Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TUJUAN PUSTAKA

A. Konsep Kekerasan Verbal

1. Pengertian Kekerasan Verbal

Huraerah (2012) mengatakan bahwa kekerasan verbal adalah

tindakan yang dilakukan seseorang dalam bentuk memarahi, memaki,

mengomel dan membentak secara berlebihan, termasuk mengeluarkan

kata-kata yang tidak perlu terhadap anak. Pendapat lain mengatakan

bahwa kekerasan verbal merupakan jenis kekerasan yang tidak mudah

untuk dikenali. Wujud konkret dari kekerasan verbal adalah

penggunaan kata-kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan,

mempermalukan orang di depan umum dan melontarkan ancaman yang

berupa kata-kata (Suyanto,2003).

Berdasarkan paparan diatas,dapat disimpulkan bahwa kekerasan

verbal merupakan tindakan lisan seseorang yang meliputi penyampaian

kata-kata kasar, penganiaan, memarahi, mengomel dan membentak

secara berlebihan, serta memberikan ancaman terhadap terhadap orang

lain.

10
11

2. Bentuk-bentuk kekerasan verbal

Menurut Sutikno (2010) menjelaskan bahwa bentuk dari

kekerasan verbal itu merupakan kata-kata yang memfitnah, kata-kata

yang mengancam, menakutkan, menghina atau membesar-besarkan

kesalahan orang lain. Bahkan Jallaludin (2007) menambahkan bahwa

ancaman atau intimidasi merusak hak dan perlindungan korban,

menjatuhkan mental korban, perlakuan yang menyakitkan dan

melecehkan, atau memaki-maki dan berteriak-teriak keras juga

dikategorikan sebagai bentuk kekerasan yang bersifat verbal. Menurut

Christianti (2008) lebih memerinci bentuk dari kekerasan verbal adalah

sebagai berikut:

a. Tidak sayang dan dingin Tindakan tidak sayang dan dingin ini

berupa misalnya menunjukan sedikit atau tidak sama sekali rasa

sayang kepada anak seperti pelukan dan kata-kata sayang.

b. Intimidasi Tindakan intimidasi bisa berupa berteriak, menjerit,

mengancam anak, dan mengertak anak.

c. Mengecilkan atau mempermalukan anak Mengecilkan atau

mempermainkan anak dapat berupa seperti: merendahkan anak,

mencela nama, membuat perbedaan negatif antar anak,

menyatakan bahwa anak tidak baik, tidak berharga, jelek atau

sesuatu yang didapat dari kesalahan.

d. Kebiasaan mencela anak Tindakan mencela anak bisa

dicontohkan seperti: mengatakan bahwa semua yang terjadi


12

adalah kesalahan anak. 5. Tidak mengindahkan atau menolak

anak Tindakan tidak mengindahkan atau menolak anak berupa:

tidak memperhatikan anak, memberi respon dingin, tidak peduli

dengan anak.

e. Hukuman ekstrim Tindakan hukuman ekstrim bisa berupa:

mengurung anak dalam kamar mandi, mengurung dalam kamar

gelap, mengikat anak dikursi untuk waktu yang lama dan

meneror.

Terdapat berbagai bentuk kekerasan verbal (Tower, 2005), yaitu:

a. Membentak, yaitu memarahi dengan suara keras, antara lain :

1) Menghardik, adalah mencaci dengan perkataan keras

2) Menghakimi, adalah mengadili atau berlaku sebagai hakim

3) Mengumpat, adalah mengeluarkan kata-kata kotor

b. Memaki, yaitu mengucapkan kata-kata keji, tidak pantas, kurang

baik dalam menyatakan kemarahan atau kejengkelan, antara lain :

1) Mencela, yaitu menghina dengan terang-terangan

2) Menyembur, adalah menyemprotkan kata-kata dari dalam

mulut

3) Menyumpahi, adalah mengeluarkan kata-kata kotor untuk

mengambil sumpah.
13

c. Memberi julukan negatif/melabel, yaitu memberi tanda identifikasi

melalui bentuk kata-kata, antara lain :

1) Mengklasifikasi, adalah penggolongan, pengelompokkan

berdasarkan sesuatu yang sesuai dengan kelasnya

d. Mengecilkan dan melecehkan kemampuan anak, yaitu membuat jadi

rendah keberadaan anak, antara lain :

1) Mengabaikan, adalah melalaikan, menyia-nyiakan

2) Menyampingkan, adalah menyingkirkan kearah pinggir

3) Menyepelekan, adalah memandang remeh

4) Meringankan, adalah mejadikan atau mengganggap ringan

5) Menggampangkan, adalah memudahkan, membuat jadi

mudah

6) Menistakan, adalah hina, tercela

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi orangtua melakukan kekerasan

verbal

Menurut Soetjiningsih terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

orang tua melakukan verbal abuse (Huraerah,2012), antara lain:

a. Faktor pengetahuan orang tua: Orang tua tidak mengetahui atau

mengenal sedikit informasi mengenai kebutuhan perkembangan anak,

misalnya usia anak belum memungkinkan untuk melakukan sesuatu

tetapi karena sempitnya pengetahuan orang tua si anak dipaksa

melakukan dan ketika memang belum mampu orang tua menjadi


14

marah. Orang tua yang mempunyai harapan-harapan yang tidak

realistik terhadap perilaku anak berperan memperbesar tindakan

kekerasan pada anak. Serta kurangnya pengetahuan orang tua tentang

pendidikan anak dan minimnya pengetahuan agama orang tua

melatarbelakangi kekerasan pada anak karena orang tua kurang

berpendidikan.

b. Faktor Pengalaman: Orang tua yang waktu kecilnya mendapat

perlakuan salah merupakan situasi pencetus terjadinya kekerasan pada

anak. Semua tindakan kepada anak-anak akan direkam dalam bawah

sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus

sepanjang hidupnya. Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang

tuanya akan menjadi sangat agresif dan setelah menjadi orang tua akan

berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan

anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang

dewasa yang menjadi agresif. Gangguan mental (mental disorder) ada

hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia

masih kecil.

c. Faktor Keluarga: Faktor keluarga ini meliputi karakteristik anak,

karakteristik orang tua dan keluarga. Karakteristik anak yang tidak

diinginkan, lahir prematur, anak yang memiliki fisik berbeda (cacat),

mental berbeda (retardasi mental), temperamen berbeda (sukar),

tingkah laku berbeda (hiperaktif), dan anak angkat/ tiri berperan dalam

orang tua melakukan kekerasan pada anaknya. Karakteristik orang tua


15

dan keluarga yang juga turut berperan terhadap terjadinya kekerasan

pada anak seperti; orang tua yang agresif dan impulsif, keluarga hanya

dengan satu orang tua, orang tua yang dipaksa menikah saat belasan

tahun sebelum siap secara emosional dan ekonomi, dan perkawinan

dengan saling mencederai pasangannya dalam perselisihan.

d. Faktor ekonomi: Sebagian besar kekerasan dalam rumah tangga terjadi

karena dipicu faktor kemiskinan, dan tekanan hidup atau tekanan

ekonomi. Pengangguran, PHK, dan beban hidup lain kian memperparah

kondisi. Faktor kemiskinan dan tekanan hidup yang semakin

meningkat, disertai dengan kemarahan/kekecewaan pada pasangan

karena ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi

menyebabkan orang tua mudah sekali meluapkan emosi, kemarahan,

kekecewaan dan ketidakmampuannya kepada orang terdekatnya. Anak

sebagai makhluk lemah, rentan, dan dianggap milik orang tua, anak

menjadi paling mudah menjadi sasaran. Kemiskinan sangat

berhubungan dengan penyebab kekerasan pada anak karena

bertambahnya jumlah krisis dalam hidupnya (misalnya, tidak bekerja

atau berdesak-desakan) dan disebabkan mereka mempunyai jalan

masuk terbatas kedalam sumber ekonomi atau sosial untuk mendukung

selama waktu stress. Faktor ekonomi ini juga meliputi ketimpangan

sosial. Kita menemukan bahwa para pelaku juga korban kekerasan

kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi yang rendah. Karena

tekanan ekonomi, orang tua mengalami stress berkepanjangan. Ia


16

menjadi sangat sensitif. Ia mudah marah. Kelelahan fisik tidak

memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak. Maka

terjadilah kekerasan emosional. Pada saat tertentu orang tua bisa

meradang dan membentak anak dihadapan banyak orang. Sehingga

terjadilah kekerasan verbal.

e. Faktor sosial budaya: Faktor sosial budaya ini meliputi nilai atau norma

yang ada dimasyarakat, hubungan antar manusia, kemajuan zaman

yaitu pendidikan, hiburan, olah raga, kesehatan, dan hukum. Norma

sosial mempengaruhi tindakan orang tua melakukan verbal abuse

karena pada masyarakat tidak ada kontrol sosial pada tindakan

kekerasan anak-anak. Sedang nilai-nilai sosial disini adalah dalam

artian hubungan anak dengan orang dewasa berlaku seperti hierarki

sosial di masyarakat. Atasan tidak boleh dibantah. Orang tua tentu saja

wajib ditaati dengan sendirinya. Dalam hierarki seperti itu anak-anak

berada dalam anak tangga terbawah. Mereka tidak punya hak apa pun.

Orang dewasa dapat berlaku apa pun kepada anak-anak.

f. Faktor lingkungan: Faktor lingkungan juga mempengaruhi tindakan

kekerasan pada anak. Lingkungan hidup dapat meningkatkan beban

terhadap perawatan anak. Dan juga munculnya masalah lingkungan

yang mendadak turut berperan untuk timbulnnya kekerasan verbal.


17

4. Karakteristik kekerasan Verbal

Aderson (2011) membagi karakteristik kekerasan verbal menjadi tujuh

karakteristik tersebut yaitu:

a. Sangat menyakitkan dan selalu mencela sifat dan kemampuan

b. Mungkin bersifat terbuka (Hal ini bisa melalui luapan kemarahan

dan melalui nama panggilan) atau tertutup (melibatkan komentar

yang sangat tajam).

c. Merupakan manipulasi dan mengontrol. Komentar yang

meremehkan mungkin terdengar sangat jujur dan mengenai

sasaran tetapi tujuannya adalah untuk manipulasi dan

mengontrol.

d. Merupakan melakukan kejahatan secara diam-diam, kekerasan

verbal menyusulkan rasa percaya diri seseorang.

e. Tidak dapat diprediksikan

Pada kenyataannya, tidak dapat dipredisikan merupakan satu

dari beberapa karakteristik kekerasan verbal yang sangat

siginifikan Hal ini dapat melalui mencaci maki, meremehkan, dan

komentar menyakitkan.

f. Mengekspresikan pesan ganda.

Tidak ada kesulitan antara tujuan dari ucapan kasar dan

bagimana perasaannya sebagai contoh, mungkin terdengar sangat

jujur dan baik ketika mengucapkan apa yang salah dengan

seseorang.
18

g. Selalu meningkat sedikit demi sedikit

Dalam hal ini meningkat dalam intensitasnya, frekuensi, dan

jenisnya kekerasan verbal mungkin dimulai dengan merendahkan

dengan tersembunyi seperti bercanda.

5. Penyebab Kekerasan Anak

Rusmil (2004) menjelaskan bahwa penyebab atau resiko terjadinya

kekerasan anak dibagi dalam tiga faktor, yaitu:

1. Faktor orang tua/keluarga

Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan

dan penelantaran pada anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orang

tua melakukan kekerasan pada anaknnya diantaranya:

a. Praktik-praktik budaya yang merugikan anak yaitu:

1) Kepatuhan anak kepada orang tua

2) Hubungan asimetris

b. Dibesarkan dengan penganiayaan

c. Gangguan mental

d. Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial,

terutama mereka yang mempunyai anak sebelum 20 tahun

e. Pecandu minuman keras dan obat


19

2. Faktor lingkungan sosial/komunitas Kondisi lingkungan sosial juga

dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan pada anak. Faktor

lingkungan sosial yang dapat menyebabkan kekerasan dan

penelantaran pada anak diantaranya:

a. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis

b. Kondisi sosial ekonomi yang rendah

c. Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik

orang tua sendiri

d. Status wanita yang dipandang rendah

e. Sistem keluarga patriarchal f. Nilai masyarakat yang terlalu

individualistis

3. Faktor anak itu sendiri

a. Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis

disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya

b. Perilaku menyimpang pada anak.

6. Akibat Kekerasan Verbal

Kekerasan yang dialami oleh secara umum dapat berdampak pada

fisik dan psikologis dengan berbagai intensitas berat dan ringanya

(Soetjningsih, 2008). Lebih spesifik lagi Wicaksana (2008) mempertegas

bahwa akibat dari tindakan kekerasan verbal yaitu terhadap perkembangan

psikis dan emosional lebih berat. Kekerasan verbal sangat berpengaruh pada
20

anak terutama perkembangan psikologisnya, berikut merupakan dampak-

dampak psikologis akibat kekerasan verbal:

a. Gangguan Emosional

Terdapat beberapa gangguan emosional pada korban kekerasan

verbal kekerasan orangtua, seperti terhambatnya perkembangan

konsep diri negatif. Lambat mengatasi sifat agresif, gangguan

perkembangan hubungan social dengan orang lain, termasuk

kemampuan untuk percaya diri. Dapat pula terjadi pseudomaturitas

emosi. Beberapa anak menjadi agresif dan bermusuhan dengan

orang dewasa, sedang yang lainnya menjadi menarikdiri/menjauh

pergaulan anak suka mengompol, hiperaktif, prilaku aneh, kesulitan

belajar, gagal sekolah, sulit tidur, temperantum dan sebagiannya

b. Konsep Diri Rendah

Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinaya jelek,

tidak dicintai, tidak dikehendaki, muram, tidak bahagia, dan tidak

mampu menyenangi aktivitas.

c. Agresif

Anak yang mendapat perlakuan salah lebih agresif terhadap

teman sebayanya. Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan

orang tua mereka atau mengalihkan perasaan agresif kepada teman

sebayanya sebagai hasil misinya konsep diri. Kekerasan yang

dialami oleh anak, baik secara langsung maupun tidak cenderung


21

mendorong kekerasan atau perilaku agresif oleh anak (Anantasari,

2008).

d. Hubungan Sosial

Pada anak-anak dengan gangguan hubungan socail sering

kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau dengan orang-

orang dewasa. Mereka mempunyai teman sedikit dan suka

menggangu orang dewasa, misalnya dengan melempari batu atau

perbuatan-perbuatan criminal lainnya. Kepribadian sociopath atau

antisocial personality disorder dapat pula timbul penyebab utama

dari kepribadian ini adalah emotional child abuse yang dapat bentuk

umumnya sering disebut juga dengan kekerasan verbal. Prilaku ini

dapat terlihat dengan sering bolos, mencuri , berbohong, bergaul

dengan orang jahat, kejam pada binatang, dan prestasi sekolah yang

buruk (Rakhmt, 2008)

e. Bunuh Diri

Tindakan kekerasan pada anak akan menyebabkan stres mental

yang dialami oleh remaja. Stres mental ini apabila tidak tertangani

maka akan berkembang menjadi percobaan bunuh diri sehingga akan

menyebabkan prilaku bunuh diri oleh remaja (Soetjiningsih, 2008).

f. Gangguan Perkembangan kognitif

Pada anak yang mengalami kekerasan verbal mengalamin

hambatan perkembangan kognif, anak menjadi tidak peka terhadap

stimulasi yang diterima melalui panca indera, anak tidak menguasai


22

tugas-tugas perkembangan pada usianya. Namun terdapat sebagian

anak prasekolah yang mengalami kekerasan verbal tingkat tinggi

yang tetap memiliki perkembangan kognitif baik. Karena

penyampian kata-kata seperti membentak menurut orang tua adalah

hal yang wajar yang dilakukan untuk kebaikan anak agar anak

menjadi lebih disiplin dan mandiri, maka dari kebiasaan tersebut

tidak akan mempengaruhi perkembangan kognitif anak. Namun hal

tersebut harus dilakukan secara wajar tidak melebihi batas dan sesuai

nilai dan norma yang berlaku serta tidak merugikan sang anak.

g. Perkembangan Otak Terlambat

Anak-anak yang mendapat kekerasan verbal karena orang

tuanya berlaku kasar dan suka mencaci akan menjadi seorang anak

susah berkonsentrasi sehingga proses belajar akan terganggu karena

perkembangan otak lambat.

h. Akibat Lain

Dari perlakuan salah, anak akan melakukan hal sama

dikemudian hari terhadap anak-anaknya kelak (Soetjiningsih, 2008).

Tindakan kekerasan kepada anak-anak akan direkam dalam bawah

sadar dan akan dibawa hingga dewasa dan cenderung akan menjadi

agresif. Bahkan setelah menjadi orang tua tersebut masih melekat

dan mereka melakukan hal yang sama kepada anak mereka sehingga

terlihat pula anak yang bersifat agresif.


23

7. Kategori Kekerasan Verbal

Huraerah (2012), Mengatakan bahwa kekerasan verbal dibagi dalam 3

kategori, yaitu :

a. verbal abuse berat : >80%

b. verbal abuse sedang : 60 – 80%

c. verbal abuse ringan : < 60%

B. Konsep Remaja

1. Pengertian Remaja

Menurut Papilia (2009) menyebutkan bahwa remaja merupakan

masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa dalam suatu

perkembangngan hidup induvidu yang berangsung dari usia 10 hingga

20 tahun. Menurut WHO batasan usia remaja adalah 10 hingga 20

tahun. WHO membagi remaja menjadi dua bagian, yaitu remaja awal

adalah remaja yang berusia 10 hingga 14 tahun dan remaja akhir adalah

remaja yang berusia 15 hingga 20 tahun.

Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut aldolescence,

berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh

untuk mencapai kematangan”. Bangsa primitip dan orang-orang

purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda

dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap sudah

dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi.


24

Remaja merupakan proses transisi dari anak-anak menuju

dewasa. Dalam proses transisi, menuju kedewasaan, setiap remaja

membutuhkan proses untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan

fisik, kognitif, dan sosialnya (Sarwono 2013) dalam proses penyesuaian

diri yang dialami oleh remaja, keluarga turut serta dalam membimbing

proses tersebut sehingga nantinya remaja dapat tumbuh menjadi remaja

yang berkualitas dan dapat diterima oleh masyarakat.

2. Batasan Usia Remaja

Monks, Knoers dan Handitono dalam Deswita (2008)

membedakan masa remaja atas empat bagian, yaitu:

a. Masa pra remaja atau pra-pubertas (10-12 tahun).

b. Masa pra remaja awal atau pra-pubertas (12-15 tahun).

c. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)

d. Masa remaja akhir (18-21 tahun).

3. Tahap- Tahap Perkembangan Remaja

Pada remaja akhir tahap ini adalah kondisolidasi menuju periode

dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal yaitu:

1) Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.

2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang

lain dalam pengalaman-pengalaman baru.

3) Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.


25

4) Egosentrime (terlalu memuaskan perhatian pada diri sendiri)

diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri

dengan orang lain.

5) Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadi (Private self)

dan masyarakat umum (Sarwono, 2010).

4. Tahap-Tugas Perkembangan Remaja

Terdapat Perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya

meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai

kemampuan bersikap dan perperilaku dewasa. Adapun tugas-tugas

perkembangan masa remaja adalah sebagai berikut:

a. Mampu menerima keadaan fisiknya.

b. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.

c. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang

berlainan jenis.

d. Mencapai kemandirian empsional.

e. Mencapai kemandirian ekonomi.

f. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang

sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota

masyarakat.

g. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa

dan orang tua.


26

h. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan

untuk memasuki dunia dewasa.

i. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.

j. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab

kehidupan kelurga.

Keluarga pada dasarnya merupakan fondasi primer bagi

pembentukan karakter dan kepribadian induvidu (Huraera, 2012).

Dalam membentuk karakter dan kepribadian induvidu diperlukan peran

dari orangtua. Orangtua menjadi bagian di dalam sebuah keluarga yang

bertanggung jawab dalam mendidik remaja. Orangtua yang berkualitas

akan memberikan kebutuhan-kebutuhan bagi anak agar nantinya dapat

berkembang dengan sewajarnya sehingga anak memiliki karakter yang

berkualitas pada saat remaja.

Pemenuhan kebutuhan kasih sayang, pengertian, perhatian dan

merawat remaja dengan sebaik-baiknya merupakan kebutuhan-

kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh orangtua (Huraerah, 2012).

Dalam hal ini anak remaja tidak hanya di tuntun untuk selalu meraih

prestasi akademis dan non akademis saja, tetapi juga perlu diperhatikan

apa saja kebutuahan yang harus dipenuhi oleh orangtuanya. Melihat

banyaknya tuntunan akademis dari sekolah terhadap anak remaja,

membuat orangtua fokus pada prestasi akademis anak dan melupakan

kebutuhan lain yang harus diberikan kepada anak.


27

Saat ini banyak orangtua yang mengabaikan kebutuhan dasar

yang diperlukan oleh remaja. Ketika ada yang melakukan kesalahan,

anak justru akan dimarahi, di bentak-bentak, di cemmoh, dan tindakan-

tindakan lisan lainnya yang berlebihan sebagai contoh ketika anak

mendapatkan nilai jelek saat menghadapi ujian semester, orangtua akan

memarahi anak, membentak-bentak, bahkan mengatakan bahwa anak

tersebut sebagai anak yang bodoh. Tindakan-tindakan seperti ini,

termasuk dalam kekerasan verbal yang dilakukan oleh orangtua

terhadap anak.

Saat ini, banyak orangtua yang justru melakukan tindak

kekerasan verbal tehadap remaja. Kegagalan orangtua dalam memenuhi

kebutuhan-kebutuhan tersebut akan berdampak negatif pada remaja.

Dampak-dampak tersebut sperti terganggunya pertumbuhan fisik,

perkembangan mental dan sosial remja (Huraerah, 2012).

C. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin

diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan

(Budiman, 2011). Kerangka konsep pada penelitian ini akan diuraikan melalui

variabel independen dan variabel dependen yang dapat dilihat pada skema 2.1.
28

Skema 2.1
Kerangka Konsep

INPUT OUTPUT

Remaja Di RW 03 Tingkatan Kekerasan Verbal


Desa Saguling
a. verbal abuse berat : >80%
Kabupaten b. verbal abuse sedang : 60 – 80%
Bandung Barat. c. verbal abuse ringan : < 60%

Anda mungkin juga menyukai