Anda di halaman 1dari 14

BERITA INDUSTRI

Industri Tekstil Bakal Butuh Sedikitnya 40.000 Pekerja Baru

JAKARTA. Meski produk tekstil impor menggempur industri tekstil nasional, namun industri
tekstil dan produk tekstil (TPT) domestik masih tetap bisa bertumbuh. Lihat saja, kebutuhan
tenaga kerja di sektor TPT ini bakal terus bertambah.

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat, ada sekitar 1,47 juta pekerja yang di sektor
tekstil tahun lalu. Ketua API Ade Sudrajat bilang, kemungkinan terjadi penambahan jumlah
tenaga kerja di sektor TPT sangat besar. "Pasti ada tambahan pekerja jika terjadi
pertumbuhan di bisnis teksil," kata Ade, pada akhir pekan lalu.

Pebisnis tekstil memprediksi, tahun ini, bakal terjadi pertumbuhan industri tekstil sebesar 5%.
Menurut hitungan Ade, kalau terjadi pertumbuhan bisnis 1% saja, berarti bakal ada tambahan
sekitar 10.000 pekerja. Berarti, dengan asumsi pertumbuhan bisnis tekstil tahun ini yang
sebesar 5% bakal butuh pekerja setidaknya sebanyak 50.000 pekerja. "Saya perkirakan paling
sedikit butuh tenaga kerja baru sebanyak 40.000 orang," katanya.

Sayangnya, tenaga kerja ahli di sektor TPT ini masih minim. Saat ini, sektor TPT
membutuhkan tenaga kerja ahli baru hanya sekitar 1% dari'total kebutuhan tenaga kerja baru
atau 400 orang saja. API menyebutkan, tenaga ahli di sejrtor TPT adalah operator mesin,
perawatan peralatan dan mesin, penyelia, quality control hingga pemasaran.

Kebutuhan akan tenaga kerja ahli ini berbarengan dengan meningkatnya investasi di sektor
industri tekstil dan produk tekstil. Ade menyebut, untuk tahun ini bakal ada sekitar 100
perusahaan tekstil anyar yang beroperasi. Sebagian besar merupakan perusahaan asal China
yang merelokasi usaha. "Investasi pabrik asal China ini tidak terlalu besar dan tidak terlalu
signiflkan," katanya.

Namun Ade mengaku belum bisa menyebut soal berapa besar target realisasi investasi di
sektor tekstil ini. Yang pasti, ia mencatat bahwa untuk saat ini ada sekitar 2.980 perusahaaan,
baik lokal dan asing, yang berkutat di sektor TPT ini.

Badan Koordinas Penanaman Modal (BKPM) mencatat, tahun lalu ada sekitar 256
perusahaan tekstil yang menanamkan modal. Sebanyak 196 merupakan perusahaan asing
dengan nilai investasi total mencapai sebesar US$ 498,3 juta. Sedangkan investor tekstil lokal
ada sebanyak 60 perusahaan dengan nilai investasi Rp 999 miliar. Angka ini jelas melesat
hingga 91% ketimbang realisasi investasi tekstil tahun 2010 yang cuma 134 perusahaan.

Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (Kemenperin)


Panggah Susanto sebelumnya mengatakan, pemerintah terus berupaya menggenjot investasi
di pasar lokal. "Kita terus berupaya investasi di Indonesia terus meningkat," katanya akhir
pekan lalu.

Tahun in, Kemenperin menargetkan investasi manufaktur bisa mencapai sebesar Rp 147,2
triliun atau naik 18% dari realisasi tahun lalu yang sebesar Rp 124,6 triliun. Dari jumlah
tersebut, Panggah menargetkan, investasi di sektor tekstil, barang kulit, dan alas kaki bisa
menembus paling sedikit mencapai sebesar Rp 12,8 triliun.

sumber : Kontan Harian


Industri Informal Pada Usaha Penjahitan

Disusun Oleh:
Ahmad Sul Arsil
70200109004
Kesehatan Lingkungan

Kesehatan Masyarakat
Fakultas Ilmu KesehatanUniversitas Islam Negeri Alauddin
Makassar
2012

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dituntut untuk berusaha atau bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya, dan hampir sebagian besar dari mereka menghabiskan waktunya di tempat kerja.
Lingkungan tempat kerja merupakan salah satu tempat yang mempunyai risiko terhadap
kesehatan orang-orang yang bekerja di lingkungan tersebut. Risiko-risiko tersebut dapat
menimbulkan berbagai penyakit pada pekerjanya yang lebih dikenal dengan istilah Penyakit
Akibat Kerja (PAK).
Oleh sebab itu penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di tempat kerja perlu
dilakukan untuk mengatur dan mengurangi risiko kesehatan tersebut. Perkembangan dunia
usaha di Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu seiring kemajuan zaman. Akan tetapi
kepedulian para pengusaha baik perusahaan besar maupun kecil terhadap kesehatan para
pekerjanya masih tergolong rendah. Salah satunya alasannya adalah karena kurangnya
wawasan para pengusaha terhadap K3 dan menganggap PAK merupakan hal yang biasa,
padahal banyak penyakit yang timbul akibat faktor lingkungan dan pekerjaan itu sendiri
(Siswanto & Kuswadji dalam Tempo, 2004).
Usaha sektor informal merupakan salah satu usaha yang memiliki risiko kesehatan yang
sangat tinggi, akan tetapi usaha di sektor ini pada umumnya masih belum tersentuh oleh
kepedulian pemilik usaha terhadap kesehatan para pekerjanya. Banyak penyakit akibat kerja
maupun yang berhubungan denganpekerjaan yang timbul di sektor usaha informal ini yang
diabaikan saja baik oleh pemilik usaha maupun pekerja itu sendiri. Salah satu industri
informal yang
banyak terdapat di Indonesia dan yang memiliki risiko kesehatan yang cukup tinggi adalah
industri tekstil/ usaha jahitan. Usaha ini dapat kita temui hamper diseluruh pelosok tanah air,
baik yang bersifat perorangan maupun yang berada dalam satu naungan usaha.
Penyakit atau injuri yang paling banyak terjadi pada sektor usaha jahitan ini
adalah penyakit yang berhubungan dengan otot dan rangka atau yang dikenal
dengan sebutan musculoskeletal disorders (MSDs). Selain itu MSDs juga dikenal dengan
istilah cummulative trauma disorders (CTS) atau repetitive strain injury (RSI). MSDs dapat
terjadi karena kurang/ tidak diterapkannya prinsip-prinsip ergonomi dalam usaha/ kegiatan
yang dilakukan. Ergonomi adalah ilmu terapan yang berusaha untuk menyesuaikan pekerjaan
dengan manusia ‘fitting job to the man’ sehingga manusia merasa aman dan nyaman dalam
bekerja (Oborne, 1995).
Permasalahan ergonomi terutama MSDs merupakan salah satu faktor yang dapat
menyebabkan turunnya hasil produksi, hilangnya jam kerja, tingginya biaya pengobatan dan
material, meningkatnya absensi, rendahnya kualitas kerja, injuri dan ketegangan otot,
meningkatnya kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja dan error, meningkatnya biaya
pergantian tenaga kerja, dan berkurangnya cadangan yang berhubungan dengan kondisi
darurat (Pulat & Alexander, 1991).
Berdasarkan data dari Bureau of Labor Statistics (BLS) dalam U.S. Department of
Labor (DOL) (2003) terdapat 867,766 kasus MSDs yang berhubungan dengan pekerjaan dan
berdasarkan survey Occupational Injuries and Illness (2000) untuk
BLS dilaporkan terdapat 257.900 jam kerja yang hilang berhubungan dengan
permasalahan ergonomi (Wood, 2005). National Academy of Science (1999) melaporkan
lebih 1 juta pekerja kehilangan jam kerjanya setiap tahun karena MSDs pada punggung dan
tangan dan menghabiskan $15 M per tahun, sedangkan jika dihitung dari biaya tidak
langsung seperti berkurangnya produktivitas, kehilangan pelanggan dan pergantian karyawan,
maka total biaya yang dikeluarkan per tahunnya mencapai $1 triliun atau sekitar 10% dari
Gross Domestic Product Amerika (dalam Melhorn & Wilkinson, 2008). Sementara itu
Swedish Work Environment Authority (2006, p 6) menyatakan rata-rata 1,5 juta pekerja
setiap harinya bekerja dengan postur yang membutuhkan tenaga besar (strenuous work
posture). Berdasarkan OSHA di bidang tekstil sendiri dilaporkan 34% dari hilangnya jam
kerja disebabkan oleh MSDs dan $1 dari $3 kompensasi pekerja digunakan untuk membiayai
permasalahan yang menyangkut MSDs (dalam ErgoDynamics, 2008). Di Indonesia sendiri
diketahui bahwa penerapan prinsip ergonomi dapat menurunkan beban kerja sebesar 10,61%,
menurunkan kelelahan pekerja sebesar 53,97%, menurunkan keluhan sistem musculoskeletal
sebesar 48,01% dan mampu meningkatkan produktivitas sebesar 48,84% (Artayasa, 2006).
Permasalahan MSDs di tempat kerja dapat terjadi karena pekerjaan mengandung faktor risiko
yang dapat menyebabkan MSDs yaitu postur ketika bekerja, durasi kerja, repetisi/
pengulangan dan force (Bridger, 2003). Faktor
risiko ergonomi yang dapat menyebabkan MSDs di bidang tekstil sendiri antara lain adalah
postur janggal, forceful exertion pada kegiatan manual handling dan getaran (Tiwari, Pathak,
& Zodpey, 2003). Khusus pada operator mesin jahit, faktor pekerjaan yang dapat
menyebabkan terjadinya MSDs adalah gerakan yang berulang-ulang, durasi kerja dan faktor
fisik yang membutuhkan peregangan otot (Wang, 2005). Sedangkan Kaergaard & Andersen
(2000) menyebutkan bahwa faktor pekerjaan terhadap MSDs pada operator mesin jahit
perempuan adalah pekerjaan yang monoton, repetisi pekerjaan yang tinggi, postur duduk
yang
cenderung membungkuk ke arah mesin jahit/ postur janggal dan kebutuhan visual,
konsentrasi dan akurasi yang tinggi. Faktor-faktor risiko tersebut disebabkan oleh postur
pekerjanya sendiri, pergerakan yang berulang sebagai tuntutan dari pekerjaan dan desain
tempat kerja seperti tempat duduk yang tidak memadai, tinggi meja yang tidak sesuai,
kurangnya pencahayaan, penempatan pedal yangmembuat postur kaki dan lutut menjadi
salah, dan ukuran mesin yang tidak sesuai
dengan postur pekerja. Semua faktor risiko tersebut sangat berpotensi menyebabkan
terjadinya MSDs pada pekerja di bidang usaha jahitan (Burgel et. al, 2004).
Occupational Safety and Health Administration (OSHA) Eropa menyatakan MSDs
merupakan masalah terbesar di industri tekstil dimana dilaporkan 1 dari empat pekerja
mengeluhkan adanya gangguan dengan tulang belakangnya dan 1 dari 5 pekerja
mengeluhkan sakit pada ototnya (dalam European Agency for Safety and Health at Work,
2009). Berdasarkan penelitian Burgel et. al (2004) pada pekerja garmen di Oakland,
California Chinatown diketahui bahwa 99% dari pekerja tersebut mengeluhkan adanya
gangguan/ penyakit dengan system musculoskeletal mereka. Data dari Health & Safety
Executive UK (HSE UK) dari tahun 1996 sampait 2001 menunjukkan MSDs merupakan
penyebab injuri yang paling besar di industri tekstil dimana injuri yang terjadi meliputi injuri
pada bagian tulang belakang (±180-300 kasus/ tahun), alat gerak bagian atas (±30-75 kasus/
tahun), leher (±5-25 kasus/ tahun), punggung (±10-25 kasus/ tahun), pergelangan tangan
(±20-30 kasus/ tahun), tangan (±3-5 kasus/ tahun), dan jari tangan (±3-10 kasus/ tahun) (HSE
UK, 2009).
Penelitian Nursalim (2000) pada salah satu industri tekstil di Indonesia menunjukkan
bahwa 65% dari pekerjanya mempunyai keluhan MSDs pada tubuh bagian atas dimana
52,4%nya didiagnosis mengalami MSDs sedangkan 64,4%nya didiagnosis memiliki gejala
MSDs. Selain itu, penelitian pada penjahit sector informal menunjukkan sekitar 82,5%
pekerja mengalami keluhan pada pinggang, 60% pada bokong, 57,5% pada leher bawah,
47,5% pada leher atas dan 45% pada bahu (Aryanto, 2008).
Dari data-data diatas dapat diketahui bahwa MSDs di industri tekstil, garmen dan
usaha jahitan merupakan PAK yang paling banyak terjadi. Besarnya kasus dan dampak yang
ditimbulkan oleh MSDs pada pekerja di sektor ini perlu dikendalikan, terutama di sektor
usaha informal dimana kepedulian akan kesehatan kerja masih banyak yang diabaikan baik
oleh pemilik usaha maupun pekerjanya sendiri. Oleh sebab itu perlu dilakukan suatu
penilaian terhadap factor risiko pekerjaan yang dapat menyebabkan timbulnya MSDs,
sehingga dapat diketahui apakah faktor risiko tersebut masih dapat ditolerir atau tidak. Hasil
penilaian ini dapat dijadikan sebagai rancangan untuk tindakan pengendalian terhadap faktor
risiko MSDs yang tidak dapat ditolerir yang ada pada pekerjaan menjahit terutama pada
pekerja penjahit sektor usaha informal.
B. Tujuan
1.Tujuan Umum
Diketahuinya kegiatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada sektor informal (penjahit
??).
2.Tujuan Khusus
a. Bagi Tenaga Kerja Agar lebih memahami sikap kerja duduk sehingga dapat
mengurangikelelahan dan gangguan kesehatan yang pada akhirnya dapat
meningkatkanproduktivitas kerja.
b. Bagi Ilmu Kesehatan
o Diketahuinya faktor resiko terhadap kesehatan dan keselamatanpekerja yang ada ditempat
kerja.
O Diketahuinya gagguan kesehatan yang mungkin timbul denganadanya faktor resiko.
O Diketahuinya upaya perlindungan atau pencegahan yang telahdilakukan.
O Diberikannya rekomendasi terhadap pekerja untuk membantumeningkatkan upaya
kesehatan dan keselamatan yang sesuaidengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yangmutakhir.
c. Bagi Penulis Diharapkan dapat mendapatkan pengalaman secara langsung dalam
merencanakan, melaksanakan serta melaporkan hasil penelitian, serta menambah pengalaman
tentang hubungan antara sikap kerja duduk terhadap produktivitas kerja.
C. Rumusan Masalah
Penyakit Akibat Kerja (PAK) yang paling banyak terjadi pada usaha jahitan adalah
Musculoskeletal disorders (MSDs). Hal ini disebabkan karena aktivitas dalam usaha ini
mengandung faktor risiko MSDs yaitu postur janggal, gerakan
yang berulang-ulang, durasi kerja (pekerjaan monoton), serta kebutuhan visual
yang tinggi yang dapat mempengaruhi postur pekerja. Dari hasil presurvei peneliti pada
penjahit di sektor informal tukang jahit rumahan 2012, diketahui adanya keluhan-keluhan
MSDs yang dialami pekerja karena pekerjaannya. Oleh sebab itu perlu dilakukan suatu
penilaian terhadap factor risiko pekerjaan ini sehingga diketahui faktor yang masih dapat
ditolerir dan yang tidak sehingga dapat dijadikan sebagai rancangan untuk tindakan
pengendalian
terhadap faktor risiko yang tidak dapat ditolerir.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Gambaran Lokasi
1. Sejarah Pendirian(SK/Surat izin Pendirian)
Home industry yang bergerak dibidang informal atau usaha penjahitan ini berdiri
sekitar 2 tahun yang lalu tahun 2010, usaha penjahitan ini berdiri karena adanya kemampuan
dari pemilik dalam kegiatan menjahit, kemudian membeli 1 buah mesin jahit sebagai awal
mendirikan usaha ini.
2. Jumlah Tenaga Kerja
Karena merupakan industry rumahan (home industry) yang bergerak di sektor
informal maka jumlah tenaga kerja yang bekerja pada home industry ini hanya satu orang
yaitu pemilik dari usaha ini. Pemilik belum berencana untuk menambah karyawan karena
menurutnya semua pesanan yang diterima masih bisa dikerjakan sendiri.Dan pemilik tidak
pernah menerima pesanan jika menurutnya pesanan sudah terlalu banyak
3. Proses Produksi
Proses produksi dari usaha penjahitan ini dimulai dari pembelian bahan kain sesuai
dengan pesanan pelanggan,namun sebagian pelanggan juga telah menyediakan atau
membawa sendiri bahan kain yang akan dibuat pakaian. Pemilik usaha tidak menagatur
waktu kapan dan jam berapa harus mengerjakan pesanan tergantung dari ada ata tidaknya
waktu yang lowong.

B. Tinjauan Umum
K3 merupakan upaya untuk menghindarkan bahaya dan resiko kerja untuk menjaga
keselamatan dan kesehatan pekerja itu sendiri. Sangat banyak upaya K3 bagi para pekerja di
setiap sector, bergantung dari jenis pekerjaan pekerja. Di dalam laporan kali ini, yang sangat
erat kaitannya yaitu mengenai lingkungan kerja, Alat Pelindung Diri (APD) dan juga
mengenai ergonomis.
Lingkungan kerja itu sendiri terbagi atas 4 macam, yaitu :
1. Lingkungan Fisik
2. Lingkungan Kimia
3. Lingkungan Biologis
4. Lingkungan Fisiologis
5. Lingkungan Psikologis
Alat pelindung diri adalah seperangkat alat yang digunakan oleh tenaga kerja untuk
melindungi seluruh/sebagian tubuhnya terhadap kemungkinan adanya potensi
bahaya/kecelakaan kerja. APD dipakai sebagai upaya terakhir dalam usaha melindungi
tenaga kerja apabila usaha rekayasa (engineering) dan administratif tidak dapat dilakukan
dengan baik. Namun pemakaian APD bukanlah pengganti dari kedua usaha tersebut, namun
sebagai usaha akhir.
Metode penentuan APD Melalui pengamatan operasi, proses, dan jenis material yang
dipakai Telaah data-data kecelakaan dan penyakit Belajar dari pengalaman industri sejenis
lainnya Bila ada perubahan proses, mesin, dan material Peraturan perundangan.
Adapun dasar-dasar hukum mengenai APD yaitu :
1. Undang-undang No.1 tahun 1970.
a. Pasal 3 ayat (1) butir f: Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat untuk
memberikan APD
b. Pasal 9 ayat (1) butir c: Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap
tenaga kerja baru tentang APD.
c. Pasal 12 butir b: Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau hak tenaga
kerja untuk memakai APD.
Pasal 14 butir c: Pengurus diwajibkan menyediakan APD secara cuma-cuma
2. Permenakertrans No.Per.01/MEN/1981
Pasal 4 ayat (3) menyebutkan kewajiban pengurus menyediakan alat pelindung diri dan wajib
bagi tenaga kerja untuk menggunakannya untuk pencegahan penyakit akibat kerja.
3. Permenakertrans No.Per.03/MEN/1982
Pasal 2 butir I menyebutkan memberikan nasehat mengenai perencanaan dan
pembuatan tempat kerja, pemilihan alat pelindung diri yang diperlukan dan gizi serta
penyelenggaraan makanan ditempat kerja
Ergonomi merupakan keterkaitan antara orang dengan lingkungan kerjanya. Sasaran
ergonomi adalah seluruh tenaga kerja baik sektor modern maupun pada sektor tradisional dan
informal. Pada sektor modern penerapan ergonomi dalam bentuk pengaturan sikap, tata cara
kerja dan perencanaan kerja yang tepat adalah persyaratan bagi efisiensi dan produktivitas
yang tinggi. Contoh Pada sikap sikap duduk ergonomis, tinggi kursi lebih rendah dari
panjang tungkai bawah, sehingga dapat menambah penekanan pada kaki saat bekerja.
Pengarahantenaga kerja diperlukan untuk menggerakkan mesin jahit, sehingga
produktivitasmeningkat. Sedangkan pada sikap duduk non ergonomis, dimana tinggi kursi
lebihtinggi dari panjang tungkai bawah, sehingga kaki dalam keadaan menggantung. Hal ini
akan menyebabkan terjadinya pengarahan tenaga kerja yang lebih besar dan
akanmempercepat kelelahan sehingga produktivitas menurun.
Beberapa prinsip ergonomi yang telah disepakati yang dapat digunakan sebagai
pegangan yaitu:
a. Sikap tubuh dalam pekerjaan sangat dipengaruhi oleh bentuk, susunan,ukuran dan
penenpatan mesin-mesin, penempatan alat-alat petunjuk, cara-cara, harus menyelaraskan
mesin (macam gerak, arah dan kekuatan).
b. Untuk normalisasi ukuran mesin dan alat-alat industri, harus diambil ukuran terbesar
sebagai dasar serta diatur dengan suatu cara, sehingga ukuran tersebut dapat dikecilkan dan
dapat digunakan oleh tenaga kerja yang kecil, seperti tempat duduk yang dapat distel naik
turun dan lain-lain.
C. Tinjauan Khusus
Penerapan K3 dalam usaha rumah tangga yang dijadikan sampel sudah cukup, tapi
masih ada beberapa yang harus menjadi perhatian. Pada lingkungan kerja yang di tinjau
yaitu:
1. Lingkungan fisik mengenai kebisingan, pencahayaan, dan suhu.
2. Lingkungan Kimia yaitu potensi yang terbesar adalah debu.
3. Lingkungan Biologis yaitu potensi parasit
4.Lingkungan Fisiologis mengenai bagaimana sikap kerja terhadap fungsi tubuh pekerja.
5.Lingkungan Psikologis mengenai tingkat kesenjangan antara pekerja dan banyaknya
pekerjaan yang harus diselesaikan .
Bagian selanjutnya yang menjadi bahan tinjauan yaitu penggunaan Alat Pelindung
Diri pada pekerja sebagai upaya untuk menjaga keselamatan dan kesehatan pekerja terhadap
potensi bahaya dari jenis pekerjaannya, contohnya potensi dari kebisingan dan potensi
kebutaan.
Bagian terkakhir yang menjadi bahan tinjauan adalah bagaimana sikap kerja dan
pengaruhnya terhadap fungsi tubuh pekerja untuk mendapatkan produktifitas kerja yang
maksimal. Biasa kita kenal dengan sebutan ergonomis.
III.PEMBAHASAN
A. Pengetahuan Tentang K3
Pemilik dari usaha ini cukup banyak tahu tentang Alat Pelindung Diri yang perlu
digunakan ketika sedang bekerja, namun pada pengaplikasiannya pemilik kurang sadar untuk
menggunakannya.
B. Kondisi Lingkungan Kerja
1. Potensial hazards Lingkungan Fisik
a. Getaran
Pada beberapa alat dan kendaraan di usaha ini terdapat bahaya getaran yang mungkin bisa
berefek jika diterima selama berahun-tahun yaitu getaran dari mesin jahit.
b. Kebisingan
Kebisingan di usaha penjahitan terjadi pada alat mesin jahit yang cukup berisik ketika
digunakan.
c. Suhu
Karena berada di dalam kamar yang hanya mempunyai 1 buah jendela maka suhu dalam
ruangan ini cukup panas apalagi ketika berada pada siang hari.
d. Penerangan
Adapun penerangan dari usaha ini hanya mengandalakan cahaya yang berasal dari lampu
yang selalu menyala ditambah satu buah lampu yang berada didekat mesin jahit.
2. Potensial hazards Lingkungan Kimia
Pada usaha ini factor terpapar risiko bahan kimia cukup besar dan membahayakan, bahan-
bahan yang membahyakan ini dapat bersumber dari debu, oli, pelumas mesin yang jika tidak
di tempatkan pada tempat yang seharusnya dapat mengkontaminasi bahan makanan.
3 .Potensial hazards Lingkungan Biologis
Lingkungan kerja yang lembab merupakan tempat yang cocok untuk jamur berkembang
biak ditambah dengan pakaian seragam yang sama, sepatu yang samayang dipakai setiap hari
saat bekerja dengan keringat memungkinkan jamur berkembang biak apalagi bila higinies
dari pekerja tidak terjaga dengan baik
4.Potensial hazards Lingkungan Fisiologis
Pada sikap sikap duduk ergonomis, tinggi kursi lebih rendah dari panjang tungkaibawah,
sehingga dapat menambah penekanan pada kaki saat bekerja. Pengarahantenaga kerja
diperlukan untuk menggerakkan mesin jahit, sehingga produktivitasmeningkat. Sedangkan
pada sikap duduk non ergonomis, dimana tinggi kursi lebihtinggi dari panjang tungkai
bawah, sehingga kaki dalam keadaan menggantung. Halini akan menyebabkan terjadinya
pengarahan tenaga kerja yang lebih besar dan akanmempercepat kelelahan sehingga
produktivitas menurun.
5.Potensial Hazards Lingkungan Psikologis
Potensi hazards di lingkungan psikologis sangat mungkin terjadi pada usaha ini karena
jika pesanan sudah terlalu banyak dan pelanggan sudah berdatangan untuk mengambil
pesanannya dapat menjadi beban an stress tersendiri bagi pengusaha.
C. Penggunaan APD
Pemilik dan pengusaha di usaha ini saudah mengetahui bahaya atau Alat Pelindung iri
seperti apa yang harus digunakan ketika sedang bekerja namun menurutnya penggunaan alat
seperti kaus tangan sangat menyulitkan ketika sedang bekerja.
D. Pencegahan / Pengendalian Kecelakaan Kerja dan PAK
1. Lingkungan Fisik
 Melatih para penjahit untuk membiasakan menggunting kain sambil duduk.
 Memberi jeda dalam proses menjahit (tidak menjahit terus-menerus)
 Mengganti kapur dengan alat lain yang lebih aman misalnya dengan pensil kayu..
 Selalu menyediakan perdedel didekat penjahit bekerja untuk meminimalkan kecelakaan
karna membuka jahitan dengan gunting.
 Mengurangi cahaya, bahkan lebih baik jika di siang hari tidak memakai lampu hanya
memanfaatkan cahaya matahari
2. Lingkungan Kimia
 Memakai masker.
 Membuka jendela agar terjadi pertukaran udara.
 Meningkatkan konsentrasi dan menerapkan sikap hati-hati dalam bekerja.
 Jangan terlalu standby memegang barang-barang yang tajam dan berbahaya saat bekerja.

3. Lingkungan Biologis
 Saat menggunting atau memilah-milah kain sebaiknya menggunakan masker.
 Tidak bekerja terus menerus, memberikan istirahat/relaksasi untuk kaki.
4. Lingkungan Fisiologis
 Tidak bekerja terus menerus, memberikan istirahat/relaksasi untuk kaki.

5. Lingkungan Psikologis
 Menjaga sikap dan sopan santun.
 Senantiasa menjaga hubungan baik.

E. Fasilitas Kesehatan
Fasilitas kesehatan yang tersedia di usaha penjahitan ini cukup sedehana yaitu hanya
berupa alat pembalut luka dan obat betadine. Namun untuk luka berat pengusaha tidak
menyediakannya.

IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Faktor resiko terhadap keselamatan kerja yang ditemukan adalah luka lecet, bahaya getaran,
jatuh, , luka tusuk,
2. Faktor resiko terhadap kesehatan kerja yang ditemukan adalah bahaya bising, getaran, panas,
dan debu
3. Gangguan kesehatan yang dapat terjadi di usaha ini adalah gangguan musculoskeletal, heat
stroke, dehidrasi, gangguan pernapasan,pendengaran serta psikologis.
B. Saran
Penyakit Akibat Kerja (PAK) yang paling banyak terjadi pada usaha jahitan adalah
Musculoskeletal disorders (MSDs). Hal ini disebabkan karena aktivitas dalam usaha ini
mengandung faktor risiko MSDs yaitu postur janggal, gerakan yang berulang-ulang, durasi
kerja (pekerjaan monoton), sebaiknya pekerja tidak terlalu memaksakan dalam bekerja. Jika
tubuh sudah merasa lelah segera beristrahat sejenak.

Daftar Pustaka
http://hiperkes.wordpress.com/2008/04/04/langkah-diagnosis-penyakit-akibat-kerja/
http://hiperkes.wordpress.com/
http://paruparuduniaku.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai