Anda di halaman 1dari 149

CASE OF FARMAKOTERAPI II

4FA1
STFB Mulyana !!

SEKOLAH TINGGI FARMASI BANDUNG


2018

1|FARMAKOTERAPI ii 4FA1
CASE OF FARMAKOTERAPI II
4FA1
STFB Mulyana !!

Penyusun : Mahasiswa – Mahasiswi 4FA1


Penyunting :
 Fillial Natalia W
 Hikmiah
 Indry Permata Wijaya
 Nurfadhilah Hayati S
 Relinda Banatul Awaliyah
 Rifqi Nur Fauzi
 Riksa Maulidara
Editor : Rifqi Nur Fauzi
Penata Letak : Rifqi Nur Fauzi

2|FARMAKOTERAPI ii 4FA1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkat, rahmat, taufik, serta
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan Buku Farmakoterapi I 4FA1. Kami sangat berharap
buku ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kami dan
pembaca sekalian mengenai “Kasus – Kasus Farmakoterapi serta penyelesesaiannya”.
Semoga buku ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan – kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bandung, 22 Oktober 2018

Tim Penyusun

3|FARMAKOTERAPI ii 4FA1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 3
DAFTAR ISI............................................................................................................................. 4
KASUS MATERI INFEKSI SISTEM PERNAPASAN ATAS (ISPA).................................... 5
a) Kasus Bronkitis Kronik .................................................................................................... 5
b) Kasus Otitis Media Akut (OMA) ................................................................................... 12
c) Kasus Faringitis .............................................................................................................. 20
KASUS MATERI INFEKSI SISTEM PERNAPASAN BAWAH (ISPB) ............................. 30
d) Kasus Infeksi Tuberculosis............................................................................................. 30
e) Kasus Infeksi Tuberculosis ii ......................................................................................... 39
f) Kasus Infeksi Pneumonia ............................................................................................... 49
KASUS MATERI INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK) DAN ROSTATITIS ...................... 61
g) Kasus Prostitis ................................................................................................................ 61
h) Kasus Infeksi Saluran Kemih Bawah ............................................................................. 69
i) Kasus Infeksi Saluran Kemih Atas ................................................................................. 78
KASUS MATERI INFEKSI SISTEM PENCERNAAN ......................................................... 86
j) Kasus Diare .................................................................................................................... 86
k) Kasus Pectic Ulser Disease (PUD) ................................................................................. 92
l) Kasus Demam Tifoid ...................................................................................................... 97
KASUS MATERI INFEKSI PARASIT ................................................................................ 102
m) Kasus Malaria ............................................................................................................... 102
n) Kasus Giardiasis ........................................................................................................... 110
o) Kasus Cacing ................................................................................................................ 117
KASUS MATERI INFEKSI JAMUR ................................................................................... 127
p) Kasus Candidiasis ......................................................................................................... 127
q) Kasus Infeksi Mikosis Superficial ................................................................................ 135
r) Kasus Infeksi Mikosis Invasif ...................................................................................... 140
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 149

4|FARMAKOTERAPI ii 4FA1
KASUS MATERI INFEKSI SISTEM PERNAPASAN ATAS (ISPA)

Kasus Bronkitis Kronik


A. Chronic Bronkitis
TN B (45 tahun, 60 kg) dengan keluhan btuk productive. Pasien mengalami batuk 3
kali dalam satu tahun terakhir, dikiuti dengan deman suhu 38.90C. Dokter mendiagnosis
bronchitis kronik. Dokter meresepkan Doxycycline tab 100 mg 2dd1, Albuterol inhaler 1
puff (200mcg) 4 dd1 dan N Asetilsistein tab 600mg 1dd1.
1. Jelaskanlah Epidemiologi, etiologi dan patofisiologi penyakit Chronic Bronkitis
pasien Tn B?
2. Susunlah algoritm pengobatan Chronic Bronkitis, Alasan Penetapan diagnosis
Chronic Bronkitis pada Ny Y, tujuan pengobatan Chronic Bronkitis dan
Pemantauan terapi pada pasien Ny S?
3. Sebutkanlah alasan pemberian Obat , paparkan dengan aspek Indikasi , mekanisme
kerja Obat, Golongan Obat , Dosis , Tata cara dan aturan pakai , Efek Samping ,
Kontraindikasi , Interaksi Obat (Major) yang mungkin terjadi selama pengobatan
dengan obat obat lain yang sedang dan akan digunakan pada pasien

5|FARMAKOTERAPI ii 4FA1
JAWABAN KASUS BRONKITIS KRONIK
Soal no 1
a) Pengertian Bronkitis
 Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus.
 Bronkitis diklasifikasikan sebagai akut atau kronis.
b) Epidemiologi Bronkitis Kronis :
 Sering menyerang orang dewasa. Antara 10% dan 25% dari populasi orang dewasa
dengan usia 40 tahun atau lebih tua menderita bronkitis kronis.
 Penyakit ini begitu umum sehingga bronkitis akut menghasilkan sekitar 14 juta
kunjungan dokter per tahun di Amerika Serikat. Mirip dengan bronkitis akut, dingin,
iklim lembab dan adanya konsentrasi zat pengiritasi udara yang meningkat di udara
menjadi pemicu bronchitis kronis.
 Bronkitis kronis lebih banyak terjadi umumnya pada pria dibandingkan pada wanita
(dipiro pink)
c) Etiologi Bronkitis Kronis :
 Bronkitis kronis biasanya disebabkan oleh virus dan bakteri. Virus yang paling
umum termasuk influenza A dan B, parainfluenza, virus pernapasan syncytial, dan
coronavirus, (meskipun agen etiologi tersebut diidentifikasi hanya pada sebagian
kecil kasus).
 Infeksi bakteri biasanya disebabkan oleh spesies Mycoplasma, Chlamydia
pneumoniae dan Bordetella pertussis (agen yang menyebabkan penderita mengalami
batuk rejan), Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis.
 Selain infeksi virus atau bakteri, diantaranya yang paling utama adalah merokok dan
polusi udara misalnya terpapar debu , asap, dan pencemaran lingkungan.
 Merokok merusak gerakan siliaris, menghambat fungsi makrofag alveolar, dan
menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar yang mensekresi lendir. Merokok
juga dapat meningkatkan resistensi saluran napas melalui penyempitan otot polos
yang diperantarai vagal

6|FARMAKOTERAPI ii 4FA1
d) Patofisiologi bronkitis kronis :

Paparan infeksi virus / bakteri pada bronkus

penghancuran epitelium pernafasan

sel-sel bronkial teriritasi dan selaput lendir menjadi hiperemik dan edematosa

fungsi mukosiliar bronkus menurun

mukus semakin kental

menyebabkan batuk berdahak khas bronchitis

karena merokok atau paparan polutan batuk semakin sering

produksi lendir lebih tebal dan meningkat

penyempitan pada bronkus

jalan nafas menjadi sempit dan terhambat

Soal no 2
e) Algoritma
 Lini pertama : Amoxicillin / Fluoroquinolon
 Lini kedua : Tetrasiklin, Fluoroquinolon, Azytromicin, Trimethoprim,
Sulfametoxazol, Amoxicillin Clavulanat.
Obat Keterangan
Amox - Klav Amox-klav : Agen ini menghambat sintesis dinding sel bakteri
dengan mengikat protein penicillin-binding.
Penambahan klavulanat menghambat bakteri penghasil beta-
laktamase (medscape)
Amox-klav adalah antibiotik alternatif yang baik untuk pasien yang
alergi atau tidak toleran terhadap kelas macrolide.
Biasanya ditoleransi dengan baik dan memberikan efek yang baik
dari sebagian besar agen infeksi, tetapi tidak efektif terhadap
Mycoplasma dan spesies Legionella.

7|FARMAKOTERAPI ii 4FA1
Waktu paruh dari dosis oral adalah 1-1,3 jam. Amox-klav ini
memiliki penetrasi jaringan yang baik tetapi tidak memasuki
cairan serebrospinal.
Makrolida Azitromisin : Mengikat subunit ribosom 50S dari mikroorganisme
dan memblok disosiasi tRNA peptidil dari ribosom,
menyebabkan sintesis protein RNA terhambat. Azitromisin
efektif untuk infeksi ringan sampai sedang.
Tetrasiklin Diindikasikan untuk organisme gram positif dan gram negatif, serta
infeksi mycoplasmal, chlamydial, dan rickettsial. Agen ini
menghambat sintesis protein bakteri dengan mengikat dengan
30S dan, mungkin, subunit ribosom 50S (s). Obat ini kurang
efektif dibandingkan eritromisin.
Semisintetis Cefditoren adalah cephalosporin semisintetik yang diberikan
Sefalosporin sebagai prodrug. Ini dihidrolisis oleh esterase selama penyerapan
dan didistribusikan dalam sirkulasi darah sebagai cefditoren
aktif.
Aktivitas bakteriolisis dihasilkan dari penghambatan sintesis
dinding sel melalui afinitas untuk protein penicillin-binding.
Untuk infeksi : H influenzae, H parainfluenzae, S pneumoniae
(penicillin-susceptible strains only), or M catarrhalis.
Trimethoprim- Trimethoprim-sulfamethoxazole menghambat sintesis bakteri asam
sulfamethoxazole dihydrofolic dengan bersaing dengan para-aminobenzoic acid,
menghasilkan penghambatan pertumbuhan bakteri.

f) Tujuan Pengobatan
1. Albuterol : untuk mendilatasi bronkus.
2. Mukolitik ( N. Asetilsistein ) : untuk mengencerkan dahak dan gejala lainnya.
3. Antibiotik ( Doxyciclin ) : untuk membunuh bakteri

g) Cara diagnostik
Pemeriksaan fisik
 Pasien tampak kurus dengan barrel shape.
 Suara nafas berkurang.
 Peranjakan hati mengecil.
 Tukak jantung berkurang

8|FARMAKOTERAPI ii 4FA1
Pemeriksaan objektif
 Pengecekan sputum
 Fototoraks pada bronkitis kronis memperlihatkan tubular shadow yang berupa
bayangan garis-garis.
 Tes fungsi paru ( Penurunan kapasitas vital dan Aliran ekspirasi yang berkepanjangan)
h) Pemantauan terapi.
1. Mengevaluasi gaya hidup.
2. Mengevaluasi terapi yang diberikan/ tidak ada efek samping dari terapi.

Soal no 3
No Doksisiklin Albuterol Asetilsistein

1. Golongan Obat Tetrasiklin β – 2 Agonis Mukolitik


2. Alasan Antibiotik, untuk Bronkodilator, untuk Mukolitik, untuk
pemberian obat membunuh bakteri melemaskan otot polos menghancurkan lendir
bronkus tebal yang menghalangi
jalan nafas
3. Mekanisme Kerja Menghambat sintesis Mengaktifkan adenil Memecah ikatan
protein dengan mengikat siklemase, enzim yag disulfida pada protein
subunit ribosom 30S dan merangsang produksi mukus sehingga dapat
50S adenosine siklik 3’, 5’ menurunkan viskositas
monoposfat (CAMP). mukus
Peningkatan CAMP akan
mengaktifasi protein
kinase A sehingga akan
menghambat posforilasi
dari miosin dan akan
menurunkan konsentrasi
dari Kalsium sehingga
otot akan merelaksasikan
4. Dosis Pemakaian Dosis lazim dewasa: 200 Untuk umur 4 Tahun & 600mg sehari dalam 3x
mg pada hari pertama Dewasa, 1-2 tarikan nafas dosis
(diberikan sebagai dosis setiap 4 hingga 6 jam
tunggal atau 100 mg setiap perhari
12 jam) diikuti dengan
dosis pemeliharaan 100

9|FARMAKOTERAPI ii 4FA1
mg/hari (diberikan sebagai
dosis tunggal atau sebagai
dosis 50 mg setiap 12 jam).
Untuk mengatasi infeksi
yang lebih berat (terutama
infeksi saluran kemih
kronis), 200 mg sehari
selama perioda terapi.
5. Efek Samping  Hipotensi  Tremor  Serangan jantung
 Edema  Mual  Hipertensi
 Takikardia  Muntah  Mual
 Sakit kepala  Muntah
 Berkeringat
6. Kontraindikasi  Alergi Untuk pasien iskemik Tidak dianjurkan untuk
 Anak dibawah 12 heart disease, toxaemia orang yang
Tahun hipersensitif/alergi
 Wanita hamil terhadap kandungan obat

 Tidak digunakan ini

dengan metoxyflurone
7. Interaksi Obat  Acitretin Dapat menyebabkan  Tidak dengan
 Metoksifluran resiko hypokalemia tetrasiklin
dengan kortikosteroid  Tidak dengan codein
 Tidak dengan
nitrogliserin

Dosisiklin
 Golongan Obat
Tetrasiklin
 Mekanisme Kerja
Doksisiklin yang bersifat lipofilik dan dapat menembus lapisan ganda lipid bakteri.
Selain kemampuannya itu, senyawa ini juga dapat mengikat subunit ribosom 30 S dan
subunit ribosom 50 S yang dapat menghalangi pengikatan aminoasil tRNA ke mRNA dan
menghambat sintesis protein bakteri, sehingga menyebabkan kematian bakteri.

10 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Dosis
Dosis awal pada orang dewasa biasanya 200 mg pada hari pertama pemberian yang
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 100 mg / hari. Dosis ini dapat diberikan dalam
sekali pemberian sehari / dosis tunggal atau dosis terbagi (setiap 12 jam). Pengobatan juga
harus diteruskan sampai minimal 1 – 2 hari setelah gejala dan demam menghilang. Pada
infeksi yang disebabkan oleh Streptococcus, pengobatan harus dilanjutkan minimal 10
hari.
 Efek Samping
 Kontraindikasi
 Interaksi Obat

11 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Kasus Otitis Media Akut (OMA)
B. OTITIS MEDIA
Ny B mengungkapkan keluhan Anak A (1.5 tahun) berat 11 Kg. Anak A mengeluh
sakit di bagian telinga, dengan suhu tubuh 39,20C, dan sering terbangun di saat malam
hari karena menangis. Dokter mendiagnosis Acute Otitis Media meresepkan obat
Amoksisilin clavulanat (amoxyclav 625mg) 2dd1 dan Parasetamol 500 mg, 4dd1.
1. Jelaskanlah Epidemiologi, etiologi dan patofisiologi penyakit pasien A?
2. Susunlah algoritm pengobatan Anak A (merujuk tata laksana AOM) , Penetapan
diagnosis Anak A, tujuan pengobatan Anak A dan Pemantauan terapi pada pasien
Anak A?
3. Sebutkanlah alasan pemberian Obat , paparkan dengan aspek Indikasi , mekanisme
kerja Obat, Golongan Obat , Dosis , Tata cara dan aturan pakai , Efek Samping ,
Kontraindikasi , Interaksi Obat (Major) yang mungkin terjadi selama pengobatan
dengan obat obat lain yang sedang dan akan digunakan pada pasien

12 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
JAWABAN KASUS OTITIS MEDIA AKUT
a) Definisi
Otitis media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba Eustachius, antrum mastoid dan sel sel mastoid
b) Epidemiologi
Ada lebih dari 709 juta kasus otitis media di seluruh dunia setiap tahun; setengah dari
kasus-kasus ini terjadi pada anak-anak di bawah usia 5 tahun. Penyakit otitis media sering
terjadi pada anak- anak ( 6 bulan – 2 tahun) daripada orang dewasa. Penyakit ini sering di
alami oleh anak – anak karena pada saluran tuba Eustachian masih terbilang pendek.
c) Etiologi
Otitis media akut bisa disebabkan oleh bakteri dan virus.
1. Bakteri.
Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering yaitu Streptococcus
pneumoniae (paling sering), Haemophilus influenza (sekitar 30%) dan Moraxella
catarrhalis (sekitar 20%).
Selain itu ada Streptococcus pyrogenes (group A beta – hemolytic),
Staphylococcus auereus, dan organisme gram negative lainnya (banyak ditemukan
pada anak dan neonates yang menjalani rawat inap di rumah sakit). Haemophilus
influenza sering dijumpai pada anak balita. Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada
orang dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada anak anak
2. Virus
Virus dapat dijumpai tersendiri atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang
lain. Virus yang paling sering dijumpai pada anak – anak yaitu respiratory syncytial
virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus (terbanyak 30 – 40 %). Selainnya 10 –
15 % dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa
dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, mengganggu fungsi system
pertahanan tubuh, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat
antimikroba dengan mengganggu farmakokinetikanya.

13 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
d) Patofisiologi

System pertahanan tubuh Peradangan


menurun

Terinfeksi bakteri atau virus Aktivasi mediator inflamasi

Edema mukosa saluran nafas Secret terakumulasi di telinga


(nasofaring,Tuba Eustachian) tengah

Tuba eustachius menyempit Membrane timfani rusak (tuli)

Refluks virus atau bakteri dari


nasofaring ketelinga tengah
melalui Tuba Eustachius

Telinga tengah radang

Otitis media akut terjadi karena terganggunya faktor pertahanan tubuh diawali pada
sebagian besar anak mulai mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) atau alergi,
sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran nafas atas, termasuk nasofaring
dan tuba eustachius. Tuba eustachius menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan
negative pada telinga tengah. Jika keadaan ini berlangsung lama, menyebabkan refluks
dan aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke telinga tengah melalui tuba eustachius.
Tuba eustachius yang sempit atau tersumbat maka drainase telinga tengah terganggu,
mengalami infeksi serta terjadi akumulasi secret di telinga tengah. Lalu terjadi proliferasi
mikroba pathogen pada secret. Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin
dan mediator inflamasi yang dilepaskan menyebabkan disfungsi tuba eustachius.
Virus respiratori ini dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga
pertahanan imun pasien terhadap infeksi bakteri. Jika secret dan pus bertambah banyak
dari proses inflamasi local, pendengaran dapat terganggu karena membrane timpani dan
tulang – tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi

14 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat merobek membrane timpani akibat tekanannya
meninggi.
Obstruksi tuba eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal.
Intraluminal (akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu timbul edema pada
mukosa tuba serta akumulasi secret di telinga tengah). Ekstraluminal (tumor, hipertropi
adenoid dll). Selain itu, sebagian besar pasien dengan Otitis media dihubungkan dengan
riwayat abnormal dari tuba eustachius.
Otitis media akut biasanya mengikuti infeksi saluran virus pernapasan atas yang
merusak aparat mukosiliar dan menyebabkan disfungsi tabung Eustachian di telinga
tengah. Telinga tengah adalah ruang di belakang membran timpani, atau gendang telinga.
Dalam otitis media, ruang ini menjadi tersumbat dengan cairan, menghasilkan membran
timpani yang menonjol dan eritematosa. Bakteri yang menjajah nasofaring masuk ke
telinga tengah dan tidak dibersihkan dengan baik oleh sistem mukosiliar .
Bakteri berkembang biak dan menyebabkan infeksi. Anak-anak cenderung lebih rentan
terhadap otitis media daripada orang dewasa karena anatomi tabung Eustachian mereka
lebih pendek dan lebih horizontal, memfasilitasi masuknya bakteri ke telinga tengah.
(dipiro)
Otitis media akut terjadi karena terganggunya faktor pertahanan tubuh. Sumbatan pada
tuba Eustachius merupakan faktor utama penyebab terjadinya penyakit ini. Dengan
terganggunya fungsi tuba Eustachius, terganggu pula pencegahan invasi kuman ke dalam
telinga tengah sehingga kuman masuk dan terjadi peradangan. Gangguan fungsi tuba
Eustachius ini menyebabkan terjadinya tekanan negatif di telingah tengah, yang
menyebabkan transudasi cairan hingga supurasi.
Pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Semakin
sering anak-anak terserang ISPA, semakin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi
dan anak terjadinya OMA sering terjadi karena: morfologi tuba eustachius yang pendek,
lebar, dan letaknya agak horizontal; sistem kekebalan tubuh masih dalam perkembangan;
adenoid pada anak relatif lebih besar dibanding orang dewasa dan sering terinfeksi
sehingga infeksi dapat menyebar ke telinga tengah. Beberapa faktor lain mungkin juga
berhubungan dengan terjadinya penyakit telinga tengah, seperti alergi, disfungsi siliar,
penyakit hidung atau sinus, dan kelainan sistem imun.

15 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
e) Algoritma Terapi

Apabila sudah mengkonsumsi amoxicillin dalam 30 hari konjungtivitis purulen


konkuren, atau riwayat AOM berulang yang tidak berespon terhadap amoxicillin maka
lakukan konseling apakah pasein alergi terhadap penisilin jika tidak berikan amoxicillin
clavulanat. Pada studi kasus yang terjadi pasien di resepkan amoksisilin clavulanat oleh
dokter hal ini membuktikan bahwa sebelumnya pasien sudah diberikan amoksisilin namun
tidak ada respon yang berarti sehingga diberikan amoksisilin clavulanat.
Namun apabila pasien tersebut sebelumnya belum pernah menerima amoxicillin dan
tidak alergi terhadap antibiotic penisilin maka berikan amoxicillin. Jika pasien yang sudah
menerima maupun yang belum pernah menerima amoxicillin alergi terhadap penisilin
apakah ada anaphyaxis atau reaksi mediasi IgE berat lainnya?
Jika iya, Pertimbangkan alternatifnya adalah macrolide atau klindamisin dan
sefalosporin. Jika pasien tidak memilliki reaksi IgE maka antibiotic alternatif yang
diberikan cefdinir, cefuroxime, cefpodoxime atau ceftriaxone.
f) Penetapan Diagnosis
Otitis media didiagnosis dengan melihat membrane timpani menggunakan otoscope.
Tes diagnostik lain adalah dengan mengukur kelenturan membrane timpani dengan
typanometer, dari tes ini akan tergambarkan ada tidaknya akumulasi cairan di telinga
bagian tengah, pemeriksaan lain menggunakan X-ray dan CT-scan ditujukan untuk

16 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
mengkonfirmasi adanya mastoiditis dan nekrosis tulang pada otitis media maligna ataupun
kronik.
g) Tujuan Pengebotan
Tujuan pengobatan adalah untuk meringankan sakit telinga dan demam, jika ada;
memberantas infeksi; mencegah komplikasi; dan hindari penggunaan antibiotik yang tidak
perlu.
h) Aspek Pengobatan
1. Amoksisilin clavulanat
 Indikasi
Infeksi saluran kemih, otitis media, sinusitis, infeksi pada mulut (lihat
keterangan di atas), bronkitis, uncomplicated community- acquired pneumonia,
infeksi Haemophillus influenza, salmonellosis invasif; listerial meningitis.
 Mekanisme kerja obat
Menghambat aktivitas enzim beta-laktamase yang sering ditemukan pada
berbagai mikroorganisme yang resisten terhadap golongan penisilin. Formulasi
amoksisilin dan asam klavulanat dalam Co Amoxiclav melindungi amoksisilin
dari penghancuran oleh enzim beta-laktamase dan secara efektif memperluas
spektrum antibiotika dari amoksisilin terhadap bakteri-bakteri yang biasanya
resisten terhadap amoksisilin dan berbagai antibiotika beta-laktam lainnya.
 Golongan obat
Penisilin spectrum luas
 Dosis
- Oral, dinyatakan sebagai amoksisilin, 250 mg setiap 8 jam, dosis digandakan
pada infeksi berat; Anak di bawah 6 tahun 125 mg; 6-12 tahun, 250 mg atau
untuk terapi jangka pendek dengan dosis dua kali sehari. Infeksi dental berat
(tapi umumnya bukan pilihan pertama, lihat catatan di atas), dinyatakan
sebagai amoksisilin, 250 mg setiap 8 jam selama 5 hari.
- Injeksi intravena selama 3-4 menit atau infus intravena, dinyatakan sebagai
amoksisilin, 1 g setiap 8 jam, ditingkatkan hingga 1 g setiap 6 jam pada
infeksi yang lebih berat; Bayi hingga 3 bulan 25 mg/kg bb setiap 8 jam (setiap
12 jam pada saat perinatal atau bayi prematur); ANAK 3 bulan – 12 tahun,
25 mg/kg bb setiap 8 jam ditingkatkan hingga 25 mg/kg bb setiap 6 jam pada
infeksi yang lebih berat.

17 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
- Profilaksis bedah, dinyatakan sebagai amoksisilin, 1 g saat induksi; untuk
bedah dengan risiko tinggi (seperti operasi kolorektal) sampai dengan 2-3
dosis berikutnya 1 g dapat diberikan setiap 8 jam.
 Aturan pakai
- Sediaan Tablet dosis Bayi umur < 12 bulan : Dosis lazimnya: 30 mg/kg/hari
2 kali sehari.
- Bayi umur > 12 minggu (3 bulan) atau lebih : Dosis 45 mg/kg/hari dibagi
dalam 2 dosis.
- Dosis lazim dewasa: 500 mg diminum 2 kali sehari atau 250 mg tablet
diminum 3 kali sehari
- Suspense oral Dosis lazim: 250 mg/5 mL suspensi 3 kali sehari.
- Dosis infeksi parah: Co Amoxiclav 250 mg/5 ml sebanyak 2 sendok takar, 3
kali sehari
 Efek samping
Gastrointestinal: perut terasa tidak nyaman, buang air besar lembek, mual,
muntah. Genitourinari: vaginitis Vaginal mycosis: cholestatic jaundice, flatulensi,
sakit kepala, disfungsi hepatik, peningkatan waktu prothrombin, thrombocytosis.
 Kontraindikasi
Hipersensitifitas pada penisilin, riwayat jaundice karena co amoksiklav atau
jaundice karena penisilin atau disfungsi hati.
 Interaksi obat
- Allopurinol
- Chloramphenicol
- Macrolides
- Oral contraceptives
- Probenecid
- Sulfonamides
- Tetracyclines
2. Parasetamol
 Indikasi
Demam nyeri ringan sampai sedang.
 Mekanisme kerja obat
Menghambat sintesis prostaglandin di otak.

18 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Golongan obat
Antipiretik dan analgesic
 Dosis

 Aturan pakai
Dewasa : sehari 3 kali 1-2 tablet
 Efek samping
Terjadi reaksi hipersensitivitas, ruam kulit, kelainan darah (termasuk
trombositopenia, leukopenia, neutropenia), hipotensi juga dilaporkan pada infus.
 Kontraindikasi
Gangguan fungsi hati berat, hipersensitivitas.
 Interaksi obat
- Imatinib
- Isoniazid
- Pixantrone

19 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Kasus Faringitis
C. FARINGITIS
Pasien Anak N ( 14 tahun, 40 Kg) mengeluhkan nyeri tenggorokan, kesulitan menelan,
serak, sakit kepala , dan sedikit mual. Terlihat pembengkakan pada tonsil dan kelenjar
limfe di leher, Lesu dan lemah , nyeri pada sendi-sendi otot, dan nyeri pada telinga.
Pasien alergi Type 1 terhadap Amoksisilin. Dokter mendiagnosis acute pharyngitis (AP)
dan diresepkan Clindamycin 300 mg 3dd1 dan Ibuprofen 400 mg 3dd1.
1. Jelaskanlah Epidemiologi, etiologi dan patofisiologi penyakit pasien N?
2. Susunlah algoritm pengobatan ABR, Penetapan diagnosis ABR, tujuan pengobatan
ABR dan Pemantauan terapi pada pasien Tn S?
3. Sebutkanlah alasan pemberian Obat , paparkan dengan aspek Indikasi , mekanisme
kerja Obat, Golongan Obat , Dosis , Tata cara dan aturan pakai , Efek Samping ,
Kontraindikasi , Interaksi Obat (Major) yang mungkin terjadi selama pengobatan
dengan obat obat lain yang sedang dan akan digunakan pada pasien

20 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
JAWABAN KASUS FARINGITIS
a) Epidemiologi
Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3−5 kali infeksi virus pada
saluran pernafasan atas termasuk faringitis (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2013). Frekuensi munculnya faringitis lebih sering pada populasi anak-anak (20 – 30%)
dan pada orang dewasa (5 -15%). Bakteri Streptokokus beta hemolitikus grup A (GABHS,
dikenal juga sebagai Streptococcus pyogenes).
GABHS umumnya dikenal sebagai “radang tenggorokan.” yaitu penyebab bakteri
yang paling umum dan dipengaruhi perubahan musim. Penyebaran biasanya terjadi karena
adanya kontak langsung dari penderita seperti biasanya dari tangan, dengan tetesan saliva
atau sekresi hidung, area yang padat dll. Masa Inkubasi fangitis yang di sebabkan oleh
bakteri GABHS umumnya 2-5 hari. Sedangkan untuk anak usia dibawah 3 tahun, jarang
disebabkan oleh GABHS
b) Etiologi
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus
(40−60%), bakteri (5−40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Virus menyebabkan
sebagian besar kasus faringitis akut. Virus yang menyebabkan faringitis yaitu rhinovirus
(20%), coronavirus (5%), adenovirus (5%), virus herpes simpleks (4%), virus influenza
(2%), virus parainfluenza (2%), dan virus Epstein-Barr (1 %).
Dari semua penyebab bakteri, GABHS adalah yang paling umum (10% - 30% orang
dari segala usia dengan faringitis). Pada pediatrik, GABHS menyebabkan 15% - 30%
kasus faringitis. Pada orang dewasa, GABHS menyebabkan 5% sampai 15% dari kasus
faringitis. Penyebab faringitis akut lainnya yang kurang umum adalah Streptococcus
Kelompok C dan G, Corynebacterium diphtheriae, Neisseria gonorrhoeae, Mycoplasma
pneumoniae, Arcanobacterium haemolyticum, Yersinia enterocolitica, and Chlamydia
pneumoniae.

21 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
c) Patofisiologi

Patofisiologi dari faringitis akut adalah penularan terjadi melalui droplet. Kuman
menginfiltrasi lapisan epitel kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial
bereaksi terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada
stadium awal terdapat hiperemi, kemudian oedem dan sekresi yang meningkat.
Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan cenderung menjadi kering dan
dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring
menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih, atau abu – abu terdapat
folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel dan bercak – bercak pada dinding
faring posterior atau terletak lebih ke lateral menjadi meradang dan membengkak sehingga
timbul radang pada tenggorok atau faringitis.

22 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
d) Algoritma Pengobatan ABR
Berdasarkan gejala yang dialami oleh pasien dan rekomendasi obat dari dokter bahwa
dokter meresepkan antibiotik, dimana antibiotik merupakan obat antibakteri. Maka pada
kasus diatas dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami faringitis akut bakterial.
Pada dasarnya, faringitis akut bakterial ini sering disebabkan oleh Infeksi
Streptococcus ß hemolyticus group A yang merupakan penyebab faringitis akut pada orang
dewasa (15%) dan pada anak (30%).

Berdasarkan bagan diatas apabila pasien tidak memiliki faktor resiko untuk resisten
dan jika pasien tidak alergi terhadap amoxicillin maka dapat diberikan amoxicillin dosis
standar +/- klavulanat atau bisa diberikan doxycycline (hanya untuk orang dewasa).
Apabila alergi terhadap amoxicillin, untuk orang dewasa maka dapat diberikan respiratory
fluoroquinolone atau doxycycline.
Dan untuk anak- anak dapat diberikan levofloxacin atau clyndamycin dengan
ditambah cefixime atau linezolid kombinasi cefixime atau dengan pemberian monoterapi
celdinir, cefpodoxime, atau cefuroxime (dianjurkan tes alergi kulit bila menggunakan
sefalosforin).
Apabila pasien memiliki faktor resiko untuk resisten dan jika pasien tidak alergi
terhadap amoxicillin maka dapat diberikan amoxicillin dosis tinggi +/- klavulanat atau bisa
diberikan respiratory fluoroquinolone atau dapat diberikan clindamycin yang
dikombinasikan dengan cefixime atau cefpodoxime.

23 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Apabila alergi terhadap amoxicillin, untuk orang dewasa maka dapat diberikan
respiratory fluoroquinolone atau doxycycline. Dan untuk anak- anak dapat diberikan
levofloxacin atau clyndamycin dengan ditambah cefixime atau linezolid kombinasi
cefixime atau dengan pemberian monoterapi celdinir, cefpodoxime, atau cefuroxime
(dianjurkan tes alergi kulit bila menggunakan sefalosforin).
Pemilihan terapi obat untuk pasien faringitis bakterial dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.

Berdasarkan kasus diatas, pasien didiagnosis faringitis akut. Dari gejalanya pasien
menderita faringitis bakterial sehingga dapat diberikan obat seperti pada tabel diatas.
Namun karena pasien masih anak-anak dan alergi terhadap amoxicillin yang merupakan
terapi first line untuk faringitis akut bakterial yang disebabkan oleh Streptococcal maka
dokter merekomendasikan Clindamycin 300mg 3 kali sehari.
Namun sebenarnya dosis tersebut digunakan untuk dosis orang dewasa. Seharusnya
dosis untuk anak 20mg/kg/hari dalam 3 dosis. Namun atas pertimbangan lain mungkin
dokter meresepkan Clindamycin 300mg 3 kali sehari. Clindamycin memang
direkomendasikan untuk pasien yang hipersensitif terhadap penisilin dan digunakan untuk
infeksi berulang.

24 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Untuk memperjelas terapi faringitis akut dapat dilihat pada tabel berikut dibawah ini:

Selain pemberian terapi untuk faringitis akut, diberikan pula obat (terapi pendukung)
untuk meredakan gejala yang dirasakan oleh pasien faringitis.

25 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Pada kasus diatas, dokter meresepkan ibuprofen 400mg 3 kali sehari untuk terapi
pendukung sebagai obat analgetik (pereda nyeri) dan antipiretik (penurun panas). Selain
itu, ada terapi pokok penatalaksanaan komprehensif penyakit faringitis akut, yaitu:
1. Istirahat cukup
2. Minum air putih yang cukup
3. Berkumur dengan air yang hangat.
e) Penetapan Diagnosis ABR
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang bila diperlukan. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
 Anamnesis
Harus sesuai dengan mikroorganisme yang menginfeksi. Secara garis besar
pasien faringitis mengeluhkan lemas, anorexia, demam, suara serak, kaku dan sakit
pada otot leher. Gejala khas berdasarkan jenis mikroorganisme faringitis bakterial
biasanya pasien mengeluhkan nyeri kepala hebat, muntah, kadang disertai demam
dengan suhu yang tinggi dan jarang disertai batuk.
 Pemeriksaan Fisik
Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan
tonsil hiperemis dan terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian
timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa
leher anterior membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.

26 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Pemeriksaan Penunjang
Faringitis didiagnosis dengan cara pemeriksaan tenggorokan (kultur apus
tenggorokan). Pemeriksaan kultur memiliki sensitivitas 90−95% dari diagnosis,
sehingga lebih diandalkan sebagai penentu penyebab faringitis. (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2005).
Dari kasus diatas berdasarkan gejala yang diderita oleh pasien, gejala yang
dialami sesuai dengan hasil penetapan diagnosis faringitis akut berupa faringitis
bakterial baik dari anamnesis maupun dari pemeriksaan fisik.
f) Tujuan Pengobatan ABR
Penatalaksanaan Penatalaksanaan dari penyakit faringitis harus sesuai dengan
penyebabnya. Tujuan pengobatannya untuk mengatasi gejala secepat mungkin, membatasi
penyebaran infeksi serta membatasi komplikasi.
g) Pemantauan Terapi Pada Pasien
Evaluasi Terapi
 Jika pasien mendapatkan farmakoterapi, harus dipantau keamanan efikasi terapinya ,
dan kepatuhan pasien.
 Pastikan apakah terapi antibiotik yang diindikasikan telah sesuai.
 Pastikan apakah pasien memiliki cakupan resep dan apakah antibiotik yang diinginkan
dilindungi oleh dan telah diasuransikan.
Evaluasi Tindak Lanjut
 Evaluasi kembali jika gejalanya bertahan melebihi 5 hari atau memburuk.
 Jika infeksi berulang atau sinusitis kronis berkembang, rujuk ke spesialis.
h) Alasan pemberian obat
 Clindamycin : Pada kasus di atas pasien alergi type 1 terhadap amoksisilin.
Amoksisilin ini pada terapinya pilihan pertama pada pengobatan faringitis. Namun
karena pasien alergi terhadap amoksisilin yang dimana amoksisilin ini first line pada
pengobatan ini, dilanjutkan dengan line ke 2 yaitu salah satunya clindamycin.
 Ibuprofen: pemberian ibuprofen pada pasien untuk meredakan nyeri dan mengobati
indikasi pasien yang mengalami nyeri pada bagian tenggorokan.
i) Indikasi
 Klindamycin: Infeksi serius yang disebabkan oleh mikroorganisme yang sensitif
terhadap Clindamycin terutama Streptokokus, Pneumokokus, Stafilokokus dan

27 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
bakteri anaerob sepeti infeksi serius saluran nafas bagian bawah, infeksi serius kulit
dan jaringan lunak, osteomielitis, infeksi serius intra-abdominal.
 Ibuprofen : analgesik antipiretik
j) Mekanisme kerja obat
 Klindamycin: menghambat sintesis protein bakteri yaitu dengan mengikat subunit
ribosom 50s dari bakteri
 Ibuprofen: penghambat nonselektif dari enzim
k) Golongan obat
 Klindamycin: antibiotik lincosamide
 Ibuprofen: anti inflamasi non steroid
l) Dosis
 Klindamycin: dewasa 300 mg 3 kali sehari, pediatrik:
 Ibuprofen: dewasa: 3 – 4 x 200 – 400 mg per hari. anak: 20 mg/kg/hari dalam dosis
terbagi.
m) Efek samping
 Klindamycin: mual, muntah, pola pencernaan berubah, sakit tenggorokan.
 Ibuprofen: mual, muntah, diare, konstipasi, nyeri perut atau rasa terbakar pada perut
bagian atas, ruam kulit, penurunan kadar trombosit, penurunan kadar limfosit darah,
dan gangguan penglihatan.
n) Kontraindikasi
 Klindamycin: Reaksi hipersensitif terhadap clindamycin HCl atau linkomisin.
 Ibuprofen: Penderita yang mengalami nyeri operasi karena pembedahan bypass
grafting arteri koroner (CABG), yaitu operasi pada jantung untuk meningkatkan aliran
darah ke jantung. Pasien yang mengalami asma, urtikaria (ruam-ruam merah karena
alergi), riwayat perdarahan saluran pencernaan.
o) interaksi obat
 Klindamycin: Antidiare, adsorbens, tidak dianjurkan penggunaan bersama-sama
dengan kaolin atau attapulgite yang dikandung dalam obat antidiare.
 Ibuprofen: Risiko perdarahan saluran pencernaan akibat ibuprofen dapat meningkat
jika digunakan bersamaan dengan warfarin, kortikosteroid, obat penghambat
penyerapan serotonin selektif (SSRIs), serta aspirin. menurunkan kandungan natrium
pada urine jika dikonsumsi bersamaan dengan obat diuretik. mengurangi efek

28 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
antihipertensi dari penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE inhibitors) atau
penghalang reseptor angiotensin II (ARBs).

29 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
KASUS MATERI INFEKSI SISTEM PERNAPASAN BAWAH (ISPB)

Kasus Infeksi Tuberculosis


Patient A was originally administered isoniazid, rifampin, pyrazinamide, and
ethambutol for 7 days per week for 8 weeks, followed by isoniazid and rifampin 7 days per
week for 24 weeks. After two months he returned to the hospital, concerned that he had been
“coughing up blood” over the previous 3 days. In addition to hemoptysis, he revealed that,
since his previous visit, he had continued to feel malaise, was continuing to lose weight, and
had been experiencing night sweats.
The emergency room physician immediately transferred the patient for isolation in a
local hospital. A repeat chest radiograph revealed progressive bilateral fibronodular disease
with a “miliary” pattern. The patient was given a 20-month regimen of levofloxacin,
kanamycin, cycloserine, pyrazinamide and prothionamide. Following completion of
therapy, closure of the destruction cavity was found with local pneumofibrosis.
Pertanyaan :
1. Apakah definisi TB, epidemiologi, etiologi dan patofisiologi dari TB
2. Pasien diatas menderita MDR TB. Apakah perbedaan utama dari MDR TB dan XDR
TB, dan buatlah algoritme pengobatan untuk pasien MDR TB?
3. Buatlah rencana perawatan pasien TB diatas beserta monitoring yang diperlukan pada
pasien?

30 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
JAWABAN KASUS TUBERCULOSIS
Soal no 1
a) Pengertian TBC
Tbc merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
b) Epidemiologi TBC :
 Refort 2013 : TB paru = 6,6 juta kasus meninggal =1,3 juta kasus.
 Refort 2014: TB Paru = 9 juta kasus, meninggal =1,5 juta kasus.
 Kematian kasus TB, ±400/hari.
 Indonesia peringkat ke 4 didunia, setelah Cina, India, afrika selatan.
c) Etiologi TBC :
Penyebabnya adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang
yang tahan asam atau sering disebut sebagai basil tahan asam, intraseluler, dan bersifat
aerob.
d) Patofisiolog TBC :
M. tuberculosis ditularkan dari orang ke orang oleh batuk atau aktivitas penghasil aerosol
lainnya.
Menghirup nuklei droplet yang mengandung M. tuberculosis.

Terjadinya infeksi primer

Perkembangan penyakit klinis tergantung pada tiga faktor:


(1) jumlah organisme M. tuberculosis yang dihirup (menginfeksi dosis)
(2) virulensi organisme ini
(3) host cell-mediated immune response

Makrofag paru menghambat Tidak menghambat M.


atau membunuh bacilli tuberkulosis

infeksi tidak terjadi menyebar ke seluruh


tubuh melalui aliran
darah.seluruh tubuh
melalui

31 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Limfosit T menjadi diaktifkan selama 3 hingga 4 minggu,

menghasilkan interferon-γ (IFN-γ) dan sitokin lainnya.

merangsang makrofag mikrobisida untuk mengelilingi


fokus tuberkulosis

membentuk granuloma untuk mencegah perluasan lebih


lanjut

apabila terjadi penurunan


sistem imun, dinding makrofag
menjadi kehilangan integritas
dan bakteri dapat terlepas

menyebar bakteri alveoli dan organ


lisis lain

Soal no 2
Terdapat 5 kategori resistansi terhadap obat anti TB, yaitu :
 Monoresistance: resistan terhadap salah satu OAT, misalnya resistan isoniazid (H)
 Polyresistance: resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid (H) dan
rifampisin (R), misalnya resistan isoniazid dan etambutol (HE), rifampisin etambutol
(RE), isoniazidetambutol dan streptomisin (HES), rifampisin etambutol dan streptomisin
(RES).

32 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Multi Drug Resistance (MDR): resistan terhadap isoniazid dan rifampisin, dengan atau
tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya resistan HR, HRE, HRES.
 Extensively Drug Resistance (XDR) TB MDR disertai resistansi terhadap salah salah satu
obat golongan fluorokuinolondan salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin,
kanamisin dan amikasin).
 TB Resistan Rifampisin (TB RR) Resistan terhadap rifampisin (monoresistan, poliresistan,
TB MDR, TB XDR) yang terdeteksi menggunakan metode fenotip atau genotip dengan
atau tanpa resistan OAT lainnya.
Untuk logaritma terhadap pasien MDR TB :
*Khusus untuk pasien MDR TB dianjurkan untuk menggunakan terapi obat lini kedua seperti
kanamisin, amikasin, kapreomisin, sikloserin, PAS, dan golongan kuinolon. Karna kondisinya
sudah resisten terhadap obat lini pertama.
Paduan standar OAT MDR yang diberikan di Indonesia adalah :
 Km – Eto – Lfx – Cs – Z-(E) / Eto – Lfx – Cs – Z-(E)
Jika pasien sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, Kanamisin diganti dengan
Kapreomisin. Maka paduan standar adalah sebagai berikut:
 Cm – Lfx – Eto –Cs –Z – (E) / Lfx – Eto – Cs –Z – (E)
Jika pasien sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon, Levofloksasin diganti
dengan Moksifloksasin dan penggunaan Para Amino Salisilat. Maka paduan standar
adalah sebagai berikut:
 Km – Mfx – Eto –Cs – PAS – Z – (E) / Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)
Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB XDR) maka
paduan standar adalah sebagai berikut:
 Cm – Mfx – Eto –Cs – PAS – Z – (E) / Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)
Jika pasien resisten terhadap Parazinamid, diganti dengan Etambutol.

Soal no 3
Rencana perawatan pasien TB MDR
Pemberian Obat Tahap awal
 Untuk obat pemberian peroral dberikan selama seminggu / setiap hari, dengan dosis
minimal yang harus diberikan 168 dosis
 Pemberian obat dengan rute suntikan diberikan selama 5 hari dalam seminggu, dosis
minimal yang harus diberikan 120 dosis

33 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
(Pada setiap pemberian atau meminum obat sebaiknya didampingi Pendamping Meminum
Obat)
Pada tahap lanjutannya obat dengan peberian oral menjadi selama 6 hari dalam seminggu,
dan pada pemberian obat suntikan tidak lagi diberikan
Monitoring Pada pasien
Monitoring yang harus diperhatikan terhadap selama pemberian obat adalah
mengontrol efek samping ringan dan efek samping berat yang kemungkinan terjadi pada pasien
Efek samping ringan yang muncul
 Alergi pada kulit
OAT Penyebab : Eto,Km, Z
Penanganan :
 Berikan obat antihistamin untuk mengurangi reaksi alergi
 Pemberian obat tetap dilanjutkan
 Mual muntah
OAT Penyebab : Z, Lfx,
Penanganan :
 Pantau pasien untuk mengetahui berat ringannya keluhan yang terjadi
 Berikan Obat anti emetik atau domperidone 30 mg untuk mengurangi reaksi mual
muntah
 Singkirkan sebab lain seperti gangguan hati, diare karena infeksi, pemakain alkohol
atau merokok atau obat-obatan lainnya
 Jika efek samping semakin berat, berikan rujukan ke fasyankes pasien TB MDR

 Nyeri kepala
OAT Penyebab : Eto , Cs
Penanganan :
 Berikan obat analgetik untuk mengurangi gejala
 Hindari OAINS (obat antiinflamasi antisteroid) pada pasien dengan gastritis berat
dan hemoptysis
 Tingkatkan pemberian piridoksin menjadi 300 mg bila pasien mendapat cs
 Pemberian paduan parasetamol dengan kodein atau amitriptilin bila nyeri kepala
menetap

34 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Gangguan tidur
OAT Penyebab : Lfx
Penanganan :
 Berikan OAT golongan koinolon pada pagi hari atau jauh dari waktu tidur pasien
 Lakukan konseling mengenai pola tidur yang baik
 Pemberian diazepam
 Perubahan perilaku
OAT Penyebab : Cs
Penanganan :
 Pilihan obat adalah haloperidol
 Pemberian 50 mg B6 setap 250 mg Cs
Efek Samping Berat yang muncul
 Gangguan pendengaran
OAT Penyebab : Km
Penanganan :
 Test Audiometri untuk mengetahui fungsi pendengaran pada pasien
 Periksa data baseline untuk memastikan bahwa gangguan pendengaran disebabkan
oleh OAT atau sebagai pemburukan gangguan pendengaran yang sudah ada
sebelumnya
 Evaluasi kehilangan pendengaran dan singkirkan sebab lain ssperti infeksi telinga,
sumbatan dalam telinga, trauma, dll.
 Periksa kembali pasien setiap minggu atau jika pendengeran semakin buruk selama
beberapa minggu berikutknya hentikan kanamisin
 Kejang
OAT Penyebab : Cs, Lfx
Penanganan :
 Hentikan sementara pemberian OAT yang menjadi penyebab kejang.
 Berikan obat anti kejang, misalnya penitoin 3-5 mg/hari/kg BB atau berikan
diyazetpam iv 10 mg (bolus perlahan) serta bila perlu naikkan dosis vitamin B6 s/d
200 mg/hari.
 Upayakan untuk mencari tahu riwayat atau kemungkinan penyebab kejang lain
(meningitis,enefalitis,pemakaian obat,alcohol atau trauma kepala).

35 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Apabila kejang terjadi pertama kali maka lanjutkan pengobatan TB MDR tanpa
pemberian sikloserin selama 1-2 minggu. Setelah itu sikloserin dapat diberikan
kembali dengan dosis uji Piridoksin (vit B6) dapat diberikan sampai 200 mg/hari.
 Berikan propilaksis kejang yaitu peritoin 3-5mg/kg/hari jika menggukan peritoin
dan pirazinamin bersama-sama, pantau fungsi hati, hentikan pirazinamid jika hasil
faal hati abnormal
 Pengobatan profilaksis kejang dan dapat dilanjutkan sampai pengobatan TB MDR
selesai atau lengkap
 Gangguan fungsi ginjal
OAT Penyebab : Km, Cm
Penanganan :
 Pasien beresiko tinggi yaitu pasien dengan diabetes mellitus atau riwayat gangguan
ginjal harus dipantau gejala dan tanda gangguan ginjal: edema, penurunan produksi
urine, malaise, sesak nafas dan renjatan
 Lakukan rujukan TB MDR bila ditemukan gejala yang mengarah kegangguan
ginjal
 Jika terdapat gangguan ringan (kadar kreatinin 1.5 – 2.2 mg/dl), hentikan
kanamisin sampa kadar kreatinin menurun. TAK dengan rekomendasi ahli
nefrologi akan menetapkan kapan suntikan akan kembali diberikan
 Untuk kasus sedang dan berat (kadar kreatinin > 2.2 mg/dl), hentikan semua obat
dan lakukan perhitungan GFR (glomerular filtration rate)
 Jika GFR atau klirens (creatinin clearance) < 30 ml/menit atau pasien akan
mendapat hemodialisa maka lakukan penyesuaian dosis OAT sesuai tabel
penyesuaian dosis
 Bila setelah penyesuaian dosis kadar kreatinin tetap tinggi maka hentikan
pemberian kanamisin, pemberian kapreomisin mungkin membantu
 Perdarahan lambung
OAT Penyebab :Z
Penanganan :
 Hentikan pemberian OAT sampai 7 hari setelah perdarahan lambung terkendali
 Hipertiroid
OAT Penyebab : Eto
Penanganan :

36 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Gejala dengan ditandai kulit kering, kelelahan, dan tidak tahan terhadap suhu
dingin.
 Penatalaksanaan dilakukan di RS rujukan oleh TAK bersama seorang ahli
endokrinologi atau ahli penyakit dalam
 Diagnosis hiportiroid ditegakan berdasarkan penngkatan kadar TSH (kadar normal
< 10 mU /I)
 Ahli endokrin memberikan rekomendasi pengoabatan dengan
levotiroksin/natiroksin serta evaluasinya.
 Kelainan fungsi hati
OAT Penyebab : Z, Eto, Lfx
Penanganan :
 Hentikan semua OAT, segera lakukan rujukan TB MDR
 Pasien dirawat inapkan untuk penilaian lanjutan menjadi lebih berat
 Periksa serum darah untuk kadar enzim hati
 Singkirkan kemungkinan penyebab lain, selain hepatitis. Lakukan anamnesis ulang
tentang riwayat hepatitis sebelumnya.
 Reaksi alergi toksik menyeluruh
OAT Penyebab : Semua OAT yang diberikan
Penanganan :
 Berikan pengobatan segera seperti dibawah ini sambil dirujuk ke fasyankes rujukan
TB MDR :
a. Berikan CTM untuk gatal – gatal
b. Berikan parasetamol bila demam
c. Berikan prednisone 60 mg per hari atau suntikan deksametason 4 mg 3 kali
sehari jika tidak ada prednisolone
d. Ranitidine 150 mg 2x sehariatau 300 mg pada malam hari
 Rujukan TB MDR :
a. Berikan antibiotik jika ada tanda infeksi kulit
b. Lanjutkan semua pengobatan alergi sampai perbaikan, tappering off
kortikosteroid jika digunakan sampai 2 minggu
c. Pengobatan jangan terlalu cepat dimulai kembali. Tunggu sampai perbaikan
klinis. TAK merancang paduan pengobatan selanjutnya tanpa
mengikutsertakan OAT yang diduga sebagai penyebab

37 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Pengobatan dimulai secara bertahap dengan dodsis terbagi terutama bila dicurigai
efek samping terkait dengan dosis obat. Dosis obat perhari tidak boleh dikurangi (
harus sesuai dengan berat badan ) kecuali bila ada data bioavaibilitas obat
(therapeutic drug monitoring). Dosis yang digunakan disebut dosis uji yang
diberikan selama 15 hari.
 Syok anafilaktik
OAT Penyebab : Km
Penanganan :
 Segera lakukan rujukan TB MDR
- Berikan pengobatan segera seperti dibawah ini sambil dirujuk ke fasyankes
rujukan TB MDR : Adrenali 0.2 – 0.5 ml, 1:1000 SC, ulangi jika perlu; Pasang
infus caira IV untuk jika perlu
 Beri kortikosteroid yang tersedia misalnya hidrokortison 100 mg im atau
deksametason 10 mg iv, jika perlu
 Gangguan elektrolit berat (barrter like syndrome)
OAT Penyebab : Km
Penanganan :
 Merupakan gangguan elektrolit berat yang ditandai dengan hypokalemia,
hipokalsemia dan hipomagnesenia dan alkalosis hipoklorik metabolic secara
bersamaan dan mendadak
 Disebabkan oleh gangguan fungsi tubulus ginjal akibat pengaruh nefrotoksik OAT
suntikan
 Lakukan pengantian elekorit sesuai pedoman
 Berikan amilorid atau spironolakton untuk mengurangi sekresi elektrolit
 Tendinitis
OAT Penyebab : Lfx
Penanganan :
 Singkirkan penyebab lain seperti gout, arthritis, rematoid, skleroderma sistemik
dan trauma
 Untuk meningkatkan gejala maka istirahatkanlah daerah yang terkena, berikan
termoterapi panas/dingin dan berikan OAINS (aspirin,ibuprofen)
 Suntikan kortikosterid pada daerah yang meradang akan membantu
 Bila sampai terjadi ruptur tendon maka dilalkukan tindakan pembedahan

38 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Kasus Infeksi Tuberculosis ii
A 67-year-old Hispanic male was diagnosed with drug susceptible pulmonary TB in
September 2005. He presented with a three week history of night sweats, weight loss,
nausea, shortness of breath, and a productive cough. A chest radiograph (CXR) revealed
extensive bilateral cavitary disease. He was Hepatitis C positive with elevated baseline liver
enzymes; his HIV testing was negative. Sputum smears were Acid Fast Bacilli (AFB)
positive with greater that 10 organisms per high powered fi eld (4+; see ToolAcid Fast
Bacilli (AFB) Smear Reporting for Mycobacterium tuberculosis) The patient’s weight at
diagnosis was 96 pounds (43.6 kilograms).
The patient’s history included heroin addiction (stopped in 1997), cigarette and alcohol
use, and incarceration. He was hospitalized in 1983 with a gunshot wound which resulted
in a nephrectomy and a colostomy. The colostomy was reanastomosed at a later date. On
September 30, 2005 the patient was started on standard four daily drug therapy with
isoniazid (INH) 300 mg, rifampin (RIF) 600 mg, pyrazinamide (PZA) 1000 mg, and
ethambutol (EMB) 800 mg with vitamin B6 50 mg
Pernyataan
1. Buatlah alur diagnosis TB dan tindak lanjut TB pada pasien dewasa (bukan suspek
MDR TB dan tes HIV negative)
2. Buatlah list obat obat yang termasuk first line terapi untuk TB, berikut mekanisme
kerja, dosis, efek samping, dan monitoring pasien per obat yang muncul dari
penggunaan first line terapi ?
3. Apakah tujuan pengobatan TB, dan jelaskan bagaimana cara yang disarankan WHO
dalam meminimalisir penyebaran TB ?

39 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
JAWABAN KASUS TUBERCULOSIS
Soal 1
 Pengertian
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang sebagian besar menyerang pada paru-paru, namun dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya melalui aliran darah.
 Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan definisi-kasus, yaitu:
1. Organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung: BTA positif atau BTA negatif
3. Riwayat pengobatan sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati;
4. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
 Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan parenchym paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi
dalam:
1) Tuberkulosis Paru BTA Positif.
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
- Spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis aktif.
2) Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
TB Paru BTA Negatif Rontgen Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgen
dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses "far
advanced" atau millier), dan/atau keadaan umum penderita buruk.
 Tuberkulosis Ekstra Paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Klasifikasi TB
terbagit menjadi 5 berdasarkan lokasi penyebaran bakteri, yaitu TB paru, TB meningitis,
TB skeletal, TB genitourinary dan TB gastrointestina.

40 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
TATA LAKSANA
Pengobatan kategori I :

2HRZE / 4H3R3

Laki-laki >> 65Thn 21%


Keterangan :
Hispanik 28%
H : Isoniazid
BB Turun Karena nafsu makan
menurun akibat mual, nyeri dada R : Rifampisin
sehingga sulit nafas, batuk Z : Pyrazinamid
berdahak, keringat di malam hari.
E : Ethambutol

Dosis :
Isoniazid : 300mg
Rifampisin : 450mg
Tab PZA : 500mg
Tab ETB : 250mg

(Pustaka ; Pharmaceutical care M.Tuberculosis)

41 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
42 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Keterangan:
a. Pemeriksaan klinis secara cermat dan hasilnya dicatat sebagai data dasar kondisi pasien dalam
rekam medis. Untuk faskes yang memiliki alat tes cepat, pemeriksaan mikroskopis langsung
tetap dilakukan untuk terduga TB tanpa kecurigaan / bukti HIV maupun resistensi OAT.
b. Hasil pemeriksaan BTA negative pada semua contoh uji dahak (SPS) tidak menyingkirkan
diagnosis TB, Apabila akses memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan tes cepat dan
biakan. Untuk pemeriksaan tes cepat dapat dilakukan hanya dengan mengirimkan contoh uji.
c. Sebaiknya pembacaan hasil foto toraks oleh seseorang ahli radiologi.
d. Pemberiaan AB non OAT yang tidak memberikan efek pengobatan TB termasuk golongan
kuinolon.
e. Untuk memastikan diagnosis TB
f. Dilakukan TIPK (Test HIV atas inisiatif pemberi pelayanan kesehatan dan konseling)
g. Bila hasil pemeriksaan ulang tetap BTA negative, lakukan observasi dan assessment lanjutan
oleh dokter untuk factor-faktor yang bisa mengarah ke TB.

Soal 2
List obat yang termasuk first line terapi untuk TB

 KATEGORI-1 untuk penderita baru TB Paru BTA Positif, penderita baru TB Paru BTA
negatif Röntgen Positif yang “sakit berat”, penderita TB Ekstra Paru berat
 KATEGORI-2 untuk penderita TB paru BTA (+) yang sebelumnya pernah diobati, yaitu
penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure), penderita dengan pengobatan setelah
lalai (after default).

43 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 KATEGORI-3 untuk penderita baru BTA negatif dan röntgen positif sakit ringan,
penderita TB ekstra paru ringan.
Keterangan : H = Isoniazid, R = Rifampisin, Z = Pirazinamid, E = Etambutol, S =
Streptomisin, Indonesia menggunakan yang ditandai merah.

Berdasarkan tabel diatas didapatkan bahwa untuk first line pengobatan TB pada pasien
sesuai kasus yang termasuk penderita baru TB Paru BTA positif menggunakan 2HRZE/4H3R3
yang artinya untuk tahap awal/intensif lama pengobatannya 2 bulan masing masing OAT
(isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambutol) diberikan setiap hari, lalu tahap lanjutan dengan
lama pengobatan 4 bulan masing masing OAT (isoniazid dan rifampisin) diberikan 3 kali
seminggu. Sesuai dengan kasus yang mengatakan bahwa pasien menerima terapi dengan
isoniazid (INH) 300 mg, rifampin (RIF) 600 mg, pyrazinamide (PZA) 1000 mg, dan
ethambutol (EMB) 800 mg dengan tambahan vitamin B6 50 mg.
MEKANISME
OBAT DOSIS EFEK SAMPING
KERJA
Mual, neuritis optic, kejang, episode
Dewasa : psikosis, reaksi hipersensitivitas,
Dosis 5 mg/kgBB sampai 300 demam, purpura, agranulositosis,
Menghambat sintesis mg/hari dosis tunggal atau 15 hepatitis, sindrom SLE, pellagra,
asam mikolik yang mg/kgBB sampai 900 mg/hari, 2 hiperglikemia, ginekomastia, neuritis
diperlukan untuk atau 3 kali per minggu perifer.
INH
membangun dinding Anak-anak : Neuritis perifer merupakan kesemutan
bakteri. Dosis 10-15 mg/kgBB sampai atau kebas karena kerusakan pada
(Bakterisid) 300 mg/hari dosis tunggal atau saraf tepi/perifer, sehingga harus
20-40 mg/kgBB sampai 900 diatas dengan mengkonsumsi Vitamin
mg/hari, 2 atau 3 kali per minggu B6 yang dapat menekan efek samping
tersebut.
Menghambat sintesis Dewasa : Gangguan saluran cerna meliputi
RNA berdasarkan 8-12 mg/kgBB satu kali sehari, mual, muntah, anoreksia, diare,
perintangan spesifik dari untuk BB >= 50kg 600mg/hari gangguan respirasi (nafas pendek),
RIF suatu enzim bakteri dan < 50kg 450 mg/hari kolaps dan syok, anemia, gagal ginjal
Ribose Nukleotida Acid Anak-anak : akut, gangguan fungsi hati, warna
(RNA)-polimerase. 10-20 mg/kgBB satu kali sehari, kemerahan pada urin, saliva, keringat
(Bakterisid) maksimal 600mg/hari dan cairan tubuh lainnya.

44 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Mengubah pirazinamid
(negative atau tidak Dewasa :
aktif) menjadi asam 15-30 mg/kgBB satu kali sehari
pyrazinamidase yang atau 50-70 mg/kgBB 2-3 kali Hepatotoksisitas, termasuk demam
berasal dari basil seminggu anoreksia, hepatomegali, ikterus;
PZA
tuberkulosa sehingga Anak-anak : gagal hati; mual, muntah, artralgia,
tidak menghasilkan FSA 50 mg/kgBB sebanyak 3 kali anemia sideroblastik, urtikaria.
1 untuk membentukan seminggu atau 35 mg/kgBB satu
bakteri. kali sehari
(Bakterisid)
Untuk lebih dari 13 tahun
diberikan 15-25 mg/kgBB satu
kali sehari.
Ggangguan penglihatan dengan
Untuk pengobatan awal
penurunan visual, buta warna dan
diberikan 15 mg/kgBB, dan
Menghambat sintesis penyempitan lapangan pandang.
pengobatan lanjutan 25
RNA pada kuman yang Gangguan awal penglihatan bersifat
mg/kgBB.
sedang membelah dan subjektif; bila hal ini terjadi maka
Kadang kadang dokter juga
EMB menghindarkan etambutol harus segera dihentikan.
memberikan 50 mg/kgBB
terbentuknya mycolic Bila segera dihentikan, biasanya
sampai 2,5 gram dua kali
acid pada dinding sel. fungsi penglihatan akan pulih. Reaksi
seminggu.
(Bakteriostatik) adversus berupa sakit kepala,
Obat ini harus diberikan bersama
disorientasi, mual, muntah dan sakit
dengan obat anti tuberculosis
perut.
lainnya.
Tidak diberikan untuk anak
dibawah 13 tahun dan bayi
MONITORING DARI OBAT YANG DI KONSUMSI PASIEN
 Pemantauan yang ketat dalam terapi antibiotik pasien atau pengawasan langsung menelan obat
(DOT/Direct Observed Therapy), karena jika tidak patuh dalam pegunaannya pengobatan harus diulangi
dari awal.
 Evaluasi dari efek samping yang terjadi, jika ada yang berlebihan dalam penggunakan salah satu obat
harus langsung dikonsultasikan dengan dokter untuk penanganan lebih lanjut.
 Penggunakan obat tambahan untuk mengurangi efek samping seperti pada kasus ini pasien diberi
Vitamin B6 yang berfungsi untuk mengurangi efek samping dari obat isoniazid yang dapat
mengakibatkan neuritis perifer.

45 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Perhatikan penyakit komplikasi yang dialami pasien, seperti pada kasus ini dinyatakan bahwa pasien
mengalami Hepatitis C sehingga dosis obat Pirazinamid harus dikurangi karena efek sampingnya
terhadap hepat atau hati.

Soal 3
 Tujuan pengobatan
Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
1. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktifitas pasien.
2. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan.
3. Mencegah kekambuhan TB.
4. Mengurangi penularan TB kepada orang lain.
5. Mencegah kejadian dan penularan TB resisten obat.
Dari beberapa tujuan pengobatan tersebut dapat di jelaskan bahwa pasien yang positif
TB harus di berikan beberapa informasi sedetail mungkin baik untuk pasien atau keluarga
pasien itu sendiri seperti mengenai bagai mana cara pola hidup yang baik, cara penggunaan
obat serta waktu pemakaian obat, dan efek samping dari obat yang berikan.
Alasan dokter juga memberikan informasi kepada pihak keluarga yaitu supaya salah
satu dari pihak keluarga pasien tersebut dapat menjadi pendamping pasien dalam proses
pengobatan agar pasien lebih patuh dalam proses pengobatan tersebut.
 Upaya Pengendalian TB
Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD
mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu:
1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.
4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam pengendalian TB
sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi
kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (cost-effective). Integrasi ke dalam
pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi
cost benefit yang dilakukan di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan

46 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program pengendalian TB,
akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan
kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan
dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan
pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.
Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program dibanyak negara.
Pada tahun 2005 strategi DOTS di atas oleh Global stop TB partnership strategi DOTS
tersebut diperluas menjadi “Strategi Stop TB”, yaitu:
1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
5. Memberdayakan pasien dan masyarakat
6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian
Pada tahun 2013 muncul usulan dari beberapa negara anggota WHO yang mengusulkan
adanya strategi baru untuk mengendalikan TB yang mampu menahan laju infeksi baru,
mencegah kematian akibat TB, mengurangi dampak ekonomi akibat TB dan mampu
meletakkan landasan ke arah eliminasi TB.
Eliminasi TB akan tercapai bila angka insidensi TB berhasil diturunkan mencapai 1
kasus TB per 1 juta penduduk, sedangkan kondisi yang memungkinkan pencapaian
eliminasi TB (pra eliminasi) adalah bila angka insidensi mampu dikurangi menjadi 10 per
100.000 penduduk. Dengan angka insidensi global tahun 2012 mencapai 122 per 100.000
penduduk dan penurunan angka insidensi sebesar 1-2% setahun maka TB akan memasuki
kondisi pra eliminasi pada tahun 2160. Untuk itu perlu ditetapkan strategi baru yang lebih
komprehensif bagi pengendalian TB secara global.
Pada sidang WHA ke 67 tahun 2014 ditetapkan resolusi mengenai strategi pengendalian
TB global pasca 2015 yang bertujuan untuk menghentikan epidemi global TB pada tahun
2035 yang ditandai dengan:
 Penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dari angka tahun 2015.
 Penurunan angka insidensi TB sebesar 90% (menjadi 10/100.000 penduduk).
Strategi tersebut dituangkan dalam 3 pilar strategi utama dan komponen-komponenya
yaitu:

47 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
1. Integrasi layanan TB berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TB
 Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi semua dan
penapisan TB secara sistematis bagi kontak dan kelompok populasi beresiko
tinggi.
 Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk untuk penderita resistan obat
dengan disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan pasien (patient-centred
support).
 Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana komorbid TB yang lain.
 Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan beresiko
tinggi serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TB.
2. Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas.
 Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan layanan dan
pencegahan TB.
 Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan pemberi
layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
 Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health coverage) dan kerangka
kebijakan lain yang mendukung pengendalian TB seperti wajib lapor, registrasi
vital, tata kelola dan penggunaan obat rasional serta pengendalian infeksi.
 Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk mengurangi
dampak determinan sosial terhadap TB.
3. Intensifikasi riset dan inovasi
 Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat, metode intervensi
dan strategi baru pengendalian TB.
 Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan merangsang
inovasi-inovasi baru untuk mempercepat pengembangan program pengendalian
TB.

48 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Kasus Infeksi Pneumonia
Ny N (68 tahun, 60 kg) pasien DMTipe 2 sedang terapi metformin. Pasien pernah
mengalami operasi sendi 60 hari lalu dan dirawat di rehabilitasi medic fisioterapi selama 2
minggu. Mengeluhkan batuk kering , fever, chest pain, dan dyspnea. Demam selama 2 hari
dengan suhu 38.10C.
Hasil x-ray menunjukkan pasien terkena pneumonia dengan hasil kultur terhadap
specimen sputum bakteri S. aureus sensitive terhadap vankomisin. Dokter mendiagnosis
HCAP dan merekomendasikan pasien di rawat inap, dan memberikan resep Vankomisin
inj 500 2dd1, ibuprofen tab 200 mg 4dd1 dan untu DM nya diberikan Metformin tab 500
mg 2 dd1.
1) Buatlah bagan yang menjelaskan perbedaan antara CAP, HCAP, HAP dan VAP ?
Jelaskanlah pasien resiko tinggi apa saja yang perlu diberikan Vaksin menurut CDC?
2) Susunlah algoritm pengobatan HCAP, Alasan Penetapan diagnosis HCAP pada Ny N,
tujuan pengobatan HCAP dan Pemantauan terapi pada pasien Ny N?
3) Sebutkanlah alasan pemberian Obat , paparkan dengan aspek Indikasi , mekanisme
kerja Obat, Golongan Obat , Dosis , Tata cara dan aturan pakai , Efek Samping ,
Kontraindikasi , Interaksi Obat (Major) yang mungkin terjadi selama pengobatan
dengan obat obat lain yang sedang dan akan digunakan pada pasien

49 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
JAWABAN KASUS PNEUMONIA
Soal 1
 Definisi : Adalah penyakit infeksi pada paru-paru yang menyerang ujung bronkhiol dan
alveoli
 Etiologi secara umum :
- Bakterial Pneumonia
- Atipikal Pneumonia (Virus, Jamur dan Parasit)
 Klasifikasi & Etiologi & Faktor Resiko
Klasifikasi Pengertian Etiologi Faktor Resiko
Community Pneumonia yang Bakteri aerob : S. • Usia> 65 tahun
Acquired sudah berkembang pneumoniae, • Diabetes melitus
Pneumonia pada pasien saat H. influenzae, M. • Asplenia
(CAP) pasien belum catarrhalis • Kardiovaskular kronis, paru,
menerima fasilitas ginjal dan atau penyakit hati
atau penanganan Atypical (selain bakteri): • Merokok dan atau konsumsi
medis M. pneumoniae, alkohol
C. pneumoniae, L.
pneumophila,
Atau virus yang
menyerang saluran
pernafasan (umumnya
rhinoviruses and
influenza)
Healthcare Pneumonia yang Patogen termasuk bakteri • Menjalani rawat inap ≥2 hari
Associated berkembang pada basil gram negatif dalam 90 hari terakhir
Pneumonia pasien yang dikaitkan (termasuk Pseudomonas • Baru-baru ini (30 hari
(HCAP) dengan pathogen aeruginosa) dan terakhir) menggunakan
resisten karena terapi Staphylococcus aureus antibiotik, kemoterapi,
antibiotic yang tidak (termasuk S. aureus perawatan luka atau terapi
tepat. resisten methicillin) dan infus
berbagai patogen resisten • Pasien hemodialisa dengan
antibiotik. infeksi disebabkan oleh
patogen MDR (gagal ginjal
kronis)
• Tinggal di panti jompo

50 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
• Imunosupresi

Aspirasi Pneumonia yang Flora mulut : Bakteri • Disfagia
disebabkan karena anaerob, viridans, • Depresi
kemampuan streptokokus • Perubahan dari kolonisasi
pertahanan paru-paru orofaringeal
terganggu dengan Isi GI karena kenaikan pH • Gastroesophageal reflux
adanya bakteri (GER)
berbahaya dalam Bakteri bacillus gram • Penurunan imunitas
jumlah besar yang negative
masuk bersama
dengan benda asing,
secret orofaringeal,
makanan, minuman,
atau air liur ke dalam
saluran pernapasan.

* Orofaring
merupakan pertemuan
rongga mulut dengan
faring. Dekat
orofaring terdapat
epiglottis, berfungsi
untuk mengarahkan
makan agar tidak
masuk ke saluran
pernapasan.

Hospital- Pneumonia yang Bakteri nosokomial • > 48 jam setelah dirawat di


Acquired berkembang pada yang resisten terhadap rumah sakit
Pneumonia pasien setelah > 48 antibiotika yang beredar di • Kolonisasi orofaringeal
(HAP) atau jam dirawat rumah rumah sakit. (disebabkan karena
Nosokomial sakit  Bakteri enterik penggunaan antibiotic oral
Pneumonia golongan gram negatif yang tidak tepat, akibatnya
seperti E.coli, menurunkan flora normal
yang ada pada mulut, malah

51 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Klebsiella sp, Proteus diganti dengan penumpukan
sp. pathogen pada mulut)
 Pada pasien yang • Hiperglikemik (karena
sudah lebih dulu keadaan hiperglikemik akan
mendapat terapi menghambat fagositosis dan
cefalosporin generasi memberikan tambahan
ke-tiga biasanya nutrisi untuk bakteri)
dijumpai • Intubasi
 bakteri enterik yang • Aspirasi
lebih bandel seperti, • Ventilator mekanik
Citrobacter sp., • Usia > 60 tahun
Serratia sp.,
Enterobacter sp.
Pseudomonas
aeruginosa
 Staphylococcus aureus
khususnya yang
resisten terhadap
methicilin seringkali
dijumpai pada pasien
yang dirawat di ICU.
Ventilator Pneumonia Streptococcus
Associated berkembang pneumoniae (serta spesies
Pneumonia( > 48 jam setelah streptococcus lainnya),
VAP) intubasi endotrakeal Hemophilus influenzae,
dan ventilasi mekanis Staphylococcus aureus
sensitif-methicillin
* Intubasi (MSSA), bakteri Gram
endotrakeal negatif yang sensitif
merupakan tindakan antibiotik, Escherichia
medis berupa coli, Klebsiella
memasukan tabung pneumonia, spesies
endotrakeal melalui Enterobacter, Spesies
mulut atau hidung Proteus dan Serratia
untuk marcescens. Bakteri
menghubungkan MDR, seperti S. aureus

52 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
udara luar dengan resisten methicillin
kedua paru. Pada (MRSA), Acinetobacter,
penderita yang Pseudomonas aeruginosa,
pernapasannya dan bakteri penghasil
terganggu biasanya beta-laktamase spektrum
dilakukan tindakan ini luas (ESBL)
untuk mengatasi jalan
napas yang tesumbat.
 Epidemiologi :
Klasifikasi Epidemiologi
CAP  Di Belanda mengidentifikasi 195.372 kasus CAP antara 2008 dan 2011. Ini berarti mewakili
kejadian rata-rata 295 kasus per 100.000 penduduk per tahun
 Age : Usia lanjut biasanya lebih banyak mengalami CAP
HCAP Satu penelitian lain yang tidak dipublikasikan dari Universitas Washington di St. Louis,
Missouri, menemukan bahwa HCAP biasanya diderita kurang lebih 63% dari pasien yang baru
saja dirawat di rumah sakit; 31% pasien dengan imunosupresi; 18% adalah penghuni panti
jompo; dan 6% menjalani hemodialisis.
HAP  Kombinasi HAP dan VAP di Amerika Serikat merupakan penyebab kematian paling umum
di antara semua infeksi yang didapat, dengan tingkat kematian hingga 33%.
 Tidak mengenal ras
 Pneumonia nosokomial paling sering terjadi pada pasien usia lanjut; Namun, pasien dari
segala usia mungkin akan terpengaruh.
VAP VAP sering dialami oleh 28% pasien dengan pemberian ventilasi mekanis
Aspiration Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 5-15% dari 4,5 juta kasus pneumonia CAP adalah
hasil dari pneumonia aspirasi. Kajian retrospektif menemukan bahwa tingkat mortalitas 30 hari
dari pneumonia aspirasi adalah 21%.
Sekitar 10% dari pasien yang dirawat di rumah sakit setelah overdosis obat akan memiliki
pneumonitis aspirasi.
Pneumonia bakteri nosokomial yang disebabkan oleh aspirasi lebih sering pada orang dewasa
daripada pada anak-anak, dan laki-laki lebih sering terkena daripada perempuan
 Musim : Musim dingin dan Iklim dingin, karena biasanya pada musim dingin sistem
pertahanan menurun
 Ras, Gender : Laki-laki berkulit hitam (26,6 kematian per 100.000 penduduk) lebih
mungkin meninggal akibat pneumonia dibandingkan dengan laki-laki kulit putih (23
kematian per 100.000 penduduk), sedangkan kulit hitam (17,4 kematian per 100.000

53 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
penduduk) dan perempuan kulit putih (18,2 kematian per 100.000 penduduk) hampir sama
cenderung mati karena pneumonia.
 Di Amerika Serikat insiden pneumonia lebih besar pada laki-laki daripada perempuan tetapi
jumlah kematian karena pneumonia telah lebih tinggi di antara perempuan sejak
pertengahan 1980-an.
 Patofisiologi :
Mikroorganisme pathogen bisa masuk pada saluran pernafasan bawah melalui 3 akses:
1. Melalui inhalasi sebagai partikel aerosol
2. Melalui mikroba yang menginfeksi bagian ekstrapulmonal lalu masuk ke dalam
pembuluh darah
3. Aspirasi dari isi orofaringeal
Klasifikasi Patofisiologi
CAP Paparan mikroba pathogen  penurunan pertahanan tubuh inang  penyerangan mikroba
HCAP pada jaringan paru  terjadi inflamasi lokal pada daerah infeksi atau bahkan sistemik 
HAP makrofag melepaskan sitokin di area infeksi  menyebabkan peningkatan produksi
VAP lendir, penyempitan pembuluh darah dan limfatik di area lokal infeksi  peningkatan
batuk dan sputum  Jika tumor necrosis factor alpha
(TNF-α) dan interleukin-1 dan -6 dilepaskan secara sistemik, maka gejala menjadi lebih
parah dan termasuk hipotensi, disfungsi organ, dan atau syok septik (keadaan dimana
tekanan darah turun sampai ke tingkat yang membahayakan)
Aspiration Mikroba masuk ke dalam saluran nafas (bisa melalui mikroba dari makanan atau mikroba
dari mulut yang hyginitasnya buruk yang masuk ke saluran nafas)  mikroba menginfeksi
 gangguan produksi lendir dan disfungsi silia  penurunan immunoglobulin 
meningkatkan sputum dan refleks batuk
 Manifestasi klinik secara umum
Tanda dan Gejala :
 Demam mendadak, menggigil, batuk produktif
 Sputum berwarna seperti karat (oren-merah-coklat)
 Nyeri bagian dada

Pemeriksaan Fisik
 Peningkatan getaran saat pemeriksaan fremitus taktil (Fremitus merupakan getaran yang
teraba akibat suara yang dijalarkan melalui cabang-cabang bronkopulmoner ke dinding
dada saat pasien berbicara)

54 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Pemeriksaan perkusi  menghasilkan suara redup (Perkusi adalah suatu tindakan yang
dilakukan perawat dengan cara mengetuk dengan menggunakan jari perawat di area
permukaan tubuh tertentu untuk membandingkan dengan bagian tubuh lainnya dengan
tujuan menghasilkan suara)
 Retraksi dinding dada saat bernafas dan nafas mendengkur
Radiografi Dada
 Terlihat adanya infeksi pada salah satu lobus dari paru-paru (dense lobar pneumonia)
Pemeriksaan Lab
 Leukositosis dengan dominasi oleh sel polimorfonuklear
 Saturasi oksigen rendah pada pembuluh darah arteri
 Goals terapi : Tujuan terapi antibiotik adalah untuk menghilangkan gejala pasien,
meminimalkan atau mencegah komplikasi, dan menurunkan angka kematian

Soal 2
 Alasan Penetapan Diagnosis HCAP Pada Ny N
a. Karena Ny N dirawat selama 2 minggu (menrupakan faktor resiko terkena HCAP)
b. Karena Ny N mengalami batuk kering, demam, chest pain dan dyspenea (merupakan
gejala umum pneumonia)
c. Hasil X-ray → positif pneumonia (diagnosis spesifik)
d. Hasil Kultur terhapad specimen sputum bakteri S. aureus → sensitive vankomisin
(diagnosis spesifik). Ini menunjukkan bahwa Ny N mengalami MRSA (Methicillin
Resistant Staphylococcus aureus)
 Algoritma Pengobatan
Terdapat 2 algoritma pengobatan yakni out patient dan in patient. Karena Ny N dirawat
di rehabilitasi medic fisioterapi maka algoritma pengobatan yang dipilih yaitu In Patient.
Evidance based empiric antimicrobial therapy for pneumonia in adults
a. Out patient
b. In patient
Clinical Setting Usual Pathogens Emphyrical Therapy
No risk factors for S. pneumonia, H. influenza, Ceftriaxon or fluoroquinolone or
MDR pathogens MSSA enteric gram ampicillin/subctam or ertapenem or
negative bacili doripenem

55 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
P. aeruginosa, K. Antipseudomonal cephalosporin or
pneumonia (ESBL), antipseudomonal carbapenem or β-
Acinetobacter sp. lactam/β-lactamase +
Risk factors of MDR
antipseudomonal fluoroquinolon or
pathogens
Aminoglikosida
If MRSA or Legionella sp. Above + vancomycin or Linezolid
suspected
Penjelasan :
Berdasarkan hasil kultur terhapad specimen sputum bakteri S. aureus, hasilnya sensitive
vankomisin. Ini menunjukkan bahwa Ny N mengalami MRSA, sehingga algoritma
pengobatannya adalah dengan menggunakan vancomycin.
 Tujuan Pengobatan
 Menghilangkan gejala pasien
 Meminimalkan atau mencegah komplikasi
 Menurunkan angka kematian
 Pemantauan terapi
 Waktu kesembuhan batuk, produksi dahak, gejala lain (mual dan muntah).
 Pemantauan terapi dalam 2 hari pertama mengalami kemajuan dan sembuh pada 5-7
hari.
 Pemantauan leukosit, data radiografi paru.

Soal 3
 Alasan pemeberian obat
Pada suatu kasus diatas tertera dalam resep ada 3 obat yang di berikan oleh dokter untuk
pasien yaitu :
1. Vankomisisn Inj
2. Ibuprofen
3. Metformin
Alasan mengapa di berikan ke 3 obat karena pada obat vankomisin Inj ialah obat
Antibiotiknya , Ibu profen untuk mengurangi rasa nyeri dan demam dan yang terakhir ada
obat metformin ialah untuk Dmnya .

56 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Mekanisme Kerja , Golongan Obat dan Dosis
NAMA OBAT MEKANISME OBAT GOLONGAN DOSIS
OBAT
 Vankomisin Inj Menghambat sistensis Antibiotik 2 – 3 gram
dinding sel bakteri dan Betalactam’
mengubah permeabilitas Termasuk
membran sel daan RNA Lini Ketiga
sintesis
 Ibuprofen Menghambat enzim Analgetik  Dewasa 200 – 250 mg\
COX pada biosintesis  3 – 4 x sehari
prostaglandin
 Metformin  Menghambat Antidiabetes Dewasa & anak > 10 tahun:
glikoneogenesis dan (biguanid) dosis awal 500 mg setelah
glikogenolisis sarapan untuk sekurang-
 Memperlambat kurangnya 1 minggu,
penyerapan pada kemudian 500 mg setelah
usus sarapan dan makan malam
 Meningkatkan untuk sekurang-kurangnya 1
sensitifitas insulin minggu, kemudian 500 mg
dalam tubuh setelah sarapan, setelah
makan siang dan setelah
makan malam. Dosis
maksimum 2 g sehari dalam
dosis terbagi.

 Tata cara / aturan pakai , Indikasi dan interaksi obat


NAMA OBAT TATA CARA INDIKASI INTERAKSI OBAT
ATURAN PAKAI
 Vankomisin  Injeksi Intravena Parenteral: Pengobatan Peningkatan toksisitas
Inj  500 mg selama 60 infeksi serius atau parah pada pengunaan bersama
menit atau lebih, karena rentan bakteri tidak obat yang dapat
tiap 6 jam; atau 1 g dapat diobati dengan menyebabkan otoksisitas
selam 100 menit antimikroba lain (misalnya, atau nefrotosik
tiap 12 jam. staphylococcus).
NEONATUS
sampai 1minggu,

57 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
dosis awal 15
mg/kg bb
dilanjutkan 10
mg/kg bb tiap 12
jam
 Ibuprofen  Oral Nyeri ringan sampai sedang AINS dan penghambat
 2 – 3 x sehari ,dosis antara lain nyeri pada selektif COX-2:
500 mg (jika kadar penyakit gigi atau berpotensi menimbulkan
gula memenuhi pencabutan gigi, nyeri pasca efek adiktif. Glikosida
target dosis di bedah, sakit kepala, gejala jantung: menurunkan
naikan artritis reumatoid, gejala kecepatan filtrasi
osteoartritis, gejala juvenile glomerulus dan
artritis reumatoid, meningkatkan
menurunkan demam pada konsentrasi plasma
anak. glikosida jantung.
Kortikosteroid:
meningkatkan risiko
ulkus atau perdarahan
lambung. Antikoagulan
(warfarin):
meningkatkan efek dari
antikoagulan
 Metformin  Oral diabetes mellitus tipe 2,
terutama untuk pasien Proton pump
dengan berat badan berlebih inhibitors (PPIs)
(overweight), apabila menghambat penyerapan
pengaturan diet dan metformin, seperti
olahraga saja tidak dapat Lansoprazole
mengendalikan kadar gula omeprazol, dan
darah Pantoprazole.
Trimethoprim,
menghambat penyerapan
dan ekskresi metformin.
Beberapa obat
antikanker menginhibisi
absorpsi, efek, dan

58 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
ekskresi metformin,
seperti imatinib,
nilotinib, gefitinib, dan
erlotinib.

.
 Efek samping
 Vankomisin Inj : Setelah pemberian parenteral: nefrotoksisitas termasuk gagal ginjal
dan nefritis interstisial; ototoksisitas (hentikan bila timbul tinitus); gangguan darah
seperti netropenia (biasanya setelah 1 minggu atau dosis kumulatif 25 g), kadang-
kadang agranulositosis dan trombositopenia; mual, demam, menggigil, eosinofilia,
anafilaksis, ruam (termasuk sindrom Stevens-Johnson, dermatitis eksfoliatif dan
vaskulitis); flebitis. Pada infus cepat dapat terjadi hipotensi berat (termasuk syok dan
henti jantung), napas meninggi, sesak napas, urtikaria, pruritus, kemerahan pada tubuh
bagian atas (red man syndrome), nyeri dan kram otot punggung dan dada.
 Ibuprofen : pusing, sakit kepala, dispepsia, diare, mual, muntah, nyeri abdomen,
konstipasi, hematemesis, melena, perdarahan lambung, ruam. Tidak umum: rinitis,
ansietas, insomnia, somnolen, paraestesia, gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran, tinnitus, vertigo, asma, dispnea, ulkus mulut, perforasi lambung, ulkus
lambung, gastritis, hepatitis, gangguan fungsi hati, urtikaria, purpura, angioedema,
nefrotoksik, gagal ginjal. Jarang: meningitis aseptik, gangguan hematologi, reaksi
anafilaktik, depresi, kebingungan, neuritis optik, neuropati optik, edema. Sangat
jarang: pankreatitis, gagal hati, reaksi kulit (eritema multiform, sindroma Stevens –
Johnson, nekrolisis epidermal toksik), gagal jantung, infark miokard, hipertensi.
 Metformin : anoreksia, mual, muntah, diare (umumnya sementara), nyeri perut, rasa
logam, asidosis laktat (jarang, bila terjadi hentikan terapi), penurunan penyerapan
vitamin B12, eritema, pruritus, urtikaria dan hepatitis.
 Kontraindikasi
 Vankomisisn Inj : Hipersensivitas terhadap vankomisin
 Ibuprofen : Kehamilan trimester akhir, pasien dengan ulkus peptikum (ulkus
duodenum dan lambung), hipersensitivitas, polip pada hidung, angioedema, asma,
rinitis, serta urtikaria ketika menggunakan asam asetilsalisilat atau AINS lainnya.
 Metformin : Koma diabetikum,ketoasidosis,ganguan ginjal,penyakit hati kronik, gagal
jantung, infark miokard,alkoholik,hipoksia,riwayat asidosis laktat .

59 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Lampiran

VANKOMISIN INJ IBUPROFEN TAB

METFORMIN

60 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
KASUS MATERI INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK) DAN ROSTATITIS
Kasus Prostitis
 NM, seorang penjual berusia 48 tahun datang ke dokter umum dengan riwayat satu tahun
episode dengan nyeri berulang. Pasien merasakan sakit di perineum dan di ujung penis
selama BAK dan beberapa waktu setelah buang air kecil.
 Selain itu, ia mengalami ketidaknyamanan yang signifikan pada ejakulasi, dan
peningkatan frekuensi kencing dan urgensi. Sebagai akibat dari gejala – gejala ini, ia
menjadi semakin gelisah dimana pasien juga memperhatikan bahwa gejala – gejala akan
sering meningkat selama masa kelelahan atau stres.
 Pemeriksaan mikroskopis sampel urin menunjukkan adanya sel bakteri berbentuk
batang Gram negatif, leukosit, dan gips leukosit. Kultur urin mendeteksi 106 sel
bakteri/mL.Kultur darah negatif. Pasien didiagnosis Acute bacterial prostatitis
Pertanyaan
1. Sebutkan klasifikasi dari prostatitis? Dan perbedaan dari setiap jenis !
2. Sebutkan 4 Domain utama Gejala Prostatitis
3. Buatlah Alur Diagnosis and Treatment of Acute Bacterial Prostatitis
4. Common Oral Antimicrobial Agents for the Treatment of Bacterial Prostatitis (First
Line/Second Line)
5. Terapi adjuvans bagi pasien yang mengalami prostatitis

61 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
JAWABAN KASUS PROSTATITIS
Soal 1
Prostatitis diklasifikasikan menjadi 4 :
 Akut
Biasanya gejala bakteri akut prostatitis muncul dengan waktu yang cepat
 Kronis
Infeksi saluran kemih berulang dan atau infeksi prostat yang biasanya muncul dengan
gejala waktu yang lama atau bertahun tahun
 CPPS (Cronik Pelvis Pain Syndrome) ditandai dengan adanya nyeri urologi atau tanpa
adanya infeksi saluran kemih CPPS ini di bagi mnjadi 2 bagian yaitu:
1. CPPS impalamasi cpps ini merupakan adanya sel darah putih dalam air mani dan atau
sekresi prostat
2. CPPS non implasmasi ini ditandai tidak adanya sel darah putih dalam air mani dan atau
sekresi prostat yang diekspresikan
 Asymptomatic inflamatory prostatitis yaitu peradangan pada biopsi sampel air mani dan
atau sekresi prostat yang diekspresikan tetapi tidak adanya gejala
Soal 2
4 Domain utama Gejala Prostatitis
 Gangguan sex
 Gangguan mood
 Peningkatan suhu seperti peningkatan suhu tubuh, menggigil, milaise.
 Gangguan dari sistem saraf seperti nyeri
Soal 3
Alur diagnosis
Tujuan Diagnosis untuk mengetahui kondisi kesehatan seseorang, dan mendeteksi
penyakit seperti Infeksi Saluran Kemih (ISK).
 Urinalisis
Analisa urine dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu pemeriksaan secara visual,
pemeriksaan dengan mikroskop, dan tes dipstick.
1. Visualisasi (pemeriksaan secara visual), Salah satunya dilihat dari warna, jika urine
berwarna merah atau coklat tua, bisa jadi urine mengandung darah. Jika urine berwarna
keruh, bisa jadi pertanda adanya infeksi.

62 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
2. Mikroskopik (pemeriksaan dengan mikroskop), untuk mengetahui keberadaan zat
lain yang tidak kasat mata yang terkandung dalam urine. Pasien telah melakukan
pemeriksaan mikroskopis, sampel urin pasien menunjukkan adanya sel bakteri
berbentuk batang Gram negatif.
3. Tes Dipstick, pada tes ini strip plastik tipis akan dicelupkan ke dalam urine. Tes ini untuk
mengetahui ph urine, kadar protein, glukosa, sel darah merah dan sel darah putih. Pada
strip ini juga akan mendeteksi adanya nitrit dan leukosit dalam urin.
Apabila terdapat nitrit didalam urin, hal ini menandakan telah adanya mikroorganisme
didalam daerah saluran kemih yang menginfeksi, nitrit ini hasil dari nitrat yang diubah
oleh bakteri menjadi nitrit, contoh bakterinya Eschericia coli. Sedangkan apabila leukosit
dalam urin jika jumlahnya > 10 sel/mm3 maka menandakan adanya infeksi bakteri pada
saluran kemih.
 Kultur urin (Bakteriuria)
Kultur urin untuk mengetahui jumlah mikroorganisme penyebab infeksi saluran kemih.
Berikut kriteria diagnostik untuk bakteriuria yang signifikan :
≥102CFU koliform / mL atau ≥ 105CFU nonkoliforms / mL pada pasien wanita
bergejala.
≥103 Bakteri CFU / mL pada pasien pria bergejala.
≥105 Bakteri CFU / mL pada individu tanpa gejala yang dilakukan pemeriksaan urin
selama dua kali berturut-turut.
Untuk pasien yang menggunakan kateter suprapubik yang menunjukkan gejala, apabila
kadar bakterinya ≥102 Bakteri CFU / mL telah terinfeksi.

Urin pasien di Dituangkan ke Dituangkan


tampung dalam dalam cawan media kedalam
wadah petri cawan tersebut

Interpretasi hasil
(memenuhi kriteria
diagnostik bakteriuria Dihitung jumlah
atau tidak koloni bateri Diinkubasi
yang tumbuh

63 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Pemeriksaan urin 4 spesimen
Pemeriksaan ini untuk membandingkan jumlah bakteri dalam urin sekuensal dan kultur
cairan prostat
1. VB1

VB1 ini berisi 10 ml cairan urin


pertama berkemih (mewakili uretra)

2. VB2

Kultur midstream (setelah 200 ml urinasi)


10 ml urin kemudian di tampung kembali
(mewakili kandung kemih)

3. EPS

Dilakukan pemijatan pada prostat,


lalu sekret prostat ditampung dalam
wadah

4. VB3

Setelah relaks, tampung lagi 10 ml


urin

Interpretasi Hasil
- Pasien didiagnosa mengalami prostatitis, jika jumlah bakteri pada sekret prostat (EPS)
10 kali lebih banyak daripada jumlah bakteri di VB1 dan VB2.
- Namun jika tidak ada sekret prostat (EPS), maka dapat dilihat VB3 yang memiliki
jumlah bakteri 10 kali lebih banyak daripada VB1 dan VB2

64 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Pemeriksaan Fisik
- Prostatitis bakteri akut: kelenjar bengkak, lunak, tegang, atau tidak terawat
- Prostatitis bakteri kronis: prostat yang bengkak, membengkak (membesar) dalam
sebagian besar pasien

65 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Soal 4
Treatment of Acute Bacterial Prostatitis (Pengobatan Prostatitis Akut Bakterial)
Riwayat dan pemeriksaan fisik

Kultur Urin (pada semua pasien)


Postvoid Residual (jika
diindikasikan)

Ringan sampai sedang sakit Sakit parah atau mungkin urosepsis: di


TMP / SMZ, 160 mg / 800 mg per rawat inap
oral dua kali sehari selama enam Ampisilin, 2 g IV setiap enam jam,
minggu * ditambah gentamisin, 5 mg per kg setiap
atau hari atau 1,5 mg per kg setiap delapan jam,
Ciprofloxacin (Cipro), sampai tidak demam
500 mg per oral dua kali sehari
selama enam minggu *

Demam terus / tidak


kunjung membaik
CT scan pada bagian panggul /
ultrasonografi transrektal

Negatif Positif

Memodifikasi antibiotik
berdasarkan hasil kultur
Abses prostat merupakan darurat
urologi biasa tetapi merupakan
infeksi serius dari prostatdengan
tingkat kematian tinggi jika tidak
diobati dengan benar.

Keterangan :
(CT = computed tomography; IV = intravenously; Diobati hingga tidak mengalami demam
TMP/SMZ = trimethoprim/sulfamethoxazole
[Bactrim, Septra].) TMP / SMZ, 160 mg / 800 mg per oral dua kali
Soal 5 sehari selama enam minggu * atau
Ciprofloxacin, 500 mg per oral dua kali sehari
selama enam minggu *
66 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Common Oral Antimicrobial Agents for the Treatment of Bacterial Prostatitis (First
Line/Second Line)
 First line
Nama Obat Dosis Interval Mekanisme Kerja
Trimethoprim
selama (Menghambat enzim dihidrofolat
Trimethoprim/ 160 mg / 800 mg per
enam reduktase)
Sulfamethoxazole oral dua kali sehari
minggu Sulfamethoxazole (Menghambat
sintesis asam dihidrofolat)
Adverse Drug Reactions Kontraindikasi
Kemerahan, Sindrom Steve – Johnson, Kondisi hamil/menyusui, gangguan hati berat,
Fotosensitivitas defisiensi folat
 Second line
Nama Obat Dosis Interval Mekanisme Kerja
selama Menghambat DNA gyrase sehingga
Ciprofloxacin 500 mg per oral dua
enam meningkatkan kerusakan rantai
(Cipro) kali sehari
minggu DNA
Adverse Drug Reactions Kontraindikasi
Reaksi alergi, Fotosensitivitas, Gangguan
Riwayat alergi
lambung, Tendonitis

Soal 6
Terapi Adjuvans
 Prostatitis Bakteri Akut
Bila gejala yang dialami ringan, obat adjuvans yaitu obat demam dan perada rasa sakit.
Contoh nya obat analgetik ( parasetamol, ibu propen dll )
 Prostatitis Bakteri Kronis
Pengobatan pendukung seperti anjuran untuk banyak minum, pemberian obat
pencahar,obat anti inflamasi non steroid atau obat alpha blocker (seperi obat tamsulosin).
Pemberian alpha blocker bertujuan untuk mengurangi penyumbatan saat buang air
kecilakibat pembengkakan kelenjar prostat. Contoh obatnya yaitu :
 Terazosin : Senyawa quinazoline yang melawan kontraksi adrenergik alpha-1-
diinduksi leher kandung kemih, terazosin memfasilitasi aliran kemih di hadapan
peradangan prostat

67 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Tamsulosin : Penghambat alpha- adrenergik, khususnya menargetkan reseptor A1.
 Bakteri Penyebab Rostatitis, antara lain Bakteri E- coli, K. Pneumonia, P. Mirabilis,
P.aeruginosa, Enterobacter Sp dan Serratia Sp

68 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Kasus Infeksi Saluran Kemih Bawah
Seorang wanita 20 tahun datang ke klinik dengan keluhan mengalami peningkatan frekuensi
kencing, bersama dengan urgensi dan disuria selama 2 hari. Selama 12 jam berikunya atau
lebih, gejala-gejala ini bertahan dan air kencingnya berwarna merah muda atau berdarah. Dia
kemudian menjadi khawatir dan pergi ke klinik kesehatan mahasiswa kampus untuk meminta
saran. Tanda-tanda vital adalah : T = 37,5˚C, P = 105, R = 18, dan BP = 105/70 mm Hg. Tidak
ada ulkus genital yang dicatat. Pasien tidak memiliki riwayat keluhan serupa sebelumnya.
Namun, dia baru-baru ini menjadi aktif secara seksual dan telah menggunakan diafragma
dengan spermisida. Pasien di diagnosis Cystitis Uncomplicated.
Pertanyaan :
1. Paparkan Faktor Resiko terjadi ISK bawah
2. Manifestasi Klinik ISK bawah dan Diagnosis ?
3. Tujuan pengobatan dan Terapi non farmakologi
4. Tata laksana terapi ISK bawah dan sebutkan AB fisrt line dan second line
5. Bedakan antibiotik untuk ISK bawah dengan rute parenteral dan oral, durasi?

69 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
JAWABAN KASUS ISK BAWAH
Soal 1
Faktor resiko
Wanita Pria Pria lanjut usia
 Hubungan seksual, yaitu  Tidak di sunat, maka  Hipeplasia prostat, yaitu
kurangnya pengeluaran urin kelembaban yang ada akan pada usia menepous
setelah berhubungan. terperangkap pada penis serta akan mengalami
 Penggunaan diafragma serviks bagian pada kulupnya. Hal ini pembengkakan prostat.
(alat kontrasepsi) dapat meningkatkan
 Penggunaan spermisidal gel perkembangan kuman serta
(karena bisa membunuh bakteri yang ada.
mikroorganisme normal).
 DM
 Hamil karena ada presdiposisi
saluran kemih
Faktor resiko umum
1. Instrumentasi urologi, yaitu pada pemasangan kateter bakteri akan masuk pada lubang kateter
tersebut akibatnya akan terinfeksi.
2. Kateter uretra
3. Transplantasi ginjal
4. Neurogenik kandung kemih
5. Obstruksi sel kemih
Soal 2
Manifestasi Klinik ISK bawah


kecil, terasa tidak nyaman atau terasa panas
perih saat buang air kecil

merah di dalam urin.
• kateter
urin yang dipasang secara menetap/indwelling
pada buli pasien untuk durasi jangka panjang

malam hari
• Peningkatan frekuensi

sehingga terasa sakit.

70 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Diagnosa ISK Bawah
Tujuan  untuk mengetahui jumlah signifikan mikroorganisme dalam spesimen urin dan
untuk membedakan kontaminasi dari infeksi
Tes Laboraturium

1. Bakteriuria : Kondisi dimana terdapat bakteri dalam urin, dengan cara kulture urine. urin
dibiakkan disuatu media lalu dilihat setelah 5-7 hari untuk mengetahui bakteri apa yang
tumbuh serta antibiotik apa yang sensitif terhadap kuman tersebut.
2. Pyuria (jumlah sel darah putih >10 sel/mm3) : Kondisi dimana urine mengandung leukosit.
Penetapan diagnosis ini menggunaka dipstik (Pemeriksaan dipstiks) Dipstick adalah strip
reagen berupa strip plastik tipis yang ditempeli kertas seluloid yang mengandung bahan
kimia tertentu sesuai jenis parameter yang akan diperiksa. Untuk mengetahui leukosituri,

71 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
dipstik akan bereaksi dengan leucocyte esterase (suatu enzim yang terdapat dalam granul
primer netrofil).
3. Nitrit – positif – urine : Digunakan untuk mendeteksi adanya bakteri pereduksi nitrit
didalam urine (seperti E.coli), pemeriksaan menggunakan dipstick. dipstik akan bereaksi
dengan nitrit (yang merupakan hasil perubahan nitrat oleh enzym nitrate reductase pada
bakteri). Penentuan nitrit sering memberikan hasilegatif palsu karena tidak semua bakteri
patogen memiliki kemampuan mengubah nitrat atau kadar nitrat dalam urin menurun
akibat obat diuretik
4. Leukosit esterase – positif urine : enzim dalam leukosit yang dapat menggambarkan
banyaknya jumlah leukosit pada urin. Pemeriksaannya dengan dipstick.

Kriteria Diagnosa ISK

 ≥ 102 CFU coliforms/mL (105 CFU/L) atau ≥ 105 CFU noncoliforms/mL (108 CFU/L)
di seorang wanita simptomatik
 ≥ 103 organisme CFU / mL (106 CFU / L) dalam laki-laki simtomatik
 ≥ 105 CFU organisme/mL yang sama (108 CFU/L) pada individu asimtomatik pada
dua kali berturut-turut spesimen
 ≥105 Bakteri CFU / mL pada individu tanpa gejala yang dilakukan pemeriksaan urin
selama dua kali berturut-turut
 ≥ CFU organisme/mL (105 CFU/L) dalam pasien kateter

72 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Soal 3
Tujuan terapi :
 Membasmi penyebab patogen
 Mencegah/mengobati infeksi berulang
 Mencegah kekambuhan infeksi
 Memberikan terapi antimikroba yang tepat
Terapi non farmakologi :
1. Dianjurkan minum jus cranberrys dalam jumlah besar, karena cranberry mengandung zat
yang menghentikan bakteri penyebab infeksi yang menempel ke dinding saluran kemih
dan mengandung antioksidan yang membantu mencegah infeksi saluran kemih.
2. Minum probiotik (Lactobacillus sp) agar PH menurun dan pertumbuhan bakteri patogen
juga menurun
3. Terapi pengganti estrogen untuk wanita menopos
4. Edukasi penyakit
Soal 4
Tata laksana terapi ISK bawah

73 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Penjelasan gambar
 Dilihat adanya gejala ISK bawah seperti
 Dysuria  keadaan nyeri pada saat buang air kecil, terasa tidak nyaman atau
terasa panas perih saat buang air kecil
 Gross hematuria  adanya darah atau sel darah merah di dalam urin.
 Suprapubik heaviness  pemasangan kateter urin yang dipasang secara
menetap/indwelling pada buli pasien untuk durasi jangka panjang
 Nokturia  frekuensi kemih yang sering pada malam hari
 Peningkatan frekuensi
 Urgensi urin  rasa sangat ingin berkemih sehingga terasa sakit.
 Dilakukan urinalisis / pewarnaan gram  kulture urine. Urin dibiakkan disuatu media
lalu dilihat setelah 5-7 hari untuk mengetahui bakteri apa yang tumbuh serta antibiotik
apa yang sensitif terhadap kuman tersebut.
 Bakteri yang signifikan  hasil bakteri signifikan di cocokan dengan diagnoga kriteria
ISK
 Jika Tidak (hasil kulture urine tidak signifikan) Bakteri simtomatik, ada bakteri ≤
105 CFU/ml). Pengobatannya : Trimethoprim – Sulfametoxazole atau Azitromisin /
Doksisiklin
 Jika Ya (+ ISK bawah), lihat apakah pasien mengalami manisfestasi klinik ISK atas
seperti nyeri panggul, demam, mual, muntah, malaise.
 Jika Ya  diagnosis pasien : pielonefritis akut
 Jika tidak  diagnosis Cystisis
 Dilakukan terapi jangka pendek (Pengobatan First line ISK bawah)
 Tidak berhasil  kulture urine kembali
 Negarive  Abacterium simtomatik  Terapi
 Positif  Terapi dengan first line selama dua minggu
 Dilakukan kulture urine 3 minggupasca terapi
 Negative  penyembuhan klinis
 Positif  dilihat dari kekambukan gejala
 Sering  terapi selama 6 bulan dengan disertai kulture urine
 Jarang  terapi selama 6 bulan saja

74 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Pengobatan ISK Bawah
Nama Obat Dosis Interval Durasi
Trimethoprim - 80/160mg – 1 DS tabket 3 hari
Sulfamethoxazole 400/800mg
First Ciprofloxacin 250 mg 2x1 3 hari
line Levofloxacin 250 mg 1x1 3 hari
Nitrofurantoin 100 mg 2x1 5 hari
Fosfomycin 3 gram Dosis tunggal 1 hari
Second Amoxicillin - 500 mg 3x1 5-7
Line Clavulanat hari
Soal 5
Terapi farmakologi
Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk membasmi infeksi, mencegah komplikasi, dan
memberikan bantuan gejala kepada pasien. Penting untuk mengidentifikasi pola resistensi
antimikroba ketika mempertimbangkan pemilihan antimikroba empiris. Terapi oral dengan
antibiotik yang dipilih secara empiris yang efektif terhadap bakteri koliform aerobik gram
negatif, seperti Escherichia coli adalah intervensi pengobatan utama pada pasien dengan infeksi
saluran kemih bawah.
Antibiotik yang di gunakan untuk Infeksi Saluran Kemih Bawah

Berdasarkan tabel di atas didapatkan bahwa Antibiotik untuk Infeksi Saluran Kemih Bawah
dengan rute oral salah satunya yaitu Trimetoprim-Sulfametoxazol, Nitrofurantion,

75 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Amoxicillin-Klavulanat, Fluoroquinolons (Ciprofloxacin dan Levofloxacin). Sedangkan untuk
Antibiotik dengan rute parenteral salah satunya yaitu Levofloxacin, Trimetoprim-
Sulfametoxazol, dan Fosfomisin dengan mekanisme, dosis, dan durasi yang berbeda-beda.
Rute oral
Obat Mekanisme kerja Dosis Durasi
Trimetoprim- Menghambat enzim-enzim esensial dalam 80 mg/400 mg 3 hari
Sulfametoxazol metabolisme folat ( 2x sehari)
Amoxicillin- Menghambat sintesis peptidoglikan untuk dinding sel 500 mg 5-7 hari
Kalvulanat bakteri
Nitrofurantion Inaktivasi protein ribosom bakteri serta 100 mg 5 hari
makromolekul lain untuk mengganggu metabolisme
dan pembentukan dinding sel
Ciprofloxacin Menghambat DNA girase 250 mg 3 hari
(2x sehari)
Levofloxacin Menghambat DNA girase 250 mg 3 hari
(1x sehari)

Rute parenteral
Obat Mekanisme kerja Dosis Durasi

Trimetoprim- Menghambat enzim-enzim Iv (16 mg/80 mg) 6-12 hari


Sulfametoxazol esensial dalam metabolisme folat (8-20 mg/hari)

Levofloxacin Menghambat DNA girase Injeksi siap pakai 250 mg 3 hari


(1x sehari)
Fosfomisin Inaktivasi enopiruvil transperase Dosis tunggal 3 gram 1 hari
untuk menghambat sintesis
dinding sel
Pada pasien yang terinfeksi saluran kemih bawah di beri kombinasi obat Trimetoprim-
Sulfametoxazol karena TMP-SMX dorancang untuk mengambil keuntungan dari sinergi antara
Trimetoprim dan Sulfometoxazol. Aktivitas TMP-SMX termasuk patogen saluran kemih
umum, baik bakteri gram positif dan bakteri gram negatif aerobik, kecuali Pseudomonas
aeruginosa.
Trimetoprim bekerja dengan cara menghambat enzim dihidrofolat reductase, dan
Sulfametoxazol bekerja dengan cara sintesis asa dihidrofolat. Obat sulfonamid ini dapat
menghambat sintase bakteri dihidrofolat dengan bersaing dengan para-aminobenzoic acid

76 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
(PABA). Tindakan ini mengganggu penyerapan PABA ke dalam asam folat, komponen
penting dari perkembangan bakteri.

Dan pemberian AB Amoxicillin-Klavulanat yaitu karena meningkatnya resistensi


Escherichia coli, amoxicillin-klavulanat adalah penisilin yang disukai untuk sistitis yang
nonkomplikasi. Amoxicillin adalah antibiotik turunan penisilin semisintetis yang mempunyai
spektrum luas. Amoxicillin juga aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif, bekerja
secara bakterisid dengan cara menghambat sintesa dinding sel bakteri sehingga dinding sel
bakteri melemah, plasma sel keluar, dan kemudian pecah. Sedangkan asam klavulanat adalah
penghambat berbagai tipe enzim β-lactamase yang di produksi oleh bakteri-bakteri tertentu,
salah satunya Escherichia coli.

77 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Kasus Infeksi Saluran Kemih Atas
Seorang wanita berusia 27 tahun yang dalam usia kehamilan 6 bulan tiba-tiba mengalami
demam yang jelas dan mengigil, bersama dengan mual dan muntah. Dia juga memiliki
beberapa disuria dengan urgensi dan frekuensi, tapi tidak melihat gejala kemih sebelum
timbulnya demam dan menggigil. Tak lama setelah demam dan menggigil muncul, ia
mengalami nyeri panggul yang luar biasa. Tanda-tanda vitalnya adalah : T = 39,5ºC, P = 115,
R = 18, dan BP = 110/70 mm Hg.
Pemeriksaan fisik mengungkapkan kelembutan yang ditandai pada tekanan yang
mendalam dikedua sudut costovetebral, tetapi tidak ada temuan luar biasa lainnya. Nada
jantung janin hadir pada laju 130 sampai 140 / menit. Pemeriksaan mikroskopis sample urin
menunjukan adanya sel bakteri berbentuk bantang gram negatif, leukosit, dan gips leukosit.
Kultur urin mendeteksi 106 sel bakteri / mL. Kultur darah negatif. Pasien di diagnosis
pyelonefritis uncomplicated.
Pertanyaan :
1. Jelaskan Definisi, Etiologi, Epidemiologi, Faktor resiko dan Patofisiologi Infeksi pada
saluran kemih atas (ISK).
2. Manifestasi Klinik, diagnostik penyakit, karakteristik secara spesifik diagnostik
bakteriuria
3. Algoritma dan Pilihan terapi antibiotik?
4. Bagaimana mekanisme trimetoprim-sulfametoksazol dalam menghamban pembetukan
asam folat?

78 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
JAWABAN KASUS ISK ATAS
Soal 1
1. Definisi
Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme dalam urine
yang jumlahnya melebihi ambang batas normal, mikroorganisme ini berpotensi menembus
jaringan dan struktur saluran urine.
Sedangkan infeksi saluran kemih atas adalah suatu peradangan yang terjadi pada pelvis
ginjal dan parenkim ginjal yang disebabkan oleh mikroorganisme yang masuk dari saluran
kemih bawah/ kandung kemih naik ke ginjal melalui ureter sehingga terjadi pyelonefritis.
2. Etiologi
Kebanyakan infeksi saluran kemih ini diinfeksi oleh bakteri gram negatif.
 Bakteri Esschericia coli (80-90%) merupakan bakteri yang berpotensi menginfeksi
saluran kemih terbanyak.
 Klebsiella Pneumoniae
 Proteus Sp
 Enterococcus Sp
 Pseudomonas Aeruginosa
 Staphylococcus Sp.
3. Epidemiologi
 Lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan laki-laki karena wanita memiliki
uretra yang pendek dibandingkan dengan laki-laki, sedangkan uretra tersebut letaknya
berdekatan dengan anus/rektum (tempat defekasi feses).
 Insiden pyelonefritis akut pada wanita hamil sekitar 33%, namun setelah diberikan
pengobatan yang tepat prevalensinya menurun menjadi 2,8%. kebanyakan pada wanita
hamil yang menderita infeksi saluran kemih dapat beresiko bayinya lahir dengan
keadaan prematur, mungkin akibat efek samping dari pengobatan/terapi yang diberikan
pada saat dalam masa kehamilan ibunya.
 Pada bayi yang lahir dengan keadaan prematur prevalensi terkena infeksi saluran
kemihnya lebih tinggi di bandingkan dengan bayi yang lahir secara normal, karena
sistem imunnya belum bisa menerima rangsangan dari luar dan organ-organ tubuhnya
belum tumbuh secara sempurna.

79 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
4. Faktor Resiko
 Wanita :
 Hubungan seksual : tanpa pengaman
 Penggunaan alat kontrasepsi (Diafragma serviks)
 Faktor prediposisi (Kehamilan, Diabetes melitus, Hematuria, Riwayat penyakit
ginjal).
 Pria :
 Resiko meningkat pada pria yang belum di sunat : karena pada saat berkemih pada
pria yang tidak di sunat dapat meninggalkan sisa-sisa urine di dalam ujung alat
kemaluannya.
 Pada pria usia lanjut : karena sistem imunnya sudah menurun jadi mudah terkena
infeksi. (semakin bertambahnya usia semakin sistem pertahanan tubuhnya
menurun).
 Pria dan wanita :
 Katetirisasi uretra : penggunaan kateter yang kurang steril dalam penggunaannya
atau saat pemasangannya kedalam uretra sehingga bakteri dapat masuk kedalam
saluran kemih bawah dan menaik ke ginjal.
 Transplantasi ginjal : pengangkatan ginjal yang telah rusak kemudian digantikan
dengan ginjal dari pendonor supaya fungsi ginjalnya dapat kembali normal, pada
saat transplantasi ini bakteri bisa saja ikut terbawa dan menyebabkan infeksi
kembali pada ginjalnya.
 Kandung kemih neurogenik dan gangguan saluran kemih.
5. Patofisiologi
Patofisiologinya melalui tiga jalur :
a. ASCENDEN (jalur menaik)
 Bakteri naik ke ginjal dan pelvis ginjal melalui saluran kandung kemih dan uretra.
 Kemudian terjadi obstruksi (penyumbatan) pada saluran kemih, akibat
penyumbatan ini terjadi penumpukan cairan pada daerah saluran kemih, kemudian
cairan yang tertahan tadi mengalami refluks dan alirannya berbalik lagi ke ginjal
sehingga cairan yang mengandung bakteri ikut terbawa naik ke atas, kemudian
bakteri menginfeksi pelvis ginjal dan parenkim ginjal, sehingga terjadi perubahan
struktur ginjal ( menjadi seperti parutan-parutan ginjal).
 Akibat terjadinya infeksi oleh bakteri di ginjal dapat mempengaruhi fungsi ginjal.

80 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Pada sebagian kasus bisa saja mengakibatkan kerusakan pada ginjal sehingga harus
dilakukan transplantasi ginjal.
b. HEMATOGEN (Melalui aliran darah)
 Pada rute ini bakteri masuk kedalam pembuluh darah dan menyebar keseluruh
tubuh sehingga dapat masuk ke aliran darah yang berdekatan dengan saluran urine,
bakteri menginfeksi kandung kemih (cititis) kemudian menaik ke ginjal
(pyelonefritis) melalui uretra.
 Masuknya bakteri kedalam aliran darah bisa karena adanya tindakan injeksi dan
faktor lainnya.
c. LIMFOGEN (jaringan limfa)
 Infeksi melalui jalur limfa hampir sama dengan infeksi yang di sebabkan melalui
jalur hematogen.
 Bakteri masuk kedalam jaringan limfa, sedangkan jaringan limfa di dalam tubuh
manusia itu ada dimana-mana, kemungkinan bakteri masuk ke saluran urine
melalui jalur limfa yang letaknya berdekatan dengan saluran urine, sehingga masuk
kedalam uretra dan kendung kemih, kemudian melalui ureter masuk kedalam
ginjal, dan menginfeksi ginjal.
Melalui mekanisme tiga jalur tadi, infeksi saluran urine dapat di tandai dengan munculnya
gejala seperti : demam, nyeri panggul, mual, muntah, dan malaise ( lemas, pusing dan tidak
enak badan).

Soal 2
Manifestasi Klinik

Gejala diatas seperti nyeri panggul, demam, mual, muntah dan malaise adalah penanda
bahwa telah terjadi infeksi saluran kemih atas. Yang membedakan dari infeksi saluran kemih
bawah adalah nyeri panggul karena infeksi saluran kemih atas ini berhubungan langsung
dengan organ bagian atas.

81 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Bakteriuria  kondisi dimana terdapat bakteri di dalam urin. Dilakukan dengan cara kultur
urin menggunakan media spesifik tertentu.
 Pyuria (jumlah sel darah putih > 10 sel / mm3)  kondisi dimana urin mengandung
leukosit. Dilakukan dengan cara melihat kandungan urin apakah urin tersebut berwarna
putih susu, karena itu menandakan adanya leukosit di dalam urin.
 Nitrit-positif urin  digunakan untuk mendeteksi adanya bakteri pereduksi nitrit di dalam
urin. Didalam saluran kemih kita terdapat nitrat jika adanya bakteri yang menginfeksi,
bakteri tersebut akan mereduksi nitrat menjadi nitrit. Dilakukan dengan cara carik celup
dengan dipstik, dipstik ini seperti alat pengukuran PH meter yang sudah berisi reagen yang
akan diujikan. Untuk mengetahui adanya nitrit dalam urin terjadinya perubahan warna
pada dipstik tersebut.
 Leukosit esterase-positif urin  hampir sama dengan pyuria untuk mengecek adanya
leukosit dalam urin. Dilakukakan dengan cara carik celup juga dengan dipstik tetapi reagen
yang digunakan adalah leukosit.

Karakteristik Bakteriuria secara Spesifik

Didalam soal di beritahukan bahwa pasien adalah seorang wanita dan memiliki nilai
bakteriuria sebesar 106. Dan itu termasuk kedalam kolom yang utama diatas, bahwa
pasien tersebut memang mengalami infeksi saluran kemih.

82 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Soal 3

Gambar 1: Algoritma Infeksi Saluran Kemih (ISK)


Tujuan dari algoritma merupakan untuk mengetahui pilihan pengobatan yang tepat agar
diperoleh target terapi yang tepat. Untuk algoritmanya, pertama pasien dilihat apakah ada
gejala infeksi saluran kemih (isk) bawah atau tidak, dari kasus pasien mengalami gejala isk
bawah yaitu disuria dengan urgensi dan frekuensi, karena paseien mengalami gejala isk bawah
maka dilakukan urineanalisis/Gram stain untuk mengetahui apakah terdapat bakteri
penginfeksi yang signifikan atau tidak, berdasarkan kasus pasien mengalami infeksi oleh
bakteri.
Berikutnya dilihat pasien apakah mengalami gejala pyelonefritis atau tidak, dari kausus
pasien mengalami gejala pyelonefritis yaitu nyeri panggul yang luar biasa dan demam (T :
39.5°C). karena pasien menunjukan gejala pyelonefritis maka dilakukan kultur urine untuk
mengetahui apakah pasien termasuk pasien dengan resiko tinggi atau tidak, dari hasil kultur
urine diperoleh hasil 106 sel bakteri / ml artinya pasien tidak mengalami infeksi yang serius
maka hanya perlu pengobatan oral selama 2 minggu.

83 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Pilihan terapi antibiotik
 Trimetoprim-Sulfametoksazol
Mekanisme kerja : Menghambat enzim dihidro reduktase (trimetoprim), menghambat
sintetsis asam dihidrofolat (sulfametoksazol)
Dosis dan Durasi : 1 tablet kombinasi (160/800 mg), sehari 2x1 tablet selama 7-10 hari
Adverse Drug Reaction : Kemerahan, sindrom Steven-Johnson, fotosensitivitas
Kontraindikasi : Riwayat alergi, bayi <2 bulan, klirens kreatin <15 ml/menit, anemia
megaloblastic/defisiensi folat, gangguan hati berat, kondisi hamil dan menyusui.
 Golongan quinolon (Ciprofloksacin, Levofloksacin)
Mekanisme kerja : Menghambat DNA gyrase sehingga menghambat relaksasi DNA
bakteri
Dosis dan Durasi : 250-500 mg sehari 2x1 selama 7-10 hari (ciprofloxacin), 250 mg sehari
1x1 selama 10 hari (Levofloksacin)
Adverse Drug Reaction : Reaksi alergi, fotosensitivitas, gangguan lambung, tendonitis
Kontraindikasi : Riwayat alergi, kondisi hamil dan menyusui
 Amoksicillin, Amoksicillin-klavulanat
Mekanisme kerja : Menghambat sintesis mukopeptidase pada pembentukan dindin sel
bakteri (amoksicillin), menghancurkan enzim betalaktamase yang dapat memecah cincin
beta laktam (asam klavulanat)
Dosis dan Durasi : 500 mg tiap 8 jam sekali selama 7-10 hari
Advers Drug Reaction : Reaksi alergi, diare
Kontraindikasi : Alergi terhadap penisillin, riwayat gangguan hati/jaundice karena
amoksicillin-klavulanat, gangguan ginjal parah (CrCl <15 ml/menit)
Berdasarkan kondisi pasien yang sedang hamil sudah 6 bulan maka antibiotik yang
dianjurkan adalah Amoxicillin/amoxicillin-klavulanat karena obat trimetoprim-
sulfametoksazol dan golongan quinolon dikontraindikasikan untuk wanita hamil. Obat
golongan quinolon dapat mengganggu pertumbuhan tulang pada janin sehingga tidak
dianjurkan untuk wanita hamil.

84 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Soal 4

Gambar 2. Mekanisme Kerja Trimetoprim-Sulfametoksazol


Sumber gambar: http://zoneandra-hidingplace.blogspot.com/2011/01/sulfonamid.html
Trimetoprim-sulfametoksazol memblok dua urutan langkah biosintesis dari asam nukleat
dan protein terhadap banyak bakteri. Trimetoprim bekerja dengan menghambat enzim
dihidrofolat reduktase sehingga terhambatnya sintesis dari asam dihidrofolat menjadi asam
tetrahidrofolat, sedangkan sulfametoksazol berkompetisi dengan para-aminobenzoic acid
(PABA) sehingga terhambatnya sintesis asam dihidrofolat.

85 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
KASUS MATERI INFEKSI SISTEM PENCERNAAN
Kasus Diare
Seorang anak laki-laki berusia 4 tahun datang dengan keluhan mengalami diare selama
3 hari. Awalnya diare berair 5-10 kali sehari, tetapi sekarang lebih buruk: volume tinja tidak
banyak sekitar dan berulang hingga 20 kali dalam sehari, dicampur dengan darah dan lendir.
Ia merasa sangat "panas".
Lemah dan lesu, ibunya dibawa dia ke rumah sakit setelah dia kejang di rumah.
Pemeriksaan fisik penting untuk sikap apatis umum, suhu 39 C; denyut jantung 130; RR 20,
tidak dalam; turgor kulit utuh; dan perut bengkak, lembut dengan loop usus terlihat.
Pertanyaan
1. Paparkan etiologi, epidemiologi dari diare beserta cornerstone untuk terapi diare?
2. Paparkan perbedaan dari diare akut watery dan inflammation? Dari aspek feses,
mekanisme penyakit, komplikasi dan etiologi?
3. Sebutkan derajat dehidrasi apa saja yang dibedakan dari tampilan mata, kulit, denyut
jantung, mulut, dan nafas
4. Sebutkan terapi rehydration therapy berdasarkan 3 derajat dehidrasi?
5. Paparkan terapi non farmakologi utama yang bersamaan diberikan bersama dengan terapi
rehydration therapy?
6. Mengapa antibiotik bukanlah pilihan terapi utamauntuk pengobatan diare, dan harus
dipastikan kerasional antibiotic untuk diare?
7. Analisalah kondisi pasien
8. Diagnosis untuk pasien jika dilihat dari anamnesa?derajat dehydraty?
9. Bakteri penyebab infeksi pada pasien?
10. Berikanlah pilihan terapi obat untuk pasien?

86 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
JAWABAN KASUS DIARE
PENGERTIAN DIARE
 Diare adalah peningkatan frekuensi tinja (lebih dari tiga kali sehari) dan penurunan
konsistensi debit tinja dibandingkan dengan pola usus individu normal.
 Diare akut didefinisikan sebagai diare yang berlangsung selama 14 hari atau kurang.
Diare yang berlangsung lebih dari 30 hari disebut diare kronis. Penyakit 15 sampai 30
hari disebut sebagai diare persisten

Rotavirus
ETIOLOGI
Virus Norovirus

Adenovirus

Astrovirus

Salmonella
INFEKSI Bakteri
Shigellosis

E Coli

Vibrio Colerae

Etamoeba
Protozoa/Parasit Histolitica

Candida

Ascariasisi
Obat-Obatan

NON INFEKSI Suplemen Diet

Intoleransi
Laktosa

87 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Bayi dan anak beresiko tinggi terkena Diare
EPIDEMIOLOGI
dibandingkan dewasa

Balita : 6,7 %

Batita : 7,6 %

Indonesia dari seluruh kelas Unur : 3,4 %

CORNERSTONE UNTUK TERAPI DIARE


Dehidrasi Berat Dehidrasi Ringan Tanpa Dehidrasi
 Beri Cairan untuk Diare  Beri cairan dan makanan  Beri Cairan dan Makanan
 Lakukan Rehidrasi di untuk diare (Pemberian
rumah cairan Oralit)
 Kunjungan ulang dalam  Lakukan kunjungan ulang
5hari jika tidak membaik dalam waktu 5hari jika
tidak membaik

PERBEDAAN INFEKSI DIARE AKUT WATERY DAN INFLAMATORY


Persentase Pasien Watery Inflamatory
Tinja/ Feses 90 5-10
Penampilan Berair Berdarah
Volume ++/+++ +/++
Jumlah Perhari <10 >10
Mengurangi zat 0 ke +++ 0
PH 5,0 – 7,5 6,0 – 7,5
Darah Negatif Positif
Bernanah Tidak ada / Sedikit Banyak
Mekanisme Toksin (Bakteri mengurangi Invasif Mukosa
Penyerapan.
Komplikasi Asidosis berat, Syok, Ringan tenesmus, Prolaps
Ketidakseimbangan elektrolit Rektum, Kejang
Etiologi Vibrio Cholerae Shigella
Enterotoxigenic Salmonella
Esherichia Coli (ETEC) Yersinia
Enteropatogenic E Coli Enterohemorrhagis E Coli
Rotavirus Enteroinvasive E Coli

88 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Norovirus Cytotoxigenic C diffcile

3 DERAZAT DEHIDRASI
Menurut Pierce
Minimal Ringan – Sedang Berat
(<3% dari BB) (<3-9 % dari BB) (>9% dari BB )
Mata Normal Sedikit Cekung Sangat Cekung
Denyut Jantung Normal Normal - Meningkat Takikardi pada kasus
Brakikardi
Mulut Basah Kering Pecah - pecah
Nafas Normal Normal - Cepat Dalam

Menurut WHO
Minimal Ringan – Sedang Berat
(<3% dari BB) (<3-9 % dari BB) (>9% dari BB )
Mata Sedikit Cekung Cekung Sangat Cekung
Denyut Jantung Normal Cepat dan lemah Semakin Cepat dan
Lemah
Mulut Kering Kering Sangat kering
Nafas Normal Normal - Cepat Dalam
Kulit Kering dan pecah Keriput, tidak segera Cubitan kulit baru
pecah kembali ke posisi kembali setelah
semula lebih dari 2 detik

Terapi rehydrasi berdasarkan 3 derajat dehidrasi


1. Jenis cairan : cairan ringer laktat merupakan cairan pilihan, karena cukup banyak
dipasarkan. Bila tidak tersedia diberikan NaCl isotonik (0,9%), dan ditambah Na
Bikarbonat 7,5% 50 ml pada setiap 1 liter NaCl isotonik, dapat diberi cairan oralit
untuk mencegah dehidrasi.
2. Jumlah cairan yang diberikan
Jumlah cairah yang hendak diberikan harus sesuai dengan cairan yang dikeluarkan.
Berdasarkan keadaan klinik
 Ringan kebutuhan cairan : 5% x BB
 Sedang kebutuhan cairan : 8% x BB

89 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Berat kebutuhan cairan : 10% x BB
3. Cara pemberian cairan
Rute pemberian cairan pada orang dewasa meliputi oral dan intravena. Oralit
dengan komposisi 29 g glukosa, 3.5 g NaCl, 2.5 g Na Bikarbonat dan 1.5 g KCl.
Setiap liternya diberikan peroral.
4. Waktu pemberian cairan
Oralit diberikan pada setiap 2 jam sekali. Dan pada jam ke 3 diberikan sesuai
dengan cairan yang di keluarkan
 Terapi non farmakologi yang bersamaan diberikan denga terapi dehidrasi
Banyak minum air putih dan minuman isotonic
 Antibiotik bukan pilihan utama
Pemberian antibiotik terhadap diare tidak selalu diperlukan, karena kebanyakan
diare disebabkan oleh virus dan bisa sembuh sendiri dalam waktu 3-5 hari, bahkan
tanpa pengobatan. Pemberian antibiotic tidak mempengaruhi infeksi yang disebabkan
oleh virus.
Kerasionalan antibiotik: Pemberian antibiotic untuk diare harus dilakukan melalui
konsultasi atau dibawah pengawasan dokter karena tidak semua kasus diare
memerlukan antibiotik, seperti diare yang disebabkan oleh infeksi virus.
 Analisa kondisi pasien
1. Anamnesa
 Diare Akut
a. Frekuensi BAB  5 – 20 kali sehari
b. Lama diare  3 hari
c. Terdapat darah pada tinja
 Diare disentri dikarenakan memiliki ciri seperti Darah di tinja, Demam dan
Kejang
2. Derajat dehidrasi : Berat. Dikarenakan pada kasus pasien mengalami tidak sadar,
lemah dan lesu
3. Bakteri penyebab: Shigella
4. Pilihan terapi
a. Paracetamol syrup 125 mg/5ml 1-2 sendok the tiap 4-6 jam
b. Azithromycin 10 mg/kg/perhari diberikan oral diberikan sehari sekali dalam 3
hari

90 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
c. Ceftriaxon 50 mg/kg/perhari diberikan Intravena sehari sekali dalam 3 hari
d. Tablet zinc 20 mg/hari

91 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Kasus Pectic Ulser Disease (PUD)
Seorang pria berusia 29 tahun datang dengan keluhan mengalami ketidaknyamanan
epigastrium (muncul hilang), tanpa penurunan berat badan atau bukti pendarahan GI. Dia
melaporkan tidak ada gunanya menggunakan aspirin atau NSAID.
Pemeriksaan perut mengungkapkan nyeri tekan epigastrik. Tes serologi untuk H.pylori
positif dan ia menerima 10 hari terapi tiga jenis (omeprazole, amoxicillin, dan clarythromycin).
Enam minggu kemudian dia kembali dengan yang sama gejala
Pertanyaan
1. Paparkanlah patofisiologi dari tukak lambung ? Epidemiologi Dan etiologi padi PUD
?
2. Prevalensi PUD akibat Hp ?
3. Paparkanlah perkembangan H.pylori dalam lambung sehingga terjadi kerusakan
mucosa ?
4. Menurut anda jika melihat kasus pasien, apakah pasien mengalami peningkatan resiko
terjadinya PUD ?
5. Sebutkan 4 golongan obat yang digunakan dalam terapi PUD ?
6. Sebutkanlah bahaya penggunaan jangka panjang PPI ?
7. Untuk kasus pasien, apa yang akan anda rekomendasikan kepada dokter ?
8. Paparkan terapi non farmakologi yang dapat ada sarankan

92 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
JAWABAN KASUS Pectic Ulser Disease (PUD)
Soal 1
Patofisiologi
 H. pylori
H. Pylori sebagian besar menghasilkan urease yang meghidrolisis urea dalam
mengubahnya menjadi amonia dan karbon di oksida menciptakan lingkungan mikro yang
netral di dalam dan sekitar bakteri. H. Pylory juga menghasilkan protein acidnhibitory
yang memungkinkan beradaptasi dengan ph lambung.
H. Pylory menempel pada epitel lambung yang mencegah sekresi lendir. Penempelan
bakteri meningkatkan penetrasi racun ke dalam sel-sel epitelium lambung sehingga
meningkatkan asam lambung
 NSAID
Penggunaan NSAID aspirin antibiotik non selektif bekerja menghambat cox 1 di, di
mana cox 1 membantu pembentukan prostaglandin. Prostaglandin proteksi terhadap
mukosa lambung. Dengan tidak terbentuknya prostaglandin maka asam lambung
meningkat dan mengiritasi lambung.
Epidemiologi

Gender USIA RAS

•laki-laki > di bandingkan •usia yang sudah tua lebih •Ras kulit hitam > kulit putih
perempuan besar jumblahnya dari pada •karenakan faktor lingkungan
•karena faktor jumlah laki-laki usia muda yang kumuh dan tingkat sosial
peroko dan mengkonsimi •usia tua > 60 thn ( 50 %-60 %) ekonomi yang rendah, yang
alkohol lebih banyak •usia muda < 12 thn (10 %-15 %) menurunkan kualitas hidupnya

Etiologi
H. Pylori NSID SRMD ZES FAKTOR LAIN

•infeksi di tularkan •mengiritasi •seing pada pasien •di sebabkan oleh •roko
melalui air atau langsung asam sakit keritis akibat gasrtinoma •cola
makanan yang lambung kerusakan mukosa •teh
terkontaminasi oleh iskemia
•alkohol
lambung dan intra
luminal asam •makanan pedas

Soal 2
Prevalensi
Secara mendunia atau global itu mencapai 50%. Untuk di negara USA dan canada
mencapai 30%. Faktor pendukungnya antara lain Etnis, Geografis, Kondisi sosial, Usia,
Gender dan Gaya hidup

93 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Soal 3
Perkembangan H.pylori dalam lambung sehingga terjadi kerusakan mukosa
H. pylori adalah bakteri mikroaerofilik berbentuk-spiral, pH-sensitif, gram-negatif, yang
terletak di antara lapisan lendir dan sel-sel epitel permukaan di lambung  Kombinasi bentuk
spiral dan flagellum memungkinkannya untuk bergerak dari lumen lambung  H. pylori
menghasilkan sejumlah besar urease, yang menghidrolisis urea dalam dan mengubahnya
menjadi amonia dan karbon dioksida  menciptakan lingkungan mikro yang netral di dalam
dan di sekitar bakteri, yang melindunginya dari efek mematikan asam lambung  H. pylori
juga menghasilkan protein acidinhibitory, yang memungkinkannya beradaptasi dengan
lingkungan pH rendah lambung. H. Pylori menempel pada epitel lambung  yang mencegah
sekresi lendir. Kolonisasi antrum dan korpus (tubuh) lambung  ulkus lambung dan kanker.

Soal 4
Menurut anda jika melihat kasus pasien, apakah pasien mengalami peningkatan resiko
terjadinya PUD
YA, dari kasus pasien yang pernah mengonsumsi NSAID dan telah terinfeksi H Pylori.
Selain itu pada pengobatan tahap pertama dengan triple drug gagal, hal ini akan memungkinkan
pasien mengalami peningkatan resiko mengalami PUD

94 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Soal 5
Sebutkan 4 golongan obat yang digunakan dalam terapi PUD
No Golongan Obat Mekanisme
1 Antibiotik
Makrolid Klaritromisin Mengikat ribosom bakteri sub unit 50, sehingga
menghambat translasi MrNA

Beta laktam Amoxicillin Menghambat pembentukan dinding sel bakteri

Nitroimidazol Metronidazol Menghambat pembentukan asam folat dari bakteri


anaerob dan protozoa

Tetrasiklin Tetrasiklin Menghambat sintesis ribosom sub unit 30s

2 PPI (Pompa Proton Omeprazol Menghambat pompra proton H+ atpase dari sel
Inhibitor) parietal lambung yang berperan dalam sekresi asam
Lansoprazol
lambung
Esomeprazol
3 H2RA (Histamin 2 Ranitidin Menghambat reseptor histamin 2 sehigga mengurangi
Reseptor Antagonis) Simetidin pengeluaran asam lambung
Famotidin
4 Mukosa protekal Bismuth Melindungi ulkus dari asam lambung, pepsin dan
subsalisilat empedu dengan membentuk lapisan didasar mukosa
saluran cerna

Sukralfat Membentuk lapisan pelindung kompleks yang stabil


pada prtein dipermukaan ulcer

Misoprostol Sebagai analog (PGE1) Prostaglandin sintesis E1

Soal 6
Sebutkanlah bahaya penggunaan jangka panjang PPI ?
PPI (Pompa Proton Inhibitor) digunakan sebagai terapi untuk penyakit Tukak Lambung
penggunaan jangka panjang PPI dapat menyebabkan malabsorpsi VIT B12 dengan
menggunakan PPI dapat mengakibatkan ezm pepsinogen tidak dapat dirubah menjadi pepsin

95 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Mekanisme
Vitamin B12

Dicerna
Mengikat protein R Binder / transcobalamin
(Terjadi DiMukosa Lambung)

Terjadi prmbelahan Enzim Proteolitik di lambung / Duodenum

Pankreas mensekresi Enzim Protease tambahan dan menurunkan


Pengikatan dengan R Binder

Vitamin B12 berkaitan Dengan faktor Intrinsik (-Ileum) Untuk penyerapan


Contoh obat PPI : Omeprazol efeknya Menurunkan produksi Asam Lambung
Yang mengakibatkan pepsinogen tidak dapat dirubah menjadi pepsin sehingga mempengaruhi
penyerapan Vitamin B12 yang mengakibatkan Malabsorpsi Vit B12
Soal 7
Untuk kasus pasien, apa yang akan anda rekomendasikan kepada dokter ?
Direkmendasikan kepada dokter terapi quadruple yaitu :
Penggantian antibiotik menjadi Metronidazol
Diberi terapi quadruple, yaitu :
 Bismuth subsalisilat (Mukosa Protektal)
 Metronidazole (Antibiotik)
 Tetrasiklin (Antibiotik)
 PPI (Pompa proton Inhibitor) / H2RA (Histamin 2 Reseptor Adrenergik)
Antasida
Soal 8
Paparkan Terapi Non farmakologi yang dapat anda sarankan
Terapi non Farmakologi
 Perubahan gaya hidup
 Pengecekan rutin
 Informasi yang tepat penggunaan Antibiotok
 Monitoring ESO / Toksisitas

96 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Kasus Demam Tifoid
Pasien laki-laki berusia enam tahun. Dengan riwayat perjalanan ke Danau Colbun 15 hari
sebelum dimulainya gejala (satu bulan sebelum rawat inap). Pasien tidak kontak dengan orang
yang sakit. Pasien demam hingga 41ºC dari dua minggu yang berkurang sebagian dengan
parasetamol. Demam dikaitkan dengan nyeri perut, sakit kepala dan tinja berair jernih yang
berulang tanpa darah. Sebelumnya pasien menyampaikan mengalami anorexia, asthenia, mual
dan muntah. Awalnya dia ditangani dengan hidrasi, analgesia dan antipiretik, tanpa perbaikan,
jadi rawat inap diputuskan.
Uji laboratorium menunjukkan : jumlah sel darah putih 11.000 sel/mm3, jumlah trombosit
157.000/mm3, fungsi ginjal, koagulasi, gas vena dan sedimen urin normal. Tes darah
tersembunyi di tinja positif kultur salmonella thypi. Berdasarkan di atas, pengobatan antibiotik
dimulai dengan ceftriaxone dan metronidazole, pada 48 jam pengobatan memberikan respon
yang diharapkan.
Pertanyaan :
1. Sebutkan epidemiologi, dan anamnesa yang mendukung pasien di diagnosa Thypoid ?
2. Sebutkan faktor resiko utama terjadinya thypoid ? dan pemeriksaan penunjang lain untuk
mensupport ketepatan diagnosis?
3. Komplikasi apa yang terjadi pada pasien jika terapi tidak ditegakkan? (minimal 5
komplikasi utama)
4. Tujuan terapi dan jelaskan terapi :
 Supporti
 Terapi simptomatik
 Terapi definitive
5. Rekomendasi ke-3 terapi itu apa saja untuk pasien ?
6. Paparkan antibiotika Fist line dan second line ? dan terapi non farmakologi pada pasien,
konseling dan edukasi pada pasien ?

97 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
JAWABAN KASUS DEMAM TiFOID
1. Definisi penyakit : Demam tifoid merupakan infeksi pada saluran pencernaan yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi.

2. Epidemiologi :
 Infeksi salmonella thypi menyebabkan sekitar 20 juta kasus dan 200.000 kematian
setiap tahun di seluruh dunia.
 Insiden tertinggi terjadi pada mererka yang berusia kurang dari 1 tahun dan lebih dari
usia 65 tahun atau dengan orang yang mengidap HIV/AIDS.

3. Faktor resiko
 Usia : < 1 tahun & > 65 tahun
 Perubahan flora endogrn dalam usus
 Gangguan reumatologi
 Infeksi HIV
 Imunosupresi teurapeutik

4. Anamnesa
 Penyakit demam 5 sampai 21 hari setelah konsumsi terkontaminasi. Sebuah bradikardia
relatif dapat dicatat pada puncak demam.
 Menggigil, diaforesis, sakit kepala, anoreksia, batuk, lemas, sakit tenggorokan, pusing,
nyeri otot, dan diare bisa terjadi sebelum onset demam.
 Bintik mawar, lidah yang dilapisi, dan / atau hepatosplenomegali dapat dicatat.
 Perdarahan usus atau perforasi, leukopenia, anemia, dan koagulopati intravaskular
diseminata subklinis dapat terjadi.
 Tes tinja, darah, atau sumsum tulang untuk Salmonella spesies sangat membantu.

5. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Klinis
 Pemeriksaan Mikrobiologi
 Pemeriksaan serologi Tes Widal

98 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Tes Widal : Pemeriksaan spesifik untuk memeriksa adanya antibody tubuh
terhadap antigen salmonella.

6. Komplikasi
 Proctitis atau prolaps rektum — lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak kecil.
 Obstruksi Usus : Penyumbatan yang terjadi dalam usus
 Perforasi kolon : Kondisi Medis, ditandai dengan terbentuknya suatu lubang pada
dinding usus dan menyebabkan pendarahan.
 Bakteremia — lebih sering terjadi pada anak-anak : Terdapatnya bakteri di dalam darah
 Gangguan metabolik : adanya bakteri di seluruh jaringan tubuh
 Penyakit neurologis — paling sering kejang (sekitar 10% pasien)
 Sindrom hemolitik-uremik (HUS)

7. Tujuan terapi dan jelaskan terapi :


Tujuan terapi : untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala, mencegah komplikasi,
dan menghindari kematian. Selain itu untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier.
 Supportif : terapi pendukung
 Terapi simptomatik : terapi untuk menyembuhkan gejala
 Terapi definitive : pemberian antibiotik

8. Rekomendasi ke-3 terapi itu apa saja untuk pasien ? rekomendasi untuk pasien:
 Supportif : istirahat dan mengatur tahapan mobilitas. Diet tinggi kalori dan tinggi protein.
Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas. Kontrol dan monitor tanda vital (TD,
Nadi, suhu, kesadaran) dan dicatat dengan baik di rekam medik.
 Terapi simptomatik :
1. Untuk menurunkan demam (Antipiretik) : Ibu profen 250 mg
2. Mengurangi simtomatis gastrointestinal (Antiemetik) : Ondensetron atau
Metyoclopramide
3. Mengobati diare : Attapulgit
4. Untuk menghindari dehidrasi : Oralit
 Terapi definitive : Diberikan Ceftriakson

99 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
9. Paparkan antibiotika Fist line dan second line ? dan terapi non farmakologi pada
pasien, konseling dan edukasi pada pasien ?
Therapy Antibiotik Dosis Terapi Durasi Mekanisme kerja
First Line Therapi
1. Ciprofloxacin Anak : Menghambat relaksasi DNA,
(Golongan Fluoroquinolone) 250 mg, oral 5-7 menghambat gyrase pada organisme
2x1 hari yang rentan.
2. Ceftriaxone Anak : Menghambat sintesis dinding sel
(Golongan Sefalosporin 2 g, IV / hari 7-14 dengan mengganggu sintesis
generasi III) hari peptidoglikan.
Second Line Therapy
1. Azitromisin Anak : Menghambat sintesis protein dengan
(Golongan Makrolida) 250 mg, oral 1-6 berikatan pada sub unit ribososm 50s.
/ hari hari
2. Trimetropim- Anak : Trimetropim : menghambat produksi
Sulfametoksazol DS Oral 5-7 asam tetrahidrofolat dari asam
160mg-400 hari dihidrofolat
mg
2x1 Sulfametoksazol : menghambat
sintesis bakteri asam didrofolat
dengan bersaing dengan asam para-
aminobenzoat (PABA).

 Pilihan first line therapy untuk pasien yaitu Ceftriaxone, Ciprofloxacin tidak
direkomendasikan untuk anak-anak karena dapat menghambat pertumbuhan tulang
secara permanen pada anak-anak.
 Pilihan second line therapy untuk pasien yairu Azitromisin, azitromisin merupakan terapi
alternatif yang efektif untuk demam tifoid tanpa komplikasi.

 Terapi non farmakologi pada pasien


a. Perawatan
Pasien demam typoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan
pengobatan. Pasien harus tirah baring absolute sampai minimal 7 hari bebas demam atau
kurang lebih selama 14 hari.

100 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadi komplikasi perdarahan usus atau
perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya
kekuatan pasien. Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah-
ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik
dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang terjadi
obstipasi dan retensi air kemih.
b. Diet
Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan protein tinggi. Bahan makanan
tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan gas.
Susu 2 gelas sehari, dan diberikan makanan lunak. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa pemberian makanan padat dini,

 Konseling dan edukasi pada pasien


Edukasi pasien tentang tata cara:
a. Pengobatan dan perawatan serta aspek lain dari demam tifoid yang harus diketahui pasien
dan keluarganya.
b. Diet, pentahapan mobilisasi, dan konsumsi obat sebaiknya diperhatikan atau dilihat
langsung oleh dokter, dan keluarga pasien telah memahami serta mampu melaksanakan.
c. Tanda-tanda kegawatan harus diberitahu kepada pasien dan keluarga supaya bisa segera
dibawa ke rumah sakit terdekat untuk perawatan
Pendekatan Community Oriented
Melakukan konseling atau edukasi pada masyarakat tentang aspek pencegahan dan
pengendalian demam tifoid, melalui:
a. Perbaikan sanitasi lingkungan
b. Peningkatan higiene makanan dan minuman
c. Peningkatan higiene perorangan
d. Pencegahan dengan imunisasi

101 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
KASUS MATERI INFEKSI PARASIT
Kasus Malaria
 Perempuan dari Papua dengan usia 67 tahun (berat 50 mg) datang ke UGD dengan keluhan
kelelahan dan demam selama 2 hari terakhir. Pasien mengeluh mengalami sakit kepala,
tetapi tidak kedinginan, atau nyeri dada. Indeks kecurigaan untuk malaria sangat tinggi
karena pasien baru saja bepergian dari daerah endemik. Riwayat perjalanan pasien ke Afrika
Barat dan gejala yang muncul menyerupai gejala malaria.
 Pasien memiliki tekanan darah 123/55, denyut nadi 86 kali per menit (bpm), Suhu 98,5 ° F,
dan laju pernapasan 16 pada saat masuk. Pemeriksaan fisik tidak mengungkapkan kelainan
spesifik apa pun.
 Hasil lab terdiri hitung darah lengkap, kimia, tes fungsi hati, apus malaria perifer, dan
tingkat reitculosit ditarik dari pasien. Pasien memiliki jumlah sel darah putih (WBC) 12,6,
Hb (hemoglobin) 10,7, Hct (hematokrit) 30,6, Plt (platelet) 80, BUN (nitrogen urea darah)
12, Creat (kreatinin) 0,3, dan glukosa darah 291 konsisten dengan diabetes.
 Apusan darah positif untuk malaria P. falciparum (9,6% )dan jumlah retikulosit (3,2%)
Pihak RS melakukan konfirmasi ke Departemen Kesehatan dan Kesehatan Kota Jayapura,
kemungkinan besar diagnosa adalah malaria dari daerah resisten klorokuin.
 Pasien dimulai terapi dengan artesunat 120 mg IV.
Pertanyaan :
1. Sebutkanlah penyebab malaria ? Dan paparkan jenis jenis Malaria ?
2. Paparkan epidemiologi dari Malaria ?
3. Paparkan Patofisiologi dari malaria ?
4. Bagaimana Manifestasi Klinik dari Pasien terkena positif Malaria ?
5. Paparkan tujuan terapi pengobatan dan komplikasi penyakit jika tidak diobati?
6. Sebutkan diagnosis standar untuk P. falsiparum ?
7. Paparkan aspek obat dari obat first line terapi untuk malaria terutama untuk kasus non
resistan P falsiparum dan P Vivax?
8. Paparkanlah mengenai malaria berat dan gambaran laboratoriumnya ?
9. Paparkan aspek farmakologi dari Artesunat ?
10. Jelaskanlah algoritme obat untuk malaria P falsiparum pada pasien tanpa komplikasi?
Dan cara penggunaan obat yang tepat ?
11. Pilihan terapi untuk wanita hamil ?

102 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
JAWABAN KASUS MALARIA
MALARIA
Malaria adalah salah satu penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit plasmodium yang
ditularkan melalui nyamuk Anopheles.
Penyebab Malaria :
Penyebab Malaria adalah parasit Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
anopheles betina. Dikenal 5 (lima) macam spesies yaitu:
 Plasmodium falciparum
 Plasmodium vivax
 Plasmodium ovale
 Plasmodium malariae
 Plasmodium knowlesi
Jenis Malaria :
1. Malaria Falsiparum
Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Gejala demam timbul intermiten dan dapat
kontinyu. Jenis malaria ini paling sering menjadi malaria berat yang menyebabkan
kematian.
2. Malaria Vivaks
Disebabkan oleh Plasmodium vivax. Gejala demam berulang dengan interval bebas
demam 2 hari. Telah ditemukan juga kasus malaria berat yang disebabkan oleh
Plasmodium vivax.
3. Malaria Ovale
Disebabkan oleh Plasmodium ovale. Manifestasi klinis biasanya bersifat ringan. Pola
demam seperti pada malaria vivaks.
4. Malaria Malariae
Disebabkan oleh Plasmodium malariae. Gejala demam berulang dengan interval
bebas demam 3 hari.
5. Malaria Knowlesi
Disebabkan oleh Plasmodium knowlesi. Gejala demam menyerupai malaria
falsiparum.

103 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Masa inkubasi
Spesies Masa inkubasi
Plasmodium falciparum 9-14 hari rata rata 12 hari
Plasmodium vivax 12-17 hari rata rata 15 hari
Plasmodium ovale 16-18 hari rata rata 17 hari
Plasmodium malariae 18-40 hari rata rata 28 hari
Plasmodium knowlesi 16-18 hari rata rata 17 hari

Epoidemiologi Malaria
1. Plasmodium Vivax dilaporkan lazim di :
 India
 Amerika Tengah
 Afrika Utara
 Tengah Timur
2. Plasmodium Falciparum terutama di :
 Afrika (termasuk sub-Sahara Afrika)
 Afrika Timur dan Barat
 Haiti
 Republik Dominika
 Wilayah Amazon Amerika Selatan
 Asia Tenggara
 New Guinea
3. Plasmodium Ovale terjadi di Afrika
4. Plasmodium Malariae sebgaian besar di Amerika Serikat
5. Plasmodium Knowlesi di Asia Tenggara
Manifestasi Klinik :
 sakit kepala
 sakit perut perut
 demam menggigil
 sering muncul antara 10-20 hari setelah digigit nyamuk
 anemia dan splenomegaly
 hipoksia jaringan ( p falciparum)
 iskemik ( p. falciparum)

104 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 glomerrulo nefritis dan sindrom nefrrotik, gangguan metabolic ( p. malariae)
Tujuan terapi pengobatan
1. membasmi parasite malaria.
2. mencegah pengembangan penyakit parah seperti malaria serebral atau dapat
menyebabkan kematian.
Komplikasi , jika tidak diobati
 Malaria Serebral
 Anemia berat
 Gagal ginjal akut
 Hipoglikemia
 Syok
 Edema Paru
 Kejang berulang

105 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Patofisiologi
Gigitan nyamuk Anopheles

Menginvasi sel parenkim hepar

Sporozoit

Skizon

Merozoit Pada Hati

Pada Sel Darah


Tropozoit

Masuk kemudian eritrosit yang


Skizon Muda Merozoit mengandung ribuan merozoit pecah

Skizon Matang

Hemolisis

Fagositosis eritrosit yang mengandung


parasit
Yang dapat menyebabkan :
demam, sakit kepala, anemia,
mual, muntah.

Hepatosplenomegali Nyeri

106 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Sebutkan diagnosis standar untuk P.falsiparum ?
Ada 2 cara diagnosis yaitu:
 Mikroskopis test
 MRDT (malaria rapid diagnostik test) adalah deteksi antigen dari parasit malaria yang
lisis dalam darah dengan metode imunokromatografi. Uji tersebut berdasarkan
pengikatan antigen darah perifer dengan antibodi monoklonal yang dikonjugasikan
dengan zat pewarna atau gold particles pada fase fast mobile. Jenis RDT dapat berupa
dipstik atau strip yang memerlukan waktu 15 sampai 30 menit. Ada 3 jenis antigen yang
digunakan sebagia target, yaitu:
 HRP-2(histidine rich protein-2) adalah antigen yang disekresikan ke sirkulasi darah
penderita oleh stadium trofozoit dan gametosit muda plasmodium falsiparum
 pLDH(pan lactate dehydrogenase) yaitu stadium seksual dan aseksual parasit
malaria dari ke-4 spesies plasmodium yang menginfeksi manusia menghasilkan
enzim pLDH. Isomer enzim ini dapat membedakan spesies plasmodium falsiparum
dan vivax
 Pan Aldolase adalah enzim yang dihasilkan ke-4 spesies plasmodium yang
menginfeksi manusia

Paparkan aspek obat dari first line terapi untuk malaria terutama untuk kasus non
resisten plasmodium falsiparum dan vivax
 Klorokuin
Klorokuin adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati penyakit
malaria. Mekanisme kerja adalah menghambat aktifitas heme polimerase, hingga
menyebabkan akumulasi heme bebas pada sel darah.
Kontraindikasinya yakni pencegahan malaria, amebiasis akibat amoeba yang terjadi
diluar saluran cerna, lupus eritmatosus sistemik dan arthritis rheumatoid. Efek samping
yang dialami antara lain mual dan muntah, penglihatan buram, pusing dan rambut rontok.
 Primakuin
Mekaniasme kerja: Mengeliminasi primary tissue bentuk exoerythrocytic dari P.
Falciparum, merusak mitokondria dan mengikat DNA.
1. Kontraindikasi : hipersensitif, reumatoid artritis dan lupus eritematosus, terapi obat
yang dapat menyebabkan hemolisis dan depresi sumsum tulang, anak <4 tahun,
defisiensi G6PD dan NADH, penggunaan kuinakrin.

107 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
2. Efek Samping: mual, muntah, anoreksi, sakit perut, methemoglobinemia, anemia
hemolitik terutama pada defisiensi G6PD, leukopenia.
3. Indikasi: tambahan untuk terapi Plasmodium vivax dan P. ovale, dan gametosidal pada
malaria falciparum,eradikasi stadium hepar.
 Meflokuin
1. Mekanisme kerja: Mefloquin bekerja dengan cara bertindak sebagai agen antimalaria
dan skizontosida darah yang dapat mengganggu metabolisme parasit serta
kemampuannya memanfaatkan sel darah merah sebagai inangnya.
Indikasi: Mefloquin diindikasikan sebagai pengobatan malaria ringan, sedang hingga
akut yang disebabkan oleh P. falcifarum baik yang resisten atau tidak terhadap
klorokuin atau disebabkan oleh P. vivax.
2. Kontraindikasi: Memiliki riwayat hipersensitif/alergi terhadap kina atau kuinidin,
Pernah memiliki riwayat demam blackwater, Penggunaan untuk profilaksis pada
orang dengan riwayat kejiwaan (termasuk depresi) dan gangguan kejang, Gangguan
fungsi hati yang parah, Penggunaan bersamaan dengan halofantrine.
3. Efek samping: Mual, muntah dan diare, Pruritus dan ruam kulit, Pusing, vertigo dan
kehilangan keseimbangan, Mengantuk, gangguan tidur seperti insomnia dan mimpi
abnormal, Gangguan neuropsikiatris termasuk neuromotorik dan sensorik, Gangguan
penglihatan dan pendengaran, Ketidakstabilan emosi, panik dan depresi, Kerontokan
rambut.

Paparkan mengenai malaria berat dan gambaran laboratoriumnya ?


Malaria berat adalah : ditemukannya Plasmodium falciparum stadium aseksual dengan
minimal satu dari manifestasi klinis atau didapatkan temuan hasil laboratorium.
Gambaran laboratorium :
 Hipoglikemi (gula darah <40 mg%)
 Asidosis metabolik (bikarbonat plasma <15 mmol/L).
 Anemia berat (Hb <5 gr% untuk endemis tinggi,
 <7gr% untuk endemis sedang-rendah), pada dewasa
 Hb<7gr% atau hematokrit <15%)
 Hiperparasitemia (parasit >2 % eritrosit atau 100.000
 parasit /μL di daerah endemis rendah atau > 5% eritrosit
 atau 100.0000 parasit /μl di daerah endemis tinggi)

108 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Hiperlaktemia (asam laktat >5 mmol/L)
 Hemoglobinuria
 Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >3 mg%)
Paparkan aspek farmakologi dari artesunat ?
Garam suksinil natrium artemisin yang larut baik dalam air tetapi tidak stabil dalam
larutan
Jelaskan algoritme obat untuk malaria plasmodium falsiparum pada pasien tanpa
komplikasi? Dan cara penggunaan obat yang tepat ?
Obat yang digunakan adalah Dihidroartemisinin-Piperakuin(DHP) + Primakuin dan
untuk penggunaan obatnya adalah sebagai berikut:

Menurut kasus pasien berusia 67 tahun dan memiliki berat badan 50kg, jadi pasien
mengkonsumsi DHP sebanyak 3 tablet per hari selama 1-3 hari dan primakuin 1 tablet per hari
selama 1 hari.

Pilihan terapi untuk wanita hamil ?


 Trisemeter 1: kina tablet 3 x 10mg / kg BB ditambah klindamisin 10mg / kg BB selama 7
hari
 Trisemeter 2 dan 3: diberikan tablet DHP selama 3 hari
 Pencegahan atau profilaksis digunakan doksisiklin 1 kapsul 100mg / hari diminum 2 hari
sebelum pergi hingga 4 minggu setelah keluar/ pulang dari daerah endemis

109 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Kasus Giardiasis
 Nyonya A (35 Tahun,50 kg) datang ke klinik dengan gejala sakit perut, diare, terdapat darah
pada tinja, serta mual dan muntah.
 2 minggu sebelumnya pasien mengalami demam tinggi, batuk kering, sesak nafas dan mengi
yang berkurang gejalanya dengan obat warung
 Dokter meminta pengecekan tinja dan ditemukan positif giardiasis lambila. Dokter
mendiagnosis infeksi cacing.
Pertanyaan
1. Paparkan etiologi,epidemiologi dan patofisiologi dari infeksi giardiasis?
2. Paparkan faktor resiko terjadinya giardiasis?
3. Dan bagaimana pencegahan yang harus disampaikan pada pasien untuk mencegah
kejadian penyakit yang sama?
4. Sebutkan perbedaan manifestasi klinik dari akut dan kronik infeksi giardiasis?
5. Paparkan terapi farmakologi dan non farmakologi untuk infeksi giardiasis?
6. Sebutkan pilihan terapi untuk ibu hamil ?
7. Papatkan mekanisme kerja obat tersebut?
8. Sebutkan cara mendiagnosis infeksi giardiasis?

110 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
JAWABAN KASUS GIARDIASIS
1. Pengertian
Giardiasis merupakan infeksi pada usus halus yang disebabkan oleh parasit Giardia
Lamblia. Parasit Giardia Lamblia ini sering disebut juga Giardia Intestinalis atau Giardia
Duodenalis.

2. Etiologi
 Disebabkan oleh parasit Giardia Lambia.
 Infeksinya ditularkan melalui kista Giardia Lamblia yang tidak sengaja tertelan oleh
manusia atau hewan.
 Kista Giardia Lamblia ini berasal dari kotoran manusia atau hewan yang di sebarkan
oleh lalat dan kemudian mengkontaminasi makanan atau minuman.

3. Epidemiologi
 Banyak ditemukan di daerah tropis atau subtropis seperti Amerika Serikat.
 Banyak ditemukan di daerah yang memiliki sanitasi dan kebersihan yang rendah serta
kualitas air yang buruk karena padatnya penduduk pada daerah tersebut.
 Anak-Anak
Karena anak-anak memiliki kesempatan terpapar kotoranya lebih sering dan juga
masih belum bisa menjaga kebersihan sendiri terutama pada anak-anak yang masih
menggunakan popok, masih berlatih kekamar mandi atau sering menghabiskan waktu
ditempat bermain atau tempat penitipan anak.
 Orang tua yang memiliki anak yang masih menggunakan popok
 Pengasuh atau petugas dipusat penitipan anak.

4. Perbedaan manifestasi klinik akut dan kronis


Dilihat dari gejala yang ditimbulkan, yaitu :
 Gejala akut : Diare, Perut kram, Perut Kembung, Anoreksia, Mual dan Bersendawa
 Gejala Kronis : Diare, Feses berbau busuk, Feses berlebihan, Feses bewarna terang,
Penurunan Berat Badan dan Masa diare bergantian dengan Konstipasi

111 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
5. Patofisiologi

 Giardia Lamblia mempunyai 2 siklus yaitu tropozoit dan kista. Tropozoit hidup secara
bebas di usus halus manusia dan hewan sedangkan kista berasal dari lingkungan yaitu
dari makanan atau minuman yang telah terkontaminasi.

 Makanan atau minuman yang terkontaminasi dan mengandung kista kemudian tidak
sengaja tertelan oleh manusia atau hewan dan masuk kedalan tubuh manusia dan
menginfeksi usus halus.
 Di dalam usus halus, kista yang mempunyai dinding atau cangkang akan pecah dan
mengeluarkan tropozoit. Peristiwa ini di sebut Ekskistasi, terjadi karena kista secara
terpajan oleh HCl dan enzim pankreas saat melewati lambung dan usus halus. Ekskitasi
merupakan aktivasi kista berinti 4 dorman untuk mengeluarkan parasit motil yang
membelah 2 menjadi tropozoit. Tropozoit motil tersebut menempel di permukaan sel
epitel usus dengan menggunakan batil isap.
 Setelah melekat pada sel epitel, tropozoit tersebut akan berkembang biak dengan cara
membelah diri.

112 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Terjadi proses enkistasi saat menuju kolon akibat kenaikan pH. Enkistasi merupakan
proses pembentukan kista dari tropozoit.
 Kista tersebut akan keluar bersama feses.

6. Faktor resiko
 Kebersihan dan sanitasi yang buruk
Karena pada lingkungan yang mempunyai kebersihan dan sanitasi yang buruk itu
banyak terdapat bakteri atau parasit yang mudah menginfeksi.
 Cuci tangan yang tidak benar
Supaya tidak ada bakteri atau parsit yang menempel pada tangan dan tangan juga selalu
dalam keadaan bersih.
 Tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah makan
Karena kalau kita tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, bakteri atau
parasit yang ada pada tangan kita akan ikut termakan dan tertelan.
 Meminum air tanpa direbus terlebih dahulu
Karena kita belum tahu air yang kita konsumsi itu sudah bersih atau belum, bisa saja
air yang kita konsumsi sudah terkontaminasi oleh bakteri dan parasit. Sebaiknya air
tersebut di rebus sampai mendidih terlebih dahulu suppaya bakteri atau parasit yang
terkandung itu mati pada saat proses perebusan.
 Kontaminasi feses-oral
Mengkonsumsi makanan atauminuman yang telah terkontaminasi kista Giardia
Lamblia.
 Hubungan Seks anal

7. Pencegahan
Pada pasien disampaikan beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya infeksi
Giardiasis, yaitu :
 Mencuci tangan yang baik dan benar menggunakan sabun
 Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan
 Merebus air minum terlebih dahulu sampai mendidih
 Tidak mengkonsumsi es batu yang belum di ketahui kebersihanya
 Tidak melakukan hubungan seks yang beresiko seperti seks anal

113 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
8. Terapi Giardiasis
a. Non Farmakologi
 Menjaga pola hidup sehat
 Cuci tangan sebelum makan
 Cuci tangan sebelum dan setelah BAB dan BAK
b. Terapi Farmakologi
Nama Obat Dosis Rekomen Indikasi Mekanisme Efek Kategori Monitoring
dasi Kerja Samping Kehamilan
Metronidazole Kapsul 500 mg Giardiasis Menghambat Tidak Pertimbangan
(Flagyl) 375mg PO 3x1 sintesis asam boleh dosis
selama 5- nukleat dengan digunakan Pasien gagal hati
Anti biotik tablet 7 hari mengganggu pada berat : kurangi
Gol : 250mg DNA dan kehamilan, dosis 50%
Miscellaneus 500mg 250 mg menyebabkan trimester
PO tid kerusakan pertama Data hewan telah
tablet, rilis selama 5- untai; menunjukan
diperpanjang 7 hari. amebicidal, Gatau A, kemungkinan
750mg bakterisida, B, C, D, E, efek
trichomonacidal X karsinogenik
solusi infus
500mg /
100mL
Albendazole Tablet 400mg Giardiasis Menyebabkan C Dapatkan tes
(Albenza) 200mg 1x1 degenerasi kehamilan pada
selama 5 mikrotubulus wanita potensi
Gol : hari sitoplasma di reproduksi
Antelmintik usus dan sebelum terapi
(anti cacing) tegmental dan hindari
cacing usus penggunaan pada
wanita hamil
kecuali dalam
keadaan klinis di
mana tidak ada
manajemen
alternatif yang
sesuai, hentikan
terapi jika
kehamilan terjadi
karena potensi
bahaya ke janin
Nitazoxanide tablet 500 mg Giardia Menghambat Kehamilan: Keamanan dan
(Alinia) 500mg PO 2x1 Lamblia pertumbuhan Tidak ada kemanjuran tidak
selama 3 sporozoit dan data ditemukan pada
suspensi oral hari ookista dengan pasien HIV +
100mg / Cryptosporidiu wanita atau
5mL m dan trofozoit hamil immunodefisiens
Giardia untuk i
menginfor
Mengganggu masikan Efek pada
dengan piruvat: risiko kerusakan hati /
ferredoxin terkait ginjal tidak
oxidoreductase obat; Tidak diketahui,
(PFOR), ada Gunakan dengan
penting untuk teratogenisi hati-hati
metabolisme tas atau
energi fetotoksisit
anaerobik as yang

114 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
diamati
pada
penelitian
reproduksi
hewan
dengan
pemberian
nitazoxanid
e pada
tikus dan
kelinci
yang hamil
selama
organogene
sis pada
pajanan 30
dan 2 kali,
secara
berturut-
turut,
paparan
pada dosis
manusia
maksimum
yang
direkomen
dasikan
500 mg dua
kali sehari
berdasarka
n pada luas
permukaan
tubuh
(BSA)
Tinidazole tablet 2 g 1x1 Giardiasis Antiprotozoal; Tidak Karsinogenisitas
(Tindamax) 250mg atau dapat boleh telah terlihat
kelas 500mg Trichomo menyebabkan digunakan pada tikus dan
antibiotik niasis sitotoksisitas pada pasien tikus yang
yang dikenal dengan merusak Trimester dirawat secara
sebagai DNA dan pertama kronis dengan
nitroimidazole mencegah kehamilan metronidazole,
. sintesis DNA agen lain dalam
lebih lanjut Kategori : kelas
C nitroimidazole.
Nitroimidazole
Meskipun data
sama dengan
tersebut belum
metronidazole dilaporkan
Anti biotik dengan
Gol : tinidazole, kedua
Miscellaneus obat tersebut
secara struktural
terkait dan
memiliki efek
biologis yang
serupa.
Penggunaan
yang tidak perlu
dari obat ini
harus dihindari.

115 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Paromomycin Kapsul 25- Aminoglikosida Efek Kategori Paromomycin
250mg 35/kg/har ; mengganggu samping Kehamilan: adalah
(Anti biotik i sintesis protein yang C aminoglikosida
gol. Selama 7- bakteri dengan paling yang kurang
aminoglikosid 10 hari mengikat umum diserap yang
a) subunit ribosom termasuk dapat
30S; memiliki mual, dipertimbangkan
antibakteri peningkat untuk digunakan
terhadap an pada infeksi
organisme motilitas berat pada
patogen di GI, nyeri pasien hamil.
saluran perut, dan
pencernaan diare. Pengobatan
jangka panjang
dapat
menyebabkan
superinfeksi
jamur atau
bakteri

Perhatian pada
gangguan ginjal
atau pasien
dengan lesi usus
ulseratif

9. Terapi untuk ibu hamil : Paromomycin dosis 25-35 mg/kg/hari selama 7 hari
 Mekanisme kerja : Aminoglikosida; mengganggu sintesis protein bakteri dengan
mengikat subunit ribosom 30S, memiliki antibakteri terhadap organisme patogen di
saluran pencernaan
 Kategori : C
 Paramomycin termasuk kedalam golongan aminoglikosida, dimana aminoglikosida
merupakan antibiotik yang digunakan untuk mengatasi infeksi yang disebabkan
bakteri aerob gram negatif yang bersifat bakterisid. Pararomycin digunakan untuk ibu
hamil karena paramomycin memiliki resiko cacat lebih rendah.
10. Diagnosis Giardiasis
 Pemeriksaan feses yang dilakukan secara mikroskopis
 Pemeriksaan menggunaan Enterescopy : pemeriksaan dengan menggunakan teropong
yang sangat lentur untuk melihat langsung dan akurat tentang kelainan di saluran
pencernaan

116 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Kasus Cacing
Anak A ( 5 tahun, 10 Kg ) datang ke Klinik dengan gejala sakit perut, diare, terdapat darah
pada tinja, serta mual dan muntah. 2 minggu sebelumnya pasien mengalami Demam tinggi,
Batuk kering, Sesak napas dan Mengi yang berkurang gejalanya dengan obat warung. Dokter
meminta pengecekan tinja dan ditemukan positif Ascaris lumbricoides. Dokter mendiagnosis
infeksi cacing.
Pertanyaan
1. Sebutkan pembagian cacing yang bersifat pathogen ? Dan jelaskan juga dampak dari
infeksi ini terutama pada pasien ?
2. Paparkan penggolongan obat anti cacing lengkap dengan aspek mekanisme kerja?
3. Selain pemeriksaan tinja dilakukan juga pemeriksaan pendukung lain, Sebutkan 4 metode
diagnosis lainnya untuk memastikan infeksi cacing komplikasi yang mungkin terjadi
akibat cacing ?
4. Melihat kasus di atas, apa yang akan ada rekomendasikan untuk pasien ?
5. Paparkan pemantauan terapi yang diperlukan untuk kondisi pasien ?
6. Berikanlah informasi apa saja yang diinfokan kepada orang tua pasien untuk Pencegahan
infeksi Ascariasis kembali ?
7. Terapi adjuvant apa yang bisa dianjurkan untuk terapi pasien selain anti cacing ?
8. Buatlah rangkuman dari berbagai macam infeksi cacing dengan pilihan terapi obat (Cek
http://pionas.pom.go.id)

117 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
JAWABAN KASUS CACING
 Cacing Yang Bersifat Patogen
Filum / Kelas Penyakit Etiologi Gambar
Askariasis Ascaris
lumbricoides
Nematoda

Enterobiasis Enterobius
vermicularis
Nematoda

Hookworm Disease Ancylostoma


duodenale
Nematoda

Strongilodiasis Strongiloides
stercoralis

Nematoda

Filariasis Wuchereria
bancrofti

Nematoda

Cestodiasis T. Taenia saginata


saginata

Cestoda

118 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Cestodiasis T. Taenia solium
solium

Cestoda

Schistosomiasis Schistosoma
japonicum

Trematoda

Klonorkiasis Chlonorchis
sinensis
Trematoda

119 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Dampak Infeksi Pada Pasien

Siklus Hidup Cacing Ascaris lumbricoides dan Dampak Infeksi yang ditimbulkan
Telur cacing berada pada alam bebas karena dikeluarkan bersama dengan tinja.
Telur cacing dapat bertahan dalam lingkungan bebas ± 10 tahun, karena telur
Ascaris lumbricoides ini mempunyai lipoprotein ascariosid yang dapat membuat
telur bertahan dalam lingkungan bebas dalam waktu yang cukup lama.
Telur cacing tersebut bisa masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara,
bisa melalui sayuran yang memakai pupuk tinja dalam penanamannya, atau dari
tangan yang tidak bersih saat mengambil makanan.
Telur akan masuk ke dalam tubuh manusia dan mencapai usus halus. Usus halus
ini merupakan tempat terbaik untuk perkembangan cacing, karena dalam usus
halus terdapat banyak nutrisi yang bisa cacing serap untuk melangsungkan
kehidupannya. Dalam keadaan usus yang basa dan dibantu dengan garam
empedu, maka telur akan menetas menjadi larva.
Larva memiliki kemampuan untuk bermigrasi ke tempat lain melalui pembuluh
darah. Kemudian bisa menuju hati, menuju jantung, menuju pulmonal dan pada

120 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
akhirnya menuju alvelolar. Dalam alveolar ini, cacing berkembang membesar dan
memanjang sehingga menyebabkan penyumbatan pada alveolar.

Tahap Migrasi Larva : Larva mencapai ruang alveolar dan berkembang pada
alveolar, pada fase ini pasien umumnya mengeluhkan sindrom Loeffler,
pneumonitis ascariasis. Sindrom Loeffler ini terdiri dari gejala demam, batuk,
eosinophilia (kadar eosinophil yang tinggi dalam darah), sulit bernafas.

Sebagian larva ada yang berkembang dan membesar pada usus menjadi cacing
dewasa. Namun pada keadaan tidak menguntungkan (seperti keadaan demam,
pengaruh obatobatan), maka cacing dewasa pun memiliki kemampuan untuk
bermigrasi ke organ lain yang dekat dengan usus (pancreas, hepatobilier) dengan
cara melubangi usus.
Tahap Cacing Dewasa : Cacing dewasa yang bermigrasi, berkembang pada
hepatobilier menyebabkan hepatobilier ascariasis, menginfeksi pancreas
menyebabkan pankreatitis ascariasis, atau cacing dewasa yang berkembang dalam
usus akan menyebabkan obstruksi usus dan gangguan usus ringan, seperti :
mual, muntah, diare.

121 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Golongan Obat Anthelmintik

122 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
123 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 4 metode diagnosis lain untuk infeksi cacing komplikasi
 Pemeriksaan sputum
Dilakukan dengan cara pengkulturan dan dilihat apakah terdapat larva cacing
atau tidak dalam sputum tersebut  Kemungkinan komplikasi pneumonitis
ascariasis
 ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio-Pancreatography)
Prinsip kerjanya yaitu : Endoskopi (disediakan selang elastis yang ujungnya
terdapat kamera kemudian dimasukkan ke dalam rongga mulut , masuk melewati
kerongkongan, lambung, usus, dan berakhir di pankreas, kemudian dilihat apakah
terdapat cacing ascaris ataukah tidak  Kemungkinan komplikasi pankreatitis
ascariasis
 X-ray atau CT-scan atau USG abdomen (Pencitraan)
Dilihat dari hasil pencitraan tersebut apakah terdapat cacing ascaris ataukah
tidak  Kemungkinan komplikasi hepatobilier ascariasis, obstruksi intestinal
 Kolangiografi
Dilakukan dengan cara menginjeksikan semacam tinta ke dalam pembuluh
darah pasien kemudian dilihat penyebaran tinta tersebut, apakah tersebar ke ke
dalam hati, empedu, lambung, usus dll. Jika terjadi penyebaran maka dapat
disimpulkan bahwa empedu pasien baik. Jika tidak terjadi penyebaran dapat
disimpulkan bahwa empedu pasien terganggu  Kemungkinan komplikasi kolik
bilier (Batu Empedu).
 Rekomendasi untuk pasien
a) Terapi : Mebendazole
b) Dosis dan cara pemakaian : Dosis pediatrik : 100 mg – 2x sehari selama 3 hari.
Dimakan bersama makanan berlemak, agar absorpsinya lebih baik
c) Efek samping : Peningkatan SGOT SGPT, penurunan hemoglobin (dalam
pemakaian jangka panjang), hematuria, demam, sakit kepala, pusing
d) Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap mebendazole
 Pemantauan Terapi & Efek Samping
a) Pemeriksaan tinja dilakukan 2 minggu setelah terapi bertujuan untuk mengetahui
keberhasilan terapi pasien. Kemudian dilihat pada tinja pasien apakah masih
terdapat telur cacing Ascaris ataukah tidak, jika terdapat telur cacing maka dapat
dihitung menggunakan metode Katokat.

124 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
b) Pemantauan efek samping dilakukan dengan cara pemeriksaan fungsi hati SGOT
& SGPT.
1. SGOT (serum glutamic oxaloacetic transaminase) adalah enzim yang
biasanya ditemukan pada hati (liver), jantung, otot, ginjal, hingga otak.
2. SGPT (serum glutamic pyruvic transaminase) adalah enzim yang paling
banyak terdapat di dalam hati.
3. Kedua enzim ini memiliki tugas yang sama, yaitu membantu mencerna
protein dalam tubuh.
4. Dalam keadaan normal, SGOT dan SGPT berada di dalam sel-sel organ,
terutama sel hati. Ketika organ seperti hati mengalami kerusakan maka
kedua enzim ini akan keluar dari sel dan masuk ke dalam pembuluh darah.
Hal ini yang membuat hasil SGOT dan SGPT meningkat di dalam tubuh.
c) Pemeriksaan Hemoglobin dilakukan dengan cara pemeriksaan darah lengkap.
 Obat golongan bronkodilator selain salbutamol ? JAWAB : Terbutalin
 Obat amtitusif selain dextrometorphan ? JAWAB : Kodein, difenhidramin, ambroksol
 Edukasi Pencegahan Infeksi Ascaris Kembali
1. Mencuci tangan dengan sabun sebelum makan
2. Hindari bermain dengan tanah yang sudah tercemar tinja
3. Hindari memakan sayuran dengan pupuk dari tinja
4. Harus mempunyai jamban keluarga yang sehat
5. Memakai sarung tangan saat akan mengelola sampah
6. Tidak memakan makanan yang sudah jatuh ke lantai

125 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
126 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
KASUS MATERI INFEKSI JAMUR
Kasus Candidiasis
PENGERTIAN
 Candidiasis adalah infeksi yang di sebabkan oleh jamur candida
 Vulvovagina adalah infeksi yang terjadi pada kelamin wanita atau vagina
 Orophageal adalah infeksi yang terjadi di orofharing
 Esophageal adalah infeksi yang terjadi di esofagus
EPIDEMOLOGI
 Vulvovagina
 Meningkat pada usia 20 thn s/d 30-40
 Wanita kulit hitam (62,8%) wanita kulit putih (55%)
 Masa subur > menopause karena masa subur lebih tinggi estrogennya dari
menopause
 Oropharing
 Bayi, orang tua dan yang imunitasnya rendah karena pada bayi sistem imunitas nya
belum terbentuk sempura, dan pada orang tua sistem imunitasnya menurun.
 Pasien terinveksi HIV karena sistem imunitasnya turun
 Pasien rawat inap (lanjut usia) munkin pasien tersebut nosokomial yaitu pasien yang
mempunyai infeksi menular
 40% pemakaian gigi palsu , mungkin karna gigi sebelumnya sudah berjamur
 Wanita > pria
 Esophageal
 Bayi, orang tua dan yang imunitasnya rendah
 Pasien terinfeksi HIV
 37% pemakaian kortekosteroid inhalasi / DM , karna penggunaan kortekosteroid
yang sering atau berlebihan dapat menurunkan daya tahan tubuh manusia,
sedangkan dm karna sistem daya tahan tubuhnya menurun
KOMPLIKASI VVC
 Disebabkan oleh infeksi nonalbican atau organisme resisten azole
 Terjadi pada wanita penderita diabetes
 Dapat mengalami kekambuhan

127 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
NON KOMPLIKASI VVC
 Paling sering disebabkan oleh candida albicans yang masih murni
 Menyebabkan gejala ringan sampai gejala berat
ETIOLOGI OROFHARING & ESOPHAGEAL
 Candida Albican
 Non Albican : C. Galabrata, C. Tropicalis, C. Parapsilasis, C. Krusei
FAKTOR RESIKO
 Vulvovagina
 Penggunaan antibiotik spektrum luas yaitu karena antibiotik membunuh floranormal
 Penggunaan terapi immunosuppressan yaitu dapat menekan daya tahan tubuh,
sehingga terjadi infeksi jamur
 Aktifitas seksual yaitu bisa jadi lawan pasangan kita mempunyai penyakit jamur
sehingga dapat menular saat berhubungan
 Pakaian ketat dan tidak menyerap keringat yaitu karna kringat itu air jadi memicu
kelembaban dan dapat terjadi infeksi jamur
 Diabetes melitus yaitu karna daya tahn tubuhnya menurun , bisa terjadi infeksi
jamur
 Oropharing dan Esofharing
 Usia rawan ( bayi dan lansia) karna pada bayi sistem daya tahan tubuhnya belum
terbentuk sempuran dan pada lansia sistem daya tahan tubuhnya menurun , maka
bisa terjadi infeksi jamur
 Gangguan iritasi mukosa karna terjadi iritasi pada mukosa dapat terjadi infeksi
jamur
 Gigi palsu karna gigi sebelumnya tidak steril atau sudah terjadi infeksi jamur
 Xerotomia yaitu gejala keringnya mulut karena produksi kelenjar ludah yang
berkurang
 Penggunaan antibiotik spektrum luas
 Penggunaan immunosupresan
 Infeksi HIV , DM karna menurunya sistem daya tahan tubuh dapat terjadi infeksi
jamur

128 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
MANIFESTASI KLINIK VVC
 Gejala
 Gatal pada vagina
 Nyeri pada vagina
 Iritasi
 Disuria (sakit ketika BAK)
 Dispareunia (nyeri pada alat kelamin yang terjadi selama berhubungan seksual)
 Tanda - tanda
 Keputihan tanpa bau (bisa cairan kental berwarna hijau kekuningan)
 Eritemia (pembekakan pada mukosa) dan edema (merujuk pada kondisi bengkak
pada jaringan lunak kulit) pada labia dan vulv
MANIFESTASI KLINIK OROFHARING
 Gejala
 Sakit pada mulut dan lidah
 Lidah terasa terbakar
 Dipagia (sulit menelan makanan)
 Disuria (sakit ketika BAK)
 Tanda – tanda
 Eritema pada permukaan mukosa bukal, tenggorokan, lidah, dan gusi
 Terdapat bercak putih pada lidah, gusi, atau mukosa pipi
 Cheilitis angular (luka di bibir ditandai dengan pembengkakan dan bercak merah di
bagian sudut
MANIFESTASI KLINIK ESOFHARING
 Gejala
 Demam
 Nyeri saat menelan
 Nyeri retrospinal (dada bagian tengah)
 Tanda – tanda
 Demam
 Plak putih yang hiperemik atau edema
 Ulserasi esofagus (penipisan ulkus pada esofagus)
 Penyempitan lumen yaitu penyempitan usus yang bisa disebabkan oleh
mikroorganisme

129 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
DIAGNOSA

Diagnosis VCC dapat dilakukan dengan 3 cara, diantaranya :


1. Uji Mikroskopik untuk mengetahui C.blastopora dan C.psedohipdae. dengan uji saline wet
mount kepekaan pada uji saline wet mount ialah 40-50%, sedangkan dengan larutan KOH
konsetrasi 10% kepekaan mencapai 50-70%
2. Uji pH vagina dengan menggunakan pH kit. Umumnya vagina wanita memiliki pH < 4,5
3. Dengan melakukan kultur menggunakan media SDA

130 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Pada umunya diagnosis untuk orofaringeal dan esofaringeal hampir sama tetapi yang
membedakan terletak pada pemeriksaan barium esophagogram, endoscopy, dan biopsi
mukosa.

131 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
TATA LAKSANA
Tata laksana VCC NON komplikasi

Tatalaksana untuk VVC tanpa komplikasi


terdapat 3 pilihan terapi, untuk terapi singkat dapat
menggunakan terapi untuk 1 hari dapat
menggunakan krim butoconazole atau salep
tioconazole, sedangkan untuk penderita yang tidak
mau menggunakan salep atau krim sebagai pilihan
terapi dapat menggunakan terapi oral menggunakan
Flukonazole 150 mg.

Terapi VVC Kekambuhan

 Untuk terapi kekambuhan dapat menggunakan


Topikal Azole selama 14 hari atau oral
fluconazol 150 mg diulang 3 hari setelah dosis
pertama.
 Setelah itu di lakukan terapi supresif /
pemeliharaan

Terapi VVC Supresif / Pemeliharaan

Untuk terapi surpensif CDC merekomendasikan


menggunakan Flukonazole dengan dosis 100mg,
150mg, 200 mg seminggu 1x selama 6 bulan.

132 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Tatalaksana VVC NON Albican / Komplikasi

 First Line terapi : Non Fluconazole azole 7


sampai 14 hari
 Contohnya : Oral itraconazol 200 mg 2 x 1 hari
selama 6 bulan
 Atu juga bisa toplikal flucytosine 4 % , tetapi
pada pemakaian flucytosine harus dilakukan
pemantauan karena beresiko terjadinya
resistensi.
 Second Line : Asam borat 600 mg dalam
kapsul gelatin secara vagina setiap hari selama
dua minggu, efek samping pemakaian asam
borat dapat menyebabkan iritasi pada vagina

Terapi VVC Kehamilan

 Pada umunya obat untuk pengobatna infeksi


jamur memiliki obat katagori C yaitu pada
percoban menggunakan hewan terdapat efek
samping pada reproduksi dari hewan, tetapi
belum pernah di lakukan terhadap manunsia
 Terapi untuk masa kehamilan sebagiknya
menggunakan Topikal Clotrimazol (Kategori B)
 Atau menggunakan terapi oral Flukonazole
dengan dosis 150mg (katagori C) tetapi jika
flukonazole dengan dosis yang tinggi dapat
beresiko terhadap janin ( Katagori D)

Tata Laksana Orofaringeal

133 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Tata Laksana Esofaringeal

GOLONGAN OBAT

MONITORING EVALUASI

134 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Kasus Infeksi Mikosis Superficial
Definisi
Mycosis superfisial adalah infeksi mikobakterium yang terjadi pada kulit (dermatofit).
Infeksi ini umumya disebabkan oleh dermatofit yang dikelompokkan menurut genusnya yaitu
Trichophyton, Epidermophyton, dan Microsporum.
Jenis-jenis infeksi mikosis
- Tinea Pedis -> menyerang telapak kaki dan sela-sela jari kaki
- Tinea Manuun -> menyerang telapak tangan
- Tinea Cruris -> menyerang paha atau lipatan pangkal paha
- Tinea Corporis -> seluruh tubuh (kurap)
- Tinea Capitis -> infeksi pada kepala dan kulit kepala
- Tinea Barbae -> infeksi pada area jenggot
- Tinea Pytiriasis versicolor -> menyerang pada area kelenjar sebaseus ; leher dan lengan
- Tinea Onymycosis -> infeksi pada plat kuku atau bagian bawah kuku
Etiologi
 Trichophyton
 Epidermophyton
 Microsporum
Epidemiologi
Tinea infection : penyakit kulit kedua yang sering dilaporkan setelah jerawat yang paling
umum adalah Tinea pedis, menyerang > 25jt manusia di United State/tahun.
Faktor Resiko
1. Eksposur yang terlalu lama untuk pakaian 5. Belajar tanpa alas kaki ditempat umum
yang berkeringat 6. Immunocompromise
2. Lipatan kulit yang berlebihan 7. Trauma kulit
3. Gaya hidup menetap 8. Diabetes melitus
4. Penggunaan kolam renang umum
Manifestasi Klinik
 Gatal pada bagian yang terinfeksi, bertambah gatal saat panas dan berkeringat
 Timbul manifestasi pada kulit berupa kemerahan, keputih-putihan, agak kuning, lesi
berupa pulau-pulau
 Keratolitik (kulit mengelupas)

135 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Diagnosis Mikosis Superfisial

Tata Laksana Pengobatan


Non Farmakologi :
1. Gunakan pakaian longgar berbahan katun
2. Ganti pakaian setiap hari
3. Bersihkan selalu bagian terinfeksi dengan air dan sabun
4. Bagian terinfeksi dipastikan selalu kering sebelum dibalut, dan berikan perhatian
lebih pada lipatan kulit.
5. Bagian terinfeksi sebaiknya tidak diperban.
6. Infeksi pada kaki, direkomendasikan menggunakan kaus kaki katun dan rajin
mengganti kaus kaki.
7. Tidak menggunakan handuk, pakaian, kaus kaki orang lain.
8. Gunakan alas kaki dipemandian umum dan area kolam renang.

136 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Aspek Farmakologi
Infeksi Tinea
Anti Jamur topical :
1. Bufenafine 8. Miconazole
2. Ciklopiroe 9. Naftifine
3. Clotrimozole 10. Oxiconazole
4. Econazole 11. Sulconazole
5. Efinaconazol 12. Terbinafine
6. Haloprogin 13. tolnaftate
7. Ketoconazole.

Jika infeksi disertai inflamasi, kombinasikan dengan Topical Steroid.


 Betametason
 Hydrocortisone
Jika tidak mempan, infeksi menyebar ke kuku atau rambut gunakan terapi sistemik :
 Flukonazole
 Griseofulvin
 Itraconazole
 Ketokonazole
 terbinafine
Onychomycosis
Onychomycosis, infeksi terhadap kuku. Penggunaan terapi topical memiliki efektivitas
rendah. Maka diberi terapi sistemik :
First Line Second Line
Itraconazole 2x200mg/ minggu untuk 1 bulan Griseofulvin 4 bulan  kuku tangan
6 bulan  kuku kaki
Terbinafine 1x250mg untuk 12minggu -

Pemilihan Anti Jamur Topical Didasarkan Pada Tipe Lesi Dan Lokasi Infeksi
 Daerah berambut dan lesi yang berair  Lotion/solution
 Scalling sedang dan lesi tidak berair  Krim
 Hiperkeratosis  Salep

137 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Golongan Obat Anti Jamur

GOLONGAN ALLYLAMIN

GOLONGAN AZOLES

GOLONGAN ECHINOCANDINS

GOLONGAN POLYENE

OTHERS

Gol Obat Nama Obat Indikasi Dosis & durasi Mk


Allylamin Therbinafine T coporis Topical : 2x1 Menghambat sekualen epoksidase,
Oral : 250mg mengurangi sintesis membran sel
ergosterol, menyebabkan penghambatan
sintesis dinding sel jamur dan
menyebabkan kematian sel jamur

T capitis Oral : 250mg


Oncomycosis

Gol Obat Nama Obat Indikasi Dosis & durasi Mk


Azole Itraconazole T cruvis Oral : 200-400 mg/hari menghambat sintesis
(triazole) (1 minggu) ergosterol, yang berarti
menghalangi sintesis
membran plasma jamur
T barbae Oral : 100-200 mg/hari
(4 minggu)

Pityriasis versicolor Oral : 200mg/ setiap


hari (3-4 minggu)

Ketokonazole T coporis Topical : cream 1x1


(imidazole)

138 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
T Barbae Topical : shampoo
2x/minggu selama 4
minggu
Oral : 200mg daily
untuk 4 minggu.

Gol Obat Nama Obat Indikasi Dosis & durasi Mk


Others Griseofulvin fungistatik Oral : 1x1 500 mg. Mengikstksn diri pada
Selama 4-6 minggu. ergosterol sehingga
permeabilitas membran sel
meningkat.

Monitoring Pengobatan
INFEKSI PADA KULIT ONYCHOMYCOSIS
• 1-2 minggu gejala berkurang / menghilang • Gejala menghilang lambat
• Terapi tetap dilanjutkan selama 1 minggu • Perlu waktu berbulan-bulan untuk kuku
setelah sembuh untuk mencegah tumbuh kembali
kekambuhan • Selagi kuku tumbuh lama, anti jamur sedang
• Bila dengan topical kondisi memburuk  mengobati infeksi
oral terapi • Kuku yang tumbuh tidak akan tumbuh
normal

139 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Kasus Infeksi Mikosis Invasif
Pengertian
Infeksi mikosis invasive adalah penyakit yang disebabkan oleh invasi jaringan hidup oleh
jamur yang menyerang organ dalam dan menyebar ke seluruh tubuh.
Invasiv = spesies yang memenuhi habitat yang bukan tempat aslinya
Etiologi
Berdasarkan etiologi infeksi mikosis invasive dikategorikan menjadi dua :
1. Primer / endemic
Merupakan jamur yang dapat menyebabkan penyakit pada individu yang sehat dan
immunocompromised. Seperti Histoplasma capsulatum, Blastomyces dermatitidis dan
Coccidioides immitis
2. Opportunistic
Merupakan jamur yang umumnya hanya ditemukan pada inang
immunocompromised. Seperti Cryptococcus neoforman, Candida sp dan Aspergillu.
Epidemiologi
 Berdasarkan kondisi yang mendasari pasien seperti :
 20% hingga 30% dari infeksi fatal pada pasien dengan leukemia akut,
 10% sampai 15% dari infeksi fatal pada pasien dengan limfoma,
 5% dari infeksi fatal pada pasien dengan tumor padat.
 0% hingga 20% untuk penerima transplantasi ginjal dan sumsum tulang,
 hingga 10% hingga 35% untuk penerima transplantasi jantung,
 30% hingga 40% untuk penerima transplantasi hati.
 Berdasarkan morbiditas dan mortalitas pada pasien immunocompromised.
 Sekitar 2% sampai 4% dari semua pasien yang dirawat di rumah sakit
mengembangkan infeksi nosokomial.
 Berdasarkan area geografis :
 Histoplasmosis dan blastomikosis di Amerika Utara ditemukan di daerah yang
tumpang tindih dengan aliran sungai timur dan tengah Amerika Serikat, pada iklim
gersang – kering dan jarang terdapat flora.

140 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Factor Resiko
 Peningkatan penggunaan egimen kemoterapi antibiotic spectrum luas yang dapat
membunuh flora normal tubuh.
 Pasien pengguna kateter (cvc)
 Kolonisasi jamur sebelumnya seperti pengguna antijamur sebelumnya sehingga resisten
 Oprasi dan luka bakar yang luas sehingga rentan terkena infeksi
 Pasien dengan penurunan jumlah neutrophil sehingga pertahanan tubuh tidak bisa
memfagosit jamur
 Transplantasi
 Terapi kortikosteroid terus menerus yang dapat menurunkan system imun
Diagnosa
 Histopatologi = diagnosa pertumbuhan jamur dari cairan atau jaringan tubuh sebagai
sample klinis → Uji specimen, Pemeriksaan mikroskopik, Pemeriksaan biakan,
Pemeriksaan kultur
 Tes Serologi = pemeriksaan yang tergantung pada respon system imun menggunakan
antigen dan antibody →immunodiffution, indirect haemagglutination, enzyme-linked
immunosorbany assay (ELISA)
 Diagnostic molecular = suatu cabang dari diagnostik in vitro yang dapat digunakan
untuk mengidentifikasi penanda DNA dan produk turunannya pada manusia atau
organisme lainnya → PCR
Gejala
 Gejala-gejala reumatologis seperti artritis yang parah, perikarditis, dan erythema
nodosum dapat ditemukan pada 10% hingga 30% pasien dengan jamur endemik.
 Diseminasi di luar paru-paru sering terjadi pada pasien dengan kekebalan seluler yang
ditekan dan sering menghasilkan tanda-tanda infeksi yang berkembang.
 Lesi ulseratif oral dan kutaneus juga dapat timbul dengan infeksi jamur endemik.
 Lesi kulit verukosa (seperti kutil) pada daerah yang terpapar sinar matahari pada wajah
sangat sugestif untuk terjadinya blastomikosis dan sering keliru untuk keganasan kulit.
 Diseminasi jamur ke sumsum tulang dapat menyebabkan anemia atau trombositopenia.
 Hepatomegali, splenomegali, dan insufisiensi adrenal juga dapat terjadi dengan
penyebaran jamur endemik ke organ-organ internal ini.

141 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Kejang, tanda meningeal, dan hidrosefalus adalah temuan umum dengan penyebaran
infeksi ke SSP dan menunjukkan prognosis yang sangat buruk dalam pengaturan
coccidioidomycosis diseminata.
Histoplasmosis
 Diagnosa
1. Hitopatologi : bersel tunggal, seperti ragi 2 sampai 5 mikron dengan tunas berbasis
sempit; Kultur specimen (darah, sputum, sumsum tulang belakang) selama 14-21
day
2. Serologis : Menggunakan CF, ID dan LA; Pada pasien HIV menggunakan ELISA
(specimen darah, urine atau CSF)-> HPA (histoplasma polisakarida antigen)
 Manifestasi klinik
1. Paru akut (flu, demam, menggigil, sakit kepala, myalgia, batuk nonproduktif)
2. Paru kronis (peradangan , granuloma, fibrosis)
 Tatalaksana pengobatan
a. Paru akut :
1. Itrakonazol 200 mg/hari
2. Difus paru : Ampoterisin B 3-5 mg/kg/hari lalu Itraconazole 200 mg 2x1
3. Komplikasi : Metylprednisolon
b. Paru kronis :
1. Ampoterisin B 0,3-0,5 mg/kg
2. Peradangan : NSAID
3. Granulouma : Ampoterisin B 40-50 mg dengan Itraconazole 400 mg.
4. Fibrosis : Itraconazonazol 200 mg dua kali sehari
Blastomycosis
 Diagnosa
1. Histopatologi : visualisasi mikroskopis langsung dari ragi multinukleat yang besar
dengan tunas tunggal (dimorfik); biopsi (pengambilan sampel) jaringan; kultur
sekresi (sputum);
2. Serologi tidak digunakan karna terhambat kurangnya reagen spesifik dan standar
 Manifestasi klinik
1. Pulmonal akut (demam, menggigil dan batuk produktif
2. Pulmonal kronis (demam, malaise, penurunan BB, keringat malam, nyeri dada,
batuk produktif)

142 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Tatalaksana pengobatan
1. Pulmonal akut : Amfotersisin B IV 0,7-1 mg/kg/hari
2. Pulmonal kronis: Itraconazol 200-400 mg/oral/hari
Monitoring

Coccidioidomycosis

1. Spherula
2. Endospora

 Diagnosa :
 Mikroskopik langsung menunjukan spherula endosporulasi matang yang besar
 Dengan infeksi CNS, analisis CSF secara umum menunjukkan pleositosis limfositik
dengan peningkatan protein dan penurunan konsentrasi glukosa.
 Antibodi IgM dapat dideteksi dengan teknik tube precipitin atau immunodiffusion.
 Manifestasi Klinik :
 Pneumonia primer (batuk produktif)
 Pneumonia kronis (hemoptysis, parut pulmonal)
 Nekrosis pulmonal (batuk, demam, penurunan BB)

143 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
 Pengobatan :
 Paru primer dan kronis : Itraconazol 200 mg tiga kali sehari
 Flukonazol : 6 – 12 mg/kg/hari
 Nekrosis : Ampoterisin B 1-1,5 mg/kg/hari

Cryptococcosis

 Diagnosa :
 Kultur darah, CSF, cairan atau jaringan
 Tes antigen + > 1:4 (infeksi kriptococus)
 Pada pasien AIDS titer > 1:2048
 Manifestasi Klinik :
 Penyakit paru simptomatis (batuk, rales dan sesak nafas)
 Pasien non AIDS (meningitis kriptococal tidak spesifik)
 Pasien AIDS (deman dan sakit kepala)
 Pengobatan :
a. Simpotamis:
fluconazole lalu amphotericin B
Itraconazol
Fluconazol + flucitocyn
b. Non AIDS :
Ampoterisin B IV +flusitosin
Lipid ampoterisin B IV
c. AIDS :
Flukonazol 200-400 mg
Itrakonazol 200mg
Amfoterisin B IV 1mg/kg

144 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Candidiasis

 Diagnosa :
 Histopatologi : menggunakan kultur darah jika hasil (-) dapat dilakukan isolasi
mikrobiologi
 Test serologi : dengan uji fungitell dan untuk diskriminasi c. albican dari non
albican digunakan uji germtube
 Manifestasi Klinik :
 Candidemia tanpa komplikasi
 Candidemia dengan candidiasis
 Candidiasis tanpa candidemia
 Pengobatan :
 Flukonazol IV 400 mg atau PO
 Vorikonazol 6 mg/kg setiap 12 jam IV untuk satu hari, lalu 3 mg/kg setiap 12
jam IV

145 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Aspergilosus

 Diagnosa :
 Histopatologi : hifa 2-4 micron, jarang ada spora
 Test diagnostic galactomannan dengan enzim immunosorbent assay (EIA)
 Manifestasi Klinik :
 Demam
 Muyeri dada pleuritik
 batuk,
 Hemoptisis
 Tanda neurologic
 Pengobatan :
 Voriconazol IV 6mg/kg lalu 4 mg/kg; oral 4 mg/kg
 Lipid amphoterisin B
 Echinocandin
 Posaconazol IV 300mg; oral 300mg 2x1; suspense 200 mg
 Kombinasi terapi

146 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
Golongan Obat

Golongan Obat Mekanisme Kerja Efek Samping Interaksi

Flucytosine Antijamur pirimidin Pada pasien dengan Bacitrasin


terfluorinasi yang fungsi ginjal, GI dan flusitosin dan bacitracin
masuk ke sel jamur hematologi normal, meningkatkan
dengan bantuan sitosin meskipun ruam, nefrotoksisitas dan /
permease diubah ketidaknyamanan GI, atau ototoksisitas.
menjadi 5-FU menjadi diare (5-10%) dan Hindari atau Gunakan
FUTP kemudian peningkatan yang dapat Obat Alternatif. Hindari
dimasukan ke RNA dibalik. penggunaan bacitracin
jamur menghasilkan bersamaan dengan obat
biosintesis protein yang nefrotoksik lainnya
salah

Golongan Obat Mekanisme Kerja Efek Samping Interaksi


Polien Bertindak dengan  Anorexia Amikacin dan Amfoterisin
mengikat sterol dalam  Panas dingin B deoxycholate
membran sel jamur,  Diare meningkatkan
yang menyebabkan  Demam nefrotoksisitas dan / atau
perubahan  Sakit kepala ototoxicity. Kontraindikasi.
permeabilitas sel dan  Hipokalemia
kematian sel

Echinocandins Menghambat sintesis Demam, Diare, Menggigil, Siklosporin akan


dinding sel jamur Ruam, Hipotensi meningkatkan efek
caspofungin.

147 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
148 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1
DAFTAR PUSTAKA
Buku Saku Malaria tahun 2017
Chisholm-Burns, Marie A., Schwinghammer, T. L., Wells, B. G., Malone, P. M., Kolesar, J.M.,
DiPiro, J., 2016. Pharmacotherapy Principles & Practice 4th edition. McGraw. Hill
Despammier, Griffin, Gwadz, Hotez, Knirsch. 2017. Parasitic Disease Sixth Edition. Paracites
Without Borders, Inc. NY
DiPiro, J., Talbert, R.L., Yee, G., Wells, B., and Posey, L.M., 2014. Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach 9th edition. McGraw. Hill Professional.
Kepmenkes RI. Nomor 364/MENKES/SK/V/2006. Tentang Pedoman Pengendalian Demam
Tifoid. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Martin, R.J. 1997. Review Mode of Action of Anthelmintic Drugs. The Veterinary Journal.
154; 11-34
Medscape
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, Kemenkes RI Dirjen Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan, 2014
Permenkes RI Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer.
Petunjuk Teknis Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resistan Obat, 2014
Pusat Informasi Obat Nasional (pionas.pom.go.id)
Professional.Victoria J. S., et al., 2010. Prostatitis: Diagnosis and Treatment. American Family
Physician. Vol. 82 (No. 04) P. 397 - 406

149 | F A R M A K O T E R A P I i i 4 F A 1

Anda mungkin juga menyukai