Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

TOKSIKOLOGI ORGANOFOSFAT PADA INSEKTISIDA

Disusun oleh:

Fauzia Indah Sabila; 16030234037; Kimia A 2016

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN KIMIA

2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan populasi nomor empat tertinggi di
dunia. Jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta pastinya membutuhkan
perhatian besar terhadap aspek industri pertanian. Kebutuhan pangan
penduduk yang tinggi sangat membutuhkan pola pengelolahan industri
pertanian sebagai pendukung utama ketahanan pangan. Beberapa hal yang
mampu mendukung suksesnya industri pertanian adalah tersedianya alat
pertanian yang memadai, pupuk dan pestisida. penggunaan pestisida untuk
mendukung kemajuan industri pertanian adalah aspek yang penting dikaji
sehubungan dengan beberapa dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Pestisida kimiawi yang biasa disebut pestisida sintesis merupakan
bahan kimia yang biasa digunakan untuk membasmi serangga, tikus dan
gulma (tanaman liar). Namun pestisida dapat meracuni dan membasmi
mahluk hidup lainnya, termasuk serangga dan tanaman yang berguna,
binatang dan manusia. Penggunaan pestisida dapat mencemari air, tanah dan
lingkungan lainnya.
Bahan-bahan kimia pestisida menjadi bahaya besar dalam bentuk yang
terakumulasi di dalam tanah dan perairan sehingga menyebabkan penurunan
kualitas lingkungan perairan dan tanah. Selain dampak lingkungan berupa
pencemaran lingkungan, dampak lain berupa matinya hama maupun
pantogen dan akan menimbulkan resurgensi, yaitu serangan hama yang jauh
lebih berat dari sebelumnya. Kemudian akan muncul serangan hama
sekunder akibat predator hama sekunder telah ikut terbunuh dengan adanya
pestisida yang digunakan.
Insektisida merupakan salah satu jenis pestisida untuk membunuh atau
mengendalikan hama dan terdiri atas beberapa sub kelompok kimia yang
berbeda yaitu Organoklorin, Organofosfat, Karbamat, dan Piretroid.
Beberapa jenis hama yang paling sering ditemukan adalah serangga dan
beberapa diantaranya sebagai vektor penyakit, antara lain malaria,
onkosersiasis, filariasis, demam kuning, riketsia, meningitis, tifus dan pes.
Serangga juga dapat merusak berbagai tumbuhan dan hasil panen. Beberapa
produk insektisida juga banyak digunakan di rumah tangga untuk
mengendalikan hama pengganggu di rumah misalnya lalat dan nyamuk.
Salah satu bentuk insektisida rumah tangga berbentuk aerosol yang dikenal
dengan istilah anti nyamuk semprot. Pada produk anti nyamuk memiliki satu
atau lebih kelompok bahan aktif insektisida. Selain itu, produk dalam
bentuk aerosol juga mengandung gas bertekanan sebagai gas pendorong
yaitu propellant yang ditekan.
Penggunaan insektisida dengan dosis dan cara yang tidak tepat dapat
memberikan efek samping keracunan. Hal tersebut terjadi akibat kurangnya

2
pengetahuan, sikap atau prilaku pengguna insektisida, penggunaan alat
pelindung, serta kurangnya informasi yang berkaitan dengan resiko
penggunaan insektisida.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan setiap tahun
terjadi sekitar 25 juta kasus keracunan pestisida atau sekitar 68,493 kasus
setiap hari (Remembering Injured, Tanpa tahun). Pada tahun 2007 di Desa
Kanigoro, Kecamatan Ngablak, Magelang terjadi kematian misterius yang
menimpa 9 warga. Hasil pemeriksaan laboratorium kesehatan dipastikan
akibat keracunan pestisida.
Pada tahun 1996 data Depertemen Kesehatan tentang monitoring
keracunan pestisida organofosfat dan karbamat pada petani penjamah
pestisida organofosfat dan karbamat di 27 provinsi. Indonesia menunjukkan
61,82 % petani mempunyai aktivitas kolinesterase normal, 1,3% keracunan
berat, 9,98% keracunan sedang dan 26,89% keracunan ringan (Departemen
Kesehatan R I, Pusat Data Kesehatan, Tanpa tahun).
Insektisida organofosfat paling banyak digunakan petani dalam
membasmi serangga. Selain itu pestisida jenis ini mudah di monitor dengan
mengukur kadar kolinesterase darah. Karena itu, Depertemen Kesehatan
menggunakan kadar kolinesterase dalam darah untuk memonitor keracunan
pestisida di tingkat petani.
Kenyataan yang ada di masyarakat selama ini kurang menyadari gejala
keracunan penggunakan pestisida karena gejala yang ditimbulkan tidak
spesifik seperti pusing, mual, muntah, demam dan lain-lain namun secara
kronis dapat menimbulkan penyakit yang lebih serius.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah bahaya penggunaan insektisida organofosfat bagi
kesehatan serta cara penanganannya akibat bahaya tersebut ?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui bahaya pemakaian pestisida
organofosfat bagi kesehatan serta cara penanganan akibat keracunan
tersebut.
D. Manfaat Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi terkait bahaya
pemakaian organofosfat bagi kesehatan serta cara penanganan akibat
keracunan tersebut .

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pestisida
Pestisida adalah zat untuk membunuh atau mengendalikan hama. Hama
yang paling sering ditemukan adalah serangga. Beberapa diantaranya berlaku
sebagai vektor untuk penyakit. Berdasarkan SK Menteri Pertanian RI No.
434.1/Kpts/TP.270/7/2001, tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran
Pestisida, yang dimaksud dengan pestisida adalah semua zat kimia atau bahan
lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk beberapa tujuan berikut
:
1. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman,
bagian tanaman, atau hasil-hasil pertanian.
2. Memberantas rerumputan.
3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.
4. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian
tanaman (tetapi tidak termasuk golongan pupuk).
Dalam pembuatan pestisida di pabrik, bahan aktif tersebut tidak dibuat
secara murni (100%) tetapi bercampur sedikit dengan bahan-bahan pembawa
lainnya dinamakan formulasi yang dapat berupa cair atau padat. Formulasi
sangat menentukan bagaimana pestisida dengan bentuk dan komposisi tertentu
harus digunakan, berapa dosis atau takaran yang harus digunakan, berapa
frekuensi dan interval penggunaan, serta terhadap jasad sasaran apa pestisida
dengan formulasi tersebut dapat digunakan secara efektif. Selain itu, formulasi
pestisida juga menentukan aspek keamanan penggunaan pestisida dibuat dan
diedarkan dalam banyak macam formulasi (Djojosumarto, 2008).
Kode Formulasi pada Nama Dagang
Bentuk formulasi dan kandungan bahan aktif pestisida dicantumkan di
belakang nama dagangnya. Adapun prinsip pemberian nama dagang sebagai
berikut :
1. Jika diformulasi dalam bentuk padat, angka di belakang nama dagang
menunjukkan kandungan bahan aktif dalam persen. Sebagai contoh
herbisida Karmex 80 WP mengandung 80% bahan aktif. Insektisida
Furadan 3 G berarti mengandung bahan aktif 3%.
2. Jika diformulasi dalam bentuk cair, angka di belakang nama dagang
menunjukkan jumlah gram atau mililiter (ml) bahan aktif untuk setiap liter
produk. Sebagai contoh, fungisida Score 250 EC mengandung 250 ml
bahan aktif dalam setiap liter produk Score 250 EC.
3. Jika produk tersebut mengandung lebih dari satu macam bahan aktif maka
kandungan bahan-bahan aktifnya dicantumkan semua dan dipisahkan
dengan garis miring. Sebagai contoh, fungisida Ridomil Gold MZ 4/64

4
WP mengandung bahan-bahan aktif metalaksil-M 4% dan mankozeb 64%
dan diformulasi dalam bentuk WP.

B. Keracunan dan Toksisitas Pestisida


Toksisitas atau daya racun adalah sifat bawaan pestisida yang
menggambarkan potensi pestisida untuk menimbulkan kematian langsung
(atau bahaya lainnya) pada hewan tingkat tinggi, termasuk manusia.
Toksisitas dibedakan menjadi toksisitas akut, toksisitas kronik, dan toksisitas
subkronik. Keracunan pestisida terjadi bila ada bahan pestisida yang
mengenai dan atau masuk ke dalam tubuh dalam jumlah tertentu. Ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keracunan pestisida antara lain
(Darmansyah dkk, 1987) :
1. Dosis.
Dosis pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan
pestisida, karena itu dalam melakukan pencampuran pestisida untuk
penyemprotan petani hendaknya memperhatikan takaran atau dosis yang
tertera pada label. Dosis atau takaran yang melebihi aturan akan
membahayakan penyemprot itu sendiri.
2. Toksisitas senyawa pestisida.
Toksisitas pestisida dapat diketahui dari LD 50 oral yaitu dosis yang
diberikan dalam makanan hewan-hewan percobaan yang menyebabkan
50% dari hewan-hewan tersebut mati. Toksisitas pestisida secara inhalasi
juga dapat diketahui dari LC 50 yaitu konsentrasi pestisida di udara yang
mengakibatkan 50% hewan percobaan mati. Makin rendah nilai LD
50/LC 50 maka makin toksis pestisida tersebut.
Tabel 1. Klasifikasi Pestisida Berdasarkan Toksisitasnya

Sumber : Media Litbang Kesehatan Volume XVII Nomor 3 Tahun 2007


Tanda-tanda Peringatan Semua pestisida toksik.
Perbedaan toksisitas adalah pada derajat atau tingkat toksisitas.
Pestisida akan berbahaya jika tejadi paparan yang berlebih. Pada label
kemasan pestisida terdapat 4 tanda-tanda peringatan yang menunjukkan

5
derajat pestisida tersebut. Tanda peringatan ini menunjukkan potensi resiko
pengguna pestisida bukan keampuhan produk pestisida
Tabel 2. Tanda Peringatan pada Label Kemasan Pestisida

Sumber : Media Litbang Kesehatan Volume XVII Nomor 3 Tahun 2007


Adapun penggolongan pestisida berdasarkan tujuan penggunaan antara
lain ; insektisida, herbisida, fumisida, dan rodentisida. Insektisida diartikan
secara luas sebagai bahan pembunuh serangga dan hama dengan menggunaka
bahan kimia yang bersifat beracun misalnya Organoklorin, Organofosfat,
Karbamat, dan Piretroid. Dimana insektisida dengan senyawa organofosfat
paling banyak digukan sebagai pembasmi hama di pertanian.
C. Pestisida Organofosfat
Pestisida organofosfat ditemukan melalui sebuah riset di Jerman,
selama Perang Dunia II, dalam usaha menemukan senjata kimia untuk tujuan
perang. Pada tahun 1937, G. Schrader menyusun struktur dasar organofosfat.
Meskipun organofosfat pertama telah disintesis pada 1944, struktur dasar
organofosfat baru dipublikasikan pada tahun 1948.

Gambar 1 Struktur Dasar Organofosfat


X dapat berupa gugus alifatik, aromatik, maupum heterosiklik. Sifat
kimia dan fisika pestisida organofosfatsangatbervariasi, bergantung pada
variabilitas X.
Pestisida golongan organofosfat banyak digunakan karena sifat-
sifatnya yang menguntungkan. Cara kerja golongan ini selektif, tidak persisten
dalam tanah, dan tidak menyebabkan resistensi pada serangga. Bekerja
sebagai racun kontak, racun perut, dan juga racun pernafasan. Dengan takaran
yang rendah sudah memberikan efek yang memuaskan, selain kerjanya cepat
dan mudah terurai (Sartono, 2001).

6
Golongan organofosfat sering disebut dengan organic phosphates,
phosphoris insecticides, phosphates, phosphate insecticides dan phosphorus
esters atau phosphoris acid esters. Mereka adalah derivat dari phosphoric
acid dan biasanya sangat toksik untuk hewan bertulang belakang. Golongan
organofosfat struktur kimia dan cara kerjanya berhubungan erat dengan gas
syaraf (Sudarmo,1991). Karena mekanisme toksisitasnya berpengaruh
terhadap enzim Asetilkolinesterase yang berpengaruh terhadap system syaraf.
Selain itu toksisitas organofosfat terhadap manusia (mamalia) biasanya
lebih rendah dibanding terhadap serangga karena jarak antara gugus anionik
danesterik yang merupakan bagian aktif pada enzim kholin esterase pada
serangga (5,0 - 5,5 A°) lebih besar dibanding pada manusia (4,3 - 4,7 A°).
Sedangkan jarak gugus anionik dan esterik pada insektisida organofosfat mirip
dengan yang ada pada serangga, sehingga interaksinya lebih kuat.
Beberapa pestisida organofosfat berdasarkan pada batas paparan dan
LD50 dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Pestisida Golongan Organofosfat

Sumber : Dreisbach, R.H. (1983)


Pada tabel 3 ditunjukkan bahwa golongan senyawa organofosfat yang
paling beracun dapat diketahui dari batas paparan dan LD50 nya. Semakin
kecil nilai batas paparan dan LD50 senyawa organofosmat maka akan semakin
beracun senyawa tersebut. Pada tabel 3 dapat diketahui senyawa golongan

7
organofosfat yang paling beracun adalah TEEP (Tetraetil Pirofosfat) dengan
nilai batas paparan 0,01 mg/m3 dan LD50 1 mg/Kg.
Adapun struktur komponen beberapa senyawa pestisida golongan
organofosfat antara lain :

Gambar 2 Struktur Kimia Pestisida Golongan Organofosfat


Paration, ditemukan pada tahun 1946 dan merupakan insektisida
pertama yang digunakan di lapangan pertanian dan disintesis berdasarkan
lead-structure yang disarankan oleh G. Schrader. Paration merupakan
insektisida dan akarisida, memiliki mode of action sebagai racun saraf yang
menghambat kolinesterase, bersifat non-sistemik, serta bekerja sebagai racun
kontak, racun lambung, dan racun inhalasi. Paration termasuk insektisida
yang sangat beracun, LD50 (tikus) sekitar 2 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 71
mg/kg.
Malation, diperkenalkan pada tahun 1952. Malation merupakan pro-
insektisida yang dalam proses metabolisme serangga akan diubah menjadi
senyawa lain yang beracun bagi serangga. Insektisida dan akarisida non-
sistemik ini bertindak sebagai racun kontak dan racun lambung, serta
memiliki efek sebagai racun inhalasi. Malation juga digunakan dalam bidang
kesehatan masyarakat untuk mengendalikan vektor penyakit. LD50 oral
(tikus) 1.375 – 2.800 mg/lg; LD50 dermal (kelinci) 4.100 mg/kg.
Di antara pestisida organofosfat, kematian dapat disebabkan oleh 0,1
mg/kg parathion pada anak-anak berusia 5 – 6 tahun dan 120 mg pada orang
dewasa. Lima gram malathion sangat fatal untuk orang berumur 75 tahun,
tetapi jika tertelan sebanyak 4 gram pada anak kecil masih dapat
disembuhkan. Sifat umum golongan organofosfat yaitu larut dalam air, tidak

8
bioakumulasi, hampir tidak bersifat persisten dengan lingkungan, tidak
mengalami biomagnifikasi dalam rantai makanan.
D. Jalan Masuk Pestisida
Pestisida dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui berbagai rute,
yakni :
1. Lewat kulit
Pestisida yang menempel di permukaan kulit bisa meresap masuk
ke dalam tubuh dan menimbulkan keracunan. Kejadian kontaminasi lewat
kulit merupakan kontaminasi yang paling sering terjadi, meskipun tidak
seluruhnya berakhir dengan keracunan akut. Lebih dari 90% kasus
keracunan di seluruh dunia disebabkan oleh kontaminasi lewat kulit.
Pekerjaan yang menimbulkan resiko tinggi kontaminasi lewat kulit adalah:
a. Penyemprotan dan aplikasi lainnya, termasuk pemaparan langsung
oleh droplet atau drift pestisida dan menyeka wajah dengan tangan,
lengan baju, atau sarung tangan yang terkontaminsai pestisida.
b. Pencampuran pestisida.
c. Mencuci alat aplikasi.
Distribusi senyawa organofosfat melalui kulit yaitu terjadi
penyerapan senyawa organofosfat lewat kulit masuk ke pembuluh darah
kemudian diangkut dalam darah ke ginjal (disaring atau diangkut dalam
urin) atau tetap dalam darah.
2. Terhisap melalui saluran pernapasan
Keracunan pestisida karena partikel pestisida terhisap lewat hidung
merupakan terbanyak kedua setelah kulit. Gas dan partikel semprotan
yang sangat halus (kurang dari 10 mikron) dapat masuk ke paru-paru
bisa menimbulkan gangguan fungsi paru-paru, dengan menyerap ke
dalam darah melalui jaringan paru-paru lalu ke jantung sebelum diangkut
ke ginjal. Sedangkan partikel yang lebih besar (lebih dari 50 mikron)
akan menempel di selaput lendir atau kerongkongan sehingga dapat
menimbulkan gangguan pada selaput lendir itu sendiri (iritasi).
3. Masuk melalui saluran pencernaan
Pestisida keracunan lewat mulut sebenarnya tidak sering terjadi
dibandingkan dengan kontaminasi lewat kulit. Keracunan lewat mulut
dapat terjadi karena :
a. Makan dan minum saat berkerja dengan pestisida.
b. Pestisida terbawa angin masuk ke mulut.

9
c. Makanan terkontaminasi pestisida
Pestisida yang tertelan terserap di lambung atau di usus. Kemudian
diserap ke dalam darah yang mengalir melalui hati. Di hati, terjadi
biotransformasi. Metabolit inaktif dibawa ke ginjal untuk di ekskresi,
metabolit aktif masuk ke darah kembali.
Pestisida dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit (dermal),
pernafasan (inhalasi) atau mulut (oral). Pestisida akan segera diabsorpsi jika
kontak melalui kulit atau mata. Absorpsi ini akan terus berlangsung selama
pestisida masih ada pada kulit. Kecepatan absorpsi berbeda pada tiap bagian
tubuh. Perpindahan residu pestisida dan suatu bagian tubuh ke bagian lain
sangat mudah. Jika hal ini terjadi maka akan menambah potensi keracunan.
Residu dapat pindah dari tangan ke dahi yang berkeringat atau daerah genital.
Pada daerah ini kecepatan absorpsi sangat tinggi sehingga dapat lebih
berbahaya dari pada tertelan. Paparan melalui oral dapat berakibat serius,
luka berat atau bahkan kematian jika tertelan. Pestisida dapat tertelan karena
kecelakaan, kelalaian atau dengan sengaja (Schulze L dkk, Tanpa tahun).
Paparan yang berlangsung terus-menerus lebih berbahaya daripada
paparan yang terputus-purus pada waktu yang lama. Jadi pemaparan yang
telah lewat perlu diperhatikan bila terjadi risiko pemaparan baru. Karena itu
penyemprot yang terpapar berulang kali dan berlangsung lama dapat
menimbulkan keracunan kronik.

E. Mekanisme Toksisitas Organofosfat


Organofosfat dikenal sebagai insektisida yang sangat toksik (sangat
beracun). Daya racun atau toksisitasnya berkisar antara kurang toksik (LD50
pada tikus > 4.000 mg/kg berat badan) hingga sangat toksik (LD50 pada tikus
> 2 mg/kg berat badan). Pestisida organofosfat berikatan dengan enzim dalam
darah yang berfungsi mengatur kerjanya syaraf yaitu kolinesterase.
Kolinesterase adalah enzim darah yang diperlukan agar syaraf dapat berfungsi
dengan baik. Ketika seseorang keracunan organofosfat, tingkat aktivitas
kolinesterase akan turun. Ada dua tipe kolinesterase dalam darah, yaitu yang
terdapat dalam sel darah merah dan yang terdapat dalam plasma darah.
Apabila kolinesterase terikat, enzim tidak dapat menjalankan tugasnya dalam
tubuh terutama meneruskan perintah ke otot-otot tertentu dalam tubuh,
sehingga otot-otot senantiasa bergerak tanpa dapat dikendalikan.
Kolinesterase (ChE) merupakan enzim yang penting sebagai katalis dan
hidrolisis neurotransmitter asetilkolin. Neurotransmitter merupakan senyawa
kimia pembawa pesan yang meneruskan informasi elektrik dari sebuah neuron
ke neuron lain atau sel efektor. Asetilkolin (ACh) adalah penghantar saraf
yang berada pada seluruh sistem saraf pusat (SSP), saraf otonom (simpatik
dan parasimpatik), dan sistem saraf somatik. Asetilkolin bekerja pada ganglion

10
simpatik dan parasimpatik, reseptor parasimpatik, simpangan saraf otot,
penghantar sel-sel saraf dan medula kelenjar suprarenal.

Gambar 3 Mekanisme Kerja ACh dan AChE


Sumber : (http://www.umpalangkaraya.ac.id/dosen/dwipurbayanti/wp-
content/uploads/2017/08/ PESTISIDA.pdf)

Setelah masuk dalam tubuh, golongan organofosfat akan mengikat


enzim asetilkolinesterase (AChe), sehingga AChe menjadi inaktif dan terjadi
akumulasi asetilkolin. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis asetilkolin
menjadi asetat dan kolin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah
asetilkolin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik
pada system saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya
gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh. Keadaan ini
akan menimbulkan efek yang luas. Secara sederhana, reaksinya dapat dilihat
pada gambar di bawah ini :

Gambar 4 Reaksi Pengikatan Kolinesterase dengan Pestisida Organofosfat

11
Gambar 5 Reaksi Hidrolisis Asetilkolin Menjadi Asetat dan Kolin oleh
Enzim Asetilkolinesterase.
Organofosfat merupakan pestisida yang memiliki efek irreversible
dalam menginhibisi kolinesterase. Paparan terhadap organofosfat akan
mengakibatkan adanya hiperstimulasi muskarinik dan stimulasi reseptor
nikotinik. Organofosfat akan menginhibisi AChE dengan membentuk
phosphorilated enzyme (enzyme-OP complex). AChE ini sangat penting untuk
ujung saraf muskarinik dan nikotinik dan pada sinapsis sistem saraf pusat.
Inhibisi AChE akan menyebabkan prolonged action dan asetilkolin yang
berlebihan pada sinaps saraf autonom, neuromuskular dan SSP.
Salah satu jenis senyawa organofosfat yaitu chlorpyrifosfat .
Metabolism chlorpyrifosfat dalam tubuh akan menjadi oksida aktif
selanjutnya terjadi hidrolisis dan dihasilkan metabolit inaktif yang spesifik
(ME) dan non spesifik ( dialkylphosphates, DAPs). DAPs merupakan
biomarker paparan pestisida organofofa yang dapat akan mengikat enzim
asetilkolinesterase (AChe). Sedangkan metabolit lainnya yang terbentuk akan
diekstresi melalui urine.

12
Gambar 6 Metabolisme Chlorpyrifos dalam Tubuh
Sumber : (http://www.umpalangkaraya.ac.id/dosen/dwipurbayanti/wp-
content/uploads/2017/08/ PESTISIDA.pdf)
Pada pestisida golongan organofosfat dengan bahan aktif 2,4-
dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D), toksisitas akut pada manusia dapat
menyebabkan neurotoksik pada paparan melalui inhalasi dan oral, serta
timbulnya kudis dan dermatitis pada kontak melalui kulit. Toksisitas kronik
pada manusia belum terlaporkan, namun toksisitas kronik (non kanker) pada
hewan uji melalui paparan oral dapat menyebabkan penurunan kadar Hb,
gangguan fungsi hati dan kelainan pada ginjal.
Pajanan pada dosis rendah, tanda, dan gejala umumnya dihubungkan
dengan stimulasi reseptor perifer muskarinik. Pada dosis lebih besar juga
mempengaruhi reseptor nikotinik dan reseptor sentral muskarinik. Aktivitas
ini kemudian akan menurun, dalam 2 – 4 minggu pada plasma dan 4 minggu
sampai beberapa bulan untuk eritrosit. Pada masyarakat yang terkena pestisida
organofosfat, tanda dan gejala keracunannya adalah timbulnya gerakan-
gerakan otot tertentu, pupil atau iris mata menyempit menyebabkan
penglihatan kabur, mata berair, mulut berbusa dan berair liur banyak, sakit

13
kepala, pusing, keringat banyak, detak jantung sangat cepat, mual, muntah-
muntah, kejang perut, mencret, sukar bernafas, otot tidak dapat digerakkan
atau lumpuh dan pingsan.
Golongan organofosfat dapat dikelompokkan menjadi sebuah grup
berdasarkan gejala awal dan tanda-tanda yang mengikuti seperti anoreksia,
sakit kepala, pusing, cemas berlebihan, tremor pada mulut dan kelopak mata,
miosis, dan penurunan kemampuan melihat. Tingkat paparan yang sedang
menimbulkan gejala dan tanda seperti keringat berlebihan, mual, air ludah
berlebih, lakrimasi, kram perut, muntah, denyut nadi menurun, dan tremor
otot. Tingkat paparan yang berlebihan akan menimbulkan kesulitan
pernafasan, diare, edema paru-paru, sianosis, kehilangan kontrol pada otot,
kejang, koma, dan hambatan pada jantung.
Petani yang menggunakan pestisida organofosfat kemungkinan akan
mengabsorpsi pestisida tersebut dalam jumlah cukup banyak. Tertekan atau
terhambatnya kerja kolinesterase akibat absorpsi pestisida ini kadangkadang
sudah sedemikian besar, tetapi belum menunjukkan gejala-gejala yang jelas
(Darmansyah dkk, 1987)
Penurunan aktivitas kolinesterase hingga menjadi 60% akan
menyebabkan timbulnya gejala yang tidak spesifik seperti pusing, mual,
lemah, sakit dada dan Iain-lain (Ames dkk, 1989). Pada umumnya gejala dan
kelainan neurologik muncul setelah terjadinya penghambatan 50% atau lebih
aktivitas kolinesterase (Coye dkk, 1987). Menurut WHO, penurunan aktivitas
kolinesterase sebesar 30% dari normal menunjukkan telah terjadi pemaparan
organofosfat dan petani perlu diistirahatkan hingga kadar kolinesteraseormal
(WHO,1986). Aktivitas kolinesterase ini tergantung dari kadar kolinesterase
yang aktif dalam darah.
Umur residu dari organofosfat ini tidak berlangsung lama sehingga
peracunan kronis terhadap lingkungan cenderung tidak terjadi karena faktor-
faktor lingkungan mudah menguraikan senyawa-senyawa organofosfat
komonen yang tidak beracun. Walaupun demikian senyawa ini merupakan
racun akut sehingga dalam penggunaannya faktor-faktor keamanan sangat
perlu diperhatikan. Karena bahaya yang ditimbulkan dalam lingkungan hidup
tidak berlangsung lama.
Pada petani yang terpapar organofosfat maka perbaikan baru timbul bila
petani diistirahatkan selama beberapa minggu dan selama itu tubuh
mensintesis kolinesterase kembali, sehingga kadar kolinesterase akan naik.
Sintesis terjadi dalam sumsum tulang belakang kemudian masuk ke dalam
sirkulasi darah. Sedangkan kolinesterase dalam plasma disintesis dalam hati.
Negara bagian California menentukan batas nilai ambang keracunan
pestisida organofosfat dikalangan pekerja pertanian yaitu untuk aktivitas
kolinesterase dalam butir darah merah > 70% dan pada plasma > 60% dari

14
nilai normal, sedangkan WHO menetapkan nilai ambang keracunan pestisida
organofosfat jika aktivitas kolinesterase dalam plasma dan butir darah merah
mencapai 70% dari nilai normal. Jika penurunan aktivitas kolinesterase
mencapai nilai tersebut, maka pekerja harus dijauhkan dari paparan pestisida
dan baru diizinkan kembali bekerja dengan pestisida jika aktivitas
kolinesterasenya menjadi 80% atau lebih dari nilai normal. Penelitian yang
dilakukan oleh Raini (2000) pada 80 petani penyemprot pestisida yang
keracunan pestisida dengan kolinesterase < 75%, rata-rata subyek memerlukan
waktu pemulihan kembali 1 minggu dan untuk kolinesterase < 62,5%,
memerlukan waktu 2 minggu.
E. Pengaruh Paparan Organofosfat
Pestisida golongan organofosfat dapat masuk kedalam tubuh melalui
pernafasan, tertelan melalui mulut maupun diserap oleh tubuh. Masuknya
pestisida golongan organofosfat segera diikuti oleh gejala-gejala khas yang
tidak terdapat pada gejala keracunan pestisida golongan lain. Gejala keracunan
pestisida yang muncul setelah enam jam dari paparan pestisida yang terakhir,
dipastikan bukan keracunan golongan organofasfat.
Gejala keracunan organofosfat akan berkembang selama pemaparan.
Pestisida yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami perubahan secara
hidrolisa di dalam hati dan jaringan-jaringan lain. Hasil dari perubahan atau
pembentukan ini mempunyai toksisitas rendah dan akan keluar melalui urine.
Adapun gejala keracunan pestisida golongan organofosfat adalah sebagai
berikut:
1. Gejala awal
Gejala awal akan timbul : mual / rasa penuh di perut, muntah, rasa lemas,
sakit kepala dan gangguan penglihatan.
2. Gejala Lanjutan
Gejala lanjutan yang ditimbulkan adalah keluar ludah yang berlebihan,
pengeluaran lendir dari hidung (terutama pada keracunan melalui hidung),
kejang usus dan diare, keringat berlebihan, air mata yang berlebihan,
kelemahan yang disertai sesak nafas, akhirnya kelumpuhan otot rangka.
3. Gejala Sentral
Gelaja sentral yan ditimbulkan adalah sukar bicara, kebingungan,
hilangnya reflek, kejang dan koma.
4. Kematian
Apabila tidak segera di beri pertolongan berakibat kematian dikarenakan
kelumpuhan otot pernafasan.

15
Gambaran klinis keracunan organofosfat dapat berupa keadaan sebagai
berikut:
1. Sindroma muskarinik
Sindroma muskarinik menyebabkan beberapa gejala yaitu konstriksi
bronkus, hipersekresi bronkus, edema paru, hipersalivasi, mual, muntah,
nyeri abdomen, hiperhidrosis, bradikardi, polirua, diare, nyeri kepala,
miosis, penglihatatan kabur, hiperemia konjungtiva. Onset terjadi segera
setelah paparan akut dan dapat terjadi sampai beberapa hari tergantung
beratnya tingkat keracunan.
2. Sindroma nikotinik
Sindroma nikotinik pada umumnya terjadi setelah sindroma muskarinik
yang akan mencetuskan terjadinya sindroma intermediate berupa delayed
neuropathy. Hiperstimulasi neuromuscular junction akan menyebabkan
fasikulasi yang diikuti dengan neuromuscular paralysis yang dapat
berlangsung selama 2-18 hari. Paralisis biasanya juga mempengaruhi otot
mata, bulbar, leher, tungkai dan otot pernafasan tergantung derajat berat
keracunan.
3. Sindroma sistem saraf pusat
Sindroma sistem saraf pusat terjadi akibat masuknya pestisida ke otak
melalui sawar darah otak. Pada keracunan akut berat akan mengakibatkan
terjadinya konvulsi.13
4. Organofosfat-Induced Delayed Neuropathy
Organophosphaet-Induced Delayed Neuropathy terjadi 2 – 4 minggu
setelah keracunan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efek dan gejala keracunan pada
manusia, antara lain :
1. Bentuk dan cara masuk
Racun dalam bentuk larutan akan bekerja lebih cepat dibandingkan dengan
yang berbentuk padat. Sedangkan racun yang masuk ke dalam tubuh
secara intravena dan intramuskular akan memberikan efek lebih kuat
dibandingkan dengan melalui mulut.
2. Usia
Pada umumnya anak-anak dan bayi lebih mudah terpengaruh oleh efek
racun dibandingkan dengan orang dewasa. Seseorang dengan bertambah
usia maka kadar rata-rata kolinesterase dalam darah akan semakin rendah
sehingga keracunan akibat pestisida akan semakin cepat terjadi.xxi
3. Jenis Kelamin
Jenis kelamin sangat mempengaruhi aktivitas kolinesterase dalam darah.
Jenis kelamin laki-laki memiliki aktivitas kolinesterase lebih rendah dari
perempuan karena kandungan kolinesterase dalam darah lebih banyak
pada perempuan.
4. Kebiasaan

16
Jika terbiasa kontak dengan racun dalam jumlah kecil mungkin dapat
terjadi toleransi terhadap racun yang sama dalam jumlah relatif besar tanpa
menimbulkan gejala keracunan.
5. Kondisi kesehatan atau Status Gizi
Seseorang yang sedang menderita sakit akan mudah terpengaruh oleh efek
racun dibandingkan dengan orang yang sehat. Buruknya keadaan gizi
seseorang juga akan berakibat menurunnya daya tahan tubuh dan
meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Kondisi gizi yang buruk
menyebabkan protein yang ada dalam tubuh sangat terbatas
sehinggamengganggu pembentukan enzim kolinesterase.
6. Tingkat Pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin kecil
peluang terjadinya keracunan pada dirinya karena pengetahuannya
mengenai racun termasuk cara penggunaan dan penanganan racun secara
aman dan tepat sasaran akan semakin tinggi sehingga kejadian keracunan
pun akan dapat dihindari.
7. Dosis racun
Jumlah racun sangat berkaitan erat dengan efek yang ditimbulkannya.
Pada umumnya dosis racun yang besar akan menyebabkan kematian lebih
cepat. Dosis pemakaian pestisida yang banyak akan semakin mempercepat
terjadinya keracunan pada pengguna pestisida. Untuk dosis penyemprotan
di lapangan, khususnya pestisida golongan organofosfat dosis yang
dianjurkan adalah 0,5 – 1,5 kg/Ha.
F. Penanganan Toksikologi Pestisida
a. Petunjuk yang Harus Diikuti bagi Pengguna Pestisida (Schulze L. Tanpa
tahun)
1. Selalu menyimpan pestisida dalam wadah asli yang berlabel.
2. Jangan menggunakan mulut untuk meniup lubang pada alat semprot.
3. Jangan makan, minum atau merokok pada tempat penyemprotan dan
sebelum mencuci tangan.
b. Penanganan Keracunan Pestisida
1. Setiap orang yang pekerjaannya sering berhubungan dengan pestisida
seperti petani,buruh penyemprot dan Iain-lain harus mengenali gejala
dan tanda keracunan pestisida dengan baik. Tindakan pencegahan
lebih baik dilakukan untuk menghindari keracunan. Setiap orang yang
berhubungan dengan pestisida harus memperhatikanhal-halberikut:
2. Kenali gejala dan tanda keracunan pestisida dan pestisida yang sering
digunakan.
3. Jika diduga keracunan, korban segera dibawa ke rumah sakit atau
dokter terdekat.
4. Identifikasi pestisida yang memapari korban, berikan informasi ini
pada rumah sakit atau dokter yang merawat.

17
5. Bawa label kemasan pestisida tersebut. Pada label tertulis informasi
pertolongan pertama penanganan korban.
6. Tindakan darurat dapat dilakukan sampai pertolongan datang atau
korban dibawa ke rumah sakit.
c. Pertolongan Pertama yang Dilakukan
1. Hentikan paparan dengan memindahkan korban dan sumber paparan,
lepaskan pakaian korban dan cuci/mandikan korban
2. Jika terjadi kesulitan pernafasan maka korban diberi pernafasan
buatan. Korban diinstruksikan agar tetap tenang. Dampak serius tidak
terjadi segera, ada waktu untuk menolong korban
3. Korban segera dibawa ke rumah sakit atau dokter terdekat. Berikan
informasi tentang pestisida yang memapari korban dengan membawa
label kemasan pestisida
4. Keluarga seharusnya diberi pengetahuan/ penyuluhan tentang
18 esticide sehingga jika terjadi keracunan maka keluarga dapat
memberikan pertolongan pertama.
G. Penetapan Keracunan Organofosfat
Penetapan keracunan yang dilakukan menurut ketentuan Departemen
Kesehatan menggunakan tintometer kit. Tintometer adalah alat ukur yang
digunakan dalam analisis kalorimetri untuk menentukan jumlah zat dari warna
yang dihasilkan dengan reagen tertentu. Larutan yang dibutuhkan antara lain
larutan indikator (terdiri atas Brom Timol Blue [BTB] dan aquades), larutan
substrat (terdiri atas Acethylcholine perchlorat dan Aquades), dan Aquades.

Gambar 7 Tintometer Kit


Sumber : (Indotekhnoplus.com)

18
Tabel 4. Penilaian Warna tintometer

Subyek dinyatakan keracunan jika mempunyai aktivitas kolinesterase


≤ 75%, dengan kategori 75 – 100% kategori normal; 50 – <75% kategori
keracunan ringan; 25 – <50% kategori keracunan sedang dan 0 – <25%
kategori keracunan berat. Menurut Gallo etal. (1991), ada beberapa faktor
yang mempengaruhi tingkat keracunan pestisida antara lain dosis pestisida,
toksisitas senyawa pestisida, lama terpapar pestisida dan jalan masuk pestisida
dalam tubuh.

19
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahaya organofosfat bagi manusia yaitu terjadi penghambatan enzim
asetilkolinesterase (AChe) yang berperan untuk menghidrolisis asetilkolin
menjadi asetat dan kolin. Dampak dari enzim Ache yang inaktif menjadikan
akumulasi asetilkolin. Jumlah asetilkolin meningkat dan berikatan dengan
reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal
tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada
seluruh bagian tubuh.
Upaya untuk mengatasi keracunan toksikologi pestisida dapat dilakukan
dengan memahami tata cara penggunaan pestisida dan pertolongan pertama
saat terjadi keracunan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ames R.G., Brown SK, Mengle D.C., Kahn E., Stratton J.W., Jackson R.J., 1989.
Cholinesterase Activity Depression Among California Agricultural
Pesticide Applicators. Industr. Med;,15:143-150.

Budi Prijanto, Teguh. 2009. Analisis Faktor Resiko Keracunan Pestisida


Organofosfat Pada Keluarga Petani Hortikultur di Kecamatan Ngablak
Kabupaten Magelang. Skripsi. Universitas Diponegoro Semarang.

Coye M.J., Bamett P.G., Midtling J.E., Velasco A.R., Romero P., Clements C.L.,
Rose T.G. 1987. Clinical Confirmation of Organophosphate Poisoning of
Agricultural Workers, Am.J.Ind.Med.;, 10 (4): 399470.

Darmansyah I., Gan Sulistia, 1987. Kolinergik, dalam Farmakologi dan Terapi
ed. Jakarta : Farmakologi FKUI.

Departemen Kesehatan R I, Pusat Data Kesehatan. 1997. dalam


http://bankdata.depkes. go. id/Profil/Indo 1 997/Annex/liic620htm. pada
2019.

Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. PT. Agromedia Pustaka.


Jakarta.

Hayes, Jr.. Wayland J., 1991. "Dosage and Other Factors Influencing Toxicity"
dalam Handbook of Pesticide Toxicology, vol. I, 39-96

Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia 2001a. Nomor


434.1/Kpts/TP/.270 /7/2001 tentang Syarat dan Tatacara Pendaftaran
Pestisida.

Lu F.C., 1995. Toksikologi Dasar, ed. 2, . 328-330. Jakarta : UI Press.

Runia., Yodenca A. 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keracunan


Pestisida Organofosfat Karbamat Dan Kejadian Anemia Pada Petani
Hortikultura Di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang.
[Tesis]. Program Pascasarjana : Universitas Diponegoro Semarang

Sartono. 2001. Racun dan Keracunan. Jakarta : Widya Medika.

Schulze L.D.. Ogg C.L., Vitzthum E.F., Signs and Symptoms of Pesticide
Poisoning dalam http://ianpubs.unl.edu/pesticide/cc2505.htm.University of
Nebraska Cooperative Extension EC 97-2505-A.

Sudarmo, S. 1991. Pestisida. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

21
WHO Geneva Rahayu C.M. 1982. "Efek Pestisida Organofosfat Terhadap
Penurunan Aktivitas Koline-sterase". Thesis . Jakarta : FKM-UI.

22

Anda mungkin juga menyukai