Anda di halaman 1dari 25

BAB 1V

INTERFERENSI

4.1 PERCOBAAN YOUNG


Jika dua gelombang mekanis berfrekuensi sama merambat dalam arah yang sama (hampir
sama) dengan beda fase yang tetap konstan terhadap waktu, maka dapat terjadi pada titik-titik
tertentu dicapai harga maksimum, dan pada titik-titik lain harga minimum (atau bahkan sama
dengan nol). Peristiwa ini disebut dengan interfrensi. Melalui percobaannya ini Young berhasil
memperoleh panjang gelombang cahaya dan ini merupakan hasil pengukuran pertama bagi
besaran yang sangat penting ini.
Young melewatkan cahaya matahari melalui lubang kecil S0 yang dibuat pada layar A
dalam Gambar 4.1 Sinar yang keluar melebar karena adanya difraksi dan jatuh pada lubang kecil
S1 dan S2 pada layar B. Di sini pun terjadi lagi peristiwa difraksi dan dua gelombang sferis
saling bertumpang-tindih (overlap) menyebar ke dalam bagian ruang di sebelah kanan layar B.
Persyaratan optika geometri, bahwa a >>  dengan a adalah diameter lubang, jelas tidak
dipenuhi di sini. Lubang tidak memberikan bayang-bayang geometris, tetapi bertindak sebagai
sumber gelombang Huygens yang menyebar. Di sini (dan dalam tiga pasal berikutnya) kita akan
bekerja dengan optika gelombang, bukan lagi dengan optika geometris.
Gambar 4.2 menunjukkan daerah di antara layar B dan C. Bagian yang dihitamkan
menyatakan minimum dari gangguan gelombang dan bagian yang putih di antaranya menyatakan
maksimumnya. Jika mata melihat gambar tersebut dalam arah yang hampir sejajar dengan
halaman gambar, maka sepanjang garis yang ditandai x akan nampak penghapusan gelombang,
dan di antaranya saling memperkuat. Jika sebuah layar dipasang dalam daerah kedua gelombang
ini maka diharapkan diperoleh pola terang dan gelap silih berganti pada layar tersebut. Gambar 3
menunjukkan foto dari garis-garis interferensi (interference fringes) ini; dalam teknik yang lebih
modern, biasanya digunakan celah sempit panjang sebagai pengganti lubang kecil untuk
memperoleh pola interferensi.
Gambar 4.1 Menunjukkan bagan bagaimana Thomas Young dapat memperoleh pola interferensi dengan membuat
dua gelombang terdifraksi oleh lubang S1 dan S2 saling bertumpang-tindih pada layar C.

Gambar 4.2 Gambar yang memperlihatkan efek interferensi pada gelombang yang saling bertumpang-
tindih.

Interferensi tidak terbatas pada gelombang cahaya saja, tetapi merupakan karakteristik
dari semua fenomena gelombang. Gambar 4.3 adalah memperlihatkan pola interferensi
gelombang air dalam sebuah tangki riak (ripple tank) dangkal. Gelombang ini dihasilkan oleh
dua buah penggetar (vibrator) yang menyentuh permukaan air secara serempak (sinkron), yang
menghasilkan dua gelombang sferis yang menyebar.

Gambar 4.3 Interferensi gelombang air dalam tangki riak. Sepanjang garis yang diberi tanda “garis simpul” (line of
nodes) terjadi interferensi destruktif. Dalam daerah di antara dua garis ini terjadi interferensi konstruktif.

Misalkan cahaya yang datang hanya terdiri dari satu panjang gelombang saja. Percobaan
Young dapat dianalisa secara kuantitatif sebagai berikut. Dalam Gambar 4.4, P adalah
sembarang titik pada layar yang berjarak r1 dari celah sempit S1 dan r2 dari S2. Tariklah garis dari
S2 ke b sehingga panjang garis PS2 dan Pb sama. Jika jarak celah d jauh lebih kecil daripada jarak
kedua layar, D (dalam gambar perbandingan d/D dibuat besar agar nampak jelas), maka S2b
hampir tegak lurus kepada r1 dan r2. Hal ini berarti bahwa sudut S1S2b hampir sama dengan sudut
PaO; kedua sudut ini diberi tanda θ dalam gambar dan ini sama saja dengan mengatakan bahwa
kedua garis r1 dan r2 sejajar.

Gambar 4.4. Sinar dari S1 dan S2 bergabung di P. Muka gelombang cahaya yang jatuh pada layar B dianggap
sejajar. Sesungguhnya, D >> d, pada gambar keadaan ini diubah supaya lebih jelas. Titik tengah celah dinyatakan
dengan a.

Seringkali di muka kedua celah dipasang lensa, seperti dalam Gambar 4.5. layar C
diletakkan pads bidang fokus lensa. Dalam keadaan ini, cahaya yang terfokuskan di titik P
tentulah berasal dari cahaya yang datang pada lensa sejajar dengan garis, Px, yang digambarkan
dari P melalui pusat dari lensa (tipis) tersebut. Dalam keadaan ini r1 dan r2 betul-betul sejajar
walaupun persyaratan D >> d tidak dipenuhi. Dalam kenyataannya lensa L mungkin lensa mata
dan kornea, sedangkan layar C adalah retinanya.
Kedua sinar dari S1 dan S2 yang tiba di P, dalam Gambar 4.4 atau 4.5 mempunyai fase
yang sama di celah sumber, kedua-duanya berasal dari satu muka gelombang yang sama dari
gelombang datang. Karena panjang lintasan optis kedua sinar untuk sampai di P tidak sama,
maka di titik ini fase keduanya pun berbeda. Keadaan interferensi di titik P ditentukan oleh
banyaknya panjang gelombang yang termuat dalam segmen S1b, yaitu beda lintasannya.
Agar di titik P terjadi maksimum, maka S1b (= d sin θ) haruslah merupakan kelipatan
bulat dari panjang-gelombang, yaitu:
S1b = m m = 0, 1, 2, …,
yang dapat dituliskan sebagai:
d sin θ = m m = 0, 1, 2, ... (maksimum) .......... (persamaan 4.1)

Letak maksimum di atas titik O dalam Gambar 4.4 dan 4.5 simetrik dengan letak maksimum di
bawah O. Maksimum yang terletak di pusat (maksimum sentral) dinyatakan dengan harga m = 0.
Untuk keadaan minimum di P, S1b (= d sin θ) harus merupakan kelipatan setengah-bulat
dari panjang gelombang, yaitu:
d sin θ = (m + ) m = 0, 1, 2, ... (minimum) ..... (persamaan 4.2)

Gambar 4.5 Lensa yang biasa digunakan untuk menghasilkan garis-garis interferensi; bandingkan dengan Gambar
4.4. Di sini juga gambar telah diubah agar lebih jelas; pada kenyataannya f >> d.

Jika digunakan lensa seperti dalam Gambar 4.5 nampaknya untuk sinar-sinar itu mulai
dari S2b sampai ke titik P panjang lintasan yang ditempuhnya berbeda; tetapi untuk sinar-sinar
sejajar yang difokuskan oleh lensa memiliki panjang lintasan optis yang sama. Dua sinar dengan
panjang lintasan optis yang sama memuat banyaknya panjang gelombang yang sama, sehingga
tidak ada beda fase yang timbul karena adanya lensa.

CONTOH 1
Susunan celah pada Gambar 4 disinari dengan cahaya lampu gas air raksa yang di filter
(disaring) sehingga hanya garis hijau saja ( = 546 nm atau 5460 Å) yang efektif. Jarak antar
celah 0,10 mm dan jarak layar, tempat terlihatnya pola interferensi, dari celah adalah 20 cm.
Berapakah posisi sudut dari minimum pertama? Dari maksimum ke sepuluh?
Untuk minimum pertama kita ambil m = 0 dalam Persamaan 4.2, atau


m1  1 546x109 m 
. sin  
2   2  0,0027
d 0,10x108 m
Harga sin θ ini sangatlah kecil, sehingga dapat kita anggap sebagai sudut θ sendiri, dinyatakan
dalam radian. Bila dinyatakan dalam derajat harganya adalah 0,16°.
Pada maksimum ke sepuluh (tidak termasuk maksimum sentral), harus diambil m = 10
dalam Persamaan 1. Dengan cara serupa seperti sebelumnya, diperoleh posisi sudut 3,8°. Dalam
keadaan seperti ini, kita lihat bahwa untuk selusin garis interferensi pertama (yang paling dekat
dengan sentral) penyebaran sudutnya sangat kecil.

CONTOH 2
Dalam Contoh 1, berapakah jarak linear pada layar C antara dua maksimum yang berurutan?
Jika sudut θ cukup kecil, maka dapat digunakan pendekatan:
sin θ  tan θ  θ.
Dari Gambar 4.4 kita lihat bahwa:

  tan  y
D
Substitusikan bentuk ini ke dalam Persamaan 1 menggantikan sin θ, maka kita peroleh:

m = 0, 1, 2, … (maksimum)

Posisi dua maksimum yang berdekatan diberikan oleh:

dan .

Jarak antara keduanya, ∆y dapat diperoleh dengan pengurangan,

∆y=

ym 1 ym  D  56x10 m 20
9
 
x102 m 1,09mm
d 0,10x108 m

Selama sudut θ dalam Gambar 4.4 dan 4.5 cukup kecil, maka jarak pisah antar-garis interferensi
tidak bergantung kepada m; jadi garis-garis tersebut berjarak sama. Jika cahaya yang datang
mengandung lebih dari satu panjang gelombang, maka masing-masing panjang gelombang akan
memiliki jarak pisahnya sendiri, yang berbeda satu dengan yang lain, dan semua pola
interferensinya akan saling bertumpuk.
Persamaan 4.1 dapat digunakan untuk mengukur panjang gelombang cahaya; menurut
Thomas Young
Harga rata-rata panjang gelombang efektif dalam sinar matahari yang diperoleh oleh
Young (1/45000 inci) dapat dituliskan sebagai 570 nm. Mata paling peka terhadap panjang
gelombang 555 nm. Harga yang diperoleh Young bersesuaian cukup baik dengan harga ini.

a. KOHERENSI
Gelombang koheren adalah gelombang-gelombang yang mempunyai beda fase tertentu
yang tidak berubah terhadap waktu. Jika cahaya di satu titik pada S1 (Gambar 4.1) mengalami
perubahan fase, maka pada S2 pun mengalami perubahan fase yang sama dengan serentak.
Akibatnya ialah beda fase antara dua pasang titik di S1 dan S2 selalu tetap dan karenanya pola
interferensi stasioner (tidak berubah-ubah).
Sumber-sumber yang koheren adalah sumber-sumber yang bergetar dengan beda fase
yang tertentu dan tetap (seperti Gambar 4.1). Sumber-sumber yang tidak koheren adalah jika
sumber-sumber yang bergetar tidak saling bergantungan.
Cara memperoleh 2 sumber yang koheren:
1. Percobaan Young dengan 2 celah
2. Percobaan Fresnel dengan 2 cermin
b. Intensitas Dalam Percobaan Young
Misalkan komponen listrik kedua gelombang dalam Gambar 4.4 di titik P berubah-ubah
terhadap waktu menurut:
E1 = E0 sin ωt .............................................................. (Persamaan 4.3)
dan
E2 = E0 sin (ωt + ) ........................................................(Persaman 4.4)
dengan ω (= 2v) adalah frekuensi sudut kedua gelombang dan  adalah beda fase antara
keduanya. Perlu diingat bahwa  bergantung kepada letak titik P.
Untuk suatu keadaan geometri tertentu letak titik ini ditentukan oleh sudut θ dalam
Gambar 4.4 dan 4.5. Dianggap bahwa celah tersebut sangatlah sempit sehingga cahaya yang
didifraksikan oleh masing-masing celah menerangi bagian tengah layar secara merata. Hal ini
berarti bahwa di dekat bagian tengah layar E0 tidak bergantung kepada posisi P, jadi juga tidak
bergantung kepada sudut θ.
Resultan gangguan gelombang di P dapat diperoleh dari:
E = E1 + E2 .................................................................. (Persamaan 4.5)

yang dapat ditunjukkan (lihat Persamaan 4.4), bahwa hasilnya adalah:


E = E0 sin (ωt + β), ..................................................... (Persamaan 4.6a)
dengan β =  ........................................................................ (Persamaan 4.6b)
dan Eθ = 2E0 cos β = Em cos β ........................................... (Persamaan 4.6c)

Amplitudo terbesar yang mungkin untuk Eθ, yaitu Em, sama dengan dua kali amplitudo
masing-masing gelombang (= 2E0), yang bersesuaian dengan keadaan yang saling menguatkan
sepenuhnya. Persamaan 6 perlu dikaji baik-baik, amplitudo gangguan gelombang resultan, yaitu
Eθ, sangat bergantung kepada harga θ, yaitu letak titik P dalam Gambar 4.4 dan 4.5.
Telah ditunjukkan bahwa intensitas gelombang I, mungkin dinyatakan dalam watt/meter2,
adalah sebanding dengan kuadrat dari amplitudonya. Bila kita tunda dahulu konstanta
perbandingannya, maka intensitas gelombang resultan dapat dituliskan sebagai
Iθ  Eθ2 ......................................................................... (Persamaan 4.7)

Hubungan ini nampaknya cukup beralasan mengingat bahwa (Persamaan4.7) rapat energi
medan listrik sebanding dengan kuadrat dari kuat medan listrik, yang berlaku baik untuk medan
listrik yang berubah dengan cepat, seperti dalam cahaya, maupun untuk medan statik.
Perbandingan intensitas antara dua gelombang cahaya sama dengan perbandingan kuadrat
amplitudo kuat medan listriknya. Jika Iθ adalah intensitas gelombang resultan di titik P dan I0
adalah intensitas yang dihasilkan oleh sebuah gelombang saja, maka:

 
2
I   E  ................................................................. (persamaan 4.8)
I0  E0 
Gabungkan persamaan ini dengan Persamaan 6c, maka diperoleh:
Iθ = 4I0 cos2 β = Im cos2 β ............................................. (Persamaan 4.9)

Jadi intensitas gelombang resultan di P berkisar antara nol (yaitu untuk titik yang memiliki,
katakanlah,  = (2β) = ) sampai dengan Im, yang besarnya empat kali intensitas I0 masing-
masing gelombang, [yaitu untuk titik dengan, katakanlah,
 (= 2β) = 0] . I0 dapat dihitung sebagai fungsi θ dalam Gambar 4 atau 5.
Beda fase θ dalam Persamaan 4 berkaitan dengan beda lintasan S1b dalam Gambar 4 atau
5. Jika S1b adalah ½, maka  akan sama dengan , jika S1b adalah , maka  sama dengan 2
dan seterusnya. Hal ini memberi petunjuk bahwa
bedafase intasan,  2 (dsin),
 bedaL
2  

atau akhirnya, dengan menggunakan Persamaan 6b, diperoleh:

  1  d sin ............................................... (Persamaan 4.10)


2 
Pernyataan untuk β ini dapat disubstitusikan ke dalam Persamaan 9 untuk Iθ dan diperoleh
pernyataan untuk Iθ dinyatakan sebagai fungsi θ. Ada baiknya kita daftarkan kembali pernyataan
untuk amplitudo dan intensitas dalam persoalan interferensi dengan dua celah ini, yaitu:

(Persamaan 6c) Eθ = Em cos β interferensi (Persamaan4.11)


(Persamaan 9) Iθ = Im cos2 β dengan celah (Persamaan 4.11b)
sempit (yaitu

(Persamaan 10)   1  d sin untuk a <<  (Persamaan 4.11c)


2 
Untuk memperoleh letak titik-titik dengan intensitas maksimum, kita ambil
β = m m = 0, 1, 2, ...
dalam Persamaan 11b. Dengan menggunakan Persamaan 4.11c, maka diperoleh:
d sin θ = m m = 0, 1, 2, . . . (maksimum)
yang tidak lain daripada persamaan yang pernah kita turunkan dalam Bagian 1 (Persamaan 1).
Letak intensitas minimum dapat diperoleh dengan mengambil
d sin  (m 1)m 0,1,2 (minimum)
 2
yang akan menjadi Persamaan 2 yang telah kita turunkan di depan.
sin θ (lihat Pers. 11c)

m (Pers. 1) 2 1 0 1 2 maksimum
m (Pers. 2) 2 1 0 0 1 2 minimum
Gambar 4.6 Pola intensitas untuk interferensi dua celah. Anak panah tebal pada puncak sentral menunjukkan
setengah lebar puncak. Gambar ini dibentuk berdasarkan anggapan bahwa dua gelombang yang berinterferensi
masing-masing menyinari bagian tengah layar secara merata, maksudnya, I0 tidak bergantung kepada posisi seperti
ditunjukkan pada gambar.

Garis penuh mendatar menyatakan I0, yang menggambarkan pola intensitas (yang merata)
pada layar jika salah satu celah ditutup. Jika kedua sumber ini koheren, intensitas resultan pada
layar akan merata sebesar 2I0; lihat garis putus-putus mendatar dalam Gambar 4.4. Untuk
sumber-sumber yang koheren dapat diharapkan hanya terjadi penyusunan kembali penyebaran
intensitas pada layar, karena energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan oleh proses
interferensi. Jadi rata-rata dari intensitas pola interferensi harus tetap 2I0 seperti pada sumber
inkoheren. Dari Gambar 4.11b hal ini tampak dengan mudah bila diingat bahwa Im = 4I0 dan
bahwa rata-rata dari cosinus kuadrat (atau sinus kuadrat) untuk tiap setengah putaran adalah
setengah.
c. Menjumlahkan Gangguan Gelombang
Dalam Bagian 3 telah kita gabungkan dua gangguan gelombang yang berubah terhadap
waktu, yaitu:
E1 = E0 sin ωt ........................................................... (Persamaan 4.12)
dan E2 = E0 sin (ωt + ) .................................................. (Persamaan 4.13)
yang memiliki frekuensi sudut ω dan amplitudo E0 yang sama, tetapi dengan beda fase . Dalam
hal ini, hasilnya (Persamaan 4.11a dan 4.11c) dapat diperoleh dengan mudah secara aljabar.
Pada pasal berikut nanti akan diperlukan penjumlahan dari banyak gangguan gelombang,
bahkan seringkali banyaknya sampai tak terhingga buah, dengan amplitudo masing-masing yang
tidak berhingga kecilnya (infinitesimal). Metode analitis untuk ini menjadi sangat sukar sekali,
karena itu biasanya digunakan metode grafis. Sebagai ilustrasi, akan diturunkan kembali
Persamaan 11a dengan menggunakan metode ini.
Gangguan gelombang sinusoidal seperti yang dinyatakan oleh Persamaan 4.12 dapat
dikemukakan secara grafis dengan menggunakan vektor yang berputar (berotasi). Dalam Gambar
4.10a, sebuah vektor yang besarnya E0 berputar mengelilingi titik asal berlawanan arah dengan
jarum jam dengan frekuensi sudut ω. Dalam istilah teknik listrik, vektor yang berputar ini disebut
sebagai fasor. Gangguan gelombang E1 yang berubah-ubah dinyatakan oleh proyeksi fasor ini
terhadap sumbu vertikal.
Gangguan gelombang kedua E2, yang mempunyai amplitudo E0 yang sama, tetapi dengan
beda fase  terhadap E1, yaitu:
E2 = E0 sin (ωt + ) ................................................... (persamaan 4.14)
dapat pula dinyatakan secara grafis (Gambar 4.7b) sebagai proyeksi pada sumbu vertikal dari
sebuah fasor lain yang besarnya E0 dan membentuk sudut  dengan fasor pertama. Seperti
terlihat pada gambar, jumlah E1 dan E2, yaitu E, tidak lain daripada jumlah kedua proyeksi fasor
pada sumbu vertikal. Lebih jelas lagi jika fasor-fasor itu digambarkan seperti pada Gambar
4.10c, yaitu dengan meletakkan pangkal fasor yang satu pada ujung fasor yang lainnya dan beda
sudut fase  dijaga tetap. Seluruh susunan ini berputar berlawanan arah dengan jarum jam
mengelilingi titik asal.
Dalam Gambar 4.10c, E dapat pula dipandang sebagai proyeksi pada sumbu vertikal dari
fasor yang besarnya Eθ yaitu fasor yang merupakan jumlah vektor dari kedua fasor yang
besarnya E0. Perhatikan bahwa jumlah aljabar) proyeksi kedua fasor sama dengan proyeksi dari
jumlah (vektor) kedua fasor.
Pada kebanyakan masalah optika, seringkali hanya dibutuhkan amplitudo dari gangguan
gelombang resultan Eθ, bukan kebergantungannya terhadap waktu. Hal ini disebabkan karena
mata dan alat ukur lain pada umumnya hanya tanggap terhadap intensitas resultan cahaya (yaitu
kuadrat dari amplitudo) dan tidak dapat menangkap perubahan terhadap waktu yang sangat
cepat, seperti halnya dalam cahaya tampak; sebagai contoh, cahaya natrium ( = 589 nm = 5890
Å), frekuensinya adalah v (= ω/2) = 5,1 X 1014 Hz. Karena itu seringkali perputaran fasor tidak
perlu ditinjau, cukup dicari besar resultan fasornya saja.
Gambar 4.11a memperlihatkan diagram fasor untuk persoalan interferensi celah-ganda
(double slit) pada saat t = 0. Bandingkan gambar ini dengan Gambar 4.10c. Kita lihat bahwa Eθ =
2E0 cos β = Em cos β.

(b)

(c)
Gambar 4.7 (a) Gangguan gelombang yang berubah terhadap waktu E1 dinyatakan sebagai vektor yang berputar
atau fasor. (b) Dua gangguan gelombang E1 dan E2 yang fasenya berbeda sebesar . Kedua fasor ini dapat
menyatakan kedua gangguan gelombang dalam interferensi celah-ganda; lihat Persamaan 3 dan 4. (c) Cara lain
menggambar (b).

Dari teorema bahwa sudut-luar suatu segitiga () sama dengan jumlah kedua sudut-dalam
yang tidak bersisian dengannya (β + β), kita peroleh:

  1
2

Gambar 4.8 (a) Penggambaran cara memperoleh amplitudo Eθ dari dua gangguan gelombang yang beramplitudo
sama E0 dengan beda fase . (b) Maksimum amplitudo yang mungkin adalah Em = 2E0 yang terjadi pada  = 0.

Hasil ini tidak lain daripada hasil yang pernah kita peroleh sebelumnya secara aljabar;
bandingkan dengan Persamaan 4.11a dan 4.11c.
Dalam hal yang lebih umum, seringkali harus dicari resultan dari banyak (> 2) gangguan
gelombang sinusoidal. Langkah-langkah untuk memecahkan ini adalah:
1. Bentuklah fasor dari setiap fungsi yang harus dijumlahkan. Gambarkan fasor-fasor
tersebut berturutan sambung-menyambung, pangkal yang satu pada ujung yang lain,
dengan beda fase antara dua fasor yang berdampingan dijaga tetap sesuai dengan
semestinya.
2. Jumlahkanlah deretan fasor ini secara vektor. Panjang daripada hasil penjumlahannya
adalah amplitudo resultan yang dicari. Sudut antara fasor resultan dengan fasor pertama
adalah sudut fase fasor resultan terhadap fasor pertama. Proyeksi resultan fasor pada
sumbu vertikal adalah variasi terhadap waktu daripada resultan gangguan gelombang.
CONTOH 3
Tentukanlah, secara grafis, resultan E(t) dari gangguan-gangguan gelombang berikut:
E1 = 10 sin ωt
E2 = 10 sin (ωt + 15°)
E3 = 10 sin (ωt + 30°)
E4 = 10 sin (ωt + 45°).
Gambar 4.8 memperlihatkan empat buah fasor, dengan E0 = 10, yang menyatakan keempat
fungsi di atas.
Pengukuran grafis bagi jumlah vektornya memberikan amplitudo ER sebesar 38 dan fase 0
terhadap E1 sebesar 23°. Dengan perkataan lain:
E(t) = E1 + E2 + E3 + E4 = 38 sin (ωt + 23°).
Periksalah hasil ini dengan perhitungan trigonometrik.
Gambar 4.9 Contoh 3. Empat buah gangguan gelombang dijumlahkan secara grafis dengan menggunakan metode
fasor.

4.2 INTERFERENSI PADA SELAPUT TIPIS


Warna-warni yang tampak pada gelembung sabun, lapisan tipis minyak dan selaput tipis
lainnya adalah akibat adanya peristiwa interferensi. Gambar 4.10 memperlihatkan gejala
interferensi pada selaput tipis air-sabun yang diletakkan vertikal dan disinari oleh cahaya
monokhromatik.

Gambar 4.10 Selaput air sabun pada simpal (loop) kawat dilihat dalam arah cahaya refleksi. Bagian hitam di atas
bukan disebabkan selaputnya terkoyak. Bagian selaput di sini sangatlah tipis, karena air mengalir ke bawah,
sehingga antara cahaya yang direfleksikan oleh permukaan depan dan permukaan belakang terjadi interferensi
destruktif. Akan kita lihat nanti bahwa kedua gelombang ini berbeda fasa 180°.

Pada Gambar 4.10 digambarkan sebuah selaput dengan ketebalan merata d dan indeks
refraksi n, sementara mata difokuskan pada titik a. Selaput disinari oleh

suatu sumber cahaya monokhromatik S yang lebar. Pada sumber ini ada titik P yang
memberikan dua sinar, ditunjukkan oleh panah tunggal dan ganda, yang akan masuk ke mata
setelah melalui titik a. Lintasan kedua sinar dari P ke mata tidaklah sama; yang satu dipantulkan
oleh permukaan selaput sebelah atas, yang lain oleh permukaan bawah. Titik a dapat nampak
terang atau gelap, bergantung kepada sifat interferensi kedua gelombang yang terpencar dari a.
Kedua gelombang ini koheren, karena keduanya berasal dari titik P yang sama pada sumber
cahaya.
Jika mata melihat bagian selaput yang lain, misalnya a', maka cahaya yang masuk ke
mata haruslah berasal dari titik yang lain pada sumber, misalnya P', seperti ditunjukkan oleh
garis putus-putus pada Gambar 4.11
Untuk sinar datang yang hampir normal (θ  0 dalam Gambar 4.11), beda lintasan kedua
sinar dari P hampir sama dengan 2d. Bila jarak 2d ini merupakan kelipatan bulat dari panjang
gelombang, maka kita harapkan bahwa gelombang resultan yang dipantulkan oleh selaput di
dekat a berinterferensi maksimum. Pernyataan ini tidak tepat. Ada dua hal yang menyebabkan
pernyataan tersebut harus diubah.
Yang pertama adalah bahwa panjang gelombang cahaya yang dimaksud haruslah panjang
gelombang cahaya dalam selaput, n, bukan panjang gelombang di udara, ; jadi bukan panjang
lintasan geometrisnya yang ditinjau, melainkan panjang lintasan optisnya. Panjang gelombang 
dan n dihubungkan oleh persamaan

n  n .................................................................. (persamaan 4.15)

Gambar 4.11 Interferensi oleh refleksi pada selaput tipis dengan sumber cahaya dianggap lebar.

Untuk menunjukkan hal yang kedua, kita misalkan selaput tersebut sangat tipis, sehingga
2d jauh lebih kecil dari panjang gelombang. Menurut anggapan kita, beda fase kedua gelombang
tersebut hampir nol, sehingga diharapkan selaput akan kelihatan terang bila ditinjau dalam arah
sinar refleksi; tetapi kenyataannya selaput tampak gelap. Hal ini jelas terlihat dalam Gambar
4.11, akibat adanya gravitasi, selaput menjadi berbentuk pasak yang tebal di bawah dan sangat
tipis pada bagian atas. Dengan berlangsungnya aliran air ke bawah, maka bagian tipis di atas
makin lebar, sehingga daerah gelapnya juga makin lebar. Hal ini, dan banyak fenomena lain
yang serupa, dapat dijelaskan dengan menganggap bahwa salah satu di antara dua sinar dalam
Gambar 4.11 mengalami loncatan fase sebesar  (= 180°), yang barangkali terjadi pada refleksi
di permukaan selaput dengan udara atau pada transmisinya. Ternyata yang mengalami loncatan
fase adalah sinar yang direfleksikan oleh permukaan selaput bagian atas. Sinar yang lain, yang
ditransmisikan maupun yang direfleksikan oleh permukaan bawah tidak mengalami loncatan
fase.
Dalam Bagian ini, telah kita bahas perubahan fase karena pantulan untuk gelombang
transversal pada tali. Untuk memperluas gagasan ini, tinjaulah gabungan tali pada Gambar 4.12,
yang terdiri dari dua bagian dengan massa tiap satuan panjang yang berbeda dan direntangkan
dengan tegangan tertentu. Dalam Gambar 4.12a, sebuah pulsa (denyut) bergerak ke kanan
mendekati sambungan tali, kemudian terbentuk pulsa refleksi dan pulsa transmisi. Pulsa yang
direfleksikan sefase (in phase) dengan pulsa datang. Dalam Gambar 4.12b, keadaannya dibalik.
Sekarang pulsa datang dari tali yang lebih ringan. Dalam hal ini pulsa yang direfleksikan berbeda
fasenya dengan pulsa datang sebesar  (= 180°). Pulsa yang ditransmisikan dalam kedua keadaan
di atas selalu sefase dengan pulsa yang datang.
Gambar 4.12a mengingatkan kita kepada gelombang cahaya dalam kaca yang merambat
mendekati permukaan yang berbatasan dengan medium yang kurang rapat secara optis (indeks
refraksinya lebih kecil), misalnya udara; dan Gambar 4.12b adalah untuk keadaan sebaliknya,
gelombang cahaya datang dari udara ke kaca. Sebagai rangkuman dapat dikatakan bahwa, jika
refleksi pada permukaan terjadi oleh medium yang indeks refraksinya lebih rendah, maka gelom-
bang refleksi tidak mengalami perubahan fase; sebaliknya jika refleksi terjadi oleh medium yang
lebih tinggi indeks refraksinya, terjadi loncatan fase sebesar . Dalam kedua hal ini gelombang
transmisi tidak mengalami perubahan fase.

Gambar 4.12 Perubahan fase refleksi pada sambungan dua tali yang direntangkan. (a) Pulsa da-
tang dari tali berat. (b) Pulsa datang dari tali ringan.
Sekarang kedua faktor yang menentukan keadaan interferensi dapat diperhitungkan
bersama-sama, yaitu perbedaan panjang lintasan optis dan perubahan fase pada refleksi. Untuk
kedua sinar dalam Gambar 4.11, bila dianggap sinar datang normal, maka syarat agar diperoleh
intensitas maksimum haruslah:

2d=(m+
1)n m = 0, 1, 2, ....
2
Suku ½n muncul karena perubahan fase sebesar 180° pada refleksi setara dengan setengah
panjang-gelombang. Substitusikan /n untuk menggantikan n dan akhirnya diperoleh: 2dn =

(m + ) m = 0, 1, 2, …. (maksimum) (persamaan 4.16)

Syarat untuk intensitas minimum


2dn = m m = 0, 1, 2, ... (minimum) ............ (persamaan 4.17)

Kedua persamaan ini berlaku baik untuk indeks refraksi selaput lebih besar maupun lebih
kecil daripada indeks refraksi medium di kedua sisi selaput. Hanya dalam hal ini terjadi
perubahan fase relatif 180° pada refleksi di permukaan selaput kedua. Selaput air di udara dan
lapisan tipis udara di antara dua keping kaca adalah contoh-contoh yang boleh menggunakan
Persamaan 4.16 dan 4.17. Contoh di mana kedua persamaan tersebut tidak berlaku diberikan oleh
Contoh 5.
Jika ketebalan selaput tidak merata, seperti dalam Gambar 4.11 di mana selaputnya
berbentuk pasak, maka interferensi konstruktif hanya terjadi pada tempat-tempat tertentu saja,
dan pada tempat-tempat lain terjadi interferensi destruktif. Di sini akan tampak garis-garis
dengan intensitas maksimum maupun minimum – yaitu garis-garis interferensi. Garis-garis ini
disebut garis-garis ketebalan konstan (fringes of constant thickness), masing-masing garis
merupakan tempat-kedudukan titik-titik yang menyatakan tebal selaput d yang sama. Jika selaput
bukan disinari oleh cahaya monokhromatik, tetapi oleh cahaya putih, maka cahaya yang
direfleksikan oleh berbagai bagian selaput berubah oleh berbagai interferensi konstruktif atau
destruktif yang terjadi. Peristiwa ini yang menyebabkan gelembung sabun dan lapisan tipis
minyak tampak berwarna-warni dengan indahnya.
Garis-garis interferensi yang diuraikan di atas, yaitu garis-garis yang tampak terlokalisasi
pada selaput dan berkaitan dengan tebal selaput, hanya mungkin terjadi

bila selaputnya “tipis”, yang berarti d tidak lebih dari beberapa panjang gelombang
cahaya saja. Untuk selaput yang sangat tebal (misalnya d  1 cm), beda fase antara kedua sinar
dalam Gambar 4.13 akan sangat besar dibandingkan dengan panjang gelombangnya dan beda
fase di suatu titik pada selaput akan berubah dengan cepat jika kita pindah dari satu titik ke titik
lain, bahkan walaupun kita pindah sedikit saja dari titik a. Sebaliknya untuk selaput “tipis” beda
fase di a berlaku juga untuk titik-titik di sekitarnya yang cukup dekat; untuk setiap titik pada
selaput terdapat suatu “daerah terang” karakteristik, seperti pads Gambar 13. Pada selaput tebal
terjadi juga garis-garis interferensi, tetapi tidak terlokalisasi pada selaput melainkan di tak
terhingga. Lihat Bagian 7.

CONTOH 4
Sebuah selaput air (n = 1,33) di udara tebalnya 320 nm. Jika selaput disinari oleh cahaya putih
dalam arah normal, warna apakah yang akan muncul pada cahaya yang direfleksikan?
Bila  dicari dari Persamaan 4.16, maka diperoleh:

  2dn
1
 (2)(320nm)(1,33)  850nm
1 1
(maksimum)
m m m
2 2 2
Dari Persamaan 4.17, minimumnya diberikan oleh

  850nm (minimum)
m
Jadi panjang gelombang yang memberikan maksimum dan minimum adalah:
2
m 0 (maks) 1 (min) 1 (maks) 2 (min)
(maks)
,
1700 850 570 425 340
nm
Hanya maksimum pada m = 1 yang terletak dalam daerah cahaya tampak (lihat Gambar
42-1); cahaya dengan panjang gelombang ini nampak berwarna hijau
kuning. Jika selaput disinari oleh cahaya putih, maka komponen hijau-kuning akan diperkuat bila
dilihat dalam arah refleksi.

CONTOH 5
Kaca tak pantul (nonreflecting glass). Lensa seringkali dilapisi dengan selaput tembus cahaya
(transparent), seperti misalnya MgF2 (n = 1,38), agar refleksi oleh permukaan kaca dapat
dikurangi berdasarkan peristiwa interferensi. Berapakah tebal selaput yang dibutuhkan agar pada
pusat spektrum cahaya tampak (550 nm) refleksinya minimum?
Misalkan cahaya datang pada lensa dalam arah hampir normal (dalam Gambar 16 sudut θ
dibesarkan agar jelas) dan kita cari interferensi destruktif antara sinar r dan r1. Persamaan 14
tidak dapat diterapkan di sini karena perubahan fase sebesar 180° terjadi pada masing-masing
sinar; baik pada permukaan atas maupun pada permukaan bawah selaput MgF2 refleksi terjadi
oleh medium yang berindeks refraksi lebih besar.
Tidak ada perubahan fase secara keseluruhan yang disebabkan oleh kedua refleksi
tersebut, yang berarti bahwa beda lintasan optis untuk interferensi destruktif haruslah (m + ½) 
(bandingkan dengan Persamaan 13). Syarat ini menghasilkan:

2dn =
m 1 m = 0, 1, 2, ....2dn = (m +) (Minimum)
 2
2dn = (m + ) m = 0, 1, 2, …. (minimum)

Dengan mengambil m = 0, dapat dihitung tebal selaput d, yaitu:


( )

Gambar 4.13 Contoh 5. Pantulan oleh kaca yang tidak dikehendaki dapat dikurangi dengan me-
lapisi kaca tersebut dengan selaput yang tembus cahaya.

CONTOH 6
Cincin Newton. Gambar 4.13 memperlihatkan sebuah lensa dengan jari-jari kelengkungan R
diletakkan di atas sebuah keping kaca yang sangat rata dan disinari dari atas oleh cahaya
berpanjang gelombang . Dalam Gambar 4.13 ditunjukkan adanya garis-garis interferensi
berbentuk lingkaran (cincin-cincin Newton), yang berhubungan dengan variabel ketebalan
selaput udara di antara lensa dan keping datar. Tentukanlah jari-jari interferensi-maksimumnya.
Di sini yang mengalami loncatan fase sebesar 180° adalah sinar dari bagian dasar selaput
(udara), bukan yang dari bagian atas, karena refleksi pada bagian bawah terjadi oleh medium
dengan indeks refraksi yang lebih besar. Walaupun demikian, syarat terjadinya maksimum tetap
tidak berubah, yaitu:
2d = (m + ) m = 0, 1, 2, …., .................... (Persamaan 4.18)
indeks refraksi selaput udara dianggap sama dengan satu. Dari Gambar 4.14 dapat kita tuliskan:

√ [ ( ) ]

Jika r/R << 1, maka bagian dalam kurung besar dapat diuraikan menurut teorema binomial dan
kita ambil hanya sampai suku kedua saja,

[ ( ) ] .

Jika digabungkan dengan Persamaan 15 maka diperoleh jari-jari cincin terang:

r = √( ) m = 0, 1, 2, . . .,

Jika digunakan cahaya putih maka masing-masing komponen spektrum akan menghasilkan
cincin-cincinnya sendiri yang akan saling bertumpang-tindih satu dengan lainnya.

Gambar 4.14 Contoh 6. Alat untuk mengamati cincin Newton.


Gambar 4.15 Contoh 6. Cincin-cincin Newton (Dengan seijin Bausch and Lomb Optical Co.).

4.3 INTERFEROMETER MICHELSON


Interferometer adalah alat yang dapat digunakan untuk mengukur panjang atau perubahan
panjang dengan ketelitian yang sangat tinggi berdasarkan penentuan garis-garis interferensi.
Tinjau cahaya dari sebuah titik P pada suatu sumber cahaya S yang besar. (Gambar 4.16).
Cahaya tersebut jatuh pada cermin separuh mengkilat M. Cermin tersebut memiliki lapisan perak
yang tebalnya hanya cukup untuk merefleksikan sebagian cahaya yang datang dan meneruskan
yang sebagian lagi. Untuk sederhananya, dalam gambar dianggap bahwa tebal cermin tersebut
dapat diabaikan. Di M cahaya yang terbagi menjadi dua gelombang. Yang satu oleh transmisi
menuju ke cermin M1, yang lain oleh refleksi menuju ke M2. Oleh masing-masing cermin kedua
sinar ini direfleksikan kembali ke arah datangnya, dan akhirnya masuk ke mata. Karena
keduanya berasal dari satu titik sumber P yang sama, maka keduanya saling koheren dan dapat
berinterferensi.
Jika cermin M1 dan M2 benar-benar tegak lurus satu dengan lainnya, efeknya sama saja
dengan cahaya dari sumber besar S jatuh pada lapisan-tebal udara, di antara kaca, yang
ketebalannya adalah d2 – d1. Garis-garis interferensi akan tampak, sebagai akibat adanya
perubahan sudut datang yang sangat kecil dari cahaya yang berasal dari titik lain pada sumber S
dan jatuh pada lapisan udara yang sama. Untuk lapisan tebal, selisih lintasan sebesar satu
panjang gelombang dapat ditimbulkan oleh perubahan sudut datang yang sangat kecil.
Penggeseran M2 ke belakang atau ke depan sama akibatnya dengan pengubahan tebal
lapisan udara. Andaikan pusat dari pola garis (lingkaran) interferensi yang terjadi kelihatan
terang. Bila M2 digeser sedemikian rupa sehingga cincin terang pertama berubah menjadi pusat
pola, maka lintasan cahaya yang menumbuk M2 telah berubah sebesar satu panjang gelombang.
Karena cahaya dua kali bolak-balik) melalui lapisan udara yang sama, maka berarti cermin M2
telah mundur sejauh setengah panjang gelombang.
Gambar 4.16 Interferometer Michelson. Diperlihatkan lintasan suatu sinar tertentu yang berasal
dari titik P pada sumber cahaya S yang besar.

Interferometer dapat digunakan untuk mengukur perubahan panjang dengan menghitung


banyaknya garis interferensi yang melalui medan pandangan ketika cermin M2 digeser.
Pengukuran panjang dengan cara ini dapat sangat teliti jika jumlah garis yang dihitung sangat
banyak.
Michelson mengukur panjang meter standard, yang disimpan di Paris, dinyatakan dalam
panjang gelombang cahaya merah monokhromatik tertentu yang dipancarkan oleh suatu sumber
cahaya yang mengandung cadmium. Ia mendapatkan bahwa panjang meter standar setara dengan
1.553.163,5 kali panjang cahaya merah cadmium. Untuk pekerjaannya ini ia mendapat hadiah
Nobel dalam tahun 1907.
Telah lama para fisikawan mempertimbangkan keuntungan bila batang meter standard
digantikan dengan definisi meter yang dinyatakan dalam panjang gelombang suatu radiasi
monokhromatik tertentu yang dipilih dengan cermat. Dengan demikian standar panjang primer
dapat diperoleh di laboratorium di seluruh dunia. Cara ini juga dapat meningkatkan ketelitian
pengukuran panjang, karena dengan cara ini panjang benda yang ingin diukur tidak perlu lagi
dibandingkan dengan benda standar (batang meter), melainkan dapat diukur langsung secara
mutlak dengan menggunakan teknik interferometer. Keuntungan lain ialah bila terjadi kerusakan
pada batang dapat dicari penggantinya, sedangkan sumber cahaya dan interferometer dapat
selalu (diharapkan demikian) tersedia.
Dalam tahun 1961, standar panjang atomik tersebut diterima melalui suatu persetujuan
internasional. Berikut ini adalah kutipan artikel yang memuat peristiwa tersebut:
Panjang gelombang cahaya merah-jingga dari krypton-86 telah menggantikan tempat
batang platina-iridium sebagai standar panjang di dunia. Semula panjang gelombang
cahaya ini didefinisikan sebagai fungsi dari panjang batang meter. Sekarang meter
bersangkutan didefinisikan sebagai 1.650.763,73 kali panjang gelombang cahaya
tersebut.
Pemilihan cahaya dari krypton-86 lebih disukai daripada sumber atomik yang lain karena
cahaya ini menghasilkan garis-garis interferensi yang lebih tajam dalam interferometer, bahkan
juga untuk lintasan optis yang panjang yang kadang-kadang digunakan dalam pengukuran
panjang.

4.3.1 INTERFEROMETER MICHELSON DAN PERAMBATAN CAHAYA


Dalam hipotesis Einstein, sekarang telah terbukti, bahwa dalam ruang bebas cahaya
dirambatkan dengan laju c yang sama, tidak bergantung kepada kecepatan relatif antara sumber
dan pengamat. Telah dikemukakan juga bahwa hipotesa ini bertentangan dengan pandangan
fisikawan abad ke sembilan belas. Karena terbiasa dengan fisika klasik pada saat itu, kaum
fisikawan tersebut sulit menerima bahwa gelombang dapat dirambatkan tanpa medium. Jika
medium untuk cahaya ada, maka laju cahaya c dapat diartikan sebagai laju terhadap medium
tersebut, seperti halnya untuk gelombang bunyi, kelajuan selalu dikaitkan dengan mediumnya,
misalnya udara.
Walaupun medium untuk perambatan cahaya belum jelas, tetapi para fisikawan
mempostulatkan bahwa medium tersebut ada, dan disebut eter dan sifat-sifatnya dihipotesakan
sulit untuk diamati secara biasa, misalnya dengan menimbang dan sebagainya.
Dalam tahun 1881 (24 tahun sebelum hipotesis Einstein), A.A. Michelson melakukan
pekerjaan untuk memaksa eter agar dapat diuji langsung secara finis. Michelson, yang kemudian
bekerja sama dengan E.W. Morley, mencoba mengukur laju bumi u terhadap eter. Alat yang
mereka pilih untuk ini adalah interferometer Michelson dan percobaan ini sekarang dikenal
sebagai percobaan Michelson – Morley.
Gambar 4.17 “Eter” mengalir melalui interferometer Michelson dengan kecepatan -u. Laju ge-
lombang yang dicantumkan adalah laju yang didasarkan atas hipotesis eter (yang tidak benar).

Bumi bersama-sama dengan interferometer bergerak menembus eter dengan kecepatan u


atau sama saja dengan interferometer diam, tetapi eter mengalir melaluinya dengan kecepatan -u,
seperti diperlihatkan dalam Gambar 4.17 Tinjaulah gelombang yang melalui lintasan MM1M dan
yang melalui MM2M. Secara klasik gelombang yang pertama serupa dengan orang yang
mendayung perahu searah aliran air sejauh d dan kemudian menentang arus menempuh jarak
yang sama; gelombang yang kedua serupa dengan perahu yang menempuh jarak d bolak-balik
memotong aliran.
Menurut hipotesis eter laju cahaya pada lintasan MM1 adalah c + u dan pada lintasan
kembali M1M adalah c – u. Waktu yang dibutuhkan untuk menempuh seluruh lintasan itu adalah:

t1  d  d d 2 2c 2  2d 1 2
c u c u c u c 1u/ c
Laju cahaya menurut hipotesis eter dalam lintasan MM2 adalah c2 u2
seperti ditunjukkan dalam Gambar 4.0 Laju yang sama berlaku juga untuk perjalanan kembali
M2M, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk menempuh seluruh lintasan lengkap ini adalah:

t2  2d  2d 1
c2 u2 c 1u/ c2
Selisih waktu untuk kedua lintasan tersebut adalah:
∆t = t1 – t2

2d 1u2  1u2  2 
1 1

   
c   c     c   
=
 
Dengan menganggap u/c << 1, besaran dalam kurung persegi dapat dijabarkan menurut
teorema binomial. Bila hanya dua suku pertama yang dipertahankan maka diperoleh:

  du2 
  u2   1u2  
t     
  
2
2d 1 u 2d
= t  1  .... 1   .........
c   c8 ∆t
2 c    c   c    2 c  

  u2   1u2 
t  1  .... 1   ....
2d 
........... (persamaan 4.19)
c   c    2 c  

Jika seluruh interferometer tersebut diputar 90° maka peran kedua lintasan cahaya
bertukar, sekarang MM1M menjadi lintasan yang “memotong aliran” dan MM2M menjadi
lintasan yang “mengikuti dan menentang aliran”. Selisih waktu antara kedua gelombang yang
masuk ke mata menjadi berlawanan dan selisih fasenya berubah, sehingga letak interferensi
maksimum bergeser. Dengan percobaan ini diharapkan akan teramati pergeseran garis-garis
interferensi bila alat tersebut diputar.
Perubahan beda waktunya adalah 2∆t, yang akan memberikan pergeseran garis sebesar
2∆t/T dengan T (= /c) adalah perioda getaran cahaya. Untuk rotasi
sebesar 90°, pergeseran maksimum yang diharapkan dinyatakan dalam banyaknya
garis adalah:

2t  2tc  2d u2


   c 
∆N = .................. (persamaan 4.20)
T
Dalam interferometer Michelson – Morley, panjang d = 11 m (diperoleh dengan pantulan
berganda dalam interferometer) dan  = 5,9 x 10-7 m. Jika secara kasar u dianggap sebagai laju
orbital bumi, maka u/c  10-4. Maksimum pergeseran garis yang diharapkan bila interferometer
diputar sebesar 90° adalah:

2d u2  (2)(11m) (104)  0,4


  c  5,9x107 m
∆N =

Sungguhpun diharapkan terjadi pergeseran sebesar 0,4 bagian dari sebuah garis,
Michelson dan Morley yakin bahwa pergeseran yang teramati hanyalah 0,01 garis saja. Ternyata
dari percobaan ini tidak diamati adanya pergeseran garis interferensi!
Analogi antara gelombang cahaya (dianggap) dalam eter dengan gerakan perahu dalam
air, yang dalam tahun 1881 begitu meyakinkan, nampaknya tidak betul. Penurunan yang dihitung
berdasarkan analogi ini tidak berlaku untuk gelombang cahaya. Jika pembahasan dilakukan
dengan memasukkan hipotesis Einstein, maka hasil pengamatan yang tidak dikehendaki ini dapat
dijelaskan. Laju cahaya tetap c untuk semua lintasan. Menurut pandangan Einstein, pergerakan
bumi mengelilingi matahari dan perputaran interferometer tidak berpengaruh apa-apa terhadap
laju gelombang cahaya dalam interferometer.
Perlu ditegaskan bahwa walaupun hipotesis Einstein sepenuhnya konsisten dengan hasil
negatif percobaan Michelson-Morley, percobaan itu sendiri bukanlah
bukti bagi hipotesis tersebut. Menurut Einstein, berapapun banyaknya eksperimen yang
dilakukan, tidak akan cukup untuk membuktikan hipotesisnya; tetapi satu eksperimen saja dapat
menggugurkan hipotesis itu. Keyakinan kita akan kebenaran hipotesis Einstein terutama
didasarkan atas kesesuaian sejumlah besar eksperimen yang dirancang untuk mengujinya.
Sampai kini belum pernah dijumpai satu eksperimen pun yang dapat menggugurkan hipotesis
itu.

Anda mungkin juga menyukai