Disusun oleh :
KELOMPOK 3 B
Prisnanda Firdaus A. Salsabila Kusuma M Danik Nur Puspitasari Ferdian Yusuf P Naufal Farras A.W
21040118130069 21040118130098 21040118130106 21040118130133 21040118140077
Ramadhani Asher P Ahmad Faisal Fahmi Theresia Permatasari G Silvia Yulianti Sinaga Dzakwan Yazid Tholib
21040118140109 21040118130125 21040118140140 21040118140143 21040118140152
Sesuai dengan RDTRK Kota Semarang BWK IX bahwa Kecamatan Mijen merupakan wilayah yang
terletak di pinggiran kota yang akan dipercepat pertumbuhannya dengan pembangunan jalan arteri
primer yang merupakan jalan lingkar luar Kota Semarang. Dilihat dari letaknya dalam kontelasi antar
wilayah, letak Kecamatan Mijen cukup strategis pada pertemuan jalur regional yang menghubungkan
Kota Semarang dengan wilayah lainnya dari arah barat daya, yaitu Kota Boja (Kabupaten Kendal).
Selain itu, jalur di Kecamatan Mijen juga menjadi alternatif jalur transportasi Kota Semarang di
bagian selatan yang menghubungkan Mijen-Gunungpati-Ungaran (Kabupaten Semarang).
Pesatnya pertumbuhan penduduk akibat proses urbanisasi dari tahun ke tahun yang
dihadapkan oleh tantangan yakni ketika pusat kota sudah tidak dapat menampung lagi berbagai
aktivitas masyarakat sehingga pembangunan lebih diarahkan ke kawasan pinggiran Kota Semarang.
Fenomena perkembangan kawasan pinggiran ini dapat dilihat pembangunan kota baru yaitu Bukit
Semarang Baru (BSB City) dengan mengadopsi konsep perumahan Kota Satelit. Konsep perumahan
Kota Satelit yaitu menghadirkan pusat pertumbuhan baru kota Semarang yang potensial yang
didukung dengan kawasan industri, perdagangan jasa, serta pendidikan. Namun dengan munculnya
pengembangan perumahan (real estate) Bukit Semarang Baru tersebut, perkembangan Mijen mejadi
kawasan perkotaan dihadapkan oleh fenomena kawasan pinggiran sebagai area resapan. Jika
tingginya urbanisasi tidak dikendalikan maka akan berdampak pada terganggunya fungsi
Kecamatan Mijen sebagai kawasan penyangga Kota Semarang.
Kecamatan Mijen sebelum maju seperti sekarang, dahulu nya masih sangat banyak lahan hijau
seperti hutan, namun sekarang semakin berkurang karena pembangunan yang terus-menerus
walaupun masih menjadi kecamatan dengan lahan hijau terbesar se-Kota Semarang. Salah satu yang
memiliki peran penting dan pengaruh dalam perkembangan Kecamatan Mijen sendiri adalah Bukit
Semarang Baru (BSB). Bukit Semarang Baru sendiri adalah pengembang perumahan dari awal tahun
2000-an hingga sekarang. Di ibaratkan sebagai pembuka dan pengenalan wilayah Kecamatan Mijen
ke khalayak umum. Perekonomian warga asli sekitar semakin baik karena sudah banyaknya
lapangan pekerjaan disana seperti Pabrik dsb. Banyak investor juga yang menanamkan modalnya di
BSB dan semakin bertambah lapangan perkerjaan yang ada. Pengaruh BSB terhadap Kecamatan
Mijen berakibat pertambah nya jumlah bangunan yang mana berdampak pada berkurangnya lahan
hijau dan bentuk permukiman yang baru pula. Di perkirakan dengan adanya BSB, Kecamatan Mijen
akan diproyeksikan menjadi suatu kota tersendiri yang dapat menyediakan kebutuhan masyarakat
disana dan dapat disebut juga one stop living.
Sebagian wilayah di Kecamatan Mijen merupakan wilayah baru yang bergabung dengan
kecamatan Mijen pada tahun 1976. Program pembangunan di Kecamatan Mijen masih mengikuti
progam dari pemerintah kota Semarang dimana hal ini dapat merubah karakteristik asli dari
Kecamatan Mijen. Kecamatan Mijen merupakan wilayah yang masih memiliki banyak lahan kosong,
lahan Pertanian, dan 10 tahun terakhir lahan yang ada banyak digunakan sebagai pembangunan
perumahan baru. Selain itu kelurahan mijen merupakan daerah yang sangat berbeda
karakteristiknya dengan Kecamatan-kecamatan di Kota Semarang, banyaknya daerah pertanian dan
topografi wilayah yang bermacam macam sehingga membentuk ekspresi keruangan di Kecamatan
Mijen. Sejalan dengan perkembangan yang semakin kompleks kehidupan wilayah Kecamatan Mijen
makan akan muncul masalah bentukan fisik. Perlunya studi Morfologi di kecamatan Mijen untuk
mengenali ekspresi keruangan yang ada di Kecamatan Mijen dimana kecamatan Mijen merupakan
wilayah yang berada di pinggiran Kota Semarang
1. Bagaimana permanganate atau pertumbuhan kawasan Kecamatan Mijen dari masa ke masa?
2. Apakah pembangunan perumahan di kecamatan mijen sudah sesuai dengan kebijakan
permbangunnan perumahan yang sudah ditetapkan pemerintah kota semarang?
3. Bagaimana tingkat persebaran ruang terbuka hijau/ruang terbukan non hijau di Kecamatan
Mijen?
4. Bagaimana bentuk dan Pola ruang Kecamatan Mijen ?
5. Bagaiamana perubahan aktivitas masyarakat setempat dalam mempengaruhi proses
pembangunan di Kecamatan Mijen?
6. Bagaimana aktivitas sosial budaya masyarakat di Kecamatan Mijen?
1.3.1 Tujuan
Tujuan dari laporan ini adalah untuk mengidentifikasi morfologi kota di Kecamatan Mijen, Kota
Semarang melalui Figure ground theory, linkage theory, dan place theory. Melalui analisis ini maka
akan diketahui perkembangan struktur, pola, dan fungsi ruang secara horizontal dan vertical di
Kecamatan Mijen, Kota Semarang.
1.3.2 Sasaran
Sasaran-sasaran yang diperlukan untuk mencapai tujuan dari laporan ini adalah sebagai berikut :
Laporan ini juga akan mengidentifikasi perubahan bentukdari wilaayh serta kondisi eksisting
kawasan berdasarkan data- data yang diperoleh sesuai dengan keadaan dan kondisi eksisting baik
didapat melalui data primer maupun sekunder, sertamelakukan analisis yang dilakukan dengan
didukung teori-teori yang berhubungan dengan morfologi suatu kota yaitu teori urban design yang
mencakup analisis figure ground, linkage theory dan place theory.
1.5 Metode
1.5.1 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dapat diperoleh dengan telaah dokumen. Teknik ini dilakukan
untuk memperoleh data-data sekunder yang berbentuk dokumen. Data-data sekunder
menggunakan data-data yang sudah diketahui sumbernya dan memiliki keterkaitan dengan
masalah dalam laporan ini. Data-data yang diperoleh merupakan data dari literatur, internet,
serta dari instansi penyedia data sekunder seperti BPS. Dokumen yang ditelaah adalah dokumen
yang berkaitan dengan morfologi kawasan dan perkembangan Kecamatan Mijen yang diperoleh
melalui peta-peta
Pengumpulan data primer dilakukan untuk mengetahui informasi yang tidak diperoleh
dalam pengumpulan data sekunder dengan kegiatan survei dan observasi lapangan. Survei
dilakukan dengan menggunakan wawancara.
1) Topografi
2) Bangunan
3) Jalur Transportasi
4) Ruang Terbuka
5) Kepadatan Bangunan
6) Iklim Lokal
7) Vegetasi Tutupan
8) Kualitas Estetika
Tipe pertama ini oleh Hahrley Clark (1971) disebut sebagai “lowdensity, continous development”
dan oleh Wallece (1980) disebut “concentric development”. Jadi ini merupakan jenis perembetan
areal kekotaan yang paling lambat. Perembatan berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua
bagian-bagian luar kenampakan fisik kota. Karena sifat perembetannya yang merata di semua bagian
luar kenampakan kota yang ada, maka tahap berikutnya akan membentuk suatu kenampakan
morfologi kota yang relatif kompak.
Tipe ini menunjukkan ke tidak merataan perembetan arean kekotaan di semua bagian sisi-sisi luar
dari pada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat disepanjang jalur transportasi yang
ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota. Daerah di sepanjang rute transportasi
utama merupakan tekanan paling berat dari perkembangan. Menghubungkan harga lahan pada
kawasan ini telah memojokkan pemilik lahan pertanian pada posisi yang sangat sulit.
Tipe perkembangan ini oleh kebanyakan pakar lingkungan dianggap paling merugikan, tidak efisien
dalam arti ekonomi, tidak mempunyai nilai estetika dan tidak menarik. Perkembangan lahan
kekotaannya terjadi berpencaran secara sporadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian.
Keadaan ini sangat menyulitkan pemerintah kota untuk membangun prasarana-prasarana fasilitas
kebutuhan hidup sehari-hari .
Sebuah kota adalah suatu permmukiman yang relatif besar, padat dan permanen, terdiri dari
kelompok individu yang heterogen dari segi sosial (Rapoport, 1990). Amas Rapoport menuntun
kearah suatu pemahan yang lebih baik mengenai kota dan urbanisme. Ia merumuskan suatu defenisi
baru yang dapat diterapkan pada daerah permukiman kota di mana saja yaitu sebuah permukiman
dapat dirumuskan sebagai suatu kota bukan dari segi ciri-cirinya, melainkan dari segi suatu fungsi
khusus yaitu menyusun sebuah wilayah dan menciptakan ruang-ruang efektif melalui
pengorganisasian sebuah daerah pedalaman yang lebih besar berdasarkan hirarki-hirarki tertentu.
Perkembangan kota secara fisik ditandai dengan semakin bertambahnya luas daerah yang pada
umumnya tidak hanya berupa penebalan pada kawasan terbangun yang sudah ada, akan tetapi juga
berkembang ke arah luar pusat kota sebagai akibat dari perkembangan kegiatan manusian
(masyarakat kota) untuk memenuhi kebutuhan hidup dan ruang hidupnya. Sebagian besar
terjadinya kota adalah berawal dari desa yang berasal menjadi pusat-pusat kegiatan tertentu,
misalnya desa menjadi pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pertambangan, pusat
pergantian transportasi seperti menjadi pelabuhan, pusat persilangan/pemberhentian kereta api,
terminal busa dan sebagainya.
Salah satu pemicu perkembangan kota yang begitu pesat adalah adanya pembangunan
infrastruktur seperti jalan, sekolah, pusat pelayanan, pusat kegiatan ekonomi. Akibanya semakin
tinggi pula konversi lahanpertanian menjadi lahan permukiman.
Perkembangan kota sebagai konsekuensi dari peran fungsional menyebabkan munculnya
perubahan-perubahan, baik perubahan sosial ekonomi, sosial budaya maupun fisik. Perubahan ini
ditandai dengan perubahan fungsi kota yang selanjutnya diikuti dengan perubahan fisik sebagai
dampak dari perkembangan aktivitas masyarakat secara keseluruhan.
Teori Figure Ground merupakan teori yang menggambarkan total suatu kawasan, dimana
fungsi teori ini adalah untuk menunjukkan tekstur kota melalui bentuk masssa bangunan (building
massa) sebagai solid dan ruang terbuka (open space) sebagai Void.
Hubungan massa dan ruang dibentuk oleh bentuk dan lokasi bangunan, perancangan unsur-
unsur tapak (tanaman dinding), dan terusan pergerakan menghasilkan 6 pola yaitu : Grid, angular,
curvilinear, radial/concentric, axial, dan organic (trancik,1986:101). Analisis figure dground baik
digunakan untuk :
Pola kawasan secara tekstural dapat dibedakan/diklasifikasikan menjadi tiga kelompk, yaitu :
Homogen ,susuna kawasan yang bersifat sejenis dimana hanya ada satu pola penataan.
Contoh pola kawasan Homogen adalah : Kota Algier, Maroko dan Amsterdam, Belanda.
Heterogen, susunan kawasan yang bersifat beberapa jenis dimana ada dua atau lebih pola
berbenturan. Sebagai contoh adalah dua buah kawasan di Kota Aachen Jerman, dimana kedua
kawasan tersebut memiliki pola yang bersifat heterogen.
Menyebar, susunan kawasan yang bersifat menyebar dan kecenderungan kacau. Contoh pola
kawasan menyebar adalah Kota Bonn dan Hamburg, Jerman.
Sistem hubungan di dalam tekstur figure/ground mengenal dua kelompok elemen, yaitu solid
(bangunan) dan void (ruang terbuka). Ada tiga elemen dasar yang bersifat solid dan empat elemen
dasar yang bersifat void.
Blok Tunggal, bersifat individu namun juga dapat dilihat sebagai bagian dari satu unit yang
lebih besar
Blok yang mendefenisi sisi, berfungsi sebagai pembatas secara linear
Blok medan, memiliki bermacam-macam massa dan bentuk, namun masing-masing tidak
dilihat sebgai individu-individu.
Berikut gambar mengenai tiga buah elmen Solid
Empat elemen Void tersebut adalah :
Elemen solid dan void didalam testur perkotaan jarang berdiri sendiri, melainkan
dikumpulkan dalam satu kelompok, dapat disebut sebagai “unit perkotaan”. Keberadaan unit dalam
sebuah kota sangatlah penting, Karena unit-unit berfungsi sebagai kelompok bangunan bersama
ruang terbuka yang menegaskan kesatuan massa di kota secara tekstural. Penataan kawasan akan
tercapai lebih baik apabila massa dan ruang dihubungkan dan disatukan sebagai satu kelompok. Pola
kawasan secara tekstural dibedakan menjadi 6, yaitu : Grid, angular, curvilinear, radial/concentric,
axial, dan organis. Dimana artinya, setiap kawasan dapat dimengerti bagiannya melalui salah satu
cara tekstur tersebut. Fungsi pola sebuah tekstur perlu diperhatikan karena massa dan ruang selalu
berhubungan erat dengan aktivitas didalam kawasannya, dibutuhkan keseimbangan yang baik
antara kuantitas dan kualitas massa dan ruang yang bersifat public dan privat sehingga pola
pembangunan kota memungkinkan kehidupan didalamnya berjalan dengan baik.
Teori linkage dapat digunkan untuk memahami segi dinamika tata ruang perkotaan yang
dianggap sebagai generator kota itu. Analisis linkage adalah alat yang baik untuk memperhatikan
dan menegaskan hubungan-hubungan serta gerakan-gerakan sebuah tata ruang perkotaan (urban
fabric). Pada dasarnya linkage theory bertujuan untuk :
Linkage theory di klasifikasikan menjadi 2, yaitu : Linkage Visual dan Linkage Struktural
Linkage Visual
Dalam linkage yang visual dua atau lebih banyakfragmen kota yang dihubungkan menjadi
satu kesatuan secara visual karena sebuah linkage yang visual mampu menyatukan daerah
kota dalam berbagai skala.pada dasarnya ada dua pokok perbedaan linkage visual, yaitu :
Yang menghubungkan dua daerah secara netral
Yang menghubungkan dua daerah dengan menggunakan satu daerah
Elemen garis, menghubungkan secara langsung dua tempat dengan satu deretan massa,
dimana massa tersebut dapat dipakai sebuah dertan bangunan ataupun sebuah deretan
pohon yang memiliki rupa masif.
Elemen koridor, yang dibentuk oleh dua deretan massa (bangunan atau pohon)
membentuk sebuah ruang.
Elemen sisi, sama dengan elemen garis yang menghubungkan dua kawasan dengan satu
massa. Perbedaannya dibuat secara tidak langsung, sehingga tidak perlu dirupakan
dengan sebuah garis yang massanya agak tipis, bahkan hanya merupakan sebuah wajah
yang massanya kurang penting.
Elemen sumbu, mirip dengan elemen koridor yang bersifat spasial, namun
perbedaannya ada pada dua daerah yang dihubungkan oleh elemen tersebut yang sering
mengutamakan salah satu daerah tersebut.
Elemen irama, menghubungkan dua tempat dengan variasi massa dan ruang.
Linkage Struktural
Dalam linkage struktural yang baik, pola ruang perkotaan dan bangunannya sering berfungsi
sebagai sebuah stabilisator dan koordinator di dalam lingkungannya, karena setiap kolase
(penghubung fragmen-fragmen) perlu diberikan stabilitas tertentu dan koordinasi tertentu
dalam strukturnya. Tanpa ada daerah-daerah yang polanya tidak dikoordinasikan serta
distabilisasikan tata lingkungannya, maka cenderung akan muncul pola tata kota yang kesannya
agak kacau.
Terdapat tiga elemen linkage struktural yang mencapai hubungan secara arsitektural, yaitu:
a. Elemen tambahan, melanjutkan pola pembangunan yang sudah ada sebelumnya. Bentuk-
bentuk massa dan ruang yang ditambah dapat berbeda, namun pola kawasannya tetap
dimengerti sebagai bagian atau tambahan pola yang sudah ada di sekitarnya.
b. Elemen sambungan, elemen ini memperkenalkan pola baru pada lingkungan kawasannya.
Diusahakan menyambung dua atau lebih banyak pola di sekitarnya, supaya keseluruhannya
dapat dimengerti sebagai satu kelompok yang baru memiliki kebersamaan melalui sambungan
itu.
c. Elemen tembusan, elemen ini tidak memperkenalkan pola baru yang belum ada, sedikit
mirip dengan elemen tambahan, namun lebih rumit polanya karena di dalam elemen tembusan
terdapat dua atau lebih pola yang sudah ada di sekitarnya dan akan disatukan sebagai pola-pola
yang sekaligus menembus di dalam satu kawasan
Di sisi lain, pihak penyedia barang dan jasa baik pertokoan maupun pusat-pusat pelayanan jasa
untuk memperoleh keuntungan yang maksimal, maka mereka harus paham benar berapa banyak
jumlah minimal penduduk (calon konsumen) yang diperlukan bagi kelancaran dan kesinambungan
suplai barang atau jasa agar tidak mengalami kerugian. Dengan kata lain mereka harus memilih
lokasi yang strategis, yaitu sebuah pusat pelayanan berbagai kebutuhan penduduk dalam jumlah
partisipasi yang maksimum. Berdasarkan kepentingan ini maka untuk jenis barang kebutuhan
dapat dibedakan menjadi barang kebutuhan dengan treshold tinggi dan barang kebutuhan dengan
treshold rendah.
Treshold tinggi, yaitu barang kebutuhan yang memiliki risiko kerugian besar karena jenis
barang atau jasa yang dijual adalah barang-barang mewah. Misalnya, kendaraan bermotor,
perhiasan, dan barang-barang lainnya dengan harga relatif mahal dan sulit terjual. Untuk jenis
barang seperti ini maka diperlukan lokasi yang sangat sentral seperti di kota besar yang relatif
terjangkau oleh penduduk dari daerah sekitarnya. Selain itu, untuk menjaga kesinambungan suplai
barang harus memenuhi syarat jumlah jumlah penduduk minimal.
Treshold rendah, yaitu barang kebutuhan yang memiliki risiko kecil atau tidak memerlukan
konsumen terlalu banyak agar barang tersebut terjual, karena penduduk memang membutuhkannya
setiap hari. Untuk jenis barang-barang seperti ini maka lokasi penjualannya dapat ditempatkan
sampai pada kota-kota atau wilayah kecil.
Dari bentuk kebutuhan dan pelayanan di atas maka muncul istilah tempat sentral (Central Place
Theory). Tempat sentral merupakan suatu lokasi yang senantiasa melayani berbagai kebutuhan
penduduk dan terletak pada suatu tempat yang terpusat (sentral). Tempat ini memungkinkan
partisipasi manusia dalam jumlah besar baik mereka yang terlibat dalam aktivitas pelayanan
maupun yang menjadi konsumen dari barang-barang dan pelayanan yang dihasilkannya.
Menurut teori ini, tempat sentral merupakan suatu titik simpul dari suatu bentuk heksagonal
atau segi enam. Daerah segi enam ini merupakan wilayah-wilayah yang penduduknya mampu
terlayani oleh tempat yang sentral tersebut.
Keterangan:
b. Daerah-daerah segi enam merupakan wilayah yang secara maksimum terlayani oleh tempat
sentral.
Tempat sentral ini dalam kenyataannya dapat berupa kota-kota besar, pusat perbelanjaan atau
mal, supermarket, pasar, rumah sakit, sekolah, kampus perguruan tinggi , ibukota provinsi, atau kota
kabupaten.
Masing-masing tempat sentral tersebut memiliki pengaruh atau kekuatan menarik penduduk
yang tinggal di sekitarnya dengan daya jangkau yang berbeda. Misalnya, pusat kota provinsi akan
menjadi daya tarik bagi penduduk dari kota-kota kabupaten. Sementara itu, kota kabupaten menjadi
daya tarik bagi penduduk dari kota-kota kecamatan. Kota kecamatan menjadi penarik bagi penduduk
dari desa-desa di sekitarnya. Demikian pula halnya dengan pusat perbelanjaan, rumah sakit maupun
pusat pendidikan. Akibatnya, terlihat adanya tingkatan (hirarki) tempat sentral.Hirarki kota sebagai
tempat yang sentral dengan pengaruhnya membentuk jaringan seperti sarang lebah.
Selain hirarki berdasarkan besar kecilnya wilayah atau pusat-pusat pelayanan seperti telah
dikemukakan di atas, hirarki tempat sentral digunakan pula di dalam merencanakan suatu lokasi
kegiatan seperti pusat perniagaan, pasar, sekolah, atau pusat rekreasi.
Tempat sentral dan daerah yang dipengaruhinya (komplementer), pada dasarnya dapat
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu hirarki 3 (K = 3), hirarki 4 (K = 4), dan hiraki 7 (K = 7).
Hirarki K = 3, merupakan pusat pelayanan berupa pasar yang selalu menyediakan bagi daerah
sekitarnya, sering disebut Kasus Pasar Optimal. Wilayah ini selain mempengaruhi wilayahnya
sendiri, juga mempengaruhi sepertiga bagian dari masing-masing wilayah tetangganya.
Hirarki K = 4, yaitu wilayah ini dan daerah sekitarnya yang terpengaruh memberikan
kemungkinan jalur lalu lintas yang paling efisien. Tempat sentral ini disebut pula situasi lalu lintas
yang optimum. Situasi lalulintas yang optimum ini memiliki pengaruh setengah bagian di masing-
masing wilayah tetangganya.
Hirarki K = 7, yaitu wilayah ini selain mempengaruhi wilayahnya sendiri, juga mempengaruhi
seluruh bagian (satu bagian) masing-masing wilayah tetangganya. Wilayah ini disebut juga situasi
administratif yang optimum. Sistuasi administratif yang dimaksud dapat berupa kota pusat
pemerintahan. Pengaruh tempat yang sentral dapat diukur berdasarkan hirarki tertentu, dan
bergantung pada luasan heksagonal yang dilingkupinya.Skema pengaruh tempat sentral yang diukur
berdasarkan hierarki dan bergantung pada luasan heksagonal yang dilingkupinya
BAB III GAMBARAN WILAYAH STUDI
3.1 Orientasi Lokasi
3.2 Sejarah Perkembangan Wilayah Kecamatan Mijen
3.3 Gambaran Fisik Alamiah
3.4 Gambaran Ruang Terbangun
3.5 Gambaran Ruang Terbuka
3.6 Jaringan Pergerakan
3.7 Kependudukan
3.8 Sosial dan Budaya
BAB V KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA