Alutsyah Luthfian
01
25 Desember 2014
Dieng adalah nama sebuah dataran tinggi di Provinsi Jawa Tengah. Secara sempit,
kawasan Dieng melingkupi dataran yang masuk ke dalam Desa Dieng Kulon (Kabupaten
Banjarnegara) dan Desa Dieng (Kabupaten Wonosobo). Umumnya orang mengenal kawasan
Dieng dalam arti yang lebih luas, yaitu mencakup dataran tinggi yang membentang dari
Kecamatan Batur di Kabupaten Banjarnegara hingga Kecamatan Kejajar dan Desa Maron di
Kabupaten Wonosobo.
Kata “Dieng” berasal dari Bahasa Jawa Kuno Di Hyang yang berarti “kediaman para
Dewa”. Kata Di Hyang berevolusi menjadi Diheng pada abad ke-14 (menurut naskah Bujangga
Manik) sebelum akhirnya menjadi Dieng. Dari analisis bangunan candi, kawasan tersebut telah
dihuni setidaknya sejak tahun 700 Masehi. Sebuah prasasti yang ditemukan di Dieng berasal dari
tahun 869 Masehi (Sundberg, 2006). Pada masa itu, penghuninya adalah pendeta-pendeta Hindu
Kawasan Dieng pada masa lalu memiliki suasana yang sepi, terpencil, dan jauh dari
aktivitas duniawi. Hal tersebut menarik sebagian kecil manusia untuk bersemedi di sana. Namun,
seiring berjalannya waktu, manusia tidak datang ke sana hanya untuk bersemedi, namun juga
untuk memanfaatkan tanahnya yang subur. Mineral-mineral yang menyuburkan tanah Dieng
Di kawasan Dieng, ada 25 kerucut gunungapi yang dapat dikenali dengan baik. Kerucut-
kerucut gunungapi tersebut sebagian besar terbentuk pada kala Pleistosen, hanya tujuh kerucut
yang kemungkinan terbentuk pada kala Holosen. Aliran lava terakhir di kawasan Dieng terjadi
pada tahun 50 SM (± 100 tahun), berdasarkan spesimen yang ditemukan oleh Delarue (1980) di
Dari 25 kerucut gunungapi di Dieng, enam di antaranya terdiri dari material berkomposisi
andesitik, yaitu Gunung Prambanan, Gunung Sikunir, Kawah Siglagah, Gunung Pangonan dan
Telaga Merdada, Gunung Petarangan dan Telaga Menjer, dan Gunung Jimat. Sementara itu,
kerucut-kerucut gunungapi lain di Dieng tersusun dari material yang komposisinya beragam.
beku basa bercampur dengan batuan-batuan beku yang asam. Hal ini terjadi karena proses
diferensiasi pada magma yang naik pada tiap-tiap kerucut. Proses diferensiasi adalah
Luthfian 3
pembanyakan jenis magma dari satu jenis magma asal di dalam suatu ruang karena hal-hal
2. Kristalisasi bertingkat,
batuan beku yang komposisinya basaltik (basa) hingga andesitik atau dasitik. Batuan-batuan
beku seperti andesit dan dasit sangat umum terbentuk ketika sebagian besar magma sudah
terkristalisasi. Saat sebagian besar magma sudah terkristalisasi, gas-gas telah terpisah darinya
dan berkumpul di leher gunungapi. Gas tersebut bertekanan tinggi, menyebabkan letusan
penghasil batuan beku andesitik atau dasitik umumnya eksplosif dan menghasilkan kawah
berbentuk melingkar dengan diameter puluhan hingga ribuan meter. Kawah-kawah hasil letusan
vulkanik eksplosif ini dapat ditemui di banyak tempat, misalnya di Telaga Warna, Gunung
Kendil, Gunung Bisma, Gunung Pangonan, Gunung Butak, dan Gunung Pagerkandang. Kawah
terbesar di kawasan Dieng adalah Kaldera Prau, yang diameternya diperkirakan 5 km, dengan
Luthfian 4
tembok kawah setinggi hampir 600 meter. Kaldera Tlerep merupakan kawah terbesar kedua
Pembentukan Kaldera Prau merupakan kejadian yang paling kolosal dalam sejarah
geologi gunungapi Dieng. Peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 19000 SM dan memuntahkan
78 km3 material vulkanik ke sekitarnya (VOGRIPA, 2014). Umur dari batuan1 Kaldera Prau
adalah 3,6 juta tahun (Boedihardi et al., 1991). Setelah pembentukan Kaldera Prau, mulailah
aktivitas-aktivitas vulkanik pasca kaldera yang pertama, dengan ciri utama letusan terakhir yang
bersifat eksplosif. Gunungapi-gunungapi berikut terbentuk pada episode vulkanik pasca kaldera
1. Gunung Bucu,
7. Gunung Pagerkandang (Sipandu, umur batuan 460 ribu tahun) dan Kawah Siglagah.
8. Gunung Pangonan dan Telaga Merdada (umur batuan 370 ribu tahun, menurut Sukhyar et
al. (1986) salah satu letusannya terjadi sekitar tahun 15000 SM),
terbentuk pada episode vulkanik pasca kaldera yang pertama, namun terletak di luar
1
Umur Batuan berbeda dengan waktu letusan. Umur batuan dihitung sejak batuan tersebut mengkristal
(walaupun masih berwujud magma), perhitungan menggunakan metode K/Ar. Waktu letusan dihitung lewat bangkai
makhluk hidup yang ditemukan pada endapan atau lava, perhitungan menggunakan metode radiokarbon.
Luthfian 5
Episode vulkanik pasca kaldera yang pertama ini menghasilkan Tuf Dieng. Tuf Dieng
terdiri atas abu gunungapi, lapilli, pecahan batuan, dan batuapung dalam matriks lempung.
Kadang kita bisa menjumpai tanah kuno di antara lapisan tuf. Bagian atas satuan ini telah
melapuk menjadi tanah yang sangat porous di beberapa tempat, dan mudah longsor saat musim
hujan.
2
1
Gambar 3 A) Kerucut Gunungapi Pagerkandang, salah satu kelompok gunungapi yang terbentuk pada Episode Vulkanik Pasca
Kaldera yang Pertama. Dahulu di atas gunung ini terdapat perkampungan, namun menyusul ancaman letusan di Kawah
Pagerkandang pada dekade 1960-an, warga pindah dari daerah tersebut menuju Dusun Pawuhan dan Dusun Simpang. B) Kerucut
Gunungapi Kendil (tanda 1), yang terbentuk pada Episode Vulkanik Pasca Kaldera yang Kedua. Lereng di latar depan adalah
bagian dari Igir Binem, gunungapi yang melahirkan Telaga Warna. Sementara tanda (2) menunjukkan Gunungapi Pakuwojo,
yang letusan terakhirnya pada tahun 50 SM (± 100 tahun) menghasilkan lava latit kental. Foto diambil penulis dari Masjid
Baiturrohman, Dieng Kulon.
Luthfian 6
gunungapi tersebut menghasilkan lava andesit, latit, dan dasit yang ditutupi oleh lapisan debu
dan abu vulkanik setebal 1 hingga 1,5 meter. Untuk membedakannya dari episode sebelumnya,
rangkaian aktivitas gunungapi tersebut dinamai “Episode Vulkanik Pasca Kaldera yang Kedua”.
Episode vulkanik pasca kaldera yang kedua ini membangun kerucut-kerucut gunungapi berikut:
1. Gunung Kendil,
2. Gunung Watusumbul
3. Gunung Pakuwojo,
4. Gunung Prambanan,
5. Gunung Sikunir.
Dalam episode vulkanik pasca kaldera yang kedua ini, Gunung Kendil diperkirakan
merupakan yang pertama terbentuk. Setelah Gunung Kendil, kemudian dibangunlah kerucut
Gunung Pakuwojo, Gunung Prambanan, dan yang terakhir, Gunung Sikunir. Ada kemungkinan
setiap kerucut gunungapi tersebut meletus lebih dari sekali; contoh yang paling kentara dapat
dilihat pada Gunung Kendil dan Gunung Pakuwojo. Lava Gunung Kendil dari rangkaian
letusannya yang tertua bersifat andesitik dan mengalir ke timur serta ke utara hingga memasuki
Telaga Warna, sementara lavanya yang terakhir (dikeluarkan sekitar tahun 6590 SM) bersifat
dasitik dan mengalir 3,5 km ke barat. Sebagaimana Gunung Kendil, lava dari letusan-letusan
Gunung Pakuwojo yang tertua juga bersifat andesitik, namun lavanya yang terakhir bersifat lebih
asam dan membeku menjadi batu latit berkuarsa (Zen, 1971, Sukhyar et al., 1986, dan
Lava dari episode vulkanik pasca kaldera yang kedua ini mengalir secara tidak merata.
Daerah-daerah lembah yang jalur aliran airnya terbendung oleh lava berubah menjadi cekungan.
Karena curah hujan di Dieng cukup tinggi (melebihi 3000 mm per tahun) maka cekungan
tersebut dengan segera terisi oleh air dan menjadi danau. Ada dua buah danau yang terbentuk
lewat mekanisme ini, yaitu Telaga Cebong dan Telaga Balekambang. Umur Telaga Cebong lebih
tua dibanding Telaga Balekambang; Sajekti (2009) menemukan sedimen yang berasal dari abad
17 SM di sebelah barat Telaga Cebong, sementara itu sedimen tertua di Telaga Balekambang
berasal dari masa yang tidak lebih tua dari abad ke-5 M (Pudjoarinto, 2001).
5
3
1
4
2
Gambar 4 Panorama Telaga Cebong, Desa Sembungan, dan Gunung Sidede (1). Desa Sembungan
merupakan desa tertinggi di Pulau Jawa, dengan elevasi sekitar 2120 meter di atas permukaan laut.
Sementara itu, lereng di sebelah kiri gambar (2) adalah bagian dari kerucut Gunungapi Seroja.
Lereng di sebelah kanan gambar merupakan bagian dari kerucut Gunungapi Pakuwojo (3)
dan Gunungapi Prambanan (4). Aliran lava dari Gunung Kendil ditandai dengan nomor (5).
Foto diambil penulis dari puncak kubah lava Gunungapi Sikunir (2268 meter di atas permukaan laut).
Luthfian 8
Pada masa kini, kegiatan vulkanik di Dieng lebih banyak disemarakkan oleh letusan-
letusan freatik, eksplosif, dan hidrotermal2, kadang-kadang terjadi pula letusan eksplosif skala
kecil. Setidaknya ada 23 buah letusan yang terjadi selepas aliran lava Pakuwojo terbentuk sekitar
tahun 50 SM. Ke-21 letusan tersebut dituliskan dalam daftar di bawah (Siebert et al., 2011).
2
Letusan freatik terjadi ketika magma naik dan bersentuhan dengan air tanah, sehingga
terbentuk uap bertekanan tinggi yang kemudian meledak, memecahkan batuan di atasnya dan membentuk
kawah. Letusan eksplosif terjadi akibat pemuaian/peningkatan volume gas-gas magmatik bertekanan
tinggi di dalam leher gunungapi, sehingga mampu melontarkan bebatuan di atasnya. Letusan
hidrotermal terjadi saat magma memanaskan air tanah secara tidak langsung, sedemikian sehingga air
tanah menguap menjadi uap bertekanan tinggi yang memuai dan melontarkan bebatuan di atasnya.
Luthfian 9
Dekat Candi Letusan freatik pada tanggal 23 Januari 1993 dengan nilai
1993
Pandawa Lima VEI sebesar 1.
Dekat Kawah Letusan freatik pada tanggal 31 Desember 1996 dengan nilai
1996
Padangsari VEI sebesar 1.
Letusan freatik pada bulan Juli 2003 dengan nilai VEI
Kawah Sileri 2003
sebesar 1. Produk letusan berupa lumpur.
Letusan eksplosif dan freatik pada tanggal 15 Januari 1993
Kawah Sibanteng 2009
dengan nilai VEI sebesar 1. Produk letusan berupa lumpur.
Letusan freatik pada tanggal 27 September 2009 dengan
Kawah Sileri 2009
nilai VEI sebesar 1. Produk letusan berupa lumpur.
Daftar di atas tidak memasukkan peristiwa hembusan gas beracun dan semburan lumpur
skala kecil yang tidak dibarengi peristiwa letusan. Letusan-letusan yang pernah terjadi namun
waktunya belum ditentukan juga tidak dimasukkan dalam daftar. Delarue (1980) membedakan
Gambar 5 Korban gas vulkanik hasil erupsi Telaga Sinila dan Kawah Sigludug tahun 1979.
Sumber foto: Pepeng - http://escoret.net/personal/tragedi-sinila-20-februari-1979/
1.) Erupsi freatik yang terjadi setelah penumpukan uap bertekanan tinggi di dalam batuan,
Kawah Sikidang.
2.) Erupsi freatik yang terjadi akibat uap panas mendesak lewat celah yang dibentuk oleh
3.) Erupsi freatik yang terjadi saat pembentukan dyke. Dyke yang naik akan meretakkan
batuan inang dan menguapkan air yang ada di dalamnya. Uap air di dalam batuan akan
mendesak keluar lewat retakan dan mengakibatkan letusan. Erupsi freatik dengan
mekanisme seperti ini pernah berlangsung di Gunung Kendil (tanggal letusan tidak
diketahui).
Luthfian 12
4.) Erupsi freatik yang terjadi ketika lava memasuki suatu perairan, sebagaimana yang
Seluruh endapan vulkanik Dieng dari Zaman Kuarter yang terbentuk sebelum letusan
Gunung Prahu secara kolektif disebut “Satuan Vulkanik Jembangan Timur”. Satuan vulkanik ini
terdiri atas breksi aliran, piroklastik, lahar, aluvium, dan lava yang bersifat andesitik. Di
beberapa tempat, kita dapat menemui batuan basalt olivin dalam satuan vulkanik Jembangan
Timur. Kerucut-kerucut gunungapi yang menghasilkan satuan ini antara lain adalah Gunung
Di sebelah selatan Kawasan Dieng, Satuan Vulkanik Jembangan Timur ini menindih
sebuah satuan geologi berumur Pliosen Akhir hingga Pleistosen Awal. Satuan ini terdiri atas
breksi vulkanik berfragmen andesit, lava andesit hornblenda, dan tuff. Condon et al. (1996)
Luthfian 13
menamai satuan tersebut sebagai Anggota Breksi Formasi Ligung. Secara regional, satuan ini
Formasi Kalibiuk adalah alas dari Satuan Vulkanik Jembangan Timur di sebelah barat
dan utara Kawasan Dieng. Batuan-batuan penyusun Formasi Kalibiuk ini adalah napal dan
batulempung dengan sisipan tuf pasiran di bagian atas formasi. Napal dan batulempung berwarna
kelabu kebiruan, banyak fosil moluska dari Kala Pliosen yang ditemukan oleh Oostingh (1935)
di sini. Lingkungan pengendapan Formasi Kalibiuk adalah zona pasang-surut (Condon et al.,
1996). Karena memiliki kesamaan litologi dan umur fosil, Formasi Kalibiuk ini berkorelasi
dengan satuan Lapisan Marin pada peta geologi lembar Semarang yang dibuat oleh Thaden et al.,
(1975).
Bagian bawah dari Formasi Kalibiuk menjemari dengan suatu satuan geologi yang terdiri
atas breksi vulkanik bersifat andesitik dan batupasir tufan. Satuan tersebut berasal dari Kala
Pliosen dan diberi nama Anggota Breksi Formasi Tapak. Dalam satuan ini, breksi vulkanik
dipotong oleh urat-urat kalsit, sementara itu fosil tumbuhan dapat ditemui di dalam batupasir
tufan. Anggota Breksi Formasi Tapak ini dapat dikorelasikan dengan Formasi Peniron yang
Selain terkenal karena pemandangan alam, budayanya yang unik, dan candi-candi
Hindunya, kawasan Dieng juga dikenal karena manifestasi panas buminya. Manifestasi panas
bumi di kawasan Dieng meliputi fumarol, mofet, kolam lumpur, dan mata air panas. Manifestasi-
panas bumi di kawasan tersebut dikontrol oleh struktur geologi berupa graben Sindongkal
b. Kawasan Kawah Sileri dan sekitar Desa Bitingan. Kemunculan manifestasi panas bumi di
d. Telaga Warna. Keberadaannya diatur oleh adanya struktur geologi berupa kawah dan
dapur magma.
e. Kawasan lereng selatan Gunung Pangonan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah
f. Kawasan sebelah utara Gunung Bisma dan Sikunang. Manifestasi di sini berupa mata air
panas dan fumarol dekat Desa Pulosari, serta mofet dekat Desa Sikunang. Keberadaannya
g. Kawasan lereng utara Gunung Pakuwojo. Manifestasi di sini berupa fumarol, yang
Survey geolistrik, TEM dan AMT di Kawasan Dieng pertama kali dilaksanakan oleh
“Group Seven” pada bulan Juli hingga Agustus 1970. Survey ini dilaksanakan demi menetapkan
panas bumi. Survey geolistrik menghasilkan sebuah peta kontur tahanan jenis nampak (ρa) untuk
Luthfian 16
seluruh Kawasan Dieng, sementara survey TEM menghasilkan sebuah kurva tahanan jenis
nampak untuk satu titik dekat Kawah Sikidang. Nilai ρa yang cukup rendah (di bawah 2,5 Ωm)
didapatkan di kawasan sekitar Kawah Candradimuka, Kawas Sileri, dan Kawah Sikidang.
Sementara itu, hasil survey TEM adalah model bumi dua lapis untuk Kawah Sikidang, berupa
satu lapisan dengan ρ = 1,1 Ωm setebal 195 meter yang menutupi lapisan dengan ρ = 11 Ωm
Dari ketiga anomali nilai ρa yang ditemukan oleh “Group Seven”, Muffler (1971)
memberikan rekomendasi kepada para peneliti sesudahnya untuk menelaah kawasan Kawah
Sileri, Dieng Kulon, dan Kawah Sikidang lebih dalam. Muffler (1971) tidak menyarankan untuk
mengembangkan kawasan Kawah Candradimuka dan sekitarnya karena ‘ukuran anomali yang
kecil dan aktivitas kawah yang giat’. Sebagai tindak lanjut atas laporan Muffler tahun 1971 itu,
Pertamina melaksanakan survey MT dan gravitasi di kawasan Dieng Timur. Pada tahun 1977 –
1994, Pertamina membuat sebanyak 27 sumur berdasarkan hasil survey AMT dan gravitasi
tersebut. Dari 27 sumur yang dibuat Pertamina, 14 di antaranya produktif dan mampu
menghasilkan energi listrik sebanyak 85 MW. Himpurna California Energy “HCE” melanjutkan
usaha pemanfaatan energi listrik di Dieng pada akhir 1994. HCE mampu membuat 18 sumur,
dengan 15 sumur telah diuji dan produktif. Pada tahun 1998, HCE berhasil membuat pembangkit
listrik tenaga panas bumi di Dieng, yang mampu menghasilkan energi sejumlah 60 MW dari uap
sumur miliknya dan Pertamina. Saat ini, pembangkit listrik 60 MW itu dioperasikan oleh PT Geo
Gambar 9 Peta anomali Bouguer sisa dari survey gravitasi yang dilaksanakan oleh Pertamina.
Dalam peta ini, dapat dilihat zona-zona anomali terkait: Sileri, Sikidang (B), Pakuwojo (A), dan Siglagah (C).
Peta diambil dari artikel “Evaluation of the Dieng Geothermal Field; Review of Development Strategy”
oleh Boedihardi et al., 1991.
Survey AMT dan gravitasi yang dilakukan Pertamina berhasil mendelineasi zona-zona
anomali geofisika yang terkait manifestasi panas bumi dan magmatisme di Kawasan Dieng
Timur. Selain zona anomali Sikidang dan Sileri, hasil survey Pertamina menambahkan dua buah
zona anomali lagi, yaitu zona anomali Pakuwojo dan zona anomali Siglagah. Pada daerah-daerah
yang berkaitan dengan aktivitas panas bumi dan magmatisme, nilai anomali sisa gravitasi kurang
dari -4 mgal, sementara nilai konduktivitas total (hasil survey AMT) melebihi 1000 mho.
Pengecualian terjadi di zona anomali Siglagah, yakni nilai anomali sisa gravitasi yang positif.
Luthfian 18
Melalui pengeboran oleh Pertamina, diketahui bahwa reservoar fluida panas bumi di
sekitar Kawah Sileri, Sikidang, dan Pakuwojo seluruhnya bersuhu 320°C (kecuali reservoar di
Kawah Siglagah yang suhunya 300°C). Fluida reservoar di bawah Kawah Sileri dan Kawah
Siglagah adalah campuran air asin dengan gas. Di bawah Kawah Sikidang, fluida reservoarnya
berupa air asin dengan tudung uap. Sementara itu, di bawah Gunung Pakuwojo reservoarnya
berisi air asin. Fluida yang terdapat di dalam reservoar-reservoar tersebut bersifat asam, dengan
pH berkisar antara 4,1 hingga 6,4. Satu sumur di selatan Kawah Sikidang menjumpai fluida
Reservoar panas bumi yang paling baik permeabilitasnya dicapai di sumur DNG-10 dekat
reservoar di bawah Kawah Sikidang memiliki permeabilitas yang lebih kecil, yakni 15
miliDarcy. Kedua reservoar tersebut memiliki litologi berupa breksi tufan dan lava. Sementara
itu, sumur-sumur yang digali di zona anomali Pakuwojo umumnya menemui reservoar berupa
intrusi diorit yang teretakkan, dengan permeabilitas kurang dari 4 miliDarcy. Kedalaman intrusi
diorit ini berkisar antara 1400 meter (pada sumur DNG-6 di lereng timur Gunung Pangonan)
hingga 2300 meter di bawah permukaan tanah (pada sumur DNG-18 di sebelah selatan Telaga
Warna).
Fluida pengisi reservoar panas bumi yang naik ke permukaan, baik muncul sebagai
manifestasi ataupun tidak, akan bereaksi dengan material yang dilewatinya. Material yang telah
bereaksi dengan fluida panas bumi ini akan berubah sifat fisika dan kimianya, dalam kata lain
material tersebut telah teralterasi. Ganda dan Suroto (1985) menemukan tiga ragam alterasi
utama di kawasan Dieng, yakni alterasi argilik, propilitik, dan filik “phyllic”. Ketiga tipe alterasi
1. Alterasi argilik ditemukan di lokasi manifestasi panas bumi hingga kedalaman sekitar
1100 – 1300 meter, dengan suhu material berkisar antara 150°C - 250°C. Ragam
alterasi ini dicirikan oleh keberadaan mineral lempung yang tahanan jenis dan
permeabilitasnya sangat rendah. Material yang telah menjalani alterasi argilik banyak
berperan sebagai batuan penudung “cap rock” pada sistem panas bumi Dieng.
2. Alterasi propilitik ditemukan pada kedalaman 1100 – 2400 meter dari permukaan
tanah, dengan suhu material berkisar antara 250°C - 300°C. Mineral-mineral seperti
epidot, kuarsa, kalsit, ilit “illyte”, dan klorit berhubungan dengan ragam alterasi ini.
3. Alterasi filik dapat ditemukan mulai kedalaman 1600 meter pada sumur DNG-16 (di
sebelah timur Gunung Pangonan). Pada sumur DNG-18 (di sebelah selatan Telaga
Warna) alterasi filik mulai pada kedalaman 2400 meter dari permukaan tanah. Suhu
material yang sedang menjalani alterasi ini lebih panas dari 300°C. Pengecualian
terjadi di reservoar bawah Gunung Pakuwojo, tempat ditemukannya zona alterasi filik
dengan suhu 290°C. Kemungkinan besar, material di bawah Gunung Pakuwojo ini
sedang mendingin. Penanda utama ragam alterasi filik adalah keberadaan mineral
aktinolit. Nilai tahanan jenis material yang telah menjalani alterasi filik cenderung
tinggi.
memiliki sifat reservoar yang berbeda dengan kawasan Dieng Timur. Zen (1970) memperkirakan
bahwa reservoar sistem panas bumi di kawasan Dieng Barat adalah batuan sedimen yang
singkapannya ditemukan oleh Padang (1936) dan Gunawan (1964) di Desa Pejawaran.
Singkapan batuan sedimen yang ditemukan oleh Padang (1936) dan Gunawan (1964) di Desa
Luthfian 20
Pejawaran terdiri dari batupasir, serpih, dan napal3. Penemuan pecahan koral, batugamping, dan
serpih pada endapan hasil letusan Kawah Sinila tahun 1979 oleh Sukhyar et al. (1986) semakin
menguatkan dugaan bahwa reservoar panas bumi di sana adalah batuan sedimen.
Belum pernah ada sumur yang dibor di kawasan Dieng Barat, sehingga sulit untuk
mengetahui sifat fisis dan kimia dari reservoar geotermal dan fluida pengisinya di sini.
Menggunakan isotop C-13, Allard et al. (1989) memperkirakan bahwa suhu reservoar di sana
berkisar antara 290°C - 300°C. Lapisan penudung reservoar panas bumi di kawasan Dieng Barat
adalah endapan piroklastik dan lahar, baik yang segar atau telah teralterasi.
Gambar 10 Seorang petani sedang menggarap lahannya yang terletak tepat di atas Kawah Timbang.
Dalam foto, Kawah Timbang tengah mengeluarkan gas vulkanik penuh dengan karbon dioksida yang mematikan.
Foto diunggah di https://ssl.panoramio.com/photo/87973915 pada Maret 2013.
Satu hal yang khas dari manifestasi panas bumi di kawasan Dieng Barat adalah kadar gas
CO2 yang sangat tinggi, dengan kandungan uap air yang sangat sedikit. Kadar gas CO2
maksimum yang didapatkan Allard et al. (1989) di Kawah Sigludug (salah satu kawah di kawsan
Dieng Barat) adalah 98,2%, jauh lebih tinggi dari kawah-kawah di kawasan Dieng Timur.
3
Singkapan batuan sedimen tersebut oleh Condon et al. (1996) dimasukkan ke dalam Formasi Kalibiuk.
Luthfian 21
Sementara itu, kandungan uap air dari gas vulkanik Kawah Sigluduk mendekati 0%. Hal ini
berkebalikan dengan kondisi gas-gas vulkanik dari kawah-kawah kawasan Dieng Timur, yang
CO2 yang terakumulasi dalam reservoar panas bumi di kawasan Dieng Barat berasal dari
magma yang sedang melepaskan kandungan gasnya secara perlahan-lahan. Sebagian kecil gas
ada yang mampu keluar lewat retakan atau patahan, menjadi mofet. Ketika volume gas yang
terakumulasi cukup besar, maka tekanan gas di dalam reservoar menjadi kuat. Menurut Allard et
al. (1989), gas CO2 bertekanan tinggi ini memindahkan kandungan air dari reservoar ke lapisan
penudung. Tekanan gas CO2 yang tinggi akan meretakkan reservoar dan mendorong lapisan
penudung jenuh air. Proses peretakan dan pendorongan ini dapat dideteksi sebagai gempa. Saat
tekanan gas di dalam reservoar tidak mampu ditangkal oleh lapisan penudung, maka terjadilah
letusan freatik yang diikuti oleh pelepasan gas CO2 yang sangat pekat.
Gambar 11 Seorang warga Dieng mengamati rumahnya yang rusak setelah guncangan gempa tektonik yang
bersumber dari patahan di Desa Candigugur, Batang. Gempa itu terjadi pada 19 April 2013 pukul 19:00 WIB.
Kekuatan gempa adalah 4,8 SR dengan kedalaman pusat gempa 10 km dari permukaan tanah.
Foto diambil dari Tribunnews.com - http://www.tribunnews.com/regional/2013/04/22/warga-dan-
relawan-bersihkan-reruntuhan-gempa.
Luthfian 22
Di kawasan Dieng, dapat ditemui struktur-struktur geologi berupa sesar, graben, dan
Kelompok struktur geologi berarah utara-selatan di antaranya adalah Graben Sidongkal, Graben
Batur, dan Depresi Batur. Struktur berarah utara-selatan juga dapat ditemui di Desa Pulosari,
Gunung Tlerep (Telerejo), dan lereng Gunung Prahu. Struktur-struktur geologi seperti Horst
Ratamba, sesar-sesar yang memotong Graben Sidongkal, sesar yang memotong Gunung Prahu,
dan sesar yang memotong Gunung Tlerep, kesemuanya adalah struktur geologi yang memiliki
PETA REFERENSI
DAFTAR PUSTAKA
Allard, P., D. Dajlevic dan C. Delarue. “Origin of carbon dioxide emanation from the 1979
Dieng eruption, Indonesia: Implications for the origin of the 1986 Nyos catastrophe.”
Bergen, Manfred J. van, et al. Crater lakes of Java: Dieng, Kelud and Ijen (Excursion
Boedihardi, M., Suranto dan S. Sudarman. “Evaluation of The Dieng Geothermal Field; Review
347-361.
Calibugan, A.A., et al. “Subsurface Geology and Hydrothermal Alteration in Dieng Geothermal
Field, Central Java, Indonesia.” Proceedings of the 3rd International Symposium of Earth
2006. 443-445.
Condon, W.H., et al. “Peta Geologi Lembar Banjarnegara dan Pekalongan, Jawa.” Peta Geologi
Dan Miller, C., et al. “Eruptive History of The Dieng Mountains Region, Central Java, and
waargenomen gedurende het jaar 1895.” National Tijdschrift van Nederlandsch Indie
(1897): 81-125.
Luthfian 25
Gunawan, R. Geological investigations in the Dieng area, Central Java. Thesis. Bandung:
Harijoko, Agung, et al. “Long-Term Volcanic Evolution Surrounding Dieng Geothermal Area,
Jacobson, J.J., J.I. Pritchard dan G.V. Keller. “Electrical Geophysical Survey of The Dieng
Layman, Erik B., Irzawadi Agus dan Samsudin Warsa. “The Dieng Geothermal Resource,
Marsudi. Prediksi Laju Amblesan Tanah di Dataran Aluvial Semarang Propinsi Jawa Tengah.
Muffler, L.J.P. Evaluation of Initial Investigations Dieng Geothermal Area, Central Java,
Newhall, Christopher G. dan Daniel Dzurisin. Historical Unrest at Large Calderas of the World.
Noorduyn, J. “Bujangga Manik's Journeys Through Java: Topographical Data from An Old
Nurpratama, M. Istiawan, et al. “Detailed Surface Structural Mapping of the Dieng Geothermal
Oostingh, C. H. Die mollusken des pliozans von Boemiajoe (Java). Bandung: Wetenschappelijke
Padang, Neumann van. “Het Diëng gebergte.” Jubileum-Uitgave De Tropische Natuur (1936):
27-35.
“Preliminary Report On The Geophysical Survey Of The Dieng Mountains Of Central Java
340.
Sajekti, Andjarwati Sri . “An indication of Holocene environmental change based on the
palynological research in Telaga Cebong, Dieng Plateau, Central Java, Indonesia.” PhD
Thesis. 2009.
Siebert, Lee, Tom Simkin dan Paul Kimberly. Volcanoes of The World. Berkeley: University of
Sukhyar, R., N.S. Sumartadipura dan W. Effendi. “Peta Geologi Kompleks Gunungapi Dieng,
Jawa Tengah.” Penyunt. Adjat Sudradjat dan A.C. Effendi. Bandung: Direktorat
Sundberg, Jeffrey Roger. “Considerations on the dating of the Barabuḍur Stūpa.” Journal of the
Suroto dan Ganda. Subsurface Hydrothermal Alteration in the Dieng Prospect, Central Java.
Thaden, Robert E., Harli Sumadirdja dan Paul W. Richards. “Peta Geologi Lembar Magelang
dan Semarang.” Peta Geologi Bersistem Indonesia. Bandung: Pusat Penelitian dan
Zen, M.T. dan V.T. Radja. “Result of the preliminary geological investigation of natural steam
Zen, M.T. “Geothermal System of The Dieng-Batur Volcanic Complex.” Proceedings ITB
(1971): 23-38.