak diperlukan dalam membuat apusan yang baik (Kiswari,
2014).
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam membuat sediaan
apus darah tepi yang baik secara visual, diantaranya yaitu (Kiswari, 2014) :
1. Ketebalan gradual, paling tebal di daerah kepala, makin menipis kearah
ekor.
2. Apusan tidak menyentuh pinggir kaca objek
3. Tidak bergelombang atau terputus-putus
4. Tidak berlubang-lubang
5. Bagian ekornya tidak membentuk “bendera robek”
6. Panjang apusan kira-kira dua pertiga panjang kaca objek
Pewarnaan yang dipakai untuk evaluasi sediaan hapus darah tepi adalah
pewarnaan dengan prinsip Romanowsky, sperti Wright, May Grunwald
Giemsa atau Wirght Giemsa. Untuk pemeriksaan parasit dipakai pewarnaan
Giemsa (Wirawan, 2011).
Untuk mendapatkan apusan darah tepi yang memenuhi syarat diperlukan
keterampilan serta latihan. Beberapa sebab dan akibat yang timbul sehingga
sediaan apus darah tepi menjadi tidak layak untuk diperiksa (Kiswari, 2014).
25

Tabel 2.1 Sebab-sebab apusan darah tepi tidak layak diperiksa


No. Sebab Akibat
1. Pemeriksaan ditunda setelah Distorsi atau kerusakan sel-sel
pengambilan sampel darah
2. Lambat melakukan apusan Terjadi disproporsi sel-sel
setelah darah diteteskan ke kaca berukuran besar seperti monosit
objek dan neutrofil
3. Kaca objek kotor Bintik-bintik pada apusan
4. Tetesan terlalu banyak atau Apusan terlalu tebal dan panjang
terlalu sedikit atau terlalu tipis dan pendek
5. Sudut geseran terlalu kecil atau Sudut terlalu besar, maka apusan
terlalu besar akan tebal dan jika sudut terlalu
kecl apusan menjadi terlalu
panjang
6. Geseran terlalu lambat Penyebaran sel tidak baik
7. Tekanan spreader pada kaca Tekanan yang terlalu kuat
objek tidak akurat menyebabkan apusan terlalu tipis
8. Kelembapan ruangan Kelembapan terlalu tinggi
menyebabkan apusan lama kering.
Pengeringan yang lama
menyebabkan kerusakan eritrosit
Sumber : (Kiswari, 2014)

1. Pewarnaan Sediaan Apus Darah Tepi


Menurut Romanowsky, pewarnaan ada 4 yaitu pewarnaan Wright,
pewarnaan Liesman, pewarnaan May Grunwald, dan pewarnaan Giemsa.
Prinsip dari pengecatan sediaan darah yaitu sediaan apus darah difiksasi
dengan methanol selama 5 menit dan digenangi dengan zat warna giemsa
yang sudah diencerkan dibiarkan 20 menit (Wirawan, 2011).
Pada tahun 1891 Romanowsky dan malachowski pertama kali
melakukan pewarnaan menggunakan campuran methylene blue dengan
eosin untuk mewarnai apusan darah. Kemudian Leishman
menyempurnakannya dengan menambahkan alkohol untuk menghilangkan
presipitat yang timbul dari larutan tersebut. Sekarang terdapat modifkasi
pewarnaan berdasarkan cara Romanowsky, seperti Wright, Giemsa, atau
May Grunwald. Pewarnaan Romanowsky telah umum dipakai untuk
pewarnaan dengan hasil yang memuaskan. Komponen utama dari
pewarnaan ini terdiri dari Azure B yang akan mengikat anion sehingga
memberi warna biru terhadap asam nukleat (DNS/RNA), nukleoprotein,
granula basofil dan granula eosinofil. Eosin Y akan mengikat kation dan
26

memberi warna merah, merah-oranye terhadap hemoglobin dan granula


eosinofil.(Kiswari, 2014).
Menurut J. Samidja Onggowaluyo dalam M. Afriansyah (2016) terdapat
7 kriteria pembuatan dan pewarnaan sediaan darah yang baik, yaitu :
a. Inti lekosit berwarna ungu (tanda umum)
b. Trombosit berwarna ungu muda dan merah muda
c. Sisa-sisa eritrosit muda berwarna biru atau biru muda
d. Sitoplasma limfosit kelihatan biru pucat
e. Sitoplasma monosit berwarna biru
f. Granula eosinofil berwarna orange
g. Latar belakang sediaan bersih dan kelihatan biru pucat
Pembuatan dan pewarnaan sediaan darah yang baik dipengaruhi
beberapa faktor yang menentukan mutu pewarnaan giemsa antara lain :
a. Kualitas giemsa baik tidak tercemar air, pengenceran giemsa dengan
perbandingan tepat
b. Waktu pewarnaan dan fiksasi
c. Ketebalan pewarnaan, kebersihan sediaan
Untuk mencegah terbentuknya endapan yang tampak seperti bintik-
bintik berwarna hitam sebaiknya harus berhati-hati sewaktu membilas
pulasan. Beberapa hal juga harus diperhatikan supaya pulasan tidak terlalu
biru atau terlalu gelap. Pakailah perlatan gelas yang benar-benar bersih dan
air netral untuk membilas apusan. Air yang asam akan menghasilkan
pulasan yang terlalu merah dan air yang basa menghasilkan pulasan yang
terlalu biru (Chairlan, 2011).
2. Giemsa
Giemsa merupakan pewarna yang terdiri dari eosin dan metilen biru.
Eosin memberi warna merah muda pada sitoplasma dan metilen biru
memberi warna biru pada inti. Zat warna ini dilarutkan dengan metil alkohol
dan gliserin dan dikenal sebagai giemsa stock. Giemsa stok harus
diencerkan lebih dulu sebelum dipakai untuk mewarnai sel darah. Elemen-
elemen zat warna giemsa meralut selama 40 – 90 menit dengan aquadest
atau buffer. Setelah itu semua elemen zat warna akan mengendap dan
27

sebagian lagi balik kepermukaan membentuk lapisan tipis seperti minyak,


oleh karena itu stok giemsa tidak boleh tercemar air. Teknik pewarnaan
yang umum digunakan untuk sediaan apus darah tepi yaitu pengecatan
dengan pewarnaan Giemsa, karena ketahanan hasil zat warna tersebut lebih
baik dengan hasil pewarnaan lebih jelas (Kiswari, 2014).
Pedoman dalam pemakaian giemsa adalah sebagai berikut (Afriansyah,
2016) :
a. Giemsa stok baru boleh diencerkan dengan aquades atau buffer sesaat
akan digunakan agar diperoleh efek pewarnaan yang optimal.
b. Mengencerkan giemsa sebanyak yang dibutuhkan, sebab bila berlebihan
terpaksa harus dibuang.
c. Mengambil stok giemsa dari botol, gunakan pipet khusus agar stok
giemsa tidak tercemar.
d. Metanol dapat menarik air dari udara, sebab itu stok giemsa harus ditutup
rapat dan tidak boleh sering dibuka. Pisahkan giemsa dibotol tetes atau
botol dari stok.
e. Tolak ukur sebagai dasar perhitungan :
1). 1 cc = 20 tetes
2). Seluruh permukaan kaca sediaan dapat digenangi cairan sebanyak 1
cc
3). Berdasarkan tolak ukur ini dapat dihitung banyaknya giemsa encer
yang harus dibuat sesuai dengan kebutuhan terutama bila melakukan
pewarnaan.
3. Fiksasi
Dalam pembuatan sediaan apus darah tepi, fiksasi merupakan langkah
yang penting untuk hasil sediaan yang baik. Fungsi dari fiksasi untuk
merekatkan sel darah dan mudah diwarnai. Tujuan fiksasi adalah untuk
menghentikan proses metabolisme secara cepat, mencegah kerusakan
jaringan, mempertahankan keadaan sebenarnya. Fiksasi yang sering
dilakukan dalam pembuatan sediaan apus darah tepi yaitu dengan fiksasi
basah menggenangi preparat dengan larutan methanol absolute dalam proses
masuknya zat warna ke dalam sel darah. Penyimpanan metanol yang tidak
28

baik akan menyebabkan hasil preparat sediaan apus darah mengalami


perbedaan (Rachmawati, 2016).
Fiksasi terhadap apusan darah tepi dimaksudkan agar morfologi sel
darah tetap utuh. Fiksasi dilakukan segera setelah apusan darah kering. Perlu
diperhatikan bahwa apusan harus dihindarkan kontak dengan air sebelum
difiksasi. Metil alkohol (metanol) merupakan larutan terpilih untuk fiksasi,
meskipun etil alkohol (alkohol absolut) dapat digunakan. Apusan darah
yang difiksasi diletakkan pada rak preparat dan digenangi dengan larutan
metil alkohol (metanol) dan dibiarkan selama 2-3 menit (Kiswari, 2014).
Metanol dalam pewarnaan digunakan untuk melisiskan dinding sel
sehingga zat warna bisa masuk kedalam sel darah. Sediaan sediaan apus
darah setelah dikeringkan anginkan segeralah dilakukan fiksasi dengan
metanol absolut selama 5 menit. Fiksasi yang tidak segera dilakukan kurang
dari 1 jam maka menyebabkan perubahan morfologi, warna dan perlekatan
yang tidak baik. Ini mungkin dapat terjadi apabila larutan fiksasi yang
digunakan metanol yang tidak absolut, metanol mempunyai kadar air > 3%,
karena telah menguap dan dapat mengubah konsentrasi dari metanol
tersebut yang dapat menyebabkan fiksasi tidak sempurna. Sel darah yang
dimasukan dalam larutan hipertonis, maka tekanan osmosis akan terjadi dari
dalam sel keluar sel yang akan menyebabkan sel akan mengalami krenasi
(pengerutan), sedangkan apabila eritrosit berada dalam lingkungan yang
hipotonis, maka tekanan osmosis akan terjadi dari luar ke dalam sel yang
menyebabkan sel akan menggembung hingga sel burr (Wirawan, 2011).
4. Pemeriksaan Sediaan Apus Darah Tepi
Tujuan pemeriksaan sediaan apus darah tepi antara lain menilai
beberapa unsur sel darah seperti eritrosit, lekosit, trombosit dan mencari
adanya parasit seperti malaria, tripanosoma, mikrofilaria (Wirawan, 2011).
Sediaan apus darah tepi pada dasarnya dibedakan menjadi 3 bagian,
yaitu bagian kepala, adalah bagian tempat darah diteteskan; ekor, adalah
bagian ujung sediaan dan badan adalah bagian diantara bagian kepala dan
ekor. Apabila diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran lemah (lensa
29

objektif 10x), terdapat pembagian menjadi enam zona berdasarkan populasi


(distribusi) ertrosit (Kiswari, 2014).
a) Zona I (irregular zone), distribusi eritrosit tidak teratur, ada yang
bergerombol sedikit atau banyak (tidak selalu sama pada masing-
masing preparat). Zona ini kira-kira 3% dari seluruh badan preparat.
b) Zona II (thin zone), distribusi eritrosit tidak teratur, saling bertumpukan
(overlap) atau berdesakan. Zona ini kira-kira 14%
c) Zona III (thick zone), distribusi eritrosit saling bergerombol lebih rapat
dibandingkan zona II, bertumpukan dan berdesakan yang merupakan
daerah paling luas. Zona ini kira-kira 45% dari seluruh badan preparat.
d) Zona IV (thin zone), keadaannya sama dengan zona II. Distribusi
eritrosit tidak teratur, saling bertumpukan (overlap) dan berdesakan
(distortion). Zona ini meliputi kira-kira 18%
e) Zona V (even zone/reguler zone), distribusi eritrosit tersebar merata,
tidak saling bertumpukan atau berdesakan sehingga bentuknya masih
utuh. Zona ini meliputi 11%.
f) Zona VI (very thin zone), merupakan daerah yang terletak di ujung
preparat, bersebelahan dengan daerah ekor. Distribusi eritrosit agak
longgar dibandingkan populasi pada zona II atau IV. Zona ini meliputi
kira-kira 9%
Secara mikroskopis, pada sediaan apus darah tepi dapat dilakukan
pengamatan terhadap eritrosit yang meliputi ukuran, bentuk, warna, benda
inklusi, dan susunan sel antar satu dengan yang lain. Pada sel lekosit dapat
diamati antara lain hitung jenis lekosit, taksiran jumlah, dan benda-benda
abnormal. Sedangkan untuk sel trombosit dapat diamati taksiran jumlah
trombosit dan bentuk-abnormal (Kiswari, 2014).
Menurut Riadi Wirawan (2011), kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi
pada pemeriksaan sediaan apus darah tepi adalah :
a) Kesalahan dalam persiapan pasien, pengambilan dan penyimpanan
bahan pemeriksaan.
b) Fiksasi yang tidak dilakukan segera setelah sediaan hapus kering dapat
mengakibatkan perubahan morfologi lekosit.
30

c) Sediaan apus terlampau biru mungkin disebabkan oleh apusan yang


terlampau tebal, pewarnaan terlampau lama, kurang pencucian, zat
warna atau larutan dapar yang alkalis.
d) Sediaan hapus terlampau merah mungkin disebabkan oleh zat warna
sediaan atau larutan dapar yang asam. Larutan dapar yang terlalu asam
dapat menyebabkan leokosit hancur.
e) Bercak zat warna pada sediaan hapus dapat disebabkan oleh zat warna
tidak disaring sebelum dipakai atau pewarnaan terlalu lama sehingga
zat warna mengering pada sediaan.
f) Morfologi sel yang terbaik adalah bila mengunakan darah tepi langsung
tanpa antikoagulan. Bila menggunakan antikoagulan, sediaan hapus
harus dibuat segera, tidak lebih dari 1 jam setelah pengambilan darah.
Penggunaan antikoagulan heparin akan menyebabkan latar belakang
sediaan bewarna biru kemerahan dan leukosit serta trombosit
mengumpul pada ujung sediaan.
g) Sediaan hapus tidak rata dapat disebabkan oleh kaca penghapus yang
tidak bersih atau pinggirnya tidak rata atau oleh kaca objek yang
berdebu, berlemak atau bersidik jari .
h) Fiksasi yang tidak baik menyebabkan perubahan morfologi dan warna
sediaan. Ini mungkin terjadi apabila fiksasi tidak dilakukan dengan
menggunakan metanol absolut akibat botol penampung tidak tertutup
rapat.
Apusan darah tepi pada dasarnya dibedakan menjadi 3 bagian yaitu
bagian kepala, bagian ekor dan bagian badan. Bagian kepala adalah bagian
tempat darah diteteskan. Bagian ekor adalah bagian ujung preparat atau
akhir apusan dan bagian badan adalah bagian yang berada diantara kepala
dan ekor (Kiswari, 2014).
31

H. Kerangka Teori

Darah

Plasma Darah Sel Darah

SADT

Pewarnaan

1.Larutan Giemsa
2.Reagen Fiksasi

Teknik Pencucian Teknik Pencucian


Penggenangan Langsung

Mikroskopis

Gambar 2.25 Kerangka teori penelitian perbedaan hasil penilaian sediaan


apus darah tepi antara teknik pencucian penggenangan
dengan teknik pencucian langsung
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL

A. Kerangka Konsep
Variabel Bebas
Teknik pencucian
penggenangan
Variabel Terikat
Hasil penilaian Sediaan
Apus Darah Tepi

Teknik pencucian
langsung

Variabel Pengganggu (*)


1. Larutan Giemsa
2. Reagen Fiksasi

Keterangan :
Dilakukan penelitian :
Tidak dilakukan penelitian :
(*) : Dikendalikan
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitan perbedaan hasil penilaian
sediaan apus darah tepi antara teknik pencucian
penggenangan dengan teknik pencucian langsung

B. Variabel Penelitian
Menurut FN Kerlinger variabel adalah sebuah konsep yang dapat
dibedakan menjadi dua, yakni yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Menurut
Sudigdo Sastroasmoro dkk, variabel merupakan karakteristik subjek penelitian
yang berubah dari satu subjek ke subjek lainnya (Hidayat, 2017).
1. Variabel Bebas
Variabel bebas atau variabel independen adalah variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya
variabel dependen (terikat) (Sugiyono, 2016). Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah teknik pencucian penggenangan dan teknik pencucian
langsung.

32
33

2. Variabel Terikat
Variabel terikat atau variabel dependen merupakan variabel yang
dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas
(Sugiyono, 2016). Variabel terikat pada penelitian ini adalah hasil penilaian
sediaan apus darah tepi dengan pemeriksaan mikroskopis.
3. Variabel Pengganggu
Variabel pengganggu adalah variabel yang mengganggu hubungan-
hubungan variabel sedemikian rupa sehingga hasilnya bisa berlawanan dari
hipotesis (Machfoedz, 2017). Variabel pengganggu pada penelitian ini
adalah larutan Giemsa dan reagen fiksasi. Larutan Giemsa dikendalikan
dengan membuat larutan tersebut pada saat akan melaksanakan kegiatan
penelitian dan tidak digunakan lagi pada penelitian selanjutnya dalam arti
menggunakan larutan giemsa yang baru diencerkan. Reagen fiksasi
dikendalikan dengan cara memisahkan sebagian larutan fiksasi ke wadah
yang lebih kecil, menggunakan pipet tersendiri, meletakkannya diwadah
gelap dan bertutup rapat serta penyimpanan tidak kontak dengan matahari
langsung.
34

C. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi operasional perbedaan penilaian sediaan apus darah
tepi antara teknik pencucian penggenangan dengan teknik
pencucian langsung
No. Variabel Definisi Cara Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur Ukur
Variabel Bebas
1. Teknik Pencucian sediaan Observasi Lembar 1 = Ya Nominal
pencucian apus darah tepi ceklis 2 = Tidak
penggenangan setelah pewarnaan
dengan cara
digenangkan pada
posisi horizontal
sebelum dialirkan
air mengalir
2. Teknik Pencucian sediaan Observasi Lembar 1 = Ya Nominal
pencucian apus darah tepi ceklis 2 = Tidak
langsung setelah pewarnaan
dengan cara
langsung
dialirkan air
mengalir
Variabel Terikat
3. Hasil penilaian Kualitas sediaan Observasi Mikroskop Kriteria Rasio
sediaan apus apus darah tepi
darah tepi berdasarkan 7
kriteria menurut J.
Samidjo
Onggowaluyo
Variabel
Pengganggu
4. Larutan Giemsa Larutan Giemsa Observasi Visual 1 = Ya jika Nominal
10% yang dikendalikan
dikendalikan 2 = Tidak
dengan cara jika tidak
dibuat saat akan dikendalikan
digunakan pada
kegiatan
penelitian
5. Reagen Fiksasi Metanol absolut Observasi Visual 1 = Ya jika Nominal
yang dikendalikan dikendalikan
dengan cara 2 = Tidak
dipindahkan ke jika tidak
wadah yang lebih dikendalikan
kecil, ditutup
rapat, disimpan
diwadah yang
gelap dan
menggunakan
pipet tersendiri
35

D. Hipotesis
Hipotesis diartikan sebagai dugaan atau jawaban sementara yang mungkin
benar dan mungkin juga salah. Di dalam suatu penelitian, hipotesis merupakan
suatu kesimpulan teoritis dari hasil studi perpustakaan untuk menjawab
permasalahan suatu penelitian (Machfoedz, 2017),
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
H0 : ada perbedaan hasil penilaian sediaan apus darah tepi antara teknik
pencucian penggenangan dengan teknik pencucian langsung.
36

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian ini mengunakan penelitian komparatif yaitu penelitian
yang membandingkan keadaan satu variabel atau lebih pada dua atau lebih
sampel yang berbeda atau dua waktu yang berbeda (Sugiyono, 2016). Adapun
penerapan peneltian komparatif pada penelitian ini digunakan untuk
mengetahui perbedaan teknik pencucian penggenangan dengan teknik
pencucian langsung pada pemeriksaan sediaan apus darah tepi.

B. Populasi dan Sampel Penelitian


1. Populasi
Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik
tertentu yang akan diteliti.(Sugiyono, 2016). Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas Lingga
Kabupaten Kuburaya yang berjumlah 45 orang
2. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti atau sebagian
jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2017).
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh tenaga kesehatan yang bekerja di
Puskesmas Lingga Kabupaten Kuburaya yang memenuhi kriteria inklusi
dan ekslusi.
Kriteria inklusi adalah ciri-ciri yang harus dipenuhi setiap masing-
masing anggota populasi yang akan dijadikan sampel sedangkan kriteria
ekslusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak bisa dijadikan sampel
penelitian (Notoatmodjo, 2014)
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
a) Seluruh pegawai yang bekerja di Puskesmas Lingga
b) Tidak anemia yang dinilai dari hasil pemeriksaan Hb (hemoglobin)
c) Bersedia menjadi responden
d) Subjek berada ditempat pada saat penelitian
37

Kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah :


a) Subjek membatalkan kesediaannya menjadi responden
b) Subjek berhalangan hadir atau tidak ditempat pada saat penelitian
3. Teknik Sampling
Penelitian ini menggunakan teknik total sampling yaitu teknik
pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan jumlah populasi
(Sugiyono, 2016).

C. Waktu dan Tempat Penelitian


1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dimulai dari bulan Nopember 2018 sampai bulan Mei
2019.
2. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Puskesmas Lingga Kabupaten Kubu
Raya.

D. Jenis Data Penelitian


1. Data Primer
Data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data (Sugiyono, 2016). Data primer dalam penelitian ini adalah
hasil penilaian sediaan apus darah tepi antara teknik pencucian
penggenangan dan teknik pencucian langsung.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung memberikan data
pada pengumpul data. Sebagai contoh misalnya data yang diperoleh dari
orang lain atau dokumen berupa laporan tahunan (Sugiyono, 2016).

E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data


1. Sumber Data
Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data primer. Data
tersebut diambil penilaian pemeriksaan laboratorium sediaan apus darah tepi
antara teknik pencucian penggenangan dengan teknik pencucian langsung.
38

2. Teknik Pengumpulan Data


Data dikumpulkan setelah didapat hasil pemeriksaan mikroskopis,
kemudian dikumpulkan dan dimasukan ke dalam tabel dan dicatat di lembar
ceklis.
3. Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data di dalam penelitian ini adalah lembar
ceklis.
4. Pengukuran dan Pengamatan Variabel Penelitian
a. Metode pemeriksaan
Penelitian ini menggunakan metode observasi pada sediaan apus
darah tepi yang diperiksa secara mikroskopis.
b. Prinsip pemeriksaan
Suatu apusan darah tipis dibuat dengan meletakkan setetes kecil
darah pada kaca objek, diratakan sedemikian sehingga terbentuk apusan
yang tipis. Selanjutnya apusan tersebut dipulas dengan pewarna
Romanowsky yang terdiri dari dua zat warna utama yaitu azure B dan
eosin (Chairlan, 2011)
c. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah :
1) Lancet
2) Autoclick
3) Kaca objek
4) Rak pewarnaan
5) Spreader (kaca penggeser)
6) Mikroskop.
d. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah :
1) Darah kapiler
2) Kapas alkohol
3) Larutan Giemsa 10%
4) Metanol absolut
5) Aquadest
39

6) Tisu
7) Hepafik
8) Minyak emersi.
e. Pembuatan giemsa 10%
Disiapkan wadah bertutup. Campurkan 1 ml giemsa stok dengan 9 ml
buffer atau aquadestilasi di wadah tersebut. Kemudian homogenkan,
larutan giemsa siap digunakan.
f. Pengambilan sampel darah kapiler (Chairlan, 2011)
1) Gunakan alat pelindung diri, terutama sarung tangan.
2) Tusukan lancet pada pada jari tangan ketiga atau keempat.
Sebelumnya sterilkan dahulu tempat tersebut dengan kapas alkohol.
Darah harus menetes sendiri atau dengan sedikit diperas pada tempat
tersebut. Seka tetesan darah yang pertama kali keluar dengan tisu.
3) Setelah selesai, usapkan jari kembali menggunakan kapas kering
sampai area penusukan benar-benar bersih
g. Pembuatan sediaan apus darah tepi (Chairlan, 2011)
1) Pegang ujung jari tangan pasien dan sentuhkan sedikit pada salah
satu ujung kaca objek. Darah yang diperlukan cukup setetes saja,
kira-kira dengan diameter 4 mm
2) Gunakan satu tangan Anda untuk memegang kaca objek, sementara
tangan satunya memegang kaca pengapus yang diposisikan tepat di
depan tetesan darah pada kaca objek
3) Geser mundur kaca-pengapus tersebut hingga menyentuh tetesan
darah
4) Biarkan darah menyebar di sepanjang tepi kaca pengapus
5) Geser kaca pengapus sampai ujung kaca objek, lakukan dalam satu
gerakan mantap (tetesan darah harus sudah habis sebelum mencapai
ujung kaca objek). Penggeseran ini harus dilakukan lebih cepat
sewaktu membuat apusan darah pasien dengan anemia
h. Pewarnaan dengan teknik pencucian penggenangan (Chairlan, 2011)
1) Fiksasi apusan darah yang telah dikeringkan dengan metanol selama
2 – 3 menit
40

2) Teteskan pewarna Giemsa yang sudah diencerkan hingga menutupi


kaca objek, diamkan selama 20 menit
3) Bilas larutan pewarna dengan air dapar. Jangan menuang pewarna
untuk membuangnya karena akan menyisakan endapan zat warna
pada apusan
4) Teteskan air bersih hingga menutupi kaca objek, diamkan hingga
pulasan dapat dibedakan, kira-kira selama 2 – 3 menit. pH air harus
berada pada kisaran 6,8 – 7,0
5) Buang air tersebut dan buang kaca objek pada raknya dan biarkan
hingga kering
i. Pewarnaan dengan teknik pencucian langsung (Kiswari, 2014)
1) Fiksasi preparat dengan metanol, dengan dicelupkan atau digenangi
selama 5 menit
2) Keringkan preparat dalam suhu kamar
3) Genangi preparat dengan pewarna Giemsa sehingga seluruh
permukaan preparat tergenang, diamkan 20 menit
4) Bilas dengan air yang mengalir

F. Teknik Pengolahan dan Penyajian Data


1. Teknik Pengolahan Data
a. Editing, adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang
diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul.
b. Coding, merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap
data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat
penting bila pengolahan dan analisis data menggunakan komputer.
c. Entry, adalah kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan ke
dalam master tabel atau database komputer, kemudian membuat
distribusi frekuensi sederhana atau dengan membuat tabel kontigensi.
d. Melakukan teknik analisis, khususnya data penelitian akan menggunakan
ilmu statistik terapan, yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak
dianalisis. Apabila penelitiannya deskriptif maka akan menggunakan
41

statistik deskriptif. Sedangkan analisis analitik akan menggunakan


statistik inferensial yaitu statistika yang dipergunakan untuk
menyimpulkan parameter (populasi) berdasarkan statistik (sampel) atau
lebih dikenal dengan proses generalisasi/inferensi (Hidayat, 2017).
2. Penyajian Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi dan narasi.

Tabel 4.1 Hasil penlaian teknik pencucian sediaan apus darah tepi
Kode Teknik Pencucian Teknik Pencucian
Sampel Penggenangan (kriteria) Langsung (kriteria)
1

45

G. Teknik Analisis Data


Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis dengan uji T paired
yang diolah secara komputerisasi dengan menggunakan program SPSS
(Statistical Product and Service Solutions).

Anda mungkin juga menyukai