PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
1.1.1. Judul
1
http://www.ditplb.or.id/profile.php?id=, 8 Maret 2010
2
http://www.hbhmarchitecture.com/index.php?/ongoing/deaf-space-design-guide/, diakses pada 28 Desember
2013
1
1.1.3. Latar Belakang Permasalahan
3
Prof. Dr. Haryadi dalam “Pemantapan DIY Sebagai Pusat Budaya Terkemuka di Masa Depan Perspektif
Pendidikan”, http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/SEMINAR%20BUDAYA%20BAPEDA.doc, diakses pada
31 Desember 2013
2
2. Keterbatasan Pemerintah dalam Menyelenggarakan Sekolah Inklusi
Pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dipisahkan dalam Sekolah
Luar Biasa menimbulkan potensi hubungan sosial bagi siswa SLB. Ada
indikasi bahwa siswa tersebut akan mengalami kesulitan ketika berhadapan
dengan dunia luar dan masyarakat umum. Pada kondisi ideal, seharusnya
semua sekolah dasar maupun sekolah lanjutan dapat menjadi sekolah inklusi
yang menerima siswa dengan kebutuhan khusus.Merujuk pada UU no 84
tahun 1997 yang menerangkan bahwa “Pada setiap pekerjaan dan perusahaan
harus menyediakan tempat minimum 10% bagi karyawan penyandang cacat
tubuh”. Apabila diterapkan dalam institusi pendidikan, maka setiap sekolah
formal setidaknya menyediakan 10% dari kuota total siswa untuk siswa
dengan kebutuhan khusus. Dalam Permendiknas No 70 tahun 2009 ditegaskan
kembali tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan
dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa.
Namun kondisi yang ada saat ini, pengadaan sekolah inklusi belum
merata karena keterbatasan pemerintah maupun yayasan pendidikan swasta
dalam pengadaan sekolah inklusi. Proses pengadaan sekolah inklusi yang
merata masih panjang dan terbatas dari segi dana dan kemampuan Sumber
Daya Manusia, akibatnya masih banyak anak berkebutuhan khusus yang tidak
bisa mendapatkan pendidikan formal. Oleh karena itu, peran Sekolah Luar
Biasa masih sangat penting dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
pendidikan anak difabel.
4
Bahrul Fuad, dalam “Kecacatan Dalam Belenggu Terminology”, http://cakfu.info/2006/09/kecacatan-dalam-
belenggu-terminology/, diakses pada 2 November 2013
3
Terkait dengan bidang pendidikan, terdapat beberapa regulasi
pemerintah yang mengacu kepada pendidikan bagi anak difabel, diantaranya:
a. UUD 45 (amandemen) Pasal 31 ayat (1) dan ayat 2 tentang hak pendidikan
bagi warga negara
b. UU No. 20 th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional
Pasal 5 ayat (1), (2), (3) dan (4) tentang kesamaan hak pendidikan tanpa
memandang kondisi fisik, emosional, mental, kecerdasan maupun kondisi
geografis
c. Pasal 32 ayat (1) dan (2), tentang pendidikan khusus dan layanan khusus
d. UU No. 23 th 2002 tentang perlindungan anak
Pasal 51, tentang kesamaan kesempatan dan aksesibilitas pendidikan bagi
anak cacat fisik dan/atau mental
Pasal 52, tentang kesamaan kesempatan dan aksesibilitas pendidikan bagi
anak yang memiliki keunggulan
Pasal 53, tanggungjawab pemerintah dalam membiayai pendidikan
pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar
dan anak yang berada di daerah terpencil.
Oleh karena itu, ketersediaan sekolah untuk difabel, dalam hal ini
sekolah luar biasa maupun sekolah inklusi sangat penting. Mengingat jumlah
penyandang disabilitas di Indonesia yang menurut data WHO berjumlah
sekitar 10% dari jumlah penduduk Indonesia, ini berarti penyandang
disabilitas di Indonesia berjumlah 23 juta jiwa.5 Selain itu, Prof. dr. Sunartini,
SpA (K), PhD dalam pidato pengukuhan jabatan guru besar pada Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta mengungkapkan
bahwa diperkirakan antara 3-7 % atau sekitar 5,5-10,5 juta anak usia di bawah
18 tahun menyandang ketunaan atau masuk kategori anak berkebutuhan
khusus.Jumlah anak difabel pada usia tersebut juga yang menunjukkan anak
berkebutuhan khusus yang membutuhkan pendidikan.
Menurut data Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, di Indonesia
ada sekitar 1600 sekolah luar biasa dari berbagai tingkatan dan kategori yang
5
Jonna Damanik, dalam “Ayo Peduli Sekolah Luar Biasa”, http://majalahdiffa.com/index.php/kasus/pindai/209-
ayo-peduli-slb-sekolah-luar-biasa, diakses pada 31 Januari 2013
4
tersebar di Indonesia, namun ironisnya hampir 70% dari jumlah SLB tersebut
dikelola secara mandiri oleh masyarakat sementara 30% lagi adalah SLB
negeri. Jumlah ini masih sangat jauh rasio perbandingannya agar dapat
menampung anak difabel di dunia pendidikan formal.Masih dibutuhkan
ratusan SLB lagi.Jumlah 5,5-10,5 juta anak difabel jelas tak tertampung di
1600 an SLB. Kalau kita membagi berarti 1 SLB harus menampung 4.400
siswa difabel.Selain itu, SLB yang ada juga masih sangat harus didukung oleh
seluruh komponen masyarakat agar bisa meningkatkan kualitas dan
mengembangkan diri.
5
ganda. Dewasa ini sekolah luar biasa memberikan pelayanan untuk satu
kategori difabel saja atau beberapa kategori difabel.Sehingga dikenal adanya
SLB khusus yang menangani satu jenis ketunaan dan SLB campuran yang
menyediakan pelayanan untuk beberapa kategori ketunaan. Meskipun
demikian, menurut salah satu pengajar di SLB B Karya Bakti Don Bosco
Wonosobo, akan lebih efektif apabila anak difabel mendapatkan pengajaran
sesuai dengan ketunaan yang dimiliki. Selain karena tenaga pendidik dan
sarana pembelajaran kurang mendukung di SLB campuran, penanganan
khusus dan lebih intensif akan mendapatkan hasil belajar yang optimal.
Setiap anak memang memiliki karakter yang berbeda dengan anak
lainnya, terlebih anak berkebutuhan khusus yang jelas berbeda dengan anak
biasa dan membutuhkan penanganan khusus dalam hal pendidikan.Anak
difabel dengan ketunaan yang bersifat fisik dan ketunaan yang bersifat mental
jelas memiliki karakter yang jauh berbeda.Bahkan dalam lingkup ketunaan
fisik pun, anak tunanetra, tunarungu dan tunadaksa memiliki karakter yang
tidak bisa disamakan. Selain itu, dengan adanya pendidikan khusus, potensi
siswa akan lebih terlihat untuk kemudian dikembangkan secara optimal.
Pendidikan khusus juga bertujuan untuk menyiapkan anak difabel agar
nantinya dapat beradaptasi dengan lingkungan sosial yang lebih luas.
6
efisien apabila diterapkan ada lingkup interaksi sosial yang lebih luas yaitu
dengan anak lain yang mampu mendengar. Anak tunarungu mampu memiliki
kemampuan intelektual yang sama dengan anak normal lainnya. Tentunya
perlu didukung dengan sekolah khusus yang memiliki sarana dan tenaga
pengajar yang mewadahi kebutuhan anak tunarungu.
Di Indonesia, anak tunarungu menduduki angka yang cukup tinggi
dibandingkan dengan anak difabel lain. Seperti yang terlihat pada tabel
dibawah ini
USIA 6- USIA
JENIS KEBUTUHAN SUB
NO 11 12-15
KHUSUS TOTAL
TAHUN TAHUN
1 Tunanetra (A) 2315 761 3076
2 Tunarungu (B) 13277 3748 17025
3 Tunagrahita Ringan (C) 24306 5854 30160
Tunagrahita Sedang
4 (C1) 11581 2554 14135
5 Tunadaksa Ringan (D) 1848 408 2256
6 Tunadaksa Sedang (D1) 732 129 861
7 Tuna Laras (E) 645 247 892
8 Autis (F) 2920 207 3127
9 Tuna Ganda (G) 642 139 781
TOTAL 58266 14047 72313
Sumber: Pemaparan Direktur PPK-LK,Pendidikan Dasar, 2012
Jumlah tersebut belum termasuk penderita tunarungu dengan usia
dibawah 6 tahun dan usia diantara 15-18 tahun yang masih perlu mendapatkan
pendidikan formal. Sementara jumlah sekolah khusus tunarungu di Indonesia
berjumlah 97 sekolah dan belum semuanya memenuhi standar sekolah khusus
tunarungu.
7
Di Provinsi DIY sendiri, jumlah difabel berdasarkan ketunaan dapat
dilihat dari data berikut:
Tabel 1.2 Tabel Jumlah Difabel di DIY
8
Persebaran jumlah anak difabel di Provinsi DIY adalah sebagai
berikut:
NO KABUPATEN/KOTA JUMLAH %
1 Kulonprogo 687 17,57
2 Bantul 940 24,04
3 Gunungkidul 1026 26,24
4 Sleman 926 23,66
5 Yogyakarta 332 8,49
Jumlah 3910 100
Sumber: Data Dinas Sosial Kanwil D.I.Y, 2012
Tabel 1.4 Daftar Perbandingan Jumlah Kecamatan dan Jumlah SLB di DIY
JUMLAH JUMLAH
NO KABUPATEN
KECAMATAN SLB
1 Kulonprogo 12 7
2 Bantul 17 16
3 Gunungkidul 18 9
4 Sleman 17 28
5 Yogyakarta 14 9
Total 78 69
Sumber: Data Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga D.I.Y, 2013
Jumlah tersebut belum memenuhi rasio sekolah luar biasa yang
ditetapkan pemerintah yaitu satu SLB setiap kecamatan.Selain itu dari data
SLB tersebut diatas, SLB yang termasuk ke dalam kategori B untuk tunarungu
hanya terdapat dua sekolah yaitu SLB Dharma Wiyata I Tempel dan SLB
Karnnamanohara yang keduanya berlokasi di Kabupaten Sleman.
Belum lagi permasalahan penanganan anak difabel yang membutuhkan
intervensi dini secara tepat. Pada anak tunarungu, intervensi dini dilakukan
untuk memberikan terapi kepada anak tunarungu agar dapat berbicara dan
memahami komunikasi dengan orang lain dengan melihat gerak bibirnya.
Intervensi dini tersebut dapat diperoleh di SLB tunarungu yang menyediakan
layanan bagi anak usia pra TK hingga usia TK. Sekolah yang memiliki
9
pelayanan demikian masih sangat terbatas, di Provinsi DIY hanya SLB
Karnnamanohara yang menerima anak tunarungu dengan usia mulai pra TK.
Dengan rasio dan data-data yang ada, dapat disimpulkan bahwa masih
dibutuhkan sarana pendidikan yang memadahi untuk anak dengan
kedisabilitasan, khususnya sekolah khusus tunarungu yang menangani siswa
difabel dengan spesifik sesuai dengan jenis ketunaan yang dimiliki. Selain
mewadahi kebutuhan SLB tunarungu di Provinsi DIY, dapat juga menjadi
alternatif sekolah khusus pilihan bagi siswa yang berasal dari daerah lain di
Indonesia.
1.2. Permasalahan
1.2.1. Umum
Bagaimana merencanakan dan merancang bangunan Sekolah Luar Biasa
Tunarungu sebagai sarana belajar bagi anak tunarungu yang mampu mewadahi
fungsi utama serta memberikan kenyamanan dan mendukung proses
pembelajaran.
1.2.2. Khusus
Bagaimana merencanakan dan merancang bangunan Sekolah Luar Biasa
Tunarungu yang memenuhi standar kebutuhan dan memiliki desain lingkungan
binaan mengacu pada karakter dan kebutuhan siswa tunarungu.
1.3. Tujuan
1.3.1. Umum
Rumusan konsep perencanaan dan perancangan bangunan Sekolah Luar Biasa
Tunarungu sebagai sarana belajar bagi anak tunarungu yang mampu mewadahi
fungsi utama serta memberikan kenyamanan dan mendukung proses
pembelajaran.
1.3.2. Khusus
Rumusan konsep perencanaan dan perancangan bangunan Sekolah Luar Biasa
Tunarungu yang memenuhi standar kebutuhan dan memiliki desain lingkungan
binaan yang secara spesifik mengacu pada karakter dan kebutuhan siswa
tunarungu.
10
1.4. Sasaran
1.4.1. Umum
1. Gambaran kegiatan belajar mengajar di Sekolah Luar Biasa Tunarungu
2. Karakter dan program ruang yang sesuai untuk siswa tunarungu
3. Mengidentifikasi aspek fisik bangunan yang dapat mengakomodasi dan
memperlancar proses kegiatan belajar bagi siswa tunarungu
1.4.2. Khusus
Konsep pengintegrasian ruang dan desain yang tepat untuk proses
pembelajaran siswa tunarungu
11
a. Pengumpulan data dari instansi pemerintah yang terkait dengan Sekolah
Luar Biasa Tunarungu
b. Studi literatur tentang Sekolah Luar Biasa
c. Studi literatur tentang tunarungu dan ruang khusus bagi tunarungu
2. Survey Lapangan
Metode ini dilakukan untuk mendapat data-data yang akurat dengan
mengamati langsung kondisi di lapangan.Survey yang dilakukan adalah
pengamatan bangunan dan hubungannya dengan kegiatan belajar di SLB
Tunarungu.
3. Wawancara
Wawancara langsung (interview) dengan beberapa responden terkait
untuk memperkuat konsep perancangan.
12
Berisi tentang analisa bangunan dengan tipologi dan pendekatan serupa untuk
dijadikan referensi dalam konsep perancangan Sekolah Luar Biasa bagi siswa
tunarungu.serta analisa lokasi yang sesuai untuk perancangan tersebut.
Bab IV. Pendekatan Konsep Perancangan
Berisi tentang rumusan konsep dasar perancangan Sekolah Luar Biasa bagi
siswa tunarungu
- Pendekatan konsep tata ruang bangunan
- Pendekatan konsep fisik bangunan
- Pendekatan konsep sistem bangunan
13
Dengan demikian tema yang dibahas tentang Perancangan Sekolah Luar Biasa
Tunarungu dengan Pendekatan Deafspace Guidelines merupakan gagasan asli penulis
karena memiliki objek pembahasan yang berbeda dengan tulisan-tulisan di atas.
14
1.9. Kerangka Pemikiran
Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran
LATAR BELAKANG
PERMASALAHAN
TINJAUAN TEORI
15