Anda di halaman 1dari 4

Strategi Mengatasi Permasalahan Obat

Aceclofenac merupakan salah satu obat yang memiliki efek analgesic, antipiretik dan
antiinflamatory. Obat dengan efek ini tergolong obat yang tidak larut dalam air (Maheshwari & Indurkhya,
2010). Suatu obat harus mempunyai kelarutan dalam air agar manjur secara terapi sehingga obat masuk
ke sistem sirkulasi dan menghasilkan efek terapeutik. Untuk obat-obat yang dibuat dalam sediaan
berbentuk larutan harus diperhatikan kelarutannya karena dapat mempengaruhi absorbsinya.
Penambahan surfaktan dan pelarut atau kosolven merupakan salah satu upaya peningkatan kelarutan
suatu obat yang mempunyai kelarutan kecil atau praktis tidak larut dalam air (Ansel, 1989). Salah satu
metode yang dapat digunakan untuk meningkatan kelarutan aceclofenac dalam sediaan parenteral adalah
solubilisasi. Solubilisasi adalah suatu bentuk sediaan yang berupa cairan atau semi padat, jernih dan
bersifat isotrop yang terdiri dari inkorporasi atau larutan di dalam air suatu zat yang tidak larut atau sedikit
larut dalam air dengan bantuan suatu surfaktan (Swarbrick & Boylan 1996).

Surfaktan mampu berperan dalam solubilisasi (Ansel, 1989). Salah satu sifat pentingnya adalah
kemampuan untuk meningkatkan kelarutan bahan yang tidak larut atau sedikit larut dalam medium
dispersi. Surfaktan pada konsentrasi rendah menurunkan tegangan permukaan dan menaikkan laju
kelarutan obat. Sedangkan pada kadar yang lebih tinggi surfaktan akan berkumpul membentuk agregat
yang disebut misel (Shargel, Wu, & Yu, 1999). Kosolven adalah pelarut yang ditambahkan dalam suatu
sistem untuk membantu melarutkan atau meningkatkan stabilitas dari suatu zat. Dimana penggunaan
kosolven dapat mempengaruhi polaritas sistem yang dapat ditunjukkan dengan pengubahan tetapan
dielektriknya (Swarbrick & Boylan 1996). Obat yang diberikan dalam bentuk solution harus dapat langsung
diabsorbsi, sebelum dapat diabsorpsi obat harus dapat terlarut dalam pelarut pembawanya. Obat-obat
yang mempunyai kelarutan kecil dalam air (poorly soluble drugs) seringkali menunjukkan ketersediaan
hayati rendah dan kecepatan disolusi merupakan tahap penentu (rate limiting step) pada proses absorpsi
obat, seperti yang ditekankan pada sistem klasifikasi biofarmasi (BCS). Obat BCS kelas 2 dan kelas 4
memiliki kelarutan rendah. Menurut perkiraan, lebih kurang 40% dari bahan aktif obat tidak larut dalam
air dan hampir 70% bermasalah dalam hal kelarutan dalam air. Dalam pengembangan formulasi hal ini
menjadi salah satu masalah pokok karena setiap bahan aktif obat terlebih dahulu harus dalam bentuk
terdisolusi sebelum diabsopsi. Sejumlah metodologi dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan obat
yang sukar larut dalam air, diantaranya: memperkecil ukuran partikel, teknologi nanosuspensi,
pembentukan garam, pengaturan pH, hidrotophi, dan penambahan surfaktan untuk meningkatkan
solubilitas (solubilisation). Solubilisasi dapat menggunakan campuran beberapa solubilizer untuk
meningkatkan perubahan yang sinergis dalam solubilitas (Swarbrick & Boylan 1996).

Proses peningkatan solubilitas dengan menggunakan campuran beberapa solubilizer ini disebut
dengan mixed solvency. Konsep mixed solvency yang terdiri dari beberapa zat tambahan cair yang terlarut
dalam air seperti sodium benzoate, sodium askorbat, sodium sitrat, niasinamid, dan urea atauu yang biasa
disebut hidrotophi yang dikombinasikan dengan kosolven (dapat berupa gliserin, propilen glikol, etanol,
dan polietilen glikol (PEG) 200, 300, 400, atau 600), dan zat padat yang terlarut dalam air (PEG 4000 dan
8000) pada konsentrasi tertentu (30-40% w/v). Dalam hal ini, untuk meningkatkan kelarutan aseklofenak
dalam air dapat dilakukan dengan menggunakan metode ini. Yaitu dengan menambahkan kosolven dan
dua sediaan padat sebagai solubilizer.
Metode Preparasi

Sebelum melakukan formulasi, solubilitas aceclofenac dalam beberapa larutan solubilizer diukur dengan
metode solubilitas equilibrium. Aceclofenac ditambahkan ke dalam vial 10 mL yang berisi 5 mL larutan
cair masing-masing solubilizer (konsentrasi 35% w/v), buffer dengan pH 2,5 – 8. Vial diaduk secara mekanis
selama 12 jam pada suhu ruang. Larutan kemudian diequilibrium selama 24 jam. Larutan supernatant
yang tersisa disaring menggunakan kertas Whatman grade 1 dan filtrate dianalisis dalam UV
spektrofotometer pada 274 nm. Perlakuan dilakukan sebanyak triplo. Dari hasil analisis larutan dalam
beberapa campuran pelarut, didapat formula terbaik dari aceclofenac yaitu AF5. Formula ini mengandung
20 mg/ml obat dalam system pelarut. O,1% sodim bisulfit ditambahkan sebagai antioksidan. Untuk
preparasi sediaan injeksi aceclofenac, 25 mL air destilasi ditambahkan hidrotrophi, kosolvent, obat dan
0,1% w/v sodium bisulfit satu per satu ke dalam tabung volume 50 mL di dalam area steril. Tabung diaduk
selama 1-2 jam untuk memastikan bahwa larutan benar-benar terbentuk sempurna. Larutan kemudian
diambahkan dengan air destilasi hingga 50 mL. Penambahan zat lainnya seperti chelating agent dan buffer
tidak ditambahkan di dalam formulasi ini, karena dapat mempengaruhi tingkat kelarutan obat. Larutan ini
kemudian disaring menggunakan membrane filter 0.45 µm dan dianalisis menggunakan
spektrofotometrik pada 274 nm. Rancangan formulasi sediaan aceclofenac dapat dilihat pada table di
bawah ini (Soni, Solanki, & Maheshwari, 2017):

Campuran pelarut yang telah disiapkan mampu meningkatkan solubilitas aceclofenac sebanyak 70 hingga
200 kali lipat. Hal ini dapat disebabkan karena efek sinergis atau efek tambahan dari pencampuran
beberapa pelarut. Kombinasi terbaik dengan angka kelipatan nilai kelarutan hingga 200 kali lipat didapat
dari penambahan agen hidritrophy adalah pada kosolven S (campuran PEG 200 3%, PEG 300 4%, dan PEG
400 5%). Dari beberapa formulasi sediaan injeksi aceclofenac, didapatkan formula optimum pada AF5
dengan nilai pengukuran sebagai berikut (Soni, Solanki, & Maheshwari, 2017):

Seperti yang telah disebutkan bahwa tingkat kelarutan aceclofenac adalah sebanyak 0,152 mg/ml, namun
setelah ditambahkan beberapa agen hidrotrophi dan system kosolvent, kelarutannya meningkat hingga 2
mg/ml. Hal ini diperkirakan terjadi akibat ikatan intermolekul hydrogen antara obat dan solvent atau
kosolvent. Nilai kelarutan maksimum ditunjukkan dari penambahan 35% urea dengan nilai 15,66 dan 35%
PEG 300 dengan nilai 9,40. Namun dalam preparasi sediaan aceclofenac menggunakan metode solubilisasi
dengan campuran hidrotrophi digunakan pelarut PEG 200 hingga PEG 600 karena terbukti memiliki
aktifitas solubilisasi yang baik.

Larutan sediaan injeksi aceclofenac diukur nilai pH nya pada suhu ruang. Hasil yang didapatkan
menunjukkan bahwa aceclofenac lebih terlarut dalam pH alkalin daripada pH asam. Peningkatan angka
kelarutan ditemukan hingga 13 kali lipat pada pH 8. Salah satu factor yang diperkirakan sebagai penyebab
peningkatan solubilitas ini adalah kemampuannya untuk berdisosiasi dalam senyawa ionic, yang
ditentukan oleh pH media. Hasil pengamatan fisik dari larutan injeksi aceclofenac dapat dilihat pada table
berikut (Soni, Solanki, & Maheshwari, 2017):

Hasil uji fisik sediaan injeksi aceclofenac menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada
pH dan warna. Sedangkan untuk pembentukan turbiditas atau presipitat juga tidak tampak pada suhu 5°C
dan 40°C. secara keseluruhan, hasil uji stabilitas fisik sediaan injeksi aceclofenac terbukti stabil. Dari data
diatas ditemukan bahwa degradasi aceclofenac dalam sediaan injeksi ini mengikuti orde kinetic 1 (first
order kinetic). Presentase residu obat ditemukan hingga 98% setelah 1 bulan pengamatan. Hal ini
menunjukkan bahwa sediaan injeksi aceclofenac dengan optimasi formula ini cukup stabil dalam suhu
ruang. Sedangkan untu uji stabilitas kimia sediaan injeksi aceclofenac dalam campuran beberapa solvent
dan kosolvent dapat dilihat pada table dibawah (Soni, Solanki, & Maheshwari, 2017):

Sebagai hasil, formulasi sediaan injeksi dari obat dengan tingkat kelarutan yang rendah menggunakan
kombinasi beberapa solubilizer dan agen hidrotrophi menunjukkan hasil yang sinergis. Namun demikian,
tingkat toksisitas obat dalam sediaan mungkin dapat dipengaruhi oleh jumlah solubilizer dana gen
hidrotrophi yang ditambahkan, hal ini perlu diperhatikan apabila sediaan akan diproduksi dalam skala
manufacturing. Teknik pembuatan dengan metode mixed solvency ini diharapkan dapat lebih ekonomis,
efektif, dan lebh aman. Sehingga studi ini memberikan harapan untuk dapat menyiapkan preparasi
sediaan injeksi obat-obat yang sukar larut.
Daftar Pustaka

Maheshwari, R. K., & Indurkhya, A. (2010). Formulation and Evaluation of Aceclofenac Injection Made by
Mixed Hydrotropic Solubilization Technique. 9(March), 233–242.
Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi (Edisi IV). Penerjemah: F. Ibrahim. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Swarbrick, J. & Boylan, J. C. 1996. Encyclopedia of Pharmaceutical Technology, Volume 14. New York:
Marcel Dekker
Lachman, L., Lieberman, H. A., Kanig, J. L. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri, (3rd ed).
Penerjemah: S. Suyatmi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi (Edisi V). Penerjemah: Soedani Noerono. Yogyakarta:
Gadjah mada University Press
Shargel L., Wu Pong, S., & Yu, A.B. C. 1999. Apllied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics (5 th Ed).
Singapore: MC. Graw and Hill
Martin, A. N, J.Swarbick dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik 2 (Edisi III). Penerjemah: Yoshita. Jakarta:
Unversitas Indonesia Press.
Soni, L. K., Solanki, S. S., & Maheshwari, R. K. (2017). Development of Parenteral Formulation of. 11(1),
4–8.

Anda mungkin juga menyukai