PENDAHULUAN
Islam sejak kelahirannya pada awal abad ke-7 di Mekkah, Islam terus mengalami
perkembangan yang pesat melewati berbagai tantangan yang sangat berat, sampai
akhirnya tersebar ke seluruh dunia.[1] Bernard Lewis menulis, sampai akhir kekuasaan
Khulafa’urrasyidin wilayah Islam terbentang luas dari Maroko sampai Indonesia, dari
Kazakhtan sampai Sinegal.[2]
Seperti apapun kronologi wafatnya Kholifah Ali bin Abi Thalib, yang jelas hal ini telah
menginspirasikan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk tampil sebagai pemegang
tampuk kekuasaan islam, yang akhirnya berhasil dan mengubah kekuasaan dengan sistem
dinasti dan diberi nama khilafah bani Umayyah. Dengan segala kelebihan dan
kekurangannya dinasti yang dibentuk mu’awiyah akhirnya dinasti ini runtuh pula.
B. Rumusan Masalah
Kata sejarah dalam bahasa Arab disebut tarikh dan sirah, atau dalam bahasa Inggris
disebut history. Dari segi bahasa, al-tarikh berarti ketentuan masa atau waktu, sedang
‘Ilmu Tarikh’ ilmu yang membahas peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian, masa atau
tempat terjadinya peristiwa, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam bahasa Indonesia sejarah berarti: silsilah; asal-usul (keturunan); kejadian dan
peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Sedangkan Ilmu Sejarah adalah
’’pengetahuan atau uraian peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar
terjadi di masa lampau’’.
Dari pengertian demikian kita dapat mengatakan bahwa yang dimaksud sejarah Islam
adalah peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang sungguh-sungguh terjadi yang
seluruhnya berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam dalam
berbagai aspek.
Dikalangan ahli sejarah terdapat perbedaan tentang kapan dimulainya sejarah Islam yang
telah berusia lebih dari empat belas abad ini. Di satu pihak menyatakan bahwa sejarah
Islam (muslim) dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. diangkat sebagai Rasul, dan
berada di Makkah atau tiga belas tahun sebelum hijrah ke Madinah. Di lain pihak
menyatakan, bahwa sejarah Islam itu dimulai sejak lahirnya negara Madinah yang
dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. Atau tepatnya setelah Nabi Muhammad SAW.
Berhijrah ke Madinah yang sebelumnya bernama Yatsrib.
Timbulnya perbedaan dari kedua belah pihak tersebut disebabkan karena perbedaan
tinjauan tentang unit sejarah. Pihak pertama melihat bahwa unit sejarah adalah
masyarakat. Masyarakat Muslim telah ada sejak Nabi Muhammad SAW. Menyampaikan
seruannya. Malah jumlah mereka sedikit atau banyak tidak menjadi soal. Disamping itu,
meskipun mereka belum berdaulat, tetapi sudah terikat dalam satu organisasi yang
memiliki corak tersendiri. Sedangkan pihak kedua melihat bahwa niat sejarah itu adalah
Negara, sehingga sejarah Islam mulai dihitung sejak lahirnya Negara Madinah.
Perbedaan pendapat tersebut akan tercermin pada pembagian periodisasi sejarah
(kebudayaan) Islam yang dikemukakan oleh para ahli, terutama dalam hal tahun
permulaan sejarah Islam pada periode pertama atau biasa disebut periode klasik, dan
bahkan ada yang menyebutkan sebagai periode praklasik guna mengisi babakan sejarah
Islam yang belum disebutkan secara tegas dalam periode klasik tersebut.
Hasjimy menyatakan bahwa para ahli sejarah kebudayaan telah membagi sejarah
kebudayaan Islam kepada sembilan (9) periode, sesuai dengan perubahan-perubahan
politik, ekonomi, dan social dalam masyarakat Islam selama masa-masa itu. Kesembilan
periode itu adalah, sebagai berikut:
1. Masa permulaan Islam, yang dimulai sejak lahirannya Islam pada tanggal 17
Ramadhan 12 tahun sebelum hijrah sampai tahun 41 Hijriyah, atau 6 Agustus 610 sampai
661 M;
9. Masa Kebangkitan Baru: dari tahun 1213 H. (1801 M ) sampai awal abad 20.
Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa periode sejarah kebudayaan Islam dimulai
sejak Nabi Muhammad SAW. Diangkat menjadi Rasul, pada tahun 12/13 tahun sebelum
hijrah. Hal ini berarti mendukung pendapat pihak pertama sebagaimana uraian terdahulu.
Di lain pihak Harun Nasution juga telah membagi sejarah Islam secara garis besar ke
dalam tiga (3) periode besar, yaitu:
Periode klasik merupakan kemajuan Islam dan dibagi ke dalam dua fase, yaitu pertama:
fase ekspansi, integrasi, dan puncak kemajuan (650-1000 M); kedua: fase disintegrasi,
Dari pendapat tersebut dapat dipahami periodisasi sejarah Islam dimulai pada tahun (650
M), yang berarti dia tidak memasukkan masa permulaan Islam (sejak Nabi Muhammad
SAW diangkat menjadi Rasul) sampai dengan tahun 650 M, sebagai periode Islam. Pada
selama masa itu (610-650 M) Nabi Muhammad SAW dan umatnya (para sahabat) telah
banyak berperan membawa perubahan-perubahan besar dikalangan masyarakat, yang
seharusnya dimasukkan dalam suatu babakan (periodisasi) sejarah tersendiri.
Karena itu, untuk tidak mengurangi arti pendapat-pendapat sebelumnya dan juga
pendapat dari Harun Nasution tersebut, maka ada baiknya periodisasi sejarah Islam
secara garis besarnya dibagi ke dalam 4 (empat) periode besar, yaitu:
1. Periode praklasik (610-650 M), yang meliputi 3 (tiga) fase, yaitu: fase pembentukan
agama (610-622 M), fase pembentukan Negara (622-632 M), dan fase praekspansi (632-
650 M).
2. Periode klasik (650-1230 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase ekspansi, integrasi
dan puncak kemajuan (650-1000 M), dan fase disintegrasi (1000-1250 M).
3. Periode pertengahan (1250-1800 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase
kemunduran (1250-1500 M), dan fase tiga kerajaan besar (1500-1800 M), dan
C. Beberapa Peristiwa Penting Yang Terjadi Pada Masing-masing Periode Sejarah Islam
Pada fase ini Nabi Muhammad SAW melakukan kegiatan pembentukan akidah dan
pemantapannya serta pengalaman ibadah di kalangan umat Islam setelah Nabi
Muhammad SAW menerima wahyu pertama dan wahyu-wahyu berikutnya, kemudian
Nabi Muhammad SAW memperkenalkan Islam kepada masyarakatnya di Makkah
berdasarkan wahyu tersebut. Dakwah yang beliau lakukan melalui tiga tahapan,
yaitu: pertama, memperkenalkan Islam secara rahasia, dalam arti terbatas pada keluarga
terdekat dan teman-teman akrabnya, melalui pendekatan pribadi. Tahap ini dilakukan
secara hati-hati sehingga tidak menimbulkan kejutan dikalangan masyarakat, namun
hasilnya cukup memadai,terbukti beberapa keluarga dan teman terdekatnya berhasil
masuk Islam. Kedua dilakukan dengan semi rahasia, dalam arti mengajak keluarganya
yang lebih luas dibandingkan pada tahap pertama, terutama keluarga yang bergabung
dalam rumpun Bani Abdul Mutholib (Baca QS. As-Syu’ara: 214), Ketiga dilakukan
secara terbuka dan terang-terangan dihadapan masyarakat umum dan luas (Baca QS.al-
Hijr: 94) pada tahap ini Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya menghadapi oposisi
dari berbagai pihak, bahkan mendapatkan siksaan berat sebagiannya mengakibatkan
kematian. Sungguhpun demikian, akidah mengikuti Nabi tetap kokoh dan tidak luntur
dalam menghadapi oposisi tersebut.
Sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Yatsrib (Madinah) didahului dengan usaha
memengaruhi para peziarah Ka’bah di Makkah agar mereka masuk Islam. Di antara
mereka banyak yang berasal dari kabilah Khazraj dan Aus (Yatsrib/Madinah). Ternyata
sebagian mereka menyambut baik atas seruan dan ajakan Nabi Muhammad SAW
tersebut, yang pada gilirannya menyatakan diri masuk Islam serta diikuti dengan
perjanjian kesetiaan mereka kepada agama Islam dan Nabi Muhammad SAW yang
terkenal dengan ’’Perjanjian Aqabah’’.Beberapa upaya dilakukan oleh Nabi Muhammad
SAW di Madinah, yaitu:
a. Mendirikan Masjid, sebagai tempat ibadah dan berkumpulnya umat Islam, secara
gotong-royong;
c. Membuat perjanjian persahabatan (toleransi) antara intern umat Islam dan antara umat
beragama; dan
d. Meletakkan dasar-dasar politik ekonomi dan social untuk masyarakat baru. Karena itu
terbentuklah masyarakat yang disebut Negara kota dengan membuat konstitusi di dunia.
Merupakan fase ekspansi pertama (pendahuluan), yang pada dasarnya dapat dibagi ke
dalam 4 fase, yaitu:
a. Fase konsolidasi. Abu Bakar sebagai kholifah Islam pengikut Rasulallah SAW. (632
M) harus menghadapi suku-suku bangsa Arab yang tidak mau lagi tunduk kepada
Madinah, mereka menganggap bahwa perjanjian yang mereka buat dengan Nabi SAW.
Dengan sendirinya tidak mengikat lagi setelah beliau wafat. Selanjutnya mereka
mengambil sikap menentang Abu Bakar ( ingkar kepada pemerintah Islam ) tidak mau
membayar dinar karena itu Abu Bakar menyelesaikannya dengan perang Riddah
(melawan kaum separatis) di bawah komando Khalid bin Walid, dan kemenangan di
pihak Abu Bakar ( umat Islam ).
b. Fase pembuka jalan. Dimana setelah selesai perang dalam negeri tersebut
(konsolidasi), Abu Bakar mulai mengirim kekuatan-kekuatan ke luar Arabia. Khalid bin
al-Walid memimpin tentara yang diantar ke Irak (wilayah Bizantium) dan dapat
menguasai al-Hirah di tahun 634 M. Bersama dengan itu ke Suria (Iran) dikirim tentara di
bawah pimpinan tiga Jendral: Amr Ibnu ‘Ash, Yazid Ibnu Abi Sofyan dan Syurahbil Ibnu
Hasanah, dan ditunjang oleh pasukan Khalid, sehingga dapat menguasai kota Ajnadin
dan Fihl.
c. Fase pemerataan jalan. Dimana usaha-usaha yang dirintis oleh Abu Bakar untuk
membuka jalan ekspansi, kemudian dilanjutkan oleh khalifah kedau, Umar bin Khatab
(634-664 M). pada zaman Umar inilah gelombang ekspansi pertama terjadi kota
Damaskus jatuh di tahun 635 M dan setahun kemudian Bizantium kalah di pertempuran
Yarmuk, daerah Suria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan adanya gelombang
ekspansi pertama ini (menurut istilah kami fase perantara jalan ekspansi). Maka
kekuasaan Islam di bawah Khalifah Umar telah meliputi selain Semenanjung Arabiah,
juga Palestina, Suria, Irak, Persia, dan Mesir.
d. Fase jalan buntu, yaitu pada zaman Usman bin Affan (644-656 M) sebagai khalifah
ketiga, dan pada zaman Ali bin Abi Thalib (656-661 M) khalifah keempat. Pada zaman
Usman, meskipun Tripoli, Ciprus dan beberapa daerah lain dikuasai, tetapi gelombang
ekspansi pertama berhenti sampai disini, karena dikalangan umat Islam mulai terjadi
perpecahan menyangkut masalah pemerintahaan dan dalam kekacauan yang timbul itu
Usman mati terbunuh.
Selanjutnya diganti oleh Ali bin Abi Thalib, tetapi mendapat tantangan dari pendukung
Usman, terutama Muawiyah Gubernur Damaskus dari Golongan Thalhah dan Zubair di
Makkah dan kaum Khawarij dan Ali sebagaimana Usman juga terbunuh.
Periode klasik ini merupakan periode kebudayaan dan peradaban Islam yang tertinggi
dan mempunyai pengaruh terhadap tercapainya kemajuan atau peradaban modern di
Barat sekarang, sungguhpun tidak dengan secara langsung. Hal ini diakui oleh para
orientalis Barat, sebagai berikut:
d. Romm Landayu, dari hasil penelitiannya mengambil kesimpulan bahwa “dari orang
Islam periode klasik inilah orang Barat belajar berfikir serta objektif dan logis, dan
belajar lapang dada.
e. Jacques C. Rislar juga menyatakan bahwa “ilmu pengetahuan dan teknik Islam amat
dalam memengaruhi kebudayaan Barat.”
Fase disintegrasi merupakan fase di mana pemisahan diri dinasti-dinasti dari kekuasaan
pusat, dilanjutkan dengan perebutan kekuasaan antara dinasti-dinasti tersebut untuk
menguasai satu sama lain. Misalnya:
a. Dinasti Buwaihi yang menguasai daerah Persia dikalahkan oleh Saljuk pimpinan
Tughril Beg (1076 M).
b. Dinasti Saljuk waktu dipimpin Nizamul Mulk dikalahkan oleh Dinasti Hasysyasin
pimpinan Hasan Ibnu Sabah, yang meskipun Dinasti Saljuk masih sempat berdiri, tetapi
akhirnya dikalahkan total pada Perang Salib oleh Paus Urban II (1096-1099 M).
Pada masa ini desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat. Perbedaan antara
Sunni dan Syi’ah, demikian juga antara Arab dan Persia bertambah tampak. Dunia Islam
pada zaman ini terbagi dua, yaitu: Bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Irak, Suria,
Palestina, Mesir dan Afrika Utara, dengan Mesir sebagai pusat, dan Bagian Persia yang
terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai Pusat.
2. Fase Tiga Kerajaan Besar (1500-1700 M) yang Dimulai dengan Zaman Kemajuan
(1500-1700 M), Kemudian Zaman Kemunduran (1700-1800 M). Tiga Kerajaan Besar
Tersebut Ialah Kerajaan Usmani (Ottoman Empire) di Turki, Kerajaan Safawi di Persia,
dan Kerajaan Mughal di India.
Ciri-ciri umat Islam pada periode modern ini adalah keadaan yang berbalik dengan pada
periode klasik. Dalam arti, umat Islam pada periode ini sedang menaik sementara Barat
sedang dalam kegelapan sedang pada periode modern ini sebaliknya, umat Islam sedang
dalam kegelapan sementara Barat sedang mendominasi dunia Islam, dan umat Islam
ingin belajar dari Barat tersebut.
Masa kejayaan Islam terjadi pada sekitar tahun 650‒1250. Periode ini disebut
Periode Klasik. Pada kurun waktu itu, terdapat dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan
Umayyah atau sering disebut Daulah Umayyah dan Kerajaan Abbasiyah yang sering
disebut Daulah Abbasiyah. Pada masa Bani Umayyah, perkembangan Islam ditandai
dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam dan berdirinya bangunan-bangunan sebagai
pusat dakwah Islam. Kemajuan Islam pada masa ini meliputi: bidang politik, keagamaan,
ekonomi, ilmu bangunan (arsitektur), sosial, dan bidang militer.
1) Daulah ummayah
Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41H/661 M di
Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132 H/750 M. Muawiyah bin Abu
Shofyan adalah seorang politisi ulung yang mampu mengambil posisi kekuasaan dalam
setiap masa pemerintahan. Pada masa Ustman, betapa Mu’awiyah mampu membangun
koalisi nepotis dengan Ustman, sehingga Bani Umayah tetap menjadi pihak yang
diuntungkan. Sementara pada masa-masa Ali, Mu’awiyah telah mulai melakukan gerakan
politik untuk meraih posisi puncak dalam kekuasaan. Mu’awiyah mampu memanfaatkan
kelemahan dan keluguan kekuasaan Ali.
Pada masa Ali masih berkuasa, Mu’awiyah telah memiliki kekuatan penuh, sehingga
pada saat Ali terbunuh, Mu’awiyah langsung mengambil alih kekuasaan dengan sangat
mudah dan terkordinasi dengan baik. . Peristiwa penyerahan kekuasaan dari Hasan bin
Ali kepada Muawiyah bin Abu Sufyan itu terkenal dengan sebutan Amul Jama'ah atau
tahun penyatuan . Peristiwa itu terjadi pada tahun 661 M. Sejak itu, secara resmi
pemerintahan Islam dipegang oleh Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia kemudian
memindahkan pusat kekuasaan dari Madinah ke Damaskus ( Suriah ). Salah satu
kepekaan nalar politik Mu’awiyah ialah mampu belajar pada pengalaman yang terjadi
pada tiga khalifah sebelumnya, yang berakhir dengan pembunuhan. Pilihan
memindahkan kekuasaan ke luar Jazirah Arab, menunjukkan sikap dan kecerdasan politik
Mu’awiyah dalam menghindari pergolakan antar kubu yang sangat tragis di kalangan
umat Islam di jazirah Arab bahkan sebagai upaya untuk menghindari tragedi
pembunuhan yang dilakukan terhadap tiga khalifah sebelumnya. Akhirnya, Mu’awiyah
dan dinastinya mengendalikan kekuasaannya dari luar jazirah Arab, mencoba
bersebarangan dengan para pendahulu-pendahulunya yang berkonsentrasi di wilayah
jazirah Arab. Menurut H.A.R. Gibb : Mulai tahun 660 M. ibu kota kerajaan Arab
dipindahkan ke Damaskus, tempat kedudukan baru khilafah Bani Umayah, sedangkan
Madinah tetap merupakan pusat pelajaran agama Islam, pemerintah dan kehidupan umum
kerajaan dipengaruhi oleh dapat istiadat Yunani Romawi Timur.
Oleh karena itu Muawiyah bin Abu Sofyan dinyatakan sebagai pendiri Dinasti Bani
Umayah. Dilihat dari sejarahnya Bani Umayah memang begitu kental dengan
kekuasaannya, terutama pada masa zaman jahiliyah. Dalam setiap persaingan, ternyata
Bani Umayah selalu lebih unggul dibandingkan keluarga Bani Hasyim.
Dalam hal ini terbagi menjadi dua, yaitu material dan immaterial
A. Bidang Material :
1. Muawiyah mendirikan Dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan
menyediakan kuda dengan peralatannya disepanjang jalan. Dia juga
berusaha menertibkan angkatan bersenjata.
2. Mu’awiyah merupakan khalifah yang mula-mula menyuruh agar
dibuatkan ”anjung” dalam masjid tempat is sembahyang. Ia sangat khwatir
akan keselamatan dirinya, karena khalifah Umar dan Ali, terbunuh ketika
sedang melaksanakan shalat.
3. Lambang kerajaan sebelumnya Al-Khulafaur Rasyidin, tidak pernah
membuat lambang Negara baru pada masa Umayyah, menetapkan bendera
merah sebagai lambang negaranya. Lambang itu menjadi ciri khas kerajaan
Umayyah.
4. Mu’awiyah sudah merancang pola pengiriman surat (post), kemudian
dimatangkan lagi pada masa Malik bin Marwan. Proyek al-Barid (pos) ini,
semakin ditata dengan baik, sehingga menjadi alat pengiriman yang baik
pada waktu itu.
5. Arsitektur semacam seni yang permanent pada tahun 691H, Khalifah
Abd Al-Malik membangun sebuah kubah yang megah dengan arsitektur
barat yang dikenal dengan “The Dame Of The Rock” (Gubah As-
Sakharah).
6. Pembuatan mata uang dijaman khalifah Abd Al Malik yang kemudian
diedarkan keseluruh penjuru negeri islam.
7. Pembuatan panti Asuhan untuk anak-anak yatim, panti jompo, juga
tempat-tempat untuk orang-orang yang infalid, segala fasilitas disediakan
oleh Umayyah.
8. Pengembangan angkatan laut muawiyah yang terkenal sejak masa
Uthman sebagai Amir Al-Bahri, tentu akan mengembangkan idenya dimasa
dia berkuasa, sehingga kapal perang waktu itu berjumlah 1700 buah.
9. Khalifah Abd Al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-
pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa arab
sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam yang tadinya
berbahasa Yunani dan Pahlawi sehingga sampai berdampak pada orang-
orang non Arab menjadi pandai berbahasa Arab dan untuk
menyempurnakan pengetahuan tata bahasa Arab orang-orang non Arab,
disusun buku tata bahasa Arab oleh Sibawaih dalam al-Kitab.
10. Merubah mata uang yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai
Islam. Sebelumnya mata uang Bizantium dan Persia seperti dinar dan
dirham. Penggantinya uang dirham terbuat dari mas dan dirham dari perak
dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab.
11. Perluasaan wilayah kekuasaan dari Afrika menuju wilayah Barat daya,
benua Eropa, bahkan perluasaan ini juga sampai ke Andalusia (Spanyol) di
bawah kepemimpinan panglima Thariq bin Ziad, yang berhasil
menaklukkan Kordova, Granada, dan Toledo.
12. Dibangun mesjid-mesjid dan istana. Katedral St. Jhon di Damaskus
dirubah menjadi mesjid, sedang Katedral yang ada di Hims dipakai sebagai
mesjid dan gereja. Di al-Quds (Jerussalem) Abdul Malik membangun
mesjid al-Aqsha. Monumen terbaik yang ditinggalkan zaman ini adalah
Qubah al-Sakhr di al-Quds. Di mesjid al-Aqsha yang menurut riwayatnya
tempat Nabi Ibrahim hendak menyembelih Ismail dan Nabi Muhammad
mulai dengan mi’raj ke langit, mesjid Cordova di Spanyol dibangun,
mesjid Mekah dan Madinah diperbaiki dan diperbesar oleh Abdul Malik
dan Walid.
13. Bahkan pada masa, Sulaiman ibn Malik, telah dibangun pembangunan
mega raksasa yang terkenal dengan Jami’ul Umawi.
B. . Bidang Immaterial
1. Mendirikan pusat kegiatan ilmiah di Kufah dan Bashrah yang
akhirnya memunculkan nama- nama besar seperti Hasan al-Basri, Ibn
Shihab al-Zuhri dan Washil bin Atha. Bidang yang menjadi perhatian
adalah tafsir, hadits, fikih, dan kalam.
2. Penyair-penyair Arab baru bermunculan setelah perhatian mereka
terhadap syair Arab Jahiliyah dibangkitkan. Mereka itu adalah Umar Ibn
Abi Rabiah (w. 719 m.), Jamil al-Udhri (w. 701 M.), Qays Ibn al-
Mulawwah (w. 699 M.) yang lebih dikenal dengan nama Majnun Laila, al-
Farazdaq (w 732M.), Jarir (w. 792 M) dan al-Akhtal (w. 710 M.).
3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Sastra-Seni
Waktu dinasti ini telah mulai dirintis jalan ilmu naqli ; berupa filsafat dan
eksakta. Dan ilmu pengetahun berkembang dalam tiga bidang, yaitu bidang
diniyah, tarikh, dan filsafat. Kota-kota yang menjadi pusat ilmu
pengetahuan selama pemerintahan dinasti Umayah, antara lain kota
Kairawan, Kordoba, Granda dan lain sebagainya. Sehingga secara perlahan
ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua macam, yaitu : pertama, Al-Adaabul
Hadits (ilmu-ilmu baru), yang meliputi : Al-ulumul Islamiyah (ilmu al-
Qur’an, Hadist, Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, At-Tarikh dan al-Jughrafi), Al-
Ulumul Dkhiliyah (ilmu yang diperlukan untuk kemajuan Islam), yang
meliputi : ilmu thib, filsafat, ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang
disalin dari Persia dan Romawi. Kedua : Al-Adaabul Qadamah (ilmu lama),
yaitu ilmu yang telah ada pasa zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah
yang empat, seperti ilmu lughah, syair, khitabah dan amtsal.
Pada masa ini pula sudah mulai dirancang tentang undang-undang yang
bersumber dari al-Qur’an, sehingga menuntut masyarakat mempelajari
tentang tafsir al-Qur’an. Salah seorang ahli tafsir pertama dan termashur
pada masa tersebut adalah Ibnu Abbas. Pada waktu itu beliau telah
menafsirkan al-Qur’an dengan riwayat dan isnad, kemudian kesulitan-
kesulitan dalam mengartikan al-Qur’an dicari dalam al-hadist, yang pada
gilirannya melahirkan ilmu hadist. Dan akhirnya kitab tentang ilmu hadist
sudah mulai dikarang oleh para ulama muslim. Beberapa ulama hadist yang
terkenal pada masa itu, antara lain : Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin
Ubaidilah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhri, Ibnu Abi Malikah (Abdullah
bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky, Al-Auza’i Abdurrahman bin
Amr, Hasan Basri as-Sya’bi. Dalam bidang hadist ini, Umar bin Abd Aziz
secara khusus memerintahkan Ibn Syihab az-Zuhri untuk mengumpulkan
hadist. Oeh karena itu, Ibnu Syihab telah dianggap sanat berjasa dalam
menyebarkan hadist hingga menembus berbagai zaman. Sejak saat itulah
perkembangan kitab-kitab hadist mulai dilakukan.[7]
4. Gerakan Penerjemahan dan Arabisasi
Gerakan penerjemahan ke dalam bahasa Arab (Arabisasi buku), juga
dilakukan, terutama pada masa khalifah Marwan. Pada saat itu, ia
memerintahkan penerjemahan sebuah buku kedokteran karya Aaron,
seorang dokter dari iskandariyah, ke dalam bahasa Siriani, kemudian
diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Arab. Demikian pula, Khalifah
memerintahkan menerjemahkan buku dongeng dalam bahasa sansakerta
yang dikenal dengan Kalilah wa Dimnah, karya Bidpai. Buku ini
diterjemahkan oleh Abdullah ibnu Al-Muqaffa. Ia juga telah banyak
menerjemahkan banyak buku lain, seperti filsafat dan logika, termasuk
karya Aristoteles :Categoris, Hermeneutica, Analityca Posterior serta karya
Porphyrius :Isagoge.[8]
2) Daulah Abbasiyah
Khilafah Bani Abbasyiyah adalah penerus tongkat estafet perjuangan Islam dari khilafah
bani Umayyah yang berhasil mereka gulingkan pada tahun 750 M. Akar munculnya
khilafah ini dimulai dari tindakan propaganda Abbasiyah yang dimotori oleh Ibrahim
(orang Bani Abbas/saudara Saffah) yang mendapat dukungan dari pemuka khurasan
bernama Abu Muslim. Ditambah lagi kekuatan oposisi yang semakin solid serta
pemegang kursi pemerintahan bani Umayyah semakin melemah. Dari tindakan
propaganda ini akhirnya memunculkan perselisihan seru antara bani Umayyah dan bani
Abbasiyah yang diakhiri dengan jatuhnya kekuasaan Bani Umayyah.
Dinasti Abbasiyah muncul juga tidak bisa dilepaskan dari bantuan orang-orang Persia
yang merasa bosan terhadap bani Umayyah di dalam sosial, politik dan administrasi.
Orang-orang Persia percaya kepada hak agung raja-raja (yang berasal dari Tuhan).
Kekhalifahan menurut mereka merupakan kekuasaan dari Allah. Hal ini nampak jelas
dalam ucapan al-Manshur yang menyatakan:“Innamaa Anaa Sulthaanullah fii Ardlihii”
(sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya). Dengan demikian, konsep
khilafah dalam pandangannya merupakan mandat langsung dari Allah bukan dari rakyat.
Sistem kekhalifahan semacam ini sangat berbeda dengan sistem kekhalifahan pada masa
Khulafaur Rasyidun dimana kekhalifahan mereka berasal dari rakyat.
Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah dari
keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad S.A.W.
Sistem pemerintahan yang diterapkan bani Abbasiyah masih sama dengan pendahulunya,
bani Umayyah dengan sistem kekuasaan absolutisme. Mereka mengangkat dan
mengumumkan seorang atau dua orang putra mahkota atau saudaranya sendiri untuk
terus mempertahankan kepemerintahan. Kebijakan menerapakan sistem seperti ini tentu
saja menimbulkan kecemburuan dan kebencian diantara sesama keluarga. Sebagai
contoh, tatkala al-Manshur naik tahta, dia mengumumkan Mahdi sebagai putra mahkota
pertama dan menunjuk Isa ibn Musa, kemenakannya sebagai putra mahkota kedua. Saat
itu juga al-Manshur mengasingkan Isa sama sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah
pertama al-Shaffah.
Seluruh anggota keluarga Abbas dan pemimpin umat Islam mengangkat Abdullah al-
Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas sebagai khalifah mereka yang
pertama walaupun masih ada Abu Ja’far (al-Manshur) yang nantinya akan menjadi
khalifah yang kedua. Kekhalifahan bani Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu
yang sangat panjang dan pada periode pertama (750 – 848 M) tercatat kurang lebih 10
khalifah yang memimpin dengan silsilah keturunan sebagai berikut :
Dalam perkembangannya, di bawah khalifah Saffah, ibu kota negara berada di kota
Anbar dekat kufah dengan istana yang diberi nama al-Hasyimiyah. Namun demi menjaga
stabilitas negara yang baru berdiri itu akhirnya pada tahun 762 M al-Manshur
memindahkan ibu kota negara ke Baghdad dengan istana al-Hasyimiyah II. Dengan
demikian, pusat pemerintahan daulah Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan oleh Shaffah dan al-
Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada beberapa khalifah
sesudahnya. Popularitas daulah Abbasiyah mencapai klimaks kesuksesan adalah pada
masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid dan puteranya al-Ma’mun.
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan
dan politik yang ada, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas
menjadi lima periode dengan karakteristik yang berbeda-beda pula :
1. Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia
pertama
2. Periode kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki
pertama
3. Periode ketiga, (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih
dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia
kedua.
4. Periode keempat, (447 H/1055 M – 590 H/1194 M) masa kekuasaan dinasti Bani
Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa
pengaruh Turki kedua.
5. Periode kelima, (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari
pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad.
3. Membangun tempat pelayanan pos antara Makkah dan Madinah kemudian Yaman
yang berfungsi sebagai tempat pembayaran ongkos perjalanan tiap mil.
Baghdad, kota kuno yang didirikan oleh orang-orang Persia, merupakan tempat
perdagangan yang kerap kali dikunjungi oleh pedagang dari India dan Cina. Para
Insinyur, tukang batu, dan para pekerja tangan didatangkan dari Syiria, Bashra, Kufa
untuk membantu didalam memperindah kota. Bahkan di daerah pinggir kota ini sudah
terbagi menjadi empat bagian pemukiman yang masing-masing mempunyai seorang
pemimpin yang dipercaya untuk mendirikan pasar di pemukimannya. Demikianlah di
zaman Abbasiyah pertama. Baghdad menjadi kota terpenting di dunia sebagai sentral
perdagangan, ilmu pengetahuan dan kesenian. Masjid-masjid dan bangunan-bangunan
lain semakin bertambah banyak dan menjadi hal menarik dalam kesenian muslim.
a. Ilmu Hadits
Tokohnya: Al-Bukhori dengan kitabnya al-Jam’i al-Shahih dan Tarikh al-Kabir, Muslim
dengan kitabnya Shahih Muslim, Ibnu Majjah, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i.
b. Ilmu Tafsir
Tokohnya: Ibnu Jarir Ath Thabari dengan karyanya Jami al-Bayan fi Tafsir al- Qur’an
sebagai pegangan pokok bagi mufassir hingga sekarang, Abu Muslim Muhammad Ibn
Bahar al-Ashfahani dengan tafsirnya Jami’ut Ta’wil, Ar-Razy dengan tafsirnya Al-
Muqthathaf.
c. Ilmu Fiqih
Tokohnya: Abu Hanifah dengan kitabnya Musnad al-Imam al-A’dhom atau Fiqh al-
Akbar, Malik dengan kitabnya al-Muwatha’, Syafi’i dengan kitabnya al-Um dan al-Fiqh
al-Akbar fi al-Tauhid, dan Ibn Hambal dengan kitabnya al-Musnad.
Tokohnya seperti Washil bin Atha’, Ibn al-Huzail, al-Allaf, dll dari golongan Mu’tazilah,
Abu al-Hasan al-Asy’ari dan al-Maturidi dari ahli sunnah.
Tokohnya: Ibn Hisyam (abad VIII), Ibn Sa’d (abad IX), dll.
g. Ilmu Sastra
Al-Kindi lahir di Kufah, karyanya sekitar 270 buah yang dikelompokkan oleh ibn Nadim
dan al-Qifti menjadi 17, yaitu: filsafat, logika, ilmu hitung, globular, musik, astronomi,
geometri, sperikal, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik,240 meteorology,
dimensi, benda-benda pertama, dan spesies tertentu logam dan kimia.
Nama latinnya adalah Rhazes, lahir di Rayy dekat Teheran. Buku-buku filsafatnya antara
lain: Al-Tibb al-Ruhani, Al-shirat al-Falsafiyyah, Amarat Iqbal al-Daulah, Kitab al-
Ladzdzah, Kitab al-Ilm al-Ilahi, dll.
Di Barat dikenal dengan nama Alpharbiu, lahir di Wasij (suatu desa di Farab/
Transoxania). Selain seorang filosof, ia juga ahli dalam bidang logika, matematika, dan
pengobatan. Dalam bidang fisika, ia menulis kitab al-Musiqa. Di antara karyanya adalah:
al-Tanbih ‘ala Sabil al-Sa’adat, Ihsha al-Ulum, al-Jam’ bayn Ra’y al-Hakimayn, Fushush
al-Hikam, dll.
Nama latin Ibn Sina adalah Avicenna, lahir di Afsyana (dekat Bukhara). Selain ahli
filsafat dan kedokteran, beliau juga memiliki karya dalam bidang logika,
matematika, astronomi, fisika, mineralogy, ekonomi, dan politik. Karyanya antara lain:
Kitab al-Syifa, Kitab al-Nadjat, Al-Isyarat wat-Tanbihat, Al-Hikmat al-Masyriqiyyah, dll.
e. Al-Ghazali (455-507H/1059-1111 M)
Beliau bergelar hujjatul Islam, lahir di Ghazaleh dekat Tus di Khurasan. Karyanya antara
lain: Al-Munqidz min ad-Dlalal, Tahafut al-Falasifah, Ihya Ulumuddin, Qawaid al-
‘Aqaid, Misykat al-Anwar, dll.
Beliau lahir di Saragossa dan karyanya berupa risalah antara lain: Al-Ittisal, al- Wada’,
Tadbir al-Mutawahhid, dll.
Beliau lahir di Granada. Karangannya tentang filsafat, fisika, metafisika, kejiwaan dan
sebagainya tidak sampai kepada kita kecuali satu yaitu risalah Hay bin Yaqzhan.
Kemajuan sains pada masa dinasti Abbasiyah didukung oleh Science Policy, yakni antara
lain dengan didirikannya akademi, sekolah dan observatorium (lembaga ilmiah yang
melakukan penelitian dan pengajarannya sekaligus) di samping perpustakaan. Dengan
kebijakan tersebut menimbulkan kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan, seperti:
a. Kedokteran
Tokohnya: Al-Razi dengan karyanya al-Hawi, Ibn Sina dengan karyanya al-Qanun fi al-
Tibb (Canon of Medicine) dan Materia Medica yang memuat 760 obat-obatan.
b. Ilmu Kimia
Tokohnya: Jabir Ibn Hayyan yang berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan
tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan menggunakan obat rahasia. Ia
mengetahui cara membuat asam belerang, asam sendawa, dan aqua regia yang dapat
menghancurkan emas dan perak.Ia juga memperbaiki teori aristoteles mengenai
campuran logam.241
c. Astronomi
d. Matematika
Tokohnya yang populer adalah al-Khawarizmi yang menemukan angka 0 (aljabar) pada
abad IX. Angka 1-9 berasal dari angka-angka Hindu di India.
e. Optik
Tokohnya adalah Ali al-Hasan ibnul Haitsam yang dikenal Alhazen, menulis sebuah
buku besar tentang optic “Optical Thesaurus”, mengoreksi teori Euclid dan Ptolemy. Ia
juga mengembangkan teori pemfokusan, pembesaran, dan inversi dari bayangan.
f. Fisika
Tokohnya Abdul Rahman al-Khazini, menulis kitab Mizanul Hikmah (The Scale of
Wisdom) tahun 1121 M.
g. Geografi
Tokohnya: Zamakhsyari (w.1144) seorang Persia, menulis kitabul Amkina wal Jibal wal
Miyah (The Book of Places, Mountains and Waters), Yaqut menulis Mu’jamul Buldan
(The Persian Book of Places) tahun 1228, Al-Qazwini menulis Aja’ib al-Buldan (The
Wonders of Lands), dll.
h. Sains lainnya
Seperti Botani (Abd Latif), Antidote/penawar racun (Ibn Sarabi), Trigonometri (Jabir ibn
Aflah), dan Musik (Nasiruddin Tusi, Qutubuddin, Asy- Syirazi, dan Safiuddin).
Setelah kekuasaan bani Seljuk berakhir, khalifah bani Abbasiyah berkuasa kembali dan
titak lagi berada di bawah pengaruh satu dinasti tertentu. Namun demikian, banyak
dinasti-dinasti kecil Islam yang independent. Wilayah kekuasaan bani Abbasiyah
menyempit di Baghdad dan sekitarnya yang menunjukkan pada kelemahan politik
mereka. Keadaan ini dibaca oleh tentara Mongol dan Tartar untuk menyerang Baghdad
yang akhirnaya bisa mereka kuasai.
Masa kemunduran bani Abbasiyah sebenarnya sudah dimulai sejak periode kedua.
Namun karena khalifah yang berkuasa sangat kuat, benih kehancuran dinasti ini masih
belum sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan bani Abbasiyah terlihat bahwa
apabila khalifah yang berkuasa kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala
pegawai sipil yang hanya mendapatkan bayaran, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan
berkuasa mengatur roda pemerintahan sepenuhnya. Di samping kelemahan khalifah yang
menjadi penyebab kemunduran, ada beberapa faktor lain yang menjadi sebab
kemunduran khilafah bani Abbasiyah, antara lain:
Dalam berdirinya khilafah bani Abbasiyah, mereka lebih memilih bersekutu dengan
bangsa Persia dari pada bangsa Arab. Persekutuan ini disebabkan karena mereka sama-
sama tertindas selama bani Umayyah berkuasa. Di sisi lain, bangsa Arab beranggapan
bahwa mereka lebih istimewa dibandingkan dengan bangsa non Arab di dunia Islam.
Pada waktu itu tidak ada kesadaran untuk merajut elemen-elemen yang beraneka ragam
tersebut dengan kuat. Akibatnya yang muncul adalah fanatisme kearaban dan fanatisme
antar bangsa. Setelah al-Mutawakkil naik tahta, dominasi Turki dalam kepemerintahan
tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan khilafah bani Abbasiyah sebenarnya sudah
berakhir berganti ke tangan orang-orang Turki, bani Buwaih, dan bani Seljuk.
2. Kemerosotan Ekonomi
Khilafah bani Abbasiyah juga mengalami kemunduran dalam bidang ekonomi bersamaan
dengan kemunduran dalam bidang politik. Walaupu periode pertama terbilang sukses
perekonomiannya, namun memasuki periode kedua mengalami kemerosotan. Pendapatan
negara menurun, sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Hal ini disebabkan
menyempitkan wilayah kekuasaan mereka dan banyaknya kerusuhan yang mengganggu
perekonomian bangsa.
3. Konflik Keagamaan
Konflik keagamaan tidak terbatas antar muslim dan zindiq atau Sunni dengan Syi’ah,
melainkan juga antar aliran dalam Islam. Mu’tazilah yang cenderung rasional, dituduh
sebagai pembuat bid’ah oleh golongan salaf. Perselisihan antara dua golongan ini
dipertajam oleh al-Ma’mun saat menjabat sebagai khalifah dengan menjadikan
Mu’tazilah sebagai madzhab resmi dinasti Abbasiyah. Pada masa al-Mutawakkil, giliran
golongan salaf yang menjadi madzhab resmi, sementara Mu’tazilah dibatalkan.
Setidaknya ada dua Faktor eksternal yang mempengaruhi kemunduran dinasti Abbasiyah.
Pertama, perang salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang yang menelan
banyak korban. Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Begitu
juga orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II
mengeluarkan seruan kepada umat Kristen Eropa supaya melakukan perang suci yang
lebih dikenal dengan sebutan perang Salib.
BAB III
KESIMPULAN PENUTUP
a. Kesimpulan
- Bani Umayyah
Bani Umayah merupakan salah satu dinasti Islam yang cukup masyhur seperti yang
penguasa-penguasa muslim yang lain. Bahkan pada masa ini, perubahan demi perubahan
dilakukan, setidaknya keberanian Bani Umayah untuk keluar dari tradisi Arab dalam
masalah pergantian kepemimpinan serta pemindahan pusat kekuasaan dari Jazirah Arab
ke Damaskus (luar jazirah Arab) menjadi bukti sederhana tentang dinamika yang terjadi
pada masa Bani Umayah berkuasa.
Tulisan di atas walaupun sangat singkat telah memberikan gambaran tentang pergulatan
kekuasan Bani Umayah dengan segala dinamikan yang terjadi selama berkuasa kurang
lebih 90 tahun lamanya, di satu sisi telah menorehkan banyak catatan kemajuan bagi
Islam, tetapi pada sisi yang lain tidak juah beda dengan penguasa-penguasa sebelumnya,
yaitu ketidakmampuan dalam meminimalisir konflik politik, yang acapkali melahirkan
berbagai tragedi pertempuran di kalangan umat Islam.
Namun demikian, Bani Umayah tetaplah bagian penting dan menarik dalam sejarah umat
Islam yang harus terus dijadikan sebagai pengalaman sangat berharga, karena tidak
semua yang dilakukan Bani Umayah itu jelek, tetapi juga memiliki sisi penting yang
harus ditiru oleh umat Islam. Kekuasaan Bani Umayah yang hampir seabad lamanya
dalam memimpin umat Islam, tetaplah sebuah prestasi yang harus diapreasi secara kritis.
- Bani Abbasiyah
Masa kekuasaan bani Abbasiyah yang terbagi dalam lima periode terbilang cukup lama.
Dengan menerapkan sistem kekuasaan absolutisme, mereka telah menguasai dunia Islam
lebih dari 500 tahun. Pada saat itu pula masa kejayaan Islam direngkuh. Kemajuan yang
dicapai dalam bidang fisik, ilmu pengetahuan, poltik, ekonomi, dan banyaknya ilmuwan Islam saat
itu adalah bukti konkrit bahwa Islam mencapai puncak kejayaannya. Berbagai peristiwa penting, seperti
perluasan wilayah Islam ke berbagai daerah, juga beberapa peperangan termasuk perang dengan
Byzantium, Mongol, Tartar, penumpasan gerakan Zindiq, dan perang Salib ikut mewarnai perjalanan
kepemerintahan dinasti Abbasiyah.
Bila kita cermati, dalam sejarah kekuasaan bani Abbasiyah terlihat bahwa apabila khalifah yang berkuasa
kuat, maka kepemerintahan akan berjalan baik pula. Kekuasaan sepenuhnya ada di tangan khalifah. Para
menteri cenderung hanya berperan sebagai kepala pegawai sipil. Tetapi jika yang menjabat sebagai
khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan sepenuhnya. Bahkan dalam
pengangkatan atau pemberhentian khalifah mereka sendirilah yang menentukan.
Sistem kekuasaan absolutisme yang mereka jalankan, ditengarai menjadi salah satu penyebab
kemunduran dinasti Abbasiyah. Dengan sistem yang demikian, tidak mungkin dipungkiri akan
menimbulkan kecemburuan di kalangan keluarga mereka sendiri. Apalagi dengan banyaknya kerusuhan,
baik di kalangan umat Islam sendiri ataupun serangan-serangan dari Negara lain adalah penyebab utama
kehancuran dinasti Abbasiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Ed. Revisi -11: PT.Raja Grafindo Persada Jakarta
Thn. 2007.
Atang Abd.Hakim, Jaih Mubarok, Metodologo Studi Islam, Ed. Revisi -9: PT.Remaja
Rosda Karya, Bandung. Mei 2007.
Muhaimin, Abd.Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Ed. I
cetakan ke-2 PT.Prenada Media, Jakarta, Juli 2007.