Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PNEUMONIA PADA MANAGEMENT


RUANG PICU
Dosen Pembimbing:
Didik Saudin S.Kep.Ns, M.Kep.

Disusun Oleh :
1. Nur Sa’idatul Fadhilah (7316014)
2. M. Ibrahim (73160)
3. M. Zainul Atho’ilah (7316022)
4. Farindatul Hasanah (73160)
5. Dewi Nur Afifah (7316027)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM JOMBANG
TAHUN AKADEMIK 2019
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kita panjatkan kehadiratallah SWT yang Maha Esa, karena atas
segala limpahan rahmat yang dianugrahkan kepada kita sehingga dengan nikmat
tersebut tugas ini dapat terselesaikan meskipun sangat sederhana.
Selanjutnya sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kehadirat junjungan
kita Nabi besar Muhammad SAW. Kepada keluarga dan sahabat beliau sampai akhir
nanti. Kami menyadari bahwa tugas ini sangat jauh dari kesempurnaan oleh karena itu
kami sangat mengharap kritik dan saran guna kesempurnaan dari tugas kami ini.
Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi diri kami khususnya, teman - teman mahasiswa
– mahasiswi pada umumnya.
Akhirnya kepada Allah SWT jualah tempat kita kembali dan yang dapat
memberikan balasan yang setimpal dan semoga kerja keras kita ini senantiasa diterima
di sisi Allah SWT serta mendapat syafa’at dari Nabi besar Muhammad SAW, Amin
yarobbal alamin

Penyusun, 27 September 2019


DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Anak (0-18 tahun, sesuai definisi IDAI) bukanlah dewasa kecil. Secara anatomi,
fisiologi, patofisiologi penyakit dan tumbuh kembang pasien anak yang menderita sakit
kritis berbeda dengan pasien dewasa. Anak sakit kritis adalah pasien yang datang ke
rumah sakit dengan kriteria triase gawat darurat dan gawat tidak darurat. Yang dimaksud
dengan gawat adalah keadaan yang mengancam jiwa, sedangkan darurat adalah keadaan
yang memerlukan pertolongan segera (IDAI, 2016).
Populasi anak di Indonesia sebesar 85 juta jiwa dengan angka kematian anak
(CMR) di Indonesia sebesar 12,6/1000 ( SDKI, 2012). Menurut WHO tahun 1996,
angka kematian di negara berkembang terbanyak disebabkan oleh pneumonia, diare,
dengue, malaria, dan campak yang disertai sepsis bakterialis. Untuk menekan mortalitas
dan morbiditas ini diperlukan suatu sistem pelayanan unit rawat intensif (PICU).
Pediatric Intensive Care Unit ( PICU ) merupakan suatu unit perawatan intensif
untuk klien anak-anak yang memerlukan pengobatan dan perawatan khusus, guna
mencegah dan mengobati terjadinya kegagalan organ-organ vital (Wong, 2009).
Pneumonia masih menjadi masalah serius pada bangsal PICU. Pneumonia adalah
infeksi jaringan paru-paru (alveoli) yang bersifat akut. Penyebabnya adalah bakteri,
virus, jamur, pajanan bahan kimia atau kerusakan fisik dari paru-paru, maupun
pengaruh tidak langsung dari penyakit lain. Bakteri yang biasa menyebabkan
pneumonia adalah Streptococcus dan Mycoplasma pneumonia, sedangkan virus yang
menyebabkan pneumonia adalah Adenoviruses, Rhinovirus, Influenza virus, Respiratory
syncytial virus (RSV) dan Para influenza virus (Anwar et all, 2014).
Di Indonesia, pneumonia juga merupakan urutan kedua penyebab kematian pada
balita setelah diare. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melaporkan bahwa kejadian
pneumonia sebulan terakhir (period prevalence) mengalami peningkatan pada tahun
2007 sebesar 2,1 ‰ menjadi 2,7 ‰ pada tahun 2013. Kematian balita yang disebabkan
oleh pneumonia tahun 2007 cukup tinggi, yaitu sebesar 15,5%.2,3 Demikian juga hasil
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), yang melaporkan bahwa prevalensi
pneumonia dari tahun ke tahun terus meningkat, yaitu 7,6% pada tahun 2002 menjadi
11,2% pada tahun 2007 (Athena & Ika 2014). Pada kasus ini dipastikan adanya
gangguan bersihan pada jalan nafas, apabila masalah ini tidak ditangani secara cepat
maka bisa menimbulkan masalah yang lebih berat saperti pasien akan mengalami sesak
yang hebat bahkan bisa mengalami gagal nafas dan bahkan menimbulkan kematian
sehingga pemberian asuhan keperawatan yang cepat, tepat dan efisien dapat membantu
menekan angka kejadian gagal nafas dan angka kematian pada anak dengan pneumonia
yang di rawat diruang PICU.
1.2. Tujuan
a. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami management di ruang PICU
b. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami asuhan keperawatan di ruang
PICU
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Unit Perawatan Intensif anak atau Pediatric Intensif Care (PICU) adalah Unit
atau fasilitas yang digunakan untuk penanganan anak yang mengalami gangguan medis
atau kondisi yang mengancam nyawa dan memerlukan perawatan intensif, observatif
yang bersifat perlu perawatan khusus (IDAI, 2016)
2.2. Klasifikasi
Unit Perawatan Intensif anak atau Pediatric Intensif Care (PICU) terdiri dari tiga
pelayanan yaitu:
1. Primer (standart minimal)
Yaitu standart yang mampu memberikan pengelolaan resusitatif segera untuk paisen
gawat, tunjangan kardio-respirasi jangka pendek, pemantauan dan pencegahan penyulit
pada pasien medik dan bedah yang berisiko. Pada PICU dilakukan ventilasi mekanik
(invasif atau non-invasif) dan pemantauan kardiovaskuler sederhana selama beberapa
jam. Kekhususan yang harus dimiliki :
a. Ruangan terletak dekat dengan kamar bedah, ruang emergency dan ruang Perawatan
lain
b. Memiliki protokol penderita yang masuk, keluar dan rujukan
c. Memiliki dokter spesialis anak yang telah mendapatkan pelatihan PICU atau seorang
pediatric intensivis yang kompeten sebagai coordinator medis
d. Memiliki dokter jaga 24 jam dengan kemampuan melakukan resusitasi jantung paru
tahap lanjut
e. Memiliki konsultan yang membantu
f. Memiliki perawat kompeten
g. Mampu melayani pemeriksaan laboratorium yang cepat (Hb, Hematokrit, gula darah
dan trombosit), rongent, kemudahan diagnostic dan fisio terapi
Kriteria untuk dirawat di PICU strata primer
a. Semua pasien pediatrik dengan gangguan fisiologis yang membutuhkan pemantauan
ketat tanda vital dan sistem organ (setidaknya setiap kurang dari 4 jam) dengan
prediksi akan terjadi perbaikan. Bila dalam pemantauan diperkirakan membutuhkan
Perawatan intensif di strata yang lebih tinggi maka harus segera dirujuk
2. Sekunder
Pelayanan PICU sekunder memberikan standar PICU yang tinggi, mendukung peran
rumah sakit lain yang telah ditentukan, misalnya pneumonia, diare, dengue, malaria,
measles, sepsis bakterial yang berat, kasus bedah, pengelolaan trauma, dan lain-lain.
PICU hendaknya mampu memberikan tunjangan ventilasi mekanis lebih lama
melakukan dukungan/ bantuan hidup lain tetapi tidak terlalu kompleks. Kekhususan
yang harus dimiliki :
a. Ruangan tersendiri; letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang emergensi dan
ruangan perawatan lain.
b. Memiliki protokol penderita yang masuk, keluar serta rujukan.
c. Memiliki konsultan yang dapat dihubungi dan datang setiap saat bila diperlukan.
d. Memiliki seorang kepala PICU, seorang dokter spesialis anak yang telah menjalani
pendidikan dan mendapat sertifikasi konsultan PICU yang bertanggung jawab secara
keseluruhan dan dokter jaga yang minimal mampu melakukan resusitasi jantung paru
(dasar dan lanjut)
e. Mampu menyediakan tenaga perawat dengan perbandingan pasien:perawat sama
dengan 1:1 untuk pasien dengan ventilator, renal replacement therapy dan 2:1 untuk
kasus-kasus lainnya.
f. Memiliki lebih dari 50% perawat bersertifikat terlatih perawatan/terapi intensif atau
minimal berpengalaman kerja 3 (tiga) tahun di PICU
g. Mampu memberikan tunjangan ventilasi mekanis beberapa lama dan dalam batas
tertentu melakukan pemantauan invasif dan usaha-usaha penunjang hidup
h. Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, rontgen, kemudahan diagnostik dan
fisioterapi selama 24 jam
i. Memiliki ruangan untuk isolasi atau mampu melakukan prosedur isolasi.
j. Terdapat prosedur pelaporan resmi dan pengkajian
k. Memiliki staf tambahan yang lain, misalnya tenaga administrasi, tenaga rekam
medik, tenaga untuk kepentingan ilmiah dan penelitian
3. Tersier
Pelayanan PICU tersier merupakan rujukan tertinggi untuk PICU, mampu
menyediakan perawatan pediatrik definitif yang bersifat kompleks, progresif, berubah
dengan cepat, baik bersifat medis, operasi, maupun gangguan traumatik, termasuk
kelainan genetik/ bawaan yang sering membutuhkan pendekatan yang bersifat
multidisipliner. Memberikan pelayanan yang tertinggi termasuk dukungan/bantuan
hidup multi-sistem yang kompleks dalam jangka waktu yang tak terbatas. PICU ini
melakukan ventilasi mekanik, pelayanan dukungan/ bantuan renal ekstrakorporal dan
pemantauan kardiovaskular invasif dalam jangka panjang dan mempunyai dukungan
pelayanan medik. Semua pasien yang masuk ke dalam unit harus dikelola oleh
konsultan. Pediatrik Gawat Darurat. Kekhususan yang harus dimiliki:
a. Memiliki ruangan khusus tersendiri didalam rumah sakit
b. Memiliki protokol penderita masuk, keluar dan rujukan
c. Memiliki dokter spesialis yang dibutuhkan dan dapat dihubungi datang setiap saat
bila diperlukan
d. Memiliki seorang kepala konsultan Pediatrik Gawat Darurat, seorang dokter yang
telah menjalani pendidikan dan mendapat sertifikasi konsultan Pediatrik Gawat
Darurat, yang bertanggung jawab secara keseluruhan dan dokter jaga yang minimal
mampu melakukan resusitasi jantung paru (dasar dan lanjut)
e. Mampu menyediakan tenaga perawat dengan perbandingan pasien:perawat sama
dengan 1:1 untuk pasien dengan ventilator, renal replacement therapy dan 2:1 untuk
kasus-kasus lainnya
f. Memiliki lebih dari 75% perawat bersertifikat terlatih perawatan/terapi intensif atau
minimal berpengalaman kerja 3 (tiga) tahun di PICU
g. Mampu melakukan semua bentuk pemantauan dan perawatan/terapi intensif baik
non-invasif maupun invasive
h. Mampu melayani pemeriksaan laboratorium, rontgen, kemudahan diagnostik dan
fisioterapi selama 24 jam
i. Mampu mendidik tenaga medik dan paramedik agar dapat memberikan pelayanan
yang optimal pada pasien
j. Terdapat prosedur pelaporan resmi dan pengkajian.
k. Memiliki staf tambahan yang lain, misalnya tenaga administrasi, tenaga rekam
medik, tenaga untuk kepentingan ilmiah dan penelitian.
a.
Kriteria untuk dirawat di PICU strata sekunder dan tersier
a. Sistem respirasi
Pasien dengan gangguan / potensi gangguan respirasi berat yang mengancam
nyawa. Kondisi ini meliputi (tidak terbatas pada daftar berikut):
a. Kebutuhan penggunaan ETT dan ventilator mekanik
b. Gangguan sistim pernafasan (atas dan bawah) yang progresif dengan risiko tinggi
gagal nafas dan atau obstruksi total
c. Kebutuhan terapi oksigen dengan FiO2 > 0.5
d. Pasca pemasangan trakeostoma
e. Barotrauma akut
f. Kebutuhan terapi inhalasi/nebulisasi yang sering
2.3. Kemampuan yang harus dimilki di ruang PICU
a. Resusitasi jantung paru
b. Pengelolaan jalan nafas, termasuk intubasi trakeal dan penggunaan ventilator
sederhana.
c. Terapi oksigen
d. Pemantauan elektrokardiogram (EKG), pulse oxymetri terus menerus
e. Pemberian nutrisi enteral dan parenteral
f. Pemeriksaan laboratorium khusus dengan cepat dan menyeluruh.
g. Pelaksanaan terapi secara titrasi.
h. Kemampuan melaksanakan teknik khusus sesuai kondisi pasien.
i. Memberikan tunjangan fungsi vital dengan alat-alat portabel selama transportasi
pasien gawat
j. Kemampuan melakukan fisioterapi dada
2.4. Struktur Organisasi
Sebuah kajian sistematik menjelaskan bahwa dalam sistem organisasi ruang
PICU harus terdapat setidaknya 8 komponen yang berperanan dalam keberhasilan
perawatan. Kedelapan komponen tersebut meliputi staf yang kompeten, kerjasama yang
baik internal maupun eksternal, rasio jumlah penderita dan beban kerja, adanya protocol
kerja, kriteria penderita yang perlu dirawat dan keluar, ketersediaan teknologi yang
memadai, struktur organisasi yang jelas, dan tingkat kesalahan yang rendah. Delapan
komponen tersebut melitupi koordinator medis, staf dokter, staf perawat, personel
pendukung (petugas farmasi, teknisi radiologi, ahli gizi, psikiater) (IDAI, 2016).
2.5. Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah infeksi jaringan paru-paru (alveoli) yang bersifat akut.
Penyebabnya adalah bakteri, virus, jamur, pajanan bahan kimia atau kerusakan fisik dari
paru-paru, maupun pengaruh tidak langsung dari penyakit lain. Bakteri yang biasa
menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus dan Mycoplasma pneumonia, sedangkan
virus yang menyebabkan pneumonia adalah Adenoviruses, Rhinovirus, influenza virus,
Respiratory syncytial virus (RSV) dan Para influenza virus (Athena & Ika 2014).
2.6. Etiologi
Bakteri Streptococcus pneumoniae, Stapilokokus aureus, Haemophilus
influenzae, jamur (seperti Candida albicans), virus (virus Adena, virus Influenza, virus
Para influenza), protozoa (Pneumokistis karinti), bahan kimia (aspirasi makan, susu, isi
lambung dan keracunan hidrokarbon: minyak tanah, bensin) (Ridla, 2014)
2.7. Manifestasi Klinis
Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas atas
akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggil, suhu tubuh meningkat
dapat mencapai 40 derajat celsius, sesak nafas, nyeri dada dan batuk dengan dahak
kental, terkadang dapat berwarna kuning hingga hijau. Pada sebagian penderita juga
ditemui gejala lain seperti kurang nafsu makan.
Tanda gejala lainnya, antara lain:
a. Batuk nonproduktif
b. Suara nafas lemah
c. Penggunaan alat bantu nafas
d. Demam
e. Ronkhi
f. Sianosis
g. Thorax photo menunjukkan infiltrasi
h. Sesak nafas
i. Menggigil
Tanda pneumonia:
Berupa retraksi(penarikan dinding dada bagian dalam saat bernafas bersama dengan
peningkatan nafas), perkusi pekak, fremitus melemah, suara nafas melemah dan ronkhi
(Misnadiaraly, 2008).
2.8. Patofisiologi
Kuman masuk kedalam jaringan paru-paru melalui saluran pernafasan dari atas
untuk mencapai brokhiolus dan kemudian alveolus sekitarnya. Kelainan yang timbul
berupa bercak konsolidasi yang tersebar pada kedua paru-paru, lebih banyak pada
bagian basal. Pneumonia dapat terjadi sebagai akibat inhalasi mikroba yang ada diudara,
aspirasi organisme dari nasofarinks atau penyebaran hematogen dari fokus infeksi yang
jauh. Bakteri yang masuk ke paru melalui saluran nafas masuk ke bronkhioli dan
alveoli, menimbulkan reaksi peradangan hebat dan menghasilkan cairan edema yang
kaya protein dalam alveoli dan jaringan interstitial.
Kuman pneumokokus dapat meluas dari alveoli ke seluruh segmen atau lobus.
Eritrosit mengalami pembesaran dan beberapa leukosit dari kapiler paru-paru. Alveoli
dan septa menjadi penuh dengan cairan edema yang berisi eritrosit dan fibrin serta
relatif sedikit leukosit sehingga kapiler alveoli menjadi melebar. Paru menjadi tidak
berisi udara lagi, kenyal dan berwarna merah. Pada tingkat lebih lanjut, aliran darah
menurun, alveoli penuh dengan leukosit dan relatif sedikit eritrosit. Kuman
pneumokokus di fagositosis oleh leukosit dan sewaktu rseolusi berlangsung, makrofag
masuk kedalam alveoli dan menelan leukosit bersama kuman pnumokokus didalamnya.
Paru masuk dalam tahap hepatisasi abu-abu dan tampak berwarna abu-abu
kekuningan. Secara perlahan sel darah merah yang mati dan eksudat fibrin dibuang dari
alevoli. Terjadi resolusi sempurna, paru menjadi normal kembali tanpa kehilangan
kemampuan dalam pertukaran gas. Akan tetapi apabila proses konsolidasi tidak dapat
berlangsung dengan baik maka setelah edema dan terdapatnya eksudat pada alveolus
maka membran dari alveolus akan mengalami kerusakan yang dapat mengakibatkan
gangguan proses difusi osmosis oksigen pada alveolus. Perubahan tersebut akan
berdampak pada penurunan jumlah oksigen yang dibawa oleh darah.
Penurunan itu yang secara klinis penderita mengalami pucat sampai sianosis.
Terdapatnya cairan purulent pada alveolus juga dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan pada paru, selain dapat berakibat penurunan kemampuan mengambil oksigen
dari luar juga mengakibatkan berkurangnya kapasitas paru. Penderita akan berusaha
melawan tingginya tekanan tersebut dengan menggunakan otot bantu pernafasan yang
dapat menimbulkan retraksi dada.
Secara hematogen maupun langsung (lewat penyebaran sel) mikroorganisme
yang terdapat didalam paru dapat menyebar ke bronkhus. Setelah terjadi fase
peradangan lumen bronkus. Terdapatnya peradangan pada bronkus dan paru juga akan
mengakibatkan peningkatan produksi mukosa dan peningkatan gerakan silia pada lumen
bronkus sehingga timbul reflek batuk (Sujono & Sukarmin 2009).
2.9. Pathway
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
3.1. Pengkajian
Pengajian dapat berasal dari langsung dari pasien, orangtua, keluarga, atau
sekunder petugas kesehatan atau data rekam medis. Data yang diperoleh berupa data
obyektif (yang dapat dilihat atau diperiksa) maupun subyektif (dari keterangan
pasien maupun orangtua).
a. Identitas klien
b. Keluhan utama : batuk, pilek, demam, nafas cepat
c. Riwayat penyakit sekarang : sejak kapan menderita keluhan hingga dirawat di
fasilitas kesehatan sekarang
d. Riwayat penyakit dahulu: adakah penyakit serupa sebelumnya
e. Riwayat penyakit dalam keluarga : apakah ada yang menderita penyakit paru-
paru
f. Riwayat kehamilan dan persalinan: anak lahir tidak langsung menangis, ketuban
pecah sebelum waktunya, ibu mengalami infeksi selama hamil
g. Riwayat tumbuh kembang
h. Status nutrisi : BB, TB, LILA. Termasuk gizi baik, kurang atau buruk
i. Status imunisasi : lengkap atau tidak lengkap.
j. Status psikososial: pengetahuan keluarga, keadaan sosial ekonomi keluarga
k. Skrining : Nyeri, Resiko jatuh, Resiko decubitus
l. Pemeriksaan TTV :Tekanan Darah, Nadi, Frekuensi pernapasan, Suhu tubuh,
Saturasi perifer
Pemeriksaan fisik:
1. Sistem neurologi : tingkat kesadaran dari compos mentis sampai coma, skor
glasgow coma scale (GCS)
2. Sistem pernafasan :
a. Inspeksi : irama pernafasan (reguler/Ireguler), frekuensi pernafasan
(RR), nafas cuping hidung, retraksi interkostal, pergerakan dinding dada
simetris/tidak
b. Palpasi : pergerakan dinding dada sama atau tidak, focal fremitus
c. Perkusi : normal sonor, redup jika ada cairan
d. Auskultasi : suara nafas normal vesikuler, abnormal bila terdapat ronkhi,
wheezing
3. Sistem kardiovaskuler : sianosis, pucat, akral hangat/dingin, CRT < 3detik/ >3
detik
4. Sistem gastrointestinal: mual, muntah, nafsu makan menurun
5. Sistem urinaria / eliminasi: frekuensi BAB, BAK, perlu bantuan atau tidak, urin
output
6. Sistem Integumen : warna kulit (pucat, sianosis, mottled, kuning), terdapat luka
atau tidak, temperatur kulit. Pada pneumonia biasanya didapatkan hipertermia
7. Sistem Muskuloskeletal : Pergerakan keempat ekstremitas bebas atau tidak
3.2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada anak dengan pneumonia antara
lain:
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif
b. Pola nafas tidak efektif
c. Gangguan pertukaran gas
d. Hipertermia
e. Intoleransi aktifitas
f. Nyeri
g. Resiko defisit volume cairan
h. Resiko ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
i. Kurang pengetahuan tentang kondisi kesehatan dan perawatan yang dilakukan
3.3. Rencana keperawatan
a. Diagnosa Perawatan: Bersihan jalan nafas tidak efektif
Kriteria hasil : Menunjukkan jalan nafas paten ditandai dengan :
a) bunyi nafas : tidak ada ronkhi
b) sekret berkurang
Intervensi Keperawatan :
a) Beri posisi terlentang, dengan leher sedikit ekstensi
b) Auskultasi suara nafas
c) Berikan terapi inhalasi dengan larutan dan alat sesuai ketentuan
d) Lakukan drainase postural
e) Lakukan fisioterapi dada
f) Lakukan suctioning atau penghisapan lendir sesuai kebutuhan
g) Jika klien sadar, ajarkan batuk efektif
h) Kolaborasi terapi ekspektoran
b. Diagnosa Perawatan : Pola nafas tidak efektif
Kriteria Hasil : Menunjukkan perbaikan ventilasi ditandai dengan:
a) Frekuensi pernapasan dalam batas normal sesuai usia
b) Tidak ada nafas cuping hidung, retraksi intercostal
Intervensi Keperawatan :
a) Posisikan klien untuk efisiensi ventilasi maksimum:
i. Berikan posisi nyaman
ii. Hindari pakaian atau bedong terlalu ketat
b) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada, serta penggunaan
otot bantu pernafasan
c) Berikan Oksigen tambahan: jika terjadi hipoksemia atau kegagalan
pernafasan berikan oksigen 4-6 liter
c. Diagnosa Perawatan : Gangguan pertukaran gas
Kriteria Hasil : Menunjukkan oksigenasi yang adekuat, ditandai dengan:
a) Frekuensi pernafasan dalam batas normal (sesuai rentang usia)
b) Tidak terdapat sianosis
c) Saturasi oksigen dalam batas normal (90-100%)
d) Hasil analisa gas darah dalam batas normal
Intervensi Keperawatan :
a) Kaji dan monitor tanda-tanda vital : TD, Nadi, Frekuensi pernafasan
b) Monitor saturasi oksigen
c) Cek analisa gas darah sesuai kondisi pasien dan lakukan interpretasi
d) Kelola terapi oksigen sesuai kebutuhan klien
e) Siapkan alat kedaruratan siap pakai
f) Gunakan ventilasi mekanik jika kondisi mengancam gagal nafas
d. Diagnosa Perawatan : Peningkatan suhu tubuh
Kriteria Hasil : klien tidak memperlihatkan tanda peningkatan suhu tubuh,
dengan kriteria:
a) Suhu tubuh dalam batas normal : 36,5 – 37,5oC
b) Frekuensi denyut jantung dalam batas normal
Intervensi Keperawatan :
a) Observasi suhu tubuh tiap jam dan peningkatan frekuensi denyut jantung
b) Pantau warna kulit
c) Berikan kompres dingin
d) Kolaborasi pemberian antipiretik
e) Kolaborasi pemberian antibiotik, bila perlu
f) Berikan cairan tambahan setiap kenaikan 1oC diatas 38oC kebutuhan cairan
naikkan 12.5%, sesuaikan dengan kondisi klinis pasien
g) Jika klien sadar anjurkan banyak minum
h) Cek kultur darah dan kultur sputum, bila perlu dan pantau hasilnya
e. Diagnosa Perawatan : Intoleransi aktivitas
Kriteria Hasil : dapat menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktifitas,
ditandai dengan:
a) tidak ada takipnoe dan takikardi saat melakukan aktifitas.
b) Kebutuhan activity daily living terpenuhi
Intervensi Keperawatan :
a) Kaji dan monitor respon klien terhadap aktivitas
b) Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung
c) Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya
keseimbangan aktivitas dan istirahat
d) Bantu pasien memilih posisi yang nyaman untuk istirahat / tidur
e) Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan : mandi, makan/minum,
toileting, mobilisasi.
f. Diagnosa Perawatan : Nyeri
Kriteria Hasil : nyeri klien terkontrol, ditandai dengan:
a) Klien dapat istirahat / tidur dengan nyaman
b) Skala nyeri berkurang (verbal atau non verbal)
Intervensi Keperawatan :
a) Kaji dan monitor karakteristik nyeri (PQRST)
b) Monitor tanda-tanda Vital
c) Ajarkan teknik relaksasi atau distraksi
d) Kolaborasi pemberian analgetik bila perlu
g. Diagnosa Perawatan : Resiko ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh
Kriteria Hasil : Klien dapat menunjukkan:
a) Peningkatan nafsu makan
b) Peningkatan intake makanan
c) Tidak ada mual atau muntah
d) Berat badan stabil atau meningkat
Intervensi Keperawatan :
1. Identifikasi faktor yang menimbulkan mual atau muntah
2. Monitor intake klien
3. Auskultasi bising usus
4. Berikan makan porsi kecil dan sering
5. Jika klien tidak mampu makan peroral, berikan nutrisi enteral atau
parenteral sesuai advis dokter
6. Evaluasi status nutrisi
h. Diagnosa Perawatan : Resiko tinggi kekurangan volume cairan
Kriteria Hasil : klien tidak mengalami kekurangan cairan, ditandai dengan:
a) Balance cairan seimbang, diuresis 1-2 cc/kgBB/jam
b) Membran mukosa lembab, turgor normal
c) Waktu pengisian kapiler/CRT < 3 detik
d) TTV stabil
Intervensi Keperawatan :
a) Kaji perubahan Tanda-tanda Vital
b) Pasang infus, berikan cairan intravena
c) Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa
d) Catat laporan mual / muntah
e) Monitor masukan dan keluaran, catat warna, karakter urine
f) Hitung keseimbangan cairan dan diuresis
i. Diagnosa Perawatan : Kurang pengetahuan mengenai kondisi kesehatan dan
tindakan perawatan
Kriteria Hasil : klien dan/atau keluarga mengerti kondisi klien dan tindakan
perawatan yang dibutuhkan, ditandai dengan:
a) Menyatakan permahaman kondisi penyakit klien dan perawatan yang
dilakukan
b) Melakukan perubahan pola hidup
Intervensi Keperawatan :
a) Kaji pengetahuan klien dan keluarga mengenai kondisi kesehatan klien saat
ini
b) Diskusikan aspek ketidakmampuan dari penyakit, lamanya penyembuhan
dan harapan kesembuhan
c) Berikan dalam bentuk tertulis dan verbal
d) Tekankan pentingnya melanjutkan batuk efektif
e) Tekankan perlunya melanjutkan terapi antibiotik selama periode yang
dianjurkan.
BAB IV TINJAUAN KASUS
Kasus
An.H, jenis kelamin laki-laki, datang ke rumah sakit dengan keluhan sesak yang
semakin memberat sejak 9 jam sebelum masuk rumah sakit
1. Pengkajian
Identitas Pasien
Nama : An. H
Tanggal lahir : 10 September 2017
Umur : 2 tahun
Tanggal masuk RS : 01 Oktober 2019
Alamat : Jl. Kalibata timur I RT: 09 RW: 01
Keluhan Utama : Sesak nafas yang semakin memberat 9 jam sebelum masuk
rumah sakit (SMRS)
Riwayat Penyakit Sekarang : An H, sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit
sering batuk-batuk, berdahak, namun dahak tidak keluar. Tidak ada sesak, demam
tidak ada, muntah tidak ada. BAB 3-4x/hari, BAK tidak ada keluhan. Kejang tidak
ada. Satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien BAB sebanyak 10 kali, cair
ampas sedikit, warna kuning, tidak ada darah dan lendir, anak lebih banyak tidur. 9
jam SMRS, anak lebih banyak mengantuk, ada demam, menggigil, tidak ada
kejang. Batuk semakin berat, menurut ibu anak tampak biru, tidak ada muntah,
BAB 2 kali seperti bubur. Anak di bawa berobat ke RS Tria Dipa, dikatakan sepsis,
di rujuk ke IGD RSCM.
01 oktober 2019 : Tiba di IGD RSCM dalam keadaan apnea, dilakukan intubasi dan
bagging manual. Klien dirawat selama satu hari, lalu pindah rawat PICU anak.
2 oktober 2019 : klien tiba di PICU dalam keadaan terintubasi dengan bagging
manual.
Riwayat Penyakit Dahulu : Ibu menyangkal riwayat penyakit serupa sebelumnya,
ibu mengatakan tidak pernah sakit berat sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga : Riawayat penyakit serupa dalam keluarga disangkal
Riwayat Tumbuh Kembang dan Perinatal :
a. Riwayat Tumbuh Kembang : sebelum sakit klien mampu miring kanan-kiri
b. Riwayat kehamilan : ibu G2P2A0, kontrol teratur ke bidan, selama hamil tidak
ada keluhan
c. Riwayat persalinan : Lahir spontan di tolong bidan 10 maret 2011, tidak
langsung menangis , cukup bulan, BL: 2500gr, PL: 42 cm, anak ke II/2
Pemeriksaan fisik
a. Tanda-Tanda Vital (TTV): TD: 62/35 mmHg Nadi: 155x/menit RR: 60
x/menit Suhu: 37oC
b. Pernafasan
a) Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, nafas cuping hidung tidak ada,
retraksi tidak ada, tidak ada sianosis
b) Palpasi : pergerakan dinding dada simetris
c) Perkusi : Sonor di area paru
d) Auskultasi : Ronkhi di kedua paru, suara paru kanan dan kiri sama keras
e) Alat bantu nafas: klien terintubasi dengan ETT no3,5 kedalaman 9cm on
ventilator modus Pressure Control(PC), RR: 50x/menit, SpO2: 99%
f) Sirkulasi : tidak ada sianosis, CRT <2 detik,tidak pucat, akral hangat
c. Neurologi :
a) Kesadaran Apatis/somnolent GCS E1 M5
b) Pupil isokor, diameter 2mm/2mm, Reflek cahaya +/+
c) Tidak ada gangguan neurologi
d. Gastrointestinal
a) Inspeksi : mukosa mulut lembab, abdomen datar, tidak distended
b) Auskultasi : terdengar bising usus
c) Palpasi : abdomenlunak, tidak tegang, hepar dan lien tak teraba
d) Perkusi : timpani
e) Mual dan Muntah : tidak ada
f) Asites : tidak ada
e. Eliminasi
a) Defekasi : via anus, karakter feses lunak
b) Urin : Spontan, tidak ada kelainan. Urin jernih
c) Diuresis : 3,3 ml/kg/jam
f. Integumen
a) Warna kulit : normal
b) Luka : tidak ada
g. Muskuloskeletal
a) Kelainan tulang : tidak ada
b) Gerakan anak : bebas, normal
h. Genetalia : Laki-laki, bentuk normal
Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan darah An. H Tanggal 6 oktober 2019 diterima hasil Analisa Gas
Darah (AGD): pH: 7,345 pCO2: 71 PaO2 : 81,6 BE: 12,4 HCO3: 38,2
SaO2: 94,9%
Hasil rontgen thorax:
Tanggal 1 oktober 2019: infiltrat pneumonia tidak terlihat jelas, tapi terlihat adanya
atelektasis paru kiri yang diduga karena ETT terlalu dalam
Tanggal 2 oktober 2019: atelektasis paru kiri membaik
Tanggal 4 oktober 2019: tidak tampak atelektasis, tampak bercak infiltrate
2. Diagnosa Keperawatan
a) Bersihan jalan nafas tidak efektif
b) Gangguan pertukaran gas
c) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
d) Defisit perawatan diri
diagnosa Kriteria hasil intervensi
Bersihan jalan nafas tidak Setelah dilakukan indakan 1. Manajemen jalan napas:
efektif keperawatan selama 2x24 a. Monitor bunyi napas
jam diharapkan: tambahan (mis, gurgling,
Produksi sputum (skala 4: mengi, wheezing, ronkhi
cukup menurun) b. monitor sputum (jumlah,
warna, aroma)
2. Pemantauan respirasi:
a. Monitor adanya produksi
sputum
b. Monitor adanya
sumbatan jalan napas
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Pada Perawatan di ruang PICU diperlukan struktur keanggotaan yang komplek
dalam menangani kegawatdaruratan pada anak dan mempunyai keahlian serta
pengalaman yang tepat,cepat dan efisien serta diperlukan adanya kerja sama yang baik
antar anggota dalam merawat pasien. Dalam pemberian asuhan keperawatan di ruang
PICU perawat melakukan pengkajian sebagai tahap awal dilanjut dengan diagnose
keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan dan evauasi
keperawatan dengan keahlian yang kompeten.
4.2. Saran
Dalam makalah ini masih kurang lengkap di harapkan pembaca mencari referensi
di buku atau internet yang lebi lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
IDAI. 2016. Buku Panduan Pelayanan Emergensi, Intermediet dan Rawat Intensive
Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Wong, Donna L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Volume I.Alih bahasa Agus
Sutarna dkk. Jakarta : EGC
Anwar, Athena., Dharmayanti, Ika. 2014. Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia
dalam jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Volume 8, nomor 8, halaman 359-
365
Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
Kemenkes RI
Ridha N. 2014. Buku Ajar Keperawatan Pada Anak. Jakarta: Pustaka Pelajar
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumoni pada Anak Orang
Dewasa, Usia Lanjut Edisi 1. Jakarta: Pustaka Obor Populer
Sujono & Sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 1. Yogyakarta :
Graha Ilmu
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik: Jakarta: Dewan Pengurus PPNI
PPNI, 2017, Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Jakarta
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan, edisi 1, Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai