Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI

EKOSISTEM HUTAN TURGO

PRODI BIOLOGI (B)


KELOMPOK 5

Disusun Oleh :
1. LINDA ARUM SARI (16308144015)
2. SUMIYATI (16308141046)
3. ADINDA YUSLIA RUKMANANDITA (16308144001)
4. DIAH AYURETNANI HANDAYANI (16308144016)
5. SYARAH SABILA RUSDA (16308144035)

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017
BAB I
PENDHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan merupakan satu kesatuan utuh dalam sistem kehidupan. Hutan terdiri atas
hutan alam dan hutan tanaman, sebagian besar berbentuk hutan alam hujan tropis
yang selalu hijau sepanjang tahun, dan memiliki kekayaan ekonomis, ekologis yang
tak ternilai besarnya. Keseluruhan hutan tersebut berfungsi sebagai ekosistem.
Ekosistem terbentuk karena adanya hubungan timbal balik antara faktor biotik dan
abiotik.
Sedangkan Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri
dari beberapa jenis tumbuhan yang hidup bersama-sama pada suatu tempat misalnya
di hutan turgo. Dalam mekanisme kehidupan bersama, pasti terdapat interaksi yang
erat, antara satu individu dengan individu yang lain. Sehingga vegetasi tidak hanya
memuat kumpulan dari individu-individu tumbuhan melainkan membentuk suatu
kesatuan di mana individu-individu lainya akan saling bergantung, sehinggasuatu
komunitas tumbuh-tumbuhan. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda dengan
vegetasi di tempat lain karena berbeda pula faktor lingkungannya.
Analisis vegetasi dapat di gunakan sebagai alat untuk mengetahui informasi
tentang komponen-komponen dari suatu ekosistem. Analisis vegetasi tumbuhan
merupakan suatu cara mempelajari komposisi jenis dan struktur vegetasi. Unsur
struktur vegetasi salah satunya adalah bentuk pertumbuhan. Untuk keperluan
analisis vegetasi hutanTurgo kami membutuhkan data-data jenis-jenis tumbuhan
semak, herba dan tegakan yang berada dihutan Turgo, komponen abiotik seperti
kelembapan udara, kelembapan tanah, pH tanah, arah angin, tekstur tanah dll.
Sehingga kami dapat menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas
hutan Turgo tersebut.
Suatu ekosistem pasti mengalami sebuah perubahan. Perubahan ini terjadi baik
pada komponen biotik maupuun abiotik, hal ini dikarenakan keduanya saling
erhubungan. Perubahan ekosistem dari yang awalnya tidak ada tumbuhan hidup
kemudian ekosistem tersebut di tumbuhi oleh tumbuhan sampai seimbang mdi
sebut dengan suksesi. Kegiatan study lapangan di hutan Turgo kami di kelompokan
menjadi 3 kelompok yaitu kelompok semak, kelompok tegakan dan kelompok
herba. Sehingga kami dapat memperoleh data yang dapat di gunakan untuk
mengamati perubahan suksesi, mengalisis vegetasi dll. Dalam kegiatan study
lapangan ini kami menggunakan metode Quadrat Sampling Techniquest.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan antara komponen penyusun ekosistem d hutan Turgo?
2. Bagaimana struktus vegetasi yang ada di hutan Turgo?
3. Bgaimana perubahan ekosistem atau suksesi yang terjadi di hutan Turgo?

C. Tujuan
1. Mengenal komponen penyusun ekosistem baik biotik maupun abiotik.
2. Mengklasifikasi komponen ekosistem yang teridentifikasi
3. Mencari hubungan ntara komonen-komponen penyusun ekosistem
4. Mengevaluasi ekosistem yang di pelajari, bedasarkan kelengkapan komponen
penyusunya.
5. Mempelajari struktur vegetasi dan membuat intepretasi fungsi komunitas
tumbuhan yang dipelajari
6. Mempelajari suksesi (perubahan komunitas) di hutan Turgo.
BAB II
METODE PENELITIAN
A. Cara kerja :
1. Menentukan Lokasi studi yaitu di hutan pinus dan mengamati tumbuhan
semak.
2. Menentukan luas minimal plot
3. Menentukan jumlah minimal plot
4. Menentukan luas penutupan plot
5. Mengukur factor abiotik
6. Pembuatan plot dengan luas minimal dan jumlah minimal plot
7. Menghitung densitas, frekuensi, dominansi, nilai penting dan index shanon.

a. Menentukan luas minimum plot


1. Tentukan lokasi yang luasnya memungkinkan dapat dilakukan perluasan
plot pengamatan.
2. Buatlah plot dengan ukuran 1 x 1 m.
3. Catat dan amati ciri-ciri spesies tumbuhan serta hitung spesies tumbuhan
yang ada pada luas tersebut.
4. Perluas plot dua kali luas sebelumnya yaitu 1 x 2 m dan hitung kembali
tambahan spesies yang baru..
5. Hal yang sama dilakukan untuk perbesaran plot selanjutnya yaitu 2 x 2 m, 2
x 4 m, 4 x 4 m dan seterusnya sampai tidak ada penambahan spesies
tumbuhan baru sebanyak 3 kali.
6. Hitung jumlah spesies yang ada.
7. Susunlah perluasan dan kuadrat dalam tabel dan gambarkan kurva
hubungan luas kuadrat dengan jenisnya. Kurva ini disebut kurva luas
minimal.

b. Menentukan jumlah minimum plot


1. Buatlah plot secara acak dengan luas minimal yang telah didapat.
2. hitung spesies tumbuhan pada plot tersebut.
3. Buatlah plot terus hingga tidak ada tambahan spesies tumbuhan baru
sebanyak 3 kali.
4. Hitung jumlah spesies setiap plot.
5. Buatlah tabel dan gambarkan kurva hubungan jumlah spesies dan jumlah
plot. Kurva ini disebut kurva jumlah minimal plot.

Contoh plot minimal area


Luas minimum plot
N o. Ukuran plot Jumlah spesies
1 1x1 m 1
2 1x2 m 2
3 2x2 m 2
4 2x4 m 3
5 4x4 m 3
6 4x6 m 5
7 6x6 m 5
8 6x8 m 5

Kurva luas minimum plot


6

4
Jumlah spesies

3 jumlah spesies

0
0 10 20 30 40 50 60 70
luas plot
Sehingga luas minimum plot yang didapatkan adalah seluas 4x4 m.
a. Membuat plot
1. Buatlah plot dengan luas minimal dan jumlah minimal plot yang telah
ditentukan
2. Identifikasi dan hitung spesies tumbuhan pada setiap plot
3. Lakukan pembuatan plot hingga spesies tumbuhan pada saat pembuatan luas
minimal ditemukan semua.
4. Buatlah tabel nama spesies dan jumlah spesies yang ditemukan pada setiap
plot.
5. Hitunglah densitas, dominansi, frekuensi, nilai penting, index keragaman.
Luas minimum plot
No. Ukuran plot Jumlah spesies
1 1x1 m 1
2 1x2 m 2
3 2x2 m 2
4 2x4 m 3
5 4x4 m 3
6 4x6 m 5
7 6x6 m 5
8 6x8 m 5

Kurva penentuan jumlah minimum plot

8
7
6
Jumlah spesies

5
4 jumlah spesies
Log. (jumlah spesies)
3
2
1
0
0 1 2 3 4 5 6
Jumlah plot
Sehingga jumlah minimum plot yang didapatkan adalah 2 plot. Namun,
pada studi lapangan ini kelompok 5 menggunakan jumlah plot sebanyak 3 plot.

b. Menentukan luas penutupan


1. Mengamati masing-masing spesies yang ada di dalam plot.
2. Menghitung jumlah spesies 1 yang ada dalam plot 1.
3. Menghitung luas penutupan spesies 1 dengan presentase.
4. Melakukan langkah-langkah 1 sampai 3 pada spesies 2 dan seterusnya.
5. Menggambar peta persebaran dalam plot 1
6. Melakukan langkah-langkah diatas pada plot-plot selanjutnya
c. Mengukur faktor abiotik
dalam penelitian ini terdapat beberapa faktor abiotik yang harus di ukur
menggunakan alat ukur yang telah tersedia dan pernah dipelajari sebelumnya,
antara lain:
1. Mengukur kelembaban udara menggunakan hygrometer.
2. Mengukur intensitas cahaya menggunakan lux meter.
3. Mengukur kecepatan angin menggunakan anemometer.
4. Mengukur suhu udara menggunakan thermometer ruangan.
5. Mengukur kelembaban tanah dan pH tanah menggunakan soil tester.
6. Menggukur struktur tanah dengan mengendapkan tanah terlarut dan
dihitung menggunakan segitiga tekstur.
BAB III
LANDASAN TEORI
A. Kawasan Turgo

Pengelolaan kawasan Gunung Merapi terbagi menjadi beberapa fungsi


konservasi sebagai Hutan Lindung, Cagar Alam, dan Taman Wisata Alam. Untuk
mengembangkan pengelolaan kawasan konservasi ini, pemerintah menggagas
perubahan status kawasan menjadi taman nasional pada tahun 2001
(Kuswijayanti:2011). Salah satu kawasan dari hutan lindung adalah wilayah Turgo,
Turgo merupakan dataran tinggi yang berada di lereng Gunung Merapi yang teletak
di Kecamatan Pakembinangun, Kab. Sleman, D.I. Yogyakarta. Sebagai kawasan
hutan lindung, diwilayah turgo memiliki vegetasi yang khas yang dapat
menyesuaikan dengan kondisi disana. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh adanya
faktor bencana alam, mengingat pernah terjadinya erupsi Gunung Merapi yang
sangat mempengaruhi vegetasi seperti terseleksinya spesies asli dan munculnya
spesies baru di wilayah Turgo.
Gunawan, H., menyatakan dalam bukunya Restorasi Ekosistem Gunung Merapi
Pasca Erupsi (2013:8-10) bahwa erupsi Gunung Merapi menyebabkan kerusakan
ekosistem hutan mulai dari tingkat ringan sampai parah. Kerusakan ini
menyebabkan terganggunya proses-proses Kehidupan dalam ekosistem seperti
rantai makanan dan siklus hidrologi. Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit, dari
luasan 6.145,05 Ha, ekosistem hutan yang mengalami rusak parah 12,48%.
Pada areal dengan kerusakan parah tidak dilakukan analisis vegetasi karena
seluruh vegetasi hilang akibat awan panas. Dari tabel di atas tampak bahwa erupsi
mengakibatkan menurunnya indeks keragaman jenis (H') pohon sebanyak 16% -
18% pada kerusakan ringan dan 18% pada kerusakan sedang bila dibandingkan
dengan referensi ekosistem tak terdampak. Sementara areal rusak berat, vegetasi
yang hilang sama sekali (indeks keragaman nol) dan hanya berupa hamparan pasir.
Kekayaan jenis dari suatu luasan petak contoh tertentu juga mengalami penurunan
dari 20 jenis pada petak referensi menjadi 8- 12 jenis atau 40%-60% lebih sedikit
pada kerusakan ringan dan hanya 9 jenis pada petak dengan kerusakan sedang atau
45% lebih sedikit dari petak referens.
Secara umum tampak bahwa erupsi Gunung Merapi memberikan dampak
terhadap vegetasi dengan tingkat kerusakan yang bervariasi. Parameter yang dapat
dilihat dari vegetasi sebagai indikator kerusakan ekosistem adalah jumlah jenis dan
indeks keragaman jenis Shannon Wienner (H'). Secara umum erupsi menyebabkan
penurunannya jumlah jenis per satuan luas dan menurunkan indeks keragaman
jenis vegetasi (Gunawan, H. 2013: 14).
Ekosistem memiliki daya lenting (resiliensi) yaitu kemampuan memulihkan
dirinya sendiri secara alami setelah mengalami gangguan. Demikian halnya dengan
ekosistem Gunung Merapi, meskipun sebagian areal TNGM mengalami kehilangan
vegetasi dan menjadi hamparan abu vulkanik, namun masih ada ekosistem hutan
yang utuh yang tidak terkena dampak erupsi atau hanya mengalami kerusakan
ringan dan sedang. Vegetasi hutan yang tersisa tersebut memiliki pohon-pohon
yang menjadi sumber benih bagi rekolonisasi areal terbuka di dekatnya. Proses
rekolonisasi areal terbuka dapat terjadi karena adanya proses pemencaran biji
secara alami. Dengan demikian maka dapat terjadi resortasi ekosistem sehingga
dapat teramati kembali analasis vegetasi yang berada di kawasan hutan lindung
Turgo.

B. Restorasi Ekosistem dan Analisis Vegetasi

Seperti yang kita ketahui sutau kawasan terdampak dari bencana alam akan
mengalami kerusakan yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem karena
terjadi nya seleksi alam, oleh karena itu perlu dilakukannya restorasi. Restorasi
ekosistem merupakan proses pemulihan suatu ekosistem yang telah terdegradasi,
rusak atau musnah ke kondisi awal atau menyerupai kondisi semula Ekosistem
dikatakan pulih kembali ketika memiliki cukup sumberdaya biotik dan abiotik
untuk terus berkembang tanpa bantuan atau campur tangan manusia serta dapat
melestarikan fungsi dan strukturnya sendiri dan memiliki resiliensi terhadap
tekanan dan gangguan lingkungan (SER Primer, 2004).
Dalam pendekatan restorasi ekosistem hutan, masyarakat dilibatkan untuk
mengidentifikasi dan menetapkan secara tepatpraktek - praktek penggunaan lahan
yang akan membantu pemulihan fungsi ekosistem hutan secara keseluruhan. Dalam
hal ini difokuskan pada pemulihan fungsifungsi hutan pada level lanskap untuk
optimalisasi fungsi ekosistem hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat
sekitarnya.
Jika dilihat dari letak lintang, hutan turgo merupakan hutan hujan tropika
yang merupakan komunitas tumbuhan yang bersifat selalu hijau, selalu basah
dengan tinggi tajuk sekurang-kurangnya 30 m serta mengandung spesies-spesies
efipit berkayu dan herba yang bersifat efipit. Hal serupa juga diutarakan oleh
Richard (1966) yang menjelaskan bahwa salah satu ciri penting dari hutan hujan
tropika adalah adanya tumbuhan berkayu, tumbuhan pemanjat dan efipit berkayu
dalam berbagai ukuran.
Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon
den mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan
(Soerianegara & Indrawan 2002). Menurut Departemen Kehutanan (1992), hutan
ialah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan
merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya atau
ekosistem.
Keanekaragaman (Indeks Diversitas) Keragaman jenis adalah sifat
komunitas yang memperlihatkan tingkat keanekaragaman jenis organisme yang ada
didalamnya. Untuk memperoleh keanekaragaman jenis cukup diperlukan
kemampuan mengenal atau membedakan jenis meskipun tidak dapat
mengidentifikasi jenis hama (Krebs, 1978).
Indeks Keanekaragaman dapat digunakan untuk menyatakan hubungan kelimpahan
spesies dalam komunitas. Keanekaragaman spesies terdiri dari jumlah spesies
dalam komunitas (kekayaan spesies) dan kesamaan spesies. Kesamaan
menunjukkan bagaimana kelimpahan spesies itu (jumlah individu, biomassa,
penutup tanah, dsb) tersebar antara banyak spesies itu. Contohnya, pada suatu
komunitas terdiri dari 10% spesies, jika 90% adalah 1 spesies dan 10% adalah 9
jenis yang tersebar, kesamaan disebut rendah. Sebaliknya jika masingmasing
spesies jumlahnya 10%, kesamaannya maksimum. Beberapa tahun kemudian
muncul penggolongan indeks atas indeks kekayaan dan indeks kesamaan. Setelah
itu digabungkan menjadi Indeks Keanekaragaman dengan variabel yang
menggolongkan struktur komunitas seperti jumlah spesies, kelimpahan relarif
spesies (kesamaan), homogenitas dan ukuran dari area sampel.
1) Bentuk Hidup
Klasifikasi dunia tumbuhan yang didasarkan atas letak kuncup pertumbuhan
terhadap permukaan tanah. Raunkiaer dalam Suwasono (2012) membagi dunia
tumbuhan ke dalam 5 golongan yaitu :
1. Phanerophyte (P)
Merupakan kelompok tumbuhan yang mempunyai letak titik kuncup
pertumbuhan (kuncup perenating) minima l25 cm di atas permukaan tanah. Ke
dalam kelompok tumbuhan ini termasuk semua tumbuhan berkayu, baik pohon,
perdu, semak yang tinggi, tumbuhan yang merambat berkayu, epifit dan batang
succulen yang tinggi.
2. Chamaeophyte (Ch)
Kelompok tumbuhan ini juga merupakan tumbuhan berkayu, tetapi letak
kuncup pertumbuhannya kurang dari 25 cm di atas permukaan tanah. Ke dalam
kelompok tumbuhan ini termasuk tumbuhan setengah perdu atau suffruticosa
(perdu rendah kecil, bagian pangkal berkayu dengan tunas berbatang basah),
stoloniferus, sukulen rendah dna tumbuhan berbentuk bantalan. Chamaeophyte
juga digolongkan dalam beberapa kelompok yaitu :
3. Hemycryptophyte (H) Tumbuhan kelompok ini mempunyai titik kuncup
pertumbuhan tepat di atas permukaan tanah. Tumbuhan herba berdaun lebar
musiman, rerumputan dan tumbuhanroset termasuk dalam kelompok
Hemycryptophyte. Tumbuhan ini hidup di permukaan tanah, rumput-rumput,
begitu pula tunas dan batang terlindung oleh tanah dan bahan-bahan mati
4. Cryptophyte (Cr)
Titik kuncup pertumbuhan berada di bawah tanah atau di dalam air. Dalam
kelompok ini termasuk tumbuhan umbi,rimpang, tumbuhan perairan emergent,
mengapung dan berakar pada air. Kelompok tumbuhan ini kebanyakan
memiliki cadangan makanan yang tertanam dalam tanah atau substrat
tumbuhnya.
5. Therophyte (Th)
Therophyte meliputi semua tumbuhan satu musim yang pada kondisi
lingkungan tidak menguntungkan titik pertumbuhan berupa embrio dalam biji.
Meliputi tumbuhan semusim dan organ reproduksinya berupa biji,
keabadiannya terbesar lewat embrio dalam biji. Biasanya dalam pengungkapan
vegetasi berdasarkan klasifikasi Raunkiaer, vegetasi dijabarkan dalam bentuk
spektrum yang menggambarkan jumlah setiap tumbuhan untuk setiap bentuk
tadi. Hasilnya akan memperlihatkan perbedaan struktur tumbuhan untuk
daerah-daerah dengan kondisi regional tertentu. Dengan demikian sifat klimati
habitat yang berbeda tercermin oleh karakteristik fisiognomi anggota
komunitas dan karakteristik akan diturunkan pada bentuk struktur yang dikenal
dengan life form suatu jenis. Perbandingan bentuk kehidupan (lifeform dua
atau lebih komunitas akan mengindikasikan sifat klimatik penting yang
mengendalikan komposisi komunitas. Sifat komunitas terhadap berbagai faktor
lingkungan yang mengendalikan ruang (yang mengendalikan nilai penutupan)
dan hubungan kompetitif komunitas tersebut.
Dalam ekosistem alami semua makhluk hidup berada dalam keadaan
seimbang dan saling mengendalikan sehingga tidak terjadi hama. Di ekosistem
alamiah keragaman jenis sangat tinggi yang berarti dalam setiap kesatuan ruang
terdapat flora dan fauna tanah yang beragam. Sistem pertanaman yang
beranekaragam berpengaruh kepada populasi spesies hama (Oka, 1995).
Menurut Krebs (1978), ada 6 faktor yang saling berkaitan menentukan
derajat naik turunnya keragaman, jenis yaitu :
a. Waktu, keragaman komunitas bertambah sejalan waktu, berarti
komunitas tua yang sudah lama berkembang, lebih banyak terdapat
organisme dari pada komunitas muda yang belum berkembang.
Waktu dapat berjalan dalam ekologi lebih pendek atau hanya sampai
puluhan generasi.
b. Heterogenitas ruang, semakin heterogen suatu lingkungan fisik
semakin kompleks komunitas flora dan fauna disuatu tempat tersebar
dan semakin tinggi keragaman jenisnya.
c. Kompetisi, terjadi apabila sejumlah organisme menggunakan sumber
yang sama yang ketersediannya kurang, atau walaupun
ketersediannya cukup, namun persaingan tetap terjadi juga bila
organisme-organisme itu memanfaatkan sumber tersebut, yang satu
menyerang yang lain atau sebaliknya.
d. Pemangsaan, untuk mempertahankan komunitas populasi dari jenis
persaingan yang berbeda di bawah daya dukung masing-masing selalu
memperbesar kemunginan hidup berdampingan sehingga
mempertinggi keragaman. Apabila intensitas dari pemangsaan terlalu
tinggi atau rendah dapat menurunkan keragaman jenis.
e. Kestabilan iklim, makin stabil, suhu, kelembaban, salinitas, pH dalam
suatu lingkungan tersebut. Lingkungan yang stabil, lebih
memungkinkan keberlangsungan evolusi.
f. Produktifitas, juga dapat menjadi syarat mutlak untuk
keanekaragaman yang tinggi. Keenam faktor ini saling berinteraksi
untuk menetapkan keanekaragaman jenis dalam komunitas yang
berbeda. Keanekaragaman spesies sangatlah penting dalam
menentukan batas kerusakan yang dilakukan terhadap sistem alam
akibat turut campur tangan manusia.
Keanekaragaman tanaman merupakan faktor yang mempengaruhi
tingginya keanekaragaman individu-individu yang ada didalamnya,
semakin tinggi keragaman ekosistem dan semakin lama keragaman ini
tidak diganggu oleh manusia, semakin banyak pula interaksi internal yang
dapat dikembangkan untuk meningkatkan stabilitas serangga. Hasil studi
interaksi tanaman-gulma serangga diperoleh bahwa gulma mempengaruhi
keragaman dan keberadaan serangga herbivora dan musuh-musuh
alaminya dalam system pertanian. Bunga gulma tertentu memegang
peranan penting sebagai sumber pakan parasitoid dewasa yang dapat
menekan populasi serangga hama (Altieri, 1999).
2) Faktor Biotik dan Abiotik
Faktor biotik dapat berupa pengaruh tumbuhan lain, organisme
mikrobia, binatang dan dan juga budaya yang biasanya menjadi faktor
penting dalam terjaganya atau rusaknya kawasan hutan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa kasus kerusahakan hutan yang terjadi sampai sekarang
ini sebagian besar bersumber pada perilaku manusia yang tidak
bertanggung jawab dan tidak perduli terhadap lingkungan sekitar (Keraf,
2006) Faktor abiotik berpengaruh terhadap ketidak hadiran atau
kehadiran, kesuburan atau kelemahan dan keberhasilan atau kegagalan,
sehingga lingkungan di sekitar naungan pohon dapat mempengaruhi
kehidupan organisme yang ada di bawahnya (Polunin, 1990).
Faktor abiotik yang mempengaruhi tumbuhan diantaranya adalah
cahaya, derajat keasaman (pH) tanah, suhu atau temperatur kelembaban
tanah dan curah hujan. Cahaya merupakan faktor esensial untuk
fotosintetis dan beberapa proses reproduksi, banyaknya cahaya pada suatu
tempat bergantung pada lamanya penyinaran, agihan waktu, intensitas
cahaya dan kualitas cahaya yang diterima (Polunin, 1990). Tumbuhan
tanggap akan berbagai panjang gelombang sinar, dimana laju fotosintetis
bervareasi dengan panjang gelombang yang berbeda (Odum, 1998).
Cahaya merupakan faktor pembatas, jumlah cahaya yang menembus
melalui sudut hutan akan menentukan lapisan atau tingkatan hutan yang
terbentuk oleh pepohonannya, keadaan ini mencerminkan kebutuhan 2
tumbuhan terhadap cahaya yang berbeda-beda. Cahaya mempunyai
pengaruh baik lansung maupun tidak langsung, pengaruh pada
metabolisme secara langsung melalui fotosintetis serta secara tidak
langsung melalui pertumbuhan dan perkembangan. Cahaya juga memiliki
peranan penting dalam penyebaran dan pembungaan tumbuhan,
kebutuhan cahaya untuk masing-masing jenis tumbuhan berbeda-beda
tergantung pada jenisnya (Fitter, 1992) Pertumbuhan tumbuhan juga
dipengaruhi pH tanah, tanah yang berada di daerah beriklim basah
memliki pH yang rendah, dengan berjalannya waktu tingkat keasaman
tanah tersebut semakin meningkat. Sebaliknya, tanah yang berada di
daerah yang beriklim kering memiliki pH yang tinggi, dikarenakan
penyerapan unsur-unsur basa oleh tanah tersebut. pH tanah hanya
merupakan ukuran intensitas keasaman, bukan kapasitas dan jumlah
unsur hara (Darmawijaya, 1990 dalam Wijayanto 2012).
Menurut Krebs (1978), pH tanah merupakan faktor utama yang
mempengaruhi distribusi tumbuhan, untuk menciptakan pertumbuhan dan
reproduksi optimal dari tumbuhan diperlukan pH tertentu. pH yang
dibutuhkan oleh tumbuhan untuk dapat tumbuh dan bereproduksi secara
optimal adalah 6,5, dikarenakan pada pH ini dapat memberikan
ketersediaan unsur hara yang besar untuk pertumbuhan dan reproduksi
tumbuhan. Nilai pH tanah mempengaruhi ketersediaan N, P, K, Ca dan
unsur-unsur lainnya. Tanah disebut asam apabila pHnya kurang dari 7,
netral bila sama dengan 7 dan basa bila lebih dari 7 (Buckman, dan
Brady, 1982 dalam Wijayanto, 2012) Suhu atau temperatur sangat
penting, karena suhu menentukan kecepatan reaksi-reaksi dan kegiatan-
kegiatan kimiawi yang mencakup kehidupan. Tumbuhan yang
beranekaragam teradaptasi secara berbeda-beda terhadap keadaan suhu
berdasarkan faktor pembatas masing-masing spesies terhadap suhu,
demikian pula untuk komponen-komponen fungsi fisiologinya, walaupun
suhu dapat berubah dengan variasi pada kondisi yang berbeda menurut
keadaan tumbuhan (Polunin, 1990). Suhu merupakan faktor pembatas
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan penyebaran hewan dan
tumbuhan di suatu tempat.
3) Parameter Kuantitatif dalam Analisis Komunitas Tumbuhan
Untuk kepentingan deskripsi suatu vegetasi diperlukan
minimal tiga macam parameter kuantitatif anatara lain densitas
(kerapatan), frekuensi, dan kerimbunan. Kerimbunan yang
dimaksudkan oleh Kusamana (1977) adalah sebagian dari
parameter dominansi.Kerimbunan adalah daerah yang ditempati
oleh tetumbuhan dan dapat dinyatakan dengan salah satu atau
kedua-duanya dari penutupan dasar (basal cover) dan penutupan
tajuk (canopy cover) (Indriyanto, 2006).
Kusmana (1997) mengemukakan bahwa dalam penelitian
ekologi hutan pada umumnya para peneliti ingin mengetahui
spesies tetumbuhan yang dominan yang memberi ciri utama
terhadap fisiognomi suatu komunitas hutan.Berbagai jenis
tumbuhan yang dominan dalam komunitas dapat diketahui dengan
mengukur dominansi tersebut.Ukuran dominansi dapat dinyatakan
dengan beberapa parameter, antara lain biomassa, penutupan
tajuk, luas basal area, indeks nilai penting, dan perbandingan nilai
penting (summed dominance ratio).
Di sisi lain, masih banyak parameter kuantitatif yang dapat
digunakan untuk mendeskripsikan komunitas tumbuhan, baik dari
segi struktir komunitas maupun tingkat kesamaannya dengan
komunitas lain. Parameter yang dimaksud meliputi indeks
keanekaragaman spesies dan indeks kesamaan komunitas
(Indriyanto, 2006).

Uraian tiga macam parameter kuantitatif dalam analisis vegetasi


adalah sebagai berikut:

a. Densitas (kerapatan)
Menurut Fachrul (2007) densitas adalah jumlah individu per satuan luas
atau per unit volume. Dengan kata lain densitas merupakan jumlah individu
organisme per satuan ruang. Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan
istilah yang sering digunakan adalah kerapatan dengan notasi K. Dengan
demikian, densitas spesies ke-i dapat dihitung sebagai K-i dan densitas relatif
setiap spesies ke-i terhadap kerapatan total dapat dihitung sebagai KR-i:
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 (𝑖)
𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐴𝑏𝑠𝑜𝑙𝑢𝑡 =
𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎𝑙
𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = 𝑥 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠

b. Frekuensi

Menurut Fachrul (2007) dalam aspek ekologi, frekuensi digunakan


untuk menyatakan proporsi antara jumlah sampel yang berisis suatu spesies
tertentu terhadap jumlah total sampel.Frekuensi spesies tumbuhan adalah
jumlah petak contoh tempat ditemukannya suatu spesies dari sejumlah petak
contok yang dibuat.Frekuensi merupakan besarnya intensitas ditemukannya
spesies dalam pengamatan keberadaan organisme pada komunitas atau
ekosistem. Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan, frekuensi
spesies (F), frekuensi spesies ke-i (F-i), dan frekuensi relatif spesies ke-i
(FR-i) dapat dihitung dengan rumus berikut:
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡𝑖 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑦𝑏𝑠
𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝐴𝑏𝑠𝑜𝑙𝑢𝑡 =
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡

𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠


𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑅𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = 𝑥 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑓𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠

c. Dominansi (Dominance)
Dominansi menyatakan suatu jenis tumbuhan utama yang
mempengaruhi dan melaksanakan kontrol terhadap komunitas dengan cara
banyaknya jumlah jenis, besarnya ukuran maupun pertumbuhannya yang
dominan. Parameter vegetasi dominan dapat diketahui dengan kerimbunan
(Fachrul, 2007):
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑎𝑟𝑒𝑎𝑙 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑢𝑡𝑢𝑝
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝐴𝑏𝑠𝑜𝑙𝑢𝑡 =
𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎𝑙

𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠


𝑑𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = 𝑥 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
d. Indeks Nilai Penting (Important Value Index )
Indeks Nilai Penting (INP) atau Important Value Index merupakan indeks
kepentingan yang menggambarkan pentingnya peranan suatu vegetasi dalam
ekosistemnya.Apabila nilai INP suatu jenis vegetasi bernilai tinggi, maka jenis
itu sangat mempengaruhi kestabilan ekosistem tersebut (Fachrul, 2007).
Indeks Nilai Penting (INP) dapat digunakan unutk menentukan dominansi
jenis tumbuhan terhadap jenis tumbuhan lainnya, karena dalam suatu
komunitas yang bersifat heterogen data parameter sendiri-sendiri dari nilai
frekuensi, kerapatan, dan dominansinya tidak dapat menggambarkan secara
menyeluruh, maka untuk menentukan nilai pentingnya yang mempunyai kaitan
dengan struktur komunitasnya dapat diketahui dari indeks nilai pentingnya.
Yaitu suatu indeks yang dihitung berdasarkan jumlah seluruh nilai kerapatan
relatif (KR), frekuensi relatif (FR) dan dominansi relatif (DR).
INP = KR + FR + DR
Untuk mengetahui INP pada tingkat tumbuhan bawah (under stories),
semai (seedling) dan pancang (sapling) dihitung dari nilai kerapatan relatif
(KR) dan frekuensi relatif (FR) (Fachrul, 2007):
INP = KR + FR
e. Index Keanekaragaman.
Untuk mengukur indeks keanekaragaman digunakan indeks Indeks ini
didasarkan pada teori informasi dan merupakan suatu hitungan rata-rata yang
tidak pasti dalam memprediksi individu species apa yang dipilih secara random
dari koleksi S species dan individual N akan dimiliki . Rata-rata ini naik dengan
naiknya jumlah species dan distribusi individu antara species-species menjadi
sama/merata . Ada 2 hal yang dimiliki oleh indeks Shanon yaitu ;
1) H’=0 jika dan hanya jika ada satu species dalam sampel.
2) H’ adalah maksimum hanya ketika semua species S diwakili oleh jumlah
individu yang sama, ini adalah distribusi kelimpahan yang merata secara
sempurna.
H’ = -S (Pi LnPi)
dimana H’ adalah rata-rata. i=1
Tidak pasti species dalam komunitas yang tidak terbatas membuat S*
spesies yang kelimpahan proporsional P1, P2, P3, . . . PS*. S* adan Pi’S
adalah parameter populasi dan dalam praktek H’ diduga dari suatu sampel
sebagai :
H’ = S [ ( ni ) Ln ( ni ) ]
i=1 n n
Dimana ni adalah jumlah individu tiap S species dalam sampel dan n adalah
jumlah total individu dalam dalam sampel. Jika n lebih besar, biasanya akan
menjadi lebih kecil.
Kekayaan species dan kesamaannya dalam suatu nilai tunggal digambarkan
dengan Indeks Deversitas. Indeks diversitas mungkinhasil dari komb inasi
kekayaan dan kesamaan species. Ada nilai indeks diversitas yang sama didapat dari
komunitas dengan kekayaan yang rendah dan tinggi kesamaan kalau suatu
komunitas yang sama didapat dari komunitas dengan kekayaan tinggi dan
kesamaan rendah . Jika hanya memberikan nilai indeks diversitas, tidak mungkin
untuk mengatakan apa pentingnya relatif kekayaan dan kesamaan species .
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
a. a.1 Tabel data kelompok Semak
Semak kelompok 4 Kelompok 5 Kelompok 6
Lokasi Hutan Cendani Hutan Pinus Hutan Campuran (kanan)
Luas Minimum Plot 1x1 4x4 3x3
Jumlah Minimum Plot 3 2 2
Jumlah Spesies 9 7 11
Indeks Shanon-Winer 1,5 1,6 1,4

a.2. tabel abiotik semak


Kelompok Kelompok Kelompok
Faktor Abiotik : Semak 4 5 6
Suhu (oC) 21 20 21
kelembaban (%) 87 85 74
arah angin Selatan Utara
kecepatan angin (m/s) <0.1 <0.1 <0.1
intensitas cahaya (lux) 6260 1120
tekstur tanah Liat Liat Liat
pH tanah 7 6.8 7
kelembaban Tanah (%) - 56 30

b. Tabulasi data kelompok Herba


b.1. Tabel perbandingan kelompok Herba
Herba Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3
Lokasi Cendani Hutan Campuran Hutan Campuran (kanan)
Luas Minimum Plot 2x2 4x4 3x3
Jumlah Minimum Plot 1 4 3
Jumlah Spesies 10 27 20
Indeks Shanon-Winer 1.34 1.46 1.54

b.2 tabel abiotik Herba


Faktor Abiotik :
Herba Klp 1 Klp 2 Klp 3
o
Suhu ( C) 20 19 22
kelembaban (%) 91 88 82
kecepatan angin <0.1 0.4 <0.1
(m/s)
intensitas cahaya
(lux) 2280 213 1032
Liat
tekstur tanah Liat liat Berpasir
pH tanah 6.8 6.6 5.1
kelembaban Tanah
(%) 35 15 59

c. Tabulasi data kelompok Tegakan


c.1 Tabel perbandingan tegakan
Tegakan Kel 7 Kel 8 Kel 9

Lokasi Hutan Petung Hutan Campuran kiri Hutan Campuran Kanan


Luas Minimum Plot 16x16 8x8 10x10
Jumlah Minimum Plot 1 2 3
Jumlah Spesies 13 7 11
Indeks Shanon-Winer 2.301 1.872 2.28

c.2. tabel abiotik tegakan

Faktor Abiotik :
Tegakan Klp 7 Klp 8 Klp 9
Suhu (oC) 22 20 21
kelembaban (%) 80 85 82
kecepatan angin
(m/s) 1.1 0.8 <0.1
intensitas cahaya
(lux) 355 1765 5.3
Pasir Liat
tekstur tanah Liat berlempung Berpasir
pH tanah 6.5 6.1 7
kelembaban Tanah
(%) 40 30 10

B. ANALISIS DATA

Berikut merupakan hasil analisis data dari masing-masing kelompok.dan kawasan

pengambilan data.
HERBA klmpk
PLOT LPP (m) DENSITAS DOMINAS FREKUENSI
1
Kelompok 1 JML FREKUE JML Luas
NILAI Indeks
(Hutan INDIVI NSI Penutupan Rank
PENTING Shannon
Cendani) 1 2 3 DU PLOT 1 2 3 Plot ABSOLUT RELATIF ABSOLUT RELATIF ABSOLUT RELATIF
LM(2x2) JM
(1)
Spathoglotis sp. 13 15 6 34 3 0.4 0.8 0.2 1.4 2.83 28.57 0.12 31.96 1.00 16.67 77.20 2 -0.36
2. B 38 7 8 63 3 1.4 0.2 0.2 1.8 5.25 52.94 0.15 41.10 1.00 16.67 110.70 1 -0.34
Piper sp. 2 0 1 3 2 0.4 0 0.2 0.6 0.25 2.52 0.05 13.70 0.67 11.11 27.33 3 -0.09
4. D 6 1 0 7 2 0.04 0.04 0 0.08 0.58 5.88 0.01 1.83 0.67 11.11 18.82 4 -0.17
5. E 1 0 0 1 1 0.08 0 0 0.08 0.08 0.84 0.01 1.83 0.33 5.56 8.22 7 -0.04
6. F 1 0 0 1 1 0.04 0 0 0.04 0.08 0.84 0.00 0.91 0.33 5.56 7.31 9 -0.04
7.G 1 0 0 1 1 0.08 0 0 0.08 0.08 0.84 0.01 1.83 0.33 5.56 8.22 7 -0.04
8.H 3 1 0 4 2 0.08 0.04 0 0.12 0.33 3.36 0.01 2.74 0.67 11.11 17.21 6 -0.11
9.I 1 3 0 4 2 0.08 0.08 0 0.16 0.33 3.36 0.01 3.65 0.67 11.11 18.13 5 -0.11
Zingberaceae
sp. 0 1 0 1 1 0 0.02 0 0.02 0.08 0.84 0.00 0.46 0.33 5.56 6.85 10 -0.04
Jumlah 66 28 15 119 18 6 1.18 0.6 4.38 9.92 100.00 0.37 100.00 6.00 100.00 300.00 -1.34

kelompok 2 Herba(
pinus ) Plot Jumlah LPP
Frek LPS
Ind densitas densitas dominan dominan frekuensi frekuensi nilai Index
LM 4x4, JM 4 1 2 3 4 1 2 3 4 absolut relatif absolut relatif absolut relatif penting pi SW
1. spesies A 167 125 32 78 402 4 24.56 9.6 9.2 1.28 4.48 6.3 10.3 0.4 19.8 1 8 38.14 0.10 -0.23
2. spesies B 600 400 288 672 1960 4 43.6 12.8 9.6 6.9 14.3 30.6 50.3 0.7 35.2 1 8 93.49 0.50 -0.35
3. spesies C 57 76 53 186 3 7.44 2.28 3.04 2.12 2.9 4.8 0.1 6.0 0.75 6 16.78 0.05 -0.15
4. spesies D 1 1 80 82 3 1.64 0.02 0.02 1.6 1.3 2.1 0.0 1.3 0.75 6 9.43 0.02 -0.08
5. spesies E 1 19 3 7 30 4 1.2 0.04 0.76 0.12 0.28 0.5 0.8 0.0 1.0 1 8 9.74 0.01 -0.04
6. spesies F 545 400 28 36 1009 4 21.33 11.2 8 1.4 0.73 15.8 25.9 0.3 17.2 1 8 51.11 0.26 -0.35
7. spesies G 8 6 14 2 0.56 0.32 0.24 0.2 0.4 0.0 0.5 0.5 4 4.81 0.00 -0.02
8. spesies H 2 4 2 8 3 0.64 0.16 0.32 0.16 0.1 0.2 0.0 0.5 0.75 6 6.72 0.00 -0.01
9. spesies I 0.0 0.0 0.0 0.0 0 0 0.00 0.00
10. spesies J 7 1 8 2 2.74 2.4 0.34 0.1 0.2 0.0 2.2 0.5 4 6.42 0.00 -0.01
11. spesies K 26 4 3 33 3 2.02 1.6 0.24 0.18 0.5 0.8 0.0 1.6 0.75 6 8.48 0.01 -0.04
12. spesies L 10 1 11 2 2.64 2.4 0.24 0.2 0.3 0.0 2.1 0.5 4 6.41 0.00 -0.02
13. spesies M 6 112 118 2 9.44 0.48 8.96 1.8 3.0 0.1 7.6 0.5 4 14.65 0.03 -0.11
14. spesies N 1 1 1 0.04 0.04 0.0 0.0 0.0 0.0 0.25 2 2.06 0.00 0.00
15. spesies O 1 1 1 0.04 0.04 0.0 0.0 0.0 0.0 0.25 2 2.06 0.00 0.00
16. spesies P 4 1 4 9 3 2.52 1.12 0.28 1.12 0.1 0.2 0.0 2.0 0.75 6 8.27 0.00 -0.01
17. spesies Q 1 7 8 2 0.64 0.08 0.56 0.1 0.2 0.0 0.5 0.5 4 4.72 0.00 -0.01
18. spesies R 2 2 1 0.08 0.08 0.0 0.1 0.0 0.1 0.25 2 2.12 0.00 0.00
19. spesies S 1 1 1 0.08 0.08 0.0 0.0 0.0 0.1 0.25 2 2.09 0.00 0.00
20. spesies T 3 3 1 0.24 0.24 0.0 0.1 0.0 0.2 0.25 2 2.27 0.00 -0.01
21. spesies U 0.0 0.0 0.0 0.0 0 0 0.00 0.00
22. spesies V 6 6 1 1.6 1.6 0.1 0.0 1.3 0.25 2 3.29 0.00 -0.01
23. spesies W 0.0 0.0 0.0 0 0 0.00 0.00
24. spesies X 0.0 0.0 0.0 0 0 0.00 0.00
25. spesies Y 3 3 1 0.48 0.48 0.0 0.0 0.4 0.25 2 2.39 0.00 -0.01
26. spesies Z 2 2 1 0.16 0.16 0.0 0.0 0.1 0.25 2 2.13 0.00 0.00
27. spesies AA 1 1 1 0.16 0.16 0.0 0.0 0.1 0.25 2 2.13 0.00 0.00
3898 60.9 1.9 12.5 -1.47

Plot LPP
LM; 3x3 JM; 3 jumlah densitas
Frek. Plot LPS (total) densitas relatif dominansi absolut dominan
1 2 3 individu 1 2 3 absolut
kelompok 3 (hutan campuran) Herba
1.Davalliadenticulata 11 105 15 131 3 7.2 1.8 3.6 1.8 4.9 66% 0.27 59
2. spesies B 3 3 6 2 0.36 0.09 0.27 0.2 3% 0.01 2.9
3. spesies C 1 1 1 0.09 0.09 0.0 1% 0.00 0.7
4. spesies D 3 1 3 7 3 0.405 0.27 0.045 0.09 0.3 4% 0.02 3.3
5. spesies E 13 1 14 2 1.39 1.35 0.04 0.5 7% 0.05 11.3
6. spesies F 2 2 1 0.09 0.09 0.1 1% 0.00 0.7
7.Euphatoriumriparium 1 1 1 0.045 0.045 0.0 1% 0.00 0.3
8. spesies H 1 1 1 0.045 0.045 0.0 1% 0.00 0.3
9.Impatientplatypetalla 2 1 3 2 0.135 0.09 0.045 0.1 2% 0.01 1.1
10. spesies J 6 6 1 0.25 2.25 0.2 3% 0.01 2.0
11. spesies K 2 2 1 0.36 0.36 0.1 1% 0.01 2.9
12. spesies M 3 3 1 0.9 0.9 0.1 2% 0.03 7.3
13. spesies O 5 5 1 0.45 0.45 0.2 3% 0.02 3.6
14. spesies P 3 1 4 2 0.09 0.45 0.045 0.1 2% 0.00 0.7
15. spesies Q 2 2 1 0.09 0.09 0.1 1% 0.00 0.7
16. spesies R 1 1 1 0.09 0.09 0.0 1% 0.00 0.7
17. spesies S 4 1 5 2 0.046 0.045 0.01 0.2 3% 0.00 0.3
18. spesies T 2 2 1 0.045 0.045 0.1 1% 0.00 0.3
19.Selaginellakraussiana 2 2 1 0.108 0.108 0.1 1% 0.00 0.8
20. spesies W 1 1 1 0.045 0.045 0.0 1% 0.00 0.3
Total 199 29 12.234 7.56 3.928 3.16 7.37 100% 0.4531 100

Kel 5 Semak Pinus (4x4 ; 2) Plot Jumlah LPP Densitas Densitas Dominasi Dominasi Frekuensi Frekuensi nilai Indeks
FP LPS (Total)
Spesies 1 2 3 Individu 1 2 3 Absolut relatif(%) Absolut Relatif absolut Relatif penting SW

A. Clidemia hirta 6 9 5 20 3 1.750 1 0.5 0.25 0.088 5.08 0.04 35.2 1.0 27.27 67.51 -0.34
B. Caliandra partoricensis 1 4 1 6 3 0.725 0.063 0.0375 0.625 0.12 7.02 0.02 14.6 1.0 27.27 48.85 -0.29
C. Melastoma candidum - - 5 5 1 1 1 0.20 11.61 0.02 20.1 0.3 9.09 40.79 -0.26
D. - - 4 4 1 0.25 0.25 0.06 3.63 0.01 5.0 0.3 9.09 17.74 -0.23
F. Phyllostachys aurea 1 - - 1 1 1 1 1.00 58.06 0.02 20.1 0.3 9.09 87.24 -0.09
H. 2 - - 2 1 0.003 0.003 0.00 0.09 0.00 0.1 0.3 9.09 9.24 -0.15
I. Phymosia sp. - 1 - 1 1 0.25 0.25 0.25 14.52 0.01 5.0 0.3 9.09 28.63 -0.09
39 1.722 100.00 0.10 100.0 3.7 100.00 300 1.4676

Spesies PLOT Luas Penutupan (m2) Luas


Jumlah Frekuensi
Kelompok 6 Semak Campuran Total
1 2 3 4 5 Individu Plot
kanan 1 2 3 4 5 (m2)
Calliandra portoricensis 35 58 3 12 108 4 0.45 0.63 0.32 0.4 1.8
B 16 19 1 1 37 4 0.09 0.27 0.09 0.06 0.51
Euphatorium riparium 6 29 560 32 560 370 5 0.06 0.18 6.3 3.6 6.3 16.44
D 17 41 1 59 3 0.11 0.32 0.04 0.47
Clidemia hirta 2 12 3 12 24 53 5 0.02 0.11 0.45 1.35 3.15 5.08
F 1 4 6 6 17 4 0.01 0.04 0.63 0.36 1.04

Euphatorium inulifolia 2 1 3 2 0.027 0.45 0.47


H 2 32 40 74 3 0.03 2.7 1.35 4.08
Debregeasia longifolia 1 1 1 0.04 0.04
Curculigo capitulata 7 7 1 0.13 0.13

Melastoma polyanthum 4 4 1 0.09 0.09

3x3 ; 2 733

Densitas Densitas Dominansi Dominansi Frekuensi Frekuensi Nilai Indeks


Absolut relatif Absolut relatif absolut relatif penting Rank SW
2.40 14.73 0.04 5.97 0.80 0.12 20.83 4 -0.28
0.82 5.05 0.01 1.69 0.80 0.12 6.86 6 -0.15
8.22 50.48 0.37 54.53 1.00 0.15 105.16 1 -0.35
1.31 8.05 0.01 1.56 0.60 0.09 9.70 5 -0.20
1.18 7.23 0.11 16.85 1.00 0.15 24.23 2 -0.19
0.38 2.32 0.02 3.45 0.80 0.12 5.89 7 -0.09
0.07 0.41 0.01 1.56 0.40 0.06 2.03 8 -0.02
1.64 10.10 0.09 13.53 0.60 0.09 23.72 3 -0.23
0.02 0.14 0.00 0.13 0.20 0.03 0.30 11 -0.01
0.16 0.95 0.00 0.43 0.20 0.03 1.42 9 -0.04
0.09 0.55 0.00 0.30 0.20 0.03 0.87 10 -0.03
16.29 100.00 0.67 100.00 6.60 1.00 201.00
Kelompok 4 Plot Luas penutupan plot Luas
Jumlah Frek
Penutupan
individu plot
Total
Lokasi : Hutan Cendani 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
LM : 1 x 1 JM : 3
Clidemia hirta 3 8 8 13 7 7 46 6 7, 61 8, 56 7, 55 5, 73 5, 73 5, 94 41, 12
Cinchona sp. 1 1 1 2, 55 2, 55
Phyllotachys aurea 2 3 2 3 1 11 5 1, 14 1, 77 1, 65 3, 22 1, 13 8, 91

Spesies D 1 32 19 7 59 4 3, 46 16, 63 8, 3 3, 14 31, 53

Spesies F 1 1 2 0, 95 0, 95
Spesies G 1 2 3 3 0, 95 1, 77 2, 72
Spesies H 3 3 2 1, 65 1, 65
Spesies K 6 6 2 3, 8 3, 8
Spesies L 1 1 2 3 0, 95 1, 13 2, 08

132

Dominasi Densitas dominasi densitas frekuensi frekuensi nilai


Absolut abolut relatif relatif absolut relatif penting indeks
shannom

6.85 7.67 42% 0.35 1 26% 1.04 -0.37


0.43 0.17 3% 0.01 0.167 4% 0.08 -0.04
1.83 1.48 11% 0.07 0.83 22% 0.40 -0.21

5.26 9.83 32% 0.45 0.66 17% 0.95 -0.36


0.16 0.17 1% 0.01 0.167 4% 0.06 -0.04
0.45 0.5 3% 0.02 0.33 9% 0.14 -0.09
0.27 0.5 2% 0.02 0.167 4% 0.08 -0.09
0.63 1 4% 0.05 0.167 4% 0.13 -0.14
0.35 0.33 2% 0.02 0.33 9% 0.12 -0.06
16.23 21.65 100% 1.00 3.818 100% 1.38

Kel 9 campuran, LM 10X10, JM 3 JUMLAH INDIVIDU LUAS PENUTUPAN TOTAL LUAS


Jumlah
Individu PENUTUPAN
Jenis (TEGAKAN) PLOT 1 PLOT 2 PLOT 3 PLOT 4 PLOT 1 PLOT 2 PLOT 3 PLOT 4

3 - 1 2 28.26 0 1.13 7.065 36.46


A 6
11 6 - 6 379.94 4.91 28.26 413.11
B 23

C 6 5 9 - 20 314 1384.74 200.96 0 1899.70


4 7 6 10 452.16 44.16 1017.36 1017.36 2531.04
Schima wallichii 27
1 7 - - 1.54 44.16 - 0 45.69
E 8
- - 2 1 - - 3.14 0.20 3.34
F 3

G 4 2 - 20 26 78.5 200.96 - 78.5 357.96


- 8 - 4 - 78.5 3.14 81.64
H 12
- - 1 - - - 3.14 0 3.14
I 1

Pinus merkusii 1 1 - - 2 50.24 50.24 - 0 100.48


1 - 2 - 3.14 - 19.63 0 22.77
Cleresidae 3
1 - - - 0.785 - - 0 0.79
L 1
1 2 - 1 3.14 3.14 - 0.19625 6.48
M 4

Jatropha multifida - 1 - - 1 - 113.04 - 0 113.04


O - 6 - - 6 - 1.77 - 0 1.77
- 1 - - - 38.47 - 0 38.47
P 1
- 4 4 - - 4.91 19.63 0 24.53
Q 8
- 1 1 - 7.07 7.07 0 14.13
Cinnamomum verum 2 -

5694.51
Dominasi DOMINANSI DENSITAS DENSITAS FREKUENSI FREKUENSI NILAI
Absolut RELATIF ABSOLUT RELATIF ABSOLUT RELATIF PENTING

0.36 0.64% 0.06 3.90% 3 7.69% 0.12


4.13 7.25% 0.23 14.94% 3 7.69% 0.30
19.00 33.36% 0.20 12.99% 3 7.69% 0.54
25.31 44.44% 0.27 17.53% 4 10.26% 0.72
0.46 0.80% 0.08 5.19% 3 7.69% 0.14
0.03 0.06% 0.03 1.95% 2 5.13% 0.07
3.58 6.29% 0.26 16.88% 3 7.69% 0.31
0.82 1.43% 0.12 7.79% 2 5.13% 0.14
0.03 0.06% 0.01 0.65% 1 2.56% 0.03
1.00 1.76% 0.02 1.30% 2 5.13% 0.08
0.23 0.40% 0.03 1.95% 2 5.13% 0.07
0.01 0.01% 0.01 0.65% 1 2.56% 0.03
0.06 0.11% 0.04 2.60% 3 7.69% 0.10
1.13 1.98% 0.01 0.65% 1 2.56% 0.05
0.02 0.03% 0.06 3.90% 1 2.56% 0.06
0.38 0.68% 0.01 0.65% 1 2.56% 0.04
0.25 0.43% 0.08 5.19% 2 5.13% 0.11
0.14 0.25% 0.02 1.30% 2 5.13% 0.07
56.95 56.95 1.54 39 39

Klp 7, Hutan
Petung LM 16x16; PLOT LPP densitas dominansi frekuensi
JM 1 JUMLAH FREKUENSI LPS nilai indeks
rank
INDIVIDU PLOT (TOTAL) penting sw
Tegakan 1 2 1 2 absolut relatif absolut relatif absolut relatif
1. BAMBU
PETUNG 1 3 4 2 83.32 20.42 62.9 0.01 16.67 0.16 23.81 1 14.29 54.76 1 -0.30
(Dendrocalamus
asper)

2. JAMBU BIJI
3 - 3 1 2.35 2.35 - 0.01 12.50 0.00 0.67 0.5 7.14 20.31 7 -0.26
(Psidium guajava)
3. PUSPA (Schima
2 3 5 2 58.76 28.26 30.5 0.01 20.83 0.11 16.79 1 14.29 51.91 2 -0.33
wallichii)
4. KAYU PUTIH
(Melaleuca 1 - 1 1 50.24 50.24 - 0.00 4.17 0.10 14.36 0.5 7.14 25.67 4 -0.13
leucadendra)
5. SENGGANI
(Melastoma 2 - 2 1 32.19 32.19 - 0.00 8.33 0.06 9.20 0.5 7.14 24.68 5 -0.21
malabathricum)
6. POHON U 1 - 1 1 19.64 19.64 - 0.00 4.17 0.04 5.61 0.5 7.14 16.92 9 -0.13
7. POHON V 1 - 1 1 50.28 50.28 - 0.00 4.17 0.10 14.37 0.5 7.14 25.68 3 -0.13
8. POHON I 1 - 1 1 7.07 7.07 - 0.00 4.17 0.01 2.02 0.5 7.14 13.33 11 -0.13
9. POHON W 1 - 1 1 0.78 0.78 - 0.00 4.17 0.00 0.22 0.5 7.14 11.53 12 -0.13
10. BAMBU APUS
- 2 2 1 26.68 - 26.68 0.00 8.33 0.05 7.62 0.5 7.14 23.10 6 -0.21
(Gigantochloa apus)
11. POHON mirip
- 2 2 1 7.6 - 7.6 0.00 8.33 0.01 2.17 0.5 7.14 17.65 8 -0.21
sengon
12. BAMBU
- 1 1 1 11 - 11 0.00 4.17 0.02 3.14 0.5 7.14 14.45 10 -0.13
BONGGOL
Jumlah 24 349.9 211.23 138.7 -2.30

Tegakan Frekuen Nilai


LPS LPP Densitas Dominansi Frekuensi
Kelompok 8 Plot si plot Penting Rank
absolu
LM 8x8; JM 1 1 2 absolut relatif relatif absolut relatif
1 2 t
Maesopsis eminii 14 7 21 2 62 50.24 12 0.16 41.17 0.48 1.99 1.00 11.76 72.90 1.00
Tanaman B 4 4 8 2 106 67.37 42 0.06 15.69 0.83 34.22 1.00 11.74 61.70 3.00
Tanaman C
(Schiima 1 - 1 1 7
wullichi) 7.06 - 0.01 1.96 0.06 1.14 0.50 5.88 10.10 5.00
Tanaman D 2 1 3 2 3.50 1.77 2 0.02 5.88 0.02 1.01 1.00 11.77 18.80 4.00
Tanaman E 1 - 1 1 3.14 3.14 - 0.01 1.96 0.02 34.28 0.50 5.88 8.90 8.00
Tanaman F (
Jabon/
2 7 9 2 60.78
Anthocepalus
cadamba) 106.32 45.53 0.01 17.65 0.83 1.01 1.00 11.76 63.69 2.00
Tanaman G 1 - 1 1 3.14 3.14 - 0.01 1.96 0.02 0.57 0.50 5.88 8.80 8.00
Tanaman H 1 - 1 1 1.77 1.77 - 0.01 1.96 0.01 0.18 0.00 5.88 8.40 13.00
Tanaman I 2 - 2 1 0.54 0.54 - 0.01 5.92 0 0.18 0.50 5.88 9.90 7.00
Tanaman J 1 - 1 1 3.14 3.14 - 0.01 1.96 0.02 1.01 0.50 5.88 8.80 8.00
Tanaman K (
Kayu Manis/
1 - 1 1 7.06
Cinnamomum
burmani Ness) 7.06 - 0.01 1.96 0.06 2.28 0.50 5.88 10.10 5.00
Tanaman L 1 - 1 1 3.14 3.14 - 0.01 1.96 0.02 1.01 0.50 5.88 8.80 8.00
Tanaman
0 1 1 1
M 3.14 - 3.14 0.01 1.96 0.02 1.01 0.50 5.88 8.80 8.00
total 51 17 310 209.2 104 0.34 101.99 2.39 79.89 8 99.95 299.69 80
C. PEMBAHASAN
a. Keanekaragaman Vegetasi Kawasan Cendani
Berdasarkan hasil pengolahan data lapangan yang diambil dari kawasan
yang sama yaitu hutan cendani, didapatkan herba yang tumbuh di kawasan
hutan cendani sebanyak 10 spesies, yaitu Spathoglotis sp. ,Piper sp. ,
Zingiberaceae sp. , dan terdapat 7 pesies yang belum teridentifikasi. Dan
diperoleh data tanaman semak sebanyak 14 spesies tanaman herba, diantaranya
Clidemia hirta , Cinchona sp. , Phyllotachys aurea ,dan 11 spesies lainya yang
belum teridentifikasi. Sedangkan tegakan yang ditemukan pada kawasan dekat
hutan cendani sebanyak 13 spesies tegakan,diantaranya Maesopsis eminii,
Puspa / (Schiima wullichi), Jabon (Anthocepalus cadamba), Kayu Manis
(Cinnamomum burmani Ness), tanaman B, tanaman D, tanaman E, tanaman G,
tanaman H, tanaman I, tanaman J, tanaman L, tanaman M.
Dari data tersebut dapat diperoleh besarnya indeks keragaman dari
herba,semak, dan tegakan. Herba yang tumbuh di kawasan cendani memiliki
indeks keragaman sebesar 1.34 dengan densitas absolut sebesar 9.92, densitas
relatif sebesar 100%, dominansi absolut sebesar 0,37, dominansi relatif sebesar
100%, Frekuensi absolut sebesar 6, frekuensi relatif sebesar 100% , dan nilai
penting sebesar 300%. Semak yang tumbuh di kawasan hutan cendani memiliki
indeks keragaman 1.38 dengan densitas absolut sebesar 16.23, densitas relatif
sebesar 21.65, dominansi absolut sebesar 100%, dominansi relatif sebesar
100%, frekuensi absolut sebesar 3.8,nilai penting sebesar. Sedangkan tegakan
yang tumbuh dekat hutan cendani memiliki indeks keragaman sebesar 2.3
dengan densitas absolut 0.39, densitas relatif 100% , dominansi absolut 2.42 ,
dominansi relatif 100% , frekuensi absolut 8.5 , frekuensi relative 100% , dan
nilai penting 300% .
Herba, semak, tegakan yang tumbuh pada daerah hutan cendani memiliki
besar indeks Shannon-Wiener yang berbeda tetapi berada pada interval 1<H<3.
Hal tersbut menunjukkan bahwa herba, semak, dan tegakan tersebut memiliki
keanekaragaman yang tergolong sedang. keanekaragaman yang tertinggi
terdapat pada tanaman jenis tegakan. Tegakan memiliki indeks keragaman
tinggi akan tetapi di kawasan hutan cendani sendiri tanaman yang paling
dominan dan memiliki densitas tertinggi adalah vegetasi jenis semak.Akan
tetapi jika dibandingkan dengan herba yang tumbuh di hutan cendani, vegetasi
semak tetap memiliki indeks keanekaragaman tertinggi.
Hal tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa, Hutan cendani
merupakan hutan yang terdiri dari tumbuhan semak seperti bambu-bambu
kecil, herba, dan lain-lain. Bambu cendani banyak tumbuh subur didaerah
pegunungan. Menurut (Whitten, dkk, 1999) menyatakan bahwa lantai hutan
kaya akan semak belukar dan tumbuhan perdu, dan ditempat yang sedikit
terbuka dapat ditemukan tumbuhan terna atau herba yang indah. Dari teori
tersebut, dapat dikatakan bahwa tumbuhan semaklah yang mendominasi
tumbuh di suatu hutan. Keanekaragaman dihutan cendani cukup bervariasi, hal
ini dapat dilihat dari banyaknya spesies yang ditemukan. Berdasarkan dari
pengambilan data yang sudah di ambil, spesies yang paling banyak ditemukan
di hutan cendani yaitu semak dengan total jumlah individunya 10. Sedangan
pada herba hanya ditemukan total jumlah individunya 8.
Dalam suatu ekosistem, spesies tidak akan memiliki kelimpahan yang sama,
spesies yang satu akan lebih banyak dari rata-ratanya sehingga spesies lainnya
langka. Kelimpahan merupakan salah satu faktor penentu keanekaragaman,
faktor lain disebut nilai penting. Nilai penting bermakna karena merupakan
ukuran banyak faktor seperti produktivitas. Salah satu penyebab struktur
komunitas mempengaruhi keanekaragaman suatu tempat adalah proses aliran
bahan nutrisi (Wirakusumah, Sambas, 2003: 109-110).
Faktor abiotik sangat berpengaruh terhadap keanekaragaman suatu wilayah
yang akan membentuk ekosistem. Walaupun intensitas cahaya dihutan cendani
termasuk tinggi, namun keanekaragaman tumbuhan juga dipengaruhi oleh
komponen tanah yang ada. Karena ditutupi oleh banyaknya pohon yang tinggi
sehingga menjadikan Suhu didaerah tersebut rendah. Suhu udara cukup rendah
yaitu 20°C dengan kelembaban udara yang tinggi yaitu 91%. Suhu
mempengaruhi proses biologis tumbuhan. Jika suhu yang terlalu tinggi akan
membuat tanaman layu. Tekstur tanah pada hutan tersebut yaitu liat dengan pH
yang asam yaitu 6,8 dan kelembaban tanahnya hanya 35%. Kecepatan angin di
lokasi pengambilan data sangat rendah yaitu sebesar 0,1 m/s yang lebih
dominan mengarah ke barat.
Keanekaragaman herba di hutan cendani termasuk kategori rendah,
sedangkan keanekaragaman semak dihutan cendani termasuk kategori sedang.
Keanekaragaman suatu ekosistem dapat dipengaruhi oleh faktor abiotik.
Perbedaan keadaan udara, cuaca, tanah, kandungan air, kelembaban udara dan
tanah, dan intensitas cahaya matahari menyebabkan adanya perbedaan
tumbuhan yang hidup (archive.org). suatu komunitas dikatakan memiliki
keanekaragaman spesies yang tinggi jika suatu komunitas disusun oleh
banyaknya spesies. Sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki
keanekaragaman spesies rendah jika komunitas itu disusun oleh sedikit spesies
dan jika hanya sedikit saja spesies yang dominan.
Walaupun pengambilan data di hutan yang sama, namun terdapat perbedaan
faktor abiotik. Jika dilihat dari data abiotik kedua kelompok, komponen udara
dan tanah dari tempat pengambilan data herba suhu lebih rendah, kelembaban
lebih tinggi, intensitas cahaya lebih tinggi, pH tanah asam, dan kelembaban
tanah lebih tinggi dari pada tempat pengambilan data semak. Menutur (Latifah,
2005) faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah spesies di suatu daerah antara
lain:
- Iklim fluktuasi musiman merupakan faktor penting dalam pembagian
keragaman spesies. Suhu maksimum yang ekstrim, persediaan air dan
keadaan tanah dapat menimbulkan kemacetan ekologis yang membatasi
jumlah spesies yang dapat hidup secara tetap disuatu daerah.
- Keragaman habitat dengan daerah yang beragam dapat menampung
spesies yang keanekaragamnnya lebih besar seragam.
- Ukuran daerah yang luas dapat menampung lebih besar spesies
dibandingkan dengan daerah sempit.
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa hutan cendani merupakan
hutan yang hanya ditumbuhi oleh tumbuhan cendani yang habitatnya
kurang beragam dari pada hutan yang lainnya. Sehingga dihutan cendani ini
spesies herba dan semak yang tumbuh tidak terlalu beragam. Namun jika
keragaman antara tumbuhan herba dengan tumbuhan semak, maka
tumbuhan semak lah yang lebih beragam karena spesies yang ditemukan
lebih banyak
b. Keanekaragaman Kawasan Hutan Pinus dan Petung
Berdasarkan hasil pengolahan data lapangan yang diambil dari kawasan
Hutan Pinus dan Petung didapatkan data analisa vegetasi tingkat herba, semak,
dan tegakan. Pada tingkat herba yaitu di daerah campuran pinus, dengan luas
plot minimum 4x4 meter dan jumlah plot minimum 4 didapatkan sebanyak 27
spesies. Spesies yang mendominasi adalah Commelina diffusa dengan nilai
penting sebesar 93,48608. Hal ini dikarenakan Commelina diffusa dapat
ditemukan di semua plot dengan frekuensi total 1960 individu. Indeks
keragaman vegetasi tingkat herba di wilayah campuran pinus didapatkan dari
perhitungan indeks keragaman berdasarkan Shannon Wiener sebesar
1,466132653 yaitu 1 < H’ < 3 artinya keanekaragaman herba di kawasan
campuran pinus tergolong sedang.
Pada tingkat semak di daerah pinus, dengan luas minimum plot 4x4 meter
dan jumlah minimum 2 plot, namun yang dipakai sejumlah 3 plot didapatkan
sebanyak 7 spesies tanaman semak. Spesies yang paling dominan adalah
Clidemia hirta dengan nilai penting 67,5103. Clidemia hirta dapat ditemukan
di ketiga plot dengan jumlah total sebanyak 20 individu. Indeks keragaman
berdasarkan Shannon Wiener yang didapatkan 1.46758 yang berarti
keanekaragaman semak di kawasan pinus tergolong sedang atau 1 < H’ < 3.
Suhu pada kawasan Hutan Pinus diukur oleh kelompok 5 yaitu sebesar
20°C yang berarti suhu di kawasan ini termasuk sedang. Kelembapan udara
menunjukkan angka 85% yang menunjukkan bahwa kelembapan di kawasan
Hutan Pinus termasuk tinggi. Kecepatan angin sangat rendah yaitu kurang dari
0,1 m/s yang pada kelompok 5 berehembus ke arah selatan sedangkan
kelompok 6 kearah utara. Intensitas cahayanya sebesar 1120 lux yang termasuk
intensitas cahaya sedang. Tekstur tanahnya liat berpasir dengan pH 6,8 yang
menunjukkan pH asam lemah.
Tegakan yang diambil datanya merupakan tegakan yang berada di daerah
Petung. Luas minimum plot sebesar 16x16 meter dengan jumlah minimal 1 plot
namun yang dipakai sebanyak 5 plot, didapatkan sebanyak 12 spesies. BAMBU
PETUNG (Dendrocalamus asper) merupakan spesies yang mendominasi
tegakan di daerah petung dengan nilai penting 54.76421719. Bambu dapat
memiliki keaneragaman yang tinggi di kawasan ini karena Menurut Husnil
(2009), bambu adalah tanaman yang mampu menggunakan ruang tumbuh
secara maksimal. Produktivitas biomasa bambu per satuan luas lebih tinggi
dibanding dengan sebagian besar jenis tanaman lainnya, sehingga dalam
kawasan ini bambu petung mendominasi. Indeks keragaman vegetasi tingkat
herba di wilayah campuran pinus didapatkan dari perhitungan indeks
keragaman berdasarkan Shannon Wiener sebesar 2.301091874 yaitu 1 < H’ < 3
artinya keanekaragaman herba di kawasan campuran pinus tergolong sedang.
Keanekaragaman ini juga dapat dipengaruhi oleh faktor abiotik yang berupa
suhu yang diukur oleh kelompok 7 yaitu sebesar 22°C yang berarti suhu di
kawasan ini termasuk sedang. Kelembapan udara menunjukkan angka 80%
yang menunjukkan bahwa kelembapan di kawasan Bambu Petung termasuk
tinggi. Kecepatan angin sedang yaitu sebesar 1,1 m/s. Tekstur tanahnya Clay
dengan pH 6,5 yang menunjukkan pH asam lemah.
Secara keseluruhan pada kawasan pinus – petung, berdasarkan perhitungan
indeks keragaman Shannon Wiener dapat diketahui bahwa ketiga tingkat
vegetasi memiliki keragaman 1 < H’ < 3 yang berarti keanekaragamanya
sedang, namun yang paling besar diantara ketiganya adalah keanekaragaman
tegakan yang berada di kawasan petung. Di kawasan pinus – petung, spesies
yang mendominasi adalah Commelina diffusa, dengan nilai penting sebesar
93,48608. Hal ini dikarenakan Commelina diffusa dapat ditemukan pada
semua plot dengan frekuensi total 1960 individu dan luas penutupan total
spesies sebesar 43,6. Selain itu, faktor-faktor abiotik yang mendukung
persebaran Commelina diffusa dengan mudah, seperti suhu serta intensitas
cahaya sedang dan kelembaban udara tinggi. Sehingga Commelina diffusa
merupakan spesies yang paling mendominasi di kawasan pinus – petung.

c. Kawasan Hutan Campuran (Kanan)


Hutan campuran atau hutan heterogen merupakan jenis hutan yang terdiri
atas berbagai jenis pepohonan. Berdasarkan hasil pengolahan data lapangan
yang diambil dari kawasan hutan campuran didapatkan data analisa vegetasi
tingkat herba, semak, dan tegakan. Dengan masing-masing memiliki luas
minimal plot dan jumlah minimal plot yang berbeda. Pada herba, luas plot
minimum sebesar 3x3 meter dan jumlah plot minimum sebanyak 3 buah
sehingga didapatkan 20 spesies. Herba memiliki indeks keanekaragaman pada
hutan campuran sebesar 1,54514986 yang dapat diartikan keanekaragamanya
berada pada tingkat sedang. Berdasarkan nilai penting yang didapatkan dari
perhitungan, bahwa Athyrium filix-femina merupakan spesies herba yang paling
mendominasi dengan nilai penting sebesar 135% atau 1,35 .
Pada semak, didapatkan luas minimum plot 3x3 meter dengan jumlah
minimum plot sebanyak 3, sehingga spesies yang didapatkan sejumlah 11
spesies. Berdasarkan perhitungan indeks keanekaragaman Shannon Wiener
didapatkan keanekaragaman semak di kawasan hutan campuran sebesar 1,5
diartikan bahwa keanekaragamanya tingkat sedang. Euphatorium riparium
merupakan spesies paling dominan dengan nilai penting terbesar yaitu 105,16.
Pada tegakan luas minimal plotnya 10x10 meter, dengan jumlah minimum
plot yang didapatkan 3 plot dan jumlah yang dipakai 5 plot. Sehingga
didapatkan 18 spesies. Berdasarkan indeks Shannon Wiener dalam perhitungan
keanekaragaman didapatkan 2,280 yang berarti keanekaragamanya tingkat
sedang, dengan spesies paling dominan adalah Schima Wallichii dengan nilai
penting 0,67.
Untuk mengetahui tingkat kestabilan keanekaragaman jenis dapat
digunakan nilai indeks keanekaragaman jenis (H’). Kestabilan suatu jenis juga
dipengaruhi oleh tingkat kemerataannya, semakin tinggi nilai H’, maka
keanekaragaman jenis dalam komunitas tersebut semakin stabil.Sebaliknya
semakin rendah nilai H’, maka tingkat kestabilan keanekaragaman jenis dalam
komunitas semakin rendah (Odum, 1996). Artinya tegakan memiliki tingkat
keanekaragaman yang stabil dibandingkan dengan semak dan herba.Sedangkan
herba yang memiliki indeks keanekaragaman terrendah memiliki kestabilan
terrendah pula dalam lingkup keanekaragamannya.
Kondisi klimatik serta edafik tegakan daerah campuran kanan yang
memiliki tingkat kestabilan tertinggi adalah sebagai berikut: suhu sebesar 21⁰
C, kelembapan 82%, kecepatan angin 0,1 m/s. Adapun kondisi tanah ialah
bertekstur clay loam atau liat berpasir dengan pH 7 dan kelembapan tanah
sebesar 10%.
Setiap tanaman atau jenis pohon mempunyai toleransi yang berlainan
terhadap cahaya matahari. Ada tanaman yang tumbuh baik ditempat terbuka
sebaliknya ada beberapa tanaman yang dapat tumbuh dengan baik pada tempat
teduh. Ada pula tanaman yang memerlukan intensitas cahaya yang berbeda
sepanjang periode hidupnya. Pada saat masih muda memerlukan cahaya dengan
intensitas rendah dan menjelang sapihan mulai memerlukan cahaya dengan
intensitas tinggi (Soekotjo,1976 dalam Faridah, 1996). Sebagian dari jenis-jenis
dipterocarpaceae terutama untuk jenis kayu yang mempunyai berat jenis tinggi
atau tenggelam dalam air atau sebagian lagi tergolong jenis semi toleran atau
gap opportunist yaitu jenis-jenis yang memiliki kayu terapung atau berat jenis
rendah. (Rasyid H. A. dkk 1991). Mayer dan Anderson (1952) dalam
Simarangkir (2000) menyatakan bahwa tanaman yang tumbuh dengan
intensitas cahaya nol persen akan mengakibatkan pengaruh yang berlawanan,
yaitu suhu rendah, kelembaban tinggi, evaporasi dan transportasi yang rendah.
Hal ini sesuai dengan fakta tegakan di daerah campuran memiliki intensitas
cahaya yang rendah namun memiliki kelembapan yang tinggi dengan evaporasi
yang rendah.
Secara keseluruhan pada kawasan hutan campuran, berdasarkan
perhitungan indeks keragaman Shannon Wiener dapat diketahui bahwa ketiga
tingkat vegetasi memiliki keragaman 1 < H’ < 3 yang berarti
keanekaragamanya sedang, namun yang paling besar diantara ketiganya adalah
tegakan di hutan campuran kanan yang memiliki indeks keanekaragaman
tertinggi yaitu 2,280. Di kawasan hutan campuran, spesies yang mendominasi
adalah Euphatorium riparium merupakan spesies paling dominan dengan nilai
penting terbesar yaitu 105,16. Hal ini dikarenakan Commelina diffusa dapat
ditemukan pada semua plot dengan frekuensi total 370 individu dan luas
penutupan total spesies sebesar 16,44. Sehingga Euphatorium riparium
merupakan spesies yang paling mendominasi di kawasan hutan campuran.

d. Keanekaragaman Vegetasi Semak


semak Index SM

Hutan cendani 1.38434

Hutan pinus 1.46758

Hutan campuran 1.59387

Keanekaragaman jenis merupakan karakteristik tingkatan dalam komunitas


berdasarkan organisasi biologisnya, yang dapat digunakan untuk menyatakan
struktur komunitasnya. Suatu komunitas dikatakan mempunyai
keanekaragaman yang tinggi jika komunitas tersebut disusun oleh banyak
spesies dengan kelimpahan spesies sama dan hampir sama. Sebaliknya jka
suatu komunitas disusun oleh sedikit spesies dan jika hanya sedikit spesies
yang dominan maka keanekaragaman jenisnya rendah.
Berdasarkan hasil pengolahan data lapangan,pada tumbuhan semak yang
diambil dari tiga tempat yang berbedan yaitu hutan cendani, hutan pinus dan
hutan campuran diperoleh hasil yaitu indeks keanekaragaman yang dihitung
dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener pada ketiga semak yang berada
pada tempat yang berbeda yaitu 1.38434, 1.46758 dan 1.59387 berada pada 1
< H’ < 3 artinya bahwa keanekaragaman jenis tergolong sedang.
Suatu komunitas yang sedang berkembang pada tingkat suksesi
mempunyai jumlah jenis rendah dari pada komunitas yang sudah
mencapai klimaks. Index keanekaragaman sedang artinya memiliki keragaman
spesies semak sedang, produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang
untuk pertumbuhan semak, tekanan ekologis sedang. Komunitas yang memiliki
keanekaragaman yang sedang tidak mudah terganggu oleh
pengaruh lingkungan. Jadi dalam suatu komunitas dimana
keanekaragamannya sedang akan terjadi interaksi spesies yang melibatkan
transfer energi, predasi, kompetisi dan niche yang lebih kompleks.
Menurut Barbour et al., (1987), indeks keanekaragaman spesies merupakan
informasi penting tentang suatu komunitas. Semakin luas areal sampel dan
semakin banyak spesies yang dijumpai, maka nilai indeks keanekaragaman
spesies cenderung akan lebih tinggi.
Nilai indeks keanekaragaman yang relatif rendah umum dijumpai pada
komunitas yang telah mencapai klimaks. Komunitas yang sangat stabil, meluas
secara regional, dan homogen, mempunyai indeks keanekaragaman lebih
rendah dibandingkan bentuk hutan mosaik atau secara regional diganggu secara
periodik oleh api, angin, banjir, hama, dan intervensi manusia. Biasanya setelah
gangguan berlalu,akan terjadi peningkatan keanekaragaman spesies sampai
pada suatu titik dimana komunitas mencapai klimaks. Selanjutnya setelah
klimaks ada kecenderungan indeks keanekaragaman menurun lagi.
Pada hasil data sangat relevan dengan pendapat Barbour et al., (1987)
karena pada seluruh stasiun pengamatan diperoleh nilai indeks keanekaragaman
yang relatif sama. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi habitat pada seluruh
stasiun pengamatan relatif homogen, apabila ditinjau dari aspek gangguan
terhadap ekosistem, karena pada semua tempat di Turgo tidak terjadi perusakan
secara periodik. Hal ini dapat dimengerti karena kawasan tersebut merupakan
kawasan konaservasi alam.
Dari ketiga index Shannon Winner pada semak di tiga tempat berbeda
memiliki perbedaan yaitu dari yang tertinggi di hutan campuran, hutan pinus
dan hutan cendani, namun ketiganya berada diantara 1 < H’ < 3. Perbedaan
index Shannon Winner ini dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu
- lokasi pengambilan data (area), lokasi pengambilan data semak dilakukan
pada pada tiga lokasi yang berbeda yaitu pada hutan campuran, hutan pinus
dan hutan cendani.
- faktor abiotik, dilihat dari hasil pengukuran factor abiotik yang dilakukan
pada tiga lokasi berbeda memiliki perbedaan yang nantinya mempengaruhi
tanaman semak yang tumbuh pada area itu juga. Tingginya
keanekaragaman jenis tersebut dikarenakan lingkungan mempunyai iklim
cocok untuk pertumbuhan. Factor abiotiknya yaitu Suhu (o C), kelembaban
(%), arah angin, kecepatan angin (m/s), intensitas cahaya (lux), tekstur
tanah, pH tanah, kelembaban Tanah (%)
Perbedaan lokasi membuat abiotik juga berbeda sehingga terdapat spesies
yang berbeda antar tiap lokasi. Dari data abiotik ketiga lokasi terdapat
perbedaan pada PH, suhu, kelembaban tanah, kelembaban udara, intensitas
cahaya. Hal ini bisa menyebabkan beberapa tumbuhan semak tumbuh hanya
pada hutan cendani, pinus ataupun campuran.
Dari hasil yang didapat terdapat anomaly data pada kelembaban tanah di
hutan cendani yang sebesar 0%. Hal ini mungkin terjadi karena kesalahan saat
penggunaan alat soil tester ataupun kerusakan alat.
 Indeks nilai penting dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu tempat
tumbuh atau factor lingkungan yang mendukung keberadaan jenis ini,
kemampuan beradaptasi dengan lingkungan serta dapat
mengembangkan diri secara cepat pada habitatnya. Jenis yang
mempunyai nilai indeks rendah menunjukkan jenis-jenis tersebut tidak
mempunyai peran penting dalam komunitas tersebut, akan tetapi
mempunyai pengaruh yang penting terhadap besarnya keanekaragaman
jenis penyusun hutan.
Secara ekologi dapat dikemukakan bahwa nilai penting (NP) yang
diperlihatkan oleh setiap spesies merupakan indikasi bahwa spesies yang
bersangkutan dianggap dominan di tempat tersebut, yaitu mempunyai nilai
frekuensi, densitas, dan dominansi lebih tinggi dibandingkan spesies lain.
Berdasarkan hasil pada hutan cendani Clidemia hirta merupakan spesies
dengan nilai penting paling tinggi, yaitu 1.04 %, hutan pinus Phyllostachys
aurea merupakan spesies dengan nilai penting paling tinggi, yaitu
87.2416% dan pada hutan campuran Clidemia hirta merupakan spesies
dengan nilai penting paling tinggi, yaitu 24.23%.
Nilai penting yang didapat secara ekologi merupakan spesies yang
dominan menguasai habitat dan dapat digunakan sebagai indikator habitat
di Turgo. Satu hal yang menarik dari hasil perhitungan nilai penting bahwa
sebagian besar spesies mempunyai nilai penting relatif rendah. Namun hal
ini tidak sesuai dengan hasil yang didapat, pada semak di hutan campuran
memiliki jumlah spesies yang ditemukan lebih besr yaitu 11 daripada yang
ditemukan pada hutan cendani sebesar 9, namun nilai pentingnya lebih
kecil pada hutan cendani. Hal ini bisa dikarenakan kesalahan pada saat
perhitungan.
Menurut Mueller dan Ellenberg (1974) komposisi vegetasi hutan alami
yang telah terbentuk dalam jangka panjang akan memperlihatkan
fisiognomi, fenologi, dan daya regenerasi yang lambat dan cenderung
mantap, sehingga dinamika floristik komunitas hutan tidak terlalu nyata
dan menyolok. Pergantian generasi atau regenerasi spesies seakan-akan
tidak tampak, akibatnya jarang dijumpai spesies tertentu yang dominan,
karena semua spesies telah beradaptasi dalam jangka waktu lama. Hal ini
juga merupakan salah satu factor yang menyebabkan tanaman semak pada
setiap lokasi berbeda. Ada yang ditemukan di hutan pinus namun tidak
ditemukan pada hutan cendani ataupun hutan campuran dan sebaliknya.

e. Keanekaragaman Vegetasi Herba


Herba merupakan tumbuhan pendek (0,3-2 meter) yang tidak mempunyai
kayu dan berbatang basah. Tanaman herba banyak mengandung air, dan
mempunyai jaringan lunak jika dibandingkan tumbuhan berkambium. Herba
merupakan tumbuhan yang tersebar dalam bentuk kelompok individu atau
soliter pada berbagai kondisi habitat seperti tanah yang lembab atau berair,
tanah yang kering,batu-batuan dan habitat dengan naungan yang rapat
(Nadziroh, 2014:1).
Tumbuhan ini memiliki organ tubuh yang tidak tetap di atas permukaan
tanah, siklus hidup yang pendek dengan jaringan yang cukup lunak. Sejumlah
herba menunjukkan bentuk-bentuk yang menarik warna serta struktur
permukaan daun yang sebagian besar darinya telah menjadi tanaman rumah
yang popular seperti jenis dari suku Araceae, Gesneriaceae, Urticaceae dan
lain-lain (Syahbuddin, 2012:12).
Berdasarkan dari ketiga data diperoleh nilai indek SW tertinggi terletak di
hutan campuran bagian kanan yaitu 1,54. Namun dari ketiga data diperoleh
indeks SW yang hampir sama , yaitu hutan campuran 1,34 dan hutan campuran
1,46. Berdasarkan teori jika kriteria nilai indeks keanekaragaman
ShannonWeiner Adalah H' < 1 = keanekaragaman rendah, H' 1─3=
keanekaragaman sedang,dan H' > 3 = keanekaragaman tinggi ( Cahyanto dkk.,
(2014:154) ). jadi dapat diperoleh informasi bahwa hutan Turgo memiliki
keanekaragaman tanaman jenis herba dalam tingkat sedang. Sedangkan
tanaman herba yang mendominansi adalah species Comelia diffusa. Ciri-ciri
tanaman ini adalah memiliki daun yang oval, dengan ujung yang runcing.
Tinggi tanaman ini tidak mencapai 30 cm.
Faktor yang mempengaruhi jumlah spesies di dalam suatu daerah adalah
iklim, keragaman habitat, dan ukuran. Daerah yang luas dapat menampung
lebih besar spesies diandingkan dengan daerah yang sempit. Sedangkan habitat
yang memiliki daerah beragam, memiiki kenekaragaman yang tinggi pula.
Berapa penelitian telah membuktikan bahwa hubungan antara luas dan
keragaman species (Harun, 1993). Berdasarkan data yang diperoleh jumlah
species paling banyak di temukan di Hutan campuran dengan total luas plot 64
m2 . sedangkan faktor-faktor abiotik juga mempengaruhi jenis tanaman yang
tumbuh di daerah tersebut. Seperti Ph tanah, kelembapan udara, kecepatan
angin dan intensitas cahaya. Hal ini dapat di buktikan dengan hasil pengamatan.
Di daerah cendani dan hutan campuran memiliki intensitas cahaya, ph tanah
dan tekstur tanah yang hampir sama. Sedangkan suhu dan kelembapan udara di
ketiga daerah tersebut juga hampir sama. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
faktor abiotik dapat mempengaruhi jenis species yang mendominansi di daerah
tersebut. Hal ini dapat dibuktikan bahawa pada daerah cendani dan campuran
yang intensitas cahayanya, tekstur tanah dan ph tanah yang hampir sama
didominansi oleh species Comelia diffusa .
f. Keanekaragaman Vegetasi Tegakan
Hutan hujan tropika merupakan komunitas tumbuhan yang bersifat selalu hijau,
selalu basah dengan tinggi tajuk sekurang-kurangnya 30 m. selain itu ciri penting dari
hutanhujan tropika adalah adanya tumbuhan berkayu, tumbuhan pemanjat dan epifit
berkayu dalam berbagai ukuran. Sama halnya dengan turgo yang memiliki kawasan
hutan tropika, dimana dikawasan hutan tersebut di jumpai beberapa spesies tegakan.
Dalam hasil pengamatan vegetasi tegakan diambil dua kawasan hutan yakni
kawasan bambu petung, dan kawasan hutan campuran. Berdasarkan hasil tabel,
diperoleh indeks keanekaragaman dengan menggunakan indeks Shannon-wienner
dengan urutan keanekaragaman vegetasi hutan petung > Campuran kiri > Campuran
kanan jika nominalkan 2.3 > 2,2> 1,8. Dengan begitu keanekaragaman vegetasi
tegakan pada kawasan hutan bambu petung yang paling beragam dengan kategori
sedang tinggi.
Adanya perbedaan keanekaragaman ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
karena adanya perbedaaan letak mengambil data yang berkibat dengan struktur tanah
kawasan tersebut, namun juga dapat dipengaruhi oleh faktor abiotik lain. Berdasarkan
tabel abiotik tegakan c.2. dapat kita persepsikan bahwa kawasan petung yang
memiliki index tertinggi suhu udara, kelembaban udara, dan kelembaban tanah
yang tertinggi. Namun pada kawasan tersebut memiliki angka intensitas cahaya
yang rendah, rendahnya angka ini dapat disebabkan oleh kanopi atau tajuk dari
tegakan yang berkaitan yang bayangannya dapat menutup permukaan tanah
yang didukung oleh fakta bahwa pada kawasan turgo sendiri merupakan
kawasan dataran tinggi dimana suhunya rendah dan kelembaban lebih tinggi
dari dataran rendah. Hal tersebut juga dapat menjadi faktor mengapa
kelembaban tanahnya bernilai tinggi, karena tanah pada kawasan tersebut
tertutup kanopi dan biasanya juga tertutup oleh sisa-sisa daun-daun sehingga
dapat mengurangi penguapan pada tanah.
Persebaran pada spesies tegakan yang ditemukan masing-masing kelompok juga
tidak seragam meski ada beberapa yang juga dijumpai. Perbedaan ini dapat
dipengaruhi dari faktor-faktor abiotik yang ada dan suksesi masing-masing tumbuhan.
Pada data yang didapat pada setiap kawasan memiliki struktur tanah yang berbeda ini
berpengaruh pada struktur anatomi dan fisiologi dari tumbuhan tersebut agar dapat
beradaptasi dengan lingkungan hidupnya.
Jika dilihat dari nilai pentingnya tiap kawasan memiliki spesies masing-masing
yang memiliki nilai penting untuk kawasan tersebut. Pada tabel kawasan hutan bambu
petung nilai penting tertinggi yang mencapai 54,76 pada spesies Dendrocalamus
asper atau bambu petung itu sendiri. Sesuai dengan namanya kawasan tersebut
didominasi oleh jenis tersebut. Bambu sendiri dapat tumbuh tinggi dan lebat sehingga
tajuk dan daun-daunnya dapat menutupi permukaan tanah sehingga memiliki
kelembaban yang tinggi. Sedangkan pada kawasan campuran kiri didominasi oleh
Schima wallichii dengan angka penting hanya sebesar 0,72, dan pada kawasan
campuran kanan didominasi oleh Maesopsis eminii yang mencapai angka 72.9 hal ini
berarti bahwa Maesopsis eminii sangat berpengaruh pada kawasan tersebut dan juga
kawasan tersebut sangat mendukung daya hidup tumbuhan tersebut.
Dari hasil perhitungan index similaritas yaitu index yang menunjukkan
perbandingan satu jenis spesies di habitat yang berbeda. Kriteria kesamaan suatu
habitat dapat dilihat apabila nilai IS<50% maka index tersebut rendah dan sebaliknya.
Dari praktikum dan perhitungan yang telah dilakukan pada kelompok 7 (habitat
bambu petung) terdapat 13 spesies terlampir, kelompok 8 (campuran kanan) terdapat
7 spesies dan pada kelompok 9 (Campuran kanan) terdapat 11 spesies. Hasil
perhitungan diperoleh hasil:
- Antara campuran kanan dan pentung IS = 13.334%
- Antara campuran kiri dan campuran kanan IS = 19.354%
- Antara campuran kiri dan petung IS=6.667%
Dari ketiga perbandingan jenis ketiga wilayah semuanya memiliki nilai index
similaritas yang rendah artinya jenis-jenis tanaman yang berada pada ketiga
wilayah tersebut tidak seragam atau memiliki perbedaan jenis tumbuhan yang
tumbuh tinggi. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor
abiotik sehingga mempengaruhi struktur fungsi./
BAB
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukan di hutan turgo ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Dalam penyusunan ekosistem terdapat dua komponen biotic berupa
pengaruh tumbuhan lain, organisme mikrobia, binatang dan dan juga
budaya yang biasanya menjadi faktor penting dalam terjaganya atau
rusaknya kawasan hutan. Dan faktor abiotik berupa cahaya, derajat
keasaman (pH) tanah, suhu atau temperatur,kelmbaban udara, kelembaban
tanah dan curah hujan.

2. Komponen abiotik sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan komponen


biotic. Karena pada dasarnya komponen biotik hidup dengan memiliki
strukrtur dan fungsi yang menyesuaikan keadaan lingkungan dimana dia
tumbuh. Pada hutan turgo ini merupakan hutan tropik yang lingkungannya
lembab dan suhu rendah, karenanya tumbuhan herba, semak, dan tegakan
tumbuh subur pada kawasan hutan turgo karena memiliki cadangan nutrisi
dan mineral untuk pertumbuhan yang mendukung dan melimpah.

3. Berdasarkan pengamatan dan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa


komponen penyusun antara abiotik dan biotik sudah stabil dalam
berinteraksi. Kedua faktor salng mempengaruhi, hal ini di buktikan bahwa
karena perbedaan suhu, intensitas cahaya, kelembapan udara dan tanah
menyebabkan daerah tersebut ditumbuhi oleh jenis tumbuhan yang berbeda.
4. Berdasarkan pengamatan dan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa
vegetasi di hutan turgo masih tergolong sedang. Hal ini berarti kestabilan
vegetasi di hutan turgo juga masih berada dalam tingkatan sedang.

5. Secara umum erupsi menyebabkan penurunannya jumlah jenis per satuan


luas dan menurunkan indeks keragaman jenis vegetasi (Gunawan, H. 2013:
14). Ekosistem memiliki daya lenting (resiliensi) yaitu dalam hal ini Hutan
Turgo memiliki kemampuan memulihkan dirinya sendiri secara alami
setelah mengalami gangguan, meskipun sebagian areal TNGM mengalami
kehilangan vegetasi dan menjadi hamparan abu vulkanik, namun masih ada
ekosistem hutan yang utuh yang tidak terkena dampak erupsi atau hanya
mengalami kerusakan ringan dan sedang. Vegetasi hutan yang tersisa
tersebut memiliki pohon-pohon yang menjadi sumber benih bagi
rekolonisasi areal terbuka di dekatnya. Proses rekolonisasi areal terbuka
dapat terjadi karena adanya proses pemencaran biji secara alami. Dengan
demikian maka dapat terjadi resortasi ekosistem sehingga dapat teramati
kembali analasis vegetasi yang berada di kawasan hutan lindung Turgo.
Secara logika yang pertama mengalami suksesi secara berurutan adalah
tumbuhan herba, semak, dan yang terkahir adalah tegakan. Oleh karenanya
dari pratikum ini diperoleh indeks keanekaragaman paling tinggi terdapat
pada tumbuhan herba dan kemudian semak. Sedangkan pada tegakan
suksesi dapat terjadi dari spesies asli atau dari spesies pendatang yang
berhasil mengalami suksesi
DAFTAR PUSTAKA

[SER Primer ] The SER International Primer on Ecological Restoration. 2004.


Societyfor Ecological Restoration International Science & Policy Working Group
(Version 2, October, 2004) (1). http://www.ser.org/content/
ecological_restoration_primer.asp. Diakses tanggal 31 Oktober 2107.
Altieri M. A. 1999. The ecological role of biodiversity in agroecosystems. Journal
Agriculture, Ecosystem & Environment. Wallingford, UK : CABI
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Yogyakarta.
Darmawijaya, M. Isa. 1990. Klasifikasi Tanah : Dasar Teori Bagi Peneliti Tanah
Dan Pelaksana Pertanian Di Indonesia. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Departemen Kehutanan. 1992. Pengelolaan Hutan Lestari (Booklet). Jakarta:
Departemen Kehutanan.
Emden, V.H.F dan Z.T. Dabrowski. 1997. Issues of biodiversity in pest management.
Insect Science and Applications
Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara
Fitter , A. H dan Hay, R. K. M. 1981. Fisiologi Lingkungan Tanaman.
Diterjemahkan oleh Sri Andani dan E. D. Purbayanti. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Gunawan, Hendra. 2013. Restorasi Ekosistem Merapi Pasca Erupsi. Bogor: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan.
Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara.
Krebs, 1978. Ecology. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance.
Trhid Edition Harper and Row Distribution, New York.
Kusmana, C., 1997. Metode Survei Vegetasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ludwig dan Reynold. 1988. Statistical Ecology. John Wiley and Sons; New York.
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and its Measurement. New Jersey:
Princeton University Press.
Michael, P. 1995. Metoda Ekologi Untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium.
Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Odum, E . P. 1972. Fundamentals of Ecology. W. B. Saunder Company
Philadelphia. London Toronto.
Oka, I.N., 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia.
UGM-Press, Yogyakarta.
Polunin, N. 1990. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Richard & Steven, 1988. Forest Ecosystem : Academic Press. San Diego. California.
Arief, A. 1994, Hutan Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Untung, K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. UGM Press. Yogyakarta.
Barbour, G.M., J.K. Burk and W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology.New
York: The Benyamin/Cummings Publishing Company, Inc
Setiadi Dede,2004. Jurnal keanekaragaman Spesies Tingkat Pohon di Taman
WisataAlam Ruteng, Nusa Tenggara Timur.Bogor: B I O D I V E R S I T A S.
Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium
Ekologi. ,Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor

Anda mungkin juga menyukai