MKFONOLOGI BAHASA
INDONESIA
SKOR NILAI:
NIM: 2181111024
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, yang berkuasa atas
seluruh alam semesta, karena berkat rahmat, taufik serta hidayah-Nya jugalah maka Critical
Journal Review mata kuliah Fonologi Bahasa Indonesia ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya.
Dalam kesempatan ini saya sebagai penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu selesainya pembuatan Critical Journal Review ini.Saya menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari kesalahan dan sangat jauh dari
sempurna.Oleh sebab itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
demi sempurnanya makalah ini.
Saya berharap semoga makalah ini dapat digunakan sebagaimana mestinya dan bisa
memberikan manfaat bagi kita semua.Semoga Tuhan yang Maha Esa mencurahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada kita semua.
Sri Yuliana S.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A.RASIONALISASI PENTINGNYA CJR ................................................................ 1
B. TUJUAN PENULISAN CJR .................................................................................. 1
C. MANFAAT CJR ..................................................................................................... 1
D. IDENTITAS JURNAL YANG DIREVIEW............................................................. 2
BAB II RINGKASAN ISI ARTIKEL ......................................................................... 4
BAB III PEMBAHASAN/ANALISIS ........................................................................ 7
A.PEMBAHASAN ISI JURNAL …………………………………………………... 7
B.KELEBIHAN DAN KEKURANGAN JURNAL ………………………………… 11
BAB IV PENUTUP ………………............................................................................. 12
A. SIMPULAN ...................................................................................................... 12
B. REKOMENDASI .................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Melakukan Critical Jurnal Review pada suatu jurnal dengan membandingkannya dengan jurnal
lain sangat penting untuk dilakukan, dari kegiatan ini lah kita dapat mengetahui kelebihan dan
kekurangan suatu jurnal. Dari mengkritik inilah kita jadi mendapatkan informasi yang kompeten
dengan cara menggabungkan informasi dari jurnal yang lain.
4.Melatih individu agar berfikir kritis dalam mencari informasi yang ada di setiap jurnal.
C.Manfaat CJR
1
D.Identitas Jurnal yang direview
JURNAL I
Nama Journal : “Pasangan Minimal” Fonem Dasar Pembelajaran Materi Fonologi Bahasa
Indonesia
Nomor ISSN :-
2
JURNAL II
Nama Journal : Analisis Pemerolehan Fonem Bahasa Indonesia Anak Usia 4 Tahun
Nomor ISSN :-
Alamat Situs :
repository.umrah.ac.id/189/1/E%20JURNAL%20DWI%20WAHYU%20RAMADHANI-
130388201103-FKIP-2017
3
BAB II
RINGKASAN ISI ARTIKEL
JURNAL I
Satu di antara sekian satuan ranah kajian fonologi adalah fonemik (Kentjono (Ed.), 1982:
31), sehingga keberadaan fonemik merupakan bagian materi pembelajaran fonologi. Sebab
fonologi sebagai cabang linguistik mempunyai dua subcabang, yaitu fonetik dan fonemik.
Pembedaan kedua subcabang tersebut sebenarnya saling melengkapi. Keberadaan fonetik berkait
dengan bunyi bahasa (yang dihasilkan oleh alat ucap), sedang keberadaan fonemik berkait dengan
wujud atau realiasi unsur bunyi yang berkorelasi atas “sistem”. Sebab apa yang disebut fonemik
adalah, “1. sistem fonem suatu bahasa; 2. prosedur untuk menentukan fonem suatu bahasa; 3.
penyelidikan mengenai sistem fonem suatu bahasa.” (Kridalaksana, 2001: 56). Bertolak dari
kutipan tersebut, tampak jelas bahwa peramasalahan pembelajaran materi fonologi berpangkal
pada fonem; dan apa yang disebut fonem adalah, “Satuan bunyi bahasa terkecil yang menunjukkan
kontras makna; ...” (Kridalaksana, 2001: 55-56). Dengan demikian permasalahan fonemik
berkorelasi langsung dengan `prosedur penentuan fonem bahasa`; dan permasalahan fonem berkait
dengan `satuan bunyi bahasa (terkecil) yang secara langsung sebagai penanda
pembeda/pengkontras makna`. Oleh sebab itu sangat beralasan jika pengkajian persoalan
penentuan kepastian unsur bunyi bahasa terkecil (fonem) dikatakan benar-benar sebagai fonem
(bahasa Indonesia) harus bertolak dari prosedur yang ada, salah satunya adalag dengan
dimanfaatkannya “pasangan minimal” sebagai alat. Sebab berdasarkan beberapa sumber
bacaan/referensi yang ada, keberadaan “pasangan minimal” hanya diposisikansebatas sebagai alat
pembuktian fonem. Adapun apa yang disebut “pasangan minimal” adalah “Kemampuan
pengubahan bentuk dan beda/kontras makna kata sebagai akibat adanya penggantian satu atau
lebih fonem dalam struktur internal kata atas pasangan kata.” (Setyadi dan Djoko Wasisto, 2018:
28).
Berdasarkan pada fakta bahwa keberadaan “pasangan minimal” hanya sebatas dipakai
sebagai alat (pembuktian fonem), dan sajian kutipan pengertian “pasangan minimal” tersebut,
maka sangat beralasan jika keberadaan “pasangan minimal” dalam pembelajaran fonologi bahasa
Indonesia harus ditempatkan pada dasar/awal pijakan sebelum dibicarakan materi lebih
lanjut.Dengan demikian akhirnya dapat dikedepankan tujuan yang hendak dicapai atas kajian
“pasangan minimal” sebagai dasar pembelajaran fonologi (bahasa) Indonesia adalah: menemukan
dan/atau menentukan alasan/argumentasi bahwa “pasangan minimal” sebagai materi dasar
pembelajaran fonologi (sebelum dibicarakan materi lebih lanjut/jauh). Tujuan yang hendak
dicapai sebagaimana pernyataan di atas ternyata belum pernah dibahas oleh siapa pun (pakar
bahasa) yang telah/pernah menulis/mengkaji fonologi bahasa Indonesia, sehingga keberadaan
“pasangan minimal” menarik dibicarakan dalam satu paket tersendiri.
4
Di bawah ini disajikan tinjauan pustaka sebagai bukti bahwa kebaradaan “pasangan
minimal” fonem sudah seharusnya dijadikan dasar/awal kajian pembelajaran fonologi bahasa
Indonesia sebelum dibicarakan materi lebihlanjut/jauh lagi, yaitu denganbersumber dari hasil
laporan penelitian, sumber buku, dan bersumber dari artikel/jurnal (ilmiah) bahasa.
Hasil penelitian yang berjudul “Sifat Fungsional dan Manfaat “Pasangan Minimal” Fonem
dalam Pembelajaran Fonologi Bahasa Indonesia” (Setyadi dan Djoko Wasisto, 2018: 1-51), hasil
akhir bahasan mencakup: pembuktian bahwa semua fonem dalam bahasa Indonesia dapat
dibuatkan “pasangan minimal” --sehingga dapat disajikan tabel -- dan manfaat keberadaan
“pasangan minimal” Hasil penelitian yang berjudul “Perbandingan Tata Bunyi Bahasa Indonesia
dan Bahasa Jawa” (Soedjarwo, dkk., 1985/1986: 1-86).Hasil kajian berfokus pada macam fonem:
vokal, diftong, dan konsonan, baik dalam hal jumlah maupun permasalahan masing-masing
macam fonem dalam kata; termasuk juga permasalahan gugus dan kelompok konsonan.
Bersumber dari buku (yang membahas fonologi bahasa Indonesia), antara lain dapat
ditemukan pada:
a. Buku berjudul Pengantar Linguistik (Jilid Pertama) (Verhaar, 1977: 12-27; 36-51) membahas
fonetik dan fonologi. Dalam bahasan disinggung persoalan “pasangan minimal”. Sajian bahasan
“pasangan minimal” hanyaterbatas pada: bahwa keberadaan “pasangan minimal” dapat dipakai
sebagai alat pembuktian kepastian fonem, dan diberikan contoh: lupa x rupa.
b. Buku berjudul Dasar-dasar Linguistik Umum(Kentjono (Ed.), 1982: 21-38) menyinggung juga
masalah “pasangan minimal”. Bahasan yang ada juga hanya sebatas pada: bahwa keberadaan
“pasangan minimal” sebagai alat pembuktian adanya kepastian fonem. Diberikan contoh: bila x
bela.
c. Buku berjudul Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Moeliono (Ed.), 1988: 54-56) secara tidak
langsung memang telah juga menyoal “pasangan minimal”. Sajian bahasan hanya sebatas bahwa
keberadaan “pasangan minimal” itu ada dan dapat dipakai sebagai alat pembuktian adanya
kepastian fonem; dan diberikan contoh: tari x dari; cari xjari; kalah x galah.
5
Bersumber dari artikel dan jurnal (ilmiah bahasa), misalnya dapat dilihat pada:
b. Jurnal (ilmiah bahasa) berjudul “Realisasi dan Varian Fonem” (Mustolih, 2011/10/23) sajian
kajian hanya berfokus pada realisasi fonem, baik fonem vokal maupun konsonan, dan masalah
alofon fonem vokal. “Pasangan minimal” disinggung juga, tetapi hanya sebatas pada
pembuktianadanya pasangan kata yang beda/kontras makna yang disebabkan oleh penggantian
fonem. Contoh: kapan x kafan; kita x gita.
JURNAL II
6
BAB III
PEMBAHASAN
JURNAL I
1.Pengertian Fonem
Sajian alasan “pasangan minimal” fonem sebagai dasar/awal pembelajaran fonolgi bahasa
Indonesia bertolak pada:
7
Masing-masing alasan yang ada dibicarakan tersendiri sebagaimana dapat diikuti pada sajian di
bawah ini.
Kepastian ucapan dan simbol fonem merupakan satu kesatuan yang melekat (tidak dapat
dipisahkan). Sebab adanya simbol merupakan lambang/gambar atas ucapan fonem, dan ucapan
fonem mengacu pada lambang/gambar atas simbol fonem. Pernyataan tersebut berlaku berbeda
dengan apa yang disebut dengan huruf dengan fonem. Huruf adalah simbol/lambang/gambar
fonem, sedang fonem adalah ucapan bunyi bahasa terkecil sebagai penanda pembeda
arti(sebagaimana telah disinggung di atas); sehingga jumlah fonem lebih banyak jika dibanding
dengan jumlah huruf. Jumlah huruf yang ada dalam bahasa Indonesia (A-Z) 26, sedang jumlah
fonem lebih dari 26. Adapun persoalan macam/jenis fonem mengacu pada laporan penelitian yang
berjudul “Sifat Fungsional dan Manfaat “Pasangan Minimal” Fonem dam Pembelajaran Fonologi
Bahasa Indonesia” (Setyadi dan Djoko Wasisto, 2018) sebagaimana telah disinggung di depan.
Yaitu macam fonem mencakup: fonem vokal, fonem diftong, dan fonem konsonan.
Bertolak dari macam fonem dan masing-masing jumlah fonem yang ada, akhirnya dapat
dipastikan jumlah fonem dalam bahasa Indonesia adalah 35. Ke-35 fonem yang ada ternyata
masing-masing merupakan fonem tersendiri, sehingga secara pasti bersifat fonemis. Sebab
masing-masing fonem yang ada dapat dibuatkan “pasangan minimal”nya (sebagaimana dapat
dilihat dalam hasil laporan yang berjudul “Sifat Fungsional dan Manfaat ‘Pasangan Minimal’
Fonem dalam Pembelajaran Fonologi Bahasa Indonesia”).
Bertolak dari macam dan jumlah fonem bahasa Indonesia di atas, akhirnya dapat
dibuktikan bahwa unsur utama penentuan fonem benar-benar bersifat fonemis harus berlaku:
akibat adanya penggantian fonem dalam struktur internal kata, maka hasil penggantian fonem
sebagai penyebab adanya beda/kontras makna (kata), yang kemudian berakhir pada dasar
penentuan fonem benar-benar bersifat fonemis.
8
d. Sifat Fungsional “Pasangan Minimal”
Fonem Bertolak bahwa “pasangan minimal” fonem dari beberapa sumber bacaan secara
pasti dikatakan sebagai alat pembuktian fonem yang benar-benar bersifat fonemis (sebagaimana
telah disinggung dalam sajian Tinjauan Pustaka, maka keberadaan “pasangan minimal” fonem
secara pasti pula dapat dikatakan bersifat fungsional. Mengingat “pasangan minimal” sebagai alat
yang bersifat fungsional, maka di satu sisi tidak berlebihan jika keberadaannya harus ditempatkan
sebagai dasar/awal pembelajaran fonologi bahasa Indonesia. Di lain sisi bahwa satuan terkecil
dalam pembelajaran fonologi adalah fonem, maka keberadaan antara fonem sebagai bahan dan
“pasangan minimal” fonem sebagai alat akhirnya bagaikan `gambar yang berbeda dalam satu
keping mata uang`; sehingga keberadaan keduanya bersifat saling melengkapi sebagai kasus
“sebab-akibat”.
Pengertian antonim(i)dari beberapa sumber dikatakan, “n. 1. Kata yang berlawanan makna
dengan kata yang lain: “buruk” adalah – dr “baik”; 2. ... “ (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001:
58); atau, “(lat) dikatakan kepada kata yang berlawanan artinya, misalnya kaya lawan miskin, baik
lawan buruk, dsb.” (Badudu, 2003: 24), dan, “Oposisi makna dalam pasangan leksikal yang dapat
dijenjangkan, misalnya dalam tinggi : rendah ...” (Kridalaksana, 2001:5). Bertolak dari sajian
pengertian antonim(i) dan contoh data yang ada tersebut, ternyata ditemukan pula pasangan kata
dalam “pasangan minimal” fonem yang berlaku sebagaimana pasangan kata dalam antonim(i)
yang menunjukkan adanya beda/kontras makna kata.
JURNAL II
Dalam penelitian ini, hasil ujaran dari anak 4 tahun yang dijadikan objek penelitian
ditranskipsikan menjadi bentuk fonetis. Bentuk fonetis tersebut kemudian dianalisis untuk melihat
perubahan bunyi huruf atau fonologi yang terjadi saat pengucapan objek penelitian. Pada kasus
Agil, terlihat bahwa pada umur 4 tahun Agil belum mampu mengeluarkan bunyi-bunyi sesuai
dengan fonologi sebenarnya untuk kata. Hal tersebut tidak menunjukkan keseimbangan antara
tahap membabel prabahasa dan tahap pemerolehan bahasa murni. Dari tabulasi data pada bab
sebelumnya menunjukkan bahwa bunyi likuida [l] dan [r] muncul pada tahal membabel anak 3,5
– 4 tahun hilang pada tahap mengeluarkan bunyi sebenarnya. Berikut pembahasan transkipsi data
perubahan fonologi pada anak 4 tahun.Perbandingan perubahan bunyi [l] di awal yakni pada kata
‘lalat’ terjadi perubahan pengucapan. Kata tersebut harusnya diucapkan [la l a t] namun
pengucapan Agil menjadi [na n a t]. Hal tersebut merupakan tuturan Agil dengan kosakata dengan
awalan fonem /l/. Perbandingan antara pengucapan Agil dan pengucapan sebenarnya terdapat
perbedaan yaitu berubahnya fonem /l/ menjadi /n/. Bunyi [l] dan [n] merupakan bagian dari bunyi
kontoid, namun ciri-ciri dari pengucapan berbeda. Bunyi [l] berciri-ciri hidup, oral, apiko-alveoral,
dan tril sesuai dengan bunyi [la l a t].
9
Perubahan bunyi juga terjadi pada kata dengan [l] di tengah. Pada kata ‘pulang’ terjadi
perubahan bunyi sebenarnya yakni [pulaŋ] menjadi [pulaŋ]. Data di atas merupakan tuturan Agil
dengan kosakata dengan bersisipan /l/. Perbandingan antara pengucapan Agil dan pengucapan
sebenarnya terdapat perbedaan yaitu berubahnya fonem /l/ menjadi /n/ yang terletak di tengah kata.
Perubahan bunyi pada kata [l] di bagian akhir yakni pada tuturan Agil dengan kosakata
dengan berakhiran /l/, yakni pada kata ‘Agil’. Perbandingan antara pengucapan Agil dan
pengucapan sebenarnya terdapat perbedaan yaitu berubahnya fonem /l/ menjadi /n/ yang terletak
di akhir kata. Bunyi [l] dan [n] merupakan bagian dari bunyi kontoid, namun ciri-ciri dari
pengucapan berbeda.
Tuturan Agil dengan kosakata dengan bersisipan /r/. Berdasarkan data tersebut Agil
mampu mengucapkan bunyi dengan tepat sesuai dengan kata ‘putri’ yang berpola bunyi VKV.
Pada bunyi [pruti], Agil terdengar kesulitan mengucapkan bunyi [r] dan [t] yang berpola KK
sehingga bunyi [r] terucap lebih dulu dari bunyi [t]. Pada bunyi [r] Agil dapat melibatkan pangkal
lidah (dorsum) sebagai artikulator menyentuh anak tekak (uvula) sebagai titik artikulasi serta
menutup dan membuka arus udara berulang-ulang secara cepat sehingga bunyi [r] terucap tepat
walaupun berada di tengah-tengah kata.
Tuturan Agil dengan kosakata dengan berakhiran /r/. Berdasarkan data tersebut Agil
mampu mengucapkan bunyi dengan tidak tepat sesuai dengan kata ‘ular’ yang berpola bunyi akhir
VK karena [r] lenyap. Pada bunyi [ula ], Agil tidak dapat melibatkan pangkal lidah (dorsum)
sebagai artikulator menyentuh anak tekak (uvula) sebagai titik artikulasi serta menutup dan
membuka arus udara berulangulang secara cepat sehingga bunyi [r] lenyap atau tidak terucap di
akhir kata.
10
B.KELEBIHAN DAN KEKURANGAN JURNAL
JURNAL I
KELEBIHAN :
1.Dari aspek tata bahasa,bahasa yang digunakan mudah dipahami oleh pembacanya.
3.Penjelasan materi juga dilengkapi dengan pendapat ahli yang memperkuat keakuratan isi materi.
4.Dalam jurnal terdapat referensi atau daftar pustaka di bagian akhir jurnal.
5.Abstrak pada jurnal ini menggunakan dua bahas yaitu Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia
KEKURANGAN :
1.Dalam jurnal tidak disertai contoh agar lebih memperjelas materi pembahasan dalam jurnal ini.
JURNAL II
KELEBIHAN :
1.Dari aspek sistematika penulisan jurnal ,sistematika penulisan jurnal sudah tersusun dengan
baik,rapi dan sesuai dengan sistematika penulisan jurnal pada umumnya.
2.Dari aspek tata bahasa,bahasa yang digunakan mudah dipahami oleh pembacanya.
3.Dalam jurnal terdapat referensi atau daftar pustaka di bagian akhir jurnal.
KEKURANGAN :
1.Dalam jurnal tidak disertakan contoh agar lebih memperjelas isi materi dari jurnal ini.
11
BAB IV
PENUTUP
A.SIMPULAN
Fonemik yaitu kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi membedakan makna.
Chaer (2007) mengatakan bahwa fonemik mengkaji bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi
membedakan makna kata. Misalnya bunyi [l], [a], [b] dan [u]; dan [r], [a], [b] dan[u]jika
dibandingkan perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama, yaitu bunyi [l] dan bunyi[r]. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut adalah fonem yang berbeda dalam bahasa
Indonesia, yaitu fonem /l/ dan fonem /r/.
B.REKOMENDASI
Sebagai seorang guru ataupun calon guru harus memiliki banyak sumber referensi dalam
proses belajar mengajar.Karna dengan itu menambah wawasan pengetahuan seorang guru ataupun
calon guru.Dari ini dapat kita simpulkan sebaiknya dari kedua jurnal ini memperbaiki
kekurangannya masing-masing.Agar jurnal ini dapat digunakan sebagai sumber referensi yang
relevan.
12
DAFTAR PUSTAKA
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/nusa/article/download/21314/14288
repository.umrah.ac.id/189/1/E%20JURNAL%20DWI%20WAHYU%20RAMADHANI-
130388201103-FKIP-2017
13