I. PENDAHULUAN
Pada saat kehamilan sel - sel mukosa endoserviks akan membentuk sebuah
mukus yang menghambat kanal serviks setelah proses konsepsi terjadi, dimana
mukus tersebut bertindak sebagai batas untuk dapat melindungi isi dari uterus
terhadap infeksi, jika mukus tersebut terlepas sebelum persalinan, maka akan
menyebabkan pengeluaran darah. Lendir yang dihasilkan oleh serviks dapat
menerima atau menangkap sperma hasil ejakulasi di vagina, dimana mukus
tersebut bersifat selektif sehingga plasma seminalis dan sperma bentuk abnormal,
tidak akan di tangkap oleh mukus serviks. 1
Lendir serviks merupakan suatu campuran antara musin dan plasma
serviks yang diproduksi terus menerus sepanjang kehidupan wanita, namun
terdapat perubahan kuantitas dan komposisi selama berbagai fase kehidupan
wanita. Lendir serviks adalah hidrogel yang dihasilkan oleh kelenjar serviks.
Manfaat utama dari lendir serviks adalah untuk lubrikasi saluran genitalia bagian
bawah, lendir serviks ini berperan dalam migrasi dan pematangan sperma di
traktus genitalia wanita, dapat memperpanjang umur sperma dan interval
kesuburan antara berhubungan dan ovulasi, serta berfungsi membentuk
penghalang untuk mencegah patogen masuk ke endometrium. Lendir serviks juga
terkait dengan patologi dari sistem imun serviks. lendir serviks sebagai barrier
yang permeabilitasnya bervariasi selama siklus haid.2,3,4
Siklus menstruasi sangat erat kaitannya dengan lendir serviks. Selama
masa menstruasi, jumlah, warna, dan tekstur lendir serviks akan berubah. Oleh
karena adanya perubahan kadar hormon selama siklus haid, lendir serviks akan
mengalami perubahan biofisik dan biokimia. Oleh karena itu, lendir serviks
menjadi suatu elemen yang indirek tetapi penting untuk menghitung masa ovulasi
perempuan, bukan hanya untuk dokter tetapi juga bagi wanita yang menggunakan
metode keluarga berencana alami.3
1
Selama beberapa dekade terakhir, perhatian telah di fokuskan terhadap
berbgai macam perubahan mukus selama siklus menstruasi dan kehamilan.
Campos da Paz pertama kali memperkenalkan pemeriksaan pola fern (pakis) pada
mukus serviks untuk dapat menentukan daya penerimaan terhadap peneterasi dari
sperma. Pola pakis tersebut disepakati merupakan akibat dari terdapatnya zat
seperti mucus dan natrium klorida. Fenomena fern tersebut dapat dijadikan
sebagai tes untuk menilai aktifitas estrogen, penentuan ovulasi dan kehamilan
awal, mereka juga menunjukan bahwa adanya pola fern pada lendir serviks dari
wanita dengan kehamilan trimester pertama menjadi kepentingan untuk menilai
isufisiensi progresteron pada plasenta. Ditemukannya pembentukan pola pakis
(ferning) pada cairan yang dikeluarkan oleh serviks pada saat dikeringkan dapat
pula menentukan diagnosis dari ruptir membrane amnion, serta sebagai evaluasi
infertilitas dengan menilai karakteristik dari lendir serviks akibat pengaruh dari
kadar estrogen yang memicu ovulasi.5,6,7
2
Lendir serviks dihasilkan oleh aktivitas biosintesis sel sekretorik di
serviks. Lendir serviks mengandung 3 komponen utama, yaitu molekul mukus, air
dan kandungan biokimia (natrium klorida, rantai protein dan enzim). Lendir
serviks dihasilkan oleh sel sekretorik di kanalis endoserviks, kanal endoserviks
dilapisi oleh sel epitel columnar baik bersilia maupun tidak bersilia. Lendir
serviks memproduksi sekitar 100 struktur glandula pada canal serviks. Fluhmann
(1961) dan Hafez (1972) memperkirakan struktur glandula ini merupakan sebuah
sistem katub atau cripta yang berkumpul bersama-sama memberikan kesan
kelenjar. Kripte endoserviks wanita usia reproduksi mensekresin 20 - 60 mg lendir
serviks perhari, dan meningkat sampai 600 mg perhari pada pertengahan siklus
menstruasi. 8,9,10
Produksi lendir serviks yang disekresikan berdasarkan siklus menstruasi
diatur oleh hormone ovarium, 17 β –estradiol untuk menstimulasi produksi lendir
serviks dalam jumlah yang banyak dan berair sedangkan progresteron
menghambat aktivitas sekresi dari sel epitel serviks. Lendir serviks yang
mengandung 90% air menunjukan sifat viskositas ( konsistensi) yang di
pengaruhi oleh susunan molekul protein dan kosentrasi ion dari lendir serviks. 11
Pada fase folikuler, konsistensi lendir serviks kental dan impermeable
seperti putih telur, pada fase folikuler lanjut, meningkatnya kadar estrogen
menyebabkan lendir yang menjadi lebih encer dan relatif semipermeabel dan
relatif mudah ditembus oleh spermatozoa. Perubahan lendiri servik yang menjadi
lebih encer ini disebut sebagai ‘spinnbarkheit’ Pasca ovulasi, progesteron yang
dihasilkan corpus luteum menetralisir efek estrogen sehingga lendir serviks
menjadi kental kembali dan impermeable.4
Fluktuasi hormonal selama siklus menstruasi mempengaruhi produksi,
komposisi, dan struktur dari lendir serviks yang pada akhirnya mempengaruhi
kemampuan penetrasi dari sperma. Disfungsi hormonal, yang pada umunya
ditandai dengan produksi estrogen yang tidak adekuat dan atau peningkatan
progresteron yang prematur dan dapat memicu produksi lendir serviks yang tidak
cocok untuk penetrasi sperma yang pada ujungnya menyebabkan infertilitas.8
3
III. PEMERIKSAAN FERN
4
pakis yang sempurna selama pertengahan siklus menstruasi menandakan aktivitas
estrogen yang baik dan tidak terdapat infeksi serviks.5
Gambar 2. Fenomena kristalisasi bentuk pakis yang sempurna pada sekresi mukus
serviks antara hari ke 10 – 16 siklus menstruasi normal. (Kepustakaan: Roland
Maxwell. The Fern Test, A critical analysis. Am. J. Obst. & Gynecol. 11:01, 1958.)
5
b) Menentukan ovulasi
6
c) Menilai mukus serviks dan penetrasi sperma
Ditemukannya suatu pola pakis dengan bentuk yang sangat baik
pada saat pertengahan siklus menstruasi menandakan aktivitas estrogen
dan kanal serviks yang sehat, dimana keadaan tersebut memiliki daya
penerimaan terhadap penetrasi sperma yang tinggi. Jika gambaran pola
pakis yang sempurna tidak ditemukan, dan hanya pola pakis yang tidak
khas dengan unsur seluler yang sangat jelas, dan subyek yang di periksa
tidak mengalami endoservitis maka terapi estrogen mungkin dapat di
berikan pada subyek tersebut, tetapi memberikan terapi estrogen hanya
berdasarkan pada pemeriksaan apusan lendir serviks tidak disarankan
untuk di lakukan.5
7
Gambar 4. Dua bentuk lain dari pembentukan ferning tidak khas yang di lihat
dengan menggunakan mikroskop kekuatan tinggi. Perhatikan kontras antara latar
yang gelap dengan pola cahaya pada gambar. (kepustakaan: Roland Maxwell. The
Fern Test, A critical analysis. Am. J. Obst. & Gynecol. 11:01, 1958.)
8
persalinan di sebut dengan ketuban pecah dini, dimana akan terjadi banyak
komplikasi (2% - 20%) infeksi dan mortalitas setelah ruptur terjadi. 12
Ketuban pecah dini dapat di diagnosis dengan anamnesis yaitu terdapat
riwayat pengeluaran cairan dari vagina, dan di konfirmasi dengan
pemeriksaan speculum. Pemeriksaan baku emas yang tidak invasif untuk
menentukan diagnosis ruptur, adalah : 6
1) Akumulasi cairan jernih pada fornix posterior di vagina atau kebocoran
cairan yang berasal dari ostium serviks
2) pH yang bersifat basa dari cairan yang dikeluarkan yang dapat di periksa
dengan menggunakan kertas lakmus yang akan mengubah warna kertas
dari kuning menjadi biru (tes nitrazine)
3) ditemukannya pembentukan pola pakis (ferning) pada cairan yang
dikeluarkan oleh serviks pada saat dikeringkan.
Saat ini, pemeriksaan fern sebagian besar digunakan bersama – sama
dengan tes nitrazine untuk menegakkan diagnosis ketuban pecah dini (KPD)
Tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang di laporkan dari pemeriksaan fern
adalah 51% dan 70%, pada pasien yang tidak sedang hamil sedangkan
sensitivitas dan spesifisitasnya akan meningkat menjadi 98% dan 88% pada
pasien yang sedang hamil.6
g) Sebagai evaluasi infertilitas
Infertilitas merupakan masalah yang dihadapi oleh pasangan suami istri
yang telah menikah selama minimal satu tahun, melakukan hubungan
senggama teratur, tanpa menggunakan kontrasepsi tetapi belum berhasil
memperoleh kehamilan.14
Penyebab infertilitas dapat diklasifikasikan sebagai factor koitus laki-
laki (40%), cerviks (5%-10%), tuba uterina (30%) factor ovulasi (15-20%)
dan peritoneal atau factor pelvik (40%).13
9
tersebut. Masalah utama yang terkait dengan fertilitas adalah gangguan
fungsi ovulasi. Dengan pengaruh kadar estrogen yang memicu ovulasi,
lendir serviks akan menjadi tipis, berair, asin dan elastis, ketiga
kakrakteristik ini dapat di evaluasi dengan tes fern. Terbentuknya pola
ferning tergantung pada adanya mucin, protein, dan kosentrasi elektrolit,
semua elektrolit menghasilkan reaksi pembentukan ferning maka jumlah
elektrolit yang banyak akan memberikan gambaran ferning yang lebih jelas,
sepanjang siklus menstruasi natrium terdapat dalam jumlah paling banyak
0.7% sehingga dalam lender serviks natrium lebih dominan dalam
pembentukan ferning.7,12,14
a. Tujuan
Tes fern dapat digunakan menentuka aktifitas ekstrogen, menentukan
ovulasi, memastikan kehamilan awal, dan insufisiensi progresteron pada plasenta,
meskipun belum diteliti lebih lanjut untuk digunakan secara rutin. Tes fern juga,
dapat mendeteksi kebocoran cairan amnion pada membrane yang mengelilingi
fetus selama kehamilan. 5,15
c. Spesimen
Masukkan spekulum vagina ke dalam introitus vagina yang sebelumnya
telah dibersihkan dengan air. Jangan gunakan air pada saat pemeriksaan
karena dapat mengganggu hasil dari pemeriksaan.15,16
d. Cara kerja
1. Ambil swab kemudian teteskan cairan atau sapukan swab tersebut ke atas
kaca objek yang telah di beri label nama pasien sebelumnya.
2. Letakkan kaca objek pada permukaan yang rata.
10
3. Biarkan spesimen mengering dalam suhu ruangan (kurang lebih 10
menit) atau dikeringkandengan cara melewatkannya di atas lampu
spritus beberapa kali agar benar-benar kering tidak terpengaruh oleh
kelembaban udara.
4. Periksa spesimen tersebut di bawah mikroskop kekuatan rendah tanpa
menggunakan deglass untuk menilai ferning yang tidak khas atau pola
dari ferning. Lalu periksa kembali pada pembesaran 40x untuk menilai
pola kristalisasi dari spesimen. 9,15,16
e. Hasil Pemeriksaan
Ferning mengacu pada derajat dan pola kristalisasi yang diamati ketika
lendir serviks kering dipermukaan kaca. Dalam hal ini jenis gambaran
ferning dapat bervariasi dan bergantung misalnya pada tebal siapan atau
jumlah sel. Skor (nilai) yang dipakai pada evaluasi lender serviks adalah:11
A. 0= Tidak ada kristalisasi
B. 1= Terjadi kristalisasi dengan pembentukan daun pakis yang hanya
mempunyai batang primer saja (atipik)
C. 2= Pembentukan daun pakis dengan mayoritas hanya batang primer dan
sekunder.
D. 3= Pembentukan daun pakis dengan batang primer, sekunder, tersier dan
kuartener
A B
D
C
Gam
bar 6: Contoh pembentukan pakis lendir serviks pada kaca slide yang telah keringkan di udara. A)
ferning: 1, batang utama; 2, batang sekunder; 3, batang tersier; 4, batang kuaterner (skor 3); (B)
batang primer dan sekunder (skor 2) tetapi beberapa terdapat juga batang tersier (C) atipikal pakis
kristalisasi (skor 1); (D) tidak ada kristalisasi (skor 0). (kepustakaan: WHO. WHO laboratory
manual for the examination and processing of human semen. World Health organization; 2010: P.
245-250 )
11
IV. KESIMPULAN
12
evaluasi infertilitas. Pelaksanaan Tes Fern dilakukan dengan cara mengoles
sampel lendir pada kaca gelas lalu dikeringkan. Kemudian diamati dengan
mikroskop perbesaran 10x10 dan ditentukan nilai ferning berdasarkan pedoman
penilaian ferning lendir serviks menurut WHO. Ketika sampel lendir serviks
dioleskan pada kaca gelas lalu dikeringkan, lendir serviks akan mengering dan
akan tampak gambaran daun pakis (fern-like pattern). Bentuk daun pakis akan
lebih jelas apabila diambil sampel lendir pada waktu yang mendekati ovulasi .
Ferning mengacu pada derajat dan pola kristalisasi yang diamati ketika lendir
serviks kering dipermukaan kaca.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham, FG. Williams Obstetric. 24th edition. United States, New York :
McGraw-Hill Education; 2014. p. 48-49, 168
2. Speroff L, Fritz MA. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. 8th
edition. United Kingdom: Lippincott Williams & Wilkins; 2011. p. 1168 -
1169
3. Menarguez M, Pastor LM, Odebald E. Morphological Characterization Of
Different Human Cervical Mucus Types Using Light And Scanning Electron
Microscopy. Human Reproduction; 2003; 18(9): p. 1782-1789
13
4. Sofoewan M. Endometrium dan desidua. In: Ilmu Kebidanan. Saifuddin AB,
Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. 4th ed. Bina Pustaka. Jakarta.; 2010. p. 136
5. Roland Maxwell. The Fern Test, A critical analysis. Am. J. Obst. & Gynecol.
11 (01). 1958. p: 30-34
6. Caughey, A.B., Robinson, J.N., Norwitz, E.R. Contemporary Diagnosis and
Management of Preterm Premature Rupture of Membranes. Rev Obstet
Gynecol. 2008;1(1):11-22
7. U.S Congress Office of Technology Assessment. Infertility: Medical and
Social Choices. Washington D.C: U.S. Government Printing Office; 1998.
p.104.
8. Nakano F, Barros R. Inssight into the role of cervical mucus and vaginal pH
in unexplained infertility. Medical express journa; 2015: p. 2-3
9. Odeblad E. Discovery of different types of cervical mucus and the billings
ovulation method. Bulletin of ovulation method research and reference centre
of Australia; 1994; 21(3): p. 2-5.
10. Daunter B, councilman C. Cervical mucus: its structure and posibbel
biological functions. European Journal of Obstetric & Gynecology and
Reproductive Biology ; 1979: p. 141-142.
11. WHO. WHO laboratory manual for the examination and processing of human
semen. World Health organization; 2010: P. 245-250
12. Mardiati SM. Perbandingan Kadar Garam Natrium dan Kalium pada Tes
Ferning Lendir Mulut. Jurnal Sains dan Matematika 2007; 15(1); ISSN 0854-
0675: p.5-7.
13. Pernoll, L. M. Benson & Pernoll’s. Handbook of Obstetric and Gynecology.
10th edition. United States, Kansas : McGraw-Hill Education; 2001. p. 51,
242, 243, 773.
14. Hestiantoro A. Infertilitas. In: Ilmu Kandungan. Anwar M, Baziad A, Prabowo
RP. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta; 2011. p. 424-435.
15. Hamill T. Fern Test Examination of Amniotic Fluid by Microscopy. UCSF
Medical Center Laboratory Medicine. 2013. P.1
14
16. Wallace N. Procedure: Fern test. Johns Hopkins Medical institution. 1999. p:
1-2
15