DI SUSUN OLEH :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena Alhamdulillah dengan
limpahan karunia dan nikmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa
shalawat serta salam semoga tetap tercurah pada Nabi akhir zaman Muhammad SAW,
kepada para Sahabatnya, keluarga, serta sampai kepada kita selaku umatnya. Amin.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
Kemampuan tekanan osmosis ini dapat menyebabkan 3 hal yakni : hipertonis, isotonis,
dan hipotonis. Hipertonis adalah suatu keadaan yang konsetrasi di dalam sel lebih tinggi daripada
konsetrasi di luar sel sehingga konsetrasi di dalam sel berpindah ke luar sel yang menyebabkan
sel mengerut atau krenasi, hipotonis adalah keadaan konsetrasi yang di luar sel lebih rendah
dibandingkan konsentasi di dalam sel sehingga konsentrasi di dalam sel betambah yang
menyebabkan sel mengembang atau hemolisis, dan isotonis adalah keadaan yang konsentrasi di
dalam dan di luar sel sama sehingga sel tidak megalami krenasi maupun hemolisis (bentuk sel
tetap).
Gerakan air melewati membrane semipermeabel dari area dengan konsentrasi zat terlarut
rendah ke area dengan konsentrasi zat terlarut lebih tinggi. Osmosis dapat terjadi melewati
semua 4emolysi bila konsentrasi zat terlarut pada kedua berubah. Istilah berikut dihubungkan
dengan osmosis (Horne , 2000) :
a. Tekanan osmotik
Jumlah tekanan hidrostatik diperlukan untuk menghentikan aliran osmotik air.
b. Tekanan Onkotik
Tekanan osmotik dihasilkan oleh koloid (protein). Albumin, misalnya saja,
menghasilkan tekanan onkotik dalam pembuluh darah dan membantu menahan kadungan air
dalam ruang intravaskular.
Tekanan yang diperlukan untuk mencegah terjadinnya perpindahan air secara osmosis.
Semakin besar perbedaan konsentrasi di antara dua larutan di kedua sisi membrane permeabel
selektif, maka semakin besar tekanan osmotik yang diperlukan untuk menghentikan perpindahan
air secara osmosis. Tekanan osmotik juga disebut sebagai tarikan osmotik karena terlihat seperti
menarik air melalui membran (James , 2002).
Tekanan osmosis efektif suatu larutan beragam, tergantung pada zat terlarut yang ada.
Jika zat terlarut adalah suatu nonelektrolit, larutannya hanya mengandung molekul yang tak
terionisasi dan tekanan osmosis hanya ditentukan oleh konsentrasi zat terlarut. Jika zat terlarut
adalah suatu elektrolit, larutannya akan mengandung ion dan tekanan osmosis ditentukan tidak
hanya oleh konsentrasi zat terlarut, tetapi juga oleh tingkat disosiasinya. Zat terlarut yang
terdisosiasi memiliki jumlah partikel yang relatif lebih besar dalam laruta dan menghasilkan
tekanan osmosis lebih besar daripada molekul-molekul yang tak terdisosiasi (Ansel , 2006).
Dua larutan yang memiliki tekanan osmosis yang sama disebut isotonik. Banyak larutan
yang dimaksudkan untuk bercampur dengan cairan tubuh dirancang agar memiliki tekanan
osmosis yang sama untuk kenyamanan, efikasi, dan keamanan yang lebih besar. Suatu larutan
yang memiliki tekanan osmosis yang sama seperti cairan tubuh tertentu disebut isotonik (artinya
memiliki tonisitas yang sama) dengan cairan tubuh yang spesifik tersebut.
Larutan untuk menvariasikan ukuran dan bentuk sel dengan mengubah jumlah air dalam
sel (James , 2002).Larutan salin normal (natrium klorida 0,9 % b/v) dan larutan glukosa
(dekstrosa) 5 % b/v adalah isotonik dengan plasma dan seringkali digunakan untuk infus
intravena. Walaupun kedua larutan tersebut bukan plasma, namun konsentrasi partikelnya sama.
Air laut relatif hipertonik dibandingkan cairan tubuh karena memiliki konsentrasi 1 mol/L.
Menelan air laut akan menyebabkan air berpindah keluar sel secara osmosis dan menyebabkan
dehidrasi. Sebagian besar cairan yang Anda minum, seperti teh atau jus buah, relatif hipotonik
dibandingkan cairan tubuh.
Pada larutan hipertonik, kosentrasi zat terlarut lebih pekat di luar sel daripada di dalam
sel. Air akan berpindah keluar sel ke larutan secara osmosis dan menyebabkan penciutan sel
yang disebut krenasi. Pada larutan hipotonik, konsentrasi zat terlarut lebih rendah di luar sel
daripada di dalam sel. Air akan masuk ke sel secara osmosis menyebabkan pembengkakan sel
dan sel pecah yang disebut hemolisis. (Syamsuni , 2006)
Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi IV, pembuatan sediaan yang akan digunakan
untuk injeksi harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari kontaminasi mikroba dan
bahan asing. Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) juga mempersyaratkan tiap wadah akhir
injeksi harus diamati satu per satu secara fisik dan tiap wadah yang menunjukkan pencemaran
bahan asing yang terlihat secara visual harus ditolak (Depkes RI, 1995).
Isotonis adalah suatu keadaan pada saat tekanan osmosis larutan obat sama dengan
tekanan osmosis cairan tubuh kita (darah, air mata). (Syamsuni, 2006). Larutan injeksi dan
larutan infusi (intravenus, subkutan, intramuskuler) dan larutan obat, yang ditentukan untuk
penggunaan pada mata, sebaiknya, untuk memiliki suatu keakraban yang memadai
perbandingannya dengan cairan darah, cairan jaringan atau cairan air mata, diisotoniskan, artinya
diatur pada penurunan titik beku yang sama dibandingkan air murni. Jika hanya sejumlah kecil
cairan diinjeksikan ke intravena, sama sekali tidak menimbulkan nyeri atau rangsangan
(R,Voight, 1995)
Jika suatu larutan konsentrasinya sama besar dengan konsentrasi dalam sel darah merah
sehingga tidak terjadi pertukaran cairan diantara keduanya maka larutan tersebut dikatakan
isotonis (ekuivalen dengan larutan 0,9% NaCl). Hal tersebut terjadi jika sejumlah darah
didefibrinasi untuk mencegah penggumpalan dengan dicampur larutan yang mengandung 0,9 %
b/v NaCl maka sel darah merah masih utuh serta mempertahankan ukuran dan bentuk
normalnya.(S.Lukas, 2006)
Sediaan yang isotonis tidak selalu dapat dicapai mengingat kadang-kadang diperlukan zat
berkhasiat dengan dosis tinggi untuk mendapat efek farmakologi yang diinginkan yang
menyebabkan isotonis terlampau (larutan sedikit hipertonis). Namun untuk sediaan parenteral,
subkutan, dan intrmuskular harus dibuat se isotonis mungkin. Contoh sediaan isotonis seperti :
Ringer Laktat, dan Normal Saline (NaCl 0,9 b/v)
𝑁
𝜋= 𝑅. 𝑇 = 𝑐. 𝑅. 𝑇
𝑉
N/V konsentrasi c (mol/liter) (N = jumlah mol, V = Volume). R= tetapan gas. T= suhu mutlak.
𝑃
∆= 𝐾
𝑀
Segitiga : penurunan titik beku darah (0,52), M : massa molekul zat terlarut, K: tetapan
kriostopik bahan pelarut (air=18,6 untuk 1 mol dalam 100 ml), P: jumlah zat (g) untuk
pembuatan 100 g larutan isotonis.
2. OSMOLARITAS
Osmolaritas adalah cara untuk mengukur kepekatan larutan dengan menggunakan
satuan mol. Natrium dalam NaCl berperan penting dalam mengatur keseimbangan cairan
dalam tubuh. Apabila terdapat tiga jenis larutan garam dengan kepekatan yang berbeda
dan di daiamnya dimasukkan sel darah merah, maka larutan yang mempunyai kepekatan
sama yang akan seimbang dan berdifusi. Larutan NaCl 0,9% merupakan larutan yang
isotonik karena larutan NaCl mempunyai kepekatan yang sama dengan larutan dalam
sistem vaskular. Larutan isotonik merupakan larutan yang mempunyai kepekatan sama
dengan larutan yang dicampur. Larutan hipotonik mempunyai kepekatan lebih rendah
dibanding larutan intrasel.
Apabila terdapat tiga jenis larutan garam dengan kepekatan yang berbeda dan di
dalamnya dimasukkan sel darah merah, maka larutan yang mempunyai kepekatan sama
yang akan seimbang dan berdifusi.
Larutan NaCl 0,9% merupakan larutan yang isotonik karena larutan NaCl
mempunyai kepekatan yang sama dengan larutan dalam sistem vaskular. Larutan isotonik
merupakan larutan yang mempunyai kepekatan sama dengan larutan yang dicampur.
Larutan hipotonik mempunyai kepekatan lebih rendah dibanding larutan intrasel.
Osmolaritas adalah istilah kimia yang menggambarkan berapa banyak molekul
yang dilarutkan dalam cairan. Jika makin banyak zat-zat yang dilarutkan dalam cairan,
maka semakin tinggi osmolaritas tersebut. Osmolaritas darah inilah yang akhirnya memicu
dahaga ketika tubuh mencoba untuk mencairkan gula tambahan. Otak adalah organ yang
bertanggung jawab untuk memberitahu tubuh bahwa Anda merasa haus. Ada sel-sel
khusus di bagian otak yang mendeteksi osmolaritas darah. Seiring dengan peningkatan
osmolaritas, sel-sel ini mengirimkan sinyal ke bagian lain dari otak untuk memicu respons
haus. Peningkatan osmolaritas bukan satu-satunya hal yang memicu kehausan, penurunan
tekanan darah juga dapat membuat orang merasa haus karena tubuh mencoba untuk
meningkatkan volume darah.
3. ISOHIDRIS
Isohidris yang dimaksukan aadalah, agar bila diinjeksikan ke badan tidak terasa sakit dan
penyerapannya obat dapat optimal. Isohidris artinya ph larutan injeksi sama dengan darah dan
cairan tubuh lain yaitu ph= 7,4. Tetapi untuk garam alkaloid, vitamin B1 menghendaki ph 3-4,
untuk adrenalin ph 2-3 dan luminal- Na, PAS menghendaki ph lebih dari 8.
Untuk mendapat ph tertentu yang tetap maka digunakan penambahan larutan dapar.
Umumnya digunakan larutan dapar fosfat, larutan dapar boraks dan larutan dapar lain yang
kapasitas daparnya rendah. Pengaturan ph dilakukan dengan penambahan basa, basa, atau
dapar.(Anief, 2000)
Nilai ph cairan tubuh terletak dalam daerah alkali lemah pada 7,4. Sistem dapar tubuh
sendiri( dapar hidrogen karbonat/ karbondioksida, dapar putih telur mengusahakan, supaya
fluktuasi hanya mungkin dalam skala yang bukan main rendah, yakni ph =7,3 dan 7,45.
Sekurang-kurang nya laurtan infusi diatur pada nilai ph darah, sehingga mereka isohidris. Suatu
tuntutan menurut isohidris pada dasarnya tentu saja tidak dianggap sebagai yang diperlukan.
Nilai ph dari <3,5 atau > 9,5 menyebabkan perusakan endotel dan menyebabkan rasa
nyeri. Dengan sendirinya setelah pengisotonisasian dan pendaparan pada injeksi i.m nyeri masih
dapat muncul, dalam kasus nini disarankan memakai anestetika. Jadi dapat dimengerti
bagaimana perlu nya suatu pengaturan ph (kira-kira pada 6,8-7,4) agar isohidris (R.Voight.1995)
Menurut buku formulasi steril, Isohidris adalah kondisi suatu larutan zat yang pHnya
sesuai dengan pH fisiologis tubuh sekitar 7,4.. dan menurut buku ilmu resep, Isohidri adalah pH
optimal untuk darah atau cairan tubuh yang lain adalah 7,4. Contoh: injeksi aminofilin dibuat
sangat basa karena pada kondisi asam akan terurai. Dalam pembuatan ditambahkan etilendiamin
untuk menaikkan kelarutan dari aminofilin.
PENGATURAN TONISITAS
Pengaturan tonisitas adalah suatu upaya untuk mendapatkan larutan yang isotonis. Upaya
tersebut meliputi pengaturan formula sehingga formula yang semula hipotonis menjadi
isotonis,dan langkah kerja pengerjaan formula tersebut.
Ada dua kelas untuk pengaturan tonisitas :
1. Metode Kelas satu
2. Metode kelas 2
Metode Kelas Satu
Dari formula yang ada (termasuk jumlah solvennya) dihitung tonisitasnya dengan
menentukan ΔTf – nya, atau kesetaraan dengan NaCl. Jika ΔTf-nya kurang dari 0,52O atau
kesetaraannya dengan NaCl kurang dari 0,9 %, dihitung, banyaknya padatan NaCl, yang harus
ditambahkan supaya larutan menjadi isotonis. Cara pengerjaannya semua obat ditimbang
ditambah NaCl padat, ditambah air sesuai formula. Metode kelas satu meliputi metode kriskopik
(penurunan titik beku), perhitungan dengan faktor disosiasi dan metode ekuivalensi NaCl
Metode Kelas Dua
Dari formula yang ada (selain solven) hitung volume larutannya yang memungkinkan
larutan menjadi isotonis. Jika volume ini lebih kecil dari pada volume dalam formula, artinya
larutan bersifat hipotonis. Kemudian hitunglah volume larutan isotonis, atau larutan dapar
isotonis, yang ditambahkan berupa larutan NaCl 0,9%, bukan padatan NaCl, misalnya NaCl 0,9
% yang harus ditambahkan dalam formula tadi untuk mengganti posisi solven selisih volume
formula dan volume larutan isotonis. Metode kelas dua meliputi metode White-Vincent dan
metode Sprowls.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M., 2005, Farmasetika, 29-30, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Ansel, H. C., Allen, L. V., and Popovich, N. G., 2005, Ansel’s Pharmaceutical Dosage Forms
and Drug Delivery Systems, Eight Edition, 230, 239-241,Lippincott Williams & Wilkins a
Wotters Kluver Company, Philadelphia.
Depkes RI, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 1036-1040, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Syamsuni, 2005, Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, (online), (http:// books.google.co.id, diakses pada tanggal 25 desember 2010).
Voigt, R., Mathida B. Widianto., 1984, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, diterjemahkan oleh
Soendani Noertono Soewandhi, Edisi kelima, 202-207,
220-225, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.