Anda di halaman 1dari 73

PENULISAN HUKUM

ANALISA PENYEBARLUASAN UNDANG-UNDANG DALAM


KAITANNYA DENGAN FIKSI HUKUM

Disusun Oleh :

MUFLIH GUNAWAN
201510110311353

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN

PENULISAN HUKUM

ANALISA PENYEBARLUASAN UNDANG-UNDANG DALAM


KAITANNYA DENGAN FIKSI HUKUM

Disusun dan diajukan Oleh :


Muflih Gunawan
201510110311353

Telah disetujui oleh Pembimbing untuk dilakukan


Ujian Penulisan Hukum
Pada tanggal : Maret 2019

DOSEN PEMBIMBING

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Sulardi, SH., M.Si Catur Wido Haruni, SH., Msi. M.Hum

Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum UMM

Dr. Tongat, SH., M.Hum

ii
SURAT PERNYATAAN

Yang Bertanda tangan di bawah ini :


Nama : Muflih Gunawan
Nim : 201510110311353
Program Studi : Ilmu Hukum
Fakultas : Hukum
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Tugas Akhir Penulisan Hukum yang berjudul :
“ANALISA PENYEBARLUASAN UNDANG-UNDANG DALAM
KAITANNYA DENGAN FIKSI HUKUM” benar-benar merupakan
karya yang saya buat sendiri, dan di dalam naskah karya saya ini bukan
merupakan karya ilmiah orang lain yang sebelumnya juga pernah diajukan
untuk mendapatkan gelar atau pun diperuntukkan dalam hal apapun.
Dalam karya ilmiah yang saya buat ini juga tidak teradapat karya atau
pendapat oleh orang lain, baik sebagian atau secara keseluruhan terkecuali
yang penulis ktuip dalam naskah ini dan disebutkan sebagai sumber
kutipan dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
2. Apabila ternyata dalam TA (Tugas Akhir) dari penulisan hukum ini dapat
dibuktikan mengandung unsur-unsur PLAGIASI, maka saya sangat
bersedia menerima konsekuensi yang sebesa-besarnya, yaitu Penulisan
Hukum ini DIGUGURKAN dan GELAR AKADEMIK YANG TELAH
SAYA PEROLEH DIBATALKAN ATAU DICABUT KEMBALI, serta
penulis bersedia untuk menuruti proses hukum sebagaimana ketentuan-
ketentuan yang ada di dalam Perundang-undangan.
3. Dengan senang hati penulis menyatakan bahwa Tugas Akhir penulisan
hukum ini dapat dijadikan sebagai sumber pustaka yang merupakan HAK
BEBAS ROYALTI NON EKSLUSIF.
Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan kesadaran penuh dan dengan
sebenarnya untuk digunakan sebagai mana mestinya, terutama untuk mendukung
kemajuan Ilmu Pengetahuan terkhusus dalam bidang Ilmu Hukum.

Malang, Maret 2019


Yang Mentatakan,

MUFLIH GUNAWAN

iii
ABSTRAKSI
Nama : Muflih Gunawan
NIM : 201510110311353
Judul : Analisa Penyebarluasan Undang-undang Dalam
Kaitannya Dengan Fiksi Hukum
Pembimbing : Dr. Sulardi, SH., M.Si
Catur Wido Haruni, SH., M.Si., M.Hum

Semua masyarakat harus memahami hukum atau setidaknya mengetahui


bahwa ada hukum yang mengatur hal tersebut. Peristiwa itulah yang kemudian
lazim disebut dengan istilah Fiksi Hukum. Permasalahan yang diangkat dalam
penulisan ini yaitu tentang bagaimana korelasi penyebarluasan undang-undang
dengan fiksi hukum, bagaimana metode yang digunakan dalam menyebarluaskan
undang-undang kepada masyarakat, dan juga apa saja perangkat yang digunakan
dalam menyebarluaskan undang-undang. Metodologi yang digunakan ialah
pendekatan melalui; perundang-undangan, telaah kepustakaan, dan konseptual.
Sedangkan jenis bahan hukum yang digunakan meliputi bahan primer, sekunder,
dan tersier. Primer terdiri dari perundang-undangan, Sekunder mencakup buku
atau jurnal, dan Tersier berupa kamus, ensiklopedia, dan lain-lain. Analisa yang
digunakan dalam penelitian ini ialah desktiptif kualitatif yang berdasar pada
fenomena-fenomena kontemporer sehingga hasil penelitian ini dapat bermanfaat
sesuai dengan perkembangan peradaban. Hasil pembahasan dan penelitian ini
yang pertama ialah korelasi penyebarluasan undang-undang dengan fiksi hukum
sejatinya membawa konsekuensi terhadap pemerintah dan masyarakat, tidak
hanya masyarakat yang dituntut untuk memahami hukum, akan tetapi
konsekuensi terhadap pemerintah juga secara tidak langsung mempunyai
kewajiban dalam menyebarluasakan undang-undang. kedua, metode yang
digunakan dalam menyebarluaskan undang-undang kepada masyarakat dilakukan
melalui komisi/badan/panitia/alat yang mengurus legislasi jika undang-undang itu
berasal dari DPR, sedangkan jika undang-undangnya berasal dari pemerintah
maka yang menyebarluaskan undang-undang ialah instansi pemrakarsa. Ketiga,
perangkat yang digunakan dalam menyebarluaskan undang-undang sebagaimana
yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan meliputi; media cetak,
media elektronik, forum tatap muka atau dialog langsung, dan juga jaringan
dokumentasi dan informasi hukum. Sarannya ialah mengadopsi fiksi hukum ke
dalam AAUPB dengan harapan dapat mengintervensi kinerja pemerintah baik
legislatif maupun eksekutif dalam menyebarluaskan undang-undang. Mendorong
perubahan hak sosialisasi oleh DPR menjadi suatu kewajiban, dan juga
mengoptimalkan instansi pemerintah khusunya yang bergerak dalam bidang
telekomunikasi dan informasi untuk melakukan penyebarluasan undang-undang.
Kata Kunci : Pemerintah, Masyarakat, Penyebarluasan peraturan.

iv
ABSTRACT
Nama : Muflih Gunawan
NIM : 201510110311353
Judul : Analisa Penyebarluasan Undang-undang Dalam
Kaitannya Dengan Fiksi Hukum
Pembimbing : Dr. Sulardi, SH., M.Si
Catur Wido Haruni, SH., M.Si., M.Hum

All people must understand the law or at least know that there are laws
governing it. That event which is then commonly referred to as Legal Fiction. The
problems raised in this paper are about how the correlation of the dissemination of
laws with legal fiction, how the methods used in disseminating the law to the
public, and also what are the tools used in disseminating the law. The
methodology used is an approach through; legislation, literature review, and
conceptual. While the types of legal materials used include primary, secondary
and tertiary materials. Primary consists of legislation, Secondary includes books
or journals, and Tertiary in the form of dictionaries, encyclopedias, and others.
The analysis used in this study is desktiptif qualitative which is based on
contemporary phenomena so that the results of this study can be useful in
accordance with the development of civilization. The results of the first discussion
and research are the correlation of the dissemination of the law with legal fiction
which actually has consequences for the government and society, not only the
people who are required to understand the law, but the consequences for the
government also indirectly have an obligation to disseminate the law. second, the
method used to disseminate the law to the public is carried out through
commissions / bodies / committees / tools that administer legislation if the law
originates from the DPR, whereas if the law comes from the government, the
agency that initiates the dissemination of the law. Third, the tools used in
disseminating the law as stated in the laws and regulations include; print media,
electronic media, face-to-face forums or direct dialogue, as well as network legal
documentation and information. His suggestion is to adopt legal fiction into the
AAUPB in the hope of intervening in the performance of the government both the
legislature and the executive in disseminating the law. Encouraging changes in
socialization rights by the DPR is an obligation, and also optimizing government
agencies especially those engaged in telecommunications and information to
disseminate the law.
Keywords : Government, Society, Dissemination of Regulations.

v
KATA PENGANTAR
Maha Besar Allah SWT atas segala rahmat dan ijinnya, sehingga dengan
kuasanya penulis mampu menyelesaikan Penulisan Hukum ini. Karya ini
merupakan hasil penelitian dan pengkajian yang penulis telah optimalkan dalam
menelaah segala kemungkinan yang dapat membantu masyarakat, sehingga
dengan demikian semoga niatan penulis dalam membantu masyarakat dapat
menjadi berkah atas upaya penulis dalam merumuskan karya ini, yang berjudul
“ANALISA PENYEBARLUASAN UNDANG-UNDANG DALAM
KAITANNYA DENGAN FIKSI HUKUM” skripsi ini merupakan dedikasi
penulis dalam mencoba meretaskan permasalahan-permasalahan sosial yang
belakangan ini masif terjadi. Dengan demikian, semoga dengan terselesaikannya
karya ini mampu mewujudkan impian dari penulis.
Skripsi ini juga menjadi satu persyaratan untuk dapat dinyatakan lulus dari
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, dan akan menyandang
gelar sebagai Sarjana Hukum. Disamping daripada harapan penulis diatas
mengenai Penulisan Hukum ini, tentu penulis juga berharap agar skripsi ini dapat
dijadikan sebagai sorotan utama dalam mengemban ilmu di sektor yang serupa
dengan permasalahan penulis. Dan juga semoga skripsi ini menjadi satu batu
loncatan yang signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di abad 21 ini.
Demikian lah harapan daripada skripsi ini dibuat, selanjutnya penulis
mengucapkan banyak terimah kasih kepada beberapa orang atau pihak yang telah
mendukung penulis dalam mengerjakan skripsi ini baik yang berupa materi
maupun berupa motivasi. Terkhusunya terimah kasih ini akan saya sampaikan
kepada :
1. Ir.H. Nasrum Somba dan Marhaya Abdul Samad sebagai orang tua dari
penulis yang terus mendukung dan memberi motivasi disetiap hari-harinya
tanpa balas kasih yang ia minta, dan dengan ketulusannya merawat penulis
dari kecil hingga dini ialah suatu hal yang tak pernah sebanding dengan
materi. Begitupun juga dengan Tante Rumaedah yang senantiasa
menjagaku, yang penulis anggap tidaklain sebagai orang tua. Tidak lupa
juga teruntuk adekku tercinta yang terus memberikan bekal semangat

vi
tersyirat kepada penulis sehingga setiap harinya berhenti mengeluh
terhadap persmasalahan-permasalahan yang fana di dunia ini. Sekali lagi
saya ucapkan banyak terimah kasih kepada keluarga-keluargaku.
2. Dr. Drs. Fauzan M.Pd. Selaku Rektor yang sedang menjabat di UMM
baru-baru ini, yang telah banyak menginspirasi penulis selama berkuliah
di UMM. Semoga beliau dalam keadaan sehat-sehat terus dan tentunya
dapat membawa UMM menjadi salah satu kampus terbaik di skala
Nasional maupun Internasional.
3. Dr. Tongat, S.H., M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum, Catur Wido
Haruni, S.H., M.Si., M.Hum sebagai Wakil Dekan I, Dr. Haris, S.H.,
M.Hum sebagai Wakil Dekan II, dan juga Said Noor P, S.H., M.H sebagai
Wakil Dekan III, dan juga bapak Bayu Dwi Widdy Djatmiko S.H.,
M.Hum. Penulis mengucapkan banyak terimah kasih kepad nama yang
bersangkutan karena telah mengelola Fakultas Hukum UMM dengan baik,
dan sekaligus menjadi motivator bagi Penulis.
4. Dr. Sulardi, S.H., M.Si selaku Dosen Pembimbing I penulis dan juga
sebagai dosen yang penulis kagumi dalam disiplin ilmu Ketatanegaraan,
terimah kasih karena telah memberikan arahan dan senantiasa
membagikan ilmunya keapda penulis.
5. Catur Wido Haruni, S.H., M.Si., M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II
yang sangat menginspirasi penulis dengan ketegasannya beliau yang
menjadikan penulis sebagai orang yang disiplin dan pantang menyerah.
Dengan cara tersendirinya membimbing mahasiswa memberikan makna
yang sangat tersembunyi bahwa seseorang tidak boleh menyerah dalam
keadaan sesulit apapun.
6. Serta selutuh civitas akademika Fakultas Hukum yang telah berjasa dalam
kehidupan penulis tapi tak sempat untuk penulis sebutkan secara rinci dan
eksplisit dalam lembaran ini/
7. Teruntuk Adelya Awdya M sebagai teman hidup Penulis yang tak henti-
hentinya untuk memberi motivasi serta hal-hal yang berharga, sehingga

vii
skripsi ini dapat terselesaikan karena pengaruhnya dalam hidup penulis
yang sangat signifikan.
8. Untuk teman-teman disekeliling penulis yang sangat mempengaruhi
kehidupan penulis menjadi lebih baik, terutama teman-teman kontrakan;
Ismail, Aldi, Fatuh, Ferdi, dan juga Ibnu yang setia menemani penulis
dikala tertimpa masalah. Dan juga teman-teman seorganisasi penulis yang
telah banyak mengajarkan pengalaman serta pengetahuan yang tidak dapat
ditemukan di ruang perkuliahan.
9. Dan yang tidak kalah utamanya juga kepada rekan-rekan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang angkatan 2015, terkhusunya kelas F,
yang banyak memberikan pengalaman berharga kepada penulis,
keberuntungan yang sangat berharga ialah pernah sekelas dengan kalian.
Demikianlah segala hormat dari penulis kepada semua yang bersangkutan
di atas, maka penulis dengan segenap hati mengatakan kembali terimah kasih
yang sebesar-besarnya. Tugas Akhir ini sudah layak untuk memberikan penulis
gelar Strata I, dalam artian bahwa siap utuk diuji dihadapan dosen penguji.
Adapun bentuk kritik ataupun saran sangat dibutuhkan oleh penulis dalam rangka
perbaikan dan pengembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang. Puji
Tuhan Alhamdulillah, semoga skripsi ini dapat memberikan mafaat yang sebesar-
besarnya untuk bangsa dan Negara

Malang, Maret 2019

MUFLIH GUNAWAN

viii
DAFTAR ISI

PENULISAN HUKUM .......................................................................................... i


ANALISA PENYEBARLUASAN UNDANG-UNDANG DALAM
KAITANNYA DENGAN FIKSI HUKUM .......................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
SURAT PERNYATAAN ..................................................................................... iii
ABSTRAKSI......................................................................................................... iv
ABSTRACT ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 9
C. Tujuan Peneltian .................................................................................................. 9
D. Manfaat Penelitian ............................................................................................. 10
a. Bagi Penulis ..................................................................................................... 10
b. Bagi Mahasiswa............................................................................................... 10
c. Bagi Masyarakat .............................................................................................. 10
d. Bagi Pemerintah .............................................................................................. 11
E. Kegunaan Penelitian .......................................................................................... 11
F. Metode Penelitian............................................................................................... 11
1. Metode Pendekatan ......................................................................................... 12
2. Jenis Bahan Hukum ......................................................................................... 14
3. Pengumpulan Bahan Hukum ........................................................................... 15
4. Analisa Bahan Hukum ..................................................................................... 16
G. Sistematika Penulisan ........................................................................................ 16
1. BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................. 16
2. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 17
3. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 17
4. BAB IV : PENUTUP....................................................................................... 17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 18
A. Asas-Asas dalam Pembentukan Perundang-undangan.................................. 18
B. Pengundangan dan penyebarluasan perundang-undangan .......................... 22
C. Fiksi Hukum ....................................................................................................... 28
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................. 33
A. Korelasi Penyebarluasan Undang-Undang dengan Fiksi Hukum................. 33
B. Metode Penyebarluasan Undang-Undang kepada Masyarakat .................... 38
C. Perangkat yang digunakan dalam menyebarluaskan Undang-undang........ 47
BAB IV PENUTUP ............................................................................................. 57
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 57
B. Saran ................................................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 62

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari

sistem hukum. Oleh karena itu, membahas mengenai peraturan perundang-

undangan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas mengenai

politik hukum. Istilah politik hukum atau politik perundang-undangan

didasarkan pada prinsip bahwa hukum dan/atau peraturan perundang-

undangan merupakan bagian dari suatu produk politik karena peraturan

perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain

lembaga politik (politic body). Sedangkan pemahaman atau definisi dari

politik hukum secara sederhana dapat diartikan sebagai arah kebijakan hukum

yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah.1

Keadilan dari hukum yang menjadi harapan dari adanya suatu

peraturan, hendaknya dikemas dalam suatu mekanisme yang mendukung

hakekat keadilan itu sendiri. Hukum harus memastikan bahwa suatu

Peraturan Perundang-Undangan tidak hanya seonggok kertas tak bernyali,

akan tetapi hukum harus memastikan bahwa suatu peraturan dapat

diimplementasikan, tanpa terkecuali. Disinilah peran eksekutif dan legislatif

tidak hanya sekedar pada mekanisme perumusan suatu peraturan saja, tetapi

juga memastikan bahwa peraturan tersebut dapat diketahui oleh masyarakat,

tanpa terkecuali. Mekanisme inilah yang biasa di sebut dengan mekanisme

1
Kemenkumham, Politik Perundang-undangan, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-
puu/480-politik-perundang-undangan.html, diakses 15 maret 2018

1
pengundangan, suatu mekanisme agar aspek publisitas dari suatu peraturan

dapat terpenuhi. Mekanisme pengundangan inilah yang menjadi

perkembangan dari suatu teori penting dalam ilmu hukum yaitu teori fiksi

hukum yang pertama kali dikenalkan oleh Van Apeldoorn.2

Van Apeldoorn memberi pendapat fictie atau fiksi adalah bahwa kita

menerima sesuatu yang tidak benar sebagai sesuatu hal yang benar. Atau

dengan kata lain kita menerima apa yang sebenarnya tidak ada, sebagai ada

atau yang sebenarnya ada sebagai tidak ada.3

Dalam Sejarah Hukum di Eropa daratan, hukum itu lahir dari kontrak

sosial, kontrak sosial adalah metamorfosa dari kontrak-kontrak ekonomi

masyarakat merkantilis. Sehingga dengan demikian teori ini lahir dari

ranahnya hukum privat. Baru abad 18 dengan gejala industrialisasi munculah

Negara Modern. Negara modern mensyaratkan adanya generalitas dalam

sistem hukum yang bersifat publik. Untuk memenuhi generalitas itulah semua

orang yang berada dalam satu wilayah negara harus tunduk pada suatu hukum

yang dibikin oleh bandan publik. hal itu memberi manfaat agar institusi

publik menjadi kuat.4

Fiksi hukum yang menyatakan bahwa “setiap orang dianggap tahu

akan undang-undang”. Hal ini didasarkan pada suatu alasan, bahwa manusia

mempunyai kepentingan sejak lahir sampai mati. Setiap kepentingan manusia

tersebut selalu diancam oleh bahaya di sekelilingnya. Oleh karena itu


2
Agus Surono, Fiksi hukum dalam pembuatan Peraturan Perundang-undangan, Universitas Al-
Azhar Indonesia, 2013, Hal. 107-108.
3
L.J. Van Apeldoorn, 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan kedua puluh sembilan. Jakarta:
Pradnya Paramita. Hal 407.
4
Agus Surono, Op,Cit. Hal. 110

2
manusia memerlukan perlindungan kepentingan, yang dipenuhi oleh berbagai

kaidah sosial yang salah satunya adalah kaidah hukum. Karena kaidah hukum

melindungi kepentingan manusia, maka harus dipatuhi manusia lainnya.

Sehingga timbul kesadaran untuk mematuhi peraturan hukum, supaya

kepentingannya sendiri terlindungi. Dengan demikian ketidaktahuan akan

undang-undang tidak merupakan alasan pemaaf atau “ignorantia legis

excusat neminem”5

Degradasi kepercayaan masyarakat tentang pengetahuan hukum sudah

sangat memprihatinkan sebab apatisme dan menurunnya tingkat apresiasi

masyarakat pada hukum dewasa ini secara tidak sadar menimbulkan gejala

sosial yang amat besar. Terlebih dari itu bahwa ketidaktahuan masyarakat

tentang hukum menyebabkan sering kali terjadi berbagai pelanggaran serta

kejahatan yang seharusnya jika dipandang merupakan suatu hal tidak lumrah

karena disebebkan oleh ketidaktahuan tentang hukum tersebut.

Budaya hukum masyarakat tidak dapat dipisahkan dari intensitas

diseminasi dan penyuluhan yang dilakukan para penyelenggara negara

kepada masyarakat. Setiap penyelenggara negara berkewajiban memberikan

penyuluhan hukum sebagai bagian dari proses edukasi dan pembudayaan

hukum. Penyuluhan hukum merupakan tanggung jawab setiap penyelenggara

negara, ujar Chairiyah6, Kepala Pusat Perencanaan Hukum Badan Pembinaan

Hukum Nasional (BPHN).

5
Ibid.
6
mys/crd, Fiksi Hukum harus didukung sosialisasi Hukum, https://www.hukumonline.com
/berita/baca/hol19115/fiksi-hukum-harus-didukung, 2008.

3
Diwaktu yang sama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

mengatakan “Kalau ada warga negara kita yang berbuat kesalahan,

melakukan pelanggaran dan kejahatan secara hukum, karena mereka tidak

tahu itu dilarang, kalau itu tidak boleh oleh hukum dan peraturan, maka

sesungguhnya kita ikut bersalah” tandasnya di depan para penyelenggara

negara yang kebanyakan bergerak di bidang hukum. Lanjutnya, disambung

dengan aksesibilitas masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan,

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menekankan pentingnya

sosialisasi. Caranya dengan cara menyebarkan setiap produk perundang-

undangan kepada masyarakat. Kewajiban penyebaran peraturan itu kemudian

dituangkan Presiden dalam Perpres No. 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan,

Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan.7

Posisi kasus : Potret lebih nyata bisa disimak dari kisah sebuah

persidangan di Pengadilan Tipikor Bandung 28 Juni lalu. Kala itu, Rochman

memberi keterangan sebagai saksi di depan hakim. Bendahara pengeluaran

Pemkot Bandung ini ditanya hakim Setyabudi Tejocahyono tentang apa yang

menjadi landasan hukum tugasnya selaku bendahara. Rochman malah

menunjukkan dan membaca SK Wali Kota Bandung tentang

pengangkatannya selaku bendahara. Hakim Setyabudi memperjelas

maksudnya: apakah Rochman selaku bendahara pernah mendengar UU No. 1

Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Rochman mengaku tidak tahu

undang-undang dimaksud, dan tidak pernah baca juga UU tentang Keuangan

7
Ibid.

4
Negara. Sang hakim akhirnya menasihati Rochman. Di mata hakim, selaku

pejabat fungsional kebendaharaan, Rochman sudah seharusnya tahu Undang-

Undang Perbendaharaan Negara.8

Tetapi hal itu bukan satu-satunya representasi dari ketidaktahuan

terhadap peraturan, sebab dalam kaca mata hukum tidak dapat

diklasifikasikan tentang orang yang berhak dikecualikan tentang tidaktahu

hukum, karna setiap orang miskin atau kaya, orang hukum atau bukan, akan

di anggap tahu hukum. Inilah yang lazim disebut dengan Fiksi Hukum

(rechtfictie) dan adagium ignorantia jurist non excusat. Semakin menipisnya

culture Hukum masyarakat merupakan gambaran nyata akan degradasi

seksinya hukum di mata masyarakat. Sehingga konsep dan makna hukum

sebagai alat atau instrument untuk melindungi kepentingan individu dan

sosial hampir sudah kehilangan bentuknya yang berdampak pada terjadinya

ketidakpastian hukum seperti halnya merupakan sebuah isnturment pembenar

bagi “pelaku salah”, seperti Sweeping yang dilakukan oleh kelompok massa

serta oknum aparat penegak hukum yang membacking orang atau kelompok

tertentu, dan sebagainya.

Seperti itulah nasib yang menimpa Ahmad Nasir. Pria asal Jepara

ini tetap dinyatakan bersalah melanggar Undang-Undang Cukai setelah

Mahkamah Agung menolak permohonan kasasinya. Dalam rapat

permusyawaratan pada 3 Januari lalu, majelis hakim agung dipimpin HM

Imron Anwari menyatakan alasan-alasan kasasi Ahmad Nasir tidak dapat

8
Mys, menjadikan fiksi hukum tak sekedar fiksi http://www.hukumonline.com
berita/baca/lt4ffe7ed9ac70f/menjadikan-fiksi-hukum-tak-sekadar-fiksi, diakses 15 maret 2018.

5
dibenarkan. Hakim di tingkat pertama dan banding tidak salah menerapkan

hukum. Padahal dalam memori kasasinya, Nasir antara lain berdalih tak

mengetahui ada Undang-Undang yang mewajibkan pengenaan pita cukai

pada setiap bungkus rokok. “Saya terdakwa tidak tahu kalau ada Undang-

Undang baru mengenai pita cukai,” dalihnya, seperti tertuang dalam putusan

Mahkamah Agung. Putusan atas perkara Nasir ini terus meneguhkan sikap

Mahkamah Agung. Sudah beberapa kali Mahkamah Agung memutuskan

bahwa ketidaktahuan seseorang terhadap hukum atau Undang-Undang bukan

alasan pemaaf. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 645 K/Sip/1975

mengandung semangat ini: ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan. Dua

puluh tahun sebelumnya, Mahkamah Agung juga mengeluarkan putusan No.

77/Kr/1953, dalam perkara Haji Ilyas, yang menyatakan setiap orang dapat

dianggap mengetahui Undang-Undang.9

Tingkatan kesadaran masyarakat untuk mengilhami suatu hak,

kewajibannya, dan hukum sangat berkaitan dengan (antara lain) tingkat

proses sosialisasi terhadap penegak hukum itu sendiri. Di lain pihak kualitas,

professionalism, dan kesadaran aparat penegak hukum juga merupakan hal

mutlak dan wajib dibenahi. Walaupun tingkat pendidikan masyarakat parsial

kurang memadai, namun dengan kemampuan dan professionalisme dalam

melakukan pendekatan dan penyuluhan hukum oleh para praktisi dan aparatur

ke dalam masyarakat, sehingga pesan yang disampaikan kepada msayarakat

dapat diterima secara baik dan dapat diterapkan apabila masyarakat

9
Mys, Ketidaktahuan Undang-Undang tidak dapat dibenarkan,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4dc1\00992a35a/ketidaktahuan-undangundang tak-
dapat-dibenarkan, 2011.

6
menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan hak dan kewajibannya

serta bagaimana menyelesaikan suatu permaslahan sesuai dengan jalur dan

prosedur hukum yang benar dan tidak menyimpang.

Misalnya, Sejak zaman Romawi Kuno pada dasarnya sudah dikenal

lembaga pengundangan dalam bentuk sederhana, yaitu menuliskannya

undang-undang baru pada spanduk (bakor) oleh petugas kerajaan dibawa ke

alun-alun pada hari pasar. Diharapkan dengan itu, maka masyarakat

mengetahui peraturan baru. Dengan tata cara demikian kemudian dikenal

produk hukum yang disebut “Lex” (legere: membaca). Disamping itu terdapat

bentuk lain lagi yaitu “decretum” (dekrit) yang tidak dipamerkan

sebagaimana lex, tetapi karena pengumuman (excathedra) raja. Dekrit

dikeluarkan karena hal-hal yang mendesak.10

Sejalan dengan M. Mahfud MD, mengenai permasalahan tersebut,

Satya Arinanto11 memberikan pendapatnya bahwa hal tersebut cenderung

merupakan produk hukum yang konservatif, mempunyai makna:

Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis12 adalah prodifuk hukum

yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, keinginan pemerintah,

dan bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi

dan program negara. Ia lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-

10
Agus Surono, Op,Cit. Hal. 112
11
Satya Arinanto, Kumpulan Materi Pendukung (Transparansi) Politik Hukum dan Politik
Perundang-undangan (Dihimpun dari Berbagai Sumber), Disampaikan pada Pendidikan dan
Pelatihan Perancangan Perundang-undangan Bagi Legislative DrafterSekretariat Jenderal DPR RI,
tanggal 14 April 2003, hal. 8.
12
Dapat ditemui dalam karya Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, 2017, Hal. 31

7
kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat. Dalam

pembuatannya, peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil.

Sedangkan produk hukum responsif/populistik13 adalah produk hukum

yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam

proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh

kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat.

Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok

sosial atau individu-individu dalam masyarakat.

Berita yang nahas untuk kita peroleh seperti “Berapa jumlah undang-

undang yang disetujui DPR dan Pemerintah pada tahun 2011?” Pertanyaan

sederhana itu diajukan kepada puluhan mahasiswa hukum yang tengah

mengikuti sebuah pelatihan legislative drafting di Jakarta, pertengahan Juni

lalu. Tidak ada satu orang pun yang bisa menjawab. Ini mengindikasikan

bahwa kurangnya sarana yang menekan orang pribadi, kelompok, serta

masyarakat untuk memahami hukum nasional sehingga tidak ada kepedulian

mengenai peraturan yang dibuat oleh legislasi, tetapi tidak dapat pula kita

menyalahkan tentang mahasiswa tersebut dikarenakan upaya legislasi dalam

menyosialisasikan peraturan tidaklah optimal sebagaimana konsep fiksi

dalam hukum.14

Padahal, pertanyaan yang diajukan masih sangat sederhana dan

tunggal. Belum lagi untuk pertanyaan lanjut, misanya tentang berapakah

putusan mahkamah konstitusi di tahun 2017? Berapa Surat Edaran

13
Ibid, Hal. 32
14
Mys, Op.cit, menjadikan fiksi hukum tak sekedar fiksi.

8
Mahkamah Agung di tahun 2017? Dan pertanyaan lain yang berkaitan dengan

peraturan perundang-undangan.

Alih-alih mengetahui jumlah peraturan teknis. Materi satu undang-

undang saja belum tentu dipahami semua orang, termasuk orang yang

berkecimpung di bidang yang diatur undang-undang tersebut.15

B. Rumusan Masalah

Dari sekian penjelasan di atas, dapat direnungkan tentang beberapa

permasalahan yang akan penulis rumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana Korelasi antara penyebarluasan Undang-Undang dengan

Fiksi Hukum?

2. Bagaimana metode penyebarluasan Undang-undang kepada masyarakat ?

3. Apa saja perangkat yang digunakan dalam penyebarluasan Undang-

undang ?

C. Tujuan Peneltian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui dan menganalisa Korelasi proses penyebarluasan

Undang-Undang dengan Fiksi Hukum.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa metode penyeberluasan undang-

undang kepada masyarakat.

3. Untuk mengetahui dan menganalisa perangkat yang digunakan dalam

menyebarluaskan undang-undang.

15
Ibid.

9
D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian hukum digolongkan menjadi beberapa bagian

supaya lebih jelas maka akan diterangkan di bawah ini :

a. Bagi Penulis

Penelitian ini dapat memberikan wawasan dan ilmu pengetahuan

yang kemudian dijadikan sebagai sebuah gagasan kedepannya dalam

penyebarluasan perundang-undangan, dan berkat penelitian ini pula

penulis begitu akrab dengan hukum karena hanya dengan ini penulis

bertemu banyak pengetahuan baru seputar dunia hukum. Disamping itu,

Penelitian ini juga menjadi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di

S-1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, sehingga

menjadi hal yang sangat bermanfaat bagi penulis secara subyektif.

b. Bagi Mahasiswa

Setidaknya dapat memberikan pengetahuan baru dalam konteks

kendala penyebarluasan Perundang-undangan sehingga dapat menjadi

bahan obrolan hangat di setiap diskusi baik dalam kelas formal maupun

non-formal. Dengan harapannya bahwa penelitian ini dapat

meningkatkan kuriositas mahasiswa untuk mencari isu-isu yang lebih

krusial.

c. Bagi Masyarakat

Pada dasarnya tujuan dari penelitian ini untuk menjamin

pemahaman hukum masyarakat, sehingga jika kemudian penelitian ini

10
mencapai titik substansialnya maka dapat dipastikan bahwa tidak ada lagi

elemen-elemen masyarakat yang akan buta hukum.

d. Bagi Pemerintah

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh

pemerintah baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dalam rangka

untuk mengevaluasi kinerjanya perihal mengedukasi masyarakat seputar

hukum. Sehingga penelitian ini merupakan bahan yang dijadikan

proyeksi untuk menguraikan masalah-masalah sebelumnya dan sekaligus

dijadikan sebagai opsi solusi.

E. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan diluar dari yang diuraikan diatas ialah bahwa

dengan terwujudnya penelitian ini maka diharapkan dapat menambah

khazanah solusi dibidang perundag-undangan dan juga menjadi bahan yang

dapat mengembangkan ilmu hukum terkhususnya di bidang Hukum Tata

Negara karena proses legislasi merupakan hal yang vital dalam mengedukasi

masyarakat mengenai maksud dari hukum itu sendiri. Tidak hanya itu,

penelitian ini juga diharapkan dapat berguna dalam beberapa disiplin ilmu

lainnya sebagai penunjang untuk mengembangkan kajian teoritis dalam

kaitannya Perundang-udangan atau Ilmu Hukum.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian akan sangat mempengaruhi hasil dari pada

penelitian ini dikarenakan dari Metode penelitian ini semua dapat terukur

11
dengan akurat, serta memberikan validitas terhadap data-data yang akan

digunakan.

1. Metode Pendekatan

Beberapa metode pendekatan masalah merupakan proses

pemecahan atau penyeleasaian masalah melalui etape-etape yang telah

ditentukan sehingga hasil dari penelitian ini sesuai dengan apa yang

diinginkan. Dengan berdasar pada identifikasi masalah yang telah

diangkat maka untuk mempermudah hal tersebut akan ditelusuri dengan

menggunakan tipe penelitian yuridis normatif (normatif legal research)

yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

perundang-undangan, dan didukung dengan literatur yang ada mengenai

pokok permasalahan yang dibahas.

Adapun metode pendekatan yang digunakan yakni pendekatan

Studi Dokumen (Document study approach), Telaah Kepustakaan

(Approach to Library Research), dan pendekatan konsep (Concept

Approach).

a. Pendekatan Perundang-undangan

Pendekatan studi Perundang-undangan (statute approach) ini

dilakukan dengan cara mengumpulkan setiap perundang-undangan

yang bersangkutan, setelah itu melalui tahap-tahap seleksi sehingga

dokumen-dokumen berupa perundang-undangan yang terpilih

kemudian dijadikan sebagai bahan rujukan. Adapun langkah yang

dilakukan dengan pendekatan ini adalah: (i) mengadakan

12
inventarisasi mengenai perundang- undangan yang berkaitan dengan

Penyebarluasan Perundang-undangan (ii) melakukan kategorisasi

terhadap perundang- undangan tersebut; dan (iii) melakukan analsis

terhadap perundang-undangan. Dengan melakukan analisis, akan

diperoleh hasil berupa penemuan prinsip-prinsip dan aturan hukum

tentang Penyebarluasan Perundang-undangan.

b. Pendekatan Telaah Kepustakaan

Pendekatan ini merupakan pendekatan yang bersinggungan

dengan literasi, dimana langkah pertama penulis ialah mencari dan

mengumpulkan literasi yang berkaitan dengan pokok permasalahan

yang penulis angkat, kemudian menelaah subtansi dari literasi yang

telah dikumpulkan sembari menyeleksi mana saja yang kemudian

cukup signifikan terhadap obyek penelitian penulis. Setelah itu

penulis akan membaca literasi yang telah terseleksi dan akan

digunakan, dari hasil bacaan kemudianlah yang akan tertuang dalam

penelitian ini.

c. Pendekatan Konseptual

Pendekatan ini beranjak dari pandangan dan doktrin-doktrin yang

berkembang dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari hal-hal

tersebut peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan

pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum

relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan dasar bagi

13
peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam

memecahkan isu yang dihadapi.16

2. Jenis Bahan Hukum

Dalam Proses penyusunan penelitian ini penulis menggunakan 3

(tiga) jenis bahan hukum17, yaitu :

1) Bahan Primer dalam kaitannya dengan penelitian ini yaitu berupa

peraturan perundang-undangan beserta dengan turunannya secara

hirarki, sebagai berikut :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD NRI 1945);

b. Undang Undang RI Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan

kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.;

c. Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;

d. Peraturan Presiden Nomof 1 Tahun 2007 Tentang Pengesahan,

Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-

undangan;

e. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan

16
Peter Mahmud Marzuki, 2015. Penelitian Hukum (Edisi Revisi). Jakarta. Penerbit Kencana, Hal.
177
17
Dalam penelitian ini tidak digunakan istilah “data”, tapi istilah “bahan hukum”, karena dalam
penelitian normatif tidak memerlukan data, yang diperlukan adalah analisis ilmiah terhadap bahan
hukum. Dalam Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia, hal. 268-269.

14
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

2) Bahan Hukum sekunder, yakni bahan pustaka yang berisikan

pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir, ataupun pengetahuan

baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan

(idea). Bahan sekunder ini mencakup18 buku/tekstual, artikel ilmiah

internet, jurnal-jurnal, doktrin, atau sumber-sumber lain baik cetak

maupun elektronik yag berhubungan dengan penunnjangan penulisan

skripsi ini.

3) Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang dapat memberikan

penjelasan-penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan

hukum sekunder. Baham hukum tersert berupa kamus dan

ensiklopedia dan lain-lain.

3. Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan adalah model

studi kepustakaan (Library Research), yaitu pengkajian informasi tertulis

mengenai hukum (Perundang-undangan) yang diambil dari berbagai

sumber seperti download di web instansi dan juga dipublikaskan di

internet serta yang dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif.19 Yaitu

penulisan yang didasari pada data-data yang dijadikannya obyek

penulisan kemudian dikaji dan disusun secara komprehensif, misalnya

seperti jurnal-jurnal yang diambil di perpustakaan Muhammadiyah

18
Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 51
19
Dalam Jhony Ibrahim, Op.cit, hal. 392

15
Malang dan juga jurnal-jurnal yang berada di web Perguruan tinggi

lainnya.

4. Analisa Bahan Hukum

Mengingat bahwa penelitian ini merupakan penelitian hukum

normative atau penelitian pustaka (Library Research), maka analisis data

yang akan digunakan adalah deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif

kualitatif ditujukan untuk mendeskripsikan dan menggambarkan

fenomena-fenomena yang telah terjadi, dengan menitikberatkan daya

analisis penggunaan teori-teori atau asas hukum berdasar keterkaitan

antar permasalahan.20

G. Sistematika Penulisan

Pada Penulisan ini, penulis akan menampilkan 4 (empat) bab yang

terdiri dari sub-sub bab, termasuk sistematika secara singkat adalah sebagai

berikut :

1. BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini memuat hal-hal yang melatar belakangi pemilihan topik dari

penulisan skripsi dan sekaligus menjadi pengantar umum dalam

memahami penulisan secara keseluruhan yang terdiri dari latar belakang,

rumusan masalah, tujuan penulisan, mafaat penulisan, Kegunaan

penulisan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

20
Nana Syaodih Sukmadinata 2013, Metode Penelitian, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, Hal.
73

16
2. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab II ini penulis akan menguraikan landasan asas, teori, atau

kajian teori yang mendukung hasil penelitian dalam membahas

permasalahan yang diperoleh oleh penulis, yakni tentang Asas Perundang-

Undangan, Pengundangan dan Penyebarluasan, dan juga Fiksi Hukum.

3. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan diuraikan mengenai jawaban terhadap

permasalahan yang berhubungan dengan objek yang diteliti yakni: Analisa

Penyebarluasan Undang-Undang Dalam kaitannya dengan Fiksi Hukum.

4. BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir atau penutup yang didalamnya berisikan

suatu kesimpulan dan saran dari hasil penelitian hukum.

17
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asas-Asas dalam Pembentukan Perundang-undangan

Banyak teoritisi hukum yang mencoba menguraikan pandangannya

menegenai asas hukum. Paul Scholten yang mencoba menguraikan asas

hukum sebagai “Pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di

belakang sistem hukum, yang masing-masing dirumuskan dalam aturan-

aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenanaan

dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat

dipandang sebagai penjabarannya”21

Lebih lanjut, mengenai suatu asas dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan, Montesquieu dalam karyanya L’esperit des Lois

mengemukakan sejumlah perspektifnya sebagai syarat yang harus dipenuhi

dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu : (1) Gaya

Penuturannya hendaknya padat dan sederhana. Yang artinya bahwa

pengutaraan dengan menggunakan ungkapan kebesaran dan retorik hanya

merupakan tambahan yang menyesatkan dan mubazir; (2) Istilah-istilah yang

dipilih hendaknya bersifat mutlak dan relative, sehingga dengan demikian

memperkecil kemungkinan munculnya perbedaan pendapat yang individual;

(3) Hukum hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang riil dan actual

dengan menghindari hal-hal yang bersifat metaforis dan hipotesis; (4) Hukum

hendaknya tidak dirumuskan dalam bahasa yang tinggi, oleh karena ia

21
J.J.H Bruggink, Refleksi tentang HUkum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996, Hal. 199

18
ditujukan kepada seluruh komponen rakyat dalam artian secara komprehensif;

(5) Hukum hendaknya tidak merancukan pokok permasalahan dengan

pencgecualian, pembatasan atau pengubahan, gunakan semua itu jika benar-

benar diperlukan; (6) Hukum Hendaknya bersifat debatable (Argumentatif).

Hal ini didasarkan kekhawatiran menimbulkan bahaya merinci alasan-alasan

yang memicu konflik; (7) Lebih dari itu semua, Pembentukan HUkum

hendaknya mempertimbangkan masak-masak dan mempunyai manfaat

praktis dan hendaknya tidak menggoyahkan sendi-sendi pertimbangan dasar

keadilan dan hakekat permasalahan.22

Saat ini jika berkaca pada proses legislasi di Indonesia maka terlebih

dahulu dijelaskan secara singkat mengenai maksud dari pada asas hukum di

Indonesia. Menurut Maria Farida, Asas-asas pembentukan peraturan

perundang-undangan adalah suatu pedoman atau suatu rambu dalam

pembentukan perundangundangan yang baik. Pembahasan mengenai asas-

asas yang penting dalam pembuatan perundang-undangan yang baik ini

menjadi sangat penting agar tercipta perundang-undangan yang baik.

Pembentukan peraturan perundang-undngan ini menyangkut isi peraturan,

bentuk dan susuna peraturan, metode pembentukan peraturan, prosedur dan

proses pembentukan peraturan.23

Berdasarkan pada definisi tersebut, Indonesia juga tidak lepas dari pada

upaya mengadopsi asas-asas yang kemudian dijadikan sebagai asas yang

fundamental dan krusial dalam pemebentukan perundang-undangan sehingga

22
Dikutp oleh Sumali dari DIsertasi Hamid S. Attamimi. Lihat Sumali, Reduksi Kekuasaan
Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti UU (Perpu), UMM Press, Malang, 2002, Hal 124-125
23
Maria Farida, Op,cit. Hal. 252

19
dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat sejumlah

asas yang perlu dipahami untuk memastikan bahwa suatu perundang-

undangan yang dihasilkan merupakan suatu produk kekuasaan yang

berdasarkan konsep negara hukum secara baik, atau disebut sebagai peraturan

perundang-undangan yang baik24. Adapun asas-asas tersebut adalah:

a. Asas undang-undang tidak berlaku surut;

b. Asas hierarki, atau tata urutan peraturan perundang-undanganmenurut

teori jenjang norma hukum atau Stufenbautheorie yang dikemukakan

Hans Kelsen.25 Asas ini menyebutkan bahwa undangundang yang dibuat

oleh Penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi

pula.26

c. Asas lex posteriore derogate lex priori (hukum yang baru mengalahkan

hukum yang lama).27

d. Asas hukum lex spesialis derogate legi generalis (hukum yang lebih

khusus mengalahkan hukum yang bersifat umum jika pembuatnya

sama).28

Secara lebih detail dan spesifik, penjelasan I.C Van Der Vlies seperti

yang dikutip oleh Maria Farida Indrati dalam bukunya membagi asas-asas

24
Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit IND-HILL.CO, Cetakan
Pertama, Jakarta, 1992, hlm 13-15.
25
Natabaya, HAS , Sistem Peraturam Perundang-undangan Indonesia, Penerbit Konstitusi Press
dan Tatanusa, Jakarta, 2008, hlm 23-32.
26
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Bahan P.T.H.I: Perundang-undangan dan
Yurisprudensi, Penerbit Alumni, Bandung, 1986, hlm 16.
27
Ibid, Hal. 17
28
Ibid.

20
dalam pembentukan peraturan negara yang baik ke dalam asas-asas yang

formal dan material. Asasasas formal meliputi29:

1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling).

2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juitse orgaan).

3. Asas perlunya pengaturan (het moodzakelijheids beginsel).

4. Asas-asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid).

5. Asas konsensus (het beginsel van consensus).

Asas-asas material meliputi30:

1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van

duiddelijke terminologi en duiddelijke systematiek).

2. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid).

3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtgelijkheids beginsel).

4. Asas kepastian hukum (het rechtzerheidsbeginsel).

5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de

individuele rechtsbedeling).

Selain yang dikemukakan di atas, Purnadi Purbacaraka dan Sorjono

Soekanto juga memperkenalkan 6 (enam) asas perundangundangan yaitu:

1. Undang-undang tidak berlaku surut31;

2. Undang-undang yang dibuar oleh Penguasa yang lebih tinggi mempunyai

kedudukan yang lebih tinggi pula;

29
Ibid. Hal. 253.
30
Ibid.
31
De Jure, Mengkritisi pemberlakuan Teori Fiksi Hukum, Jurnal Volume 16 Nomor 3, Jakarta,
2016, Hal. 255

21
3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang

yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis);

4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang

yang berlaku terdahulu (lex posteriore derogat lex priori);

5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat; dan

6. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat

mencapai kesejahteraan spritual dan material bagi masyarakat maupun

individu, melalui pembaharuan atau pelestarian.

B. Pengundangan dan penyebarluasan perundang-undangan

Hukum sangat erat kaitannya dengan masyarakat sehingga menjadi

kebutuhan pokok bagi masyarakat untuk mengetahuinya, hal ini berangkat

dari anggapan bahwa semua individu yang ada dalam masyarakat mempunyai

kepentingan sejak ia lahir, maka dari itu hukum dibutuhkan untuk menjaga

serta menertibkan individu tersebut dalam mewudujkan kepentingannya.

Hukum dalam hal ini diartikan sebagai sesuatu yang seharusnya diketahui

oleh semua elemen masyarakat agar kepentingannya tidak terganggu oleh

kepentingan orang lain dan juga.

Istilah “pengundangan” biasanya disebut Afkondiging dalam Bahasa

Belanda atau Promulgation (Inggris) yang artinya pemberitahuan kepada

umum, ditetapkan terhadap tindakan-tindakan tertentu, sebagian dengan

sanksi pidana. Sedangkan yang dimaksud dengan publikasi atau

22
penyebarluasan yaitu pengumuman, membuat sesuatu terbuka untuk umum

atau diketahui oleh umum32

Jika melihat perkembangan proses legislasi saat ini menjadi

kekhawatiran masyarakat sebab telah banyak kemudian kaidah-kaidah

ataupun norma-norma yang mengikat setiap aktivitas masyarakat. Disamping

itu kaidah atau norma tersebut tidak semata-mata menjadi sesuatu yang hidup

dan berkembang di masyarakat, melainkan ada ketidakselarasan yang

menjadi faktor kenapa masyarakat tidak lagi patuh terhadap hukum. Akan

tetapi tidak hanya itu, faktor ketidaktahuan juga yang menyebabkan perilaku

masyarakat menyimpang terhadap hukum Negara karena aksesibilitas

masyarakat terhadap suatu peraturan perundangan-undangan tidak begitu

mudah dan juga informasi yang ditujukan kepada masyarakat tidak

menyentuh beberapa lapisan-lapisannya. Padahal secara yuridis di Indonesia

dijelaskan secara eskplisit di dalam ketentuan Pasal 81 Undang-Undang No.

12 tahun 2011 Berbunyi33 :

“Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan


harus diundangkan dengan menempatkannya dalam :
a. Lembaran Negara Republik Indonesia;
b. Tambahan Lembaran Negara Rebpublik Indonesia;
c. Berita Negara Republik Indonesia;
d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia;
e. Lembaran Daerah;
f. Tambahan Lembaran Daerah; atau
g. Berita Daerah.

32
Maria Farida Indrati S, Ilmu perundang-undangan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007) Hal.
252
33
Agus Surono, Op.cit, Hal. 1-2.

23
Penjelasannya berbunyi :

“Dengan diundangkan Peraturan Perundang-undangan dalam


lembaran resmi sebagimana dimaksud dalam ketentuan ini maka setiap
orang dianggap telah mengetahuinya.”34

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang

Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-

undangan berwenang melakukan pengundangan dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita

Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik

Indonesia. Pelaksanaan pengundangan peraturan perundang-undangan

berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor :

M.01-HU.03.02 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pengundangan dan

Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan dilaksanakan oleh Direktur

Jenderal Peraturan Perundang-undangan yang dalam tugas pokok dan

fungsinya dilaksanakan oleh Direktorat Publikasi, Kerja Sama dan

Pengundangan Peraturan Perundang-undangan yang membawahi

Subdirektorat Pengundangan Peraturan Perundang-undangan.

Pengundangan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia meliputi:

1. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

2. Peraturan Pemerintah;

3. Peraturan Presiden mengenai:

34
Ibid.

24
a. Pengesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan

negara lain atau badan internasional; dan

b. pernyataan keadaan bahaya.

4. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia.

Dalam hal peraturan perundang-undangan yang ada penjelasannya,

maka pengundangannya ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia.

Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Berita Negara

Republik Indonesia meliputi peraturan yang dikeluarkan oleh:

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat;

2. Dewan Perwakilan Rakyat;

3. Mahkamah Agung;

4. Mahkamah Konstitusi; dan

5. Menteri, Kepala Badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang

dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-

undang.

Dalam hal peraturan perundang-undangan yang ada penjelasannya,

maka pengundangannya ditempatkan dalam Tambahan Berita Negara

Republik Indonesia. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik

25
Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk

lembaran lepas dan himpunan.

Tata Cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan :

1. Naskah Peraturan Perundang-undangan yang akan diundangkan dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan

Berita Negara Republik Indonesia wajib disampaikan kepada Direktorat

Jenderal Peraturan Perundang-undangan disertai dengan 3 (tiga) naskah

asli dan 1 (satu) softcopy.

2. Penyampaian dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari instansi yang

bersangkutan atau petugas yang ditunjuk disertai surat pengantar untuk

diundangkan.

3. Pengundangan dilakukan dengan memberi nomor dan tahun pada

Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik

Indonesia, dan memberi nomor pada Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.

Selanjutnya Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan

mengajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk

ditandatangani.

4. Naskah peraturan perundang-undangan yang telah ditandatangani

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, selanjutnya disampaikan

kepada instansi pemohon 2 (dua) naskah asli dan 1 (satu) untuk

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan sebagai arsip.

26
5. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia,

Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran

lepas dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas)

hari terhitung sejak tanggal peraturan perundang-undangan

diundangkan.

6. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia,

Tambahan Berita Negara Republik Indonesia dalam bentuk himpunan

dilakukan pada akhir tahun.

Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan

1. Penyebarluasan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan melalui

media cetak, media elektronik, dan cara lainnya.

2. Penyebarluasan peraturan perundang-undangan melalui media cetak

berupa lembaran lepas maupun himpunan.

3. Penyebarluasan Lembaran Negara Republik Indonesia dalam bentuk

lembaran lepas yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-

undangan untuk disampaikan kepada kementrian/Lembaga yang

memprakarsai atau menetapkan peraturan perundang-undangan

tersebut, dan masyarakat yang membutuhkan.

4. Penyebarluasan Lembaran Negara Republik Indonesia dalam bentuk

himpunan yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

27
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan

untuk disampaikan kepada Lembaga Negara, Kementerian/Lembaga

Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, dan pihak terkait.

5. Penyebarluasan melalui media elektronik dilakukan melalui situs web

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan dapat diakses melalui

website: www.djpp.depkumham.go.id, atau lainnya.

6. Penyebarluasan dengan cara sosialisasi dapat dilakukan dengan tatap

muka atau dialog langsung, berupa ceramah workshop/seminar,

pertemuan ilmiah, konfrensi pers, dan cara lainnya35

C. Fiksi Hukum

Dalam Sejarah Hukum di Eropa daratan, hukum itu lahir dari kontrak

sosial, kontrak sosial adalah metamorfosa dari kontrak-kontrak ekonomi

masyarakat merkantilis. Sehingga dengan demikian teori ini lahir dari

ranahnya hukum privat. Baru abad 18 dengan gejala industrialisasi munculah

Negara Modern. Negara modern mensyaratkan adanya generalitas dalam

sistem hukum yang bersifat publik. Untuk memenuhi generalitas itulah semua

orang yang berada dalam satu wilayah negara harus tunduk pada suatu hukum

yang dibikin oleh bandan publik. hal itu memberi manfaat agar institusi

publik menjadi kuat.36

Fiksi hukum yang menyatakan bahwa “setiap orang dianggap tahu

akan undang-undang”. Hal ini didasarkan pada suatu alasan, bahwa manusia

35
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id, pengundangan-dan-penyebarluasan, diakses 25 maret
2018.
36
Agus Surono, Op.cit, Hal. 110.

28
mempunyai kepentingan sejak lahir sampai mati. Setiap kepentingan manusia

tersebut selalu diancam oleh bahaya di sekelilingnya. Oleh karena itu

manusia memerlukan perlindungan kepentingan, yang dipenuhi oleh berbagai

kaidah sosial yang salah satunya adalah kaidah hukum. Karena kaidah hukum

melindungi kepentingan manusia, maka harus dipatuhi manusia lainnya.

Sehingga timbul kesadaran untuk mematuhi peraturan hukum, supaya

kepentingannya sendiri terlindungi. Dengan demikian ketidaktahuan akan

undang-undang tidak merupakan alasan pemaaf atau “ignorantia legis excusat

neminem”37

Fiksi ialah sesuatu yang membuat kita menerima hal yang tidak benar

sebagai suatu hal yang benar. Dengan perkataan lain bahwa kita menerima

apa yang tidak ada, sebagai ada atau yang sebenarnya ada sebagai tidak ada.

Fiksi itu sendii biasanya di pakai orang, jika orang dengan sadar menerima

sesuatu tentang kebenaran, akan tetapi sejatinya itu tidak benar.

Sebagai contoh bahwa dahlu rakyat romawi yang telah meninggal

dalam tawanan dipandang sebagai seorang budak dan menurut hukum

Romawi, seorang budak tidak boleh meninggalkan warisan harta yang sah.

Dengan demikian surat wasiat yang dibuatnya sebelum ia ditawan oleh lawan

menjadi tidak berlaku dalam hukum Romawi. Akan tetapi Lex Cornelia dari

Sulla mencoba merubah hal tersebut bahwa bila seorang rakyat yang

meninggal dalam tawanan perang ia seharusnya dianggap sebagai orang yang

37
Rahmat Setiobudi Sokonagoro, Peristilahan Fiksi Hukum (Fictie Hukum) Dalam Teori dan
dalam Praktek, 2008. Diakses pada 25 Desember 2018.

29
meninggal pada saat pengangkatannya sebagai prajurit, sehingga surat

wasiatnya tetap berlaku (fictiio legis cornelie).

Setelah hal tersebut fiksi yang mulanya hanya dianggap berlaku dalam

hukum waris kemudian diberlakukan untuk segala hukum dari seorang

tawanan. Rakyat Romawi yang tertangkap sebagai seorang tawanan, yang

kembali di negerinya sendiri tak pernah dianggap sebagai bekas dari tawanan

perang. Bangsa Romawi menganggap fiksi sebagai instrument pertolongan

untuk membuat perkembangan hukum. Dalam hal ini, perkembangan hukum

yang di Romawi juga di ikuti di Inggris.38

Asas Fiksi Hukum beranggapan bahwa ketika suatu peraturan

perundang-undangan telah diundangkan maka pada saat itu setiap orang

dianggap tahu (presumption iures de iure) dan ketentuan tersebut berlaku

mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat

membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum (ignorantia jurist non

excusat). Keberadaan asas fiksi hukum, telah dinormakan di dalam

penjelasan Pasal 81 ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Peraturan Perundang-undangan yakni "Dengan diundangkannya

Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana

dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah

mengetahuinya".39

38
Rahmat Setiobudi Sokonagoro, Peristilahan Fiksi Hukum (fictie hukum) dalam teori dan dalam
praktek, hal. 42
39
Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H. Penerapan Asas Fiksi Hukum dalam Perma,
https://jdih.mahkamahagung.go.id/, 2017.

30
Adapun lembaran resmi yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 81

terdiri dari 7 jenis yakni : a) Lembaran Negara Republik Indonesia, b)

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, c) Berita Negara Republik

Indonesia, d) Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, e) Lembaran

Daerah, f) Tambahan Lembaran Daerah, atau g) Berita Daerah.40

Teori fiksi hukum mengasumsikan bahwa pengundangan peraturan

mempunyai kekuatan mengikat, mengikat setiap orang untuk mengakui

eksistensi peraturan tersebut. Dengan demikian pengundangan peraturan tidak

memperdulikan apakah masyarakat akan mampu mengakses peraturan

tersebut atau tidak, apakah masyarakat menerima peraturan itu atau tidak.

Disinilah muncul kelemahan teori fiksi hukum, pemerintah dapat berbuat

sewenang-wenang pada masyarakat yang dianggap melanggar aturan hukum

dan mengenyampingkan ketidaktahuan masyarakat atas hukum atau peraturan

yang harus ditaati.41

Suatu peraturan perundang-undangan mempunyai mekanisme agar

aspek publisitas dari suatu perundang-undangan tersebut dapat terpenuhi.

Mekanisme publisitas inilah yang banyak terlupakan oleh para pemikir

hukum yang hanya terfokus pada proses pembuatan peraturan perundang-

undangan. Fiksi Hukum pertama kali diperkenalkan oleh Van Apeldorrn

sebagai satu langkah terobosan yang membuat perkembangan suatu ilmu

hukum.

40
Ibid.
41
Yustisia Rahman, Publisitas,Fiksi Hukum dan Keadilan, Artikel, 20 Januari 2010.

31
Adanya suatu fiksi, dapat menghitamkan yang putih maupun yang

sebaliknya. Hal itu membahayakan dalam proses menemukan kebenaran dan

keadilan. Akan tetapi mesti diketahui bahwa penggunaan giksi mesti harus

dipisahkan dari suatu persangkaan karena dapat mencederai kebenaran yang

berujung pada keadilan. Fiksi adalah ketidak benaran suatu ciptaan saja,

bahwa suatu persangkaan mungkin saja benar, atau juga tidak.

Fiksi hukum sejatinya tidak hanya menghadirkan kewajiban suatu

masyarakat mengetahui hukum, tetapi juga melahirkan konsekuensi bagi

pemerintah. setiap aparat pemerintah dalam hal ini wajib untuk

menyampaikan tentang adanya hukum atau peraturan tertentu yang berlaku di

masyarakat.

Di Indonesia dikatakan setiap orang dianggap telah mengetahui semua

hukum atau peraturan yang berlaku tanpa terkecuali. Hal tersebut berangkat

dari fiksi hukum yang menyatakan kewajiban untuk mempublikasikan

peraturan yang dibuat harus menjangkau semua elemen-elemen yang ada di

masyarakat. Karena itu alasan seseorang di kemudian hari mengenai tidak

tahunya hukum yang berlaku tidak dapat diterima sebagai pembebasan orang

tersebut dari tuntutan hukum.

32
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Korelasi Penyebarluasan Undang-Undang dengan Fiksi Hukum

Perkembangan hubungan hukum dengan masyarakat begitu dinamis

dalam pandangan sejarah, terutama dalam perspektif aliran positivism sebagai

salah satu aliran yang memberi sumbangsi besar bahwa hukum itu harus

dipelajari dan dipahami secara profesional dalam artian hukum disini

dimaksudkan untuk kebaikan hidup baik secara individual maupun bersama-

sama.

Hubungan hukum dengan masyarakat merupakan sistem yang saling

simbosi mutualis, bahwa hukum dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya

kepada masyarakat jika saja masyarakat juga menaati hukum sebagai sesuatu

alat pengontrol sosial atau kepentingan individu. Masih dalam suasana yang

sama, bahwa hukum dalam hal ini dianggap sebagai sesuatu yang hidup

diantara masyarakat, yang artinya menghendaki semua masyarakat agar

seharusnya mengetahuinya.

Fiksi hukum mengasumsikan bahwa pengundangan peraturan

mempunyai kekuatan mengikat, mengikat setiap orang untuk mengakui

eksistensi peraturan tersebut. dengan demikian pengundangan peraturan tidak

memperdulikan apakah masyarakat akan mampu mengakses peraturan

tersebut atau tidak, apakah masyarakat menerima peraturan atau tidak.42

42
Yustisia Rahman Publisitas; Fiksi Hukum dan Keadilan, 20 januari 2010

33
Tentu saja mesti kita pahami bahwa hukum di sini juga seharusnya

memiliki sifat keterbukaan kepada masyarakat, sifat-sifat tersebutlah yang

kemudian dituangkan menjadi asas-asas daripada hukum itu sendiri. Sehingga

relasi dari kedua hal (Hukum dan Masyarakat) tersebut saling

menguntungkan, dalam artian hukum lebih mudah ditaati oleh karenanya ia

terbuka untuk diketahui masyarakat, begitupun juga masyarakat lebih

memahami hukum oleh karenanya ia bersifat terbuka.

Keluhan sebagaian masyarakat tentang tidak tersosialisasikannya

pemahaman hukum secara komprehensif menyebabkan eksistensi hukum

dalam masyarakat tidak lagi ada, terkhusus di peleton-peleton masyarakat

pinggiran. Padahal memahami kondisi saat ini yang dimana situasi

transisional dari pramodern menuju modern semestinya lebih memudahkan

hukum itu dapat terdistribusi sampai ke komponen yang terdalam. Jika

kembali berkaca pada peradaban sebelumnya disekitar abad 18, pentingnya

masyarakat untuk mengetahui hukum didasarkan pada suatu alasan, bahwa

manusia sejak ia lahir sampai mati mempunyai kepentingan-kepentingan,

oleh karena itu manusia sangat memerlukan perlindungan kepentingannya,

sehingga dipenuhi oleh berbagai kaidah sosial yang salah satunya ialah

kaidah hukum.

Penulis menyoroti hukum di sini lebih spesifik sabagai Undang-

Undang yang merupakan hasil kodifikasi norma-norma. Undang-undang

dapat dianggap semata-mata ialah himpunan dari semua harapan dan

kebutuhan bangsa yang terelaborasi menjadi norma-norma. Dalam prinsip-

34
prinsip Positivisme dikatakan bahwa hukum adalah sama dengan undang-

undang. Dasarnya muncul berkaitan dengan undang-undang; Hukum yang

benar adalah hukum yang berlaku dalam Negara. Sedangkan dalam positivism

sosiologis yang diselediki melalui metode ilmiah August Comte ditanggapi

sebagai Keterbukaan terhadap kehidupan masyarakat.

Kalau kita mengacu pada proses legislasi yaitu proses pembuatan

peraturan perundang-undangan terkhususnya Undang-undang, maka landasan

yang terbentuknya suatu undang-undang itu setidak-tidaknya memuat 3 (tiga)

hal sebagaimana yang diperintahkan oleh Undang-Undang No. 12 tahun 2011

yaitu Landasan Yuridis, Landasan Sosiologis, dan juga Landasan Filosofis.

1. Landasan yuridis, berarti bahwa dalam membentuk undang-undangatau

suatu peraturan perundang-undangan, maka harus lahir dari pihak yang

mempunyai kewenangan membuatnya (landasan yuridis formal),

mengakuan terhadap jenis peraturan yang diberlakukan (landasan yuridis

material).

2. Landasan sosiologis berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang

diberlakukan harus sesuai dengan keyakinan umum dan kesadaran hukum

masyarakatnya agar ketentuan tersebut dapat ditaati karena pemahaman

dan kesadaran hukum masyarakatnya sesuai dengan hal-hal yang diatur.

3. Landasan filosofis berarti bahwa hukum yang diberlakukan mencerminkan

filsafat hidup masyarakat (bangsa) di mana hukum tersebut diberlakukan

yang intinya berisi nilai-nilai moral, etika, budaya maupun keyakinan dari

bangsa tersebut, Sebagaimana dikenal dalam adagium quid legex sine

35
moribus (apa jadinya hukum tanpa moralitas). Namun demikian, Hans

Kelsen pernah mengemukakan bahwa hukum tidak dibatasi oleh

pertimbangan moral.43

Dari penjelasan suatu landasan tersebut maka sekiranya dapat dengan

mudah untuk dimengerti kalau Undang-undang memang diperuntukkan

kepada masyarakat agar ditaati supaya kehidupan yang bermartabat dapat

dicapai. Akan tetapi menjadi suatu pertanyaan besar bahwa, Bagaimana

mungkin kemudian Undang-undang dapat dipahami sebagai sesuatu yang

hidup dalam setiap aktivitas sosial kalau pada dasarnya hak masyarakat belum

terpenuhi dalam hal ini hak untuk tahu atau memperoleh informasi mengenai

Undang-Undang tersebut? ditambah lagi dengan adanya Fiksi Hukum yang

memaksakan kehendak penguasa untuk masyarakat dianggap tahu undang-

undang pada saat diundangkan, juga dalam adagium hukum dikenal adanya

“Igonarantia legis neminem excusat” yang artinya ketidaktahuan hukum tidak

dapat dimaafkan.

Sekiranya cukup terang untuk kita melihat hubungan daripada

penyebarluasan undang-undang dengan Fiksi Hukum. Bahwa Fiksi Hukum

disini merupakan suatu angan-angan yang dibangun melalui asumsi ontologis

sebuah Negara agar masyarakatnya terintervensi untuk kemudian mengetahui

hukum. Disatu sisi menjadi polemik pada tataran administratif sebab apa yang

diangan-angankan oleh Negara melalui fiksi hukum tidak terjabarkan dan

tidak Nampak dalam praktik administrasinya yaitu upaya Negara

43 th
Friedmann, W., Legal Theory, 4 Edition, London, Steven & sons Limited, 1960, hlm 229

36
menyebarluaskan suatu Undang-undang. Misalnya apa yang tertera dalam

pasal 81 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan tidak menggambarkan upaya pemerintahan yang optimal dalam

mewudujkan pelaksanaan Fiksi Hukum.

Berkaca pada histrosi sebuah fiksi ini ditelusuri bahwa permulaan dari

Teori Fiksi Hukum ini berangkat dari asas publisitas yang mensyaratkan agar

semua individu atau masyarakat memiliki aksesibilitas untuk memperoleh

sebuah informasi hukum. Asas publisitas ini mesti dipahami sebagai suatu

kewajiban pemerintah untuk mempublikasikan Undang-Undang, sebagaimana

diketahui bahwa Undang-undang sifatnya mengikat secara umum, kepada

masyarakat agar mereka memahami atau setidaknya mengetahui sebagai suatu

bentuk permulaan entitas kepatuhan masyarakat terhadap hukum.

Dapat kita lihat dalam sejarah hukum Babylonia dimana kebiasaan

Raja Hamurabi (hidup disekitar tahun 1795-1750 SM) yang mendirikan

sebuah tugu peringatan di tempat-tempat publik, setiap kali peraturan raja

dikeluarkan ataupun peraturan lainnya akan dicantumkan di setiap tugu yang

telah didirikan sehingga masyarakat akan mengetahuinya secara otomatis

tanpa ada kehendak untuk mencarinya.44

Karena amanat suatu konsep Negara Hukum setidak-setidaknya

menjamin bahwa semua masyarakatnya memahami hukum, karena dalam

prinsipnya suatu Negara dapat dikatakan berlandaskan pada hukum jika

dengan pengundangan yang dilakukan dengan baik. Dan juga Peraturan

44
Agus Surono, op.cit hal.22

37
Negara yang diundangakan dapat menjamin jangakaunnya jauh terhadap hak-

hak rakyat sehingga perilaku masyarakat dapat mengikuti prosedur

sebagaimana yang ditetapkan dalam perundang-undangan. Hanya dengan

pengundangan yang baik, suatu peraturan Negara tersebut mempunyai

kekuatan mengikat.

Sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal 88 ayat (2) UU No. 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa

Penyebarluasan dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh

masukan dari masyarakat serta para pemangku kepentingan. Dan juga dalam

pasal 96 ayat (4) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, bahwa untuk memudahkan masyarakat dalam

memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis, maka setiap Rancangan

Peraturan Perundang-undangan harus dapat dengan mudah diakses oleh

masyarakat. Hal tersebut adalah bagian pokok yang seharusnya dipahami

pemerintahan dalam hal ini baik legislator ataupun pelaksana hukum, bahwa

untuk mewujudkan hukum yang responsif maka sangat perlu untuk dilakukan

optimalisasi penyebarluasan perundang-undangan, baik dalam tahapan

perancangan ataupun dalam kondisi telah diundangkan.

B. Metode Penyebarluasan Undang-Undang kepada Masyarakat

Tahapan akhir dari proses pembuatan undang-undang ialah

pengundangan dan penyebarluasan. Penanganan mengenai penyebarluasan

mesti diperhatikan secara terpadu dan sistematis, karena sangat erat kaitannya

dengan daya mengikat suatu undang-undang tersebut. sebagaimana juga yang

38
kita ketahui bahwa undang-undang diperuntukkan kepada masyarakat, maka

dari itu agar masyarakat mengetaui suatu undang-undang sudah menjadi

kewajiban dari pemerintah untuk menyebarluaskannya.

Penyebarluasan perundang-undangan menjadi hal yang konsekuen

jika tidak memenuhi makna fiksi hukum, karena prinsip daripada hukum

menjelaskan suatu perbuatan tidak dapat dimaafkan jika beralasan tidak

mengetahui hukum. Berangkat dari anggapan tersebut jika dicermati

belakangan ini, sudah sangat banyak regulasi yang dikeluarkan untuk

mengatur proses perundang-undangan khususnya di sektor pengundangan dan

penyebarluasan.

Sebagaimana suatu konsep Good Governance sebagai suatu sistem

yang dipakai oleh Negara modern yang menuntut adanya tata kelola

administrasi pemerintahan yang memadai, yaitu sesuai dengan perkembangan

belakangan ini. Bahwa salah satu diantaranya ialah adanya aturan hukum yang

baik, yakni seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara wagra

masyarakat, pemerintah, parlemen, pengadilan, pers, lingkungan hidup, serta

para stakeholders lainnya.45

Dalam tataran praktiknya, beberapa spekulasi menganggap

penyebarluasan undang-undang menjadi hal yang tabu bagi pemerintah untuk

dilakukan karena perundang-undangan yang hendak disebarluaskan tentu

mengandung kepentingan parsial, sehingga masyarakat awam rumit dalam

aksesibilitas suatu edukasi peraturan perundang-undangan tersebut. ada juga

45
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, Refllika Aditama, 2009, Hal. 79

39
spekulasi serupa yang rada ekstrem bahwa peraturan perundang-undangan

disebarkan kepada yang mempunyai kepentingan (stakeholder).

Perlu kita ketahui bersama bahwa disegala aspek aktivitas kehidupan

manusia telah dijumpai oleh hukum, yang artinya bahwa segala rutinitas

manusia dalam sehari-harinya merupakan hal yang tidak lepas dari praktek

hukum, sehingga patut kiranya disebut sebagai Homo Yuridicus. Disamping

dari pada hukum dijadikan suatu alat (tool) dalam merekayasa sosial, juga

berfungsi sebagai “rust” and “orde”, yaitu diharapkan melahirkan

keseimbangan antara ketertiban dan ketentraman.

Di Indonesia berdasarkan pada pasal 88, 89, 90, dan 91 Bab X

Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. Pasal-pasal tersebut merupakan penjabaran mengenai

penyebarluasan undang-undang, selanjutnya berbunyi sebagai berikut :

Bahwa Pasal 88 ayat (1) Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan

Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-

Undang, pembahasan Rancangan Undang-Undang, hingga Pengundangan

Undang-Undang. Sedangkan ayat (2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh

masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan.

Bahwa Pasal 89 ayat (1) Penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama

oleh DPR dan pemerintah yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR

yang khusus menangani bidang legislasi. Ayat (2) menerangkan

Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR

40
dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPR yang khusus

menangani bidang legislasi. Dan juga ayat (3) Penyebarluasan Rancangan

Undang-Undang yang berasal dari Presiden dilaksanakan oleh instansi

pemrakarsa.

Bahwa Pasal 90 ayat (1) Penyebarluasan Undang-Undang yang telah

diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dilakukan secara

bersama-sama oleh DPR dan Pemerintah. Dan ayat (2) Penyebarluasan

Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh

DPD sepanjang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber

daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan

perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Bahwa Pasal 91 ayat (1) Dalam hal Peraturan Perundang-undangan

perlu diterjemahkan ke dalam bahasa asing, penerjemahannya dilaksanakan

oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Dan ayat (2) Terjemahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

terjemahan resmi.

Secara yuridis penjabaran mengenai penyebarluasan perundang-

undangan yang dicantumkan diatas seyogyanya lebih menjelaskannya secara

eksplisit, terutama dalam frasa DPR dan Pemerintah apa yang kemudian

dimaksud. Apakah kemudian yang dimaksud ialah pemerintah pusat semata

atau juga inklsufi pemerintah daerah, seperti halnya dalam Undang Undang

No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menjelaskan hal tersebut

41
secara terpisah. Tentu mempunyai implikasi dalam melaksanakan suatu

agenda penyebarluasan tersebut, misalnya dalam hal ini apakah Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah juga terlibat dalam menyebarluaskan peraturan

perundang-undangan atau tidak. Jika kemudian hal yang dimaksud ialah

Dewan Perwakilan Daerah Pusat, penulis beranggapan bahwa jangkauan

terhadap edukasi hukum secara keseluruhan tentu saja menjadi hal yang

rumit, akan tetapi jika pada dasarnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga

termasuk daripada frasa DPR tersebut, maka sekiranya layak untuk

dipertanyakan dasar hukum yang menyatakan hal tersebut secara eksplisit.

Robert Fried mengajukan 10 faktor yang menghambat berfungsinya

lembaga politik termasuk lembaga legislatif (DPR). Faktor-faktor tersebut

meliputi: Informasi, Keahlian, social power, popularitas, legitimasi,

kepemimpinan, kekerasan, peraturan, economic power, man power dan

jabatan.46

Sepintas kita lihat bahwa Fried menyinggung mengenai informasi

yang sekiranya menjadi poin utama bahwa perihal itu merupakan sesuatu

yang semestinya diprioritaskan dalam menjalankan sistem pemerintahan

sesuai dengan asas keterbukaan.

Masih dalam konteks yang serupa, jika diamati secara saksama maka

tidak lain asumsi terhadap penjelasan tersebut dapat dikonklusikan bahwa

peran pemerintah lebih dominan dalam menyelenggarakan penyebarluasan

undang-undang, padahal sebagaimana kita ketahui bahwa yang memegang

46
Dahlan Thaib, DPR dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: Liberty, Hal.65

42
peran Legislasi sebagaimana yang tercantum dalam pasal 20 ayat (1) UUD

1945 ialah Dewan Perwakilan Rakyat. Lebih jauh lagi bagian penyebarluasan

juga merupakan bagian yang inheren daripada Proses Pembuatan Perundang-

undangan.

Akan tetapi dalam pengamatan penulis mengenai konteks sosialisasi

atau upaya penyebarluasan yang menjadi kuasa dari legislator tidak

menampilkan semangat dalam penyuluhan hukum secara komprehensif, dapat

kita lihat dalam Pasal 80 huruf k UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR,

DPR, DPD, dan DPD. Yang kemudian telah dirubah menjadi Undang-undang

No. 2 Tahun 2018 tentang perubahan UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR,

DPR, DPD, dan DPD. Bahwa salah satu hak dari pada DPR ialah Melakukan

sosialisasi undang-undang.

Artinya bahwa kegiatan sosialisasi undang-undang hanyalah

dicantumkan sebagai hak dari pada DPR yang sekali lagi ialah pemegang

kekuasaan legislasi. Penulis mempersoalkan kegiatan sosialisasi tersebut

karena menurut penulis dalam pasal 80 tersebut ialah semata-mata hal yang

dapat saja tidak dilakukan karena bersifat “Hak”, sementara sosialisasi

merupakan sesuatu kegiatan yang sangat krusial dalam mengedukasi

masyarakat mengenai hukum itu sendiri, karena tanpa adanya sosialisasi

maka pemahaman secara tekstual rentan untuk menimbulkan multitafsir.

Sehingga penulis dalam hal ini berupaya untuk mendorong hak melakukan

sosialisasi tersebut dirubah menjadi suatu kewajiban dari DPR, atau

dicantumkan dalam pasal 81 UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR,

43
DPD, dan DPD mengenai kewajiban DPR. Sehingga jika upaya tersebut

berhasil, niscaya akan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai

hukum, atau setidak-tidaknya akan membuka peluang yang sebesar-besarnya

kepada masyarakat agar turut memberi partisipasi dalam undang-undang.

Dengan demikian, tampilan hukum yang ada di Indonesia terkhususnya

Undang-undang akan mencerminkan suatu hukum yang responsif.

Penyebarluasan Prolegnas dilakukan oleh DPR dan pemerintah sesuai

maksud yang dicantumkan dalam UU No. 12 tahun 2011 tentang

Pembentukan peraturan perundang-undangan, bahwa rancangan undang-

undang yang berasal dari DPR disebarluaskan melalui alat kelengkapan DPR

yang khusus menangani bidang legislasi, diantaranya ialah

Komisi/panitia/badan/alat yang mempunyai tugas untuk mengurusi suatu

pembentukan peraturan perundang-undangan. Tentu saja bahwa tidak

terdapat begitu banyak organ DPR yang ikut dalam proses penyebarluasan

sehingga menjadikan jangkauan peraturan perundang-undangan tidak begitu

luas tersampaikan, berbeda halnya jika saja semua komisi atau komponen

yang ada di DPR diberikan kewajiban dalam melakukan penyebarluasan baik

secara teknologi ataupun sosialisasi tatap muka. Karena sejatinya proses

penyebarluasan juga masih dalam proses pembentukan peraturan perundang-

undangan, yang artinya Dewan Perwakilan Rakyat secara komprehensif

seharusnya menyebarluaskan perundang-undangan, sesuai dengan amanah

konstitusi bahwa kuasa proses legislasi ditangan DPR. Dengan demikian

eskalasi persentase Nampak terlihat sebab semua komponen tergerakkan,

44
tidak seperti apa yang digambarkan di dalam Undang-Undang No.12 tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Disamping itu Michael Curtis juga mengafirmasi suatu kelemahan

Badan Legislatif yang diantaranya ialah kekurangan fasilitas kerja,

kekurangan sarana penelitian, dan kepustakaan, kekurangan tenaga

kesekretariat dan kurang terspesialisasi komisi-komisi yang ada di dewan

tersebut.47

Sebelum membahas terkait Peraturan Presiden No. 87 tahun 2014

tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka terlebih dahulu

disebutkan pula sekilas metode penyebarluasan yang dijelaskan dalam

Peraturan Presiden No. 1 tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan

Penyebarluasan, bahwa penyebarluasan peraturan perundang-undangan juga

mengatur publikasi melalui internet yang dalam istilah peraturan itu

disebutkan sistem informasi peraturan perundang-undangan berbasis internet.

Penyebarluasan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan cara

menyampaikan salinan kepada kementrian atau lembaga yang memprakarsai

undang-undang, setelah itu dipublikasikan melalui masing-masing halaman

web instansi. Terlepas dari itu, cara lain yang dicantumkan dalam pasal 34

ayat (2) Peraturan Presiden No. 1 tahun 2007 tentang Pengesahan,

Pengundangan, dan Penyebarluasan yaitu sosialisasi berupa tatap muka atau

47
Ibid.

45
dialog langsung, berupa ceramah, workshop/seminar, pertemuan ilmiah,

konferensi pers dan cara lainnya.

Selanjutnya, Peraturan Presiden no. 87 tahun 2014 tentang Peraturan

Pelaksana Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan menjelaskan beberapa hal dalam

penyebarluasan perundang-undangan yaitu dengan cara, jika RUU berasal

dari presiden maka penyebarluasan dilakukan oleh instansi pemrakarsa,

rancangan yang disebarluaskan merupakan RUU yang sedang dalam proses

penyusunan atau pembahasan sehingga hasil dari penyebarluasan akan

dijadikan bahan masukan untuk penyempurnaan RUU. Adapun RUU yang

dilakukan oleh pemrakarsa dengan cara mengunggah di dalam sistem

informasi peraturan perundang-undangan kementrian/ lembaga pemrakarsa;

menginformasikan RUU ke dalam media ceta; dan/atau melaksanakan uji

publik, sosialisasi, diskusi, ceramah, lokakarya, seminar, dan pertemuan

ilmiah lainnya.

Akan tetapi dalam prakteknya kedua peraturan presiden yang

disebutkan di atas sama sekali tidak dijadikan sebagai suatu syarat prosedur

sahnya peraturan perundang-undangan, misalnya bentuk-bentuk sosialisasi

yang tidak optimal mengakibatkan beberapa elemen masyarakat tidak

terjangkau oleh undang-undang yang diundangkan. Ataupun juga bentuk

penyebarluasan melalui media elektronik yang dilakukan hanya mengunggah

RUU ataupun UU yang diundangkan di halaman web pemrakarsa atau

instansi terkait, belum lagi berbicara mengenai media elektronik lainnya

46
misalnya melalui siaran tv, media sosial, dan sarana lainnya. Bukti yang dapat

kita rasakan belakangan ini ialah, beberapa rancangan undang-undangan yang

terdaftar dalam proglegnas (program legislasi nasional) sama sekali tidak

tersampaikan kepada masyarakat sehingga kesalahan dari masyarakat yang

malukan perbuatan menyimpang terhadap hukum maka sejatinya juga

inklusif kesalahan dari pejabat Negara.

C. Perangkat yang digunakan dalam menyebarluaskan Undang-undang

Fase penyebarluasan ialah jantung daripada suatu undang-undang itu

mempunyai daya mengikat, sesuai apa yang dikehendaki fiksi hukum bahwa

ketika perundang-undangan itu diundangkan, maka saat itu pula ia

mempunyai kekuatan mengikat. Penyebarluasan ialah kegiatan

menginformasikan tentang proses penyusunan proglenas, penyusunan RUU,

dan dinamika pembahasan RUU. Dalam upaya merefleksikan fungsi legislasi,

maka sekiranya diperlukan penataan kembali yang didasarkan pada

kelemahan-kelemahan proses legislasi itu berjalan, salah satunya mengenai

penyebarluasan tersebut. Mekanisme penyebarluasan undang-undang

belakangan ini tidak mencerminkan suatu asimilasi terhadap perkembangan

peradaban, terkhusunya dalam sektor teknologi.

Naskah undang-undang seharusnya secara masif tersedia melalui

berbagai website meliputi website kementerian/lembaga maupun website yang

dikelola masyaraat atau organisasi swasta. Bahkan penyedia naskah undang-

undang di kalangan pemerintah pun juga masif. Selain tersedia melalui sistem

informasi peraturan perundang-undangan oleh Kementerian/Lembaga yang

47
disebut di bagian sebelumnya, naskah peraturan perundang-undangan juga

tersedia melalui sistem jaringan dokumentasi dan informasi hukum nasional

(JDIHN).48

Penyebutan sejumlah alat/instrumen yang dijelaskan dalam berbagai

peraturan perundang-undangan telah mencakup segala domain informasi,

namun dalam menginterpretasikannya terlalu sempit, apalagi berbicara

mengenai implementasinya. Dapat kita lihat beberapa kasus yang terjadi

menjadi suatu insiden yang seharusnya menyadarkan kita tentang lemahnya

penyuluhan dan penyebaran informasi mengenai undang-undang kepada

masyarakat. Keterbatasan suatu masyarakat dalam mengakses informasi

adalah yang wajar, justru dalam kondisi itulah Negara diharapkan meretaskan

kompleksitas tersebut. Negara mempunyai segala sarana dalam memecahkan

problematik suatu masyarakatnya, Negara memiliki hak untuk memerintah,

dan juga Negara dalam hal ini berkewajiban dalam membantu masyarakatnya.

Negara dalam konsep demokrasi ialah Negara yang juga melebur bersama

masyarakatnya, tidak ada perbedaan antara pejabat Negara dan masyarakatnya

selain tugas yang diamanahkan. Akan tetapi, berbeda halnya dengan Negara

dalam perspektif Otoritarianisme, yaitu menghendaki masyarakatnya agar

mengikuti perintah Negara, sekalipun itu mustahil untuk dilakukan. Misalnya

kita kembali pada tesis yang baru saja penulis sebut, bahwa keterbatasan

masyarakat dalam mengakses informasi adalah hal yang wajar. Jika demikian,

48
M. Nur Sholikin, Efektivitas Penyebarluasan Undang-undang secara Online oleh Pemerintah,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/, 2014.

48
pertanyaan sederhananya ialah, apakah kemudian Negara dalam hal ini turun

untuk memberikan informasi kepada masyarakatnya atau tetap menuntut

masyarakatnya agar mencari informasi tanpa memberi bantuan?

Namun pada kenyataannya, upaya Negara dalam hal ini yang penulis

maksud ialah pemerintah, sama sekali belum mencerminkan keseriusan dalam

memasuki Negara yang berbasis hukum, karena kinerja pemerintah dalam

mengedukasi masyarakat mengenai hukum tidaklah dapat kita rasakan

semangatnya. Misalnya jika kita berkaca pada materi muatan yang diatur

dalam Pasal 29 ayat (6) Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2007 tentang

Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-

undangan. Bahwa Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan dilakukan

melalui :

1. Media cetak;
2. Media Elektronik; dan
3. Cara lainnya.

Kemudian dalam pasal 30 Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2007

tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan

Perundang-undangan dijabarkan mekanisme penggunaan perangkat sesuai apa

yang disebutkan di atas, selanjutnya berbunyi :

(1) Dalam rangka penyebarluasan melalui media cetak sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 29 ayat (6) huruf a :
a. Menteri :
i. menyampaikan salinan peraturan perundangundangan yang
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, dan
Berita Negara Republik Indonesia kepada Kementerian/Lembaga
yang memprakarsai atau menetap-kan peraturan perundang-
undangan tersebut; dan
ii. menyediakan salinan peraturan perundang-undangan yang
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, dan

49
Berita Negara Republik Indonesia bagi masyarakat yang
membutuhkan.
b. Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet menyampaikan salinan
otentik naskah peraturan perundang-undangan yang disahkan atau
ditetapkan oleh Presiden, baik yang diundangkan maupun yang tidak
diundangkan kepada Lembaga Negara, Kementerian/Lembaga
Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah dan pihak terkait.
c. Sekretariat Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2)
menyampaikan salinan otentik naskah peraturan perundang-
undangan yang ditetapkan oleh Lembaga yang bersangkutan, yang
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia kepada
Lembaga Negara, Kementerian/ Lembaga Pemerintah Non
Departemen, dan pihak terkait.
d. Sekretariat Kementerian/sekretariat Lembaga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) menyampaikan salinan otentik
naskah peraturan perundang-undangan yang ditetap-kan oleh
Kementerian/Lembaga yang bersangkutan, yang diundangkan dalam
Berita Negara Republik Indonesia kepada Lembaga Negara,
Kementerian/Lembaga Pemerintahan Non Departemen, dan pihak
terkait.
(2) Pihak yang untuk keperluan tertentu membutuhkan salinan otentik
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, dan huruf d dapat mengajukan permintaan kepada
Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, sekretariat Kementerian dan
sekretariat Lembaga yang bersangkutan.

Penjabaran pasal diatas menampilkan penyebarluasan dengan media

cetak yang terlalu sempit, karena hanya menyinggung perihal penyebarluasan

salinan otentik ke institusi-institusi Negara, padahal pemahaman mengenai

media cetak tentu begitu luas yang artinya meliputi beberapa instrument

seperti; koran, majalah, dan lain-lain.

Selanjutnya bahwa dalam Pasal 32 Peraturan Presiden No. 1 Tahun

2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan

Perundang-undangan menjelaskan perihal penyebarluasan melalui Media

Elektronik, yang selanjutnya berbunyi :

(1) Dalam rangka penyebarluasan melalui media elektronik sebagai-mana


dimaksud dalam Pasal 29 ayat (6) huruf b Sekretariat Negara,

50
Sekretariat Kabinet, sekretariat Lembaga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (2), dan sekretariat Kementerian/ sekretariat Lembaga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) serta Sekretariat Daerah
menyelenggarakan sistem informasi peraturan perundangundangan yang
berbasis internet.
(2) Penyelenggaraan sistem informasi peraturan perundangundangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut :
a. Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet menyelenggarakan sistem
informasi peraturan perundangundangan yang disahkan atau
ditetapkan oleh Presiden;
b. Sekretariat Lembaga, Sekretariat Kementerian dan Sekretariat
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyelenggarakan
sistem informasi peraturan perundang-undangan yang ditetapkan
oleh Pimpinan Lembaga, Menteri dan Kepala Daerah yang
bersangkutan.
(3) Lembaga Pemerintah selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menyelenggarakan sistem informasi peraturan perundang-undangan
yang berbasis internet.

Penjelasan pasal diatas memuat beberapa poin yang mesti digaris

bawahi, bahwa penyebarluasan perundang-undangan melalui media

elektronik yang kemudian disebutkan dengan istilah Sistem Informasi

Peraturan Perundang-undangan ditetapkan oleh Presiden atau Pimpinan

Lembaga sebagai langkah lanjut teknik penyebarluasan perundang-undangan,

penulis mengapresiasi perihal tersebut, akan tetapi di satu sisi sangat

disayangkan mengenai penyebarluasan perundang-undangan bagi lembaga

pemerintah selain pemrakarsa tidak diberikan kewajiban.

Kemudian dapat kita lihat lagi dalam Pasal 34 Peraturan Presiden No.

1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan

Peraturan Perundang-undangan menjelaskan penyebarluasan dengan cara

lain, sebagaimana berikut ini bahwa :

(1) Dalam rangka penyebarluasan peraturan perundangundangan dengan


cara lain sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 29 ayat (6) huruf c :
a. Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet;

51
b. Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);
c. Kementerian yang memprakarsai rancangan peraturan perundang-
undangan yang ditetapkan atau disahkan oleh Presiden;
d. Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(1); dan
e. Pemerintah Daerah,
dapat melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a, huruf
b, huruf c, dan huruf d serta Pasal 31 baik sendiri-sendiri maupun
bekerjasama dengan Menteri dan/atau lembaga terkait lain.
(2) Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara
tatap muka atau dialog langsung, berupa ceramah, workshop/seminar,
pertemuan ilmiah, konferensi pers dan cara lainnya.

Dari beberapa pasal yang disebutkan diatas merupakan gambaran

ringkas daripada bentuk penyebarluasan undang-undang, akan tetapi tidak

hanya peraturan tersebut yang menjadi satu-satunya aturan mengenai

penyebarluasan undang-undang.

Namun disatu sisi karena adanya regulasi tersebut sehingga

memunculkan kewajiban yang melekat pada beberapa pejabat publik, hal itu

perlu diapresiasi karena telah menghadirkan nilai-nilai yang sekiranya

merupakan langkah awal dalam menegaskan pentingnya suatu penyebarluasan

undang-undang. Tetapi tentu saja penulis memakai istilah langkah awal

karena dengan adanya suatu regulasi mengenai penyebarluasan tersebut belum

bisa memberi jaminan agar semua elemen masyarakat mengetahuinya.

Dengan adanya Peraturan Presiden itu, diharapkan memicu instansi-

instansi lain untuk menginisiasi program penyebarluasan undang-undang,

kendati tanpa diinstruksikan oleh suatu perundang-undangan dan juga instansi

yang tidak berwatak hukum juga ikut dalam melakukan penyuluhan hukum.

Jika inisiatif tersebut telah dilakukan, niscaya akan mengantarkan Indonesia

52
menuju arah perubahan, dimana kondisi sekarang masih banyak akademisi

atau masyarakat yang belum memahami hukum, tentunya akan memahami

hukum atau setidaknya mengetahui bahwa ada hukum yang mengatur disektor

kegiatan tertentu.

Tujuan pengundangan ialah agar masyarakat, penegak hukum, dan

pencari hukum, mengetahui peraturan tersebut dan dengan itu maka lahirlah

kekuatan mengikatnya. Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2007 tentang

Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-

undangan memiliki perbedaan dalam hal penyebarluasan dengan apa yang

tercantum dalam Pasal 171 Peraturan Presiden No. 87 tahun 2014 tentang

Peraturan Pelaksana Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang selanjutnya berbunyi

bahwa :

(1) Penyebarluasan melalui:


a. Media elektronik;
b. Media cetak;
c. Forum tatap muka atau dialog langsung; dan/atau
d. Jaringan dokumentasi dan informasi hukum.
(2) Penyebarluasan melalui media elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dilakukan melalui:
a. televisi;
b. radio; dan/atau
c. internet dengan menyelenggarakan sistem informasi Peraturan
Perundang-undangan.
(3) Penyebarluasan melalui media cetak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dilakukan dengan menyebarluaskan:
a. Naskah rancangan Prolegnas;
b. Prolegnas;
c. Rancangan Undang-Undang;
d. Lembaran lepas; atau
e. Himpunan Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan/atau Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia.

53
Pada dasarnya pengundangan atau pengumuman dalam Lembaran

Negara ataupun Berita Negara merupakan syarat formal untuk mempunyai

kekuatan hukum mengikat dari perundang-undangan. Artinya ialah apabila

sudah diundangkan dalam Lembaran Negara atau diumumkan melalui Berita

Negara maka Perundang-undangan tersebut telah mempunyai kekuatan

hukum.

Namun perlu untuk mencari tahu hakikat pengundangan atau

penyebarluasan dalam hal ini, jika mengacu pada Undang-Undang No. 12

tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka yang

dimaksud dengan tujuan penyebarluasan ialah dilakukan untuk dapat

memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat atau para

pemangku kepentingan. Sedangkan menurut peraturan lainnya yaitu Peraturan

Presiden No. 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan juga

Penyebarluasan Perundang-undangan yaitu Penyebarluasan dimaksudkan agar

masyarakat mengerti, dan memahami maksud-maksud yang terkandung dalam

perundang-undangan dimaksud, sehingga dapat melaksanakan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Artinya bahwa baik

pengundangan ataupun penyebarluasan yang hanya semata-mata dicantumkan

dalam Lembaran Negara ataupun disebarkan melalui Berita Negara tentu jauh

dari harapan untuk memberikan masyarakat pemahaman mengenai ketentuan-

ketentuan undang-undang, sehingga konsekeuensinya rentan terjadi perkara

yang pada dasarnya masyarakat tidak mengetahui undang-undang itu berlaku.

54
Padahal banyak cara yang dapat dilakukan oleh Pemerintah, karena

dalam hal ini Pemerintah mempunyai banyak intrumen Negara dalam

melaksanakan penyuluhan hukum. Misalnya dengan menginstruksikan semua

instansi yang terafiliasi dengan pemerintah baik yang bergerak di bidang

hukum maupun yang bukan, untuk turut menyebarluaskan undang-undang

yang diundangkan pada saat itu pula. Dan juga sarana lainnya ialah

mengoptimalkan perusahaan-perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara)

yang bergerak di bidang layanan telekomunikasi dan informasi untuk

menyebarluaskan undang-undang, seperti Telkomsel yang dapat

menyampaikan pesan kepada seluruh penggunanya sebagai notifikasi bahwa

hari itu dan saat itu pula telah direncanakan atau telah diberlakukan suatu

Undang-Undang mengenai hal tertenu.

Beberapa peristiwa yang terjadi sangatlah mengkhawatirkan keadaan

bangsa ini, penulis menganggapnya sebagai kondisi dawat darurat, sehingga

sangat dibutuhkan upaya yang maksimal dalam menuntaskan masalah tentang

ketidaktahuan hukum bagi masyarakat. Sama seperti ungkapan H.A.S

Natabaya bahwa paradigma dan Doktrin berpikir yang melandaskan fictie

lazim daalam Negara yang menganut ciwil law. Ini memberi pembenaran pula

oleh prinsip yang juga diakui universal, yaitu persamaan di hadapan hukum

(equality before the law). Alasan lain adalah undang-undang dibuat oleh

rakyat atau melalui wakil-wakilnya di parlemen dan pemerintah, sehingga

55
sudah sewajarnya bila rakyat dianggap telah mengetahui hukum/undang-

undang.49

Dengan demikian kekhwatiran bangsa terhadap bermunculannya

hukum-hukum tidak lagi dianggap sebagai hal-hal yang negatif, akan tetapi

paradigm masyarakat memandang hukum sebagai pedoman yang baik, alhasil

hukum ditaati bukan karena takut akan sanksinya, melainkan ditaati karena

hukum dianggap sebagai rel kehidupan yang baik untuk dirinya maupun orang

lain.

49
Luthfi Eddyono, setiap orang dianggap tahu hukum, diakses dari http://luthfiwe.org.com pada
tanggal 4 maret 2019.

56
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Beradasarkan analisa serta deretan pembahasan di atas, maka dapat

dikonklusikan menjadi beberapa poin-poin, sebagai berikut :

1. Korelasi Penyebarluasan Undang-undang dengan Fiksi Hukum secara

garis besar menghadirkan konsekuensi yang saling berkesinambungnan.

Terlebih dahulu dijelaskan kembali Fiksi menurut Kamus Bahasa

Indonesia yaitu cerita rekaan, hasil khayalan pengarang. Sedangkan dalam

hukum diartikan sebagai suatu peraturan yang resmi yang menjadi

pengatur dan dikuatkan oleh adanya kekuasaan pemerintah. Van

Apeldoorn juga berpartisipasi dalam memberikan pandangannya mengenai

fiksi, yaitu kita mernerima sesuatu yang tidak benar sebagai sesuatu yang

benar. Atau dengan kata lain bahwa kita menerima apa yang sebenarnya

tidak ada, akan tetapi dianggap sebagai sesuatu yang ada, begitupun

sebaliknya. Fiksi hukum atau lebih tepatnya presumption iures de jure,

menurut penulis sendiri ialah suatu asumsi yang dibangun oleh Negara

sebagai suatu upaya untuk mengintervensi setiap individu yang ada dalam

masyarakat agar berinisiatif mengetahui peraturan perundang-undangan,

hal ini berangkat dari anggapan karena setiap orang memiliki kepentingan

sehingga untuk menjaga kepentingan itu dari gangguan kepentingan

lainnya maka seseorang harus mengetahui perundang-undangan. Akan

57
tetapi di satu sisi, Fiksi Hukum juga sejatinya membawa konsekuensi bagi

pemerintah karena dalam konteks tersebut merupakan kewajiban

pemerintah menyampaikan adanya hukum atau peraturan tertentu yang

mengikat masyarakat. Jika kemudian ada warga yang dibawa ke

pengadilan lantaran betul-betul tidak tahu hukum, maka sejatinya aparat

penyelenggara Negara juga ikut bersalah.

2. Metode penyebarluasan undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah

sesungguhnya mesti ada perubahan yang mengikuti kedinamisan

peradaban yang berkembang pesat saat ini. Berbicara mengenai metode,

berarti berbicara mengani suatu hal yang sistematis. Jika pemerintahan

melakukan upaya sebagaimana demikian yang tertera dalam regulasi,

maka tidak akan mencapai makna yang terkandung dalam fiksi hukum.

Bahwa sesungguhnya, proses legislasi tidak dapat semata-mata dikatakan

baik ketika proses penyebarluasannya tidak menjamin semua masyarakat

mengetahuinya, kendati isinya baik, tetap saja akan tidak efektif. Karena

sejatinya, bagi penulis memandang permasalahan ini ialah sebagai suatu

asal muasal terjadinya perkara-perkara yang bias terjadi di masyarakat,

karena tingkat kepatuhan masyarakat bermula ketika penyebarluasan

informasi hukum dan juga edukasi hukum tersampaikan dengan rasional

kepada masyarakat, sehingga kepatuhan terhadap hukum bukan sebagai

indikasi seseorang takut akan sanksinya, melainkan memahami hukum

sebagai suatu pedoman yang baik bagi kehidupannya.

58
3. Perangkat yang digunakan dalam menyebarluaskan undang-undang

sebagaimana yang tercantum dalam beberapa regulasi, khususnya Undang-

Undang No. 12 Tahun 2011, Peraturan Presiden No. 1 tahun 2007, dan

juga Peraturan Presiden No. 87 tahun 2014 menjelaskan siapa saja yang

berperan dalam menyebarluaskan peraturan perundang-undangan atau

spesifik undang-undang, diantarnya ialah Menteri; Menteri yang

menyelanggarakan urusan pemerintahan di bidang kesektariatan Negara;

dan/atau Menteri/Pimpinan lembaga pemerintah non-kementrian yang

memprakarsai rancangan undang-undang. Tentu sangat disayangkan ketika

dari sekian banyaknya perangkat Negara baik yang di pusat maupun yang

telah terbagi berdasar pada prinsip otonomi daerah tidak digunakan

sebagai sarana dalam menyebarluaskan undang-undang. Spekulasi penulis

memandang jika itu dilakukan, maka ada perubahan yang signifikan di

dalam masyarakat. Hal ini sebenarnya telah menjadi perhatian para

pemikir hukum, bahwa mengingat fiksi hukum sepertinya belum

menyentuh aspek pemahaman masyarakat, sehingga upaya pemerintah

dalam memberikan isyarat mengenai masyarakat yang diharapkan lebih

proaktif dalam mencari tahu peraturan-perundang-undangan telah gugur

dengan sendirinya. Karena perihal diseminasi yang dilakukan pemerintah

sangat lemah, dalam berbagai subsector, terkhusunya peraturan. Dengan

demikian cukup lumrah beberapa perkara terus terjadi secara berskala dan

berulang.

59
B. Saran

Adapun saran yang dapat penulis kemukakan berdasar apa yang telah

dijabarkan di atas, yaitu sebagai berikut :

1. Perlunya memasukkan fiksi hukum dalam asas-asas umum pemerintahan

yang baik dengan artikulasi yang berbeda, yaitu menekankan kepada

semua pemerintah baik eksekutif maupun legislatif untuk melakukan

diseminasi peraturan kepada masyarakat, dengan memasukkan hal tersebut

diharapkan mampu menjadi kewajiban pemerintah untuk melakukan

diseminasi secara komprehensif;

2. Perlunya mendorong perubahan peraturan perundang-undangan

tekhusunya di Undang Undang RI Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan

kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada pasal 80 huruf k

tentang hak sosialisasi anggota DPR semestinya dirubah menjadi suatu

kewajiban agar penyebarluasan undang-undang dilakukan secara masif dan

optimal;

3. Perangkat sebagaimana yang dimaksud ialah meliputi instansi dan juga

alat yang digunakan dalam menyebarluaskan peraturan perundang-

undangan perlu diluaskan, dalam artian bahwa tidak hanya instansi yang

disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang boleh

menyebarluaskan undang-undang, akan tetapi juga semua instansi yang

pemerintah baik yang bergerak di sektor hukum maupun yang bukan, dan

60
juga semua perusahaan-perusahaan yang terafiliasi oleh pemerintah.

misalnya seperti yang telah dicontohkan diatas, bahwa perusahaan yang

bergerak dalam bidang informasi dan telekomunikasi dapat dioptimalkan

dalam suatu penyebarluasan undang-undang, yaitu dengan perangkat

telkomsel yang dapat memberi notifikasi kepada semua masyarakat

penggunanya tentang telah dirancangnya atau diberlakukannya suatu

undang-undang.

61
DAFTAR PUSTAKA

Buku & Jurnal :

Agus Surono, Fiksi hukum dalam pembuatan Peraturan Perundang-undangan,


Universitas Al-Azhar Indonesia, 2013,.

Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit IND-


HILL.CO, Cetakan Pertama, Jakarta, 1992.

Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika,


Jakarta.

Dalam Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Malang: Bayumedia.

De Jure, Mengkritisi pemberlakuan Teori Fiksi Hukum, Jurnal Volume 16 Nomor


3, Jakarta, 2016.
th
Friedmann, W., Legal Theory, 4 Edition, London, Steven & sons Limited, 1960.

J.J.H Bruggink, Refleksi tentang HUkum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996, Hal.
199

L.J. Van Apeldoorn, 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan kedua puluh
sembilan. Jakarta: Pradnya Paramita.

Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, 2017.

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, Refllika Aditama, 2009.

Nana Syaodih Sukmadinata 2013, Metode Penelitian, PT. Remaja Rosdakarya,


Bandung.

Natabaya, HAS , Sistem Peraturam Perundang-undangan Indonesia, Penerbit


Konstitusi Press dan Tatanusa, Jakarta, 2008.

Peter Mahmud Marzuki, 2015. Penelitian Hukum (Edisi Revisi). Jakarta. Penerbit
Kencana.

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Bahan P.T.H.I: Perundang-


undangan dan Yurisprudensi, Penerbit Alumni, Bandung, 1986.

Satya Arinanto, Kumpulan Materi Pendukung (Transparansi) Politik Hukum dan


Politik Perundang-undangan (Dihimpun dari Berbagai Sumber),
Disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Perancangan Perundang-
undangan Bagi Legislative DrafterSekretariat Jenderal DPR RI, tanggal 14
April 2003,

62
Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti UU
(Perpu), UMM Press, Malang, 2002.

Yustisia Rahman Publisitas; Fiksi Hukum dan Keadilan, 20 januari 2010

Peraturan Perundang-Undangan yang digunakan :

Peraturan Presiden Nomof 1 Tahun 2007 Tentang Pengesahan, Pengundangan, dan


Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan;

Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan


Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.

Undang Undang RI Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan kedua Undang-


Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.;

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945);

Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan;

Internet :

Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H. Penerapan Asas Fiksi Hukum dalam
Perma, https://jdih.mahkamahagung.go.id/, 2017.

http://ditjenpp.kemenkumham.go.id, pengundangan – dan - penyebarluasan,


diakses 25 maret 2018.

Hukum Online, Fiksi Hukum harus didukung sosialisasi Hukum,


https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19115/fiksi-hukum-
harusdidukung, 2008.

Hukum Online, menjadikan fiksi hukum tak sekedar fiksi


http://www.hukumonline.com berita/baca/lt4ffe7ed9ac70f/menjadikan-
fiksi-hukum-tak-sekadar-fiksi, diakses 15 maret 2018.

Jurnal Kemenkumham, tentang Politik Perundang perundangan,


http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htndanpuu/480politik,perundang,unda
ngan.html, diakses 15 maret 2018

Luthfi Eddyono, setiap orang dianggap tahu hukum, diakses dari


http://luthfiwe.org.com pada tanggal 4 maret 2019.

63
M. Nur Sholikin, Efektivitas Penyebarluasan Undang-undang secara Online oleh
Pemerintah, https://www.hukumonline.com/berita/baca/, 2014.

Mys, ketidaktahuan Undang-Undang tidak dapat dibenarkan,


https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4dc1\00992a35a/ketidaktahua
n-undangundang-tak-dapat-dibenarkan, 2011.

Rahmat Setiobudi Sokonagoro, Peristilahan Fiksi Hukum (Fictie Hukum) Dalam


Teori dan dalam Praktek, 2008. Diakses pada 25 Desember 2018.

Yustisia Rahman, Publisitas,Fiksi Hukum dan Keadilan, Artikel, 20 Januari 2010.

64

Anda mungkin juga menyukai