(20140204budi) - Kelas Filsafat Seni Memahami-Hermeneutika Dari Schleiermacher Sampai Gadamer-F.Budi Hardiman
(20140204budi) - Kelas Filsafat Seni Memahami-Hermeneutika Dari Schleiermacher Sampai Gadamer-F.Budi Hardiman
SENI MEMAHAMI
Hermeneutika dari Schleiermacher sampai Gadamer 1
F. Budi Hardiman2
1
Makalah untuk kuliah pertama Kelas Filsafat Seni Memahami: Hermeneutika dari
Schleiermacher sampai Gadamer, Serambi Salihara, 04 Februari 2014, 19:00 WIB. Makalah ini
telah disunting.
2
F. Budi Hardiman adalah pengajar di STF Driyarkara, Jakarta. Ia mendapatkan gelar doktor
filsafat dari Hochschule für Philosophie, München. Ia menulis sejumlah buku tentang pemikiran
Jürgen Habermas, di antaranya Menuju Masyarakat Komunikatif (2009) dan Kritik Ideologi
(2004); di samping Humanisme dan Sesudahnya (2012) dan Demokrasi Deliberatif (2009).
2
Oleh karena itu teks-teks Perjanjian Lama itu dipahami “secara Kristiani”. Hasil
tafsir tersebut termuat di dalam Perjanjian Baru.
Masalah hermeneutika teks-teks kitab suci mulai jelas dalam abad-abad
pertama Masehi. Terhadap teks-teks kitab suci itu, orang-orang Kristen
mencoba memberi dua macam penafsiran: penafsiran simbolis dan penafsiran
harfiah. Kedua macam hermeneutika ini tampil dalam kontroversi antara
mazhab Antiokhia dan mazhab Aleksandria, dua pusat agama Kristen pada
abad-abad pertama perkembangannya. Mazhab Antiokhia menafsirkan kitab
suci secara harfiah, sedangkan mazhab Aleksandria secara alegoris atau
simbolis.
Puncak permasalahan hermeneutika teks kitab suci dialami agama
Kristen pada zaman Reformasi. Agama Kristen terpecah karena perbedaan
prinsip-prinsip hermeneutis. Sementara golongan Protestan memegang prinsip
sola scriptura (hanya kitab suci), gereja Katolik memegang prinsip tradisi: kitab
suci ditafsirkan dalam terang tradisi. Pada masa-masa inilah hermeneutika
menjadi kegiatan yang sangat penting dan memiliki implikasi sosiopolitis yang
sangat luas. Masing-masing aliran dalam agama Kristen pasca-Reformasi
memperkembangkan bangunan teologisnya menurut prinsip-prinsip
hermeneutisnya sendiri sehingga perbedaan ini juga terwujud dalam bentuk
sosioreligius yang berbeda-beda.
Sumbangan yang sangat berarti dalam sejarah perkembangan
hermeneutika diberikan oleh teolog modern, Rudolf Bultmann. Konsepnya yang
menjadi termasyhur adalah “detimologisasi”. Dalam membaca dan
menafsirkan teks-teks religius, misalnya kitab suci, kita harus mengadakan
detimologisasi. Kalau mendengar kata “mitos”, kita cenderung
menyamakannya dengan dongeng atau cerita khayal. Akan tetapi sebenarnya
mitos adalah ungkapan simbolis mengenai kenyataan dengan mempergunakan
gambaran-gambaran, kisah-kisah dan lukisan-lukisan. Bahasa mitologis ini
tidak lagi dapat dipahami oleh ilmu pengetahuan modern. Persoalannya
bukanlah bagaimana melenyapkan mitos-mitos, melainkan bagaimana
menafsirkannya secara eksistensial dan mendemitologisasikannya.
Sumbangan Bultman yang lain adalah penerapan gagasan Heidegger
tentang prapaham pada teologi. Untuk memahami sebuah teks kita harus
memiliki prapaham tentang teks itu. Hanya jika persoalan yang kita
pertanyakan sungguh-sungguh merupakan persoalan kita, teks itu mulai
“bicara” kepada kita. Suatu kepentingan tertentu dalam menafsirkan teks
justru menyebabkan teks itu berbicara bagi kita, maka prapaham tidak
membatasi kemungkinan kita memahami teks, melainkan justru membuat
penafsiran kita menjadi produktif. Di lain pihak, suatu prapaham tidak sama
dengan prasangka. Suatu prasangka bisa lahir dari keyakinan akan kebenaran
prapaham kita sebagai sesuatu yang definitif sehingga menentukan hasil-hasil
penafsiran kita secara a priori. Berlainan dengan prasangka, prapaham justru
memungkinkan kita untuk terbuka terhadap hal-hal baru yang tak terduga.
Dalam filsafat, refleksi kritis mengenai hermeneutika dirintis oleh
Friedrich Schleiermacher. Sumbangan yang diberikannya adalah mengenai
divinatorisches Verstehen (pemahaman intuitif). Sebuah tafsir membutuhkan
intuisi tentang karya yang sedang dipelajari itu. Sebuah teks yang kita hadapi
tidak sama sekali asing bagi kita, juga tidak sepenuhnya biasa bagi kita.
Keasingan suatu teks dapat diatasi dengan mencoba memahami si pengarang.
4
Kita harus mencoba membuat rekonstruksi imajinatif atas situasi zaman dan
kondisi batin pengarangnya dan berempati dengannya. Dengan kata lain, kita
harus membuat penafsiran psikologis atas teks itu sehingga dapat
mereproduksi pengalaman pengarang. Pandangan Schleiermacher ini di
kemudian hari dikritik, karena terlalu psikologistis dan kita mengalami kesulitan
yang berarti pada saat kita berusaha mengatasi kesenjangan waktu yang
memisahkan cakrawala budaya kita dan cakrawala budaya pengarang.
Filsuf lain yang memperkenalkan gagasan filosofis mengenai
hermeneutika adalah Wilhelm Dilthey. Mengatasai psikologisme
Schleiermacher, ia berpendapat bahwa peristiwa-peristiwa yang termuat dalam
teks-teks kuna itu harus dipahami sebagai suatu ekspresi kehidupan sejarah,
maka yang direproduksi bukanlah keadaan-keadaan psikis pengarang,
melainkan makna peristiwa-peristiwa sejarah itu. Meskipun demikian, Dilthey
tetap berada pada garis yang sama dengan Schleiermacher: keduanya sama-
sama memahami hermeneutika sebagai penafsiran reproduktif.
Makna hermeneutika yang radikal diberikan oleh filsuf Martin Heidegger.
Baginya, hermeneutika atau “pemahaman” adalah bagian dari eksistensi
manusia sendiri, melekat pada manusia. Dalam memahami dunianya dan
sejarahnya, manusia adalah cakrawala bagi pemahaman dirinya. Suatu obyek
menampakkan dirinya hanya dalam suatu keseluruhan makna dan setiap
pengertian tentang obyek baru terjadi karena adanya pemahaman yang
mendahuluinya (prapaham) sebagai the conditions of possibility3-nya. Gagasan
ini disebut “lingkaran hermeneutis”.
Gagasan tentang “lingkaran hermeneutis” diterima oleh Hans-Georg
Gadamer, seorang filsuf yang mencoba membuat sebuah teori filosofis
mengenai pemahaman, sehingga menjadi hermeneutika filosofis. Ia
melontarkan kritiknya terhadap hermeneutika Romantik yang dirintis oleh
Schleiermacher dan Dilthey. Baginya, kesenjangan waktu antara kita dan
pengarang tidak harus diatasi seolah-olah sebagai suatu yang negatif,
melainkan justru harus dipikirkan sebagai perjumpaan cakrawala-cakrawala
pemahaman. Kita memperkaya cakrawala pemahaman kita dengan
membandingkannya dengan cakrawala-cakrawala pengarang. Oleh karena itu,
suatu penafsiran tidak bersifat reproduktif belaka, melainkan juga produktif.
Maksudnya, makna teks tidak harus makna bagi pengarangnya, melainkan
makna bagi kita yang hidup di zaman ini, maka menafsirkan adalah proses
kreatif.
Tokoh pertama yang akan kita bahas dalam kuliah ini adalah Friedrich Daniel
Ernst Schleiermacher (1768-1834). Dia lahir di Breslau (sekarang di Polandia)
pada 21 November 1768. Tokoh yang dibesarkan dalam keluarga Protestan ini
sudah dipersiapkan untuk memimpin jemaat. Orangtuanya memberinya
pendidikan yang baik, dan dia sendiri adalah bakat yang khusus sebagai
pengkotbah, sehingga dikirim ke sebuah seminari di Barby/Elbe. Di sana
3
“The conditions of possibillity” (syarat-syarat kemungkinan) adalah istilah yang berasal dari
Immanuel Kant. Istilah ini mengacu pada sesuatu yang harus dipenuhi lebih dahulu agar suatu
bentuk pengetahuan sahih.
5
“Seni Memahami”
Istilah “seni memahami” saya terjemahkan dari istilah Jerman yang berasal
dari Schleiermacher, yaitu “Kunstslehre des Verstehens”. Apa yang dimaksud
dengan “memahami” di sini, dan mengapa memahami dipandang sebagai
sebuah “seni”? Istilah memahami (Verstehen) dalam hermeneutika mengacu
pada proses menangkap makna dalam bahasa atau, dikatakan lebih luas, yang
menjadi target pemahaman adalah struktur-struktur simbol atau teks. Di dalam
kehidupan sehari-hari kita berbicara dengan orang-orang lain. Memahami
adalah proses menangkap maksud atau makna kata-kata yang diucapkan
pembicara. Obyek pemahaman tidak lain daripada bahasa, tetapi bahasa tidak
dapat dilepaskan dari pikiran penuturnya. Perlu ditambahkan bahwa manusia
tidak berpikir tentang hal sama, meski memakai kata yang sama.
Karena itu kita perlu membedakan dua hal, yaitu antara “memahami
apa yang dikatakan dalam konteks bahasa dengan kemungkinan-
kemungkinannya” dan “memahami (apa yang dikatakan itu) sebagai sebuah
fakta di dalam pemikiran si penuturnya”. 8 Kedua hal itu senjang satu sama
lain. Kita lalu dapat mengatakan bahwa dalam percakapan kerap terjadi
kesenjangan antara teks yang diucapkan dan isi pikiran penuturnya, antara
teks dan maksudnya, antara kata dan maknanya, dan antara simbol dan
acuannya. Bila tidak ada kesenjangan seperti itu tentu tidak akan terjadi
kesalahpahaman, melainkan saling pemahaman. Dikatakan sebaliknya, proses
pemahaman didorong oleh kebutuhan untuk mengatasi kesenjangan tersebut.
Apakah kesenjangan itu sungguh dapat diatasi atau tidak adalah soal lain yang
nanti masih harus kita bahas.
Hermeneutika dapat disebut sebagai sebuah “seni”, karena dua hal:
pertama, karena bertolak dari situasi tanpa pemahaman bersama atau bahkan
kesalahpahaman umum, sehingga pemahaman memerlukan upaya “canggih”
dan tidak dapat secara spontan saja; kedua, karena praktik untuk mengatasi
kesalahpahaman umum itu dilakukan menurut kaidah-kaidah tertentu
7
Bandingkan Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher,
Dilthey, Heidegger and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 93.
Selanjutnya ditulis Hermeneutics.
8
Baca F.D.E. Scleiermacher, “Foundations: General Theory and Art of Interpretation”, dalam
Kurt Mueller-Vollmer, ed., The Hermeneutics Reader. Texts of the German Tradition from the
Enlightenment to the Present, Continuum, New York, 2006, h. 74. Keterangan dalam kurung
dari penulis. Selanjutnya ditulis The Hermeneutics Reader.
7
Di atas sudah saya singgung bagaimana Ast dan Wolf memahami tugas
hermeneutika sebagai upaya menangkap dunia mental yang tercermin di
dalam teks dengan cara menempatkan diri dalam situasi penulis.
Schleiermacher setuju dengan kedua pendahulunya itu. Untuk memudahkan,
marilah kita mengambil sebuah teks yang kita kenal sebagai contoh, yaitu
9
Door Duisternis tot Licht (1911), kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini
yang diterbitkan J.H. Abendanon. Kita kenal buku itu dalam terjemahamannya
oleh Armijn Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Ada beberapa
kesulitan untuk memahami teks ini saat kita membacanya, seperti kesenjangan
waktu antara kita dan penulisnya, bahasa yang dipakai penulis, konteks
kebudayaan penulis, dan terutama pengalaman-pengalaman subyektifnya.
Kalimat-kalimat yang tertulis di sana tidak secara transparan mengungkap isi
penghayatan batin penulisnya atau apa yang kita sebut “dunia mental”
penulis. Bagaimana lalu proses memahami makna berlangsung?
Dari Schleiermacher kita mendapat gambaran bahwa proses hermeneutis
sebagai pembalikan dari proses penulisan teks (Hermeneutics, 86). Sementara
penulis bergerak dari pikirannya ke ungkapannya dalam susunan kalimat-
kalimat, pembaca bergerak sebaliknya: dari susunan kalimat-kalimat itu dia
memasuki dunia mental, yaitu pikiran penulisnya. Jika Kartini, misalnya,
mengungkapkan pikiran-pikirannya ke dalam susunan kalimat-kalimat dalam
surat-suratnya, kita sebagai pembaca mencoba memasuki isi pikiran Kartini
lewat pintu kalimat-kalimat itu. Di sini Schleiermacher lalu membedakan antara
“interpretasi gramatis” dan “interpretasi psikologis”. Yang dimaksud dengan
interpretasi gramatis atau teknis adalah proses memahami sebuah teks
bertolak dari bahasa, struktur kalimat-kalimat, dan juga hubungan antara teks
itu dan karya-karya lainnya dengan jenis yang sama (Hermeneutics, 89). Surat-
surat Kartini, misalnya, ditulis dalam bahasa Belanda dari abad lalu dan
berhubungan dengan tulisan-tulisan lain yang sejenis, misalnya, buku-buku
yang dibaca Kartini atau korespondensinya dengan teman-temannya. Bila
interpretasi gramatis menempatkan teks dalam kerangka obyektif, interpretasi
psikologis memusatkan diri pada sisi subyektif teks itu, yaitu dunia mental
penulisnya. Yang dicari di sini adalah—seperti disebut Palmer “individualitas si
pengarang, kejeniusannya yang khas” (Hermeneutics, 89).
Sebagaimana telah disinggung di atas, setuju dengan Ast dan Wolf,
Schleiermacher berpendapat bahwa tujuan pemahaman adalah menghadirkan
kembali dunia mental penulisnya atau—saya memakai istilah dari Palmer
—“rekonstruksi pengalaman mental pengarang teks” (Hermeneutics, 89). Kita
sebagai pembaca seolah-olah mengalami kembali (Wieder-Erleben)
pengalaman penulis teks. Di sini kita perlu berhati-hati agar tidak
menyalahpahami Schleiermacher. Dengan interpretasi psikologis tidak
dimaksudkan menangkap penyebab perasaan-perasaan penulis. Targetnya
bukan emosi, melainkan pikiran penulis. Alih-alih bertanya, apa yang dirasakan
Kartini, kita bertanya, apa yang dipikirkan olehnya dengan kalimat-kalimat itu.
Isi pikiran di balik perasaan-perasaan itulah yang relevan untuk pemahaman.
Dengan demikian, makna teks dapat dipahami, jika pembaca seolah-olah
masuk ke dalam kulit penulis teks, dan hal itu tidak terjadi secara subyektif
belaka. “Penafsir,” demikian tulis Schleiermacher, “harus menempatkan dirinya
baik secara obyektif maupun subyektif dalam posisi pengarang” (The
Hermeneutics Reader, 83). Yang subyektif, yaitu upaya menangkap pribadi
khas penulis, harus dilengkapi dengan yang obyektif, yaitu situasi lingkungan
di luar diri penulis yang oleh Schleiermacher disebut bahasa atau gramatika.
Lingkaran Hermeneutis
10
Ulasan saya baru saja memperlihatkan bahwa seni memahami yang dirintis
oleh Schleiermacher bukan sebuah upaya yang mudah. Prinsipnya memang
sederhana, yakni untuk memahami teks kita perlu memasuki dunia mental
penulisnya lewat susunan kalimat-kalimat yang ditulisnya atau masuk ke dalam
kulit penulis. Namun rinciannya menjadi cukup rumit, khususnya bila kita
memikirkannya lebih dalam lagi. Di sini kita menghadapi pertanyaan penting.
Manakah yang lebih utama: kalimat-kalimat yang dinyatakan oleh penulis atau
isi pikiran penulis? Sekilas tampak bahwa Schleiermacher mengandaikan
dualitas bahasa dan pemakainya, sehingga bahasa tidak lain daripada wahana
bagi pikiran pemakainya. Akan tetapi jika kita membaca karyanya secara teliti,
kita akan menemukan sesuatu yang berbeda dari kesan itu. Hal itu perlu kita
bahas di sini karena Schleiermacher merinci lebih jauh bagaimana proses
memahami berlangsung.
Pilihan prioritas antara bahasa dan pemakainya akan menghasilkan
konsekuensi berbeda. Jika isi pikiran lebih utama daripada bahasa yang dipakai
untuk menyampaikannya, interpretasi psikologis tentu akan mendapat prioritas
atas interpretasi gramatis, karena “orang menganggap bahasa secara khusus
sebagai sarana orang mengomunikasikan pikiran-pikirannya”. Kita juga dapat
berpendapat yang sebaliknya, yaitu mengutamakan interpretasi gramatis, jika
kita “menganggap orang dan tuturannya secara khusus sebagai kesempatan
bagi bahasa untuk menyatakan dirinya”. Pendirian Schleiermacher atas
persoalan adalah “bahwa kedua tugas itu sama sekali setara”( The
Hermeneutics Reader, 75). Kita memahami bahasa lewat pemakainya, tetapi
pemakai bahasa dapat dipahami lewat bahasa yang dipakainya. Dalam contoh
kita, pikiran Kartini dan surat-surat yang mengungkapkannya memiliki
kedudukan setara dalam interpretasi. Kita memahami pribadinya lewat teks
yang ditulisnya, dan teks itu dipahami lewat pribadinya. Jika demikian “baik
interpretasi gramatis maupun psikologis harus diperlakukan seolah-olah
keduanya dapat saling dipertukarkan” (The Hermeneutics Reader, 76).
Kedudukan setara antara interpretasi gramatis dan psikologis dalam
memahami makna teks itulah yang kemudian dikenal dengan istilah lingkaran
hermeneutis (hermeneutische Zirkel), yang intinya adalah bahwa “setiap
bagian dapat dipahami hanya dari keseluruhan yang mencakupnya, dan
sebaliknya” (The Hermeneutics Reader, 84). Memasuki dunia mental si penulis,
yakni mengalami kembali pengalamannya, adalah menjalani lingkaran
hermeneutis ini dalam interpretasi. Di sini kita menjumpai kesulitan. Jika untuk
memahami bagian-bagian, kita harus lebih dahulu memahami keseluruhan,
lalu bagaimana memahami keseluruhan? Bukankah kita tidak dapat bertolak
begitu saja dari keseluruhan tanpa bagian-bagian? Kalau begitu, bukankah
lingkaran hermeneutis sebuah lingkaran yang memusingkan kepala atau—
sebut saja—sebuah lingkaran setan? Palmer memberi sebuah penjelasan yang
menarik tentang bagaimana Schleiermacher menjawab masalah ini.
“Terkadang,” ia menulis, “semacam ‘lompatan’ ke dalam lingkaran
hermeneutis terjadi dan kita memahami keseluruhan dan bagian-bagian
bersama-sama” (Hermeneutics, 87).
Penjelasan Palmer, meski cocok dengan maksud Schleiermacher (The
Hermeneutics Reader, 90), dapat menimbulkan pertanyaan baru. Kekuatan
apakah yang memampukan lompatan itu? Ambil contoh berikut. Untuk
11
memahami kata kita harus lebih dahulu memahami kalimat. Hal ini mudah
dimengerti. Untuk memahami kalimat kita harus lebih dahulu memahami kata.
Hal ini juga terang benderang. Namun di dalam praktik pemahaman makna,
kita tidak bisa mulai dari satu titik tolak belaka, entah bagian atau keseluruhan,
melainkan bagian-bagian dan keseluruhan secara serentak saling menjelaskan
sehingga makna itu ditangkap. Ada kekuatan dalam akal kita sebagai penafsir
yang memungkinkan keserentakan proses itu. Itulah apa yang disebut
Schleiermacher kekuatan “divinatoris” atau “intuitif”. Yang dimaksud dengan
memahami secara divinatoris (divinatorisches Verstehen) adalah memahami
teks dengan cara mengambilalih posisi orang lain, penulis, agar dapat
menangkap kepribadiannya “secara langsung” (Hermeneutics, 90).