Proceeding
BOOK
EDITOR :
krishna w sucipto
hendra Zufry
Agustia sukri ekadamayanti
Sarah Firdausa
Supported by:
PROCEEDING BOOK
THE 3RD ACEH ENDOCRINOLOGY AND DIABETES UPDATE
Theme:
“THE TAILORING ART OF INNOVATIVE APPROACHES TO
FIGHT ENDOCRINE DISORDERS”
Editor :
Krishna W. Sucipto
Hendra Zufry
Agustia Sukri Ekadamayanti
Sarah Firdausa
1
PROSIDING BOOK The 3rd Aceh Endocrinology And Diabetes Update
“THE TAILORING ART OG INNOVATIVE APPROACHES TO FIGHT ENDOCRINE DISORDERS”
ISBN : 9786237086116
Penerbit :
SYIAH KUALA UNIVERSITY PRESS
Kampus Universitas Syiah Kuala Darussalam,
Banda Aceh 23111 ACEH-INDONESIA
Telp. 0651-8012221
KATA SAMBUTAN
KETUA PANITIA PELAKSANA
THE 3RD ACEH ENDOCRINOLOGY & DIABETES UPDATE 2019
Panitia Pelaksana
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update 2019
Ketua Pelaksana,
Ketua PERKENI Cabang Banda Aceh
Pertama-tama puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
limpahan karunia Nya sehingga kita dapat berkumpul untuk mengikuti acara The 3rd Aceh
Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) yang diselenggarakan di kota Banda Aceh.
Kemajuan ilmu pengetahuan kedokteran di bidang Endokrin, Metabolik dan Diabetes yang
demikian cepat menuntut kita untuk terus menerus mengikuti perkembangannya, di lain
pihak dalam praktek sehari-hari kita dituntut pula menerapkannya dengan optimal dan
efisien sesuai dengan sarana dan prasarana sistem pembiayaan kesehatan nasional. Hal
ini merupakan tantangan tersendiri bagi kita dalam menjaga mutu pelayanan penyakit
Endokrin, Metabolik dan Diabetes. Pertemuan kali ini mengusung tema “The Tailoring Art
of Innovative Approaches to Fight Endocrine Disorders” yang diharapkan menjadi inovasi
terkini dalam penanganan penyakit di bidang Endokrinologi Metabolik & Diabetes.
Kepada para pembicara dan seluruh peserta, kami mengucapkan selamat datang di kota
Banda Aceh dan menikmati ramahnya kehidupan masyarakat di Provinsi Aceh.
Terimakasih, Wassalam.
iii | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
KATA SAMBUTAN
KETUA UMUM PB PERKENI
Salam Sejahtera,
Kita ketahui bahwa prevalensi diabetes mellitus dan penyakit metabolik – endokrin
umumnya, semakin meningkat dari tahun ke tahun. Masalah kegemukan, diabetes
mellitus, prediabetes, dislipidemia, gangguan hormon, osteoporosis, serta penyakit tiroid,
merupakan masalah – masalah kesehatan masyarakat cukup menonjol dan perlu upaya
pencegahan serta pengelolaan yang komprehensif. Kemajuan dalam bidang kedokteran
khususnya patologi klinik dan pencitraan, telah banyak membantu penemuan dan
pengelolaan kasus metabolik – endokrin. Demikian pula perkembangan dalam sistem
pelayanan kesehatan dan sistem penjaminan kesehatan telah meningkatkan akses pasien
terhadap layanan kesehatan. Untuk itu kami menyambut baik penyelenggaraan Aceh
Endocrinology & Diabetes Update tahun 2019 yang merupakan pertemuan profesi dokter
seminat dalam bidang metabolik dan endokrinologi.
PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) selaku perhimpunan seminat dibawah
naungan IDI sangat peduli terhadap perkembangan baru dalam upaya pencegahan,
pengobatan serta rehabilitasi berbagai masalah metabolik dan endokrin, melalui
penyelenggaraan kegiatan Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan dan Pengembangan
Keprofesian Dokter. Forum Endokrin dan Diabetes ini merupakan kesempatan bagi teman
sejawat dokter dan dokter spesialis berdiskusi dan menambah pengetahuan dan
keterampilan bagi para dokter dalam bidang metabolik dan endokrinologi. Selain itu kami
juga berharap forum endokrin dan diabetes ini dapat merumuskan beberapa rekomendasi.
Pada kesempatan ini kami sebagai ketua Pengurus Besar PERKENI mengucapkan
selamat pada sejawat pengurus – pengurus cabang PERKENI di Sumatera, khususnya
Cabang PERKENI Banda Aceh atas koordinasi dan penyelenggaraan acara The 3rd Aceh
Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) dengan tema “The Tailoring Art of Innovative
Approaches to Fight Endocrine Disorders”
Ketua PB PERKENI
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam disampaikan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Inovasi ilmiah The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) dengan tema “The
Tailoring Art of Innovative Approaches to Fight Endocrine Disorders” diharapkan dapat
menjadi implementasi dan riset perkembangan teknologi, manajemen dalam tatalaksana
gangguan di bidang Endokrinologi Metabolik dan Diabetes serta pengembangan ilmu
pengetahuan kedokteran.
Apresiasi untuk Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh yang telah mempersiapkan dan melaksanakan acara
ilmiah ini secara baik dan kreatif.
Tidak lupa, saya ucapkan selamat datang di kota Banda Aceh kepada para pembicara dan
seluruh peserta, selamat menikmati ramahnya kehidupan masyarakat di Provinsi Aceh.
Terimakasih, Wassalam.
WORKSHOP
Workshop 1 – Carbohydrate Counting, Food Serving and Self Monitoring Blood
Glucose (SMBG)
Diet Serving for Diabetes Patients
dr. Lindawati, Sp.PD-KEMD ........................................................................................... 1
Best Practice in Performing SMBG and How to Analyse it
dr. Sarah Firdausa, M.Md.Sc, Sp.PD ............................................................................. . 8
vii | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
SIMPOSIUM
SGLT2 Inhibitor in Type 2 DM Management: Current Position and Future Promise
dr. Krishna W. Sucipto, SpPD-KEMD............................................................................ 81
SGLT2 Inhibitor: Effect on Blood Pressure and Potential Mechanism Related to
Cardiovascular Protection
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD .................................................................... 86
More Intensive Vs Less Intensive LDL-Cholesterol Lowering Reduces Mortality
Prof. Dr. dr. Dharma Lindarto, SpPD-KEMD ................................................................. 95
DECLARE Study: Newest Insight into Cardiovascular Outcomes in Diabetes Management
Prof. Dr. dr. Achmad Rudijanto, SpPD-KEMD .............................................................. 99
Intelectual Disability Protection in Children with Hypothyroidism
dr. Rusdi Andid, SpA (K) ............................................................................................... 103
Seven Steps to Treat Grave’s Disease with Anti-Thyroid Drugs
dr. Hendra Zufry, SpPD-KEMD ..................................................................................... 109
Female Hormone Replacement
Dr. dr. Rajuddin, SpOG, K-FER .................................................................................... 116
Biosimilar Insulin: How Similar is Similar? Opportunities and Challenges from Patient
Perspective
dr. Sri Murtiwi, SpPD-KEMD ......................................................................................... 127
Is Still Relevance to Use Human Insulin in Management of Diabetes?
Prof. dr. Djoko Wahono, SpPD-KEMD .......................................................................... 133
Analogues Insulin in Management of Diabetes: Is It Better than Human Insulin?
Prof. dr. Malik Mumtaz .................................................................................................. 141
Early Amputation in Diabetic Foot Management: Does It Has Some Benefits?
Dr. dr. Syafrizal Rahman, M.Kes, SpOT ....................................................................... 143
Conservative Treatment to Prevent Amputation in Diabetic Foot
dr. Krishna W. Sucipto, SpPD-KEMD............................................................................ 149
Ultra Long Acting Basal Insulin: New Hope for Diabetes Management
dr. Hendra Zufry, Sp.PD-KEMD .................................................................................... 165
Art of Treating Diabetes & CVD in Harmony
Dr. dr. Eva Decroli, SpPD-KEMD .................................................................................. 171
Overview on The Treatment of Osteoporosis Rather Than Focus on Biphosponates Only
Prof. dr. Malik Mumtaz .................................................................................................. 183
Osteoporosis and The Risk of Compression Fracture: Is It Preventable? How to Manage?
Dr. dr. Azharuddin, SpOT, K-Spine ............................................................................... 185
KUMPULAN ABSTRAK POSTER
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | viii
DIET SERVING FOR DIABETES PATIENT
dr. Lindawati, SpPD-KEMD
Bagian Ilmu Penyakit Dalam, RSUD Kabupaten Gayo Lues
Abstrak
Salah satu terapi Diabetes Melitus didalam mengendalikan kadar glukosa darah
agar tetap dalam batas normal adalah dengan pemberian diet atau dikenal dengan Terapi
Nutrisi Medis (TNM). Pengaturan makan ini harus makanan yang seimbang (Karbohidrat
45% - 65%, Protein 10% - 20%, Lemak 20% - 25%), memperhatikan komposisi makanan
dan sesuai dengan kebutuhan kalori, Seringkali pasien kesulitan untuk memahami dan
menghitung kandungan kalori makanan sehingga memerlukan panduan praktis
manajemen terapi nutrisi medis.
Salah satu panduan terapi nutrisi medis adalah dengan melakukan diet serving
/ diet carbohydrate counting yang menekankan pada jumlah total karbohidrat yang
dikonsumsi, bukan pada sumber atau jenis karbohidrat yang dikonsumsi. Ketika hendak
merencanakan makanan berdasarkan diet Carbohydrate Serving, hitung makanan yang
mengandung karbohidrat saja, kemudian bagi jumlah gram total karbohidrat dengan 15
(karena 1serving = 15 gram untuk karbohidrat). Makanan yang telah dihitung tersebut
kemudian dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore
(25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya, atau sesuai dengan
kebiasaan masing masing penderita Diabetes Melitus. Terapi nutrisi medis yang sukses
membutuhkan evaluasi dan penyesuaian yang berkelanjutan.
Kata Kunci: Diet Serving, Carbohydrate Counting, Terapi Nutrisi Medis
1. Pendahuluan
Didalam penanganan DM tipe 2, ada 3 hal yang penting yaitu mengendalikan kadar
gula darah menjadi normal, mengatasi penyakit komorbiditas, mencegah dan mengatasi
timbulnya komplikasi Diabetes. Salah satu cara untuk mengendalikan kadar gula darah
agar berada dalam kondisi normal, selain obat-obatan dan latihan fisik adalah pengaturan
diet / pola hidup sehat (Lifestyle).(1),(2)
Tujuan dari pengaturan diet ( Medical Nutrition Therapy / MNT ) bagi penderita
Diabetes Melitus adalah mencapai dan mempertahankan :(1)
1. Kadar gula darah agar berada dalam batas normal atau mendekati normal seaman
mungkin.
2. Profil Lipid dan lipoprotein lipid dalam batas normal untuk menurunkan resiko
penyakit kardiovaskular (CVD) dan penyakit Vaskular Perifer (PVD)
3. Tekanan darah dalam batas normal atau mendekati normal seaman mungkin.
2. Diet Serving
Tidak ada perencanaan makan ideal yang berfungsi untuk semua penderita
diabetes. Seringkali pasien merasa sulit untuk memahami dan menghitung kandungan
kalori makanan serta distribusi kalori, sehingga perlu panduan praktis manajemen terapi
nutrisi. (6),(7),(8),(9)
Salah satu panduan praktis manajemen terapi nutrisi selain metode plate/ piring,
adalahCarbohydrate Counting / Diet Carbohydrate Serving. Carbohydrate Counting adalah
pendekatan perencanaan makan dan bukan diet khusus yang menekankan pada jumlah
total karbohidrat yang dikonsumsi, bukan pada sumber atau jenis karbohidrat yang
dikonsumsi. Tujuan Carbohydrate Counting adalah mengatur kadar glukosa darahagar
berada dalam batas normal dengan menyeimbangkan asupan karbohidrat saat makan dan
camilan pada waktu yang sama setiap haridengan obat diabetes dan aktivitas fisik. (10),(11),
Karbohidrat adalah nutrisi utama dalam makanan yang dapat meningkatkan
gula darah. Ketika Anda merencanakan makanan berdasarkan diet Carbohydrate Serving,
hitung saja makanan yang mengandung karbohidrat. Langkah untuk menghitung
kandungan karbohidrat adalah :(4)
1. Membuat pilihan makanan sehat,
2. Fokus pada karbohidrat,
3. Menetapkan tujuan karbohidrat (contoh: obese, Normal atau kurus)
4. Menentukan kandungan karbohidrat (Glicemic Index / GI)
Kepustakaan:
1. Capelson R, Lorenzi GM, Rosenzweig JL, Schreiner B, Strowig S, Wolfsdorf JI, et
al. Nutrition Management. Fifth edit. Wolfsdorf JI, editor. Alexandria, Virginia:
American Diabetes Association; 2012. 149-173 p.
2. Mala GS. Practical Medical Nutritional Therapy. Sixth Edit. Thomas N, Jeyaraman
K, HS A, Velavan J, Vasan S, editors. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers (P) Ltd.; 2012. 28-40 p.
3. Kapoor L, Mala GS. Practical Medical Nutritional Therapy. Seventh Ed. Thomas N,
Kapoor N, Velavan J, K SV, editors. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers
(P) Ltd.; 2016. 39-55 p.
4. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suastika K, Manaf A, et al.
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia
2015. PB Perkeni. 7999. 1-93 p.
5. Hollands M, Howard M, Graham K. Eating well with Diabetes. Harper Collins
Publishers; 2014. 1-27 p.
6. Comprehensive Diabetes Center. Diabetes : Carbohydrate Food List. University of
Michigan. 2012. p. 1–4.
7. Healthwise Staff. Basic Diabetes Meal Plan. Pittsburgh, PA; 2016.
8. American Diabetes Association. What Can I Eat ? Best Foods for You : Healthy
Food Choices for People with Diabetes. ADA. 2015. p. 1–2.
9. Comprehensive Diabetes Center. Diabetes : Meal plan Ideas 1200 calories per day.
University of Michigan. 2015. p. 2–4.
10. Health Care Professionals. My Plate Planner. United Healthcare Insurance
Company. 2009. p. 1–2.
11. Registered Dietitians Nutrition Services. Healthy Eating for Diabetes. Alberta Health
Abstrak
Pemeriksaan gula darah secara mandiri, atau disebut self monitoring blood glucose
(SMBG) merupakan modalitas monitoring gula darah yang penting bagi penderita diabetes
melitus. Pemeriksaan ini memungkinkan untuk mendeteksi kejadian hiperglikemia,
hipoglikemi, variasi kadar gula darah; memberikan umpan balik langsung kepada pasien
tentang efek pilihan terapi, makanan, dan aktivitas; dan memudahkan kontrol glikemik.
Langkah-langkah yang perlu diperhatikan sebelum melakukan SMBG antara lain edukasi
pasien tentang tujuan dan manfaat SMBG; mendiskusikan dan menentukan target glikemik
dengan pasien; menentukan frekuensi pelaksanaan SMBG; menentukan waktu
pelaksanaan dan lokasi pemeriksaan SMBG. Analisis pola (pattern analysis) gula darah
adalah pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi pola glikemik pada data SMBG dan
kemudian mengambil sikap atau langkah yang sesuai dengan hasil analisis data tersebut.
Pendahuluan
Pengukuran kadar gula darah sangat penting untuk manajemen diabetes yang
efektif. HbA1c telah menjadi metode standard untuk menilai kontrol glikemik, namun ia
tidak mencerminkan variabilitas gula darah harian dan tidak dapat merefleksikan kejadian
akut (seperti hipoglikemia) atau hiperglikemia postprandial, yang telah dikaitkan dengan
komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskular. Self Monitorig Blood Glucose (SMBG) telah
terbukti meningkatkan kontrol glikemik dan kualitas hidup pada pasien diabetes yang
mendapat insulin dan yang tidak diobati dengan insulin bila digunakan secara baik dan
benar.(1)
SMBG dapat memberikan info tentang nilai glukosa secara real time sehingga
sangat membantu dokter, pasien atau pengasuhnya ketika kadar glukosa terlalu tinggi atau
terlalu rendah. (2) Pemeriksaan gula darah secara mandiri ini telah direkomendasikan oleh
beberapa pedoman/ konsensus nasional dan internasional sebagai bagian dari
manajemen terapi diabetes, mengingat banyak bukti penelitian yang menunjukkan manfaat
SMBG. Saat ini, SMBG dianggap sebagai aspek penting dari manajemen kontrol gula
glikemik.(3)
Definisi SMBG
Self Monitoring Blood Glucose (SMBG) atau Pemantauan Gula Darah Mandiri (PGDM)
adalah suatu tindakan memeriksa kadar gula darah menggunakan glukometer oleh pasien
secara mandiri.
Target Glikemik
Target glikemik yang dianjurkan oleh PERKENI adalah sebagai berikut:(2)
- Preprandial : 70–130 mg / dl
- Sesaat sebelum tidur : 100–140 mg / dl
- Postprandial (1-2 jam) : <180 mg / dl
- HbA1c : <7%
Error value
Hematokrit mempengaruhi kadar cairan darah, di mana glukosa merupakan
bagian darinya. Kelainan pada hematokrit dapat menyebabkan hasil bacaan gula darah
Analisis SMBG
Analisis data SMBG dilakukan sesuai tujuan dan kepentingan pelaksanaan SMBG.
Evaluasi hasil pengobatan insulin prandial sebaiknya diperiksa gula darah preprandial
berikutnya.
Pasien yang mendapat terapi insulin basal plus pagi hari, maka pemeriksaan gula
darah dilakukan sebelum makan pagi (untuk mengevaluasi insulin basal) dan sebelum
makan siang (untuk mengevaluasi insulin prandial pagi hari). Bila gula darah sudah
terkontrol, dapat dikurangi menjadi 1x sebelum makan siang.
Pasien yang mendapat terapi insulin basal plus siang hari, maka pemeriksaan gula
darah dilakukan sebelum makan siang (untuk mengevaluasi insulin basal) dan sebelum
makan malam (untuk mengevaluasi insulin prandial siang hari).
Kerugian
Pelaksanaan SMBG memerlukan alat glukometer dan strip yang bersifat single
used, sehingga diperlukan biaya yang cukup besar.(2)
Senin
Selasa X X X X X
Rabu X X X X X
Kamis X X X X X
Sabtu
Minggu
Senin
Selasa X X X X X X X
Rabu X X X X X X X
Kamis X X X X X X X
Jumat
Sabtu
Minggu
Senin X
Selasa X
Rabu X
Kamis X
Jumat X
Sabtu X
Minggu
INTRODUCTION
Clinical laboratory is responsible for conducting medical tests that provide valuable
information for physician’s decision-making process. Laboratory tests not only help
diagnose diseases, but also aids monitoring and providing the right treatment for patients.
Since we are treating our health, we should pay special attention at choosing a laboratory
with qualified and capable employees, which counts with up-to-date equipment, and
technology and is based on total quality standards.In order to guarantee the quality of
laboratory test results, the patient should cooperate by preparing themselves for the sample
recollection, as well as its transportation.There are several medical tests available in
modern laboratories. Fortunately for patients, most of these tests do not require special
preparation. For example, for tests such as CBC (Complete Blood Count), creatinine or
liver tests can be taken at any time.Very few laboratory tests require the patient to follow a
specific set of instructions before recollecting the sample. Example of these are fasting,
taking the test at a certain time of the day, following an specific diet for certain period, do
not smoke, and/or perform a special cleaning,“Fasting” means not eating or drinking during
a determine period of time. This is a requirement for some tests, since the level of
substances such as glucose can vary during digestion. While fasting, the patient can only
ingest water. It is not allowed to consume any solid food, or drink beverages such as coffee,
juices or tea; water is the only consumption allowed. Chewing gum (including sugar free)
could also affect test’s results, since it activates digestion. Therefore, it is not allowed either.
Medication is permitted, unless your doctor advises otherwise. In case of consuming your
medication, it should be with water.
Examples of laboratory test that require fasting include determination of glucose
(glycaemia), insulin and triglycerides. For glycaemia, a three-hour fasting is sufficient. On
the other hand, for a triglycerides test the patient requires a period of 10 to 12 hours of not
food or beverage consumption, just water. Generally speaking, triglycerides are requested
as part of a lipid profile that includes cholesterol, HDL/cholesterol and LDL/cholesterol.
Contrary to cholesterol and HDL cholesterol, if any food or beverage is consumed previous
to the sample recollection, triglycerides will be affected. If compared, triglycerides results
will vary if the patient consumed food previous to the recollection or not. Contrary, there
will be no immediate changes appreciated for cholesterol.The most confortable way to
comply with a 12-hour fasting would be to stop food consumption at 7:00 pm and take the
sample at 6-7 in the morning.
Taking infectious tests, it should be noted that any patient may have a negative
result depending on period of infection and state of immune system. But, however, a
negative result does not fully exclude any infection. In case of doubt, it is recommended to
take a repeated test.
Different test methods and different unit measures may be used in different
laboratories. It is recommended to take tests in the same laboratory and at the same time
in order to assess your results correctly and ensure the acceptability of results. Comparison
of such tests will be more correct. (6)
4. GASTROPANEL
Preparation for examination procedure
Examination shall be done in the fasted state (in the morning after 8-12 hours of
night bowel rest).
It is required to refrain from smoking during 4 hours before examination.
It is permitted to conduct the examination at the same time with taking usual
patient’s medicines prescribed by doctor, except for medicines which may affect
the secretion of gastric juice:
1. It is recommended to refrain from intake of medicines inhibiting acid
secretion in stomach such as Ranitidine, Famotidine, NIzatidine, Pepcidin,
Zantac, Nizax, Ranimex, Esofex, Losec, Lanzo, Somac, Ranixal, Ranil
(and generic medicines), proton pump inhibitors (Lansoprazole,
Laboratory tests are usually carried out on samples such as blood, dried blood spots on a
card, saliva, single urine samples and 24-hour urine collections. The type of sample will
depend on what is being measured, the accuracy required and/or the age of the
patient. Once the sample is taken, the patient does not need to be present for the results
to be produced.
The results of hormone tests when healthy vary in response to natural pressures such as
food, drink, rest, exercise and the menstrual cycle, which can make results in health and
disease overlap. In ‘dynamic tests’ (where two or more samples are taken over a set time
period) doses of hormones, drugs, glucose and natural pressures such as exercise or
restriction of water intake, are used to control the influences on results and make them
more predictable.
Is there anything the patient needs to do to prepare for having tests taken?
The doctor will advise the patient on how to prepare, because it depends on the particular
test. Most preparation is obvious once it is understood that hormones keep the body
working and levels change to meet various demands such as fasting, eating, thirst,
smoking, exercise, posture, time of day, stage of the menstrual cycle and medicines.
Are there any other factors that might affect the outcome of the test?
The blood level of several hormones changes significantly with the time of day. For
example, cortisol and testoteron are highest in the early morning. The response of glands
to hormones given to patients during dynamic tests may also show this diurnal variation;
for example, the response of the adrenal gland to synacthen is higher in the morning.
The day (stage or phase) of the menstrual cycle also has a major impact on hormone
levels. In general, blood samples are best taken in the ‘first half’ of the cycle (the follicular
phase) when normal and abnormal hormone levels are more clearly separated. However,
progesterone may be deliberately measured on day 21 in the middle of the ‘second half’
(luteal phase) to see if ovulation has occurred.
It is human nature to ignore doctors’ advice. Not taking medication as prescribed, or taking
extra the week before the test in an effort to make up for doses missed previously, will give
misleading results and the patient may miss out on a full return to health (8,9).
Lifestyle
Other factors, such as stress, sleep deprivation, dieting, and different times of the menstrual
cycle may impact thyroid test result, although the evidence is unclear. The best way to
avoid false fluctuations in lab test results is to have your thyroid levels checked under the
same conditions each time.
If you are taking thyroid hormone replacement, it's probably sensible to schedule TSH
blood draws around the same time of day and in the same manner (fasting/non-fasting) (9).
Medication Use
Certain medications can cause thyroid dysfunction by interfering with the body's thyroid
hormone levels or with their action, potentially altering TSH as the body attempts to
compensate for high or low thyroid hormone activity.
Pregnancy
Due to a number of factors, thyroid hormone levels change during pregnancy. In fact, the
normal reference ranges change throughout pregnancy. The standardized ranges may also
differ based on the lab where you get the blood test.
Illness
Several illnesses can affect thyroid hormone results temporarily. Diarrhea can interfere with
the medication absorption and may alter the lab results. Sometimes, infections or a bout of
an inflammatory condition such as lupus can also alter the results until the illness resolves.
A serious illness that is of a degree requiring hospitalization in an intensive care unit may
temporarily affect thyroid function and thyroid test results.
This syndrome, called nonthyroidal illness or sick euthyroid syndrome, is characterized
by a low TSH level with a low T4, free T4, and T3 level. Treatment aimed at correcting the
thyroid levels is not recommended, as these alterations in thyroid levels are thought to
actually be protective during critical illness.
References
1. Supit EJ, Peiris AN. Interpretation of Laboratory Thyroid Function Tests: Selection
and Interpretation. Southern, Medical Journal. 2002; 95:481-85
2 . W e r n e r S C , I n g b a r S H . W e r n e r & I n g b a r ’ s T h e T h yr o i d : a fundamental
and clinical text, 9th edition. LippincoWilliams & Wilkins
3. Demers LM, Spencer CA. Laboratory medicine practice guidelines: Laboratory
support for the diagnosis and monitoring of thyroid disease. Clin Endocrinol (Oxf)
2003;58: 138-40.
4. Dayan CM. Interpretation of thyroid function tests. Lancet 2001; 357:619-24.
5. Plebani M. Errors in clinical laboratories or errors in laboratory medicine? Clin Chem
Lab Med 2006; 44:750-9.
6. Kahn CR, Saltiel AR. The molecular mechanism of insulin action and the regulation
og glukose and lipid metabolim. In: Khan CR, King GL, Moses AC, Weir GC, Smith
RJ, Jacobson AM, editor. Joslin Diabetes Mellitus.14th Edition ed: Lippincoot Eilliams
and Wilkins; 2000.P 146-68
7. Suryaatmaja M. Ketidaksesuaian hasil laboratorium pada diagnosis dan pemantauan
diabetes mellitus, In: Suryaatmaja M, editor. Pendidikan berkesinambungan patologi
klinik 2003. Jakarta; Bagian Patologi Klinik FKUI; 2003. P 1-17
8. Scaks DB, Brund DE, Goldstein DE, Maclaren NK, McDonald JM, Parrott M.
Guidelines and recommendations for laboratory analysis in the diagnosis and
management of diabetes mellitus. Clin Chem 2013;48 (3);436-72
9. Quon. Limitation of the fasting glucose to insulin ratio as an index of insulin sensitivity.
J Clin Endocrinol Metab, 2012;86:4615-7
10. Sacks D. Carbohydrates. In: Burtis CA, Ashwood ER, Bruns DE, editors Tietz texbook
of clinical chemistry and molecular diagnostics. Misauri Eisevier Saunders;
2008.p.837-903
11. Narayanan S. Interpretation of Laboratory data: Problem solving using case histories.
Asian-Pacific Congress of Clinical Biochemistry 2013;85-90
12. Knudson PE, Weinstock RS. Henry JB. Carbohydrate. In henry JB (Ed) Clinical
Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 20th ed, phiadhelphia; WB
Saunders 2012, pp 211-18
13. Guder WG, Narayanan S, Wisser H, Zawta B, Samples: From the Patien to the
Laboratory. Ed 1. Darmstadt: GIT VERLAG GMBH 2009, PP 2-20
14. Young ds, bermes EW, Specimen Collection and Prosessing; sources of biological
variation. In Burtin CA, Ashwood ER, (Eds) Tietz Texbook of Clinical Chemistry, 2011;
961-64
15. Demers LM and Spencer CA, Thyroid autoantibodies: TPOAb, TgAb and TRAb,
NACB; laboratory support for diagnosis and monitoring of thyroid disease 43-54
Introduction
The management of endocrine disorders requires a broad understanding of
intermediary metabolism, reproductive physiology, bone metabolism, and growth.
Accordingly, the practice of endocrinology is intimately linked to a conceptual framework
for understanding hormone secretion, hormone action, and principles of feedback control.
The endocrine system is evaluated primarily by measuring hormone concentrations,
thereby arming the clinician with valuable diagnostic information. Endocrine system
disorders are amenable to effective treatment, once the correct diagnosis is determined.
Endocrine deficiency disorders are treated with physiologic hormone replacement;
hormone excess conditions, usually due to benign glandular adenomas, are managed by
removing tumors surgically or by reducing hormone levels medically.(1)
Enzymes
After food is eaten, molecules in the digestive system called enzymes break
proteins down into amino acids, fats into fatty acids, and carbohydrates into simple sugars
(for example, glucose). In addition to sugar, both amino acids and fatty acids can be used
as energy sources by the body when needed. These compounds are absorbed into the
blood, which transports them to the cells. After they enter the cells, other enzymes act to
speed up or regulate the chemical reactions involved with "metabolizing" these
35 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
compounds. During these processes, the energy from these compounds can be released
for use by the body or stored in body tissues, especially the liver, muscles, and body fat.(2)
Metabolism
Metabolism comprises all of the chemical reactions that take place in a living
system, be it a cell, a tissue, an organ, or an organism. Metabolic reactions are almost
all enzyme-catalyzed and include transformations of energy and nutrients, syntheses and
degradations, and excretions of waste products. Chemical changes concerned with the
production, storage, and utilization of metabolic energy for biosynthesis are known
as intermediary metabolism.(3)
Control of cell metabolism begins by the cell regulating its uptake nutrients. Most
nutrients, apart from oxygen and a very few carbon compounds, are taken up by specific
transport mechanisms so that they may be concentrated within the cell from dilute
solutions outside. Such ‘active’ transport systems require an input of energy. The
processes are controllable so that once the amount of nutrient taken into the cell has
reached a given concentration, further unnecessary (or even detrimental) uptake can be
stopped.(4)
The process of metabolism is really a balancing act involving two kinds of activities
that go on at the same time — the building up of body tissues and energy stores and
the breaking down of body tissues and energy stores to generate more fuel for body
functions:(2)
Anabolism or constructive metabolism, is all about building and storing. It supports the
growth of new cells, the maintenance of body tissues, and the storage of energy for
use in the future. During anabolism, small molecules are changed into larger, more
complex molecules of carbohydrates, protein, and fat.
Catabolism or destructive metabolism, is the process that produces the energy
required for all activity in the cells. In this process, cells break down large molecules
(mostly carbohydrates and fats) to release energy. This energy release provides fuel
for anabolism, heats the body, and enables the muscles to contract and the body to
move. As complex chemical units are broken down into more simple substances, the
waste products released in the process of catabolism are removed from the body
through the skin, kidneys, lungs, and intestines.
Carbohydrates have the general formula Cn(H2O)n. Monosaccharides have
between three and six carbon atoms and exist as chains or ring structures. As rings, they
link with other monosaccharide rings. The major carbohydrate in humans is glucose, which
is stored as glycogen: branching chains of glucose molecules. Fat (triglyceride), which
makes up adipose tissue, consists of three fatty acids bonded to glycerol, but other lipids
include phospholipids and steroids. Proteins are composed of chains of amino acids linked
by amide bonds folded on each other to form protein structures. Vitamins and minerals are
Metabolic Disorder
A metabolic disorder occurs when abnormal chemical reactions in your body
disrupt this process. When this happens, you might have too much of some substances or
too little of other ones that you need to stay healthy. There are different groups of disorders.
Some affect the breakdown of amino acids, carbohydrates, or lipids. Another
group, mitochondrial diseases, affects the parts of the cells that produce the energy. You
can develop a metabolic disorder when some organs, such as your liver or pancreas,
become diseased or do not function normally.(7)
Several of the hormones of the endocrine system are involved in controlling the
rate and direction of metabolism. Thyroxine, a hormone produced and released by the
thyroid gland, plays a key role in determining how fast or slow the chemical reactions of
metabolism proceed in a person's body. Another gland, the pancreas secretes hormones
that help determine whether the body's main metabolic activity at a particular time will be
anabolic or catabolic. For example, after eating a meal, usually more anabolic activity
happens because eating increases the level of glucose — the body's most important fuel
— in the blood. The pancreas senses this increased level of glucose and releases the
hormone insulin, which signals cells to increase their anabolic activities.(2)
Diabetes has been one of greatest burden in the world. According to IDF, 422
millions aduls have diabetes. The prevalence is also rising in Indonesia where 80% of
patients with diabetes are unconscious of having diabetes. Diabetes mellitus is a complex
disease caused by variants that are frequently observed in the population. A study called
Genome Wide Association Studies (GWAS) identified common variants and correlations
with certain phenotypes. The study reclassified an individual risk in various levels, high,
moderate, and low risk to develop a certain heritable phenotype. The genotype of multiple
variants in certain locus is combined using bioinformatics analysis to calculate overall risk
score to predict complex diseases. It is called Polygenic Risk Score.
Keywords: diabetes mellitus, personal genomic testing, GWAS, polygenic risk score,
DIArisk
Pendahuluan
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik, ditandai oleh
adanya peningkatan kadar gula darah yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek
kerja insulin atau keduanya.1,2 Insulin adalah hormon penting yang diproduksi di pankreas
dan mengangkut glukosa dari aliran darah ke sel-sel tubuh tempat glukosa diubah menjadi
energi.3
Diabetes melitus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting yang
termasuk satu dari empat prioritas penyakit tidak menular atau Noncommunicable
Diseases (NCDs) sehingga menjadi target aksi dari para pemimpin di seluruh dunia dimana
baik jumlah kasus dan prevalensi diabetes telah terus meningkat selama beberapa dekade
terakhir.4,5 Menurut International Diabetes Federation (IDF) tahun 2017, sekitar 425 juta
orang menderita diabetes melitus,123 juta orang diantaranya di atas usia 65 tahun dan 327
juta orang berusia diantara 20-64 tahun. Jumlah ini meningkat dari tahun 2015 yang sbesar
415 juta jiwa dan diperkirakan akan terus meningkat sebesar 48% yakni 629 juta jiwa di
tahun 2045.3 Indonesia menduduki peringkat ke-6 di dunia dengan prevalensi sebanyak
10 juta jiwa setelah China, India, Amerika Serikat, Brazil, dan Mexico.3
Penatalaksanaan yang tidak adekuat dan kurangnya pengetahuan penderita
terhadap diabetes mellitus dapat menyebabkan berbagai komplikasi dapat berupa
komplikasi jangka pendek dan komplikasi jangka panjang. Defek vaskular yang
disebabkan oleh diabetes melitus membuat ketidakseimbangan sirkulasi dalam darah, hal
ini akan meningkatkan kejadian kaki diabetes.2,5
Kaki diabetik dapat didefinisikan sebagai infeksi, ulcerasi dan atau penghancuran
jaringan dalam berhubungan dengan kelainan neurologis dan berbagai penyakit pembuluh
darah perifer di tungkai bawah. Neuropati diabetes adalah gangguan aktivitas saraf di
seluruh tubuh dan dapat mengubah fungsi otonom, motorik dan sensorik. Neuropati perifer
adalah bentuk paling umum dari neuropati diabetes yang mempengaruhi distal saraf
tungkai, terutama kaki. Ini terutama mengubah fungsi sensorik secara simetris
menyebabkan perasaan tidak normal dan mati rasa progresif yang menyebabkan
pengembangan borok (kaki diabetik) karena trauma eksternal dan atau distribusi tekanan
pada telapak kaki yang tidak normal.1,3
Internasional Diabetic Federation (IDF) juga menyebutkan 9,1-26,1 juta jiwa yang
menderita diabetes di dunia mengalami komplikasi berupa kaki diabetes. Di Amerika
Serikat angka kejadian kaki diabetes terus meningkat mencapai 3,5 juta jiwa per tahun dan
Gambar 1: a. Ganggren dan ulkus pada kaki dengan resiko tinggi amputasi
b. Deformitas Hammer toe dengan callus dan ukus
Neuropati perifer
Neuropati perifer bermanifestasi sebagai ketidakmampuan untuk mendeteksi
perubahan suhu, getaran, propriosepsi, tekanan dan nyeri. Sekitar 50% pasien dapat
mengalami gejala berupa nyeri seperti terbakar, rasa ditusuk atau seperti terkena kejut
listrik, paresthesia, hyperesthesia dan nyeri yang dalam. Perjalanan neuropati yang
progresif dapat mengakibatkan kaki kehilangan proteksi karena sensorik yang hilang
sehingga kaki menjadi rentan terhadap cedera dan luka (ulkus).2
Inspeksi kaki dapat memberikan petunjuk berharga tentang keberadaan dan tingkat
keparahan neuropati sensoris. Atrofi otot-otot intrinsik tangan dan kaki seringkali
merupakan kondisi stadium akhir yang sangat sering dikaitkan dengan polineuropati.
Pemeriksaan yang biasa dilakukan untuk mendeteksi polineuropati adalah dengan
mengidentifikasi sensorik. Penilaian dari deteksi polineuropati dapat menghasilkan hasil
yang hampir normal meskipun sensitivitas pasien berkurang terhadap nyeri dan benar-
benar menunjukkan loss of protection sensation (LOPS).7,8
Sensasi Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang sering terjadi pada penderita DM dengan
neuropati perifer. Pasien dapat datang dengan berbagai keluhan seperti rasa tersengat
listrik, rasa panas, rasa tertusuk atau tercubit pada ekstremitas bawah.2 Metode sederhana
yang dapat digunakan untuk menilai rasa nyeri adalah dengan menggunakan ID pain scale
yang terdapat pada tabel di bawah ini:9
Palpasi Nadi
Palpasi nadi dilakukan pada arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior. Jika
pada palpasi didapatkan nadi teraba kuat angkat maka penilaiannya adalah 0 atau non
iskemik. Jika pada palpasi teraba tetapi sedikit berkurang kekuatannya maka penilaiannya
adalah 1 atau ringan. Jika pada palpasi denyut nadi teraba lemah maka penilaiannya
adalah 2 atau sedang. Jika pada palpasi, pembuluh darah sama sekali tidak teraba maka
penilaiannya adalah 3 atau berat.2,8
0,9 Borderline
Angiografi
Merupakan baku emas untuk diagnosis PAP. Pemeriksaan ini direkomendasikan
untuk evaluasi pasien yang akan menjalani prosedur revaskularisasi atau jika prosedur
noninvasif tidak mendapatkan hasil yang diharapkan. Indikasi angiography adalah kelas I
untuk pasien PAP jika ada pertimbangan untuk dilakukan tindakan revaskularisasi.2,13
Debridemen
Debridemen adalah suatu tindakan untuk membuang jaringan nekrosis, callus dan
jaringan fibrotik. Tindakan ini dapat meningkatkan pengeluaran faktor pertumbuhan
(growth factor) yang membantu proses penyembuhan luka.2
Debridemen dilakukan pada kasus ulkus diabetes dengan tampilan tepi luka yang
tebal atau jaringan nekrotik. Tujuannya adalah menghilangkan seluruh jaringan nekrotik
dan jaringan non-viabel dengan gangguan vaskularisasi, serta mempertahankan drainase
yang baik sehingga terjadinya jaringan granulasi yang baik.2,16
Beberapa tindakan debridemen yang lazim dikerjakan pada pasien DM dengan kaki
diabetes meliputi: nekrotomi, mutilasi dan amputasi jari, kaki, bawah lutut (bellow-knee),
atau atas lutut (above-knee). Amputasi dapat dipertimbangkan untuk dilakukan bila ada
satu dari hal-hal berikut: jaringan nekrotik luas, iskemi jaringan yang tidak dapat
direkonstruksi, gagal revaskularisasi, Charcot's foot dengan instabilitas (butuh jam terbang
tinggi untuk menentukannya), infeksi akut dengan ancaman kematian (gas gangren),
infeksi/luka yang tidak membaik dengan terapi adekuat, gangren.2,16
Ada beberapa metode debridemen, yaitu surgical (sharp), autolitik, enzimatik, kimia,
mekanis dan biologis. Debridemen sebaiknya membuang jaringan matisekitar 2-3 mm dari
tepi luka ke jaringan sehat.2,16
Surgical debridement merupakan metode standar baku pada ulkus diabetes dan
paling efisien, khususnya pada luka yang banyak terdapat jaringan nekrosis atau terinfeksi.
Kadang-kadang amputasi diperlukan pada kasus ulkus diabetes yang mengalami infeksi
dan membahayakan jiwa pasien.2,16
Debridemen enzimatis menggunakan agen topikal yang akan merusak jaringan
nekrotik dengan enzim proteolitik seperti papain, colagenase, fibrinolisin-Dnase,
papainurea, streptokinase, streptodornase dan tripsin. Selain itu diberikan antibiotik topikal
DAFTAR PUSTAKA
1. Waspadji S. Kaki Diabetes dalam Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Ed.VI.
Jakarta: InternaPublishing; 2014:2367-74
2. Sucipto, Krishna W. Tata Laksana Komprehensif Kaki Diabetik. Banda Aceh: in
press. 2019: p. 1-59
3. Internatinal Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas 8th Edition, International
Diabetes Federation. 2017. Available at: http://www.diabetesatlas.org/across-the-
globe.html
4. World Health Organization. Global Report on Diabetes. Geneva: WHO Press. 2016
5. American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes-2019:
Abridged for Primary Care Providers. Clin Diabetes. 2018;36(1):14-37.
6. Mishra SC, Chhatbar KC, Kashikar A, Mehndiratta A. Diabetic foot. BMJ. 2017;359:
j5064. Published 2017 Nov 17. doi: 10.1136/bmj.j5064
PENDAHULUAN
Penyakit Diabetes Melitus (DM), juga dikenal sebagai penyakit kencing manis atau
penyakit gula darah, merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar
gula dalam darah sebagai akibat dari adanya gangguan metabolisme dalam
tubuh.Penderita DM memiliki berbagai macam komplikasi, yang tersering salah satunya
adalah ulkus diabetikum atau luka neuropati. Ulkus diabetikum adalah infeksi akibat
adanya kerusakan jaringan yang lebih dalam terkait adanya gangguan neurologis dan
vaskuler pada tungkai. Pasien DM dengan ulkus diabetikum membutuhkan perawatan luka
yang benar dan intensif agar penyembuhan lebih baik dan tidak menimbulkan komplikasi
lain yang lebih buruk, serta mencegah dilakukannya amputasi.
Diabetes mellitus merupakan salah satu penyebab utama penyakit kronis dan
kehilangan anggota gerak di dunia, sampai saat ini tercata sebanyak 382 juta orang yang
terkena. Di dunia, diprediksikan pada tahun 2035, angka kasus diabetes dapat mencapai
592 juta.1Di Indonesia sendiri diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi diabetes
mellitus mencapai 21.3 juta orang. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat diabetes melitus pada
kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%,
sedangkan di daerah pedesaan, diabetes melitus menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%.2
Klasifikasi ini juga dapat memberikan gambaran akan resiko amputasi pada pasien,
sehingga dokter yang menangani dapat mempersiapkan dan mengedukasi pasien. Resiko
amputasi berdasarkan kondisi klinis dan klasifikasi WIfI dapat dilihat pada tabel 3.
Off-loading
Off-loading dilakukan pada pasien-pasien diabetes yang sudah mengalami ulkus.
Prinsip off-loading merupakan salah satu komponen penting dalam perawatan menangani
ulkus diabetikum, yaitu dengan mengurangi beban tubuh pada kaki yang terkena ulkus.
Terdapat 4 prinsip off-loading yang direkomendasikan, antara lain11,12,13:
a) Pasien diabetes dengan ulkus di daerah plantar disarankan menggunakan total
contact cast (TCC).
b) Pasien diabetes dengan ulkus yang memerlukan penggantian dressing secara
berkala direkomendasikan menggunakan removable cast walker (RCW).
Perawatan Luka
Perawatan luka pada ulkus diabetikum memerlukan tindakan irigasi dan
debridemen yang sering, dressing pelindung, kontrol infeksi dan inflamasi, serta off-loading
dari plantar pedis yang terkena. Evaluasi yang direkomendasikan berselang 1-4 minggu
dengan monitor ukuran luka dan proses penyembuhan. Dressing luka yang digunakan
sebaikan dapat menjaga kelembaban dari dasar luka, mengontrol eksudat, dan mencegah
terjadinya maserasi pada kulit sekitar yang masih intak.16Kelembaban dasar luka pada luka
terbuka penting dalam proses penyembuhan luka, maka dari itu dressing yang disarankan
adalah non-adherent dressing dalam menjaga kelembaban dasar luka. Pada jaringan-
jaringan yang dianggap tidak vital lagi dan jika terdapat callus, dapat dilakukan debridemen
secara tajam.
Dalam perawatan luka, terdapat beberapa metode dan bahan, dari yang
konvensional sampai dengan yang saat ini masih dikembangkan. Dalam metode
konservatif, bahan-bahan yang digunakan masih sederhana, seperti cairan normal salin
yang digabungkan dengan povionde iodine atau dengan zinc oxide yang ditutup dengan
DAFTAR PUSTAKA
Pendahuluan
Food labelling atau label pangan sesungguhnya bukan sesuatu yang asing bagi
para konsumen. Setiap konsumen pasti akan memperhatikan label pada tiap kemasan
bahan makanan, sebelum memutuskan untuk membeli bahan pangan tersebut. Karena itu
dalam makalah ini akan mencoba untuk membahas lebih terperinci mengenai apa-apa saja
sebenarnya yang harus tercantum dalam suatu label pangan.
Label Pangan
Label pangan adalah segala sesuatu yang tertulis, dicetak atau gambar yang ada
pada kemasan produk makanan atau berada didalam kemasan makanan yang bertujuan
untuk mempromosikan penjualan atau pembuangannya. Label pangan adalah sesuatu
yang memang harus dilampirkan oleh produsen suatu makanan dan diatur oleh
pemerintah. Label pangan dapat ditempel pada kemasan, dicetak pada kemasan atau
dapat dimasukkan kedalam kemasan. Label makanan menjadi penting karena
mengandung semua informasi yang dibutuhkan oleh konsumen tentang bahan makanan
yang hendak mereka makan, termasuk kandungan nutrisinya.
Adapun tujuan pangan adalah:
1. Memberi informasi tentang isi produk yang diberi label tanpa harus membuka
kemasan
2. Berfungsi sebagai sarana komunikasi produsen kepada konsumen tentang hal-hal
yang perlu diketahui oleh konsumen tentang produk tersebut, terutama hal-hal yang
kasat mata atau tidak diketahui secara fisik
3. Memberi petunjuk yang tepat pada konsumen hingga diperoleh fungsi produk yang
optimum
4. Sarana periklanan bagi produsen
5. Memberi rasa aman bagi konsumen
9. Sertifikasi Halal
Indonesia sebagai negara dengan pemeluk agama Islam terbanyak, sertifikasi
Halal ini menjadi penting. Untuk mendukung kebenaran pernyataan Halal pada
label pangan maka pangan tersebut wajib diperiksa terlebih dahulu pada lembaga
pemeriksa yang telah diakreditasi dan memiliki kompetensi di bidang tersebut
sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
10. Penggunaan atau Penyajian dan Penyimpanan Pangan
Keterangan tentang petunjuk penggunaan dan atau petunjuk penyimpanan yang
dicantumkan pada pangan olahan yang memerlukan penyiapan sebelum disajikan
Referensi
1. Dinas Ketahanan Pangan. Artikel Penerapan Label Pangan. 2018. Available from :
http://dkp.bulelengkab.go.id
2. Muchlisin Riadi. Pengertian, Fungsi, Jenis dan Ketentuan Label Produk. Available
from: http:// www.kajianpustaka.com
3. Palupi, Ika Ratna. Naomi, Novita Dhian. Susilo, Joko. Penggunaan Label Gizi dan
Konsumsi Makanan Kemasan pada Anggota Persatuan Diabetisi Indonesia.
KESMAS. Vol 11. 2017:1-8
4. World Health Organization. Codex Alimentarius Food Labelling. 5th Edition. 2007
5. United States Food and Drug Administration. How to Understand and Use the Nutrition
Facts Label. Available from : http :// www.fda.gov
Introduction
Over the last three to four decades, overnutrition and obesity have been
transformed from relatively minor public health issues that primarily affected the most
affluent societies to a major threat to public health that is being increasingly seen
throughout the world. The plight of the most affected populations, like those in high-income
countries in North America, Australasia and Europe, has been well publicized. However,
the more recent increases in population obesity in low- and middle-income countries that
are now increasingly being observed have been less recognized.(1) The Global Burden of
Metabolic Risk Factors of Chronic Diseases Collaborating Group analyzed data from 199
countries and territories and 9.1 million adults with respect to the prevalence of overweight
and obesity between 1980 and 2008. During that 28-year period, the prevalence of obesity
nearly doubled worldwide. In 2008, about 1.5 billion adults were estimated to have a body
mass index (BMI) of 25 or more (about 34%). Of these, 500 million were considered obese
(about 10% in men and 14% in women).(1, 2) In 2016, a study by the NCD Risk Factor
Collaboration indicated, 124 million children and adolescents worldwide were obese,
compared with 11 million in 1975.(3)
The epidemiology of obesity has for many years been difficult to study because
many countries had their own specific criteria for the classification of different degrees of
overweight. Gradually, during the 1990s, however, the BMI (weight/height2) became a
universally accepted measure of the degree of overweight, and now, identical cutoff points
are generally recommended. This most recent classification of overweight in adults by the
World Health Organization (WHO) is given in table 1.(1)
A WHO expert consultation acknowledged that, at a given BMI, people from Asian
populations may have vastly different levels of fatness and a different fat distribution
compared to Caucasian populations. This, at least in part, may result in similar health risks
in Asians at lower levels of BMI than in Caucasian populations.(4) However, the Asia Pacific
Cohort Studies Collaboration has proposed that the international classification of obesity
should be adapted for Asian countries. They indicated that, in Asian populations,
overweight should be classified as a BMI above 23 and obesity as a BMI of 25 or higher.(5)
The adipocyte is the cellular basis for obesity, may be increased in size or number
in obese persons. Hypertrophic obesity is characterized by enlarged fat cells, typical of
android abdominal obesity. Hypercellular obesity is more variable than hypertrophic
obesity; it typically occurs in persons who develop obesity in childhood or adolescence, but
it is also invariably found in subjects with severe obesity. Hypertrophic obesity usually starts
in adulthood, is associated with increased cardiovascular risk, and responds quickly to
weight reduction measures. In contrast, patients with hypercellular obesity may find it
Prevention of Obesity
Adequate management of obesity as a chronic condition for those who are already
obese is important and requires the principles of integrated care for disease management.
Combined lifestyle interventions target physical activity as well as diet and include
psychological techniques such as motivational interviewing and cognitive behavioral
therapy. The intervention phase, with a focus on behavior change and weight loss, is
followed by a phase of relapse prevention and, if necessary, long-term behavioral and
weight maintenance support.(1)
From a public health perspective, a sustainable approach towards effective
prevention is a more affordable strategy. In order to adequately prevent obesity, the
upstream causal factors need first to be identified.(1) Swinburn et al. have pointed out that
the simultaneous increases in obesity in almost all countries seem to be driven mainly by
changes in the global food supply, which is offering more processed, affordable and
effectively marketed food than ever before. Energy-dense palatable foods lead to
overconsumption which, in turn, contributes to weight gain and obesity. Factors in the
global food system combined with local environmental factors result in large differences in
obesity prevalence between populations. Individuals respond to local environmental factors
like sociocultural and economic factors and the physical environment (fig. 2).(8)
Food labels can be implemented in different forms, for example through nutrient
lists and profiles, informative logos, which can convey either positive or negative
characteristics of the product, traffic light schemes, on a compulsory or voluntary basis.
Nutrient lists on packaged foods are compulsory by law in the vast majority of OECD
countries. Both compulsory (e.g. Chile, Korea) and voluntary (e.g., Sweden, Denmark)
frontof-pack (FOP) labels have been introduced (see Box1). Initial evidence of the impact
on food choices and diet suggests that easy-to-understand interpretative labelling prompts
a higher response rate from consumers than simply listing nutrient profiles (Cecchini and
Warin, 2016). There is also evidence that FOP labelling can motivate food manufacturers
to reformulate products with lower levels of nutrients that contribute to obesity (Kloss et al.,
2015), while evidence on the impact of recent FOP labelling on BMI and obesity would
require a longer time period to be detected.(14)
For example, evidence suggests that “traffic-light” systems have the potential to
increase the number of people selecting a healthier option by about 18% and lead to a 4%
decrease in calorie intake (Cecchini and Warin, 2016). According to a ten-week experiment
on food labelling run across 60 different supermarkets in France, the fivecolour NutriScore
label was found to be the most effective nutritional labelling system among those studied
and was selected to be implemented across the country as from April 2017. In December
2016, as part of its Healthy Eating Strategy, Canada launched a public consultation on a
new compulsory food labelling logo that will warn about “high in sodium, sugars, and
saturated fat” contents.(14)
Food labelling in restaurants helps reduce calorie intake. For example, an
Australian case study showed that consumers who were exposed to food labelling
information selected meals with about 120 kcal lower energy content (Morley et al., 2013).
In Washington State, United States, there was a drop of about 15 calories and 1.5 grams
of fat per entrée sold after the introduction of labelling on the menus in six fullservice
restaurants. On the other hand, the introduction of menu calorie labelling in New York City
was shown to have little effect on the amount of calories purchased, although 28% of those
who saw calorie labelling reported that this information affected their choices.(14)
Pendahuluan
Dalam beberapa dekade, pengobatan diabetes melitus memiliki fokus untuk
mengurangi kadar glukosa darah hingga mencapai kisaran normal dengan asumsi bahwa
strategi penurunan glukosa yang intensif akan menghasilkan pencegahan efek
mikrovaskular dan makrovaskular 7. Diabetes melitus adalah penyakit yang memerlukan
terapi kombinasi untuk mengontrol kenaikan gula darah. Patofisiologi dari diabetes melitus
adalah komplek dan multifaktorial. Hiperglikemia kronik memicu progresifitas perburukan
sekresi insulin, resistensi insulin dan diabetes. Beberapa obat antidiabetik sudah
dikembangkan dan digunakan dalam praktek klinis, namun rata- rata pasien diabetes
melitus tipe 2 masih belum mencapai target terapi karena itu diperlukan strategi terapi
baru yang efisien untuk Diabetes melitus tipe 2 baik monoterapi maupun terapi kombinasi.
Saat ini tersedia beberapa obat untuk pengobatan diabetes melitus, golongan terbaru yaitu
Sodium – glucose cotransporter – 2 ( SGLT2) inhibitor yang menurunkan reasorbsi gukosa
di ginjal dan meningkatkan ekresinya melalui urin. Sodium – glucose cotransporter – 2
(SGLT2) inhibitor adalah salah satu obat untuk anti hiperglikemia yang mendapatkan
persetujuan oleh FDA. Mekanisme SGLT2 inhibitors ialah mengurangi penyerapan glukosa
di tubular, menghasilkan pengurangan glukosa darah tanpa menstimulasi insulin 1, 17, 18.
SGLT2 inhibitors bekerja pada proximal tubulus ginjal yang memiliki efek
terhadap fungsi ginjal dan homeostasis. SGLT2 inhibitors terutama digunakan untuk
diabetes melitus tipe 2 dalam mengontrol glukosa darah untuk mencapai penurunan
HBA1c 7-10 mmol/mol (0,6-0,9%) pada individu yang memiliki kontrol glukosa yang buruk
8. SGLT2 inhibitors co tranporters bekerja di proximal tubulus ginjal, dimana SGLT2
inhibitors secara aktif mereabsobrsi glukosa secara optimal dan mempertahankan kadar
glukosa darah tetap stabil. SGLT2 bekerja secara selektif mencegah reabsorbsi glukosa di
ginjal dan meningkatkan sekresinya melalui urin3. Ada 3 jenis obat golongan SGLT2
inhibitors yang saat ini dipakai dalam terapi diabetes melitus tipe 2; canagliflozin,
dapagliflozin, dan empagliflozin. 4-6.
Semua obat-obatan SGLT2 inhibitors mempunyai mekanisme yang sama,
meskipun canagliflozin diketahui memiliki afinitas SGLT2 cotransporters yang ditemukan
Daftar Kepustakaaan
Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) merupakan penyakit metabolik yang ditandai oleh adanya
hiperglikemia yang bersifat kronik dan progresif. Walaupun secara patogenesisnya
terutama disebabkan oleh adanya reisitensi insulin dan gangguan fungsi sel beta, namun
banyak organ dan sistem yang berperan dalam metabolismeglukosa dan sekaligus
berpengaruh terhadap keadaan hiperglikemia pada penderita DMT2. Organ atau sistem
tersebut diantaranya adalah: otak, saluran cerna, pankreas, otot, jaringan lemak, hati, dan
ginjal. Obat-obatan untuk DMT2 yang ada kini dikembangkan berdasarkan mekanisme
penyakit dan peran organ atau sistem yang terlibat dalam patofisiologi DMT2. Salah satu
obat yang ada saat ini adalah penghambat sodium glucose cotransporter-2 (SGLT2) yang
kerjanya dengan cara menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus proksimalis
ginjal.
Peran ginjal dalam metrabolisme glukosa pada orang normal dan diabetes
Dalam keadaan puasa (postabsorptive) pada orang sehat, ginjal menyumbang
sekitar 20%-25% glukosa yang dikeluaran ke dalam sirkulasi melalui glukoneogenesis (15-
55 g per hari), dan hati bertanggung jawab sisanya melalui glikogenolisis dan
glukoneogenesis. Glukoneogenesis ginjal terjadi terutama di dalam sel tubulus proksimalis
pada korteks gunjal, dan terutama diregulasi oleh insulin dan katekolamin (seperti
adrenalin). Insulin menghambat dan adrenalin memicu terjadinya glukoneogenesis di
ginjal. Pada keadaan setelah makan (postprandial), glukoneogenesis ginjal relatif
meningkat dibandingkan pada saat keadaan puasa. Pelepasan glukosa ginjal diregulasi
oleh insulin, berarti jika terjadi resistensi insulin, penekanan pelepasan glukosa ginjal akan
menurun; ini menjelaskan adanya peningkatan reabsorpsi glukosa akibat upregulation
transporter glukosa ginjal (GLUTs).
Ginjal berperan penting dalam konservasi glukosa, menyaring 160-180 g glukosa
per hari pada orang sehat, dimana diserap kembali di tubulus proksimalis ginjal.
Reabsorpsi glukosa terjadi melalui SGLT dan GLUTs. Energi untuk transport glukosa
secara aktif yang diperantarai SGLT melewati membran sel adalah berasal dari gradient
potensial Na elektro-kimia. Ini dipelihara dengan transport ion Na intraseluler ke dalam
darah melalui sodium-potassium adenosine triphosphatase (ATPase) pumps yang terletak
di membran basolateral. GLUTs mengikat glukosa, glukosa secara pasif ditranspor lewat
membran sel dari kompartemen intraseluler kedalam plasma. Di dalam tubulus
SGLT2 terletak di tubulus proksimalis bagian awal (segmen S1) dimana glukosa diserap
kembali sekitar 90%, dan sisanya glukosa diserap melalui SGLT1 yang terletak di tubulus
proksimalis bagian distal (segmen S2/S3). Zelniker T.A. and Braunwald E. J Am Coll
Cardiol. 2018;72(15):1845–55.
Penghambatan SGLT2 (1) menyebabkan ekskresi glukosa dan natrium (Na+) (2)
di dalam urine. Akibat hilangnya garam tubuh menyebabkan vasokonstriksi arteriol aferen.
Oleh karena reabsorpsi glukosa berikatan dengan absorpsi Na+, maka terjadi peningkatan
Na+ di makula densa (4), meningkatkan aktivasi umpan balik tubuloglomeruler yang
menyebabkan vasokonstriksi arteriol aferen, dimana dipicu terutama oleh kaskade sinyal
termediasi adenosine (5). Makula densa menghambat pelepasan renin dari sel
Pendahuluan
Penyakit kardiovaskular aterosklerotik (PKV) adalah penyebab utama kematian di
seluruh dunia, dan pasien PKV bersamaan dengan dislipidemia berisiko tinggi untuk
kejadian kardiovaskular [Pekkanen et al, 1990)]. Di Amerika Serikat penyebab utama
kematian yang berhubungan dengan hiperlipidemia hampir 400.000 kematian / tahun
[Mozaffarian, 2015]. Modifikasi lipid terutama menurunkan LDL dengan terapi statin adalah
salah satu pilar pencegahan dan pengobatan PKV. Dari berbagai uji meta-analisis,
pengobatan statin dapat mengurangi kejadian PKV [Pauriah et al, 2014]. Dari beberapa
pengamatan terdapat hubungan positif yang kuat antara peningkatan kadar kolesterol LDL
dan peningkatan risiko kejadian kardiovaskular [Emerging Risk Factors Collaboration,
2010]. Menurunkan kolesterol LDL diperkirakan dapat memperlambat perkembangan
aterosklerosis dan mengurangi kejadian kardiovaskular.
Secara klinis, statin telah digunakan selama 20 tahun untuk mengurangi kolesterol
LDL dengan menghambat 3-hydroxy-3-methylglutaryl (HMG CoA) reductase dan secara
endogen menurunkan produksi kolesterol LDL di hati.
Pengobatan menurunkan LDL sampai ke level 70mg/dl tertuju pada mereka yang
mempunyai factor risiko tinggi penyakit kardiovaskular [Nayor, 2016]. Namun, meski sudah
mencapai level target 70mg/dl dengan terapi statin intensitas tinggi, masih tetap ada factor
risiko sisa terhadap PKV [Boden, 2011]. Dari hasil penelitian, statin dapat menurunkan
risiko kardiovaskular 31%, berarti masih ada 69% risiko relatif, dan penyakit kardiovaskular
lain termasuk stroke yang bertanggungjawab terhadap 25% kematian di seluruh dunia.
Untuk itu, perlu mengatasi factor risiko sisa. Sebuah penelitian meta-analisis melaporkan
bahwa pengurangan 1mmol per liter dalam kadar kolesterol LDL menghasilkan penurunan
20% -25% risiko kejadian kardiovaskular dan 12% kematian total [Wanner, 2005]. Studi
PROVE IT-TIMI mencatat risiko sisa kardiovaskular 22,4% meskipun mengurangi LDL
menjadi 62mg/dl. Risiko sisa ini adalah target dalam berbagai penelitian dengan
memodulasi level HDL dan TG namun hasilnya tetap mengecewakan. Singkatnya, risiko
sisa perlu diatasi meskipun level target LDL sudah tercapai.
Penggunaan inhibitor PCSK9 muncul sebagai alternatif yang menjanjikan untuk
mencapai target level LDL bahkan sampai dibawah target. Statin atau PCSK9 dapat
meningkatkan ambilan reseptor LDL sebesar 25-35% di hepatosit. Dengan demikian
inhibitor PCSK9 mempunyai efek penyeimbang statin saat diberikan dalam kombinasi
Dapatkah Terapi Statin Dosis Tinggi Jangka Pendek Mengurangi Risiko Kejadian
Kardiovaskular?
Terapi statin pada periode pasca intervensi koroner perkutan masih kontroversial.
Studi dari ARMYDA terhadap 150–300 pasien, bahwa penggunaan statin praintervensi
bisa mengurangi kejadian kardiovaskular [Di Sciascio et al, 2009]. Namun studi ALPACAS
pada populasi Cina dan Korea tidak secara signifikan mengurangi risiko setelah 30 hari
MACE dibandingkan dengan dosis terapi konvensional statin [Jang et al, 2014], sama juga
dengan studi ISCAP mengkonfirmasi terapi statin tidak memiliki efek perlindungan
kardiovaskular [Zheng et al, 2015].
Studi pada pasien dengan angina pectoris stabil yang menjalani intervensi koroner
perkutan, pemberian statin 2 hari sebelum prosedur tidak mengurangi MACE dalam waktu
jangka panjang [Veselka et al, 2011]. Studi STICS yang meneliti pemberian statin sebelum
dan setelah operasi jantung yang direncanakan tidak mengurangi komplikasi jantung
pasca operasi [Zheng, 2016]. Studi-studi ini secara konsisten menunjukkan bahwa
pemberian statin dosis tinggi dalam waktu jangka pendek tidak memiliki efek dan tidak
dapat mengurangi kejadian kardiovaskular.
Studi secara luas tentang penurunan LDL yang sangat rendah sedang berjalan,
namun ada kekhawatiran tentang efeknya dalam jangka panjang. Apakah tingkat penurun
kolesterol non statin dapat mengurangi kejadian penyakit kardiovaskular? Studi IMPROVE
‐ IT mengkonfirmasi untuk pertama kalinya bahwa non statin juga memiliki manfaat
kardiovaskular jika dikombinasi dengan statin. Dibandingkan dengan statin saja, ezetimibe
plus statin menurunkan kadar LDL (53,7 mg/dLvs 69,5 mg/dL) dan mengurangi kematian
kardiovaskular, MI, lama rawat inap untuk angina tidak stabil, revaskularisasi, atau stroke
sebesar 6,4% (P = 0,016) [Cannon et al, 2015]. Penelitian dari EMPATER [Sabatine et al,
2016] dan ODYSSEY [Steg, 2018] keduanya mengkonfirmasi bahwa penambahan inhibitor
PSCK9 sebagai non statin pada terapi statin, dapat mengurangi LDL dan mengurangi
kejadian bahkan semua penyebab kematian PKV. Analisis dari 14 percobaan oleh
Robinson et al. menunjukkan keamanan dan kemanjuran alirocumab untuk mencapai LDL
yang rendah di bawah 15mg/dl, topic ini mendapatkan banyak perhatian [SPARCL, 2006].
Menurunkan LDL ke tingkat yang sangat rendah dengan statin monoterapi
menimbulkan masalah keamanan pada beberapa pasien. Sementara kemunculannya
inhibitor PCSK9 dapat memecahkan masalah. Tetapi efektivitas dan biaya pengobatan
dengan inhibitor PCSK9 tetap dipertanyakan. Selain efek imunogenik, reaksi di tempat
injeksi dari yang ringan sampai anafilaksis dan hilangnya kemanjuran obat perlu diteliti
lebih lanjut. Dari percobaan SPIRE, terdapat antibody terhadap komponen murine dari
bococizumab pada 15-20% pasien sedangkan antibody pengguna alirocumab sebesar
Kesimpulan
Menurunkan LDL adalah strategi penting untuk pencegahan dan pengobatan PKV.
Manfaat statin untuk mengurangi PKV tergantung pada pengurangan LDL absolut.
Beberapa penelitian mengkonfirmasi bahwa penggunaan non statin dalam menurunkan
LDL sama manfaatnya dengan statin. Selain itu, dibandingkan dengan statin dosis tinggi,
gabungan statin dengan non statin seperti ezetimibe, dosis statin bisa lebih rendah dan
dapat mengurangi risiko PKV secara signifikan. Maka, terapi ini juga merupakan pilihan
lain untuk penurun lipid dengan kemanjuran dan bukti yang cukup.
Daftar Kepustakaaan
1. Cannon CP, Blazing MA, Giugliano RP, McCagg A, White JA, Theroux P, et al.
Ezetimibe added to statin therapy after acute coronary syndromes. N Engl J Med
2015; 372:2387‐97.
2. D. Mozaffarian, E. J. Benjamin, A. S. Go et al., “Heart disease and stroke statistics—
2016 update,” in Circulation, vol. 132, American Heart Association, 2015.
3. Di Sciascio G, Patti G, Pasceri V, Gaspardone A, Colonna G, Montinaro A, et al.
Efficacy of atorvastatin reload in patients on chronic statin therapy undergoing
percutaneous coronary intervention: Results of the ARMYDA‐RECAPTURE
(Atorvastatin for reduction of myocardial damage during angioplasty) randomized trial.
J Am CollCardiol 2009; 54:558‐65.
4. Emerging Risk Factors Collaboration. Diabetes mellitus, fasting blood glucose
concentration, and risk of vascular disease: a collaborative metaanalysis of 102
prospective studies. Lancet 2010; 375:2215–22.
5. Jang Y, Zhu J, Ge J, Kim YJ, Ji C, Lam W, et al. Preloading with atorvastatin before
percutaneous coronary intervention in statin‐na.ve Asian patients with non‐ST
elevation acute coronary syndromes: A randomized study. J Cardiol 2014; 63:335‐43.
6. Krane V, Schmidt K-R, Gatjahr-Lengsfled LJ, et al, for the 4D study investigators (the
German Diabetes and Dialysis Study investigators). Longterm effects following 4
years of randomized treatment with atorvastatin in patients with type 2 diabetes on
hemodialysis. Kidney Int 2016; 89:1380–7.
7. M. Nayor and R. S. Vasan, “Recent update to the us cholesterol treatment guidelines:
A comparison with international guidelines,” Circulation, 2016;133(18):1795–1806.
8. Pauriah M, Elder DH, Ogston S, Noman AY, Majeed A, Wyatt JC, et al. High-potency
statin and ezetimibe use and mortality in survivors of an acute myocardial infarction:
a population-based study. Heart. 2014; 100:867-72.
9. Pekkanen J, Linn S, Heiss G, Suchindran CM, Leon A, Rifkind BM, et al. Ten-year
Abstrak
Penyakit Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang
paling sering ditemui dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi, terutama di negara
negara berkembang. Penyakit ini disebabkan oleh berbagai faktor mulai dari kelainan
genetic sampai faktor lingkungan, sehingga memerlukan analisis yang rumit untuk
menetapkan target terapi maupun pemilihan obat anti diabetes atau tindakan khusus yang
diperlukan. Perlu diketahui bahwa beberapa macam obat anti diabetes, mempunyai
kemampuan mengganggu sistim kardiovaskuler.
Kaitan antara perbaikan kontrol glukosa dengan menurunnya angka kejadian
komplikasi mikrovaskuler sudah terbukti kebenarannya, namun bukti tentang hubungan
kontrol glukosa darah dengan penyakit kardiovaskuler (makrovascular) masih tidak terlalu
nyata. Bahkan terjadinya hipoglikemi akibat pemberian obat anti dibates justru
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler yang tidak menguntungkan serta mengurangi
manfaat dari pengendalian glukosa darahnya. Sangat dianjurkan pemilihan obat anti
diabetes yang akan diberikan harus disesuaikan dengan kebutuhan pasien DM, dengan
memperhatikan berbagai faktor penyerta seperti: usia, lamanya menyandang DM, adanya
komplikasi akut maupun kronis, kemampuan social-ekonomi, dll. Perlu juga diperhatikan
bahwa penatalkasanan DM seahrusnya menggunakan pendekatan model perawatan
kronis dengan Tim yang mencukupi. Hal ini akan membantu kemudahan mencapai target
terapi serta mengurangi/mencegah terjadinya risiko panyakit kardiovaskuler.
Setelah Nissen and Wolski melaporkan tentang meningkatnya risiko terjadinya
miokar infark (MI) dan kematian yang berhubungan dengan penggunaan rosiglitazone,
kemudian the Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 2008 mengeluarkan buku
panduan baru untuk industry farmasi, bahwa untuk obat anti diabetes baru yang akan
dipasarkan harus melalui uji keamanan terhadap risiko kardiovaskuler.
Data dari UKPDS, telah terbukti manfaat metformin dalam jangka panjang
terhadap penurunan risiko kardiovaskuler. Berbagai data klinis yang ada menunjukkan
bahwa ke-tiga macam obat penghambat DPP-4 berpengaruh netral terhadap risiko
kardiovaskuler, meskipun saxagliptin diduga meningkatkan kemungkinan timbulnya gagal
jantung untuk beberapa pasien, sedangkan penggunaan alogliptin tetap diperdebatkan
dalam kemampuan menyebabkan gagal jantung.
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 100
References:
1. Boussageon R, Bejan‐Angoulvant T, Saadatian‐Elahi M, Lafont S, Bergeonneau C,
Kassai B, Erpeldinger S, Wright JM, Gueyffier F, Cornu C. Effect of intensive glucose
lowering treatment on all cause mortality, cardiovascular death, and microvascular
events in type 2 diabetes: meta‐analysis of randomised controlled trials. BMJ.
2011;343: d4169.
2. Casagrande S, Fradkin JE, Saydah SH, Rust KF, Cowie CC. The prevalence of
meeting A1C, blood pressure, and LDL goals among people with diabetes, 1988–
2010. Diabetes Care. 2013;36(8):2271–9.
3. Duckworth W, Abraira C, Moritz T, Reda D, Emanuele N, Reaven PD, Zieve FJ, Marks
J, Davis SN, Hayward R, et al. Glucose control and vascular complications in veterans
with type 2 diabetes. N Engl J Med. 2009;360(2):129–39.
4. Elley CR, Kenealy T, Robinson E, Drury PL. Glycated haemoglobin and car‐
diovascular outcomes in people with Type 2 diabetes: a large prospective cohort
study. Diabet Med. 2008;25(11):1295–301.
5. Food and Drug Administration. Guidance for Industry: Diabetes Mellitus—Evaluating
cardiovascular risk in new antidiabetic therapies to treat type 2 diabetes. US
Department of Health and Human Services. 2008
6. Gerstein HC, Miller ME, Byington RP, Goff DC Jr, Bigger JT, Buse JB, Cushman WC,
Genuth S, Ismail‐Beigi F, Grimm RH Jr, et al. Effects of intensive glucose lowering in
type 2 diabetes. N Engl J Med. 2008;358(24):2545–59.
7. Holman RR, Sourij H, Califf RM. Cardiovascular outcome trials of glucose‐lowering
drugs or strategies in type 2 diabetes. Lancet. 2014;383(9933):2008–17.
8. Inzucchi SE, Bergenstal RM, Buse JB, Diamant M, Ferrannini E, Nauck M, Peters AL,
Tsapas A, Wender R, Matthews DR. Management of hyperglyce‐ mia in type 2
diabetes: a patient‐centered approach: position statement of the American Diabetes
Association (ADA) and the European Associa‐ tion for the Study of Diabetes (EASD).
Diabetes Care. 2012;35(6):1364–79.
9. Inzucchi SE, Bergenstal RM, Buse JB, Diamant M, Ferrannini E, Nauck
M, Peters AL,
Tsapas A, Wender R, Matthews DR. Management of hyperglycemia in type 2
diabetes, 2015: a patient‐centered approach: update to a position statement of the
American Diabetes Association and the European Association for the Study of
Diabetes. Diabetes Care. 2015;38(1):140–9.
10. Khaw KT, Wareham N, Bingham S, Luben R, Welch A, Day N. Association of
hemoglobin A1c with cardiovascular disease and mortality in adults: the European
prospective investigation into cancer in Norfolk. Ann Intern Med. 2004;141(6):413–20.
11. Lee G, Oh SW, Hwang SS, Yoon JW, Kang S, Joh HK, Kwon H, Kim J, Park D.
Comparative effectiveness of oral antidiabetic drugs in preventing cardiovascular
101 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
mortality and morbidity: A network meta-analysis. Plos One, 2017; 12(5):1-6.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0177646.
12. Mannucci E, Monami M, Lamanna C, Gori F, Marchionni N. Prevention of
cardiovascular disease through glycemic control in type 2 diabetes: a meta‐analysis
of randomized clinical trials. Nutr Metab Cardiovasc Dis. 2009;19(9):604–12.
13. Nissen SE, Wolski K. Effect of rosiglitazone on the risk of myocardial infarction and
death from cardio- vascular causes. N Engl J Med. 2007; 356:2457–2471.
https://doi.org/10.1056/NEJMoa072761 PMID: 17517853
14. O’Keefe JH, Abuannadi M, Lavie CJ, Bell DS. Strategies for optimizing glycemic
control and cardiovascular prognosis in patients with type 2 diabetes mellitus. Mayo
Clin Proc. 2011;86(2):128–38.
15. Patel A, MacMahon S, Chalmers J, Neal B, Billot L, Woodward M, Marre M, Cooper
M, Glasziou P, Grobbee D, et al. Intensive blood glucose control and vascular
outcomes in patients with type 2 diabetes. N Engl J Med. 2008;358(24):2560–72.
16. Raz I, Riddle MC, Rosenstock J, Buse JB, Inzucchi SE, Home PD, Del Prato S,
Ferrannini E, Chan JC, Leiter LA, et al. Personalized management of hyperglycemia
in type 2 diabetes: reflections from a Diabetes Care Edi‐ tors’ Expert Forum. Diabetes
Care. 2013;36(6):1779–88.
17. Shi L, Ye X, Lu M, Wu EQ, Sharma H, Thomason D, Fonseca VA. Clinical and
economic benefits associated with the achievement of both HbA1c and LDL
cholesterol goals in veterans with type 2 diabetes. Diabetes Care. 2013;36(10):3297–
304.
17.
18. Singh AK, Singh R. Recent cardiovascular outcome trials of antidiabetic drugs: A
comparative analysis. IJEM. htpp://www ijem.in 2017.
19. Wiviott SD, et al. Dapagliflozin and Cardiovascular Outcomesin Type 2 Diabetes.
NEJM 2018. DOI: 10.1056/NEJMoa1812389
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 102
INTELECTUAL DISABILITY PREVENTION IN CHILDREN
WITH HYPOTHYROIDISM
dr. Rusdi Andid, Sp.A (K)
Divisi Endokinologi Anak RSUDZA/ FK UNSYIAH
Latar Belakang
Hormone tiroid sangat penting untuk metabolisme energi, nutrien dan ion organik
termogenesis serta merangsang pertumbuhan dan perkembangan berbagai jaringan, pada
periode kritis juga untuk perkembangan susunan saraf pusat dan tulang.1,2
Hipotiroid kongenital masih merupakan salah satu penyebab tersering retardasi
mental yang dapat dicegah. Kelainan ini disebabkan oleh kurang atau tidak adanya
hormone tiroid sejak dalam kandungan. Hipotiroid yang tidak diintervensi sejak dini dapat
mengakibatkan retardasi mental berat. Peran hormone tiroid dalam maturasi sistem saraf
pusat (SSP) sudah diketahui sejak lama seperti mempengaruhi migrasi sel neuron dan
meningkatkan mielogenesis.1,3
Diketahui bahwa 95% hipotiroid kongenital tidak memperlihatkan tanda dan gejala
yang khas saat lahir dan durasi intervensi dini untuk mencegah retardasi mental singkat.
Program skrining memungkinkan bayi mendapat terapi dini dan memiliki prognosis yang
lebih baik terutama dalam perkembangan sistem neurologis.2,4
Definisi
Hipotiroid kongenital adalah suatu penyakit kekurangan hormon tiroid pada
neonatus. Hal ini terjadi karena kelainan anatomi atau gangguan metabolism pembentukan
hormon tiroid atau defisiensi yodium.3,4
103 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Gambar 1. Pasien dengan hipotiroid kongenital1
Etiologi
Hipotiroid permanen Hipotiroid transient
Disgenesis Drug induced
- Aplasia PTU
- Hipoplasia Methimazole
- Ektopik Yodium
Dishormogenesis
- Tidak responsive terhadap TSH Defisiensi yodium
- Defek trapping yodium Maternal antibody induced
- Defek pada tiroglobulin Idiopatik
- Defisiensi iodotirosine deiodinase
Hipotiroid sentral
- Anomali hipofisis-hipotalamus
- Panhipopituarisme
- Defisiensi TSH terisolasi
Etiologi hypothyroid kongenital cukup bervariasi.1
Diagnosis
Manifestasi Klinis
Umumnya bayi yang terdeteksi pada program skrining belum memperlihatkan
gejala klinis yang khas dan bila ada umunya gejala sangat ringan dan kurang jelas. Hanya
kurang dari 5 % bayi dengan hasil skrining positif memperlihatkan gejala klinis hipotiroid
kongenital.2,5
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 104
Skrining pada hari pertama kehidupan merupakan langkah yang paling penting
dalam pendekatan diagnosis kongenital hipotiroid dan penggantian defisiensi hormon juga
untuk mencegah konsekuensi yang tidak dapat diperbaiki.6,7
Pemeriksaan fisik
Indeks hipotiroidisme kongenital merupakan ringkasan tanda dan gejala yang
paling sering terlihat pada hipotiroidisme kongenital. Dicurigai adanya hipotiroid bila
skor indeks hipothyroid kongenital > 5. Tetapi, tidak adanya gejala atau tanda yang tampak
tidak menyingkirkan kemungkinan hipotiroid kongenital.8,9
Tabel 1. Skoring hipotiroid kongenital8
Gejala Klinis
Hernia umbilicalis 2
Kromosom Y tidak ada (wanita) 1
Pucat, dingin, hipotermi 1
Tipe wajah khas edematus 2
Makroglosi 1
Hipotoni 1
Ikterus lebih dari 3 hari 1
Kulit kasar, kering 1
Fontanella posterior terbuka (>3cm) 1
Konstipasi 1
Berat badan lahir > 3,5 kg 1
Kehamilan > 40 minggu 1
Total 15
Pemeriksaan penunjang
Tabel 2. pemeriksaan penunjang hipothiroid kongenital.2,8
Pemeriksaan darah
1. T4 bebas
2. TSH
3. T4 total
4. T3RU
5. TBG ( bila dicurigai defisiensi TBG)
Bila diperlukan:
6. Antibody antitiroid ( bila ada riwayat tiroiditis pada ibu)
7. Tiroglobulin
8. Alfa feto protein
Pemeriksaan urin:
105 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
1. Yodium urin ( bila dicurigai defisiensi atau kelebihan yodium)
Pemeriksaan radiologis:
1. Scan tiroid : Tc99m atau I123
2. Bone age untuk menilai umur tulang
Terapi
Adapun tujuan dari pengobatan tiroid adalah 9
1. Mengembalikan fungsi metabolism yang esensial agar menjadi normal dalam waktu
yang singkat. Fungsi tersebut termasuk termoregulasi, respirasi, metablisme otot dan
otot jantung yang sangat diperlukan pada masa awal kehidupan.
2. Mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak.
3. Mengembalikan tingkat maturitas biologis yang normal, khususnya yang menyangkut
otak seperti proses enzimatik di otak, perkembangan akson, dendrit, sel glia dan
proses mielinisasi.
Pengobatan Tiroksin
Hal terpenting dalam penanganan HK adalah diagnosis dini dan terapi subsitusi
hormone tiroid. Masa paling optimal untuk diagnosis adalah sebelum usia 10-13 hari dan
tercapainya kadar hormon tiroid normal sebelum usia 3 minggu. Sodium levotiroksin
merupakan obat terbaik yang direkomendasikan untuk terapi HK. Dosis Levotiroksin yang
dianjurkan untuk setiap kelompok usia.9,10
Tabel 3. Dosis Na LT4 yang dianjurkan untuk pengobatan hipotiroid9,10
Usia Na L-T4(µg/kg)
0-3 bulan 8-10
3-6 bulan 7-10
6-10 bulan 6-8
1-5 tahun 4-6
6-12 tahun 3-5
>12 tahun 3-4
Pemantauan
Tabel 4. pemantauan kemajuan klinis pasien dengan hipotiroid kongenital1-2
1. Pertumbuhan dan perkembangan
2. Pemantauan kadar T4 bebas dan TSH
- Dua minggu setelah terapi inisiasi dengan L tiroksin
- Empat minggu setelah terapi inisiasi dengan L tiroksin
- Setiap 1-2 bulan selama 6 bulan pertama kehidupan
- Tiap 3-4 bulan pada usia 6 bulan sampai 3 tahun
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 106
- Selanjutnya tiap 6-12 bulan
3. Bone age tiap tahun
4. Pemantauan psikometrik (jika diperlukan)
Prognosis
Prognosis meningkat secara dramatis dengan adanya neonatal screening
program. Prognosis juga bergantung pada etiologi yang pasti.Infant yang megalami
keadaan kadar T4 yang rendah dengan retardasi pematangan skeletal, mengalami
penurunan IQ 5-10poin, dan kelainan neuropskikologis misalnya, inkoordinasi, hipotonik
atau hipertonis, kurang perhatian, dan kesulitan bicara.5,7
Kesimpulan
Hipotiroid kongenital adalah kelainan bawaan dengan kadar hormon tiroid (T3 danT4) di
sirkulasi darah yang kurang dengan kadar TSH yang meningkat. Kelainan ini diketahui
sebagai penyebab terjadinya keterbelakangan mental dan kecacatan fisik pada anak-
anak.
Diketahui bahwa 95% hipotiroid kongenital tidak memperlihatkan tanda dan gejala
yang khas saat lahir dan durasi intervensi dini untuk mencegah retardasi mental. Oleh
karenanya, sebagian besar negara maju telah melakukan program skrining neonatal untuk
deteksi dini hipotiroid kongenital sebagian besar kasus ditemukan melalui program
skrining.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jose RL Batubara, Bambang Tridjaja AAP ABP. Buku Ajar Endokrinologi Anak. I
Revisi. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI; 2015.
2. Yati NP. Diagnosis dan Tata Laksana Hipotiroid Kongenital. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran IDAI. 2017.
3. Disorders genetic home. Congenital hypothyroidism [Internet]. 2018 [cited 2018 Dec
18]. Available from: https://ghr.nlm.nih.gov/condition/congenital-hypothyroidism
4. Watson S. Congenital Hypothyroidism [Internet]. Healthline red. 2018 [cited 2018 Dec
18]. Available from: https://www.healthline.com/health/congenital-hypothyroidism
5. Vandana Jain1, Ramesh Agarwal2, Ashok Deorari3 VP. Congenital hypothyroidism.
AIMS-NICU Protocols; 2008.
6. Indonesi DJBG dan KI dan AKKR. Pedoman skrining hipotiroid. Jakarta: Direktorat
107 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia; 2012. 1-69 p.
7. Hassan R AH. Ilmu kesehatan anak. 4th ed. Jakarta: Infomedika; 2007. 1051-165 p.
8. Karen J.M, Robert M.K, Hal B.J RE. No Title. 6th ed. Pediatrics N essentials of, editor.
Michigan: W.B. Saunders Company; 1998.
9. Ford G. Screening for congenital hypothyroidism: a worldwide view of strategies. Natl
Cent Biotechnol Information, [Internet]. 2014;2:175–87. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24629860
10. Agency IAE. Screening of Newborns Congenital Hypothyroidism. Austria: Guidance
for developing program Dalam; 2005.
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 108
TATA LAKSANA PENYAKIT GRAVES DENGAN
OBAT ANTI TIROID
Hendra Zufry
Divisi Endokrinologi, Metabolism & Diabetes-Pusat Pelayanan Tiroid Terpadu
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/
RSUD. Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Email : hendra.zufry@gmail.com, hendra_zufry@yahoo.co.id
Pendahuluan
Penyakit Graves merupakan merupakan penyebab paling sering terjadinya
hipertiroidisme, di mana prevalensinya sekitar 1,2 % dengan jumlah insiden adalah sekitar
21 per 100.000 pertahun. Grave dapat mengenai semua usia, tetapi wanita berusia 40–60
tahun memiliki risiko paling tinggi, dengan rasio pria:wanita sekitar 1:7(1). Di rumah sakit
Dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh, dari rekammedik terlihat bahwa gangguan tiroid mencapai
18 % dari keseluruhan gangguan endokrin. Dimana prevalensi Penyakit Grave terlihat
cukup seimbang bila dibandingkan dengan nodul tiroid (2).
Pengobatan yang ideal dalam mengatasi penyakit graves bertujuan mencapai fungsi
tiroid normal, menghindari kekambuhan hipertiroidisme, mencegah perkembangan
hipotiroidisme dan mencegah kejadian Graves ophthalmopathy. Pengobatan awal selalu
dilakukan dengan pemberian Anti Thyroid Drug (ATD) dengan mayoritas penggunaan
adalah golongan metimazole (MMI). Salah satu masalah yang sering terjadi dalam
penatalaksanaan penyakit Graves adalah timbulnya relaps. Dimana dalam satu
kepustakaan disebutkan bahwa prevalensi penyakit grave yang mengalami relaps bisa
mencapai 40% dari keseluruhan pasien yang menjalani pengobatan (4).
109 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Tujuh strategi dalam pengobatan Grave Disease dalam menggunakan Anti Thyroid
Drugs
1. Faktor yang mempengaruhi pemilihan terapi
Berbagai terapi farmakologis untuk penyakit Graves bertujuan untuk mengatasi
proses penyakit serta manifestasi ekstratiroid. Meskipun pendekatan terbaru terus diteliti,
namun manajemen penyakit Graves masih bergantung pada tiga pendekatan yang telah
digunakan selama beberapa dekade yaitu pengobatan farmakologis dengan obat antitiroid,
131I-radioterapi dan tiroidektomi (1). Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi
pemberian terapi pada graves antara lain episode pertama terjadinya hipertiroid, keadaan
relaps dari hipertiroid, kehamilan, menyusui, hasil sitologi nodul tiroid, intoleransi terhadap
efek samping selama menggunakan obat anti tiroid, dan adanya grave oftalmopati (1).
Tabel 1. Faktor – faktor yang mempengaruhi pemilihan terapi pada penyakit Graves (1)
Faktor yang mempengaruhi pemilihan terapi Grave Disease
Episode pertama hipertiroidisme
- Antithyroid drugs, 131I-radiotherapy, (thyroidectomy)
Keadaan Relaps dari hipertiroidisme
- Small goitre: 131I-radiotherapy, thyroidectomy*, (antithyroid drugs)
- Large goitre: thyroidectomy, 131I-radiotherapy
Kehamilan
- Antithyroid drugs, (thyroidectomy‡)
Menyusui
- Antithyroid drugs
Kemungkinan jenis Sitologi nodul
- Thyroidectomy
Intoleransi terhadap efek samping Anti Thyroid Drugs
- 131I-radiotherapy, thyroidectomy*
Adanya Graves Opthamophati
- Mild: antithyroid drugs, 131I-radiotherapy, thyroidectomy
- Moderate to severe: antithyroid drugs, 131I-radiotherapy, thyroidectomy
- Sight-threatening: antithyroid drugs
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 110
memiliki efek imunosupresif langsung atau tidak langsung (melalui normalisasi status
tiroid). Cara kerja utama obat tersebut adalah untuk menurunkan sintesis hormon tiroid
berlebihan dengan menghambat TPO, sehingga mengurangi produksi T3 dan T4 (1,4).
Propylthiouracil (PTU) selama bertahun-tahun merupakan obat antithiroid pilihan
pertama di Amerika Serikat dan Amerika Selatan. Namun, PTU dapat menyebabkan efek
hepatotoksik yang berat, yang dapat menyebabkan mortalitas atau memerlukan
transplantasi hati. Sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2010 menunjukkan
bahwa selama 1991–2008 resep tahunan methimazole di AS meningkat sembilan kali lipat,
dan agen ini telah menjadi obat antitiroid yang paling sering diresepkan di wilayah ini sejak
tahun 1996 (1).
111 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Dalam pelaksanaan klinis, titrasi dose lebih sering digunakan. Pemberian regimen
secara titrasi utnuk MMI berkisar antara 20-40 mg/hari tergantung derajat keparahan
thyritoxicosis. Bila FT4 < 3 ng/dl, MMI diberikan antara 10-20 mg/hari. Bila FT4 > 4 ng/dl,
MMI yang diberikan 40 mg. Pemberian terapi juga berhubungan dengan faktor klinis seperti
berkurangnya berat badan, gangguan kardiovascular dan lamanya timbul keluhan (1,4,8).
6. Lama terapi
ATD harus dihentikan saat pasien telah mencapai remisi. Namun, tidak ada protokol
standar untuk menentukan waktu menghentikan ATD. Di Eropa dan Amerika Serikat ATD
dihentikan setelah pengobatan fixed dose selama 1 – 2 tahun, karena tingkat remisi tidak
meningkat secara statistik setelah 18 bulan pengobatan. Waktu penghentian ATD sulit
untuk ditentukan karena tidak ada ukuran untuk mengevaluasi secara akurat aktivitas
penyakit Graves. (6)
Menurut pedoman yang dikeluarkan oleh Japan Thyroid Association pada tahun
2006 untuk pengobatan penyakit Graves, penghentian terapi obat antitiroid (ATD)
dianjurkan ketika serum bebas tiroksin (FT4) dan konsentrasi hormon stimulasi tiroid (TSH)
telah dipertahankan dalam rentang referensi untuk periode tertentu setelah perawatan
dengansatu tablet ATD setiap hari (terapi dosis pemeliharaan minimum, MMDT) (6).
Pedoman ini didasarkan pada observasi bahwa tingkat remisi setelah ATD
dihentikan setelah keadaan eutiroid dipertahankan 3 – 6 bulan dengan MMDT lebih besar
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 112
(63,4% -80%) dibandingkan dengan pasien yang mendapat ATD dan dihentikan setelah 2
tahun terapi (42% -51%) (6).
Pemberian ATD dapat diberikan “Short Term Therapy” dan “long term therapy”.
Short term therapy diberikan dalam hitungan waktu mingguan sampai bulan, untuk
113 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
memperbaiki keadaan pasien. Long term therapy diberikan dalam jangka waktu 1 -2 tahun,
bisa terjadi atau tidak terjadi remisi. Biasanya long term therapy akan diikuti oleh terapi
iodine (1).
DAFTAR PUSTAKA
1. Bartalena Luigi. Diagnosis and management of Graves disease: a global overview .
nature journal. Vol:9. 2013
2. Rekam medik RS dr. Zainoel Abidin 2014
3. Xiao-Ming Mao et all Prevention of Relapse of Graves’ Disease byTreatment with an
Intrathyroid Injection ofDexamethasone. J Clin Endocrinol Metab. , 94(12):4984–4991
(2019)
4. Wei Qian, et all Association between TSHR gene polymorphism and the risk of
Graves' disease: a meta-analysis. Journal of Biomedical Research. 2016 (30)6
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 114
5. Rebecca S. Bahn Chair, et all. Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis:
Management Guidelines of the American Thyroid Association and American
Association of Clinical Endocrinologists. The American Thyroid Association and
American Association of Clinical Endocrinologists Taskforce on Hyperthyroidism and
Other Causes of Thyrotoxicosis. Volume 21, Number 6, 2011
6. Toshiaki Konishi et all. Drug discontinuation after treatment with minimum
maintenance dose of an antithyroid drug in Graves’ disease: a retrospective study on
effects of treatment duration with minimum maintenance dose on lasting remission.
The Japan Endocrine Society. Vol 21: 10 .2011
7. Azizi Ferodoun. Management of hyperthyroidism during pregnancy in Asia. Endocrine
Journal, 61 (8), 751-758.2014
8. David S Cooper. Antithyroid Drugs in the Management of Patients with Graves’
Disease: An Evidence-Based Approach to Therapeutic Controversies. The Journal of
Clinical Endocrinology & Metabolism 88(8):3474–3481. 2003
9. Helena Filipsson Nystro., Svante Jansson and Gertrud Berg Incidence rate and clinical
features of hyperthyroidism in a long-term iodine sufficient area of Sweden
(Gothenburg) 2003–2005. Clinical Endocrinology 78, 768–776.2003
10. Abraham Prakas. A systematic review of drug therapy for Graves’ Hyperthyroidism.
European Journal of Endocrinology 153 489–498.2005
115 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
TERAPI SULIH HORMON PADA
WANITA PASCA MENOPAUSE
*Rajuddin, **Lutfi
ABSTRAK
Menopause atau berhentinya menstruasi adalah proses yang wajar dan alami. Selama
menopause kadar hormon estrogen dan progesteron menurun, yang menyebabkan gejala
seperti berkeringat pada malam hari, hot flashes dan perubahan suasana hati. Terapi sulih
hormon (TSH) harus diberikan kepada wanita pasca menopause simptomatik untuk
mengurangi gejala-gejala tersebut. Penggunaan TSH pada wanita simptomatik sebelum
usia 60 atau dalam waktu 10 tahun sejak awal menopause, manfaat pemberian TSH lebih
besar. Pemberian TSH efektif untuk memperbaiki gejala vasomotor, dementia, genito
urinari sindrom menopause, gangguan mood, kurang tidur dan dapat meningkatkan
kualitas hidup dan seksualitas pasca menopause. TSH dapat menurunkan risiko diabetes
dan penyakit kardiovaskular serta mencegah osteoporosis. Pemberian TSH dosis rendah
dapat mengurangi efek samping dan meningkatkan manfaat pada wanita tertentu. TSH
mengandung senyawa yang berbeda, estrogen, progestogen, kombinasi estrogen
ditambah progestin, Tibolone, dan kombinasi baru Conjugated estrogen (CE) ditambah
selective estrogen reseptor modulator (SERM), yaitu tissue selective estrogen complex
(TSEC). Penggunaan CE dan Bazedoxifene (BZA) dapat menetralkan efek estrogen pada
endometrium, payudara dan sindrom pramenstruasi. Pemberian TSH harus diberikan
secara personalisasi yang ketat dari jenis, dosis dan rute pemberian TSH, menggunakan
dosis rendah disesuaikan dengan usia.
Kata Kunci: Terapi sulih hormon, Menopause, Conjugated Estrogen, Bazedoxifene
PENDAHULUAN
Menopause bukanlah suatu penyakit dan tidak memerlukan terapi apa pun.
Namun, beberapa wanita dapat mengalami penurunan hormon dan membutuhkan hormon
pengganti. Terapi Sulih Hormon (TSH) harus dianggap sebagai bagian dari manajemen
klinis terintegrasi termasuk rekomendasi tentang gaya hidup, diet dan olahraga.1 Terapi
Sulih hormon (TSH) tidak boleh diberikan tanpa indikasi yang jelas seperti adanya gejala
vasomotor, berkeringat pada malam hari, hot flashes dan kekeringan pada vagina.2,3
Rasio manfaat / risiko TSH tidak absolut dan univokal tetapi bervariasi sesuai
dengan pemilihan wanita, waktu inisiasi, dosis dan jenis TSH. Fasilitas pelayanan
kesehatan harus secara jelas menjelaskan manfaat dan risiko TSH, dengan menggunakan
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 116
angka absolut dan bukan persentase yang berasal dari risiko relatif (RR) atau Odds ratio
(OR), karena sering menghasilkan ketidakpastian atau ketakutan yang tidak diinginkan.
Contoh obat-obatan TSH harus diperlihatkan dan disediakan. Tidak diperlukan formulir
persetujuan tertulis dari pasien.3,4 Indikasi pemberian TSHn antara lain Sindrom
vasomotor, Sindrom Genitourinari, Nyeri atau kekakuan sendi, kurang tidur, gangguan
fungsi seksual, Gangguan mood, Pencegahan osteoporosis dan fraktur, Pencegahan atrofi
epitel, kulit dan jaringan ikat 1,4,5.
Dosis TSH yang diberikan mencakup berbagai senyawa yang berbeda seperti
estrogen, progestogen, kombinasi estrogen ditambah progestin, Tibolone dan kombinasi
baru Conjugated estrogen (CE) ditambah selective estrogen reseptor modulator (SERM),
yaitu tissue selective estrogen complex (TSEC). Seluruh senyawa ini berbeda-beda dalam
dosis dan rute pemberian, keuntungan dan risiko yang berbeda pula. (tabel 1) 5.
INDIKASI
TSH tidak diindikasikan untuk semua wanita pascamenopause bila tidak ada
indikasi yang jelas. TSH adalah pengobatan yang paling efektif untuk sindrom klimakterik,
dari gejala vasomotor, hingga sindrom genitourinari menopause. gejala klimakterik lainnya
seperti nyeri muskuloskeletal, gangguan mood, kurang tidur, modifikasi seksual,
penurunan kualitas hidup dapat meningkat dengan TSH.5 Saran yang paling penting
adalah malakukan terapi untuk wanita yang simptomatik. TSH sistemik pada dasarnya
diindikasikan untuk wanita simptomatik berusia di bawah 60, atau dalam 10 tahun sejak
awal menopause, tanpa kontraindikasi. Pemilihan pasien perimenopause simptomatik atau
pascamenopause dini adalah penting untuk menjaga efek endogen estrogen dimana
hanya TSH dini yang dapat menjamin. sebenarnya, kehadiran menopause simptomatik
dikaitkan peningkatan risiko metabolisme, sehingga memerlukan TSH yang sesuai. rasio
risiko/manfaat TSH lebih menguntungkan pada wanita muda pascamenopause yang
memulai terapi TSH sebelum usia 60 atau dalam 10 tahun sejak awal menopause.4,5
117 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
ALUR PEMBERIAN TSH
Pada umumnya, produk TSH ideal untuk semua wanita dari segala usia tidak ada, setiap
produk atau kombinasi tertentu mungkin memiliki karakteristik khusus yang dapat
digunakan dengan benar. Semua senyawa yang tersedia memungkinkan personalisasi
yang dinamis dalam penentuan dosis, rute administrasi, menurut karakteristik pasien dan
referensi untuk memperoleh khasiat yang baik serta memaksimalkan keamanan
pemberian TSH.6
Studi observasional menunjukkan TSH transdermal sistemik tidak meningkatkan
risiko gangguan tromboemboli atau stroke dalam populasi umum. TSH dapat diresepkan
dengan dosis yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik pasien (Gambar 1).
Disarankan untuk mengurangi dosis dengan usia pasien yang semakin tua. Dosis yang
lebih rendah dari yang biasa digunakan di masa lalu mempertahankan efikasi yang baik
pada gejala menopause, dengan profil risiko yang lebih baik.7
Gambar 1. Alur pemberian TSH (dimodifikasi dari updated 2013 international menopause
society recommendations on menopause society)5
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 118
Wanita post menopause yang kontraindikasi TSH harus diterapi menggunakan obat
alternatif yang aman dan efektif 8.
119 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
untuk mengevaluasi kemungkinan pengurangan kejadian ketegangan payudara pada
wanita yang diobati dengan TSEC.14
KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi TSH seperti Perdarahan uterus yang tidak diketahuim
penyebabnya, Hiperplasia endometrium yang tidak diobati, Kanker payudara atau kanker
endometrium yang sensitif estrogen, Riwayat penyakit jantung koroner, stroke dan
demensia, Riwayat penyakit tromboemboli, Penyakit liver aktif stadium berat, Porphyria
cutanea tarda, otosklerosis dan hipersensitif terhadap komponen aktif TSH 4,15.
Kondisi lain yang bukan kontraindikasi seperti kanker ginekologi (tidak termasuk
sarkoma uterus, ovarium endometrioid tumor) yaitu karsinoma skuamosa serviks, dan
semua kanker lainnya yang tidak tergantung hormon. Selain itu, kondisi lain seperti mioma
uterus, endometriosis, diabetes, hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia, hipertensi,
obesitas, merokok bukan merupakan kontraindikasi, tetapi mereka harus mengarah ke
personalisasi yang sangat ketat dari jenis, dosis dan rute pemberian TSH, menggunakan
dosis rendah, dan produk transdermal.16,17,19
EFEK SAMPING
Insiden efek samping tergantung pada dosis, jenis dan rute pemberian TSH.
Perdarahan uterus yang abnormal sering terjadi pada bulan-bulan pertama pengobatan
dan dapat menyebabkan peningkatan prosedur diagnostik yang tidak diperlukan (yaitu,
histeroskopi, biopsi), yang seharusnya hanya diperlukan jika terjadi gejala tetap ada dalam
jangka panjang. Dosis estrogen berkorelasi dengan mual, kembung, nyeri panggul, retensi
cairan, kenaikan berat badan. Pemberian progestin dapat menyebabkan sakit kepala,
gangguan mood, depresi, PMS / PMDD. Pemberian TSH berkala dapat meningkatkan
ganguan mood, terutama pada wanita dengan riwayat PMS / PMDD 15,18. Efek klinis dapat
berbeda dengan sedian progestin yang berbeda serta pada wanita yang berbeda pula. Hal
ini beralasan untuk melakukan upaya yang berbeda untuk menemukan sedian progestin
yang netral dengan TSH dosis rendah. Densitas payudara meningkat lebih banyak dengan
pemberian TSH kombinasi dibandingkan ERT tunggal. Peningkatan kepadatan mamografi
dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker payudara dan dapat mengurangi sensitivitas
diagnostik mamografi, sehingga meningkatkan pemeriksaan tambahan. Beberapa
progestin seperti MPA, mengurangi toleransi glukosa dan menurunkan sensitivitas
insulin.15
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 120
vasomotor, seperti gangguan mood, lekas marah, kurang tidur dapat membaik selama
pemberian TSH. TSH yang Dipersonalisasi (termasuk testosteron dosis rendah) dapat
meningkatkan kualitas hidup dan seksualitas wanita pascamenopause. Keputusan untuk
melanjutkan TSH, pemilihan dosis dan rute pemberian setelah usia 60 tahun harus
merupakan hasil klinis yang dievaluasi dengan cermat. Dosis harus dikurangi secara
bertahap pada lansia, dari dosis standar dalam periode perimenopause hingga penurunan.
Sebagai tambahan untuk mengkompensasi efek usia pada risiko tromboemboli, setelah
usia 65 tahun estrogen transdermal lebih disukai sebagai rute administrasi TSH.23,24
Efek muskuloskeletal
TSH dapat memiliki efek pada otot, jaringan ikat, tulang rawan dan
intervertebraldisk. Tindakan-tindakan ini memiliki potensi dampak pada nyeri otot dan
osteoarticular sering terjadi pada wanita pacamenopause.8,20
121 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Penyakit kardiovaskular
Pemilihan pasien dan pemberian TSH sejak awal penting dalam menentukan efek
hormon pada sistem kardiovaskular. Dua poin ini dapat menjelaskan hasil yang
bertentangan yang diperoleh dalam studi yang berbeda. TSH menurunkan risiko diabetes
dan memberikan manfaat tambahan pada faktor risiko kardiovaskular seperti profil lipid,
tekanan darah, berat badan, distribusi lemak tubuh dan sindrom metabolik. Mayoritas klinis
baik observasional maupun studi acak menunjukkan potensi manfaat HRT dalam
mengurangi kematian akibat penyakit jantung koroner, jika dimulai pada wanita sehat
pasca menopause simtomatik, di bawah 60 tahun atau dalam 10 tahun dari menopause
(konsep “the window of opportunity”). TSH yang dimulai dengan dosis standar pada wanita
yang lebih tua dari 65 tahun dengan sebelumnya riwayat penyakit kardiovaskular dapat
meningkatkan risiko kardiovaskular.8,22
ERT tampaknya lebih bermanfaat daripada terapi estrogen-progestogen (EPT).
Studi observasional, uji kontrol acak dan metaanalisis menunjukkan bahwa ERT
menurunkan kematian total dan kematian akibat jantung pada wanita pasca meopause
sehat berusia di bawah 60 atau dalam 10 tahun dari menopause. Hasil yang didapat
dengan kombinasi EPT yang berbeda kurang bermakna dan tergantung pada jenis dan
dosis progestin. Progesteron alami atau progestin, seperti drospirenone dengan sifat
antimineralokortikoid, dapat memiliki manfaat tambahan pada risiko kardiovaskular
dibandingkan dengan progestin sintetis lainnya, pemilihan progestin yang tepat sangat
penting pada efek utama terhadap kardiovaskular.20,23
Kognitif
Studi observasional menunjukkan bahwa TSH pada wanita setelah menopause
dapat memberikan efek kognitif yang menguntungkan. Penelitian menunjukkan bahwa
TSH dikaitkan dengan risiko penyakit demensia dan alzheimer yang lebih rendah.
sebaliknya, inisiasi TSH yang terlambat pada wanita lebih dari 69 tahun, tidak memperbaiki
demensia, atau memperlambat perkembangan penyakit. Namun beberapa penelitian
mendapatkan peningkatan risiko demensia menggunakan CE dan MPA oral pada dosis
standar pada wanita lansia. Efek ini tidak dibuktikan pada penggunaan ERT tunggal
dengan CE oral. Waktu pemberian TSH sangat penting sebelum 60 tahun atau dalam 10
tahun setelah menopause serta dapat mempertahankan efek menguntungkan dari
estrogen endogen. Namun TSH Ttidak boleh dimulai dengan satu-satunya tujuan
mencegah demensia.16,17
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 122
Kanker payudara
Derajat hubungan antara TSH dan kanker payudara masih kontroversial.
Risikonya masih rendah dan untuk wanita yang menggunakan EPT dengan angka kejadian
8 kasus per 10.000 wanita per tahun. Dalam studi WHI, pemberian unopposed CE pada
wanita pasca histerektomi per 7 tahun tidak meningkatkan risiko kanker payudara (7 kasus
per 10.000 perempuan per tahun). Studi observasi Eropa menunjukkan bahwa pemberian
estradiol tunggal atau dalam kaitannya dengan progesteron mikronisasi atau
dydrogesterone tidak terkait dengan peningkatan risiko kanker payudara yang signifikan,
sama seperti progestin sintetis lainnya. Hubungan antara CE dengan BZa memiliki potensi
untuk mengurangi risiko kanker payudara, data diperoleh dari studi in vitro dan hewan.18
Namun, pada saat ini tidak ada data klinis yang tersedia. Risiko kanker payudara menurun
setelah TSH dihentikan, dan setelah 5 tahun risikonya sama dengan populasi yang tidak
diberikan TSH. Kanker payudara kontraindikasi untuk TSH. Namun dosis rendah estrogen
pervaginam dapat dipertimbangkan sebagai pilihan pada wanita yang tidak respon terapi
non-hormonal dan tanpa bersamaan dengan terapi aromatase inhibitor. Ospemifene dapat
diresepkan setelah perawatan kanker payudara, setelah semua hormon berakhir atau
perawatan kemoterapi. Tidak ada data keamanan dalam literatur tentang penggunaan
fitoestrogen pada penderita kanker payudara.19,4
Kanker endometrium
Unopposed ERT terkait dengan dosis yang dapat menstimulasi endometrium
terhadap peningkatan risiko hiperplasia dan kanker endometrium. Penggunaan EPT
kombinasi secara terus menerus mengurangi risiko karsinoma endometrium. sebaliknya,
penggunaan EPT secara terus menerus jangka panjang (3-5 tahun) dapat menyebabkan
sedikit peningkatan tetapi signifikan kanker endometrium. TSH dosis rendah mengurangi
rangsangan endometrium dan pendarahan. levonorgestrel intrauterin dapat menawarkan
manfaat dalam hal dampak metabolisme yang lebih rendah. Namun, progestin melalui
intrauterin terkait dengan peningkatan risiko kanker payudara apabila dibandingkan
dengan estrogen saja. Kanker endometrium yang respon dengan hormonal kontraindikasi
TSH. Tidak ada data keamanan diliteratur tentang penggunaan fitoestrogen pada
penderita kanker endometrium.20,4
Kanker colorectal
TSH mengurangi risiko kanker kolorektal dengan 6 kasus per 10.000 wanita setiap
tahun. Efek ini telah dijelaskan dengan EPT tetapi data tidak konsisten berkaitan dengan
ERT.6,7
123 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Venous thromboembolisme
Risiko tromboemboli vena diinduksi oleh TSH tergantung pada usia (minimal
hingga 60 tahun) dan pada BMI. Risiko lebih tinggi dalam 6-12 bulan pertama setelah
pemberian TSH. Penelitian observasional belum menemukan peningkatan risiko
tromboemboli vena dengan transdermal ERT. Risiko Tromboemboli vena dimodulasi oleh
jenis progestin. Hubungan CE dan BZA tidak meningkatkan risiko tromboemboli
dibandingkan dengan plasebo.14,18,24
Risiko stroke terkait usia. Peningkatan stroke iskemik dapat dihitung sekitar 1
kasus per 1000 wanita per tahun. Kejadian ini jarang terjadi. tidak ada peningkatan risiko
yang signifikan stroke pada wanita yang memulai TSH sebelum usia 60 atau dalam 10
tahun sejak awal menopause. Data yang diperoleh dari TSH dosis rendah cukup baik.
Tidak ada indikasi untuk skrining trombofilia sebelum pemberian TSH. Riwayat keluarga
dan pribadi, serta pemeriksaan fisik, sangat penting untuk mengevaluasi risiko trombotik.
Tes Penapisan selektif mungkin memiliki peran pada pasien tertentu8,16
KESIMPULAN
Pemberian TSH harus diberikan kepada wanita menopause yang simptomatik. Pemberian
Awal TSH dapat mengoptimalkan rasio risiko dan manfaat Keamanan TSH. Manfaat TSH
lebih besar pada wanita simptomatik sebelum usia 60 tahun atau dalam waktu 10 tahun
sejak awal menopause. TSH dosis rendah memiliki efek menguntungkan pada gejala
osteoporosis, mengurangi efek samping potensial dan risiko kanker. Progesteron alami
dan beberapa progestin, seperti dydrogesterone dan drospirenone, dapat mengurangi efek
samping, meningkatkan manfaat pada wanita tertentu. Hubungan CE dan BZA dapat
menetralkan efek estrogen pada endometrium, payudara dan PMS serta mempertahankan
kemanjurannya pada gejala dan pencegahan osteoporosis. Untuk perawatan
Genitourinary syndrome of menopause (GSM), pengobatan pilihan adalah ERT dosis
rendah atau lokal ospemifene oral.
DAFTAR PUSTAKA
1. Santen RJ, allred Dc, ardoin SP, archer DF, Boyd N, Braunstein GD, et al.
Postmenopausal hormone therapy: An Endocrine Society Scientic Statement. J Clin
Endocrinol Metab 2015;95(1):1-66.
2. The 2012 hormone therapy position statement of The North american Menopause
Society. Menopause 2012; 19:257-71.
3. Lobo RA, Archer DF, Kagan R, et al. Replenish trial: 17b-estradiol and progesterone
combined in a single capsule (TX-001HR) significantly improved moderate-to-severe
hot flushes in postmenopausal women. Presented at: 99th Annual Meeting of the
Endocrine Society; April 1-4, 2017; Orlando, Florida. Abstract LB OR16.
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 124
4. Villiers TJ, Gass MlS, Haines cJ, Hall Je, lobo ra, Pierroz DD, et al. Global consensus
Statement on Menopausal Hormone Therapy. climacteric 2013; 16:203-4.
5. Villiers TJ, Pines a, Panay N, Gambacciani M, archer DF, Baber rJ, et al.; international
Menopause Society. Updated 2013 international Menopause Society
recommendations on menopausal hormone therapy and preventive strategies for
midlife health. Climacteric 2013; 16:316-37.
6. Shifren Jl, Gass Ml; NAMS recommendations for clinical care of Midlife Women
Working Group. The North american Menopause Society recommendations for clinical
care of midlife women. Menopause 2014; 21:1038-62.
7. Lobo ra, Davis Sr, De Villiers TJ, Gompel a, Henderson VW, Hodis HN, et al.
Prevention of diseases after menopause. climacteric 2014; 17:540-56.
8. Baber RJ, Panay N, Fenton a; IMS Writing Group. 2016 IMS recommendations on
women’s midlife health a menopause hormone therapy. climacteric 2016; 19:109-50.
9. Faubion SS, Kuhle CL, Shuster LT, Rocca WA. Long-term health consequences of
premature or early menopause and considerations for management. Climacteric
2015; 18:483-491.
10. Tao XY, Zuo AZ, Wang JQ, Tao FB. Effects of primary ovarian insufficiency and early
natural menopause on mortality: a meta-analysis. Climacteric 2016; 19:27-36.
11. Sjo¨gren LL, Mørch LS, Løkkegaard E. Hormone replacement therapy and the risk of
endometrial cancer: a systematic review. Maturitas 2016; 91:25-35.
12. Kovanci E, Schutt AK. Premature ovarian failure: clinical presentation and treatment.
Obstet Gynecol Clin North Am 2015; 42:153-161.
13. Comitee on Gynecologic practice and the American Society for Reproductive Medicine
Practice Comitee. Comitee Opinion No.532: compounded bioidentical menopause
hormon therapy. Obstet gynecol 2012; 120: 411-415.
14. Mirkin S, Ryan KA, Chandran AB, Komma BS. Bazedoxifene/ conjugated estrogens
for managing the burden of estrogen deficiency symptoms. Maturitas 2014; 77:24-31.
15. Fournier A, Mesrine S, Dossus L, Boutron-Ruault MC, Clavel-Chapelon F, Chabbert-
Buffet N. Risk of breast cancer after stopping menopausal hormone therapy in the
E3N cohort. Breast Cancer Res Treat 2014; 145:535-543.
16. Hiroi R, Weyrich G, Koebele SV, et al. Benefits of hormone therapy estrogens depend
on estrogen type: 17b-estradiol and conjugated equine estrogens have differential
effects on cognitive, anxiety-like, and depressive-like behaviors and increase
tryptophan hydroxylase-2 mRNA levels in dorsal raphe nucleus subregions. Front
Neurosci 2016; 10:517.
17. Gleason CE, Dowling NM, Wharton W, et al. Effects of hormone therapy on cognition
and mood in recently postmenopausal women: findings from the randomized,
controlled KEEPS-Cognitive and Affective Study. PLoS Med 2015;12: e1001833.
125 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
18. Pinkerton JV, Abraham L, Bushmakin AG, et al. Evaluation of the efficacy and safety
of bazedoxifene/conjugated estrogens for secondary outcomes including vasomotor
symptoms in postmenopausal women by years since menopause in the Selective
estrogens, Menopause and Response to Therapy (SMART) trials. J Womens Health
(Larchmt) 2014; 23:18-28.
19. Stute P, Neulen J, Wildt L. The impact of micronized progesterone on the
endometrium: a systematic review. Climacteric 2016; 19:316-328.
20. Fournier A, Dossus L, Mesrine S, et al. Risks of endometrial cancer associated with
different hormone replacement therapies in the E3N cohort, 1992-2008. Am J
Epidemiol 2014; 180:508-517.
21. Gleason CE, Dowling NM, Wharton W, et al. Effects of hormone therapy on cognition
and mood in recently postmenopausal women: findings from the randomized,
controlled KEEPS-Cognitive and Affective Study. PLoS Med 2015;12: e1001833.
22. Mirkin S, Ryan KA, Chandran AB, Komma BS. Bazedoxifene/ conjugated estrogens
for managing the burden of estrogen deficiency symptoms. Maturitas 2014; 77:24-31.
23. Lobo RA, Archer DF, Kagan R, et al. Replenish trial: 17b-estradiol and progesterone
combined in a single capsule (TX-001HR) significantly improved moderate-to-severe
hot flushes in postmenopausal women. Presented at: 99th Annual Meeting of the
Endocrine Society; April 1-4, 2017; Orlando, Florida. Abstract LB OR16.
24. Popat VB, Calis KA, Kalantaridou SN, et al. Bone mineral density in young women
with primary ovarian insufficiency: results of a three-year randomized controlled trial
of physiological transdermal estradiol and testosterone replacement. J Clin Endocrinol
Metab 2014;99: 3418-3426.
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 126
BIOSIMILAR INSULIN: HOW SIMILAR IS SIMILAR?
OPPORTUNITIES AND CHALLENGES FROM PATIENTS
PERSPECTIVE
Sri Murtiwi
Surabaya Diabetes and Nutrition Center
Dr. Soetomo Teaching Hospital-Faculty of Medicine Airlangga University
Surabaya
Pendahuluan
Insulin merupakan terapi utama pada diabetes mellitus tipe1 (DMT1) dan pada
saat ini insulin juga banyak digunakan pada terapi diabetes mellitus tipe2 (DMT2). Dalam
perjalanannya DMT2 juga membutuhkan terapi insulin agar dapat meregulasi gula
darahnya oleh karena DMT2 merupakan penyakit yang bersifat kronis progresif artinya
bahwa kemampuan fungsi sel beta pankreas untuk memproduksi insulin makin lama makin
menurun. Sejak ditemukannya insulin pada sembilan puluh tahun yang lalu dimana
pertama kali insulin dibuat dari pankreas binatang babi dan sapi, selanjutnya terus
dikembangkan untuk mendapatkan profil insulin yang menyerupai sekresi insulin endogen,
kemudian muncul insulin human dan selanjutnya insulin analog. Upaya ini tentunya untuk
mendapatkan efikasi yang lebih baik dan menurunkan efek samping hipoglikemi. Pada
saat ini terdapat 5 tipe insulin yang ada adalah insulin regular, NPH, rapid-acting analog,
basal analog dan pre-mixed insulin. Pada tahun 2000 keluarlah insulin long-acting basal
analog yaitu insulin glargine dan insulin detemir, yang mempunyai lama kerja 24 jam dan
tidak ada puncak (peakless) sehingga bisa menurunkan efek samping hipoglikemi. Insulin
basal yang ideal adalah insulin yang bekerja selama 24 jam, tidak ada puncak sehingga
efek samping nokturnal hipoglikemi rendah, penggunaan satu kali sehari sehingga bisa
meningkatkan kepatuhan pasien dan harganya murah. Pada tahun 2014 keluarlah insulin
biosimilar glargine, insulin biosilimar dibuat sama dengan aslinya, namun tidak identik,
berdasarkan penelitian dengan membandingkan keduanya mempunyai efikasi dan efek
samping yang sama tetapi harga lebih murah. Di negara kita harga akan menjadi
pertimbangan dalam memilih insulin.
Insulin Biosimilar
Biosimilar adalah terjemahan dari generik biofarmasi, sedangkan biofarmasi
merupakan produk obat yang dibuat berdasar bioteknologi dengan protein sebagai bahan
aktif. Sebagai contoh insulin dapat diproduksi dari organisme hidup seperti bakteri atau
jamur. Biofarmasi pada dasarnya berbeda dari obat kimia yang mempunyai molekul kecil.
Perbedaan yang penting adalah:
127 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
o Ukuran dan kompleksitas bahan aktif dibanding dengan obat kimia yang mempunyai
molekul kecil, sedangkan biofarmasi melekulnya sangat besar dengan struktur yang
sangat komplek dimana sulit untuk dilakukan diidentifikasi dengan metode analitik
yang ada saat ini
o Pada dasarnya proses produksi biofarmaka merupakan produk final (proses adalah
produk) dan bahkan bila ada perubahan yang sangat kecilpun dalam proses produksi
akan mendatangkan hasil yang berbahaya
o Profil tentang efikasi dan keamanan produk biofarmaka sangat tergantung pada
ketahanan dan monitoring dari aspek qualitas
Beberapa produk biofarmaka bila sudah habis perlindungan dari hak paten, maka
bisa dikembangkan generic dengan versi molekul besar, disebut dengan istilah biosimilar.
Produser biosimilar tidak akan mempunyai akses untuk memproses produksi dari produk
original oleh karena itu merupakan hak pemilik. Dengan demikian tidak akan mungkin
produser biosimilar bisa mereplikasi produk beberapa protein yang persis sama. Sejak
produser biosimilar menggunakan proses produksi yang berbeda maka bisa dikatakan
bahwa biosimilar adalah sama tetapi tidak identik dengan produk original. Yang disebut
sama disini adalah sama dalam hal keamanan, efikasi dan kualitasnya (Joshi SR,2009).
Dapat dikatakan bahwa walaupun biosimilar dan produk original pempunyai susunan
amino yang sama, tetapi tetap ada sedikit perbedaan yang sangat halus sehingga tidak
terlihat tentang karakteristik molekul dan profil klinisnya. Insulin glargine merupakan insulin
basal yang di target oleh produser untuk memproduksi insulin biosimilar (Roteinstein LS,
et al.,2012).
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 128
menjawab secara pasti akan merekomendasikan dan 42% mengatakan akan
mempertimbangkan untuk merekomendasikan. Namun kedua kelompok secara bermakna
akan tetap menindak lanjuti pertanyaan-pertanyaan tentang biosimilar.
Sebaliknya obat yang mempunyai molekul kecil yang diproduksi melalui sintesis
kimia mempunyai keseragaman, strukturnya dapat diramalkan, mudah untuk
menggolongkan dan umumnya stabil, protein-based productsseperti insulin diproduksi dari
organisme hidup, lebih besar molekul, lebih komplek dan lebih sulit untuk menentukan
strukturnya, membutuhkan kondisi khusus untuk menjamin stabilitasnya.
129 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Perbandingan perubahan rerata HbA1c antar 2
kelompok
8,5
Rerata HbA1c (%)
8 Basalin
7,5 Lantus
7
Baseline Minggu 12 Minggu 24
Durasi terapi
Gambar 1. Perbandingan perubahan rerata HbA1c antara Basalin dan Lantus (Julka S et
al,2011:1-101)
Pada efikasi sekunder pada akhir minggu ke 24 terjadi penurunan bermakna rerata
glukosa darah sebesar 20,1% pada kelompok BasalinTMdan 19,7% pada kelompok
Lantus®, tanpa ada perbedaan bermakna antar kedua kelompok.
200
150
Basalin
100
Lantus
50
0
Durasi terapi
Profil keamanan, pada akhir minggu ke2: kelompok Lantus® mengalami insiden
hipoglikemi lebih besar secara bermakna, yaitu 8,8% vs 2,4% kelompok BasalinTM,
begitupun pada akhir minggu ke12 (p<0.05). Pada akhir minggu 20 dan 24, proporsi
kejadian hipoglikemia tidak mengalami perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok.
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 130
Gambar 3. Profil efek samping hipoglikemi antara kedua kelompok (Julka S et al,2011:1-
101)
Daftar Pustaka
1. DeVries JH, Gough SCL, Kiljanski J, Heinemann L (2015). Biosimilar insulin: a
European perspective. Diabetes, Obesity and Metabolism 17: 445-451
2. Heinemann L, Hompesch M (2011). Biosimilar insulin: how similar is similar? Journal
of Diabetes Science and Technology 5(3): 741-754
3. Heinemann L, Hompesch M (2014). Biosimilar insulin: basic considerations. Journal
of Diabetes Science and Technology 8(1): 6-13
131 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
4. Heinemann L (2016). Biosimilar insulin and costs: what can we expect? Journal of
Diabetes Science and Technology 10(2): 457-462
5. Ilag LL, Deeg MA, Costigan T, Hollander P, Blevins TC, Edelman SV, Konrad RJ,
Ortman RA, Pollam RK, Huster WJ, Zielonka JS, Prince MJ (2016). Evaluation of
immunogenicity of LY2963016 insulin glargine compared with Lantus insulin
glargine in patients with type1 or type2 diabetes mellitus. Diabetes, Obesity and
Metabolism 18: 159-168
6. Joshi SR (2009). Biosimilar Insulin: Are they really similar? Supplement of JAPI 57:
38-41
7. Joshi SR (2011). Biosimilar peptides: need for pharmacovigilance. Supplement of
JAPI 59: 44-47
8. Julka S (2011). A prospective, Multi-Center, Comparative, Open Label, Randomized
Parallel III Study to Asses Efficacy and Safety of Recombinant Insulin Glargine
Compared with Lantus in Patient with Type2 Diabetes Mellitus Uncontrolled on OAD
Therapy. Statistical Analysis Report.
9. Linnebjerg H, Lam EChQ, Seger ME, Coutant D, Chua L, Chong ChL, Ferreira MM,
Soon D, Zhang X (2015). Comparison of the Pharmacokinetics and
Pharmacodynamics of LY2963016 Insulin Glargine and EU-and US-Approved
Versions of Lantus Insulin Glargine in Healthy Subjects: Three Randomized
Euglycemic Clamp Studies. Diabetes Care 38: 2226-2233
10. Owen DR, Traylor L, Dain MP, Landgraf W (2014). Efficacy and safety of basal insulin
glargine 12 and 24 weeks after initiation in person with type2 diabetes: a pooled
analysis of data from treatment arms of 15 treat-to-target randomized controlled trials.
Diabetes Research and Clinical Practice 106: 264-274
11. Rosenstock J, Hollander P, Bhargava A, Ilag LL, Pollam RK, Zielonka JS, Huster WJ,
Prince MJ (2015). Similar efficacy and safety of LY2963016 insulin glargine and insulin
glargine (Lantus) in patients with type2 diabetes who were insulin-naïve or
previously treated with insulin glargine: a randomized, double-blind controlled trial (the
ELEMENT 2 study). Diabetes Obesity and Metabolism
12. Rotenstein LS, Ran N, Shivers JP, Yarchoan M, Close KL (2012). Opportunities and
challenges for biosimilars: what’s on the horizon in the global insulin market? Clinical
Diabetes 30(4):138-150
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 132
RELEVANCE TO USE HUMAN INSULIN IN THE
MANAGEMENT OF DIABETES MELLITUS
Prof. dr. Djoko Wahono, SpPD-KEMD
Divisi Endokrinologi, Metabolik dan Diabetes
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Rumah Sakit Umum Saiful Anwar, Malang
Abstract
The first recombinant DNA insulin was made in 1978 and Eli Lilly brought the first - Humulin
R (regular) and Humulin N (NPH) - to the US market in 1982. Novo Nordisk eventually
marketed its firstrecombinant insulin in 1982. Insulin has been use for more than 90 years.
Now at least 100 million people around the world need insulin, including all people living
with type 1 diabetes and between 10-25 percent of people with type 2 diabetes.
Recombinant human insulins DNA was introduced in the US in 1982 by Ely Lilly and
followed by Novo Nordisk in 1988.
Pendahuluan
Insulin sudah digunakan lebih dari 95 tahun. Saat ini paling sedikit 100 juta
penduduk dunia memerlukan insulin, termasuk semua pasien DM 1 tahun 1 dan sekitar
20-25% pasien DM 2. Human Insulin hasil dari rekombinan DNA dibuat di tahun 1978 oleh
Eli Lilly dan Humulin R dan Humulin N mulai dipakai di Amerika Serikat di tahun 1982.
Teknologi rekombinan DNA memungkinkan mengganti dan atau mengubah urutan asam
amino human insulin dan menghasilkan insulin analoglispro (1966), aspart (2000), glargine
(2000), glulisine (2004) dandetemir (2005). Di tahun 1985, untuk pertama kali insulin
dimasukkan ke dalam daftar WHO MEML (Model List of Essential Medicines). Di tahun
2011, WHO 18th Expert Committee on the Selection and Use of Essential Medicines
menolak aplikasi dimasukkannya berbagai insulin analog (glargin, detemir, aspart, lispro,
dan glulisine) ke dalam daftar MEML karena berbagai insulin analog tersebut tidak
menunjukkan manfaat klinis yang nyata dibandingkan dengan human insulin rekombinan.
WHO18th Expert Committee juga masih meragukan keamanan jangka panjang insulin
analog. Jerman hanya memasukkan human insulin kedalam daftar obat yang
mendapatkan biaya penggantian (reimbursement lists).
Insulin merupakan obat esensial untuk pasien DM 1. Tanpa insulin pasien akan
mengalami dekompensasi metabolik yang berat dan akan meninggal dalam waktu yang
relatif pendek. Pada pasien dengan DM 2 Produksi insulin tidak oleh perusahaan farmasi
tidak kurang, bahkan berlebihan. Harga yang mahal yang sangat mungkin menyebabkan
pasien tidak mempu membeli insulin. Hal tersebut bukan saja terjadi di negara dengan
133 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
rerata penghasilan yang rendah, tetapi juga dapat terjadi di negara dengan penghasilan
yang tinggi.
Sekresi Insulin
Pada individu normal sekresi insulin terdiri dari sekresi insulin basal, berkadar
rendah yang berlangsung 24 jam (insulin basal) dan sekresi insulin prandial yang
distimulasi oleh makanan (meal-related insulin, prandial insulin).
Tujuan terapi insulin pada diabetes adalah menirukan pola sekresi insulin fisiologis
pada individu normal, yaitu pemberian insulin basal dan pemberian insulin reguler.
Farmakokinetik insulin secara tidak langsung dapat di tentukan melalui hilangnya
radiolabelled insulin di tempat penyuntikan subkutan. Pengukuran kadar insulin,
farmakodinamika insulin (lama kerja insulin), dan pengukuran penurunan kadar kadar
glukosa darah dapat diukur secara langsung.
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 134
dengan injeksi insulin regular subkutan. Agar kerugian dalam penyuntikan subkutan insulin
regular tersebut dapat diatasi pasien seharusnya disuntik insulin regular subkutan 30 menit
sebelum makan. Rapid-acting insulin analog dikembangkan agar masalah tersebut dapat
diatasi.
Insulin premixed
Premixed insulin juga disebut insulin biphasic. Insulin premixed adalah campuran
insulin regular dengan insulin NPH. Premixed insulin dibuat agar tidak perlu melakukan
penyuntikan dua kali pada saat yang sama. Campuran tersebut tidak menyebabkan
modifikasi sifat farmakologi insulin reguler. Waktu kerja insulin premixed sama dengan
masing-masing insulin regular atau NPH yang tidak dicampur. Agar dapat dicampur kedua
dua jenis insulin (regular dan NPH) harus mempunyai sifat pharmaceutical dan
kompatibilitas kimiawi yang sama (misal, pH dan buffer yang sama). Berbagai komposisi
campuran (fixed ratio) reguler insulin dan NPH yang tersedia adalah 10/90, 25/75, 30/70
dan 50/50. Pemilihan campuran yang digunakan tergantung dari jumlah komponen
makronutrien karbohidrat yang dikonsumsi di dalam makanan sehari. Premixed insulin
praktis tetapi kurang fleksibel karena pada dasarnya tidak ada pola hidup (jadwal, jumlah
dan jenis makanan serta aktifitas jasmani yang selalu fixed.
Insulin Analog
Salah satu strategi untuk mendapat sediaan insulin yang mempunyai time-action
yang berbeda adalah dengan memodifikasi molekul insulin. Pendekatan ini berdasar pada
temuan bahwa molekul insulin pada konsentrasi yang digunakan dalam sediaan
pharmaceutical (0,6mmol/L) akan mengalami heksamerisasi. Masuknya insulin reguler
135 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
yang mengalami hexamerisasi (menjadi molekul besar) ke dalam kapiler menjadi sullit. Hal
ini berakibat insulin yang disuntikkan subkutan bekerjanya terlambat.
Dengan teknik rekayasa genetic residu asam amino di posisi manapun dapat
diubah atau diganti. Melalui teknik ini dapat dibuat insulin analog yang struktur primernya
sedikit berbeda dengan molekul human insulin. Dengan teknik ini dapat dibuat insulin
monomer yang tidak berubah menjadi heksamer, atau daya kohesi heksamer dilemahkan
sehingga cepat mengalami disosiasi sesudah disuntikkan subkutan. Dapat juga dibuat
insulin analog yang daya kohesi heksamernya diperkuat. Dengan demikian absorbsi
analog insulin tersebut sesudah disuntikkan subkutan heksamernya dapat lebih cepat
mengalami disosiasi dibanding dengan human insulin reguler atau disosiasinya lebih lama
dibanding dengan NPH. Kedua hal tersebut menyebabkan profil farmakokinetik analog
insulin yang disuntikkan subkutan lebih mirip pola farmakokinetik sekresi insulin endogen.
Dengan demikian risiko kejadian hipoglikemi berat dan hipoglikemi nokturnal lebih kecil.
Farmakodinamik dan farmakokinetik analog insulin yang ideal dapat dilihat di Tabel 1.
137 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
2. Penelitian Individual
Dari penelusuran yang dilakukan dari januari 2011 sampai April 2015, didapatkan
15 penelitian head to head randomised control ataurandomised crossover yang
mebandingkan human insulin dengan insulin analog long- dan short-acting. Enam (6)
diantara 15 penelitian tersebut dibiayai industri farmasi dan salah satu perusahan farmasi
memberi insulin (free insulin). Enamstudi membandingkan glargine dengan NPH dan 5
studi membandingkan detemir dengan NPH, satu studi membandingkan insulin analog
aspart dengan human insulin reguler dan empat studi membandingkan lebih dari 1 insulin
dengan insulin NPH dan atau human insulin reguler.
Dari penelitian Glargin vs NPH, tidak ada perbedaan penurunan HbA1c yang
bermakna. Dua studi menunjukkan glargine secara konsisten menunjukkan penurunan
kejadian hipoglikemi dan hipoglikemi nokturnal.Satu studi menunjukkan glargine
menyebabkan peningkatan berat badan diantara pasien DM 2.
Dari penelitian Detemir vs NPH menunjukkan adanya perbedaan penurunan
HbA1c yang bermakna dengan penggunaan detemir. Dua studi menunjukkan penurunan
kejadian hipoglikemi berat dan hipoglikemi nokturnal pada penggunaan detemir, sedang
satu studi tidak.
Dari penelitian Aspart vs Reguler Human pada 14 pasien dengan DM 2, rerata
konsentrasi glukosa selama 48 jam lebih rendah dengan penggunaan aspart. Tidak ada
pasien yang mengalami kejadian hipoglikemi yang berat pada kedua kelompok perlakuan.
3. Keamanan Jangka Panjang
Dari penelusuran rujukan didapatkan dua systematic reviews dan meta-analysis
yang membahas tentang kaitan anatar penggunaan insulin analog long-afcting dengan
peningkatan risiko insidensi kanker. Satu tinjauan ulang yang mengevaluasi DM 2 hasilnya
tidak menunjukkan adanya bukti yang jelas peningkatan risiko kanker, terlebih bila
pengaruh obesitas dipertimbangkan.Tinjauan ulang yang kedua mengemukakan adanya
peningkatan risiko kanker payudara dengan penggunaan insulin glargin, tetapi sebaliknya
risiko kanker kolon turun. Kedua review tersebut menyarankan penelitian lebih lanjut
sebelum menarik kesimpulan klinik.
Data dari lima (5) uji klinik individual (5 studi cohort dan 1 retrospective cohort)
yang menggunakan data registri nasionalatau rekam medik rumah sakit (hospital
discharge) di gunakan untuk melihat kemungkinan adanya asosiasi anatara penggunaan
insulin glargin dengan keganasan. Dua (2) studi cohort tidak menunjukkan adanya
perbedaan anatara kelompok yang menggunakan human insulin dan insulin glargine. Studi
cohort ke-tiga menunjukkan risiko keganasan umum (general malignancy) kelompok
pengguna insulin glargine lebih rendah dibanding dengan kelompok pengguna human
insulin, tetapi risiko kanker payudara lebih tinggi. Hasil studi cohort juga mengemukakan
bahwa pasien wanita berusia >40th dg DM 2 pengguna insulin glargine, pada 5 tahun
pertama tidak penggunaan insulin glargine tidak menunjukkan peningkatan risiko, tetapi
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 138
meningkatan kanker payudara meningkat pada 5 tahun berikutnya. Studi cohort
retrospektif tidak menunjukkan adanya kaitan insulin glargine meningkatkan risiko kanker.
Masuknya Produk Insulin ke Dalam Daftar Obat Esensial Nasional dan Daftar Obat
yang Mendapat Penggantian Biaya (Reimbursement List)
1. WHO Model List of Essential Medicine (The WHO MEML)
The WHO MEML dimulai di tahun 1970 dan di tahun 1977 dan 1983 insulin belum
masuk di dalam daftar. Dua jenis insulin, insulin reguler dan NPH dengan 2 kekuatan
40uni/ml baru masuk di tahun 1985. Dan kemudian insulin dengan konsentrasi 100 unit/ml.
Di tahun 1998, insulin 80 unit/ml dihapus dari daftar. Di tahun 2003 Expert Committee
menolak insulin anaolog masuk ke daftar WHO MEML karena tidak ada keunggulan insulin
analog dibandingkan dengan human insulin.
Soluble insulin masuk di daftar NEML 98 negara sedangkan intermediate-acting
human insulin di dalam daftar 97 negara. Human Insulin adalah insulin yang paling sering
masuk didalam daftar NEML yang diteliti. WHO WPRO (WHO Western Pasific Region
Office) dan PAHO (Pan American Health Organization) selalu memasukkan kedua jenis
insulin tersebut ke dalam daftar. Negara- negara SEARO (south East Asia Regional
Office)selalu memasukkan soluble insulin injection. Tiga puluh persen negara
memasukkan produk mixed insulin ke dalam daftar. WHO EMRO adalah wilayah yang
paling banyak memasukkan semua jenis insulin, termasuk insulin analog.
139 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
4. Panduan dari : NHSNice 2015 dan WHO Guideline 2018
Mengawali penggunaan insulin sesudah gagal mencapai kendali glukosa darah
dengan obat oral tunggal atau kombinasi dapat dimulai dengan pemberian insulin basal
Human Inuslin NPH subkutan 1 atau 2 kali sehari.
Penggunaan insulin anaolog dapat digunakan dalam keadaan tertentu pasien
seperti : pasien usia lanjut yang hidup sendiri serta mengalami kesulitan untuk
menyuntikkan insulin.Pasien usia lanjut yang pernah mengalami hiperglikemi berat
berulang.
DAFTAR PUSTAKA
Blin P, Lassalle R, Dureau-Pournin C, et al. Insulin glargine and risk of cancer: a
cohort study in the French National Healthcare Insurance Database. Diabetologia
2012; 55(3): 644-653
Consideration of Diabetes Medicines as part of the revisions to 2017 WHO model
List of Essential Medicines for Adults (EML) and Model List of Essential Medicines
for Children (EMLc). EML 2017
Higgins JPT, Green S (editors).Cochrane Handbook for Systematic Reviews of
Interventions Version 5.1.0 [updated March 2011]. The Cochrane Collaboration,
2011.Available from www.cochrane-handbook.org.
Horvath K, Jeitler K, Berghold A, et al. Long acting insulin analogues versus NPH
insulin (human isophane insulin) for the type 2 diabetes mellitus. Cochrane
Database of Systematic Rev. 2007;2:CD005613
Karlstad O, Starup-Linde J, Vestergaard P, et al. Use of insulin and insulin
analogues and risk of cancer – systematic review and meta-analysis of
observational studies. Current Drug Safety 2013; 8(5): 333-48
Rendell M, KaanAkturk H, HarshaTella S, et al. Glargine safety, diabetes and
cancer. Expert Opinion on Drug Safety 2013; 12(2)
Singh SR, Ahmad F, Lal A, et al. Efficacy and safety of insulin analogues for the
management of diabetes mellitus: a meta-analysis. CMAJ 2009; 180(4): 385-397
Siebenhofer A, Plank J, Berghold A, et al. Short acting insulin analogues versus
human insulin in patients with diabetes mellitus. Cochrane Database Systematic
Rev. 2007; 19;(2):CD003287
Sanches ACC, Correr CJ, Venson R, et al. Insulin analogues versus human insulin
in type 1 diabetes: direct and indirect meta-analyses of efficacy and safety. BJPS
2013; 49(3).
Sturmer T, Marquis M, Zhou H, et al. Cancer Incidence Among Those Initiating
Insulin Therapy With Glargine Versus Human NPH Insulin. Diabetes Care 2013;
36(11): 3517-3525
Waugh N, Cummins E, Royle P, et al. Newer agents for blood glucose control in
type 2 diabetes: systematic review and economic evaluation. Health Technology
Assess 2010; 14(36): 1-248
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 140
ANALOGUES INSULIN IN THE MANAGEMENT OF
DIABETES: IS IT BETTER THAN HUMAN INSULIN?
Dato’ Dr. Malik Mumtaz
MD (USM) FRCP (Edin) FRCP (Glasgow)
Fellowship in Nuclear Medicine (Glasgow) DSPN
Consultant Endocrinologist and Nuclear Medicine Physician
Island Hospital Penang
Adjunct Associate Professor in Medicine
Penang Medical College
Insulin is a life-saving medication. From the time of its discovery in 1924, to the mass
production of human insulin in the 1970s and the introduction of analogues in the 1990-
2000s we have come a long way. Human insulin was the gold standard for many years
until the development of insulin analogues. The cost of using insulin has increased mainly
because newer insulins are more expensive but the questions remain as to whether they
are better.
Insulin analogues offer a replacement strategy which is more physiological. They act faster
and with the long acting basal insulins, they offer more predictability, longer duration of
action, less hypoglycemia and better weight profile. They encourage compliance and offer
flexibility in injection timing and have user friendly devices which over all leads to a greater
patient satisfaction.
In more than 60 randomised studies comparing HBA1c reduction with the 3 rapid acting
insulins (lispro,aspart and glulisine) and two basal insulins (glargine and detemir), the
average reduction was 0.01-0.23 % reduction. The true advantage however of analogues
is the reduction of hypoglycemia, particularly nocturnal hypoglycemia. There is a weight
gain of 0.4-1.3 kg in the NPH insulin group.
In a local Health technology assessment conducted in Malaysia to address this same issue,
the same question was asked. There was good evidence to suggest that treatment with
lispro or aspart compared to human insulin resulted in a small but significantly lower HBa1c
value in adults with T1DM but no differences were seen in T2DM with regards to FBS and
pre-meals sugars but better PPG control was noted. No difference in HBA1c was seen.
There was good level of evidence of lower HBA1c with glargine compared to NPH insulin
(-0.11%) in T1DM but not T2DM. QOL score were better. Weight gain was lower in detemir
as compared to NPH. Pre-mixed analogues had a similar HBA1c reduction but significantly
reduced PPG compared to human pre-mix insulin.
141 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
The main advantages seen were in the reduction of hypoglycemia (T1DM and T2DM) and
particularly nocturnal hypoglycemia (33-45% reduction) and severe hypoglycemia (20%
reduction in T1DM). Pre-mixed analogues were not shown be different as far as
hypoglycemia was concerned. Newer analogues like Insulin degludec have also been
shown to have significant reduction of nocturnal hypoglycemia.
Based on the current data available, treatment with insulin analogues compared to
conventional human insulin offers a minor benefit in terms of glycemic control (HBA1c
reduction, PPG control and FBG) but have advantages in terms of reduced occurrence of
hypoglycemia, particularly nocturnal hypoglycemia and severe hypoglycemia in all
treatment groups. Treatment satisfaction and QOL scores and weight gain profile favour
analogues.
I must admit that in my private practice I use primarily analogue insulin due to various
factors including minimal cost differential between human and analogue insulins.
In conclusion, both human and analogue insulins are effective and have a role to play. Are
analogues better? They certainlywould benefit those with T1DM and patients with T2DM
with recurrent hypoglycemia (severe and nocturnal) and finally those with significant weight
gain despite adequate lifestyle measures.
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 142
EARLY AMPUTATION IN DIABETIC FOOT MANAGEMENT:
DOES IT HAS SOME BENEFIT?
Safrizal Rahman
Bagian Ortopedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala –
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, Indonesia
Abstrak
Ulkus kaki diabetik merupakan ulkus yang terjadi pada penderita diabetes yang
disebabkan oleh neuropati, penekanan, iskemia atau hipertensi vena. Diperkirakan ulkus
kaki diabetik terjadi sekitar 30% pada penderita DM sepanjang masa hidupnya dengan
angka kekambuhan 66%. Infeksi merupakan komplikasi yang paling umum terjadi pada
penderita ulkus kaki diabetik yang dapat dibedakan berdasarkan 4 derajat keparah.
Pengkajian derajat keparahan infeksi penting dilakukan guna menentukan rencana
intervensi yang akan dilakukan terhadap pasien. Tujuan utama tatalaksana infeksi ulkus
kaki diabetik adalah menurunkan derajat keparahannya serendah mungkin dengan
menggunakan modalitas terapi medikamentosa dan pembedahan. Prosedur pembedahan
dilakukan jika terapi medikamentosa tidak menunjukkan hasil yang memuaskan, akan
tetapi juga dapat dilakukan secara bersamaan. Salah satu prosedur pembedahan yang
dilakukan untuk tatalaksana ulkus kaki diabetik adalah prosedur amputasi. Amputasi di
indikasikan pada pasien neuropati, penyakit vaskular, deformitas yang menyebabkan
nekrosis jaringan lunak, osteomielitis, infeksi yang tidak terkontrol atau nyeri yang tidak
tertangani. Dengan memprediksi kemungkinan penyembuhan luka pada penderita ulkus
kaki diabetik seperti diabetic ulcer severity score (DUSS), seorang klinisi dapat
menentukan apakah prosedur amputasi dapat dilakukan sedini mungkin guna mencegah
timbulnya komplikasi sistemik yang dapat mengancam keselamatan jiwa pasien serta
mencegah penggunaan antibiotik jangka panjang.
Kata Kunci: Ulkus kaki diabetik, amputasi dini
Pendahuluan
Ulkus pada kaki terjadi pada 1 dari 10 penderita diabetes selama masa hidupnya. Pasien
diabetes memiliki resiko amputasi ekstremitas bawah yang tinggi dengan penyebab
utamanya adalah peripheral arterial disease (PAD) yang prosesnya dipercepat oleh
kerusakan saraf dan pembuluh darah secara langsung akibat kadar glukosa yang tinggi.
Penyakit vaskular diabetes atau diabetic vascular disease (DVD) terdiri dari tiga komponen
utama yakni: artritis dan thrombosis pembuluh darah kecil; neuropati; dan atreosklerosis
pembuluh darah besar. Kombinasi ketiga komponen tersebut umumnya menimbulkan
permasalahan pada area tumpuan tubuh. Ulkus kaki diabetik lebih sering mengalami
143 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
infeksi dibandingkan ulkus kaki lainnya dan infeksi yang terjadi biasanya merupakan
infeksi oportunistik. Usia dan lama menderita diabetes menjadi faktor yang meningkatkan
insidensi dan resiko kematian akibat infeksi yang tidak terkontrol.1 Permasalahan ulkus
kaki diabetik terjadi baik pada Diabetes Mellitus (DM) tipe 1 dan tipe 2 serta perkiraan
terjadinya ulkus kaki diabetik pada penderita DM sepanjang masa hidupnya adalah 30%.2,
3
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 144
Tabel 1. Klasifikasi IDSA/IWGF infeksi ulkus kaki diabetik
Gambar 1. (a) Probe to bone (PTB) test (bernilai positif jika menyentuh jaringan
keras/rigid), (b) mengukur dalam ulkus setelah melakukan PTB
145 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Tabel 2. Perbandingan diagnosis PTB dan X-Ray
PTB X-Ray Kombinasi
Sensitivitas 95 % 82 % 97 %
Spesifisitas 93 % 93 % 92 %
NDP 97 % 97 % 97 %
NDN 83 % 65 % 93 %
Singkatan : NDP, nilai duga positif, NDN, nilai duga negatif, PTB, Prone to Bone test
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 146
untuk menyelamatkan ekstremitas. Perfusi yang adekuat ke kaki yang di tandai dengan
skin perfusion pressure ≥ 40 mmHg, toe pressure ≥ 30 mmHg, atau transcutaneous
oxygen pressure (TcPO2) 25 mmHg berkaitan dengan kemungkinan sembuh yang tinggi.
Perfusi jaringan tidak adekuat yang ditandai dengan ankle pressure < 70 mmHg dan ankle
brachial index < 0,5 berkaitan dengan tingginya resiko amputasi.13
Penelitian kohort yang dilakukan oleh Battum dkk pada tahun 2011 terhadap 1.232
pasien ulkus kaki diabetik selama 1 tahun menyimpulkan bahwa ulkus yang dalam,
penyakit arteri perifer, dan infeksi berhubungan dengan peningkatan resiko amputasi
minor pada penderita ulkus kaki diabetik.14 Diabetic ulcer severity score (DUSS) dapat
digunakan untuk memprediksi penyembuhan luka pada penderita ulkus kaki diabetik. Skor
ini terdiri dari 4 komponen penilaian yang masing – masing komponen penilaiannya benilai
1 poin, diantaranya: (1) arteri pedis tidak teraba, (2) dapat dilakukan PTB test, (3) ulkus
pada kaki, (4) ulus multipel. Jumlah poin dari masing – masing komponen diatas berupa
persentase kemungkinan ulkus dapat sembuh dalam 1 tahun, yaitu DUSS 0 (90%), DUSS
1 (82%), DUSS 2 (73%), DUSS 3 (62%) dan DUSS 4 (57%).15 Dengan mempertimbangkan
berbagai hal diatas, seorang klinisi dapat menentukan apakah pasien membutuhkan
prosedur amputasi sedini mungkin atau tidak. Beberapa ahli berpendapat bahwa amputasi
dini bermafaat untuk menghindari penggunaan antibiotik jangka panjang.16
DAFTAR PUSTAKA
1. Weledji EP, Fokam P. Treatment of the diabetic foot–to amputate or not? BMC
surgery. 2014;14(1):83.
2. Armstrong DG, Boulton AJ, Bus SA. Diabetic foot ulcers and their recurrence. New
England Journal of Medicine. 2017;376(24):2367-75.
3. Jeffcoate WJ, Vileikyte L, Boyko EJ, Armstrong DG, Boulton AJ. Current challenges
and opportunities in the prevention and management of diabetic foot ulcers. Diabetes
care. 2018;41(4):645-52.
4. Lipsky BA, Berendt AR, Cornia PB, Pile JC, Peters EJ, Armstrong DG, et al. 2012
Infectious Diseases Society of America Clinical Practice Guideline for the Diagnosis
and Treatment of Diabetic Foot Infections a. Clinical infectious diseases.
2012;54(12):e132-e73.
5. Boulton AJ, Armstrong DG, Albert SF, Frykberg RG, Hellman R, Kirkman MS, et al.
Comprehensive foot examination and risk assessment. Diabetes care.
2008;31(8):1679-85.
6. Neville RF, Kayssi A, Buescher T, Stempel MS. The diabetic foot. Current problems
in surgery. 2016;53(9):408-37.
7. Hunt DL. Diabetes: foot ulcers and amputations. BMJ clinical evidence. 2011;2011.
147 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
8. Thurber EG, Kisuule F, Humbyrd C, Townsend J. Inpatient Management of Diabetic
Foot Infections: A Review of the Guidelines for Hospitalists. Journal of hospital
medicine. 2017;12(12):994-1000.
9. Nikoloudi M, Eleftheriadou I, Tentolouris A, Kosta OA, Tentolouris N. Diabetic Foot
Infections: Update on Management. Current Infectious Disease Reports.
2018;20(10):40.
10. Aragón-Sánchez J, Lipsky BA, Lázaro-Martínez J. Diagnosing diabetic foot
osteomyelitis: is the combination of probe-to-bone test and plain radiography sufficient
for high-risk inpatients? Diabetic Medicine. 2011;28(2):191-4.
11. Butalia S, Palda VA, Sargeant RJ, Detsky AS, Mourad O. Does this patient with
diabetes have osteomyelitis of the lower extremity? Jama. 2008;299(7):806-13.
12. Napolitano C, Zmuba A, Rottier FJ, Pinzur MS, Stuck RM. Amputation and
Rehabilitation. In: Veves A, Giurini JM, Guzman RJ, editors. The Diabetic Foot.
Switzerland: Humana Press; 2018. p. 415-38.
13. Brownrigg J, Hinchliffe R, Apelqvist J, Boyko E, Fitridge R, Mills J, et al. Performance
of prognostic markers in the prediction of wound healing or amputation among patients
with foot ulcers in diabetes: a systematic review. Diabetes/metabolism research and
reviews. 2016;32:128-35.
14. Van Battum P, Schaper N, Prompers L, Apelqvist J, Jude E, Piaggesi A, et al.
Differences in minor amputation rate in diabetic foot disease throughout Europe are
in part explained by differences in disease severity at presentation. Diabetic medicine.
2011;28(2):199-205.
15. Edmonds M. Can a wound-based severity score for diabetic foot ulcers predict clinical
outcome? Nature Reviews Endocrinology. 2007;3(3):208.
16. Pickwell K, Siersma V, Kars M, Apelqvist J, Bakker K, Edmonds M, et al. Predictors
of lower-extremity amputation in patients with an infected diabetic foot ulcer. Diabetes
Care. 2015:dc141598.
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 148
CONSERVATIVE TREATMENT TO PREVENT AMPUTATION
IN DIABETIC FOOT
dr. Krishna W Sucipto, SpPD., KEMD., FINASIM
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNSYIAH/ RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Pendahuluan
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi yang sangat serius dari penyakit
diabetes mellitus dengan insidensi kumulatif mencapai 25% seumur hidup. 50-70%
diantaranya akan mengalami kekambuhan dalam 5 tahun. Kejadian kaki diabetes ini
meningkat seiring meningkatnya angka kejadian diabetes mellitus dan menyebabkan
morbiditas tinggi. Individu dengan riwayat kaki diabetes mempunyai resiko tinggi terjadinya
stroke, infark miokard dan kematian dini dibandikan dengan individu tanpa riwayat.
Internasional Diabetic Federation (IDF) juga menyebutkan 9,1-26,1 juta jiwa yang
menderita diabetes di dunia mengalami komplikasi berupa kaki diabetes. Di Amerika
Serikat angka kejadian kaki diabetes terus meningkat mencapai 3,5 juta jiwa per tahun dan
sekitar 176 miliar dolar biaya dihabiskan untuk perawatan kaki diabetes. Lebih dari
setengah penderita kaki diabetik mengalami infeksi sekunder, 20% dari infeksi sedang
hingga berat berakhir dengan amputasi.1,2
Pengendalian faktor resiko menjadi peranan penting dalam penanggulangan kaki
diabetes. Baik secara langsung maupun tidak langsung kaki diabetes ini akan memberikan
efek yang signifikan terhadap kualitas hidup, faktor psikososial, seperti usia, jenis kelamin,
budaya, pendidikan, status mental, kecemasan, depresi, dan juga perbedaan faktor
lingkungan.Stres psikologis berkepanjangan akan mempengaruhi kontrol gula darah dan
menyebabkan disregulasi imunitas sehingga meningkatkan resiko infeksi sekunder pada
kaki diabetes. Di sisi lain, sebuah penelitian longitudinal menerangkan bahwa pembatasan
mobilisasi bagi penderita kaki diabetes meningkatkan resiko terjadinya ulserasi kaki
diabetes. Derajat sensasi luka juga didasarkan kepada pengalaman individual pasien yang
biasanya berhubungan dengan jenis dan tingkat pemicu psikologis. Hal ini mempunyai efek
yang signifikan terhadap kemandirian pasien dalam beraktivitas sehari-hari, dengan
adanya ketergantungan terhadap orang lain akan semakin membuat pasien cenderung
membatasi diri dalam bersosial. Terlepas dari kondisi yang melemahkan status kesehatan
pasien dan menurunkan kualitas hidupnya diketahui juga bahwa faktor keuangan dalam
mengelola luka dibetik juga sebagai faktor yang semakin memperberat kondisi pasien.1,3
Pengelolaan terhadap luka diabetes dapat dilakukan secara maksimal di tingkat
layanan primer meliputi:pengontrolan rutin kadar gula darah, perawatan luka berkala,
memperhatikan kebersihan kaki, penggunaan alas kaki yang tepat, dan edukasi untuk
senam kaki diabetes. Pengetahuan tentang kaki diabetes mempunyai hubungan yang erat
terhadap kepedulian diri akan perawatan terhadap kaki diabetes. Usia, pekerjaan, status
149 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
perkawinan, jumlah luka, dan status ekonomi sangat penting untuk merencanakan
perawatan. Di antara berbagai faktor tersebut usia menjadi faktor paling utama dalam
menentukan status kualitas hidup pasien dengan kaki diabetes, di mana hal ini berkaitan
erat dengan cara pasien dalam menikmati hidup, kesehatan mental, emosi yang negatif,
dan kesulitan dalam proses perawatan luka. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan intensitas faktor psikologis terhadap usia. Pengelolaan pasien dengan
kaki diabetes ada tiga bagian edukasi yang perlu diterapkan yaitu, berfokus pada
perawatan kaki yang layak berbasis bukti, termasuk latihan menggerakkan kaki,
memfasilitasi peningkatan rasa percaya diri melalui pendekatan kepribadian pada seluruh
klinik perawatan kaki diabetes termasuk latihan fisik yang dilakukan dari awal pengobatan
hingga minimal 3 bulan perawatan.4,5
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 150
Tabel 2: Klasifikasi Wagner-Meggitt7
Grade 0 Kulit intak/utuh
Grade 1 Tukak superfisisal
Grade 2 Tukak dalam 9 sampai tendon, tulang atau persendian
Grade 3 Tukak dalam dengan infeksi
Grade 4 Tukak dengan ganggren pada 1-2 jari
Grade 5 Tukak dengan ganggren luas seluruh kaki
151 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
PaCO2 < 32 mm Hg
White blood cell count > 12.000 or < 4.000/cu nm
10% immature (band) forms
Sensation S1 No loss of protective sensation
S2 Loss of protective sensation with absent pressure sensation on 2 of 3
sites on the plantar side of the foot or absent vibration sensationor
vibration threshold >25 V on the hallux.
Klasifikasi Kaki diabetik menurut Australian National Health and Medical Research
Council (NHMRC) guideline, antara lain:8
1. Low-risk of foot ulceration: orang dengan faktor resiko yang tidak teridentifikasi
pada skrining kaki (tidak ditemukan neuropati perifer, penyakit arteri perifer,
deformitas kaki, ulkus kaki sebelumnya, atau riwayat amputasi ekstremitas bawah
2. Intermediate-risk of foot ulceration: orang dengan satu faktor resiko dari skrining
kaki (antara neuropati perifer, penyakit arteri perifer, deformitas kaki) dan tidak ada
riwayat ulkus atau amputasi kaki sebelumnya.
3. High-risk of foot ulceration: orang dengan dua atau tiga faaktor resiko dari skrining
kaki (neuropati perifer, penyakit arteri perifer, deformitas kaki) atau dengan ada
riwayat ulkus atau amputasi kaki sebelumnya.
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 152
Pemeriksaan Kaki Teratur
Untuk menentukan status resiko kaki diabetik, semua orang dengan diabetes
harus menjalani setidaknya satu skrining kaki pertahunnya dengan seorang profesional
kesehatan yang berkompeten dibidangnya. Orang dengan status kaki beresiko
intermediate atau tinggi harus diskrining setidaknya sekali setiap 3 hingga 6 bulan.Sesuai
pedoman NHMRC, skrining yang dilakukan adalah sebagai berikut:8,10
1. Neuropati perifer: 10 g sensitivitas monofilamen; persepsi getaran; skor kecacatan
neuropati)
2. Penyakit arteri perifer: palpasi denyut nadi perifer; indeks tekanan pergelangan
kaki-brakialis; indeks tekanan kaki-brakialis (ABI)
3. Kelainan bentuk kaki: skala enam poin mencetak pengecilan otot kecil, kelainan
bentuk kaki Charcot, keunggulan tulang, kepala metatarsal yang menonjol, jari kaki
palu atau cakar dan mobilitas sendi yang terbatas.
4. penilaian riwayat ulkus kaki atau amputasi ekstremitas bawah
153 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Tabel 4: Target Terapi1,3
No Parameter Sasaran
Edukasi Pasien
Setiap pasien dengan diabetes dan kaki diabetes perlu diberikan edukasi.
Pemberian edukasi mengenai penyakitnya diperlukan agar pasien mengetahui sejauh
mana penyakitnya dan yang perlu diperhatikan terkait penyakitnya. Pengetahuan yang
dimiliki seseorang dapat berpengaruh terhadap pola pikir dalam melakukan tindakan.
Demikian pula ketika seseorang melakukan analisa penyakit atau perubahan yang terjadi
dalam dirinya. Pengetahuan juga sangat erat hubungannya dengan cara seseorang
memperhatikan perubahan pada dirinya, misalnya ketika kakinya mulai terasa baal atau
dingin. Adapun edukasi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:9
1. Pentingnya kontrol gula darah dan beberapa faktor resiko yang dapat diubah
seperti diet, olahraga, menurunkan berat badan dan berhenti merokok.
2. Pentingnya perawatan kaki dan advice dalam merawat kaki. Pastikan pemberian
advice atau saran tidak terlepas dari adat dan kepercayaan agama pasien serta
adanya dukungan keluarga
3. Resiko seseorang saat ini terkena masalah kaki diabetes
4. Kapan mencarai bantuan profesional dan siapa yang harus dihubungi terkait
kegawatdaruratan.
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 154
penderita diabetes harus memiliki kriteria seperti kotak kaki lebar, sol empuk, kedalaman
ekstra atau dapat dibuatkan protesa khusus jika diperlukan. Pasien dengan ulkus di plantar
kaki bagian depan atau tumit, dapat menggunakan alas kaki pada gaambar 3,9 Protesa
lain seperti contoh pada gambar 4
155 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
structural modifications ( deformity/ limited range of motion/
tissue quality loss)
infection
malignancy
Extrinsic
biomechanics
deformity
footwear
Foot ulcer presence of ulcer
type of ulcer
location
dressing selection
Physical occupation
activity home lifestyle
sports/ recreational activity
balance
Funding ability to pay for device
third party insurance
Patient ability to share to treatment plan
behaviour occupation and lifestyle
mental capabilities
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 156
Senam kaki diabetes
Senam kaki diabetes sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya luka dan
membantu melancarkan peredaran darah pada bagian kaki. Senam ini juga membantu
meningkatkan kekuatan otot betis dan paha serta mengatasi keterbatasan gerak.1
Langkah-langkah senam diabetes adalah:
1. Gerakan pertama, up and down digiti
Posisi kaki diataslantai, kemudian gerakkan jari-jari kaki ke atas dan ke bawah, tumit
menempel di lantai. Lakukan gerakan ini 10 x untuk tiap kaki secara bersamaan.
Kesimpulan
Gambar Gerakan #1:
2 set x 10
2 set x 10
157 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Gambar Gerakan #3:
2 set x 10
bersamaan
2 set x 10
bersamaan
Seperti menulis
Angka 0-10
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 158
6. Gerakan keenam, make a ball
Letakkan selembar koran dilantai. Kemudian bentuk kertas koran tersebut menjadi seperti
bola dengan kedua belah kaki.
9. Gerakan kesembilan
159 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Gambar Gerakan #9:
Pembersihan luka dengan kompres dan balut dengan Nacl 0,9% (Wound Dressing)
- Alat dan bahan
Kasa
Cairan NaCl 0,9%
- Cara kerja
Luka disiram dengan NaCl 0,9% sampai bersih, kemudian ditutup dengan kasa
yang dilumuri NaCl 0,9%, selanjutnya dibalut dengan kasa kering. Luka dibersihkan dua
kali setiap hari.
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 160
Gambar 6: Wound dressing kaki diabetes dengan kasa dilumuri NaCl 0,9%1
Dressing ini memiliki tindakan perawatan yang baik dan membantu dalam
menyembuhkan luka. Dressing basah sampai kering merupakan contoh debridemen
mekanik yang cepat menyerap dan melekat pada luka dan merupakan salah satu dressing
termurah yang digunakan di seluruh dunia, tetapi membutuhkan penggantian ganti sering
(dua atau tiga kali sehari) berdasarkan tingkat keparahan luka.
Balutan kasa harus dilembabkan sebelum dibuka untuk meminimalkan
kemungkinan pendarahan. Pembersih yang lembut dengan normal saline akan
meminimalkan iritasi. Saat mengobati luka granulasi atau epitelisasi, rendam kasa secara
menyeluruh dengan normal saline selama lima menituntuk mencegah trauma dan
perdarahan hebat.
Callus Shaving
Definisi
Kalus adalah area kulit kaki yang menebal akibat gesekan berulang, tekanan, atau
iritasi lainnya, sering disebut juga dengan kapalan. Callus Shaving adalah suatu tindakan
untuk menghilangkan kalus dengan cara mengeruk, mencukur dan memotong jaringan
kalus.
Cara Kerja
Cara menghilangkan kalus secara konservatif dapat dilakukan dengan
memotongnya dengan pisau bedah, atau pisau kalus. Ini adalah cara yang sederhana dan
efektif untuk menghilangkan kalus, namun perawatan juga perlu difokuskan pada
penyebab utamanya.
- Alat dan Bahan
Handcsoon
Scalpel / Gunting jaringan
Klem
161 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
a b
Gambar :
12a. Proses callus shaving
dengan bisturi,
12b. Proses callus shaving
dengan gunting.
Debridemen
Debridemen adalah suatu tindakan untuk membuang jaringan nekrosis, callus dan jaringan
fibrotik. Tindakan ini dapat meningkatkan pengeluaran faktor pertumbuhan (growth factor)
yang membantu proses penyembuhan luka. Debridemen dilakukan pada kasus ulkus
diabetes dengan tampilan tepi luka yang tebal atau jaringan nekrotik. Tujuannya adalah
menghilangkan seluruh jaringan nekrotik dan jaringan non-viabel dengan gangguan
vaskularisasi, serta mempertahankan drainase yang baik sehingga terjadinya jaringan
granulasi yang baik. Debridemen dapat berupa Surgical debridement, debridemen
enzimatis, dan debridemen mekanis.1,12
Daftar Pustaka
1. Sucipto, Krishna W. Tata Laksana Komprehensif Kaki Diabetik. Banda Aceh: in
press. 2019: p. 1-59
2. International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas 8th Edition, International
Diabetes Federation. 2017. Available at: http://www.diabetesatlas.org/across-the-
globe.html
3. American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes-
2018:. Diabetes Care. 2018:41(1) p.S111-14
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 162
4. Everett E, Mathioudakis N. Update on Management of Diabetic Foot Ulcers. Ann
N Y Acad Sci. 2018;1411(1):153-165.
5. Yazdanpanah L. Literature review on the management of diabetic foot ulcer. World
J Diabetes. 2015;6(1):37.
6. Game F. Classification of diabetic foot ulcers. Diabetes/metabolism research and
reviews. 2016;32:186-94
7. Weledji EP, Fokam P. Treatment of the diabetic foot - to amputate or not?. BMC
Surg. 2014;14:83. Published 2014 Oct 24. doi:10.1186/1471-2482-14-83
8. van Netten JJ, Lazzarini PA, Armstrong DG, et al. Diabetic Foot Australia guideline
on footwear for people with diabetes. J Foot Ankle Res. 2018;11:2. Published 2018
Jan 15. doi:10.1186/s13047-017-0244-z
9. Mishra SC, Chhatbar KC, Kashikar A, Mehndiratta A. Diabetic foot. BMJ.
2017;359:j5064. Published 2017 Nov 17. doi:10.1136/bmj.j5064
10. Nather A, Cao S, Chen JLW, Low AY. Prevention of diabetic foot
complications. Singapore Med J. 2018;59(6):291-294.
11. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus tipe 2 di
Indonesia. Jakarta. PB PERKENI.2015
12. Botros M., Kuhnke J., Embil J., Goetll K, Morin C., Parsons L., Scharfstein B.,
Somayaji R., and Evan R. Best Practice Recommendations for the Prevention and
Management of Diabetic Foot Ulcers. Wounds Canada. 2018.
163 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 164
INOVASI INSULIN BASAL DALAM PENGELOLAAN
PASIEN DIABETES MELLITUS
Hendra Zufry
Divisi Endokrinologi, Metabolism dan Diabetes- Pusat Pelayanan Tiroid Terpadu
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/
RSUD. Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Email : hendra_zufry@yahoo.co.id, hendra.zufry@gmail.com
Pendahuluan
Pada populasi Asia, hubungan antara etnik dan predisposisi genetik sangat
berpengaruh dalam patofisiologi terjadinya DM tipe 2. Kondisi ini menyebabkan terjadinya
perbedaan karakteristik pasien DM tipe 2 pada populasi Asia dibandingkan populasi
kaukasian.1Perbedaannya yang terlihat jelas berupa ; sekresi sel betha yang dominan
mengalami kerusakan( Defesiensi), pasien yang lebih kurus serta dengan usia muda serta
tingginya kosumsi glukosa yang menyebabkan tinggi kadar glukosa (KGD) post prandial
pada populasi Asia dibanding kaukasian.2,3
Beberapa studi terbaru menunjukkan adanya kecenderungan buruknya kontrol gula
darah pada populasi Asia dengan kadar HbA1C rata-rata 8,7- 9,8 % pada saat dimulainya
inisiasi insulin. 4 Beberapa penelitian di Asia juga mendapatkan adanya perbedaan
kebutuhan insulin pada populasi Asia dibanding populasi kaukasian, yang menunjukkan
lebih tingginya insulin basal yang dibutuhkan pada populasi Asia dibandingkan populasi
kaukasian.5
165 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Tabel 1. Inisiasi dan Intensifikasi Insulin basal
Adapun beberapa kunci sukses dalam melakukan inisiasi insulin dengan basal
insulin meliputi;
- menjelaskan pada pasien bahwa diabetes mellitus merupakan suatu penyakit
progresif.
- Edukasi pasien alasan dilakukannya inisiasi insulin
- Hindari adanya kesan bahwa inisiasi insulin merupakan suatu kegagalan terapi
selama ini.
- Berikan metode intensifikasi insulin yang efektif untuk mencapai target terapi yang
adekuat.
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 166
Tabel 2. Rekomendasi Inisiasi dan titarsi Insulin basal di Asia
167 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Gambar 1. Profile Insulin Basal
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 168
C. Insulin PEGlispro
Merupakan insulin terbaru dengan bentuk insulin polyethylene glycolitate. Hingga
akhir 2017 obat ini juga belum mendapatkan approved dari FDA untuk digunakan.
Daftar kepustakaan
1. Chan JCN, Bunnag B, Chan SP, Isip, Tan IT. Clinical outcomes in Asian and non-
Asian people with type 2 diabetes (T2D) initiating glargine 100 units/mL (Gla-100)
therapy: results of a pooled analysis from 16 RCTs. Presented at American Diabetes
Associa- tion 76th Scientific Sessions; 2016 June 10–14; New Orleans, LA, USA.
Poster 980-P.
2. Chiu M, Austin PC, Manuel DG, Shah BR, Tu JV. Deriving ethnic-specific BMI
cutoffpoints for assessing diabetes risk. Diabetes Care. 2011;34:1741–8.
3. Chiu M, Austin PC, Manuel DG, Shah BR, Tu JV. Deriving ethnic-specific BMI cutoff
points for assessing diabetes risk. Diabetes Care. 2011;34:1741–8.
4. Chan JC, Gagliardino JJ, Baik SH, et al. Multifaceted determinants for achieving
glycemic control: the International Diabetes Management Practice Study (IDMPS).
Diabetes Care. 2009;32:227–33.
5. So WY, Raboca J, Sobrepena L, et al. Comprehensive risk assessments of diabetic
patients from seven Asian countries: The Joint Asia Diabetes Evaluation (JADE)
program. J Diabetes. 2011;3:109–18.
6. Inzucchi SE, Bergenstal RM, Buse JB, et al. Man- agement of hyperglycemia in type
2 diabetes, 2015: a patient-centered approach: update to a position statement of the
American Diabetes Association and the European Association for the Study of
Diabetes. Diabetes Care. 2015;38:140–9.
7. Owens DR. Clinical evidence for the earlier initia- tion of insulin therapy in type 2
diabetes. Diabetes Technol Ther. 2013;15:776–85.
8. Birkeland KI, Home PD, Wendisch U, et al. Insulin degludec in type 1 diabetes: a
169 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
randomized controlled trial of a new-gen- eration ultra-long-acting insulin
compared with insulin glargine. Diabetes Care 2011;34:661– 665
9. Rosenstock J, Bergenstal RM, Blevins TC, et al. Better glycemic control and weight
loss with the novel long-acting basal insulin LY2605541 compared with insulin
glargine in type 1 diabetes: a randomized, crossover study. Diabetes Care
2013;36:522–528
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 170
ART OF TREATING DIABETES AND CARDIOVASCULAR
DISEASE (CVD) IN HARMONY
Eva Decroli
Subbagian Endokrin Metabolik & Diabetes
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unand/ RSUP Dr. M. Djamil Padang
Abstrak
Pendahuluan
Diabetes melitus adalah suatu penyakit dengan karakteristik hiperglikemia yang
insidensnya meningkat secara global. Hiperglikemia merupakan mekanisme utama
terjadinya komplikasi vaskuler baik makrovaskuler ataupun mikrovaskuler pada
diabetes. Terdapat hubungan erat antara hiperglikemia, resistensi insulin, dan penyakit
vaskuler. Pada diabetes, tinggi kadar glukosa darah mencetuskan inflamasi endotel,
stres oksidatif mitokondria, dan gangguan availabilitas nitrit oksida yang merupakan
kunci homeostasis endotel vaskuler. Ini menyebabkan lesi aterosklerosis koroner yang
kemudian berujung pada penyakit kardiovaskuler (CVD). Penyakit kardiovaskuler
adalah penyebab kematian utama pada pasien diabetes. Terapi diabetes dengan CVD
menurut ADA/EASD adalah kombinasi metfromin dengan obat golongan lainnya untuk
mencapai kontrol glikemik dapat dilakukan dengan memperhatikan efek samping obat
dan komorbiditas. Pemilihan obat antidiabetes pada pasien diabetes dengan komplikasi
kardiovaskuler merupakan suatu tantangan. Tujuan akhir penatalaksanaan diabetes
dengan komplikasi kardiovaskuler adalah menurunkan morbiditas dan mortalitas
dengan menghindari efek samping terapi dan perburukan komorbiditas.
171 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Diabetes Melitus Tipe 2 dengan CVD
Penyakit kardiovaskular adalah satu satu komplikasi makrovaskuler dari DM
tipe 2. CVD merupakan penyebab utama kematian dan disabilitas pada penderita DM
tipe 2. Terjadinya komplikasi kardiovaskular meningkat seiring dengan peningkatan
kadar gula darah puasa. Berdasarkan studi epidemiologi dibandingkan bahwa hampir
50% total kematian pada DM tipe 2 adalah karena CVD, sementara kematian akibat
komplikasi DM lainnya hanya sekitar 15%.
Suatu penelitian metaanalisis dari 29 penelitian eksperimental terhadap sekitar
1000 pasien dengan DM tipe 2, disimpulkan terdapat dua faktor yang harus diidentifikasi
untuk menentukan apakah seorang penderita diabetes ini berisiko tinggi atau tinggi yaitu
adanya CVD dan adanya proteinuria. CVD meningkatkan risiko kematian hampir tiga
kali lipat pada pasien DM tipe 2. DM dan CVD adalah kombinasi penyakit yang umum
ditemui dan merupakan kombinasi yang serius. Dengan demikian, diagnosis dan
penatalaksanaan harus dilakukan dengan tepat.
Gambar 1. Profil Status Glikemik pada Pasien dengan CVD. (Sumber: Naidu (2015))
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 172
Patofisiologi CVD pada Diabetes Melitus Tipe 2
Penyakit kardiovaskuler pada DM tipe 2 adalah salah satu komplikasi vaskuler
pada diabetes yang berawal dari keadaan disfungsi endotel. Disfungsi endotel terjadi
melalui dan melibatkan berbagai mekanisme hingga menyebabkan aterosklerosis.
Aterosklerosis pada pembuluh darah jantung menyebabkan terjadinya CVD.
Resistensi insulin memainkan peran penting pada patofisiologi DM tipe 2 dan
komplikasi CVD. Faktor genetik dan lingkungan berperan dalam peningkatan resistensi
insulin. Lebih dari 90% pasien DM tipe 2 adalah obes dan pelepasan asam lemak bebas
(FFA) dan sitokin-sitokin dari jaringan adiposa mengganggu resistensi insulin. Pada
jaringan oto dan lemak, FFA menginduksi terbentuknya reactive oxygen species (ROS)
yang kemudian akan menghambat aktivasi insulin receptor substrate 1 (IRS-1) dan sinyal
PI3K-Akt sehingga menghambat eksokstosis GLUT-4 ke permukaan sel. Dalam kaitannya
dengan disfungsi endotel, FFA menghambat fosforilasi endothelial nitric oxide synthase
(eNOS) sehingga menyebabkan berkurangnya produksi nitrit oksida (NO) yang berujung
pada disfungsi endotel dan remodeling vaskuler (peningkatan ketebalan lapisan intima-
media pembuluh darah). Akumulasi ROS mengaktivasi NF-kB yang kemudian
meningkatkan ekspresi sitokin-sitokin inflamasi. Rantai transpor elektron mitokondria
adalah salah satu target utama dari keadaan hiperglikemia, yaitu akibat terbentuknya
superoksida. Peningkatan pembentukan superoksida berasal dari lingkaran setan yang
melibatkan aktivasi protein kinase C (PKC) yang diinduksi oleh ROS. Keadaan
hiperglikemia menyebabkan aktifnya berbagai jalur yang kemudian berujung dengan
peningkatan ROS (plyol flux, AGEs dan reseptornya RAGEs, PKC, dan hexosamine
pathway. Pada gambar 2 dijelaskan secara detail patofisiologi komplikasi vaskuler pada
DM tipe 2.
Bukti baru-baru ini menyatakan bahwa pembentukan ROS yang diinduksi oleh
keadaan hiperglikemia terlibat dalam persistensi disfungsi vaskuler walaupun kadar
glukosa darah kemudian normal. Fenomena ini disebut metabolic memory dan hal ini dapat
menjelaskan mengapa terjadi progresivitas dari komplikasi makro dan mikrovaskuler
walapun kontrol glikemik intensif telah tercapai pada pasien DM.
173 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Gambar 2. Patofisiologi Komplikasi Vaskuler pada DM tipe 2.
AGE: advanced glycated end-products; FFA: free fatty acids; GLUT4: glucose transporter
4; HDL-C: high-density lipoprotein cholesterol; LDL: low-density lipoprotein particles;
NO: nitric oxide; PAI-1: plasminogen activator inhibitor-1; PKC: protein kinase C; PPARy:
peroxisome proliferator-activated receptor y; PI3K: phosphatidylinositide 3-kinase; RAGE:
AGE receptor; ROS: reactive oxygen Species; SR-B: scavenger receptor B; tPA: tissue
plasminogen activator. (Sumber:ESC Guideline (2014))
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 174
peruabhan homeostasis glukosa darah. Bagaimanapun, masih ada pertanyaan mengenai
sensitivitasnya dalam memprediksi DM. Pertanyaan klinis utama adalah ‘dapatkah kita
menyingkirkan diagnosis diabetes pada pasien dengan HbA1c yang normal?’.
Pada DM tipe 2 tanpa CVD (dalam hal ini terutama adalah CAD/ coronary arterial
disease), panduan terbaru menyatakan bahwa HbA1c negatif dapat mengeksklud diabetes
pada kelompok pasien risiko rendah tetapi tidak pada kelompok risiko tinggi. Pada
kelompok risiko tinggi ini, pemeriksaan tes toleransi glukosa oral (OGTT)
direkomendasikan. OGTT memegang peranan penting pada tahapan diagnostik diabetes
pada pasien dengan atau tanpa CAD, dan memiliki implikasi prognostik yang penting.
Deteksi awal status glikemik pasien CAD dengan OGTT memberikan harapan
pencegahan perkembangan DM dengan intervensi non-farmakologis atau dengan agen
farmakologis seperti metformin, akarbose, dan rosiglitazone. Euro Heart Survey on
Diabetes and the Heart melaporkan bahwa pemberian secara dini terapi
medikamentosa sangat bermanfaat pada pasien CAD dengan diabetes yang baru
dikenal (terapi medikamentosa akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikutnya).
Algoritma diagnosis dan penatalaksanaan DM tipe 2 dengan CAD dapat dilihat pada
Gambar 3.
Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 dengan CVD
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama dari mortalitas dan
morbiditas pada pasien DM. Oleh karena itu, terapi efektif yang krusial diperlukan untuk
menurunkan resiko kejadian kardiovaskular, terutama infark miokard, CAD, stroke, dan
CHF.
175 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Tujuan terapi ini ini dapat dicapai dengan strategi penatalaksanaan yang meliputi
terapi non-farmakologis dan farmakologis. Terapi non-farmakologis terutama difokuskan
pada manajemen pola hidup. Terapi farmakologis meliputi terapi dengan obat-obatan
pilihan sesuai efek farmakologis yang diharapkan pada pasien CVD.
Terapi Non-Farmakologis
Manajemen pola hidup secara umum dianjurkan sebagai pencegahan DM tipe 2,
dalam hal ini adalah pencegahan sekunder dan tersier. Manajemen pola hidup meliputi
penurunan berat badan, peningkatan aktivitas fisik, dan berhenti merokok.
1. Penurunan Berat Badan
Penurunan berat badan disarankan pada seluruh DM tipe 2 overweight atau obesitas.
Hubungan antara overweight/obesitas dengan peningkatan resiko CVD sudah jelas
terlihat pada populasi umum. Lebih jauh lagi, studi-studi telah menunjukkan bahwa
overweight atau obesitas, terutama obesitas viseral, meningkatkan resiko terjadinya
DM tipe 2. Adanya inflamasi akan memicu resistensi insulin yang diketahui menjadi
penghubung antara obesitas dan diabetes. Manfaat lain yang dapat diperoleh dari
penurunan berat badan antara lain memperbaiki kualitas hidup, resistensi insulin, dan
faktor resiko CVD lainnya, dan oleh karena itu berbagai guideline klinis
merekomendasikan penurunan berat badan bagi penderita DM tipe 2
overweight/obese.
2. Peningkatan Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik direkomendasikan sebagai bagian dari strategi untuk mengurangi berat
badan. Aktivitas fisik diperkirakan mempengaruhi resiko terjadinya CVD secara
independen. Mekanisme potensial ini antara lain mengurangi inflamasi sistemik,
memperbaiki pengisian diastol, memperbaiki fungsi vasodilator endotel, dan
mengurangi akumulasi lemak viseral di abdomen. Banyak studi telah menunjukkan
pengurangan relatif insidens CVD pada pasien yang aktif secara fisik. Rekomendasi
aktivitas fisik minimal 150 menit per minggu dengan aktivitas sedang sampai berat,
dua kali per minggu masih menjadi panduan utama dari manajemen DM dan
pencegahan CVD pada DM tipe 2.
3. Berhenti Merokok
Pada pasien dengan DM tipe 2, studi-studi secara konsisten menunjukkan bahwa
merokok merupakan faktor resiko mortalitas dan terjadinya penyakit jantung koroner.
Intervensi ini harus diupayakan seoptimal mungkin walaupun sangat sulit dilakukan.
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 176
A – ASSESS Determine the person’s degree of addiction and readiness to
quit
A – ASSIST Agree on a smoking cessation strategy, including setting a
quit date, behavioural counseling, and pharmacological
support
A - ARRANGE Arrange a schedule for follow-up
Terapi Farmakologis
Berbagai penelitian telah menyatakan bahwa walaupun kontrol glikemik
secara intensif menurunkan insidens dan progresi komplikasi mikrovaskuler, tetapi
morbiditas yang ditimbulkan akibat komplikasi mikrovaskuler yang telah terjadi ini
masih meningkat. United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) menyatakan
bahwa kontrol glikemik yang ketat dapat mengurangi komplikasi mikrovaskuler tetapi
hal ini masih kontroversi jika dikaitkan dengan kompliksi makrovaskuler. Penurunan
risiko relatif (RR) kejadian infark miokard (p=0,052) telah diamati pada penelitian post
trial UKPDS selama 10 tahun. Pada suatu penelitian klinis prospektif pioglitazone
terhadap kejadian makrovaskuler dibandingkan kelompok plasebo didapatkan
kesimpulan bahwa risiko kematian kardiovaskuler yang meliputi infark miokard dan
stroke menurun dengan terapi pioglitazone ini.
Berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya, The action in diabetes and
vascular disease: Preterax and Diamicron MR Controlled Evaluation and theVeterans
Affairs Diabetes Trial gagal memperlihatkan perbaikan risiko kardiovaskuler yang
bermakna pada terapi intensif diabetes. Juga, pada penelitian lain mengenai
penggunaan terapi intensif selama 3,5 tahun justru meningkatan mortalitas dan tidak
secara bermakna menurunkan kejadian kardiovaskuler.
EASD (2014) menyatakan bahwa karena masih kontroversi, secara umum
risiko kejadian komplikasi makrovaskuler juga dipengaruhi oleh perbaikan status
euglikemik. Suatu hasil penelitian yang diterbitkan pada tahun 2007 dengan jelas
menyatakan bahwa kontrol glukosa darah memberikan modest effect pada komplikasi
makrovaskuler yang telah ada. Suatu penelitian metaanalisis cardiovascular
outcomes berdasarkan Veterans’ Administration Diabetes Trial (VADT), Action to
Control Cardiovascular Risk in Diabetes (ACCORD), dan Action in Diabetes and
Vascular Disease (ADVANCE) menyatakan bahwa penurunan HbA1c 1% terkait
dengan penurunan risiko relatif 15% pada infark miokard non-fatal tetapi tidak
memberikan manfaat pada stroke ataupun penyebab mortalitas lainnya pada DM tipe
2.
Pada ACCORD trial, hipoglikemia meningkatkan mortalitas pada psien
dengan durasi panjang menderita diabetes (minimal 9 tahun). ORIGIN trial gagal
memperlihatkan pemberian awal regimen berbasis insulin menurunkan komplikasi
177 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
makrovaskuler. Berbasarkan berbagai penemuan ini, panduan terbaru mengenai
penatalaksanaan DM tipe 2 dengan CVD tidak merekomendasikan kontrol glikemik
yang sangat ketat. Lebih lanjut, pada pasien usia tua dengan long-standing diabetes
dan CVD, kontrol glikemik tidak begitu ketat dilakukan karena adanya risiko konkrit
hipoglikemia dan efek lainnya dari terapi.
Secara umum, kontrol glikemik intensif untuk mencapai target HbA1c <7
efektif tetapi sebaiknya diterapkan secara individualized sesuai durasi menderita
diabetes, adanya CVD dan komorbiditas lainnya. Oleh karena itu ESC/EASD (2014)
merekomendasikan bahwa kewaspadaan yang tinggi harus diperhatikan apabila
dilakukan pemberian terapi hipoglikemia jangka panjang. Disamping itu, hal yang juga
perlu diperhatikan pada tatalaksana pasien diabetes dengan CVD adalah terapi untuk
menurunkan risiko trombosis yang juga terkait dengan penyakit diabetes itu sendiri.
1. Glucose-lowering drugs
Diantara berbagai obat-obatan penurun glukosa darah, metformin merupakan pilihan
pertama karena keamaannya dan modest benefit terhadap risiko infark miokard. Saat
ini, metformin sebagai obat pilihan pertama pada terapi diabetes dengan CVD masih
diperdebatkan karena apabila dikombinasikan dengan sulfonilurea dapat
meeningkatkan mortalitas dan morbiditas. Sulfonilurea tanpa metformin juga
menurunkan risiko infark miokard dan kematian pada penelitian UKPDS tetapi terkait
dengan peningkatan berat badan dan kejadian hipoglikemia. ADA/EASD (2018)
merekomendasikan penggunaan agen GLP-1 agonis atau SGLT2 inhibitor pada
terapi pasien diabetes dengan CVD (Gambar 4).
Metformin
ADA/EASD 2018 merekomendasikan metformin sebagai terapi lini pertama pada
hampir semua pasien DM tipe 2. Obat-obatan pilihan lainnya dapat ditambahkan
bersama metformin berdasarkan karakteristik klinis pasien, meliputi CVD, gagal
jantung, dan gagal ginjal. Risiko efek samping dari kombinasi metformin dengan obat
antidiabetes lainnya meliputi hipoglikemia, peningkatan berat badan, toleransi pasien,
dan biaya merupakan hal penting yang harus dipertimbangkan.
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 178
Gambar 4. Rekomendasi Terapi pada DM Tipe 2 dengan CVD dan CKD.
(Sumber: ADA/EASD (2018))
DPP IV Inhibitor
Terapi inkretin dengan glucagon-like peptide-1 (GLP-1) agonis dan dipeptidyl peptidase-4
(DPP-4) inhibitor tampaknya tidak memperbaiki outcomes kardiovaskuler pada pasien
diabetes. Walaupun demikian, dari penelitian lain dinyatakan bahwa GLP-1 agonis dan
DPP-4 inhibitor tidak memiliki efek samping yang bermakna dan tidak meningkatkan
mortalitas pada pasien diabetes dengan CVD. Contoh kelompok DPP IV inhibitor ini adalah
sitagliptin, vildagliptin, linagliptin, dan saxagliptin.
2. Antiplatelet drug
Guideline mengkonfirmasi bahwa aspirin tidak direkomendasikan pada pasien
diabetes tanpa CVD atau kerusakan organ lainnya (risiko kardiovaskuler rendah).
Sebaliknya, terapi antiplatelet sebaiknya diberikan secara personalized pada pasien
diabetes risiko tinggi. Stratifikasi risiko kardiovaskuler pada pasien diabetes (apakah
rendah, sedang, dan tinggi) tidak begitu penting karena apabila diagnosis diabetes sudah
ditegakkan, ini berarti sudah terdapat risiko kardiovaskuler yang tinggi. Karena alasan
inilah pasien-pasien diabetes walaupun tanpa CAD seharusnya mendapatkan terapi yang
sama seperti pasien diabetes dengan CAD. Walaupun demikian, sebagian besar guideline
masik merekomendasikan terapi antiplatelet berdasarkan ada atau tidaknya penyakit CAD.
Sebagai contoh, aspirin direkomendasikan sebagai pencegahan sekunder, bukan
pencegahan primer.
3. Statin
Pada penelitian STENO dinyatakan bahwa intervensi multifaktorial terkait dengan
risiko mortalitas yang lebih rendah dari penyebab CVD (p<0,001). Panduan ESC/EASD
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 180
terbaru merekomendasikan penggunaan statin pada pasien diabetes (termasuk pasien DM
tipe 1). Sebaliknya, terapi peningkatan kadar HDL tidak direkomendasikan. Hal ini karena
berdasarkan bukti terbaru dari suatu penelitian bahwa peningkatan kadar HDL tidak
bermanfaat pada pasien diabetes. Penelitian lainnya juga menyatakan bahwa efek protektif
dari HDL hilang pada pasien diabetes dengan CAD.
Sementara itu, strategi terapi untuk menurunkan kadar LDL sangatlah penting pada
terapi CVD pada diabetes. Penelitian terbaru mengemukakan bahwa strategi lipid-lowering
sangat bermanfaat di masa depan. AMG145, suatu antibodi monoklonal melawan protein
convertase subtilisin/ kexin type 9 (PCSK9), muncul sebagai suatu pendekatan terapi yang
menjanjikan pada pasien dengan hiperkolesterolemia yang mendapat terapi statin, dengan
manfaat penurunan kolesterol LDL yang tidak diragukan lagi.
Kesimpulan
Diabetes adalah penyakit dengan karakteristik hiperglikemia dengan komplikasi
vaskuler. CVD adalah bagian dari komplikasi vaskuler pada DM tipe 2 yang meningkatkan
morbiditas dan mortalitas penderita diabetes. Rekomendasi terapi lini pertama yang
direkomendasikan pada diabetes dengan CVD ini adalah metformin. Metformin dapat
dikombinasikan dengan obat antidiabetes lainnya dengan pertimbangan personalized.
Obat lainnya yang juga direkomendasikan berdasarkan berbagai penelitian terutama
adalah GLP-1 agonis dan SGLT2 inhibitor.
181 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
DAFTAR PUSTAKA
1. Cardiovascular Disease and Type 2 Diabetes: Has the Dawn of a New Era Arrived?.
Diabetes Care. 2017;40:813−20.
2. Lorber D. Importance of cardiovascular disease risk management in patients with type
2 diabetes mellitus. Dove Press. 2014;7:169−183.
3. Beckman J, Creager M. Vascular Complications of Diabetes. Lebanon: Vanderbilt
University School of Medicine. 2016;118:1771−85.
4. Fan W. Epidemiology in diabetes mellitus and cardiovascular disease. Cardiovascular
endocrinology 2017;6:8−16.
5. Leon BM, Maddox TM. Diabetes and cardiovascular disease: epidemiology, biological
mechanism, treatment recomemendations and future research. World J Diabetes.
2015 10;6(13):1246−1258.
6. Meigs JB. Epidemiology of type 2 diabetes and cardiovascular disease: translation
from population to prevention. Diabetes Care. 2010;33(8):1865−71.
7. Thomas RE, Annabel ACS, Craig L, Ulrik HP. Prevalence of cardiovascular disease
in type 2 diabetes: a systematic literature review of scientific evidence from across the
world in 2007-2017. Cardiovasc Diabetol. 2018;17:83−5.
8. Global Reports on Diabetes. WHO. 2016
9. Chawla A, Chawla R, Jaggi S. Microvascular and macrovascular complications in
diabetes mellitus: Distinct or continuum?. India: IJEM. 2016;20(4):162−9.
10. Abougalambou S, Hassali M , Sulaiman S, Abougalambou A. Prevalence of Vascular
Complications among Type 2 Diabetes Mellitus Outpatients at Teaching Hospital in
Malaysia. Malaysia: Journal of Diabetes and Metabolism. 2011;2(1):1−4.
11. Paneni F. 2013 ESC/EASD guidelines on the management of diabetes and
cardiovascular disease: Established knowledge and evidence gaps. Switzerland:
Diabetes and Vascular Research. 2014;11(1):5−10.
12. New EASD-ADA consensus guidelines on managing hyperglycaemia in type 2
diabetes launched at EASD meeting. Medical Press. 2018;1−3.
13. ESC Guidelines on diabetes, pre-diabetes, and cardiovascular diseases developed in
collaboration with the EASD The Task Force on diabetes, pre-diabetes, and
cardiovascular diseases of the European Society of Cardiology (ESC) and developed
in collaboration with the European Association for the Study of Diabetes (EASD). ESC
Guideline. 2013;34:3035−87.
14. Management of hyperglycaemia in type 2 diabetes, 2018. A consensus report by the
American Diabetes Association (ADA) and the European Association for the Study of
Diabetes (EASD). Diabetologia. 2018.
15. Hera J, Ruiz J, Delgadoc E. Diabetes and Screening for Coronary Heart Disease:
Where
Should We Focus our Efforts? Diabetes y cribado de enfermedad coronaria: ? do´nde
centramos el esfuerzo?. Spain: Rev Esp Cardiol. 2015; 68(10): 830−3.
16. Naidu A. Diabetes and Vascular Disease. Somajiguda: Yashoda. 2015.
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 182
OVER VIEW ON THE TREATMENT OF OSTEOPOROSIS
RATHER THAN FOCUS ON BISPHOSPHONATES ONLY
Dato’ Dr. Malik Mumtaz
MD (USM) FRCP (Edin) FRCP (Glasgow)
Fellowship in Nuclear Medicine (Glasgow) DSPN
Consultant Endocrinologist and Nuclear Medicine Physician
Island Hospital Penang
Adjunct Associate Professor in Medicine
Penang Medical College
Osteoporosis has received major attention because of its silent nature and the devastating
consequences in terms of morbidity and mortality. While the focus has always been on
postmenopausal women it is now apparent that osteoporosis in men is not rare.
Osteoporosis accounts for up to 30% of hip fractures and 20% of vertebral fractures in
males. If fracture is used as the end point, the risk for a Caucasian woman is 50%.
The diagnosis of osteoporosis can be made clinically at the time of fracture or by bone
densitometry in the context of signs and symptoms. The gold standard remains DXA. The
heel ultrasound machine remains a useful screening tool but cannot be used for diagnosis
and monitoring of therapy. X rays are useful to document the extent of fractures, particularly
in the vertebra.
The WHO bone density criteria with the appropriate normal gender specific value should
be used. For every 1 SD reduction in young adult-matched mean BMD (T score), the
fracture risk increases by 2-fold. Some basic investigations are necessary to exclude
common secondary causes and one can make a case for measuring markers of bone
turnover if available, to serve as a baseline value and as a means of follow up.
Once the diagnosis has been established, the patient needs to be treated. Adequate
calcium, vitamin D intake and exercise are necessary. The prevalence of vitamin D
deficiency in women with osteoporosis is significant even in countries, which receive
adequate sunlight. In Malaysia for example, a multinational epidemiological study of vitamin
D levels in women with osteoporosis showed that > 50% of women had levels below 30
ng/dl. Lifestyle changes are equally important to reduce risk of falls.
183 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
The aim of treatment is to reduce the risk of fractures in both vertebral and non-vertebral
sites because these are associated with a high risk of morbidity and mortality. The decision
to treat a patient should be based on the patient’s risk factors, risk of fracture, possibly
BMD measurements, evidence of increased bone turnover and the presence of secondary
causes such as long-term corticosteroid treatment. The choices for treatment should be
evidence guided. Some agents have strong evidence for fracture risk reduction at the hip
and spine while others have evidence for only the spine. Other factors to consider include
the side effect profile, efficacy and onset of action, as well as risk in long-term treatment,
cost of treatment and compliance to therapy.
Once we have assessed the patient, then the approach is lifestyle changes, vitamin D and
Calcium replacement and appropriate osteoporosis treatment.
The bisphosphonates remain the backbone of therapy. Daily preparations have given way
for the weekly and now monthly and even yearly preparations. They have proven efficacy
at vertebral, non-vertebral sites as well as the hip. The other classes of anti-resorptive
agents have primarily vertebral effects but may have other benefits while some of these
agents have evidence for the benefits of treating osteopenia. Raloxifene is such a
medication and has the added advantage of breast cancer risk reduction. Strontium
ranelate has now been withdrawn from the market. Efficacy of therapy is wide-ranging from
osteopenia to osteoporosis. Though currently still available, it is being phased out by the
manufacturer due to various issues including safety concerns.
Parathyroid hormone (Forteo) is a prolific bone formation agent. Its unique properties
render it ideal for rescue therapy in patients with very severe osteoporosis. Use of
oestrogen (Hormone replacement therapy-HRT) while an effective option remains
shrouded with controversy. More recently, Denosumab has been shown to be a very
effective agent. A first in its class, it is a monoclonal antibody against RANK ligand. A six-
monthly injection improves compliance. Long term data for up to 10 years was recently
published
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 184
OSTEOPOROSIS AND THE RISK OF
VERTEBRAL COMPRESSION FRACTURE:
PREVENTION AND MANAGEMENT
Azharuddin1, Diaz Novera2
1Department of Orthopedics, Faculty of Medicine Universitas Syiah Kuala – dr. Zainoel
Abidin General Hospital
2Faculty of Medicine, Gadjah Mada University
Abstract
Vertebral compression fracture is one of the most commonly found osteoporosis-
related fractures. Diagnosis of vertebral compression fracture is often delayed and patient
usually comes after major deformity has already occurred. The lack of evidence to support
clinical guidelines and no consensus on currently available treatment options further
complicates the situation. This paper will review on current practices of conservative pain
management and vertebral augmentation procedures on the management of vertebral
compression fracture.
Key word: osteoporosis, vertebral compression fracture, prevention, management
Background
A 65-year-old woman came presenting with chief complaint of unable to reach a
cabinet door that she usually able to. Upon investigation, it was found that she had shrunk
about 10 centimeters from her usual body height. She was unaware of such phenomenon
occuring to her body.
185 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Osteoporosis is a preventable chronic progressive disease of deterioriation of bone
tissue, characterized by low bone mass and could lead to increased risk of fracture. It is
reported that there are approximately 1.5 million osteoporosis-related fractures in the
United States, and almost half of them are vertebral fractures1. In Australia, one in four
women aged over 80 years have experienced at least one or more vertebral compression
fractures2 (VCF). However, we are still lacking the profile of VCF in Indonesia. The
diagnosis of VCF on their onset is commonly unnoticed due to their asymptomatic nature
and indifferent symptoms of back pain. VCF is typically recognized in it’s latter stage when
vertebral deformity observed or when the patient reported a sudden moderate to severe
persistent pain on their back3. Patients are diagnosed with VCF when there is 15% of
reduction in vertebral body height from x-ray images4.
Currently there are no consensus on the management and prevention of VCF.
American Academy of Orthopedic Surgeons (AAOS) have developed clinical practice
guidelines to assist physicians in practice. However, physicians often resort to their
personal judgement due to the insufficient evidence and inconclusive recommendations
from the guidelines5. One of the reason of this setback in the development ofappropriate
guideline is due to the absence of a predictive and dependable biomarker that associates
with the development of future compression fractures6. This results in in the inability of
researchers to make reliable conclusions from reviewing the currently available treatment
options.
The first line of treatment for a clinically diagnosed VCF is conservative pain
management4. From there physicians have to evaluate the need for additional treatments
or performing vertebral augmentation procedures. Conservative pain managements
includes nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), opioids, antidepressants,
bisphosphonates, calcitonin, teriparatide, orthotic bracing and physical therapy7.
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 186
implementing safe clinical practices that is by rotating the medications and dosage
limitation.
Antidepressants are another possible option for chronic pain control as an adjunct
therapy at a lower dose13.Maprotilline, fluoxetine and amitriptyline have shown reduction in
pain compared to placebo in chronic lower back pain14-15. However, the long term effect on
the use of antidepressants in managing VCF remains unknown15.
Bisphosphonates have been commonly prescribed alongside hormone
replacement therapy, supplement calcium and vitamin D to strengthen bones and prevent
additional fractures. Bisphosphonates have shown to reduce pain in patients with recent
VCF16and reduce the risk of new vertebral fractures17. The mechanism of action of
Bisphosphonates is by inhibiting osteoclasts and reduce inflammation by modulating
peripheral or central nociception18-19. Though the exact analgetic mechanism are still
debated. The long term use of bisphosphonates can cause oversuppression of bone that
could lead to increased risk of nonspinal fractures20.
Calcitonin is another effective option for pain relief in VCF, especially secondary to
osteoporosis21. It is thought that analgetic mechanism of action of calcitonin is by directly
inhibiting the neuronal excitation activity in the central nervous system and increased beta-
endorphin level22. Calcitonin can be administired through subcutaneous administration,
nasal spray and suppository. Calcitonin is a preferred treatment than bisphosphonates due
to the lower cost while achieving similar effect23. AAOS reccomends with moderate
certainty that calcitonin should be used for at least 4 weeks after initial onset of symptoms
in mangement of VCF5. No evidence available on the effect of long term use of calcitonin.
Teriparatide is an injectable medication derived from human parathyroid hormone
(PTH) to encourage the formation of new bone to increase bone mineral density therefore
reducing the risk of new VCF in patients with osteoporosis24. The mechanism of pain relief
in teriparatide is still unknown and it is thought to be the subsequent cause from the
increase of bone mineral density from PTH25. However, the use of teriparatide is associated
with hypercalcemia and possibility of withdrawal16.
Orthotic bracing is used to physically stabilize the injured area by minimizing stress
on the vertebra by inhibiting flexion of the spine26. Braces are recommended to be worn
only up to three months to avoid the risk of weakening the core muscles. However, patients
commonly reported sores from wearing braces as it is uncomfortable and could lead to
noncompliance27. Despite no significant improvement in quality of life, mild pain reduction
remains the reason braces being a popular option with VCF patients28.
Physical therapy aims to improve overall posture and gait by strengthening back
extensors29. Many patients reported pain relief and improvement in daily functions by
engaging in physical therapy30. Hence, physical therapy is a mainstay in treatment strategy
of managing VCF. Evidence regarding the effective technique of physical therapy remains
187 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
unknown due to the large variance of technique available. Thus, physical therapy in
managing VCF should be adjusted each patients’ condition30.
Vertebral Augmentation
Vertebral augmentation procedures includes vertebroplasty and kyphoplasty.
Vertebroplasty is a minimally-invasive procedure that injects low-vicsocity acrylic bone
cement into vertebral body using unipedicular or bipedicular cannula31. The aim of the
procedure is to improve stability of the spine. However, the procedure is associated with
incidence of new vertebral fractures. Hence, AAOS is strongly against the use of
vertebroplasty for the treatment of osteoporotic VCF due to the questionable effectiveness
of the procedure5.
Kyphoplasty is an approach that uses balloon dilation catheter to restore the
vertebral body height and inject high-viscocity cement at the space created. This restores
the mechanical integrity of the vertebra31. The restored height from kyphoplasty
significantly improved patients’ quality of life, mobility and pain reduction32. However,
kyphoplasty presents risk of cement leakage from the vertebral bodies into the venous
system to cause adverse reactions33. Surgeons try to tackle this problem by modifying the
rate of cement infusion using radiofrequency to minimize the risk of leakage34, or by
substituting the cement materials with a novel polymer made of polyether ether ketone
(PEEK)35. PEEK presents as a promising method of managing VCF as the rate of cement
leakage is lower compared to other cement materials in baloon kyphoplasty and the first
economic analysis of the procedure shows promising viability36.
Table 1. Summary of VCF management
Treatment option Advantages Disadvantages and Adverse
Events
NSAIDs Cost-effective pain control Risk of gastrointestinal bleeding,
renal insufficiency, and
hemorrhargic cerebrovascular
accidents. Increased occurrence in
older adults.
Opioid analgetics Effective at short term High risk of dependence,
severe acute lower back decreased immune function and
pain other opioid related adverse events
upon long term use
Bisphosphonates Effective at controlling pain Long term use increases risk of
and reduce risk of new nonspinal fractures
fractures
Calcitonin Effective pain relief for No evidence available on the long
recent VCF term use of calcitonin
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 188
Antidepressants Effective in chronic Long term effects on
neurologic pain antidepressant for back pain is
unknown.
Teriparatide Increases bone mineral Hypercalcemia and withdrawal
density and reduces the risk
of new vertebral fractures
Orthotic bracing Pain control and Sores, weakening of core muscles,
stabilization of the spine and non-compliants
Physical therapy Strengthen back muscle No optimum treatment strategy
and improve posture
Vertebroplasty Stabilizes the vertebral Associated with incidence of new
fracture vertebral fractures. Questionable
effectiveness
Kyphoplasty Decreases pain, improve Possible complication of cement
quality of life, and mobility leakage into venous system
without risk of additional causing various adverse events
fracture
Modified Potential minimizing risk of Novel procedures, requires further
Kyphoplasty and cement leakage in analysis
PEEK polymer kyphoplasty
Conclusion
The best strategy to prevent VCF is to carefully manage the underlying
osteoporosis and notice it’s signs as early as possible. Osteoporosis-related bone fractures
are rarely singular and the population at risk itself usually presents with additional
comorbidity. The lack of consensus results and available biomarker further complicates the
situation on how to track and predict the progression of the disease. Therefore,
preservation of bone mass since early age paired with appropriate physical exerciseis a
foundation to delay VCF occuring in osteoporosis5.
Primary aim of management of VCF is to relief pain and improve quality of life using
combinations of available modalities tailored to the needs of each individual. Whilst
minimally invasive procedure such as kyphoplasty and its modified variants have proven to
be effective, adverse events still presents and the procedure itself remains technically
challenging. Hence, prevention of osteoporosis remainsthe most important foundation in
managing VCF.
189 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
References
1. Riggs BL, Melton LJ. The worldwide problem of osteoporosis: insights afforded by
epidemiology. Bone 1995; 17(5):505S-511S
2. Cummings SR, Melton LJ. Epidemiology and outcomes of osteoporotic fractures.
Lancet. 2002; 359(9319):1761-7
3. Klazen CA, Verhaar HJ, Lohle PN et al. Clinical course of pain in acute osteoporotic
vertebral compression fractures. J Vasc Interv Radiol. 2010; 21(9):1405-9
4. Ensrud KE, Schousboe JT. Clinical practice. Vertebral fractures. N Engl J Med.
2011; 364(17):1634-1642
5. Esses SI, McGuire R, Jenkins J et al. The treatment of symptomatic osteoporotic
spinal compression fractures. J Am Acad Orthop Surg. 2011; 19(3):176-182
6. Komemushi A, Tanigawa N, Kariya S, et al. Biochemical markers of bone turnover
in percutaneous vertebroplasty for osteoporotic compression fracture. Cardiovasc
Intervent Radiol. 2008; 31(2):332-335
7. Genev IK, Tobin MK, Zaidi SP et al. Spinal compression fracture management: a
review of current treatment strategies and possible future avenues. Global Spine
J. 2017; 7:71-82
8. McCarberg BH. NSAIDs in the older patient: balancing benefits and harms. Pain
Med. 2013; 14(Suppl 1):S43-S44
9. Pirmohamed M, James S, Meakin S, et al. Adverse drug reactions as cause of
admission to hospital: prospective analysis of 18820 patients. BMJ. 2004;
329(7456): 15-19
10. Roelofs PD, Deyo RA, Koes BW, et al. Non-steroidal anti-inflammatory drugs for
low back pain. Cochrane Database Syst Rev. 2008; (1):CD000396
11. Franklin GM; American Academy of Neurology. Opioids for chronic non-cancer
pain: a position paper of the American Academy of Neurology. Neurology. 2014;
83(14):1277-1284
12. Ballantyne JC, Mao J. Opioid therapy for chronic pain. N Engl J Med. 2003;
349(20):1943-1953
13. Weiner DK, Hanlon JT. Pain in nursing home residents: management strategies.
Drugs Aging. 2001; 18(1):13-29
14. Atkinson JH, Slater MA, Wahlgren DR, et al. Effects of noradrenergic and
serotonergic antidepressants on chronic low back pain intensity. Pain. 1999;
83(2):137-145
15. Jung AC, Staiger T, Sullivan M. The efficacy of selective serotonin reuptake
inhibitors for the management of chronic pain. J Gen Intern Med. 1997; 12(6):384-
389
16. Armingeat T, Brondino R, Pham T, et al. Intravenous pamidronate for pain relief in
recent osteoporotic vertebral compression fracture: a randomized double-blind
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 190
controlled study. Osteoporos Int. 2006; 17(11):1659-1665
17. Black DM, Thompson DE, Bauer DC, et al. Fracture Intervention Trial; FIT
Research Group. Fracture risk reduction with alendronate in women with
osteoporosis: the Fracture Intervantion Trial. J Clin Endocrinol Metab. 2000;
85(11):4118-4124
18. Bonabello A, Galmozzi MR, Bruzzese T, et al. Analgesic effect of bisphosphonates
in mice. Pain, 2001; 91(3):269-275
19. Viapina O, Gatti D, Idolazzi L, et al. Bisphosphonates vs infliximab in ankylosing
spondylitis treatment. Rheumatology. 2014; 53(1):90-94
20. Odvina CV, Zerwekh JE, Rao DS, et al. Severely suppressed bone turnover: a
potential complication of alendronate therapy. J Clin Endocrinol Metab. 2005;
90(3):1294-1301
21. Lyritis GP, Ioannidis GV, Karachalios T, et al. Analgesic effect of salmon calcitonin
suppositories in patients with acute pain due to recent osteoporotic vertebral crush
fractures: a prospective double-blind, randomized, placebo-controlled clinical
study. Clin J Pain. 1999; 15(4):284-289
22. Knopp-Sihota JA, Newburn-Cook CV, Homik J, et al. Calcitonin for treating acute
and chronic pain of recent and remote osteoporotic vertebral compression
fractures: a systematic review and meta-analysis. Osteoporos Int. 2012; 23(1):17-
38
23. Laroche M, Cantogrel S, Jamard B, et al. Comparison of the analgesic efficacy of
pamidronate and synthetic human calcitonin study. Clin Rheumatol. 2006;
25(5):683-686
24. Chen CM, Lin PY, Chen YC, et al. Effects of teriparatide on lung function and pain
relief in women with multiple osteoporotic vertebral compression fractures. Surg
Neurol Int. 2014; 5(Suppl 7):S339-342
25. Genant HK, Halse J, Briney WB. The effects of teriparatide on the incidence of
back pain in postmenopausal women with osteoporosis. Curr Med Res Opin. 2005;
21(7):1027-1034
26. Chang V, Holly LT. Bracing for thoracolumbar fractures. Neurosurg Focus. 2014;
37(1): E3
27. Hoshino M, Tsujio T, Terai H, et al. Impact of initial conservative treatment
interventions on the outcomes of patients with osteoporotic vertebral fractures.
Spine. 2013; 38(11):E641-E648
28. Stadhouer A, Buskens E, Vergroesen DA, et al. Nonoperative treatment of thoracic
and lumbar spine fractures: a prospective randomized study of different treatment
options. J Orthop Trauma. 2009; 23(8):588-594
29. Hongo M, Miyakoshi N, Shimada Y, et al. Association of spinal curve deformity and
back extensor strength in elderly women with osteoporosis in Japan and the United
191 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
States. Osteoporos Int. 2012; 23(3): 1029-1034
30. Giangregorio LM, Macintyre NJ, Thabane L, et al. Exercise for improving outcomes
after osteoporotic vertebral fracture. Cochrane Database Syst Rev. 2013; 1:
CD008618
31. McConnel JT, Wippold FJ, Ray CE, et al. ACR appropriateness criteria
management of vertebral compression fractures. J Am Coll Radiol. 2014:
11(8):757-763
32. Boonen S, Van Meirhaeghe J, Bastian L, et al. Balloon kyphoplasty for the
treatment of acute vertebral compression fractures: 2-year results from a
randomized trial. J Bone Miner Res. 2011; 26(7):1627-1637
33. Zarate B, Gutierrez J, Wakhloo AK, et al. Clinical evaluation of a new kyphoplasty
technique with directed cement flow. J Spinal Disord Tech. 2012; 25(3):E61-E66
34. Georgy BA. Comparison between radiofrequency targeted vertebral augmentation
and balloon kyphoplasty in the treatment of vertebral compression fractures:
addressing factors that affect cement extravasation and distribution. Pain
Physician. 2013; 16(5):E513-E518
35. Ferguson SJ, Visser JM, Polikeit A. The long-term mechanical integrity of non-
reinforced PEEK-OPTIMA polymer for demanding spinal applications:
experimental and finite-element analysis. Eur Spine J. 2006; 15(2): 149-156
36. Beall DP, Olan WJ, Kakad P, et al. Economic analysis of Kiva VCF treatment
system compared to balloon kyphoplasty using randomized Kiva Safety and
Effectiveness Trial (KAST) data. Pain Physician. 2015; 18(3):E299-E306
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 192
Tiroiditis Hashimoto Post Tiroidektomi Near Total
Atas Indikasi Adenomatous Goiter
Damayanti 1 , Fadhlia 1
1 ORL-HNS Dept, Syiah Kuala University, Tgk. Daud Beureueh 108 st, Banda Aceh,
Indonesia
ABSTRAK
Latar belakang: Goiter adalah sebuah istilah yang dijelaskan sebagai suatu pembesaran
dari kelenjar tiroid yang didefinisikan sebagai suatu pembesaran. Pembesaran ini muncul
salah satunya disebabkan oleh defisiensi enzym, neoplasia, inflamasi atau defisiensi
nutrisi. Pasien dengan fungsi tiroid normal menurut studi biasanya dengan pembesaran
lambat massa pada leher. Tiroiditis Hashimoto adalah tiroiditis autoimun yang paling sering
dan merupakan contoh tipikal dari penyakit autoimun organ-spesifik dengan gangguan
fungsi tiroid. Pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus, fungsi tiroid dan tomografi komputer
dapat menegakkan diagnosis. Penatalaksanaan untuk diagnosa adenomatous dan
tiroiditis hashimoto sangat berbeda. Tujuan: Kasus ini diajukan agar dapat mengenali
perbedaan antara adenomatous goiter dan tiroiditis hashimoto untuk tatalaksana yang
tepat. Kasus: Dilaporkan satu pasien, perempuan 40 tahun yang didiagnosis awalnya
dengan adenomatous goiter, setelah dilakukan operasi tiroidektomi near total didapatkan
diagnosa tiroiditis hashimoto dari pemeriksaan histopatologi. Kesimpulan: Pemeriksaan
penunjang yang tepat membantu menegakan diagnosa yang tepat.
Kata kunci: Adenomatous goiter , tiroiditis hashimoto, fungsi tiroid, biopsi aspirasi jarum
halus.
193 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
HEMITIROIDEKTOMI PADA ADENOMATOUS GOITER
Baluqia Iskandar P1 , Fadhlia1
1 SMF/Bagian Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L FK Unsyiah / RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh
ABSTRAK
Latar belakang : Adenomatous goiter merupakan salah satu nodul jinak tiroid yang umum
terjadi. Diagnosis yang tepat didapatkan berdasarkan pemeriksaan fisik yang baik serta
pemeriksaan penunjang yang tepat. FNA guiding USG saat ini merupakan pemeriksaan
yang disarankan untuk menegakkan diagnosis dari tumor tiroid. Kasus : Telah dilaporkan
satu kasus adenomatous goiter berdasarkan hasil FNAB seorang wanita 50 tahun dengan
nodul di leher depan sebelah kanan disertai dengan disfagia, nyeri pada nodul dan
dilakukan hemitiroidektomi sebagai tatalaksana. Tujuan : Mengetahui tatalaksana dari
tumor jinak tiroid. Kesimpulan : Ukuran nodul serta hasil pemeriksaan penunjang
merupakan faktor yang mempengaruhi pemilihan penatalaksanaan yang akan dilakukan.
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 194
LAPORAN KASUS : KEJADIAN KANKER PAYUDARA PADA
PENDERITA DM TIPE 2 DI RSUD ACEH TAMIANG
Andhika Citra Buana* Wahyuddin**
*Dokter RSUD Aceh Tamiang, Aceh
**Staff Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUD Aceh Tamiang, Aceh
Abstrak
195 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Efek pemberian berbagai jenis pakan tinggi lemak terhadap
kenaikan berat badan dan profil lipid tikus Spraque Dawley
Jakarta
3 Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta
Pendahuluan
Pakan tinggi lemak identik dengan pakan tinggi kalori yang menyebabkan kenaikan berat
badan dan perubahan profil lipid. Lemak di dalam makanan berkontribusi memberikan
kalori yang tinggi, dimana 1 gram lemak menghasilkan 9 kkal dibandingkan karbohidrat
dan protein yang hanya 4 kkal. Tidak semua sumber lemak memiliki sifat obesogenik yang
sama.1, 2 Komposisi asam lemak makanan berpengaruh, dimana asam lemak jenuh
cenderung tidak digunakan sebagai sumber energi melainkan disimpan di jaringan
adiposa. Asam lemak tidak jenuh, tunggal maupun majemuk, cenderung tidak untuk
dicadangkan.3 Penelitian ini ingin membandingkan efek pemberian berbagai pakan tinggi
lemak, yaitu pakan tinggi lemak sapi, pakan tinggi kuning telur dan pakan tinggi lemak
nabati terhadap kenaikan berat badan dan profil lipid tikus putih jantan galur Spraque
Dawley.
Metode:
Penelitian eksperimental dengan 28 ekor tikus jantan galur Spraque-Dawley, sehat,
berumur 20-24 minggu, berat badan 250-300 gram, dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan
secara acak, yaitu kelompok yang mendapat pakan tinggi lemak sapi, pakan tinggi kuning
telur, pakan tinggi lemak nabati dan satu kelompok mendapat pakan standar sebagai
kontrol. Pakan dan minum diberikan ad libitum selama 30 hari. Berat badan ditimbang
seminggu sekali, dan di akhir penelitian darah diambil sebanyak 2-3 mL melalui vena
coccygea untuk pemeriksaan profl lipid.
Pakan tikus dibuat dalam bentuk pellet dengan komposisi kandungan nutrisi mengacu
kepada pakan standar BPOM RI seperti yang tertera dalam Tabel 1 sebagai berikut:
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 196
Tabel 1. Kandungan nutrisi pakan tinggi lemak vs pakan standar
Kelompok Pakan
Kandungan Nutrisi Lemak
Standar Lemak Sapi Kuning Telur
Nabati
Energi Bruto (kkal/kg) 3093 4062 4198 3905
Bahan kering (%) 86,59 86,69 86,44 86,46
Kadar air (%) 13,41 13,31 13,56 13,54
Abu (%) 9,75 6,44 4,98 6,98
Protein kasar (%) 20,26 20,26 20,24 20,18
Serat kasar (%) 5,86 5,42 5,21 5,67
Lemak kasar (%) 5,63 20,86 22,34 18,65
BETN 43,56 32,21 32,14 33,45
Ca (%) 0,92 0,90 0,93 0,91
P tersedia (%) 0,61 0,60 0,60 0,62
Data diuji menggunakan uji parametrik one way anova dengan post hoc LSD dengan
tingkat signifikansi p<0,05. Setiap parameter yang diperiksa dinyatakan dalam mean ±
Standard Error of the Mean (SEM) dan ditampilkan dalam bentuk tabel.
Hasil:
1. Berat badan hewan coba akibat pemberian berbagai pakan tinggi lemak
Rata-rata berat badan hewan coba pada setiap kelompok perlakuan di awal perlakuan
tidak berbeda bermakna (p = 0,062). Setelah pemberian pakan tinggi lemak dengan jenis
yang berbeda selama 30 hari, terjadi perbedaan berat badan yang bermakna antara
kelompok yang diberi diet pakan kuning telur (p = 0,003) dan lemak nabati (p = 0,008)
dibandingkan berat badan kelompok pakan standar.
400 # #
BB Awal
BB Akhir
Berat badan (gr)
300
200
100
0
ar
r
i
i
ap
at
lu
nd
ab
Te
S
ta
N
ak
g
S
in
ak
m
an
un
Le
m
ak
Le
K
P
Kelompok Pakan
Gambar 1. Pengaruh pemberian berbagai jenis pakan tinggi lemak vs pakan standar
terhadap berat badan tikus. # p< 0,05 vs kel. pakan standar (ANOVA, post hoc LSD)
197 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
2. Kadar kolesterol total hewan coba akibat pemberian berbagai jenis pakan tinggi
lemak
Setelah diberikan perlakuan berupa pemberian berbagai jenis pakan tinggi lemak (pakan
tinggi lemak sapi, pakan tinggi kuning telur, pakan tinggi lemak nabati) selama 30 hari,
didapatkan kadar kolesterol total seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Terdapat perbedaan kadar kolesterol total yang bermakna antara kelompok yang
mendapat pakan tinggi lemak sapi (p = 0,000), kuning telur (p = 0,000) dan lemak nabati
(p = 0,000) dibandingkan kadar kolesterol kelompok pakan standar.
100
Kadar Kolesterol (mg/dL)
80 * * *
60
40
20
0
r
r
pi
i
at
da
lu
Sa
ab
Te
an
N
ak
St
ak
in
m
n
un
Le
m
ka
Le
K
Pa
Kelompok Pakan
Gambar 2. Pengaruh pemberian berbagai jenis pakan tinggi lemak vs pakan standar
terhadap kadar kolesterol total tikus. * p< 0,05 vs kel. pakan standar (ANOVA, post hoc
LSD)
3. Kadar trigliserida hewan coba akibat pemberian berbagai jenis pakan tinggi
lemak
Setelah diberikan perlakuan berupa pemberian berbagai jenis pakan tinggi lemak (pakan
tinggi lemak sapi, pakan tinggi kuning telur, pakan tinggi lemak nabati) selama 30 hari,
didapatkan kadar trigliserida seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Terdapat
perbedaan kadar trigliserida yang bermakna antara kelompok pakan tinggi lemak sapi,
kuning telur dan lemak nabati (p = 0,000) dibandingkan kadar trigliserida kelompok pakan
standar. Selain itu, terdapat perbedaan kadar trigliserida yang bermakna antara kelompok
kuning telur terhadap kelompok lemak sapi (p = 0,025) dan lemak nabati (p = 0,000).
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 198
80
40
20
0
r
r
pi
ti
da
lu
ba
Sa
Te
an
Na
ak
St
g
in
ak
m
n
un
Le
m
ka
Le
K
Pa
Kelompok Pakan
Gambar 3. Pengaruh pemberian berbagai jenis pakan tinggi lemak vs pakan standar
terhadap kadar trigliserida tikus. * p< 0,05 vs Pakan Standar, # p < 0,05 vs Lemak Sapi, $
p < 0,05 vs Lemak Nabati (ANOVA, post hoc LSD)
4. Kadar kolesterol-HDL hewan coba akibat pemberian berbagai jenis pakan tinggi
lemak
Setelah diberikan perlakuan berupa pemberian berbagai jenis pakan tinggi lemak selama
30 hari, didapatkan kadar kolesterol-HDL seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Kadar
HDL pada kelompok yang mendapat pakan tinggi lemak dijumpai lebih rendah
dibandingkan kelompok pakan standar.
30
*
Kadar HDL (mg/dL)
* *$
20
10
0
i
i
ar
ur
p
at
Sa
nd
ab
Te
a
N
ak
St
ng
ak
m
i
n
un
Le
m
ka
Le
K
Pa
Kelompok Pakan
Gambar 4. Pengaruh pemberian berbagai jenis pakan tinggi lemak vs pakan standar
terhadap kadar HDL tikus. * p< 0,05 vs Pakan Standar, $ p < 0,05 vs Lemak Nabati.
(ANOVA, post hoc LSD)
199 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
5. Kadar kolesterol-LDL hewan coba akibat pemberian berbagai jenis pakan tinggi
lemak
Setelah diberikan perlakuan berupa pemberian berbagai jenis pakan tinggi lemak selama
30 hari, didapatkan kadar kolesterol-LDL seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.
Terdapat perbedaan kadar LDL yang bermakna antara kelompok Lemak Sapi (p = 0,009),
Kuning Telur (p = 0,002) dan Lemak Nabati (p = 0,012) dibandingkan kadar LDL kelompok
pakan standar.
25
* *
Kadar LDL (mg/dL)
20 *
15
10
0
r
i
p
at
lu
da
Sa
ab
Te
an
N
ak
St
g
in
ak
m
n
un
Le
m
ka
Le
K
Pa
Kelompok Pakan
Gambar 5. Pengaruh pemberian berbagai jenis pakan tinggi lemak vs pakan standar
terhadap kadar LDL tikus. * p< 0,05 vs kel. Pakan Standar (ANOVA, post hoc LSD)
Kesimpulan:
Pakan lemak kuning telur terbukti paling efektif dalam menaikkan berat badan dan profil
lipid hewan coba.
Referensi:
2. DeLany JP, Windhauser MM, Champagne CM and Bray GA. Differential oxidation
of individual dietary fatty acids in humans–. The American journal of clinical
nutrition. 2000; 72: 905-11.
3. Moussavi N, Gavino V and Receveur O. Could the quality of dietary fat, and not
just its quantity, be related to risk of obesity? Obesity. 2008; 16: 7-15.
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 200
PEMBERIAN TERAPI SULIH HORMON PADA WANITA
PASCA MENOPAUSE
1
Rajuddin, 2Lutfi
1
Kepala Divisi Fertilitas Endokrinologi Reproduksi, Departemen Obstetri dan
Ginekologi,
Universitas Syiah Kuala
2
Residen, Departemen Obstetri dan Ginekologi, Universitas Syiah Kuala
ABSTRAK
Menopause atau berhentinya periode menstruasi adalah proses yang wajar dan alami.
Selama menopause kadar hormon estrogen dan progesteron menurun, yang
menyebabkan gejala seperti berkeringat pada malam hari, hot flashes dan perubahan
suasana hati. Terapi sulih hormon (TSH) harus diberikan kepada wanita pasca menopause
simptomatik untuk mengurangi gejala-gejala tersebut. Penggunaan TSH pada wanita
pasca menopause masih banyak mengundang perdebatan dikarenakan potensial
memberikan efek samping dan risiko kanker. Pada wanita simptomatik sebelum usia 60
atau dalam waktu 10 tahun sejak awal menopause, manfaat pemberian TSH lebih besar.
TSH efektif untuk memperbaiki gejala vasomotor, dementia, genito urinari sindrom
menopause, gangguan mood, kurang tidur. TSH dapat meningkatkan kualitas hidup dan
seksualitas pasca menopause. TSH dapat menurunkan risiko diabetes dan penyakit
kardiovaskular serta mencegah osteoporosis. Penggunaan TSH dapat meningkatkan
risiko kanker endometrium, kanker payudara, kanker colorectal dan venous
thromboembolisme. Pemberian TSH dosis rendah dapat mengurangi efek samping dan
meningkatkan manfaat pada wanita tertentu. TSH mengandung senyawa yang berbeda,
estrogen, progestogen, kombinasi estrogen ditambah progestin, Tibolone,dan kombinasi
baru Conjugated estrogen (CE) ditambah selective estrogen reseptor modulator (SERM),
yaitu tissue selective estrogen complex (TSEC). Penggunaan CE dan Bazedoxifene (BZA)
dapat menetralkan efek estrogen pada endometrium, payudara dan sindrom
pramenstruasi. CE dan BZA meningkatkan efikasi pada gejala dan pencegahan
osteoporosis. Kondisi lain yang bukan kontraindikasi seperti mioma uterus, endometriosis,
diabetes, hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia, hipertensi, obesitas dan merokok,
harus dilakukan personalisasi terapi TSH yang ketat dari jenis, dosis dan rute pemberian
TSH, menggunakan dosis rendah dan produk transdermal.
Kata Kunci: Terapi sulih hormon, Menopause, Conjugated Estrogen, Bazedoxifene
201 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
ANALISIS KEBIASAAN KONSUMSI KOPI TERATUR
TERHADAP RISIKO OSTEOPOROSIS PADA
OLAHRAGAWAN
Yusni Yusni1*, Safrizal Rahman2
1Bagian Fisiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
2Bagian Bedah/sub devisi Orthopaedic dan Traumatology, Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUD dr.Zainoel Abidin, Banda Aceh
Email: yusni@unsyiah.ac.id dan HP+62811225692
Latar Belakang:
Efek dari konsumsi kopi adalah meningkatkan diuresis sehingga dapat meningkatkan
kehilangan kalsium melalui urin. Hal ini berpotensi meningkatkan resorpsi tulang dan
menyebabkan osteoporosis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh
konsumsi kopi secara teratur terhadap resorpsi tulang sehingga dapat memprediksi risiko
osteoporosis pada olahragawan peminum kopi. Risiko osteoporosis dinilai dengan cara
mengukur marker dari resorpsi tulang yaitu C-telopeptida 1 (CTx) serum dan juga kadar
kalsium serum.
Metode:
Subjek penelitian adalah kelompok olahragawan yaitu mahasiswa Unsyiah yang rutin
melakukan olahraga secara teratur (senam aerobik 2 kali perminggu). Kriteria sampel
adalah: laki-laki dan wanita, usia 17-28 tahun, selama 50-60 menit setiap sesi latihan).
Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah total sampling.
Jumlah sampel adalah sebanyak 50 orang (laki-laki=37 orang dan wanita=13 orang),
kelompok yang mengkonsumsi kopi 1-2 kali perhari sebanyak 22 orang (laki-laki=16 dan
wanita=6 orang) dan tidak mengkonsumsi kopi sebanyak 28 orang (laki-laki=21 dan
wanita=7 orang), tidak mengkonsumsi suplemen kalsium, tidak merokok, tidak minum
minuman beralkohol dan sehat. Waktu penelitian adalah bulan Oktober-November 2018 di
Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Unsyiah. Pemeriksaan kadar CTx dilakukan
dengan metode electrochemiluminescence immunoassay analyzer (ECLIA) dan kalsium
serum diperiksa menggunakan metode O-cresolphthalein complexone. Analisis data
menggunakan uji t untuk data tidak berpasangan (p<0.05).
Kesimpulan:
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi kopi tidak berpengaruh terhadap kadar
kalsium dan juga CTx pada kelompok olahragawan. Walaupun pada hasil penelitian
menunjukkan adanya perbedaan secara statistik, namun secara klinis menunjukkan bahwa
nilai tersebut masih dalam batas normal. Kami menyimpulkan bahwa konsumsi kopi secara
teratur tidak berisiko osteoporosis dini pada kelompok usia muda.
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 202
THE RELATIONSHIP BETWEEN ADHERENCE TO INSULIN
AND GRADE OF PERIPHERAL NEUROPATHY DIABETIC
(PND) WITH TYPE 2 DIABETES MELLITUS IN RSUD CUT
MEUTIA
Erwin Siregar1, M. Jailani Alfajri2, Harvina Sawitri3, Maulina Debbyousha4, Suhaemi5
1
General Practioner, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
2
General Practioner, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
3
Public Health Department, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
4
Internal Medicine Department, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
5
Internal Medicine Department, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
ABSTRACT
References
203 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
THE RELATIONSHIP BETWEEN INSULIN USAGE
ADHERENCE AND FEMALE SEXUAL DYSFUNCTION IN
TYPE 2 DIABETES MELLITUS PATIENTS
IN RSUD CUT MEUTIA NORTH ACEH
M. Jailani Alfajri1, Erwin Siregar2, Harvina Sawitri3, Maulina Debbyousha4, Suhaemi5
1
General Practitioner, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
2
General Practitioner, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
3
Public Health Department, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
4
Internal Medicine Department, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
5
Internal Medicine Department, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
ABSTRACT
Background: A normal sexual health is an important part of life and relationship, it affects
the overall quality of life, physical and emotional health. Sexual dysfunction is one of
complications in Type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) patient.1-5 Female sexual dysfunction
is more difficult to diagnose and treat because of the intricacy of female sexual response.
Insulin usage adherence is an important issue of T2DM treatment, ineffective insulin
therapy contributes to poor glycemic control and places patients at risk of complication. 2
Objective: to determine the relationship between insulin usage adherence and female
sexual dysfunction in T2DM patiens.
Methods: This study was an observasional study with crooss sectional approach. Data
were analysed with chi square statistical test, using statistic software and obtained with
interview technic. Female sexual dysfunction was measured by using Female Sexual
Function Index (FSFI) -9 items and insulin usage adherence by using Morinsky Insulin
Adherence Scale.
Result : There were 39.3% respondents had high adherence, 30.3% respondents had
medium adherenhe, and 30.3% respondents had low adherence. There were 54.5%
respondents had sexual dysfunction and 45.4% didn’t have sexual dysfunction. Statistical
paired chi square with α 0.05 indicated that there was association between insulin usage
adherence and female sexual dysfunction in T2DM patiens (p value = 0.008).
Conclusion: There was a significant relationship between insulin usage adherence and
female sexual dysfunction in T2DM patiens.
Refferences:
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 204
ASSOCIATION BETWEEN BLOOD GLUCOSE CONTROL
AND MORNING HYPERTENSION WITH CORONARY HEART
DISEASE INSIDENT IN TYPE 2 DIABETES MELLITUS
PATIENTS
M. Jailani Alfajri1, Erwin Siregar2, Harvina Sawitri3,
Maulina Debbyousha4, Suhaemi5
1
General Practitioner, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
2
General Practitioner, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
3
Public Health Department, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
4
Internal Medicine Department, Faculty of Medicine,Malikussaleh University
5
Internal Medicine Department, Faculty of Medicine,Malikussaleh University
ABSTRACT
Refferences
1. Shimamoto K, Ando K, Fujita T, et al. Japanese Society of Hypertension
Committee for Guidelines for the Management of Hypertension. The Japanese Society
of Hypertension Guidelines for the Management of Hypertension (JSH 2014).
Hypertens Res. 2014;37: 253-390.
2. Wang JG, et al. Management of morning hypertension: a consensus statement of an
Asian expert panel. J Clin Hypertens. 2018. 20; 39-40.
3. Hajar R. Diabetes as “coronary artery disease risk equivalent”: a historical perspective.
Heart views. 2017; 18(1): 34-37
4. Aronson D, Edelman ER. Coronary arterial disease and diabetes mellitus. Cardiol Cin.
2014; 32(3): 439-455
5. Yoda Koichiro, et al. Association between glycemic control and morning blood
pressure surge with vascular dysfunction endothelial in type 2 diabetc patients.
Diabetes Care. 2014. 37; 644-650
205 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
THE ASSOCIATION BETWEEN ADHERENCE TO INSULIN
AND GRADE OF ERECTILE DYSFUNCTION WITH TYPE 2
DIABETES MELLITUS IN RSUD CUT MEUTIA NORTH ACEH
ABSTRACT
References
1. Sharifi F, Asghari M, Jaberi Y, Salehi O, Mirzamohammadi F. Independent
predictors of erectile dysfunction in type 2 diabetes mellitus: is it true what they say
about risk factors?. ISRN Endocrinology 2012;1-5.
2. American Diabetes Association. Microvascular complications and foot care. Sec.
9 in Standards of Care in Diabetes—2016. Diabetes Care 2016;39(Suppl. 1):S72–
S80
3. McCulloch DK, Campbell IW, Wu FC, Prescott RJ, Clarke BF. The prevalence of
diabetic impotence. Diabetologia. 1980; 18(4):279–83.
4. Schiavi RC, Stimmel BB, Mandeli J, Rayfield EJ. Diabetes mellitus and male sexual
function: a controlled study. Diabetologia. 1993; 36(8):745–51.
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 206
PENGARUH PEMBERIAN ARTIFICIAL SWEETENER
TERHADAP PERUBAHAN NAFSU MAKAN PADA
POPULASI SEHAT
ABSTRAK
Artificial sweetener merupakan senyawa yang dibuat secara kimiawi sebagai pemanis
pengganti yang semula diproduksi untuk produk-produk khusus bagi penderita diabetes.
Namun, saat ini penggunaan pemanis buatan semakin meluas di berbagai produk pangan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemanis rendah kalori dapat merangsang nafsu
makan dan mendorong untuk makan lebih banyak. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh pemberian artificial sweetener terhadap perubahan nafsu makan
pada populasi sehat dan perbandingannya dengan yang tidak mengonsumsi artificial
sweetener. Jenis penelitian quasi experimental dengan pendekatan nonequivalent control
group dan pretest-post test design. Penelitian ini dilakukan selama 12 minggu sejak 24
oktober 2018 hingga 16 januari 2019 terhadap mahasiswa Fakultas kedokteran Universitas
Syiah Kuala. Pengambilan data menggunakan teknik purposive sampling, dengan jumlah
responden sebanyak 98 orang yang terbagi menjadi 48 responden dalam kelompok
intervensi dan 50 responden lainnya sebagai kelompok kontrol. Hasil analisis data
menggunakan uji t-berpasangan menunjukkan terdapat pengaruh pemberian AS terhadap
perubahan nafsu makan populasi sehat dengan p=0,008. Hasil statistik dari perbandingan
kedua kelompok dengan uji t-tidak berpasangan didapatkan p=0,265 (p˃0,05) yang
menunjukkan tidak terdapat pengaruh yang bermakna pada perbandingan nafsu makan
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kesimpulan penelitian ini adalah
konsumsi artificial sweetener memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan nafsu
makan.
207 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019