Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

UPAYA PEMUTUSAN RANTAI INFEKSI

DOSEN PENGAMPU : Ns. RATNA DEWI, S.Kep

DI SUSUN OLEH :

FITRI HAYATI
1701011011

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS DHARMAS INDONESIA
TAHUN AJARAN 2018/2019
Daftar isi
Kata pengantar………………………………………………………………………….

Daftar isi………………………………………………………………………………..

BAB 1
PENDAHULUAN……………………………………………………………………...

1.1 Latar belakang………………………………………………………………………

1.2 Rumusan masalah…………………………………………………………………...

1.3 Tujuan masalah………………………………………………………………………

BAB 2
PEMBAHASAN………………………………………………………………………..

2.1 definisi penyakit infeksi…………………………………………………………

2. 2 rantai penularan penyakit infeksi………………………………………………..

2. 3 resiko Health Care Associated Infection…………………………………………

2. 4 cara pencegahan dan pengendalian infeksi………………………………………

2.5 strategi pencegahan dan pengendalian infeksi……………………………………

BAB 3
PENUTUP………………………………………………………………………………

Kesimpulan……………………………………………………………………………...

Saran…………………………………………………………………………………….

Daftar pustaka………………………………………………………………………......
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pencegahan Infeksi adalah suatu upaya yang ditujukan untuk mencegah transmisi
penyakit menular di semua tempat pelayanan kesehatan (Minnesota Department of Health,
2014). Pencegahan memiliki arti mencegah agar tidak terjadi infeksi, Dengan demikian, tujuan
utama dari pelaksanaan program ini adalah mencegah dan mengendalikan infeksi dengan cara
menghambat pertumbuhan dan transmisi mikroba yang berasal dari sumber di sekitar penderita
yang sedang dirawat (Darmadi, 2008).

Tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI), tidak terpisah dari komponen-
komponen lain dalam asuhan selama persalinan dan kelahiran bayi, keluarga, penolong
persalinan dan tenaga kesehatan lainnya dengan mengurangi infeksi karena bakteri, virus, dan
jamur. Dilakukan pula upaya untuk menurunkan resiko penularan penyakit-penyakit yang
berbahaya yang hingga kini belum ditemukan pengobatannya seperti Hepatitis dan HIV/AIDS.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana definisi penyakit infeksi?


2. Bagaimana rantai penularan penyakit infeksi?
3. Bagaimana resiko Health Care Associated Infection?
4. Bagaimana pencegahan dan pengendalian infeksi?
5. Bagaimana strategi pencegahan dan pengendalian infeksi?
1.3 Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui definisi penyakit infeksi


2. Untuk mengetahui rantai penularan penyakit infeksi
3. Untuk mengetahui resiko Health Care Associated Infection
4. Untuk mengetahui pencegahan dan pengendalian infeksi
5. Untuk mengetahui strategi pencegahan dan pengendalian infeksi
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Penyakit Infeksi

A. Pengertian Infeksi

Infeksi adalah proses saat organisme (bakteri, virus, jamur) yang mampu menyebabkan
penyakit masuk kedalam tubuh atau jaringan dan menyebabkan trauma atau kerusakan. Bakteri,
virus, jamur memiliki berbagai cara untuk masuk ke dalam tubuh. Cara penularan dibagi menjadi
kontak langsung dan tidak langsung. Kontak langsung terdiri atas penyebaran orang ke orang
(misalnya bersin, kontak seksual, atau semacamnya), hewan ke orang (misalnya dari gigitan atau
cakaran binatang, binatang peliharaan), atau dari ibu hamil ke anaknya yang belum lahir melalui
plasenta. Kontak tidak langsung teridiri atas gigitan serangga yang hanya menjadi pembawa dari
mikoorganisme atau vektor (seperti nyamuk, lalat, kutu) dan kontaminasi melalui air dan
makanan.

Setelah masuk ke dalam tubuh mikoorganisme tersebut mengakibatkan beberapa


perubahan. Mikoorganisme tersebut memperbanyak diri dengan caranya masing – masing dan
menyebabkan cedera jaringan dengan berbagai mekanisme yang mereka punya, seperti
mengeluarkan toksin, mengganggu DNA sel normal, dan sebagainya.

B. Penyebab infeksi

Gejala dari infeksi bervariasi, bahkan ada kondisi dimana infeksi tersebut tidak
menimbulkan sub klinis. Gejala yang ditimbulkan terkadang bersifat lokal (di tempat masuknya
mikoorganisme) atau sistematik (menyebar keseluruh tubuh). Berikut adalah beberapa gejala
yang timbul berdasarkan penyebabnya :

1. Bakteri: gejala yang ditimbulkan oleh infeksi bakteri bervariasi tergantung bagian tubuh
mana yang diinfeksi. Jika seseorang terkena infeksi bakteri di tenggorokan, maka ia akan
merasakan nyeri tenggorokan, batuk, dan sebagainya. Jika mengalami infeksi bakteri pada
perncernaan, maka ia akan merasakan gangguan pencernaan seperti diare, konstipasi, mual atau
muntah.

2. Virus: gejala yang ditimbulkan oleh infeksi tergantung dari tipe virus, bagian tubuh yang
terinfeksi, usia, dan riwayat penyakitnya. Gejala dari infeksi virus dapat mempengaruhi hampir
seluruh bagian tubuh. Gejala yang sering timbul biasanya flu, gangguan pencernaan, bersin–
bersin, hidung berair dan tersumbat, pembesaran kelenjar getah bening, pembengkakan tonsil,
atau bahkan turunya berat badan.
3. Jamur: kebanyakan jamur menginfeksi kulit, meskipun terdapat bagian tubuh lain yang
dapat terinfeksi seperti paru–paru dan otak. Gejala infeksi yang disebabkan oleh jamur antara
lain gatal, kemerahan, kadang terdapat rasa bakar, dan kulit bersisik.

2.2 Rantai Penularan

1. Agen/Penyebab Infeksi

Mikroorganisme yang termasuk dalam agen infeksi antara lain bakteri, virus, jamur dan
protozoa. Mikroorganisme dikulit bisa merupakan flora transient maupun resident.
Mikroorganisme transient normalnya ada dan jumlahnya stabil, organisme ini bisa hidup dan
berbiak dikulit. Organisme transient melekat pada kulit saat seseorang kontak dengan objek atau
orang lain dalam aktivitas normal. Organisme ini siap ditularkan kecuali dengan cuci tangan.
Organisme residen tidak dengan mudah bisa dihilangkan melalui cuci tangan dengan sabun dan
detergen biasa kecuali bila gosokan dilakukan dengan seksama. Mikroorganisme dapat
menyebabkan infeksi tergantung pada: jumlah mikroorganisme, virulensi (kemampuan
menyebabkan penyakit), kemampuan untuk masuk dan bertahan hidup dalam host serta
kerentanan dalam host/pejamu.

2. Reservoir (sumber mikroorganisme)

Reservoir adalah tempat dimana mikroorganisme patogen dapat hidup baik berkembang
biak atau tidak adalah manusia, binatang, makanan, air, serangga dan benda lain. Kebanyakan
reservoir adalah tubuh manusia, terutama dikulit, mukosa, cairan atau drainase. Adanya
mikroorganisme patogen dalam tubuh tidak selalu menyebabkan penyakit pada hostnya.
Sehingga reservoir yang didalamnya terdapat mikroorganisme patogen bisa menyebabkan orang
lain bisa menjadi sakit (carier). Kuman dapat hidup dan berkembang biak dalam reservoir jika
karakteristik reservoirnya cocok dengan kuman. Karakteristik tersebut adalah air, suhu, ph, udara
dan pencahayaan.

3. Portal of exit

Mikroorganisme yang hidup didalam reservoir harus menemukan jalan keluar untuk
masuk ke dalam host dan menyebabkan infeksi. Sebelum menimbulkan infeksi, mikroorganisme
harus keluar terlebih dahulu dari reservoirnya. Jika reservoirnya manusia, kuman dapat keluar
melalui saluran pencernaan, pernafasan, perkemihan, genetalia, kulit, membrane mukosa yang
rusak serta darah.

4. Cara penularan (transmisi)

a. Kontak (contact transmission):

1) Direct/Langsung: kontak badan ke badan transfer kuman penyebab secara fisik pada saat
pemeriksaan fisik, memandikan klien, dll.
2) Indirect/Tidak langsung: kontak melalui objek (benda/alat). Dengan perantara: instrumen,
jarum, kasa, tangan yang tidak dicuci.

b. Droplet : partikel droplet > 5 μm melalui batuk, bersin, bicara, jarak sebar pendek, tdk
bertahan lama di udara, “deposit” pada mukosa konjungtiva, hidung, mulut contoh : Difteria,
Pertussis, Mycoplasma, Haemophillus influenza type b (Hib), virus influenza, mumps, rubella.

c. Airborne : partikel kecil ukuran < 5 μm, bertahan lama di udara, jarak penyebaran jauh,
dapat terinhalasi, contoh: Mycobacterium tuberculosis, virus campak, varisela (cacar air), spora
jamur.

d. Melalui Vehikulum : Bahan yang dapat berperan dalam mempertahankan kehidupan


kuman penyebab sampai masuk (tertelan atau terokulasi) pada pejamu yang rentan. Contoh: air,
darah, serum, plasma, tinja, makanan.

e. Melalui Vektor : Artropoda (umumnya serangga) atau binatang lain yang dapat
menularkan kuman penyebab cara menggigit pejamu yang rentan atau menimbun kuman
penyebab pada kulit pejamu atau makanan. Contoh: nyamuk, lalat, pinjal/kutu, binatang
pengerat.

5. Portal masuk

Sebelum seseorang terinfeksi, mikroorganisme harus masuk dalam tubuh. Kulit


merupakan barier pelindung tubuh terhadap masuknya kuman infeksius. Rusaknya kulit atau
ketidakutuhan kulit dapat menjadi portal masuk. Mikroba dapat masuk kedalam tubuh melalui
rute yang sama dengan portal keluar. Faktor-faktor yang menurunkan daya tahan tubuh
memperbesar kesempatan patogen masuk kedalam tubuh.

6. Daya tahan hospes (manusia)

Seseorang terkena infeksi bergantung pada kerentanan terhadap agen infeksius.


Kerentanan bergantung pada derajat ketahanan tubuh individu terhadap patogen. Meskipun
seseorang secara konstan kontak dengan mikroorganisme dalam jumlah yang besar, infeksi tidak
akan terjadi sampai individu rentan terhadap kekuatan dan jumlah mikroorganisme tersebut.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap kuman yaitu usia, keturunan,
stress (fisik dan emosional), status nutrisi, terapi medis, pemberian obat dan penyakit penyerta.

A. Proses Terjadinya Infeksi

Infeksi terjadi secara progresif dan beratnya infeksi pada klien tergantung dari tingkat
infeksi, patogenisitas mikroorganisme dan kerentanan penjamu. Dengan proses perawatan yang
tepat, maka akan meminimalisir penyebaran dan meminimalkan penyakit. Perkembangan infeksi
mempengaruhi tingkat asuhan keperawatan yang diberikan.
Berbagai komponen dari sistem imun memberikan jaringan kompleks mekanisme yang
sangat baik yang jika utuh, berfungsi mempertahankan tubuh terhadap mikroorganisme asing dan
sel-sel ganas.

Secara umum proses terjadinya infeksi adalah sebagai berikut:

1. Tahap Inkubasi

Tahap inkubasi adalah interval antara masuknya patogen ke dalam tubuh dan
munculnya gejala pertama.

2. Tahap Prodromal

Tahap prodromal adalah Interval dari awitan tanda dan gejala non spesifik
(malaise,demam ringan, keletihan) sampai gejala yang spesifik. (selama masa ini,
mikroorganisme tumbuh dan berkembang biak dan kien lebih mampu menyebarkan
penyakit ke orang lain).

3. Tahap sakit

Tahap sakit adalah interval saat klien memanifestasikan tanda dan gejala yang
spesifik terhadap, jenis infeksi (misalnya: demam di manifestasikan dengan sakit
tenggorokan, kongesti sinus, rhinitis, dan seperti mumps (gondok) dimanifestasikan
dengan sakit telinga, demam tinggi, pembengkakan kelenjar paratiroid dan saliva)

4. Pemulihan

Pemulihan adalah interval saat munculnya gejala akut infeksi (lamanya


penyembuhan bergantung pada beratnya infeksi dan keadaan umum kesehatan klien,
penyembuhan bisa berlangsung dalam beberapa hari atau bahkan sampai bulanan.

2.3 Faktor Resiko (Health Associated Infections)

”Health-care Associated Infections (HAIs)” merupakan komplikasi yang paling sering


terjadi di pelayanan kesehatan. HAIs selama ini dikenal sebagai Infeksi Nosokomial atau disebut
juga sebagai Infeksi di rumah sakit ”Hospital-Acquired Infections” merupakan persoalan serius
karena dapat menjadi penyebab langsung maupun tidak langsung kematian pasien. Kalaupun tak
berakibat kematian, pasien dirawat lebih lama sehingga pasien harus membayar biaya rumah
sakit yang lebih banyak.

HAIs adalah penyakit infeksi yang pertama muncul (penyakit infeksi yang tidak berasal
dari pasien itu sendiri) dalam waktu antara 48 jam dan empat hari setelah pasien masuk rumah
sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya, atau dalam waktu 30 hari setelah pasien keluar
dari rumah sakit. Dalam hal ini termasuk infeksi yang didapat dari rumah sakit tetapi muncul
setelah pulang dan infeksi akibat kerja terhadap pekerja di fasilitas pelayanan kesehatan.

Angka kejadian terus meningkat mencapai sekitar 9% (variasi3-21%) atau lebih dari 1,4
juta pasien rawat inap di rumah sakit seluruh dunia.Kondisi ini menunjukkan penurunan mutu
pelayanan kesehatan. Tak dipungkiri lagi untuk masa yang akan datang dapat timbul tuntutan
hukum bagi sarana pelayanan kesehatan, sehingga kejadian infeksi di pelayanan kesehatan harus
menjadi perhatian bagi Rumah Sakit.

Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien merupakan kelompok yang
berisiko mendapat HAIs. Infeksi ini dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada petugas,
dari pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga maupun dari petugas
kepada pasien. Dengan demikian akan menyebabkan peningkatan angka morbiditas, mortalitas,
peningkatan lama hari rawat dan peningkatan biaya rumah sakit.

Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) sangat Penting untuk melindungi
pasien, petugas juga pengunjung dan keluarga dari resiko tertularnya infeksi karena dirawat,
bertugas juga berkunjung ke suatu rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Keberhasilan program PPI perlu keterlibatan lintas profesional: Klinisi, Perawat, Laboratorium,
Kesehatan Lingkungan, Farmasi, Gizi, IPSRS, Sanitasi & Housekeeping, dan lain-lain sehingga
perlu wadah berupa Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.

Beberapa rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan merupakan lahan praktik bagi
mahasiswa/siswa serta peserta magang dan pelatihan yang berasal dari berbagai jenjang
pendidikan dan institusi yang berbeda-beda. Tak diragukan lagi bahwa semua mahasiswa/siswa
dan peserta magang/pelatihan mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam penularan infeksi
dan akan beresiko mendapatkan HAIs. Oleh karena itu penting bagi mahasiswa/siswa, peserta
magang/pelatihan, termasuk juga karyawan baru memahami proses terjadinya infeksi,
mikroorganisme yang sering menimbulkan infeksi, serta bagaimana pencegahan dan
pengendalian infeksi di rumah sakit. Sebab bila sampai terjadi infeksi nosokomial akan cukup
sulit mengatasinya, pada umumnya kuman sudah resisten terhadap banyak antibiotika. Sehingga
semua mahasiswa/siswa, peserta magang/pelatihan yang akan mengadakan praktik di rumah
sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, termasuk juga karyawan baru yang akan bertugas
harus diberikan Layanan Orientasi dan Informasi (LOI) tentang Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi. Healthcare associated infections (HAIs) dahulu dikenal sebagai infeksi nosokomial atau
hospital-acquired infections. HAIs adalah infeksi yang terjadi pada pasien selama perawatan di
rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya. Infeksi tersebut tidak ditemukan atau tidak sedang
berinkubasi pada saat pasien masuk. Termasuk dalam definisi ini adalah infeksi yang didapat di
rumah sakit namun baru bermanifestasi setelah pasien keluar. Selain pada pasien, HAIs dapat
terjadi padatenaga kesehatan, staf,dan pengunjung rumah sakit. (WHO)
Penyebab HAIs adalah mikroorganisme yang berasal flora normal pasien itu sendiri yang
menjadi invasif pada keadaan tertentu, maupun tercemar dari alat/prosedur yang steril melalui
tangan para tenaga kesehatan..

Di negara maju, faktor-faktor yang menyebabkan seorang pasien rentan HAIs antara
lainadalah umur >65 tahun, masuk sebagai kasus gawat darurat yang dirawat di ICU, lama
perawatan ≥ 7 hari, menggunakan central venous catheter, indwelling urinary catheter, atau
endotracheal tube, pasca pembedahan,keadaan imunosupresi, penyakit berat, dan penurunan
kesadaran.Di negara berkembang, faktor-faktor tersebut ditambah dengan kemiskinan,
malnutrisi, usia < 1 tahun, berat badan lahir rendah, dan kurangnya berjalannya program
pengendalian infeksi di rumah sakit.

Data global HAIs saat ini masih terbatas, namun secara umum disebutkan bahwa
prevalensi HAIs di negara berkembang lebih tinggi dari negara maju (10,1% vs 7,6%). Di
Indonesia adalah 7,1%. Infeksi yang sering ditemukan adalah yang berkaitan dengan penggunaan
alat atau prosedur invasif, yaitu catheter-associatedurinary tract infection (CAUTI), central line-
associatedblood stream infection (CLABSI), ventilator-associated infection (VAP)dan surgical
site infection (SSI). Risiko pasien terkena HAIs meningkat signifikan di ICU. Di negara maju
sekitar 30% pasien ICU menderita sedikitnya satu episode HAIs. Dan risiko ini meningkat 2-3
kali lipat di negara berkembang.

Laporan CDC yakni “Multistate Point-Prevalence Survey of Health Care-Associated


Infections” , menunjukkan data dari 183 rumah sakit di Amerika pada tahun 2011 used 2011 data
from 183; memperkirakan terjadi 721,800 kasus infeksi yang diderita oleh 648,000 pasien,
sejumlah 75,000 pasien meninggal pada saat perawatan akibat associated infections.

HAI yang umum diderita adalah peneumonia (22%), infeksi luka operasi/surgical-site
infections (22%), infeksi saluran cerna (17%), infeksi saluran ke,ih (13%), dan infeksi aliran
darah (10%). Kuman penyebab HAI adalah Clostridium difficile (12%), Staphylococcus aureus,
serta methicillin-resistant Stapylococcus aureus [MRSA] (11%), Klebsiella (10%), Escherichia
coli (9%), Enterococcus (9%), dan Psuedomonas (7%).

Dampak HAIs adalah peningkatan kesakitan dan kematian, penambahan lama hari dan
biaya perawatan, peningkatan resistensi antibiotik, serta peningkatan beban biaya pada sistem
kesehatan.

2.4 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

Kemenkes RI (2011), menuliskan bahwa ada sepuluh hal yang perlu dilakukan

dalam pelaksanaan PPI, yaitu:

a. Kebersihan tangan
Praktek membersihkan tangan adalah upaya mencegah infeksi yang disebarkan melalui
tangan dengan menghilangkan semua kotoran dan debris serta menghambat dan membunuh
mikroorganisme pada kulit. Menjaga kebersihan tangan ini dilakukan segera setelah sampai
di tempat kerja, sebelum kontak dengan klien atau melakukan tindakan untuk klien,
selama melakukan indakan (jika secara tidak sengaja terkontaminasi) dan setelah kontak
atau melakukan tindakan untuk klien. Secara garis besar, kebersihan tangan dilakukan
pada air mengalir, menggunakan sabun dan/atau larutan antiseptik, dan diakhiri dengan
mengeringkan tangan dengan kain yang bersih dan kering (Kemenkes RI, 2011).

b. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)

Alat Pelindungan Diri (APD) telah lama digunakan untuk melindungi klien dari
mikroorganisme yang ada pada petugas kesehatan. Namun, dengan munculnya Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dan Hepatitis C, serta meningkatnya kembali kasus
Tuberculosis (TBC), penggunaan APD juga menjadi sangat penting dalam melindungi petugas.
Alat pelindung diri mencakup sarung tangan, masker, alat pelindung mata, topi, gaun, apron,
pelindung kaki, dan alat pelindung lainnya (Kemenkes RI, 2011).

c. Penatalaksanaan peralatan klien dan linen

Konsep ini meliputi cara memproses instrumen yang kotor, sarung tangan, linen, dan alat
yang akan dipakai kembali dengan menggunakan larutan klorin 0,5%, mengamankan alat-alat
kotor yang akan tersentuh serta memilih proses penanganan yang akan digunakan secara tepat.
Penatalaksanaan ini dapat dilakukan dengan precleaning, pencucian dan pembersihan, Desinfeksi
Tingkat Tinggi (DTT), serta sterilisasi (Kemenkes RI, 2011).

d. Pengelolaan limbah

Pengelolaan limbah merupakan salah satu upaya kegiatan PPI berupa pengelolaan limbah
rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, baik limbah yang terkontaminasi maupun yang tidak
terkontaminasi (Kemenkes RI, 2011).

e. Pengendalian lingkungan rumah sakit

Tujuan pengendalian lingkungan rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya adalah
untuk menciptakan lingkungan yang bersih, aman, dan nyaman. Pengendalian lingkungan secara
baik dapat meminimalkan atau mencegah transmisi mikroorganisme dari lingkungan kepada
klien, petugas, pengunjung dan masyarakat di sekitar rumah sakit atau fasilitas kesehatan
(Kemenkes RI, 2011).

f. Kesehatan karyawan/perlindungan pada petugas kesehatan

Petugas kesehatan beresiko terinfeksi bila terpapar kuman saat bekerja. Upaya rumah
sakit atau fasilitas kesehatan untuk mencegah transmisi ini adalah membuat program pencegahan
dan pengendalian infeksi pada petugasnya, misalnya dengan pemberian imunisasi (Kemenkes RI,
2011).

g. Penempatan/isolasi klien

Penerapan program ini diberikan pada klien yang telah atau sedang dicurigai menderita
penyakit menular. Klien akan ditempatkan dalam suatu ruangan tersendiri untuk meminimalkan
proses penularan pada orang lain (Kemenkes RI, 2011).

h. Hygiene respirasi/etika batuk

Semua klien, pengunjung, dan petugas kesehatan perlu memperhatikan kebersihan


pernapasan dengan cara selalu menggunakan masker jika berada di fasilitas pelayanan kesehatan.
Saat batuk, sebaiknya menutup mulut dan hidung menggunakan tangan atau tissue (Kemenkes
RI, 2011).

i. Praktik menyuntik yang aman

Jarum yang digunakan untuk menyuntik sebaiknya jarum yang steril dan sekali pakai
pada setiap kali suntikan (Kemenkes RI, 2011).

j. Praktik lumbal pungsi

Saat melakukan prosedur lumbal pungsi sebaiknya menggunakan masker untuk


mencegah transmisi droplet flora orofaring (Kemenkes RI, 2011).

A. Memproses Alat Bekas Pakai

3 proses pokok yang direkomendasikan untuk proses peralatan dan benda – benda lain
dalam upaya pencegahan infeksi.

· Dekontaminasi
· Sterilisasi
· DTT
1. Dekontaminasi

Sudah lebih dari 20 tahun. Dekontaminasi terbukti dapat mengurangi tingkat kontaminasi
mikrobial pada instrumen bedah. Misalnya, studi yang dilakukan oleh Nystrom (1981)
menemukan kurang dari 10 mikroorganime pada 75 % dari alat yang tadinya tercemar dan pada
98% kurang dari 100 pada alat yang telah dibersihkan dan didekontaminasi. Berdasarkan
penemuan ini, sangat dianjurkan agar alat dan benda-benda lain yang dibersihkan dengan tangan,
didekontaminasi terlebih dahulu untuk meminimalkan risiko infeksi kepada petugas yang tidak
sengaja terluka saat membersihkan serta mengurangi kontaminasi kuman pada tangan mereka.
Dekontaminasi merupakan langkah pertama dalam menangani alat bedah, sarung tangan
dan benda lainnya yang telah tercemar. Hal penting sebelum membersihkan adalah
mendekontaminasi alat tersebut dengan merendamnya di larutan klorin 0,5% selama 10 menit.
Langkah ini dapat me-non-aktifkan HBV, HCV dan HIV serta dapat mengamankan petugas yang
membersihkan alat tersebut (AORN 1990; ASHCSP 1986).

1. Produk-Produk Dekontaminasi

Larutan klorin terbuat dari sodium hipoklorit yang umumnya tidak mahal dan merupakan
produk dengan reaksi yang paling cepat dan efektif pada proses dekontaminasi, tetapi ada juga
bahan lainnya yang bisa digunakan seperti etil atau isoprofil alkohol 70% dan bahan fenolik
0,5% - 3% (Crutcher dkk 1991).

Apabila tidak tersedia disinfektan untuk proses dekontaminasi, diperlukan kewaspadaan


tinggi saat menangani dan membersihkan benda tajam tercemar (misal jarum jahit, gunting, dan
pisau bedah).

2. Tips Dekontaminasi

1) Gunakan tempat plastik untuk dekontaminasi agar mencegah:


a. Tumpulnya pisau (misak gunting) saat bersentuhan dengan kontainer logam, dan
b. Berkaratnya instrumen karena reaksi kimia (elektrilisis) yang terjadi antara dua logam yang
berbeda (misal instrumen dan wadah) bila direndam dalam air.
2) Jangan merendam instrumen logam yang berlapis elektro (artinya tidak 100% baja tahan
gores) meski dalam air biasa selama beberapa jam karena akan berkarat.
Setelah dekontaminasi, instrument harus segera dicuci dengan air dingin untuk
menghilangkan bahan organik sebelum dibersihkan secara menyeluruh. Misalnya, beberapa
fasilitas pelayanan kesehatan menaruh 2 ember di ruang operasi, satu ember diisi dengan larutan
klorin 0,5% dan ember yang satu lagi diisi dengan air, sehingga instrumen tersebut dapat
ditempatkan dalam air setelah direndam dalam larutan klorin selama 10 menit. Meski hal ini
akan membantu mencegah korosi, instrumen akan tetap berkarat bila direndam selama satu jam
di dalam air biasa.

Jarum habis pakai dan semprit harus di dekontaminasi diletakkan dalam wadah yang
tahan tusukan, dienkapsulasi, dibakar, maupun dikubur. Apabila akan digunakan kembali, maka
jarum dan semprit harus dibersihkan dan dicuci secara menyeluruh setelah didekontaminasi.
Sebab jarum yang terkontaminasilah yang paling sering menimbulkan cedera, oleh karena itu
dianjurkan hanya semprit yang diproses sebelum digunakan kembali, dan tidak untuk jarum.
Tindakan ini lebih aman dibandingkan dengan memproses jarum dan semprit. Selain itu, akan
mengurangi biaya dan juga menghasilkan sedikit sampah terkontaminasi daripada membuang
keduanya.
Permukaan yang luas, misalnya pada pemeriksaan pelvis atau meja operasi, yang
kemungkinan besar bersentuhan dengan darah atau duh tubuh harus didekontaminasi. Menyeka
dengan disinfektan yang tepat seperti larutan klorin 0,5% sebelum digunakan kembali atau saat
terkena kontaminasi, merupakan cara yang mudah dan murah untuk proses dekontaminasi pada
permukaan yang luas.

Sekali instrumen atau benda lainnya telah didekontaminasi, maka selanjutnya bisa
diproses dengan aman. Tindakan ini meliputi pembersihan dan akhirnya dengan melakukan
sterilisasi atau disinfektan tingkat tinggi (DTT).

2. Sterilisasi

Sterilisasi dapat membunuh semua mikroorganisme, termasuk bakteri


endospora.Sterilisasi merupakan upaya pembunuhan atau penghancuran semua bentuk
kehidupan mikroba yang dilakukan di rumah sakit melalui proses fisik maupun kimiawi.
Strilisasi jika dikatakan sebagai tindakan untuk membunuh kuman patoge atau apatoge beserta
spora yang terdapat pada alat perawatan atau kedokteran denngan cara merebus, stoom, panas
tinggi atau bahan kimia.jenis sterilisasi antara lain sterlisasi cepat,strilisasi panas
kering,strerilisasi gas (formalin, H2O2 ), rdiasi ionisasi.

Sterilisasi harus dilakukan untuk alat-alat, sarung tangan bedah, dan alat lain yang kontak
langsung dengan aliran darah atau jaringan normal steril (Spaulding: 1939). Hal ini dapat dicapai
dengan uap bertekanan tinggi (otoklaf), pemanasan kering (oven), sterilisasi kimiawi, seperti
glutaraldehid atau formaldehid, dan secara fisik (radiasi). Karena sterilisasi itu sebuah proses,
bukan sebuah peristiwa tunggal, maka seluruh komponen harus dilakukan secara benar agar
sterilisasi tercapai.

Agar efektif, sterilisasi butuh waktu, kontak, suhu dan dengan sterilisasi uap, bertekanan
tinggi. Efektivitas setiap metode sterilisasi juga bergantung pada empat faktor lainnya sebagai
berikut:

1. Jenis mikroorganisme yang ada. Sebagian mikroorganisme sangat sulit dibunuh. Sebagian
lainnya daoat dengan mudah dibunuh.

2. Jumlah mikroorganisme yang ada. Lebih mudah membunuh satu organisme daripada yang
banyak.

3. Jumlah dan jenis materi organik yang melindungi mikroorganisme tersebut. Darah atau
jaringan yang menempel pada alat-alat yang kurang bersih berfungsi sebagai pelindung
mikroorganisme selama proses sterilisasi.

4. Jumlah retakan dan celah pada peralatan sebagai tempat menempel mikroorganisme.
Mikroorganisme berkumpul di dan dilindungi oleh goresan, retakan, dan celah, seperti jepitan
yang bergerigi tajam dan cunam jaringan.
Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam sterilisasi:

 Sterilisator ( alat untuk steril ) harus siap pakai,bersih dan masih berfungsi
 Peralatan yang akan di sterilisasi harus dibungkus dan diberi label yang jelas dengan
menyebutkan jenis peralatan, jumlah, tanggal pelaksanaan steril.
 Penataan alat harus berprinsip semua bagian dapat steril
 Tidak boleh menambahkan peralatan dalam sterilisator sebelum waktu mensteril selesai
 Memindahkan alat steril ke dalam tempatnya dengan korental
 Saat mendinginkan alat steril tidak boleh membuka bungkusnya,bila terbuka harus
dilakukan sterilisasi ulang
Beberapa alat yang perlu disterilkan:

 Peralatan logam (pinset, gunting, speculum,dll)


 Peralatan kaca (semprit, tabung kimia)
 Peralatan karet (cateter, sarung tangan, pipa lambung,dll)
 Peralatan ebonite (kanule rectum, kanule trakea,dll)
 Peralatan email (bengkok, baskom, dll)
 Peralatan porselin (mangkok, cangkir, piring, dll )
 Peralatan plastic (selang infuse, dll)
 Peralatan tenunan (kain kassa, dll)
 Prosedur kerja:
 Bersihkan peralatan yang akan disterilisasi
 Peralatan yang dibungkus haris diberi label
Masukkan ke dalam sterilisator dan hidupkan sterilisator sesuai dengan waktu yang ditentukan

Cara sterilisasi:

a) Sterilisasi dangan merebus dalam air mendidih sampai 100 (15–20 menit) untuk logam, kaca
dan karet
b) Sterilisasi dengan stoom menggunakan uap panas di dalam autoclave dengan waktu, suhu,
tekanan tertentu untuk alat tenun
c) Sterilisasi dengan panas kering menggunakan oven panas tinggi (logam yang tajam, dll)
d) Sterilisasi dengan bahan kimia menggunakan bahan kimia seperti alkohol, sublimat, uap
formalin, sarung tangan dan kateter.
1. Metode Sterilisasi Panas

Penguapan bertekanan tinggi yang menggunakan otoklaf atau pemanasan kering dengan
menggunakan oven adalah metode sterilisasi paling umum dan tersedia saat ini.

Strerilisasi uap tekanan tinggi adalah metode sterilisasi yang efektif, tetapi juga paling sulit
untuk dilakukan secara benar (Gruendemann dan Mangun 2001). Pada umumnya sterilisasi ini
adalah metode pilihan untuk mensterilisasi instrumen dan alat-alat lain yang digunakan pada
berbagai fasilitas pelayan kesehatan. Bila aliran listrik bermasalah, instrumen-instrumen dapat
disterilisasi dengan sebuah sterilisator uap nonelektrik dengan menggunakan minyak tanah atau
bahan bakar lainnya sebagai sumber panas.

Sterilisator panas kering (oven) baik untuk iklim yang lembab tetapi membutuhkan aliran
listrik yang terus menerus, menyebabkan alat ini kurang praktis pada area terpencil (pedesaan).
Lagipun, sterilisasi panas kering, dimana perlu suhu yang lebih tinggi, hanya dapat digunakan
untuk benda-benda gelas atau logam. Karena akan melelehkan bahan lainnya.

Instrumen steril dan instrumen lainnya harus digunakan segera kecuali jika:

a) Dibungkus dengan lapisan ganda kain katun, kertas atau bahan lainnya sebelum proses
sterilisasi; atau

b) Dapat disimpan dalam wadam wadah kering dan steril berpenutup rapat.

Bahan yang digunakan untuk membungkus instrumen dan instrumen lainnya harus
berpori-pori agar uap dapat masuk tetapi beranyaman cukup ketat untuk menghindari masuknya
partikel-partikel debu dan mikroorganisme. Paket steril terbungkus harus tetap dalam kondisi
steril sehingga paket atau wadah itu terkontaminasi. Robek atau usang pada bungkusannya, paket
menjadi basah atau hal lainnya yang menyebabkan mikroorganisme memasuki paket atau wadah
tersebut.

2. Sterilisasi Panas untuk Penyakit Prion

Penyakit prion, seperti Creutzfeldt-Jakob disease (CJD), adalah sekelompok penyakit


degeneratif otak yang mendapat perhatian khusus selama beberapa tahun terakhir ini. Penyakit
pada hewan ini (anjing, sapi dan hewan menyusui lainnya) termasuk manusia akan secara cepat
berakibat fatal pada saat timbulnya simptom. Pada manusia, CJD masih jarang terjadi dengan
insiden kurang dari 1 per satu juta penduduk (Holman dkk.:1996). CJD merupakan masalah
pencegahan infeksi yang unik karena prion, yaitu protein mengandung agen infeksi dapat tetap
bertahan hidup pada proses sterilisasi uap tekanan tinggi atau panas yang direkomendasikan.
Selain itu, disinfektan kimia termasuk sterilan, seperti glutaraldehid dan formaldehid, tidak
cukup kuat untuk menghilangkan infektivitas prion pada instrumen yang terkontaminasi dan
instrumen lainnya. Oleh karena itu, instrumen-instrumen bedah dan perangkat kritis lainnya yang
terkontaminasi dengan jaringan berisiko tinggi (yaitu otak, sumsum tulang dan jaringan mata)
dari pasien dengan CJD yang diketahui atau dicurigai, diperlukan suatu penanganan khusus
(Rutala dan Webew 2001).

Rekomendasi untuk merawat pasien-pasien dengan CJD dalam penanganan dan pemrosesan
instrumen-instrumen dan perangkat lain yang terkontaminasi, terdiri dari hal berikut ini.

- Setelah pembedaha :1) hindari memegang instrumen-instrumen yang terkontaminasi, 2) alat-


alat sekali pakai dan perlengkapan perlindungan diri yang dipakai oleh tim bedah harus
ditempatkan dalam kantong plastik dan dibakar, 3) setelah pembedahan, alat-alat nonkritis,
seperti meja operasi, tiang infus Mayo dan permukaan lingkungan lainnya dapat didekontaminasi
secara mengelap dengan kain yang direndam dengan larutan klorin 0,5%.
- Instrumen-instrumen dan perangkat lain yang bersifat tahan panas harus didekontaminasi
dahulu dengan memasukannya pada terilisator pemindahan graviti pada suhu 121oC (250oF)
selama 1 jam atau pada sterilisator pra-vakum pada 134oC (275oF) selama 18 menit.
- Setelah dekontaminasi, bersihkan dan lakukan strerilisasi instrumen-instrumen tersebut
dengan mempergunakan proses yang dianjurkan.
- Kemungkinan lainnya, setelah pembedahan, redamlah instrumen-instrumen yang
terkontaminasi dan perangkat lainnya dalam Natrium Hidroksid (NaOH) selama 1 jam.
Kemudian, bersihkan dan lakukan sterilisasi atas instrumen dan perangkat tersebut dengan
mempergunakan proses yang dianjurkan (Abrutyn 1998; Fishman dkk 2002).
- Jaringan biopsi dan spesimen bedah harus ditempatkan dalam formalin selama 48 jam
kemudian dalam asam formik selama 1 jam dan akhirnya kembali ke dalam larutan formalin
yang baru selama 48 jam (Abrutyn 1998).
3. Sterilisasi Dengan Cara Penguapan

1. Prinsip-prinsip Umum

Penguapan adalah sterilan yang efektif karena dua alasan. Pertama, uap pekat adalah
sebuah “kendaraan” energi termal yang sangat efektif. Jenis ini jauh lebih efektif untuk
mengangkut energi ke bahan yang akan disterilisasi daripada udara panas (kering). Di dapur,
kentang dapat dimasak dalam beberapa menit dalam oven udara panas akan membutuhkan waktu
satu jam atau lebih, walaupun oven itu dinyalakan pada suhu yang jauh lebih tinggi. Uap,
khususnya dibawah tekanan, membawa energi termal ke kentang lebih cepat, sebaliknya udara
panas lebih lambat. Kedua, uap adalah sterilan yang efektif karena lapisan luar mikroorganisme
yang bersifat protektif dan resisten dapat dilemahkan oleh uap, sehingga terjadi koagulasi
(serupa dengan memasak putih telur) pada bagian dalam mikroorganisme yang sensitif. Beberapa
jenis kontaminan tertentu, khususnya yang berminyak atau berlemak, dapat melindungi
mikroorganisme dari efek uap, sehingga mengganggu proses sterilisasi. Alasan ini yang
menekankan kembali kepentingan mencuci bersih bahan-bahan sebelum proses sterilisasi.
2. Persyaratan

Sterilisasi uap harus memenuhi empat kondisi: 1) kontak yang memadai, 2) suhu yang
sangat tinggi, 3) waktu yang cepat, dan 4) kelembaban yang memadai. Walaupun seluruhnya
perlu untuk terjadinya sterilisasi, kegagalan sterilisasi di klinik dan rumah sakit paling sering
disebabkan oleh kurangnya kontak uap atau kegagalan untuk mencapai suhu yang memadai.
Keempat kondisi dibahas menurut kepentingannya untuk menjamin sterilisasi dengan uap.

3. Kelebihan

a) Metode sterilisasi yang paling sering dipakai dan efektif.


b) Waktu siklus sterilisasi lebih pendek daripada panas kering atau siklus kimia.
4. Kekurangan

a) Membutuhkan sumber panas yang terus menerus (bahan bakar kayu, minyak tanah atau aliran
listrik).
b) Membutuhkan peralatan (sterilisator uap) yang harus dipelihara dengan cermat agar tetap
berfungsi dengan baik.
c) Membutuhkan ketaatan waktu, suhu dan tekanan secara ketat.
d) Sukar menghasilkan paket kering karena gangguan prosedur sering terjadi (misalnya
mengangkat bahan-bahan sebelum kering, khususnya pada iklim yang lembab dan panas).
e) Siklus sterilisasi yang berulang-ulang dapat menyebabkan bopeng dan penumpulan sisi
instrumen yang tajam (seperti gunting)
f) Bahan-bahan plastik tidak tahan suhu tinggi.
5. Instruksi Sterilisator Uap

Langkah 1: mendekontaminasikan, membersihkan, dan mengeringkan seluruh instrumen yang


akan disterilisasi.
Langkah 2: semua peralatan berengsel harus terbuka atau tidak terkunci, sedangkan instrumen
yang terdiri lebih dari satu bagian atau bagian sorong harus dibongkar.
Langkah 3: instrumen sebaiknya tidak diikat ketat dengan karet atau cara lain yang dapat
mencegah kontak uap dengan seluruh permukaan.
Langkan 4: susun paket dalam ruangan untuk memudahkan sirkulasi yang bebas dan penetrasi
uap ke seluruh permukaan.
Langkah 5: ketika menggunakan sterilisator uap, sebaiknya instrumen-instrumen bersih atau
bahan bersih lainnya dibungkus dengan kain katun ganda atau kertas koran. (Instrumen-
instrumen yang tidak dibungkus harus digunakan segera setelah dikeluarkan dari sterilisator
kecuali bila tetap disimpan dalam wadah steril dan tertutup).
Langkah 6: lakukan sterilisasi pada suhu 121oC (250oF) selama 30 menit untuk alat terbungkus,
waktu ditentukan dengan jam.
Langkah 7: tunggu 20 hingga 30 menit (atau hingga meter tekanan udara terbaca nol) sampai
sterilisator dingin. Kemudian buka penutup atau pintunya mengeluarkan uap. Biarkan paket
instrumen kering seluruhnya sebelum diangkat, biasanya hingga selama 30 menit. (paket yang
basah dapat menyerap bakteri, virus, dang fungi dari sekelilingnya). Paket instrumen terbungkus
tersebut tidak dapat diterima apabila ada tetesan air atau lembab yang terlihat pada bagian luar
paket tersebut ketika dikeluarkan dari ruang sterilisator. Apabila menggunakan wadah kaku
(misalnya drum), tutup/geserkan gasket.
Langkah 8: agar mencegah kondensasi ketika mengeluarkan paket-paket tersebut dari ruang
sterilisator uap, tempatkan baki dan paket steril pada permukaan yang dilapisi dengan kertas atau
bahan lain.
Langkah 9: setelah sterilisasi, instrumen yang dibungkus dengan kain atau kertas dianggap steril
sepanjang paket tersebut tetap bersih, kering (termasuk tidak ada noda air) dan utuh. Instrumen
yang tidak dibungkus harus digunakan segera atau disimpan dalam wadah-wadah yang tertutup
dan steril.
4. Sterilisasi dengan Panas Kering

Bila tersedia, panas kering adalah sebuah cara yang praktis untuk sterilisasi atas jarum dan
instrumen lainnya. Dianjurkan memakai sebuah oven konveksi dengan ruangan baja antikarat
terisolasi dan rak-rak perforasi untuk memungkinkan sirkulasi udara panas, namun sterilisasi
panas kering ini akan dapat tercapai dengan sebuah oven sederhana, asalkan sebuah termometer
digunakan untuk memastikan suhu didalam oven.

Sterilisasi panas-kering ini tercapai dengan proses konduksi panas. Pada awalnya, panas
diabsorbsi oleh permukaan luar dari sebuah instrumen dan kemudian dikirimkan ke lapisan
berikutnya. Pada akhirnya, keseluruhan objek mencapai suhu yang dibutuhkan untuk sterilisasi.
Mikroorganisme mati pada saat penghancuran protein secara lambat oleh panas kering. Proses
sterilisasi panas kering berlangsung lebih lama daripada sterilisasi uap, karena kelembaban
dalam proses sterilisasi uap secara pasti mempercepat penetrasi uap dan memperpendek waktu
yang dibutuhkan untuk membunuh mikroorganisme.

1. Kelebihan

o Metode yang sangat efektif, seperti sterilisasi panas kering dengan konduksi menjangkau
seluruh permukaan instrumen, bahkan untuk instrumen yang tidak dapat dibongkar pasang.
o Bersifat protektif atas benda tajam atau instrumen dengan sisi potong (lebih sedikit masalh
dengan penumpulan sisi potong tersebut).
o Tidak meninggalkan sisi kimia.
o Mengurangi masalah “paket basah” di iklim lembab.
2. Kekurangan

- Instrumen plastik dan karet tidak dapat disterilisasi dengan cara panas kering karena suhu
yang digunakan (160o-170oC) terlalu tinggi untuk materi ini.
- Panas kering memenetrasi materi secara lambat dan tidak merata.
- Membutuhkan oven dan sumber listrik secara terus menerus.
3. Instruksi (oven panas kering)

Langkah 1: lakukan dekontaminasi, bersihkan dan keringkan seluruh instrumen dan instrumen
lainnya yang akan disterilisasi.

Langkah 2: bila dikehendaki, bungkuslah instrumen-instrumen dengan kertas alumunium atau


tempatkan disebuah kontainer logam dengan penutup yang rapat. Pembungkusan membantu
mencegah proses kontaminasi ulang sebelum digunakan. Jarum suntik atau jarum jahit harus
dimasukkan dalam tabung gelas dengan disumbat kapas.

Langkah 3: tempatkan instrumen-instrumen lepas (tidak dibungkus) dalam wadah logam atau
diatas baki di oven dan panaskan hingga suhu yang diinginkan.

Langkah 4: setelah tercapai temperatur yang dikehendaki, mulailah penghitungan waktu.


Dianjurkan suhu/rasio waktu berikut inia (APIC 2002):

· 170̊C(340̊F) – 60 menit
· 160̊C(320̊F) – 120 menit
· 150̊C(300̊F) – 150 menit
· 140̊C(285̊F) – 180 menit
· 121̊C(25̊F) – semalaman
Tergantung pada suhu yang dipilih, waktu total siklus (prapemanasan, lamanya sterilisasi, dan
pendinginan) akan membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam pada 170̊C hingga lebih dari 8 jam pada
121̊C.

Langkah 5: setelah dingin, angkatlah paket/dan wadah logam dan simpanlah. Instrumen lepas
sebaiknya dikeluarkan dengan curam yang steril dan gunakan segera atau tempatkan di wadah
steril dengan penutup yang rapat.

3. Disinfektan Tingkat Tinggi (DTT)

DDT adalah cara efektif untuk membunuh mikroorganisme penyebab penyakit dari peralatan,
sterilisasi tidak selalu memungkinkan dan tidak selalu praktis. DTT bisa dijangkau dengan cara
merebus, mengukus atau secara kimiawi. Ini dapat menghilangkan semua organisme kecuali
beberapa bakteri endospora sebesar 95%.

1. DTT dengan cara merebus

Merebus merupakan cara efektif dan praktis untuk DTT. Perebusan dalam air selama 20
menit setelah mendidih, dimana semua alat jika mungkin harus terendam semua, ditutup rapat
dan dibiarkan mendidih serta berputar.

 Gunakan panci dengan penutup yang rapat


 Ganti air setiap kali mendesinfeksi peralatan
 Rendam peralatan sehingga semuanya terendam dalam air
 Mulai panaskan air
 Mulai hitung waktu saat air mulai mendidih
 Jangan tambahkan benda apapun ke dalam air mendidih setelah penghitungan waktu
dimulai
 Rebus selama 20 menit
 Catat lama waktu perebusan pelaratan di dalam buku khusus
 Biarkan peralatan kering dengan cara diangin-anginkan sebelum digunakan atau
disimpan
 Setelah peralatan kering, gunakan segera atau simpan dalam wadah DTT dan penutup.
 Peralatan bisa disimpan sampai satu minggu asalkan penutupnya tidak dibuka.

2. DTT dengan Uap

Setelah sarung tangan didekontaminasi dan dicuci maka sarung tangan siap DTT dengan uap
tanpa diberi talk.

 Gunakan panci perebus yang memiliki 3 susunan nampan pengukus.


 Gulung bagian atas sarung tangan sehingga setelah DTT selesai, sarung tangan dapat
dipakai tanpa membuat kontaminasi baru
 Letakkan sarung tangan pada baki atau tampan pengukus yang berlubang di bawahnya.
Agar mudah dikeluarkan dari panci, letakkan sarung tangan dengan bagian jarinya kearah
tengah panci. Jangan menumpuk sarung tangan.
 Ulangi proses tersebut hingga semua nampan terisi dengan menyusun tiga nampan
pengukus yang brisi air.
 Letakkan penutup di atas panci paling atas dan panaskan air hingga mendidih. Jika uap
airnya sedikit, suhunya mungkin tidak cukup tinggi untuk membunuh mikroorganisme.
 Catat lamanya waktu pengukusan jika uapa air mulai keluar dari celah panci.
 Kukus sarung tangan 20 menit
 Angkat nampan pengukus paling atas dan goyangkan perlahan – lahan agar air yang
tersisa menetes keluar.
 Letakkan nampan pengukus diatas panci yang kosong disebelah kompor
 Ulangi langkah tersebut hingga nampan tersebut berisi sarung tangan susun diatas panci
perebus yang kosong.
 Biarkan sarung tangan kering dengan diangin- anginkan di dalam panci sampai 4 – 6 jam.
 Jika sarung tangan tidak akan segera dipakai, setelah kering gunakan pinset DTT untuk
memindahkan sarung tangan. Letakkan sarung tangan dalam wadah DTT lalu tutup rapat.
3. DTT dengan kimiawi

1. Letakkan peralatan kering yang sudah didekontaminasi dan dicuci dalam wadah yang sudah
berisi laruta kimia.
2. Pastikan bahwa peralatan terendam semua dalam larutan.
3. Rendam selama 20 menit.
4. Catat lama waktu perendaman
5. Bilas peralatan dengan air matang dan angin – anginkan di wadah DTT yang berpenutup
6. Setelah kering peralatan dapat digunakan atau disimpan dalam wadah DTT yang bersih.
2.5 Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

Pencegahan infeksi yang efektif dapat didasarkan pada upaya-upaya berikut:


· Setiap orang dianggap dapat menularkan penyakit karena infeksi dapat bersifat
asimptomatik.
· Setiap orang harus dianggap beresiko terkena infeksi.
· Permukaan benda disekitar kita, peralatan benda-benda lainnya yang akan dan telah
bersentuhan dengan kulit yang utuh, lecet, selaput mukosa, atau darah harus dianggap
terkontaminasi, maka harus diproses secara benar.
· Jika tidak diketahui apakah permukaan peralatan atau benda lainnya telah diproses maka
semua itu harus dianggap terkontaminasi.
· Resiko infeksi tidak bisa dihilangkan secara total, tapi dapat dikurangi hingga sekecil
mungkin dengan menerapkan tindakan-tindakan pencegahan infeksi secara benar.
Strategi pencegahan dan pengedalian infeksi di tempat pelayanan kesehatan:
1. Pengendalian administratif.

Kegiatan ini merupakan prioritas pertama dari strategi IPC (Infection Prevention and
Control), meliputi penyediaan kebijakan infrastruktur dan prosedur dalam mencegah,
mendeteksi, dan mengendalikan infeksi selama perawatan kesehatan. Kegiatan akan efektif bila
dilakukan mulai dari antisipasi alur klien sejak saat pertama kali datang sampai keluar dari
sarana pelayanan.

Pengendalian administratif dan kebijakan–kebijakan yang diterapkan meliputi


pembentukan infrastruktur dan kegiatan IPC yang berkesinambungan, membangun pengetahuan
petugas kesehatan, mencegah kepadatan pengunjung di ruang tunggu, menyediakan ruang
tunggu khusus untuk orang sakit dan penempatan klien rawat inap, mengorganisir pelayanan
kesehatan agar persediaan perbekalan digunakan dengan benar.

2. Pengendalian dan rekayasa lingkungan.

Kegiatan ini dilakukan termasuk di infrastruktur sarana pelayanan kesehatan dasar dan di
rumah tangga yang merawat kasus dengan gejala ringan dan tidak membutuhkan perawatan di
RS. Kegiatan pengendalian ini ditujukan untuk memastikan bahwa ventilasi lingkungan cukup
memadai di semua area didalam fasilitas pelayanan kesehatan serta di rumah tangga, serta
kebersihan lingkungan yang memadai. Harus dijaga pemisahan jarak minmal 1 m antara setiap
klien satu dan klien lain, termasuk dengan petugas kesehatan (bila tidak menggunakan APD).
Kedua kegiatan pengendalian ini dapat membantu mengurangi penyebaran beberapa patogen
selama pemberian pelayanan kesehatan.

3. Alat Perlindungan Diri (APD).

Penggunaan secara rasional dan konsisten APD yang tersedia serta higiene sanitasi
tangan yang memadai juga akan membantu mengurangi penyebaran infeksi. Meskipun memakai
APD adalah langkah yang paling kelihatan dalam upaya pengendalian dan penularan infeksi,
namun upaya ini adalah yang terakhir dan paling lemah dalam hirarki kegiatan IPC. Oleh karena
itu jangan mengandalkannya sebagai strategi utama pencegahan. Bila tidak ada langkah
pengendalian administratif dan rekayasa teknis yang efektif, maka APD hanya memiliki manfaat
yang terbatas.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) adalah suatu upaya yang ditujukan untuk
mencegah transmisi penyakit menular di semua tempat pelayanan kesehatan (Minnesota
Department of Health, 2014). Pencegahan memiliki arti mencegah agar tidak terjadi infeksi,
sedangkan pengendalian memiliki arti meminimalisasi resiko terjadinya infeksi. Dengan
demikian, tujuan utama dari pelaksanaan program ini adalah mencegah dan mengendalikan
infeksi dengan cara menghambat pertumbuhan dan transmisi mikroba yang berasal dari sumber
di sekitar penderita yang sedang dirawat (Darmadi, 2008).

Infeksi adalah proses saat organisme (bakteri, virus, jamur) yang mampu menyebabkan
penyakit masuk kedalam tubuh atau jaringan dan menyebabkan trauma atau kerusakan. Cara
penularan dibagi menjadi kontak langsung dan tidak langsung. Kontak langsung terdiri atas
penyebaran orang ke orang (misalnya bersin, kontak seksual, atau semacamnya), hewan ke orang
(misalnya dari gigitan atau cakaran binatang, binatang peliharaan), atau dari ibu hamil ke
anaknya yang belum lahir melalui plasenta. Kontak tidak langsung teridiri atas gigitan serangga
yang hanya menjadi pembawa dari mikoorganisme atau vektor (seperti nyamuk, lalat, kutu) dan
kontaminasi melalui air dan makanan.

3.2 Saran

Kita sebagai seorang tenaga kesehatan harus mencegah terjadinya infeksi dan
beranggapan bahwa setiap orang beresiko terinfeksi. Karena resiko infeksi tidak bisa di
hilangkan secara total, tapi dapat dikurangi hingga sekecil mungkin dengan menerapkan
tindakan-tindakan pencegahan infeksi secara benar. Tindakan-tindakan pencegahan infeksi bisa
di lakukan dengan hal kecil seperti tidak lupa mencuci tangan, menggunakan sarung tangan dan
perlatan lainnya, menggunakan teknik asepsis atau septik, memproses alat bekas pakai, dan
menjaga kebersihan dan sanitasi lingkungan.
Daftar Pustaka

Gustina, Novvi Karlina. 2014. KDK (Keterampilan Dasar Kebidanan) . Jakarta: in media

https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1302116011-3-BAB%20II.pdf

http://www.depkes.go.id/resources/download/puskes-haji/5-pedoman-pencegahan-dan-
pengendalian-infeksi-mers-cov

Anda mungkin juga menyukai