Anda di halaman 1dari 31

Nama : Novita Sulisdiani

Kelas : Farmasi 4B
NIM : 1604010061
Matkul : Farmakoterapi I

I. ASMA

A. STUDI KASUS
Seorang perempuan berusia 33 tahun datang dengan keluhan sesak yang
semakin hebat sejak 6 jam yang lalu.
1. IDENTIFIKASI
Nama : Ny. NJ
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 33 tahun
Keluhan utama : Sesak nafas yang hebat sejak 6 jam yang lalu
Riwayat Penyakit : Sejak kurang lebih 6 jam yang lalu, pasien
mengeluh sesak nafas, sesak timbul saat cuaca
dingin dan terkena debu, tidak dipengaruhi oleh
aktivasi, posisi, mengi (+), batuk (+) berdahak
berwarna putih, encer, darah tidak ada, demam
tidak ada, pasien berobat ke UGD puskesmas.
Riwayat penyakit dahulu : Riwayat asma (+), riwayat alergi debu/asap (+)
Riwayat penyakit keluarga : Riwayat penyakit asma dalam keluarga ada (ibu
dan adik,penderita)

2. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : tampak sakit
Keadaan sakit : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 108 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 32 kali/menit, cepat, dan dangkal
Temperatur : 37,3º C
3. DIAGNOSA
Serangan asma

4. DIAGNOSA BANDING
a. Serangan asma
b. Bronkitis akut
c. Pneumonia

5. PENATALAKSANAAN
a. O2 Nasal Canul 2-4 liter/menit
b. Nebulisasi dengan ventolin
c. Salbutamol 3 x 2 mg
d. Ambroxol sirup 3 x 1 cth

6. ALGORITMA TERAPI ASMA:


7. REGIMEN PENGOBATAN ASMA:
Penata laksanaan asma dibagi menjadi tatalaksana akut dan jangka panjang:
Tata laksana asma akut yaitu serangan akut merupakan salah satu penyebab
kunjungan ke instalasi gawat darurat dan rawat inap. Derajat serangan asma
dibagi menjadi serangan ringan, sedang, berat dan sangat berat.
Tabel 1 Derajat Serangan Akut
Gejala dan Serangan Serangan Serangan Serangan sangan
tanda ringan sedang berat berat/mengancam
jiwa
Sesak nafas Berjalan Berbicara Istirahat Mengantuk, gelisah,
Posisi Dapat tidur Duduk Duduk kesadaran menurun,
terlentang membungkuk frekuensi
cara bicara Satu Beberapa Kata demi nadi,bradikardia,otot
kalimat kata kata bantu nafas nampak
Kesadaran Normal atau Gelisah gelisah lemah, pernapasan
gelisah torakoabdominal
Frekuensi <20 20-30 >30 paradoksal, silent
nafas kali/menit kali/menit kali/menit chest
Frekuensi <100 100-120 >120
nadi kali/menit kali/menit kali/menit
Otot bantu - + +
nafas dan
retraksi
suprasternal
Akhir Akhir Inspirasi dan
Mengi ekspirasi ekspirasi ekspirasi
paksa
APE >80% 80-60% <60%
PaO2 >80 mmHg 80-60 <60 mmHg
mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 >45 mmHg
mmHg
SaO2 >95% 91-95% <90%

a. Asma Serangan Ringan


Asma serangan ringan diberikan salbutamol 4-10 puff dengan
menggunakan spacer, diberikan sekali dan keadaan pasien dinilai ulang setelah 20
menit. Prednison diberikan pada pasien yang tidak respon hanya dengan
bronkodilator
a. Dosis dewasa 1 mg/kg maksimal 50 mg
b. Dosis anak 1-2 mg/kg maksimal 40 mg
Pemberian prednisolon dilanjutkan bila pasien
membutuhkan salbutamol reguler dan sebaiknya diberikan hanya untuk 1-2 hari
saja. Terapi oksigen terkontrol dengan target saturasi 93-95% atau pada anak-anak
94-98%. Pantau dan bila membaik dipersiapkan untuk pulang dan diberikan obat
pulang sesuai langkah terapi kontrol.
Bila respon baik, pasien dapat dipulangkan dengan pemberian short acting
beta agonis (SABA) bila diperlukan. Bila respon tidak baik setelah tatalaksana
adekuat, lajutkan tatalaksana sebagai asma serangan berat.
b. Asma Serangan Berat
Pada serangan asma berat diberikan salbutamol 4-10 puff dengan
menggunakan spacer diberikan setiap 20 menit dalam 1 jam dan pada pemberian
yang ketiga kalinya dilakukan penilaian ulang. Bila membaik, kurangi frekuensi
pemberian salbutamol, bila memburuk lanjutkan 20 menit berikutnya, bila
keadaan makin memburuk, berikan ipatropium bromida 4-6 puff (20 mcg/puff)
dengan menggunakan spacer setiap 20 menit dalam 1 jam.
Aminofilin diberikan bila asma sangat memburuk dengan dosis inisial 10
mg/kgBB diberikan dalam 60 menit, dosis maksimal 500 mg. Bila membaik
dengan dosis inisial, maka dosis kontinyu diberikan di ruangan rawatan untuk 6
jam berikutnya.
Magnesium sulfat 50% (500mg/mL), diencerkan menjadi 200 mg/mL dalam
normal salin dan diberikan sebanyak 50 mg/kgBB dalam 20 menit dan dilanjutkan
30 mg/kgBB/jam melalui infus bila pasien dirawat di ICU, diberikan juga
prednison oral 2 mg/kgBB, bila pasien muntah dapat diberikan parenteral
metilprednison 1 mg/kgBB

8. TATA LAKSANA
Tatalaksana awal adalah pemberian oksigen disertai nebulisasi kontinyu
salbutamol 2 x 5mg/2,5mL tanpa pengenceran. Hati-hati terhadap toksisitas
salbutamol (takikardi, takipnea, asidosis metabolik). Selain itu, digunakan juga
nebulisasi ipatropium bromida 250 mcg sebanyak 3 kali setiap 20 menit dalam 1
jam bersamaan dengan pemberian salbutamol, diberikan juga metilprednison 1
mg/kgBB tiap 6-8 jam. Selain itu, pasien diberi aminofilin 10 mg/kgBB diberikan
dalam 60 menit, dosis maksimal 500 mg. Bila membaik dengan dosis inisial,
maka dosis kontinyu diberikan di ruangan rawatan untuk 6 jam berikutnya.
Apabila pasien membaik setelah 6-8 kali nebulisasi, interval dapat dirubah
menjadi setiap 4-6 jam. Jika dalam 24 jam terjadi perbaikan klinis, pasien boleh
dipulangkan. Namun apabila terjadi perburukan, pertimbangkan pemberian
ventilasi mekanik dan perawatan di ICU.
Tujuan jangka panjang tatalaksana asma adalah:
a. Mendapatkan gejala yang terkontrol dengan baik
b. Meminimalisasi risiko eksaserbasi
c. Meminimalisasi penyempitan jalan napas yang menetap
d. Meminimalkan efek samping terapi
Untuk dapat menyesuaikan rencana tatalaksana jangka panjang, status terkontrol
atau tidaknya pasien asma harus dinilai.
Tabel 2 Status Terkontrol Pasien Asma
Gejala Komplit Baik Parsial Tidak
terkontrol
Gejala siang - ≤2 >2 Terus-
hari kali/minggu kali/minggu menerus
Gejala - ≤1 >1 Tiap minggu
malam hari kali/bulan kali/bulan
Reliever - ≤2 >2 Setiap hari
kali/minggu kali/minggu
Keterbatasan - - Sedikit Sangat
aktivitas terbatas terbatas
Fungsi paru FEV1 > FEV1 ≥ FEV1 60- FEV1<60%
80% 80% 80%
Risiko - 1 2 >2
eksaserbasi
per tahun

Pilihan farmakologis untuk terapi jangka panjang asma dikelompokkan


menjadi:
a. Controller, yaitu terapi rumatan untuk tatalaksana reguler untuk
menurunkan inflamasi, mengontrol gejala, menurunkan risiko eksaserbasi,
dan mencegah penurunan fungsi paru.
b. Reliever, yaitu terapi pertolongan untuk gejala asma akibat perburukan
atau eksaserbasi.
c. Terapi tambahan untuk pasien asma berat, dipertimbangkan pada pasien
dengan gejala persisten
Rekomendasi National Heart, Lung, and Blood Institute untuk kontrol asma
pasien anak dan dewasa di atas 12 tahun adalah sesuai langkah-langkah berikut
ini:
a. SABA (short-acting beta-2 agonist) bila diperlukan
b. ICS (inhaled corticosteroid) dosis rendah, alternatifnya: kromolin,
neokromil, LTRA (leukotrient receptor antagonist), atau teofilin
c. ICS dosis medium atau ICS dosis rendah + LABA (long-acting beta-2
agonist), alternatif: ICS dosis rendah + LTRA atau teofilin
d. ICS dosis medium + LABA, alternatif: ICS dosis medium + LTRA atau
teofilin
e. ICS dosis tinggi + LABA, dan pertimbangkan omalizumab untuk pasien
dengan alergi
f. ICS dosis tinggi + LABA + kortikosteroid oral, dan pertimbangkan
omalizumab untuk pasien dengan alergi
Tatacara menentukan langkah (step) yang diaplikasikan pada pasien adalah
sebagai berikut:
a. Lakukan penilaian status kontrol asma.
b. Mulai dengan strategi dengan cara masuk ke salah satu langkah (step)
sesuai penilaian kebutuhan terapi. Lalu dipantau untuk beberapa waktu.
c. Setelah penilaian untuk beberapa waktu dan tentukan langkah (step)
berikutnya. Penggunaan SABA (short-acting beta-2 agonist) lebih dari
dua kali dalam seminggu untuk reliever merupakan indikasi untuk masuk
ke langkah (step) berikutnya.
d. Bila asma terkontrol minimal dalam 3 bulan, maka mundur satu langkah

9. FARMAKOLOGIS
Jenis agen farmakologis pada tatalaksana asma adalah bronkodilator dan
steroid.
a. Beta-2 Agonis
Jenis beta-2 agonis yang dapat dipilih adalah:
1) SABA (short-acting beta-2 agonist), misalnya salbutamol
2) LABA (long-acting beta-2 agonist), misalnya formoterol
b. Bronkodilator Lain
Bronkodilator lainnya yang dapat digunakan adalah antikolinergik
kerja cepat seperti ipatropium bromida (20 mcg/puff).
c. ICS (Inhaled Corticosteroid)
ICS (inhaled corticosteroid), digunakan sebagai terapi yang berkaitan
langsung dengan patofisiologi utama asma yakni inflamasi. Regimen yang
dapat digunakan adalah :
1) Beklometason, 40-80 µg/puff (dosis rendah 60-180 µg)
2) Budesonide, 0,25; 0,5; 1,0 mg/nebul
3) Fluticasone, 44 atau 110 atau 220 µg/puff
d. LTRA (Leukotrient Receptors Antagonist)
LTRA (Leukotrient Receptors Antagonist), merupakan tatalaksana
baru untuk kontrol asma misalnya montelukast, zafirlukast, dan pranlukast.
e. Inhibitor Fosfodiesterase
Inhibitor fosfodiesterase memiliki efek anti inflamasi namun indeks
terapeutiknya sempit sehingga tidak dipergunakan secara luas, seperti
teofilin dan aminofilin. Penggunaannya dibatasi karena efek sampingnya
melebihi manfaatnya. Aminofilin dikaitkan dengan terjadinya muntah
dan aritmia.
f. Antibodi Monoklonal
Antibodi monoklonal digunakan untuk mengikat IgE. Antibodi
monoklonal yang dapat digunakan pada pasien asma adalah omalizumab.

B. PEMBAHASAN ASMA:
Asma berasal dari kata “asma” yang diambil dari bahasa yunani yang berarti
“susah bernafas”. Asma adalah jenis penyakit jangka panjang atau kronis pada
saluran pernapasan yang ditandai dengan peradangan dan penyempitan saluran
napas yang menimbulkan sesak atau sulit bernapas, selain sulit bernapas,
penderita asma juga bisa mengalami gejala lain seperti nyeri dada, batuk-batuk
dan mengi. Apabila reseptor beta-2 dirangsang dengan obat antiasma salbutamol,
maka pelepasan histamine akan terhalang, tidak hanya itu, aminofilin obat anti
asma yang sudah terkenal, juga menghalangi pembebasan histamine, pada mukosa
bronkus dan dalam darah tepi, terdapat banyak eosinofil, adanya eosinofil dalam
sputum dapat dengan mudah terlihat.
Manifestasi klinis penilaian secara subyektif tidak dapat secara akurat
menentukan derajat asma. Gejala klinik bervariasi mulai dari wheezing ringan
sampai bronkokokostriksi berat, pada keadaan ringan, hipoksia dapat
dikompensasi hiperventilasi. Namun, bila bertambah berat akan terjadi kelelahan
yang menyebabkan retensi O2 akaibat hiperventilasi. Bila terjadi gagal napas,
ditandai asidosis, hiperkapnea, adanya pernapasan dalam, takikardi, pulpus
paradoksus, ekspirasi memanjang, penggunaan otot asesoris pernapasan, sianosis
sentral, sampai gangguan kesadaran, keadaan ini bersifat reversible dan dapat
ditoleransi, namun pada kehamilan sangat berbahaya akibat adanya penurunan
kapasitas residu.
Manifestasi klinis asma ditandai dengan dyspnea, kesesakan dada,
wheezing, dan batuk malam hari, di mana hanya menjadi tanda dalam beberapa
kasus. Pasien melaporkan gejala seperti gangguan tidur dan nyeri dada Batuk
yang memicu spasme atau kesesakan dalam saluran pernapasan, atau berlanjut
terus, dapat berbahaya. Beberapa serangan dimulai dengan batuk yang menjadi
progresif lebih “sesak”, dan kemudian bunyi wheezing terjadi. Ada pula yang
berbeda, beberapa penderita asma hanya dimulai wheezing tanpa batuk. Beberapa
yang lain tidak pernah wheezing tetapi hanya batuk selama serangan asma terjadi.
Selama serangan asma, mucus cenderung menjadi kering dan sukar, sebagian
karena cepat, beratnya pernapasan umumnya terjadi saat serangan asma. Mucus
juga menjadi lebih kental karena sel-sel mati terkelupas
II. PPOK ( PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK )

A. STUDI KASUS
1. IDENTIFIKASI
Nama : Tn. S
Umur : 73 th
Jenia Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Sidodadi 34/9 Masaran Sragen
Pekerjaan : Pensiunan
Status : Menikah
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 22 Juni 2012
No. RM : 0260xx

2. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama : Sesak nafas
b. Riwayat Penyakit Sekarang
c. SMRS : Pasien mengeluh sesak nafas dan batuk sejak 5 tahun yang lalu.
Sesak dan batuk kambuh-kambuhan . Pasien sudah pernah berobat ke
BBKPM Surakarta 5 tahun yang lalu dengan keluhan sesak napas disertai
batuk, nyeri dada, demam, dan perut perih.
d. HMRS : Pasien datang dengan keluhan sesak dan batuk yang
berlangsung sejak 1 bulan yang lalu, sesak dirasakan bertambah
berat apabila menghirup asap dan beraktivitas berat. Sesak berkurang
apabila pasien berdiri dengan kedua tangan memegang tembok. Pasien
mengaku dulu pernah mendapatkan pengobatan dengan cara diuapi. Batuk
disertai dahak berwarna putih dan tidak disertai darah. Pasien tidak
merasa pusing, demam, keringat dingin, mual, maupun muntah, nafsu
makan sedikit menurun, berat badan tidak turun, BAB dan BAK normal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat Hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat Alergi Obat : disangkal
d. Riwayat OAT : disangkal

4. Riwayat Pribadi : bekas perokok 12 batang perhari, selama ±8 tahun dan


sudah berhenti merokok sejak menikah (± 45 tahun yang lalu).

5. Riwayat Keluarga
a. Riwayat penyakit serupa : disangkal
b. Riwayat Hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat Alergi Obat : disangkal
e. Riwayat OAT : disangkal

6. F. Riwayat Kesehatan Lingkungan


Setelah pensiun, pasien bekerja di penggilingan beras sudah 15 tahun. Tinggal di
rumah dengan ventilasi udara yang cukup.

B. ALGORITMA TERAPI PPOK :


C. REGIMEN PENGOBATAN PPOK :
Tujuan utama dari penatalaksanaan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
atau chronic obstructive pulmonary disease (COPD) antara lain untuk mengurangi
gejala, mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah penurunan
faal paru, serta meningkatkan kualitas hidup penderita. Secara umum
penatalaksaan PPOK meliputi terapi non farmakologis, terapi farmakologis, terapi
oksigen.
1. Terapi Non Farmakologis
Terapi non farmakologis yang dapat dilakukan meliputi edukasi, rehabilitasi,
dan terapi nutrisi.
a. Edukasi
Edukasi diutamakan agas pasien berhenti merokok. Selain itu juga
dijelaskan tentang jenis obat yang dikonsumsi, cara penggunaan, waktu dan dosis
pemakaian obat yang tepat
b. Rehabilitasi
Rehabilitasi ditujukan untuk memperbaiki gejala sesak nafas dan toleransi
aktifitas fisik. Program dapat dilaksanakan di dalam atau diluar rumah sakit oleh
suatu tim multidispilin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, terapis respirasi dan
psikolog.
c. Nutrisi
Malnutrisi merupakan hal yang sering terjadi pada PPOK. Malnutrisi pada
pasien PPOK sangat erat kaitannya dengan penurunan fungsi paru, penurunan
kapasitas aktifitas fisik, dan tingginya angka mortalitas. Oleh karena itu,
pemberian nutrisi yang tepat merupakan bagian dari terapi pada pasien PPOK
2. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis yang mungkin bermanfaat untuk pasien PPOK adalah
golongan beta 2 agonis, golongan antikolinergik.
a. Golongan Beta 2 Agonis
Bronkhodilator bekerja dengan melebarkan jalan nafas sehingga dapat
menurunkan resistensi jalan nafas. Bronkhodilator dapat diberikan tunggal atau
kombinasi tergantung derajat serangan PPOK.
Golongan beta 2 agonis bekerja dengan menstimulasi reseptor beta2-
adrenergik yang mengakibatkan relaksasi ott polos jalan nafas.
Tabel 3. Jenis Obat dan Sediaan Golongan Beta 2 Agonis
Jenis obat Jenis sediaan
Short Acting B2 Inhalasi Nebulisasi Oral Injeksi Durasi
Agonis (SABA) (mcg) (mg/ml) (mg) (mg) kerja
(jam)
Salbutamol 90, 100, 1,2,2,5,5 2,4,5 0,1-0,5 4-6
200
Fenoterol 100-200 1 2.5 4-6
Levalbuterol 45-90 0.1, 0.21, 0.2, 0.25, 6-8
0.25 1
Terbutaline 500 2.5, 5 4-6
Long Acting B2
Agonis (LABA)
Arformoterol 4,5-9 0.00750.01 1212
Formoterol
Indacaterol 75-300 24
Olodaterol 2,5-5 24
Salmeterol 35-50 12

b. Golongan Antikolinergik
Golongan antikolinergik bekerja dengan memblok efek bronkhokonstriktor
dari Asetilkoline pada reseptor M2 Muskarinik yang terdapat di otot polos saluran
nafas.
Tabel 4. Jenis Obat dan Sediaan Golongan Antikolinergik
Jenis obat Jenis sediaan
Short Acting Inhalasi Nebulisasi Oral Injeksi Durasi
Antikolinergik (SAMA) (mcg) (mg/ml) (mg) (mg) kerja
(jam)
Iptatropium Bromide 20, 0.2 6-8-7-
Oxitropium Bromie 40100 9
Long Acting B2 Agonis
(LABA)
Aclidium 40015.6, 0.00750.01 1212 -
BromideGlycorirronium 50 24
bromide 1 mg 0.2 mg 24
Tiotropium 2.5, 5 24
Umeclidinium 62.5

3. Terapi Oksigen
Secara umum pasien PPOK berada dalam kondisi hipoksia berkepanjangan
yang dapat menimbulkan kerusakan pada sel dan jaringan. Pemberian oksigen
relatif aman dan diketahui dapat menurunkan angka mortalitas pada pasien PPOK
berat. Para ahli menyarankan pemberian terapi oksigen pada pasien dengan PaO2
< 55mmHg, atau PaO2<59 mmHg disertai dengan polisitemia atau cor pulmonale.
Pemberian terapi oksigen melalui nasal kanul secara berkelanjutan merupakan
pemberian standar pada pasien hipoksemia yang stabil.
Pada pasien PPOK dengan gejala gagal nafas harus dipertimbangkan untuk
penggunaan ventilator mekanik dan dengan pengawasan yang ketat di ruang
perawat intensif.
4. Terapi Eksaserbasi
PPOK merupakan kondisi penyakit yang bisa mengalami eksaserbasi akut
sehingga harus ditangani dengan cepat. Eksaserbasi PPOK merupakan kondisi
kompleks yang disebabkan oleh peningkatan inflamasi jalan nafas, peningkatan
produksi mukus dan penumpukkan udara. Kondisi ini akan menyebabkan sesak
nafas yang hebat, batuk, dan produksi sputum yang kental dan purulent.
Eksaserbasi PPOK dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Eksaserbasi ringan dapat diatasi dengan pemberian SABA
b. Eksaserbasi sedang dapat diatasi dengan SABA dengan tambahan
antibiotic dan/atau kortikosteroid oral
c. Eksaserbasi Berat perlu rawat inap atau dibawa ke unit gawat darurat.
Eksaserbasi berat dapat menyebabkan gagal nafas
Indikasi rawat pada kasus PPOK eksaserbasi adalah:
a. Sesak nafas yang timbul mendadak dan berat, frekuensi nafas yang tinggi,
penurunan saturasi oksigen, dan penurunan kesadaran
b. Gagal nafas akut
c. Adanya sianosis atau edema perifer
d. Eksaserbasi tidak membaik setelah penanganan pertama
e. Adanya penyakit komorbid (gagal jantung, aritmia)
Pada penatalaksanaan PPOK eksaserbasi harus dinilai tingkat keparahan
gejala, dilakukan AGD, dan Foto Thoraks. Oksigen diberikan dan saturasi oksigen
dimonitor.
Pada kasus eksaserbasi, dosis atau frekuensi pemberian bronchodilator kerja
pendek ditingkatkan. Dapat diberikan kombinasi pemberian SABA dan SAMA,
dengan pilihan pemberian:
a. Nebulisasi Salbutamol 2.5-5 mg setiap 20 menit selama 2 jam atau hingga
kondisi klinis membaik, diikuti pemberian inhalasi 100-200mcg(1-2 puff)
setiap 20 menit selama 2 jam atau hingga kondisi membaik.
b. Nebulisasi Ipratropium 0.25-0.5mg setiap 20 menit selama 2 jam atau
hingga kondisi klinis membaik, diikuti pemberian inhalasi 40mcg (2 puff)
setiap 20 menit selama 2 jam atau hingga kondisi klinis membaik
Penggunaan bronkodilator kerja lama dipertimbangkan jika pasien sudah
stabil. Dapat pula diberikan kortikosteroid sistemik dengan pilihan :
a. Prednison oral 30-40mg, 1x/hari selama 5-7 hari
b. Methylprednisolone oral 40-60mg 1x atau 2x/hari selama 5-7 hari
c. Methylprednisolone intravena 0.5-2mg/kgbb setiap 6 jam selama 72 jam,
yang kemudian diturunkan dengan titrasi atau ganti sediaan oral
Dapat dipertimbangkan pemberian antiobiotik jika ditemukan tanda infeksi
bakteri pada eksaserbasi akut yang berat. Pilihan antibiotik antara lain :
a. Levofloxacine oral 500mg/hari selama 3-10 hari, atau 750mg/hari selama
5 hari
b. Ciprofloxacine oral 500mg 2x/hari selama 7-10 hari
c. Moxifloxacine oral/intravena 400mg/hari selama 3-10 hari
d. Ampicillin/Sulbactam intravena 1.5-3 gr/6jam
e. Piperacillin/tazobactam intravena 2.25-4.5 gr/6jam
f. Vankomisin intravena 500-1000mg/12jam
Dapat pula dipertimbangkan noninvasive mechanical ventilation (NIV)
atau invasive mechanical ventilation jika kondisi semakin berat dan mengancam
nyawa. NIV dapat diberikan pada semua pasien PPOK eksaserbasi akut dengan
asidosis respiratorik (pH<7,35, pCO2>65) yang persisten setelah pemberikan
terapi medikamentosa yang adekuat. Pasien dengan pH <7.25 dalam terapi NIV
memerlukan monitoring yang ketat, dan persiapkan untuk kemungkinan intubasi.
Pengaturan awal NIV dapat dimulai dengan Inspiratory Positive Airway
Pressure (IPAP) 10 cmH2O dan dapat dititrasi bertahap hingga 20 cmH2O sesuai
dengan kondisi klinis. Pengaturan Expiratory APositive Airway Pressure (EPAP)
yang direkomendasikan adalah 4-5 cmH2O. Pengaturan FiO2 disesuakan dengan
kondisi pasien dengan target saturasi O2 88-92%.
Monitoring pada tanda vital, saturasi oksigen dan tingkat kesadaran sangat
penting dilakukan pada awal penggunaan NIV. Pemeriksaan Analisa Gas Darah
harus dilakukan secara serial untuk memonitor keberhasilan NIV. Pertimbangkan
ventilasi mekanik invasif pada pasien dengan kondisi klinis yang tidak membaik
dalam 4 jam setelah penggunaan NIV.
Pasien yang tampak membaik dalam 1 jam pertama penggunaan NIV,
setidaknya mendapatkan terapi ini selama 24 jam. Jika pH >7.35 sudah tercapai,
dapat dimulai penyapihan vemtilasi mekanik.
Lakukan monitor cairan, pemberian heparin subkutan untuk pencegahan
thromboemboli, identifikasi dan tangani kondisi penyerta lainnya (gagal jantung,
aritmia, emboli paru).

D. PEMBAHASAN PPOK :
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah peradangan kronis pada
paru-paru yang menyebabkan terjadinya obstruksi aliran udara pada jalan
napas. Dua kondisi yang paling umum yang berkontribusi pada PPOK
adalah bronkitis kronik dan emfisema. Pada bronkitis kronik, terjadi peradangan
pada bronkus (saluran yang membawa udara dari dan ke kantung udara paru-paru
atau alveoli). Sedangkan pada emfisema, peradangan dan kerusakan terjadi pada
alveoli yang merupakan sebuah kantong tempat pertukaran oksigen dan karbon
dioksida.
Faktor utama yang meningkatkan risiko terjadinya PPOK adalah paparan
rokok dalam jangka panjang, baik secara aktif maupun pasif. Selain paparan
rokok, faktor risiko PPOK lainnya adalah:
1. Paparan debu dan bahan kimia di tempat kerja. Paparan kimia, uap, dan
debu dalam jangka panjang di tempat kerja dapat mengiritasi dan membuat
paru-paru meradang.
2. Paparan asap dari pembakaran bahan bakar. Misalnya, terpapar asap dari
pembakaran bahan bakar saat memasak atau akibat ventilasi di rumah
yang buruk
3. PPOK adalah penyakit yang berkembang secara bertahap, sehingga
kebanyakan pengidap baru mengalami gejalanya di usia 40 tahun.
4. Kekurangan genetik yang tidak biasa, yaitu defisiensi alpha-1-antitrypsin
merupakan penyebab dari beberapa kasus PPOK. Faktor genetik lainnya
dipercaya juga dapat membuat beberapa perokok lebih rentan terhadap
penyakit ini.
Beberapa kondisi yang menjadi penyebab PPOK, antara lain :
1. Emfisema, penyakit paru ini menyebabkan kerusakan dinding dans erat
elastis dari alveoli
2. Bronkitis Kronis, dalam kondisi ini, saluran bronkial pengidap meradang
dan menyempit, serta paru-paru menghasilkan lendir yang banyak,
sehingga menghalangi saluran udara
3. Merokok dalam waktu yang lama
4. Iritasi lain, seperti asap cerutu, polusi udara, dan paparan debu
5. Kekurangan alfa-1 antiripsin, kurangan protein tersebut bias
mempengaruhi kesehatan hati dan paru-paru
6. Defisiansi AAt, pada orang dewasa, PPOK sering kali disebabkan oleh
defisiensi AAT.
Gejala PPOK seringkali tidak muncul sampai paru-paru mengalami
kerusakan yang signifikan dan kinerjanya sudah semakin memburuk seiring
berjalanya waktu, apalagi jika pengidap tetap merokok. Pada bronchitis kronik
gejala uitama yang dialami pengidap adalah batuk berdahal yang berlangsung
minimal 3 bulan dalam 2 tahun.
Gejala lain pada PPOK meliputi
1. Sesak napas, terutama saat melakukan aktivitas fisik
2. Mengi
3. Produksi dahak yang banyak
4. Batuk kronik yang produktif
5. Seringnya terpapar infeksi salu ran nafas
6. Mudah lelah
7. Sianosis pada kuku maupun bibir
8. Penuruan berat badan
9. Bengkak pada pergelangan kaki atau betis.
Diagnosis PPOK dilakukan berdasarkan wawancara medis dan pemeriksaan
fisik yang dibantu dengan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan meliputi:
1. Tes fungsi paru-paru. Tes ini bertujuan untuk mengukur jumlah udara
yang bisa kamu hirup dan hembuskan, dan apakah paru-paru memberikan
oksigen yang cukup ke darah. Spirometri adalah tes fungsi paru-paru yang
paling sering digunakan. Pada tes ini, kamu akan diminta untuk meniup
udara ke dalam tabung besar yang terhubung ke mesin kecil yang bernama
spirometer. Mesin ini dapat mengukur berapa banyak udara yang mampu
ditahan oleh paru-paru pasien dan seberapa cepat pasien dapat
mengeluarkan udara dari paru-parunya. Spirometri dapat mendeteksi
PPOK, bahkan sebelum gejala penyakit tersebut muncul. Tes ini juga
digunakan untuk mengukur perkembangan penyakit dan untuk memantau
seberapa baik pengobatan bekerja.
2. X-ray dada dapat mendeteksi adanya emfisema yang merupakan salah satu
penyebab utama PPOK.
3. CT Scan juga dapat dilakukan untuk mendeteksi emfisema dan
memprediksi keuntungan yang bisa didapatkan melalui operasi. Selain
itu, CT Scan juga dapat digunakan sebagai skrining terhadap kanker paru-
paru.

PPOK bisa menyebabkan banyak komplikasi, antara lain:


1. Infeksi pernapasan. Pengidap PPOK rentan terserang flu dan pneumonia.
2. Masalah jantung. Untuk alasan yang belum jelas, PPOK bisa
meningkatkan risiko penyakit jantung, salah satunya serangan jantung.
3. Tekanan darah tinggi. PPOK dapat menyebabkan tekanan darah tinggi di
arteri yang membawa darah ke paru-paru.
4. Depresi. Kesulitan bernapas membuat kamu tidak bisa melakukan banyak
hal. Kondisi ini bisa membuat kamu lama kelamaan mengalami depresi.

PPOK merupakan penyakit yang bisa diobati dengan melakukan beberapa


perawatan. Bahkan bila PPOK sudah mencapai tahap lebih lanjut pun, masih ada
terapi yang efektif untuk mengendalikan gejala dan mengurangi risiko komplikasi.
Berikut adalah beberapa pilihan pengobatan PPOK:
1. Berhenti Merokok
Ini adalah langkah terpenting dalam mengatasi PPOK. Berhenti merokok
adalah satu-satunya cara agar PPOK tidak bertambah buruk, yang pada akhirnya
bisa mengurangi kemampuan bernapas.
2. Pemberian Obat-obatan
Dokter dapat memberikan beberapa jenis obat untuk mengobati gejala dan
komplikasi PPOK. Pengidap dianjurkan untuk mengonsumsinya secara teratur
dan sesuai kebutuhan.
3. Terapi Paru-paru
Dokter sering menggunakan terapi tambahan ini untuk pengidap PPOK yang
sedang sampai berat.
4. Operasi
Operasi adalah tindakan bagi pengidap emfisema yang parah dan tidak
mempan lagi diobati dengan obat-obatan. Pilihan operasi yang biasanya dilakukan
adalah operasi pengurangan volume paru-paru, transplantasi paru-paru, dan
bullectomy.
Pencegahan utama dan yang terbaik untuk menghindari PPOK adalah
dengan menghindari paparan rokok, baik secara aktif maupun pasif. Oleh sebab
itu, bagi orang yang tidak merokok disarankan untuk tidak mencoba rokok dan
sebisa mungkin menghindari asapnya. Sedangkan bagi perokok, cara terbaik
adalah berhenti merokok dan juga menghindari paparan asapnya.
Bagi para pekerja yang bekerja di lingkungan yang penuh dengan bahan
kimia yang dapat membuat paru-paru menjadi iritasi, disarankan untuk
menggunakan alat pelindung seperti masker.
III. ISPA (INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT)

A. STUDI KASUS
pasien mengalami batuk, pilek selama 3 hari disertai dengan demam, sakit
tenggorakan dan adanya ssuara tambahan saat tidur (sindor) berhubungan dengan
saluran pernapasan, pasien menyatakan menghirup udara ke hidung secara
berulang-ulang dengan adanya suara tambahan.

B. REGIMEN PENGOBATAN ISPA:


ISPA paling sering disebabkan oleh virus, sehingga akan sembuh sendiri
tanpa perlu penanganan khusus. Beberapa tindakan untuk meredakan gejala dapat
dilakukan secara mandiri di rumah, yaitu dengan:
1. Memperbanyak istirahat dan konsumsi air putih untuk mengencerkan
dahak, sehingga lebih mudah untuk dikeluarkan.
2. Mengonsumsi minuman lemon hangat atau madu untuk membantu
meredakan batuk.
3. Berkumur dengan air hangat yang diberi garam, jika mengalami sakit
tenggorokan.
4. Menghirup uap dari semangkuk air panas yang telah dicampur dengan
minyak kayu putih atau mentol untuk meredakan hidung yang tersumbat.
5. Memposisikan kepala lebih tinggi ketika tidur dengan menggunakan
bantal tambahan, untuk melancarkan pernapasan.
Jika gejala yang dialami tidak membaik, Anda perlu berkonsultasi dengan
dokter. Dokter dapat memberikan obat-obatan untuk meredakan gejala, antara
lain:
1. Ibuprofen atau paracetamol, untuk meredakan demam dan nyeri otot.
2. Diphenhydramine dan pseudoephedrine, untuk mengatasi pilek dan hidung
tersumbat.
3. berikan terapi obat chlorpheniamine malease dan glyceryl guaca colats 1x
¼ dan paracetamol 3x ½
4. Obat batuk.
5. Antibiotik, jika dokter menemukan bahwa ISPA disebabkan oleh bakteri.

C. PEMBAHASAN ISPA:
Infeksi saluran pernapasan atau respiratory tract infections adalah infeksi
sinus, tenggorokan, saluran udara atau paru-paru apapun, yang biasanya
disebabkan oleh virus atau bakteri. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
adalah penyakit saluran pernafasan akut yang meliputi saluran pernafasan bagian
atas seperti rhinitis, fharingitis, dan otitis serta saluran pernafasan bagian bawah
seperti laryngitis, bronchitis, bronchiolitis dan pneumonia.
Klasifikasi infeksi saluran pernapasan berdasarkan letaknya:
1. Infeksi saluran pernapasan atas, yaitu yang mempengaruhi hidung, sinus,
dan tenggorokan.seperti faringitis,flu,rhinitis,otitis
2. Infeksi saluran pernapasan bawah, yaitu yang mempengaruhi saluran udara
dan paru-paru.
Penyebab infeksi saluran pernapasan: Beberapa jenis virus atau bakteri yang
dapat menyebabkan infeksi saluraan pernapasan atas. Diantaranya:
1. Influenza dan parainfluenza,
2. Thinoviruses
3. Epstein-Barr Virus (EBV)
4. Respiratory Syncytial Virus (RSV)
5. Streptococcus grup A
6. Pertussis
7. Diphteria
Sedangkan beberapa jenis virus atau bakteri yang dapat menyebabkan
infeksi saluran pernapasan bawah, di antaranya adalah :
1. Influenza A,
2. Human metapneumovirus (hMPV),
3. Respiratory syncytial virus (RSV),
4. Varicella-zoster virus (VZV),
5. H. influenzae,
6. Streptococcus pneumoniae,
7. Klebsiella pneumoniae,
8. Staphylococcus aureus,
9. Enterobacteria dan bakteri anaerob
Gejala-gejala yang di timbulkan oleh infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) :
1. batuk,
2. hidung tersumbat
3. pilek,
4. bersin-bersin,
5. nyeri otot,
6. sakit tenggorokan,
7. sakit kepala
8. demam.
Gejala-gejala tersebut biasanya berlangsung selama 3 hingga 14 hari,
Sedangkan gejala infeksi saluran pernapasan bawah:
1. batuk berdahak,
2. sesak napas, mengi, dan demam. Pada anak-anak dan bayi, gejala lain
yang mungkin timbul, adalah sulit makan, rewel, dan gangguan tidur

Diagnosa infeksi saluran pernapasan biasanya hanya berdasarkan gejala,


pemeriksaan fisik, dan kadang-kadang pemeriksaan darah Penyebab tersering dari
infeksi saluran napas atas adalah virus, sehingga tidak diperlukan pemeriksaan
lanjutan lainnya, kecuali dokter mencurigai penyebab lain seperti bakteri
dan alergi. Untuk infeksi saluran napas bawah, selain memerhatikan tanda-
tandanya (misalnya sesak napas), dokter juga akan mengukur tingkat oksigen
dalam darah (pulse oximetry) untuk mendeteksi adanya gangguan pernapasan. Di
samping itu, pemeriksaan penunjang di laboratorium juga perlu dilakukan, seperti:
Foto Rontgen,pemeriksaan darah,pemeriksaan dahak

D. ALGORITME TERAPI ISPA:


Penatalaksanaan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dapat berupa
kompres hangat, perbanyak minum air putih, irigasi nasal, dan terapi
medikamentosa.
1. Terapi Non-farmakologis
Penyebab ISPA umumnya adalah virus, sehingga terapi biasanya hanya
bersifat suportif saja.
a. Memperbanyak Minum
Memperbanyak minum sebanyak 8 gelas atau lebih dapat menurunkan
sekresi mukosa dan menggantikan kehilangan cairan. Selain itu, minum air putih
serta jus dilaporkan dapat meningkatkan sistem imun.
b. Kompres Hangat
Lakukan kompres hangat pada daerah wajah untuk membuat pernapasan
lebih nyaman, mengurangi kongesti, dan membuat drainase lebih baik pada
rhinosinusitis. Gunakan lap hangat atau botol berisi air hangat yang diletakkan di
atas wajah dan pipi selama 5-10 menit sebanyak 3-4 kali dalam sehari jika
diperlukan.
c. Irigasi Nasal
Irigasi nasal dengan salin dapat meningkatkan kemampuan mukosa nasal
untuk melawan agen infeksius, dan berbagai iritan. Irigasi nasal dapat
meningkatkan fungsi mukosiliar dengan meningkatkan frekuensi gerakan siliar.
Irigasi nasal dapat dilakukan dengan menggunakan larutan salin isotonik (NaCl
0,9%) via spuit ataupun spray dengan frekuensi 2 kali dalam sehari.

2. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis umumnya bersifat suportif untuk meringankan gejala.
Antibiotik dan antiviral tidak selalu diperlukan pada pasien ISPA.
3. Terapi Simptomatik
Dekongestan oral atau topikal dapat membantu mengurangi keluhan pada
pasien dengan rhinorrhea. Sebaiknya dekongestan diberikan pada anak di atas 2
tahun karena efek sampingnya seperti gelisah, palpitasi, dan takikardia.
Dekongestan topikal seperti fenilepinefrin atau oxymetazoline lebih banyak
dipakai, sebaiknya digunakan 3-4 hari saja untuk menghindari efek rebound.
Antihistamin oral generasi satu dinilai memiliki efek antikolinergik sehingga
dapat digunakan untuk mengurangi rhinorrhea dan bersin. Antihistamin yang
biasanya digunakan adalah chlorpheniramine maleate atau diphenhydramine.
Guaifenesin adalah mukolitik yang berfungsi untuk mengurangi sekresi
nasofaring. Guaifenesin dinilai dapat menurunkan sekresi dan meningkatkan
drainase pada pasien nasofaringitis atau rinosinusitis, namun bukti klinisnya
masih terbatas. Selain itu, codeine merupakan obat yang sering digunakan pada
pasien dengan keluhan batuk. Codeine berperan sebagai antitusif yang bekerja
secara sentral.
4. Antiviral
Pada pasien ISPA, antiviral biasanya tidak diperlukan. Antiviral bisa dipakai
pada pasien influenza yang terkonfirmasi atau jika
terjadi outbreak influenzae dimana manfaat lebih banyak dibandingkan risiko.
Antiviral diberikan pada pasien yang berisiko tinggi mengalami perburukan
gejala. Misalnya pada pasien yang sedang hamil, bayi usia < 6 bulan, pasien usia
> 65 tahun, pasien immunocompromised, dan pasien dengan morbid obesitas.
Regimen yang bisa digunakan adalah oseltamivir 2 x 75 mg hingga maksimal 10
hari.
5. Terapi Antibiotik
Kebanyakan kasus ISPA disebabkan oleh virus, sehingga penggunaan
antibiotik tidak efektif dan hanya boleh digunakan jika terdapat kecurigaan atau
konfirmasi adanya infeksi bakteri.
IV. MUAL MUNTAH

A. STUDI KASUS MUAL MUNTAH :


Tn Bagus (30th) periksa ke dokter dengan keluhan mual, muntah, demam
38ᵒC dan oleh dokter didiagnosis mengalami Hepatitis B. Pasien memiliki riwayat
hepatitis B setahun yang lalu. Berat badan pasien meningkat dalam 3 hari,
mengalami jaundice, ikterik, dan terdapat spider angioma pada lehernya. Hasil
pemeriksaan lab didapatkan SGOT 234 u/L, SGPT 273 u/L, bilirubin 1,9 mg/dl,
albumin 3 g/dl

B. REGIMEN PENGOBATAN MUAL MUNTAH:


Pasien yang tidak merespons terapi tunggal atau menerima kemoterapi yang
sangat emetogenik biasanya membutuhkan regimen kombinasi obat:
Antasida: dapat berupa antasida tunggal/kombinasi, Mg hidroksida, Al
hidroksida, dan Ca karbonat, MK: netralisasi asam lambung, dosis: 15-30 ml 1
kali atau lebih.
Antagonis reseptor H2: cimetidine, famotidine, nizatidine, ranidine, dosis
rendah, indikasi: mual muntah akibat gastroesofageal. Antihistamin-
antikolinergik: indikasi; mual dan muntah akibat mabuk perjalanan, ES;
mengantuk, kebingungan, pandangan kabur, mulut kering, retensi urin, takikardia
(utamanya pada lansia).
Benzodiazepin: efek antiemetk relatif lemah, umumnya digunakan sebagai
obat penenang (antiansietas) pada mual/muntah terkaiat kecemasan, alprazolam
dan lorazepam dikombinasikan dengan antiemetik lain pada pasien yang
menerima regimen kemoterapi mengandung cisplatin.
Fenotiazin : bermanfaat pada keluhan mual/muntah sederhana, dapat diberikan
melalui rute rektal jika rute oral/parental tidak memungkinkan, ES; gejala
ekstrapiramidal, reaksi hipersensitivitas (mungkin terjadi disfungsi hati) aplasia
sumsum tulang belakang, sedasi yang berlebihan.
C. PEMBAHASAN MUAL MUNTAH:
Mual yang berasal dari bahasa latin naus (kapal) merupakan sensasi yang
sangat tidak enak pada perut yang biasanya terjadi sebelum keinginan untuk
muntah. Muntah atau aktivitas/kontraksi langsung otot perut, dada dan GI yang
mengarah ke pengeluaran kuat isi perut melalui mulut. Muntah adalah aksi dari
mengosongkan lambung secara paksa dan merupakan suatu cara perlindungan
alamiah dari tubuh.
Etiologi mual dan muntah: gangguan GI track/gastritis akut, penyebab darai
pusat (sinyal-sinyal dari otak), terkait dengan penyakit lain yang jauh dari
lambung obat-obat dan perawatan medis, kehamilan.
Manifestasi klinik: muntah umumnya didahului oleh rasa mual dan
mempunyai tanda seperti pucat, berkeringat, air liur berlebihan, tachycardia,
pernapasan tidak teratur, rasa tidak nyaman, sakit kepala. Kompleks berat badan
menurun, demam, sakit perut. Gejala muntah juga tergantung pada beratnya
penyakit pasien mulai dari muntah ringan sampai parah.
Patofisiologi : tiga fasae emesis mual (nuasea), muntah-muntah (recting),
dan muntah (vomiting). Nausea berupa kebutuhan untuk segera muntah, recting
adalah gerakan yang diusahakan otot perut dan dada sebelum muntah, vomit yaitu
pengeluaran isi lambung yang disebabkan oleh retroperistalsis GI.

D. ALGORITME TERAPI MUAL MUNTAH:


Terapi non farmakologis dan terapi farmakologis, bergantung pada kondisi
medis terkait, bagi pasien dengan keluhan sederhana (terkait konsumsi
makanan/minuman tertentu), hindari atau batasi makanan/minuman pencetus.
Keadaan mual/muntah pada pasien dengan penyakit sistemis tertentu akan
membaik seiring perbaikan kondisi klinis, pada pasien yang mengalami
mual/muntah karena gangguan keseimbangan akibat berada didalam kendaraan
(misalnya) dapat disarankan untuk mencari posisi yang stabil. Muntah psikogenik
dapat diberikan intervensi psikologis.
Terapi farmakologis: Sebagian besar kondisi mual/muntah dapat ditangani
dengan 1 jenis obat, keluhan mual/muntah sederhana ditangani dengan pemberian
obat seminimal mungkin, pasien yang tidak merespons terapi tunggal atau
menerima kemoterapi yang sangat emetogenik biasanya membutuhkan regimen
kombinasi obat. Faktor pemilihan terapi: gejala berdasarkan etiologi, frekuensi,
duration, dan tingkat keparahan, kemampuan pasien pada penggunaan oral, rectal,
injeksi atau transdermal, telah berhasil digunakan anti emetika sebelumnya.
Antacid, antihistamin-antikolinergik drug, Butyrophenones, Kortikosteroid,
Terapi non farmakologis: Pasien dengan keluhan sederhana menghindari
makanan tertentu atau moderasi asupan makanan yang lebih baik, pasien dengan
gejala penyakit sistemik sebaiknya mengobati kondisi yang mendasarinya,
intervensi perilaku dan termasuk relaksasi, biofeedback, self-hypnosis.
V. DIARE

A. STUDI KASUS DIARE:


Seorang anak usia 5 tahun buang air besar sebanyak 7 kali, karakteristik
feses yaitu terdapat mukoid, tetapi tidak terdapat darah. Selain itu, pasien
menderita demam dan terus menangis

B. REGIMEN PENGOBATAN DIARE:


1. Paracetamol syr 250mg , 3 x sehari satu sendok the jika diperlukan
2. Oralit untuk penanganan pertama dan mencegah terjadinya dehidrasi
C. PEMBAHASAN DIARE:
Analisa SOAP
Subjeck: Buang air besar sebanyak 7 kali, feses terdapat mukoid, tetapi tidak
terdapat darah, demam dan terus menangis.
Objeck: -
Assasment: Mengalami buang air besar sebanyak 7kali (Diare)
Planning: Dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu
• Farmakologis:
- Paracetamol syr 250mg , 3 x sehari satu sendok the jika diperlukan
- Oralit untuk penanganan pertama dan mencegah terjadinya dehidrasi
• Non Farmakologis:
Cuci tangan yang bersih dan memakai sabun sebelum makan, memakan buah atau
jus buah, tidak jajan sembarangan

D. ALGORITME TERAPI DIARE:


VI. KONSTIPASI

A. STUDI KASUS KONSTIPASI:


Seorang pasien bernama ibu Aay (35 thn) mengalami kesulitan buang air
besar selama 3 hari pasca melahirkan

B. REGIMEN PENGOBATAN KONSTIPASI:


laksatif pembentuk massa, laktulosa penggunaannya disarankan jika sangat
diperlukan, penggunaan tidak dalam jangka waktu panjang.

C. PEMBAHASAN KONSTIPASI:
Analisa SOAP
S: kesulitan buang air besar pasca melahirkan
O: konstipasi selama 3 hari
A: Laksatif
P: Terapi non farmakologi :banyak meminum air putih ,makan makanan berserat
(wortel, kacang-kacangan dll), dan olah raga.
Terapi farmakologi :laksatif pembentuk massa, laktulosa penggunaannya
disarankan jika sangat diperlukan, penggunaan tidak dalam jangka waktu panjang

D. ALGORITME TERAPI KONSTIPASI:

Anda mungkin juga menyukai