Anda di halaman 1dari 20

MEMORI PENINJAUAN KEMBALI

Terhadap Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No. 1051 K/PID.SUS/2016 tanggal 20

September 2016 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan

Tinggi Medan No. 08/Pid.Sus-TPK/2016/PT.DKI tanggal 16 Maret 2016 Jo. Putusan

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan No. 67/Pid.Sus-

TPK/2015/PN Mdn. tanggal 4 Januari 2016

Atas Nama

Drs. KHAIDAR ASWAN

Jakarta, [**] November 2017

Jakarta, [**] November 2017

Halaman | 1
Kepada Yth,
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia
Jalan Medan Merdeka Utara No. 9-13,
Jakarta 10110

Melalui:
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan
Jalan Pengadilan No.8,
Medan 20111

Perihal: Permohonan Peninjauan Kembali

Dengan Hormat,

Saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama lengkap : Drs.KHAIDAR ASWAN.


Tempat lahir : Batang Kuis.
Umur / Tgl. lahir : 53 tahun / 1 Desember 1962.
Jenis kelamin : Laki-laki.
Kebangsaan : Indonesia.
Agama : Islam.
Tempat tinggal : Dusun I Bintang Meriah Kelurahan Bintang Meriah Kecamatan
Batang Kuis Kabupaten Deliserdang.
Pekerjaan : Karyawan BUMN.
Pendidikan : S-1.

- untuk selanjutnya disebut “Pemohon”;

Perkenankanlah Pemohon untuk mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali


(”Permohonan PK”) terhadap Terhadap Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No. 1051
K/PID.SUS/2016 tanggal 20 September 2016 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Tinggi Medan No. 08/Pid.Sus-TPK/2016/PT.DKI tanggal 16 Maret
2016 jo. Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan No.
67/Pid.Sus-TPK/2015/PN Mdn. tanggal 4 Januari 2016 (untuk selanjutnya disebut sebagai
Halaman | 2
“Putusan”), dalam hal ini Pemohon didampingi oleh Kuasa Hukumnya
Muhammad Ridwan, S.H., Husni Az-zaky, S.H., M.H., dan Arie Agung, S.H., M.H. dkk
berdasarkan Surat Kuasa Khusus No. 074/MRP-KA/SK/IX/2017 tertanggal 7 September
2017, dengan alasan-alasan Peninjauan Kembali sebagaimana akan Pemohon kemukakan di
bawah ini.
Terlebih dahulu Pemohon menyampaikan beberapa hal yang melatarbelakangi diajukannya
Permohonan PK ini yaitu sebagai berikut:h
I. DASAR PENGAJUAN PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI
Permohonan Peninjauan Kembali Aquo diajukan sehubungan dengan putusan – putusan
pengadilan sebagai berikut :

A. PUTUSAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PENGADILAN


NEGERI MEDAN NO. 67/PID.SUS-TPK/2015/PN MDN. TANGGAL 4 JANUARI
2016.
MENGADILI:

1. Menyatakan bahwa terdakwa Drs. KHAIDAR ASWAN tersebut di atas telah


terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan “Dengan
Melawan Hukum melakukan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara
bersama-sama”;
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana penjara
selama 11 (Sebelas) tahun dan denda sebesar Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta
rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana
Kurungan selama 8 (Delapan) bulan;
3. Membebankan Terdakwa untuk membayar Uang Pengganti sebesar Rp.
16.750.404.976,31 (enam belas milyar tujuh ratus lima puluh juta empat ratus
empat ribu sembilan ratus tujuh puluh enam koma tiga puluh satu rupiah) dan
apabila Terdakwa tidak dapat membayar uang pengganti tersebut selama 1 (satu)
bulan setelah putusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta
bendanya dapat disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dan
dalam hal Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga)
tahun;
4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya
dari Pidana yang dijatuhkan;
5. Memerintahkan supaya Terdakwa tetap dalam tahanan;
6. Memerintahkan barang bukti berupa : 85 bukti tetap terlampir dalam berkas
perkara untuk digunakan dalam perkara lainnya dan 3 bukti ditetapkan untuk
dilelang oleh Negara.
Halaman | 3
7. Membebankan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000.- (Lima
Ribu Rupiah).

B. PUTUSAN PENGADILAN TINGGI TINDAK PIDANA KORUPSI PADA


PENGADILAN TINGGI MEDAN NO. 08/PID.SUS-TPK/2016/PT.DKI TANGGAL
16 MARET 2016.
MENGADILI:

1. Menerima permintaan banding Terdakwa melalui Penasehat hukumnya dan Jaksa


Penuntut Umum;
2. Menguatkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri
Medan tanggal 04 Januari 2016 No. 67/Pid.Sus.TPK/2015/PN-Mdn. yang
dimintakan banding;
3. Menetapkan masa penahan yang telah dijalani oleh para terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan terdakwa tetap ditahan dalam Rumah Tahanan Negara;
5. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perara dalam kedua tingkat
Peradilan, untuk tingkat Banding sebesar Rp.2500,- (dua ribu lima ratus rupiah).

C. PUTUSAN KASASI MAHKAMAH AGUNG RI NO. 1051 K/PID.SUS/2016


TANGGAL 20 SEPTEMBER 2016.

MENGADILI:

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa: Drs. KHAIDAR


ASWAN tersebut;
- Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara pada tingkat
kasasi ini sebesar Rp.2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).

II. SYARAT FORMIL PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI TELAH


TERPENUHI
Memori Permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali didasarkan
atas ketentuan hukum sebagai berikut :

Halaman | 4
A. Berdasarkan Pasal 28 Ayat (1) huruf (c) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang No. 5
Tahun 2004, kemudian diamandemen dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung, yaitu :

“Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:


(a) Permohonan Kasasi;
(b) sengketa tentang kewenangan mengadili;
(c) permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap”.

B. Berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan


Kehakiman, yaitu :

(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada
Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan
dalam Undang-Undang.

(2) Terhadap putusan Peninjuan Kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

C. Bahwa berdasarkan berdasarkan Pasal 263 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) Jo. Pasal 263 Ayat (2) huruf b dan c KUHAP, yaitu:

(1)Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,


kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli
warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung.
(2) Permintaan Peninjauan Kembali dilakukan atas dasar yaitu :
a. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah
terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang
dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang
lain.
b. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim
atau suatu kekeliruan yang nyata.
D. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali menerima Surat Pemberitahuan Isi Putusan
Kasasi Nomor : No. 1051 K/PID.SUS/2016 pada tanggal 16 Nopember 2016 dan
menerima salinan Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1051

Halaman | 5
K/PID.SUS/2016 di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan pada tanggal [***] Juli
2017.

E. Permohonan Peninjauan Kembali aquo didasarkan pada alasan bahwa dalam suatu
putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagaimana
akan dijelaskan di bawah ini.

F. Jangka Waktu Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali


(1) Berdasarkan Pasal 264 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
berikut kami kutip: “Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan
suatu jangka waktu”.

III. DASAR ALASAN DIAJUKANNYA PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI.


Bahwa Judex Factie pada Pengadilan Tingkat Pertama yang dibenarkan oleh Judex Factie
Pengadilan Tinggi dan Judex Juris telah melakukan Kehilafan hakim atau kekhilafan
nyata dalam pertimbangannya sebagai berikut :
(1) Kesalahan Penerapaan Hukum Terhadap Unsur “Secara Melawan Hukum”
Dalam penetapan unsur “secara melawan hukum” pada perkara aquo, Judex Factie dan
Judex Juris mempertimbangkan hal – hal sebagai berikut :
Menimbang, bahwa perbuatan Terdakwa Drs. Khaidar Aswan selaku Ketua
Koperasi Karyawan Pertamina UPMS –I Medan yang telah mengajukan
permohonan kredit kepada Bank BRI AGRONIAGA tanpa seijin dan sepengetahuan
anggota Koperasi Karyawan Pertamina UPMS –I Medan sebagaimana didukung
keterangan saksi-saksi dalam persidangan yaitu saksi Jayadi, saksi Muhammad Ali
Munthe, saksi Novita Sari, saksi Muhrizal Silalahi dan saksi Ahmad Rinaldi yang
menerangkan bahwa saksi-saksi tersebut tidak pernah menandatangani
permohonan untuk mengajukan kredit ke Bank BRI AGRONIAGA, Tbk serta saksi-
saksi tersebut tidak ada menerima uang pinjaman karyawan dari Bank BRI
AGRONIAGA, Tbk dan dalam Rapat Anggota Tahunan Terdakwa selaku Ketua
Koperasi Karyawan Pertamina UPMS – I Medan tidak ada melakukan rapat
anggota tahunan luar biasa yang memberikan kewenangan kepada pengurus untuk
melakukan pinjaman/kredit dengan Bank serta perbuatan Terdakwa yang
mengajukan dokumen-dokumen yang tidak sah milik karyawan PT. Pertamina
UPMS-I Medan untuk memperoleh fasilitas kredit dari PT. BRI AGRONIAGA, Tbk
dan selanjutnya menerima pencairan dana yang bersumber dari fasilitas kredit
tersebut namun tidak menyerahkannya kepada Karyawan Tetap PT. Pertamina
UPMS-I Medan selaku anggota koperasi karyawan Pertamina UPMS-I Medan
yang melainkan mempergunakannya untuk kepentingannya sendiri adalah jelas
merupakan perbuatan melawan hukum.
Menimbang, bahwa perbuatan yang dilakukan Terdakwa adalah merupakan
Perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan :

Halaman | 6
1. Perjanjian Kerjasama antara Koperasi Karyawan Pertamina UPMS-I Medan
dengan Bank BRI Agro yang ditandatangani oleh Zuhri Anwar dengan pihak
Kopkar yaitu Khaidar Aswan, M Oka Ridho, Kusnadi Tarmizi Pasal 2 ayat 2 3
bahwa kredit karyawan diperuntukan untuk konsumtif perorangan bukan untuk
Koperasi;
2. UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, yaitu: Pasal 20 Ayat (1), setiap
anggota mempunyai kewajiban : a. mematuhi Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga serta keputusan yang telah disepakati dalam Rapat Anggota;
….”
3. Perjanjian kerjasama antara PT Bank Agroniaga, Tbk dengan Koperasi
Karyawan Pertamina UPMS-I Medan tentang Penyaluran dan Pengelolaan
Fasilitas Kredit Karyawan (Channeling) Nomor : BA/SP-28/Dir.04/VIII/2012
tanggal 14 Agustus 2012, pasal 5 Ayat (5), yaitu: “Berdasarkan Surat
Persetujuan Pemberian Kredit (SPPK) yang telah disetujui Karyawan,
selanjutnya PIHAK PERTAMA akan menerbitkan Surat Kuasa kepada PIHAK
KEDUA untuk menandatangani Perjanjian Kredit dengan Karyawan”.
(Pertimbangan Majelis Judex Factie yang dikuatkan oleh Judex Juris, vide halaman 221 –
223 Salinan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Medan No. 67/Pid.Sus-Tpk/2015/Pn Mdn. Tanggal 4 Januari 2016)
Kesalahan atau Kekeliruan Hakim dalam pertimbangan tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Kesalahan Karena Tidak Menerapkan/Mengartikan Unsur
Melawan Hukum Secara Materil
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 telah memutuskan bahwa
UNSUR SECARA MELAWAN HUKUM (WEDERECHTELIJK) HANYA
DAPAT DIARTIKAN SECARA FORMAL BUKAN SECARA MATERIIL,
sehingga untuk dapat dibuktikan unsur ini maka harus ada peraturan peraturan
perundang-undangan yang dilanggar oleh si pelaku tindak pidana korupsi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006, dalam amarnya
sebagai berikut:
a. Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sepanjang frasa yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan ’secara
melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum
dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan
rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat,
maka perbuatan tersebut dapat dipidana” bertentangan dengan UUD
1945.
b. Menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang dimaksud dengan ’secara
Halaman | 7
melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum
dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan
rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat,
maka perbuatan tersebut dapat dipidana” tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat;
Dalam pertimbangan hukum Judex Factie yang dikuatkan oleh Judex Juris
tersebut disebutkan bahwa TERDAKWA dianggap memenuhi unsur “secara
melawan hukum” karena melanggar 3 (tiga) “peraturan perundang – undangan”
sebagaimana dimaksudkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-
IV/2006 yaitu :
1. Pasal 2 ayat (3) Perjanjian Kerjasama antara Koperasi Karyawan Pertamina
UPMS-I Medan dengan Bank BRI Agro yang menentukan bahwa kredit
diperuntukan untuk konsumtif perorangan bukan koperasi.
2. Pasal 20 ayat (1) UU No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian yang
berbunyi :
(1) Setiap Anggota mempunyai kewajiban:
a. mematuhi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta
keputusan yang telah disepakati dalam Rapat Anggota;
b. berpartisipasi dalam kegiatan usahs yang diselenggarakan oleh
Koperasi;
c. mengembangkan dan memelihara kebersamaan berdasar atas asas
kekeluargaan.
3. Pasal 5 ayat (5) Perjanjian kerjasama antara PT Bank Agroniaga, Tbk
dengan Koperasi Karyawan Pertamina UPMS-I Medan tentang Penyaluran
dan Pengelolaan Fasilitas Kredit Karyawan (Channeling) Nomor : BA/SP-
28/Dir.04/VIII/2012 tanggal 14 Agustus 2012 yaitu: “Berdasarkan Surat
Persetujuan Pemberian Kredit (SPPK) yang telah disetujui Karyawan,
selanjutnya PIHAK PERTAMA akan menerbitkan Surat Kuasa kepada
PIHAK KEDUA untuk menandatangani Perjanjian Kredit dengan
Karyawan”.
Fakta adanya pelanggaran terhadap Perjanjian Kerjasama sebagaimana dinilai
oleh Judex Factie bukanlah suatu perbuatan melawan hukum sebagaimana
dimaksud Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena
Perjanjian Kerjasama bukanlah suatu peraturan perundang – undangan
sebagaimana dimaksud Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PPU-IV/2006.
Jenis peraturan perundang – undangan yang dapat diterapkan dalam unsur
“secara melawan hukum” adalah peraturan perundang – undangan sebagaimana

Halaman | 8
dimaksud Pasal 7 ayat (1) Undang – undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang – undangan yaitu :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Perjanjian kerjasama adalah perjanjian sebagaimana dimaksud Pasal 1313
KUHPerdata yang berdasarkan Pasal 1233 KUHPerdata merupakan salah satu
sumber perikatan selain undang – undang. Pelanggaran terhadap perjanjian
adalah wanprestasi yang akibat hukumnya diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata
yaitu menimbulkan hak kepada pihak yang dirugikan untuk mendapatkan biaya,
bunga dan ganti rugi.
Penerapan Pasal 20 ayat (1) UU Perkoperasian terhadap peristiwa yang terbukti
dalam perkara aquo juga tidak tetap karena pelanggaran terhadap Anggaran
Dasar Koperasi Karyawan Pertamina UPMS-I Medan bukanlah penyebab
timbulkan kerugian PT. Bank BRI Agroniaga, Tbk.
Sesuai dengan pertimbangan Judex Factie bahwa penyebab kerugian PT. Bank BRI
Argoniaga, Tbk. adalah “perbuatan Terdakwa yang mengajukan dokumen-
dokumen yang tidak sah milik karyawan PT. Pertamina UPMS-I Medan untuk
memperoleh fasilitas kredit dari PT. BRI AGRONIAGA, Tbk”. Pengajuan
dokumen – dokumen yang tidak sah bukanlah perbuatan melawan hukum
sebagaimana dimaksud Pasal 20 ayat (1) UU Perkoperasian.
2. Kurang Pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) dalam
Putusan Judex Factie dan Judex Juris
Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 30 K/Kr/1969 tgl. 6-6-1970 terdapat
kaidah hukum “Walaupun rumusan delik penadahan tidak mencantumkan unsur
sifat melawan hukum, tetapi ini tidak berarti bahwa perbuatan yang dituduhkan
telah merupakan delik penadahan sekalipun sifat melawan hukum tidak ada
sama sekali”.
Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana (Crimineel Wetboek) Tahun 1809
dicantumkan: “Sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”.
Dalam Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman sewaktu Pengajuan
Criminiel Wetboek 1881 (yang menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Indonesia Tahun 1915), dijelaskan: “Sengaja” diartikan: “dengan sadar dan
kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu”.
Halaman | 9
Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak,
dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will (kehendak) dapat
ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua
teori yang berkaitan dengan perngertian “sengaja”, yaitu teori kehendak dan teori
pengetahuan atau membayangkan. (Sudarto, Hukum Pidana I, 1990, penerbit
Yayasan Sudarto, hal. 102-105. Lihat juga A. Zainal Abidin Farid, 1995, Hukum
Pidana I, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta., hal. 282-285)
Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-
unsur delik dalam rumusan undang-undang.
Menurut Teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin
dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat mengingini,
mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah “sengaja”
apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan
sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan
dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat. Teori itu
menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan sipembuat, ialah apa
yang terjadi pada waktu ia berbuat.
Dari kedua teori tersebut, Prof. Moeljatno lebih cendrung kepada teori
pengetahuan atau membayangkan. Alasannya adalah : “Karena dalam kehendak
dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk menghendaki sesuatu,
orang lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang
sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui seseorang belum tentu juga dikehendaki
olehnya. Lagi pula kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan perbuatannya.
Konsekuensinya ialah, bahwa untuk menentukan sesuatu perbuatan yang
dikehendaki oleh terdakwa, maka (1) harus dibuktikan bahwa perbuatan itu
sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan bertujuan yang hendak dicapai; (2)
antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin
terdakwan (Moeljatno (1994) Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Bina
Aksara, Jakarta, hal. 172-173.)
Berdasarkan kedua teori unsur kesalahan tersebut, sebelum menerapkan hukum
(Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) maka seharusnya
Judex Factie maupun Judex Juris mempertimbangkan apa sebenarnya kehendak
dari Terdakwa dalam peristiwa tindak pidana sehingga dapat diperoleh
kesimpulan apakah Terdakwa dapat dipersalahkan atas Pasal 2 ayat (1) UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana didakwakan.
Dalam perkara aquo, Jude Factie dan Judex Juris sama sekali tidak
mempertimbangkan unsur kesalahan atas perbuatan yang dilakukan oleh
Terdakwa.
Untuk itu seharusnya Judex Factie dan Judex Juris mempertimbangkan fakta
bahwa pada tanggal 14 Agustus 2012, pada saat penandatangan perjanjian
kerjasama antanra Koperasi dengan PT. Bank Argoniaga, Tbk., nama PT. Bank

Halaman | 10
Argoniaga, Tbk. belum berubah menjadi PT. BRI Argoniaga, Tbk. Perubahan
nama baru terjadi pada tanggal 10 Oktober 2012.
Fakta tersebut menunjukan bahwa Terdakwa tidak mengetahui dalam Bank Argoniaga
terdapat unsur keuangan negara sehingga harus disimpulkan bahwa tindakan
Terdakwa tidak bermaksud merugikan keuangan negara.
(2) Kesalahan Penerapan Hukum Terhadap Unsur “yang merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara”
Dalam penetapan unsur “yang dapat merugikan keuangan negara” pada perkara aquo,
Judex Factie dan Judex Juris mempertimbangkan hal – hal sebagai berikut :
1. “Bahwa PT. BANK AGRONIAGA, Tbk adalah merupakan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang mengacu pada konsepsi yang tertuang dalam UUD 1945
dimana Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada prinsipnya adalah milik rakyat
sehingga dengan status sebagai milik rakyat, kewenangan terhadap kepemilikan
assetnya berada sepenuhnya di tangan rakyat” (vide halaman [**] Salinan
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan
No. No. 67/Pid.Sus-Tpk/2015/Pn Mdn. Tanggal 4 Januari 2016).
Pertimbangan Judex Factie dan Judex Juris tersebut didasarkan pada fakta yang
disimpulkan oleh Judex Factie sebagai berikut :
“Bahwa ketika dilakukan Perjanjian Nomor:BA/ SP-28/Dir.04/VIII/2012 tanggal 14
Agustus 2012, dan Pemberian Surat Kuasa Nomor:137/SK- Dir.04/VIII/2012
tanggal 14 Agustus 2012, jumlah saham/modal yang dimiliki oleh PT. Bank
Rakyat Indonesia, Tbk pada PT.BRI AGRONIAGA,Tbk adalah sebesar 79,78%,
sehingga PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk merupakan sebagai pengendali modal/
saham pada PT.BRI AGRONIAGA,Tbk, dan menempatkan pejabat pada PT. Bank
Rakyat Indonesia,Tbk menjadi Direktur pada PT.BRI AGRONIAGA,Tbk, yaitu
saksi Zuhri Anwar, Sahala Malau, dan Zainuddin Mappa”.
Berdasarkan Laporan Tahunan PT. BRI Agroniaga, Tbk. Tahun 2012, pemegang
saham PT. BRI Agroniaga, Tbk. adalah :
a. PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. : 79,78%
b. Dana Pensiun Perkebunan : 14%
c. Masyarakat : 6,22%
sedangkan berdasarkan Laporan Registrasi Pemegang Efek tanggal 8 November 2017
PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk., pemegang saham PT. Bank Rakyat
Indonesia (Persero), Tbk adalah :
a. Pemerintah Republik Indonesia : 56,751 %
b. Masyarakat : 43,249%

Halaman | 11
PT. BRI Argoniaga, Tbk., bukanlah keuangan negara sebagaimana dimaksud UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun UU No. 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 UU Keuangan Negara disebutkan bahwa
“Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang
dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut”.
sedangkan berdasarkan Pasal 2 UU Keuangan Negara ditentukan bahwa :
“Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,
dan melakukan pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan
pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum”.
sehingga sesuai dengan Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara, hanya kekayaan
negara yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah yang dapat
dianggap sebagai keuangan negara.
Yang dimaksud dengan perusahaan negara adalah Badan Usaha Milik Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 1 Undang – undang Nomor 19
Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara yang menentukan “Badan
Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan
secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”. Dengan
demikian maka dengan mengacu pada Pasal 2 huruf g. UU Keuangan Negara dan
Pasal 1 Angka 1 UU BUMN maka dapat disimpulkan bahwa PT. BRI Agroniaga,
Tbk. bukanlah keuangan negara karena kekayaannya bukan berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan namun sebagian kekayaannya berasal dari
kekayaan PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. yang dipisahkan sementara
sebagian lainnya berasal dari kekayaan dana pensiun perkebunan yang
Halaman | 12
dipisahkan dan kekayaan masyarakat (termasuk warga negara asing) yang
dipisahkan.
Sedangkan saat tempus delictie, 56,751 % kekayaan PT. Bank Rakyat Indonesia
(Persero), Tbk. berasal dari kekayaan negara sedangkan sisanya sebesar 43,249%
berasal dari kekayaan masyarakat (85%nya warga negara asing (vide
http://finansial.bisnis.com/read/20140314/90/210653/85-saham-publik-bri-
dikuasai-investor-asing) yang dipisahkan.
Dengan melihat komposisi pemegang saham pada PT. BRI Argoniaga, Tbk. dan PT.
Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. maka penerapan hukum yang dilakukan
oleh Judex Factie dan Judex Juris dengan menerapkan Pasal 2 ayat (1) UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap peristiwa dalam perkara aquo
adalah sangat berlebihan karena secara langsung melindungi kerugian pihak –
pihak yang bukan negara melalui Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi padahal sudah sangat jelas bahwa Pasal 2 ayat (1) UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertujuan hanya untuk melindungi
kerugian keuangan negara saja, namun dalam perkara aquo tidak diterapkan
demikian.
Pengelolaan PT. BRI Argoniaga, Tbk. tidak dilaksanakan berdasarkan UU BUMN
maupun UU Keuangan Negara, namun dilakukan sebagai swasta berdasarkan UU
No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

2. “Menimbang, bahwa akibat perbuatan Terdakwa Drs Khaidar Aswan yang


menimbulkan kerugian keuangan Negara sebesar Rp. 24.965.129.433,38 (dua
puluh empat milyar sembilan ratus enam puluh lima juta seratus dua puluh
sembilan ribu empat ratus tiga puluh tiga koma tiga puluh delapan rupiah),
sesuai dengan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara dibuat oleh M Rinaldi
AMD Auditor dari BPKP, perwakilan Propinsi Sumatera Utara yang termuat
dalam Laporan Hasil Audit BPKP Perwakilan Propinsi Sumatera Utara No : SR-
731/PW02/5/2015 tanggal 16 April 2015”.,
Kesalahan Judex Factie dan Judex Juris dalam pertimbangan tersebut adalah sebagai
berikut :
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017
yang dalam amarnya menyatakan: “Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2
ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka unsur - unsur Pasal 2
ayat (1) Undang – undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana diubah oleh Undang – undang Nomor 20 Tahun
2001 (“UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”) adalah sebagai berikut:
1. Setiap orang;

Halaman | 13
2. yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
3. yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 menjadikan unsur
kerugian negara dalam Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagai kerugian negara materiil atau real lost. Dalam Pertimbangan
hukumnya pada halaman 113 putusan Mahkamah Konstitusi bahwa pencantuman
kata "dapat" pada unsur kerugian keuangan negara di kedua pasal tersebut sering
disalahgunakan dalam kriminalisasi tindakan diskresi pejabat, sehingga untuk
dapat menetapkan Pemohon memenuhi unsur ini, Termohon harus
membuktikan bahwa sudah ada kerugian yang nyata dan real yang
memenuhi unsur ini yang dihitung oleh badan yang berwenang berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 10 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan
Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”) menentukan bahwa BPK merupakan lembaga
yang berwenang menilai dan menetapkan jumlah kerugian negara yang
diakibatkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
pejabat/penyelenggara negara.
Pasal 10 UU BPK:
“BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan
oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh
bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan
Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai
Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan tanggal 9 Desember 2016 telah
memberikan acuan bagi pengadilan dalam mengadili perkara. Pada Bagian A
(Rumusan Hukum Kamar Pidana) angka 6 Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah
Agung Tahun 2016 ditentukan:
“instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara
adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional
sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang
melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak
berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara.
Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya
kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara”
Bagian A (Rumusan Hukum Kamar Pidana) angka 6 Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung Tahun 2016 tersebut sejalan dengan Pasal 10 UU No. 15
Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan sehingga harus dijadikan dasar
dalam mengadili perkara yang berkaitan dengan kerugian negara akibat
Halaman | 14
perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam perkara aquo, tidak ada hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan yang
menyatakan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara atas peristiwa aquo.
Hasil perhitungan seorang auditor BPKP tidak konstusional untuk dijadikan dasar
memutus kerugian keuangan negara dalam perkara aquo.
Quod non PT. BRI Argoniaga, Tbk. dianggap sebagai keuangan negara, tentu
perlu dipertimbangkan keadaan komposisi saham PT. Bank Rakyat Indonesia
(Persero), Tbk. dan PT. BRI Argoniaga, Tbk. yang bukan milik negara untuk
menentukan jumlah kerugian keuangan negara sesungguhnya.
Dengan hanya melihat pada komposisi saham PT. Bank Rakyat Indonesia
(Persero), Tbk. dan PT. BRI Argoniaga, Tbk maka koefisien keuangan negara
pada PT. BRI Argoniaga, Tbk dapat dihitung sebagai berikut :
79,78% (Jumlah saham PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. pada PT. BRI
Argoniaga, Tbk.) x 56,751 % (jumlah saham Pemerintah Indonesia pada PT.
Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. = 45,27% yang berarti keuangan negara
dalam PT. BRI Argoniaga, Tbk. adalah sebesar 45,27% dari seluruh kekayaan PT.
BRi Argoniaga, Tbk. sedangkan sisanya adalah kekayaan pihak lain pemegang
saham PT. BRI maupun PT. BRI Argoniaga yang terdiri dari masyarakat
(termasuk pihak asing) dan dana pensiun perkebunan.
Dengan koefisien tersebut maka jika akibat perbuatan Terdakwa dianggap
merugikan PT. BRi Argoniaga, Tbk. sebesar Rp. 24.965.129.433,38 maka yang
menjadi kerugian keuangan negara adalah sebesar Rp. 45,27% x Rp.
24.965.129.433,38 = Rp. 11.301.714.094, 32.
Karena kerugian sebesar Rp. 11.301.714.094, 32 merupakan kerugian keuangan
negara secara langsung, tanpa ada unsur masyarakat maupun dana pensiun
perkebunan, maka pengembalian keuangan negara langsung dilakukan melalui
kas negara, tidak lagi melalui PT. BRI Argoniaga, Tbk.
Terlepas dari perhitungan tersebut di atas, dalam perkara aquo tidak terdapat
cukup bukti yang konstitusional untuk menetapkan ada atau tidaknya kerugian
keuangan negara akibat perbuatan Terdakwa.
(3) Kesalahan Dalam Menerapkan Pembuktian Terbalik Atas Harta Yang Diduga
Terkait Dengan Dugaan Tindak Pidana Korupsi
Dalam perkara aquo, Judex Factie dan Judex Juris telah melakukan sita terhadap harta
milik Terdakwa berdasarkan pertimbangan sebagai berikut :
“Menimbang, bahwa dengan demikian, tugas dan kewenangan dari masing – masing
instansi seperti BPK dan BPKP telah jelas diatur dalam Peraturan Perundang –
Undangan ;

Halaman | 15
Menimbang, bahwa terhadap Terdakwa telah disita harta kekayaan milik Terdakwa
dengan perincian :
1) Tanah seluas 45.625 m2 yang terletak di Desa Sudi Rejo Kec. Namo Rambe Kab.
Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara sesuai SHM No. 470 NIB
02.04.06.37.00118 An. Doktorandus Khaidar Aswan ;
2) SPBU No. 14.203.1114 yang terletak di Jalan Raya Batang Kuis, Desa Buntu
Bedimbar D/h Bangun Sari Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli
Serdang an. Hj. Nurmah ;
3) SPBU no. 14.203.171 yang terletak di Jalan Medan – Deli Tua Km. 10,5 an. Hj.
Nurmah ;
Menimbang, bahwa baik Terdakwa maupun Penasehat Hukum Terdakwa tidak dapat
menunjukkan bukti – bukti bahwa harta kekayaan (asset) milik Terdakwa yang telah
disita tersebut tidak ada hubungannya dengan Dakwaan Penuntut Umum ;
Menimbang, bahwa besarnya kerugian negara yang timbul dalam perkara ini, maka
Majelis Hakim menetapkan terhadap asset milik Terdakwa yang telah disita tersebut
perlu untuk disita agar tidak dialihkan kepada pihak lain” ;
Pembuktian terbalik dalam perkara tindak pidana korupsi didasarkan pada Pasal 37A
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menentukan :
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan
harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak
seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya,
maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak
pidana korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan
tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal
3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan
Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban
untuk membuktikann dakwaannya.
Namun demikian, pembuktian harga tersebut tidak berhubungan dengan perampasan
harta. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 37A ayat (2) UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, akibat tidak dapat membuktikan kekayaan yang tidak seimbang
menjadi petunjuk adanya dugaan tindak pidana korupsi, sehingga Pasal 37A ayat (2)
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini merupakan hukum acara pembuktian
yang melengkapi Pasal 183 dan 184 KUHAP.

Halaman | 16
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak menerapan perampasan harta
sebagaimana UU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sehingga
pertimbangan Judex Factie dan Judex Juris yang menyebutkan “bahwa baik Terdakwa
maupun Penasehat Hukum Terdakwa tidak dapat menunjukkan bukti – bukti bahwa
harta kekayaan (asset) milik Terdakwa yang telah disita tersebut tidak ada
hubungannya dengan Dakwaan Penuntut Umum” adalah tidak berdasar hukum.
Waktu perolehan harta – harta yang disita dalam perkara aquo adalah sebagai berikut :
1) Tanah seluas 45.625 m2 yang terletak di Desa Sudi Rejo Kec. Namo Rambe Kab.
Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara sesuai SHM No. 470 NIB
02.04.06.37.00118 An. Doktorandus Khaidar Aswan ;
Diperoleh Terdakwa sebelum tanggal 18 Mei 2011 sesuai Sertifikat Hak Milik
No. 470/Sudirejo yang diterbitkan tanggal 18 Mei 2011.
2) SPBU No. 14.203.1114 yang terletak di Jalan Raya Batang Kuis, Desa Buntu
Bedimbar D/h Bangun Sari Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli
Serdang an. Hj. Nurmah ;
Diperoleh Nurmah sebelum tanggal 12 Mei 2008 sesuai Sertifikat Hak Milik
No. 222/Batang Kuis yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional pada
tanggal 12 Mei 2010.
3) SPBU no. 14.203.171 yang terletak di Jalan Medan – Deli Tua Km. 10,5 an. Hj.
Nurmah ;
Diperoleh Nurmah sebelum tanggal [***] sesuai Sertifikat Hak Milik No.
[***] yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional pada tanggal [***].
Penyitaan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi hanya dapat dilakukan
berdasarkan Pasal 39 ayat (1) Undang – undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana yang menentukan :
“Yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana
atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan lansung dengan tindak pidana yang
dilakukan”.
Selain itu, tempus delictie peristiwa pidana yang didakwakan adalah pada tahun 2012
sedangkan harta – harta yang disita tersebut diperoleh sebelum peristiwa pidana yang
didakwakan sehingga tidak dapat dianggap memiliki hubungan dengan Dakwaan
Penuntut Umum.
Halaman | 17
Pertimbangan hukum judex factie dan judex juris dalam perkara aquo bahwa
“Menimbang, bahwa besarnya kerugian negara yang timbul dalam perkara ini, maka
Majelis Hakim menetapkan terhadap asset milik Terdakwa yang telah disita tersebut
perlu untuk disita agar tidak dialihkan kepada pihak lain” tidak berdasar hukum.
Judex Factie dan Judex Juris menerapkan conservatoir beslag dalam perkara pidana
padahal conservatoir beslag hanya diperuntukan gugatan perdata.
Pemenuhan penggantian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi
dilakukan berdasarkan Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyitaan
yang dilanjutkan dengan pelelangan terhadap barang milik Terdakwa hanya dapat
dilakukan 1 (satu) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, Terdakwa tidak
membayar uang pengganti, bukan pada saat penuntutan. Sebelum penyitaan,
Terdakwa terlebih dahulu harus dijatuhi hukuman pidana tambahan untuk membayar
uang pengganti.
Dalam perkara aquo, penyitaan yang dilakukan oleh Judex Factie dan Judex Juris
telah mencederai hak Terdakwa karena disatu sisi harga kekayaan Terdakwa disita
namun disatu sisi Terdakwa juga masih dibebani pidana tambahan untuk membayar
uang pengganti. Quod non Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak
berlaku terhadap perkara aquo, seharusnya setelah harta kekayaan Terdakwa disita,
Terdakwa tidak lagi dibebani untuk membayar pidana tambahan untuk membayar
uang pengganti atau sebaliknya jika Terdakwa dihukum pidana tambahan untuk
membayar uang pengganti maka tidak seharusnya harta kekayaan Terdakwa disita,
terlebih harta kekayaan tersebut diperoleh jauh sebelum tempus delictie perkara aquo
sehingga alasan sebagaimana dimaksud Pasal 39 KUHAP tidak perpenuhi.
(1)
IV. PERMOHONAN PEMOHON PENINJAUAN KEMBALI.

Bahwa berdasarkan segala hal, alasan dan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas,
Pemohon memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Agung Peninjauan Kembali pada
Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus perkara ini, untuk
dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya, dengan memberikan Putusan sebagai
berikut:

MENGADILI :

1. Menerima Permohonan Peninjauan Kembali Pemohon PK/Penasihat Hukum


tersebut diatas.

2. Membatalkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No. 1051 K/PID.SUS/2016


tanggal 20 September 2016 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi
pada Pengadilan Tinggi Medan No. 08/Pid.Sus-TPK/2016/PT.DKI tanggal 16 Maret

Halaman | 18
2016 jo. Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan
No. 67/Pid.Sus-TPK/2015/PN Mdn. tanggal 4 Januari 2016.

MENGADILI KEMBALI :

1. Menghukum PEMOHON Peninjauan Kembali dengan pidana penjara selama 4


(empat) tahun.

2. Memerintahkan Barang Bukti berupa :


I. Tanah seluas 45.625 m2 yang terletak di Desa Sudi Rejo Kec. Namo Rambe
Kab. Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara sesuai Sertifikat Hak Milik No. 470,
NIB 02.04.06.37.00118 an Doktorandus Khaidar Aswan;
II. SPBU No. 14.203.1114 yang terletak di Jalan Raya Batang Kuis, Desa Buntu
Bedimbar d/h Bangun Sari Kecamatan Tunjung Morawa, Kabupaten Deli
Serdang , an. Hj. Nurmah;
III. SPBU No. 14.203.171 yang terletak di Jalan Medan-Deli Tua Km. 10.5 An. Hj.
Nurmah.

3. Membebankan biaya perkara kepada negara.

Bilamana Yang Mulia Majelis Hakim Agung yang memeriksa dan memutus Perkara a-quo
mempunyai pendapat hukum dan/atau pertimbangan lain, maka Pemohon Peninjauan
Kembali memohon untuk diberikan putusan yang seadil-adilnya – ex aequo et bono.

Demikian Permohonan Peninjauan Kembali ini diajukan, atas perhatian dan pertimbangan
Yang Mulia Majelis Hakim Peninjauan Kembali, terlebih lagi atas dikabulkannya
permohonan ini, Pemohon ucapkan terima kasih.

Hormat kami,
PEMOHON PENINJAUAN KEMBALI,

Drs. KHAIDAR ASWAN

PENASIHAT HUKUM

Halaman | 19
MUHAMMAD RIDWAN, S.H. HUSNI AZ-ZAKI, S.H., M.H.

M. ARIE AGUNG, S.H., M.H.

Halaman | 20

Anda mungkin juga menyukai