Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

MORBUS HANSEN

Pembimbing:

dr. Sri Naita Purba, Sp.KK

Oleh:

Agelia Nabilah Azra

Alfia Hidayah

Alhadid Ridho Rahmatullah

Annisa Yuwita

Kepaniteraan Klinik Senior SMF Ilmu Kulit Kelamin

RSUD Deli Serdang

Lubuk Pakam

2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan referat ini

guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di bagian SMF Psikiatri RSUD

Deli Serdang Lubuk Pakam dengan judul “Morbus Hansen”

Referat ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih dalam teori-teori yang

diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik SMF PsikiatriRSUD Deli Serdang

Lubuk Pakam dan mengaplikasikannya untuk kepentingan klinis kepada pasien. Penulis

mengucapkan terimakasih kepada dr. Sri Natia, Sp.KK yang telah membimbing penulis

dalam referat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih memiliki kekurangan,

oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang membangun dari semua pihak yang

membaca referat ini. Harapan penulis semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi

semua pihak yang membacanya.

Lubuk Pakam, 25 Desember 2018

Penulis

2
BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit kusta atau lepra atau penyakit Hansen merupakan penyakit

infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae dan utamanya

mempengaruhi kulit, saraf tepi, mukosa saluran pernafasan atas, dan mata

(Kemenkes RI, 2017). Penyakit kusta merupakan infeksi mikobakterium yang

bersifat kronik, afinitas pertama dimulai pada saraf perifer, kulit dan mukosa

traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan

saraf pusat (Regan, 2012).

Kusta sampai sekarang masih menjadi satu permasalahan yang dihadapi

oleh masyarakat dunia. Kusta merupakan salah satu penyakit menular yang dapat

menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan

hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, dan

ketahanan nasional (Regan, 2012). Pada tahun 2000, Indonesia telah mencapai

status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta <1 per 10.000 penduduk (<10 per

100.000 penduduk) (WHO, 2014). Meski Indonesia telah mencapai eliminasi

kusta pada tahun 2000 lalu, namun hingga kini penemuan kasus kusta masih

dijumpai dibeberapa daerah. Untuk itu, Kemenkes RI menargetkan agar seluruh

Provinsi dapat mencapai status eliminasi kusta pada tahun 2019 (Kemenkes RI,

2015). Indonesia masih bisa menurunkan angka kejadian kusta meskipun relatif

lambat. Angka prevalensi kejadian kusta dalam 5 tahun terakhir yaitu, tahun

2011 (0,96), tahun 2012 (0,91), tahun 2013 (0,79), tahun 2014 (0,79), tahun 2015

(0,79), tahun 2016 (071).

3
Angka penemuan kasus baru kusta per 100.000 penduduk yaitu, tahun

2011 (8,30), tahun 2012 (7,76), tahun 2013 (6,79), tahun 2014 (6,75), tahun 2015

(6,73), tahun 2016 (6,50) (Kemenkes RI, 2017). Indonsia pada tahun 2017 di

laporkan 20.748 kasus baru kusta diantaranya 18.374 tipe Multi Basiler (MB) dan

2.374 Pausi Basiler (PB) (Kemenkes RI, 2017).

Di dunia Indonesia (17.202 jiwa) termasuk peringkat ketiga setelah India

127.326 jiwa dan brazil 26.395 jiwa (Kemenkes RI, 2016). Di Indonesia kasus

baru kusta paling banyak di Provinsi Jawa Timur (4.668 jiwa), Jawa Barat (2.410

jiwa), Jawa Tengah (2000 jiwa), Papua (1.376), Papua Barat (1.346 jiwa),

Sulawesi Selatan (1.186 jiwa), Banten (1.007 jiwa). Proporsi kasus kusta anak

tertinggi dengan tingkat kecacatan tingkat 1 tertinggi yaitu Jawa Barat (16,86%),

Kalimantan Selatan (16,67%), Sulawesi Selatan (16,47%), Jawa Timur (13,48%),

Sumatera Utara (11,93%), Jawa Tengah (11,45%), Nusa Tenggara Timur

(10,88%). Provinsi Banten ditahun 2013 angka prevalensinya > 1 per 10.000

penduduk (belum eliminasi) namun ditahun 2014 dan 2015 provinsi ini berhasil

mencapai eliminasi (Kemenkes RI,2016). Ridley dan Jopling memperkenalkan

istilah spektrum determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe

atau bentuk, yaitu: TT (Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil, BT (Borderline

Tuberculoid), BB (Mid Borderline), BL (Borderline Lepromatous), LL

(Lepromatosa polar, bentuk yang stabil).

TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe

yang stabil, artinya tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe

lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil

yang tidak mungkin berubah lagi.

4
BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50%

lepromatosa. BT lebih banyak tuberkuloidnya. BL lebih banyak lepromatosanya.

Menurut WHO pada tahu 1981, kusta dibagi menjadi MB dan PB. Yang termasuk

dalam Multi Basiler adalah tipe LL, BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling

dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+. Pausi Basiller adalah tipe I, TT, dan BT

dengan IB kurang dari 2+. Kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif (-) pada

pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaiti tipe I, TT, dan BT, sedangkan kusta MB

adalah semua penderita kusta tipe BB, BL, LL ataupun klasifikasi klinisnya

dengan BTA positif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB (Sri Linuwih SW

Menaldi, 2017).

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kusta

Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India

kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi yang berarti kumpulan gejala

gejala kulit secara umum. Selain lepra kusta juga dikenal dengan nama Morbus

Hansen (Sandle, 2013).

Penyakit kusta merupakan infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan

oleh M.leprae yang bersifat intraselular. Kusta pada dasarnya adalah penyakit

saraf perifer namun juga mempengaruhi kulit dan kadang-kadang jaringan tertentu

lainnya, terutama mata, mukosa saluran pernafasan bagian atas, otot, tulang, testis,

dan dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (Sri Linuwih SW Menaldi,

2017; Lee dkk, 2012).

2.2 Etiologi

Penyebab penyakit kusta Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A

Hansen pada tahun 1873 di Norwegia. M.leprae hidup intraselular dan

mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan Cell) dan sel dari retikulo

endotelial. Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu diluar tubuh

manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan

sampai 9 hari, tumbuh pada temperatur 27-30ºC, masa inkubasinya 2-5 tahun. M.

lepra secara morfologik, berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi pararel

dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk

batang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, dapat tersebar atau dalam

6
berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk masa iregular besar yang disebut

sebagai globi (Sri Linuwih SW Menaldi, 2017; Lee dkk, 2012).

Dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan

arabinogalaktan dan mycolic acid. Lipoarabinomanan merupakan target lipoglikan

respon imunitas selualar maupun humoral yang ditemukan pada membran bagian

luar hingga ke membran sel. Kapsul M. lepra mengandung 2 lipid bakteri utama

yaitu pthiocerol dimycocerosate dan phenolic glycolipid-1 (PGL-1) yang

merupakan glikolipid spesifik untuk M lepra yang aktif secara serologis. Phenolic

glycolipid-1 sangat imunogenik, dapat memicu imunoglobulin. Imunoglobulin

(Ig) M ditemukan pada 60% kusta tipe TT dan 90% kusta tipe LL (Polycarpou

dkk, 2013).

Gambar. 2.1 Mycobakterium Leprae

Keterangan : M. leprae berbentuk batang dengan ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron

Hasil BTA (+) : bewarna merah, BTA (-) : bewarna biru.

2.3 Epidemiologi

Prevalensi penyakit kusta di dunia masih tinggi.WHO mencatat pada tahun

2015 sebanyak 211.973 kasus (0,29 per 10.000), kasus kusta menurun dibanding

7
tahun 2014 dengan jumlah 213.899 kasus dan tahun 2013 dengan jumlah 215.656

kasus (WHO, 2015).

Indonesia menduduki peringkat ketiga negara endemik kusta terbanyak

setelah India dan Brazil. Kejadian kusta masih sangat tinggi dibeberapa negara,

terutama negara berkembang yang sangat erat kaitannya dengan tingkat

kemiskinan dan kepadatan penduduk

Di Indonesia kasus baru kusta paling banyak di Provinsi Jawa Timur

(4.668 jiwa), Jawa Barat (2.410 jiwa), Jawa Tengah (2000 jiwa), Papua (1.376),

Papua Barat (1.346 jiwa), Sulawesi Selatan (1.186 jiwa), Banten (1.007 jiwa).

Proporsi kasus kusta anak tertinggi dengan tingkat kecacatan tingkat 1 tertinggi

yaitu Jawa Barat (16,86%), Kalimantan Selatan (16,67%), Sulawesi Selatan

(16,47%), Jawa Timur (13,48%), Sumatera Utara (11,93%), Jawa Tengah

(11,45%), Nusa Tenggara Timur (10,88%). Proporsi kasus kusta anak tertinggi

dengan tingkat kecacatan tingkat 2 tertinggi yaitu Bengkulu (22,22%),

Kalimantan Selatan (19,23%), Sumatra Utara (17,61%), Jambi (16,33%), Jawa

Tengah (10,24%), Sulawesi Selatan (10,12%), dan Jawa Timur (10,01%)

(Kemenkes RI, 2017).

2.4 Patogenesis

Manusia satu-satunya yang dianggap sebagai sumber penularan. Penularan

terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk

ke dalam tubuh orang lain. Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi

sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan

melalui saluran pernafasan dan kulit yang terinfeksi. Mukosa hidung telah lama

8
dikenal sebagai sumber dari kuman tersebut dan dapat ditularkan melalui droplet

(Regan, 2012).

Respon imun pada penyakit kusta sangat kompleks, dimana melibatkan

respon imun seluler dan humoral :

1. Imunitas seluler

Respon imun seluler merupakan hasil dari aktivasi makrofag

dengan meningkatkan kemampuannya dalam menekan multiplikasi atau

menghancurkan bakteri. M. leprae hidup intraselular, bila berada diluar

tubuh M.lepra tidak bertahan lama. Setelah M. leprae masuk kedalam

tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan

seseorang/derajat imunitas seseorang. Bila seseorang mempunyai sistem

imunitas seluler yang tinggi, kuman dapat dimatikan atau multiplikasi

bakteri dapat dihambat pada stadium awal. Tapi apabila imunitas seluler

seseorang rendah kuman akan mengadakan multiplikasi, kemudian

menyebar melalui darah, perineural dan cairan tubuh. M. leprae

predileksinya di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral

dengan vaskularisasi yang sedikit.

Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular

daripada intensitas infeksi, oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut

sebagai penyakit imunologik (Kosasih dkk, 2010).

2. Imunitas humoral

Imunitas humoral juga memegang peranan penting dalam

patogenesis penyakit. Respon imun humoral terhadap M. leprae

merupakan aktivitas sel limfosit B yang berada dalam jaringan limfosit

9
dan aliran darah. Rangsangan dari komponen antigen, basil tersebut akan

mengubah sel limfosit B menjadi sel plasma yang akan menghasilkan

antibodi yang dapat mencegah proses perkembangbiakan bakteri (Regan,

2012).

2.5 Tempat Predileksi

1. Predileksi Lesi Kulit

Bagian tubuh yang relatif lebih dingin misalnya muka, hidung

(mukosa), telinga, anggota tubuh dan bagian tubuh yang terbuka.

2. Predileksi Kerusakan Sarah Tepi

Penyakit ini sering menyerang saraf tepi yang terletak superficial

yang suhunya relatof lebih dingin, misalnya: N. Auricularis, N. Radialis,

N. Tibialis Posterior, N. Facialis, N. Trigeminus (Amirudin, 2013).

2.6 Klasifikasi

Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah

klasifikasi menurut Ridley and Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta

menjadi 4 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis,

dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga dipakai di klinik untuk

pemberantasan. Klasifikasi tersebut yaitu.

1. Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi bisa satu atau

beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagaian

tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan

lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat meninggi

10
menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai

penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, dan kelemahan otot.

Gambar 2.2 kusta tipe Tuberkuloid (TT)

2. Borderline Tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe tuberkuloid (TT), tetapi terdapat

gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama yang tidak jelas

seperti pada tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf yang tidak seberat

tipe tuberkuloid, biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak

dekat saraf perifer yang menebal.

11
c

Gambar 2.3 kusta tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

3. Mild Borderline

Merupakan tipe yang paling tidak stabil diantara semua spektrum

penyakit kusta, disebut juga tipe dimorfik. Lesi berbentuk plak,

permukaannya dapat berkilat, batas lesi kurang jelas dan cenderung

simetris. Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk maupun distribusinya.

Bisa ditemukan lesi Punched Out, yaitu hipopigmentasi bentuk bulat pada

bagian tengah dengan batas jelas.

12
Gambar 2.4 kusta tipe Borderline (BB)

4. Borderline Lepromatous (BL)

Lesi dimulai dengan infiltrat yang dengan cepat menyebar

keseluruh tubuh. Makula lebih kecil dan bervariasi bentuknya. Papul dan

nodus lebih tegas walaupun lebih kecil dan distribusinya hampir simetris.

Tanpa tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada predileksi.

Gambar 2.5 kusta tipe Borderline Lepromatous (BL)

5. Lepromatous Lepromatous (LL)

Jumlah lesi infiltrat sangat banyak, simetris, permukaan halus,

lebih erimatosa, berkilat, berbatas tidak tegas. Distribusi lesi khas yaitu di

wajah, dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan pada bagian badan

13
pada bagian belakang, lengan, punggug tangan, dan permukaan ekstensor

tungkai bawah. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan anestesi yang

disebut Glove and Stocking Anesthesi. Bila penyakit ini berlanjut, maka

makula dan papul baru muncul, sedangkan lesi yang lama menjadi plakat

dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengallami

degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan atropi

tangan dan kaki.

Gambar 2.6 kusta Tipe Lepromatous Lepromatous (LL)

Klasifikasi WHO kemudian disempurnakan pada tahun 1997, dalam

klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya dibagi dalam dua tipe yaitu tipe

Pausi Basilar (PB) dan Multi Basilar (MB).

14
Tabel 2.1 Klasifikasi Kusta

Tanda Utama Pausibasiler (PB) Multibasiler

(MB)

Bercak kusta Jumlah 1 sampai Jumlah lebih dari 5

dengan 5

Penebalan saraf tepi

yang disertai dengan

gangguan fungsi

(gangguan fungsi bias

berupa kurang/mati Hanya 1 saraf Lebih dari 1 saraf

rasa atau kelemahan

otot yang dipersarafi

oleh saraf yang

bersangkutan)

Pemeriksaan
BTA (-) BTA (+)
bakteriologi

15
Tabel 2.2 Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan

klasifikasi menurut WHO pada penderita Morbus Hansen.

Kelainan kulit dan hasil Pausibasiler Multibasiler

pemeriksaan (PB) (MB)

1. Bercak (macula) mati rasa

a. Ukuran Kecil dan Kecil – kecil

besar

b. Distribusi Unilateral
Bilateral
atau bilateral
simetris
asimetris

c. Konsistensi Kering dan Halus, berkilat

basah

d. Batas Tegas Kurang tegas

e. kehilangan rasa Selalu ada Biasanya tidak

bercak dan tegas jelas, jika ada

terjadi pada

yang sudah

lanjut

f. kehilangan Selalu ada Biasanya tidak

kemampuan dan jelas jelas, jika

berkeringat, rambut ada,terjadi

rontok pada bercak pada yang

sudah lanjut

2. infiltrate

16
a. kulit Tidak ada Ada, kadang-

kadang tidak

ada

b. membrane mukosa Tidak pernah Ada, kadang-

ada kadang tidak

ada

- Punched out

lession

- Madarosis

Central -
c. ciri – cirri
healing Ginekomasti

- Hidung

pelana

- Suara sengau

d. nodulus Tidak ada Kadang-kadang

ada

e. deformitas Terjadi dini Biasanya

asimetris

17
Gambar 2.7 Kusta tipe MB dan PB

2.7 Diagnosis Klinis

Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta didasarkan pada penemuan

gejala-gejala utama atau “Cardinal signs”, yaitu :1) Lesi kulit yang mati rasa, 2)

Penebalan saraf, 3) Basil Tahan Asam (BTA). Kelainan kulit dapat berupa bercak

keputih-putihan (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritematous) yang mati rasa.

Gangguan fungsi saraf yang terjadi merupakan akibat dari peradangan kronis saraf

tepi (neuritis perifer) dan tergantung area yang dilayani oleh saraf tersebut. Pada

pemeriksaan BTA akan ditemukan M.Leprae. Untuk menegakkan diagnosis kusta

diperlukan paling sedikit satu tanda utama. Tanpa tanda utama, seseorang hanya

boleh ditetapkan sebagai tersangka (suspek) kusta (Regan, 2012)

18
Tabel 2.3. Diagnosis klinis menurut WHO

Diagnosis PB MB

Lesi kulit (macula datar, 1) 1-5 lesi 1) >5 lesi

papul yang meninggi, 2) hipopigmentasi 2) distribusi lebih

nodus) 3) distribusi tidak simetris

simetris 3) hilangnya sensasi

4) hilangnya sensasi kurang jelas

yang jelas

Kerusakan saraf

menyebabkan hilangnya

sensasi/kelemahan otot Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf

yang dipersarafi oleh

sraf yang terkena)

Apabila tidak diobati secara tepat maka akan menyebabkan

kerusakan saraf lebih lanjut (Kosasih dkk, 2010).

19
Gambar 2.8 Letak syaraf tepi yang berhubungan dengan kusta

1. N.ulnaris :

a. Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis.

b. Clawing jari kelingking dan jari manis.

c. Atrofi hipotenar dan otot interoseus sarta hedua otot lumbrikalis

medial.

2. N.medianus :

a. Anesthesia pada bagian ujung jari bagian anterior ibu jari, dan jari

tengah.

b. Tidak mampu aduksi ibu jari.

c. Clawing ibu jari jari telunjuk dan jari tengah.

d. ibu jari kontraktur.

e. Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikais lateral.

20
3. N.radialis :

a. Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk.

b. Tangan gantung ( wrist drop ).

c. Tak mampu ekstensi jari-jari dan pergelangan tangan.

4. N.poplitea lateralis :

a. Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis.

b. Kaki gantung (drop foot).

c. kelemahan otot peroneus.

5. N.tibialis posterior :

a. Anestesia telapak kaki.

b. Claw toes.

c. paralisis otot intrinsic kaki dan kolaps arcus pedis.

6. N.facialis :

a. Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus.

b. Cabang mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi

wajah dan kegagalan mengatupkan bibir.

7. N.trigeminus :

a. anesthesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva wajah.

b. atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.

2.8 Pemeriksaan Penujang

1. Pemeriksaan Bakterioskopik (Slit skin smear atau skin smear)

Sediaaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang

diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL NELSEN. Bakterioskopik negatif

pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung M.

21
leprae. Untuk riset diperiksa 10 tempat dan untuk rutin minimal 4-6

tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah tanpa melihat ada

tidaknya lesi di tempat tersebut, dan 2-4 tempat yang paling aktif, berarti

yang paling eritematosa dan paling mengandung infiltrate. M. leprae

tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan bentuk

batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran (granular).

Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan granular bentuk

mati. Bentuk hidup lebih berbahaya karena dapat berkembang biak dan

dapat menularkan ke orang lain (Regan, 2012).

Padatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah

sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai

6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang

(LP).

a. + Bila 1-10 BTA dalam 100 LP

b. + Bila 1-10 BTA dalam 10 LP

c. + Bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP

d. + Bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP

e. + Bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

f. + Bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

2. Pemeriksaan histopatologik

Pemeriksaan histopatologik bertujuan untuk menentukan klasfikasi

kusta. Gambaran histopatologik Tipe Tuberkuloid adalah tuberkel dan

kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan

non solid. Pada Tipe Lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal

22
(subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah

epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel virchow dengan

banyak basil.

3. Tes Lepromin

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan

prognosis lepra, tapi tidak untuk diagnosis, berguna untuk menunjukkan

sistem imun penderita terhadap M. leprae.

4. Pemeriksaan Serologi

Tes serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang paling

banyak dilakukan saat ini. Selain untuk penunjang diagnostik klinis

penyakit kusta, tes serologi juga dipergunakan untuk diagnosis infeksi M.

leprae sebelum timbul manifestasi klinis. Uji laboratorium ini diperlukan

untuk menentukan adanya antibodi spesifik terhadap M. leprae didalam

darah. Dengan diagnosis yang tepat, apalagi jika dilakukan sebelum timbul

manifestasi klinis lepra diharapkan dapat mencegah penularan penyakit

sedini mungkin.

5. Pemeriksaan Saraf Tepi

Pemeriksaan dilakukan pada saraf-saraf tepi yang paling sering

terlibat dalam penyakit kusta, dan dapat diraba, seperti:

a. Tempat terjadinya kerusakan saraf

Pada umumnya cacat kusta diakibat kan kerusakan pada saraf-saraf

tepi seperti saraf Auricularis magnus, Facialis, Ulnaris, Medianus,

Radialis, Peroneus communis, Tibialis posterior.

b. Perabaan (palpasi) sarf tepi

23
Berikut adalah prosedur umum pemeriksaan perabaan saraf

 Pemeriksaan berhadapan dengan pasien

 Perabaan dilakukan dengan tekanan ringan sehingga tidak

menyakiti pasien

 Pada saat meraba perhatikan:

 Apakah ada penebalan atau pembesaran

 Apakah saraf kiri dan kanan sama besar dan berbeda

 Apakah ada nyeri atau tidak pada saraf

Saat melakukan palpasi saraf tepi perhatikan mimik pasien, apakah

ada kesan kesakitan tanpa menanyakan sakit atau tidak. Dari beberapa

saraf tersebut ada tiga saraf yang wajib diraba yaitu saraf ulnaris,

peroneus, communis, dan tibialis posterior.

c. Pemeriksaan fungsi saraf

Pemeriksaan fungsi saraf dilakukan secara sistematis pada mata,

tangan dan kaki. Pemeriksaan fungsi raba dan kekuatan otot.

 Pemeriksaan fungsi raba dan kekuatan otot

 Mata

Fungsi Motorik Saraf Facialis :

 Pasien di minta memejamkan mata

 Dilihat dari depan/ samping apakah mata tertutup dengan

sempurna atau tidak ada celah

24
 Bagi mata yang tidak tertutup rapat, diukur lebar celah nya

lalu dicatat, misalnya lagoftalmus +3mm mata kiri atau

kanan.

 Tangan

Fungsi sensorik saraf ulnaris dan medianus

 Posisi pasien : tangan yang akan diperiksa diletakkan diatas

meja/ paha pasien atau bertumpu pada tangan kiri pemeriksa

sedemikian rupa, sehingga sama ujung jari tersangga (tangan

pemeriksa yang menyesuaikan diri dengan keadaan tangan

pasien) misalnya claw hand, maka tangan pemeriksa

menyangga ujung-ujung jari tersebut sesuai lengkungan

jarinya.

 Jelaskan pada pasien apa yang akan dilakukan padanya,

sambil memperagakan dengan sentuhan ringan dari ujung

ballpoint pada lengannya dan satu dua titik pada telapak

tangannya.

 Bila pasien merasakan sentuhan dimana untuk menunjuk

tempat sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain.

 Tes diulangi sampai pasien mengerti dan kooperatif.

 Pasien diminta menutup mata atau menoleh ke arah

berlawanan dari tangan yang diperiksa.

 Pasien diminta menunjuk ke tempat yang di rasa disentuh.

 Usahakan pemeriksan titik-titik tersebut tidak berurutan

(secara acak).

25
 Bila pasien tidak dapat menunjukan dua titik atau lebih

berarti ada gangguan rasa raba pada saraf tersebut. saraf

Radialis (kekuatan pergelangan tangan)

 Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah

tangan kanan pasien.

 Pasien diminta menggerakkan pergelangan tangan kanan

yang terkepal ke atas (ekstensi).

 Pasien diminta bertahan pada posisi ekstensi (ke atas) lalu

dengan tangan kanan pemeriksa menarik tangan pasien ke

arah pemeriksa.

 Kaki

Fungsi sensorik saraf tibialis posterior

 Kaki kanan pasien di letakkan pada paha kiri, usahakan

telapak kaki menghadap ke atas.

 Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki pasien.

 Cara pemeriksaan sama seperti pada rasa raba tangan.

 Bila pasien tidak dapat menunjukan dua titik atau lebih

berarti ada gangguan rasa raba pada saraf tersebut.

 Fungsi motorik saraf peroneus communis (poplitea lateralis)

 Dalam keadaan duduk, pasien diminta untuk mengangkat

ujung kaki dengan tumit tetap terletak dilantai/ ekstensi

maksimal (seperti berjalan dengan tumit).

26
 Pasien diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu

pemeriksa dengan kedua tangan menekan punggung kaki

pasien ke bawah/ lantai

2.9 Pengobatan

Pengobatan (Regan, 2012)

1. Kusta tipe PB dewasa:

a. Pengobatan bulanan : Hari pertama (diminum didepan petugas)

 2 kapsul Rifampisin 600 mg

 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)

b. Pengobatan hari ke 2-28 (dibawa pulang)

 1 tablet dapson (DDS 100 mg) 1 Blister untuk 1 bulan Pengobatan

diberikan selama 6-9 bulan. Pemeriksaan bakteriologi dilakukan

selama 2 tahun. Jka tidak ada aktivasi secara klinis dan bakteriologi

tetap negatif dinyatakan relief from control (RFC).

2. Kusta tipe MB dewasa :

a. Pengobatan Bulanan : Hari pertama (Dosis diminum di depan petugas)

 kapsul Rifampisin 600 mg

 3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg)

 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)

b. Pengobatan Bulanan : Hari ke 2-28

 1 tablet Lampren 50 mg

 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)

Pengobatan dilakukan selama 2-3 tahun. Pemeriksaan

bakteriologi setiap 3 bulan. Sesudah 2-3 tahun bakteriologi tetap

27
negatif, pemberian obat dihentikan (release from treatment = RFT).

Jika setelah pengawasan tdak ada aktivasi klinis dan pemeriksaan

bakteriologi selalu negatif, maka dinyatakan relief from control (RFC).

3. Dosis MDT Menurut Umur

Pedoman praktis untuk pemberian MDT bagi penderita kusta tipe

PB digunakan bagan sebagai berikut :

Tabel 2.4. dosis MDT menurut umur

Nama 5–9 10-14 >15

Obat Tahun Tahun Tahun

Rifampisin 300 450 600

mg/bln mg/bln mg/bln

DDS 25 mg/hari 50 100

mg/hari mg/hari

Sumber : Modul Pelatihan Program P2 Kusta bagi UPK

Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan.

a. Dosis bagi anak berusia dibawah 5 tahun disesuaikan dengan berat

badan:

 Rifampisin : 10-15 mg/ kg BB

 DDS : 1-2 mg/ kg BB

28
 Clofazimin : 1 mg/ kg BB

2.10 Komplikasi

1. Reaksi

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan

penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologi belum jelas

betul, terminologi dan klasifikasinya masih bermacam-macam. Mengenai

patofisiologinya yang belum jelas tersebut akan dijelaskan secara

imunologik. Reaksi imun dapat menguntungkan, tetapi dapat pula

merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini

tergolong didalamnya (Sri Liniwuh SW Menaldi, 2017):

a. Reaksi kusta tipe 1

Reaksi kusta tipe ini terjadi pada penderita penyakit kusta

tipe MB dan PB, reaksi ini terjadi selama pengobatan diduga

disebabkan oleh meningkatnya respon imun selular secara cepat

terhadap kuman kusta.

b. Reaksi kusta tipe 2

Reaksi kusta tipe ini terjadi pada penderita kusta tipe MB dan

merupakan respon imun humoral karena tingginya respon imun

humoral penderita.

2. Ulserasi

Ulserasi terjadi sekunder akibat hilangnya proteksi sensasi. Pasien

tidak merasakan panas, tekanan atau sakit. Trauma pada kulit tidak terasa

dan sering kali terabaikan, risiko kerusakan meningkat bila disertai

kehilangan kekuatan otot (tangan keriting, kaki lunglai).

29
Ulserasi dapat menyebabkan selulitis atau infeksi yang dalam,

osteomielitis yang berakibat kehilangan jari-jari. Bila terjadi lagoftalmus,

biasanya didapati pula anastesi pada mata, sehingga mata tidak berkedip.

Mata beresiko terhadap kekeringan dan ulserasi, yang pada akhirnya akan

mengalami kebutaan.

3. Deformitas

Deformitas terjadi sebagai akibat kehilangan kekuatan otot dan

ulserasi, diikuti oleh osteomielitis dan pemendekan jari-jari, umumnya di

hubungkan dengan kekuatan dan kontraktur (Siregar,2005). Deformitas

pada kusta sesuai patofisiologi dan jenisnya ada dua yaitu primer dan

sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang

terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak

jaringan sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-

tulang dan jari-jari, dan wajah. Deformitas sekunder diakibatkan karena

kerusakan saraf (Rambey, 2012).

2.11 Prognosis

Prognosis penyakit kusta bergantung pada pada tipe kusta apa yang

diderita oleh pasien, akses ke pelayanan kesehatan, dan penggunaan awal yang

diterima oleh pasien. Relaps pada penderita kusta terjadi sebesar 0,01-0,14% per

tahun dalam 10 tahun. Perlu diperhatikan terjadinya resistensi terhadap dapson

atau rifampisin. Karena berkurangnya imunitas tubuh, kehamilan pada pasien

kusta wanita yang berusia dibawah 40 tahun dapat mempercepat timbunya relaps

atau reaksi, terutama reaksi tipe 2.

30
Secara keseluruhan, prognois kusta pada anak lebih baik karena pada anak

jarang terjadi reaksi kusta. Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan

menjadi lebih sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik.

Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik

(Siregar, 2005).

2.12 Pencegahan Penyakit Kusta

Mengingat di masyarakat masih belum banyak yang memahami tentang

penyakit kusta yang bisa menjadi hambatan bagi pelaksanaan program

pemberantasan kusta termasuk dalam mengikutsertakan peran serta masyarakat,

maka diperlukan upaya-upaya pencegahan untuk dapat mengurangi prevalensi,

insiden dan kecacatan penderita kusta. Upaya-upaya pencegahan diatas dibagi

menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit yaitu pencegahan

primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.

1. Pencegahan Primer

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk

mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang

yang sehat agar tidak sakit. Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat

berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan umum,

misalnya personal hygine, pendidikan kesehatan masyarakat dengan

penyuluhan dan kebersihan lingkungan. Pencegahan khusu ditujukan pada

orang-orang yang mempunyai risiko untuk terkena suatu penyakit,

misalnya pemberian imuniasi.

31
2. Pencegahan Sekunder

Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk

mencegah orang yang telah sakit agar sembuh dengan pengobatan,

menghindarkan komplikasi kecactan secara fisik. Pencegahan sekunder

mencakup kegiatan-kegiatan seperti dengan tes penyaringan yang

ditujukan untuk pendeteksian dini serta pennganan pengobatan yang cepat

dan tepat. Tujuan utama kegiatan pencegahan sekunder adalah untuk

mengidentifikasikan orang-orang tanpa gejala yang telah sakit atau yang

telah berisiko tinggi untuk mengembangkan penyakit.

3. Pencegahan Tersier

Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan

dan mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat tiga ini dapat

dilakukan dengan memaksimalkan fungi organ tubuh, membuat protesa

ekstremitas akibat amputasi dan mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik.

32
BAB III

KESIMPULAN

Penyakit kusta atau lepra atau penyakit Hansen merupakan penyakit

infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae dan utamanya

mempengaruhi kulit, saraf tepi, mukosa saluran pernafasan atas, dan mata

(Kemenkes RI, 2017). Penyakit kusta merupakan infeksi mikobakterium yang

bersifat kronik, afinitas pertama dimulai pada saraf perifer, kulit dan mukosa

traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan

saraf pusat.

klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi

menurut Ridley and Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 4

kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis, dan

imunologis.

33
DAFTAR PUSTAKA

Amirrudin, M.D. 2013. Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis. Surabaya:


Brilian Internasional: 20-25.

Kementrian Kesehatan RI., 2017. Profil Kesehatan Indonesia 2016:


Pengendalian Penyakit dan Keseharan Lingkungan. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: 125-7.

Kosasih, A., Wisnu, I.M., Sjamsoe-Daili, E.S., Menaldi, S.L., 2010. Kusta.
Dalam: Djuanda, A., Hamzah, M,. Aisah, S.,Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 73-88.

Menaldi, S.L., Bramono, K., Indriatmi, W., 2015. Kusta. Dalam: Wisnu, M, I.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-VII. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI: P 87-97.

Polycarpou, A., Walker, S.L., Lockwood, D.N. 2013. New Finding in the
Pathogenesis pf Leprosy and Implications for the Management of
Leprosy. Wolters Kluwer Health, 26(5):413-9

Rambey, M.A., 2012. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Cacat Tingkat
2 pada Penderita Kusta di Kabupaten Lamongan Tahun 2011-2012.
Tesis

Regan, O.M., 2012. Tatalaksana Program Kusta di Indonesia. Dalam:


Kemenkes RI, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Buku Pedoman Nasional Program
Pengendalian Penyakit Kusta. Indonesia: Penerbit Bakti Husada: 1-10.

Sandle, T. 2013. Global Strategis for Elimination of Leprosy: A Rivew of Current


Progress. J Anc Dis Prev Rem; 1(4):1-2.

Siregar, R.S., 2005. Penyakit Kulit Karena Infeksi Bakteri: Kusta. Dalam:
Hartanto H. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke-2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 154- 159.

34

Anda mungkin juga menyukai