Anda di halaman 1dari 58

STUDI ANALISIS VARIASI TIPE PENGAKU DIAGONAL

PADA STRUKTUR BANGUNAN BAJA BERTINGKAT

SKRIPSI / TUGAS AKHIR


Diajukan untuk memenuhi persyaratan penyelsaian
Program S-1
Bidang Ilmu Teknik Sipil Fakultas Teknik
Universitas Widya Kartika

Oleh :

Clement Kristianto Halim

21116001

DOSEN KONSULTASI
Leonardus Setia Budi Wibowo, S.T., M.T., Ph.D
NIP : 211/10.84/02.12/007

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS WIDYA KARTIKA

SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, sehingga Studi Perencanaan ini dapat diselesaikan. Studi
Perencanaan ini merupakan hasil tertulis dari perkuliahan jurusan Teknik Sipil.

Studi Perencanaan ini tentu tidak dapat diselesaikan tanpa adanya


bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari semua pihak. Oleh karena itu, tidak lupa
diucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Didik Purwanto, S.T.,M.T. selaku Kepala Program Studi Teknik


Sipil Universitas Widya Kartika.

2.Bapak Leonardus Setia Budi Wibowo, S.T.,M.T.,Ph.D selaku Dosen


Konsultasi Tugas Akhir.

3.Serta rekan-rekan mahasiswa/mahasiswi Teknik Sipil Universitas Widya


Kartika yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan Studi
Perencanaan ini.

Diharapkan Studi Perencanaan ini dapat menjadi sumber informasi dan


pengetahuan tambahan bagi pembaca mengenai perencanaan gedung dengan
struktur baja. Tiada gading yang tak retak. Begitu pula penyusunan Studi
Perencanaan ini. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca
sangat diperlukan untuk menyempurnakan laporan yang telah disusun.

Surabaya, 26 September 2019

Clement Kristianto Halim

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
DAFTAR TABEL.................................................................................................. v
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 3
1.3 Batasan Masalah ............................................................................................ 4
1.4 Tujuan Penulisan ........................................................................................... 4
1.5 Manfaat Penulisan ......................................................................................... 5
1.6 Lokasi Bangunan ........................................................................................... 5
BAB II : LANDASAN TEORI
2.1 Konstruksi...................................................................................................... 6
2.2 Bangunan Tingkat Tinggi .............................................................................. 8
2.3 Gempa.......................................................................................................... 10
2.4 Daktilitas Baja ............................................................................................. 14
2.5 Perencanaan Struktur Bangunan.................................................................. 14
2.5.1 Pembebanan ........................................................................................ 14
2.5.1.1 Beban Mati ............................................................................... 14
2.5.1.2 Beban Hidup ............................................................................. 17
2.5.1.3 Beban Angin ............................................................................. 19
2.5.1.4 Beban Gempa ........................................................................... 20
2.5.1.4.1 Pembebanan Gempa Static Ekivalen............................ 20
2.5.1.4.2 Gaya Dasar Seismik ..................................................... 21
2.5.1.4.3 Distribusi Vertikal Beban Gempa ................................ 22
2.5.1.5 Perencanaan Beban dan Kuat Terfaktor ................................... 23
2.5.2 Respon Spektrum Desain.................................................................... 24
2.5.3 Perencanaan Balok.............................................................................. 25

ii
2.5.4 Perencanaan Kolom ............................................................................ 32
2.5.5 Sambungan ......................................................................................... 35
2.6 Struktur Pengaku Diagonal (Bracing) ......................................................... 40
2.6.1 Concentrically Braced Frames (CBF) ............................................... 40
2.6.2 Eccentrically Braced Frames (EBF) .................................................. 42
2.7 Analisis Push Over ...................................................................................... 45
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Data Perencanaan ........................................................................................ 47
3.1.1 Data Umum......................................................................................... 47
3.1.2 Data Teknis ......................................................................................... 48
3.1.3 Mutu Material Bahan .......................................................................... 49
3.2 Tahapan Perencanaan .................................................................................. 50
3.2.1 Analisis Beban .................................................................................... 50
3.2.2 Analisis Statika ................................................................................... 51
3.2.3 Analisis Gempa ................................................................................... 51
3.2.4 Desain Penampang Struktur ............................................................... 51
3.2.5 Gambar Struktur ................................................................................. 52
3.3 Hasil Perencanaan ....................................................................................... 52
3.4 Flow Chart................................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 54

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangunan adalah struktur buatan manusia yang terdiri atas dinding


dan atap yang didirikan secara permanen di suatu tempat. Bangunan juga
sering kita kenal dengan rumah dan gedung, yaitu segala sarana, prasarana
atau infrastruktur dalam kebudayaan atau kehidupan manusia dalam
membangun peradabannya. Bangunan sendiri memiliki beragam bentuk,
ukuran, dan fungsi, serta telah mengalami penyesuaian sepanjang sejarah
yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti bahan bangunan, kondisi
cuaca, harga, kondisi tanah, dan alasan estetika.

Seiring dengan perkembangan zaman, bangunan terutama gedung,


memiliki banyak perubahan. Khususnya terhadap aspek ukuran dan bentuk.
Maka tak jarang kita melihat banyak gedung – gedung tinggi di kota seperti
Surabaya ini. Hal ini dikarenakan lahan pemukiman yang semakin hari
semakin sempit. Sehingga, orang berpikir untuk menambah jumlah
kapasitas sebuah gedung dengan kondisi lahan yang sempit, yaitu dengan
cara menambah kapasitas gedung tersebut secara vertikal ke atas bukan
secara horizontal.

Selain daripada aspek dimensi dan bentuk dari gedung yang semakin
berkembang, material sebuah gedung pun juga beragam. Material yang
sangat sering kita jumpai di berbagai macam bangunan pada umumnya
adalah gedung berstruktur beton bertulang dan struktur baja. Kedua material
ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dari segi waktu dan
kemudahan pemasangan, material baja memang lebih tinggi dari material
beton. Struktur baja sendiri juga kuat menahan gaya tarik yang ada. Selain
itu, pemasangan struktur gedung baja lebih mudah dan memerlukan waktu
yang tidak lama seperti pengecoran pada struktur gedung beton bertulang.

1
Jenis dan profil material baja juga beragam, sehingga dapat menyesuaikan
dengan perhitungan struktur serta kebutuhan.

Meski begitu, dalam hal membangun sebuah gedung dengan material


apapun dan dengan ukuran yang sangat tinggi tentu akan mempengaruhi
kekuatan dari gedung itu sendiri. Sehingga, seiring dengan perkembangan
gedung, tekonologi konstruksi juga terus semakin berkembang. Mulai dari
material bangunan, hingga metode-metode yang digunakan untuk
membangun gedung tersebut agar tetap kuat dan kokoh. Hal ini bertujuan
agar gedung tingkat tinggi yang dibangun tidak hanya tinggi secara ukuran,
melainkan memiliki mutu dan kualitas kekuatan yang tinggi juga. Kekuatan
di sini adalah kemampuan sebuah gedung untuk menahan/menerima beban-
beban yang bekerja pada gedung tersebut. Sehingga perencaanan sebelum
dilakukan pembangunan sangatlah penting.

Perencanaan suatu bangunan harus memenuhi syarat tahan gempa,


sehingga dapat memperkecil kerusakan dan kecelakaan yang mungkin
terjadi akibat terjadinya gempa. Beberapa daerah di Indonesia sendiri pada
beberapa tahun terakhir dihebohkan dengan bencana gempa. Hal ini juga
menjadi perhatian bagi masyarakat yang tinggal di pulau Jawa. Khusunya di
Surabaya, Jawa Timur. Di Surabaya sendiri memiliki 2 sesar/patahan yaitu,
Sesar Surabaya dengan jalur patahan mulai dari Keputih hingga Cerme, dan
Sesar Waru dengan jalur patahan mulai dari Rungkut hingga Jombang
(Pakar Kebumian dan Bencana, Institut Teknologi 10 November Surabaya
(ITS) Dr Amien Widodo). Dimana bila kedua sesar tersebut aktif, maka
diprediksi dapat mengakibatkan terjadinya gempa darat yang skalanya
mencapai 6,5 SR (skala richter). Terjadinya gempa sendiri tidak dapat
diprediksi secara pasti tempat dan waktu kejadian. Oleh karena itu
perencanaan suatu bangunan harus memenuhi syarat tahan gempa, sehingga
dapat memperkecil kerusakan dan kecelakaan yang mungkin terjadi akibat
terjadinya gempa. Perencanaan bangunan tahan gempa memiliki berbagai
macam metode yang dapat dilakukan. Untuk gedung struktur baja, dapat

2
dilakukan salah satu metode bangunan tahan gempa yaitu dengan
memberikan struktur rangka pengaku diagonal (bracing) pada perpindahan
antar struktur lateral suatu gedung.

Prinsip utama pemberian struktur rangka pengaku diagonal (bracing)


pada struktur utama gedung adalah untuk menahan beban lateral. Jenis
pemberian struktur rangka bracing sendiri juga terdiri dari berbagai macam,
mulai dari bentuk bracing hingga metode yang digunakan. Pada studi
analisis ini, akan dilakukan perbandingan perilaku bangunan yang terjadi
dengan pemberian 3 tipe bentuk bracing yang berbeda, yaitu bentuk Single
Diagonal, Inverted V – Bracing dan X – Bracing. Dari perbandingan ke-tiga
bentuk bracing akan diperoleh hasil bentuk manakah yang paling efektif
untuk digunakan.

Selain dengan menggunakan 3 macam tipe bracing yang berbeda, juga


akan digunakan 3 desain gedung dengan ketinggian yang berbeda, yaitu
gedung 5 lantai, 10 lantai dan 15 lantai. Masing-masing tipe gedung akan
dianalisis dengan 3 tipe bracing yang berbeda. Sehingga, dengan studi
analisis ini dapat diketahui perilaku struktur baja dengan bracing pada
masing-masing jenis ketinggian gedung. Dari hasil analisis tersebut akan
dicapai jenis struktur bracing manakah yang paling efektif digunakan pada
setiap jenis ketinggian gedung.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, sehingga terdapat beberapa


rumusan masalah yang akan dibahas dalam tugas akhir ini, antara lain :

1. Berapa dimensi balok (anak dan induk), kolom, pelat serta bracing
yang digunakan dalam perencanaan ini ?
2. Berapa nilai lendutan maksimum yang terjadi pada balok (anak dan
induk) serta simpangan maksimum dari perencanaan struktur
gedung ?

3
3. Jenis struktur dengan pengaku manakah yang paling efektif untuk
digunakan pada setiap jenis ketinggian bangunan?

1.3 Batasan Masalah

Mengingat terbatasnya kemampuan yang dimiliki serta waktu yang


tersedia, sesuai dengan judul diberikan batasan-batasan dalam tugas akhir
ini, yaitu :

1. Desain perencanaan struktur menggunakan metode LRFD.


2. Perhitungan perencanaan meliputi struktur atas gedung : pelat
lantai, balok (anak dan induk), kolom baja, serta bracing.
3. Tidak melakukan perencanaan struktur bawah gedung, metode
pelaksanaan, perhitungan anggaran biaya gedung, sistem drainase,
elektrikal, serta interior dan segi arsitek gedung.
4. Perhitungan analisis struktur menggunakan alat bantu software
(SAP 2000 v14.0.0) komputer.

1.4 Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas di atas, adapun tujuan


yang akan dicapai dalam penyusunan penelitian ini, yakni :

1. Dapat merencanakan pelat lantai, balok (anak dan induk), kolom


serta bracing dari material profil baja yang ada di pasaran.
2. Dapat mengetahui nilai lendutan maksimum yang terjadi pada
balok (anak dan induk) serta simpangan maksimum pada struktur
akibat beban gempa rencana yang bekerja.
3. Dapat mengetahui jenis struktur dengan pengaku mana yang paling
efektif untuk digunakan pada setiap jenis ketinggian bangunan.

4
1.5 Manfaat Penulisan

Berdasarkan tujuan yang akan dihasilkan dalam penyusunan tugas


akhir ini, terdapat manfaat – manfaat penulisan tugas akhir ini, antara lain :

• Diharapkan dapat memberikan manfaat dan informasi lebih


detail dalam tata cara perencanaan struktur bangunan struktur
baja.
• Dapat merencanakan pengaku pada struktur bangunan baja
• Dapat mengetahui simpangan maksimum yang terjadi pada
bangunan dengan tambahan pengaku diagonal.
• Dapat memperoleh gambaran mengenai metode perhitungan
struktur bangunan dengan menggunakan sistem pengaku
diagonal pada struktur bangunan baja bertingkat

1.6 Lokasi Bangunan

Adapun lokasi pada studi analisis variasi tipe pengaku diagonal pada
struktur bangunan baja bertingkat ini mengacu pada kota Surabaya. Kota
Surabaya dipilih karena dirasa akhir-akhir ini gempar dengan booming
kembali bahasan mengenai jalur sesar aktif yang ada di Surabaya.
Mengingat kota Surabaya juga memilki resiko terjadinya gempa, sehingga
pada studi analisis ini digunakan lokasi acuan adalah kota Surabaya.

5
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Konstruksi

Konstruksi pada suatu bangunan merupakan suatu kesatuan dan


rangkaian dari beberapa elemen yang direncanakan agar mampu menerima
beban dari luar maupun berat sendiri tanpa mengalami perubahan bentuk
yang melampaui batas persyaratan.

Perencanaan suatu konstruksi bangunan gedung diperlukan beberapa


landasan teori berupa analisis struktur, ilmu mengenai kekuatan bahan serta
hal lain yang berpedoman pada peraturan-peraturan yang berlaku di
Indonesia. Namun pada dasarnya, dalam pengerjaan secara real ilmu teoritis
saja tidaklah cukup karena analisis secara teoritis tersebut hanya berlaku
pada kondisi struktur ideal sedangkan gaya-gaya yang dihitung hanya
merupakan pendekatan dari keadaan yang sebenarnya atau yang diharapkan
terjadi.

Namun tidak dapat dipungkiri, perencanaan merupakan bagian yang


terpenting dari pembangunan suatu gedung atau bangunan lain. Sehingga
dalam suatu perencanaan pembangunan diperlukan beberapa aspek (syarat)
konstruksi yang perlu diperhatikan, antara lain :

a. Teknis

Dalam pembangunan suatu bangunan, harus dipenuhi


persyaratan teknis dimana bangunan yang dibangun haruslah
kuat untuk menerima beban yang dipikulnya, baik beban
sendiri gedung itu maupun beban yang berasal dari luar seperti
beban hidup, beban angin dan beban gempa. Jika persyaratan
teknis tidak diperhitungkan, maka akan membahayakan orang

6
yang berada dalam bangunan. Selain itu, hal tersebut juga
dapat merusak bangunan itu sendiri. Sehingga dalam
perencanaan harus berpegang pada peraturan-peraturan yang
berlaku dan harus memenuhi persyaratan teknis yang berlaku
di Indonesia.

b. Ekonomis

Selain persyaratan teknis, dalam perencanaan pembangunan


juga perlu memperhatikan aspe ekonomi. Hal ini sangat
penting agar tidak terjadi aktivitas-aktivitas yang
mengakibatkan pembengkakan biaya pembangunan. Efisiensi
ekonomis ini dapat dicapai dengan pendimensian struktural
dan non struktural yang efektif, penyusunan time schedule,
pemilihan bahan bangunan dan pengaturan serta pengerahan
tenaga kerja profesional yang tepat. Dengan penerapan
efisiensi ekonomis tersebut diharapkan dapat dihasilkan
bangunan yang berkualitas tanpa menimbulkan pemborosan.

c. Fungsional

Persyaratan fungsional berkaitan dengan penggunaan ruang.


Hal ini akan mempengaruhi penggunaan bentang elemen
struktur yang digunakan.

d. Estetika

Selain aspek teknis, ekonomi dan fungsional perlu juga


diperhatikan untuk aspek estetika. Dalam hal ini, yang
dimaksud estetika bukanlah keindahan bangunan tersebut.
Namun estetika yang dimaksud adalah kenyamanan,
kelancaran serta keberlangsungan bangunan, baik dalam
jangka pendek maupun panjang. Aspek ini perlu
memperhatikan dalam segi lingkungan. Dengan terpenuhinya

7
aspek ini diharapkan dapat ditekan seminimal mungkin
dampak negatif dan kerugian bagi lingkungan.

e. Ketentuan Standar

Perencanaan konstruksi suatu bangunan juga perlu didasari


pada suatu standar perhitungan yang berlaku di Indonesia. Jika
memungkinkan dapat juga dipakai standar Internasional.

Selain itu, sebelum dilakukan konstruksi perlu adanya suatu


perencanaan terlebih dahulu. Adapun tahap-tahap perencanaan konstruksi
adalah sebagai berikut :

1. Pra Rencana (Peliminary Design)

Berupa gambar-gambar atau sketsa bangunan baik desain


maupun struktur perhitungan.

2. Rencana Konstruksi

2.2 Bangunan Tingkat Tinggi

Bangunan bertingkat tinggi merupakan istilah pada suatu bangunan


yang memiliki struktur tinggi. Guna menambahkan fungsi dari suatu
bangunan sehingga dilakukan penambahan ketinggian. Bangunan tinggi
menjadi trend untuk dihuni oleh manusia sejak penemuan elevator (lift) dan
bahan bangunan yang lebih kuat. Berdasarkan beberapa standar, suatu
bangunan dapat dikatakan sebagai bangunan tinggi jika memiliki ketinggian
antara 75 feet dan 491 feet (23 m hingga 150 m). Bangunan yang memiliki
ketinggian lebih dari 492 kaki (150 m) disebut sebagai pencakar langit.
Tinggi rata-rata satu tingkat adalah 13 kaki (4 meter), sehingga jika suatu
bangunan memiliki tinggi 79 kaki (24 m) maka idealnya memiliki 6 tingkat.
Selain itu, terdapat beberapa definisi dari bangunan bertingkat tinggi.
Seperti :

8
• International Conference on Fire Safety in High-Rise
Buildings mengartikan bangunan tinggi sebagai "struktur
apapun dimana tinggi dapat memiliki dampak besar terhadap
evakuasi"

• New Shorter Oxford English Dictionary mengartikan


bangunan tinggi sebagai "bangunan yang memiliki banyak
tingkat"

• Massachusetts General Laws mengartikan bangunan tinggi


lebih tinggi dari 70 kaki (21 m)

Di Indonesia sendiri terdapat karakteristik mengenai bangunan


bertingkat tinggi ini, antara lain :

• Tinggi Bangunan

Seperti istilah bangunan bertingkat tinggi, tentu saja gedung


ini tinggi dan menjulang. Bangunan bertingkat tinggi sendiri
dapat dikategorikan berdasarkan ketinggian gedung
berdasarkan jumlah lantainya. Jika dianggap tinggi floor to
floor adalah 3.75 m (standar), maka suatu gedung dapat
dikategorikan high rise building apabila memiliki jumlah lantai
di atas 20 lantai. Umumnya gedung di Surabaya berada pada
ketinggian 20 – 35 lantai. Di atas 35 lantai masih sedikit jarang
ditemui.

• Luas per lantai

Tujuan bangunan bertingkat tinggi adalah menambah ruang


dengan keterbatasan lahan. Sehingga bangunan ini cenderung
memiliki luas tapak bangunan yang kecil. Umumnya memiliki
luas per lantai berkisar pada 750 m2 – 1500 m2.

9
• Tipe struktur

Tipe struktur pada bangunan bertingkat tinggi dapat


dibedakan menjadi tiga yaitu open frame, flat-slab, dan
bearing wall system. Dari ketiga jenis struktur tersebut, sistem
open frame yang paling banyak dipakai, diikuti oleh sistem
flat-slab.

2.3 Gempa

Gempa bumi terjadi karena adanya kerusakan kerak bumi yang terjadi
secara tiba–tiba yang umumnya diikuti dengan terjadinya patahan atau sesar
(fault). Gaya ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, salah satu faktor
utama adalah benturan pergesekan kerak bumi yang mempengaruhi
permukaan bumi. Istilah untuk lokasi terjadinya gesekan ini disebut fault
zones. Gaya yang berkaitan dengan benturan tersebut akan menjalar dalam
bentuk gelombang. Gelombang ini menyebabkan permukaan bumi dan
bangunan di atasnya bergetar. Pada saat bangunan bergetar, timbul gaya-
gaya pada struktur bangunan karena adanya kecenderungan massa bangunan
untuk mempertahankan dirinya dari gerakan sehingga gempa bumi
mempunyai kecenderungan menimbulkan gaya-gaya lateral pada struktur.
(Schodek, 2014)

Kerusakan-kerusakan bangunan yang disebabkan oleh gempa


bumi secara struktural antara lain efek perlemahan tingkat (soft story
effect), efek kolom pendek (short coloumn effect), puntir (torsion), dan
benturan antar bangunan yang berdekatan (structural pounding)

Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 wilayah gempa, dimana


wilayah gempa 1 adalah wilayah dengan kegempaan paling rendah dan
wilayah gempa 6 dengan kegempaan paling tinggi. Pembagian wilayah
gempa ini didasarkan atas percepatan puncak batuan dasar akibat pengaruh
gempa rencana dengan periode ulang 500 tahun, yang nilai rata-ratanya

10
untuyk setiap wilayah gempa ditetapkan dalam Tabel 2.1 dan Gambar 2.1
dibawah ini :

Tabel 2.1 Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan


puncak muka tanah untuk masing-masing wilayah gempa Indonesia
Percepatan Percepatan puncak muka tanah Ao („g‟)
Wilayah
puncak batuan Tanah Tanah Tanah Tanah
Gempa
dasar („g‟) Keras Sedang Lunak Khusus
1 0,03 0,04 0,05 0,08 Diperlukan
2 0,01 0,12 0,15 0,20 ecaluasin
3 0,15 0,18 0,23 0,30 khusus di
4 0,20 0,24 0,28 0,34 setiap
5 0,25 0,28 0,32 0,36 lokasi
6 0,30 0,33 0,36 0,38

Surabaya sendiri merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki


sesar/patahan aktif. Hingga saat ini, kota Surabaya telah diteliti oleh beberapa
pakar geologi dan beberapa lembaga terkait mengenai sesar yang ada di Surabaya.
Setalah melalui penelitian, diperoleh hasil bahwa di Surabaya terdapat 2
sesar/patahan aktif yaitu Sesar Surabaya dengan jalur patahan mulai dari Keputih
hingga Cerme, dan Sesar Waru dengan jalur patahan mulai dari Rungkut hingga
Jombang (Pakar Kebumian dan Bencana, Institut Teknologi 10 November
Surabaya (ITS) Dr Amien Widodo). Dapat diprediksikan bahwa, bila kedua sesar
tersebut aktif, maka dapat mengakibatkan terjadinya gempa darat yang skalanya
mencapai 6,5 SR (skala richter).

Dr. Amien Widodo menyatakan bahwa di Jawa Timur sendiri sudah ada
sejarah gempa seperti Banyuwangi, Probolinggo, dan Surabaya. Pada tahun 1867
Surabaya diguncang gempa hingga mengakibatkan Gereja Kepanjen
Morokrembangan rusak parah. Pada tahun tersebut masih belum ada teknologi
untuk mengetahui berapa besaran gempa yang terjadi (SR – Skala Richter).

11
Gambar 2.1 Peta percepatan spektrum 0,2 detik dengan redaman 5% di batuan
dasar (SB) untuk probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun

Gambar 2.2 Peta percepatan spektrum 1,0 detik dengan redaman 5% di batuan
dasar (SB) untuk probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun

12
Gambar 2.3 Sesar/Patahan yang Aktif di Pulau Jawa

Gambar 2.4 2 Sesar/Patahan yang Aktif di Kota Surabaya

13
2.4 Daktilitas Baja

Daktalitas adalah kemampuan suatu struktur gedung untuk


mengalalmi simpangan pasca - elastik yang besar secara berulang kali dan
bolak balik akibat beban gempa yang menyebabkan terjadinya pelelehan
pertama, sambil mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup,
sehingga struktur gedung tersebut tetap berdiri, walaupun sudah berada
dalam kondisi di ambang keruntuhan (SNI-1726-2002). Dalam mendesain
sistem struktural, kestabilan lateral merupakan hal dasar yang sangat
penting. Hal ini sangat penting diperhatikan untuk gedung dengan tinggi
berapapun, tetapi lebih penting lagi pada gedung bertingkat tinggi.
Bagaimana suatu struktur menahan gaya lateral tidak saja akan
mempengaruhi desain elemen-elemen vertikal struktur, tetapi juga elemen-
elemen horisontalnya.

2.5 Perencanaan Struktur Bangunan


Struktur gedung harus memenuhi persyaratan “kolom kuat balok
lemah”, artinya ketika struktur gedung memikul pengaruh Gempa rencana,
sendi sendi plastis di dalam struktur gedung tersebut hanya boleh terjadi
pada ujung ujung balok dan pada kaki kolom dan kaki dinding geser
saja. Implementasi persyaratan ini didalam perencanaan struktur beton dan
struktur baja ditetapkan dalam standar beton dan standar baja yang berlaku.
2.5.1 Pembebanan
Dalam melakukan analisis desain suatu struktur bangunan,
perlu adanya gambaran yang jelas mengenai perilaku dan besar
beban yang bekerja pada struktur. Hal penting yang mendasar
adalah pemisahan antara beban-beban yang bersifat statis dan
dinamis.
2.5.1.1 Beban Mati
Beban mati adalah berat dari semua bagian dari suatu gedung
yang bersifat tetap, yang merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari gedung tersebut. Beban mati pada struktur

14
bangunan ditentukan oleh berat jenis bahan bangunan,
berdasarkan Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk
Rumah dan Gedung 1987, dan unsur – unsur yang tercantum
pada denah arsitektur dan struktur.
Beban Mati pada struktur dapat dibagi menjadi 2 bagian,
yaitu beban mati akibat material konstruksi dan beban mati
akibat komponen gedung. Beban mati akibat material
konstruksi dan komponen gedung dapat dilihat pada Tabel
2.2.

Tabel 2.2 Berat sendiri material konstruksi dan komponen gedung

No Material Konstruksi Berat Jenis (kg/m3)


1 Baja 7850
2 Besi tuang 7250
3 Beton 2200
4 Beton bertulang 2400
5 Kayu (nilai rata-rata berbagai jenis 1000
kayu)
6 Pasangan bata merah 1700
7 Pasangan batu belah, batu bulat, 2200
batu gunung
8 Pasangan batu cetak 2200
9 Pasir (kering udara sampai lembab) 1600 - 1700

10 Pasir (jenuh air) 1800


11 Tanah, lempung dan lanau (kering - 1700 – 2000
basah)
12 Batu alam 2600
13 Batu belah, betu bulat, batu gunung 1500

14 Batu pecah 1450

15
Tabel 2.3 Berat sendiri komponen gedung

No Komponen Gedung Beban mati (kg/m2)


1 Adukan (per cm tebal)
- Dari semen 21
- Dari kapur, semen merah atau tras 17
2 Aspal (per cm tebal) 14
3 Dinding pasangan bata merah
- Satu batu 450
- Setengah batu 250
4 Dinding pasangan batako
- Berlubang (tebal 20 cm) 200
- Berlubang (tebal 10 cm) 120
- Tak berlubang (tebal 15 cm) 300
- Tak berlubang (tebal 10 cm) 200
5 Langit-langit (termasukj rusuk, tanpa
penggantung) 11
- Semen asbes / eternit (tebal maks 4 mm) 10
- Kaca (tebal 3 – 5 mm)
6 Lantai kayu sederhana, tanpa langit-langit 40
7 Penggantung langit –langit kayu (bentang maks 7
5 m)
8 Penutup atap genting dengan reng & usuk (per 50
m2)
9 Penutup atap sirap dengan reng & usuk (per m2) 40
10 Penutup atap seng gelombang tanpa gording 10
11 Penutup lantai dari ubun semen / beton (per cm 24
tebal)
12 Semen asbes gelombang (tebal 5 mm) 11

16
2.5.1.2 Beban Hidup

Beban hidup adalah semua beban yang terjadi akibat


pemakaian dan penghunian suatu bangunan, termasuk beban–
beban pada lantai yang berasal dari barang–barang yang
dapat berpindah dan atau beban akibat air hujan pada atap.

a) Beban Hidup pada Lantai

Lantai-lantai gedung yang dapat diharapkan akan


dipakai untuk berbagai tujuan, harus direncanakan
terhadap beban hidup terberat yang mungkin dapat
terjadi. Beban hidup pada lantai dapat dilihat pada
Tabel 2.4 di bawah ini :

Tabel 2.4 Berat hidup pada struktur

No. Penggunaan Berat Keterangan

Lantai dan tangga


1. 200 kg/m2 Kecuali yang disebut No. 2
rumah tinggal

− Lantai & tangga


rumah tinggal
sederhana
2. 125 kg/m2
− Gudang-gudang
selain untuk
toko, pabrik,
bengkel
− Sekolah, ruang
kuliah
− Kantor
3. 250 kg/m2
− Toko, toserba
− Restoran
− Hotel, asrama
− Rumah Sakit
4. Ruang Olahraga 400 kg/m2

5. Ruang Dansa 500 kg/m2

17
Tabel 2.4 Berat hidup pada struktur (Lanjutan)
Lantai dan balkon Masjid, gereja, ruang
2
6. dalam dari ruang 400 kg/m pagelaran/rapat, bioskop
pertemuan dengan tempat duduk tetap

Panggung Tempat duduk tidak


7. 500 kg/m2
Penonton tetap/penonton yang berdiri

Tangga, bordes
8. 300 kg/m2 No. 3
tangga dan gang

Tangga, bordes
9. 500 kg/m2 No. 4, 5, 6, 7
tangga dan gang

10. Ruang Pelengkap 250 kg/m2 No. 3, 4, 5, 6, 7

− Pabrik, bengkel,
gudang
− Perpustakaan,
11. 400 kg/m2 Minimum
ruang arsip,
took buku
− Ruang alat dan
mesin
Gedung
Gedung parkir parkir
bertingkat : bertingkat :
12.
− Lantai bawah 800 kg/m2
− Lantai tingkat
lainnya 400 kg/m2

Balkon menjorok
13. 300 kg/m2 Minimum
bebas keluar

b) Beban Hidup pada Atap


Beban hidup pada atap dan/atau bagian atap terbagi
menjadi beberapa kategori, yaitu : Atap/bagiannya yang
dapat dicapai orang (termasuk kanopi), atap/bagiannya
yang tidak dapat dicapai orang, serta balok/gording tepi

18
kantilever. Nilai beban hidup masing-masing kategori
beban hidup pada atap, dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Berat Hidup pada Atap


No. Bagian Atap Berat Keterangan

Atap/bagiannya dapat
1. dicapai orang, termasuk 100 kg/m2 Atap dak
kanopi

Atap/bagiannya tidak dapat


dicapai orang (diambil
2. min.) :
(40-0,8.α) kg/m2 α = sudut atap, min. 20
− Beban Hujan kg/m2, tak perlu ditinjau
− Beban Terpusat 100 kg bila α > 50°

Balok/gording tepi
3. 200 kg
kantilever

c) Reduksi Beban Hidup


Prosentase dari beban hidup yang membebani struktur
suatu gedung selama umur gedung tersebut, sangat
bergantung pada bagian atau unsur struktur yang
ditinjau dan pada penggunaan gedung tersebut serta
fungsi beban hidup tersebut. Prosentase tersebut tentu
sangat kecil, sehingga beban hidup tersebut dapat
dianggap tidak efektif sepenuhnya. Oleh karena itu,
beban hidup perlu dikalikan dengan suatu koefisien
reduksi. Koefisien reduksi beban hidup dapat dilihat
pada Tabel 2.6.

19
Tabel 2.6 Koefisien Reduksi Beban Hidup
Koefisien
Penggunaan Gedung
Perencanaan Portal Peninjauan Gempa

Perumahan/Penghunian :

− Rumah Tinggal 0,75 0,30


− Asrama
− Hotel
− Rumah Sakit
Pendidikan :
0,90 0,50
− Sekolah
− Ruang Kuliah
Kantor :
0,60 0,30
− Kantor
− Bank
Perdagangan :

− Toko 0,80 0,80


− Toserba
− Pasar
Penyimpanan :

− Gudang 0,80 0,80


− Perpustakaan
− Ruang Arsip
Industri :
1,00 0,90
− Pabrik
− Bengkel
Tempat Kendaraan :
0,90 0,50
− Garasi
− Gedung Parkir
Gang & Tangga :

− Perumahan/Penghunian 0,75 0,30


− Pendidikan, kantor
− Pertemuan umum, 0,75 0,50
perdagangan,
0,90 0,50
penyimpanan, industri,
tempat kendaraan

20
2.5.1.3 Beban Angin
Beban angin ialah semua beban yang bekerja pada gedung
atau bagian gedung yang disebabkan oleh selisih dalam
tekanan udara (PPIUG 1987).
Beban angin ditentukan dengan menganggap adanya tekanan
positif dan tekanan negatif (isapan), yang bekerja tegak lurus
pada bidang-bidang yang ditinjau.
Berikut adalah besar tekanan tiup angin pada tiap kategori :
1. Tekanan tiup minimum 25 kg/m2
2. Tekanan tiup minimum 40 kg/m2 (di laut dan tepi laut
sampai 5 km dari pantai)
3. Jika kecepatan angin dapat menimbulkan tekanan yang
lebih besar :

Sama seperti beban hidup, beban angin sendiri dalam


perhitungan perlu dikalikan dengan suatu koefisien reduksi.
Berikut adalah Tabel 2.7 koefisien angin (PPIUG 1987) :

Tabel 2.7 Koefisien Reduksi Beban Angin

No. Jenis Gedung/Struktur Posisi Tinjauan Koefisien

1. Gedung Tertutup :

a. Dinding Vertikal − Di pihak angin + 0,9


− Di belakang angin •- 0,4
− Sejajar arah angin •- 0,4

b. Atap Segitiga − Di pihak angin (α < 65°) (0,02. α – 0,4)


− Di pihak angin (65° < α < 90°)
− Di belakang angin (semua sudut) + 0,9

- 0,4

21
Tabel 2.7 Koefisien Reduksi Beban Angin (Lanjutan)

c. Atap Segitiga Majemuk − Bidang atap di pihak angin (α < (0,02. α – 0,4)
65°)
− Bidang atap di pihak angin (65° <
α < 90°)
+ 0,9
− Bidang atap di belakang angin
(semua sudut)
− Bidang atap vertical di belakang
angin (semua sudut) - 0,4

+ 0,4

2. Gedung Terbuka Sebelah Sama dengan No. 1, dengan


tambahan :

− Bid. dinding dalam pihak angin


− Bid. dinding dalam belakang angin + 0,6

- 0,3

2.5.1.4 Beban Gempa


Beban gempa adalah semua beban static ekivalen yang
bekerja pada bangunan atau bagian bangunan yang
menirukan pengaruh dari pergerakan tanah akibat gempa itu.
Pengaruh gempa pada struktur ditentukan berdasarkan
analisis dinamik, sehingga diartikan dalam beban gempa
yaitu gaya-gaya di dalam struktur tersebut yang terjadi oleh
tanah akibat gempa.

2.5.1.4.1 Pembebanan Gempa Static Ekivalen

𝑇𝑎 = 𝐶𝑡 ℎ𝑛 𝑘

Keterangan : Ta = Periode fundamental


struktur (detik)

22
Ct = Koefisien Ct dapat
dilihat pada tabel 15
SNI 1726 - 2012

hn = Ketinggian struktur
(m)

k = Koefisien k dapat
dilihat pada tabel 15
SNI 1726 - 2012

𝑇𝑐 > 𝐶𝑢 𝑇𝑎 𝑇𝑎 = 𝐶𝑢 𝑇𝑎

Jika 𝑇𝑎 < 𝑇𝑐 < 𝐶𝑢 𝑇𝑎 Maka 𝑇 = 𝑇𝑐

𝑇𝑐 < 𝑇𝑎 𝑇 = 𝑇𝑎

𝑇𝑐 = Periode fundamental struktur yang diperoleh


dari program Analisis Struktur

𝑇𝑚𝑎𝑥 = 𝐶𝑢 𝑇𝑎

𝑇𝑚𝑖𝑛 = 0,1 𝑁

2.5.1.4.2 Gaya Dasar Seismik


𝑉 = 𝐶𝑠 𝑊

𝐶𝑠 𝑚𝑖𝑛 = 0,044 𝑆𝐷𝑆 𝐼𝑒


𝐶𝑠 𝑚𝑎𝑥 = 𝑆𝐷1
𝑅
𝑇 (𝐼 ) 𝐶𝑠 𝑚𝑖𝑛 < 𝐶𝑠 < 𝐶𝑠 𝑚𝑎𝑥
𝑒

𝐶𝑠 = 𝑆𝐷𝑆
𝑅
𝐼𝑒
𝐶𝑠 = Koefisien Respon Seismik

𝑊 = Berat Seismik

23
𝑆𝐷𝑆 = Parameter Percepatan Desain
Respon Spektrum dalam Rentang
Periode

2.5.1.4.3 Distribusi Vertikal Beban Gempa


𝐹𝑥 = 𝐶𝑢 𝑥 𝑉

𝐶𝑢 𝑥 = 𝑊𝑥 ℎ𝑥 𝑘

Dimana : 𝐹𝑥 = 𝐹𝑦

𝑊𝑥 = Faktor distribusi vertikal

𝑉 = Gaya lateral di dalm


struktur

𝑘 = Eksponen yang terkait


dengan periode struktur

0,5 1

Untuk : T= 2,5 k= 2

0,5 – 2,5 Interpolasi

2.5.1.5 Perencanaan Beban dan Kuat Terfaktor


a) Kekuatan Ultimit Struktur Gedung
1. Ru = Φ Rn
2. Pembebanan Ultimit :
Qu = γ.Qn
Perencanaan beban dan kuat terfaktor harus
memenuhi persyaratan :
Ru ≥ Qu
b) Kombinasi Beban untuk Metode Ultimit
1. 1,4D
2. 1,2D + 1,6L + 0,5(Lr atau R)

24
3. 1,2D + 1,6(Lr atau R) + (L atau 0,5W)
4. 1,2D + 1,0W + L + 0,5(Lr atau R)
5. 1,2D ± 1,0E + L
6. 0,9D + 1,0W
7. 0,9D ± 1,0E
c) Kombinasi Beban untuk Metode Tegangan Izin
1. D
2. D + L
3. D + (Lr atau R)
4. D + 0,75L + 0,75(Lr atau R)
5. D + (0,6W atau 0,7E)
6. D + 0,75(0,6W atau 0,7E) + (0,75L +0,75(Lr
atau R)
7. 0,6D + 0,6W
8. 0,6D + 0,7E
2.5.2 Respon Spektrum Desain
1. Untuk periode yang lebih kecil dari T0, respon spektrum
percepatan desain, Sa , harus diambil dari persamaan :

2. Untuk periode lebih besar dari atau sama dengan T0 dan lebih
kecil dari atau sama dengan Ts , respon spektrum percepatan
desain, Sa , sama dengan SDS.

3. Untuk periode lebih besar dari Ts , respon spektrum


percepatan desain, Sa , diambil berdasarkan persamaan :

Keterangan :
SDS = Parameter respon spektral percepatan desain pada
periode pendek
SD1 = Parameter respon spektral percepatan desain pada

25
periode 1 detik
T = Periode getar fundamental struktur

T0 =

Ts =

Gambar 2.5 Grafik Respon Spektrum

2.5.3 Perencanaan Balok


a. Klasifikasi Penampang
⎯ Penampang Plastis
Mampu mencapai Mp dan memberikan notasi ketika
melebihi Mp tanpa tekuk lokal.
⎯ Penampang Kompak
Mampu mencapai Mp, tetapi tekuk lokal membatasi
rotasi momen setelah mencapai Mp.
⎯ Penampang Non-Kompak

26
Hanya mampu mencapai momen leleh (M y), tekuk
lokal membatasi kemampuan untuk mencapai Mp.
⎯ Penampang Langsing
Tidak mampu mencapai My karena tekuk lokal.
Zona I : PLASTIC BUCKLING

Mn = Mp = fy . Z ≤ 1,5 My

𝑀𝑦 = 𝑆 . 𝑓𝑦 (Terhadap Sumbu x)

M u = ∅ . Mn

∅ = 0,9

Zona II : INELASTIC BUCKLING

LP < LB ≤ LR

fR = 70 MPa (Buatan Pabrik)

115 MPa (Buatan Las)

Zona III : ELASTIC BUCKLING

LR → LB ≤ LR

b. Perencanaan Balok Akibat Momen Lentur


⎯ Terhadap Sumbu x (Sumbu Kuat)
Mux ≤ ∅Mnx → Mux = Momen lentur berfaktor
terhadap sb x

Mnx = Kuat nominal penampang


terhadap sb x

∅ = Faktor Reduksi = 0,9

⎯ Terhadap Sumbu y (Sumbu Lemah)

27
Muy ≤ ∅Mny → Muy = Momen lentur berfaktor
terhadap sb y

Mny = Kuat nominal penampang


terhadap sb y

∅ = Faktor Reduksi = 0,9

c. Kuat Nominal Akibat Tekuk Lokal


Batasan :
Momen Leleh = My = S . fy → S = modulus penampang
elastis

fy = tegangan leleh baja

Momen Batas = MR = S . (fy − fR ) → fR = tegangan sisa

Momen Plastis = Mp = Z . fy → Z = modulus penampang


plastis

I. PENAMPANG KOMPAK
λ ≤ λP

b
λ = Perbandingan lebar dan tebal elemen pelat ( )
t

λP = Harga batas

Mn = M P

Mn = Kuat nominal lentur penampang

II. PENAMPANG TIDAK KOMPAK


λP < 𝜆 ≤ λR

(λ − λP )
Mn = MP − (MP − MR )
(λR − λP )

28
III. PENAMPANG LANGSING
λ < λR

λR 2
Mn = M R ( )
λ

d. Kuat Nominal Akibat Tekuk Lateral


Momen Plastis = MP = Z . fy

Momen Batas Tekuk = MR = S . (fy − fR )

I. Bentang Pendek (PLASTIC BUCKLING)

𝐸
LB < LP LB = 1,76 . 𝑟 . √
𝑓𝑦

x1
LR = iy . ( ) . √1 + √1 + x2 . fL 2
fy − fr

LB = 𝑈𝑛𝑏𝑟𝑎𝑐𝑒𝑑 𝐿𝑒𝑛𝑔𝑡ℎ

LP dan LR = Harga Batas (Tabel)

Mn = Mp ≤ 1,5 My

Dimana :

fL = fy − fr

π E .G .J.A
x1 = ×√
Sx 2

SX 2 Iw
x2 = 4 ( ) ×
G .J Iy

G = 80000 MPa

29
1
J = ∑ b . t3 → b = d − 2tf
3

h′2
Iw = Iy → h′ = d − tf
4

II. Bentang Menengah (INELASTIC BUCKLING)


LP < LB ≤ LR

(LR − LB )
Mn = CB (MR + (MP − MR ) × ) ≤ MP
(LR − LP )

III. Bentang Panjang (ELASTIC BUCKLING)


LB > LR

Mn = MCR ≤ MP → Harga MCR (SNI)

CB = Koefisien Momen Lentur

(Dipakai pada daerah 𝑖𝑛𝑒𝑙𝑎𝑠𝑡𝑖𝑐 dan 𝑒𝑙𝑎𝑠𝑡𝑖𝑐 𝑏𝑢𝑐𝑘𝑙𝑖𝑛𝑔)

12,5 MMAX
CB = ≤ 2,3
2,5 MMAX + 3 MA + 4 MB + 3 MC

MMAX = Harga absolut momen max pada segmen tanpa

pengaku lateral balok

MA , MB , MC = Harga absolut dari momen pada

1 1 3
LB , LB dan LB
4 2 4

e. Kuat Nominal Geser (Vn)


Dengan Pengaku :
⎯ PLASTIS

h kn . E
Jika ≤ 1,1 √ , maka Vn = 0,6 fy . Aw
tw fy

30
⎯ INELASTIS BUCKLING

kn . E h kn . E
Jika 1,1 √ < ≤ 1,37 √
fy tw fy

kn . E
1,1 √
fy
maka Vn = 0,6 fy . Aw .
h
tw

⎯ ELASTIC BUCKLING

h kn . E
Jika > 1,37 √
tw fy

kn . E
maka Vn = 0,9 . Aw .
h 2
(tw)

Dimana :
h = tinggi bersih pelat badan

a = jarak pengaku vertikal pelat badan

5
kn = 5 + atau kn = 5 (Tanpa Pengaku)
a 2
(h)

tw = tebal pelat badan

E = modulus elastisitas baja (MPa)

fy = tegangan leleh baja (MPa)

Aw = luas penampang pelat badan penuh

𝐴𝑤 = 𝑑 . 𝑡𝑤

Tanpa Pengaku :
⎯ PLASTIS

31
h 1100
Jika ≤ , maka Vn = 0,6 fy . Aw
tw √fy

⎯ INELASTIS BUCKLING
1100 h 1370
Jika < ≤
√fy tw √fy

1100 . tw
maka Vn = 0,6 fy . Aw .
h√fy

⎯ ELASTIC BUCKLING
h 1370
Jika >
tw √fy

900000 . Aw
maka Vn =
h 2
(tw)

f. Kuat Rencana Geser


Vu = ∅ . Vn

Gaya geser akibat beban terfaktor tidak boleh melebihi kuat


rencana geser

Vu ≤ ∅ . Vn

g. Defleksi
⎯ Untuk Balok di atas 2 perletakan sederhana
5 . q . L4
Ymax = (Untuk beban merata)
384 . E . I

P . L2
Ymax = (Untuk beban terpusat)
48 . E . I

⎯ Untuk Balok di atas beberapa tumpuan/statis tertentu


5 . L4
Ymax = (M − 0,1(MA + MB ))
48 . E . I S

32
MA , MB = Momen Tumpuan

MS = Momen di tengah bentang

2.5.4 Perencanaan Kolom


a. Persamaan Interaksi (Kondisi Tarik)
Pu Pu 8 Mux Muy
Jika ≥ 0,2 → + ( + ) ≤ 1,0
∅t . Pn ∅t . Pn 9 ∅b . Mnx ∅b . Mny

Pu Pu 8 Mux Muy
Jika < 0,2 → + ( + ) ≤ 1,0
∅t . Pn 2∅t . Pn 9 ∅b. Mnx ∅b . Mny

Dimana :
Pu = gaya tarik akibat beban berfaktor

Mux, Muy = Momen lentur terhadap sb x dan y akibat


beban berfaktor

Pn = kuat tarik nominal batang

fy
Pn = Ag × w

Mnx, Mny = kuat momen lentur nominal sb x dan y

Φt = faktor reduksi kuat tarik

Φt = 0,9 (Kuat Leleh)

Φt = 0,75 (Kuat Putus)

Φb = faktor reduksi kuat lentur

Φb = 0,9

b. Analisis Tipe Kolom


1. Kolom Tidak Bergoyang
Mu = δb . Mntu

33
Dimana :
Mntu = Momen berfaktor pada analisis order pertama
yang diakibatkan oleh beban tidak menimbulkan
goyangan (Beban Gravitasi)

δb = Faktor ampifikasi untuk memasukkan


pengaruh P . δ

Cm
δb = Nu ≥ 1,00
1−( )
Nclb

Ag .fy π2 . E
Nclb = 2 = . Ag
λc λ2

Nu = Gaya tekan berfaktor

Nclb = Gaya tekan kritis Euler untuk elemen tidak


bergoyang

k .L
λ=
i

λ fy
λC = √
π E

⎯ Untuk Elemen Tanpa Beban Transversal


M1
Cm = 0,6 − 0,4β ≤ 1,0 → β = ; M1 < M2
M2

M1, M2 = Momen di ujung elemen

β bernilai positif jika M1 dan M2 membuat lengkungan


yang berbeda

⎯ Untk Elemen dengan Beban Transversal


Cm = 1 → Elemen dengan ujung sederhana

34
Cm = 0,85 → Elemen dengan ujung kaku

2. Kolom Bergoyang
Mu = δb . Mnt + δS . Met

Met = Momen berfaktor pada analisis order pertama


yang diakibatkan beban yang menimbulkan
pergoyangan (Beban Lateral)

δS = Faktor ampifikasi untuk memasukkan pengaruh


P.∆

1
δS = ∑ Nu
1−(∑ N )
crs

∑ Nu = Jumlah gaya tekan berfaktor seluruh

kolom dalam satu tingkat yang ditinjau

∑ Ncrs = Jumlah gaya kritis 𝐸𝑢𝑙𝑒𝑟 untuk elemen

bergoyang dalam satu tingkat yang ditinjau

π2 . E
Ncrs = . Ag
λ2

k .L
λ=
i

c. Persamaan Interaksi (Kondisi Tekan)


Pu Pu 8 Mux Muy
Jika ≥ 0,2 → + ( + ) ≤ 1,0
∅c . Pn ∅c . Pn 9 ∅b . Mnx ∅b . Mny

Pu Pu 8 Mux Muy
Jika < 0,2 → + ( + ) ≤ 1,0
∅c . Pn 2∅c . Pn 9 ∅b . Mnx ∅b. Mny

Φc = 0,85 (Kuat Tekan)

35
Φb = 0,9 (Kuat Lentur)

2.5.5 Sambungan
Syarat :
3 db ≤ S ≤ 15 tp atau 200 mm

1,5 db ≤ S1 ≤ (4 tp + 100) atau 200 mm

Untuk tepi dipotong dengan


tangan 1,75 db
Untuk tepi dipotong dengan ≤ S ≤ 12 tp atau 150 mm
2
mesin 1,50 db
Tepi profil bukan hasil potongan
1,25 d

a. Kekuatan Baut Memikul Beban Geser


Ru = ∅ . Rn

⎯ Kuat Geser Nominal Baut (Vn)


Vd = ∅f . Vn

Vd = Kuat rencana

Vn = r1 . fub . Ab . m

m = Jumlah bidang geser

r1 = 0,5 (tanpa ulir) atau 0,4 (dengan ulir)

fub = Tegangan tarik putus baut

Ab = Luas bruto penampang baut

∅f = 0,75

⎯ Kuat Tumpu Nominal Baut dengan Pelat


Jika S1 > 1,5 d dan S > 3 d,

36
serta ada lebih dari satu baut pada arah kerja beban

R u = ∅f . R n

Rn = 2,4 . db . tp . fu → Berlaku untuk semua lubang

Dimana :
db = Diameter nominal baut

tp = Tebal pelat tertipis

fu = Tegangan tarik putus terkecil antara baut dan pelat

∅f = 0,75

b. Kekuatan Baut Memikul Beban Tarik


⎯ Kuat Tarik Nominal Baut
Td = ∅f . Tn

Tn = 0,75 . fub . At

∅f = 0,75

Baut yang memikul beban geser berfaktor Vu dan gaya tarik


berfaktor Tu, secara bersamaan harus memenuhi kedua
persyaratan berikut ini :
Vu
fuv = ≤ r1 . ∅f . fub . m
n . Ab

Tu
Td = ∅f . Tn = ∅f . ft . Ab ≥
n

Dimana :
n = Jumlah baut

m = Jumlah bidang geser baut

ft = f1 − f2 . fuv ≤ f2

37
c. Baut Tipe Tumpu Menerima Beban Kombinasi Geser dan
Tarik
SNI :
⎯ Untuk baut mutu tinggi :
f1 = 807 MPa , f2 = 621 MPa

r2 = 1,9 untuk baut dengan ulir pada bid. geser

r2 = 1,5 untuk baut tanpa ulir pada bid. geser

⎯ Untuk baut mutu normal :


f1 = 410 MPa , f2 = 310 MPa

r2 = 1,9

AISC :
ft = 1,3 fu − r2 . fuv ≤ fu

f1 = 1,3 fu

f2 = fu

d. Butu Mutu Tinggi Tiper Gesek (Fricition Type)


P = μ.N

N = Gaya tekan baut yang harus dicapai

µ = Koefisien gesek antar pelat

Gaya Tarik Baut Minimum (Tb) pada pemasangan :


Tabel 2.8 Gaya Tarik Baut Minimum (Tb)
Diameter Baut Gaya Tarik Baut Minimum

(mm) (kN)

16 95

38
Tabel 2.8 Gaya Tarik Baut Minimum (Tb) (Lanjutan)

20 145

24 210

30 335

36 490

Untuk bidang kontak keadaan bersih µ = 0,35


e. Baut Hanya Menerima Beban Geser (Vu)
⎯ Kuat Geser Nominal Baut (Vn)
Vd = ∅ . Vn

Vd = Kuat rencana

∅ = 1,00 untuk lubang standar

∅ = 0,85 untuk lubang selot pendek dan besar

∅ = 0,70 untuk lubang selot panjang ⊥ beban

∅ = 0,6 untuk lubang selot panjang  beban

Vn = 1,13 . μ . m . Tb

µ = Koefisien Geser

m = Jumlah Bidang Geser

Tb = Gaya Tarik Minimum Baut

f. Baut Menerima Beban Kombinasi Geser (Vu) dan Tarik (Tu)


Jika di samping Vu baut juga menerima beban tarik Tu, maka
kuat geser nominal direduksi sebagai berikut :
Tu
Vd = ∅ . Vn (1 − )
1,13Tb

39
g. Sambungan Geser Sentris
Beban bekerja pada bidang sambungan dan melalui titik berat
susunan sambungan, sehingga beban diterima secara merata
pada tiap-tiap baut :
Tiap baut menerima beban geser :
Pu
Vn = ≤ Vd = ∅f . Vn → ∅f = 0,75
n

2.6 Struktur Pengaku Diagonal (Bracing)


Terdapat beberapa jenis portal baja tahan gempa, secara umum
terdapat dua jenis portal baja tahan gempa yaitu Braced Frames dan
Moment Resisting Frames. Masing- masing jenis ini memiliki karakteristik
yang berbeda. Pada studi analisis ini akan digunakan jenis portal baja tahan
gempa dengan menggunakan metode Braced Frames (dengan pengaku
diagonal).
Secara umum, struktur portal baja braced frames terdapat 2 jenis,
yaitu : Concentrically Braced Frames (CBF) dan Eccentrically Braced
Frames (EBF). Berikut adalah penjelasan dari kedua jenis Braced Frames.

2.6.1 Concentrically Braced Frames (CBF)


Concentrically Braced Frames (CBF) adalah sistem
penahan gaya lateral dengan karakteristik kekakuan elastik yang
tinggi. Kekakuan yang tinggi diperoleh dari diagonal brace yang
menahan gaya lateral pada struktur frame yang meningkatkan aksi
gaya dalam aksial dan aksi lentur yang kecil. Perilaku tipikal dari
bressing terhadap beban bolak-balik (cyclic) saat pertama kali
dibebani dengan tarik dan tekan dapat dilihat pada Gambar 2.4 (a)
dan Gambar 2.4 (b). Cr dan Cr’ adalah masing-masing kapasitas
tekuk pertama kali dan kapasitas tekuk setelah tekuk yang pertama
kali. Rangka bressing pada umumnya dianalisis dan didesain dengan
mengabaikan momen pada sistem tersebut (AISC,2005). Pada sistem
ini elemen bressing diharapkan mampu berdeformasi inelastik yang

40
besar tanpa terjadi kehilangan yang signifikan pada kekuatan dan
kekakuan struktur.

Gambar 2.6 Konfigurasi Sistem CBF


(Sumber: ECCS, 2017)

Gambar 2.7 Perilaku Konfigurasi Sistem CBF


(Sumber : ECCS, 2017)
Distribusi beban lateral pada bidang bressing, batang-
batang bressing harus dipasang dengan arah gaya lateral yang sejajar
pada bidang bressing, minimal 25% tapi tidak lebih dari 75% gaya
horizontal total harus dipikul oleh batag bressing tarik, kecuali jika
kuat nominal tekan Nn untuk setiap batang bressing lebih besar
daripada beban berfaktor Nu (SNI 02-1726-2012).
Kategori struktur pada sistem struktur CBF dibagi menjadi
dua, yaitu Sistem Rangka Bressing Konsentrik Biasa (SRBKB) dan
Sistem Rangka Bressing Konsentrik Khusus (SRBKK).

41
a. Sistem Rangka Bressing Konsentrik Biasa (SRBKB)
Pada sistem SRBKB ini struktur dapat mengalami deformasi
inelastis secara terbatas apabila dibebani oleh gaya- gaya yang
berasal dari gempa rencana.
b. Sistem Rangka Bressing Konsentrik Khusus (SRBKK)
Pada sistem SRBKK struktur dapat berdeformasi inelastik
cukup besar yang diakibatkan gaya gempa rencana. Sistem
SRBKK memiliki daktilitas yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan SRBKB, hal ini dikarenakan deformasi
pada SRBKK lebih besar dari deformasi pada SRBKB dan
penurunan kekuatan pada SRBKK lebih kecil pada saat terjadi
tekuk pada bressing.
Jadi secara umum, sistem struktur CBF memiliki kekakuan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan struktur MRF (Moment
Resisting Frames) karena adanya elemen bressing pada struktur.
Namun demikian, kekakuan yang besar pada CBF mengkibatkan
deformasi yang terjadi pada struktur lebih terbatas sehingga
daktilitas struktur CBF lebih rendah jika dibandigkan dengan sistem
struktur MRF.

2.6.2 Eccentrically Braced Frames (EBF)


Sistem struktur EBF merupakan struktur baja penahan gaya
lateral yang merupakan gabungan antara konsep daktilitas dan
disipasi energi yang baik dari desain Moment-Resisting Frames
(MRF) dengan karakteristik kekakuan elastik yang tinggi dari desain
Concentrically Braced Frames (CBF). EBF mengkombinasikan
banyak keuntungan individu dari sistem kerangka konvensional,
secara spesifik, EBF memiliki elastisitas tinggi, respons inelastis
stabil pada muatan lateral siklis, daktilitas dan kapasitas disipasi
energi yang besar (Bruneau, 1998).

42
Konsep desain EBF adalah sederhana: membatasi aksi
inelastis pada link, dan mendesain kerangka di sekitar link untuk
mempertahankan tegangan maksimum yang dapat diberikan oleh
link. Desain dengan menggunakan strategi ini harus memastikan
bahwa link bertindak sebagai sekering seismik ductile dan
melindungi integritas dari kerangka seismik di sekitarnya (lihat
Gambar 2.5 (b)). Pada pembebanan cyclic, terlihat kurva hysteresis
sistem EBF stabil dan melingkar dengan baik, indikatif dari banyak
disipasi energi (lihat Gambar 2.5 (c)). Sehingga yang menjadi
konsep utama dalam struktur EBF adalah elemen link ditetapkan
sebagai bagian yang akan rusak sedangkan elemen lain diharapkan
tetap berada dalam kondisi elastik. Kelehan yang terjadi pada elemen
link dapat berupa kelelehan geser atau kelelehan lentur. Tipe
kelelehan ini sangat tergantung pada panjang link tersebut.

Gambar 2.8 Perilaku Konfigurasi Sistem EBF


(Sumber : Hamzah.2010, Seminar Nasional VI 2010 Teknik Sipil ITS)
Link beam merupakan elemen struktur yang direncanakan
untuk berperilaku inelastis serta mampu untuk berdeformasi plastis
yang besar pada saat terjadi beban lateral. Bagian link berfungsi
untuk menyerap energi pada saat beban lateral (gempa). Mekanisme
leleh pada elemen link terdiri dari 2 mekanisme leleh, yaitu

43
kelelehan geser dan kelelehan lentur, tergantung dari panjang link (e)
yang digunakan. Pada sistem struktur EBF, kekakuan lateral
merupakan fungsi dari perbandingan antara panjang link (e) dengan
panjang elemen balok (L). Jika panjang elemen link lebih pendek,
maka struktur portal menjadi lebih kaku mendekati kekakuan
struktur CBF dan jika panjang link lebih panjang, maka kekakuan
struktur portal EBF mendekati kekakuan struktur Momen Resisting
Frames (MRF). Pada struktur EBF, elemen struktur diluar link
direncanakan untuk berperilaku elastis sedangkan bagian link
direncanakan untuk dapat berdeformasi inelastis pada saat terjadi
beban lateral (gempa).
Meskipun sistem EBF bukan merupakan konsep yang baru,
aplikasi sistem ini pada sistem konstruksi tahan gempa sangat dapat
diterima. Ketahanan bressing eksentrik pada konstruksi tahan gempa
sangat tergantung pada kestabilan sistem struktur dan sifat inelastik
dibawah beban cyclic lateral. Pada desain struktur EBF yang baik,
aktifitas inelastik dibawah beban siklik dibatasi terutama hanya
terjadi pada elemen link yang didesain untuk dapat mengalami
deformasi inelastik yang besar tanpa kehilangan kekuatan. Pada
struktur EBF ini, elemen- elemen struktur diluar link (balok, kolom
dan bressing) didesain berdasarkan kapasitas link. Dengan membuat
elemen link lebih lemah dari elemen struktur lainnya, kehancuran
daktail diharapkan terjadi pada elemen link dan mengantisipasi agar
elemen- elemen diluar link mengalami kehancuran non daktail,
seperti buckling pada elemen bressing. Karakteristik sistem struktur
EBF tergantung dari karakteristik elemen link nya (e). kekuatan
struktur EBF dipengaruhi oleh nilai perbandingan e/L atau
pemendekan elemen link hingga mencapai batas kapasitas geser
plastis dari link. Pada struktur EBF, link pendek (e/L kecil) memiliki
keunggulan dalam menyediakan kekakuan dan kekuatan struktur
yang tinggi. Nilai e/L yang kecil mengakibatkan kebutuhan rotasi

44
link yang sangat besar. Link panjang (e/L besar) menghasilkan
kekakuan dan kekuatan yang rendah serta kebutuhan rotasi link yang
lebih kecil. Nilai e/L yang besar menghasilkan struktur EBF yang
mendekati sifat struktur MRF, sedangkan nilai e/L yang kecil
menghsilkan struktur EBF yang mendekati sifat struktur CBF.

2.7 Analisis PushOver


Analisis statik non linier pushover (ATC 40, 1996) merupakan
salah satu komponen performance based design yang menjadi sarana dalam
mencari kapasitas dari suatu struktur. Dasar dari analisis pushover
sebenarnya sangat sederhana yaitu memberikan pola beban statik tertentu
dalam arah lateral yang ditingkatkan secara bertahap pada suatu struktur
sampai struktur tersebut mencapai target displacement tertentu atau
mencapai pola keruntuhan tertentu. Dari hasil analisis tersebut dapat
diketahui nilai-nilai gaya geser dasar untuk perpindahan lantai atap tertentu.
Nilai-nilai yang didapatkan tersebut kemudian dipetakan menjadi kurva
kapasitas dari struktur. Selain itu, analisis pushover juga dapat
memperlihatkan secara visual perilaku struktur pada saat kondisi elastis,
plastis dan sampai terjadinya keruntuhan pada elemen-elemen strukturnya.
Meskipun dasar dari analisis ini sangat sederhana, tetapi informasi
yang dihasilkan akan menjadi berguna karena mampu menggambarkan
respons inelastis bangunan ketika mengalami gempa. Analisis ini memang
bukan cara yang terbaik untuk mendapatkan jawaban terhadap masalah-
masalah analisis maupun desain, tetapi merupakan suatu langkah maju
dengan memperhitungkan karakteristik respon non-linier yang dapat dipakai
sebagai ukuran performance suatu bangunan pada waktu digoncang gempa
kuat. Prosedur perhitungan dengan analisis pushover (ATC 40, 1996) adalah
sebagai berikut :
⎯ Pembuatan model komputer struktur yang akan dianalisis secara
dua atau tiga dimensi

45
⎯ Dimensi suatu kriteria performance, seperti batas ijin simpangan
pada lantai atap pada titik sendi tertentu, dan lain-lain
⎯ Pembebanan struktur dengan gaya gravitasi sesuai dengan rencana
⎯ Pembebanan dengan pola beban statik tertentu yang didapatkan
dari standar yang berlaku di masing-masing negara
⎯ Penentuan Titik Kendali tertentu untuk memantau perpindahan,
biasanya titik pada lantai atap
⎯ Struktur didorong (push) dengan pola pembebanan yang ditentukan
sebelumnya secara bertahap hingga mencapai batas ijin simpangan
atau mencapai keruntuhan yang direncanakan
⎯ Penggambaran kurva kapasitas, yaitu kurva hubungan antara Gaya
Geser Dasar dengan Perpindahan pada Titik Kendali.

46
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Data Perencanaan

3.1.1 Data Umum

Pada studi analisis ini digunakan 3 jenis bangunan dengan ketinggian


yang berbeda yaitu gedung 5 lantai, 10 lantai dan 15 lantai. Masing-
masing jenis gedung diberi struktur pengaku diagonal dengan 3
bentuk yang berbeda yakni, Single Diagonal, Inverted V – Bracing
dan X – Bracing. Pemodelan masing-masing gedung akan
difungsikan sebagai gedung kantor.

Masing-masing pemodelan gedung memiliki besaran luas yang sama


yaitu 20x20 meter persegi. Berikut adalah gambar tampak atas denah
struktur gedung.

Gambar 3.1 Denah Struktur Gedung (Tampak Atas)

47
Berikut adalah gambar bentuk masing-masing struktur baik open
frame maupun dengan penambahan struktur bracing yang
digunakan :

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 3.2 Bentuk Struktur Bracing (a) Open Frame (b) Single
Diagonal Bracing (c) Inverted V-Bracing dan (d) X-Bracing.

3.1.2 Data Teknis

Struktur Gedung : Lantai 1 sampai dengan lantai 5, 10 dan 15


menggunakan struktur baja, dengan
menggunakan pengaku diagonal (Bracing)
pada sisi tengah bangunan.

Kondisi Tanah : Tanah Lunak

Zona : Kota Surabaya

48
Jumlah Lantai : 5, 10 dan 15 lantai

Tinggi Bangunan : 20, 40 dan 60 meter

Luas Bangunan : 20 x 20 meter persegi

Fungsi Bangunan : Perkantoran

3.1.3 Preliminary Design

Adapun data preliminary design yang digunakan pada ketiga jenis


gedung adalah sebagai berikut :

Gedung 5 lantai :

Kolom : WF 400 x 400

Balok : WF 350 x 175

Bressing : WF 100 x 100

Mutu : BJ 37

Pelat : Floor Deck (Pelat Bondek)


tebal 1 mm

Gedung 10 lantai :

Kolom : Lantai 1-5 = WF 400 x 400

Lantai 5-10 = WF 350 x 350

Balok : WF 350 x 175

Bressing : WF 100 x 100

Mutu : BJ 37

Pelat : Floor Deck (Pelat Bondek)

49
tebal 1 mm

Gedung 15 lantai :

Kolom : Lantai 1-5 = WF 400 x 400

Lantai 5-10 = WF 350 x 350

Lantai 10-15 = WF 340 x 250

Balok : WF 350 x 175

Bressing : WF 100 x 100

Mutu : BJ 37

Pelat : Floor Deck (Pelat Bondek)


tebal 1 mm

3.2 Tahapan Perencanaaan

Secara garis besar Studi Analisis Variasi Tipe Pengaku Diagonal Pada
Struktur Bangunan Baja Bertingkat meliputi hal-hal sebagai berikut :

3.2.1 Analisis Beban

Pembebanan yang diperhitungkan pada studi analisis variasi tipe


pengaku diagonal pada struktru bangunan baja bertingkat ini secara
garis besar adalah sebagai berikut :

⎯ Beban Mati
⎯ Beban Hidup
⎯ Beban Gempa
Beban gempa untuk wilayah Surabaya berdasarkan Peta
Gempa Indonesia 2011 termasuk dalam wilayah area dengan
respon spektrum percepatan 0,6 – 0,7g.

50
Berdasarkan beban-beban yang digunakan, maka struktur
baja pada masing-masing jenis gedung harus mampu
memikul semua kombinasi pembebanan berikut ini :
⎯ U = 1,4 D
⎯ U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5 (Lr atau R)
⎯ U = 1,2 D + 1,0 L ± 1,0 E
⎯ U = 0,9 D ± 1,0 E
Keterangan :
D = Beban Mati yang diakibatkan oleh berat
konstruksi permanen

L = Beban hidup yang ditimbulkan oleh


penggunaan gedung

A = Beban atap

Lr atau R = Beban Hujan

E = Beban Gempa

3.2.2 Analisis Statika

Untuk mendapatkan nilai gaya-gaya dalam yang bekerja pada


struktur masing-masing jenis analisis gedung (momen, gaya aksial
dan gaya geser), digunakan software SAP 2000 v14.0.0 Advanced.

3.2.3 Analisis Gempa

Pada studi analisis ini, dilakukan analisis perhitungan beban gempa


dengan menggunakan metode Analisis Statis Non-Linier (PushOver
Analysis)

3.2.4 Desain Penampang Struktur

Adapun prinsip dasar yang digunakan untuk mendesain penampang


baja pada analisis masing-masing jenis gedung ini adalah dengan

51
menggunakan metode kekuatan (strength design method) yaitu
bahwa :

U ≤  Rn

Keterangan :

 = Faktor reduksi

U = Momen dan Beban Ultimit

Rn = Kapasitas Penampang

3.2.5 Gambar Struktur

Pada studi analisis variasi tipe pengaku diagonal pada struktur


bangunan baja bertingkat ini, portal yang didetail yaitu portal dengan
struktur pengaku diagonal (bracing) dan portal tanpa struktur
pengaku diagonal.

3.3 Hasil Perencanaan

Adapun besaran perencanaan yang diamati sebagai berikut :

1. Dimensi struktur yang meliputi balok, kolom dengan bracing pada


masing-masing jenis gedung.
2. Dimensi struktur yang meliputi balok, kolom tanpa bracing pada
masing-masing jenis gedung.

52
3.4 Flow Chart

Mulai

Data Perencanaan

Pembebanan dengan
dimensi taksiran

Statika menggunakan
SAP 2000 v14.0.0
Advanced

Gaya Dalam : Aksial,


Geser dan Momen

Analisis Penampang Tidak


U <  Rn

Ya

Dimensi struktur portal,


bracing dan gambar

Selesai

53
DAFTAR PUSTAKA

1. American Institute of Steel Construction, 2010, ASCE/SEI 7-10 : ANSI/AISC


36010, 2010, Specification for Structural Steel Buildings, Chicago
2. European Convention for Constructional Steelwork (ECCS). 2017. Design of
Steel Structures for Buildings in Seismic Areas: Eurocode 8. Sersilito,
Portugal.
3. Hamzah., 2010. Studi Perbandingan Perilaku Struktur Jack Up
Platformsistem Concentrically Braced Frames (CBF) dan Sistem
Eccentrically Braced Frames (EBF) Tubular Link. Surabaya : Seminar
Nasional VI 2010 Teknik Sipil ITS.
4. Pusat Studi Gempa Nasional & Pusat Litbang Perumahan dan Pemukiman.
2017. Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017.
5. PPIUG - Pedoman Perencanaan Pembebanan Indonesia untuk Rumah dan
Gedung. 1987.
6. Ronald D. Ziemian., 2010. Guide to Stability Design Criteria for Metal
Structures, New Jersey.
7. Schodek., 2014. Structures (7th Edition), New Jersey.
8. Standar Nasional Indonesia. 2012. Tata Cara Perencanaan Ketahanan
Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non-Gedung (SNI 03-1726-
2012), Jakarta : Badan Standarisasi Nasional.
9. Standar Nasional Indonesia. 2013. Beban Minimum untuk Perancangan
Bangunan Gedung dan Struktur Lain (SNI 03-1727-2013), Jakarta : Badan
Standarisasi Nasional.
10. Standar Nasional Indonesia. 2015. Tata Cara Perencanaan Struktur Baja
Untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1729-2015), Jakarta : Badan
Standarisasi Nasional.

54

Anda mungkin juga menyukai