Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PERKEMBANGAN STRUKTUR, POLA DAN FUNGSI RUANG SECARA

HORISONTAL DAN VERTIKAL DI KECAMATAN MIJEN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Morfolgi Kota


Dosen Pengampu :
Retno Susanti, S.T., M.T
Grandy Loranessa Wungo, S.T., M.T
Ir.Parfi Khadiyanto,M.Si

Disusun oleh :
KELOMPOK 3 B

Prisnanda Firdaus A. Salsabila Kusuma M Danik Nur Puspitasari Ferdian Yusuf P Naufal Farras A.W
21040118130069 21040118130098 21040118130106 21040118130133 21040118140077

Ramadhani Asher P Ahmad Faisal Fahmi Theresia Permatasari G Silvia Yulianti Sinaga Dzakwan Yazid Tholib
21040118140109 21040118130125 21040118140140 21040118140143 21040118140152

DEPARTEMEN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................................. 4
1.2 Perumusan Masalah .................................................................................................................... 5
1.3 Tujuan dan Sasaran ..................................................................................................................... 5
1.3.1 Tujuan................................................................................................................................... 5
1.3.2 Sasaran ................................................................................................................................. 5
1.4 Ruang Lingkup ............................................................................................................................. 6
1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah ...................................................................................................... 6
1.4.2 Ruang Lingkup Materi ......................................................................................................... 7
1.5 Metode.......................................................................................................................................... 7
1.5.1 Metode Pengumpulan Data ................................................................................................ 7
1.5.2 Metode Deskriptif ................................................................................................................ 8
1.5.3 Metode Analisis ................................................................................................................... 8
1.6 Kerangka Pikir ............................................................................................................................. 8
1.7 Sistematika Pembahasan ............................................................................................................ 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................................................................................ 10
2.1 Pola Pertumbuhan dan Perkembangan Kawasan ............................................................ 10
2.2 Figure Ground Theory ................................................................................................................ 13
2.3 Linkage Theory........................................................................................................................... 15
2.4 Place Theory ............................................................................................................................... 17
BAB III GAMBARAN WILAYAH STUDI ..................................................................................................... 20
3.1 Orientasi Lokasi ......................................................................................................................... 20
3.2 Sejarah Perkembangan Wilayah Kecamatan Mijen ................................................................ 20
3.3 Gambaran Fisik Alamiah ........................................................................................................... 20
3.4 Gambaran Ruang Terbangun.................................................................................................... 20
3.5 Gambaran Ruang Terbuka ........................................................................................................ 20
3.6 Jaringan Pergerakan .................................................................................................................. 20
3.7 Kependudukan........................................................................................................................... 20
3.8 Sosial dan Budaya...................................................................................................................... 20
BAB IV ANALISIS MORFOLOGI ................................................................................................................. 20
4.1 Pola Pertumbuhan dan Perkembangan Kawasan................................................................... 20
4.2 Analisis Figure Ground Theory ................................................................................................ 20
4.3 Analisis Linkage Theory............................................................................................................ 20
4.4 Analisis Place Theory ................................................................................................................ 20
BAB V KESIMPULAN ................................................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................... 20
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota Semarang merupakan salah satu kota besar yang ada di Indonesia. Permasalahan umum
dan biasa dialami oleh kota-kota besar di Indonesia, seperti Semarang adalah masalah pertumbuhan
penduduk yang pesat sehingga mengakibatkan terjadinya kepadatan penduduk yang tidak
terkendali. Dewasa ini peran kawasan pinggiran kota makin penting karena salah satu
kecenderungan perkotaan pada dekade ini adalah perpindahan penduduk dari inti kota ke pinggiran.
Salah satu Kecamatan yang ada di perbatasan atau pinggiran Kota Semarang adalah Kecamatan
Mijen.

Sesuai dengan RDTRK Kota Semarang BWK IX bahwa Kecamatan Mijen merupakan wilayah yang
terletak di pinggiran kota yang akan dipercepat pertumbuhannya dengan pembangunan jalan arteri
primer yang merupakan jalan lingkar luar Kota Semarang. Dilihat dari letaknya dalam kontelasi antar
wilayah, letak Kecamatan Mijen cukup strategis pada pertemuan jalur regional yang menghubungkan
Kota Semarang dengan wilayah lainnya dari arah barat daya, yaitu Kota Boja (Kabupaten Kendal).
Selain itu, jalur di Kecamatan Mijen juga menjadi alternatif jalur transportasi Kota Semarang di
bagian selatan yang menghubungkan Mijen-Gunungpati-Ungaran (Kabupaten Semarang).

Pesatnya pertumbuhan penduduk akibat proses urbanisasi dari tahun ke tahun yang
dihadapkan oleh tantangan yakni ketika pusat kota sudah tidak dapat menampung lagi berbagai
aktivitas masyarakat sehingga pembangunan lebih diarahkan ke kawasan pinggiran Kota Semarang.
Fenomena perkembangan kawasan pinggiran ini dapat dilihat pembangunan kota baru yaitu Bukit
Semarang Baru (BSB City) dengan mengadopsi konsep perumahan Kota Satelit. Konsep perumahan
Kota Satelit yaitu menghadirkan pusat pertumbuhan baru kota Semarang yang potensial yang
didukung dengan kawasan industri, perdagangan jasa, serta pendidikan. Namun dengan munculnya
pengembangan perumahan (real estate) Bukit Semarang Baru tersebut, perkembangan Mijen mejadi
kawasan perkotaan dihadapkan oleh fenomena kawasan pinggiran sebagai area resapan. Jika
tingginya urbanisasi tidak dikendalikan maka akan berdampak pada terganggunya fungsi
Kecamatan Mijen sebagai kawasan penyangga Kota Semarang.

Kecamatan Mijen sebelum maju seperti sekarang, dahulu nya masih sangat banyak lahan hijau
seperti hutan, namun sekarang semakin berkurang karena pembangunan yang terus-menerus
walaupun masih menjadi kecamatan dengan lahan hijau terbesar se-Kota Semarang. Salah satu yang
memiliki peran penting dan pengaruh dalam perkembangan Kecamatan Mijen sendiri adalah Bukit
Semarang Baru (BSB). Bukit Semarang Baru sendiri adalah pengembang perumahan dari awal tahun
2000-an hingga sekarang. Di ibaratkan sebagai pembuka dan pengenalan wilayah Kecamatan Mijen
ke khalayak umum. Perekonomian warga asli sekitar semakin baik karena sudah banyaknya
lapangan pekerjaan disana seperti Pabrik dsb. Banyak investor juga yang menanamkan modalnya di
BSB dan semakin bertambah lapangan perkerjaan yang ada. Pengaruh BSB terhadap Kecamatan
Mijen berakibat pertambah nya jumlah bangunan yang mana berdampak pada berkurangnya lahan
hijau dan bentuk permukiman yang baru pula. Di perkirakan dengan adanya BSB, Kecamatan Mijen
akan diproyeksikan menjadi suatu kota tersendiri yang dapat menyediakan kebutuhan masyarakat
disana dan dapat disebut juga one stop living.

Sebagian wilayah di Kecamatan Mijen merupakan wilayah baru yang bergabung dengan
kecamatan Mijen pada tahun 1976. Program pembangunan di Kecamatan Mijen masih mengikuti
progam dari pemerintah kota Semarang dimana hal ini dapat merubah karakteristik asli dari
Kecamatan Mijen. Kecamatan Mijen merupakan wilayah yang masih memiliki banyak lahan kosong,
lahan Pertanian, dan 10 tahun terakhir lahan yang ada banyak digunakan sebagai pembangunan
perumahan baru. Selain itu kelurahan mijen merupakan daerah yang sangat berbeda
karakteristiknya dengan Kecamatan-kecamatan di Kota Semarang, banyaknya daerah pertanian dan
topografi wilayah yang bermacam macam sehingga membentuk ekspresi keruangan di Kecamatan
Mijen. Sejalan dengan perkembangan yang semakin kompleks kehidupan wilayah Kecamatan Mijen
makan akan muncul masalah bentukan fisik. Perlunya studi Morfologi di kecamatan Mijen untuk
mengenali ekspresi keruangan yang ada di Kecamatan Mijen dimana kecamatan Mijen merupakan
wilayah yang berada di pinggiran Kota Semarang

1.2 Perumusan Masalah


Pola morfologi perkotaan merupakan suatu bentuk fisik suatu wilayah kota, dimana
pembentukannya sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti: mobilitas penduduk,
kondisi topografi, aksesibilitas, dan kepadatan penduduk. Tidak hanya itu,perkembangan wilayah
tersebut juga dapat berdampak pada aspek karakteristik sosial dan budaya yang ada di sekitar
kawasan tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut,dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana permanganate atau pertumbuhan kawasan Kecamatan Mijen dari masa ke masa?
2. Apakah pembangunan perumahan di kecamatan mijen sudah sesuai dengan kebijakan
permbangunnan perumahan yang sudah ditetapkan pemerintah kota semarang?
3. Bagaimana tingkat persebaran ruang terbuka hijau/ruang terbukan non hijau di Kecamatan
Mijen?
4. Bagaimana bentuk dan Pola ruang Kecamatan Mijen ?
5. Bagaiamana perubahan aktivitas masyarakat setempat dalam mempengaruhi proses
pembangunan di Kecamatan Mijen?
6. Bagaimana aktivitas sosial budaya masyarakat di Kecamatan Mijen?

1.3 Tujuan dan Sasaran


Tujuan dan Sasaran dari laporan ini dapat diketahui sebagai berikut :

1.3.1 Tujuan
Tujuan dari laporan ini adalah untuk mengidentifikasi morfologi kota di Kecamatan Mijen, Kota
Semarang melalui Figure ground theory, linkage theory, dan place theory. Melalui analisis ini maka
akan diketahui perkembangan struktur, pola, dan fungsi ruang secara horizontal dan vertical di
Kecamatan Mijen, Kota Semarang.

1.3.2 Sasaran
Sasaran-sasaran yang diperlukan untuk mencapai tujuan dari laporan ini adalah sebagai berikut :

a Mempelajari sejarah/kronologi pertumbuhan dan perkembangan kawasan Kecamatan Mijen


b Membuat dan menganalisis peta perkembangan figure ground Kecamatan Mijen berdasarkan
citra satelit;
c Menganalisis linkage theory di Kecamatan Mijen melalui citra satelit;
d Melakukan wawancara terhadap penduduk Kecamatan Mijen untuk menganalisis place
theory;
e Menganalisis pengaruh pembangunan baru terhadap bentuk fisik ruang kelurahan dan
kondisi sosial budaya dan aktivitas kelurahan;
f Membuat rekomendasi peta figure ground Kecamatan MIjen di masa mendatang, dengan
mempertimbangkan figure ground theory, linkage theory, dan place theory yang telah
dianalisis.
1.4 Ruang Lingkup
1.4.1 Ruang Lingkup Wilayah
Kecamatan Mijen terletak di bagian Barat Daya Semarang dengan luas wilayah sebesar 57,55
km². Banyaknya jumlah penduduk pada tahun 2018 di kecamatan Mijen mencapai 63,348 jiwa;
terdiri dari 31,937 laki – laki dan 31,411 perempuan .
Berdasarkan data BPS Kota Semarang dalam Kecamatan Mijen dalam angka 2018, Kecamatan
Mijen terdiri dari empat belas kelurahan yaitu Kelurahan Cangkiran, Kelurahan Bubakan, Kelurahan
Karangmalang, Kelurahan Polaman, Kelurahan Purwosari, Kelurahan Tambangan, Kelurahan
Jatisari, Kelurahan Mijen, Kelurahan Jatibarang, dan Kelurahan Kedungpani, Kelurahan Pesantren,
Kelurahan Ngadirgo, Kelurahan Wonolopo, dan Kelurahan Wonoplumbon. Batas administrasi
Kecamatan Mijen adalah sebagai berikut :
Utara : Kecamatan Ngalian
Selatan : Kecamatan ungaran Barat
Barat : Kecamatan boja (Kabupaten Kendal)
Timur : Kecamatan Gunung Pati

Peta Administrasi Kecamatan Mijen

Gambar 1 Peta Administrasi Kecamatan Mijen

Table Informasi Umum Wilayah Kecamatan Mijen

Jumlah penduduk (WNI +


WNA ) Luas
Kelurahan
Laki- (km²)
laki Perempuan Jumlah
Cangkiran 1817 1879 3696 2,76
Bubakan 1160 1103 2263 2,09
Karangmalang 1185 1144 2329 2,03
Polaman 934 896 1830 1,61
Purwosari 2282 2266 4548 4,67
Tambangan 2073 2159 4232 3,58
Jatisari 5230 5101 10331 2,21
Mijen 3248 3258 6506 4,74
Jatibarang 1422 1504 2926 2,27
Kedungpani 2754 2686 5440 5,83
Pesantren 747 735 1482 6,80
Ngadirgo 3065 2684 5749 4,91
Wonolopo 3885 3908 7793 4,04
Wonoplumbon 2135 2088 4223 10,01
Sumber : Kecamatan Mijen dalam Angka 2018, BPS

Table 1 Informasi Umum Wilayah Kecamatan Mijen

1.4.2 Ruang Lingkup Materi


Laporan ini berisikan ruang lingkup materi yang membahas semua aspek berkaitan dengan
morfologi suatu wilayah dan proses perkembangannya ditengah-tengah masyarakat yang
memberikan pengaruh terhadap kawasan dan bentuk wilayah. Identifikasi bentuk fisik wilayah
dilakukan melalui analisis pola-pola historis masa lalu dan masa kini dari struktur kawasan, tata guna
lahan dan komponen pembentuk kota lainnya. Pembahasan lainnya berupa keadaan sosial penduduk
dan potensi wilayah yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah studi. Ruang lingkup
materi disini memiliki sasaran pencapaian akhir antara lain melakukan identifikasi dan menganalisa
karakteristik yang ada seperti banyaknya penduduk, luas wilayah, sejarah perwilayah, potensi serta
kegiatan yang dilakukan penduduk di Kecamatan Mijen. Selanjutnya melakukan pengkajian terhadap
adanya ruang terbangun dan juga ruang tidak terbangun yang ada di Kecamatan Mijen. Ciri-ciri ruang
terbangun adalah ada batas-batas yang jelas, dikategorikan berdasarkan fungsi ruang, berbentuk 3
dimensi serta dapat dibedakan menjadi bangunan- bangunan kompak atau menyebar. Melakukan
pengkajian terhadap linkage yang ada di sektiar kawasan Kecamatan Mijen bagaimana suatu lokasi
dapat dihubungkan dengan lokasi lainnya baik dengan linkage visual, struktur maupun linkage
kolektif. Melakukan pengkajian terhadap place atau lokasi yang memiliki suatu kesan terhadap
masyarakatnya. Lokasi yag dimaksud tersebut adalah lokasi dimana masyarakat biasanya
berkumpul, seperti puskesmas, poskampling, masjid, dan sekolah.

Laporan ini juga akan mengidentifikasi perubahan bentukdari wilaayh serta kondisi eksisting
kawasan berdasarkan data- data yang diperoleh sesuai dengan keadaan dan kondisi eksisting baik
didapat melalui data primer maupun sekunder, sertamelakukan analisis yang dilakukan dengan
didukung teori-teori yang berhubungan dengan morfologi suatu kota yaitu teori urban design yang
mencakup analisis figure ground, linkage theory dan place theory.

1.5 Metode
1.5.1 Metode Pengumpulan Data
 Pengumpulan Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dapat diperoleh dengan telaah dokumen. Teknik ini dilakukan
untuk memperoleh data-data sekunder yang berbentuk dokumen. Data-data sekunder
menggunakan data-data yang sudah diketahui sumbernya dan memiliki keterkaitan dengan
masalah dalam laporan ini. Data-data yang diperoleh merupakan data dari literatur, internet,
serta dari instansi penyedia data sekunder seperti BPS. Dokumen yang ditelaah adalah dokumen
yang berkaitan dengan morfologi kawasan dan perkembangan Kecamatan Mijen yang diperoleh
melalui peta-peta

 Pengumpulan Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan untuk mengetahui informasi yang tidak diperoleh
dalam pengumpulan data sekunder dengan kegiatan survei dan observasi lapangan. Survei
dilakukan dengan menggunakan wawancara.

- Wawancara, Wawancara yang akan dilakukan dengan menggunakan teknik purposive


sampling
- Observasi lapangan, Pada dasarnya teknik observasi digunakan untuk melihat atau
mengamati perubahan fenomena pertumbuhan kawasan khususnya kawasan perumahan
dan permukiman yang kemudian dapat dilakukan penilaian atas perubahan tersebut

1.5.2 Metode Deskriptif


Metode ini memiliki sebuah tujuan untuk bisa mengumpulkan data secara detail, mendalam dan
juga actual. Di dalam sebuah penelitian biasanya akan di jelaskan mengenai gejala-gejala yang sudah
ada misalnya tentang masalah serta meneliti kondisi yang tetap berlaku. Metode Analisis

1.5.3 Metode Analisis


Analisis dalam laporan ini menggunakan data kuantitatif atau data yang dapat dinotasikan
dalam bentuk angka serta data kualitatif berupa spasial yakni peta. Data yang dianalisis merupakan
data interaksi keruangan antar wilayah.

1.6 Kerangka Pikir


Berangkat dari pertumbuhan perumahan(bangunan) dan permukiman di Kecamatan Mijen,
sebagai akibat dari laju pertumbuhan penduduk yang dapat dikatakan makin pesat berdampak pada
gerak perekonomian dan aktifitas masyarakat juga meningkat dengan demikian permintaan akan
suatu hunian perumahan akan meningkat pula. Bahwa perkembangan suatu perkotaan dengan laju
pertumbuhan penduduk serta dampak yang ditimbulkannya tersebut sangat erat kaitannya dengan
peningkatan kebutuhan lahan, hal ini ditandai dengan tumbuhnya Permukiman penduduk di
perdesaan dan tumbuhnya Kawasan-kawasan Perumahan dengan penggunaan lahan yang tidak
terkendali. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain pemahaman akan tata ruang yang masih
kurang serta peran dari pemerintah yang kurang maksimal, sehingga mendorong penelitian ini
dengan mencoba menemu kenali “bagaimana perkembangan struktur, pola dan fungsi ruang secara
horizontal dan vertical di kecamatan Mijen”. Dengan adanya pertanyaan tersebut maka tujuan dari
penelitian ini adalah mengkaji atau menganalisis perkembangan struktur, pola dan fungsi ruang
secara horizontal dan vertical di kecamatan Mijen. Adapun untuk mencapai tujuan dimaksud maka
terdapat beberapa sasaran penelitian yakni:
A. Mempelajari sejarah/kronologi pertumbuhan dan perkembangan kawasan Kecamatan
Mijen
B. Membuat dan menganalisis peta perkembangan figure ground Kecamatan Mijen
berdasarkan citra satelit;
C. Menganalisis linkage theory di Kecamatan Mijen melalui citra satelit;
D. Melakukan wawancara terhadap penduduk Kecamatan Mijen untuk menganalisis place
theory;
E. Menganalisis pengaruh pembangunan baru terhadap bentuk fisik ruang kelurahan dan
kondisi sosial budaya dan aktivitas kelurahan;
F. Membuat rekomendasi peta figure ground Kecamatan MIjen di masa mendatang, dengan
mempertimbangkan figure ground theory, linkage theory, dan place theory yang telah
dianalisis.
1.7 Sistematika Pembahasan
BAB I PENDAHULUAN
Berisikan Latar Balakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Sasaran, Ruang Lingkup, Metode,
Kerangka pikir serta Sistematika Laporan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Menjelaskan mengenai landasan teori yang memuat berbagai toeri, referensi, maupun
konsep berdasarkan Aspek Kajian Fisik.
BAB III GAMBARAN WILAYAH STUDI
Menjelaskan mengenai orientasi lokasi, sejarah perkembangan wilayah, gambaran fisik
alamiah, gambaran ruang terbangun, gambran ruang terbuka, jeringan [pergerakan,
kependudukan serta social budaya kecamatan Mijen.
BAB IV ANALISIS MORFOLOGI
Menjelaskan mengenai analisis pertumbuhan dan perkembangan wilayah berdasarkan figure
ground theory, linkage theory, serta place theory
BAB V KESIMPULAN
Menjelaskan kesimpulan dari analisa yang dilakukan serta memberikan rekomendasi untuk
masa yang akan datang.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pola Pertumbuhan dan Perkembangan Kawasan
Perkembangan perkotaan adalah suatu proses perubahan keadaan perkotaan dari suatu
keadaan ke keadaan yang lain dalam waktu yang berbeda. Tekanan perubahan keadaan tersebut
biasanya didasarkan pada waktu yang berbeda dan untuk menganalisis ruang yang sama.
Perkembangan kota dipandang sebagai fungsi jumlah penduduk, penguasaan alat atau lingkungan,
kemajuan teknologi dan kemajuan dalam organisasi sosial. Perkembangan kota dapat dilihat dari
aspek zone-zone yang berada dalam wilayah perkotaan. Dalam konsep ini Bintarto dalam Yunus
(2000) menjelaskan perkembangan kota tersebut terlihat dari penggunaan lahan yang membentuk
zone-zone tertentu di dalam ruang perkotaan sedangkan menurut Branch (1995) dalam Yunus
(2000), bentuk kota secara keseluruhan mencerminkan posisinya secara geografis dan karakteristik
tempatnya. Branch juga mengemukakan contoh pola-pola perkembangan kota pada medan datar
dalam bentuk ilustratif seperti:

1) Topografi
2) Bangunan
3) Jalur Transportasi
4) Ruang Terbuka
5) Kepadatan Bangunan
6) Iklim Lokal
7) Vegetasi Tutupan
8) Kualitas Estetika

Secara skematik Branch, menggambarkan 6 (enam) pola perkembangan kota yaitu:

Gambar 1. Pola Umum Perkembangan Perkotaan

(Sumber: Branch 1996 dalam Yunus 2000)

Sesuai dengan perkembangan penduduk perkotaan yang senantiasa mengalami peningkatan,


maka tuntutan akan kebutuhan kehidupan dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, politik dan
teknologi juga terus mengalami peningkatan, yang semuanya itu mengakibatkan meningkatnya
kebutuhan akan ruang perkotaan yang lebih besar. Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota
tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan
fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota (fringe area). Gejala penjalaran
areal kota ini disebut sebagai “invasion” dan proses perembetan kenampakan fisik kota ke arah luar
disebut sebagai “urban sprawl” (Northam dalam Yunus 2000).
Secara garis besar menurut Northam dalam Yunus (2000) penjalaran fisik kota dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut :

a) Model Penjalaran Fisik Kota Secara Konsentrik (Concentric Develompment/Low Density


Continous Develompment)

Tipe pertama ini oleh Hahrley Clark (1971) disebut sebagai “lowdensity, continous development”
dan oleh Wallece (1980) disebut “concentric development”. Jadi ini merupakan jenis perembetan
areal kekotaan yang paling lambat. Perembatan berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua
bagian-bagian luar kenampakan fisik kota. Karena sifat perembetannya yang merata di semua bagian
luar kenampakan kota yang ada, maka tahap berikutnya akan membentuk suatu kenampakan
morfologi kota yang relatif kompak.

Gambar 2. Model penjalaran fisik kota secara konsentrik


(Sumber: Northam dalam Yunus 2000)

b) Model Penjalaran Fisik Kota Secara Memanjang/Linier (ribbon develompment/liniear


develompment/axial develompment)

Tipe ini menunjukkan ke tidak merataan perembetan arean kekotaan di semua bagian sisi-sisi luar
dari pada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat disepanjang jalur transportasi yang
ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota. Daerah di sepanjang rute transportasi
utama merupakan tekanan paling berat dari perkembangan. Menghubungkan harga lahan pada
kawasan ini telah memojokkan pemilik lahan pertanian pada posisi yang sangat sulit.

Gambar 5. Model penjalaran fisik kota secara memanjang/linier

(Sumber: Northam dalam Yunus 2000)


Makin banyaknya konversi lahan pertanian ke lahan nonpertanian, makin banyaknya penduduk,
makin banyaknya kegiatan non agraris, makin padatnya bangunan telah sangat mempengaruhi
kegiatan pertanian. Tingginya harga lahan dan makin banyak orang yang mau membeli telah
memperkuat dorongan pemilik lahan untuk meninggalkan kegiatannya dan menjualnya. Bagi
masyarakat petani hasil penjualan lahan biasanya diinvestasikan lagi pada lahan yang jauh dari kota
sehingga memperoleh lahan pertanian yang lebih luas.

c) Model Penjalaran Fisik Kota Secara Meloncat (leap frog develompment/checkerboard


develompment).

Tipe perkembangan ini oleh kebanyakan pakar lingkungan dianggap paling merugikan, tidak efisien
dalam arti ekonomi, tidak mempunyai nilai estetika dan tidak menarik. Perkembangan lahan
kekotaannya terjadi berpencaran secara sporadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian.
Keadaan ini sangat menyulitkan pemerintah kota untuk membangun prasarana-prasarana fasilitas
kebutuhan hidup sehari-hari .

Gambar 6. Model penjalaran fisik kota secara meloncat

(Sumber: Northam dalam Yunus 2000)

Sebuah kota adalah suatu permmukiman yang relatif besar, padat dan permanen, terdiri dari
kelompok individu yang heterogen dari segi sosial (Rapoport, 1990). Amas Rapoport menuntun
kearah suatu pemahan yang lebih baik mengenai kota dan urbanisme. Ia merumuskan suatu defenisi
baru yang dapat diterapkan pada daerah permukiman kota di mana saja yaitu sebuah permukiman
dapat dirumuskan sebagai suatu kota bukan dari segi ciri-cirinya, melainkan dari segi suatu fungsi
khusus yaitu menyusun sebuah wilayah dan menciptakan ruang-ruang efektif melalui
pengorganisasian sebuah daerah pedalaman yang lebih besar berdasarkan hirarki-hirarki tertentu.
Perkembangan kota secara fisik ditandai dengan semakin bertambahnya luas daerah yang pada
umumnya tidak hanya berupa penebalan pada kawasan terbangun yang sudah ada, akan tetapi juga
berkembang ke arah luar pusat kota sebagai akibat dari perkembangan kegiatan manusian
(masyarakat kota) untuk memenuhi kebutuhan hidup dan ruang hidupnya. Sebagian besar
terjadinya kota adalah berawal dari desa yang berasal menjadi pusat-pusat kegiatan tertentu,
misalnya desa menjadi pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pertambangan, pusat
pergantian transportasi seperti menjadi pelabuhan, pusat persilangan/pemberhentian kereta api,
terminal busa dan sebagainya.

Salah satu pemicu perkembangan kota yang begitu pesat adalah adanya pembangunan
infrastruktur seperti jalan, sekolah, pusat pelayanan, pusat kegiatan ekonomi. Akibanya semakin
tinggi pula konversi lahanpertanian menjadi lahan permukiman.
Perkembangan kota sebagai konsekuensi dari peran fungsional menyebabkan munculnya
perubahan-perubahan, baik perubahan sosial ekonomi, sosial budaya maupun fisik. Perubahan ini
ditandai dengan perubahan fungsi kota yang selanjutnya diikuti dengan perubahan fisik sebagai
dampak dari perkembangan aktivitas masyarakat secara keseluruhan.

2.2 Figure Ground Theory


Kota secara fisik merupakan hasil bentukan antara bangunan dengan ruang terbuka yang
mendukung identifikasi tekstur dan pola bentukan ruang kota. Teori figure ground dapta dipahami
dari tata kota sebagai hubungan tekstural antara bentuk yang dibangun (building massa) dan ruang
terbuka (open space). Figure ground theory dapat digunakan untuk menmgidentifikasi sebuah tekstur
dan popa-pola sebuah tata ruang perkotaan (urban fabric), serta mengidentifikasi masalah
ketidakteraturan massa/ruang perkotaan.

Teori Figure Ground merupakan teori yang menggambarkan total suatu kawasan, dimana
fungsi teori ini adalah untuk menunjukkan tekstur kota melalui bentuk masssa bangunan (building
massa) sebagai solid dan ruang terbuka (open space) sebagai Void.

Hubungan massa dan ruang dibentuk oleh bentuk dan lokasi bangunan, perancangan unsur-
unsur tapak (tanaman dinding), dan terusan pergerakan menghasilkan 6 pola yaitu : Grid, angular,
curvilinear, radial/concentric, axial, dan organic (trancik,1986:101). Analisis figure dground baik
digunakan untuk :

1. Mengidentifikasi sebuah tekstur dan pola-pola ruang perkotaan ( Urban fabric)


2. Mengidentifikasi masalah ketertauran massa atau ruang perkotaan.

Pola kawasan secara tekstural dapat dibedakan/diklasifikasikan menjadi tiga kelompk, yaitu :

 Homogen ,susuna kawasan yang bersifat sejenis dimana hanya ada satu pola penataan.
Contoh pola kawasan Homogen adalah : Kota Algier, Maroko dan Amsterdam, Belanda.

 Heterogen, susunan kawasan yang bersifat beberapa jenis dimana ada dua atau lebih pola
berbenturan. Sebagai contoh adalah dua buah kawasan di Kota Aachen Jerman, dimana kedua
kawasan tersebut memiliki pola yang bersifat heterogen.
 Menyebar, susunan kawasan yang bersifat menyebar dan kecenderungan kacau. Contoh pola
kawasan menyebar adalah Kota Bonn dan Hamburg, Jerman.

Sistem hubungan di dalam tekstur figure/ground mengenal dua kelompok elemen, yaitu solid
(bangunan) dan void (ruang terbuka). Ada tiga elemen dasar yang bersifat solid dan empat elemen
dasar yang bersifat void.

Tiga elemen solid tersebut adalah :

 Blok Tunggal, bersifat individu namun juga dapat dilihat sebagai bagian dari satu unit yang
lebih besar
 Blok yang mendefenisi sisi, berfungsi sebagai pembatas secara linear
 Blok medan, memiliki bermacam-macam massa dan bentuk, namun masing-masing tidak
dilihat sebgai individu-individu.
Berikut gambar mengenai tiga buah elmen Solid
Empat elemen Void tersebut adalah :

 System tertutup Linear, elemen yang serig dijumpai di kota.


 System tertutup memusat, pola ruang yang yang terfokus dan tertutup misalnya pusat kota.
 System terbuka sentral, bersifat terbuka namun masih tampak focus, misalnya : alun-alun
besar, taman kota dll.
 System terbuka linear, contohnya adalah kawasan sungai.

Elemen solid dan void didalam testur perkotaan jarang berdiri sendiri, melainkan
dikumpulkan dalam satu kelompok, dapat disebut sebagai “unit perkotaan”. Keberadaan unit dalam
sebuah kota sangatlah penting, Karena unit-unit berfungsi sebagai kelompok bangunan bersama
ruang terbuka yang menegaskan kesatuan massa di kota secara tekstural. Penataan kawasan akan
tercapai lebih baik apabila massa dan ruang dihubungkan dan disatukan sebagai satu kelompok. Pola
kawasan secara tekstural dibedakan menjadi 6, yaitu : Grid, angular, curvilinear, radial/concentric,
axial, dan organis. Dimana artinya, setiap kawasan dapat dimengerti bagiannya melalui salah satu
cara tekstur tersebut. Fungsi pola sebuah tekstur perlu diperhatikan karena massa dan ruang selalu
berhubungan erat dengan aktivitas didalam kawasannya, dibutuhkan keseimbangan yang baik
antara kuantitas dan kualitas massa dan ruang yang bersifat public dan privat sehingga pola
pembangunan kota memungkinkan kehidupan didalamnya berjalan dengan baik.

2.3 Linkage Theory


Teori Linkage merupakan teori yang menggambarkan bentuk suatu kota yang tidak dapat lepas
dari jarring jarring sirkulasi kota (network circulation). Jarring-jaring tetrsebut dapat berupa jalan,
jalur pedestrian, ruang terbuka yang berbentuk linear dan bentuk bentuk yang secara fisik menjadi
penghubung antar bagian kota atau suatu kawasan.

Teori linkage dapat digunkan untuk memahami segi dinamika tata ruang perkotaan yang
dianggap sebagai generator kota itu. Analisis linkage adalah alat yang baik untuk memperhatikan
dan menegaskan hubungan-hubungan serta gerakan-gerakan sebuah tata ruang perkotaan (urban
fabric). Pada dasarnya linkage theory bertujuan untuk :

 Merefleksikan sarana dan prasaran penunjang peregarakn dari dan ke Nodes


 Secara hierarkis, dapat berupa jalan lingkungan, jalan local, jalan sekunder maupun arteri.
(zahnd, 1999)

Linkage theory di klasifikasikan menjadi 2, yaitu : Linkage Visual dan Linkage Struktural

 Linkage Visual
Dalam linkage yang visual dua atau lebih banyakfragmen kota yang dihubungkan menjadi
satu kesatuan secara visual karena sebuah linkage yang visual mampu menyatukan daerah
kota dalam berbagai skala.pada dasarnya ada dua pokok perbedaan linkage visual, yaitu :
 Yang menghubungkan dua daerah secara netral
 Yang menghubungkan dua daerah dengan menggunakan satu daerah

Terdapat lima elemen yang dapat menjelaskan linkage visual, yaitu :

 Elemen garis, menghubungkan secara langsung dua tempat dengan satu deretan massa,
dimana massa tersebut dapat dipakai sebuah dertan bangunan ataupun sebuah deretan
pohon yang memiliki rupa masif.
 Elemen koridor, yang dibentuk oleh dua deretan massa (bangunan atau pohon)
membentuk sebuah ruang.
 Elemen sisi, sama dengan elemen garis yang menghubungkan dua kawasan dengan satu
massa. Perbedaannya dibuat secara tidak langsung, sehingga tidak perlu dirupakan
dengan sebuah garis yang massanya agak tipis, bahkan hanya merupakan sebuah wajah
yang massanya kurang penting.
 Elemen sumbu, mirip dengan elemen koridor yang bersifat spasial, namun
perbedaannya ada pada dua daerah yang dihubungkan oleh elemen tersebut yang sering
mengutamakan salah satu daerah tersebut.
 Elemen irama, menghubungkan dua tempat dengan variasi massa dan ruang.

 Linkage Struktural

Dalam linkage struktural yang baik, pola ruang perkotaan dan bangunannya sering berfungsi
sebagai sebuah stabilisator dan koordinator di dalam lingkungannya, karena setiap kolase
(penghubung fragmen-fragmen) perlu diberikan stabilitas tertentu dan koordinasi tertentu
dalam strukturnya. Tanpa ada daerah-daerah yang polanya tidak dikoordinasikan serta
distabilisasikan tata lingkungannya, maka cenderung akan muncul pola tata kota yang kesannya
agak kacau.
Terdapat tiga elemen linkage struktural yang mencapai hubungan secara arsitektural, yaitu:

a. Elemen tambahan, melanjutkan pola pembangunan yang sudah ada sebelumnya. Bentuk-
bentuk massa dan ruang yang ditambah dapat berbeda, namun pola kawasannya tetap
dimengerti sebagai bagian atau tambahan pola yang sudah ada di sekitarnya.

b. Elemen sambungan, elemen ini memperkenalkan pola baru pada lingkungan kawasannya.
Diusahakan menyambung dua atau lebih banyak pola di sekitarnya, supaya keseluruhannya
dapat dimengerti sebagai satu kelompok yang baru memiliki kebersamaan melalui sambungan
itu.

c. Elemen tembusan, elemen ini tidak memperkenalkan pola baru yang belum ada, sedikit
mirip dengan elemen tambahan, namun lebih rumit polanya karena di dalam elemen tembusan
terdapat dua atau lebih pola yang sudah ada di sekitarnya dan akan disatukan sebagai pola-pola
yang sekaligus menembus di dalam satu kawasan

2.4 Place Theory


Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Walter Cristaller seorang ahli geografi berkebangsaan
Jerman pada tahun 1933. Menurut teori ini terdapat tiga pertanyaan yang harus dijawab tentang kota
atau wilayah. Pertama, apakah yang menentukan banyaknya kota; kedua, apakah yang menentukan
besarnya kota; dan ketiga, apakah yang menentukan persebaran kota.Menurut Christaller terdapat
konsep yang disebut jangkauan (range) dan ambang (treshold). Range adalah jarak yang perlu
ditempuh manusia untuk mendapatkan barang kebutuhannya pada suatu waktu tertentu saja.
Adapun treshold adalah jumlah minimal penduduk yang diperlukan untuk kelancaran dan
keseimbangan suplai barang. Dalam teori ini diasumsikan pada suatu wilayah datar yang luas dihuni
oleh sejumlah penduduk dengan kondisi yang merata. Dalam memenuhi kebutuhannya, penduduk
memerlukan berbagai jenis barang dan jasa, seperti makanan, minuman, perlengkapan rumah
tangga, pelayanan pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Untuk memperoleh kebutuhan tersebut
penduduk harus menempuh jarak tertentu dari rumahnya. Jarak tempuh tersebut disebut range.

Di sisi lain, pihak penyedia barang dan jasa baik pertokoan maupun pusat-pusat pelayanan jasa
untuk memperoleh keuntungan yang maksimal, maka mereka harus paham benar berapa banyak
jumlah minimal penduduk (calon konsumen) yang diperlukan bagi kelancaran dan kesinambungan
suplai barang atau jasa agar tidak mengalami kerugian. Dengan kata lain mereka harus memilih
lokasi yang strategis, yaitu sebuah pusat pelayanan berbagai kebutuhan penduduk dalam jumlah
partisipasi yang maksimum. Berdasarkan kepentingan ini maka untuk jenis barang kebutuhan
dapat dibedakan menjadi barang kebutuhan dengan treshold tinggi dan barang kebutuhan dengan
treshold rendah.

Treshold tinggi, yaitu barang kebutuhan yang memiliki risiko kerugian besar karena jenis
barang atau jasa yang dijual adalah barang-barang mewah. Misalnya, kendaraan bermotor,
perhiasan, dan barang-barang lainnya dengan harga relatif mahal dan sulit terjual. Untuk jenis
barang seperti ini maka diperlukan lokasi yang sangat sentral seperti di kota besar yang relatif
terjangkau oleh penduduk dari daerah sekitarnya. Selain itu, untuk menjaga kesinambungan suplai
barang harus memenuhi syarat jumlah jumlah penduduk minimal.

Treshold rendah, yaitu barang kebutuhan yang memiliki risiko kecil atau tidak memerlukan
konsumen terlalu banyak agar barang tersebut terjual, karena penduduk memang membutuhkannya
setiap hari. Untuk jenis barang-barang seperti ini maka lokasi penjualannya dapat ditempatkan
sampai pada kota-kota atau wilayah kecil.

Dari bentuk kebutuhan dan pelayanan di atas maka muncul istilah tempat sentral (Central Place
Theory). Tempat sentral merupakan suatu lokasi yang senantiasa melayani berbagai kebutuhan
penduduk dan terletak pada suatu tempat yang terpusat (sentral). Tempat ini memungkinkan
partisipasi manusia dalam jumlah besar baik mereka yang terlibat dalam aktivitas pelayanan
maupun yang menjadi konsumen dari barang-barang dan pelayanan yang dihasilkannya.

Menurut teori ini, tempat sentral merupakan suatu titik simpul dari suatu bentuk heksagonal
atau segi enam. Daerah segi enam ini merupakan wilayah-wilayah yang penduduknya mampu
terlayani oleh tempat yang sentral tersebut.

Keterangan:

a. Titik A,B,C dan D adalah tempat-tempat sentral

b. Daerah-daerah segi enam merupakan wilayah yang secara maksimum terlayani oleh tempat
sentral.

Tempat sentral ini dalam kenyataannya dapat berupa kota-kota besar, pusat perbelanjaan atau
mal, supermarket, pasar, rumah sakit, sekolah, kampus perguruan tinggi , ibukota provinsi, atau kota
kabupaten.
Masing-masing tempat sentral tersebut memiliki pengaruh atau kekuatan menarik penduduk
yang tinggal di sekitarnya dengan daya jangkau yang berbeda. Misalnya, pusat kota provinsi akan
menjadi daya tarik bagi penduduk dari kota-kota kabupaten. Sementara itu, kota kabupaten menjadi
daya tarik bagi penduduk dari kota-kota kecamatan. Kota kecamatan menjadi penarik bagi penduduk
dari desa-desa di sekitarnya. Demikian pula halnya dengan pusat perbelanjaan, rumah sakit maupun
pusat pendidikan. Akibatnya, terlihat adanya tingkatan (hirarki) tempat sentral.Hirarki kota sebagai
tempat yang sentral dengan pengaruhnya membentuk jaringan seperti sarang lebah.

Selain hirarki berdasarkan besar kecilnya wilayah atau pusat-pusat pelayanan seperti telah
dikemukakan di atas, hirarki tempat sentral digunakan pula di dalam merencanakan suatu lokasi
kegiatan seperti pusat perniagaan, pasar, sekolah, atau pusat rekreasi.

Tempat sentral dan daerah yang dipengaruhinya (komplementer), pada dasarnya dapat
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu hirarki 3 (K = 3), hirarki 4 (K = 4), dan hiraki 7 (K = 7).

Hirarki K = 3, merupakan pusat pelayanan berupa pasar yang selalu menyediakan bagi daerah
sekitarnya, sering disebut Kasus Pasar Optimal. Wilayah ini selain mempengaruhi wilayahnya
sendiri, juga mempengaruhi sepertiga bagian dari masing-masing wilayah tetangganya.

Hirarki K = 4, yaitu wilayah ini dan daerah sekitarnya yang terpengaruh memberikan
kemungkinan jalur lalu lintas yang paling efisien. Tempat sentral ini disebut pula situasi lalu lintas
yang optimum. Situasi lalulintas yang optimum ini memiliki pengaruh setengah bagian di masing-
masing wilayah tetangganya.

Hirarki K = 7, yaitu wilayah ini selain mempengaruhi wilayahnya sendiri, juga mempengaruhi
seluruh bagian (satu bagian) masing-masing wilayah tetangganya. Wilayah ini disebut juga situasi
administratif yang optimum. Sistuasi administratif yang dimaksud dapat berupa kota pusat
pemerintahan. Pengaruh tempat yang sentral dapat diukur berdasarkan hirarki tertentu, dan
bergantung pada luasan heksagonal yang dilingkupinya.Skema pengaruh tempat sentral yang diukur
berdasarkan hierarki dan bergantung pada luasan heksagonal yang dilingkupinya
BAB III GAMBARAN WILAYAH STUDI
3.1 Orientasi Lokasi
3.2 Sejarah Perkembangan Wilayah Kecamatan Mijen
3.3 Gambaran Fisik Alamiah
3.4 Gambaran Ruang Terbangun
3.5 Gambaran Ruang Terbuka
3.6 Jaringan Pergerakan
3.7 Kependudukan
3.8 Sosial dan Budaya

BAB IV ANALISIS MORFOLOGI


4.1 Pola Pertumbuhan dan Perkembangan Kawasan
4.2 Analisis Figure Ground Theory
4.3 Analisis Linkage Theory
4.4 Analisis Place Theory

BAB V KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai