Kelas : Farmasi 4B
NIM : 1604010061
Matkul : Farmakoterapi I
I. ASMA
A. STUDI KASUS
Seorang perempuan berusia 33 tahun datang dengan keluhan sesak yang
semakin hebat sejak 6 jam yang lalu.
1. IDENTIFIKASI
Nama : Ny. NJ
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 33 tahun
Keluhan utama : Sesak nafas yang hebat sejak 6 jam yang lalu
Riwayat Penyakit : Sejak kurang lebih 6 jam yang lalu, pasien
mengeluh sesak nafas, sesak timbul saat cuaca
dingin dan terkena debu, tidak dipengaruhi oleh
aktivasi, posisi, mengi (+), batuk (+) berdahak
berwarna putih, encer, darah tidak ada, demam
tidak ada, pasien berobat ke UGD puskesmas.
Riwayat penyakit dahulu : Riwayat asma (+), riwayat alergi debu/asap (+)
Riwayat penyakit keluarga : Riwayat penyakit asma dalam keluarga ada (ibu
dan adik,penderita)
2. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : tampak sakit
Keadaan sakit : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 108 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 32 kali/menit, cepat, dan dangkal
Temperatur : 37,3º C
3. DIAGNOSA
Serangan asma
4. DIAGNOSA BANDING
a. Serangan asma
b. Bronkitis akut
c. Pneumonia
5. PENATALAKSANAAN
a. O2 Nasal Canul 2-4 liter/menit
b. Nebulisasi dengan ventolin
c. Salbutamol 3 x 2 mg
d. Ambroxol sirup 3 x 1 cth
8. TATA LAKSANA
Tatalaksana awal adalah pemberian oksigen disertai nebulisasi kontinyu
salbutamol 2 x 5mg/2,5mL tanpa pengenceran. Hati-hati terhadap toksisitas
salbutamol (takikardi, takipnea, asidosis metabolik). Selain itu, digunakan juga
nebulisasi ipatropium bromida 250 mcg sebanyak 3 kali setiap 20 menit dalam 1
jam bersamaan dengan pemberian salbutamol, diberikan juga metilprednison 1
mg/kgBB tiap 6-8 jam. Selain itu, pasien diberi aminofilin 10 mg/kgBB diberikan
dalam 60 menit, dosis maksimal 500 mg. Bila membaik dengan dosis inisial,
maka dosis kontinyu diberikan di ruangan rawatan untuk 6 jam berikutnya.
Apabila pasien membaik setelah 6-8 kali nebulisasi, interval dapat dirubah
menjadi setiap 4-6 jam. Jika dalam 24 jam terjadi perbaikan klinis, pasien boleh
dipulangkan. Namun apabila terjadi perburukan, pertimbangkan pemberian
ventilasi mekanik dan perawatan di ICU.
Tujuan jangka panjang tatalaksana asma adalah:
a. Mendapatkan gejala yang terkontrol dengan baik
b. Meminimalisasi risiko eksaserbasi
c. Meminimalisasi penyempitan jalan napas yang menetap
d. Meminimalkan efek samping terapi
Untuk dapat menyesuaikan rencana tatalaksana jangka panjang, status terkontrol
atau tidaknya pasien asma harus dinilai.
Tabel 2 Status Terkontrol Pasien Asma
Gejala Komplit Baik Parsial Tidak
terkontrol
Gejala siang - ≤2 >2 Terus-
hari kali/minggu kali/minggu menerus
Gejala - ≤1 >1 Tiap minggu
malam hari kali/bulan kali/bulan
Reliever - ≤2 >2 Setiap hari
kali/minggu kali/minggu
Keterbatasan - - Sedikit Sangat
aktivitas terbatas terbatas
Fungsi paru FEV1 > FEV1 ≥ FEV1 60- FEV1<60%
80% 80% 80%
Risiko - 1 2 >2
eksaserbasi
per tahun
9. FARMAKOLOGIS
Jenis agen farmakologis pada tatalaksana asma adalah bronkodilator dan
steroid.
a. Beta-2 Agonis
Jenis beta-2 agonis yang dapat dipilih adalah:
1) SABA (short-acting beta-2 agonist), misalnya salbutamol
2) LABA (long-acting beta-2 agonist), misalnya formoterol
b. Bronkodilator Lain
Bronkodilator lainnya yang dapat digunakan adalah antikolinergik
kerja cepat seperti ipatropium bromida (20 mcg/puff).
c. ICS (Inhaled Corticosteroid)
ICS (inhaled corticosteroid), digunakan sebagai terapi yang berkaitan
langsung dengan patofisiologi utama asma yakni inflamasi. Regimen yang
dapat digunakan adalah :
1) Beklometason, 40-80 µg/puff (dosis rendah 60-180 µg)
2) Budesonide, 0,25; 0,5; 1,0 mg/nebul
3) Fluticasone, 44 atau 110 atau 220 µg/puff
d. LTRA (Leukotrient Receptors Antagonist)
LTRA (Leukotrient Receptors Antagonist), merupakan tatalaksana
baru untuk kontrol asma misalnya montelukast, zafirlukast, dan pranlukast.
e. Inhibitor Fosfodiesterase
Inhibitor fosfodiesterase memiliki efek anti inflamasi namun indeks
terapeutiknya sempit sehingga tidak dipergunakan secara luas, seperti
teofilin dan aminofilin. Penggunaannya dibatasi karena efek sampingnya
melebihi manfaatnya. Aminofilin dikaitkan dengan terjadinya muntah
dan aritmia.
f. Antibodi Monoklonal
Antibodi monoklonal digunakan untuk mengikat IgE. Antibodi
monoklonal yang dapat digunakan pada pasien asma adalah omalizumab.
B. PEMBAHASAN ASMA:
Asma berasal dari kata “asma” yang diambil dari bahasa yunani yang berarti
“susah bernafas”. Asma adalah jenis penyakit jangka panjang atau kronis pada
saluran pernapasan yang ditandai dengan peradangan dan penyempitan saluran
napas yang menimbulkan sesak atau sulit bernapas, selain sulit bernapas,
penderita asma juga bisa mengalami gejala lain seperti nyeri dada, batuk-batuk
dan mengi. Apabila reseptor beta-2 dirangsang dengan obat antiasma salbutamol,
maka pelepasan histamine akan terhalang, tidak hanya itu, aminofilin obat anti
asma yang sudah terkenal, juga menghalangi pembebasan histamine, pada mukosa
bronkus dan dalam darah tepi, terdapat banyak eosinofil, adanya eosinofil dalam
sputum dapat dengan mudah terlihat.
Manifestasi klinis penilaian secara subyektif tidak dapat secara akurat
menentukan derajat asma. Gejala klinik bervariasi mulai dari wheezing ringan
sampai bronkokokostriksi berat, pada keadaan ringan, hipoksia dapat
dikompensasi hiperventilasi. Namun, bila bertambah berat akan terjadi kelelahan
yang menyebabkan retensi O2 akaibat hiperventilasi. Bila terjadi gagal napas,
ditandai asidosis, hiperkapnea, adanya pernapasan dalam, takikardi, pulpus
paradoksus, ekspirasi memanjang, penggunaan otot asesoris pernapasan, sianosis
sentral, sampai gangguan kesadaran, keadaan ini bersifat reversible dan dapat
ditoleransi, namun pada kehamilan sangat berbahaya akibat adanya penurunan
kapasitas residu.
Manifestasi klinis asma ditandai dengan dyspnea, kesesakan dada,
wheezing, dan batuk malam hari, di mana hanya menjadi tanda dalam beberapa
kasus. Pasien melaporkan gejala seperti gangguan tidur dan nyeri dada Batuk
yang memicu spasme atau kesesakan dalam saluran pernapasan, atau berlanjut
terus, dapat berbahaya. Beberapa serangan dimulai dengan batuk yang menjadi
progresif lebih “sesak”, dan kemudian bunyi wheezing terjadi. Ada pula yang
berbeda, beberapa penderita asma hanya dimulai wheezing tanpa batuk. Beberapa
yang lain tidak pernah wheezing tetapi hanya batuk selama serangan asma terjadi.
Selama serangan asma, mucus cenderung menjadi kering dan sukar, sebagian
karena cepat, beratnya pernapasan umumnya terjadi saat serangan asma. Mucus
juga menjadi lebih kental karena sel-sel mati terkelupas
II. PPOK ( PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK )
A. STUDI KASUS
1. IDENTIFIKASI
Nama : Tn. S
Umur : 73 th
Jenia Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Sidodadi 34/9 Masaran Sragen
Pekerjaan : Pensiunan
Status : Menikah
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 22 Juni 2012
No. RM : 0260xx
2. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama : Sesak nafas
b. Riwayat Penyakit Sekarang
c. SMRS : Pasien mengeluh sesak nafas dan batuk sejak 5 tahun yang lalu.
Sesak dan batuk kambuh-kambuhan . Pasien sudah pernah berobat ke
BBKPM Surakarta 5 tahun yang lalu dengan keluhan sesak napas disertai
batuk, nyeri dada, demam, dan perut perih.
d. HMRS : Pasien datang dengan keluhan sesak dan batuk yang
berlangsung sejak 1 bulan yang lalu, sesak dirasakan bertambah
berat apabila menghirup asap dan beraktivitas berat. Sesak berkurang
apabila pasien berdiri dengan kedua tangan memegang tembok. Pasien
mengaku dulu pernah mendapatkan pengobatan dengan cara diuapi. Batuk
disertai dahak berwarna putih dan tidak disertai darah. Pasien tidak
merasa pusing, demam, keringat dingin, mual, maupun muntah, nafsu
makan sedikit menurun, berat badan tidak turun, BAB dan BAK normal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat Hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat Alergi Obat : disangkal
d. Riwayat OAT : disangkal
5. Riwayat Keluarga
a. Riwayat penyakit serupa : disangkal
b. Riwayat Hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat Alergi Obat : disangkal
e. Riwayat OAT : disangkal
b. Golongan Antikolinergik
Golongan antikolinergik bekerja dengan memblok efek bronkhokonstriktor
dari Asetilkoline pada reseptor M2 Muskarinik yang terdapat di otot polos saluran
nafas.
Tabel 4. Jenis Obat dan Sediaan Golongan Antikolinergik
Jenis obat Jenis sediaan
Short Acting Inhalasi Nebulisasi Oral Injeksi Durasi
Antikolinergik (SAMA) (mcg) (mg/ml) (mg) (mg) kerja
(jam)
Iptatropium Bromide 20, 0.2 6-8-7-
Oxitropium Bromie 40100 9
Long Acting B2 Agonis
(LABA)
Aclidium 40015.6, 0.00750.01 1212 -
BromideGlycorirronium 50 24
bromide 1 mg 0.2 mg 24
Tiotropium 2.5, 5 24
Umeclidinium 62.5
3. Terapi Oksigen
Secara umum pasien PPOK berada dalam kondisi hipoksia berkepanjangan
yang dapat menimbulkan kerusakan pada sel dan jaringan. Pemberian oksigen
relatif aman dan diketahui dapat menurunkan angka mortalitas pada pasien PPOK
berat. Para ahli menyarankan pemberian terapi oksigen pada pasien dengan PaO2
< 55mmHg, atau PaO2<59 mmHg disertai dengan polisitemia atau cor pulmonale.
Pemberian terapi oksigen melalui nasal kanul secara berkelanjutan merupakan
pemberian standar pada pasien hipoksemia yang stabil.
Pada pasien PPOK dengan gejala gagal nafas harus dipertimbangkan untuk
penggunaan ventilator mekanik dan dengan pengawasan yang ketat di ruang
perawat intensif.
4. Terapi Eksaserbasi
PPOK merupakan kondisi penyakit yang bisa mengalami eksaserbasi akut
sehingga harus ditangani dengan cepat. Eksaserbasi PPOK merupakan kondisi
kompleks yang disebabkan oleh peningkatan inflamasi jalan nafas, peningkatan
produksi mukus dan penumpukkan udara. Kondisi ini akan menyebabkan sesak
nafas yang hebat, batuk, dan produksi sputum yang kental dan purulent.
Eksaserbasi PPOK dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Eksaserbasi ringan dapat diatasi dengan pemberian SABA
b. Eksaserbasi sedang dapat diatasi dengan SABA dengan tambahan
antibiotic dan/atau kortikosteroid oral
c. Eksaserbasi Berat perlu rawat inap atau dibawa ke unit gawat darurat.
Eksaserbasi berat dapat menyebabkan gagal nafas
Indikasi rawat pada kasus PPOK eksaserbasi adalah:
a. Sesak nafas yang timbul mendadak dan berat, frekuensi nafas yang tinggi,
penurunan saturasi oksigen, dan penurunan kesadaran
b. Gagal nafas akut
c. Adanya sianosis atau edema perifer
d. Eksaserbasi tidak membaik setelah penanganan pertama
e. Adanya penyakit komorbid (gagal jantung, aritmia)
Pada penatalaksanaan PPOK eksaserbasi harus dinilai tingkat keparahan
gejala, dilakukan AGD, dan Foto Thoraks. Oksigen diberikan dan saturasi oksigen
dimonitor.
Pada kasus eksaserbasi, dosis atau frekuensi pemberian bronchodilator kerja
pendek ditingkatkan. Dapat diberikan kombinasi pemberian SABA dan SAMA,
dengan pilihan pemberian:
a. Nebulisasi Salbutamol 2.5-5 mg setiap 20 menit selama 2 jam atau hingga
kondisi klinis membaik, diikuti pemberian inhalasi 100-200mcg(1-2 puff)
setiap 20 menit selama 2 jam atau hingga kondisi membaik.
b. Nebulisasi Ipratropium 0.25-0.5mg setiap 20 menit selama 2 jam atau
hingga kondisi klinis membaik, diikuti pemberian inhalasi 40mcg (2 puff)
setiap 20 menit selama 2 jam atau hingga kondisi klinis membaik
Penggunaan bronkodilator kerja lama dipertimbangkan jika pasien sudah
stabil. Dapat pula diberikan kortikosteroid sistemik dengan pilihan :
a. Prednison oral 30-40mg, 1x/hari selama 5-7 hari
b. Methylprednisolone oral 40-60mg 1x atau 2x/hari selama 5-7 hari
c. Methylprednisolone intravena 0.5-2mg/kgbb setiap 6 jam selama 72 jam,
yang kemudian diturunkan dengan titrasi atau ganti sediaan oral
Dapat dipertimbangkan pemberian antiobiotik jika ditemukan tanda infeksi
bakteri pada eksaserbasi akut yang berat. Pilihan antibiotik antara lain :
a. Levofloxacine oral 500mg/hari selama 3-10 hari, atau 750mg/hari selama
5 hari
b. Ciprofloxacine oral 500mg 2x/hari selama 7-10 hari
c. Moxifloxacine oral/intravena 400mg/hari selama 3-10 hari
d. Ampicillin/Sulbactam intravena 1.5-3 gr/6jam
e. Piperacillin/tazobactam intravena 2.25-4.5 gr/6jam
f. Vankomisin intravena 500-1000mg/12jam
Dapat pula dipertimbangkan noninvasive mechanical ventilation (NIV)
atau invasive mechanical ventilation jika kondisi semakin berat dan mengancam
nyawa. NIV dapat diberikan pada semua pasien PPOK eksaserbasi akut dengan
asidosis respiratorik (pH<7,35, pCO2>65) yang persisten setelah pemberikan
terapi medikamentosa yang adekuat. Pasien dengan pH <7.25 dalam terapi NIV
memerlukan monitoring yang ketat, dan persiapkan untuk kemungkinan intubasi.
Pengaturan awal NIV dapat dimulai dengan Inspiratory Positive Airway
Pressure (IPAP) 10 cmH2O dan dapat dititrasi bertahap hingga 20 cmH2O sesuai
dengan kondisi klinis. Pengaturan Expiratory APositive Airway Pressure (EPAP)
yang direkomendasikan adalah 4-5 cmH2O. Pengaturan FiO2 disesuakan dengan
kondisi pasien dengan target saturasi O2 88-92%.
Monitoring pada tanda vital, saturasi oksigen dan tingkat kesadaran sangat
penting dilakukan pada awal penggunaan NIV. Pemeriksaan Analisa Gas Darah
harus dilakukan secara serial untuk memonitor keberhasilan NIV. Pertimbangkan
ventilasi mekanik invasif pada pasien dengan kondisi klinis yang tidak membaik
dalam 4 jam setelah penggunaan NIV.
Pasien yang tampak membaik dalam 1 jam pertama penggunaan NIV,
setidaknya mendapatkan terapi ini selama 24 jam. Jika pH >7.35 sudah tercapai,
dapat dimulai penyapihan vemtilasi mekanik.
Lakukan monitor cairan, pemberian heparin subkutan untuk pencegahan
thromboemboli, identifikasi dan tangani kondisi penyerta lainnya (gagal jantung,
aritmia, emboli paru).
D. PEMBAHASAN PPOK :
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah peradangan kronis pada
paru-paru yang menyebabkan terjadinya obstruksi aliran udara pada jalan
napas. Dua kondisi yang paling umum yang berkontribusi pada PPOK
adalah bronkitis kronik dan emfisema. Pada bronkitis kronik, terjadi peradangan
pada bronkus (saluran yang membawa udara dari dan ke kantung udara paru-paru
atau alveoli). Sedangkan pada emfisema, peradangan dan kerusakan terjadi pada
alveoli yang merupakan sebuah kantong tempat pertukaran oksigen dan karbon
dioksida.
Faktor utama yang meningkatkan risiko terjadinya PPOK adalah paparan
rokok dalam jangka panjang, baik secara aktif maupun pasif. Selain paparan
rokok, faktor risiko PPOK lainnya adalah:
1. Paparan debu dan bahan kimia di tempat kerja. Paparan kimia, uap, dan
debu dalam jangka panjang di tempat kerja dapat mengiritasi dan membuat
paru-paru meradang.
2. Paparan asap dari pembakaran bahan bakar. Misalnya, terpapar asap dari
pembakaran bahan bakar saat memasak atau akibat ventilasi di rumah
yang buruk
3. PPOK adalah penyakit yang berkembang secara bertahap, sehingga
kebanyakan pengidap baru mengalami gejalanya di usia 40 tahun.
4. Kekurangan genetik yang tidak biasa, yaitu defisiensi alpha-1-antitrypsin
merupakan penyebab dari beberapa kasus PPOK. Faktor genetik lainnya
dipercaya juga dapat membuat beberapa perokok lebih rentan terhadap
penyakit ini.
Beberapa kondisi yang menjadi penyebab PPOK, antara lain :
1. Emfisema, penyakit paru ini menyebabkan kerusakan dinding dans erat
elastis dari alveoli
2. Bronkitis Kronis, dalam kondisi ini, saluran bronkial pengidap meradang
dan menyempit, serta paru-paru menghasilkan lendir yang banyak,
sehingga menghalangi saluran udara
3. Merokok dalam waktu yang lama
4. Iritasi lain, seperti asap cerutu, polusi udara, dan paparan debu
5. Kekurangan alfa-1 antiripsin, kurangan protein tersebut bias
mempengaruhi kesehatan hati dan paru-paru
6. Defisiansi AAt, pada orang dewasa, PPOK sering kali disebabkan oleh
defisiensi AAT.
Gejala PPOK seringkali tidak muncul sampai paru-paru mengalami
kerusakan yang signifikan dan kinerjanya sudah semakin memburuk seiring
berjalanya waktu, apalagi jika pengidap tetap merokok. Pada bronchitis kronik
gejala uitama yang dialami pengidap adalah batuk berdahal yang berlangsung
minimal 3 bulan dalam 2 tahun.
Gejala lain pada PPOK meliputi
1. Sesak napas, terutama saat melakukan aktivitas fisik
2. Mengi
3. Produksi dahak yang banyak
4. Batuk kronik yang produktif
5. Seringnya terpapar infeksi salu ran nafas
6. Mudah lelah
7. Sianosis pada kuku maupun bibir
8. Penuruan berat badan
9. Bengkak pada pergelangan kaki atau betis.
Diagnosis PPOK dilakukan berdasarkan wawancara medis dan pemeriksaan
fisik yang dibantu dengan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan meliputi:
1. Tes fungsi paru-paru. Tes ini bertujuan untuk mengukur jumlah udara
yang bisa kamu hirup dan hembuskan, dan apakah paru-paru memberikan
oksigen yang cukup ke darah. Spirometri adalah tes fungsi paru-paru yang
paling sering digunakan. Pada tes ini, kamu akan diminta untuk meniup
udara ke dalam tabung besar yang terhubung ke mesin kecil yang bernama
spirometer. Mesin ini dapat mengukur berapa banyak udara yang mampu
ditahan oleh paru-paru pasien dan seberapa cepat pasien dapat
mengeluarkan udara dari paru-parunya. Spirometri dapat mendeteksi
PPOK, bahkan sebelum gejala penyakit tersebut muncul. Tes ini juga
digunakan untuk mengukur perkembangan penyakit dan untuk memantau
seberapa baik pengobatan bekerja.
2. X-ray dada dapat mendeteksi adanya emfisema yang merupakan salah satu
penyebab utama PPOK.
3. CT Scan juga dapat dilakukan untuk mendeteksi emfisema dan
memprediksi keuntungan yang bisa didapatkan melalui operasi. Selain
itu, CT Scan juga dapat digunakan sebagai skrining terhadap kanker paru-
paru.
A. STUDI KASUS
pasien mengalami batuk, pilek selama 3 hari disertai dengan demam, sakit
tenggorakan dan adanya ssuara tambahan saat tidur (sindor) berhubungan dengan
saluran pernapasan, pasien menyatakan menghirup udara ke hidung secara
berulang-ulang dengan adanya suara tambahan.
C. PEMBAHASAN ISPA:
Infeksi saluran pernapasan atau respiratory tract infections adalah infeksi
sinus, tenggorokan, saluran udara atau paru-paru apapun, yang biasanya
disebabkan oleh virus atau bakteri. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
adalah penyakit saluran pernafasan akut yang meliputi saluran pernafasan bagian
atas seperti rhinitis, fharingitis, dan otitis serta saluran pernafasan bagian bawah
seperti laryngitis, bronchitis, bronchiolitis dan pneumonia.
Klasifikasi infeksi saluran pernapasan berdasarkan letaknya:
1. Infeksi saluran pernapasan atas, yaitu yang mempengaruhi hidung, sinus,
dan tenggorokan.seperti faringitis,flu,rhinitis,otitis
2. Infeksi saluran pernapasan bawah, yaitu yang mempengaruhi saluran udara
dan paru-paru.
Penyebab infeksi saluran pernapasan: Beberapa jenis virus atau bakteri yang
dapat menyebabkan infeksi saluraan pernapasan atas. Diantaranya:
1. Influenza dan parainfluenza,
2. Thinoviruses
3. Epstein-Barr Virus (EBV)
4. Respiratory Syncytial Virus (RSV)
5. Streptococcus grup A
6. Pertussis
7. Diphteria
Sedangkan beberapa jenis virus atau bakteri yang dapat menyebabkan
infeksi saluran pernapasan bawah, di antaranya adalah :
1. Influenza A,
2. Human metapneumovirus (hMPV),
3. Respiratory syncytial virus (RSV),
4. Varicella-zoster virus (VZV),
5. H. influenzae,
6. Streptococcus pneumoniae,
7. Klebsiella pneumoniae,
8. Staphylococcus aureus,
9. Enterobacteria dan bakteri anaerob
Gejala-gejala yang di timbulkan oleh infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) :
1. batuk,
2. hidung tersumbat
3. pilek,
4. bersin-bersin,
5. nyeri otot,
6. sakit tenggorokan,
7. sakit kepala
8. demam.
Gejala-gejala tersebut biasanya berlangsung selama 3 hingga 14 hari,
Sedangkan gejala infeksi saluran pernapasan bawah:
1. batuk berdahak,
2. sesak napas, mengi, dan demam. Pada anak-anak dan bayi, gejala lain
yang mungkin timbul, adalah sulit makan, rewel, dan gangguan tidur
2. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis umumnya bersifat suportif untuk meringankan gejala.
Antibiotik dan antiviral tidak selalu diperlukan pada pasien ISPA.
3. Terapi Simptomatik
Dekongestan oral atau topikal dapat membantu mengurangi keluhan pada
pasien dengan rhinorrhea. Sebaiknya dekongestan diberikan pada anak di atas 2
tahun karena efek sampingnya seperti gelisah, palpitasi, dan takikardia.
Dekongestan topikal seperti fenilepinefrin atau oxymetazoline lebih banyak
dipakai, sebaiknya digunakan 3-4 hari saja untuk menghindari efek rebound.
Antihistamin oral generasi satu dinilai memiliki efek antikolinergik sehingga
dapat digunakan untuk mengurangi rhinorrhea dan bersin. Antihistamin yang
biasanya digunakan adalah chlorpheniramine maleate atau diphenhydramine.
Guaifenesin adalah mukolitik yang berfungsi untuk mengurangi sekresi
nasofaring. Guaifenesin dinilai dapat menurunkan sekresi dan meningkatkan
drainase pada pasien nasofaringitis atau rinosinusitis, namun bukti klinisnya
masih terbatas. Selain itu, codeine merupakan obat yang sering digunakan pada
pasien dengan keluhan batuk. Codeine berperan sebagai antitusif yang bekerja
secara sentral.
4. Antiviral
Pada pasien ISPA, antiviral biasanya tidak diperlukan. Antiviral bisa dipakai
pada pasien influenza yang terkonfirmasi atau jika
terjadi outbreak influenzae dimana manfaat lebih banyak dibandingkan risiko.
Antiviral diberikan pada pasien yang berisiko tinggi mengalami perburukan
gejala. Misalnya pada pasien yang sedang hamil, bayi usia < 6 bulan, pasien usia
> 65 tahun, pasien immunocompromised, dan pasien dengan morbid obesitas.
Regimen yang bisa digunakan adalah oseltamivir 2 x 75 mg hingga maksimal 10
hari.
5. Terapi Antibiotik
Kebanyakan kasus ISPA disebabkan oleh virus, sehingga penggunaan
antibiotik tidak efektif dan hanya boleh digunakan jika terdapat kecurigaan atau
konfirmasi adanya infeksi bakteri.
IV. MUAL MUNTAH
C. PEMBAHASAN KONSTIPASI:
Analisa SOAP
S: kesulitan buang air besar pasca melahirkan
O: konstipasi selama 3 hari
A: Laksatif
P: Terapi non farmakologi :banyak meminum air putih ,makan makanan berserat
(wortel, kacang-kacangan dll), dan olah raga.
Terapi farmakologi :laksatif pembentuk massa, laktulosa penggunaannya
disarankan jika sangat diperlukan, penggunaan tidak dalam jangka waktu panjang