I. TUJUAN
1.1 Untuk mengetahui cara pengoperasian instrument Kromatografi Gas.
1.2 Untuk memahami cara kerja instrumen Kromatografi Gas untuk analisis
kualitatif dan kuantitatif.
1.3 Untuk menentukan kadar metanol dan etanol dalam sampel menggunakan instrumen
Kromatografi Gas.
Fase diam yang dipakai pada kolom kapiler dapat bersifat non polar, polar,
atau semipolar. Fase diam non polar yang paling banyak digunakan adalah metil
polisiloksan (HP-1; DB-1; SE-30; CPSIL-5) dan fenil 5%-metilpolisiloksan 95%
(HP-5; DB-5; SE-52; CPSIL-8). Fase diam semi polar adalah seperti fenil 50%-
metilpolisiloksan 50% (HP-17; DB-17; CPSIL-19), sementara itu fase diamyang
polar adalah seperti polietilen glikol (HP-20M; DB-WAX; CP-WAX; Carbowax-
20M) (Hendayana, 1994).
d. Detektor
Detektor merupakan perangkat yang diletakkan pada ujung kolom tempat
keluar fase gerak (gas pembawa) yang membawa komponen hasil pemisahan.
Detektor pada kromatografi adalah suatu sensor ellektronik yang berfungsi
mengubah sinyal gas pembawa dan komponen-komponen di dalamnya menjadi
sinyal elektronik. Sinyal elektronik detektor akan sangat berguna untuk analisis
kualitatif maupun kuantitatif terhadap komponen-komponen yang terpisah
diantara fase diam dan fase gerak. Detektor yang sering digunakan dalam
kromatografi gas antara lain:
- Detektor Hantar Panas (Termal Conductivity Detector=TCD)
Detektor ini didasarkan bahwa panas dihantarkan dari benda yang suhunya
tinggi ke benda lain disekelilingnya yang suhunya lebih rendah. Kecepatan
penghantaran panas ini tergantung susunan gas yang mengelilinginya. Jadi setiap
gas memiliki daya hantar panas yang kecepatannya merupakan fungsi dari laju
pergerakan molekul gas yang pada suhu tertentu merupakan fungsi dari berat
molekul gas. Gas yang mempunyai berat molekul rendah mempunyai daya hantar
yang lebih tinggi.
- Detektor Ionisasi Nyala (Flame Ionization Detector=FID)
Pada dasarnya senyawa organik bila dibakar akan terurai menjadi pecahan
sederhana bermuatan positif, yang biasanya terdiri atas satu karbon (C+). Pecahan
ini meningkatkan daya hantar disekitar nyala, tempat yang telah dipasangi
elektroda, dan peningkatan daya hantar ini dapat diukur dengan mudah dan
direkam. Dengan demikian gas efluen dari kolom dialirkan ke dalam nyala
hidrogen yang terbakar diudara. Sampel yang dibawa oleh gas pembawa mengalir
ke dalam nyala dan diuraikan menjadi ion. Ion ini akan meningkatkan daya hantar
dan karenanya akan meningkatkan arus listrik yang mengalir diantara dua
elektroda. Arus itu selanjutnya diperkuat diamplifier dan direkam oleh rekorder.
FID mengukur jumlah atom karbon dan bukan jumlah molekul seperti pada
detektor hantar panas. FID pada dasarnya bersifat umum untuk hampir semua
senyawa organik (senyawa fluoro tinggi dan karbon disulfida tidak terdeteksi).
Disamping itu respon FID sangat peka, dan linier ditinjau dari segi ukuran,
cuplikan, serta teliti (McNair and Bonelli, 1988). Pada pemakaian FID, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan: pertama, kecepatan alir O2 (udara) dan H2.
Untuk memperoleh tanggapan FID yang optimal sebaiknya kecepatan aliran H2 ±
30 ml/menit dan O2 sepuluh kalinya. Kedua adalah bahwa suhu Detektor ionisasi
nyala FID harus di atas 100°C. Hal ini bertujuan untuk mencegah kondensasi uap
air yang mengakibatkan FID berkarat atau kehilangan sensitivitasnya (McNair
and Bonelli, 1988).
- Detektor Tangkap Elektron (Electron Capture Detector=ECD)
Detektor ini dilengkapi dengan radio aktif yaitu tritium (3H) atau 63Ni, yang
diletakkan diantara dua elektroda. Dasar kerja detektor ini adalah penangkapan
elektron oleh senyawa yang mempunyai afinitas terhadap elektron bebas, yaitu
senyawa yang mempunyai unsur-unsur elektronegatif. Bila fase gerak (gas
pembawa N2) masuk ke dalam detektor maka sinar β akan mengionisasi molekul
N2 menjadi ion-ion N2+ dan menghasilkan elektron bebas yang akan bergerak ke
anoda dengan lambat.
- Detektor Nitrogen-Fosfor (Nitrogen Phosphorous Detector =NPD)
Pada prinsipnya NPD mirip dengan FID hanya saja fenomena mekanisme nyala
plasma belum jelas. NPD sangat selektif terhadap nitrogen dan fosofor karena
adanya elemen aktif di atas aliran kapiler yang terbakar oleh plasma (1600°C).
2.3 Minuman Beralkohol
Bahan utama dari pembuatan minuman berakohol adalah etanol yang
mempunyai batas 1%-55%, dan etanol yang ada dalam minuman beralkohol
tersebut bukan etanol yan digunakan atau untuk industri tetapi etanol yang
diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara
fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi dari buah dan biji- bijian
misalnya anggur, gandum, beras dan lain- lain. Dari informasi tersebut dapat
dipahami bahwa etanol merupakan bahan yang dapat digunakan untuk minuman
keras sedangkan metanol dilarang padahal kedua zat tersebut merupakan
golongan alkohol untuk digunakan atau ditambahkan dalam makanan atau
minuman termasuk minuman keras (Anonim b, 2009).
Golongan A : 1 – 5%
2.4 Metanol
Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, bau khas.
Kelarutan : Dapat bercampur dengan air, membentuk cairan jernih tidak
berwarna.
Bobot Jenis : (15,5O/15,5O) 0,796 sampai 0,798.
Jarak Didih : Tidak kurang dari 95% tersuling pada suhu antara 64,5O dan
65,5O.
Indeks Bias : 1,328 sampai 1,329 (Depkes RI, 1995).
- Alat-alat gelas
- Pemanas mantel
- Pipet volume
- Ball filler
- Botol vial
- Pipet tetes
3.2 Bahan
- Minuman beralkohol
- Aquadest
- Etanol standar
- Metanol standar
V. Skema Kerja
a. Destilasi
5.2 Pembuatan seri larutan standar etanol dan metanol 0,5%, 1%, 2%, 4%, dan
6%
Larutan standar 0,5%, 1%, 2%, 4%, dan 6% dipipet secara berurutan
diambil dari larutan induk etanol 20% v/v sebanyak: 0,25 ml, 0,5 ml, 1 ml,
2 ml dan 3 ml
Disiapkan sampel, larutan seri etanol dan metanol, dan larutan kontrol
positif, disaring dengan microfilter
Dilakukan hal yang sama untuk semua larutan yang digunakan dalam
analisis GC
Larutan seri merupakan campuran dari etanol dam methanol. Methanol memiliki
titik uap yang lebih rendah daripada etanol, sehingga methanol akan lebih cepat
melewati kolom dan waktu retensinya lebih kecil dari etanol. Dari hasil
pengukuran dengan kromatografi gas didapatkan dua puncak. Puncak 2 dari
masing-masing seri diduga sebagai puncak etanol karena memiliki waktu retensi
yang lebih lama daripada puncak 1 yang diduga methanol.
6.3 Tabel Hasil pengukuran larutan sampel dan kontrol positif dengan
kromatografi gas
2 2,389 7646,3 - - -
1
3 2,445 598460,6 0 32303,541 2,101
1 2,294 8133,6 - - -
Sampel
2 2 2,342 9535,0 - - -
Dari tabel dapat diketahui bahwa waktu retensi pada puncak 3 pengulangan
pertama, puncak 3 pengulangan 2, puncak 2 pengulangan 3, dan puncak 2 kontrol
yang mendekati waktu retensi etanol pada seri. Jadi puncak-puncak tersebut
diduga sebagai puncak dari etanol. Sedangkan waktu retensi puncak 2
pengulangan 1, puncak 2 pengulangan 2, puncak 1 pengulangan 3 diduga sebagai
puncak dari methanol karena memiliki waktu retensi yang hamper sama dengan
waktu retensi methanol pada seri maupun control.
6.4 Perhitungan bobot jenis destilat dan penetapan kadar etanol menurut bobot
jenis
Jawab :
W2 − W0
Bobot jenis ( ρ) =
W1 − W0
9,394 gram
=
9,722gram
= 0,966
Tabel 6.4. Daftar Bobot Jenis dan Kadar Etanol (Depkes RI,1979)
6.5 Perbandingan Luas Area (PLA) dan sampel dengan kontrol positif
• Seri 0,5%
• Seri 1%
• Seri 2%
• Seri 4%
• Seri 6%
• Sampel Pengulangan I
• Sampel Pengulangan II
Dari data di atas, dibuat sebuah garis regresi linier hubungan PLA dengan
konsentrasi. Data yang digunakan untuk menentukan garis linier adalah larutan
seri 2%, 4%, dan 6% karena ketiga data tersebut yang menunjukkan hubungan
linear. Kurva garis regresi etanol adalah sebagai berikut:
Persamaan regresi yang diperoleh menggunakan data-data tersebut adalah:
Sampel PLA
Pengulangan I 0,211
Pengulangan II 0,010
Dengan subtitusi nilai PLA pada persamaan garis linier, maka didapat:
0,242 = 0,086x
x = 2,81 %
Dengan subtitusi nilai PLA pada persamaan garis linier, maka didapat:
0,041 = 0,086x
x = 0,476 %
Dengan subtitusi nilai PLA pada persamaan garis linier, maka didapat:
0,349 = 0,086x
x = 4,05 %
• Kadar Rata-rata
= 2,44 %
% perolehan kembali =
= 59,7 %
% perolehan kembali =
= 10 %
% perolehan kembali =
= 86,1 %
= 51,9 %
y1 : PLA etanol sampel dengan etanol kontrol positif yang terukur alat
y2 = 0,086x - 0,031
y2 = 0,086(0,02) - 0,031
y2 = -0,0292
0,409965
=
= 0,6402
LOD =
= 22,3
LOQ =
= 74,4
VII. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan penetapan kadar etanol dan
metanol dalam sampel minuman beralkohol menggunakan metode kromatografi
gas dengan detector FID. Kromatografi gas merupakan teknik pemisahan yang
mana solut-solut yang mudah menguap dan stabil terhadap panas bermigrasi
melalui kolom yang mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang
tergantung pada rasio distribusinya. Pada umumnya, solut akan terelusi
berdasarkan pada peningkatan titik didihnya, kecuali jika ada interaksi khusus
antara solut dengan fase diam. Pemisahan pada kromatografi gas didasarkan pada
titik didih suatu senyawa dikurangi dengan semua interaksi yang mungkin terjadi
antara solut dengan fase diam. Fase gerak yang berupa gas akan mengelusi solut
dari ujung kolom lalu menghantarkannya ke detektor. Penggunaan suhu yang
meningkat (pada kisaran 50-350°C) bertujuan untuk menjamin bahwa solut akan
menguap dan cepat terelusi Gandjar dan Rohman, 2007).
Pemilihan metode ini untuk menetapkan kadar metanol dan etanol
didasarkan atas sifat fisika kimia dari metanol dan etanol. Metanol dan etanol
merupakan cairan yang mudah menguap, dimana metanol memiliki titik didih
63.5° - 65.7° C, sedangkan etanol memiliki titik didih 78° C (Depkes RI, 1995).
Sebelum dilakukan penetapan kadar menggunakan komponen kromatografi gas,
sampel didestilasi terlebih dahulu. Destilasi merupakan metode pemisahan
berdasarkan titik didih, dimana campuran senyawa dididihkan sehingga menguap
kemudian uap didinginkan kembali ke dalam bentuk cairan. Zat yang memiliki
titik didih lebih rendah akan menguap lebih dulu. Pada sampel minuman
beralkohol yang digunakan mengandung berbagai komponen tambahan seperti
gula, pengawet dan air. Untuk memisahkan metanol dan etanol dari campuran
senyawa lainnya. Dipasang alat destilasi kemudian sebanyak 25 mL sampel
ditambahkan dengan 25 mL WFI , larutan ditempatkan pada labu alas bundar
kemudian dipasang ke alat destilasi. Pada saat destilasi suhu diatur pada suhu
80oC dan tidak lebih dari 100oC. Hal ini bertujuan agar senyawa-senyawa
tambahan selain etanol dan metanol seperti air tidak ikut menguap karena dapat
menggangu hasil pemisahan. Destilasi dilakukan sampai diperoleh destilat
sebanyak 23 mL.
Tabel 7.1. Daftar Bobot Jenis dan Kadar Etanol (Depkes RI,1979)
Fase diam yang digunakan pada praktikum Fase diam yang digunakan
adalah capillary column RTX-WAX sedangkan gas pembawa yang digunakan
adalah helium. Detektor yang digunakan yaitu Flame Ionization Detektor (FID)
dengan gas pembakar hidrogen. Pada alat GC diatur suhu gas pembawa 1200 C,
tekanan 100 Kpa, aliran 61,3 mL/menit, suhu kolom 700C, suhu pada detector FID
1200C dengan aliran gas hydrogen 40mL/menit.
Setelah larutan seri dan sampel telah siap, syringe dicuci terlebih dahulu
dengan WFI untuk menghilangkan zat-zat pengotor yang masih terdapat pada
syringe. Kemudian dilakukan injeksi ke dalam kolom GC melalui injector port.
Pertama diinjeksikan 0,5µL larutan seri dari konsentrasi rendah hingga
konsentrasi tinggi. Hal ini dilakukan karena bila terdapat sisa larutan konsentrasi
lebih rendah pada syringe, konsentrasi larutan yang selanjutnya diinjeksikan yang
memiliki konsentrasi lebih tinggi tercampur tidak akan mempengaruhi kadarnya
secara signifikan sehingga tidak mengganggu proses analisis. Setelah injeksi
diperoleh data berupa AUC, waktu retensi, dan tinggi puncak.
Pada proses analisis diperoleh AUC etanol dari larutan standar dengan
konsentrasi 0,5%; 1%; 2%; 4%; 6% sebesar 479549,2 ; 688062,4 ; 387354,3 ;
924724,1 ; 1368809,7 dan diperoleh AUC metanol dari larutan standar dengan
konsentrasi 0,5%; 1%; 2%; 4%; 6% sebesar 156246,6 ; 147966,5 ; 187469,4 ;
546636,3 ; 878939,5 . Berdasarkan data AUC kontrol positif dan AUC etanol
yang dihasilkan dilakuka perhitungan PLA, sehingga dapat dibuat garis regresi
linier hubungan PLA dengan konsentrasi alrutan seri. Garis regresi dibuat dari 3
data terakhir karena pada data tersebut dihasilkan garis linier dengan nilai korelasi
0,999.
Dari analisis yang dilakukan pada seri 6% terdapat tailing pada peak
etanol dengan tailing factor sebesar 2,097. Ada 2 jenis puncak asimetris yakni
membentuk puncak yang berekor (tailing) dan adanya puncak pendahulu
(fronting). Baik tailing maupun fronting tidak dikehendaki saat dilakukan analisis
karena dapat menyebabkan pemisahan kurang baik dan data retensi kurang
reprodusibel (Gandjar dan Rohman, 2007). Terdapatnya tailing pada konsentrasi
6% peak etanol disebabkan karena terlalu pekatnya larutan seri 6% sehingga gas
pembawa tidak mampu membawa solut dengan sempurna.
Setelah larutan larutan seri diinjeksikan, selanjutnya dilakukan injeksi
larutan sampel dan kontrol positif. larutan sampel dinjeksikan sebanyak 0,5 µL.
Penginjeksian sampel diakukan 3 kali untuk menentukan presisinya. Pada proses
analisis diperoleh 4 peak pada pengulangan I, 3 peak pada pengulangan II dan 3
peak pada pengulangan III. Data sampel dan sampel yang diperoleh adalah
sebagai berikut:
2 2,389 7646,3 - - -
1
3 2,445 598460,6 0 32303,541 2,101
1 2,294 8133,6 - - -
Sampel
2 2 2,342 9535,0 - - -
Validasi pada praktikum ini dilakukan dengan linieritas, LOD & LOQ,
perolehan kembali. Pada linieritas ditentukan dari garis regresi yang dihasilkan,
dimana nilai korelasi menunjukkan nilai 0,997. Perolehan kembali pada
pengulangan I, II, III berturut turut adalah yaitu 59,7% ; 10% ; 86,1% dengan rata
rata 51,9 %. Dari hasil perolehan kembali hasil yang diperoleh belum akurat
karena perolehan kembali baru mencapai 51,9 %, LOD adalah batas deteksi
adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih
memberikan respon signifikan. Sedangkan LOQ adalah kuantitas terkecil analit
dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Harmita,
2004). Dari perhitungan LOD dan LOQ didapatkan nilai LOD sebesar 22,3 dan
LOQ sebesar 74,4.
VIII. KESIMPULAN
Pada praktikum penetapan kadar etanol dan metanol ini didapatkan kadar etanol
dalam sampel pengulangan I yaitu 2,81 % v/v , pengulangan yaitu 0,476 v/v, dan
pengulangan III 4,05 % v/v dengan rata-rata yang diperoleh adalah 2,44 % v/v.
Senyawa metanol tidak ditemukan dalam sampel manapun.
DAFTAR PUSTAKA
Day, R.A dan Underwood. 1987. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta: Erlangga.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Putro, A.N.H dan S.A. Ardhiany. 2010. Proses Pengambilan Kembali Bioetanol
Hasil Fermentasi dengan Metode Adsorpsi Hidrophobik. Semarang:
Jurusan Teknik Kima Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
USP. 1995. The United States Pharmacopeia Convention. USA: Twinbrook
ParkWay Rockville Inc.
OLEH:
KELOMPOK 6 GOLONGAN I
UNIVERSITAS UDAYANA
2012