Refarat Kulit
Refarat Kulit
MORBUS HANSEN
Pembimbing:
Oleh:
Alfia Hidayah
Annisa Yuwita
Lubuk Pakam
2018
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan referat ini
guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di bagian SMF Psikiatri RSUD
Referat ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih dalam teori-teori yang
Lubuk Pakam dan mengaplikasikannya untuk kepentingan klinis kepada pasien. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada dr. Sri Natia, Sp.KK yang telah membimbing penulis
oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang membangun dari semua pihak yang
membaca referat ini. Harapan penulis semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi
Penulis
2
BAB 1
PENDAHULUAN
infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae dan utamanya
mempengaruhi kulit, saraf tepi, mukosa saluran pernafasan atas, dan mata
bersifat kronik, afinitas pertama dimulai pada saraf perifer, kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan
oleh masyarakat dunia. Kusta merupakan salah satu penyakit menular yang dapat
hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, dan
ketahanan nasional (Regan, 2012). Pada tahun 2000, Indonesia telah mencapai
status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta <1 per 10.000 penduduk (<10 per
kusta pada tahun 2000 lalu, namun hingga kini penemuan kasus kusta masih
Provinsi dapat mencapai status eliminasi kusta pada tahun 2019 (Kemenkes RI,
2015). Indonesia masih bisa menurunkan angka kejadian kusta meskipun relatif
lambat. Angka prevalensi kejadian kusta dalam 5 tahun terakhir yaitu, tahun
2011 (0,96), tahun 2012 (0,91), tahun 2013 (0,79), tahun 2014 (0,79), tahun 2015
3
Angka penemuan kasus baru kusta per 100.000 penduduk yaitu, tahun
2011 (8,30), tahun 2012 (7,76), tahun 2013 (6,79), tahun 2014 (6,75), tahun 2015
(6,73), tahun 2016 (6,50) (Kemenkes RI, 2017). Indonsia pada tahun 2017 di
laporkan 20.748 kasus baru kusta diantaranya 18.374 tipe Multi Basiler (MB) dan
127.326 jiwa dan brazil 26.395 jiwa (Kemenkes RI, 2016). Di Indonesia kasus
baru kusta paling banyak di Provinsi Jawa Timur (4.668 jiwa), Jawa Barat (2.410
jiwa), Jawa Tengah (2000 jiwa), Papua (1.376), Papua Barat (1.346 jiwa),
Sulawesi Selatan (1.186 jiwa), Banten (1.007 jiwa). Proporsi kasus kusta anak
tertinggi dengan tingkat kecacatan tingkat 1 tertinggi yaitu Jawa Barat (16,86%),
(10,88%). Provinsi Banten ditahun 2013 angka prevalensinya > 1 per 10.000
penduduk (belum eliminasi) namun ditahun 2014 dan 2015 provinsi ini berhasil
istilah spektrum determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe
yang stabil, artinya tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe
lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil
4
BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50%
Menurut WHO pada tahu 1981, kusta dibagi menjadi MB dan PB. Yang termasuk
dalam Multi Basiler adalah tipe LL, BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling
dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+. Pausi Basiller adalah tipe I, TT, dan BT
dengan IB kurang dari 2+. Kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif (-) pada
pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaiti tipe I, TT, dan BT, sedangkan kusta MB
adalah semua penderita kusta tipe BB, BL, LL ataupun klasifikasi klinisnya
dengan BTA positif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB (Sri Linuwih SW
Menaldi, 2017).
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India
kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi yang berarti kumpulan gejala
gejala kulit secara umum. Selain lepra kusta juga dikenal dengan nama Morbus
oleh M.leprae yang bersifat intraselular. Kusta pada dasarnya adalah penyakit
saraf perifer namun juga mempengaruhi kulit dan kadang-kadang jaringan tertentu
lainnya, terutama mata, mukosa saluran pernafasan bagian atas, otot, tulang, testis,
dan dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (Sri Linuwih SW Menaldi,
2.2 Etiologi
mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan Cell) dan sel dari retikulo
endotelial. Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu diluar tubuh
manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan
sampai 9 hari, tumbuh pada temperatur 27-30ºC, masa inkubasinya 2-5 tahun. M.
lepra secara morfologik, berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi pararel
dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk
batang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, dapat tersebar atau dalam
6
berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk masa iregular besar yang disebut
respon imunitas selualar maupun humoral yang ditemukan pada membran bagian
luar hingga ke membran sel. Kapsul M. lepra mengandung 2 lipid bakteri utama
merupakan glikolipid spesifik untuk M lepra yang aktif secara serologis. Phenolic
(Ig) M ditemukan pada 60% kusta tipe TT dan 90% kusta tipe LL (Polycarpou
dkk, 2013).
2.3 Epidemiologi
2015 sebanyak 211.973 kasus (0,29 per 10.000), kasus kusta menurun dibanding
7
tahun 2014 dengan jumlah 213.899 kasus dan tahun 2013 dengan jumlah 215.656
setelah India dan Brazil. Kejadian kusta masih sangat tinggi dibeberapa negara,
(4.668 jiwa), Jawa Barat (2.410 jiwa), Jawa Tengah (2000 jiwa), Papua (1.376),
Papua Barat (1.346 jiwa), Sulawesi Selatan (1.186 jiwa), Banten (1.007 jiwa).
Proporsi kasus kusta anak tertinggi dengan tingkat kecacatan tingkat 1 tertinggi
(11,45%), Nusa Tenggara Timur (10,88%). Proporsi kasus kusta anak tertinggi
2.4 Patogenesis
terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk
ke dalam tubuh orang lain. Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi
sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan
melalui saluran pernafasan dan kulit yang terinfeksi. Mukosa hidung telah lama
8
dikenal sebagai sumber dari kuman tersebut dan dapat ditularkan melalui droplet
(Regan, 2012).
1. Imunitas seluler
bakteri dapat dihambat pada stadium awal. Tapi apabila imunitas seluler
daripada intensitas infeksi, oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut
2. Imunitas humoral
9
dan aliran darah. Rangsangan dari komponen antigen, basil tersebut akan
2012).
2.6 Klasifikasi
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagaian
tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan
lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat meninggi
10
menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe tuberkuloid (TT), tetapi terdapat
seperti pada tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf yang tidak seberat
tipe tuberkuloid, biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak
11
c
3. Mild Borderline
Bisa ditemukan lesi Punched Out, yaitu hipopigmentasi bentuk bulat pada
12
Gambar 2.4 kusta tipe Borderline (BB)
keseluruh tubuh. Makula lebih kecil dan bervariasi bentuknya. Papul dan
nodus lebih tegas walaupun lebih kecil dan distribusinya hampir simetris.
Tanpa tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada predileksi.
lebih erimatosa, berkilat, berbatas tidak tegas. Distribusi lesi khas yaitu di
wajah, dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan pada bagian badan
13
pada bagian belakang, lengan, punggug tangan, dan permukaan ekstensor
disebut Glove and Stocking Anesthesi. Bila penyakit ini berlanjut, maka
makula dan papul baru muncul, sedangkan lesi yang lama menjadi plakat
klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya dibagi dalam dua tipe yaitu tipe
14
Tabel 2.1 Klasifikasi Kusta
(MB)
dengan 5
gangguan fungsi
bersangkutan)
Pemeriksaan
BTA (-) BTA (+)
bakteriologi
15
Tabel 2.2 Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan
besar
b. Distribusi Unilateral
Bilateral
atau bilateral
simetris
asimetris
basah
terjadi pada
yang sudah
lanjut
sudah lanjut
2. infiltrate
16
a. kulit Tidak ada Ada, kadang-
kadang tidak
ada
ada
- Punched out
lession
- Madarosis
Central -
c. ciri – cirri
healing Ginekomasti
- Hidung
pelana
- Suara sengau
ada
asimetris
17
Gambar 2.7 Kusta tipe MB dan PB
gejala-gejala utama atau “Cardinal signs”, yaitu :1) Lesi kulit yang mati rasa, 2)
Penebalan saraf, 3) Basil Tahan Asam (BTA). Kelainan kulit dapat berupa bercak
Gangguan fungsi saraf yang terjadi merupakan akibat dari peradangan kronis saraf
tepi (neuritis perifer) dan tergantung area yang dilayani oleh saraf tersebut. Pada
diperlukan paling sedikit satu tanda utama. Tanpa tanda utama, seseorang hanya
18
Tabel 2.3. Diagnosis klinis menurut WHO
Diagnosis PB MB
yang jelas
Kerusakan saraf
menyebabkan hilangnya
19
Gambar 2.8 Letak syaraf tepi yang berhubungan dengan kusta
1. N.ulnaris :
medial.
2. N.medianus :
a. Anesthesia pada bagian ujung jari bagian anterior ibu jari, dan jari
tengah.
20
3. N.radialis :
4. N.poplitea lateralis :
5. N.tibialis posterior :
b. Claw toes.
6. N.facialis :
7. N.trigeminus :
21
leprae. Untuk riset diperiksa 10 tempat dan untuk rutin minimal 4-6
tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah tanpa melihat ada
tidaknya lesi di tempat tersebut, dan 2-4 tempat yang paling aktif, berarti
Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan granular bentuk
mati. Bentuk hidup lebih berbahaya karena dapat berkembang biak dan
sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai
6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
(LP).
2. Pemeriksaan histopatologik
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan
22
(subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah
banyak basil.
3. Tes Lepromin
4. Pemeriksaan Serologi
darah. Dengan diagnosis yang tepat, apalagi jika dilakukan sebelum timbul
sedini mungkin.
23
Berikut adalah prosedur umum pemeriksaan perabaan saraf
menyakiti pasien
ada kesan kesakitan tanpa menanyakan sakit atau tidak. Dari beberapa
saraf tersebut ada tiga saraf yang wajib diraba yaitu saraf ulnaris,
Mata
24
Bagi mata yang tidak tertutup rapat, diukur lebar celah nya
kanan.
Tangan
jarinya.
tangannya.
(secara acak).
25
Bila pasien tidak dapat menunjukan dua titik atau lebih
arah pemeriksa.
Kaki
26
Pasien diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu
2.9 Pengobatan
selama 2 tahun. Jka tidak ada aktivasi secara klinis dan bakteriologi
1 tablet Lampren 50 mg
27
negatif, pemberian obat dihentikan (release from treatment = RFT).
mg/hari mg/hari
badan:
28
Clofazimin : 1 mg/ kg BB
2.10 Komplikasi
1. Reaksi
merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini
Reaksi kusta tipe ini terjadi pada penderita kusta tipe MB dan
humoral penderita.
2. Ulserasi
tidak merasakan panas, tekanan atau sakit. Trauma pada kulit tidak terasa
29
Ulserasi dapat menyebabkan selulitis atau infeksi yang dalam,
biasanya didapati pula anastesi pada mata, sehingga mata tidak berkedip.
Mata beresiko terhadap kekeringan dan ulserasi, yang pada akhirnya akan
mengalami kebutaan.
3. Deformitas
pada kusta sesuai patofisiologi dan jenisnya ada dua yaitu primer dan
2.11 Prognosis
Prognosis penyakit kusta bergantung pada pada tipe kusta apa yang
diderita oleh pasien, akses ke pelayanan kesehatan, dan penggunaan awal yang
diterima oleh pasien. Relaps pada penderita kusta terjadi sebesar 0,01-0,14% per
kusta wanita yang berusia dibawah 40 tahun dapat mempercepat timbunya relaps
30
Secara keseluruhan, prognois kusta pada anak lebih baik karena pada anak
menjadi lebih sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik.
Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik
(Siregar, 2005).
1. Pencegahan Primer
mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang
yang sehat agar tidak sakit. Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat
31
2. Pencegahan Sekunder
3. Pencegahan Tersier
32
BAB III
KESIMPULAN
infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae dan utamanya
mempengaruhi kulit, saraf tepi, mukosa saluran pernafasan atas, dan mata
bersifat kronik, afinitas pertama dimulai pada saraf perifer, kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan
saraf pusat.
imunologis.
33
DAFTAR PUSTAKA
Kosasih, A., Wisnu, I.M., Sjamsoe-Daili, E.S., Menaldi, S.L., 2010. Kusta.
Dalam: Djuanda, A., Hamzah, M,. Aisah, S.,Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 73-88.
Menaldi, S.L., Bramono, K., Indriatmi, W., 2015. Kusta. Dalam: Wisnu, M, I.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-VII. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI: P 87-97.
Polycarpou, A., Walker, S.L., Lockwood, D.N. 2013. New Finding in the
Pathogenesis pf Leprosy and Implications for the Management of
Leprosy. Wolters Kluwer Health, 26(5):413-9
Rambey, M.A., 2012. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Cacat Tingkat
2 pada Penderita Kusta di Kabupaten Lamongan Tahun 2011-2012.
Tesis
Siregar, R.S., 2005. Penyakit Kulit Karena Infeksi Bakteri: Kusta. Dalam:
Hartanto H. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke-2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 154- 159.
34