Anda di halaman 1dari 9

Bronkoskopi untuk menilai pasien dengan hemoptisis:

kapankah waktu yang optimal untuk dilakukan?


Michele Mondoni1 *, Paolo Carlucci1, Giuseppe Cipolla2, Alessandro Fois3, Stefano
Gasparini4,5, Silvia Marani6, Stefano Centanni1 dan Giovanni Sotgiu7

Abstrak

Latar belakang: Bronkoskopi memiliki peranan penting untuk mendiagnosis etiologi,


melokalisasi, dan mengidentifikasi sumber perdarahan pada pasien dengan hemoptisis, tetapi
waktu ideal untuk dilakukannya pemeriksaan endoskopi masih belum jelas.

Metode: Kami melakukan analisis sekunder dari sebuah penelitian observasional dan
multisenter, yang bertujuan untuk mengevaluasi epidemiologi hemoptisis di Italia dan hasil
diagnostik dari pemeriksaan yang paling sering ditentukan. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengevaluasi apakah bronkoskopi dini (misalnya yang dilakukan selama perdarahan
aktif/≤48 jam setelah hemoptisis berhenti) dapat membantu melokalisasi perdarahan
(misalnya situs, lobus, paru-paru) dan meningkatkan hasil diagnostik dibandingkan dengan
pemeriksaan yang tertunda.

Hasil: Empat ratus delapan puluh enam pasien dewasa berturut-turut (69,2% pria; rata-rata
[IQR] usia: 67 [53-76] tahun) dengan hemoptisis yang membutuhkan diagnosis etiologis dan
menjalani bronkoskopi dikumpulkan. Fokus perdarahan dapat ditemukan lebih sering pada
kasus perdarahan sedang-berat daripada pada kasus hemoptisis ringan (situs: 70/154, 45,4%,
VS. 73/330, 22,1%; p-value <0,0001; lobus: 95/155, 61,3%, VS. 95/331, 28,7%; nilai p
<0,0001; paru-paru : 101/155, 65,1%, VS. 111/331, 33,5%; nilai p <0,0001). Bronkoskopi
dini menunjukkan tingkat deteksi sumber perdarahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pemeriksaan yang tertunda (situs: 76/214, 35,5%, VS. 67/272, 24,6%; nilai p = 0,01; lobus:
98/214, 45,8%, VS. 92/272, 33,8%; nilai p = 0,007; paru-paru: 110/214, 51,4%, VS. 102/272,
37,5%; nilai p = 0,002). Bronkoskopi dini tidak memberikan keuntungan dalam hal
peningkatan hasil diagnostik, dalam kohort total (113/214, 52,8%, VS. 123/272, 45,2%; nilai
p = 0,10) dan dalam subtipe keparahan (ringan: 56/128, 43,8%, VS. 88/203, 43,4%; nilai p =
0,94; sedang-parah: 57/86, 66,2%, VS. 35/69, 50,7%; nilai p = 0,051).

Kesimpulan: Bronkoskopi dini membantu mendeteksi sumber perdarahan, terutama pada


kasus hemoptisis sedang-berat, tetapi tidak meningkatkan ketepatan diagnostik.

Registrasi trial: ClinicalTrials.gov (pengidentifikasi: NCT02045394).

Kata kunci: Bronkoskopi, Hemoptisis, Kanker paru-paru, Bronkiektasis, Pneumonia


Latar Belakang

Hemoptisis merupakan suatu gejala yang rumit terkait kondisi medis yang berpotensi
mengancam jiwa [1-3]. Sebuah penelitian observasional Eropa baru-baru ini, menunjukkan
bahwa keganasan merupakan etiologi yang paling sering [3]. Pada dasarnya, pemeriksaan
diagnostik harus dilakukan selengkap mungkin [3, 4].

Deteksi lokasi perdarahan adalah kunci keberhasilan manajemen klinis, terutama pada
pasien dengan pendarahan yang mengancam nyawa [5, 6]. Computed tomography (CT) dan
bronkoskopi merupakan teknik yang akurat untuk diagnosis dan lokalisasi sumber perdarahan
[1-3, 7, 8]. Namun, dibandingkan dengan CT, yang lebih akurat untuk diagnosis vaskular dan
gangguan parenkim, bronkoskopi lebih baik dalam menilai saluran nafas bagian atas dan
kelainan endobronkial (misalnya keganasan endobronkial), dan juga dapat menyediakan
sampel histopatologis dan mikrobiologis dari lesi paru sentral dan perifer [3, 9-16].
Selanjutnya, dapat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan intervensi endobronkial, dan
dalam kasus kelainan paru bilateral ketika lokalisasi radiografi yang sulit pada sumber
perdarahan [5, 6].

Tidak ada pedoman tentang waktu diagnostik yang optimal dilakukannya bronkoskopi
pada pasien dengan hemoptisis [5]. Hanya terdapat beberapa penelitian yang menilai apakah
waktu endoskopi dapat mempengaruhi identifikasi dan diagnosis dari sumber perdarahan
[17, 18]. Temuan mereka kontroversial dan, akibatnya, waktu yang ideal masih menjadi suatu
perdebatan [5, 17, 18].

Tujuan dari penelitian kami adalah untuk mengevaluasi apakah bronkoskopi yang
dilakukan secara dini (yang dilakukan selama perdarahan aktif/≤48 jam setelah hemoptisis
berhenti) dapat membantu mendeteksi sumber perdarahan dan meningkatkan hasil diagnostik
(yaitu kemampuan untuk menyediakan spesimen histopatologis dan/atau mikrobiologis yang
berguna untuk diagnosis etiologis) dibandingkan dengan pemeriksaan yang dilakukan
belakangan (yang dilakukan setelah 48 jam hemoptisis berhenti) [17].

Kami juga menyelidiki apakah tingkat keparahan gejala dapat mempengaruhi


kemampuan pemeriksaan endoskopi untuk melokalisasi fokus perdarahan.

Metode

Ini merupakan suatu analisis sekunder dari sebuah studi observasi dan multisenter,
yang bertujuan untuk mengevaluasi epidemiologi hemoptisis di Italia dan hasil diagnostik
yang paling sering dari pemeriksaan diagnostik tertentu [3]. Studi protokol disetujui oleh
komite etik dari lima rumah sakit yang berpartisipasi di Italia (Milan, Mantua, Lodi, Sassari,
Ancona) dan terdaftar di ClinicalTrials.gov (pengidentifikasi: NCT02045394). Persetujuan
tindakan tertulis ditandatangani oleh pasien yang terdaftar [3].
Dari Juli 2013 hingga September 2015, secara berturut-turut dikumpulkan pasien
dewasa (usia ≥18 tahun) dengan keluhan hemoptisis yang membutuhkan diagnosis etiologis
menggunakan bronkoskopi. Kriteria eksklusi adalah sebagai berikut: 1) etiologi hemoptisis
sudah ditemukan; 2) penolakan untuk menandatangani persetujuan tindakan [3].

Tingkat keparahan hemoptisis dinilai oleh dokter konsulen dengan


mempertimbangkan jumlah harian darah yang dikeluarkan, yaitu sebagai berikut: ringan (dari
beberapa tetes darah hingga 20 ml (ml)/24 jam–h-), sedang (20–500 ml/24 jam), parah (> 500
ml / 24 jam) [1-3, 6].

Pemeriksaan bronkoskopi dianggap positif hanya jika terbukti ditemukan suatu lesi
perdarahan endobronkial dan/atau terdapat spesimen histopatologis dan/atau mikrobiologis,
membantu untuk diagnosis etiologi yang pasti [3, 17]. Selanjutnya, kami mengevaluasi
kemampuan bronkoskopi untuk mendeteksi sumber perdarahan (seperti lokasi anatomi,
lobus, dan paru-paru). Lokasi perdarahan didefinisikan sebagai sumber perdarahan terlihat
yang tepat (contohnya suatu perdarahan pada keganasan endobronkial yang terlihat).
Gambaran secara langsung pada perdarahan aktif/yang mengalir diduga sugestif dari suatu
sumber perdarahan [17, 19].

Selama analisis pasien yang menjalani bronkoskopi dibagi menjadi dua kelompok
berdasarkan waktu bronkoskopi sehubungan dengan gejala hemoptisis. Batasan 48 jam
dipilih sesuai dengan studi sebelumnya yang telah membahas topik yang sama (yaitu hasil
diagnostik dan kemampuan bronkoskopi untuk melokalisasi sumber perdarahan sehubungan
dengan waktu intervensi) [17].

Tidak ada protokol pre-endoskopi yang telah ditentukan karena kurangnya


rekomendasi evidence-based [5, 7]. Keputusan untuk melakukan bronkoskopi, penentuan
waktu dari bronkoskopi, jenis bronkoskop (fleksibel, kaku), dan/atau penentuan posisi tabung
endotrakeal dievaluasi oleh dokter yang menangani kasus demi kasus setelah penilaian yang
jelas mengenai gambaran klinis, pengalaman individu sebelumnya, dan ketersediaan
instrumen.

Hemoptisis yang mengancam jiwa didefinisikan sebagai hemoptisis apapun dimana


terdapat kehilangan darah >100 mL dalam jangka waktu 24 jam, menyebabkan
ketidakstabilan pertukaran udara atau obstruksi jalan nafas dan/atau ketidakstabilan
hemodinamik. Khususnya, kehilangan darah per hari >100ml (contohnya hemoptisis sedang
atau berat pada penelitian kami) merupakan jumlah terkecil dari kehilangan darah yang
dilaporkan dalam literatur ilmiah yang berpotensi menyebabkan kondisi medis yang
mengancam nyawa [20].

Dalam penelitian kami pasien dengan hemoptisis sedang dan berat digabungkan
dalam satu kelompok. Memang, seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, mungkin
hemoptisis yang mengancam jiwa terjadi hanya dalam kasus perdarahan sedang atau berat
(kehilangan darah setiap hari >100 ml).
Variabel kualitatif dan kuantitatif dikumpulkan dan dirangkum dengan frekuensi
absolut dan relatif (persentase) dan median (rentang interkuartil, IQR) di kasus distribusi non-
parametrik, masing-masing. Variabel kualitatif dibandingkan menggunakan uji chi-squared
atau Tes Fisher yang tepat bila sesuai. Nilai p dua sisi kurang dari 0,05 dianggap signifikan
secara statistik. Perangkat lunak statistik yang digunakan untuk perhitungan adalah Stata13.0
(StataCorp, College Station, TX, USA).

Hasil

Sebanyak 486 pasien dewasa (69,2% laki-laki; rata-rata [IQR] usia: 67 [53-76] tahun)
dengan hemoptisis terdaftar. Volume hemoptisis dilaporkan sendiri pada 416/606 (68,6%)
kasus, dimana telah diperkirakan oleh tenaga kesehatan profesional di 190/606 (31,4%)
kasus.

Pada hemoptisis sedang-berat, 87/486 (17,9%) bronkoskopi dilakukan dalam waktu


48 jam setelah hemoptisis berhenti, sementara 69/486 (14,2%) setelah 48 jam. Pada
hemoptisis ringan 128/486 (26.3%) pemeriksaan endoskopik dilakukan dalam 48 jam,
sedangkan 202/486 (41.6%) dilakukan setelah kurun waktu 48 jam.

471/486 (96.9%) bronkoskopi dilakukan dengan bronkoskop fleksibel, 2/486 (0.4%)


dengan bronkoskop fleksibel selama intubasi endotrakeal (perdarahan sedang), dan 13/486
(2.7% dengan sebuah scope yang rigid. Bronkoskop fleksibel digunakan dalam 7/12 (58.3%)
parah, 134/144 (93.0%) sedang, dan perdarahan ringan 330/330 (100%).

Bronkoskopi rigid dilakukan pada 5/12 (41,6%) hemoptisis parah dan 8/144 (5,5%)
hemoptisis sedang. Pada 20/486 (4,1%) pasien, hemoptisis dianggap berpotensi mengancam
jiwa. Dalam kasus hemoptisis yang mengancam jiwa seluruh bronkoskopi dilakukan sesegera
mungkin (semua selama hemoptisis aktif - dalam 24 jam hemoptisis mereda).

Bronkoskopi dilakukan dengan suatu diagnostik dan terapi (contohnya pemberian


vasokonstriksi topikal, Fogarty balloon, koagulasi plasma argon, dan laser) yang ditujukan
pada 99/486 (20,4%) pasien.

Karakteristik demografis, epidemiologi, klinis, dan endoskopi dari penelitian kohort


ditunjukkan pada Tabel 1. Lokalisasi fokus pendarahan terjadi lebih sering dalam kasus
pendarahan sedang atau parah dibandingkan dengan kasus hemoptisis ringan (situs: 70/154,
45,4%, VS. 73/330, 22,1%; nilai p <0,0001; lobus: 95/155, 61,3%, VS.95/331, 28,7%; nilai p
<0,0001; paru-paru: 101/155, 65,1%, VS. 111/331, 33,5%; nilai p <0,0001).
Tabel 1. Karakteristik demografis, klinis dan bronkoskopis dari kohort

Bronkoskopi yang dilakukan secara dini menunjukkan suatu tingkat deteksi sumber
perdarahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemeriksaan yang tertunda (situs: 76/214,
35,5%, VS. 67/272, 24,6%; nilai p = 0,01; lobus: 98/214, 45,8%, VS. 92/272, 33,8%; nilai p
= 0,007; paru-paru: 110/214, 51,4%, VS. 102/272, 37,5%; nilai p = 0,002) (Gambar. 1).
Namun, tidak ada perbedaan yang ditemukan ketika bronkoskopi dilakukan dalam 24 VS.
dalam 48 jam (situs: 39/116, 33,6%, VS. 37/98, 37,8%; nilai p = 0,52; lobus: 56/116, 48,3%,
VS. 42/98, 42,9%; nilai p = 0,43; paru-paru: 63/116, 54,3%, VS. 47/98, 48,0%; nilai p =
0,35).

Pada subkelompok pasien dengan hemoptisis ringan, suatu bronkoskopi yang


dilakukan secara dini tidak menunjukkan kemampuan yang lebih tinggi dalam mendeteksi
sumber perdarahan dibandingkan dengan yang tertunda (situs: 33/128, 25,8%, VS. 40/202,
19,8%; nilai p = 0,20; lobus: 43/128, 33,6% VS. 52/203, 25,6%; nilai p = 0,12; paru-paru:
51/128, 39,8% VS. 60/203, 29,6%; nilai p = 0,05).

Gambar 1. Tingkat deteksi sumber perdarahan (lokasi anatomis, lobus dan paru-paru) yang
berkaitan dengan waktu dilakukannya bronkoskopi
Pada pasien yang menjalani CT dan bronkoskopi, CT menunjukkan suatu kelebihan
yang jauh lebih tinggi untuk mendeteksi secara tepat lokasi perdarahan selain bronkoskopi,
keduanya pada pemeriksaan awal (130/252 (51,6%) VS. 73/190 (38,4%), nilai p = 0,006) dan
pemeriksaan yang tertunda (111/293 (37,9%) VS. 65/261 (24,9%); nilai p = 0,001).

Bronkoskopi menunjukkan sebuah hasil diagnostik keseluruhan 48,7% (237/487).


Diagnosis klinis definitif yang paling lazim setelah pemeriksaan lengkap di mana
bronkoskopi menunjukkan temuan positif (contohnya menyediakan spesimen histopatologis
dan/atau mikrobiologis yang berguna untuk diagnosis etiologis) merupakan keganasan paru
(97/112, 86,6%;), pneumonia (31/78, 39,7%), bronkiektasis (25/65, 38,5%), dan bronkitis
akut (20/65, 30,8%).

Pada 6/65 (9,2%) pasien dengan diagnosis akhir bronkiektasis, sumber pendarahan
dilokalisasi hanya oleh bronkoskopi (temuan bilateral yang tidak konklusif pada CT scan).
Pada 59/65 (90,7%) bronkoskopi dilakukan untuk mengumpulkan sampel
mikrobiologis/sitologis, menunjukkan temuan positif pada 25/59 (42,4%) pasien.

Bronkoskopi dini dan yang tertunda tidak menunjukkan perbedaan yang berhubungan
dalam hal hasil diagnostik, untuk kohort total (113/214, 52,8%, VS. 123/272, 45,2%; nilai p:
0,10) dan antara kelompok keparahan (ringan: 56/128, 43,8%, VS. 88/203, 43,4%; nilai p:
0,94; sedang-parah: 57/86, 66,2%, VS. 35/69, 50,7; nilai p: 0,051) (Gambar. 2).

Gambar 2. Penilaian dari etiologi hemoptisis dan waktu pemeriksaan endoskopi

Berdasarkan pada diagnosis definitif utama, bronkoskopi yang dini tidak dikaitkan
dengan suatu hasil yang lebih tinggi secara signifikan (keganasan: 42/45, 93,3%, VS. 55/67,
82,1%, nilai p: 0,09; pneumonia: 13/28, 46,4%, VS. 18/50, 36%, nilai p: 0,37; bronkiektasis:
15/32, 46,9%, VS. 10/33, 30,3%, nilai p: 0,17; bronkitis akut: 13/37, 35,1%, VS. 7/28, 25%,
nilai-p: 0,38).
Bronkoskopi dilakukan pada 9/11 (81,8%) pasien dengan hemoptisis yang memiliki
diagnosis akhir yaitu perdarahan saluran nafas atas. Khususnya, itu menunjukkan temuan
patologis dan mendeteksi fokus perdarahan yang tepat secara keseluruhan (9/9, 100,0%).

Diskusi

Analisis sekunder tersebut, yang melibatkan kohort besar dari pasien, dilakukan untuk
mengevaluasi keakuratan diagnostik bronkoskopi untuk etiologi hemoptisis dan untuk
mendeteksi sumber perdarahan sehubungan dengan waktu endoskopi. Seperti yang
ditunjukkan sebelumnya oleh Hirshberg et al., hasil kami menunjukkan bahwa tingkat deteksi
sumber pendarahan bisa lebih tinggi dalam kasus hemoptisis sedang-berat [1]. Temuan ini
merupakan suatu kunci jika terjadi peristiwa yang mengancam jiwa, ketika diperlukan
lokalisasi fokus perdarahan yang akurat untuk memberikan terapi endoskopi dan/atau untuk
memandu embolisasi angiografi [5-7].

Kami juga menunjukkan bahwa bronkoskopi dapat mendeteksi dengan lebih baik
sumber perdarahan (misalnya, lokasi anatomi, lobus, dan paru-paru) ketika dilakukan dalam
waktu 48 jam sejak episode hemoptisis terakhir. Hal ini sangat relevan untuk pasien dengan
perdarahan sedang dan berat. Memang, ketika kelompok ringan dianggap hanya berdiri
sendiri, dapat gagal untuk mendeteksi perbedaan antara pemeriksaan yang dilakukan awal
dan yang tertunda.

Khususnya, pemeriksaan yang dilakukan dalam hemoptisis 24 jam gagal dalam


meningkatkan deteksi dalam kohort total dibandingkan dengan bronkoskopi yang dilakukan
dalam waktu 48 jam.

Menariknya, bronkoskopi yang dilakukan dalam waktu 48 jam setelah hemoptisis


tidak signifikan dalam meningkatkan hasil diagnostik, terlepas dari gejala keparahannya dan
diagnosis akhir.

Beberapa penelitian telah mengevaluasi waktu yang paling tepat untuk bronkoskopi
diagnostik pada pasien dengan hemoptisis [17, 18].

Gong et al. secara retrospektif menganalisis kohort pada 129 penderita hemoptisis dan
menunjukkan bahwa pemeriksaan sejak dini (yaitu, perdarahan mereda kurang dari 48 jam
yang berkaitan dengan bronkoskopi) dapat memberikan tingkat deteksi perdarahan yang lebih
tinggi; Namun, hasil diagnostik dan manajemen pasien tidak membaik [17].

Hsiao et al. menunjukkan dalam sebuah kelompok pasien non-kanker dengan


hemoptisis sedang-berat yang dilakukan bronkoskopi dalam 24 jam dari episode perdarahan
pertama dikaitkan dengan suatu tingkat deteksi sumber perdarahan yang secara signifikan
lebih tinggi [18].
Temuan kami, berdasarkan studi prospektif dan multisenter yang lebih besar,
mengkonfirmasi hasil Gong et al. [17]. Sebagai perbandingan dengan temuan mereka, kami
mendeteksi sebuah proporsi lokasi perdarahan fokal yang lebih tinggi, yang mungkin
disebabkan oleh prevalensi neoplasma yang lebih tinggi (sebagian besar endobronkial) dalam
kohort kami. Selain itu, seperti yang diamati oleh Gong et al., Kami tidak dapat mendeteksi
perdarahan aktif dalam sebagian besar kasus dan kami tidak bisa menilai kemampuan
endoskopi yang lebih baik dalam melokalisasi sumber perdarahan yang terkait dengan
pemeriksaan yang dilakukan sejak dini [17].

Beberapa keterbatasan studi telah diketahui.

Sifat pengamatan alamiah dari studi tersebut dapat meningkatkan risiko bias seleksi;
Namun, kurangnya pedoman berbasis bukti tidak dapat mendukung desain intervensi, studi
kontrol acak untuk alasan etis.

Tidak ada pedoman tentang keparahan gejala [3, 7, 20]. Seperti yang dilaporkan
sebelumnya, kami mengelompokkan pasien berdasarkan banyaknya kehilangan volume darah
harian mereka, tanpa mempertimbangkan akibat hemodinamik dan gangguan pertukaran
udara/obstruksi jalan napas [1-3, 6]. Hemoptisis yang mengancam jiwa mungkin bergantung
pada rentang volume yang luas dari darah yang dikeluarkan, juga tergantung pada variabel
klinis yang lain (misalnya banyaknya perdarahan, klirens darah pada saluran napas, luas dan
tingkat keparahan pada penyakit paru-paru dan/atau jantung yang mendasarinya) [5, 20].

Dalam kasus hemoptisis yang mengancam jiwa, kepatenan saluran nafas harus segera
dijaga; dalam konteks ini, bronkoskopi rigid atau intubasi trakea merupakan pilihan yang
lebih baik dibandingkan dengan bronkoskopi fleksibel [5, 21]. Diikuti dengan pemulihan
ventilasi, instrumen yang fleksibel mungkin digunakan untuk diagnosis, lokalisasi sumber
perdarahan, dan terapi [5].

Kami tidak menilai apakah waktu endoskopi yang berbeda dapat mempengaruhi
manajemen klinis. Analisis sekunder ini ditujukan pada waktu ideal dari endoskopi
diagnostik, tanpa mempertimbangkan perannya terhadap hasil jangka panjang.

Kami menunjukkan bahwa tingkat deteksi sumber pendarahan lebih tinggi dalam
kasus hemoptisis sedang-berat. Hal tersebut harus digarisbawahi bahwa dalam kasus
hemoptisis sedang-berat (misalnya hemoptisis yang mengancam jiwa) bronkoskopi selalu
dilakukan lebih awal jika dibandingkan dengan kasus perdarahan non-kritis. Masalah ini
mungkin memengaruhi temuan penelitian.

Khususnya, waktu optimal bronkoskopi mungkin memiliki hubungan klinis yang


kurang pada saat ini dibandingkan dengan masa lalu, mengingat ketersediaan teknik
pencitraan yang sangat sensitif. Memang, seperti yang terlihat pada temuan kami dan oleh
studi terbaru, pencitraan CT dan bronkoskopi mungkin memiliki akurasi yang serupa dalam
identifikasi lokasi perdarahan, sedangkan CT dapat menunjukkan sensitivitas yang lebih
tinggi pada diagnosis etiologis dan merupakan kunci untuk embolisasi arteri bronkial, yang
tetap menjadi landasan untuk manajemen kasus hemoptisis yang parah [7, 22-24].
Kesimpulan

Bronkoskopi dapat menjadi penting untuk pasien dengan hemoptisis. Pemeriksaan


yang dilakukan dalam 48 jam setelah hemoptisis berhenti dapat membantu mendeteksi
sumber perdarahan (khususnya di kasus hemoptisis sedang-berat), tanpa meningkatkan
ketepatan diagnostiknya dan terlepas dari diagnosis definitif. Pemeriksaan endoskopi yang
dilakukan dalam 24 jam setelah gejala mereda tidak semakin meningkatkan tingkat deteksi
sumber perdarahan dibandingkan dengan bronkoskopi yang dilakukan dalam kurun waktu 48
jam.

Atas dasar temuan ini, dalam kasus hemoptisis sedang-parah, jika bronkoskopi
dianggap penting atau pencitraan CT tidak tersedia atau tidak berguna untuk mendeteksi
sumber perdarahan, endoskopi dini dapat direkomendasikan. Dalam konteks tersebut,
lokalisasi akurat dari fokus perdarahan diperlukan untuk secara cepat memberikan terapi
yang paling memadai. Dalam kasus perdarahan ringan, dilakukannya pemeriksaan yang
ditunda dapat dipertimbangkan; kemampuan bronkoskopi untuk mendiagnosis penyakit yang
mendasarinya dan untuk melokalisasi sumber perdarahan tidak dipengaruhi oleh waktu
pemeriksaan.

Anda mungkin juga menyukai