I. PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
1. Membuat kurva standar protein dengan metode Bradford dan Lowry.
2. Menentukan kadar protein dalam sampel susu dengan metode Bradford dan
Lowry.
1.2 Latar Belakang
Protein adalah makromolekul polipeptida yang tersusun dari sejumlah L-asam amino
yang dihubungkan oleh ikatan peptida. Suatu molekul protein disusun oleh sejumlah
asam amino dengan susunan tertentu dan bersifat turunan. Asam amino terdiri atas
unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen. Unsur nitrogen adalah unsur
utama protein sebanyak 16% dari berat protein. Molekul protein juga mengandung
fosfor, belerang, dan ada jenis protein yang mengandung unsur logam seperti
tembaga dan besi1. Menurut Warsito (1997), secara umum protein mempunyai fungsi
sebagai zat pembangun, yaitu sebagai bahan pembentuk jaringan-jaringan baru dan
pemeliharaan jaringan untuk regenerasi kulit dan sel darah merah serta
pertumbuhan rambut dan kuku. Protein sebagai zat pengatur, yaitu zat pengatur
yang dihasilkan enzim dan hormon yang mengatur proses pencernaan makanan
sebagai pembentuk antibodi atau kekebalan tubuh. Protein sebagai zat tenaga,
apabila energi yang diperoleh dari konsumsi karbohidrat dan lemak tidak mencukupi
kebutuhan tubuh maka protein akan dibakar menghasilkan energi2. Struktur asam
amino bisa dilihat pada Gambar 1.1.
R1 O R2 O R1 H R2
O
+
H3N C C + +
H3N C C +
H3N C C N C COO-
H O- O-
H H H
Gambar 1.1 Struktur Asam Amino
Ditinjau dari strukturnya protein dapat dibagi dalam dua golongan besar, yaitu
golongan protein sederhana dan protein gabungan. Yang dimaksud dengan protein
sederhana adalah protein yang hanya terdiri atas molekul-molekul asam amino,
sedangkan protein gabungan ialah protein yang terdiri atas protein dan gugus bukan
protein. Gugus ini disebut gugus prostetik dan terdiri atas karbohidrat, lipid atau
asam nukleat3. Protein sederhana dapat dibagi dalam dua bagian menurut bentuk
molekulnya, yaitu protein fiber dan protein globular. Protein fiber mempunyai bentuk
molekul panjang seperti serat atau serabut, sedangkan protein globular berbentuk
bulat4.
Setiap protein mempunyai struktur tiga dimensi yang unik, yang ditentukan oleh
urutan asam amino penyusunnya. Struktur protein sederhana merupakan molekul
berantai panjang penggabungan ratusan atau ribuan dari 21 jenis asam amino.
Penggabungan ini terjadi melalui ikatan peptida antara gugus karboksil dan gugus
amino. Ada empat tingkat struktur dasar protein yaitu struktur primer, sekunder,
tersier dan kuartener5. Struktur primer menunjukkan jumlah, jenis dan urutan asam
amino dalam molekul protein. Oleh karena ikatan antar asam amino adalah ikatan
peptida, maka struktur primer protein juga menunjukkan ikatan peptida yang
urutannya diketahui. Struktur tersier menunjukkan kecenderungan polipeptida
membentuk lipatan atau gulungan, dan dengan demikian membentuk struktur yang
lebih kompleks. Struktur ini dimantapkan oleh adanya bebrapa ikatan antar gugus R
pada molekul asam amino yang membentuk protein. Beberapa jenis ikatan tersebut
misalnya ikatan elektrostatik, ikatan hidrogen, interaksi hidrofob antara rantai
samping non polar, interaksi dipol-dipol dan ikatan sulfida yaitu suatu ikatan kovalen.
Struktur kuartener menunjukkan derajat persekutuan unit-unit protein. Sebagian
besar protein globular terdiri atas beberapa rantai polipeptida yang terpisah. Rantai
polipeptida ini saling berinteraksi membentuk persekutuan5.
Berdasarkan ikatan-ikatan yang terjadi pada protein, bisa disimpulkan bahwa
struktur protein merupakan struktur yang kompleks. Struktur protein terdiri atas
beberapa macam struktur diantaranya adalah struktur primer, merupakan ikatan-
ikatan peptida dari asam amino-asam amino pembentuk protein tersebut.
Selanjutnya yaitu struktur sekunder yang terbentuk dari ikatan hidrogen yang terjadi
antara gugus-gugus amina dengan atom hidrogen pada rantai samping asam amino,
sehingga membentuk lipatan-lipatan, misalnya membentuk α-heliks. Struktur tersier,
adalah interaksi struktur sekunder yang satu dengan struktur sekunder yang lain
melalui ikatan hidrogen, ikatan ion, atau ikatan disulfida (-S-S), misalnya terbentuk
rantai dobell-heliks. Struktur kuartener, yaitu struktur yang melibatkan beberapa
peptida sehingga membentuk suatu protein.Pada peristiwa ini, kadang-kadang
terselip molekul atau ion lain yang bukan merupakan asam amino, misalnya pada
hemoglobin, yang pada proteinnya terselip ion Fe3+ 4.
Beberapa metode yang digunakan untuk menentukan kadar protein diantaranya
adalah yang pertama metode Kjeldahl. Penentuan jumlah protein secara empiris
yang umum dilakukan adalah dengan menentukan jumlah nitrogen (N) yang
dikandung oleh suatu bahan. Dalam penentuan protein, seharusnya hanya nitrogen
yang berasal dari protein saja yang ditentukan. Akan tetapi hal tersebut sulit
dilakukan karena kandungan senyawa lain memiliki jumlah yang cenderung sedikit.
Penentuan jumlah N total ini dikatakan sebagai representasi jumlah protein yang
akan dicari. Kadar protein hasil dari analisis kadar protein metode Kjeldahl ini dengan
demikian sering disebut sebagai kadar protein kasar (crude protein).Analisa protein
cara Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga tahapan yaitu tahap destruksi,
tahap destilasi dan tahap titrasi5.
Metoda kedua adalah metode Lowry. Protein dengan asam fosfotungstat-
fosfomolibdat pada suasana alkalis akan memberikan warna biru yang intensitasnya
bergantung pada konsentrasi protein yang ditera. Konsentrasi protein diukur
berdasarkan optical density (OD) pada panjang gelombang 600 nm (OD terpilih).
Untuk mengetahui banyaknya protein dalam larutan, lebih dahulu dibuat kurva
standar yang melukiskan hubungan antara konsentrasi dengan OD. Biasanya
digunakan protein standar Bovine Serum Albumin (BSA) atau Albumin Serum Darah
Sapi. Larutan Lowry ada dua macam yaitu larutan A yang terdiri dari fosfotungstat-
fosfomolibdat (1:1); dan larutan Lowry B yang terdisi dari Na-karbonat 2% dalam
NaOH 0,1 N, kupri sulfat dan Na-K-tartrat 2%6.
Reagen Lowry membentuk kompleks protein dengan mengubah Cu2+ menjadi
Cu+ dengan melepaskan OH radikal dari asam amino yang diikatnya. Pada metoda
Lowry ini, hanya asam amino yang radikal saja yang bisa diikat membentuk
kompleks. Contoh asam amino yang radikal bisa dilihat pada Gambar 1.2.
H H O
H O
O
+
+
+
H3N C C H3N C C
H3N C C
O- CH2 O-
O - CH2
CH2
SH
NH
OH
Metode ketiga adalah metode biuret. Larutan protein dibuat alkalis dengan NaOH
kemudian ditambahkan larutan CuSO4 encer. Uji ini untuk menunjukkan adanya
senyawa-senyawa yang mengandung gugus amida asam (-CONH2) yang berada
bersama gugus amida asam yang lain atau gugus yang lain seperti – CSNH2; –
C(NH)NH2; – CH2NH2; – CRHNH2; – CHOHCH2NH2 – CHOHCH2NH2 –
CHNH2CH2OH; – CHNH2CHOH. Uji biuret tidak hanya untuk protein tetapi zat lain
seperti biuret atau malonamida juga memberikan reaksi positif yaitu ditandai dengan
timbulnya warna merah-violet atau biru-violet.Intensitas warna tergantung pada
konsentrasi protein yang ditera. Penentuan protein cara biuret adalah dengan
mengukur OD pada panjang gelombang 560-580 nm. Agar dapat dihitung banyaknya
protein dalam bahan maka perlu lebih dahulu dibuat kurva standar yang melukiskan
hubungan antara konsentrasi protein dengan OD pada panjang gelombang terpilih.
Dibandingkan dengan cara Kjeldahl maka biuret lebih baik karena hanya protein atau
senyawa peptida yang bereaksi dengan biuret, kecuali urea 6.
Metode keempat yaitu metode spektrofotometer UV / Bradford. Reagen yang
digunakan pada metode ini yaitu reagen bradford. Kebanyakan protein
mengabsorbsi sinar ultraviolet maksimum pada 280 nm. Hal ini tertutama oleh
adanya asam amino tirosin, triptophan dan fenilalanin yang ada pada protein
tersebut. Pengukuran protein berdasarkan absorbsi sinar UV adalah cepat, mudah
dan tidak merusak bahan. Untuk keperluan perhitungan juga diperlukan kurva
standar yang melukiskan hubungan antara konsentrasi protein dengan OD. Dalam
metoda reagen bradford terdapat Coomassie Brilliant Blue G-250 (CBBG), ethanol
dan asam fosfor 85%6.
N+
SO
3H SO3-
NH O
C NH2+ NH3+
NH2 Tirosin
Arginin
N+
SO3H SO3-
Protein + Kompleks Biru
N
NH O
CBB G-250
Gambar 1.6 Mekanisme pembentukan warna pada metoda Bradford
Metode kelima adalah metode turbidimetri atau Kekeruhan. Kekeruhan akan
terbentuk dalam larutan yang mengandung protein apabila ditambahkan bahan
pengendap protein misalnya Tri Chloro Acetic Acid (TCA), asam sulfosalisilat.
Tingkat kekeruhan diukur dengan alat turbidimeter. Tabel atau kurva juga harus
dibuat terlebih dahulu untuk menunjukkan hubungan antara kekeruhan dengan kadar
protein (dapat ditentukan dengan cara Kjeldahl). Cara ini hanya dapat dipakai untuk
bahan protein yang berupa larutan dan hasilnya biasanya kurang tepat 6.
Metode keenam adalah metode pengecatan. Menggunakan beberapa bahan
pewarna misalnya Orange G, Orange 12 dan Amido Black dapat membentuk
senyawaan berwarna dengan protein dan menjadi tidak larut. Dengan mengukur sisa
bahan pewarna yang tidak bereaksi dalam larutan (dengan colorimeter), maka
jumlah protein dapat ditentukan dengan cepat. Tentunya tabel atau kurva standar
perlu dibuat terlebih dahulu untuk keperluan ini6.
Metode ketujuh yaitu metode Titrasi formol. Pada metode ini larutan dinetralkan
dengan basa (NaOH), kemudian ditambahkan formalin akan membentuk dimethilol.
Dengan terbentuknya dimethilol ini berarti gugus aminonya sudah terikat dan tidak
akan mempengaruhi reaksi antara asam (gugus karboksi) dengan basa NaOH
sehingga akhir titrasi dapat diakhiri dengan tepat. Indikator yang digunakan adalah
PP, akhir titrasi bila tepat terjadi perubahan warna menjadi merah muda yang tidak
hilang dalam 30 detik. Titrasi formol ini hanya tepat untuk menentukan suatu proses
terjadinya pemecahan protein dan kurang tepat untuk penetuan protein 7.
Pada percobaan ini dilakukan metoda Bradford dan Lowry, berdasarkan
penelitian sebelumnya metoda Bradford lebih baik digunakan daripada metoda lowry.
Rentang konsentrasi metode Bradford 0 µg/mL - 2000 µg/mL dan metoda lowry : 20
µg/mL – 200 µg/mL. Dalam segi gangguan yang ditimbulkan metoda Bradford lebih
stabil terhadap keberadaan pengotor berupa amonium sulfat dan SDS dan juga nilai
linearitas yang baik7.
Gangguan yang bisa tejadi pada pengukuran dengan metoda bradford yaitu
kesalahan pengenceran, kondisi dasar dan SDS dapat mengganggu kemampuan
pewarna untuk mengikat protein, ada protein yang tidak bereaksi dengan pewarna,
meninggalkan noda pada tabung reaksi dan gangguan dari zat lain didalam sampel.
Untuk metoda lowry bisa terjadi gangguan pada pengenceran dan pengarug
detergen7.
II. METODE PRAKTIKUM
2.1 Alat dan Bahan
2.1.1 Alat dan Fungsi
No Alat Fungsi
1. Spektrofotometer UV-Vis untuk mengukur absorban masing-masing
(Genesys 20) larutan
2. Pipet tetes (Pyrex) untuk memipet larutan
3. Labu ukur 50 mL (Iwaki) untuk wadah pengenceran larutan
4. Gelas ukur 250 mL (Iwaki) untuk mengukur volume larutan
5. Tabung reaksi (Iwaki) untuk wadah larutan
6. Pipet takar 1 mL (Pyrex) untuk mengambil larutan dengan volume
tertentu
7. Kuvet untuk wadah larutan saat pengukuran
8. Rak tabung reaksi untuk tempat tabung reaksi
Konsentrasi 1 2 3 4 Rata-Rata SD
Klp 1 Klp 2 Klp 5 Klp 6 (±error)
Berdasarkan tabel hasil pengukuran absorban diatas didapatkan data sesuai dengan
teori, semakin tinggi konsentrasi semakin besar pula nilai absorban kecuali pada
data kelompok 5. Kesalahan ini terjadi pada kelompok 5 karena kesalahan pada saat
pengenceran atau adanya gelembung pada kuvet yang mengganggu proses
pengukuran di spektrofotometer.
Berdasarkan data yang didapatkan, rata-rata dan nilai standar deviasi seperti
pada tabel 4.1. Berdasarkan nilai standar deviasi, dapat disimpulkan dengan 4x
pengulangan kesalahan terjadi cukup kecil dengan nilai standar deviasinya
mendekati nol. Grafik standar deviasi dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Berdasarkan data hasil absorban pada tabel 1 didapatkan kurva regresi dan
persamaan regresi pada Gambar 3.2. Berdasarkan persamaan regresi didapatkan
nilai regresi yang mendekati 1 yaitu data dari kelompok 2 sebesar 0,8446.
Keterangan :
y1 = kelompok 1
y2 = kelompok 2
y3 = kelompok 5
y4 = kelompok 6
Berdasarkan data terbaik kelompok 2 dengan persamaan regresi y2, dan dapat
dilihat pada lampiran 3, didapatkan konsentrasi protein yang didapatkan sebesar
65,54 untuk 20x pengenceran, 25 untuk 150x pengenceran dan 34,81 untuk 200x
pengenceran denga menggunakan sampel susu kedelai. Tetapi data yang
didapatkan, pada pengenceran 200x, konsentrasi protein semakin besar, seharusnya
semakin kecil. Kesalahan bisa terjadi karena kesalahan dalam pengenceran dan
adanya gelembung yang mengganggu proses pengukuran pada spektrofotometer.
Selanjutnya uji dengan metode Lowry, setelah diencerkan larutan ditambahkan
reagen Lowry A,B dan C, pada setiap penambahan reagen larutan dikocok dan
dilakukan inkubasi. Penambahan reagen menyebabkan terjadinya perubahan warna
pada larutan menjadi warna kuning kehijauan, semakin besar konsentrasi larutan
maka warna yang didapat juga akan semakin pekat. Data Nilai Absorban dengan 5x
pengulangan menggunakan Metoda Lowry dapat dilihat ditabel 3.2.
Tabel 3.2. Data Nilai Absorban menggunakan Metoda Lowry
Konsentrasi 1 2 3 4 5 Rata- SD
Klp 1 Klp 3 Klp 4 Klp 5 Klp 6 rata (±error)
Susu 50x=
kedelai 0,242
100x=
0,233
Berdasarkan tabel hasil pengukuran absorban diatas didapatkan data sesuai dengan
teori, semakin tinggi konsentrasi semakin besar pula nilai absorban kecuali pada
data kelompok 1 dan kelompok 5. Kesalahan ini terjadi pada karena kesalahan pada
saat pengenceran atau adanya gelembung pada kuvet yang mengganggu proses
pengukuran di spektrofotometer.
Berdasarkan data yang didapatkan, rata-rata dan nilai standar deviasi seperti
pada tabel 4.2. Berdasarkan nilai standar deviasi, dapat disimpulkan dengan 5x
pengulangan kesalahan terjadi cukup kecil dengan nilai standar deviasinya
mendekati nol. Grafik standar deviasi dapat dilihat pada gambar 3.3.
Berdasarkan data hasil absorban pada tabel 4.2 didapatkan kurva regresi dan
persamaan regresi pada Gambar 3.4. Berdasarkan persamaan regresi yang dapat
dilihat pada lampiran 3, didapatkan nilai regresi yang mendekati 1 yaitu data dari
kelompok 3 sebesar 0,9924. Berdasarkan hasil pengukuran di atas didapatkan grafik
sebagai berikut.
Keterangan :
y1 = kelompok 1
y2 = kelompok 3
y3 = kelompok 4
y4 = kelompok 5
y5 = kelompok 6
Gambar 3.4 Kurva regresi data pengukuran absorban metoda Lowry
Berdasarkan hasil diatas dapat dilihat data yang terbaik yaitu kelompok 3 dengan
nilai R paling besar. Berdasarkan persamaan, didapatkan konsentrasi protein
sebesar 27,23 untuk 100x pengenceran dan 19,33 untuk 150x pengenceran sesuai
dengan teori semakin kecil konsentrasi semakin pula nilai absorban.
Berdasarkan data terbaik kelompok 3 dengan persamaan regresi y3, didapatkan
konsentrasi protein yang didapatkan sebesar 27,23 untuk 100x pengenceran, 19,33
untuk 150x pengenceran.
IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan didapatkan kesimpulan sebagai berikut.
1. Prinsip pengukuran pada metode Lowry dan Bradford menggunakan prinsip
spektrofotometer berdasarkan hukum Lambert-Beer.
2. Didapatkan kurva kalibrasi standar dengan data terbaik untuk metoda Bradford
dari kelompok 2 dan untuk Lowry kelompok 3.
4.2 Saran
Berdasarkan hasil percobaan didapatkan saran sebagai berikut.
1. Larutan bergelembung di dalam kuvet harus dihilangkan terlebih dahulu.
2. Konsisten menjaga suhu saat pemanasan pada metode Lowry.
3. Memaksimalkan jumlah reagen yang tersedia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Winarno F.G. 2004. Kimia Pangan Dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
2. Warsito, Agus. 1997. Biokimia. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
3. H, Rivai. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia. Jakarta: UI Press.
4. H. Santoso. 2008. Protein dan Enzim.
5. Anna Poedjiadi dan F.M. Titin Supriyanti, op. cit.
6. Abdul Hamid A. Toha. 2005. Biokimia: Metabolisme Biomolekul. Bandung
Alfabeta
7. Purwanto, Maria Goretti M. 2014. Perbandingan analisa kadar protein terlarut
dengan berbagai metode spektroskopi. Universitas Surabaya.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Skema Kerja praktikum
a. Pembuatan kurva standar BSA
Sampel
Metode
Perbandingan Metode Bradford Metode Lowry Metode Kjeldahl
Spektrofotometri
Prinsip Mengukur konsentrasi Dalam metode ini terlibat 2 Senyawa-senyawa yang Menggunakan
protein total secara reaksi. Awalnya, kompleks mengandung nitrogen instrumen dibagi
kolorimetri dalam Cu(II)-protein akan tersebut mengalami menjadi dua yaitu: 1)
suatu larutan terbentuk sebagaimana oksidasi dan dikonversi metode pengukuran
melibatkan pewarna metode biuret, yang dalam menjadi ammonia dan langsung pada
Coomassie Brilliant suasana alkalis Cu(II) akan bereaksi dengan asam panjang gelombang
Blue (CBB) yang tereduksi menjadi Cu(I). pekat membentuk garam 205 nm dan 280 nm
berikatan dengan Ion Cu+ kemudian akan amonium. Kemudian dan 2) metode
protein dalam suatu mereduksi reagen Folin- ditambahkan basa untuk pembentukan warna
larutan yang bersifat Ciocalteu, kompleks menetralisasi suasana dengan pereaksi
asam sehingga phosphomolibdat reaksi dan kemudian tertentu. Metode
memberikan warna phosphotungstat didestilasi dengan asam pengukuran langsung
(kebiruan) (phosphomolybdotungstate dan dititrasi untuk pada panjang
), menghasilkan heteropoly mengatahui jumlah N yang gelombang 205 nm
sehingga secara
molybdenum blue akibat dikonversi. Tahapan kerja dan 280 nm
kolorimetri dapat
reaksi oksidasi gugus pada metode kjeldahl dibagi Absorbansi pada
diukur absorbansinya aromatik (rantai samping tiga yaitu: destruksi, panjang gelombang
dengan menggunakan asam amino) terkatalis Cu, destilasi dan titrasi. 205 nm dan 280 nm
spektrofotometri yang memberikan warna digunakan untuk
(Lambert‐Beer) pada biru intensif yang dapat menghitung
panjang gelombang dideteksi secara konsentrasi protein
465‐595nm (cahaya kolorimetri. dengan terlebih
tampak). dahulu distandarisasi
dengan protein
standar.
Penetapannya
berdasarkan
absorbansi sinar
ultraviolet oleh asam
amino
Kelebihan -Cepat (2 menit) -Sangat sensitive -Dapat diaplikasikan untuk -Waktu yang
-pereaksi yang 50 – 100x lebih sensitive semua jenis bahan pangan diperlukan untuk
digunakan sangat daripada metode biuret, -tidak memerlukan biaya analisis cepat
sederhana dan mudah 10 – 20x lebih sensitive yang mahal untuk -memiliki sensitifitas
untuk disiapkan dari UV absorption method pengerjaannya yang baik
-Kompleks warna biru -Kurang dipengaruhi oleh -akurat dan merupakan -tidak ada gangguan
pada larutan yang turbiditas sampel metode umum untuk dari ion ammonium
diberi reagen bardford -Lebih spesifik penentuan kandungan dan 18garam-garam
sangat cepat terbentuk -Sederhana, dapat protein kasar buffer
dan bersifat stabil dilakukan 1 – 1,5 jam -dapat dimodifikasi sesuai -larutan sampel masih
-Tidak terpengaruh kuantitas protein yang dapat digunakan
ammonium sulfat, dianalisis untuk analisis lain
sukrosa atau kation selain analisis protein
-Dapat mengukur
protein dengan BM
Lebih dari 4000 da
Kekurangan -Terpengaruh dengan -Warna bervariasi -jumlah total nitrogen yang -asam nukleat juga
deterjen non-ionik dan dihasilkan pada protein terdapat didalamnya bukan memiliki absorbansi
ionik, namun karena yang berbeda hanya nitrogen dari protein yang kuat pada
jumlanya kecil masih -Warna tidak terbatas pada -waktu yang diperlukan panjang gelombang
dapat dikontrol. konsentrasi protein relatif lebih lama (minimal 2 280 nm
-Bila terjadi -Dengan senyawa fenol jam untuk -susunan asam
kontaminasi dengan dapat membentuk warna menyelesaikannya) amino aromatis dapat
NaCl pada serum biru sehingga bisa -presisi yang lemah bervariasi untuk
BSA, maka yang menganggu hasil -pereaksi yang digunakan setiap sampel protein
terjadi adalah penetapan korosif -larutan protein harus
absorbansi larutan -Reaksi dapat dipengaruhi benar-benar jernih
akan semakin kecil oleh sukrosa, lipid, buffer dan tidak berwarna
-Kompleks protein phosphate, monosakarida ataupun keruh
dengan larutan dapat dan heksoamin,
berikatan dengan -Interferensi agen-agen ini
kuvet dari kwarsa, dapat diminimalkan
sehingga harus dengan menghilangkan
menggunakan kuvet interferens tersebut
plastik atau kaca -Sangat dianjurkan untuk
-Terjadi variasi warna, menggunakan blanko
sehingga dalam untuk mengkoreksi
pemilihan standart absorbansi
protein harus hati-hati -Interferensi yang
disebabkan oleh deterjen,
sukrosa dan EDTA dapat
dieliminasi dengan
penambahan SDS atau
melakukan preparasi
sampel dengan
pengendapan protein
Lampiran 3. Data Perhitungan
Pengenceran larutan standar
a. Konsentrasi 0 ppm
M1.V1 = M2 V2
100 ppm. V1 = 0 ppm. 10 mL
V1 = 0 mL
b. Konsentrasi 1 ppm
M1.V1 = M2 V2
100 ppm. V1 = 10 ppm. 10 mL
V1 = 1 mL
c. Konsentrasi 2 ppm
M1.V1 = M2 V2
100 ppm. V1 = 20 ppm. 10 mL
V1 = 2 mL
d. Konsentrasi 3 ppm
M1.V1 = M2 V2
100 ppm. V1 = 30 ppm. 10 mL
V1 = 3 mL
e. Konsentrasi 4 ppm
M1.V1 = M2 V2
100 ppm. V1 = 40 ppm. 10 mL
V1 = 4 mL
f. Konsentrasi 5 ppm
M1.V1 = M2 V2
100 ppm. V1 = 50 ppm. 10 mL
V1 = 5 mL
Tabel Regreasi Data Absorbsi Terbaik
Konsentrasi Absorban
0 0,186
10 0,353
20 0,369
30 0,459
40 0,467
50 0,487
0.6
y = 0.0055x + 0.2485
0.5 R² = 0.8446
0.4
Absorban
0.3
0.2
0.1
0
0 10 20 30 40 50 60
Konsentrasi
Data Absorbsi Terbaik Metode Lowry
Konsentrasi Absorban
0 0,064
10 0,206
20 0,362
30 0,477
40 0,584
50 0,685
150x=0,325
0.8
y = 0.0124x + 0.0853
0.7 R² = 0.9924
0.6
0.5
Absorban
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 10 20 30 40 50 60
Konsentrasi
Lampiran 4. Data Pengamatan Praktikum
H H O
H O
O
+
+
+
H3N C C H3N C C
H3N C C
O- CH2 O-
O - CH2
CH2
SH
NH
OH
H O H H H
O O O H
+ +
H3N C C H3N C C +
H3N C C +
H3N C C +
H3N C C
-
CH2 O
CH2 O- CH2 O- CH2 O-
H CH2
N
CH2 COO- CH2 CH2
CH2 CH2
NH+ Asam Aspartat COO-
NH Asam Glutamat
Histidin CH2
C NH2+ NH3+
NH2 Tirosin
Arginin