Anda di halaman 1dari 10

1.

Beberapa definisi mutu pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:


Mutu pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap
pemakai jasa pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasaan rata-rata serata
penyelenggaraannya sesuai dengan standart dan kode etik profesi (Azrul Azwar, 1996).
Memenuhi dan melebihi kebutuhan serta harapan pelanggan melalui peningkatan yang
berkelanjutan atas seluruh proses. Pelanggan meliputu, pasien, keluarga, dan lainnya
yang datang untuk pelayanan dokter, karyawan (Mary R. Zimmerman).

a. Pengertian mutu pelayanan kesehatan (Wijono, 1999) adalah :


1. Penampilan yang sesuai atau pantas (yang berhubungan dengan standart) dari
suatu intervensi yang diketahui aman, yang dapat memberikan hasil kepada masyarakat
yang bersangkutan dan yang telah mempunyai kemampuan untuk menghasilkanpada
kematian, kesakitan, ketidak mampuan dan kekurangan gizi (Roemer dan Aquilar,
WHO, 1988).
2. Donabedian, 1980 cit. Wijono, 1999 menyebutkan bahwa kualitas pelayanan
adalah suatu pelayanan yang diharapkan untuk memaksimalkan suatu ukuran yang
inklusif dari kesejahteraan klien sesudah itu dihitung keseimbangan antara keuntungan
yang diraih dan kerugian yang semua itu merupakan penyelesaian proses atau hasil dari
pelayanan diseluruh bagian.
3. Secara umum pengertian mutu pelayanan kesehatan adalah derajat
kesempurnaan pelayanan kesehatan yang sesuai standar profesi dan standar pelayanan
dengan menggunakan potensi sumber daya yang tersedia di rumah sakit atau puskesmas
secara wajar, efisien, dan efektif serta diberikan secara aman dan memuaskan sesuai
norma, etika, hukum, dan sosial budaya dengan memperhatikan keterbatasan dan
kemampuan pemerintah, serta masyarakat konsumen.
b. Jadi yang dimaksud dengan mutu pelayanan kesehatan adalah menunjuk pada tingkat
kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam menimbulkan rasa puas pada diri setiap
pasien. Makin sempurna kepuasan tersebut, makin baik pula mutu pelayanan kesehatan.
Sekalipun pengertian mutu yang terkait dengan kepusan ini telah diterima secara luas,
namun penerapannya tidaklah semudah yang diperkirakan. Masalah pokok yang
ditemukan ialah karena kepuasan tersebut bersifat subyektif. Tiap orang, tergantung dari
latar belakang yang dimiliki, dapat saja memiliki tingkat kepuasan yang berbeda untuk
satu mutu pelayanan kesehatan yang sama. Di samping itu, sering pula ditemukan
pelayanan kesehatan yang sekalipun dinilai telah memuaskan pasien, namun ketika
ditinjau dari kode etik serta standar pelayanan profesi, kinerjanya tetap tidak terpenuhi.

2. Ada delapan dimensi mutu, seperti yang dinyatakan oleh Garvin dalam M. N.
Nasution (2001) bahwa delapan dimensi mutu adalah sebagai berikut:
a. Performa (Performance) berkaitan dengan aspek fungsional dari produk dan merupakan
karakteristik utama yang dipertimbangkan pelanggan ketika ingin membeli suatu
produk.
b. Features, merupakan aspek kedua dari performansi yang menambah fungsi dasar,
berkaitan dengan pilihan dan pengembanganya.
c. Kehandalan (reliability), berkaitan dengan kemungkinan suatu produk berfungsi secara
berhasil dalam periode waktu tertentu di bawah kondisi tertentu.
d. Konformansi (conformance), berkaitan dengan tingkat kesesuaian produk terhadap
spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan keinginan pelanggan.
e. Daya tahan (durability), merupakan ukuran masa pakai suatu produk. Karakteristik ini
berkaitan dengan daya tahan dari produk itu.
f. Kemampuan pelayanan (Service ability), merupakan karakteristik yang berkaitan
dengan kecepatan/kesopanan, kompetensi, kemudahan serta akurasi dalam perbaikan.
g. Estetika (aesthetics), merupakan karakteristik mengenai keindahan yang bersifat
subjektif sehingga berkaitan dengan pertimbangan pribadi dan refleksi dari preferensi
atau pilihan individual.
h. Kualitas yang dipersepsikan (perceived quality), bersifat subyektif, berkaitan dengan
perasaan pelanggan dalam mengonsumsi produk, seperti meningkatkan harga diri.

3. A. kualitas pelayanan...

a. Kepemimpinan
Strategi kualitas perusahaan harus merupakan inisiatif dan komitmen dari manajemen

puncak. Manajemen puncak harus memimpin dan mengarahkan organisasinnya dalam


upaya meningkatkan kinerja kualitas. Tanpa adanya kepemimpinan dari manajemen

puncak, usaha peningkatan kualitas hanya akan berdampak kecil.

b. Pendidikan

Semua karyawan perusahaan mulai dari manajer puncak sampai karyawan opersional,

wajib mendapatkan pendidikan mengenai kualitas. Aspek-aspek yang perlu

mendapatkan penekanan dalam mendapatkan pendidikan tersebut antara lain konsep

kualitas sebagai strategi bisnis. Alat dengan teknik implementasi strategi kualitas, dan

peranan eksekutif dalam implementasi strategi kualitas.

c. Perencanaan Strategik
Proses perencanaan strategik harus mencakup pengukuran dan tujuan kualitas yang

digunakan dalam mengarakan perusahaan untuk mencapai visi dan misinya.

d. Review
Proses review merupakan satu-satunya yang paling efektif bagi manajemen untuk

meruba prilaku organisasional. Proses ini mengambarkan mekanisme yang

menjamin adanya perhatian terus menerus terhadap upaya mewujudkan sasaran-sasaran

kualitas.

e. Komunikasi
Implementasi strategi kualitas dalam organisasi, baik dengan karyawan, pelanggan,

maupun stake holder (seperti pemasok, pemegang saham, pemerintah, masyarakat

sekitar dan lainnya).

f. Total Humans Reward


Reward dan recongnition merupakan aspek krusial dalam

mengimplementasi strategi kualitas. Setiap karyawan berprestasi

perlu diberikan imbalan dan prestasinya harus diakui. Motivasi, semangat kerja,
rasa bangga dan rasa memiliki (sense of belonging) setiap anggota organisasi dapat

meningkat, yang pada gilirannya berkontribusi pada peningkatan produktifitas dan

profibilitas bagi perusahaan, serta kepuasan dan loyalitas.Keenam prinsip diatas sangat

bermanfaat dalam membentuk dan mempertahankan lingkungan yang tepat untuk

melaksanakan penyempurnaan

kualitas secara berkesinambungan dengan di dukung oleh pemasok dan

pelanggan.

3, B. kualitas jasa

a. Bukti fisik (tangibles)


Berkenaan dengan daya tarik fasilitas fisik, perlengkapan, dan material yang digunakan

perusahaan, serta penampilan karyawan. Menurut Parasuraman dalam Tjiptono,

atribut dari bukti fisik ini ada empat, yaitu:

1. Peralatan modern.
2. Fasilitas yang berdaya tarik visual.
3. Karyawan yang berpenampilan rapi dan professiona.
4. Materi-materi berkaitan dengan jasa yang berdaya tarik visual.
b. Kehandalan (reliability)
Berkaitan dengan kemampuan perusahaan untuk memberikan layanan yang akurat sejak

pertama kali tanpa membuat kesalahan apapun dan menyampaikan jasanya sesuai

dengan waktu yang disepakati. Menurut Parasuraman dalam Tjiptono, atribut dari

realibilitas ini ada lima yaitu:

1. Menyediakan jasa sesuai yang dijanjikan.

2. Dapat diandalkan dalam menengani masalah jasa pelanggan.


3. Menyampaikan jasa secara benar semenjak pertama kali.

4. Menyampaikan jasa sesuai dengan waktu yang dijanjikan.

5. Menyimpan catatan atau dokumen tanpa kesalahan.

c. Daya tanggap (responsiveness)


Berkenaan dengan kesediaan dan kemampuan

para karyawan untuk membantu para pelanggan dan merespon permintaan

mereka, serta menginformasikan kapan jasa akan diberikan dan kemudian memberikan

jasa dengan cepat. Menurut Parasuraman dalam Tjiptono, atribut dari daya tanggap

ini ada empat, yaitu:

1. Menginformasikan kepada pelanggan tentang kepastian waktu

penyampaian jasa.

2. Layanan yang segera atau cepat bagi pelanggan.

3. Kesediaan untuk membantu pelanggan.

4. Kesiapan untuk merespon permintaan pelanggan.

d. Jaminan (assurance)
perilaku para karyawan mampu

menumbuhkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan dan perusahaan bisa

menciptakan rasa aman bagi para pelanggannya. Jaminan ini juga berarti bahwa para
karyawan selalu bersikap sopan dan menguasai pengetahuan dan keterampilan yang

dibutuhkan untuk menangani setiap partanyaan atau masalah pelanggan.

Menurut Parasuraman dalam Tjiptono, atribut dari jaminan ini ada empat, yaitu:

1. Karyawan yang menumbuhkan rasa percaya para pelangga.


2. Membuat pelanggan merasa aman sewaktu melakukan transaksi.
3. Karyawan yang secara konsisten bersikap sopan.
4. Karyawan yang mampu menjawab pertanyaan pelanggan.
e. Empati (emphaty)
Berarti perusahaan memahami masalah para pelanggannya dan bertindak demi

kepentingan pelanggan, serta memberikan perhatian personal kepada para pelanggan

dan memiliki jam operasi yang nyaman. Menurut Parasuraman dalam Tjiptono,

atribut dari empat ini ada lima, yaitu:

1. Memberikan perhatian individual kepada para pelangga


2. Karyawan yang memperlakukan pelanggan secara penuh perhatian.
3. Sungguh-sungguh mengutamakan kepentingan pelanggan.
4. Karyawan yang memahami kebutuhan pelanggan.
5. Waktu operasi (jam kantor) yang nyaman.

4. UPAYA PENINGKATAN MUTU :


Beberapa permasalahan mutu pelayanan rumah sakit antara lain :
Lemahnya keterlibatan konsumen /pasien, Pelayanan yang belum sesuai
kebutuhan pasien, Rendahnya perhatian terhadap hak pasien dan keluarga, Fragmentasi
sistem, Rendahnya kompetensi dan motivasi, Rendahnya budaya mutu dan keselamatan
pasien dari SDM, Kesehatan Fasyankes kurang memperhatikan keselamatan, Variasi
praktek klinis Penggunaan antibiotik dan tes diagnostik berlebihan, dll
Untuk upaya peningkatan kesehatan yang telah ada antara lain:

 Mekanisme perijinan (lisensi) yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan maupun


Dinas Kesehatan seperti perijinan rumah-sakit, ijin praktek mandiri (dokter, bidan), ijin
klinik, ijin apotik dan sebagainya;
 Mekanisme Sertifikasi seperti rumah-sakit sayang bayi dan ibu, bidan Delima, sertifikat
ACLS/ATLS dan sebagainya;
 Mekanisme Akreditasi seperti Akreditasi RS, Akreditasi Puskesmas, Akreditasi
laboratorium, Akreditasi RS Pendidikan, Akreditasi Klinik dan lain-lain.

Selain itu, upaya inovasi juga dirasa perlu dilakukan dengan Pengembangan Tim Quality
Assurance, Pengembangan sistem peningkatan kinerja klinis, Penerapan STANDAR ISO,
Penerapan AUDIT MUTU, Pengembangan CLINICAL PATHWAYS. Walaupun demikian,
upaya inovasi tersebut tidak selalu dapat berjalan secara berkelanjutan, Sebagian besar juga
tidak dilakukan evaluasi untuk menilai efektifitasnya.
Secara keseluruhan, dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Perlu ada kerangka kerja mutu
pelayanan kesehatan tingkat nasional (NATIONAL HEALTHCARE QUALITY
FRAMEWORK) berbagai pengukuran mutu pelayanan kesehatan di Indonesia
dapat terintegrasi satu sama lain, Penguatan pelayanan kesehatan difokuskan untuk
meningkatkan AKSES & MUTU YANKES melalui pemenuhan S P A, penguatan sistem
rujukan, akreditasi fasyankes, pengukuran indikator mutu pelayanan kesehatan, Perlu dukungan
regulasi dan komitmen bersama dalam mendukung peningkatan mutu pelayanan kesehatan
dalam program JKN-KISS.
4 B. PENGUKURAN MUTU
Pengukuran merupakan konsep sentral dalam peningkatan mutu. Dengan pengukuran akan
tergambarkan apa yang sebenarnya sedang dilakukan sarana pelayanan kesehatan dan
membandingkannya dengan target sesungguhnya atau harapan tertentu dengan tujuan untuk
mengidentifikasi kesempatan untuk adanya peningkatan mutu (Shaw, 2003).
Mengukur mutu pelayanan kesehatan baik di tingkat primer seperti Puskesmas dan tingkat
lanjut seperti rumah sakit memerlukan indikator mutu yang jelas. Namun menyusun indikator
yang tepat tidaklah mudah. Kita perlu mempelajari pengalaman berbagai institusi yang telah
berhasil menyusun indikator mutu pelayanan kesehatan yang kemudian dapat digunakan secara
efektif mengukur mutu dan meningkatkan mutu.
Salah satu pengalaman tersebut dapat dipelajari dari program Performance Assessment Tool for
Quality Improvement in Hospital (PATH) dengan langkah-langkah sebagai berikut (WHO,
2006):
1. Menyusun model konseptual: identifikasi dimensi dan sub-dimensi dan bagaimana
hubungan antaranya satu sama lain
2. Melakukan penapisan awal indikator kinerja yang ada dan critical review
3. Menetapkan indikator komplementer untuk mengisi area-area yang belum ditunjang
oleh indikator awal berdasarkan literatur ilmiah
4. Melakukan pemilihan awal indikator berdasarkan expert opinion dan bukti-bukti awal
5. Melakukan penelitian yang ekstensif untuk mendapatkan literatur mengenai angka
prevalensi, bukti pendukung, reliabitas dan validitas, survey pada negara yang
berpartisipasi
6. Melakukan pemilihan akhir berdasarkan pakar, berdasarkan informasi yang didapatkan
pada langkah 5, menggunakan nominal group tehnic (NGT)
Dalam pemilihan tersebut, WHO menggunakan kriteria-kriteria berikut ini (WHO, 2006):
Kriteria untuk indikator
1. tingkat kepentingan dan relevansi: indikator harus menggambarkan aspek-aspek yang
bermanfaat bagi penggunanya dan relevan dengan konteks kesehatan saat ini.
Kepentingan tersebut dapat diperjelas dengan adanya kebijakan nasional ataupun
internasional (seperti WHO Health for All Framework). Indikator klinis harus berfokus
pada kejadian yang memiliki angka prevalensi tinggi (high prevalence rate) dan
memiliki beban berat (high burden).
2. berpotensi untuk dapat digunakan (dan disalahgunakan) dan hasilnya dapat
ditindaklanjuti: rumah sakit harus dapat menindaklanjuti permasalahan yang muncul
dari indikator yang ada. Dengan demikian, rumah sakit harus memiliki tanggung jawab,
kontrol substansial, dan kemampuan untuk mengimplementasikan strategi untuk
peningkatan kinerja.
Kriteria untuk alat ukur
3. reliabilitas: Indikator diharapkan memiliki spesifikasi yang detail dan jelas untuk
numerator dan denominatornya. Pengumpulan data yang seragam mudah dipahami dan
mudah untuk diimplementasikan. Reliabilitas meningkat ketika pengukuran yang
dilakukan hanya sesedikit mungkin bergantung pada penilaian subyektif. Ini juga
termasuk konsep konsistensi internal, stabilitas test/test ulang, dan kesepahaman antar
pengukuran.
4. face validity (juga dikenal sebagai akseptabilitas): terdapat kesepakatan di antara
pengguna dan pakar bahwa pengukuran ini berhubungan dengan dimensi (atau
subdimensi) yang akan dijangkau.
5. content validity: model teoritis mendukung bahwa pengukuran ini berhubungan dengan
subdimensi kinerja yang akan dijangkau dan pengukuran ini menjangkau seluruh
domain dan tidak hanya sebagian aspek spesifik saja.
6. contruct validity: bukti empiris menunjukkan bahwa pengukuran ini berhubungan
dengan pengukuran kinerja yang lainnya
7. beban untuk pengumpulan data: ini termasuk juga pertimbangan ketersediaan data,
biaya, ketepatan waktu sehingga didapatkan data yang berkualitas, dan derajat
kemudahan untuk pengumpulan data. Indikator (misalnya kejadian sentinel) tidak harus
dieksklusi hanya karena data yang dibutuhkan tidak akurat atau sering hilang. Justru
adanya pengukuran ini dapat dipergunakan sebagai kesempatan untuk mengidentifikasi
dan menanggapi kebutuhan akan pendidikan dan peningkatan untuk menunjang sistem
informasi yang efektif. Demikian pula untuk indikator yang berdasarkan data yang
dikumpulkan secara manual tidak harus dieksklusi karena malah dapat menjadi sarana
latihan dan belajar bagi staf dan meningkatkan kualitas pengumpulan data.
Kriteria untuk kumpulan indikator
8. face validity: Apakah kumpulan indikator tersebut dapat diterima oleh para
penggunanya?
9. content validity: Apakah semua dimensi dijangkau dengan tepat?
10. construct validity: Bagaimana indikator-indikator tersebut saling terkait satu dengan
yang lainnya? Apakah indikator dari dimensi yang berbeda saling berhubungan
(discrimination criteria)? Apakah indikator dari dimensi yang sama saling berhubungan
(convergence criteria)?
Pengalaman lain yang dapat dicontoh adalah dari proses pemilihan indikator kinerja menurut
USAID (1996), yang terdiri atas:
1. Klarifikasi pernyataan hasil – Indikator kinerja yang baik diawali dengan pernyataan
hasil yang baik yang dapat dipahami dan disetujui oleh semua orang.
2. Susun daftar kemungkinan indikator yang ada – Biasanya terdapat beberapa macam
indikator untuk suatu outcome yang diinginkan, tetapi beberapa lebih tepat dan lebih
bermanfaat daripada yang lainnya. Dalam pemilihan indiator, jangan terlalu cepat
menentukan pilihan pada indikator yang muncul pertama dalam pikiran karena nyaman
atau dirasa lebih jelas. Lebih baik disusun daftar alternatif yang ada, kemudian dinilai
dengan suatu kriteria.
3. Lakukan penilaian pada setiap indikator yang memungkinkan – Dalam pemilihan ini
dapat digunakan tujuh kriteria berikut untuk menilai ketepatan dan manfaat dari masing-
masing indikator. Ketika menilai dan membandingkan masing-masing indikator yang
ada, sangat baik apabila digunakan matriks dengan tujuh kriteria tersebut pada satu baris
atas dan kandidat indikator yang ada didaftar ke bawah. Dengan skoring sederhana,
seperti dengan angka 1-5, nilai masing-masing indikator terhadap masing-masing
kriteria tersebut. Peringkat ini akan membantu dalam proses pemilihan. Bagaimanapun,
proses ini dapat diterapkan secara fleksibel karena tidak semua tujuh kriteria tersebut
sama-sama pentingnya.
4. Pilih indikator kinerja yang terbaik – Langkah selanjutnya ialah dengan mempersempit
daftar indikator tersebut menjadi daftar indikator final yang akan digunakan untuk
menilai kinerja. Dalam hal ini juga harus diperhatikan untuk selektif dalam menetapkan
indikator, karena dalam setiap pengumpulan dan analisis data selalu dibutuhkan biaya.
Pembatasan jumlah indikator yang digunakan untuk suatu tujuan tertentu harus
dilakukan (dua atau tiga indikator saja untuk suatu tujuan yang serupa). Pilih hanya
indikator yang mewakili dimensi dasar dan penting dari tujuan yang ingin dicapai.

5. INDIKATOR PENINGKATAN MANAJEMEN MUTU:

1. Indikator yang mengacu pada aspek medis


2. Indikator mutu pelayanan untuk mengukur tingkat efisiensi rumah sakit.
3. Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan kerja
4. Indikator mutu yang berkaitan dengan tingkat kepuasan pasien.

Anda mungkin juga menyukai