Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS TESIS FILSAFAT ILMU

“ILMU HUDHURI : KONSEP ILMU PENGETAHUAN


DALAM FILSAFAT SUHWARDI”

OLEH:

Kenny Winas Sopranda

NIM. 18177042

DOSEN PEMBIMBING:

Dr. Hj. Yuni Ahda M.Si

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (FMIPA)
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2019
Disadur dari : Luqman Junaidi, 2009

Jenis Karya : Tesis

Jenis Penelitian : Kualitatif

Judul Penelitian : Ilmu Hudhuri: Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Fisafat


Iluminasi Suhrawardi
Sumber : http://lib.ui.ac.id/file

URAIAN ANALISIS
Dibawah ini penulis akan menguraikan analisis tesis mengenai filsafat ilmu. Setelah
membaca tesis ini penulis mendapatkan bahwa peneliti disini menggunakan studi kepustakaan
untuk mendapatkan data terkait dengan ilmu Hudhuri dengan ilmu pengetahuan dalam filsafat
dari suhrawardi. Pendekatan yang digunakan peneliti dalam tesis ini adalah pendekatan tokoh
yaitu Suhrawardi yang mengemukakan tentang filsafat iluminasi.
Hasil analisis penulis sebagai berikut.

A. Judul
Diangkat dari judul Ilmu Hudhuri: Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Filsafat Iluminasi
Suhrawardi. Disini peneliti melihat adanya kaitan antara ilmu hudhuri dengan ilmu pengetahuan
dalam perspektif filsafat Iluminasi karya Suhrawardi. Ilmu Hudhuri merupakan ilmu yang tidak
memisahkan antara objek dan subjek. Artinya manusia sebagai subjek sudah dilengkapi dengan
alat-alat kecerdasan internal yang memungkinkan dirinya untuk mengakses sesuatu yang amat
dalam dari dirinya sendiri. Kaitannya dengan ilmu pengetahuan disini adalah ilmu pengetahuan
merupakan bentuk konkretnya. Karena Ilmu Hudhuri dalam filsafat iluminasi berdasarkan
epistemologi masih dalam tahap sulit dimengerti pada saat itu, kemudian hadirlah filsafat
iluminasi karya Suhrawardi ini, konsep ilmu dapat diuraikan secara jelas. Setelah dibaca judul ini
akan mengarahkan pembaca untuk melihat Ilmu Hudhuri sebagai ilmu pengetahuan dalam
perspektif filsafat iluminasi karya Suhrawardi.
B. Pendahuluan
Latar Belakang
Penjelasan latar belakang ini menunjukkan jenis penulisan yang deduktif yaitu
suatu metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu dan
kemudian dihubungkan dengan bagian-bagian khusus serta dikaitkan dengan fenomena
yang ada dilapangan.
Penulis menganalisis bahwa di latar belakang ini menjelaskan mengenai kekurang
populeran tokoh Suhrawardi di antara filsuf muslim lainnya seperti Ibnu Sina, Al farabi.
Padahal penjelasannya mengenai epistemologi tentang ilmu pengetahuan sangat
berdasarkan logika dan lebih mudah dipahami serta runtut. Dengan menagmbil jalan yang
dibentangkan Suhrawardi, para filsuf tidak perlu ragu lagi untuk menuangkan ilmu
pengetahuan yang mereka peroleh melalui ilham dalam karya yang jelas dan gamblang.
Di samping itu, para pakar eksoteri- empiris yang umumnya hanya membenarkan ilmu
yang diperoleh melalui observasi dan demontrasi, tidak memiliki celah untuk
memungkiri kebenaran yang dihasilkan dari ilmu yang diperoleh melalui intuisi.
Konsekuensinya, mereka juga tidak lagi mempunyai dasar yang kuat untuk melemparkan
berbagai tuduhan murahan kepada para pakar esoteris. Pada tataran ini, Suhrawardi
secara tidak langsung sejatinya telah memberikan solusi aplikatif yang dapat
menyelesaikan pertikaian abadi antara para eksoteris yang diwakili oleh ahli-ahli fiqih
dan teolog dan ahli esoteris yang diwakili oleh kaum sufi dan mistikus.
Selain itu penulis melihat, diangkatnya tema ini karena adanya ketimpangan
dalam dunia intelektualitas Islam. Ketimpangan ini terlihat jika kita mengamati kekayaan
khazanah pemikiran Islam yang sangat luar bisa, kemudian membandingkan dengan
lesunya kajian tentang filsafat dan mistisisme dalam Islam. Para ilmuwan muslim tidak
bisa memberikan penjelasan yang logis dan rasional dengan metode penalaran yang
runtut dan sistematis. Akibatnya, pengetahuan yang mereka dapatkan hanya
mencerdaskan diri mereka sendiri, sedangkan gelora rasa yang meletup-letup dalam dada
hanya mengantarkan mereka pada ekstase spiritual yang bisa dinikmati sendiri.
Tujuan dari penelitian ini memperkenalkan suatu epistemologi yang kurang
diamati oleh kalangan akademisi, sehingga dalam ranah intelektual sering ditinggalkan.
Selanjutnya untuk memperoleh pemahaman yang utuh dan menyeluruh tentang konsep
ilmu pengetahuan dalam filsafat iluminasi Suhrawardi.
C. Landasan Praepistemik Epistemologi Iluminasi
Apabila ditinjau dari segi linguistik, maka kata iluminasi adalah terjemahan dari kata
bahasa Inggris ilumination yang juga ditirunkan dari bahasa latin iluminare dengan makna
yang sama, yaitu menerangi. Meskipun filsafat ini berasal dari kata Inggris, bukan berarti kita
akan menemukan alur sejarah perkembangan pemikiran filsafat ini pada pemikir Inggris, atau
bahkan latin. Bahwa benih-benih filsafat ini sudah ada sejak masa Yunani klasik, memang
benar dan tak terbantahkan karena ada fakta historis yang menguatkannya. Akan tetapi, juga
merupakan fakta historis bahwa kata iluminasi menjadi term yang mengacu pada aliran besar
dalam dunia filsafat terjadi ketika Suhrawardi mengemukakan pandangan-pandangan
filosofisnya.
Karena teori filsafat ini dibangun di dunia Timur oleh arsitek besar yang berbahasa Arab,
berarti untuk mengetahui makna kata filsafat iluminasi berikut segala implikasi filosofisnya,
kita harus mengadakan penelitian terhadap glosari bahasa Arab, bahasa yang mendapat
kehormatan untuk dijadikan media oleh sang arsitek dalam memaparkan konsep-konsepnya.
Dalam bahasa Arab, kata iluminasi biasa disebut dengan isyraq. Sebuah kata yang
memiliki dua makna yang sangat jauh berbeda namun berkat kecanggihan Suhrawardi
berhasil dielaborasi dalam satu struktur yang indah dan terpadu. Makna yang pertama adalah
"cahaya" sedangkan makna yang kedua adalah "timur". Jika makna yang pertama mengacu
kepada sebuah entitas unik yang dalam dunia fisika modern masih diperdebatkan statusnya
apakah merupakan materi atau partikel, maka makna yang kedua mengacu kepada salah satu
arah mata angin yang sangat lekat dengan masalah-malasah geografis. Di tangan Suhrawardi,
kedua makna yang terkesan diametral ini kemudian ditarik ke dalam wilayah filsafat, lalu
dijadikan sebagai simbol utama.
Jadi, filsafat iluminasi berkaitan dengan simbolisme matahari yang terbit di timur dan
mencahayai segala sesuatu. Karena realitas mencahayai atau menerangi segala sesuatu ini,
maka cahaya lantas diidentifikasi dengan gnosis dan iluminasi. Dengan demikian, kata
isyaqiyyah bisa dipahami sebagai ketimuran dan iluminasi. Ia memancar karena ia berada di
timur, dan ia berada di timur karena ia memancar.
D. Dimensi Empiris Epistemologi Ilmuminasi
Pada bagian ini, peneliti mengawali kajian dengan memaparkan sekilas tentang konsep
cahaya dalam filsafat iluminasi. Paparan ini sangat penting mengingat Suhrawardi
membangun sistem filsafatnya dengan menggunakan terminologi tunggal yang unik, yaitu
cahaya. Dan ini jugalah yang membuatnya digelari sebagai Syaikh al-Isyraq yang berarti
Guru Besar Iluminasi, sedangkan teori filsafatnya disebut Hikmah al-Isyraq, dalam filsafat
Iluminasi.
Kesulitan yang sesunguhnya dalam upaya memahami konsep epistemologi iluminasi
adalah seseorang dituntut untuk memahami modus dasar pembangun sistem filsafat yaitu
cahaya. Tapi di sisi lain, uraian mengenai cahaya ini sangat luas sehingga tidak menutup
kemungkinan malah akan mengalihkan perhatian dari kajian utama mengenai konsep ilmu
pengetahuan. Jadi, dibutuhkan ketelitian dan kejelian yang luar biasa agar seorang peneliti
mampu memilah dan memisah antara konsep cahaya yang memang harus diuraikan, dengan
yang tidak.
Poin yang perlu dicermati disini adalah, istilah cahaya yang dielaborasi Suhrawardi
jangan hanya dipahami secara sempit mengacu kepada cahaya yang kita temui dalam realitas
empiris. Dalam konteks yang lebih luas, istilah cahaya ini juga mengacu kepada segala
sesuatu yang begitu jelas dan cemerlang sehingga tidak diperlukan penyelidikan praktis
apapun untuk menjelaskannya.
Dalam presmis-premis yang sangat ringkas, ruwet, dikemas dengan kata- kata aneh serta
kalimat yang tidak biasa dalam dunia filsafat ini, ada dua hal yang perlu kita cermati.
Pertama, penasbihan setiap orang yang mengetahui dirinya sendiri sebagai cahaya murni.
Secara tersirat, Suhrawardi pada dasarnya ingin menegaskan bahwa setiap orang memiliki
potensi untuk menjadi cahaya murni yang bukan hanya mampu menerangi dirinya sendiri,
tapi juga menerangi alam sekitarnya, tidak hanya menjadi cahaya temaram yang, masih
membuthkan cahaya lain supaya bisa menerangi dirinya sendiri. Kedua, kesadaran diri
adalah masalah penting dalam ilmu pengetahuan, bahkan ia—dalam terminologi ilmu
hudhuri—merupakan bagian dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Suhrawardi melangkah maju
kepada masalah pengetahuan diri dengan mengatakannya bahwa pengetahuan ini identik
dengan realitas diri itu sendiri, dan realitas diri dengan cahaya murni. Karena itu, realitas diri
berlaku sebagai contoh utama dalam ilmu hudhuri yang, dalam terminologi Suhrawardi,
merupakan cahaya murni yang tak ada apapun yang lebih nyata darinya.
Bagi Suhrawardi, mustahil seseorang terisolasi dari diri dan pengenalan atas dirinya
sendiri. Alasannya, tak ada sesuatu yang lebih nyata bagi seseorang selain kediriannya
sendiri, sehingga untuk mengenalnya, ia cukup membutuhkan dirinya sendiri, dan tidak
membutuhkan pelbagai atribut dan objek eksternal lainnya. Dengan kata lain, pengenalan diri
ini berlangsung secara otomatis, konstan, dan simultan. Kebenaran hipotesa Suhrawardi ini
belakangan sudah banyak diakui oleh para filsuf, salah satunya adalah Santo Agustinus.
Senada dengan Suhrawardi, Agustinus juga melihat pengetahuan diri atau "keakuan
performatif" sebagai bentuk pencapaian ontologis yang paling dekat dan innate dari
kesadaran manusia.
Berdasarkan kutipan singkat di atas, kita bisa mengetahui dengan jelas dua argumen
dasar yang digunakan Suhrawardi dalam memetakan pengetahuan diri. Argumen pertama
yang diajukan Suhrawardi berkaitan dengan fungsi logis, epistemik, dan semantik dari
"keakuan" yang dikontraskan dengan "kediaan". Sedangkan argumen kedua berkenaan
dengan distingsi antara atribut-atribut yang kepadanya atribut-atribut ini dilekatkan, yang
secara prospektif dianggap sebagai realitas kedirian.
E. Penutup
Pemilihan tema secara spesifik. Dalam hal ini kita harus sadar bahwa sekarang kita hidup
di zaman yang serba detil dan terperinci, sehingga disiplin ilmu pengetahuan pun semakin
mengerucut kepada bagian-bagian yang subtil. Sebagai misal, jika dulu kita hanya mengenal
disiplin biologi sebagai ilmu hayat yang membahas tentang hewan dan tumbuhan secara
general, sekarang disiplin itu sudah semakin spesifik yang meliputi zoologi, botani,
bakteriologi, dan lain sebagainya. Dengan semangat yang sama dan untuk menghasilkan
penelitian yang lebih terperinci, ada baiknya jika dalam membahasa teori epistemologi
iluminasi, fokus kajian kita hanya berkisar pada salah satu aspeknya saja, seperti aspek
dimensi empirisnya, atau dimensi intuitifnya, atau bahkan pada tahapan cara memperoleh
ilmu hudhuri saja.

Anda mungkin juga menyukai