Anda di halaman 1dari 12

CHECKS AND BALANCES DALAM SISTEM KETATANEGARAAN

INDONESIA
HUKUM TATA NEGARA

Nama Kelompok :
1) Eka Wahyu Pramudita (1704551218)
2) Kadek Wifika Novithasari (1704551225)
3) I Gusti Ayu Pradnyahari Oka Sunu (1704551229)
4) Komang Ayu Dina Maylina (1704551237)
5) Ida Ayu Made Manik Nareswari (1704551240)
6) Ketut Dinda Aldhea Adjani Dwijaya (1704551241)
7) Made Lia Indah Sari (1704551243)
8) Kadek Indah Bijayanti (1704551244)
9) Shinta Putri Maulidia Utomo (1704551246)
10) Made Kitty Putri Swari (1704551263)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
BUKIT JIMBARAN
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan dengan penuh suka cita atas kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa yang senantiasa melimpahkan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Adapun maksud dan tujuan penyusunan ini adalah karya tulis ini
dapat menjadi sarana bagi penulis, dalam memberikan sumbangsih pikiran penulis.

Penyelesaian ini, tentunya tidak terlepas dari dukungan dan bantuan semua pihak.
Untuk itu, melalui kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih dan rasa hormat
sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.

Namun, disadari bahwa apapun yang tertuang dalam karya tulis ini masih butuh
kesempurnaan, karena dibuat oleh manusia yang tidak terlepas dari kesalahan dan kekhilafan.
Untuk itu, keberadaan tulisan ini masih sangat membutuhkan kritik dan saran dari semua
pihak.

Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis ini, dapat bermanfaat bagi setiap insan
yang membacanya, khususnya bagi insan yang mengabdikan dirinya untuk mencari ilmu dan
berbagi ilmu antarsesama di seluruh Indonesia.

Jimbaran, 1 Februari 2018

Penulis

DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Terkonsentrasinya kekuasaan hanya pada satu tangan (eksekutif) pernah dipraktikan


pada Pemerintahan Orde Baru sedemikian lama (30 tahun). Dengan sistem penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahan yang sentralistik bisa dipastikan tidak ada sistem yang menjamin
adanya perimbangan kekuasaan (checks and balances).

Tumbangnya Orde Baru dan kemenangan gerakan reformasi yang berhasil melaukan
perubahan (amandemen) UUD 1945, berdampak pada perubahan sistem Ketatanegaraan
Indonesia secara fundamental dari pembagian kekuasaan (distribution of power) menjadi
pemisahan kekuasaan dengan prinsip check and balances. Dengan demkian merubah pula
pola hubungan antar lembaga-lembaga negara seperti MPR bukan lagi lembaga tertinggi
negara, termasuk pada hubungan pemerintah pusat dan daerah serta mekanisme checks and
balances di daerah. Laju reformasi yang menghantarkan Negara Republik Indonesia menuju
negara yang lebih demokratis ditandai dengan diamandemennya Undang-Undang Dasar
1945. Amandemen ini dilakukan berangkat dari pengalaman sejarah bahwa dimasa era
pemerintahan orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto yang tampil sebagai pemimpin
yang otoriter atau tidak demokratis. Karena Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli
memberikan dominan kekuasaan yang sangat besar kepada presiden sehingga kekuasaan
terpusat kepada satu lembaga yaitu lembaga kepresidenan (executive heavy). Hal ini
berakibat pada tidak terjadinya mekanisme check and balances diantara lembaga negara.
Sehingga perubahan konstitusi (rekonstitusi) dipandang sebagai syarat untuk memfasilitasi
proses transformasi ke arah konsolidasi demokrasi. Namun sebenarnya konsep pemisahan
kekuasaan (separation of powers) seperti ini, sebagaimana yang diidealkan oleh Montesquieu
dalam trias politica, banyak para ahli menganggap tidak relevan lagi untuk diterapkan,
khususnya antara lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif ditempatkan terpisah dan tidak
bersentuhan.

Pola hubungan antara lembaga legislatif dan eksekutif yang dibangun menurut prinsip
check and balances merupakan konsekuensi dari prinsip pemisahan kekuasaan (separation of
powers). Melalui mekanisme check and balances ini diharapkan cabang kekuasaan negara,
dalam hal ini khususnya lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif dapat saling
mengontrol dan saling mengimbangi satu sama lain.

1.2 Rumusan Masalah


1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini untuk :
1. Mengetahui penerapan checks and balances dalam penyelenggaraan Pemerintah di
Indonesia
2. Mengetahui perkembagan check and balance di Indonesia
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan check and balance
Masalah pembagian atau pemisahan kekuasaan telah lama menjadi perhatian dari para
pemikir kenegaraan. Pada abad 19 muncul gagasan tentang pembatasan kekuasaan pemerintah
melalui pembuatan konstitusi, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, selanjutnya tertuang dalam
apa yang disebut konstitusi. Konstitusi tersebut memuat batas-batas kekuasaan pemerintah dan
jaminan atas hak-hak politik rakyat, serta prinsip check and balances antar kekuasaan yang ada.
Pembatasan konstitusi atas kekuasaan negara ini selanjutnya dikenal dengan istilah
konstitusionalisme. Konstitusionalisme kemudian memunculkan konsep rechstaat (dari kalangan ahli
hukum Eropa Kontinental) atau rule of law (dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon) yang di Indonesia
diterjemahkan dengan Negara Hukum.Immanuel Kant dalam pandangannya mengenai negara
hukum menyatakan bahwa syarat/ciri negara hukum adalah adanya perlindungan HAM dan
pemisahan kekuasaan. Begitu pun Friedrich dengan tegas dalam tugastugas kenegaraan yang secara
karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu dalam tiga bagian, yaitu legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Sebaliknya, apabila pembagian kekuasaan tidak dipertahankan secara tegas,
hal itu disebut pemisahan kekuasaan dalam arti formil. Pemisahan kekuasaan dalam arti materiil
sering disebut dengan istilah ”separation of power”, sedangkan pembagian kekuasaan dalam arti
materiil sering disebut “devision of power”.
2.2 Perkembangan check and balance di Indonesia
Reformasi tahun 1998 telah banyak mempengaruhi dan membawa perubahan yang
mendasar dalam segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu perubahan mendasar
yang terjadi dalam ketata negaraan adalah perubahan konstitusi dengan dilakukannya
amandemen terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 sampai empat kali mulai
tahun 1999 sampai tahun 2002. Amandemen terhadap UUD Tahun 1945 tersebut telah
merubah struktur ketatanegaraan Republik Indonesia dengan adanya perubahan pada
lembaga-lembaga tinggi negara.
Amandemen UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan publik yang disuarakan dalam
gerakan reformasi. Reformasi yang menginginkan adanya perubahan dalam tatanan
kehidupan politik dan sistem kenegaraan sudah selayaknya diatur dalam format yuridis dalam
konstitusi. Untuk itu, amandemen UUD 1945 tak terelakkan lagi dalam rangka mereformasi
kehidupan politik di Indonesia, yang semasa orde baru dianggap otoritarianisme menuju
kepada kehidupan politik yang demokratis. Reformasi hukum tata negara harus diarahkan
untuk melakukan perubahan-perubahan dari elemen-elemen otoritarianisme ke arah elemen-
elemen demokrasi yang sesungguhnya. Setiap pasal perubahan atau amandemen UUD 1945
harus di-chek dan recheck apakah sudah dapat menghilangkan potensi otoritarianisme atau
intervensi dan dominasi eksekutif/presiden di dalamnya. Tidak hanya potensi otoritarianisme
dari lembaga kepresidenan, tetapi juga kemungkinan oleh lembaga yang dikonstruksikan
dalam konstitusi.
Pengalaman ketatanegaraan Indonesia menunjukkan bahwa banyaknya
penyimpangan kekuasaan pada masa lalu secara yuridis disebabkan oleh besarnya kekuasaan
Presiden yang diberikan oleh UUD 1945 (sebelum amandemen). Sesuai ketentuan UUD
1945, Presiden memiliki kekuasaan yang sangat luas. Sistem ketatanegaraan Indonesia,
setelah perubahan UUD 1945 menganut prinsip checks and balances. Prinsip ini dinyatakan
secara tegas oleh MPR sebagai salah satu tujuan perubahan UUD 1945, yaitu
menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern,
melalui pembagian kekuasaan, sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and
balances) yang lebih ketat dan transparan. Suatu pendapat menyatakan bahwa salah satu
tujuan perubahan UUD NRI Tahun 1945 adalah untuk menyempurnakan aturan dasar
penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian
kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi (check and
balances) yang lebih ketat dan transparan, dan pembentukan lembagalembaga negara yang
baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.
Hubungan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif di Indonesia dapat
digambarkan, sebagai berikut:
a. Hubungan antara legislatif dan eksekutif
Keseimbangan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif telah diletakkan landasannya secara
konstitusional dalam UUD 1945 setelah amandemen. UUD 1945 hasil amandemen tidak lagi
menempatkan lembaga MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang memilih Presiden dan
Wakil Presiden. Artinya, tidak ada lembaga dalam negara yang memiliki posisi di atas
lembaga yang lain. MPR bukan lagi berada di atas Presiden, dan Presiden bukan lagi
mandataris MPR yang kedudukannya sangat tergantung pada MPR. Melalui amandemen
UUD 1945 telah terbangun sistem ketatanegaraan yang membawakan sifat egalitarian di
antara lembaga-lembaga negara yang ada. Sebab, ketika ada lembaga yang memiliki
kedudukan tertinggi, berarti secara yuridis konstitusional lembaga tersebut berhak melakukan
tindakan apa saja tanpa dapat dikontrol oleh lembaga yang lain. Hal ini kurang sesuai dengan
jiwa demokrasi yang mengandung nilai kesetaraan, dalam hal ini adalah kesetaraan di antara
lembaga-lembaga negara di dalamnya. Antara DPR dan Presiden terdapat hubungan yang
secara garis besar dapat nyatakan dalam dua hal, yaitu hubungan yang bersifat kerjasama, dan
hubungan yang bersifat pengawasan. Kedua lembaga itu harus bekerjasama dalam pembuatan
undangundang, termasuk Undang-Undang APBN. Melalui amandemen UUD 1945,
kewenangan membuat undang-undang telah diletakkan pada porsi yang sesuai, yaitu DPR.
Hal yang masih perlu menjadi perhatian adalah bagaimana agar dalam praktek, DPR lebih
berperan dalam pengajuan rancangan undang-undang. Sebab selama ini inisiatif untuk
membuat rancangan undang-undang hampir semuanya datang dari pemerintah atau Presiden.
Hubungan antara Presiden dan DPR yang bersifat pengawasan, tampak bahwa pengawasan
yang dilakukan oleh DPR terhadap kebijakan pemerintah telah berjalan lebih baik
dibandingkan dengan era sebelumnya. Bahkan pengawasan tersebut kadang-kadang terkesan
berlebihan di mana DPR mempersoalkan kebijakan pemerintah yang semestinya tidak perlu
dipersoalkan. Di sisi lain, dalam hal-hal tertentu pengawasan itu tidak ada tindak lanjut yang
jelas
. b. Hubungan antara eksekutif dan yudikatif.
Titik simpul dalam hubungan antara eksekutif dan yudikatif terletak pada kewenangan
Presiden untuk melakukan tindakan dalam lapangan yudikatif, seperti memberi grasi,
amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Amandemen UUD 1945 juga telah memberikan landasan
bagi terwujudnya keseimbangan itu, di mana untuk memberikan grasi dan rehabilitasi
Presiden harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, dan untuk memberikan a m
n e s t i d a n a b o l i s i h a r u s mempertimbangkan pertimbangan DPR. Hal ini merupakan
pengurangan atas kekuasaan Presiden menurut UUD 1945 (sebelum amandemen), yang
sering dikatakan sebagai kekuasaan yang terlalu berat pada eksekutif (executive heavy).
b. Hubungan antara legislatif dan yudikatif.
Hubungan antara legislatif dan yudikatif terkait bagaimana keberadaan dua lembaga itu
berperan mewujudkan sistem perundangundangan yang isinya tidak bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi. Undangundang sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-
undangan adalah produk lembaga legislatif. Di pihak lain, ada kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, yang memungkinkan
ketentuan dalam undangundang dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan UUD. Ini
berarti Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewenangan di bidang legislatif dalam
pengertian negatif (negative legislation).

2.3 Implementasi mekanisme checks and balances dalam sistem kelembagaan negara

Indonesia

1. Konsep Pemisahan Kekuasaan (Separation of Power) di Indonesia

Sebelum masuk kepada bagaimana pengimplementasian mekanisme checks and

balances pada sistem kelembagaan di Indonesia, harus diketahui terlebih dahulu semenjak

amandemen UUD 1945 yang merubah pasal 1 ayat 2 mengenai kedudukan MPR yang berbunyi

“Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan

Rakyat” yang dapat ditafsirkan bahwa MPR lah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atau

disebut juga lembaga tertinggi negara yang sekarang pasal tersebut dihapus yang berakibat

berubahnya kedudukan MPR sebagai lembaga negara tertinggi menjadi setara dengan lembaga

negara lainnya. Artinya bahwa terjadi perubahan konsep pemisahan kekuasaan pada lembaga

negara di Indonesia. Mengapa demikian ?

Awal mulanya sebagai pelaksana tertinggi kedaulatan rakyat yang memiliki kekuasaan

tertinggi hubungan MPR dengan lembaga tinggi negara lain, semisal Presiden dan DPR ialah

subordinatif. Hubungan subordinatif ini berimpilkasi bahwa pada masa sebelum amandemen

UUD 1945 Indonesia menganut sistem Distribution of Power atau pembagian kekuasaan.

Karena dari Majelis inilah kekuasaan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dibagibagikan
secara vertikal kedalam lembaga-lembaga lain yang berada dibawahnya.2

Namun, setelah amandemen ketiga UUD 1945 yang mengahapus pasal 1 ayat 2

tersebut, kedaulatan rakyat dibagi-bagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya

menjadi kekuasaan-kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang


sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and balances.3

Jadi disimpulkan bahwa setelah perubahan tersebut Indonesia memakai sistem separation of

power atau pemisahan kekuasaan meskipun tidak murni.


2. Terciptanya mekanisme check and balances pada kelembagaan negara seiring

dengan reformasi dan amandemen UUD1945

Setelah reformasi terjadi empat kali amandemen UUD 1945, yaitu tahun 1999, 2000,

2001, dan 2002. Amandemen ini membawa perubahan yang sangat besar baik terutama dari

sisi kelembagaan negara. Perubahan setelah amandemen ialah pola hubungan antara lembaga

negara yang tidak lagi atas-bawah (vertikal/subordinatif) melainkan sejajar

(horizontal/koordinatif). Tidak ada lagi lembaga tertinggi negara melainkan hanya lembaga

tinggi negara. Sebagai negara presidensil Indonesia telah kembali kepada jalurnya, yakni

presiden bukan lagi sebagai mandatoris MPR. Walaupun pada praktiknya sekarang perlu

dipertanyakan.

Dengan perubahan-perubahan pola hubungan pada sistem kelembagaan negara yang

merupakan tuntutan reformasi ikut juga lahir suatu mekanisme pada proses penyelenggaraan

negara di Indonesia, yakni mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and

balances) antar lembaga negara. Mekanisme checks and balances juga merupakan salah satu

tuntutan reformasi, yakni demi terciptanya penyelenggaraan negara yang lebih baik dan

menghindari terlalu absolutnya wewenang suatu organ kekuasaan, yang pada orde baru

lembaga kepresidenan lah tersangka utamanya.

Dengan pola baru tersebut Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap merupakan lembaga

tersendiri di samping fungsinya sebagai rumah penjelmaan seluruh rakyat yang terdiri atas

anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang sama-sama

mempunyai kedudukan sederajat dengan Presiden dan pelaksana kekuasaan kehakiman yang

terdiri atas Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Ketiga cabang kekuatan legislatif,

eksekutif dan yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai

dengan prinsip checks and balances. Dengan adanya prinsip ini maka kekuasaan negara dapat

diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan

oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki

jabatan dalam lembaga negara dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.

4 Pentingnya mekanisme checks and balances ini supaya antar lembaga negara saling mengawasi

dan membatasi agar satu lembaga negara tidak memiliki kekuasaan yang absolut. Karena

seperti kata-kata Lord Acton yang terkenal, yaitu “power tends to corrupt and absolute power

corrupts absolutely”. Bahwa lahirnya mekanisme ini selaras dengan reformasi dan cita-cita
konstitusi.

2.4 Check andBalance dalam Lembaga Pemerintahan

Berkenaan dengan pembatasan kekuasaan negara, transisi demokrasi di Indonesia yang dilakukan
melalui Amandemen UUD 1945 telah memproduksi lahirnya lembaga-lembaga negara baru. Berbagai
komisi bertebaran, berbagai mahkamah baru bermunculan. Di dalam amandemen UUD 1945 pun
banyak muncul pengaturan mengenai lembagalembaga negara yang baru, diantaranya adalah
mengenai Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial dan Dewan perwakilan daerah.

Selain itu, adanya mekanisme check and balances pasca amandemen UUD 1945 mengakibatkan
terjadinya perimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara, hal tersebut

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat

Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi sejajar kedudukannya dengan lembaga-lembaga negara


yang lain, seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK dan KY. Ini dapat diartikan sebagai penghilangan
supremasi MPR, dan digantikan dengan supremasi konstitusi.

Amandemen UUD 1945 juga menghilangkan kewenangan dari MPR untuk menetapkan GBHN, dan
mengangkat Presiden. Selain itu, susunan keanggotaannya pun berubah, yaitu terdiri dari anggota
DPR dan DPD. Jadi pada hakikatnya, MPR memang tetap dapat disebut sebagai suatu institusi,
meskipun kedudukannya tidak lagi disebut tertinggi.

berarti tidak ada lagi lembaga negara yang

MPR hanya memiliki kewenangan yang terbatas, begitu pula dalam sistem check and balances.
Menurut Jimly Asshidiqqie, MPR tetap dapat dipahami sebagai satu institusi, yaitu sebagai nama dari
lembaga parlemen Indonesia. Pada pokoknya, kedaulatan rakyat Indonesia disalurkan melalui
lembaga MPR, namun strukturnya diorganisasikan terdiri dari dua kamar, yaitu DPR dan DPD.
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa, MPR hanya memiliki keterkaitan secara lembaga dengan DPR,
DPD dan Presiden.

2. Dewan Perwakilan Rakyat

Dewan Perwakilan Rakyar memiliki kekuasaaan superior dibandingkan yang lainnya. Kewenangan
DPR pasca amandemen UUD 1945 menjadi semakin kuat dibandingkan sebelumnya. Hal yang paling
jelas terlihat adalah dengan diperkuatnya fungsi DPR dalam bidang legislasi (membentuk UU), karena
sebelumnya, DPR hanya berhak memberikan persetujuan saja. Setelah amandemen ini, pemerintah
tetap berhak mengajukan RUU, namun apabila RUU sudah disetujui oleh DPR namun pemerintah
tidak mensahkannya, RUU tersebut tetap menjadi UU.

Selain itu, amandemen UUD 1945 juga mempertegas fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan
pengawasan. Apabila dilihat dari adanya sistem check and balances antar lembagalembaga negara,
DPR memiliki keterkaitan dengan DPD dalam menyusun RUU yang ada kaitannya dengan daerah,
selain itu DPR harus mendengarkan saran DPD berkaitan dengan penyusunan RAPBN. Dengan
Presiden, DPR memiliki kewenangan untuk mengawasi jalannya pemerintahan, jalannya pelaksanaan
dari APBN dan UU. Selain itu, berkaitan dengan adanya check and balances antar lembaga-lembaga
negara, DPR juga memiliki kewenangan dengan :
a. Presiden, berkaitan dengan pemberian pertimbangan terhadap pengangkatan Duta Besar
(Pasal 13 ayat 2), menerima Duta Besar dari negara lain (pasal 13 ayat 3), pemberian amnesti dan
abolisi

(pasal 14 ayat 2)

b. Mahkamah Agung, berkaitan dengan pengangkatan hakim agung (Pasal 24A).

c. Komisi Yudisial, berkaitan dengan pengangkatan anggota Komisi

Yudisial (Pasal 24B).

d. Mahkamah Konstitusi, terkait apabila Presiden dan atau wakil presiden diduga melakukan
pengkhianatan kepada negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan

tercela ( pasal 7B)

e. Badan Pemeriksa Keuangan, berkaitan dengan pengangkatan anggota BPK


(dengan

mempertimbangkan saran DPD)

3. Dewan Perwakilan Daerah

Berbicara tentang DPD, Anggota DPD dipilih secara langsung melalui pemilu. DPD sejatinya adalah
salah satu lembaga perwakilan yang berisi orangorang pilihan rakyat. Namun kekuasaan DPD jika
dibandingkan dengan DPR, sangatlah kecil.Jika dipetakan kewenangan kewenangan DPD
sebagaimana dapat diambil dari ketentuan pasal 22 D ayat 1 dan ayat 2 hanyalah terbatas dalam
masalah masalah tertentu dibawah ini ;

1. Dapat mengajukan rancangan UU

DPD dapat mengajukan RUU (tanpa boleh ikut menetapkan atau memutuskan dalam bidanh
bidang tertentu yaitu : otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengembangan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah.

2. Ikut membahas rancangan UU

Tanpa boleh ikut menetapkan atau memutuskan, DPD boleh ikut membahas RUU dalam
bidang : Otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengembangan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah.

3. Memberi pertimbangan

DPD diberi kewenangan untuk memberikan pertimbangan atas RUU yang berkaitan dengan
rancangan APBN, pajak, pendidikan dan agama serta memberikan pertimbangan (diluar
RUU) dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

4. Dapat Melakukan Pengawasan

DPD juga dapat melakukan pengawasan dalam pelaksanaan bidang-bidang : Otonomi


daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengembangan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan
keuangan pusat dan daerah, APBN, pajak, pendidikan dan agama
Kewenangan yang sangat terbatas itu dan dapat dikatakan menyebabkan DPD hanya sebagai
formalitas konstitusional belaka disebabkan oleh kompromi yang melatarbelakangi
pelaksanaan amandemen.

Anda mungkin juga menyukai