SKRIPSI
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui,
Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Biologi
Universitas Jenderal Soedirman
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang
berjudul “Ketertarikan dan Kesukaan Kecoak Jerman, Blatella germanica L.
(Dictyoptera: Blatellidae) Terhadap Umpan dengan Fagostimulan Berbeda”.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana Sains
Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman. Adapun dipilihnya topik mengenai
Kecoak Jerman ini karena kajian mengenai pengendalian hama perkotaan (urban
entomology) terutama Kecoak Jerman sedang berkembang pesat, sehingga sangat
menarik bagi peneliti untuk mempelajari dan menjadikan bagian studi akhir.
Penulis pada kesempatan kali ini menyampaikan terimakasih kepada Bapak
Prof. Dr. rer.nat. Imam Widhiono MZ., M.S., selaku Dekan Fakultas Biologi yang
telah memberika izin untuk melaksanakan Penelitian Tugas Akhir, Ibu Dra. Trisnowati
Budi A, M.Si. selaku Pembimbing I dan Bapak Dr. Hery Pratiknyo, M.Si. selaku
Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan
Skripsi ini, serta semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyelesaian Skripsi ini.
Penulis menyadari di dalam penyusunan dan penulisan Skripsi ini masih
banyak kekurangan, sehingga saran dan kritik yang membangun penulis harapkan
untuk perbaikan di masa mendatang dan bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
RINGKASAN
Kecoak Jerman memiliki ukuran tubuh yang kecil, yaitu panjang 10-15 mm, lebar
4-5 mm; berwarna coklat muda kekuningan, kecoak Jerman betina berwarna sedikit
lebih tua daripada jantan. Pronotum berwarna coklat dengan dua garis hitam
memanjang. Ciri khas kecoak ini memiliki dua garis hitam yang sejajar pada
pronotum. Ciri khas lain adalah individu betina selalu membawa ooteka di bagian
belakang abdomen sampai telur siap untuk menetas. Ooteka ini dijatuhkan di suatu
tempat yang terlindung dan nimfa akan muncul dalam waktu satu sampai dua hari
setelahnya. Ooteka berwarna coklat terang dan memiliki panjang 7-9 mm. Kecoak ini
tergolong kecoak yang paling cepat perkembangbiakannya. Seekor betina dan
keturunannya dapat menghasilkan lebih dari 30.000 individu kecoak pertahun. (Sigit,
et al., 2006). Perbandingan morfologi kecoak Jerman dengan jenis kecoak lainnya
disajikan dalam Gambar 2.1 berikut:
Gambar 2.2. Kecoak Jantan dan Betina, serta Pertumbuhan di Setiap Stadia
Kehidupan (Sumber: www.domyown.com)
Selama proses hidupnya, kecoak Jerman memerlukan paling sedikit 12%
karbohidrat. Jika karbohidrat rendah maka kecoa membutuhkan 15-30% protein dan
3% lemak. Saat kondisi optimal, kandungan karbohidrat yang dibutuhkan dalam masa
pertumbuhannya adalah 84,5% dan lemak paling sedikit 2% (Kells, 1998).
Seekor betina dapat menghasilkan 4-5 ooteka dan setiap ooteka terdiri atas 30-40
butir telur. Kecoak Jerman menghasilkan lebih banyak telur dan menghasilkan
generasi lebih banyak dalam setiap tahun daripada jenis kecoak lainnya (Arsyid, et al.,
2016). Kecoa betina membutuhkan sekitar 15-40% protein untuk dapat meletakkan
telur pertama. Jika kandungan protein <10% maka ukuran ooteka akan mengecil dan
reproduksi akan menurun (Kells, 1998).
Hama merupakan organisme yang keberadaannya tidak diinginkan, karena dapat
merugikan bagi manusia. Serannga dikatakan sebagai hama, jika populasinya melebihi
batas ambang ekonomi. Namun, pada serangga yang berinteraksi dengan permukiman,
meskipun populasinya rendah tetap dianggap sebagai pengganggu dan harus
dikendalikan. Hal inilah yang menyebabkan adanya upaya pengendalian serangga
pengganggu dengan berbagai cara (Ahmad, 2011). Kecoak Jerman dikatakan sebagai
hama permukiman karena tersebarnya sangat luas di lingkungan dalam ruangan atau
gedung, seperti dapur, kamar mandi, dan tempat penyimpanan makanan. Serangga ini
tidak hanya merusak makanan, namun juga menyebabkan alergi dan sumber patogen
(El-Sharabasy, et al., 2014).
Upaya pengendalian hama awalnya dilakukan dengan menggunakan insektisida.
Hingga kini penggunaan insektisida semakin tidak terkendali dan memberikan dampak
nyata yang tidak terduga sebelumnya, yaitu serangga menjadi resisten terhadap
insektisida, resurjensi hama, peledakan hama, serta kontaminasi lingkungan.
Kemampuan serangga menjadi resisten sudah berkembang sejak lama dan terjadinya
sangat cepat. Cepatnya perkembangan resistensi serangga terhadap insektisida
membuat industri pestisida tidak sanggup mengembangkan insektisida dalam waktu
yang lebih cepat dari terjadinya resistensi terhadap insektisida. Akibatnya pembuatan
insektisida dengan cara kerja yang berbeda dengan yang sudah ada membutuhkan
biaya yang mahal, mulai dari riset dan pengembangan hingga pendaftaran dan
dipasarkan (Ahmad, 2011). Salah satu alternatif untuk menghadapi hal tersebut adalah
inovasi dalam upaya pengendalian, baik secara metode ataupun bahan yang digunakan
(Sigit, et al., 2006).
Penggunaan umpan merupakan salah satu contoh upaya pengendalian kecoak
Jerman secara mekanis (trapping). Umpan merupakan formula yang biasa digunakan
untuk pengendalian kecoak Jerman di negara-negara maju, terutama Amerika. Umpan
digunakan sebagai alternatif pengendalian kecoak Jerman karena tidak
mengontaminasi lingkungan (Mallis, 2004), lebih ekonomis, dan mudah dalam
pengaplikasiannya. Bahan utama penyusun umpan adalah fagostimulan, insektisida,
dan matriks yang berupa bahan makanan. Perangkap umpan biasanya terdiri perekat
dan umpan yang diletakkan di tengah perekat dan diletakkan pada lokasi
berkembangbiaknya, di tempat kecoak berkumpul, dan jalur yang sering dilalunya
(Salbiah, 2007).
Formulasi umpan kecoak Jerman umumnya mengandung bahan aktif yang
tergabung dalam pakan yang mengandung gula sebagai fagostimulan. Fagostimulan
merupakan senyawa kimiawi yang dapat menarik serangga untuk makan.
Fagostimulan termasuk komponen allelokimiawi non-nutrisi. Fagostimulan atau
disebut juga attraktan kimiawi menjadi faktor penting kecoak menyukai atau
menghindari suatu makanan. Apabila fagostimulan ini hilang dari suatu makanan,
kecoak akan cenderung untuk tidak mendatangi atau tidak tertarik pada makanan
tersebut (Genc, 2006).
Berbeda dengan metode semprot secara langsung, umpan bekerja langsung
menuju sasaran target melalui konsumsi langsung (primer), serta melalui penggunaan
bahan aktif yang ditranslokasikan (sekunder). Beberapa keuntungan lain
menggunakan umpan adalah efektif digunakan dalam dosis rendah, sehingga aman
bagi manusia dan hewan peliharaan, mudah diaplikasikan, hampir tidak berbau dan
efektif pada hampir semua kondisi. Selain itu, umpan juga dapat diaplikasikan di
tempat-tempat khusus, seperti rumah sakit, restoran, hotel, dan lain-lain tanpa harus
melakukan penyemprotan insektisida (Ambarningrum, et al., in press).
Meskipun umpan dinilai efektif, beberapa populasi kecoak telah mengalami
resistensi perilaku berbasis kemosensori terhadap umpan, sehingga kecoak menjadi
lebih selektif dalam memilih pakan. Oleh karena itu, formulasi umpan selain harus
efektif dalam mengendalikan populasi kecoak Jerman, juga harus memperhatikan
formulasi nutrisi yang telah dicampur racun agar lebih disukai daripada pakan yang
tidak beracun (Ko, et al., 2016). Kecoak menyukai makanan yang mengandung gula,
protein, dan kadar air tinggi, serta bau yang menyengat seperti hasil fermentasi
(Winarno, 2001).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan dalam upaya inovasi bahan formulasi
umpan adalah penelitian yang dilakukan oleh El-Sharabasy, et al., (2014), yang
menggunakan empat jenis pakan kaya karbohidrat, yaitu biskuit, pisang, limbah
makanan siang, dan masakan yang baru selesai dimasak. Hasil yang didapat adalah
kecoak Jerman menyukai biskuit dan pisang saat pengujian, namun pada kecoak
Jerman dewasa sangat menyukai pisang. Hal ini disebabkan karena pisang kaya akan
karbohidrat, sehingga dapat berfungsi sebagai sumber energi primer kecoak Jerman.
Selain faktor gizi, bau pisang yang kuat dan teksturnya yang lembut menjadikan
kecoak lebih menyukai pisang dibandingkan biskuit yang teksturnya sangat kaku.
Durian memiliki potensi untuk dijadikan bahan dasar pembuatan umpan kecoak
Jerman. Buah durian memiliki kulit tebal dan umumnya memiliki biji yang kecil
(kempes). Daging durian memiliki kadar air 60%, kadar pati 17,3%, dan kadar total
gula mencapai 20,5% (Antarlina, 2009). Komponen kimia yang dimiliki durian ini
hampir sama dengan yang dilaporkan oleh Direktorat Gizi Departemen Kesehatan
(1981), yakni kalori 134 kal/100 g, kadar protein 2,5%, lemak 3%, karbohidrat 28%,
dan kalsium 7,4 mg/100.
Penelitian mengenai penggunaan formulasi gula sebagai fagostimulan diawali
dari penelitian organ reseptor pada lalat Drosophilla melanogaster terhadap beberapa
gula, selanjutnya juga diteliti pada kecoak Amerika, Periplaneta Americana,
ditemukan adanya sensilla pada maksila palps untuk pengecap gula dan tidak ada
reaksi penolakan terhadap formulasi gula, sehingga penggunaan gula sebagai
fagostimulan semakin ditingkatkan. Kecenderungan kecoak terhadap gula ini
dihubungkan dengan kebutuhan nutrisi berupa karbohidrat untuk energi primer.
Penelitian selanjutnya dilakukan pada kecoak Jerman untuk melihat efektivitas
fruktosa dan glukosa yang dicampurkan insektisida hydramethylnon. Tahun 1983
penggunaan fagostimulan tersebut dapat menekan populasi kecoak Jerman sebesar
90%, namun di tahun 1988 telah terjadi peningkatan populasi melebihi 39%. Hal ini
mengindikasikan adanya resistensi kecoak Jerman terhadap gula (Silverman &
Bieman, 1993).
Penggunaan gula diet eritrisol juga berpotensi untuk dijadikan bahan
pengendalian hama. Gula eritrisol merupakan gula diet yang dapat dikonsumsi
manusia. Jenis gula ini tidak menyebabkan toksik pada manusia dan beberapa mamalia
lainnya, namun bersifat toksik pada beberapa serangga. Gula eritrisol yang dikonsumsi
oleh lalat buah Drosophilla melanogaster (Baudier, et al., 2014) dan lalat buah
Bactrocera carambolae menyebabkan peningkatan mortalitas pada spesies tersebut
(Zheng, et al., 2015). Jenis gula ini mampu dicerna oleh larva, mencegah
perkembangan larva, menyebabkan kematian larva, dan mengganggu produksi telur.
Pada beberapa serangga, gula eritrisol dapat menghambat penyerapan gula melalui
dinding usus. Serangga yang mengonsumsi gula eritrisol juga dapat mengalami
gangguan dalam penyerapan air (Baudier, et al., 2014).
Berdasarkan uraian teori yang disampaikan diatas, peneliti mengajukan dua
hipotesis yaitu jenis fagostimulan yang dapat menarik kecoak Jerman adalah durian,
pisang, formulasi gula, dan eritrisol, serta jenis fagostimulan yang paling disukai
kecoak Jerman adalah pisang.
III. METODE PENELITIAN
1. Materi Penelitian
Alat-alat yang digunakan adalah seperangkat olfaktometer berbentuk Y,
memiliki tiga lengan, yang masing-masing lengannya memiliki panjang 30 cm
(Masriany, 2018), arena uji berupa box plastic ukuran 30 cm x 39 cm x 12 cm,
wadah pakan untuk pengujian, aerator, toples plastik ukuran 16 L, kain kasa, pita
karet, kardus bekas, gelas minuman bekas, wadah pakan untuk arena pemeliharaan,
selotip, label, kapas, gunting, kertas aluminium foil, oven dan spidol. Bahan-bahan
yang digunakan adalah kecoak Jerman strain Vector Control Research Unit
(VCRU) yang merupakan strain rentan standar World Health Organization (WHO)
berasal dari Universiti Sains Malaysia, Penang, Malaysia, arang, vaselin, minyak
kelapa, gel tanpa fagostimulan sebagai kontrol negatif, gel limbah durian, gel gula
diet eritrisol, gel pisang, gel formulasi gula dan air.
2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Entomologi-Parasitologi Fakultas
Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto sejak bulan Maret 2019
sampai bulan Juli 2019.
B. Metodologi Penelititian
1. Rancangan Percobaan
Pengujian dilakukan dengan metode eksperimental menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK) untuk uji ketertarikan kecoak Jerman, sedangkan untuk
uji kesukaan kecoak Jerman menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Pengujian ketertarikan menggunakan metode paksa (two choice method) dalam
arena uji olfaktometer berbentuk Y (Gambar 3.1) (Nalyanya, et al., 2001),
sedangkan uji kesukaan menggunakan metode pilihan (choice method) dalam
arena uji box plastic ukuran 30 cm x 39 cm x 12 cm (Gambar 3.2) (El-Monairy, et
al., 2015). Kecoak Jerman yang digunakan adalah kecoak jantan, berjumlah 30
ekor untuk masing-masing pengujian. Setiap pengujian dilakukan pengulangan
sebanyak tiga kali. Jenis fagostimulan yang digunakan pada kedua uji tersebut
adalah gel durian, gel pisang, gel formulasi gula, gel gula eritrisol, dan gel tanpa
fagostimulan sebagai kontrol. Sebelum masing-masing pengujian dilakukan,
kecoak dipuasakan selama 1 x 24 jam, selanjutnya diaklimatisasi dalam arena uji
selama 1 jam (Ko, et al., 2016).
Bobot masing-masing umpan yang digunakan untuk pengujian ketertarikan
dan kesukaan adalah 1 g, baik yang mengandung fagostimulan maupun kontrol.
Pada uji ketertarikan, setiap jenis fagostimulan ditempatkan di salah satu lengan
olfaktometer, sedangkan gel kontrol ditempatkan di salah satu lengan lainnya
(Masriany, 2018). Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah kecoak yang
mendekati dan atau memakan umpan yang telah ditempatkan. Pengamatan
dilakukan pada menit ke-15, 30, 45, 60, dan 120 (Nufus Az, et al., 2018). Data
yang telah ditabulasikan dalam tabel dianalisis menggunakan uji T dan attraction
index (Mitchell & Tumlinson, 1994).
Pengujian kesukaan kecoak Jerman terhadap fagostimulan dilakukan dengan
menempatkan empat jenis umpan yang mengandung fagostimulan berbeda secara
bersamaan pada setiap sudut arena uji berupa box plastic dan di bagian tengah
arena uji tersebut diletakkan harborage, gel kontrol, dan kapas basah. Pengamatan
dilaksanakan selama 72 jam. Penimbangan seluruh bobot umpan hasil pengujian
kesukaan dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan untuk mendapatkan bobot
awal dan bobot akhir, selanjutnya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 60o C
sampai umpan benar-benar kering dan ditimbang kembali untuk mendapatkan
bobot kering. Setelah mendapatkan data, dilanjutkan perhitungan menggunakan
Aliquot. Aliquot merupakan jenis sub-sampel yang diambil atau diekstrak dari
sampel aslinya. Aliquot adalah bagian fraksional dari keseluruhan sampel (Reid &
McDonough, 2017). Untuk mendapat bobot pakan yang dikonsumsi, selanjutnya
data di analisis menggunakan ANOVA dan feeding index (Silverman & Ross,
1994).
b. Feeding index :
𝑃𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 (𝑚𝑔)−𝑃𝑎𝑘𝑎𝑛 𝐾𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 (𝑚𝑔)
FI = 𝑃𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 (𝑚𝑔)+𝑃𝑎𝑘𝑎𝑛 𝐾𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 (𝑚𝑔) ………….....(3.2)
Gambar 3.1 Pengujian Ketertarikan Kecoak Jerman terhadap Umpan dengan
Fagostimulan Berbeda
Umpan yang
telah diujikan,
dioven selama 2
minggu
Penarikan Simpulan
Penyusunan Laporan
Gambar 3. 8 Diagram Alir Penelitian
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kontrol 1,132±0,960a
Pisang 3,066±0,722b
Kontrol 1,198±0,730a
Formulasi Gula 2,200±0.,60b
Kontrol 0,534±0,557a
Gula Eritrisol 1,266±0,280b
Tabel 4.1 menunjukkan rerata ketertarikan kecoak Jerman terhadap umpan
dengan fagostimulan berbeda. Berdasarkan Tabel 4.1 tersebut, terlihat bahwa rerata
kecoak Jerman yang tertarik pada durian sebesar 4,666 ekor, selanjutnya pada pisang
sebanyak 3,066 ekor, serta pada formulasi gula dan eritrisol berturut-turut sebanyak
2,200 dan 1,266 ekor. Hasil ini menunjukkan bahwa kecoak Jerman tertarik terhadap
pisang, durian, formulasi gula, dan eritrisol. Hasil pilihan fagostimulan yang beragam
oleh kecoak Jerman juga didapat dari penelitian El-Sharabasy (2014) yakni kecoak
Jerman lebih tertarik terhadap biskuit dan pisang. Fagostimulan beragam yang dipilih
kecoak Jerman juga terlihat pada penelitian Lauprasert, et al., (2016), yaitu kecoak
Jerman tertarik terhadap kentang, keju, kacang, gula, roti, dan paling signifikan tertarik
terhadap pisang. Adanya prilaku kecoak Jerman yang tertarik terhadap lebih dari satu
jenis fagostimulan ini dimungkinkan karena kecoak Jerman bersifat omnivora (Jensen,
et al., 2016), Adanya sifat omnivora ini didrorong dari kebutuhan nutrisi kecoak
Jerman akan karbohidrat, lemak, dan protein yang tergolong tinggi, sehingga keempat
fagostimulan diatas, dapat dijadikan sebagai bahan umpan (Lauprasert, et al., 2006).
Untuk mengetahui jenis fagostimulan yang paling spesifik menarik kecoak
Jerman, dilakukan analisis indeks ketertarikan (attraction index). Hasil perhitungan
indeks ketertarikan kecoak Jerman ditunjukkan pada Gambar 4.1 berikut:
0.6
0,19
0.3 0,10
0.2
0.1 0,07
0
Durian Pisang Formulasi Gula Eritrisol
Jenis Fagostimulan
Gambar 4.1 Rerata Indeks Ketertarikan Kecoak Jerman terhadap
Fagostimulan Berbeda
Berdasarkan perhitungan indeks ketertarikan, didapat hasil indeks kertetarikan
durian, pisang, formulasi gula, dan gula eritrisol berturut-turut adalah 0,18 ekor, 0,19
ekor, 0,10 ekor, dan 0,07 ekor. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa indeks
ketertarikan paling tinggi adalah pisang (0,19 ekor). Hal ini menunjukkan Kecoak
Jerman lebih spesifik tertarik terhadap pisang dibanding ketiga fagostimulan lainnya.
Adanya kecenderungan kecoak Jerman lebih tertarik terhadap pisang disebabkan
karena pisang memiliki aroma yang menyengat (El-Sharabasy, et al., 2014).
Kemampuan kecoak untuk mendeteksi aroma yang menyengat ini berasal dari
olfaktori yang mampu meningkatkan kemampuan kecoak Jerman untuk mendekati
fagostimulan (Nalyanya, et al., 2001).
Aroma menyengat yang dimiliki pisang berasal dari senyawa α-pinen. Senyawa
ini termasuk kelompok alkena dengan cincin empat reaktif. Senyawa ini juga
ditemukan di Satureja myrtifolia dan Rosemary sp. Pisang memiliki kandungan alpha-
pinen sebesar 25%. Disisi lain, pisang memiliki 60 jenis senyawa metabolit, yang
terbagi atas beberapa kelompok, yaitu gula, gula alkohol, asam amino, dan lain-lain.
Senyawa yang masuk kelompok gula diantaranya sukrosa, glukosa, fruktosa,
galaktosa, dan psikosa. Sorbitol, inotisol, dan arabinosa masuk ke dalam kelompok
gula alkohol, sedangkan alanin fenilalanin, glutamate, tirosin, oksalat, glukaratm
triptofan, dan serin masuk kedalam kelompok asam amino (Masriany, 2018).
B. Uji Kesukaan Kecoak Jerman
Hasil uji kesukaan Kecoak Jerman terhadap umpan dengan fagostimulan berbeda
dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA). Adapun hasil analisis ragam
ditunjukkan dalam Gambar 4.2 sebagai berikut:
0.060
Rerata Umpan yang Dikonsumsi
b
0.050
0.040 a a
0.030
(g)
a a
0.020
0.010
0.000
Kontrol Durian Pisang Formulasi Eritrisol
Gula
Jenis Fagostimulan
0,40
Dikonsumsi (g)
0.4
0.3 0,27
0.2
0.1 0,06
0
Durian Pisang Formulasi Gula Eritrisol
Jenis Fagostimulan
Gambar 4.3 Rerata Feeding Index Kecoak Jerman pada Fagostimulan Berbeda
Berdasarkan hasil perhitungan indeks pakan, didapat hasil paling tertinggi adalah
pisang sebesar 0,52 g, selanjutnya diikuti durian, formulasi gula, dan eritrisol yang
memiliki hasil berturut-turut 0,40 g, 0,27 g, dan 0,06 g. Dari hasil tersebut, dapat
dilihat bahwa kecoak Jerman paling menyukai pisang dibandingkan durian, formulasi
gula, dan eritrisol. Tingginya hasil konsumsi kecoak Jerman terhadap pisang
dibandingkan fagostimulan lainnya disebabkan karena struktur yang dimiliki pisang
lebih lembut dan lembek (El-Sharabasy, et al., 2014), dibandingkan dengan struktur
buah durian yang seratnya lebih padat, kasar dan agak keras (Yuniastuti, et al., 2010).
Potensi lain yang dimiliki pisang adalah kandungan karbohidrat yang tinggi.
Kandungan karbohidrat ini digunakan kecoak Jerman sebagai energi primer terutama
pada kecoak Jerman jantan (El-Sharabasy, et al., 2014). Untuk kebutuhan nutrisinya,
kecoak Jerman jantan membutuhkan karbohidrat lebih tinggi dibandingkan lemak dan
protein, sedangkan kecoak Jerman betina membutuhkan lebih banyak protein untuk
proses reproduksi (Lauprasert, et al., 2006).
Faktor lain yang menjadi penyebab kecoak Jerman lebih menyukai pisang
dibandingkan formulasi gula dan eritrisol adalah adaptasi dari gustatori kecoak Jerman
yang cenderung menghindari fagostimulan berbahan dasar gula (Jensen, et al., 2016).
Konsumsi umpan oleh kecoak Jerman juga dipengaruhi olfaktori (ketertarikan) dan
gustatori (palatabilitas dan fagostimulasi). Olfaktori berperan untuk dapat mendeteksi
keberadaan pakan lewat aroma yang dikeluarkan oleh fagostimulan, dan gustatori
memiliki peran lanjutan untuk membantu menilai makanan yang telah terdeteksi
tersebut disukai atau tidak disukai oleh kecoak Jerman (Ko, et al., 2016).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa
simpulan, yaitu:
1. Kecoak Jerman tertarik terhadap durian, pisang, formulasi gula, dan eritrisol.
2. Kecoak Jerman lebih spesifik tertarik dan menyukai pisang, sehingga pisang
dapat dijadikan salah satu preferensi pakan kecoak Jerman dalam pembuatan
umpan untuk pengendalian.
B. Saran
Penelitian ini hanya menggambarkan respon kemosensori kecoak Jerman.
Untuk mengetahui bagaimana respon metaboliknya terhadap fagostimulan yang
berbeda, maka diperlukan uji respon metabolic terhadap fagostimulan yang
berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, I., 2011. Adaptasi Serangga dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Manusia.
Dalam: Pidato Ilmiah Guru Besar ITB. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Ahmad, I. L., Kustiati & N, H., 2018. Pengembangan Formulasi Umpan untuk
Mengendalikan Kecoak Jerman Blatella germanica L. (Dictyoptera:
Blattellidae) dan Lalat Rumah Musca domestica L. (Diptera: Muscidae) di
Indonesia, Bandung: Institut Teknologi Bandung (Tidak dipublikasikan).
Ambarningrum, T. B. et al., in press. Detection of Glucose Aversion Behavior
Developmenr in German Cockroaches, Blatella germanica L. (Dictyoptera:
Blattelidae) in Indonesia. Journal Entmology, pp. 1-8.
Amelia, F. & Hamzar, S., 2015. Degradasi Senyawa Imidakplorid secara Advanced
Oxidation Processes dengan Penambahan TIO2-Anatase. Jurnal Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas, 8(2).
Antarlina, S. S., 2009. Identifikasi Sifat Fisik dan Kimia Buah-Buahan Lokal
Kalimantan. Buletin Plasma Nutfah, 15(2), pp. 80-90.
Arsyid, W. B., Saraswati, L. D. & Hastiningsih, R., 2016. Uji Efektivitas
Entomophatogenic Fungi Beauveria bassiana terhadap Kematian Blatella
germanica (L.). Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, 4(1).
Baudier, K. M. et al., 2014. Erythitol, A Non-Nutritive Sugar Alcohol Sweetener And
The Main Component Of Truvia, is A Palatable Ingested Insecticide. PLoS
ONE, Volume 9.
Cooper, A. & Schal, C., 1992. Differential Development and Reproduction on The
German Cockroach (Dictyoptera: Blattellidae) on Three Laboratory Diets.
Econ Entomol, 85(3), pp. 838-844.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan., 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan.
Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
El-Monairy, M., El-Sayeed, Y. A. & Hegazy, M., 2015. Efficacy of Certain Gel Baits
Againts the German Cockroach, Blatella germanica L. (Dictyoptera :
Blatellidae) under Laboratory Conditions. Journal of Entomology Department
Benha University, 11(1), pp. 1-7.
El-Sharabasy, H. M. et al., 2014. Food Preference of The German Cockroach, Blatella
germanica (L.) (Dictyoptera: Blattellidae). Cercetari Agronomice in Moldova,
17(2), pp. 81-88.
Firmansyah, 2009. Studi Komparatif Jenis Umpan Terhadap Jumlah Kecoak
Tertangkap di Lingkungan Kelurahan Selamat Kecamatan Telanai Pura
(Abstr.).
Genc, H., 2006. General Principles of Insect Nutritional Ecology. Journal Science of
Trakya University, 7(1), pp. 53-57.
Hadi, U. K., 2006. Lipas atau Kecoak Jerman, Blatella germanica. Bogor: Unit Kajian
Pengendalian Hama Permukiman, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
Jensen, K., Katsumata, A. W., Schal, C. & Silverman, J., 2017. Persistence of a Sugar-
Rejecting Cockroach Genotype Under Various Dietary Regimes. Scientific
Report, Volume 7, pp. 1-10.
Jensen, K., Shcal, C. & Silverman, J., 2016. Gustatory Adaptation Affect Sexual
Maturation in Male German Cockroaches, Blatella germanica. Physiology
Entomology, Volume 41, pp. 19-23.
Kells, S. A., 1998. Estimating Nutritional Ststus of German Cockroaches, Blatella
germanica L. (Dictyoptera: Blattellidae) in the Field. Journal of Insect
Physiology, 1999(45), pp. 709-717.
Ko, A. E., Schal, C. & Silverman, J., 2016. Diet Quality Affect Bait Performance in
German Cocroaches (Dictyoptera : Blatellidae). Pest Manag Sci, Volume 72,
pp. 1826-1836.
Lauprasert, P., Sitthicharoenchai, D., Thirakhupt, K. & Pradatsudarasar, A.-O., 2006.
Food Preference and Feeding Behavior of The German Cockroach, Blatella
germanica (Linneaus). Journal Science Chula University, 31(2), pp. 121-126.
Lee, C. Y., Hemingway, J., Yap, H. H. & Chong, L., 2000. Biochemical
Characterization of Insecticide Resistance in The German Cockroach, Blatella
germanica, from Malaysia. Medical and Veterinary Entomology, Volume 14,
pp. 11-18.
Lee, C. Y. & Soo, J., 2002. Potential of Glucose-Aversion Development in Field
Collected Populations of The German Cockroach, Blatella germanica (L.)
(Dictyoptera: Blattellidae) from Malaysia. Tropical Biomedicine, 19(1&2), pp.
33-39.
Mallis, A., 2004. Handbook of Pest Control (the Behavior, Life History, and Control
of Household Pest). Pennylvania: Department of Entomology, The
Pennsylvania State University Park.
Masriany, 2018. Interaksi Kimiawi Serangga dengan Tanaman Pisang dalam
Penyebaran Penyakit Banana Blood Disease (BBD), Bandung: Intitut
Teknologi Bandung.
Mitchell, Tumlinson, Everett , R. M. & James H. Tumlinson, 1994. Response of
Spodoptera Eexigua and S. Eridania (Lepidoptera: Noctuidae) Males to
Synthetic Pheromone and S. Exigua Females. Florida Entomologist, 77(2), pp.
237-247.
Nafis, F., 2009. Persepsi Masyarakat Perkotaan Terhadap Hama Permukiman serta
Pengujian Perangkap dan Pestisida untuk Mengendalian Tikus dan Kecoa,
Bogor: Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Nalyanya, G., Liang, D., Kopanic, R. J. & Schal, C., 2001. Attractives of Insecticide
Baits for Cockroach Control (Dictyoptera: Blattellidae) Laboratory and Field
Studies. BioOne, 94(3), pp. 686-693.
Nufus Az, S. Z., Hariani, N. & Trimurti, S., 2018. Studi Ketertarikan Kecoak Jerman
(Blatella germanica L.) Pada Karbohidrat dari Ampas Tahu dan Ampas
Kelapa. Bioprospek, Volume 13, pp. 12-18.
Paramita, O. D., Harsoyo, N. & Setiawan, H., 2013. Hubungan Asma, Rinitis Alergik,
Dermatitis Atopik dengan IgE Spesifik Anak Usia 6-7 Tahun. Jurnal
Kedokteran Universitas Diponegoro, 14(6), pp. 391-397.
Pimentel, D. et al., 1978. Benefit and Costs of Pesticide use in US Food Production.
BioScience, Volume 28, pp. 772-784.
Reid, D. & McDonough, J., 2017. Using Aliquot in Chemistry: Definition & Function.
[Online]
dalam : http://www.study.com. [Diakses tanggal 31 Juli 2019].
Riyandi, H., Yeni, I. R., Reini & Yolanda, N., 2014. Uji Preferensi Pakan Kecoak
Jerman Blatella germanica L. (Dictyoptera: Blattellidae) sebagai Dasar
Pembuatan Umpan Beracun untuk Pengendalian, Padang: Universitas
Andalas.
Salbiah, 2007. Preferensi Kecoa Amerika Periplaneta americana L. (Blattodea:
Blattelidae) Terhadap Berbagai Jenis Umpan. Bogor: Fakultas Pertanian :
Institut Pertanian Bogor.
Sigit, S. H., Koesharto, F. X., Hadi, U. K. & dkk, 2006. Hama Permukiman Indonesia
: Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Pertama ed. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Silverman, J. & Bieman, D. N., 1993. Glucose Aversion in the German Cockroach,
Blatella germanica. Journal Insect Physiology, 39(11), pp. 925-933.
Silverman, J. & Ross, M. H., 1994. Behavioral Resistance of Field-Collected German
Cockroaches (Blattodea: Blattellidae) to Baits Containing Glucose.
Physiological and Chemical Ecology, 23(2), pp. 425-430.
Silverman, J. & Ross, M. H., 1994. Behavioral Resistance of Field-Collected German
Cockroaches (Blattodea: Blattellidae) to Baits Containing Glucose. Environ
Entomol, Volume 23, pp. 425-430.
Sugiyono, P. D., 2006. Statistik untuk Penelitian. 10 ed. Bandung: CV Alfabeta
Bandung.
Suliyat, 2009. Umpan Gel untuk Mengendalikan Kecoa Jerman, Blatella germanica
(Dictyoptera : Blattelidae) : Studi Laboratorium dan Lapangan, Bandung:
Institut Teknologi Bandung.
Untung, K., 2008. Manajemen Resistensi Pestisida sebagai Penerapan Pengelolaan
Hama Terpadu. [Online]. dalam : http://www.cdsindonesia.com. [Diakses
tanggal 27 Juli 2019].
Utsumi, Y., Negishi, T. & Kamei, M., 2014. Laboratory and Field Evaluation of Bait
Preferences of The German Cockroach (Dictyoptera: Blatellidae) and The
Smoky-Brown Cockroach (Dictyoptera: Blatellidae). Journal Environmental,
Entomology, and Zoology, 25(3), pp. 93-99.
Wang, C., Scharf, M. & Bennett, G. W., 2004. Behavioral and Physiological
Resistance of The German Cockroach to Gel Baits (Blattodea: Blattellidae).
Insecticide Resistance and Resistance Management : Journal Economic
Entomology, 97(6), pp. 2067-2072.
Widya, Martini & Ginanjar, P., 2018. Uji Palatabilitas Umpan Terhadap Jenis Kecoa
yang Ditemukan pada Warung Makan Tegal di Kelurahan Tembalang. Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 6(5), pp. 302-310.
Winarno, F. G., 2001. Hama Gudang dan Teknik Pemberantasannya. Bogor: M Brio
Press.
Yuniastuti, E., Hartati, S. & Widodo, S. R., 2010. Karakterisasi Morfologi Tanaman
Durian Sukun (Durio zibenthinus Murr.). Surakarta, FKIP UNS.
Zheng, C., Zeng, L. & Xu, Y., 2015. Effect of sweeteners on the survival and behaviour
of Bactrocera dorsalis (Hendel) (Dipter: Tephritidae). Pest Management
Science, Volume 72, pp. 990-996.
Lampiran 1. Spesifikasi Alat dan Bahan
Seperangkat
1 Arena uji Lab Entomologi dan Parasit
olfaktometer -
Toples
5 plastik Arena pemeliharaan Lab Entomologi dan Parasit
ukuran 16 L Clio
Penutup arena
6 Kain kasa HK pemeliharaan dan Lab Entomologi dan Parasit
arena uji
7 Pita karet Butterfly Pengerat kain kasa Lab Entomologi dan Parasit
Kecoak Jerman
1 60 ekor Objek penelitian
strain VCRU
Agar-agar
2 3,82 g Bahan campuran umpan
swallow plain
Oatmeal / whole
4 6,25 g Bahan campuran umpan
wheat
Cornmeal
5 12,5 g Bahan campuran umpan
(jagung kering)
Multivitamin
6 0,5 g Bahan campuran umpan
(Cerebrovit)
b. Attraction Index
Sumber
db JK KT Fhit Sig. Ftabel (5%)
Kergaman
Perlakuan 4 0,002 0,000 6,350 0,008 0,113
Galat 10 0,001 6,667
Lampiran II. Analisis Data (Lanjutan)
d. Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) Kesukaan Kecoak Jerman
95% Confidence
Internal for
Standar Standar Notasi
Perlakuan Mean Mean
Deviasi Error
Lower Upper
Bound Bound
Kontrol 0,167 0,0153 0,005 0,006 0,027 0,017 a
Durian 0,433 0,4333 0,005 0,033 0,054 0,027 a
Pisang 0,267 0,2670 0,005 0,016 0,037 0,043 b
Formulasi
0,200 0,2000 0,009 0,031 0,020
Gula 0,005 a
Eritrisol 0,133 0,1330 0,005 0,003 0,024 0,013 a
Total 0,240 0,2400 0,005
e. Feeding Index
Berat Kering Berat Kering
Jenis Feeding Rata-
No Konsumsi Konsumsi
Fagostimulan Index Rata
Kontrol Perlakuan
0,00 0,02 1,00
1 Durian 0,03 0,03 0,00 0,40
0,02 0,03 0,20
0,00 0,04 1,00
2 Pisang 0,03 0,04 0,14 0,52
0,02 0,05 0,43
0,00 0,02 1,00
3 Formulasi Gula 0,03 0,02 -0,20 0,27
0,02 0,02 0,00
0,00 0,02 1,00
4 Eritrisol 0,03 0,01 -0,50 0,06
0,02 0,01 -0,33
Lampiran III. Alat dan Bahan
Penulis