Anda di halaman 1dari 143

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Konsep dan Urgensi Pendidikan Pancasila


Negara Indonesia merupakan negara yang besar terdiri dari berbagai
macam suku, ras, budaya, agama dan bahasa. Kekayaan inilah yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia dan tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa yang lain. Oleh sebab itu
untuk mengatur sebuah bangsa yang besar diperlukan satu ideologi yang bisa
mempererat dan mempersatukan semua perbedaan yang ada. Para pendiri
bangsa telah sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar dan pandangan hidup
dalam berbangsa dan bernegara.
Pendidikan Pancasila dapat dimaknai sebagai wahana untuk
mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada
budaya bangsa Indonesia yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk
perilaku kehidupan sehari-hari peserta didik baik sebagai individu, maupun
sebagai anggota masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan Pancasila memiliki peran penting dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pendidikan Pancasila adalah bentuk pengemblengan individu-individu
agar mendukung dan memperkokoh komunitas politik sepanjang komunitas politik
itu adalah hasil kesepakatan.
Pendidikan Pancasila berkontiribusi penting menunjang tujuan bernegara
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. PPKn berkaitan dan
berjalan seiring dengan perjalanan pembangunan kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia. PPKn merupakan bagian integral dari ide, instrumentasi, dan
praksis kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia (Udin
Winataputra, 2008) Pendidikan nasional pada hakikatnya adalah PPKn untuk
melahirkan warga negara Indonesia yang berkualitas baik dalam disiplin sosial dan
nasional, dalam etos kerja, dalam produktivitas kerja, dalam kemampuan
intelektual dan profesional, dalam tanggung jawab kemasyarakatan, kebangsaan,
kemanusiaan serta dalam moral, karakter dan kepribadian (Soedijarto, 2008).
Mata kuliah Pendidikan Pancasila diberikan karena adanya kesadaran akan
perlunya pendidikan yang berkesinambungan mulai dari sekolah dasar sampai
perguruan tinggi. Diharapkan, dengan pemahaman yang semakin mendalam akan
nilai-nilai Pancasila, generasi muda dapat mengimplementasikannya dalam
kehidupan sehari-hari. Pendidikan Pancasila juga diberikan karena fakta
kemerosotan penghayatan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, baik
individual maupun kolektif sebagai bangsa. Dengan kata lain, mata kuliah ini
dihidupkan karena adanya kesenjangan antara kata/pengetahuan dan
perbuatan/tingkah laku. Kemerosotan penghayatan nilai-nilai Pancasila dapat
disaksikan di semua bidang kehidupan, dari semua kelas sosial, dan di hampir
semua profesi. Setidaknya ada lima hal yang menjadikan Pendidikan Pancasila
penting untuk diterapkan dan diamalkan.
1. Korupsi
2. Masalah lingkungan
3. Disintegrasi bangsa
4. Dekadensi moral; dan
5. Ideologi
Masalah korupsi sampai sekarang masih banyak terjadi, baik di pusat
maupun di daerah. Transparency International (TI) merilis situasi korupsi di 177
negara untuk tahun 2013. Berdasarkan data dari TI tersebut, Indonesia masih
menduduki peringkat 64 dalam urutan negara paling korup di dunia. Hal tersebut
menunjukkan bahwa masih ditemukan adanya perilaku pejabat publik yang kurang
sesuai dengan standar nilai moral Pancasila. Agar perilaku koruptif tersebut ke
depan dapat makin direduksi, maka mata kuliah Pendidikan Pancasila perlu
diintensifkan di perguruan tinggi. Hal tersebut dikarenakan mahasiswa merupakan
kelompok elit intelektual generasi muda sebagai calon-calon pejabat publik di
kemudian hari. Sebenarnya perilaku koruptif ini hanya dilakukan oleh segelintir
pejabat publik saja,tetapi dampaknya luar biasa dalam pembangunan nasional.
Persoalan integritas dan rakus menjadikan praktek korupsi ini semakin
berkembang. Sebenarnya negara Indonesia telah memeiliki seperangkat aturan
dan penegak hukum yang masing-masing lembaga tersebut diberikan
kewenangan oleh negara untuk mengatasi masalah korupsi, sebut saja ada
lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian dan Kejaksaan. Ketiga
penegak hukum ini yang menjadi gawang dalam pemberantasan korupsi,
meskipun dari ketiga lembaga tersebut mengacu kepada Undang-undang yang
mengaturnya. Oleh karenanya Pendidikan Pancasila sangat penting untuk
dilakukan pendalaman dalam proses pembelajarannya, terutama sila-sila yang
terrkandung didalamnya. Sangat miris sekali para pejabat yang seharusnya
menjadi contoh dalam pengamalan sila-sila Pancasila malah menjadi perusak
nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Dalam cita-cita kemerdekaan disebutkan bahwa
tujuan bernegara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, bagaimana mungkin
ini akan terjadi jika masalah korupsi semakin merajalela terutama dikalangan
pejabat dan birokrat. Untuk itu diperlukan hukuman yang tegas bagi pelaku
korupsi, agar praktek seperti ini dapat diminimalisir. Inilah tantangan yang harus
menjadi respon bersama agar prinsip good governance dapat terwujud dengan
lebih baik di negara kita.
Selain kasus korupsi, patut disebutkan beberapa gejala yang
mencerminkan kemerosotan penghayatan nilai-nilai Pancasila, seperti kerusuhan
dan sengketa berlatarbelakang SARA, kekerasan dalam rumah tangga,
kesenjangan ekonomi, ketakmampuan golongan rendah untuk masuk jenjang
sekolah dasar hingga perguruan tinggi, berbagai macam dan tingkat kriminalitas,
diskriminasi perempuan, dan UU dan peraturan daerah yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila.
Kerusuhan atau konflik yang berlatar belakang Suku, Agama, Ras, Antar
golongan (SARA) dewasa ini sangat memprihatinkan, masyarakat Indonesia
mudah sekali tersulut emosinya ketika menyangku SARA. Untuk itu diperlukan
kesadaran dalam berbangsa dan bernegara dan menjadikan Pancasila sebagai
perekat dan pemersatu.
Masalah Lingkungan Indonesia dikenal sebagai paru-paru dunia. Namun
dewasa ini, citra tersebut perlahan mulai luntur seiring dengan banyaknya kasus
pembakaran hutan, perambahan hutan menjadi lahan pertanian dan yang paling
santer dibicarakan yaitu beralihnya hutan Indonesia menjadi perkebunan.
Berdasarkan data dari Perserikatan Bangsa Bangsa PBB, tahun 2000 hingga
2005, rata-rata perhari 5,1 km² hutan Indonesia hilang rusak. Dengan menghitung
rata-rata kerusakan hutan Indonesia pada tahun 2002, PBB merilis Hutan
Sumatera dan Hutan Kalimantan akan punah pada tahun 2032. Beralihnya fungsi
hutan tersebut disebabkan aturan mengenai fungsi hutan harus diperbaiki, agar
kedepan tidak ada lagi hutan yang beralih fungsu, baik dijadikan perrkebunan
ataupun pertanian. Selain masalah hutan, masalah keseharian yang dihadapi
masyarakat Indonesia saat ini adalah sampah, pembangunan yang tidak
memperhatikan ANDAL dan AMDAL, polusi yang diakibatkan pabrik dan
kendaraan yang semakin banyak. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran
masyarakat terhadap kelestarian lingkungan masih perlu ditingkatkan.
Masalah Disintegrasi Bangsa Demokratisasi mengalir dengan deras
menyusul terjadinya reformasi di Indonesia. Disamping menghasilkan perbaikan-
perbaikan dalam tatanan Negara RI, reformasi juga menghasilkan dampak negatif
antara lain terkikisnya rasa kesatuan dan persatuan bangsa. Sebagai contoh
acapkali mengemuka dalam wacana publik bahwa ada segelintir elit politik di
daerah yang memiliki pemahaman yang sempit tentang otonomi daerah. Mereka
terkadang memahami otonomi daerah sebagai bentuk keleluasaan pemerintah
daerah untuk membentuk kerajaan-kerajaan kecil. Implikasinya mereka
menghendaki daerahnya diistimewakan dengan berbagai alasan. Bukan itu saja,
fenomena primordialisme pun terkadang muncul dalam kehidupan masyarakat
kita. Beberapa kali kita menyaksikan di berbagai media massa yang memberitakan
elemen masyarakat tertentu memaksakan kehendaknya dengan cara kekerasan
kepada elemen masyarakat lainnya. semangat persatuan dan kesatuan bangsa
tercermin di sila ke tiga pancasila, para pendiri bangsa memahami betul bahwa
dengan semangat persatuan, bangsa Indonesia bisa merdeka. Oleh karena itu
sebagai anak bangsa wajib bagi kita merawat rasa persatuan, karena ini bagian
dari mengamalkan sila ketiga. Berdasarkan laporan hasil survey Badan Pusat
Statistik di 181 KabupatenKota, 34 Provinsi dengan melibatkan 12.056 responden
sebanyak 89,4 menyatakan penyebab permasalahan dan konflik sosial yang
terjadi tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai
Pancasila.
Masalah Dekadensi Moral Dewasa ini fenomena materialisme,
pragmatisme, dan hedonisme makin menggejala dalam masyarakat kita. Faham-
faham tersebut mengikis moralitas dan akhlak masyarakat kita khususnya
generasi muda. Fenomena dekadensi moral tersebut terekspresikan dan
semacam disosialisasikan lewat tayangan berbagai media massa. Perhatikan
tontonan-tontonan yang disuguhkan dalam media siaran dewasa ini. Begitu
banyak tontonan yang bukan hanya mengajarkan kekerasan tetapi juga perilaku
tidak bermoral seperti pengkhianatan dan perilaku pergaulan bebas. Lebih dari itu
perilaku kekerasan juga acapkali disuguhkan dalam sinetron-sinetron yang
notabene menjadi tontonan keluarga. Sungguh ironis tayangan yang
memperlihatkan perilaku kurang terpuji justeru menjadi tontonan yang paling
disenangi. Hasilnya perilaku menyimpang di kalangan remaja semakin meningkat.
Masalah ideologi asing, khususnya kapitalisme dan neoliberalisme, yang
berkat sayap raksasa globalisasi menggempur seluruh pelosok Indonesia tanpa
henti. Materialisme, hedonism, konsumtivisme, serta gaya hidup yang dibentuknya
telah dan sedang menerjang sudut-sudut terpencil Indonesia. Nilai-nilai asing yang
sangat digandrungi remaja dan kaum muda itu dikhawatirkan akan semakin
melunturkan nilai-nilai Pancasila. Sebenarnya di Undang-Undang Dasar terutama
pasal 33 menjelaskan bagaimana ekonomi harus dijalankan, yaitu dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tapi pada
prakteknya ekonomi kita bersifat kapitalistik.

B. Alasan Diperlukannya Pendidikan Pancasila


Pendidikan Pancasila sangat diperlukan untuk membentuk karakter
manusia yang profesional dan bermoral. Hal tersebut dikarenakan perubahan dan
infiltrasi budaya asing yang bertubi-tubi mendatangi masyarakat Indonesia bukan
hanya terjadi dalam masalah pengetahuan dan teknologi, melainkan juga berbagai
aliran (mainstream) dalam berbagai kehidupan bangsa. Selain itu, dekadensi
moral yang terus melanda bangsa Indonesia yang ditandai dengan mulai
mengendurnya ketaatan masyarakat terhadap norma-norma sosial yang hidup di
masyarakat, menunjukkan pentingnya penanaman nilai-nilai ideologi
melalui pendidikan Pancasila. Selain itu, penyalahgunaan narkoba yang
melibatkan generasi dari berbagai lapisan menggerus nilai-nilai moral anak
bangsa. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya Pancasila diselenggarakan
di perguruan tinggi untuk menanamkan nilai-nilai moral Pancasila kepada generasi
penerus cita-cita bangsa. Yang kedua pendidikan Pancasila sangat diperlukan
untuk membentuk karakter manusia yang profesional dan bermoral. Hal tersebut
dikarenakan perubahan dan infiltrasi budaya asing yang bertubi-tubi mendatangi
masyarakat Indonesia bukan hanya terjadi dalam masalah pengetahuan dan
teknologi, melainkan juga berbagai aliran (mainstream) dalam berbagai kehidupan
bangsa.
Dalam kehidupan politik, para elit politik (eksekutif dan legislatif) mulai
meninggalkan dan mengabaikan budaya politik yang santun, kurang menghormati
fatsoen politik dan kering dari jiwa kenegarawanan. Bahkan, banyak politikus yang
terjerat masalah korupsi yang sangat merugikan keuangan negara. Selain itu,
penyalahgunaan narkoba yang melibatkan generasi dari berbagai lapisan
menggerus nilai-nilai moral anak bangsa.
Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya Pancasila diselenggarakan di
perguruan tinggi untuk menanamkan nilai-nilai moral Pancasila kepada generasi
penerus cita-cita bangsa. Dengan demikian, pendidikan Pancasila diharapkan
dapat memperkokoh modalitas akademik mahasiswa dalam berperan serta
membangun pemahaman masyarakat, antara lain:
1. Kesadaran gaya hidup sederhana dan cinta produk dalam negeri,
2. Kesadaran pentingnya kelangsungan hidup generasi mendatang,
3. Kesadaran pentingnya semangat kesatuan persatuan (solidaritas) nasional,
4. Kesadaran pentingnya norma-norma dalam pergaulan,
5. Kesadaran pentingnya kesahatan mental bangsa,
6. Kesadaran tentang pentingnya penegakan hukum,
7. Menanamkan pentingnya kesadaran terhadap ideologi Pancasila.
Dengan demikian, pendidikan Pancasila diharapkan dapat memperkokoh
modalitas akademik mahasiswa dalam berperan serta membangun pemahaman
masyarakat tentang, antara lain : 1. Kesadaran gaya hidup sederhana dan cinta
produk dalam negeri 2. Kesadaran pentingnya kelangsungan hidup generasi
mendatang. 3. Kesadaran pentingnya semangat kesatuan persatuan (solidaritas)
nasional. 4. Kesadaran pentingnya norma-norma dalam pergaulan. 5. Kesadaran
pentingnya kesahatan mental bangsa. 6. Kesadaran tentang pentingnya
penegakan hukum. 7. Menanamkan pentingnya kesadaran terhadap ideologi
Pancasila.Penanaman dan penguatan kesadaran nasional tentang hal-hal
tersebut sangat penting karena apabila kesadaran tersebut tidak segera kembali
disosialisasikan, diinternalisasikan, dandiperkuat implementasinya, maka masalah
yang lebih besar akan segera melanda bangsa ini,yaitu musnahnya suatu bangsa
Pendidikan Pancasila harus tetap dilaksanakan dalam rangka
membentengi moralitas bangsa Indonesia, menjaga akhlak para remaja yang kian
hari semakin memprihatinkan, menumbuhkan sifat nasionalisme serta patriotisme.
Dengan demikian, tanggung jawab berada di pundak perguruan tinggi untuk
mengajarkan nilai-nilai Pancasila sebagai amanat pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 yang menekankan pentingnya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam hal ini, kecerdasan tidak hanya mencakup intelektual, tetapi juga mencakup
pula kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual yang menjadi dasar bagi
pengembangan kecerdasan bangsa dalam bentuk kecerdasan ideologis.

C. Sumber Historis, Sosiologis Dan Politik Pendidikan Pancasila


Sejarah adalah kejadian yang terjadi pada masa lampau yang disusun
berdasarkan peninggalan-peninggalan berbagai peristiwa. Peninggalan
peninggalan itu disebut sumber sejarah.Dalam bahasa Inggris, kata sejarah
disebut history, artinya masa lampau; masa lampau umat manusia. Dalam bahasa
Arab, sejarah disebut sajaratun (syajaroh), artinya pohon dan keturunan. Jika kita
membaca silsilah raja-raja akan tampak seperti gambar pohon dari sederhana dan
berkembang menjadi besar, maka sejarah dapat diartikan silsilah keturunan raja-
raja yang berarti peristiwa pemerintahan keluarga raja pada masa lampau.Ada tiga
aspek dalam sejarah, yaitu masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang.
Masa lampau dijadikan titik tolak untuk masa yang akan datang sehingga sejarah
mengandung pelajaran tentang nilai dan moral. Bahkan Presiden Soekarno pernah
mengatakan “Jas Merah” (Jangan sekali-kali melupakan sejarah). Pada masa kini,
sejarah akan dapat dipahami oleh generasi penerus dari masyarakat yang
terdahulu sebagai suatu cermin untuk menuju kemajuan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sejarah terus berkesinambungan sehingga merupakan rentang peristiwa
yang panjang. Oleh karena itu, sejarah mencakup
a. masa lalu yang dilukiskan berdasarkan urutan waktu (kronologis);
b. ada hubungannya dengan sebab akibat;
c. kebenarannya bersifat subjektif sebab masih perladanya penelitian lebih
lanjut untuk mencari kebenaran yang hakiki;
d. peristiwa sejarah menyangkut masa lampau, masakini, dan masa yang akan
datang.
Peristiwa yang terjadi pada masa lampau akan memberi kita gambaran
tentang kehidupan manusia dan kebudayaannya di masa lampau sehingga dapat
merumuskan hubungan sebab akibat mengapa suatu peristiwa dapat terjadi dalam
kehidupan tersebut, walaupun belum tentu setiap peristiwa atau kejadian akan
tercatat dalam sejarah.
1. Sumber Historis
Proses perumusan Pancasila diawali ketika dalam sidang BPUPKI
pertama dr. Radjiman Widyodiningrat, mengajukan suatu masalah, khususnya
akan dibahas pada sidang tersebut. Masalah tersebut adalah tentang suatu
calon rumusan dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Kemudian
tampilah pada sidang tersebut tiga orang pembicara yaitu Mohammad Yamin,
Soepomo dan Soekarno.
Pada tanggal 1 Juni 1945 di dalam siding tersebut Ir. Soekarno berpidato
secara lisan (tanpa teks) mengenai calon rumusan dasar negara Indonesia.
Kemudian untuk memberikan nama “Pancasila” yang artinya lima dasar, hal ini
menurut Soekarno atas saran dari salah seorang temannya yaitu seorang ahli
bahasa yang tidak disebutkan namanya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya, kemudian keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945
disahkannya Undang-Undang Dasar 1945 termasuk Pembukaan UUD 1945 di
mana didalamnya termuat isi rumusan lima prinsip atau lima prinsip sebagai
satu dasar negara yang diberi nama Pancasila.
Sejak saat itulah perkataan Pancasila menjadi bahasa Indonesia dan
merupakan istilah umum. Walaupun dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945
tidak termuat istilah “Pancasila”, namun yang dimaksudkan Dasar Negara
Republik Indonesia adalah disebut dengan istilah “Pancasila”. Hal ini
didasarkan atas interpretasi historis terutama dalam rangka pembentukan
calon rumusan dasar negara, yang secara spontan diterima oleh peserta
sidang secara bulat.
2. Sumber Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku sosial antara individu
dengan individu, individu dengan kolompok, dan kelompok dengan kelompok.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah jauh dengan yang namaya
hubungan sosial, karena bagaimanapun hubungan tersebut memengaruhi
perilaku orang-orang. Sebagai bidang studi, cakupan sosiologi sangatlah luas.
Sosiologi juga melihat bagaimana orang mempengaruhi kita, bagaimana
institusi sosial utama, seperti pemerintah, agama, dan ekonomi memengaruhi
kita, serta bagaimana kita sendiri memengaruhi orang lain, kolompok, bahkan
organisasi.
Beberapa pendapat para ahli tentang pengertian sosiologi yaitu :
a. Roucek dan Warren, Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan
antar manusia dalam kelompok.
b. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Sosiologi adalah ilmu
kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial
termasuk perubahan sosial.
c. Mayor Polak, Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
masyarakat secara keseluruhan, yaitu hubungan antara manusia satu
dengan manusia lain, manusia dengan kelompok, kelompok dengan
kelompok, baik kelompok formal maupun kelompok informal atau baik
kelompok statis maupun kelompok dinamis.
Ruang lingkup kajian sosiologi lebih luas dari ilmu sosial lainnya. Hal ini
dikarenakan ruang lingkup sosiologi mencakup semua interaksi sosial yang
berlangsung antara individu dengan individu, individu dengan kelompok , serta
kelompok dengan kelompok di lingkungan masyarakat. Ruang lingkup kajian
sosiologi tersebut jika dirincikan menjadi beberapa hal, yaitu sebagai berikut :
a. Ekonomi beserta kegiatan usahanya secara prinsipil yang berhubungan
dengan produksi, distribusi, dan penggunaan sumber-sumber kekayaan
alam
b. Masalah manajemen yaitu pihak-pihak yang membuat kajian, berkaitan
dengan apa yang dialami warganya
c. Persoalan sejarah yaitu berhubungan dengan catatan kronologis, misalnya
usaha kegiatan manusia beserta prestasinya yang tercatat, dan
sebagainya.
Bangsa Indonesia yang penuh kebhinekaan terdiri atas lebih dari 300 suku
bangsa yang tersebar di lebih dari 17.000 pulau, secara sosiologis telah
mempraktikan Pancasila karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
merupakan kenyataan-kenyataan (materil, formal, dan fungsional) yang ada
dalam masyarakat Indonesia. Kenyataan objektif ini menjadikan Pancasila
sebagai dasar yang mengikat setiap warga bangsa untuk taat pada nilai-nilai
instrumental yang berupa norma atau hukum tertulis (peraturan perundang-
undangan, yurisprudensi, dan traktat) maupun yang tidak tertulis seperti adat
istiadat, kesepakatan atau kesepahaman, dan konvensi.\
Kebhinekaan atau pluralitas masyarakat bangsa Indonesia yang tinggi,
dimana agama, ras, etnik, bahasa, tradisi-budaya penuh perbedaan,
menyebabkan ideologi Pancasila bisa diterima sebagai ideologi pemersatu.
Data sejarah menunjukan bahwa setiap kali ada upaya perpecahan atau
pemberontakan oleh beberapa kelompok masyarakat, maka nilai-nilai
Pancasilalah yang dikedepankan sebagai solusi untuk menyatukan kembali.
Begitu kuat dan ‘ajaibnya’ kedudukan Pancasila sebagai kekuatan pemersatu,
maka kegagalan upaya pemberontakan yang terakhir (G30S/PKI) pada 1
Oktober 1965 untuk seterusnya hari tersebut dijadikan sebagai Hari Kesaktian
Pancasila.
Bangsa Indonesia yang plural secara sosiologis membutuhkan ideologi
pemersatu Pancasila. Oleh karena itu nilai-nilai Pancasila perlu dilestarikan
dari generasi ke generasi untuk menjaga keutuhan masyarakat bangsa.
Pelestarian nilai-nilai Pancasila dilakukan khususnya lewat proses pendidikan
formal, karena lewat pendidikan berbagai butir nilai Pancasila tersebut dapat
disemaikan dan dikembangkan secara terencana dan terpadu.
3. Sumber Politis
Politik (dari bahasa Yunani: politikos, yang berarti dari, untuk, atau yang
berkaitan dengan warga negara), adalah proses pembentukan dan pembagian
kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan
keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya
penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik
yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah suatu sIstem pemerintahan yang
mengatur segala structural di dalamnya. Dalam membuat kebijakan politik
harus ada aturan yang mengatur hal tersebut supaya selalu dalam jalur yang
telah di tentukan. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara
konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara
lain:
a. Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan
kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
b. Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan
dan negara
c. Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan di masyarakat
d. Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan
kebijakan publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara
lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi
politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk
beluk tentang partai politik. Salah satu sumber pengayaan materi Pendidikan
Pancasila adalah berasal dari fenomena kehidupan politik bangsa Indonesia.
Pola pikir untuk membangun kehidupan berpolitik yang murni dan jernih mutlak
dilakukan sesuai dengan kelima sila yang mana dalam berpolitik harus
bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyarawatan/ Perwakilan dan dengan penuh
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Etika
politik Pancasila dapat digunakan sebagai alat untuk menelaah perilaku politik
Negara, terutama sebagai metode kritis untuk memutuskan benar atau slaah
sebuah kebijakan dan tindakan pemerintah dengan cara menelaah kesesuaian
dan tindakan pemerintah itu dengan makna sila-sila Pancasila.
Etika politik harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat
secara konkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat
eksekutif, legislatif, yudikatif, para pelaksana dan penegak hukum harus
menyadari bahwa legitimasi hukum dan legitimasi demokratis juga harus
berdasarkan pada legitimasi moral. Nilai-nilai Pancasila mutlak harus dimiliki
oleh setiap penguasa yang berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak
menyebabkan berbagai penyimpangan seperti yang sering terjadi dewasa ini.
Seperti tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme, penyuapan, pembunuhan,
terorisme, dan penyalahgunaan narkotika sampai perselingkuhan dikalangan
elit politik yang menjadi momok masyarakat.
Dalam penerapan etika politik Pancasila di Indonesia tentunya mempunyai
beberapa kendala-kendala, yaitu :
a. Etika politik terjebak menjadi sebuah ideologi sendiri. Ketika seseorang
mengkritik sebuah ideologi, ia pasti akan mencari kelemahan-kelemahan
dan kekurangannya, baik secara konseptual maupun praksis. Hingga
muncul sebuah keyakinan bahwa etika politik menjadi satu-satunya cara
yang efektif dan efisien dalam mengkritik ideologi, sehingga etika politik
menjadi sebuah ideologi tersendiri.
b. Pancasila merupakan sebuah sistem filsafat yang lebih lengkap disbanding
etika politik Pancasila, sehingga kritik apa pun yang ditujukan kepada
Pancasila oleh etika politik Pancasila tidak mungkin berangkat dari
Pancasila sendiri karena kritik itu tidak akan membuahkan apa-apa.
Namun demikian, bukan berarti etika politik Pancasila tidak mampu
menjadi alat atau cara menelaah sebuah Pancasila. Kendala pertama dapat
diatasi dengan cara membuka lebar-lebar pintu etika politik Pancasila terhadap
kritik dan koreksi dari manapun, sehingga ia tidak terjebak pada lingkaran itu.
Kendala kedua dapat diatasi dengan menunjukkan kritik kepada tingkatan
praksis Pancasila terlebih dahulu, kemudian secara bertahap merunut kepada
pemahaman yang lebih umum hingga ontologi Pancasila menggunakan
prinsip-prinsip norma moral.

D. Dinamika dan Tantangan Pendidikan Pancasila


Sejarah mengatakan bahwa Pancasila disusun dan terbentuk berdasarkan
pemikiran serta keilmuan yang dimiliki para bapak bangsa, dari berbagai pemikiran
banyak kepala yang dituangkan dalam sebuah pedoman dasar dan pokok aturan
bangsa serta memiliki tujuan yang sama dengan demikian terlahirnya sebuah
ideologi bangsa Indonesia yang disebut dengan Pancasila.
Pancasila merupakan pedoman dasar bangsa Indonesia yang didalamnya
telah tertuang nilai-nilai luhur serta akan terus berkembang relevansinya seiring
dengan perkembangan zaman dan juga sifat Pancasila yang tidak kontekstual atau
bisa dibilang berlakunya tidak berdasarkan waktu. Desain khusus dari para pemikir
bangsa menunujukkan bahwa Pancasila akan terus berlaku. Namun demikian,
seiring dengan berjalannya waktu, perubahan Pancasila yang bersifat adaptif tak
jarang juga dibarengi dengan beberapa tantangan dan faktor penghambat lain
yang secara langsung ataupun tidak langsung akan terus terus mencoba,
menggerus, hingga menumbangkan nilai dan norma Pancasila yang pada
dasarnya merupakan kultur dan budaya khas bangsa Indonesia.
1. Ancaman Separatis dan Disintegrasi Bangsa
Dinamika yang memperlihatkan sikap daerah yang menentang pusat dalam
politik Indonesia dikenal sebagai peristiwa pergolakan daerah atau sekarang
disebut gerakan separatisme. Gerakan separtisme yang terjadi di Papua tentu
adalah gerakan separatisme yang menarik untuk dicermati karena beberapa
alasan. Pertama Papua saaat ini adalah satu-satunya propinsi di Indonesia
yang proses integrasinya melalui mekanisme internasional dengan penentuan
jajak pendapat kemudian yang kedua gerakan separatisme di Papua
menunujukkan watak gabungan antara paham tradisional suku suku-suku atau
cargo cult (ratu adil) yang meyakini akan datang hari bahagia pada masa
datang dengan simbolisasi pemujaan terhadap koreri atau bintang kejora di
satu sisi dan di sisi lain dipimpin oleh orang -orang yang terdidik secara modern
baik di jawa maupun di luar untuk melakukan lobi-lobi politik kepada pemerintah
pusat. Ketiga gerakan separtisme di papua ini bertahan lama dan selalu
mampu memperbarui kepemimpinanya. Seorang ahli politik dari Australia R.J.
May mengemukakan nasionalisme Papua berkembang tidak berbeda dengan
nasionalisme di Papua New Guinea (PNG) May menyebutkan
micronasionalisme yang ciri-cirinya adalah perlawanan lokal secara
spontanitas, meski berbeda-beda gejalahnya, namun memiliki satu tujuan,
yaitu raksi terhadap perkembangan keadaan ekonomi, sosial dan politik yang
buruk gerakan itu dipengaruhi oleh paham lokal suku-suku tentang Ratu Adil.
2. Pengaruh Globalisasi
Saat ini era globalisasi dan teknologi telah mempengaruhi berbagai macam
aspek kehidupan umat manusia. Bagi bangsa Indonesia hal ini merupakan
tantangan tersendiri bukan sebagai ancaman. Tak ayal dibalik peranan era
globalisasi, tersimpan pengaruh negatif namun tak jarang pengaruh positif.
Pengaruh globalisasi yang dapat merubah mind set atau pola pikir seseorang,
masyarakat atau warga negaranya yang mudah dan mau dikuasai oleh negara
lain merupakan salah satu dampat negatif dari globalisasi tersebut. Upaya-
upaya untuk menyelewengkan Pancasila untuk mengganti ideologi Pancasila
melalui perang pemikiran, merupakan salah satu ancaman bagi bangsa
Indonesia. Upaya meminimalkan pengaruh negatif ini salah satunya yakni
melalui penguatan ketahanan mental ideologis warga negara. Penguatan
ketahanan mental ideologis adalah upaya memperkuat dan mempertahankan
diri berbagai macam ancaman dan permasalahan melalui ideologi negaranya.
Ketahanan ideologi akan tumbuh dalam diri warga negara apabila warga
negara tersebut memahami dengan benar apa yang menjadi ideologi
negaranya. Sehingga diperlukan pemahaman yang tepat terhadap ideologi
Pancasila.
3. Kehidupan Elit Politik yang Tak Selaras dengan Pancasila
Kurangnya keteladanan elit politik bangsa serta dipertontonkannya konflik
antar lembaga menjadi sebuah contoh yang tidak baik dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Nilai musyawarah, toleransi terhadap sesama dan
nilai-nilai lainnya seakan tidak lagi menjadi dasar dalam pengambilan
keputusan. Nilai-nilai Pancasila yang seharusnya dijadikan sebagai acuan
normatif malah tidak dijadikan sebagai norma etik dalam menyelesaikan
masalah.
4. Menurunnya Moralitas dan Kesadaran Moral
Rendahnya ketaatan dan kesadaran moral untuk menjadikan Pancasila
sebagai pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara. Ketaatan adalah
kewajiban secara moral karena bersumber pada nilai hakikat sifat kodrat
manusia, sebagai makhluk hidup dan makhluk sosial (Kaelan, 2013:681).
Untuk memperoleh ketaatan dan kesadaran moral, maka setiap warga negara
harus memiliki pengetahuan yang benar tentang Pancasila baik pada aspek
nilai maupu aspek praksisnya. Terhadap Pancasila saja belum cukup, akan
tetapi harus meresapi, menghayati dan pada akhirnya mampu
mengaktualisasikan Pancasila dalam setiap aspek kehidupan.
Tak ayal dewasa ini diperlukan upaya untuk menegaskan kembali kedudukan
Pancasila sebagai dasar falsafah hidup bangsa. Dalam kehidupan berbangsa,
baik penyelenggaraan negara maupun warga negara haruslah menjadikan
Pancasila sebagai sumber dalam bersikap dan berperilaku. Menjadikan
Pancasila sebagai kekuatan pemersatu bangsa sangatlah diperlukan sebagai
upaya menghadapi permasalahan bangsa dimasa depan.
E. Esensi dan Urgensi Pendidikan Pancasila Untuk Masa Depan
Generasi penerus melalui Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
diharapkanakan mampu mengantisipasi hari depan yang senantiasa berubah dan
selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa, negara, dalam hubungan
internasional serta memiliki wawasan kesadaran bernegara untuk bela negara dan
memiliki pola pikir, pola sikap dan perilaku yang cinta tanah air berdasarkan
Pancasila. Semua itu diperlakukan demi tetap utuh dan tegaknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia.Tujuan utama Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran
bernegara, sikap serta perilaku yang cinta tanah air, wawasan nusantara, serta
ketahanan nasional dalam diri warga negara Republik Indonesia. Selain itu
bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang berbudi luhur,
berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin,
beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani
dan rohani.
Pengembangan nilai, sikap, dan kepribadian diperlukan pembekalan
kepada peserta didik di Indonesia yang diantaranya dilakukan melalui Pendidikan
Pancasila, Pendidikan Agama, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar, dan Ilmu
Alamiah Dasar (sebagai aplikasi nilai dalam kehidupan) yang disebut kelompok
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) dalam komponen kurikulum
perguruan tinggi. Hak dan kewajiban warga negara, terutama kesadaran bela
negaraakan terwujud dalam sikap dan perilakunya bila ia dapat merasakan bahwa
konsepsi demokrasi dan hak asasi manusia sungguh-sungguh merupakan
sesuatu yang paling sesuai dengan kehidupannya sehari–hari.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang berhasil akan membuahkan
sikap mental yang cerdas, penuh rasa tanggung jawab dari peserta didik. Sikap ini
disertai dengan perilaku yang :
a. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta menghayati nilai–
nilai falsafah bangsa
b. Berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
c. Rasional, dinamis, dan sadar akanhak dan kewajiban sebagai warga negara.
d. Bersifat profesional yang dijiwai oleh kesadaran bela negara.
e. Aktif memanfaatkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni untuk kepentingan
kemanusiaan, bangsa dan negara.
Melalui Pendidikan Pancasila, warga negara Republik Indonesia
diharapkan mampu “memahami, menganalisa, dan menjawab masalah–masalah
yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa dan negaranya secara konsisten dan
berkesinambungan dengan cita–cita dan tujuan nasional seperti yang digariskan
dalam Pembukaan UUD 1945 “. Dalam perjuangan non fisik, harus tetap
memegang teguh nilai–nilai ini disemua aspek kehidupan, khususnya untuk
memerangi keterbelakangan, kemiskinan, kesenjangan sosial, korupsi, kolusi, dan
nepotisme; menguasai IPTEK, meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar
memiliki daya saing; memelihara serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa;
dan berpikir obyektif rasional serta mandiri.
BAB 2 PANCASILA DALAM ARUS SEJARAH BANGSA INDONESIA
Pada bab ini, Anda akan dihantarkan untuk memahami arus sejarah bangsa
Indonesia, terutama terkait dengan sejarah perumusan Pancasila. Hal tersebut
penting untuk diketahui karena perumusan Pancasila dalam sejarah bangsa
Indonesia mengalami dinamika yang kaya dan penuh tantangan. Perumusan
Pancasila mulai dari sidang BPUPKI sampai pengesahan Pancasila sebagai dasar
negara dalam sidang PPKI, masih mengalami tantangan berupa “amnesia sejarah”
(istilah yang dipergunakan Habibie dalam pidato 1 Juni 2011).
Dalam Bab 2 ini, Anda akan diajak untuk menelusuri tentang sejarah
perumusan Pancasila. Penelusuran ini penting agar Anda mengetahui dan memahami
proses terbentuknya Pancasila sebagai dasar negara. Tujuannya adalah agar Anda
dapat menjelaskan proses perumusan Pancasila sehingga terhindar dari anggapan
bahwa Pancasila merupakan produk rezim Orde Baru.
Perlu Anda ketahui bahwa Pancasila merupakan dasar resmi negara
kebangsaan Indonesia sejak 18 Agustus 1945. Hal ini terjadi karena pada waktu itulah
Pancasila disahkan oleh PPKI, lembaga atau badan konstituante yang memiliki
kewenangan dalam merumuskan dan mengesahkan dasar negara Indonesia
merdeka.
Tahukah Anda, bahwa pada awal era reformasi 1998 muncul anggapan bahwa
Pancasila sudah tidak berlaku lagi karena sebagai produk rezim Orde Baru. Anggapan
ini muncul karena pada zaman Orde Baru sosialisasi Pancasila dilakukan melalui
penataran P-4 yang sarat dengan nuansa doktrin yang memihak kepada rezim yang
berkuasa pada waktu itu. Bagaimana cara menghindari kesalahpahaman atau sesat
pikir yang menghinggapi sebagian generasi muda dewasa ini? Untuk itu, Anda
sebagai mahasiswa perlu mempelajari kembali sejarah perumusan Pancasila yang
dilaksanakan sebelum masa kemerdekaan. Selain itu, untuk memperluas wawasan
Anda tentang pentingnya nilai dasar dalam suatu negara.
Setelah Anda melaksanakan penelusuran konsep dan urgensi Pancasila dalam
arus sejarah bangsa Indonesia, kemudian Anda diminta mencari dan menemukan
alasan mengapa bangsa Indonesia memerlukan Pancasila. Selanjutnya, Anda perlu
menggali sumber historis, sosiologis, politis tentang Pancasila dalam kajian sejarah
bangsa Indonesia. Selain itu, Anda juga perlu membangun argumen tentang
dinamika dan tantangan Pancasila dengan pendekatan historis sekaligus
mendeskripsikan esensi dan urgensi Pancasila dalam kajian sejarah bangsa
Indonesia untuk masa depan.
A. Menelusuri Konsep dan Urgensi Pancasila dalam Arus Sejarah Bangsa
Indonesia
1. Periode Pengusulan Pancasila
Jauh sebelum periode pengusulan Pancasila, cikal bakal munculnya
ideologi bangsa itu diawali dengan lahirnya rasa nasionalisme yang menjadi
pembuka ke pintu gerbang kemerdekaan bangsa Indonesia. Ahli sejarah,
Sartono Kartodirdjo, sebagaimana yang dikutip oleh Mochtar Pabottinggi
dalam artikelnya yang berjudul Pancasila sebagai Modal Rasionalitas Politik,
menengarai bahwa benih nasionalisme sudah mulai tertanam kuat dalam
gerakan Perhimpoenan Indonesia yang sangat menekankan solidaritas dan
kesatuan bangsa. Perhimpoenan Indonesia menghimbau agar segenap suku
bangsa bersatu teguh menghadapi penjajahan dan keterjajahan. Kemudian,
disusul lahirnya Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928 merupakan momen-
momen perumusan diri bagi bangsa Indonesia. Kesemuanya itu merupakan
modal politik awal yang sudah dimiliki tokoh-tokoh pergerakan sehingga
sidang-sidang maraton BPUPKI yang difasilitasi Laksamana Maeda, tidak
sedikitpun ada intervensi dari pihak penjajah Jepang. Para peserta sidang
BPUPKI ditunjuk secara adil, bukan hanya atas dasar konstituensi, melainkan
juga atas dasar integritas dan rekam jejak di dalam konstituensi masing-
masing. Oleh karena itu, Pabottinggi menegaskan bahwa diktum John Stuart
Mill atas Cass R. Sunstein tentang keniscayaan mengumpulkan the best minds
atau the best character yang dimiliki suatu bangsa, terutama di saat bangsa
tersebut hendak membicarakan masalah-masalah kenegaraan tertinggi,
sudah terpenuhi. Dengan demikian, Pancasila tidaklah sakti dalam pengertian
mitologis, melainkan sakti dalam pengertian berhasil memenuhi keabsahan
prosedural dan keabsahan esensial sekaligus. (Pabottinggi, 2006: 158-159).
Selanjutnya, sidang-sidang BPUPKI berlangsung secara bertahap dan penuh
dengan semangat musyawarah untuk melengkapi goresan sejarah bangsa
Indonesia hingga sampai kepada masa sekarang ini.
Perlu Anda ketahui bahwa perumusan Pancasila itu pada awalnya
dilakukan dalam sidang BPUPKI pertama yang dilaksanakan pada 29 Mei
sampai dengan 1 Juni 1945. BPUPKI dibentuk oleh Pemerintah Pendudukan
Jepang pada 29 April 1945 dengan jumlah anggota 60 orang. Badan ini diketuai
oleh dr. Rajiman Wedyodiningrat yang didampingi oleh dua orang Ketua Muda
(Wakil Ketua), yaitu Raden Panji Suroso dan Ichibangase (orang Jepang).
BPUPKI dilantik oleh Letjen Kumakichi Harada, panglima tentara ke-16 Jepang
di Jakarta, pada 28 Mei 1945. Sehari setelah dilantik, 29 Mei 1945, dimulailah
sidang yang pertama dengan materi pokok pembicaraan calon dasar negara.
Siapa sajakah tokoh-tokoh yang berbicara dalam sidang BPUPKI
tersebut? Menurut catatan sejarah, diketahui bahwa sidang tersebut
menampilkan beberapa pembicara, yaitu Mr. Muh Yamin, Ir. Soekarno, Ki
Bagus Hadikusumo, Mr. Soepomo. Keempat tokoh tersebut menyampaikan
usulan tentang dasar negara menurut pandangannya masing-masing.
Meskipun demikian perbedaan pendapat di antara mereka tidak mengurangi
semangat persatuan dan kesatuan demi mewujudkan Indonesia merdeka.
Sikap toleransi yang berkembang di kalangan para pendiri negara seperti inilah
yang seharusnya perlu diwariskan kepada generasi berikut, termasuk kita.

Sebagaimana Anda ketahui bahwa salah seorang pengusul calon dasar


negara dalam sidang BPUPKI adalah Ir. Soekarno yang berpidato pada 1 Juni
1945. Pada hari itu, Ir. Soekarno menyampaikan lima butir gagasan tentang
dasar negara sebagai berikut:

a. Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia,


b. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan,
c. Mufakat atau Demokrasi,
d. Kesejahteraan Sosial,
e. Ketuhanan yang berkebudayaan.

Berdasarkan catatan sejarah, kelima butir gagasan itu oleh Soekarno


diberi nama Pancasila. Selanjutnya, Soekarno juga mengusulkan jika
seandainya peserta sidang tidak menyukai angka 5, maka ia menawarkan
angka 3, yaitu Trisila yang terdiri atas (1) Sosio-Nasionalisme, (2) Sosio-
Demokrasi, dan (3) Ketuhanan Yang Maha Esa. Soekarno akhirnya juga
menawarkan angka 1, yaitu Ekasila yang berisi asas Gotong-Royong.

Sejarah mencatat bahwa pidato lisan Soekarno inilah yang di kemudian


hari diterbitkan oleh Kementerian Penerangan Republik Indonesia dalam
bentuk buku yang berjudul Lahirnya Pancasila (1947). Perlu Anda ketahui
bahwa dari judul buku tersebut menimbulkan kontroversi seputar lahirnya
Pancasila. Di satu pihak, ketika Soekarno masih berkuasa, terjadi semacam
pengultusan terhadap Soekarno sehingga 1 Juni selalu dirayakan sebagai hari
lahirnya Pancasila. Di lain pihak, ketika pemerintahan Soekarno jatuh, muncul
upaya-upaya “de-Soekarnoisasi” oleh penguasa Orde Baru sehingga
dikesankan seolah-olah Soekarno tidak besar jasanya dalam penggalian dan
perumusan Pancasila.

Setelah pidato Soekarno, sidang menerima usulan nama Pancasila bagi


dasar filsafat negara (Philosofische grondslag) yang diusulkan oleh Soekarno,
dan kemudian dibentuk panitia kecil 8 orang (Ki Bagus Hadi Kusumo, K.H.
Wahid Hasyim, Muh. Yamin, Sutarjo, A.A. Maramis, Otto Iskandar Dinata, dan
Moh. Hatta) yang bertugas menampung usul-usul seputar calon dasar
negara. Kemudian, sidang pertama BPUPKI (29 Mei - 1 Juni 1945) ini berhenti
untuk sementara.

2. Periode Perumusan Pancasila

Hal terpenting yang mengemuka dalam sidang BPUPKI kedua pada 10


- 16 Juli 1945 adalah disetujuinya naskah awal “Pembukaan Hukum Dasar”
yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Piagam Jakarta itu
merupakan naskah awal pernyataan kemerdekaan Indonesia. Pada alinea ke-
empat Piagam Jakarta itulah terdapat rumusan Pancasila sebagai berikut.

1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-


pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dalam permusyawaratan
perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Naskah awal “Pembukaan Hukum Dasar” yang dijuluki “Piagam Jakarta”


ini di kemudian hari dijadikan “Pembukaan” UUD 1945, dengan sejumlah
perubahan di sana-sini. Ketika para pemimpin Indonesia sedang sibuk
mempersiapkan kemerdekaan menurut skenario Jepang, secara tiba-tiba
terjadi perubahan peta politik dunia. Salah satu penyebab terjadinya
perubahan peta politik dunia itu ialah takluknya Jepang terhadap Sekutu.
Peristiwa itu ditandai dengan jatuhnya bom atom di kota Hiroshima pada 6
Agustus 1945. Sehari setelah peristiwa itu, 7 Agustus 1945, Pemerintah
Pendudukan Jepang di Jakarta mengeluarkan maklumat yang berisi :

1) pertengahan Agustus 1945 akan dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan


bagi Indonesia (PPKI),
2) panitia itu rencananya akan dilantik 18 Agustus 1945 dan mulai bersidang
19 Agustus 1945, dan
3) direncanakan 24 Agustus 1945 Indonesia dimerdekakan.

Esok paginya, 8 Agustus 1945, Sukarno, Hatta, dan Rajiman dipanggil


Jenderal Terauchi (Penguasa Militer Jepang di Kawasan Asia Tenggara) yang
berkedudukan di Saigon, Vietnam (sekarang kota itu bernama Ho Chi Minh).
Ketiga tokoh tersebut diberi kewenangan oleh Terauchi untuk segera
membentuk suatu Panitia Persiapan Kemerdekaan bagi Indonesia sesuai
dengan maklumat Pemerintah Jepang 7 Agustus 1945 tadi. Sepulang dari
Saigon, ketiga tokoh tadi membentuk PPKI dengan total anggota 21 orang,
yaitu: Soekarno, Moh. Hatta, Radjiman, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandar
Dinata, Purboyo, Suryohamijoyo, Sutarjo, Supomo, Abdul Kadir, Yap Cwan
Bing, Muh. Amir, Abdul Abbas, Ratulangi, Andi Pangerang, Latuharhary, I Gde
Puja, Hamidan, Panji Suroso, Wahid Hasyim, T. Moh. Hasan (Sartono
Kartodirdjo, dkk., 1975: 16--17)

3. Periode Pengesahan Pancasila

Perlu Anda ketahui bahwa sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan


Indonesia, yakni 18 Agustus 1945, PPKI bersidang untuk menentukan dan
menegaskan posisi bangsa Indonesia dari semula bangsa terjajah menjadi
bangsa yang merdeka. PPKI yang semula merupakan badan buatan
pemerintah Jepang, sejak saat itu dianggap mandiri sebagai badan
nasional. Atas prakarsa Soekarno, anggota PPKI ditambah 6 orang lagi,
dengan maksud agar lebih mewakili seluruh komponen bangsa Indonesia.
Mereka adalah Wiranatakusumah, Ki Hajar Dewantara, Kasman Singodimejo,
Sayuti Melik, Iwa Koesoema Soemantri, dan Ahmad Subarjo.
Indonesia sebagai bangsa yang merdeka memerlukan perangkat dan
kelengkapan kehidupan bernegara, seperti: Dasar Negara, Undang-Undang
Dasar, Pemimpin negara, dan perangkat pendukung lainnya. Putusan-
putusan penting yang dihasilkan mencakup hal-hal berikut:

1) Mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara (UUD ‘45) yang terdiri atas


Pembukaan dan Batang Tubuh. Naskah Pembukaan berasal dari Piagam
Jakarta dengan sejumlah perubahan. Batang Tubuh juga berasal dari
rancangan BPUPKI dengan sejumlah perubahan pula.
2) Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama (Soekarno dan Hatta).
3) Membentuk KNIP yang anggota intinya adalah mantan anggota PPKI
ditambah tokoh-tokoh masyarakat dari banyak golongan. Komite ini dilantik
29 Agustus 1945 dengan ketua Mr. Kasman Singodimejo.

Rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut.

1) Ketuhanan yang Maha Esa


2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah dalam permusyawaratan perwakilan
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sejarah bangsa Indonesia juga mencatat bahwa rumusan Pancasila


yang disahkan PPKI ternyata berbeda dengan rumusan Pancasila yang
termaktub dalam Piagam Jakarta. Hal ini terjadi karena adanya tuntutan dari
wakil yang mengatasnamakan masyarakat Indonesia Bagian Timur yang
menemui Bung Hatta yang mempertanyakan 7 kata di belakang kata
“Ketuhanan”, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Tuntutan ini ditanggapi secara arif oleh para pendiri
negara sehingga terjadi perubahan yang disepakati, yaitu dihapusnya 7 kata
yang dianggap menjadi hambatan di kemudian hari dan diganti dengan istilah
“Yang Maha Esa”.

Belanda ingin menguasai kembali Indonesia dengan berbagai cara.


Tindakan Belanda itu dilakukan dalam bentuk agresi selama kurang lebih 4
tahun. Setelah pengakuan kedaulatan bangsa Indonesia oleh Belanda pada
27 Desember 1949, maka Indonesia pada 17 Agustus 1950 kembali ke negara
kesatuan yang sebelumnya berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).
Perubahan bentuk negara dari Negara Serikat ke Negara Kesatuan tidak diikuti
dengan penggunaan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi dibuatlah konstitusi
baru yang dinamakan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950).
Permasalahannya ialah ketika Indonesia kembali Negara Kesatuan, ternyata
tidak menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga menimbulkan
persoalan kehidupan bernegara dikemudian hari.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dilaksanakanlah


Pemilu yang pertama pada 1955. Pemilu ini dilaksanakan untuk membentuk
dua badan perwakilan, yaitu Badan Konstituante (yang akan mengemban
tugas membuat Konstitusi/Undang-Undang Dasar) dan DPR (yang akan
berperan sebagai parlemen). Pada 1956, Badan Konstituante mulai bersidang
di Bandung untuk membuat UUD yang definitive sebagai pengganti UUDS
1950. Sebenarnya telah banyak pasal-pasal yang dirumuskan, akan tetapi
sidang menjadi berlarut-larut ketika pembicaraan memasuki kawasan dasar
negara. Sebagian anggota menghendaki Islam sebagai dasar negara,
sementara sebagian yang lain tetap menghendaki Pancasila sebagai dasar
negara. Kebuntuan ini diselesaikan lewat voting, tetapi selalu gagal mencapai
putusan karena selalu tidak memenuhi syarat voting yang ditetapkan.
Akibatnya, banyak anggota Konstituante yang menyatakan tidak akan lagi
menghadiri sidang. Keadaan ini memprihatinkan Soekarno sebagai Kepala
Negara.

Akhirnya, pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengambil langkah


“darurat” dengan mengeluarkan dekrit. Setelah Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli
1959, seharusnya pelaksanaan sistem pemerintahan negara didasarkan pada
Undang-Undang Dasar 1945. Karena pemberlakuan kembali UUD 1945
menuntut konsekuensi sebagai berikut: Pertama, penulisan Pancasila
sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Kedua, penyelenggaraan negara seharusnya dilaksanakan sebagaimana
amanat Batang Tubuh UUD ‘45. Dan, ketiga, segera dibentuk MPRS dan
DPAS. Pada kenyataannya, setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 terjadi
beberapa hal yang berkaitan dengan penulisan sila-sila Pancasila yang tidak
seragam.
Sesudah dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno,
terjadi beberapa penyelewengan terhadap UUD 1945. Antara lain, Soekarno
diangkat sebagai presiden seumur hidup melalui TAP No. III/MPRS/1960.
Selain itu, kekuasaan Presiden Soekarno berada di puncak piramida, artinya
berada pada posisi tertinggi yang membawahi ketua MPRS, ketua DPR, dan
ketua DPA yang pada waktu itu diangkat Soekarno sebagai menteri dalam
kabinetnya sehingga mengakibatkan sejumlah intrik politik dan perebutan
pengaruh berbagai pihak dengan berbagai cara, baik dengan mendekati
maupun menjauhi presiden. Pertentangan antarpihak begitu keras, seperti
yang terjadi antara tokoh PKI dengan perwira Angkatan Darat (AD) sehingga
terjadilah penculikan dan pembunuhan sejumlah perwira AD yang dikenal
dengan peristiwa Gerakan 30 September (G30S PKI).

B. Alasan Diperlukannya Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia.


1. Pancasila sebagai Identitas Bangsa Indonesia

Sebagaimana diketahui bahwa setiap bangsa mana pun di dunia ini


pasti memiliki identitas yang sesuai dengan latar belakang budaya masing-
masing. Budaya merupakan proses cipta, rasa, dan karsa yang perlu dikelola
dan dikembangkan secara terus-menerus. Budaya dapat membentuk
identitas suatu bangsa melalui proses inkulturasi dan akulturasi. Pancasila
sebagai identitas bangsa Indonesia merupakan konsekuensi dari proses
inkulturasi dan akulturasi tersebut.

Kebudayaan itu sendiri mengandung banyak pengertian dan definisi.


Salah satu defisini kebudayaan adalah sebagai berikut: ”suatu desain untuk
hidup yang merupakan suatu perencanaan dan sesuai dengan perencanaan
itu masyarakat mengadaptasikan dirinya pada lingkungan fisik, sosial, dan
gagasan” (Sastrapratedja, 1991: 144). Apabila definisi kebudayaan ini ditarik
ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka negara Indonesia
memerlukan suatu rancangan masa depan bagi bangsa agar masyarakat
dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan lingkungan baru, yakni kehidupan
berbangsa yang mengatasi kepentingan individu atau kelompok.
Kebudayaan bangsa Indonesia merupakan hasil inkulturasi, yaitu
proses perpaduan berbagai elemen budaya dalam kehidupan masyarakat
sehingga menjadikan masyarakat berkembang secara dinamis. (J.W.M.
Bakker, 1984:22) menyebutkan adanya beberapa saluran inkulturasi, yang
meliputi: jaringan pendidikan, kontrol, dan bimbingan keluarga, struktur
kepribadian dasar, dan self expression. Kebudayaan bangsa Indonesia juga
merupakan hasil akulturasi sebagaimana yang ditengarai Eka Dharmaputera
dalam bukunya Pancasila: Identitas dan Modernitas. Haviland menegaskan
bahwa akulturasi adalah perubahan besar yang terjadi sebagai akibat dari
kontak antarkebudayaan yang berlangsung lama. Hal-hal yang terjadi dalam
akulturasi meliputi: 1) Substitusi; penggantian unsur atau kompleks yang ada
oleh yang lain yang mengambil alih fungsinya dengan perubahan struktural
yang minimal; 2) Sinkretisme; percampuran unsur-unsur lama untuk
membentuk sistem baru; 3) Adisi; tambahan unsur atau kompleks-kompleks
baru; 4) Orijinasi; tumbuhnya unsur-unsur baru untuk memenuhi kebutuhan
situasi yang berubah; 5) Rejeksi; perubahan yang berlangsung cepat dapat
membuat sejumlah besar orang tidak dapat menerimanya sehingga
menyebabkan penolakan total atau timbulnya pemberontakan atau gerakan
kebangkitan (Haviland, 1985: 263).

Pemaparan tentang Pancasila sebagai identitas bangsa atau juga


disebut sebagai jati diri bangsa Indonesia dapat ditemukan dalam berbagai
literatur, baik dalam bentuk bahasan sejarah bangsa Indonesia maupun dalam
bentuk bahasan tentang pemerintahan di Indonesia. As’ad Ali dalam buku
Negara Pancasila; Jalan Kemashlahatan Berbangsa mengatakan bahwa
Pancasila sebagai identitas kultural dapat ditelusuri dari kehidupan agama
yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Karena tradisi dan kultur bangsa
Indonesia dapat diitelusuri melalui peran agama-agama besar, seperti:
peradaban Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Agama-agama tersebut
menyumbang dan menyempurnakan konstruksi nilai, norma, tradisi, dan
kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat. Misalnya,
konstruksi tradisi dan kultur masyarakat Melayu, Minangkabau, dan Aceh tidak
bisa dilepaskan dari peran peradaban Islam. Sementara konstruksi budaya
Toraja dan Papua tidak terlepas dari peradaban Kristen. Demikian pula halnya
dengan konstruksi budaya masyarakat Bali yang sepenuhnya dibentuk oleh
peradaban Hindu (Ali, 2010: 75).

2. Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia


Pancasila disebut juga sebagai kepribadian bangsa Indonesia, artinya
nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan
diwujudkan dalam sikap mental dan tingkah laku serta amal perbuatan. Sikap
mental, tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia mempunyai ciri khas,
artinya dapat dibedakan dengan bangsa lain. Kepribadian itu mengacu pada
sesuatu yang unik dan khas karena tidak ada pribadi yang benar-benar sama.
Setiap pribadi mencerminkan keadaan atau halnya sendiri, demikian pula
halnya dengan ideologi bangsa (Bakry, 1994: 157). Meskipun nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan juga terdapat dalam
ideologi bangsa-bangsa lain, tetapi bagi bangsa Indonesia kelima sila tersebut
mencerminkan kepribadian bangsa karena diangkat dari nilai-nilai kehidupan
masyarakat Indonesia sendiri dan dilaksanakan secara simultan. Di samping
itu, proses akulturasi dan inkulturasi ikut memengaruhi kepribadian bangsa
Indonesia dengan berbagai variasi yang sangat beragam. Kendatipun
demikian, kepribadian bangsa Indonesia sendiri sudah terbentuk sejak lama
sehingga sejarah mencatat kejayaan di zaman Majapahit, Sriwijaya, Mataram,
dan lain-lain yang memperlihatkan keunggulan peradaban di masa itu. Nilai-
nilai spiritual, sistem perekonomian, politik, budaya merupakan contoh
keunggulan yang berakar dari kepribadian masyarakat Indonesia sendiri.

3. Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia


Pancasila dikatakan sebagai pandangan hidup bangsa, artinya nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan diyakini
kebenarannya, kebaikannya, keindahannya, dan kegunaannya oleh bangsa
Indonesia yang dijadikan sebagai pedoman kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa dan menimbulkan tekad yang kuat untuk mengamalkannya dalam
kehidupan nyata (Bakry, 1994: 158). Pancasila sebagai pandangan hidup
berarti nilai-nilai Pancasila melekat dalam kehidupan masyarakat dan dijadikan
norma dalam bersikap dan bertindak. Ketika Pancasila berfungsi sebagai
pandangan hidup bangsa Indonesia, maka seluruh nilai Pancasila
dimanifestasi ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

4. Pancasila sebagai Jiwa Bangsa

Sebagaimana dikatakan von Savigny bahwa setiap bangsa mempunyai


jiwanya masing-masing, yang dinamakan volkgeist (jiwa rakyat atau jiwa
bangsa). Pancasila sebagai jiwa bangsa lahir bersamaan dengan lahirnya
bangsa Indonesia. Pancasila telah ada sejak dahulu kala bersamaan dengan
adanya bangsa Indonesia (Bakry, 1994: 157).

5. Pancasila sebagai nilai luhur

Perjanjian luhur, artinya nilai-nilai Pancasila sebagai jiwa bangsa dan


kepribadian bangsa disepakati oleh para pendiri negara (political consensus)
sebagai dasar negara Indonesia (Bakry, 1994: 161). Kesepakatan para pendiri
negara tentang Pancasila sebagai dasar negara merupakan bukti bahwa pilihan
yang diambil pada waktu itu merupakan sesuatu yang tepat.

C. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila dalam Kajian


Sejarah Bangsa Indonesia
1. Sumber Historis Pancasila
Nilai-nilai Pancasila sudah ada dalam adat istiadat, kebudayaan, dan
agama yang berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak zaman
kerajaan dahulu. Misalnya, sila Ketuhanan sudah ada pada zaman dahulu,
meskipun dalam praktik pemujaan yang beranekaragam, tetapi pengakuan
tentang adanya Tuhan sudah diakui. Dalam Encyclopedia of Philosophy
disebutkan beberapa unsur yang ada dalam agama, seperti kepercayaan kepada
kekuatan supranatural, perbedaan antara yang sakral dan yang profan, tindakan
ritual pada objek sakral, sembahyang atau doa sebagai bentuk komunikasi
kepada Tuhan, takjub sebagai perasaan khas keagamaan, tuntunan moral
diyakini dari Tuhan, konsep hidup di dunia dihubungkan dengan Tuhan, kelompok
sosial seagama dan seiman.
2. Sumber Sosiologis Pancasila

Nilai-nilai Pancasila (ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,


keadilan) secara sosiologis telah ada dalam masyarakat Indonesia sejak dahulu
hingga sekarang. Salah satu nilai yang dapat ditemukan dalam masyarakat
Indonesia sejak zaman dahulu hingga sekarang adalah nilai gotong royong.
Misalnya dapat dilihat, bahwa kebiasaan bergotongroyong, baik berupa saling
membantu antar tetangga maupun bekerjasama untuk keperluan umum di desa-
desa. Kegiatan gotong royong itu dilakukan dengan semangat kekeluargaan
sebagai cerminan dari sila Keadilan Sosial.

Gotong royong juga tercermin pada sistem perpajakan di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena masyarakat secara bersama-sama mengumpulkan iuran
melalui pembayaran pajak yang dimaksudkan untuk pelaksanaan pembangunan.

3. Sumber Politis Pancasila

Sebagaimana diketahui bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam


Pancasila bersumber dan digali dari local wisdom, budaya, dan pengalaman
bangsa Indonesia,termasuk pengalaman dalam berhubungan dengan
bangsa-bangsa lain. Nilai-nilai Pancasila, misalnya nilai kerakyatan dapat
ditemukan dalam suasana kehidupan pedesaan yang pola kehidupan bersama
yang bersatu dan demokratis yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan
sebagaimana tercermin dalam sila keempat Kerakyatan Yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Semangat seperti
ini diperlukan dalam mengambil keputusan yang mencerminkan musyawarah.

D. Dinamika dan Tantangan Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia


1. Dinamika Pancasila dalam Sejarah Bangsa
Pemahaman dan pelaksanaan terhadap nilai-nilai Pancasila dari waktu ke
waktu mengalami pasang surut, hal ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan
bangsa dan negera Indonesia. Pancasila sering ditafsirkan sepihak oleh para
penguasa untuk melegitimasi kekuasaannya. Sebagai contoh, Pada masa
pemerintahan Republik Indonesia di bawah presiden Soekarno, terutama pada
tahun 1960-an digagas Nasakom. Ini adalah padandangan yang keliru dan jelas
bertentangan dengan dasar negara Pancasila, dimana di dalamnya terdapat sila
pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan adanya sila Ketuhanan yang Maha
Esa, maka segala bentuk paham yang menegasikan eksistensi Tuhan (ajaran
komunisme) sangat bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara dan
pandangan hidup bangsa Indonesia.
Pada masa orde baru, Pancasila di sosialisasikan dan di internalisasikan
melalui penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang
dalam pelaksanaannya cenderung hanya untuk mengagung-agungkan
pemerintahan orde baru. Sehingga pasca orde baru tumbang, banyak kalangan
alergi membahas Pancasila, karena khawatir diidentikkan dengan orde baru atau
khawatir dianggap tidak reformis. Dengan demikian, tampak Pancasila sekan
dilupakan. Bahkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pun
demikian, muatan tentang Pancasila sangat minim. Bahkan di perguruan tinggi pun
terjadi peleburan mata kuliah Pancasila ke dalam mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan dan hanya memuat satu bab saja. Baru setelah
diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi secara tegas diatur bahwa, kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata
kuliah Pancasila, selain mata kuliah Agama, Pendidikan Kewarganegaraan dan
Bahasa Indonesia. Dengan demikian perlu didiskusikan lebih lanjut bagaimana
dinamika dan perubahan Pancasila sejak awal kemerdekaan, orde lama, orde baru
dan orde reformasi.

2. Tantangan terhadap Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara


Pada masa orde lama, lahir TAP MPRS No. III/MPRS/1960 tentang
pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Hal ini tentu saja
bertentangan dengan konstitusi Negara Republik Indonesia (UUD 1945) yaitu
pasal 7 yang menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil presiden memangku jabatan
selama lima (5) tahun, sesudahnya dapat dipilih kembali”. Berdasarkan pasal
tersebut, berarti pengangkatan presiden seharusnya periodik dan ada batas waktu
lima tahun. Hal ini menunjukkan bahwa, tantangan terhadap Pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara telah meletakkan Pancasila tidak dalam
posisi sebenarnya , dengan kata lain bahwa nilai-nilai Pancasila menyimpang dari
kenyataan hidup berbangsa dan bernegara. Pada masa orde baru, masa jabatan
presiden memang sesuai dengan ketentuan pasal 7 UUD 1945, Soeharto dipilih
oleh MPR dengan periode 5 tahun. Namun, kualitas demokrasi dipertaruhkan,
mengingat pada masa itu, proses pemilihan presiden sebagai mandataris MPR
seakan hanya melaksanakan demokrasi dalam arti prosedural. Dimana Soeharto
selalu terpilih sebagai presiden. Tentu dibalik itu meninimbulan tanda tanya. Hal
ini perlu dicari jawabannya. Yang terjadi hanyalah pergantian wakil presiden lima
(5) tahunan hingga akhirnya kekuasaan orde baru berakhir setelah Soeharto
dipaksa lengser oleh elemen masyarakat dan mahasiswa pada 21 Mei 1998.
Selain kedua contoh di atas, tantangan terhadap Pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara adalah bagaimana nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila itu di hayati dan diimplementasikan dalam segala
sendi kehidupan berbangsa dan bernegara oleh seluruh penyelenggara negara.
Masih banyaknya praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam tubuh
pemerintahan mengindikasikan bahwa Pancasila belum dipahami dan di
implementasikan.

E. Esensi dan Urgensi Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia untuk
Masa Depan
1. Esensi Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa
Pancasila pada hakikatnya merupakan philosofische Grondslag (Dasar
filsafat negara) dan Weltanchauung (Pandangan hidup bangsa). Sebagai dasar
filsafat negara, Pancasila mengandung alasan berdirinya suatu negara; setiap
produk hukum di Indonesia harus berdasarkan nilai Pancasila. Pancasila
dipergunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan negara, dengan kata lain
Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara.
Menurut Darmodiharjo ,dkk (1991), Pengertian Pancasila sebagai dasar negara
seperti telah diuraikan sesuai dengan bunyi pembukaan UUD 1945,
bahwa:”....maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
undang-undnag dasar negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat...”.
Sebagai pandangan hidup bangsa (Weltanchauung), menurut Pancasila
mengandung unsur-unsur sebagai berikut: nilai-nilai agama, budaya, dan adat
istiadat.
2. Urgensi Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa
Justifikasi Pancasila untuk kepentingan rezim penguasa, rendahnya
pemahaman dan implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menunjukkan betapa urgennya
Pancasila sebagai dasar fisafat bangsa dan pandangan hidup bangsa dan negara
untuk dikaji, di pelajari dan disosialisasikan pada segala lapisan masyarakat dan
penyelenggara negara. Selain itu, perlu dicari faktor penyebab mengapa
pemahaman dan implementasi tentang nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat dan
penyelenggara negara secara umum rendah. Pemberitaan mengenai korupsi,
kolusi dan nepotisme dalam birokrasi, perilaku barbarian dalam kehidupan
masyarakat yang menunjukkan peningkatan, perilaku main hakim sendiri, tawuran
pelajar, maraknya tindakan asusila, rendahnya toleransi antar umat beragama,
umat seagama, dan penganut agama dan pemerintah, adanya kelompok-
kelompok tertentu yang menolak Pancasila sebagai dasar negara memerlukan
penanganan serius.
BAB 3 PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA INDONESIA
A. Konsep Negara, Tujuan Negara dan Urgensi Dasar Negara
1. Konsep Negara
Berbicara konsep negara secara umum dapat diartikan sebagai organisasi
tertinggi yang memiliki kewenangan, kewajiban utuk mengatur orang-orang dan
melindunginya serta mensejahterakannya. Prayogi (2018: 9) mengemukakan
bahwa negara merupakan sebuah organisasi kelompok atau beberapa kelompok
didalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan yang tertinggi dan ditaati oleh
rakyatnya. Hal tersebut berarti bahwa negara diartikan sebagai sebuah organisasi
dimana ada sebuah struktur didalamnya yang memiliki kekuasaan yang mengatur
orang-orang yang ada di dalamnya.
Dibawah ini dijabarkan mengenai beberapa pengertian negara menurut
para ahli.
a. Aristoteles
Menurut Aristoteles, negara (polis) merupakan suatu persekutuan dari keluarga
dan desa guna mencapai kehidupan sebaik-baiknya
b. Roger F Soleau
Menurut Roger F. Soleau, negara adalah alat atau wewenang yang mengatur,
mengendalikan persoalan-persoalan bersama yang diatasnamakan
masyarakat.
c. Hugo de Groot
Menurut Hugo de Groot definisi negara adalah ikatan manusia yang insyaf akan
arti dan panggilan hukum kodrat
d. Jean Bodin
Menurut Jean Bodin bahwa negara merupakan persekutuan dari keluarga
yang dipimpin pemimpin yang menggunakan akal sehat dan memiliki
kedaulatan.
e. George jellinek
Menurut George Jellinek bahwa negara adalah organisasi kekuasaan
sekelompok manusia yang berada di wilayah tertentu.
f. R. Kranenburg
Menurut R, Kranenburg menyatakan negara adalah organisasi kekuasaan
yang diciptakan sekelompok manusia yang disebut bangsa.
Dari beberapa para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa negara merupakan
sebuah organisasi yang dipimpin oleh seorang atau sekelompok pemimpin
untuk kepentinganm rakyat yang berada di wilayah tertentu.
Berkaitan dengan definisi negara diatas harus ada beberapa unsur yang
harus dipenuhi dalam terbentuknya negara yakni yang terdiri dari:
a. Unsur Konstitif, yang mutlak atau yang harus dimiliki
1) Wilayah
Wilayah merupakan daerah yang menjadi kekuasaan Negara sekaligus
menjadi tempat untuk rakyat yang ada dinegara tersebut. Wilayah
Negara mencakup darat, laut, dan udara kemudian untuk batas-batas
wilayah diatur dengan perjanjian dan perundang-undangan
Internasional.
2) Rakyat
Rakyat adalah semua orang yang berada atau tinggal dalam wilayah
suatu Negara dan tunduk serta patuh terhadap semua peraturan yang
ada di Negara tersebut
3) Pemerintah
Pemerintah disebut juga alat kelengkapan negara yang bertugas untuk
menjadi pengatur, membuat peraturan melalui badan-badan
pemerintahan untuk mencapai tujuan negara. Pemerintah dalam arti
sempit dikaitjkan dengan badan eksekutif, dan pemerintah dalam arti
luas yakni lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
b. Unsur Deklaratif
Unsur deklaratif yakni unsur tambahan di dalam sebuah negara yakni
pengakuan dari negara lain, baik pengakuan secara de facto pengakuan
atas fakta adanya negara sudah terbentuk berdasarkan a rakyat, wilayah,
serta pemerintahan yang berdaulat. Serta pengakuan secara de jure yakni
pengakuan didasarkan atas pernyataan resmi menurut hukum
internasional, sehingga suatu Negara mendapatkan hak dan kewajibannya
sebagai anggota atau organisasi Internasional.
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah negara sudah
memenuhu syarat secara konstitutuf dan deklararif serta sudah diakui
secara de facto dan de jure. Hal tersebut dibuktikan bahwa Indonesia
memuliki wilayah yang luas yang di tinggali oleh rakyat Indonesia yang
memiliki beragam keanekaragaman serta ada pemerintah berdaulat yang
memimpin serta mengaturnya. Kemudian Indonesia juga diakui dalam
kancah Internasional dengan bukti keikutsertaanya dalam organisasi PBB
dan menjalin hubungan serta kerjasama Internasional dengen negara-
negara yang lainnya.

2. Tujuan Negara
Pada hakikatnya manusia hidup di bumi memiliki tujuan yang akan dicapainya atau
yang biasa disebut dengan cita-cita. Sebuah negara pasti juga memiliki tujuan atau
cita-cita yang kan dicapainya. Menurut Soehino (1998; 146) tujuan sebuah negara
sangat berkaitan dan bergantung kepada tempat, keadaan setrta sifatt dari
keadaan penguasa. Adapun pengertian tujuan negara menurut para ahli antara
lain sebagai berikut.

a. Immanuel Kant
Menurut Immanuel Kant negara bertujuan untuk membentuk serta memelihara
hak kemerdekaan warga negara (the right of citizen independence)
b. Nicollo Machiavelli,
Tujuan Negara menurut Nicollo Machiavelli bahwa negara menghimpun dan
memperbesar kekuasaan negara (the power of the state) sehingga tercipta
kemakmuran (prosperity), kehormatan (honor), kesejahteraan rakyat
(prosperity).
c. Roger F. Soltau
Tujuan negara menciptakan kemungkinan rakyat suatu negara untuk
berkembang dan mengeksplorasi daya kreasi rakyatnya secara sebebas
d. Harold J. Laski
Tujuan negara menciptakan kondisi rakyat (Create conditions of the people)
yang dapat mencapai harapan dan keinginannya semaksimal.
Dari beberapa pendapat diatas dapat sipahami bahwa tujuan dari adanya negara
untuk ememnuhi semua kebutuhan rakyat dan menjamin kesejahteraan rakyat.
Kesejahteraan rakyat berarti semua kebutuhan yang diperlukan oleh rakyatnya bisa
terpenuhi dan bisa didapatkan dengan mudah seoperti pendiidkan yang baik,
perekonomian yang maju, prasarana yang memadai dan lain sebagainya.
Indonesia sebagai sebuah negara juga memiikit tujuan atau cita-cita hal
tersebut sangat jelas tertera di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pada alinea keempat yang berbunyi:
...Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...

Makna yang tersirat dalam alinea ke IV pembukaan Undang-undang Dasar


Negara Republik Indonesia bahwa tujuan negara Indonesia adalah:

a. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia


Hal tersebut berarti bahwa negara wajib melindungi apapun yang ada di Indonesia
. Pokok-pokok wajib dilindungi semua komponen yang membentuk bangsa
Indonesia, mulai dari rakyat, kekayaan alam, serta nilai-nilai bangsa yang
harusdipertahankan.
b. Memajukan kesejahteraan umum
Kesejahteraan umumberarti pensejahteraan di bidang kesejahteraan ekonomi
dan materi, namun kesejahteraan lahir dan batin. Terciptanya rasa aman, gotong
royong, saling menghormati dan menghargai hak dan kewajiban masing-masing
individu, masyarakat yang makmur dan adil sederajad.
c. Mencerdaskan kehidupan bangsa
Negara wajib melaksanakan pendidikan yang baik dan bermutu sehingga
masyarakat bisa cerdas dan dapat menciptakan sumber daya manusia yang baik
serta pembangunan dan kemajuan negara akan semakin mudah dicapai
d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar perdamaian abadi dan keadilan
sosial
Indonesia sebagai negara sudah pasti diakui di dalam kancah internasional,
kemudian Indoneisa iiut serta dalam menjaga perdamaian dunia terbukti dengan
politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
Tujuan dari negara Indonesia itu hbarus diwujudkan agar semua yang
diharapkan bisa tercapai. Cara mewujudkan tujuan negara Indonesia perlu usaha
yang maksimal yang dapat dilakukan oleh semua kalangan,bukan hanya tugas
dari pemerintah saja tetapi rakyat juga harus ikut serta melakukan tindakan untuk
mencapai tujuan tersebut. Contoh kecil yang bisa dilakukan rakyat adalah menjaga
perdamaian antara suku bangsa, mengenyam pendidikan wajib dan masih banyak
lagi.

3. Urgensi Dasar negara


Sebelum membangun rumah harus membuat yang namanya fondasi rumah
yang bertujuan agar rumah bisa berdiri tegak, kuat serta kokoh. Begitupula dengan
negara kalau dianalogikan seperti rumah, negara harus memiliki fondasi agar
keberadaanya kuat dan kokoh. Dasar negara dapat diartikan sebagai landasan
atau sumber dalam membentuk dan menyelenggarakan negara. Dasar negara
sangat penting untuk mengatur penyelenggaraan negara. Prayogi (2018:61)
menyebutkan bahwa dasar negara merupakan peraturan dasar yang digunakan
ubntuk mengatur pelaksanaan sistem ketatanegaraan. Hakikatnya, dasar negara
atau sering disebut sebagai filsafat negara (political philosophy) yang
berkedudukan sebagai sumber dari semua sumber hukum yang ada di dalam
suatu negara atau disebut juga sebagai sumber tata tertip hukum dalam negara.
Dalam Buku Pendidikan pancasila Direktorat Jenderal Pembelajaran dan
Kemahasiswaan (2016: 80) bahwa dasar negara itu suatu norma dasar di dalam
menyenggarakan negara dan menjadi sumber hukum, hukum tertulis maupun
tidak tertulis. Pentingnya dasar negara agar kehidupan kenegaraan bisa menjadi
kebih terarah dikarenakan dasar nrgara dijadikan sebagai norma patokan dalam
segala aktivitas ketatanegaraan sehingga tujuan atau cita-cita negara tersebut
tercapai.
Peranan dasar negara sangat penting dikarenakan sebagai acuan dalam
segala aktifitas kenegaraan. Sebagai contoh apabila sebuah negara telah memiliki
dasar negara segala aktivitas kenegaraan harus beracuan dengan dasar negara
tersebut. Contohnya Pancasila sebgai dasar negara Indonesia menjadi seagai
acuan dalam segala aktivitas ketatanegaraan yang ada di Indonesia misalkan di
dalam bidang hukum. Peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia
harus berdasarkan dengan Paabncasila. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya
Tata perurutan Perundang-Undangan Yang ada Di Indonesia. Sebagai Dasar
Negara Pancasila memiliki kedudukan yang paling tinggi dan menjadi sumber dari
segala sumber hukum. Seperti di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang tata Peraturan perundang-Undangan di Indonesia antara lain sebagai
berikut sebagai berikut.

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

B. Alasan Diperlukannya Pancasila Sebagai Dasar Negara


Seperti yang telah dibahas pada sub bab diatas bahwasanya setiap negara
harus memiliki yang namanya dasar negara dengan tujuan untuk dijadikan
landasan dalam berkehidupan serta mencadi sebagai sumber atau tata tertip
hukum di dalam negara. Indonesia sebagai negara juga perlu dasar negara yang
disebut Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara berari bahwa Pancasila
sebagai sebuah norma yang dijadikan acuan dan sumber dalam berkehidupan
kenegaraan serta menjadi sumber hukum bagi peratura-peraturan lainnya. Hal itu
berarti bahwa kedudukan Pancasila sebagai hukum yang tertinggi.
Bung Karno mendefiniskan Pancasila merupakan isi jiwa bangsa Indonesia
yang turun-temurun berabad-abad lama yang terpendam. Dengan demikian,
Pancasila bukan hanya falsafah negara namui lebih luas lagi yakni falsafah bagi
bangsa Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara dikenal juga dengan
philosophische gronslag .Pancasila sebagai dasar negara indonesia tertuang di
dalam Undang-undang dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada alinea
ke IV yang berbunyi:

“maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu


Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada :Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil
dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”
Dalam Kaelan ( 2013:49) kata “dengan berdasarkan kepada dalam
bermakna “ secara yuridis bermalna sebagai dasar negara.Menurut Ketut
Rinjin dalam Winarno ( 2016:51) Pancasila sebagai dasar negara mengandung
tiga pengertian dan tiga tingkatan:
a. Pancasila sebagai dasar negara yabng bersifat abstrak dan universal
b. Pancasila sebagai pedoman penyelenggaraan negara
c. Sebagai petunjuk penyelenggaraan negara
Kaelan (2013: 50-53) juga memaparkan bahwa pancasila sebagai dasar
negara dan tertib Hukum di Indonesia dapatr dirincikan sebagai berikut.
a. Pancasila sebagai sumber dari sumber hukum di Indonesia
b. Pancasila meliputi suasana kebatinan (geitslicbenbintergrund) dari
Undang-Undag dasar negara Repuiblik Indonesia Tahun 1945
c. Mewujudkan cita-cita hukum di Negara Indonesia
d. Mengandung norma yang didalamnya harus dipatuhinoleh pemerintah atau
penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya
e. Sebagai penyemangat para penyelenggara negara agat bisa
melaksanakan tugas dan bisa membawa perubahan yang sifatnya dinamis.
Agar semua kegiatan yang dilaksanakan berasaskan pancasila
Perlunya Pancasila bagi negara Indonesia adalah pancasila itu sendiri
di kristalisasi dari keadaan masyarakat Indonesia yang beragam dan
mencakup semuanya dan menjadi Panglima tertinggi dari segala norma yang
ada sehingga kehidupan kenegaraan memikliki landasan dan menjadi memiliki
arah untuk mencapai tujuan negara. Sekaligus Pancasila sangat
mencerminkan karakteristik bangsa Indonesia

C. Sumber Yuridis, Historis, Sosiologis, Dan Politis Tentang Pancasila Sebagai


Dasar Negara
1. Sumber Yuridis
Sebagai sumber yuridis pancasila sebagai Dasar Negara maka terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-
undangan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum
negara. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
negara, yaitu sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, bahwa Pancasila ditempatkan sebagai dasar dan ideologi
negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila sebagai Dasar Negara dilihat
dari sumber Yuridis yaitu Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia
yang terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 dimana melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 sebagai payung hukum, sehingga Pancasila perlu
diaktualisasikan agar dalam praktik berdemokrasinya tidak kehilangan arah dan
dapat meredam konflik yang terjadi.
Negara Republik Indonesia merupakan Negara Hukum yaitu pemerintah
yang berdasarkan hukum (rule of law), pada dasarnya Pancasila sebagai norma
dasar negara Republik Indonesia, sehingga sila-sila yang terdapat dalam
Pancasila merupakan nilai dasar-nilai instrumental dan nilai praksis. Nilai dasar
yang terdapat dalam pancasila terdiri atas nilai ketuhanan Yang Maha Esa, nilai
Kemanusiaan yang adil dan beardab, nilai persatuan Indonesia, nilai kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
nilai keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari nilai tersebut maka dapat kita
garis bawahi bahwa nilai dalam pancasila merupakan nilai yang tercerimin dalam
perilaku dan pandangan masyarakat Indonesia, oleh karena itu nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya perlu di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

2. Sumber Historis
Secara historis pancasila dijadikan sebagai dasar negara yaitu dalam
Proses perumusan Pancasila yang diawali ketika dalam sidang BPUPKI. Dalam
sidang BPUPKI terbentuk pada tanggal 29 April 1945. Adanya Badan ini bangsa
Indonesia dapat mempersiapkan kemerdekaannya secara legal, untuk
merumuskan syarat-syarat sebagai negara yang merdeka. Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dilantik pada tanggal
28 Mei 1945. Badan penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali. Sidang
pertama tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, sedangkan sidang kedua 10
Juli sampai dengan 17 Juli 1945. Pada sidang pertama M. Yamin dan Soekarno
mengusulkan tentang dasar negara.
Perumusan dasar negara dibentuk panitia kecil atau panitia sembilan yang
pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil merumuskan Rancangan (pembukaan) Hukum
Dasar, yang oleh Mr. Muhammad Yamin dinamakan Piagam Jakarta. Pada sidang
kedua BPUPKI yaitu menentukan perumusan Dasar Negara Melalui hasil
kesepakatan bersama. Pada masa sidang kedua ini anggota BPUPKI mengalami
penambahan anggota yaitu di dalamnya yaitu enam anggota baru. Sidang lengkap
BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945 dengan menerima hasil panitia kecil tersebut
atau panitia sembilan lainnya yang disebut dengan piagam Jakarta. Di samping
menerima hasil rumusan Panitia sembilan dibentuk juga panitia-panitia Hukum
Dasar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok panitia perancang Hukum
Dasar yakni:
1) Anggota Panitia Perancang Hukum Dasar diketuai oleh Ir. Soekarno dengan
anggota berjumlah 19 orang
2) Panitia Pembela Tanah Air dengan ketua Abikusno Tjokrosujoso
beranggotakan 23 orang
3) Panitia ekonomi dan keuangan dengan ketua Moh. Hatta, bersama 23 orang
anggota.
Panitia perancang Hukum Dasar kemudian membentuk lagi panitia kecil
Perancang Hukum Dasar yang dipimpin Soepomo. Panitia-panitia kecil yang
dalam rapatnya tanggal 11 dan 13 Juli 1945 telah dapat menyelesaikan tugasnya
yaitu Panitia Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi Linkai), yang sering
disebut Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang pertama PPKI
tanggal 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia dan menetapkan: menyusun Rancangan Hukum Dasar.
Selanjutnya tanggal 14 Juli 1945 sidang BPUPKI mengesahkan naskah rumusan
panitia sembilan yang dinamakan Piagam Jakarta sebagai Rancangan
Mukaddimah Hukum Dasar, dan pada tanggal 16 Juli 1945 menerima seluruh
Rancangan Hukum Dasar yang sudah selesai dirumuskan dan di dalamnya juga
memuat Piagam Jakarta.
Sidang BPUPKI tanggal 17 Juli 1945 merupakan sidang penutupan Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan pada tanggal 9
Agustus 1945 dibentuk Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang
pertama PPKI 18 Agustus 1945 berhasil mengesahkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia dan menetapkan:
1. Piagam Jakarta sebagai rancangan Mukaddimah Hukum Dasar oleh BPUPKI
pada tanggl 14 Juli 1945 dengan beberapa perubahan, disahkan sebagai
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
2. Rancangan Hukum Dasar yang telah diterima oleh BPUPKI pada tanggal 16
Juli 1945 setelah mengalami berbagai perubahan, disahkan sebagai Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
3. Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama, yakni Ir. Soekarno dan
Drs. Moh. Hatta.
4. Menetapkan berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai
Badan Musyawarah Darurat.
Rumusan-rumusan Pancasila secara historis terbagi dalam tiga kelompok, yaitu :
1. Rumusan Pancasila yang terdapat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang merupakan tahap
pengusulan sebagai dasar negara Republik Indonesia.
2. Rumusan Pancasila yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia sebagai dasar filsafat Negara Indonesia yang sangat erat
hubungannya dengan Proklamasi Kemerdekaan.
3. Beberapa rumusan dalam perubahan ketatanegaraan Indonesia selama belum
berlaku kembali rumusan Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD
1945.
Dari tiga kelompok di atas secara lebih rinci rumusan Pancasila sampai
dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 ini ada tujuh yakni:
1. Rumusan dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan dalam
pidato “Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia” (Rumusan I).
2. Rumusan dari Mr. Muh. Yamin tanggal 29 Mei 1945, yang disampaikan sebagai
usul tertulis yang diajukan dalam Rancangan Hukum Dasar (Rumusan II).
3. Soekarno, tanggal 1 Juni 1945 sebagai usul dalam pidato Dasar Indonesia
Merdeka, dengan istilah Pancasila (Rumusan III).
4. Piagam Jakarta, tanggal 22 Juni 1945, dengan susunan yang sistematik hasil
kesepakatan yang pertama (Rumusan IV).
5. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945 adalah
rumusan pertama yang diakui secara formal sebagai Dasar Filsafat Negara
(Rumusan V).
6. Mukaddimah KRIS tanggal 27 Desember 1949, dan Mukaddimah UUDS 1950
tanggal 17 Agustus 1950 (Rumusan VI).
7. Rumusan dalam masyarakat, seperti mukaddimah UUDS, tetapi sila
keempatnya berbunyi Kedaulatan Rakyat, tidak jelas asalnya (Rumusan VII).

3. Sumber Sosiologis Pancasila Sebagai Dasar Negara


Bangsa Indonesia yang menjunjung semboyan Bhineka Tunggal Ika
merupakan Negara yang beragam dengan kekayaan Budaya, Bahasa, Suku,
Agama, keberagaman ini merupakan sumber kekayaan yang berada di dalamnya.
Secara sosiologis Pancasila mengandung nilai-nilai yang di dalamnya merupakan
bagian dari (materil, formal, dan fungsional) yang ada dalam masyarakat
Indonesia. Hal tersebut berkaitan dengan Kenyataan objektif tersebut menjadikan
Pancasila sebagai dasar yang mengikat dan mencerminkan setiap warga bangsa
untuk taat pada nilai-nilai instrumental yang berupa norma atau hukum tertulis
(peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat) maupun yang tidak
tertulis seperti adat istiadat, kesepakatan atau kesepahaman, dan konvensi.
Kebhinekaan atau pluralitas yang terdapat pada masyarakat bangsa Indonesia
yang tinggi, dimana agama, ras, etnik, bahasa, yang penuh perbedaan,
menyebabkan ideologi Pancasila bisa diterima sebagai ideologi pemersatu
masyarakat Indonesia. Selanjutnya Bangsa Indonesia yang plural secara
sosiologis menjadi ideologi pemersatu Pancasila. Oleh karena itu nilai-nilai yang
terdapat Pancasila perlu dilestarikan dari generasi ke generasi untuk menjaga
keutuhan masyarakat bangsa.
Sejalan dengan pernyataan Bung karno yang menegaskan bahwa nilai-nilai
pancasila digali dari bumi pertiwi Indonesia, dari pernyataan tersebut ditegaskan
bahwa nilai-nilai Pancasila berasal dari kehidupan sosiologis masyarakat
Indonesia, sehingga secara sosiologis nilai-nilai Pancasila adalah merupakan
sumber nilai lahirnya kemerdekaan bangsa Indonesia, hal ini sejalan dengan
dengan makna Alinea III Pembukaan UUD 1945.

4. Sumber Politis Pancasila sebagai Dasar Negara


Sumber politis Pancasila sebagai dasar negara tertuang ke dalam alinea yang
terdapat dalam Sila-Sila pancasila, hat tersebut tertulis sebagai berikut:
1) Nilai Ketuhanan
Nilai Ketuhanan adalah nilai yang berhubungan dengan nilai individu dengan
sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan sakral, suci, agung dan mulia.
Memahami nilai Ketuhahan sebagai pandangan hidup adalah mewujudkan
masyarakat yang beketuhanan, yakni membangun masyarakat Indonesia yang
memiliki jiwa maupun semangat untuk mencapai ridlo Tuhan dalam setiap
perbuatan baik yang dilakukan. Nilai ketuhanan ini tercermin dalam Pasal 29
UUD 1945 pada ayat 1 dan 2. Dalam Pasal 29 Ayat 1 berbunyi “ Negara
berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dan dalam Pasal 29 Ayat 2 berbunyi “
Negara Menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu”. Hal tersebut menunjukan bahwa Negara menjamin Warga Negaranya
dalam beragama.
2) Nilai Kemanusiaan
Nilai Kemanusiaan adalah Nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab,
pembentukan suatu kesadaran tentang keteraturan, sebagai asas kehidupan,
potensi untuk menjadi manusia sempurna, yaitu manusia yang beradab. Dalam
Nilai Kemanuasiaan ini tercermin dalam Pasal 28 A sampai Pasal 28J. dalam
pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Makna isi tersebut adalah
bahwa setiap manusia terutama warga negara Indonesia mempunyai hak yang
sama dalam hidup dan mempertahankan kehidupannya.
3) Nilai Persatuan Indonesia
Nilai Persatuan Indonesia adalah Nilai yang terdiri atas beberapa bagian yang
terdapat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Semboyan Bhineka
Tunggal Ika adalah cerminan dari Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai
Suku, Ras, Ethis, Agama, Bahasa, Budaya dan yang lainnya. Bangsa
Indonesia hadir untuk mewujudkan kasih sayang kepada segenap suku bangsa
dari Sabang sampai Marauke demi mewujudkan dan mempersatukan bangsa
Indonesia.
4) Nilai Permusyawaratan dan Perwakilan
Nilai Permusyawaratan dan Perwakilan menunjukan manusia saling
membutuhkan, dalam pandangan hidup dengan orang lain, dalam interaksi
terjadi kesepakatan, dan saling menghargai satu sama lain atas dasar tujuan
dan kepentingan bersama. Prinsip kerakyatan yang menjadi cita-cita utama
untuk membangkitkanbangsa Indonesia, mengerahkan potensi mereka dalam
dunia modern.
5) Nilai Keadilan Sosial
Nilai keadilan di sini adalah nilai yang menjunjung tinggi norma berdasarkan
keadilan, kesetaraan, serta pemerataan terhadap masyarakat. Mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan yan terdapat dalam
Pembukaan UUD 1945 merupakan cita-cita bernegara dan berbangsa.
bermakna mewujudkan keadaan masyarakat yang bersatu dalam kehidupan,
dimana mempunyai kesetaraan yang sama untuk tumbuh dan berkembang di
dalam Negara.
Perkembangan Pancasila Sebagai Ideologi Politik adalah nilai-nilai
dasar yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Contoh Nilai
Pancasila Dalam bidang politik, antara lain:
1. Sikap menghindari dan memaksakan pendapat diri sendiri
2. Dalam penyelenggara negara dan warga negara mewujudkan nilai ke
tuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, serta kerakyatan dan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Meyakini bahwa nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 sebagai nilai yang
mengandung jati diri bangsa Indonesia.

D. Dinamika dan Tantangan Pancasila Sebagai Dasar Negara


Penetapan Pancasila sebagai Dasar Negara memberikan pemahaman
bahwa negara Indonesia adalah Negara Pancasila dengan semboyan Bhineka
Tunggal Ika. Hal itu mengandung arti bahwa negara Negara Indonesia memiliki
berbagai kekayaan yang terdapat didalamnya,sehingga menjadikan Negara
Indonesia yang Adil dan Makmur. Memahami Pancasila dari sejarahnya dapat
diketahui bahwa Pancasila memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh semua
masyarakat Indonesia. Nilai-nilai Pancasila tersebut telah Secara Konsisten
dilakukan sejak awal kemerdekaan sampai dengan sekarang ini. Penetapan
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai satu semboyan empiris khas
Indonesia yang dinyatakan dalam seloka “Bhinneka Tunggal Ika”. Maka Pancasila
merupakan semboyan untuk mengatasi keanekaragaman dalam masyarakat
Indonesia.
Tantangan Pendidikan Pancasila saat ini adalah dikutip dari pernyataan
Abdulgani (1979:14) menyatakan bahwa Pancasila adalah Leitmotive dan
Leitstar, dengan dorongan pokok dan bintang petunjuk jalan. Tanpa Adanya
Leitmotive dan Leitstar Pancasila ini, kekuasaan negara akan menyeleweng.
Oleh karena itu, segala bentukj penyelewengan itu harus di cegah dengan cara
mendahulukan Pancasila dasar filsafat dan dasar moral. Agar Pancasila
dijadikan sebagai dorongan pokok dan bintang penunjuk jalan bagi generasi
penerus.
Tantangan lain yang akan di hadapi dalam Pancasila yaitu kita sebagai
bagian bangsa Indonesia, melalui Sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus
dimaknai bersama-sama dengan sila-sila lainnya. Sebagai bangsa yang
bertuhan, meyakini kebenaran Tuhan dan memaknai niali toleransi sebagai
bagian dari nilai Pancasila. Pancasila sebagai Dasar Negara harus dijadikan
sebagai pondasi dalam menghadapi tantangan. Tantangan terhadap Pancasila
diantaranya yaitu tantangan dar dalam dan dari luar. Tantangan dari dalam
yaitu bagaimana, masyarakat Indonesia memaknai nilai Pancasila itu sendiri,
sehingga Pancasila bmenjadikan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
masyarakat Indonesia. Pancasila juga kini tengah dihadapkan dengan
tantangan eksternal yaitu globalisasi Pancasiladi jadikan sebagai benteng
dalam menyaring hal-hal negatif yang dihadapi oleh Negara, menghadapi
tantangan yang cukup berat ini adalah menjadikan Pancasila sebagai bagian
dari bangsa ini. Globalisasi yang berbasiskan pada perkembangan teknologi
informasi, komunikasi, dan transportasi, bisa dijadikan sebagai kemajuan yang
terjadi saat ini.

E. Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Dasar Negara


1. Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Dasar Negara.
Pancasila menjadi sebuah kesepakatan telah diresmikan menjadi
dasar dan ideologi negara Indonesia sejak 18 Agustus 1945. Eksistensi
Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa Indonesia secara keseluruhan
akan menajdi pedoman dan patokan bernegara dalam merumuskan
program pencapaian cita-cita bangsa dan mengarahkan haluan negara ini
ke depannya.
Pancasila sebagai dasar negara menurut pasal 2 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, merupakan sumber dari segala sumber hukum
negara Indonesia. Pada penjelasan lainnya, dinyatakan bahwa Pancasila
menjadi landasafan filosofis dan normatif bagi setiap peraturan yang ada di
Indonesia, hal ini menunjukkan bahwa setiap peraturan tidak boleh ada yang
bertentangan dengan Pancasila, baik substansi maupun prosedural normatif
pembentukan peraturan tersebut
Pancasila adalah substansi esensial yang mendapatkan kedudukan
formal yuridis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, rumusan Pancasila sebagai dasar
negara adalah sebagaimana terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perumusan Pancasila yang
menyimpang dari pembukaan secara jelas merupakan perubahan secara
tidak sah atas Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (Kaelan, dalam Buku Pendidikan Pancasila ,Dirjen
Belmawa 2016).
Posisi dan eksistensi Pancasila sebagai dasar negara dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1) Pancasila sebagai dasar negara adalah sumber dari segala sumber
tertib hukum Indonesia. Dengan demikian, Pancasila merupakan asas
kerohanian hukum Indonesia yang dalam Pembukaan Undang-
Undang Negara Republik Indonesia dijelmakan lebih lanjut ke dalam
empat pokok pikiran.
2) Meliputi suasana kebatinan (Geislichenhintergrund) dari UUD 1945.
3) Mewujudkan cita-cita hukum bagi dasar negara (baik hukum dasar
tertulis maupun tidak tertulis).
4) Mengandung norma yang mengharuskan UUD mengandung isi yang
mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara
(termasuk penyelenggara partai dan golongan fungsional) memegang
teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
5) Merupakan sumber semangat abadi UUD 1945 bagi penyelenggaraan
negara, para pelaksana pemerintahan. Hal tersebut dapat dipahami
karena semangat tersebut adalah penting bagi pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara karena masyarakat senantiasa tumbuh dan
berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika
masyarakat (Kaelan, dalam Buku Pendidikan Pancasila, Dirjen
Belmawa:2016)
Rumusan Pancasila secara normatif dan mengikat seluruh aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah dilaksanakan secara sadar
dan konsekuen oleh seluruh warga negara bangsa Indonesia. Hal ini
merupakan proses internalisasi ideologi secara massif dan merupakan
bukti nyata bahwa Pancasila diterima sebagai ideologi karena kesadaran
dan kebutuhan sebagai warga negara bukan sekadar indoktrinasi ideologi
sebagaimana halnya ideologi di negara lain.
Kedudukan Pancasila sebagai sumber dari sumber hukum sudah
selayaknya menjadi jiwa yang hidup dari berbagai peraturan yang ada di
Indonesia. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang ditegaskan dalam alinea keempat terdapat
kata “berdasarkan” yang berarti, Pancasila merupakan dasar negara
kesatuan Republik Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara
mengandung makna bahwa nilai-nilai Pancasila harus menjadi landasan
dan pedoman dalam membentuk dan menyelenggarakan negara,
termasuk menjadi sumber dan pedoman dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa para aparatur negara dan
penyelenggara pemerintahan wajib mengimplementasikan spirit
Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara. Apabila semangat
Pancasila dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dan konsisten, maka
akan menghasilkan sistem tata kelola pemerintahan yang baik. Sebagai
tujuan akhirnya, harapan akan perwujudan tujuan bangsa dan negara ini
dapat dicapai melalui usaha dan ikhtiar yang mantap dan konsekuen.

2. Hubungan Pancasila dengan Proklamasi Kemerdekaan RI.


Dalam kenyataannya, Proklamasi 17 Agustus 1945 bukanlah merupakan
tujuan semata-mata, melainkan merupakan suatu sarana, isi, dan arti
yang pada pokoknya memuat dua hal, sebagai berikut:
a. Pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia, baik pada dirinya sendiri
maupun terhadap dunia luar;
b. Tindakan-tindakan yang segera harus diselenggarakan berhubung
dengan pernyataan kemerdekaan itu (Kaelan, 1993: 62). Setelah
proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945, kemudian keesokan
harinya, yaitu 18 Agustus 1945, disusun suatu naskah Undang-
Undang Dasar yang didalamnya memuat Pembukaan.
Di dalam Pembukaan UUD 1945 tepatnya pada alinea ke-3 terdapat
pernyataan kemerdekaan yang dinyatakan oleh Indonesia, maka
dapat ditentukan letak dan sifat hubungan antara Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dengan Pembukaan UUD 1945,
sebagai berikut:
a. Disebutkan kembali pernyataan kemerdekaan dalam bagian ketiga
Pembukaan menunjukkan bahwa antara Proklamasi dengan
Pembukaan merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisah-
pisahkan;
b. Ditetapkannya Pembukaan pada 18 Agustus 1945 bersama-sama
ditetapkannya UUD, Presiden dan Wakil Presiden merupakan
realisasi bagian kedua Proklamasi;
c. Pembukaan hakikatnya merupakan pernyataan kemerdekaan
yang lebih rinci dari adanya cita-cita luhur yang menjadi semangat
pendorong ditegakkannya kemerdekaan, dalam bentuk negara
Indonesia merdeka, berdaulat, bersatu, adil, dan makmur dengan
berdasarkan asas kerohanian Pancasila;
d. Dengan demikian, sifat hubungan antara Pembukaan dan
Proklamasi, yaitu: memberikan penjelasan terhadap
dilaksanakannya Proklamasi pada 17 Agustus 1945, memberikan
penegasan terhadap dilaksanakannya Proklamasi 17 Agustus
1945, dan memberikan pertanggungjawaban terhadap
dilaksanakannya Proklamasi 17 Agustus 1945 (Kaelan, 1993:
62-64).
3. Hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD 1945
Notonagoro (1982:24-26) menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar
tidak merupakan peraturan hukum yang tertinggi. Di atasnya, masih ada
dasardasar pokok bagi Undang-Undang Dasar, yang dinamakan pokok
kaidah negara yang fundamental (staatsfundamentalnorm).
Beberapa hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD 1945 adalah
sebagai berikut.
1. Pembukaan UUD 1945 memenuhi syarat unsur mutlak sebagai
staatsfundamentalnorm. Oleh karena itu, kedudukan Pembukaan
merupakan peraturan hukum yang tertinggi di atas Undang-Undang
Dasar. Implikasinya, semua peraturan perundang-undangan dimulai
dari pasal-pasal dalam UUD 1945 sampai dengan Peraturan Daerah
harus sesuai dengan Pembukaan UUD 1945.
2. Pancasila merupakan asas kerohanian dari Pembukaan UUD1945
sebagai staatsfundamentalnorm. Secara ilmiah-akademis,
Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorm mempunyai
hakikat kedudukan yang tetap, kuat, dan tak berubah bagi negara
yang dibentuk, dengan perkataan lain, jalan hukum tidak lagi dapat
diubah (Notonagoro dalam Buku Pendidikan Pancasila, Dirjen
Belmawa, 2016)
Dalam kaitan itu, silakan disimak ketentuan dalam Pasal 37 ayat (1)
sampai ayat (5) UUD 1945 pasca amandemen ke-4, dalam Pasal 37
tersebut hanya memuat ketentuan perubahan pasal-pasal dalam UUD
1945, tidak memuat ketentuan untuk mengubah Pembukaan UUD
1945. Hal ini dapat dipahami karena wakil-wakil bangsa Indonesia
yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat memahami
kaidah ilmiah, terkait kedudukan Pembukaan UUD 1945 yang sifatnya
permanen sehingga mereka mengartikulasikan kehendak rakyat yang
tidak berkehendak mengubah Pembukaan UUD 1945.

4. Penjabaran Pancasila dalam Pasal-Pasal UUD NRI 1945.


Kita tentu mengetahui bahwa setelah Amandemen atau Perubahan ke-4
(dalam 2002), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 terdiri atas Pembukaan dan Pasal-pasal (lihat Pasal II Aturan
Tambahan UUD 1945). Meskipun Penjelasan UUD 1945 101 sudah bukan
merupakan hukum positif, tetapi penjelasan yang bersifat normatif sudah
dimuat dalam pasal-pasal UUD 1945. Selain itu, dalam tataran tertentu
penjelasan UUD 1945 dapat menjadi inspirasi dalam kehidupan bernegara
bagi warga negara.
Pancasila merupakan asas kerohanian dari Pembukaan UUD 1945
sebagai staatsfundamentalnorm. Apabila disederhanakan, maka pola
pemikiran tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pancasila merupakan nilai dan norma dasar dalam peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku
2. Pembukaan UUD 1945 menjadi kristalisasi Pancasila yang berwujud
pokok pikiran sebagai landasan keidupan berbangsa dan bernegara.
3. Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945
dioperasionalisasikan melalui pasal-pasal UUD 1945.
Hubungan antara penjabaran Pancasila yang terdapat pada pasal-pasal
UUD 1945 perlu ditekankan kembali bahwa Pancasila merupakan nilai dasar
yang bersifat mutlak dan konsisten secara filosofis akademis, dan jika
ditelaah dalam perspektif ilmu hukum, nilai-nilai Pancasila tidak tergantikan
karena menjadi perwujudan asas kerohanian yang menjadi inti dari
Pembukaan UUD 1945 sebagai kaidah negara yang bersifat fundamental.
Dapat dikatakan bahwa pasal demi pasal yang terrdapat dalam UUD NRI
1945 tidak seluruhnya merupakan penjabaran yang eksplisit dari UUD NRI
1945 itu sendiri, akan tetapi bersifat ekstraksi dari nilai-nilai Pancasila secara
universal dan integral. Hal ini merupakan bukti bahwa Pancasila merupakan
nilai filosofis yang menjiwai seluruh peraturan dan tata tertib kehidupan
berbangsa dan bernegara yang harus ditaati oleh seluruh bangsa Indonesia

5. Implementasi Pancasila dalam Perumusan Kebijakan


Pancasila bukan hanya sekadar ideologi yang terpasung pada tataran
normatif saja, akan tetapi Pancasila hadir dalam setiap dimensi kehidupan
berbangsa dan bernegara yang diharapkan menjadi jiwa atau ruh setiap
nafas hidup bangsa dalam menjalani kehidupan. Beberapa contoh di bawah
ini merupakan bidang kehidupan yang tidak lepas dari eksistensi Pancasila
sebagai dasar dan ideologi bangsa dan negara Indonesia.
a. Bidang Politik
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti di Indonesia,
dibutuhkan wadah atau ruang untuk saling mengkomunikasikan aspirasi
atau gagasan mengenai dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Salah
satu ruang publik yang khas dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah
musyawarah. Musayawarah menjadi tempat beradu gagasan, ide,
aspirasi, maupun harapan yang dituangkan melalui perdebatan dan
dinamika yang ada.
Narasi di atas merupakan saah satu wujud konkret pengamalan
Pancasila dalam perumusan keputusan dan kebijakan dalam bidang
politik yang terjadi di lingkungan daerah tempat kita hidup sebagai bangsa
Indonesia. Idealnya spirit Pancasila menggerakan ide dan pikiran kita
untuk saling berdiskusi dan saling menerima pendapat dari para anggota
musyawarah bukan dengan menunjukkan suara terbanyak dalam suatu
musyawarah.
Dari paparan di atas, seluruh aspirasi dan kepentingan warga
negara secara keseluruhan menjadi prioritas dalam perumusan kebijakan
politis oleh pemerintah. Implementasi nilai-nilai Pancasila dapat
diwujudkan berdasarkan sistem tata kelola pemerintahan yang mengacu
kepada asas kedaulatan rakyat berdasar konstitusi negara.
Asas inilah yang menjadi inti dari paham konstitusionalisme,
dimana wewenang semua unsur dalam sistem kebijakan politik diatur oleh
UUD 1945, dengan bertujuan mencegah terjadinya penyalahgunaan
wewenang oleh pihak siapapun. Dengan demikian, para aparatur negara
akan menjauhi dan terselamatkan dari perilaku abuse of power, terutama
dalam perumusan dan pengesahan kebijakan publik yang berwujud
undang-undang atau peraturan yang lainnya serta masyarakat sebagai
pihak yang wajib mematuhi peraturan dan kebijakan pun akan terhindar
dari praktek dan tindakan di luar hukum untuk menuntut hak serta
aspirasinya sebagai warga negara.

b. Bidang Ekonomi
Keberadaan koperasi di sekitar tempat tinggal kita memang
pernah dan masih dirasakan sebagai bagian dari bentuk usaha
perekonomian rakyat Indonesia. Memang bentuk badan usaha dalam
sistem ekonomi nasional bukan hanya koperasi, melainkan juga ada
bentuk badan usaha milik perseorangan atau swasta, dan badan usaha
milik negara. Ketiga bentuk badan usaha tersebut diakui keberadaannya
bahkan menempati posisi yang sama pentingnya dalam meningkatkan
ekonomi nasional danmeningkatkan kesejahteraan rakyat.
Akan tetapi, bentuk wujud usaha koperasi memiliki porsi yang
cukup signifikan berdasarkan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Namun, jika
ditelaah ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2), maka terdapat titik
penekanan bahwa BUMN bekerjasama dengan perusahaan swasta juga
memiliki posisi yang menentukan untuk mengembangkan ekonomi
negara serta peningkatan perekonomian rakyat. Pada sisi lainnya,
ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, maka Badan
Usaha Milik Negara juga menempati posisi yang strategis dalam
meningkatkan ekonomi nasional dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Hal senada juga terdapat ketentuan yang berdasar pada Pasal 34
ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) UUD 1945, negara Indonesia berkewajiban
mengembangkan sistem jaminan sosial, memberdayakan masyarakat
yang lemah, serta memelihara kelompok marginal, khususnya fakir
miskin dan anak terlantar.
Semangat ekonomi kerakyatan terdapat dalam Pasal 33, Pasal 27
ayat (2), dan Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), serta Pasal 34 UUD
1945 adalah wujud pengejawantahan nilai Pancasila dalam sektor
perekonomian bangsa dan negara Indonesia. Kondisi perekonomian
bangsa Indonesia terkini memang diisi oleh bentuk badan usaha yang
selain BUMN, terdapat pula perusahaan swasta yang mencerminkan nilai
–nilai Pancasila terutama sila kelima dalam hal pemerataan sektor
perekonomian bangsa dan negara Indonesia sekaligus memperkokoh
nilai dan semangat kemandirian bangsa melalui badan usaha yang
dimiliki oleh negara. Di tengah semangat kemandirian, terdapat pula nilai
kompetitif yang wajib dimiliki oleh bangsa Indonesi dengan
menghadirkan perusahaan swasta dalam hal ini perusahaan asing untuk
meningkatkan spirit kreatifitas perusahaan negara untuk dapat bersaing
di kancah perekonomian secara global.
Internalisasi nilai Pancasila sebagai nilai filosofis sekaligus norma
dasar negara Indonesia menghendaki tercapainya semangat untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh
karenanya, kebijakan ekonomi negara haruslah mengacu pada asas
keselarasan, keseimbangan, dan kesesuaian antara peran swasta,
BUMN, pemerintah sebagai pemangku kebijakan, dalam
mengejawantahkan hal tersebut. Selain itu negara juga memiliki
kewajiban untuk menumbuhkembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh bangsa Indonesia serta melakukan pemberdayaan masyarakat
yang lemah secara ekonomi.

c. Bidang Sosial Budaya


Pada hakikatnya, bangsa Indonesia memiliki ciri khas hidup untuk
bergotong royong sebagaimana halnya pola hidup masyarakat di pelosok
pedesaan yang masih dapat kita temui hari ini. Namun dalam kondisi
hidup terkini, terutama kehidupan di perkotaan sudah semakin terlihat
gejala individualistik yang menyebabkan sikap dan semangat hidup
bergotong royong semakin memudar. Jika hal ini dibiarkan tanpa ada
solusi dan perubahan sikap serta karakter yang kembali pada ciri khas
yang pertama, gejala disintegrasi bangsa akan mulai muncul seperti
halnya yang terjadi akhir-akhir ini. Hal inilah yang memunculkan
kekhawatiran sebagai perwujudan warga negara yang baik, seyogyanya
agar seluruh komponen bangsa dapat berfikir solutif dan konstruktif,
yakni melihat keragaman sebagai potensi persatuan dan persaudaraan
sesama anak bangsa, bukan melihat sebagai potensi ancaman
keragaman hidup sebagai bangsa Indonesia.
Metode dan cara yang tepat diperlukan pemerintah untuk
memperkuat integrasi bangsa melalui pembangunan kapasitas modal
sosial dan potensi kebudayaan mengacu pada Pasal 31 ayat (5) dan
Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 31 ayat (5) UUD 1945, disebutkan bahwa “ Pemerintah memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilainilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia”. Di sisi lain, menurut Pasal 32 ayat (1) UUD
1945, dinyatakan bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan
masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya.” Sejalan dengan hal itu, menurut Pasal 32 ayat (3) UUD
1945, ditentukan bahwa “Negara menghormati dan memelihara bahasa
daerah sebagai kekayaan budaya nasional.”
Budaya bangsa Indonesia dapat dikembangkan dan didorong oleh
gagasan dan harapan melalui aspirasi masyarakat dengan tambahan
unsur pengembangan teknologi. Peran negara dalam hal pengembangan
budaya hanya sebatas membantu memfasilitasi aspirasi dalam bentuk
wadah atau komunitas pengembangan budaya. Berkaca dari hal di atas,
jelaslah bahwa terdapat simbiosis yang positif antara kebudayaan daam
konteks masyarakat di satu pihak dengan peran serta kehadiran negara
dalam konteks fasilitasi kebudayaan di pihak lain.
Jika simbiosis di atas dapat terwujud dengan baik, maka akan
tercipta harmonisasi yang dapat membantu mempercepat pencapaian
tujuan nasional bangsa Indonesia. Begitu pula sebaliknya, jika antara
kedua pihak saling bersitegang maka akan muncul keadaan yang
sebaliknya. Hal inilah yang harus diwaspadai sebagai bangsa Indonesia
agar tujuan nasional dapat tercapai dengan cara yang demokratis.
Berdasarkan uraian di atas, semua kebijakan sosial budaya yang
perlu dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat adalah dengan
memupuk rasa kebersamaan yang dilandasi dengan jiwa gotong royong
karena hal inilah yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan yang
berkebudayaan sebagai ciri khas bangsa Indonesia dengan
memperhatikan dinamika teraktual kehidupan bangsa dan negara.

d. Bidang Hankam
Kita sudah tidak asing lagi mendengar istilah bela negara, istilah
pertahanan, dan istilah keamanan negara. Istilah ketiganya erat
berkaitan dengan eksistensi dan kehadiran Pancasila dalam bidang
pertahanan dan keamanan negara. Pancasila menjadi jiwa dalam setiap
upaya pembelaan negara dalam menjaga pertahanan dan keamanan di
negara kita yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (1),
(2), (3), (4), dan ayat (5) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal
27 ayat (3) UUD 1945, “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta
dalam upaya pembelaan negara”.
Sebuah keniscayaan sebagai warga negara yang baik, upaya
dalam mewujudkan bela negara tidak hanya disikapi sebagai sebuah
kewajiban, akan tetapi merupakan sebuah kebanggaan dan kehormatan
sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Bela negara dapat diartikan
sebagai segala perilaku dan sikap warga negara yang dilandasi oleh
semangat kebangsaan dan rasa cinta tanah air untuk menjaga eksistensi
bangsa dan negara berdasarkan nilai Pancasila dalam upaya
mewujudkan tujuan bangsa dan negara Indonesia.
Implementasi peran serta warga negara dalam mewujudkan bela
negara dalam kondisi damai tanpa peperangan dapat diwujudkan dalam
banyak bentuk, salah satunya adalah upaya yang mencerminkan jiwa
mengabdi sesuai profesi termasuk upaya bela negara. Dalam semua
bentuk profesi mampu menjadi ruang untuk berupaya dalam membela
negara sepanjang diliputi rasa kebangsaan dan semangat pengabdian
serta dikokohkan dengan rasa cinta kepada tanah air.
Deskripsi di atas memperlihatkan bahwa jiwa dan sosok
kepahlawanan tidak hanya muncul dari perjuangan secara fisik dan raga
semata, namun sosok dan jiwa kepahlawanan mampu dilahirkan dari
segala macam upaya profesional setiap warga negara. Contohnya,
dalam bidang teknologi mampu melahirkan pahlawan dalam bidang sains
dan teknologi. Begitu juga dengan bidang-bidang non militer lainnya,
seperti bidang pendidikan, ekonomi, budaya dan segala macam bidang
kehidupan yang dapat dijadikan sebagai upaya yang melahirkan sosok
pahlawan dalam bidang masing-masing.
Usaha untuk membangun kekuatan pertahanan adalah daya
upaya negara dalam meningkatkan dan menggunakan kekuatan bangsa
dalam mengatasi ancaman dari dalam dan luar negeri serta ancaman
lainnya yang bisa mengancam kesatuan dan persatuan nasional. Selain
yang dijelaskan di atas, ada juga upaya membangun kekuatan dalam
bidang keamanan yang merujuk pada usaha negara untuk menggunakan
kekuatan bangsa dalam mengatasi ancaman terhadap kondusifitas serta
ketertiban masyarakat dan upaya penegakan hukum.

Tugas
1. Deskripsikan urgensi pancasila sebagai dasar negara di mata mahasiswa
sebagai generasi milenial!
2. Bagaimana menurut kalian cara menanamkan ideologi Pancasila dengan
cara teraktual?

Tugas Kelompok
Buatlah sebuah video blog kreatif di laman Youtube yang berisi ajakan untuk
lebih menumbuhkan kesadaran mengenal dan memahami ideologi Pancasila !

Daftar Pustaka

Kaelan. 2013. Negara Kebangsaan Pancasila Kultural, Historis, filosofis, Yuridis dan
Aktualisasinya. Yogyakarta: Paradigma

Prayogi, Agus Sarwo. 2018. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi .


Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Soehino. 1998. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.

Winarno. 2016. Paradigma Baru Pendidikan Pancasila. Jakarta: Bumi Aksara

Abdulgani, Roeslan. 1979. Pengembangan Pancasila Di Indonesia. Jakarta : Yayasan


Idayu
Direktorat Jendral Pembelajaran dan Kemahasiswaan, 2016. Pendidikan Pancasila
untuk Perguruan Tinggi. Jakarta : Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
BAB 4 PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA
A. Menelusuri Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Ideologi Negara
1. Konsep Pancasila sebagai Ideologi Negara
Istilah ideologi berasal dari kata idea, yang artinya gagasan, konsep,
pengertian dasar, cita-cita; dan logos yang berarti ilmu. Ideologi secara etimologis,
artinya ilmu tentang ide-ide (the science of ideas), atau ajaran tentang pengertian
CAdasar (Kaelan, 2013: 60-61). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi
didefinisikan sebagai kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat
yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Ideologi juga
diartikan sebagai cara berpikir seseorang atau suatu golongan. Ideologi dapat
diartikan paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008: 517). Dalam pengertian tersebut, ada
beberapa komponen penting dalam sebuah ideologi, yaitu sistem, arah, tujuan,
cara berpikir, program, sosial, dan politik.
Sejarah konsep ideologi dapat ditelusuri jauh sebelum istilah tersebut
digunakan Destutt de Tracy pada penghujung abad kedelapan belas. Tracy
menyebut ideologi sebagai science of ideas, yaitu suatu program yang diharapkan
dapat membawa perubahan institusional bagi masyarakat Perancis. Namun,
Napoleon mengecam istilah ideologi yang dianggapnya suatu khayalan belaka,
yang tidak mempunyai arti praktis. Hal semacam itu hanya impian belaka yang
tidak akan ditemukan dalam kenyataan (Kaelan, 2003: 113). Jorge Larrain
menegaskan bahwa konsep ideologi erat hubungannya dengan perjuangan
pembebasan borjuis dari belenggu feodal dan mencerminkan sikap pemikiran
modern baru yang kritis. Niccolo Machiavelli (1460—1520) merupakan pelopor
yang membicarakan persoalan yang secara langsung berkaitan dengan fenomena
ideologi. Machiavelli mengamati praktik politik para pangeran, dan mengamati pula
tingkah laku manusia dalam politik, meskipun ia tidak menggunakan istilah
“ideology” sama sekali.
Ada tiga aspek dalam konsep ideologi yang dibahas Machiavelli, yaitu
agama, kekuasaan, dan dominasi. Machiavelli melihat bahwa orangorang
sezamannya lebih dahulu memperoleh kebebasan, hal tersebut lantaran
perbedaan yang terletak dalam pendidikan yang didasarkan pada perbedaan
konsepsi keagamaan. Larrain menyitir pendapat Machiavelli sebagai berikut:
“Agama kita lebih memuliakan orang-orang yang rendah hati dan
tafakur daripada orang-orang yang bekerja. Agamalah yang
menetapkan kebaikan tertinggi manusia dengan kerendahan hati,
pengorbanan diri dan sikap memandang rendah untuk halhal
keduniawian. Pola hidup ini karenanya tampak membuat dunia itu
lemah, dan menyerahkan diri sebagai mangsa bagi mereka yang
jahat, yang menjalankannya dengan sukses dan aman, karena
mereka itu sadar bahwa orang-orang yang menjadikan surga
sebagai tujuan pada umumnya beranggapan bertahan itu lebih baik
daripada membalas dendam, terhadap perbuatan mereka yang tidak
adil” (Larrain, 1996: 9).

Sikap semacam itulah yang menjadikan Machiavelli menghubungkan


antara ideologi dan pertimbangan mengenai penggunaan kekuatan dan tipu daya
untuk mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan. Para penguasa –
pangeran – harus belajar mempraktikkan tipuan, karena kekuatan fisik saja tidak
pernah mencukupi. Machiavelli menengarai bahwa hampir tidak ada orang berbudi
yang memperoleh kekuasaan besar “hanya dengan menggunakan kekuatan yang
terbuka dan tidak berkedok”, kekuasaan dapat dikerjakan dengan baik, hanya
dengan tipuan. Machiavelli melanjutkan analisisnya tentang kekuasaan dengan
mengatakan bahwa meskipun menjalankan kekuasaan memerlukan kualifikasi
yang baik, seperti menepati janji, belas kasihan, tulus ikhlas. Penguasa tidak perlu
memiliki semua persyaratan itu, tetapi dia harus tampak secara meyakinkan
memiliki kesemuanya itu (Larrain, 1996: 9). Ungkapan Machiavelli tersebut dikenal
dengan istilah adagium, “tujuan menghalalkan segala macam cara”.
Marx melanjutkan dan mengembangkan konsep ideologi Machiavelli yang
menonjolkan perbedaan antara penampilan dan realita dalam pengertian baru.
Ideologi bagi Marx, tidak timbul sebagai penemuan yang memutar balik realita, dan
juga tidak sebagai hasil dari realita yang secara objektif gelap (kabur) yang menipu
kesadaran pasif (Larrain, 1996: 43). Marx mengandaikan bahwa kesadaran tidak
menentukan realitas, tetapi realitas material-lah yang menentukan kesadaran.
Realitas material itu adalah cara-cara produksi barang dalam kegiatan kerja
(Hardiman, 2007: 241). Ideologi timbul dari “cara kerja material yang terbatas”. Hal
ini memunculkan hubungan yang saling bertentangan dengan berbagai akibatnya.
Marx mengajarkan bahwa tesis dari dialektika materialis yang dikembangkannya
adalah masyarakat agraris yang di dalamnya kaum feodal pemilik tanah sebagai
kelas penguasa dan petani penggarap sebagai kelas yang tertindas. Antitesisnya
adalah masyarakat kapitalis, di dalamnya modal dikuasai oleh kaum borjuis
penguasa, sedangkan pekerja atau proletar adalah kelas yang tertindas.
Sintesisnya adalah di dalam masyarakat komunis, tidak ada lagi kelas penguasa
(feodal/borjuis) dan yang dikuasai (proletar) (Larrain, 1996: 43).
Sejarah konsep ideologi dapat ditelusuri jauh sebelum istilah tersebut
digunakan Destutt de Tracy pada penghujung abad kedelapanbelas. Tracy
menyebut ideologi sebagai science of ideas, yaitu suatu program yang diharapkan
dapat memba wa perubahan institusional bagi masyarakat Perancis. Jorge Larrain
menegaskan bahwa konsep ideologi erat hubungannya dengan perjuangan
pembebasan borjuis dari belenggu feodal dan mencerminkan sikap pemikiran
modern baru yang kritis. Niccolo Machiavelli (1460-1520) merupakan pelopor yang
membicarakan persoalan yang secara langsung berkaitan dengan fenomena
ideologi. Machiavelli mengamati praktik politik para pangeran, dan mengamati pula
tingkah laku manusia dalam politik, meskipun ia tidak menggunakan istilah
“ideology ” sama sekali. Ada tiga aspek dalam konsep ideologi yang dibahas
Machiavelli, yaitu agama, kekuasaan, dan dominasi.
Machiavelli melihat bahwa orang orang sezamannya lebih dahulu
memperoleh kebebasan, hal tersebut lantaran perbedaan yang terletak dalam
pendidikan yang didasarka n pada perbedaan konsepsi keagamaan. Larrain
menyitir pendapat Machiavelli sebagai berikut:
“Agama kita lebih memuliakan orang orang yang rendah hati dan
tafakur daripada orang orang yang bekerja. Agamalah yang
menetapkan kebaikan tertinggi manusia dengan kerendahan hati,
pengorbanan diri dan sikap memandang rendah untuk hal hal
keduniawian. Pola hidup ini karenanya tampak membuat dunia itu
lemah, dan menyerahkan diri sebagai mangsa bagi mereka yang
jahat, yang menjalankannya dengan sukses dan aman, karena
mereka itu sadar bahwa orang orang yang menjadikan s u rga sebagai
tujuan pada umumnya beranggapan bertahan itu lebih baik daripada
membalas dendam, terhadap perbuatan mereka yang tidak adil”
(Larrain, 1996: 9).

Sikap semacam itulah yang menjadikan Machiavelli menghubungkan


antara ideologi dan pertimbangan mengenai penggunaan kekuatan dan tipu daya
untuk mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan. Para penguasa –
pangeran – harus belajar mempraktikkan tipuan, karena kekuatan fisik saja tidak
pernah mencukupi. Ungkapan Machiavelli tersebut dikenal dengan istilah
adagium, “tujuan menghalalkan segala macam cara”.
Marx melanjutkan dan mengembangkan konsep ideologi Machiavelli yang
menonjolkan perbedaan antara penampilan dan realita dalam pengertian baru.
Ideologi bagi Marx, tidak timbul sebagai penemuan yang memutar balik realita, dan
juga tidak sebagai hasil dari realita yang secara objektif gelap (kabur) yang menipu
kesadaran pasif (Larrain, 1996: 43). Marx mengandaikan bahwa kesadaran tidak
menentukan realitas, tetapi realitas material-lah yang menentukan kesadaran.
Realitas material itu adalah cara-cara produksi barang dalam kegiatan kerja
(Hardiman, 2007: 241). Ideologi timbul dari “cara kerja material yang terbatas”. Hal
ini memunculkan hubungan yang saling bertentangan dengan berbagai akibatnya.
Marx mengajarkan bahwa tesis dari dialektika materialis yang dikembangkannya
adalah masyarakat agraris yang di dalamnya kaum feodal pemilik tanah sebagai
kelas penguasa dan petani penggarap sebagai kelas yang tertindas. Antitesisnya
adalah masyarakat kapitalis, di dalamnya modal dikuasai oleh kaum borjuis
penguasa, sedangkan pekerja atau proletar adalah kelas yang tertindas.
Sintesisnya adalah di dalam masyarakat komunis, tidak ada lagi kelas penguasa
(feodal/borjuis) dan yang dikuasai (proletar) (Larrain, 1996: 43).
Menurut Sastrapratedja (2001: 43): ”Ideologi adalah seperangkat gagasan/
pemikiran yang berorientasi pada tindakan dan diorganisir menjadi suatu sistem yang
teratur”. Soerjanto (1991: 47): “Ideologi adalah hasil refleksi manusia berkat
kemampuannya menjaga jarak dengan dunia kehidupannya”. Mubyarto (1991: 239):
”Ideologi adalah sejumlah doktrin, kepercayaan, dan simbol-simbol sekelompok
masyarakat atau suatu bangsa yang menjadi pegangan dan pedoman kerja (atau
perjuangan) untuk mencapai tujuan masyarakat atau bangsa itu”. Ideologi dipergunakan
untuk membenarkan kepercayaan yang didasarkan atas norma-norma moral dan
sejumlah kecil pembuktian faktual dan koherensi legitimasi yang rasional dari penerapan
preskripsi teknik. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjamin atau memastikan tindakan
yang disetujui bersama untuk pemeliharaan, pembentukan kembali, destruksi atau
rekonstruksi dari suatu tatanan yang telah tersedia.
Gambar IV.1: Ideologi Fundamental

Gambar IV.2: Ideologi Operatif

Beberapa tokoh atau pemikir Indonesia yang mendefinisikan ideologi


sebagai berikut:
a. Sastrapratedja (2001: 43): ”Ideologi adalah seperangkat gagasan/ pemikiran
yang berorientasi pada tindakan dan diorganisir menjadi suatu sistem yang
teratur”.
b. Soerjanto (1991: 47): “Ideologi adalah hasil refleksi manusia berkat
kemampuannya menjaga jarak dengan dunia kehidupannya”.
c. Mubyarto (1991: 239): ”Ideologi adalah sejumlah doktrin, kepercayaan, dan
simbol simbol sekelompok masyarakat atau suatu bangsa yang menjadi
pegangan dan pedoman kerja (atau perjuangan) untuk mencapai tujuan
masyarakat atau bangsa itu”.
Selanjutnya, untuk melengkapi definisi tersebut perlu Anda ketahui juga
beberapa teori ideologi yang di kemukakan oleh tokoh-tokoh pemikir ideologi
sebagai berikut.
a. Martin Seliger: Ideologi sebagai sistem kepercayaan
Ideologi adalah sekumpulan kepercayaan dan penolakan yang
diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang bernilai yang dirancang untuk
melayani dasar dasar permanen yang bersifat relatif bagi sekelompok orang.
Ideologi dipergunakan untuk membenarkan kepercayaan yang didasarkan atas
norma norma moral dan sejumlah kecil pembuktian faktual dan koherensi
legitimasi yang rasional dari penerapan preskripsi teknik. Hal tersebut
dimaksudkan untuk menjamin atau memastikan tindakan yang disetujui bersama
untuk pemeliharaan, pembentukan kembali, destruksi atau rekonstruksi dari suatu
tatanan yang telah tersedia. Martin Seliger, lebih lanjut menjelaskankan bahwa id
eologi sebagai sistem kepercayaan didasarkan pada dua hal, yaitu ideologi
fundamental dan ideologi operatif (Thompson, 1984: 79). Ideologi fundamental
meletakkan preskripsi moral pada posisi sentral yang didukung oleh beberapa
unsur, yang meliputi: deskrip si, analisis, preskripsi teknis, pelaksanaan, dan
penolakan. Ideologi operatif meletakkan preskripsi teknis pada posisi sentral
dengan unsur unsur pendukung, meliputi: deskripsi, analisis, preskripsi moral,
pelaksanaan, dan penolakan. Adapun perbedaan di antara kedua ideologi ini
digambarkan sebagai berikut (Thompson, 1984: 80). Kedua bentuk ideologi
tersebut mengandung konsekuensi yang berbeda dalam penerapannya.
b. Alvin Gouldner: Ideologi sebagai Proyek Nasional
Gouldner mengatakan bahwa ideologi merupakan sesuatu yang muncul
dari suatu cara baru dalam wacana politis. Wacana tersebut melibatkan otoritas
atau tradisi atau retorika emosi. Lebih lanjut, Gouldner mengatakan bahwa ideologi
harus dipisahkan dari kesadaran mitis dan religius, sebab ideologi itu merupakan
suatu tindakan yang didukung nilai-nilai logis dan dibuktikan berdasarkan
kepentingan sosial. Gouldner juga mengatakan bahwa kemunculan ideologi itu
tidak hanya dihubungkan dengan revolusi komunikasi, tetapi juga dihubungkan
dengan revolusi industri yang pada gilirannya melahirkan kapitalisme (Thompson,
1984: 85-86).
c. Paul Hirst: Ideologi sebagai Relasi Sosial
Hirst meletakkan ideologi di dalam kalkulasi dan konteks politik. Hirst
menegaskan bahwa ideologi merupakan suatu sistem gagasan politis yang dapat
digunakan dalam perhitungan politis. Lebih lanjut, Hirst menegaskan bahwa
penggunaan istilah ideologi mengacu kepada kompleks nir-kesatuan (non-unitary)
praktik sosial dan sistem perwakilan yang mengandung konsekuensi dan arti politis
(Thompson, 1984:94-95).
Untuk lebih memperdalam pemahaman, berikut ini beberapa corak ideologi,
yaitu: (a) Seperangkat prinsip dasar sosial politik yang menjadi pegangan
kehidupan sosial politik yang diinkorporasikan dalam dokumen resmi negara. (b)
Suatu pandangan hidup yang merupakan cara menafsirkan realitas serta
mengutamakan nilai tertentu yang memengaruhi kehidupan sosial, politik, budaya.
(c) Suatu model atau paradigma tentang perubahan sosial yang tidak dinyatakan
sebagai ideologi, tetapi berfungsi sebagai ideologi, misalnya ideologi
pembangunan. (d) Berbagai aliran pemikiran yang menonjolkan nilai tertentu yang
menjadi pedoman gerakan suatu kelompok (Sastrapratedja, 2001: 45-46).
Selain penjelasan di atas, maka fungsi ideologi menurut Soerjanto, (1991:
48) sebagai berikut:
1. Struktur kognitif; keseluruhan pengetahuan yang dapat menjadi landasan untuk
memahami dan menafsirkan dunia, serta kejadian-kejadian di lingkungan
sekitarnya.
2. Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna serta
menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia.
3. Norma-norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang untuk
melangkah dan bertindak.
4. Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya
5. Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk
menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan.
6. Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati
serta memolakan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan norma-norma
yang terkandung di dalamnya.
2. Urgensi Pancasila sebagai Ideologi
Negara Setelah Anda menelusuri berbagai pengertian, unsur, dan jenis-
jenis ideologi, maka terlihat bahwa Pancasila sebagai ideologi negara menghadapi
berbagai bentuk tantangan. Salah satu tantangan yang paling dominan dewasa ini
adalah globalisasi. Globalisasi merupakan era saling keterhubungan antara
masyarakat suatu bangsa dan masyarakat bangsa yang lain sehingga masyarakat
dunia menjadi lebih terbuka. Dengan demikian, kebudayaan global terbentuk dari
pertemuan beragam kepentingan yang mendekatkan masyarakat dunia.
Sastrapratedja menengarai beberapa karakteristik kebudayaan global sebagai
berikut:
a. Berbagai bangsa dan kebudayaan menjadi lebih terbuka terhadap
pengaruh timbal balik.
b. Pengakuan akan identitas dan keanekaragaman masyarakat dalam
berbagai kelompok dengan pluralisme etnis dan religius.
c. Masyarakat yang memiliki ideologi dan sistem nilai yang berbeda
bekerjasama dan bersaing sehingga tidak ada satu pun ideologi yang
dominan.
d. Kebudayaan global merupakan sesuatu yang khas secara utuh, tetapi tetap
bersifat plural dan heterogen.
e. Nilai-nilai hak asasi manusia (HAM), kebebasan, demokrasi menjadi
nilainilai yang dihayati bersama, tetapi dengan interpretasi yang berbeda-
beda (Sastrapratedja, 2001: 26--27).
Setelah memperoleh gambaran dan pemahaman tentang teori dan corak
ideologi, maka perlu mengenali beberapa fungsi ideologi sebagai berikut:
a. Struktur kognitif; keseluruhan pengetahuan yang dapat menjadi landasan
untuk memahami dan menafsirkan dunia, serta kejadiankejadian di
lingkungan sekitarnya.
b. Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna serta
menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia.
c. Norma-norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang untuk
melangkah dan bertindak.
d. Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitasnya
e. Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk
menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan.
f. Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati
serta memolakan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan norma-
norma yang terkandung di dalamnya (Soerjanto, 1991: 48).
Untuk mengetahui posisi ideologi Pancasila di antara ideologi besar dunia,
maka Anda perlu mengenal beberapa jenis ideologi dunia sebagai berikut.
a. Marxisme-Leninisme; suatu paham yang meletakkan ideologi dalam
perspektif evolusi sejarah yang didasarkan pada dua prinsip; pertama,
penentu akhir dari perubahan sosial adalah perubahan dari cara produksi;
kedua, proses perubahan sosial bersifat dialektis.
b. Liberalisme; suatu paham yang meletakkan ideologi dalam perspektif
kebebasan individual, artinya lebih mengutamakan hak-hak individu.
c. Sosialisme; suatu paham yang meletakkan ideologi dalam perspektif
kepentingan masyarakat, artinya negara wajib menyejahterakan seluruh
masyarakat atau yang dikenal dengan kosep welfare state.
d. Kapitalisme; suatu paham yang memberi kebebasan kepada setiap individu
untuk menguasai sistem pereknomian dengan kemampuan modal yang ia
miliki (Sastrapratedja, 2001: 50 – 69).
Berdasarkan karakteristik kebudayaan global tersebut, maka perlu
ditelusuri fase-fase perkembangan globalisasi sebagai bentuk tantangan terhadap
ideologi Pancasila. Adapun fase-fase perkembangan globalisasi itu adalah
sebagai berikut:
a. Fase embrio; berlangsung di Eropa dari abad ke-15 sampai abad ke-18
dengan munculnya komunitas nasional dan runtuhnya sistem transnasional
Abad Tengah.
b. Fase pertumbuhan yang meliputi abad ke-18 dengan ciri pergeseran
kepada gagasan negara kesatuan, kristalisasi konsep hubungan
internasional, standarisasi konsep kewarganegaraan.
c. Fase take off yang berlangsung dari 1870 sampai pertengahan 1920 yang
ditandai dengan diterimanya konsep baru tentang negara kebangsaan,
identitas dan kepribadian nasional, mulai masuknya negara-negara
nonEropa ke dalam masyarakat internasional.
d. Fase perjuangan hegemoni yang dimulai 1920 sampai dengan pertengahan
1960 yang ditandai dengan meningkatnya konflik internasional dan
ideologis, seperti kapitalisme, sosialisme, fasisme, dan nazisme, dan
jatuhnya bom atom yang menggugah pikiran tentang masa depan manusia
yang diikuti terbentuknya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
e. Fase ketidakpastian; berlangsung dari 1960--1990 ditandai dengan
munculnya gagasan dunia ketiga, proliferasi nuklir, konsepsi individu
menjadi lebih kompleks, hak-hak kewarganegaraan semakin tegas
dirumuskan, berkembangnya media global yang semakin canggih.
f. Fase kebudayaan global; fase ini ditandai oleh perubahan radikal di Eropa
Timur dan Uni Soviet (runtuhnya dominasi komunisme di beberapa negara),
berakhirnya perang dingin, dan melemahnya konfrontasi ideologi
(Sastrapratedja, 2001: 49 – 50).

B. Alasan Diperlukannya Kajian Pancasila sebagai Ideologi Negara


1. Warga Negara Memahami dan Melaksanakan Pancasila sebagai Ideologi
Negara
Sebagai warga negara, perlu memahami kedudukan Pancasila sebagai
ideologi negara karena ideologi Pancasila menghadapi tantangan dari berbagai
ideologi dunia dalam kebudayaan global. Pada bagian ini, perlu diidentifikasikan
unsur-unsur yang memengaruhi ideologi Pancasila sebagai berikut:
a. Unsur ateisme yang terdapat dalam ideologi Marxisme atau komunisme
bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Unsur individualisme dalam liberalisme tidak sesuai dengan prinsip nilai
gotong royong dalam sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
c. Kapitalisme yang memberikan kebebasan individu untuk menguasai sistem
perekonomian negara tidak sesuai dengan prinsip ekonomi kerakyatan.
Salah satu dampak yang dirasakan dari kapitalisme ialah munculnya gaya
hidup konsumtif.
Pancasila sebagai ideologi, selain menghadapi tantangan dari ideologi-
ideologi besar dunia juga menghadapi tantangan dari sikap dan perilaku kehidupan
yang menyimpang dari norma-norma masyarakat umum. Tantangan itu meliputi,
antara lain terorisme dan narkoba. Sebagaimana yang telah diinformasikan oleh
berbagai media masa bahwa terorisme dan narkoba merupakan ancaman
terhadap keberlangsungan hidup bangsa Indonesia dan ideologi negara.
Beberapa unsur ancaman yang ditimbulkan oleh aksi terorisme, antara lain:
a. Rasa takut dan cemas yang ditimbulkan oleh bom bunuh diri mengancam
keamanan negara dan masyarakat pada umumnya.
b. Aksi terorisme dengan ideologinya menebarkan ancaman terhadap
kesatuan bangsa sehingga mengancam disintegrasi bangsa.
c. Aksi terorisme menyebabkan investor asing tidak berani menanamkan
modal di Indonesia dan wisatawan asing enggan berkunjung ke Indonesia
sehingga mengganggu pertumbuhan perekonomian negara.
Beberapa unsur ancaman yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkoba
meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Penyalahgunaan narkoba di kalangan generasi muda dapat merusak masa
depan mereka sehingga berimplikasi terhadap keberlangsungan hidup
bernegara di Indonesia.
b. Perdagangan dan peredaran narkoba di Indonesia dapat merusak reputasi
negara Indonesia sebagai negara yang berlandaskan pada nilai-nilai
Pancasila.
c. Perdagangan narkoba sebagai barang terlarang merugikan sistem
perekonomian negara Indonesia karena peredaran illegal tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

2. Penyelenggara Negara Memahami dan Melaksanakan Pancasila sebagai


Ideologi Negara
Perlu diketahui bahwa selain warga negara, penyelenggara negara
merupakan kunci penting bagi sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa
sehingga aparatur negara juga harus memahami dan melaksanakan Pancasila
sebagai ideologi negara secara konsisten. Magnis Suseno menegaskan bahwa
pelaksanakan ideologi Pancasila bagi penyelenggara negara merupakan suatu
orientasi kehidupan konstitusional. Artinya, ideologi Pancasila dijabarkan ke dalam
berbagai peraturan perundang-undangan.
Ada beberapa unsur penting dalam kedudukan Pancasila sebagai orientasi
kehidupan konstitusional:
a. Kesediaan untuk saling menghargai dalam kekhasan masing-masing,
artinya adanya kesepakatan untuk bersama-sama membangun negara
Indonesia, tanpa diskriminasi sehingga ideologi Pancasila menutup pintu
untuk semua ideologi eksklusif yang mau menyeragamkan masyarakat
menurut gagasannya sendiri. Oleh karena itu, pluralisme adalah nilai dasar
Pancasila untuk mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini berarti bahwa
Pancasila harus diletakkan sebagai ideologi yang terbuka.
b. Aktualisasi lima sila Pancasila, artinya sila-sila dilaksanakan dalam
kehidupan bernegara sebagai berikut:
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dirumuskan untuk menjamin tidak
adanya diskriminasi atas dasar agama sehingga negara harus
menjamin kebebasan beragama dan pluralisme ekspresi keagamaan.
2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menjadi operasional dalam
jaminan pelaksanaan hak-hak asasi manusia karena hal itu merupakan
tolok ukur keberadaban serta solidaritas suatu bangsa terhadap setiap
warga negara.
3. Sila Persatuan Indonesia menegaskan bahwa rasa cinta pada bangsa
Indonesia tidak dilakukan dengan menutup diri dan menolak mereka
yang di luar Indonesia, tetapi dengan membangun hubungan timbal
balik atas dasar kesamaan kedudukan dan tekad untuk menjalin
kerjasama yang menjamin kesejahteraan dan martabat bangsa
Indonesia.
4. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan berarti komitmen terhadap demokrasi
yang wajib disukseskan.
5. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia berarti pengentasan
kemiskinan dan diskriminasi terhadap minoritas dan kelompokkelompok
lemah perlu dihapus dari bumi Indonesia (Magnis Suseno, 2011: 118-
121).

C. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai


Ideologi Negara
1. Sumber historis Pancasila sebagai Ideologi Negara
Pancasila sebagai ideologi oleh para penyelenggara negara yang berkuasa
sepanjang sejarah negara Indonesia:
a. Pancasila sebagai ideologi negara dalam masa pemerintahan Presiden
Soekarno Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, Pancasila
ditegaskan sebagai pemersatu bangsa. Penegasan ini dikumandangkan
oleh Soekarno dalam berbagai pidato politiknya dalam kurun waktu 1945--
1960. Namun seiring dengan perjalanan waktu, pada kurun waktu 1960--
1965, Soekarno lebih mementingkan konsep Nasakom (Nasionalisme,
Agama, dan Komunisme) sebagai landasan politik bagi bangsa Indonesia.
b. Pancasila sebagai ideologi dalam masa pemerintahan Presiden Soeharto
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, Pancasila dijadikan sebagai
asas tunggal bagi Organisasi Politik dan Organisasi Kemasyarakatan.
Periode ini diawali dengan keluarnya TAP MPR No. II/1978 tentang
pemasyarakatan nilainilai Pancasila. TAP MPR ini menjadi landasan bagi
dilaksanakannya penataran P-4 bagi semua lapisan masyarakat. Akibat
dari cara-cara rezim dalam memasyarakatkan Pancasila memberi kesan
bahwa tafsir ideologi Pancasila adalah produk rezim Orde Baru (mono tafsir
ideologi) yang berkuasa pada waktu itu.
c. Pancasila sebagai ideologi dalam masa pemerintahan Presiden Habibie
Presiden Habibie menggantikan Presiden Soeharto yang mundur pada 21
Mei 1998, atas desakan berbagai pihak Habibie menghapus penataran P-
4. Pada masa sekarang ini, resonansi Pancasila kurang bergema karena
pemerintahan Habibie lebih disibukkan masalah politis, baik dalam negeri
maupun luar negeri. Di samping itu, lembaga yang bertanggungjawab
terhadap sosialisasi nilai-nilai Pancasila dibubarkan berdasarkan Keppres
No. 27 tahun 1999 tentang pencabutan Keppres No. 10 tahun 1979 tentang
Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (BP-7). Sebenarnya, dalam Keppres tersebut
dinyatakan akan dibentuk lembaga serupa, tetapi lembaga khusus yang
mengkaji, mengembangkan, dan mengawal Pancasila hingga saat ini
belum ada.
d. Pancasila sebagai Ideologi dalam masa pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman
Wahid muncul wacana tentang penghapusan TAP NO.XXV/MPRS/1966
tentang pelarangan PKI dan penyebarluasan ajaran komunisme. Di masa
ini, yang lebih dominan adalah kebebasan berpendapat sehingga perhatian
terhadap ideologi Pancasila cenderung melemah.
e. Pancasila sebagai ideologi dalam masa pemerintahan Presiden Megawati
Pada masa ini, Pancasila sebagai ideologi semakin kehilangan
formalitasnya dengan disahkannya Undang-Undang SISDIKNAS No. 20
tahun 2003 yang tidak mencantumkan pendidikan Pancasila sebagai mata
pelajaran wajib dari tingkat Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi.
f. Pancasila sebagai ideologi dalam masa pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) Pemerintahan SBY yang berlangsung dalam
dua periode dapat dikatakan juga tidak terlalu memperhatikan pentingnya
Pancasila sebagai ideologi negara. Hal ini dapat dilihat dari belum adanya
upaya untuk membentuk suatu lembaga yang berwenang untuk menjaga
dan mengawal Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara
sebagaimana diamanatkan oleh Keppres No. 27 tahun 1999. Suasana
politik lebih banyak ditandai dengan pertarungan politik untuk
memperebutkan kekuasaan atau meraih suara sebanyakbanyaknya dalam
pemilu. Mendekati akhir masa jabatannya, Presiden SBY menandatangani
Undang-Undang RI No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang
mencantumkan mata kuliah Pancasila sebagai mata kuliah wajib pada
pasal 35 ayat (3).
Habibie dalam pidato 1 Juni 2011, mengemukakan bahwa salah satu faktor
penyebab dilupakannya Pancasila di era reformasi ialah:
"......sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap
penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan
Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan
segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan
menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada
munculnya ‘amnesia nasional' tentang pentingnya kehadiran
Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi
payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga negara yang
plural".
(http://www.republika.co.id)

2. Sumber Sosiologis Pancasila sebagai Ideologi Negara


Pada bagian ini, akan dilihat Pancasila sebagai ideologi negara berakar
dalam kehidupan masyarakat. Unsur-unsur sosiologis yang membentuk Pancasila
sebagai ideologi negara meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dapat ditemukan dalam kehidupan
beragama masyarakat Indonesia dalam berbagai bentuk kepercayaan dan
keyakinan terhadap adanya kekuatan gaib.
b. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dapat ditemukan dalam hal saling
menghargai dan menghormati hak-hak orang lain, tidak bersikap
sewenang-wenang.
c. Sila Persatuan Indonesia dapat ditemukan dalam bentuk solidaritas, rasa
setia kawan, rasa cinta tanah air yang berwujud pada mencintai produk
dalam negeri.
d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dapat ditemukan dalam bentuk menghargai
pendapat orang lain, semangat musyawarah dalam mengambil keputusan.
e. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia tercermin dalam sikap
suka menolong, menjalankan gaya hidup sederhana, tidak menyolok atau
berlebihan.

3. Sumber Politis Pancasila sebagai Ideologi Negara


Unsur-unsur politis yang membentuk Pancasila sebagai ideologi negara
meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa diwujudkan dalam bentuk semangat
toleransi antarumat beragama.
b. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab diwujudkan penghargaan
terhadap pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
c. Sila Persatuan Indonesia diwujudkan dalam mendahulukan kepentingan
bangsa dan negara daripada kepentingan kelompok atau golongan,
termasuk partai.
d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan diwujudkan dalam mendahulukan
pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah daripada voting.
e. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia diwujudkan dalam
bentuk tidak menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) untuk
memperkaya diri atau kelompok karena penyalahgunaan kekuasaan itulah
yang menjadi faktor pemicu terjadinya korupsi.
D. Dinamika dan Tantangan Pancasila Sebagai Ideologi Negara
1. Dinamika Pancasila sebagai Ideologi Negara
Dalam perjalanan sejarah eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara
mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik penguasa untuk
kepentingan melanggengkan kekuasaan. Pancasila ditafsirkan menurut
kepentingan penguasa. Pancasila sebagai ideologi negara pada masa
pemerintahan Presiden Soekarno, melebur dalam kerangka ideologi NASAKOM
(Nasionalisme-Agama-Komunisme) sebagai jalan tengah untuk menyeimbangkan
kekuatan-kekuatan ideologi menghadapi berbagai tantangan globalisasi.
Pengamalan ajaran NASAKOM kemudian memperkuat kedudukan Presiden,
lawan politik atau kepada kelompok yang kritis akan dicap kontra-revolusi.
Pancasila sebagai ideologi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto,
kembali dijadikan orkestra politik dalam melanggengkan kekuasaan melalui
pengkultusan Pancasila sampai dengan Penataran P4 (Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila).
Pada masa era reformasi, Pancasila mengalami pendangkalan, bahkan
distorsi nilai-nilai. Pancasila dipahami sebagai rumusan sila-sila tanpa makna.
Pancasila seolah-olah mulai terlupakan sebagai ideologi negara. Pancasila mulai
ditinggalkan dalam aspek penyelenggaraan negara, bahkan berujung pada
hilangnya Pancasila dalam kurikulum nasional. Pendidikan Pancasila merupakan
salah satu cara untuk menanamkan pribadi yang bermoral dan berwawasan luas
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Tantangan Pancasila sebagai Ideologi Negara
Yudi Latif (2011) dalam buku berjudul Negara Paripurna; Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila menyatakan bahwa sebagai basis moralitas
dan haluan kebangsaaan kenegaraan, Pancasila memiliki landasan ontologis,
epistemologis, dan aksiologis. Setiap sila memiliki justifikasi historisitas,
rasionalitas, dan aktualitasnya yang jika dipahami, dihayati, dipercayai, dan
diamalkan secara konsisten dapat menopang pencapaian agung peradaban
bangsa dan mendekati terwujudnya “negara paripurna”.
Pancasila sebagai ideologi negara pasti akan menghadapi tantangan baik
yang bersifat internal maupun eksternal. Secara internal diantaranya berupa : (a)
Pengabaian kepentingan daerah serta timbulnya fanatisme kedaerahan; (b)
Kurang berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebhinekaan dan
kemajemukan; (c) Kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagai
pemimpin dan tokoh bangsa; (d) Tidak berjalannya penegakan hukum yang
optimal. Sementara tantangan eksternal meliputi hal-hal berikut: (a) Pengaruh
globalisasi berbasis perkembangan teknologi informasi, komunikasi, dan
transportasi secara drastis telah mentransendesikan batas-batas bangsa; (b)
Perang Asimetris atau persaingan antar bangsa yang semakin tajam dan kuatnya
intensitas intervensi kekuatan global dalam perumusan kebijakan nasional.

E. Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Ideologi Negara


1. Hakikat Pancasila sebagai Ideologi Negara
Hakikat Pancasila sebagai ideologi negara memiliki tiga dimensi, yaitu :
a. Dimensi realitas; mengandung makna bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung
dalam dirinya bersumber dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakatnya. Hal
ini mengandung arti bahwa nilai-nilai Pancasila bersumber dari budaya dan
sejarah bangsa Indonesia sekaligus juga berarti bahwa Pancasila sebagai
kepribadian bangsa harus dijabarkan dalam kehidupan nyata sehari-hari baik
dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat maupun dalam segala aspek
penyelenggaraan negara.
b. Dimensi Idealitas; mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai
bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini berarti
bahwa nilai-nilai Pancasila mengandung adanya tujuan yang ingin dicapai
sehingga menimbulkan harapan dan optimisme serta mampu menggugah
motivasi untuk mewujudkan cita-cita. Nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila bersifat sistematis dan rasional (Wibisono, 1989). Semua nilai yang
terkandung didalamnya merupakan cita-cita yang ingin diwujudkan dalam
kehidupan masyarakat Indonesia, yaitu masyarakat yang berketuhanan,
berperikemanusiaan, menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, serta
mengutamakan musyawarah mufakat dan berkeadilan.
c. Dimensi fleksibilitas; mengandung relevansi atau kekuatan yang merangsang
masyarakat untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran baru tentang nilai-
nilai dasar yang terkandung didalamnya. Dengan demikian, pancasila sebagai
ideologi bersifat terbuka karena bersifat demokratis dan mengandung dinamika
internal yang mengundang dan merangsang warga negara yang meyakininya
untuk mengembangkan pemikiran baru, tanpa khawatir kehilangan hakikat
dirinya (Alfian, 1991: 192-193). Pancasila memenuhi syarat fleksibilitas, yang
dibuktikan dari perjalanan sejarah, hingga sekarang Pancasila masih berdiri
kokoh, dan selalu menerima pembaharuan, tanpa kehilangan jati diri.
2. Urgensi Pancasila sebagai Ideologi Negara
Mahasiswa perlu menyadari bahwa peran ideologi negara itu bukan hanya
terletak pada aspek legal formal, melainkan juga harus dapat menerapkan dan
menjalankan Pancasila sebagai pedoman hidup di dalam masyarakat dan
kehidupan akademik. Beberapa peran yang dapat dilakukan mahasiswa dalam
menerapkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara adalah sebagai berikut:
a. Ideologi negara sebagai penuntun warga negara, artinya setiap perilaku warga
negara harus didasarkan pada preskripsi moral. Contohnya, kasus
perundungan, narkoba, pornografi yang merebak di kalangan generasi muda
menunjukkan bahwa preskripsi moral ideologis belum disadari kehadirannya.
Oleh karena itu, diperlukan norma-norma penuntun yang lebih jelas, baik dalam
bentuk persuasif, imbauan maupun penjabaran nilai-nilai Pancasila ke dalam
produk hukum yang memberikan rambu yang jelas dan hukuman yang setimpal
bagi pelanggarnya.
b. Ideologi negara sebagai penolakan terhadap nilai-nilai yang tidak sesuai
dengan sila-sila Pancasila. Contohnya, kasus radikalisme dan terorisme. Hal
ini bertentangan nilai toleransi berkeyakinan, hak-hak asasi manusia, dan
semangat persatuan.

Rangkuman

Pancasila sebagai ideologi negara bagi mahasiswa merupakan senjata dalam


menghadapi arus globalisasi yang mengancam eksistensi kepribadian bangsa.
Urgensi Pancasila sebagai ideologi negara bagi mahasiswa adalah untuk
memperlihatkan peran ideologi sebagai penuntun moral dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga berbagai penyimpangan
maupun ancaman dapat dicegah. Di samping itu, Pancasila sebagai ideologi negara
pada hakikatnya mengandung dimensi realitas, idealitas, dan fleksibilitas yang
memuat nilai-nilai dasar, cita-cita, dan keterbukaan sehingga mahasiswa mampu
menerima kedudukan Pancasila secara akademis.

Projek Belajar Pancasila sebagai Ideologi Negara


Untuk memahami Pancasila sebagai ideologi negara, Anda dipersilakan untuk
mencari informasi dari berbagai sumber tentang:
1. Berbagai konsep dan pengertian dan karakter tentang ideologi besar dunia,
khususnya tentang ideologi tertutup dan ideologi terbuka.
2. Pancasila sebagai ideologi, termasuk bersifat tertutup atau terbuka, berikan
argumen Anda.
3. Berbagai kasus yang terkait dengan perundungan yang mengancam eksistensi
Pancasila.
4. Berbagai kasus yang terkait dengan narkoba yang mengancam eksistensi
Pancasila.
5. Berbagai kasus yang terkait dengan pornografi yang mengancam eksistensi
Pancasila.
6. Berbagai kasus yang terkait dengan korupsi di Indonesia yang mengancam
eksistensi ideologi Pancasila.
7. Berbagai kasus yang terkait dengan terorisme yang mengancam eksitensi
ideologi Pancasila.

Diskusikan faktor-faktor yang mengancam integrasi nasional bangsa Indonesia,


sekaligus memperlihatkan peran ideologi Pancasila sebagai pemersatu bangsa.
BAB 5 PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

A. Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat


Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta dari India. Kata Pancasila
memiliki dua makna, yaitu: Panca artinya lima dan Syila artinya batu sendi, alas
dan dasar. Syila memiliki makna peraturan tingkah laku yang baik. Secara
etimologis kata Pancasila berasal dari istilah Pancasila yang memiliki lima unsur.
Istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman Majapahit pada abad XIV,
makna Pancasila pada zaman Majapahit yang tercantum dalam buku Sutasoma
mempunyai dua arti, yaitu berbatu sendi yang lima dan pelaksanaan kesusilaan
yang lima (Pancasila Krama), yaitu 1) tidak boleh melakukan kekerasan, 2) tidak
boleh mencuri, 3) tidak boleh berjiwa dengki, 4) tidak boleh berbohong, dan 5) tidak
mabuk minuman keras (Dardji D, dkk, 1988).
Apabila ditinjau tentang proses terbentuknya Pancasila secara historis,
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang
disingkat BPUPKI (Dokuritsu Junbi Choosakai) pada tanggal 29 Mei-1 Juni
mengagendakan dasar Indonesia merdeka. Pada sidang pertama tersebut muncul
usulan rumusan dasar negara dari Muhamad Yamin (29 Mei 1945), Prof. Dr.
Soepomo (31 Mei 1945) dan rumusan dari Ir. Soekarno (1 Juni 1945) yang dengan
tegas menyebutkan bahwa rumusan tersebut diberi nama Pancasila.
Menurut Darmodihardjo (1979: 86), Pancasila adalah ideologi yang memiliki
kekhasan, yaitu: 1) Kekhasan pertama, Tuhan Yang Maha Esa sebab Ketuhanan
Yang Maha Esa mengandung arti bahwa manusia Indonesia percaya adanya
Tuhan; 2) Kekhasan kedua, penghargaan kepada sesama umat manusia apapun
suku bangsa dan bahasanya; 3) Kekhasan ketiga, bangsa Indonesia menjunjung
tinggi persatuan bangsa; 4) Kekhasan keempat, kehidupan manusia Indonesia
bermasyarakat dan bernegara berdasarkan atas sistem demokrasi; dan 5)
Kekhasan kelima, keadilan sosial bagi hidup bersama. Kelahiran ideologi
bersumber dari pandangan hidup yang dianut oleh suatu masyarakat. Pandangan
hidup kemudian berbentuk sebagai keyakinan terhadap nilai tertentu yang
diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, ideologi berfungsi
sebagai alat membangun solidaritas masyarakat dengan mengangkat berbagai
perbedaan ke dalam tata nilai baru.
Dalam kehidupan bangsa Indonesia telah diakui bahwa nilai-nilai Pancasila
adalah falsafah hidup atau pandangan hidup yang berkembang dalam sosial
budaya Indonesia. Nilai Pancasila dianggap nilai dasar dan puncak atau sari
budaya bangsa. Oleh karena itu, nilai ini diyakini sebagai jiwa dan kepribadian
bangsa. Dengan mendasarnya nilai ini dalam menjiwai dan memberikan watak
(kepribadian dan identitas) sehingga pengakuan atas kedudukan Pancasila
sebagai falsafah adalah tepat.
Nilai-nilai dalam Pancasila mencerminkan nilai-nilai dan pandangan
mendasar dan hakiki rakyat Indonesia dalam hubunanya dengan sumber
kesemestaan, yakni Tuhan yang Maha pencipta. Asas ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai asas fundamental dalam kesemestaan, dijadikan pula asas fundamental
kenegaraan. Asas fundamental itu mencerminkan identitas atau kepribadian
bangsa Indonesia yang religius.
Sejak kelahiranya, Pancasila sebagai falsafah nasional modern (1 Juni
1945), Pancasila telah dinyatakan menjadi milik nasional, artinya milik seluruh
bangsa Indonesia. Sekalipun telah merasa memiliki Pancasila, tetapi belum tentu
secara otomatis sudah mengamalkan Pancasila tersebut. Untuk dapat
mengamalkan Pancasila seharusnya memenuhi tiga syarat, yaitu pertama,
keinsyafan batin tentang benarnya Pancasila sebagai falsafah negara, kedua,
pengakuan bahwa yang bersangkutan menerima dan mempertahankan Pancasila,
dan ketiga, mempersonifikasikan seluruh sila-sila Pancasila dalam perbuatan
dengan membiasakan praktek pengamalan seluruh sila-sila dalam sikap, perilaku
budaya dan politik. (Syahrial Syarbaini, 2004:18)
1. Pengertian Filsafat
Pertanyaan pokok yang harus dicari jawabanya adalah apakah filsafat
itu. Telah banyak para ahli filsafat yang memberikan pengertian dan definisi
tentang filsafat, tetapi kebanyakan konsep yang diberikan tidak sama. Hal ini
masing-masing ahli filsafat atau filsuf itu mempunyai konsep yang berbeda
dengan terjadi karena Secara Etimologis, pengertian filsafat dapat dikaji dari
beberapa istilah, diantaranya, “Filsafat” dalam bahasa Indonesia mempunyai
padanan “Falsafah” dalam kata Arab. Sedangkan menurut kata Inggris
“Philoshopy”, kata latin “philosophia”, kata Belanda “philosophie”, kata Jerman
‘philosophier” kata Prancis “philosophie”, yang kesemuannya itu di terjemahkan
dalam kata Indonesia “Filsafat”. Menurut Harun Nasution, istilah “falsafah”
berasal dari bahasa Yunani “philein” dan kata ini mengandung arti “cinta” dan
“shopos” dalam arti hikmah (Wisdom) (Nasution 1973)
Maka philosophia menurut arti katanya berarti cinta pada penetahuan
yang bijaksana, oleh karena itu mengusahakannya (Gazalba, 1977). Dengan
demikian istilah “filsafat” yang di maksudkan sebagai kata majemuk dari
“philein” dan “ sophos”mengandung arti yang hal-hal yang sifat nya bijaksana,
sedangkan “filsafat” yang merupakan bentuk majemuk dari “philos” dan
“shopia” berkontansi teman dari bijaksana.
Berikut beberapa pengertian filsafat menurut beberapa filsuf, yaitu
antara lain: 1) Plato (427-347 SM); filsafat adalah pengetahuan tentang segala
yang ada atau ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli;
2) Aristoteles (384-322 SM); filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika,
etika, ekonomi, politik, dan estetika atau filsafat menyelidiki sebab dan asas
segala benda; 3) Marcus Tullius Cicero (106-43 SM); filsafat adalah
pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk
mencapainya; 4) Immanuel Kant (1724-1804); filsafat itu ilmu pokok dan
pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan,
yaitu: “apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika), apakah yang
dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika), sampai dimanakah pengharapan
kita? (dijawab oleh antropologi).
Jadi istilah “filsafat” pada mulanya merupakan satu istilah yang secara
umum di pergunakan untuk menyebutkan usaha ke arah keutamaan mental.
Filsafat secara umum merupakan studi tentang seluruh fenomena dan
pemikiran manusia secara kritis dan di jabarkan dalam konsep mendasar.
Lingkup pengertian filsafat memiliki bidang bahasan yang sangat luas
yaitu segala sesuatu baik yang besifat kongkrit maupun bersifat abstrak.
Sedangkan untuk objek filsafat meliputi objek matrial dan objek formal. Berikut
penjelasan mengenai objek filsafat, objek material filsafat, yaitu objek
pembahsan fisafat yang meliputi segala sesuatu baik yang bersifat kongkrit
maupun besifat abstrak. Sedangkan objek formal filsafat, adalah cara
memandang seseorang peneliti terhadap objek material tersebut, suatu objek
material tertentu dapat ditinjau dari berbagai macam sudut pandang yang
berbeda.
Berikut ini dijelaskan berbagai bidang lingkup pengertian filsafat.
Pertama : filsafat sebagai produk mencakup pengertian.
1. Pengertian filsafat mencakup arti-arti filsafat sebagai jenis pengetahuan,
ilmu, konsep dari para filsuf pada zaman dahulu, teori, sistem atau
tertentu, yang merupakan hasil dari proses berfilsafat yang mempunyai
ciri-ciri tertentu.
2. Filsafat sebagai suatu jenis problema yang di hadapi oleh manusia
sebagai hasil dari aktivitas berfilsafat.

Kedua : filsafat sebagai suatu proses yang dalam hal ini filsafat diartikan
dalam bentuk suatu aktivitas berfilsafat, dalam proses pemecahan suatu
permasalahan dengan menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang
sesuai dengan objek permasalahannya.
2. Cabang-cabang Filsafat dan Aliranya
Filsafat memiliki empat cabang keilmuan yang utama, yaitu: 1) Metafisika;
cabang filsafat yang mempelajari asal mula segala sesuatu yang-ada dan yang
mungkin-ada. Metafisika terdiri atas metafisika umum yang selanjutnya disebut
sebagai ontologi, yaitu ilmu yang membahas segala sesuatu yang-ada, dan
metafisika khusus yang terbagi dalam teodesi yang membahas adanya Tuhan,
kosmologi yang membahas adanya alam semesta, dan antropologi metafisik
yang membahas adanya manusia. 2) Epistemologi; cabang filsafat
mempelajari seluk beluk pengetahuan. Dalam epistemologi, terkandung
pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang pengetahuan, seperti kriteria apa
yang dapat memuaskan kita untuk mengungkapkan kebenaran, apakah
sesuatu yang kita percaya dapat diketahui, dan apa yang dimaksudkan oleh
suatu pernyataan yang dianggap benar. 3) Aksiologi; cabang filsafat yang
menelusuri hakikat nilai. Dalam aksiologi terdapat etika yang membahas
hakikat nilai baik-buruk, dan estetika yang membahas nilai-nilai keindahan.
Dalam etika, dipelajari dasar-dasar benarsalah dan baik-buruk dengan
pertimbangan-pertimbangan moral secara fundamental dan praktis.
Sedangkan dalam estetika, dipelajari kriteria-kriteria yang mengantarkan
sesuatu dapat disebut indah. 4) Logika; cabang filsafat yang memuat aturan-
aturan berpikir rasional. Logika mengajarkan manusia untuk menelusuri
struktur-struktur argumen yang mengandung kebenaran atau menggali secara
optimal pengetahuan manusia berdasarkan bukti-buktinya. (Surajiyo, 2009:22-
23)
3. Pengertian Filsafat Pancasila
Pembahasan mengenai Pancasila sebagai sistem filsafat, ada dua hal
yang perlu diperhatikan, filsafat sebagai metode dan filsafat sebagai suatu
pandangan. Keduanya akan berguna bagi ideology Pancasila. Filsafat sebagai
metode menunjukkan cara berpikir dan cara mengadakan analisis yang dapat
dipertanggung jawabkan untuk dapat menjabarkan ideologi Pancasila.
Sedangkan Pancasila sebagai filsafat mengandung pandangan, nilai dan
pemikiran yang dapat menjadi substansi dan isi pembentukkan ideologi
Pancasila.
Filsafat Pancasila dapat didefinisikan secara ringkas sebagai refleksi
kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan
budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertianya
secara mendasar dan menyeluruh. Pembahasan filsafat dapat dilakukan
secara deduktif dan induktif.
a. Cara deduktif yaitu dengan mencari hakikat Pancasila serta menganalisis
dan menyusunnya secara sistematis menjadi keutuhan pandangan yang
komprehensif
b. Cara induktif yaitu dengan mengamati gejala-gejala sosial budaya
masyarakat, merefleksikannya, dan menarik arti dan makna yang hakiki
dari gejala-gejala itu.

Dengan demikian menyajikan sebagai bahan-bahan yang sangat penting


bagi penjabaran ideologi Pancasila. Ideologi Pancasila adalah keseluruhan
prinsip normatif yang berlaku bagi negara Republik Indonesia dan bangsa
Indonesia secara keseluruhan, namun filsafat pancasila akan mengungkapkan
konsep-konsep kebenaran yang bukan saja ditujukan pada bangsa Indonesia,
melainkan bagi manusia pada umumnya. Filsafat Pancasila mengukur adanya
kebenaran yang bermacam-macam dan bertingkat-tingkat sebagai berikut,
Pertama, kebenaran indra (pengetahuan biasa), kedua, kebenaran ilmiah (ilmu-
ilmu pengetahuan), ketiga, kebenaran filosofis (filsafat) dan keempat, kebenaran
religius (religi).
B. Alasan diperlukanya Pancasila sebagai Sistem Filsafat
1. Landasan Ontologis Pancasila
Apakah ontologis itu? Ontologis ialah perenungan pemikiran
filsafat dari sisi keberadaan atau wujudnya. Ada pula yang menyebutkan
filsafat keberadaan. Landasan ontologis Pancasila artinya ialah
memikirkan secara mendalam dan keseluruhan (universal) terkait
keberadaannya. Pancasila hadir bukan tiba-tiba di dalam pemikiran para
tokoh-tokoh bangsa Indonesia terdahulu, akan tetapi melalui serangkaian
peristiwa dan kejadian panjang yang dialami bangsa Indonesia. Oleh
karena itu, kelima sila Pancasila menunjukkan kemandirian masing-
masing, tetapi juga tatp menekankan kesatuannya yang mendasar dan
keterikatan dalam relasi-relasi. Sila-sila dalam Pancasila merupakan
suatu hirarki teratur yang berhubungan satu salam lain.
Kedudukan Pancasila sebagai sistem filsafat mengakibatkan pada
tiga dimensi. Pertama, deteminisme yaitu berkaitan dengan perilaku
manusia Indonesia atas banyak kondisi sebelumnya sehingga bersifat
reaktif dan pasif. Dari dimensi ini Pancasila sebagai reaksi atas
penjajahan yang melanggar Hak Asasi Manusia. Kedua, pragmatism,
artinya bahwa manusia secara aktif berusaha mencapai tujuannya di
masa depan. Dari sini bisa dilihat bahwa Pancasila merupakan semangat
perjuangan untuk mendapatkan tujuan masa depan bangsa Indonesia
untuk terepas dari belenggu penjajahan. Ketiga, kompromis, artinya
manusia Indonesia memiliki keinginan bebas pada satu sisi, sedangkan
disisi lain jangkauan kebebasan tesebut terdapat batas usahanya.
2. Landasan Epistemologis Pancasila
Apakah epistimologis itu ?. Epistimologis ialah perenungan
pemikiran dalam filsafat dalam segi sarana dan sumber pengetahuan
(knowledge). Ada pula yang menyebut dengan cabang filsafat
pengetahuan. Oleh karenanya sumber pengetahuan ini terletak dari dua
pandangan, yakni rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme berpijak
pada pandangan bahwa akal merupakan satu-satunya sarana dan
sumber pengetahuan. Sementara, Empirisme berpijak pada pengalaman
empirik/ iderawi (mata, telinga, dan panca indera lainnya) merupakan
sarana dan sumber pengetahuan.
Landasan epistemologis ini berarti penggalian Pancasila dan nilai-
nilainya merupakan terbentuk dari pengalaman empirisme manusia
Indonesia yang mensistesis menjadi kemampuan akal manusia Indonesia
yang menjadikannya sebagai filsafat. Pengalaman Indonesia dalam politik
Devide et Impera (memecah lalu menguasai) menjadi keinginan akal
manusia Indonesia untuk menjadikan Persatuan Indonesai sebagai sila
ketiga.
3. Landasan Aksiologis Pancasila
Apakah landasan Aksiologis itu?. Aksiologis ialah perenungan
pemikiran filsafat yang terkait dengan kegunaan atau nilai suatu wujud.
Secara sederhana ada yang menyebutkan sebagai filsafat kegunaan
atau filsafat nilai. Perlu diketahui sesuai memiliki nilai sesunggunya
tidaklah bernilai untuk dirinya sendiri, melainkan dibutuhkan oleh objek
yang membutuhkan nilai tersebut. Pada sisi ini dapat kita maknai bahwa
apakah Pancasila sebagai system filsafat memiliki nilai.
Landasan aksiologis Pancasila adalah kualitas kegunaan dan
nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Sila pertama
mengandung religiusitas. Sila kedua mengandung nilai meninggikan
martabat manusia. Sila ketiga menunjukkan nilai soliditas dan keutuhan.
Sila keempat mengandung nilai demokrasi dan keterwakilan. Sila kelima
mengandung nilai kesamarataan dan keadilan.
Setelah membaca deskripsi di atas maka timbul pertanyaan
mengapa perlunya kajian Pancasila sebagai sebuah sistem filsafat.
Pertanyaan ini dapat dijawab setidaknya oleh dua pernyataan. Pertama,
Pancasila sebagai sistem filsafat merupakan genetivus-objektivus,
artinya bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai objek atau modal yang
membentuk berbagai sistem dan cabang filsafat yang berkembang.
Kedua, Pancasila sebagai genetivus-subjectivus, artinya nilai-nilai
Pancasila digunakan untuk mengkritisi system dan cabang filsafat yang
berkembang demi menemukan hal yang sesuai atau tidak sesuai
dengan nilai Pancasila itu sendiri.
C. Sumber Historis, Sosiologis, Politis Tentang Pancasila sebagai Sistem
Filsafat
Materi atau substansi Mata Kuliah Pendidikan Pancasila dapat
dikembangkan melalui beberapa pendekatan, yaitu pendekatan historis,
sosiologis, dan politik. Sedangkan pengayaan materi mata kuliah Pendidikan
Pancasila dilakukan dengan pendekatan ilmiah, filosofis, dan ideologis. Untuk
menumbuhkan kesadaran social mahasiswa maka dalam proses perkuliahan
dapat dikembangkan dari fenomena social yang ada di masyarakat, untuk
bersama-sama dikaji dan ditemukan solusinya secara rasional dan
bertanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian
mahasiswa akan memiliki argumentasi tentang pentingnya pendidikan Pancasila
diterapkan di Perguruan Tinggi.
1. Sumber Historis
“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah””. Kalimat tersebut
merupakan pernyataan yang diucapkan oleh Presiden pertama Indonesia,
Soekarno. Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai
fungsi penting dalam membangun kehidupan bangsa dengan lebih bijaksana
di masa depan. Karena dari sejarah kita belajar untuk hidup lebih baik. Hal
tersebut sejalan dengan ungkapan seorang filsuf Yunani yang bernama
Cicero (106-43 SM) yang mengungkapkan, “Historia Vitae Magistra”, yang
bermakna, “Sejarah Memberikan Kearifan”. Pengertian lain dari istilah
tersebut yang sudah menjadi pendapat umum (common-sense) adalah
“Sejarah merupakan guru kehidupan”. Implikasinya, dalam pengayaan materi
perkuliahan Pancasila dengan pendekatan historis adalah amat penting dan
tidak boleh dianggap remeh guna mewujudkan kejayaan bangsa di kemudian
hari. Melalui pendekatan historis, mahasiswa diharapkan dapat mengambil
pelajaran atau hikmah dari berbagai peristiwa sejarah, baik sejarah nasional
maupun sejarah bangsa-bangsa lain. Agar mahasiswa tidak mengulangi
kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan pada masa lalu. Dengan
pendekatan historis, mahasiswa diharapkan dapat memperoleh inspirasi
untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa sesuai dengan program
studi masing-masing. Selain itu, mahasiswa juga dapat berperan serta secara
aktif dan arif dalam berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara, serta
dapat berusaha menghindari perilaku yang bernuansa mengulangi kembali
kesalahan sejarah.
Dalam peristiwa sejarah banyak hikmah yang dapat dipetik. Misalnya
mengapa bangsa Indonesia sebelum masa pergerakan nasional selalu
mengalami kekalahan dari penjajah? Jawabannya antara lain karena
perjuangan pada masa itu masih bersifat kedaerahan, kurang adanya
persatuan, mudah dipecah belah, dan kalah dalam penguasaan IPTEKS
termasuk dalam bidang persenjataan. Hal ini berarti bahwa apabila integrasi
bangsa lemah dan penguasaan IPTEKS lemah, maka bangsa Indoensia
dapat kembali terjajah atau setidak-tidaknya daya saing bangsa melemah.
Implikasi dari pendekatan historis ini adalah meningkatkan motivasi
kejuangan bangsa dan meningkatkan motivasi belajar mahasiswa dalam
menguasai IPTEKS sesuai dengan prodi masing-masing.
2. Sumber Sosiologis
Sosiologi dipahami sebagai ilmu tentang kehidupan antar manusia. Di
dalamnya mengkaji, antara lain latar belakang, susunan dan pola kehidupan
social dari berbagai golongan dan kelompok masyarakat, di samping juga
mengkaji masalah-masalah social, perubahan dan pembaharuan dalam
masyarakat. Soekanto (1982: 19) menegaskan bahwa dalam perpektif
sosiologi, suatu masyarakat pada suatu waktu dan tempat memiliki nilai-nilai
yang tertentu. Melalui pendekatan sosiologis ini pula, anda diharapkan dapat
mengkaji struktur social, proses social, termasuk perubahan-perubahan
social, dan masalah-masalah social yang patut disikapi secara arif dengan
menggunakan standard nilai-nilai yang mengacu kepada nilai-nilai Pancasila.
Berbeda dengan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia mendasarkan
pandangan hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada
suatu asas kultural yang dimiliki dan melekat pada bangsa itu sendiri. Nilai-
nilai kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila
Pancasila bukan hanya hasil konseptual seseorang saja, melainkan juga hasil
karya besar bangsa Indonesia sendiri, yang diangkat dari nilai-nilai kultural
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri melalui proses refleksi filosofis
para pendiri Negara (Kaelan, 2000: 13)
Bung Karno menegaskan bahwa nilai-nilai Pancasila digali dari bumi
pertiwi Indonesia. Dengan kata lain, nilai-nilai Pancasila berasal dari
kehidupan sosiologis masyarakt Indonesia. Pernyataan ini tidak diragukan
lagi karena dikemukakan oleh Bung Karno sebagai penggali Pancasila,
meskipun beliau dengan rendah hati membantah apabila disebut sebagai
pencipta Pancasila, sebagaimana dikemukakan Beliau dalam paparan
sebagai berikut:
Kenapa diucapkan terimaksih kepada saya, kenapa saya diagung-
agungkan, padahal toh sudah sering saya katakana, bahwa saya bukan
pencipta Pancasila. Saya sekedar penggali Pncasila daripada bumi tanah air
Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya
persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia. Malah pernah saya
katakana, bahwa sebenarnya hasil atau lebih tegas penggalian daripada
Pancasila ini saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya….
Sebagimana tiaptiap manusia, jikalau ia benar-benar memohon kepada Allah
Subhanahu Wata’ala, di beri ilham oleh Allah Subhanahu Wata’ala (Latif,
2011:21)
Makna penting lainnya dari pernyataan Bung Karno tersebut adalah
Pancasila sebagai dasar Negara merupakan pemberian atau ilham dari
Tuhan Yang maha Kuasa. Apabila dikaitkan dengan teori kausalitas dari
Notogegoro bahwa Pancasila merupakan penyebab lahirnya (kemerdekaan)
bangsa Indonesia, maka kemerdekaan berasal dari Allah, Tuhan Yang Maha
Esa. Hal ini sejalan dengan makna Alinea III Pembukaan UUD 1945. Sebagai
mahluk Tuhan sebaiknya segala pemberian Tuhan, termasuk kemerdekaan
Bangsa Indonesia ini wajib untuk disyukuri. Salah satu bentuk wujud konkret
mensyukuri nikmat karunia kemerdekaan adalah dengan memberikan
kontribusi pemikiran terhadap pembaharuan dalam amsyarakat.
Bentuk lain mensyukuri kemerdekaan adalah dengan memberikan
kontribusi konkret bagi pembangunan Negara melalui kewajiban membayar
pajak, karena dengan dana pajak itulah pembangunan dapat dilangsungkan
secara optimal.
Sejalan dengan hal itu, Anda juga diharapkan dapat berpartisipasi
dalam meningkatkan fungsi-fungsi lembaga penegndalian social (agent of
social control) yang mengacu kepada nilai-nilai Pancasila.
Tugas:
Dalam rangka mensyukuri karunia kemerdekaan, Anda diminta untuk
mengidentifikasi sekurang-kurangnya 3 fenomena permasalahan
social yang menurut Anda tidak sesuai engan nilai-nilai Pancasila.
Kemudian, Anda diminta untuk membuat ringkasan secara tertulis
untuk diserahkan kepada dosen.
4. Sumber Politis
Fenomena kehidupan politik bangsa Indonesia dapat dijadikan
sebagai salah satu sumber pengayaan materi pendidikan Pancasila.
Tujuannya agar Anda mampu mengdiagnosa dan mampu
memformulasikan saran-saran tentang upaya atau usaha mewujudkan
kehidupan politik yang ideal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Bukankah Pancasila dalam tataran tertentu merupakan ideologi politik,
yaitu mengandung nilai-nilai yang menjadi kaidah penuntun dalam
mewujudkan tata tertib social politik yang ideal. Hal tersebut sejalan
dengan pendapat Budiardjo (1998: 32) sebagai berikut:
“Ideologi politik adalah himpunan nilai-nilai, ide, norma-norma,
kepercayaan dan keyakinan, suatu “Weltanschauung”, yang dimiliki
seseorang atau sekelompok orang, atas dasar mana dia menentukan
sikapnya terhadap kejadian dan problema politik yang dihadapinya
dan yang menentukan tingkah laku politiknya”.
Melalui pendekatan politik ini, Anda diharapkan mampu menafsirkan
fenomena politik dalam rangka menemukan pedoman yang bersifat
moral yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila untuk mewujudkan
kehidupan politik yang sehat. Pada gilirannya, Anda akan mampu
memberikan konstribusi konstruktif dalam menciptakan struktur politik
yang stabil dan dinamis. Secara spesifik, focus kajian melalui
pendekatan politik tersebut, yaitu menemukan nilai-nilai ideal yang
menjadi kaidah penuntun atau pedoman dalam mengkaji konsep-konsep
pokok dalam politik yang meliputi Negara (state), kekuasaan (power),
pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy), dan
pembagian (distribution). Sumber daya negara, baik di pusat maupun di
daerah. Melalui kajian tersebut, Anda diharapkan lebih termotivasi
berpartisipasi memberikan masukan konstruktif, baik kepada
infrastruktur politik maupun suprastruktur politik.
Anda dipersilahkan untuk mengemukakan contoh output politik dari
suprastruktur politik yang inputnya berawal dari infrastruktur politik,
baik yang sesuai maupun yang kurang sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila. Kemudian, Anda diminta untuk mendiskusikan dengan
teman sekelompok dan membuat laporan tertulis untuk diserahkan
kepada dosen.

D. Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai Sistem Filsafat


Filsafat merupakan awal dari ilmu pengetahuan, filsafat disebut juga
sebagai “Mother of Science”. Pemahaman Pancasila pada jenjang Perguruan
Tinggi dimaksudkan untuk perenungan mahasiswa terhadap cara dan system
berpikir untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki. Pancasila sebagai system
filsafat seperti yang diungkapkan di atas mengalami berbagai dinamika, baik dari
secara teoritik, konseptualisasi, sampai pada tahap implementasinya. Dinamika
tersebut dapat dilacak dari beberapa presiden yang pernah memimpin Indonesia.
Pada era Presiden Soekarno, Pancasila sebagai sistem filsafat dimaknai
sebagai betul-betul secara filosofis mencari kebenaran dan kebijaksanaan. Pada
era ini, Pancasila disebut dengan istilah “Philosofische Grondslag” yang bermakna
dasar falsafah Negara. Oleh sebab itu Pancasila menjadi jalan hidup “way of life”
atas didirikan bangunan “Indonesia Merdeka” yang kekal dan abadi. Bertolak dari
dari sini bahwa Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang diangkat dari
akulturasi budaya bangsa Indonesia. Secara sederhana digambarkan dalam
konsepsi Trisakti, yaitu (1) berdaulat di bidang Politik, (2) berdikari di bidang
Ekonomi, dan (3) berkepribadian di bidang Kebudayaan, yang kemudian di peras
menjadi Ekasakti, yaitu Gotong Royong.
Pada era Presiden Soeharto, kedudukan Pancasila sebagai sistem filsafat
berkembang ke arah yang lebih praktis. Artinya, filsafat Pancasila tidak hanya
bertujuan mencari kebenaran dan kebijaksanaan, tetapi juga digunakan sebagai
pedoman hidup sehari-hari dalam bidang pendidikan, politik, sosial, dan
kemasyarakatan. Atas dasar inilah, dalam bidang pendidikan, Soeharto
mengembangkan sistem filsafat Pancasila menjadi Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P-4) yang dilakukan melalui penataran-penataran, juga
diberlakukannya matapelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Dalam bidang
politik, diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 Tentang
Perubahan Atas Undnag-Undang Nomo 3 Tahun 1975 Tentang Partai Politik dan
Golongan Karya. Undang-undang ini dalam rangka ini kelestarian dan pengamalan
Pancasila, pada kekuatan-kekuatan sosial politik khususnya Partai Politik dan
Golongan Karya yang harus benar-benar menjadi kekuatan sosial politik yang
hanya berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Secara lebih sederhana
terkenal sebagai kebijakan “Azaz Tunggal Pancasila”. Oleh karena itu, organisasi
masyarakat yang bernafaskan Islam, seperti Nahdlatul Ulama (Nadhlatul Ulama)
dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menolak kebijakan Azaz Tunggal
Pancasila ini karena dianggap menyejajarkan aliran kepercayaan dengan agama-
agama resmi dan menolak indkotrinasi Pancasila sebagai ideologi Negara. Pada
akhirnya azaz tunggal Pancasila mereda dengan berbagai mediasi dan cara
penerimaan masing-masing organisasi kemasayarakatan tersebut.
Pada era reformasi, dimulai dari Presiden B.J Habibie, Pancasila sebagai
sistem filsafat kurang terdengar resonansinya. Hal ini dapat dilacak dari dua hal
besar. Pertama, perubahan lingkungan kehidupan bangsa di tingkat domestic,
regional, maupun global. Kedua, euphoria reformasi akibat trumatisnya penerapan
Pancasila dimasa sebelumnya (orde lama) era Presiden Soekarto. Berikut petikan
pidato B.J Habibie dalam pada Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2011. Habibie
menyatakan bahwa:
“Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tidak
lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah
hilang dari memori kolektif bangsa Indonesia. Pancasila semakin jarang
diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan
ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti
tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa
Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan
berpolitik” (Habibie, 2011: 1--2).

Dapat dikatakan bahwa Pancasila sebagai sistem filsafat terlupakan oleh


karena paham-paham baru yang terbawa dalam agenda reformasi, seperti
Kebebasan HAM, Kebebasan Pers, Desentralisasi, dan Otonomi Daerah dan yang
lainnya. Sulit mengatakan Pancasila hadir diruang-ruang publik, sehingga
pembahasan Pancasila terlokalisir pada ruang-ruang akademik di kampus.
Pada era Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ialah
tergambar bahwa dilakukan sebuah upaya mengaitkan Pancasila sebagai pandangan
hidup bernegara yang tidak sekedar formalisme semata. Gus Dur menempatkan
Pancasila sebagai filsafat humanisme yang memerankan dalam pengakuan hak-hak
sipil. Buktinya bahwa penganut Konghucu diberi kelulasan merayakan Imlek dan
beribadah sesuai keimanannya. Ibaratnya Gus Dur memecahkan Pancasila dari
wajah antagonis menjadi wajah protagonis.
Pada era Pemerintahan Megawati, Pancasila direvitalisasi dari pemerintahan
Presiden Soekarno. Hal ini sejalan dengan ideologi yang dianutnya sebagai
nasionalis. Pancasila menjadi roh yan membimbing arah perjuangan mencapai
Indonesai merdeka yang berdaulat penuh. Pancasila telah menjadi bintang penuntun
bagi bangsa Indonesia. Hampir tidak terlihat perbedaan mencolok Pancasila sebagai
system filsafat pada era ini.
Pada era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dinamika Pancasila terus
menggema. Dikatakan bahwa Pancasila sebagai ideologi jalan ketiga. Hal ini karena
Pancasila bisa menjadi solusi atas dua idologi besar dunia, yakni
kapitalisme/liberalism dan sossialisme/komunisme.
Pada Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinamika Pancasila terus
terjadi. Pada masa ini Pancasila menjadi sumber inspirasi “Revolusi Mental” yang
digaungkan oleh pemerintahan ini. Dibentuk pula sebuah Lembaga Negara, bernama
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Pancasila dalam perjalanannya, baik di masa lalu ataupun masa depan akan
selalu menghadapi berbagai tantangan. Tantangan tersebut merupakan keniscayaan
dari perubahan-perubahan diberbagai aspek kehidupan bernegara, sosial, politik,
ekonomi, teknologi dan pendidikan yang bermuara pada ideologi. Setidaknya terdapat
tiga tantangan yang mengemukan. Pertama, ideologi ektremisme. Ideologi
merupakan keinginan untuk mengganti dasar Pancasila sebagai dasar Negara. Pada
implementasinya ideologi ini wajahnya akan bisa bernaung pada aspek agama atau
etnisitas. Dalam konteks Indonesai, bentuk ektremisme agama, berdiam pada Agama
Islam. Pemikiran menjadikan Indonesia sebagai Khilafah merupakan tantangan yang
harus dicari penyelesaiannya agar Pancasila tidak berbenturan dengan Islam yang
dijadikan oleh penganut aliran ini dalam klaim-klaim ajarannya. Kedua, kapitalisme
yaitu aliran yang meyakini bahwa kebebasan individu kepemilikan modal dalam
rangka meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa ada upaya memberi keadilan
dan pemerataan. Ketiga, komunisme, ialah sebuah paham yang berpandangan
bahwa tatanan masyarakat terbaik ialah masyarakat tanpa kelas-kelas social, yang
artinya menafikan Negara pada satu sisi atau memberikan dominasi berlebihan
terhadap Negara atas hak-hak sipil rakyat.

E. Tugas
Tugas Belajar Lanjut: Projek Belajar Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Untuk memahami Pancasila sebagai sistem filsafat, Anda dipersilakan
untuk mencari informasi dari berbagai sumber tentang:
1. Berbagai konsep dan pengertian kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat
di Indonesia yang terkait dengan sikap inklusif, toleran, dan gotong royong
dalam keragaman agama dan budaya.
2. Berbagai kasus yang terkait dengan pengembangan karakter Pancasilais,
seperti jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong
royong, dan cinta damai di lingkungan Anda.
3. Contoh tentang keputusan yang diambil berdasar pada prinsip usyawarah dan
mufakat di lingkungan sekitar anda.
4. Berbagai konsep dan pengertian yang terkait dengan pemahaman atas hakikat
sila-sila Pancasila dan bagaimana pengaktualisasian nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya sebagai paradigma berpikir, bersikap dan berperilaku
masyarakat ?.
5. Evaluasi hasil kerja individu dan kelompok menjadi suatu gagasan tentang
Pancasila yang hidup di sekitar anda.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry N.M.S. (1994). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Dardji, Darmodiharrdjo. (1974). Orientasi Singkat Pancasila. Jakarta:Gita Karya
Driyarkara. Tt. Pancasila dan Religi. Tanpa kota dan penerbit
Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2016). Pendidikan
Pancasila Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta : Direktorat Jenderal
Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi
Hamdayama, Jumanta. Dkk. (2012). Pancasila Suatu Analisis Yuridis Historis
dan Filosofis. Jakarta:Hartomo Media Pustaka
Poespowardojo, Soerjanto. (1989). Filsafat Pancasila. Jakarta:Gramedia
Surajiyo. (2009).Filsafat Ilmu Perkembanganya di Indonesia.Jakarta:Bumi
Aksara
Suseno, Frans Magnis. (1999). Berfilsafat dari Konteks. Jakarta:Gramedia
Syarbaini, Syahrial. (2004). Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi.
Jakarta:Ghalia Indonesia
BAB 6 PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
A. Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
1. Konsep Pancasila sebagai Sistem Etika
Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani, “Ethos” yang berarti tempat
tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak,
perasaan, sikap, dan cara berpikir. Secara etimologis, etika berarti ilmu tentang
segala sesuatu yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam
arti ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang
baik, baik pada diri seseorang maupun masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik
ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain.
Etika sebagai salah satu ruang lingkup filsafat menurut Will Durant
(Hamdani Ali,1990:7-8) merupakan studi mengenai tingkah laku terpuji yang
dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang nilainya tinggi. Menurut Socrates,
etika sebagai pengetahuan tentang baik, buruk, jahat dan mengenai
kebijaksanaan hidup. Etika pada umumnya dimengerti sebagai pemikiran
filosofis mengenai segala sesuatu yang dianggap baik atau buruk dalam
perilaku manusia. Keseluruhan perilaku manusia dengan norma dan prinsip-
prinsip yang mengaturnya itu kerapkali disebut moralitas atau etika.
(Sastrapratedja, 2002: 81).
Etika selalu terkait dengan masalah nilai yaitu membicarakan tentang
baik atau buruk. Dendy Sugono (2008:963) menjelaskan bahwa ada beberapa
pengertian nilai yaitu (1) harga dalam arti taksiran harga, (2) harga uang
dibandingkan dengan harga uang yang lain, (3) angka kepandaian, (4) banyak
sedikitnya isi, (5) sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan, dan (6) sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan
hakikatnya. Menurut Allport (Mulyana Rahkmat, 2011:9) nilai adalah keyakinan
yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Begitu juga dengan
Adisusilo (2012:56) menjelaskan nilai adalah kualitas suatu hal yang
menjadikan hal itu disukai, diinginkan, dikejar, dihargai, berguna, dan dapat
membuat orang yang menghayatinya menjadi bermartabat.
Selanjutnya Bertens (2000:141) menjelaskan bahwa nilai sekurang-
kurangnya memiliki tiga ciri yaitu Pertama, nilai berkaitan dengan subjek. Kalau
tidak ada subjek yang menilai maka tidak ada nilai juga. Kedua, nilai tampil
dalam suatu konteks praktis,artinya subjek ingin membuat sesuatu. Dalam
pendekatan yang semata-mata teoritis, tidak akan ada nilai. Ketiga, nilai-nilai
menyangkut sifat-sifat yang “ditambah” oleh subjek pada sifat-sifat yang dimiliki
oleh objek. Nilai tidak dimiliki objek pada dirinya. Rupanya hal itu harus
dikatakan karena objek yang sama bagi berbagai subjek dapat menimbulkan
nilai yang berbeda-beda.
Manusia sebagai mahkluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua
konteks, pertama akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif.
Manusia memandang nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya,
bahkan memandang nilai telah ada sebelum adanya manusia sebagai penilai,
baik dan buruk, benar dan salah, bukan hadir karena hasil persepsi dan
penafsiran manusia, tetapi ada sebagai sesuatu yang ada dan menuntun
manusia dalam kehidupannya. Pandangan kedua memandang nilai itu
subjektif, artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang menilainya. Nilai
memang tidak akan ada dan tidak akan hadir tanpa hadirnya penilai. Oleh
karena itu, nilai melekat dengan sujek penilai.
Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat
fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai tersebut dijabarkan dalam kehidupan
yang bersifat praktis atau kehidupan yang nyata dalam masyarakat, bangsa
maupun negara maka nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu
norma-norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman.Dengan
demikian, etika berkaitan juga dengan norma moral. Normal moral adalah
norma yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari
sudut baik maupun buruk. Sopan ataupun tidak sopan, susila atau tidak susila.
Dalam kapasitas inilah nilai-nilai Pancasila telah terjabarkan dalam suatu
norma-norma moralitas atau norma-norma etika sehingga Pancasila
merupakan sistem etika dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana dijelaskan diatas pengertian etika maka selanjutnya perlu
dirumuskan pengertian etika Pancasila. Etika Pancasila adalah cabang filsafat
yang dijabarkan dari sila-sila Pancasila untuk mengatur perilaku kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu,
dalam etika Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan,kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai tersebut membentuk perilaku
manusia Indonesia dalam semua aspek kehidupannya. Sila ketuhanan
mengandung dimensi moral berupa nilai spiritualitas yang mendekatkan diri
manusia kepada Sang Pencipta, ketaatan kepada nilai agama yang dianutnya.
Sila kemanusiaan mengandung dimensi humanus, artinya menjadikan
manusia lebih manusiawi, yaitu upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan
dalam pergaulan antarsesama. Sila persatuan mengandung dimensi nilai
solidaritas, rasa kebersamaan (mitsein), cinta tanah air. Sila kerakyatan
mengandung dimensi nilai berupa sikap menghargai orang lain, mau
mendengar pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak kepada orang
lain. Sila keadilan mengandung dimensi nilai mau peduli atas nasib orang lain,
kesediaan membantu kesulitan orang lain.

2. Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika


Pentingnya Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan problem yang
dihadapi bangsa Indonesia sebagai berikut. Pertama, banyaknya kasus korupsi
yang melanda negara Indonesia sehingga dapat melemahkan sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, masih terjadinya aksi terorisme
yang mengatasnamakan agama sehingga dapat merusak semangat toleransi
dalam kehidupan antar umat beragama, dan meluluhlantakkan semangat
persatuan atau mengancam disintegrasi bangsa. Ketiga, masih terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan bernegara, seperti:
kasus penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan Yogyakarta, pada
2013 yang lalu. Keempat, kesenjangan antara kelompok masyarakat kaya dan
miskin masih menandai kehidupan masyarakat Indonesia. Kelima,
ketidakadilan hukum yang masih mewarnai proses peradilan di Indonesia,
seperti putusan bebas bersyarat atas pengedar narkoba asal Australia
Schapell Corby. Kesemuanya itu memperlihatkan pentingnya dan
mendesaknya peran dan kedudukan Pancasila sebagai sistem etika karena
dapat menjadi tuntunan atau sebagai Leading Principle bagi warga negara
untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Etika Pancasila diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara sebab berisikan tuntunan nilai-nilai moral yang hidup. Namun,
diperlukan kajian kritis-rasional terhadap nilai-nilai moral yang hidup tersebut
agar tidak terjebak ke dalam pandangan yang bersifat mitos. Misalnya, korupsi
terjadi lantaran seorang pejabat diberi hadiah oleh seseorang yang
memerlukan bantuan atau jasa si pejabat agar urusannya lancar. Si pejabat
menerima hadiah tanpa memikirkan alasan orang tersebut memberikan
hadiah. Demikian pula halnya dengan masyarakat yang menerima sesuatu
dalam konteks politik sehingga dapat dikategorikan sebagai bentuk suap

B. Alasan Diperlukannya Pancasila sebagai Sistem Etika


Situasi negara Indonesia saat ini begitu memprihatinkan. Begitu banyak
masalah menimpa bangsa ini dalam bentuk krisis yang multidimensional. Krisis
ekonomi, politik, budaya, sosial, hankam, pendidikan dan lain-lain yang
sebenarnya berawal pada krisis moral. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa
moral merupakan laku perbuatan manusia yang dipandang dari nilai-nilai baik dan
buruk, benar dan salah, dan berdasarkan adat istiadat kebiasan individu berada.
Pendidikan moral memungkinkan manusia memilih secara bijaksana yang benar
dan salah atau tidak benar. Makin besar kesadaran manusia tentang baik dan
buruk itu, maka makin besar moralitasnya.
Pancasila sebagai sistem etika diperlukan dalam kehidupan politik untuk
mengatur sistem penyelenggaraan negara.dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara, etika politik menurut Frans Magniz Suseno (1987:115)
menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan asas legalitas
(Legitimasi Hukum), secara demokrasi (Legitimasi Demokrasi) dan dilaksanakan
berdasarkan prinsip-prinsip moral (Legitimasi Moral). Pancasila sebagai suatu
sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan, yang
menyangkut publik, pembagian maupun kewenangan harus berdasarkan
legitimasi moral religius serta moral kemanusiaan.
Hukum dan kekuasaan negara merupakan pembahasan utama etika politik.
Hukum sebagai lembaga pranata masyarakat yang normatif, kekuasaan negara
sebagai lembaga pranata masyarakat yang efektif sesuai dengan struktur ganda
kemampuan manusia (mahkluk individu dan sosial). Sehingga etika politik
membahas hukum dan kekuasaan. Prinsip-prinsip etika politik yang menjadi titik
acuan orientasi moral bagi suatu negara adalah adanya cita-cita The Rule Of Law,
partisipasi demokratis masyarakat, jaminan HAM menurut kekhasan paham
kemanusiaan dan struktur kebudayaan masyarakat masing-masing dan keadaan
sosial.
Beberapa alasan mengapa Pancasila sebagai sistem etika itu diperlukan
dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia, meliputi hal-hal
sebagai berikut. Pertama, korupsi akan bersimaharajalela karena para
penyelenggara negara tidak memiliki rambu-rambu normatif dalam menjalankan
tugasnya. Para penyelenggara negara tidak dapat membedakan batasan yang
boleh dan tidak, pantas dan tidak, baik dan buruk (good and bad). Pancasila
sebagai sistem etika terkait dengan pemahaman atas kriteria baik (good) dan
buruk (bad). Archie Bahm dalam Axiology of Science, menjelaskan bahwa baik
dan buruk merupakan dua hal yang terpisah. Namun, baik dan buruk itu eksis
dalam kehidupan manusia, maksudnya godaan untuk melakukan perbuatan buruk
selalu muncul. Ketika seseorang menjadi pejabat dan mempunyai peluang untuk
melakukan tindakan buruk (korupsi), maka hal tersebut dapat terjadi pada siapa
saja. Oleh karena itu, simpulan Archie Bahm, ”Maksimalkan kebaikan, minimalkan
keburukan” (Bahm, 1998: 58).
Kedua, dekadensi moral yang melanda kehidupan masyarakat, terutama
generasi muda sehingga membahayakan kelangsungan hidup bernegara.
Generasi muda yang tidak mendapat pendidikan karakter yang memadai
dihadapkan pada pluralitas nilai yang melanda Indonesia sebagai akibat
globalisasi sehingga mereka kehilangan arah. Dekadensi moral itu terjadi ketika
pengaruh globalisasi tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, tetapi justru nilai-
nilai dari luar berlaku dominan. Contoh-contoh dekadensi moral, antara
lainpenyalahgunaan narkoba, kebebasan tanpa batas, rendahnya rasa hormat
kepada orang tua, menipisnya rasa kejujuran, tawuran di kalangan para pelajar.
Kesemuanya itu menunjukkan lemahnya tatanan nilai moral dalam kehidupan
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sistem etika diperlukan
kehadirannya sejak dini, terutama dalam bentuk pendidikan karakter di sekolah-
sekolah.
Ketiga, pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan
bernegara di Indonesia ditandai dengan melemahnya penghargaan seseorang
terhadap hak pihak lain. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan di
berbagai media, seperti penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga (PRT),
penelantaran anak-anak yatim oleh pihak-pihak yang seharusnya
melindungi,kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan lain-lain. Kesemuanya itu
menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai
sistem etika belum berjalan maksimal. Oleh karena itu, di samping diperlukan
sosialisasi sistem etika Pancasila, diperlukan pula penjabaran sistem etika ke
dalam peraturan perundang-undangan tentang HAM (Lihat Undang-Undang No.
39 Tahun 1999 tentang HAM).
Keempat, kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap berbagai aspek
kehidupan manusia, seperti kesehatan, kelancaran penerbangan, nasib generasi
yang akan datang, global warming, perubahan cuaca, dan lain sebagainya. Kasus-
kasus tersebut menunjukkan bahwa kesadaran terhadap nilai-nilai Pancasila
sebagai sistem etika belum mendapat tempat yang tepat di hati masyarakat.
Masyarakat Indonesia dewasa ini cenderung memutuskan tindakan berdasarkan
sikap emosional, mau menang sendiri, keuntungan sesaat, tanpa memikirkan
dampak yang ditimbulkan dari perbuatannya. Contoh yang paling jelas adalah
pembakaran hutan di Riau sehingga menimbulkan kabut asap. Oleh karena itu,
Pancasila sebagai sistem etika perlu diterapkan ke dalam peraturan perundang-
undangan yang menindak tegas para pelaku pembakaran hutan, baik pribadi
maupun perusahaan yang terlibat.

C. Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai Sistem Etika


1. Sumber historis
Pada zaman Orde Lama, Pancasila sebagai sistem etika masihvberbentuk
sebagai Philosofische Grondslag atau Weltanschauung. Artinya, nilai-nilai
Pancasila belum ditegaskan ke dalam sistem etika, tetapi nilai-nilai moral telah
terdapat pandangan hidup masyarakat. Masyarakat dalam masa orde lama
telah mengenal nilai-nilai kemandirian bangsa yang oleh Presiden Soekarno
disebut dengan istilah berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Pada zaman Orde
Baru, Pancasila sebagai sistem etika disosialisasikan melalui penataran P-4
dan diinstitusionalkan dalam wadah BP-7. Ada banyak butir Pancasila yang
dijabarkan dari kelima sila Pancasila sebagai hasil temuan dari para peneliti
BP-7 sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa: Manusia Indonesia percaya dan takwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-
masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, hormat
menghormati dan bekerja sama antar para pemeluk agama dan para
penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan
hidup, saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaannya, tidak memaksakan suatu agama dan
kepercayaan kepada orang lain.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: Mengakui persamaan derajat,
persamaan hak, dan persamaan kewajiban asasi antarsesama manusia
sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha
Esa, saling mencintai sesama manusia, mengembangkan sikap tenggang
rasa, tidak semena-mena terhadap orang lain, menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan, berani membela
kebenaran dan keadilan, bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian
dari seluruh umat manusia. Oleh karena itu, dikembangkan sikap hormat
menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
3. Persatuan Indonesia: Menempatkan persatuan, kesatuan,
kepentingan,keselamatan bangsa dan bernegara di atas kepentingan
pribadi atau golongan. rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan
negara, cinta tanah air dan bangsa, bangga sebagai bangsa Indonesia dan
bertanah air Indonesia, memajukan pergaulan demi persatuan dan
kesatuan bangsa yang berbhineka tunggal ika.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan: Sebagai warga negara dan warga
masyarakat mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan
mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat, tidak memaksakan
kehendak kepada orang lain, mengutamakan musyawarah dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, musyawarah untuk
mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan, dengan itikad yang
baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil putusan
musyawarah, musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan
hati nurani yang luhur, putusan yang diambil harus dapat
dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran
dan keadilan, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi
kepentingan bersama.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia: Mengembangkan
perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan
dan kegotongroyongan, bersikap adil, menjaga keseimbangan antara hak
dan kewajiban, menghormati hak-hak orang lain, suka memberi
pertolongan kepada orang lain, menjauhi sikap pemerasan terhadap orang
lain, tidak bersifat boros, tidak bergaya hidup mewah, tidak melakukan
perbuatan yang merugikan kepentingan umum, suka bekerja keras,
menghargai hasil karya orang lain, bersama-sama berusaha mewujudkan
kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. (Soeprapto, 1993: 53--55).

Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem etika tenggelam dalam hiruk-
pikuk perebutan kekuasaan yang menjurus kepada pelanggaraan etika politik.
Salah satu bentuk pelanggaran etika politik adalah abuse of power, baik oleh
penyelenggara negara di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan inilah yang menciptakan
korupsi di berbagai kalangan penyelenggara negara.

2. Sumber Sosiologis
Sosiologi dipahami sebagai ilmu tentang kehidupan antarmanusia. Di
dalamnya mengkaji, antara lain latar belakang, susunan dan pola kehidupan
sosial dari berbagai golongan dan kelompok masyarakat, disamping juga
mengkaji masalah-masalah sosial, perubahan dan pembaharuan dalam
masyarakat. Soekanto (1982:19) menegaskan bahwa dalam perspektif
sosiologi, suatu masyarakat pada suatu waktu dan tempat memiliki nilai-nilai
yang tertentu. Melalui pendekatan sosiologis ini pula, diharapkan dapat
mengkaji struktur sosial, proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial,
dan masalah-masalah sosial yang patut disikapi secara arif dengan
menggunakan standar nilai-nilai yang mengacu kepada nilai-nilai Pancasila.
Berbeda dengan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia mendasarkan
pandangan hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada
suatu asas kultural yang dimiliki dan melekat pada bangsa itu sendiri. Nilai-nilai
kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila
bukan hanya hasil konseptual seseorang saja, melainkan juga hasil karya
besar bangsa Indonesia sendiri, yang diangkat dari nilai-nilai kultural yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri melalui proses refleksi filosofis para
pendiri negara (Kaelan, 2000: 13).
Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem etika dapat ditemukan dalam
kehidupan masyarakat berbagai etnik di Indonesia. Misalnya, orang
Minangkabau dalam hal bermusyawarah memakai prinsip “bulat air oleh
pembuluh, bulat kata oleh mufakat”. Masih banyak lagi mutiara kearifan lokal
yang bertebaran di bumi Indonesia ini sehingga memerlukan penelitian yang
mendalam.
3. Sumber politis
Sumber politis Pancasila sebagai sistem etika terdapat dalam norma-norma
dasar (Grundnorm) sebagai sumber penyusunan berbagai peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Hans Kelsen mengatakan bahwa teori
hukum itu suatu norma yang berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah
memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi
suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah
kedudukannya,akan semakin konkrit norma tersebut (Kaelan, 2011: 487).
Pancasila sebagai sistem etika merupakan norma tertinggi (Grundnorm) yang
sifatnya abstrak, sedangkan perundang-undangan merupakan norma yang ada
di bawahnya bersifat konkrit.
Etika politik mengatur masalah perilaku politikus, berhubungan juga dengan
praktik institusi sosial, hukum, komunitas, struktur-struktur sosial, politik,
ekonomi. Etika politik memiliki 3 dimensi, yaitu tujuan, sarana, dan aksi politik
itu sendiri. Dimensi tujuan terumuskan dalam upaya mencapai kesejahteraan
masyarakat dan hidup damai yang didasarkan pada kebebasan dan keadilan.
Dimensi sarana memungkinkan pencapaian tujuan yang meliputi sistem dan
prinsip-prinsip dasar pengorganisasian praktik penyelenggaraan negara dan
yang mendasari instituisi-institusi sosial. Dimensi aksi politik berkaitan dengan
pelaku pemegang peran sebagai pihak yang menentukan rasionalitas politik.
Rasionalitas politik terdiri atas rasionalitas tindakan dan keutamaan. Tindakan
politik dinamakan rasional bila pelaku mempunyai orientasi situasi dan paham
permasalahan (Haryatmoko, 2003: 25 – 28)
D. Dinamika dan Tantangan Pancasila Sebagai Sistem Etika
Saat ini, bangsa Indonesia sedang mengalami krisis yang menjadi ancaman
bagi persatuan dan kesatuan bangsa, ancaman tersebut salah satunya berasal
dari krisis moral. Krisis yang terus menerus terjadi ini, memicu munculnya krisis-
krisis lain yang sifatnya berkepanjangan. Krisis moral yang terjadi dilatarbelakangi
salah satunya oleh lemahnya pemahaman setiap individu untuk bisa
mengamalkan setiap nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Konflik antar individu yang muncul lebih banyak dilatarbelakngi oleh
sikap egois yang tinggi dan tidak mau menghargai perbedaan, hal ini berdampak
terhadap munculnya konflik-konflik baru yang sifatnya lebih luas, yakni konflik
antar kelompok dan golongan, yang membawa isu SARA. Hal ini sangat
membahayakan karena bisa membawa dampak yang sangat besar, terutama saat
Indonesia berupaya untuk mempertahankan dasar fundamental Negara yaitu
Pancasila, dengan tujuan untuk mempersatukan segala bentuk perbedaan dalam
upaya mewujudkan integrasi nasional.
Sesuai Tap MPR No.VI/MPR/2001, tentang etika kehidupan berbangsa dan
bernegara dinyatakan dengan rumusan yang bersumber dari ajaran agama,
khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang
tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan
bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa. Ketetapan MPR tentang etika
kehidupan berbangsa ini dapat dikatakan sebagai ketetapan pengganti dari Tap
MPR No II/MPR/1978 tentang P4. Menurut Winarno (2012: 85), Etika dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara bertujuan untuk:
1. Memberikan landasan etik moral bagi seluruh komponen bangsa dalam
menjalankan kehidupan kehidupan kebangsaandalam berbagai aspek
2. Menentukan pokok-pokok etika kehidupan berbangsa bernegara dan
bermasyarakat
3. Menjadi kerangka acuan dalam mengevaluasi pelaksanaan nilai-nilai etika dan
moral dalam kehidupan berbangsa bernegara dan bermasyarakat
Pancasila tidak lahir dengan sendirinya, akan tetapi digali dari kehidupan
dan sejarah bangsa Indonesia. Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia, nilai-
nilainya merupakan ciri dari bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia, nilai-nilainya tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lainnya. Makna Pancasila terletak pada setiap nilai-nilai
Pancasila itu sendiri. Pancasila merupakan satu kesatuan yang susunannya tidak
bisa dipisahkan, antara sila yang satu dengan sila yang lain saling keterkaitan satu
sama lain. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, didalamnya memuat Pancasila
yang secara hukum tidak dapat dirubah.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, etika mengarah kepada
norma atau aturan yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
dimana norma-norma yang berlaku berguna untuk mencapai tujuan dan cita-cita
persatuan dan kesatuan seluruh bangsa Indonesia.Berbagai contoh kasus yang
ada di Indonesia, tampaknya sudah menjadi budaya yang melekat dari waktu ke
waktu. Kasus korupsi misalnya,hampir selalu menjadi topik yang paling sering
muncul di berbagai media, terutama media televisi. Sepertinya KPK tidak ada
habisnya untuk melakukan operasi tangkap tangan terhadap para pelaku korupsi.
Perilaku seperti ini menunjukkan bahwa tidak adanya etika yang baik, yang sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila. Sudah jelas, para pelaku tidak mengamalkan
Pancasila dalam kehidupannya, karena yang sudah mereka lakukan telah
melanggar hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai
warga Negara Indonesia yang baik, sudah seharusnya menjadi kewajiban seluruh
masyarakat untuk bisa mengamalkan setiap-nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Winarno (2012: 84) Bentuk pengamalan Pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara bisa dilakukan melalui:
1. Pengamalan Objektif
Pengamalan secara objektif dapat dilakukan dengan mentaati serta
melaksanakan peraturan UUD 1945 yang berlandaskan kepada Pancasila.
2. Pengamalan Subjektif
Pengamalan secara subjektif lebih mengarah kepada pengamalan yang
dilakukan oleh setiap individu secara sadar menerapkan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan menjalankan setiap nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.
Setiap warga Negara Indonesia wajib untuk mengamalkan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila di dalam kehidupannya. Warga Negara yang
melakukan penyimpangan dan pelanggaran dalam kehidupannya maka akan
diberikan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.dalam pengamalan ojektif sifatnya lebih memaksa dan adanya sanksi
hukum tegas bagi yang melanggar. Sedangkan secara subjektif Pancasila
sebagai pedoman dalam bersikap dan berperilaku bagi setiap warga Negara
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Setiap warga Negara wajib mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Berikut merupakan makna-
makna yang terkandung dalam Pancasila:
1. Makna Ketuhanan Yang Maha Esa
a. Bangsa Indonesia mengakui dan mempunyai keyakinan terhadap adanya
Tuhan Yang Maha Esa
b. Tidak memaksakan untuk memeluk agama tertentu kepada orang lain
c. Memberikan kebebasan kepada orang lain untuk memeluk agama sesuai
dengan keyakinannya
2. Makna Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
a. Mengakui dan menghormati HAM
b. Mempunyai sikap tenggang rasa yang tinggi
c. Mempunyai sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral
3. Makna Persatuan Indonesia
a. Menjalin kerjasama sebagai wujud kebersamaan
b. Mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mewujudkan persatuan dan
kesatuan bangsa
c. Mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan
golongan.
4. Makna Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
a. Mengutamakan musyawarah mufakat dalam setiap mengambil keputusan
b. Mampu menghargai setiap keputusan yang telah dihasilkan secara
bersama-sama
c. Mewujudkan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara
5. Makna Keadilan sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
a. Mempunyai sikap adil terhadap sesama
b. Mampu menyeimbangkan antara hak dan kewajiban
c. Mampu menjalin kerjasama untuk mewujudkan keadilan yang diharapkan
Pancasila sebagai dasar Negara, merupakan jati diri bangsa Indonesia.
Sebagai jati diri bangsa Indonesia, Pancasila mengarahkan setiap individu untuk
menjalankan kehidupannya sesuai dengan Pancasila. Setiap perilaku individu
dalam kehidupannya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Setiap individu harus bersikap sesuai dengan etika yang berlaku, agar tercapai
kehidupan yang sesuai dengan tujuan Bangsa Indonesia. Sesuai Tap.MPR No.
VI/MPR.2002, membagi beberapa etika dalam kehidupan berbangsa meliputi:
1. Etika Sosial dan Budaya
2. Etika Pemerintahan dan Politik
3. Etika ekonomi dan Bisnis
4. Etika Penegakan Hukum
5. Etika Keilmuan
6. Etika Lingkungan
Pancasila sebagai sistem etika merupakan satu kesatuan yang utuh, bentuk
susunannya adalah hierarkis pyramidal (dimana setiap sila merupakan bagian dari
sila-sila lainnya) Pancasila juga mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Munculnya berbagai isu-isu dari dulu sampai dengan sekarang, menjadi ancaman
bagi persatuan dan kesatuan bangsa dan menjadi penyebab dari mundurnya etika
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Munculnya konflik yang
berkepanjangan dan banyak yang melakukan pelanggaran hukum menjadi salah
satu sebab dari kemunduran etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kemunduran ini dapat disebabkan oleh faktor yang berasal dari dalam dan luar
negeri (Syahrial, 2012: 47), faktor yang berasal dari dalam negeri:
1. Masih lemahnya pengalaman agama serta munculnya pemahaman ajaran
agam yang keliru dan sempit
2. Sistem sentralisasi pemerintahan di masa lampau sehingga timbul fanatisme
daerah
3. Tidak berkembangnya pemahaman kemajemukan dalam kehidupan
berbangsa
4. Terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam kurun waktu yang panjang sehingga
munculnya perilaku ekonomi yang bertentangan dengan moralitas dan etika
5. Kurangnya keteladanan bersikap dan berperilaku sebagai pemimpin bangsa
(Syahrial, 2012: 47).
Faktor penyebab dari luar sebagai berikut:
1. Pengaruh globalisasi yang luas dengan persaingan bangsa yang tajam.
2. Makin tingginya intensitas intervensi kekuatan global dalam perumusan
kebijakan nasional(Syahrial, 2012: 48).

E. Esensi dan Urgensi Pancasila Sebagai Sistem Etika


Manusia merupakan individu yang senantiasa menjalin hubungan dan kerjasama
dengan individu lainnya, manusia disebut juga sebagai makhluk sosial. Manusia
merupakan makhluk yang memiliki budaya, dimana sifat sosial tersebut bukan
hanya bersifat komplemen dari luar diri terhadap individualitasnya, melainkan
secara kodrati manusia telah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk
tergantung pada orang lain (Kaelan dan Zubaidi, 2007: 100). Pancasila adalah
Ideologi Negara dan merupakan pedoman hidup bagi bangsa Indonesia. Esensi
Pancasila sebagai sistem etika yaitu sebagai berikut:
1. Hakikat Sila Ketuhanan
Keyakinan bangsa Indonesia kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa,
menunjukkan bahwa setiap warga Negara Indonesia memiliki kepercayaan dan
keyakinannya masing-masing. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
berketuhanan, bukan bangsa yang Anti-Ketuhanan.
2. Hakikat Sila Kemanusiaan
Mempunyai kesadaran tinggi dalam bersikap yang sesuai dengan norma-
norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Setiap warna Negara
mempunyai kedudukan yang sama di depan Hukum, dan setiap warga Negara
juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
3. Hakikat Sila Persatuan
Adanya sikap saling menghargai dari setiap warga Negara untuk mencapai
tujuan bersama yaitu terwujudnya persatuan bangsa Indonesia. Adanya rasa
nasionalisme yang tinggi mendorong setiap warga negara untuk
menghilangkan sikap etnosentrisme.
4. Hakikat Sila Kerakyatan
Selalu mengutamakan keputusan secara musyawarah untuk mufakat.
Musyawarah merupakan ciri khas dari bangsa Indonesia yang memutuskan
setiap keputusan berdasarkan pendapat rakyat, hal ini menunjukkan adanya
prosedur mengikutsertakan warga Negara dalam mengambil keputusan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara lewat perwakilan.
5. Hakikat Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Setiap warga Negara Indonesia berhak mendapatkan perlakuan yang sama
dalam berbagai bidang kehidupan. Keadilan dalam hal ini adalah tercapainya
keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bermasyarakat.
berupa hakikat Pancasila sebagai sistem etika yaitu bahwa dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, setiap individu harus mematuhi norma dan aturan
yang berlaku untuk mewujudkan moral bangsa Indonesia yang beretika.
Hakikat berikutnya yaitu hakikat kemanusiaan, dimana setiap individu satu
dengan yang lainnya harus mampu saling menghargai dan saling membantu
ketika sedang ditimpa persoalan. Hakikat Keadilan, ketika setiap individu
mampu menghargai Hak asasi manusia dan dapat memberikan kesempatan
kepada orang lain untuk menjalani kehidupannya sesuai dengan yang
diharapkannya.

Urgensi Pancasila sebagai sistem etika yaitu menempatkan Pancasila sebagai


sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, hal ini berarti bahwa Pancasila
sebagai sumber moral yang dapat mengatur setiap sikap, perilaku serta setiap
keputusan harus sesuai dan tidak bertentangan dengan Pancasila. Kemudian,
Pancasila sebagai sistem etika dapat menyaring berbagai macam perbedaan yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat akibat dari pengaruh globalisasi yang
dapat membawa pengaruh terhadap pola pikir masyarakat. Selain itu, Pancasila
dapat sebagai panduan dasar dalam menentukan berbagai macam keputusan
yang menyangkut penyelenggaraan Negara. Selanjutnya adalah membangun cara
berpikir masyarakat Indonesia agar mampu hidup secara berdampingan dengan
kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural.
Hal yang mendesak bagi Pancasila sebagai sistem etika perlu segera di lakukan,
hal ini dalam upaya untuk membentuk kehidupan masyarakat Indonesia yang
mampu menjalankan kehidupannya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Nilai dan
norma berkaitan dengan etika, makna moral yang terkandung dalam kepribadian
setiap individu itu cerminan dari sikap dan tingkah lakunya, hal ini berarti norma
dapat sebagai penuntun bagi sikap dan tingkah laku manusia (Khaelan,2013: 93)
F. Tugas
Setelah mempelajari materi di atas, diharapkan setiap mahasiswa mampu untuk
menyelesaikan tugas-tugas di bawah ini:

Tugas Invidu
1. Jelaskan hubungan antara nilai,norma dan moral!
2. Apa yang dimaksud Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh. Jelaskan!
3. Carilah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Pancasila merupakan nilai dasar
fundamental bagi Negara Indonesia!
4. Jelaskanlah makna nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila!
5. Bagaimana menciptakan kehidupan yang aman dan damai disaat banyak
konflik dan isu-isu yang berbau politik di berbagai daerah? Jelaskan!
6. Mengapa Nilai-nilai Pancasila merupakan nilai moral atau nilai etik? Jelaskan!
7. Bagaimana mewujudkan bangsa Indonesia Yang memiliki nilai religius tinggi,
bersatu, demokratis serta sejahtera? Jelaskan!
8. Bagaimana peran mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa dalam
menghadapi berbagai macam tantangan yang dapat merusak etika kehidupan
bangsa? Jelaskan!
Tugas Kelompok
(Analisis Kasus)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Korupsi telah menjadi isu utama dalam arti politik
dan ekonomi di negara-negara berkembang, sehingga menjadi masalah besar
yang dihadapi negara-negara dengan perkembangan ekonomi pesat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000) dan kamus hukum (2002) korupsi
diartikan sebagai tindak penyelewengan atau penyalahgunaan uang/barang
negara atau milik perusahaan untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Sementara
menurut Undang-undang No. 20 tahun 2001, korupsi adalah perbuatan secara
melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan
atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara. Namun
secara umum, korupsi biasanya diasosiasikan sebagai penggunaan kekuasaan
pejabat publik untuk mengambil keuntungan material bagi pribadi orang tersebut
baik secara langsung maupun tidak langsung. Padahal korupsi bisa bermacam-
macam manifestasinya, belum tentu berupa uang sebagai suap. Bisa jadi yang
dikorupsi itu waktu, informasi, sistem atau apa saja.

Tahun 2014 dari catatan Transparency International ketika merilis Corruption


Perseptions Index (CPI), Indonesia berada di peringkat 114 dari 174 negara yang
diperiksa.Sebagian pemimpin politik dan pejabat publik mengabaikan kebutuhan
dan relevansi moralitas publik dan lebih menikmati korupsi. Padahal keseriusan
masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi sangat besar.

Selain karena mengganggu stabilitas dan keamanan masyarakat, korupsi itu


cenderung "penyakit menular".Mengapa? Karena salah satu penyebab korupsi
adalah lingkungan yang mendukung. Korupsi merusak lembaga-lembaga negara,
norma-norma demokrasi, nilai-nilai etika dan standar moral, keadilan dan
membahayakan pembangunan berkelanjutan, kesejahteraan rakyat dan supremasi
hukum. Konfik interest antara politik dan bisnis adalah hal yang paling
menyebabkan sebuah negara punya banyak kasus korupsi sehingga perangkat
hukum harus sangat bekerja keras untuk berfungsi sebagaimana mestinya.

Korupsi bagaikan virus yang membuat manusia "rentan" semakin lemah."Rentan"


nya manusia tersebut adalah karena tidak mempunyai kekuatan nilai-nilai standar
moral dan etika yang secara konsisten diterapkan. Saya yakin bahwa saat kita
masih kecil, kita diajarkan sebuah nilai bahwa mencuri adalah perbuatan yang tidak
baik dan benar. Namun saat dewasa, semua tergantung dari prinsip kita masing-
masing, apakah kita mau mempertahankan nilai-nilai tersebut atau membuangnya
demi alasan-alasan tertentu.

(Tribunnews.com dengan judul Korupsi dari Sudut Etika,


http://www.tribunnews.com/lifestyle/2015/12/09/korupsi-dari-sudut-etika)
Berdasarkan artikel di atas, coba saudara kerjakan serta diskusikan dengan
kelompok masing-masing!
1. Menurut saudara, mengapa korupsi seolah menjadi budaya yang terjadi terus
menerus? Jelaskan!
2. Bagaimana cara membentengi diri agar tidak terjerat oleh perilaku yang tidak
sesuai etika, terutama agar terhindar dari pengaruh pihak lain yang bisa
mengarah ke tindakan yang melanggar hukum?Jelaskan!
3. Solusi apa yang bisa saudara berikan dalam upaya untuk mengikis habis
korupsi sampai ke akar-akarnya?
BAB 7 PANCASILA MENJADI DASAR NILAI PENGEMBANGAN ILMU
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dapat merubah peradaban
manusia menjadi lebih maju. Perubahan perdaban melalui iptek tidak terlepas dari
keadaan disekitarnya yaitu berkaitan dengan perkembangan iptek salah satunya
berkaitan dengan ruang budaya, hal ini dikarenakan iptek sendiri tidak terlepas dari
nilai-nilai budaya dan agama, sehingga akan muncul semangat objektifitas, selain itu
perkembangan iptek haruslah mempertimbangkan nilai-nilai budaya dan agama
sehingga kemajuan iptek akan berdampak positif untuk negeri ini. Kuntowijoyo
berpendapat bahwa tentang perkembangan ilmu menganalisa bahwa banyak orang
sering mencampuradukan antara kebenaran dan kemajuan sehingga pandangan
seseorang, tentang kebenaran terpengaruh oleh kemajuan yang dilihatnya. Berkaitan
dengan hal tersebut Kuntowijoyo menekankan bahwa kebenaran itu bersifat non-
comulative (tidak bertambah). hal tersebut dikarenakan nilai kebanaran tidak semakin
bertambah dari waktu ke waktu yang lain, tetapi yang harus di pahami juga bahwa
kemajuan itu memiliki sifat cumulative (bertambah), hal ini menunjukan seuatu
perlawanan dari nilai kebenaran, bahwa dari suatu kemajuan memilki suatu
perubahan dari waktu ke waktu. Beberapa indikator yang bagian dari non-comulative
yaitu agama, filsafat, dan kesenian, sedangkan yang termasuk bagian dari comulative
adalah fisika, teknologi, kedokteran, (Kuntowijoyo: 2006;4).
A. Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
1. Konsep Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus di dasari oleh nilai-nalai
Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu, hal tersebut menegaskan
bahwa diantaranya:
a. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
b. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada di negera Idonesia
haruslah menyertakan nilia-nilai Pancasila sebagai faktor internal yang ada di
bangsa ini.
c. Nilai-nilai yang ada di Pancasila dijadikan sebagai rambu-rambu normatif
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
d. Ideologi dan budaya bangsa haruslah menjadi suatu pondasi yang kuat dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Urgensi Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dewasa ini
mencapai kemajuan yang pesat sehingga peradaban manusia dari yang sangat
sederhana sampai mengenal teknologi perkembangan iptek sangat berperan
dalam mempertimbangkan nilai-nilai budaya dan agama agar tidak merugikan
kehidupan manusia. Setiap ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang di
Indonesia haruslah sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Artinya mampu mengendalikan iptek agar tidak keluar dari cara
pikir dan cara bertindak bangsa Indonesia. Pengembangan iptek harus berakar
dari nilai-nilai budaya dan ideologi bangsa Indonesia, yang bersumber pada
Pancasila dan UUD 1945.
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berada di lingkungan tempat kita
ibarat pisau bermata dua, disatu sisi iptek memberikan kemudahan untuk
memecahkan segala bentuk permasalahan dalam kehidupan yang dihadapi.
Tetapi dipihak lain dapat menghancurkan, bahkan dapat memusnahkan
peradaban kehidupan manusia. Contohnya Amerika Serikat menjahtuhkan bom
atom di kota Hirosima dan Nagasaki, Jepang pada bulan Agustus 1945, bom Bali
1 dan 2 di Indonesia pada tahun 2002 adalah rangkaian tiga peristiwa
pengeboman yang terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002. Dua ledakan
pertama terjadi di Paddy’s Pub dan Sari Club di jalan Legian, kota Bali, sedangkan
ledakan terkhir terjadi di dekat kantor konsulat Amerika Serikat.

B. Alasan Diperlukannya Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu


1. Penjabaran sila-sila Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan iptek dapat
menjadi sarana untuk mengontrol dan mengendalikan kemajuan iptek yang
berpengaruh pada kehidupan peradaban manusia.
2. Nilai-nilai kearifan lokal dapat menjadi gaya hidup modern.
3. Perkembangan Iptek yang cepat dapat menimbulkan kerusakan lingkungan.
4. Penerapan nilai-nilai Pancasila dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan di
Indonesia harus diperkuat, tujuannya agar bangsa Indonesia tidak terjerumus
pada Pengembangan Ilmu Pengetahuan yang saat ini, semakin jauh dari nilai-
nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945.
C. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai
Dasar Nilai Pengembangan Ilmu di Indonesia
1. Sumber Historis Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu di
Indonesia.
Pancasila merupakan dasar Negara Republik Indonesia yang
dirumuskan dari proses alkuturasi budaya nusantara yang berlangsung sangat
panjang, sebagai dasar negara, Pancasila merupakan pandangan hidup
bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai suatu
sistem filsafat pada hakikatnya adalah suatu sistem pengetahuan. Filsafat
Pancasila merupakan landasan dalam proses berpikir dan berpengetahuan,
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi tentunya terjadi
berbagai problematika. Problematika keilmuan dapat diantisipasi dengan
merumuskan kerangka dasar nilai bagi pengembangan ilmu. Kerangka dasar
nilai ini harus menggambarkan suatu sistem filosofi kehidupan yang dijadikan
prinsip kehidupan masyarakat yang sudah mengakar dan membudaya dalam
kehidupan masyarakat Indonesia, yaitu nilai-nilai Pancasila. Pancasila sebagai
dasar nilai pengembangan iptek karena sila-sila Pancasila. Menurut Pranaka
(1985) pengembangan ilmu penetahuan yang berlandaskan Pancasila
merupakan bagian penting bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan
bernegara di masa mendatang.
Sumber historis Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu di
Indonesia dapat ditelusuri pada awalnya dalam dokumen negara, yaitu
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Alinea keempat Pembukaan UUD
1945 berbunyi: ”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, … dan seterusnya”. Kata “mencerdaskan
kehidupan bangsa” mengacu pada pengembangan iptek melalui pendidikan.
Amanat dalam Pembukaan UUD 1945 yang terkait dengan mencerdaskan
kehidupan bangsa itu haruslah berdasar pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha
Esa, dan seterusnya, yakni Pancasila. Proses mencerdaskan kehidupan
bangsa yang terlepas dari nilai-nilai sipiritualitas, kemanusiaan, solidaritas
kebangsaan, musyawarah, dan keadilan merupakan pencederaan terhadap
amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan dokumen
sejarah bangsa Indonesia.
Pada abad XVII terjadi perubahan besar dalam cara berpikir manusia
yang ditandai dengan terjadinya sekularisasi ilmu pengetahuan sehingga
terjadi pemisahan antara raga dan jiwa yang dipelajari secara terpisah. Ilmu
pengetahuan alam terpisah dari ilmu pengetahuan sosial dan humaniora.
Menjelang akhir abad XX, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin
pesat sehingga terjadi teknologisasi kehidupan dan penghidupan. Teknologi
berkembang sendiri dan makin terpisah, serta jauh meninggalkan agama dan
etika, hukum, ilmu pengetahuan sosial dan humaniora. Pancasila seharusnya
dapat membantu dan digunakan sebagai dasar etika ilmu pengetahuan dan
teknologi di Indonesia. Untuk itu, lima prinsip besar yang terkandung dalam
Pancasila cukup luas dan mendasar untuk mencakup segala persoalan etik
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu (1) Monoteisme; (2) Humanisme
dan solidaritas karya negara; (3). Nasionalisme dan solidaritas warga negara;
(4). Demokrasi dan perwakilan; (5). Keadilan sosial. Penjabaran sila-sila
Pancasila kedalam sistem etika ilmiah menurut Jacob (1987: 59) sebagai
berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa, melengkapi ilmu pengetahuan dengan
menciptakan perimbangan antara yang irasional dan rasional, antara rasa
dan akal. Sila pertama ini, menempatkan manusia dalam alam semesta
sebagai bagiannya, bukan sebagai pusat dan tujuan, serta menuntut
tanggung jawab sosial dan intergenerasional dari ilmuwan dan teknologi.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, memberi arah dan mengendalikan
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dikembalikan pada fungsinya semula,
yaitu untuk kemanusiaan.
3. Persatuan Indonesia, melengkapi universalisme dan internasionalisme
dalam sila-sila yang lain sehingga supra-sistem tidak mengabaikan sistem
dan subsistem di bawahnya. Aspek universal dan lokal harus dapat hidup
secara harmonis dengan tidak saling merugikan.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, mengimbangi autodinamika iptek, serta
mencegah teknologi berevolusi sendiri dengan leluasa. Percobaan,
penerapan, dan penyebaran ilmu pengetahuan harus mencerminkan
semangat demokratis dan perwakilan rakyat harus dapat
memusyawarahkannya sejak dari kebijakan penelitian sampai ke
penerapan massal hasil-hasilnya.
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menekankan ketiga
keadilan Aristoteles (distributif, legalis, dan komutatif) dalam
pengembangan, pengajaran, penerapan iptek. Keadilan sosial juga
menjaga keseimbangan antara individu dan masyarakat.
Prof. Dr. Muladi menegaskan bahwa kedudukan Pancasila sebagai
common denominator values, artinya nilai yang mempersatukan seluruh
potensi kemanusiaan melalui counter values and counter culture. Pancasila
merupakan refleksi penderitaan bangsa-bangsa di dunia secara riil sehingga
mengandung nilai-nilai agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa
dan nilai-nilai universal HAM. Selanjutnya, Muladi mengaitkan Pancasila dan
ilmu pengetahuan dengan meletakkannya pada posisi in between, yaitu antara
operational science yang didasarkan pada regularity occurring phenomena
dengan non-origin science yang didasarkan atas non-repeatable events yang
biasa dikaitkan dengan alam semesta ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (Muladi,
2006: l-liii). Dengan demikian, pengembangan ilmu dan teknologi seharusnya
dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai common denominator values,
yakni nilai-nilai yang disepakati bersama-sama oleh bangsa Indonesia,
sekaligus sebagai kerangka acuan bersama.
Prof. Dr. M. Sastrapratedja (2006) dalam artikelnya yang berjudul,
Pancasila sebagai Orientasi Pembangunan Bangsa dan Pengembangan Etika
Ilmu Pengetahuan menegaskan ada dua peran Pancasila dalam
pengembangan iptek, yaitu:
a. Pancasila merupakan landasan dari kebijakan pengembangan ilmu
pengetahuan,
a. Pengembangan ilmu pengetahuan harus menghormati keyakinan
religius masyarakat
b. Ilmu pengetahuan ditujukan bagi pengembangan kemanusiaan dan
dituntun oleh nilai-nilai etis yang berdasarkan kemanusiaan.
c. Iptek merupakan unsur yang “menghomogenisasikan” budaya sehingga
merupakan unsur yang mempersatukan dan memungkinkan komunikasi
antar masyarakat. Membangun penguasaan iptek melalui sistem
pendidikan merupakan sarana memperkokoh kesatuan dan
membangun identitas nasional.
d. Prinsip demokrasi akan menuntut bahwa penguasaan iptek harus
merata ke semua masyarakat karena pendidikan merupakan tuntutan
seluruh masyarakat.
e. Kesenjangan dalam penguasaan iptek harus dipersempit terus menerus
sehingga semakin merata, sebagai konsekuensi prinsip keadilan sosial.
b. Pancasila sebagai landasan dari etika ilmu pengetahuan dan teknologi
a. Pengembangan iptek terlebih yang menyangkut manusia haruslah
selalu menghormati martabat manusia, misalnya dalam rekayasa
genetik
b. Iptek haruslah meningkatkan kualitas hidup manusia, baik sekarang
maupun di masa depan
c. Pengembangan iptek hendaknya membantu pemekaran komunitas
manusia, baik lokal, nasional maupun global
d. Iptek harus terbuka untuk masyarakat; lebih-lebih yang memiliki dampak
langsung kepada kondisi hidup masyarakat
e. Iptek hendaknya membantu penciptaan masyarakat yang semakin lebih
adil.
2. Sumber Sosiologis Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu di
Indonesia
Pancasila sebagai dasar nilai tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan
teknologi yang telah merambah ke berbagai bidang kehidupan manusia dan
mempengaruhi sendi-sendi kehidupan manusia termasuk merubah pola pikir dan
prilaku. Adapun tujuan essensial dari iptek adalah demi kesejahtraan umat
manusia, sehingga iptek pada hakikatnya tidak bebas nilai namun terikat oleh nilai.
Oleh karena itu pancasila telah memberikan dasar nilai-nilai bagi pengembangan
iptek demi kesejahtraan manusia. Pengembangan iptek sebagai hasil budaya
manusia harus didasarkan pada moral ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Sumber sosiologis dari pengembangan iptek dapat ditemukan pada sikap
masyarakat yang sangat memperhatikan dimensi ketuhanan dan kemanusiaan
sehingga manakala iptek tidak sejalan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan,
biasanya terjadi penolakan. Seperti halnya pembangunan fasilitas teknologi
acapkali tidak melibatkan peran serta masyarakat sekitar, padahal apabila terjadi
dampak negatif berupa kerusakan fasilitas teknologi, maka masyarakat yang akan
terkena langsung akibatnya. Masyarakat harus menyadari perannya sebagai
makhluk hidup yang dikaruniai akal dan pertimbangan moral sehingga kepekaan
nurani menjadi sarana untuk bersikap resisten terhadap kemungkinan buruk yang
terjadi di balik pengembangan iptek. Masyarakat terlebih peka terhadap isu
kemanusiaan di balik pembangunan dan pengembangan iptek karena dampak
negatif pengembangan iptek.

3. Sumber Politis Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu di


Indonesia
Pancasila merupakan satu kesatuan dari sila-silanya harus bersumber dari nilai
bagi pembangunan iptek. Sebagai bangsa yang memiliki pandanggan hidup
pancasila, maka tidak berlebihan apabila perkembangan iptek harus berdasarkan
atas paradigma Pancasila. Sumber politis Pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan ilmu di Indonesia dapat dirunut ke dalam berbagai kebijakan yang
dilakukan oleh para penyelenggara negara. Dokumen pada masa orde lama yang
meletakkan Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan atau orientasi ilmu.
Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pada zaman orde lama belum
secara eksplisit dikemukakan, tetapi oleh Soekarno dikaitkan langsung dengan
dimensi kemanusiaan dan hubungan antara ilmu dan amal. Pada zaman orde
baru, Presiden Soeharto menyinggung masalah Pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan ilmu. Meskipun Pancasila diterapkan sebagai satu-satunya asas
organisasi politik dan kemasyarakatan, tetapi penegasan tentang Pancasila
sebagai dasar nilai pengembangan ilmu di Indonesia belum diungkapkan secara
tegas. Penekanannya hanya pada iptek harus diabdikan kepada manusia dan
kemanusiaan sehingga dapat memberi jalan bagi peningkatan martabat manusia
dan kemanusiaan. Pada era Reformasi, penjabaran Pancasila sebagai dasar nilai
dalam berbagai kebijakan penyelenggaraan negara merupakan suatu upaya untuk
mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan. Berdasarkan tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa sumber politis dari Pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan Iptek lebih bersifat apologis karena hanya memberikan dorongan
kepada kaum intelektual untuk menjabarkan nilai-nilai Pancasila.

D. Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila sebagai


Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
1. Argumen tentang Dinamika Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Dalam era perkembangan Iptek dinamika Pancasila yang merupakan suatu
pergerakan perwujudan nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara seharusnya mendapat perhatian lebih mengingat bahwa
pengembangan ilmu harus berlandaskan pada nilai-nilai yang terdapat dalam sila
Pancasila. Pancasila sebagai pengembangan ilmu belum dibicarakan secara
eksplisit oleh para penyelenggara negara sejak orde lama sampai era reformasi.
Para penyelenggara negara pada umumnya hanya menyinggung masalah
pentingnya keterkaitan antara pengembangan ilmu dan dimensi kemanusiaan
(humanism). Kajian tentang Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu
baru mendapat perhatian yang lebih khusus dan eksplisit oleh kaum intelektual di
beberapa perguruan tinggi. Namun pada kurun waktu akhir-akhir ini, belum ada
lagi suatu upaya untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kaitan
dengan pengembangan Iptek di Indonesia.
2. Argumen tentang Tantangan Pancasila sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Terdapat beberapa indikator berkaitan dengan tantangan terhadap Pancasila
menurut Titus, dkk. (1984) sebagai dasar pengembangan iptek di Indonesia:
a. Kapitalisme yang sebagai menguasai perekonomian dunia, termasuk
Indonesia. Akibatnya, ruang bagi penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar
pengembangan ilmu menjadi terbatas. Upaya bagi pengembangansistem
ekonomi Pancasila yang pernah dirintis Prof. Mubyarto pada 1980-an belum
menemukan wujud nyata yang dapat diandalkan untuk menangkal dan
menyaingi sistem ekonomi yang berorientasi pada pemilik modal besar.
b. Globalisasi yang menyebabkan lemahnya daya saing bangsa Indonesia dalam
pengembangan iptek sehingga Indonesia lebih berkedudukan sebagai
konsumen daripada produsen dibandingkan dengan negaranegara lain.
c. Konsumerisme menyebabkan negara Indonesia menjadi pasar bagi produk
teknologi negara lain yang lebih maju ipteknya. Pancasila sebagai
pengembangan ilmu baru pada taraf wacana yang belum berada pada tingkat
aplikasi kebijakan negara.
d. Pragmatisme yang berorientasi pada tiga ciri, yaitu: workability (keberhasilan),
satisfaction (kepuasan), dan result (hasil) mewarnai perilaku kehidupan
sebagian besar masyarakat Indonesia.

E. Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu untuk
Masa Depan.
1. Esensi Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
Pancasila sebagai dasar negara republik Indonesia, yang bertujuan untuk
mengatur bagaimana penyelenggaraan negara. sekaligus dapat mengatur seluruh
tatanan kehidupan dalam bagaimana berbangsa dan bernegara, hal inipun tidak
terlepas dari peran Pancasila yang menjadi dasar dalam nilai pengembangan ilmu.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat ini memiliki kemajuan
yang sangat pesat yang mengakibatkan perubahan baik kearah positif dan negetif,
maka Pancasila sangatlah berperan dalam menseleksi dampak positif dan negatif
dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, sehingga esensial
Pancasila yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yaitu bertujuan
untuk kesejahtraan masyarakat Indonesia, hal ini sebagaimana dikemukan oleh
Sudibyo, dkk., 2014: 78 yang menyatakan bahwa:
a. Sila kesatu yaitu ketuhanan yang maha esa, bertujuan untuk dapat
mengimplementasikan ilmu pengetahuan, menciptakan keseimbangan antara
rasional dan irasional, antara akal, rasa dan kehendak. Berdasarkan
penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak hanya semata mengutamakan hasil yang telah ditemukan,
dibuktikan dan diciptkan, tetapai bagaimana dari hasil ilmu pengetahuan dan
teknologi tersebut haruslah dipertimbangkan apakah jauh lebih memilki
dampak positif ataupun jauh memilki dampak negatif terhadap bangsa ini.
b. Sila kedua yaitu kemanusian yang adil dan beradab yang bertujuan bagaimana
memberikan dasar-dasar moralitas bahwa manusia dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi harus bersifat beradab, hal ini dikarenakan
bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan suatu hasil dari budaya
manusia yang beradab dan bermoral.
c. Sila ketiga yaitu persatuan Indonesia yang bertujuan dapat
mengimplementasikan universalia dan internasionalisme (kemanuasiaan)
dalam sila-sila lain. Berdasarkan hal ini seharusnya ilmu pengetahuan dan
teknologi haruslah dapat mengembangkan rasa nasionalisme warga negara,
kebesaran bangsa, serta menjungjung tinggi keluhuran bangsa, sehingga
masyarakat akan memiliki rasa nasionalisme yang kuat dalam dirinya.
d. Sila keempat yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan yang bertujaan untuk dapat mendasari
bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara demokratis.
Berdasarkan hal tersebut bahwa setiap individu ilmuan haruslah diberikan
kebebasan dalam bagaimana mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologinya tetapi harus didasari oleh nilai-nilai Pancasila dan setiap individu
ilmu harus juga dapat menghormati serta menghargai keritikan yang datang
terhadap dirinya.
e. Sila kelima keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang bertujuan untuk
mengimplementasikan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
haruslah dapat menjaga keseimbangan keadilan dalam kehidupan
kemanusiaan hal ini bertujuan untuk dapat bagaiman memilki keseimbangan
diri sendiri dengan tuhannya, diri pribadi dengan dirinya sendiri, diri sendiri
dengan orang lain dan diri sendiri dengan lingkungannya.
Selain pendapat di atas tentang sila-sila dalam Pancasila memiliki hakikat sebagai
dasar nilai terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, pendapat lain dikemukakan
juga oleh Prof. Wahyudi Sediawan dalam Simposium dan sarasehan Pancasila
sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa, menjelaskan
bahwa:
Sila Kesatu yaitu, ketuhanan yang maha esa memberikan kesadaran
tentang bagaimana manusia hidup di dunia ibarat sedang menempuh ujian dan
hasil ujian akan menentukan kehidupannya yang abadi diakhirat nanti. Salah satu
ujiannya adalah manusia diperintahankan melakukan perbuatan untuk kebaikan,
bukan untuk membuat kerusakan di bumi. Tuntunan sikap pada kode etik ilmiah
dan keinsinyuran, seperti: menjungjung tinggi keselamatan, kesehatan, dan
kesejahtraan masyarakat; berprilaku terhormat, bertanggung jawab, etis dan taat
aturan untuk meningkatkan kehormatan, reputasi dan kemanfaatan professional,
dan lain-lain, adalah suatu manifestasi perbuatan untuk kebaikan tersebut. Ilmuan
yang mengembangkan kompetensi teknik yang dimiliki dengan baik sesuai dengan
tuntunan sikap tersebut berarti menyukuri anugrah Tuhan (Wahyudi, 2006:61-62).
Sila Kedua yaitu, Kemanusian yang adil dan beradab memberikan arahan,
baik bersifat universal maupun khas terhadap ilmuan dan ahli teknik di Indonesia.
Asas kemanuasian atau humanis menghendaki agar perlakuan terhadap manusia
harus sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, yaitu memilki keinginan, seperti
kecukupan materi, bersosialisasi, eksistensinya dihargai, mengeluarkan pendapat,
berperan nyata dalam lingkungannya, berkerja sesuai dengan kemampuannya
yang tertinggi (Wahyudi, 2006:65). Hakikat kodrat menusia mono-pluralis, sebagai
mana dikemukakan Noto Nagora, yaitu terdiri atas jiwa dan raga (susunan kodrat),
mahluk inividu dan sosial (sifat kodrat), dan mahluk Tuhan dan otonom (kedudukan
kodrat) memerlukan keseimbangan agar dapat menyempunakan kuwalitas
kemanuasiaanya.
Sila ketiga yaitu, persatuan Indonesia memberikan landasan esensial bagi
kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesi (NKRI). Untuk itu, ilmuan dan
ahli teknik Indonesia perlu menjungjung tinggi asas Persatuan Indonesia ini dalam
tugas-tugas profesionalnya. Kerjasama yang sinergis antar individu dengan
kelebihan dan kekurangannya masing-masing akan menghasilkan prokduktivitas
yang lebih tinggi daripada penjumlahan produktifitas individunyanya (Wahyudi,
2006:66). Suatu pekerjaan atau tugas yang dikerjakan bersama dengan semangat
nasionalisme yang tinggi dapat menghasilkan produktifitas yang lebih optimal.
Sila keempat yaitu, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijkasanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan memberikan arahan asas kerakyatan, yang
mengandung arti bahwa pembentukan negara republik Indonesia ini adalah oleh
dan untuk semua rakyat Indonesia. Setiap warga Negara mempunyai hak dan
kewajiban yang sama terhadap negara. Demikian pula halnya dengan ilmuan dan
ahli teknik wajib memberikan kontribusi sebesar-besarnya seseuai kemampuan
untuk kemampuan negara. Sila keempat ini juga memberi arahan dalam
menejemen keputusan, baik pada tingkat nasional, regional maupun lingkup yang
lebih sempit (Wahyudi, 2006:68) Menejemen keputusan yang melandasi
semangat musyawarah akan mendatangkan hasil yang lebih baik karena dapat
melibatkan semua pihak dengan penuh kerelaan.
Sila kelima yaitu, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
memberikan arahan agar selalu diusahakan tidak terjadinya jurang (gap)
kesejahteraan diantara bangsa Indonesia. ilmuan dan ahli teknik yang mengelola
industri perlu sesalu megembangkan sistem yang memajukan perusahaan,
sekaligus menjamin kesejahteraan karyawan. (Wahyudi,2006:69). Selama ini,
pengelolaaan industri lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, dalam arti
keuntungan perusahaan sehingga cenderung mengabaikan kesejahteraan
karyawan dan kelestarian lingkungan. Situasi timpang ini disebabkan oleh pola
kerja yang hanya mementingkan kemajuan perusahaan. Pada akhirnya, pola
tersebut dapat menjadi pemicu aksi protes yang justru merugikan pihak
perusahaan itu sendiri.

2. Urgensi Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu


Suatu negara harus memiliki dasar negara sebagai patokan cara barbangsa dan
bernegara, negara kita memiliki Pancasila yang berperan penting sebagai dasar
nilai pengembanga ilmu, yaitu:
a. Kemajuan perkembangan ilmu pegetahuan dan teknologi di negara Indonesia
tidak terlepas dari perkembangan jaman, di negara Indonesia seharusnya
perkembangan ilmu dan teknologi berakar dari nilai-nilai luhur budaya bangsa,
tetapi kenyataanya sekarang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
tersebut banyak yang berorientasi pada nilai-nilai budaya barat.
b. Tidak meratanya orientasi perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga
mengakibatkan hanya perguruan tinggi yang memilki prodi-prodi tertentulah
yang terserap oleh dunia kerja.
c. Fenomena yang terjadi di Indonesia dalam pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi belum sampai tahap bagaimana melibatakan masyarakat yang
mengakibatkan hanya kelompok atau individu tertentulah yang merasakan
dampak positifnya, sehingga hanya kelompok elit tertentu yang
mengembangkan ilmu yang hanya merasakan kesejahtraan dari hasil
pengembangan ilmu dan teknologi.

E. Rangkuman Pengertian dan Pentingnya Pancasila sebagai Dasar


Pengembangan Ilmu
Pancasila terdiri dari beberapa sila-sila dalam Pancasila, dalam setiap sila-sila
Pancasila haruslah dijadikan sebagai sumber nilai, dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga arah tujuan negara Indonesia akan sesuai
dengan dasar negara Indonesia itu sendiri.
Peran Pancasila sebagai dasar untuk pengembangan Ilmu, didasari oleh ke
lima sila-sila Pancasila itu sebagai pedoman dalam menjalankan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sebagaimana dikemukan oleh para ahli yaitu peran
Pancasila sebagai literatur atau rujukan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi diantaranya yaitu sebagai, Pancasila sebagai intellectual bastion
(Sofian Effendi); Pancasila sebagai common denominator values (Muladi); Pancasila
sebagai paradigma ilmu, hal-hal tersebut menunjukan bahwa Pancasila haruslah
menjadi dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dasar nilai pengembangan ilmu bagi mahasiswa haruslah didasari
berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam sila-sila Pancasila sebagai pedoman ataupun
rambu-rambu yang sifatnya normatif, sehingga mahasiswa dapat menentukan arah
perkembangan ilmu pengetahuan dengan terarah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila,
selain hal tersebut dalam pengembangan ilmu dan teknologi harus sudah pada tahap
melibatkan masyarakat secara luas, dan dan berakar pada nilai-nilai karakter budaya
bangsa Indonesia.
Jadikanlah Pancasila melalui sila-sila Pancasila sebagai dasar pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga arah kemajuan negara Indonesia, akan
menuju kearah yang positif untuk kemajuan bangsa dan negara.

G. Tugas Mahasiswa.
1. Bagaimana menurut anda tentang perkembangan ilmu pengetahuan yang ada
di Indonesia apakah sudah didasari oleh nilai-nilai yang ada dalam sila-sila
Pancasila?
2. Berikan contoh dampak postif dan negatif dari perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan teknologi yang ada di Indonesia?
3. Bagaiamana tanggapan anda ketika banyak warga negara Indonesia yang
menjadi Ilmuan di luar negeri?
4. Analisa bagaimana peran dari pemerintah untuk memajukan ilmu pengetahuan
dan teknologi melalui dasar nilai-nilai Pancasila?
5. Solusi apa yang harus dilakukan untuk dapat menerapkan perkembangan ilmu
pengetahuan yang didasari oleh nilai-nilai Pancasila itu sendiri?

DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Sofian. 2015. Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
Pengetahuan.
Jacob, 1987. Nilai-nilai Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan Iptek. Yogyakarta
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu; Epistemologi, Metodelogi, dan Etika,
Yogyakarta; Tiara Wacana.
Muladi. 2010. Pancasila sebagai Margin of Appreciation dalam Hukum yang Hidup di
Indonesia.
Notonagoro. 1994. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Bumi Aksara.
Pranaka, A.M.W, 1985. Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. Jakarta: CSIS
Sastrapratedja, 2006. Pancasila sebagai konsekuensi prinsip keadilan sosial.
Yogyakarta
Sediawan, Wahyudi. 2006. Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan
Pembangunan Bangsa.
Sudibyo, Lies, B. Triyanto, dan M. Suswandari. 2014. Filsafat Ilmu. Seleman
Yogyakarta: Deepublish.
Titus, Smith and Noland., 1984. Living Issues in philosophy Ahli Bahasa H.M. Rasjidi
Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan. Bintang.
https://belmawa.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/12/9.-PENDIDIKAN-
KEWARGANEGARAAN-1.1.pdf
BAB 8 PENDIDIKAN ANTI KORUPSI
A. Pengertian Korupsi
Korupsi bukanlah fenomena baru di dunia ini. memahamai makna korupsi tidak
bisa dilakukan hanya dengan menggunakan satu jenis pendekatan saja. Dengan
kata lain untuk memiliki pemahaan yang lebih dalam tentang makna korupsi
diperlukn pula pengertian-pengertian korupsi dari berbagai sudut pandang ilmu.
Hal ini akan membantu dalam memahami korupsi. Sehubungan dengan ini berikut
akan diuraikan beberapa pandangan-pandangan yang menggunakan pendekatan
multidisipliner dalam memahami korupsi.
1. Dari segi terminologi, istilah korupsi berasal Kata “korupsi” berasal dari bahasa
Latin “corruptio” (Fockema Andrea : 1951) atau “corruptus” (Webster Student
Dictionary : 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata
“corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut
kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis)
dan “corruptie/korruptie” (Belanda). Arti kata korupsi secara harfiah adalah
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian.
2. Henry Campbell Black, korupsi diartikan sebagai segala sesuatu yang bertolak
belakang dengan kewajiban dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan
diluar hak-hak yang semestinya. menurut Black korupsi adalah perbuatan
seseorang pejabat yang secara melanggar hukum menggunakan jabatannya
untuk mendapatkan suatu keuntungan yang berlawanan dengan
kewajibannya, contoh dari perbuatan ini salah satunya adalah “White collar
Crime.
3. A.S Hornby istilah korupsi diartikan sebagai suatu pemberian atau penawaran
dan penerimaan hadiah berupa suap (the offering and accepting of bribes),
serta kebusukan atau keburukan
4. Wertheim yang menggunakan pengertian yang lebih spesifik. Menurutnya,
seorang pejabat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi, adalah apabila ia
menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan memengaruhinya agar
mengambil keputusan yang menguntungan kepentingan si pemberi hadiah.
Kadang-kadang pengertian ini juga mencakup perbuatan menawarkan hadiah,
atau bentuk balas jasa yang lain. Pemerasan berupa meminta hadiah atau
balas jasa karena sesuatu tugas yang merupakan kewajiban telah
dilaksanakan seseorang, juga dikelompokkan oleh Wertheim sebagai
perbuatan korupsi. Di samping itu, masih termasuk ke dalam pengertian
korupsi adalah penggunaan uang negara yang berada di bawah pengawasan
pejabat-pejabat pemerintahan untuk kepentingan pribadi yang bersangkutan.
Dalam hal yang terakhir ini, para pejabat pemerintah dianggap telah melakukan
penggelapan uang negara dan masyarakat.

Berdasarkan pengertian korupsi di atas maka dapat disimpulkan bahwa


semua orang memiliki usdut pandang yang berbeda dalam mengartikan korupsi,
hal ini sangat dipengaruhi oleh iklim politik, budaya, kesadaran hukum masyarakat
dan perkembangan hukum masing-masing. Istilah korupsi yang telah diterima
dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, adalah “kejahatan, kebusukan,
dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran”(S. Wojowasito-WJS
Poerwadarminta: 1976). Pengertian lainnya, “perbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya” (WJS
Poerwadarminta: 1976).Selanjutnya Ali (1998) menjelaskan beberapa pengertian
korupsi diantaranya:

1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan


untuk kepentingan sendiri dan sebagainya;
2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok, dan sebagainya; dan
3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud tindak pidana
korupsi adalah segala tindakan yang dapat merugikan keuangan negara dan
menghambat pembangunan nasional. Namun karena korupsi yang terjadi telah
meluas dampaknya, maka menurut UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas UU Nomor 31 Tahun 1999, yang dimaksud tindak pidana korupsi tidak hanya
merugikan keuangan negara tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Oleh karena itu menurut UU
Anti Korupsi, tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Dengan demikian arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan
merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu
yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau
aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian,
menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan
kedalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.

B. Faktor Penyebab Korupsi


Korupsi adalah sebuah isu yang selalu menarik untuk dibicarakan, hal ini
disebabkan oleh dampak luas yang disebabkan oleh korupsi itu sendiri sehingga
korupsi menjadi sebuah masalah yang harus mendapatkan penanganan khusus
dari semua pihak, baik itu pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Korupsi
adalah salah satu penyakit masyarakat yang bisa menghancurkan sebuah negara
apabila tidak segera dilakukan penanganan yang serius, sebagai penyakit
masyarakat maka peneyelesaiannya bukan hanya memberikan hukuman kepada
pelaku tetapi harus ada langkah preventiv untuk membendung prilaku korup itu
sendiri. Salah satu langkah preventif yang bisa dilakukan adalah dengan cara
membina masyarakat melalui pendidikan formal di sekolah dan pendidikan di
dalam keluarga.
Pada dasarnya korupsi selalu melibatkan para pejabat publik yang
seharusnya menjadi panutan bagi masyarakat karena pada hakikatnya mereka
adalah orang-orang yang dipilih dan terpilih yang berasal dari kalangan terpelajar.
Membiarkan korupsi merajalela akan melahirkan krisis kepercayaan masyarakat
terhadap para pejabat publik itu, sikap putus asa, skeptis yang akan menjadikan
negara ini semakin redup dan mati secara perlahan-lahan.
Ada beberapa faktor penyebab korupsi semakin merajalela, diantaranya
menurut Hamzah, lopa menjelaskan faktor penyebab korupsi adalah
a. deskresi pegawai yang terlalu besar,
b. rendahnya akuntabilitas publik
c. lemahnya kepemimpinan
d. gaji pegawai publik di bawah kebutuhan hidup
e. kemiskinan
f. moral rendah atau disiplin rendah
g. sifat konsumtif
h. kurangnya pengawasan dalam organisasi
i. kesempatan yang tersedia
j. pengawasan ekstern lemah
k. kebiasaan memberi upeti
l. permisif
m. tidak mau tahu
n. keserakahan, dan
o. lemahnya penegakan hukum
Selain penjabaran faktor penyebab korupsi di atas, ilham gunawan (1990)
mengatakan bahwa faktor tersebut diakibatkan oleh ketiadaan atau kelemahan
dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan memengaruhi
tingkah laku yang menjinakkan korupsi. Lebih rinci lagi gunawan menjelaskan
faktor penyebab tingginya angka korupsi adalah:
a. kelemahan ajaran-ajaran agama dan etika
b. akibat kolonialisme atau suatu pengaruh pemerintah asing tidak menggugah
kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi
c. kurang dan lemahnya pengaruh pendidikan
d. kemiskinan yang bersifat struktural
e. sanksi hukum yang lemah
f. kurang dan terbatasnya lingkungan yang anti korupsi
g. struktur pemerintahan yang lunak
h. perubahan radikal, sehingga terganggunya kestabilan mental, ketika suatu
sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit
tradisional
i. kondisi masyarakat karena korupsi dalam suatu birokrasi memberikan
cerminan masyarakat secara keseluruhan.
Setiap tindak pidana korupsi yang terjadi akan sangat berdampak buruk
bagi lingkungan sekitarnya bahkan bagi kehidupan rakyat dalam suatu negara.
Bukan hanya itu saja korupsi akan sangat berdampak buruk bagi perkembangan
dan kedaulatan sebuah negara. Selain itu dampak yang akan diterima oleh sebuah
negara apabila negara tersebut terdapat banyak kasus korupsi adalah
berkurangnya kepercayaan negara lain dalam menjalin kerjasama dan hubungan
bilateral lainnya.
C. Dampak Massif Korupsi
Berbagai studi komprehensif mengenai dampak korupsi terhadap ekonomi
dan variabel-variabelnya telah banyak dilakukan samapi saat ini. Dari beberapa
hasil studi tersebut menunjukkan bahwa dampak korupsi dapat memperlemah
pertumbuhan ekonomi dan menurunnya investasi dari berbagai pihak. Korupsi
tidak hanya berdampak pada pada satu aspek kehidupan saja, akan tetapi tindak
pidana korupsi menyebabkan efek domino yang sangat luas salah satunya adalah
terhadap eksistensi bangsa dan negara. Meluasnya praktik korupsi akan sangat
berdampak buruk terhadap perekonomian negara, misalnya harga-harga yang
semakin tidak terjangkau oleh masyarakat, menurunnya kualitas kesehatan,
pendidikan, keamanan, bahkan dampak praktik korupsi berdampak pada kualitas
lingkungan hidup yang semakin rusak dan yang paling bahaya adalah timbulnya
krisi ekonomi yang akan menyebabkan negara terperosok kedalam jurang
kemiskinan.
Dampak masif praktik korupsi akan diuraikan sebagai berikut:
1. Dampak korupsi terhadap ekonomi
Korupsi memiliki berbagai efek penghancur yang hebat terhadap sendi-sendi
kehidupan bangsa dan negara, terutama terhadap sendi perekonomian yang
yang merupakan faktor utama kesejahteraan rakyat suatu bangsa. Praktik
korupsi sanagat memiliki korelasi terhadap tingkat investasi, pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan sosial. Kenyataan bahwa korupsi sangat
berpengaruh langsung terhadap hal ini maka, maka pemerintah terdorong
untuk segera melakukan upaya untuk menanggulangi praktik korupsi ini, mulai
dari langkah preventif, refresif, maupun kuratif. Meningkatnya praktik korupsi
berakibat langsung terhadap meingkatnya biaya barang dan jasa, yang
kemudian dapat meningkatkan utang negara. Secara alamiah permasalah
ekonomi lainnya akan muncul apabila praktik korupsi ini semakin merajalela,
beberapa masalah yang muncul diantaranya lemahnya pertumbuhan ekonomi
dan investasi, rendahnya kulaitas barang dan jasa, menurunnya pendapat
negara dan meningkatnya hutang negara.
2. Dampak korupsi terhadap sosial dan kemiskinan
Salah satu dampak langsung yang diterima akibat praktik korupsi adalah
semakin mahalnya biaya berbagai pelayanan publik, rendahnya kualitas
pelayanan, dan pembatasan akses pelayanan vital seperti kesehatan,
pendidikan, dll. Selain dampak langsung, ada juga dampak tidak langsung yang
dirasakan oleh orang-orang yang memiliki tingkat ekonomi rendah yaitu
diantaranya adalah adanaya pengalihan sumberdaya yang awalnya
diperuntukkan untuk publik tetapi di monopoli untuk kepentingan pribadi dan
kelompok.
3. Dampak korupsi terhadap politik dan demokrasi
Munculnya kepemimpinan yang korup karena kondisi politik yang tidak stabil
dan cenderung koruptif, menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap
demokrasi yang diakibatkan praktik korupsi yang terjadi di berbagai sektor
pemerintahan baik itu legislaif, yudikatif maupun partai politk, hancurnya
kedaulatan rakyat karena kekayaan negara yang hanya dinikmati oleh
kelompok dan golongan tertentu saja
4. Dampak korupsi terhadap sistem pertahanan dan keamanan negara
Mengakibatkan kerawanan pertahanan dan keamanan nasional karena
lemahnya alutsista dan sumber daya manusia, lemahnya pengawasan
terhadap garis batas negara yang diakibatkan karena kemiskinan yang terjadi
di perbatasan negara. Memicu konflik horizontal dimasyarakat karena kondisi
kemiskinan
5. Dampak korupsi terhadap kerusakan lingkungan.
Dampak korupsi terhadap menurunnya kualitas lingkungan diakibatkan adanya
ekspolitasi yang berlebihan sumber daya alam dan hal itu tidak diawasi oleh
negara.

D. Nilai dan Prinsip Anti Korupsi


Menurut Romi, dkk dalam Batennie (2012), pada dasarnya korupsi terjadi karena
adanya faktor internal (niat) dari para pelaku dan faktor eksternal (adanya
kesempatan). Niat lebih terkait dengan faktor individu yang meliputi prilaku dan
nilai-nilai yang dianut, seperti kebiasaan dan kebutuhan, sedangkan kesempatan
terkait dengan pengaruh sistem yang berlaku saat ini.
Banyak upaya yang bisa dilakukan dalam rangka mencegah praktik korupsi agar
tidak semakin masif, diantaranya adalah melalui pendidikan anti korupsi sejak dini.
Adapun nilai nilai yang bisa ditanamkan dalam pendidikan anti korupsi diataranya
adalah
1. Kejujuran
Jujur atau kejujuran adalah prilaku yang didasari upaya untuk menjadikan diri
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan, baik kepada diri sendiri maupun pihak lain. Jujur merujuk pada suatu
karakter moral yang mempunyai sifat-sifat positif dan mulia seperti penuh
keenaran, lurus sekaligus tidak bohong, tidak curang, atau tidak mencuri.
Dalam suatu percakapan pernyataan dapat berisi kebenaran dan akan menjadi
tidak jujur apabila niat dari perkataan itu bermaksud untuk membohongi
pendengarnya. Menurut Mustari (2011) jujur dianggap sebagai sifat moral,
sedangkan dusta dianggap sebagai sifat tidak bermoral (amoral). Kejujuran
dapat saja tidak diingnkan dalam banyak sistem sosial dengan alasan
penjagaan diri (self preservation). Kejujuran sering dianjurkan secara publik,
tetapi dapat dilarang dan dihukum jika hal itu dianggap ancaman dengan
alasan pengkhianatan atau tidak sopan. Selanjutnya Maman Rachman dkk
(2014) mengatakan bahwa kejujuran adalah prilaku yang didasari upaya
menjadikan dirinya sendiri selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan,
dan pekerjaan, baik kepada diri sendiri maupun orang lain.
2. Disiplin
Menurut Mustari (2011) disiplin merupakan tindakan yang menunjukkan prilaku
tertib dan patu pada berbagai ketentuan dan peraturan. Disiplin merujuk pada
instruksi sistematis yang diberikan kepada murid (disciple) untuk mengikuti
tatanan tertentu. Dalam arti ini, kata disiplin berkonotasi negatif karena
kelangsungan tatanan dilakukan melalui hukuman. Arti lain, disilin dimaknai
sebagai ilmu tertentu yang diberikan kepada murid, yang disebut vak (disiplin)
ilmu. Disiplin erat kaitannya dengan kepatuhan terhadap peraturan yang
apabila dilanggar akan berbuah sanksi. Sanksi disini berati sebuah
konsekuensi yang harus diterima ketika peraturan dilanggar. Sikap disiplin
perlu dikembangkan dengan cara berlatih dan mempraktikannya. Disiplin harus
menjadi ekspresi dari niat seseorang yang dirasakan sebagai sesuatu yang
menyenangkan, dengan kata lain yaitu membiasakan diri pada sejenis prilaku
yang akan sangat dirindukan jika dia berhenti mempraktikannya.
3. Tanggungjawab
Zubaedi (2011) mengatakan bahwa tanggungjawab adalah sikap dan prilaku
untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dilakukan
terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya),
negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya Halim (Wahab, 2011)
mendefinisikan tanggungjawab sebagai suatu akibat lebih lanjut dari
pelaksanaan peranan, baik peranan itu sebagai hak ataupun sebagai
kewajiban maupun kekuasaan. Secara umum tanggungjawab diartikan
sebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berprilaku menurut cara
tertentu. Tanggungjawab ini bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian
kehidupan manusia bahwa setiap manusia pasti dibebani dengan
tanggungjawab.
4. Kepedulian
Menurut Sugono (2008) peduli adalah mengindahkan, memperhatikan dan
menghiraukan. Kepedulian sangat penting dimiliki oleh setiap insan di negara
ini, khusunya bagi mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa di masa yang
akan datang. Sikap peduli harus dikembangkan dengan serius, hal itu dapat
dilakukan oleh para mahasiswa dengan cara menciptakan iklim kampus yang
kondusif untuk proses perkuliahan,selain itu di lingkungan kampus mahasiswa
dapat diberikan kebebasan dalam mengekspresikan pikirannya guna
membangkitkan rasa kepedulian itu muncul keberanian
5. Keberanian
Frinaldi dan embi (2011) mengatakan bahwa keberanian sebagai sifat yang
berani enanggung segala resiko dalam pembuatan keputusan dengan cepat
dan tepat waktu. Sifat berani bukan merupakan sifat yang dimiliki semenjak
manusia lahir, akan tetapi keberanian muncul melalui prose pembelajaran dan
pengalaman. Keberanian sangatlah dibutuhkan dalam menjalani hidup karena
hidup tanpa keberanian adalah suatu hal yang sangat sia-sia.
Setelah memahami nilai-nilai anti korupsi diatasa maka yang harus kita
pahami selanjutnya adalah berkaitan dengan prinsip-prinsip anti korupsi. Hal itu
diperlukan untuk mencegah faktor-faktor timbulnya praktik korupsi. Beberapa
prinsip anti korupsi diantaranya adalah
a. Akuntabilitas
Konsep akuntabilitas berawal dari pemikiran bahwa setiap kegiatan harus
dipertanggungjawabkan kepada orang atau lembaga yang memberikan
kewenangan untuk melaksanakan suatu program, menurut Djalil (2014:63)
akuntabilitas adalah sebuah konsep etika yang dekat dengan administrasi
publik pemerintahan (lembaga eksekutif pemerintah, lembaga legislatif
parlemen dan lembaga yudikatif). Dengan kata lain akuntabilitas adalah
perwujudan kewajiban seeorang dalam mempertanggungjawabkan setiap
kegiatan dalam hal pengelolaannya. Terwujudnya akuntabilitas merupakan
tujuan utama dari lembaga-lembaga sektor publik. Lembaga-lembaga ini
diharuskan mempertanggungjawabkannya secara menyeluruh.
b. Transparansi
Transparansi merupakan salah satu prinsip penting anti korupsi, hal itu
dikarenakan pemberantasan praktik korupsi dimulai dari transparansi dan
mengharuskan semua proses kebijakan dilakukan secara terbuka, sehingga
segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh publik (Prasojo:2007).
Selanjutnya kurniawan (2010) mengatakan bahwa dalam bentuk yang yang
paling sederhana, transparansi mengacu paa keterbukaan dan kejujuran untuk
saling menjunjung tinggi kepercayaan (trust) karena kepercayaan,
keterbukaan, dan kejujuran ini erupakan modal awal yang sangat berharga bagi
para mahasiswa untuk dapat melanjutkan tugas dan tanggungjawabnya pada
masa kini dan masa mendatang.
c. Kewajaran/fairness
Tujuan dari kewajaran/fairness ini adaah untuk menghindari adanya
ketidakwajaran dalam hal penganganggaran atau manipulasi. Contohnya
adalah mark up terhadap anggaran. Beberapa sifat prinsip kewajaran adalah
komprehensif dan disiplin, fleksibilitas, terprediksi, kejujuran, dan informatif.
d. Kebijakan
Prinsip ini ditujukan agar para mahasiswa mengetahui dan memhaami
kebijakan tentang anti korupsi. Kebijakan ini berperan untuk mengatur interaksi
supaya tidak terjadi penyimpangan yang dapat merugikan masyarakat dan
negara secara keseluruhan. Kebijakan ini dapat berupa atran atau undang-
undang anti korupsi, undang-undang anti monopoli. Dengan adanya kebijakan
ini maka menuntut masyarakat secara umum untuk memfungsikan dirinya
sebagai kontrol terhadap penggunaan anggaran negara yang dilakukan oleh
para pejabat negara.
e. Kontrol kebijakan
Kontrol kebijakan bertujuan sebagai upaya nyata agar kebijakan yang dibuat
benar-benar berpihak terhadap rakyat dan efektif sehingga dapat
menyingkirkan semua bentuk praktik korupsi. Bentuk dari kontrol kebijakan
bisa berupa partisipasi, oposisi dan reformasi. Kontrol kebijakan ini dilakukan
oleh mahasiswa sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat,
organisasi, maupun institusi.

E. Upaya Pemberantasan Korupsi


1. Konsep Pemberantasan Korupsi
Pemberantasan korupsi merupakan permasalahan kompleks, oleh karena itu
strategi atau upaya pemberantasan korupsi harus disesuaikan dengan
karakteristik pelaku dan lingkungan dimana korupsi tersebut terjadi. Berbagai
upaya telah dilakukan meliputi pembuatan peraturan perundang-undangan, aparat
penegak hukum, bahkan adanya lembaga independen yang khusus menangani
korupsi yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

2. Upaya Penanggulangan Korupsi dengan Hukum Pidana


Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan
istilah politik kriminal atau criminal policy oleh G. Peter Hoefnagels dibedakan
sebagai berikut (Nawawi Arief : 2008) :
a. kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law application);
b. kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without punishment);
Melihat pembedaan tersebut, secara garis besar upaya penanggulangan
kejahatan dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni melalui jalur penal (dengan
menggunakan hukum pidana) dan jalur non-penal (diselesaikan di luar hukum
pidana dengan sarana-sarana non-penal). Secara kasar menurut Barda Nawawi
Arief, upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih menitikberatkan
pada sifat repressive (penumpasan/ penindasan/pemberantasan) sesudah
kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat
preventif (pencegahan). Dikatakan secara kasar, karena tindakan represif juga
dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas (Nawawi Arief : 2008). Sifat
preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat penegak hukum. Namun
untuk pencegahan korupsi sifat ini dapat ditemui dalam salah satu tugas dari
Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki Deputi Bidang Pencegahan yang di
dalamnya terdapat Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat.
Sasaran dari upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal
adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan dalam hal
ini korupsi, yakni berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi baik politik,
ekonomi maupun sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat
menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan ini, upaya non-penal
seharusnya menjadi kunci atau memiliki posisi penting atau dalam istilah yang
digunakan oleh Barda Nawawi Arief ‘memiliki posisi strategis dari keseluruhan
upaya politik kriminal’.
Upaya yang kedua adalah upaya penal dengan memanggil atau
menggunakan hukum pidana atau dengan menghukum atau memberi pidana atau
memberikan penderitaan atau nestapa bagi pelaku korupsi.
Ada hal penting yang patut dipikirkan dalam menggunakan upaya penal.
Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sarana penal memiliki ‘keterbatasan’
dan mengandung beberapa ‘kelemahan’ (sisi negatif) sehingga fungsinya
seharusnya hanya digunakan secara ‘subsidair’. Pertimbangan tersebut (Nawawi
Arief : 1998) adalah :
a. dilihat secara dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling
tajam dalam bidang hukum, sehingga harus digunakan sebagai ultimum
remedium (obat yang terakhir apabila cara lain atau bidang hukum lain sudah
tidak dapat digunakan lagi);
b. dilihat secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya menuntut
biaya yang tinggi;
c. sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang mengadung efek
sampingan yang negatif. Hal ini dapat dilihat dari kondisi overload Lembaga
Pemasyarakatan;
d. penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan
‘kurieren am symptom’ (menyembuhkan gejala), ia hanya merupakan
pengobatan simptomatik bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab
kejahatan demikian kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana;
e. hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol
sosial lainnya yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalah
kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks;
f. sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal; tidak bersifat
struktural atau fungsional;
g. efektifitas pidana (hukuman) bergantung pada banyak faktor dan masih sering
diperdebatkan oleh para ahli.

3. Berbagai Strategi/Upaya Pemberantasan Korupsi


a. Pembentukan Lembaga Anti-Korupsi
Salah satu cara untuk memberantas korupsi adalah dengan membentuk
lembaga yang independen yang khusus menangani korupsi. Sebagai contoh di
beberapa negara didirikan lembaga yang dinamakan Ombudsman. Peran
lembaga ombudsman antara lain menyediakan sarana bagi masyarakat yang
hendak mengkomplain apa yang dilakukan oleh Lembaga Pemerintah dan
pegawainya. Selain itu lembaga ini juga memberikan edukasi pada pemerintah
dan masyarakat serta mengembangkan standar perilaku serta code of conduct
bagi lembaga pemerintah maupun lembaga hukum yang membutuhkan. Salah
satu peran dari ombudsman adalah mengembangkan kepedulian serta
pengetahuan masyarakat mengenai hak mereka untuk mendapat perlakuan
yang baik, jujur dan efisien dari pegawai pemerintah (UNODC : 2004). Di
Hongkong dibentuk lembaga anti korupsi yang bernama Independent
Commission against Corruption (ICAC); di Malaysia dibentuk the Anti-
CorruptionAgency (ACA). Kita sudah memiliki Lembaga yang secara khusus
dibentuk untuk memberantas korupsi. Lembaga tersebut adalah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
b. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah memperbaiki kinerja lembaga
peradilan baik dari tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan. Pengadilan adalah jantungnya penegakan hukum yang
harus bersikap imparsial (tidak memihak), jujur dan adil. Banyak kasus korupsi
yang tidak terjerat oleh hukum karena kinerja lembaga peradilan yang sangat
buruk. Bila kinerjanya buruk karena tidak mampu (unable), mungkin masih
dapat dimaklumi. Ini berarti pengetahuan serta ketrampilan aparat penegak
hukum harus ditingkatkan. Yang menjadi masalah adalah bila mereka tidak
mau (unwilling) atau tidak memiliki keinginan yang kuat (strong political will)
untuk memberantas korupsi, atau justru terlibat dalam berbagai perkara
korupsi.
c. Di tingkat departemen, kinerja lembaga-lembaga audit seperti Inspektorat
Jenderal harus ditingkatkan. Selama ini ada kesan bahwa lembaga ini sama
sekali ‘tidak punyagigi’ ketika berhadapan dengan korupsi yang melibatkan
pejabat tinggi.
d. Reformasi birokrasi dan reformasi pelayanan publik adalah salah satu cara
untuk mencegah korupsi. Semakin banyak meja yang harus dilewati untuk
mengurus suatu hal, semakin banyak pula kemungkinan untuk terjadinya
korupsi. Salah satu cara untuk menghindari praktek suap menyuap dalam
rangka pelayanan publik adalah dengan mengumumkan secara resmi biaya
yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk mengurus suatu hal seperti
mengurus paspor, mengurus SIM, mengurus ijin usaha atau Ijin Mendirikan
Bangunan (IMB) dsb.
e. Salah satu hal yang juga cukup krusial untuk mengurangi resiko korupsi
adalah dengan memperbaiki dan memantau kinerja Pemerintah Daerah.
Sebelum Otonomi Daerah diberlakukan, umumnya semua kebijakan diambil
oleh Pemerintah Pusat. Dengan demikian korupsi besar-besaran umumnya
terjadi di Ibukota negara atau di Jakarta. Dengan otonomi yang diberikan
kepada Pemerintah Daerah, kantong korupsi tidak terpusat hanya di ibukota
negara saja tetapi berkembang di berbagai daerah. Untuk itu kinerja dari
aparat pemerintahan di daerah juga perlu diperbaiki dan dipantau atau
diawasi.
f. Dalam berbagai pemberitaan di media massa, ternyata korupsi juga banyak
dilakukan oleh anggota parlemen baik di pusat (DPR) maupun di daerah
(DPRD). Alih-alih menjadi wakil rakyat dan berjuang untuk kepentingan rakyat,
anggota parlemen justru melakukan berbagai macam korupsi yang
‘dibungkus’ dengan rapi. Daftar anggota DPR dan DPRD yang terbukti
melakukan korupsi menambah panjang daftar korupsi di Indonesia. Untuk itu
kita perlu berhati-hati ketika ‘mencoblos’ atau ‘mencontreng’ pada saat
Pemilihan Umum. Jangan asal memilih, pilihlah wakil rakyat yang punya
integritas. Berhati-hati pula ketika DPR atau DPRD akan mengeluarkan suatu
kebijakan atau peraturan perundang-undangan. Salah-salah kebijakan
tersebut justru digunakan bagi kepentingan beberapa pihak bukan bagi
kepentingan rakyat. Untuk itulah ketika Parlemen hendak mengeluarkan
sebuah kebijakan yang akan mempengaruhi hajat hidup orang banyak,
masyarakat sipil (civil society) termasuk mahasiswa dan media harus ikut
mengawal pembuatan kebijakan tersebut.
4. Peranan Mahasiswa dalam Pencegahan Korupsi
Korupsi adalah adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang
berdampak sangat luar biasa. Pada dasarnya korupsi berdampak buruk pada
seluruh sendi kehidupan. Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime) yang berdampak sangat luar biasa. Pada dasarnya korupsi berdampak
buruk pada seluruh sendi kehidupan manusia. Korupsi merupakan salah satu
faktor penyebab utama tidak tercapainya keadilan dan kemakmuran suatu
bangsa. Korupsi juga berdampak buruk pada sistem perekonomian, sistem
demokrasi, sistem politik, sistem hukum, sistem pemerintahan, dan tatanan sosial
kemasyarakatan. Yang tidak kalah penting korupsi juga dapat merendahkan
martabat suatu bangsa dalam tata pergaulan internasional.
Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah bersifat kolosal dan ibarat penyakit
sudah sulit untuk disembuhkan. Korupsi dalam berbagai tingkatan sudah terjadi
pada hampir seluruh sendi kehidupan dan dilakukan oleh hampir semua golongan
masyarakat. Dengan kata lain korupsi sudah menjadi bagian dari kehidupan kita
sehari-hari yang sudah dianggap biasa. Oleh karena itu sebagian masyarakat
menganggap korupsi bukan lagi merupakan kejahatan besar. Jika kondisi ini tetap
dibiarkan seperti itu, maka hampir dapat dipastikan cepat atau lambat korupsi
akan menghancurkan negeri ini. Oleh karena itu sudah semestinya kita
menempatkan korupsi sebagai musuh bersama (common enemy) yang harus kita
perangi bersama-sama dengan sungguh-sungguh.
Karena sifatnya yang sangat luar biasa, maka untuk memerangi atau
memberantas korupsi diperlukan upaya yang luar biasa pula. Upaya
memberantas korupsi sama sekali bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Upaya
memberantas korupsi tentu saja tidak bisa hanya menjadi tanggungjawab institusi
penegak hukum atau pemerintah saja, tetapi juga merupakan tanggungjawab
bersama seluruh komponen bangsa. Oleh karena itu upaya memberantas korupsi
harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait,
yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Dalam konteks inilah mahasiswa,
sebagai salah satu bagian penting dari masyarakat, sangat diharapkan dapat
berperan aktif.
a. Gerakan Anti Korupsi
Korupsi di Indonesia sudah berlangsung lama. Berbagai upaya
pemberantasan korupsipun sudah dilakukan sejak tahun-tahun awal setelah
kemerdekaan. Berbagai peraturan perundangan tentang pemberantasan
korupsi juga sudah dibuat. Demikian juga berbagai institusi pemberantasan
korupsi silih berganti didirikan, dimulai dari Tim Pemberantasan Korupsi pada
tahun 1967 sampai dengan pendirian KPK pada tahun 2003. Namun demikian
harus diakui bahwa upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini
belum menunjukkan hasil maksimal. Hal ini antara lain terlihat dari masih
rendahnya angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. Berdasarkan UU
No.30 tahun 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dirumuskan
sebagai serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak
pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan peran
serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Rumusan undang-undang tersebut menyiratkan bahwa upaya
pemberantasan korupsi tidak akan pernah berhasil tanpa melibatkan peran
serta masyarakat. Dengan demikian dalam strategi pemberantasan korupsi
terdapat 3 (tiga) unsur utama, yaitu: pencegahan, penindakan, dan peran
serta masyarakat. Pencegahan adalah seluruh upaya yang dilakukan untuk
mencegah terjadinya perilaku koruptif. Pencegahan juga sering disebut
sebagai kegiatan Anti-korupsi yang sifatnya preventif. Penindakan adalah
seluruh upaya yang dilakukan untuk menanggulangi atau memberantas
terjadinya tindak pidana korupsi. Penindakan sering juga disebut sebagai
kegiatan Kontra Korupsi yang sifatnya represif. Peran serta masyarakat
adalah peran aktif perorangan, organisasi kemasyarakatan, atau lembaga
swadaya masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi. Salah satu upaya pemberantasan korupsi adalah dengan sadar
melakukan suatu Gerakan Anti-korupsi di masyarakat. Gerakan ini adalah
upaya bersama yang bertujuan untuk menumbuhkan Budaya Anti Korupsi di
masyarakat. Dengan tumbuhnya budaya anti-korupsi di masyarakat
diharapkan dapat mencegah munculnya perilaku koruptif. Gerakan Anti
Korupsi adalah suatu gerakan jangka panjang yang harus melibatkan seluruh
pemangku kepentingan yang terkait, yaitu pemerintah, swasta dan
masyarakat. Dalam konteks inilah peran mahasiswa sebagai salah satu
bagian penting dari masyarakat sangat diharapkan. Seperti yang sudah kita
ketahui bersama, pada dasarnya korupsi itu terjadi jika ada pertemuan antara
tiga faktor utama, yaitu: niat, kesempatan dan kewenangan. Niat adalah unsur
setiap tindak pidana yang lebih terkait dengan individu manusia, misalnya
perilaku dan nilai-nilai yang dianut oleh seseorang. Sedangkan kesempatan
lebih terkait dengan sistem yang ada. Sementara itu, kewenangan yang
dimiliki seseorang akan secara langsung memperkuat kesempatan yang
tersedia. Meskipun muncul niat dan terbuka kesempatan tetapi tidak diikuti
oleh kewenangan, maka korupsi tidak akan terjadi. Dengan demikian, korupsi
tidak akan terjadi jika ketiga faktor tersebut, yaitu niat, kesempatan, dan
kewenangan tidak ada dan tidak bertemu. Sehingga upaya memerangi
korupsi pada dasarnya adalah upaya untuk menghilangkan atau setidaknya
meminimalkan ketiga faktor tersebut. Gerakan anti-korupsi pada dasarnya
adalah upaya bersama seluruh komponen bangsa untuk mencegah peluang
terjadinya perilaku koruptif. Dengan kata lain gerakan anti-korupsi adalah
suatu gerakan yang memperbaiki perilaku individu (manusia) dan sistem
untuk mencegah terjadinya perilaku koruptif. Diyakini bahwa upaya perbaikan
sistem (sistem hukum dan kelembagaan serta norma) dan perbaikan perilaku
manusia (moral dan kesejahteraan) dapat menghilangkan, atau setidaknya
memperkecil peluang bagi berkembangnya korupsi di negeri ini. Upaya
perbaikan perilaku manusia antara lain dapat dimulai dengan menanamkan
nilai-nilai yang mendukung terciptanya perilaku anti-koruptif. Nilai-nilai yang
dimaksud antara lain adalah kejujuran, kepedulian, kemandirian, kedisiplinan,
tanggungjawab, kerja keras, kesederhanaan, keberanian, dan keadilan.
Penanaman nilai-nilai ini kepada masyarakat dilakukan dengan berbagai cara
yang disesuaikan dengan kebutuhan. Penanaman nilai-nilai ini juga penting
dilakukan kepada mahasiswa. Pendidikan anti-korupsi bagi mahasiswa dapat
diberikan dalam berbagai bentuk, antara lain kegiatan sosialisasi, seminar,
kampanye atau bentuk-bentuk kegiatan ekstra kurikuler lainnya. Pendidikan
anti korupsi juga dapat diberikan dalam bentuk perkuliahan, baik dalam
bentuk mata kuliah wajib maupun pilihan. Upaya perbaikan sistem antara lain
dapat dilakukan dengan memperbaiki peraturan perundang-undangan yang
berlaku, memperbaiki tata kelola pemerintahan, reformasi birokrasi,
menciptakan lingkungan kerja yang anti-korupsi, menerapkan prinsip-prinsip
clean and good governance, pemanfaatan teknologi untuk transparansi, dan
lain-lain. Tentu saja upaya perbaikan sistem ini tidak hanya merupakan
tanggungjawab pemerintah saja, tetapi juga harus didukung oleh seluruh
pemangku kepentingan termasuk mahasiswa. Pengetahuan tentang upaya
perbaikan sistem ini juga penting diberikan kepada mahasiswa agar dapat
lebih memahami upaya memerangi korupsi.

b. Peran Mahasiswa
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia tercatat bahwa mahasiswa
mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan tersebut tercatat dalam
peristiwa-peristiwa besar yang dimulai dari Kebangkitan Nasional tahun 1908,
Sumpah Pemuda tahun 1928, Proklamasi Kemerdekaan NKRI tahun 1945,
lahirnya Orde Baru tahun 1996, dan Reformasi tahun 1998. Tidak dapat
dipungkiri bahwa dalam peristiwa-peristiwa besar tersebut mahasiswa tampil
di depan sebagai motor penggerak dengan berbagai gagasan, semangat dan
idealisme yang mereka miliki. Peran penting mahasiswa tersebut tidak dapat
dilepaskan dari karakteristik yang mereka miliki, yaitu: intelektualitas, jiwa
muda, dan idealisme. Dengan kemampuan intelektual yang tinggi, jiwa muda
yang penuh semangat, dan idealisme yang murni telah terbukti bahwa
mahasiswa selalu mengambil peran penting dalam sejarah perjalanan bangsa
ini. Dalam beberapa peristiwa besar perjalanan bangsa ini telah terbukti
bahwa mahasiswa berperan sangat penting sebagai agen perubahan (agent
of change). Dalam konteks gerakan anti-korupsi mahasiswa juga diharapkan
dapat tampil di depan menjadi motor penggerak. Mahasiswa didukung oleh
kompetensi dasar yang mereka miliki, yaitu: intelegensia, kemampuan
berpikir kritis, dan keberanian untuk menyatakan kebenaran. Dengan
kompetensi yang mereka miliki tersebut mahasiswa diharapkan mampu
menjadi agen perubahan, mampu menyuarakan kepentingan rakyat, mampu
mengkritisi kebijakan-kebijakan yang koruptif, dan mampu menjadi watch dog
lembaga-lembaga negara dan penegak hukum.
c. Keterlibatan Mahasiswa
Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi pada dasarnya dapat
dibedakan menjadi empat wilayah, yaitu: di lingkungan keluarga, di
lingkungan kampus, di masyarakat sekitar, dan di tingkat lokal/nasional.
Lingkungan keluarga dipercaya dapat menjadi tolok ukur yang pertama dan
utama bagi mahasiswa untuk menguji apakah proses internalisasi anti korupsi
di dalam diri mereka sudah terjadi. Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan
anti korupsi di lingkungan kampus tidak bisa dilepaskan dari status
mahasiswa sebagai peserta didik yang mempunyai kewajiban ikut
menjalankan visi dan misi kampusnya. Sedangkan keterlibatan mahasiswa
dalam gerakan anti korupsi di masyarakat dan di tingkat lokal/nasional terkait
dengan status mahasiswa sebagai seorang warga negara yang mempunyai
hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat lainnya.
Daftar Pustaka
Ali, Muhammad (1993), Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern,
Jakarta :Pustaka Amani

Andrea, Fockema (1951), Rechtsgeleerd Handwoordenboek, Groningen –


Djakarta, Bij J B Wolter Uitgevermaatschappij, 1951 (Kamus
Hukum, terjemahan), Bandung: Bina Cipta

Batennie. Faisal.(2012).Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi.


Jakarta: Kementrian Pendidikan dan kebudayaan RI direktorat
Jendral Perguruan Tinggi

Black, Henry Campbell, (1990), Black’s Law Dictionary, West Publishing


Co.,St. Paul Minn

Danil, Elwi, (2012), Korupsi; Konsep, Tindak Pidana, dan


Pemberantasannya, Cetakan Kedua, Rajawali Pers, Depok

Djalil, Rizal. (2014). Akuntabilitas Keuangan Daerah, Implementasi Pasca


Reformasi. Edisi 1. Jakarta: Semester Rakyat Merdeka

Frinaldi, Aldri dan Muhamad ali embi. (2011). Pengaruh Budaya Kerja etnik
terhadap Budaya Kerja Keberanian dan Kearifan PNS dalam
Pelayanan Publik yang Prima (Studi Pada Pemerintahan
Kabupaten Pasaman Barat) Lab-Ane Fisip UNTIRTA.

Gunawan. Ilham (1990), Postur Korupsi di Indonesia: Tinjauan Yuridis,


Sosiologis, Budaya dan Politis, Bandung: Angkasa

Kurniawan (2010), Akuntabilitas Publik: Sejarah, Pengertian, Dimensi dan


Sejenisnya, Jakarta.

Lopa, Baharuddin, (2001), Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum,


Kompas, Jakarta

Mustari, mohammad. (2011), nilai karakter:refleksi untuk pendidikan


karakter, Yogyakarta: Laksbang Pressindo
Poerwadarminta W.J.S. (1976). Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai
Pustaka, Jakarta.

Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan, Defny Holidin (2007), Refomasi dan


Inovasi Birokrasi: Studi di Kabupaten Sragen, Jakarta: Departemen
Ilmu Administrasi FISIP UI dan Yappika – CIDA.

Rachman, dkk. (2014): padepokan karakter: Lokus Pembangunan


Karakter. Semarang: Unnes Press

Sugono, Dendy (2008), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat


Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

Wahab, Azis & Sapriya. (2011). Teori dan Landasan Pendidikan


Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta.

Zubaedi, M. (2011). Desain Pendidikan karakter: konsepsi dan dan


aplikasinya dalam lembaga pendidikan. Pranada Media Grup

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak


Pidana
Korupsi.

UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun


1999.

Anda mungkin juga menyukai