Anda di halaman 1dari 218

rd

The 3 Aceh Endocrinology &


Diabetes Update
Grand Nanggroe Hotel, Banda Aceh, 14 – 16 February 2019

“The Tailoring art of innovative approaches


to fight endocrine disorders”
Dapatkan
Diskon
Khusus

Proceeding
BOOK

EDITOR :

krishna w sucipto
hendra Zufry
Agustia sukri ekadamayanti
Sarah Firdausa

Supported by:
PROCEEDING BOOK
THE 3RD ACEH ENDOCRINOLOGY AND DIABETES UPDATE

Grand Nanggroe Hotel, Banda Aceh, Indonesia


th
Thursday - Saturday, February 14-16 2019

Theme:
“THE TAILORING ART OF INNOVATIVE APPROACHES TO
FIGHT ENDOCRINE DISORDERS”

Editor :
Krishna W. Sucipto
Hendra Zufry
Agustia Sukri Ekadamayanti
Sarah Firdausa

Divisi Endokrinologi, Metabolik dan Diabetes


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
RSUD dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh
2019

1
PROSIDING BOOK The 3rd Aceh Endocrinology And Diabetes Update
“THE TAILORING ART OG INNOVATIVE APPROACHES TO FIGHT ENDOCRINE DISORDERS”

Penasehat : Rektor Universitas Syiah Kuala


Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Direktur RSUD dr. Zainoel Abidin
Ketua PAPDI Provinsi Aceh
Ketua IDI Wilayah Provinsi Aceh
Penanggung Jawab : Kepala Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUD dr. Zainoel Abidin
Ketua Panitia : dr. Krishna W Sucipto, SpPD-KEMD, FINASIM
Sekretaris : dr. Hendra Zufry, SpPD-KEMD, FINASIM
Bendahara : dr. Agustia Sukri Ekadamayanti, Sp. PD
Reviewer : Prof. Dr. dr. Maimun Syukri, SpPD., KGH., FINASIM
Prof. Dr. dr. Achmad Rudijanto, SpPD., KEMD., FINASIM
Prof. dr. Djoko Wahono Soeatmadji, SpPD., KEMD., FINASIM

Editor : dr. Krishna W Sucipto, SpPD-KEMD, FINASIM


dr. Hendra Zufry, SpPD-KEMD, FINASIM
dr. Agustia Sukri Ekadamayanti, Sp. PD
dr. Sarah Firdausa, Sp.PD

ISBN : 9786237086116

Cetakan : Kesatu, 2019

Penerbit :
SYIAH KUALA UNIVERSITY PRESS
Kampus Universitas Syiah Kuala Darussalam,
Banda Aceh 23111 ACEH-INDONESIA
Telp. 0651-8012221
KATA SAMBUTAN
KETUA PANITIA PELAKSANA
THE 3RD ACEH ENDOCRINOLOGY & DIABETES UPDATE 2019

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Dengan mengucap puji dan syukur kehadirat Allah SWT, kami sangat berbahagia dengan
dapat berlangsungnya acara “The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update 2019”
dan terbitnya buku kumpulan makalah “The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update
2019”
Dalam buku ini dibicarakan hal-hal yang up to date dalam bidang Endokrinologi, Metabolik
& Diabetes, sehingga dapat membantu Teman Sejawat dalam hal melakukan tindakan
terhadap pasien.
Akhirnya, kami dari Panitia mengucapkan terima kasih atas partisipasi Teman Sejawat
sehingga kegiatan ini dapat berlangsung dengan sukses.
Wassalam,

Banda Aceh, Februari 2019

Panitia Pelaksana
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update 2019

Ketua Pelaksana,
Ketua PERKENI Cabang Banda Aceh

dr. Krishna W. Sucipto, SpPD- KEMD, FINASIM

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | ii


KATA SAMBUTAN
DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH

Assalamualaikum Wr. Wb dan Salam Sejahtera

Pertama-tama puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
limpahan karunia Nya sehingga kita dapat berkumpul untuk mengikuti acara The 3rd Aceh
Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) yang diselenggarakan di kota Banda Aceh.

Kemajuan ilmu pengetahuan kedokteran di bidang Endokrin, Metabolik dan Diabetes yang
demikian cepat menuntut kita untuk terus menerus mengikuti perkembangannya, di lain
pihak dalam praktek sehari-hari kita dituntut pula menerapkannya dengan optimal dan
efisien sesuai dengan sarana dan prasarana sistem pembiayaan kesehatan nasional. Hal
ini merupakan tantangan tersendiri bagi kita dalam menjaga mutu pelayanan penyakit
Endokrin, Metabolik dan Diabetes. Pertemuan kali ini mengusung tema “The Tailoring Art
of Innovative Approaches to Fight Endocrine Disorders” yang diharapkan menjadi inovasi
terkini dalam penanganan penyakit di bidang Endokrinologi Metabolik & Diabetes.
Kepada para pembicara dan seluruh peserta, kami mengucapkan selamat datang di kota
Banda Aceh dan menikmati ramahnya kehidupan masyarakat di Provinsi Aceh.

Terimakasih, Wassalam.

Dekan Fakultas Kedokteran


Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Prof. Dr. dr. Maimun Syukri, SpPD-KGH., FINASIM

iii | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
KATA SAMBUTAN
KETUA UMUM PB PERKENI

Salam Sejahtera,

Kita ketahui bahwa prevalensi diabetes mellitus dan penyakit metabolik – endokrin
umumnya, semakin meningkat dari tahun ke tahun. Masalah kegemukan, diabetes
mellitus, prediabetes, dislipidemia, gangguan hormon, osteoporosis, serta penyakit tiroid,
merupakan masalah – masalah kesehatan masyarakat cukup menonjol dan perlu upaya
pencegahan serta pengelolaan yang komprehensif. Kemajuan dalam bidang kedokteran
khususnya patologi klinik dan pencitraan, telah banyak membantu penemuan dan
pengelolaan kasus metabolik – endokrin. Demikian pula perkembangan dalam sistem
pelayanan kesehatan dan sistem penjaminan kesehatan telah meningkatkan akses pasien
terhadap layanan kesehatan. Untuk itu kami menyambut baik penyelenggaraan Aceh
Endocrinology & Diabetes Update tahun 2019 yang merupakan pertemuan profesi dokter
seminat dalam bidang metabolik dan endokrinologi.
PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) selaku perhimpunan seminat dibawah
naungan IDI sangat peduli terhadap perkembangan baru dalam upaya pencegahan,
pengobatan serta rehabilitasi berbagai masalah metabolik dan endokrin, melalui
penyelenggaraan kegiatan Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan dan Pengembangan
Keprofesian Dokter. Forum Endokrin dan Diabetes ini merupakan kesempatan bagi teman
sejawat dokter dan dokter spesialis berdiskusi dan menambah pengetahuan dan
keterampilan bagi para dokter dalam bidang metabolik dan endokrinologi. Selain itu kami
juga berharap forum endokrin dan diabetes ini dapat merumuskan beberapa rekomendasi.
Pada kesempatan ini kami sebagai ketua Pengurus Besar PERKENI mengucapkan
selamat pada sejawat pengurus – pengurus cabang PERKENI di Sumatera, khususnya
Cabang PERKENI Banda Aceh atas koordinasi dan penyelenggaraan acara The 3rd Aceh
Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) dengan tema “The Tailoring Art of Innovative
Approaches to Fight Endocrine Disorders”

Ketua PB PERKENI

Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD, FINASIM

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | iv


KATA SAMBUTAN
DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH

Assalamualaikum Wr. Wb dan Salam Sejahtera

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam disampaikan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Inovasi ilmiah The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) dengan tema “The
Tailoring Art of Innovative Approaches to Fight Endocrine Disorders” diharapkan dapat
menjadi implementasi dan riset perkembangan teknologi, manajemen dalam tatalaksana
gangguan di bidang Endokrinologi Metabolik dan Diabetes serta pengembangan ilmu
pengetahuan kedokteran.

Apresiasi untuk Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh yang telah mempersiapkan dan melaksanakan acara
ilmiah ini secara baik dan kreatif.

Tidak lupa, saya ucapkan selamat datang di kota Banda Aceh kepada para pembicara dan
seluruh peserta, selamat menikmati ramahnya kehidupan masyarakat di Provinsi Aceh.

Terimakasih, Wassalam.

Direktur Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin

Dr. dr. Azharuddin, SpOT, K-Spine, FICS

v | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


DAFTAR KONTRIBUTOR

Prof. Dr. dr. Achmad Rudijanto, SpPD-KEMD


Prof. Dr. dr. Sidartawan Soegondo, SpPD-KEMD
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD
Prof. Dr. dr. Dharma Lindarto, SpPD-KEMD
Prof. dr. Djoko Wahono, SpPD-KEMD
Prof. dr. Malik Mumtaz
Dr. dr. Eva Decroli, SpPD-KEMD
dr. Sri Murtiwi, SpPD-KEMD
dr. Krishna W. Sucipto, SpPD-KEMD
dr. Hendra Zufry, SpPD-KEMD
dr. Mardianto, SpPD-KEMD
dr. Yensuari, SpPD-KEMD
dr. Lindawati, SpPD-KEMD
dr. Agustia Sukri Ekadamayanti, SpPD
dr. Sarah Firdausa, M.Md.Sc, SpPD
Dr. dr. Rajuddin, SpOG, KFER
Dr. dr. Safrizal Rahman, M.Kes, SpOT
Dr. dr. Azharuddin, SpOT, KSpine
dr. Desiana, M. Ked (ClinPath), SpPK
dr. Suhardi, SpBTKV
dr. Iflan Naufal, M.Sc.IH, Sp.GK
dr. Hilwah Nora, M.Med.Sci, SpOG, KFER

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | vi


DAFTAR ISI

SAMBUTAN KETUA PANITIA ....................................................................................... ii


SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNSYIAH ....................................... iii
SAMBUTAN KETUA PB PERKENI ............................................................................... iv
SAMBUTAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DR. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH ............................................................................................................... v
DAFTAR KONTRIBUTOR.............................................................................................. vi
DAFTAR ISI .................................................................................................................. vii

WORKSHOP
Workshop 1 – Carbohydrate Counting, Food Serving and Self Monitoring Blood
Glucose (SMBG)
Diet Serving for Diabetes Patients
dr. Lindawati, Sp.PD-KEMD ........................................................................................... 1
Best Practice in Performing SMBG and How to Analyse it
dr. Sarah Firdausa, M.Md.Sc, Sp.PD ............................................................................. . 8

Workshop 2 – Laboratory Interpretation of Common Endocrinology Disorders


How to Prepare the Patient if They Want to Check Their Laboratories?
dr. Desiana, Sp.PK ......................................................................................................... 17
How to Use Your Patient Laboratories with Metabolic Disorders?
dr. Krishna W. Sucipto, Sp.PD-KEMD ........................................................................... 34
Genomic Parameter in Laboratory: Focus on Endocrine and Metabolic Disorders
Intan Wibawanti Masfufa, M.Sc, Apt. ............................................................................. 41

Workshop 3 – Foot Examinations and Minor Foot Procedures (Hands on Experience)


Diagnostic and Management of Diabetic Foot
dr. Krishna W. Sucipto, Sp.PD-KEMD ........................................................................... 42
Surgery Aspect of Diabetic Foot Ulcer
dr. Suhardi, Sp.BTKV ..................................................................................................... 53

Workshop 4 – How to Interprete The Food Labelling?


What is Food Labelling?
dr. Agustia Sukri Ekadamayanti, Sp.PD ........................................................................ 66
Calorie Labelling and Healthy Food Choices for Obesity Prevention
dr. Hendra Zufry, Sp.PD-KEMD ..................................................................................... 70

vii | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
SIMPOSIUM
SGLT2 Inhibitor in Type 2 DM Management: Current Position and Future Promise
dr. Krishna W. Sucipto, SpPD-KEMD............................................................................ 81
SGLT2 Inhibitor: Effect on Blood Pressure and Potential Mechanism Related to
Cardiovascular Protection
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD .................................................................... 86
More Intensive Vs Less Intensive LDL-Cholesterol Lowering Reduces Mortality
Prof. Dr. dr. Dharma Lindarto, SpPD-KEMD ................................................................. 95
DECLARE Study: Newest Insight into Cardiovascular Outcomes in Diabetes Management
Prof. Dr. dr. Achmad Rudijanto, SpPD-KEMD .............................................................. 99
Intelectual Disability Protection in Children with Hypothyroidism
dr. Rusdi Andid, SpA (K) ............................................................................................... 103
Seven Steps to Treat Grave’s Disease with Anti-Thyroid Drugs
dr. Hendra Zufry, SpPD-KEMD ..................................................................................... 109
Female Hormone Replacement
Dr. dr. Rajuddin, SpOG, K-FER .................................................................................... 116
Biosimilar Insulin: How Similar is Similar? Opportunities and Challenges from Patient
Perspective
dr. Sri Murtiwi, SpPD-KEMD ......................................................................................... 127
Is Still Relevance to Use Human Insulin in Management of Diabetes?
Prof. dr. Djoko Wahono, SpPD-KEMD .......................................................................... 133
Analogues Insulin in Management of Diabetes: Is It Better than Human Insulin?
Prof. dr. Malik Mumtaz .................................................................................................. 141
Early Amputation in Diabetic Foot Management: Does It Has Some Benefits?
Dr. dr. Syafrizal Rahman, M.Kes, SpOT ....................................................................... 143
Conservative Treatment to Prevent Amputation in Diabetic Foot
dr. Krishna W. Sucipto, SpPD-KEMD............................................................................ 149
Ultra Long Acting Basal Insulin: New Hope for Diabetes Management
dr. Hendra Zufry, Sp.PD-KEMD .................................................................................... 165
Art of Treating Diabetes & CVD in Harmony
Dr. dr. Eva Decroli, SpPD-KEMD .................................................................................. 171
Overview on The Treatment of Osteoporosis Rather Than Focus on Biphosponates Only
Prof. dr. Malik Mumtaz .................................................................................................. 183
Osteoporosis and The Risk of Compression Fracture: Is It Preventable? How to Manage?
Dr. dr. Azharuddin, SpOT, K-Spine ............................................................................... 185
KUMPULAN ABSTRAK POSTER

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | viii
DIET SERVING FOR DIABETES PATIENT
dr. Lindawati, SpPD-KEMD
Bagian Ilmu Penyakit Dalam, RSUD Kabupaten Gayo Lues

Abstrak
Salah satu terapi Diabetes Melitus didalam mengendalikan kadar glukosa darah
agar tetap dalam batas normal adalah dengan pemberian diet atau dikenal dengan Terapi
Nutrisi Medis (TNM). Pengaturan makan ini harus makanan yang seimbang (Karbohidrat
45% - 65%, Protein 10% - 20%, Lemak 20% - 25%), memperhatikan komposisi makanan
dan sesuai dengan kebutuhan kalori, Seringkali pasien kesulitan untuk memahami dan
menghitung kandungan kalori makanan sehingga memerlukan panduan praktis
manajemen terapi nutrisi medis.
Salah satu panduan terapi nutrisi medis adalah dengan melakukan diet serving
/ diet carbohydrate counting yang menekankan pada jumlah total karbohidrat yang
dikonsumsi, bukan pada sumber atau jenis karbohidrat yang dikonsumsi. Ketika hendak
merencanakan makanan berdasarkan diet Carbohydrate Serving, hitung makanan yang
mengandung karbohidrat saja, kemudian bagi jumlah gram total karbohidrat dengan 15
(karena 1serving = 15 gram untuk karbohidrat). Makanan yang telah dihitung tersebut
kemudian dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore
(25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya, atau sesuai dengan
kebiasaan masing masing penderita Diabetes Melitus. Terapi nutrisi medis yang sukses
membutuhkan evaluasi dan penyesuaian yang berkelanjutan.
Kata Kunci: Diet Serving, Carbohydrate Counting, Terapi Nutrisi Medis

1. Pendahuluan
Didalam penanganan DM tipe 2, ada 3 hal yang penting yaitu mengendalikan kadar
gula darah menjadi normal, mengatasi penyakit komorbiditas, mencegah dan mengatasi
timbulnya komplikasi Diabetes. Salah satu cara untuk mengendalikan kadar gula darah
agar berada dalam kondisi normal, selain obat-obatan dan latihan fisik adalah pengaturan
diet / pola hidup sehat (Lifestyle).(1),(2)
Tujuan dari pengaturan diet ( Medical Nutrition Therapy / MNT ) bagi penderita
Diabetes Melitus adalah mencapai dan mempertahankan :(1)
1. Kadar gula darah agar berada dalam batas normal atau mendekati normal seaman
mungkin.
2. Profil Lipid dan lipoprotein lipid dalam batas normal untuk menurunkan resiko
penyakit kardiovaskular (CVD) dan penyakit Vaskular Perifer (PVD)
3. Tekanan darah dalam batas normal atau mendekati normal seaman mungkin.

1 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


4. Mencegah atau sekurang kurangnya memperlambat berkembangnya komplikasi
kronis Diabetes dengan cara memodifikasi pola hidup sehat (life style) dan intake
makanan.
5. Kebutuhan nutrisi dengan mempertimbangkan latar belakang budaya dan
kemauan untuk berubah secara perorangan.
6. Kenyamanan makan dengan hanya membatasi pilihan makanan yang terbukti
secara ilmiah bermanfaat.
Rekomendasi makanan yang dikonsumsi adalah makanan yang mengandung
karbohidrat 50% - 60 %, protein sekitar 15% - 20%, lemak total 25% - 35%, lemak jenuh<
7%, lemak tak jenuh: polyunsaturated fat> 10%; monounsaturated fat> 20% dan kolesterol
< 200 mg/hari dari kalori total. (3),(4)

Untuk Karbohidrat direkomendasikan minimal 130 gram/hari berdasarkan rata rata


jumlah minimum glukosa yang dipakai oleh otak. Ada 2 jenis karbohidrat yaitu karbohidrat
simpleks yang terdiri dari gula termasuk juga monosakarida (glukosa, fruktosa dan
galaktosa) dan disakarida ( sukrosa, maltosa dan laktosa ). Yang kedua adalah karbohidrat
kompleks yang terdiri dari tepung tepungan (nasi, kentang, tepung terigu) dan diet serat
(sayur sayuran).(1),(3)
Sayur sayuran yang direkomendasikan untuk di konsumsi penderita diabetes: 25
g/hari untuk wanita dan 38 g/hari untuk pria. Kemampuan karbohidrat untuk menaikkan
glukosa darah disebut sebagai Glikemik Indeks (GI). GI menilai respons glukosa darah dari
jumlah tetap karbohidrat yang tersedia (umumnya 50 g) dari makanan yang diuji dengan
jumlah yang sama dari karbohidrat yang tersedia dari makanan standar (glukosa atau roti
tawar). Pada makanan terdapat 3 kriteria glikemik indeks yaitu makanan dengan GI rendah
(< 55), makanan dengan GI medium (55 – 69) dan makanan dengan GI tinggi (> 70). Beban
glikemik (GL / Glycemic Load) adalah beban glikemik memperhitungkan berapa banyak
karbohidrat yang terkandung dalam satu porsi makanan dan ukuran porsi standar 100
g.(2),(3),
Bagaimana membuat perencanaan makan? Terdapat 4 langkah yaitu :(4),(5)
1. Nilai 4 komponen yaitu riwayat penyakit sebelumnya(RPT), BMI (Body Mass Index),
aktifitas fisik dan penilaian diet yang meliputi kebiasaan makan / pola makan, makanan
apa yang disukai / tidak disukai dan riwayat diet.
2. Mengidentifikasi area untuk intervensi diet seperti makan dengan porsi besar, tinggi
lemak, kurangnya makan buah, makan makanan cepat saji dll.
3. Merumuskan perencanaan makan dimana penilaian gizi digunakan untuk menentukan
apa
yang mampu dan mau dilakukan oleh penderita diabetes, merencanakan makanan dengan
mendistribusikan karbohidrat, protein, dan lemak dengan porsi kecil dan sering serta
membantu pasien menetapkan tujuan jangka pendek dan jangka panjang.
- Tentukan kebutuhan kalori.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 2


Kebutuhan gizi semua individu berbeda satu sama lain tergantung pada usia,
jenis kelamin, aktivitas fisik, stres atau kondisi fisiologis (mis. kehamilan atau
menyusui) dimana kebutuhan kalori untuk penderita diabetes tidak berbeda dari
individu yang tidak menderita diabetes. Perkiraan kebutuhan kalori utuk penderita
diabetes adalah:
- Obese, inaktif, sedentari, pria / wanita 20 Kcal/kgBB
- BMI normal, sedentary, pria / wanita 22 – 25 Kcal/kgBB
- BMI normal, aktif, pria / wanita 30 Kcal/kgBB
- Kurus / sangat aktif 40 Kcal/kgBB
Sepertiga dari total kalori dapat didistribusikan untuk sarapan pagidan camilan
pagi. sepertiga lagi untuk makan siang dan camilan tengah hari, dan sepertiga
sisanya untuk makan malamdan camilan malam.
4. Monitoring
Terapi nutrisi medis yang sukses membutuhkan evaluasi dan penyesuaian yang
berkelanjutan. Catatan asupan makanan dan kadar glukosa darah harus dikorelasikan
dan dievaluasi bersama untuk memastikan bahwa tujuan tercapai. Jika tujuan awal
tidak tercapai maka mungkin perlu mengubah atau mendiskusikan ulang tujuan yang
lebih realistis sehingga dapat dicapai.

2. Diet Serving
Tidak ada perencanaan makan ideal yang berfungsi untuk semua penderita
diabetes. Seringkali pasien merasa sulit untuk memahami dan menghitung kandungan
kalori makanan serta distribusi kalori, sehingga perlu panduan praktis manajemen terapi
nutrisi. (6),(7),(8),(9)
Salah satu panduan praktis manajemen terapi nutrisi selain metode plate/ piring,
adalahCarbohydrate Counting / Diet Carbohydrate Serving. Carbohydrate Counting adalah
pendekatan perencanaan makan dan bukan diet khusus yang menekankan pada jumlah
total karbohidrat yang dikonsumsi, bukan pada sumber atau jenis karbohidrat yang
dikonsumsi. Tujuan Carbohydrate Counting adalah mengatur kadar glukosa darahagar
berada dalam batas normal dengan menyeimbangkan asupan karbohidrat saat makan dan
camilan pada waktu yang sama setiap haridengan obat diabetes dan aktivitas fisik. (10),(11),
Karbohidrat adalah nutrisi utama dalam makanan yang dapat meningkatkan
gula darah. Ketika Anda merencanakan makanan berdasarkan diet Carbohydrate Serving,
hitung saja makanan yang mengandung karbohidrat. Langkah untuk menghitung
kandungan karbohidrat adalah :(4)
1. Membuat pilihan makanan sehat,
2. Fokus pada karbohidrat,
3. Menetapkan tujuan karbohidrat (contoh: obese, Normal atau kurus)
4. Menentukan kandungan karbohidrat (Glicemic Index / GI)

3 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


5. Memantau efek pada kadar glukosa darah
Kemudian bagi jumlah gram total karbohidrat dengan 15 (karena 1serving= 15 gram untuk
karbohidrat). Wanita sering membutuhkan sekitar 45 - 60 gram karbohidrat (3-4 serving)
pada masing-masing 3 kali makan dan 15 gram karbohidrat (1 serving ) untuk camilan
sesuai kebutuhan. Pria sering membutuhkan 60-75 gram karbohidrat (4-5 serving ) pada
setiap 3 kali makan dan 15-30 gram karbohidrat (1-2 serving ) untuk camilan sesuai
kebutuhan.(12)
Ada beberapa langkah dalam penerapan carbohydrate counting yaitu
1. Membuat catatan makanan harian dalam 1 minggu,
2. Menghitung distribusi kalori dalam bentuk serving di setiap makanan,
3. Membuat catatan setiap makanan / camilan yang mengandung karbohidrat
didalamnya dalam bentuk serving,
4. Menghitung jumlah karbohidrat dalam bentuk serving untuk setiap makanan,
5. Hitung dosis insulin pra-makan berdasarkan kandungan karbohidrat dalam bentuk
serving untuk setiap makanan,
6. Lakukan SMBG ( Self Monitoring Blood Glucose )
7. Sesuaikan dosis insulin sebelum makan ketika dibutuhkan. 1 unit insulin prandial
= 15 g karbohidrat ( 1 serving ).
Cara menghitung porsi karbohidrat: 0-5 tidak dihitung (0 serving), 6-10 = ½ serving, 11-
20 = 1 serving, 21-25 = 1 ½ serving, 26-35 = 2 serving.

Gambar 1. Contoh metode plate (10)

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 4


Gambar 2. Contoh Serving (13)

Gambar 3. Daftar Carbohydrate Serving (14)

5 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


Gambar 4. Contoh Diet DM 2000 Kcal berdasarkan Diet Carbohydrate Serving (14)

Kepustakaan:
1. Capelson R, Lorenzi GM, Rosenzweig JL, Schreiner B, Strowig S, Wolfsdorf JI, et
al. Nutrition Management. Fifth edit. Wolfsdorf JI, editor. Alexandria, Virginia:
American Diabetes Association; 2012. 149-173 p.
2. Mala GS. Practical Medical Nutritional Therapy. Sixth Edit. Thomas N, Jeyaraman
K, HS A, Velavan J, Vasan S, editors. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers (P) Ltd.; 2012. 28-40 p.
3. Kapoor L, Mala GS. Practical Medical Nutritional Therapy. Seventh Ed. Thomas N,
Kapoor N, Velavan J, K SV, editors. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers
(P) Ltd.; 2016. 39-55 p.
4. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suastika K, Manaf A, et al.
Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia
2015. PB Perkeni. 7999. 1-93 p.
5. Hollands M, Howard M, Graham K. Eating well with Diabetes. Harper Collins
Publishers; 2014. 1-27 p.
6. Comprehensive Diabetes Center. Diabetes : Carbohydrate Food List. University of
Michigan. 2012. p. 1–4.
7. Healthwise Staff. Basic Diabetes Meal Plan. Pittsburgh, PA; 2016.
8. American Diabetes Association. What Can I Eat ? Best Foods for You : Healthy
Food Choices for People with Diabetes. ADA. 2015. p. 1–2.
9. Comprehensive Diabetes Center. Diabetes : Meal plan Ideas 1200 calories per day.
University of Michigan. 2015. p. 2–4.
10. Health Care Professionals. My Plate Planner. United Healthcare Insurance
Company. 2009. p. 1–2.
11. Registered Dietitians Nutrition Services. Healthy Eating for Diabetes. Alberta Health

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 6


Services. 2015. p. 1–5.
12. Gregor W. 7-Day Diabetic Meal Plan. Sutter Health. 2015. p. 1–2.
13. National Diabetes Information Clearinghouse, National Institutes of Health. What I
need to know about Eating and Diabetes. NIH Publication No. 08-5043; 2007. 1-52
p.
14. Unit Gizi RS Panti Waluya Malang. Carbohydrate Serving. Malang; 2016.

7 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


BEST PRACTICE IN PERFORMING SMBG AND
HOW TO ANALYSE IT
dr. Sarah Firdausa, M.Md.Sc, Sp.PD
Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh

Abstrak
Pemeriksaan gula darah secara mandiri, atau disebut self monitoring blood glucose
(SMBG) merupakan modalitas monitoring gula darah yang penting bagi penderita diabetes
melitus. Pemeriksaan ini memungkinkan untuk mendeteksi kejadian hiperglikemia,
hipoglikemi, variasi kadar gula darah; memberikan umpan balik langsung kepada pasien
tentang efek pilihan terapi, makanan, dan aktivitas; dan memudahkan kontrol glikemik.
Langkah-langkah yang perlu diperhatikan sebelum melakukan SMBG antara lain edukasi
pasien tentang tujuan dan manfaat SMBG; mendiskusikan dan menentukan target glikemik
dengan pasien; menentukan frekuensi pelaksanaan SMBG; menentukan waktu
pelaksanaan dan lokasi pemeriksaan SMBG. Analisis pola (pattern analysis) gula darah
adalah pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi pola glikemik pada data SMBG dan
kemudian mengambil sikap atau langkah yang sesuai dengan hasil analisis data tersebut.

Pendahuluan
Pengukuran kadar gula darah sangat penting untuk manajemen diabetes yang
efektif. HbA1c telah menjadi metode standard untuk menilai kontrol glikemik, namun ia
tidak mencerminkan variabilitas gula darah harian dan tidak dapat merefleksikan kejadian
akut (seperti hipoglikemia) atau hiperglikemia postprandial, yang telah dikaitkan dengan
komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskular. Self Monitorig Blood Glucose (SMBG) telah
terbukti meningkatkan kontrol glikemik dan kualitas hidup pada pasien diabetes yang
mendapat insulin dan yang tidak diobati dengan insulin bila digunakan secara baik dan
benar.(1)
SMBG dapat memberikan info tentang nilai glukosa secara real time sehingga
sangat membantu dokter, pasien atau pengasuhnya ketika kadar glukosa terlalu tinggi atau
terlalu rendah. (2) Pemeriksaan gula darah secara mandiri ini telah direkomendasikan oleh
beberapa pedoman/ konsensus nasional dan internasional sebagai bagian dari
manajemen terapi diabetes, mengingat banyak bukti penelitian yang menunjukkan manfaat
SMBG. Saat ini, SMBG dianggap sebagai aspek penting dari manajemen kontrol gula
glikemik.(3)
Definisi SMBG
Self Monitoring Blood Glucose (SMBG) atau Pemantauan Gula Darah Mandiri (PGDM)
adalah suatu tindakan memeriksa kadar gula darah menggunakan glukometer oleh pasien
secara mandiri.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 8


Tujuan & Manfaat SMBG
Tujuan & manfaat penggunaan SMBG adalah:
1. Edukasi diabetes, penilaian respons glukosa darah terkait nutrisi, aktivitas fisik, dan
obat-obatan
2. Manajemen terapi, seperti penyesuaian dosis obat anti diabetes (OAD) atau insulin(3)
3. Safety/ Keamanan pasien
- Untuk mengidentifikasi dan mengkonfirmasi adanya hipoglikemia pada pasien
yang menggunakan insulin, dan OAD (jenis insulin sekretagoug seperti
sulfonilurea atau glinida).
- Untuk memastikan keselamatan pengemudi, dan sebelum memulai kegiatan lain
seperti berlari atau berenang pada pasien yang menggunakan insulin atau OAD
dengan risiko hipoglikemia.
- Untuk mengurangi risiko hipoglikemia pada mereka yang menggunakan insulin
atau OAD dengan risiko hipoglikemia selama puasa (misalnya pada bulan
Ramadhan).
4. Memotivasi pasien untuk perubahan gaya hidup
- Informasi yang didapat dari hasil SMBG dapat memberikan umpan balik yang
obyektif kepada penderita diabetes tentang keberhasilan perubahan gaya hidup
seperti modifikasi diet dan peningkatan aktivitas, serta efektivitas dosis obat
mereka.
5. Mendukung pengambilan keputusan
- Informasi yang didapat dari hasil SMBG dapat memberikan data untuk pasien
diabetes dan dokter pribadinya dalam memberikan saran tentang gaya hidup dan
terapinya.
6. Mengurangi komplikasi
- Pengurangan komplikasi akut dan jangka panjang yang mahal dapat dicapai jika
SMBG digunakan untuk melakukan perubahan perilaku, memfasilitasi
penyesuaian obat dan membuat penggunaan obat secara efektif.
7. Keadaan khusus
- Data SMBG dapat membantu penyesuaian dosis insulin atau OAD pada pasien
dalam keadaan khusus seperti penggunaan steroid, atau ketika memulai
pengobatan antipsikotik.(4)

Siapa yang dianjurkan untuk melakukan SMBG?


SMBG dianjurkan untuk dilakukan pada pasien berikut:(5, 6)
1. Pasien yang mendapat insulin
2. Pasien dengan riwayat hipoglikemi
3. Pasien dengan oral anti diabetik (OAD) yang memiliki resiko hipoglikemi
4. Pasien yang sedang hamil

9 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


5. Pasien yang merencanakan hamil
6. Pasien yang mendapat terapi kortikosteroid oral atau intavena

Cara Melakukan SMBG


Pengobatan DM bersifat individual, tergantung kondisi penyakit dan kondisi
pasien. Setiap pasien mempunyai keunikan tersediri, sehingga perlu diketahui bahwa tidak
ada standar baku yang terbaik dalam menggunakan terapi insulin. SMBG memungkinkan
pasien untuk mencapai manajemen glukosa darah yang baik dan meminimalkan risiko
komplikasi DM. Log book pasien tentang SMBG bisa menjadi indikator yang dapat
diandalkan sebagai dasar penyesuaian terapi insulin.(2)

Waktu Pelaksanaan SMBG


Waktu pelaksanaan SMBG disesuaikan secara individual dengan kebutuhan dan
kepentingan pasien dan dokter.(7) Ada banyak tujuan dan kepentingan pelaksaaa SMBG,
sehingga waktu dan frekuensi pelaksanaannya juga bervariasi. Idealnya, pasien DMT1
yang baru didiagnosis, atau pasien DMT2 yang baru menggunakan insulin, harus
melakukan SMBG setidaknya empat kali sehari, yaitu setiap kali sebelum makan (3x) dan
sebelum tidur (1x). Selain itu, ada baiknya untuk melakukan SMBG diantara waktu makan
dan pukul 03.00 pagi, terutama pada awal pengobatan atau untuk mengantisipasi
terjadinya hipoglikemia.
Organisasi diabetes nasional dan internasional (PERKENI, ADA dan IDF)
menganjurkan waktu untuk pelaksanaan SMBG tergantung dari tujuan pemeriksaan,
antara lain:(6-8)
1. Regimen SMBG terstruktur (5-poin atau 7- poin)
Regimen ini bertujuan untuk mendapatkan pola variasi gula darah sepanjang hari,
yang daapt bermanfaat untuk mengevaluasi keberhasilan terapi atau pada pasien yang
menggunakan insulin secara intensif (basal bolus).
SMBG 5 poin, maka tes dilakukan pada waktu:
- Sebelum makan pagi (1x)
- 2 jam sesudah makan pagi (1x)
- 2 jam sesudah makan siang (1x)
- Sebelum makan malam (1x)
- 2 jam sesudah makan malam (1x)
SMBG 7 poin, maka tes dilakukan pada waktu:
- Sebelum makan pagi (1x)
- 2 jam sesudah makan pagi (1x)
- Sebelum makan siang (1x)
- 2 jam sesudah makan siang (1x)
- Sebelum makan malam (1x)

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 10


- 2 jam sesudah makan malam (1x)
- Bed-time (sebelum tidur malam) (1x). ADA merekomendasikan pemeriksaan
gula darah bed-time pada pukul 22.00
2. Paired time (waktu yang berpasangan)
Pengukuran gula darah paired time ini dilakukan 2x yaitu pada waktu tidur dipasangkan
dengan waktu bangun tidur keesokan paginya. Hal ini biasanya dilakukan untuk menilai
kecukupan insulin basal untuk kontrol gula darah basal.
3. On the spot (sewaktu)
SMBG ini dilakukan terutama pada pasien-pasien yang memerlukan hasil gula darah
sewaktu yang cepat, misalnya:
- Pasien yang dicurigai hipoglikemi
- Pasien yang menggunakan insulin dan melakukan aktivitas dan konsentrasi tinggi
(seperti olah raga, menyetir, menjalankan mesin)
- Pasien pada keadaan kritis
- Monitor hasil terapi setelah koreksi hipoglikemi, maka dilakukan 15 menit paska
koreksi
- Monitor hasil terapi setelah koreksi hiperglikemi, maka dilakukan 30 menit paska
koreksi.
4. Setiap hari
Pasien dengan kendali buruk/tidak stabil dilakukan tes setiap hari sampai berhasil
tercapai kendali gula darah yang baik.
5. Occasional (mingguan atau bulanan)
Pasien dengan kendali baik/stabil sebaiknya tes tetap dilakukan secara rutin.
Pemantauan dapat lebih jarang (minggu sampai bulan) apabila pasien terkontrol baik
secara konsisten.

Target Glikemik
Target glikemik yang dianjurkan oleh PERKENI adalah sebagai berikut:(2)
- Preprandial : 70–130 mg / dl
- Sesaat sebelum tidur : 100–140 mg / dl
- Postprandial (1-2 jam) : <180 mg / dl
- HbA1c : <7%

Standar Kualitas Glukometer


ISO (International Organization for Standardization) 15197: 2013 menjelaskan
persyaratan untuk sistem pemantauan glukosa darah menggunakan darah kapiler. Semua
sistem pemantauan glukosa darah kapiler harus telah memenuhi standar ISO 2013 yaitu:(9)
1. Kemudahan operasi, pemeliharaan, pembersihan. Memastikan tampilan visual jelas
dan tidak ada kemungkinan salah tafsir hasilnya.

11 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


2. Keselamatan dan dapat diandalkan (misalnya tidak ada risiko sengatan listrik kepada
pengguna, tahan terhadap guncangan, getaran, dan panas).
3. Presisi, akurasi dan pengaruh kelainan hematokrit dan gangguan lainnya.
4. Evaluasi kinerja pengguna, termasuk kemudahan memahami instruksi.
5. 95% hasil glukosa darah harus mencapai standar berikut (menggunakan 600 strip tes,
200 dari 3 lot berbeda):
a. Baik dalam ± 0,83 mmol / L dari nilai referensi pada konsentrasi glukosa <5,55
mmol / L.
b. Atau dalam ± 15% dari nilai referensi pada konsentrasi glukosa ≥5,55 mmol / L.
99% nilai glukosa individu yang diukur harus berada dalam zona A dan B dari Grid
Kesalahan Konsensus untuk diabetes tipe 1.

Glukometer apa yang harus dipilih?


Ada lebih dari 20 glukometer yang berbeda dalam ukuran, bentuk, dan memori.
Pasien dapat memilih berdasarkan preferensi dan kebutuhannya sendiri.

Langkah-langkah pelaksanaan SMBG terhadap pasien Diabetes Melitus


1. Edukasi pasien
Edukasi merupakan pilar utama dan pertama dalam manajemen diabetes melitus.
Pasien yang direncanakan untuk SMBG juga harus diberikan edukasi yang lengkap dan
jelas tentang manfaat dan tujuan pelaksanaan SMBG.
Materi Edukasi yang diberikan antara lain:
- Pasien perlu mengetahui dengan jelas tujuan dan target pelaksanaan SMBG
- Pemeriksaan SMBG harus dilakukkan secara tepat da akurat
- Jadwal pelaksanaan SMBG harus dilakukan secara terstruktur (terjadwal dengan
benar)
- Dokter dan pasien bekerja sama untuk menentukan target glikemik, mengumpulkan
data secara teratur dan mereview data SMBG secara bersama-sama
- Hasil pemeriksaaan harus dicatat secara konsisten pada buku catatan/ log book
- Penjelasan tentang bagaimana cara membaca hasil SMBG
- Penjelasan tentang bagaimana cara memodifikasi gaya hidup sesuai dengan hasil
SMBG(10)

2. Menentukan target glikemik


Langkah selanjutnya dalam pelaksanaan SMBG adalah adalah menetapkan target
glukosa darah. Target glikemik yang diharapkan dari hasil SMBG dapat mengacu pada
target yang ditetapkan oleh PERKENI. Pada kondisi tertentu, target glikemik bisa lebih
tinggi dari angka di atas. Contohnya pada pasien dengan riwayat hipogikemi berulang, atau
pasien usia lanjut, target terapi HbA1c antara 7,5-8,5%.(2)

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 12


3. Frekuensi dan waktu pelaksanaan SMBG
Penentuan frekuensi dan waktu pelaksanaan SMBG dapat berbeda-beda, tergantung
kondisi pasien. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan frekuensi SMBG
antara lain:
- Tipe diabetes
- Jenis terapi yang didapatkan pasien
Pasien yang menggunakan insulin, akan lebih sering melakukan SMBG daripada
pasien yang mendaat terapi oral.
- Adekuasi kontrol glikemik
- Skill pasien
- Kecenderungan hipoglikemi
- Kewaspadaan terhadap hipoglikemi
- Penyakit kritis (critically ill)
Durasi waktu pelaksanaan SMBG juga bervariasi, tergantung kepentingan tujuan dan
kondisi pasien. Secara umum, rata-rata kadar gula darah dalam 3 hari terakhir dapat
memberikan gambaran tentang kontrol glikemik pasien yang aktual dan memungkinkan
untuk konseling yang mendalam tentang faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi
glukosa darah, termasuk diet, aktivitas fisik, dan obat-obatan. Untuk kepentingan regulasi
gula darah dan penyesuaian dosis insulin, waktu pelaksanaan SMBG dapat mengacu pada
anjuran dari PERKENI.

4. Lokasi pemeriksaan SMBG


Lokasi pemeriksaan SMBG bersifat individual, tergantung pada kondisi pasien.
Keakuratan hasil pemeriksaan glukosa darah dapat bervariasi antar waktu dan lokasi
pemeriksaan,(11-13) sehingga dianjurkan untuk menggunakan lokasi yang sama untuk satu
tujuan pemeriksaan.
Beberapa pilihan lokasi antara lain:
- Ujung jari merupakan tepat yang paling sering digunakan
- Lengan bawah, telapak tangan dan paha dapat menjadi lokasi alternatif

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi gula darah


Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi gla darah antara lain diet, aktivitas fisik, dan
obat-obatan sebaiknya dicatat secara detail agar data SMBG dapat dianalisis secara lebih
akurat dan menerapkan sikap/ langkah yang sesuai.

Error value
Hematokrit mempengaruhi kadar cairan darah, di mana glukosa merupakan
bagian darinya. Kelainan pada hematokrit dapat menyebabkan hasil bacaan gula darah

13 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


yang salah. Hematokrit tinggi (contoh pada PPOK, kadar trigliserida tinggi, syok, dehidrasi)
dapat memberikan hasil gula darah yang rendah (karena kurang cairan dalam volume
sampel darah), sedangkan kondisi dengan hematokrit rendah (contoh pada kehamilan)
dapat memberikan hasil gula darah yang tinggi.(14)

Masalah / Hambatan dan Solusi


Penggunaan SMBG dalam manajemen DM tidak terbebas dari masalah.
Beberapa masalah yang dapat ditemukan sehari-hari antara lain:
1. Kontrol kalirasi  tidak pernah menggunakan solusi kontrol untuk kalibrasi
2. Variasi strip dan monitor dari pihak pabrik yang mendesain gluometer yang
berpotensi mempengaruhi nilai gula darah(3)

Analisis SMBG
Analisis data SMBG dilakukan sesuai tujuan dan kepentingan pelaksanaan SMBG.
Evaluasi hasil pengobatan insulin prandial sebaiknya diperiksa gula darah preprandial
berikutnya.
Pasien yang mendapat terapi insulin basal plus pagi hari, maka pemeriksaan gula
darah dilakukan sebelum makan pagi (untuk mengevaluasi insulin basal) dan sebelum
makan siang (untuk mengevaluasi insulin prandial pagi hari). Bila gula darah sudah
terkontrol, dapat dikurangi menjadi 1x sebelum makan siang.
Pasien yang mendapat terapi insulin basal plus siang hari, maka pemeriksaan gula
darah dilakukan sebelum makan siang (untuk mengevaluasi insulin basal) dan sebelum
makan malam (untuk mengevaluasi insulin prandial siang hari).

Kerugian
Pelaksanaan SMBG memerlukan alat glukometer dan strip yang bersifat single
used, sehingga diperlukan biaya yang cukup besar.(2)

Contoh log book SMBG


a. Profil SMBG 5-poin
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Bed
Sebelum Sesudah
Hari makan makan makan makan time
sarapan sarapan
siang siang malam malam (22.00)

Senin

Selasa X X X X X

Rabu X X X X X

Kamis X X X X X

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 14


Jumat

Sabtu

Minggu

b. Profil SMBG 7-poin


Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Bed
Sebelum Sesudah
Hari makan makan makan makan time
sarapan sarapan
siang siang malam malam (22.00)

Senin

Selasa X X X X X X X

Rabu X X X X X X X

Kamis X X X X X X X

Jumat

Sabtu

Minggu

c. Profil SMBG untuk mendeteksi hiperglikemi malam hari


Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Bed
Sebelum Sesudah
Hari makan makan makan makan time
sarapan sarapan
siang siang malam malam (22.00)

Senin X

Selasa X

Rabu X

Kamis X

Jumat X

Sabtu X

Minggu

15 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


Referensi
1. Danne T, Nimri R, Battelino T, Bergenstal RM, Close KL, DeVries JH, et al. International
consensus on use of continuous glucose monitoring. Diabetes care. 2017;40(12):1631-
1640.
2. American Diabetes Association. Practical insulin: a handbook for prescribing providers:
American Diabetes Association; 2015.
3. Schnell O, Barnard K, Bergenstal R, Bosi E, Garg S, Guerci B, et al. Clinical utility of
SMBG: recommendations on the use and reporting of SMBG in clinical research.
Diabetes Care. 2015;38(9):1627-1633.
4. TREND-UK. Blood Glucose Monitoring Guidelines Consensus Document United
Kigdom: Training, Research and Education for Nurses in Diabetes; 2017 [cited 2017 30
January]. 2.0:[Available from: http://trend-uk.org/wp-content/uploads/2017/02/170106-
TREND_BG_FINAL.pdf.
5. McGuire H, Longson D, Adler A, Farmer A, Lewin I. Management of type 2 diabetes in
adults: summary of updated NICE guidance. Bmj. 2016;353:i1575.
6. PERKENI. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta:
PB PERKENI; 2015.
7. Gagliardino J, Bergenstal R, Colagiuri S, Farmer A, Karter A, Kolb H. IDF Guideline on
self-monitoring of blood glucose in non-insulin treated type 2 diabetes. International
Diabetes Federation (IDF) Bruselas: International Diabetes Federation. 2009.
8. American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes 2019. Diabetes
Care. 2019;42:S81.
9. In vivo diagnostic test systems. Requirements for blood-glucose monitoring systems for
self-testing in managing diabetes mellitus. , ISO 15197 (2013).
10. Parkin CG, Davidson JA. Value of self-monitoring blood glucose pattern analysis in
improving diabetes outcomes. Journal of diabetes science and technology.
2009;3(3):500-508.
11. Ellison JM, Stegmann JM, Colner SL, Michael RH, Sharma MK, Ervin KR, et al. Rapid
changes in postprandial blood glucose produce concentration differences at finger,
forearm, and thigh sampling sites. Diabetes Care. 2002;25(6):961-964.
12. Jungheim K, Koschinsky T. Glucose monitoring at the thenar: evaluation of upper
dermal blood glucose kinetics during rapid systemic blood glucose changes. Hormone
and metabolic research. 2002;34(06):325-329.
13. Jungheim K, Koschinsky T. Glucose monitoring at the arm: risky delays of hypoglycemia
and hyperglycemia detection. Diabetes care. 2002;25(6):956-960.
14. Tonyushkina K, Nichols JH. Glucose meters: a review of technical challenges to
obtaining accurate results. Journal of diabetes science and technology. 2009;3(4):971-
980.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 16


PATIENT PREPARATION BEFORE
THE LABORATORY TEST
dr. Desiana, SpPK.,M.Ked (ClinPath)
Bagian / SMF Patologi Klinik
Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh

INTRODUCTION
Clinical laboratory is responsible for conducting medical tests that provide valuable
information for physician’s decision-making process. Laboratory tests not only help
diagnose diseases, but also aids monitoring and providing the right treatment for patients.
Since we are treating our health, we should pay special attention at choosing a laboratory
with qualified and capable employees, which counts with up-to-date equipment, and
technology and is based on total quality standards.In order to guarantee the quality of
laboratory test results, the patient should cooperate by preparing themselves for the sample
recollection, as well as its transportation.There are several medical tests available in
modern laboratories. Fortunately for patients, most of these tests do not require special
preparation. For example, for tests such as CBC (Complete Blood Count), creatinine or
liver tests can be taken at any time.Very few laboratory tests require the patient to follow a
specific set of instructions before recollecting the sample. Example of these are fasting,
taking the test at a certain time of the day, following an specific diet for certain period, do
not smoke, and/or perform a special cleaning,“Fasting” means not eating or drinking during
a determine period of time. This is a requirement for some tests, since the level of
substances such as glucose can vary during digestion. While fasting, the patient can only
ingest water. It is not allowed to consume any solid food, or drink beverages such as coffee,
juices or tea; water is the only consumption allowed. Chewing gum (including sugar free)
could also affect test’s results, since it activates digestion. Therefore, it is not allowed either.
Medication is permitted, unless your doctor advises otherwise. In case of consuming your
medication, it should be with water.
Examples of laboratory test that require fasting include determination of glucose
(glycaemia), insulin and triglycerides. For glycaemia, a three-hour fasting is sufficient. On
the other hand, for a triglycerides test the patient requires a period of 10 to 12 hours of not
food or beverage consumption, just water. Generally speaking, triglycerides are requested
as part of a lipid profile that includes cholesterol, HDL/cholesterol and LDL/cholesterol.
Contrary to cholesterol and HDL cholesterol, if any food or beverage is consumed previous
to the sample recollection, triglycerides will be affected. If compared, triglycerides results
will vary if the patient consumed food previous to the recollection or not. Contrary, there
will be no immediate changes appreciated for cholesterol.The most confortable way to
comply with a 12-hour fasting would be to stop food consumption at 7:00 pm and take the
sample at 6-7 in the morning.

17 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


A glucose screening test, depending on doctor’s instructions, can take between
two to five hours. This test consists of measuring glucose levels while fasting, and each
hour after drinking a glucose solution. For this, you should be prepared to stay in the
laboratory, without food consumption, until the test is finished. You cannot leave the
laboratory facilities during the screening test, since walking or running would affect glucose
levels, and the results would not be trustworthy.(1)
For a urine test, genitals should be cleaned with soap and water, especially if it is
a culturing test. It is always preferred to collect the first urine sample after waking up, since
it is more concentrated. Nonetheless, it is allowed to collect it at any time of the day. It is
extremely important to take the sample to the laboratory in less than an one hour of its
collection, since the bacteria that might be in the urine could multiply and the elements that
form part of it may be affected. If the sample is not taken in time, the results obtained will
be incorrect. In addition, you should avoid consuming high doses of vitamin C, since it will
affect urinalysis results.Stool samples for parasites, amoebas, leukocyte and culture do not
require special preparation. Once the sample has been collected, you should be careful
not to mix it with urine. Equally, it should be taken to the laboratory within thirty minutes of
its collection. In case there is a delayed with its delivery, parasites and pathogenic bacteria
could be affected and will not be detected.Whenever a culture such as urine, stool, throat,
sputum or any other is requested, the sample should be collected before taking any
antibiotic. Otherwise, if collected afterwards, bacteria growth will be hinder causing false
negative results.A fecal occult blood test is very simple and useful for determining any
bleeding within the gastrointestinal tract or/and a possible colon cancer. In order to
guarantee results, the patient must follow a diet free of red meat three days previous to the
sample recollection. Consuming aspirins, vitamin C, anti-inflammatories and vegetables
such as broccoli, cucumber, carrots and others should also be avoided. Finally, always
maintain an open relationship with the laboratory employees. If instructions are not
provided, please ask for written clarification for your sample recollection. Equally, if you
have any doubts you are encouraged to ask the personnel. After all, the clinical sample is
yours and it was obtain from your body, any results will be very useful for knowing your
health status. Therefore, guaranteed medical results always rely on you and the
laboratory.(2)
Preanalytical phase covers the wide range of activities, like patient preparation,
blood sampling, sample transport and it is the source of the majority of laboratory errors .
Proper patient preparation is a key prerequisite for ensuring the quality of the sample. To
minimize the total preanalytical variability, for most of the biochemical analyses, patients
should be in the fasting state prior to the blood sampling. Fasting state influences not only
biochemical analyses, but also other types of laboratory tests like haematological and
coagulation analyses. There is a significant influence on several laboratory tests after a
regular meal. That is an important reason for standardization of the fasting time for all

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 18


laboratory tests. Thus, it could be possible to prevent false results. Moreover, beside
lipemia, patients’ variables including exercise, diet, age, sex, obesity, stress, smoking and
medication may affect laboratory test results. It influences alteration of various metabolic,
endocrine, oxidation and others mechanisms and the concentration of parameters is
completely changed. Furthermore, non-fasting state influences the results of laboratory test
which use transmission of light as part of their measurement system because of three
distinct mechanisms: light scattering, increasing non-aqueous phase and effects of partition
between polar and non polar phases.
In laboratory, our instructions on patient preparation are that fasting samples are
taken in the morning between 7–9 a.m. after 12 hours of fasting. During the fasting period
only water consumption is allowed. This information is provided on the laboratory web
page, as well as in the written form, as a leaflet which can be obtained in the laboratory. It
is important to mention other resources of information (physicians, television, etc.).
Furthermore, it is usually too late to provide the information about the patient preparation,
once patient has arrived to the laboratory. Due to that reasons, our hypothesis was that
many patients are not familiar with the instructions issued by the laboratory and are not
adequately prepared for blood sampling, when they arrive to the laboratory (4).
Medicines: influence of medicines on the results of laboratory tests is diversified
and not always predictable. Food intake: direct influence due to absorption of food
components and indirect influence due to hormone level shift in response to food intake;
influence of sample opacity related to increased content of fat particles is
possible. Physical and emotional overworks result in hormonal and biochemical
changes. Alcohol has acute and chronical effects on many processes of
metabolism. Smoking changes secretion of some biologically active substances.
Physiotherapeutic procedures, instrumental examinations before medical tests
may result in temporary changes in some laboratory parameters.
Phase of menstrual cycle of women is very important for some hormonal tests; it
is recommended to consult a doctor before tests on optimal days for sampling for
determination of level of FSH, LH, prolactin, progesterone, estradiol, and
androstenedione. Time of day for blood taking: there are daily rhythms of human activity
and, correspondently, daily variations of many hormonal and biochemical parameters more
or less expressed for different indices; reference values are limits of the “norm” and usually
show statistical data obtained under standard conditions, i.e. blood taking in the morning.
Thus, blood for ACTH and cortisol shall be taken from 08:00 to 08:30 (5).
General rules of preparation for laboratory tests shall be observed for biochemical,
hormonal, hematological tests, complete immunological tests; results depend on
physiological condition of patients.
 As far as possible, it is recommended to take a blood test in the morning from 08:00
to 10:00, in the fasted state (not less than 8 hours and no more than 14 hours of

19 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


bowel rest, drinking – water in usual regime) and avoid overeating the day before
blood tests.
 If patients take some medicines, patient should consult clinician as to the
reasonability of tests during the period of medicine taking or as to the possibility to
cancel medicines before tests; duration of cancellation shall be determined by the
period of medicine excretion from blood.
 Alcohol shall be excluded the day before laboratory tests.
 Smoking shall be avoided at least during 1 hour before laboratory tests.
 Exclude physical and emotional stresses the day before laboratory tests.
 It is recommended to take a rest (take a seat) for 10-20 minutes after arrival to the
hospital and before blood tests.
 It is not recommended to conduct blood tests immediately after physiotherapeutic
procedures, instrumental examinations and other medical procedures. It is
recommended to postpone laboratory analysis for some days after several medical
procedures (for example, biopsy of prostate gland before PSA test).
 For the control of laboratory parameter over time, it is recommended to make
repeated tests under the similar conditions
Minimum requirements: infectious tests, urgent tests – preferably in the fasted state (4-6
hours).
Food diet, special requirements: it is recommended to take blood tests strictly in the fasted
state, after 12-14 hours of bowel rest to determine parameters of lipidic profile (cholesterol,
HDL, LDL, triglycerides, apo A1, apo B, VLDL, lipoprotein A; glucose tolerance test shall
be taken in the morning in the fasted state after not less than 8 and no more than 14 hours
of bowel rest.

Time of the day for blood tests – recommendations


+: recomended
+/-: means acceptable with restrictions, daily rhythm shall be taken into consideration for
repeat studies and breakpoints of results as to reference limits
- : means not recommended.

Name of test 8.00-11.00 12.00-17.00 18.00-8.00


Hormonal tests + +/- -
Bone exchange (osteoporosis) markers + +/- -
Biochemical tests + +/- +/- (urgent)
Vitamins + +/- -
Immunological profiles, + - -
Interferon status
Cancer-specific markers + + +

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 20


Autoimmune markers + + +
Allergy tests + + +
Complete blood count, coagulology + + +/- (urgent)
Infections + + +
Complete blood count, coagulology + + +/-
Genetic tests + + +
Microelements + + +/-
Hormonal tests
ACTH 08:00 to 08:30 - -
Cortisol 08:00 to 08:30 - -
Parathyroid hormone 09:00 to 10:00 +/- -
Calcitonin + +/- -
Aldosterone + +/- -
Renin + +/- -
Catecholamines + +/- -
Prolactin + +/- -
Thyroid panel + +/- -
Insulin, С-Peptide + Depending on -
the goal
FSH, LH + +/- -
Estradiol, progesterone, + +/- -
testosterone (female) SHBG
17-ОН-progesterone, + +/- -
androstenedione
DEA-S + +/- -
Beta-HCG (pregnancy test) + + +
Testosterone, inhibin (male) + +/- -
PRISCA + + -
Erythropoietin + +/- -
Other hormones + +/- -

Taking infectious tests, it should be noted that any patient may have a negative
result depending on period of infection and state of immune system. But, however, a
negative result does not fully exclude any infection. In case of doubt, it is recommended to
take a repeated test.
Different test methods and different unit measures may be used in different
laboratories. It is recommended to take tests in the same laboratory and at the same time
in order to assess your results correctly and ensure the acceptability of results. Comparison
of such tests will be more correct. (6)

21 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


2. URINE:
Urine collection in container for common analysis
 It is not recommended to eat vegetables and fruits which may change the colour
of urine (beet, carrot, etc.) or take diuretics the day before analysis.
 It is recommended to make hygienic procedures of genitals before urine collection.
It is not recommended for women to make urine analysis during menstruation.
Collect approximately 50 ml of morning urine into container. It is recommended to
pore a small quantity of morning urine into lavatory bowl (the first 1-2 seconds) for
the correct analysis, then, not stopping urination, put container for urine collection
and collect approximately 50 ml of urine.
 Close container tightly immediately after urine collection.
 Container with urine shall be brought to the laboratory from 08:00 to 10:00
(according to the schedule of biomaterial acceptance). If there is no possibility to
bring urine to the laboratory immediately, container with urine shall be kept at a
temperature of +2…+8°C.

Collection of daily urine


 Urine is collected during a day. The first morning portion of urine shall be removed.
All next portions of urine extracted during the day, night and morning portion of the
next day shall be collected in one container which shall be kept in refrigerator
(+4…+8°C) during the entire period of collection (this is a required condition
because the content of analyte is significantly reduced at the room temperature).
 Content of container shall be brought to the laboratory from 08:00 to 10:00
(according to the schedule of biomaterial acceptance) after completion of urine
collection. Height and weight of patient shall be indicated in the referral form.
 Urine sample for deoxypyridinoline determination is taken until 10:00 (the first and
the second portion of morning urine).
 Urine collection for urine culture (with determination of antibiotic sensitivity)
 The required hygienic procedure shall be done for urine collection. Open a lid.
Collect approximately 50 ml of morning urine into container. A small quantity of
urine shall be poured into lavatory bowl (the first 1-2 seconds) for the correct
analysis and, not stopping urination, put container for urine collection and collect
approximately 50 ml of urine.
 Remember that attending physician only can make an optimal program of
laboratory test and evaluate the results of analyses, because only attending
physician has a possibility to observe the condition of a patient and explain the
necessity of any given analyses. (6,7)

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 22


3. STOOL:
 Material (stool) for intestinal dysbacteriosis, stool test, helminth egg and protozoan
test shall be collected before the beginning of treatment with antimicrobial and
chemical-therapeutic drugs. Fresh extracted stool only shall be collected for
analysis.
 Laxative drugs, castor oil and Vaseline oil, rectal suppositories shall be cancelled
3-4 days prior to the analysis. Stool received after clyster and after barium intake
(in case of X-ray examination) shall not be used for analysis.
 Stool shall be collected into a clean, single-use container with screw cap and spoon
in the quantity of no more than 1/3 of container capacity. Material shall be brought
to the laboratory no later than 3 hours after stool collection according to the
schedule of biological material acceptance (from 08:00 to 10:0). Preferably, the
material shall be kept in cold place within the aforesaid period of time (at the
temperature of +2 +8°C. Prevent from freezing).
 Name, initials, date of birth, date and time of material collection shall be marked on
the container and such marking shall be legible. Diagnosis, date of disease
beginning and information on antibiotic intake shall be indicated in the referral form.
Sterility shall be observed upon stool collection. As far as possible, stool for
analysis shall be collected before prescription of antibiotics (if it is not possible,
only in 12 hours after cancellation of antibiotics).
Mandatory conditions to be observed:
 prevent from freezing;
 prevent from long-term storage (more than 3 hours);
 no transport media are suitable;
 container must be tightly closed;
 biomaterial collected the day before shall not be used for the analysis.

4. GASTROPANEL
Preparation for examination procedure
 Examination shall be done in the fasted state (in the morning after 8-12 hours of
night bowel rest).
 It is required to refrain from smoking during 4 hours before examination.
 It is permitted to conduct the examination at the same time with taking usual
patient’s medicines prescribed by doctor, except for medicines which may affect
the secretion of gastric juice:
1. It is recommended to refrain from intake of medicines inhibiting acid
secretion in stomach such as Ranitidine, Famotidine, NIzatidine, Pepcidin,
Zantac, Nizax, Ranimex, Esofex, Losec, Lanzo, Somac, Ranixal, Ranil
(and generic medicines), proton pump inhibitors (Lansoprazole,

23 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


Omeprazole, Pantoprazole, Esomeprazole, Rabeprazole and others) 1
week prior to examination (after consultation with a doctor);
2. It is recommended to refrain from intake of medicines neutralizing
hydrochloric acid of stomach such as antacids (Geviskon, Magnesium
milk, Renni, etc.) and medicines for mucous membrane protection
(Alsukral, Andapsin, Balancid, Prepulsid, Metropam, Librax, etc.) 1 day
prior to examination.
 It is recommended to consult a doctor in advance as to the possibility of temporary
cancellation of corresponding medicines. If it is impossible to cancel medicines,
used medicines shall be indicated in the referral form.
 Stimulation test with application of protein drink shall not be conducted in patients
with allergic reactions to soya, dairy products, eggs and chocolate in the past
medical history, because those substances may be included into protein
stimulators to be ingested by patients during the examination.
 At first, blood for the so called ‘fasting sample’ is taken; then the patient is given
protein drink or a glass of milk or 1 egg for making examination of stimulated
gastrin-17. In 20 minutes after such protein stimulation the blood test is repeated
 Test tubes are marked with patient’s personal data and the date of analysis. In
addition, test tubes shall be compulsory marked with “T” – for fasting (basal)
sample and “C” – for stimulated sample. (6,7)

Laboratory tests are usually carried out on samples such as blood, dried blood spots on a
card, saliva, single urine samples and 24-hour urine collections. The type of sample will
depend on what is being measured, the accuracy required and/or the age of the
patient. Once the sample is taken, the patient does not need to be present for the results
to be produced.
The results of hormone tests when healthy vary in response to natural pressures such as
food, drink, rest, exercise and the menstrual cycle, which can make results in health and
disease overlap. In ‘dynamic tests’ (where two or more samples are taken over a set time
period) doses of hormones, drugs, glucose and natural pressures such as exercise or
restriction of water intake, are used to control the influences on results and make them
more predictable.

Is there anything the patient needs to do to prepare for having tests taken?
The doctor will advise the patient on how to prepare, because it depends on the particular
test. Most preparation is obvious once it is understood that hormones keep the body
working and levels change to meet various demands such as fasting, eating, thirst,
smoking, exercise, posture, time of day, stage of the menstrual cycle and medicines.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 24


What should the patient expect when they visit the hospital for a test?
Bring a fully filled-in request form (the doctor’s responsibility). It is important to make sure
that the patient’s name, date of birth, and date and time of collection are written on the
container(s) if urine or feces has been collected.
Most samples can be taken in the family doctor’s surgery. However, some hormones last
such a short time in the sample that the test must be taken in hospital. Most blood tests in
hospital are taken in a ‘phlebotomy unit’ without having to make an appointment, although
some, such as a glucose tolerance test, may require an appointment.
’Dynamic tests’ are more detailed and usually involve resting in bed while blood samples
are taken over a period of time. An overnight stay is not usually needed and patients should
come with details of their medicines and prepare as instructed, for example, without having
eaten breakfast. (8)
Any queries about the details of individual tests should be discussed with the patient’s
doctor.

Are there any other factors that might affect the outcome of the test?
The blood level of several hormones changes significantly with the time of day. For
example, cortisol and testoteron are highest in the early morning. The response of glands
to hormones given to patients during dynamic tests may also show this diurnal variation;
for example, the response of the adrenal gland to synacthen is higher in the morning.
The day (stage or phase) of the menstrual cycle also has a major impact on hormone
levels. In general, blood samples are best taken in the ‘first half’ of the cycle (the follicular
phase) when normal and abnormal hormone levels are more clearly separated. However,
progesterone may be deliberately measured on day 21 in the middle of the ‘second half’
(luteal phase) to see if ovulation has occurred.
It is human nature to ignore doctors’ advice. Not taking medication as prescribed, or taking
extra the week before the test in an effort to make up for doses missed previously, will give
misleading results and the patient may miss out on a full return to health (8,9).

Factors That May Affect Your Thyroid Test Results


Thyroid blood tests are generally straightforward and accurate, but certain factors can
affect individual results. Persistent fluctuation can occur, and they are a sign that need
medication dose changed. But your test results can also be falsely skewed due to factors
such as the time of day, or temporary conditions, such as illness or pregnancy—meaning
your recorded levels may not reflect a true change in y thyroid condition.
Minor alterations due to factors unrelated thyroid disease can make mild disease less
noticeable or may make thyroid condition seem worse than it actually is. It's a good idea to
be aware of these factors so that you will have the most precise thyroid test results.

25 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


Fasting
Studies have shown that early morning thyroid blood test taken after overnight fasting
translate to higher TSH Level compared to those taken later in the day with no fasting.
This fasting/non-fasting variation can be especially problematic if you have subclinical
hypothyroidism, defined by a mildly elevated TSH and normal free T4. The diagnosis and
monitoring of this condition relies solely on the TSH value since the T4 and T3 levels are
typically normal.
A diagnosis of subclinical hypothyroidism may be missed if you get your blood test when
your TSH value is at its lowest of the day due to a non-fasting afternoon blood draw.

Lifestyle
Other factors, such as stress, sleep deprivation, dieting, and different times of the menstrual
cycle may impact thyroid test result, although the evidence is unclear. The best way to
avoid false fluctuations in lab test results is to have your thyroid levels checked under the
same conditions each time.
If you are taking thyroid hormone replacement, it's probably sensible to schedule TSH
blood draws around the same time of day and in the same manner (fasting/non-fasting) (9).

Medication Use
Certain medications can cause thyroid dysfunction by interfering with the body's thyroid
hormone levels or with their action, potentially altering TSH as the body attempts to
compensate for high or low thyroid hormone activity.

Thyroid Hormone Function


A few examples of medications that alter thyroid hormone function and test results include:
 Lithium
 Amiodarone
 Iodine or kelp supplements
 Immunomodulating drugs like interferon alpha and interleukin-2
 Chemotherapeutic drugs like Lemtrada (alemtuzumab)
 Tyrosine kinase inhibitors, like Nexavar (sorafenib) or Sutent (sunitinib)

Thyroid Hormone Absorption


Certain supplements and medications can also interfere with your digestive system's
absorption of thyroid hormone replacement or antithyroid medications. Medications
like calcium carbonate, iron sulfat, and the proton pump inhibitors Prilosec (omeprazole)
and Prevacid (lansoprazole) may prevent from getting enough of medication into the
system (10).

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 26


Thyroid Hormone Test Results
Other medications can interfere with thyroid laboratory measurements, but not with the
actual functioning of the thyroid.
A few examples of these medications include:
 Certain nonsteroidal anti-inflammatories (NSAIDs)
 Certain anti-convulsants
 Heparin (a blood thinner)
 Lasix (furosemide)
 Glucocorticoids
 Isotretinoin
Lastly, research has found that the supplement biotin (taken in doses of five to 10
milligrams) can interfere with the measurement of thyroid blood tests. Therefore, it's
recommended that people who take biotin stop doing so two days prior to having their
thyroid blood tests (10).

Pregnancy
Due to a number of factors, thyroid hormone levels change during pregnancy. In fact, the
normal reference ranges change throughout pregnancy. The standardized ranges may also
differ based on the lab where you get the blood test.

The American Thyroid Association recommends that a doctor use trimester-specific


reference ranges for TSH and free T4 ranges during pregnancy.
Thyroid Tests for Pregnant Women
References ranges for thyroid blood tests done on non-pregnant individuals are as follows:
 TSH 0.5-4.7 mIU/L
 Free T4 (FT4) 8.0-18 pmol/L
 Free T3 (FT3) 2.30-4.2 pmol/L
In comparison, here are the reference ranges for pregnant women.
First Trimester:
 TSH 0.49-2.33 mIU/L
 FT4 10.30-18.11 pmol/L
 FT3 3.80-5.81 pmol/L
Second Trimester:
 TSH 0.51-3.44 mIU/L
 FT4 10.30-18.15 pmol/L
 FT3 3.69-5.90 pmol/L
Third Trimester:
 TSH 0.58-4.31 mIU/L

27 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


 FT4 10.30-17.89 pmol/L
 FT3 3.67-5.81 pmol/L

Illness
Several illnesses can affect thyroid hormone results temporarily. Diarrhea can interfere with
the medication absorption and may alter the lab results. Sometimes, infections or a bout of
an inflammatory condition such as lupus can also alter the results until the illness resolves.
A serious illness that is of a degree requiring hospitalization in an intensive care unit may
temporarily affect thyroid function and thyroid test results.
This syndrome, called nonthyroidal illness or sick euthyroid syndrome, is characterized
by a low TSH level with a low T4, free T4, and T3 level. Treatment aimed at correcting the
thyroid levels is not recommended, as these alterations in thyroid levels are thought to
actually be protective during critical illness.

A Word from Verywell


In the end, it is important to be consistent about thyroid tests and to try to take them under
similar conditions each time. Keep in mind that if the thyroid blood tests seem "off" for no
good reason, a repeat blood test is a reasonable next step.

Why Your Thyroid Hormone Levels May Be Fluctuating?


Hormone Fluctuations
Taking estrogen in any form, whether as hormone replacement therapy or in birth control
pills, can affect the thyroid test results.
Estrogen increases thyroxine binding globulin, a protein that binds to T3, making it partially
inactive. This results in high TSH, low T3, and falsely increased total T4 levels (11).
Pregnancy
Pregnancy can affect thyroid hormones in many ways, and the changes in these levels are
more extreme already have a thyroid condition prior to becoming pregnant.
 Without pre-pregnancy thyroid disease: In general, T3 and T4 tend to increase
during pregnancy, and TSH decreases. This happens because human chorionic
gonadotropin (HCG), a hormone produced during pregnancy, stimulates the
production of T4 and T3.
 hyperthyroid before pregnancy: In this case, the effect of HCG can increase
your T4 and T3, and decrease your TSH even more than usual during your
pregnancy.
 hypothyroid before pregnancy: The surge in estrogen during early pregnancy
can decrease your T3 and T4 levels and increase your TSH.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 28


Medication Potency Differences
Within the Food and Drug Administration (FDA) guidelines, thyroid hormone replacement
medications can fluctuate in their potency.
The federal guidelines dictate that levothyroxine drugs need to be within 95 percent to 105
percent of stated potency. That means a 100 mcg-dosage pill can be considered potent
even though it delivers anywhere from 95 mcg to 105 mcg of the active ingredient.
While the potency tends to be fairly stable within a particular brand name or generic
manufacturer, they can vary from one manufacturer to another. If you're stabilized, shifting
to another brand or getting refills of generics from different manufacturers can cause some
swings in your levels because of the different potencies of each product.
Depending on the condition, these potency variations can cause mild increases or
decreases in T4, T3, or TSH, as well as corresponding symptoms of hypothyroidism or
hyperthyroidism.
If generic medication, work with your pharmacist to ensure that you always get medication
from the same generic manufacturer or consider switching to a brand name to avoid this
issue.

High and Low TSH Levels: What They Mean


It's important to understand the meaning and possible causes of both high thyroid
stimulating hormone (TSH) and low TSH, whether you have been living withtyroid
deseasefor a long time or are only having the test to screen for a thyroid disorder. A high
TSH level can mean a new diagnosis of hypothyroidism or inadequate thyroid replacement.
A low TSH might mean hyperthyroidism or overtreatment of hypothyroidism. That said,
there are exceptions to these interpretations, as well as what a "normal" level may be for
you (12).

How TSH Levels Change


TSH levels are confusing and not necessarily intuitive. For example, many people question
why high TSH levels can mean the thyroid is underactive and low TSH levels can mean it's
overactive. Understanding exactly how the thyroid gland produces thyroid hormone. When
it functions properly, thyroid is part of a feedback loop with your pituitary gland that involves
several key steps:
1. First, pituitary gland senses the level of thyroid hormone that is released into the
bloodstream.
2. pituitary releases the special messenger hormone TSH, which stimulates the
thyroid to release more thyroid hormone.
3. When thyroid, for whatever reason—illness, stress, surgery, or obstruction, for
example—doesn't or can't produce enough thyroid hormone, your pituitary
detects the reduced levels of thyroid hormone and moves into action by making

29 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


more TSH, which then triggers thyroid to make more thyroid hormone. This is the
pituitary's effort to raise the levels of thyroid hormone and return the system to
normal.
4. If thyroid is overactive and producing too much thyroid hormone—due to disease
or taking replacement over dose drugs—your pituitary senses that there is too
much of the hormone circulating and slows or shuts down TSH production. This
drop in TSH is an attempt to return circulating thyroid
5. hormone levels to normal.

Interpreting TSH Levels


Once understand these thyroid basics, it's easier to understand what a low TSH and a high
TSH reveal about your thyroid's function.
The normal range for TSH is between 0.5 mU/l and 5.0 mU/l.
 A high TSH suggests your thyroid is underactive and not doing its job of producing
enough thyroid hormone.
 A low TSH suggests your thyroid is overactiveand producing excess thyroid
hormone.
As with most medical conditions and tests, however, there are exceptions to this rule. It's
also important to note that normal thyroid levels may be abnormal. For example, a TSH
greater than 3.0 mU/l is abnormal in pregnancy.

Controversy Over Optimal TSH


While most laboratories define a normal TSH as between roughly 0.5 mU/l and 5.0 mU/l,
some experts argue that the upper limit of a normal TSH should be lower (around 2.5
mIU/L) due to the fact that the vast majority of young adults without thyroid disease have a
TSH value between 0.4 and 2.5 mIU/L. In addition, some physicians believe older patients
should have a higher TSH (for example, greater than 4.0 mU/l or 5.0 mU/l) since TSH
normally increases with age.
Some of this controversy can be averted by doctors simply looking at each person as an
individual. For example, a person who still has significant simptom at a TSH of 4.0 mU/l
(especially someone who is young or middle-aged) may do better with a goal TSH of
around 1.0 mU/l. In contrast, someone who has health risks (such as heart disease or
osteoporosis) may benefit from having a goal TSH that is higher (perhaps 5.0 mU/l or 6.0
mU/l).
In pregnancy, TSH should not be allowed to rise above 3.0 mU/l for the health of both the
baby and mother (13).

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 30


Causes of High TSH
A high TSH means different things depending on whether a person has known thyroid
disease or not.
In People Without Thyroid Disease
A high TSH in people who are not undergoing thyroid disease treatment usually indicates
the presence of peripheral hypothyroidism. This is by far the most common hypothyroid
and occurs because the thyroid gland produces an inadequate amount of thyroid
hormones. The pituitary gland will sense these low levels and increase production of TSH.
An elevated TSH may also occur with normal thyroid function due to the presence of
antibodies and more.
With hyperthyroidism, a high TSH usually means that the treatment (whether surgery,
radioactive iodine, or medications) was effective in turning off the overproduction of thyroid
hormone, and that a person has now become hypothyroid.
Causes of Low TSH Results
A low TSH often, but not always, means that a person has an elevated level of thyroid
hormones.

In People Without Known Thyroid Disease


While often associated with hyperthyroidism, a low TSH could also be a sign of central
hypothyroidism.
Hyperthyroidism can be transient and permanent and due to a number of causes
ranging from autoimmune disease, to toxic nodules or goiters, to pregnancy-
related thyroiditis.
 Central hypothyroidism: Less commonly, a lack of TSH produced by the pituitary
gland (due to its dysfunction) can lead to low thyroid levels in the blood. While this
is an exception to the general rule that hypothyroidism is associated with a high
TSH, central hypothyroidism is uncommon and usually associated with a
deficiency of other pituitary hormones (and subsequently, a number of other
symptoms) (14).
In People with Thyroid Disease
In people being treated for hypothyroidism, a low TSH level may mean:
 Overmedication with thyroid hormone replacement
 An optimal dose of medication, but interactions that cause increased absorption or
activity
 Central hypothyroidism
In people being treated for hyperthyroidism, a low TSH level usually means that further
treatment is needed to reduce thyroid hormone levels or that a person must continue to be
monitored to make sure thyroid hormone levels return to normal (such as in cases of
transient thyroiditis related to pregnancy or chemotherapy treatment).
31 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Factors That May Affect Your TSH Results
There are a number of variations and factors that can affect TSH levels. It's important to be
aware of these, as treatment that is dictated solely by lab values (as opposed to also
considering an individual's symptoms) can result in an ineffective plan.
Laboratory Error
If a TSH level is surprising, sometimes simply repeating the test is the best course. Errors
can occur during the blood draw, in transcribing the results, or due to mix-ups in the lab.
Statistically, there is always a risk of lab error, and results should always be interpreted
along with clinical symptoms and findings.
Antibodies
Antibodies are thought to interfere with accurate thyroid testing in roughly 1 percent of
people.:
 Heterophile antibodies: Heterophile antibodies are antibodies that may occur
when a person is exposed to animal-derived pharmaceuticals and antibody
therapies. Their presence is more common in people who have had certain
vaccinations, blood transfusions, or have been exposed to some animals (not
household pets). The estimated incidence of these antibodies varies widely, but
when present, they can interfere with TSH levels. There is no easy way to know if
you have these antibodies, but a discrepancy between TSH levels and free T4 (the
hallmark of heterophile antibodies), or between TSH levels and how you feel,
should raise the question.
 Thyroid antibodies present in some people with or without a thyroid condition,
may also affect TSH levels. Again, a discrepancy between lab values and how you
feel should raise the question of whether or not the test is accurate.
 Other antibodies: Other antibodies important in TSH testing interference include
anti-ruthenium antibodies and anti-streptavidin antibodies.
Other Factors
Some of these include:
 The time of day that the test is done: TSH levels are higher if you're tested after
fasting (for example, in the morning after not having eaten since the night before)
as compared to after eating later in the day.
 Illness
 Pregnancy
 Some medications that are used for heart disease and in cancer treatment
 Foods or supplements rich in/derived from iodine or kelp
 Biotin supplements
 Non-steroidal anti-inflammatory medications such as Advil (ibuprofen)
 Changes in sleep habits

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 32


In order to get the most accurate results, it's important to be consistent. For example,
always having the test done at the same time of day (15).

References
1. Supit EJ, Peiris AN. Interpretation of Laboratory Thyroid Function Tests: Selection
and Interpretation. Southern, Medical Journal. 2002; 95:481-85
2 . W e r n e r S C , I n g b a r S H . W e r n e r & I n g b a r ’ s T h e T h yr o i d : a fundamental
and clinical text, 9th edition. LippincoWilliams & Wilkins
3. Demers LM, Spencer CA. Laboratory medicine practice guidelines: Laboratory
support for the diagnosis and monitoring of thyroid disease. Clin Endocrinol (Oxf)
2003;58: 138-40.
4. Dayan CM. Interpretation of thyroid function tests. Lancet 2001; 357:619-24.
5. Plebani M. Errors in clinical laboratories or errors in laboratory medicine? Clin Chem
Lab Med 2006; 44:750-9.
6. Kahn CR, Saltiel AR. The molecular mechanism of insulin action and the regulation
og glukose and lipid metabolim. In: Khan CR, King GL, Moses AC, Weir GC, Smith
RJ, Jacobson AM, editor. Joslin Diabetes Mellitus.14th Edition ed: Lippincoot Eilliams
and Wilkins; 2000.P 146-68
7. Suryaatmaja M. Ketidaksesuaian hasil laboratorium pada diagnosis dan pemantauan
diabetes mellitus, In: Suryaatmaja M, editor. Pendidikan berkesinambungan patologi
klinik 2003. Jakarta; Bagian Patologi Klinik FKUI; 2003. P 1-17
8. Scaks DB, Brund DE, Goldstein DE, Maclaren NK, McDonald JM, Parrott M.
Guidelines and recommendations for laboratory analysis in the diagnosis and
management of diabetes mellitus. Clin Chem 2013;48 (3);436-72
9. Quon. Limitation of the fasting glucose to insulin ratio as an index of insulin sensitivity.
J Clin Endocrinol Metab, 2012;86:4615-7
10. Sacks D. Carbohydrates. In: Burtis CA, Ashwood ER, Bruns DE, editors Tietz texbook
of clinical chemistry and molecular diagnostics. Misauri Eisevier Saunders;
2008.p.837-903
11. Narayanan S. Interpretation of Laboratory data: Problem solving using case histories.
Asian-Pacific Congress of Clinical Biochemistry 2013;85-90
12. Knudson PE, Weinstock RS. Henry JB. Carbohydrate. In henry JB (Ed) Clinical
Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 20th ed, phiadhelphia; WB
Saunders 2012, pp 211-18
13. Guder WG, Narayanan S, Wisser H, Zawta B, Samples: From the Patien to the
Laboratory. Ed 1. Darmstadt: GIT VERLAG GMBH 2009, PP 2-20
14. Young ds, bermes EW, Specimen Collection and Prosessing; sources of biological
variation. In Burtin CA, Ashwood ER, (Eds) Tietz Texbook of Clinical Chemistry, 2011;
961-64
15. Demers LM and Spencer CA, Thyroid autoantibodies: TPOAb, TgAb and TRAb,
NACB; laboratory support for diagnosis and monitoring of thyroid disease 43-54

33 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


HOW TO USE YOUR PATIENT LABORATORIES WITH
METABOLIC DISORDERS
dr. Krishna W. Sucipto, Sp.PD-KEMD
Divisi Endokrinologi, Metabolik dan Diabetes, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh

Introduction
The management of endocrine disorders requires a broad understanding of
intermediary metabolism, reproductive physiology, bone metabolism, and growth.
Accordingly, the practice of endocrinology is intimately linked to a conceptual framework
for understanding hormone secretion, hormone action, and principles of feedback control.
The endocrine system is evaluated primarily by measuring hormone concentrations,
thereby arming the clinician with valuable diagnostic information. Endocrine system
disorders are amenable to effective treatment, once the correct diagnosis is determined.
Endocrine deficiency disorders are treated with physiologic hormone replacement;
hormone excess conditions, usually due to benign glandular adenomas, are managed by
removing tumors surgically or by reducing hormone levels medically.(1)

The Endocrine System


Hormones can be divided into five major classes: (1) amino acid derivatives such
as dopamine, catecholamine, and thyroid hormone (TH); (2) small neuropeptides such as
gonadotropin-releasing hormone (GnRH), thyrotropinreleasing hormone (TRH),
somatostatin, and vasopressin; (3) large proteins such as insulin, luteinizing hormone (LH),
and PTH produced by classic endocrine glands; (4) steroid hormones such as cortisol and
estrogen that are synthesized from cholesterolbased precursors; and (5) vitamin
derivatives such as retinoids (vitamin A) and vitamin D. A variety of peptide growth factors,
most of which act locally, share actions with hormones. As a rule, amino acid derivatives
and peptide hormones interact with cell-surface membrane receptors. Steroids, thyroid
hormones, vitamin D, and retinoids are lipid-soluble and interact with intracellular nuclear
receptors.(1)
The synthesis of peptide hormones and their receptors occurs through a classic
pathway of gene expression: transcription  mRNA  protein  posttranslational protein
processing  intracellular sorting, membrane integration, or secretion. The circulating level
of a hormone is determined by its rate of secretion and its circulating half-life. After protein
processing, peptide hormones (GnRH, insulin, GH) are stored in secretory granules.
Steroid hormones, in contrast, diffuse into the circulation as they are synthesized. Hormone
transport and degradation dictate the rapidity with which a hormonal signal decays. An
understanding of circulating hormone half-life is important for achieving physiologic

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 34


hormone replacement, as the frequency of dosing and the time required to reach steady
state are intimately linked to rates of hormone decay. The functions of individual hormones
are described in detail in subsequent chapters. Nevertheless, it is useful to illustrate how
most biologic responses require integration of several different hormone pathways. The
physiologic functions of hormones can be divided into three general areas: (1) growth and
differentiation, (2) maintenance of homeostasis, and (3) reproduction.(1)
Feedback control, both negative and positive, is a fundamental feature of
endocrine systems. Each of the major hypothalamic-pituitary-hormone axes is governed
by negative feedback, a process that maintains hormone levels within a relatively narrow
range. Examples of hypothalamic-pituitary negative feedback include (1) thyroid hormones
on the TRH-TSH axis, (2) cortisol on the CRH-ACTH axis, (3) gonadal steroids on the
GnRH-LH/FSH axis, and (4) IGF-I on the growth hormone–releasing hormone (GHRH)-GH
axis. These regulatory loops include both positive (e.g., TRH, TSH) and negative
components (e.g., T4,T3), allowing for exquisite control of hormone levels.(1)

Figure 1. Feedback regulation of endocrine axes. CNS, central nervous system.(1)


Endocrine diseases can be divided into three major types of conditions: (1)
hormone excess, (2) hormone deficiency, and (3) hormone resistance.(1)

Enzymes
After food is eaten, molecules in the digestive system called enzymes break
proteins down into amino acids, fats into fatty acids, and carbohydrates into simple sugars
(for example, glucose). In addition to sugar, both amino acids and fatty acids can be used
as energy sources by the body when needed. These compounds are absorbed into the
blood, which transports them to the cells. After they enter the cells, other enzymes act to
speed up or regulate the chemical reactions involved with "metabolizing" these
35 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
compounds. During these processes, the energy from these compounds can be released
for use by the body or stored in body tissues, especially the liver, muscles, and body fat.(2)

Metabolism
Metabolism comprises all of the chemical reactions that take place in a living
system, be it a cell, a tissue, an organ, or an organism. Metabolic reactions are almost
all enzyme-catalyzed and include transformations of energy and nutrients, syntheses and
degradations, and excretions of waste products. Chemical changes concerned with the
production, storage, and utilization of metabolic energy for biosynthesis are known
as intermediary metabolism.(3)
Control of cell metabolism begins by the cell regulating its uptake nutrients. Most
nutrients, apart from oxygen and a very few carbon compounds, are taken up by specific
transport mechanisms so that they may be concentrated within the cell from dilute
solutions outside. Such ‘active’ transport systems require an input of energy. The
processes are controllable so that once the amount of nutrient taken into the cell has
reached a given concentration, further unnecessary (or even detrimental) uptake can be
stopped.(4)
The process of metabolism is really a balancing act involving two kinds of activities
that go on at the same time — the building up of body tissues and energy stores and
the breaking down of body tissues and energy stores to generate more fuel for body
functions:(2)
 Anabolism or constructive metabolism, is all about building and storing. It supports the
growth of new cells, the maintenance of body tissues, and the storage of energy for
use in the future. During anabolism, small molecules are changed into larger, more
complex molecules of carbohydrates, protein, and fat.
 Catabolism or destructive metabolism, is the process that produces the energy
required for all activity in the cells. In this process, cells break down large molecules
(mostly carbohydrates and fats) to release energy. This energy release provides fuel
for anabolism, heats the body, and enables the muscles to contract and the body to
move. As complex chemical units are broken down into more simple substances, the
waste products released in the process of catabolism are removed from the body
through the skin, kidneys, lungs, and intestines.
Carbohydrates have the general formula Cn(H2O)n. Monosaccharides have
between three and six carbon atoms and exist as chains or ring structures. As rings, they
link with other monosaccharide rings. The major carbohydrate in humans is glucose, which
is stored as glycogen: branching chains of glucose molecules. Fat (triglyceride), which
makes up adipose tissue, consists of three fatty acids bonded to glycerol, but other lipids
include phospholipids and steroids. Proteins are composed of chains of amino acids linked
by amide bonds folded on each other to form protein structures. Vitamins and minerals are

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 36


obtained from the diet and are required in varying quantities for a variety of metabolic
processes. Energy is derived from the oxidation of carbohydrate, fat and protein.(5)
Carbohydrate and fat form the immediate and long-term energy stores of the body. Protein
constitutes the active (functional) cell mass and is also an energy source but, normally, a
relatively minor one. All three macronutrients are interrelated. Proteins are synthesized
from amino acids derived from ingested protein. Glucose and fat provide energy
via adenosine triphosphate. The brain and red blood cells can only obtain their energy from
glucose. Glucose is oxidized via the glycolytic and the tricarboxylic acid(Krebs) cycle
pathways. Fatty acids are metabolized by the process of β-oxidation, whereby two carbon
fragments are cleaved from the fatty acid chain and enter the Krebs cycle. Amino acids are
deaminated to keto acids and the nitrogen moiety excreted in the urine mostly as urea. The
keto acids enter the metabolic pathways at various points, mostly in the Krebs cycle.
Glucose can be synthesized from lactate, glycerol and amino acids (gluconeogenesis), but
not from fatty acids.(6)

Metabolic Disorder
A metabolic disorder occurs when abnormal chemical reactions in your body
disrupt this process. When this happens, you might have too much of some substances or
too little of other ones that you need to stay healthy. There are different groups of disorders.
Some affect the breakdown of amino acids, carbohydrates, or lipids. Another
group, mitochondrial diseases, affects the parts of the cells that produce the energy. You
can develop a metabolic disorder when some organs, such as your liver or pancreas,
become diseased or do not function normally.(7)
Several of the hormones of the endocrine system are involved in controlling the
rate and direction of metabolism. Thyroxine, a hormone produced and released by the
thyroid gland, plays a key role in determining how fast or slow the chemical reactions of
metabolism proceed in a person's body. Another gland, the pancreas secretes hormones
that help determine whether the body's main metabolic activity at a particular time will be
anabolic or catabolic. For example, after eating a meal, usually more anabolic activity
happens because eating increases the level of glucose — the body's most important fuel
— in the blood. The pancreas senses this increased level of glucose and releases the
hormone insulin, which signals cells to increase their anabolic activities.(2)

Hormone Measurements and Endocrine Testing


Radioimmunoassays are the most important diagnostic tool in endocrinology, as
they allow sensitive, specific, and quantitative determination of steady-state and dynamic
changes in hormone concentrations. Radioimmunoassays use antibodies to detect specific
hormones. These assays are sensitive enough to detect plasma hormone concentrations
in the picomolar to nanomolar range, and they can readily distinguish structurally related

37 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


proteins, such as PTH from PTHrP. A variety of other techniques are used to measure
specific hormones, including mass spectroscopy, various forms of chromatography, and
enzymatic methods; bioassays are now rarely used.(1)
Most hormone measurements are based on plasma or serum samples. However,
urinary hormone determinations remain useful for the evaluation of some conditions.
Urinary collections over 24 h provide an integrated assessment of the production of a
hormone or metabolite, many of which vary during the day. The value of quantitative
hormone measurements lies in their correct interpretation in a clinical context. The normal
range for most hormones is relatively broad, often varying by a factor of two- to tenfold.The
normal ranges for many hormones are gender- and age-specific. Thus, using the correct
normative database is an essential part of interpreting hormone tests. The pulsatile nature
of hormones and factors that can affect their secretion, such as sleep, meals, and
medications, must also be considered. Cortisol values increase fivefold between midnight
and dawn; reproductive hormone levels vary dramatically during the female menstrual
cycle. For many endocrine systems, much information can be gained from basal hormone
testing, particularly when different components of an endocrine axis are assessed
simultaneously.(1)
For example, low testosterone and elevated LH levels suggest a primary gonadal
problem, whereas a hypothalamic-pituitary disorder is likely if both LH and testosterone are
low. Because TSH is a sensitive indicator of thyroid function, it is generally recommended
as a first-line test for thyroid disorders. An elevated TSH level is almost always the result
of primary hypothyroidism, whereas a low TSH is most often caused by
thyrotoxicosis.These predictions can be confirmed by determining the free thyroxine level.
Elevated calcium and PTH levels suggest hyperparathyroidism, whereas PTH is
suppressed in hypercalcemia caused by malignancy or granulomatous diseases. A
suppressed ACTH in the setting of hypercortisolemia, or increased urine free cortisol, is
seen with hyperfunctioning adrenal adenomas. It is not uncommon, however, for baseline
hormone levels associated with pathologic endocrine conditions to overlap with the normal
range. In this circumstance, dynamic testing is useful to further separate the two
groups.There are a multitude of dynamic endocrine tests, but all are based on principles of
feedback regulation, and most responses can be remembered based on the pathways that
govern endocrine axes.(1)
Suppression tests are used in the setting of suspected endocrine hyperfunction.
An example is the dexamethasone suppression test used to evaluate Cushing’s syndrome.
Stimulation tests are generally used to assess endocrine hypofunction. The ACTH
stimulation test, for example, is used to assess the adrenal gland response in patients with
suspected adrenal insufficiency. Other stimulation tests use hypothalamic-releasing factors
such as TRH, GnRH, CRH,and GHRH to evaluate pituitary hormone reserve.(1)

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 38


Many endocrine disorders are prevalent in the adult population and can be
diagnosed and managed by general internists, family practitioners, or other primary health
care providers. The high prevalence and clinical impact of certain endocrine diseases justify
vigilance for features of these disorders during routine physical examinations; laboratory
screening is indicated in selected high-risk populations.(1)

Table 1. Example of prevalent endocrine and metabolic disorders in the adult.(1)

39 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


References
1. Jameson JL. Principles of Endocrinology. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DS,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al., editors. Harrison's Endocrinology 2nd
Ed. New York: McGraw Hill; 2010. p. 1 - 14.
2. Dowshen S. Metabolism: KidsHealth; 2015 [updated June 2015; cited 2019 Jan 31].
Available from: https://kidshealth.org/en/parents/metabolism.html.
3. Stenesh J. Introduction to Metabolism. Biochemistry: Springer; 1998. p. 203-19.
4. Ratledge C. Biochemistry and physiology of growth and metabolism. Basic
Biotechnology, C Ratledge, B Kristiansen, Editors. 2001.
5. Campbell I. Macronutrients, minerals, vitamins and energy. Anaesthesia & Intensive
Care Medicine. 2017;18(3):141-6.
6. Campbell I. Intermediary metabolism. Anaesthesia & Intensive Care Medicine.
2014;15(7):350-2.
7. MedlinePlus. Metabolic Disorders [updated 23 October 2018; cited 2019 Jan 31].
Available from: https://medlineplus.gov/metabolicdisorders.html.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 40


GENOMIC PARAMETER IN LABORATORY:
FOCUS ON ENDOCRINE AND METABOLIC DISORDERS
Intan Wibawanti Masfufa, M. Sc, Apt

Diabetes has been one of greatest burden in the world. According to IDF, 422
millions aduls have diabetes. The prevalence is also rising in Indonesia where 80% of
patients with diabetes are unconscious of having diabetes. Diabetes mellitus is a complex
disease caused by variants that are frequently observed in the population. A study called
Genome Wide Association Studies (GWAS) identified common variants and correlations
with certain phenotypes. The study reclassified an individual risk in various levels, high,
moderate, and low risk to develop a certain heritable phenotype. The genotype of multiple
variants in certain locus is combined using bioinformatics analysis to calculate overall risk
score to predict complex diseases. It is called Polygenic Risk Score.

Diabetes has wide range of heterogeneous metabolic disorders characterized by


inability to maintain glucose homeostasis, for example Type 1, Type 2, Maturity Onset of
Diabetes Young (MODY), secondary diabetes, and Latent Autoimune Diabetes in Adults
(LADA). 50% of risk for type 1 diabetes (T1D) is inherited. T1D is the result of combination
between genetic, epigenetic and environmental factors. From GWAS information, 50 loci
contribute to the development of T1D. LADA is a monogenic form where genetic features
such as TCF7L2, HLA, or PTPN22 genes can be a specific trigger to insulin deficiency.
Type 2 Diabetes Mellitus has the highest prevalence among 80-90% of patients. Genetic
predisposition in an individual will develop beta c ell dysfunction which cause impaired
insulin secretion. Environment factor also contributes to insulin resistance. These factors
affect the utilization of glucose leading to hyperglycemia and causing beta-cell exhaustion.
DM Type 2 is related with many genes that regulate glucose metabolism, for example risk
alleles at SLC30A8, TCF7L2, KCNQ1, CDKAL1, IGF2BP2, and CENTD2 genes were
associated with the decreased of beta-cell function. The mutation in PPARG gene is also
leading to the increase diabetes risk. TCF7L2 gene is one of the most important gene in
T2DM. TCF7L2 overexpression triggered T2DM by affecting the gene expression in beta
pancreas. Personal genomic testing called DIArisk has a wide range scope of analysis,
from Type 1 DM, Type 2 DM, gestational diabetes mellitus, and its complications (chronic
kidney disease, diabetic neuropathy and nephropathy). Variants related with obesity and
lipid metabolism disorders also include in this panel because these conditions strongly
associated with diabetes. DIArisk uses microarray technology to analyze many variants
which frequently observed in Asian population. Personal genomic testing results combined
with physician’s consultation are expected to improve prevention behavior in persons.

Keywords: diabetes mellitus, personal genomic testing, GWAS, polygenic risk score,
DIArisk

41 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


DIAGNOSTIC AND MANAGEMENT OF DIABETIC FOOT
dr. Krishna W. Sucipto, Sp.PD-KEMD
Divisi Endokrinologi, Metabolik dan Diabetes, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh

Pendahuluan
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindrom klinis kelainan metabolik, ditandai oleh
adanya peningkatan kadar gula darah yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek
kerja insulin atau keduanya.1,2 Insulin adalah hormon penting yang diproduksi di pankreas
dan mengangkut glukosa dari aliran darah ke sel-sel tubuh tempat glukosa diubah menjadi
energi.3
Diabetes melitus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting yang
termasuk satu dari empat prioritas penyakit tidak menular atau Noncommunicable
Diseases (NCDs) sehingga menjadi target aksi dari para pemimpin di seluruh dunia dimana
baik jumlah kasus dan prevalensi diabetes telah terus meningkat selama beberapa dekade
terakhir.4,5 Menurut International Diabetes Federation (IDF) tahun 2017, sekitar 425 juta
orang menderita diabetes melitus,123 juta orang diantaranya di atas usia 65 tahun dan 327
juta orang berusia diantara 20-64 tahun. Jumlah ini meningkat dari tahun 2015 yang sbesar
415 juta jiwa dan diperkirakan akan terus meningkat sebesar 48% yakni 629 juta jiwa di
tahun 2045.3 Indonesia menduduki peringkat ke-6 di dunia dengan prevalensi sebanyak
10 juta jiwa setelah China, India, Amerika Serikat, Brazil, dan Mexico.3
Penatalaksanaan yang tidak adekuat dan kurangnya pengetahuan penderita
terhadap diabetes mellitus dapat menyebabkan berbagai komplikasi dapat berupa
komplikasi jangka pendek dan komplikasi jangka panjang. Defek vaskular yang
disebabkan oleh diabetes melitus membuat ketidakseimbangan sirkulasi dalam darah, hal
ini akan meningkatkan kejadian kaki diabetes.2,5
Kaki diabetik dapat didefinisikan sebagai infeksi, ulcerasi dan atau penghancuran
jaringan dalam berhubungan dengan kelainan neurologis dan berbagai penyakit pembuluh
darah perifer di tungkai bawah. Neuropati diabetes adalah gangguan aktivitas saraf di
seluruh tubuh dan dapat mengubah fungsi otonom, motorik dan sensorik. Neuropati perifer
adalah bentuk paling umum dari neuropati diabetes yang mempengaruhi distal saraf
tungkai, terutama kaki. Ini terutama mengubah fungsi sensorik secara simetris
menyebabkan perasaan tidak normal dan mati rasa progresif yang menyebabkan
pengembangan borok (kaki diabetik) karena trauma eksternal dan atau distribusi tekanan
pada telapak kaki yang tidak normal.1,3
Internasional Diabetic Federation (IDF) juga menyebutkan 9,1-26,1 juta jiwa yang
menderita diabetes di dunia mengalami komplikasi berupa kaki diabetes. Di Amerika
Serikat angka kejadian kaki diabetes terus meningkat mencapai 3,5 juta jiwa per tahun dan

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 42


sekitar 176 miliar dolar biaya dihabiskan untuk perawatan kaki diabetes. Lebih dari
setengah penderita kaki diabetik mengalami infeksi sekunder, 20% dari infeksi sedang
hingga berat berakhir dengan amputasi.2,3,6

Gambar 1: a. Ganggren dan ulkus pada kaki dengan resiko tinggi amputasi
b. Deformitas Hammer toe dengan callus dan ukus

Diagnosis Kaki Diabetes


Kaki diabetes sering berakhir dengan kecacatan bahkan kematian. Diabetes yang
tidak terkontrol berkontribusi terhadap terjadinya neuropati dan penyakit arteri perifer
melalui jalur metabolik yang kompleks. Hilangnya sensasi di kaki karena neuropatiperifer
atau iskemia karena penyakit arteri perifer maupun kombinasi dari keduanya dapat
menyebabkan terjadinya ulkus di kaki. Pemeriksaan kaki menyeluruh sangat penting untuk
mendeteksi kelainan ini sejak dini.2

Neuropati perifer
Neuropati perifer bermanifestasi sebagai ketidakmampuan untuk mendeteksi
perubahan suhu, getaran, propriosepsi, tekanan dan nyeri. Sekitar 50% pasien dapat
mengalami gejala berupa nyeri seperti terbakar, rasa ditusuk atau seperti terkena kejut
listrik, paresthesia, hyperesthesia dan nyeri yang dalam. Perjalanan neuropati yang
progresif dapat mengakibatkan kaki kehilangan proteksi karena sensorik yang hilang
sehingga kaki menjadi rentan terhadap cedera dan luka (ulkus).2
Inspeksi kaki dapat memberikan petunjuk berharga tentang keberadaan dan tingkat
keparahan neuropati sensoris. Atrofi otot-otot intrinsik tangan dan kaki seringkali
merupakan kondisi stadium akhir yang sangat sering dikaitkan dengan polineuropati.
Pemeriksaan yang biasa dilakukan untuk mendeteksi polineuropati adalah dengan
mengidentifikasi sensorik. Penilaian dari deteksi polineuropati dapat menghasilkan hasil
yang hampir normal meskipun sensitivitas pasien berkurang terhadap nyeri dan benar-
benar menunjukkan loss of protection sensation (LOPS).7,8

Tuning Fork (Garpu Tala 128 Hz)


Garpu tala 128 Hz konvensional adalah alat yang mudah dan murah untuk menilai
sensasi getaran. Tes ini dianggap positif ketika pasien kehilangan sensasi getaran

43 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


sementara pemeriksa masih merasakannya.6 Jika mereka tidak dapat merasakan getaran
pada ujung ibu jari kaki maka letakkan garpu tala pada ujung-ujung tulang kearah proksimal
sampai pasien merasakan getarannya.2

Gambar 2: Pemeriksaan garputala 128 Hz2


Semmes Weinstein Monofilament
Semmes-Weinstein-Monofilament menciptakan tekanan 10 g ketika ditekan pada
permukaan kontak sampai filamen tertekuk. Ini bisa dirasakan oleh orang sehat dengan
pembentukan kalus minimal di setiap bagian kulit. Pembentukan kalus mayor dapat
mengurangi sensitivitas untuk monofilamen tanpa adanya gangguan saraf.7,8
Dengan menggunakan monofilament 10 g, periksalah seluruh permukaan telapak
kaki. Jika terdapat ulkus, kalus atau jaringan parut pada permukaan kaki maka
pemeriksaan dilakukan di sekitar lesi (hindari paparan langsung dengan lesi). Daerah
permukaan kaki yang di periksa adalah pada metatarsal head I, III dan V, serta pada
permukaan ibu jari kaki. Diagnosa dari neuropati ditegakkan apabila pasien tidak bisa
merasakan 1 dari 4 area yang diperiksa. Lihat gambar 3.2,9

Gambar 3: penggunaan monofilamen 10 g dan letak pemeriksaan.2

Pemeriksaan Ambang Batas Persepsi Getaran (Vibration perception threshold)


Mengukur VPT dengan menggunakan alat elektromekanik seperti Biothesiometer
atau vibrameter. Nilai VPT > 25 V pada setidaknya satu kaki berhubungan dengan resiko
kumulatif yang lebih tinggi terhadap terjadinya ulkus neuropatik. Nilai 16 – 24 V
mengindikasikan resiko sedang dan nilai < 15 normal dan resiko rendah.2

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 44


Pemeriksaan Sensasi Terhadap Suhu
Metode yang digunakan untuk menilai sensasi terhadap suhu adalah dengan
menggunakan Tip Therm ataupun tabung reaksi. Tabung reaksi atau pun tip therm tersebut
satu diisi dengan air hangat (35–400 C) dan satu tabung lagi dengan air dingin (5-100C),
kemudian letakkan langsung pada kulit di daerah dorsum pedis dan tanyakan pada pasien
apa yang mereka rasakan. Jika pasien telah kehilangan sensasi terhadap suhu maka
biasanya sensasi terhadap nyeri juga telah hilang.2

Sensasi Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang sering terjadi pada penderita DM dengan
neuropati perifer. Pasien dapat datang dengan berbagai keluhan seperti rasa tersengat
listrik, rasa panas, rasa tertusuk atau tercubit pada ekstremitas bawah.2 Metode sederhana
yang dapat digunakan untuk menilai rasa nyeri adalah dengan menggunakan ID pain scale
yang terdapat pada tabel di bawah ini:9

Tabel 1: Penilaian rasa nyeri dengan menggunakan ID pain scale9


Hal Yang ditanyakan Iya Tidak

1. Apakah rasa nyeri seperti dicubit dan ditusuk? +1 0

2. Apakah rasa nyeri seperti panas/terbakar? +1 0

3. Apakah rasa nyeri seperti kebas? +1 0

4. Apakah rasa nyeri seperti kejut listrik? +1 0


5. Apakah rasa nyeri semakin bertambah jika bersentuhan +1 0
dengan pakaian atau seprai?
6. Apakah nyeri terbatas pada sendi? +1 0
Skor total

Tabel 2 Evaluasi hasil9


Skor -1 0 1 2 3 4 5
Total

Penilaian Bukan Tidak Semua Dipertimbangkan Sangat


Neuralgia Bukan Neuralgia dipertimbangkan
Neuralgia neuralgia

Pemeriksaan Refleks Pergelangan Kaki


Lakukan pemeriksaan refleks pergelangan kaki dan refleks patella pada tendon
achilles atau ligamentum patella dengan palu reflex. Pemeriksaan ini tidak spesifik pada
orang tua, karena hasilnya bisa lemah. Pemeriksaan motor neuropati dengan melakukan
test peregangan jari-jari kaki serta gerakan fleksi dan ekstensi dari jempol dan pergelangan
kaki. Seiring dengan bertambahnya kelemahan hingga ke tungkai kaki, dari muskulus

45 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


intrinsik ke muskulus ekstrinsik, minta pasien untuk berjalan dengan ujung jari-jari kaki dan
tumit sebagai tumpuan untuk memeriksa kekuatan otot-otot extrinsik. 2

PAD (Peripheral Arterial Disease)


Penderita diabetes yang mengeluhkan kelemahan pada kaki, nyeri pada otot paha
atau betis saat berjalan atau claudicatio intermitten, harus dipertimbangkan sudah
mengalami PAD sampai terbukti bukan. Iskemia ringan sampai sedang memiliki gejala
kelainan pada ekstremitas bagian bawah, berkurangnya bulu-bulu kaki mulai dari bawah
lutut, atrofi otot-otot sub-kutan, penebalan kuku, kemerahan pada kulit dan melemahnya
pulsasi nadi. Pasien yang mengalami iskemia ekstremitas bawah yang berat gejalanya
dapat berupa ulkus di kaki, nyeri yang hebat, petekie atau ekimosis dan edema orthostatik.2
Pasien dengan risiko PAD juga harus melalui pemeriksaan vaskular, termasuk
palpasi denyut pada ekstremitas bawah (seperti femoral, popliteal, dorsalis, pedis, dan
tibialis posterior), auskultasi bruit pada femoral, dan inspeksi terhadap tungkai dan kaki.10,11

Palpasi Nadi
Palpasi nadi dilakukan pada arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior. Jika
pada palpasi didapatkan nadi teraba kuat angkat maka penilaiannya adalah 0 atau non
iskemik. Jika pada palpasi teraba tetapi sedikit berkurang kekuatannya maka penilaiannya
adalah 1 atau ringan. Jika pada palpasi denyut nadi teraba lemah maka penilaiannya
adalah 2 atau sedang. Jika pada palpasi, pembuluh darah sama sekali tidak teraba maka
penilaiannya adalah 3 atau berat.2,8

Ankle Brachial Index (ABI)


Pemeriksaan ABI memiliki sensitifitas 95% dan spesifisitasnya 99%. Walaupun
pemeriksaan ABI adalah tekhnik yang lebih baik untuk diagnostik dan evaluasi PAD,
namun penelitian menunjukkan bahwa ABI tidak cukup sensitif untuk mendeteksi ABI pada
stadium awal. Oleh karena itu interpretasi hasil ABI harus juga melihat pada hasil
pemeriksaan fisik yang lain.2,12
Ankle brachial index adalah penilaian perfusi pada ekstremitas bawah, yang
membandingkan tekanan darah sistolik di daerah pergelangan kaki dibagi dengan tekanan
darah sistolik pada lengan.2,10

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 46


Gambar 4: Interpretasi Hasil ABI11
Tabel 3: Penilaian ABI2,9
ABI Interpretasi Klinis

>1,4 Tidak konklusif karena pembuluh darah yang tidak terkompresi

Normal; penyakit arteri perifer dapat disingkirkan pada sebagian besar


1,0 – 1,4
pasien

0,9 Borderline

< 0,9 Abnormal and diagnostik untuk penyakit arteri perifer

< 0,4 Critical limb ischaemia

Pemeriksaan Ultrasonografi Dopler


Ultrasonografi dopler arteri bertujuan untuk menilai bentuk anatomis dari sistem
arteri dengan menggunakan kombinasi dari B-mode ultrasound imaging dan doppler
frequency spectral analysis. Menggunakan konsep bahwa kecepatan aliran darah akan
meningkat saat melewati lesi stenosis, kecepatan puncak sistolik dan akhir diastolik diukur
dan digunakan untuk memperkirakan tingkat keparahan dari stenosis.2,13

Pulse-volume Recordings (PVRs)


Pulse Volume Recordings, mendeteksi perubahan volume aliran arteri pada
ekstremitas bawah selama cardiac cycle. Manset tekanan darah diletakkan pada paha,
betis, pergelangan kaki, pertengahan kaki dan jari kaki. Perubahan volume yang dinilai
pada manset tersebut selama siklus jantung mengidentifikasi adanya stenosis arteri karena
adanya perubahan kontur dan amplitudo dari manset. Kelebihan PVRs dibandingkan ABI
adalah bahwa PVRs secara kualitatif mengidentifikasi level dari stenosis.2

47 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


Magnetic resonance angiography (MRA)
Sinyal MRA adalah refleksi dari kecepatan dan pola aliran proton di dalam arteri.
Kelebihannya adalah dapat merekonstruksi gambaran 3 dimensi pembuluh darah,
kelemahannya adalah adanya kecenderungan untuk overestimasi tingkat keparahan lesi
jika terjadi turbulensi, adanya artefak dan nefrogenic systemic fibrosis. Walaupun
demikian, MRA masih menempati indikasi kelas I untuk mendiagnosa lokasi anatomis dan
keparahan stenosis pasien dengan PAP.2,13

Computed tomographic angiography (CTA)


Computed tomographic angiography memiliki kelebihan dalam visualisasi pembuluh
darah kolateral di distal, identifikasi adanya aneurisma dan kista adventitia yang mungkin
tidak didapatkan pada pemeriksaan angiography. Saat ini guidelines dari American College
of Cardiology/American Heart Association (ACA/AHA) untuk PAP menempatkan indikasi
untuk CTA pada kelas IIb untuk diagnosis dari lokasi anatomis dan keparahan stenosis.2,13

Angiografi
Merupakan baku emas untuk diagnosis PAP. Pemeriksaan ini direkomendasikan
untuk evaluasi pasien yang akan menjalani prosedur revaskularisasi atau jika prosedur
noninvasif tidak mendapatkan hasil yang diharapkan. Indikasi angiography adalah kelas I
untuk pasien PAP jika ada pertimbangan untuk dilakukan tindakan revaskularisasi.2,13

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 48


Gambar 5: Algoritma untuk diagnosis penyakit Arteri Perifer (PAD)14

Manifestasi pada kulit


Dalam kasus gangguan peredaran darah yang persisten, relevan, kulit menjadi tipis
dan dermal menempel. Kuku tumbuh perlahan dan menjadi bergelombang. Rambut di jari
kaki rontok dan gagal tumbuh kembali. Kulit menjadi dingin dan dalam kasus klasik
berubah menjadi merah-biru (pucat). Penilaian Capillary refill time (CRT) juga dapat
dilakukan untuk penilainan status perfusi jaringan perifer. Kulit menjadi pucat setelah
dilakukan penekanan beberapa detik. Warna sebelumnya akan kembali setelah 3-4 detik.8

Management of Diabetic foot


Upaya penanganan kaki diabetes yang utama adalah kontrol gula darah yang baik.
Ini menjadi hal yang mutlak terpenuhi sebelum melakukan terapi pada kaki diabetes.
Modalitas terapi diabetes melitus harus dijalani dengan sempurna yang terdiri dari diet
yang teratur, aktivitas fisik, olah raga, pengobatan yang teratur dan monitoring gula darah
yang teratur.2
Ada 3 prinsip penting dalam manajemen kaki diabetik yaitu sharp debridement, off-
loading dan edukasi tentang kaki diabetik. Untuk mewujudkannya maka ada standar
perawatan kaki diabetik, antara lain perawatan luka lokal dengan debridemen bedah,
penutupan luka dalam keadaan lembab, pengurangan tekanan pada luka, penilaian
vaskular, pengobatan infeksi aktif dan kontrol kadar gula (lihat tabel 2).15

49 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


Tabel 3: Standar perawatan kaki diabetik15

Debridemen

Debridemen adalah suatu tindakan untuk membuang jaringan nekrosis, callus dan
jaringan fibrotik. Tindakan ini dapat meningkatkan pengeluaran faktor pertumbuhan
(growth factor) yang membantu proses penyembuhan luka.2
Debridemen dilakukan pada kasus ulkus diabetes dengan tampilan tepi luka yang
tebal atau jaringan nekrotik. Tujuannya adalah menghilangkan seluruh jaringan nekrotik
dan jaringan non-viabel dengan gangguan vaskularisasi, serta mempertahankan drainase
yang baik sehingga terjadinya jaringan granulasi yang baik.2,16
Beberapa tindakan debridemen yang lazim dikerjakan pada pasien DM dengan kaki
diabetes meliputi: nekrotomi, mutilasi dan amputasi jari, kaki, bawah lutut (bellow-knee),
atau atas lutut (above-knee). Amputasi dapat dipertimbangkan untuk dilakukan bila ada
satu dari hal-hal berikut: jaringan nekrotik luas, iskemi jaringan yang tidak dapat
direkonstruksi, gagal revaskularisasi, Charcot's foot dengan instabilitas (butuh jam terbang
tinggi untuk menentukannya), infeksi akut dengan ancaman kematian (gas gangren),
infeksi/luka yang tidak membaik dengan terapi adekuat, gangren.2,16
Ada beberapa metode debridemen, yaitu surgical (sharp), autolitik, enzimatik, kimia,
mekanis dan biologis. Debridemen sebaiknya membuang jaringan matisekitar 2-3 mm dari
tepi luka ke jaringan sehat.2,16
Surgical debridement merupakan metode standar baku pada ulkus diabetes dan
paling efisien, khususnya pada luka yang banyak terdapat jaringan nekrosis atau terinfeksi.
Kadang-kadang amputasi diperlukan pada kasus ulkus diabetes yang mengalami infeksi
dan membahayakan jiwa pasien.2,16
Debridemen enzimatis menggunakan agen topikal yang akan merusak jaringan
nekrotik dengan enzim proteolitik seperti papain, colagenase, fibrinolisin-Dnase,
papainurea, streptokinase, streptodornase dan tripsin. Selain itu diberikan antibiotik topikal

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 50


untuk membantu kontrol infeksi. Penggunaannya terbatas dan secara umum diindikasikan
untuk memperlambat ulserasi dekubitus pada kaki dan pada luka dengan perfusi arteri
terbatas.2,16
Debridemen mekanis mengurangi dan membuang jaringan nekrotik pada dasar
luka. Teknik debridemen mekanis yang sederhana adalah pada aplikasi kasa basah-kering
(wet-to-dry saline gauze). Kain kasa basah dilekatkan pada dasar luka dan dibiarkan
sampai mengering, kemudian debris nekrotik yang menempel pada kasa akan terkelupas
dari dasar luka ketika kasa dilepaskan.2

Pengurangan tekanan luka kaki diabetes (Offloading)


Offloading adalah suatu usaha untuk mengurangi tekanan pada ulkus diabetes.
Tindakan ini merupakan salah satu komponen penanganan ulkus diabetes. Bed rest
merupakan satu cara yang ideal untuk mengurangi tekanan tetapi sulit untuk dilakukan
karena akan menurunkan produktifitas hidup pasien. Pengurangan tekanan sangat penting
dalam penyembuhan kaki diabetes; ulkus biasanya terjadi pada kaki yang terpapar
tekanan tinggi secara terus menerus. Ada beberapa metode untuk mengurangi tekanan;
yang paling yang populer termasuk penahanan kaki dengan gips dan cahaya baru lainnya
bahan, sepatu khusus, penyangga kaki dan perban menggunakan felt dan / atau
busa.2,15,16
Total Contact Casting (TCC) merupakan metode offloading yang paling efektif. TCC
dibuat dari gips yang dibentuk secara khusus untuk menyebarkan beban pasien keluar dari
area ulkus. Metode ini memungkinkan penderita untuk berjalan selama perawatan dan
bermanfaat untuk mengontrol adanya edema yang dapat mengganggu penyembuhan luka.
TCC dapat mengurangi tekanan secara efektif pada ulkus diabetes.2,9

DAFTAR PUSTAKA
1. Waspadji S. Kaki Diabetes dalam Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Ed.VI.
Jakarta: InternaPublishing; 2014:2367-74
2. Sucipto, Krishna W. Tata Laksana Komprehensif Kaki Diabetik. Banda Aceh: in
press. 2019: p. 1-59
3. Internatinal Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas 8th Edition, International
Diabetes Federation. 2017. Available at: http://www.diabetesatlas.org/across-the-
globe.html
4. World Health Organization. Global Report on Diabetes. Geneva: WHO Press. 2016
5. American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes-2019:
Abridged for Primary Care Providers. Clin Diabetes. 2018;36(1):14-37.
6. Mishra SC, Chhatbar KC, Kashikar A, Mehndiratta A. Diabetic foot. BMJ. 2017;359:
j5064. Published 2017 Nov 17. doi: 10.1136/bmj.j5064

51 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


7. Lavery, L. A., van Asten, S., & La Fontaine, J. Clinical Examination and Risk
Classification of the Diabetic Foot. The Diabetic Foot. 2018; 19–30. doi:10.1007/978-
3-319-89869-8_2
8. Hochlenert, D., Engels, G., Morbach, S., Schliwa, S., & Game, F. L. Diagnostic
Pathways. Diabetic Foot Syndrome. 2018; 77–106.doi:10.1007/978-3-319-92055-
9_3
9. Internatinal Diabetes Federation. IDF Clinical Practice Recommendations on the
Diabetic Foot 2017. International Diabetes Federation. 2017
10. Azuma N. The Diagnostic Classification of Critical Limb Ischemia. Ann Vasc Dis Vol.
11, No. 4; 2018; pp 449–457 doi: 10.3400/avd.ra.18-00122
11. Gerhard-Herman M D, Gornik H L, Barrett C, Barshes N R, Corriere M A, Drachman
D E, et al. 2016 AHA/ACC guideline on the management of patients with lower
extremity peripheral artery disease: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on clinical practice guidelines.
Circulation 2017;135:e726-e779.
12. Kolegium Ilmu Penyakit Dalam. Ankle Brachial Index (ABI). Panduan Teknik
Pemeriksaan Dan Prosedur Klinis Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta.2017. p. 79-82.
13. Hochman, M. G., & Connolly, C. (2018). Imaging of Infection in the Diabetic Foot.
The Diabetic Foot, 55–94. doi:10.1007/978-3-319-89869-8_5
14. Document T. TASC II: Inter-Society Consensus for the management of peripheral
arterial disease. Eur J Vasc Endovasc Surg. 2007;33(Suppl 1):S6-S29
15. Everett E, Mathioudakis N. Update on Management of Diabetic Foot Ulcers. Ann N
Y Acad Sci. 2018;1411(1):153-165.
16. Yazdanpanah L. Literature review on the management of diabetic foot ulcer. World
J Diabetes. 2015;6(1):37.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 52


SURGERY ASPECT OF DIABETIC FOOT ULCER
dr. Suhardi, Sp.BTKV
Division of Thoracic Cardiac and Vascular Surgery, Department of Surgery,
Dr. Zainoel Abidin General Hospital – Medical Faculty of Syiah Kuala University,
Banda Aceh, Indonesia

PENDAHULUAN
Penyakit Diabetes Melitus (DM), juga dikenal sebagai penyakit kencing manis atau
penyakit gula darah, merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar
gula dalam darah sebagai akibat dari adanya gangguan metabolisme dalam
tubuh.Penderita DM memiliki berbagai macam komplikasi, yang tersering salah satunya
adalah ulkus diabetikum atau luka neuropati. Ulkus diabetikum adalah infeksi akibat
adanya kerusakan jaringan yang lebih dalam terkait adanya gangguan neurologis dan
vaskuler pada tungkai. Pasien DM dengan ulkus diabetikum membutuhkan perawatan luka
yang benar dan intensif agar penyembuhan lebih baik dan tidak menimbulkan komplikasi
lain yang lebih buruk, serta mencegah dilakukannya amputasi.
Diabetes mellitus merupakan salah satu penyebab utama penyakit kronis dan
kehilangan anggota gerak di dunia, sampai saat ini tercata sebanyak 382 juta orang yang
terkena. Di dunia, diprediksikan pada tahun 2035, angka kasus diabetes dapat mencapai
592 juta.1Di Indonesia sendiri diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi diabetes
mellitus mencapai 21.3 juta orang. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat diabetes melitus pada
kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%,
sedangkan di daerah pedesaan, diabetes melitus menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%.2

Tipe dan Klasifikasi Ulkus Diabetikus


Kaki diabetikum dapat dibagi menjadi 3 katagori, yaitu kaki diabetika neuropati,
iskemia dan neuroiskemia. Pada umumnya kaki diabetika disebabkan oleh faktor neuropati
(82%) sisanya adalah akibat neuroiskemia dan murni akibat iskemia.3Pada pasien
diabetes, seperti yang kita ketahui, terdapat gangguan vaskuler perifer baik akibat
makrovaskular (aterosklerosis) maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular
menyebabkan terjadinya iskemia kaki. Keadaan tersebut di samping menjadi penyebab
terjadinya ulkus juga mempersulit proses penyembuhan ulkus kaki. Apabila ulkus telah
terjadi beberapa bulan dan bersifat asimptomatik maka perlu dicurigai bahwa ulkus
dilatarbelakangi oleh faktor neuropati. Pada ulkus neuropati karakter ulkus berupa lesi
punched out di area hiperkeratotik, lokasi kebanyakkan di plantar pedis, kulit kering, hangat
dan warna kulit normal, adanya kalus (kapal).

53 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


Klasifikasi ulkus diabetikum berdasarkan Wagner:
 Grade 0  Tidak ada luka terbuka, kulit utuh.
 Grade 1 Ulkus diabetikum superficial, terbatas pada kulit.
 Grade 2  Ulkus menyebar ke ligament, tendon, sendi, fascia dalam tanpa adanya
abses atau osteomyelitis.
 Grade 3  Ulkus disertai abses, osteomyelitis atau sepsis sendi.
 Grade 4  Gangren yang terlokalisir pada ibu jari, bagian depan kaki atau tumit.
 Grade 5  Gangren yang membesar meliputi kematian semua jaringan kaki.

Gambar 1. Klasifikasi Ulkus Diabetikum berdasarkan Wagner


Selain klasifikasi dari Wagner, consensus international tentang kaki diabetic pada
tahun 2003 menghasilkan klasifikasi PEDIS dimana terinci seperti pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi PEDIS


Gangguan Perfusi 1 Tidak ada
2 Penyakit arteri perifer tanpa iskemik
3 Iskemik pada kaki
Ukuran (Extend) dalam 1 Permukaan kaki, hanya sampai dermis
mm dan dalamnya 2 Luka pada kaki sampai di bawah dermis meliputi fasia,
(Depth) otot dan tendon
3 Sudah mencapai tulang dan sendi

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 54


Infeksi 1 Tidak ada gejala
2 Hanya infeksi pada kulit dan jaringan ikat
3 Eritema >2cm atau infeksi meliputi subkutan tetapi tidak
ada tanda inflamasi
4 Infeksi dengan manifestasi demam, leukositosis,
hipotensim dan azotemia

Hilang Sensasi 1 Tidak ada


2 Ada

Disamping itu, seringkali pembagian dari ulkus dibetikum berdasarkan adanya


iskemia pada ekstremitas pasien (critical limb ischemia), yang didefinisikan dengan nilai
tekanan darah di ankle/pergelangan kaki (ankle pressur/AP) <40mmHg dengan nyeri saat
istirahat, atau <60mmHg dengan nekrosis jaringan4. Namun kriteria ini berlaku pada pasien
tanpa diabetes. Adanya komorbid diabetes, maka gambaran klinis yang didapat, seperti
neuropati, iskemia, dan infeksi, membuat definisi dari critical limb ischemia (CLI) lebih sulit.
Dalam lebih dari 40 tahun kriteria ini sering kali salah penggunaannya dalam mengambil
keputusan untuk tindakan revaskularisasi pada pasien dengan ulkus diabetikum. Maka dari
ini dibutuhkan klasifikasi yang lebih spesifik dalam menentukan manajemen dari ulkus
diabetikum. Klasifikasi baru yang CLI pada ulkus diabetikum lebih objektif karena penilaian
didasarkan dari derajat iskemia, luas luka, dan infeksi (Wound, Ischemia, and foot
Infection/WIfI). Klasifikasi ini dijabarkan pada tabel 2.

55 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan Society for Vascular Surgery Lower Extremity Threatened
Limb (SVS WIfI)5

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 56


Target populasi dari kriteria ini termasuk pasien4,5:
 Iskemik dengan nyeri saat istirahat, biasanya pada sisi depat dari telapak kaki dengan
studi objektif hemodinamik (ABI/ankle-brachial index<0.40, AP/ankle pressure<50,
TP/toe pressure <30, TcPO2/ transcutaneous oximetry<20).
 Ulkus Diabetikum
 Ulkus pada kaki atau ekstremitas bawah yang tidak ada perbaikan dalam 2 minggu
 Gangren pada bagian manapun telapak kaki atau ekstremitas bawah.

Klasifikasi ini juga dapat memberikan gambaran akan resiko amputasi pada pasien,
sehingga dokter yang menangani dapat mempersiapkan dan mengedukasi pasien. Resiko
amputasi berdasarkan kondisi klinis dan klasifikasi WIfI dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Resiko amputasi berdasarkan kriteria WIfI6


Resiko Amputasi Derajat klinis Skor WIfI
Sangat rendah Derajat 1 W0 I0 fI0,1
W0 I1 fI0
W1 I0 fI1,0
W1 I1 fI0
Rendah Derajat 2 W0 I0 fI2
W0 I1 fI1
W0 I2 fI0,1
W0 I3 fI0
W1 I0 fI2
W1 I2 fI0
W2 I0 fI0,1
Sedang Derajat 3 W0 I0 fI3
W0 I2 fI1,2
W0 I3 fI1,2
W1 I0 fI3

57 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


W1 I1 fI2
W1 I3 fI0,1
W2 I0 fI2
W2 I1 fI0,1
W2 I2 fI0
W3 I0 fI0,1
Tinggi Dearajat 4 W0 I2,3 fI3
W1 I1 fI3
W1 I2,3 fI2,3
W2 I0 fI3
W2 I1 fI2,3
W2 I2 fI1,2,3
W3 I0 fI2,3
W3 I1,2,3 fI0,1,2,3

Kriteria rujukan ke bagian bedah vaskular


Pada kasus ulkus diabetikum, selain penanganan luka, hal lain yang perlu
diperhatikan adalah perfusi jaringan pada area luka. Perfusi yang baik ke jaringan luka
memberikan prognosis yang baik pula dalam penyembukan ulkus diabetikum disamping
perawatan luka rutin. Beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam mengambil
keputusan merujuk ke bagian bedah vaskular guna memberikan prognosis yang lebih baik
terhadap ulkus maupun kualitas hidup pasien dengan menghindari tindakan amputasi,
adalah sebagai berikut7:
a) Pasien dengan diabetes mellitus dengan iskemia anggota gerak (critical limb
infection), yang dapat ditandai dengan adanya:
 Gangren kering (dry gangrene)
 Ulkus dengan dasar tulang yang nampak di permukaan luka tanpa teraba pulsasi
atau pulsasi negatif pada signal monophasic USG Doppler.
b) Ulkus diabetikum yang baru dengan adanya bukti PAD (peripheral arterial disease).
c) Ulkus rekuren dengan riwayat adanya intervensi arterial sebelumnya.

Manajemen Ulkus Diabetikum


Pencegahan Ulkus Diabetikum
Pencegahan Ulkus diabetikum mengambil peran cukup penting bagi pasien-pasien
dengan ulkus diabetikum. Pencegahan terjadinya kaki diabetes mengurangi angka
kejadian komplikasi akibat ulkus diabetikum yang berujung pada amputasi. Hampir 80%
amputasi yang berhubungan dengan diabetes terjadi pada pasien dengan ulkus
diabetikum. Maka dari itu, beberapa langkah preventif yang harus dilakukan, antara lain:

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 58


a) Pasien dengan diabetes direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan kaki berkala
oleh dokter umum atau praktisi yang memiliki kemampuan dalam perawatan kaki.
Frekuensi pengecekkan tergantung pada resiko pada kaki tiap individu (pekerjaan,
kemandirian yang terbatas, lamanya menderita diabetes, dll). Pemeriksaan termasuk
pemeriksaan neuropathy, palpasi pulsasi distal kaki, ABI (ankle brachial index),
deformitas pada kaki untuk menentukan titik tekanan (pressure point) dan
pembentukkan kalus. ABI merupakan gold standard tes untuk mengetahui aliran darah
dan tekanan ekstremitas dengan spesifisitas 97% dan sensitivitas 63%.8 Semmes-
Weinstein test direkomendasikan sebagai tes yang digunakan dalam pemeriksaan kaki
termasuk pemeriksaan neuropati perifer, hal ini dikarenakan tes ini meliputi stimulasi
sensoris monofilament pada area sekitar ulkus melwati jempol kaki dan metatarsal 1,
3, dan 5 pada kaki yang sama.
b) Edukasi yang baik kepada pasien dan keluarga pasien mengernai perawatan kaki yang
baik dan tepat terbukti secara empiris dan lebih efektif dari segi biaya. Edukasi ini dapat
dilakukan ileh dokter umum, perawat, dan tenaga medis lainnya yang mengetahui dasar
dari perawatan kaki, kalus, kuku, dan penggunaan sepatu. Pada penggunaan sepatu
direkomendasikan kepada pasien diabetes dengan resiko tinggi untuk menggunakan
sepatu khusus, namun untuk pasien diabetes resiko sedang, tidak disarankan.
c) Kontrol gula darah yang adekuat untuk mengurangi resiko terjadinya ulkus diabetikum
dan infeksi, dengan resiko amputasi. Kontrol gula darah yang direkomendasikan adalah
angka hba1c<7.0%.8,9,10 Pengontrolan gula darah memberikan dampak yang nyata
pada pasien diabetes berisiko rendah.
d) Tidak direkomendasikan untuk dilakukan profilaksis revaskularisasi arterial untuk
mencegah terjadinya ulkus diabetikum. Indikasi untuk revaskularisasi arterial harus
sesuai dengan standard, yaitu adanya klaudikasio yang berat, nyeri saat istirahat, dan
ada jaringan yang mati. Hal ini dikarenakan ulkus diabteikum primer jarang diakibatkan
oleh gangguan dari aliran darah pada arteri besar, namun lebih kepada gait yang
abnormal dan distribusi berat tubuh pada kaki yang tidak seimbang.

Off-loading
Off-loading dilakukan pada pasien-pasien diabetes yang sudah mengalami ulkus.
Prinsip off-loading merupakan salah satu komponen penting dalam perawatan menangani
ulkus diabetikum, yaitu dengan mengurangi beban tubuh pada kaki yang terkena ulkus.
Terdapat 4 prinsip off-loading yang direkomendasikan, antara lain11,12,13:
a) Pasien diabetes dengan ulkus di daerah plantar disarankan menggunakan total
contact cast (TCC).
b) Pasien diabetes dengan ulkus yang memerlukan penggantian dressing secara
berkala direkomendasikan menggunakan removable cast walker (RCW).

59 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


c) Pasien diabetes dengan ulkus tidak di daerah plantar direkomendasikan
menggunakan alat bantu yang dapat meringankan tekanan pada daerah ulkus, seperti
sandal surgical.
d) Pasien diabetes resiko tinggi dengan ulkus yang sudah sembuh, atau dengan riwayat
ulkus atau amputasi kaki parsial atau kaki Charcot, direkomendasikan menggunakan
alas kaki terapeutik yang spesifik untuk pencegahan ulkus baru atau rekuren.

Diagnosis Ulkus Diabetikum yang Disertai Osteomyelitis


Diagnosis ada tidaknya osteomyelitis pada ulkus diabetikum penting untuk
mengetahui tindakan lanjut yang harus dilakukan dan perlu tidaknya tindakan amputasi
pada pasien. Pada pasien dengan ulkus diabetikum terinfeksi yang diikuti luka tebuka,
disarankan untuk melakukan tes probe to bone (PTB) untuk diagnosis ada tidaknya
osteomyelitis. PTB memiliki 60% sensitivitas dan 91% spesifisitas dalam mendiagnosis
osteomyelitis.14,15 Tetapi pada pasien dengan infeksi ulkus diabetikum yang masih baru,
pemeriksaan yang dianjurkan adalah foto radiologi polos pada kaki yang terkena, karena
dari foto polos radiologi dapat terlihat tidak hanya abnormalitas pada tulang, namun juga
gas yang ada pada jaringan halus dan benda asing yang radiopaque.
Jika pasien dengan ulkus diabetikum dicurigai adanya abses pada jaringan atau
dengan diagnosis osteomyelitis yang masih meragukan, MRI merupakan pilihan untuk
diagnosis disamping foto polos radiologi. Setelah diagnosis osteomyelitis ditegakkan,
maka pemberian antibiotik empiris sebaiknya berdasarkan dengan hasil biopsi dan kultus
tulang yang terinfeksi. Tindakan debridemen pada tulang juga dilakukan guna evakuasi
kuman secara radikal dan mempercepat proses penyembuhan.

Perawatan Luka
Perawatan luka pada ulkus diabetikum memerlukan tindakan irigasi dan
debridemen yang sering, dressing pelindung, kontrol infeksi dan inflamasi, serta off-loading
dari plantar pedis yang terkena. Evaluasi yang direkomendasikan berselang 1-4 minggu
dengan monitor ukuran luka dan proses penyembuhan. Dressing luka yang digunakan
sebaikan dapat menjaga kelembaban dari dasar luka, mengontrol eksudat, dan mencegah
terjadinya maserasi pada kulit sekitar yang masih intak.16Kelembaban dasar luka pada luka
terbuka penting dalam proses penyembuhan luka, maka dari itu dressing yang disarankan
adalah non-adherent dressing dalam menjaga kelembaban dasar luka. Pada jaringan-
jaringan yang dianggap tidak vital lagi dan jika terdapat callus, dapat dilakukan debridemen
secara tajam.
Dalam perawatan luka, terdapat beberapa metode dan bahan, dari yang
konvensional sampai dengan yang saat ini masih dikembangkan. Dalam metode
konservatif, bahan-bahan yang digunakan masih sederhana, seperti cairan normal salin
yang digabungkan dengan povionde iodine atau dengan zinc oxide yang ditutup dengan

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 60


kassa. Sedangkan pada metode modern menggunakan bahan-bahan yang lebih kompleks
dalam menjaga kondisi luka agar lebih kondusif untuk proses penyembuhan, seperti
hydrocolloid dengan atau tanpa silver, hydrophobic dressing, coal dressing, dan bahan-
bahan yang masih dikembangkan seperti gel plasma kaya trombosit. Dari beberapa
penelitian yang membandingkan kedua metode dan bahan ini, didapatkan keunggulan
yang signifikan pada metode dan bahan yang modern pada penyembuhan luka secara
keseluruhan, dibandingkan dengan metode dan bahan yang konvensional. Namun hal ini
tidak membuat para klinisi meninggalkan cara yang konvensional karena keterbatasan
kesediaan bahan dan modal (cost effectiveness).
Pemberian terapi adjuvant bila ulkus diabetikum tidak menunjukkan perbaikan
setelah terapi selama minimal 4 minggu. Disebut perbaikan bila ada pengurangan area
luka >50%.17,18 Terapi adjuvan yang direkomendasikan termasuk terapi tekanan negatif,
terapi biologis (PDGF, terapi selular, produk matriks ekstraselular, produk dari membran
amnion), dan terapi hiperbarik oksigen. Pilihan pemberian terpai adjuvan tergantung pada
kondisi klinis pasien, ketersediaan terapi, dan efektivitas biaya, tidak ada urutan yang pasti
dalam terapi adjuvan19,20
Ada beberapa hasil penelitian yang melaporkan bahwa madu sangat efektif
digunakan sebagai terapi topikal pada luka, yang menghasilkan terjadinya peningkatan
jaringan granulasi dan kolagen serta periode epitelisasi secara signifikan. Menurut Lusby
PE (2006) madu juga dapat meningkatkan waktu kontraksi pada luka. Madu efektif sebagai
terapi topikal, ini dikarenakan kandungan nutrisi yang terdapat di dalam madu dan hal ini
sudah di ketahui secara luas. Bergman et al. (1983) menyatakan secara umum madu
mengandung 40% glukosa, 40% fruktosa, 20% air dan asam amino, vitamin Biotin, asam
Nikotinin, asam Folit, asam Pentenoik, Proksidin, Tiamin, Kalsium, zat besi, Magnesium,
Fosfor dan Kalium.21,22 Madu juga mengandung zat antioksidan dan H2O2 (Hidrogen
Peroksida) sebagai penetral radikal bebas. Hidrogen Peroksida terbentuk ketika madu
dilarutkan ke dalam luka akibat adanya reaksi enzim glukosa oksidase yang terkandung di
dalam madu. Hidrogen peroksida yang dihasilkan dalam kadar rendah dan tidak panas
sehingga memiliki sifat antibakteri tetapi tidak menyebabkan kerusakan pada jaringan luka
dan akan mengurangi bau yang tidak enak pada luka khususnya luka kronis, seperti pada
ulkus diabetikum.
Madu yang bersifat asam dapat memberikan lingkungan yang asam pada luka
sehingga akan dapat mencegah bakteri melakukan penetrasi dan kolonisasi. Selain itu dari
kandungan air yang terdapat dalam madu akan dapat memberikan kelembapan pada luka,
ini sesuai dengan prinsip perawatan luka moderen yaitu "Moisture Balance". Hasil
penelitian Gethin GT et al (2008) melaporkan madu dapat menurunkan pH dan mengurangi
ukuran luka kronis (ulkus vena/arteri dan luka dekubitus) dalam waktu 2 minggu secara
signifikan.22 Hal ini akan memudahkan terjadinya proses granulasi dan epitelisasi pada

61 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


luka. Adapun cara penggunaan madu dalam menangani luka seperti luka diabetikum yang
direkomendasikan, antara lain:
1. Gunakan jumlah madu sesuai dengan jumlah cairan atau eksudat yang keluar dari
luka.
2. Frekuensi penggantian balutan
tergantung pada cepatnya madu
terlarut dengan eksudat luka. Jika
tidak ada cairan luka, balutandapat di
ganti 2 kali seminggu supaya
komponen antibakteri yang
terkandung di dalam madu dapat
terserap ke dalam jaringan luka.
3. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik, sebaiknya menggunakan second dressing
yang bersifat absorbent. Jika madu digunakan langsung pada luka, madu akan
meleleh sehingga keluar area luka. Hal ini tidak akan efektif untuk merangsang proses
penyembuhan luka.
4. Gunakan balutan yang bersifat "oklusif" yaitu menutup semua permukaan luka untuk
mencegah madumelelehkeluardari area luka.
5. Pada cairan luka yang sedang, sebaiknya gunakan transparanfilm sebagai second
dressing.
6. Pada abses (nanah) dan undermining (luka berkantong) perlu lebih banyak madu
untuk mencapaijaringan didalamnya. Dasar luka harus diisi dengan madu sebelum
ditutup dengan second dressing seperti kasa atau dressing pad lainnya.
7. Untuk memasukan madu pada luka berkantong sebaiknya gunakan kasa atau
dressing pad sehingga kerja kandungan madu lebih efektif.

PAD pada Ulkus Diabetikum


Insiden PAD pada penderita diabetes meningkat secara signifikan dalam 2 dekade
terakhir ini.23,24 Karena hal itu, proporsi pasien diabetes dengan luka iskemik atau
neuroiskemik juga meningkat dibandingkan dengan luka neuropati. American Diabetes

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 62


Association merekomendasikan untuk dilakukan pemeriksaan ABI pada penderita
diabetes saat umurnya mencapai 50 tahun.25,26 Nilai ABI <0.8 mempunyai resiko amputasi
yang lebih tinggi. Selain ABI, pemeriksaan TcPo2 juga berfungsi sebagai pemeriksaan
untuk memprediksi resiko amputasi dan diagnosis ada tidaknya PAD pada pasien. Pada
pasien ulkus diabetikum yang disertai PAD, revaskularisasi baik secara surgical bypass
ataupun terapi endovascular. Beberapa literature mengatakan tidak ada perbedaan hasil
yang signifikan antara revaskularisasi dengan bypass terbuka dengan terapi endovascular.
Pemilihan tindakan intervensi tergantung pada derajat iskemia, luas arteri yang terkena,
luas luka, ada tidaknya infeksi, dan keahlian dari praktisinya.27Infeksi sekunder pada ulkus
memperberat prognosis dari anggota gerak pada pasien diabetes disertai ulkus dan PAD.
Dalam hal ini, kontrol terhadap infeksi harus dilakukan terlebih dahulu sebelum
dilakukannya revaskularisasi, terlebih bila luka tidak merespon baik terhadap perawatan
luka yang telah dilakukan.28,29,30

DAFTAR PUSTAKA

1. IDF diabetes atlas, 6th edition. Available at: http://www.idf.org/ diabetesatlas.


Accessed January 7, 2019.
2. Depkes. Riset kesehatan dasar (RISKESDAS 2007). Available at:
https://www.k4health.org/sites/default/files/laporanNasional%20Riskesdas%202007.
pdf. Accessed on January7th, 2019.
3. Stolle LB; at all. The metabolism of the diabetic foot. (journal article) ISSN: 0001-6470
PMID: 15022818 CINAHL AN: 2009394327; 2004
4. Macfarlane RM, Jeffcoate WJ. Classification of diabetic foot ulcers: the S(AD) SAD
system. Diabetic Foot 1999; 2:123-31.
5. Beckert S, Pietsch AM, Küper M, Wicke C, Königsrainer A, Coerper S. M.A.I.D.: a
prognostic score estimating probability of healing in chronic lower extremity wounds.
Ann Surg 2009; 249:677-81.
6. Lipsky BA, Berendt AR, Cornia PB, Pile JC, Peters EJG, Armstrong DG, et al. 2012
IDSA clinical practice guideline for the diagnosis and treatment of diabetic foot
infections. Clin Infect Dis 2012;54: e132-73.
7. Schaper NC, Andros G, Apelqvist J, Bakker K, Lammer J, 
Lepantalo M, et al.
Diagnosis and treatment of peripheral arterial disease in diabetic patients with a foot
ulcer. A progress report of the International Working Group on the Diabetic Foot.
Diabetes Metab Res Rev 2012;28(Suppl 1):218-24. 

8. Frykberg RG, Zgonis T, Armstrong DG, Driver VR, Giurini JM, Kravitz SR, et al.
Diabetic foot disorders. A clinical practice guideline (2006 revision). J Foot Ankle Surg
2006;45(Suppl): S1-66.

63 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


9. Mayfield JA, Sugarman JR. The use of the Semmes-Weinstein mono- filament and
other threshold tests for preventing foot ulceration and amputation in persons with
diabetes. J Fam Pract 2000;49(Suppl): S17-29. 

10. Singh N, Armstrong DG, Lipsky BA. Preventing foot ulcers in pa- tients with diabetes.
JAMA 2005; 293:217-28. 

11. Shaw JE, Hsi WL, Ulbrecht JS, Norkitis A, Becker MB, Cavanagh PR. The mechanism
of plantar unloading in total contact casts: implications for design and clinical use. Foot
Ankle Int 1997;18: 809-17. 

12. Bus SA. Priorities in offloading the diabetic foot. Diabetes Metab Res Rev
2012;28(Suppl 1):54-9.
13. Lewis J, Lipp A. Pressure-relieving interventions for treating diabetic foot ulcers.
Cochrane Database Syst Rev 2013;1:CD002302.
14. Pecoraro RE, Ahroni JH, Boyko EJ, Stensel VL. Chronology and determinants of
tissue repair in diabetic lower-extremity ulcers. Dia- betes 1991; 40:1305-13.
15. Dinh T, Snyder G, Veves A. Current techniques to detect foot infec- tion in the diabetic
patient. Int J Low Extrem Wounds 2010; 9:24-30.
16. Steed DL, Attinger C, Colaizzi T, Crossland M, Franz M, Harkless L, et al. Guidelines
for the treatment of diabetic ulcers. Wound Repair Regen 2006; 14:680-92.

17. Game FL, Hinchliffe RJ, Apelqvist J, Armstrong DG, Bakker K, Hartemann A, et al. A
systematic review of interventions to enhance the healing of chronic ulcers of the foot
in diabetes. Diabetes Metab Res Rev 2012;28(Suppl 1):119-41.
18. International best practice guidelines: wound management in diabetic foot ulcers.
Wounds International. Available at: www. woundsinternational.com. Accessed
November 13, 2015.
19. Elraiyah T, Tsapas A, Prutsky G, Domecq JP, Hasan R, Firwana B, et al. A systematic
review and meta-analysis of adjunctive therapies in diabetic foot ulcers. J Vasc Surg
2016;63(Suppl):46S-58S. 

20. Bergman A, J. Yanai, J. Weiss, D. Bell and M.P. David. 1983. Acceleration of wound
healing by topical application of honey: An animal model. Am. J. Surg., 145: 374-376.
21. Gethin GT, Seamus C and Ronan MC. 2008. The impact of manuka honey dressing
on the surface pH of chronic wounds. Int Wound J., 5:185-194.
22. Haryanto et all, 2011, Acceleration Indonesia Honey torward wound healing:
Experimental study in Mice. J. Wound. 2 (1): 134-140
23. Morbach S, Furchert H, Groblinghoff U, Hoffmeier H, Kersten K, Klauke GT, et al.
Long-term prognosis of diabetic foot patients and their limbs: amputation and death
over the course of a decade. Dia- betes Care 2012; 35:2021-7. 

24. Yost ML. Diabetic foot ulcers, peripheral arterial disease and critical limb ischemia.
Atlanta, Ga: The Sage Group; 2011. 


The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 64


25. American Diabetes Association. Peripheral arterial disease in people with diabetes.
Diabetes Care 2003; 26:3333-41.
26. Armstrong DG, Lavery LA, Harkless LB. Validation of a diabetic wound classification
system. The contribution of depth, infection, and ischemia to risk of amputation.
Diabetes Care 1998; 21:855-9. 

27. Prompers L, Schaper N, Apelqvist J, Edmonds M, Jude E, Mauricio D, et al. Prediction
of outcome in individuals with diabetic foot ulcers: focus on the differences between
individuals with and without peripheral arterial disease. The EURODIALE Study. Dia-
betologia 2008; 51:747-55.
28. Hinchliffe RJ, Andros G, Apelqvist J, Bakker K, Friederichs S, Lammer J, et al. A
systematic review of the effectiveness of revascu- larization of the ulcerated foot in
patients with diabetes and peripheral arterial disease. Diabetes Metab Res Rev
2012;28(Suppl 1):179-217. 

29. Prompers L, Huijberts M, Apelqvist J, Jude E, Piaggesi A, Bakker K, et al. High
prevalence of ischaemia, infection and serious comorbidity in patients with diabetic
foot disease in Europe. Baseline results from the Eurodiale study. Diabetologia 2007;
50:18-25.
30. Cull DL, Langan EM, Gray BH, Johnson B, Taylor SM. Open versus endovascular
intervention for critical limb ischemia: a population-based study. J Am Coll Surg 2010;
210:555-61. 561-3.


65 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


WHAT IS FOOD LABELING?
dr. Agustia Sukri Ekadamayanti, Sp.PD
Sub Divisi Endokrinologi Metabolik dan Diabetes
SMF/Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

Pendahuluan
Food labelling atau label pangan sesungguhnya bukan sesuatu yang asing bagi
para konsumen. Setiap konsumen pasti akan memperhatikan label pada tiap kemasan
bahan makanan, sebelum memutuskan untuk membeli bahan pangan tersebut. Karena itu
dalam makalah ini akan mencoba untuk membahas lebih terperinci mengenai apa-apa saja
sebenarnya yang harus tercantum dalam suatu label pangan.
Label Pangan
Label pangan adalah segala sesuatu yang tertulis, dicetak atau gambar yang ada
pada kemasan produk makanan atau berada didalam kemasan makanan yang bertujuan
untuk mempromosikan penjualan atau pembuangannya. Label pangan adalah sesuatu
yang memang harus dilampirkan oleh produsen suatu makanan dan diatur oleh
pemerintah. Label pangan dapat ditempel pada kemasan, dicetak pada kemasan atau
dapat dimasukkan kedalam kemasan. Label makanan menjadi penting karena
mengandung semua informasi yang dibutuhkan oleh konsumen tentang bahan makanan
yang hendak mereka makan, termasuk kandungan nutrisinya.
Adapun tujuan pangan adalah:
1. Memberi informasi tentang isi produk yang diberi label tanpa harus membuka
kemasan
2. Berfungsi sebagai sarana komunikasi produsen kepada konsumen tentang hal-hal
yang perlu diketahui oleh konsumen tentang produk tersebut, terutama hal-hal yang
kasat mata atau tidak diketahui secara fisik
3. Memberi petunjuk yang tepat pada konsumen hingga diperoleh fungsi produk yang
optimum
4. Sarana periklanan bagi produsen
5. Memberi rasa aman bagi konsumen

Gambar 1. Label Pangan

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 66


Di Indonesia, pelabelan makanan diatur dalam undang-undang no 36 tahun 2009
tentang kesehatan. Undang-undang no 18 tahun 2012 tentang makanan. Peraturan
pemerintah no 69 tahun 1999 tentang label dan iklan pangan. Peraturan pemerintah no 28
tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan. Peraturan menteri kesehatan
Indonesia no 30 tahun 2013 tentang pencatuman informasi kandungan gula, garam dan
lemak serta pesan kesehatan untuk pangan olahan dan pangan siap saji. Dan peraturan-
peraturan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Hal-hal yang harus ada pada label makanan adalah: nama bahan pangan tersebut,
komposisi atau daftar bahan, berat bersih, nama dan alamat produsen atau importir, nomor
pendaftaran, kode dan tanggal produksi, keterangan kadaluarsa, kandungan gizi,
sertifikasi halal, saran penyajian dan instruksi penyimpanan.
1. Nama Bahan Pangan
Nama produk memberikan keterangan mengenai identitas produk pangan yang
menunjukkan sifat dan keadaan produk pangan yang sebenarnya.
2. Komposisi atau daftar bahan
Daftar bahan diurutkan dari jenis bahan yang komposisinya paling banyak ke bahan
yang komposisinya paling sedikit. Bahan tambahan pangan atau pengawet yang
digunakan juga harus dicantumkan. Bahan yang ditambahkan, diperkaya atau
difortifikasi juga harus dicantumkan, dan tidak boleh menyesatkan.
3. Berat bersih
Berat bersih menunjukkan jumlah produk pangan yang terdapat dalam kemasan
tersebut. Untuk produk makanan padat dinyatakan dalam kg, gr atau mg. Makanan
cair dalam ukuran L atau ml. produk makanan yang semi padat atau kental dapat
dinyatakan dalam ukuran berat atau volume.
4. Nama dan alamat produsen atau importer
Berisi keterangan tentang nama dan alamat pihak yang memproduksi, memasukkan
dan mengedarkan pangan ke wilayah Indonesia.
5. Nomor pendaftaran Pangan
Dalam hal ini produsen wajib mencantumkan nomor pendaftaran pangan. Nomor
pendaftaran pangan ini dapat diperoleh setelah bahan pangan tersebut diperiksa dan
dinyatakan aman untuk dikonsumsi. Tanda MD adalah untuk pangan olahan yang
diproduksi didalam negeri dan tanda ML untuk pangan olahan yang dimasukkan ke
wilayah Indonesia.
6. Kode dan tanggal produksi
Kode produksi adalah kode yang dapat memberikan penjelasan mengenai riwayat
suatu produksi pangan yang diproses pada kondisi dan waktu yang sama. Tanggal
produksi adalah tanggal, bulan dan tahun pangan tersebut diolah.
7. Keterangan kadaluarsa

67 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


Keterangan kadaluarsa yaitu batas akhir suatu pangan dijamin mutunya, sepanjang
penyimpanannya mengikuti petunjuk yang diberikan produsen.
8. Label Gizi
Label gizi adalah suatu informasi kandungan gizi yang terkandung dalam produk
pangan disertai jumlah kandungan tersebut dalam tiap sajian atau kemasan makanan.
Label gizi akan membantu para konsumen untuk menentukan berapa banyak
kebutuhan gizi dari suatu bahan pangan tertentu.

Gambar 2. Contoh Label Gizi

9. Sertifikasi Halal
Indonesia sebagai negara dengan pemeluk agama Islam terbanyak, sertifikasi
Halal ini menjadi penting. Untuk mendukung kebenaran pernyataan Halal pada
label pangan maka pangan tersebut wajib diperiksa terlebih dahulu pada lembaga
pemeriksa yang telah diakreditasi dan memiliki kompetensi di bidang tersebut
sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
10. Penggunaan atau Penyajian dan Penyimpanan Pangan
Keterangan tentang petunjuk penggunaan dan atau petunjuk penyimpanan yang
dicantumkan pada pangan olahan yang memerlukan penyiapan sebelum disajikan

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 68


atau digunakan. Selain itu petunjuk ini juga memberikan instruksi mengenai
perlakuan terhadap bahan pangan yang kemasannya sudah terbuka.

Referensi
1. Dinas Ketahanan Pangan. Artikel Penerapan Label Pangan. 2018. Available from :
http://dkp.bulelengkab.go.id
2. Muchlisin Riadi. Pengertian, Fungsi, Jenis dan Ketentuan Label Produk. Available
from: http:// www.kajianpustaka.com
3. Palupi, Ika Ratna. Naomi, Novita Dhian. Susilo, Joko. Penggunaan Label Gizi dan
Konsumsi Makanan Kemasan pada Anggota Persatuan Diabetisi Indonesia.
KESMAS. Vol 11. 2017:1-8
4. World Health Organization. Codex Alimentarius Food Labelling. 5th Edition. 2007
5. United States Food and Drug Administration. How to Understand and Use the Nutrition
Facts Label. Available from : http :// www.fda.gov

69 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


CALORIE LABELLING AND HEALTHY FOOD CHOICES
FOR OBESITY PREVENTION
dr. Hendra Zufry, Sp.PD-KEMD
Divisi Endokrinologi, Metabolik dan Diabetes, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh

Introduction
Over the last three to four decades, overnutrition and obesity have been
transformed from relatively minor public health issues that primarily affected the most
affluent societies to a major threat to public health that is being increasingly seen
throughout the world. The plight of the most affected populations, like those in high-income
countries in North America, Australasia and Europe, has been well publicized. However,
the more recent increases in population obesity in low- and middle-income countries that
are now increasingly being observed have been less recognized.(1) The Global Burden of
Metabolic Risk Factors of Chronic Diseases Collaborating Group analyzed data from 199
countries and territories and 9.1 million adults with respect to the prevalence of overweight
and obesity between 1980 and 2008. During that 28-year period, the prevalence of obesity
nearly doubled worldwide. In 2008, about 1.5 billion adults were estimated to have a body
mass index (BMI) of 25 or more (about 34%). Of these, 500 million were considered obese
(about 10% in men and 14% in women).(1, 2) In 2016, a study by the NCD Risk Factor
Collaboration indicated, 124 million children and adolescents worldwide were obese,
compared with 11 million in 1975.(3)
The epidemiology of obesity has for many years been difficult to study because
many countries had their own specific criteria for the classification of different degrees of
overweight. Gradually, during the 1990s, however, the BMI (weight/height2) became a
universally accepted measure of the degree of overweight, and now, identical cutoff points
are generally recommended. This most recent classification of overweight in adults by the
World Health Organization (WHO) is given in table 1.(1)
A WHO expert consultation acknowledged that, at a given BMI, people from Asian
populations may have vastly different levels of fatness and a different fat distribution
compared to Caucasian populations. This, at least in part, may result in similar health risks
in Asians at lower levels of BMI than in Caucasian populations.(4) However, the Asia Pacific
Cohort Studies Collaboration has proposed that the international classification of obesity
should be adapted for Asian countries. They indicated that, in Asian populations,
overweight should be classified as a BMI above 23 and obesity as a BMI of 25 or higher.(5)

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 70


Table 1. Classification of Body Mass Index (BMI)(1)
Classification BMI (WHO criteria) BMI (Asia criteria) Associated health
risk
Under weight < 18.5 < 18.5 Low ( but risk of
other clinical
problem increase)
Normal range 18.5 – 24.9 18.5 – 22.9 Average
Overweight ≥ 25.0 ≥ 23.0
Preobese 25.0 – 29.9 23.0 – 24.9 Increase
Obese class I 30.0 – 34.9 25.0 – 29.9 Moderately increase
Obese class II 35.0 – 39.9 ≥ 30.0 Severely increase
Obese class III ≥ 40 Very severely
increase

The increase in obesity worldwide has an important impact on health impairment


and reduced quality of life. In particular, obesity has an important contribution to the global
incidence of cardiovascular disease, type 2 diabetes mellitus, cancer, osteoarthritis, work
disability and sleep apnea. Obesity has a more pronounced impact on morbidity than on
mortality. Increases in the prevalence of obesity will potentially lead to an increase in the
number of years that subjects suffer from obesity-related morbidity and disability.(4)
As a disease, the pathology of obesity is rooted in the enlargement of fat cells. The
secretory products of these large fat cells produce most of the pathogenic changes that
result in the complications associated with obesity; the rest are a consequence of the fat
mass per se. Physicians and the healthcare system can take 2 different approaches to deal
with this problem. The first is to prevent the development of obesity, or to treat it before
complications develop.

Etiology and Physiology of Obesity


The etiology of obesity is far more complex than simply an imbalance between
energy intake and energy output. Although this view allows easy conceptualization of the
various mechanisms involved in the development of obesity, obesity is far more than simply
the result of eating too much and/or exercising too little (see the energy-balance equation,
below). Possible factors in the development of obesity include the following:(5)
 Metabolic factors
 Genetic factors
 Level of activity
 Endocrine factors
 Race, sex, and age factors

71 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


 Ethnic and cultural factors
 Socioeconomic status
 Dietary habits
 Smoking cessation
 Pregnancy and menopause
 Psychological factors
 History of gestational diabetes
 Lactation history in mothers

Figure 1. Energy balance equation.(5)

The adipocyte is the cellular basis for obesity, may be increased in size or number
in obese persons. Hypertrophic obesity is characterized by enlarged fat cells, typical of
android abdominal obesity. Hypercellular obesity is more variable than hypertrophic
obesity; it typically occurs in persons who develop obesity in childhood or adolescence, but
it is also invariably found in subjects with severe obesity. Hypertrophic obesity usually starts
in adulthood, is associated with increased cardiovascular risk, and responds quickly to
weight reduction measures. In contrast, patients with hypercellular obesity may find it

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 72


difficult to lose weight through nonsurgical interventions. The adipocyte is increasingly
found to be a complex and metabolically active cell. At present, the adipocyte is perceived
as an active endocrine gland producing several peptides and metabolites that may be
relevant to the control of body weight; these are being studied intensively. Many of the
adipocytokines secreted by adipocytes are proinflammatory or play a role in blood
coagulation. Others are involved in insulin sensitivity and appetite regulation. However, the
function of many of these identified cytokines remains unknown or unclear.(5, 6)

Risk and Benefit of Obesity


Obesity is traditionally viewed to be beneficial to bone health because of well-
established positive effect of mechanical loading conferred by body weight on bone
formation, despite being a risk factor for many other chronic health disorders. Although
body mass has a positive effect on bone formation, whether the mass derived from an
obesity condition or excessive fat accumulation is beneficial to bone remains
controversial.(7)
The clinician should also determine whether the patient has had any of the
comorbidities related to obesity, including the following :(5)
 Respiratory: Obstructive sleep apnea, greater predisposition to respiratory
infections, increased incidence of bronchial asthma, and Pickwickian syndrome
(obesity hypoventilation syndrome )
 Malignant: Reported association with endometrial (premenopausal), prostate, colon
(in men), rectal (in men), breast (postmenopausal), gall bladder, gastric cardial,
biliary tract system, pancreatic, ovarian, renal, and possibly lung cancer, as well as
with esophageal adenocarcinoma and multiple myeloma
 Psychological: Social stigmatization and depression
 Cardiovascular: Coronary artery disease, essential hypertension, left ventricular
hypertrophy, cor pulmonale, obesity-associated cardiomyopathy, accelerated
atherosclerosis, and pulmonary hypertension of obesity
 Central nervous system (CNS): Stroke, idiopathic intracranial hypertension, and
meralgia paresthetica
 Obstetric and perinatal: Pregnancy-related hypertension, fetal macrosomia, and
pelvic dystocia
 Surgical: Increased surgical risk and postoperative complications, including wound
infection, postoperative pneumonia, deep venous thrombosis, and pulmonary
embolism
 Pelvic: Stress incontinence
 Gastrointestinal (GI): Gall bladder disease (cholecystitis, cholelithiasis), nonalcoholic
steatohepatitis (NASH), fatty liver infiltration, and reflux esophagitis

73 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


 Orthopedic: Osteoarthritis, coxa vera, slipped capital femoral epiphyses, Blount
disease and Legg-Calvé-Perthes disease, and chronic lumbago
 Metabolic: Type 2 diabetes mellitus, prediabetes, metabolic syndrome, and
dyslipidemia
 Reproductive (in women): Anovulation, early puberty, infertility, hyperandrogenism,
and polycystic ovaries
 Reproductive (in men): Hypogonadotropic hypogonadism
 Cutaneous: Intertrigo (bacterial and/or fungal), acanthosis nigricans, hirsutism, and
increased risk for cellulitis and carbuncles
 Extremity: Venous varicosities, lower extremity venous and/or lymphatic edema
 Miscellaneous: Reduced mobility and difficulty maintaining personal hygiene

Prevention of Obesity
Adequate management of obesity as a chronic condition for those who are already
obese is important and requires the principles of integrated care for disease management.
Combined lifestyle interventions target physical activity as well as diet and include
psychological techniques such as motivational interviewing and cognitive behavioral
therapy. The intervention phase, with a focus on behavior change and weight loss, is
followed by a phase of relapse prevention and, if necessary, long-term behavioral and
weight maintenance support.(1)
From a public health perspective, a sustainable approach towards effective
prevention is a more affordable strategy. In order to adequately prevent obesity, the
upstream causal factors need first to be identified.(1) Swinburn et al. have pointed out that
the simultaneous increases in obesity in almost all countries seem to be driven mainly by
changes in the global food supply, which is offering more processed, affordable and
effectively marketed food than ever before. Energy-dense palatable foods lead to
overconsumption which, in turn, contributes to weight gain and obesity. Factors in the
global food system combined with local environmental factors result in large differences in
obesity prevalence between populations. Individuals respond to local environmental factors
like sociocultural and economic factors and the physical environment (fig. 2).(8)

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 74


Figure 2. Graphic representation of environmental influences interacting with
individual biology and the effects on behavior and body weight.(1)

A combination of top-down corporate and government interventions with bottom-


up community-led ones is most likely to be successful. One of the existing integrated
approaches which combine top-down and bottom-up community activities is the EPODE
initiative. EPODE (Ensemble Prévenons l'Obésité Des Enfants or Together Let's Prevent
Childhood Obesity) is a large-scale, centrally coordinated, capacity-building approach for
communities to implement effective and sustainable strategies to prevent childhood
obesity. Since 2004, EPODE has been implemented in over 500 communities in 6
countries. This approach is based on four pillars:(9)
1) Political commitment: gaining formal political commitment at central and local levels
from the leaders of the key organization(s), which influence national, federal or state
policies as well as local policies, environments and childhood settings;
2) Resources: securing sufficient resources to fund central support services and
evaluation, as well as contributions from local organizations to fund local
implementation;
3) Support services: planning, coordinating and providing the social marketing,
communication and support services for community practitioners and leaders;
4) Evidence: using evidence from a wide variety of sources to inform the delivery of
EPODE and to evaluate process, impact and outcomes of the EPODE program.

75 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


Food Labelling and healthy food choices
Following 10 years of heightened public attention and alarm about a national
obesity epidemic, the first significant policy effort to pass the US Congress was recently
signed into law. Calorie menu labeling, implemented in a handful of American cities and
counties beginning in New York City in 2008, is mandated on a national level by the new
health reform law, the Patient Protection and Affordable Care Act of 2010. Foremost among
the claims in support of this policy innovation is that menu labeling will help consumers
make better-informed and healthier food choices.(10) Research into the effectiveness of
nutrition labels date back as early as the 1970s, with major milestones being the
introduction of various legislative pieces around the world, including the Nutrition Labeling
and Education Act of 1990 (NLEA) in the USA and the Food Information to Consumers
(FIC) Regulation 2011 in Europe. Certain aspects of nutrition labelling have become
mandatory, for example the nutrition facts panel in the USA, a nutrition information panel
in Australia (Food Standards Australia New Zealand 2011) or the nutrition table per 100
g/ml, on the back of a pack, in European Union.(11)
In the realm of public health, food labelling is considered an important tool to inform
consumers of the energy content of meals in the eating-out environment and to encourage
favourable reformulation of menu items by the food-service industry, as a low-cost and
broadreaching obesity prevention strategy. The initiative applies the principles of nutrition
labelling to foods consumed outside the home through the disclosure of energy content at
the point of purchase. Food labeling is deemed necessary as the and most consumers
underestimate the energy content of such foods consumption of food outside the home
increases, which are associated with increased energy intake as well as unhealthy weight
gain due to increased portion sizes and energy density. Overweight and obesity put
individuals at greater risk of developing type 2 diabetes, CVD and certain cancers, all of
which incur great financial and social costs.(12)
Learning how to understand and use the Nutrition Facts label can help you make
healthier eating choices and identify nutrient-dense foods for a healthy diet. Here are some
tips from the American Heart Association for making the most of the information on food
labels (13).

1 - Start with the serving information at the top.


This will tell you the size of a single serving and the total number of servings per container
(package).
2 - Next, check total calories per serving and container.
Pay attention to the calories per serving and how many calories you’re really consuming if
you eat the whole package. If you double the servings you eat, you double the calories and
nutrients.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 76


3 - Limit certain nutrients.
Check key nutrients and understand
what you’re looking for. Not all fats
are bad, and total sugars can include
both natural and added sugars. Limit
the amounts of added
sugars, saturated fat and sodium you
eat, and avoid trans fat. When
choosing among different brands or
similar products, compare labels and
choose foods with less of these
nutrients when possible.
4 - Get enough of the beneficial
nutrients.
Make sure you get enough of the
nutrients your body needs, such as:
calcium, choline, dietary fiber, iron,
magnesium, potassium, and vitamins
A, C, D and E.*
5 - Understand % Daily Value.
The % Daily Value (DV) tells you the
percentage of each nutrient in a
single serving, in terms of the daily
recommended amount. If you want to
consume less of a nutrient (such as
saturated fat or sodium), choose
foods with a lower % DV (5 percent or
less). If you want to consume more of a nutrient (such as fiber), choose foods with a higher
% DV (20 percent or more).
Here are more tips for getting as much health information as possible from the
Nutrition Facts label:
 Remember that the information shown in the label is based on a diet of 2,000 calories
a day. You may need less or more than 2,000 calories depending upon your age,
gender, activity level, and whether you’re trying to lose, gain or maintain your weight.
 When the Nutrition Facts label says a food contains “0 g” of trans fat, but includes
“partially hydrogenated oil” in the ingredient list, it means the food contains some trans
fat, but less than 0.5 grams per serving. So, if you eat more than one serving, you
could end up eating too much trans fat.

77 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


 The U.S. Food and Drug Administration (FDA) regulates the Nutrition Facts label seen
on packaged foods and drinks. In 2016, the FDA released changes to the label to
make it easier to see how many calories and added sugars are in a product and to
make serving sizes more realistic. These changes are still being implemented
throughout the food industry, so for now you may see the redesigned version shown
here or the old original version.

Food labels can be implemented in different forms, for example through nutrient
lists and profiles, informative logos, which can convey either positive or negative
characteristics of the product, traffic light schemes, on a compulsory or voluntary basis.
Nutrient lists on packaged foods are compulsory by law in the vast majority of OECD
countries. Both compulsory (e.g. Chile, Korea) and voluntary (e.g., Sweden, Denmark)
frontof-pack (FOP) labels have been introduced (see Box1). Initial evidence of the impact
on food choices and diet suggests that easy-to-understand interpretative labelling prompts
a higher response rate from consumers than simply listing nutrient profiles (Cecchini and
Warin, 2016). There is also evidence that FOP labelling can motivate food manufacturers
to reformulate products with lower levels of nutrients that contribute to obesity (Kloss et al.,
2015), while evidence on the impact of recent FOP labelling on BMI and obesity would
require a longer time period to be detected.(14)
For example, evidence suggests that “traffic-light” systems have the potential to
increase the number of people selecting a healthier option by about 18% and lead to a 4%
decrease in calorie intake (Cecchini and Warin, 2016). According to a ten-week experiment
on food labelling run across 60 different supermarkets in France, the fivecolour NutriScore
label was found to be the most effective nutritional labelling system among those studied
and was selected to be implemented across the country as from April 2017. In December
2016, as part of its Healthy Eating Strategy, Canada launched a public consultation on a
new compulsory food labelling logo that will warn about “high in sodium, sugars, and
saturated fat” contents.(14)
Food labelling in restaurants helps reduce calorie intake. For example, an
Australian case study showed that consumers who were exposed to food labelling
information selected meals with about 120 kcal lower energy content (Morley et al., 2013).
In Washington State, United States, there was a drop of about 15 calories and 1.5 grams
of fat per entrée sold after the introduction of labelling on the menus in six fullservice
restaurants. On the other hand, the introduction of menu calorie labelling in New York City
was shown to have little effect on the amount of calories purchased, although 28% of those
who saw calorie labelling reported that this information affected their choices.(14)

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 78


References
1. Seidell JC, Halberstadt J. The global burden of obesity and the challenges of
prevention. Annals of Nutrition and Metabolism. 2015;66(Suppl. 2):7-12.
2. Finucane MM, Stevens GA, Cowan MJ, Danaei G, Lin JK, Paciorek CJ, et al. National,
regional, and global trends in body-mass index since 1980: systematic analysis of
health examination surveys and epidemiological studies with 960 country-years and
9· 1 million participants. The Lancet. 2011;377(9765):557-67.
3. Abarca-Gómez L, Abdeen ZA, Hamid ZA, Abu-Rmeileh NM, Acosta-Cazares B, Acuin
C, et al. Worldwide trends in body-mass index, underweight, overweight, and obesity
from 1975 to 2016: a pooled analysis of 2416 population-based measurement studies
in 128· 9 million children, adolescents, and adults. The Lancet.
2017;390(10113):2627-42.
4. Visscher TL, Seidell JC. The public health impact of obesity. Annual review of public
health. 2001;22(1):355-75.
5. Hamdy O. Obesity: Medscape; 2018 [updated Mar 20, 2018; cited 2019 Jan 31].
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/123702-overview.
6. Martinelli CE, Keogh JM, Greenfield JR, Henning E, van der Klaauw AA, Blackwood
A, et al. Obesity due to melanocortin 4 receptor (MC4R) deficiency is associated with
increased linear growth and final height, fasting hyperinsulinemia, and incompletely

79 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


suppressed growth hormone secretion. The Journal of Clinical Endocrinology &
Metabolism. 2011;96(1):E181-E8.
7. Cao JJ. Effects of obesity on bone metabolism. Journal of orthopaedic surgery and
research. 2011;6(1):30.
8. Swinburn BA, Sacks G, Hall KD, McPherson K, Finegood DT, Moodie ML, et al. The
global obesity pandemic: shaped by global drivers and local environments. The
Lancet. 2011;378(9793):804-14.
9. Borys JM, Le Bodo Y, Jebb SA, Seidell J, Summerbell C, Richard D, et al. EPODE
approach for childhood obesity prevention: methods, progress and international
development. Obesity reviews. 2012;13(4):299-315.
10. Elbel B, Gyamfi J, Kersh R. Child and adolescent fast-food choice and the influence
of calorie labeling: a natural experiment. International journal of obesity.
2011;35(4):493.
11. Hieke S, Harris JL. Nutrition information and front-of-pack labelling: issues in
effectiveness. Public health nutrition. 2016;19(12):2103-5.
12. Littlewood JA, Lourenço S, Iversen CL, Hansen GL. Menu labelling is effective in
reducing energy ordered and consumed: a systematic review and meta-analysis of
recent studies. Public health nutrition. 2016;19(12):2106-21.
13. Understanding Food Nutrition Labels [cited 2019 31 Jan, 2019]. Available from:
https://www.heart.org/en/healthy-living/healthy-eating/eat-smart/nutrition-
basics/understanding-food-nutrition-labels.
14. OECD. Obesity Update 2017 2017 [cited 2019 Jan 31]. Available from:
www.oecd.org/health/obesity-update.htm.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 80


SGLT2 INHIBITOR IN TYPE 2 DIABETES MELLITUS
MANAGEMENT:
CURRENT POSITION AND FUTURE PROMISE
dr. Krishna W. Sucipto, SpPD-KEMD
Divisi Endokrinologi, Metabolik dan Diabetes, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh

Pendahuluan
Dalam beberapa dekade, pengobatan diabetes melitus memiliki fokus untuk
mengurangi kadar glukosa darah hingga mencapai kisaran normal dengan asumsi bahwa
strategi penurunan glukosa yang intensif akan menghasilkan pencegahan efek
mikrovaskular dan makrovaskular 7. Diabetes melitus adalah penyakit yang memerlukan
terapi kombinasi untuk mengontrol kenaikan gula darah. Patofisiologi dari diabetes melitus
adalah komplek dan multifaktorial. Hiperglikemia kronik memicu progresifitas perburukan
sekresi insulin, resistensi insulin dan diabetes. Beberapa obat antidiabetik sudah
dikembangkan dan digunakan dalam praktek klinis, namun rata- rata pasien diabetes
melitus tipe 2 masih belum mencapai target terapi karena itu diperlukan strategi terapi
baru yang efisien untuk Diabetes melitus tipe 2 baik monoterapi maupun terapi kombinasi.
Saat ini tersedia beberapa obat untuk pengobatan diabetes melitus, golongan terbaru yaitu
Sodium – glucose cotransporter – 2 ( SGLT2) inhibitor yang menurunkan reasorbsi gukosa
di ginjal dan meningkatkan ekresinya melalui urin. Sodium – glucose cotransporter – 2
(SGLT2) inhibitor adalah salah satu obat untuk anti hiperglikemia yang mendapatkan
persetujuan oleh FDA. Mekanisme SGLT2 inhibitors ialah mengurangi penyerapan glukosa
di tubular, menghasilkan pengurangan glukosa darah tanpa menstimulasi insulin 1, 17, 18.
SGLT2 inhibitors bekerja pada proximal tubulus ginjal yang memiliki efek
terhadap fungsi ginjal dan homeostasis. SGLT2 inhibitors terutama digunakan untuk
diabetes melitus tipe 2 dalam mengontrol glukosa darah untuk mencapai penurunan
HBA1c 7-10 mmol/mol (0,6-0,9%) pada individu yang memiliki kontrol glukosa yang buruk
8. SGLT2 inhibitors co tranporters bekerja di proximal tubulus ginjal, dimana SGLT2
inhibitors secara aktif mereabsobrsi glukosa secara optimal dan mempertahankan kadar
glukosa darah tetap stabil. SGLT2 bekerja secara selektif mencegah reabsorbsi glukosa di
ginjal dan meningkatkan sekresinya melalui urin3. Ada 3 jenis obat golongan SGLT2
inhibitors yang saat ini dipakai dalam terapi diabetes melitus tipe 2; canagliflozin,
dapagliflozin, dan empagliflozin. 4-6.
Semua obat-obatan SGLT2 inhibitors mempunyai mekanisme yang sama,
meskipun canagliflozin diketahui memiliki afinitas SGLT2 cotransporters yang ditemukan

81 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


di saluran pencernaan dan ginjal 4. Telah banyak penelitian yang menilai keamanan obat
anti hiperglikemia terhadap keamanan jantung dan pembuluh darah. Studi yang dilakukan
dengan obat SGLT2 inhibitors seperti ertugliflozin dan dapagliflozin menunjukkan
pengurangan yang signifikan terhadap kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah.
Pada pasien diabetes melitus dengan risiko tinggi kardiovaskular disarankan untuk memlih
terapi dengan golongan SGLT2 inhibitors. 7

Keuntungan dari SGLT2

SGLT2 inhibitors dapat diberikan sebagai monoterapi atau kombinasi dalam


manajemen hiperglikemia pada diabetes tipe 2. SGLT2 inhibitor dapat mencapai
pengurangan HbA1c 4,4-12,1 mmol /mol bila dibandingkan dengan Dipeptidil peptidase-4
(DPP-IV). 9
SGLT2 inhibitors juga memiliki beberapa efek pleitropik. Yang pertama
menurunkan berat badan 2-3 kg , yang dimulai dengan penurunan cepat berat badan pada
minggu pertama terapi yaitu sekitar 1-2 kg yang mungkin merupakan hasil akhir dari
osmosis diuresis akut melalui blokade SGLT2 reseptor. Penurunan berat badan mungkin
berlangsung selama 20 minggu. Kedua , berdasarkan penelitian metaanalisis, SGLT2
dapat menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik 2-5 mmHg. Beberapa mekanisme
yang terjadi yaitu kontraksi volum plasma melalui diuresis osmotik, kehilangan berat
badan, dan memperbaiki kekakuan pembuluh darah melalui penurunan berat badan,
hiperglikemia yang berhubungan stres oksidatif, proteksi endotelial, dan penurunan
konsentrasi asam urat. Ketiga SGLT2 menurunkan profile lipid melalui reduksi trigliserida
plasma dan meningkatkan colesterol HDL dn LDL. Keempat memicu natriuresis yang
mungkin memperbaiki keseimbangan elektrolit dan status volum.16
Efek penurunan berat badan juga dapat terjadi akibat penggunaan obat SGLT2
inhibitors. Penurunan berat badan bervariasi tergantung jenis obat dan dosis yang
digunakan. Uji metaanalisis randomized controlled trial yang samplenya diobati dengan
canagliflozin 300mg, empagliflozin 25 mg atau dapagliflozin 10 mg per hari menunjukkan
hasil penurunan berat badan masing-masing 2,66 kg, 1,81 kg dan 1,80 kg.10. Penurunan
tekanan darah dengan menggunakan SGLT2 inhibitors tejadi melalui mekanisme diuresis
osmotik dan konsentrasi intravaskular, SGLT2 inhibitors menurunkan tekanan darah
sistolik sebesar 3,4-5,4 mmHg dan tekanan diastolik sebesar 1,5-2,2 mmHg. Individu
dengan penyakit diabetes melitus tipe 2 akan mengalami penurunan tekanan darah yang
cukup signifikan setelah mendapat terapi pengobatan dengan SGLT2 inhibitor.11
Empagliflozin dan canagliflozin telah terbukti secara signifikan mengurangi
kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah sebesar 32% serta menurunkan resiko
untuk rawat inap sebesar 35%. 12 Pemakaian SGLT2 inhibitors juga dapat mengurangi
angka kejadian penyakit nefropatI. Studi yang mempelajari penggunaan empagliflozin
terhadap terjadinya efek jangka panjang terhadap ginjal menyebutkan bahwa penggunaan

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 82


empagliflozin dapat memperlambat terjadinya disfungsi ginjal. Angka kejadian nefropati
adalah 12,75 % pada kelompok yang mendapat empagliflozin dibandingkan dengan
placebo kejadian nefropati sebesar 18,8% pada kelompok yang mendapat placebo.1
Penelitian Yale dkk (2013) membuktikan efek renoprotektif SGLT2 inhibitors yaitu
canaglifozin yang menurunkan insiden dan progresifitas albuminuria dibandingkan dengan
plasebo pada individu diabetes melitus type 2 dan penyakit ginjal kronik. Dapaglifozin juga
dapat menurunkan albuminuria pada individu dengan diabetes melitus type 2 dan
hipertensi yang menggunakan terapi renin angiotensin blockers. Mekanisme dari efek
renoprotektif yaitu mengurangi tekanan intraglomerular melalui vasokonstriksi arteriole
afferent (vasodilatasi arteriole efferent karena blokade RAS). penting diperhatikan efikasi
SGLT2 inhibitors tergantung pada fungsi ginjal; di Amerika serikat SGLT2 inhibitors tidak
direkomendasikan pada eGFR <45 mL/min/1,73 m2 (empaglifozin atau canaglifozin) atau
<45 mL/min/1,73 m2 (dapaglifozin)12.
Glukosuria yang di picu oleh SGLT2 inhibitors bisa sebagai faktor predisposisi
terhadap terjadinya infeksi jamur urogenital dan infeksi saluran kemih. Individu dengan
riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya merupakan faktor risiko utama. Insiden
vulvovaginitis dan balanitis pada individu yang mendapatkan terapi dapaglifozin sekitar
5,5 % dibandingkan dengan plasebo 0,6 %. Namun secara keseluruhan infeksi dapat
diterapi dengan antifungal konvensional dan penghentian dapaglifozin jarang dilakukan.
Hasil yang sama juga terlihat pada canaglifozin dan empaglifozin. Angka kejadian mikosis
genital merupakan marker faktor risiko terjadinya infeksi pada episode selanjutnya dan
untuk kelanjutan terapi SGLT2 inhibitor selanjutnya harus didiskusikan.16

SGLT2 dalam managemen diabetes melitus


Penggunaan SGLT2 dalam pengelolaan diabetes melitus tipe 2 disarankan
sebagai pengobatan lini kedua atau ketiga setelah metformin pada individu yang
membutuhkan kontrol terhadap glukosa darah14. Guideline ADA 2018 merekomendasikan
SGLT2 sebagai lini kedua setelah metformin, karena terbukti mengurangi MACE/
mortalitas kardiovaskular pada individu dengan diabetes melitus tipe 215. Berdasarkan
data, canagliflizon dan empagliflizon terbukti memiliki efek positif terhadap jantung dan
pembuluh darah, sementara mekanisme ptotektif SGLT2 inhibitor lain masih belum terbukti
dalam mengurangi kejadian kardiovaskular dan pembuluh darah12. Selain
mempertimbangkan rekomendasi ahli dan guidelines, dalam memberikan obat SGLT2
harus memperhatikan manfaat dan efek yang ditimbulkan dalam penggunaannya terhadap
individu. Empagliflozin atau canagliflozin dapat dipakai dalam pengobatan lini kedua pada
individu yang tidak mampu mengontrol kadar gula darah secara optimal dengan
pemakaian obat. SGLT2 sangat bermanfaat pada individu yang mempunyai penyakit
jantung dan pembuluh darah / penyakit ginjal12.

83 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


Kesimpulan
SGLT2 inhibitor merupakan obat oral terbaru dalam pengobatan diabetes tipe 2,
obat ini bekerja dengan meningkatkan eksresi glukosa urin selama fungsi ginjal dalam
keadaan baik, obat ini harus dipertimbangkan sebagai pengobatan lini kedua untuk individu
dengan resiko penyakit jantung dan oembuluh darah atau individu dengan nefropati, jika
dalam pengobatan dengan metformin belum tercapai. Kemungkinan efek samping yang
ditimbulkan termasuk frekuensi buang air kecil dan ortostasis. Efek samping potensial
termasuk infeksi saluran kemih, euglikemik, AKI dan fraktur extremitas bawah dikaitkan
dengan penggunaan canagliflizon. Komplikasi tersebut harus dipantau secara ketat dan
pengobatan harus dihentikan.

Daftar Kepustakaaan

1. Hsia DS, Grove O, Cefalu WT. An update on sodium-glucose co-transporter-2


inhibitors for the treatment of diabetes mellitus. Curr Opin Endocrinol Diabetes Obes.
2017;24(1):73-79.
2. Milder TY, Stocker SL, Abdel Shaheed C, McGrath-Cadell L, Samocha-Bonet D,
Greenfield JR, Day RO. Combination Therapy with an SGLT2 Inhibitor as Initial
Treatment for Type 2 Diabetes: A Systematic Review and Meta-Analysis. Journal of
Clinical Medicine. 2019; 8(1):45
3. Wilding J, Fernando K, Milne N, et al. SGLT2 Inhibitors in Type 2 Diabetes
Management: Key Evidence and Implications for Clinical Practice. Diabetes Ther.
2018;9(5):1757-1773.
4. Napp Pharmaceuticals Limited. Canagliflozin: summary of product characteristics.
2017. https://www.medicines.org.uk/emc/product/8855. Accessed April 2018.
5. AstraZeneca UK Limited. Dapagliflozin: summary of product characteristics. 2017.
https://www. medicines.org.uk/emc/product/7607. Accessed April 2018.
6. Boehringer Ingelheim Limited. Empagliflozin: summary of product characteristics.
2018. https:// www.medicines.org.uk/emc/product/5441. Accessed April 2018
7. Wanner C, Marx N. SGLT2 Inhibitor: the future for treatment of type 2 diabetes mellitus
and other chronic diseases. Diabetologia. 2018 61:2134-2139
8. Thomas MC, Cherney DZI. The actions of SGLT@ inhibitor on metabolism, renal
function and blood pressure. Diabetolgia. 2018;61(10):2098-107
9. Lupsa BC, Inzucchi SE. Use of SGLT2 inhibitors in type 2 diabetes: weighing the risks
and benefits. Diabetologia. 2018;61(10):2118-25.
10. Pinto LR, Rados DV, Remonti LR, Kramer CK, Leitao CB, Gross JL (2015) Efficacy of
SGLT2 inhibitors in glycemic control, weight loss and blood pressure reduction: a
systematic review and metaanalysis. Diabetol Metab Syndr 7(Suppl 1):A58

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 84


11. Terra SG, Focht K, Davies M et al (2017) Phase III, efficacy and safety study of
ertugliflozin monotherapy in people with type 2 diabetes mellitus inadequately
controlled with diet and exercise alone. Diabetes Obes Metab 19:721–728
12. Zinman B, Wanner C, Lachin JM et al (2015) Empagliflozin, cardiovascular outcomes,
and mortality in type 2 diabetes. N Engl J Med 373:2117–2128 including supplemental
appendix
13. Wanner C, Inzucchi SE, Lachin JM et al (2016) Empagliflozin and progression of
kidney disease in type 2 diabetes. N Engl J Med 375: 323–334
14. Inzucchi SE, Bergenstal RM, Buse JB et al (2015) Management of hyperglycaemia in
type 2 diabetes, 2015: a patient-centred approach: update to a position statement of
the American Diabetes Association and the European Association for the Study of
Diabetes. Diabetologia 58:429–442
15. Pharmacologic approaches to glycemic treatment: standards of medical care in
diabetes-2018. Diabetes Care 41: S73-S85
16. Michael, Van Baar. Et all. SGLT2 Inhibitors in Combinatination Therapy : From
Mechanism to Clinical Consideration in Type 2 Diabetes Management Diabetes Care
2018 ; 41 : 1543-1556
17. Santos, Leyno. et all. Use of SGLT-2 inhibitors in the treatment of type 2 diabetes
mellitus. Rev assoc med Bras 2017; 63(7):636-641
18. Tahara, Atsuo. Takasu Toshiyuki. Characterization and comparison os sodium-
glucose cotransporter 2 inhibitors in pharmacokinetics, pharmacodynamic, and
pharmacologic effect in Journal pharmacological science 130 (2016) 159-169

85 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


PENGHAMBAT SGLT2: EFEK TERHADAP TEKANAN
DARAH DAN POTENSI PROTEKSI KARDIOVASKULER
Ketut Suastika
Divisi Endokrinologi dan Metabolisme, Departemen Penyakt Dalam
FK Unud-RSUP Sanglah, Denpasar

Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) merupakan penyakit metabolik yang ditandai oleh adanya
hiperglikemia yang bersifat kronik dan progresif. Walaupun secara patogenesisnya
terutama disebabkan oleh adanya reisitensi insulin dan gangguan fungsi sel beta, namun
banyak organ dan sistem yang berperan dalam metabolismeglukosa dan sekaligus
berpengaruh terhadap keadaan hiperglikemia pada penderita DMT2. Organ atau sistem
tersebut diantaranya adalah: otak, saluran cerna, pankreas, otot, jaringan lemak, hati, dan
ginjal. Obat-obatan untuk DMT2 yang ada kini dikembangkan berdasarkan mekanisme
penyakit dan peran organ atau sistem yang terlibat dalam patofisiologi DMT2. Salah satu
obat yang ada saat ini adalah penghambat sodium glucose cotransporter-2 (SGLT2) yang
kerjanya dengan cara menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus proksimalis
ginjal.

Peran ginjal dalam metrabolisme glukosa pada orang normal dan diabetes
Dalam keadaan puasa (postabsorptive) pada orang sehat, ginjal menyumbang
sekitar 20%-25% glukosa yang dikeluaran ke dalam sirkulasi melalui glukoneogenesis (15-
55 g per hari), dan hati bertanggung jawab sisanya melalui glikogenolisis dan
glukoneogenesis. Glukoneogenesis ginjal terjadi terutama di dalam sel tubulus proksimalis
pada korteks gunjal, dan terutama diregulasi oleh insulin dan katekolamin (seperti
adrenalin). Insulin menghambat dan adrenalin memicu terjadinya glukoneogenesis di
ginjal. Pada keadaan setelah makan (postprandial), glukoneogenesis ginjal relatif
meningkat dibandingkan pada saat keadaan puasa. Pelepasan glukosa ginjal diregulasi
oleh insulin, berarti jika terjadi resistensi insulin, penekanan pelepasan glukosa ginjal akan
menurun; ini menjelaskan adanya peningkatan reabsorpsi glukosa akibat upregulation
transporter glukosa ginjal (GLUTs).
Ginjal berperan penting dalam konservasi glukosa, menyaring 160-180 g glukosa
per hari pada orang sehat, dimana diserap kembali di tubulus proksimalis ginjal.
Reabsorpsi glukosa terjadi melalui SGLT dan GLUTs. Energi untuk transport glukosa
secara aktif yang diperantarai SGLT melewati membran sel adalah berasal dari gradient
potensial Na elektro-kimia. Ini dipelihara dengan transport ion Na intraseluler ke dalam
darah melalui sodium-potassium adenosine triphosphatase (ATPase) pumps yang terletak
di membran basolateral. GLUTs mengikat glukosa, glukosa secara pasif ditranspor lewat
membran sel dari kompartemen intraseluler kedalam plasma. Di dalam tubulus

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 86


proksimalis, dua subtipe SGLT dan GLUT bertanggung jawab terhadap reabsorpsi glukosa
dan diekpresikan berturut-turut pada luminal brush border dan membran basolateral sel
epitel. SGLT2, kotransporter dengan kapasitas-tinggi dan afinitas-rendah, bertanggung
jawab terhadap sebagian besar reabsorpsi glukosa ginjal, rasio ikatan transport aktif Na
dan glukosa 1:1 di dalam tubulus proksimalis awal. Glukosa kemudian direasobsi ke dalam
sirkulasi melalui GLUT2. Sisa glukosa di serap oleh SGLT1, transporter afinitas-tinggi yang
diekspresikan di tubulus proksimalis bagian distal (Na-glukosa rasio adalah 2:1) dan
kemudian diserap ke dalam darah melalui GLUT1. Pada Gambar 1 dapat dilihat
bagaimana mekanisme SGLT2 bekerja dalam menyerap kembali glukosa.
Hubungan fisiologis antara kadar glukosa plasma dan fluks glukosa ginjal (seperti
filtrasi, reasorpsi, dan ekskresi) secara tipikal disebut tipe hubungan ambang batas
(threshold). Pada tahun 1930, Shannon dan Fisher memperlajari kinetik reabsorpsi glukosa
ginjal pada anjing. Studinya menunjukkan bahwa: (1) ada kapasitas maksimum transport
glukosa ginjal (the tubular maximum glucose reabsorption rate [TmG]), (2) hampir semua
glukosa yang difiltrasi diserap kembali ketika kadar glukosa plasma masih dibawah nilai
ambang batas yang disebut the renal threshold for glucose (RTG), dan (3) urinary glucose
excretion (UGE) meningkat secara linier dengan glukosa plasma jika glukosa plasma
diatas RTG. Jumlah glukosa yang difiltrasi oleh ginjal meningkat secara linier dengan
meningkatnya kadar glukosa plasma dan menurun dengan menurunnya laju filtrasi
glomerulus (LFG); reabsorpsi glukosa ginjal meningkat secara linier sampai kadar tertentu
glukosa plasma. Pada orang sehat, hampir semua glukosa yang difiltrasi diserapkembali
di tubulus ginjal. Namun demikian, jika beban filtrasi glukosa melebihi atas ambang
kemampuan penyerapan kembali glukosa ((TmG; sekitar 375 mg/menit [425 g/hari] pada
orang sehat), kelebihan glukosa akan diekskresikan melalui urine. Batas ambang ginjal
untuk ekskresi glukosa (RTG) adalah kadar glukosa plasma pada mana TmG dilewati. Pada
orang sehat, RTG adalah sekitar 180-200 mg/dL (kadar glukosa plasma), sedangkan pada
penderita diabetes RTG akan meningkat (sangat bervariasi antara 112-240 mg/dL). TmG
mungkin juga meningkat pada penderita diabetes, sehingga menambah hiperglikemia
yang ada. Peningkatan reasorpsi tubulus mungkin karena peningkatan ekspresi atau
aktivitas GLUT dan upregulasi SGLT2 dan GLUT2. Berdasarkan observasi bahwa rerata
RTG pada penderita DMT2 40 mg/dL lebih tinggi dibandingkan orang sehat yaitu sekitar
180-200 mg/dL.

87 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


Gambar 1. Reabsorpsi glukosa normal di ginjal.

SGLT2 terletak di tubulus proksimalis bagian awal (segmen S1) dimana glukosa diserap
kembali sekitar 90%, dan sisanya glukosa diserap melalui SGLT1 yang terletak di tubulus
proksimalis bagian distal (segmen S2/S3). Zelniker T.A. and Braunwald E. J Am Coll
Cardiol. 2018;72(15):1845–55.

Penghambat SGLT2: Sebagai obat antidiabetes


Walaupun phlorizin telah diketahui dapat meningkatkan UGE dan menghambat reasorpsi
glukosa ginjal pada tahun 1930an, potensi penggunaan meningkatnya UGE dalam
pengaturan glukosa plasma belum ada sampai tahun 1980an. Percobaan oleh Rossetti
dan kawan-kawan pada tikus diabetes menunjukkan bahwa pengobatan dengan phlorizin
menormalkan kadar glukosa darah dan menurunkan glukotoksisitas dan memperbaiki
fungsi sel beta dan sensitivitas insulin. Namun, pjhlorizin tidak bisa digunakan sebagai obat
karena penyerapannya buruk, metabolismenya phloretin menghambat GLUTs dan
potensial menyebabkan malabsorbsi di usus akibat penghambatan terhadap SGLT1.
Kemudian dikembangkan obat yang berfungsi untuk menghambat SGLT2 secara selektif.
Publikasi pertama penggunaan penghambat SGLT2 (T-1095) sebagai obat antidiabetes
adalah pada binatang mengerat pada tahun 1999. Selanjutnya dikembangkan berbagai
obat penghambat SGLT2 di beberapa Negara terutama di Amerika, Eropa dan Jepang;

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 88


diantaranya adalah dapagliflozin, canagliflozin, empagliflozin, ertugliflozin luseogliflozin,
topogliflozin, dan ipragliflozin.
Pada orang sehat, glukosa direabsorpsi sampai 90% di SGLT2 dan sisanya sekitar
10% di SGLT1. Namun demikian, pada penderita diabetes obat penghambat SGLT2 hanya
mengeluarkan glukosa sekitar 50-60% dari glukosa yang difiltrasi. Ini kemungkinan karena,
pada saat adanya penghambatan pada SGLT2 akan terjadi peningkatan daya serap di
SGLT1 yang ada di bagian lebih distal dari tubulus proksimalis ginjal. Berbagai obat
penghambat SGLT2 telah digunakan dalam banyak uji klinis. Berdasarkan hasil studi meta-
analisis pada penderita DMT2, penghambat SGLT2 menurunkan HbA1c sebesar 0.5-07%
selama 12 minggu pengobatan dan ini bertahan selama 52 minggu. Hypoglikemia
ditemukan jika obat inidigunakan secara kombinasi dengan obat lain, tidak sebagai obat
monoterapi. Penurunan kadar glukosa darah akibat penghambatan SGLT2 tergantung dari
kadar glukosa darah dan LFG. Dua parameter ini menentukan seberapa banyak glukosa
sampai di SGLT2 pada tubulus proksimalis, ini berarti seberapa banyak glukosa akan
dieksresikan oleh penghambatan SGLT2. Berarti makin kecil angka kedua hal diatas akan
makin kecil efek penurunan glukosa darahnya. Penghambat SGLT2 telah diakui untuk obat
DMT2, dimana dafagliflozin diakui dapat digunakan pada penderita dengan GFR>60
ml/menit dan canagliflozin dan empaglifozin dapat digunakan pada GFR >45 ml/menit.
Walaupun ada studi yang menunjukkan bahwa obat penghambat SGLT2 pada penderita
DMT2 dengan penyakit ginjal kronik stadium 3 (eGFR antara 30-60 ml/menit) masih bisa
menurunkan HbA1c sebesar 0.42 dala 24 minggu.
Glukoneogenesis merupakan mekanisme penting dalam mempertahankan kadar
glukosa darah tetap normal dan mencegah hipoglikemia. Penghambat SGLT2
meningkatkan kadar glukagon plasma dan produksi glukosa endogen pada DMT2. SGLT2
sendiri diekspresikan pada sel alfa pankreas, dimana eskresi ini menurun pada DMT2, dan
penghambatan SGLT2 akan meningkatkan pelepasan glukagon dari sel alfa. Jadi,
penghambatan SGLT2 dapat menginduksi pelepasan glukagon dan menyebabkan
glukoneogenesis di hati diakibatkan baik oleh turunnya glukosa darah maupun efek
langsung pada sel alfa. Selektivitas penghambatan SGLT2 perlu dilihat dari obat golongan
ini untuk menduga efek samping terkait penghambatan terhadap SGLT1.

Penghambat SGLT2: Efek terhadap tekanan darahdan risiko kardiovaskuler


Hipertensi (HT) dan DMT2 sering ditemukan bersamaan dan keadaan ini
merupakan penyebab perburukan risiko kardiovaskuler. Pada penderita DMT2 sekitar 40%
mempunyai HT pada saat diagnsosis ditegakkan. Penyebab HT pada DMT2 tidak saja
disebabkan oleh penyakit gunjal diabetik, sebagian penderita telah mempunyai HT
sebelum terjadinya albuminuria sedang. Kekakuan arteri, retensi natrium yang
mengakibatkan volume darah bertambah merupakan sebagian mekanisme terjadinya HT
pada DMT2. Efek penurunan tekanan darah pada terapi penghambat SGLT2 mungkin

89 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


melalui efeknya terhadap diuresis osmotik dan natriuresis ringan. Penghambat SGLT2
dapat meningkatkan keluaran urine sekitar 110 mL/hari sampai 470 mL/hari. Peningkatan
ekskresi natrium mengakibatkan penurunan volume plasma yang ujungnya menurunkan
tekanan darah. Terjadinya penurunan berat badan, mungkin juga berkontribusi terhadap
penurunan tekanan darah. Mekanisme lain yang mungkin adalah penghambatan lokal
sistem renin angiotensin aldosteron (SRAA) sekunder akibat peningkatan natrium di dalam
aparatus jukstaglomeruler. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi arteriol aferen dan
memberi perlindungan terhadap ginjal. Mekanisme lain, melalui efek tidak langsung adalah
terhadap pelepasan oksida nitrat sekunder akibat penurunan stres oksidatif oleh perbaikan
glukosa darah. Suatu studi membuktikan bahwa penghambat SGLT2 dapat mengurangi
kekakuan arteri. Efek ini tidak berkaitan dengan aktivitas SRAA, oksida nitrat endotel,
sistem saraf simpatetik, dan diperkirakan kemungkinan akibat faktor lainnya. Hal ini
mungkin terkait dengan penurunan berat badan, penurunan dosis insulin, efek langsung
terhadap otot polos vaskuler, dan antiinflamasi. Efek peghambat SGLT2 terhadap tekanan
darah dan proteksi terhadap ginjal, dan sekaligus menjelaskan sebagian mekanisme
perbaikan luaran kardiovaskuler dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Perubahan setelah penghambatan SGLT2.

Penghambatan SGLT2 (1) menyebabkan ekskresi glukosa dan natrium (Na+) (2)
di dalam urine. Akibat hilangnya garam tubuh menyebabkan vasokonstriksi arteriol aferen.
Oleh karena reabsorpsi glukosa berikatan dengan absorpsi Na+, maka terjadi peningkatan
Na+ di makula densa (4), meningkatkan aktivasi umpan balik tubuloglomeruler yang
menyebabkan vasokonstriksi arteriol aferen, dimana dipicu terutama oleh kaskade sinyal
termediasi adenosine (5). Makula densa menghambat pelepasan renin dari sel

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 90


jukstaglomeruler (6), meningkatkan dilatasi arteriol eferen (7). Vasokonstriksi arteriol
aferen dan dilatasi arteriol eferen menurunkan laju filtrasi glomerulus awalnya, kemudian
menurunkan tekanan hidrostatik intraglomeruler sebagai manifestasi efek renoprotektif
pada obat golongan ini. DCT = distal convoluted tubule; K+ = potassium; PCT = proximal
convoluted tubule. Zelniker T.A. and Braunwald E. J Am Coll Cardiol. 2018;72(15):1845–
55.
Kematian akibat komplikasi diabetes khususnya DMT2 adalah karena PKV.
Karenanya, obat-obatan antidiabetes disamping bertujuan untuk menurunkan glukosa
darah juga disyaratkan menurunkan angka kejadian dan kematian kardiovaskuler. Terkait
dengan efek menguntungkan terhadap luaran kardiovaskuler, penghambatan SGLT2
dapat memperbaiki hemodinamik, menurunkan berat badan, dan perbaikan lipid plasma.
Efek diuresis osmotik akibat penghambatan SGLT2 menyebabkan kehilangan volume dan
natrium yang akan mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron dan mengawali
counter-regulatory compensatory mechanism oleh ginjal untuk mempertahankan
homeostasis natrium. Sebagai tambahan, penurunan berat badan akibat glukosuria dan
terkait dengan kehilangan kalori bersih mungkin menyumbang penurunan tekanan darah.
Penurunan preload akan bermanfaat bagi mereka dengan gagal jantung. Seperti halnya
preload, afterload juga dikurangi dengan bukti adanya penurunan tekanan darah,
kekakuan arteri dan aktivitas sistem saraf simpatetik. Penghambatan SGLT2 juga
dilaporkan dapat menurunkan kadar asam urat. Hampir semua studi tentang obat
penghambat SGLT2 melaporkan adanya penurunan tekanan darah, lebih besar pada
tekanan darah sistolik (1.66-6.99 mmHg) dibandingkan tekanan darah diastolik (0.88-6.99
mmHg). Keuntungan lain terkait luaran kardiovaskuler adalah bahwa obat ini tidak
meningkatkan denyut nadi.
Selain faktor hemodinamik, penurunan berat badan, perbaikan inflamasi dan stres
oksidatif, dan perbaikan profil lipid juga dikaitkan dengan keuntungan penghambat SGLT2
terhadap luaran kardiovaskuler. Penurunan berat badan mungkin disebabkan oleh diuresis
atau deplesi volume, dan hilangnya kalori dalam bentuk glukosa. Penurunan masa lemak
viseral dan subkutan, indeks adipositas viseral, dan lingkar pinggang juga ditemukan pada
pengobatan dengan penghambat SGLT2. Perbaikan profil lipid yang diamati adalah
penurunan kadar trigliserid dan peningkatan sedikit kolesterol HDL, namun juga dilaporkan
adanya peningkatan kolesterol total dan LDL. Resistensi insulin dan hiperinsulinemia
dihubungkan dengan peningkatan risiko aterosklerosis. Perbaikan sensitivitas insulin
(dan/atau penurunan kadar insulin plasma) setelah pemberian penghambar SGLT2
mungkin menguntungkan luaran kardiovaskuler. Beberapa uji klinis penggunaan obat
penghambat SGLT2 terkait luaran kardiovaskuler telah selesai dan dipublikasikan. EMPA-
REG Outcome trial menunjukkan hasil luaran kardiovaskuler yang lebih baik pada
kelompok empagliflozin dibandingkan plasebo. Hasil serupa juga ditemukan pada uji klinik
Canagliflozin Cadiovascular Assessment Study (CANVAS) trial dan Dapagliflozin Effect on

91 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


Cardiovascular Events (DECLARE-TIMI58). Perbedaan luaran dan efek sampingnya dapat
dibaca pada masing-masing publikasi.

Gambar 3. Peran penghambat SGLT2 terhadap homeostasis jantung melalui efek


miokardial sistemik dan langsung.

Ang1-7, angiotensin 1-7; HBA1c, glycosylated hemoglobin; hs-CRP, high sensitive


C reactive protein; NaCl, sodium chloride; FFA, free fatty acids; SGLT, sodium/glucose
cotransporter; T2D, type 2; CV, cardiovascular; Ca2+, calcium; Na2+, sodium; NHE, cardiac
Na+/H+ exchanger; PP1, protein phosphatase 1; PLB, phospholamban; SERCA2a,
sarcoplasmic/endoplasmic reticulum Ca(2+)ATPase 2a; [Ca2+]c, cardiac cytoplasma Ca2+
concentration; M, M1 macrophages; M2, M2 macrophage; RONS, reactive oxygen and
nitrogen species; NLRP-3 inflammasome, nucleotide-binding domain leucine-rich repeat
containing protein inflammasome; AGEs, advanced glycoxidation end products; TG,
triglyceride; FA, fatty acids; SNS, sympathetic nervous system (7).
Pada satu tinjauan sistematik dan metaanalisis tentang luaran kardiovaskuler dan
ginjal yang melibatkan ke tiga studi diatas ditemukan bahwa penghambat SGLT2
mempunyai keuntungan sedang terhadap kejadian kardiovaskuler aterosklerosis termasuk
mereka yang sudah mempunyai penyakit kardiovaskuler. Efek lebih baik adalah terhadap
pengurangan masuk rumah sakit akibat gagal jantung dan perburukan penyakit ginjal.
Bagaimana obat golongan penghambat dapat memperbaiki luaran kardiovaskuler, gagal
jantung dan proteksi terhadap ginjal, telah dirangkum oleh Kaplan et al. (2018) seperti
terlihat pada Gambar 3.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 92


Daftar Pustaka
1. Briasoulis A, Al Dhaybi O, Bakris GL. SGLT2 inhibitor and mechanisms of
hypertension. Curr Cardiol TRep 2018; 20: 1. https://doi.org/10.1007/s1886-018-
0943-5.
2. Cangoz S, Chang YY, Chempakaseril SJ, et al. The kidney as a new target for
antidiabetic drugs: SGLT2 inhibitors. J Clin Pharm Ther, 2013: 38, 350–359.
3. Chao EC. SGLT-2 Inhibitors:
A New Mechanism for Glycemic Control. Clin Diabetes
2014; 32: 4- 11.
4. Handelsman Y, Bloomgarden ZT, Grunberger G, et al. American Association of
Clinical Endocrinologists and American College of Endocrinology –
Clinical Practice
Guidelines for Developing
A Diabetes Mellitus Comprehensive Care Plan – 2015.
Endocr Pract. 2015;21(Suppl 1): 1-87.
5. Inzucchi SE, Zinman B, Wanner C, Ferrari R, Fitchett D, Hantel S, Espadero RM,
Woerle HJ, Broedl UC, Johansen OE. SGLT-2 inhibitors and cardiovascular risk:
Proposed pathways and review of ongoing outcome trials. Diabetes Vasc Dis Res
2015; 12: 90-100.
6. Kaku K, Lee J, Matthews M, Kaspers S, George J, Woerle HJ, on behalf of the EMPA-
REG Outcome Investiators. Empagliflozin and Cardiovascular Outcomes in Asian
Patients with Typoe 2 Diaetes and Established Cardiovascular Disease. Cir J 2017;
81: 227-234.
7. Kaplan A, Abidi E, El-Yazbi A, Eid A, Booz GW, Zouein FA. Direct cardiovascular
impact of SGLT2 inhibitors: mechanism and effects. Heart Fail Rev 2018.
http://doi.org/10.1007/s10741-017-9665-9.
8. Kaltra S. Sodium-Glucose Cotransporter 2 (SGLT2) Inhibitors and Cardiovascular
Disease: A Systematic Cardiol Ther 2016; 5:161–168.
9. Mahaffey KW, Neal B, Perkovic V et al. Canagliflozin for Primary and Secondary
Prevention of Cardiovascular Events. Results from the CANVAS Program
(Canagliflozin Cardiovascular Assessment Study). Circulation. 2018; 137:323–334.
10. Mudaliar S, Polidori D, Zambrowicz B, Henry RR. Sodium–Glucose Cotransporter
Inhibitors: Effects on Renal and Intestinal Glucose Transport from Bench to Bedside.
Diabetes Care 2015; 38: 2344–2353.
11. Novikov A and Vallon V. SGLT2 inhibition inthe diabetic kidney-an update. Curr Opin
Nephrol Hypertens 2016; 25: 50-58.
12. Reed JW. Impact of sodium-glucose cotransporter 2 inhibitor on blood pressure. Vasc
Health Risk Manag 2016; 12: 393-405.
13. Rossetti L, Smith D, Shulman G, Papachristou D, DeFronzo RA. Correction of
Hyperglycemia with Phlorizin Normalizes Tissue Sensitivity to Insulin in Diabetic Rats.

93 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


J Clin Inves 1987; 9: 1510-1515.
14. Wiviott SD, Raz I, Bonaca MP, et al. for the DECLARE–TIMI 58 Investigators*.
Dapagliflozin and Cardiovascular Outcomes in Type 2 Diabetes. N Engl J Med.
November 10, 2018. DOI: 10.1056/NEJMoa1812389.
15. Wilding JPH. The role of the kidneys in glucose homeostasis in type 2 diabetes:
Clinical implications and therapeutic significance through sodium glucose co-
transporter 2 inhibitors. Metabolism Clinical and Experimental 2014; 64: 1228–1237.
16. Zelniker TA and Braunwald E. Cardiac and Renal Effects of Sodium-Glucose Co-
transporter 2 inhibitor in Diabetes. J Am Coll Cardiol 2018; 72: 1845-1855.
17. Zelniker TA, Stephen D Wiviott SD, Itamar Raz I, et al. SGLT2 inhibitors for primary
and secondary prevention of cardiovascular and renal outcomes in type 2 diabetes: a
systematic review and meta-analysis of cardiovascular outcome trials. Lancet,
November 10, 2018 http://dx.doi.org/10.1016/ S0140-6736(18)32590-X.
18. Zinman B, Wanner C, Lachin JM, Fitchett D, Bluhmki E, Hantel S, Mattheus M, Devins
T, Johansen OE, Woerle HJ, Broedl UC, Inzucchi SE, for the EMPA-REG OUTCOME
Investigators. Empagliflozin, Cardiovascular Outcomes, and Mortality in Type 2
Diabetes. N Engl J Med 2015; 373: 2117-2128.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 94


More Intensive versus Less Intensive LDL Cholesterol
Lowering Reduces Mortality
Dharma Lindarto
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H Adam Malik Medan

Pendahuluan
Penyakit kardiovaskular aterosklerotik (PKV) adalah penyebab utama kematian di
seluruh dunia, dan pasien PKV bersamaan dengan dislipidemia berisiko tinggi untuk
kejadian kardiovaskular [Pekkanen et al, 1990)]. Di Amerika Serikat penyebab utama
kematian yang berhubungan dengan hiperlipidemia hampir 400.000 kematian / tahun
[Mozaffarian, 2015]. Modifikasi lipid terutama menurunkan LDL dengan terapi statin adalah
salah satu pilar pencegahan dan pengobatan PKV. Dari berbagai uji meta-analisis,
pengobatan statin dapat mengurangi kejadian PKV [Pauriah et al, 2014]. Dari beberapa
pengamatan terdapat hubungan positif yang kuat antara peningkatan kadar kolesterol LDL
dan peningkatan risiko kejadian kardiovaskular [Emerging Risk Factors Collaboration,
2010]. Menurunkan kolesterol LDL diperkirakan dapat memperlambat perkembangan
aterosklerosis dan mengurangi kejadian kardiovaskular.
Secara klinis, statin telah digunakan selama 20 tahun untuk mengurangi kolesterol
LDL dengan menghambat 3-hydroxy-3-methylglutaryl (HMG CoA) reductase dan secara
endogen menurunkan produksi kolesterol LDL di hati.
Pengobatan menurunkan LDL sampai ke level 70mg/dl tertuju pada mereka yang
mempunyai factor risiko tinggi penyakit kardiovaskular [Nayor, 2016]. Namun, meski sudah
mencapai level target 70mg/dl dengan terapi statin intensitas tinggi, masih tetap ada factor
risiko sisa terhadap PKV [Boden, 2011]. Dari hasil penelitian, statin dapat menurunkan
risiko kardiovaskular 31%, berarti masih ada 69% risiko relatif, dan penyakit kardiovaskular
lain termasuk stroke yang bertanggungjawab terhadap 25% kematian di seluruh dunia.
Untuk itu, perlu mengatasi factor risiko sisa. Sebuah penelitian meta-analisis melaporkan
bahwa pengurangan 1mmol per liter dalam kadar kolesterol LDL menghasilkan penurunan
20% -25% risiko kejadian kardiovaskular dan 12% kematian total [Wanner, 2005]. Studi
PROVE IT-TIMI mencatat risiko sisa kardiovaskular 22,4% meskipun mengurangi LDL
menjadi 62mg/dl. Risiko sisa ini adalah target dalam berbagai penelitian dengan
memodulasi level HDL dan TG namun hasilnya tetap mengecewakan. Singkatnya, risiko
sisa perlu diatasi meskipun level target LDL sudah tercapai.
Penggunaan inhibitor PCSK9 muncul sebagai alternatif yang menjanjikan untuk
mencapai target level LDL bahkan sampai dibawah target. Statin atau PCSK9 dapat
meningkatkan ambilan reseptor LDL sebesar 25-35% di hepatosit. Dengan demikian
inhibitor PCSK9 mempunyai efek penyeimbang statin saat diberikan dalam kombinasi

95 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


[Krane, 2011]. Permasalahan yang terus menyulitkan para dokter adalah menentukan cara
agresif untuk menurunkan LDL.

Dapatkah Terapi Statin Dosis Tinggi Jangka Pendek Mengurangi Risiko Kejadian
Kardiovaskular?
Terapi statin pada periode pasca intervensi koroner perkutan masih kontroversial.
Studi dari ARMYDA terhadap 150–300 pasien, bahwa penggunaan statin praintervensi
bisa mengurangi kejadian kardiovaskular [Di Sciascio et al, 2009]. Namun studi ALPACAS
pada populasi Cina dan Korea tidak secara signifikan mengurangi risiko setelah 30 hari
MACE dibandingkan dengan dosis terapi konvensional statin [Jang et al, 2014], sama juga
dengan studi ISCAP mengkonfirmasi terapi statin tidak memiliki efek perlindungan
kardiovaskular [Zheng et al, 2015].
Studi pada pasien dengan angina pectoris stabil yang menjalani intervensi koroner
perkutan, pemberian statin 2 hari sebelum prosedur tidak mengurangi MACE dalam waktu
jangka panjang [Veselka et al, 2011]. Studi STICS yang meneliti pemberian statin sebelum
dan setelah operasi jantung yang direncanakan tidak mengurangi komplikasi jantung
pasca operasi [Zheng, 2016]. Studi-studi ini secara konsisten menunjukkan bahwa
pemberian statin dosis tinggi dalam waktu jangka pendek tidak memiliki efek dan tidak
dapat mengurangi kejadian kardiovaskular.
Studi secara luas tentang penurunan LDL yang sangat rendah sedang berjalan,
namun ada kekhawatiran tentang efeknya dalam jangka panjang. Apakah tingkat penurun
kolesterol non statin dapat mengurangi kejadian penyakit kardiovaskular? Studi IMPROVE
‐ IT mengkonfirmasi untuk pertama kalinya bahwa non statin juga memiliki manfaat
kardiovaskular jika dikombinasi dengan statin. Dibandingkan dengan statin saja, ezetimibe
plus statin menurunkan kadar LDL (53,7 mg/dLvs 69,5 mg/dL) dan mengurangi kematian
kardiovaskular, MI, lama rawat inap untuk angina tidak stabil, revaskularisasi, atau stroke
sebesar 6,4% (P = 0,016) [Cannon et al, 2015]. Penelitian dari EMPATER [Sabatine et al,
2016] dan ODYSSEY [Steg, 2018] keduanya mengkonfirmasi bahwa penambahan inhibitor
PSCK9 sebagai non statin pada terapi statin, dapat mengurangi LDL dan mengurangi
kejadian bahkan semua penyebab kematian PKV. Analisis dari 14 percobaan oleh
Robinson et al. menunjukkan keamanan dan kemanjuran alirocumab untuk mencapai LDL
yang rendah di bawah 15mg/dl, topic ini mendapatkan banyak perhatian [SPARCL, 2006].
Menurunkan LDL ke tingkat yang sangat rendah dengan statin monoterapi
menimbulkan masalah keamanan pada beberapa pasien. Sementara kemunculannya
inhibitor PCSK9 dapat memecahkan masalah. Tetapi efektivitas dan biaya pengobatan
dengan inhibitor PCSK9 tetap dipertanyakan. Selain efek imunogenik, reaksi di tempat
injeksi dari yang ringan sampai anafilaksis dan hilangnya kemanjuran obat perlu diteliti
lebih lanjut. Dari percobaan SPIRE, terdapat antibody terhadap komponen murine dari
bococizumab pada 15-20% pasien sedangkan antibody pengguna alirocumab sebesar

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 96


1,3% [Ridker et al, 2017].
Penelitian pada DMT2 dengan resistensi insulin, disfungsi sel beta, dan dengan
profil lipid yang abnormal, obesitas dan gambaran sindrom metabolic menunjukan
perbaikan kardiovaskular jika diterapi dengan statin [Verges, 2015]. Pada DMT2 pola lipid
yang abnormal terdiri dari peningkatan konsentrasi trigliserida dengan kepadatan tinggi
LDL tetapi rendah konsentrasi kolesterol lipoprotein (kolesterol HDL). Partikel kolesterol
LDL bersifat lebih besar dan padat-kecil yang lebih aterogenik. Sebaliknya, pada diabetes
mellitus tipe 1 [DMT1) yang terkontrol dengan baik, tingkatan trigliserida cenderung lebih
rendah sedangkan konsentrasi kolesterol HDL adalah rata-rata bahkan lebih tinggi
[Verges, 2009].

Kesimpulan
Menurunkan LDL adalah strategi penting untuk pencegahan dan pengobatan PKV.
Manfaat statin untuk mengurangi PKV tergantung pada pengurangan LDL absolut.
Beberapa penelitian mengkonfirmasi bahwa penggunaan non statin dalam menurunkan
LDL sama manfaatnya dengan statin. Selain itu, dibandingkan dengan statin dosis tinggi,
gabungan statin dengan non statin seperti ezetimibe, dosis statin bisa lebih rendah dan
dapat mengurangi risiko PKV secara signifikan. Maka, terapi ini juga merupakan pilihan
lain untuk penurun lipid dengan kemanjuran dan bukti yang cukup.

Daftar Kepustakaaan
1. Cannon CP, Blazing MA, Giugliano RP, McCagg A, White JA, Theroux P, et al.
Ezetimibe added to statin therapy after acute coronary syndromes. N Engl J Med
2015; 372:2387‐97.
2. D. Mozaffarian, E. J. Benjamin, A. S. Go et al., “Heart disease and stroke statistics—
2016 update,” in Circulation, vol. 132, American Heart Association, 2015.
3. Di Sciascio G, Patti G, Pasceri V, Gaspardone A, Colonna G, Montinaro A, et al.
Efficacy of atorvastatin reload in patients on chronic statin therapy undergoing
percutaneous coronary intervention: Results of the ARMYDA‐RECAPTURE
(Atorvastatin for reduction of myocardial damage during angioplasty) randomized trial.
J Am CollCardiol 2009; 54:558‐65.
4. Emerging Risk Factors Collaboration. Diabetes mellitus, fasting blood glucose
concentration, and risk of vascular disease: a collaborative metaanalysis of 102
prospective studies. Lancet 2010; 375:2215–22.
5. Jang Y, Zhu J, Ge J, Kim YJ, Ji C, Lam W, et al. Preloading with atorvastatin before
percutaneous coronary intervention in statin‐na.ve Asian patients with non‐ST
elevation acute coronary syndromes: A randomized study. J Cardiol 2014; 63:335‐43.
6. Krane V, Schmidt K-R, Gatjahr-Lengsfled LJ, et al, for the 4D study investigators (the
German Diabetes and Dialysis Study investigators). Longterm effects following 4
years of randomized treatment with atorvastatin in patients with type 2 diabetes on
hemodialysis. Kidney Int 2016; 89:1380–7.
7. M. Nayor and R. S. Vasan, “Recent update to the us cholesterol treatment guidelines:
A comparison with international guidelines,” Circulation, 2016;133(18):1795–1806.
8. Pauriah M, Elder DH, Ogston S, Noman AY, Majeed A, Wyatt JC, et al. High-potency
statin and ezetimibe use and mortality in survivors of an acute myocardial infarction:
a population-based study. Heart. 2014; 100:867-72.
9. Pekkanen J, Linn S, Heiss G, Suchindran CM, Leon A, Rifkind BM, et al. Ten-year

97 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


mortality from cardiovascular disease in relation to cholesterol level among men with
and without preexisting cardiovascular disease. N Engl J Med. 1990; 322:1700-7.
10. Ridker PM., Revkin J, Amarenco P, et al., “Cardiovascular efficacy and safety of
bococizumab in high-risk patients,” The New England Journal of Medicine,
2017;376(16):1527–39.
11. Sabatine MS, Giugliano RP, Keech A, Honarpour N, Wang H, Liu T, et al. Rationale
and design of the further cardiovascular Outcomes research with PCSK9 inhibition in
subjects with elevated risk trial. Am Heart J 2016; 173:94‐101.
12. Steg P. Cardiovascular outcomes with alirocumab after acute coronary syndrome:
results of the ODYSSEY outcomes trial, in: Presented at the 67th Annual Scientific
Session of the American College of Cardiology (ACC), 2018
13. The Stoke Prevention by Aggressive Reduction in Cholesterol Levels (SPARCL)
Investigators. High-dose atorvastatin after stroke or transient ischemic attack. N Engl
J Med 2006; 355:549–59.
14. Verges B. Lipid disorders in type 1 diabetes. Diabetes Metab 2009; 35:353–60.
15. Verges B. Pathophysiology of diabetic dyslipidaemia: where are we? Diabetologia
2015; 58:886–99.
16. Veselka J, Zemánek D, Hájek P, Malý M, Adlová R, Martinkovičová L, et al. Effect of
two‐day atorvastatin pretreatment on long‐term outcome of patients with stable angina
pectoris undergoing elective percutaneous coronary intervention. Am J Cardiol 2011;
107:1295‐9.
17. W. E. Boden, J. L. Probstfield, T. Anderson et al., “Niacin in patients with low HDL
cholesterol levels receiving intensive statin therapy,” The New England Journal of
Medicine, 2011;365(24): 2255–67.
18. Wanner C, Krane V, Marz W, et al, for the German Diabetes and Dialysis Study
Investigators. Atorvastatin in patients with type 2 diabetes undergoing hemodialysis.
N Engl J Med 2005; 353:238–48.
19. Zheng B, Jiang J, Liu HL, Zhang J, Li H, Su X, et al. Efficacy and safety of serial
atorvastatin load in Chinese patients undergoing elective percutaneous coronary
intervention: results of the ISCAP (Intensive Statin Therapy for Chinese Patients with
Coronary Artery Disease Undergoing Percutaneous Coronary Intervention)
randomized controlled trial. Eur Heart J Suppl 2015;17: B47‐56.
20. Zheng Z, Jayaram R, Jiang L, Emberson J, Zhao Y, Li Q, et al. Perioperative
rosuvastatin in cardiac surgery. N Engl J Med 2016; 374:1744‐53.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 98


NEWEST INSIGHT INTO CARDIOVASCULAR OUTCOME OF
ANTI DIABETES DRUGS
(DECLARE STUDY)
Achmad Rudijanto
Endocrine and Metabolic Division of Internal Medicine Department
Faculty of Medicine Brawijaya University – Saiful Anwar Hospital
Malang

Abstrak
Penyakit Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang
paling sering ditemui dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi, terutama di negara
negara berkembang. Penyakit ini disebabkan oleh berbagai faktor mulai dari kelainan
genetic sampai faktor lingkungan, sehingga memerlukan analisis yang rumit untuk
menetapkan target terapi maupun pemilihan obat anti diabetes atau tindakan khusus yang
diperlukan. Perlu diketahui bahwa beberapa macam obat anti diabetes, mempunyai
kemampuan mengganggu sistim kardiovaskuler.
Kaitan antara perbaikan kontrol glukosa dengan menurunnya angka kejadian
komplikasi mikrovaskuler sudah terbukti kebenarannya, namun bukti tentang hubungan
kontrol glukosa darah dengan penyakit kardiovaskuler (makrovascular) masih tidak terlalu
nyata. Bahkan terjadinya hipoglikemi akibat pemberian obat anti dibates justru
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler yang tidak menguntungkan serta mengurangi
manfaat dari pengendalian glukosa darahnya. Sangat dianjurkan pemilihan obat anti
diabetes yang akan diberikan harus disesuaikan dengan kebutuhan pasien DM, dengan
memperhatikan berbagai faktor penyerta seperti: usia, lamanya menyandang DM, adanya
komplikasi akut maupun kronis, kemampuan social-ekonomi, dll. Perlu juga diperhatikan
bahwa penatalkasanan DM seahrusnya menggunakan pendekatan model perawatan
kronis dengan Tim yang mencukupi. Hal ini akan membantu kemudahan mencapai target
terapi serta mengurangi/mencegah terjadinya risiko panyakit kardiovaskuler.
Setelah Nissen and Wolski melaporkan tentang meningkatnya risiko terjadinya
miokar infark (MI) dan kematian yang berhubungan dengan penggunaan rosiglitazone,
kemudian the Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 2008 mengeluarkan buku
panduan baru untuk industry farmasi, bahwa untuk obat anti diabetes baru yang akan
dipasarkan harus melalui uji keamanan terhadap risiko kardiovaskuler.
Data dari UKPDS, telah terbukti manfaat metformin dalam jangka panjang
terhadap penurunan risiko kardiovaskuler. Berbagai data klinis yang ada menunjukkan
bahwa ke-tiga macam obat penghambat DPP-4 berpengaruh netral terhadap risiko
kardiovaskuler, meskipun saxagliptin diduga meningkatkan kemungkinan timbulnya gagal
jantung untuk beberapa pasien, sedangkan penggunaan alogliptin tetap diperdebatkan
dalam kemampuan menyebabkan gagal jantung.

99 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019


Terdapat studi meta-analisis dari 73 penelitian randomize control trial (RCT) pada
pasien yang menggunakan penghambat SGLT2 dan mencakup >100.000 subjek. Hasil
meta-analisis tersebut menunjukkan bahwa risiko kematian relatif dengan berbagai sebab
penggunaan penghambat SGLT2 dibandingkan dengan penggunaan placebo, metformin,
sulfonylurea, TZD dan penghambat DPP-4 secara berturutan adalah: 0.68 (95% CI: 0.57–
0.80), 0.74 (0.49–1.10), 0.63 (0.46–0.87), 0.71 (0.55–0.90), and 0.65 (0.54–0.78).
Sedangkan risiko relatif kematian yang terkait dengan kardiovaskuler penggunaan inhibitor
SGLT2 dibanding plasebo, metformin, sulfonylurea, TZD, and penghambat DPP-4 secara
berurutan adalah:0.61 (0.50–0.76), 0.81(0.36–1.90), 0.52(0.31–0.88), 0.66(0.49– 0.91),
and 0.61(0.48–0.77). Secara keseluruhan terlihat bahwa pengunaan penghambat SGLT2
mempunyai risiko kejadian sindrom coroner akut dibandingkan dengan penggunaan obat
oral anti diabetes yang lain maupun plasebo.
Penelitian Declare TIMI-58, ingin membuktikanpengaruh pemberian dapaglifozin
(FORXIGA) terhadap kejadian penyakit kardiovaskuler. Penelitian ini dilakukan pada
>17.000 pasien DM-2 di berbagai Negara yang disertai dengan berbagai faktor risiko
ataupun telah nyata menyandang penyakit kardiovaskuler. membandingkan hasil
pemberian dapaglifozin dengan placebo. Penelitian ini yang melibatkan pasien DM2 dalam
jumlah yang besar akan memberikan kepada kita jawaban yang definitif, akurat dengan
power penelitian yang kuat. Sebagian besar populasi pasien pada penelitian ini merupakan
pasien yang sering ditemui pada praktek dokter umum, yang hanya disertai dengan satu
faktor risiko.
Pada waktu pelaksanaan penelitian dilakukan lebih banyak interaksi dengan
pasien dan tidak seperti kunjungan biasanya, yang meningkatkan kepatuhan pasien dalam
mengkonsumsi obat yang dianjurkan. Hal ini barangkali merupakan keterbatasan dari
penelitian ini yang ingin melihat data apa adanya (real world).
Hasil penilitian Declare TIMI-58 menunjukkan bahwa pemberian dapaglifozin
memberikan hasil sesuai dengan primary endpoint keamanan yang diharapkan yakni tidak
lebih buruk untuk major adverse cardiovascular events (MACE). Dapaglifozinmenurunkan
secara bermakna composite endpoint yakni jumlah masuk rumah sakit untuk gagal jantung
ataupun kematian akibat penyakit kardiovaskuler. Hasil penelitian juga menunjukkan
menurunnya kejadian MACE sebagai primary endpoint utama meskipun tidak bermakna
secara statistik. Pada pasien DM2 yang disertai dengan ataupun risiko penyakit
kardiovaskuler, pengobatan dengan dapaglifozin tidak menunjukkan peningkatan maupun
penurunan kejadian MACE dibanding plasebo, akan tetapi menurunkan angka kematian
maupun angka masuk rumah sakit utuk pasien dengan gagl jantung

Key word: anti diabetes, cardiovascular outcome, SGLT2 inhibitors

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 100
References:
1. Boussageon R, Bejan‐Angoulvant T, Saadatian‐Elahi M, Lafont S, Bergeonneau C,
Kassai B, Erpeldinger S, Wright JM, Gueyffier F, Cornu C. Effect of intensive glucose
lowering treatment on all cause mortality, cardiovascular death, and microvascular
events in type 2 diabetes: meta‐analysis of randomised controlled trials. BMJ.
2011;343: d4169.
2. Casagrande S, Fradkin JE, Saydah SH, Rust KF, Cowie CC. The prevalence of
meeting A1C, blood pressure, and LDL goals among people with diabetes, 1988–
2010. Diabetes Care. 2013;36(8):2271–9.
3. Duckworth W, Abraira C, Moritz T, Reda D, Emanuele N, Reaven PD, Zieve FJ, Marks
J, Davis SN, Hayward R, et al. Glucose control and vascular complications in veterans
with type 2 diabetes. N Engl J Med. 2009;360(2):129–39.
4. Elley CR, Kenealy T, Robinson E, Drury PL. Glycated haemoglobin and car‐
diovascular outcomes in people with Type 2 diabetes: a large prospective cohort
study. Diabet Med. 2008;25(11):1295–301.
5. Food and Drug Administration. Guidance for Industry: Diabetes Mellitus—Evaluating
cardiovascular risk in new antidiabetic therapies to treat type 2 diabetes. US
Department of Health and Human Services. 2008
6. Gerstein HC, Miller ME, Byington RP, Goff DC Jr, Bigger JT, Buse JB, Cushman WC,
Genuth S, Ismail‐Beigi F, Grimm RH Jr, et al. Effects of intensive glucose lowering in
type 2 diabetes. N Engl J Med. 2008;358(24):2545–59.
7. Holman RR, Sourij H, Califf RM. Cardiovascular outcome trials of glucose‐lowering
drugs or strategies in type 2 diabetes. Lancet. 2014;383(9933):2008–17.
8. Inzucchi SE, Bergenstal RM, Buse JB, Diamant M, Ferrannini E, Nauck M, Peters AL,
Tsapas A, Wender R, Matthews DR. Management of hyperglyce‐ mia in type 2
diabetes: a patient‐centered approach: position statement of the American Diabetes
Association (ADA) and the European Associa‐ tion for the Study of Diabetes (EASD).
Diabetes Care. 2012;35(6):1364–79.
9. Inzucchi SE, Bergenstal RM, Buse JB, Diamant M, Ferrannini E, Nauck
M, Peters AL,
Tsapas A, Wender R, Matthews DR. Management of hyperglycemia in type 2
diabetes, 2015: a patient‐centered approach: update to a position statement of the
American Diabetes Association and the European Association for the Study of
Diabetes. Diabetes Care. 2015;38(1):140–9.
10. Khaw KT, Wareham N, Bingham S, Luben R, Welch A, Day N. Association of
hemoglobin A1c with cardiovascular disease and mortality in adults: the European
prospective investigation into cancer in Norfolk. Ann Intern Med. 2004;141(6):413–20.
11. Lee G, Oh SW, Hwang SS, Yoon JW, Kang S, Joh HK, Kwon H, Kim J, Park D.
Comparative effectiveness of oral antidiabetic drugs in preventing cardiovascular

101 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
mortality and morbidity: A network meta-analysis. Plos One, 2017; 12(5):1-6.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0177646.
12. Mannucci E, Monami M, Lamanna C, Gori F, Marchionni N. Prevention of
cardiovascular disease through glycemic control in type 2 diabetes: a meta‐analysis
of randomized clinical trials. Nutr Metab Cardiovasc Dis. 2009;19(9):604–12.
13. Nissen SE, Wolski K. Effect of rosiglitazone on the risk of myocardial infarction and
death from cardio- vascular causes. N Engl J Med. 2007; 356:2457–2471.
https://doi.org/10.1056/NEJMoa072761 PMID: 17517853
14. O’Keefe JH, Abuannadi M, Lavie CJ, Bell DS. Strategies for optimizing glycemic
control and cardiovascular prognosis in patients with type 2 diabetes mellitus. Mayo
Clin Proc. 2011;86(2):128–38.
15. Patel A, MacMahon S, Chalmers J, Neal B, Billot L, Woodward M, Marre M, Cooper
M, Glasziou P, Grobbee D, et al. Intensive blood glucose control and vascular
outcomes in patients with type 2 diabetes. N Engl J Med. 2008;358(24):2560–72.
16. Raz I, Riddle MC, Rosenstock J, Buse JB, Inzucchi SE, Home PD, Del Prato S,
Ferrannini E, Chan JC, Leiter LA, et al. Personalized management of hyperglycemia
in type 2 diabetes: reflections from a Diabetes Care Edi‐ tors’ Expert Forum. Diabetes
Care. 2013;36(6):1779–88.
17. Shi L, Ye X, Lu M, Wu EQ, Sharma H, Thomason D, Fonseca VA. Clinical and
economic benefits associated with the achievement of both HbA1c and LDL
cholesterol goals in veterans with type 2 diabetes. Diabetes Care. 2013;36(10):3297–
304.
17.
18. Singh AK, Singh R. Recent cardiovascular outcome trials of antidiabetic drugs: A
comparative analysis. IJEM. htpp://www ijem.in 2017.
19. Wiviott SD, et al. Dapagliflozin and Cardiovascular Outcomesin Type 2 Diabetes.
NEJM 2018. DOI: 10.1056/NEJMoa1812389

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 102
INTELECTUAL DISABILITY PREVENTION IN CHILDREN
WITH HYPOTHYROIDISM
dr. Rusdi Andid, Sp.A (K)
Divisi Endokinologi Anak RSUDZA/ FK UNSYIAH

Latar Belakang
Hormone tiroid sangat penting untuk metabolisme energi, nutrien dan ion organik
termogenesis serta merangsang pertumbuhan dan perkembangan berbagai jaringan, pada
periode kritis juga untuk perkembangan susunan saraf pusat dan tulang.1,2
Hipotiroid kongenital masih merupakan salah satu penyebab tersering retardasi
mental yang dapat dicegah. Kelainan ini disebabkan oleh kurang atau tidak adanya
hormone tiroid sejak dalam kandungan. Hipotiroid yang tidak diintervensi sejak dini dapat
mengakibatkan retardasi mental berat. Peran hormone tiroid dalam maturasi sistem saraf
pusat (SSP) sudah diketahui sejak lama seperti mempengaruhi migrasi sel neuron dan
meningkatkan mielogenesis.1,3
Diketahui bahwa 95% hipotiroid kongenital tidak memperlihatkan tanda dan gejala
yang khas saat lahir dan durasi intervensi dini untuk mencegah retardasi mental singkat.
Program skrining memungkinkan bayi mendapat terapi dini dan memiliki prognosis yang
lebih baik terutama dalam perkembangan sistem neurologis.2,4

Definisi
Hipotiroid kongenital adalah suatu penyakit kekurangan hormon tiroid pada
neonatus. Hal ini terjadi karena kelainan anatomi atau gangguan metabolism pembentukan
hormon tiroid atau defisiensi yodium.3,4

103 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Gambar 1. Pasien dengan hipotiroid kongenital1

Etiologi
Hipotiroid permanen Hipotiroid transient
Disgenesis Drug induced
- Aplasia PTU
- Hipoplasia Methimazole
- Ektopik Yodium
Dishormogenesis
- Tidak responsive terhadap TSH Defisiensi yodium
- Defek trapping yodium Maternal antibody induced
- Defek pada tiroglobulin Idiopatik
- Defisiensi iodotirosine deiodinase
Hipotiroid sentral
- Anomali hipofisis-hipotalamus
- Panhipopituarisme
- Defisiensi TSH terisolasi
Etiologi hypothyroid kongenital cukup bervariasi.1

Diagnosis
Manifestasi Klinis
Umumnya bayi yang terdeteksi pada program skrining belum memperlihatkan
gejala klinis yang khas dan bila ada umunya gejala sangat ringan dan kurang jelas. Hanya
kurang dari 5 % bayi dengan hasil skrining positif memperlihatkan gejala klinis hipotiroid
kongenital.2,5

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 104
Skrining pada hari pertama kehidupan merupakan langkah yang paling penting
dalam pendekatan diagnosis kongenital hipotiroid dan penggantian defisiensi hormon juga
untuk mencegah konsekuensi yang tidak dapat diperbaiki.6,7

Pemeriksaan fisik
Indeks hipotiroidisme kongenital merupakan ringkasan tanda dan gejala yang
paling sering terlihat pada hipotiroidisme kongenital. Dicurigai adanya hipotiroid bila
skor indeks hipothyroid kongenital > 5. Tetapi, tidak adanya gejala atau tanda yang tampak
tidak menyingkirkan kemungkinan hipotiroid kongenital.8,9
Tabel 1. Skoring hipotiroid kongenital8
Gejala Klinis
Hernia umbilicalis 2
Kromosom Y tidak ada (wanita) 1
Pucat, dingin, hipotermi 1
Tipe wajah khas edematus 2
Makroglosi 1
Hipotoni 1
Ikterus lebih dari 3 hari 1
Kulit kasar, kering 1
Fontanella posterior terbuka (>3cm) 1
Konstipasi 1
Berat badan lahir > 3,5 kg 1
Kehamilan > 40 minggu 1
Total 15

Pemeriksaan penunjang
Tabel 2. pemeriksaan penunjang hipothiroid kongenital.2,8
Pemeriksaan darah
1. T4 bebas
2. TSH
3. T4 total
4. T3RU
5. TBG ( bila dicurigai defisiensi TBG)
Bila diperlukan:
6. Antibody antitiroid ( bila ada riwayat tiroiditis pada ibu)
7. Tiroglobulin
8. Alfa feto protein
Pemeriksaan urin:

105 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
1. Yodium urin ( bila dicurigai defisiensi atau kelebihan yodium)
Pemeriksaan radiologis:
1. Scan tiroid : Tc99m atau I123
2. Bone age untuk menilai umur tulang

Terapi
Adapun tujuan dari pengobatan tiroid adalah 9
1. Mengembalikan fungsi metabolism yang esensial agar menjadi normal dalam waktu
yang singkat. Fungsi tersebut termasuk termoregulasi, respirasi, metablisme otot dan
otot jantung yang sangat diperlukan pada masa awal kehidupan.
2. Mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak.
3. Mengembalikan tingkat maturitas biologis yang normal, khususnya yang menyangkut
otak seperti proses enzimatik di otak, perkembangan akson, dendrit, sel glia dan
proses mielinisasi.

Pengobatan Tiroksin
Hal terpenting dalam penanganan HK adalah diagnosis dini dan terapi subsitusi
hormone tiroid. Masa paling optimal untuk diagnosis adalah sebelum usia 10-13 hari dan
tercapainya kadar hormon tiroid normal sebelum usia 3 minggu. Sodium levotiroksin
merupakan obat terbaik yang direkomendasikan untuk terapi HK. Dosis Levotiroksin yang
dianjurkan untuk setiap kelompok usia.9,10
Tabel 3. Dosis Na LT4 yang dianjurkan untuk pengobatan hipotiroid9,10
Usia Na L-T4(µg/kg)
0-3 bulan 8-10
3-6 bulan 7-10
6-10 bulan 6-8
1-5 tahun 4-6
6-12 tahun 3-5
>12 tahun 3-4

Pemantauan
Tabel 4. pemantauan kemajuan klinis pasien dengan hipotiroid kongenital1-2
1. Pertumbuhan dan perkembangan
2. Pemantauan kadar T4 bebas dan TSH
- Dua minggu setelah terapi inisiasi dengan L tiroksin
- Empat minggu setelah terapi inisiasi dengan L tiroksin
- Setiap 1-2 bulan selama 6 bulan pertama kehidupan
- Tiap 3-4 bulan pada usia 6 bulan sampai 3 tahun

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 106
- Selanjutnya tiap 6-12 bulan
3. Bone age tiap tahun
4. Pemantauan psikometrik (jika diperlukan)

Prognosis
Prognosis meningkat secara dramatis dengan adanya neonatal screening
program. Prognosis juga bergantung pada etiologi yang pasti.Infant yang megalami
keadaan kadar T4 yang rendah dengan retardasi pematangan skeletal, mengalami
penurunan IQ 5-10poin, dan kelainan neuropskikologis misalnya, inkoordinasi, hipotonik
atau hipertonis, kurang perhatian, dan kesulitan bicara.5,7

Skrining hipotiroid kongenital


Skrining hipotiroid kongenital adalah skrining/ uji saring untuk memilah bayi yang
menderita HK dari bayi yang bukan penderita.11Tujuan utama skrining hipotiroid adalah
untuk eradikasi retardasi mental akibat hipotiroid kongenital.2,4,10

Kesimpulan
Hipotiroid kongenital adalah kelainan bawaan dengan kadar hormon tiroid (T3 danT4) di
sirkulasi darah yang kurang dengan kadar TSH yang meningkat. Kelainan ini diketahui
sebagai penyebab terjadinya keterbelakangan mental dan kecacatan fisik pada anak-
anak.
Diketahui bahwa 95% hipotiroid kongenital tidak memperlihatkan tanda dan gejala
yang khas saat lahir dan durasi intervensi dini untuk mencegah retardasi mental. Oleh
karenanya, sebagian besar negara maju telah melakukan program skrining neonatal untuk
deteksi dini hipotiroid kongenital sebagian besar kasus ditemukan melalui program
skrining.

DAFTAR PUSTAKA
1. Jose RL Batubara, Bambang Tridjaja AAP ABP. Buku Ajar Endokrinologi Anak. I
Revisi. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI; 2015.
2. Yati NP. Diagnosis dan Tata Laksana Hipotiroid Kongenital. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran IDAI. 2017.
3. Disorders genetic home. Congenital hypothyroidism [Internet]. 2018 [cited 2018 Dec
18]. Available from: https://ghr.nlm.nih.gov/condition/congenital-hypothyroidism
4. Watson S. Congenital Hypothyroidism [Internet]. Healthline red. 2018 [cited 2018 Dec
18]. Available from: https://www.healthline.com/health/congenital-hypothyroidism
5. Vandana Jain1, Ramesh Agarwal2, Ashok Deorari3 VP. Congenital hypothyroidism.
AIMS-NICU Protocols; 2008.
6. Indonesi DJBG dan KI dan AKKR. Pedoman skrining hipotiroid. Jakarta: Direktorat

107 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia; 2012. 1-69 p.
7. Hassan R AH. Ilmu kesehatan anak. 4th ed. Jakarta: Infomedika; 2007. 1051-165 p.
8. Karen J.M, Robert M.K, Hal B.J RE. No Title. 6th ed. Pediatrics N essentials of, editor.
Michigan: W.B. Saunders Company; 1998.
9. Ford G. Screening for congenital hypothyroidism: a worldwide view of strategies. Natl
Cent Biotechnol Information, [Internet]. 2014;2:175–87. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24629860
10. Agency IAE. Screening of Newborns Congenital Hypothyroidism. Austria: Guidance
for developing program Dalam; 2005.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 108
TATA LAKSANA PENYAKIT GRAVES DENGAN
OBAT ANTI TIROID
Hendra Zufry
Divisi Endokrinologi, Metabolism & Diabetes-Pusat Pelayanan Tiroid Terpadu
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/
RSUD. Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Email : hendra.zufry@gmail.com, hendra_zufry@yahoo.co.id

Pendahuluan
Penyakit Graves merupakan merupakan penyebab paling sering terjadinya
hipertiroidisme, di mana prevalensinya sekitar 1,2 % dengan jumlah insiden adalah sekitar
21 per 100.000 pertahun. Grave dapat mengenai semua usia, tetapi wanita berusia 40–60
tahun memiliki risiko paling tinggi, dengan rasio pria:wanita sekitar 1:7(1). Di rumah sakit
Dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh, dari rekammedik terlihat bahwa gangguan tiroid mencapai
18 % dari keseluruhan gangguan endokrin. Dimana prevalensi Penyakit Grave terlihat
cukup seimbang bila dibandingkan dengan nodul tiroid (2).
Pengobatan yang ideal dalam mengatasi penyakit graves bertujuan mencapai fungsi
tiroid normal, menghindari kekambuhan hipertiroidisme, mencegah perkembangan
hipotiroidisme dan mencegah kejadian Graves ophthalmopathy. Pengobatan awal selalu
dilakukan dengan pemberian Anti Thyroid Drug (ATD) dengan mayoritas penggunaan
adalah golongan metimazole (MMI). Salah satu masalah yang sering terjadi dalam
penatalaksanaan penyakit Graves adalah timbulnya relaps. Dimana dalam satu
kepustakaan disebutkan bahwa prevalensi penyakit grave yang mengalami relaps bisa
mencapai 40% dari keseluruhan pasien yang menjalani pengobatan (4).

Patogenesis Penyakit Graves


Proses immunopatogenesis dari penyakit Graves sangat kompleks, tetapi antibodi
terhadap reseptor TSH (TRAb) merupakan faktor yang bertanggungjawab menimbulkan
terjadinya hipertiroidisme. Antibodi ini berikatan dengan reseptor TSH pada permukaan sel
folikel tiroid, yang menyebabkan stimulasi tiroid terus menerus dan tidak terkontrol
sehingga menyebabkan peningkatan hormon tiroid T4 dan T3, dan hipertrofi tiroid. Proses
immunopatogenesis ini yang menyebabkan gambaran klinis grave pada setiap penderita
terlihat berbeda- beda (1)(3).

109 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Tujuh strategi dalam pengobatan Grave Disease dalam menggunakan Anti Thyroid
Drugs
1. Faktor yang mempengaruhi pemilihan terapi
Berbagai terapi farmakologis untuk penyakit Graves bertujuan untuk mengatasi
proses penyakit serta manifestasi ekstratiroid. Meskipun pendekatan terbaru terus diteliti,
namun manajemen penyakit Graves masih bergantung pada tiga pendekatan yang telah
digunakan selama beberapa dekade yaitu pengobatan farmakologis dengan obat antitiroid,
131I-radioterapi dan tiroidektomi (1). Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi
pemberian terapi pada graves antara lain episode pertama terjadinya hipertiroid, keadaan
relaps dari hipertiroid, kehamilan, menyusui, hasil sitologi nodul tiroid, intoleransi terhadap
efek samping selama menggunakan obat anti tiroid, dan adanya grave oftalmopati (1).

Tabel 1. Faktor – faktor yang mempengaruhi pemilihan terapi pada penyakit Graves (1)
Faktor yang mempengaruhi pemilihan terapi Grave Disease
Episode pertama hipertiroidisme
- Antithyroid drugs, 131I-radiotherapy, (thyroidectomy)
Keadaan Relaps dari hipertiroidisme
- Small goitre: 131I-radiotherapy, thyroidectomy*, (antithyroid drugs)
- Large goitre: thyroidectomy, 131I-radiotherapy
Kehamilan
- Antithyroid drugs, (thyroidectomy‡)
Menyusui
- Antithyroid drugs
Kemungkinan jenis Sitologi nodul
- Thyroidectomy
Intoleransi terhadap efek samping Anti Thyroid Drugs
- 131I-radiotherapy, thyroidectomy*
Adanya Graves Opthamophati
- Mild: antithyroid drugs, 131I-radiotherapy, thyroidectomy
- Moderate to severe: antithyroid drugs, 131I-radiotherapy, thyroidectomy
- Sight-threatening: antithyroid drugs

Dalam pemilihan thyroidectomi tetap harus dilakukan diskusi terhadap pasien


mengenai jenis operasi, kegunaan operasi dan efek samping dan proses yang yang harus
dijalani setealah menjalani operasi (1,4).
Obat antithiroid turunan thionamide yang telah disetujui untuk digunakan pada
pasien dengan penyakit Graves ialah methimazole, carbimazole (yang setelah penyerapan
diubah menjadi methimazole bentuk aktif) dan propylthiouracil. Obat-obatan ini dapat

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 110
memiliki efek imunosupresif langsung atau tidak langsung (melalui normalisasi status
tiroid). Cara kerja utama obat tersebut adalah untuk menurunkan sintesis hormon tiroid
berlebihan dengan menghambat TPO, sehingga mengurangi produksi T3 dan T4 (1,4).
Propylthiouracil (PTU) selama bertahun-tahun merupakan obat antithiroid pilihan
pertama di Amerika Serikat dan Amerika Selatan. Namun, PTU dapat menyebabkan efek
hepatotoksik yang berat, yang dapat menyebabkan mortalitas atau memerlukan
transplantasi hati. Sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2010 menunjukkan
bahwa selama 1991–2008 resep tahunan methimazole di AS meningkat sembilan kali lipat,
dan agen ini telah menjadi obat antitiroid yang paling sering diresepkan di wilayah ini sejak
tahun 1996 (1).

2. Mengidentifikasi tingginya resiko untuk relaps


Kelemahan utama terapi ATD adalah tingkat kekambuhan yang tinggi, yang
bervariasi di seluruh studi, berkisar dari 30% hingga 70%. Pasien yang masih positifTRAb
pada akhir perawatan memiliki peningkatan risikokambuh lebih besar. Wanita dalam
periode postpartum juga memiliki risiko kekambuhan penyakit Graves, faktor lain yang
dapat memperberat kekambuhan antara lain goiter yang besar, usia muda, jenis kelamin
laki – laki, hipertiroidime yang berat dan merokok (1).

3. Pilihan terbaik ATD sebagai pengobatan inisial


American Thyroid Association (ATA) merekomendasikan golongan Methimazole
sebagai terapi awal hipertiroid. Methimazoledigunakan di hampir setiap pasien yang
memilih terapi obat antitiroid untuk graves, kecuali selama trimester pertama kehamilan,
dalam pengobatan thyroid storm, dan pada pasien dengan respon kecil terhadap
methimazole yang menolak terapi yodium radioaktifatau operasi (5,8).

4. Bagaimana memulai pemberian ATD sebagai terapi


ATD diberikan dengan beberapa cara antara lain block replace, fixed dose, titration
dose, Calculated Dose. Setiap cara pemberian memiliki kelebihan dan kekurangan.
Pemberian secara blok replace memiliki kelebihan antara lain kontrol yang lebih mudah,
pemeriksaan lebih sedikit dan memiliki manfaat untuk gangguan yang terjadi pada mata.
Sementara kekurangan nya adalah efek samping yang terjadi sebesar 9-16%. Pemberian
secara fixed dose memiliki keuntungan antara lain single dose dan tidak memerlukan
ukuran secara dosimetri. Kekurangan pemberian fixed dose adalah kasus hipothiroid yang
terjadi bisa mencapai 70 %. Pemberian secara titrasi memiliki kelebihan antara lain efek
samping yang lebih kecil yaitu 5-8 % dengan kekurangan yang bervariasi sesuai status
tiroid. Calculated dose memiliki keuntungan efek samping hipotiroid yang sedikit dan
kekurangannya adalah kemungkinan recurence bisa mencapai 70% (1,4).

111 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Dalam pelaksanaan klinis, titrasi dose lebih sering digunakan. Pemberian regimen
secara titrasi utnuk MMI berkisar antara 20-40 mg/hari tergantung derajat keparahan
thyritoxicosis. Bila FT4 < 3 ng/dl, MMI diberikan antara 10-20 mg/hari. Bila FT4 > 4 ng/dl,
MMI yang diberikan 40 mg. Pemberian terapi juga berhubungan dengan faktor klinis seperti
berkurangnya berat badan, gangguan kardiovascular dan lamanya timbul keluhan (1,4,8).

5. Pemberian beta Bloker


Pada pasien dengan strongly suspected atau confirmed tirotoksikosis, pengobatan
dengan propranolol, atenolol, metoprolol, atau beta-blocker lainnya berfungsi dalam
penurunan denyut jantung, tekanan darah sistolik, kelemahan otot, dan tremor, serta
mengatasi peningkatan derajat iritabilitas, labilitas emosional, dan intoleransi latihan. Beta
bloker diberikan selama 6 - 8 minggu jika tidak ada kontraindikasi (4,8).

Gambar 1. Dosis pemberian beta bloker pada Grave

6. Lama terapi
ATD harus dihentikan saat pasien telah mencapai remisi. Namun, tidak ada protokol
standar untuk menentukan waktu menghentikan ATD. Di Eropa dan Amerika Serikat ATD
dihentikan setelah pengobatan fixed dose selama 1 – 2 tahun, karena tingkat remisi tidak
meningkat secara statistik setelah 18 bulan pengobatan. Waktu penghentian ATD sulit
untuk ditentukan karena tidak ada ukuran untuk mengevaluasi secara akurat aktivitas
penyakit Graves. (6)
Menurut pedoman yang dikeluarkan oleh Japan Thyroid Association pada tahun
2006 untuk pengobatan penyakit Graves, penghentian terapi obat antitiroid (ATD)
dianjurkan ketika serum bebas tiroksin (FT4) dan konsentrasi hormon stimulasi tiroid (TSH)
telah dipertahankan dalam rentang referensi untuk periode tertentu setelah perawatan
dengansatu tablet ATD setiap hari (terapi dosis pemeliharaan minimum, MMDT) (6).
Pedoman ini didasarkan pada observasi bahwa tingkat remisi setelah ATD
dihentikan setelah keadaan eutiroid dipertahankan 3 – 6 bulan dengan MMDT lebih besar

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 112
(63,4% -80%) dibandingkan dengan pasien yang mendapat ATD dan dihentikan setelah 2
tahun terapi (42% -51%) (6).

Gambar 2. Rata – rata remisi pada pemberian ATD dengan MMDT

7. Yang dilakukan bila terjadi relaps


Evaluasi apakah pasien berada dalam keadaan remisi atau relaps dilakukan setelah
pasien dihentikan ATD selama 12 – 18 bulan. Pada pasien yang telah mengalami remisi,
maka monitoring dilakukan setelah 3 bulan. Pada pasien yang mengalami relaps, maka
perlu dipertimbangkan pemberian terapi jangka panjang atau memilih terapi definitif yang
berupa iodine radioaktif atau total thyroidectomi atau thyroxyne replacement. (4,10)

Gambar 3. Algoritme pengobatan pada pasien Graves (10)

Pemberian ATD dapat diberikan “Short Term Therapy” dan “long term therapy”.
Short term therapy diberikan dalam hitungan waktu mingguan sampai bulan, untuk
113 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
memperbaiki keadaan pasien. Long term therapy diberikan dalam jangka waktu 1 -2 tahun,
bisa terjadi atau tidak terjadi remisi. Biasanya long term therapy akan diikuti oleh terapi
iodine (1).

Terapi Radioiodine vs operasi untuk kasus relaps


Berbagai pilihan terapi memiliki kelebihan dan kekurangan. ATD memiliki
keuntungan berupa pengobatan konservatif, tidakmemerlukan rawatan rumah sakit, resiko
rendah untuk hipotiroid, tidak ada paparan radiasi, tidak ada efek samping graves
opthalmopati, dan aman diberikan pada wanita hamil dan menyusui. Sementara
kekurangannya adalah tingginya angka relaps, memerlukan monitoring, kepatuhan yang
buruk dan adanya efek samping lain (jarang). Terapi iodin memiliki keuntungan berupa
pengobatan definitif, biaya rendah, tidak memerlukan rawat inap dan tidak memerlukan
operasi atau anastesi, dan memiliki kekurangan berupa hipotiroidisme yang lama, paparan
radiasi, kontrol hipotiroidisme yang rendah, dan dapat menimbulkan progresifitas grave
opthalmophaty. Thyroidectomi memiliki keuntungan berupa terapi definitif, tidak ada
paparan radiasi dan mudah mengontrol hipertiroidisme, sementara kekurangannya adalah
dapat menyebabkan hipotiroid yang lama, efek samping akibat operasi, memerlukan
rawatan, biaya yang tinggi dan memberikan bekas operasi (1).

Hipertiroidisme dan kehamilan


Hipertiroidisme ibu pada kehamilan dikaitkan dengan dampak buruk pada ibu dan
janin. American Thyroid Association dan Endocrine Society telah menerbitkan panduan
untuk pengelolaan tiroid penyakit dalam kehamilan. Suatu penelitian yang lakukan oleh
anggota Asian-Ocean Thyroid Association (AOTA) pada 21 negara di Asia menunjukkan
bahwa PTU paling banyak digunakan selama kehamilan, baik bagi penderita Grave yang
hamil atau baru terdiagnosa hipertiroid. Begitu juga untuk monitoring, pasien yang
memeriksa FT4 dan TSHs lebih banyak. Hal ini menunjukan bahwa walaupun banyak
variasi dalam tatalaksana hipertiroid selama kehamilan, namun mayoritas praktisi klinik
menggunakan guideline yang telah direkomendasikan (7).

DAFTAR PUSTAKA
1. Bartalena Luigi. Diagnosis and management of Graves disease: a global overview .
nature journal. Vol:9. 2013
2. Rekam medik RS dr. Zainoel Abidin 2014
3. Xiao-Ming Mao et all Prevention of Relapse of Graves’ Disease byTreatment with an
Intrathyroid Injection ofDexamethasone. J Clin Endocrinol Metab. , 94(12):4984–4991
(2019)
4. Wei Qian, et all Association between TSHR gene polymorphism and the risk of
Graves' disease: a meta-analysis. Journal of Biomedical Research. 2016 (30)6

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 114
5. Rebecca S. Bahn Chair, et all. Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis:
Management Guidelines of the American Thyroid Association and American
Association of Clinical Endocrinologists. The American Thyroid Association and
American Association of Clinical Endocrinologists Taskforce on Hyperthyroidism and
Other Causes of Thyrotoxicosis. Volume 21, Number 6, 2011
6. Toshiaki Konishi et all. Drug discontinuation after treatment with minimum
maintenance dose of an antithyroid drug in Graves’ disease: a retrospective study on
effects of treatment duration with minimum maintenance dose on lasting remission.
The Japan Endocrine Society. Vol 21: 10 .2011
7. Azizi Ferodoun. Management of hyperthyroidism during pregnancy in Asia. Endocrine
Journal, 61 (8), 751-758.2014
8. David S Cooper. Antithyroid Drugs in the Management of Patients with Graves’
Disease: An Evidence-Based Approach to Therapeutic Controversies. The Journal of
Clinical Endocrinology & Metabolism 88(8):3474–3481. 2003
9. Helena Filipsson Nystro., Svante Jansson and Gertrud Berg Incidence rate and clinical
features of hyperthyroidism in a long-term iodine sufficient area of Sweden
(Gothenburg) 2003–2005. Clinical Endocrinology 78, 768–776.2003
10. Abraham Prakas. A systematic review of drug therapy for Graves’ Hyperthyroidism.
European Journal of Endocrinology 153 489–498.2005

115 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
TERAPI SULIH HORMON PADA
WANITA PASCA MENOPAUSE
*Rajuddin, **Lutfi

*Divisi Fertilitas Endokrinologi Reproduksi, Departemen Obstetri dan Ginekologi,


Universitas Syiah Kuala
**Residen, Departemen Obstetri dan Ginekologi, Universitas Syiah Kuala

ABSTRAK
Menopause atau berhentinya menstruasi adalah proses yang wajar dan alami. Selama
menopause kadar hormon estrogen dan progesteron menurun, yang menyebabkan gejala
seperti berkeringat pada malam hari, hot flashes dan perubahan suasana hati. Terapi sulih
hormon (TSH) harus diberikan kepada wanita pasca menopause simptomatik untuk
mengurangi gejala-gejala tersebut. Penggunaan TSH pada wanita simptomatik sebelum
usia 60 atau dalam waktu 10 tahun sejak awal menopause, manfaat pemberian TSH lebih
besar. Pemberian TSH efektif untuk memperbaiki gejala vasomotor, dementia, genito
urinari sindrom menopause, gangguan mood, kurang tidur dan dapat meningkatkan
kualitas hidup dan seksualitas pasca menopause. TSH dapat menurunkan risiko diabetes
dan penyakit kardiovaskular serta mencegah osteoporosis. Pemberian TSH dosis rendah
dapat mengurangi efek samping dan meningkatkan manfaat pada wanita tertentu. TSH
mengandung senyawa yang berbeda, estrogen, progestogen, kombinasi estrogen
ditambah progestin, Tibolone, dan kombinasi baru Conjugated estrogen (CE) ditambah
selective estrogen reseptor modulator (SERM), yaitu tissue selective estrogen complex
(TSEC). Penggunaan CE dan Bazedoxifene (BZA) dapat menetralkan efek estrogen pada
endometrium, payudara dan sindrom pramenstruasi. Pemberian TSH harus diberikan
secara personalisasi yang ketat dari jenis, dosis dan rute pemberian TSH, menggunakan
dosis rendah disesuaikan dengan usia.
Kata Kunci: Terapi sulih hormon, Menopause, Conjugated Estrogen, Bazedoxifene

PENDAHULUAN
Menopause bukanlah suatu penyakit dan tidak memerlukan terapi apa pun.
Namun, beberapa wanita dapat mengalami penurunan hormon dan membutuhkan hormon
pengganti. Terapi Sulih Hormon (TSH) harus dianggap sebagai bagian dari manajemen
klinis terintegrasi termasuk rekomendasi tentang gaya hidup, diet dan olahraga.1 Terapi
Sulih hormon (TSH) tidak boleh diberikan tanpa indikasi yang jelas seperti adanya gejala
vasomotor, berkeringat pada malam hari, hot flashes dan kekeringan pada vagina.2,3
Rasio manfaat / risiko TSH tidak absolut dan univokal tetapi bervariasi sesuai
dengan pemilihan wanita, waktu inisiasi, dosis dan jenis TSH. Fasilitas pelayanan
kesehatan harus secara jelas menjelaskan manfaat dan risiko TSH, dengan menggunakan

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 116
angka absolut dan bukan persentase yang berasal dari risiko relatif (RR) atau Odds ratio
(OR), karena sering menghasilkan ketidakpastian atau ketakutan yang tidak diinginkan.
Contoh obat-obatan TSH harus diperlihatkan dan disediakan. Tidak diperlukan formulir
persetujuan tertulis dari pasien.3,4 Indikasi pemberian TSHn antara lain Sindrom
vasomotor, Sindrom Genitourinari, Nyeri atau kekakuan sendi, kurang tidur, gangguan
fungsi seksual, Gangguan mood, Pencegahan osteoporosis dan fraktur, Pencegahan atrofi
epitel, kulit dan jaringan ikat 1,4,5.
Dosis TSH yang diberikan mencakup berbagai senyawa yang berbeda seperti
estrogen, progestogen, kombinasi estrogen ditambah progestin, Tibolone dan kombinasi
baru Conjugated estrogen (CE) ditambah selective estrogen reseptor modulator (SERM),
yaitu tissue selective estrogen complex (TSEC). Seluruh senyawa ini berbeda-beda dalam
dosis dan rute pemberian, keuntungan dan risiko yang berbeda pula. (tabel 1) 5.

Tabel 1. Dosis Terapi Sulih Hormon


Dosis Oral Oral CE Estradiol gel Estradiol Tibolone
estradiol (mg) transdermal patch (µg) (mg)
(mg) (mg)
Standar 2 0,625 1,5 50 2,5
Rendah 1 0,45 1 25 1,25
Sangat 0,5 0,3 0,75 12,5 0,625
rendah
Dikutip dari Global Consensus Statement on Menopausal Hormone Therapy. climacteric
2013; 16:203-4.

INDIKASI
TSH tidak diindikasikan untuk semua wanita pascamenopause bila tidak ada
indikasi yang jelas. TSH adalah pengobatan yang paling efektif untuk sindrom klimakterik,
dari gejala vasomotor, hingga sindrom genitourinari menopause. gejala klimakterik lainnya
seperti nyeri muskuloskeletal, gangguan mood, kurang tidur, modifikasi seksual,
penurunan kualitas hidup dapat meningkat dengan TSH.5 Saran yang paling penting
adalah malakukan terapi untuk wanita yang simptomatik. TSH sistemik pada dasarnya
diindikasikan untuk wanita simptomatik berusia di bawah 60, atau dalam 10 tahun sejak
awal menopause, tanpa kontraindikasi. Pemilihan pasien perimenopause simptomatik atau
pascamenopause dini adalah penting untuk menjaga efek endogen estrogen dimana
hanya TSH dini yang dapat menjamin. sebenarnya, kehadiran menopause simptomatik
dikaitkan peningkatan risiko metabolisme, sehingga memerlukan TSH yang sesuai. rasio
risiko/manfaat TSH lebih menguntungkan pada wanita muda pascamenopause yang
memulai terapi TSH sebelum usia 60 atau dalam 10 tahun sejak awal menopause.4,5

117 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
ALUR PEMBERIAN TSH
Pada umumnya, produk TSH ideal untuk semua wanita dari segala usia tidak ada, setiap
produk atau kombinasi tertentu mungkin memiliki karakteristik khusus yang dapat
digunakan dengan benar. Semua senyawa yang tersedia memungkinkan personalisasi
yang dinamis dalam penentuan dosis, rute administrasi, menurut karakteristik pasien dan
referensi untuk memperoleh khasiat yang baik serta memaksimalkan keamanan
pemberian TSH.6
Studi observasional menunjukkan TSH transdermal sistemik tidak meningkatkan
risiko gangguan tromboemboli atau stroke dalam populasi umum. TSH dapat diresepkan
dengan dosis yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik pasien (Gambar 1).
Disarankan untuk mengurangi dosis dengan usia pasien yang semakin tua. Dosis yang
lebih rendah dari yang biasa digunakan di masa lalu mempertahankan efikasi yang baik
pada gejala menopause, dengan profil risiko yang lebih baik.7

Gambar 1. Alur pemberian TSH (dimodifikasi dari updated 2013 international menopause
society recommendations on menopause society)5

Pemberian TSH harus dipersonalisasi sesuai gejala yang ada, karakteristik


individu dan analisis laboratorium dan/atau pencitraan yang sesuai, riwayat penyakit
dahulu dan keluarga. Wanita yang diberikan terapi TSH harus berkonsultasi masalah
ginekologi setiap tahun untuk evaluasi ulang gejala dan pemeriksaan yang sesuai sesuai
dengan karakteristik individu. Saat ini tidak ada indikasi untuk eksplorasi investigasi
mamografi. Tidak ada alasan untuk membatasi durasi pemberian TSH. Keputusan untuk
melanjutkan, mengubah atau menghentikan TSH tergantung pada tujuan klinis dan
karakteristik individu. Kebanyakan wanita pasca menopause dapat menggunakan TSH.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 118
Wanita post menopause yang kontraindikasi TSH harus diterapi menggunakan obat
alternatif yang aman dan efektif 8.

Premature ovarian insufficiency


Wanita dengan Premature ovarian insufficiency (POI) spontan atau iatrogenik adalah suatu
menopause dini yang berusia di bawah 40 tahun yang memiliki risiko lebih tinggi terhadap
penyakit kardiovaskular, osteoporosis, dan demensia. Para wanita menopause dapat
mengambil manfaat dari TSH bahkan saat menggunakan persiapan kontrasepsi oral yang
mengandung estradiol alami dibandingkan estrogen sintetik, setidaknya sampai usia
normal menopause alami, kecuali ada kontraindikasi. Meskipun tidak ada data yang
tersedia dari studi perbandingan yang sesuai, persiapan ini dapat menawarkan profil
keamanan metabolik yang lebih baik.3,9
TSH harus diberikan sesuai dengan dosis yang tepat, durasi, regimen, dan rute
pemberian. TSH dimulai dengan dosis terendah dan meningkatkan dosis sesuai dengan
efek klinik. Efek samping TSH dapat berupa abnormal uterine bleeding, Nyeri atau tegang
pada payudara, Mual, nyeri kembung, nyeri panggul, Sakit kepala, depresi, irritabilitas,
Retensi cairan, dan peningkatan berat badan4. Telah jelas ditunjukkan bahwa dosis
estrogen rendah dapat memberikan efek menguntungkan pada sebagian besar wanita
yang bergejala mempertahankan bone sparing effect.10
Pada wanita dengan menopause alami pemberian estrogen harus dikombinasikan
dengan progestogen, untuk mencegah hiperplasia endometrium dan kanker endometrium.
Pemberian TSH terus menerus memiliki profil keamanan endometrium jangka panjang
yang lebih baik daripada sekuensial. Penggunaan progestin intrauterin adalah rasional
untuk perlindungan endometrium.11,12
Wanita yang mengalami histerektomi hanya menerima estrogen replacement
therapy (ERT). Penelitian yang dilakukan Womens Health Iniative (WHI) menunjukkan
bahwa progestin (medroksiprogesteron asetat) memainkan peran penting untuk
perlindungan endometrium, tetapi memiliki efek negatif risiko kardiovaskular dan
meningkatkan insidensi kanker payudara. Produk progestin lainnya memiliki efek yang
sama dengan progesteron alami mungkin lebih baik atau setidaknya efek netral pada
kejadian kanker payudara dan risiko kardiovaskular.13 Pemilihan progestin sangat penting
karena efek samping dan intoleransi progestogen adalah penyebab utama penghentian
TSH. Riwayat depresi, sindrom pramenstruasi (PMS) / premenstrual dysforic disorder
(PMDD), meningkatkan ketegangan dan densitas payudara, diabetes atau sindrom
metabolik dapat mencegah penggunaan progestogen sistemik. Penggunaan dosis rendah
CE terkait dengan SERM adalah alternatif yang efektif. Kombinasi CE 0,45 mg /
bazedoxifene (BZA) 20 mg (TSEC) tersedia untuk pengobatan gejala klimakterik dan tidak
meningkatkan ketegangan payudara serta densitas payudara. Diperlukan studi lebih lanjut

119 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
untuk mengevaluasi kemungkinan pengurangan kejadian ketegangan payudara pada
wanita yang diobati dengan TSEC.14

KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi TSH seperti Perdarahan uterus yang tidak diketahuim
penyebabnya, Hiperplasia endometrium yang tidak diobati, Kanker payudara atau kanker
endometrium yang sensitif estrogen, Riwayat penyakit jantung koroner, stroke dan
demensia, Riwayat penyakit tromboemboli, Penyakit liver aktif stadium berat, Porphyria
cutanea tarda, otosklerosis dan hipersensitif terhadap komponen aktif TSH 4,15.
Kondisi lain yang bukan kontraindikasi seperti kanker ginekologi (tidak termasuk
sarkoma uterus, ovarium endometrioid tumor) yaitu karsinoma skuamosa serviks, dan
semua kanker lainnya yang tidak tergantung hormon. Selain itu, kondisi lain seperti mioma
uterus, endometriosis, diabetes, hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia, hipertensi,
obesitas, merokok bukan merupakan kontraindikasi, tetapi mereka harus mengarah ke
personalisasi yang sangat ketat dari jenis, dosis dan rute pemberian TSH, menggunakan
dosis rendah, dan produk transdermal.16,17,19

EFEK SAMPING
Insiden efek samping tergantung pada dosis, jenis dan rute pemberian TSH.
Perdarahan uterus yang abnormal sering terjadi pada bulan-bulan pertama pengobatan
dan dapat menyebabkan peningkatan prosedur diagnostik yang tidak diperlukan (yaitu,
histeroskopi, biopsi), yang seharusnya hanya diperlukan jika terjadi gejala tetap ada dalam
jangka panjang. Dosis estrogen berkorelasi dengan mual, kembung, nyeri panggul, retensi
cairan, kenaikan berat badan. Pemberian progestin dapat menyebabkan sakit kepala,
gangguan mood, depresi, PMS / PMDD. Pemberian TSH berkala dapat meningkatkan
ganguan mood, terutama pada wanita dengan riwayat PMS / PMDD 15,18. Efek klinis dapat
berbeda dengan sedian progestin yang berbeda serta pada wanita yang berbeda pula. Hal
ini beralasan untuk melakukan upaya yang berbeda untuk menemukan sedian progestin
yang netral dengan TSH dosis rendah. Densitas payudara meningkat lebih banyak dengan
pemberian TSH kombinasi dibandingkan ERT tunggal. Peningkatan kepadatan mamografi
dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker payudara dan dapat mengurangi sensitivitas
diagnostik mamografi, sehingga meningkatkan pemeriksaan tambahan. Beberapa
progestin seperti MPA, mengurangi toleransi glukosa dan menurunkan sensitivitas
insulin.15

EFEK JANGKA PENDEK TSH


Gejala vasomotor
TSH adalah pilihan terapi utama yang efektif untuk gejala vasomotor dan
Genitourinary syndrome of menopause (GSM). Gangguan lainnya terkait dengan gejala

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 120
vasomotor, seperti gangguan mood, lekas marah, kurang tidur dapat membaik selama
pemberian TSH. TSH yang Dipersonalisasi (termasuk testosteron dosis rendah) dapat
meningkatkan kualitas hidup dan seksualitas wanita pascamenopause. Keputusan untuk
melanjutkan TSH, pemilihan dosis dan rute pemberian setelah usia 60 tahun harus
merupakan hasil klinis yang dievaluasi dengan cermat. Dosis harus dikurangi secara
bertahap pada lansia, dari dosis standar dalam periode perimenopause hingga penurunan.
Sebagai tambahan untuk mengkompensasi efek usia pada risiko tromboemboli, setelah
usia 65 tahun estrogen transdermal lebih disukai sebagai rute administrasi TSH.23,24

Genitourinary syndrome of menopause


Pemberian TSH memperbaiki semua gejala yang berasal dari atrofi urogenital.
ERT lokal dosis rendah adalah pengobatan pilihan untuk pengobatan Genitourinary
syndrome of menopause (GSM). semua TSH lokal menunjukkan efikasi yang sama,
mereka tidak memerlukan pemberian progestin untuk perlindungan endometrium karena
dosis dan / atau tipe estrogen (seperti estriol atau promestrien) tidak mampu menginduksi
stimulasi endometrium yang signifikan. Obat-obatan SERM baru seperti, ospemifene,
tersedia sebagai estrogen oral untuk GSM dengan efek yang mirip dengan TSH estrogen
lokal.24

Efek muskuloskeletal
TSH dapat memiliki efek pada otot, jaringan ikat, tulang rawan dan
intervertebraldisk. Tindakan-tindakan ini memiliki potensi dampak pada nyeri otot dan
osteoarticular sering terjadi pada wanita pacamenopause.8,20

EFEK JANGKA PANJANG TSH


Osteoporosis pascamenopause
Dosis standar TSH efektif dalam mengatur tingkat pergantian tulang dan
pencegahan osteoporosis pada wanita pascamenopause. TSH telah terbukti secara
signifikan menurunkan risiko terkait fraktur pada panggul, tulang belakang, dan
osteoporosis lainnya pada wanita pascamenopause. Dosis rendah TSH dapat mengurangi
tingkat pergantian tulang dan mencegah penurunan densitas tulang. TSH diindikasikan
untuk osteoporosis dan pencegahan fraktur pada wanita yang menderita menopause dini.
Pascamenopause normal wanita berisiko sebelum usia 60 tahun atau dalam 10 tahun
setelah menopause. Kelanjutan TSH setelah 60 tahun untuk indikasi pencegahan fraktur
osteoporosis harus memperhitungkan manfaat / risiko yang dihitung secara individual,
kemungkinan efek jangka panjang TSH dibandingkan dengan obat lain yang disetujui.
pada pasien lebih dari 60 tahun inisiasi TSH untuk pencegahan osteoporosis tidak
diindikasikan.TSH adalah satu-satunya terapi yang terbukti efektif dalam menurunkan
fraktur pada wanita pascamenopause normal yang tidak berisiko fraktur.16,21,24

121 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Penyakit kardiovaskular
Pemilihan pasien dan pemberian TSH sejak awal penting dalam menentukan efek
hormon pada sistem kardiovaskular. Dua poin ini dapat menjelaskan hasil yang
bertentangan yang diperoleh dalam studi yang berbeda. TSH menurunkan risiko diabetes
dan memberikan manfaat tambahan pada faktor risiko kardiovaskular seperti profil lipid,
tekanan darah, berat badan, distribusi lemak tubuh dan sindrom metabolik. Mayoritas klinis
baik observasional maupun studi acak menunjukkan potensi manfaat HRT dalam
mengurangi kematian akibat penyakit jantung koroner, jika dimulai pada wanita sehat
pasca menopause simtomatik, di bawah 60 tahun atau dalam 10 tahun dari menopause
(konsep “the window of opportunity”). TSH yang dimulai dengan dosis standar pada wanita
yang lebih tua dari 65 tahun dengan sebelumnya riwayat penyakit kardiovaskular dapat
meningkatkan risiko kardiovaskular.8,22
ERT tampaknya lebih bermanfaat daripada terapi estrogen-progestogen (EPT).
Studi observasional, uji kontrol acak dan metaanalisis menunjukkan bahwa ERT
menurunkan kematian total dan kematian akibat jantung pada wanita pasca meopause
sehat berusia di bawah 60 atau dalam 10 tahun dari menopause. Hasil yang didapat
dengan kombinasi EPT yang berbeda kurang bermakna dan tergantung pada jenis dan
dosis progestin. Progesteron alami atau progestin, seperti drospirenone dengan sifat
antimineralokortikoid, dapat memiliki manfaat tambahan pada risiko kardiovaskular
dibandingkan dengan progestin sintetis lainnya, pemilihan progestin yang tepat sangat
penting pada efek utama terhadap kardiovaskular.20,23

Kognitif
Studi observasional menunjukkan bahwa TSH pada wanita setelah menopause
dapat memberikan efek kognitif yang menguntungkan. Penelitian menunjukkan bahwa
TSH dikaitkan dengan risiko penyakit demensia dan alzheimer yang lebih rendah.
sebaliknya, inisiasi TSH yang terlambat pada wanita lebih dari 69 tahun, tidak memperbaiki
demensia, atau memperlambat perkembangan penyakit. Namun beberapa penelitian
mendapatkan peningkatan risiko demensia menggunakan CE dan MPA oral pada dosis
standar pada wanita lansia. Efek ini tidak dibuktikan pada penggunaan ERT tunggal
dengan CE oral. Waktu pemberian TSH sangat penting sebelum 60 tahun atau dalam 10
tahun setelah menopause serta dapat mempertahankan efek menguntungkan dari
estrogen endogen. Namun TSH Ttidak boleh dimulai dengan satu-satunya tujuan
mencegah demensia.16,17

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 122
Kanker payudara
Derajat hubungan antara TSH dan kanker payudara masih kontroversial.
Risikonya masih rendah dan untuk wanita yang menggunakan EPT dengan angka kejadian
8 kasus per 10.000 wanita per tahun. Dalam studi WHI, pemberian unopposed CE pada
wanita pasca histerektomi per 7 tahun tidak meningkatkan risiko kanker payudara (7 kasus
per 10.000 perempuan per tahun). Studi observasi Eropa menunjukkan bahwa pemberian
estradiol tunggal atau dalam kaitannya dengan progesteron mikronisasi atau
dydrogesterone tidak terkait dengan peningkatan risiko kanker payudara yang signifikan,
sama seperti progestin sintetis lainnya. Hubungan antara CE dengan BZa memiliki potensi
untuk mengurangi risiko kanker payudara, data diperoleh dari studi in vitro dan hewan.18
Namun, pada saat ini tidak ada data klinis yang tersedia. Risiko kanker payudara menurun
setelah TSH dihentikan, dan setelah 5 tahun risikonya sama dengan populasi yang tidak
diberikan TSH. Kanker payudara kontraindikasi untuk TSH. Namun dosis rendah estrogen
pervaginam dapat dipertimbangkan sebagai pilihan pada wanita yang tidak respon terapi
non-hormonal dan tanpa bersamaan dengan terapi aromatase inhibitor. Ospemifene dapat
diresepkan setelah perawatan kanker payudara, setelah semua hormon berakhir atau
perawatan kemoterapi. Tidak ada data keamanan dalam literatur tentang penggunaan
fitoestrogen pada penderita kanker payudara.19,4

Kanker endometrium
Unopposed ERT terkait dengan dosis yang dapat menstimulasi endometrium
terhadap peningkatan risiko hiperplasia dan kanker endometrium. Penggunaan EPT
kombinasi secara terus menerus mengurangi risiko karsinoma endometrium. sebaliknya,
penggunaan EPT secara terus menerus jangka panjang (3-5 tahun) dapat menyebabkan
sedikit peningkatan tetapi signifikan kanker endometrium. TSH dosis rendah mengurangi
rangsangan endometrium dan pendarahan. levonorgestrel intrauterin dapat menawarkan
manfaat dalam hal dampak metabolisme yang lebih rendah. Namun, progestin melalui
intrauterin terkait dengan peningkatan risiko kanker payudara apabila dibandingkan
dengan estrogen saja. Kanker endometrium yang respon dengan hormonal kontraindikasi
TSH. Tidak ada data keamanan diliteratur tentang penggunaan fitoestrogen pada
penderita kanker endometrium.20,4

Kanker colorectal
TSH mengurangi risiko kanker kolorektal dengan 6 kasus per 10.000 wanita setiap
tahun. Efek ini telah dijelaskan dengan EPT tetapi data tidak konsisten berkaitan dengan
ERT.6,7

123 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Venous thromboembolisme
Risiko tromboemboli vena diinduksi oleh TSH tergantung pada usia (minimal
hingga 60 tahun) dan pada BMI. Risiko lebih tinggi dalam 6-12 bulan pertama setelah
pemberian TSH. Penelitian observasional belum menemukan peningkatan risiko
tromboemboli vena dengan transdermal ERT. Risiko Tromboemboli vena dimodulasi oleh
jenis progestin. Hubungan CE dan BZA tidak meningkatkan risiko tromboemboli
dibandingkan dengan plasebo.14,18,24
Risiko stroke terkait usia. Peningkatan stroke iskemik dapat dihitung sekitar 1
kasus per 1000 wanita per tahun. Kejadian ini jarang terjadi. tidak ada peningkatan risiko
yang signifikan stroke pada wanita yang memulai TSH sebelum usia 60 atau dalam 10
tahun sejak awal menopause. Data yang diperoleh dari TSH dosis rendah cukup baik.
Tidak ada indikasi untuk skrining trombofilia sebelum pemberian TSH. Riwayat keluarga
dan pribadi, serta pemeriksaan fisik, sangat penting untuk mengevaluasi risiko trombotik.
Tes Penapisan selektif mungkin memiliki peran pada pasien tertentu8,16

KESIMPULAN
Pemberian TSH harus diberikan kepada wanita menopause yang simptomatik. Pemberian
Awal TSH dapat mengoptimalkan rasio risiko dan manfaat Keamanan TSH. Manfaat TSH
lebih besar pada wanita simptomatik sebelum usia 60 tahun atau dalam waktu 10 tahun
sejak awal menopause. TSH dosis rendah memiliki efek menguntungkan pada gejala
osteoporosis, mengurangi efek samping potensial dan risiko kanker. Progesteron alami
dan beberapa progestin, seperti dydrogesterone dan drospirenone, dapat mengurangi efek
samping, meningkatkan manfaat pada wanita tertentu. Hubungan CE dan BZA dapat
menetralkan efek estrogen pada endometrium, payudara dan PMS serta mempertahankan
kemanjurannya pada gejala dan pencegahan osteoporosis. Untuk perawatan
Genitourinary syndrome of menopause (GSM), pengobatan pilihan adalah ERT dosis
rendah atau lokal ospemifene oral.

DAFTAR PUSTAKA
1. Santen RJ, allred Dc, ardoin SP, archer DF, Boyd N, Braunstein GD, et al.
Postmenopausal hormone therapy: An Endocrine Society Scientic Statement. J Clin
Endocrinol Metab 2015;95(1):1-66.
2. The 2012 hormone therapy position statement of The North american Menopause
Society. Menopause 2012; 19:257-71.
3. Lobo RA, Archer DF, Kagan R, et al. Replenish trial: 17b-estradiol and progesterone
combined in a single capsule (TX-001HR) significantly improved moderate-to-severe
hot flushes in postmenopausal women. Presented at: 99th Annual Meeting of the
Endocrine Society; April 1-4, 2017; Orlando, Florida. Abstract LB OR16.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 124
4. Villiers TJ, Gass MlS, Haines cJ, Hall Je, lobo ra, Pierroz DD, et al. Global consensus
Statement on Menopausal Hormone Therapy. climacteric 2013; 16:203-4.
5. Villiers TJ, Pines a, Panay N, Gambacciani M, archer DF, Baber rJ, et al.; international
Menopause Society. Updated 2013 international Menopause Society
recommendations on menopausal hormone therapy and preventive strategies for
midlife health. Climacteric 2013; 16:316-37.
6. Shifren Jl, Gass Ml; NAMS recommendations for clinical care of Midlife Women
Working Group. The North american Menopause Society recommendations for clinical
care of midlife women. Menopause 2014; 21:1038-62.
7. Lobo ra, Davis Sr, De Villiers TJ, Gompel a, Henderson VW, Hodis HN, et al.
Prevention of diseases after menopause. climacteric 2014; 17:540-56.
8. Baber RJ, Panay N, Fenton a; IMS Writing Group. 2016 IMS recommendations on
women’s midlife health a menopause hormone therapy. climacteric 2016; 19:109-50.
9. Faubion SS, Kuhle CL, Shuster LT, Rocca WA. Long-term health consequences of
premature or early menopause and considerations for management. Climacteric
2015; 18:483-491.
10. Tao XY, Zuo AZ, Wang JQ, Tao FB. Effects of primary ovarian insufficiency and early
natural menopause on mortality: a meta-analysis. Climacteric 2016; 19:27-36.
11. Sjo¨gren LL, Mørch LS, Løkkegaard E. Hormone replacement therapy and the risk of
endometrial cancer: a systematic review. Maturitas 2016; 91:25-35.
12. Kovanci E, Schutt AK. Premature ovarian failure: clinical presentation and treatment.
Obstet Gynecol Clin North Am 2015; 42:153-161.
13. Comitee on Gynecologic practice and the American Society for Reproductive Medicine
Practice Comitee. Comitee Opinion No.532: compounded bioidentical menopause
hormon therapy. Obstet gynecol 2012; 120: 411-415.
14. Mirkin S, Ryan KA, Chandran AB, Komma BS. Bazedoxifene/ conjugated estrogens
for managing the burden of estrogen deficiency symptoms. Maturitas 2014; 77:24-31.
15. Fournier A, Mesrine S, Dossus L, Boutron-Ruault MC, Clavel-Chapelon F, Chabbert-
Buffet N. Risk of breast cancer after stopping menopausal hormone therapy in the
E3N cohort. Breast Cancer Res Treat 2014; 145:535-543.
16. Hiroi R, Weyrich G, Koebele SV, et al. Benefits of hormone therapy estrogens depend
on estrogen type: 17b-estradiol and conjugated equine estrogens have differential
effects on cognitive, anxiety-like, and depressive-like behaviors and increase
tryptophan hydroxylase-2 mRNA levels in dorsal raphe nucleus subregions. Front
Neurosci 2016; 10:517.
17. Gleason CE, Dowling NM, Wharton W, et al. Effects of hormone therapy on cognition
and mood in recently postmenopausal women: findings from the randomized,
controlled KEEPS-Cognitive and Affective Study. PLoS Med 2015;12: e1001833.

125 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
18. Pinkerton JV, Abraham L, Bushmakin AG, et al. Evaluation of the efficacy and safety
of bazedoxifene/conjugated estrogens for secondary outcomes including vasomotor
symptoms in postmenopausal women by years since menopause in the Selective
estrogens, Menopause and Response to Therapy (SMART) trials. J Womens Health
(Larchmt) 2014; 23:18-28.
19. Stute P, Neulen J, Wildt L. The impact of micronized progesterone on the
endometrium: a systematic review. Climacteric 2016; 19:316-328.
20. Fournier A, Dossus L, Mesrine S, et al. Risks of endometrial cancer associated with
different hormone replacement therapies in the E3N cohort, 1992-2008. Am J
Epidemiol 2014; 180:508-517.
21. Gleason CE, Dowling NM, Wharton W, et al. Effects of hormone therapy on cognition
and mood in recently postmenopausal women: findings from the randomized,
controlled KEEPS-Cognitive and Affective Study. PLoS Med 2015;12: e1001833.
22. Mirkin S, Ryan KA, Chandran AB, Komma BS. Bazedoxifene/ conjugated estrogens
for managing the burden of estrogen deficiency symptoms. Maturitas 2014; 77:24-31.
23. Lobo RA, Archer DF, Kagan R, et al. Replenish trial: 17b-estradiol and progesterone
combined in a single capsule (TX-001HR) significantly improved moderate-to-severe
hot flushes in postmenopausal women. Presented at: 99th Annual Meeting of the
Endocrine Society; April 1-4, 2017; Orlando, Florida. Abstract LB OR16.
24. Popat VB, Calis KA, Kalantaridou SN, et al. Bone mineral density in young women
with primary ovarian insufficiency: results of a three-year randomized controlled trial
of physiological transdermal estradiol and testosterone replacement. J Clin Endocrinol
Metab 2014;99: 3418-3426.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 126
BIOSIMILAR INSULIN: HOW SIMILAR IS SIMILAR?
OPPORTUNITIES AND CHALLENGES FROM PATIENTS
PERSPECTIVE
Sri Murtiwi
Surabaya Diabetes and Nutrition Center
Dr. Soetomo Teaching Hospital-Faculty of Medicine Airlangga University
Surabaya

Pendahuluan
Insulin merupakan terapi utama pada diabetes mellitus tipe1 (DMT1) dan pada
saat ini insulin juga banyak digunakan pada terapi diabetes mellitus tipe2 (DMT2). Dalam
perjalanannya DMT2 juga membutuhkan terapi insulin agar dapat meregulasi gula
darahnya oleh karena DMT2 merupakan penyakit yang bersifat kronis progresif artinya
bahwa kemampuan fungsi sel beta pankreas untuk memproduksi insulin makin lama makin
menurun. Sejak ditemukannya insulin pada sembilan puluh tahun yang lalu dimana
pertama kali insulin dibuat dari pankreas binatang babi dan sapi, selanjutnya terus
dikembangkan untuk mendapatkan profil insulin yang menyerupai sekresi insulin endogen,
kemudian muncul insulin human dan selanjutnya insulin analog. Upaya ini tentunya untuk
mendapatkan efikasi yang lebih baik dan menurunkan efek samping hipoglikemi. Pada
saat ini terdapat 5 tipe insulin yang ada adalah insulin regular, NPH, rapid-acting analog,
basal analog dan pre-mixed insulin. Pada tahun 2000 keluarlah insulin long-acting basal
analog yaitu insulin glargine dan insulin detemir, yang mempunyai lama kerja 24 jam dan
tidak ada puncak (peakless) sehingga bisa menurunkan efek samping hipoglikemi. Insulin
basal yang ideal adalah insulin yang bekerja selama 24 jam, tidak ada puncak sehingga
efek samping nokturnal hipoglikemi rendah, penggunaan satu kali sehari sehingga bisa
meningkatkan kepatuhan pasien dan harganya murah. Pada tahun 2014 keluarlah insulin
biosimilar glargine, insulin biosilimar dibuat sama dengan aslinya, namun tidak identik,
berdasarkan penelitian dengan membandingkan keduanya mempunyai efikasi dan efek
samping yang sama tetapi harga lebih murah. Di negara kita harga akan menjadi
pertimbangan dalam memilih insulin.

Insulin Biosimilar
Biosimilar adalah terjemahan dari generik biofarmasi, sedangkan biofarmasi
merupakan produk obat yang dibuat berdasar bioteknologi dengan protein sebagai bahan
aktif. Sebagai contoh insulin dapat diproduksi dari organisme hidup seperti bakteri atau
jamur. Biofarmasi pada dasarnya berbeda dari obat kimia yang mempunyai molekul kecil.
Perbedaan yang penting adalah:

127 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
o Ukuran dan kompleksitas bahan aktif dibanding dengan obat kimia yang mempunyai
molekul kecil, sedangkan biofarmasi melekulnya sangat besar dengan struktur yang
sangat komplek dimana sulit untuk dilakukan diidentifikasi dengan metode analitik
yang ada saat ini
o Pada dasarnya proses produksi biofarmaka merupakan produk final (proses adalah
produk) dan bahkan bila ada perubahan yang sangat kecilpun dalam proses produksi
akan mendatangkan hasil yang berbahaya
o Profil tentang efikasi dan keamanan produk biofarmaka sangat tergantung pada
ketahanan dan monitoring dari aspek qualitas

Beberapa produk biofarmaka bila sudah habis perlindungan dari hak paten, maka
bisa dikembangkan generic dengan versi molekul besar, disebut dengan istilah biosimilar.
Produser biosimilar tidak akan mempunyai akses untuk memproses produksi dari produk
original oleh karena itu merupakan hak pemilik. Dengan demikian tidak akan mungkin
produser biosimilar bisa mereplikasi produk beberapa protein yang persis sama. Sejak
produser biosimilar menggunakan proses produksi yang berbeda maka bisa dikatakan
bahwa biosimilar adalah sama tetapi tidak identik dengan produk original. Yang disebut
sama disini adalah sama dalam hal keamanan, efikasi dan kualitasnya (Joshi SR,2009).
Dapat dikatakan bahwa walaupun biosimilar dan produk original pempunyai susunan
amino yang sama, tetapi tetap ada sedikit perbedaan yang sangat halus sehingga tidak
terlihat tentang karakteristik molekul dan profil klinisnya. Insulin glargine merupakan insulin
basal yang di target oleh produser untuk memproduksi insulin biosimilar (Roteinstein LS,
et al.,2012).

Insulin Biosimilar: Harapan dan Persepsi


Insulin biosimilar diharapkanharganya lebih murah dibanding dengan produk
original karena produser tidak membutuhkan dana penelitian, pengembangan dan
percobaan klinis skala besar. Dengan demikian insulin biosimilar mempunyai potensi untuk
menurunkan biaya pengobatan bagi pasien diabetes, meningkatkan kemudahan dalam
terapi insulin dan memperbanyak macam insulin yang ada untuk pasien diabetes (Joshi
SR,2009; Roteinstein LS,et al.,2012).
Pada riset yang dilakukan oleh the diabetes focused market research company
mengindikasikan bahwa tampaknya pasien dan edukator diabetes optimis tentang
penggunaan insulin biosimilar. Dari 1.637pasien diabetes dewasa pengguna insulin, diberi
pertanyaan apakah akan menggunakan insulin versi generik (biosimilar) bila tersedia
dengan harga yang lebih murah dan telah disetujui oleh health care provider (HCP), maka
jawaban nya adalah pasti akan menggunakan sebanyak 30% dan 37% mengatakan akan
mempertimbangkannya. Apabila 415 edukator diabetes ditanya apakah akan
merekomendasinya penggunaan insulin biosimilar, maka jawabnya adalah sebesar 41 %

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 128
menjawab secara pasti akan merekomendasikan dan 42% mengatakan akan
mempertimbangkan untuk merekomendasikan. Namun kedua kelompok secara bermakna
akan tetap menindak lanjuti pertanyaan-pertanyaan tentang biosimilar.
Sebaliknya obat yang mempunyai molekul kecil yang diproduksi melalui sintesis
kimia mempunyai keseragaman, strukturnya dapat diramalkan, mudah untuk
menggolongkan dan umumnya stabil, protein-based productsseperti insulin diproduksi dari
organisme hidup, lebih besar molekul, lebih komplek dan lebih sulit untuk menentukan
strukturnya, membutuhkan kondisi khusus untuk menjamin stabilitasnya.

Insulin Biosimilar: Tantangan


Oleh karena memproduksi protein-based biologic relatif komplek, untuk
mendapatkan persamaan dengan derajad tinggi tidak mudah dicapai. Perbedaan yang
kecil dalam bentuk dan pelaksanaan proses produksi dapat besar pengaruhnya pada profil
klinis produk akhir insulin, sehingga membutuhkan kehati-hatian dalam desain produksi
dan proses kontrol kualitas. Perbedaan mungkin akan meningkatkan insulin’s
immunogenicityyang akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas, perubahan profil
farmakokinetik dan farmakodinamik, gangguan kerja insulin dan kasus yang jarang adalah
hipoglikemi. Perubahan struktur protein dan ketidakmurnian dapat mudah terjadi selama
perumusan, penyimpanan, pendistribusian yang akan berdampak pada potensi dan
keamanan obat. Sangat penting untuk melakukan pemeriksaan dengan sangat hati-hati
tentang keamanan, efikasi dan produksi insulin biosimilar selama mendapat ijin proses
produksi dan harus dikakukan penilaian secara berkesinambungan sesuai dengan protokol
yang ada.

Insulin Biosimilar Glargine BasalinTM (Ezelin R)


Efikasi dari insulin biosimilar glargine (Ezelin) sudah diuji dengan penelitian Julka
S dan kawan-kawan (2011). Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan efikasi dan
keamanan BasalinTMdengan LantusR pada pasien DMT2 yang tidak terkontrol hanya
dengan terapi obat hipoglikemi oral (OHO). Penelitian fase 3 dilakukan secara prospektif,
multisenter, komparatif, open-label, acakuntuk membuktikan keamanan dan efikasi
BasalinTM (n=139) bersifat non inferiordibanding denganLantus® (n=139) pada pasien DM
tipe2 yang tidak terkontrol dengan terapi OHO saja. Penelitian ini berlangsung selama 24
minggu, dibagi menjadi 2 kelompok (1:1).
Hasil penelitian tersebut pada akhir minggu ke24 menunjukkan efikasi primer
terjadi penurunan secara bermakna rerata HbA1c sebesar 0,72% pada kelompok Basalin
TMdan 0,64% pada kelompok Lantus®, tanpa ada perbedaan bermakna antar kedua
kelompok.

129 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Perbandingan perubahan rerata HbA1c antar 2
kelompok
8,5
Rerata HbA1c (%)

8 Basalin
7,5 Lantus

7
Baseline Minggu 12 Minggu 24

Durasi terapi

Gambar 1. Perbandingan perubahan rerata HbA1c antara Basalin dan Lantus (Julka S et
al,2011:1-101)

Pada efikasi sekunder pada akhir minggu ke 24 terjadi penurunan bermakna rerata
glukosa darah sebesar 20,1% pada kelompok BasalinTMdan 19,7% pada kelompok
Lantus®, tanpa ada perbedaan bermakna antar kedua kelompok.

Perbandingan perubahan rerata GDP antar 2 kelompok


Rerata GDP (mg/dL)

200
150
Basalin
100
Lantus
50
0

Durasi terapi

Gambar 2. Perbandingan perubahan rerata GDP antar 2 kelompok (Julka S et al,2011:1-


101)

Profil keamanan, pada akhir minggu ke2: kelompok Lantus® mengalami insiden
hipoglikemi lebih besar secara bermakna, yaitu 8,8% vs 2,4% kelompok BasalinTM,
begitupun pada akhir minggu ke12 (p<0.05). Pada akhir minggu 20 dan 24, proporsi
kejadian hipoglikemia tidak mengalami perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 130
Gambar 3. Profil efek samping hipoglikemi antara kedua kelompok (Julka S et al,2011:1-
101)

Penelitian acak tersamar tunggal, crossover, single centeruntuk membandingkan


farmakodinamik dan farmakokinetik antara BasalinTMdengan Lantus® dan mengevaluasi
efektivitas Basalin TMdibanding insulin NPH terhadap 16 relawan sehat diberikan
BasalinTMatauLantus®, dan 6 pria juga diberikan NPH, penelitian selama 20 minggu. Hasil
penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok
(p>0,05) pada kadar gula darah puasa rerata dari jam ke-2 sampai ke-26, tidak terdapat
perbedaan pada Tmax pada kelompok BasalinTMdibanding dengan kelompok Lantus®.
Tidak dilaporkan adanya reaksi efek samping terkait obat atau lainnya selama studi
berlangsung. Dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa:
o BasalinTMmemiliki kesamaan farmakodinamik dan farmakokinetik dengan Lantus®
o BasalinTM dan Lantus® lebih stabil dalam menurunkan kadar glukosa darah dan
menunjukkan konsentrasi insulin serum yang lebih stabil disbanding dengan NPH
o BasalinTM dan Lantus® menunjukkan konsentrasi insulin yang tidak ada puncaknya
sehingga secara farmakokinetik BasalinTM dan Lantus® lebih baik dibandingkan NPH
sebagai insulin basal.

Daftar Pustaka
1. DeVries JH, Gough SCL, Kiljanski J, Heinemann L (2015). Biosimilar insulin: a
European perspective. Diabetes, Obesity and Metabolism 17: 445-451
2. Heinemann L, Hompesch M (2011). Biosimilar insulin: how similar is similar? Journal
of Diabetes Science and Technology 5(3): 741-754
3. Heinemann L, Hompesch M (2014). Biosimilar insulin: basic considerations. Journal
of Diabetes Science and Technology 8(1): 6-13

131 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
4. Heinemann L (2016). Biosimilar insulin and costs: what can we expect? Journal of
Diabetes Science and Technology 10(2): 457-462
5. Ilag LL, Deeg MA, Costigan T, Hollander P, Blevins TC, Edelman SV, Konrad RJ,
Ortman RA, Pollam RK, Huster WJ, Zielonka JS, Prince MJ (2016). Evaluation of
immunogenicity of LY2963016 insulin glargine compared with Lantus insulin
glargine in patients with type1 or type2 diabetes mellitus. Diabetes, Obesity and
Metabolism 18: 159-168
6. Joshi SR (2009). Biosimilar Insulin: Are they really similar? Supplement of JAPI 57:
38-41
7. Joshi SR (2011). Biosimilar peptides: need for pharmacovigilance. Supplement of
JAPI 59: 44-47
8. Julka S (2011). A prospective, Multi-Center, Comparative, Open Label, Randomized
Parallel III Study to Asses Efficacy and Safety of Recombinant Insulin Glargine
Compared with Lantus in Patient with Type2 Diabetes Mellitus Uncontrolled on OAD
Therapy. Statistical Analysis Report.
9. Linnebjerg H, Lam EChQ, Seger ME, Coutant D, Chua L, Chong ChL, Ferreira MM,
Soon D, Zhang X (2015). Comparison of the Pharmacokinetics and
Pharmacodynamics of LY2963016 Insulin Glargine and EU-and US-Approved
Versions of Lantus Insulin Glargine in Healthy Subjects: Three Randomized
Euglycemic Clamp Studies. Diabetes Care 38: 2226-2233
10. Owen DR, Traylor L, Dain MP, Landgraf W (2014). Efficacy and safety of basal insulin
glargine 12 and 24 weeks after initiation in person with type2 diabetes: a pooled
analysis of data from treatment arms of 15 treat-to-target randomized controlled trials.
Diabetes Research and Clinical Practice 106: 264-274
11. Rosenstock J, Hollander P, Bhargava A, Ilag LL, Pollam RK, Zielonka JS, Huster WJ,
Prince MJ (2015). Similar efficacy and safety of LY2963016 insulin glargine and insulin
glargine (Lantus) in patients with type2 diabetes who were insulin-naïve or
previously treated with insulin glargine: a randomized, double-blind controlled trial (the
ELEMENT 2 study). Diabetes Obesity and Metabolism
12. Rotenstein LS, Ran N, Shivers JP, Yarchoan M, Close KL (2012). Opportunities and
challenges for biosimilars: what’s on the horizon in the global insulin market? Clinical
Diabetes 30(4):138-150

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 132
RELEVANCE TO USE HUMAN INSULIN IN THE
MANAGEMENT OF DIABETES MELLITUS
Prof. dr. Djoko Wahono, SpPD-KEMD
Divisi Endokrinologi, Metabolik dan Diabetes
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Rumah Sakit Umum Saiful Anwar, Malang

Abstract
The first recombinant DNA insulin was made in 1978 and Eli Lilly brought the first - Humulin
R (regular) and Humulin N (NPH) - to the US market in 1982. Novo Nordisk eventually
marketed its firstrecombinant insulin in 1982. Insulin has been use for more than 90 years.
Now at least 100 million people around the world need insulin, including all people living
with type 1 diabetes and between 10-25 percent of people with type 2 diabetes.
Recombinant human insulins DNA was introduced in the US in 1982 by Ely Lilly and
followed by Novo Nordisk in 1988.

Pendahuluan
Insulin sudah digunakan lebih dari 95 tahun. Saat ini paling sedikit 100 juta
penduduk dunia memerlukan insulin, termasuk semua pasien DM 1 tahun 1 dan sekitar
20-25% pasien DM 2. Human Insulin hasil dari rekombinan DNA dibuat di tahun 1978 oleh
Eli Lilly dan Humulin R dan Humulin N mulai dipakai di Amerika Serikat di tahun 1982.
Teknologi rekombinan DNA memungkinkan mengganti dan atau mengubah urutan asam
amino human insulin dan menghasilkan insulin analoglispro (1966), aspart (2000), glargine
(2000), glulisine (2004) dandetemir (2005). Di tahun 1985, untuk pertama kali insulin
dimasukkan ke dalam daftar WHO MEML (Model List of Essential Medicines). Di tahun
2011, WHO 18th Expert Committee on the Selection and Use of Essential Medicines
menolak aplikasi dimasukkannya berbagai insulin analog (glargin, detemir, aspart, lispro,
dan glulisine) ke dalam daftar MEML karena berbagai insulin analog tersebut tidak
menunjukkan manfaat klinis yang nyata dibandingkan dengan human insulin rekombinan.
WHO18th Expert Committee juga masih meragukan keamanan jangka panjang insulin
analog. Jerman hanya memasukkan human insulin kedalam daftar obat yang
mendapatkan biaya penggantian (reimbursement lists).
Insulin merupakan obat esensial untuk pasien DM 1. Tanpa insulin pasien akan
mengalami dekompensasi metabolik yang berat dan akan meninggal dalam waktu yang
relatif pendek. Pada pasien dengan DM 2 Produksi insulin tidak oleh perusahaan farmasi
tidak kurang, bahkan berlebihan. Harga yang mahal yang sangat mungkin menyebabkan
pasien tidak mempu membeli insulin. Hal tersebut bukan saja terjadi di negara dengan

133 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
rerata penghasilan yang rendah, tetapi juga dapat terjadi di negara dengan penghasilan
yang tinggi.

Sintesis dan Sekresi Insulin


Sintesis Insulin
Pre prosinsulin disintesis Sel β. Pre proinsulin selanjutnya melalui mekanisme proteolysis
diubah menjadi proinsulin.Yang disimpan di dalam vesikel-vesikel Apparatus Golgi.
Sekresi insulin distimulasi oleh berbagai bahan makanan dan metabolit, termasuk.
Berbagai faktor juga berperan dalam mengatur sekresi sel-sel islet. Faktor-faktor tersebut
diantaranya adalah:
- Makanan (glukosa, NEFA (non-esterified fatty acid), keton bodies dan asam amino)
- Sistim saraf otonom (simpatis dan parasimpatis)
- Hormon entero insular GLP-1 (7-36) amide, GIP, CCK (disekresikan waktu kita
makan).
- Hormon-hormon lain (GH, cortisol, epinefrin, leptin, tiroid)
- Hormon-hormon islet cells ( insulin, glukagon, IAPP, C-peptide)

Sekresi Insulin
Pada individu normal sekresi insulin terdiri dari sekresi insulin basal, berkadar
rendah yang berlangsung 24 jam (insulin basal) dan sekresi insulin prandial yang
distimulasi oleh makanan (meal-related insulin, prandial insulin).
Tujuan terapi insulin pada diabetes adalah menirukan pola sekresi insulin fisiologis
pada individu normal, yaitu pemberian insulin basal dan pemberian insulin reguler.
Farmakokinetik insulin secara tidak langsung dapat di tentukan melalui hilangnya
radiolabelled insulin di tempat penyuntikan subkutan. Pengukuran kadar insulin,
farmakodinamika insulin (lama kerja insulin), dan pengukuran penurunan kadar kadar
glukosa darah dapat diukur secara langsung.

Sediaan insulin reguler


Insulin regular atau short-acting yang disuntikkan subkutan digunakan untuk
menggantikan insulin prandial. Sesudah disuntikkan subkutan, onset of action terjadi
dalam waktu 15 – 30 menit. Aktifitas maksimal berlangsung 120 – 150 menit, dan lama
kerja 6 – 8 jam. Peningkatan dosis akan menyebabkan capaian puncak yang tertunda dan
memperpanjang lama kerja.
Profilkadar insulin di datah (insulinemia) sesudah penyuntikkan insulin regular
subkutan pada pasien diabetes sangat berbeda dengan profil kadar insulin sesudah makan
pada individu normal. Kadar maksimal insulin yang dicapai dan penurunan kembali
mencapai kadar basal terjadi jauh lebih cepat. Hal ini dapat menjelaskan mengapa kadar
glukosa darah post prandial pada pasien diabetes tidak dapat dikendalikan secara optimal

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 134
dengan injeksi insulin regular subkutan. Agar kerugian dalam penyuntikan subkutan insulin
regular tersebut dapat diatasi pasien seharusnya disuntik insulin regular subkutan 30 menit
sebelum makan. Rapid-acting insulin analog dikembangkan agar masalah tersebut dapat
diatasi.

Sediaan insulin Neutral Protamine Hagedorn (NPH)


NPH atau insulin isophane mengandung insulin dan protamine dalam proporsi
yang stoichiometric untuk membentuk kristal-kristal yang tidak mudah larut. Puncak
aktifitas kerja (peak of action) NPH sesudah penyuntikan subkutan adalah 5 – 7 jam dan
lama kerja (duration of action) 12 – 15 jam. Hal ini menunjukkan bahwa profil kerja NPH
tidak cukup panjang untuk dapat mengganti insulin basal yang lama kerjanya 24 jam. Akan
tetapi penyuntikan NPH dua kali dengan dosis 12 unit, dengan interval 12 jam mampu
mengganti insulin basal selama 24 jam. Penyuntikan NPH saat makan petang (evening
meal) sering tidak dapat mengendalikan glukosa darah saat sebelum sarapan pagi.Hal ini
dapat diatasi dengan menyuntikkan NPH sebelum tidur malam (bedtime). Meningkatkan
dosis NPH di waktu petang (evening) dapat meningkatkan risiko hipoglikemi di jam 02.00
– 04.00. Untuk mendeteksi risiko hipoglikemi tersebut dapat dilakukan pemeriksaan
glukosa darah di sekitar jam 03.00.

Insulin premixed
Premixed insulin juga disebut insulin biphasic. Insulin premixed adalah campuran
insulin regular dengan insulin NPH. Premixed insulin dibuat agar tidak perlu melakukan
penyuntikan dua kali pada saat yang sama. Campuran tersebut tidak menyebabkan
modifikasi sifat farmakologi insulin reguler. Waktu kerja insulin premixed sama dengan
masing-masing insulin regular atau NPH yang tidak dicampur. Agar dapat dicampur kedua
dua jenis insulin (regular dan NPH) harus mempunyai sifat pharmaceutical dan
kompatibilitas kimiawi yang sama (misal, pH dan buffer yang sama). Berbagai komposisi
campuran (fixed ratio) reguler insulin dan NPH yang tersedia adalah 10/90, 25/75, 30/70
dan 50/50. Pemilihan campuran yang digunakan tergantung dari jumlah komponen
makronutrien karbohidrat yang dikonsumsi di dalam makanan sehari. Premixed insulin
praktis tetapi kurang fleksibel karena pada dasarnya tidak ada pola hidup (jadwal, jumlah
dan jenis makanan serta aktifitas jasmani yang selalu fixed.

Insulin Analog
Salah satu strategi untuk mendapat sediaan insulin yang mempunyai time-action
yang berbeda adalah dengan memodifikasi molekul insulin. Pendekatan ini berdasar pada
temuan bahwa molekul insulin pada konsentrasi yang digunakan dalam sediaan
pharmaceutical (0,6mmol/L) akan mengalami heksamerisasi. Masuknya insulin reguler

135 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
yang mengalami hexamerisasi (menjadi molekul besar) ke dalam kapiler menjadi sullit. Hal
ini berakibat insulin yang disuntikkan subkutan bekerjanya terlambat.
Dengan teknik rekayasa genetic residu asam amino di posisi manapun dapat
diubah atau diganti. Melalui teknik ini dapat dibuat insulin analog yang struktur primernya
sedikit berbeda dengan molekul human insulin. Dengan teknik ini dapat dibuat insulin
monomer yang tidak berubah menjadi heksamer, atau daya kohesi heksamer dilemahkan
sehingga cepat mengalami disosiasi sesudah disuntikkan subkutan. Dapat juga dibuat
insulin analog yang daya kohesi heksamernya diperkuat. Dengan demikian absorbsi
analog insulin tersebut sesudah disuntikkan subkutan heksamernya dapat lebih cepat
mengalami disosiasi dibanding dengan human insulin reguler atau disosiasinya lebih lama
dibanding dengan NPH. Kedua hal tersebut menyebabkan profil farmakokinetik analog
insulin yang disuntikkan subkutan lebih mirip pola farmakokinetik sekresi insulin endogen.
Dengan demikian risiko kejadian hipoglikemi berat dan hipoglikemi nokturnal lebih kecil.
Farmakodinamik dan farmakokinetik analog insulin yang ideal dapat dilihat di Tabel 1.

Tabel 1. Profil kerja analog insulin yang ideal.


Profil Umum
Variabilitas kerja intraindividual yang kecil
Efek metabolik lebih besar dibanding dengan efek mitogenik
Efek imunogenik yang tidak berarti
Secara kimiawi stabil
Tidak ada masalah bila dicampur
Profil kerja analog insulin short-acting
Onset kerja <0.30 menit sesudah disuntikkan subkutan
Aktifitas puncak yang tinggi
Lama kerja < 4 jam
Profil kerja analog insullin rapid-acting
Awal kerja > 4 jam sesudah disuntikkan subkutan
Lama kerja > 24 jam
Tidak ada puncak aktifitas kerja (peakless)
Kerja yang konstan sepanjang waktu

Rapid-acting insulin analog yang tersedia adalah analog insulin lisine-proline


(Humalog, Eli Lilly), analog insulin aspart (Novorapid, Novo Nordisk), dan analog insulin
glulisine (Sanofi-Aventis). Analog insulin long-acting yang tersedia Glargine (Lantus, Sanofi
Aventis) dan Detemir (Levemir, Novo Nordisk). Akhir-akhir ini telah tersedia analog insulin
ultra-long-acting (Tresiba, Novo Nordisk dan Glargine 300, Sanofi Aventis). Apakah
berbagai analog insulin yang tersedia tersebut di atas secara klinis risiko hipoglikeminya
memang lebih rendah dibandingkan dengan human insulin?
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 136
Perbandingan Keamanan dan Efikasi Human Insulin dan Insulin Analog
Secara luas insulin dapat dikategorikan menjadi dua, insulin konvensional dan
insulin analog.Insulin konvensional – neutral protamine hagedorn (NPH), insulin reguler –
pada umumnya lebih murah dibanding dengan berbagai tipe insulin analog. Bila
disuntikkan subkutan, pola sekresi Insulin analog lebih mirip pola sekresi insulin endogen
dibanding dengan insulin konvensional. Pola farmakokinetik insulin analog yang lebih
fisiologis tersebut berpotensi lebih efektif (menurunkan glukosa darah/HbA1c) dan risiko
hipoglikemi lebih kecil dibanding dengan insulinkonvensional.
1. Meta-analisis
Duapuluh (20) dari 27 RCT (randomised controlled trials) yang dimasukkan dalam
meta-analisis ini mendapat pembiayaan dari perusahaan farmasi.Dari hasil penelusuran
dapat diidentifikasi 6 meta-analisis yang membandingkan keamanan (safety) dan efikasi
(efficacy) human insulin dan insulin analog. Dua meta-ananlisis menyertakan pasien
dengan DM 1, DM 2 dan diabetes gestasional.
Diantara kelompok yang dibandingkan, hasil analisis menunjukkan perbedaan
HbA1c yang minimal.Perbedaan pengurangan kejadian hipoglikemi juga tidak konsisten.
(Singh et al, 2009). Siebenhofer et al (2009) juga mendapatkan kesimpulan yang sama,
manfaat penurunan konsentrasi HbA1c dan kejadian hipoglikemi yang tidak konsisten.
Kedua studi tersebut menyimpulkan bahwa tidak cukup data untuk merekomendasikan
insulin analog di atas human insulin.
Dua review hanyamenyertakan pasien DM 2 dan mengemukakan bahwa insulin
analog menurunkan hipoglikemi yang berat dan hipoglikemi nokturnal. Perbedaan
penurunan HbA1c tidak bermakna dibanding dengan human insulin (32,33).
Satu review hanya menyertakan DM 1 dan mengemukakan bahwa insulin analog
tidak menunjukkan manfaatyang nyata penurunan HbA1c atau kejadian hipoglikemi
dibanding human insulin (34).
Berlawanan dengan hasil meta-analisis yang sudah disampaikan, Tricco dkk
(2005), mengemukakan, insulin analog dibandingkan dengan human insulin
menyebabkan penurunan HbA1 dan kejadian hipoglikemi yang bermakna. Dari RCT,
perbedaan penurunan konsentrasi HbA1c tersebut tidak disertai dengan penurunan
komplikasi makrovaskuler.
Kendali glukosa darah puasa dapat dicapai dengan menggunakan human NPH
insulin atau dengan insulin insulin analog long-acting.Dalam berbagai uji klinik, dibanding
dengan insulin NPH insulin analog basal (Glargine 100 atau Detemir) dapat menurunkan
risiko hipoglikemi simtomatik atau hipoglikemi nokturnal. Manfaat tersebut sedikit dan tidak
menetap.

137 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
2. Penelitian Individual
Dari penelusuran yang dilakukan dari januari 2011 sampai April 2015, didapatkan
15 penelitian head to head randomised control ataurandomised crossover yang
mebandingkan human insulin dengan insulin analog long- dan short-acting. Enam (6)
diantara 15 penelitian tersebut dibiayai industri farmasi dan salah satu perusahan farmasi
memberi insulin (free insulin). Enamstudi membandingkan glargine dengan NPH dan 5
studi membandingkan detemir dengan NPH, satu studi membandingkan insulin analog
aspart dengan human insulin reguler dan empat studi membandingkan lebih dari 1 insulin
dengan insulin NPH dan atau human insulin reguler.
Dari penelitian Glargin vs NPH, tidak ada perbedaan penurunan HbA1c yang
bermakna. Dua studi menunjukkan glargine secara konsisten menunjukkan penurunan
kejadian hipoglikemi dan hipoglikemi nokturnal.Satu studi menunjukkan glargine
menyebabkan peningkatan berat badan diantara pasien DM 2.
Dari penelitian Detemir vs NPH menunjukkan adanya perbedaan penurunan
HbA1c yang bermakna dengan penggunaan detemir. Dua studi menunjukkan penurunan
kejadian hipoglikemi berat dan hipoglikemi nokturnal pada penggunaan detemir, sedang
satu studi tidak.
Dari penelitian Aspart vs Reguler Human pada 14 pasien dengan DM 2, rerata
konsentrasi glukosa selama 48 jam lebih rendah dengan penggunaan aspart. Tidak ada
pasien yang mengalami kejadian hipoglikemi yang berat pada kedua kelompok perlakuan.
3. Keamanan Jangka Panjang
Dari penelusuran rujukan didapatkan dua systematic reviews dan meta-analysis
yang membahas tentang kaitan anatar penggunaan insulin analog long-afcting dengan
peningkatan risiko insidensi kanker. Satu tinjauan ulang yang mengevaluasi DM 2 hasilnya
tidak menunjukkan adanya bukti yang jelas peningkatan risiko kanker, terlebih bila
pengaruh obesitas dipertimbangkan.Tinjauan ulang yang kedua mengemukakan adanya
peningkatan risiko kanker payudara dengan penggunaan insulin glargin, tetapi sebaliknya
risiko kanker kolon turun. Kedua review tersebut menyarankan penelitian lebih lanjut
sebelum menarik kesimpulan klinik.
Data dari lima (5) uji klinik individual (5 studi cohort dan 1 retrospective cohort)
yang menggunakan data registri nasionalatau rekam medik rumah sakit (hospital
discharge) di gunakan untuk melihat kemungkinan adanya asosiasi anatara penggunaan
insulin glargin dengan keganasan. Dua (2) studi cohort tidak menunjukkan adanya
perbedaan anatara kelompok yang menggunakan human insulin dan insulin glargine. Studi
cohort ke-tiga menunjukkan risiko keganasan umum (general malignancy) kelompok
pengguna insulin glargine lebih rendah dibanding dengan kelompok pengguna human
insulin, tetapi risiko kanker payudara lebih tinggi. Hasil studi cohort juga mengemukakan
bahwa pasien wanita berusia >40th dg DM 2 pengguna insulin glargine, pada 5 tahun
pertama tidak penggunaan insulin glargine tidak menunjukkan peningkatan risiko, tetapi

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 138
meningkatan kanker payudara meningkat pada 5 tahun berikutnya. Studi cohort
retrospektif tidak menunjukkan adanya kaitan insulin glargine meningkatkan risiko kanker.

Masuknya Produk Insulin ke Dalam Daftar Obat Esensial Nasional dan Daftar Obat
yang Mendapat Penggantian Biaya (Reimbursement List)
1. WHO Model List of Essential Medicine (The WHO MEML)
The WHO MEML dimulai di tahun 1970 dan di tahun 1977 dan 1983 insulin belum
masuk di dalam daftar. Dua jenis insulin, insulin reguler dan NPH dengan 2 kekuatan
40uni/ml baru masuk di tahun 1985. Dan kemudian insulin dengan konsentrasi 100 unit/ml.
Di tahun 1998, insulin 80 unit/ml dihapus dari daftar. Di tahun 2003 Expert Committee
menolak insulin anaolog masuk ke daftar WHO MEML karena tidak ada keunggulan insulin
analog dibandingkan dengan human insulin.
Soluble insulin masuk di daftar NEML 98 negara sedangkan intermediate-acting
human insulin di dalam daftar 97 negara. Human Insulin adalah insulin yang paling sering
masuk didalam daftar NEML yang diteliti. WHO WPRO (WHO Western Pasific Region
Office) dan PAHO (Pan American Health Organization) selalu memasukkan kedua jenis
insulin tersebut ke dalam daftar. Negara- negara SEARO (south East Asia Regional
Office)selalu memasukkan soluble insulin injection. Tiga puluh persen negara
memasukkan produk mixed insulin ke dalam daftar. WHO EMRO adalah wilayah yang
paling banyak memasukkan semua jenis insulin, termasuk insulin analog.

2. Produk Insulin di dalam Daftar Reimbursement


Wilayah WHO yang mempunyai Reimbursement List (RL) adalah EURO, EMRO,
SEARO, WPRO, AFRO dan AMRO. Reimbursement List di wilayah SEARO (Indonesia
termask dalam SEARO) tidak tersedia. Negara-negara yang tergolong HIC memasukkan
semua jenis insulin ke dalam daftar RL insulin termasuk insulin analog. Jerman merupakan
satu-satunya negara yang tidak memasukkan insulin analog ke dalam daftar RL, hanya
human insulin yang mendapatkan reimbursement. Dengan asumsi bahwa insulin analog
secara klinis equivalent dengan recombinant human, membatasi hanya memasukkan
human insulin ke dalam RL dapat meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya.
Jerman, memasukkan insulin analog bila harganya setara dengan human insulin (ACCISS,
2016)

3. Posisi Human insulin dan insulin Analog di dalam Guideline


Semua jenis human insulin dan insulin analog ada di e-cataloque LKPP (https://e-
katalog.lkpp.go.id.). Short acting (dalam bentuk vials) yang dipakai dengan spuit
insulin,insulin pen yang bisa digunakan ulang atau insulin pen disposable. Dan insulin
analog catride dan reusable pen serta insulin pen yang disposable. Semua terdapat dalam
e-Cataloque LKPP.

139 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
4. Panduan dari : NHSNice 2015 dan WHO Guideline 2018
Mengawali penggunaan insulin sesudah gagal mencapai kendali glukosa darah
dengan obat oral tunggal atau kombinasi dapat dimulai dengan pemberian insulin basal
Human Inuslin NPH subkutan 1 atau 2 kali sehari.
Penggunaan insulin anaolog dapat digunakan dalam keadaan tertentu pasien
seperti : pasien usia lanjut yang hidup sendiri serta mengalami kesulitan untuk
menyuntikkan insulin.Pasien usia lanjut yang pernah mengalami hiperglikemi berat
berulang.

DAFTAR PUSTAKA
 Blin P, Lassalle R, Dureau-Pournin C, et al. Insulin glargine and risk of cancer: a
cohort study in the French National Healthcare Insurance Database. Diabetologia
2012; 55(3): 644-653
 Consideration of Diabetes Medicines as part of the revisions to 2017 WHO model
List of Essential Medicines for Adults (EML) and Model List of Essential Medicines
for Children (EMLc). EML 2017
 Higgins JPT, Green S (editors).Cochrane Handbook for Systematic Reviews of
Interventions Version 5.1.0 [updated March 2011]. The Cochrane Collaboration,
2011.Available from www.cochrane-handbook.org.
 Horvath K, Jeitler K, Berghold A, et al. Long acting insulin analogues versus NPH
insulin (human isophane insulin) for the type 2 diabetes mellitus. Cochrane
Database of Systematic Rev. 2007;2:CD005613
 Karlstad O, Starup-Linde J, Vestergaard P, et al. Use of insulin and insulin
analogues and risk of cancer – systematic review and meta-analysis of
observational studies. Current Drug Safety 2013; 8(5): 333-48
 Rendell M, KaanAkturk H, HarshaTella S, et al. Glargine safety, diabetes and
cancer. Expert Opinion on Drug Safety 2013; 12(2)
 Singh SR, Ahmad F, Lal A, et al. Efficacy and safety of insulin analogues for the
management of diabetes mellitus: a meta-analysis. CMAJ 2009; 180(4): 385-397
 Siebenhofer A, Plank J, Berghold A, et al. Short acting insulin analogues versus
human insulin in patients with diabetes mellitus. Cochrane Database Systematic
Rev. 2007; 19;(2):CD003287
 Sanches ACC, Correr CJ, Venson R, et al. Insulin analogues versus human insulin
in type 1 diabetes: direct and indirect meta-analyses of efficacy and safety. BJPS
2013; 49(3).
 Sturmer T, Marquis M, Zhou H, et al. Cancer Incidence Among Those Initiating
Insulin Therapy With Glargine Versus Human NPH Insulin. Diabetes Care 2013;
36(11): 3517-3525
 Waugh N, Cummins E, Royle P, et al. Newer agents for blood glucose control in
type 2 diabetes: systematic review and economic evaluation. Health Technology
Assess 2010; 14(36): 1-248

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 140
ANALOGUES INSULIN IN THE MANAGEMENT OF
DIABETES: IS IT BETTER THAN HUMAN INSULIN?
Dato’ Dr. Malik Mumtaz
MD (USM) FRCP (Edin) FRCP (Glasgow)
Fellowship in Nuclear Medicine (Glasgow) DSPN
Consultant Endocrinologist and Nuclear Medicine Physician
Island Hospital Penang
Adjunct Associate Professor in Medicine
Penang Medical College

Insulin is a life-saving medication. From the time of its discovery in 1924, to the mass
production of human insulin in the 1970s and the introduction of analogues in the 1990-
2000s we have come a long way. Human insulin was the gold standard for many years
until the development of insulin analogues. The cost of using insulin has increased mainly
because newer insulins are more expensive but the questions remain as to whether they
are better.

Insulin analogues offer a replacement strategy which is more physiological. They act faster
and with the long acting basal insulins, they offer more predictability, longer duration of
action, less hypoglycemia and better weight profile. They encourage compliance and offer
flexibility in injection timing and have user friendly devices which over all leads to a greater
patient satisfaction.

In more than 60 randomised studies comparing HBA1c reduction with the 3 rapid acting
insulins (lispro,aspart and glulisine) and two basal insulins (glargine and detemir), the
average reduction was 0.01-0.23 % reduction. The true advantage however of analogues
is the reduction of hypoglycemia, particularly nocturnal hypoglycemia. There is a weight
gain of 0.4-1.3 kg in the NPH insulin group.

In a local Health technology assessment conducted in Malaysia to address this same issue,
the same question was asked. There was good evidence to suggest that treatment with
lispro or aspart compared to human insulin resulted in a small but significantly lower HBa1c
value in adults with T1DM but no differences were seen in T2DM with regards to FBS and
pre-meals sugars but better PPG control was noted. No difference in HBA1c was seen.
There was good level of evidence of lower HBA1c with glargine compared to NPH insulin
(-0.11%) in T1DM but not T2DM. QOL score were better. Weight gain was lower in detemir
as compared to NPH. Pre-mixed analogues had a similar HBA1c reduction but significantly
reduced PPG compared to human pre-mix insulin.

141 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
The main advantages seen were in the reduction of hypoglycemia (T1DM and T2DM) and
particularly nocturnal hypoglycemia (33-45% reduction) and severe hypoglycemia (20%
reduction in T1DM). Pre-mixed analogues were not shown be different as far as
hypoglycemia was concerned. Newer analogues like Insulin degludec have also been
shown to have significant reduction of nocturnal hypoglycemia.

Based on the current data available, treatment with insulin analogues compared to
conventional human insulin offers a minor benefit in terms of glycemic control (HBA1c
reduction, PPG control and FBG) but have advantages in terms of reduced occurrence of
hypoglycemia, particularly nocturnal hypoglycemia and severe hypoglycemia in all
treatment groups. Treatment satisfaction and QOL scores and weight gain profile favour
analogues.

I must admit that in my private practice I use primarily analogue insulin due to various
factors including minimal cost differential between human and analogue insulins.

In conclusion, both human and analogue insulins are effective and have a role to play. Are
analogues better? They certainlywould benefit those with T1DM and patients with T2DM
with recurrent hypoglycemia (severe and nocturnal) and finally those with significant weight
gain despite adequate lifestyle measures.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 142
EARLY AMPUTATION IN DIABETIC FOOT MANAGEMENT:
DOES IT HAS SOME BENEFIT?
Safrizal Rahman
Bagian Ortopedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala –
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, Indonesia

Abstrak

Ulkus kaki diabetik merupakan ulkus yang terjadi pada penderita diabetes yang
disebabkan oleh neuropati, penekanan, iskemia atau hipertensi vena. Diperkirakan ulkus
kaki diabetik terjadi sekitar 30% pada penderita DM sepanjang masa hidupnya dengan
angka kekambuhan 66%. Infeksi merupakan komplikasi yang paling umum terjadi pada
penderita ulkus kaki diabetik yang dapat dibedakan berdasarkan 4 derajat keparah.
Pengkajian derajat keparahan infeksi penting dilakukan guna menentukan rencana
intervensi yang akan dilakukan terhadap pasien. Tujuan utama tatalaksana infeksi ulkus
kaki diabetik adalah menurunkan derajat keparahannya serendah mungkin dengan
menggunakan modalitas terapi medikamentosa dan pembedahan. Prosedur pembedahan
dilakukan jika terapi medikamentosa tidak menunjukkan hasil yang memuaskan, akan
tetapi juga dapat dilakukan secara bersamaan. Salah satu prosedur pembedahan yang
dilakukan untuk tatalaksana ulkus kaki diabetik adalah prosedur amputasi. Amputasi di
indikasikan pada pasien neuropati, penyakit vaskular, deformitas yang menyebabkan
nekrosis jaringan lunak, osteomielitis, infeksi yang tidak terkontrol atau nyeri yang tidak
tertangani. Dengan memprediksi kemungkinan penyembuhan luka pada penderita ulkus
kaki diabetik seperti diabetic ulcer severity score (DUSS), seorang klinisi dapat
menentukan apakah prosedur amputasi dapat dilakukan sedini mungkin guna mencegah
timbulnya komplikasi sistemik yang dapat mengancam keselamatan jiwa pasien serta
mencegah penggunaan antibiotik jangka panjang.
Kata Kunci: Ulkus kaki diabetik, amputasi dini

Pendahuluan
Ulkus pada kaki terjadi pada 1 dari 10 penderita diabetes selama masa hidupnya. Pasien
diabetes memiliki resiko amputasi ekstremitas bawah yang tinggi dengan penyebab
utamanya adalah peripheral arterial disease (PAD) yang prosesnya dipercepat oleh
kerusakan saraf dan pembuluh darah secara langsung akibat kadar glukosa yang tinggi.
Penyakit vaskular diabetes atau diabetic vascular disease (DVD) terdiri dari tiga komponen
utama yakni: artritis dan thrombosis pembuluh darah kecil; neuropati; dan atreosklerosis
pembuluh darah besar. Kombinasi ketiga komponen tersebut umumnya menimbulkan
permasalahan pada area tumpuan tubuh. Ulkus kaki diabetik lebih sering mengalami

143 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
infeksi dibandingkan ulkus kaki lainnya dan infeksi yang terjadi biasanya merupakan
infeksi oportunistik. Usia dan lama menderita diabetes menjadi faktor yang meningkatkan
insidensi dan resiko kematian akibat infeksi yang tidak terkontrol.1 Permasalahan ulkus
kaki diabetik terjadi baik pada Diabetes Mellitus (DM) tipe 1 dan tipe 2 serta perkiraan
terjadinya ulkus kaki diabetik pada penderita DM sepanjang masa hidupnya adalah 30%.2,
3

Ulkus diabetik tidak secara otomatis harus ditatalaksana dengan antibiotik


walaupun luka kronis terbuka mengandung banyak organisme komensal, sebagiannya
tidak terinfeksi.1 Beberapa metode klasifikasi ulkus diabetik banyak dikembangkan untuk
menentukan rencana terapi yang tepat, namun tidak secara universal dapat diterima.
Sebagian besar ulkus diabetik pada kaki membutuhkan intervensi pembedahan, mulai dari
tindakan sederhana seperti pembedahan hingga intervensi mayor berupa amputasi.
Penekanan utama pengembangan panduan internasional saat ini terhadap menejemen
ulkus kaki diabetik berfokus pada pencegahan, deteksi dini, dan tatalaksana yang tepat.

Ulkus Kaki Diabetik


Ulkus kaki diabetik didefinisikan sebagai ulkus yang terjadi pada penderita diabetes yang
disebabkan oleh neuropati, penekanan, iskemia atau hipertensi vena.4 Permasalahan kaki
terdata sebagai penyebab utama penderita diabetes mendapat perawatan di rumah sakit
dibandingkan kompikasi diabetes jangka panjang lain. Ulkus umunya terjadi pada laki –
laki > 60 tahun.5 Dilaporkan sebanyak 3 – 10% ulkus kaki diabetik terjadi pada penderita
DM setiap tahunnya dan 85% prosedur amputasi dilakukan pada penderita DM sebagai
akibat dari ulkus kaki diabetik.6
Pada penderita diabetes, ulkus pada kaki umumnya terjadi karena insufisiensi
vaskular (namun ulkus kaki diabetik dapat terjadi pada pasien tanpa insufisiensi vaskular)
dan dapat berkomplikasi menjadi infeksi. Prosedur amputasi dilakukan pada penderita
yang gagal menjalani pengobatan konservatif. Setelah sembuh, angka kekambuhan ulkus
kaki diabetik dalam 5 tahun cukup tinggi yakni 66% dengan persentase amputasi sebanyak
12%.7

Infeksi pada Ulkus Kaki Diabetik


Infeksi ulkus kaki diabetik merujuk kepada seluruh infeksi pada kaki penderita diebates
yang dibedakan berdasarkan derajat keparahan mulai dari permukaan (superficial) hingga
osteomyelitis. Sebanyak 58% penderita ulkus kaki diabetik memiliki bukti terjadinya infeksi
dan 20% infeksi yang terjadi melibatkan tulang.4 Neuropati perifer dan penyakit pembuluh
darah perifer merupakan faktor resiko mayor terjadinya infeksi. Faktor resiko lainnya
berupa trauma, riwayat berjalan tanpa alas kaki, ulkus yang berulang atau ulkus > 30 hari,
riwayat amputasi ekstremitas inferior dan insufisiensi ginjal kronis.4, 8

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 144
Tabel 1. Klasifikasi IDSA/IWGF infeksi ulkus kaki diabetik

Klasifikasi PEDIS Deskripsi

Tidak 1 Luka tanpa purulen atau bukti inflamasi


terinfeksi
Ringan 2 Infeksi lokal yang terbatas pada kulit atau jaringan
subkutan permukaan dengan ≥ 2 tanda berikut: inflamasi;
purulen; eritema (> 0,5 cm atau ≤ 2 cm disekitar ulkus);
nyeri; indurasi atau pembengkakan.
Sedang 3 Tanda Infeksi lokal seperti deskripsi diatas, dengan
eritema > 2 cm atau melibatkan struktur yang lebih dalam
dari jaringan subkuran tanpa SIRS

Berat 4 Tanda infeksi lokal seperti deskripsi diatas dengan tanda


SIRS yang ditandai ≥ 2 tanda berikut: Suhu > 38 ℃ atau <
36 ℃, nadi > 90 kali/menit, pernapasan > 20 kali/menit atau
PaCO2 < 32 mmHg, leukosit > 12.000 atau < 4.000
Singkatan: IDSA, Infection Disease Society of America; IWDGF, International Working
Group on the Diabetic Foot; PEDIS, (perfusion, extent, depth, infection, sensation)
Patogen penyebab terjadi infeksi ulkus kaki diabetik umumnya polimikrobial. Jenis
patogen penyebab sangat menentukan derajat keparahan infeksi ulkus kaki diabetik.
Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, bakteri gram negatif dan bakteri
anaerob obligat merupakan patogen penyebab osteomielitis pada ulkus kaki diabetik. 4, 9
Dalam aplikasi klinis, diperluan berbagai modalitas untuk menilai infeksi ulkus kaki
diabetik guna menentukan metode tatalaksana yang tepat. Pertimbangkan melakukan
probe to bone (PTB) test pada semua infeksi ulkus kaki diabetik dengan luka terbuka guna
penapisan osteomielitis. Nilai PTB test yang positif dengan atau tanpa pemeriksaan x-ray
memiliki tingkat prediksi osteomielitis yang tinggi pada pasien infeksi.10 Penelitian lain juga
menyimpulkan bahwa ulkus > 2 cm2 dengan PTB test postif spesifik untuk deteksi
osteomielitis pada pasien diabetes.11 Selain pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
seperti radiologi dan laboratorium juga perlu diperiksa guna meningkatkan nilai diagnostik.

Gambar 1. (a) Probe to bone (PTB) test (bernilai positif jika menyentuh jaringan
keras/rigid), (b) mengukur dalam ulkus setelah melakukan PTB

145 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Tabel 2. Perbandingan diagnosis PTB dan X-Ray
PTB X-Ray Kombinasi
Sensitivitas 95 % 82 % 97 %
Spesifisitas 93 % 93 % 92 %
NDP 97 % 97 % 97 %
NDN 83 % 65 % 93 %
Singkatan : NDP, nilai duga positif, NDN, nilai duga negatif, PTB, Prone to Bone test

Tabel 3. Penanda infeksi ulkus kaki diabetik


PCT CRP Leukosit ESR
Titik Potong ≥ 0,08 ng/mL ≥ 32,1 mg/dL ≥ 8,6 x 109/L ≥ 40,5 mm/jam
Sensitivitas 77 % 29 % 70 % 77 %
Spesifisitas 100 % 100 % 72 % 77 %
NDP 100 % 100 % 76 % 80 %
NDN 78 % 53 % 66 % 74 %
Singkatan : CRP, C-reactive protein; ESR, erythrocyte sedimentation rate, PCT,
procalcitonin

Amputasi pada Ulkus Kaki Diabetik


Amputasi ekstremitas inferior pada penderita ulkus kaki diabetik umumnya dilakukan jika
tatalaksana konservatif tidak memberikan manfaat yang berarti. Pasien menilai prosedur
amputasi sebagai akhir dari produktifitas dan menjadi seorang disabilitas. Walaupun
demikian, amputasi harus dipandang sebagai prosedur untuk untuk tatalaksana ulkus kaki
diabetik. Indikasi dilakukan amputasi berupa neuropati, penyakit vaskular, deformitas yang
menyebabkan nekrosis jaringan lunak, osteomielitis, infeksi yang tidak terkontrol atau nyeri
yang tidak tertangani.
Tujuan tindakan penyelamatan ekstremitas apapun adalah untuk menurunkan
derajat keparahan ulkus. Tindakan amputasi merupakan salah satu tatalaksana yang
dapat dilakukan untuk menurunkan derajat keparahan suatu infeksi ulkus kaki diabetik
utamanya menyelamatkan pasien dari infeksi sistemik. Penundaan prosedur amputasi
berdampak pada semakin luasnya nekrosis yang terjadi sehingga dapat memperburuk
kondisi pasien. Selain itu penundaan prosedur amputas juga dapat memperluas area
amputasinya. Semakin proksimal prosedur amputasi, maka akan semakin besar beban
yang dibutuhkan untuk membantu pasien dapat berjalan kembali.12
Prosedur amputasi dapat dipertimbangkan dengan menilai kondisi klinis pasien
berdasarkan derajat keparahan infeksi ulkus kaki diabetik serta berbagai skor prediktif
kesembuhan luka. Prediksi kesembuhan luka dan amputasi mayor pada penderita ulkus
kaki diabetik penting dilakukan secara klinis untuk stratifikasi resiko dan target intervensi

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 146
untuk menyelamatkan ekstremitas. Perfusi yang adekuat ke kaki yang di tandai dengan
skin perfusion pressure ≥ 40 mmHg, toe pressure ≥ 30 mmHg, atau transcutaneous
oxygen pressure (TcPO2) 25 mmHg berkaitan dengan kemungkinan sembuh yang tinggi.
Perfusi jaringan tidak adekuat yang ditandai dengan ankle pressure < 70 mmHg dan ankle
brachial index < 0,5 berkaitan dengan tingginya resiko amputasi.13
Penelitian kohort yang dilakukan oleh Battum dkk pada tahun 2011 terhadap 1.232
pasien ulkus kaki diabetik selama 1 tahun menyimpulkan bahwa ulkus yang dalam,
penyakit arteri perifer, dan infeksi berhubungan dengan peningkatan resiko amputasi
minor pada penderita ulkus kaki diabetik.14 Diabetic ulcer severity score (DUSS) dapat
digunakan untuk memprediksi penyembuhan luka pada penderita ulkus kaki diabetik. Skor
ini terdiri dari 4 komponen penilaian yang masing – masing komponen penilaiannya benilai
1 poin, diantaranya: (1) arteri pedis tidak teraba, (2) dapat dilakukan PTB test, (3) ulkus
pada kaki, (4) ulus multipel. Jumlah poin dari masing – masing komponen diatas berupa
persentase kemungkinan ulkus dapat sembuh dalam 1 tahun, yaitu DUSS 0 (90%), DUSS
1 (82%), DUSS 2 (73%), DUSS 3 (62%) dan DUSS 4 (57%).15 Dengan mempertimbangkan
berbagai hal diatas, seorang klinisi dapat menentukan apakah pasien membutuhkan
prosedur amputasi sedini mungkin atau tidak. Beberapa ahli berpendapat bahwa amputasi
dini bermafaat untuk menghindari penggunaan antibiotik jangka panjang.16

DAFTAR PUSTAKA

1. Weledji EP, Fokam P. Treatment of the diabetic foot–to amputate or not? BMC
surgery. 2014;14(1):83.
2. Armstrong DG, Boulton AJ, Bus SA. Diabetic foot ulcers and their recurrence. New
England Journal of Medicine. 2017;376(24):2367-75.
3. Jeffcoate WJ, Vileikyte L, Boyko EJ, Armstrong DG, Boulton AJ. Current challenges
and opportunities in the prevention and management of diabetic foot ulcers. Diabetes
care. 2018;41(4):645-52.
4. Lipsky BA, Berendt AR, Cornia PB, Pile JC, Peters EJ, Armstrong DG, et al. 2012
Infectious Diseases Society of America Clinical Practice Guideline for the Diagnosis
and Treatment of Diabetic Foot Infections a. Clinical infectious diseases.
2012;54(12):e132-e73.
5. Boulton AJ, Armstrong DG, Albert SF, Frykberg RG, Hellman R, Kirkman MS, et al.
Comprehensive foot examination and risk assessment. Diabetes care.
2008;31(8):1679-85.
6. Neville RF, Kayssi A, Buescher T, Stempel MS. The diabetic foot. Current problems
in surgery. 2016;53(9):408-37.
7. Hunt DL. Diabetes: foot ulcers and amputations. BMJ clinical evidence. 2011;2011.

147 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
8. Thurber EG, Kisuule F, Humbyrd C, Townsend J. Inpatient Management of Diabetic
Foot Infections: A Review of the Guidelines for Hospitalists. Journal of hospital
medicine. 2017;12(12):994-1000.
9. Nikoloudi M, Eleftheriadou I, Tentolouris A, Kosta OA, Tentolouris N. Diabetic Foot
Infections: Update on Management. Current Infectious Disease Reports.
2018;20(10):40.
10. Aragón-Sánchez J, Lipsky BA, Lázaro-Martínez J. Diagnosing diabetic foot
osteomyelitis: is the combination of probe-to-bone test and plain radiography sufficient
for high-risk inpatients? Diabetic Medicine. 2011;28(2):191-4.
11. Butalia S, Palda VA, Sargeant RJ, Detsky AS, Mourad O. Does this patient with
diabetes have osteomyelitis of the lower extremity? Jama. 2008;299(7):806-13.
12. Napolitano C, Zmuba A, Rottier FJ, Pinzur MS, Stuck RM. Amputation and
Rehabilitation. In: Veves A, Giurini JM, Guzman RJ, editors. The Diabetic Foot.
Switzerland: Humana Press; 2018. p. 415-38.
13. Brownrigg J, Hinchliffe R, Apelqvist J, Boyko E, Fitridge R, Mills J, et al. Performance
of prognostic markers in the prediction of wound healing or amputation among patients
with foot ulcers in diabetes: a systematic review. Diabetes/metabolism research and
reviews. 2016;32:128-35.
14. Van Battum P, Schaper N, Prompers L, Apelqvist J, Jude E, Piaggesi A, et al.
Differences in minor amputation rate in diabetic foot disease throughout Europe are
in part explained by differences in disease severity at presentation. Diabetic medicine.
2011;28(2):199-205.
15. Edmonds M. Can a wound-based severity score for diabetic foot ulcers predict clinical
outcome? Nature Reviews Endocrinology. 2007;3(3):208.
16. Pickwell K, Siersma V, Kars M, Apelqvist J, Bakker K, Edmonds M, et al. Predictors
of lower-extremity amputation in patients with an infected diabetic foot ulcer. Diabetes
Care. 2015:dc141598.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 148
CONSERVATIVE TREATMENT TO PREVENT AMPUTATION
IN DIABETIC FOOT
dr. Krishna W Sucipto, SpPD., KEMD., FINASIM
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNSYIAH/ RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Pendahuluan
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi yang sangat serius dari penyakit
diabetes mellitus dengan insidensi kumulatif mencapai 25% seumur hidup. 50-70%
diantaranya akan mengalami kekambuhan dalam 5 tahun. Kejadian kaki diabetes ini
meningkat seiring meningkatnya angka kejadian diabetes mellitus dan menyebabkan
morbiditas tinggi. Individu dengan riwayat kaki diabetes mempunyai resiko tinggi terjadinya
stroke, infark miokard dan kematian dini dibandikan dengan individu tanpa riwayat.
Internasional Diabetic Federation (IDF) juga menyebutkan 9,1-26,1 juta jiwa yang
menderita diabetes di dunia mengalami komplikasi berupa kaki diabetes. Di Amerika
Serikat angka kejadian kaki diabetes terus meningkat mencapai 3,5 juta jiwa per tahun dan
sekitar 176 miliar dolar biaya dihabiskan untuk perawatan kaki diabetes. Lebih dari
setengah penderita kaki diabetik mengalami infeksi sekunder, 20% dari infeksi sedang
hingga berat berakhir dengan amputasi.1,2
Pengendalian faktor resiko menjadi peranan penting dalam penanggulangan kaki
diabetes. Baik secara langsung maupun tidak langsung kaki diabetes ini akan memberikan
efek yang signifikan terhadap kualitas hidup, faktor psikososial, seperti usia, jenis kelamin,
budaya, pendidikan, status mental, kecemasan, depresi, dan juga perbedaan faktor
lingkungan.Stres psikologis berkepanjangan akan mempengaruhi kontrol gula darah dan
menyebabkan disregulasi imunitas sehingga meningkatkan resiko infeksi sekunder pada
kaki diabetes. Di sisi lain, sebuah penelitian longitudinal menerangkan bahwa pembatasan
mobilisasi bagi penderita kaki diabetes meningkatkan resiko terjadinya ulserasi kaki
diabetes. Derajat sensasi luka juga didasarkan kepada pengalaman individual pasien yang
biasanya berhubungan dengan jenis dan tingkat pemicu psikologis. Hal ini mempunyai efek
yang signifikan terhadap kemandirian pasien dalam beraktivitas sehari-hari, dengan
adanya ketergantungan terhadap orang lain akan semakin membuat pasien cenderung
membatasi diri dalam bersosial. Terlepas dari kondisi yang melemahkan status kesehatan
pasien dan menurunkan kualitas hidupnya diketahui juga bahwa faktor keuangan dalam
mengelola luka dibetik juga sebagai faktor yang semakin memperberat kondisi pasien.1,3
Pengelolaan terhadap luka diabetes dapat dilakukan secara maksimal di tingkat
layanan primer meliputi:pengontrolan rutin kadar gula darah, perawatan luka berkala,
memperhatikan kebersihan kaki, penggunaan alas kaki yang tepat, dan edukasi untuk
senam kaki diabetes. Pengetahuan tentang kaki diabetes mempunyai hubungan yang erat
terhadap kepedulian diri akan perawatan terhadap kaki diabetes. Usia, pekerjaan, status

149 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
perkawinan, jumlah luka, dan status ekonomi sangat penting untuk merencanakan
perawatan. Di antara berbagai faktor tersebut usia menjadi faktor paling utama dalam
menentukan status kualitas hidup pasien dengan kaki diabetes, di mana hal ini berkaitan
erat dengan cara pasien dalam menikmati hidup, kesehatan mental, emosi yang negatif,
dan kesulitan dalam proses perawatan luka. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan intensitas faktor psikologis terhadap usia. Pengelolaan pasien dengan
kaki diabetes ada tiga bagian edukasi yang perlu diterapkan yaitu, berfokus pada
perawatan kaki yang layak berbasis bukti, termasuk latihan menggerakkan kaki,
memfasilitasi peningkatan rasa percaya diri melalui pendekatan kepribadian pada seluruh
klinik perawatan kaki diabetes termasuk latihan fisik yang dilakukan dari awal pengobatan
hingga minimal 3 bulan perawatan.4,5

Klasifikasi Kaki Diabetes


Interpretasi penampilan kaki diabetes serta tingkat keparahan lesi dapat berbeda-
beda pada tiap pasien. Oleh karena itu dibutuhkan suatu klasifikasi untuk menggambarkan
lesi pada kaki pasien yang sederhana dan mudah digunakan dalam praktek klinis sehari-
hari serta disepakati oleh semua komunitas. Saat ini tidak ada sistem klasifikasi tunggal
yang digunakan oleh seluruh pusat kesehatan. Ada beberapa sistem klasifikasi yang telah
divalidasi dengan baik.1

Tabel 1: Klasifikasi Texas6


The University of Texas Staging System for Diabetic Foot Ulcer
Stadium Tingkat 0 Tingkat I Tingkat II Tingkat III
A Tanpa tukak atau Luka superficial, Luka sampai Luka sampai
pasca tukak, kulit intak tidak sampai tendon atau tulang / sendi
/ utuh tulang tendon atau kapsul sendi
kapsul sendi
B Dengan infeksi Dengan infeksi Dengan infeksi Dengan
infeksi
C Dengan iskemia Dengan iskemia Dengan iskemia Dengan
iskemia
D Dengan infeksi dan Dengan infeksi Dengan infeksi Dengan
iskemia dan iskemia dan iskemia infeksi dan
iskemia
Score : Tingkat = Stadium

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 150
Tabel 2: Klasifikasi Wagner-Meggitt7
Grade 0 Kulit intak/utuh
Grade 1 Tukak superfisisal
Grade 2 Tukak dalam 9 sampai tendon, tulang atau persendian
Grade 3 Tukak dalam dengan infeksi
Grade 4 Tukak dengan ganggren pada 1-2 jari
Grade 5 Tukak dengan ganggren luas seluruh kaki

Tabel 3: Klasifikasi Pedis6


Grade Symptoms
Perfusion P1 No symptoms / signs of PAD
P2 Symptoms / signs of PAD, but not of CLI
P3 CLI
Extend E Wound size (measured in square centimeters)
Depth / D1 Superficial full thickness ulcer, not penetrating any structure deeper
tissue lost than the dermis
D2 Deep ulcer, penetrating below the dermis to subcutaneous structure,
involving fascia, muscle, or tendon
D3 All subsequent layers of the foot involved, including bone and / or joint
(exposed bone, probing to bone)
Infection I1 No symptoms / signs of infection
I2 Infection involving the skin and the subcutaneous tissue only (without
involvement of deeper tissues and without systemic signs); at least 2 of
the following items are present :
 local swelling or induration
 erythema > 0,5 to 2 cm surrounding the ulcer
 local tenderness or pain
 local warmth
 purulent discharge
I3 Erythema > 2 cm plus one of the item described above or infection
involving structure deeper than skin and subcutaneous tissues
(abscess, osteomyelitis, septic arthritis, fasciitis) without systemic
inflammatory response signs
I4 Any foot infection with the following signs of a SIRS manifested by two
or more of the following conditions :
 Temperature > 38 ot < 36 celcius
 Heart rate > 90 beats / min
 Respiratory rate > 20 breaths/min

151 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
 PaCO2 < 32 mm Hg
 White blood cell count > 12.000 or < 4.000/cu nm
 10% immature (band) forms
Sensation S1 No loss of protective sensation
S2 Loss of protective sensation with absent pressure sensation on 2 of 3
sites on the plantar side of the foot or absent vibration sensationor
vibration threshold >25 V on the hallux.

Klasifikasi Kaki diabetik menurut Australian National Health and Medical Research
Council (NHMRC) guideline, antara lain:8
1. Low-risk of foot ulceration: orang dengan faktor resiko yang tidak teridentifikasi
pada skrining kaki (tidak ditemukan neuropati perifer, penyakit arteri perifer,
deformitas kaki, ulkus kaki sebelumnya, atau riwayat amputasi ekstremitas bawah
2. Intermediate-risk of foot ulceration: orang dengan satu faktor resiko dari skrining
kaki (antara neuropati perifer, penyakit arteri perifer, deformitas kaki) dan tidak ada
riwayat ulkus atau amputasi kaki sebelumnya.
3. High-risk of foot ulceration: orang dengan dua atau tiga faaktor resiko dari skrining
kaki (neuropati perifer, penyakit arteri perifer, deformitas kaki) atau dengan ada
riwayat ulkus atau amputasi kaki sebelumnya.

Gambar 1: Faktor resiko dan mekanisme kaki diabetik dan amputasi9

Penatalaksanaan Kaki Diabetik dan Pencegahan Amputasi


Penatalaksanaan kaki diabetes dapat dilakukan mulai dari cara yang sederhana
dan murah hingga terapi yang canggih dan mahal. Upaya penanganan kaki diabetes yang
utama adalah kontrol gula darah yang baik. Ini menjadi hal yang mutlak terpenuhi sebelum
melakukan terapi pada kaki diabetes.1

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 152
Pemeriksaan Kaki Teratur
Untuk menentukan status resiko kaki diabetik, semua orang dengan diabetes
harus menjalani setidaknya satu skrining kaki pertahunnya dengan seorang profesional
kesehatan yang berkompeten dibidangnya. Orang dengan status kaki beresiko
intermediate atau tinggi harus diskrining setidaknya sekali setiap 3 hingga 6 bulan.Sesuai
pedoman NHMRC, skrining yang dilakukan adalah sebagai berikut:8,10
1. Neuropati perifer: 10 g sensitivitas monofilamen; persepsi getaran; skor kecacatan
neuropati)
2. Penyakit arteri perifer: palpasi denyut nadi perifer; indeks tekanan pergelangan
kaki-brakialis; indeks tekanan kaki-brakialis (ABI)
3. Kelainan bentuk kaki: skala enam poin mencetak pengecilan otot kecil, kelainan
bentuk kaki Charcot, keunggulan tulang, kepala metatarsal yang menonjol, jari kaki
palu atau cakar dan mobilitas sendi yang terbatas.
4. penilaian riwayat ulkus kaki atau amputasi ekstremitas bawah

Kontrol Kadar Gula Darah


Kontrol kadar gula darah secara dini dan baik, efektif untuk mencegah neuropati.
Pemantauan optimal terhadap target kadar gula darah dan hemoglobin terglikasi (HbA1c)
harus ada kerja sama antara pasien dan dokter. Dan sesuai dengan pedoman standar
yang ada.11

Gambar 2: Algoritma Pengelolaan DM Tipe 2 di Indonesia11


Setelah dilakukan penanganan terhadap kadar gula darah, pemberian terapi harus
dievaluasi. Tabel 4 menunjukkan target terapi yang harus dicapai setelah pemberian obat.

153 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Tabel 4: Target Terapi1,3
No Parameter Sasaran

1 IMT (kg/m2) 18,5- < 23*

2 Tekanan darah sistolik (mmHg) < 140 (B)

3 Tekanan darah diastolik (mmHg) <90 (B)


Glukosa darah preprandial kapiler
4 80-130**
(mg/dl)
Glukosa darah 1-2 jam PP kapiler
5 <180**
(mg/dl)
6 HbA1c (%) < 7 (atau individual) (B)
<100 (<70 bila risiko KV sangat tinggi)
7 Kolesterol LDL (mg/dl)
(B)
8 Kolesterol HDL (mg/dl) Laki-laki: >40; Perempuan: >50 (C)

9 Trigliserida (mg/dl) <150 (C)


Keterangan : KV = Kardiovaskular, PP = Post prandial

Edukasi Pasien
Setiap pasien dengan diabetes dan kaki diabetes perlu diberikan edukasi.
Pemberian edukasi mengenai penyakitnya diperlukan agar pasien mengetahui sejauh
mana penyakitnya dan yang perlu diperhatikan terkait penyakitnya. Pengetahuan yang
dimiliki seseorang dapat berpengaruh terhadap pola pikir dalam melakukan tindakan.
Demikian pula ketika seseorang melakukan analisa penyakit atau perubahan yang terjadi
dalam dirinya. Pengetahuan juga sangat erat hubungannya dengan cara seseorang
memperhatikan perubahan pada dirinya, misalnya ketika kakinya mulai terasa baal atau
dingin. Adapun edukasi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:9
1. Pentingnya kontrol gula darah dan beberapa faktor resiko yang dapat diubah
seperti diet, olahraga, menurunkan berat badan dan berhenti merokok.
2. Pentingnya perawatan kaki dan advice dalam merawat kaki. Pastikan pemberian
advice atau saran tidak terlepas dari adat dan kepercayaan agama pasien serta
adanya dukungan keluarga
3. Resiko seseorang saat ini terkena masalah kaki diabetes
4. Kapan mencarai bantuan profesional dan siapa yang harus dihubungi terkait
kegawatdaruratan.

Pengurangan tekanan pada kaki (Offloading)


Alas kaki biasa menyebabkan kaki berkeringat dan dapatmenyebabkan
predisposisi infeksi jamur, terutama di negara-negara tropis. Idealnya, alas kaki untuk

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 154
penderita diabetes harus memiliki kriteria seperti kotak kaki lebar, sol empuk, kedalaman
ekstra atau dapat dibuatkan protesa khusus jika diperlukan. Pasien dengan ulkus di plantar
kaki bagian depan atau tumit, dapat menggunakan alas kaki pada gaambar 3,9 Protesa
lain seperti contoh pada gambar 4

Perawatan awal kaki diabetes

Gambar 3: offloading Footware untuk plantar Gambar 4: contoh protesa1


depan dan tumit.9

Pengurangan tekanan sangat penting dalam penyembuhan kaki diabetes; ulkus


biasanya terjadi pada kaki yang terpapar tekanan tinggi secara terus menerus. Offloading
dengan menggunakan footware ini dapat menjadi salah satu penanganan untuk
mengurangi resiko kaki diabetik dan mempertahankan kaki agar tak diamputasi. Hal-hal
yang perlu diperhatikan ketika offloading kaki diabetik dapat dilihat pada tabel 5.12

Tabel 5: Faktor-faktor yang diperhatikan dalam offloading kaki diabetik12


Factors Description
Disease  neuropathy
 PAD
 inflammatory disorder
Pressure Type of pressure :
 shear pressure
 vertical pressure
Intrinsic

155 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
 structural modifications ( deformity/ limited range of motion/
tissue quality loss)
 infection
 malignancy
Extrinsic
 biomechanics
 deformity
 footwear
Foot ulcer  presence of ulcer
 type of ulcer
 location
 dressing selection
Physical  occupation
activity  home lifestyle
 sports/ recreational activity
 balance
Funding  ability to pay for device
 third party insurance
Patient  ability to share to treatment plan
behaviour  occupation and lifestyle
 mental capabilities

Perawatan Kaki Diabetes


Perawatan kaki diabetes tahap awal dapat dilakukan dengan beberapa cara yag
mudah dan sederhana, yaitu langkah-langkah di bawah ini:1
1. Senam kaki diabetes
2. Pembersihan kulit kaki (Skin cleansing)
Pembersihan kulit kaki dilakukan dengan menggunakan sabun mandi bayi yang lembut
dan ringan
3. Pemotongan kuku (Pedicure)
Pemotongan dan pengikisan kuku pada pasien diabetes harus hati-hati. Kuku yang
dipotong tidak boleh terlalu pendek
4. Lulur kaki (Foot mask)
Lulur kaki dilakukan dengan cara memberikan lulur dari betis hingga ke kaki dengan
tujuan untuk membersihkan sel-sel kulit mati
5. Pemijatan (Foot massage)
Pemijatan kaki berfungsi untuk meningkatkan sirkulasi darah.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 156
Senam kaki diabetes
Senam kaki diabetes sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya luka dan
membantu melancarkan peredaran darah pada bagian kaki. Senam ini juga membantu
meningkatkan kekuatan otot betis dan paha serta mengatasi keterbatasan gerak.1
Langkah-langkah senam diabetes adalah:
1. Gerakan pertama, up and down digiti
Posisi kaki diataslantai, kemudian gerakkan jari-jari kaki ke atas dan ke bawah, tumit
menempel di lantai. Lakukan gerakan ini 10 x untuk tiap kaki secara bersamaan.

Kesimpulan
Gambar Gerakan #1:

2 set x 10

2. Gerakan kedua, rotasi plantar


Posisi tumit kaki di atas lantai, kemudian angkat telapak kaki kanan ke atas dengan
bertumpu dengan tumit, selanjutnya lakukan gerakan memutarkeluar dengan sumbu gerak
pada tumit. Lakukan gerakan ini masing-masing 10 x untuk tiap kaki secara bergantian.

Gambar Gerakan #2:

2 set x 10

3. Gerakan ketiga, up and down cruris


Angkat kedua kaki sejajar dengan kursi (atau semampu pasien), kemudian gerakkan kaki
ke bawah dan ke atas. Tangan pegangan di kursi. Lakukan gerakan ini 10 x untuk tiap kaki
secara bersamaan.

157 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Gambar Gerakan #3:

2 set x 10

bersamaan

4. Gerakan keempat, straight forward and back digiti


Angkat kedua kaki sejajar dengan kursi (atau semampu pasien), kemudian gerakkan
telapak kaki ke depan dan ke belakang. Tangan pegangan di kursi. Lakukan gerakan ini
10 x untuk tiap kaki secara bersamaan atau bergantian (sesuai kemampuan pasien)

Gambar Gerakan #4:

2 set x 10

bersamaan

5. Gerakan kelima, count 1 to 10


Angkat kaki kanan pasien sejajar dengan kursi (atau semampu pasien), kemudian lakukan
gerakan seperti menulis di udara dengan kaki dari angka 0 hingga 10. Lakukan secara
bergantian dengan kaki kiri.

Gambar Gerakan #5:

Seperti menulis

Angka 0-10

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 158
6. Gerakan keenam, make a ball
Letakkan selembar koran dilantai. Kemudian bentuk kertas koran tersebut menjadi seperti
bola dengan kedua belah kaki.

Gambar Gerakan #6:

Bulatkan dan bentuk seperti bola

7. Gerakan ketujuh, open the ball


Lalu buka kembali bola tersebut menjadi lembaran seperti semula menggunakan kedua
belah kaki.

Gambar Gerakan #7:

Ratakan kembali bola tadi menjadi


hamparan kertas

8. Gerakan kedelapan, cut into pieces


Kemudian robek koran menjadi 2 bagian, lalu pisahkan kedua bagian koran tersebut.
Sebagian koran di sobek - sobek menjadi kecil - kecil dengan kedua kaki.
ba
Gambar gerakan #8:

a. Belah dan bagi dua


b. Potong kecil-kecil

9. Gerakan kesembilan

Kemudian pindahkan kumpulan sobekan-sobekan tersebut dengan kedua kaki lalu


letakkan sobekkan kertas pada bagian kertas yang utuh tadi. Lalu bungkus semua sobekan
- sobekan tadi dengan kedua kaki kanan dan kiri menjadi bentuk bola.

159 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Gambar Gerakan #9:

Letakkan sobekan kecil dalam


lembar yang besar

Pembersihan luka dengan kompres dan balut dengan Nacl 0,9% (Wound Dressing)
- Alat dan bahan
 Kasa
 Cairan NaCl 0,9%
- Cara kerja
Luka disiram dengan NaCl 0,9% sampai bersih, kemudian ditutup dengan kasa
yang dilumuri NaCl 0,9%, selanjutnya dibalut dengan kasa kering. Luka dibersihkan dua
kali setiap hari.

Gambar 5: Proses siram kaki diabetes1


Pembalutan (dressing) dengan kasa yang dibasahi normal salin menjadi modalitas
perawatan kaki diabetes yang mudah dan murah.Balutan luka yang efektif dan tepat
menjadi bagian yang penting untuk penanganan kakidiabetes yang optimal. Keuntungan
metode ini dapat mencegah dehidrasi jaringan dan kematian sel, akselerasi angiogenesis,
dan memungkinkan interaksi antara faktor pertumbuhan dengan sel target.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 160
Gambar 6: Wound dressing kaki diabetes dengan kasa dilumuri NaCl 0,9%1
Dressing ini memiliki tindakan perawatan yang baik dan membantu dalam
menyembuhkan luka. Dressing basah sampai kering merupakan contoh debridemen
mekanik yang cepat menyerap dan melekat pada luka dan merupakan salah satu dressing
termurah yang digunakan di seluruh dunia, tetapi membutuhkan penggantian ganti sering
(dua atau tiga kali sehari) berdasarkan tingkat keparahan luka.
Balutan kasa harus dilembabkan sebelum dibuka untuk meminimalkan
kemungkinan pendarahan. Pembersih yang lembut dengan normal saline akan
meminimalkan iritasi. Saat mengobati luka granulasi atau epitelisasi, rendam kasa secara
menyeluruh dengan normal saline selama lima menituntuk mencegah trauma dan
perdarahan hebat.

Callus Shaving
Definisi
Kalus adalah area kulit kaki yang menebal akibat gesekan berulang, tekanan, atau
iritasi lainnya, sering disebut juga dengan kapalan. Callus Shaving adalah suatu tindakan
untuk menghilangkan kalus dengan cara mengeruk, mencukur dan memotong jaringan
kalus.
Cara Kerja
Cara menghilangkan kalus secara konservatif dapat dilakukan dengan
memotongnya dengan pisau bedah, atau pisau kalus. Ini adalah cara yang sederhana dan
efektif untuk menghilangkan kalus, namun perawatan juga perlu difokuskan pada
penyebab utamanya.
- Alat dan Bahan
 Handcsoon
 Scalpel / Gunting jaringan
 Klem

161 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
a b

Gambar :
12a. Proses callus shaving
dengan bisturi,
12b. Proses callus shaving
dengan gunting.
Debridemen

Debridemen adalah suatu tindakan untuk membuang jaringan nekrosis, callus dan jaringan
fibrotik. Tindakan ini dapat meningkatkan pengeluaran faktor pertumbuhan (growth factor)
yang membantu proses penyembuhan luka. Debridemen dilakukan pada kasus ulkus
diabetes dengan tampilan tepi luka yang tebal atau jaringan nekrotik. Tujuannya adalah
menghilangkan seluruh jaringan nekrotik dan jaringan non-viabel dengan gangguan
vaskularisasi, serta mempertahankan drainase yang baik sehingga terjadinya jaringan
granulasi yang baik. Debridemen dapat berupa Surgical debridement, debridemen
enzimatis, dan debridemen mekanis.1,12

Manajemen Infeksi Kaki Diabetik


Infeksi kaki diabetik sudah sering terjadi dan memerlukan pendekatan secara
komprehensif dalam hal diagnosis, manajemen dan pencegahan. Diagnosa dibuat
berdasarkan gejala dan tanda klinis disertai pemeriksaan mikrobiologi untuk pemberian
antibiotik terapetik. Untuk penanganan infeksi kaki diabetik, ada beberapa langkah yang
harus dilakukan, antara lain:12
 Mengevaluasi tanda dan gejala
 Mengambil spesimen yang sesuai untuk kultur (pemeriksaan mikrobiologi)
 Memilih antibiotik yang sesuai (terapi empiris) berdasarkan epidemiologi lokal dan
kerentanan pola antibiotik
 Menentukan efektivitas antibiotik dan pemberian antibiotik sesuai hasil kultur.

Daftar Pustaka
1. Sucipto, Krishna W. Tata Laksana Komprehensif Kaki Diabetik. Banda Aceh: in
press. 2019: p. 1-59
2. International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas 8th Edition, International
Diabetes Federation. 2017. Available at: http://www.diabetesatlas.org/across-the-
globe.html
3. American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes-
2018:. Diabetes Care. 2018:41(1) p.S111-14
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 162
4. Everett E, Mathioudakis N. Update on Management of Diabetic Foot Ulcers. Ann
N Y Acad Sci. 2018;1411(1):153-165.
5. Yazdanpanah L. Literature review on the management of diabetic foot ulcer. World
J Diabetes. 2015;6(1):37.
6. Game F. Classification of diabetic foot ulcers. Diabetes/metabolism research and
reviews. 2016;32:186-94
7. Weledji EP, Fokam P. Treatment of the diabetic foot - to amputate or not?. BMC
Surg. 2014;14:83. Published 2014 Oct 24. doi:10.1186/1471-2482-14-83
8. van Netten JJ, Lazzarini PA, Armstrong DG, et al. Diabetic Foot Australia guideline
on footwear for people with diabetes. J Foot Ankle Res. 2018;11:2. Published 2018
Jan 15. doi:10.1186/s13047-017-0244-z
9. Mishra SC, Chhatbar KC, Kashikar A, Mehndiratta A. Diabetic foot. BMJ.
2017;359:j5064. Published 2017 Nov 17. doi:10.1136/bmj.j5064
10. Nather A, Cao S, Chen JLW, Low AY. Prevention of diabetic foot
complications. Singapore Med J. 2018;59(6):291-294.
11. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus tipe 2 di
Indonesia. Jakarta. PB PERKENI.2015
12. Botros M., Kuhnke J., Embil J., Goetll K, Morin C., Parsons L., Scharfstein B.,
Somayaji R., and Evan R. Best Practice Recommendations for the Prevention and
Management of Diabetic Foot Ulcers. Wounds Canada. 2018.

163 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 164
INOVASI INSULIN BASAL DALAM PENGELOLAAN
PASIEN DIABETES MELLITUS
Hendra Zufry
Divisi Endokrinologi, Metabolism dan Diabetes- Pusat Pelayanan Tiroid Terpadu
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/
RSUD. Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Email : hendra_zufry@yahoo.co.id, hendra.zufry@gmail.com

Pendahuluan
Pada populasi Asia, hubungan antara etnik dan predisposisi genetik sangat
berpengaruh dalam patofisiologi terjadinya DM tipe 2. Kondisi ini menyebabkan terjadinya
perbedaan karakteristik pasien DM tipe 2 pada populasi Asia dibandingkan populasi
kaukasian.1Perbedaannya yang terlihat jelas berupa ; sekresi sel betha yang dominan
mengalami kerusakan( Defesiensi), pasien yang lebih kurus serta dengan usia muda serta
tingginya kosumsi glukosa yang menyebabkan tinggi kadar glukosa (KGD) post prandial
pada populasi Asia dibanding kaukasian.2,3
Beberapa studi terbaru menunjukkan adanya kecenderungan buruknya kontrol gula
darah pada populasi Asia dengan kadar HbA1C rata-rata 8,7- 9,8 % pada saat dimulainya
inisiasi insulin. 4 Beberapa penelitian di Asia juga mendapatkan adanya perbedaan
kebutuhan insulin pada populasi Asia dibanding populasi kaukasian, yang menunjukkan
lebih tingginya insulin basal yang dibutuhkan pada populasi Asia dibandingkan populasi
kaukasian.5

Pendekatan Inisiasi dan intensifikasi dosis pada Insulin Basal


Terkadang didapatkan kesulitan dalam melakukan inisiasi insulin pada pasien DM
baru. Suatu data mendapatkan temuan dibutuhkan waktu 5 hingga 20 menit dalam
melakukan inisiasi insulin. Beberapa Negara Asia umumnya mempunyai pedoman dalam
melakukan inisiasi serta intensifikasi terapi insulin pada pasien DM. Pedoman terapi DM di
Indonesia contohnya, pedoman tersebut merupakan suatu refleksi beberapa pedoman di
Amerika dan Eropah. 6
Capaian kontrol glikemik yang baik serta rendahnya insiden hipoglikemia
merupakan dua hal penting dalam melakukan intensifikasi dosis insulin pada pasien baru.
Kondisi ini membutuhkan pemahaman yang baik dalam patofisiologi, bagaimana tata cara
pemberian insulin, capaian target terapi serta resiko hipoglikemia yang beda pada populasi
Asian dan kaukasian.6
Manajemen insulin pada pasien DM juga merupakan pendekatan yang
multidisiplin yang membutuhkan keterlibatan yang erat dari ; ahli diabetes, perawat
edukatot maupun dari pasien itu sendiri.7

165 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Tabel 1. Inisiasi dan Intensifikasi Insulin basal

Adapun beberapa kunci sukses dalam melakukan inisiasi insulin dengan basal
insulin meliputi;
- menjelaskan pada pasien bahwa diabetes mellitus merupakan suatu penyakit
progresif.
- Edukasi pasien alasan dilakukannya inisiasi insulin
- Hindari adanya kesan bahwa inisiasi insulin merupakan suatu kegagalan terapi
selama ini.
- Berikan metode intensifikasi insulin yang efektif untuk mencapai target terapi yang
adekuat.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 166
Tabel 2. Rekomendasi Inisiasi dan titarsi Insulin basal di Asia

Beberapa keterbatasan insulin basal yang ada sekarang


Beberapa insulin terdahulu seperti insulin NPH serta Glargine atau determir
mempunyai beberapa kekurangan dalam pemakaiannya. Insulin NPH misanya, insulin ini
mempunyai masa kerja yang tidak 24 jam sehingga terkadang membutuhkan injeksi yang
lebih sering. 8
Insulin glargine-100 serta determir juga mempunyai keterbatasan dalam hal
adanya inter-variabilitas efek terapi serta masih terdapatnya peak of action dalam masa
kerjanya. Beberapa kondisi ini menyebabkan meningkatnya resiko terjadinya hipoglikemia,
terutama nocturnal hypoglycemia.

167 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Gambar 1. Profile Insulin Basal

Inovasi Insulin Basal dalam pengelolaan Diabetes.8,9


Inovasi yang dilakukan pada beberapa model terbaru dari insulin basal dilakukan
untuk menutupi kekurangan dari generasi insulin basal sebelumnya. Insulin basal generasi
baru diantaranya ; Glargine U-300, Degludec serta Insulin PEGlispro.
A. Glargine U-300
Suatu insulin basal generasi baru yang sudah di approved oleh FDA sebagai
insulin kerja panjang. Insulin ini merupakan bentuk baru dari insulin glargine U-100
yang dibentuk dengan konsentrasi lebih pekat. Komposisi ini menyebabkan masa
kerja yang lebih lambat dari generasi sebelumnya. Insulin glargine U-300
mempunyai kurva farmakokinetik dan farmakodinamik yang lebih flat dibandingkan
generasi sebelumnya sehingga resiko nocturnal hypoglycemia menjadi lebih kecil
dibanding insulin glargine U-100 seperti yang didapat di study EDITION I dan
EDITION II.

Gambar 2. Profil Insulin Glargine U-300 Vs Glargine U-100


B. Degludec
Insulin ini merupakan suatu insulin basal analog dengan bentuk soluble
multihexamer dengan durasi waktu paruh hingga 25 jam (Ultra long acting).
Hingga tahun 2017 FDA belum memberikan approved bagi obat ini sehingga
hanya digunakan dinegara-negara Eropa dengan rekomendasi izin European
Medical Association (EMA). Insulin analog ini merupakan insulin rantai fatty acid
dengan sifat absorbs serta clearance yang lama sehingga dapat bekerja hingga
42 jam.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 168
C. Insulin PEGlispro
Merupakan insulin terbaru dengan bentuk insulin polyethylene glycolitate. Hingga
akhir 2017 obat ini juga belum mendapatkan approved dari FDA untuk digunakan.

Gambar 3. Modifikasi Insulin Lispro menjadi PEGlispro

Daftar kepustakaan
1. Chan JCN, Bunnag B, Chan SP, Isip, Tan IT. Clinical outcomes in Asian and non-
Asian people with type 2 diabetes (T2D) initiating glargine 100 units/mL (Gla-100)
therapy: results of a pooled analysis from 16 RCTs. Presented at American Diabetes
Associa- tion 76th Scientific Sessions; 2016 June 10–14; New Orleans, LA, USA.
Poster 980-P.
2. Chiu M, Austin PC, Manuel DG, Shah BR, Tu JV. Deriving ethnic-specific BMI
cutoffpoints for assessing diabetes risk. Diabetes Care. 2011;34:1741–8.
3. Chiu M, Austin PC, Manuel DG, Shah BR, Tu JV. Deriving ethnic-specific BMI cutoff
points for assessing diabetes risk. Diabetes Care. 2011;34:1741–8.
4. Chan JC, Gagliardino JJ, Baik SH, et al. Multifaceted determinants for achieving
glycemic control: the International Diabetes Management Practice Study (IDMPS).
Diabetes Care. 2009;32:227–33.
5. So WY, Raboca J, Sobrepena L, et al. Comprehensive risk assessments of diabetic
patients from seven Asian countries: The Joint Asia Diabetes Evaluation (JADE)
program. J Diabetes. 2011;3:109–18.
6. Inzucchi SE, Bergenstal RM, Buse JB, et al. Man- agement of hyperglycemia in type
2 diabetes, 2015: a patient-centered approach: update to a position statement of the
American Diabetes Association and the European Association for the Study of
Diabetes. Diabetes Care. 2015;38:140–9.
7. Owens DR. Clinical evidence for the earlier initia- tion of insulin therapy in type 2
diabetes. Diabetes Technol Ther. 2013;15:776–85.
8. Birkeland KI, Home PD, Wendisch U, et al. Insulin degludec in type 1 diabetes: a

169 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
randomized controlled trial of a new-gen- eration ultra-long-acting insulin
compared with insulin glargine. Diabetes Care 2011;34:661– 665
9. Rosenstock J, Bergenstal RM, Blevins TC, et al. Better glycemic control and weight
loss with the novel long-acting basal insulin LY2605541 compared with insulin
glargine in type 1 diabetes: a randomized, crossover study. Diabetes Care
2013;36:522–528

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 170
ART OF TREATING DIABETES AND CARDIOVASCULAR
DISEASE (CVD) IN HARMONY
Eva Decroli
Subbagian Endokrin Metabolik & Diabetes
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unand/ RSUP Dr. M. Djamil Padang

Abstrak

Diabetes melitus adalah suatu penyakit dengan karakteristik hiperglikemia yang


insidensnya meningkat secara global. Pada diabetes, tingginya kadar glukosa darah
mencetuskan inflamasi endotel, stres oksidatif mitokondria, dan gangguan availabilitas
nitrit oksida yang kemudian akan menyebabkan lesi aterosklerosis koroner yang kemudian
berujung pada penyakit kardiovaskuler (cardiovascular disease / CVD). Penyakit
kardiovaskuler adalah penyebab kematian utama pada pasien diabetes. Oleh karena itu,
terapi yang meliputi terapi non-farmakologis dan farmakologis diperlukan untuk
menurunkan risiko kejadian kardiovaskuler. Pemilihan obat antidiabetes pada pasien
diabetes dengan komplikasi kardiovaskuler merupakan suatu tantangan karena walaupun
kontrol glikemik secara intensif menurunkan insidens dan progresi komplikasi, namun
morbiditas akibat CVD ini masih meningkat. Tatalaksana diabetes dan CVD yang harmonis
diharapkan akan menurunkan morbiditas dan mortalitas dari penderita.
Keyword : Diabetes, CVD

Pendahuluan
Diabetes melitus adalah suatu penyakit dengan karakteristik hiperglikemia yang
insidensnya meningkat secara global. Hiperglikemia merupakan mekanisme utama
terjadinya komplikasi vaskuler baik makrovaskuler ataupun mikrovaskuler pada
diabetes. Terdapat hubungan erat antara hiperglikemia, resistensi insulin, dan penyakit
vaskuler. Pada diabetes, tinggi kadar glukosa darah mencetuskan inflamasi endotel,
stres oksidatif mitokondria, dan gangguan availabilitas nitrit oksida yang merupakan
kunci homeostasis endotel vaskuler. Ini menyebabkan lesi aterosklerosis koroner yang
kemudian berujung pada penyakit kardiovaskuler (CVD). Penyakit kardiovaskuler
adalah penyebab kematian utama pada pasien diabetes. Terapi diabetes dengan CVD
menurut ADA/EASD adalah kombinasi metfromin dengan obat golongan lainnya untuk
mencapai kontrol glikemik dapat dilakukan dengan memperhatikan efek samping obat
dan komorbiditas. Pemilihan obat antidiabetes pada pasien diabetes dengan komplikasi
kardiovaskuler merupakan suatu tantangan. Tujuan akhir penatalaksanaan diabetes
dengan komplikasi kardiovaskuler adalah menurunkan morbiditas dan mortalitas
dengan menghindari efek samping terapi dan perburukan komorbiditas.

171 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Diabetes Melitus Tipe 2 dengan CVD
Penyakit kardiovaskular adalah satu satu komplikasi makrovaskuler dari DM
tipe 2. CVD merupakan penyebab utama kematian dan disabilitas pada penderita DM
tipe 2. Terjadinya komplikasi kardiovaskular meningkat seiring dengan peningkatan
kadar gula darah puasa. Berdasarkan studi epidemiologi dibandingkan bahwa hampir
50% total kematian pada DM tipe 2 adalah karena CVD, sementara kematian akibat
komplikasi DM lainnya hanya sekitar 15%.
Suatu penelitian metaanalisis dari 29 penelitian eksperimental terhadap sekitar
1000 pasien dengan DM tipe 2, disimpulkan terdapat dua faktor yang harus diidentifikasi
untuk menentukan apakah seorang penderita diabetes ini berisiko tinggi atau tinggi yaitu
adanya CVD dan adanya proteinuria. CVD meningkatkan risiko kematian hampir tiga
kali lipat pada pasien DM tipe 2. DM dan CVD adalah kombinasi penyakit yang umum
ditemui dan merupakan kombinasi yang serius. Dengan demikian, diagnosis dan
penatalaksanaan harus dilakukan dengan tepat.

Epidemiologi Diabetes dengan CVD


Diabetes melitus tipe 2 menurunkan angka harapan hidup dan penyebab utama
kematian pasien dengan DMT2 adalah penyakit kardiovaskular. Pasien dengan DMT2
memiliki resiko 10% lebih tinggi terhadap terjadinya penyakit arteri koroner, 53%
diantaranya mengalami infark miokard, 58% mengalami stroke, dan 112% lebih berisiko
menderita penyakit gagal jantung.
Penyakit DMT2 merupakan faktor resiko yang penting pada terjadinya penyakit
kardiovaskular. Thomas (2018) mendapatkan dari 4.549.481 orang yang menderita DM
tipe 2, 32,2% mengalami komplikasi kardiovaskular, 29,1% diantaranya mengalami
aterosklerosis, 21,2% penyakit arteri koroner, 14,9% gagal jantung, 14,6% angina, 10%
infark miokard, dan 7,6% stroke. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab
kematian utama pada 9,9% pasien DM tipe 2. Gambar 1 memperlihatkan profil status
glikemik pada pasien-pasien dengan CVD. Tampak bahwa lebih dari 60% pasien
dengan CVD sudah mengalami keadaan disglikemik.

Gambar 1. Profil Status Glikemik pada Pasien dengan CVD. (Sumber: Naidu (2015))

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 172
Patofisiologi CVD pada Diabetes Melitus Tipe 2
Penyakit kardiovaskuler pada DM tipe 2 adalah salah satu komplikasi vaskuler
pada diabetes yang berawal dari keadaan disfungsi endotel. Disfungsi endotel terjadi
melalui dan melibatkan berbagai mekanisme hingga menyebabkan aterosklerosis.
Aterosklerosis pada pembuluh darah jantung menyebabkan terjadinya CVD.
Resistensi insulin memainkan peran penting pada patofisiologi DM tipe 2 dan
komplikasi CVD. Faktor genetik dan lingkungan berperan dalam peningkatan resistensi
insulin. Lebih dari 90% pasien DM tipe 2 adalah obes dan pelepasan asam lemak bebas
(FFA) dan sitokin-sitokin dari jaringan adiposa mengganggu resistensi insulin. Pada
jaringan oto dan lemak, FFA menginduksi terbentuknya reactive oxygen species (ROS)
yang kemudian akan menghambat aktivasi insulin receptor substrate 1 (IRS-1) dan sinyal
PI3K-Akt sehingga menghambat eksokstosis GLUT-4 ke permukaan sel. Dalam kaitannya
dengan disfungsi endotel, FFA menghambat fosforilasi endothelial nitric oxide synthase
(eNOS) sehingga menyebabkan berkurangnya produksi nitrit oksida (NO) yang berujung
pada disfungsi endotel dan remodeling vaskuler (peningkatan ketebalan lapisan intima-
media pembuluh darah). Akumulasi ROS mengaktivasi NF-kB yang kemudian
meningkatkan ekspresi sitokin-sitokin inflamasi. Rantai transpor elektron mitokondria
adalah salah satu target utama dari keadaan hiperglikemia, yaitu akibat terbentuknya
superoksida. Peningkatan pembentukan superoksida berasal dari lingkaran setan yang
melibatkan aktivasi protein kinase C (PKC) yang diinduksi oleh ROS. Keadaan
hiperglikemia menyebabkan aktifnya berbagai jalur yang kemudian berujung dengan
peningkatan ROS (plyol flux, AGEs dan reseptornya RAGEs, PKC, dan hexosamine
pathway. Pada gambar 2 dijelaskan secara detail patofisiologi komplikasi vaskuler pada
DM tipe 2.
Bukti baru-baru ini menyatakan bahwa pembentukan ROS yang diinduksi oleh
keadaan hiperglikemia terlibat dalam persistensi disfungsi vaskuler walaupun kadar
glukosa darah kemudian normal. Fenomena ini disebut metabolic memory dan hal ini dapat
menjelaskan mengapa terjadi progresivitas dari komplikasi makro dan mikrovaskuler
walapun kontrol glikemik intensif telah tercapai pada pasien DM.

173 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Gambar 2. Patofisiologi Komplikasi Vaskuler pada DM tipe 2.
AGE: advanced glycated end-products; FFA: free fatty acids; GLUT4: glucose transporter
4; HDL-C: high-density lipoprotein cholesterol; LDL: low-density lipoprotein particles;
NO: nitric oxide; PAI-1: plasminogen activator inhibitor-1; PKC: protein kinase C; PPARy:
peroxisome proliferator-activated receptor y; PI3K: phosphatidylinositide 3-kinase; RAGE:
AGE receptor; ROS: reactive oxygen Species; SR-B: scavenger receptor B; tPA: tissue
plasminogen activator. (Sumber:ESC Guideline (2014))

Diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2 dengan CVD


Diabetes melitus tipe 2 adalah silent disease, separuh dari 552 juta individu
dengan DM tipe 2 pada tahun 2013 tidak menyadari penyakitnya. Sementara 300 juta
individu lainnya menunjukkan gejala awal perubahan homeostasis glukosa yang akan
menuntun ke arah diagnosis DM tipe 2. HbA1c saat ini telah diperkenalkan sebagai
pemeriksaan diagnostik dikombinasikan dengan glukosa darah puasa. HbA1c adalah
penanda sederhana yang secara akurat mencerminkan kondisi hiperglikemia kronis atau

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 174
peruabhan homeostasis glukosa darah. Bagaimanapun, masih ada pertanyaan mengenai
sensitivitasnya dalam memprediksi DM. Pertanyaan klinis utama adalah ‘dapatkah kita
menyingkirkan diagnosis diabetes pada pasien dengan HbA1c yang normal?’.
Pada DM tipe 2 tanpa CVD (dalam hal ini terutama adalah CAD/ coronary arterial
disease), panduan terbaru menyatakan bahwa HbA1c negatif dapat mengeksklud diabetes
pada kelompok pasien risiko rendah tetapi tidak pada kelompok risiko tinggi. Pada
kelompok risiko tinggi ini, pemeriksaan tes toleransi glukosa oral (OGTT)
direkomendasikan. OGTT memegang peranan penting pada tahapan diagnostik diabetes
pada pasien dengan atau tanpa CAD, dan memiliki implikasi prognostik yang penting.

Gambar 3. Algoritma Diagnosis DM Tipe 2 dengan CAD.


(Sumber:ESC Guideline (2014))

Deteksi awal status glikemik pasien CAD dengan OGTT memberikan harapan
pencegahan perkembangan DM dengan intervensi non-farmakologis atau dengan agen
farmakologis seperti metformin, akarbose, dan rosiglitazone. Euro Heart Survey on
Diabetes and the Heart melaporkan bahwa pemberian secara dini terapi
medikamentosa sangat bermanfaat pada pasien CAD dengan diabetes yang baru
dikenal (terapi medikamentosa akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikutnya).
Algoritma diagnosis dan penatalaksanaan DM tipe 2 dengan CAD dapat dilihat pada
Gambar 3.
Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 dengan CVD
Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama dari mortalitas dan
morbiditas pada pasien DM. Oleh karena itu, terapi efektif yang krusial diperlukan untuk
menurunkan resiko kejadian kardiovaskular, terutama infark miokard, CAD, stroke, dan
CHF.

175 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Tujuan terapi ini ini dapat dicapai dengan strategi penatalaksanaan yang meliputi
terapi non-farmakologis dan farmakologis. Terapi non-farmakologis terutama difokuskan
pada manajemen pola hidup. Terapi farmakologis meliputi terapi dengan obat-obatan
pilihan sesuai efek farmakologis yang diharapkan pada pasien CVD.
Terapi Non-Farmakologis
Manajemen pola hidup secara umum dianjurkan sebagai pencegahan DM tipe 2,
dalam hal ini adalah pencegahan sekunder dan tersier. Manajemen pola hidup meliputi
penurunan berat badan, peningkatan aktivitas fisik, dan berhenti merokok.
1. Penurunan Berat Badan
Penurunan berat badan disarankan pada seluruh DM tipe 2 overweight atau obesitas.
Hubungan antara overweight/obesitas dengan peningkatan resiko CVD sudah jelas
terlihat pada populasi umum. Lebih jauh lagi, studi-studi telah menunjukkan bahwa
overweight atau obesitas, terutama obesitas viseral, meningkatkan resiko terjadinya
DM tipe 2. Adanya inflamasi akan memicu resistensi insulin yang diketahui menjadi
penghubung antara obesitas dan diabetes. Manfaat lain yang dapat diperoleh dari
penurunan berat badan antara lain memperbaiki kualitas hidup, resistensi insulin, dan
faktor resiko CVD lainnya, dan oleh karena itu berbagai guideline klinis
merekomendasikan penurunan berat badan bagi penderita DM tipe 2
overweight/obese.
2. Peningkatan Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik direkomendasikan sebagai bagian dari strategi untuk mengurangi berat
badan. Aktivitas fisik diperkirakan mempengaruhi resiko terjadinya CVD secara
independen. Mekanisme potensial ini antara lain mengurangi inflamasi sistemik,
memperbaiki pengisian diastol, memperbaiki fungsi vasodilator endotel, dan
mengurangi akumulasi lemak viseral di abdomen. Banyak studi telah menunjukkan
pengurangan relatif insidens CVD pada pasien yang aktif secara fisik. Rekomendasi
aktivitas fisik minimal 150 menit per minggu dengan aktivitas sedang sampai berat,
dua kali per minggu masih menjadi panduan utama dari manajemen DM dan
pencegahan CVD pada DM tipe 2.
3. Berhenti Merokok
Pada pasien dengan DM tipe 2, studi-studi secara konsisten menunjukkan bahwa
merokok merupakan faktor resiko mortalitas dan terjadinya penyakit jantung koroner.
Intervensi ini harus diupayakan seoptimal mungkin walaupun sangat sulit dilakukan.

Tabel 1. Strategi “5As” untuk Berhenti Merokok.


A – ASK Systematically inquire about smoking status at every
opportunity
A – ADVISE Unequivocally urge all smokers to quit

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 176
A – ASSESS Determine the person’s degree of addiction and readiness to
quit
A – ASSIST Agree on a smoking cessation strategy, including setting a
quit date, behavioural counseling, and pharmacological
support
A - ARRANGE Arrange a schedule for follow-up

Terapi Farmakologis
Berbagai penelitian telah menyatakan bahwa walaupun kontrol glikemik
secara intensif menurunkan insidens dan progresi komplikasi mikrovaskuler, tetapi
morbiditas yang ditimbulkan akibat komplikasi mikrovaskuler yang telah terjadi ini
masih meningkat. United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) menyatakan
bahwa kontrol glikemik yang ketat dapat mengurangi komplikasi mikrovaskuler tetapi
hal ini masih kontroversi jika dikaitkan dengan kompliksi makrovaskuler. Penurunan
risiko relatif (RR) kejadian infark miokard (p=0,052) telah diamati pada penelitian post
trial UKPDS selama 10 tahun. Pada suatu penelitian klinis prospektif pioglitazone
terhadap kejadian makrovaskuler dibandingkan kelompok plasebo didapatkan
kesimpulan bahwa risiko kematian kardiovaskuler yang meliputi infark miokard dan
stroke menurun dengan terapi pioglitazone ini.
Berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya, The action in diabetes and
vascular disease: Preterax and Diamicron MR Controlled Evaluation and theVeterans
Affairs Diabetes Trial gagal memperlihatkan perbaikan risiko kardiovaskuler yang
bermakna pada terapi intensif diabetes. Juga, pada penelitian lain mengenai
penggunaan terapi intensif selama 3,5 tahun justru meningkatan mortalitas dan tidak
secara bermakna menurunkan kejadian kardiovaskuler.
EASD (2014) menyatakan bahwa karena masih kontroversi, secara umum
risiko kejadian komplikasi makrovaskuler juga dipengaruhi oleh perbaikan status
euglikemik. Suatu hasil penelitian yang diterbitkan pada tahun 2007 dengan jelas
menyatakan bahwa kontrol glukosa darah memberikan modest effect pada komplikasi
makrovaskuler yang telah ada. Suatu penelitian metaanalisis cardiovascular
outcomes berdasarkan Veterans’ Administration Diabetes Trial (VADT), Action to
Control Cardiovascular Risk in Diabetes (ACCORD), dan Action in Diabetes and
Vascular Disease (ADVANCE) menyatakan bahwa penurunan HbA1c 1% terkait
dengan penurunan risiko relatif 15% pada infark miokard non-fatal tetapi tidak
memberikan manfaat pada stroke ataupun penyebab mortalitas lainnya pada DM tipe
2.
Pada ACCORD trial, hipoglikemia meningkatkan mortalitas pada psien
dengan durasi panjang menderita diabetes (minimal 9 tahun). ORIGIN trial gagal
memperlihatkan pemberian awal regimen berbasis insulin menurunkan komplikasi
177 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
makrovaskuler. Berbasarkan berbagai penemuan ini, panduan terbaru mengenai
penatalaksanaan DM tipe 2 dengan CVD tidak merekomendasikan kontrol glikemik
yang sangat ketat. Lebih lanjut, pada pasien usia tua dengan long-standing diabetes
dan CVD, kontrol glikemik tidak begitu ketat dilakukan karena adanya risiko konkrit
hipoglikemia dan efek lainnya dari terapi.
Secara umum, kontrol glikemik intensif untuk mencapai target HbA1c <7
efektif tetapi sebaiknya diterapkan secara individualized sesuai durasi menderita
diabetes, adanya CVD dan komorbiditas lainnya. Oleh karena itu ESC/EASD (2014)
merekomendasikan bahwa kewaspadaan yang tinggi harus diperhatikan apabila
dilakukan pemberian terapi hipoglikemia jangka panjang. Disamping itu, hal yang juga
perlu diperhatikan pada tatalaksana pasien diabetes dengan CVD adalah terapi untuk
menurunkan risiko trombosis yang juga terkait dengan penyakit diabetes itu sendiri.

1. Glucose-lowering drugs
Diantara berbagai obat-obatan penurun glukosa darah, metformin merupakan pilihan
pertama karena keamaannya dan modest benefit terhadap risiko infark miokard. Saat
ini, metformin sebagai obat pilihan pertama pada terapi diabetes dengan CVD masih
diperdebatkan karena apabila dikombinasikan dengan sulfonilurea dapat
meeningkatkan mortalitas dan morbiditas. Sulfonilurea tanpa metformin juga
menurunkan risiko infark miokard dan kematian pada penelitian UKPDS tetapi terkait
dengan peningkatan berat badan dan kejadian hipoglikemia. ADA/EASD (2018)
merekomendasikan penggunaan agen GLP-1 agonis atau SGLT2 inhibitor pada
terapi pasien diabetes dengan CVD (Gambar 4).

Metformin
ADA/EASD 2018 merekomendasikan metformin sebagai terapi lini pertama pada
hampir semua pasien DM tipe 2. Obat-obatan pilihan lainnya dapat ditambahkan
bersama metformin berdasarkan karakteristik klinis pasien, meliputi CVD, gagal
jantung, dan gagal ginjal. Risiko efek samping dari kombinasi metformin dengan obat
antidiabetes lainnya meliputi hipoglikemia, peningkatan berat badan, toleransi pasien,
dan biaya merupakan hal penting yang harus dipertimbangkan.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 178
Gambar 4. Rekomendasi Terapi pada DM Tipe 2 dengan CVD dan CKD.
(Sumber: ADA/EASD (2018))

Glitazone (Partial Peroxisome Proliferator-Activated Receptor Alpha/ PPAR-α)


Penelitian PROspective piogliAzone Clinical Trial on macroVascular Events (PROActive)
menyatakan bahwa penggunaan pioglitazone terkait dengan reduksi jangka panjang
kebutuhan insulin. Glitazone secara bermakna menurunkan semua penyebab mortalitas
pada diabetes, infark miokard fatal, dan stroke.

Glucagon-like peptide 1 (GLP-1) agonist


ADA/ EASD 2018 merekomendasikan GLP-1 agonis dan SGLT2 inhibitor sebagai terapi
pilihan pada pasien diabetes dengan CVD karena adanya cardiovascular benefit. Bahkan,
GLP-1 agonis juga direkomendasikan sebagai terapi injeksi lini pertama, kecuali jika masih
179 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
ada kecurigaan diagnosis DM tipe 1. Contoh kelompok GLP-1 agonis adalah liraglutide,
dulaglutide, exenatide.

DPP IV Inhibitor
Terapi inkretin dengan glucagon-like peptide-1 (GLP-1) agonis dan dipeptidyl peptidase-4
(DPP-4) inhibitor tampaknya tidak memperbaiki outcomes kardiovaskuler pada pasien
diabetes. Walaupun demikian, dari penelitian lain dinyatakan bahwa GLP-1 agonis dan
DPP-4 inhibitor tidak memiliki efek samping yang bermakna dan tidak meningkatkan
mortalitas pada pasien diabetes dengan CVD. Contoh kelompok DPP IV inhibitor ini adalah
sitagliptin, vildagliptin, linagliptin, dan saxagliptin.

Sodium-Glucose Cotransporter 2 (SGLT2 inhibitor)


Pada pasien dengan gagal jantung dan penyakit kardiovaskuler aterosklerotik, SGLT2
inhibitor menunjukkan manfaat yang telah terbukti pada berbagai penelitian. Contoh
kelompok SGLT2 inhibitor ini adalah canagliflozin, empagliflozin, dapagliflozin, ertugliflozin.
Saat ini terdapat kombinasi obat yang direkomendasikan untuk terapi diabetes dengan
CVD yaitu janumet. Janumed merupakan kombinasi metformin dan sitagliptin. Terapi
kombinasi ini dapat meningkatkan keberhasilan pencepaian target HbA1c <7%
dibandingkan dengan penggunaan terapi tunggal metformin. Terapi metformin merupakan
lini pertama pada terapi medikamentosa pada diabetes dengan CVD. Kombinasi
dianjurkan dengan antidiabetes golongan lainnya dengan memperhatikan efek samping
obat dan komorbiditas secara personalized.

2. Antiplatelet drug
Guideline mengkonfirmasi bahwa aspirin tidak direkomendasikan pada pasien
diabetes tanpa CVD atau kerusakan organ lainnya (risiko kardiovaskuler rendah).
Sebaliknya, terapi antiplatelet sebaiknya diberikan secara personalized pada pasien
diabetes risiko tinggi. Stratifikasi risiko kardiovaskuler pada pasien diabetes (apakah
rendah, sedang, dan tinggi) tidak begitu penting karena apabila diagnosis diabetes sudah
ditegakkan, ini berarti sudah terdapat risiko kardiovaskuler yang tinggi. Karena alasan
inilah pasien-pasien diabetes walaupun tanpa CAD seharusnya mendapatkan terapi yang
sama seperti pasien diabetes dengan CAD. Walaupun demikian, sebagian besar guideline
masik merekomendasikan terapi antiplatelet berdasarkan ada atau tidaknya penyakit CAD.
Sebagai contoh, aspirin direkomendasikan sebagai pencegahan sekunder, bukan
pencegahan primer.

3. Statin
Pada penelitian STENO dinyatakan bahwa intervensi multifaktorial terkait dengan
risiko mortalitas yang lebih rendah dari penyebab CVD (p<0,001). Panduan ESC/EASD

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 180
terbaru merekomendasikan penggunaan statin pada pasien diabetes (termasuk pasien DM
tipe 1). Sebaliknya, terapi peningkatan kadar HDL tidak direkomendasikan. Hal ini karena
berdasarkan bukti terbaru dari suatu penelitian bahwa peningkatan kadar HDL tidak
bermanfaat pada pasien diabetes. Penelitian lainnya juga menyatakan bahwa efek protektif
dari HDL hilang pada pasien diabetes dengan CAD.
Sementara itu, strategi terapi untuk menurunkan kadar LDL sangatlah penting pada
terapi CVD pada diabetes. Penelitian terbaru mengemukakan bahwa strategi lipid-lowering
sangat bermanfaat di masa depan. AMG145, suatu antibodi monoklonal melawan protein
convertase subtilisin/ kexin type 9 (PCSK9), muncul sebagai suatu pendekatan terapi yang
menjanjikan pada pasien dengan hiperkolesterolemia yang mendapat terapi statin, dengan
manfaat penurunan kolesterol LDL yang tidak diragukan lagi.

Follow-Up Terapi pada pasien Diabetes dengan CVD


Hingga saat ini pemantauan yang dianjurkan pada pasien-pasien diabetes dengan
CVD yang diterapi adalah pemeriksaan HbA1c. Untuk menurunkan komplikasi
mikrovaskuler target HbA1c <7% sudah disepakati, tetapi untuk kompliksi makrovaskuler
target HbA1c tergantung berdasarkan kompleksitas komorbid, progresivitas diabetes, dan
juga mempertimbangkan metabolic memory. Walaupun demikian, konsensus sudah
merekomendasikan HbA1c ≤7% sebaiknya menjadi target terapi, tetapi dengan perhatian
penuh berdasarkan kebutuhan individu.
Idealnya, kontrol glukosa darah yang ketat lebih difokuskan pada pasien usia
muda dan tanpa komorbiditas atau risiko tinggi mengalami komorbiditas. Kadar glukosa
darah puasa sebaiknya <120 mg/dL dan post-prandial <160-180 mg/dL sesuai dengan
individualized basis. Keberhasilan terapi menurunkan kadar glukosa darah saat ini
didukung oleh self-monitoring of blood glucose (SMBG), yang sebagian besar dilakukan
oleh pasien-pasien yang diterapi dengan insulin.

Kesimpulan
Diabetes adalah penyakit dengan karakteristik hiperglikemia dengan komplikasi
vaskuler. CVD adalah bagian dari komplikasi vaskuler pada DM tipe 2 yang meningkatkan
morbiditas dan mortalitas penderita diabetes. Rekomendasi terapi lini pertama yang
direkomendasikan pada diabetes dengan CVD ini adalah metformin. Metformin dapat
dikombinasikan dengan obat antidiabetes lainnya dengan pertimbangan personalized.
Obat lainnya yang juga direkomendasikan berdasarkan berbagai penelitian terutama
adalah GLP-1 agonis dan SGLT2 inhibitor.

181 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
DAFTAR PUSTAKA

1. Cardiovascular Disease and Type 2 Diabetes: Has the Dawn of a New Era Arrived?.
Diabetes Care. 2017;40:813−20.
2. Lorber D. Importance of cardiovascular disease risk management in patients with type
2 diabetes mellitus. Dove Press. 2014;7:169−183.
3. Beckman J, Creager M. Vascular Complications of Diabetes. Lebanon: Vanderbilt
University School of Medicine. 2016;118:1771−85.
4. Fan W. Epidemiology in diabetes mellitus and cardiovascular disease. Cardiovascular
endocrinology 2017;6:8−16.
5. Leon BM, Maddox TM. Diabetes and cardiovascular disease: epidemiology, biological
mechanism, treatment recomemendations and future research. World J Diabetes.
2015 10;6(13):1246−1258.
6. Meigs JB. Epidemiology of type 2 diabetes and cardiovascular disease: translation
from population to prevention. Diabetes Care. 2010;33(8):1865−71.
7. Thomas RE, Annabel ACS, Craig L, Ulrik HP. Prevalence of cardiovascular disease
in type 2 diabetes: a systematic literature review of scientific evidence from across the
world in 2007-2017. Cardiovasc Diabetol. 2018;17:83−5.
8. Global Reports on Diabetes. WHO. 2016
9. Chawla A, Chawla R, Jaggi S. Microvascular and macrovascular complications in
diabetes mellitus: Distinct or continuum?. India: IJEM. 2016;20(4):162−9.
10. Abougalambou S, Hassali M , Sulaiman S, Abougalambou A. Prevalence of Vascular
Complications among Type 2 Diabetes Mellitus Outpatients at Teaching Hospital in
Malaysia. Malaysia: Journal of Diabetes and Metabolism. 2011;2(1):1−4.
11. Paneni F. 2013 ESC/EASD guidelines on the management of diabetes and
cardiovascular disease: Established knowledge and evidence gaps. Switzerland:
Diabetes and Vascular Research. 2014;11(1):5−10.
12. New EASD-ADA consensus guidelines on managing hyperglycaemia in type 2
diabetes launched at EASD meeting. Medical Press. 2018;1−3.
13. ESC Guidelines on diabetes, pre-diabetes, and cardiovascular diseases developed in
collaboration with the EASD The Task Force on diabetes, pre-diabetes, and
cardiovascular diseases of the European Society of Cardiology (ESC) and developed
in collaboration with the European Association for the Study of Diabetes (EASD). ESC
Guideline. 2013;34:3035−87.
14. Management of hyperglycaemia in type 2 diabetes, 2018. A consensus report by the
American Diabetes Association (ADA) and the European Association for the Study of
Diabetes (EASD). Diabetologia. 2018.
15. Hera J, Ruiz J, Delgadoc E. Diabetes and Screening for Coronary Heart Disease:
Where
Should We Focus our Efforts? Diabetes y cribado de enfermedad coronaria: ? do´nde
centramos el esfuerzo?. Spain: Rev Esp Cardiol. 2015; 68(10): 830−3.
16. Naidu A. Diabetes and Vascular Disease. Somajiguda: Yashoda. 2015.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 182
OVER VIEW ON THE TREATMENT OF OSTEOPOROSIS
RATHER THAN FOCUS ON BISPHOSPHONATES ONLY
Dato’ Dr. Malik Mumtaz
MD (USM) FRCP (Edin) FRCP (Glasgow)
Fellowship in Nuclear Medicine (Glasgow) DSPN
Consultant Endocrinologist and Nuclear Medicine Physician
Island Hospital Penang
Adjunct Associate Professor in Medicine
Penang Medical College

Osteoporosis has received major attention because of its silent nature and the devastating
consequences in terms of morbidity and mortality. While the focus has always been on
postmenopausal women it is now apparent that osteoporosis in men is not rare.
Osteoporosis accounts for up to 30% of hip fractures and 20% of vertebral fractures in
males. If fracture is used as the end point, the risk for a Caucasian woman is 50%.

Rather than start treatment immediately with a bisphosphonate, there should be a


standardised approach as described below. Once certain, we should offer treatment. Many
options are available but not all are available in Indonesia

The diagnosis of osteoporosis can be made clinically at the time of fracture or by bone
densitometry in the context of signs and symptoms. The gold standard remains DXA. The
heel ultrasound machine remains a useful screening tool but cannot be used for diagnosis
and monitoring of therapy. X rays are useful to document the extent of fractures, particularly
in the vertebra.

The WHO bone density criteria with the appropriate normal gender specific value should
be used. For every 1 SD reduction in young adult-matched mean BMD (T score), the
fracture risk increases by 2-fold. Some basic investigations are necessary to exclude
common secondary causes and one can make a case for measuring markers of bone
turnover if available, to serve as a baseline value and as a means of follow up.

Once the diagnosis has been established, the patient needs to be treated. Adequate
calcium, vitamin D intake and exercise are necessary. The prevalence of vitamin D
deficiency in women with osteoporosis is significant even in countries, which receive
adequate sunlight. In Malaysia for example, a multinational epidemiological study of vitamin
D levels in women with osteoporosis showed that > 50% of women had levels below 30
ng/dl. Lifestyle changes are equally important to reduce risk of falls.

183 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
The aim of treatment is to reduce the risk of fractures in both vertebral and non-vertebral
sites because these are associated with a high risk of morbidity and mortality. The decision
to treat a patient should be based on the patient’s risk factors, risk of fracture, possibly
BMD measurements, evidence of increased bone turnover and the presence of secondary
causes such as long-term corticosteroid treatment. The choices for treatment should be
evidence guided. Some agents have strong evidence for fracture risk reduction at the hip
and spine while others have evidence for only the spine. Other factors to consider include
the side effect profile, efficacy and onset of action, as well as risk in long-term treatment,
cost of treatment and compliance to therapy.

Once we have assessed the patient, then the approach is lifestyle changes, vitamin D and
Calcium replacement and appropriate osteoporosis treatment.

The bisphosphonates remain the backbone of therapy. Daily preparations have given way
for the weekly and now monthly and even yearly preparations. They have proven efficacy
at vertebral, non-vertebral sites as well as the hip. The other classes of anti-resorptive
agents have primarily vertebral effects but may have other benefits while some of these
agents have evidence for the benefits of treating osteopenia. Raloxifene is such a
medication and has the added advantage of breast cancer risk reduction. Strontium
ranelate has now been withdrawn from the market. Efficacy of therapy is wide-ranging from
osteopenia to osteoporosis. Though currently still available, it is being phased out by the
manufacturer due to various issues including safety concerns.

Parathyroid hormone (Forteo) is a prolific bone formation agent. Its unique properties
render it ideal for rescue therapy in patients with very severe osteoporosis. Use of
oestrogen (Hormone replacement therapy-HRT) while an effective option remains
shrouded with controversy. More recently, Denosumab has been shown to be a very
effective agent. A first in its class, it is a monoclonal antibody against RANK ligand. A six-
monthly injection improves compliance. Long term data for up to 10 years was recently
published

Duration of treatment needs to be determined and patients need to understand the


importance of adherence. A systematic approach to risk factor identification can lead to
early detection. Treatment to prevent the first fracture is important because leads to
subsequent fractures. A variety of treatment options means that we can effectively prevent
progression of this debilitating condition.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 184
OSTEOPOROSIS AND THE RISK OF
VERTEBRAL COMPRESSION FRACTURE:
PREVENTION AND MANAGEMENT
Azharuddin1, Diaz Novera2
1Department of Orthopedics, Faculty of Medicine Universitas Syiah Kuala – dr. Zainoel
Abidin General Hospital
2Faculty of Medicine, Gadjah Mada University

Abstract
Vertebral compression fracture is one of the most commonly found osteoporosis-
related fractures. Diagnosis of vertebral compression fracture is often delayed and patient
usually comes after major deformity has already occurred. The lack of evidence to support
clinical guidelines and no consensus on currently available treatment options further
complicates the situation. This paper will review on current practices of conservative pain
management and vertebral augmentation procedures on the management of vertebral
compression fracture.
Key word: osteoporosis, vertebral compression fracture, prevention, management

Background
A 65-year-old woman came presenting with chief complaint of unable to reach a
cabinet door that she usually able to. Upon investigation, it was found that she had shrunk
about 10 centimeters from her usual body height. She was unaware of such phenomenon
occuring to her body.

Figure 1. Clinical Presentation of VCF

185 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Osteoporosis is a preventable chronic progressive disease of deterioriation of bone
tissue, characterized by low bone mass and could lead to increased risk of fracture. It is
reported that there are approximately 1.5 million osteoporosis-related fractures in the
United States, and almost half of them are vertebral fractures1. In Australia, one in four
women aged over 80 years have experienced at least one or more vertebral compression
fractures2 (VCF). However, we are still lacking the profile of VCF in Indonesia. The
diagnosis of VCF on their onset is commonly unnoticed due to their asymptomatic nature
and indifferent symptoms of back pain. VCF is typically recognized in it’s latter stage when
vertebral deformity observed or when the patient reported a sudden moderate to severe
persistent pain on their back3. Patients are diagnosed with VCF when there is 15% of
reduction in vertebral body height from x-ray images4.
Currently there are no consensus on the management and prevention of VCF.
American Academy of Orthopedic Surgeons (AAOS) have developed clinical practice
guidelines to assist physicians in practice. However, physicians often resort to their
personal judgement due to the insufficient evidence and inconclusive recommendations
from the guidelines5. One of the reason of this setback in the development ofappropriate
guideline is due to the absence of a predictive and dependable biomarker that associates
with the development of future compression fractures6. This results in in the inability of
researchers to make reliable conclusions from reviewing the currently available treatment
options.
The first line of treatment for a clinically diagnosed VCF is conservative pain
management4. From there physicians have to evaluate the need for additional treatments
or performing vertebral augmentation procedures. Conservative pain managements
includes nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), opioids, antidepressants,
bisphosphonates, calcitonin, teriparatide, orthotic bracing and physical therapy7.

Conservative Pain Management


NSAIDs are the first medications used when treating VCF due to their perceived
safety, low cost and over-the counter accessibility8. However, physicians should note that
the use of NSAIDs in older population has a higher risk of occurence in complications such
as gastrointestinal bleeding, renal impairment and hemorrhargic cerebrovascular
accidents9. The relatively less serious side effects in NSAIDs compared to opioids and
antidepressants has become the primary reason for physicians to prefer the use of NSAIDs
as the first line of treatment10.
Short term use of opioids have proven to be beneficial for pain relief, while the long
term use remains debatable due to the possibility of adverse events occuring while
maintaining the long term use11. The adverse events related to long term use of opioids
includes decreased immune function, opioid-induced pain sensitivity and opioid-induced
hormonal changes12. The strategy to use opioids in management of VCF is by

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 186
implementing safe clinical practices that is by rotating the medications and dosage
limitation.
Antidepressants are another possible option for chronic pain control as an adjunct
therapy at a lower dose13.Maprotilline, fluoxetine and amitriptyline have shown reduction in
pain compared to placebo in chronic lower back pain14-15. However, the long term effect on
the use of antidepressants in managing VCF remains unknown15.
Bisphosphonates have been commonly prescribed alongside hormone
replacement therapy, supplement calcium and vitamin D to strengthen bones and prevent
additional fractures. Bisphosphonates have shown to reduce pain in patients with recent
VCF16and reduce the risk of new vertebral fractures17. The mechanism of action of
Bisphosphonates is by inhibiting osteoclasts and reduce inflammation by modulating
peripheral or central nociception18-19. Though the exact analgetic mechanism are still
debated. The long term use of bisphosphonates can cause oversuppression of bone that
could lead to increased risk of nonspinal fractures20.
Calcitonin is another effective option for pain relief in VCF, especially secondary to
osteoporosis21. It is thought that analgetic mechanism of action of calcitonin is by directly
inhibiting the neuronal excitation activity in the central nervous system and increased beta-
endorphin level22. Calcitonin can be administired through subcutaneous administration,
nasal spray and suppository. Calcitonin is a preferred treatment than bisphosphonates due
to the lower cost while achieving similar effect23. AAOS reccomends with moderate
certainty that calcitonin should be used for at least 4 weeks after initial onset of symptoms
in mangement of VCF5. No evidence available on the effect of long term use of calcitonin.
Teriparatide is an injectable medication derived from human parathyroid hormone
(PTH) to encourage the formation of new bone to increase bone mineral density therefore
reducing the risk of new VCF in patients with osteoporosis24. The mechanism of pain relief
in teriparatide is still unknown and it is thought to be the subsequent cause from the
increase of bone mineral density from PTH25. However, the use of teriparatide is associated
with hypercalcemia and possibility of withdrawal16.
Orthotic bracing is used to physically stabilize the injured area by minimizing stress
on the vertebra by inhibiting flexion of the spine26. Braces are recommended to be worn
only up to three months to avoid the risk of weakening the core muscles. However, patients
commonly reported sores from wearing braces as it is uncomfortable and could lead to
noncompliance27. Despite no significant improvement in quality of life, mild pain reduction
remains the reason braces being a popular option with VCF patients28.
Physical therapy aims to improve overall posture and gait by strengthening back
extensors29. Many patients reported pain relief and improvement in daily functions by
engaging in physical therapy30. Hence, physical therapy is a mainstay in treatment strategy
of managing VCF. Evidence regarding the effective technique of physical therapy remains

187 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
unknown due to the large variance of technique available. Thus, physical therapy in
managing VCF should be adjusted each patients’ condition30.
Vertebral Augmentation
Vertebral augmentation procedures includes vertebroplasty and kyphoplasty.
Vertebroplasty is a minimally-invasive procedure that injects low-vicsocity acrylic bone
cement into vertebral body using unipedicular or bipedicular cannula31. The aim of the
procedure is to improve stability of the spine. However, the procedure is associated with
incidence of new vertebral fractures. Hence, AAOS is strongly against the use of
vertebroplasty for the treatment of osteoporotic VCF due to the questionable effectiveness
of the procedure5.
Kyphoplasty is an approach that uses balloon dilation catheter to restore the
vertebral body height and inject high-viscocity cement at the space created. This restores
the mechanical integrity of the vertebra31. The restored height from kyphoplasty
significantly improved patients’ quality of life, mobility and pain reduction32. However,
kyphoplasty presents risk of cement leakage from the vertebral bodies into the venous
system to cause adverse reactions33. Surgeons try to tackle this problem by modifying the
rate of cement infusion using radiofrequency to minimize the risk of leakage34, or by
substituting the cement materials with a novel polymer made of polyether ether ketone
(PEEK)35. PEEK presents as a promising method of managing VCF as the rate of cement
leakage is lower compared to other cement materials in baloon kyphoplasty and the first
economic analysis of the procedure shows promising viability36.
Table 1. Summary of VCF management
Treatment option Advantages Disadvantages and Adverse
Events
NSAIDs Cost-effective pain control Risk of gastrointestinal bleeding,
renal insufficiency, and
hemorrhargic cerebrovascular
accidents. Increased occurrence in
older adults.
Opioid analgetics Effective at short term High risk of dependence,
severe acute lower back decreased immune function and
pain other opioid related adverse events
upon long term use
Bisphosphonates Effective at controlling pain Long term use increases risk of
and reduce risk of new nonspinal fractures
fractures
Calcitonin Effective pain relief for No evidence available on the long
recent VCF term use of calcitonin

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 188
Antidepressants Effective in chronic Long term effects on
neurologic pain antidepressant for back pain is
unknown.
Teriparatide Increases bone mineral Hypercalcemia and withdrawal
density and reduces the risk
of new vertebral fractures
Orthotic bracing Pain control and Sores, weakening of core muscles,
stabilization of the spine and non-compliants
Physical therapy Strengthen back muscle No optimum treatment strategy
and improve posture
Vertebroplasty Stabilizes the vertebral Associated with incidence of new
fracture vertebral fractures. Questionable
effectiveness
Kyphoplasty Decreases pain, improve Possible complication of cement
quality of life, and mobility leakage into venous system
without risk of additional causing various adverse events
fracture
Modified Potential minimizing risk of Novel procedures, requires further
Kyphoplasty and cement leakage in analysis
PEEK polymer kyphoplasty

Conclusion
The best strategy to prevent VCF is to carefully manage the underlying
osteoporosis and notice it’s signs as early as possible. Osteoporosis-related bone fractures
are rarely singular and the population at risk itself usually presents with additional
comorbidity. The lack of consensus results and available biomarker further complicates the
situation on how to track and predict the progression of the disease. Therefore,
preservation of bone mass since early age paired with appropriate physical exerciseis a
foundation to delay VCF occuring in osteoporosis5.
Primary aim of management of VCF is to relief pain and improve quality of life using
combinations of available modalities tailored to the needs of each individual. Whilst
minimally invasive procedure such as kyphoplasty and its modified variants have proven to
be effective, adverse events still presents and the procedure itself remains technically
challenging. Hence, prevention of osteoporosis remainsthe most important foundation in
managing VCF.

189 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
References
1. Riggs BL, Melton LJ. The worldwide problem of osteoporosis: insights afforded by
epidemiology. Bone 1995; 17(5):505S-511S
2. Cummings SR, Melton LJ. Epidemiology and outcomes of osteoporotic fractures.
Lancet. 2002; 359(9319):1761-7
3. Klazen CA, Verhaar HJ, Lohle PN et al. Clinical course of pain in acute osteoporotic
vertebral compression fractures. J Vasc Interv Radiol. 2010; 21(9):1405-9
4. Ensrud KE, Schousboe JT. Clinical practice. Vertebral fractures. N Engl J Med.
2011; 364(17):1634-1642
5. Esses SI, McGuire R, Jenkins J et al. The treatment of symptomatic osteoporotic
spinal compression fractures. J Am Acad Orthop Surg. 2011; 19(3):176-182
6. Komemushi A, Tanigawa N, Kariya S, et al. Biochemical markers of bone turnover
in percutaneous vertebroplasty for osteoporotic compression fracture. Cardiovasc
Intervent Radiol. 2008; 31(2):332-335
7. Genev IK, Tobin MK, Zaidi SP et al. Spinal compression fracture management: a
review of current treatment strategies and possible future avenues. Global Spine
J. 2017; 7:71-82
8. McCarberg BH. NSAIDs in the older patient: balancing benefits and harms. Pain
Med. 2013; 14(Suppl 1):S43-S44
9. Pirmohamed M, James S, Meakin S, et al. Adverse drug reactions as cause of
admission to hospital: prospective analysis of 18820 patients. BMJ. 2004;
329(7456): 15-19
10. Roelofs PD, Deyo RA, Koes BW, et al. Non-steroidal anti-inflammatory drugs for
low back pain. Cochrane Database Syst Rev. 2008; (1):CD000396
11. Franklin GM; American Academy of Neurology. Opioids for chronic non-cancer
pain: a position paper of the American Academy of Neurology. Neurology. 2014;
83(14):1277-1284
12. Ballantyne JC, Mao J. Opioid therapy for chronic pain. N Engl J Med. 2003;
349(20):1943-1953
13. Weiner DK, Hanlon JT. Pain in nursing home residents: management strategies.
Drugs Aging. 2001; 18(1):13-29
14. Atkinson JH, Slater MA, Wahlgren DR, et al. Effects of noradrenergic and
serotonergic antidepressants on chronic low back pain intensity. Pain. 1999;
83(2):137-145
15. Jung AC, Staiger T, Sullivan M. The efficacy of selective serotonin reuptake
inhibitors for the management of chronic pain. J Gen Intern Med. 1997; 12(6):384-
389
16. Armingeat T, Brondino R, Pham T, et al. Intravenous pamidronate for pain relief in
recent osteoporotic vertebral compression fracture: a randomized double-blind

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 190
controlled study. Osteoporos Int. 2006; 17(11):1659-1665
17. Black DM, Thompson DE, Bauer DC, et al. Fracture Intervention Trial; FIT
Research Group. Fracture risk reduction with alendronate in women with
osteoporosis: the Fracture Intervantion Trial. J Clin Endocrinol Metab. 2000;
85(11):4118-4124
18. Bonabello A, Galmozzi MR, Bruzzese T, et al. Analgesic effect of bisphosphonates
in mice. Pain, 2001; 91(3):269-275
19. Viapina O, Gatti D, Idolazzi L, et al. Bisphosphonates vs infliximab in ankylosing
spondylitis treatment. Rheumatology. 2014; 53(1):90-94
20. Odvina CV, Zerwekh JE, Rao DS, et al. Severely suppressed bone turnover: a
potential complication of alendronate therapy. J Clin Endocrinol Metab. 2005;
90(3):1294-1301
21. Lyritis GP, Ioannidis GV, Karachalios T, et al. Analgesic effect of salmon calcitonin
suppositories in patients with acute pain due to recent osteoporotic vertebral crush
fractures: a prospective double-blind, randomized, placebo-controlled clinical
study. Clin J Pain. 1999; 15(4):284-289
22. Knopp-Sihota JA, Newburn-Cook CV, Homik J, et al. Calcitonin for treating acute
and chronic pain of recent and remote osteoporotic vertebral compression
fractures: a systematic review and meta-analysis. Osteoporos Int. 2012; 23(1):17-
38
23. Laroche M, Cantogrel S, Jamard B, et al. Comparison of the analgesic efficacy of
pamidronate and synthetic human calcitonin study. Clin Rheumatol. 2006;
25(5):683-686
24. Chen CM, Lin PY, Chen YC, et al. Effects of teriparatide on lung function and pain
relief in women with multiple osteoporotic vertebral compression fractures. Surg
Neurol Int. 2014; 5(Suppl 7):S339-342
25. Genant HK, Halse J, Briney WB. The effects of teriparatide on the incidence of
back pain in postmenopausal women with osteoporosis. Curr Med Res Opin. 2005;
21(7):1027-1034
26. Chang V, Holly LT. Bracing for thoracolumbar fractures. Neurosurg Focus. 2014;
37(1): E3
27. Hoshino M, Tsujio T, Terai H, et al. Impact of initial conservative treatment
interventions on the outcomes of patients with osteoporotic vertebral fractures.
Spine. 2013; 38(11):E641-E648
28. Stadhouer A, Buskens E, Vergroesen DA, et al. Nonoperative treatment of thoracic
and lumbar spine fractures: a prospective randomized study of different treatment
options. J Orthop Trauma. 2009; 23(8):588-594
29. Hongo M, Miyakoshi N, Shimada Y, et al. Association of spinal curve deformity and
back extensor strength in elderly women with osteoporosis in Japan and the United

191 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
States. Osteoporos Int. 2012; 23(3): 1029-1034
30. Giangregorio LM, Macintyre NJ, Thabane L, et al. Exercise for improving outcomes
after osteoporotic vertebral fracture. Cochrane Database Syst Rev. 2013; 1:
CD008618
31. McConnel JT, Wippold FJ, Ray CE, et al. ACR appropriateness criteria
management of vertebral compression fractures. J Am Coll Radiol. 2014:
11(8):757-763
32. Boonen S, Van Meirhaeghe J, Bastian L, et al. Balloon kyphoplasty for the
treatment of acute vertebral compression fractures: 2-year results from a
randomized trial. J Bone Miner Res. 2011; 26(7):1627-1637
33. Zarate B, Gutierrez J, Wakhloo AK, et al. Clinical evaluation of a new kyphoplasty
technique with directed cement flow. J Spinal Disord Tech. 2012; 25(3):E61-E66
34. Georgy BA. Comparison between radiofrequency targeted vertebral augmentation
and balloon kyphoplasty in the treatment of vertebral compression fractures:
addressing factors that affect cement extravasation and distribution. Pain
Physician. 2013; 16(5):E513-E518
35. Ferguson SJ, Visser JM, Polikeit A. The long-term mechanical integrity of non-
reinforced PEEK-OPTIMA polymer for demanding spinal applications:
experimental and finite-element analysis. Eur Spine J. 2006; 15(2): 149-156
36. Beall DP, Olan WJ, Kakad P, et al. Economic analysis of Kiva VCF treatment
system compared to balloon kyphoplasty using randomized Kiva Safety and
Effectiveness Trial (KAST) data. Pain Physician. 2015; 18(3):E299-E306

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 192
Tiroiditis Hashimoto Post Tiroidektomi Near Total
Atas Indikasi Adenomatous Goiter
Damayanti 1 , Fadhlia 1
1 ORL-HNS Dept, Syiah Kuala University, Tgk. Daud Beureueh 108 st, Banda Aceh,
Indonesia

ABSTRAK

Latar belakang: Goiter adalah sebuah istilah yang dijelaskan sebagai suatu pembesaran
dari kelenjar tiroid yang didefinisikan sebagai suatu pembesaran. Pembesaran ini muncul
salah satunya disebabkan oleh defisiensi enzym, neoplasia, inflamasi atau defisiensi
nutrisi. Pasien dengan fungsi tiroid normal menurut studi biasanya dengan pembesaran
lambat massa pada leher. Tiroiditis Hashimoto adalah tiroiditis autoimun yang paling sering
dan merupakan contoh tipikal dari penyakit autoimun organ-spesifik dengan gangguan
fungsi tiroid. Pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus, fungsi tiroid dan tomografi komputer
dapat menegakkan diagnosis. Penatalaksanaan untuk diagnosa adenomatous dan
tiroiditis hashimoto sangat berbeda. Tujuan: Kasus ini diajukan agar dapat mengenali
perbedaan antara adenomatous goiter dan tiroiditis hashimoto untuk tatalaksana yang
tepat. Kasus: Dilaporkan satu pasien, perempuan 40 tahun yang didiagnosis awalnya
dengan adenomatous goiter, setelah dilakukan operasi tiroidektomi near total didapatkan
diagnosa tiroiditis hashimoto dari pemeriksaan histopatologi. Kesimpulan: Pemeriksaan
penunjang yang tepat membantu menegakan diagnosa yang tepat.

Kata kunci: Adenomatous goiter , tiroiditis hashimoto, fungsi tiroid, biopsi aspirasi jarum
halus.

193 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
HEMITIROIDEKTOMI PADA ADENOMATOUS GOITER
Baluqia Iskandar P1 , Fadhlia1
1 SMF/Bagian Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L FK Unsyiah / RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh

ABSTRAK
Latar belakang : Adenomatous goiter merupakan salah satu nodul jinak tiroid yang umum
terjadi. Diagnosis yang tepat didapatkan berdasarkan pemeriksaan fisik yang baik serta
pemeriksaan penunjang yang tepat. FNA guiding USG saat ini merupakan pemeriksaan
yang disarankan untuk menegakkan diagnosis dari tumor tiroid. Kasus : Telah dilaporkan
satu kasus adenomatous goiter berdasarkan hasil FNAB seorang wanita 50 tahun dengan
nodul di leher depan sebelah kanan disertai dengan disfagia, nyeri pada nodul dan
dilakukan hemitiroidektomi sebagai tatalaksana. Tujuan : Mengetahui tatalaksana dari
tumor jinak tiroid. Kesimpulan : Ukuran nodul serta hasil pemeriksaan penunjang
merupakan faktor yang mempengaruhi pemilihan penatalaksanaan yang akan dilakukan.

Kata kunci : Adenomatous goiter, FNA, Hemitiroidektomi

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 194
LAPORAN KASUS : KEJADIAN KANKER PAYUDARA PADA
PENDERITA DM TIPE 2 DI RSUD ACEH TAMIANG
Andhika Citra Buana* Wahyuddin**
*Dokter RSUD Aceh Tamiang, Aceh
**Staff Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUD Aceh Tamiang, Aceh

Abstrak

Pendahuluan. Data epidemiologis menunjukkan bahwa DM tipe 2 berhubungan dengan


angka kejadian dan kematian pasien dengan kanker. (5) Sebuah studi meta-analisis oleh
Hardefeldt et al, tahun 2012 menyimpulkan bahwa telah dikonfirmasi diabetes
meningkatkan resiko kanker payudara pada perempuan. (3) Kemudian studi kohort
terbesar oleh Liaw et al, tahun 2015 yang menilai diabetes tipe berapa yang mempunyai
resiko lebih tinggi terhadap kanker payudara menyimpulkan bahwa diabetes melitus tipe 2
memiliki resiko lebih tinggi dibandingkan diabetes melitus tipe 1 terhadap kanker payudara.
(1) · Dilaporkan seorang perempuan, 52 tahun, penderita DM dengan benjolan dipayudara
dan sudah terdiagnosa kanker payudara sejak 1 tahun yang lalu. Kadar gula darah 511
mg/dL saat masuk rumah sakit. Metode. Laporan kasus. Diskusi. Hiperglikemia, resistensi
insulin dan hiperinsulinemia ditengarai sebagai mekanisme dari DM yang memicu kanker.
DM tipe 1 dan diabetes premenopausal tidak berhubungan dengan peningkatan resiko
kanker payudara. Obesitas berhubungan dengan DM tipe 2 dan dapat memicu
peningkatan level estrogen endogen. Insulin menghambat produksi sex hormone-binding
globulin yang menghasilkan peningkatan dari hormone steroid bebas, dan lain-lain.
Hiperinsulenimia juga mempunyai efek terhadap insulin growth factor 1 yang dapat
berkembang menjadi proses karsinogenik pada payudara. Kesimpulan. Perempuan
penderita DM tipe 2 beresiko terkena kanker payudara dibandingkan penderita DM tipe 1
dan insidensi ini diduga akibat faktor kegemukan.

195 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
Efek pemberian berbagai jenis pakan tinggi lemak terhadap
kenaikan berat badan dan profil lipid tikus Spraque Dawley

Lailan Safina Nasution1,2, Sri Widia Jusman3, Mohamad Sadikin3


1 Program Doktor Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
2Departemen Gizi Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Jakarta
3 Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta

Pendahuluan

Pakan tinggi lemak identik dengan pakan tinggi kalori yang menyebabkan kenaikan berat
badan dan perubahan profil lipid. Lemak di dalam makanan berkontribusi memberikan
kalori yang tinggi, dimana 1 gram lemak menghasilkan 9 kkal dibandingkan karbohidrat
dan protein yang hanya 4 kkal. Tidak semua sumber lemak memiliki sifat obesogenik yang
sama.1, 2 Komposisi asam lemak makanan berpengaruh, dimana asam lemak jenuh
cenderung tidak digunakan sebagai sumber energi melainkan disimpan di jaringan
adiposa. Asam lemak tidak jenuh, tunggal maupun majemuk, cenderung tidak untuk
dicadangkan.3 Penelitian ini ingin membandingkan efek pemberian berbagai pakan tinggi
lemak, yaitu pakan tinggi lemak sapi, pakan tinggi kuning telur dan pakan tinggi lemak
nabati terhadap kenaikan berat badan dan profil lipid tikus putih jantan galur Spraque
Dawley.

Metode:
Penelitian eksperimental dengan 28 ekor tikus jantan galur Spraque-Dawley, sehat,
berumur 20-24 minggu, berat badan 250-300 gram, dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan
secara acak, yaitu kelompok yang mendapat pakan tinggi lemak sapi, pakan tinggi kuning
telur, pakan tinggi lemak nabati dan satu kelompok mendapat pakan standar sebagai
kontrol. Pakan dan minum diberikan ad libitum selama 30 hari. Berat badan ditimbang
seminggu sekali, dan di akhir penelitian darah diambil sebanyak 2-3 mL melalui vena
coccygea untuk pemeriksaan profl lipid.
Pakan tikus dibuat dalam bentuk pellet dengan komposisi kandungan nutrisi mengacu
kepada pakan standar BPOM RI seperti yang tertera dalam Tabel 1 sebagai berikut:

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 196
Tabel 1. Kandungan nutrisi pakan tinggi lemak vs pakan standar
Kelompok Pakan
Kandungan Nutrisi Lemak
Standar Lemak Sapi Kuning Telur
Nabati
Energi Bruto (kkal/kg) 3093 4062 4198 3905
Bahan kering (%) 86,59 86,69 86,44 86,46
Kadar air (%) 13,41 13,31 13,56 13,54
Abu (%) 9,75 6,44 4,98 6,98
Protein kasar (%) 20,26 20,26 20,24 20,18
Serat kasar (%) 5,86 5,42 5,21 5,67
Lemak kasar (%) 5,63 20,86 22,34 18,65
BETN 43,56 32,21 32,14 33,45
Ca (%) 0,92 0,90 0,93 0,91
P tersedia (%) 0,61 0,60 0,60 0,62

Data diuji menggunakan uji parametrik one way anova dengan post hoc LSD dengan
tingkat signifikansi p<0,05. Setiap parameter yang diperiksa dinyatakan dalam mean ±
Standard Error of the Mean (SEM) dan ditampilkan dalam bentuk tabel.

Hasil:

1. Berat badan hewan coba akibat pemberian berbagai pakan tinggi lemak
Rata-rata berat badan hewan coba pada setiap kelompok perlakuan di awal perlakuan
tidak berbeda bermakna (p = 0,062). Setelah pemberian pakan tinggi lemak dengan jenis
yang berbeda selama 30 hari, terjadi perbedaan berat badan yang bermakna antara
kelompok yang diberi diet pakan kuning telur (p = 0,003) dan lemak nabati (p = 0,008)
dibandingkan berat badan kelompok pakan standar.

400 # #
BB Awal
BB Akhir
Berat badan (gr)

300

200

100

0
ar

r
i

i
ap

at
lu
nd

ab
Te
S
ta

N
ak

g
S

in

ak
m
an

un
Le

m
ak

Le
K
P

Kelompok Pakan

Gambar 1. Pengaruh pemberian berbagai jenis pakan tinggi lemak vs pakan standar
terhadap berat badan tikus. # p< 0,05 vs kel. pakan standar (ANOVA, post hoc LSD)

197 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
2. Kadar kolesterol total hewan coba akibat pemberian berbagai jenis pakan tinggi
lemak
Setelah diberikan perlakuan berupa pemberian berbagai jenis pakan tinggi lemak (pakan
tinggi lemak sapi, pakan tinggi kuning telur, pakan tinggi lemak nabati) selama 30 hari,
didapatkan kadar kolesterol total seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Terdapat perbedaan kadar kolesterol total yang bermakna antara kelompok yang
mendapat pakan tinggi lemak sapi (p = 0,000), kuning telur (p = 0,000) dan lemak nabati
(p = 0,000) dibandingkan kadar kolesterol kelompok pakan standar.

100
Kadar Kolesterol (mg/dL)

80 * * *
60

40

20

0
r

r
pi

i
at
da

lu
Sa

ab
Te
an

N
ak
St

ak
in
m
n

un
Le

m
ka

Le
K
Pa

Kelompok Pakan

Gambar 2. Pengaruh pemberian berbagai jenis pakan tinggi lemak vs pakan standar
terhadap kadar kolesterol total tikus. * p< 0,05 vs kel. pakan standar (ANOVA, post hoc
LSD)

3. Kadar trigliserida hewan coba akibat pemberian berbagai jenis pakan tinggi
lemak
Setelah diberikan perlakuan berupa pemberian berbagai jenis pakan tinggi lemak (pakan
tinggi lemak sapi, pakan tinggi kuning telur, pakan tinggi lemak nabati) selama 30 hari,
didapatkan kadar trigliserida seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Terdapat
perbedaan kadar trigliserida yang bermakna antara kelompok pakan tinggi lemak sapi,
kuning telur dan lemak nabati (p = 0,000) dibandingkan kadar trigliserida kelompok pakan
standar. Selain itu, terdapat perbedaan kadar trigliserida yang bermakna antara kelompok
kuning telur terhadap kelompok lemak sapi (p = 0,025) dan lemak nabati (p = 0,000).

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 198
80

Kadar Trigliserida (mg/dL)


*#$
*
60 *

40

20

0
r

r
pi

ti
da

lu

ba
Sa

Te
an

Na
ak
St

g
in

ak
m
n

un
Le

m
ka

Le
K
Pa

Kelompok Pakan

Gambar 3. Pengaruh pemberian berbagai jenis pakan tinggi lemak vs pakan standar
terhadap kadar trigliserida tikus. * p< 0,05 vs Pakan Standar, # p < 0,05 vs Lemak Sapi, $
p < 0,05 vs Lemak Nabati (ANOVA, post hoc LSD)

4. Kadar kolesterol-HDL hewan coba akibat pemberian berbagai jenis pakan tinggi
lemak
Setelah diberikan perlakuan berupa pemberian berbagai jenis pakan tinggi lemak selama
30 hari, didapatkan kadar kolesterol-HDL seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Kadar
HDL pada kelompok yang mendapat pakan tinggi lemak dijumpai lebih rendah
dibandingkan kelompok pakan standar.

30

*
Kadar HDL (mg/dL)

* *$
20

10

0
i

i
ar

ur
p

at
Sa
nd

ab
Te
a

N
ak
St

ng

ak
m

i
n

un
Le

m
ka

Le
K
Pa

Kelompok Pakan

Gambar 4. Pengaruh pemberian berbagai jenis pakan tinggi lemak vs pakan standar
terhadap kadar HDL tikus. * p< 0,05 vs Pakan Standar, $ p < 0,05 vs Lemak Nabati.
(ANOVA, post hoc LSD)

199 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
5. Kadar kolesterol-LDL hewan coba akibat pemberian berbagai jenis pakan tinggi
lemak

Setelah diberikan perlakuan berupa pemberian berbagai jenis pakan tinggi lemak selama
30 hari, didapatkan kadar kolesterol-LDL seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.
Terdapat perbedaan kadar LDL yang bermakna antara kelompok Lemak Sapi (p = 0,009),
Kuning Telur (p = 0,002) dan Lemak Nabati (p = 0,012) dibandingkan kadar LDL kelompok
pakan standar.

25

* *
Kadar LDL (mg/dL)

20 *
15

10

0
r

i
p

at
lu
da

Sa

ab
Te
an

N
ak
St

g
in

ak
m
n

un
Le

m
ka

Le
K
Pa

Kelompok Pakan

Gambar 5. Pengaruh pemberian berbagai jenis pakan tinggi lemak vs pakan standar
terhadap kadar LDL tikus. * p< 0,05 vs kel. Pakan Standar (ANOVA, post hoc LSD)

Kesimpulan:

Pakan lemak kuning telur terbukti paling efektif dalam menaikkan berat badan dan profil
lipid hewan coba.

Referensi:

1. Bourgeois F, Alexiu A and Lemonnter D. Dietary-induced obesity: effect of dietary


fats on adipose tissue cellularity in mice. British Journal of Nutrition. 1983; 49: 17-
26.

2. DeLany JP, Windhauser MM, Champagne CM and Bray GA. Differential oxidation
of individual dietary fatty acids in humans–. The American journal of clinical
nutrition. 2000; 72: 905-11.

3. Moussavi N, Gavino V and Receveur O. Could the quality of dietary fat, and not
just its quantity, be related to risk of obesity? Obesity. 2008; 16: 7-15.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 200
PEMBERIAN TERAPI SULIH HORMON PADA WANITA
PASCA MENOPAUSE
1
Rajuddin, 2Lutfi
1
Kepala Divisi Fertilitas Endokrinologi Reproduksi, Departemen Obstetri dan
Ginekologi,
Universitas Syiah Kuala
2
Residen, Departemen Obstetri dan Ginekologi, Universitas Syiah Kuala

ABSTRAK
Menopause atau berhentinya periode menstruasi adalah proses yang wajar dan alami.
Selama menopause kadar hormon estrogen dan progesteron menurun, yang
menyebabkan gejala seperti berkeringat pada malam hari, hot flashes dan perubahan
suasana hati. Terapi sulih hormon (TSH) harus diberikan kepada wanita pasca menopause
simptomatik untuk mengurangi gejala-gejala tersebut. Penggunaan TSH pada wanita
pasca menopause masih banyak mengundang perdebatan dikarenakan potensial
memberikan efek samping dan risiko kanker. Pada wanita simptomatik sebelum usia 60
atau dalam waktu 10 tahun sejak awal menopause, manfaat pemberian TSH lebih besar.
TSH efektif untuk memperbaiki gejala vasomotor, dementia, genito urinari sindrom
menopause, gangguan mood, kurang tidur. TSH dapat meningkatkan kualitas hidup dan
seksualitas pasca menopause. TSH dapat menurunkan risiko diabetes dan penyakit
kardiovaskular serta mencegah osteoporosis. Penggunaan TSH dapat meningkatkan
risiko kanker endometrium, kanker payudara, kanker colorectal dan venous
thromboembolisme. Pemberian TSH dosis rendah dapat mengurangi efek samping dan
meningkatkan manfaat pada wanita tertentu. TSH mengandung senyawa yang berbeda,
estrogen, progestogen, kombinasi estrogen ditambah progestin, Tibolone,dan kombinasi
baru Conjugated estrogen (CE) ditambah selective estrogen reseptor modulator (SERM),
yaitu tissue selective estrogen complex (TSEC). Penggunaan CE dan Bazedoxifene (BZA)
dapat menetralkan efek estrogen pada endometrium, payudara dan sindrom
pramenstruasi. CE dan BZA meningkatkan efikasi pada gejala dan pencegahan
osteoporosis. Kondisi lain yang bukan kontraindikasi seperti mioma uterus, endometriosis,
diabetes, hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia, hipertensi, obesitas dan merokok,
harus dilakukan personalisasi terapi TSH yang ketat dari jenis, dosis dan rute pemberian
TSH, menggunakan dosis rendah dan produk transdermal.
Kata Kunci: Terapi sulih hormon, Menopause, Conjugated Estrogen, Bazedoxifene

201 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
ANALISIS KEBIASAAN KONSUMSI KOPI TERATUR
TERHADAP RISIKO OSTEOPOROSIS PADA
OLAHRAGAWAN
Yusni Yusni1*, Safrizal Rahman2
1Bagian Fisiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
2Bagian Bedah/sub devisi Orthopaedic dan Traumatology, Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSUD dr.Zainoel Abidin, Banda Aceh
Email: yusni@unsyiah.ac.id dan HP+62811225692

Latar Belakang:
Efek dari konsumsi kopi adalah meningkatkan diuresis sehingga dapat meningkatkan
kehilangan kalsium melalui urin. Hal ini berpotensi meningkatkan resorpsi tulang dan
menyebabkan osteoporosis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh
konsumsi kopi secara teratur terhadap resorpsi tulang sehingga dapat memprediksi risiko
osteoporosis pada olahragawan peminum kopi. Risiko osteoporosis dinilai dengan cara
mengukur marker dari resorpsi tulang yaitu C-telopeptida 1 (CTx) serum dan juga kadar
kalsium serum.

Metode:
Subjek penelitian adalah kelompok olahragawan yaitu mahasiswa Unsyiah yang rutin
melakukan olahraga secara teratur (senam aerobik 2 kali perminggu). Kriteria sampel
adalah: laki-laki dan wanita, usia 17-28 tahun, selama 50-60 menit setiap sesi latihan).
Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah total sampling.
Jumlah sampel adalah sebanyak 50 orang (laki-laki=37 orang dan wanita=13 orang),
kelompok yang mengkonsumsi kopi 1-2 kali perhari sebanyak 22 orang (laki-laki=16 dan
wanita=6 orang) dan tidak mengkonsumsi kopi sebanyak 28 orang (laki-laki=21 dan
wanita=7 orang), tidak mengkonsumsi suplemen kalsium, tidak merokok, tidak minum
minuman beralkohol dan sehat. Waktu penelitian adalah bulan Oktober-November 2018 di
Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Unsyiah. Pemeriksaan kadar CTx dilakukan
dengan metode electrochemiluminescence immunoassay analyzer (ECLIA) dan kalsium
serum diperiksa menggunakan metode O-cresolphthalein complexone. Analisis data
menggunakan uji t untuk data tidak berpasangan (p<0.05).

Hasil dan Pembahasan:


Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar CTx lebih rendah pada laki-laki (0.415 ng/mL
vs 0.586 ng/mL; p=0.02) dan wanita juga yang tidak mengkonsumsi kopi dibandingkan
dengan yang mengkonsumsi kopi (0.380 ng/mL vs 0.512 ng/mL; p=0.02). Namun kadar
CTx pada wanita masih dalam batas normal (nilai rujukan CTx adalah 0.016-0.584 ng/mL).
Kadar Kalsium pada laki-laki yang mengkonsumsi kopi secara teratur lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak mengkonsumsi kopi (9.70 mg/dL vs 9.30 mg/dL; p=0.003)
sedangkan kadar kalsium pada kelompok olahragawan wanita yang mengkonsumsi kopi
dan yang tidak mengkonsumsi kopi tidak menunjukkan adanya perbedaan (9.28 mg/dL vs
9.23 mg/dL; p=0.72).

Kesimpulan:
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi kopi tidak berpengaruh terhadap kadar
kalsium dan juga CTx pada kelompok olahragawan. Walaupun pada hasil penelitian
menunjukkan adanya perbedaan secara statistik, namun secara klinis menunjukkan bahwa
nilai tersebut masih dalam batas normal. Kami menyimpulkan bahwa konsumsi kopi secara
teratur tidak berisiko osteoporosis dini pada kelompok usia muda.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 202
THE RELATIONSHIP BETWEEN ADHERENCE TO INSULIN
AND GRADE OF PERIPHERAL NEUROPATHY DIABETIC
(PND) WITH TYPE 2 DIABETES MELLITUS IN RSUD CUT
MEUTIA
Erwin Siregar1, M. Jailani Alfajri2, Harvina Sawitri3, Maulina Debbyousha4, Suhaemi5
1
General Practioner, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
2
General Practioner, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
3
Public Health Department, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
4
Internal Medicine Department, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
5
Internal Medicine Department, Faculty of Medicine, Malikussaleh University

ABSTRACT

Background : Diabetic neuropathy is a clinically manifest or subclinical disease of


peripheral nerves, which occurs as conseuquence of diabetes mellitus. It can affect the
somatic and/or automomic nervous system. The 2014 National Diabetes Statistics Report
found tht 2.9 million people with diabetes (14%) use insulin only. The risk of distal
symmetric polyneuropathy and autonomic neuropathy increases with poor glycaemic
control.Poor adherence to diabetic regimen is widely acknowledged as potential cause of
poor metabolic control, but further research is needed to investigate the association
between adherence to insulin treatment and peripheral neuropathy diabetic.
Objective: To investigate the relationship between adherence to insulin and grade of
peripheral neuropathy diabetic (PND) with type 2 diabetes mellitus in RSUD Cut Meutia.
Methods: This study is an observational study with cross sectional approach. Data were
analysed with Chi square statistical test, using statistic software and obtained with interview
technique. Grade of peripheral neuropathy diabetic was measured using Modified
Neuropathy Diabeticum Examination Score and adherence to insulin was measured using
Morinsky Insulin Adherence Scale.
Results: The level of adherence to insulin showed 51.2% proportion of low adherence,
28.2% of medium adherence, and 20.5% of high adherence. Diabetic patients who
experience PND by 93,7%, with the highest amount on mild PND and moderate PND at
30,8% and 15,4%. The Chi square test analyzing the association between adherence to
insulin and grade of peripheral neuropathy diabetic (PND) showed a p value of 0,006.
Conclusion: There was a significant relationship between adherence to insulin and grade
of peripheral neuropathy diabetic (PND) with type 2 diabetes mellitus in RSUD Cut Meutia.

References

1. German Diabetes Association. Diabetic Neuropathy. Exp Clin Endocrinol Diabetes


2014;122:406-415.
2. Centers for Disease Control and Prevention. National Diabetes Statistics Report:
Estimates of Diabetes and Its Burden in the united states, 2014. Available from
http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/statsreport14/national-diabetes-report-
web.pdf. Accessed 08 January 2019.
3. Donnelly LA, Morris AD, Evans JMM. Adherence to insulin and its association with
glycaemic control in patients with type 2 diabetes. Q J Med 2007;100:345-350.

203 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
THE RELATIONSHIP BETWEEN INSULIN USAGE
ADHERENCE AND FEMALE SEXUAL DYSFUNCTION IN
TYPE 2 DIABETES MELLITUS PATIENTS
IN RSUD CUT MEUTIA NORTH ACEH
M. Jailani Alfajri1, Erwin Siregar2, Harvina Sawitri3, Maulina Debbyousha4, Suhaemi5
1
General Practitioner, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
2
General Practitioner, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
3
Public Health Department, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
4
Internal Medicine Department, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
5
Internal Medicine Department, Faculty of Medicine, Malikussaleh University

ABSTRACT

Background: A normal sexual health is an important part of life and relationship, it affects
the overall quality of life, physical and emotional health. Sexual dysfunction is one of
complications in Type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) patient.1-5 Female sexual dysfunction
is more difficult to diagnose and treat because of the intricacy of female sexual response.
Insulin usage adherence is an important issue of T2DM treatment, ineffective insulin
therapy contributes to poor glycemic control and places patients at risk of complication. 2
Objective: to determine the relationship between insulin usage adherence and female
sexual dysfunction in T2DM patiens.
Methods: This study was an observasional study with crooss sectional approach. Data
were analysed with chi square statistical test, using statistic software and obtained with
interview technic. Female sexual dysfunction was measured by using Female Sexual
Function Index (FSFI) -9 items and insulin usage adherence by using Morinsky Insulin
Adherence Scale.
Result : There were 39.3% respondents had high adherence, 30.3% respondents had
medium adherenhe, and 30.3% respondents had low adherence. There were 54.5%
respondents had sexual dysfunction and 45.4% didn’t have sexual dysfunction. Statistical
paired chi square with α 0.05 indicated that there was association between insulin usage
adherence and female sexual dysfunction in T2DM patiens (p value = 0.008).
Conclusion: There was a significant relationship between insulin usage adherence and
female sexual dysfunction in T2DM patiens.

Keywords: Diabetes Mellitus, Insulin, Female Sexual Dysfunction

Refferences:

1. Elyasi F, Kashi Z, Tasfieh B, Bahar A, Khademloo M. Sexual dysfunction in women


with type 2 Diabetes mellitus. Iran J Med. 2015; 40(3); 206-213.
2. Gupta L, Prakash S, Khandelwal D, Khaira B, Kalra S. Diabetes and female sexual
dysfunction. US Endocrinology. 2018; 35-38.
3. Afshari P, Yazdiazadeh S, Abedi P, Rashidi H. The relation of diabetes type 2 with
sexual function among reproductive age women in Iran, a case control study.
Advance in Medicine. 2017; 1-5.
4. Gandhi J, Dagur G, Waren K, Smith N, Khan SA. Effect of diabetes mellitus on
sexual arousal and intercouse. Transl Biomed. 2016; 7:2.
5. Parnan A, Tafazoli M, Azmoude E. Comparison of sexual function among women
with and without diabetes. Journal of Midwifery and Reproductive Health. 2017; 5(4):
1090-1097.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 204
ASSOCIATION BETWEEN BLOOD GLUCOSE CONTROL
AND MORNING HYPERTENSION WITH CORONARY HEART
DISEASE INSIDENT IN TYPE 2 DIABETES MELLITUS
PATIENTS
M. Jailani Alfajri1, Erwin Siregar2, Harvina Sawitri3,
Maulina Debbyousha4, Suhaemi5
1
General Practitioner, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
2
General Practitioner, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
3
Public Health Department, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
4
Internal Medicine Department, Faculty of Medicine,Malikussaleh University
5
Internal Medicine Department, Faculty of Medicine,Malikussaleh University

ABSTRACT

Background: Type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) and morning hypertension are


participating factor of cardiovascular events.1-4 A study demonstrated that poor glycemic
control is predicting value for occurence of morning blood pressure surge (MBPS) in
T2DM, which might be significantly associated with endothelial dysfunction.5
Objective: to determine the association between blood glucose control and morning
hypertension and the involvement of morning hypertension in the coronary heart disease
insident in T2DM patients.
Methods: This study was an observasional study with crooss sectional approach. Data
were analysed with chi square statistical test, using statistic software and obtained with
interview technic. Morning hypertension was measured by using sphygmomanometer,
prandial blood glucose was measured by using laboratorium test and coronary heart
disease was determined by using electrocardiogram.
Result: There were 75% respondents had uncontrolled blood glucose and 25%
respondents had controlled blood glucose. There were 53.1% respondents with morning
hypertension 46.8% respondents without morning hypertension. There were 62.5% had
coronary heart disease and there were 37.5% didn’t have coronary heart disease.
Statistical paired chi square with α 0.05 indicated that there was association between
blood glucose control morning hypertension (p value = 0.024%) and there was association
between morning hypertension and coronary heart disease (p value = 0.035).
Conclusion: Blood glucose control have association for occurence of morning
hypertension in T2DM, which might be significantly associated with coronary heart
disease insident.

Keywords: Diabetes mellitus, morning hypertension, blood glucose control

Refferences
1. Shimamoto K, Ando K, Fujita T, et al. Japanese Society of Hypertension
Committee for Guidelines for the Management of Hypertension. The Japanese Society
of Hypertension Guidelines for the Management of Hypertension (JSH 2014).
Hypertens Res. 2014;37: 253-390.
2. Wang JG, et al. Management of morning hypertension: a consensus statement of an
Asian expert panel. J Clin Hypertens. 2018. 20; 39-40.
3. Hajar R. Diabetes as “coronary artery disease risk equivalent”: a historical perspective.
Heart views. 2017; 18(1): 34-37
4. Aronson D, Edelman ER. Coronary arterial disease and diabetes mellitus. Cardiol Cin.
2014; 32(3): 439-455
5. Yoda Koichiro, et al. Association between glycemic control and morning blood
pressure surge with vascular dysfunction endothelial in type 2 diabetc patients.
Diabetes Care. 2014. 37; 644-650

205 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019
THE ASSOCIATION BETWEEN ADHERENCE TO INSULIN
AND GRADE OF ERECTILE DYSFUNCTION WITH TYPE 2
DIABETES MELLITUS IN RSUD CUT MEUTIA NORTH ACEH

Erwin Siregar1, M. Jailani Alfajri2, Harvina Sawitri3, Maulina Debbyousha4, Suhaemi5


1
General Practioner, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
2
General Practioner, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
3
Public Health Department, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
4
Internal Medicine Department, Faculty of Medicine, Malikussaleh University
5
Internal Medicine Department, Faculty of Medicine, Malikussaleh University

ABSTRACT

Background: Erectile dysfunction (ED) is described as persistent inability to attain and


maintain an erection sufficient to have satisfactory sexual performance.1 ED can result from
autonomic neuopathy.2 Previous studies have shown that ED is a common finding in
patients with diabetes regardless of insulin-dependence status and affect patients with
diabetes 10-15 years earlier than the general population.3,4 Clarifying the relationship
between adherence to insulin and ED may facilitate the early detection of ED in diabetic
patient wih insulin therapy.
Objective: To investigate the association between adherence to insulin and grade of
erectile dysfunction in type 2 diabetes mellitus patient in RSUD Cut Meutia.
Methods: This study is an observational study with cross sectional approach. Data were
analysed with Chi square statistical test, using statistic software and obtained with interview
technique. Grade of erectile dysfunction was measured using International Index of Erectile
Function-5 and adherence to insulin was measured using Morinsky Insulin Adherence
Scale.
Result: The level of adherence to insulin showed 78.1% proportion of low adherence,
12.5% of medium adherence, and 9.3% of high adherence. Diabetic patients who
experience ED by 53,8%, with the highest amount on severe ED and moderate ED at
40.6% and 28.1%. The Chi square test analyzing the association between adherence to
insulin and grade of erectile dysfunction showed a p value of 0,000.
Conclusion: There was a significant association between adherence to insulin and grade
of erectile dysfunction with type 2 diabetes mellitus in RSUD Cut Meutia.
Keywords: Adherence to insulin, Erectile dysfunction, Diabetes mellitus.

References
1. Sharifi F, Asghari M, Jaberi Y, Salehi O, Mirzamohammadi F. Independent
predictors of erectile dysfunction in type 2 diabetes mellitus: is it true what they say
about risk factors?. ISRN Endocrinology 2012;1-5.
2. American Diabetes Association. Microvascular complications and foot care. Sec.
9 in Standards of Care in Diabetes—2016. Diabetes Care 2016;39(Suppl. 1):S72–
S80
3. McCulloch DK, Campbell IW, Wu FC, Prescott RJ, Clarke BF. The prevalence of
diabetic impotence. Diabetologia. 1980; 18(4):279–83.
4. Schiavi RC, Stimmel BB, Mandeli J, Rayfield EJ. Diabetes mellitus and male sexual
function: a controlled study. Diabetologia. 1993; 36(8):745–51.

The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019 | 206
PENGARUH PEMBERIAN ARTIFICIAL SWEETENER
TERHADAP PERUBAHAN NAFSU MAKAN PADA
POPULASI SEHAT

Cut Putri Amalia1, Hendra Zufry2


1Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. 2Bagian Endokrin
Metabolik Diabetes Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala-Rumah Sakit
Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

ABSTRAK

Artificial sweetener merupakan senyawa yang dibuat secara kimiawi sebagai pemanis
pengganti yang semula diproduksi untuk produk-produk khusus bagi penderita diabetes.
Namun, saat ini penggunaan pemanis buatan semakin meluas di berbagai produk pangan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemanis rendah kalori dapat merangsang nafsu
makan dan mendorong untuk makan lebih banyak. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh pemberian artificial sweetener terhadap perubahan nafsu makan
pada populasi sehat dan perbandingannya dengan yang tidak mengonsumsi artificial
sweetener. Jenis penelitian quasi experimental dengan pendekatan nonequivalent control
group dan pretest-post test design. Penelitian ini dilakukan selama 12 minggu sejak 24
oktober 2018 hingga 16 januari 2019 terhadap mahasiswa Fakultas kedokteran Universitas
Syiah Kuala. Pengambilan data menggunakan teknik purposive sampling, dengan jumlah
responden sebanyak 98 orang yang terbagi menjadi 48 responden dalam kelompok
intervensi dan 50 responden lainnya sebagai kelompok kontrol. Hasil analisis data
menggunakan uji t-berpasangan menunjukkan terdapat pengaruh pemberian AS terhadap
perubahan nafsu makan populasi sehat dengan p=0,008. Hasil statistik dari perbandingan
kedua kelompok dengan uji t-tidak berpasangan didapatkan p=0,265 (p˃0,05) yang
menunjukkan tidak terdapat pengaruh yang bermakna pada perbandingan nafsu makan
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kesimpulan penelitian ini adalah
konsumsi artificial sweetener memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan nafsu
makan.

Kata Kunci: Artificial Sweetener, Nafsu Makan, Populasi Sehat.

207 | The 3rd Aceh Endocrinology & Diabetes Update (AEDU) 2019

Anda mungkin juga menyukai