Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

OPTIMALISASI FUNGSI LEMBAGA KERJASAMA BIPARTIT SEBAGAI FORUM


KOMUNIKASI DAN KONSULTASI ANTARA BURUH DENGAN PENGUSAHA DALAM
UPAYA PENCEGAHAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PENULIS
Kadek Agus Sudiarawan, S.H.,M.H.

Dibawakan dalam :
KONFERENSI ADHAPER KE IV
12-14 September 2017
Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu - Sulawesi Tengah
Tahun 2017
A. Latar Belakang
• Proses industrialisasi yang semakin meluas pada negara berkembang
seperti Indonesia membawa konsekuensi pada ketertarikan pengusaha
untuk sedapat mungkin menggunakan sistem kerja yang fleksibel.

• Dalam bingkai hubungan industrial antara buruh dan perusahaan


bagaimanapun harmonisnya,apalagi dengan penekanan sistem kerja yang
fleksibel perselisihan perburuhan tidak mudah untuk dihindari.

• Perselisihan sangat rentan terjadi dalam hubungan antara buruh dengan


pengusaha karena fokus utama dari hubungan kerja yang dibangun
perusahaan adalah suatu hubungan kerja yang berorientasi pada target
dan keuntungan sehingga berimplikasi pada tekanan kerja yang tinggi
yang dialami oleh pihak buruh.

• Oleh karena itu seperangkat aturan hukum yang mengatur mekanisme


penyelesaian perselisihan hubungan industrial akan selalu menempati
posisi strategis dalam sistem hukum perburuhan suatu negara.
LKS Bipartit sebagai Forum Pencegahan Perselisihan
• Demi efisiensi pelaksanaan perusahaan diperlukan adanya aturan hukum yang
mengedepankan pencegahan terjadinya perselisihan hubungan industrial dalam
bentuk suatu lembaga khusus dan strategis dengan melibatkan masing-masing pihak,
baik dari pengusaha maupun buruh.

• Perselisihan hubungan industrial sejatinya dapat diredam atau diminimalisir melalui


beberapa media.

• Salah satunya ialah apabila di dalam suatu perusahaan terbentuk suatu forum yang
keanggotaannya terdiri dari wakil perusahaan dan buruh. (Dalam perspektif hukum
perburuhan Indonesia media ini dikenal sebagai Lembaga Kerjasama Bipartit (LKS
Bipartit).

• Kewajiban dalam Pembentukan LKS Bipartit diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan


Permenakertrans No. PER.32/MEN/XII/2008.

• LKS Bipartit selama ini kurang dimanfaatkan secara maksimal oleh buruh dan
perusahaan dalam mencegah terjadinya perselisihan.

• Hal ini tercermin dari masih sedikitnya jumlah perusahaan di Indonesia yang
menggunakan LKS Bipartit sebagai wadah komunikasi antara serikat pekerja dan
perusahaan.
Pelaksanaan LKS Bipartit

• Berdasarkan data Kemenakertrans yang diterima dari instansi yang membidangi ketenagakerjaan di
tingkat kabupaten/kota dan provinsi, jumlah LKS Bipartit yang telah terbentuk di perusahaan yang
mencakup 33 provinsi di Indonesia berjumlah 13.912 LKS Bipartit di perusahaan. (Secara presentase
jumlah ini tentu sangat sedikit dari jumlah keseluruhan perusahaan yang beroperasi di Indonesia).

• Data Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali menunjukkan bahwa pada tahun 2017 jumlah
perusahaan yang terdaftar di Provinsi Bali adalah mencapai 8.153 perusahaan, sementara dari
jumlah perusahaan yang memiliki LKS Bipartit berdasarkan Data Dinas Tenaga Kerja dan ESDM
Provinsi Bali adalah sejumlah 445 perusahaan

• Hal ini menunjukkan belum terlaksana amanat Pasal 106 ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003 dimana
masih banyak perusahaan di Indonesia yang belum menggunakan LKS Bipartit sebagai wadah
komunikasi dan konsultasi pencegahan perselisihan hubungan industrial.

• Kehadiran LKS bipartit pada perusahaan seharusnya dapat menjadi kunci untuk membentuk
hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan.
• Kondisi ini kemudian mengidentifikasikan fakta bahwa masih terdapat
kendala-kendala yang dihadapi perusahaan dalam mengaplikasikan LKS
Bipartit pada perusahaan.

• Padahal dari sisi efektifitas apabila fungsi LKS Bipartit dapat dioptimalisasikan
dengan baik, sinergi di lingkungan kerja akan dapat terwujud dan harmonisasi
hubungan industrial dapat tercapai.

• LKS Bipartit seharusnya dapat dijadikan sebagai suatu strategi bagi kedua
belah kelompok dalam menghasilkan komunikasi efektif yang dapat
berkontribusi terhadap keberlangsungan perusahaan.

Sehingga penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian hukum yang secara
khusus membedah dan mengalisis mengenai :
OPTIMALISASI FUNGSI LEMBAGA KERJASAMA BIPARTIT SEBAGAI FORUM
KOMUNIKASI DAN KONSULTASI ANTARA BURUH DENGAN PENGUSAHA DALAM
UPAYA PENCEGAHAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam makalah ini kemudian dibahas 3
(tiga) rumusan masalah, meliputi :
1. Apakah yang menjadi keunggulan karakteristik dari LKS Bipartit sehingga
layak dipilih sebagai media pencegahan perselisihan dalam bingkai
hubungan industrial ?

2. Apakah yang menjadi faktor penghambat belum/tidak dibentuknya LKS


Bipartit dalam perusahaan dan tidak dimanfaatknya lembaga tersebut
sebagai media pencegahan perselisihan hubungan industrial?

3. Bagaimanakah upaya yang dapat ditempuh untuk mengoptimalisasikan


fungsi LKS Bipartit sebagai forum komunikasi dan konsultasi antara
buruh dengan pengusaha dalam upaya pencegahan perselisihan
hubungan industrial?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengkaji dan mengetahui keunggulan karakteristik dari LKS
Bipartit sebagai media pencegahan perselisihan dalam bingkai hubungan
industrial.

2. Untuk mengkaji dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi dan


menyebabkan perusahaan dan pekerja belum/tidak menerapkan LKS
Bipartit sebagai media komunikasi dan konsultasi untuk mencegah
timbulnya perselisihan hubungan industrial.

3. Untuk mengkaji dan menemukan upaya-upaya yang dapat ditempuh


untuk mengoptimalisasikan fungsi LKS Bipartit dalam upaya pencegahan
perselisihan hubungan industrial.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam mendukung analisis digunakan beberapa tinjauan pustaka terkait
meliputi :

1. Tinjauan Tentang Buruh dan Hubungan Industrial.


2. Tinjauan Tentang Perselisihan Hubungan Industrial.
3. Tinjauan Tentang Lembaga Kerjasama Bipartit (LKS Bipartit).
4. Teori Sistem Hukum.
5. Teori Berlakunya Hukum di Masyarakat.
METODE PENELITIAN

Sifat Penelitian
Penelitian hukum ini didasarkan pada “Penelitian Normatif Empiris” yaitu 
gabungan antara penelitian normatif dan empiris, dimana untuk melengkapi
data yang diperoleh dari penelitian yang bersifat normatif (data sekunder)
dilakukan penelitian yang bersifat empiris (data primer) yang didasarkan pada
penelitian lapangan.

A. Penelitian Kepustakaan
Bahan Hukum Primer -> Analisis terhadap Perundangan-Undangan terkait LKS
Bipartit.
Bahan Hukum Sekunder -> Analisis berbagai bahan kepustakaan yang berkaitan
dengan LKS Bipartit.
Teknik Pengumpulan Data  metode dokumentasi dengan mengumpulkan,
mempelajari dan menganalisis berbagai bahan kepustakaan dan dokumen terkait
dengan obyek penelitian.
Alat Pengumpulan Data  melalui studi dokumen. Studi dokumen dilakukan dengan
menggunakan fasilitas perpustakaan untuk memperoleh refrensi hukum terkait serta
media lain yang memungkinkan.
B. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan dilakukan dengan meneliti secara langsung ke lokasi
penelitian untuk mendapatkan data primer yang diperlukan.

Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian lapangan ditentukan untuk memperoleh data penunjang yaitu
pada : Perusahaan, Pekerja, Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali,
Akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang konsen dibidang
ketenagakerjaan.
(Peneliti menentukan wilayah Kabupaten Badung dan Kota Denpasar berdasarkan
pertimbangan untuk mempersimpit ruang lingkup penelitian dan dikarenakan
permasalahan yang diteliti merupakan permasalahan pendukung yang sifatnya
homogen dan umum sehingga berlaku di seluruh wilayah Indonesia)

Teknik Pengambilan Sampel  menggunakan teknik Non probalility sampling


dengan jenis purposive yaitu tidak semua populasi mendapat kesempatan
menjadi sempel. Sempel ditentukan dengan kriteria tertentu disesuaikan dengan
permasalahan.
Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini terdiri dari :
– Responden
• Pengusaha (pada 6 perusahaan berbeda)
• Pekerja (12 pekerja dari 12 perusahaan)
– Narasumber
• Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali
• Akademisi
• LBH Bali
e. Teknik Pengumpulan Data  metode wawancara kepada responden dan narasumber.
f. Alat Pengumpulan Data  Alat pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data
primer yaitu berupa pedoman wawancara.

Analisis Data
• Analisis data  dilakukan pengelompokan data yang diperoleh baik dari penelitian
kepustakaan ataupun penelitian lapangan  Setelah proses pengumpulan data maka tahap
selanjutnya adalah pengolahan data.
• Data yang dikelompokkan, diseleksi, dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode
kualitatif. Hasil dari analisis ini yang menjadi jawaban dari permasalahan yang ada.
Diskripsi Subyek Penelitian
(Sempel Penelitian)

Subyek dalam penelitian ini terdiri dari  telah dilakukan wawancara dan analisis terhadap
data hasil wawancara  Dbuktikan dengan “ Kompilasi Hasil wawancara Responden dan
Narasumber”

Responden
Pengusaha (5 Pengusaha/Bagian Hukum/Ketenagakerjaan Perusahaan berbeda) meliputi :
• 1. PT.Cintya (Denpasar)  Percetakan
• 2. PT. Dewata Oleh-Oleh (Denpasar)  Pendukung Pariwisata
• 3. PT. NMC Finance (Denpasar)  Asuransi
• 4. Grandmas Hotel (Badung)  Akomodasi Perhotelan
• 5. PT. Express (Badung)  Transportasi
• 6. PT. Cocomart (Badung)  Retail
Pekerja (10 Perkerja dari 10 Perusahaan berbeda)
• 1. PT. Cintya
• 2. PT. Dewata Oleh-Oleh
• 3. PT. NMC Finance
• 4. PT Artha Kreasi Utama
• 5. PT. Semen Indonesia
• 6. PT. East Bali Cashews
• 7. Grandmas Hotel
• 8. PT.Express
• 9. PT.Cocomart
• 10.PT. Nirmala
• 11. Le Meridien
• 12. Nusa dua beach

Daftar Narasumber
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Denpasar
• I G N Winangsa, SH, Fungsional Mediator Hubungan Industrial pada bidang Hubungan Industrial dan Pengawasan Tenaga
Kerja Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali.

Akademisi Bidang Ketenagakerjaan


• 1. Dr. I Made Sarjana SH MH (FH UNUD)
• 2. I Made Dedy Prianto SH MH (FH UNUD)
LBH Bali
• Haerul Umam SH (Divisi Advokasi LBH Bali)
II. PEMBAHASAN
2.1 Keunggulan Karakteristik LKS Bipartit Sebagai Media Pencegahan
Perselisihan Hubungan Industrial
• Pencegahan terjadinya perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan dengan
menyelesaikan perbedaan pendapat, persepsi dan kepentingan sebelum menjadi
permasalahan hubungan industrial.

• Untuk itulah secara khusus diatur mengenai LKS Bipartit dalam Pasal 106 UU
Ketenagakerjaan, lebih lanjut dalam Pasal 106 ayat (4) UU Ketenagakerjaan
mengamanatkan bahwa ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan
keanggotaan LKS Bipartit diatur dengan Keputusan Menteri.

• Sebagai pelaksanaan Pasal tersebut ditetapkanlah Keputusan Menteri Tenaga


Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.255/MEN/2003 tentang
Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerjasama Bipartit
(Kepmenakertrans No. KEP.255/MEN/2003). Kemudian karena dipandang tidak
sesuai lagi sehingga kemudian diganti dengan Permenakertrans Nomor. PER.
32/MEN/XII/2008.
• Berdasarkan Pasal 1 angka 18 UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 1 angka 1 Permenakertrans No.
PER.32/MEN/XII/2008, LKS Bipartit didefinisikan sebagai forum komunikasi dan konsultasi
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang
anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) yang sudah
tercatat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur
pekerja/buruh.

Dari rumusan Pasal tersebut unsur-unsur LKS Bipartit adalah:


• berupa forum komunikasi dan konsultasi;
• membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan;
• anggotanya terdiri dari pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh.

• Fungsi LKS Bipartit ditekankan kembali dalam Pasal 106 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yaitu
sebagai forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan 
membahas masalah hubungan industrial di perusahaan guna meningkatkan produktivitas
kerja dan kesejahteraan buruh yang menjamin kelangsungan usaha dan menciptakan
ketenangan kerja.
• Agar terjadi komunikasi dan konsultasi yang baik dan efektif, tentunya keanggotaan
LKS Bipartit harus berasal dari kedua belah pihak sesuai dengan namanya yaitu
LKS Bipartit yang tentunya terdiri dari dua pihak.

• Pihak-pihak tersebut terdiri dari unsur perusahaan dan unsur buruh yang ditunjuk
oleh buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan buruh di perusahaan
yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 106 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan.

• Setelah ditentukan anggota tentunya perlu ada kepengurusan sebagai motor


penggeraknya, hal ini kemudian diatur pada Pasal 10 Permenakertrans No. PER.
32/MEN/XII/2008. Kepengurusan LKS bipartit menurut Pasal tersebut terdiri dari
unsur pengusaha dan buruh dengan jumlah sebanding (1:1 / satu berbanding
satu), sehingga diharapkan terjadi keseimbangan dari sisi jumlah.

• Disinilah tampak keunggulan LKS Bipartit dari segi keanggotaannya, karena


sifatnya yang bipartit atau terdiri dari dua pihak. Kedua belah pihak yaitu pihak
pengusaha dan buruh dapat lebih leluasa dan terbuka dalam menyelesaikan
permasalahan yang terjadi pada intern perusahaannya karena tidak ada campur
tangan pihak ketiga. Hal ini tentunya meningkatkan kualitas hubungan industrial
yang terjadi, dari yang hanya berpola partisipatif menjadi berpola inisiatif.
• Sebagai forum komunikasi dan konsultasi berimplikasi juga kepada kewenangan
dan produk dari LKS Bipartit tersebut. LKS Bipartit tidak punya kewenangan apa-
apa selain hanya melakukan musyawarah dan konsultasi berkaitan dengan
permasalahan hubungan industrial.

• Menurut Pasal 4 huruf c Permenakertrans No. PER.32/MEN/XII/2008, LKS Bipartit


hanya menyampaikan saran, pertimbangan, dan pendapat kepada kedua belah
pihak dalam rangka penetapan dan pelaksanaan kebijakan perusahaan.

• Jadi LKS Bipartit hanya berwenang untuk memberikan saran, rekomendasi dan
memorandum kepada pimpinan/manajemen perusahaan. Tidak ada kewenangan
untuk memutuskan sesuatu sehingga menghasilkan produk/hasil yang mengikat
yang dimiliki oleh LKS Bipartit.

• Hal ini seharusnya justru menjadi pendorong bagi pengusaha untuk membentuk
LKS Bipartit, karena lembaga ini tidak akan menjadi momok bagi pengusaha
karena tidak ada keputusan yang mengikat yang bisa dihasilkan, tetapi
berpotensi untuk mencegah permasalahan menjadi perselisihan lebih lanjut.
Dari berbagai penjelasan mengenai karakteristik LKS Bipartit tersebut, maka secara khusus
terdapat berbagai keunggulan karakteristik yang dimiliki LKS Bipartit sebagai forum pencegahan
perselisihan hubungan industrial di perusahaan, yang diantaranya meliputi:

• Dari segi konsep, LKS Bipartit dapat mengaplikasikan prinsip demokrasi ke ranah praktek
hubungan industrial antara pengusaha dan buruh. Hal ini karena LKS Bipartit merupakan
forum komunikasi dan konsultasi antara pengusaha dan pekerja/buruh, yang membahas
segala permasalahan terkait hubungan industrial dalam perusahaan secara musyawarah.

• Dari segi sifat, LKS Bipartit dapat memprediksi masalah yang akan terjadi dalam perusahaan,
dan mencegah permasalahan yang sudah ada untuk berkembang lebih lanjut menjadi
perselisihan hubungan industrial (bersifat preventif).

• Dari segi keanggotaan, LKS Biartit terdiri dari dua pihak. Kedua belah pihak yaitu pihak
pengusaha dan buruh dapat lebih leluasa dan terbuka dalam menyelesaikan permasalahan
yang terjadi pada intern perusahaannya karena tidak ada campur tangan pihak ketiga.

• Dari segi proses, LKS Bipartit dapat meningkatkan kualitas hubungan industrial dari pola
hubungan industrial yang partisipatif menjadi inisiatif. Dengan adanya wadah untuk
berkomunikasi dan berkonsultasi melalui LKS Bipartit maka pihak pengusaha dan buruh dapat
secara intern menyelesaikan permasalahannya dan menyampaikan informasi. Tentunya
diperlukan dengan komitmen dari kedua belah pihak terutama pihak pengusaha khususnya
manajemen untuk mendengarkan, mengakomodir dan menyelesaikan permasalahan yang
disampaikan dan dikonsultasikan.
• Dari segi hasil, hasil dari LKS Bipartit lebih diterima oleh para pihak (pengusaha
dan buruh). Karena dalam prosesnya kedua belah pihak dapat berkomunikasi dan
berkonsultasi dengan seimbang dan tanpa adanya tekanan dari pihak berwenang
(pihak ketiga).

• Dari segi efektifitas, LKS Bipartit berpotensi sebagai lembaga preventif yang efisien
dan efektif sehingga dapat menghemat biaya, waktu dan tenaga. Jika dibandingkan
dengan mekanisme penyelesaian sengketa dalam UU PPHI, apalagi jika melalui
mekanisme penyelesaian secara litigasi dengan melibatkan lembaga peradilan
tentunya akan menyita waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit.

• Dari segi kemanfaatan bagi perusahaan, LKS Bipartit meningkatkan produktivitas


perusahaan. Dengan adanya wadah komunikasi sehingga dapat dicegahnya
permasalahan hubungan industrial, maka hubungan antara pengusaha dan
pekerja/buruh lebih cair dan sehat. Implikasi selanjutnya tentunya adalah
peningkatan produktivitas perusahaan yang meningkatkan
kepastian/kelangsungan berusaha bagi pengusaha dan ketenangan kerja bagi
pekerja.
2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dan Menyebabkan Perusahaan Belum/Tidak
Menerapkan LKS Bipartit Sebagai Media Komunikasi Dan Konsultasi Untuk Mencegah
Timbulnya Perselisihan Hubungan Industrial.

• Data Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali menunjukkan bahwa pada tahun 2017
jumlah perusahaan yang terdaftar di Provinsi Bali adalah mencapai 8.153 perusahaan,
sementara dari jumlah perusahaan yang memiliki LKS Bipartit berdasarkan Data Dinas Tenaga
Kerja dan ESDM Provinsi Bali adalah sejumlah 445 perusahaan.

• Sementara bila melihat dari jumlah perselisihan yang terjadi dan masuk pada Pengadilan
Hubungan Industrial, dari Data Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali pada tahun 2014
hingga 2016 perselisihan yang masuk ke Pengadilan Hubungan Industrial menunjukkan
terjadi tren peningkatan jumlah perselisihan yang masuk ke PHI yaitu 7 perkara pada tahun
2014, 15 perkara pada tahun 2015 dan 28 perkara pada tahun 2016.

• Hal ini kemudian menunjukkan bahwa sistem pencegahan perselisihan di perusahaan


masing-masing masih mengalami kendala dan cenderung belum efektif digunakan sebagai
forum pencegahan perselisihan pada perusahaan.
• Hasil penelitian penulis terhadap berbagai elemen terkait dalam penerapan LKS Bipartit
menunjukkan terdapat berbagai faktor penghambat yang menyebabkan perusahaan-
perusahaan belum atau tidak menerapkan LKS Bipartit pada perusahaannya.

Faktor Penghambat menurut Perspektif Perusahaan


Beberapa faktor penghambat penerapan LKS Bipartit dari perspektif perusahaan meliputi :
• Perusahaan mengganggap belum perlu membentuk suatu lembaga khusus untuk pencegahan
perselisihan yang terjadi,
• Penggunaan media/sarana sejenis pada perusahaan,
• Kekurangpahaman perusahaan terkait adanya kewajiban membentuk LKS Bipartit,
• LKS Bipartit dianggap dapat merongrong kewenangan perusahaan,
• Potensi tumpang tindih dengan fungsi dan peran SP/SB di Perusahaan,
• Untuk perusahaan yang merupakan cabang dari perusahaan induk memerlukan persetujuan
dari perusahaan induk/pusat untuk menerapkan LKS Bipartit.
(Merupakan ringkasan hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap 6 Perusahaan di wilayah
Kota Denpasar dan Kabupaten Badung Provinsi Bali sebagai sempel penelitian).
Faktor Penghambat dari Perspektif Buruh (Pekerja)
Beberapa faktor penghambat penerapan LKS Bipartit yang muncul dari pihak buruh meliputi :
• Posisi Buruh dengan Perusahaan yang tidak seimbang,
• Pekerja tidak mengetahui dan tidak memahami fungsi, peran dan manfaat LKS Bipartit pada
Perusahaan,
• Perlu kesepakatan perusahaan (menagemen) dan buruh dalam pembentukannya,
• SP/SB dianggap sudah cukup representatif sebagai penyalur aspirasi buruh,
(Merupakan ringkasan hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap 12 Pekerja pada 12
Perusahaan di wilayah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung Provinsi Bali sebagai sempel penelitian)

Faktor Pengambat dari Perspektif Pemerintah


• Beberapa faktor penghambat penerapan LKS Bipartit dari perspektif pemerintah (Dinas Tenaga
Kerja) adalah meliputi :
• Jumlah sumber daya manusia sebagai pengawas di bidang ketenagakerjaan yang masih belum
representatif,
• Dalam melaksanakan pembinaan termasuk pelaksanaan penyuluhan/sosialisasi belum didukung
jumlah sumber daya manusia (pegawai teknis bidang hubungan industrial) yang memadai,
• Itikad baik dan komitmen dari perusahaan untuk melaksanakan saran yang dihasilkan oleh LKS
Bipartit masih kurang.
(Hasil wawancara terhadap I G N Winangsa, SH, Fungsional Mediator Hubungan Industrial pada bidang
Hubungan Industrial dan Pengawasan Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali)
Faktor Pengambat dari Perspektif Akademisi
Beberapa faktor penghambat penerapan LKS Bipartit pada perusahaan dari perspektif akademisi meliputi :
• Belum terbentuknya Peraturan Menteri terkait penerapan sanksi administratif sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 190 ayat (3)
UU Ketenagakerjaan,
• Penegakan sanksi yang tidak tegas,
• Perbedaan kepentingan dari pengusaha dan pekerja akan selalu menghadirkan konflik,
• Komitmen dan kepercayaan dari kedua belah pihak untuk membuat LKS ini berhasil,
• Sistem PPHI dalam UU PPHI dirasa sudah cukup representatif,
• Pengawasan dan penegakan yang tidak tegas, memberi peluang perusahaan untuk tidak menerapkan LKS Bipartit,
• Pengetahuan dan pemahaman yang masih kurang dari perusahaan dan buruh,
(Ringkasan hasil wawancara penulis terhadap Akademisi di Bidang Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Udayana Dr. I Made Sarjana
SH, M.H dan I Made Dedy Prianto, SH.,MH).

Faktor Penghambat dari Perspektif LBH Bali

Beberapa permasalahan utama yang masih dianggap menjadi penghambat penerapan LKS Bipartit diperusahaan meliputi :
• Pembentukan LKS Bipartit dianggap potensial akan melahirkan kedudukan yang saling tumpang tindih terhadap fungsi dan
peran Serikat Pekerja pada perusahaan,
• Penguatan terhadap fungsi dan peran Serikat Pekerja dinilai cukup sebagai sarana memperjuangkan hak-hak dan
kepentingan pekerja,
• Wakil pengusaha dalam LKS Bipartit merupakan pemegang kewenangan sehingga potensial buruh akan selalu berada dalam
kedudukan atau posisi yang lemah,
• Ketidaktahuan pengusaha dan pekerja terkait kewajiban pembentukan LKS Bipartit
• Jumlah pengawas ketenagakerjaan yang tidak representatif dalam melakukan pengawasan di sektor ketenagakerjaan, serta
• Pengaturan kewajiban dan penegakan sanksi yang tidak tegas kemudian mempengaruhi tingkat kepatuhan perusahaan
terhadap kewajiban pembentukan LKS Bipartit.
(Hasil wawancara terhadap Bapak Haerul Umam SH., Divisi Advokasi pada Lembaga Bantuan Hukum Bali (LBH Bali).
Hasil penelitian menunjukkan beberapa permasalahan utama yang ditemukan sebagai faktor
penghambat penerapan LKS Bipartit dari perspektif perusahaan, buruh, pemerintah dan pihak
terkait lainnya ialah meliputi :

- Kekurangpahaman perusahaan dan buruh terkait apa itu LKS Bipartit, apa yang menjadi
fungsi, Peran, kedudukan dan keunggulan karakteristik yang dimiliki LKS Bipartit,
- Kekurangan informasi terkait kewajiban dan syarat perusahaan menerapkan LKS Bipartit
serta sanksi bila tidak diterapkannya LKS Bipartit,
- Belum adanya komitmen bersama antara pihak perusahaan dan buruh untuk menerapkan
LKS Bipartit,
- Sistem pengawasan dan penegakan hukum yang lemah terhadap perusahaan yang tidak
patuh,
- Tidak representatifnya jumlah pengawas ketenagakerjaan dibandingkan jumlah perusahaan
yang harus diawasi,
- Kurangnya sumber daya manusia dan sarana prasarana pendukung pembinaan,
- Kekhawatiran potensi tumpang tindih terhadap SP/SB yang ada diperusahaan serta,
- Belum adanya Peraturan Menteri yang mengatur mengenai pelaksanaan sanksi administratif
bagi perusahaan yang tidak patuh.
2.3 Optimalisasi Fungsi LKS Bipartit Sebagai Forum Komunikasi dan Konsultasi Antara Buruh
Dengan Pengusaha Dalam Upaya Pencegahan Perselisihan Hubungan Industrial.

Berdasarkan analisis terhadap berbagai faktor penghambat penerapan LKS Bipartit, adapun beberapa
langkah-langkah yang dapat diambil pihak-pihak terkait dalam upaya optimalisasi peran dan fungsi LKS
Bipartit pada perusahaan antara lain meliputi :

• Sosialisasi secara rutin dan berkala dengan menyasar pihak perusahaan (pengusaha) dan SP/SB
atau buruh harus segera dilakukan guna memberi pengetahuan dasar dan pemahaman yang
komprehensif terkait LKS Bipartit,
• SP/SB atau buruh harus mengambil inisiatif dalam menggagas pembentukan LKS Bipartit pada
perusahaan,
• Perusahaan harus berkomitmen dan segera melakukan langkah penyesuaian terhadap
konsep/media sejenis yang dulunya digunakan sebagai media pencegahan perselisihan pada
perusahaannya,
• Pemerintah harus melakukan langkah pembinaan berkala bagi perusahaan yang belum dan akan
menerapkan LKS Bipartit,
• Pemerintah harus segera melakukan penguatan sumber daya manusia Pengawas Ketenagakerjaan
baik dari segi kualitas dan kuantitas,
• Pemerintah terkait, harus segera membentuk Peraturan khusus (Peraturan Menteri) yang
mengatur mengenai pelaksanaan sanksi administratif yang telah diatur dalam UU
Ketenagakerjaan.
• Aparat penegak hukum harus berani melakukan penindakan secara tegas terhadap setiap
ketidakpatuhan perusahaan terhadap kewajiban penerapan LKS Bipartit pada setiap perusahan
yang telah memenuhi syarat
PENUTUP
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan, beberapa hal yang dapat disampaikan sebagai
penutup makalah ini :

• Segenap keunggulan karakteristik yang dimiliki LKS Bipartit sebagai forum komunikasi dan
konsultasi pencegahan perselisihan hubungan industrial seharusnya dapat dimanfaatkan secara
optimal oleh pihak buruh dan pengusaha. Pihak buruh dapat menggunakan forum ini sebagai
sarana efektif tahap awal dalam memperjuangkan hak-haknya, sementara bagi pengusaha, LKS
Bipartit dapat digunakan sarana preventif bagi pengusaha dalam mendeteksi dini potensi
perselisihan hubungan industrial yang terjadi diperusahaan sehingga tidak mengganggu aspek
produktifitas perusahaan.

• Perusahaan harus berkomitmen terhadap pelaksanaan LKS Bipartit, langkah penyesuaian


terhadap konsep/media sejenis yang dulunya digunakan sebagai media pencegahan perselisihan
pada perusahaannya harus segera dilakukan, dengan mengadopsi konsep dan membentuk LKS
Bipartit sebagai forum komunikasi dan konsultasi pencegahan perselisihan pada perusahaan
masing-masing.

• Upaya-upaya penguatan untuk mengoptimalisasi fungsi LKS Bipartit bagi perusahaan seperti
sosialisasi, pembinaan, pengawasan haruslah dilakukan secara rutin guna memperkuat
pengetahuan dan pemahaman perusahaan dan buruh terhadap LKS Bipartit. Selain itu peningkatan
kualitas dan kuantitas sumber daya manusia pengawas ketenagakerjaan harus segera dilakukan
dalam mendukung langkah penguatan.

• Terakhir sebagai bagian terpenting dari upaya penguatan, pemerintah terkait harus segera
membentuk peraturan menteri yang mengatur terkait pelaksanaan sanksi administratif untuk
memberi dasar yang kuat bagi aparat dalam melakukan penegakan terhadap setiap
ketidapatuhan perusahaan yang hingga hari ini masih banyak terjadi.
SEKIAN
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai