Anda di halaman 1dari 14

Sabtu, 24 Mei 2008

Model Gordon-Schaefer dan Model Fox

Model Gordon-Schaefer boleh dikatakan sebagai salah satu model awal pengembangan model
bioekonomi. Meskipun tidak lepas dari kritikan, namun model ini banyak menjadi landasan bagi
pengembangan model bioekonomi lainnya.
Model Gordon-Schaefer dikembangkan oleh Schaefer yang menggunakan fungsi pertumbuhan
logistik yang dikembangkan oleh Gordon. Model fungsi pertumbuhan logistik tersebut
dikombinasikan dengan prinsip ekonomi, terutama konsep maksimisasi profit. Dalam model
Gordon-Schaefer pendekatan statik dipergunakan tiga kondisi keseimbangan, yaitu: (1)
maximum sustainable yield atau MSY, (2) maximum economic yield atau MEY dan (3) open
access equilibrium (OAE).
Selain model Gordon-Schaefer, juga terdapat model Fox yang banyak dipergunakan dalam
analisis bioekonomi. Dalam beberapa literatur memang model Schaefer dan model Fox
direkomendasikan dalam pengkajian MSY, dimana selanjutnya dapat ditindak-lanjuti dengan
analisis bioekonomi dengan memasukkan prinsip-prinsip ekonomi dalam pemodelan lanjutan.
Pada model Fox, diperhitungkan adanya decreasing rate upaya penangkapan. Hal itu berbeda
pada model Gordon-Schaefer karena asumsi decreasing rate upaya diabaikan atau menggunakan
asumsi constant rate upaya penangkapan. Tingkat decreasing rate penangkapan dapat dilihat
pada besarnya betha. Apabila betha sama dengan 1, maka tidak terjadi decreasing rate upaya
penangkapan seperti pada model Gordon-Schaefer. Sedangkan pada model Fox, betha tidak
sama dengan 1.
Dalam model Fox pendekatan statik, juga dapat dilakukan dengan menggunakan tiga kondisi
seperti pada model Gordon-Schaefer, yaitu MSY, MEY dan open access. Namun, melihat fungsi
matematisnya maka boleh dikatakan model Fox lebih rumit karena hubungan antara CPUE dan E
tidak bersifat linier seperti pada model Gordon-Schaefer. Kurva C dan E antara model Gordon-
Schaefer dan Model Fox memiliki perbedaan. Kalau pada model Gordon-Schaefer, kurva C-E
berbentuk parabolik simetris, namun pada model Fox tidak simetris.

Demikian pula kurva TR, TC, Keuntungan dan E antara model Gordon-Schaefer dan model Fox
juga memiliki perbedaan. Pada banyak kasus, level MSY antara model Fox dan model Gordon-
Schaefer relatif tidak jauh berbeda. Namun, level OAE antara model Fox dan Gordon-Schaefer
dapat jauh berbeda dipengaruhi tingkat decreasing rate upaya penangkapan. Apabila decreasing
rate upaya penangkapan mendekati nol (atau mendekati konstan), maka antara model Fox dan
model Gordon-Schaefer akan hampir sama atau berhimpit kurvanya.
Diposting oleh Dunia Manajemen di 11.11 Tidak ada komentar:

Model Copes

Bioekonomi yang dikembangkan oleh Parvival Copes menggunakan pendekatan output, yaitu
produksi atau yield. Bioekonomi model Copes mengadopsi konsep surplus ekonomi. Dalam ilmu
ekonomi, surplus ekonomi dapat ditelusuri setelah mengetahui kurva penawaran dan permintaan.
Terdapat dua jenis surplus ekonomi, yaitu surplus produsen (producer surplus) dan surplus
konsumen (consumer surplus).
Total dari surplus ekonomi adalah surplus konsumen ditambah surplus produsen. Surplus
konsumen adalah selisih antara jumlah yang konsumen bersedia bayar (willingness to pay)
dengan yang harus dibayar. Sedangkan surplus produsen adalah selisih jumlah yang diterima
(harga berlaku) dengan jumlah yang diharapkan.
Model Copes berbeda asumsi dengan model Gordon-Schaefer yang merupakan model awal
pengembangan bioekonomi perikanan. Dalam model Gordon-Schaefer, harga per unit output
diasumsikan konstan. Sedangkan dalam model Copes, harga per unit output dapat mengalami
fluktuasi.

Pada sisi konsumen, yaitu kurva permintaan, semakin tinggi harga ikan, maka permintaan
terhadap ikan semakin sedikit. Hal itu disebabkan adanya kendala anggaran, dimana kenaikan
harga akan diikuti penurunan daya beli konsumen. Sebaliknya, pada sisi produsen (nelayan),
yaitu kurva penawaran, kenaikan harga akan cenderung menaikkan upaya penangkapan.
Namun, hubungan upaya penangkapan dan produksi dalam perikanan tangkap tidak bersifat
linier. Dalam kondisi underfishing, peningkatan upaya penangkapan akan meningkatkan
produksi (hubungan positif). Namun pada kondisi overfishing, peningkatan upaya penangkapan
justru menyebabkan penurunan hasil tangkapan (hubungan negatif).
Terdapat dua kondisi ekstrim sumberdaya, yaitu kondisi akses terbuka dan kondisi kepemilikan
tunggal. Dalam kondisi akses terbuka (open access), kepemilikan sumberdaya “tidak jelas”,
artinya tidak ada satu pihak yang mampu mengatur pengelolaan sumberdaya dimana setiap pihak
dapat memanfaatkan sumberdaya sesuai dengan kepentingan dan kemauan mereka. Kondisi ini
akan menyebabkan pemanfaatan sumberdaya menjadi tidak terkontrol.

Sedangkan kondisi kepemilikan tunggal (sole ownership), terdapat satu pihak yang memiliki
otoritas dalam pengaturan sumberdaya. Biasanya otoritas tersebut dimiliki oleh pemerintah, atau
dapat dilimpahkan kepada pihak swasta atau lembaga komunitas. Dengan demikian, akses
terhadap sumberdaya bersifat terbatas, yaitu hanya kepada pihak yang memiliki ijin dan tingkat
pemanfaatannya dapat dikendalikan untuk kepentingan jangka panjang.
Pada kondisi akses terbuka, peningkatan harga pada awalnya menyebabkan peningkatan
produksi sampai mencapai titik puncak, selanjutnya mengalami penurunan. Titik puncak tersebut
terjadi pada saat mencapai level maximum sustainable yield (MSY). Sedangkan pada kondisi
kepemilikan tunggal, pemanfaatan sumberdaya dikontrol tidak melebihi level MSY, sehingga
peningkatan harga ikan akan meningkatkan produksi yang tetap terkontrol tidak melebihi level
MSY.

Diposting oleh Dunia Manajemen di 10.43 Tidak ada komentar:

Sabtu, 17 Mei 2008


Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)

Wilayah perairan Indonesia yang demikian luas menyebabkan perlu adanya pembagian wilayah
pengelolaan perikanan. Dengan pembagian wilayah ini, diharapkan proses pengelolaan dan
pengontrolan sumberdaya perikanan dapat berjalan secara lebih optimal.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) membagi wilayah perairan Indonesia menjadi 11
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), yaitu:

1. Pantai Barat Sumatera, yaitu meliputi propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD),
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu dan Lampung.
2. Pantai Selatan Jawa, yaitu meliputi propinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Daerah
Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur.
3. Pantai Selat Malaka, yaitu meliputi propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara,
Riau dan Kepulauan Riau.
4. Pantai Timur Sumatera, yaitu meliputi propinsi Jambi, Sumatera Selatan, Kep Bangka
Belitung dan Lampung.
5. Pantai Utara Jawa, yaitu meliputi propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah
dan Jawa Timur.
6. Pantai Bali dan Nusa Tenggara, yaitu meliputi propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur.
7. Pantai Selatan dan Barat Kalimantan, yaitu meliputi propinsi Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah.
8. Pantai Timur Kalimantan, yaitu meliputi propinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Timur.
9. Pantai Selatan Sulawesi, yaitu meliputi propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi
Tenggara.
10. Pantai Utara Sulawesi, yaitu meliputi propinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi
Tengah.
11. Pantai Maluku-Papua, yaitu meliputi propinsi Maluku, Maluku Utara dan Papua.

Diposting oleh Dunia Manajemen di 01.34 Tidak ada komentar:

Perikanan
Perikanan adalah ilmu yang mempelajari sifat, karakeritik dan pengelolaan sumberdaya ikan.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2004 tentang Perikanan, pengertian dari perikanan
adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
ikan dan lingkungannya mulai dari pra-produksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Yang dimaksud sumberdaya
ikan adalah potensi semua jenis ikan yaitu segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian
dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Dalam statistik perikanan, yang
dimaksud dengan perikanan adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau
pembudidayaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air, serta pasca panen ikan.
Terdapat tiga elemen penting dalam perikanan, yaitu: (1) sumberdaya ikan itu sendiri, (2)
lingkungan perairan, serta (3) manusia. Sesuai dengan paparan di atas, sumberdaya ikan adalah
segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam
lingkungan perairan, diantaranya adalah ikan, kepiting, udang, rajungan, rumput laut, kerang,
dsb. Sedangkan lingkungan perairan sangat menentukan kelangsungan hidup, regenerasi dan
pertumbuhan sumberdaya ikan, baik faktor fisika, biologi maupun kimia. Faktor fisika yang
mempengaruhi antara lain suhu, tekanan (pressure), kepadatan air (density), suara (sound),
cahaya, dsb. Faktor kimia antara lain kandungan yang terlarut dalam air, misalnya oksigen,
nitrogen, karbondioksida, salinitas, serta nutrien perairan (Ca, Mg, Zn, Fe, Mn, dsb). Sedangkan
faktor biologi antara lain adanya predator, kompetitor maupun makanan alami.
Manusia dalam perikanan memegang peranan sentral. Tanpa campur tangan manusia, maka
sumberdaya alam berada dalam posisi keseimbangan, namun minim dalam memberikan benefit
ekonomi bagi manusia. Dengan campur tangan manusia yang bijaksana, maka sumberdaya alam
akan memberikan benefit yang lebih optimal yang bersifat jangka panjang karena kelestariannya
terjaga. Penurun stok sumberdaya ikan diantaranya disebabkan oleh penangkapan yang
berlebihan sehingga pemulihan stok dapat dilakukan manakala tekanan terhadap sumberdaya
(fishing pressure) dikurangi.
Diposting oleh Dunia Manajemen di 01.28 Tidak ada komentar:

Overfishing

Masalah overfishing menjadi ”momok” bagi perikanan tangkap dunia. Sebagian perairan di
dunia telah mengalami overfishing. Demikian pula sebagian perairan di Indonesia yang juga
telah mengalami overfishing.
Selama ini, produksi perikanan dunia masih didominasi oleh perikanan laut. Tercatat pada tahun
2003, produksi perikanan darat dunia sebesar 34,2 juta ton, sedangkan produksi perikanan laut
dunia mencapai 98 juta ton. Pada tahun yang sama, produksi terbesar perikanan laut dunia
berasal dari perikanan tangkap, yaitu 81,3 juta ton, sedangkan perikanan budidaya sekitar 16,7
juta ton.
Overfishing atau penangkapan berlebih merupakan kondisi dimana tingkat pemanfaatan
sumberdaya ikan melebihi batasan yang ditetapkan sehingga dapat menyebabkan penurunan stok
(deplesi) sumberdaya ikan. Beberapa penelitian dan publikasi memaparkan adanya ancaman
fenomena overfishing. Jurnal “Science” edisi November 2006 menjelaskan bahwa sekitar
sepertiga (1/3) stok sumberdaya perikanan tangkap dunia berada dalam kondisi memprihatinkan.
FAO dalam “FAO State of World Fisheries and Aquaculture 2004” melaporkan bahwa ada tahun
2003 sekitar seperempat (1/4) stok sumberdaya ikan dunia berada dalam kondisi overexploited,
deplesi atau sedang mengalami recovery dari kondisi deplesi dan perlu dibangun kembali.
Beberapa ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi ini di
antaranya adalah: waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan
menjadi lebih jauh dari biasanya, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil dari biasanya, yang
kemudian diikuti produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya/trip atau CPUE) yang
menurun, ukuran ikan sasaran yang semakin kecil, dan biaya penangkapan (operasional) yang
semakin meningkat.Berbicara terminologi overfishing, Terdapat empat jenis overfishing, yaitu:

1. Growth overfishing
Growth overfishing atau jenis overfishing pertumbuhan terjadi apabila sumberdaya ikan
ditangkap sebelum sempat tumbuh mencapai ukuran tertentu di mana peningkatan lebih
lanjut dari pertumbuhan akan mampu membuat seimbang dengan penyusutan stok yang
diakibatkan oleh mortalitas alami (misalnya pemangsaan). Growth overfishing dapat
dilihat apabila ikan yang tertangkap adalah ikan bukan pada ukuran konsumsi.
Pencegahan growth overfishing dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya
pembatasan upaya penangkapan, pengaturan ukuran mata jaring dan penutupan musim
atau daerah penangkapan.

2. Recruitment overfishing
Recruitment overfishing atau jenis overfishing rekrutmen terjadi ketika kegiatan
penangkapan telah menyebabkan stok sumberdaya kekurangan induk. Oleh karena itu,
perlu proteksi terhadap induk agar proses rekrutmen atau regenerasi sumberdaya ikan
tidak terganggu.

3. Biological overfishing
Biological overfishing atau jenis overfishing biologi merupakan kombinasi antara growth
overfishing dan recruitment overfishing. Biological overfishing terjadi ketika tingkat
upaya penangkapan dalam suatu perikanan telah melampaui tingkat yang diperlukan
untuk menghasilkan MSY.
4. Economic overfishing
Eonomic overfishing atau jenis overfishing ekonomi terjadi ketika tingkat upaya
penangkapan telah melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MEY.
Tingkat upaya pemanfaatan pada level MEY menghasilkan keuntungan yang optimal.
Tingkat upaya penangkapan pada level MEY lebih kecil daripada tingkat upaya MSY.
Tingkat produksi pada level MEY juga lebih kecil daripada tingkat produksi pada level
MSY, namun tingkat keuntungan pada level MEY justru lebih besar dari keuntungan
pada level MSY. Hal ini menunjukkan bahwa pada level MEY, tingkat upaya
penangkapan berada pada level paling efisien.

5. Ecosystem overfishing
Ecosystem overfishing atau jenis overfishing ekosistem terjadi ketika kegiatan
penangkapan telah menyebabkan perubahan komposisi ekosistem, dimana terdapat jenis
stok sumberdaya ikan tertentu menghilang atau menjadi langka. Biasanya ecosystem
overfishing mengakibatkan adanya transisi dari ikan bernilai ekonomi tinggi berukuran
besar kepada ikan kurang bernilai ekonomi berukuran kecil, dan akhirnya kepada ikan
rucah (trash fish) dan/atau invertebrata non komersial seperti ubur-ubur.

6. Malthusian overfishing
Malthusian overfishing merupakan overfishing yang terkait dengan masalah pertumbuhan
penduduk. Malthusian overfishing atau jenis overfishing malthusian merupakan istilah
yang dipergunakan untuk mengungkapkan masuknya tenaga kerja yang tergusur dari
berbagai aktivitas berbasis darat (land-based activities) ke dalam perikanan pantai dalam
jumlah yang berlebihan. Akibatnya terjadi peningkatan kompetisi dengan nelayan
tradisional yang telah ada. Seringkali cara-cara penangkapan yang dipergunakan
menggunakan cara-cara penangkapan yang bersifat merusak, seperti penggunaan dinamit
untuk ikan-ikan pelagis, sianida untuk ikan-ikan di terumbu karang, dsb.

Bagaimana dengan kondisi sumberdaya ikan di Indonesia? Kondisi sumberdaya ikan nasional
pada saat ini cenderung memprihatinkan. Banyak stok sumberdaya ikan di beberapa daerah yang
telah melebihi kapasitas daya tangkap. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya
ikan di tanah air belum optimal dalam menjaga kelestarian sumberdaya ikan.

Diposting oleh Dunia Manajemen di 01.22 Tidak ada komentar:

Nelayan

Nelayan adalah pelaku perikanan tangkap. Nelayan adalah orang atau komunitas yang secara
keseluruhan atau sebagian hidupnya tergantung dari kegiatan menangkap ikan. Terdapat empat
jenis nelayan, yaitu:
 Nelayan subsisten atau subsistence fishers, yaitu nelayan yang menangkap ikan hanya
untuk memenuhi kebutuhan sendiri (konsumsi), bukan untuk dijual.
 Nelayan asli atau native/indigenous/aboriginal fishers, yaitu nelayan yang memiliki
karakteristik seperti nelayan subsisten, namun juga melakukan penangkapan ikan untuk
kepentingan komersial walaupun dalam skala sangat kecil.
 Nelayan rekreasi atau recreational/sport fishers, yaitu orang yang menangkap ikan untuk
penyaluran hobi dan olahraga.
 Nelayan komersial atau commercial fishers, yaitu nelayan yang menangkap ikan untuk
tujuan komersial. Nelayan komersial ini dibagi menjadi dua, yaitu nelayan skala besar
dan skala kecil.

Diposting oleh Dunia Manajemen di 01.13 Tidak ada komentar:

MSY, MEY dan OAE

MSY atau maximum sustainable yield adalah hasil tangkapan terbesar yang dapat dihasilkan
suatu stok sumberdaya perikanan. Konsep MSY didasarkan atas suatu model populasi ikan yang
dianggap sebagai suatu unit tunggal. Pada prinsipnya, sumberdaya ikan memiliki kemampuan
untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus tersebut
dipanen, maka ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan. Apabila level produksi
surplus yang dipanen, maka tidak akan mengganggu kelestarian stok sumberdaya ikan. Namun,
konsep MSY tidak lepas dari kritikan para ilmuwan. Kritik terhadap MSY antara lain adalah:

 Tidak bersifat stabil.


 Didasarkan hanya pada konsep steady state, yaitu pada kondisi keseimbangan.
 Tidak memperhitungkan nilai ekonomi.
 Mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya.
 Sulit diterapkan pada kondisi perikanan yang memiliki ragam jenis (multispecies).

Keuntungan optimal tidak terjadi pada saat MSY. Keuntungan optimal terjadi pada saat
maximum economic yield (MEY), dimana marginal revenue (MR) adalah sama dengan marginal
cost (MC). Hal itu sesuai dengan prinsip maksimisasi profit atau keuntungan.

Meskipun hasil tangkapan pada level MSY adalah maksimal, namun keuntungan tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor produksi dan penerimaan, tetapi juga dipengaruhi oleh biaya. Prinsip
efektifitas dan efisiensi perlu dipadukan. Produksi dan penerimaan terkait dengan prinsip
efektifitas, sedangkan biaya atau pengeluaran terkait dengan prinsip efisiensi. Pada level MEY,
produksi berada pada level optimal secara ekonomi, dimana walaupun produksinya tidak
maksimal, namun masih relatif tinggi dan pengeluarannya efisien sehingga keuntungannya
tertinggi.

Kondisi open access equilibrium (OAE) atau keseimbangan akses terbuka terjadi pada saat
sumberdaya perikanan bersifat open acces. Pada saat kondisi tidak ada hambatan masuk (entry)
dan hambatan upaya (effort), maka akan dapat mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya ikan
menuju break even point (BEP), dimana total revenue (TR) sama dengan total cost (TC).
Selama kegiatan penangkapan menguntungkan, maka akan mendorong orang untuk melakukan
peningkatan kegiatan penangkapan. Namun, sumberdaya ikan memiliki keterbatasan dalam daya
regenerasi. Oleh karena itu, apabila tingkat penangkapan melebihi level MSY, maka peningkatan
upaya penangkapan justru menyebabkan penurunan produksi. Apabila menggunakan asumsi
harga dan biaya konstan, maka terjadi transisi kegiatan penangkapan yang semula
menguntungkan, berubah menjadi BEP (break even point), dimana kalau terus dipaksakan maka
justru menyebabkan kegiatan penangkapan berada pada kondisi merugikan, dimana penerimaan
lebih kecil daripada pengeluaran.
Diposting oleh Dunia Manajemen di 01.06 6 komentar:

Hak Kepemilikan

Hak kepemilikan merupakan klaim yang sah atau secure claim atas sumberdaya tertentu.
Terdapat 3 jenis hak kepemilikan, yaitu:

 State property, dimana kepemilikan berada di tangan pemerintah.


 Private property, dimana klaim kepemilikan berada pada individu atau kelompok usaha
atau korporasi.
 Common property atau communal property, dimana klaim kepemilikkan berada pada
suatu kelompok atau komunitas yang mengelola sumberdaya secara bersama-sama.

Pada beberapa literatur disebutkan adanya jenis kepemilikan yang keempat, yaitu Open Access.
Pada kondisi open access, tidak terdapat kejelasan hak kepemilikan, dimana setiap pihak bebas
mengakses dan memanfaatkannya. Pada banyak kasus, kondisi ini menyebabkan terjadinya
eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan. Fenomena inilah yang dikhawatirkan oleh Gareth
Hardin yang menyebutnya dengan istilah the tragedy of the commons atau “tragedi
kebersamaan”.
Diposting oleh Dunia Manajemen di 01.01 Tidak ada komentar:

Bioekonomi Perikanan

Perkembangan keilmuan bioekonomi pada saat ini semakin pesat. Bioekonomi diterapkan dalam
kajian pengelolaan sumberdaya hayati dengan memasukkan filosofi dan konsep ekonomi untuk
optimalisasi benefit. Bidang perikanan termasuk bidang yang paling banyak menggunakan ilmu
bioekonomi. Kompleksitas sumberdaya perikanan menyebabkan perlunya pengembangan model
yang diperlukan sebagai pendekatan dalam pembuatan kebijakan, termasuk dengan
menggunakan pendekatan bioekonomi.

Bioekonomi perikanan berasal dari tiga kata, yaitu biologi, ekonomi dan perikanan. Biologi atau
biology berasal dari kata “bio” yang berarti kehidupan, dan kata “logos” yang dapat diartikan
sebagai ilmu. Oleh karena itu, biologi secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu mengenai
kehidupan mahkluk hayati, termasuk sumberdaya ikan. Sedangkan ekonomi merupakan ilmu
yang mempelajari perilaku individu dan masyarakat dalam menentukan pilihan untuk
menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang langka dalam upaya meningkatkan kualitas
hidupnya.

Istilah bioekonomi pada awalnya diperkenalkan oleh TI Baranoff, seorang teoretikus biologi laut
asal Rusia, yang menamakan karya ilmiahnya dengan istilah bionomics atau bioeconomics
meskipun dalam karya tersebut tidak banyak disinggung tentang faktor-faktor ekonomi.
Selanjutnya Scott Gordon merupakan pionir dalam pengembangan bioekonomi. Scott Gordon
adalah seorang ahli ekonomi dari Kanada. Gordon yang pertama kali menggunakan pendekatan
ekonomi untuk menganalisis pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal. Gordon menggunakan
basis biologi yang diperkenalkan oleh Schaefer, yaitu konsep maximum sustainable yield atau
MSY. Selanjutnya, istilah bioekonomi secara intensif dipergunakan oleh Collin Clark dan
Gordon Munro.

Bioekonomi perikanan merupakan ilmu yang bersifat multi disiplin ilmu. Dalam bioekonomi,
model dasarnya menggunakan teori dan konsep biologi yang selanjutnya dipadukan dengan
konsep ekonomi. Pemakaian konsep ekonomi dimaksudkan untuk optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya hayati berdasarkan tinjauan ekonomi. Sedangkan bioekonomi perikanan merupakan
aplikasi konsep bioekonomi pada bidang perikanan.

Konsep bioekonomi perikanan dikembangkan karena adanya kekhawatiran terjadinya the


tragedy of the common atau tragedi kebersamaan pada sumberdaya perikanan. Apabila suatu
sumberdaya menjadi ”milik bersama” atau tidak jelas kepemilikannya, dimana setiap pihak
secara bebas dapat mengaksesnya, maka eksploitasi terhadap sumberdaya tersebut dikhawatirkan
akan terlalu berlebihan.

Sumberdaya perikanan memang dikenal sebagai sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable
resources). Namun, harus diingat bahwa daya pemulihan sumberdaya perikanan memiliki
keterbatasan. Apabila pemanfaatan sumberdaya perikanan melebihi kemampuan daya pulih
sumberdaya (regenerasi stok), maka stok sumberdaya ikan akan mengalami penurunan menuju
kepunahan sumberdaya. Oleh karena itu, dikembangkan pendekatan maximum sustainable yield
(MSY) atau tingkat tangkapan yang lestari. Pada level MSY, maka pemanfaatan sumberdaya
perikanan tidak mengganggu kelestarian sumberdaya, dimana jumlah ikan yang dipanen atau
ditangkap pada batasan surplus produksi.

Kritik terhadap pendekatan MSY diantaranya karena belum memperhitungkan nilai ekonomi.
Meskipun pendekatan MSY menghasilkan hasil tangkapan yang optimal dan lestari, namun oleh
para ekonom dinilai masih belum optimal secara ekonomi. Oleh karena itu, pada
perkembangannya ilmuwan dari biologi dan ekonomi banyak mengembangkan konsep
bioekonomi dengan tujuan untuk mengupayakan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan
yang optimal secara ekonomi dengan tetap memperhitungkan faktor kelestarian sumberdaya
perikanan.

PRINSIP-PRINSIP PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN

eris risyana eris risyana 3 years ago

PRINSIP KELESTARIAN SUMBER DAYA PERIKANAN

Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan diharapkan tidak menyebabkan rusaknya fishing
ground, spawning ground, maupun nursery ground ikan. Selain itu, tidak pula merusak hutan mangrove,
terumbu karang, dan padang lamun yang memiliki keterkaitan ekologis dengan ikan.

PRINSIP KELESTARIAN BUDAYA


Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan dalam era otonomi daerah seyogianya harus
memperhatikan juga kearifan lokal, pengetahuan lokal, hukum-hukum adat, dan aspek kelembagaan
lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya tersebut.

Di Indonesia ada beberapa daerah yang memiliki aturan pengelolaan sumber daya perikanan yang
bersifat tradisional, misalnya: sasi di Maluku, rompong di Sulawesi Selatan, dan ondoafi di Irian Jaya.

PRINSIP EKONOMI

Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan dalam konteks otonomi daerah diharapkan
mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah dan
pendapatan asli daerah sehingga mampu mewujudkan kemandirian dan keadilan ekonomi.

PRINSIP PARTISIPATIF

Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan akan dapat berjalan dengan baik jika melibatkan
partisipasi semua pihak yang terkait.

PRINSIP AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI

Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan harus memperhatikan juga aspek akuntabilitas
dan transparansi dalam pelaksanaannya.

PRINSIP KETERPADUAN

Prinsip keterpaduan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan merupakan hal yang
penting untuk diupayakan. Melalui keterpaduan di antara pemangku kepentingan, proses perencanaan,
pelaksanaan,
dan pengawasan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan akan dapat berjalan
dengan baik.

PRINSIP PERSATUAN DAN KESATUAN

Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan dalam era otonomi daerah merupakan upaya
memberdayakan kekuatan masyarakat lokal untuk menjaga eksistensi NKRI.

Dari 7 prinsip pengelolaan sumber daya perikanan yang menjadi landasan menuju desentralisasi,
menurut pendapat saya (penyusun) prinsip yang paling penting adalah ?Prinsip Partisipatif?, dengan
beberapa alasan sebagai berikut:

- Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, otoritas pengelolaan


sumber daya perikanan adalah pemerintah melalui menteri yang bertanggung jawab dalam bidang
perikanan, dengan beberapa kewenangan (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009). Akan tetapi
dalam kerangka otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan, otoritas dan wewenang tersebut
didelegasikan (desentralisasi) ke daerah (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004). Selain itu,
pengelolaan perikanan harus mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal serta memperhatikan
peran serta masyarakat (Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009).

- Potensi sumberdaya perikanan dan kelautan yang begitu besar pada pemanfaatannya diperlukan
kejelasan pengaturan, sehingga sumber daya tersebut dapat dikelola dengan efisien dan efektif untuk
kepentingan pembangunan ekonomi di masa sekarang dan masa depan. Penjabaran kewenangan yang
dilakukan perlu diikuti dengan pengembangan system dan mekanisme hubungan antara pemerintah
pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, dalam rangka mendorong upaya sikronisasi
dan integrasi antara kebijakan makro dengan kebijakan teknis serta pelaksanaan pengelolaan sumber
daya perikanan.

- Penetapan kebijakan operasional pengelolaan sumber daya perikanan pada tingkat daerah
(pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota) yang dapat mengembangkan kebijakan pada
tingkat lebih operasional untuk dapat digunakan dalam pengelolaan kelautan dan perikanan sesuai
dengan karakteristik masing-masing.

- Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan akan dapat berjalan dengan baik jika
melibatkan partisipasi dan peran serta semua pihak yang terkait.
SUMBER:

http://student.ut.ac.id/

http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5102/deskripsi.htm

Satria, Arif. Et.al (2002) Acuan Singkat Menuju DesentralisasiPengelolaan Sumber Daya Perikanan

Anda mungkin juga menyukai