Anda di halaman 1dari 6

EPISTEMOLOGI GERAKAN MAHASISWA

Oleh: Ali Wafa*

Menanggapi apa yang telah disampaikan oleh sahabat Bara Fawaid dalam kajian Aliansi
Rayon Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tentang keharusan mahasiswa
dalam mengejawantahkan tridharmanya sebagai agen perubahan dengan melakukan
tindakan demonstrasi, Senin (28/10/2019). Maka perlu untuk saya sampaikan bahwa
ada beberapa point yang perlu kita telaah dari apa yang telah sahabat Bara sampaikan,
sebelumnya saya ingin mengklarifikasi terlebih dahulu bahwa saya pribadi tidak
sepenuhnya sependapat dengan semua statement yang disampaikan sahabat Bara.
Setidaknya ada tiga point ketidaksepakatan saya dengan apa yang disampaikan sahabat
Bara.

Pertama, tentang ajakan berdemonstasi kepada mahasiswa UIM ditujukan kepada


pimpinan kampus. Dari sini saya rasa penting untuk saya sampaikan bahwa sebelum
berspekulasi tentang benar tidaknya apa yang isampaikan oleh sahabat Bara perlu
kiranya saya berikan pemahaman bahwa kampus UIM adalah perguruan tinggi swasta
milik yayasan dalam hal ini adalah pondok pesantren Miftahul Ulum Bettet Pamekasan
yang dipimpin oleh pengasuh pondok pesantren yang pengeleloaanya dilakukan secara
musyawarah antara rektorat dengan ketua yayasan bukan dikelola oleh pemerintah
sebagaimana perguruan tinggi negeri pada umumnya, sehingga segala kebijakan yang
dibuat oleh kampus baik kebijakan yang sifatnya prinsipil maupun teknis adalah
merupakan prosedur yang telah disepakati bersama oleh pimpinan kampus dalam hal
ini rektorat bersama pihak yayasan dalam hal ini pengasuh pondok pesantren.

Dalam statemennya sahabat Bara mengajak Mahasiswa untuk melakukan aksi


demonstrasi kepada pimipinan kampus terkait beberapa kebijakan yang dinilai tidak
memihak kepada mahasiswa bahkan dinilai merugikan mahasiswa, diantaranya yaitu
soal pembayaran adiministrasi keuangan, maka dari itu saya rasa penting untuk saya
utarakan bahwa telah kita ketahui bersama bahwa rincian administrasi keuangan
kampus telah dipublikasikan sebelumnya dalam brosur pendaftaran mahasiswa baru
sebelum mahasiswa mendaftarakan diri di kampus UIM, artinya setiap mahasiswa telah
dengan sadar mengetahui berapa jumlah nominal biaya yang harus dikeluarkan jika
menempuh pendidikan di kampus UIM, kemudian dalam pelaksanaan TASKA setiap

1
calon mahasiswa diminta kesediaanya untuk membacakan ikrar mahasiswa untuk
mengetahui dan memastikan apakah semua calon mahasiswa siap dan bersedia
menempuh pendidikan di Universitas Islam Madura dengan segala tanggung jawab dan
resikonya dan dengan penuh kesadaran semua mahasiswa membacakan ikrar tersebut
secara seksama, artinya segala sesuatunya sudah selesai antara pihak kampus dengan
semua mahasiswa bahkan bisa dikatakan segala prosedur administrasi yang telah dan
akan diterapkan sudah berdasar pada konsensus bersama melalui ikrar mahasiswa, lalu
apa yang perlu kita gugat dari apa yang telah kita sepakati?

Dari situ saya jadi ingat dawuh almarhum pengasuh pondok pesantren Bettet KH. Abd.
Ali Hamid, beliau pernah ghadlab (marah) kepada semua santri dengan kalimat kurang
lebih “jika tidak mau diatur pulang saja (berhenti mondok)” berdasar pada dawuh
tersebut jika kasusnya adalah kampus UIM maka saya berpemahaman jika mahasiswa
UIM tidak mau mengikuti prosedur yang telah ditetapkan oleh pimpinan kampus maka
silahkan keluar dari Universitas Islam Madura, kira-kira seperti itu.

Kedua, statement sahabat Bara tentang Dosen bukanlah guru, dan dengan membantah
dosen kita bukan berdosa meliankan memperoleh pahala. Sungguh saya sangat
menyayangkan dan benar-benar prihatin atas keluarnya statement tersebut. Sahabat
Bara mendasari statemennya dari sudut pandang materi, dia menyampaikan alasan
kenapa membantah dosen tidak berdosa karena dosen mengajar mahasiswanya tidak
dengan tulus dan semata-mata bergantung pada gaji dan hal itu sesuai dengan fakta
bahwa jika gaji dosen telat diberikan maka dosen akan menggerutu sehingga dosen
bukanlah guru. Entah model berpikir apa yang digunakan oleh sahabat Bara sehingga ia
berani mengatakan hal semacam itu di depan mahasiswa baru. Dalam hal ini jelas saya
pribadi sangat tidak setuju dengan apa yang telah disampaikan oleh sahabat bara,
bahkan saya penasaran referensi apa yang dipakainya sehingga berani memunculkan
statement tersebut?

Sejauh yang saya ketahui tentang definisi guru baik pengertian formal sebagaimana
tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) maupun pengertian dari sudut
pandang agama tidak ada keterangan yang membatasi pengertian guru dengan materi,
bahkan jika kita lihat di KBBI disitu guru didefinisikan sebagai suatu profesi, artinya
guru memanglah istilah bagi setiap orang yang berprofesi sebagai tenaga pengajar,
ketika berbicara tentang profesi maka yang lekat dengannya adalah materi karena
2
setiap profesi pasti akan ada feedback materi didalamnya, sehingga logika apa yang
digunakan sehingga muncul asumsi bahwa tenaga pengajar yang mendapat upah dari
hasil mengajarnya bukanlah guru? Entahlah saya pun tidak mengerti. Kemudian jika
dilihat dari sudut pandang agama dalam kitab apapun tidak ada pengertian guru yang
dibatasi oleh materi, bahkan jika kita lihat dalam kitab Al-Mu’jam Al-Wasith karya ulama
tersohor bernama Dr. Syauqi Dhaif disitu sangat jelas dikatakan bahwa guru adalah
setiap orang yang memiliki keahlian dan mengajarkannya kepada orang lain, bahkan
dengan tegas ulama kelahiran Mesir tersebut mengatakan bahwa tenaga pengajar di
perguruan tinggi sekalipun adalah guru atau dengan kata lain Ustadz. Lalu sekali lagi
logika apa yang digunakan sehingga pengertian guru dipersempit sedemikian rupa oleh
sahabat Bara? Entahlah saya pun tidak mengerti.

Ketiga, pemaparan sahabat Bara tentang kewajiban menumpas kemungkaran


berdasarkan hadist Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang dikonotasikan pada keharusan
mahasiswa berdmonstrasi juga perlu untuk saya komentari. Dalam hadist tersebut
dijelaskan bahwa ada tahapan demi tahapan yang bisa dilakukan dalam melakukan Nahi
Munkar yang pertama yaitu dengan tangan/kemampuan/kekuasaan, yang perlu kita
pahami adalah arti tangan dalam hadist ini jangan hanya diartikan sebagai kemampuan
secara fisik dalam menumpas kemungkaran akan tetapi tangan disini memiliki arti yang
lebih luas yaitu tentang wewenang atau kekuasaan wilayah yang dimiliki, jika kemudian
wewenang yang kita miliki tidak memungkinkan untuk menumpas kemungkaran
tersebut seperti kemungkaran yang dilakukan oleh orang yang derajatnya diatas kita
seperti orang tua kita, guru kita ataupun pimpinan kita dan jika kita memaksa untuk
melakukannya dihawatirkan akan tercipta mudlarat atau masalah baru maka hendaknya
kita melakukan tahapan yang kedua yaitu dengan lisan. Lisan disini jangan hanya
diartikan sebagai bentuk nasihat ataupun peringatan tetapi lisan disini harus diartikan
lebih luas yaitu tabayyun, musyawarah ataupun audiensi, dan jika tahapan ini tidak
mampu dilakukan baik karena tidak memungkinkan ataupun dihawatirkan akan timbul
mudlarat baru yang akan menimpa diri kita ataupun orang lain maka cukuplah kita
mengingkari kemungkaran itu dengan hati yaitu dengan tetap berkeyakinan bahwa
kemungkaran yang terjadi adalah suatu hal yang keliru dan dengan mendoakan semoga
pelaku kemungkaran tersebut memperoleh hidayah. Penjelasan tentang hadist ini
sangat masyhur dalam kitab-kitab Fiqih, bisa dilihat dalam di kitab Syarah As-Shawi ‘Ala
Jauharah At-Tauhid karya Syaikh Al-Imam Al-Faqih Ahmad bin Muhammad Al-Maliki As-
3
Shawi. Kemudian tak hanya itu Imam Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali dalam
kitabnya Al-Ihya’ Ulumuddin menuliskan bab khusus tentang tata cara mengontrol
seorang pemimpin, pemimpin dalam hal ini adalah orang tua, guru atau pemerintah
yaitu harus tetap dengan cara yang santun dan tidak Su’ul Adab (tidak sopan). Sehingga
bila hadist diatas dikonotasikan untuk mempropaganda mahasiswa untuk melakukan
demonstrasi terhadap pimpinan kampus UIM maka mohon maaf secara prinsip saya
pribadi kurang setuju, karena konsep Amar Ma’ruf Nahi Mungkar sejatinya harus
dilakukan dengan cara-cara yang Ma’ruf (baik).

Sahabat-sahabatku, dari semua penjelasan diatas yang ingin saya sampaikan adalah kita
sebagai mahasiswa yang notabene sebagai insan berpendidikan diharap untuk bisa
mempertanggungjawabkan ilmu yang kita miliki, dan harus selalu memiliki rasa
keingintahuan yang besar akan apa yang belum kita ketahui. Mahasiswa memanglah
bukan siswa yang harus selalu menurut diatur oleh guru, karena label “maha” itu
menandakan bahwa kita memiliki kebebasan yang lebih luas dibanding siswa, akan
tetapi kita jangan sampai lupa bahwa masih ada label “siswa” setelah maha yang berarti
ketika dihadapkan dengan persoalan guru dan murid kebebasan yang kita miliki masih
terbatas, karena walau dianalisa dengan pendekatan disiplin ilmu apapun dosen
tetaplah guru kita yang wajib kita hormati dan kita takdzimi karena merekalah yang
memberi kita ilmu selama menempa pendidikan di perguruan tinggi, bahkan jika kita
ingat nasihat sahabat nabi Sayyidina Ali RA. Beliau mengatakan “Aku adalah
hamba/abdi dari siapapun yang mngajariku walaupun hanya satu huruf. Aku pasrah
padanya entah aku mau dijual, dimerdekakan atau tetap sebagai hamba”.

Bahwa mahasiswa adalah agen perubahan yang harus senantiasa berani


memperjuangkan hak-hak yang belum terpenuhi adalah benar, akan-tetapi ada
prosedur yang harus kita lalui sebelum kemudian aksi demonstrasi dilakukan, Karena
aksi demonstrasi adalah cara terakhir yang boleh dilakukan untuk mengontrol suatu
kebijakan, sebelum itu harus kita lakukan pendekatan secara persuasif kepada pihak
yang bersangkutan dengan cara tabayyun (meminta klarifikasi) dan dengan cara
musyawarah atau audiensi, baru kemudian ketika sifat permasalahannya fatal dan
musyawarahpun tidak menemukan kesepakatan maka kita lakukan aksi demonstrasi
dengan tetap memperhatikan etika dan efek terhadap lingkungan sekitar. Dan yang
penting untuk kita ketahui bahwa demonstrasi harus dilakukan dengan dasar yang

4
kokoh serta matang karena yang akan kita hadapi bukanlah mahasiswa seangkatan juga
bukan kader ataupun adek tingkat, yang akan kita hadapi adalah orang-orang yang
memiliki keilmuan lebih tinggi dari kita bahkan jauh lebih berpengalaman tentang
bidangnya ketimbang kita, jangan sampai kita mempertontonkan kebodohan kita
didepan mereka saat kita berdialog dengan mereka saat kita beradu data dengan
mereka. Sebagaimana yang kita ketahui dalam materi kurikulum kaderisasi PMII bahwa
sebelum materi Management Aksi ada materi Nilai-nilai Dasar Pergerakan (NDP),
Analisis Sosial (ANSOS), Analisis Wacana dan lain-lain, bahkan itulah sebabnya kenapa
materi Managment Aksi diletakkan sebagai materi terakhir dalam kurikulum kaderisasi
PMII yaitu karena aksi demonstrasi adalah cara trakhir dalam kontroling dan agar kita
belajar terlebih dahulu sebelum melakukan aksi demonstrasi.

Sahabat-sahabatku, terlepas dari ketidak sepahaman saya dengan sahabat Bara dan
terlepas dari semua hal diatas ada hal yang saya rasa sangat penting untuk saya
sampaikan kepada sahabat-sahabat sekalian bahwa kenapa saya pribadi tidak setuju
terhadap aksi demonstrasi yang dilakukan dengan sembrono di kampus UIM? Karena
pertama, kampus UIM bukanlah Perguruan Tinggi Negeri melainkan UIM adalah
Perguruan Tinggi Swasta dibawah naungan yayasan Pondok Pesantren Miftahul Ulum
Bettet dan dikelola oleh rektorat bersama pihak yayasan dalam hal ini pengasuh
pesantren sehingga bila terjadi aksi demonstrasi di UIM maka secara tidak langsung
yang didemo oleh mahasiswa adalah pengasuh pondok pesantren, karena segala
kebijakan baik yang sifatnya prinsipil maupun teknis telah melalui konsensus berupa
statuta yang disahkan oleh pimpinan dalam hal ini rektorat bersama yayasan dalam hal
ini pengasuh pondok pesantren dan saya sebagai santri Masyayikh Bettet jelas tidak
ingin stigma itu muncul, terlebih lagi dengan alasan fakta bahwa pngasuh sangat tidak
suka dan sangat Ghadlab (marah) ketika terjadi aksi demonstrasi dikampus, hal itu
terbukti waktu Al-Marhum KH. Abd. Ali Hamid semasa hidupnya Ghadlab besar ketika
mendapati aksi demonstrasi oleh mahasiswa di kampus UIM, Insya-Allah santri Bettet
atau alumni akan lebih mudah memahami maksud saya ini.

Kedua, saya berkeyakinan kuat bahwa pihak kampus sangat welcome pada mahasiswa,
maka hendaknya ketika ditemukan terjadi penyimpangan maka silahkan ditabayyuni
lakukan musyawarah atau audiensi, saya yakin pihak kampus akan menerima bahkan
akan memfasilitasi proses musyawarah ataupun audiensi, karena saya berkaca pada

5
audiensi-audiensi yang telah berlalu seperti audiensi yang dilakukan oleh mahasiswa
Fakultas Ekonomi kepada dekanat tahun lalu tentang ruang laboratorium yang dinilai
tidak representatif, seminggu kemudian pihak kampus langsung merenovasi ruang
laboratorium yang dimaksud, terlebih lagi bapak rektor telah menyampaikan secara
langsung bahwa beliau membuka ruang seluas-luasnya untuk mahasiswa yang ingin
tabayyun tentang segala kebijakan baik kebijakan yang bersifat prinsip maupun
kebijakan yang bersifat teknis. Maka ketika ruang dialog sudah dibuka seluas itu kenapa
masih perlu demonstrasi? Ketika ada cara yang sama-sama efektif dan bahkan lebih
efisien, kenapa harus menggunakan cara yang menguras tenaga dan materi? Maka
mohon maaf, jika ruang dialog sudah dibuka luas sedemikian rupa akan-tetapi masih
ada oknum yang tetap memaksakan diri untuk melakukan aski demonstrasi yang
kontraproduktif dan sangat tidak efisien maka mohon maaf saya harus katakan bahwa
oknum tersebut tidak tulus memperjuangkan hak mahasiswa melainkan ia hanya
sedang mencari panggung popularitas dan panggung ketenaran dengan berbungkus
kedok keadilan, dia hanya sedang berkarya dan berupaya menulis sejarahnya sendiri
dengan tinta kotorannya sendiri, karena idealismenya telah tercampur aduk dengan
jiwa pragmatis yang tertanam dalam dirinya, lalu jika betul seperti itu kenapa harus
kampus yang didemo? Padahal imbasnya kepada pengasuh pondok pesantren, kenapa
tidak ke pmerintah yang sudah jelas-jelas disana ada banyak peluang untuk meraih
popularitas? Mari berpikir dewasa dan bijaksana.

Sahabat-sahabatku, sebagai penutup saya ingin menyampaikan satu hadist Nabi yang
diriwayatkan oleh Al-Baihaqi “Ikhtilafu Ummati Rahmatun” bahwa perbedaan ummatku
adalah rahmat, maka dari itu perbedaan pandangan antara saya dan sahabat sekaligus
senior saya Bara Fawaid adalah suatu rahmat dari Allah SWT. Perbedaan itu tentu
muncul karena persepektif yang berbeda, perbedaan perspektif bukan hanya karena
dilatarblakangi oleh wawasan dan kapasitas keilmuan yang berbeda akan-tetapi juga
bisa dilatarbelakangi oleh ketidaksamaan situasi dan kondisi yang saya dan sahabat
Bara alami.

Terimakasih, mohon maaf jika ada salah kata ataupun pemilihan diksi yang kurang
berkenan, saya pribadi siap dikoreksi dan menerima masukan jika ditemukan kesalahan
dalam tulisan ini.
*Wakil Ketua Komisariat PMII UIM

Anda mungkin juga menyukai