Anda di halaman 1dari 37

I.

Judul Percobaan : Penentuan Kadar Protein dengan Metode Biuret


II. Hari/Tanggal Percobaan: Kamis, 05 Oktober 2017
III. Tujuan Percobaan : Menentukan kadar protein yang ada pada ikan
lele dengan menggunakan cara biuret.
IV. Dasar Teori :
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh.
Karena zat ini berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein adalah
sumber asam amino yang mengandung unsur C,H,O, dan N (Winarno,1992).

Protein merupakan bagian terpenting darisel -sel tubuh danmerupakan


bagian terbesar dari substansi kering dari organ-organtubuh dan otot. Segala
jenis protein mengandung unsur nitrogen, karbon, hidrogen, oksigen, dan
belerang (Sediaoetama,1976).
Menurut Adams (1988) merupakan kumpulan dari beberapa asam
amino. Asam amino mengandung unsur karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen,
dan belerang. Asam amino dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu kelompok
asam (oksigen, karbon, dan belerang ) dan kelompok amino (nitrogen dan
hidrogen) yang menempel pada atom karbon. Unsur-unsur ini dalam protein
tersusun dalam berbagai asam amino yang berkaitan sambung menyambung
membentuk molekul protein. Dengan demikian molekul protein adalah suatu
polimer dari asam amino sebagai monomer-monomernya. Asam amino
memiliki 2 gugus fungsional yaitu gugus karboksilat (-COOH) dan gugus
amino (-NH2) (Gultom, 2001).
H

R C COOH

NH2

Gambar struktur asam amino


Berdasarkan strukturnya protein dibedakan menjadi 4, yaitu (Bintang,
2010):

1. Struktur polimer
Struktur primer protein merupakan struktur sederhana dengan
urutan rantai asam amino linear yang tidak membentuk percabangan
rantai. Struktur primer dibentuk oleh ikatan peptida antar asam amino
yang berbeda satu dengan lainnya.
2. Protein struktur sekunder
Struktur sekunder protein merupakan struktur susunan struktur primer
yang linear yang distabilkan oleh ikatan hidrogen. Akibat kekuatan tarik-
menarik antar asam amino dalam rangkaian komponen tersebut, maka
akan terbentuk struktur utama yang membelit, melingkar, dan melipat.
Pada struktur ini protein berbentuk spiral (berpilin) hal ini terjadi karena
adanya ikatan lain (asam amino dengan asam amino lain ) selain peptida.
3. Protein struktur tersier
Struktur tersier merupakan rangkaian molekuler yang
menggambarkan bentuk keseluruhan dari protein. Penggabungan antar
struktur sekunder ini dapat dilakukan dengan ikatan hidrogen, Ikatan ion,
ikatan kovalen, dan ikatan hidrofobik.
4. Protein struktur kuartener
Struktur Kuarterner Protein merupakan struktur tiga dimensi yang
dibentuk oleh beberapa polipeptida yang berikatan satu sama lain tidak
secara kovalen.

Berdasarkan bentuknya protein dibedakan menjadi 2 yaitu (Lehninger,


1982):

1. Protein globular, rantai atau rantai-rantai polipeptida berlipat-lipat menjadi


bentuk globular atau bulat yang memadat. Protein ini biasanya larut dalam
media cair.
2. Protein serabut bersifat tidak larut dalam air, merupakan molekul serabut
panjang dengan rantai polipeptida yang memanjang pada satu sumbu dan
tidak berlipat menjadi globular. protein yang khas adalah − pada rambut, fibrin dari sutera dan kolagen dari urat.

Sifat-sifat protein antara lain yaitu (Lehninger, Albert L, 1982) :


1. Hampir semua asam amino mempunyai atom karbono asimetrik kecuali
glisin
2. Bersifat optik aktif yaitu mampu memutar bidang polarisasi
3. Bersifat amfoter yaitu dapat berperan sebagai asam maupun basa
4. Denaturasi yaitu pemecahan struktur tersier dari molekul protein pada
bagian yang melipat akibat adanya interaksi-interaksi yang
mempertahankan struktur tersier molekul
Protein mempunyai beberapa fungsi antara lain (Lehninger, 1982) :
1. Hampir semua asam amino mempunyai atom karbono asimetrik kecuali
glisin
2. Bersifat optik aktif yaitu mampu memutar bidang polarisasi
3. Bersifat amfoter yaitu dapat berperan sebagai asam maupun basa
4. Denaturasi yaitu pemecahan struktur tersier dari molekul protein pada
bagian yang melipat akibat adanya interaksi-interaksi yang
mempertahankan struktur tersier molekul.
Analisis protein dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu (Hidajati &
dkk, 2017) :

1. Metode Kualitatif
a. Reaksi Xantoprotein
Reaksi warna Xantoprotein dapat terjadi karena reaksi nitrasi
pada cincin benzena dari asam amino penyusun protein. Tes dikatakan
positif ditunjukkan dengan warna kuning yang disebabkan
terbentuknya suatu senyawa polinotrobenzena dari asam amino
protein. Reaksi ini positif untuk protein yang mengandung asam
amino dengan inti benzena, seperti tirosin, fenil alanin, triptofan.
b. Reaksi Hopkin-Cole
Reaksi warna protein ini menunjukkan positif apabila ditandai
dengan terbentuknya cincin ungu pada bidang batas antara larutan
protein dengan pereaki. Pebentukan cincin ini dikarenakan
terbentuknya kondensasi 2 inti indol dari triptofan dengan aldehid.

c. Reaksi Ninhidrin
Reaksi warna protein ninhidrin menunjukkan positif bila
memberikan warna biru atau ungu. Reaksi ini terjadi pada gugus
amino bebas dari asam amino ninhidrin. Warna biru-ungu dapat
dipakai untuk menentukan asam amino secara kuantitatif dengan
mengukur absorbansinya pada panjang gelombang 570 nm.

d. Reaksi Millon
Pereaksi Millon melibatkan penambahan senyawa Hg ke dalam
protein sehingga pada penambahan logam ini akan menghasilkan
endapan putih dari senyawa merkuri. Untuk protein yang mengandung
tirosin atau triptofan penambahan pereaksi Millon menghasilkan
warna merah. Namun pereaksi ini tidak spesifik karena juga
memberikan tes positif warna merah dengan adanya senyawa fenol.
Digunakan untuk menguji adanya gugus fenol pada protein misalnya
tirosin.

2. Metode Kuantitatif
a. Metode Biuret
Metode biuret merupakan salah satu cara yang terbaik untuk
menentukan kadar protein dalam suatu larutan. Dalam larutan basa,
Cu2+ membentuk kompleks dengan ikatan peptida suatu protein
sehingga menghasilkan warna ungu dengan absorbansi maksimal
540nm. Absorbansi ini berbanding lurus dengan konsentrasi protein dan
tidak tergantung jenis protein karena seluruh protein pada dasarnya
mempunyai jumlah ikatan peptide yang sama per satuan berat. Hal-hal
yang dapat mengganggu reaksi ini adalah adanya urea (mengandung
gugus -CO,-NH-) dan gula pereduksi yang bereaksi dengan Cu2+ (Tim,
2017)

Gambar Struktur Biuret


O R O R
H H
C N C C N C
H H

Cu 2+

H
C NH C C NH CH

O R O R

Gambar Struktur Kompleks Cu2+ Senyawa


Peptida (Hidajati & dkk, 2017)

Keunggulan dari metode biuret ini adalah tidak mendeteksi


nitrogen dari senyawa non peptida. langkah-langkah nya sederhana,
cepat dan biaya nya murah (Maligan, 2004).

b. Metode Kjeldahl
Metode Kjeldahl ini merupakan metode sederhana untuk
penetapan nitrogen total pada protein dan senyawa yang mengandung
nitrogen. Metode ini cocok digunakan secara semi mikro, sebab hanya
membutuhkan jumlah sampel dan pereaksi yang sedikit serta waktu analisa
yang pendek. Metode kjeldahl ini ccok untuk menetapkan kadar protein
yang tidak larut atau protein yang sudah mengalami koagulasi akibat
proses pemanasan maupun proses pengolahan lain yang biasa dilakukan
pada makanan (Rohman & Sumantri, 2007).
Metode kjeldahl digunakan untuk menganalisa kadar protein
kasar dalam bahan makanan secara tidak langsung, karena yang dianalisa
adalaah kadar nitrogennya. Dengan mengalikan hasil analisa dengan angka
konversi 6,25 (setara dengan 0,16 gram nitrogren per gram protein) maka
diperoleh kadar protein dalam bahan makanan tersebut (Winarno, 997).
Analisa protein cara Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi
menjadi tiga tahapan yaitu proses destruksi, proses destilasi dan tahap
titrasi (Maligan, 2004):
1. Proses destruksi
Tujuan dari proses destruksi ini adalah untuk melepaskan
nitogen dari protein. Pada tahapan ini sampel dipanaskan dalam asam
sulfat pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsur-unsurnya. Unsur C
dan H teroksidasi menjadi H2O, CO2 , CO sedangkan unsur N berubah
menjadi amonium sulfat. Dalam tahap ini diperlukan katalisator untuk
mempercepat proses destruksi. Tujuannya adalah mempertinggi titik
didih asam sulfat sehingga suhu destruksi lebih tinggi (370-410 C)
2. Proses destilasi
Pada tahap ini dilakukan dengan menambahkan NaOH sehingga
ammonium sulfat terpecah menjadi amonia. Amonia yang dibebaskan
ditampung dalam larutan asam standar biasanya HCl atau asam borat
4% yang jumlahnya berlebih.
3. Proses titrasi
Apabila penampung destilat digunakan asam khlorida maka sisa
asam khorida yang bereaksi dengan ammonia dititrasi dengan NaOH
standar (0,1 N). Akhir titrasi ditandai dengan tepat perubahan warna
larutan menjadi merah muda dan tidak hilang selama 30 detik bila
menggunakan indikator PP. Atau apabila menggunakan indikator MR
larutan berubah menjadi kuning.
Akan tetapi metode kjeldahl ini memiliki kekurangan antara lain
(Maligan, 2004):
1. Senyawa lain selain protein yang mengandung N akan ikut terukur
sebagai protein
2. purina, pirimidina, vitamin-vitamin, asam amino besar, kreatina, dan
kreatinina ikut teranalisis dan terukur sebagai nitrogen protein.

c. Metode Lawry
Metode Lowry merupakan pengembangan dari metode Biuret.
Metode ini dikembangkan pada tahun 1951 dengan menggunakan reagen
pendeteksi Folin-Ciocalteu. Reagen ini biasa digunakan untuk mendeteksi
gugus-gugus fenolik. Dalam keadaan basa, ion tembaga divlen (Cu2+)
dengan ikatan peptida yang mereduksi Cu2+ menjadi tembaga monovalen
(Cu+) (Bintang, 2010). Dalam analisa protein, reagen Folin-Ciocalteu
dapat mendeteksi residu oksidasi dimana gugus fenolik tirosin akan
mereduksi fosfotungstat dan fosfomolibdat yang terdapat pada reagen
tersebut menjadi tungsten dan molibden yang berwarna biru. Hasil reduksi
ini dapat dianalisa lebih lanjut dengan melihat puncak absorbsi yang lebar
pada daerah panjang gelombang sinar tampak (600 – 800 nm) (Sudarmadji
& dkk, 1981).

d. Metode Barfoed
Metode Barford adalah salah satu metode dalam penentuan
kadar protein suatu bahan. Prinsip kerja dari metode Barford didasarkan
pada pengikatan secara langsung zat warna Coomassie Brilliant Blue G250
(CBBG) oleh protein yang mengandung residu asam amino dengan rantai
samping aromatik (Tyrosine, tryptophan, dan phenylalanine) atau bersifat
basa (Arginine, Histidine, dan Leucin). Reagen CBBG bebas berwarna
merah-kecoklatan (lmaks 465 nm), sedangkan dalam suasana asam reagen
CBBG akan berada dalam bentuk anion yang akan mengikat protein
membentuk warna biru (lmaks 595 nm). Jumlah CCBG yang terikat pada
protein proporsional dengan muatan positif yang ditemukan pada protein
(Diah,2010.http://diaht09.student.ipb.ac.id/2010/06/19/penentuan-protein-
dengan-metode-bradford/ diakses pada tanggal 21 September 2017).
Ikan Lele
Ikan lele (Clarias gariepinus) merupakan salah satu komoditas
perikanan yang cukup populer di masyarakat. Ikan ini berasal dari benua
Afrika dan pertama kali didatangkan ke Indonesia pada tahun 1984. Lele
dumbo termasuk ikan yang paling mudah diterima masyarakat karena
berbagai kelebihannya. Kelebihan tersebut diantaranya adalah
pertumbuhannya cepat, memiliki kemampuan beradaptasi terhadap
lingkungan yang tinggi, rasanya enak dan kandungan gizinya cukup tinggi
serta harganya murah. Komposisi gizi ikan lele meliputi kandungan protein
(17,7 %), lemak (4,8 %), mineral (1,2 %), dan air (76 %) (Ubaidillah &
Hersoe Listyorini, 2010).
Keunggulan ikan lele dibandingkan dengan produk hewani lainnya
adalah kaya akan leusin dan lisin. Leusin (C6H13NO2) merupakan asam amino
esensial yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan anak-anak dan menjaga
keseimbangan nitrogen. Leusin juga berguna untuk perombakan dan
pembentukan protein otot. Sedangkan lisin merupakan salah satu dari 9 asam
amino esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan.
Lisin termasuk asam amino yang sangat penting dan dibutuhkan sekali dalam
pertumbuhan dan perkembangan anak (Ubaidillah & Hersoe Listyorini,
2010).

Penentuan kadar protein dengan cara biuret dilakukan berdasarkan


atas pengukuran serapan cahaya oleh ikatan kompleks biru-ungu.
Spektrofotometer dapat digunakan untuk mengukur besarnya energi yang
diabsorbsi. Jika radiasi monokromatik melewati larutan yang mengandung zat
yang dapat menyerap, radiasi ini akan dipantulkan, diabsorbsi oleh zat, dan
sisanya ditransmisikan. Sesuai dengan hukum Lamber-Beer, absorbs sinar
tampak oleh larutan berwarna akan berbanding lurus dengan konsentrasi zat
terlarut yang menimbulkan warna.
= = . .
Keterangan : A = Absorbansi
Io = Intensitas sinar yang dating
It = Intensitas sinar yang diteruskan
a = Daya Serap
b = Tebal Kuvet
c = Konsentras
(Harmita, 2014)
Spektrofotometeri UV-visible

Sejumlah metode telah ditemukan untuk pengukuran kadar protein


berdasarkan spektroskopi UV-visible. Metode ini berdasarkan kemampuan
protein menyerap (atau membaurkan) cahaya di daerah UV-visible. Atau
secara kimiawi atau fisik memodifikasi protein untukmembuatnya menyerap
(atau membaurkan) cahaya di daerah UV-visible. Untuk sampel yang berupa
larutan perlu diperhatikan pelarut yang dipakai antara lain :
• Pelarut yang dipakai tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi
pada struktur molekulnya dan tidak berwarna
• Tidak terjadi interaksi dengan moleku senyawa yang dianalisis
• Kemurniannya harus tinggi atau derajat untuk analisis.
Warna Radiasi Elektromagnetik Yang Diserap Dan Diteruskan Pada Daerah
Visible

Panjang gelombang Warna komplementer


Warna yang diserap
(nm) (warna yang terlihat)
400-435 Ungu Kuning-Hijau
435-480 Biru Kuning
480-490 Hijau-Biru Oranye
490-500 Biru-Hijau Merah
500-560 Hijau Ungu
560-680 Hijau-Kuning Violet
580-595 Kuning Biru
595-610 Oranye Hijau-Biru
610-800 Merah Biru-Hijau
(Day, R.A. dan Underwood, A.L., 2001)
V. Alat Dan Bahan
Alat-alat :
1. Tabung reaksi 10 buah
2. Spektronik-20 1 buah
3. Pipet tetes 5 buah
4. Gelas ukur 1 buah
5. Waterbath 1 buah
6. Labu ukur 1 buah
7. Gelas kimia 1 buah
8. Mortal 1 buah
9. Alu 1 buah
10. Rak Tabung reaksi 1 buah
Bahan-bahan :
1. Reagen biuret 15 mL
2. Aquadest 11 mL
3. Larutan standar protein 6 mL
4. Kacang kedelai 1 gram

VI. Alur Percobaan


1. Persiapan Sampel

1 gram

- dihancurkan dengan mortar


alu

filtrat residu

- disentrifuge dengan kecepatan


3500 rpm selama 10 menit
- didekantasi

sampel
2. Pembuatan Kurva Standar

Larutan induk protein 10 mg/mL

- diencerkan dengan labu ukur 10 mL

1 mL larutan 1 mL larutan 1 mL larutan 1 mL larutan 1 mL larutan


standar protein standar protein standar protein standar protein standar protein
1 mg/mL 2 mg/mL 3 mg/mL 4 mg/mL 5 mg/mL

- dimasukkan 5 mL reagen biuret ke dalam masing –


masing tabung
- dikocok
- diinkubasi pada suhu 37 °C selama 10 menit
- diangkat
- didiamkan pada suhu kamar selama 30 menit

Warna ungu stabil

- diukur absorbansinya dengan spektronik 20 = 540 nm

Absorbansi

3. Penetapan Absorbansi Larutan Blanko


1 mL

- dimasukkan ke dalam tabung reaksi


- ditambah 5 mL reagen biuret
- dikocok
- diinkubasi pada suhu 37 °C selama 10 menit
- didiamkan pada suhu kamar selama 30 menit
- diukur absorbansinya dengan spektronik 20 = 540 nm

Absorbansi
4. Penetapan Absorbansi Larutan Sampel

1 mL sampel

- dimasukkan ke dalam tabung reaksi


- ditambah 5 mL reagen biuret
- dikocok
- diinkubasi pada suhu 37 °C selama 10 menit
- didiamkan pada suhu kamar selama 30 menit
- diukur absorbansinya dengan spektronik 20 = 540 nm

Absorbansi
VIII. Analisis dan Pembahasan
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan kadar protein pada ikan
lele dengan metode biuret. Metode biuret merupakan salah satu cara yang
terbaik untuk menentukan kadar protein dalam suatu larutan. Kelebihan
yang bisa diperoleh dengan menggunakan metode Biuret ini adalah reagen
yang digunakan hanya satu macam dan mudah didapatkan yaitu reagen
biuret, uji biuret mudah dilakukan, dan tidak membutuhkan waktu lama .

Dalam suasana basa, Cu2+ membentuk kompleks dengan ikatan


peptida suatu protein sehingga menghasilkan warna ungu dengan
absorbansi maksimal 540 nm. Prinsipnya adalah pengukuran serapan
cahaya oleh ikatan kompleks berwarna ungu yang terjadi bila protein
bereaksi dengan ion Cu2+ dalam suasana basa. Terjadinya warna ungu
terbentuk dari ikatan antara Cu dan N, unsur N terdapat pada peptida
membentuk kompleks yang terjadi dalam suasana basa. Jika dibuat grafik
nilai kadar dan nilai absorbansi berbanding lurus sehingga persaman kurva
linearnya harus memiliki nilai R (regresi) ± 1. Jadi, apabila kadarnya
meningkat maka absorbansi juga meningkat, karena R merupakan
koefisien relasi yang menunjukkan hubungan antara konsentrasi/kadar
dengan serapan/absorbansi.
Dalam percobaan ini dilakukan beberapa tahap yaitu persiapan
sampel, penentuan standar, penetapan absorbansi larutan blanko dan
penetapan absorbansi sampel.

1. Persiapan Sampel
Percobaan pertama, bertujuan untuk menghasilkan filtrat sampel
ikan lele (kuning kecoklatan) yang akan diuji kadar proteinnya. Langkah
pertama yaitu, sampel ikan lele ditimbang terlebih dahulu sebanyak 1 gram
dengan menggunakan neraca analitik agar massa yang diukur lebih akurat.
Setelah ditimbang, sampel ikan lele dihancurkan sampai halus dengan
mortal dan alu sehingga memudahkan pada proses pemisahan antara residu
dengan filtrat. Kemudian, sampel ikan lele dimasukkan ke dalam tabung
sentrifuge dan kemudian ditambahkan 10 mL aquades (tidak berwarna)
yang bertujuan untuk melarutkan sampel sehingga menjadi larutan putih
keruh. Setelah itu disentrifuge pada 3500 rpm selama 10 menit untuk
pemisahan secara sempurna antara residu dengan filtrat. Lalu diambil
filtratnya dengan cara didekantasi agar tidak tercampur dengan residu yang
dihasilkan.
Larutan sampel yang siap uji berupa filtrat dari ikan lele (larutan
keruh tak berwarna). Sedangkan residu yang dihasilkan berupa endapan
putih.

2. Pembuatan larutan standar


Pada percobaan ini bertujuan untuk membuat larutan standar
protein kemudian membuat kurva standar yang diperoleh dari hubungan
antara konsentrasi larutan dengan absorbansinya. Larutan standar adalah
larutan yang sudah diketahui nilai konsentrasinya,. Langkah pertama
adalah menyiapkan 1 mL larutan induk protein 10 mg/mL . Larutan induk
protein berupa larutan protein albumin yang tidak berwarna. Kemudian
dilakukan pengenceran bertingkat pada larutan induk protein dengan
menggunakan rumus pengenceran :
M1 x V1 = M2 x V2

dengan, M1 = konsentrasi larutan protein M2 = konsentrasi larutan


standar
V1 = volume larutan protein V2 = volume total

Pengenceran pertama dimulai pada konsentrasi yang tinggi yaitu 5


mg/mL, diambil larutan induk protein sebanyak 5 mL menggunakan gelas
ukur agar lebih akurat dan diencerkan dalam labu ukur 10 mL dengan
aquades (tidak berwarna) sampai batas meniskus. Larutan standar protein
5 mg/mL larutan tak berwarna. Pengenceran kedua pada konsentrasi 4
mg/mL, diambil dari larutan standar protein 5 mg/mL sebanyak 8 mL
menggunakan gelas ukur agar lebih akurat dan dan diencerkan dalam labu
ukur 10 mL dengan aquades (tidak berwarna) sampai batas meniskus. .
Larutan standar protein 4 mg/mL larutan tak berwarna. Pengenceran ketiga
pada konsentrasi 3 mg/mL, diambil dari larutan standar protein 4 mg/mL
sebanyak 7,5 mL menggunakan gelas ukur agar lebih akurat dan dan
diencerkan dalam labu ukur 10 mL dengan aquades (tidak berwarna)
sampai batas meniskus. Larutan standar protein 3 mg/mL larutan tak
berwarna. Pengenceran keempat pada konsentrasi 2 mg/mL, diambil dari
larutan standar protein 3 mg/mL sebanyak 6,67 mL menggunakan gelas
ukur agar lebih akurat dan dan diencerkan dalam labu ukur 10 mL dengan
aquades (tidak berwarna) sampai batas meniskus. . Larutan standar protein
2 mg/mL larutan tak berwarna. Pengenceran kelima pada konsentrasi 1
mg/mL, diambil dari larutan standar protein 2 mg/mL sebanyak 5 mL
menggunakan gelas ukur agar lebih akurat dan dan diencerkan dalam labu
ukur 10 mL dengan aquades (tidak berwarna) sampai batas meniskus.
Larutan standar protein 1 mg/mL larutan tak berwarna.
Masing-masing larutan standar yang telah dibuat, diambil 1 mL
dan dimasukkan ke lima tabung reaksi yang telah diberi label sesuai
konsentrasi masing-masing. Kemudian, diambil 5 mL reagen Biuret
dengan gelas ukur agar lebih akurat dan ditambahkan ke lima tabung
reaksi. Larutan standar protein 1 mg/mL + 5 ml reagen Biuret pada tabung
reaksi 1 menghasilkan warna ungu. Larutan standar protein 2 mg/mL + 5
mL reagen Biuret pada tabung reaksi 2 menghasilkan warna ungu (+).
Larutan standar protein 3 mg/mL + 5 mL reagen Biuret pada tabung reaksi
3 menghasilkan warna ungu (+). Larutan standar protein 4 mg/mL + 5 mL
reagen Biuret pada tabung reaksi 4 menghasilkan warna ungu (+ +)
. Larutan standar protein 5 mg/mL + 5 mL reagen Biuret pada tabung
reaksi 5 menghasilkan warna ungu (+ + +). Perubahan warna larutan dari
tidak berwarna menjadi ungu akibat reaksi antara ion Cu2+ dari reagen
Biuret dalam suasana basa berikatan kompleks dengan ikatan peptida dari
suatu protein menghasilkan warna ungu dengan absorbansi maksimal 540
nm. Sesuai dengan persamaan reaksi berikut:
CuSO4.5H2O (aq) + 2NaOH (aq) → Cu(OH)2(aq)+ Na2SO4(aq)+ 5H2O
O R O R

H H
C N C C N C
H H

OH-
2 O H R O H R + Cu2+ 2+
C N C C N C Cu
H H

H
C NHC C NH CH

O R O R

Banyaknya asam amino yang terikat pada ikatan peptida ini


mempengaruhi warna reaksi pada larutan. Hal ini dikarenakan reaksi
biuret merupakan reaksi warna yang umum untuk gugus peptida (-CO-
NH-) dan protein. Reaksi warna bisa terjadi karena ion Cu2+ merupakan
golongan transisi yang orbital d-nya tidak penuh. Sehingga terjadi transisi
elektron pada senyawa kompleks (ligan-ion logam) dari orbital d yang satu
ke orbital d lainnya. Dalam reagen biuret terkandung 3 macam reagen
yaitu reagen yang pertama adalah CuSO4 dimana reagen ini berfungsi
sebagai penyedia ion Cu2+ yang nantinya akan membentuk kompleks
dengan protein. Reagen yang kedua adalah K-Na-Tartrat yang berfungsi
untuk mencegah terjadinya reduksi pada Cu2+ sehingga tidak mengendap.
Reagen yang ketiga adalah NaOH dimana fungsinya adalah membuat
suasana basa. Suasana basa akan membantu pembentukan Cu(OH)2 yang
nantinya akan menjadi Cu2+ dan 2OH-.

Kemudian, ke lima tabung reaksi diinkubasi pada suhu 37oC


selama 10 menit di dalam waterbath. Setelah diinkubasi selama 10 menit
diangkat dan didiamkan 10 menit pada suhu kamar Waktu inkubasi ini
merupakan operating time yaitu waktu yang dibutuhkan agar seluruh
protein berekasi seluruhnya dengan reagen biuret. Dan juga untuk
mempertajam warna dari hasil reaksi protein dengan reagen biuret dan
fungsi yang lebih utama ialah untuk memaksimalkan reaksi antara ion
Cu2+ dengan ikatan peptida dalam protein sehingga senyawa kompleks
berwarna ungu yang terbentuk menjadi stabil.

Hasil setelah proses inkubasi didapatkan warna larutan sebagai


berikut:

1. Tabung 1 : larutan berwarna ungu


2. Tabung 2 : larutan berwarna biru (+)
3. Tabung 3 : larutan berwarna ungu (+)
4. Tabung 4 : larutan berwarna ungu (++)
5. Tabung 5 : larutan berwarna ungu (+++)
Selanjutnya dilakukan pengukuran absorbansi melalui uji
spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 540 nm, hasilnya
sebagai berikut :

Konsentrasi Absorbansi
Larutan

Standar 1 1 0.052

Standar 2 2 0.079

Standar 3 3 0.108

Standar 4 4 0.158

Standar 5 5 0.192

Berdasarkan tabel nilai absorbansi diatas, dapat dilihat bahwa


semakin besar konsentrasi atau semakin pekat warna dari larutan protein
standar maka nilai absorbansinya semakin besar, yang ditunjukkan dengan
absorbansi tertinggi dimiliki oleh larutan standar protein dengan
konsentrasi 5 mg/mL. Hal ini karena, larutan dengan warna pekat memiliki
banyak molekul yang akan berinteraksi dengan cahaya pada alat
spektrofotometer sehingga jumlah cahaya yang diserap oleh larutan
berkonsentrasi tinggi akan semakin banyak dandiperoleh absorbansi yang
sangat tinggi dibandingkan larutan yang encer (konsentrasi yang rendah).
0.25

0.2 y = 0.0359x + 0.0101


R² = 0.9874

Absorbansi
0.15

0.1

0.05

0
1 2 3 4 5
konsentrasi

Grafik Larutan Standar Protein

Dari kurva linear di atas, didapatkan persamaan garis lurus untuk


penentuan konsentrasi sampel dari protein yaitu :

y = 0,035x + 0,010 dan R2 = 0,987

Nilai ini sudah baik karena nilai R2 yang baik adalah nilai yang
mendekati angka 1. Hasil sampel dalam percobaan kami juga
menunjukkan nilai yang signifikan. Pada grafik menunjukkan bahwa
absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi larutan standarprotein.
Semakin tinggi konsentrasi larutan standar protein maka semakin tinggi
pula nilai abosorbansinya.

3. Penetapan absorbansi larutan blanko


Pada percobaan ketiga, bertujuan untuk mengetahui nilai absorbansi
larutan blanko. Larutan blanko digunakan sebagai pembanding dalam
percobaan. Langkah pertama, 1 mL aquades (tidak berwarna) dimasukkan
ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 5 mL reagen biuret. Sesuai
dengan reaksi berikut :
CuSO4.5H2O (aq) + 2NaOH (aq) → Cu(OH)2(aq)+ Na2SO4(aq)+ 5H2O
O R O R
H H
C N C C N C
H H

O R O R -
2 H H + Cu 2+ OH
C N C C N C 2+
Cu
H H

H
C NH C C NH CH

O R O R

Reagen biuret berwarna biru muda, ketika diuji pada larutan blanko
menghasilkan larutan berwarna biru muda yang membuktikan bahwa
larutan blanko tidak mengandung protein sehingga ion Cu2+ pada
reagenbiuret tidak bisa membentuk kompleks dengan ikatan peptida suatu
protein yang menghasilkan warna ungu.

Kemudian, diinkubasi pada suhu 37oC selama 10 menit didalam


waterbath. Setelah diinkubasi selama 10 menit diangkat dan didiamkan 10
menit pada suhu kamar. Hasil setelah proses inkubasi tetap sama seperti
penambahan reagen biuret yaitu berwarna biru muda sehingga
menandakan bahwa larutan blanko tidak mengandung protein. Waktu
inkubasi ini merupakan operating time yaitu waktu yang dibutuhkan agar
seluruh protein berekasi seluruhnya dengan reagen biuret. Dan juga untuk
mempertajam warna dari hasil reaksi protein dengan reagen biuret dan
fungsi yang lebih utama ialah untuk memaksimalkan reaksi antara ion
Cu2+ dengan ikatan peptida dalam protein sehingga senyawa kompleks
berwarna ungu yang terbentuk menjadi stabil.
Selanjutnya, larutan blanko dilakukan pengukuran absorbansi
melalui uji spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 540 nm.
Karena warna yang dihasilkan adalah warna biru muda, maka nilai
absorbansi yang dihasilkan dari pengujian spektrofotometri UV-Vis
sebesar 0 yang menandakan bahwa larutan blanko tidak mengandung
protein.

4. Penetapan Absorbansi Larutan Sampel Protein (Ikan Lele)


Pada percobaan keempat, bertujuan untuk menentukan kadar protein
dari sampel ikan lele. Langkah pertama, 1 mL sampel protein (kuning
kecoklatan) hasil dari persiapan sampel berupa filtrat pada percobaan 1
dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 5 mL reagen
biuret (biru muda) dan dikocok hingga homogen menghasilkan warna
ungu (+). Perubahan warna larutan dari tidak berwarna menjadi ungu
akibat reaksi antara ion Cu2+ dari reagen Biuret dalam suasana basa
berikatan kompleks dengan ikatan peptida dari suatu protein menghasilkan
warna ungu dengan absorbansi maksimal 540 nm. Sesuai dengan
persamaan reaksi berikut:
CuSO4.5H2O (aq) + 2NaOH (aq) → Cu(OH)2(aq)+ Na2SO4(aq)+ 5H2O

O R O R
H H
C N C C N C
H H

O R O R
2+ OH
-

2 H H + Cu
C N C C N C 2+
Cu
H H

H
C NH C C NH CH

O R O R

Kemudian, diinkubasi pada suhu 37oC selama 10 menit di dalam


waterbath. Setelah diinkubasi selama 10 menit diangkat dan didiamkan 10
menit pada suhu kamar. Waktu inkubasi ini merupakan operating time
yaitu waktu yang dibutuhkan agar seluruh protein berekasi seluruhnya
dengan reagen biuret. Dan juga untuk mempertajam warna dari hasil
reaksi protein dengan reagen biuret dan fungsi yang lebih utama ialah
untuk memaksimalkan reaksi antara ion Cu2+ dengan ikatan peptida dalam
protein sehingga senyawa kompleks berwarna ungu yang terbentuk
menjadi stabil.
Selanjutnya dilakukan pengukuran absorbansi melalui uji
spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 540 nm diperoleh nilai
absorbansinya sebesar 0,127.
Kadar protein dalam sampel ikan lele
Dari kurva larutan standar protein didapatkan persamaan kurva standarnya yaitu = 0,035 + 0,010

Persamaan ini yang akan kita gunakan untuk menghitung kadar


protein dalam larutan sampel, dengan perhitungan :
= 0,035 + 0,010

Dimana y = absorbansi sampel


x = kadar protein dalam sampel
Sehingga,
= 0,035 + 0,010
0,127 = 0,035 + 0,010
0,035 = 0,127 − 0,010
=
0,117
0,035
= 3,3429

Penentuan % kadar Protein sampel ikan lele

= × 100%

= 3,3429 ⁄ × 100%

1000 ⁄10

= 3,3429 %

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan diperoleh kadar protein


ikan lele sebesar 3,349 % per 1 gram. Ubadillah & Hersoe Listyorini,
menyatakan bahwa kandungan protein dalam ikan lele sebesar 15,74 g/100
gram atau 15,74 % dalam 100 gram . jika kadar secara teori diubah dalam
satuan per 1 gram menjadi 0,1574 gram. Sedangkan menurut hasil
percobaan, didapatkan kadar protein sebesar 0,03349 g/1 g. Jika
dibandingkan kadar secara teori dengan hasil percobaan terdapat
perbedaan. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh persiapan sampel
yang seharusnya ditumbuk sampai halus tetapi masih ada yang belum
halus, sehingga pada saat dilarutkan dalam air ada beberapa daging ikan
lele yang belum tercampur rata yang menyebabkan protein yang larut
dalam air sedikit melihat sampel yang dihasilkan berwarna keruh tak
berwarna.
Selanjutnya, kurang ketelitian dalam mengencerkan dan mereaksikan
sampel dalam pembuatan standar, sehingga menghasilkan larutan yang
terlalu pekat atau sedikit encer yang berpengaruh terhadap persen kadar
sampel. Selain itu metode biuret yang digunakan dalam percobaan juga
memiliki kelemahan dalam penentuan kadar suatu protein. Dalam larutan
basa, Cu2+ membentuk kompleks dengan ikatan peptida suatu protein
sehingga menghasilkan warna ungu dengan absorbansi maksimal 540 nm.
Kelemahan metode pengukuran dengan menggunakan metode Biuret:
1. Memerlukan bahan yang cukup karena sensitivitasnya yang rendah
2. Protein yang terukur pada metode biuret adalah protein yang larut air
(protein terlarut)
3. Kurang sensitif dibandingkan lowry
4. Penyerapan warna dapat dipengaruhi oleh pigmen bila ada
5. Terjadi variasi warna pada jenis protein yang berbeda
Oleh karena itu, kadar protein dalam daging ikan lele dari hasil
percobaan berbeda dengan kadar protein secara teori.
IX. Kesimpulan

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan


bahwa :
• Penentuan kadar protein secara biuret, didasarkan pada pengukuran
serapan cahaya oleh ikatan kompleks antara ion Cu2+ dengan ikatan
peptida dari protein yang menghasilkan warna ungu.
• Semakin tinggi konsentrasi larutan protein semakin banyak ikatan peptida
dalam larutan maka pembentukan kompleks semakin banyak, ini dapat
dilihat dari warna ungu yang semakin pekat. Sehingga nilai absorbansi
semakin tinggi pada pengukuran nilai absorbansi larutan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis. Sehinggga persamaan garis singgung yang
dihasilkan dari larutan standar adalah = 0,035 + 0,010 dan R2 = 0,9874.
• Penetapan absorbansi pada larutan blanko dengan metode biuret
menunjukkan hasil negatif. Hal ini dikarenakan warna yang dihasilkan
adalah warna biru muda, maka nilai absorbansi yang dihasilkan dari
pengujian spektrofotometri UV-Vis sebesar 0 yang menandakan bahwa
larutan blanko tidak mengandung protein.
• Pada penentuan kadar protein ikan lele didapatkan kadarnya sebesar
3,3429 % per 1 gram.

X. Daftar Pustaka
Adams, A., & Ray., C. 1988. Catering technology, 1th ed.London:B.
T. Batsford Ltd
Bintang, M. 2010. Biokimia Teknik Penelitian. Jakarta: Erlangga

Diah. 2010. Penentuan Protein dengan Metode Barfoed. (online)


http://diaht09.student.ipb.ac.id/2010/06/19/penentuan-protein-dengan-
metode-bradford/ diakses pada tanggal 21 September 2017
Gultom, T. 2001. Individual Textbook Biokima . Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta

Harmita. 2009. Analaisis Fisikokimia (Potensiometri dan Spektroskopi).


Jakarta : Kedokteran EGC

Hidajati, N., & dkk. 2017. Buku Petunjuk Praktikum Kimia Organik
Surabaya. Surabaya: Jurusan Kimia Unesa.

Lehninger, A. L. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Maligan, J. M. 2004. FOOD CHEMISTRY PROTEIN ANALYSIS. Malang:


Laboratoium Nutrisi Pangan dan Hasil Pertanian Progam Study Ilmu
dan Teknologi Pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian FTB-UB

Rohman, A., & Sumantri. 2007. Analisis Makanan. Yogyakarta : Gadja


Mada Universiy Press

Sediaoetama, A., D. 1976.Ilmu gizi dan ilmu diet di daerahtropik.1th ed.


Jakarta: PN Balai Pustaka

Sudarmadji, S., & dkk. 1981. Analisan Bahan Makanan dan Pertanian.
Cetakak ke-3 . Yogyakarta: Pusat Antar Universitas, Universitas
Gadja Mada

Tim Dosen Biokimia. 2017. Petunjuk Praktikum Biokimia. Surabaya:


Jurusan Kimia Unesa

Ubaidillah & Hersoe Listyorini. 2010. Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No.
02 Tahun 2010. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama

Underwood. A.L & R.A.Day,JR.1999. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi


Keenam. Jakarta, Erlangga
XI. Jawaban Pertanyaan
1. Buatlah kurva standar konsentrasi vs absorbansi. Dengan bantuan kurva
standar tersebut tentukan kadar protein sampel!
Jawab:
Tabel data larutan standar protein dan absorbansi

Konsentrasi Absorbansi
Larutan

Standar 1 1 0.052

Standar 2 2 0.079

Standar 3 3 0.108

Standar 4 4 0.158

Standar 5 5 0.192

Dari hasil data yang diperoleh, akan didapatkan suatu kurva standar
protein sebagai berikut:
0.25

0.2 y = 0.0359x + 0.0101


R² = 0.9874
Absorbansi

0.15

0.1

0.05

0
1 2 3 4 5
konsentrasi

Grafik Larutan Standar Protein


Dari kurva linear di atas, didapatkan persamaan garis lurus untuk
penentuan konsentrasi sampel dari protein yaitu :

y = 0,035x + 0,010 dan R2 = 0,987

Dimana y = absorbansi sampel


x = konsentrasi sampel
Sehingga,
= 0,035 + 0,010
0,127 = 0,035 + 0,010
0,035 = 0,127 − 0,010
=
0,117
0,035
= 3,3429

Penentuan % kadar Protein sampel kacang kedelai


Diketahui : Diketahui : = 3,3429

Ditanya : Kadar protein = .....?


Jawab:

= × 100%
3,3429 ⁄
= × 100%

1000 ⁄10

= 3,3429 %

2. Apakah peptida akan memberikan reaksi positif terhadap pereaksi Biuret?


Jika benar demikian, bagaimana menentukan kadar protein yang tercampur
dengan peptida?
Jawab:
Iya, pereaksi biuret memberikan reaksi positif terhadap ikatan peptida.
Metode biuret merupakan salah satu cara yang terbaik untuk menentukan

kadar protein dalam suatu larutan. Dalam larutan basa, Cu2+ membentuk
kompleks dengan ikatan peptida suatu protein sehingga menghasilkan
warna ungu dengan absorbansi maksimal 540 nm. Absorbansi ini
berbanding lurus dengan konsentrasi protein dan tidak tergantung jenis
protein karena seluruh protein pada dasarnya mempunyai jumlah ikatan
peptide yang sama per satuan berat. Hal-hal yang dapat mengganggu
reaksi ini adalah adanya urea (mengandung gugus -CO,-NH-) dan gula
pereduksi yang bereaksi dengan Cu2+.
Untuk menentukan kadar protein yang tercampur dengan peptida
adalah membuat kurva kalibrasi larutan standar beserta blanko, kemudian
sampel direaksikan dengan biuret dan akan menghasilkan senyawa
kompleks warna ungu, diinkubasi pada suhu 37oC selama 10 menit,
setelah itu mengukur absorbansi pada spektronik. Selanjutnya
menentukan kadar/konsentrasi protein dengan membandingkan kurva
standar yang telah dibuat sebelumnya. Melalui kurva standar protein akan
diperoleh persaman garis lurus y = ax + b. Melalui perhitungan tersebut
nilai x dapat dihitung sebagai konsentrasi sampel. Setelah itu dapat
ditentukan % kadar protein dengan menggunakan rumus
= × 100%
LAMPIRAN PERHITUNGAN

1. Larutan Protein 5 mg/mL dari larutan protrin 10 mg/mL


1.1= 2.2

10 ⁄ .1=5 ⁄ .10 1 = 5

2. Larutan Protein 4 mg/mL dari larutan protrin 10 mg/mL


1.1= 2.2

5 ⁄ .1=4 ⁄ .10 1 = 8

3. Larutan Protein 3 mg/mL dari larutan protrin 10 mg/mL


1.1= 2.2
4 ⁄ .1=3 ⁄ .10 1= 7,5

4. Larutan Protein 2 mg/mL dari larutan protrin 10 mg/mL


1.1= 2.2

3 ⁄ .1=2 ⁄ .10 1 = 6,67

5. Larutan Protein 1 mg/mL dari larutan protrin 10 mg/mL


1.1= 2.2

2 ⁄ .1=1 ⁄ .10 1 = 5

• Perhitungan Konsentrasi
Sampel Diketahui :
= 0,127
= 0,035 + 0,010 (dari grafik)

Ditanya: Konsentrasi sampel = .....?


Jawab:
= 0,035 + 0,010
0,127 = 0,035 + 0,010
0,035 = 0,127 − 0,010
=
0,117
0,035
= 3,3429

• Perhitungan Kadar Protein


Diketahui : = 3,3429

Ditanya : Kadar protein = .....?


Jawab:

= × 100%
3,3429 ⁄
= 3,3429 %
LAMPIRAN GRAFIK

Konsentrasi Absorbansi
1 0.052
2 0.079
3 0.108
4 0.158
5 0.192

0.25

0.2 y = 0.0359x + 0.0101


R² = 0.9874

0.15
Absorbansi

0.1

0.05

0
1 2 3 4 5
konsentrasi

Grafik Larutan Standar Protein


LAMPIRAN FOTO

No Gambar Keterangan

1. Bahan yang digunakan pada saat


praktikum (alu, mortar, tabung
reaksi, kaca arloji, pipet volum, gelas
kimia, labu ukur, gelas ukur, rak
tabung reaksi, corong, dan tabung
sentrifuge).

2. Daging ikan lele yang akan di


timbang.

3. Botol timbang di timbang terlebih


dahulu setelah itu daging ikan lele di
timbang seberat 1,0379 gram.
4. Daging ikan lele dihaluskan
menggunakan mortal alu sampai
menjadi daging lele yang halus.

5. Daging lele yang sudah halus,


dimasukkan ke dalam tabung
sentrifuge dan di tambah 10 mL
akuades.

6.
Disentrifuge untuk mendapatkan
filtratnya.
7. Hasil dari sentrifuge yang akan di
ambil filtratnya untuk di uji.

8. Proses pengenceran untuk larutan


standar
9. Larutan standar yang telah di
encerkan ditambahkan dengan reagen
biuret.

10. Sampel dimasukkan ke dalam tabung


reaksi
11. Sampel ditambah dengan dengan
reagen biuret yang menghasilkan
warna biru.
12. Larutan blanko ditambahkan dengan
reagen biuret menghasilkan warna
biru.

13.
Setelah ditambahkan reagen biuret
larutan yang awalnya biru, setelah di
kocok menghasilkan warna ungu.
14. Seluruh tabung reaksi (blanko,
sampel, standar) diinkubasi pada
suhu 37˚C.

15. Seluruh larutan pada masing-masing


tabung reaksi di uji dengan alat
spektronik-20 dengan panjang
gelombang 560.

Anda mungkin juga menyukai