Anda di halaman 1dari 6

PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI JALUR PENGADILAN DI JAKARTA

Sengketa antara Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Mangga Dua Court


dengan PT Duta Pertiwi Tbk
Andisa Fardhana K W, Diva Angkasa W P, Minahussaniyyah, Mufidah T R
Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret Surakarta
endiwbw@gmail.com

Abstrak

Sengketa atas kepemilikan tanah sering terjadi di Indonesia. Hal tersebut mayoritas disebabkan oleh kurangnya
pemahaman mengenai hukum yang berlaku, sehingga mengakibatkan proses penyelesaian sengketa yang
rumit. Pengkajian kasus yang berhubungan dengan hukum penyelesaian sengketa tanah diharapkan dapat
meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai hal tersebut. Pengkajian kasus dilakukan dengan metode
penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik content analysis (analisis isi). Data yang diperoleh bersumber
dari media massa yang memuat kasus mengenai sengketa tanah antara penghuni Apartemen MDC dengan PT
Duta Pertiwi. Titik masalah dari kasus ini adalah mengenai hak atas tanah yang diketahui oleh penghuni
apartemen merupakan Hak Guna Bangunan (HGB) murni, namun ternyata tanah tersebut merupakan HGB di
atas Hak Pengelolaan (HPL). Penyelesaian sengketa dilakukan melalui jalur pengadilan (litigasi). Penyelesaian
sengketa melalui litigasi biasanya dilakukan sebagai tahap terakhir dalam penyelesaian sengketa apabila cara-
cara yang lain dianggap tidak dapat menyelesaikan sengketa yang terjadi.

Kata kunci: sengketa, hak guna bangunan, litigasi

1. PENDAHULUAN

Kasus sengketa hak atas tanah sering terjadi di Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan
terjadinya kasus sengketa tanah. Selain faktor ketidaktahuan para pelaku di sektor properti akan
hukum, sifat-sifat dasar dalam hukum di Indonesia juga ikut memperparah keadaan ini. Kasus yang
dibahas merupakan salah satu kasus yang disebabkan karena kesalahan pihak pengembang yang
tidak memberikan informasi yang jelas kepada konsumen mengenai hak atas tanah yang
diperjualbelikan. Sengketa tanah disebabkan karena adanya perbedaan nilai, kepentingan, pendapat
dan persepsi antara orang perorangan atau badan hukum mengenai status penguasaan, status
kepemilikan dan status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak
tertentu. Sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang merasa atau
dirugikan pihak-pihak tersebut untuk penggunaan dan penguasaan hak atas tanahnya, yang
diselesaikan melalui musyawarah atau melalui pengadilan.5 Timbulnya sengketa tanah dapat terjadi
karena adanya gugatan dari seseorang arau badan hukum yang berisi tuntutan hukm akibat
perbuatan melawan hukum yang telah merugikan hak atas tanah dari pihak penggugat. Adapun
materi gugatan dapat berupa tuntutan adanya kepastian hukum mengenai siapa yang berhak atas
tanah, status tanah, bukti-bukti yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang
mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah
berbeda dengan hak penggunaan atas tanah (Sri Sayekti, 2000:20). Ciri khas dari hak atas tanah
adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau
mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya.
Definisi Hak Guna Bangunan (HGB) dijelaskan dalam PP 40/1996 yaitu; hak menguasai negara
yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Sedangkan dalam UU
20/2000 Tentang Perubahan Atas UU 21/1997 tentang BPHTB jo Pasal 1 PP 36/1997 tentang
pengenaan BPHTB karena Pemberian HPL, yaitu hak menguasai dari negara atas tanah yang
kewenangan pelaksannannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya untuk merencanakan
peruntukan dan penggunaan tanah, menggunakan untuk keperluan pelaksanaan tugasnya,
menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada Pihak Ketiga (P III) dan/atau bekerja sama dengan
P III. Pihak Ketiga yang ingin mempunyai HGB atau Hak Pakai, terlebih dahulu membuat perjanjian
penggunaan tanah dengan pemegang Hak Pengelolaan (HPL). Pemberian hak diatas HPL, tidak
memutus hubungan hukum antara pemegang HPL dengan Hak Pengelolaannya, setiap HGB atau Hak
Pakai berakhir, maka perpanjangan atau pembaharuannya harus dengan ijin tertulis pemegang HPL.
Pemegang HPL dapat menyerahkan bagian tanah HPL dalam bentuk Hak Milik (HM) kepada P III
melalui pelepasan atau penyerahan HPL, dengan demikian hubungan hukum pemegang HPL dengan
hak pengelolaannya berakhir.
Prosedur pemberian hak milik, hak guna bangunan, dan hak pakai yang berasal dari tanah
hak pengelolaan diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 tentang Tata
Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta
Pendaftarannya (Permendagri 1/1977). Pasal 3 ayat (1) Permendagri 1/1977 menentukan: Setiap
penyerahan penggunaan tanah yang merupakan bagian dari tanah hak pengelolaan kepada pihak
ketiga oleh pemegang hak pengelolaan, baik yang disertai atau pun tidak disertai dengan pendirian
bangunan di atasnya, wajib dilakukan dengan pembuatan perjanjian tertulis antara pihak pemegang
hak pengelolaan dan pihak ketiga yang bersangkutan. Khusus untuk penyerahan bagian-bagian tanah
hak pengelolaan dalam bentuk hak milik kepada pihak ketiga, harus melalui pelepasan atau
penyerahan hak pengelolaan dengan membuat surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak
pengelolaan oleh pemegang haknya. Selanjutnya pihak yang menerima pelepasan atau penyerahan
hak pengelolaan tersebut mengajukan permohonan pemberian hak milik kepada Kepala Badan
Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Pertanahan setempat.
Mengenai hak pengelolaan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) tidak mengatur tentang hak pengelolaan secara eksplisit. Namun,
UUPA menjelaskan hak pengelolaan berasal dari hak menguasai Negara atas tanah. Negara sebagai
pihak yang menguasai tanah (sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat/bangsa) dapat
memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan
dan keperluannya, misalnya hak milik, hak-guna-usaha, hak guna bangunan atau hak pakai atau
memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau
Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.
Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu penyelesaian melalui
musyawarah untuk mufakat, penyelesaian melalui alternative penyelesaian sengketa, dan
penyelesaian melalui jalur pengadilan (litigasi). Litigasi merupakan tahap terakhir yang dilakukan
dalam kasus penyelesaian sengketa apabila cara-cara yang lain tidak dapat menyelesaikan sengketa
yang terjadi. Litigasi adalah system penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Penyelesaian
sengketa melalui litigasi diatur dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, mengatur penyelesaian melalui peradilan umum, peradilan militer, peradilan agama,
peradilan tata usaha negara, dan peradilan khusus seperti peradilan anak, peradilan niaga, peradilan
pajak, peradilan penyelesaian hubungan industrial dan lainnya.
2. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian
kualitatif merupakan sebuah metode yang memfokuskan pada pemahaman fenomena sosial dari
sudut pandang partisipan secara deskriptif. Metode ini lebih menekankan pada penelitian yang
bersifat memberikan gambaran secara jelas dan sesuai dengan fakta di lapangan. Metode penelitian
kualitatif bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Data dalam penelitian kualitatif
tidak dapat diukur dalam skala numerik, tetapi dipaparkan dalam bentuk deskripsi.

Motode penelitian kualitatif yang digunakan adalah penggunaan teknik content analysis atau
analisis isi. Analisis isi (content analysis) adalah teknik penelitian yang bersifat pembahasan
mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Menurut Holsti,
metode analisis isi adalah suatu teknik untuk mengambil kesimpulan dengan mengidentifikasi
berbagai karakteristik khusus suatu pesan secara objektif, sistematis, dan generalis.

Analisis isi dapat meningkatkan pemahaman peneliti tentang suatu fenomena yang terjadi.
Studi analisis isi ini menekankan pada pemahaman bahasa dan menghendaki adanya netralitas. Akan
tetapi, sedikit kelemahan dari analisis isi ini adalah sangat berpengaruh pada subjektivitas peneliti.
Namun, suatu hal yang membuat metode analisis isi ini patut menjadi pilihan karena sangat efisien
dan pengunaan satu media massa sudah dinilai representatif asal media massa tersebut bisa
menyampaikan isinya secara komprehensif.

Analisis isi memiliki prosedur yang spesifik, yang agak berbeda dengan metode penelitian
yang lain. Beberapa prosedur analisis isi yang biasa dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Perumusan Masalah: analisis isi dimulai dengan rumusan masalah penelitian yang spesifik

2. Pemilihan Media (Sumber Data): peneliti harus menentukan sumber data yang relevan dengan
masalah penelitian. Suatu observasi yang mendalam terhadap perpustakaan dan berbagai media
massa seringkali akan membantu penentuan sumber data yang relevan. Penentuan periode
waktu dan jumlah media yang diteliti (sample), bila jumlahnya berlebihan, juga penting untuk
ditentukan pada tahap ini

3. Definisi Operasional: definisi operasional ini berkaitan dengan unit analisis. Penentuan unit
analisis dilakukan berdasarkan topik atau masalah riset yang telah ditentukan sebelumnya

4. Pelatihan Penyusunan Kode dan Mengecek Reliabilitas: kode dilakukan untuk mengenali ciri-ciri
utama kategori. Idealnya, dua atau lebih coder sebaiknya meneliti secara terpisah dan
reliabilitasnya dicek dengan cara membandingkan satu demi satu kategori

5. Analisis Data dan Penyusunan Laporan: data kuantitatif yang diperoleh dengan analisis isi dapat
dianalisis dengan teknik statistik yang baku. Penulisan laporan dapat menggunakan format
akademis yang cenderung baku dan menggunakan prosedur yang ketat atau dengan teknik
pelaporan populer versi media massa atau buku. Data dianalisis juga dalam bentuk Coding
Sheets.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas
tanah yang bukan miliknya sendiri, yang dapat berupa tanah negara, tanah hak pengelolaan, tanah
hak milik orang lain dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama
20 tahun. Setelah berakhir jangka waktu dan perpanjangannya dapat diberikan pembaharuan baru
Hak Guna Bangunan di atas tanah yang sama. Kasus yang dibahas adalah sengketa tanah antara
Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Mangga Dua Court (PPRS MDC) yang menggugat PT Duta
Pertiwi Tbk sebagai pihak pengembang.

Fifi Tanang yang menjabat Ketua Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Apartemen Mangga
Dua Court (MDC) membongkar kasus status hak atas tanah Apartemen Mangga Dua Court (MDC),
yang berlokasi di Jakarta Utara. Ia dilaporkan ke Mabes Polri lantaran mencemarkan nama baik PT
Duta Pertiwi Tbk di sebuah media nasional. Selain itu, Fifi bersama dengan 16 pemilik kios ITC
Mangga Dua harus berjibaku menghadapi gugatan perdata di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara.
Sekedar informasi, hampir semua properti yang berada di kawasan Mangga Dua dikuasai oleh PT
Duta Pertiwi Tbk, termasuk ITC Mangga Dua dan Apartemen MDC.

Namun, gugatan itu tak menyurutkan niat Fifi untuk memperkarakan PT Duta Pertiwi Tbk. Ia
justru menggugat balik PT Duta Pertiwi di dua pengadilan sekaligus, yakni Pengadilan Negeri wilayah
Jakarta Utara dan Pengadilan Negeri wilayah Jakarta Pusat. Di PN Jakarta Pusat, salah satu ahli yang
didatangkan adalah pakar hukum agraria Boedi Harsono yang menyatakan Badan Pertanahan
Nasional (BPN) mesti bertanggung jawab atas terbitnya sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) murni
Apartemen MDC. Apalagi, lanjutnya, mustahil jika BPN tidak mengetahui status tanah itu dari awal
saat dilakukan jual beli unit apartemen. Sebagai lembaga yang mengawasi ranah pertanahan di tanah
air, sudah sepatutnya BPN juga bertindak mengawasi sengketa pertanahan yang kerap terjadi.

Dalam kasus ini pihak Duta Pertiwi patut dipersalahkan, karena sejak awal tidak
menginformasikan status tanah Apartemen MDC kepada calon pembeli waktu itu. Kasus ini berawal
saat 147 pemegang unit setifikat hak milik atas satuan rumah susun (SHMSRS) yang tergabung dalam
Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS) MDC ingin memperpanjang HGB tanah bersama, bulan
Maret 2006. Ketika itu BPN belum mengetahui bahwa tanah Apartemen MDC adalah HGB di atas Hak
Pengelolaan (HPL). Hal ini ditegaskan BPN dengan menerbitkan Surat Keterangan Status Tanah (SKST)
tertanggal 24 Mei 2006. Selain itu, BPN juga telah melakukan risalah pemeriksaan tanah
(konstatering rapport) yang hasilnya tidak menyatakan tanah HPL. Sehingga, PPRS MDC diwajibkan
membayar uang pemasukan kepada negara total Rp289 juta.

Anehnya, pada bulan Juli 2006, BPN menarik kembali pernyataan tersebut. Setelah diselidiki
ulang, ternyata BPN baru mengetahui bahwa status tanah Apartemen MDC adalah HGB di atas HPL
atas nama Pemda DKI Jakarta (sekarang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta). Akibatnya, sertifikat
Apartemen MDC yang telah diberikan kepada PPRS MDC dilakukan pencoretan dan pembatalan. Hal
itu dilakukan BPN lantaran ditemukan dokumen surat perjanjian kerja sama antara R. Soeprapto
(Gubernur DKI Jakarta waktu itu) dengan Rachmat Sumengkar (Direktur Utama Duta Pertiwi waktu
itu) yang mendapat persetujuan dari Komisaris Utama Duta Pertiwi, Eka Tjipta Widjaja. Perjanjian itu
telah disepakati dan ditandatangani antara kedua pihak sekitar tahun 1984. Mereka merasa ditipu
oleh manajemen Duta Pertiwi. Pasalnya, pada saat membeli unit Apartemen MDC, Duta Pertiwi tidak
pernah menginformasikan kepada calon pembeli bahwa tanah bersama Apartemen MDC adalah milik
Pemprov DKI Jakarta dan berstatus HGB di atas HPL. Para pembeli saat itu mengira status tanah
adalah HGB murni. Akibatnya, para penghuni Apartemen MDC diharuskan menanggung biaya
perpanjangan yang disetorkan kepada kas negara sebesar Rp4,3 miliar, padahal jika status tanah itu
HGB murni, penghuni hanya dikenakan biaya Rp289 juta. Dampak lainnya adalah PT Duta Pertiwi
berusaha menguasai ruang dan fasilitas bersama milik penghuni. Di antaranya ruang fitness, serba
guna, posko sekuriti timur dan barat, sebagian ruang lobi barat dan timur, serta kantor sekretariat
perhimpunan penghuni. Harusnya hak kelola dan hak guna itu diserahkan oleh PT Duta Pertiwi
kepada Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS). Fifi Tanang sebagai perwakilan dari PPRS MDC
lantas menyodorkan beberapa dokumen yang kesemuanya memang tidak bertuliskan "HGB di atas
HPL atas nama Pemda DKI Jakarta". Bukti itu antara lain: perjanjian pengikatan jual beli, akta jual beli,
dan Sertifikat Hak Milik (SHM).

Fifi Tanang dan Tjandra Widjaja kemudian menggugatnya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
pada 7 Juni 2007. Selain menggugat Duta Pertiwi, di kasus ini PPRC MDC juga menggugat Direktur
Utama Duta Pertiwi sebagai tergugat II, Notaris Arikanti Natakusumah sebagai tergugat III, BPN
dengan tembusan Kantor Pertanahan Jakarta Pusat sebagai tergugat IV, dan Biro Perlengkapan
Provinsi DKI Jakarta sebagai tergugat V.

Gugatan mereka dimenangkan majelis hakim pada 14 April 2018. PT Duta Pertiwi terbukti
bersalah dan melanggar hukum. Keputusan majelis hakim memenangkan gugatan PPRC MDC,
merujuk ketentuan jual beli dalam Pasal 1474 KUH Perdata. Pasal itu mengatur tentang kewajiban
utama penjual terhadap pembeli, yaitu menyerahkan barang dan menanggungnya. Penyerahan
barang dalam kasus ini adalah pemindahan barang yang telah dijual ke dalam kekuasaan dan hak
milik si pembeli. Sedangkan penanggungan yang diatur dalam Pasal 1491 menyatakan bahwa penjual
harus menjamin dua hal kepada pembeli. Pertama adalah penguasaan barang yang dijual itu secara
aman dan tenteram. Sementara yang kedua adalah tak ada cacat yang tersembunyi pada barang itu,
atau yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan alasan untuk pembatalan pembelian tersebut.
Duta Pertiwi, tergugat II, serta tergugat III dianggap melanggar azas kepatutan dan ketelitian sebagai
salah satu unsur perbuatan melawan hukum. Akibat kekalahan ini, Duta Pertiwi, tergugat II, dan
tergugat III terkena kewajiban membayar biaya yang harus dikeluarkan penggugat guna memeroleh
persetujuan pemegang HPL untuk memperpanjang HGB. Tergugat diharuskan membayar biaya
rekomendasi perpanjangan status tanah ke Pemprov DKI Jakarta sekitar Rp4,5 miliar.

Penyelesaian kasus tersebut yang melaui jalan litigasi (pengadilan), dilakukan setelah
penyelesaian melalui alternatif penyelesaian sengketa tidak berhasil. Pihak PPRS MDC yang merasa
dirugikan kemudian menggugat PT Duta Pertiwi Tbk dan tergugat lainnya di Pengadilan Negeri Jakarta
Utara. Penyelesaian sengketa pada kasus ini sudah sesuai dengan teori-teori hukum penyelesaian
sengketa yang ada. Sengketa yang diselesaikan melalui jalur pengadilan akan diputuskan oleh hakim
dengan memeriksa dan mengadili sesuai dengan ketentuan pada UU Peradilan Umum.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Kasus ini menemukan titik terang setelah dilakukan penyelesaian melalui jalur pengadilan.
Pengadilan memenangkan gugatan PPRS MDC atas PT Duta Pertiwi Tbk yang disebabkan oleh
penipuan dalam ha katas tanah yang diberikan kepada penghuni Apartemen MDC. Pada surat
perjanjian antara para penghuni apartemen dengan pihak Duta Pertiwi, disebutkan bahwa tanah
tersebut merupakan Hak Guna Bangunan murni, sedangkan pada kenyataannya tanah tersebut
merupakan Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan milik Pemda DKI Jakarta (sekarang Pemprov
DKI Jakarta). Pengadilan kemudian menjatuhkan hukuman kepada Duta Pertiwi untuk membayar
denda sebesar RP4,5 milyar yang digunakan untuk rekomendasi perpanjangan status tanah ke
Pemprov DKI Jakarta.

Penyelesaian melalui pengadilan ini dapat membuat pihak penggugat mendakpatkan haknya
kembali setelah merasa dirugikan oleh pihak tergugat. Penyelesaian melalui pengadilan ini dilakukan
setelah penyelesaian melalui alternatif penyelesaian sengketa tidak membuahkan hasil. Kasus seperti
ini diharapkan tidak terjadi lagi di Indonesia.

Setelah diketahui kesimpulan dari kasus tersebut, sebaiknya masyarakat lebih berhati-hati
dalam melakukan jual beli atas tanah. Konsumen diharapkan lebih teliti dalam memeriksa surat-surat
tanah dan status hak atas tanah yang akan dibeli. Sebaliknya, penjual/pihak pengembang juga
diharapkan tidak melakukan penipuan atas status ha katas tanah yang diperjualbelikan. Dengan
kewaspadaan dan kejujuran oleh pihak penjual maupun pembeli, diharapkan tidak akan ada lagi
kasus serupa terjadi di negara kita ini.

REFERENSI

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan
Penyelesaian Pemberian Hak atas Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan serta
Pendaftarannya.

Wijaya, Andika dan Wida Peace Ananta. 2017. Hukum Bisnis Properti di Indonesia. Jakarta: PT
Grasindo.

Winarta, F. H. 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika.

Anda mungkin juga menyukai