Anda di halaman 1dari 115

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DEBAT AKTIF

BERBASIS ICT PADA MATERI KOLOID DALAM PENINGKATAN


KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS PESERTA DIDIK
KELAS XI IPA SMAN 1 BANJARMASIN

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Menyelesaikan Program
Strata-1 Pendidikan Kimia

Oleh:
RIZA ZULFAHNUR
NIM A1C315055

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
JULI 2019
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DEBAT AKTIF
BERBASIS ICT PADA MATERI KOLOID DALAM PENINGKATAN
KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS PESERTA DIDIK
KELAS XI IPA SMAN 1 BANJARMASIN.

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Menyelesaikan Program
Strata-1 Pendidikan Kimia

Oleh:
RIZA ZULFAHNUR
NIM A1C315055

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
OKTOBER 2019

i
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam Daftar Pustaka.

Banjarmasin, Oktober 2019

Riza Zulfahnur

NIM A1C315055

ii
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DEBAT AKTIF BERBASIS
ICT PADA MATERI KOLOID DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN
BERPIKIR KRITIS PESERTA DIDIK KELAS XI IPA SMAN 1
BANJARMASIN
(Oleh: Riza Zulfahnur; Pembimbing: Atiek Winarti, Syahmani; 2019; 89
halaman)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji keefektifan model pembelajaran debat aktif
berbasis ICT dalam mengukur kemampuan berpikir kritis peserta didik. Secara
khusus, tujuan penelitian ini adalah: (1) Menganalisis perbedaan kemampuan
berpikir kritis peserta didik yang belajar materi koloid menggunakan model
pembelajaran debat aktif berbasis ICT dengan yang menggunakan model
pembelajaran Direct Instruction, (2) Mendiskripsikan respon peserta didik
terhadap model pembelajaran debat aktif berbasis ICT. Penelitian ini dilaksanakan
menggunakan metode kuasi eksperimen dengan desain penelitian pretest-posttest
non equivalen group design sebanyak total tujuh kali pertemuan. Teknik
pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, teknik pengambilan data
menggunakan angket dan tes. Data instrumen penelitian yang diperoleh dianalisis
menggunakan uji-t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Terdapat perbedaan
kemampuan berpikir kritis yang signifikan antara pembelajaran model debat aktif
berbasis ICT dengan model pembelajaran direct instruction. (2) Penerapan model
pembelajaran debat aktif berbasis ICT dapat memberikan respon positif pada
peserta didik.

Kata kunci: Debat Aktif, ICT, Berpikir Kritis.

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Debat Aktif
berbasis ICT pada Koloid dalam Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis
Peserta Didik kelas XI IPA SMAN 1 Banjarmasin”.
Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak secara
langsung maupun tidak langsung, oleh karena itu penulis menyampaikan terima
kasih yang sebesar-besarnya atas segala dukungan dan bantuan yang telah
diberikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M.Si. M.Sc. selaku Rektor Universitas
Lambung Mangkurat.
2. Bapak Dr. Chairal Faif Pasani, M.Si. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.
3. Bapak Dr. Syahmani, M.Si. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematika dan
IPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung
Mangkurat Banjarmasin.
4. Bapak Dr. Rusmansyah, M.Pd. Koordinator Program Studi Pendidikan Kimia
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.
5. Ibu Dr. Hj. Atiek Winarti, M.Pd. M.Sc. selaku dosen pembimbing I yang
telah banyak memberikan arahan, petunjuk dan nasihat dalam menyelesaikan
skripsi ini.
6. Bapak Dr. Syahmani, M.Si. selaku dosen pembimbing II yang telah banyak
memberikan arahan, petunjuk dan nasihat dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Bapak Almubarak, S.Pd. M.Pd., Bapak Drs. H. Bambang Suharto, M.Si., Ibu
Dra. Hj. Leny, M.Si., Ibu Herliyani, S.Pd. dan Bapak Drs. Rusgiani. selaku
validator instrument tes dan nontes.
8. Bapak Dr. Arif Sholahuddin, M.Si., dan Ibu Dra. Hj. Leny, M.Si., selaku
dosen penguji yang memberi masukan dalam penyempurnaan skripsi ini.

iv
9. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Kimia yang telah
banyak memberikan curahan ilmu pengetahuan, bimbingan dan arahan
selama perkuliahan maupun di luar perkuliahan.
10. Ibu Dra. Hartini, MM., selaku kepala SMAN 1 Banjarmasin yang telah
memberikan izin penelitian.
11. Ibu Herlina, S.Pd., dan Bapak Drs. Rusgiani., selaku guru mata pelajaran
kimia di SMAN 1 Banjarmasin.
12. Seluruh keluarga terutama kedua orang tua, Uliansyah dan Kartini yang telah
mendoakan dan memberikan banyak dukungan baik moral maupun materi
untuk menyelesaikan skripsi ini.
13. Serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu
yang telah membantu sampai tersusunnya skripsi ini.
Semoga Allah SWT melimpahkan pahala yang berlipat ganda atas semua
bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari


kesempurnaaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran, yang
bersifat membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua dan
dipergunakan sebagaimana mestinya.

Banjarmasin, Oktober 2019

Penulis

Riza Zulfahnur

NIM. A1C1315055

v
DAFTAR ISI

PERNYATAAN ..................................................................................................... ii
ABSTRAK ............................................................................................................ iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 11
A. Latar Belakang ....................................................................... 11
B. Perumusan Masalah ................................................................ 16
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 16
D. Manfaat Penelitian .................................................................. 16
E. Definisi Operasional ............................................................... 17
BAB III KAJIAN PUSTKA .............................................................................. 19
A. Tinjauan Pustaka .................................................................... 19
1. Hakikat Belajar dan Pembelajaran Kimia .............................. 19
2. Kemampuan Berpikir Kritis ................................................... 20
3. Model Debat Aktif.................................................................. 25
4. Information and Comunnication Technology (ICT) .............. 30
5. Pembelajaran Langsung (Direct Instruction) ......................... 33
6. Hubungan Model Pembelajaran Debat Aktif Berbasis ICT
Terhadap Kemampuan Berpikir Krisis................................... 35
B. Penelitian yang Relevan ......................................................... 36
C. Kerangka Berpikir .................................................................. 38
D. Hipotesis Penelitian ................................................................ 40
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 41
A. Rancangan Penelitian ............................................................. 41
B. Waktu dan Tempat ................................................................. 42
C. Populasi dan Sampel .............................................................. 42
D. Variabel Penelitian ................................................................. 43
E. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 44
1. Tes .......................................................................................... 44
2. Dokumentasi ........................................................................... 45

vi
3. Non tes .................................................................................... 46
F. Perangkat Penelitian ................................................................ 47
1. Rencana pelaksanaan pembelajaran ....................................... 47
2. Lembar kerja peserta didik ..................................................... 47
G. Instrumen Penelitian ............................................................................... 47
1. Pengembangan instrumen penelitian ...................................... 47
2. Validitas instrumen penelitian ................................................ 48
3. Reliabilitas instrumen ............................................................. 51
4. Tingkat kesukaran .................................................................. 53
5. Daya pembeda ........................................................................ 54
H. Teknik Analisis Data .............................................................. 56
1. Teknik Analisis Data dengan Statistik Deskriptif .................. 56
2. Teknik Analisis data dengan statistik Inferensial ................... 59
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................. 65
A. Hasil Penelitian....................................................................... 65
1. Kemampuan Berpikir Kritis ................................................... 66
2. Observasi ................................................................................ 72
3. Respons .................................................................................. 74
B. Pembahasan ............................................................................ 75
1. Peranan Model Pembelajaran Debat Aktif berbasis ICT
(information communication technology) terhadap
Kemampuan Berpikir Kritis ................................................... 76
2. Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik ............................ 80
3. Observasi ................................................................................ 99
4. Respons Peserta Didik Terhadap Model Pembelajaran Debat
Aktif Berbasisi ICT ................................................................ 99
5. Temuan Penelitian ................................................................ 104
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 108
A. Kesimpulan ........................................................................... 108
B. Saran ..................................................................................... 108
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 110

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Indikator dan sub-keterampilan berpikir kritis ........................................ 24


Tabel 2 Hubungan sintak model debat aktif berbasis ICT dengan berpikir kritis 35
Tabel 3 Desain penelitian pretest-posttest non equivalen group design ............... 42
Tabel 4 Tahap pelaksanaan ................................................................................... 45
Tabel 5 Validitas berdasarkan skala Aiken’s V .................................................... 50
Tabel 6 Hasil validasi intrumen kemampuan berpikir kritis ................................. 51
Tabel 7 Kategori reliabilitas instrumen ................................................................. 52
Tabel 8 Kategori tingkat kesukaran ...................................................................... 53
Tabel 9 Hasil taraf kesukaran instrumen tiap soal ................................................ 54
Tabel 10 Klasifikasi daya pembeda soal ............................................................... 55
Tabel 11 Hasil perhitungan daya pembeda ........................................................... 55
Tabel 12 Kategori N-gain...................................................................................... 57
Tabel 13 Kategori kemampuan berpikir kritis ...................................................... 58
Tabel 14 Kategori Level Respon Peserta Didik .................................................... 59
Tabel 15 Jadwal Penelitian.................................................................................... 65
Tabel 16 Hasil tes kemampuan berpikir kritis ...................................................... 66
Tabel 17 Rata-rata nilai tes kemampuan berpikir kritis ........................................ 67
Tabel 18 Rata-rata tingkat pencapaian kemampuan berpikir kritis per indikator . 67
Tabel 19 Rata-rata nilai N-gain ............................................................................. 68
Tabel 20 Hasil uji normalitas data pre-test dan post-test keterampilan berpikir
kritis ...................................................................................................................... 69
Tabel 21 Hasil uji homogenitas pre-test dan post-test keterampilan berpikir kritis
............................................................................................................................... 70
Tabel 22 Hasil uji-t data pre-test dan post-test keterampilan berpikir kritis ......... 71
Tabel 23 Rata-rata nilai respon peserta didik ........................................................ 74

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Perpikir ................................................................................ 39


Gambar 2 Contoh debat antar peserta didik menggunakan aplikasi padlet .......... 77
Gambar 3 Contoh Argumen 1 ............................................................................... 78
Gambar 4 Contoh Argumen 2 ............................................................................... 78
Gambar 5 Contoh Argumen 3 dengan melalui vedio............................................ 79
Gambar 6 Tingkat pencapaian kemampuan berpikir kritis kelas kontrol di setiap
indikator ................................................................................................................ 85
Gambar 7 Tingkat pencapaian kemampuan berpikir kritis di setiap indikator ..... 85
Gambar 8 Perbandingan peningkatan indikator 1 ................................................. 86
Gambar 9 Jawaban peserta didik yang tepat dan lengkap pada indikator 1.......... 88
Gambar 10 Jawaban peserta didik yang kurang lengkap indikator 1.................... 88
Gambar 11 Perbandingan tingkat pencapaian indikator 2 .................................... 89
Gambar 12 Jawaban peserta didik......................................................................... 90
Gambar 13 Jawaban peserta didik......................................................................... 91
Gambar 14 Perbandingan tingkat pencapaian indikator 3 .................................... 92
Gambar 15 Jawaban peserta didik......................................................................... 93
Gambar 16 Perbandingan tingkat pencapaian indikator 4 .................................... 94
Gambar 17 Jawaban Peserta didik ........................................................................ 96
Gambar 18 Perbandingan tingkat pencapaian nilai pada indikator 5 .................... 97
Gambar 19 Jawaban peserta didik......................................................................... 98
Gambar 20 Hasil respon peserta didik berdasarkan kategori .............................. 100
Gambar 21 Hasil respon peserta didik per pernyataan........................................ 101

ix
x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembelajaran kimia bertujuan untuk mengembangkan aktivitas berpikir

ilmiah peserta didik. Kemampuan berpikir ilmiah tersebut sangat diperlukan oleh

peserta didik untuk memahami sebuah konsep, memecahkan masalah, dan

mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Berpikir kritis merupakan

kemampuan berpikir secara rasional dan reflektif berdasarkan apa yang diyakini

dan dilakukan. Kemampuan berpikir kritis diterapkan dalam proses pembelajaran

kimia untuk memberikan arahan yang tepat dalam berpikir dan menganalisis

gejala-gejala atau fenomena-fenomena yang muncul dalam memahami materi

pelajaran. (Ennis, 1985).

Permendikbud No. 81 tahun 2013 tentang implementasi kurikulum

menyebutkan bahwa kebutuhan kompetensi masa depan peserta didik yang

diperlukan yaitu kemampuan berkomunikasi, kreatif dan berpikir kritis

(Kemendikbud, 2013). Berpikir kritis harus memenuhi karakteristik kegiatan

berpikir yang meliputi: analisis, sintesis, pengenalan masalah dan pemecahannya,

kesimpulan dan penilaian, sehingga berpikir kritis dalam proses pembelajaran

merupakan kompetensi yang akan dicapai serta alat yang diperlukan dalam

mengkonstruksi pengetahuan peserta didik dalam memilah-milah informasi dan

argumen

Berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan yang harus ditingkatkan

11
12

karena pembelajaran pada abad 21 yang menyonsong revolusi industri 4.0 dan

kurikulum 2013 (K13) mengharuskan peseta didik memiliki kemampuan berpikir

kritis, namun pada kenyataannya kemampuan berpikir kritis peserta didik adalah

kemampuan yang memiliki persentase paling rendah. Jika dibandingkan dua

kemampuan lainnya, yakni pemahaman dan hapalan (Priyadi, Mustajab, Tatsar, &

Kusairi, 2018). Hal ini dibuktikan melalui observasi Danial, Gani, & Husnaeni,

(2017) yang menyebutkan bahwa 63% peserta didik dapat menyelesaikan soal

hafalan pada kegiatan mengingat, namun dalam mengerjakan soal yang menuntut

kemampuan pemahaman konsep (C2 dan C3), hanya 30% peserta didik yang

mampu menjawabnya. Sementara untuk kemampuan berpikir kritis (C4 dan C5),

hanya 17 % peserta didik yang mampu menyelesaikannya dengan benar.

Berdasarkan pengalaman selama melakukan praktek mengajar di sekolah

ditemukan beberapa hal, di antaranya: ketika guru menjelaskan masih banyak

peserta didik yang menerima informasi tanpa mempertanyakan sumber informasi

tersebut, kurang menanggapi pernyataan atau pendapat yang diungkapkan oleh

temannya, jarang menggali lebih sebuah informasi baik dari sebuah pernyataan

ataupun pertanyaan yang pernah didiskusikan. Hal tersebut mengakibatkan

rendahnya hasil belajar peserta didik karena mereka tidak banyak mencari

informasi dan kurang mendalami materi yang sudah diajarkan. Hal ini sesuai

dengan penelitian Fadila, Fauzi, & Vitoria, (2017) yang mengemukakan bahwa

terdapat pengaruh yang signifikan antara kemahiran berpikir kritis terhadap hasil

belajar matematika peserta didik kelas V SDN 3 Banda Aceh. Ketidakaktifan

peserta didik tersebut berdampak pada kurangnya penggalian informasi sehingga


13

langsung menerima informasi yang telah ada. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis peserta didik penting untuk

ditingkatkan. Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik

diperlukan sebuah pola pembelajaran yang mengembangkan pola pikir peserta

didik dan melibatkan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran.

Pola pembelajaran aktif dapat dikembangkan dengan melibatkan

langsung peserta didik pada proses pembelajaran sehingga pembelajaran menjadi

berpusat pada peserta didik (student centered). Pembelajaran yang berpusat pada

peserta didik mendorong peserta didik untuk membangun pengetahuannya sendiri

akan konsep dalam sebuah materi pembelajaran. Peserta didik tidak hanya

menerima informasi, namun juga aktif mencari dan memilah informasi yang

diperlukan sesuai dengan materi pembelajaran. Peran guru cenderung sebagai

fasilitator dalam proses membangun pengetahuan tersebut.

Salah satu cara yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis

peserta didik adalah dengan memilih model pembelajaran yang sesuai, yakni

model pembelajaran debat aktif. Pembelajaran debat aktif merupakan model

pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk berpikir kritis dan memberikan

kesempatan untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran karena didalam

model ini terdapat kegiatan diskusi yang diikuti dengan adu argumen atau

pendapat antar peserta didik. Hal ini sesuai dengan hasil dari penelitian yang

dilakukan oleh Nurchabibah, (2011) yang menunjukkan bahwa penggunaan

metode Debat Aktif dapat meningkatkan kemampuan berbicara khususnya

keterampilan diskusi.
14

Metode ini dapat menjadi metode berharga untuk meningkatkan pemikiran

dan perenungan, terutama jika peserta didik diharapkan mengemukakan pendapat

yang bertentangan dengan diri mereka sendiri, baik itu pada posisi yang pro

maupun yang kontra. Selain itu peserta didik menjadi lebih kritis selama kegiatan

diskusi berlangsung dan termotivasi untuk berargumen sesuai dengan apa yang

diyakini serta berusaha meyakinkan peserta diskusi. Berdasarkan beberapa hal

tersebut dapat dikatakan bahwa penggunaan metode debat aktif sangat membantu

untuk tercapainya hasil pembelajaran yang diinginkan, yaitu pembelajaran yang

lebih aktif, menarik minat peserta didik dan dapat meningkatkan kemampuan

berbicara peserta didik.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2017)

menunjukkan bahwa debat tidak hanya meningkatkan keterampilan komunikasi

peserta didik tetapi juga keterampilan berpikir kritis karena dalam debat

dimungkinkan peserta didik untuk mempresentasikan pemahaman mereka tentang

suatu topik, mempertanyakan pendapat orang lain, berdebat argumen orang lain,

alasan, mengklarifikasi argumen mereka, dan mengevaluasi orang lain.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widodo, Qosyim, & Pramesswari

(2016) juga menyimpulkan bahwa keterampilan berpikir kritis setelah diterapkan

strategi debat aktif pada materi pemanasan global mengalami peningkatan tiap

aspeknya namun dalam pelaksanaan memerlukan waktu yang cukup lama karena

harus memiliki data-data yang relavan untuk dapat memahami mosi ataupun

permasalahan-permasalahan yang telah diberikan sehingga dapat mengeluarkan

pendapat dan berargumen yang kuat. Hal ini, sejalan dengan Shoimin (2014)
15

bahwa debat memiliki kekurangan yaitu memerlukan waktu yang cukup lama dan

pembelajaran kurang menarik atau cukup monoton karena hanya adu pendapat

dan tidak menggunakan media.

Berdasarkan hal-hal tersebut, perlu adanya pendukung untuk kelancaran

debat aktif serta memenuhi keterjaminan mutu materi pada debat aktif maka

diperlukan Information and Communication Technology (ICT). ICT dapat

mempermudah peserta didik untuk mencari materi dari berbagai sumber di

internet karena ICT dapat menjadi media pembelajaran mandiri dan akhirnya,

mereka tidak hanya terfokus pada materi yang diberikan guru atau buku. Hal ini

sesuai dengan penelitian oleh Budiman (2017) tentang peran teknologi informasi

dan komunikasi dalam pembelajaran, menyatakan bahwa ICT dapat membantu

peserta didik dalam belajar dan memudahkan peserta didik untuk mendapatkan

informasi yang lebih luas.

Hal tersebut juga diterapkan dalam penelitian Chalimawati, & Sartika,

(2019) yang meneliti tentang peningkatan hasil belajar kimia melalui model

kooperatif debat kimia berbasis ICT peserta didik SMAN dilihat dari penggunaan

ICT untuk mempermudah peserta didik mencari informasi dan banyak hasil

belajar peserta didik yang meningkat dapat dilhat dari nilai posttest di setiap

siklusnya. Nilai posttest menunjukkan ada beberapa peserta didik yang berhasil

mencapai nilai KKM dan dikatakan tuntas, namun juga ada beberapa peserta didik

yang tidak berhasil mencapai nilai KKM tersebut.

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang penerapan model pembelajaran debat aktif berbasis ICT pada koloid
16

dalam peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas XI IPA SMAN

1 Banjarmasin.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan yang

akan diteliti sebagai berikut.

1) Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang

belajar materi koloid menggunakan model pembelajaran debat aktif berbabsis

ICT dengan yang menggunakan model pembelajaran Direct Instruction di

kelas XI IPA SMA Negeri 1 Banjarmasin?

2) Bagaimana respons peserta didik terhadap model pembelajaran Debat Aktif

berbasis ICT?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut.

1) Menganalisis perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang belajar

materi koloid menggunakan model pembelajaran debat aktif berbabsis ICT

dengan yang menggunakkan model pembelajaran Direct Instruction

2) Mendiskripsikan respons peserta didik terhadap model pembelajaran debat

aktif berbasis ICT

D. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penilitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai

berikut.
17

1) Bagi peserta didik, sebagai alternatif pembelajaran yang dapat menumbuhkan

motivasi sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik serta

dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didik

2) Bagi guru, dapat dijadikan sebagai pertimbangan dan alternatif pilihan model

pembelajaran yang dapat digunakan dalam perbaikan dan peningkatkan

kualitas pembelajaran kimia yang memperhatikan pada pengembangan

kemampuan berpikir kritis peserta didik.

3) Bagi sekolah, dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk meningkatkan

kualitas pembelajaran kimia.

E. Definisi Operasional

Sebagai upaya untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran istilah-

istilah yang terdapat dalam penelitian ini, maka diberikan penjelasan tentang

pengertian istilah-istilah tersebut. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

(1) Model Debat Aktif

Model pembelajaran debat merupakan kegiatan adu pendapat atau

argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun

kelompok, dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan perbedaan

(Shoimin, 2014). Model ini menekankan pada mengemukakan pendapat atau

beradu argumen antara kelompok pro dan kontra. Adapun maksud dari penelitian

ini adalah menekankan pada mengungkapkan pendapat atau argumen dengan

referensi yang jelas.


18

(2) Information and Communication Technology (ICT)

ICT dapat digunakan untuk memudahkan kerja sama antara pendidik

dengan peserta didik yang letaknya berjauhan secara fisik. Penggunaan dari ICT

dalam penelitian ini bermaksud untuk mempermudahkan kelangsungan debat aktif

sehingga dapat mempermudah dan mempersingkat waktu dalam debat.

(3) Kemampuan Berpikir Kritis

Berpikir kritis merupakan aktivitas kognitif seseorang yang digunakan

dalam mengambil keputusan yang tepat. Kemampuan berpikir kritis menekankan

pada kinerja yang tepat, jelas dan terarah dalam operasi mental seperti melakukan

interpretasi, analisis, evaluasi, penarikan kesimpulan, eksplanasi dan penganturan

diri (Paul & Elder, 2008). Indikator kemampuan berpikir kritis yang dimaksud

dalam penelitian ini meliputi indikator menganalisis argumen, interpretasi

informasi, membuat generalisasi (berpikir kritis), dan membuat kesimpulan

(berpikir induktif)
19

BAB III

KAJIAN PUSTKA

A. Tinjauan Pustaka

1. Hakikat Belajar dan Pembelajaran Kimia

Belajar merupakan kegiatan yang terjadi pada semua orang tanpa

mengenal batas usia dan berlangsung seumur hidup (long life education). Belajar

merupakan usaha yang dilakukan seseorang melalui interaksi dengan

lingkungannya untuk merubah prilakunya. Belajar adalah suatu aktifitas yang

berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pembelajar dengan

faktor ekstern atau lingkungan sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

Pengalaman baru yang didapat dari belajar diartikan sebagai kegiatan atau usaha

yang mengembangkan arti dari peristiwa atau situasi, sehingga orang dapat

memiliki cara pemecahan suatu masalah baik sekarang maupun masa yang akan

datang (Iskandar, 2009).

Pembelajaran didefinisikan sebagai suatu sistem atau proses

membelajarkan peserta didik yang direncanakan atau didesain, dan dievaluasi

secara sistematis agar peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran secara

efektif dan efisien. Pada proses pembelajaran ada dua pihak yang terlibat sangat

penting yaitu peserta didik dan guru. Suatu proses pembelajaran sangat

dipengaruhi oleh kemampuan dan ketepatan guru dalam memilih dan menerapkan

model pembelajaran (Sanjaya, 2013). Terkait dengan hal tersebut, bahwa tujuan

pembelajaran akan tercapai apabila perencanaan dan metode yang digunakan

dapat mempengaruhi potensi dan kemampuan yang dimiliki peserta didik, dan
20

keberhasilan tersebut akan tercapai apabila perencanaan dan metode yang

digunakan dapat mempengaruhi potensi dan kemampuan yang dimiliki peserta

didik, dan keberhasilan tersebut akan tercapai apabila peserta didik dilibatkan

dalam proses penemuan suatu konsep dengan mengembangkan kemampuan

berpikirnya. Upaya untuk meningkatkan kemampuan tersebut adalah dengan

menciptakan pembelajaran kimia yang inovatif , melibatkan aspek kognitif,

afektif, dan psikomotor (Suyanti, 2010).

Menurut Kurbanoglu & Akim (Rusmasyah, et al., 2018) motivasi dapat

memberikan efek kesuksesan dalam individu dan berpikir kritis. Hal ini juga

sejalan dengan hasil penelitian oleh Soraya, Rusmasyah, Istyadji (2018)

mengemukakan bahwa kemampuan berpikir kritis tersebut didapat dari proses

peserta didik yang bisa menemukan konsepnya dan terlatih menyampaikan

pendapat dalam memecahkan permasalahan. Karena itu dipilih model

pembelajaran debat aktif agar peserta didik aktif dalam menyampaikan

pendapatnya.

2. Kemampuan Berpikir Kritis

Berpikir kritis berarti membuat penilaian-penilaian dan evaluasi yang

masuk akal dengan menggunakan belahan otak bagian kiri. Secara sederhana

berpikir kritis adalah sebuah cara berpikir disiplin yang digunakan seseorang

untuk mengevaluasi validitas (sesuatu pernyataan-pernyataan, ide-ide, argumen-

argumen penelitian). Berpikir kritis adalah proses yang menekankan pada

kepercayaan-kepercayaan yang logis dan rasional dan memberikan standar dan

prosedur untuk menganalisis, menguji dan mengevaluasi (Filsaime, 2008).


21

Berpikir kritis adalah suatu kegiatan melalui cara berpikir tentang ide atau

gagasan yang berhubungan dengan konsep yang diberikan atau masalah yang

dipaparkan. Berpikir kritis juga dapat dipahami sebagai kegiatan menganalisis ide

atau gagasan ke arah yang lebih spesifik, membedakannya secara tajam, memilih,

mengidentifikasi, mengkaji, dan mengembangkannya kearah yang lebih

sempurna. Berpikir kritis berkaitan dengan asumsi bahwa berpikir merupakan

potensi yang ada pada manusia yang perlu dikembangkan untuk kemampuan

yang optimal (Susanto, 2013).

Berpikir kritis merupakan suatu disiplin berpikir mandiri yang

mencontohkan kesempurnaan berpikir sesuai dengan ranah berpikir. Dalam

berpikir kritis haruslah menggunakan rasio (alasan) dan keyakinan yang kokoh

untuk melihat suatu hal dengan objektif, memisahkan masalah-masalah benar dan

salah serta menyimpulkan suatu hasil yang dapat menjadi pijakan dalam

menentukan langkah untuk melakukan perubahan (Yustina, Irhasyuarna, &

Kusasi, 2015).

Menurut Kuswana (2013) menggunakan kemampuan berpikir kritis yang

kuat memungkinkan kita mengevaluasi argumen, dan layak untuk penerimaan

berdasarkan pikirannya. Kemampuan berpikir yang digunakan mengisyararatkan

bahwa terdapat situasi belajar dan mengajar yang mendorong proses-proses yang

menghasilkan mental yang diinginkan dari kegiatan. Hal tersebut diperkuat

dengan penilaian bahwa dapat ditingkatkan melalui campur tangan seorang guru

dan mengisyaratkan adanya penggunaan proses mental untuk merencanakan.

Mendeskripsikan dan mengevaluasi proses berpikir dan belajar (Kuswana, 2013).


22

Menurut Filsaime (2008) berpikir kritis mempunyai aspek-aspek yaitu:

dugaan-dugaan, para pemikir kritis itu meliputi, berpikiran terbuka, menilai

pemikiran terbuka, menghargai fakta-fakta dan penalaran, menghargai kejelasan,

ketepatan, melihat sudut pandang yang berbeda serta akan mengubah posisi-posisi

ketika alasan mengarahkan mereka berbuat yang demikian. Adapun aspek-aspek

selain di atas adalah sebagai berikut:

(1) Kriteria

Berpikir secara kritis adalah saat seseorang harus mengikuti beberapa

kriteria. Seseorang perlu mengetahui kondisi-kondisi yang harus ditemukan yang

akan dinilai bisa dipercaya. Meskipun argumen bisa dibuat bahwa setiap area

subyek memiliki kriteria-kriteria yang berbeda, namun beberapa standar bisa

diterapkan pada semua subyek. Sebuah pernyataan yang tegas harus didasarkan

pada fakta-fakta yang relevan dan akurat, sumber-sumber yang kredibel, benar,

bebas dari kesalahan-kesalahan logika, konsisten secara logis, bernalar kuat.

(2) Argumen

Argumen adalah pernyataan atau usul dengan fakta-fakta yang

mendukung. Berpikir kritis melibatkan pengidentifikasikan, pengevaluasian, dan

pengkonstruksian argument-argumen.

(3) Penalaran

Penalaran adalah kemapuan untuk menginferensi sebuah kesimpulan dari

satu premis atau lebih. Kemampuan ini menuntut pengujian hubungan logis antara

pernyataan-pernyataan dan data. Penalaran berperan dalam proses berpikir yang

bertolak dari pengamatan indera (pengamatan empirik) yang menghasilkan


23

sejumlah konsep dan pengertian.

(4) Sudut pandang

Sudut pandang yaitu cara seseorang memandang dunia yang membentuk

konstruksi makna seseorang. Dalam sebuah penelitian untuk pemahaman, para

pemikir kritis memandang sebuah fenomena dari banyak sudut pandang

(5) Prosedur-prosedur untuk penerapan kriteria-kriteria

Jenis-jenis berpikir yang lain menggunakan sebuah prosedur umum.

Berpikir kritis menggunakan banyak prosedur. Prosedur-prosedur ini mencakup

Pengajuan pertanyaan-pertanyaan, pembuatan penilaian-penilaian dan

pengidentifikasi asumsi-asumsi

Menurut Browne & Keeley (2015), istilah berpikir kritis merujuk pada

poin-poin sebagai berikut: Pengetahuan akan serangkaian pertanyaan kritis yang

saling terkait, kemampuan melontarkan dan menjawab pertanyaan kritis pada saat

yang tepat dan Kemauan untuk menggunakan pertanyaan yang kritis tersebut

secara aktif. (Browne & Keeley, 2015)

Berpikir kritis adalah proses pencarian, perolehan, evaluasi, analisis,

sintesis dan konseptualisasi informasi sebagai panduan untuk mengembangkan

pemikirian individu secara sadar dan kemampuan untuk mengambil resiko dan

menambahkan kreativitas dalam penggunaan informasi (Yildirim & Ozkahraman,

2011). Belajar untuk berpikir kritis membawa peserta didik untuk

mengembangkan keterampilan lain, seperti tingkat konsentrasi yang lebih tinggi,

lebih dalam kemampuan analisis, dan pemrosesan pikiran yang lebih baik.

Seseorang dapat dikatakan berpikir kritis harus memenuhi standar tertentu.


24

Pemikiran mengenai gagasan berpikir kritis senantiasa berubah namun tetap

memiliki prinsip yang sama (Fisher, 2009). Menurut Edward Glaser dalam Fisher

(2007) terdapat keterampilan-keterampilan yang menjadi landasan dalam berpikir

kritis, yaitu sebagai berikut:

(1) Mengenal masalah.

(2) Menemukan cara untuk menyelesaikan masalah tersebut.

(3) Mengumpulkan informasi.

(4) Mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan.

(5) Memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas dan khas.

(6) Menganalisis data.

(7) Menilai fakta dan mengevaluasi pernyataan-pernyataan.

(8) Mengenal adanya hubungan yang logis di antara berbagai masalah.

(9) Menarik beberapa kesimpulan

(10) Menguji kesimpulan yang telah dibuat.

(11) Merefleksi kembali berdasarkan pengalaman yang dimiliki.

(12) Membuat penilaian.

Menurut Facione (2014) kemampuan berpikir kritis dikategorikan

menjadi beberapa keahlian. Keahlian di sini berbentuk keterampilan yang bisa

digunakan sebagai indikator seseorang dalam berpikir kritis. Keterampilan

keterampilan tersebut dijelaskan dalam bentuk deskripsi Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1 Indikator dan sub-keterampilan berpikir kritis


No Keterampilan Deskripsi Sub-keterampilan
1. Interpretasi Memahami dan mengekspresikan arti atau Kategorisasi
makna dari berbagai pengalaman, situasi,
data, peristiwa, penilaian, konvensi, Menyampaikan
keyakinan, aturan, prosedur atau kriteria yang signifikansi
luas.
25

Tabel 1 lanjutan
No Keterampilan Deskripsi Sub-keterampilan
Klasifikasi makna

2. Analisis Mengidentifikasi hubungan inferensial antara


Pengkajian data
pernyataan, pertanyaan, konsep, deskripsi,
data atau bentuk-bentuk lain dari representasi
yang dimaksud untuk mengekspresikan
Mengidentifikasi
keyakinan, penelaian, pengalaman, alas an,
argument
informasi atau opini
3. Inferensi Mengidentifikasi dan menetapkan unsur- Menganalisis
unsur yang dibutuhkan ntuk menarik argument
kesimpulan yang masuk akal; merumuskan
dugaan dan hipotesis ; dan untuk menilai Mempertanyaanka
kekuatan logika dari hubungan inferensial n
yang aktual atau yang dimaksudkan termasuk
pernyataan, deskripsi, pernyataan atau Menduga altenatif
representasi lain
Menarik
kesimpulan
4. Evaluasi Menaksir kredibilitas pernyataan, pernyataan
atau representasi yang merupakan laporan Menilai klaim
atau deskripsi dari presepsi, pengalaman dan
menaksir kekuatan logis dari hubungan Menilai argumen
inferensial, deskripsi atau bentuk representasi
lainnya. Contoh evaluasi adalah Mempertanyakan
membandingkan kekuatan dan kelemahan
dari interpretasi altenatif.
5. Eksplanasi Menyatakan hasil-hasil penalaran, Menyatakan hasil
membenarkan penalaran berdasarkan
pertimbangan bukti, konsep, metodologi, Membenarkan
kriteria dan konteks serta menyajikan prosuder
penalaran dalam bentuk argumen
meyakinkan. Mempresentasikan
argument
(Facione, 2015)

3. Model Debat Aktif

3.1. Teori Belajar Yang Mendasari

Salah satu teori belajar yang mendasari model pembelajaran debat aktif

berbasis ICT adalah teori pembelajaran konstruktivisme. Belajar konstruktivisme

menurut Vygotsky menyatakan bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja

atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu

masih dalam berada dalam jangkauan kemampuan atau tugas-tugas tersebut dalam
26

Zone of Proximal Development atau ZPD. (Rachmawati & Daryanto, 2015).

Sedangkan menurut Piaget dan Bruner mempunyai pnadangan bahwa

pengetahuan dan pemahaman tidaklah diperoleh secara pasif akan tetapi dengan

cara yang aktif melalui pengalaman personal dan aktivitas eksperiental.

Pembelajaran secara konstruktivisme adalah menekankan pada proses

belajar, mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada peserta didik

dan pengetahuan dibangun oleh peserta didik. Pengetahuan tidak dapat

dipindahkan dari pendidik ke peserta didik atau peseta didik ke peserta didik

kecuali hanya dengan keaktifan murid itu sendiri, murid aktif mengkonstruksi

secara terus menerus sehingga terjadi perubahan konsep ilmiah, pendidik sekedar

membantu menyediakan saran dan situasi agar proses konstruksi berjalan lancar

(Rachmawati & Daryanto, 2015).

Debat aktif bertujuan untuk membantu anak didik menyalurkan ide,

gagasan dan pendapatnya. Debat dapat membangkitkan keberanian mental anak

didik dalam berbicara dan bertanggung jawab atas pengetahuan yang didapat

melalui proses debat, baik di kelas maupun diluar kelas sehingga debat ini sangat

cocok untuk diterapkan (Pratama, et al., 2016) Berdasarkan uraian-uraian tersebut,

berkaitan dengan model pembelajaran debat aktif, Dalam model ini, memacu

peserta didik untuk aktif karena kegiatannya dalam berdiskusi adalah adu

pendapat atau argumen antara

dua pihak atau lebih (Shoimin, 2014).

Belajar behaviouristik menurut Thorndike, Pavlov dan Skinnner

menyatakan bahwa belajar adalah tingkah laku yang dapat diamati yang
27

disebabkan adanya stimulus dari luar. Sedangkan menurut teori psikologi kognitif

yang menyatakan bahwa belajar mencakup penggunaan daya ingat, motivasi,

pikiran dan refleksi. Hal ini landasan dari ICT atau yang sering kita kenal

teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Dalam TIK peserta didik dapat

menggali informasi dari berbagai sumber yang relavan (Rusman, Kurniawan, &

Riyana, 2012).

3.2. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Debat Aktif

Model pembelajaran debat aktif merupakan salah-satu model

pembelajaran yang sangat penting untuk meningkatkan kemampuan akademis

peserta didik. Model ini merupakan kegiatan adu pendapat atau argumentasi

antara dua belah pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun kelompok,

dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan perbedaan. Model debat aktif

bisa menjadi sebuah model pembelajaran berharga yang dapat mendorong

pemikiran dan perenungan terutama kalau perserta didik bisa aktif

mempertahankan pendapat yang bertentangan dengan keyakinan masing-masing

(Shoimin, 2014).

Menurut Shoimin (2014) model debat aktif mempunyai langkah-langkah

sebagai berikut :

(1) Guru membagi peserta didik menjadi 2 kelompok peserta debat, yaitu pro dan

kontra dan yang lainnya kontra dengan duduk berhadapan antarkelompok.

(2) Guru memberikan tugas untuk membaca materi yang akan diperdebatkan oleh

kedua kelompok di atas.

(3) Setelah selesai membaca materi, guru menunjuk salah satu anggota kelompok
28

pro untuk berbicara. Setelah selesai kelompok pro berbicara kemudian

ditanggapi oleh kelompok kontra. Demikian seterusnya sampai sebagian

besar peserta didik bisa mengemukakan pendapatnya.

(4) Ide-ide dari setiap pendapat atau pembicaraan ditulis di papan pendapat

sampai mendapatkan sejumlah ide yang diharapkan.

(5) Guru menambahkan konsep atau ide yang belum terungkap.

(6) Dari data-data yang diungkapkan tersebut, guru mengajak peserta didik

membantu kesimpulan yang mengacu pada topik yang ingin dicapai.

(7) Proses penilain dalam model pembelajaran ini adalah berdasarkan pengamatan

guru pada aktivitas peserta didik.

Debat dapat menjadi metode yang tepat untuk mendorong pemikiran dan

perenungan, terutama jika peserta didik diharapkan mampu membela pendapat

yang bertentangan dengan keyakinan sendiri. Tipe model ini diharapkan bisa

menumbuhkan sikap menghargai pendapat orang lain yang berbeda. Dengan

demikian, dalam realita kehidupan, peserta didik tidak cenderung untuk

menjadikan perbedaan-perbedaan sebagai sumber konflik. Tipe model ini dapat

mengaktifkan seluruh kelas kerena dibagi kedalam dua kelompok pro dan kontra.

Kemudian, setiap anggota kelompok diminta untuk menyampaikan argument

untuk membela dan mempertahankan pendapat kelompok (Fathurrohman, 2015).

Konstruksi pengetahuan akan terjadi saat adanya interaksi dengan orang

lain, seperti guru daan peserta didik atau peserta didik dengan peserta didik.

Selama kegiatan pembelajaran berlangsung peserta didik dapat bertukar ide,

saling membuktikan dan mengklarifikasi jawaban sehingga dihasilkan


29

pengetahuan yang baru. Selain itu, peserta didik dapat saling membantu

mengkonstruksi pengetahuan dan bekerja sama untuk mencapai tujuan

pembelajaran. Guru hanya berperan sebagai pembimbing dan motivator bagi

peserta didiknya dapat menumbuhkan serta melatihkan keterampilan berpikir

kritis peserta didik (Yessi, Sudyana, & Fatah, 2019)

Adapun prosedur pembelajaran debat ini yaitu sebagai berikut:

a. Kembangkan sebuah pertanyaan kontroversial yang berkaitan dengan

pembelajaran

b. Bagi kelas kedalam dua tim. Mintalah satu tim menjadi kelompok “pro” dan

tim lain menjadi kelompok yang “kontra”

c. Untuk menjamin keterlibatan semua anggota kelompok, masing-masing

kelompok diminta untuk menyiapkan argumen (misalnya, menyiapkan dalil,

menyiapkan bantahan terhadap argument lawan, dan sebagainya). Kemudian,

setiap subkelompok menunjuk juru bicara

d. Siapkan dua sampai empat kursi (tergantung jumlah subkelompok) bagi para

juru bicara dari dua kelompok. Peserta didik yang kain duduk di belakang juru

bicara.

e. Mulailah debat dengan mempersilahkan para juru bicara kedua kelompok

untuk mempresentasikan pandangan mereka sbagai argument pembuka

f. Kemudian lanjutkan debat dengan memberi kesempatan kepada kelompok

lawan untuk mengkonter argument pembuka dari kelompok lawan. Pada saat

debat berlangsung, para peserta didik yang lain diminta untuk membuat catatan

berupa usulan argument atau bantahan


30

g. Pada saat yang tepat, guru mengakhiri peredebatan. Guru tidak perlu

menentukan kelompok mana yang memenangkan debat karena diharapkan dari

metode ini tumbuh rasa saling menghormati pendapat orang lain

sekalipun berbeda (Fathurrohman, 2015).

4. Information and Comunnication Technology (ICT)

Information and Communication Technology atau ICT dapat digunakan

untuk memudahkan kerja sama antara pendidik dengan peserta didik yang

letaknya berjauhan secara fisik. Dahulu, seseorang harus berjalan jauh untuk

menemui seorang pakar guna mendiskusikan sebuah masalah. Saat ini hal itu

dapat dilakukan dari rumah dengan mengirimkan e-mail. Makalah dan penelitian

dapat dilakukan dengan saling tukar menukar data melalui internet, dan e-mail.

Makalah dan penelitian dapat dilakukan dengan saling tukar menukar data melalui

internet, e-mail, ataupun dengan menggunakan mekanisme file sharing

(Noorsalim, Nurdiniah, & Saadi, 2014).

Menurut Septina (Lestari S. , 2016) pada dasarnya saat ini semua orang

menyukai hal yang berkaitan dengan gadget. Oleh sebab itu, pembelajaran akan

lebih efektif jika menggunakan aplikasi teknologi. Selain efektif dalam

pemanfaatkan waktu juga efektif dalam penilaian. Secara umum ada tiga

pendekatan dalam penggunaan atau pemanfaatan ICT untuk pendidikan dan

pembelajaran, yaitu:

a. Learning about computers and the internet, di mana technological literacy

menjadi tujuan akhir. Komputer dapat dijadikan sebagai objek pembelajaran,

misalnya ilmu komputer (computer science). Artinya menjadikan ICT sebagai


31

salah satu mata pelajaran yang diberikan di sekolah.

b. Learning with computer and the internet, di mana ICT menfasilitasi

pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku di sekolah. Misalnya

Pustekkom Depdiknas mengembangkan program CD multimedia interaktif

untuk mata pelajaran Bahasa Inggris, Biologi, Fisika, Kimia, Pendidikan

Agama Islam dan lain-lain sebagai salah satu alternative media pembelajaran

di SMA dan SMK.

c. Learning through computers and the internet, yaitu mengintegrasikan

pengembangan keterampilan-keterampilan berbasis ICT dengan aplikasi-

aplikasi dalam kurikulum. Misalnya di perguruan tinggi, sebagai contoh

mahapeserta didik melakukan riset online, menggunakan spreadsheet dan

program database untuk membantu mengorganisasikan dan menganalisis data

yang telah dikumpulkan atau menggunakan word processing untuk menyusun

laporan penelitian. Oleh karena itu, komputer dapat juga digunakan sebagai

alat bantu untuk melakukan proses tertentu, misalnya perhitungan atau

kalkulasi dan penyimpanan data serta pemprosesan kata dan data (word and

data processing).

Menurut Cobine “Through internet study, students become doers, as well

as thinkers” Pemanfaatan internet sebagai media pembelajaran mengkondisikan

peserta didik untuk belajar secara mandiri. Pembelajaran e-learning membuat

peserta didik menjadi sangat antusias dalam mengikuti pembelajaran karena

sebagian besar peserta didik merasa jenuh dan bosan dengan materi yang selalu

disajikan lewat buku teks (Noorsalim, Nurdiniah, & Saadi, 2014).


32

Dalam penelitian ini ICT berguna untuk fasilitas mencari informasi lewat

jejaring sosial sehingga dapat diintegrasikan dalam debat untuk mempermudah

peserta didik mencari referensi yang mendukung argumen pada saat jalannya

debat, atau bahkan dapat digunakan media penyampaian argumen. Media yang

akan digunakan nanti adalah aplikasi padlet atau sering disebut juga sebagai

papan tulis daring. . Media yang akan digunakan adalah aplikasi padlet atau sering

disebut juga sebagai papan tulis daring. Menurut Funchs (2014) padlet merupakan

aplikasi dimana mahapeserta didik dapat berkolaborasi dan berbagi apa yang

mereka tulis dan sampaikan. Disini, mereka dapat memposting video, gambar, dan

tulisan terkait tema. Hasil penelitian yang telah diteliti oleh Funchs pada tahun

2014 menyatakan bahwa, dengan menggunakan padlet peserta didik dapat

berpartisipasi dalam diskusi dan aktivitas, mengajukan pertanyaan, dan

memberikan pendapat sehingga membuat kelas tidak jenuh dan bisa dilaksanakan.

Hasil penelitian yang dilakukan Septina (2015) menyatakan bahwa

Tablet bermanfaat baik untuk peserta didik dan pengajar. Keuntungan yang

diperoleh guru, yakni: interaksi dengan peserta didik tidak hanya sebatas didalam

ruang kelas saja, dapat mempermudah mengecek hasil pekerjaan peserta didik,

dapat mempermudah menilai dan memberikan evalusi atas pekerjaan peserta

didik. Hal-hal yang menguntukan untuk peserta didik adalah: peserta didik dapat

mengerjakan tugas kapanpun dan dimana pun emempermudah kemasan tugas dan

praktis, menghemat kertas dan tinta pulpen serta memotivasi peserta didik untuk

mengerjakan tugas karena dapat melihat pekerjaan teman-teman mereka (Lestari

S. , 2016).
33

5. Pembelajaran Langsung (Direct Instruction)

Model pembelajaran langsung adalah model pembelajaran yang

dirancang khusus untuk menunjang proses belajar yang berkaitan dengan

pengetahuan deklaratif dan pengetahuan procedural yang terstruktur dengan baik

yang dapat dianjarkan dengan pola kegiatan yang bertahap dan selangkah demi

selangkah. Model pembelajaran ini terdapat lima fase yang sangat penting.

Sintaks model pembelajaran ini disajikan dalam lima tahap yaitu:

a. Fase 1: Fase Orientasi/Menyampaikan Tujuan

Pada fase ini guru memberikan kerangka pelajaran dan orientasi

terhadap materi pelajaran. Kegiatan pada fase ini meliputi:

 Menyampaikan pendahuluan untuk mengetahui pengetahuan yang

relevan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik.

 Menyampaikan tujuan pembelajaran

 Memberi pelajaran atau arahan mengenai kegiatan yang akan dilakukan

 Menginformasikan materi atau konsep yang akan digunakan dan kegiatan

yang akan dilakukan selama pembelajaran.

 Menginformasikan kerangka pelajaran

 Memotivasi peserta didik

b. Fase 2: Fase Presentasi/Demonstrasi

Pada fase ini guru dapat menyajikan materi pelajaran, baik beupa

konsep atau keterampilan. Kegiatan ini meliputi:

 Penyajian materi dalam langkah-langkah.

 Pemberian contoh konsep


34

 Pemodelam/peragaan keterampilan

 Menjelaskan ulang hal yang dianggap sulit atau kurang dimengerti oleh

peserta didik

c. Fase 3: Fase Latihan Terbimbing

Dalam fase ini, guru merencanakan dan memberikan bimbingan kepada

peserta didik untuk melakukan latihan-latihan awal. Guru memberikan

penguatan terhadap respons peserta didik yang benar dan mengoreksi yang

salah

d. Fase 4: Fase Mengecek Pemahaman dan Memberikan Umpan Balik

Pada fase berikutnya, peserta didik diberi kesempatan untuk berlatih

konsep dan keterampilan serta menerapkan pengetahuan atau keterampilan

tersebut ke situasi: kehidupan nyata, latihan terbimbing ini baik juga

digunakan guru untuk mengakses kemampuan peserta didik dalam melakukan

tugas, mengecek apakah kemampuan peserta didik telah berhasil melakukan

tugas dengan baik atau tidak, serta memberikan umpat balik. Guru memonitor

dan memberikan bimbingan jika perlu

e. Fase 5: Fase Latihan Mandiri

Peserta didik melakukan kegiatan latihan secara mandiri. Fase ini dapat

dilalui peserta didik dengan baik jika telah menguasai tahap-tahap pengerjaan

tugas 85%-90% dalam fase latihan terbimbing. Guru memberikan umpat

balik bagi keberhasilan peserta didik.

(Shoimin, 2013)
35

Model pembelajaran yang didominasi guru saat pembelajaran membuat

peserta didik tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan materi yang

mereka dapatkan sehingga materi mengenai suspensi, sistem koloid, dan larutan

sejati hanya diingat pada saat pembelajaran berlangsung dan setelah itu materi

dilupakan oleh peserta didik (Yustina, et al., 2015)

6. Hubungan Model Pembelajaran Debat Aktif Berbasis ICT Terhadap


Kemampuan Berpikir Krisis

Penggunaan model pembelajaran debat aktif berbasis ICT akan membuat

peserta didik lebih aktif dan belajar mandiri serta mengetahui sumber yang

relavan dalam pembelajaran karena peserta didik bukan hanya menerima sumber

pembelajaran dari pendidik melainkan beberapa sumber. Dalam model

pembelajaran ini peserta didik akan mengeluarkan pendapat berdasarkan sumber

pengalaman maupun sumber lainnya atau peserta didik beradu argumen antara

kelompok kontra maupun pro dari suatu permasalahan sampai menghasilkan

konsep baru. Penggunaan ICT agar peserta didik mudah untuk menggali informasi

serta menemukan konsep baru. Model pembelajaran ini juga diharapkan dapat

mendorong peserta didik untuk saling menghormati perbedaan pendapat serta

dapat memacing peserta didik yang pasif menjadi aktif. Implementasi sintak

model pembelajaran debat aktif berbasis ICT dengan indicator berpikir kritis

dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2 Hubungan sintak model debat aktif berbasis ICT dengan berpikir kritis
Langkah-Langkah Debat Aktif berbasis ICT Indikator Kemampuan Berpikir Kritis
Tabel 2 lanjutantujuan/menyiapkan peserta
Menyampaikan Menjaga kondisi berpikir
didik
Memberikan permasalahan Menfokuskan pertanyaan dan menganilis
pertanyaan
36

Langkah-Langkah Debat Aktif berbasis ICT Indikator Kemampuan Berpikir Kritis


Membagi kelompok pro dan kontra serta Mengumpulkan data-data atau sumber sebagai
memberikan waktu belajar mandiri penguatan dalam menalar atau berargumen
dengan mempertimbangkan fakta-fakta
Mempersilahkan kelompok pro untuk Mengalisis, mengidentifikasi argumentasi,
menyampaikan pendapat terhadap membuat deduksi, menduga alternatif,
permasalahan pengkajian data-data
Mempersilahkan kelompok kontra memberikan Mempertanyaankan, menduga alternatf,
pendapat atau sanggahan menganalisis argument, berinteraksi dengan
orang lain, mengidentifikasi asumsi
Kemudian memberikan sanggahan dari pro Mengidentifikasi argumentasi lawan,
setelah selesai kontra lagi sampai seterusnya mempertimbangkan kredibilitas, membuat
sampai hampir semua peserta didik aktif induksi, berinteraksi dengan orang lain.
Ide-ide dari setiap pembicara atau pendapat Membuat deduksi, membuat konsep atau ide
dapat ditulis dipapan tulis atau dalam ICT baru yang terungkap.
(Aplikasi padlet) sampai mendapatkan
sejumlah ide atau konsep yang diharapkan
Guru mengajak peserta didik membuat Menarik kesimpulan dari suatu perdebatan dalm
kesimpulan dari perdebatan permasalahan. permasalahan

B. Penelitian yang Relevan

(1) Penelitian yang dilakukan oleh Pramesswari, Widodo, & Qosyim (2016)

tentang penerapan strategi debat aktif untuk melatihkan keterampilan berpikir

kritis menyimpulkan bahwa keterampilan berpikir kritis setelah diterapkan

strategi debat aktif pada materi pemanasan global mengalami peningkatan

tiap aspeknya. Persamaan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan

debat aktif untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis, namun pada

materi Pembeajaran yang berbeda.

(2) Penelitian yang dilakukan oleh Budiman (2017) tentang peran teknologi

informasi dan komunikasi dalam pendidikan di SMA kota Lampung

menyimpulkan peran teknologi informasi dalam pembelajaran, selain

membantu peserta didik dalam belajar juga memiliki peran yang cukup

berpengaruh bagi guru terutama dalam pemanfaatan fasilitas untuk


37

kepentingan memperkaya kemampuan mengajarnya. Persamaan penelitian ini

adalah menggunakan peran teknologi dalam pembelajaran.

(3) Penelitian yang dilakukan oleh Fatmawati & Setiawan (2017) tentang

pengaruh metode pembelajaran debat aktif terhadap hasil belajar peserta didik

SMAN 1 Belitang Hilir menyimpulkan bahwa pembelajaran menggunakan

debat aktif dapat memberikan berpengaruh terhadap hasil belajar materi

prinsip-prinsip kesehatan yaitu berada pada kategori sangat baik dengan nilai

81,17.

(4) Penelitian yang dilakukan oleh Rizki & Linuhung (2016) tentang

pengembangan bahan ajar program linear berbasis kontekstual dan ICT di

SMAN 1 Punggur menyimpulkan bahwa pengunaan dari kontekstual dan ICT

sangat efetif serta praktis untuk digunakan dalam pembelajaran pada materi

program linear.

(5) Penelitian yang dilakukan oleh Iman (2017) tentang debate instruction in EFL

Classroom : Impact on the critical thinking and speaking skill menyimpulkan

bahwa bedat ini dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan

keterampilan berbicara kerana membuat peserta didik aktif terlibat

dalam adu pendapat.

(6) Penelitian yang dilakukan oleh Amin, Mahdian, dan Sholahuddin (2015)

tentang Implementasi Metode Pembelajaran Ideal Problem Solving

Berdasarkan Gaya Kognitif Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir

Kritis Peserta didik Kelas X SMA Negeri 7 Banjarmasin Pada Materi Minyak

Bumi membuktikan bahwa pembelajaran yang menuntut peserta didik aktif


38

untuk menggali informasi sendiri sebagai bahan pendukung untuk

menyelesaikan suatu permasalahan menjadikan peserta didik terbiasa untuk

lebih berpikir kritis sehingga pembelajaran di kelas cenderung lebih

bermakna bagi peserta didik.

C. Kerangka Berpikir

Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang mampu banyak

melibatkan peserta didik secara aktif bukan hanya jadikan sebagai objek.

Pembelajaran ini sangat sejalan dengan kurikulum 2013 yang tidak lagi berpusat

pada guru tetapi pada peserta didik, artinya peserta didik secara aktif terlibat

dalam interaksi pembelajaran. Dalam pembelajaran inovatif terdapat berbagai

model pembelajaran salah satunya adalah model pembelajaran debat aktif. Model

pembelajaran debat aktif merupakan model pembelajaran yang terpusat pada

peserta didik didalamnya terdapat kegiatan adu argumen sehingga pada proses

pembelajaran terjadi peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Peran

ICT berguna untuk mempermudah peserta didik untuk mendapat informasi dari

berbagai sumber diinternet.

Dalam penelitian ini, model pembelajaran debat aktif bebasis ICT

diterapkan pada kelas eksperimen menggunakan aplikasi padlet. Aplikasi Padlet

berfungsi sebagai media atau alat untuk berpendapat terhadap sebuah tema atau

mosi tentang isu-isu yang berhubungan dengan materi koloid. Selain itu, aplikasi

Padlet ini peserta didik dapat juga menyertakan data berupa, dokumen, fakta

fenomena, pamflet, photo dan video saat berdebat. Sedangkan pembelajaran di

kelas kontrol menggunakan model pembelajaran Direct Instruction atau sering


39

disebut juga dengan pembelajaran langsung. Dalam proses pembelajaran langsung

sepenuhnya dikontrol oleh guru sehingga guru harus mendemonstrasikan

pengetahuan atau keterampilan akan dilatihkan kepada peserta didik.

Berpikir kritis adalah suatu kegiatan melalui cara berpikir tentang ide

atau gagasan yang berhubungan dengan konsep yang diberikan atau masalah yang

dipaparkan sehingga diharapkan dengan menggunakan model pembelajaran debat

aktif berbasis ICT dapat berpengaruh pada kemampuan berpikir kritis peserta

didik. Untuk mempermudah memahami pemikiran tersebut digunakan ilustrasi

kerangka berpikir seperti Gambar 1 di bawah ini.

Rata-rata kemampuan berpikir


kritis peserta didik

Kelas eksperimen Kelas kontrol

Model pembelajaran Debat Model pembelajaran Direct


Aktif berbasis ICT Instruction

Diharapkan setelah menggunakan model Diharapkan setelah menggunakan model


di atas terjadi peningkatan kemampuan di atas mengetahui peningkatan
berpikir kritis kemampuan berpikir kritis

Bandingkan

Uji hipotesis

Gambar 1 Kerangka Perpikir


40

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka di atas, maka hipotesis

dalam penelitian ini adalah:

H1 = Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang

menggunakan model pembelajaran debat aktif berbasis ICT dengan

model pembelajaran direct instruction.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini menggunakan eksperimen semu (quasy

experiment) dengan menggunakan desain pretest-posttest non equivalen group

design. Rancangan ini hampir sama dengan pretest-posttest control group design,

tetapi pada desain ini kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol tidak

dipilih secara random Sugiyono (2012). Desain ini melibatkan dua kelas yaitu

satu kelas sebagai kelas kontrol dan satu kelas sebagai kelas eksperimen. Dampak

dari suatu perlakuan pada desain ini terhadap variabel terikat akan diuji dengan

cara membandingkan keadaan variabel terikat pada kelas eksperimen yang

menerapkan pembelajaran dengan model debat aktif berbasis ICT dan kelas

kontrol yang menerapkan pembelajaran dengan model direct insctruction.

Pada desain ini kelas eksperimen maupun kelas kontrol diberi pre-test

sebelum dilakukan pembelajaran serta post-test pada akhir penelitian. Pre-test

dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik sebelum diberikan

perlakuan. Setelah proses pembelajaran, diberikan post-test. Post-test

dimaksudkan untuk mengetahui pencapaian kemampuan berpikir kritis peserta

didik setelah diberikan perlakuan pada kedua kelas tersebut.

Sugiyono (2015) mengemukakan desain penelitian yang digunakan pada

penelitian ini dan dapat dilihat pada Tabel 3 sebagai berikut:

41
42

Tabel 3 Desain penelitian pretest-posttest non equivalen group design


Kelas Pre-test Pembelajaran Post-test
Eksperimen O1 X1 O2
Kontrol O3 X2 O4
Keterangan : (Sugiyono,2015)
X1 = Pembelajaran dengan model debat aktif berbasis ICT
X2 = Pembelajaran dengan model Direct Intruction
O1 = Nilai pre-test untuk kemampuan berpikir kritis peserta didik
sebelum pembelajaran
O2 = Nilai post-test untuk kemampuan berpikir kritis peserta didik
setelah pembelajaran dengan model debat aktif berbasis ICT
O3 = Nilai pre-test untuk kemampuan berpikir kritis peserta didik
sebelum pembelajaran
O4 = Nilai post-test untuk kemampuan berpikir kritis peserta didik
setelah pembelajaran dengan model Direct Instruction

B. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari s/d Agustus 2019 dengan

menyesuaikan jadwal mata pelajaran kimia semester genap tahun pelajaran

2018/2019 di sekolah tempat berlangsung penelitian. Penelitian ini dilakukan di

SMAN 1 Banjarmasin yang beralamat di Jl. Mulawarman No. 25, Banjarmasin,

Kalimantan Selatan.

C. Populasi dan Sampel

Sugiyono (2015) menyatakan bahwa populasi adalah wilayah

generalisasi dari objek atau subjek yang diteliti, dimana objek atau subjek tersebut

memiliki kualitas, karakterisktik, maupun kriteria untuk dipelajari dan kemudian

ditarik kesimpulan. Populasi pada penelitian ini adalah peserta didik kelas XI IPA

SMAN 1 Banjarmasin tahun pelajaran 2018/2019.

Sampel merupakan bagian dari populasi, baik berupa objek atau subjek

ataupun karakteristiknya. Di antara tujuh kelas XI IPA di SMAN 1 Banjarmasin,

diambil dua kelas sebagai sampel di mana kelas XI IPA 2 sebanyak 32 orang
43

sebagai kelas eksperimen dan kelas XI IPA 3 sebanyak 33 orang sebagai kelas

kontrol. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling.

Purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan

tertentu (Sugiyono, 2015). Teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan

persamaan waktu atau kedekatan waktu pembelajaran materi koloid

D. Variabel Penelitian

Sugiyono (2015) menyatakan bahwa variabel penelitian adalah segala

sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari

sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik

kesimpulannya. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu:

(a) Variabel Bebas (Variable Independent)

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi

sebab perubahan atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono, 2012). Variabel

bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran. Pada kelas eksperimen

diterapkan pembelajaran dengan model debat aktif berbasis ICT sedangkan pada

kelas kontrol diterapkan pembelajaran dengan model Direct Instruction.

(b) Variabel terikat (Variable Dependent)

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi

akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2015). Variabel terikat dalam

penelitian ini adalah kemampuan berpikir kritis dan respon peserta didik.
44

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Tes

Tes digunakan untuk mengumpulkan data mengenai hasil belajar setiap

individu dan bentuk tes yang digunakan berupa tes uraian pada setiap akhir

pertemuan. Teknik tes dilakukan pada saat pretest dan posttest dengan

memberikan serangkaian soal kepada peserta didik.

Adapun tahap kegiatan pengumpulan data dilakukan dengan langkah-

langkah sebagai berikut:

(1) Tahap persiapan

(a) Menentukan kelas eksperimen dan kontrol sebagai sampel.

(b) Menyiapkan instrumen penelitian.

(c) Menyusun materi ajar

(2) Tahap pelaksanaan

Pada pelaksanaan terdapat dua kelas yaitu eksperimen dan kontrol.

Dalam penelitian ini di kelas eksperimen menggunakan model pempebelajaran

debat aktif bebasis ICT. Dalam penggunaan ICT ini sebagai pencarian informasi

dan aplikasi padlet. Aplikasi ini berfungsi sebagai media atau alat berpendapat

yang nantinya dalam aplikasi padlet diberikan sebuah tema atau mosi tentang isu

–isu yang berhubungan dengan materi koloid. Dalam aplikasi padlet ini peserta

debat dapat menyertakan data berupa, dokumen, fakta fenomena, pamflet, photo

dan video. Kelas kontrol menggunakan pembelajaran Direct Instruction atau


45

sering disebut juga dengan pembelajaran langsung yang nanti peserta didik

dikontrol oleh guru karena pada pembelajaran ini guru harus mendemonstrasikan

pengetahuan atau keterampilan akan dilatihkan kepada peserta didik. Adapun

langkah-langkah pelaksanaan dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut:

Tabel 4 Tahap pelaksanaan


No. Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
1. Melaksanakan pretest Melaksanakan pretest
2. Memberikan sebuah pertanyaan kontroversial Menyampaikan tujuan
yang berkaitan dengan koloid pembelajaran
3. Membagi dua kelompok pro dan kontra Mendemonstrasikan
pengetahuan atau
keterampilan
4. Kedua kelompok membaca ataupun mencari topik Memembimbing pelatihan
yang akan diperdebatkan (pro dan kontra) dengan
menggunakan internet
5. Setelah selesai membaca kemudian meminta salah Mencek pemahaman dan
satu anggota kelompok pro untuk mengemukakan memberikan balikan
pendapat dalam aplikasi padlet (menggunakan (umpan balik)
data). Setelah selesai langsung ditanggapi oleh
kelompok kontra demikian seterusnya sampai
hampir sebagian besar peserta didik
menyampaikan argument.
6. Ide-ide setiap pendapat/pembicara ditulis di papan
tulis atau langsung dalam aplikasi padlet.
7. Guru menambahkan konsep yang belum Memberikan kesempatan
terungkap untuk pelatihan lanjutan
8. Dari data-data yang ditulis kemudian guru dan penerapan
mengajak peserta didik menyimpulkan yang
mengacu pada topic
9. Melaksakan Posttest Melaksakan Posttest
10. Menganalisis data yang sudah dikumpulkan Menganalisis data yang
sudah dikumpulkan

2. Dokumentasi

Dokumentasi adalah kegiatan pengumpulan data yang dilakukan melalui

penelusuran dokumen. Teknik ini dilakukan dengan memanfaatkan dokumen-

dokumen tertulis, gambar, foto atau benda-benda lainnya dengan aspek-aspek

yang diteliti
46

3. Non tes

Non tes adalah penilaian atau evaluasi hasil belajar peserta didik tanpa

menguji peserta didik, melainkan dilakukan dengan melakukan pengamatan dan

angket atau sebagainya. Pada penelitian ini digunakan berupa kuesioner untuk

mengetahui respon peserta didik setelah mengunakan model pembelajaran debat

aktif berbasis ICT dan Observasi adalah cara mengumpulkan data dengan jalan

mengadakan pengamatan serta pencatataan secara sistematis terhadap kegiatan

pembelajaran yang sedang berlangsung (Sudaryono, 2017).

Dari segi pelaksanaan yang digunakan, jenis observasi yang digunakan

adalah observasi nonpartisipasi (nonparticipatory observation). Observasi

nonpratisipasi adalah proses pengamatan dimana peneliti tidak ikut serta sebagai

peserta pembelajaran, tetapi hanya berperan mengamati kegiatan yang

berlangsung (Sudaryono, 2017). Observer dalam penelitian ini berjumlah 3 orang

yaitu: Aditya Saputra sebagai Observer I, Hendra Kesuma Putra sebagai Observer

II dan Hardina Noveisya S.Pd sebagai Observer III.

Selain itu, observasi nonsistematis juga dilakukan oleh peneliti dimana

observasi tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi.

Observasi jenis ini dilakukan peneliti untuk memperoleh informasi awal mengenai

kegiatan dan permasalahan dalam pembelajaran kimia di SMA Negeri 1

Banjarmasin, berkaitan dengan model pembelajaran, kemampuan berpikir kritis.


47

F. Perangkat Penelitian

Perangkat penelitian adalah komponen-komponen penunjang yang

diperlukan selama proses penelitian. Adapun perangkat penelitian yang digunakan

peneliti meliputi:

1. Rencana pelaksanaan pembelajaran

Rencana pelaksanaan pembelajaran adalah langkah-langkah atau

prosedur dan penilaian yang akan dilakukan oleh guru dalam kegiatan

pembelajaran yang disusun dalam skenario penelitian. Rencana pelaksanaan

pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini juga dikembangkan oleh

peneliti sebagai acuan peneliti dalam melaksanakan pembelajaran dengan model

yang telah ditetapkan dalam penelitian yang akan dilaksanakan.

2. Lembar kerja peserta didik

Lembar kerja peserta didik adalah panduan dalam bentuk mosi peserta

didik yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang

mengandung tema. Mosi adalah salah satu unsur dari debat yang merupakan topik

yang akan diperdebatkan oleh peserta didik yang pro dan kontra. Mosi ini harus

menarik, seimbang antara pembahasan pro dan kontra serta memiliki solusi

sehingga didalam debat nanti permasalahan dapat ditemukan oleh seluruh peserta

didik khususnya, tim pro dan kontra.

G. Instrumen Penelitian

1. Pengembangan instrumen penelitian

Instrumen adalah suatu alat yang dapat digunakan untuk mengukur suatu
48

obyek ukur atau mengumpulkan data dari suatu variabel dalam penelitian.

Instrumen disusun untuk menemukan jawaban dari pertanyaan penelitian yang

diajukan. Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan berbentuk instrumen

tes dan non tes.

Tes merupakan salah satu alat untuk melakukan pengukuran, yaitu alat

untuk mengumpulkan informasi karakteristik suatu objek (Daryanto, 2008),

sedangkan non tes merupakan salah satu alat untuk mengetahui gambaran,

karakteristik sikap atau kepribadian (Daryanto, 2008). Tes yang digunakan dalam

penelitian ini berfungsi untuk mengukur kemampuan berpikir kritis, sedangkan

non tes adalah observasi dan kuesioner untuk mengetahui respon peserta didik

dalam penggunakaan model debat aktif berbasis ICT dalam pembelajaran.

2. Validitas instrumen penelitian

Sebelum instrumen ini digunakan, terlebih dahulu dilakukan validasi

instrumen tes. Dalam pengukuran validitas ini biasanya dilakukan dengan

menggunakan validitasi isi (content validity). Menurut Sugiyono (2015),

pengukuran validitasi isi dapat dilakukan dengan membandingkan antara isi

instrumen dengan materi pelajaran yang telah diajarkan. Validitas isi mencakup

hal-hal yang berkaitan dengan butir-butir tes tersebut menggambarkan

pengukuran dalam cakupan yang ingin diukur. Validitas isi ditetapkan

berdasarkan penilaian dan pertimbangan dari tim penilai (validator) atau para ahli.

Salah satu statistik yang menunjukkan validitas isi aitem adalah

sebagaimana yang diusulkan oleh Aiken (1985). Aiken telah merumuskan formula

Aiken’s V untuk menghitung content validity coefficient yang didasarkan pada


49

hasil penilaian dari panel ahli sebanyak n orang terhadap suatu aitem dari segi

sejauh mana aitem tersebut mewakili konstrak yang diukur. Dalam hal ini,

mewakili konstrak yang diukur berarti aitem yang bersangkutan adalah relevan

dengan indikator keperilakuannya, karena indikator keperilakuan adalah

penerjemahan operasional dari atribut yang diukur (Azwar, 2015).

Penilaian dilakukan dengan cara memberikan angka antara 1 (yaitu

sangat tidak mewakili atau tidak sangat relevan) sampai dengan 5 (yaitu sangat

mewakili atau sangat relevan) :

(1) Skor 1 artinya soal tersebut sangat tidak relevan

Jika tidak ada syarat yang terpenuhi (jika rincian tugas/indikator kinerja

tidak sesuai dengan indikator pembelajaran dan bahasa yang digunakan

tidak dapat dimengerti)

(2) Skor 2 artinya soal tersebut tidak relevan

Jika rincian tugas/indikator kinerja tidak sesuai dengan indikator

pembelajaran dan bahasa yang digunakan kurang dimengerti.

(3) Skor 3 artinya soal tersebut cukup relevan

Jika rincian tugas/indikator kinerja sesuai dengan indikator pembelajaran

tetapi bahasa yang digunakan tidak dapat dimengerti.

(4) Skor 4 artinya soal tersebut relevan

Jika rincian tugas/indikator kinerja sesuai dengan indikator pembelajaran

tetapi bahasa yang digunakan kurang dimengerti.

(5) Skor 5 artinya soal tersebut sangat relevan

Jika rincian tugas/indikator kinerja sesuai dengan indikator pembelajaran


50

dan bahasa yang digunakan dapat dimengerti (komunikatif).

Statistik Aiken’s V dirumuskan:

∑𝑠
V = [𝑛 (𝑐−1)]
Keterangan:
s = r-lo
r = angka yang diberikan oleh seorang penilai
lo = angka penilaian validitas yang terendah (dalam hal ini=1)
c = angka penilaian validitas yang tertinggi (dalam hal ini=5)
n = jumlah penilai

Adapun kriteria penilaian validitas berdasarkan skala Aiken’s V dapat dilihat

pada Tabel 5.

Tabel 5 Validitas berdasarkan skala Aiken’s V


No Skala Aiken’s V Validitas
1 V ≤ 0,4 Kurang
2 0,4 < V ≤ 0,8 Sedang
3 0,8 < V Valid
(Adaptasi Nugroho & Ruwanto, 2017)

Tim penilai juga diminta memberikan catatan perbaikan jika dipandang

perlu dan dari hasil penilaian tersebut kemudian dihitung validitasnya. Soal dapat

dikatakan essential, jika soal sesuai dengan yang diperlukan. Jika lebih dari

setengah jumlah validator mengindikasikan bahwa sebuah butir soal dikatakan

essential, maka butir soal tersebut dikatakan valid (Cohen, 2010). Dalam

melakukan pengukuran validitas isi (content validity) instrumen tes, peneliti akan

mengacu pada kesesuaian antara isi kurikulum atau tujuan pembelajaran dengan

isi atau materi koloid.

Hasil validasi instrumen tes keterampilan berpikir kritis dari kelima

validator dapat dilihat pada Tabel 6. Adapun perhitungan lengkap hasil validasi

instrumen tes keterampilan berpikir kritis dapat dilihat pada Lampiran 20.
51

Tabel 6 Hasil validasi intrumen kemampuan berpikir kritis


Validator Validator Validator Validator Validator
No Soal V
I II III IV V
1 4 5 5 5 4 0,9
2 4 5 4 4 5 0,85
3 3 5 5 4 5 0,85
4 4 5 5 5 5 0,95
5 4 5 5 4 4 0,85
6 3 5 4 5 5 0,85
7 4 5 4 5 5 0,9
8 3 5 4 5 5 0,85
9 3 5 4 5 5 0,85

Keterangan :
Validator I : Almubarak, S.Pd. M.Pd
Validator II : Drs. H. Bambang Suharto, M.Si
Validator III : Dra. Hj. Leny, M.Si
Validator IV : Herliyani, S.Pd
Validator V : Drs. Rusgiani
Berdasarkan hasil validasi instrumen keterampilan berpikir kritis dan

angket respons peserta didik dapat dikatakan bahwa seluruh butir soal memiliki

nilai V lebih dari 0,8. Maka instrumen tes tersebut valid dan layak digunakan

sebagai instrumen dalam penelitian ini.

3. Reliabilitas instrumen

Sebelum instrumen tes ini digunakan untuk penelitian, maka terlebih

dahulu harus diujicobakan untuk mengetahui tingkat reliabilitas instrumen.

Menurut Arikunto (2015) reliabilitas tes adalah ketetapan tes yaitu kapanpun tes

tersebut digunakan akan memberikan hasil yang relatif sama, sehingga tes tersebut

dapat dipercaya sebagai alat pengumpul data. Reliabilitas instrumen berhubungan

dengan ukuran sejauh mana instrumen tes yang digunakan dapat dipercaya untuk

menghasilkan skor yang cenderung konsisten. Suatu instrumen dapat dikatakan


52

mempunyai taraf kepercayaan tinggi jika instrumen tersebut dapat memberikan

hasil yang relatif tetap. Untuk mengetahui tingkat reliabilitas instrumen tes hasil

belajar pengetahuan digunakan rumus Kuder-Richardson 20 atau KR-20 yaitu:

n 𝑆 2 ∑ 𝑝𝑞
r11 =( )( )
n−1 𝑆2

Keterangan:

r11 = reliabilitas tes secara keselurahan


p = proporsi subjek yang menjawab item dengan benar
q = proporsi subjek yang menjawab item dengan salah (q=1-p)
Σpq = jumlah hasil perkalian antara p dan q
n = banyaknya item
S = standar deviasi dari tes
Tingkat reliabilitas suatu instrumen bentuk tes uraian dapat digunakan

rumus Cronbach Alpha menurut Arikunto (2015), yaitu:

𝑛 𝛴𝜎𝑖 2
r11 = ((𝑛−1)) (1 − )
𝜎𝑡 2

Rumus varians yang sudah dikenal, yaitu:

𝛴𝑋𝑡 2
(𝛴𝑋𝑡 2 )− ( ) 𝛴𝑋𝑡 2 (𝛴𝑋𝑡 )2
𝑛
σ =
2
atau σt = −
𝑛 𝑁 𝑁

Keterangan:

r11 = reliabilitas yang dicari


Σσi2 = jumlah varians skor tiap-tiap item
Σt2 = varians total
Kategori untuk menginterpretasikan hasil perhitungan reliabilitas

instrumen tes menurut Ornstein dalam (Ratumanan & Laurens, 2003) yang

terdapat pada Tabel 7 berikut ini.

Tabel 7 Kategori reliabilitas instrumen


Koefisien reliabilitas Kategori
0,8 ≤ r Tinggi
0,4 ≤ r ≤ 0,8 Sedang
r ≤ 0,4 Rendah
(Ratumanan dan Laurens, 2003)
53

Hasil perhitungan pada instrumen tes keterampilan berpikir kritis

mempunyai koefisien reliabilitas sebesar 0,93 yang berarti termasuk dalam

kategori tinggi sehingga instrumen keterampilan berpikir kritis dapat dinyatakan

layak untuk digunakan pada penelitian. Hasil perhitungan reliabilitas instrumen

dapat dilihat pada Lampiran.

4. Tingkat kesukaran

Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu

sukar. Bilangan yang menunjukkan sukar dan mudahnya sesuatu soal disebut

indeks kesukaran (difficulty index). Besarnya indeks kesukaran antara 0,00 – 1,00.

Indeks kesukaran 0,00 menunjukkan bahwa soal tersebut terlalu sulit dan indeks

kesukaran 1,00 menunjukkan bahwa soalnya terlalu mudah. Indeks kesukaran

dilambangkan dengan P. Adapun rumus untuk mencari indeks kesukaran adalah

sebagai berikut:

B
P=
JS
Keterangan:

P = indeks kesukaran
B = banyaknya peserta didik yang menjawab soal itu dengan benar
JS = jumlah seluruh peserta didik peserta tes (Arikunto, 2015).
Menurut Arikunto (2015), hasil perolehan nilai P yang sudah dihitung,

kemudian diinterpretasikan tingkat kesukaran yang dibedakan menjadi 3 kategori,

seperti pada Tabel 8 berikut ini.

Tabel 8 Kategori tingkat kesukaran


Nilai P Kategori
0,00 – 0,30 Sukar
0,31 – 0,70 Sedang
0,71 – 1,00 Mudah
(Arikunto, 2015)
54

Hasil perhitungan terhadap tingkat kesukaran instrumen tes keterampilan

berpikir kritis peserta didik bahwa dari 9 soal yang diujikan terdapat semua soal

termasuk dalam kategori sedang. Tabel 9 menunjukkan tingkat kesukaran pada

tiap tes instrumen kemampuan berpikir kritis.

Tabel 9 Hasil taraf kesukaran instrumen tiap soal

No. Soal Taraf Kesukaran Kategori

1 0,6 Sedang
2 0,64 Sedang
3 0,63 Sedang
4 0,29 Sukar
5 0,61 Sedang
6 0,57 Sedang
7 0,54 Sedang
8 0,61 Sedang
9 0,3 Sukar

Hasil perhitungan terhadap tingkat kesukaran instrumen tes kemampuan

berpikir kritis peserta didik bahwa dari 9 soal yang diujikan terdapat 7 soal dalam

kategori sedang, 2 soal dalam kategori sukar. Tabel 9 menunjukkan tingkat

kesukaran pada tiap soal, sedangkan data lebih lengkap mengenai perhitungan

tingkat kesukaran instrumen tes dapat dilihat pada Lampiran 22.

5. Daya pembeda

Daya pembeda soal merupakan kemampuan suatu soal untuk

membedakan antara peserta didik yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan

peserta didik yang berkemampuan rendah. Angka yang menunjukkan besarnya

daya pembeda disebut indeks diskriminasi, disingkat dengan D.


55

Rumus daya pembeda dirujuk dari Arikunto (2015) sebagai berikut:

BA BB
D= − =PA − PB
JA JB
Keterangan:

D = jumlah peserta tes


JA = banyaknya peserta kelompok atas
JB = banyaknya peserta kelompok bawah
BA= banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal benar
BB = banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal benar
PA = BA/JA = proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar
PB = BB/JB = proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar.
Daya pembeda soal dapat diklasifikasikan seperti Tabel 10 berikut ini.
Tabel 10 Klasifikasi daya pembeda soal
Nilai Daya Pembeda Kategori
0,00– 0,20 Jelek (poor)
0,21 – 0,40 Cukup (satisfactory)
0,41 – 0,70 Baik (good)
0,71 – 1,00 Baik sekali (excellent)
(Arikunto, 2015)

Hasil daya pembeda instrumen tes keterampilan berpikir kritis dari 9

soal, terdapat 5 soal dengan daya pembeda cukup, 3 soal daya pembeda baik, dan

1 soal daya pembeda baik sekali. Tabel 11 menunjukkan daya pembeda pada tiap

soal keterampilan berpikir kritis, sedangkan hasil perhitungan lengkap dapat

dilihat pada Lampiran 23.

Tabel 11 Hasil perhitungan daya pembeda


No. Soal Daya Pembeda Kategori
1 0,4 Cukup
2 0,4 Cukup
3 0,6 Baik
4 0,8 Sangat Baik
5 0,6 Baik
6 0,4 Cukup
7 0,4 Cukup
8 0,4 Cukup
9 0,6 Baik
56

Hasil daya pembeda soal kemampuan berpikir kritis dari 9 soal, terdapat 5 soal

dengan daya pembeda cukup, 3 soal daya pembeda baik, dan 1 soal daya pembeda

baik sekali. Tabel 11 menunjukkan daya pembeda pada tiap soal kemampuan

berpikir kritis.

H. Teknik Analisis Data

Analisis data bertujuan untuk memberikan makna terhadap data yang

telah dikumpulkan dari sampel penelitian. Untuk penarikan kesimpulan data

dalam penelitian ini, maka data akan dianalisis secara deskriptif dan inferensial.

1. Teknik Analisis Data dengan Statistik Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan analisis yang menggunakan statistik

deskriptif yakni teknik analisis yang mencakup cara-cara menghimpun, menyusun

atau mengatur, mengolah, menyajikan, menganalisis data angka agar dapat

memberikan gambaran yang teratur, ringkas dan jelas mengenai suatu keadaan

(Sudijono, 2012).

a. Analisis Deskriptif Kuantitatif

1) N-gain

Salah satu analisis deskriptif kuantitatif adalah N-gain. Gain adalah

selisih antara skor posttest dan skor pretest, sedangkan N-gain adalah gain yang

telah dinormalisasi. N-gain digunakan untuk menghindari adanya bias penelitian

yang disebabkan oleh perbedaan gain akibat skor pretest yang berbeda antara

kelas eksperimen dan kontrol. N-gain dihitung dengan menggunakan rumus yang

dikembangkan oleh Hake (1999) yaitu:


57

T2 − T1
<g> =
Is − T1

Keterangan:

<g> = gain ternormalisasi


T1 = skor pretest
T2 = skor posttest
Is = skor maksimum ideal

Setelah diperoleh nilai gain ternormalisasi untuk masing-masing data

peserta didik, kemudian dihitung rata-rata gain ternormalisasinya. Menurut Hake

(1999) Nilai rata-rata gain ternormalisasi kemudian diinterpretasikan berdasarkan

kategori pada Tabel 16.

Tabel 12 Kategori N-gain


N-gain Kategori
(g) < 0,3 Rendah
0,3 < (g) < 0,7 Sedang
(g) > 0,7 Tinggi
(Hake, 1999)

2) Analisis kemampuan berpikir peserta didik

Kamampuan berpikir kritis ini disusun dengan indikator kemampuan berpikir

kritis yang akan diukur yaitu klasifikasi makna, pengkajian data, menarik

kesimpulan, menilai argument, dan mempresentasikan argument. Instrumen tes

kemampuan berpikir kritis peserta didik terdiri dari 9 butir soal. Teknik penskoran

jawaban peserta didik terhadap soal kemampuan berpikir kritis yang diberikan

berdasarkan pembobotan soal. Data kemampuan berpikir kritis peserta didik yang

terkumpul kemudian dianalisis, untuk perolehan nilai setiap individu peserta didik

dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

jumlah skor yang diperoleh


Nilai peserta didik = jumlah skor maksimal
× 100
58

Berdasarkan nilai pretest dan posttest dapat dihitung peningkatan

kemampuan berpikir kritis antara sebelum pembelajaran dan setelah

pembelajaran. Keberhasilan peserta didik dalam memahami materi koloid

ditunjukkan dengan jumlah peserta didik yang menjawab benar pada setiap

butir tes yang diujikan. Selanjutnya untuk mendeskripsikan kemampuan

berpikir peserta didik secara keseluruhan dalam mempelajari materi koloid dapat

dilihat pada Tabel 13. Berikut Tabel 13 kategori kemampuan berpikir kritis.

Tabel 13 Kategori kemampuan berpikir kritis


Persentase tingkat pencapaian (%) Kategori
81 – 100 Sangat kritis
66 – 80 Kritis
56 – 65 Cukup kritis
41 – 55 Kurang kritis
0 – 40 Tidak kritis
(Ennis. R. H, 2001)

b. Analisis Deskriptif Kualitatif

Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk menganalisis data respon

peserta didik terhadap pembelajaran yang diterapkan yang didapat melalui angket

respon. Angket respon peserta didik berisi 10 pernyataan dengan pilihan 5

tingkatan respon yang diberi skor sangat tidak setuju (STS) = 1, tidak setuju (TS)

= 2, ragu-ragu (R) = 3, setuju (S) = 4, dan sangat setuju (SS) = 5 (Widoyoko,

2016).

Untuk mengetahui sejauh mana level respon peserta didik yang

diberikan, skor pada setiap pernyataan dijumlahkan kemudian diinterpretasikan

untuk memberikan kategori level respon peserta didik yang dapat dilihat pada

tabel 14.
59

Tabel 14 Kategori Level Respon Peserta Didik


Skor Kategori
42 – 50 Sangat Setuju
34 – 41 Setuju
26 – 33 Ragu-ragu
18 – 25 Tidak Setuju
10 – 17 Sangat Tidak Setuju
(Widoyoko, 2016)

2. Teknik Analisis data dengan statistik Inferensial

Sebelum penelitian dilakukan uji pendahuluan untuk menentukan kelas

yang akan dijadikan sebagai kelas eksperimen dan kontrol. Analisis inferensial

bertujuan untuk menguji hipotesis. Analisis data yang terkumpul pada kelas

eksperimen dan kelas kontrol menggunakan uji perbedaan. Sebelum dilakukan uji

perbedaan dua rata-rata, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji

homogenitas varians data terhadap data post-test untuk masing-masing kelas.

Setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas data post-test kelas

eksperimen dan kontrol, apabila data post-test kedua kelas berdistribusi normal

dan homogen, maka dilakukan uji perbedaan yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu uji-t. Tujuan menggunakan uji-t yaitu untuk mengetahui ada tidaknya

perbedaan yang dihasilkan antara kelas kontrol dengan kelas eksperimen.

Data yang digunakan sebagai data awal dalam penelitian ini adalah nilai

ulangan akhir semester ganjil, yang dianalisis menggunakan program SPSS Versi

21. Uji pendahuluan digunakan dalam penelitian ini adalah uji normalitas dan uji

homogen.

(1) UJi Normalitas

Pengujian pada tahap ini dilakukan untuk mengentahui normal tidaknya


60

suatu distribusi data. Hal ini penting untuk diketahui berkaitan dengan ketepatan

pemilihan uji statistik yang akan digunakan. Karena uji statistik parametrik

mensyaratkan data harus berdistribusi normal. Apabila data berdistribusi tidak

normal maka disarankan untuk menggunakan uji statistic nonparametrik,

bukan uji statistik parametrik (Supardi, 2013).

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui penyebaran data antara nilai

yang paling tinggi dengan nilai yang paling rendah. Uji nomalitas data dilakukan

dengan bantuan SPSS 21. Hipotesis uji normalitas adalah sebagai berikut:

H0 = Populasi berdistribusi normal

H1 = Populasi berdistribusi tak normal

Untuk membuat keputusan tentang hipotesis yang diajukan diterima atau

ditolak perhatikan tabel Shapiro-Wilk. Bila signifikasi dibawah atau sama dengan

0,05 maka H0 ditolak.

(2) Uji homogenitas

Jika data yang teruji berdistribusi normal, pengujian dilanjutkan dengan uji

homogenitas varians. Populasi-populasi dengan varians yang sama besar

dinamakan populasi dengan varians yang homogen (Sudjana, 2005). Uji

homogenitas pada data pre-test dan post-test dari kelas eksperimen dilakukan

untuk mengetahui bahwa varian kemampuan awal dan akhir peserta didik dari dua

kelas tersebut dalam keadaan setara. Prosedur yang digunakan untuk menguji

homogenitas varians dalam kelompok adalah dengan bantuan SPSS 21 atau

dengan jalan menemukan harga Fmax.

Hipotesis uji homogenitas adalah sebagai berikut:


61

H0 = Semua populasi memiliki varians yang sama/homogen

H1 = Terdapat populasi yang memiliki varians berbeda/tidak homogen

Pada uji homogenitas, harga F yang diharapkan adalah harga F yang

tidak signifikan, yaitu harga F empirik yang lebih kecil daripada harga F teoritik

yang terdapat dalam tabel. Makna harga F yang tidak signifikan adalah

menunjukan tidak adanya perbedaan yang juga bisa diartikan sama, sejenis, tidak

heterogen atau homogen (Widodo, 2017). Adapun rumus yang digunakan untuk

menguji homogenitas varian adalah:

𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟
Fmax = 𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙

(∑ X)2
∑ X2 −
Varian (S2 )= N
(N − 1)

Kriteria uji:

Untuk membuat keputusan tentang hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak

bila signifikasi dibawah atau sama dengan 0,05 maka H0 ditolak atau,

H0 diterima bila Fhitung< Ftabel, artinya data yang diuji mempunyai varians

homogen.

H0 ditolak bila Fhitung> Ftabel, artinya data yang diuji mempunyai varians tidak

homogen (Winarsunu, 2010).

(3) Uji-t

Setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas, maka

dilakukan lagi pengujian hipotesis komparasi dengan menggunakan uji-t (tidak

berpasangan). Pengujian ini bertujuan untuk membandingkan peningkatan data


62

antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Setelah uji normalitas dan uji

homogenitas terpenuhi maka dapat dilakukan uji-t dengan aplikasi SPSS 21 atau

menggunakan rumus sebagai berikut:


̅1− X
X ̅2
t=
2 2
√ SD1 + SD2
N1 −1 N2 −1

Keterangan :
t = Uji kesamaan rata-rata (thitung)
X̅1 = Mean pada distribusi sampel 1 (yang memiliki nilai besar)
X̅2 = Mean pada distribusi sampel 2 (yang memiliki nilai kecil)
2
SD1 = Nilai varian pada distribusi sampel 1
SD22 = Nilai varian pada distribusi sampel 2
N1 = Jumlah individu pada sampel 1
N2 = Jumlah individu pada sampel 2
(Winarsunu, 2012)

Hipotesis yang akan diuji:

H0 = Tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelas


eksperimen dan kontrol
H1 = Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara kelas eksperimen
dan kontrol.

Kriteria uji:

H0 diterima bila thitung < ttabel

H0 ditolak bila thitung > ttabel (Winarsunu, 2010)

Jika nilai Sig (2 tailed) kurang dari 0,05 maka H0 ditolak.

(4) Uji korelasi product moment

Korelasi product moment adalah suatu analisis parametrik yang

merupakan metode korelasi yang digunakan untuk mengukur arah dan kekuatan
63

hubungan dua variabel, yang dalam penelitian ini adalah hubungan antara

keterampilan berpikir kritis dengan hasil belajar pengetahuan. Rumus umum

korelasi product moment didefinisikan sebagai berikut:

∑𝑥𝑦
𝑟𝑥𝑦 =
√(∑𝑥 2 )(∑𝑦 2 )

Keterangan:
Σx = Total Jumlah dari Variabel x
Σy = Total Jumlah dari Variabel y
Σx 2
= Kuadrat dari Total Jumlah Variabel x
Σy2 = Kuadrat dari Total Jumlah Variabel y
Σxy = Hasil Perkalian dari Total Jumlah Variabel x dan Variabel y

(Sugiyono, 2016)

Selanjutnya, koefisien korelasi yang diperoleh diinterpretasikan untuk

mengetahui hubungan antar varibel seperti yang disajikan pada Tabel 21.

Tabel 15 Interpretasi koefisien korelasi


Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199 Sangat rendah
0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,00 Sangat kuat
(Sugiyono, 2016)

Uji signifikansi korelasi product moment juga dilakukan dalam penelitian

ini untuk mengetahui signifikansi hubungan antara x dengan y, adapun rumus uji

signifikansinya menurut Sugiyono (2016) sebagai berikut:

𝑟 √(𝑛 − 2)
𝑡=
√(1 − 𝑟 2 )

Keterangan:
t = uji kesamaan rata-rata (thitung)
r = koefisien korelasi (rhitung)
n = jumlah peserta didik
r2 = kuadrat koefisien korelasi (rhitung2)
64

Berdasarkan hasil uji signifikansi di atas, apabila harga t empirik lebih

besar daripada t teoritik, maka hipotesis nol (yang menyatakan tidak terdapat

hubungan yang signifikan) ditolak dan hipotesis alternatif diterima. Uji

signifikansi korelasi product moment secara praktis, yaitu langsung dibandingkan

dengan nilai r pada tabel r product moment. Ketentuannya bila r hitung (r empirik)

lebih besar dari r tabel, maka hipotesis nol (yang menyatakan tidak terdapat

hubungan yang signifikan) ditolak dan hipotesis alternatif diterima (Sugiyono,

2016).
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitan yang dilaksanakan selama kegiatan mengajar berlangsung di

kelas XI MIPA 2 dan XI MIPA 3 SMAN 1 Banjarmasin. Penelitian ini fokus

untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran debat Aktif berbasis ICT

terhadap kemampuan berpikir kritis peserta didik. Penelitian ini berlangsung

selama 7 pertemuan dengan pokok bahasan koloid. Jadwal penelitian yang

dilakukan oleh penulis dapat dilihat pada Tabel 16 berikut :

Tabel 16 Jadwal Penelitian

No Hari, Tanggal Kelas Jam Pelajaran ke- Keterangan

1 Selasa, 14 Mei 2019 XI IPA 2 5-6 Eksperimen


2 Kamis, 16 Mei 2019 XI IPA 2 5-6 Eksperimen
3 Kamis, 16 Mei 2019 XI IPA 3 7-8 Kontrol
4 Jum’at, 17 Mei 2019 XI IPA 3 1-2 Kontrol
5 Selasa, 21 Mei 2019 XI IPA 2 5-6 Eksperimen
6 Rabu, 22 Mei 2019 XI IPA 3 7-8 Kontrol
7 Kamis, 23 Mei 2019 XI IPA 2 7-8 Eksperimen

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data hasil

kemampuan berpikir kritis dan respon peserta didik pada kelas eksperimen yang

menerapkan model pembelajaran debat aktif berbasis ICT dengan kelas kontrol

yang menerapkan model Direct Instruction. Data hasil tes kemampuan berpikir

kritis yang diperoleh melalui pre-test dan post-test dianalisis secara deskriptif

berdasarkan nilai N-gain, lalu dianalisis secara inferensial melalui uji normalitas,

uji homogenitas dan uji-t. Kemampuan dan angket respon dianalisis secara

65
66

deskriptif dengan teknik persentase.

1. Kemampuan Berpikir Kritis


(1) Hasil pretest-posttest keterampilan berpikir kritis

Data lengkap hasil pre-test dan post-test selama pembelajaran pada kelas

eksperimen yang menggunakan model Debat Aktif Berbasis ICT dan kelas kontrol

yang menggunakan model Direct Intruction dapat dilihat pada Lampiran 24 dan

Lampiran 25. Data hasil tes kemampuan berpikir kritis yang diperoleh dari pre-

test dan post-test untuk kelas eksperimen serta kelas kontrol berdasarkan kriteria

yang telah dibuat dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Hasil tes kemampuan berpikir kritis


Frekuensi
Kategori Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
Pre-test Post-test Pre-test Post-test
Tidak Kritis 22 0 16 0

Kurang Kritis 10 0 15 0

Cukup Kritis 0 0 1 0
Kritis 0 32 0 15
Sangat Kritis 0 0 0 17
Jumlah 32 32 32 32

Berdasarkan Tabel 17 dapat dilihat dari kategori kemampuan berpikir

kritis peserta didik. Dari hasil post-test nampak bahwa kelas eksperimen memiliki

jumlah peserta didik dalam kategori sangat kritis sebanyak 17 orang sedangkan

kelas kontrol tidak ada yang termasuk dalam kategori sangat kritis. Sementara itu,

rata-rata nilai yang diperoleh peserta didik dari hasil pre-test dan post-test untuk

kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada Tabel 18.


67

Tabel 18 Rata-rata nilai tes kemampuan berpikir kritis


Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
Nilai
Pre-test Post-test Pre-test Post-test
Terendah 28.89 62.22 33.33 71.77
Tertinggi 53.33 80 57.78 93.33
Rata-rata 38.54 71.18 41.80 81.60

Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat dari rata-rata nilai tiap kelas, kelas

eksperimen memiliki rata-rata nilai pre-test maupun post-test yang lebih tinggi

dibandingkan kelas kontrol. Rata-rata nilai pre-test kelas eksperimen adalah 41,80

termasuk dalam kategori kurang kritis sedangkan rata-rata nilai pre-test kelas

kontrol adalah 38,54 termasuk dalam kategori tidak kritis untuk kedua kelas.

Pada rata-rata nilai post-test, kelas eksperimen memiliki nilai 81,60 dengan

kategori sangat kritis, sedangkan rata-rata nilai post- test kelas kontrol adalah

71,18 dengan kategori kritis. Adapun rata-rata tingkat pencapaian kemampuan

berpikir kritis pada tiap indikator dari hasil pre-test dan post-test untuk kelas

eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19 Rata-rata tingkat pencapaian kemampuan berpikir kritis per indikator


Kontrol Ekperimen
NO Indikator
Pretes Posttes Pretes Posttes
1 Klasifikasi Makna 60 74,38 63,75 77,50
2 Pengkajian Data 61,25 78,13 68,13 84,38
3 Menarik Kesimpulan 33,96 68,96 38,13 82,5
4 Menilai Argumen 43,75 71,56 42,19 81,25
5 Mempresentasikan Argumen 17,5 69,06 21,88 81,25

Berdasarkan Tabel 19 dapat dilihat pada setiap indikator kemampuan

berpikir kritis peserta didik, rata-rata pencapaian kelas eksperimen lebih tinggi

dibanding kelas kontrol, tetapi secara keseluruhan tingkat kemampuan berpikir


68

krtis peserta didik pada setiap indikator kemampuan berpikir krtis dari hasil post-

test lebih baik dibandingkan hasil pre-test.

(2) Hasil analisis N-gain kemampuan berpikir kritis

Data hasil tes kemampuan berpikir kritis yang diperoleh dari pre-test dan

post-test kemudian diolah menjadi data N-gain untuk mengetahui sejauh mana

peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik pada masing-masing kelas

setelah mengikuti pembelajaran materi koloid. Data N-gain peserta didik kelas

eksperimen dan kontrol diinterpretasikan sesuai dengan kriteria yang diajukan

oleh Cohen & Swerdlik (2010) yang dapat dilihat pada Tabel 20. Adapun data

lengkap untuk N-gain kemampuan berpikir kritis untuk setiap indikator pada kelas

eksperimen dan kontrol dapat dilihat pada Lampiran 33.

Tabel 20 Rata-rata nilai N-gain


Kontrol Eksperimen
NO Indikator Tingkat Tingkat
<g> <g>
Pencapaian Pencapaian
1 Klasifikasi Makna 0,36 Sedang 0,38 Sedang
2 Pengkajian Data 0,44 Sedang 0,51 Sedang
3 Menarik Kesimpulan 0,53 Sedang 0,72 Tinggi
4 Menilai Argumen 0,49 Sedang 0,68 Sedang
5 Mempresentasikan Argumen 0,62 Sedang 0,76 Tinggi
Rata-rata 0,49 Sedang 0,61 Sedang

Berdasarkan rata-rata nilai N-gain untuk kelima indikator kemampuan

beripikir kritis pada Tabel 20 terlihat bahwa kelas eksperimen memiliki nilai rata-

rata N-gain yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol sebesar 0,61 dan

0,49. Namun masih berada dalam tingkat pencapaian yang sama yaitu kategori

sedang.
69

Pada kelas eksperimen, indikator kemampuan berpikir kritis mengalami

tingkat pencapaian tinggi pada indikator menarik kesimpulan dan

mempresentasikan argumen. Sedangkan indikator lainnya seperti, klasifikasi

makna, pengkajian data, menilai argumen dan mempresentasikan argument masih

berada pada tingkat pencapaian sedang. Pada kelas kontrol seluruh indikator

berada pada tingkatan sedang. Seluruh nilai N-gain pada kelas eksperimen

mengalami peningkatan meskipun sebagian besar masih berada pada tingkatan

pencapaian yang sama dengan kelas kontrol.

(3) Hasil analisis inferensial kemampuan berpikir kritis

Pada data pre-test kemampuan berpikir kritis peserta didik dari kelas

eksperimen dan kelas kontrol dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas

terlebih dahulu sebelum dilakukan analisis inferensial menggunakan uji-t.

a) Uji Normalitas

Hasil perhitungan uji normalitas untuk data pre-test (Lampiran 26) dan

post-test (Lampiran 26) keterampilan berpikir kritis peserta didik dengan uji

shapiro-wilk pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21 Hasil uji normalitas data pre-test dan post-test keterampilan berpikir kritis
Hasil Kelas Sig. Kesimpulan
Kontrol 0,218 Normal
Pre-test
Eksperimen 0,068 Normal
Kontrol 0,16 Normal
Post-test
Eksperimen 0,304 Normal

Berdasarkan hasil uji normalitas pre-test pada kelas kontrol diperoleh

nilai sig (p-value) sebesar 0,218 dan nilai α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan
70

nilai sig. > α (0,218> 0,05). Sementara itu, pada kelas eksperimen diperoleh nilai

sig.(p-value) sebesar 0,068 dan nilai α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan nilai

sig. > α (0,068> 0,05). Hal tersebut berarti sebaran data pre-test kemampuan

berpikir kritis peserta didik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi

normal.

Pada hasil uji normalitas post-test pada kelas kontrol diperoleh nilai sig

(p-value) sebesar 0,16 dan nilai α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan nilai sig. >

α (0,16 > 0,05). Sementara itu, pada kelas eksperimen diperoleh nilai sig.(p-

value) sebesar 0,304 dan nilai α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan nilai sig. > α

(0,304 > 0,05). Berdasarkan hasil tersebut sebaran data post-test keterampilan

berpikir kritis peserta didik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi

normal.

b) Uji Homogenitas

Hasil uji homogenitas pre-test dan post-test keterampilan berpikir kritis

dapat dilihat pada Tabel 22, sedangkan perhitungan lengkap uji homogenitas pre-

test dan post-test keterampilan berpikir kritis dapat dilihat pada Lampiran 27.

Tabel 22 Hasil uji homogenitas pre-test dan post-test keterampilan berpikir kritis

Ftabel
Hasil Kelas N Sig. Fhitung Kesimpulan
5%
Kontrol
Pre-test 32 0,914 0,012 1,82 Homogen
Eksperimen
Kontrol
Post-test Eksperimen 32 0,747 0,105 1,82 Homogen

Hasil uji homogenitas data pre-test, diperoleh Fhitung sebesar 0,012.

Berdasarkan data pada tabel nilai-nilai F, diperoleh harga Ftabel sebesar 1,82
71

sehingga dapat disimpulkan Fhitung < Ftabel (0,012 < 1,82) atau dapat dilihat nilai

sig. sebesar 0,914 > α = 0,05 sehingga H0 diterima. Hal ini menunjukkan kelas

kontrol dan eksperimen adalah homogen, artinya varian dari kedua kelas sebelum

diberi perlakuan relatif sama.

Hasil uji homogenitas data post-test, diperoleh Fhitung sebesar 0,105.

Berdasarkan data pada tabel nilai-nilai F, diperoleh harga Ftabel sebesar 1,82

sehingga dapat disimpulkan Fhitung < Ftabel (0,105 < 1,82) atau dapat dilihat nilai

sig. sebesar 0,747 > α = 0,05 sehingga H0 diterima. Hal ini menunjukkan kelas

kontrol dan kelas eksperimen adalah homogen, artinya varian dari kedua kelas

sesudah diberi perlakuan relatif sama.

c) Uji-t

Uji-t dilakukan pada data pre-test dan post-test kemampuan berpikir kritis

peserta didik pada kelas kontrol dan eksperimen yang telah diuji normalitas dan

homogenitasnya dimana data pre-test dan post-test harus berdistribusi normal dan

homogen. Hasil uji-t data pre-test dan post-test keterampilan berpikir kritis dapat

dilihat pada Tabel 23, sedangkan hasil perhitungan lengkap uji-t data pre-test dan

post-test keterampilan berpikir kritis dapat dilihat pada Lampiran 28.

Tabel 23 Hasil uji-t data pre-test dan post-test keterampilan berpikir kritis
Sig. (2-
Hasil Kelas N thitung ttabel 5% Kesimpulan
tailed)
Pre- Kontrol Tidak
32 0,061 -1,911 1,99
test Eksperimen Signifikan
Post- Kontrol
32 0,000 -8,312 1,99 Signifikan
test Eksperimen

Rata-rata nilai pre-test keterampilan berpikir kritis peserta didik kelas

eksperimen lebih besar dibandingkan dengan kelas kontrol dengan nilai masing-
72

masing sebesar 41.80 dan 38.54. Berdasarkan harga thitung dan tabel di mana -ttabel

< thitung < ttabel (-1,99 < -1,911 < 1,99) atau dapat dilihat dari nilai sig. sebesar

0,061 > α= 0,05 maka dapat disimpulkan H0 diterima dan H1 ditolak sehingga

dapat dikatakan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata nilai

kemampuan berpikir kritis peserta didik yang diperoleh pada kelas kontrol dan

kelas eksperimen sebelum diberikan perlakuan.

Rata-rata nilai post-test kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen lebih

besar dibanding kelas kontrol dengan masing-masing sebesar 81,60 dan 71,18.

Berdasarkan harga thitung dan ttabel di mana thitung < -ttabel (-8,312 < -1,99) atau

dapat dilihat dari nilai sig. sebesar 0,000 < α= 0,05 maka dapat disimpulkan H1

diterima dan H0 ditolak. Dengan demikian dapat dikatakan terdapat perbedaan

yang signifikan antara rata-rata nilai kemampuan berpikir kritis peserta didik pada

kelas kontrol dan kelas ekperimen sesudah diberikan perlakuan.

2. Observasi

Hasil penilaian pada kelas eksperimen dilakukan menggunakan lembar

observasi pada setiap pertemuan, variabel yang diukur adalah kemampuan

berpikir kritis peserta didik dalam proses debat. Masing-masing observer

melakukan pengamatan terhadap peserta didik, baik secara langsung maupun

melalui aplikasi Padlet.. Data lengkap hasil perhitungan nilai kemampuan berpikir

kritis di kelas eksperimen dapat dilihat pada Lampiran. Hasil observasi kemampuan

berpikir krtis peserta didik pada pertemuan pertama, kedua dan ketiga terdapat pada

Tabel 24, 25 dan 26.


73

Tabel 24 Hasil observasi kemampuan berpikir kritis peserta didik pada pertemuan
pertama
Pertemuan 1
Kategori
Frekuensi Persentase

Tidak Kritis 10 31,25


Kurang Kritis 12 37,5
Cukup Kritis 6 18,75
Kritis 4 12,5
Sangat Kritis 0 0
Jumlah 32 100

Berdasarkan Tabel 24 dari 32 jumlah keseluruhan peserta didik terdapat

31,25% peserta didik tergolong ke dalam kategori tidak kritis, 37,5% peserta didik

tergolong kurang kritis, 18,75% peserta didik tergolong cukup kritis, 12,5%

peserta didik tergolong kritis dan 0% peserta didik tergolong sangat kritis. Pada

pertemuan kedua dapat dilihat Tabel 25.

Tabel 25 Hasil observasi kemampuan berpikir kritis peserta didik pada pertemuan
kedua
Pertemuan 2
Kategori
Frekuensi Persentase

Tidak Kritis 2 6,25


Kurang Kritis 11 34,375
Cukup Kritis 16 50
Kritis 3 9,375
Sangat Kritis 0 0
Jumlah 32 100

Berdasarkan Tabel 25 dari 32 jumlah keseluruhan peserta didik terdapat

6,25% peserta didik tergolong ke dalam kategori tidak kritis, 34,375% peserta

didik tergolong kurang kritis, 50% peserta didik tergolong cukup kritis, 9,375%
74

peserta didik tergolong kritis dan 0% peserta didik tergolong sangat kritis. Pada

pertemuan ketiga dapat dilihat Tabel 26.

Tabel 26 Hasil observasi kemampuan berpikir kritis peserta didik pada pertemuan
ketiga
Pertemuan 3
Kategori
Frekuensi Persentase

Tidak Kritis 2 6,25


Kurang Kritis 13 40,625
Cukup Kritis 13 40,625
Kritis 4 12,5
Sangat Kritis 0 0
Jumlah 32 100

Berdasarkan Tabel 24 dari 32 jumlah keseluruhan peserta didik terdapat

6,25% peserta didik tergolong ke dalam kategori tidak kritis, 40,625% peserta

didik tergolong kurang kritis, 40,625% peserta didik tergolong cukup kritis,

12,5% peserta didik tergolong kritis dan 0% peserta didik tergolong sangat kritis.

3. Respons

Angket respon ini diberikan di akhir pembelajaran yang bertujuan

mengetahui sejauh mana ketertarikan dan penerimaan peserta didik terhadap

model pembelajaran Debat Aktif Berbasis ICT. Angket terdiri dari 10 pernyataan

positif untuk mengukur respon peserta didik. Nilai rata-rata respon peserta didik

kelas eksperimen terhadap pembelajaran yang diterapkan tersebut dapat dilihat

pada Tabel 24. Adapun data lengkap hasil respon peserta didik pada kelas

eksperimen dapat dilihat pada Lampiran 34.


75

Tabel 27 Rata-rata nilai respon peserta didik


Nilai Rata-rata
Keterangan
respon
39,25 Setuju

Berdasarkan nilai rata-rata respons peserta didik pada Tabel 24 terlihat

bahwa kelas eksperimen yang mengunakan model pembelajaran debat aktif

berbasis ICT memiliki nilai rata-rata respons peserta didik sebesar 39,25 yang

termasuk dalam kriteria setuju. Hal ini sejalan dengan observasi yang

dilaksanakan selama proses pembelajaran berlangsung, yakni peserta didik

antusias dalam pembelajaran, hampir seluruh peserta didik sering mencari sumber

internet maupun buku, dan aktif bertanya pada saat kegiatan debat berlangsung

melalui padlet.

B. Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan berpikir kritis

peserta didik pada kelas eksperimen mengalami peningkatan dari kategori kurang

kritis menjadi kategori sangat kritis dan kelas kontrol dari kategori tidak kritis

menjadi kategori kritis. Sedangkan hasil analisis inferensial menunjukkan terdapat

perbedaan yang signifikan pada nilai rata-rata post-test kemampuan berpikir kritis

antara peserta didik kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Berdasarkan hal

tersebut, pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran debat aktif

berbasis ICT berpengaruh secara signifikan dalam meningkatkan kemampuan

berpikir kirtis peserta didik kelas eksperimen dibandingkan model Direct

Intruction pada kelas kontrol. Selain itu, pengaruh pembelajaran berbasis ICT

yang digunakan pada kelas eksperimen memberi kesan inovatif sehingga peserta
76

didik lebih tertarik pada pembelajaran dan lebih aktif dari pada kelas kontrol.

1. Peranan Model Pembelajaran Debat Aktif berbasis ICT (information

communication technology) terhadap Kemampuan Berpikir Kritis

Model pembelajaran debat aktif yang digunakan dalam penelitian ini

terdiri atas beberapa langkah, yakni: membagi peserta didik menjadi dua

kelompok (kelompok pro dan kontra), membagikan topik yang akan dibahas dan

meminta mempelajarinya menggunakan berbagai sumber baik elekronik maupun

non elektronik. Setelah itu kelompok pro untuk membagikan pendapat mengenai

topik, dilanjutkan dengan pendapat yang dilontarkan oleh kelompok kontra

sampai sebagian besar peserta didik berpendapat, serta diakhiri dengan penarikan

kesimpulan yang benar bersama guru (Shoimin, 2014).

Pembelajaran debat aktif memiliki langkah-langkah kegiatan

pembelajaran yang memungkinkan peserta didik untuk aktif dan dapat

mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan

dari pendidik ke peserta didik atau peseta didik ke peserta didik kecuali hanya

dengan keaktifan murid itu sendiri. Murid aktif mengkonstruksi secara terus

menerus sehingga terjadi perubahan konsep ilmiah, pendidik sekedar membantu

menyediakan saran dan situasi agar proses konstruksi berjalan lancar

(Rachmawati & Daryanto, 2015).

Menurut Septina (Lestari, 2016) pada dasarnya saat ini semua orang

menyukai hal yang berkaitan dengan handphone. Oleh sebab itu, pembelajaran

akan lebih efektif jika menggunakan aplikasi teknologi. Berbantuan ICT peserta

didik juga menjadi mudah dalam bekerja sama serta lebih aktif lagi seperti
77

pernyataan Noorsalim, Nurdiniah, & Saadi (2014), dimana ICT dapat digunakan

untuk memudahkan kerja sama, membuat peserta didik menjadi sangat antusias

dalam mengikuti pembelajaran. Selain itu ICT dalam pembelajaran berfungsi

sebagai media untuk peserta didik berpendapat, bertukar pendapat ataupun

menyertakan dokumen atau referensi lain. ICT yang digunakan dalam

pembelajaran, yaitu aplikasi padlet. Selain itu ICT juga dapat mempermudahkan

peserta didik mencari informasi yang berhubungan dengan mosi atau

permasalahan.

Menurut Funchs (2014) Padlet merupakan aplikasi dimana mahapeserta

didik dapat berkolaborasi dan berbagi apa yang mereka tulis dan sampaikan.

Disini, mereka dapat memposting video, gambar, dan tulisan terkait tema. Dalam

penggunaan padlet peserta didik dapat mengungkapkan argumen dengan

bimbingan guru yang diberi durasi tertentu oleh guru. Kegiatan pembelajaran di

kelas eksperimen menggunakan padlet sebagai media untuk pelaksanaan model

pembelajaran debat aktif berbasis ICT. Contoh argumen peserta didik dalam

aplikasi padlet dapat dilihat pada gambar 2 berikut:

Gambar 2 Contoh debat antar peserta didik menggunakan aplikasi padlet


78

Menurut Shoimin (2014) model ini memacu peserta didik untuk aktif

karena kegiatan dalam berdiskusi adalah adu pendapat atau argumen antara dua

pihak atau lebih. Salah satu contoh argumen yang dipaparkan oleh Lutfia dapat

dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Contoh Argumen 1

Berdasarkan argumen yang dipaparkan pada aplikasi padlet tersebut,

Lutfia mekritisi argumen temannya dengan menyertakan argumennya sendiri yang

didapatkan setelah mengkaji mosi atau topik yang diberikan melalui sudut

pandangnya. Cara penyampaian yang sederhana menggunakan kalimat sendiri

mengenai bahaya obat nyamuk menunjukkan peningkatan aktivitas belajar serta

kemampuan berpikir kritis di beberapa indikator, yaitu menilai argumen,

mempresentasikan argumen dan mengkaijan data. Selanjutnya contoh lain adalah

argumen yang di sampaikan oleh Alya seperti pada Gambar 4.

Gambar 4 Contoh Argumen 2

Argumen yang dipaparkan oleh Alya pada aplikasi padlet, menunjukan


79

penilainnya terhadap argumen yang dipaparkan oleh Adis tentang fogging dapat

memberantas nyamuk dengan mudah, praktis dan cepat. Kemudian dilanjutkan

dengan memaparkan pendapatnya sendiri yang bertentangan dengan argumen

yang telah dia nilai. Berdasarkan hal tersebut, terlihat Alya telah mampu menilai

argument yang merupakan salah satu indikator kemampuan berpikir kritis.

Kemudian argumen lainnya, berupa video dipaparkan oleh Khairul, berikut

gambar dari bagian video tersebut.

Gambar 5 Contoh Argumen 3 dengan melalui vedio

Khairul menyampaikan pendapatnya dengan cara yang berbeda dan

tergolong berani dimana dia membuat sebuah video yang berisi argumen tersebut

dengan disampaikan secara lisan. Berdasarkan video yang dikirim pada aplikasi

padlet saat pertemuan ketiga, Ia menyampaikan argumennya berdasarkan

referensi atau sumber yang telah ia baca. Argumen tersebut berisi tentang cara

penanggulangan asap. Ia mengatakan bahwa ‘Pepohonan atau lidah buaya dapat

mengurangi pencemaran udara”.

Cara Khairul dalam mencari sumber, kemudian memahami isi sumber

tersebut dilanjutkan dengan penyampaian melalui video tergolong dalam


80

peningkatan beberapa indikator kemampuan berpikir kritis, di antaranya mengkaji

data dan mempresentasikan argumen. Setelah memperhatikan video yang Khairul

buat dan dibagikan dalam padlet dia terlihat termotivasi berpartisipasi dalam

diskusi dan tidak jenuh, serta termotivasi untuk mempelajari materi lebih dalam.

Hal ini menunjukan penggunaan model debat aktif berbasis ICT dengan padlet

mampu memotivasi peserta didik seperti hasil penelitian yang telah diteliti oleh

Funchs (2014) menyatakan bahwa, dengan menggunakan padlet peserta didik

dapat berpartisipasi dalam diskusi dan aktivitas, mengajukan pertanyaan, dan

memberikan pendapat sehingga membuat kelas tidak jenuh dan bisa dilaksanakan.

2. Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik

Tes kemampuan berpikir kritis diberikan sebanyak dua kali kepada

peserta didik yaitu sebelum diberikan perlakuan dan setelah diberikan perlakuan.

Berdasarkan Tabel 26 dapat dilihat nilai rata-rata pre-test keterampilan berpikir

kritis pada kelas eksperimen sebesar 41,80, sedangkan kelas kontrol sebesar

38,54. Berdasarkan hal tersebut, diketahui nilai rata-rata pre-test kemampuan

berrpikir kritis baik pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol tidak berbeda

secara signifikan (Tabel 22). Adapun hasil uji homogenitas pre-test pada kelas

eksperimen dan kelas kontrol seperti yang terlihat pada Tabel 21, kemampuan

awal peserta didik kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah sama.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui perhitungan statistik

inferensial melalui uji-t pada Tabel 22 menunjukkan terdapat perbedaan yang

signifikan pada nilai rata-rata post-test kemampuan berpikir kritis peserta didik

antara kelas yang menerapkan model debat aktif berbasis ICT dan kelas yang
81

menerapkan pembelajaran Direct Instruction. Pembelajaran dengan model debat

aktif berbasis ICT memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan

pembelajaran Direct Instruction. Sejalan dengan penelitian Nurchabibah, (2011)

yang menyimpulkan bahwa pada kelompok eksperimen menunjukkan bahwa

penggunaan debat aktif telah teruji dapat meningkatkan pemikiran dan

perenungan. Selain itu peserta didik menjadi lebih kritis selama kegiatan diskusi

berlangsung dan termotivasi untuk berargumen sesuai dengan apa yang diyakini

dan berusaha meyakinkan peserta diskusi.

Langkah-langkah pada model pembelajaran debat aktif berbasis ICT

yang diterapkan saat kegiatan pembelajaran di kelas eksperimen tersebut

memberikan ruang pada peserta didik untuk menganalisis ide, mengkaji lebih

dalam, megidentifikasi, dan mengembangkan topik yang dibahas proses ini terjadi

saat mereka berdiskusi bersama kelompoknya baik pada kelompok pro atau

kontra. Kegiatan tersebut mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis

peserta didik di kelas eksperimen. Hal ini serupa dengan definisi berpikir kritis

oleh Susanto (2013), dimana berpikir kritis juga dapat dipahami sebagai kegiatan

menganalisis ide atau gagasan ke arah yang lebih spesifik, membedakannya secara

tajam, memilih, mengidentifikasi, mengkaji, dan mengembangkannya kearah yang

lebih sempurna.

Dalam pelaksanaan pembelajaran, debat aktif berbasis ICT meningkatkan

motivasi peserta didik dalam belajar seperti penemuan oleh Noorsalim, Nurdinian

& Saadi (2014). Pembelajaran e-learning membuat peserta didik menjadi sangat

antusias dalam mengikuti pembelajaran karena sebagian besar peserta didik


82

merasa jenuh dan bosan dengan materi yang selalu disajikan lewat buku teks.

Peserta didik lebih aktif menanggapi dan membuat argumen pada padlet sehingga

kemampuan berpikir kritis peserta didik meningkat. Hal tersebut sejalan dengan

temuan Kurbanoglu & Akim (Rusmansyah, et al., 2018) yang menyatakan bahwa

motivasi dapat memberikan efek kesuksesan dalam individu dan berpikir kritis.

Hasil penelitian oleh Soraya, Rusmasyah, Istyadji (2018) mengemukakan

bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis didapat dari proses peserta didik

yang bisa menemukan konsepnya dan terlatih menyampaikan pendapat dalam

memecahkan permasalahan. Hasil penelitian tersebut juga sejalan dengan apa

yang telah ditemukan pada penelitian ini, kemampuan berpikir kritis meningkat

dengan pembelajaran debat yang merupakan pembelajaran secara kontruktivisme.

Hasil yang sejalan juga ditemukan oleh Winarti & Fauzi (2015) yang

menyimpulkan bahwa model pembelajaran AIR yang merupakan model

pembelajaran dengan pendekatan kontruktivisme dapat meningkatkan

keterampilan berpikir kritis siswa dengan kategori cukup baik menjadi baik.

Menurut Rachmawati & Daryanto (2015) pembelajaran secara konstruktivisme

adalah menekankan pada proses belajar, mendorong terjadinya kemandirian dan

inisiatif belajar pada peserta didik dan pengetahuan dibangun oleh peserta didik.

Model debat berbasis ICT dalam pembelajaran memungkinkan peserta

didik berkesempatan menemukan segala hal yang berkaitan dengan topik secara

mandiri seperti paparan menurut Cobine “Through internet study, students

become doers, as well as thinkers”. Pemanfaatan internet sebagai media

pembelajaran mengkondisikan peserta didik untuk belajar secara mandiri. Selama


83

pembelajaran debat aktif berbasis ICT peserta didik juga lebih mudah

menyampaikan pendapat melalui applikasi padlet dan mereka terlatih untuk

menyampaikan pendapatnya.

Sesuai dengan tujuannya model pembelajaran debat aktif untuk

membantu anak didik menyalurkan ide, gagasan dan pendapatnya (Pratama, et

al., 2016). Sedangkan ICT berguna untuk fasilitas mencari informasi lewat

jejaring sosial sehingga mengkolaborasikan ICT dengan debat mempermudah

peserta didik mencari referensi yang mendukung argumen pada saat jalannya

debat dan bahkan dapat digunakan media penyampaian argumen. Model ini

memacu peserta didik untuk aktif karena kegiatannya dalam berdiskusi adalah

adu pendapat atau argument antara dua pihak atau lebih (Shoimin, 2014). Sejalan

dengan hal tersebut pembelajaran di kelas ekperimen berlangsung sangat baik

ditandai dengan adanya penyampaian argumen pada aplikasi padlet oleh semua

peserta didik dalam kegiatan pembelajaran dan berdampak pada meningkatnya

kemampuan berpikir kritis peserta didik. Hal tersebut seperti temuan oleh Amin,

Mahdian, dan Sholahuddin (2015) yang membuktikan bahwa pembelajaran yang

menuntut peserta didik aktif untuk menggali informasi sendiri sebagai bahan

pendukung untuk menyelesaikan suatu permasalahan menjadikan peserta didik

terbiasa untuk lebih berpikir kritis sehingga pembelajaran di kelas cenderung lebih

bermakna bagi peserta didik.

Pembelajaran debat aktif berbasis ICT memberikan kesempatan peserta

didik untuk saling bertukar argumen kemudian mereka saling mengevaluasi

argumen tersebut. Kuswana (2013) menggunakan kemampuan berpikir kritis yang


84

kuat memungkinkan kita mengevaluasi argumen, dan layak untuk penerimaan

berdasarkan pikirannya. Salah satu aspek berpikir kritis menurut Filsaime (2008)

diantaranya adalah melihat dari sudut pandang berbeda seperti pembelajaran debat

aktif yang telah dilaksanakan dikelas eksperimen dibagi menjadi dua kelompok

yakni kelompok pro dan kelompok kontra sehingga peserta didik dapat melihat

dari sudut pandang yang berbeda dan peserta didik dapat memandang dari banyak

sudut pandang kemudian meningkatkan kemampuan berpikir kritisnya.

Berdasarkan hasil temuan penelitian dan beberapa sumber yang relevan

lainnya, dapat disimpulkan terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis antara

kelas eksperimen yang menerapkan model debat aktif berbasis ICT dengan kelas

kontrol yang menerapkan pembelajaran direct intruction dimana peningkatan

kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas eksperimen lebih baik dibandingkan

kelas kontrol.

Dalam menilai kemampuan berpikir kritis peneliti menggunakan

beberapa indikator keterampilan berpikir kritis. Menururt Facione (2015) terdapat

beberapa indikator keterampilan berpikir kritis yaitu Interpretasi (kategorisasi,

menyampaikan signifikasi, klasifikasi), analisis (pengkajian data, mengidentifikasi

argumen), inferensi (menganalisis argumen, mempertanyakan, menduga alternatif,

menarik kesimpulan), evaluasi (menilai klaim, menilai argumen,

mempertanyakan), eksplanasi (menyatakan hasil, membenarkan prosuder,

mempresentasikan argumen). Berdasarkan indikator tersebut digunakan beberapa

sub-keterampilan sebagai indikator berpikir kritis dalam penelitian ini yakni,

klasifikasi makna, pengkajian data, menarik kesimpulan, menilai argumen,


85

mempresentasikan argumen. Adapun perbandingan tingkat pencapaian

kemampuan berpikir kritis di setiap indikator pada kelas eksperimen dan kelas

kontrol disajikan pada Gambar 6 dan Gambar 7.

74.38 78.13
80 68.96 71.56 69.06
60 61.25
60 43.75
Persentase

33.96
40
17.5
20

Kontrol Pretes
Kontrol Posttes

Gambar 6 Tingkat pencapaian kemampuan berpikir kritis kelas kontrol di


setiap indikator

100 84.38 82.5 81.25 81.25


77.5
80 63.75 68.13
Persentase

60
38.13 42.19
40 21.88
20
0

Ekperimen Pretes
Ekperimen Posttes
Gambar 7 Tingkat pencapaian kemampuan berpikir kritis di setiap indikator

Berdasarkan Gambar 6 dan Gambar 7, indikator dengan tingkat

pencapaian tertinggi post-test kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah indikator
86

pengkajian data dengan persentase sebesar 84,38%, dan 78,13%. Terlihat pula

bahwa tingkat ketercapaian indikator kemampuan berpikir kritis peserta didik

pada kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda-beda. Berikut akan dibahas

penyebabnya berdasarkan masing-masing indikator.

(1). Klasifikasi Makna

Indikator pertama merupakan bagian dari kemampuan berpikir kritis

yaitu interpretasi. Hasil temuan penelitian menunjukkan peserta didik di kelas

eksperimen dan kelas kontrol mengalami peningkatan dalam mengklasifikasi

makna. Berikut perbandingan peningkatan indikator pada kelas ekperimen dan

kelas kontrol disajikan pada Gambar 8.

77.5
74.38
80

70 63.75
60
60
Kontrol Pretes
50
Persentase

Kontrol Posttes
40 Ekperimen Pretes
30 Ekperimen Posttes
20

10

0
Klasifikasi Makna

Gambar 8 Perbandingan peningkatan indikator 1

Berdasarkan Gambar 8 terlihat kemampuan peserta didik dalam

mengklasifikasi makna di kelas eksperimen sedikit lebih baik dibandingkan kelas

kontrol, di mana tingkat pencapaian post-test kelas eksperimen adalah 77,5% dan
87

kelas kontrol adalah 74,38% (kedua kelas termasuk dalam kategori kritis). Hal ini

dikarenakan pembelajaran model debat aktif berbasis ICT pada kelas eksperimen

merangsang peserta didik untuk aktif berargumen melalui aplikasi padlet dan

mendorong peserta didik untuk mencari informasi dari berbagai sumber.

Sehingga, mereka mampu memahami materi koloid, sedangkan pada kelas kontrol

juga memberikan peserta didik untuk pemahaman materi koloid. Dalam kedua

model ini, sama-sama mampu meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap

materi koloid dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik di

indikator klasifikasi makna.

Indikator klasifikasi makna diukur berdasarkan jawaban peserta didik

pada soal nomor 1 di mana butir ini memiliki tingkat kesukaran yang mudah.

Sehingga, sebagian besar peserta didik kelas ekperimen dan kelas kontrol mampu

menjawab soal tersebut. Pada soal nomor 1, peserta didik diminta

mengklasifikasikan proses pembuatan gula dengan salah satu penerapan sifat

koloid.

Jawaban soal peserta didik dinilai tepat dan lengkap. Jika peserta didik

mampu mengklasifikasikan proses pembuatan gula yang dihubungkan dalam

penerapan sifat koloid adsorpsi dengan benar, memberikan alasan yang tepat dan

lengkap. Peserta didik yang menjawab tepat tetapi kurang lengkap hanya

mengklasifikasikan proses pembuatan gula dengan penerapan sifat koloid adsorpsi

dan tidak memberi alasan. Contoh hasil jawaban peserta didik yang lengkap dan

tepat dapat dilihat pada Gambar 9.


88

Gambar 9 Contoh awaban peserta didik yang tepat dan lengkap pada indikator 1

Gambar 9 menunjukan contoh jawaban peserta didik yang tepat dan

lengkap pada indikator klasifikasi makna. Terlihat bahwa peserta didik mampu

mengklasifikasikan proses pembuatan gula dengan penerapan sifat koloid adsorpsi

dan memberi alasan yang mendasari pengklasifikasian tersebut. Adapun contoh

hasil jawaban soal peserta didik yang kurang lengkap, dapat dilihat pada Gambar

10.

Gambar 10 Contoh jawaban peserta didik yang kurang lengkap indikator 1

Gambar 10 menunjukan contoh jawaban peserta didik yang kurang

lengkap pada indikator klasifikasi makna, terlihat bahwa peserta didik kurang

mampu mengklasifikasikan proses pembuatan gula dengan penerapan sifat koloid

adsorpsi karena memberi alasan yang kurang lengkap.


89

(2). Pengkajian Data

Pengkajian data merupakan indikator kedua dari indikator kemampuan

berpikir kritis yaitu analisis. Perbandingan tingkat pencapaian nilai post-test

peserta didik kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan Gambar 11.

84.38
90 78.13
80 68.13
70 61.25
Kontrol Pretes
60
Persentase

Kontrol Posttes
50
Ekperimen Pretes
40
Ekperimen Posttes
30
20
10
0
Pengkajian Data
Gambar 11 Perbandingan tingkat pencapaian indikator 2

Tingkat pencapaian peserta didik pada soal dengan indikator pengkajian

data kelas eksperimen yaitu 84,38% termasuk kategori sangat tinggi sedangkan

kelas kontrol 78,13% termasuk kategori tinggi. Perbedaan hasil tersebut

dikarenakan peserta didik kelas eksperimen sudah melakukan kajian berupa mosi

ataupun sumber yang didapat peserta didik kemudian melampirkan referensi pada

saat debat atau argumen dalam padlet sehingga peserta didik terbiasa untuk

melakukan kajian dan mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan

pembelajaran koloid . Adapun pada kelas kontrol dengan model Direct Intruction,

peserta didik hanya mendapat gambaran melalui penjelasan guru.


90

Jawaban peserta didik dinilai tepat dan lengkap. Jika peserta didik mampu

mengungkapkan jawaban sesuai dengan pengkajian data pada soal dan informasi

baru lainnya pada peristiwa fenomena alam berkaitan tenang koloid serta dapat

memberikan alasan yang lengkap. Peserta didik dinilai tepat tetapi kurang

lengkap, jika hanya menjawab soal tersebut salah dan memberi alasan dengan

ringkas. Hasil contoh jawaban peserta didik yang lengkap dan tepat dapat dilihat

pada Gambar 12.

Gambar 12 Contoh jawaban peserta didik

Contoh jawaban peserta didik memperlihatkan peristiwa alam tersebut

berhubungan dengan koloid yaitu jenis-jenisnya. Peserta didik telah mampu

membedakan jenis koloid dan mampu menggali infromasi dari peristiwa alam

sekitar melalui pengkajian yang dilakukannya. Fenomena kimia koloid dalam

kabut dan embun, berhasil dijelaskan dan dicocokan data fenomena dengan koloid

oleh peserta didik. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kemampuan berpikir

kritis yaitu sub-indikator kajian data dalam indikator analisis.


91

Adapun jawaban Peserta didik yang menjawab tepat tetapi kurang lengkap

hanya menjawab soal pengkajian dengan salah dan memberi alasan dengan

ringkas ditunjukan Gambar 13.

Gambar 13 Contoh jawaban peserta didik

Gambar 13 menunjukan contoh jawaban peserta didik yang masih belum

dapat menjelaskan jenis koloid dalam fenomena alam pada kabut dan embun.

Sebagian besar peserta didik kelas eksperimen sudah mampu mengkaji data yang

sesuai dengan berkaitan, sedangkan pada kelas kontrol peserta didik masih kurang

lengkap dan rinci karena belum menguasai jenis-jenis koloid dan kurang

memahami soal dan kurang melakukan pencarian infomasi lewat berbagai sumber

pada saat pembelajaran.

(3). Menarik Kesimpulan

Indikator ketiga dari kemampuan berpikir kritis dalam indikator inferensi

yaitu menarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan peserta didik di kelas

eksperimen dan kelas kontrol mengalami perbedaan tingkat pencapaian pada

indikator 3. Perbandingan tingkat pencapaian dalam mengolah dan membenarkan

prediksi yang sesuai pada kelas ekperimen dan kelas kontrol disajikan pada
92

Gambar 14 dibawah ini.

82.5
90
80 68.96
70
Kontrol Pretes
60
Persentase

Kontrol Posttes
50 38.13
33.96 Ekperimen Pretes
40
Ekperimen Posttes
30
20
10
0
Menarik Kesimpulan

Gambar 14 Perbandingan tingkat pencapaian indikator 3

Berdasarkan Gambar 14 terlihat tingkat pencapaian peserta didik pada

indikator 3 di kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol dimana tingkat

pencapaian post-test kelas eksperimen adalah 82,5% termasuk kategori sangat

kritis dan kelas kontrol adalah 68,96% termasuk kategori kritis. Perbedaan tingkat

pencapaian pada indikator 3 karena peserta didik kelas eksperimen dengan model

Pembelajaran debat aktif berbasis ICT sudah dilatih kemampuannya untuk

menarik kesimpulan karena pada saat pembelajaran peserta didik menarik

kesimpulan lawan pro maupun kontra, sehingga kelas eksperimen lebih mampu

dalam menarik kesimpulan.

Peserta didik diminta memberi jawaban dengan memilih kesimpulan itu

benar atau tidaknya, kemudian memberikan alasan dan menghubungkan alasan

tersebut dengan sifat koloid. Jawaban peserta didik dinilai tepat dan lengkap

apabila peserta didik dapat menjelaskan jenis larutan pada air,susu dan sirup

berdasarkan efek tyndall. Peserta didik yang menjawab tepat namun kurang
93

lengkap, apabila menjawab dengan benar namun alasan yang benar dan

sebaliknya, jika alasan tepat namun jawaban salah didapat digolongkan kurang

lengkap.

Butir soal pada indikator 3 terbagi menjadi tiga pertanyaan. Soal pertama

dan ketiga memiliki tingkat kesukaran sedang sedangkan soal yang kedua

memiliki tingkat kesukaran sukar. Sehingga, sebagian besar peserta didik belum

mampu memberi alasan yang lengkap meskipun sudah tepat seperti pada Gambar

15.

Gambar 15 Jawaban peserta didik

Terlihat peserta didik sudah tepat menarik kesimpulan dengan tepat

namun kurang lengkap karena tidak dihubungkan dengan pembelajaran kimia

khususnya pada koloid yaitu efek tyndall dengan larutan pada susu dan air putih

sehingga peserta didik sudah mampu menarik kesimpulan.

(4). Menilai Argumen

Indikator selanjutnya dari kemampuan berpikir kritis adalah evaluasi

yaitu menilai argumen orang lain pada cerita Bapak Anto. Tingkat pencapaian

peserta didik pada post-test untuk indikator ini di kelas eksperimen sebesar

81,25% sedangkan di kelas kontrol sebesar 71,56%. Berikut perbandingan

peningkatan indikator 4 pada kelas ekperimen dan kelas kontrol disajikan pada
94

Gambar 16 dibawah ini.

90 81.25
80 71.56

70
Kontrol Pretes
60
43.75
Persentase

50 42.19 Kontrol Posttes

40 Ekperimen Pretes

30 Ekperimen Posttes
20
10
0
Menilai Argumen

Gambar 16 Perbandingan tingkat pencapaian indikator 4

Pencapaian post-test kelas eksperimen pada indikator menilai argumen

cerita Bapak Anto yang dihubungkan dengan pembuatan-pembuatan koloid lebih

tinggi daripada kelas kontrol. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kemampuan

berpikir kritis peserta didik pada kelas eksperimen dikategorikan sangat kritis

sedangkan pada kelas kontrol dikategorikan kritis. Hal ini terjadi karena kelas

eksperimen menggunakan model pembelajaran debat aktif berbasis ICT yang

membuat peserta didik untuk aktif dan menilai argumen dalam debat tersebut.

Sehingga sebagian peserta didik kelas eksperimen lebih mampu memberi jawaban

yang lengkap dan tepat daripada kelas kontrol.

Soal untuk mengukur indikator ini memiliki soal atau jawaban terdiri dari

dua jawaban yang akan diselesaikan peserta didik. Kedua butiran soal memiliki

tingkat kesukaran yang sedang. Peningkatan pencapaian yang terjadi di kelas

eksperimen sebesar 39,06% sedangkan kelas kontrol sebesar 28,04%. Kedua kelas
95

memiliki peningkatan kemampuan dalam menjawab soal pada kategori sedang

namun mengalami perbedaan yang cukup signifikan. Hal ini terjadi karena dalam

kelas eksperimen peserta didik sering menilai argumen untuk mengeluarkan

argumen yang depat dalam debat sehingga peserta didik terbiasa. Pada soal

dengan menilai argumen terdapat dua jawaban soal yang akan diselesaikan

dalam soal.

Peserta didik diminta memberi jawaban dengan memilih argumen itu

tepat atau tidaknya. Kemudian peserta didik memberikan alasan dan

menghubungkan alasan tersebut dengan sifat koloid. Jawaban dinilai tepat dan

lengkap apabila peserta didik dapat menjelaskan proses pemurnian koloid yang

sebelumnya sudah dibuhungkan dengan cerita Bapak Anto. Peserta didik yang

menjawab tepat namun kurang lengkap. Apabila, peserta didik menjawab dengan

benar namun alasan yang kurang lengkap dan sebaliknya, jika alasan tepat,

lengkap, namun jawaban salah. Maka dapat digolongkan bahwa jawaban tersebut

kurang lengkap.

Soal pada indikator 4 dengan jawaban soal peserta didik pertama dan

kedua memiliki tingkat kesukaran yang sedang. Sehingga peserta didik mampu

menjawaban dengan benar. Namun, ada sebagian peserta didik yang belum

mampu memberi alasan dengan lengkap meskipun jawaban sudah tepat seperti

pada Gambar 17.


96

Gambar 17 Contoh jawaban Peserta didik

Terlihat contoh jawaban peserta didik sudah benar menilai argumen

namun kurang lengkap, karena peserta didik tidak menghubungkan antara cerita

Bapak Anto tentang proses pencucian darah dengan sifat koloid yaitu pemurnian

koloid. Sehingga dapat digolongkan bahwa peserta didik tersebut kurang mampu

menyelesaikan saol pada indikator ini.

(5). Mempresentasikan Argumen

Indikator kelima dari kemampuan berpikir kritis adalah eksplanasi yaitu

mempresentasikan argumen dari fenomena kota yang penuh industri. Tingkat

pencapaian peserta didik pada post-test untuk indikator ini di kelas eksperimen

sebesar 81,25% sedangkan di kelas kontrol sebesar 61,06%. Perbandingan tingkat

pencapaian nilai post-test dan pre -test peserta didik kelas eksperimen dan kelas

kontrol disajikan Gambar 18.


97

90 81.25

80 69.06
70 Kontrol Pretes
60 Kontrol Posttes
Persentase

50
Ekperimen Pretes
40
21.88 Ekperimen Posttes
30 17.5
20
10
0
Mempresentasikan Argumen

Gambar 18 Perbandingan tingkat pencapaian nilai pada indikator 5

Pencapaian post-test kelas eksperimen pada indikator menilai argumen

cerita pak Anto yang dihubungkan dengan pembuatan-pembuat koloid lebih tinggi

dari kelas kontrol. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis

peserta didik pada kelas eksperimen dikategorikan sangat kritis sedangkan pada

kelas kontrol dikategorikan kritis. Hal ini terjadi karena kelas eksperimen

menggunakan model pembelajaran debat aktif berbasis ICT yang membuat

peserta didik untuk aktif berargumen dalam debat tersebut. Akibatnya, sebagian

peserta didik kelas eksperimen lebih mampu memberi jawaban yang lengkap dan

tepat daripada kelas kontrol.

Soal untuk mengukur indikator ini, terdapat jawaban soal yang akan

diselesaikan oleh peserta didik sebanyak dua butir. butiran soal pertama memiliki

tingkat kesukaran yang sedang sedangkan butiran soal kedua memiliki tingkat

kesukaran yang sukar. Peningkatan pencapaian yang terjadi di kelas eksperimen

sebesar 39,06% sedangkan kelas kontrol sebesar 28,04%. Kedua kelas memiliki

peningkatan kemampuan menjawab soal peserta didik pada kategori sedang,


98

namun mengalami perbedaan yang cukup signifikan. Hal ini, terjadi karena dalam

kelas eksperimen, peserta didik sering mengeluarkan argumen pada saat debat

berlangsung, sehingga peserta didik dapat menjawab soal tersebut.

Peserta didik diminta memberi jawaban kesimpulan, kemudian

memberikan solusi yang berhubungan dengan kimia koloid. Peserta didik yang

menjawab tepat namun kurang lengkap. Apabila kesimpulannya ada, namun tidak

ada solusi dan sebaliknya, jika terdapat solusi yang tepat namun tidak ada

kesimpulan maka digolongkan kurang lengkap atau bahkan tidak tepat. Soal pada

indikator 5 dengan jawaban soal memiliki dua aspek yaitu menyimpulkan dan

memberikan solusi. Sehingga peserta didik mampu menyimpulkan, namun ada

sebagian peserta didik belum mampu memberi solusi atau sebaliknya. Seperti

contoh jawaban peserta didik pada Gambar 19.

Gambar 19 Jawaban peserta didik

Terlihat peserta didik sudah tepat menyimpulkan limbah dari industri dan

sasirangan namun tidak terdapat solusi sehingga peserta didik kurang mampu

membuat kesimpulan dengan solusi yang berkaitan dengan pembelajaran kimia


99

khususnya koloid.

3. Observasi

Observasi yang dilakukan pada pertemuan pertama hingga ketiga

didapatkan hasil yakni untuk kategori tidak kritis pada peserta didik memiliki

persentase menurun dari 31,25% menjadi 6,25% pada pertemuan kedua dan

6,25% pada pertemuan ketiga, artinnya terjadi penurunan jumlah peserta didik

yang masuk ke kategori tidak kritis. Kategori kurang kritis pada perserta didik

menurun dari 37,5% menjadi 34,375% pada pertemuan kedua dan meningkat

menjadi 40,26% pada pertemuan ketiga. Ini artinya terjadi kenaikan jumlah

peserta didik yang masuk ke kategori kurang kritis. Kategori cukup kritis pada

peserta didik meningkat dari 18,75% menjadi 50% pada pertemuan kedua dan

menurun menjadi 40,625% pada pertemuan ketiga. Ini berarti terjadi kenaikan

jumlah peserta didik yang masuk ke kategori cukup kritis. Kategori kritis pada

peserta didik terjadi penurunan dari 12,5% menjadi 9,375% pada pertemuan

ketiga dan meningkat menjadi 12,5% pada pertemuan ketiga, sehingga tidak

terjadi kenaikan maupun penurunan jumlah peserta didik yang masuk ke kategori

kritis. Kategori sangat kritis pada peserta didik tidak terjadi kenaikan maupun

penurunan yakni 0%, artinya tidak ada peserta didik yang masuk ke kategori

sangat kritis.

4. Respons Peserta Didik Terhadap Model Pembelajaran Debat Aktif


Berbasisi ICT
Hasil rata-rata penilaian respons peserta didik terhadap pembelajaran

pada materi koloid menggunakan model pembelajaran debat aktif berbasis ICT
100

secara ringkas disajikan pada Tabel dimana secara keseluruhan peserta didik

kelas eksperimen memiliki respons dengan persentase sebesar 39,25%, Hal ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2013) respon peserta didik

terhadap proses pemebalajaran menulis paragraf argumentasi dengan menerapkan

teknik debat sangat positif. Berdasarkan kategori respon yang terdiri dari sangat

setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju, hasil respon peserta

didik kelas eksperimen disajikan pada Gambar 20.

68.75
70

60

50
persentase

40

30
21.88
20
6.25
10 3.12
0
0
Sangat Setuju Ragu-ragu Tidak Setuju Sangat
setuju Tidak setuju
Kategori

Gambar 20 Hasil respon peserta didik berdasarkan kategori

Gambar 20 menggambarkan kelas eksperimen memiliki persentase

kategori respons sangat setuju 21,88%, setuju 68,75%, ragu-ragu 6,25%, tidak

setuju 3,12% dan sangat tidak setuju 0%. Berdasarkan data tersebut dapat

disimpulkan bahwa rata-rata respon peserta didik termasuk dalam kategori setuju.

Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik merespon dengan baik pada

penggunaan model pembelajaran debat aktif berbasis ICT pada materi koloid. Hal

ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kirna, Sudria, & Tegeh (2015) yang
101

menemukan bahwa peserta didik SMA memberikan respons yang setuju terhadap

pembelajaran kimia yang berbasis ICT, baik dilihat dari atensi (ketertarikan),

relevansi maupun konfidens.

Analisis respon peserta didik kelas eksperimen pada setiap pernyataan

disajikan pada Gambar 54. Adapun perhitungan lengkap nilai respons peserta

didik untuk model pembelajaran debat aktif berbasis ICT dapat dilihat pada

Lampiran 21.

4.2 4.13 4.134.13


4.1 4 4 3.97
4
3.88
3.9
Rata-rata

3.8
3.69 3.72
3.7 3.63
3.6
3.5
3.4
3.3
RS 1 RS 2 RS 3 RS 4 RS 5 RS 6 RS 7 RS 8 RS 9 RS 10
Soal

Gambar 21 Hasil respon peserta didik per pernyataan

Keterangan:

Pernyataan 1 = Saya merasa senang dalam mengikuti proses pembelajaran melalui


penerapan model pembelajaran debat aktif berbasis ICT.
Pernyataan 2 = Saya merasa tidak bosan dalam mengikuti proses pembelajaran
sampai akhir dengan penerapan model pembelajaran debat aktif
berbasis ICT.
Pernyataan 3 = Penerapan model pembelajaran debat aktif berbasis ICT membuat
saya lebih mudah memahami materi sistem koloid.
Pernyataan 4 = Penerapan model pembelajaran debat aktif berbasis ICT memotivasi
saya untuk aktif merumuskan dan menyelesaikan permasalahan dalam
pembelajaran melalui diskusi kelompok
Pernyataan 5 = Pembelajaran dengan model pembelajaran debat aktif berbasis ICT
memberikan kebebasan mengeksplorasi ide-ide menarik dalam
merumuskan dan menyelesaikan permasalahan. untuk merumuskan
dan menyelesaikan masalah
102

Pernyataan 6 = Model pembelajaran debat aktif berbasis ICT mampu membuat


sayamenyelesaikan soal materi sistem koloid dari soal yang mudah
hingga yang tergolong sulit.
Pernyataan 7 = Pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran debat aktif berbasis ICT memberikan banyak
pengalaman belajar khususnya terhadap diri saya melalui diskusi
kelompok.
Pernyataan 8 = Penerapan model pembelajaran debat aktif berbasis ICT dapat
membuat saya aktif berinteraksi antara saya dan teman-teman dalam
proses belajar mengajar
Pernyataan 9 = Model pembelajaran debat aktif berbasis ICT merangsang pola
berpikir saya agar belajar kimia lebih dalam
Pernyataan 10 = Menurut saya model pembelajaran debat aktif berbasis ICT cocok
digunakan dalam pembelajaran kimia khususnya pada materi sistem
koloid.

Berdasakan Gambar 31, penyataan respons dengan rata-rata tertinggi pada

kelas eksperimen terdapat pada pernyataan nomor 5, 7, 8 yaitu memberikan

kebebasan pada peserta didik untuk mengeksplorasi ide-ide menarik dalam

merumuskan dan menyelesaikan permasalahan, memberikan banyak pengalaman

belajar khususnya terhadap individual peserta didik melalui diskusi kelompok,

membuat peserta didik aktif berinteraksi antar peserta didik dan pendidik dalam

proses belajar mengajar. Respon sejalan dengan temuan Yessi, Sudyana, & Fatah

(2019) yang menyatakan bahwa selama kegiatan pembelajaran debat aktif

berlangsung peserta didik dapat bertukar ide, saling membuktikan dan

mengklarifikasi jawaban sehingga dihasilkan pengetahuan yang baru.

Selain itu, peserta didik dapat saling membantu mengkonstruksi

pengetahuan dan bekerja sama untuk mencapai tujuan pembelajaran. Kemudian

disusul oleh pernyataan nomor 1 dan 4 yaitu peserta didik merasa senang dalam

mengikuti proses pembelajaran peserta didik merasa tidak bosan mengikuti

pembelajaran dan memotivasi peserta didik untuk aktif merumuskan serta


103

menyelesaikan permasalahan dalam pembelajaran melalui diskusi kelompok.

Menurut Shoimin (2014) model pembelajaran debat aktif mampu memacu peserta

didik untuk aktif karena kegiatannya dalam berdiskusi adalah adu pendapat atau

argument antara dua pihak atau lebih. Ini juga serupa dengan temuan Noorsalim,

Nurdiniah, & Saadi (2014) yang menyatakan pembelajaran e-learning membuat

peserta didik menjadi sangat antusias dalam mengikuti pembelajaran karena

sebagian besar peserta didik merasa jenuh dan bosan dengan materi yang selalu

disajikan lewat buku teks.

Model debat berbasis ICT dalam pembelajaran yang memberikan

kebebasan untuk peserta didik mencari informasi berbagai sumber internet

maupun buku dan mendorong peserta didik aktif berpendapat dengan lebih mudah

karena menggunakan app padlet. Menurut Funchs (2014) padlet merupakan

aplikasi yang dapat digunakan untuk berbagi apa yang mereka tulis dan

sampaikan. Dengan demikian, peserta didik dapat memposting video, gambar, dan

tulisan terkait tema sehingga peserta didik juga termotivasi dan mendapatkan

pengalaman dalam pembelajaran kimia di sekolah. Seperti halnya temuan Funch

(2014) dengan menggunakan padlet peserta didik dapat berpartisipasi dalam

diskusi dan aktivitas, mengajukan pertanyaan, dan memberikan pendapat sehingga

membuat kelas tidak jenuh dan bisa dilaksanakan

Penerapan model pembelajaran debat aktif berbasis ICT ini juga diketahui

dapat menumbuhkan interaksi yang sangat baik antara peserta didik. Hal ini

disebabkan adanya pendalaman materi yang berkaitan dengan mosi pada

individual, kelompok sendiri maupun kelompok universal pro atau kontra,


104

tentunya peserta didik akan berinteraksi baik sesama anggota kelompoknya

atupun kelompok lainnya. Hal ini menjadikan peserta didik lebih nyaman untuk

menggali pengetahuan yang ingin didapatkan dikarenakan mereka tidak

melakukan seorang diri melainkan bersama peserta didik lainnya.

Respons belajar peserta didik pada pembelajaran yang menggunakan

model pembelajaran aktif tipe Active Debate rata-rata mayoritas menjawab setuju

ini menunjukan bahwa hampir seluruh peserta didik merasakan adanya manfaat

dalam proses pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran aktif tipe

active debate artinya respon peserta didik secara keseluruhan bersifat positif. (M

& Herawan, 2017).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dan beberapa sumber yang

mendukung dapat disimpulkan peserta didik memiliki respon yang baik terhadap

pembelajaran yang menerapkan model pembalajaran debat aktif berbasis ICT

dalam pembelajaran kimia, khususnya materi koloid.

5. Temuan Penelitian

Berdasarkan Lampiran 25, diketahui peserta didik dengan nomor 10

merupakan peraih nilai tertingggi pada hasil post-test keterampilan berpikir kritis

dengan nilai 93,33 dan termasuk kategori sangat kritis. Ketika meninjau

bagaimana hasil angket respons seperti yang tercantum dalam Lampiran 35,

ternyata peserta didik dengan nomor 12 tersebut memberikan respon setuju

dengan pembelajaran debat aktif berbasis ICT.

Adapun untuk peserta didik dengan nilai terendah pada hasil post-test

keterampilan berpikir kritis ditemukan pada peserta didik nomor 17 dan 26


105

dengan nilai 71,11 tetapi sudah termasuk dalam kategori kritis seperti yang

tercantum dalam Lampiran 31 ketika meninjau bagaimana hasil angket respons,

mereka memiliki dua pendapat yang berbeda. Peserta didik nomor 17 memberi

respon tidak setuju dengan model pembelajaran debat aktif berbasis ICT.

Sedangkan peserta didik nomor 26 setuju dengan model pembelajaran debat aktif

berbasis ICT.

Berdasarkan penemuan tersebut, keterampilan berpikir kritis dan respon

peserta didik juga memiliki hubungan yang rendah. Hal ini ditunjukkan melalui

harga pearson correlation yang diperoleh melalui uji korelasi product moment

yang dapat dilihat pada Lampiran 29. Temuan penelitian menunjukkan adanya

korelasi yang signifikan dilihat dari nilai sig.(2-tailed) sebesar 0,046 < 0,05

dengan nilai pearson correlation yaitu sebesar 0,394. Angka tersebut

menunjukkan korelasi antara keterampilan berpikir kritis dan hasil respon peserta

didik berada pada level rendah, nilai pearson correlation positif menunjukkan

hubungan postif antara keterampilan berpikir kritis dan respon peserta didik. Hasil

yang diperoleh tersebut dimaknai bahwa respon peserta didik tidak terlalu

mempengaruhi kemampuan berpikir kritisnya.

Meskipun saling mempengaruhi namun masih pada kategori rendah.

Temuan ini berbeda dengan temuan Karim & Normaya (2015) yang menunjukkan

terdapat hubungan yang sangat kuat antara kemampuan berpikir kritis dengan

respon peserta didik. Hal ini dikarenakan perbedaan subjek penelitian, materi

penelitian, dan model pembelajaran yang digunakan.


106

Selain adanya keterkaitan hubungan antara keterampilan berpikir kritis

dengan hasil respons peserta didik, peneliti juga menemukan korelasi antara hasil

observasi oleh observer dengan hasil tes kemampuan berpikir kritis peserta didik

yang diperoleh melalui uji korelasi product moment yang dapat dilihat pada

Lampiran 29. Hasil menunjukkan nilai sig.(2-tailed) sebesar 0,026 < 0,05 dengan

nilai pearson correlation yaitu sebesar 0,394. Angka tersebut menunjukkan

korelasi yang signifikan antara keterampilan berpikir kritis dan hasil observasi dan

berada pada level rendah, nilai pearson correlation positif menunjukkan

hubungan postif antara keterampilan berpikir kritis dengan hasil observasi. Hasil

yang diperoleh tersebut dimaknai bahwa.

Beberapa keunggulan dalam penerapan model Debat aktif berbasis ICT

pada materi koloid juga ditemukan dalam penelitian ini, yaitu:

(1) Hasil pre-test hasil tes kemampuan berpikir kritis pada indikator 4 dan 5

yaitu menilai argumen dan mempresentasikan argumen pada kelas kontrol

lebih tinggi dibanding kelas eksperimen, namun pada hasil post-test kelas

eksperimen lebih tinggi dibanding kelas kontrol. Hal ini dikarenakan peserta

didik kelas eksperimen mendapat kesempatan memahami argumen teman

dengan memperhatikan secara berulang dan berkesempatan untuk

menyampaikan argumen dengan lebih mudah melalui aplikasi padlet.

(2) Model Debat Aktif berbasis ICT dapat meningkatkan keterampilan berpikir

kritis peserta didik sampai taraf pencapaian sangat kritis dan peserta didik

memberikan respon positif pada model pembelajaran ini.

(3) Penerapan model Debat Aktif berbasis ICT dapat meningkatkan


107

keterampilan berpikir kritis dan serta mendapat respon positif karena peserta

didik dilatih untuk mengali informasi sendiri, menyampaikan pendapat

dengan berbantuan sumber yang mereka temukan sendiri.

(4) Proses pembelajaran dengan model Debat Aktif berbasis ICT dapat

membangkitkan kemandirian peserta didik dalam mengkaji materi koloid

serta menemukan berbagai hal baru yang berkaitan dengan koloid melalui

internet.

Beberapa kesulitan yang ditemui dalam penerapan model Debat Aktif

pada materi koloid antara lain:

(1) Memerlukan teknik penguasaan kelas, agar adu argumen dapat berujung

pada kesimpulan di waktu yang telah ditentukan.

(2) Sulit dalam merencakan pembelajaran terutama untuk membuat mosi yang

digunakan untuk kegiatan Debat Aktif.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai

berikut.

(1) Terdapat perbedaan signifikan antara kemampuan berpikir kritis peserta didik

yang belajar menggunakan pembelajaran model debat aktif berbasis ICT

dengan kemampuan berpikir peserta didik yang belajar menggunakan model

pembelajaran Direct Instruction di kelas XI IPA SMAN 1 Banjarmasin

(2) Peserta didik memberikan respon setuju terhadap penerapan model

pembelajaran debat aktif berbasis ICT.

B. Saran

Berikut saran-saran yang diberikan sehubungan dengan hasil penelitian

yang diperoleh.

(1) Kepada peserta didik, melalui penerapan model debat aktif berbasis ICT

diharapkan agar lebih mendalami mosi yang telah diberikan.

(2) Kepada guru, hendaknya jika menerapkan model debat aktif berbasis ICT

lebih memperhatikan mekanisme debat pada peserta didik agar terarah pada

mosi.

(3) Kepada sekolah, hendaknya hasil penelitian ini dijadikan sebagai salah satu

masukan dalam rangka meningkatkan kualitas pengajaran kimia di sekolah

dan untuk diterapkan pada mata pelajaran lainnya.

108
109

(4) Kepada peneliti lain, mengingat berbagai keterbatasan yang ada pada

penelitian ini diharapkan adanya penelitian lanjutan dengan model

pembelajaran yang sama tetapi tempat dan pokok bahasan berbeda.


DAFTAR PUSTAKA

Aiken, L. R. (1985). Three Coefficients foe Analyzing the Reliability, and


Validity of Ratings. Educational and Psychological Measurement, 45,
131- 142.

Azwar, S. (2015). Reliabilitas dan Validitas Edisi 4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Amin, M. A., Mahdian, & Sholahuddin, A. (2015). Implementasi metode


pembelajaran ideal problem solving berdasarkan gaya kognitif untuk
meningkatkan keterampilan beripikir kritis peserta didik kelas X SMA
Negeri 7 Banjarmasin pada materi minyak bumi. QUANTUM, Jurnal
Inovasi Pendidikan Sains, 88-97.

Arikunto, S. (2015). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Browne, N. M., & Keeley, S. M. (2015). Pemikiran kritis : Panduan untuk


mengajukan dan menjawab dan pertanyaan kritis. Jakarta: Indeks.

Budiman, H. (2017). Peran Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam


Pendidikan. Jurnal Pendidikan Islam, 75-83.

Chalimawati, Y., & Sartika, R. P. (2019). Peningkatan hasil belajar kimia melalui
model kooperatif debat kimia berbasis ict peserta didik sman. Jurnal
Untan.

Cohen, R. J., & Swerdlik. (2010). Psychology testing and assesment : an


introduction to test and measurement. New York: McGraw-Hill.

Danial, M., Gani, T., & Husnaeni. (2017). Pengaruh model pembelajaran dan
kemampuan awa terhadap kemampuan berpikir kritis dan pemahaman
konsep perserta didik. Journal of eduactional science and technology, 18-
31.

Daryanto. (2008). Evaluasi Pendidikan. jakarta: Renika Cipta.

Effendy. (2017). Ilmu Kimia untuk Peserta didik SMA dan MA Kelas XI 2A.
Malang: Indonesia Academic Publishing.

Ennis, R. (1985). A Logical Basic For Measuring Critical Thinking Skills.


educational leadership.

110
Facione, P. A. (2015). Critical Thinking: What It Is and Why It Counts.
California: Insight Assessment.

Fadila, R., Fauzi, & Vitoria, L. (2017). pengaruh kemampuan berpikir kritis
terhadap hasil belajar matematika peserta didik kelas V SDN 3 Banda
Aceh. Jurnal Ilmiah pendidikan Guru Sekolah Dasar.

Fathurrohman, M. (2015). Model-Model Pembelajaran Inovatif. Jogjakarta: Ar-


Ruzz Media.

Fatmawati, E., & Setiawan, I. (2017). Pegaruh Metode Pembelajaran Debat Aktif
Terhadap Hasil Belajar Peserta didik SMAN 1 Belitang Hilir. Jurnal
Pendidikan, 75-83.

Filsaime, D. K. (2008). Menguak Rahasia Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta:


Prestasi.

Fisher, A. (2009). Berpikir Kritis : Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga.

Fuchs, B. (2014). The Writing in on the Wall: Using Padlet for Ehole-Class
Engagement. LOEX Quarterly, 7-9.

Hake, R. R. (1999). Analyzing Gain/ Gain Scores. California: Indiana University.

Iman, J. N. (2017). Debate instruction in EFL classroom: Impacts on the critical


thinking and speaking skill. International Journal of Instruction, 10, 87-10

Iskandar. (2009). Psikologi Pendidikan. Cipayung: Gaung Persada Press.

Kemendikbud. (2013). Kemendikbud. Retrieved September 19, 2018, from


Karakteristik berpikir peserta didik: www.Kemendikbud.go.id/Main

Kuswana, S. W. (2013). Taksonomi Berpikir. Bandung: Remaja Rosda karya


Pustaka Raya.

Lestari, S. (2016). Pemanfaatan Aplikasi Padlet dan Lino untuk Meningkatkan


Kemampuan Menulis Bahasa Inggris Mahapeserta didik Non English
Departement. Seameo Seamolec, 420-440.

M, M. G., & Herawan, H. (2017). Pengaruh model pembelajaran aktif tipe active
debate terhadap hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran ekonomI.
Jurnal Edunomic, 57-66.

111
Noorsalim, M., Nurdiniah, S. H., & Saadi, P. (2014). Implementasi pembelajaran
e-learning berbasis website untuk meningkatkan hasil. QUANTUM, Jurnal
Inovasi Pendidikan Sains, 99-106.

Nurchabibah. (2011). keefektifan metode debat aktif dalam pembelajaran diskusi


pada peserta didik kelas x SMA Negeri 1 kutowinangun. program studi
pendidikan bahasa dan sastra indonesia fakultas bahasa dan seni
universitas yogyakarta , (pp. 74-75). yogyakarta.

Nugroho, I.R., & Ruwanto, B. (2017). Pengembangan Media Pembelajaran Fisika


Berbantuan LKPD Media Sosial Instagram sebagai Sumber Belajar
Mandiri untuk Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Fisika Siswa
Kelas XI SMA. Jurnal Pendidikan Fisika. 1-11.

Paul, R., & Elder, L. (2008). the miniature guide of critical thinking and tools.
Retrieved januari 27, 2019, from 28th Annual International Conference On
Critical Thinking: http//www.criticalthinking.org/conference/pdf

Pramesswari, A. S., Widodo, W., & Qosyim, A. (2016). Penerapan Strategi Debat
Aktif Untuk Melatih Keterampilan Berpikir Kritis Pada Materi Pemanasan
Global. Jurnal Unesa, 73-81.

Pratama, H., Nurcahyo, K., Hertanto, M. A., Marina, R., Rosyidah, S., &
Kristianto, V. A. (2016). Panduan Debat Kompetitif. Yogyakarta: Andi.

Priyadi, R., Mustajab, A., Tatsar, M. Z., & Kusairi, S. (2018). Ananlisis
Kemampuan Berpikir Kritis Peserta didik SMA kelas X MIPA dalam
Pembelajaran Fisika. Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako.

Rachmawati, T., & Daryanto. (2015). Teori Belajar dan Proses Pembelajaran
yang Mendidik. Yogyakarta: Gava Media.

Ratumanan, T., & Laurens, t. (2003). Evaluasi hasil belajar yang relavan dengan
kurikulum berbasis kompetensi. Surabaya: Unesa University Press.

Rizki, S., & Linuhung, N. (2016). Pengembangan Bahan Ajar Program Linear
Berbasis Kontekstual dan ICT. Jurnal Pendidikan Matematika, 137-144.

Rusman, Kurniawan, D., & Riyana, C. (2012). Pembelajaran Berbasis Tekonlogi


Informasi dan Komunikasi. Jakarta: Rajawali Pers.

Rusmansyah, Yuanita, L., Ibrahim, M., Muna, K., & Isnawati. (2018).
Keterlaksanaan model pembelajaran scientific critical thinking (SCT)
untuk melatihkan keterampilan berpikir kritis dan self efficacy

112
mahapeserta didik calon guru kimia pada materi koloid. QUANTUM:
Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, 121-132.

Sanjaya, W. (2013). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Kencana Prenada Media


Grup .

Shoimin, A. (2014). Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013.


Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Sudaryono. (2017). Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Pers.

Sudijono, A. (2015). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Remaja


Rosdakarya.

Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsino.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Jakarta:


Alfabeta.

Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Jakarta:


Alfabeta.

Supardi. (2013). Aplikasi Statistika dalam Penelitian: Konsep Statistika yang


Lebih Komprehensif. Jakarta: Change Publication.

Supardi. (2016). Penilaian Autentik Pembelajaran Afektif, Kognitif, dan


Psikomotor (Konsep dan Aplikasi). Jakarta: Rajawali Pers.

Susanto, A. (2013). Teori Belajar dan Pembelajaran Di Sekolah Dasar. Jakarta:


Kencana Prenada Media.

Suyanti, D. R. (2010). Strategi Pembelajaran Kimia. yogyakarta: Graha.

Widodo. (2017). Metodologi Penelitian polpuler & Praktis. jakarta: PT


RajaGrafindo Persada.

Widodo, W., Qosyim, A., & Pramesswari, A. S. (2016). Penerapan Strategi Debat
Aktif Untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Kritis. Pendidikan Sains,
04.

Winarsunu, t. (2010). Statistik dalam Penelitian Psikologi dan pendidikan.


Malang: UMM Press.

113
Winarti, A., & Fauzi, A. (2015). Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis dan
Hasil Belajar Siswa Melalui Model Pembelajaran Auditory, Intellectualy,
Repetition (AIR) Pada Materi Hidrolisis Garam Di Kelas XI IPA 2 SMA
PGRI 6 Banjarmasin. Quantum, Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, 6, 1-10.

Yessi, M., Sudyana, N., & Fatah, A. H. (2019). Pembelajaran asam basa
menggunakan lks berbasis learning cycle 7E untuk meningkatkan
penguasaan konsep dan keterampilan berpikir kritis peserta didik SMA .
QUANTUM: Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, 27-37.

Yildirim, B., & Ozkahraman, S. (2011). Critical Thinking in Nursing Process and
Educaion. International Journal Of Humanities and Social Science, 257-
262.

Yustina, Salwa; Irhasyuarna, Yudha; Kusasi, Muhammad. (2015). Penerapan


Metode Pembelajaran Problem Solving Terhadap Kemampuan Berpikir
Kritis Peserta didik Pada Materi Koloid Kelas XI IPA SMA Negeri 4
Banjarmasin. QUANTUM, Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, 108-117.

114

Anda mungkin juga menyukai