Anda di halaman 1dari 38

PENETAPAN KADAR METANOL DAN ETANOL DARI SAMPEL

MINUMAN BERALKOHOL (BIR BINTANG) DENGAN GC-FID

I. TUJUAN
1.1 Untuk mengetahui cara pengoperasian instrument Kromatografi Gas.

1.2 Untuk memahami cara kerja instrumen Kromatografi Gas untuk analisis
kualitatif dan kuantitatif.

1.3 Untuk menentukan kadar metanol dan etanol dalam sampel menggunakan instrumen
Kromatografi Gas.

II. DASAR TEORI


2.1 Kromatografi Gas
Kromatografi gas (KG) merupakan metode yang dinamis untuk pemisahan
dan deteksi senyawa-senyawa yang mudah menguap dalam suatu campuran.
Kromatografi gas merupakan teknik instrumental yang dikenalkan pertama kali
pada tahun 1950-an, dan saat ini merupakan alat utama yang digunakan oleh
laboratorium untuk melakukan analisis. Perkembangan teknologi yang signifikan
dalam bidang elektronik, komputer, dan kolom telah menghasilkan batas deteksi
yang lebih rendah serta identifikasi senyawa menjadi lebih akurat melalui teknik
analisis dengan resolusi yang meningkat (Gandjar dan Rohman, 2007).
Kromatografi gas merupakan teknik analisis yang telah digunakan dalam
bidang-bidang: industri, lingkungan, farmasi, minyak, kimia, klinik, forensik,
makanan dan lain-lain. Kegunaan umum kromatografi gas adalah untuk
melakukan pemisahan dinamis dan identifikasi semua jenis senyawa organik yang
mudah menguap dan juga untuk melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif
senyawa dalam suatu campuran. Kromatografi gas dapat bersifat destruktif dan
dapat bersifat non-destruktif tergantung pada detektor yang digunakan (Gandjar
dan Rohman, 2007).
Dasar pemisahan secara kromatografi gas ialah penyebaran cuplikan
diantara dua fase. Salah satu fase ialah fase diam yang permukaannya luas, dan
fase yang lain ialah gas yang mengelusi fase diam. Kromatografi gas adalah suatu
cara untuk memisahkan senyawa atsiri dengan meneruskan arus gas melalui fase
diam. Bila fase diam berupa zat padat, kita menyebut cara itu sebagai
kromatografi gas padat. Ini didasarkan pada sifat penjerapan kemasan kolom
untuk memisahkan cuplikan, terutama cuplikan gas. Kemasan kolom yang lazim
dipakai ialah silika gel, ayakan molekul, dan arang (McNair dan Bonelli, 1988).
Bila fase diam berupa zat cair, cara tadi disebut kromatorgafi gas cair.
Fase cair disaputkan berupa lapisan tipis pada zat padat yang lembam dan
pemisahan didasarkan pada partisi cuplikan yang masuk dan keluar dari lapisan
zat cair ini. Banyaknya macam fase cair yang dapat digunakan sampai suhu 400°C
mengakibatkan kromatografi gas cair merupakan bentuk kromatografi gas yang
paling serbaguna dan selektif. Kromatografi gas cair digunakan untuk
menganalisis gas, zat cair, dan zat padat (McNair dan Bonelli, 1988).
Kromatografi gas merupakan teknik pemisahan yang mana solu-solut yang
mudah menguap (dan stabil terhadap panas) bermigrasi melalui kolom yang
mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada rasio
distribusinya. Pada umumnya solut akan terelusi berdasarkan pada peningkatan
titik didihnya, kecuali jika ada interaksi khusus antara solut dengan fase diam.
Pemisahan pada kromatografi gas didasarkan pada titik didih suatu senyawa
dikurangi dengan semua interaksi yang mungkin terjadi antara solut dengan fase
diam. Fase gerak yang berupa gas akan mengelusi solut dari ujung kolom lalu
mengahantarkannya ke detektor. Penggunaan suhu yang meningkat (biasanya
pada kisaran 50°-350°C) bertujuan untuk menjamin bahwa solut akan menguap
dan karenanya akan cepat terelusi (Gandjar dan Rohman, 2007).
(Hollenhorst,2011)
Gambar 1. Alat Kromatografi Gas
2.2 Komponen dalam Kromatografi Gas
a. Gas Pembawa
Tangki gas bertekanan tinggi berlaku sebagai sumber gas pembawa. Pada
kromatografi gas suhu tetap kolom tidak berubah selama analisis. Suatu pengatur
tekanan digunakan untuk menjamin tekanan yang seragam pada pemasok kolom
sehingga diperoleh laju aliran gas yang tetap. Pada sembarang suhu tertentu, laju
aliran yang tetap akan mengelusi komponen campuran pada waktu yang khas
(waktu tambat). Karena laju aliran tetap, komponen mempunyai volume gas
pembawa yang khas (volume tambat). Gas yang biasa dipakai adalah gas
hidrogen, helium dan nitrogen. Gas pembawa harus memiliki persyaratan sebagai
berikut:
- Lembam untuk mencegah interaksi dengan cuplikan atau pelarut (fase
diam)
- Dapat meminimumkan difusi gas
- Mudah didapat
- Murni
- Cocok untuk detektor yang digunakan
(McNair and Bonelli, 1988)
Untuk setiap pemisahan dengan kromatografi gas terdapat kecepatan
optimum gas pembawa yang utamanya tergantung pada diameter kolom.
Kecepatan alir gas kira-kira 50-70 ml/menit untuk kolom dengan diameter 6 mm,
25-30 ml/menit untuk kolom dengan diameter 3 mm, dan 0,2-2 ml/menit untuk
kolom kapiler (Gandjar dan Rohman, 2007).
b. Ruang suntik sampel
Lubang injeksi didesain untuk memasukkan sampel secara cepat dan
efisien. Desain yang populer terdiri atas saluran gelas yang kecil atau tabung
logam yang dilengkapi dengan septum karet pada satu ujung untuk
mengakomodasi injeksi dengan semprit (syringe). Karena helium(gas pembawa)
mengalir melalui tabung, sejumlah volume cairan yang diinjeksikan (biasanya
antara 0,1-3,0 µL) akan segera diuapkan untuk selanjutnya di bawa menuju
kolom. Berbagai macam ukuran semprit saat ini tersedia di pasaran sehingga
injeksi dapat berlangsung secara mudah dan akurat. Septum karet, setelah
dilakukan pemasukan sampel secara berulang, dapatdiganti dengan mudah. Sistem
pemasukan sampel (katup untuk mengambil sampel gas) danuntuk sampel padat
juga tersedia di pasara. Pada dasarnya, ada 4 jenis injektor pada kromatografi gas,
yaitu:
- Injeksi langsung (direct injection), yang mana sampel yang diinjeksikan
akan diuapkan dalam injector yang panas dan 100 % sampel masuk
menuju kolom.
- Injeksi terpecah (split injection), yang mana sampel yang diinjeksikan
diuapkan dalam injector yang panas dan selanjutnya dilakukan
pemecahan.
- Injeksi tanpa pemecahan (splitness injection), yang mana hampir semua
sampel diuapkan dalam injector yang panas dan dibawa ke dalam kolom
karena katup pemecah ditutup.
- Injeksi langsung ke kolom (on column injection), yang mana ujung
semprit dimasukkan langsung ke dalam kolom.Teknik injeksi langsung ke
dalam kolom digunakan untuk senyawa-senyawa yang mudah menguap;
karena kalau penyuntikannya melalui lubang suntik secara langsung
dikhawatirkankan terjadi peruraian senyawa tersebut karena suhu yang
tinggi atau pirolisis (Hendayana, 1994).
c. Kolom
Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan karena di
dalamnya terdapat fase diam. Ada dua jenis kolom pada kromatografi gas yaitu
kolom kemas dan kolom kapiler. Kolom kemas terdiri atas fase cair yang tersebar
pada permukaan penyangga yang lembam yang terdapat pada tabung yang relatif
besar. Fase diam hanya dapat dilapiskan saja pada penyangga atau terikat secara
kovalen pada penyangga yang menghasilkan fase terikat. Kolom kapiler jauh
lebih kecil dan dinding kapiler bertindak sebagai penyangga lembam untuk fase
diam cair. Fase diam ini dilapiskan pada dinding kolom atau bahkan dapat
bercampur dengan sedikit penyangga lembam yang sangat halus untuk
memperluas permukaan efektif (Gandjar dan Rohman, 2007).
Pipa kolom dapat dibuat dari tembaga, baja nirkarat, aluminium, dan kaca
yang berbentuk lurus, lengkung, atau melingkar. Tembaga kurang cocok karena
dapat menyerap atau bereaksi dengan komponen cuplikan tertentu (amina,
asetilena, terpena, dan steroid) (McNair dan Bonelli, 1988). Panjang kolom yang
dikemas cukup beragam, dapat beberapa cm sampai 15 meter. Panjang kolom
analitik biasanya 1-3 meter. Kolom yang lebih panjang menghasilkan jumlah plat
teori dan daya pisah yang lebih besar. Kecepatan gas pembawa berubah selama
bergerak melalui kolom, jadi hanya bagian kolom yang pendek saja bekerja pada
laju aliran yang optimal. Disamping itu kolom panjang membutuhkan tekanan
yang lebih tinggi, menimbulkan masalah pada cara penyuntikkan dan pencegahan
kebocoran gas. Keuntungan kolom panjang ialah kapasitas cuplikan sebanding
dengan banyaknya fase cair dalam kolom (McNair dan Bonelli, 1988). Suhu
kolom dapat berkisar antara -100° sampai 400°C. Beberapa fase diam dapat
menjadi padat pada suhu rendah. Selain itu suhu pemakaian kolom yang
mengandung fase diam ini dibatasi juga oleh kestabilannya. Beberapa fase diam
jika digunakan suhu yang terlalu tinggi akan terurai secara perlahan-lahan
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Kolom kemas terbuat dari gelas atau logam yang tahan karat atau dari
tembaga dan aluminium. Panjang kolom jenis ini adalah 1-5 meter dengan
diameter dalam 1-4 mm. Kolom kapiler sangat banyak dipakai karena kolom
kapiler memberikan efisiensi yang tinggi (harga jumlah pelat teori yang sangat
besar > 300.000 pelat). Kolom preparatif digunakan untuk menyiapkan sampel
yang murni dari adanya senyawa tertentu dalam matriks yang kompleks.
Gambar 2. Kolom Kromatografi gas

Fase diam yang dipakai pada kolom kapiler dapat bersifat non polar, polar,
atau semipolar. Fase diam non polar yang paling banyak digunakan adalah metil
polisiloksan (HP-1; DB-1; SE-30; CPSIL-5) dan fenil 5%-metilpolisiloksan 95%
(HP-5; DB-5; SE-52; CPSIL-8). Fase diam semi polar adalah seperti fenil 50%-
metilpolisiloksan 50% (HP-17; DB-17; CPSIL-19), sementara itu fase diamyang
polar adalah seperti polietilen glikol (HP-20M; DB-WAX; CP-WAX; Carbowax-
20M) (Hendayana, 1994).
d. Detektor
Detektor merupakan perangkat yang diletakkan pada ujung kolom tempat
keluar fase gerak (gas pembawa) yang membawa komponen hasil pemisahan.
Detektor pada kromatografi adalah suatu sensor ellektronik yang berfungsi
mengubah sinyal gas pembawa dan komponen-komponen di dalamnya menjadi
sinyal elektronik. Sinyal elektronik detektor akan sangat berguna untuk analisis
kualitatif maupun kuantitatif terhadap komponen-komponen yang terpisah
diantara fase diam dan fase gerak. Detektor yang sering digunakan dalam
kromatografi gas antara lain:
- Detektor Hantar Panas (Termal Conductivity Detector=TCD)
Detektor ini didasarkan bahwa panas dihantarkan dari benda yang suhunya
tinggi ke benda lain disekelilingnya yang suhunya lebih rendah. Kecepatan
penghantaran panas ini tergantung susunan gas yang mengelilinginya. Jadi setiap
gas memiliki daya hantar panas yang kecepatannya merupakan fungsi dari laju
pergerakan molekul gas yang pada suhu tertentu merupakan fungsi dari berat
molekul gas. Gas yang mempunyai berat molekul rendah mempunyai daya hantar
yang lebih tinggi.
- Detektor Ionisasi Nyala (Flame Ionization Detector=FID)
Pada dasarnya senyawa organik bila dibakar akan terurai menjadi pecahan
sederhana bermuatan positif, yang biasanya terdiri atas satu karbon (C+). Pecahan
ini meningkatkan daya hantar disekitar nyala, tempat yang telah dipasangi
elektroda, dan peningkatan daya hantar ini dapat diukur dengan mudah dan
direkam. Dengan demikian gas efluen dari kolom dialirkan ke dalam nyala
hidrogen yang terbakar diudara. Sampel yang dibawa oleh gas pembawa mengalir
ke dalam nyala dan diuraikan menjadi ion. Ion ini akan meningkatkan daya hantar
dan karenanya akan meningkatkan arus listrik yang mengalir diantara dua
elektroda. Arus itu selanjutnya diperkuat diamplifier dan direkam oleh rekorder.
FID mengukur jumlah atom karbon dan bukan jumlah molekul seperti pada
detektor hantar panas. FID pada dasarnya bersifat umum untuk hampir semua
senyawa organik (senyawa fluoro tinggi dan karbon disulfida tidak terdeteksi).
Disamping itu respon FID sangat peka, dan linier ditinjau dari segi ukuran,
cuplikan, serta teliti (McNair and Bonelli, 1988). Pada pemakaian FID, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan: pertama, kecepatan alir O2 (udara) dan H2.
Untuk memperoleh tanggapan FID yang optimal sebaiknya kecepatan aliran H2 ±
30 ml/menit dan O2 sepuluh kalinya. Kedua adalah bahwa suhu Detektor ionisasi
nyala FID harus di atas 100°C. Hal ini bertujuan untuk mencegah kondensasi uap
air yang mengakibatkan FID berkarat atau kehilangan sensitivitasnya (McNair
and Bonelli, 1988).
- Detektor Tangkap Elektron (Electron Capture Detector=ECD)
Detektor ini dilengkapi dengan radio aktif yaitu tritium (3H) atau 63Ni, yang
diletakkan diantara dua elektroda. Dasar kerja detektor ini adalah penangkapan
elektron oleh senyawa yang mempunyai afinitas terhadap elektron bebas, yaitu
senyawa yang mempunyai unsur-unsur elektronegatif. Bila fase gerak (gas
pembawa N2) masuk ke dalam detektor maka sinar β akan mengionisasi molekul
N2 menjadi ion-ion N2+ dan menghasilkan elektron bebas yang akan bergerak ke
anoda dengan lambat.
- Detektor Nitrogen-Fosfor (Nitrogen Phosphorous Detector =NPD)
Pada prinsipnya NPD mirip dengan FID hanya saja fenomena mekanisme nyala
plasma belum jelas. NPD sangat selektif terhadap nitrogen dan fosofor karena
adanya elemen aktif di atas aliran kapiler yang terbakar oleh plasma (1600°C).
2.3 Minuman Beralkohol
Bahan utama dari pembuatan minuman berakohol adalah etanol yang
mempunyai batas 1%-55%, dan etanol yang ada dalam minuman beralkohol
tersebut bukan etanol yan digunakan atau untuk industri tetapi etanol yang
diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara
fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi dari buah dan biji- bijian
misalnya anggur, gandum, beras dan lain- lain. Dari informasi tersebut dapat
dipahami bahwa etanol merupakan bahan yang dapat digunakan untuk minuman
keras sedangkan metanol dilarang padahal kedua zat tersebut merupakan
golongan alkohol untuk digunakan atau ditambahkan dalam makanan atau
minuman termasuk minuman keras (Anonim b, 2009).

Golongan minuman beralkohol sebagaimana dimaksud peraturan BPOM RI


tahun 2011 didasarkan atas kandungan alkohol sebagai berikut:

 Golongan A : 1 – 5%

 Golongan B : lebih dari 5 – 20%

 Golongan C : lebih dari 20 – 55%

 Tulisan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan angka 2) dicantumkan


pada bagian yang paling mudah dilihat oleh konsumen (Anonim c, 2011).

2.4 Metanol
Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, bau khas.
Kelarutan : Dapat bercampur dengan air, membentuk cairan jernih tidak
berwarna.
Bobot Jenis : (15,5O/15,5O) 0,796 sampai 0,798.
Jarak Didih : Tidak kurang dari 95% tersuling pada suhu antara 64,5O dan
65,5O.
Indeks Bias : 1,328 sampai 1,329 (Depkes RI, 1995).

Gambar 4. Struktur Metanol

Metanol adalah bentuk paling sederhana dari alkohol yang biasa


digunakan sebagai pelarut di industri dan sebagai bahan tambahan dari etanol
dalam proses denaturasi sehingga etanol menjadi toksik. Rumus kimia dari
Metanol adalah CH3OH dan dikenal dengan nama lain yaitu metil alkohol, metal
hidrat, metil karbinol, wood alkohol atau spiritus. Metanol merupakan senyawa
kimia yang sangat beracun bila dibandingkan dengan etanol. Metanol sering
disalah gunakan sebagai bahan pembuat minuman keras. Ia digunakan sebagai
pengganti etanol karena disamping harganya yang relatif lebih murah juga akibat
ketidakpahaman akan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh kedua zat tersebut,
sehingga banyak yang beranggaban bahwa sifat dan fungsi metanol adalah sama,
sehingga orang yang sudah kecanduan minuman keras dan kurang memiliki dana
untuk membeli minuman keras yang legalcenderung membuat atau membeli
minuman keras yang illegal yaitu minuman keras oplosan yang dicampur dengan
methanol (Anonim, 2009).
2.5 Etanol
Etanol atau yang sering disebut etil alkohol, alkohol absolut, berupa cairan
yang tidak berwarna, tidak mudah terbakar, dengan bau yang lembut. Etanol
memiliki rumus molekul C2H5OH dengan massa molar 46,1 gram/mol. Etanol
terdiri atas 52,1% C; 13,1% H; dan 34,7% O. Titik leleh etanol sangat rendah,
yaitu -114,1oC sehingga berada dalam bentuk cair pada suhu ruangan. Titik
didihnya 78,5oC (Myers, 2007). Etanol encer atau aethanolum dilutum adalah
campuran etanol P dan air. Berupa cairan jernih mudah menguap dan mudah
bergerak, tidak berwarna, bau khas, rasa terbakar pada lidah, mudah terbakar.
Bobot jenis antara 0,882 dan 0,886, lakukan penetapan pada suhu 25° (Depkes RI,
1995).
Gambar 5. Struktur Etanol
Etanol atau etil alkohol kadang disebut juga alkohol atau ethanolum merupakan
cairan bening tidak berwarna, mudah mengalir, mudah menguap, dan mudah terbakar
dengan api biru tanpa asap. Sifatnya larut dalam air, kloroform, eter, gliserol, dan
hampir semua pelarut organik. Titik didih etanol adalah 78,4 oC. Pada tekanan >
0,114 bar (11,5 kPa) etanol dan air dapat membentuk larutan azeotrop (larutan
yang mendidih seperti cairan murni:komposisi uap dan cairan sama). Pada
keadaan atmosferik (1 atm) campuran ini terdiri dari etanol 95,57% (massa) atau
97,3% (volume) atau 89,43% (mol), dan air 4,43% (massa) atau 2,7% (volume)
atau 10,57% (mol) (Putro dan Ardhiany, 2010).
Ikatan hidrogen menyebabkan etanol murni sangat higroskopis,
sedemikiannya ia akan menyerap air di udara. Sifat gugus hidroksil yang polar
menyebabkan dapat larut dalam banyak senyawa ion, utamanya natrium klorida
dan natrium bromide. Oleh karena etanol juga memiliki rantai karbon non polar,
ia juga larut dalam senyawa non polar. Alkohol adalah istilah yang umum dipakai
oleh masyarakat, sedangkan istilah kimia dari alkohol adalah etil alkohol (etanol)
dengan rumus C2H5OH. Alkohol murni adalah alkohol yang hanya mengandung
etil alkohol dan sedikit air serta bebas dari bahan-bahan lain yang berbahaya bagi
manusia.Alkohol ini biasa digunakan untuk pembuatan minuman keras, pelarut
minyak, pelarut obat-obatan serta untuk keperluan industri lainnya. Alkohol teknis
adalah alkohol yang selain mengandung etil alkohol dan juga masih mengandung
bahan ikutan lain yang membahayakan manusia antara lain metal alkohol, aldehid,
ester dan lain-lain (Underwood, 1981).
Menurut keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
1516/A/SK/V/81, pasal 1: Anggur, arak dan sejenisnya termasuk dalam jenis
minuman keras dan harus memenuhiperaturan perundang-undangan yang berlaku
untuk minuman keras. Minuman keras menurutmenteri Kesehatan RI nomor
86/Menkes/Per/IV/77 adalah semua jenis minuman beralkoholtetapi bukan obat,
meliputi minuman keras golongan A, minuman keras golongan B, danminuman
keras golongan C. Minuman anggur termasuk dalam minuman keras golongan
B(kadar etanol 5-20 %v/v).Minuman anggur dibuat dari fermentasi buah anggur
atau jus buah anggur dengan Saccharomyces ellipsoideus.
Minuman keras atau sering disebut dengan minuman beralkohol
diproduksi dari setiap bahan yang mengandung karbohidrat (pati) seperti biji-
bijian, umbi-umbian, atau pun tanaman palma (seperti legen, kurma). Adapun
alkohol yang sering disebut sebagai konsentrasi dari minuman keras ini
sebenarnya adalah senyawa etanol, yaitu suatu jenis alkohol yang paling popular
digunakan dalam industri. Buah-buah anggur itu dipanen ketika kandungan
substrat yang bisadifermentasi, yaitu gula angguratau glukosa berada pada kadar
yang tinggi. Material yangdisiapkan dari buah anggur sebelum fermentasi
disebutmust. Prosesnya tidak lainmenghancurkan buah yang sudah matang dan
berwarna ungu hingga etanol yang dihasilkan sudahcukup dan tidak beracun
(Bowman dan Rand, 1980). Etanol yang nama lainnya alkohol, aethanolum, etil
alcohol adalah cairan yang bening, tidak berwarna, mudah mengalir, mudah
menguap, mudah terbakar, higroskopik dengan karakteristik bau spiritus dan rasa
membakar, mudah terbakar dengan api biru tanpa asap. Larut dengan air,
kloroform, eter, gliserol dan hampir semua pelarut organik lainnya. Penyimpanan
pada suhu 8-15°C, jauh dari api, dalam wadah kedap udara dan dilindungi dari
cahaya.
2.6 Water For Irrigation (WFI)
WFI adalah air yang telah dimurnikan dengan destilasi atau reverse
osmosis dan tidak mengandung substansi tambahan (USP, 1995).
2.7 Internal Standar
Standar internal digunakan untuk mengurangi variasi dalam respon alat
dan volume injeksi. Pemilihan standar internal ini dipilih berdasarkan kemudahan
diperolehnya dengan kemurnian tinggi, harus terpisah sempurna dari senyawa
pada pemisahan, stabil dan tidak bereaksi dengan sampel atau fase gerak,
memiliki respon terhadap detektor serupa dengan respon analit pada konsentrasi
yang digunakan, memiliki polaritas dan struktur yang mirip dengan analit
(Pardosi, 2008).
Baku internal merupakan senyawa yang berbeda dengan analit,
meskipun demikian senyawa ini harus terpisah dengan baik selama proses
pemisahan. Baku internal dapat menghilangkan pengaruh karena adanya
perubahan-perubahan pada ukuran sampel atau konsentrasi karena variasi
instrumen. Salah satu alasan utama digunakan baku internal adalah jika suatu
sampel memerlukan perlakuan sampel yang sangat sifnifikan. Sering kali
perlakuan sampel memerlukan tahapan-tahapan yang meliputi derivatisasi,
ekstraksi, filtrasi, dan sebagainya yang dapat mengakibatkan berkurangnya
sampel. Jika baku internal ditambahkan pada sampel sebelum dilakukan
preparasi sampel maka baku internal dapat mengkoreksi hilangnya sampel-samel
ini.
Syarat-syarat suatu senyawa dapat digunakan sebagai baku internal
adalah:
1. terpisah dengan baik dari senyawa yang dituju atau puncak – puncak
yang lain.
2. mempunyai waktu retensi yang hampir sama dengan analit
3. tidak terdapat dalam sampel
4. memiliki kemiripan sifat – sifat dengan analit dalam tahapan-tahapan
penyiapan sampel
5. tidak mempunyai kemiripan secara kimiawi dengan analit
6. tersedia dalam perdagangan dengan kemurnian yang tinggi
7. stabil dan tidak reaktif dengan sampel atau dengan fase gerak
8. mempunyai respon dektektor yang hampir sama dengan analit pada
konsentrasi yang digunakan (Gandjar dan Rohman, 2007).

III. ALAT DAN BAHAN


3.1 Alat

- Alat-alat gelas

- Labu alas bulat

- Pemanas mantel

- Seperangkat alat kromatografi gas

- Seperangkat alat destilasi

- Pipet volume

- Ball filler

- Botol vial

- Pipet tetes

3.2 Bahan

- Minuman beralkohol

- Aquadest

- Etanol standar

- Metanol standar

IV. Prosedur Kerja


I.1. Destilasi
1. Sampel diambil sebanyak 25 ml.
2. Dimasukkan ke dalam labu alas bulat yang telah berisi WFI sebanyak
sampai dieproleh volume 50 ml.
3. Dilakukan destilasi dengan suhu 780C sampai diperoleh destilat
sebanyak 23 ml.
4. Destilat yang diperoleh disaring.
I.2. Penyiapan Seri Larutan Standar Etanol dan Metanol 0,5%, 1%, 2%, 4%,
dan 6%
1. Larutan standar 0,5%, 1%, 2%, 4%, dan 6% dipipet secara berurutan
diambil dari larutan induk etanol dan metanol 20% v/v sebanyak:
• Konsentrasi larutan seri = 0,5 %
Volume yang dibuat = 10 ml
M1. V1 = M2. V2
20%.V1 = 0,5 % . 10ml
V1 = 0,25 ml
• Konsentrasi larutan seri = 1%
Volume yang dibuat = 10 ml
M1. V1 = M2. V2
20% . V1 = 1% .10ml
V1 = 0,5 ml
• Konsentrasi larutan seri = 2%
Volume yang dibuat = 10 ml
M1. V1 = M2. V2
20% .V1 = 2 % . 10ml
V1 = 1 ml
• Konsentrasi larutan seri = 4%
Volume yang dibuat = 10 ml
M1. V1 = M2. V2
20% .V1 = 4% .10ml
V1 = 2 ml
• Konsentrasi larutan seri = 6%
Volume yang dibuat = 10 ml
M1. V1 = M2. V2
20% .V1 = 6% . 10ml
V1 = 3 ml
2. Masing-masing dimasukkan ke dalam labu ukur 10ml
3. Ditambahkan WFI hingga tanda batas
4. Digojog hingga homogen, disaring, dimasukkan ke dalam botol vial.

I.3. Analisis dengan GC-FID


1. Disiapkan sampel, alrutan seri etanol dan metanol, dan larutan
kontrol positif
2. 0,5µL larutan standar seri 1% diinjeksikan pada injektor GC
3. Dilakukan running sampel
4. Dilakukan hal yang sama dilakukan untuk semua larutan seri
5. Diamati peak-peak yang keluar dari detektor, dibuat persamaan
regresi liniernya, dan ditentukan nilai r
6. Sampel dan kontrol positif diinjek sebanyak 0,5µL pada injektor
GC-FID
7. Diamati peak-peak yang keluar dari detektor
8. Dihitung kadar metanol dan etanol dengan menggunakan persamaan
regresi linier yang diperoleh dari larutan standar seri.

V. Skema Kerja

a. Destilasi

Sampel diambil sebanyak 25 ml.


Dimasukkan ke dalam labu alas bulat yang telah berisi WFI sebanyak
sampai dieproleh volume 50 ml.

Dilakukan destilasi dengan suhu 780C sampai diperoleh destilat


sebanyak 23 ml.

Destilat yang diperoleh disaring

5.2 Pembuatan seri larutan standar etanol dan metanol 0,5%, 1%, 2%, 4%, dan
6%

Larutan standar 0,5%, 1%, 2%, 4%, dan 6% dipipet secara berurutan
diambil dari larutan induk etanol 20% v/v sebanyak: 0,25 ml, 0,5 ml, 1 ml,
2 ml dan 3 ml

Dimasukkan dalam labu ukur 10 ml

Ditambahkan WFI hingga tanda batas


Digojog hingga homogen, disaring, dimasukkan ke dalam botol vial.

5.4 Analisis Dengan GC-FID

Disiapkan sampel, larutan seri etanol dan metanol, dan larutan kontrol
positif, disaring dengan microfilter

0,5µL larutan standar seri 1% diinjeksikan pada injektor GC

Dilakukan running sampel

Dilakukan hal yang sama untuk semua larutan yang digunakan dalam
analisis GC

Diamati peak-peak yang keluar dari detektor, dibuat persamaan regresi


liniernya, dan ditentukan nilai r

Sampel diinjekdan kontrol positif sebanyak 0,5µL pada injektor GC-FID

Diamati peak-peak yang keluar dari detektor


Dihitung kadar metanol dan etanol dengan menggunakan persamaan
regresi linier yang diperoleh dari larutan standar seri.
VI. HASIL DAN PERHITUNGAN

6.1 Tabel Penentuan Bobot Jenis Destilat

No. Berat bahan Berat (gram)

1. Piknometer kosong (W0) 16,127

2. Piknometer + WFI (W1) 26,0353

3. Piknometer + destilat: 25,9707

6.2 Tabel Hasil pengukuran larutan seri dengan kromatografi gas

Seri Puncak Waktu AUC HETP N Tailling


(v/v) Retensi

0,5 % 1 2,354 156246,6 0 7612,363 -

2 2,488 479549,2 0 9667,995 -

1% 1 2.333 147966,5 0 6751,151 -

2 2,467 688062,4 0 9114,442 -

2% 1 2,345 187469,4 0 8964,376 -

2 2,479 387354 0 12093,054 -

4% 1 2,319 546636,3 0 16812.342

2 2,455 924724,1 0 22602,443

6% 1 2,331 878939,5 0 16990,993

2 2,467 1368809,7 0 25117,581 2,097

Larutan seri merupakan campuran dari etanol dam methanol. Methanol memiliki
titik uap yang lebih rendah daripada etanol, sehingga methanol akan lebih cepat
melewati kolom dan waktu retensinya lebih kecil dari etanol. Dari hasil
pengukuran dengan kromatografi gas didapatkan dua puncak. Puncak 2 dari
masing-masing seri diduga sebagai puncak etanol karena memiliki waktu retensi
yang lebih lama daripada puncak 1 yang diduga methanol.
6.3 Tabel Hasil pengukuran larutan sampel dan kontrol positif dengan
kromatografi gas

Pengulanga Punca Waktu


AUC HETP N Tailling
n k Retensi

1 2,309 1506,8 0 26355,014 -

2 2,389 7646,3 - - -
1
3 2,445 598460,6 0 32303,541 2,101

4 4,501 1291,8 0 99611,931 1,110

1 2,294 8133,6 - - -
Sampel
2 2 2,342 9535,0 - - -

3 2,478 287871,3 0 43067,897 1,515

1 2,345 1966,8 0 21146,382 -

3 2 2,479 899112,3 0 25888,220 3,790

3 4,529 1965,0 0 75809,160 1,895

1 2,352 15603,8 0 14756,564 -


Kontrol
2 2,486 2825877,8 0 22490,548 2,467

Dari tabel dapat diketahui bahwa waktu retensi pada puncak 3 pengulangan
pertama, puncak 3 pengulangan 2, puncak 2 pengulangan 3, dan puncak 2 kontrol
yang mendekati waktu retensi etanol pada seri. Jadi puncak-puncak tersebut
diduga sebagai puncak dari etanol. Sedangkan waktu retensi puncak 2
pengulangan 1, puncak 2 pengulangan 2, puncak 1 pengulangan 3 diduga sebagai
puncak dari methanol karena memiliki waktu retensi yang hamper sama dengan
waktu retensi methanol pada seri maupun control.
6.4 Perhitungan bobot jenis destilat dan penetapan kadar etanol menurut bobot
jenis

Diketahui : Bobot piknometer kosong (W0) = 16,3127 gram

Bobot piknometer + air suling (W1) = 26,0353 gram

Bobot piknometer + destilat (W2) I = 25,9707 gram

Ditanya : Bobot jenis (ρ) Sampel = …?

Jawab :

W2 − W0
Bobot jenis ( ρ) =
W1 − W0

25,707 gram − 16,3127 gram


=
26,0353 gram − 16,3127 gram

9,394 gram
=
9,722gram

= 0,966

Tabel 6.4. Daftar Bobot Jenis dan Kadar Etanol (Depkes RI,1979)

Koreksi Bobot Jenis untuk Perbedaan Suhu 1º,


Kadar Etanol
Bobot berlaku untuk suhu antara
Jenis 10º dan 15º dan 20º dan 25º dan
% b/b % v/v
20º 20º 25º 30º

0.9910 5,0 6,4 0,00012 0,00018 0,00024 0,00028

0,9920 4,4 5,6 0,00012 0,00018 0,00024 0,00028


0,9930 3,8 4,8 0,00012 0,00018 0,00024 0,00028

0,9940 3,2 4,1 0,00012 0,00018 0,00024 0,00028

0,9950 2,7 3,4 0,00012 0,00018 0,00024 0,00028

Jadi dari perhitungan bobot jenis destilat, kadar etanol dapat

ditetapkan yaiutu 3,4% v/v.

6.5 Perbandingan Luas Area (PLA) dan sampel dengan kontrol positif

• Seri 0,5%

• Seri 1%

• Seri 2%

• Seri 4%

• Seri 6%
• Sampel Pengulangan I

• Sampel Pengulangan II

• Sampel Pengulangan III

6.6 Linieritas larutan seri


Tabel Data PLA dan AUC dari larutan seri etanol

No. Senyawa AUC PLA

1. Seri 0,5% 479549,2 0,169

2. Seri 1 % 688062,4 0,243

3. Seri 2 % 387354,3 0,137

4. Seri 4 % 924724,1 0,327

5. Seri 6 % 1368809,7 0,484

Dari data di atas, dibuat sebuah garis regresi linier hubungan PLA dengan
konsentrasi. Data yang digunakan untuk menentukan garis linier adalah larutan
seri 2%, 4%, dan 6% karena ketiga data tersebut yang menunjukkan hubungan
linear. Kurva garis regresi etanol adalah sebagai berikut:
Persamaan regresi yang diperoleh menggunakan data-data tersebut adalah:

y = 0,086x - 0,031 dengan nilai korelasi R² = 0,999

6.7 Penentuan Kadar Etanol dalam Sampel


Tabel Data PLA sampel pada penyuntikan 1 dan 2

Sampel PLA

Pengulangan I 0,211

Pengulangan II 0,010

Pengulangan III 0,318

• Kadar etanol pada Pengulangan I


y = 0,086x - 0,031

Dengan subtitusi nilai PLA pada persamaan garis linier, maka didapat:

0,211 = 0,086x - 0,031

0,242 = 0,086x
x = 2,81 %

Jadi kadar etanol dalam sampel penyuntikan pertama adalah 2,81 %

• Kadar etanol pada Pengulangan II


y = 0,086x - 0,031

Dengan subtitusi nilai PLA pada persamaan garis linier, maka didapat:

0,010 = 0,086x - 0,031

0,041 = 0,086x

x = 0,476 %

Jadi kadar etanol dalam sampel penyuntikan pertama adalah 0,476 %

• Kadar etanol pada Pengulangan III


y = 0,086x - 0,031

Dengan subtitusi nilai PLA pada persamaan garis linier, maka didapat:

0,318 = 0,086x - 0,031

0,349 = 0,086x

x = 4,05 %

Jadi kadar etanol dalam sampel penyuntikan pertama adalah 4,05 %

• Kadar Rata-rata

= 2,44 %

6.8 Perolehan Kembali


• Perolehan kembali sampel Pengulangan I
Bila dalam kemasan sampel tertera kadar alkohol sebanyak 4,7% v/v,
maka perolehan kembalinya adalah:

% perolehan kembali =

= 59,7 %

• Perolehan kembali sampel Pengulangan II


Bila dalam kemasan sampel tertera kadar alkohol sebanyak 4,7% v/v,
maka perolehan kembalinya adalah:

% perolehan kembali =

= 10 %

• Perolehan kembali sampel Pengulangan III


Bila dalam kemasan sampel tertera kadar alkohol sebanyak 4,7% v/v,
maka perolehan kembalinya adalah:

% perolehan kembali =

= 86,1 %

• Rata-rata Perolehan kembali =

= 51,9 %

6.9 Penentuan LOD dan LOQ Etanol


Dimana:

y1 : PLA etanol sampel dengan etanol kontrol positif yang terukur alat

y2 : PLA etanol sampel dengan etanol kontrol positif hasil perhitungan


garis lurus.

N : jumlah sampel yang diukur

Jika y = 0,086x - 0,031, maka subtitusi nilai x pada persamaan


menhasilkan nilai y2 sebagai berikut:

y2 = 0,086x - 0,031

y2 = 0,086(0,02) - 0,031

y2 = -0,0292

degan cara yang sama didapatkan data sebagai berikut:

Lautan seri x y1 y2 (y1-y2)2

2% v/v 0,02 0,127 -0,0292 0,024398

4% v/v 0,04 0,327 -0,0275 0,12567

6% v/v 0,06 0,484 -0,0258 0,259896

0,409965
=

= 0,6402

Maka nilai LOD dan LOQ adalah:

LOD =

= 22,3

LOQ =

= 74,4
VII. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan penetapan kadar etanol dan
metanol dalam sampel minuman beralkohol menggunakan metode kromatografi
gas dengan detector FID. Kromatografi gas merupakan teknik pemisahan yang
mana solut-solut yang mudah menguap dan stabil terhadap panas bermigrasi
melalui kolom yang mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang
tergantung pada rasio distribusinya. Pada umumnya, solut akan terelusi
berdasarkan pada peningkatan titik didihnya, kecuali jika ada interaksi khusus
antara solut dengan fase diam. Pemisahan pada kromatografi gas didasarkan pada
titik didih suatu senyawa dikurangi dengan semua interaksi yang mungkin terjadi
antara solut dengan fase diam. Fase gerak yang berupa gas akan mengelusi solut
dari ujung kolom lalu menghantarkannya ke detektor. Penggunaan suhu yang
meningkat (pada kisaran 50-350°C) bertujuan untuk menjamin bahwa solut akan
menguap dan cepat terelusi Gandjar dan Rohman, 2007).
Pemilihan metode ini untuk menetapkan kadar metanol dan etanol
didasarkan atas sifat fisika kimia dari metanol dan etanol. Metanol dan etanol
merupakan cairan yang mudah menguap, dimana metanol memiliki titik didih
63.5° - 65.7° C, sedangkan etanol memiliki titik didih 78° C (Depkes RI, 1995).
Sebelum dilakukan penetapan kadar menggunakan komponen kromatografi gas,
sampel didestilasi terlebih dahulu. Destilasi merupakan metode pemisahan
berdasarkan titik didih, dimana campuran senyawa dididihkan sehingga menguap
kemudian uap didinginkan kembali ke dalam bentuk cairan. Zat yang memiliki
titik didih lebih rendah akan menguap lebih dulu. Pada sampel minuman
beralkohol yang digunakan mengandung berbagai komponen tambahan seperti
gula, pengawet dan air. Untuk memisahkan metanol dan etanol dari campuran
senyawa lainnya. Dipasang alat destilasi kemudian sebanyak 25 mL sampel
ditambahkan dengan 25 mL WFI , larutan ditempatkan pada labu alas bundar
kemudian dipasang ke alat destilasi. Pada saat destilasi suhu diatur pada suhu
80oC dan tidak lebih dari 100oC. Hal ini bertujuan agar senyawa-senyawa
tambahan selain etanol dan metanol seperti air tidak ikut menguap karena dapat
menggangu hasil pemisahan. Destilasi dilakukan sampai diperoleh destilat
sebanyak 23 mL.

Untuk menentukan linearitas dilakukan pembuatan larutan seri s pada


konsentrasi 0,5%; 1%; 2%; 4%; 6%. Masing-masing sebanyak 0,25; 0,5; 1; 2 dan
3 mL dari larutan standar yang tersedia dengan konsentrasi 20% dimasukan ke
dalam vial kemudian ditambahkan WFI sampai 10mL. Selanjutnya larutan seri
disaring 2 kali dari konsentrasi paling rendah ke konsentrasi tinggi. Penyaringan
bertujuan untuk menghilangkan zat – zat pengotor yang terdapat pada larutan seri.
Larutan seri digunakan untuk memperoleh persamaan regresi linier yang
digunakan untuk menghitung kadar sampel.

Destilat yang diperoleh kemudian dihitung berat jenisnya. Penetapan


bobot jenis etanol dilakukan dengan menggunakan piknometer. Bobot piknometer
kosong yang digunakan sebesar 16,3127 gram, piknometer kemudian diisi dengan
WFI dan didapatkan bobot sebesar 26,0363 gram, selanjutnya piknometer
dikeringkan lalu diisi lagi dengan destilat kemudian ditimbang dan didapatkan
bobot sebesar 25,9707 gram. Dari perhitungan bobot jenis smpel, diketahui
sampel memiliki bobot jenis sebesar 0,966. Menurut farmakope 3, kadar etanol
yang memiliki bobot jenis 0,9950 adalah sebesar 3,4% v/v.

Tabel 7.1. Daftar Bobot Jenis dan Kadar Etanol (Depkes RI,1979)

Koreksi Bobot Jenis untuk Perbedaan Suhu 1º,


Kadar Etanol
Bobot berlaku untuk suhu antara
Jenis 10º dan 15º dan 20º dan 25º dan
% b/b % v/v
20º 20º 25º 30º

0.9910 5,0 6,4 0,00012 0,00018 0,00024 0,00028

0,9920 4,4 5,6 0,00012 0,00018 0,00024 0,00028

0,9930 3,8 4,8 0,00012 0,00018 0,00024 0,00028


0,9940 3,2 4,1 0,00012 0,00018 0,00024 0,00028

0,9950 2,7 3,4 0,00012 0,00018 0,00024 0,00028

Setelah didapat berat jenis, kemudian dilakukan penetapan kadar dengan


menggunakan kromatografi gas. Dibuat sampel dengan mengambil masing –
masing sebanyak 5 mL destilat ditambah dengan 5 mL WFI dan disaring 2 kali
dengan menggunakan penyaring kapiler, dilakukan pengenceran agar konsentrasi
tidak terlalu pekat sehingga dapat mengganggu proses pemisahan. Penyaringan
berfungsi untuk menghilangkan zat – zat pengotor yang dapat mengganggu
pemisahan.

Fase diam yang digunakan pada praktikum Fase diam yang digunakan
adalah capillary column RTX-WAX sedangkan gas pembawa yang digunakan
adalah helium. Detektor yang digunakan yaitu Flame Ionization Detektor (FID)
dengan gas pembakar hidrogen. Pada alat GC diatur suhu gas pembawa 1200 C,
tekanan 100 Kpa, aliran 61,3 mL/menit, suhu kolom 700C, suhu pada detector FID
1200C dengan aliran gas hydrogen 40mL/menit.

Setelah larutan seri dan sampel telah siap, syringe dicuci terlebih dahulu
dengan WFI untuk menghilangkan zat-zat pengotor yang masih terdapat pada
syringe. Kemudian dilakukan injeksi ke dalam kolom GC melalui injector port.
Pertama diinjeksikan 0,5µL larutan seri dari konsentrasi rendah hingga
konsentrasi tinggi. Hal ini dilakukan karena bila terdapat sisa larutan konsentrasi
lebih rendah pada syringe, konsentrasi larutan yang selanjutnya diinjeksikan yang
memiliki konsentrasi lebih tinggi tercampur tidak akan mempengaruhi kadarnya
secara signifikan sehingga tidak mengganggu proses analisis. Setelah injeksi
diperoleh data berupa AUC, waktu retensi, dan tinggi puncak.

Pada proses analisis diperoleh AUC etanol dari larutan standar dengan
konsentrasi 0,5%; 1%; 2%; 4%; 6% sebesar 479549,2 ; 688062,4 ; 387354,3 ;
924724,1 ; 1368809,7 dan diperoleh AUC metanol dari larutan standar dengan
konsentrasi 0,5%; 1%; 2%; 4%; 6% sebesar 156246,6 ; 147966,5 ; 187469,4 ;
546636,3 ; 878939,5 . Berdasarkan data AUC kontrol positif dan AUC etanol
yang dihasilkan dilakuka perhitungan PLA, sehingga dapat dibuat garis regresi
linier hubungan PLA dengan konsentrasi alrutan seri. Garis regresi dibuat dari 3
data terakhir karena pada data tersebut dihasilkan garis linier dengan nilai korelasi
0,999.

Waktu retensi methanol dari larutan standar dengan konsentrasi methanol


dan etanol 0,5%; 1%; 2%; 4%; 6% yang diperoleh 2,354 ; 2,333 ; 2,345 ; 2,319 ;
2,331 dan waktu retensi etanol dari larutan standar dengan konsentrasi methanol
dan etanol 0,5%; 1%; 2%; 4%; 6% yang diperoleh 2,488; 2,467 ; 2,479; 2,455;
2,67. Berdasarkan waktu retensi yang dihasilkan, dapat diamati bahwa peak I
untuk tiap-tiap kromatogram kromatografi gas adalah metanol, sedangkan pada
peak II adalah etanol. Metanol memiliki waktu retensi yang lebih cepat
dikarenakan suhu didihnya yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan etanol,
sehingga metanol memiliki waktu retensi yang lebih singkat menuju detektor.

Tinggi puncak methanol dari larutan standar dengan konsentrasi methanol


dan etanol 0,5%; 1%; 2%; 4%; 6% yang diperoleh ; 23174,0 ; 156679,1 ;
212694,7 ; 300253,3 dan Tinggi puncak etanol dari larutan standar dengan
konsentrasi methanol dan etanol 0,5%; 1%; 2%; 4%; 6% yang diperoleh
79482,4 ; 84506,8 ; 237853,8 ; 334382,1 ; 494540,7.

Dari analisis yang dilakukan pada seri 6% terdapat tailing pada peak
etanol dengan tailing factor sebesar 2,097. Ada 2 jenis puncak asimetris yakni
membentuk puncak yang berekor (tailing) dan adanya puncak pendahulu
(fronting). Baik tailing maupun fronting tidak dikehendaki saat dilakukan analisis
karena dapat menyebabkan pemisahan kurang baik dan data retensi kurang
reprodusibel (Gandjar dan Rohman, 2007). Terdapatnya tailing pada konsentrasi
6% peak etanol disebabkan karena terlalu pekatnya larutan seri 6% sehingga gas
pembawa tidak mampu membawa solut dengan sempurna.
Setelah larutan larutan seri diinjeksikan, selanjutnya dilakukan injeksi
larutan sampel dan kontrol positif. larutan sampel dinjeksikan sebanyak 0,5 µL.
Penginjeksian sampel diakukan 3 kali untuk menentukan presisinya. Pada proses
analisis diperoleh 4 peak pada pengulangan I, 3 peak pada pengulangan II dan 3
peak pada pengulangan III. Data sampel dan sampel yang diperoleh adalah
sebagai berikut:

Pengulanga Punca Waktu


AUC HETP N Tailling
n k Retensi

1 2,309 1506,8 0 26355,014 -

2 2,389 7646,3 - - -
1
3 2,445 598460,6 0 32303,541 2,101

4 4,501 1291,8 0 99611,931 1,110

1 2,294 8133,6 - - -
Sampel
2 2 2,342 9535,0 - - -

3 2,478 287871,3 0 43067,897 1,515

1 2,345 1966,8 0 21146,382 -

3 2 2,479 899112,3 0 25888,220 3,790

3 4,529 1965,0 0 75809,160 1,895

1 2,352 15603,8 0 14756,564 -


Kontrol
2 2,486 2825877,8 0 22490,548 2,467

Terdapat tailing pada beberapa peak disebabkan karena terlalu pekatnya


larutan sampel sehingga gas pembawa tidak mampu membawa solut dengan
sempurna.. Pada pengulangan I, senyawa etanol ditunjukkan oleh peak 3 dengan
AUC 598460,6 dan waktu retensi 2,445. Pada pengulangan II, senyawa etanol
ditunjukkan oleh peak 3 dengan nilai AUC 287871,3 dan waktu retensi 2,478.
Sedangkan pada pengulangan III, senyawa etanol ditunjukkan oleh peak 3 dengan
nilai AUC 899112,3 dan waktu retensi 2,479.

Selanjutnya dilakukan perhitungan Perbandingan Luas Area (PLA) seri


etanol dan sampel dengan kontrol positif. Pada seri 0,5% diperoleh PLA sebesar
10,02 ; seri 1% diperoleh PLA sebesar 9,482 ; seri 2% diperoleh PLA sebesar
12,01 ; seri 4% diperoleh PLA sebesar 35,03 ; seri 6% diperoleh PLA sebesar
56,32 ; Sampel pengulangan I diperoleh PLA sebesar 0,211, sampel pengulangan
II diperoleh PLA sebesar 0,010, dan sampel pengulangan III diperoleh PLA
sebesar 0,318. Dibuat sebuah garis regresi linier hubungan PLA dengan
konsentrasi. Data yang digunakan untuk menentukan garis linier adalah larutan
seri 2%, 4%, dan 6% karena kurva yang terbentuk dari tiga data ini menunjukkan
hubungan linearitas. Kurva garis regresi etanol adalah sebagai berikut:

Gambar kurva kalibrasi larutan seri etanol


Untuk menentukan kadar etanol pada sampel, nilai AUC dimasukkan
dalam persamaan linier dari kurva baku etanol yaitu y = 0,086x - 0,031. Kadar
etanol pada sampel yang diperoleh pada sampel pengulangan I yaitu 2,81 % v/v ,
pengulangan yaitu 0,476 v/v, dan pengulangan III 4,05 % v/v. Kadar rata-rata
yang diperoleh adalah 2,44 % v/v. Kurva baku etanol memiliki linieritas yang
baik yaitu memiliki regresi R2= 0,997 nilai regresi 0.9 - 1 menunjukan linieritas
kurva yang baik. Dari konsentrasi yang diperoleh dilakukan perhitungan
perolehan kembali serta nilai LOD dan LOQ untuk validasi data. Perolehan
kembali pada pengulangan I, II, III berturut turut adalah yaitu 59,7% ; 10% ;
86,1%.

Validasi pada praktikum ini dilakukan dengan linieritas, LOD & LOQ,
perolehan kembali. Pada linieritas ditentukan dari garis regresi yang dihasilkan,
dimana nilai korelasi menunjukkan nilai 0,997. Perolehan kembali pada
pengulangan I, II, III berturut turut adalah yaitu 59,7% ; 10% ; 86,1% dengan rata
rata 51,9 %. Dari hasil perolehan kembali hasil yang diperoleh belum akurat
karena perolehan kembali baru mencapai 51,9 %, LOD adalah batas deteksi
adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih
memberikan respon signifikan. Sedangkan LOQ adalah kuantitas terkecil analit
dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Harmita,
2004). Dari perhitungan LOD dan LOQ didapatkan nilai LOD sebesar 22,3 dan
LOQ sebesar 74,4.

VIII. KESIMPULAN

Pada praktikum penetapan kadar etanol dan metanol ini didapatkan kadar etanol
dalam sampel pengulangan I yaitu 2,81 % v/v , pengulangan yaitu 0,476 v/v, dan
pengulangan III 4,05 % v/v dengan rata-rata yang diperoleh adalah 2,44 % v/v.
Senyawa metanol tidak ditemukan dalam sampel manapun.
DAFTAR PUSTAKA

BPOM RI. 2010. Siker Informasi Keracunan (SIKer) Pedoman Penatalaksanaan


Keracunan Untuk Rumah Sakit. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia.

Day, R.A dan Underwood. 1987. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta: Erlangga.

Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen


Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

Gandjar, Ibnu Gholib, Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pardosi, Jasmer L. 2009. Perbandingan Metode Kromatografi Gas dan Berat


Jenis pada Penetapan Kadar Etanol. Medan: Departemen Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera
Utara.

Putro, A.N.H dan S.A. Ardhiany. 2010. Proses Pengambilan Kembali Bioetanol
Hasil Fermentasi dengan Metode Adsorpsi Hidrophobik. Semarang:
Jurusan Teknik Kima Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
USP. 1995. The United States Pharmacopeia Convention. USA: Twinbrook
ParkWay Rockville Inc.

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS FARMASI II


PENETAPAN KADAR METANOL DAN ETANOL DARI SAMPEL
MINUMAN BERALKOHOL (BIR BINTANG) DENGAN GC-FID

OLEH:

KELOMPOK 6 GOLONGAN I

Putu Pebri Cayana (1008505021)

Ni Wayan Restika Noviyanti (1008505022)

I Putu Gede Surya Dian Wiguna (1008505023)

Luh Rasmita Dewi (1008505024)


JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

2012

Anda mungkin juga menyukai