Anda di halaman 1dari 9

Child grooming

Hati-hati child grooming, modus


pelecehan baru pada anak! Ini yang
perlu Parents ketahui
ak bisa dipungkiri, fenomena pelecehan seksual pada anak masih terus saja
berlanjut. Ibarat gunung es, kasus pelecehan seksual yang diketahui dan dilaporkan
hanya terlihat sedikit atau pada puncaknya saja. Padahal ada banyak yang tak
tampak dan tak terlapor. Baru-baru ini pihak kepolisian baru saja menangkap pelaku
child grooming yang dilakukan melalui aplikasi game online.
Anda pernah mendengar istilah child grooming?

Artikel terkait: Mengapa pelecehan seksual jarang dipolisikan? Ini sebabnya


Mengenal istilah child grooming
Berdasarkan definisi dari lembaga internasional Masyarakat untuk Pencegahan
Kekejaman terhadap Anak-anak atau National Society for the Prevention of Cruelty
to Children (NSPCC), child grooming bisa diartikan sebagai sebuah upaya yang
dilakukan seseorang untuk membangun hubungan, kepercayaan, dan hubungan
emosional dengan seorang anak atau remaja sehingga mereka dapat memanipulasi,
mengeksploitasi, dan melecehkan mereka.
Di berbagai negara, grooming sudah marak menjadi modus kejahatan pelaku
pelecehan seksual anak.
Siapa pun bisa menjadi seorang groomer (pelaku grooming). Tak peduli berapa
usianya atau apa jenis kelaminnya. Bahkan berdasarkan kejadian di lapangan,
seorang groomerbisa muncul dari dalam lingkungan keluarga sendiri.
Proses groomingbisa dilakukan dalam waktu singkat atau lama. Hal ini memang
tergantung dari bagaimana seorang groomer menjalankan aksinya.
Seorang groomer yang berhasil akan mampu membangun sosoknya tampak
berwibawa di hadapan korbannya. Jenis hubungan yang dibangun oleh
seorang groomer punsebenarnya bisa sangat beragam.
Bisa saja sebagai seorang kekasih, mentor, atau figur yang diidolakan oleh sang
anak. Platform yang digunakan oleh seorang groomer juga bermacam-macam, mulai
situs media sosial, e-mail, WhatsApp, atau chat forum.
Kasus child grooming di Indonesia
Faktanya, kasus child groomingini telah terjadi di Indonesia. Dilansir dari Detik
News, Polda Metro Jaya berhasil menangkap seorang pelaku child
grooming berinisial AAP alias Prasetya Devano alias Defans alias Pras
Pelaku melancarkan aksinya melalui aplikasi game online ‘Hago’ dan ditangkap di
kawasan Jakarta Barat pada 25 Juli 2019 lalu. “Iya betul, pelakunya sudah
ditangkap, nanti kami rilis,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo
Yuwono, Senin (29/7/2019).
Menurut keterangannya, pelaku mencari korban melalui aplikasi game
online dengan fitur ‘discovery people‘. Dari fitur tersebut pelaku mencari korban
perempuan yang rata-rata masih berusia belasan tahun.
Pelaku kemudian berkenalan dengan korban melalui chat dalam aplikasi tersebut
dan melakukan video seks. Di mana pelaku meminta korban untuk membuka
pakaiannya dan merekam video tersebut.
Hingga sampai saat ini, pelaku diketahui telah melakukan perbuatannya berulang-
ulang. Korban yang kebanyakan masih berusia belasan tahun tersebut bahkan tidak
bisa menolak permintaan pelaku karena diancam akan disebarkan videonya.
Waspadai taktik groomer dan ciri-ciri anak yang telah menjadi korban

Saat menjalankan aksinya, groomer biasanya punya beragam taknik. Mulai dari
berpura-pura menjadi teman korban, memberi hadiah, mengajak jalan-jalan,
memberi perhatian, atau nasihat.
Adapun ciri-ciri anak yang telah menjadi korbangroomer biasanya terlihat:

 Menjadi tertutup
 Memiliki pacar yang lebih tua
 Sering memiliki barang baru atau uang berlebih
 Mudah tertekan
 Mudah marah

Dalam hal ini, Rosdiana Setyaningrum MPsi, MHPEd mengingatkan bahwa salah
satu hal yang perlu diingat oleh orangtua tentu saja bagaimana mencegah
pelecehan seksual ini ini terjadi. Dimulai dengan memberikan pendidikan seks sedini
mungkin sesuai dengan tahapan perkembangan anak.
Termasuk melatih anak untuk menghargai tubuhnya sendiri. Beri pemahaman pada
anak, area tubuh mana yang boleh disentuh dan tidak. Termasuk memperlihatkan
pada orang lain. Dengan demikian, harapannya peleceham seksual seperti ini bisa
dicegah. Ia pun mengatakan bahwa anak yang menjadi korban grooming sebaiknya
segera diajak berkonsultasi dengan psikolog.
“Karena dia harus kita tangani dengan benar dan bila perlu diterapi ya, kita terapi.
Apalagi anak kan kadang tidak tahu kalau dia korban pelecehan. Dia mungkin hanya
mengalami perubahan sifat setelah itu. Itu yang perlu kita waspadai dan perhatikan”
jelasnya saat ditemui theAsianparent di kawasan Jakarta Selatan, Selasa
(23/7/2019).

JAKARTA, KOMPAS.com - Bareskrim Polri pada Selasa (9/7/2019) menangkap seorang pria
berinisial TR (25), narapidana di Surabaya, karena diduga mencabuli 50 anak di bawah umur
dengan rentang usia 11-17 tahun. TR yang melancarkan aksinya dari dalam penjara itu
memalsukan akun Instagram seorang guru. Dia kemudian membuat akun palsu atas nama guru
tersebut dan mem-follow anak-anak. Melalui direct message di Instagram, TR pun berusaha
meyakinkan anak-anak untuk mengirimkan foto dan video mereka telanjang hingga menyentuh
bagian vital. Baca juga: KPAI: Pelaku Kekerasan Seksual di Sekolah Didominasi Guru dan
Kepala Sekolah Dalam email pelaku, polisi menemukan 1.300 foto dan video anak-anak. Polisi
menuturkan TR menggunakan modus operandi grooming dalam membujuk dan memengaruhi
korban agar mau mengirimkan foto dan video telanjang dengan dalih nilai akan terancam jelek
jika menolak. Lalu, apa itu grooming? Menurut psikiater forensik Amerika Michael Mark Welner,
M.D. dalam situs oprah.com, grooming merupakan proses di mana pelaku membujuk korban ke
dalam hubungan seksual dan menjaga hubungan tersebut secara diam-diam. Hubungan ini
merupakan balutan terluar dari grooming. Pelaku juga berusaha untuk memisahkan korban dari
teman dan keluarganya dengan menggambarkan diri mereka sebagai orang yang istimewa bagi
korbannya. Tahapan Grooming Menurut dia, ada enam tahapan pelaku melakukan grooming.
Pertama, pelaku menentukan korban yang biasanya kurang memiliki perhatian dari orang tua.
Kedua, pelaku akan mencari cara untuk mendapatkan kepercayaan korban dengan memberikan
korban perhatian dan kehangatan. Ketiga, pelaku memenuhi kebutuhan korban.
Keempat, pelaku akan mengisolasi korban dari pergaulannya. Baca juga: Lakukan Pencabulan
Terhadap Anak di Medsos, Seorang Napi Diciduk di Lapas Kelima, pelaku akan mulai
melakukan aktivitas seksual mulai dari meminta foto, menyentuh dan merangsang keingintahuan
anak tentang hubungan seks. Di tahapan ini, pelaku memiliki kesempatan untuk mengatur
orientasi seks anak. Terakhir, pelaku akan mengontrol dan mengintimidasi anak dengan
pemerasan. Biasanya korban ingin menjauh. Namun, pelaku terlanjur memiliki banyak kekuatan
untuk mengontrol korban. Siapa pelaku grooming? Siapapun bisa menjadi pelaku grooming,
bahkan kerabat sekalipun karena mereka terlihat bisa dipercaya dan berwibawa. Pelaku dalam
melakukan grooming bisa memakan waktu mulai dari seminggu hingga bertahun-tahun. Baik
secara online ataupun lewat dunia nyata, modus yang digunakan biasanya adalah berpura-pura
menjadi orang yang dekat dengan korban, membelikan korban banyak hadiah, memberikan
perhatian dan pengertian atau membawa korban untuk berjalan-jalan. Seorang anak mungkin
tidak mengetahui bahwa mereka telah terkena grooming. Sasaran pelaku grooming Menurut
ketua KPAI, Retno Listyarti mengatakan ada dua ciri utama bagi anak yang berisiko mudah
terpengaruh grooming, yaitu anak yang belum mempunyai pendidikan seks dari dini dan anak
yang tidak mau bercerita kepada orangtuanya. "Kasus di Bareskrim Polri itu baru sekali kita
tangani, namanya era informasi ya digital. Penting peran orangtua untuk mengajarkan kepada
anak soal pendidikan seks sedari kecil, dari masih dimandikan" ujar Retno Listyarti, ketua KPAI,
ketika dihubungi Kompas.com pada Selasa (23/7/2019). Retno menambahkan seharusnya
orangtua mengajarkan kepada anak sedari kecil bahwa tidak boleh ada yang menyentuh bagian
tertentu dari tubuh anak atau pun menyuruh mereka untuk membagikan foto atau video bagian
tertentu dari tubuhnya. Pencegahan Bareskrim Polri berdasarkan kasus tersebut memberi tips
"KETAPEL" sebagai bentuk pencegahan bagi orangtua dan guru agar anak-anak tidak menjadi
korban child grooming di media sosial. Berikut kepanjangan dari Ketapel: K untuk "kontrol". Yaitu
orangtua harus dapat mengontrol gadget anak untuk mengetahui aktivitasnya di medsos. E
untuk "empati". Proses dimana orang tua harus menumbuhkan kedekatan emosional dengan
anak, luangkan waktu untuk mendengarkan keluhannya dan rahasianya. T adalah "tahan".
Ketika mendengarkan cerita pahit dari anak, orangtua harus tahan emosi. Karena bagaimana
pun yang mengalami cerita tersebut adalah anak dan peristiwa itu sudah cukup berat baginya. A
yaitu "aman". orangtua perlu "amankan" atau menyimpan foto atau video atau tangkapan layar
percakapan anak, beserta berbagai nomor dan akun asing. P untuk "password", gunakan
password untuk gawai anak dan nyalakan mode privat pada akun sosial anak. E untuk "edukasi".
Anak perlu diberikan literasi digital tentang etika dan bijak berinternet. L terakhir untuk "lapor",
yaitu melapor ke patrolisiber.id bila anak telah menjadi korban child grooming. Selain ke
Bareskrim Polri, korban atau siapapun yang mengetahui korban atau pelaku grooming dihimbau
untuk langsung melapor ke KPAI melalui website resmi di www.kpai.go.id atau email ke
info@kpai.go.id

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Waspada Grooming, Modus Pencabulan
Anak dengan Membangun
Hubungan!", https://megapolitan.kompas.com/read/2019/07/24/12113401/waspada-grooming-
modus-pencabulan-anak-dengan-membangun-hubungan?page=all.
Penulis : Anastasia Aulia
Editor : Sabrina Asril

Seram, child grooming kian marak


10:31:28 | 30 Jul 2019
JAKARTA (IndoTelko) - Kejahatan pornografi, terutama pencabulan terhadap anak lewat
media sosial (grooming) kian marak belakangan ini karena mudahnya akses internet dan
lemahnya pengawasan orangtua.

Grooming adalah tahapan dari modus operandi yang dilakukan pelaku setelah membuat
akun palsu. Polisi menjelaskan grooming adalah proses meyakinkan korban untuk segera
mengirimkan gambar telanjang, alat kelamin, dan didokumentasikan melalui video via
direct message (alias pesan privat di medsos atau DM) atau WhatsApp (WA).

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, total pengaduan kasus
pornografi dan cyber crime atau kejahatan online yang menjerat anak-anak pada 2014
sebanyak 322 kasus, 2015 sekira 463 kasus, 2016 meningkat menjadi 587 kasus, 2017
menjadi 608 kasus dan pada 2018 naik mencapai 679 kasus.
Baca juga :

KIPIN tambah konten untuk PAUD


XL Home perkuat konten untuk anak

MAXstream sekarang tayangkan Serial "Shark Tank"

Komisioner Bidang Pornografi dan Cyber Crime KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah
mengungkapkan, peristiwa ini terjadi karena banyak faktor. Namun salah satu pemicu
utamanya adalah tidak bijaknya menggunakan media sosial (medsos) atau mudahnya
akses internet melalui gadget, HP, laptop dan lainnya.

“Anak- anak dalam mengakses internet rentan terpapar berbagai konten negatif seperti
pornografi, game online yang bermuatan kekerasan dan pornografi, informasi hoaks,
ujaran kebencian, adiksi gadget, radikalisme, serta perilaku sosial menyimpang,” katanya
seperti dikutip dari laman KPAI (30/7).

Diungkapkannya, kasus pengaduan anak berdasarkan klaster perlindungan anak bidang


pornografi dan cyber crime KPAI, pada 2011-2018 mengalami kenaikan.

Adapun jenis aduan di antaranya anak korban kejahatan seksual online, anak pelaku
kejahatan online, anak korban pornografi di medsos, anak pelaku kepemilikan media
pornografi, dan anak pelaku bullying di medsos.

Sementara untuk kejahatan siber yang paling sering diadukan ke KPAI di antaranya,
pelaku video pornografi, sexting (chat bermuatan konten pornografi), terlibat dalam grup -
grup pornografi.

Kemudian grooming atau proses untuk membangun komunikasi dengan seorang anak
melalui internet dengan tujuan memikat, memanipulasi, atau menghasut anak tersebut
agar terlibat dalam aktivitas seksual.

Selain itu, ada juga sextortion, yaitu pacaran online berujung pemerasan, cyber
bully, perjudian online, live streaming video dan trafficking serta penipuan online.

“Ini adalah tantangan bagi orangtua dalam mendidik anak di tengah deras dan cepatnya
perkembangan teknologi melalui internet. Untuk itu, perlu ada kewaspadaan pada
orangtua dalam melindungi anak-anaknya,” kata Margaret.

Platform
Margaret juga bicara soal penting platform-platform media sosial memberikan jaminan
pengamanan untuk menghindari kemungkinan terjadinya kejahatan online terhadap anak.
Salah satunya, menjamin keamananan plarform media sosial agar tak mudah diretas oleh
orang yang tak bertanggung jawab.

“Penyedia platform itu juga nggak boleh tanpa peran gitu. Mereka bisa masuk ke
Indonesia harus dibarengi dengan aturan yang mengikat mereka, Misal, boleh masuk, tapi
harus punya komitmen perlindungan anak di dunia siber, kan itu me lalui WA (WhatsApp)
dan media sosial, para platform media sosial itu harus punya komitmen perlidungan anak
di dunia siber. Kalau mereka punya komitmen otomatis mereka ikut menjaga, misal harus
dibangun sistem atau apa caranya jangan sampai ada orang yang bisa mengunakan
identitas orang lain, ini kan mengambil identitas orang lain kan, ini mengambil profil
gurunya. Kalau orang mau masuk mengakses itu harus memakai identitasnya sendiri jadi
perlu ada peningkatan keamanan dari penyedia platfrom itu,” tegasnya.

Seperti diketahui, belum lama ini polisi menangkap pelaku child grooming berinisial AAP
alias PD alias Defan (27) di Bekasi.

Modus operandi yang dilakukan AAP yakni, membuka akun aplikasi game online yang
mewajibkan peserta bergabung untuk mengirim identitas dan foto.

Setelah korban terdaftar dalam aplikasi game tersebut, percakapan dilanjutkan melalui
aplikasi WhatsApp. Melalui aplikasi ini lah, korban melakukan video call sex dan
direkam pelaku.

Atas perbuatannya itu, pelaku akan dikenakan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang (UU) ITE,
Pasal 29 UU ITE, dan Pasal 82 UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman hingga
15 tahun penjara.(id)

Anda mungkin juga menyukai