Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS SUBDIVISI ASMA – PPOK

PPOK EKSASERBASI AKUT TIPE I

Presentan : dr. Kornelis Aribowo


Hari/Tanggal : Selasa / 30 April 2019
Tempat : Ruang Konferensi Bagian Pulmonologi
FK. Unand/RS Dr.M.Djamil Padang
Pembimbing : 1. DR.dr. Masrul Basyar, Sp.P(K), FISR
2. dr. Deddy Herman, Sp.P(K), FCCP, MCH,
FAPSR, FISR
3. dr. Yessy Susanty Sabri, Sp.P(K),FISR

BAGIAN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS / RS.Dr.M.DJAMIL
PADANG
2019
DAFTAR ISI

Table of Contents
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. i

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

BAB II LAPORAN KASUS ..................................................................................................... 3

BAB III PEMBAHASAN ......................................................................................................... 7

KESIMPULAN ....................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 15

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Foto Toraks 28 Maret 2019 ----------------------------------------------------4

Gambar 2. Tatalaksana Eksersebasi PPOK ----------------------------------------------9

Gambar 3. Indikasi rawatan pasien PPOK ----------------------------------------------10

Gambar 4. Penyebab eksersebasi pasien PPOK -----------------------------------------11

Gambar 5. Perbandingan deteksi bakteri ------------------------------------------------12

Gambar 6. Klasifikasi tingkat keparahan keterbatasan aliran udara PPOK ---------13

ii
BAB I PENDAHULUAN

BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit dapat dicegah dan
diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang biasanya
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi kronis pada saluran napas dan
paru terhadap partikel atau gas yang beracun. World Health Organization (WHO)
melaporkan terdapat 600 juta orang menderita PPOK di dunia dengan 65 juta orang
menderita PPOK derajat sedang hingga berat. Pada tahun 2002 PPOK adalah
penyebab utama kematian kelima di dunia dan diperkirakan menjadi penyebab utama
ketiga kematian di seluruh dunia tahun 2030. Lebih dari 3 juta orang meninggal
karena PPOK pada tahun 2005, yang setara dengan 5% dari semua kematian secara
global.1,2

Studi Global Burden of Disease menyatakan bahwa PPOK merupakan


peringkat keenam sebagai penyebab kematian pada tahun 1990, dan diperkirakan
menjadi penyebab utama ketiga kematian di seluruh dunia pada tahun 2020.2,3 PPOK
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas yang terjadi di Amerika
Serikat. Kematian yang disebabkan oleh PPOK di Amerika Serikat meningkat dua
kali lipat pada tahun 1970-2002, meskipun di negara-negara maju lainnya
menunjukkan stabilisasi atau penurunan. Penurunan ini terkait dengan penurunan
prevalensi merokok dan pengurangan polutan di udara. Namun, di negara
berkembang terjadi peningkatan prevalensi yang signifikan, karena meningkatnya
jumlah kebiasaan merokok.4

Penyakit pernapasan (termasuk PPOK) merupakan penyebab kematian kedua


di Indonesia dan prevalensi PPOK di Indonesia sebesar 3,7%. Data secara global
menyatakan bahwa angka kejadian PPOK sebesar 11,7%.5,6 Hal ini berkaitan erat

1
dengan perilaku merokok penduduk berumur 15 tahun keatas yang cenderung
meningkat dari tahun 2007 sampai 2013 yaitu 34,2% menjadi 36,3%.7

Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Hasil
survei penyakit tidak menular oleh Dirjen PPM & PL di lima rumah sakit propinsi di
Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan)
pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka
kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%).7–
9

Peningkatan prevalensi PPOK ini menyebabkan terjadinya peningkatan


tanggungan ekonomi dan sosial yang besar. Eksaserbasi PPOK (peningkatan secara
periodik gejala batuk, dyspnea, dan produksi sputum) merupakan penyumbang utama
memburuknya fungsi paru-paru, penurunan kualitas hidup sehingga perlu perawatan
segera atau rawat inap, dan tingginya biaya perawatan PPOK.10

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik melakukan pembahasan


mengenai diagnosis serta tatalaksana PPOK sehingga hasil dari penulisan ini dapat
berguna dalam penatalaksanaan pasien sehari-hari.

2
BAB II LAPORAN KASUS

BAB II

LAPORAN KASUS

Seorang pasien laki – laki berusia 68 tahun dengan keluhan utama sesak nafas
meningkat sejak 3 hari yang lalu. Sesak menciut, tidak dipengaruhi emosi, cuaca dan
makanan. Sesak meningkat dengan aktivitas dan batuk, diluar serangan pasien tidak
dapat beraktifitas normal. Sesak nafas sudah sering dirasakan hilang timbul sejak 4
tahun yang lalu. Riwayat atopi tidak ada. Pasien sudah dikenal PPOK dan sudah
pernah dispirometri. Pasien biasanya kontrol teratur ke poli paru RSUP Dr. M.
Djamil dan mendapat Salmeterol 25 mcg dan fluticasone propionate 50 mcg
(seretide), Tiotropium Bromida 18 mcg (spiriva) dan Fenoterol HBr 100 mcg
(berotec). Dalam 1 tahun ini pasien sudah 2x dirawat di RS karena sesaknya.

Batuk meningkat sejak 5 hari yang lalu, berdahak warna kekuningan namun
sukar dikeluarkan. Batuk – batuk sudah dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Batuk
darah tidak ada dan nyeri dada tidak ada. Demam saat ini tidak ada. Riwayat demam
2 hari yang lalu, tidak tinggi dan tidak menggigil. Keringat malam tidak ada.
Penurunan nafsu makan tidak ada. Penurunan berat badan tidak ada. Riwayat pernah
menderita tuberkulosis (TB) paru tidak ada. Riwayat diabetes melitus tidak ada.
Riwayat congestive heart failure (CHF) ada dan pasien post pemasangan
Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA) tahun 2013. Dari riwayat
penyakit keluarga tidak ada keluarga yang memiliki riwayat TB paru, asma dan
PPOK. Pasien seorang kuli bangunan, Riwayat merokok 30 btg/ hari selama 40
tahun, baru berhenti 1 tahun ini (bekas perokok dengan Indeks Brikman Berat).

Pada pemeriksaan umum, kesadaran composmentis cooperative, keadaan


umum sedang. Keadaan gizi baik dengan tinggi badan 160 cm dan berat badan 58 kg.
Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 110 x/menit, pernafasan 26 x/menit, suhu 36,80 C.
Pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Leher
dengan JVP 5+2 cmH2O.
3
Pemeriksaan dada, pada inspeksi simetris dada kiri dan kanan (statis),
pergerakan dada kiri sama dengan dada kanan (dinamis). Pada palpasi fremitus kiri
sama dengan kanan. Pada pemeriksaan perkusi bagian kiri dan kanan sonor.
Auskultasi ditemukan suara nafas ekspirasi memanjang disertai ronkhi dan whezzing
di kedua paru.

Pemeriksaan jantung, iktus cordis tidak terlihat, iktus cordis teraba pada LMS
RIV V. Pada perkusi batas jantung dalam batas normal. Auskultasi jantung
ditemukan irama jantung teratur, murmur tidak ada, gallop tidak ada. Pada
Pemeriksaan abdomen, inspeksi tidak membuncit, palpasi supel, hepar dan lien tidak
teraba, perkusi timpani dan auskultasi bising usus positif normal. Pemeriksaan
tungkai, tidak ditemukan adanya edema dan clubbing finger.

Gambar 1. Foto Toraks 28 Maret 2019

Pada pasien, dilakukan rontgen toraks dan didapatkan foto sentris, tidak
simetris dengan densitas sedang, dari foto toraks tampak gambaran infiltrat di peri
hiler kedua paru. Kesan pneumonia.

4
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil hemoglobin 13,3 gr/dl,
leukosit 7.390/mm3, hematokrit 40%, trombosit 206.000/mm3, gula darah sewaktu
102 mg/dl, ureum 11 mg/dl, creatinin 1,0 mg/dl, Natrium 136 Mmol/l, Kalium 3,3
Mmol/l, Clorida 108 Mmol/l, Total protein 6,4 g/dl, Albumin 3,7 g/dl, Globulin 2,7
g/dl, Bilirubin total 1,0 mg/dl, Bilirubin Direk 0,4 mg/dl, Bilirubin Indirek 0,6 mg/dl.
SGOT 17 u/l dan SGPT 15 u/l. Kesan labororatorium : Hipokalemia. Analisa gas
darah dengan FiO2 0,38 : pH 7.483, pCO2 30.1, pO2 89.5, HCO3- 22.7, Beecf -0.9,
SO2% 97.7. Kesan alkalosis respiratorik

Spirometri yang dilakukan pasien 6 bulan yang lalu (8 Oktober 2018)


menunjukkan hasil ; Pre bronkodilator FEV1 act/ FEV1 pred 57,06%, FVC act/
FVC pred 67,04, FEV1 act/FVC act 57,36% dan Post Bronkodilator : FEV1 act/
FEV1 pred 64,92%, FVC act/ FVC pred 73, FEV1 act/FVC act 59,9%. Perubahan
volume : 150ml dengan persentase 13,76%. Tes bronkodilator negatif. Kesan
Restriksi sedang dan obstruksi sedang.

Di Instalasi gawat darurat (IGD), pasien dikonsulkan ke bagian jantung


dengan CHF dan didapatkan kesan : Congestive heart failure Fungsional Class (CHF
FC) II ec CAD. Terapi : Aptor 100mg 1x1, bisoprolol 2,5mg 1x1, candersatan 8mg
1x1, amlodipine 5mg 1x1, nitrocaf 2,5mg 1x1

Pasien didiagnosis kerja dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis Eksaserbasi


Akut Tipe I dengan Community Acquired Pneumonia (CAP) + CHF Fungsional class
II. Pasien diberi terapi dengan IVFD NaCl 0,9% 12 jam/kolf, drip aminophilin (15
cc + 35 cc NaCl 0,9%) via syringe pump kecepatan 4,2 cc/jam, injeksi ceftriaxone
2gr 2x1, infus levofloksasin 750mg 1x1, azitromisin 500mg 1x1, injeksi
metilprednisolon 125 mg 2 x 1, nebu Ipratropium Br + salbutamol sulphate 6 x 1,
nebu flumucyl 2x1, bisoprolol 2,5 mg 1x1, amlodipine 5mg 1x1, candersatan 8mg
1x1, aptor 1x1 dan Nitroglycerin (NTG) kapan perlu.

Follow up hari kedua rawatan : sesak nafas berkurang, batuk sudah berkurang,
Tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi 99x/menit, Nafas 24x/menit. Paru dengan
5
auskultasi suara nafas ekspirasi memanjang Rh +/+, Wh +/+. Dengan assesment
perbaikan. Rencana : Kirim kultur sputum dan sensitivity kuman banal. Terapi
dilanjutkan.

Follow up hari ketiga rawatan : sesak nafas masih ada, batuk sudah berkurang,
Tekanan darah 120/70 mmHg, Nadi 89x/menit, Nafas 22x/menit. Paru dengan
auskultasi suara nafas ekspirasi memanjang Rh +/+, Wh -/-. Dengan assesment
perbaikan. Terapi diturunkan. Injeksi metilpredniosolon 125mg 2x1 diturunkan
menjadi metilpredniosolon 62,5mg 2x1, Ipratropium Br 0.5 mg+ salbutamol sulphate
2.5 mg 6 x 1 aff, ganti ke salbutamol 6x1 dan bisoprolol ditunda terlebih dahulu.
Terapi lainnya lanjut.

Follow up hari keempat rawatan : sesak nafas berkurang, batuk sudah


berkurang, Tekanan darah 120/80 mmHg, Nadi 86x/menit, Nafas 21x/menit. Paru
dengan auskultasi suara nafas ekspirasi memanjang Rh +/+ berkurang, Wh -/-.
Dengan assesment perbaikan. Terapi diturunkan salbutamol 6x1 diturunkan menjadi
4x1. Terapi lainnya lanjut.

Follow up hari kelima rawatan : sesak nafas berkurang, batuk sudah


berkurang, Tekanan darah 110/80 mmHg, Nadi 85x/menit, Nafas 21x/menit. Paru
dengan auskultasi suara nafas ekspirasi memanjang Rh -/- berkurang, Wh -/-. Hasil
kultur sputum : candida sp. Dengan assesment perbaikan. Terapi injeksi
metilprednisolon 62,5mg 2x1 diaff dan diganti dengan metilprednisolon 8mg 2x1,
drip aminophilin aff ganti ke retaphyl SR 2x1. Terapi lain lanjut

Follow up hari keenam rawatan : sesak nafas berkurang, batuk sudah


berkurang, Tekanan darah 120/80 mmHg, Nadi 82x/menit, Nafas 21x/menit. Paru
dengan auskultasi suara nafas bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/- berkurang. Dengan
assesment perbaikan. Pasien boleh pulang.

6
BAB III PEMBAHASAN

BAB III

PEMBAHASAN

Telah dirawat pasien laki laki usia 68 tahun dengan diagnosis PPOK
ekseserbasi akut tipe 1 dengan community acquired pneumonia. Penegakan diagnosis
didapat dari identifikasi anamnesis dimana didalamnya terdapat karakteristik dari
gejala PPOK, faktor resiko dan pemeriksaan penunjang. Secara definisi, PPOK
adalah suatu penyakit yang dapat dicegah dan diobati yang memiliki karakteristik
berupa gejala respiratorik yang persisten dan keterbatasan aliran udara akibat
abnormalitas jalan nafas dan/atau alveolus yang biasanya disebabkan oleh pajanan
partikel dan gas berbahaya.1

Pasien dengan PPOK, keluhan yang paling sering adalah sesak nafas. Sesak
ini mengakibatkan terjadinya gangguan aktifitas fisik. Pasien biasanya
mendefinisikan sesak nafas sebagai peningkatan usaha untuk bernapas dan rasa berat
saat bernapas. Batuk bisa muncul secara hilang timbul, tapi biasanya batuk kronis
dengan atau tanpa produksi sputum adalah gejala PPOK.11 Pada pasien datang dengan
keluhan utama sesak nafas yang menciut dan baru dirasakan sejak 5 tahun ini.
Riwayat alergi cuaca, makanan dan emosi tidak ada. Riwayat sesak dari kecil tidak
ada.

Faktor resiko terjadinya PPOK yakni : kebiasaan merokok, masak dengan


biomas, paparan pekerjaan seperti pekerja tambang, asbestos, faktor pejamu (host)
meliputi usia, genetik, hiper responsif jalan napas (akibat pajanan asap rokok atau
polusi) dan infeksi saluran nafas. Faktor genetik yang utama adalah defisiensi α1-
antitripsin (alfa 1-antiprotase). Faktor lain yakni usia dan social ekonomis status serta
nutrisi.6 Pada pasien ini dengan jenis kelamin laki laki, usia > 40 tahun dan memiliki
kebiasaan merokok dengan IB berat. Menurut Latin American Project for
Investigation of Obstructive Lung Disease (PLATINO) menyebutkan bahwa PPOK

7
lebih tinggi pada perokok dan bekas perokok dibanding bukan perokok. Penderita
PPOK lebih sering pada usia lebih dari 40 tahun dan prevalensi laki–laki lebih tinggi
dibanding perempuan.12
Pada pemeriksaan fisik, PPOK yang ringan biasanya tidak ditemukan ada nya
kelainan. Pada PPOK berat dapat ditemukan bunyi mengi dan ekspirasi memanjang
pada pemeriksaan fisik disertai tanda hiperinflasi seperti barrel chest, sianosis,
kontraksi otot-otot aksesori pernapasan dan pursed lips breathing. Pada pemeriksaan
fisik, dari inspeksi dapat ditemukan pernafasan seperti orang mencucu, pengunaan
otot bantu nafas, barrel chest, pink puffer, atau blue bloater. Dari segi palpasi dapat
ditemukan penurunan vocal fremitus dan hyperaerated atau pelebaran sela iga,
sedangkan dari perkusi dapat ditemukan adanya hipersonor akibat karbon dioksida
yang terperangkap, batas jantung yang mengecil seperti tetes air, diafragma terdorong
kebawah, dan hepar yang terdorong kebawah khususnya pada kasus emfisema. Pada
auskultasi dapat ditemukan suara vesikuler yang menurun, ekspirasi memanjang dan
juga suara wheezing. Pada pasien ini, kita menemukan tampak dada barrel chest
akibat airtrapping disertai dengan suara nafas ekspirasi memanjang disertai wheezing.

PPOK eksersebasi adalah kondisi akut yg berhubungan dengan peningkatan


inflamasi saluran napas, sesak napas, peningkatan produksi mukus dan airtrapping
yang membutuhkan terapi tambahan. Gejala lain termasuk peningkatan purulensi
sputum dan volume sputum, bersama dengan peningkatan batuk dan mengi.8

PPOK eksaserbasi akut dibagi menjadi:1


a. Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala yaitu, sesak bertambah, produksi
sputum meningkat, perubahan warna sputum (sputum menjadi purulent)
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 dari 3 gejala eksaserbasi yaitu sesak
bertambah, produksi sputum meningkat, perubahan warna sputum (sputum
menjadi purulent)
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala ditambah infeksi saluran napas
atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,

8
peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline,
atau frekuensi nadi > 20% baseline
Pada pasien ini termasuk tipe 1 karena kita menemukan peningkatan sesak nafas,
produksi sputum yang meningkat serta perubahan warna sputum.

Gambar 2. Tatalaksana Eksersebasi PPOK dikutip dari1

Pada pasien ini di IGD kita tatalaksana dengan pemberian terapi akut yakni
Ipratropium Br + salbutamol sulphate dan injeksi kortikosteroid, namun keluhan
respiratori pasien tidak membaik. Kemudian pada pasien ini dilakukan pemeriksaan
Analisa gas darah didapatkan kesan alkalosis respiratorik.

Secara literature pemberian kortikosteroid dapat mempercepat waktu


perbaikan dan memperbaiki fungsi paru (VEP1), memperbaiki oksigenasi,
mengurangi resiko berulang, mengurangi kegagalan terapi serta mengurangi lama
rawatan.

9
Gambar 3. Indikasi rawatan pasien PPOK dikutip dari1

Pada pasien ini memiliki indikasi untuk dilakukan rawatan yakni tidak
berespon dengan pemberian terapi inisial serta memiliki komorbid yakni congestive
heart failure.

Faktor yang menyebabkan eksersebasi pada pasien ini yakni CAP. Diagnosis
CAP dapat dilihat dari anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisis, foto toraks dan
laboratorium. Diagnosis pasti CAP ditegakkan jika ditemukan gejala-gejala berikut
ini yaitu: batuk-batuk, perubahan karakteristik dahak, suhu tubuh ≥ 38ºC (riwayat
demam), nyeri dada, sesak, leukosit ≥ 10000 μl atau < 4500 μl. Selain itu, diagnosis
CAP juga dapat ditegakkan dari diagnosis penunjang yaitu dengan ditemukannya
infiltrat atau air bronchogram pada foto toraks pasien.13 Pada pasien ini kita temukan
dari anamnesis yakni batuk disertai perubahan warna sputum dengan riwayat demam
serta ditemukan nya infiltrat pada rontgen toraks.

10
Gambar 4. Penyebab eksersebasi pasien PPOK dikutip dari1

Tatalaksana empiris pada pasien CAP non rawatan ICU adalah Flurokuinolon
atau β lactam ditambah makrolida. Pada pasien ini diberikan ceftriaxone,
levofloksasin dan juga azitromisin. Pengiriman kultur sputum wajib dilakukan pada
pasien ini.

11
Gambar 5. Perbandingan deteksi bakteri sebelum dan sesudah waktu pemberian
antibotik dikutip dari 14

Pada pasien ini hasil kultur menunjukkan ditemukan adanya candida sp. Hasil
ini tidak sesuai dengan teori. Hal ini disebabkan karena kultur sputum dilakukan
setelah > 20 jam pemberian antibiotik.

Diagnosis pasti PPOK sudah dapat kita tegakkan karena pada pasien sudah
dilakukan spirometri. Spirometri merupakan pemeriksaan penunjang definitif untuk
diagnosis PPOK dimana rasio pengukuran FEV1/FVC <O.7. Adapun klasifikasi
PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV1/FVC setelah pemberian bronkodilator
dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3 dan 4. Pengukuran spirometri harus memenuhi
kapasitas udara yang dikeluarkan secara paksa dari titik inspirasi maksimal (Forced
Vital Capacity) kapasitas udara yang dikeluarkan pada detik pertama (Forced
12
Expiratory Volume in one second) dan rasio kedua pengukuran tersebut. Pada gambar
7 diperlihatkan klasifikasi tingkat keparahan keterbatasan aliran udara pada pasien
PPOK.15

Gambar 6. Klasifikasi tingkat keparahan keterbatasan aliran udara pasien PPOK

Dikutip dari 1

Pada pasien ini tergolong PPOK sedang dari klinis dan hasil spirometri FEV1
act/FVC act 59,9% dan FEV1 act/ FEV1 pred 64,92%.

13
KESIMPULAN

1. PPOK masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia dimana setiap


mengalami eksersebasi akan terjadi penurunan fungsi paru yang bersifat
ireversibel

2. Merokok menjadi factor utama terjadinya PPOK

3. Tatalaksana PPOK eksersebasi dapat menyelamatkan kehidupan pasien

4. Infeksi menjadi salah satu komorbid utama untuk terjadinya eksersebasi

14
DAFTAR PUSTAKA

1. GOLD. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2019:4-26.

2. WHO. World Health Statistic. 2008:1-112.

3. Abramson MJ, Schattner RL, Sulaiman ND, Del Colle EA, Aroni R, Thien F.
Accuracy of asthma and COPD diagnosis in Australian general practice: A
mixed methods study. Prim Care Respir J. 2012;21(2):167-173.

4. Alonso JLI, Paredes CM. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD).


Med. 2018;12(63):3699-3709.

5. Ikawati Z. Penyakit Sistem Pernapasan dan Tatalaksana Terapinya. 2014:1-30.

6. Adeloye D, Chua S, Lee C, et al. Global and regional estimates of COPD


prevalence: Systematic review and meta-analysis. J Glob Health.
2015;5(2):020415.

7. Kementrian Kesehatan Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia. Vol 14.; 2013.

8. PDPI. PPOK Pedoman Diagnosa Dan Penatalaksanaan Di Indonesia,


Jakarta, PDPI.; 2011.

9. Padang DKK. Profil kesehatan kota padang. 2017.

10. Criner GJ, Bourbeau J, Diekemper RL, et al. Prevention of Acute


Exacerbations of COPD. Chest. 2014;147(4):894-942.

11. Huang Y. Chronic Respiratory Disease, Asthma. Encycl Metagenomics.


2015:74-77.

12. Nugraha I. Hubungan Derajat Berat Merokok Berdasarkan Indeks Brinkman


Dengan Derajat Berat PPOK. Akper Patria Husada Surakarta.
2013;53(9):1689-1699.
15
13. Islam Z. Penggunaan Antibiotik Pada Terapi Community Acquired Pneumonia
di RSUD Pasar Rebo dan RSUD Tarakan di Jakarta Tahun 2014.
2017;19(01):1-8.

14. Harris AM, Bramley AM, Jain S, et al. Influence of antibiotics on the detection
of bacteria by culture-based and culture-independent diagnostic tests in
patients hospitalized with community-acquired pneumonia. Open Forum Infect
Dis. 2017;4(1).

15. Alfred P, Elias J. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. 4th ed;
COPD. New York: Mc Graw Hill. 2008.

16

Anda mungkin juga menyukai