Buku Pendidikan Pancasila 2019-1
Buku Pendidikan Pancasila 2019-1
Gotong royong juga tercermin pada sistem perpajakan di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena masyarakat secara bersama-sama mengumpulkan iuran
melalui pembayaran pajak yang dimaksudkan untuk pelaksanaan pembangunan.
E. Esensi dan Urgensi Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia untuk
Masa Depan
1. Esensi Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa
Pancasila pada hakikatnya merupakan philosofische Grondslag (Dasar
filsafat negara) dan Weltanchauung (Pandangan hidup bangsa). Sebagai dasar
filsafat negara, Pancasila mengandung alasan berdirinya suatu negara; setiap
produk hukum di Indonesia harus berdasarkan nilai Pancasila. Pancasila
dipergunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan negara, dengan kata lain
Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara.
Menurut Darmodiharjo ,dkk (1991), Pengertian Pancasila sebagai dasar negara
seperti telah diuraikan sesuai dengan bunyi pembukaan UUD 1945,
bahwa:”....maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
undang-undnag dasar negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat...”.
Sebagai pandangan hidup bangsa (Weltanchauung), menurut Pancasila
mengandung unsur-unsur sebagai berikut: nilai-nilai agama, budaya, dan adat
istiadat.
2. Urgensi Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa
Justifikasi Pancasila untuk kepentingan rezim penguasa, rendahnya
pemahaman dan implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menunjukkan betapa urgennya
Pancasila sebagai dasar fisafat bangsa dan pandangan hidup bangsa dan negara
untuk dikaji, di pelajari dan disosialisasikan pada segala lapisan masyarakat dan
penyelenggara negara. Selain itu, perlu dicari faktor penyebab mengapa
pemahaman dan implementasi tentang nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat dan
penyelenggara negara secara umum rendah. Pemberitaan mengenai korupsi,
kolusi dan nepotisme dalam birokrasi, perilaku barbarian dalam kehidupan
masyarakat yang menunjukkan peningkatan, perilaku main hakim sendiri, tawuran
pelajar, maraknya tindakan asusila, rendahnya toleransi antar umat beragama,
umat seagama, dan penganut agama dan pemerintah, adanya kelompok-
kelompok tertentu yang menolak Pancasila sebagai dasar negara memerlukan
penanganan serius.
BAB 3 PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA INDONESIA
A. Konsep Negara, Tujuan Negara dan Urgensi Dasar Negara
1. Konsep Negara
Berbicara konsep negara secara umum dapat diartikan sebagai organisasi
tertinggi yang memiliki kewenangan, kewajiban utuk mengatur orang-orang dan
melindunginya serta mensejahterakannya. Prayogi (2018: 9) mengemukakan
bahwa negara merupakan sebuah organisasi kelompok atau beberapa kelompok
didalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan yang tertinggi dan ditaati oleh
rakyatnya. Hal tersebut berarti bahwa negara diartikan sebagai sebuah organisasi
dimana ada sebuah struktur didalamnya yang memiliki kekuasaan yang mengatur
orang-orang yang ada di dalamnya.
Dibawah ini dijabarkan mengenai beberapa pengertian negara menurut
para ahli.
a. Aristoteles
Menurut Aristoteles, negara (polis) merupakan suatu persekutuan dari keluarga
dan desa guna mencapai kehidupan sebaik-baiknya
b. Roger F Soleau
Menurut Roger F. Soleau, negara adalah alat atau wewenang yang mengatur,
mengendalikan persoalan-persoalan bersama yang diatasnamakan
masyarakat.
c. Hugo de Groot
Menurut Hugo de Groot definisi negara adalah ikatan manusia yang insyaf akan
arti dan panggilan hukum kodrat
d. Jean Bodin
Menurut Jean Bodin bahwa negara merupakan persekutuan dari keluarga
yang dipimpin pemimpin yang menggunakan akal sehat dan memiliki
kedaulatan.
e. George jellinek
Menurut George Jellinek bahwa negara adalah organisasi kekuasaan
sekelompok manusia yang berada di wilayah tertentu.
f. R. Kranenburg
Menurut R, Kranenburg menyatakan negara adalah organisasi kekuasaan
yang diciptakan sekelompok manusia yang disebut bangsa.
Dari beberapa para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa negara merupakan
sebuah organisasi yang dipimpin oleh seorang atau sekelompok pemimpin
untuk kepentinganm rakyat yang berada di wilayah tertentu.
Berkaitan dengan definisi negara diatas harus ada beberapa unsur yang
harus dipenuhi dalam terbentuknya negara yakni yang terdiri dari:
a. Unsur Konstitif, yang mutlak atau yang harus dimiliki
1) Wilayah
Wilayah merupakan daerah yang menjadi kekuasaan Negara sekaligus
menjadi tempat untuk rakyat yang ada dinegara tersebut. Wilayah
Negara mencakup darat, laut, dan udara kemudian untuk batas-batas
wilayah diatur dengan perjanjian dan perundang-undangan
Internasional.
2) Rakyat
Rakyat adalah semua orang yang berada atau tinggal dalam wilayah
suatu Negara dan tunduk serta patuh terhadap semua peraturan yang
ada di Negara tersebut
3) Pemerintah
Pemerintah disebut juga alat kelengkapan negara yang bertugas untuk
menjadi pengatur, membuat peraturan melalui badan-badan
pemerintahan untuk mencapai tujuan negara. Pemerintah dalam arti
sempit dikaitjkan dengan badan eksekutif, dan pemerintah dalam arti
luas yakni lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
b. Unsur Deklaratif
Unsur deklaratif yakni unsur tambahan di dalam sebuah negara yakni
pengakuan dari negara lain, baik pengakuan secara de facto pengakuan
atas fakta adanya negara sudah terbentuk berdasarkan a rakyat, wilayah,
serta pemerintahan yang berdaulat. Serta pengakuan secara de jure yakni
pengakuan didasarkan atas pernyataan resmi menurut hukum
internasional, sehingga suatu Negara mendapatkan hak dan kewajibannya
sebagai anggota atau organisasi Internasional.
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah negara sudah
memenuhu syarat secara konstitutuf dan deklararif serta sudah diakui
secara de facto dan de jure. Hal tersebut dibuktikan bahwa Indonesia
memuliki wilayah yang luas yang di tinggali oleh rakyat Indonesia yang
memiliki beragam keanekaragaman serta ada pemerintah berdaulat yang
memimpin serta mengaturnya. Kemudian Indonesia juga diakui dalam
kancah Internasional dengan bukti keikutsertaanya dalam organisasi PBB
dan menjalin hubungan serta kerjasama Internasional dengen negara-
negara yang lainnya.
2. Tujuan Negara
Pada hakikatnya manusia hidup di bumi memiliki tujuan yang akan dicapainya atau
yang biasa disebut dengan cita-cita. Sebuah negara pasti juga memiliki tujuan atau
cita-cita yang kan dicapainya. Menurut Soehino (1998; 146) tujuan sebuah negara
sangat berkaitan dan bergantung kepada tempat, keadaan setrta sifatt dari
keadaan penguasa. Adapun pengertian tujuan negara menurut para ahli antara
lain sebagai berikut.
a. Immanuel Kant
Menurut Immanuel Kant negara bertujuan untuk membentuk serta memelihara
hak kemerdekaan warga negara (the right of citizen independence)
b. Nicollo Machiavelli,
Tujuan Negara menurut Nicollo Machiavelli bahwa negara menghimpun dan
memperbesar kekuasaan negara (the power of the state) sehingga tercipta
kemakmuran (prosperity), kehormatan (honor), kesejahteraan rakyat
(prosperity).
c. Roger F. Soltau
Tujuan negara menciptakan kemungkinan rakyat suatu negara untuk
berkembang dan mengeksplorasi daya kreasi rakyatnya secara sebebas
d. Harold J. Laski
Tujuan negara menciptakan kondisi rakyat (Create conditions of the people)
yang dapat mencapai harapan dan keinginannya semaksimal.
Dari beberapa pendapat diatas dapat sipahami bahwa tujuan dari adanya negara
untuk ememnuhi semua kebutuhan rakyat dan menjamin kesejahteraan rakyat.
Kesejahteraan rakyat berarti semua kebutuhan yang diperlukan oleh rakyatnya bisa
terpenuhi dan bisa didapatkan dengan mudah seoperti pendiidkan yang baik,
perekonomian yang maju, prasarana yang memadai dan lain sebagainya.
Indonesia sebagai sebuah negara juga memiikit tujuan atau cita-cita hal
tersebut sangat jelas tertera di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pada alinea keempat yang berbunyi:
...Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...
2. Sumber Historis
Secara historis pancasila dijadikan sebagai dasar negara yaitu dalam
Proses perumusan Pancasila yang diawali ketika dalam sidang BPUPKI. Dalam
sidang BPUPKI terbentuk pada tanggal 29 April 1945. Adanya Badan ini bangsa
Indonesia dapat mempersiapkan kemerdekaannya secara legal, untuk
merumuskan syarat-syarat sebagai negara yang merdeka. Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dilantik pada tanggal
28 Mei 1945. Badan penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali. Sidang
pertama tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua 10
Juli sampai dengan 17 Juli 1945. Pada sidang pertama M. Yamin dan Soekarno
mengusulkan tentang dasar negara.
Perumusan dasar negara dibentuk panitia kecil atau panitia sembilan yang
pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil merumuskan Rancangan (pembukaan) Hukum
Dasar, yang oleh Mr. Muhammad Yamin dinamakan Piagam Jakarta. Pada sidang
kedua BPUPKI yaitu menentukan perumusan Dasar Negara Melalui hasil
kesepakatan bersama. Pada masa sidang kedua ini anggota BPUPKI mengalami
penambahan anggota yaitu di dalamnya yaitu enam anggota baru. Sidang lengkap
BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945 dengan menerima hasil panitia kecil tersebut
atau panitia sembilan lainnya yang disebut dengan piagam Jakarta. Di samping
menerima hasil rumusan Panitia sembilan dibentuk juga panitia-panitia Hukum
Dasar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok panitia perancang Hukum
Dasar yakni:
1) Anggota Panitia Perancang Hukum Dasar diketuai oleh Ir. Soekarno dengan
anggota berjumlah 19 orang
2) Panitia Pembela Tanah Air dengan ketua Abikusno Tjokrosujoso
beranggotakan 23 orang
3) Panitia ekonomi dan keuangan dengan ketua Moh. Hatta, bersama 23 orang
anggota.
Panitia perancang Hukum Dasar kemudian membentuk lagi panitia kecil
Perancang Hukum Dasar yang dipimpin Soepomo. Panitia-panitia kecil yang
dalam rapatnya tanggal 11 dan 13 Juli 1945 telah dapat menyelesaikan tugasnya
yaitu Panitia Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi Linkai), yang sering
disebut Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang pertama PPKI
tanggal 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia dan menetapkan: menyusun Rancangan Hukum Dasar.
Selanjutnya tanggal 14 Juli 1945 sidang BPUPKI mengesahkan naskah rumusan
panitia sembilan yang dinamakan Piagam Jakarta sebagai Rancangan
Mukaddimah Hukum Dasar, dan pada tanggal 16 Juli 1945 menerima seluruh
Rancangan Hukum Dasar yang sudah selesai dirumuskan dan di dalamnya juga
memuat Piagam Jakarta.
Sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945 merupakan sidang penutupan Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan pada tanggal 9
Agustus 1945 dibentuk Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang
pertama PPKI 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia dan menetapkan:
1. Piagam Jakarta sebagai rancangan Mukaddimah Hukum Dasar oleh BPUPKI
pada tanggl 14 Juli 1945 dengan beberapa perubahan, disahkan sebagai
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
2. Rancangan Hukum Dasar yang telah diterima oleh BPUPKI pada tanggal 16
Juli 1945 setelah mengalami berbagai perubahan, disahkan sebagai Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
3. Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama, yakni Ir. Soekarno dan
Drs. Moh. Hatta.
4. Menetapkan berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai
Badan Musyawarah Darurat.
Rumusan-rumusan Pancasila secara historis terbagi dalam tiga kelompok, yaitu :
1. Rumusan Pancasila yang terdapat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang merupakan tahap
pengusulan sebagai dasar negara Republik Indonesia.
2. Rumusan Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia sebagai dasar filsafat Negara Indonesia yang sangat erat
hubungannya dengan Proklamasi Kemerdekaan.
3. Beberapa rumusan dalam perubahan ketatanegaraan Indonesia selama belum
berlaku kembali rumusan Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD
1945.
Dari tiga kelompok di atas secara lebih rinci rumusan Pancasila sampai
dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 ini ada tujuh yakni:
1. Rumusan dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan dalam
pidato “Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” (Rumusan I).
2. Rumusan dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan sebagai
usul tertulis yang diajukan dalam Rancangan Hukum Dasar (Rumusan II).
3. Soekarno, tanggal 1 Juni 1945 sebagai usul dalam pidato Dasar Indonesia
Merdeka, dengan istilah Pancasila (Rumusan III).
4. Piagam Jakarta, tanggal 22 Juni 1945, dengan susunan yang sistematik hasil
kesepakatan yang pertama (Rumusan IV).
5. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945 adalah
rumusan pertama yang diakui secara formal sebagai Dasar Filsafat Negara
(Rumusan V).
6. Mukaddimah KRIS tanggal 27 Desember 1949, dan Mukaddimah UUDS 1950
tanggal 17 Agustus 1950 (Rumusan VI).
7. Rumusan dalam masyarakat, seperti mukaddimah UUDS, tetapi sila
keempatnya berbunyi Kedaulatan Rakyat, tidak jelas asalnya (Rumusan VII).
b. Bidang Ekonomi
Keberadaan koperasi di sekitar tempat tinggal kita memang
pernah dan masih dirasakan sebagai bagian dari bentuk usaha
perekonomian rakyat Indonesia. Memang bentuk badan usaha dalam
sistem ekonomi nasional bukan hanya koperasi, melainkan juga ada
bentuk badan usaha milik perseorangan atau swasta, dan badan usaha
milik negara. Ketiga bentuk badan usaha tersebut diakui keberadaannya
bahkan menempati posisi yang sama pentingnya dalam meningkatkan
ekonomi nasional danmeningkatkan kesejahteraan rakyat.
Akan tetapi, bentuk wujud usaha koperasi memiliki porsi yang
cukup signifikan berdasarkan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Namun, jika
ditelaah ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2), maka terdapat titik
penekanan bahwa BUMN bekerjasama dengan perusahaan swasta juga
memiliki posisi yang menentukan untuk mengembangkan ekonomi
negara serta peningkatan perekonomian rakyat. Pada sisi lainnya,
ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, maka Badan
Usaha Milik Negara juga menempati posisi yang strategis dalam
meningkatkan ekonomi nasional dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Hal senada juga terdapat ketentuan yang berdasar pada Pasal 34
ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) UUD 1945, negara Indonesia berkewajiban
mengembangkan sistem jaminan sosial, memberdayakan masyarakat
yang lemah, serta memelihara kelompok marginal, khususnya fakir
miskin dan anak terlantar.
Semangat ekonomi kerakyatan terdapat dalam Pasal 33, Pasal 27
ayat (2), dan Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), serta Pasal 34 UUD
1945 adalah wujud pengejawantahan nilai Pancasila dalam sektor
perekonomian bangsa dan negara Indonesia. Kondisi perekonomian
bangsa Indonesia terkini memang diisi oleh bentuk badan usaha yang
selain BUMN, terdapat pula perusahaan swasta yang mencerminkan nilai
–nilai Pancasila terutama sila kelima dalam hal pemerataan sektor
perekonomian bangsa dan negara Indonesia sekaligus memperkokoh
nilai dan semangat kemandirian bangsa melalui badan usaha yang
dimiliki oleh negara. Di tengah semangat kemandirian, terdapat pula nilai
kompetitif yang wajib dimiliki oleh bangsa Indonesi dengan
menghadirkan perusahaan swasta dalam hal ini perusahaan asing untuk
meningkatkan spirit kreatifitas perusahaan negara untuk dapat bersaing
di kancah perekonomian secara global.
Internalisasi nilai Pancasila sebagai nilai filosofis sekaligus norma
dasar negara Indonesia menghendaki tercapainya semangat untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh
karenanya, kebijakan ekonomi negara haruslah mengacu pada asas
keselarasan, keseimbangan, dan kesesuaian antara peran swasta,
BUMN, pemerintah sebagai pemangku kebijakan, dalam
mengejawantahkan hal tersebut. Selain itu negara juga memiliki
kewajiban untuk menumbuhkembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh bangsa Indonesia serta melakukan pemberdayaan masyarakat
yang lemah secara ekonomi.
d. Bidang Hankam
Kita sudah tidak asing lagi mendengar istilah bela negara, istilah
pertahanan, dan istilah keamanan negara. Istilah ketiganya erat
berkaitan dengan eksistensi dan kehadiran Pancasila dalam bidang
pertahanan dan keamanan negara. Pancasila menjadi jiwa dalam setiap
upaya pembelaan negara dalam menjaga pertahanan dan keamanan di
negara kita yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (1),
(2), (3), (4), dan ayat (5) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal
27 ayat (3) UUD 1945, “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta
dalam upaya pembelaan negara”.
Sebuah keniscayaan sebagai warga negara yang baik, upaya
dalam mewujudkan bela negara tidak hanya disikapi sebagai sebuah
kewajiban, akan tetapi merupakan sebuah kebanggaan dan kehormatan
sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Bela negara dapat diartikan
sebagai segala perilaku dan sikap warga negara yang dilandasi oleh
semangat kebangsaan dan rasa cinta tanah air untuk menjaga eksistensi
bangsa dan negara berdasarkan nilai Pancasila dalam upaya
mewujudkan tujuan bangsa dan negara Indonesia.
Implementasi peran serta warga negara dalam mewujudkan bela
negara dalam kondisi damai tanpa peperangan dapat diwujudkan dalam
banyak bentuk, salah satunya adalah upaya yang mencerminkan jiwa
mengabdi sesuai profesi termasuk upaya bela negara. Dalam semua
bentuk profesi mampu menjadi ruang untuk berupaya dalam membela
negara sepanjang diliputi rasa kebangsaan dan semangat pengabdian
serta dikokohkan dengan rasa cinta kepada tanah air.
Deskripsi di atas memperlihatkan bahwa jiwa dan sosok
kepahlawanan tidak hanya muncul dari perjuangan secara fisik dan raga
semata, namun sosok dan jiwa kepahlawanan mampu dilahirkan dari
segala macam upaya profesional setiap warga negara. Contohnya,
dalam bidang teknologi mampu melahirkan pahlawan dalam bidang sains
dan teknologi. Begitu juga dengan bidang-bidang non militer lainnya,
seperti bidang pendidikan, ekonomi, budaya dan segala macam bidang
kehidupan yang dapat dijadikan sebagai upaya yang melahirkan sosok
pahlawan dalam bidang masing-masing.
Usaha untuk membangun kekuatan pertahanan adalah daya
upaya negara dalam meningkatkan dan menggunakan kekuatan bangsa
dalam mengatasi ancaman dari dalam dan luar negeri serta ancaman
lainnya yang bisa mengancam kesatuan dan persatuan nasional. Selain
yang dijelaskan di atas, ada juga upaya membangun kekuatan dalam
bidang keamanan yang merujuk pada usaha negara untuk menggunakan
kekuatan bangsa dalam mengatasi ancaman terhadap kondusifitas serta
ketertiban masyarakat dan upaya penegakan hukum.
Tugas
1. Deskripsikan urgensi pancasila sebagai dasar negara di mata mahasiswa
sebagai generasi milenial!
2. Bagaimana menurut kalian cara menanamkan ideologi Pancasila dengan
cara teraktual?
Tugas Kelompok
Buatlah sebuah video blog kreatif di laman Youtube yang berisi ajakan untuk
lebih menumbuhkan kesadaran mengenal dan memahami ideologi Pancasila !
Daftar Pustaka
Kaelan. 2013. Negara Kebangsaan Pancasila Kultural, Historis, filosofis, Yuridis dan
Aktualisasinya. Yogyakarta: Paradigma
Rangkuman
Kedua : filsafat sebagai suatu proses yang dalam hal ini filsafat diartikan
dalam bentuk suatu aktivitas berfilsafat, dalam proses pemecahan suatu
permasalahan dengan menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang
sesuai dengan objek permasalahannya.
2. Cabang-cabang Filsafat dan Aliranya
Filsafat memiliki empat cabang keilmuan yang utama, yaitu: 1) Metafisika;
cabang filsafat yang mempelajari asal mula segala sesuatu yang-ada dan yang
mungkin-ada. Metafisika terdiri atas metafisika umum yang selanjutnya disebut
sebagai ontologi, yaitu ilmu yang membahas segala sesuatu yang-ada, dan
metafisika khusus yang terbagi dalam teodesi yang membahas adanya Tuhan,
kosmologi yang membahas adanya alam semesta, dan antropologi metafisik
yang membahas adanya manusia. 2) Epistemologi; cabang filsafat
mempelajari seluk beluk pengetahuan. Dalam epistemologi, terkandung
pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang pengetahuan, seperti kriteria apa
yang dapat memuaskan kita untuk mengungkapkan kebenaran, apakah
sesuatu yang kita percaya dapat diketahui, dan apa yang dimaksudkan oleh
suatu pernyataan yang dianggap benar. 3) Aksiologi; cabang filsafat yang
menelusuri hakikat nilai. Dalam aksiologi terdapat etika yang membahas
hakikat nilai baik-buruk, dan estetika yang membahas nilai-nilai keindahan.
Dalam etika, dipelajari dasar-dasar benarsalah dan baik-buruk dengan
pertimbangan-pertimbangan moral secara fundamental dan praktis.
Sedangkan dalam estetika, dipelajari kriteria-kriteria yang mengantarkan
sesuatu dapat disebut indah. 4) Logika; cabang filsafat yang memuat aturan-
aturan berpikir rasional. Logika mengajarkan manusia untuk menelusuri
struktur-struktur argumen yang mengandung kebenaran atau menggali secara
optimal pengetahuan manusia berdasarkan bukti-buktinya. (Surajiyo, 2009:22-
23)
3. Pengertian Filsafat Pancasila
Pembahasan mengenai Pancasila sebagai sistem filsafat, ada dua hal
yang perlu diperhatikan, filsafat sebagai metode dan filsafat sebagai suatu
pandangan. Keduanya akan berguna bagi ideology Pancasila. Filsafat sebagai
metode menunjukkan cara berpikir dan cara mengadakan analisis yang dapat
dipertanggung jawabkan untuk dapat menjabarkan ideologi Pancasila.
Sedangkan Pancasila sebagai filsafat mengandung pandangan, nilai dan
pemikiran yang dapat menjadi substansi dan isi pembentukkan ideologi
Pancasila.
Filsafat Pancasila dapat didefinisikan secara ringkas sebagai refleksi
kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan
budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertianya
secara mendasar dan menyeluruh. Pembahasan filsafat dapat dilakukan
secara deduktif dan induktif.
a. Cara deduktif yaitu dengan mencari hakikat Pancasila serta menganalisis
dan menyusunnya secara sistematis menjadi keutuhan pandangan yang
komprehensif
b. Cara induktif yaitu dengan mengamati gejala-gejala sosial budaya
masyarakat, merefleksikannya, dan menarik arti dan makna yang hakiki
dari gejala-gejala itu.
E. Tugas
Tugas Belajar Lanjut: Projek Belajar Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Untuk memahami Pancasila sebagai sistem filsafat, Anda dipersilakan
untuk mencari informasi dari berbagai sumber tentang:
1. Berbagai konsep dan pengertian kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat
di Indonesia yang terkait dengan sikap inklusif, toleran, dan gotong royong
dalam keragaman agama dan budaya.
2. Berbagai kasus yang terkait dengan pengembangan karakter Pancasilais,
seperti jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong
royong, dan cinta damai di lingkungan Anda.
3. Contoh tentang keputusan yang diambil berdasar pada prinsip usyawarah dan
mufakat di lingkungan sekitar anda.
4. Berbagai konsep dan pengertian yang terkait dengan pemahaman atas hakikat
sila-sila Pancasila dan bagaimana pengaktualisasian nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya sebagai paradigma berpikir, bersikap dan berperilaku
masyarakat ?.
5. Evaluasi hasil kerja individu dan kelompok menjadi suatu gagasan tentang
Pancasila yang hidup di sekitar anda.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry N.M.S. (1994). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Dardji, Darmodiharrdjo. (1974). Orientasi Singkat Pancasila. Jakarta:Gita Karya
Driyarkara. Tt. Pancasila dan Religi. Tanpa kota dan penerbit
Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2016). Pendidikan
Pancasila Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta : Direktorat Jenderal
Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi
Hamdayama, Jumanta. Dkk. (2012). Pancasila Suatu Analisis Yuridis Historis
dan Filosofis. Jakarta:Hartomo Media Pustaka
Poespowardojo, Soerjanto. (1989). Filsafat Pancasila. Jakarta:Gramedia
Surajiyo. (2009).Filsafat Ilmu Perkembanganya di Indonesia.Jakarta:Bumi
Aksara
Suseno, Frans Magnis. (1999). Berfilsafat dari Konteks. Jakarta:Gramedia
Syarbaini, Syahrial. (2004). Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi.
Jakarta:Ghalia Indonesia
BAB 6 PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
A. Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
1. Konsep Pancasila sebagai Sistem Etika
Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani, “Ethos” yang berarti tempat
tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak,
perasaan, sikap, dan cara berpikir. Secara etimologis, etika berarti ilmu tentang
segala sesuatu yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam
arti ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang
baik, baik pada diri seseorang maupun masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik
ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain.
Etika sebagai salah satu ruang lingkup filsafat menurut Will Durant
(Hamdani Ali,1990:7-8) merupakan studi mengenai tingkah laku terpuji yang
dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang nilainya tinggi. Menurut Socrates,
etika sebagai pengetahuan tentang baik, buruk, jahat dan mengenai
kebijaksanaan hidup. Etika pada umumnya dimengerti sebagai pemikiran
filosofis mengenai segala sesuatu yang dianggap baik atau buruk dalam
perilaku manusia. Keseluruhan perilaku manusia dengan norma dan prinsip-
prinsip yang mengaturnya itu kerapkali disebut moralitas atau etika.
(Sastrapratedja, 2002: 81).
Etika selalu terkait dengan masalah nilai yaitu membicarakan tentang
baik atau buruk. Dendy Sugono (2008:963) menjelaskan bahwa ada beberapa
pengertian nilai yaitu (1) harga dalam arti taksiran harga, (2) harga uang
dibandingkan dengan harga uang yang lain, (3) angka kepandaian, (4) banyak
sedikitnya isi, (5) sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan, dan (6) sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan
hakikatnya. Menurut Allport (Mulyana Rahkmat, 2011:9) nilai adalah keyakinan
yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Begitu juga dengan
Adisusilo (2012:56) menjelaskan nilai adalah kualitas suatu hal yang
menjadikan hal itu disukai, diinginkan, dikejar, dihargai, berguna, dan dapat
membuat orang yang menghayatinya menjadi bermartabat.
Selanjutnya Bertens (2000:141) menjelaskan bahwa nilai sekurang-
kurangnya memiliki tiga ciri yaitu Pertama, nilai berkaitan dengan subjek. Kalau
tidak ada subjek yang menilai maka tidak ada nilai juga. Kedua, nilai tampil
dalam suatu konteks praktis,artinya subjek ingin membuat sesuatu. Dalam
pendekatan yang semata-mata teoritis, tidak akan ada nilai. Ketiga, nilai-nilai
menyangkut sifat-sifat yang “ditambah” oleh subjek pada sifat-sifat yang dimiliki
oleh objek. Nilai tidak dimiliki objek pada dirinya. Rupanya hal itu harus
dikatakan karena objek yang sama bagi berbagai subjek dapat menimbulkan
nilai yang berbeda-beda.
Manusia sebagai mahkluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua
konteks, pertama akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif.
Manusia memandang nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya,
bahkan memandang nilai telah ada sebelum adanya manusia sebagai penilai,
baik dan buruk, benar dan salah, bukan hadir karena hasil persepsi dan
penafsiran manusia, tetapi ada sebagai sesuatu yang ada dan menuntun
manusia dalam kehidupannya. Pandangan kedua memandang nilai itu
subjektif, artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang menilainya. Nilai
memang tidak akan ada dan tidak akan hadir tanpa hadirnya penilai. Oleh
karena itu, nilai melekat dengan sujek penilai.
Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat
fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai tersebut dijabarkan dalam kehidupan
yang bersifat praktis atau kehidupan yang nyata dalam masyarakat, bangsa
maupun negara maka nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu
norma-norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman.Dengan
demikian, etika berkaitan juga dengan norma moral. Normal moral adalah
norma yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari
sudut baik maupun buruk. Sopan ataupun tidak sopan, susila atau tidak susila.
Dalam kapasitas inilah nilai-nilai Pancasila telah terjabarkan dalam suatu
norma-norma moralitas atau norma-norma etika sehingga Pancasila
merupakan sistem etika dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana dijelaskan diatas pengertian etika maka selanjutnya perlu
dirumuskan pengertian etika Pancasila. Etika Pancasila adalah cabang filsafat
yang dijabarkan dari sila-sila Pancasila untuk mengatur perilaku kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu,
dalam etika Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan,kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai tersebut membentuk perilaku
manusia Indonesia dalam semua aspek kehidupannya. Sila ketuhanan
mengandung dimensi moral berupa nilai spiritualitas yang mendekatkan diri
manusia kepada Sang Pencipta, ketaatan kepada nilai agama yang dianutnya.
Sila kemanusiaan mengandung dimensi humanus, artinya menjadikan
manusia lebih manusiawi, yaitu upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan
dalam pergaulan antarsesama. Sila persatuan mengandung dimensi nilai
solidaritas, rasa kebersamaan (mitsein), cinta tanah air. Sila kerakyatan
mengandung dimensi nilai berupa sikap menghargai orang lain, mau
mendengar pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak kepada orang
lain. Sila keadilan mengandung dimensi nilai mau peduli atas nasib orang lain,
kesediaan membantu kesulitan orang lain.
Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem etika tenggelam dalam hiruk-
pikuk perebutan kekuasaan yang menjurus kepada pelanggaraan etika politik.
Salah satu bentuk pelanggaran etika politik adalah abuse of power, baik oleh
penyelenggara negara di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan inilah yang menciptakan
korupsi di berbagai kalangan penyelenggara negara.
2. Sumber Sosiologis
Sosiologi dipahami sebagai ilmu tentang kehidupan antarmanusia. Di
dalamnya mengkaji, antara lain latar belakang, susunan dan pola kehidupan
sosial dari berbagai golongan dan kelompok masyarakat, disamping juga
mengkaji masalah-masalah sosial, perubahan dan pembaharuan dalam
masyarakat. Soekanto (1982:19) menegaskan bahwa dalam perspektif
sosiologi, suatu masyarakat pada suatu waktu dan tempat memiliki nilai-nilai
yang tertentu. Melalui pendekatan sosiologis ini pula, diharapkan dapat
mengkaji struktur sosial, proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial,
dan masalah-masalah sosial yang patut disikapi secara arif dengan
menggunakan standar nilai-nilai yang mengacu kepada nilai-nilai Pancasila.
Berbeda dengan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia mendasarkan
pandangan hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada
suatu asas kultural yang dimiliki dan melekat pada bangsa itu sendiri. Nilai-nilai
kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila
bukan hanya hasil konseptual seseorang saja, melainkan juga hasil karya
besar bangsa Indonesia sendiri, yang diangkat dari nilai-nilai kultural yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri melalui proses refleksi filosofis para
pendiri negara (Kaelan, 2000: 13).
Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem etika dapat ditemukan dalam
kehidupan masyarakat berbagai etnik di Indonesia. Misalnya, orang
Minangkabau dalam hal bermusyawarah memakai prinsip “bulat air oleh
pembuluh, bulat kata oleh mufakat”. Masih banyak lagi mutiara kearifan lokal
yang bertebaran di bumi Indonesia ini sehingga memerlukan penelitian yang
mendalam.
3. Sumber politis
Sumber politis Pancasila sebagai sistem etika terdapat dalam norma-norma
dasar (Grundnorm) sebagai sumber penyusunan berbagai peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Hans Kelsen mengatakan bahwa teori
hukum itu suatu norma yang berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah
memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi
suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah
kedudukannya,akan semakin konkrit norma tersebut (Kaelan, 2011: 487).
Pancasila sebagai sistem etika merupakan norma tertinggi (Grundnorm) yang
sifatnya abstrak, sedangkan perundang-undangan merupakan norma yang ada
di bawahnya bersifat konkrit.
Etika politik mengatur masalah perilaku politikus, berhubungan juga dengan
praktik institusi sosial, hukum, komunitas, struktur-struktur sosial, politik,
ekonomi. Etika politik memiliki 3 dimensi, yaitu tujuan, sarana, dan aksi politik
itu sendiri. Dimensi tujuan terumuskan dalam upaya mencapai kesejahteraan
masyarakat dan hidup damai yang didasarkan pada kebebasan dan keadilan.
Dimensi sarana memungkinkan pencapaian tujuan yang meliputi sistem dan
prinsip-prinsip dasar pengorganisasian praktik penyelenggaraan negara dan
yang mendasari instituisi-institusi sosial. Dimensi aksi politik berkaitan dengan
pelaku pemegang peran sebagai pihak yang menentukan rasionalitas politik.
Rasionalitas politik terdiri atas rasionalitas tindakan dan keutamaan. Tindakan
politik dinamakan rasional bila pelaku mempunyai orientasi situasi dan paham
permasalahan (Haryatmoko, 2003: 25 – 28)
D. Dinamika dan Tantangan Pancasila Sebagai Sistem Etika
Saat ini, bangsa Indonesia sedang mengalami krisis yang menjadi ancaman
bagi persatuan dan kesatuan bangsa, ancaman tersebut salah satunya berasal
dari krisis moral. Krisis yang terus menerus terjadi ini, memicu munculnya krisis-
krisis lain yang sifatnya berkepanjangan. Krisis moral yang terjadi dilatarbelakangi
salah satunya oleh lemahnya pemahaman setiap individu untuk bisa
mengamalkan setiap nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Konflik antar individu yang muncul lebih banyak dilatarbelakngi oleh
sikap egois yang tinggi dan tidak mau menghargai perbedaan, hal ini berdampak
terhadap munculnya konflik-konflik baru yang sifatnya lebih luas, yakni konflik
antar kelompok dan golongan, yang membawa isu SARA. Hal ini sangat
membahayakan karena bisa membawa dampak yang sangat besar, terutama saat
Indonesia berupaya untuk mempertahankan dasar fundamental Negara yaitu
Pancasila, dengan tujuan untuk mempersatukan segala bentuk perbedaan dalam
upaya mewujudkan integrasi nasional.
Sesuai Tap MPR No.VI/MPR/2001, tentang etika kehidupan berbangsa dan
bernegara dinyatakan dengan rumusan yang bersumber dari ajaran agama,
khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang
tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan
bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa. Ketetapan MPR tentang etika
kehidupan berbangsa ini dapat dikatakan sebagai ketetapan pengganti dari Tap
MPR No II/MPR/1978 tentang P4. Menurut Winarno (2012: 85), Etika dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara bertujuan untuk:
1. Memberikan landasan etik moral bagi seluruh komponen bangsa dalam
menjalankan kehidupan kehidupan kebangsaandalam berbagai aspek
2. Menentukan pokok-pokok etika kehidupan berbangsa bernegara dan
bermasyarakat
3. Menjadi kerangka acuan dalam mengevaluasi pelaksanaan nilai-nilai etika dan
moral dalam kehidupan berbangsa bernegara dan bermasyarakat
Pancasila tidak lahir dengan sendirinya, akan tetapi digali dari kehidupan
dan sejarah bangsa Indonesia. Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia, nilai-
nilainya merupakan ciri dari bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia, nilai-nilainya tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lainnya. Makna Pancasila terletak pada setiap nilai-nilai
Pancasila itu sendiri. Pancasila merupakan satu kesatuan yang susunannya tidak
bisa dipisahkan, antara sila yang satu dengan sila yang lain saling keterkaitan satu
sama lain. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, didalamnya memuat Pancasila
yang secara hukum tidak dapat dirubah.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, etika mengarah kepada
norma atau aturan yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
dimana norma-norma yang berlaku berguna untuk mencapai tujuan dan cita-cita
persatuan dan kesatuan seluruh bangsa Indonesia.Berbagai contoh kasus yang
ada di Indonesia, tampaknya sudah menjadi budaya yang melekat dari waktu ke
waktu. Kasus korupsi misalnya,hampir selalu menjadi topik yang paling sering
muncul di berbagai media, terutama media televisi. Sepertinya KPK tidak ada
habisnya untuk melakukan operasi tangkap tangan terhadap para pelaku korupsi.
Perilaku seperti ini menunjukkan bahwa tidak adanya etika yang baik, yang sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila. Sudah jelas, para pelaku tidak mengamalkan
Pancasila dalam kehidupannya, karena yang sudah mereka lakukan telah
melanggar hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai
warga Negara Indonesia yang baik, sudah seharusnya menjadi kewajiban seluruh
masyarakat untuk bisa mengamalkan setiap-nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Winarno (2012: 84) Bentuk pengamalan Pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara bisa dilakukan melalui:
1. Pengamalan Objektif
Pengamalan secara objektif dapat dilakukan dengan mentaati serta
melaksanakan peraturan UUD 1945 yang berlandaskan kepada Pancasila.
2. Pengamalan Subjektif
Pengamalan secara subjektif lebih mengarah kepada pengamalan yang
dilakukan oleh setiap individu secara sadar menerapkan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan menjalankan setiap nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.
Setiap warga Negara Indonesia wajib untuk mengamalkan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila di dalam kehidupannya. Warga Negara yang
melakukan penyimpangan dan pelanggaran dalam kehidupannya maka akan
diberikan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.dalam pengamalan ojektif sifatnya lebih memaksa dan adanya sanksi
hukum tegas bagi yang melanggar. Sedangkan secara subjektif Pancasila
sebagai pedoman dalam bersikap dan berperilaku bagi setiap warga Negara
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Setiap warga Negara wajib mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Berikut merupakan makna-
makna yang terkandung dalam Pancasila:
1. Makna Ketuhanan Yang Maha Esa
a. Bangsa Indonesia mengakui dan mempunyai keyakinan terhadap adanya
Tuhan Yang Maha Esa
b. Tidak memaksakan untuk memeluk agama tertentu kepada orang lain
c. Memberikan kebebasan kepada orang lain untuk memeluk agama sesuai
dengan keyakinannya
2. Makna Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
a. Mengakui dan menghormati HAM
b. Mempunyai sikap tenggang rasa yang tinggi
c. Mempunyai sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral
3. Makna Persatuan Indonesia
a. Menjalin kerjasama sebagai wujud kebersamaan
b. Mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mewujudkan persatuan dan
kesatuan bangsa
c. Mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan
golongan.
4. Makna Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
a. Mengutamakan musyawarah mufakat dalam setiap mengambil keputusan
b. Mampu menghargai setiap keputusan yang telah dihasilkan secara
bersama-sama
c. Mewujudkan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara
5. Makna Keadilan sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
a. Mempunyai sikap adil terhadap sesama
b. Mampu menyeimbangkan antara hak dan kewajiban
c. Mampu menjalin kerjasama untuk mewujudkan keadilan yang diharapkan
Pancasila sebagai dasar Negara, merupakan jati diri bangsa Indonesia.
Sebagai jati diri bangsa Indonesia, Pancasila mengarahkan setiap individu untuk
menjalankan kehidupannya sesuai dengan Pancasila. Setiap perilaku individu
dalam kehidupannya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Setiap individu harus bersikap sesuai dengan etika yang berlaku, agar tercapai
kehidupan yang sesuai dengan tujuan Bangsa Indonesia. Sesuai Tap.MPR No.
VI/MPR.2002, membagi beberapa etika dalam kehidupan berbangsa meliputi:
1. Etika Sosial dan Budaya
2. Etika Pemerintahan dan Politik
3. Etika ekonomi dan Bisnis
4. Etika Penegakan Hukum
5. Etika Keilmuan
6. Etika Lingkungan
Pancasila sebagai sistem etika merupakan satu kesatuan yang utuh, bentuk
susunannya adalah hierarkis pyramidal (dimana setiap sila merupakan bagian dari
sila-sila lainnya) Pancasila juga mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Munculnya berbagai isu-isu dari dulu sampai dengan sekarang, menjadi ancaman
bagi persatuan dan kesatuan bangsa dan menjadi penyebab dari mundurnya etika
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Munculnya konflik yang
berkepanjangan dan banyak yang melakukan pelanggaran hukum menjadi salah
satu sebab dari kemunduran etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kemunduran ini dapat disebabkan oleh faktor yang berasal dari dalam dan luar
negeri (Syahrial, 2012: 47), faktor yang berasal dari dalam negeri:
1. Masih lemahnya pengalaman agama serta munculnya pemahaman ajaran
agam yang keliru dan sempit
2. Sistem sentralisasi pemerintahan di masa lampau sehingga timbul fanatisme
daerah
3. Tidak berkembangnya pemahaman kemajemukan dalam kehidupan
berbangsa
4. Terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam kurun waktu yang panjang sehingga
munculnya perilaku ekonomi yang bertentangan dengan moralitas dan etika
5. Kurangnya keteladanan bersikap dan berperilaku sebagai pemimpin bangsa
(Syahrial, 2012: 47).
Faktor penyebab dari luar sebagai berikut:
1. Pengaruh globalisasi yang luas dengan persaingan bangsa yang tajam.
2. Makin tingginya intensitas intervensi kekuatan global dalam perumusan
kebijakan nasional(Syahrial, 2012: 48).
Tugas Invidu
1. Jelaskan hubungan antara nilai,norma dan moral!
2. Apa yang dimaksud Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh. Jelaskan!
3. Carilah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Pancasila merupakan nilai dasar
fundamental bagi Negara Indonesia!
4. Jelaskanlah makna nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila!
5. Bagaimana menciptakan kehidupan yang aman dan damai disaat banyak
konflik dan isu-isu yang berbau politik di berbagai daerah? Jelaskan!
6. Mengapa Nilai-nilai Pancasila merupakan nilai moral atau nilai etik? Jelaskan!
7. Bagaimana mewujudkan bangsa Indonesia Yang memiliki nilai religius tinggi,
bersatu, demokratis serta sejahtera? Jelaskan!
8. Bagaimana peran mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa dalam
menghadapi berbagai macam tantangan yang dapat merusak etika kehidupan
bangsa? Jelaskan!
Tugas Kelompok
(Analisis Kasus)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Korupsi telah menjadi isu utama dalam arti politik
dan ekonomi di negara-negara berkembang, sehingga menjadi masalah besar
yang dihadapi negara-negara dengan perkembangan ekonomi pesat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000) dan kamus hukum (2002) korupsi
diartikan sebagai tindak penyelewengan atau penyalahgunaan uang/barang
negara atau milik perusahaan untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Sementara
menurut Undang-undang No. 20 tahun 2001, korupsi adalah perbuatan secara
melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan
atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara. Namun
secara umum, korupsi biasanya diasosiasikan sebagai penggunaan kekuasaan
pejabat publik untuk mengambil keuntungan material bagi pribadi orang tersebut
baik secara langsung maupun tidak langsung. Padahal korupsi bisa bermacam-
macam manifestasinya, belum tentu berupa uang sebagai suap. Bisa jadi yang
dikorupsi itu waktu, informasi, sistem atau apa saja.
E. Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu untuk
Masa Depan.
1. Esensi Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
Pancasila sebagai dasar negara republik Indonesia, yang bertujuan untuk
mengatur bagaimana penyelenggaraan negara. sekaligus dapat mengatur seluruh
tatanan kehidupan dalam bagaimana berbangsa dan bernegara, hal inipun tidak
terlepas dari peran Pancasila yang menjadi dasar dalam nilai pengembangan ilmu.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat ini memiliki kemajuan
yang sangat pesat yang mengakibatkan perubahan baik kearah positif dan negetif,
maka Pancasila sangatlah berperan dalam menseleksi dampak positif dan negatif
dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, sehingga esensial
Pancasila yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yaitu bertujuan
untuk kesejahtraan masyarakat Indonesia, hal ini sebagaimana dikemukan oleh
Sudibyo, dkk., 2014: 78 yang menyatakan bahwa:
a. Sila kesatu yaitu ketuhanan yang maha esa, bertujuan untuk dapat
mengimplementasikan ilmu pengetahuan, menciptakan keseimbangan antara
rasional dan irasional, antara akal, rasa dan kehendak. Berdasarkan
penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak hanya semata mengutamakan hasil yang telah ditemukan,
dibuktikan dan diciptkan, tetapai bagaimana dari hasil ilmu pengetahuan dan
teknologi tersebut haruslah dipertimbangkan apakah jauh lebih memilki
dampak positif ataupun jauh memilki dampak negatif terhadap bangsa ini.
b. Sila kedua yaitu kemanusian yang adil dan beradab yang bertujuan bagaimana
memberikan dasar-dasar moralitas bahwa manusia dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi harus bersifat beradab, hal ini dikarenakan
bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan suatu hasil dari budaya
manusia yang beradab dan bermoral.
c. Sila ketiga yaitu persatuan Indonesia yang bertujuan dapat
mengimplementasikan universalia dan internasionalisme (kemanuasiaan)
dalam sila-sila lain. Berdasarkan hal ini seharusnya ilmu pengetahuan dan
teknologi haruslah dapat mengembangkan rasa nasionalisme warga negara,
kebesaran bangsa, serta menjungjung tinggi keluhuran bangsa, sehingga
masyarakat akan memiliki rasa nasionalisme yang kuat dalam dirinya.
d. Sila keempat yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan yang bertujaan untuk dapat mendasari
bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara demokratis.
Berdasarkan hal tersebut bahwa setiap individu ilmuan haruslah diberikan
kebebasan dalam bagaimana mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologinya tetapi harus didasari oleh nilai-nilai Pancasila dan setiap individu
ilmu harus juga dapat menghormati serta menghargai keritikan yang datang
terhadap dirinya.
e. Sila kelima keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang bertujuan untuk
mengimplementasikan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
haruslah dapat menjaga keseimbangan keadilan dalam kehidupan
kemanusiaan hal ini bertujuan untuk dapat bagaiman memilki keseimbangan
diri sendiri dengan tuhannya, diri pribadi dengan dirinya sendiri, diri sendiri
dengan orang lain dan diri sendiri dengan lingkungannya.
Selain pendapat di atas tentang sila-sila dalam Pancasila memiliki hakikat sebagai
dasar nilai terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, pendapat lain dikemukakan
juga oleh Prof. Wahyudi Sediawan dalam Simposium dan sarasehan Pancasila
sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa, menjelaskan
bahwa:
Sila Kesatu yaitu, ketuhanan yang maha esa memberikan kesadaran
tentang bagaimana manusia hidup di dunia ibarat sedang menempuh ujian dan
hasil ujian akan menentukan kehidupannya yang abadi diakhirat nanti. Salah satu
ujiannya adalah manusia diperintahankan melakukan perbuatan untuk kebaikan,
bukan untuk membuat kerusakan di bumi. Tuntunan sikap pada kode etik ilmiah
dan keinsinyuran, seperti: menjungjung tinggi keselamatan, kesehatan, dan
kesejahtraan masyarakat; berprilaku terhormat, bertanggung jawab, etis dan taat
aturan untuk meningkatkan kehormatan, reputasi dan kemanfaatan professional,
dan lain-lain, adalah suatu manifestasi perbuatan untuk kebaikan tersebut. Ilmuan
yang mengembangkan kompetensi teknik yang dimiliki dengan baik sesuai dengan
tuntunan sikap tersebut berarti menyukuri anugrah Tuhan (Wahyudi, 2006:61-62).
Sila Kedua yaitu, Kemanusian yang adil dan beradab memberikan arahan,
baik bersifat universal maupun khas terhadap ilmuan dan ahli teknik di Indonesia.
Asas kemanuasian atau humanis menghendaki agar perlakuan terhadap manusia
harus sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, yaitu memilki keinginan, seperti
kecukupan materi, bersosialisasi, eksistensinya dihargai, mengeluarkan pendapat,
berperan nyata dalam lingkungannya, berkerja sesuai dengan kemampuannya
yang tertinggi (Wahyudi, 2006:65). Hakikat kodrat menusia mono-pluralis, sebagai
mana dikemukakan Noto Nagora, yaitu terdiri atas jiwa dan raga (susunan kodrat),
mahluk inividu dan sosial (sifat kodrat), dan mahluk Tuhan dan otonom (kedudukan
kodrat) memerlukan keseimbangan agar dapat menyempunakan kuwalitas
kemanuasiaanya.
Sila ketiga yaitu, persatuan Indonesia memberikan landasan esensial bagi
kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesi (NKRI). Untuk itu, ilmuan dan
ahli teknik Indonesia perlu menjungjung tinggi asas Persatuan Indonesia ini dalam
tugas-tugas profesionalnya. Kerjasama yang sinergis antar individu dengan
kelebihan dan kekurangannya masing-masing akan menghasilkan prokduktivitas
yang lebih tinggi daripada penjumlahan produktifitas individunyanya (Wahyudi,
2006:66). Suatu pekerjaan atau tugas yang dikerjakan bersama dengan semangat
nasionalisme yang tinggi dapat menghasilkan produktifitas yang lebih optimal.
Sila keempat yaitu, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijkasanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan memberikan arahan asas kerakyatan, yang
mengandung arti bahwa pembentukan negara republik Indonesia ini adalah oleh
dan untuk semua rakyat Indonesia. Setiap warga Negara mempunyai hak dan
kewajiban yang sama terhadap negara. Demikian pula halnya dengan ilmuan dan
ahli teknik wajib memberikan kontribusi sebesar-besarnya seseuai kemampuan
untuk kemampuan negara. Sila keempat ini juga memberi arahan dalam
menejemen keputusan, baik pada tingkat nasional, regional maupun lingkup yang
lebih sempit (Wahyudi, 2006:68) Menejemen keputusan yang melandasi
semangat musyawarah akan mendatangkan hasil yang lebih baik karena dapat
melibatkan semua pihak dengan penuh kerelaan.
Sila kelima yaitu, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
memberikan arahan agar selalu diusahakan tidak terjadinya jurang (gap)
kesejahteraan diantara bangsa Indonesia. ilmuan dan ahli teknik yang mengelola
industri perlu sesalu megembangkan sistem yang memajukan perusahaan,
sekaligus menjamin kesejahteraan karyawan. (Wahyudi,2006:69). Selama ini,
pengelolaaan industri lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, dalam arti
keuntungan perusahaan sehingga cenderung mengabaikan kesejahteraan
karyawan dan kelestarian lingkungan. Situasi timpang ini disebabkan oleh pola
kerja yang hanya mementingkan kemajuan perusahaan. Pada akhirnya, pola
tersebut dapat menjadi pemicu aksi protes yang justru merugikan pihak
perusahaan itu sendiri.
G. Tugas Mahasiswa.
1. Bagaimana menurut anda tentang perkembangan ilmu pengetahuan yang ada
di Indonesia apakah sudah didasari oleh nilai-nilai yang ada dalam sila-sila
Pancasila?
2. Berikan contoh dampak postif dan negatif dari perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan teknologi yang ada di Indonesia?
3. Bagaiamana tanggapan anda ketika banyak warga negara Indonesia yang
menjadi Ilmuan di luar negeri?
4. Analisa bagaimana peran dari pemerintah untuk memajukan ilmu pengetahuan
dan teknologi melalui dasar nilai-nilai Pancasila?
5. Solusi apa yang harus dilakukan untuk dapat menerapkan perkembangan ilmu
pengetahuan yang didasari oleh nilai-nilai Pancasila itu sendiri?
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Sofian. 2015. Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
Pengetahuan.
Jacob, 1987. Nilai-nilai Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan Iptek. Yogyakarta
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodelogi, dan Etika,
Yogyakarta; Tiara Wacana.
Muladi. 2010. Pancasila sebagai Margin of Appreciation dalam Hukum yang Hidup di
Indonesia.
Notonagoro. 1994. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Bumi Aksara.
Pranaka, A.M.W, 1985. Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. Jakarta: CSIS
Sastrapratedja, 2006. Pancasila sebagai konsekuensi prinsip keadilan sosial.
Yogyakarta
Sediawan, Wahyudi. 2006. Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan
Pembangunan Bangsa.
Sudibyo, Lies, B. Triyanto, dan M. Suswandari. 2014. Filsafat Ilmu. Seleman
Yogyakarta: Deepublish.
Titus, Smith and Noland., 1984. Living Issues in philosophy Ahli Bahasa H.M. Rasjidi
Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan. Bintang.
https://belmawa.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/12/9.-PENDIDIKAN-
KEWARGANEGARAAN-1.1.pdf
BAB 8 PENDIDIKAN ANTI KORUPSI
A. Pengertian Korupsi
Korupsi bukanlah fenomena baru di dunia ini. memahamai makna korupsi tidak
bisa dilakukan hanya dengan menggunakan satu jenis pendekatan saja. Dengan
kata lain untuk memiliki pemahaan yang lebih dalam tentang makna korupsi
diperlukn pula pengertian-pengertian korupsi dari berbagai sudut pandang ilmu.
Hal ini akan membantu dalam memahami korupsi. Sehubungan dengan ini berikut
akan diuraikan beberapa pandangan-pandangan yang menggunakan pendekatan
multidisipliner dalam memahami korupsi.
1. Dari segi terminologi, istilah korupsi berasal Kata “korupsi” berasal dari bahasa
Latin “corruptio” (Fockema Andrea : 1951) atau “corruptus” (Webster Student
Dictionary : 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata
“corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut
kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis)
dan “corruptie/korruptie” (Belanda). Arti kata korupsi secara harfiah adalah
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian.
2. Henry Campbell Black, korupsi diartikan sebagai segala sesuatu yang bertolak
belakang dengan kewajiban dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan
diluar hak-hak yang semestinya. menurut Black korupsi adalah perbuatan
seseorang pejabat yang secara melanggar hukum menggunakan jabatannya
untuk mendapatkan suatu keuntungan yang berlawanan dengan
kewajibannya, contoh dari perbuatan ini salah satunya adalah “White collar
Crime.
3. A.S Hornby istilah korupsi diartikan sebagai suatu pemberian atau penawaran
dan penerimaan hadiah berupa suap (the offering and accepting of bribes),
serta kebusukan atau keburukan
4. Wertheim yang menggunakan pengertian yang lebih spesifik. Menurutnya,
seorang pejabat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi, adalah apabila ia
menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan memengaruhinya agar
mengambil keputusan yang menguntungan kepentingan si pemberi hadiah.
Kadang-kadang pengertian ini juga mencakup perbuatan menawarkan hadiah,
atau bentuk balas jasa yang lain. Pemerasan berupa meminta hadiah atau
balas jasa karena sesuatu tugas yang merupakan kewajiban telah
dilaksanakan seseorang, juga dikelompokkan oleh Wertheim sebagai
perbuatan korupsi. Di samping itu, masih termasuk ke dalam pengertian
korupsi adalah penggunaan uang negara yang berada di bawah pengawasan
pejabat-pejabat pemerintahan untuk kepentingan pribadi yang bersangkutan.
Dalam hal yang terakhir ini, para pejabat pemerintah dianggap telah melakukan
penggelapan uang negara dan masyarakat.
b. Peran Mahasiswa
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia tercatat bahwa mahasiswa
mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan tersebut tercatat dalam
peristiwa-peristiwa besar yang dimulai dari Kebangkitan Nasional tahun 1908,
Sumpah Pemuda tahun 1928, Proklamasi Kemerdekaan NKRI tahun 1945,
lahirnya Orde Baru tahun 1996, dan Reformasi tahun 1998. Tidak dapat
dipungkiri bahwa dalam peristiwa-peristiwa besar tersebut mahasiswa tampil
di depan sebagai motor penggerak dengan berbagai gagasan, semangat dan
idealisme yang mereka miliki. Peran penting mahasiswa tersebut tidak dapat
dilepaskan dari karakteristik yang mereka miliki, yaitu: intelektualitas, jiwa
muda, dan idealisme. Dengan kemampuan intelektual yang tinggi, jiwa muda
yang penuh semangat, dan idealisme yang murni telah terbukti bahwa
mahasiswa selalu mengambil peran penting dalam sejarah perjalanan bangsa
ini. Dalam beberapa peristiwa besar perjalanan bangsa ini telah terbukti
bahwa mahasiswa berperan sangat penting sebagai agen perubahan (agent
of change). Dalam konteks gerakan anti-korupsi mahasiswa juga diharapkan
dapat tampil di depan menjadi motor penggerak. Mahasiswa didukung oleh
kompetensi dasar yang mereka miliki, yaitu: intelegensia, kemampuan
berpikir kritis, dan keberanian untuk menyatakan kebenaran. Dengan
kompetensi yang mereka miliki tersebut mahasiswa diharapkan mampu
menjadi agen perubahan, mampu menyuarakan kepentingan rakyat, mampu
mengkritisi kebijakan-kebijakan yang koruptif, dan mampu menjadi watch dog
lembaga-lembaga negara dan penegak hukum.
c. Keterlibatan Mahasiswa
Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi pada dasarnya dapat
dibedakan menjadi empat wilayah, yaitu: di lingkungan keluarga, di
lingkungan kampus, di masyarakat sekitar, dan di tingkat lokal/nasional.
Lingkungan keluarga dipercaya dapat menjadi tolok ukur yang pertama dan
utama bagi mahasiswa untuk menguji apakah proses internalisasi anti korupsi
di dalam diri mereka sudah terjadi. Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan
anti korupsi di lingkungan kampus tidak bisa dilepaskan dari status
mahasiswa sebagai peserta didik yang mempunyai kewajiban ikut
menjalankan visi dan misi kampusnya. Sedangkan keterlibatan mahasiswa
dalam gerakan anti korupsi di masyarakat dan di tingkat lokal/nasional terkait
dengan status mahasiswa sebagai seorang warga negara yang mempunyai
hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat lainnya.
Daftar Pustaka
Ali, Muhammad (1993), Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern,
Jakarta :Pustaka Amani
Frinaldi, Aldri dan Muhamad ali embi. (2011). Pengaruh Budaya Kerja etnik
terhadap Budaya Kerja Keberanian dan Kearifan PNS dalam
Pelayanan Publik yang Prima (Studi Pada Pemerintahan
Kabupaten Pasaman Barat) Lab-Ane Fisip UNTIRTA.