Anda di halaman 1dari 8

NAMA : I GUSTI MADE ROTHMANS JANUARTA

NIM : 045245569

PRODI : ILMU HUKUM

MATKUL : SISTEM HUKUM INDONESIA

TUGAS 2

Pertanyaan Soal 1 :

Eksistensi DPD dimunculkan pertama kali dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar
1945 tahun 2001. Ketentuan-ketentuan terkait fungsi DPD sebagaimana yang dicantumkan
dalam Pasal 22 D UUD 1945. Namun sebenarnya apabila dicermati isi ketentuan Pasal 22 D
UUD 1945 dapat dikatakan bahwa fungsi DPD terkait legislasi, kontrol, bugeting dan/atau
rekrutmen adalah bersifat terbatas.
Silakan anda buktikan bahwa isi Pasal 22 D UUD 1945 menunjukkan fungsi DPD terkait
legislasi, kontrol, budgeting dan/atau rekrutmen adalah terbatas.
Tanggapan soal 1 :

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah menghasilkan beberapa lembaga negara


baru, salah satunya adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Yang menjadi gagasan dasar
pembentukan DPD adalah keinginan untuk mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus
memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik
untuk soal-soal yang terutama berkaitan langsung dengan daerah.1 Keinginan tersebut
berangkat dari pemikiran bahwa pengambilan putusan yang bersifat sentralistik pada masa lalu
ternyata telah mengakibatkan meningkatnya ketidakpuasan daerah-daerah yang telah sampai
pada tingkat yang membahayakan keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional.2 Anggota
DPD menggantikan Utusan Daerah sebagai salah satu unsur dalam komposisi keanggotaan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
DPD memiliki fungsi dan kewenangan yang salah satunya terkait dengan pembentukan
undang-undang. Kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang telah diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Terdapat tiga
kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang yang disebutkan oleh Pasal 22D UUD
1945, yaitu: “dapat mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR)”, “ikut membahas RUU”, dan “memberikan pertimbangan kepada DPR”,
terhadap rancangan undang-undang tertentu. Ketentuan dalam UUD 1945 memerlukan
penjabaran atau pengaturan lebih lanjut. Pada saat ini terdapat dua undangundang yang
menjabarkan ketentuan tersebut, yaitu Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Penjabaran ketentuan di dalam kedua undangundang tersebut
menerjemahkan ketentuan mengenai beberapa hal, misalnya “DPD mengajukan RUU kepada
DPR” maka RUU tersebut kemudian menjadi RUU DPR; “DPD ikut membahas RUU tertentu”
maka pembahasan tersebut dilakukan sebatas memberikan pandangan dan pendapat.
Sedangkan “memberikan pertimbangan” dijabarkan bahwa pertimbangan tersebut dalam
bentuk tertulis dan disampaikan sebelum dimulainya pembahasan.
Ketentuan di dalam kedua undang-undang tersebut memunculkan keberatan DPD yang
menganggap ketentuan tersebut mereduksi kewenangan yang seharusnya atau yang diberikan
oleh UUD 1945. Kemudian DPD mengajukan uji materi terhadap kedua undang- undang
tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Hal yang dimohonkan oleh DPD adalah:
1. Kewenangan DPD dalam mengusulkan RUU sebagaimana diatur di dalam Pasal 22D ayat
(1) UUD 1945, yang menurut DPD, RUU dari DPD harus diperlakukan setara dengan RUU
dari Presiden dan DPR;
2. Kewenangan DPD ikut membahas RUU yang disebutkan dalam Pasal 22D UUD 1945
bersama DPR dan Presiden;
3. Kewenangan DPD memberi persetujuan atas RUU yang disebutkan dalam Pasal 22DUUD
1945;
4. Keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas yang menurut DPD sama halnya
denganketerlibatan Presiden dan DPR;
5. Kewenangan DPD memberi pertimbangan terhadap RUU yang disebutkan dalam Pasal22D
UUD 1945;

Mahkamah Konstitusi telah melakukan sidang dan telah memutuskan permohonan judicial
review tersebut. Putusan Mahhkamah Konstitusi pada dasarnya adalah mengabulkan sebagian
permohonan DPD, bukan semua permohonan. Namun demikian putusan yang menerima
permohonan DPD dapat dikatakan memberikan perubahan besar pada pelaksanaan fungsi DPD
di bidang legislasi. Dengan demikian, menjadi kajian yang menarik, bagaimana memahami
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dan bagaimana mengimplementasikannya.
Berkenaan dengan fungsi legislasi DPD, Tim Hukum Pusat Pengkajian dan Pelayanan
Informasi, Sekretariat Jenderal DPR pada tahun 2003 telah melakukan Penelitian mengenai
“Ruang Lingkup dan Mekanisme Pelaksanaan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah”.
Dilihat dari tahun penelitian yang dilakukan, dapat diketahui undang-undang yang dianalisis
adalah UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Namun demikian, isu-isu yang terdapat dalam putusan MK tersebut telah menjadi obyek
penelitian. Penelitian juga menggunakan metode historis dengan membandingkan keberadaan
Senat pada masa berlakunya Konstitusi RIS. Kesimpulan penelitian juga menemukan
kelemahan yang salah satunya adalah kewenangan yang dimiliki DPD tidak seimbang dengan
ongkos dan nilai pemilihan umum yang demokratis.3 Sementara analisis dalam kajian ini,
meskipun menyinggung juga peraturan yang melandasi mekanisme kerja DPD periode
sebelumnya, namun akan lebih dikaitkan dengan peraturan yang berlaku pada DPD periode
sekarang, yaitu UU No. 27 Tahun 2009 dan UU No. 12 tahun 2011 yang menjadi obyek dalam
uji materi yang diajukan oleh DPD kepada Mahkamah Konstitusi.
Proses amandemen UUD 1945 telah melahirkan beberapa lembaga negara baru sebagai
konsekuensi pelaksanaan demokrasi dalam kerangka penciptaan pemerintahan yang bersih dan
akuntabel. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dibentuk sebagai pemenuhan keterwakilan
aspirasi daerah dalam tatanan pembentukan kebijakan ditingkat pusat. Pasal 22D UUD 1945
telah menyebutkan kewenangan DPD dibidang legislasi yakni pengajuan RUU tertentu, ikut
membahas bersama DPR dan Pemerintah terhadap penyusunan RUU tertentu, pemberian
pandangan dan pendapat terhadap RUU tertentu, pemberian pertimbangan terhadap RUU
tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, serta
pengawasan terhadap pelaksanaan UU tertentu.
Pertanyaan Soal 2 :

Buktikan bahwa perjanjian enga nis dengan pihak ketiga yang dilakukan salah satu pesero CV
CM tanpa persetujuan dari pesero lain adalah sah berdasarkan ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata!
Tanggapan Soal 2:

Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata

Pasal 1320 ayat (1) menyatakan enga ni salah satu syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan
adanya “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”. Pasal 1338 ayat (1) menentukan bahwa
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang
membuatnya”.
Berdasar pasal dalam KUH Perdata tersebut, dapatlah dikatakan berlakunya asas
konsensualisme di dalam hukum perjanjian memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak.
Tanpa “sepakat” dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat
tidak sah, sehingga dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya.
Sepakat yang diberikan dengan paksa disebut Contradictio interminis, adanya paksaan
menunjukkan tidak adanya sepakat.
Adanya enga nis dari para pihak, maka menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian
sebagaimana undang-undang (pacta sunt servanda). Asas pacta sunt servanda menjadi
kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga kewajiban
hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati, konsekuensinya hakim maupun pihak ketiga tidak
boleh mencampuri isi perjanjian yang dibuat para pihak tersebut.
Perkataan “semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang enga n dikenal
maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas ini berhubungan enga nisi perjanjian,
yaitu kebebasan menentukan “apa” dan “siapa” perjanjian diadakan. Perjanjian yang dibuat
sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat (Badrulzaman,
2001:84).
Maka dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa syarat sahnya perjanjian Pasal 1320 KUH
Perdata yaitu : adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; Tuan Ali meminjam
uang dari Nn. Barbie sebesar Rp. 400 juta sebagaimana tertuang didalam akta pengakuan
hutang No. 22 yang dibuat dihadapan notaris pada tanggal 10 Januari 2017 dan uang tersebut
harus dikembalikan selambat-lambatnya tanggal 10 April 2017, kecakapan untuk membuat
suatu perikatan;. Suatu pokok persoalan tertentu;, suatu sebab yang tidak terlarang.
Sumber Referensi :

https://pn-bandaaceh.go.id/pembatasan-asas-freedom-of-contract-dalam-
perjanjiankomersial/#:~:text=Pasal%201320%20ayat%20(1)%20menyatakan,%2Dund
ang %20bagi%20yang%20membuatnya%E2%80%9D.
Pertanyaan Soal 3 :

Silakan dianalisis cara menentukan perbuatan “penyalahgunaan wewenang” yang dilakukan


oleh pejabat pemerintah berkualitas sebagai mal-adminstrasi, dengan indikator yang digunakan
adalah :
1. Ketentuan perundang-undangan, yakni UU No. No.30 Tahun 2014 tentang
AdministrasiPemerintahan.
2. Asas Spesialitas dalam pemberian wewenang.

Tanggapan soal 3 :

1. Perkara korupsi saat ini merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk dibicarakan.
Apalagi jika tindak pidana korupsi dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang terkenal
dan memiliki image bersih dan merakyat. Tindak pidana korupsi oleh pejabat
pemerintah kebanyakan diawali dengan adanya penyim- pangan administratif. Patokan
untuk melihat hal tersebut yang pertama adalah apakah ada samenhang antara klausula
yang menye- babkan terjadinya penyimpangan adminis- tratif dengan kerugian yang
menjadi kon- sekuensinya. Sebagai contoh PP No. 10 Ta hun 2000 yang menyeret
anggota DPRD karena menafsirkan kata “dan lain-lain” un- tuk membayarkan premi
asuransi para ang- gota DPRD tersebut. Dimana jika terjadi kerugian keuangan negara
maka sudah dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Kedua adalah
mengenai pertanggungja- waban terhadap penyalahgunaan wewenang yang
menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi. Pertanggungjawaban tersebut menu-
rut Hukum Administrasi merupakan tang- gungjawab yang bersifat tunggal yang
artinya top leaderlah yang menjadi pelaku utama- nya.
Ketiga adalah kata “dapat” dalam frasa “dapat menimbulkan kerugian keuangan negara
dan perekonomian negara”. Penjelasan diatas dirumuskan sebagai delik formil, yaitu
adanya tindak pidana korupsi terjadi karena sudah dipenuhi unsur-unsur yang sudah di-
rumuskan oleh delik, tidak didasarkan pada timbulnya akibat. Penjelasan ini berarti,
ada- nya potensial loss saja sudah memiliki unsur yang cukup untuk membuktikan
terjadinya tindak pidana korupsi.
Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata
negara dan hukum administrasi.
Penyalahgunaan wewenang dianggap sa- ma dengan unsur melawan hukum. Seperti
kita ketahui bahwa Unsur "melawan hukum" merupakan "genus"nya, sedangkan unsur
"pe- nyalahgunaan wewenang" adalah "species" nya. "Penyalahgunaan wewenang"
subjek deliknya adalah pegawai negeri atau pejabat publik, berbeda dengan unsur
"melawan hukum" subjek deliknya setiap orang.`
Dalam pemberian suatu kewenangan kepada orang/badan dapat menimbulkan masalah
baru yaitu penyalahgunaan kewenangan. Pengertian mengenai penyalahgunaan
kewenangan dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud, yaitu:
a. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan
pribadi, kelompok atau golongan;
b. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut
adalahbenar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya;
c. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang
seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan
prosedur lain agar terlaksana.
Berdasarkan hal diatas, konsep penyalahgunaan wewenang dalam Hukum
Adiministrasi Negara dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Detournement de pouvoir atau melampaui wewenang/batas kekuasaaan Menurut
Wiktionary, “melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang
yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. 18 Berdasarkan
pengertian dalam pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia yang menguraikan unsur dari pemenuhan suatu
tindakan administrasi point kedua: “yang melampaui wewenang, atau menggunakan
wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, atau
termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan
pelayanan publik”19
b) Abuse de droit atau sewenang-wenang.
Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu
perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan
perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai
ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan
bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas). Bertindak
sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan
kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga
tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan.
Penyalahgunaan kewenangan sangat erat kaitan dengan terdapatnya ketidaksahan
(cacat hukum) dari suatu keputusan dan atau tindakan pemerintah/ penyelenggara
negara. Cacat hukum keputusan dan/atau tindakan pemerintah/ penyelenggara
negara pada umumnya menyangkut tiga unsur utama, yaitu unsur kewenangan,
unsur prosedur dan unsur substansi, dengan demikian cacat hukum tindakan
penyelenggara negara dapat diklasifikasikan dalam tiga macam, yakni: cacat
wewenang, cacat prosedur dan cacat substansi. Ketiga hal tersebutlah yang menjadi
hakekat timbulnya penyalahgunaan kewenangan.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 17
menyatakan bahwa (1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang
menyalahgunakan Wewenang. (2) Larangan penyalahgunaan Wewenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. larangan melampaui Wewenang;
b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau
c. larangan bertindak sewenang-wenang.21
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui Wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan dan/atau
Tindakan yang dilakukan:
a. melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang;
b. melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau
c. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan
Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila
Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
a. di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; dan/atau
b. bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan.

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang- wenang


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan dan/atau
Tindakan yang dilakukan:
a. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau
b. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan
hukum tetapSumber referensi :
• https://pn-bandaaceh.go.id/pembatasan-asas-freedom-of-contract-dalam-perjanjian-
komersial/#:~:text=Pasal%201320%20ayat%20(1)%20menyatakan,%2Dundang
%20bagi%20yang%20membuatnya%E2%80%9D.
• https://ntt.bpk.go.id/wp-content/uploads/2018/01/1.-tulisan-hukum-
2017_penyalahgunaan-wewenang-release.pdf

2. Dalam konsep hukum administrasi, setiap pemberian wewenang kepada suatu badan atau
kepada pejabat administrasi negara selalu disertai dengan “tujuan dan maksud“
diberikannya wewenang itu, sehingga penerapan wewenang itu harus sesuai dengan
“tujuan dan maksud“ diberikannya wewenang itu. Dalam hal penggunaan wewenang
tersebut tidak sesuai dengan “tujuan dan maksud“ pemberian wewenang itu maka telah
melakukan penyalahgunaan wewenang (“détour- nement de pouvoir”). Parameter
“tujuan dan maksud“ pembe- rian wewenang dalam menentukan terjadinya
penyalahgunaan wewenang dikenal dengan asas spesialitas (specialialiteitsbeginsel).
Asas ini dikembangkan oleh Mariette Kobussen dalam bukunya yang berjudul De Vrij-
heid Van De Overheid. Secara substansial specialialiteitsbeginsel mengandung makna
bahwa setiap kewenangan memiliki tujuan tertentu. Dalam kepustakaan hukum
administrasi sudah lama dikenal asas zuiverheid van oogmerk (ketajaman arah atau
tujuan). Menyimpang dari asas ini akan melahirkan “détournement de pouvoir”.
Penyalahgunaan wewenang dalam terdiri dari:
A. Diskresi
Philipus M. Hadjon menyatakan untuk memudahkan memberikan pemahaman ten-
tang kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi dengan cara melihat ruang
lingkupnya. Ke- kuasaan bebas atau kekuasaan diskresi me- liputi: (a) kewenangan
untuk memutus sen- diri, (b) kewenangan interpretasi terhadap norma-norma
tersamar atau vage normen (Philipus M. Hadjon, 2004:6). Pendapat Indriyanto Seno
Adji yang me- ngutip dari W. Konijnenbelt menyatakan bah- wa untuk mengukur
penyalahgunaan wewe- nang dengan menggunakan parameter seba- gai berikut: (a)
unsur menyalahgunakan ke- wenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran terhadap
peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan
negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat alternatif. (b) Asas kepatutan dalam
rangka melaksanakan suatu kebijakan atau zorgvul- digheid ini diterapkan apabila
tidak ada per- aturan dasar ataupun Asas Kepatutan ini di- terapkan apabila ada
peraturan dasar, sedang- kan peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat
diterapkan pada kondisi dan ke- adaan tertentu yang mendesak sifatnya (Indri-
yanto Seno Adji, 2009:75-76).
Parameter penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat menggunakan
peraturan perundang-undangan (written ru- les), atau menggunakan parameter asas
lega- litas; sedangkan pada kewenangan bebas (dis- kresi) parameter
penyalahgunaan wewenang menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang
baik, karena asas “wetmatigheid” tidaklah memadai.
B. Cacat Prosedur
Di dalam hukum administrasi asas legali- tas/keabsahan (legaliteit
beginsel/wetmati- gheid van bestuur) mencakup 3 (tiga) aspek yaitu: wewenang,
prosedur dan substansi. Artinya wewenang, prosedur maupun sub- stansi harus
berdasarkan peraturan perun- dang-undangan (asas legalitas), karena pada
peraturan perundang-undangan tersebut su- dah ditentukan tujuan diberikannya
wewe- nang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk mencapai
suatu tujuan serta menyangkut tentang substansinya.
Di dalam praktik peradilan sering diper- tukarkan/dicampur adukan antara
penyalah- gunaan wewenang dengan cacat prosedur yang seolah-olah cacat
prosedur itu in haeren dengan penyalahgunaan wewenang (Nur Basuki Minarno,
2009:82-85).
Terbuktinya penyalahgunaan wewenang membawa implikasi yang lebih luas diban-
dingkan dengan adanya cacat prosedur, yaitu di samping berakibat pada pencabutan
ke- tetapan (beschikking) bisa berimplikasi pidana jika dengan penyalahgunaan
wewenang menimbulkan kerugian negara.

Sumber Referensi : https://lldikti11.ristekdikti.go.id/jurnal/pdf/d3246e7b-3092-


11e8-9030-
54271eb90d3b/

Anda mungkin juga menyukai